The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Penulis : Iskandar Yusuf

Buku karangan Iskandar Jusuf ini menambah dan memperkaya khasanah tulisan tentang orang Tionghoa/WNI di Indonesia serta usaha meng-Indonesia-nya. Banyak informasi tentang sejarahnya dan bahan pemikiran diketengahkan dalam buku ini. Prof. Dali Santun Naga sebagai editor dan DR. Albert Hasibuan sebagai pemberi Kata Pengantar, menjadi jaminan akan mutu dan seriusnya bacaan ini. Iskandar Jusuf telah dengan tekun dan teliti menuliskan naskah, dan saya juga merasakan rasa debaran jantungnya. Ini ibaratnya menjadi obsesi agar sebagai orang Indonesia dianggap
lengkap terutama dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Tekanan penting yang didalilkan, bahwa dengan dihapuskannya kata "asli” yang digandengkan di dalam Pasal 8 UUD 1945:Presiden adalah orang Indonesia "asli", maka dianggap bahwa diskriminasi ras kewarganegaraan Indonesia telah selesai terutama bagi WNI keturunan Tionghoa. Anggapan ini tentu kurang tepat. Di Pasal 8 ini kata asli bukan mengenai etnisitasnya tetapi hukum ketatanegaraan. Sebenarnya, secara etnistras tidak ada orang "Indonesia asli“, sebab faham kebangsaan Indonesia adalah faham
politis, etis. Jadi supaya menjadi Indonesia yang asli, yang tulen, adalah diukur berdasarkan nasionalisme-patriotismenya terhadap nusa Indonesia - "Nusantara" ini. Dengan mengerti problematik psikhologis dan semangat dari orang seperti Saudara Iskandar Jusuf ini, maka buku ini sungguh menjadi petunjuk tentang
pembinaan kebangsaan Indonesia yang multi-minoritas ini.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Pahoa, 2022-04-25 21:39:29

Jalan panjang asimilasi etnis Tionghoa

Penulis : Iskandar Yusuf

Buku karangan Iskandar Jusuf ini menambah dan memperkaya khasanah tulisan tentang orang Tionghoa/WNI di Indonesia serta usaha meng-Indonesia-nya. Banyak informasi tentang sejarahnya dan bahan pemikiran diketengahkan dalam buku ini. Prof. Dali Santun Naga sebagai editor dan DR. Albert Hasibuan sebagai pemberi Kata Pengantar, menjadi jaminan akan mutu dan seriusnya bacaan ini. Iskandar Jusuf telah dengan tekun dan teliti menuliskan naskah, dan saya juga merasakan rasa debaran jantungnya. Ini ibaratnya menjadi obsesi agar sebagai orang Indonesia dianggap
lengkap terutama dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Tekanan penting yang didalilkan, bahwa dengan dihapuskannya kata "asli” yang digandengkan di dalam Pasal 8 UUD 1945:Presiden adalah orang Indonesia "asli", maka dianggap bahwa diskriminasi ras kewarganegaraan Indonesia telah selesai terutama bagi WNI keturunan Tionghoa. Anggapan ini tentu kurang tepat. Di Pasal 8 ini kata asli bukan mengenai etnisitasnya tetapi hukum ketatanegaraan. Sebenarnya, secara etnistras tidak ada orang "Indonesia asli“, sebab faham kebangsaan Indonesia adalah faham
politis, etis. Jadi supaya menjadi Indonesia yang asli, yang tulen, adalah diukur berdasarkan nasionalisme-patriotismenya terhadap nusa Indonesia - "Nusantara" ini. Dengan mengerti problematik psikhologis dan semangat dari orang seperti Saudara Iskandar Jusuf ini, maka buku ini sungguh menjadi petunjuk tentang
pembinaan kebangsaan Indonesia yang multi-minoritas ini.

Keywords: Sejarah

(THHK) yang salah satu tujuannya adalah
memajukan kebudayaan dan pendidikan
masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda. Satu
tahun kemudian pada tanggal 17 Maret 1901,
mereka mendirikan sekolah Tiong Hoa Hwe Koan
(THHK). Sekolah THHK berlokasi di jalan
Patekoan (sekarang jalan Perniagaan), maka
sekolah itu disebut Patekoan Tiong Hoa Hwe
Koan atau disingkat menjadi Pa Hoa.

Sekolah THHK Batavia (Pa Hoa)
berkembang pesat dan murid-muridnya makin hari
makin bertambah. Pada tahun 1904 THHK
mengadakan perubahan Anggaran Dasar
perkumpulan. Pada Anggaran Dasar THHK yang
baru, ditambahkan beberapa pasal yang
menyatakan bahwa, perkumpulan THHK
mempunyai hak untuk mendirikan cabang-cabang
sekolah THHK di luar kota Batavia.

THHK Batavia berhasil membuka
beberapa cabang di pulau Jawa, tetapi kemudian
THHK Batavia tidak sanggup lagi menampung

132

gairah orang-orang Tionghoa dari seluruh Hindia
Belanda yang ingin mendirikan cabang sekolah
THHK di kotanya. Maka sekolah-sekolah THHK
yang didirikan kemudian, dibiarkan berdiri sendiri
terlepas dari sekolah THHK Batavia. Sekolah-
sekolah yang baru berdiri itu bukan cabang dari
sekolah THHK Batavia, tetapi dibiarkan memakai
nama sekolah Tiong Hoa Hwe Koan (THHK).

Tidak heran kalau kemudian sekolah
THHK berkembang meluas menyebar ke seluruh
Hindia Belanda. Sekolah THHK tumbuh seperti
jamur di musim hujan. Sejak perkumpulan THHK
mendirikan sekolah THHK Batavia pada tahun
1901, dalam waktu belasan tahun, pada tahun
1919, sekolah THHK di Hindia Belanda sudah
mencapai jumlah lebih dari 250 sekolah.

Kemajuan dan perkembangan sekolah
THHK menimbulkan kecurigaan pemerintah
Hindia Belanda, karena sekolah THHK lebih
banyak yang berkiblat ke Tiongkok. Banyaknya
sekolah THHK yang ingin “mencinakan kembali”

133

orang orang Tionghoa peranakan, sangat

mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda

akan bersatunya Tionghoa peranakan dengan

Tionghoa totok. Sekolah-sekolah THHK telah

membangkitkan perasaan nasionalisme

revolusioner bangsa Tionghoa terhadap Tiongkok.

Pemerintah Hindia Belanda semakin
khawatir melihat perkembangan pemuda-pemuda
Tionghoa yang semakin berkiblat ke Tiongkok dan
menghancurkan makna kekaulanegaraan Belanda
(Nederlands Onderdaanschap).

Lahirnya Sekolah Belanda untuk Anak-Anak
Tionghoa

Pada tanggal 28 April 1905, Dewan
Hindia menunjukkan kekhawatirannya dengan
memberi nasihat kepada pemerintah. Mereka
menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap
ketidakacuhan pemerintah dalam melihat sekolah-
sekolah THHK yang hanya mengajarkan bahasa
Tionghoa. Dewan Hindia mengusulkan pendirian

134

sekolah-sekolah Belanda untuk anak-anak
Tionghoa di Hindia Belanda. Usul Dewan diterima
oleh pemerintah Hindia Belanda.

Hal ini mendorong pemerintah Hindia
Belanda mendirikan sekolah-sekolah Belanda
untuk anak-anak Tionghoa. Sekolah ini pertama
kali didirikan di Batavia pada tahun 1908 dan
diberi nama Hollandsch Chineesche School
(HCS).

Setelah berdirinya sekolah HCS di
beberapa tempat, sekolah THHK “ditinggalkan”
oleh sebagian besar anak-anak Tionghoa
peranakan. Bahkan di Batavia, pendiri sekaligus
Presiden Sekolah THHK, Phoa Keng Hek
memindahkan anak-anaknya ke sekolah HCS.
Langkah serupa juga dilakukan Kapten Yap Hong
Sing (Presiden THHK Yogyakarta) dan Tan Hian
Gwan (Presiden THHK Surabaya).

