Dengan cuma sedikit pengikut orang-orang
Jawa yang baru ia Islamkan, Bong Swee Hoo
mendirikan suatu Komunitas Muslim Jawa di Ampel
dan Bong Swee Hoo alias Raden Rachmat mendapat
gelar Sunan Ampel.
Dari perkawinanya dengan Nyi Ageng Manila
(anak Gan Eng Cu), ia dikaruniai banyak anak antara
lain, Dewi Murtija (istri Sunan Giri), Sunan Drajat,
Sunan Bonang, Mursimah (istri Sunan Kalijaga),
Asyikan (istri Raden Patah alias Jin Bun) dan lain-lain.
Jadi Sunan Drajat dan Sunan Bonang adalah
anak Bong Swee Hoo, atau mereka juga buyut Bong
Tak Keng.
Sunan Giri (Raden Paku) adalah anak dari
Syekh Maulana Ishak dan Dewi Sekar Dadu (putri
Bong Tak Keng), jadi Sunan Giri juga cucu Bong Tak
Keng.
Sunan Kudus adalah Jak Tik Su alias Jafar
Sidik. Ayahnya adalah Sunan Undung dan ibunya
adalah Syarifa (cucu Sunan Ampel).
Sunan Kalijaga adalah Gan Si Cang alias Raden
Said. Ayahnya adalah Gan Eng Cu Adipati Tuban.
82
Sunan Muria adalah anak Gan Si Cang (Sunan
Kalijaga). Ibunya adalah Marsimah, putri Bong Swee
Hoo (Sunan Ampel), jadi Sunan Muria adalah cucu
Gan Eng Cu dan juga cucu Bong Swee Hoo.
Dari catatan silsilah Wali Songo yang dihimpun
dan dirangkum lalu dikompilasi dari sumber buku-
buku, “Arus Cina-Islam-Jawa.” Tulisan Sumanto Al
Qurtuby, “Tionghoa dalam Pusaran Politik” tulisan
Benny G. Setiono, dan himpunan tulisan tentang
Laksamana Cheng Ho di Asia Tenggara yang diedit
oleh Leo Suryadinata, serta edisi khusus majalah Gatra,
“Wali Songo, Syiar Tanpa Pedang”, dapat terlihat jelas
bahwa sebagian besar dari Wali Songo adalah
keturunan dari keluarga besar Bong Tak Keng dari
Campa dan keturunan dari keluarga besar Gan Eng Cu
alias Aria Teja, Adipati Tuban. Dengan demikian dapat
dipastikan tujuh dari Sembilan Wali Songo adalah
keturunan Tionghoa.
Raden Patah pendiri Kerajaan Islam Pertama di
Jawa
Raden patah adalah muslim Tionghoa dan ia
keturunan Tionghoa dari garis keturunan ibunya. Dari
gambaran historiografi lokal, meskipun berbeda-beda
mengenai geneologi dari Raden Patah, tetapi masih
bisa dirunut identitas ketionghoannya. Teks-teks babat
83
Jawa Tengah menyebut Jin Bun, sementara babat
sejarah Banten menyebut Cek Ko Po.
Riwayat Raden Patah
Raden Patah adalah putra raja Majapahit
(Brawijaya) dengan selir seorang perempuan Tionghoa.
Oleh karena terjadi masalah internal di istana (terutama
di keputren), perempuan Tionghoa yang sedang hamil
tua dikeluarkan dari keputren dan diserahkan kepada
Ario Damar (Swan Liong), seorang adipati yang
berkuasa di wilayah Palembang. Perempuan Tionghoa
yang hamil itu melahirkan anak yang diberi nama Jin
Bun (Raden Patah). Ia dibesarkan di bawah bimbingan
Swan Liong (Ario Damar).
Ketika beranjak dewasa, Raden Patah berguru
ke pesantren Sunan Ampel di Jawa Timur, kemudian ia
menikah dengan putri Sunan Ampel yang bernama
Asyikan.
Raden Patah adalah orang pertama yang
mendirikan kantor dagang di Demak. Ia bersama anak-
anak dan kawan-kawannya berperan besar dalam
membangun kota Demak menjadi pelabuhan baru di
bawah Kerajaan Majapahit. Demak waktu itu memiliki
tidak kurang dari 40 kapal layar “jung”, sepuluh ribu
rumah dan tanah subur yang menghasilkan beras
84
berlimpah ruah. Demak menjadi salah satu tempat
terpenting dalam penyebaran agama Islam di Jawa.
Sunan Bonang adalah orang pertama yang menjadi
imam di mesjid Demak.
Kemudian melalui perjuangan Raden Patah
bersama-sama dengan para pengikutnya, muslim
Tionghoa dan muslim Jawa, ia menaklukkan kota
Semarang lalu membangun Kerajaan Islam pertama di
Demak.
Wali Songo dan Raden Patah Sudah Melebur jadi
Jawa
Sumanto Al Qurtuby menyatakan belum ada
karya ilmiah yang mengulas secara intensif dan
komprehensif tentang peran orang Tionghoa dalam
syiar Islam di Jawa.
Wali Songo sudah diakui sebagai penyebar
agama Islam di Jawa dan sebagian besar dari Wali
Songo adalah keturunan Tionghoa (walaupun ada yang
hanya dari garis keturunan ibunya), tetapi kenapa
dalam buku-buku sejarah Indonesia tidak tercatat ada
orang Tionghoa yang menyebarkan agama Islam di
Jawa. Hal ini terjadi karena masyarakat Jawa sudah
menganggap Wali Songo sebagai orang Jawa, bukan
orang Tionghoa. Sejarawan Belanda juga menganggap
85
Wali Songo sebagai golongan pribumi (orang Jawa)
dan bukan etnis Tionghoa.
Demikian pula Raden Patah, dalam buku-buku
sejarah Indonesia juga tidak pernah diungkapkan
sebagai etnis Tionghoa, karena walaupun Raden Patah
memang keturunan Tionghoa dari garis keturunan
ibunya, tetapi Raden Patah sudah terlebur
(teramalgamasi) menjadi orang Jawa. Maka ia bukan
etnis Tionghoa lagi, ia sudah menjadi pribumi Jawa.
Peranan Tionghoa peranakan dalam penyebaran
agama Islam di pulau Jawa memang cukup dominan.
Namun, hal ini sampai sekarang masih menjadi bahan
perdebatan (controversial). Salah satu penyebab
terjadinya kontroversial adalah karena banyak muslim
Tionghoa sudah melebur (beramalgamasi) menjadi
pribumi Jawa, sehingga mereka tidak lagi dianggap
sebagai etnis Tionghoa.
Antara abad ke-13 sampai abad ke-17 asimilasi
orang Tionghpa di pulau Jawa sangat berkembang,
bahkan banyak muslim Tionghoa yang sudah melebur
(beramalgamasi) menjadi orang Jawa, sehingga tidak
lagi dianggap sebagai etnis Tionghoa melainkan
dianggap sebagai orang Jawa.
86
Atas dasar kenyataan itulah, beberapa abad
kemudian, pada abad ke-19, ketika pemerintah Hindia
Belanda memisahkan penduduk Hindia Belanda
menjadi tiga golongan, yakni golongan Eropa,
golongan Timur Asing, dan golongan Bumiputera
melalui pasal 163 Indiesche Staatsregeling (IS),
pemerintah Hindia Belanda tidak lupa merumuskan
pasal 163 ayat 3 IS tentang opplosing (peleburan) yang
menetapkan bahwa orang-orang Tionghoa yang sudah
melebur ke dalam komunitas pribumi, tidak lagi
digolongkan sebagai golongan Timur Asing Tionghoa,
melainkan digolongkan sebagai golongan pribumi.
