Indonesia yang dimanfaatkannya untuk
kepentingan dirinya sendiri.
Soeharto tidak berminat membawa Tionghoa-
Indonesia dalam bidang politik, pamong praja atau
kehidupan publik. Dia memperlakukan mereka
seperti selir (concubines), hanya untuk dinikmati
tetapi tidak diakui. Rencana ini tampaknya jalan
bagi Soeharto dan diterima oleh sebagian besar
orang Tionghoa-Indonesia. Mereka mungkin
berpikir bahwa mereka bisa berhasil dalam bisnis,
kalau bukan di bidang-bidang lain. Kerusuhan Mei
telah mengakhiri strategi ini.
Sebuah era baru telah dimulai. Reaksi segera dari
Tionghoa-Indonesia adalah memperjuangkan hak
mereka sebagai warga negara Indonesia.
Sementara akhir-akhir ini mereka masih merasa
putus asa dan bingung, beberapa dari mereka mulai
proaktif. Beberapa orang telah mendirikan partai-
partai yang berdasarkan etnis Tionghoa seperti
Partai Reformasi Tionghoa Indonesia dan Partai
Pembauran Indonesia. Ada juga yang ikut
bergabung dengan Partai Protestan dan Katolik.
Ada juga yang ikut Partai Demokrasi Indonesianya
Megawati. Ada juga yang mengambil bagian
dalam organisasi-organisasi sosial dan Organisasi
Non-Pemerintah (NGO). Ini sangat
menggembirakan karena mereka diberikan
kesempatan, mereka rela ambil bagian dalam
kehidupan Indonesia yang lebih luas. Mereka
bukan semata-mata makhluk ekonomi (economic
animals).
382
....
- Tedy Jusuf (Him Tek Ji) pernah bersekolah di
sekolah Tiong Hoa Hwe Koan (Pa Hoa) sampai lulus
SMP. Ia lulus SMA negeri tahun 1962, kemudian
masuk Akademi Militer Nasional Angkatan Darat dan
lulus pada tahun 1965. Ia ditempatkan pada satuan-
satuan tempur. Ia pensiun tahun 1999 sebagai Brigadir
Jenderal. Pada tahun 1998 setelah Soeharto lengser, ia
mendirikan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa
Indonesia dan menjabat sebagai ketua umumnya.
Tulisan di bawah ini adalah cuplikan dari
prasarannya yang disampaikan pada tanggal 27 April
2002 dalam Diskusi Akbar INTI:
Reposisi, Reorientasi dan Reformasi Etnis
Tionghoa dalam Era Baru Indonesia
............
Menurut pendapat saya, mungkin kita
sependapat bahwa kita sudah memilih
secara sadar sebagai Warga Negara
Indonesia. Kita semua, baik pejabat negara
maupun masyarakat pada umumnya perlu
383
mengubah paradigma melalui proses
reposisi, reorientasi, dan reformasi.
Pada kesempatan ini saya sampaikan sudut
pandang dari aspek etnis Tionghoa;
1. Reposisi
Posisi kita masih pada posisi
dikotomi kerangka paradigma lama, yakni
pri dan non pri, mayoritas dan orang
Indonesia. Sedangkan paradigma baru
adalah kita semua orang Indonesia, bangsa
Indonesia etnis/suku Tionghoa yang setara
dengan suku-suku lain bangsa Indonesia.
Pribadi-pribadi antar suku akan
terjadi asimilasi secara wajar sehingga
terbentuk generasi baru yang akan
menamakan diri sebagai orang Indonesia
sejati, karena ia lahir dari orang tua yang
berlainan suku.
Konsep asimilasi antar Pri – Non pri
gagal karena 2 hal:
384
- Dari pihak non pri tidak diterima
dengan ikhlas.
- Dari pihak pemerintah ada diskriminasi
dan tetap membeda-bedakan.
2. Reorientasi
Sebagian kecil orang Tionghoa,
terutama kaum tua dan mengecap
pendidikan di Sekolah Tionghoa
berorientasi dan lebih tertarik pada
perkembangan yang terjadi di Tiongkok/
Taiwan. Sedangkan kaum elit muda yang
mengecap pendidikan di luar negeri,
cenderung internasionalis global. Sebagian
besar orang Tionghoa kelas menengah ke
bawah bersikap masa bodoh, mereka butuh
aman, bisa mencari uang untuk
keluarganya, bisa menyekolahkan anak-
anaknya hingga selesai. Masalah
kenegaraan, kebangsaan tidak terlalu
dihiraukan.
Orientasi ini perlu diubah, mau tidak
mau, suka tidak suka, kita sebagai warga
385
negara Indonesia, orientasi kita harus
diarahkan ke Indonesia, pupuk rasa
kebangsaan kita sebagai orang Indonesia,
yang menjadi tumpuan hidup bagi anak
cucu kita yang mencari kehidupan di
Indonesia.
3. Reformasi
Reformasi yaitu berubah
bentuk/form, dari bentuk dengan berbagai
stigma negatif, menjadi bentuk stigma
yang wajar, kalau bisa menuju stigma
positif.
Stigma negatif yang perlu segera
diubah, bahwa orang Tionghoa mau
enaknya saja, tamak harta, angkuh, ekslusif
dan seterusnya, tidak mau, sulit menjadi
pegawai negeri, anggota TNI/Polri, dan
politisi di berbagai partai politik, diakui
ada kekhawatiran tidak diterima atau tidak
bisa berkembang karirnya, trauma, dan
lain-lain.
386
Saya cenderung mengatakan bahwa
kita acuh dan cenderung menganggap itu
bukan urusan kita, padahal ini merupakan
terobosan untuk mengubah stigma yang
negatif tersebut.
Demikian pendapat yang sederhana
ini, saya sadar bahwa perubahan baik
reposisi, reorientasi, maupun reformasi
memerlukan waktu dan pengorbanan,
memerlukan sambutan dari pihak non
Tionghoa dan pemerintah, kita tidak bisa
bertepuk sebelah tangan.
Mudah-mudahan bermanfaat untuk
direnungkan bila disetujui bisa mulai
dikerjakan dengan kesadaran. Saya sadar
pendapat saya ini tidak populer.
- Eddie Lembong (Ong Yoe San). Sekolah di
Manado sampai tamat SMA, masuk jurusan farmasi di
Institut Teknologgi Bandung (ITB), lulus tahun 1965.