135

Adapun alasan anak-anak Tionghoa
peranakan pindah dari sekolah THHK ke sekolah
HCS adalah:
a. Kurikulum sekolah THHK tidak cocok bagi

anak-anak Tionghoa peranakan di Hindia
Belanda,
b. Prospek pekerjaan yang terbatas, karena
bahasa Tionghoa tidak digunakan dalam dinas
pemerintahan,
c. Sampai tahun 1920-an pendidikan di sekolah-
sekolah THHK hanya sampai setingkat
Sekolah Dasar saja.
Sebagian Besar Sekolah THHK Dikuasai
Tionghoa Totok

Dalam perkembangan selanjutnya,
sekolah THHK makin banyak ditinggalkan oleh
anak-anak Tionghoa peranakan dan makin hari
makin banyak anak-anak Tionghoa totok yang
bersekolah di sekolah THHK. Orang-orang

136

Tionghoa totok berharap anak-anaknya tetap bisa
baca tulis bahasa Tionghoa dan terus memegang
teguh ajaran leluhur mereka. Siswa-siswi
Tionghoa peranakan yang masih tetap bersekolah
di sekolah-sekolah THHK kebanyakan adalah
anak-anak dari keluarga miskin yang tidak
sanggup membiayai pendidikan anak-anaknya di
sekolah Belanda.

Walaupun lebih banyak Tionghoa
peranakan yang lebih suka menyekolahkan anak-
anaknya di sekolah HCS, tetapi sekolah THHK
terus berkembang di seluruh wilayah Hindia
Belanda. Adapun sebabnya adalah karena sejak
akhir abad ke-19, semakin banyak imigran baru
dari Tiongkok, yang berlayar meninggalkan
Tiongkok untuk bermigrasi ke Hindia Belanda.
Mereka disebut “Sinkhe” (tamu baru). Pada awal
abad ke-20 makin banyak anak-anak “Sinkhe” di
Hindia Belanda.

Pada tahun 1860, pemerintah kerajaan
Tiongkok (Dinasti Ching) mengeluarkan

137

maklumat yang memberikan izin bagi orang-orang
Tionghoa yang ingin merantau meninggalkan
daratan Tiongkok. Padahal sejak tahun 1726,
semua orang Tionghoa yang berada di perantauan
dilarang kembali ke Tiongkok. Pada tahun 1898
pemerintah kerajaan Tiongkok dengan resmi
mencabut larangan itu.

Akibat dari peraturan baru itu, banyak
“Sinkhe” dari Tiongkok meninggalkan Tiongkok
merantau ke Hindia Belanda. Banyaknya “Sinkhe”
ke Hindia Belanda juga didukung oleh
beroperasinya kapal uap yang lebih aman dan
biayanya lebih murah daripada kapal layar. Maka
“Sinkhe” yang datang merantau ke Hindia Belanda
bukan hanya kaum laki-laki tetapi juga istri dan
anak-anaknya. Makin hari makin banyak
perempuan Tionghoa yang meninggalkan
kampung halamannya di Tiongkok, turut
,merantau ke Hindia Belanda untuk mendampingi
suaminya hidup di tanah perantauan. Maka antara
akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 adalah

138

masa paling banyak imigran dari Tiongkok
berdatangan ke Hindia Belanda. Bertambahnya
jumlah “Sinkhe” (Tionghoa totok) di Hindia
Belanda, membawa pengaruh besar pada
perkembangan etnis Tionghoa di Jawa. Komposisi
jumlah Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok
mengalami perubahan signifikan. Anak-anak
Tionghoa totok pun makin bertambah banyak dan
sekolah Tionghoa pun semakin berkembang.

Dengan bertambahnya jumlah penduduk
Tionghoa totok bersamaan dengan datangnya lebih
banyak “Sinkhe” dari Tiongkok, membuat THHK
yang pada mulanya didirikan oleh Tionghoa
peranakan, tetapi kemudian malah ditinggalkan
oleh Tionghoa peranakan, lambat laun jatuh ke
tangan Tionghoa totok. Sekolah THHK makin
berkiblat ke Tiongkok. Maka banyak orang
berpendapat bahwa berdirinya perkumpulan
THHK pada tahun 1900 dan didirikannya sekolah
THHK pada tahun 1901, merupakan awal dari
“pencinaan kembali” (recinization), anak-anak

139

Tionghoa peranakan yang kebudayaan
Tionghoanya sudah luntur; mereka diperkenalkan
kembali kepada bahasa Tionghoa dan kebudayaan
Tionghoa. Mereka “dicinakan kembali.”

THHK “Mencinakan Kembali” Tionghoa
Peranakan?

Dalam buku Jawa Sejati, Otobiografi Go
Tik Swan Harjonegoro, Go Tik Swan menyatakan
bahwa:”... Orang-orang Tionghoa sendiri yang
memulai membuat kesenjangan dengan
mendirikan organisasi politik yang berorientasi ke
negara Cina, yaitu Tiong Hoa Hwe Koan (THHK)
pada tahun 1900 yang mendukung gerakan
revolusioner Sun Yat Sen.”

Pernyataan Go Tik Swan yang
menyatakan bahwa THHK berorientasi ke negara
Tiongkok dan mendukung gerakan revolusi Sun
Yat Sen, memang betul dan tidak dapat dibantah.

Memang benar bahwa pada awal abad ke-
20 para pengurus THHK menginginkan Tionghoa

140

peranakan di Hindia Belanda berorientasi ke
Tiongkok dan bukan ke negeri Belanda. Pada
waktu itu pemerintah Hindia Belanda
menempatkan orang Tionghoa sebagai warga kelas
dua dan berada di bawah orang Eropa dan orang
Jepang.

Pemerintah Hindia Belanda hanya
memberikan status Nederlands Onderdaan (kaula
negara Belanda) kepada orang Tionghoa
peranakan. Status orang Tionghoa lebih rendah
daripada Nederlander (warga negara Belanda).
Sedangkan pemerintah Dinasti Ching (pemerintah
Tiongkok) pada waktu itu menganggap semua
orang Tionghoa di perantauan sebagai Hoa Chiao
(bangsa Tionghoa di perantauan). Artinya Dinasti
Ching masih menganggap semua orang Tionghoa
di Hindia Belanda sebagai bangsa Tionghoa.

THHK didirikan dengan tujuan antara
lain untuk mengembangkan adat-istiadat dan
tradisi Tionghoa sesuai dengan ajaran Konghucu
dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama

141

di bidang tulis menulis dan bahasa Tionghoa.
Dalam perkembangan selanjutnya, sekolah-
sekolah THHK lebih banyak dikuasai oleh orang
Tionghoa totok yang menguasai dan fasih
berbahasa Tionghoa dan masih sangat kental
berorientasi ke tanah leluhur (Tiongkok). Tetapi
tidak semua sekolah THHK dapat dikuasai
kelompok Tionghoa totok, masih ada beberapa
sekolah THHK yang masih dikuasai dan dikelola
oleh orang Tionghoa peranakan. Salah satunya
adalah sekolah THHK Batavia (Pa Hoa).