Peleburan Tionghoa Peranakan di Madura
Dalam buku Riwayat Tionghoa Peranakan di
Jawa, sejarawan J.J. Rizal menghimpun 15 artikel yang
pernah ditulis oleh Ong Hok Ham (Dosen jurusan
sejarah Universitas Indonesia) di majalah mingguan
Star Weekly. Salah satu artikel Ong itu diberi judul,
“Masyarakat Peranakan di Madura: Keyakinan Islam
dan Asimilasi.” Dalam artikel ini, Ong bercerita
tentang asimilasi dan amalgamasi muslim Tionghoa di
Madura.
Menurut satu cerita di Sumenep, asal-usul
orang Tionghoa datang ke Sumenep pada tahun 1770
adalah karena mereka dipanggil oleh Panembahan
87
Sumenep. Pada waktu itu Panembahan memerlukan
tukang-tukang Tionghoa untuk mendirikan keraton dan
mesjid Sumenep. Orang-orang Tionghoa di Sumenep
menurut cerita-cerita di sana adalah keturunan dari
tukang-tukang Tionghoa ini.
Pada tahun 1751 Sumenep diperintah oleh
seorang Raden Tumenggung. Anaknya yang kemudian
menggantikannya adalah seorang yang sangat baik,
maka kemudian ia diangkat menjadi Panembahan
dengan gelar Panembahan Notokusumo I.
Menurut cerita dari orang Sumenep,
Panembahan Notokusumo memanggil tukang-tukang
untuk mendirikan keraton dan mesjid. Sesudah keraton
dan mesjid selesai dibangun, tukang-tukang Tionghoa
itu bermukim dan menetap di desa Panjurangan. Pada
waktu itu, ada seorang tukang Tionghoa yang lari dari
desa dan pergi ke desa lain. Di desa lain itu ia menikah
dengan seorang perempuan Madura. Karena itulah ia
diharuskan beragama Islam dan menjadi orang Madura.
Kemudian perkawinan campuran seperti itu diikuti
oleh orang-orang Tionghoa lainnya dari desa
Panjurangan. Keturunan mereka kemudian menjadi
peranakan Tionghoa Madura.
Selain cerita yang diuraikan di atas, masih ada
cerita dari sumber lain yang menceritakan bahwa
88
nenek moyang orang Tionghoa yang sudah disebut
“peranakan” dan sudah melebur menjadi pribumi di
Sumenep, berasal dari Semarang. Pada waktu itu,
setelah terjadi pembantaian orang Tionghoa di Batavia
pada tahun 1740, orang-orang Tionghoa bersama
dengan orang-orang Jawa di Jawa Tengah berontak
melawan VOC. Setelah mereka dikalahkan oleh VOC,
beberapa pemberontak Tionghoa dari Semarang
bersembunyi di pesisir Sumenep. Pemberontak dari
Semarang tersebut memakai nama pribumi, masuk
agama Islam dan meninggalkan identitas Tionghoanya.
Mereka melebur menjadi orang Madura.
Di beberapa daerah di Kabupaten Sumenep
warga keturunan Tionghoa yang sudah terlebur
menjadi masyarakat pribumi di Madura, sudah
dianggap sebagai orang Madura. Mereka disebut
“peranakan Madura.” Walaupun mereka adalah orang-
orang keturunan Tionghoa, tetapi sudah turun-temurun
mereka sudah beragama Islam, memakai nama seperti
orang Madura dan sudah terlebur ke dalam kehidupan
kebudayaan pribumi Madura. Jika dilihat fisiknya dan
perilakunya, mereka sudah sama seperti pribumi
Madura.
Tionghoa peranakan Madura ini berdiam di
beberapa desa di daerah Sumenep. Desa-desa itu
adalah Pasongsongan, Ambunten, Tomedung, Gapura,
89
Pabean, dan Seregem. Orang-orang “peranakan” ini
oleh pemerintah Republik Indonesia sudah
digolongkan sebagai warga Negara Indonesia “asli.”
Mereka mempunyai hak atas tanah dan diperlakukan
sebagai subjek hukum adat Madura. Hal ini sudah
berlangsung beberapa generasi dan merupakan contoh
yang masih dapat dilihat sampai sekarang tentang
amalgamasi (peleburan) orang Tionghoa ke dalam
masyarakat Madura di Sumenep.
Di desa Panjurangan sampai sekarang masih
ada sebagian masyarakat Tionghoa peranakan yang
sudah beberapa generasi menetap di sana. Mereka
masih belum beramalgamasi, mereka masih
menggunakan nama marganya, mereka masih tetap
memelihara tradisi, adat istiadat dan kebiasan-
kebiasaan orang Tionghoa. Mereka masih beragama
Buddha atau menganut ajaran Konghucu. Walaupun
mereka sudah tidak mengerti bahasa Tionghoa, mereka
hanya menggunakan bahasa Madura, dan mereka
sudah berasimilasi dengan kebudayaan Madura. Tetapi
karena mereka belum melebur ke dalam masyarakat
Madura, maka sampai sekarang mereka masih disebut
“Cino” dan bukan “peranakan.”
Orang-orang Tionghoa yang di Madura disebut
“Cino,” di wilayah Indonesia lainnya biasa disebut
“Tionghoa peranakan.” Orang-orang keturunan
90
Tionghoa yang di Madura disebut “peranakan” di
wilayah Indonesia lainnya disebut pribumi.
Dari cerita Ong Hok Ham di atas, menunjukkan
bahwa orang-orang Tionghoa sudah meleburkan diri ke
dalam masyarakat pribumi sejak ratusan tahun lalu.
Amalgamasi Orang Tionghoa di Papua
Wilayah Serui di Papua merupakan salah satu
enclave besar hunian warga berdarah campuran
Tionghoa-Papua. Di Serui orang Tionghoa sudah
menyatu dengan komunitas Papua.
Orang-orang Tionghoa di Serui dulu datang
dari Ternate, Maluku, dan Makassar dan mereka
menikah dengan perempuan Papua. Anak-anak dari
pernikahan itu menjadi peranakan Tionghoa-Papua
yang memiliki penampilan fisik tegak dengan wajah
Hispanik. Mereka tidak lagi memiliki ciri tubuh seperti
orang Tionghoa atau orang Papua.
Kebudayaan orang Tionghoa di Serui sudah
menyatu dengan kebudayaan orang Papua. Komunitas
Tionghoa peranakan di Yapen-Waropen terutama di
Serui sudah terlebur di gereja-gereja Papua dan sudah
menyatu dengan komunitas Papua. Mereka sudah
menggunakan nama marga dari keluarga Papua, seperti
91
Kambu, Raweyai dan lain-lain. Bahkan ada juga orang
Tionghoa yang sudah meninggalkan budaya patrilineal
seperti orang Tionghoa pada umumnya. Nama marga
yang mereka pakai adalah gabungan dari marga ayah
dan marga ibunya, seperti misalnya Gomar. Go diambil
dari nama marga ayahnya dan Mar merupakan
singkatan dari nama marga ibunya.
Orang-orang Tionghoa di Serui sudah
meninggalkan kebudayaan Tionghoa dan melebur ke
dalam kebudayaan Papua. Mereka sudah bukan etnis
Tionghoa lagi dan mereka sudah menjadi orang Papua.
Jadi bukan hanya di Jawa saja orang-orang
Tionghoa sudah melebur ke dalam masyarakat pribumi,
tetapi peleburan orang Tionghoa ke dalam masyarakat
pribumi juga terjadi di Papua, Minahasa, serta wilayah
Indonesia lainnya.
92
BAB VI
VOC MENGHAMBAT
PROSES ASIMILASI
VOC (Vereenigde Oost Indiesche Company)
didirikan di Amsterdam pada tanggal 20 Maret 1602.
VOC adalah sebuah perusahaan dagang di Belanda
yang merupakan gabungan dari sejumlah kamar
dagang di enam kota: Amsterdam, Rotterdam, Zeeland,
Delft, Hoorn, dan Enkhuysen.
VOC mendapat hak dari pemerintah Belanda
untuk melakukan kegiatan dagang di perairan Asia-
Afrika. VOC juga diberikan hak-hak untuk bertindak
sebagai suatu kekuasaan yang berdaulat.