Ia pernah menjadi Dosen ITB. Ia adalah pendiri
387
Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI) dan menjadi
Ketua Umumnya. Pada tahun 2006 ia mendirikan
Yayasan Nabil (Nation Building), wahana yang ia
pakai untuk mengembangkan konsep Penyerbukan
Silang Antarbudaya (Cross Culture Fertilization).
Tulisan di bawa ini adalah cuplikan dari makalah pada
Diskusi Akbar Perhimpunan INTI DKI Jakarta, tanggal
27 April 2002 dengan tema “Tugas dan Kewajiban
Etnis Tionghoa dalam Membangun Bangsa dan
Negara”.
.........
Jadi, dari serangkaian paparan
tersebut dapat dipastikan bahwa etnis
Tionghoa telah selama lebih dari 400-500
tahun turut serta dalam berbagai kegiatan
dalam masyarakat Indonesia, turut
menyumbang dalam perkembangan dan
pembentukan nasion Indonesia, maka
sepatutnyalah kita semua mengerti,
menyadari, dan meyakini bahwa kita
sepenuh-penuhnya adalah salah satu
komponen bangsa Indonesia yang berdiri
388
atas pengertian kebangsaan modern, di atas
nasionalisme modern yang bukan
etnonasionalisme.
Oleh karena itu, kalau ditanya
apa tugas dan kewajiban etnis Tionghoa
dalam membangun bangsa dan negara,
dengan sendirinya jawaban yang pasti
adalah persis sama dengan tugas dan
kewajiban semua komponen bangsa
Indonesia lainnya, tanpa kecuali dan tanpa
pembedaan.
..........
Oleh karena itu menurut
pendapat saya, selain mempunyai tugas dan
kewajiban yang sama seperti komponen
bangsa lainnya, kita perlu dan wajib secara
khusus mengabdikan diri pada penyelesaian
“Masalah Tionghoa” di Indonesia ini,
sebagai suatu warisan sejarah masa lalu,
yang tidak dipersalahkan kepada kelompok
etnis Tionghoa atau kepada komponen
bangsa lainnya.
389
Dengan kata lain, “Masalah
Tionghoa di Indonesia adalah salah satu
Masalah Nasional Indonesia”, warisan
sejarah masa lalu, yang perlu kita selesaikan
bersama dengan semangat empati, beritikad
baik dan berketetapan hati, demi
menyumbang terbentuknya satu Indonesia
Baru yang kokoh, adil, bersatu, demokratis,
sejahtera dan berbahagia.
- Dali Santun Naga (Jo Goan Li), kelahiran Tomimi
(Sulawesi Tengah), 22 Desember 1934. Lulus SMA
Tiong Hwe Koan (Pa Hoa) 1954. Gelar Sarjana Teknik
Elektro diperoleh dari ITB 1960, dilanjutkan dengan
pendidikan doktor dari IKIP Jakarta (lulus 1980). Ia
mengajar di IKIP jakarta sejak 1968, pada 11 Januari
1992 ia menyandang jabatan akademik guru besar IKIP
Jakarta. Ia menjadi salah seorang pendiri Universitas
Gunadarma. Sejak 1 Januari 2000 ia menjabat sebagai
rektor Universitas Tarumanegara sampai 2008. Sejak
2008 ia menjabat sebagai Pengawas Yayasan
390
Pendidikan dan Pengajaran Pahoa, yang didirikannya
bersama-sama dengan para alumni Pa Hoa. Ia gemar
membaca dan banyak menulis tentang bahasa,
komputer, matematika, fisika, pendidikan, sejarah dan
filsafat. Salah satu buku yang ditulisnya, berjudul
“Berhitung : Sejarah dan Pengembangannya” sempat
meraih penghargaan buku terbaik tahun1980 dari
Yayasan Buku Utama.
Tulisan di bawah ini adalah cuplikan dari artikel
yang pernah dimuat di Majalah Sinergi, No.6, Tahun I
(April 1999) yang berjudul “Sinergi Bangsa”.
............
Pada saat menjadi warga
negara Indonesia, di dalam wadah negara
Indonesia, mereka melihat orang Jawa,
orang Sunda, orang Madura, orang Aceh,
orang Batak, orang Bali, orang Minahasa
dan masih banyak lagi. Di dalam pikiran
mereka muncul pertanyaan bagaimana
sebenarnya wujud bangsa yang dinamakan
bangsa Indonesia itu? Bagaimana pula
391
caranya bagi warga negara Indonesia
turunan Tionghoa untuk terjun menjadi
bangsa Indonesia? Demikianlah bagi warga
negara Indonesia turunan Tionghoa pada
tahun 1950an itu, masalah wajah bangsa
Indonesia serta bagaimana menjadi bangsa
Indonesia ini menjadi hal yang rumit dan
kurang jelas.
Dengan latar seperti itu, maka
pada sekitar tahun 1956 dan 1957,
mahasiswa warga Indonesia turunan
Tionghoa mengangkat masalah itu ke dalam
diskusi yang berkepanjangan. Pada
akhirnya, diskusi di antara mereka
menghasilkan suatu konsep integrasi
bangsa. Menurut konsep itu, sebagai bagian
dari bangsa Indonesia maka, secara
kelompok, warga negara Indonesia turunan
Tionghoa perlu mengintegrasikan diri
mereka ke dalam wadah bangsa Indonesia.
Namun setelah konsep integrasi ini diterima
maka para mahasiswa itu dihadapkan lagi
kepada masalah baru. Mereka terus menerus
392
mencari tindakan apa yang dapat mereka
lakukan dalam usaha mereka
mengintegrasikan diri ini.
Pada waktu itu muncul
sekelompok mahasiswa warga negara
Indonesia turunan Tionghoa dengan
gagasan lain. Mereka menamakan konsep
mereka sebagai asimilasi atau kemudian
dikenal sebagai pembauran. Menurut
mereka, dalam usaha menjadi bangsa
Indonesia, warga turunan Tionghoa harus
menghilangkan identitas mereka sehingga
kelak tidak ditemukan lagi warga negara
yang dikenal sebagai warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa di bumi
Indonesia.
Konsep integrasi dan konsep
asimilasi terus berkembang dan mulai
dianut oleh kalangan yang lebih luas.