Pada tahun 1910 pemerintah Hindia Belanda
mengumumkan berlakunya “Wet op het Nederlands,
Onderdaanschap (WNO) atau Undang-Undang tentang
kaulanegara Belanda (Ned, Stbl No.55). Berbarengan
dengan berlakunya WNO, dikampanyekan Indie
Werbaar (semacam milisi atau wajib militer) dan
pembentukan Volksraad (parlemen Hindia Belanda).
Kelompok Sin Po yang berkiblat ke Tiongkok
memelopori aksi melawan WNO dan Indie Werbaar.
Aksi kelompok Sin Po mendapat dukungan lebih dari

142

dua ratus organisasi orang Tionghoa di pulau Jawa.
Organisasi-organisasi tersebut sebagian besar
tergabung dalam THHK di berbagai kota di pulau
Jawa. Tetapi THHK Batavia (Pa Hoa) tidak mau ikut
menandatangani petisi tersebut. Ini adalah fakta sejarah
yang dengan gamblang menunjukkan bahwa THHK
Batavia (Pa Hoa) berbeda dengan sebagian sekolah
THHK yang berkiblat ke Tiongkok. Sekolah THHK
Batavia (Pa Hoa) yang masih dikuasai dan dikelola
oleh orang-orang Tionghoa peranakan berpendidikan
Barat berani berbeda untuk membela kepentingan
orang-orang Tionghoa peranakan yang berkiblat ke
Hindia Belanda. Orientasi para pengurus THHK
Batavia (Pa Hoa) memang berbeda dengan orientasi
Tionghoa totok yang masih sangat fanatik berkiblat ke
tanah leluhur (Tiongkok). Sebagian besar pendiri
sekolah Pa Hoa tidak menguasai bahasa Tionghoa,
dalam rapat-rapat pengurus THHK Batavia tidak
digunakan bahasa Tionghoa. Bahasa yang digunakan
dalam rapat-rapat di THHK Batavia adalah bahasa
Melayu. Orientasi para pengurus THHK Batavia tidak
berkiblat ke Tiongkok.

143

Pada tahun 1900, memang benar pada mulanya
sekolah THHK Batavia didirikan untuk
mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa
sesuai dengan ajaran Konghucu, karena para pendiri
THHK melihat keadaan sosial budaya orang-orang
Tionghoa pada waktu itu sangat memprihatinkan.

Memang benar para pendiri THHK mula-mula
ingin mendirikan sekolah Tionghoa modern pertama di
Hindia Belanda. Oleh karena pada waktu itu
pemerintah Hindia Belanda tidak mendirikan satu pun
sekolah untuk anak-anak Tionghoa di Hindia Belanda,
maka para pendiri sekolah THHK Batavia mendirikan
sekolah Tionghoa untuk menampung anak-anak
Tionghoa yang tidak mendapat kesempatan sekolah.
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, para
pengurus sekolah THHK Batavia (Pa Hoa) lebih
memikirkan kebutuhan siswa-siswinya yang sebagian
besar adalah Tionghoa peranakan yang ingin tetap
tinggal dan bekerja di Hindia Belanda, maka pengurus
sekolah Pa Hoa mengambil jalan yang berbeda dengan

144

sekolah-sekolah Tionghoa pada umumnya yang
berkiblat ke Tiongkok.

Dalam rencana kerja pengurus sekolah THHK
Batavia, dinyatakan bahwa perlu didirikan empat jenis
sekolah, yaitu sekolah Tionghoa, sekolah Melayu,
sekolah Belanda, dan sekolah Inggris. Maka sekolah Pa
Hoa yang didirikan pada tanggal 17 Maret 1901, hanya
dalam waktu beberapa bulan, pada tanggal 1
September 1901 mendirikan sekolah Inggris yang
dipimpin oleh Dr. Lee Teng Hwie. Sekolah Inggris ini
terpisah dari sekolah Tionghoa. Mulai saat itu Pahoa
memiliki dua sekolah, yaitu sekolah Tionghoa dan
sekolah Inggris yang diberi nama Yale Institute.
Manajemen sekolah Inggris terpisah dari sekolah
berbahasa Tionghoa.

Pada tanggal 8 Januari 1905, komisi sekolah Pa
Hoa menggabungkan sekolah Tionghoa dengan
sekolah Inggris menjadi satu sekolah. Sejak itu murid-
murid sekolah Tionghoa juga diberikan pelajaran
bahasa Inggris. Sekolah Pa Hoa menjadi sekolah dua
bahasa.

145

Selanjutnya sekolah Pa Hoa berniat untuk
mendirikan sekolah bahasa Belanda. Adapun alasan
sekolah Pa Hoa berencana mendirikan sekolah Belanda
adalah karena pengurus sekolah Pa Hoa berpendapat
bahwa murid-murid sekolah Pa Hoa sebagian besar
ingin menetap dan bekerja di Hindia Belanda. Dengan
berbekal bahasa Tionghoa dan bahasa Inggris murid-
murid sekolah Pa Hoa sulit menjadi pegawai di Hindia
Belanda. Maka berdasarkan keputusan Komisi Sekolah
Pa Hoa, pada tanggal 1 Oktober 1925, sekolah Pa Hoa
juga memberikan pelajaran bahasa Belanda pada
murid-muridnya. Sejak saat itu sekolah Pa Hoa
menjadi sekolah trilingual pertama di Hindia Belanda.

Sekolah Pa Hoa yang memberikan pelajaran
bahasa Tionghoa, bahasa Inggris, dan bahasa Belanda
kepada murid-muridnya menjadi sekolah yang berbeda
dengan sekolah Tionghoa pada umumnya yang hanya
memberikan pelajaran bahasa Tionghoa saja.
Komposisi murid di sekolah Pa Hoa juga berbeda
dengan komposisi murid di sekolah Tionghoa pada

146

umumnya, yang mayoritas muridnya adalah anak
Tionghoa totok.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia,
sekolah Pa Hoa tetap merupakan sekolah tiga bahasa
(trilingual), tetapi bahasa Belanda dihapus dan diganti
dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia harus
diajarkan sejak sekolah dasar, dan bahasa Inggris mulai
diajarkan pada kelas empat sekolah dasar. Jadi sekolah
Pa Hoa tetap merupakan sekolah trilingual yang
mengajarkan bahasa Tionghoa, bahasa Inggris, dan
bahasa Indonesia. Kurikulum di sekolah Pa Hoa pun
diubah secara bertahap agar semakin sesuai dengan
kurikulum yang ditetapkan Departemen Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan (PPdanK) Republik
Indonesia.

Setelah penyerahan kedaulatan dari pemerintah
Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat,
kemudian pemerintah RI mulai melakukan reformasi
“Pendidikan Nasional.” Di wilayah yang baru diambil
alih dari pemerintah Hindia Belanda, banyak mata
pelajaran di sekolah-sekolah mulai diajarkan dengan

147

bahasa pengantar bahasa Indonesia. Dalam upaya
sekolah Pa Hoa menyesuaikan diri dengan kondisi dan
kebutuhan zaman Indonesia yang sudah merdeka,
sekolah Pa Hoa mulai mengundang guru-guru non-
Tionghoa dari universitas-universitas ternama untuk
mengajar mata pelajaran penting dengan bahasa
pengantar bahasa Indonesia. Sejak tahun 1951 sudah
banyak lulusan SMA Pa Hoa berhasil diterima di
Perguruan Tinggi Nasional ternama di Indonesia.

Antara tahun 1950 sampai tahun 1957
walaupun kurikulum sekolah Pa Hoa sudah serupa
dengan kandungan kurikulum nasional, tetapi status
sekolah Pa Hoa belum berubah. Sekolah Pa Hoa masih
tetap berstatus sebagai sekolah Tionghoa. Tentu saja
sekolah Pa Hoa menjadi sekolah Tionghoa yang sangat
berbeda dengan sekolah-sekolah Tionghoa lain pada
umumnya.

Pada tahun 1957, para pengurus sekolah Pa
Hoa mulai mendirikan sebuah yayasan yang terpisah
dari perkumpulan THHK yang mengelola sekolah Pa
Hoa. Yayasan itu diberi nama Jajasan Pendidikan dan

148

Pengajaran. JPP merupakan suatu badan hukum yang
mengelola sekolah nasional JPP yang menampung
murid-murid ex sekolah Pa Hoa yang
berkewarganegaraan RI. Sekolah JPP tetap menempati
gedung sekolah Pa Hoa di jalan Patekoan dan jalan
Mangga Besar. Perkumpulan THHK menyerahkan
kedua gedung itu kepada Jajasan Pendidikan dan
Pengadjaran untuk menampung 80 persen siswa
sekolah Pa Hoa yang berkewarganegaraan Indonesia
agar dapat bersekolah di sekolah nasional JPP.
Sedangkan sisa 20 persen murid sekolah Pa Hoa yang
warga negara Tiongkok tetap bersekolah di sekolah Pa
Hoa yang tetap berstatus sebagai sekolah Tionghoa.
Sekolah Pa Hoa terpaksa pindah ke Jalan Blandongan,
di Jakarta Barat.

