Tionghoa totok, semua rapat pengurus Siang Hwe
menggunakan bahasa Tionghoa.
Di perkumpulan Siang Hwe, orang-orang
Tionghoa peranakan dapat bekerja sama dengan orang-
orang Tionghoa totok, karena Siang Hwe hanya
bertujuan untuk memajukan usaha dagang semua orang
Tionghoa.
Oleh karena Siang Hwe lebih mementingkan
soal-soal perdagangan, maka Siang Hwe kurang peduli
akan soal-soal politik. Maka pada waktu kelompok Sin
Po yang berkiblat ke Tiongkok memelopori aksi
melawan Wet Op de Nederlandsche Onderdaan (WNO)
dan Indie Weerbar, Siang Hwe Batavia, Siang Hwe
Semarang, dan Siang Hwe Surabaya tidak mau ikut
mendukung perjuangan kelompok Sin Po. Mereka tidak
melihat manfaat dari kampanye Sin Po, tetapi malahan
menganggap kampanye itu membahayakan kedudukan
mereka sebagai pedagang. Hal ini membuktikan bahwa
para pengurus perkumpulan Siang Hwe tidak mau
mengambil resiko ikut terlibat dalam gerakan politik
182
dan mereka hanya memperhatikan kepentingan usaha
dagang mereka.
Pada tahun 1934 di Hindia Belanda, didirikan
Federasi Siang Hwe atas perintah konsul jenderal
Tiongkok yang menjadi ketua kehormatan Siang Hwe.
Kan Hok Hoei (H.H.Kan), ketua Chung Hwa Hwe
(CHH) yang berorientasi ke Hindia Belanda terpilih
sebagai ketua.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda tidak
menyukai hubungan H.H. Kan dengan perkumpulan
Siang Hwe yang sebagian anggotanya adalah Tionghoa
totok dan pengurusnya didominasi oleh orang-orang
Tionghoa totok yang berorientasi ke Tiongkok.
Akhirnya H.H. Kan terpaksa meletakkan jabatan
sebagai Ketua federasi Tiong Hoa Siang Hwe.
Semakin hari Siang Hwe semakin didominasi oleh
kelompok Tionghoa totok yang berorientasi ke
Tiongkok. Namun demikian, Siang Hwe tetap kurang
peduli dalam upaya “mencinakan kembali” Tionghoa
peranakan di Hindia Belanda. Siang Hwe tetap lebih
183
menekankan kepentingan usaha dagang masyarakat
Tionghoa.
Chung Hwa Hwe
Dengan timbulnya nasionalisme Tionghoa di
Hindia Belanda pada awal abad ke-20, ada sebagian
orang Tionghoa di Hindia Belanda mulai berorientasi
ke Tiongkok. Organisasi orang Tionghoa yang
berorientasi ke Tiongkok makin lama makin tumbuh
subur.
Menghadapi situasi demikian, pemerintah
Hindia Belanda menghadapi tantangan itu dengan
membuat peraturan tentang WNO (UU
Kekaulanegaraan Hindia Belanda), penghapusan
Wijkenstelsel dan Passenstelsel, dan mendirikan HCS
bagi anak-anak Tionghoa. Di samping itu, pemerintah
Hindia Belanda juga mengikutsertakan orang-orang
Tionghoa peranakan menjadi anggota Volksraad
(parlemen Hindia Belanda) dan Dewan Kota.
Terdorong oleh rasa nasionalisme Tionghoa
yang sedang tumbuh pada awal abad ke-20, pada tahun
184
1911, para pelopor dan mahasiswa Tionghoa
peranakan yang berada di Belanda mendirikan sebuah
organisasi yang diberi nama Chung Hwa Hwe
Nederland dengan pusat organisasi di kota Leiden.
Orang-orang Tionghoa peranakan di Hindia
Belanda, meskipun mempunyai rasa nasionalisme
Tionghoa, akan tetapi, mereka lebih merasa dirinya
sebagai bagian dari Hindia Belanda. Mereka merasa
direndahkan dengan status yang diberikan oleh
pemerintah Hindia Belanda kepada orang Tionghoa di
Hindia Belanda. Maka mereka bertekad
memperjuangkan persamaan status orang Tionghoa
dengan status orang Eropa dan Jepang. Jadi, Chung
Hwa Hwe lebih menekankan persamaan status orang
Tionghoa dengan orang Eropa, bukan
memperjuangkan status kebangsaannya yang pada
waktu itu memang sudah orang Tionghoa.
Para mahasiswa yang telah menyelesaikan
studinya kemudian kembali ke Hindia Belanda. Oleh
karena mereka merasa Hindia Belanda adalah tanah
airnya dan Tiongkok bukanlah negeri ideal yang
185
menjadi impian mereka, maka mereka merasa bahwa
golongan Tionghoa peranakan mempunyai latar
belakang budaya yang berbeda dengan orang-orang
Tionghoa totok dan mereka merasa yakin tidak akan
betah tinggal di Tiongkok.
Para mahasiswa anggota CHH Nederland
yang kembali ke Hindia Belanda, bermaksud
melibatkan diri dalam perjuangan politik untuk
memperbaiki posisi. Mereka punya keyakinan yang
berbeda dengan kelompok Sin Po yang berorientasi ke
Tiongkok. Mereka berpendapat bahwa Tiongkok tidak
dapat memberikan perlindungan kepada orang
Tionghoa di Hindia Belanda. Sebagai bagian dari
Hindia Belanda, orang Tionghoa harus membela
kepentingannya dan kepentingan Hindia Belanda.
Mereka menganjurkan orang Tionghoa peranakan
untuk menerima WNO (UU Kekaulanegaraan Belanda)
dan ikut serta dalam dewan-dewan daerah maupun
volksraad.
Pada tahun 1926 mereka mendirikan
perhimpunan yang diberi nama Chung Hwa Club yang
186
mengambil prakarsa untuk mengadakan kongres yang
bertujuan membentuk sebuah organisasi Tionghoa
yang baru. Akhirnya pada 16-18 Mei 1927, di
Semarang diselenggarakan kongres Chung Hwa yang
pertama. Pada bulan April 1928, di Semarang diadakan
kongres Chung Hwa yang kedua untuk mendiskusikan
pembentukan organisasi politik sesuai dengan
keputusan kongres Chung Hwa yang pertama.
Kongres kedua akhirnya melahirkan sebuah
organisasi yang diberi nama Chung Hwa Hwe di
Hindia Belanda. Pada Anggaran Dasar Chung Hwa
Hwe dinyatakan bahwa tujuan CHH adalah bekerja
untuk memperbaiki kehidupan orang Tionghoa di
Hindia Belanda dalam arti yang luas, tetapi selalu
berpijak kepada hukum yang berlaku.