Tujuan utama VOC adalah untuk melakukan
monopoli perdagangan rempah-rempah dan menguasai
Kepulauan Nusantara agar dapat menjaga kepentingan
monopolinya. Maka pemerintah Belanda memberikan
kepada VOC hak untuk mengadakan perjanjian dengan
para penguasa setempat dan melancarkan peperangan
93
untuk menjamin praktik monopoli kepentingan
perdagangannya.
Pada tahun 1605 VOC berhasil mengusir
Portugis dari Ambon dan menduduki bentengnya,
kemudian nama benteng itu diganti menjadi “Benteng
Victoria.” Akan tetapi, kemudian VOC tidak lagi
menganggap Ambon sebagai tempat yang strategis
bagi kepentingan mereka di belahan dunia timur. VOC
menganggap pelabuhan Jayakarta (Jakarta) paling
strategis.
Pada tahun 1610 pemerintah Belanda
mengangkat Peter Both sebagai Gubernur Jenderal
VOC pertama untuk Hindia Belanda. Gubernur
Jenderal VOC diberikan hak istimewa oleh Kerajaan
Belanda. Ia diberikan kekuasaan sangat luas di wilayah
operasi dagangnya. Gubernur jenderal VOC dianggap
sebagai perwakilan Kerajaan Belanda di wilayah
Hindia Belanda.
Pada bulan Januari 1611 VOC berhasil
mengadakan kontrak pembelian tanah seluas kurang
lebih 6000 meter persegi dari Pangeran Jayakarta. Di
atas tanah itu, di sisi timur kali Ciliwung dekat
kampung Tionghoa, VOC membangun kantor
perdagangan.
Pada tahun 1618 VOC memulai peperangan
dengan Inggris dan Pangeran Jayakarta. Inggris
94
berhasil mendesak VOC mundur. Pasukan VOC kabur
dan berlayar ke Ambon untuk meminta bala bantuan
dari pasukan VOC di sana.
Pada bulan Maret 1619 Jan Peterzoon Coen
diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC
menggantikan Gubernur Jenderal Laurens Regel. Pada
bulan Mei 1619, Jan Peterzoon Coen bersama bala
bantuannya dari Ambon berlayar kembali ke pelabuhan
Jayakarta. Dia menyerang kota, menghancurkan dan
meratakannya dengan tanah. Pasukan Inggris dapat
dikalahkan. Jayakarta dijadikan markas besar VOC dan
di situ dibangun benteng Nassau. Jayakarta berganti
nama menjadi Batavia.
VOC Mengundang Orang Tionghoa Membangun
Batavia
Kota Batavia hendak dibangun di atas puing-
puing kota pelabuhan Jayakarta tetapi penduduk
pribumi sudah meninggalkan kota. Mereka memilih
mengikuti para penguasa mereka sendiri yang
melarikan diri ke Banten.
Penduduk merupakan unsur penting yang tak
terpisahkan dalam setiap pendirian kota koloni, tetapi
dalam hal membangun kota Batavia, jumlah pemukim
Belanda tidak cukup banyak untuk membangun kota.
Untuk itu VOC menjalankan politik imigrasi.
Pedagang dari seluruh penjuru Asia Tenggara disambut
95
oleh penguasa VOC agar datang dan bermukim di
Batavia. Di antaranya yang paling diharapkan adalah
orang Tionghoa.
Adapun alasan VOC sangat mengharapkan
orang Tionghoa untuk membangun kota Batavia,
karena VOC menganggap orang Tionghoa bertabiat
baik, ulet, dan rajin, serta mampu masuk dalam
jaringan perdagangan baik antarpulau maupun ke luar
negeri.
Pada waktu itu sudah banyak Tionghoa
peranakan yang bermukim di kota-kota pesisir
Nusantara. Kota pesisir di Jawa yang paling dekat
dengan Batavia adalah Banten. Maka Jan Peterzoon
Coen teringat akan kenalan lamanya, Souw Beng
Kong, pedagang yang sangat dihormati masyarakat
Tionghoa di Banten.
Perkenalan Coen dengan Souw Beng Kong
terjadi pada tahun 1611. Pada waktu itu Coen diutus
oleh Gubernur Jenderal VOC, Peter Both, untuk
membeli lada di Banten. Di sana Coen berkenalan
dengan Souw Beng Kong dan berhasil menjalin
hubungan dagang yang baik.
Coen minta Souw Beng Kong memboyong
orang-orang Tionghoa dari Banten ke Batavia serta
mengurus orang-orang Tionghoa di Batavia. Souw
Beng Kong berhasil memboyong orang-orang
96
Tionghoa dari Banten pindah ke Batavia. Lalu ia
diangkat menjadi Kapitan Tionghoa yang pertama di
Batavia.
Di bawah pimpinan Kapitan Souw Beng Kong,
orang-orang Tionghoa membantu VOC membangun
kota Batavia dan mengembangkan perdagangannya.
Penduduk Tionghoa di Batavia meningkat pesat. Pada
umumnya mereka hidup sebagai pedagang dan petani.
Sejak dibangun dan dikembangkan oleh Souw Beng
Kong, kota Batavia berkembang menjadi pusat
perdagangan Asia Tenggara yang sangat penting.
Hubungan dagang dengan Tiongkok semakin
berkembang dan semakin banyak orang Tionghoa yang
datang bermukim di Batavia.
Sebagai pedagang, orang Tionghoa terlibat
dalam jual beli hasil produk yang didatangkan dari
Tiongkok, seperti teh, sutera, porselen, bahan tekstil
kasar sampai ke panci. Tiongkok sendiri membutuhkan
lada, pala, cengkeh, kayu manis, dan sarang burung
walet dari Hindia Belanda. Kegiatan dagang antara
Batavia dengan Siamen (kota pelabuhan terbesar di
provinsi Hokkian) dilayari secara rutin oleh kapal layar
“Jung” sejak tahun 1620. Di masa puncak kejayaan
hubungan ini, antara tahun 1680 sampai tahun 1740,
rata-rata setiap tahun ada 20 kapal layar Jung yang
datang ke Batavia. Kapal layar Jung itu tidak hanya
membawa barang dagangan dan pedagangnya, tetapi
97
juga membawa orang-orang yang datang dari
Tiongkok ke Pulau Jawa untuk mencari kerja.
Makin Banyak Imigran Tionghoa ke Batavia
Setelah VOC berhasil membangun kota Batavia
menjadi pusat pemerintahan VOC dan pusat
perdagangan Nusantara dan Asia Tenggara, VOC
perlahan tetapi pasti melebarkan sayap kekuasaannya
ke seluruh wilayah Kepulauan Nusantara.
Serbuan VOC ke berbagai penjuru Nusantara
menyebabkan pengiriman budak-budak dari Bali,
Timor, Flores, dan Kalimantan Selatan mengalir ke
Batavia. Budak yang terbanyak adalah budak dari Bali
yang banyak diminta oleh keluarga Eropa dan orang
Tionghoa. Budak Bali disukai karena warna kulitnya
lebih terang dan dapat menerima hidangan masakan
Babi.
Pada waktu VOC berhasil membangun dan
mengembangkan Kota Batavia, serta memperluas
wilayah kekuasaannya ke kota-kota pesisir Kepulauan
Nusantara, pada waktu bersamaan Dinasti Ming
runtuh, dikalahkan oleh bangsa Manchu dari wilayah
Manchuria di Tiongkok Timur Laut. Bangsa Manchu
mendirikan Dinasti Ching (1644-1911).
Di Tiongkok Tenggara, di provinsi Kwangtung
dan Hokkian, orang-orang Konghu dan Hokkian
98
sebagai bangsa Han tidak mau mengakui pemerintah
Dinasti Ching, sehingga perlawanan rakyat terhadap
Dinasti Ching terus berlangsung sampai beberapa
dekade.