Dari sejarah perkembangan sekolah THHK
Batavia (Pa Hoa) yang diuraikan di atas, tampak jelas
bahwa sekolah THHK Batavia (Pa Hoa) yang mula-
mula ingin “mencinakan kembali” anak-anak Tionghoa
peranakan, kemudian bermetamorfosis menjadi

149

sekolah yang berkiblat ke Hindia Belanda, dan pada
1957 menjadi sekolah nasional.

Upaya “Mencinakan Kembali” Melalui Pendidikan
Tidak Berhasil

Upaya “mencinakan kembali” anak-anak
Tionghoa peranakan melalui pendidikan sekolah
Tionghoa dapat dikatakan gagal karena hanya sedikit
anak Tionghoa peranakan yang bersekolah di sekolah
Tionghoa. Anak-anak Tionghoa peranakan lebih
memilih bersekolah di sekolah Belanda atau di sekolah
trilingual seperti sekolah Pa Hoa. Dengan demikian,
sekolah-sekolah Tionghoa hanya berhasil menjaring
anak-anak Tionghoa totok yang memang sudah
terdidik dalam keluarga yang berorientasi ke Tiongkok.
Sekolah-sekolah Tionghoa tidak berhasil “mencinakan
kembali” anak-anak Tionghoa peranakan yang sudah
terasimilasi.

2. Pers Tionghoa di Hindia Belanda

Sejak abad ke-17 sudah ada orang Tionghoa
yang menjadi juru tulis dan juru bahasa Sultan di Pulau

150

Jawa. Perantau Tionghoa di Jawa telah dengan cepat
belajar bahasa setempat. Bilamana orang Tionghoa
tinggal di perantauan selama beberapa keturunan tanpa
kembali ke Tiongkok, mereka seringkali mempelajari
buku-buku setempat dan menyerap adat-istiadat dan
kebiasaan penduduk setempat.

Orang-orang Tionghoa yang sudah turun-
temurun hidup di wilayah Nusantara dan sudah
sepenuhnya merasa bahwa dirinya merupakan bagian
dari penduduk setempat, mereka membutuhkan sarana
untuk mengekspresikan kehidupan sosialnya, terutama
di bidang budaya dan informasi. Kebutuhan akan
informasi, pendidikan, dan pengetahuan mendorong
mereka untuk berusaha meningkatkan pendidikan,
terutama dalam hal membaca dan menulis. Bangsa
Tionghoa adalah bangsa yang sangat menghargai
pendidikan dan pengetahuan.

Seiring dengan meningkatnya pendidikan di
Hindia Belanda, ada sebagian kecil orang Tionghoa
peranakan yang mendapat kesempatan untuk belajar di
sekolah-sekolah misi Katolik atau sekolah zending

151

milik para missionari Kristen, maka terbentuklah
komunitas Tionghoa peranakan yang cukup
berpendidikan.

Sampai akhir abad ke-19 dan permulaan abad
ke-20, masih ada sejumlah orang Tionghoa peranakan
yang dapat membaca dan menulis aksara Jawi. Akan
tetapi, sejak akhir abad ke-19, huruf Latin cenderung
menggantikan aksara Jawi, akibatnya, orang-orang
Tionghoa generasi awal abad ke-20 sudah tidak dapat
lagi membaca aksara Jawi. Maka mulailah beberapa
penulis Tionghoa peranakan generasi tua yang masih
mengerti aksara Jawi menerjemahkan cerita-cerita
yang tertulis dalam bahasa Jawi bagi orang-orang
Tionghoa peranakan.

Dalam buku Sadur, Sejarah Terjemahan di
Indonesia dan Malaysia, yang penyuntingnya adalah
Henri Chambert-Loir, dalam artikel Kesusastraan
Tionghoa Terjemahan Melayu/Indonesia, Dahulu dan
Sekarang, Leo Suryadinata menyatakan:

Bangsa Tionghoa sudah berabad-abad
lamanya berada di dunia Melayu, artinya di

152

Indonesia dan Malaya/Malaysia. Meskipun begitu,
penerjemah karya-karya Tionghoa ke dalam
bahasa setempat, terutama bahasa Melayu, baru
dimulai pada akhir dasawarsa 1880-an. Adanya
terjemahan-terjemahan itu berkaitan dengan tiga
perkembangan penting. Pertama, nasionalisme
Tionghoa, atau sekurang-kurangya nasionalisme
budaya yang timbul di kalangan bangsa Tionghoa
di daerah Melayu. Kedua, muncul pula penulis dan
wartawan Tionghoa didikan Barat yang mulai
mengerjakan terjemahan karya-karya Tionghoa.
Ketiga, dengan perkembangan mesin cetak yang
sering dikenal dengan Kapitalisme Percetakan
(Print Capitalism) di Indonesia jajahan, maka
orang Tionghoa mulai terlibat dalam percetakan
sebagai bisnis. Sebelum dasawarsa 1880-an,
perkembangan seperti itu tidak terdapat di Dunia
Melayu, dan sebagai akibatnya tidak ada karya
Tionghoa yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Melayu.

Menjelang akhir abad ke-19 mesin cetak
dan surat kabar dalam bahasa Melayu/Indonesia
memang mulai muncul. Akan tetapi, tidak ada
yang berbahasa Tionghoa. Orang peranakan dan
baba (orang Tionghoa yang lahir setempat) yang
sudah tidak lagi berbicara bahasa Tionghoa dengan
lancar, tetapi juga sama saja tidak cukup
menguasai bahasa-bahasa Barat, merasakan
keperluan untuk membaca surat kabar, majalah,
dan buku dalam bahasa yang mereka pahami, yaitu
bahasa Melayu. Mereka juga berminat membaca
lebih banyak mengenai kebudayaan Tionghoa.
Meskipun begitu, ada beberapa orang Tionghoa

153

yang penuh inisiatif mulai menerjemahkan cerita-
cerita Tionghoa ke dalam bahasa Melayu.

Perlu sekali dicatat bahwa permintaan
akan terjemahan Melayu karya-karya Tionghoa
tidaklah datang dari masyarakat Melayu, tetapi
dari kalangan Tionghoa sendiri karena orang
Tionghoa di dunia Melayu tidak lagi menguasai
bahasa Tionghoa. Mereka adalah orang Tionghoa
peranakan yang pandai benar berbahasa Melayu,
yaitu lingua franca berbagai kelompok etnis. Di
antara orang Tionghoa peranakan di Indonesia
jajahan dan di Malaya Inggris, bahasa Melayulah,
bukan bahasa Tionghoa, yang merupakan
perantara dalam berkomunikasi. Maka sangat
meyakinkanlah bahwa penerbitan terjemahan
Melayu dari karya-karya Tionghoa di masa
kemudian juga berdampak pada pembaca bukan
Tionghoa khususnya di Indonesia karena
terjemahan-terjemahan itu juga dibaca oleh orang
Indonesia bumiputra.

Dalam buku Sastra Indonesia Awal, tulisan
Claudine Salmon, dikatakan, “Gerakan besar
penerjemah ke dalam bahasa Melayu tampaknya
dimulai tak lama setelah tahun 1880....” Selanjutnya
dikatakan, “Pemunculan terjemahan-terjemahan itu
secara mendadak menimbulkan pertanyaan. Mungkin
hal ini perlu dikaitkan dengan besarnya publik

154

Peranakan, yang terputus dari budaya Tionghoa klasik
tetapi cukup berpendidikan untuk membaca teks dalam
bahasa Melayu.”