Namun dua konsep itu masih saja memiliki
kelemahan. Salah satu kelemahan konsep
integrasi adalah warga negara Indonesia
turunan Tionghoa berbeda dengan suku
393
bangsa lainnya di Indonesia karena mereka
tidak memiliki wilayah. Dan salah satu
kelemahan konsep asimilasi adalah wajah
warga negara Indonesia turunan Tionghoa
tidap dapat diubah sehingga tidak lagi dapat
dikenali sebagai turunan Tionghoa.
Kemudian dengan bangkitnya
Orde Baru pada tahun 1960an, konsep
asimilasi dianut oleh Orde Baru itu dengan
dua tindakan yang kontradiktif. Di satu
pihak, warga negara Indonesia turunan
Tionghoa dihilangkan identitasnya dengan
mengganti nama serta melarang semua
kegiatan tradisi Tionghoa di depan umum.
Namun dipihak lain, identitas kecinaannya
terus dicatat di dalam berbagai dokumen,
baik secara jelas maupun secara
tersembunyi.
Kini setelah lebih dari 30 tahun
konsep asimilasi itu diterapkan, warga
negara Indonesia turunan Tionghoa masih
saja dipandang sebagai kelompok yang
berbeda dari kelompok lainnya. Warga
394
negara Indonesia turunan Tionghoa tetap
saja dianggap sebagai kelompok
nonpribumi. Dan di dalam kategori
nonpribumi ini, mereka mendapat perlakuan
yang berbeda, baik dari pemerintah maupun
dari sebagian kelompok lainnya. Perlakuan
ini muncul dalam berbagai bentuk termasuk
dalam bentuk kerusuhan. Kerusuhan 13-14
Mei 1998, misalnya tertuju kepada warga
negara Indonesia turunan Tionghoa.
Kini muncul gagasan baru.
Gagasan baru ini tidak berbicara tentang
integrasi dan juga tidak berbicara tentang
asimilasi. Gagasan baru ini merupakan
alternatif ketiga yang berlandaskan
pengalaman masa lampau. Gagasan baru ini
melihat banyak perbedaan di antara suku
bangsa di Indonesia termasuk warga negara
Indonesia turunan Tionghoa. Bahkan
rasanya perbedaan di antara suku bangsa
Irian dan suku bangsa Jawa, misalnya, lebih
besar dari pada perbedaan antara warga
negara Indonesia turunan Tionghoa dengan
395
suku bangsa Jawa. Karena itu wujud bangsa
Indonesia perlu dibangun di atas berbagai
perbedaan seperti itu.
Gagasan baru ini berpendapat
bahwa pembangunan wujud bangsa
Indonesia dari berbagai suku bangsa yang
berbeda-beda dapat dilakukan melalui suatu
konsep yang dinamakan sinergi. Sinergi
dari berbagai suku bangsa termasuk
kelompok warga negara Indonesia turunan
Tionghoa inilah yang kelak membangun
suatu bangsa yang dinamakan bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia yang dibangun
melalui sinergi mengutamakan sinergi di
dalam pergaulan di antara suku bangsa dan
di antara daerah. Diharapkan bahwa bangsa
yang dibangun di atas pondasi sinergi ini
akan lebih kuat dan lebih mantap dalam
perjalanan sejarah berbangsa dan bernegara.
396
* Etnis Tionghoa Belum Disetarakan dengan
Pribumi
Tidak dapat diragukan bahwa Soeharto
telah memperkenalkan kebijakan asimilasi total
terhadap etnis Tionghoa sebagai sebuah praktek
politik yang tidak pernah dilakukan pada masa
sebelumnya.
Kebijakan asimilasi total baru diterapkan
selama masa pemerintah Soeharto yang otoriter
(1966-1998). Soeharto sendiri menyatakan secara
jelas bahwa warga negara Indonesia keturunan
Tionghoa harus segara berintegrasi dan
berasimilasi dengan masyarakat asli.
Dasar kebijakan asimilasi dapat ditelusuri
pada konsep-konsep bangsa Indonesia, yang
didasarkan pada model penduduk asli. Konsep
penduduk asli bukanlah konsep yang baru. Ini
adalah konsep pribumi yang menyatakan hak atas
tanah dan oleh karena itu pribumi memiliki hak
yang lebih besar dibanding dengan para imigran.
397
Semua suku (kelompok etnis) Indonesia
dinyatakan sebagai penduduk asli mengingat
bahwa tanah kelahiran mereka berada dalam
wilayah Republik Indonesia, sedangkan etnis
Tionghoa berasal dari Tiongkok, dan karenanya
mereka dari dulu dianggap orang asing. Apabila
mereka ingin menjadi orang Indonesia, jalan satu-
satunya yang dapat diterima adalah dengan
berasimilasi ke dalam penduduk asli Indonesia.
Jenis asimilasi ini lebih tepat disebut amalgamasi.
Dengan kata lain, orang-orang Tionghoa
diharapkan untuk melepaskan kebudayaan
Tionghoa secara total dan bertingkah laku sesuai
dengan ciri khas kebudayaan penduduk asli.
Orang-orang Tionghoa diharapkan untuk dapat
berasimilasi total dengan penduduk asli di
wilayah-wilayah tempat mereka tinggal.
Tidaklah mengherankan kalau dalam
gagasan nasionalisme Indonesia yang didasarkan
pada konsep penduduk pribumi, etnis Tionghoa
dianggap sebagai orang asing atau Vreemde
398
Oosterlingen dan tidak merupakan bagian dari
nasion (bangsa) Indonesia. Etnis Tionghoa
dianggap sebagai nonpribumi dan pendatang baru,
maka tidak bisa diterima sebagai suku bangsa
Indonesia sebelum mereka beramalgamasi. Maka
etnis Tionghoa harus beramalgamasi menjadi
pribumi kalau ingin diterima sebagai orang
Indonesia asli. Maka dapat dikatakan rezim
Soeharto telah memberlakukan kebijakan asimilasi
total. Namun tidak semua etnis Tionghoa telah
terlebur menjadi pribumi seperti dikehendaki
Pemerintah Indonesia. Masih banyak etnis
Tionghoa yang tetap ingin mempertahankan
identitas etnis mereka, walaupun dari sudut politik
kiblat mereka sudah tidak ke Tiongkok lagi.
