The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Penulis : Iskandar Yusuf

Buku karangan Iskandar Jusuf ini menambah dan memperkaya khasanah tulisan tentang orang Tionghoa/WNI di Indonesia serta usaha meng-Indonesia-nya. Banyak informasi tentang sejarahnya dan bahan pemikiran diketengahkan dalam buku ini. Prof. Dali Santun Naga sebagai editor dan DR. Albert Hasibuan sebagai pemberi Kata Pengantar, menjadi jaminan akan mutu dan seriusnya bacaan ini. Iskandar Jusuf telah dengan tekun dan teliti menuliskan naskah, dan saya juga merasakan rasa debaran jantungnya. Ini ibaratnya menjadi obsesi agar sebagai orang Indonesia dianggap
lengkap terutama dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Tekanan penting yang didalilkan, bahwa dengan dihapuskannya kata "asli” yang digandengkan di dalam Pasal 8 UUD 1945:Presiden adalah orang Indonesia "asli", maka dianggap bahwa diskriminasi ras kewarganegaraan Indonesia telah selesai terutama bagi WNI keturunan Tionghoa. Anggapan ini tentu kurang tepat. Di Pasal 8 ini kata asli bukan mengenai etnisitasnya tetapi hukum ketatanegaraan. Sebenarnya, secara etnistras tidak ada orang "Indonesia asli“, sebab faham kebangsaan Indonesia adalah faham
politis, etis. Jadi supaya menjadi Indonesia yang asli, yang tulen, adalah diukur berdasarkan nasionalisme-patriotismenya terhadap nusa Indonesia - "Nusantara" ini. Dengan mengerti problematik psikhologis dan semangat dari orang seperti Saudara Iskandar Jusuf ini, maka buku ini sungguh menjadi petunjuk tentang
pembinaan kebangsaan Indonesia yang multi-minoritas ini.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Pahoa, 2022-04-25 21:39:29

Jalan panjang asimilasi etnis Tionghoa

Penulis : Iskandar Yusuf

Buku karangan Iskandar Jusuf ini menambah dan memperkaya khasanah tulisan tentang orang Tionghoa/WNI di Indonesia serta usaha meng-Indonesia-nya. Banyak informasi tentang sejarahnya dan bahan pemikiran diketengahkan dalam buku ini. Prof. Dali Santun Naga sebagai editor dan DR. Albert Hasibuan sebagai pemberi Kata Pengantar, menjadi jaminan akan mutu dan seriusnya bacaan ini. Iskandar Jusuf telah dengan tekun dan teliti menuliskan naskah, dan saya juga merasakan rasa debaran jantungnya. Ini ibaratnya menjadi obsesi agar sebagai orang Indonesia dianggap
lengkap terutama dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Tekanan penting yang didalilkan, bahwa dengan dihapuskannya kata "asli” yang digandengkan di dalam Pasal 8 UUD 1945:Presiden adalah orang Indonesia "asli", maka dianggap bahwa diskriminasi ras kewarganegaraan Indonesia telah selesai terutama bagi WNI keturunan Tionghoa. Anggapan ini tentu kurang tepat. Di Pasal 8 ini kata asli bukan mengenai etnisitasnya tetapi hukum ketatanegaraan. Sebenarnya, secara etnistras tidak ada orang "Indonesia asli“, sebab faham kebangsaan Indonesia adalah faham
politis, etis. Jadi supaya menjadi Indonesia yang asli, yang tulen, adalah diukur berdasarkan nasionalisme-patriotismenya terhadap nusa Indonesia - "Nusantara" ini. Dengan mengerti problematik psikhologis dan semangat dari orang seperti Saudara Iskandar Jusuf ini, maka buku ini sungguh menjadi petunjuk tentang
pembinaan kebangsaan Indonesia yang multi-minoritas ini.

Keywords: Sejarah

BAB X

DISKRIMINASI TERHADAP
NONPRIBUMI

Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan
kebijakan sistem penggolongan penduduk berdasarkan
ras. Kelompok yang pertama adalah ras Eropa,
kelompok kedua pribumi dan yang ketiga Timur Asing
(Vreemde Oosterlingen). Orang Eropa merupakan
kelas atas, Pribumi kelas bawah, dan Timur Asing
(orang Tionghoa, orang Arab, orang India, dan orang-
orang Asia lainnya) sebagai kelas perantara. Kebijakan
sistem golongan berdasarkan ras tersebut tidak bisa
dilepaskan dari kebijakan ekonomi Belanda di Hindia
Belanda dan kedudukan ekonomi orang Tionghoa di
Hindia Belanda.

232

Kedudukan ekonomi orang Tionghoa di Hindia
Belanda terutama di Jawa, bisa dibagi atas tiga periode:

- Periode pertama, sebelum datangnya orang
Belanda, perdagangan orang Tionghoa di Jawa
merupakan perdagangan antarnegara. Pedagang
Tionghoa yang bermukim di Jawa bertindak
sebagai agen dari pedagang besar dari Tiongkok
atau perantara antara agen Tiongkok dengan
penduduk Jawa.

- Periode kedua, sejak zaman VOC, perdagangan
besar dikuasai oleh VOC, tetapi VOC membiarkan
perdagangan eceran ditangani oleh orang
Tionghoa yang jumlahnya jauh lebih besar
daripada orang Belanda. Selain itu orang Tionghoa
juga sudah lebih mengenal keadaan setempat dan
penduduk setempat.

- Periode ketiga, yaitu setelah VOC dibubarkan,
posisi orang Tionghoa sebagai pedagang perantara
menguat. Pada tahun 1804, pemerintah Hindia
Belanda mengumumkan peraturan yang
menyatakan bahwa orang Tionghoa dilarang

233

membawa barang langsung dari Eropa, Amerika,
dan Afrika ke Batavia. Peraturan ini menimbulkan
dampak besar. Sehingga sejak periode inilah orang
Tionghoa di Jawa menduduki posisi pedagang
perantara, antara bisnis besar Eropa dan bisnis
kecil pribumi.

Pada zaman Hindia Belanda, akibat dari
kebijakan Belanda yang disengaja, masyarakat
Tionghoa di Hindia Belanda bertindak sebagai
“perantara” (middlemen) antara penjajah Belanda dan
masyarakat Pribumi. Di Jawa, mereka dibatasi dalam
aktivitas dagang saja, maka masyarakat Tionghoa
semakin mendominasi sektor perdagangan perantara.
Sektor distribusi perdagangan tetap ditangani orang-
orang Tionghoa selama zaman Hindia Belanda,
terutama pada awal abad ke-20. Orang-orang Tionghoa
tidak mendapatkan tantangan yang kuat dalam sektor
perdagangan karena kelas menengah pribumi masih
sangat sedikit jumlahnya.