Untuk menarik simpati orang-orang Tionghoa
peranakan agar mau bergabung, CHH menyediakan
pendidikan bagi anak-anak Tionghoa, yaitu pendidikan
Belanda. Hal ini banyak menarik minat orang
Tionghoa, karena mereka sangat tertarik akan
pendidikan, apalagi pendidikan Belanda. Sesuai
187
dengan Anggaran Dasarnya, yang dapat menjadi
anggota CHH hanya kaulanegara Belanda, karena
hanya orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda
yang dapat menjadi kaulanegara Hindia Belanda,
dengan demikian artinya hanya orang Tionghoa
peranakan yang dapat menjadi anggota CHH. Orang
Tionghoa totok yang lahir di luar Hindia Belanda
hanya dapat menjadi anggota luar biasa tanpa hak
suara.
Chung Hwa Hwe masih menggunakan kata
Chung Hwa (bahasa Tionghoa yang artinya sama
dengan kata Tionghoa dalam dialek Hokkian). Para
pengurus dan anggota CHH masih tetap menganggap
dirinya sebagai etnis Tionghoa tetapi mereka ingin
menetap dan bekerja di Hindia Belanda, maka mereka
menerima status Nederlands Onderdaan (penduduk
wilayah Hindia Belanda).
Upaya untuk “mencinakan kembali” Tionghoa
peranakan yang sudah terasimilasi tidak berhasil
karena politik pecah belah pemerintah Hindia Belanda
yang sudah berhasil mendirikan sekolah HCS untuk
188
anak-anak Tionghoa. Para pemuda Tionghoa lulusan
sekolah HCS bersama-sama dengan intelektual
Tionghoa lulusan dari Nederland, mendirikan
organisasi Chung Hwa Hwe (CHH) yang berorientasi
ke Hindia Belanda. CHH menjadi penghambat utama
upaya “mencinakan kembali” orang-orang Tionghoa
peranakan.
Tionghoa Peranakan Memilih Menjadi Bangsa
Indonesia
Pada pertengahan abad ke-20, fakta sejarah
membuktikan bahwa upaya “mencinakan kembali”
orang-orang Tionghoa peranakan di Hindia Belanda
tidak berhasil.
Pada tahun 1959-1960, ketika orang-orang
Tionghoa diberi kesempatan untuk memilih, mau
menjadi bangsa Tionghoa atau bangsa Indonesia,
hampir semua orang Tionghoa peranakan menolak
kebangsaan Tionghoa dan memilih menjadi bangsa
Indonesia. Upaya “mencinakan kembali” orang-orang
Tionghoa peranakan di Hindia Belanda gagal total.
189
BAB VIII
NASION BERDASARKAN
KONSEP NEGARA
KEBANGSAAN
Sebelum abad ke-19 belum ada Indonesia dan
yang ada adalah Nusantara. Waktu itu Nusantara masih
merupakan kerajaan-kerajaan besar dan kecil yang
bertebaran di seluruh kepulauan Nusantara. Pada waktu
itu banyak kerajaan di Nusantara yang sudah
ditaklukkan dan dikuasai oleh bangsa Belanda dan
bangsa Inggris. Tetapi masih ada sebagian kerajaan
yang masih terus mengadakan perlawanan terhadap
penjajah bangsa Eropa.
Wilayah Nusantara yang dikuasai dan dijajah
oleh bangsa Belanda disebut Nederlandsch Indie
(Hindia Belanda), dan yang dikuasai dan dijajah oleh
190
bangsa Inggris disebut Straits Settlement
(Semenanjung Melayu), Singapore (Singapura), Brunei
(Brunei Darussalam), Sarawak dan North Borneo
(wilayah Kalimantan yang sekarang menjadi bagian
dari negara Malaysia). Pulau Timor bagian Timur
dijajah oleh Portugis.
Nama “Indonesia” baru diperkenalkan oleh
Eropa di abad ke-19. Ada tiga orang yang
mengusulkan nama itu pada saat yang hampir
bersamaan. Yang pertama adalah orang Inggris yang
bernama George Samuel Windsor Earl (1813-1865).
Dalam tulisannya yang berjudul “On the Leading
Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-
Polynesian Nations” (1850) ditulisnya, “Sudah saatnya
bagi penduduk kepulauan Hindia atau kepulauan
Melayu untuk memilih nama yang khas, sebab nama
Hindia tidak tepat”. Ia mengusulkan dua nama:
Indunesia atau Melayunesia. Namun Earl memilih
Melayunesia. Orang kedua namanya James Richardson
Logan (1819-1869). Dalam tulisannya “The Ethnology
of the Indian Archipel” (1850), dikatakannya: “Istilah
191
Indian Archipelago (Kepulauan Hindia) terlalu panjang
dan membingungkan”. Maka ia memungut nama
“Indunesia” yang dibuang oleh Earl, dan
disempurnakannya menjadi “Indonesia”. Ahli ketiga,
orang Jerman yang namanya Adolf Bastian (1826-
1905), seorang guru besar etnologi di Universitas
Berlin. Dirinya yang mempopulerkan nama “Indonesia”
di kalangan Sarjana Belanda melalui bukunya yang
berjudul “Indonesia Oder Die Inseln Des Malayischen
Archipel” (1884).
THHK Memacu Semangat Kebangkitan Nasional
Pada awal abad ke-20, wilayah yang disebut
Indonesia (Hindia Belanda) masih dijajah oleh bangsa
Belanda. Sebagian besar kerajaan-kerajaan di
kepulauan Nusantara sudah ditaklukkan oleh bangsa
Belanda. Pada waktu itu, sudah banyak orang
Tionghoa yang bermukim di wilayah kekuasaan Hindia
Belanda.
Pada tanggal 17 Maret 1900, bertempat di
sebuah rumah di Jalan Patekoan, Batavia, diadakan
192
pertemuan yang dihadiri oleh 20 orang tokoh-tokoh
Tionghoa peranakan dan totok di Batavia. Pertemuan
itu memutuskan berdirinya perkumpulan Tiong Hoa
Hwe Koan (THHK).
Setahun setelah perkumpulan THHK berdiri,
pada tanggal 17 Maret 1901, didirikan sekolah THHK.
Karena sekolah THHK berlokasi di Jalan Patekoan,
maka sekolah THHK Batavia disebut Patekoan Tiong
Hoa Hwe Koan dan disingkat menjadi Pa Hoa.
Mona Lohanda (sejarawan dan arsiparis)
dalam makalahnya yang disampaikan pada seminar
dalam rangka peringatan 100 tahun THHK menyatakan
bahwa, gerakan kebangsaan Tionghoa THHK juga
diikuti oleh komunitas lain yang mendirikan organisasi
bernapaskan kebangsaan seperti halnya Budi Utomo.