Konsep bangsa Indonesia yang kaku, yaitu
konsep bangsa pribumi, selalu menjadi rintangan
besar untuk terintegrasinya orang Tionghoa ke
dalam wadah bangsa Indonesia. Harus diakui
sebenarnya konsep bangsa Indonesia pada
dasarnya juga bukan berasaskan pada “etno-
399
nation”, karena yang disebut Indonesia terdiri dari
macam-macam suku bangsa. Namun dalam
“masalah Tionghoa”, konsep bangsa itu lebih
dekat dengan “etno-nation” karena yang
dititikberatkan adalah kepribumiannya. Dalam arti
ini, konsep bangsa Indonesia lebih berdasarkan
pada ‘ras” atau “etnis”. Orang Tionghoa harus
terlebur menjadi pribumi, atau salah satu suku
pribumi, dan kalau itu sudah terjadi barulah
mereka menjadi “bangsa Indonesia asli” atau
menjadi pribumi.
Seseorang yang masih memiliki unsur-
unsur “asing” (Tionghoa) sekalipun unsur-unsur
itu sangat sedikit, masih dianggap sebagai orang
asing. Jadi, orang Tionghoa yang peranakan dan
sudah menjadi warga negara Indonesia (WNI)
masih belum menjadi bangsa Indonesia yang asli.
Konsep warga negara dibedakan dengan konsep
bangsa, demikian pula hak-hak mereka. Slogan
Bhinneka Tunggal Ika hanya berlaku untuk orang
400
Indonesia pribumi, tetapi tidak untuk etnis
Tionghoa.
Setelah Soeharto lengser, ada tendensi
pemerintah “reformasi” ingin merangkul golongan
Tionghoa. Tetapi, prasangka yang mendalam dan
stigma etnis Tionghoa yang buruk masih melihat
dan masih kelihatan gejala masyarakat pribumi
belum semua bersedia menerima peranakan
Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Dalam Orde Reformasi ini sudah sepatutnya
masyarakat pribumi Indonesia untuk mengadakan
“reformasi” terhadap konsep bangsa Indonesia,
yaitu dengan menerima peranakan Tionghoa
sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
* Etnis Tionghoa Diterima Menjadi Pribumi
Pada umumnya para tokoh politik nasional
di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan RI
berpatokan pada konsep ras pribumi, termasuk
peranakan Tionghoa yang mempunyai nenek
moyang perempuan pribumi juga belum dianggap
401
menjadi bangsa Indonesia “asli” jika belum
terlebur (oplosing) ke dalam komunitas pribumi.
Konsep ini terus dipertahankan dan dilestarikan.
Orang-orang Tionghoa peranakan
disatukan dengan Tionghoa totok, semuanya
dianggap bukan bagian bangsa Indonesia, karena
Soeharto mendefinisikan bangsa Indonesia
berdasarkan konsep suku bangsa “Indonesia asli”
atau konsep suku bangsa “pribumi”.
UUD 1945 menetapkan bahwa di negara
Indonesia ada orang Indonesia asli dan ada bangsa
lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warga negara Indonesia, yang disebut WNI
keturunan asing atau WNI nonpribumi. Maka,
orang-orang Tionghoa menjadi WNI keturunan
asing, WNI keturunan Tionghoa, atau WNI
nonpribumi (bukan bangsa Indonesia asli).
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), ia mengubah
Undang-Undang Kewarganegaraan RI. Undang-
402
Undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958
diganti dengan Undang-Undang Kewarganegaraan
Nomor 12 Tahun 2006.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
sudah tidak lagi menggunakan kata “keturunan
asing” dan pada penjelasan atas undang-undang
ini, kata “Indonesia asli” dijelaskan sebagai
berikut; “yang dimaksud dengan orang-orang
Indonesia asli adalah orang Indonesia yang
menjadi warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri”.
Dengan demikian anak-anak dari warga negara
Indonesia etnis Tionghoa yang lahir sesudah tahun
1942 yang pada waktu ayahnya menolak
kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok dan
memilih menjadi Warga Negara Indonesia pada
tahun 1959 belum berumur 18 tahun, sekarang
sudah menjadi orang Indonesia asli, sudah menjadi
“pribumi”.
403
* Suku Tionghoa Tetap Dapat Memelihara
Kebudayaannya
Setelah berlakunya Undang-Undang
Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, etnis
Tionghoa sudah disamakan dengan sesama bangsa
Indonesia dari suku-suku lainnya, maka sekarang
WNI etnis Tionghoa sudah dapat menyatakan diri
sebagai bangsa Indonesia suku Tionghoa.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan
demokrasi, setiap suku mempunyai hak untuk
hidup dan memelihara kebudayaannya sendiri.
Pengakuan terhadap kebudayaan yang berjenis-
jenis di dalam suatu negara telah merupakan suatu
cara hidup berbangsa yang modern. Inilah yang
dikenal sebagai multikulturalisme. Bangsa
Indonesia suku Tionghoa juga tetap mempunyai
hak untuk memelihara kebudayaannya dan
mengembangkan budaya komunitasnya sendiri.
Dengan berlakunya Undang-Undang
Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, konsep
404
multikultural makin populer. Konsep asimilasi
Orde Baru yang menekankan asimilasi total etnis
Tionghoa ke dalam kebudayaan suku bangsa
pribumi makin tidak populer. Konsep asimilasi
total Orde Baru sudah tinggal jadi sejarah.
405
BAB XV
ISTILAH ASIMILASI
DIGANTI JADI
PEMBAURAN
Asimilasi perantau Tionghoa dengan penduduk
pribumi Jawa sudah terjadi sejak abad kesembilan.
Pada awal kedatangan perantau Tionghoa di Jawa,
pada zaman dinasti Tang, mereka yang datang ke Jawa
semuanya bujangan. Setelah mereka “membaur” dan
menjalin hubungan yang akrab dan harmonis dengan
penduduk setempat, mereka menikah dengan
perempuan Jawa. Maka terjadilah kawin campur antara
perantau Tionghoa dengan penduduk Jawa. Maka
dapat dikatakan asimilasi biologis telah terjadi.
406
Dari perkawinan campuran itu lahirlah anak-anak
yang disebut Tionghoa peranakan. Anak-anak
Tionghoa peranakan hidup dalam kebudayaan
campuran Tionghoa-Jawa (Cino-Javanese Culture),
yang disebut kebudayaan “Tionghoa peranakan”. Jadi
sejak saat itu sudah terjadi asimilasi budaya.