Pada pertengahan abad ke-17, VOC sudah
berhasil menduduki dan menguasai sebagian besar
kota-kota di pantai utara Pulau Jawa: Semarang,
Surabaya, Gresik, dan banyak kota lainnya.
Sejak abad ke-9 di kota-kota pesisir pantai utara
Pulau Jawa sudah banyak bermukim perantau
Tionghoa. Setelah menetap berabad-abad, pada abad
ke-17, usaha mereka sudah mapan dan banyak yang
sudah makmur.
Pada waktu itu wilayah pedalaman Pulau Jawa
masih dikuasai oleh Kerajaan Mataram, Kesultanan
Cirebon, dan Kesultanan Banten. Di luar Jawa masih
banyak wilayah kerajaan yang belum dapat
ditaklukkan oleh VOC, antara lain Aceh, Gowa, Bone,
dan lain-lain. VOC hanya baru dapat menguasai Kota
Batavia dan beberapa kota pesisir di Nusantara.
Kota Batavia dan kota-kota pesisir di pantai
utara Pulau Jawa yang berada di bawah kekuasaan
VOC semakin berkembang. Tionghoa peranakan yang
bermukim dan berusaha di kota-kota itu pun semakin
makmur. Mereka membutuhkan banyak tenaga untuk
membantu menangani usahanya yang semakin
99
berkembang. Mereka sangat berharap adiknya,
sepupunya, atau pamannya dapat datang dari Tiongkok
untuk membantu mengembangkan usahanya.
Para pemuda dari provinsi Hokkian yang
mempunyai paman, sepupu, atau saudara kandung
yang sudah lebih dulu merantau ke Pulau Jawa dan
sudah berhasil mengembangkan usahanya di Pulau
Jawa, berduyun-duyun bermigrasi ke Pulau Jawa
menyusul sanak saudaranya yang sudah sukses.
Pada waktu itu keadaan ekonomi dan keamanan
di Batavia dan kota-kota di pesisir pantai utara Pulau
Jawa sangat baik dan sedang berkembang. Sebaliknya
di Tiongkok terus menerus terjadi peperangan,
khususnya di provinsi Kwangtung dan Hokkian yang
tidak mau mengakui pemerintahan Dinasti Ching dan
masih terus melakukan perlawanan. Maka makin hari
makin banyak imigran Tionghoa dari provinsi
Kwangtung dan Hokkian yang ingin mencoba nasib,
bermukim, berdagang, atau bekerja di Batavia yang
lebih aman dan makmur. Di samping itu, tidak sedikit
pemberontak dari Kwangtung dan Hokkian yang
menjadi buronan pemerintah Dinasti Ching yang juga
mencari aman merantau ke Pulau Jawa.
Orang-orang Tionghoa yang datang ke Pulau
Jawa pada abad ke-17 kebanyakan berlabuh di Bandar-
Batavia atau kota-kota pesisir pantai utara Pulau Jawa
100
yang sudah diduduki dan dikuasai oleh VOC. Di kota-
kota itu sudah banyak bermukim Tionghoa peranakan
dan usaha mereka sedang berkembang. Maka banyak
“imigran baru” bekerja pada mereka yang usahanya
yang sudah sukses, dan ada juga “imigran baru” yang
langsung ditampung oleh kerabatnya yang sudah
sukses untuk membantu mengembangkan usahanya
yang sedang berkembang.
“Imigran Baru” Tidak Membaur Dengan Pribumi
Pada waktu itu VOC sedang bermusuhan
dengan Kesultanan Mataram dan Kesultanan Banten.
Pergerakan dan interaksi penduduk yang bertempat
tinggal di wilayah Kesultanan sangat dibatasi, maka
interaksi orang Tionghoa di wilayah VOC dengan
penduduk pribumi dari wilayah Kesultanan juga sangat
dibatasi.
Di wilayah VOC, tempat tinggal orang
Tionghoa terpisah dari tempat tinggal penduduk
pribumi. VOC berwenang menentukan di wilayah
mana saja yang boleh dihuni oleh penduduk Tionghoa.
Kampung Tionghoa dipisah dengan kampung orang
pribumi, maka interaksi antara orang Tionghoa dengan
penduduk pribumi di dalam wilayah VOC juga sangat
dibatasi.
Orang Tionghoa yang baru datang dari
Tiongkok, langsung tinggal di kampung Tionghoa.
101
Mereka hanya berinteraksi dan berkomunikasi dengan
Tionghoa peranakan penduduk kampung Tionghoa dan
jarang sekali mereka berkesempatan berinteraksi
dengan penduduk pribumi.
Oleh karena mereka jarang berinteraksi dengan
penduduk pribumi dan mereka hanya berkomunikasi
dengan sebagian kecil orang-orang Tionghoa
peranakan yang masih dapat berbahasa Tionghoa maka
mereka belum bisa berbicara dalam bahasa Jawa atau
bahasa Melayu dengan baik. Kesulitan bahasa makin
membuat mereka semakin sulit berhubungan dan
berkomunikasi dengan penduduk pribumi. Akibatnya
pergaulan para “imigran baru” dengan penduduk
pribumi menjadi terhambat.
Di wilayah kekuasaan VOC, bukan hanya
penduduk Tionghoa saja yang dipisahkan
pemukimannya dengan penduduk pribumi, tetapi
antara sesama penduduk pribumi pun pemukimannya
dipisahkan berdasarkan suku bangsa. Sehingga di
Batavia dan wilayah yang dikuasai VOC lainnya, ada
Kampung Ambon, Kampung Makassar, Kampung
Melayu, Kampung Bali, Kampung Jawa, dan lain-lain.
Pemisahan Pemukiman Penduduk
Pada tahun-tahun awal kekuasaan VOC, warga
pribumi berdiam di luar Benteng Batavia, tetapi masih
dalam lingkungan tembok kota. Sesudah tembok kota
102
Batavia rampung didirikan, mulai dikeluarkan
peraturan yang mengharuskan warga pribumi tinggal di
luar tembok kota, dan warga pribumi tidak lagi
diperkenankan bertempat tinggal di dalam wilayah
tembok kota. Alasannya adalah soal keamanan, karena
VOC menganggap apa yang dari luar merupakan
ancaman bagi kekuasaan mereka.
Pada waktu itu VOC selalu sangat berhati-hati
terhadap “orang asing” yang akan masuk ke dalam
kota. Permusuhan dengan Mataram dan Banten yang
belum berkesudahan sampai akhir abad ke-17,
menyebabkan banyak aturan yang berkenaan dengan
soal keamanan juga ditujukan kepada warga yang
berasal dari dua wilayah kerajaan tersebut.
VOC tidak bisa membedakan apakah orang
yang datang ke Kota Batavia itu orang Banten,
Mataram, atau orang Jawa dari kawasan lain. Di mata
penguasa VOC, semuanya adalah orang Jawa.
Peraturan yang dikeluarkan 6 Agustus 1640 adalah
melarang “orang Jawa” tinggal di Batavia. Bahkan
“orang Jawa” dilarang memasuki areal Benteng
Batavia, kecuali didampingi seorang pejabat yang
mengurus izin masuk.
Pada tahun 1656 dikeluarkan peraturan yang
melarang “orang Jawa” masuk kota dan tinggal di
dalam kota. Larangan bagi “orang Jawa” untuk tinggal
103
di dalam lingkungan tembok kota pada dasarnya adalah
menyangkut soal keamanan. Demikian pula halnya
dengan alasan untuk menetapkan tempat pemukiman
bagi para penduduk pribumi di luar wilayah tembok
kota juga disebabkan oleh alasan keamanan.
Pada tahun-tahun awal kekuasaan VOC, orang-
orang Tionghoa masih boleh tinggal di mana saja,
selama mereka mampu memiliki atau menyewa rumah.
Baru sesudah peristiwa pembantaian orang Tionghoa
Oktober 1740, mereka dilarang tinggal di wilayah
dalam tembok kota.