Setelah zaman pendudukan militer Jepang,
mulai banyak pejabat pemerintah Indonesia terlibat

234

dalam kancah perdagangan. Hanya sedikit dari mereka
yang memiliki latar belakang bisnis sebelum pecah
Perang Dunia kedua. Di masa revolusi, kelas
pengusaha pribumi jauh ketinggalan dan lebih lemah
dibandingkan dengan para pedagang Tionghoa, dan
para pengusaha Indonesia tidak cukup kuat untuk
memikul sendiri beban ekonomi bangsa. Hal ini
memberi peluang sangat luas bagi pengusaha militer
untuk terlibat.

Terlepas dari semakin luasnya partisipasi
militer di sektor perdagangan, sampai akhir 1947
hanya sedikit terdapat tanda-tanda personel militer
yang secara resmi mendirikan atau mengepalai
perusahaan-perusahaan dagang. Perusahaan-
perusahaan negara tetap dipimpin dan dioperasikan
oleh pejabat-pejabat sipil. Pada tingkatan ini, aktivitas
dagang militer belum sampai pada tahapan membentuk
perusahaan militer, melainkan hanya untuk urusan
dengan hasil bumi, dan menjual atau barter komoditi
ini dengan pedagang-pedagang Tionghoa.

235

Pengusaha pribumi sendiri tidak mampu
menyediakan dana segar, atau melakukan kegiatan
dagang tertentu secara efektif, terutama dalam
perdagangan luar negeri dengan Singapura. Sehingga
tak pelak muncul kerja sama antara pengusaha
Tionghoa dengan kalangan militer.

Setelah Indonesia merdeka, banyak perusahaan
Belanda yang meninggalkan Indonesia. Kekosongan di
sektor ekonomi ini sebagian besar diisi oleh pedagang
Tionghoa, maka sebagian pedagang Tionghoa naik
kelas beralih menjadi pedagang besar. Pada waktu itu,
mulai ada sekelompok kelas menengah pribumi yang
terdorong oleh nasionalisme ekonomi atau motivasi
pribadi ingin mengambil alih kekuatan ekonomi yang
didominasi oleh orang-orang Tionghoa.

Setelah penyerahan kedaulatan dari pemerintah
Hindia Belanda, dengan terbentuknya pemerintah
Republik Indonesia Serikat (RIS), benih-benih
rasialisme mulai dirasakan dalam kebijakan ekonomi
pemerintah RIS.

236

Pemerintah RIS menjalankan kebijakan
pribumisasi dalam bidang ekonomi untuk melemahkan
kedudukan ekonomi orang Tionghoa dan membantu
untuk memajukan perdagangan pribumi yang baru
tumbuh.

Upaya Pribumisasi Dalam Bidang Ekonomi

Importir Benteng

Salah satu kebijakan diskriminasi dari
pemerintah Republik Indonesia Serikat adalah
program “Importir Benteng”. Program yang
hanya memberikan lisensi impor kepada
golongan pribumi, melahirkan para pengusaha
atau importir “aktentas”. Importir “aktentas”
merupakan pengusaha yang tidak bermodal dan
tidak punya kantor. Mereka membawa sebuah
aktentas (tas besar untuk diisi map dan surat-
surat) keluar masuk kantor-kantor instansi
pemerintah, terutama kantor Lembaga Alat-
Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN)
untuk mendapatkan lisensi impor bermacam-

237

macam barang-barang. Dengan mangantongi
lisensi istimewa ini mereka mendatangi
pedagang-pedagang Tionghoa untuk menjual
lisensi tersebut. Para importir aktentas hanya
sebagai calo lisensi istimewa (pelaksana
impornya tetap orang Tionghoa).

Kerja sama inilah yang kemudian
terkenal dengan sebutan sistem Ali-Baba. Si Ali
(pribumi) yang keluar masuk kantor pemerintah
mencari lisensi dan fasilitas, sementara si Baba
(Tionghoa) yang menjadi pelaksana impor.
Kerja sama ini terjadi karena adanya program
“Benteng” yang diskriminatif.

Program “Benteng” ini diprakarsai
Menteri Kesejahteraan Ir. Djuanda. Pada April
1950, ia mengumumkan bahwa pemerintah
Indonesia akan melindungi para importir
nasional Indonesia agar dapat bersaing dengan
importir asing. Perlindungan diberikan dalam
bentuk fasilitas kredit dan lisensi impor barang-

238

barang. Para importir yang menerima berbagai
fasilitas ini disebut importir “Benteng”.

Golongan nonpribumi yang merasa
telah terjadi diskriminasi mengajukan protes
untuk menentang program yang sangat rasialis
dan diskriminatif ini. Namun, Djuanda
menanggapinya dengan mengacu kepada
sebuah ayat Persetujuan tentang Ekonomi dan
Keuangan dalam Konferensi Meja Bundar
(KMB) yang memberikan hak kepada
pemerintah RI untuk mengeluarkan peraturan
yang melindungi kepentingan nasional dan
“golongan ekonomi lemah”. Ia membantah
bahwa pemerintah telah melakukan
diskriminasi rasial.

Program “Benteng” ini kemudian
dilanjutkan oleh kabinet-kabinet selanjutnya,
sampai pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo
pun masih berlanjut. Kabinet terus silih
berganti, maka orang-orang yang memperoleh
fasilitas pun semakin bertambah banyak.

239

Akhirnya program ini menimbulkan banyak
kesulitan, karena porsi yang diperebutkan tidak
bertambah besar sebesar bertambahnya para
pengusaha aktentas tersebut. Karena gencarnya
protes dari kalangan nonpribumi dan karena
dalam kenyataan program ini gagal mencapai
sasarannya selain menumbuhkan korupsi,
akhirnya pada 1954, pemerintah secara resmi
menghentikan program ini.

Gerakan Assaat

Pada tahun 1956-an, pada masa kabinet
Ali Sastroamidjojo kedua, terjadi semakin
banyak skandal korupsi. Struktur sosial dan
politik negara semakin hancur.

Permasalahan ekonomi ditimpahkan
kepada etnis Tionghoa yang dijadikan kambing
hitam, sehingga menimbulkan banyak sentimen
anti Tionghoa.