Dalam buku Silang Budaya Tiongkok Indonesia,
Prof. Kong Yuanzhi menyatakan:

Munculnya sastra peranakan Tionghoa
Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Keinginan Peranakan Tionghoa untuk mengenal

budaya Tionghoa.
2. Dorongan dari Gerakan Nasionalis
3. Populernya bahasa Melayu, khususnya “Bahasa

Melayu Rendah”
4. Perkembangan Pesat Pers dan Percetakan

Peranakan Tionghoa
Perkembangan Pesat Pers Tionghoa

Pers dalam bahasa Melayu dengan huruf latin,
pertama kali terbit di Pulau Jawa pada pertengahan

155

abad ke-19, antara lain, surat kabar Chabar Betawie
(1858).

Bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya
sastra Melayu Tionghoa, berkembang pula pers Melayu
Tionghoa atau biasa disebut juga pers peranakan
Tionghoa. Banyak sastrawan melayu Tionghoa
merangkap menjadi jurnalis, pemimpin redaksi,
redaksi, bahkan pemilik perusahaan penerbitan pers.
Malahan ada yang menjadi pemilik percetakan yang
menerbitkan surat kabar dan atau majalah.

Dengan dibukanya sekolah-sekolah THHK yang
kemudian diikuti oleh HCS (Sekolah Belanda),
membuat masyarakat Tionghoa menjadi sangat haus
akan bacaan. Mereka sangat keranjingan membaca
untuk memperoleh segala macam informasi dan
menulis untuk menyalurkan ide, bakat, dan aspirasinya.
Tidak heran dalam waktu singkat, lahir demikian
banyak penerbitan pers di Hindia Belanda.

Tak dapat disangkal peranan percetakan dan
penerbitan Tionghoa peranakan memainkan peranan

156

penting dalam perkembangan sastra dan pers Melayu
Tionghoa. Keberadaan mereka mendorong tumbuhnya
para penulis dan jurnalis Tionghoa peranakan yang
pada ujungnya mendorong dan mempersiapkan
kelahiran sastra dan pers nasional Indonesia.

Pada tahun 1901, untuk pertama kali terbit surat
kabar Tionghoa peranakan di Hindia Belanda, yaitu
surat kabar Li Po. Kemudian disusul Pewarta Surabaya
(Surabaya, 1902), Warna Warta (Semarang, 1904), Sin
Po (Jakarta, 1910), Tjahaja Timur (Malang, 1914),
Keng Po (Jakarta, 1921), Sin Jut Po (Surabaya, 1924),
Sin Bin (Bandung, 1925), Sin Tit Po (Surabaya, 1929),
dan lain-lain.

Pengaruh perang Tiongkok-Jepang dan
hubungan yang semakin lancar antara daratan Tiongkok
dengan Hindia Belanda pada dekade 1930-an
menyebabkan munculnya banyak koran Tionghoa
peranakan yang baru. Dekade tahun 1920-an dan 30-an,
merupakan tahun-tahun kejayaan sastra dan pers
Melayu Tionghoa. Dalam perkembangannya, koran-

157

koran Tionghoa peranakan tersebut akhirnya terkotak-
kotak mengikuti orientasi politik masing-masing.

Pandangan politik orang-orang Tionghoa pada
masa itu dapat dikatakan terbagi dalam tiga aliran
besar:

Pertama, adalah golongan yang tetap konsisten
berpendapat bahwa etnis Tionghoa di Hindia Belanda
bukan kaulanegara Belanda, tetapi merupakan bagian
dari bangsa Tionghoa. Mereka menolak
diberlakukannya Nederlands Onderdaan (Kaulanegara
Belanda), Indie weerbaar (milisi pertahanan sipil
Belanda), dan keikutsertaan golongan Tionghoa
peranakan dalam Volksraad (Parlemen Hindia
Belanda). Orientasi dan pandangan politik golongan ini
diwakili oleh koran Sin Po.

Koran Sin Po pertama kali terbit sebagai
mingguan pada tanggal 1 Oktober 1910. Pada tanggal 1
April 1912, Sin Po menjadi koran harian. Kemudian
pada tanggal 12 Februari 1921, Sin Po menerbitkan
edisi bahasa Tionghoa. Tujuan diterbitkannya harian

158

Sin Po edisi bahasa Tionghoa adalah untuk memajukan
nasionalisme Tiongkok di kalangan perantau Tionghoa
di Hindia Belanda, menghilangkan perbedaan asal
provinsi (tempat asal di Tiongkok), dan menuju pada
persatuan Tionghoa totok dengan Tionghoa peranakan
di Hindia Belanda.

Sin Po mempunyai orientasi dan pandangan
politik yang pro-nasionalisme Tiongkok. Sin Po
mewakili dan memimpin sebuah aliran yang disebut
“Aliran Sin Po” yang mempunyai misi untuk
“mencinakan kembali” semua orang Tionghoa di
Hindia Belanda. Perjuangan koran Sin Po adalah,
“sekali Tionghoa tetap Tionghoa.”

Kedua, adalah orang-orang Tionghoa
berpendidikan Belanda. Pada umumnya, mereka adalah
lulusan universitas di negeri Belanda atau sekolah-
sekolah Belanda di Hindia Belanda. Mereka
mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Chung
Hwa Hwe (CHH). CHH bertujuan untuk mengajak
sebanyak mungkin orang Tionghoa menerima menjadi
kaulanegara Belanda dan turut berpartisipasi dalam

159

institusi pemerintah Hindia Belanda. Mereka disebut
golongan Chung Hwa Hwe (CHH). Orientasi dan
pandangan politiknya diwakili oleh koran Perniagaan
(Siang Po) di Semarang.

Ketiga, adalah golongan yang menganggap
bahwa etnis Tionghoa di Hindia Belanda adalah bagian
dari bangsa Indonesia yang telah diikrarkan pada
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Mereka menyatakan
bahwa etnis Tionghoa di Hindia Belanda harus
menyatukan diri dengan gerakan dan perjuangan rakyat
Indonesia dalam menyongsong kemerdekaan Indonesia.
Orientasi dan pandangan politik mereka diwakili oleh
Harian Sin Tit Po di Surabaya.

Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa orang-
orang Tionghoa di Hindia Belanda sangat heterogen.
Ada yang berorientasi ke Tiongkok, ada yang
berorientasi ke Hindia Belanda, dan ada yang
berorientasi pada ide untuk mendirikan negara
Indonesia yang merdeka. Masing-masing golongan
mempunyai wadah sendiri-sendiri dan masing-masing
kelompok mempunyai surat kabar sendiri untuk

160

mendukung serta menyiarkan pandangan politiknya.
Jadi tidak semua orang Tionghoa di Hindia Belanda
membaca koran Sin Po atau koran yang mempunyai
pandangan politik sejenis. Orang-orang Tionghoa yang
pro CHH atau pro kemerdekaan Indonesia, lebih
memilih membaca koran perniagaan, Sin Tit Po, Keng
Po atau majalah mingguan Star-Weekly, maka dapat
dikatakan upaya koran Sin Po untuk “mencinakan
kembali” Tionghoa peranakan yang sudah terasimilasi
melalui pers Tionghoa kurang berhasil.

3. Organisasi Tionghoa di Hindia Belanda

Organisasi orang-orang Tionghoa di Hindia
Belanda yang pertama adalah Kongsi yang didirikan
oleh orang Tionghoa di Kalimantan Barat. Migrasi
pertama orang-orang Tionghoa ke Kalimantan Barat
sulit dilacak. Sejak abad ke-13 sudah tercatat ada
perantau dan pedagang Tionghoa yang datang ke
Kalimantan Barat. Awalnya, jumlah mereka yang
menetap sangat sedikit. Akan tetapi, kemudian pada
tahun 1740 Sultan Sambas memutuskan untuk
mendatangkan pekerja Tionghoa untuk menambang

161

emas di wilayah sekitar Sambas. Maka orang-orang
Tionghoa mulai didatangkan ke Kalimantan Barat
dalam jumlah besar.