Warga Tionghoa yang sudah terlanjur berdiam
di dalam kota, harus ditempatkan dalam wijk-wijk
(lorong-lorong), semacam “rukun tetangga” yang
diawasi oleh seorang wijkmeester (semacam ketua RT)
yang bertugas pada setiap wijk. Para wijkmeester
berada di bawah pimpinan dan pengawasan opsir
Tionghoa yang disebut Kapitan Tionghoa.
Demikian pula warga pribumi, mereka
ditempatkan sebagai kesatuan di bawah pimpinan
seorang komandan yang diberi pangkat militer (letnan,
sersan). Komandan ini nantinya berada di bawah
perintah seorang kapten Eropa yang tugasnya
menangani penduduk pribumi yang menetap di luar
tembok kota. Wilayah tempat tinggal penduduk
pribumi juga dipisah-pisahkan berdasarkan suku
104
bangsa, maka lahirlah Kampung Ambon, Kampung
Bugis, Kampung Bali, Kampung Jawa, Kampung
Melayu, dan lain-lain.
Perkawinan Campuran Dihambat
Pada awal kedatangan orang Tionghoa di
Jawa, mereka yang datang semua bujangan. Setelah
mereka menetap di Jawa dan berbaur secara intensif
dan harmonis dengan penduduk Jawa, mereka menikah
dengan perempuan Jawa. Dari perkawinan itu lahir
anak-anak yang disebut Tionghoa peranakan. Pada
abad ke-17, waktu VOC sudah menduduki kota
Batavia dan kota-kota pesisir di pantai utara pulau
Jawa, di sana sudah banyak perempuan Tionghoa
peranakan.
Pada waktu “imigran baru” datang dari
Tiongkok pada abad ke-17, kota Batavia dan kota-kota
pesisir pantai utara pulau Jawa sudah dikuasai VOC.
Pemukiman penduduk Tionghoa di wilayah VOC
sudah terpisah dari pemukiman penduduk pribumi.
Imigran Tionghoa yang baru datang dari Tiongkok
105
langsung bermukim di wilayah komunitas Tionghoa
peranakan. Mereka hanya berkomunikasi dengan
orang-orang Tionghoa peranakan atau sesama “imigran
baru” di Kampung Tionghoa. Umumnya mereka
berkomunikasi dalam bahasa Tionghoa dengan orang-
orang Tionghoa peranakan yang masih mengerti
bahasa Tionghoa. Mereka sulit berkomunikasi dengan
orang-orang pribumi karena mereka belum dapat
berbicara dalam bahasa Jawa, bahasa Betawi,, atau
bahasa Melayu. Tempat tinggal yang berbeda dan
kendala bahasa sangat menghambat pembauran. Maka
dapat dikatakan hampir tidak ada “imigran baru” yang
menikah dengan perempuan Jawa.
Pada zaman VOC bukan hanya perkawinan
antara orang Tionghoa dengan perempuan pribumi
yang dihambat, tetapi perkawinan antara sesama warga
pribumi yang berbeda suku bangsa juga dihambat.
Laki-laki Jawa harus menikah dengan perempuan
Jawa, Bugis dengan Bugis, Melayu dengan Melayu,
dan seterusnya. Bukan hanya permukiman penduduk
pribumi yang dipisah-pisah sesuai dengan suku
106
bangsanya, tetapi Komandannya diperintahkan untuk
tidak menikahkan warganya yang berbeda suku bangsa
sebelum pasangan yang bersangkutan mendapat lisensi
yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia
Belanda.
Walaupun pada abad ke-17 sudah banyak
perempuan Tionghoa peranakan di Batavia, tetapi
sangat sedikit “imigran baru” yang dapat menikahi
perempuan Tionghoa peranakan, karena keluarga
Tionghoa peranakan di Batavia umumnya sudah
mapan, sedangkan “imigran baru” di Batavia umumnya
bekerja sebagai kuli. Maka tidak banyak “imigran
baru” yang dapat diterima menjadi menantu dari
keluarga Tionghoa peranakan yang sudah mapan.
Maka banyak “imigran baru” yang menikahi budak
perempuan Bali.
Perkawinan Tionghoa-Bali Menerobos Hambatan
Sebelum abad ke-17 banyak terjadi
perkawinan campuran Tionghoa-Jawa di pulau Jawa.
Setelah abad ke-17, VOC sudah berkuasa di Batavia
107
dan kota-kota pesisir di pantai utara pulau Jawa. VOC
menghambat perkawinan campuran. Pada waktu itu,
kota Batavia berkembang pesat, imigran Tionghoa dari
Tiongkok berduyun-duyun datang ke Batavia. Mereka
semua bujangan, pada waktu itu remaja putri Tionghoa
peranakan di Batavia jumlahnya relatif sedikit jika
dibandingkan dengan pemuda Tionghoa.
Pada abad ke-9, pada awal kedatangan orang
Tionghoa di pulau Jawa, mereka juga tidak membawa
kaum perempuan, tetapi mereka berbaur dengan
penduduk Jawa dan kemudian mereka menikahi
perempuan Jawa. Tetapi pada abad ke-17 perkawinan
campuran orang Tionghoa dengan perempuan Jawa
sudah jarang terjadi, karena banyak hambatan yang
diciptakan oleh pemerintahan VOC.
Dalam buku The World Oldest Trade: Dutch
Slavery and Slave, Trade in the Indian Ocean in the
Seventeenth Century, Markus Vink mencatat bahwa di
Batavia pada abad ke-17 terdapat 22.500 budak. Dari
jumlah itu, sebanyak 10 ribu adalah budak perempuan.
Sebagian besar dari Bali. Budak perempuan dari Bali
108
paling disukai oleh penduduk Tionghoa di Batavia
pada waktu itu. Mereka sangat disukai karena berkulit
lebih terang dan beragama Hindu, sehingga tidak ada
masalah bagi perempuan Bali memasak dan
menyediakan masakan daging babi.
Pada abad ke-17, laki-laki Tionghoa yang
merantau ke Batavia tidak berkelompok, tetapi
individual. Ketika tiba di Batavia mereka membentuk
komunitas yang semua laki-laki. Setelah beberapa
tahun bekerja dan memiliki kemampuan finansial,
mereka ingin menikah. Tetapi tidak banyak yang dapat
diterima sebagai menantu dari Tionghoa peranakan
yang sudah mapan, maka mereka melirik perempuan
Jawa (perempuan pribumi) namun sulit bagi mereka
mendapatkan perempuan Jawa di sekitar Batavia,
karena VOC sudah memisahkan kampung Tionghoa
dengan kampung-kampung pribumi.
Jumlah pendatang Tionghoa yang terus
bertambah sampai melebihkan komunitas pemukim
lainnya adalah pasar bagi budak-budak perempuan.
Pedagang budak, utamanya orang Belanda, melihat
109
situasi ini sebagai bisnis menguntungkan, mereka
membanjiri Batavia dengan budak Bali, Bugis, dan
Makassar. Para budak dijual dengan harga antara 20
dan 30 gulden Hindia Belanda, setara dengan beberapa
bulan upah pekerja di Batavia pada waktu itu.
Walaupun VOC menghambat perkawinan
campuran orang Tionghoa dengan perempuan Jawa,
tetapi perkawinan campuran antara orang Tionghoa
dengan budak perempuan Bali di Batavia dapat
menerobos hambatan yang dibuat oleh pemerintah
VOC. Cara menerobosnya adalah dengan cara
mengadopsi budak Bali. Keluarga Tionghoa
mengadopsi budak perempuan Bali sehingga menjadi
anak perempuan dari keluarga Tionghoa, dengan
demikian perempuan Bali jadi perempuan Tionghoa.
Setelah menjadi perempuan Tionghoa, baru dinikahi
oleh pemuda Tionghoa. Dengan demikian, walaupun
secara rasial telah terjadi perkawinan campuran
antarras, tetapi menurut hukum tidak terjadi
perkawinan campuran, secara juridis formil
110
perkawinan ini adalah perkawinan antara pemuda
Tionghoa dengan perempuan Tionghoa.