Pada masa-masa ini timbullah Gerakan
Asaat, suatu gerakan yang diprakarsai oleh Mr.

240

Assaat, yang pada masa RIS pernah menjabat
sebagai presiden dari negara bagian Republik
Indonesia dalam negara federal RIS. Gerakan
yang dipimpin Mr. Assaat ini menuntut
perbedaan perlakuan dan pemberian fasilitas
kepada para pengusaha “asli” (Pengusaha
Pribumi).

Mr. Assat mendesak pemerintah agar
mengeluarkan peraturan untuk menghentikan
keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik WNI
maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang
dianggap menguntungkan. Dengan terus terang
ia menyatakan kesiapannya untuk menjalankan
berbagai program anti-Tionghoa.

Dalam Kongres Ekonomi Nasional
Seluruh Indonesia (KENSI) yang berlangsung
di Semarang, Mr. Assaat terpilih sebagai ketua.
KENSI menuntut supaya ketentuan mengenai
ekonomi kuat dan ekonomi lemah harus
berdasarkan “pribumi” dan “non pribumi”.

241

Mr. Assaat memimpin suatu gerakan
segregatif yang rasialis dan kembali mengotak-
kotakkan bangsa berdasarkan alasan primordial,
asli dan pribumi.

Namun, gerakan Assaat ini ternyata
tidak pernah terwujud, karena berdasarkan
pengamatan empiris, ternyata jumlah
perusahaan importir dan eksportir Tionghoa
tidak sebanyak yang mereka perkirakan.
Perdagangan impor/ekspor dan distribusi
sebenarnya dikuasai perusahaan-perusahaan
multinasional yang disebut “Big Five”
(Jacobson, Borsumij, Geowerij, Internatio dan,
Lindeteves), tetapi rupanya bagi pelaku gerakan
ini tujuan utamanya bukan untuk menegakkan
ekonomi nasional, melainkan bagaimana
merebut dominasi ekonomi orang Tionghoa
yang pada waktu itu berpusat di Jalan Pintu
Kecil di Jakarta Barat.

Gerakan Assaat sepenuhnya mati ketika
pecah pemberontakan PRRI/PERMESTA,

242

karena Mr. Assaat turut melibatkan diri dalam
pemberontakan seperatis tersebut.

PP-10

Presiden Soekarno pada November
1959 menandatangani Peraturan Pemerintah No.
10 atau yang lebih terkenal dengan sebutan PP-
10. Peraturan ini berisi larangan bagi orang-
orang asing (terutama ditujukan kepada orang-
orang Tionghoa) untuk berdagang eceran di
daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota
daerah swatantra tingkat I (propinsi) dan
tingkat II (kabupaten) yang mulai berlaku sejak
1 Januari 1960.

Sudah tentu peraturan yang rasialis ini
sangat mengejutkan dan menggoncangkan
kehidupan ekonomi orang Tionghoa di
Indonesia. Karena pada waktu itu Undang-
Undang Kewarganegaraan Tahun 1958 belum
dilaksanakan, sehingga belum sempat

243

ditentukan yang mana orang Tionghoa yang
WNI, yang mana Tionghoa Asing.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946
maupun Undang-Undang Nomor 6 tahun 1947
kedua-duanya memberikan kewarganegaraan
Indonesia kepada orang-orang Tionghoa yang
bertempat kedudukan dan berkediaman selama
sedikitinya 5 tahun berturut-turut di dalam
Negara Indonesia (asas ius soli). Sebaliknya,
Republik Rakyat Tiongkok menganut asas ius
sanguinis yang menganggap semua orang
Tionghoa yang merantau ke luar negeri tetap
bangsa Tionghoa, maka orang-orang Tionghoa
yang berada di wilayah Republik Indonesia
juga masih tetap warga negara Tiongkok.
Dengan demikian, warga negara Indonesia
keturunan Tionghoa yang bertempat tinggal di
wilayah Republik Indonesia mempunyai dua
kewarganegaraan (bipatride). Mereka disebut
mempunyai dwikewarganegaraaan.

244

Para penguasa militer di daerah-daerah
menganggap semua orang-orang Tionghoa
adalah bangsa asing bukan bangsa Indonesia.
Maka yang diusir bukan saja orang-orang
Tionghoa asing tetapi juga orang-orang
Tionghoa yang berdasarkan UU
Kewarganegaraan Republik Indonesia tahun
1946 sudah menjadi warga negara Indonesia.

Pada umumnya, perdagangan eceran di
daerah-daerah pedalaman didominasi para
pedagang Tionghoa yang sudah berpengalaman
dan memiliki jaringan beberapa generasi. Hal
ini sangat menyulitkan para pedagang pribumi
yang baru muncul untuk bersaing. Dengan
dikeluarkannya PP-10, mereka merasa
mendapat kesempatan untuk mengisi
kekosongan yang ditinggalkan pedagang
Tionghoa.

Dengan dilaksanakannya PP-10,
puluhan ribu orang Tionghoa terpaksa harus
meninggalkan tempat usaha dan kediamannya

245

di daerah pedalaman. Peraturan yang
sebenarnya hanya melarang berdagang eceran,
tetapi dalam pelaksanaannya juga melarang
bertempat tinggal. Orang-orang Tionghoa
dianggap semuanya berstatus sebagai bangsa
Tionghoa (bangsa asing), sehingga oleh pihak
militer, mereka semua dipaksa meninggalkan
tempat kediamannya.

Pelaksanaan PP-10 telah menimbulkan
dampak yang sangat negatif bagi perekonomian
negara. Daerah-daerah pedalaman yang
ditinggalkan para pedagang Tionghoa
ekonominya mengalami kemunduran. Berbagai
barang kebutuhan menjadi langka dan harganya
melambung tinggi. Produk-produk pertanian
para petani bertumpuk dan tidak dapat
dipasarkan. Ternyata jaringan distribusi yang
ditinggalkan para pedagang Tionghoa tidak
dapat segera diganti oleh para pedagang
pribumi.

246

Demikianlah PP-10 gagal. Demi
kepentingan rakyat banyak, pemerintah
membiarkan orang-orang Tionghoa berdagang
kembali ke daerah-daerah pedalaman.

