The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Penulis : Iskandar Yusuf

Buku karangan Iskandar Jusuf ini menambah dan memperkaya khasanah tulisan tentang orang Tionghoa/WNI di Indonesia serta usaha meng-Indonesia-nya. Banyak informasi tentang sejarahnya dan bahan pemikiran diketengahkan dalam buku ini. Prof. Dali Santun Naga sebagai editor dan DR. Albert Hasibuan sebagai pemberi Kata Pengantar, menjadi jaminan akan mutu dan seriusnya bacaan ini. Iskandar Jusuf telah dengan tekun dan teliti menuliskan naskah, dan saya juga merasakan rasa debaran jantungnya. Ini ibaratnya menjadi obsesi agar sebagai orang Indonesia dianggap
lengkap terutama dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Tekanan penting yang didalilkan, bahwa dengan dihapuskannya kata "asli” yang digandengkan di dalam Pasal 8 UUD 1945:Presiden adalah orang Indonesia "asli", maka dianggap bahwa diskriminasi ras kewarganegaraan Indonesia telah selesai terutama bagi WNI keturunan Tionghoa. Anggapan ini tentu kurang tepat. Di Pasal 8 ini kata asli bukan mengenai etnisitasnya tetapi hukum ketatanegaraan. Sebenarnya, secara etnistras tidak ada orang "Indonesia asli“, sebab faham kebangsaan Indonesia adalah faham
politis, etis. Jadi supaya menjadi Indonesia yang asli, yang tulen, adalah diukur berdasarkan nasionalisme-patriotismenya terhadap nusa Indonesia - "Nusantara" ini. Dengan mengerti problematik psikhologis dan semangat dari orang seperti Saudara Iskandar Jusuf ini, maka buku ini sungguh menjadi petunjuk tentang
pembinaan kebangsaan Indonesia yang multi-minoritas ini.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Pahoa, 2022-04-25 21:39:29

Jalan panjang asimilasi etnis Tionghoa

Penulis : Iskandar Yusuf

Buku karangan Iskandar Jusuf ini menambah dan memperkaya khasanah tulisan tentang orang Tionghoa/WNI di Indonesia serta usaha meng-Indonesia-nya. Banyak informasi tentang sejarahnya dan bahan pemikiran diketengahkan dalam buku ini. Prof. Dali Santun Naga sebagai editor dan DR. Albert Hasibuan sebagai pemberi Kata Pengantar, menjadi jaminan akan mutu dan seriusnya bacaan ini. Iskandar Jusuf telah dengan tekun dan teliti menuliskan naskah, dan saya juga merasakan rasa debaran jantungnya. Ini ibaratnya menjadi obsesi agar sebagai orang Indonesia dianggap
lengkap terutama dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Tekanan penting yang didalilkan, bahwa dengan dihapuskannya kata "asli” yang digandengkan di dalam Pasal 8 UUD 1945:Presiden adalah orang Indonesia "asli", maka dianggap bahwa diskriminasi ras kewarganegaraan Indonesia telah selesai terutama bagi WNI keturunan Tionghoa. Anggapan ini tentu kurang tepat. Di Pasal 8 ini kata asli bukan mengenai etnisitasnya tetapi hukum ketatanegaraan. Sebenarnya, secara etnistras tidak ada orang "Indonesia asli“, sebab faham kebangsaan Indonesia adalah faham
politis, etis. Jadi supaya menjadi Indonesia yang asli, yang tulen, adalah diukur berdasarkan nasionalisme-patriotismenya terhadap nusa Indonesia - "Nusantara" ini. Dengan mengerti problematik psikhologis dan semangat dari orang seperti Saudara Iskandar Jusuf ini, maka buku ini sungguh menjadi petunjuk tentang
pembinaan kebangsaan Indonesia yang multi-minoritas ini.