Seorang laki-laki Tionghoa yang ingin
menikahi budak Bali secara sah menurut adat Tionghoa
dapat mendaftarkan pernikahannya di Majelis Kong
Koan (Chineese Raad, Dewan Opsir Tionghoa). Tugas
Kong Koan adalah mengelola klenteng masyarakat dan
tanah pemakaman, pencatatan masyarakat Tionghoa,
dan menyelenggarakan perayaan-perayaan tradisi
Tionghoa yang penting. Pernikahan di muka Majelis
Kong Koan hanya bisa dilakukan pada pasangan
sesama Tionghoa, maka calon suaminya harus mencari
keluarga Tionghoa yang bersedia mengadopsi budak
yang baru dibeli. Keluarga yang mengadopsi membuat
surat pernyataan telah mengadopsi budak dan
memberinya nama marga dan nama Tionghoa.
Meskipun telah diberi nama marga dan nama
Tionghoa, seorang budak tetap harus ada identifikasi
yang melekat kepadanya sebagai budak yang telah
“dicinakan” yakni kata Niang (bahasa Mandarin) atau
111
Nio (dialek Hokkian) harus dicantumkan dibelakang
namanya.
Walaupun budak Bali sudah “dicinakan”
tetapi budak Bali tetap dapat dijual oleh pemiliknya
yaitu suaminya. Hanya ada satu cara yang dapat
melepaskan statusnya sebagai budak, yaitu mereka
diangkat menjadi selir. Jika tidak diangkat sebagai
selir, seorang budak perempuan akan tetap berstatus
sebagai budak seumur hidupnya dan mereka dapat
dijual di pasar budak setiap waktu.
Budak Bali yang menikah dengan laki-laki
Tionghoa tidak memiliki hak mengasuh anak. Suatu
waktu mereka tetap dapat dijual di pasar budak.
Setelah terjual ia harus berpisah dengan anak-anak
yang dilahirkannya. Anak-anak dari laki-laki Tionghoa
yang lahir dari budak, selir, atau istri sah – laki-laki
atau perempuan – memiliki hak yang sama dalam
semua hal; penggunaan nama keluarga dan pembagian
harta warisan. Perbedaannya hanya pada nama, anak
laki-laki tidak menggunakan identifikasi khusus pada
namanya. Anak perempuan tetap harus menggunakan
112
Niang atau Nio. Anak perempuan peranakan Tionghoa-
Bali hanya boleh menikah dengan laki-laki Tionghoa
dan mereka dianggap sudah menjadi orang Tionghoa.
Karena VOC melarang perkawinan antarras
(perkawinan campuran), maka anak-anak dari budak
Bali yang adalah orang Tionghoa peranakan hanya
boleh menikah dengan sesama bangsa Tionghoa.
VOC Berhasil Menghambat Asimilasi
Walaupun orang Tionghoa di Batavia dapat
menerobos hambatan VOC dalam hal perkawinan
campuran, tetapi politik pecah belah VOC dapat
dikatakan cukup berhasil. Sejak kedatangan VOC di
pulau Jawa pada abad ke-17, asimiliasi orang Tionghoa
dengan orang Jawa berhasil dikurangi sangat drastis.
Dalam buku Asia Tengara Dalam Kurun
Niaga 1450-1680, Anthony Reid menyatakan, “Budaya
urban dan dagang banyak mendapat manfaat dari
perjumpaan dengan para imigran Cina itu. Selama
orang Cina itu menikah dengan penduduk setempat dan
mengambil agama dan nilai-nilai budayanya, mereka
113
berjasa membangun suatu budaya urban dan dagang
yang dinamis di Asia Tenggara. Namun kecenderungan
itu jelas menurun di akhir abad ke-17”.
Selanjutnya Reid menyatakan, “Pluralisme
yang merupakan ciri-ciri menonjol pada abad ke-16
mundur dengan tajam pada abad ke-17. Pembelian
secara monopoli oleh orang Eropa dan tekanan-tekanan
lain mendorong para penguasa untuk makin
mengambil alih perdagangan dan mengarah pada
sentralisasi guna menyatukan pemusatan negara-negara
berwawasan dagang yang tetap merdeka. Minoritas
komersial yang alami di wilayah itu secara berangsur
berkurang hingga tinggal orang Melayu dan Cina, dan
orang Cina makin kurang kemauan menjadi pribumi,
cenderung hilang keinginan untuk berbaur pada abad
ke-17”.
Politik Pecah Belah dan Kuasai
VOC berkuasa di Hindia Belanda sejak 1619
sampai tahun 1800. Pada akhir abad ke-17 kondisi
keuangan VOC mengalami kemunduran, korupsi
114
merajalela, terjadi ketidakefisienan dan krisis
keuangan.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian
memulai penyelidikan terhadap kondisi VOC dan
berhasil mengungkap kebangkrutan, skandal, dan salah
urus di segala segi. Pada tanggal 1 Januari 1800, VOC
secara resmi dibubarkan. Wilayah-wilayah yang
menjadi miliknya menjadi milik pemerintah Belanda.
Pada zaman Hindia Belanda, pada tahun 1848
pemerintah Hindia Belanda membuat peraturan Pasal 6
dan Pasal 10 Algemeine Bepalingan Van Wetgeving
(AB) yang menentukan bahwa, orang-orang pribumi
dan orang-orang asing (termasuk orang Tionghoa)
yang memeluk agama Kristen dipersamakan dengan
golongan Eropa. Tetapi hal ini hanya sebatas hukum
perdata.
Kemudian pada tahun 1854 pemerintah
Hindia Belanda membuat peraturan pasal 109 Regering
Reglement (RR) untuk mengganti garis perbedaan
antara orang Kristen dan bukan Kristen. Berdasarkan
115
Pasal 109 RR, orang-orang pribumi dan orang-orang
Tionghoa yang memeluk agama Kristen tidak
dimasukkan menjadi golongan Eropa. Dengan
berlakunya Pasal 109 RR dapat dikatakan pembagian
golongan penduduk Hindia Belanda tidak lagi atas
dasar “agama,” tetapi sudah berubah menjadi atas
dasar “ras.”
Pada tahun 1883 pemerintah Hindia Belanda
memecah-belah penduduk Hindia Belanda menjadi tiga
golongan. Peraturan Pasal 163 Indiesche Staatsregeling
(IS) membagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga
golongan, yaitu: golongan Eropa, golongan Timur
Asing (orang Tionghoa, orang Arab, orang India dan
lain-lain), dan golongan pribumi. Peraturan Pasal 131
IS menentukan hukum yang berbeda-beda bagi
masing-masing golongan.
Di bawah ini dikutip tulisan Chang Yau Hoon
dalam bukunya yang berjudul Identitas Tionghoa
Pasca-Suharto (Budaya, Politik dan Media), yang
memberikan gambaran mengenai hal orang-orang
116
Tionghoa yang sudah berbaur dengan baik dipecah
belah oleh Belanda.
Kebijakan Kolonial: “Pecah Belah dan Kuasai”
Sebagian besar imigran Tionghoa
yang menetap di kepulauan (Nusantara)
sebelum kekuasaan kolonial Belanda
berdiri, terserap ke dalam masyarakat
setempat (Somers, 1965: 2). Akan tetapi,
pada abad ke-19 dan awal abad ke-20
asimilasi dengan masyarakat setempat
benar-benar mustahil bagi orang-orang
Tionghoa. Hal ini terutama karena
struktur masyarakat kolonial dan
kebijakan apartheid Belanda. Di Hindia
Belanda, penduduk dibagi ke dalam tiga
kelompok“ras” dengan privilese dan
hak-hak hukum yang berbeda: orang-
orang Eropa di tingkat paling atas,
orang-orang Timur Asing (terutama
Tionghoa) di tingkat menengah dan
orang “pribumi” di tingkat paling bawah
(lihat Coppel 2002: 157). Inilah awal
terciptanya stereotip tentang orang
Tionghoa sebagai kelompok “homogen”.