Kepres 14, Kepres 14A, KIK, dan KMKP

Rakyat Indonesia sudah tahu bahwa
Presiden Soeharto sudah banyak memberikan
fasilitas-fasilitas perdagangan/ ekonomi kepada
beberapa pengusaha etnis Tionghoa yang
menjadi kroni-kroninya. Tetapi dengan dalih
untuk mematahkan “dominasi” etnis Tionghoa
di bidang perdagangan/ ekonomi, pada tahun
1979 dikeluarkan Kepres 14 dan Kepres 14A
yang diskriminatif dan rasialis.

Berbagai kepres tersebut dikeluarkan
dengan tujuan untuk membantu para pengusaha
“ekonomi lemah” yang identik dengan
pengusaha pribumi. Dengan kepres ini, tender
berbagai proyek dan kontrak pemerintah dalam
skala kecil hanya boleh diikuti oleh pengusaha

247

pribumi. Untuk proyek-proyek skala menengah
yang bernilai sampai 80.000 US Dollar, para
pengusaha pribumi yang mengikuti tender
mendapat bantuan sebesar 5%. Untuk proyek-
proyek besar, sebuah tim beranggotakan 10
orang (Tim 10) yang dipimpin Mensekneg
Sudharmono SH diberi wewenang untuk
memutuskan alokasi proyek tersebut, Tim 10
juga berwenang untuk menentukan semua
belanja pemerintah atas barang-barang dan jasa
yang nilainya melebihi 800.000 US Dollar.

Tim 10 berhasil memberikan fondasi
kepada para pengusaha pribumi untuk muncul
ke permukaan. Walaupun kemunculan mereka
hanya terbatas di bidang jasa, terutama
engineering dan konstruksi, nyaris tidak ada
pengusaha pribumi yang bergerak di bidang
produksi, industri, maupun perdagangan. Para
pengusaha pribumi tersebut hanya
menggantungkan usahanya pada proyek-proyek
dan kontrak-kontrak pemerintah.

248

Demikian juga untuk membantu para
pengusaha pribumi, pemerintah melahirkan
kebijaksanaan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan
Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Tetapi,
dalam perkembangannya kredit yang bertujuan
untuk membantu meningkatkan ekonomi
golongan pribumi ini, tidak mencapai sasaran
dan tidak berjalan sesuai dengan harapan
pemerintah. Malahan terjadi banyak
penyelewengan dalam penyaluran kredit
tersebut. Dana yang diterima para pengusaha
pribumi juga banyak yang digunakan untuk hal-
hal yang bersifat konsumtif dan bukan
digunakan untuk modal usaha, dengan akibat
banyak kredit yang macet.

Baik Kepres 14 atau Kepres 14A
maupun kebijakan KIK dan KMKP tidak cukup
berhasil mengangkat pengusaha pribumi.
Padahal Program Benteng, PP-10, Kepres 14
dan Kepres 14A, KIK, dan KMKP semua
bertujuan untuk membantu para pengusaha

249

pribumi bersaingan melawan pengusaha etnis
Tionghoa yang digolongkan sebagai pengusaha
nonpribumi.

Argumentasi Untuk Mendiskriminasikan
Etnis Tionghoa

Dasar hukum untuk membedakan
sesama bangsa Indonesia menjadi golongan
pribumi dan golongan nonpribumi ada pada
pasal 26 UUD 1945 yang menyatakan, “ada
dua macam bangsa Indonesia, yaitu bangsa
Indonesia asli (pribumi) dan orang-orang lain
yang disahkan sebagai warga negara
(nonpribumi)”.

Argumentasi yang banyak dijadikan
alasan untuk melakukan diskriminasi terhadap
kedudukan ekonomi etnis Tionghoa yang
digolongkan sebagai nonpribumi adalah karena
kedudukan orang Tionghoa sebagai anak emas
pada waktu zaman kolonial.

250

Dalam seminar “Masalah Pri dan Non
Pri Dewasa Ini”, yang diselenggarakan oleh
Yayasan Dharma Wulan di Jakarta pada
tanggal 23 Juni 1998, Drs. Kwik Kian Gie
(pengamat ekonomi, Pendiri STIE-IBII)
memberikan ilustrasi mengenai “kedudukan
anak emas selama zaman kolonial” Hindia
Belanda sebagai berikut:

Argumentasi mengenai

kedudukan anak emas selama

zaman kolonial Belanda. Selama

zaman kolonial Belanda,

penduduk keturunan Tionghoa

dijadikan pedagang perantara

antara petani dan perusahaan-

perusahaan dagang Belanda.

Maka sejak semula Belanda sudah

menganggapnya sebagai

kelompok sosial yang mempunyai

kedudukan hukum yang berbeda.

Kedudukan mereka pun adalah

251

sebagai kaula negara Belanda

Timur Asing (Vreemde

Oosterlingen). Sedangkan yang

pribumi pada waktu itu

berkependudukan sebagai

Inlander. Akibatnya, yang

keturunan Tionghoa ini

diuntungkan, selama berabad-

abad menduduki tempat sebagai

pengusaha, maka setelah selama

berabad-abad dianak-emaskan

dengan kesempatan mencari

nafkahnya sebagai pedagang

perantara, dengan sendirinya

diperolehnya keterampilan-

keterampilan berusaha yang

diturunkan pada anak-cucunya

sampai sekarang, sehingga

golongan nonpribumi ini sekarang

unggul dalam segala kemampuan

dan keterampilan berusaha.

Dengan demikian merekalah yang

252

mampu dengan terampilan

menggunakan kesempatan

berusaha yang dibangkitkan oleh

Orde Baru.

Jadi pemisahan antara
pribumi dan nonpribumi harus
kita lihat sebagai warisan zaman
kolonial Belanda yang memang
memisahkannya secara garis etnis.
Karena pemisahan oleh kolonial
ini, sampai sekarang berakibat
terampilnya nonpribumi dalam
bidang usaha, titik tolak koreksi
ketimpangan ini juga harus
dengan garis pemisah etnis
pribumi dan nonpribumi yang
harus didiskriminasi sebagai
koreksi terhadap diskriminasi
yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial Belanda.

253

Selanjutnya Kwik Kian Gie
memberikan pencerahan bagi para pelaku
koreksi negatif dan destruktif ini:

Apakah tepat mendasarkan

kebijaksanaan dari negara kita

yang sudah merdeka pada struktur

yang diciptakan dan

dipertahankan oleh pemerintah

kolonial. Bukankah prinsip dan

tujuan dasar revolusi

kemerdekaan kita harus sesuai

dengan falsafah negara Indonesia

merdeka atau Pancasila dan

berdasarkan konstitusi.