Dalam buku “Kilasan Petikan Sejarah Budi
Utomo” yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1975
juga dikatakan: “Orang Tionghoa menyelenggarakan
pendidikan dan hal itu telah meningkatkan kesadaran
193
dari orang Jawa, sehingga memacu berdirinya
perkumpulan Budi Utomo”.
Delapan tahun setelah perkumpulan THHK
berdiri, pada tahun 1908 lahirlah organisasi masyarakat
modern bangsa Indonesia yang pertama yakni Budi
Utomo.
Budi Utomo Pelopor Kebangkitan Nasional.
Inspirator pembentukan organisasi modern
pertama bangsa Indonesia adalah Dr. Wahidin
Soedirohusodo (1857-1917). Pada tahun 1907, ia
berkunjung ke STOVIA (sekarang menjadi Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia) di Jalan Salemba. Di
sana ia mendapat sambutan yang sangat bersemangat
dari para mahasiswa. Maka ia mengambil keputusan
untuk segera membentuk suatu organisasi modern guna
memajukan kepentingan priayi-priayi Jawa.
Pada bulan Mei 1908, Wahidin
menyelenggarakan pertemuan dengan mahasiswa di
STOVIA. Pertemuan itu dihadiri oleh para perwakilan
mahasiswa dari STOVIA, OSVIA, sekolah-sekolah
194
guru, serta sekolah-sekolah pertanian dan kedokteran
hewan. Mereka berhasil mendirikan Budi Utomo.
Mereka komit untuk mendirikan cabang-cabang Budi
Utomo di kampus mereka masing-masing. Hanya
dalam waktu dua bulan Budi Utomo sudah mempunyai
anggota 650 orang.
Pada perkembangan selanjutnya, mereka yang
bukan mahasiswa menggabungkan diri, sehingga
sebagai akibatnya, pengaruh mahasiswa mulai
berkurang dan organisasi tersebut timbul menjadi
partai priayi Jawa. Sebagai partai priayi Jawa, Budi
Utomo secara resmi menetapkan bahwa bidang
perhatiannya meliputi usaha memajukan kebudayaan
dan pendidikan bagi penduduk Jawa dan Madura.
Budi Utomo didirikan sebagai partai prayi
Jawa, karena pada waktu itu konsep tentang identitas
sebagai bangsa Indonesia belum mempunyai
pendukung yang berarti. Pada waktu itu, rasa
nasionalisme bangsa Indonesia baru mulai tumbuh dan
bersemi.
195
Sebagai partai priayi Jawa, jaringan sosial
Budi Utomo ternyata terbatas hanya pada subkultur
regional (Jawa) dan subkultur priayi, sehingga Budi
Utomo mengalami keterbatasan dalam mobilisasi
anggota. Golongan-golongan tanpa identitas subkultur
tersebut dengan sendirinya ada di luar jangkauan.
Reaksi dari golongan yang tidak terjangkau
oleh kehadiran Budi Utomo, kemudian mewujudkan
cita-citanya dengan membentuk organisasi sejenis di
golongan masing-masing, baik berdasarkan identitas
subkultur etnis maupun subkultur kelas atau golongan
sosial. Beberapa organisasi baru ini meliputi: Tri Koro
Dharmo yang pada tahun 1918 menjadi Jong Java
(Pemuda Jawa), Jong Sumatranen Bond (Perserikatan
Pemuda Sumatra), Jong Ambon (Pemuda Ambon), dan
Studerenden Vereeniging Minahasa (Perserikatan
Mahasiswa Minahasa). Organisasi lain yang semacam
itu terdiri atas Sarekat Ambon, Pasundan (Organisasi
orang-orang Sunda), Timorsch Verbond (Perserikatan
orang-orang Timor), Kaum Betawi, Perkumpulan
Politik Katolik Jawa dan masih banyak kelompok
196
lainnya. Hal itu mencerminkan adanya kegairahan baru
untuk berorganisasi, namun juga mencerminkan
kuatnya identitas-identitas kesukuan.
Antara tahun 1908 sampai 1920-an, konsep
organisasi modern di Hindia Belanda masih pada taraf
kesukubangsaan dan belum sampai pada konsep
kebangsaan. Konsep kebangsaan Indonesia masih baru
sampai pada fase perkembangan yang dilahirkan oleh
sebagian kecil intelektual pribumi yang sadar politik.
Pada tahun 1908, mereka mendirikan Indiesche
Vereeniging (Perhimpinan Hindia Belanda) sebagai
paguyuban budaya, yang kemudian pada
perkembangan selanjutnya, berkembang menjadi
organisasi yang lebih berorientasi politik.
Dari Indiesche Vereeniging menjadi Perhimpunan
Indonesia
Kedatangan tiga serangkai aktivis pergerakan
dari negeri Belanda, Douwes Dekker, Suwardi
Suryadiningrat, dan Tjipto Mangunkusumo sebagai
tahanan politik pada tahun 1913, mendatangkan
197
inspirasi bagi beberapa aktivis Indiesche Vereeniging,
yang membuat haluan perhimpunan ini perlahan
bergeser dari orientasi kultural ke politik. Pada 1916,
perhimpunan ini mulai menerbitkan majalah Hindia
Poetra, sebagai media untuk memperdebatkan isu-isu
politik di Hindia Belanda.
Dengan kedatangan aktivis berlatar
pergerakan dari negeri Belanda, para aktivis
perhimpunan semakin kritis melihat adanya
kesenjangan antara kebebasan di negeri penjajah
dengan represi yang terjadi di negeri jajahan, antara
superioritas negara kolonial dan inferioritas rakyat
terjajah. Mereka juga bisa menyaksikan dengan jernih
bahwa, sebab dari ketidakberdayaan gerakan-gerakan
nasional di Hindia Belanda terutama karena tidak
adanya persatuan.
Untuk mempersatukan beragam unsur
pergerakan, mereka memandang perlu adanya konsep
kebangsaan baru yang bisa mengatasi pelbagai
perbedaan agama, etnis, dan ideologis. Konsep
kebangsaan baru ini memerlukan pedoman (pegangan)
198
baru yang bebas dari bias kolonial, sebagai kompas ke
arah mana idaman-idaman bersama diarahkan. Dalam
semangat inilah, mereka menyadari bahwa istilah
“Indies” (Hindia) sudah tidak tepat. Usaha menemukan
pedoman kebangsaan baru, mendapat inspirasi dari
penggunaan istilah “Indonesia”.
Terinsipirasi oleh semakin kerapnya
penggunaan istilah Indonesia, para aktivis mahasiswa
dan intelektual sadar politik di Belanda dan Tanah Air
terdorong untuk menggunakan istilah tersebut sebagai
suatu tujuan politik. Karena dia melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, maka
untuk mewujudkannya, tiap orang Indonesia akan
berusaha untuk menggapainya dengan segala
kemampuan dan sekuat tenaga.