Asimilasi Tionghoa peranakan di Jawa berlanjut
berabad-abad, makin lama makin banyak orang
Tionghoa peranakan di Jawa. Proses asimilasi terus
berlanjut, kemudian ada sebagian Tionghoa peranakan
semakin meleburkan diri ke dalam komunitas Jawa,
mereka mulai meninggalkan tradisi, adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan leluhurnya, yakni kebudayaan
Tionghoa. Mereka hidup dalam komunitas Jawa dan
mengikuti adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan orang
Jawa. Banyak di antara mereka sudah tidak bisa lagi
bicara dalam bahasa Tionghoa dan mereka terbiasa
bicara dalam bahasa Jawa. Jadi walaupun mereka
keturunan Tionghoa, tetapi mereka sudah tidak lagi
dapat dikatakan etnis Tionghoa. Mereka sudah berubah
menjadi orang Jawa. Mereka sudah beramalgamasi.
407
Sebagian besar imigran Tionghoa yang menetap di
Jawa sebelum pemerintah kolonial Belanda berkuasa
terserap ke dalam masyarakat setempat. Sebagian besar
telah berasimilasi dengan penduduk setempat dan ada
sebagian kecil yang sudah teramalgamasi ke dalam
komunitas Jawa dan menjadi orang Jawa.
Sesudah terjadi kerusuhan 1740 yang kemudian
diikuti oleh pemberontakan orang-orang Tionghoa
yang bergabung dengan penduduk Jawa melawan
VOC, maka VOC mulai menggunakan politik “devide
and rule” (pecah dan jajah) terhadap orang Tionghoa di
Hindia Belanda. VOC mengeluarkan peraturan
“wijkenstelsel” dan “passenstelsel” untuk membatasi
pergerakan orang Tionghoa dan membatasi interaksi
dan pembauran orang-orang Tionghoa dengan orang-
orang pribumi di Jawa. Bukan hanya sampai di situ
saja, VOC juga mengeluarkan peraturan yang melarang
perkawinan antara orang Tionghoa dengan perempuan
pribumi. Politik “devide and rule” ini diteruskan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Pada pertengahan abad ke-
19 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Artikel
408
163 Indiesche Staatsregeling (IS) untuk memecah
belah penduduk Hindia Belanda menjadi tiga golongan
yakni; golongan Eropa, golongan Timur Asing (Arab,
Tionghoa, dan lain-lain) dan golongan Inlander
(pribumi). Hindia Belanda juga mengeluarkan Artikel
131 IS untuk mengatur hukum yang berbeda yang
berlaku bagi masing-masing golongan penduduk.
Konsep Inlander Hindia Belanda Masih Diterapkan
Upaya Hindia Belanda menghambat asimilasi
orang Tionghoa dengan penduduk pribumi melalui
pemisahan berdasarkan golongan etnis cukup berhasil,
sehingga sampai waktu Indonesia sudah merdeka pun
pola pemisahan bangsa Indonesia berdasarkan
golongan etnis masih tetap dipertahankan dan diikuti
oleh pemerintah Republik Indonesia yang sudah
merdeka.
Di dalam Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia terdapat pasal 26 tentang Warga Negara,
yang menyatakan:
409
1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warga negara.
2. Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan
ditetapkan dengan undang-undang.
Dalam “Penjelasan” pasal 26 itu, tidak dijelaskan
tentang siapa yang disebut orang-orang bangsa
Indonesia asli. Yang dijelaskan hanya tentang orang-
orang bangsa lain.
Pada penjelasan pasal 26 ayat 1 hanya dinyatakan:
“Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan
Belanda, peranakan Tionghoa, dan peranakan Arab
yang bertempat kedudukan di Indonesia, mengakui
Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia
kepada Negara Republik Indonesia, dapat menjadi
warga negara”.
Untuk mendapat gambaran lengkap dan rinci
mengenai hal bagaimana sampai bisa terjadi pola
410
pemisahan bangsa Indonesia masih mengikut konsep
pemerintah Hindia Belanda yang memisahkan
penduduk berdasarkan golongan pribumi dan
nonpribumi (Eropa, Tionghoa, Arab dan lain-lain), di
bawah ini akan dikutip cuplikan dari tulisan Dr. Yudi
Latif dalam buku Negara Paripurna.
Dalam buku itu Dr. Yudi Latif bercerita tentang
pendekatan di Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengenai pasal 26
UUD 1945 tentang Warga Negara. Untuk memberi
gambaran yang lebih jelas bagaimana pada awal
kemerdekaan Republik Indonesia para elite politik
Indonesia di BPUPKI memutuskan untuk menetapkan
pola pemisahan penduduk berdasarkan etnis, sehingga
pada pasal 26 UUD 1945 ada dua macam bangsa
Indonesia yakni bangsa Indonesia asli (golongan
pribumi) dan bangsa Indonesia tidak asli (golongan
Eropa dan golongan Timur Asing), di bawah ini
dikutip beberapa cuplikan buku itu.
Pada prinsipnya, ada semangat kuat
untuk mengakui bahwa segala penduduk
411
Indonesia dengan sendirinya menjadi warga
negara Indonesia, bahwa sebagai pokok
dasar kewarganegaraan Indonesia ialah ius
sanguinis (prinsip keturunan) dan ius soli
(prinsip teritorial). Namun demikian, ada
perbedaan nuansa pandangan mengenai
kewarganegaraan keturunan asing,
khususnya golongan keturunan Arab,
Tionghoa, dan Indo (Eropa).
Dalam Rapat Besar 11 Juli 1945, A. R.
Baswedan, sebagai satu-satunya perwakilan
golongan Arab, menyatakan bahwa
golongan keturunan Arab, bahkan totoknya,
minta supaya mereka secara otomatis
dimasukkan menjadi warga negara
Indonesia. Dalam pandangannya orang-
orang keturunan Arab sudah menetap di
Indonesia ini tidak kurang dari lima abad
lamanya, hidup bercampur dengan
penduduk asli Indonesia, sehingga mereka
yang menurut keturunannya disebut orang
Arab itu dalam beberapa generasi
berikutnya akan meresap di dalam bangsa
412
Indonesia. Bahkan saat ini pun, secara
statistik hanya ada sekitar 12% golongan
Arab yang dapat dikatakan sebagai Arab
totok, sedangkan selebihnya adalah Arab
peranakan. Dari segi bahasa, tidak ada
rumah tangga Arab di Indonesia yang boleh
dikatakan rumah tangga Arab totok, yang
menggunakan bahasa Arab dalam
pergaulan. Terlebih, agama yang dianut
oleh keturunan Arab itu adalah agama Islam
yang menjadi anutan dari mayoritas bangsa
Indonesia.