Kalau pemimpin-

pemimpin perjuangan

kemerdekaan kita pada waktu itu

bertitik tolak dari struktur

masyarakat zaman kolonial dan

berdasarkan struktur ini baru

membuat koreksi-koreksi,

254

mungkin Indonesia sampai
sekarang masih belum merdeka.
Dapat dibayangkan kalau pada
saat itu pertama-tama dibedakan
siapa-siapa yang gelijkgesteld,
siapa-siapa yang inlander murni,
kemudian orang inlander (pribumi)
yang gelijkgesteld, tidak boleh
menjadi pemimpin karena
dianakemaskan oleh Belanda,
sehingga boleh menikmati
pendidikan ELS, HBS, kemudian
pada perguruan-perguruan tinggi,
baik di Nederland maupun di
Hindia Belanda.

Kita justru melihat kelas
yang justru dianakemaskan oleh
kolonial Belanda inilah yang
akhirnya menjadi pelopor gerakan
kemerdekaan kita. Dari sini jelas
bahwa titik tolak justru

255

menghancurkan struktur yang
kolonial yang dianggap jahat dan
tidak adil. Jadi yang menjadi dasar
kebijaksanaan bukannya ikut-
ikutan struktur kolonial dan dari
sini lalu menghambat yang pernah
diuntungkan. Pokok pemikiran
dari kebijaksanaan konstruktif
haruslah bagaimana membuat
segala potensi produktif yang ada
menjadi fungsional dan positif di
dalam kehidupan negara modern
yang sudah merdeka.

Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa di
Segala Bidang

Selain diskriminasi terhadap

nonpribumi di bidang ekonomi dan

perdagangan, pada zaman pemerintah Orde

Baru, di bawah pemerintahan Presiden

256

Soeharto, pemerintah Orde Baru menerbitkan
banyak peraturan yang sangat diskriminatif
terhadap warga negara Indoneia etnis Tionghoa.

Berikut ini ditunjukkan beberapa
peraturan pada masa pemerintah Orde Baru
yang diskriminatif terhadap warga negara
Indonesia etnis Tionghoa:

- Bidang Sosial dan Budaya:

• Keputusan Presidium Kabinet No.

127/Kep/12/1966 tentang Peraturan

Ganti nama bagi WNI yang memakai

nama Cina;

• Instruksi Presidium Kabinet No.

49/U/IN/8/1967 tentang Pendayagunaan

Mass Media Berbahasa Cina;

• Keputusan Menteri Perdagangan dan

Koperasi No.285/KP/XII/78 tentang

Larangan Mengimpor

Memperdagangkan dan Mengedarkan

segala Jenis Barang Cetakan dalam

Huruf, Aksara, dan Bahasa Cina;

257

- Bidang Pendidikan:
• Surat Menteri Agama kepada Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI,
No.4/058/1978 tentang Pelaksanaan
Pelajaran Agama di Sekolah-Sekolah;
• Instruksi Presidium Kabinet No.
37/U/IN/6/1967 tentang Kebijakan
Pokok yang Menyangkut WNI
Keturunan Asing;

- Bidang Agama:

• Instruksi Menteri Agama No. 4/1978

tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran

Kepercayaan;

• Surat Keputusan Jaksa Agung Republik

Indonesia, No.KEP.089.J.S/1978

tentang Larangan Pengedaran/

Penggunaan Surat Kawin yang

Dikeluarkan oleh Yayasan Pusat Srati

Drama Yogyakkarta;

258

- Bidang Kependudukan dan

Kewarganegaraan:

• Jo.1919-81 tentang Peraturan

Penyelenggaraan Daftar-Daftar Catatan

Sipil untuk Golongan Tionghoa;

• Inpres RI No. 2 tahun 1980 tentang

Bukti Kewarganegaraan Republik

Indonesia;

• Keputusan Presiden No. 2240 tahun

1967 tentang Kebijaksanaan Pokok

yang Menyangkut Warga Negara

Indonesia Keturunan Asing;

• Peraturan Menteri Kehakiman RI No.

JB 3/4/12 tentang Surat Bukti

Kewarganegaraan RI;

• Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No.

JB 3/11/3 tentang Surat Bukti

Kewarganegaraan RI;

• Surat Menteri Kehakiman kepada

Pengadilan Negeri di Seluruh Indonesia

259

No. DTA/60/24 Tahun 1968 tentang
Bukti Kewarganegaraan RI.

Masalah SBKRI

Salah satu masalah diskriminasi
terhadap nonpribumi di Republik Indonesia
yang paling banyak disorot adalah Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Dalam implementasinya, keharusan untuk
selalu membuktikan diri sebagai bangsa
Indonesia melalui SBKRI hanya ditujukan pada
etnis Tionghoa dan etnis India.

Keharusan menunjukkan SBKRI yang
hanya ditujukan pada WNI etnis Tionghoa dan
etnis India merupakan suatu tindakan
diskriminasi rasial yang bertentangan dengan
UU No.3 Tahun 1946 dan PP No.5 Tahun 1947.

Dalam Peraturan Pemerintah No.5
Tahun 1947 yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari UU No.3 Tahun 1946 tentang
penduduk dan warga negara, ditegaskan bahwa,

260

“Dalam sistem Undang-Undang warga negara
Indonesia suatu bukti kewarganegaraan negara
Indonesia TIDAK DIPERLUKAN untuk
orang-orang yang tentu dan diharapkan tentu
menjadi warga negara Indonesia, yaitu untuk
orang Indonesia asli dan untuk orang peranakan.
Maka, bukti kewargaan negara Indonesia hanya
diberikan kepada orang yang pada umumnya
bukan warga negara Indonesia, yaitu kepada
orang asing yang menjadi warga negara
Indonesia dengan naturalisasi”.

Ketentuan tersebut dapat diartikan
bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia
tidaklah perlu dibuktikan dengan suatu bukti
khusus, dalam pengertian bahwa pembuktian
kewarganegaraan RI dapat ditunjukkan dalam
berbagai dokumen catatan sipil dan
kependudukan yang sudah ada seperti Kartu
Tanda Penduduk (KTP), akta kelahiran, kartu
keluarga, paspor dan dokumen-dokumen resmi
lainnya. Pada hakikatnya tidak semua

261

nonpribumi memerlukan SBKRI, hanya orang
asing yang menjadi warga negara Indonesia
karena naturalisasi yang wajib mempunyai
SBKRI. Namun, dalam perkembangannya,
permasalahan SBKRI ini kemudian mengalami
pasang surut sejalan dengan sejarah perjalanan
konsepsi dan implementasi hukum
kewarganegaraan Republik Indonesia.