Pemaknaan baru istilah itu menegaskan
adanya pergeseran dari makna aslinya, yang
merefleksikan suatu perjuangan demi konstruksi
pribadi. Bagi para mahasiswa dan intelektual sadar
politik, hal itu merepresentasikan keberadaan basis
199
bagi pembentukan suatu identitas kolektif dan
permulaan dari proses penciptaan suatu bangsa.
Untuk menegaskan adanya pergeseran dalam
kesadaran itu Indiesche Vereeniging mengubah
namanya menjadi Indonesische Vereeniging.
Kemudian pada tahun 1924 Indonesische Vereeniging
sekali lagi diubah namanya dengan menggunakan
ungkapan bahasa Melayu “Perhimpunan Indonesia
(PI)”.
Sumpah Pemuda Membentuk “Persatuan Nasional”
Konsep ideologi Perhimpunan Indonesia (PI)
adalah mengutamakan pencapaian kemerdekaan politik
terlebih dahulu. Mayoritas anggota PI menyadari sifat
multikultural dari Indonesia, maka hanya dengan
Indonesia bersatu yang dapat meruntuhkan kekuasaan
penjajah. Prinsip-prinsip PI yang melandasi perjuangan
kemerdekaan Indonesia merupakan awal dari
pengonstruksian sebuah “persatuan nasional’.
Untuk mengimplementasikan ideal-ideal PI di
masyarakat Indonesia, para anggotanya menyadari
200
pentingnya membangun sebuah partai persatuan
nasional yang radikal dari semua aliran politik yang
ada di Hindia Belanda. Karena badan semacam ini
belum lagi ada, tugas dari para anggota PI adalah untuk
mensosialisasikan ide-ide PI di kalangan organisasi-
organisasi pemuda dan organisasi-organisasi politik,
agar menyediakan kader-kadernya bagi kepemimpinan
gerakan-gerakan nasionalis yang baru. Langkah
selanjutnya untuk membentuk “persatuan nasional”
ialah pendirian Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia
(PPPI) pada tahun 1926.
Komunikasi antara para aktivis PI dengan
aktivis mahasiswa di Tanah Air juga menjadi katalis
bagi pembentukan pelbagai study club di Indonesia.
Study Club pertama yang didirikan ialah Indonesische
Studie Club (ISC). Study Club ini didirikan di Surabaya
pada Juli 1924. Pendiri dan penggerak utamanya ialah
Sutomo.
Pada saat bersamaan usaha untuk membentuk
“persatuan nasional” juga dilakukan oleh ISC.
Kampanye ISC bergema di Bandung ketika beragam
201
studi club dan organisasi pemuda pelajar serta
organisasi sosial-politik (Budi Utomo, Syarikat Islam,
Muhammadiah, Pasundan) membentuk “Komite
Persatuan Indonesia” pada tahun 1926.
Munculnya “Komite Persatuan Indonesia”
memberi inspirasi bagi para aktivis dari pelbagai
perhimpunan pemuda pelajar untuk mengadakan
Kongres Pemuda Indonesia pertama (30 April – 2 Mei
1926) di Jakarta.
Sebuah langkah besar dalam pembentukan
“persatuan nasional” ialah berdirinya dua himpunan
politik. Yang pertama ialah Perserikatan Nasional
Indonesia (PNI) pada bulan Juli 1927, dan yang kedua
ialah berdirinya Permufakatan Perhimpunan-
Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI)
pada bulan Desember 1927.
Munculnya PNI dan PPPKI merangsang para
aktivis organisasi-organisasi pemuda pelajar untuk
mengadakan Kongres Pemuda Indonesia kedua.
Kongres Pemuda yang kedua diadakan di Batavia pada
202
tanggal 28 Oktober 1928 di bawah pimpinan PPPI. Di
dalam Sumpah Pemudanya, Kongres menyetujui tiga
pengakuan: satu tanah air, Indonesia; satu bangsa,
Indonesia; dan satu bahasa, bahasa persatuan, Bahasa
Indonesia.
Teks asli Sumpah Pemuda adalah sebagai berikut:
“Kami Poetera dan Poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah yang satoe, tanah
Indonesia. Kami Poetera – Poeteri Indonesia mengakoe
berbangsa satoe, Bangsa Indonesia. Kami Poetera –
Poeteri Indonesia mendjoenjoeng bahasa persatuan,
Bahasa Indonesia”.
Acara Sumpah Pemuda yang dianggap
sebagai tanda pengesahan kebangsaan Indonesia
dihadiri oleh wakil berbagai organisasi kesukuan di
Indonesia kecuali dari Papua. Walaupun organisasi-
organisasi Tionghoa tidak mengirimkan wakilnya
tetapi ada beberapa pemuda Tionghoa yang hadir atas
nama pribadi. Mereka adalah Kwee Thiam Hong, Ong
203
Khai Siang, Jong Lauw Tjoan Hok, Tjio Jin Kwee dan
Muhhammad Chai.
Demikianlah, melalui Sumpah Pemuda, kaum
muda dengan kesadaran baru menerobos solidaritas
etno-religius, dan mulai merumuskan konsep baru
ideologi politik perjuangan. Perjuangan politik untuk
menjelmakan suatu “nation state” yang dapat
menyatukan pelbagai keragaman kultural dan religius
ke dalam ‘persatuan nasional” kebangsaan Indonesia.
Setelah Sumpah Pemuda diikrarkan,
organisasi pergerakan dari pelbagai latar etnis-
keagamaan semakin terdorong untuk mengintegrasikan
diri ke dalam keindonesiaan dengan membubuhkan
kata “Indonesia” pada namanya. Sarekat Islam menjadi
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1929.
Budi Utomo menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra)
pada tahun 1935. Komunitas Katolik mendirikan
Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI) pada tahun
1938.
204
Indonesia Diduduki Tentara Jepang
Pada tanggal 10 Januari 1942 penyerbuan
Jepang ke Indonesia dimulai. Pada tanggal 8 Maret
1942, tentara Belanda di Jawa menyerah dan Gubernur
Jenderal Van Starkenborg ditawan oleh tentara Jepang.
Berakhirlah kekuasaan Belanda di Indonesia.
Masa pendudukan Jepang selama tiga
setengah tahun merupakan salah satu periode yang
paling menentukan dalam sejarah Indonesia. Masa
pendudukan Jepang, merupakan momen penempaan
bagi penguatan nasionalisme Indonesia. Tidak lama
sesudah Jepang menduduki Indonesia, dengan segera
Jepang membebaskan para tahanan politik yang
ditahan oleh pemerintah Hindia Belanda. Penguasa
Jepang membolehkan bendera merah putih dikibarkan.
Lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dilarang oleh
Belanda boleh dinyanyikan. Status bahasa Indonesia
dinaikkan untuk menggantikan bahasa Belanda dalam
semua fungsi. Untuk mengisi posisi-posisi
administratif dan teknisi level menengah dan atas yang
ditinggalkan oleh orang-orang Belanda, penguasa
205
Jepang memberikan peluang pada para pemuda
Indonesia mengisi lowongan itu.
Penjungkirbalikan tantanan yang mengejutkan
ini merupakan awal dari perubahan besar dalam sejarah
kemerdekan Indonesia. Peristiwa-peristiwa pada tahun
1945 merupakan konsekuensi logis dan juga tidak
terelakan dari peristiwa-peristiwa pada tahun-tahun
sebelumnya. Baik secara politik maupun secara
spiritual, terdapat kesinambungan katimbang
keterputusan dalam peristiwa-peristiwa pada tahun
1945.
Masa pendudukan Jepang selama tiga
setengah tahun merupakan salah satu periode yang
paling menentukan dalam sejarah Indonesia. Sebelum
zaman pendudukan Jepang, tidak ada satu pun
tantangan yang serius terhadap kekuasaan Belanda di
Indoneisa. Pada waktu Jepang menyerah, telah
berlangsung begitu banyak perubahan luar biasa yang
memungkinkan terjadinya Revolusi Indonesia. Jepang
telah memberikan sumbangan besar pada
perkembangan-perkembangan tersebut.
206
Pada tanggal 7 September 1944, Perdana
Menteri Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa
Indonesia, akan tetapi dia tidak menentukan tanggal
kemerdekaan itu. Kemudian, Laksamana Madya
Maeda Takashi menggunakan dana angkatan laut
untuk membiayai perjalanan pidato keliling Sukarno
dan Hatta pada bulan Oktober 1944. Dia mendirikan
Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta untuk melatih
para pemimpin pemuda bagi sebuah negara merdeka.
Maeda menjadi orang kepercayaan banyak orang
Indonesia terkemuka dari berbagai tingkat usia, karena
dia memberi andil pada proses yang menjadikan para
pemimpin dari generasi muda dan tua saling mengenal
dan memahami satu sama lain.
Lahirnya Pancasila
Menyadari bahwa mereka tengah terancam
kehilangan kekuasaan, Jepang lalu memutuskan untuk
menghapuskan kekangan-kekangan yang masih ada
terhadap kekuatan rakyat Indonesia.
207
Pada 1 Maret 1945, Panglima Tertinggi
Tentara ke – 16 Jepang untuk Jawa dan Sumatra,
Letnan Jendral Kumakichi Harada dalam rangka
memenuhi janji Perdana Menteri Jenderal Kumiaki
Koiso tentang kemerdekaan Indonesia, mengumumkan
pembentukan Dokuritsu Zunbi Tyoosa Kai atau Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Susunan anggota BPUPKI ini
diumumkan tanggal 29 April 1945 di bawah pimpinan
Dr. K. R. T. Radjiman Wedioningrat sebagai ketua dan
R. P. Suroso sebagai ketua muda. Anggotanya
berjumlah enam puluh orang, terdiri dari pemimpin-
pemimpin berbagai organisasi politik dan aliran yang
penting. Di antaranya adalah Sukarno, Hatta, Ki Hajar
Dewantara, Haji Agus Salim, K. H. Wahid Hasyim,
Mohammad Yamin, dan lain-lain. Anggota BPUPKI
yang mewakili etnis Tionghoa adalah Lim Koen Hian,
Oey Tjong Hauw, Oey Tiang Tjoe, dan Tan Eng Hoa.
Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno di muka
sidang BPUPKI, menyampaikan pidatonya yang
terkenal yaitu pidato lahirnya Pancasila. Pidato ini
208
berisi usulnya mengenai dasar negara yang akan
menjadi falsafah resmi negara Republik Indonesia.
Soekarno terlebih dahulu menekankan
pentingnya mencari persatuan philosophische
grondslag, mencari satu Weltanshauung bagi Republik
Indonesia. Dasar pertama yang diajukan sebagai
falsafah dan pandangan hidup bersama yang dapat
mempersatukan semua unsur perseorangan dan
golongan adalah dasar kebangsaan. Ia mengatakan:
“Kita hendak mendirikan suatu negara semua untuk
semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu
golongan... dasar pertama yang baik dijadikan dasar
buat Negara Indonesia, ialah dasar Kebangsaan; dasar
kedua adalah Internasionalisme atau Perikemanusiaan;
dasar ketiga adalah Mufakat atau Demokrasi; dasar
keempat Kesejahteraan sosial; dasar kelima adalah
Ketuhanan yang berkebudayaan”.
Kelima “dasar” itu oleh Soekarno dinamakan
Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas
kelima “dasar” itulah kita mendirikan Negara
Indonesia.
209
Pancasila sebagai Dasar Negara
Perumusan dan susunan Pancasila yang asli,
diajukan oleh Soekarno kepada sidang BPUPKI
sebagai usul untuk dijadikan dasar falsafah negara.
Setelah Negara Republik Indonesia diproklamirkan,
pada esok harinya tanggal 18 Agustus 1945 disusunlah
oleh pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia suatu
Undang-Undang Dasar dengan Pembukaannya. UUD
inilah yang terkenal sebagai UUD 1945. Dalam
pembukaan UUD itu jelaslah tercantum Pancasila,
tetapi dengan perumusan dan susunan yang agak
berbeda dengan pidato Soekarno di BPUPKI. Urut-
urutan dan rumusan Pancasila pada pembukaan UUD
45:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
210
Kalau kita tinjau sila-sila Pancasila satu demi
satu, kita akan mendapat kesimpulan bahwa dasar,
tujuan dan cita-cita berbagai golongan yang ada di
Indonesia terhimpun di dalamnya. Tiap golongan
diberi tempat yang layak di alam Indonesia yang
merdeka ini. Tidak ada satu golonganpun yang
ditinggalkan. Pancasila menjadi pelindung segenap
golongan bangsa Indonesia. Dengan demikian negara
Republik Indonesia menjadi milik semua golongan dan
lapisan masyarakat, sesuai dengan konsep “Negara
Kebangsaan” (Nation State).
Indonesia Adalah Negara Kebangsaan
Sejak waktu mempersiapkan kemerdekaan
negara Republik Indonesia, “Founding Fathers” kita
sudah mencanangkan konsep “Nationale Staat”
(Nation State, Negara Kebangsaan).