Perwakilan golongan Tionghoa tidak
menunjukkan kata sepakat karena
perbedaan orientasi politik mereka selama
masa pergerakan. Liem Koen Hian
mengemukakan pandangan yang kurang
lebih senada dengan Baswedan. Dia
mengajukan permintaan agar UUD
menetapkan semua orang Tionghoa menjadi
warga negara Indonesia, dengan memberi
kemerdekaan bagi siapa saja yang tidak
413
berkenan dapat menolak (recht van
repubdiatic).
.........
Oey Tiang Tjoei mengajukan pandangan
yang berbeda. Menurutnya, orang-orang
keturunan Tionghoa harus diberikan
kemerdekaan untuk memilih
kewarganegaraan, apakah menjadi warga
negara Indonesia atau Tiongkok. Dalam
pandangannya, orang peranakan Tionghoa
rata-rata yang sudah berdiam di sini, yang
tinggal di sini, lahir dan terus dikubur di sini
memang bersedia akan membantu dalam
pergerakan guna Republik Indonesia. Di sisi
lain, dia menyatakan bahwa perasaan
kebangsaan itu merupakan suatu insting
yang tidak dipaksakan....
Lain pula halnya dengan pandangan Oey
Tjong Hauw yang memohon untuk
mengikhlaskan bila keturunan Tionghoa
memilih kewarganegaraan Tiongkok. Dia
menyatakan bahwa di antara bangsa
414
Tionghoa yang hidup di Indonesia masih
ada banyak yang pegang teguh
keyakyatannya yaitu kerakyatan Tiongkok,
sehabisnya kerakyatan Belanda lenyap....
Menanggapi perbedaan nuansa
pandangan seperti itu, pada Rapat Panitia
Hukum Dasar (11 Juli), yang diketuai
Soekarno, Sartono mengajukan pandangan
tentang perlunya membuat undang-undang
yang menyatakan bahwa “yang menjadi
warga negara Indonesia ialah bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang
sebagai warga negara”. Dengan kata lain,
syarat mengenai kewarganegaraan akan
ditetapkan oleh undang-undang.
Pada Rapat Besar BPUPKI (15 Juli),
Yamin mengajukan dasar kewarganegaraan
yang menurutnya mengikuti hukum
internasional seperti yang diterapkan dalam
konstitusi Filipina. Dalam kerangka ini
rakyat Indonesia asli menjadi pusat warga
415
negara. Selain itu segala penduduk tanah
Indonesia dengan sendirinya menjadi warga
negara Indonesia, namun diberi hak
repudiatie, artinya boleh menolak menjadi
warga negara Indonesia ....
Tentang hal ini, Soepomo menyatakan
bahwa, di antara Badan Penyidik, belum
ada kebulatan pandangan dan akan susah
mendapatkannya. Menurutnya, jika
diadakan suatu pasal yang menyatakan
bahwa semua peranakan masuk warga
negara, apakah kita yakin akan memuaskan
golongan itu, menurut sifatnya sosial itu,
akan lebih supel kalau diatur dalam undang-
undang yang lebih gampang mengubahnya
ketimbang dalam UUD.
Dahler yang mewakili golongan
peranakan Belanda mencoba mencari
sintesis. Dia menyetujui sepenuhnya
pandangan Yamin. Namun dia juga
memahami pandangan Soepomo mengenai
kesulitan memasukkan hal itu dalam pasal
416
UUD. Dia mengajukan usul, yang
menyerupai pandangan Sartono, agar dalam
UUD ada pasal yang menyebutkan bahwa
orang Indonesia asli ditetapkan sebagai
warga negara, selanjutnya disebutkan
bahwa “siapa yang menjadi warga negara
dan syarat kewarganegaraan supaya
sekaligus ditetapkan oleh undang-undang.
Tentang pandangan itu, Baswedan
menyatakan keberatannya. Selain itu,
Soekardjo Wirjopranoto juga berusaha
berempati pada apa yang disebutnya sebagai
“jeritan jiwa dari beberapa golongan yang
bukan bangsa Indonesia”, dengan
mengusulkan agar perkataan “asli” dibuang
saja. Belakangan, usul ini juga dimajukan
oleh Dahler.
..........
Akhirnya Sepomo mengingatkan bahwa
persoalan siapa yang menjadi warga negara
sesungguhnya tidak perlu dimasukkan
dalam UUD, “Umpamanya dalam grondwet
417
anggaran dasar Belanda sama sekali tidak
ada satu artikel yang menyatakan siapa yang
menjadi warga negara. Hal itu menurutnya
bukanlah suatu yang essential dalam UUD,
tetapi penting untuk diatur dalam undang-
undang.
Akhirnya, Soepomo tidak keberatan
dengan usul Dahler, sehingga dalam
rumusan akhir rancangan UUD 1945, pada
pasal 26 disebutkan; (1) Yang menjadi
warga negara ialah orang-orang Indonesia
asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan Undang-Undang sebagai
warga negara. (2) Syarat-syarat yang
mengenai kewarganegaraan ditetapkan
dengan Undang-Undang.
Jadi pasal 26 UUD 1945 telah menetapkan bahwa
yang menjadi warga negara ialah orang Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga negara.
418
Kata “asli’ tidak diberikan penjelasannya pada
Penjelasn UUD 1945. Namun demikian kata ‘asli”
secara umum dapat diartikan murni, sejati dan
bermakna penduduk kelahiran setempat, pribumi.
Dengan kata lain, baik kalimat maupun isi pokok UUD
1945 menekankan pandangan bahwa bangsa Indonesia
yang sesungguhnya adalah penduduk pribumi. Selain
penduduk pribumi, ada bangsa lain yang memperoleh
Kewarganegaraan Indonesia karena disahkan sebagai
bangsa Indonesia. Dengan demikian, artinya di
Indonesia ada dua macam warga negara, ada yang asli
dan ada yang tidak asli, yakni bangsa lain yang
disahkan menjadi Warga Negara Indonesia. WNI etnis
Tionghoa dianggap bukan orang Indonesia asli (bukan
pribumi).