Setelah Peraturan Pemerintah No.5
Tahun 1947 yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari UU No.3 Tahun 1946 tentang
penduduk dan warga negara menyatakan bahwa,
Surat Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia (SBKRI) hanya diberikan kepada
orang asing yang menjadi warga negara
Indonesia melalui naturalisasi, TIDAK
DIPERLUKAN untuk WNI pada umumnya,
juga tidak perlu bagi WNI nonpribumi, tiga
puluh tahun kemudian, pada tahun 1977,
Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan
Presiden No.52 Tahun 1977 tentang pendaftar

262

penduduk yang mempersyaratkan SBKRI
dalam pendaftaran penduduk. Keppres inilah
yang menjadi sumber permasalahan SBKRI.

Kemudian pada tahun 1978, Menteri
Kehakiman RI mengeluarkan Peraturan
Menteri Kehakiman No. 3/4/12 tahun 1978
tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia (SBKRI). Berdasarkan Peraturan
Menteri Kehakiman tersebut muncullah suatu
dokumen khusus bukti kewarganegaraan RI
yang bernama SBKRI dan dilembagakan secara
sistematis.

Pada tahun 1980, Menteri Kehakiman
dan Menteri Dalam Negeri mengukuhkan
masalah SBKRI dengan SKB 01-UM.09.30.80
No.42. yang menetapkan bahwa SBKRI
sebagai semacam kartu identitas yang
menyatakan bahwa pemiliknya adalah warga
negara Republik Indoneia dan akan berguna
untuk membuktikan bahwa dirinya warga
negara RI apabila ia berpergian ke luar negeri

263

atau mengurus surat-surat dan kegiatan lain.
Tetapi, SBKRI hanya memberlakukan khusus
bagi warga Tionghoa dan warga India.

Salah satu bentuk politik diskriminasi
nyata yang dilakukan secara instruksional di
Indonesia adalah penerapan ketentuan SBKRI
yang terutama ditujukan terhadap WNI etnis
Tionghoa dan India beserta keturunannya.
Meskipun ketentuan ini bersifat administratif,
tetapi penerapan SBKRI sama artinya dengan
upaya menempatkan WNI etnis Tionghoa dan
etnis India pada posisi status hukum Warga
Negara Indonesia (WNI) yang “masih
dipertanyakan”. Akibatnya, seorang WNI etnis
Tionghoa yang meskipun sudah beberapa
generasi lahir “hingga menutup mata” di tanah
tumpah darah Indonesia, setiap waktu harus
membuktikan dirinya sebagai warga negara
Indonesia. Dalam berbagai proses administrasi
publik, dari pembuatan kartu tanda penduduk
(KTP), memasuki dunia pendidikan,

264

menyatakan hak politik, membuat surat
perjalanan ke luar negeri, sampai menikah dan
meninggal dunia pun harus membuktikan
dirinya warga negara Indonesia melalui SBKRI.

Permasalahan pembuktian

kewarganegaraan RI dan SBKRI sebenarnya

sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.5

Tahun 1947 yang merupakan peraturan

pelaksanaan UU No. 3 Tahun 1946 tentang

penduduk dan warga negara. PP ini sudah

menegaskan secara eksplisit bahwa penduduk

etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI sejak

lahir, tidak lagi membutuhkan pembuktian atas

kewarganegaraan RI-nya.

Kewajiban WNI etnis Tionghoa untuk
selalu membuktikan diri sebagai bangsa
Indonesia melalui SBKRI sangat bertentangan
dengan maksud pemerintah yang ingin
merangkul etnis Tionghoa menjadi orang
Indonesia. Dengan kewajiban untuk selalu
menunjukkan SBKRI akan membuat mereka

265

selalu mengingat bahwa mereka keturunan
Tionghoa yang dibedakan dari orang Indonesia
pada umumnya.

Dalam perkembangannya kemudian,
SBKRI itu secara eksplisit sudah dihapuskan
penerapannya kepada WNI etnis Tionghoa
dengan Keputusan Presiden No. 56 Tahun1996
dan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999, serta
terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan RI dan UU No.23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Dalam Keppres No.56 tahun 1996 dan
Inpres No. 4 tahun 1999 ditegaskan bahwa
WNI yang memperoleh kewarganegaraan
Indonesia melalui “pewarganegaraan” agar
melampirkan petikan Keputusan Presiden RI
tentang “perwarganegaraannya”, bagi istri dan
anak-anak yang belum dewasa pada saat
pengambilan sumpah setelah menerima petikan
Keputusan Presiden cukup dengan
melampirkan akta perkawinan/akta lahir dan

266

KTP. Sementara itu, WNI yang memperoleh
kembali kewarganegaraan RI berdasarkan UU
No.2 tahun 1958 tentang Persetujuan RI-RRC
mengenai dwikewarganegaraannya agar
melampirkan surat pernyataan
kewarganegaraaannya dan bagi anak-anak sah
atau keturunannya cukup melampirkan akta
kelahiran dan KTP.

Dalam UU No.12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia ,
perumusan istilah Indonesia Asli, tidak
dirumuskan atas dasar rasial. Dalam rumusan
UU itu, orang Indonesia Asli adalah mereka
yang sudah menjadi WNI sejak kelahirannya
dan tidak pernah mendapatkan
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.
Dengan demikian, seorang WNI (apa pun
etnisnya) adalah WNI asli, berdasarkan hukum,
maka tidak perlu pembuktian (khusus) tentang
status kewarganegaraannya. Dan lahirnya UU
No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi

267

Kependudukan, menghilangkan penggolongan
ras dan agama dalam pencatatan sipil. Ini
sejalan dengan prinsip kewarganegaraan RI
yang hanya mengenal WNI dan WNA (tanpa
penggolongan etnis dan agama). Lahirnya UU.
No.23/2006 ini juga menguatkan bahwa aturan
pembuktian kewarganegaraan untuk WNI sejak
kelahiran adalah akta kelahiran dan KTP. WNI
etnis Tionghoa tidak perlu lagi selalu harus
membuktikan dirinya sebagai bangsa Indonesia
dengan menunjukkan SBKRI.