Pada mulanya memang pernah terjadi upaya
pembentukan komunitas imajiner (bayangan)
berdasarkan konsep “ethno-nationalism” (Budi Utomo)
atau “religious-nationalism” (Sarekat Islam), tetapi
211
semua upaya pembentukan konsep kebangsaan
Indonesia berdasarkan etnis atau agama kurang
berhasil memersatukan seluruh masyarakat Indonesia
yang sangat majemuk. Sebab kunci pokok untuk
memersatukan seluruh rakyat Indonesia, bukanlah
kebersamaan budaya, agama, atau etnisitas, melainkan
perlu adanya satu “Negara Persatuan” yang dapat
menampung cita-cita politik bersama, mengatasi segala
paham golongan dan perseorangan dari masyarakat
Indonesia yang multikultural dan multireligius. Maka,
konsep yang paling cocok dan tepat untuk negara
Republik Indonesia memang konsep Negara
Kebangsaan.
212
BAB IX
INDONESIA MENJADI
NEGARA SUKU BANGSA
PRIBUMI?
Pada tanggal 7 Agustus 1945, di Jakarta,
pemerintah pendudukan Jepang mengumumkan
terbentuknya Dokuritsu Zunbi Inkai atau Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
menggantikan BPUPKI. Soekarno diangkat sebagai
ketua dan Hatta sebagai wakil ketua. Sebagai wakil
dari etnis Tionghoa diangkat Yap Tjwan Bing.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi, bertempat
di halaman rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur 56,
Jakarta, Soekarno membacakan pernyataan proklamasi
kemerdekaan Indonesia di hadapan sekelompok orang
213
yang relatif sedikit jumlahnya. Teks Proklamasi
tersebut sangat sederhana dan berbunyi sebagai berikut:
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan, dll,
diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam
tempo
yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17 – 8 – 1945
Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno/Hatta
Bendera merah – putih dikibarkan dan
berkumandanglah lagu “Indonesia Raya”.
Republik Indonesia telah lahir dan Indonesia
sudah merdeka. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang bersidang di
Jakarta segera membentuk suatu pemerintah Republik
214
Indonesia, yang dipimpin oleh Soekarno sebagai
presiden dan Hatta sebagai wakil presiden.
Pemerintah yang baru dibentuk segera
membentuk sebuah komisi yang terdiri dari tujuh orang
yaitu: Soekarno, Hatta, Prof. Soepomo, Soeharjo, Otto
Iskandar Dinata, Mr. Moh. Yamin, dan Mr.
Wongsonegoro, untuk mengadakan sejumlah
perubahan akhir pada naskah Undang-Undang Dasar
yang sudah dirancang sebelumnya. Naskah UUD yang
diserahkan oleh PPKI kepada pemerintah, disetujui dan
disahkan oleh presiden Soekarno pada tanggal 10
Oktober 1945.
Pada waktu UUD disetujui oleh PPKI, UUD
tersebut belum ada “Penjelasannya”. Baru sebulan
kemudian, Prof. Soepomo merampungkan “Penjelasan”
UUD tanpa pengesahan dari PPKI. UUD tersebut baru
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
No. 7 tahun 1946 pada tanggal 15 Februari 1946.
215
Undang-Undang Dasar RI 1945 (UUD 45)
mengatur tentang warga negara RI pada pasal 26. Pada
pasal itu, dinyatakan:
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa
lain yang disahkan dengan Undang-Undang
sebagai warga negara.
(2) Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan
ditetapkan dengan Undang-Undang.
Pada “Penjelasan” pasal itu, tidak dijelaskan arti
“bangsa Indonesia asli”, hanya ada penjelasan tentang
“Orang-orang bangsa lain”.
Penjelasan pasal 26 UUD 45 menyatakan:
“Orang-orang bangsa lain, misalnya orang
peranakan Belanda, peranakan Tionghoa dan
peranakan Arab yang bertempat kedudukan di
Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya
dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia
dapat menjadi warga negara.”
216
Sulit Menjelaskan Siapa “Bangsa Indonesia Asli”
Untuk menjelaskan siapa “bangsa Indonesia
asli” (pribumi) memang tidak mudah. Siapa saja yang
ingin menentukan siapa “bangsa Indonesia asli”
(pribumi) akan menemui banyak kendala dan akan
kesulitan membuat ketentuan yang akurat.
Ariel Heryanto dalam artikel yang berjudul
“Asal-Usul SBKRI” yang dimuat dalam buku “Jalan
Panjang Menjadi WNI” menyatakan, “Menurut sejarah,
penghuni paling awal di kawasan Nusantara ini adalah
mereka yang berambut keriting dan berbadan tegap di
bagian timur wilayah yang sekarang disebut Indonesia.
Semestinya kalau diucapkan dalam bahasa Orde Baru,
mereka itulah “pribumi”. Baru sekitar lima ribu tahun
lalu bagian sebelah tengah dan barat kepulauan
Nusantara dihuni oleh gelombang migrasi penduduk
dari wilayah selatan dan timur daratan Asia yang
dalam bahasa Orde Baru disebut “Negara Cina”. Justru
anak cucu para pendatang penduduk berambut lurus ini
yang pada abad ke-20 merasa paling “pribumi”. Mula-
mula diajarkan berpikir begitu oleh bangsa Eropa.
217
Setelah kolonialisme, ke-pribumi-an mereka dianggap
kodrat alam dan biologis. Di wilayah barat dan tengah
Tanah Air, masalah rasialis menggebu-gebu di antara
penduduk yang nenek moyangnya punya asal-usul
serumpun”.
Banyak orang yang berdalih bahwa orang-
orang yang datang dari Tiongkok pada masa prasejarah
dianggap sebagai orang Indonesia asli dan orang-orang
yang datang dari Tiongkok pada zaman sesudah abad
Masehi (zaman Dinasti Han, Dinasti Tang, dan
seterusnya) dianggap sebagai orang-orang keturunan
Tionghoa. Dalil ini masih juga akan berhadapan
dengan problema lain, yaitu tentang persoalan oplosing
(peleburan) yang diatur pada pasal 163 IS ayat 3.
Artikel 163 IS ayat 3 memberi kesempatan bagi orang-
orang yang semula termasuk golongan rakyat yang
bukan pribumi menjadi pribumi dengan cara
meleburkan diri ke dalam komunitas pribumi.
Prof. Dr. Soepomo, S.H. menyatakan,
“Apabila seorang Eropa atau seorang Timur Asing
memeluk agama Islam, hidup dalam masyarakat
218
Indonesia, dan meniru kebiasaan-kebiasaan hidup
sebagai orang Indonesia, pendek kata sama sekali
hidup sebagai orang Indonesia di dalam masyarakat
Indonesia dan merasa dirinya demikian juga, maka
peleburan sudah harus dianggap telah terjadi”.