Ketentuan UUD yang segregatif ini kemudian
mempengaruhi semua undang-undang dan peraturan-
peraturan tentang warga negara selanjutnya menjadi
peraturan yang diskriminatif. Selanjutnya semua
peraturan pelaksana yang dibuat kemudian
menempatkan WNI etnis Tionghoa seolah-olah
419
mempunyai status yang berbeda dengan bangsa
Indonesia yang dianggap “asli”.
Pada zaman Hindia Belanda, status orang
Tionghoa peranakan adalah Nederlands Onderdaan dan
digolongkan sebagai golongan Vreemde Oosterlingen
(golongan Timur Asing), artinya orang Tionghoa
digolongkan sebagai orang asing. Maka setelah
Indonesia merdeka, pemerintah RI menetapkan orang
Tionghoa sebagai keturunan asing dan disebut WNI
keturunan asing.
Dengan demikian dapat dikatakan pembentuk
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia di BPUPKI
masih mengikuti konsep golongan Vreemde
Oosterlingen dari pemerintah Hindia Belanda. Mereka
membagi warga negara Indonesia menjadi dua
golongan berdasarkan etnis. Ada WNI asli dan ada
WNI keturunan asing (bukan asli).
420
Ada Orang Keturunan Tionghoa jadi Pribumi
Tidak semua WNI keturunan Tionghoa
menjadi WNI nonpribumi, ada sebagian kecil WNI
keturunan Tionghoa yang sudah sejak dulu
terlebur (oplosing) menjadi pribumi, sekarang jadi
Indonesia asli.
Tionghoa peranakan oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda disatukan dengan
Tionghoa totok, dimasukkkan ke dalam golongan
Timur Asing Tionghoa.
Orang-orang Tionghoa peranakan
dimasukkan ke dalam golongan Timur Asing
Tionghoa, tetapi diberi peluang untuk menjadi
golongan Bumiputra melalui “oplosing”
(peleburan). Artikel 163 IS ayat 3 memberi
kesempatan bagi orang-orang yang semula
termasuk golongan rakyat yang bukan pribumi
menjadi pribumi dengan cara meleburkan diri ke
dalam komunitas pribumi.
421
Apabila orang Tionghoa memeluk agama
Islam, hidup dalam lingkungan masyarakat
pribumi dan meniru kebiasaan-kebiasaan orang-
orang pribumi dan merasa dirinya sebagai orang
pribumi, orang tersebut sudah meleburkan diri ke
dalam masyarakat pribumi. Orang itu tidak lagi
dianggap sebagai orang Timur Asing Tionghoa,
tetapi sudah digolongkan sebagai pribumi.
Demikian pula anak cucu dari orang-orang
keturunan Tionghoa yang sudah terlebur menjadi
pribumi melalui pasal 163 ayat 3, walaupun
mereka keturunan Tionghoa tetapi sudah
digolongkan sebagai pribumi. Kemudian, menurut
UU Nomor 3 tahun 1946 tentang
kewarganegaraan, mereka digolongkan sebagai
orang Indonesia asli. Maka ketika orang keturunan
Tionghoa lainnya terkena dampak diskriminasi
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, mereka
tidak terkena diskriminasi, karena walaupun
mereka juga keturunan Tionghoa, tetapi mereka
sudah dianggap sebagai orang Indonesia asli,
422
mereka sudah disamakan dengan orang-orang
golongan pribumi.
Konsep Pribumi jadi Rintangan Integrasi Etnis
Tionghoa
Dalam artikel Leo Suryadinata yang
berjudul “Etnis Tionghoa dan Konsep Bangsa
Indonesia” yang dimuat dalam majalah Tajuk,
November 1998, dinyatakan:
Indonesia sudah merdeka selama lebih
dari setengah abad, tetapi “masalah
Tionghoa” masih tidak kunjung selesai. Ada
yang berpendapat, ini karena orang
Tionghoa masih mempertahankan
kebudayaan asing dan tidak memiliki
identitas Indonesia. Ada juga yang
mengatakan orang Tionghoa hanya
“setengah terbaur”, belum 100 persen,
dengan kata lain mereka masih belum
menjadi pribumi. Pada pandangan banyak
kalangan pribumi, orang Tionghoa harus
menjadi pribumi dulu baru bisa diterima
423
sebagai orang Indonesia. Masalahnya,
seakan-akan persoalan identitas merupakan
kunci untuk memecahkan “masalah
Tionghoa” itu.
........
Menurut hemat saya, salah satu kunci
dari penyelesaian “masalah Tionghoa” di
Indonesia tidak saja terletak pada adanya
sistem perekonomian yang lebih adil dan
merata serta sistem politik demokratis, akan
tetapi sama pentingnya juga adalah konsep
bangsa Indonesia. Konsep bangsa Indonesia
yang kaku (rigid), yaitu konsep pribumi,
selalu menjadi rintangan besar untuk
terintegrasinya orang Tionghoa, terutama
yang peranakan, ke dalam wadah bangsa
Indonesia.
Harus diakui sebenarnya, konsep bangsa
Indonesia pada dasarnya juga bukan
berasaskan pada “ethno – nation”, karena
yang disebut Indonesia terdiri dari berbagai
suku bangsa. Namun, dalam “masalah
424
Tionghoa”, konsep bangsa itu lebih tepat
disebut “ethno–nation”, karena yang
dititikberatkan adalah kepribumian-nya.
Dalam arti ini, konsep bangsa Indonesia
lebih berdasarkan pada “ras” atau “etnis”.
Orang Tionghoa harus terlebur menjadi
pribumi, atau salah satu suku pribumi, kalau
itu sudah terjadi barulah mereka menjadi
bangsa Indonesia yang lengkap.
Seseorang yang masih memiliki unsur-
unsur “asing” (baca: Tionghoa), sekalipun
unsur-unsur itu sangat sedikit, masih
dianggap unsur asing. Jadi orang Tionghoa
peranakan yang sudah menjadi warga
negara Indonesia (WNI) masih belum
menjadi bangsa Indonesia yang lengkap.
Konsep warga negara dibedakan dengan
konsep bangsa, demikian pula hak mereka.
Slogan Bhineka Tunggal Ika hanya berlaku
untuk orang Indonesia pribumi, tetapi tidak
untuk orang Tionghoa.