Sebelum akhir abad ke-19, sekelompok
orang Tionghoa mendapat hak-hak
istimewa untuk memonopoli kegiatan-
kegiatan bisnis yang menguntungkan
tetapi “amoral”, misalnya seperti
penjualan opium dan pengoperasian
117
tempat-tempat perjudian dan pegadaian.
Hak-hak istimewa yang diberikan
kepada kelompok orang Tionghoa ini
turut andil dalam stereotip bahwa orang
Tionghoa mendominasi ekonomi.
Dengan kondisi seperti ini, bagi
orang Tionghoa, berasimilasi dengan
masyarakat Pribumi berarti merendahkan
status sosial mereka sendiri serta bisa
kehilangan sejumlah hak-hak istimewa.
Bisa dikatakan bahwa orang Eropa telah
me-liyan-kan orang-orang pribumi,
begitu pula sebaliknya. Proses pe-liyan-
an ini sama sekali bukan berjalan searah.
Kaum “Pribumi” membenci penarik
pajak dan memandang orang Tionghoa
sebagai “musuh alami kaum Pribumi,
yang menghisap darah dan memeras,
serta menghalangi perkembangan
ekonomi mereka”(Phoa, 1992:14). Pada
tahun 1900, guna melindungi hak-hak
kaum Pribumi, Belanda menerapkan
politik Etis untuk memperbaiki kondisi
sosial ekonomi kaum “Pribumi”, tetapi
dengan mengorbankan orang-orang
Tionghoa. Keluhan yang dialami orang
Tionghoa pada masa itu antara lain
adalah pelarangan penarikan pajak;
membayar pajak yang lebih tinggi;
pembatasan ruang gerak yang
merupakan akibat dari sistem surat jalan
118
dan zonifikasi, yang mengharuskan
mereka tinggal di kawasan-kawasan
tertentu di tiap kota dan harus
mendapatkan visa jika mereka ingin
berpergian (L. William, 1960:24)).
Politik Etis mendiskrimnasikan orang-
orang Tionghoa, menghancurkan proses
asimilasi dan mengubah kedudukan
orang Tionghoa dari “anak emas”
penguasa menjadi musuh negara yang
paling utama (Phoa 1992:14).
Kebencian yang tersebar luas
yang disebabkan oleh berbagai kebijakan
Belanda yang memisahkan kelompok-
kelompok masyarakat serta
ketidakmampuan untuk mendapatkan
identitas Eropa atau lokal memicu
banyak orang Tionghoa yang telah
terakulturasikan untuk menempuh jalan
yang mendorong identitas ketionghoaan
mereka. Sekitar tahun 1900, sentimen
nasionalisme Tionghoa tersebar luas di
Asia Tenggara (antara lain melalui
imigrasi massal orang-orang dari China),
yang menyebabkan berbagai komunitas
Indonesia-Tionghoa Raya yang bersatu
padu di dalam “komunitas yang
dibayangkan” yang lebih luas (G. Wang,
1981:142-58). Amyot berpendapat
bahwa, identifikasi dengan bahasa China
“diilhami oleh rasa bela diri” karena
119
itulah satu-satunya identitas yang
diijinkan atau yang bersedia mereka
ambil (1972:52). Para pemimpin
Tionghoa menerapkan berbagai upaya
untuk menggalakkan kesadaran nasional
dan mempersatukan kaum “peranakan”
dan “totok”, karena mereka yakin bahwa
orang “lain” akan menghormati mereka
hanya bila mereka mampu
memperlihatkan diri sebagai “Diri” yang
bersatu
Sejak VOC berkuasa proses asimilasi orang
Tionghoa dengan orang pribumi dihambat. Kemudian
sejak dicetuskannya “Gerakan Pembaruan” di
Tiongkok, upaya mencinakan kembali Tionghoa
peranakan semakin digiatkan.
120
BAB VII
UPAYA “MENCINAKAN
KEMBALI”
Menjelang akhir abad ke-18, VOC sudah
hampir bangkrut. Selama perang dengan Inggris (1780-
1784), VOC semakin terpisah dari negeri Belanda.
VOC bukan hanya harus meminjam sekitar 2300
prajurit dari kesultanan Surakarta dan Jogyakarta untuk
mempertahankan Batavia dari serangan yang diduga
akan dilancarkan oleh Inggris (yang tidak pernah
terjadi), tetapi juga meminta bantuan keuangan kepada
pemerintah di negeri Belanda. Pemerintah Belanda
kemudian memulai penyelidikannya terhadap kondisi
keuangan VOC dan berhasil mengungkap
kebangkrutan, skandal, dan salah urus di segala bidang.
Sesudah itu pada tanggal 1 Januari 1800, VOC secara
121
resmi dibubarkan. Wilayah-wilayah yang tadinya milik
VOC berubah menjadi milik pemerintah Belanda.
Maka pemerintah VOC berubah menjadi pemerintah
Nederlandsch Indie (Hindia Belanda).
Pada zaman Hindia Belanda, pada tahun 1854
pemerintah Hindia Belanda menetapkan berlakunya
peraturan Pasal 163 Indiesche Staatsregeling (IS), yang
membagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga
golongan, yakni golongan Eropa, golongan Timur
Asing, dan golongan Bumiputra. Orang-orang
Tionghoa digolongkan ke dalam golongan Timur
Asing. Kemudian pemerintah Hindia Belanda
menetapkan berlakunya peraturan Pasal 131 IS untuk
menentukan hukum yang berbeda-beda yang berlaku
bagi masing-masing golongan. Atas dasar Pasal 131 IS
orang Tionghoa yang termasuk dalam golongan Timur
Asing harus tunduk pada hukum yang berbeda dari
hukum yang berlaku bagi orang Eropa. Dalam masalah
perdata, bagi orang Tionghoa berlaku hukum perdata
dan hukum dagang Hindia Belanda, yakni Burgerlijke
Wetboek dan Wetboek Van Koophandel. Tetapi dalam
122
masalah pidana orang Tionghoa disamakan dengan
golongan Bumiputra. Orang Tionghoa dan orang
Bumiputra diadili Landraad, sedangkan golongan
Eropa diadili di Raad Van Justitie.
Pada akhir abad ke-19, Wijkenstelsel dan
Passenstelsel yang berlaku bagi golongan Tionghoa
dijalankan dengan lebih ketat. Sebaliknya, orang-orang
Jepang statusnya ditingkatkan dari golongan Timur
Asing menjadi golongan Eropa. Hal ini sudah tentu
menambah ketidaksenangan orang Tionghoa yang
semakin merasakan ketidakadilan.
Menghadapi ketidakadilan tersebut orang-
orang Tionghoa tidak dapat berbuat apa-apa. Lebih
menyakitkan lagi, pemerintah Hindia Belanda menolak
adanya konsulat Tiongkok yang bisa campur tangan
dalam usaha melindungi kepentingan warganya di
Hindia Belanda. Jadi orang-orang Tionghoa di Hindia
Belanda, walaupun termasuk golongan orang asing
(bangsa Tionghoa), tetapi mereka tidak mendapatkan
perlindungan hukum sama sekali dari pemerintah
123
Tiongkok. Pada waktu itu pemerintah Tiongkok sangat
lemah dan tidak berdaya.
Pada akhir abad ke-19, pemerintah Tiongkok
(Dinasti Ching) terus menerus mendapat tekanan dari
negara-negara Eropa dan Jepang. Tekanan itu makin
membuat Tiongkok menjadi semakin lemah dan
terpuruk.
Pada tahun 1894 terjadi peperangan antara
Tiongkok dan Jepang memperebutkan Semenanjung
Korea. Tiongkok dikalahkan oleh Jepang, sehingga
pada tahun 1895 pemerintah Tiongkok terpaksa
menandatangani Perjanjian Shimonoseki. Dalam
perjanjian itu ditetapkan bahwa Tiongkok harus
menyerahkan Pulau Formosa (Taiwan) serta
menyerahkan kedaulatan atas negara vasalnya,
Semenanjung Korea kepada Jepang.