Dengan berlakunya Artikel 163 IS ayat 3,
maka tidak sedikit orang-orang yang datang dari
Tiongkok pada zaman sesudah abad Masehi, juga
dianggap sebagai orang Indonesia asli (pribumi).
Dalam artikel tulisan Prof. Dr. James
Danandjaja (guru besar ilmu Antropologi di
Universitas Indonesia) yang berjudul “Orang Indonesia
Masih Dalam Taraf Kesukubangsaan Belum
Kebangsaan”, ia memberikan penjelasan singkat
mengenai istilah bangsa, pribumi, dan asli.
Prof. Dr. James Danandjaja menjelaskan sebagai
berikut:
- Bangsa adalah kelompok orang yang dapat
dibedakan dari kelompok lain, karena mempunyai
kewarganegaraan yang berbeda.
219
- Pribumi adalah padanan dari istilah bahasa Inggris
“native” yang menurut Webster’s Third New
International Dictionary berarti orang atau
kelompok orang yang dilahirkan di suatu tempat.
Sinonim kata native adalah indigenous atau orang
yang dilahirkan di suatu tempat.
- Asli adalah istilah yang paling kabur
pengertiannya, karena di dunia ini, termasuk
Indonesia tidak ada penduduk yang asli pada
dewasa ini. Jika kini dapat ditemukan keturunan
dari Homo Erectus yang oleh Eugene Dubois
disebut Pithecantropus Erectus, maka ia adalah
penduduk asli Pulau Jawa. Sedangkan orang Jawa
yang kini disebut penduduk asli Pulau Jawa adalah
penduduk dari luar (Tiongkok atau India Selatan).
- Jadi bangsa adalah konsep ketatanegaraan,
pribumi adalah konsep tempat kelahiran,
sedangkan asli adalah konsep yang diciptakan dari
politik praktis.
220
WNI Etnis Tionghoa Digolongkan Sebagai
Nonpribumi
Pada tahun 1883 pemerintah Hindia Belanda
membuat peraturan pasal 163 Indiesche Staatsregeling
(IS) yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi
tiga golongan, yaitu golongan Eropa, golongan Timur
Asing, dan golongan Bumiputera (Inlander).
Pembagian golongan penduduk di Indonesia
warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda masih
terus dianut dan dipakai oleh pemerintah Republik
Indonesia yang sudah merdeka dan berdaulat. Melalui
pasal 26 UUD 45 dan selanjutnya juga diikuti oleh UU
Kewarganegaraan No. 3 tahun 1946, pemerintah
Republik Indonesia membagi bangsa Indonesia
menjadi dua golongan yakni golongan Indonesia asli
(pribumi) dan golongan Indonesia keturunan asing
(nonpribumi). WNI etnis Tionghoa digolongkan
sebagai golongan nonpribumi.
221
Di bawah ini disajikan cuplikan dari tulisan Prof.
Leo Suryadinata, dalam artikelnya yang berjudul
Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnis Tionghoa:
“Konsep bangsa untuk pertama kalinya
muncul di dunia Barat pada akhir abad ke-18, akan
tetapi di Asia Tenggara konsep ini merupakan
fenomena abad ke-20. Bangsa Indonesia baru
muncul melalui tumbuhnya gerakan nasionalis
Indonesia pada abad lalu. Gerakan tersebut
bertujuan untuk menghapus kekuasaan penjajah
Belanda dan untuk mendirikan negara bangsa
Indonesia yang modern. Meskipun demikian,
mengingat bahwa Nasionalisme Tionghoa muncul
sebelum Nasionalisme Indonesia, selama zaman
penjajahan orang-orang Tionghoa di Indonesia
cenderung tidak dilibatkan dalam gerakan
nasionalis penduduk asli Indonesia. Para
nasionalis penduduk asli Indonesia cenderung
memandang etnis Tionghoa sebagai bangsa lain.
Sebagian besar etnis Tionghoa di Indonesia
sependapat dengan itu. Oleh karena itu, sebelum
222
kemerdekaan Indonesia, konsep bangsa Indonesia
cenderung mengecualikan orang-orang Tionghoa”.
“Belanda membagi tipologi masyarakat di
kawasan jajahan sebagai berikut: ras bangsa Eropa
(pada umumnya orang Belanda), bangsa Asia
Asing (pada umumnya orang Tionghoa), dan
penduduk pribumi (orang Indonesia asli). Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan apabila
penduduk Indonesia memiliki kesadaran rasialis,
dan menganut konsep kebangsaan Indonesia
berdasarkan pada ras”.
“Semboyan Indonesia, bahkan selama
masa Soeharto, tetap Bhinneka Tunggal Ika.
Tetapi, semboyan ini sebetulnya lebih mendekati
amalgamasi dibanding inkorporasi, tetapi
semboyan tersebut tidak diterapkan terhadap etnis
Tionghoa di Indonesia. Hanya minoritas penduduk
asli yang berhak menikmati hak-hak Bhinneka
Tunggal Ika”.
223
“Jelaslah bahwa konsep penduduk asli,
yang untuk pertama kalinya diperkenalkan dalam
masa penjajahan, pada masa kini masih berurat
berakar. Penduduk asli berarti mereka yang telah
menduduki tanah sebelum kedatangan penjajah
bangsa Barat. Kelompok-kelompok penduduk asli
tersebut menganggap diri mereka sebagai
bumiputera dan oleh karenanya mereka menikmati
hak-hak yang lebih ketimbang pendatang baru,
yaitu kelompok-kelompok imigran. Semua suku
Indonesia dianggap kelompok penduduk sah vis-a-
vis etnis Tionghoa yang merupakan kelompok
imigran. Pemikiran yang demikian telah diterima
sebagai kebenaran oleh kelompok yang dinamakan
“penduduk asli”.
UUD 45 Bertentang Dengan Sila “Persatuan
Indonesia”
Pasal 26 UUD 45 menetapkan bahwa yang
menjadi warga negara ialah orang Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga negara.
224
Kata “asli” pada UUD 45 diartikan murni,
sejati, dan bermakna penduduk kelahiran setempat,
pribumi. Dengan kata lain, baik kalimat maupun isi
pokok UUD 45 menekankan pandangan bahwa bangsa
Indonesia yang sesungguhnya ialah penduduk pribumi.
Selain penduduk pribumi, ada bangsa lain yang
memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena
disahkan sebagai bangsa Indonesia. Dengan demikian
artinya di Indonesia ada dua macam warga negara, ada
yang asli dan ada yang tidak asli, yakni bangsa lain
yang disahkan menjadi warga negara Indonesia. WNI
etnis Tionghoa dianggap bukan orang Indonesia asli.