Keywords: Sejarah

dilancarkannya melawan Undang-Undang
Kekaulaan Belanda tahun 1919. Sepuluh tahun
sebelum kampanye tersebut, pada 1909
pemerintah kerajaan Tiongkok mengeluarkan
Undang-Undang kewarganegaraan yang
menyatakan bahwa semua orang keturunan
Tionghoa adalah warga negara Tiongkok. Hal
itu menimbulkan kewaspadaan dari penguasa
Belanda. Pada tahun 1910 Belanda menerbitkan
Undang-Undang Kekaulaan Belanda
(Nederlandsch Onderdaanschap) yang
menyatakan bahwa semua orang Tionghoa
yang lahir di Hindia Belanda menjadi kaula
negara Belanda. Dengan demikian orang
Tionghoa peranakan dijadikan kaula negara
Belanda.

Pada tahun 1918 Volksraad (DPR
Hindia Belanda) mengusulkan agar kaula
negara Belanda diharuskan menjalani wajib
milisi. Kelompok Sin Po mengambil
kesempatan ini untuk mengumpulkan tanda

282

tangan untuk menolak kekaulanegaraan
Belanda. Sin Po menyatakan berhasil mendapat
dukungan dari organisasi-organisasi Tionghoa
dan sekolah-sekolah THHK. Tetapi sekolah
THHK Batavia (Pa Hoa) dan perkumpulan
Siang Hwe (Assosiasi Pedagang Tionghoa)
tidak mau turut mendukung gerakan Sin Po.

Kelompok Sin Po berpandangan bahwa,
orang Tionghoa di Hindia Belanda harus tetap
memegang kewarganegaraan Tiongkok karena
mereka adalah anggota bangsa Tionghoa Raya
(Pan Tionghoa). Mereka tidak boleh
berasimilasi dengan penduduk pribumi atau
bangsa Belanda, melainkan harus memelihara
hubungan erat dengan Tiongkok yang dapat
memberikan perlindungan kepada mereka.
Kelompok Sin Po sangat anti asimilasi.

Kelompok Sin Po menganggap seorang
yang terlahir sebagai Tionghoa harus tetap
Tionghoa, mereka menganggap Tiongkok
sebagai ibu pertiwi dari para Tionghoa di

283

Hindia Belanda, dan bahwa sekali waktu
sebagian besar orang Tionghoa akan kembali
ke sana. Tionghoa peranakan yang sudah
“luntur kecinaannya” harus “dicinakan kembali”
dengan jalan memperkenalkan kembali bahasa
Tionghoa di kalangan kaum peranakan. Bahasa
Tionghoa harus digunakan di antara sesama
bangsa Tionghoa di Hindia Belanda.

Chung Hwa Hwe (CHH)

Pada pertengahan tahun 1920-an
Tionghoa peranakan yang berpendidikan
Belanda dan berorientasi ke Hindia Belanda,
berusaha menentang kelompok Sin Po. Mereka
berusaha mengarahkan Tionghoa peranakan
berorientasi kepada Hindia Belanda. Mereka
berhasil melahirkan partai politik kaum
Tionghoa Peranakan yang pertama di Hindia
Belanda. Pada tahun 1928, mereka mendirikan
“Perhimpunan Tionghoa” yang diberi nama
Chung Hwa Hwe.

284

Berbeda dari kelompok Sin Po yang

berorientasi ke Tiongkok, Chung Hwa Hwe

(CHH) berorientasi ke Hindia Belanda. CHH

menganjurkan agar Undang-Undang

Kekaulanegaraan Belanda diterima dan juga

menganjurkan agar orang Tionghoa

berpartisipasi dalam dewan-dewan lokal dan

Volksraad. Mereka membedakan antara etnis

Tionghoa dengan onderdaanschap

(kekaulanegaraan). Karenanya mereka

beranggapan bahwa Undang-Undang

Kekaulanegaraan Belanda dapat saja berjalan

paralel dengan kehidupannya sebagai etnis

Tionghoa.

Berbeda dengan THHK yang hanya
ingin “mencinakan kembali” Tionghoa
peranakan yang kebudayaan Tionghoanya
sudah luntur, berbeda dengan kelompok Sin Po
yang ingin “mencinakan kembali” Tionghoa
peranakan secara total, baik kebudayaan
Tionghoa maupun nasionalismenya pada negeri

285

leluhur, serta berusaha untuk menggiring agar
orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda
berorientasi ke Tiongkok, kelompok CHH
hanya mengakui dirinya sebagai etnis Tionghoa.
Akan tetapi mereka bersedia menerima menjadi
penduduk tetap Hindia Belanda, menerima
konsep Nederlands Onderdaan.