Kekalahan Tiongkok dari Jepang dipandang
oleh bangsa Barat sebagai kesempatan untuk
melebarkan pengaruhnya di Tiongkok. Mereka
merebut semakin banyak wilayah konsesi (wilayah
124
yang kedaulatannya sudah diserahkan kepada negara
asing yang menduduki wilayah itu) di wilayah
Tiongkok.
Kelemahan Tiongkok makin terasa ketika
tahun 1897-1898, Rusia menduduki Port Arthur dan
Talien, Jerman menguasai Kiaochow, Inggris
mengambil Weihaiwei, dan Prancis meminta
pelabuhan Kwanchowan. Semua wilayah itu diduduki
dan dikuasai oleh bangsa Eropa.
Kekalahan-kekalahan yang bertubi-tubi dan
penghinaan yang diterima Dinasti Ching (Tiongkok)
membuat bangsa Tionghoa sadar akan kelemahan
negerinya. Kesadaran tersebut melahirkan suatu
gerakan perubahan atau disebut juga “Gerakan
Pembaruan” yang dipimpin oleh Kang Yu Wei dan
Liang Chi Chao.
Gerakan ini menuntut agar semua undang-
undang, peraturan-peraturan, dan sistem pendidikan
yang sudah usang dan feodal diubah sesuai dengan
perubahan zaman, yaitu sistem pendidikan modern
125
seperti yang diterapkan negara-negara Barat dan
Jepang.
Bangsa Tionghoa di Hindia Belanda merasa
tertarik melihat “Gerakan Pembaruan” Kang Yu Wei
yang bertujuan memulai pembaruan politik, sosial, dan
pendidikan untuk kemajuan bangsa Tionghoa.
Timbulnya “Gerakan Pembaruan” di
Tiongkok, memberikan dorongan dan kesadaran di
kalangan masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda akan
perlunya pendidikan bagi anak-anaknya dan
pentingnya organisasi modern bagi masyarakat
Tionghoa untuk mengangkat derajat kehidupan
masyarakatnya.
Seiring dengan “Gerakan Pembaruan” Kang
Yu Wei di Tiongkok, di Hindia Belanda ada
sekelompok Tionghoa peranakan berpendidikan
Belanda berupaya untuk memulai suatu gerakan
pembaruan untuk memperbaiki kondisi budaya
maupun kondisi sosial orang-orang Tionghoa di Hindia
Belanda. Mereka mendirikan perkumpulan Tiong Hoa
126
Hwe Koan (THHK). Dalam perjalanannya, gerakan
yang semula gerakan pendidikan dan moral, berubah
dan menyimpang menjadi upaya “mencinakan
kembali” orang-orang Tionghoa peranakan yang sudah
terasimilasi.
Upaya “mencintai kembali” bangsa Tionghoa
di Hindia Belanda, terasa sangat tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin Bangsa Cina (Tionghoa) mau
“dicinakan kembali?”
Orang Tionghoa peranakan di Hindia Belanda
adalah Vremdelingan (bangsa asing) yang diberikan
status Nederlands Onderdaan (kaula negara Belanda,
penduduk Hindia Belanda). Jadi orang Tionghoa
peranakan adalah bangsa Tionghoa (bangsa Cina)
penduduk Hindia Belanda. Apa perlunya bangsa Cina
“dicinakan kembali”?
Dalam buku ini sudah diuraikan bahwa orang
Tionghoa peranakan di Hindia Belanda sudah
terasimilasi. Bahkan ada sebagian orang Tionghoa
127
sudah teramalgamasi, sudah terlebur menjadi orang
Jawa.
Kebudayaan orang Tionghoa peranakan sudah
tercampur dengan kebudayaan Jawa. Kebudayaan
Tionghoa-Jawa juga disebut kebudayaan Tionghoa
peranakan. Kebudayaan Tionghoa peranakan sudah
berbeda dengan kebudayaan orang Tionghoa totok.
Orang-orang Tionghoa totok berorientasi ke
negeri leluhur. Mereka masih fanatik berkiblat ke
Tiongkok. Sedangkan orang Tionghoa peranakan,
walaupun berstatus sebagai bangsa Tionghoa, tetapi
berkiblat ke Hindia Belanda.
Maka kelompok orang-orang Tionghoa yang
berkiblat ke Tiongkok, yang dipelopori oleh kelompok
Sin Po, ingin “mencinakan kembali” Tionghoa
peranakan yang sudah terasimilasi, agar mengenal
kembali bahasa Tionghoa, mengenal kembali adat-
istiadat dan tradisi Tionghoa seutuhnya, dan berkiblat
pada negara leluhurnya, yakni negeri Tiongkok.
128
Orang-orang Tionghoa yang masih
berorientasi ke Tiongkok yang dipelopori kelompok
Sin Po, berupaya “mencinakan kembali” orang
Tiongoa peranakan di Hindia Belanda melalui tiga
pilar, 1) pendidikan atau sekolah berbahasa pengantar
bahasa Tionghoa, 2) pers Tionghoa, dan 3) organisasi
Tionghoa.
1. Pendidikan anak-anak Tionghoa
Sejak tahun 1818 pemerintah Hindia
Belanda sudah mendirikan sekolah khusus untuk
anak-anak Belanda dengan nama Europeesche
Lagere School (ELS). Kemudian pada tahun 1860
Belanda mengadakan lagi sekolah menengah
khusus untuk anak-anak Belanda yang disebut
Hogere Burger School (HBS). Kemudian pada
tahun 1848 Belanda mendirikan sekolah khusus
untuk kaum priyai dan sekolah khusus untuk kaum
Bumiputra. Pada tahun 1865 Belanda mendirikan
Hoofdenschool khusus untuk Bumiputra calon
pegawai negeri Hindia Belanda.
129
Belanda juga banyak mendirikan sekolah
kejuruan seperti Hollandsch Kweekschool
(sekolah guru), Ambachtschool (sekolah teknik),
Handwerkschool (sekolah pertukangan), dan
sekolah-sekolah lainnya untuk golongan
Bumiputra.
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan
sekolah negeri dengan berbagai nama dan versi,
tetapi tidak ada satu pun sekolah didirikan untuk
anak-anak Tionghoa. Pada waktu itu,
kemungkinan bagi anak-anak Tionghoa untuk
masuk sekolah Belanda atau sekolah Bumiputra
kecil sekali. Hanya segelintir warga masyarakat
Tionghoa yang mendapat kesempatan bersekolah.
Di antara tahun 1600 sampai tahun 1900
pemerintah Hindia Belanda sudah mendirikan
begitu banyak sekolah-sekolah di Hindia Belanda,
tetapi pemerintah Hindia Belanda tidak
mendirikan satu pun sekolah untuk anak-anak
Tionghoa.
130
Lahirnya Sekolah Tionghoa pertama di Hindia
Belanda
Menjelang akhir abad ke-19 sejumlah
pemimpin Tionghoa peranakan yang
berpendidikan Barat membenci sikap diskriminasi
pemerintah Hindia Belanda terhadap orang
Tionghoa. Selain itu di kalangan masyarakat
Tionghoa peranakan masih berlangsung terus
pemborosan uang yang berlebihan untuk
merayakan pesta perkawinan dan upacara
kematian yang penuh tahyul. Karenanya orang
Tionghoa peranakan di Batavia memulai suatu
gerakan pembaruan untuk memperbaiki kondisi
budaya dan kondisi sosial orang Tionghoa yang
sangat memprihatinkan, dengan cara mendirikan
perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK)
untuk mengembangkan adat istiadat dan tradisi
Tionghoa sesuai dengan ajaran budi pekerti
Konghucu.
Pada tanggal 17 Maret 1900, mereka
mendirikan perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan
131