Kedatangan orang-orang Tionghoa ke
Kalimantan Barat dalam jumlah besar diperkirakan
terjadi pada tahun 1760-1770 karena jumlah mereka
makin hari makin banyak, lalu mereka membentuk
organisasi untuk mengatur diri mereka sendiri.
Organisasinya disebut Kongsi.

Kongsi

Kongsi yang pertama yang menjadi besar dan
kuat adalah Kongsi Lanfong. Kongsi ini didirikan oleh
Lo Fong Phak. Ia tiba di Kalimantan Barat pada tahun
1772 dengan 100 orang anggota keluarganya. Pada
mulanya Kongsi ini sepenuhnya bergerak di bidang
pertanian dan tidak ada kaitannya dengan bidang
pertambangan. Kemudian ketika pertambangan mulai
marak di Kalimantan Barat, Kongsi Lanfong juga
bergerak di bidang pertambangan.

162

Kongsi diorganisir dalam kelompok-kelompok
kecil, mereka memilih sendiri para pemimpinnya dan
membagi keuntungan dari pertanian atau pertambangan
kepada anggotanya. Bentuk usaha bersama semacam
ini sudah menjadi tradisi dan sudah lama ada di
Tiongkok. Orang-orang Tionghoa yang merantau
keluar Tiongkok juga menggunakan bentuk organisasi
kongsi untuk mempersatukan orang-orang Tionghoa di
perantauan agar tetap bersatu dan ragam serta
terpimpin.

Sebuah kongsi terutama yang berada di daerah
pertambangan dapat berupa sebuah kelompok yang
terdiri dari sedikit orang sampai sebanyak puluhan
orang yang sepakat untuk memasukkan modal atau
tenaga kerja. Masing-masing anggota memiliki sebuah
saham (dalam bahasa Tionghoa disebut fen atau dalam
dialek Hokkian disebut hun), dan kongsi akan membagi
keuntungan dari pertambangan antara mereka yang
memiliki saham.

Di Kalimantan Barat ada ratusan kongsi kecil
dan besar. Kongsi yang lebih kecil umumnya takluk

163

dan berlindung pada kongsi yang lebih besar. Di
Kalimantan Barat, orang Tionghoa bebas untuk
membentuk kongsi dan mempergunakan organisasi
kongsi, sehingga kongsi menjadi semakin besar, kuat,
dan relatif stabil.

Kongsi Lanfong yang didirikan di Kalimantan
Barat adalah sebuah komunitas demokratis yang
dibangun dengan tujuan memperoleh keuntungan
dengan mengeksploitasi pertanian dan pertambangan
emas dan intan. Komunitas tersebut dibentuk
berdasarkan tempat asal mereka di daratan Tiongkok.
Kongsi Lanfong dikelola sebagaimana layaknya sebuah
negara lengkap dengan sebuah dewan pemerintahan,
pengadilan, penjara, dan pasukan bersenjata, sehingga
dalam beberapa literatur Kongsi Lanfong disebut
“Republik Lanfong.”

Kongsi-kongsi di Kalimantan Barat begitu
besar, solid, dan kuat sehingga mereka berani
memberontak dan berperang melawan pasukan
pemerintah Hindia Belanda. Pemberontakan “Republik
Lanfong” melawan pemerintah Hindia Belanda

164

berlangsung dari tahun 1818 sampai dengan tahun
1854.

Peperangan antara pemerintah Hindia Belanda
dengan Kongsi Lanfong terjadi karena pemerintah
Hindia Belanda sangat tertarik dengan pertambangan
emas yang dikelola oleh Kongsi Lanfong. Dengan
keputusan Sultan Abu Bakar Tajuddin pada tahun 1818,
Belanda mendapat bantuan untuk menghadapi Kongsi-
kongsi orang Tionghoa. Sebelumnya pada tahun 1816,
Belanda memperoleh wewenang dari Sultan Sambas
untuk membeli tambang dan mengirim beberapa
ekspedisi ke Kalimantan Barat.

Untuk memperoleh monopoli tambang intan,
Belanda membayar $50.000,- kepada Sultan Sambas
dan segera mengirim pasukan untuk mengambil alih
tambang-tambang orang Tionghoa. Akan tetapi,
penyerbuan ke tempat pertambangan orang Tionghoa
pada awalnya dapat digagalkan karena mendapat
perlawanan bersenjata dari orang-orang Tionghoa.

165

Walaupun menghadapi dua musuh, pasukan
Belanda dan pasukan Sultan, orang-orang Tionghoa
yang dipimpin oleh pasukan Kongsi Lanfong dapat
bertahan. Setelah bertempur selama 36 tahun, pada
tahun 1854 pasukan Belanda baru berhasil
menaklukkan pasukan Kongsi Lanfong.

Pada abad ke-19 di Kalimantan Barat, terdapat
tiga organisasi besar yang disebut kongsi, yakni Kongsi
Lanfong di Mandor, Kongsi Fosjoen di Monterado, dan
Kongsi Sam Tioe Kioe (pecahan dari Kongsi Fosjoen).

Organisasi orang Tionghoa yang disebut
Kongsi, tidak hanya ada di Kalimantan Barat. Orang-
orang Tionghoa di pertambangan timah di Bangka dan
Belitung juga menggunakan organisasi kongsi untuk
bersatu mengelola tambang timah di Bangka dan
Belitung.

Bentuk organisasi kongsi terus berkembang
berabad-abad di Hindia Belanda. Di kota-kota besar di
wilayah Hindia Belanda, orang-orang Tionghoa juga
membentuk organisasi Kongsi yang terjun dalam

166

bidang perdagangan dan industri. Kongsi-kongsi orang
Tionghoa di perkotaaan berkembang menjadi serupa
dengan maatschap (Persekutuan Perdata) atau Firma.
Sampai pertengahan abad ke-20, di kota-kota besar di
Indonesia, masih banyak ditemukan perusahaan dagang
orang-orang Tionghoa yang berbentuk kongsi.

Kongsi di kota-kota besar di Hindia Belanda
merupakan bentuk usaha dagang masyarakat Tionghoa.
Kongsi di Bangka Belitung merupakan wadah untuk
mempersatukan dan mengelola kuli-kuli kontrak dari
Tiongkok di pertambangan timah di Bangka Belitung,
sedangkan kongsi di Kalimantan Barat merupakan
bentuk usaha orang-orang Tionghoa untuk mengelola
pertambangan emas. Kongsi menjadi begitu besar dan
kuat sehingga hampir menyerupai suatu negara
republik. Kongsi sanggup menggerakkan masyarakat
Tionghoa Kalimantan Barat untuk melawan
pemerintahan Hindia Belanda yang ingin merebut dan
menguasai pertambangan emas yang dikelola oleh
kongsi.

167

Walaupun kongsi di Kalimantan Barat besar dan
kuat sehingga hampir menyerupai sebuah negara
republik di pedalaman Kalimantan Barat, akan tetapi,
kongsi tidak berupaya “mencinakan kembali” orang-
orang Tionghoa di Kalimantan Barat. Mereka sudah
menikah dengan perempuan Dayak, mereka sanggup
terus melestarikan budaya Tionghoa dan budaya
Tionghoa di Kalimantan Barat tetap murni. Tidak
terjadi percampuran budaya antara budaya Tionghoa
dengan budaya Dayak. Di Kalimantan Barat tidak
terjadi proses asimilasi, yang terjadi adalah proses
amalgamasi, perempuan Dayak terlebur ke dalam
kehidupan kebudayaan masyarakat Tionghoa.

Masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat tetap
hidup dalam kebudayaan Tionghoa semurni-murninya.
Sama sekali tidak terjadi asimilasi budaya. Maka tidak
ada orang Tionghoa yang terasimilasi. Dengan
demikian tidak perlu ada upaya “mencinakan kembali”
orang-orang Tionghoa yang masih murni
berkebudayaan Tionghoa. Kongsi memang bukan
bertujuan untuk “mencinakan kembali” orang-orang

168

Tionghoa dan tujuannya adalah untuk bersatu untuk
melindungi kepentingan orang Tionghoa di wilayahnya.

Kongkoan

Pada tahun 1837 para opsir Tionghoa di Batavia
membentuk Chineesche Raad (Dewan Tionghoa), yang
dalam bahasa Tionghoa mereka sebut Kongkoan. Jadi,
Kongkoan adalah sebuah lembaga yang berbentuk
Dewan, yang anggotanya adalah opsir Tionghoa
(majoor, kapitein, luitenant) yang diangkat oleh
pemerintah VOC/ Hindia Belanda. Organisasi
Kongkoan diketuai oleh opsir Tionghoa yang paling
tinggi pangkatnya. Jadi Kongkoan bukan organisasi
masyarakat Tionghoa karena memang bukan dibentuk
oleh masyarakat Tionghoa tetapi oleh para opsir
Tionghoa.

Kongkoan bertugas untuk mengelola klenteng
masyarakat, tanah pemakaman, dan menyelenggarakan
perayaan-perayaan tradisional Tionghoa yang penting.
Jadi, Kongkoan adalah sebuah organisasi yang

169

bertujuan untuk memelihara tradisi serta adat istiadat
orang-orang Tionghoa di Batavia.

Pada waktu belum ada sekolah untuk anak-anak
Tionghoa di Batavia, Kongkoan mengelola semacam
sekolah untuk anak-anak Tionghoa yang disebut Beng
Seng Sie Wan atau sekolah Gie Oh. Sekolah ini
merupakan sekolah kuno yang hanya mengajarkan
sastra klasik Tionghoa dalam dialek Hokkian. Di
sekolah ini diajarkan juga kitab-kitab ajaran Konghucu
Su Si Ngo Keng dan Lun Yu. Sekolah ini berlokasi di
komplek Klenteng Kim Tek Ie di jalan Petak Sembilan
(dekat jalan Pancoran) di Jakarta Barat.

Sebagai Dewan Opsir Tionghoa, tugas
Kongkoan hanya berupaya melestarikan tradisi dan adat
istiadat Tionghoa. Kongkoan bukan sebuah organisasi
masyarakat Tionghoa yang bertujuan untuk melakukan
upaya “mencinakan kembali” orang-orang Tionghoa
yang sudah terasimilasi. Tugas Kongkoan hanya
melestarikan serta memfasilitasi tradisi dan kebudayaan
Tionghoa dari kaum Tionghoa peranakan yang masih
tersisa. Karena Kongkoan adalah organisasi dari para

170

opsir Hindia Belanda, tentunya mereka memihak
kepada pemerintah Belanda dan tidak mungkin mereka
berpolitik untuk mendorong Tionghoa peranakan agar
kembali berkiblat ke Tiongkok. Jadi mereka tidak turut
berpolitik “mencinakan kembali” masyarakat Tionghoa
peranakan yang sudah berkiblat ke Hindia Belanda.
Mereka hanya melestarikan budaya Tionghoa dan
memfasilitasi upacara-upacara adat-istiadat Tionghoa.

Jong Chineesche Beweging

Pada zaman Hindia Belanda status kebangsaan
orang Tionghoa di Hindia Belanda adalah bangsa
Tionghoa. Pemerintah Hindia Belanda tidak
memberikan kewarganegaraan Belanda kepada orang-
orang Tionghoa yang berdomisili di Hindia Belanda.
Orang Tionghoa peranakan hanya diberikan status
Nederlands Onderdaan (kaulanegara Belanda). Artinya
orang Tionghoa di Hindia Belanda digolongkan sebagai
orang asing yang mendapat izin menetap di Hindia
Belanda, jadi orang Tionghoa hanya dianggap sebagai
penduduk Hindia Belanda. Sebaliknya, Dinasti Ching
(pemerintah Tiongkok) masih tetap mengakui semua

171

orang keturunan Tionghoa di tanah perantauan,
termasuk yang merantau ke Hindia Belanda, sebagai
bangsa Tionghoa.

Sebagai bangsa Tionghoa, orang-orang
Tionghoa di Hindia Belanda tertarik pada “Gerakan
Pembaruan” Kang Yu Wei di Tiongkok dan Nan Yang
(Asia Tenggara) serta pendidikan bagi kemajuan
bangsa Tionghoa.

Pada waktu itu orang-orang Tionghoan di
Hindia Belanda sedang mengalami dan merasakan
tindakan diskriminasi dari pemerintah Hindia Belanda.
Mobilitas mereka sangat dibatasi melalui wijkenstelsel
dan passenstelsel. Orang Jepang diberikan status
sebagai golongan Eropa, sehingga status orang Jepang
lebih tinggi dari orang Tionghoa yang berstatus sebagai
golongan Timur Asing, dan tidak satu pun sekolah
didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk anak-
anak Tionghoa. Maka orang-orang Tionghoa sangat
membenci kondisi ini dan mereka sangat menentang
diskriminasi pemerintah Hindia Belanda terhadap orang

172

Tionghoa. Sebagai orang Tionghoa, bangkitlah rasa
nasionalisme Tionghoa mereka.

Di Batavia, Bogor, Sukabumi, dan kota-kota
lain muncullah satu gerakan yang disebut Jong
Chineesche Beweging, yang bertujuan untuk
memperjuangkan emansipasi masyarakat Tionghoa di
Hindia Belanda. Mereka memperjuangkan
dihapuskannya pembatasan atas pergerakan komunitas
Tionghoa (wijkenstelsel dan passenstelsel), kesamaan
hak penuh secara hukum (pasal 163 IS, dan pasal 131
IS) dan meminta pendirian sekolah-sekolah bagi anak-
anak Tionghoa.

Jadi, Jong Chineesche Beweging adalah
organisasi masyarakat Tionghoa yang tidak permanen,
tidak berstatus sebagai badan hukum yang berbentuk
perkumpulan atau yayasan. Akan tetapi, organisasi itu
hanya merupakan organisasi yang menyelenggarakan
suatu gerakan secara spontan, yang beraksi menuntut
hak emansipasi bagi masyarakat Tionghoa di Hindia
Belanda.

173

Pergerakan Jong Chineese Beweging hanya
merupakan gerakan untuk memperjuangkan emansipasi
orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, sama sekali
tidak bergerak dalam upaya “mencinakan kembali”
orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda.

Tiong Hoa Hwe Koan

Menjelang akhir abad ke-19 sejumlah pemimpin
Tionghoa peranakan yang berpendidikan barat
membenci sikap diskriminasi pemerintah Hindia
Belanda terhadap orang Tionghoa. Mereka mendirikan
perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) untuk
mengembangkan adat istiadat dan tradisi Tionghoa
sesuai dengan ajaran Konghucu.

Di dalam Anggaran Dasarnya dinyatakan tujuan
THHK antara lain adalah:

1. Untuk mengembangkan adat-istiadat dan tradisi
Tionghoa sesuai dengan ajaran-ajaran Konghucu
dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama
tulis menulis dan bahasa;

174

2. Mendirikan gedung perkumpulan untuk tempat
pertemuan para anggota guna membicarakan
masalah-masalah dalam melaksanakan hal-hal
seperti dinyatakan pada butir 1 di atas, sebatas tidak
melanggar undang-undang yang berlaku;

3. Mendirikan perpustakaan yang berfaedah untuk
meningkatkan pengetahuan para anggota.

Perkumpulan THHK juga bertujuan untuk
menggalang persatuan orang Tionghoa perantauan
(Hoa Kiao) tanpa membedakan asal kampung dan
provinsi mereka di Tiongkok atau dialek bahasa yang
mereka gunakan. Perkumpulan THHK juga tidak
membedakan Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok.