Semua peraturan diskriminatif yang
dibuat oleh pemerintah Soeharto dibuat dengan
alasan untuk mempercepat proses asimilasi
total, agar apa yang dinamakan “masalah Cina”
dapat diselesaikan. Caranya dengan
menggunakan kebijakan yang bertujuan untuk
menghapus golongan etnis Tionghoa sebagai
suatu golongan kebudayaan dengan ciri khas.
Peraturan dan kebijakan ini melanggar hak
asasi mengenai ekspresi kebudayaan suatu

268

kelompok. Instrumen-Instrumen Internasional
tentang Hak Asasi Manusia yang dilanggar
adalah:

1. United Nation Declaration on the
Elemination of all Forms of Racial
Discrimination.

2. International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial
Discrimination.

3. Declaration on the Elemination of All
Forms of Intolerance and Discrimination
Based on Religion or Belief.

4. Declaration on the Right of Persons
Belonging to National or Ethnic,
Religions and Linguistic Minorties.

Tidak Ada Lagi Alasan Mendiskriminasikan
Etnis Tionghoa

Sekarang dengan berlakunya Undang-Undang
Kewarganegaraan No.12 Tahun 2006, etnis Tionghoa

269

sudah disamakan dengan sesama bangsa Indonesia dari
suku-suku lainnya. Sekarang WNI etnis Tionghoa
sudah dapat menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia
asli. Maka sekarang tidak ada lagi alasan untuk
mendiskriminasikan etnis Tionghoa atas dasar WNI
etnis Tionghoa adalah non-pribumi, bukan bangsa
Indonesia lagi.

270

BAB XI

KONTROVERSI TENTANG
ASIMILASI

Kebijakan diskriminasi terhadap WNI etnis
Tionghoa sudah mulai dilakukan oleh pemerintah RIS
sejak tahun 1950. Kebijakan diskriminasi tetap
dilanjutkan oleh Pemerintah RI di bawah pimpinan
Presiden Soekarno. Tindakan diskriminasi terhadap
WNI etnis Tionghoa dilakukan atas dasar etnis
Tionghoa bukan orang Indonesia asli (nonpribumi).

Sejak tahun 1954 WNI etnis Tionghoa
berupaya mencari formula untuk menyembuhkan
penyakit diskriminasi terhadap mereka.

271

Kelompok Baperki` mengusulkan “Terapi
Komunis” sedangkan kelompok LPKB mengusulkan
“Terapi Asimilasi”.

“Terapi Komunis” ingin mempertahankan
kebudayaan Tionghoa tetap murni, ingin tetap
mempertahankan pengelompokan etnis Tionghoa,
orang Tionghoa tidak perlu berasimilasi, kelompok
etnis Tionghoa hanya perlu berintegrasi dengan
kelompok suku bangsa lainnya. Yang penting etnis
Tionghoa harus memperjuangkan proses menuju ke
masyarakat sosialis (komunis). Bila masyarakat
sosialis sudah tercapai, otomatis tidak ada lagi
diskriminasi.

Sebaliknya Terapi Asimilasi menganjurkan
etnis Tionghoa berbaur dengan suku pribumi,
diharapkan melalui pembauran, terjadi asimilasi, dan
setelah terjadi asimilasi total, maka etnis Tionghoa
sudah terlebur menjadi pribumi. Bila etnis Tionghoa
sudah berlebur (teramalgamasi) menjadi pribumi,
mereka sudah bukan nonpribumi lagi, mereka sudah

272

sama dengan suku bangsa pribumi. Dengan sendirinya
tidak terjadi lagi diskriminasi.

Kedua pandangan ini sangat berseberangan.
Maka timbullah kontroversi antara kelompok pro
integrasi (Baperki) dengan kelompok pro asimilasi
(LKPB). Kemudian kontroversi ini dijadikan alat
politik oleh elite politik di zaman Orde Lama.

Asimilasi Tionghoa Perantauan

Pada awal kedatangan perantau
Tionghoa ke pulau Jawa, mereka semua
bujangan, tidak membawa istri, lalu mereka
menikah dengan perempuan Jawa dan lahirlah
anak-anak Tionghoa peranakan. Anak-anak
Tionghoa peranakan dibesarkan dan dididik
oleh ibunya menurut adat istiadat Jawa dan
dididik oleh ayahnya menurut adat istiadat
Tionghoa. Anak-anak Tionghoa peranakan
dibesarkan dan hidup dalam suasana dua
kebudayaan, yakni kebudayaan Tionghoa dan

273

kebudayaan Jawa. Mereka hidup dalam
kebudayaan campuran. Proses asimilasi
kebudayaan sudah terjadi pada kehidupan
orang-orang Tionghoa peranakan di Jawa.
Mereka hidup dalam budaya Tionghoa
peranakan, suatu kebudayaan campuran
Tionghoa-Jawa.

Proses asimilasi orang-orang Tionghoa
peranakan dikatakan sudah terjadi karena
proses sosial antara kelompok perantau
Tionghoa dengan kelompok penduduk Jawa
sudah terjadi selama berabad-abad. Mereka
sudah saling bergaul langsung secara intensif,
perlahan tetapi pasti, pertemuan budaya
Tionghoa dengan budaya Jawa itu
mengakibatkan masing-masing kebudayaan
berubah watak khasnya, dan unsur-unsur
kebudayaannya saling mempengaruhi dan
saling berubah sehingga memunculkan suatu
watak kebudayaan yang baru, kebudayaan

274

campuran, budaya Tionghoa peranakan, atau
budaya Tionghoa-Jawa.

Asimilasi biologis dan sosiologis yang
sudah terjadi berabad-abad lalu, kemudian
mendapat tantangan dari kaum penjajah
Belanda. VOC berusaha menghambat proses
asimilasi yang sudah terjadi dengan cara
memberlakukan wijkenstelsel dan passenstelsel
bagi penduduk Tionghoa di wilayah
kekuasaannya. Tujuannya adalah untuk
memisahkkan pemukiman Tionghoa dari
penduduk pribumi. Dengan pemisahan
pemukiman dan larangan bagi orang Tionghoa
keluar dari pemukimannya (Kampung
Tionghoa) tanpa izin pemerintah VOC. Belanda
berupaya untuk menghambat interaksi orang
Tionghoa dengan penduduk pribumi. Dengan
cara menghambat interaksi orang Tionghoa
dengan penduduk pribumi, VOC cukup berhasil
menghambat asimilasi.