Ketentuan yang segregatif ini kemudian
mempengaruhi semua undang-undang dan peraturan-
peraturan tentang warga negara selanjutnya menjadi
peraturan yang dikriminatif. Selanjutnya semua
peraturan pelaksana yang dibuat kemudian
menempatkan WNI etnis Tionghoa seolah-olah warga
negara kelas dua yang mempunyai status yang berbeda
dengan bangsa Indonesia yang dianggap “asli”.
225
Ketentuan pasal 26 UUD 45 yang diuraikan di
atas bertentangan dengan sila ketiga Pancasila yang
meletakkan dasar kebangsaan sebagai simpul
“Persatuan Indonesia”. Suatu konsep kebangsaan yang
mengekspresikan persatuan dalam keragaman dan
keragaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara
dinyatakan dalam ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”
(unity in diversity).
Lambang Negara Republik Indonesia berupa
burung garuda yang kakinya mencengkeram selendang
yang bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika,” yang artinya,
walaupun berbeda-beda, semua adalah satu juga.
Dalam pidato Soekarno dihadapan sidang
BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, ia mengusulkan
konsep Pancasila untuk dijadikan dasar negara RI yang
segera akan merdeka. Soekarno menyatakan, “kita
hendak mendirikan suatu negara ‘semua untuk
semua’ ..., karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik,
marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang
pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan
Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan
226
kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo,
Sulawesi, Bali dan lain-lain. Tetapi kebangsaan
Indonesia yang bersama-sama menjadi dasar satu
nationale staat”.
UUD 45 Seharusnya Selaras dengan Pancasila
Menurut rancangan Jepang, tugas BPUPKI
hanyalah melakukan usaha-usaha penyelidikan
kemerdekaan. Adapun tugas penyusunan dan
penetapan Undang-Undang Dasar menjadi kewajiban
PPKI. Namun pada masa persidangan kedua BPUPKI
berakhir (17 Juli 1945), di luar skenario Jepang,
BPUPKI telah berhasil menyusun dasar negara
(Pancasila), dan kemudian dasar negara (Pancasila)
diterima dan dicantumkan dalam Pembukaan UUD 45
sebagai norma dasar (grondnorm), yang menjiwai
perumusan (batang tubuh) UUD 45.
Pancasila adalah dasar negara. Dalam bahasa
asing dasar negara dinamakan Weltanschauung. Jadi
Pancasila adalah falsafah dasar pandangan hidup
negara Republik Indonesia. Dengan sendirinya
227
Pancasila harus menjadi pandangan hidup bangsa
Indonesia. Pandangan hidup ini bukan saja tujuan,
tetapi juga jalan untuk mencapai cita-cita orang atau
bangsa yang memilikinya.
UUD 45 didahului oleh suatu Pembukaan.
Dalam hukum tata negara Pembukaan itu dinamakan
Grondnorm (norma dasar). Dalam suatu negara, orang
membuat peraturan-peraturan, norma-norma, dan
kaidah-kaidah dengan berpedoman kepada norma dasar.
Karena Pancasila ada dalam Pembukaan UUD
45, maka Pancasila seharusnya juga menjadi norma
dasar (grondnorm) negara Republik Indonesia. Maka
sudah seharusnya semua peraturan yang terkandung
dalam batang tubuh UUD 45 selaras dengan norma
dasar (grondnorm) yang tercantum dalam Pembukaan
UUD 45, pasal-pasal pada UUD 45 harus sesuai
dengan Pancasila. Peraturan-peraturan dalam batang
tubuh UUD 45 tidak boleh menyimpang dari Pancasila,
apalagi bertentangan dengan Pancasila.
228
Mengacu pada Pancasila, Republik Indonesia
seharusnya adalah negara Kebangsaan (Nation State),
tetapi kenyataannya Republik Indonesia sudah menjadi
seperti Negara kesukubangsaan (Etnic State), negara
dengan konsep suku bangsa pribumi.
Dalam buku “Negara dan Etnis Tionghoa”,
Prof. Leo Suryadinata menyatakan, “Sebenarnya
konsep bangsa Indonesia juga bukan berdasarkan
“ethno nation”, karena Indonesia terdiri dari berbagai
suku bangsa. Namun dalam masalah Tionghoa, konsep
bangsa itu lebih dekat dengan “ethno nation”, karena
yang dititikberatkan adalah kepribumiannya. Dalam
arti ini, konsep bangsa Indonesia lebih berdasarkan
pada ras dan etnis. Orang Tionghoa harus terlebur ke
dalam tubuh pribumi Indonesia, yaitu menjadi pribumi
(salah satu suku pribumi) barulah orang itu menjadi
bangsa Indonesia yang lengkap. Seorang yang masih
memiliki unsur-unsur asing (baca: Tionghoa), biarpun
unsur-unsur itu sangat sedikit, masih dianggap sebagai
orang asing. Jadi, orang Tionghoa yang peranakan dan
sudah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) masih
229
belum menjadi bangsa Indonesia yang lengkap.
Konsep warga negara dibedakan dengan konsep
bangsa, demikian pula hak-hak mereka. Slogan
Bhineka Tunggal Ika hanya berlaku untuk Indonesia
pribumi, tetapi tidak pada orang Tionghoa”.
Walaupun ada pendapat yang menyatakan
Indonesia sudah menjadi seperti negara yang berdasar
suku bangsa pribumi, tetapi ada juga pendapat lain
yang menyatakan bahwa Indonesia masih tetap negara
kebangsaan (nation state). Mereka mengacu pada
Pancasila, Pembukaan UUD 45, dan pasal 27 UUD 45.
Pada pasal 27 UUD 45 dinyatakan:
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan
tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
230
Maka ada pendapat yang menyatakan bahwa,
Indonesia adalah negara kebangsaan (nation state),
sebab antara pribumi dan nonpribumi tidak dibeda-
bedakan. Pasal 27 UUD 45 menetapkan semua warga
negara Indonesia sama dan setara. Maka Indonesia
adalah negara kebangsaan (nation state).
Berdasarkan Pancasila (dasar negara Republik
Indonesia) dan berdasarkan Pembukaan UUD 45
(norma dasar bangsa Indonesia) memang sudah
seharusnya konsep nasion Indonesia adalah Negara
Kebangsaan (Das Sollen). Tetapi karena pada UUD 45
ada pasal 26, yang membagi bangsa Indonesia menjadi
bangsa Indonesia asli (pribumi) dan nonpribumi, maka
selanjutnya semua produk peraturan-peraturan yang
diskriminatif di Indonesia, dibuat dengan mengacu
pada perbedaan pribumi dengan nonpribumi. Maka
pada kenyataannya (Das Sein), sulit dibantah bahwa
negara Republik Indonesia sudah menjadi seperti
negara yang serupa dengan negara yang berdasarkan
konsep suku bangsa pribumi.
231