Pada akhir abad ke-19 banyak orang Tionghoa
peranakan yang sudah kurang mengerti adat-istiadat
dan tradisi Tionghoa. Budaya Tionghoa mereka sudah
luntur, sudah tercampur dengan kebudayaan nenek
moyang mereka yang perempuan Jawa.

Anggaran Dasar perkumpulan THHK Batavia
yang menyatakan bahwa perkumpulan THHK

175

bertujuan untuk mengembangkan adat-istiadat dan
tradisi Tionghoa sesuai dengan ajaran-ajaran
Konghucu, membenarkan kesimpulan yang
menyatakan bahwa perkumpulan THHK bertujuan
untuk “mencinakan kembali” masyarakat Tionghoa
peranakan yang sudah terasimilasi.

Setahun setelah perkumpulan THHK berdiri,
pada tanggal 17 Maret 1901, perkumpulan THHK
mendirikan sekolah THHK bagi anak-anak Tionghoa
yang tidak mendapat kesempatan bersekolah. Sekolah
THHK berkembang pesat dan murid-muridnya makin
hari semakin bertambah. Tidak heran kalau kemudian
sekolah THHK berkembang meluas menyebar ke
seluruh Hindia Belanda. Dalam jangka waktu hanya 18
tahun, pada tahun 1919, sekolah THHK di Hindia
Belanda sudah mencapai lebih dari 250 sekolah.

Dari sekian banyak sekolah THHK, hampir
semua dikelola oleh perkumpulan THHK yang mandiri,
bukan merupakan cabang dari perkumpulan THHK
Batavia dan juga tidak berada di bawah supervisi
THHK Batavia. Perkumpulan-perkumpulan itu

176

sungguh-sungguh mandiri, mereka membentuk badan
hukum sendiri dan mempunyai susunan pengurus
sendiri. Sebagian besar perkumpulan THHK di Hindia
Belanda pada waktu itu dikuasai dan dikelola oleh
masyarakat Tionghoa totok.

Walaupun perkumpulan THHK Batavia tidak
membedakan Tionghoa peranakan dengan Tionghoa
totok dan mempunyai cita-cita ingin mempersatukan
orang Tionghoa peranakan dengan Tionghoa totok,
akan tetapi, kenyataannya, pada waktu itu orang-orang
Tionghoa peranakan mempunyai pola pikir yang
berbeda dengan orang-orang Tionghoa totok. Tionghoa
peranakan umumnya berkiblat ke Hindia Belanda dan
menerima status Nederlands Onderdaan. Sebaliknya
Tionghoa totok sebagian besar berkiblat ke Tiongkok
dan menolak bahkan menentang Nederlands
Onderdaan. Walaupun sebenarnya Nederlands
Onderdaan hanya diberikan kepada orang-orang
Tionghoa peranakan di Hindia Belanda, tetapi orang-
orang Tionghoa yang berkiblat ke Tiongkok menentang
Nederlands Onderdaan, Indie Weerbar, dan produk

177

hukum Hindia Belanda. Mereka berkeinginan agar
semua orang Tionghoa berkiblat ke Tiongkok dan
mereka ingin “mencinakan kembali” Tionghoa
peranakan yang sudah terasimilasi.

Sekolah THHK yang dikuasai dan dikelola oleh
pengurus perkumpulan yang didominasi orang
Tionghoa totok, memberikan pelajaran bahasa
Tionghoa pada murid-muridnya untuk dipersiapkan
meneruskan sekolah ke Tiongkok. Akan tetapi, sekolah
THHK Batavia (Pa Hoa) yang dikelola oleh pengurus
perkumpulan orang-orang Tionghoa peranakan dan
pendidikan barat, lebih memikirkan kepentingan murid-
muridnya yang anak-anak Tionghoa peranakan, yang
akan tetap tinggal dan bekerja di Hindia Belanda. Maka
sekolah Pa Hoa dijadikan sekolah trilingual (yang
mengajarkan bahasa Tionghoa, bahasa Inggris, dan
bahasa Belanda).

Menjadikan sekolah THHK Batavia (Pa Hoa)
sebagai sekolah trilingual tidak bertentangan dengan
tujuan semula sekolah Pa Hoa. Sejak awal berdirinya
perkumpulan THHK Batavia, dalam rencana kerja

178

pendirian sekolah THHK sudah dinyatakan bahwa
perlu didirikan empat jenis sekolah. Hal yang menarik
adalah jenis sekolah itu dilandasi oleh faktor bahasa,
yaitu sekolah bahasa Tionghoa, sekolah bahasa Melayu,
sekolah bahasa Belanda, dan sekolah bahasa Inggris.
Dari Rencana Kerja yang dibuat oleh para pendiri
Perkumpulan THHK Batavia, terlihat nyata bahwa
pengurus perkumpulan THHK Batavia dari semula
sudah memikirkan kepentingan anak-anak Tionghoa
peranakan yang akan terus menetap dan bekerja di
Hindia Belanda.

Perkumpulan THHK yang dikelola oleh
Tionghoa totok berusaha untuk melestarikan bahasa
Tionghoa dan kebudayaan Tionghoa bagi anak-anak
Tionghoa totok serta berupaya “mencinakan kembali”
anak-anak Tionghoa peranakan yang sudah terasimilasi.
Sebaliknya, Perkumpulan THHK Batavia (Pa Hoa),
yang pada awalnya dapat dikatakan berupaya
“mencinakan kembali” anak-anak Tionghoa peranakan
yang kebudayaan Tionghoanya sudah luntur, dalam
perkembangan selanjutnya, berkembang menjadi

179

perkumpulan yang berupaya membekali anak-anak
Tionghoa peranakan ilmu untuk bekerja di Hindia
Belanda.

Jadi, organisasi THHK di Hindia Belanda yang
sebagian besar dikelola oleh orang-orang Tionghoa
totok berusaha “mencinakan kembali” anak-anak
Tionghoa di bidang budaya dan di bidang politik.
Mereka menggiring anak-anak Tionghoa untuk
berkiblat ke Tiongkok. Sebaliknya, THHK Batavia dan
beberapa organisasi THHK yang masih dikelola oleh
orang-orang Tionghoa peranakan, hanya ingin
mengembangkan adat istiadat dan tradisi orang-orang
Tionghoa peranakan yang sudah luntur. Mereka ingin
mengembangkan ajaran budi pekerti Konghucu. Akan
tetapi, di bidang politik mereka tidak menggiring anak-
anak Tionghoa peranakan berkiblat ke Tiongkok.
Mereka sadar bahwa anak-anak Tionghoa peranakan
lebih memilih untuk tetap tinggal di Hindia Belanda,
maka mereka mempersiapkan bekal bagi anak-anak
Tionghoa peranakan untuk lebih mudah mencari
pekerjaan di Hindia Belanda.

180

Tiong Hoa Siang Hwe

Pada tahun 1907-1908, para pedagang Tionghoa
di Hindia Belanda membentuk kamar dagang Tionghoa
yang diberi nama Tiong Hoa Siang Hwe di berbagai
kota besar di Jawa. Kemudian nama Tiong Hoa Siang
Hwe disingkat dan disebut Siang Hwe.

Siang Hwe pertama kali didirikan di kota
Semarang pada tahun 1907 dengan nama Siang Boe,
kemudian diikuti oleh kota Batavia pada tahun 1908
dan juga kota Surabaya pada tahun 1909.

Walaupun Siang Hwe dibentuk oleh gabungan
Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok, akan tetapi
kemudian, peranan Tionghoa totok lebih besar dalam
organisasi ini. Berbeda dengan perkumpulan THHK
Batavia (Pa Hoa) yang dipimpin oleh orang-orang
Tionghoa peranakan berpendidikan barat yang rapat-
rapat pengurus perkumpulannya menggunakan bahasa
Melayu, sebaliknya, maka perkumpulan Siang Hwe
yang pengurusnya didominasi oleh orang-orang

181


Click to View FlipBook Version