275

Bukan hanya penjajah Belanda saja
yang menentang dan ingin menghambat
asimilasi, tetapi kelompok Tionghoa totok dan
kelompok Sin Po (sebutan bagi kelompok
orang-orang Tionghoa yang masih berorientasi
ke Tiongkok) juga menentang asimilasi.
Bahkan mereka berupaya “mencinakan kembali”
Tionghoa peranakan yang sudah terasimilasi.

Pada akhir abad ke-19, di Tiongkok
sedang berkembang Gerakan Pembaruan yang
dipelopori oleh Kang Yu Wei. Pengaruh
Gerakan Pembaruan menyebar sampai ke
Hindia Belanda. Orang-orang Tionghoa totok
dan sebagian Tionghoa peranakan dari
kelompok Sin Po menganggap bahwa semua
orang keturunan Tionghoa di seluruh dunia
adalah warga negara Tiongkok. Prinsipnya
sekali bangsa Tionghoa harus tetap bangsa
Tionghoa. Untuk menjaga kemurnian
kebudayaan Tionghoa bangsa Tionghoa tidak
boleh berasimilasi dengan penduduk pribumi

276

atau bangsa Belanda; mereka berupaya
“mencinakan kembali” Tionghoa peranakan
yang sudah “luntur kecinaannya” karena sudah
terasimilasi.

Tiong Hoa Hwe Koan

Organisasi pertama yang didirikan
untuk tujuan “mencinakan kembali” orang-
orang Tionghoa di Hindia Belanda adalah
perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK).
Pada waktu itu orang Tionghoa peranakan yang
lahir di Hindia Belanda umumnya mempunyai
darah pribumi dari garis ibu. Bahasa pergaulan
mereka adalah bahasa daerah tempat mereka
bermukim dan kebanyakan dari mereka tidak
dapat berbahasa Tionghoa. Mereka tidak saja
mengambil bahasa setempat tetapi juga cukup
banyak yang mengikuti adat istiadat,
kepercayaan, dan cara hidup ibu atau neneknya
yang pribumi.

277

Oleh karena itu perkumpulan THHK
ingin menanamkan dan menumbuhkan kembali
adat istiadat dan kebudayaan Tionghoa sesuai
dengan ajaran Konghucu kepada anak-anak
Tionghoa peranakan yang sudah terasimilasi.
Maka pada tahun 1901 perkumpulan THHK
mendirikan sekolah Tionghoa di Batavia.
Sekolah ini adalah sekolah Tionghoa modern
pertama bagi anak-anak Tionghoa di Batavia.
Muridnya sebagian besar adalah anak-anak
Tionghoa peranakan yang sudah kurang
mengerti adat istiadat Tionghoa dan sudah tidak
dapat berbicara dalam bahasa Tionghoa.
Sekolah THHK kemudian berkembang dan
menyebar ke seluruh pelosok Hindia Belanda.
Hal ini membuat sebagian masyarakat
Tionghoa peranakan mengalami “pencinaan
kembali”.

Kemajuan dan perkembangan THHK
yang sangat pesat menimbulkan kecurigaan
pemerintah Hindia Belanda. Gerakan THHK

278

yang bertujuan ingin “mencinakan kembali”
kebudayaan Tionghoa peranakan, sangat
mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda
akan bersatunya Tionghoa peranakan dengan
Tionghoa totok. Upaya “mencinakan kembali”
Tionghoa peranakan telah mendorong
pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah
khusus untuk anak-anak Tionghoa. Pada tahun
1908, di Batavia, didirikan Hollandsch
Chineesche School (HCS) yang pertama.

Walaupun THHK Batavia adalah
organisasi Tionghoa yang pertama yang
berupaya “mencinakan kembali” orang-orang
Tionghoa peranakan di Hindia Belanda, tetapi
kemudian yang giat “mencinakan kembali”
orang-orang Tionghoa peranakan bukan hanya
THHK, tetapi juga koran Sin Po. THHK
Batavia (Pa Hoa) hanya berupaya “mencinakan
kembali” kebudayaan orang-orang Tionghoa
yang kebudayaan Tionghoanya sudah luntur.
Mereka diajar pendidikan budi pekerti

279

Konghucu. Tetapi Pa Hoa tidak selalu
mengikuti aliran Sin Po yang berkiblat ke
Tiongkok. Walaupun sebagian besar sekolah
THHK (ratusan jumlahnya) yang didominasi
dan dikelola oleh orang Tionghoa totok selalu
mendukung aliran Sin Po yang berkiblat ke
Tiongkok, sekolah Pa Hoa, dalam hal-hal
tertentu, demi kepentingan kaum Tionghoa
peranakan, menolak berkiblat ke Tiongkok. Pa
Hoa sadar bahwa Tionghoa peranakan akan
tetap mencari nafkahnya di Hindia Belanda.

Sin Po

Sin Po adalah nama surat kabar yang
diterbitkan oleh masyarakat Tionghoa
peranakan. Sin Po didirikan pada tahun 1910 di
Jakarta. Mereka yang mendukung pandangan
Sin Po yang beraliran nasionalis Tiongkok
dianggap sebagai kelompok khusus yang
dikenal dengan nama “kelompok Sin Po”.
Mereka menganjurkan persatuan antara kaum
peranakan dan totok, mereka memperjuangkan

280

status hukum Eropa bagi kaum Tionghoa lokal
serta mendukung pendidikan bahasa Tionghoa
bagi anak-anak Tionghoa peranakan. Di
samping itu, mereka mendukung partisipasi
golongan Tionghoa dalam politik di Tiongkok
serta tidak mau ikut ambil bagian dalam
gerakan politik Hindia Belanda.

Bagi kelompok Sin Po, Tiongkok
adalah pelindung bagi semua Tionghoa
peranakan. Tionghoa peranakan akan selalu
dapat perlindungan kalau mereka mempunyai
ikatan dengan negara Tiongkok. Berbeda
dengan Pa Hoa yang hanya ingin “mencinakan
kembali” orang Tionghoa peranakan di bidang
kebudayaan, Sin Po juga ingin “mencinakan
kembali” Tionghoa peranakan di bidang politik.
Tionghoa peranakan harus berorientasi ke
Tiongkok, bukan ke Hindia Belanda.

Sin Po benar-benar menjadi pelopor
gerakan nasionalis Tionghoa di Hindia Belanda.
Hal ini nampak pada kampanye yang

281


Click to View FlipBook Version