425
Konsep warga negara Indonesia yang
dipecah menjadi WNI asli dan WNI nonpribumi,
sangat bertentangan dengan konsep nasion
Indonesia yang adalah negara kebangsaan dan juga
bertentangan dengan Pancasila, dasar negara
Republik Indonesia. Setelah penyerahan
kedaulatan, pemerintah RIS mulai menerapkan
kebijakan ekonomi yang diskriminatif terhadap
WNI non pribumi. Pemerintah RIS menjalankan
kebijakan pribumisasi dalam bidang ekonomi
untuk mematikan kedudukan ekonomi orang
Tionghoa yang dianggap sebagai nonpribumi dan
untuk membantu memajukan perdagangan orang-
orang Indonesia asli yang disebut pribumi yang
baru mulai tumbuh. Untuk tujuan itu pemerintah
RIS mengeluarkan “program Benteng”.
Kemudian pada tahun1959, pemerintah RI
di bawah pimpinan Perdana Menteri Juanda
menetapkan PP-10 yang membatasi orang-orang
Tionghoa berdagang di pedesaan.
426
Semua diskriminasi yang dilakukan adalah
atas dasar etnis Tionghoa adalah nonpribumi,
orang-orang keturunan Tionghoa yang sudah
terlebur menjadi pribumi tidak terkena dampak
diskriminasi. Maka pada awal tahun 1950an, di
majalah Star Weekly banyak muncul artikel-artikel
yang menganjurkan etnis Tionghoa berasimilasi
secara total (beramalgamasi).
Berasimilasi secara total artinya orang
Tionghoa harus melebur ke dalam penduduk
Indonesia asli sehinga kaum minoritas Tionghoa
tidak lagi menjadi suatu kelompok tersendiri,
setelah terasimilasi secara total. Orang-orang
keturunan Tionghoa disamakan dengan pribumi.
Sebagai golongan pribumi, mereka tidak terkena
dampak dari diskriminasi terhadap nonpribumi.
Konsep Asimilasi Total Lauw Chuan Tho
(Junus Jahja)
Lauw Chuan Tho (Junus Jahja) lahir tahun
1929 di Jakarta. Ia mendapat gelar sarjana dari
427
Universitas Rotterdam. Pada saat di Belanda,
Lauw aktif dalam gerakan mahasiswa. Ia
mendukung asimilasi total mahasiswa Tionghoa
Indonesia ke dalam masyarakat pribumi. Setelah ia
kembali ke Indonesia di tahun 1960, ia
melanjutkan kampanye asimilasinya.
Di tahun 1950an terdapat ratusan
mahasiswa dan pelajar Indonesia di negeri
Belanda, di antara mereka ada yang keturunan
Tionghoa. Mereka yang keturunan Tionghoa
berhimpun di bawah perkumpulan Chung Hwa
Hwe. Setelah banyak dari antara mereka yang
memilih menjadi warga negara Indonesia, timbul
dilema apakah mereka yang sekarang warga
negara Indonesia tidak sebaiknya bernaung di
bawah perhimpunan Indonesia yang nasionalis
seperti Persatuan Pelajar Indonesia (PPI).
Sejak PPI berdiri, mereka sudah
mengulurkan tangan dan menerima warga negara
keturunan Tionghoa menjadi anggota PPI. Sejak
428
PPI berdiri, Lauw Chuan Tho sudah menjadi
anggota PPI dan nama Lauw Chuan Tho sudah
tertera dalam susunan Dewan Pimpinan PPI yang
pertama.
Mahasiswa dan mahasiswi Tionghoa di
Nederland sejak tahun 1911 sudah mendirikan
perkumpulan Chung Hwa Hwe yang berarti:
Perkumpulan Tionghoa. Perkumpulan ini
berlangsung terus sampai Indonesia sudah
merdeka. Sesudah Indonesia merderka, mereka
yang dulunya bangsa Tionghoa banyak yang
menjadi warga negara Indonesia. Setelah menjadi
warga negara Indonesia, timbul persoalan: apakah
masih pantas bangsa Indonesia keturunan
Tionghoa berhimpun atas dasar etnisitas
ketionghoaan (Chineseness) di dalam
perkumpulan yang berdasarkan etnis. Kalau
Tionghoa peranakan tetap menjadi anggota Chung
Hwa Hwe, konsekuensi logisnya adalah akan
timbul syak wasangka (keragu-raguan) dari
kalangan bangsa Indonesia asli, bahwa warga
429
negara Indonesia keturunan Tionghoa masih
merasa sebagai bangsa Tionghoa, karena pada
waktu itu warga negara Indonesia keturunan
Tionghoa masih mempunyai dwikewarganegaraan.
Maka pada waktu itu, Lauw Chuan Tho
menganjurkan agar perkumpulan CHH dibubarkan
saja dan para mahasiswa dan pelajar Indonesia
keturunan Tionghoa di Nederland masuk menjadi
anggota PPI.
Dalam pidatonya sebagai Ketua CHH –
Rotterdam pada 2 Oktober 1952 Lauw Chuan Tho
antara lain menganjurkan agar CHH dibubarkan
saja. Para anggotanya yang warga negara Belanda
seyogyanya masuk perkumpulan Belanda, yang
warga negara RRC/ Taiwan masuk perkumpulan
Tionghoa, dan yang berkewarganegaraan
Indonesia semua masuk PPI.
Ia menyatakan, “Dalam perkumpulan
kesatuan dimana bukan soal-soal dan peristiwa-
peristiwa Indonesia – Tionghoa yang primer, akan
430
tetapi soal-soal Indonesia Umum yang akan
diutamakan, kita tidak memberi stimulans untuk
memahami, memperhatikan, dan mencurahkan
tenaga serta pikiran kita kejurusan Indonesia
selaku warga negara yang sehat, hingga rasa
kebangsaan lambat laun pun makin meningkat.
Keadaan akan berubah dan kita tak lagi
dipengaruhi oleh suasana perkumpulan-
perkumpulan CHH dan sebagainya yang hingga
dewasa ini sama sekali tak pernah berikhtiar
mempertebal perasaan ke-Indonesiaan ....”
“Oleh karena itu, mengingat ‘suasana
mempengaruhi manusia’, suatu organisasi
kesatuan Indonesia merupakan jalan satu-satunya
dimana ‘anak-anak’ kita mendapat kesempatan
untuk mencatat kemajuan dalam soal
kewarganegaraan dan kebangsaan, sehingga
menjadi loyal, sehat dan normal ....”
“Bila di sini sewaktu mudanya serta dalam
suasana yang begini baiknya, ternyata bahwa
431