CHH membedakan antara Tionghoa
peranakan dengan Tionghoa totok. CHH hanya
membuka keanggotaannya bagi Tionghoa
peranakan yang oleh hukum Belanda diberikan
status sebagai Nederlands Onderdaan. Bagi
orang Tionghoa totok, mereka hanya dapat
menjadi anggota luar biasa tanpa hak suara.

Tidak seperti THHK yang ingin
memberikan pendidikan budaya Tionghoa
kepada orang Tionghoa peranakan di Hindia
Belanda, serta ingin mempersatukan orang
Tionghoa peranakan dengan orang Tionghoa
totok, juga tidak seperti kelompok Sin Po yang
blak-blakkan menyatakan anti asimilasi dan

286

ingin mempersatukan Tionghoa peranakan
dengan Tionghoa totok, perkumpulan CHH
tidak menyatakan pro atau anti asimilasi, tetapi
mereka mengakui dirinya sebagai Tionghoa
peranakan yang sudah terasimilasi. Mereka
sadar bahwa kebudayaan campuran Tionghoa
peranakan berbeda dengan kebudayaan
Tionghoa totok yang masih murni, masih sama
seperti di Tiongkok. Maka mereka menjauhkan
diri dari Tionghoa totok. Mereka berkeyakinan
bahwa Tionghoa peranakan akan tetap tinggal
dan mencari nafkah di Hindia Belanda. Maka
mereka sangat giat menganjurkan Tionghoa
peranakan untuk menerima kekaulanegaraan
Belanda (Nederlands Onderdaanschap).

Kwee Hing Tjiat (Pelopor Asimilasi Total)

Kwee Hing Tjiat lahir di Surabaya pada
tahun 1891. Pada tahun 1915 ia diangkat
menjadi Pemimpin Redaksi koran Sin Po,
Batavia. Karena Sin Po menganut aliran
nasionalisme Tionghoa, di koran tersebut ia

287

mengembangkan ide nasionalisme Tionghoa. Ia
mengemukakan pendapat bahwa Tionghoa
Peranakan di Hindia Belanda adalah rakyat
Tiongkok, bukan kaula negara Belanda. Ia
mengkritik kebijaksanaan Belanda yang
memaksa Tionghoa peranakan menjadi kaula
negara Belanda. Ia pun banyak menulis artikel
yang menganjurkan agar Tionghoa peranakan
menolak kekaulaan Belanda.

Pada tahun 1918, pemerintah kolonial
Belanda bermaksud mengadakan Indie
Weerbaar (milisi Hindia Belanda). Nasionalis
pribumi dan Tionghoa sama-sama menentang.
Di bawah pimpinan Kwee Hing Tjiat,
kelompok Sin Po juga menentang Indie
Weerbaar, karena menurutnya Tionghoa
peranakan tidak mempunyai kepentingan dalam
hal ini. Ia yakin, orang Tionghoa di Hindia
Belanda harus mempertahankan status
Tionghoanya dan mendapatkan kedudukan
hukum yang sama dengan orang Eropa

288

(Gelijkgesteld) dan dengan mempertahankan
nasionalisme Tionghoa, penduduk Tionghoa di
Hindia Belanda baru bisa aman. Waktu itu ia
belum menganut paham asimilasi sebagai
sebuah cara penyelesaian masalah suku bangsa
di Indonesia.

Pada tahun 1923 setelah merantau ke
Jepang dan Eropa, Kwee Hing Tjiat tidak
diijinkan untuk kembali ke Hindia Belanda.
Ketika di Eropa, sesuai dengan pendiriannya
bahwa ia adalah warga negara Tiongkok, ia
tidak bersedia menggunakan paspor Hindia
Belanda, ia menggunakan paspor Tiongkok.
Dengan menggunakan paspor Tiongkok, ia
harus mempunyai visa dari pemerintah Belanda
untuk masuk ke wilayah Hindia Belanda.
Karena ia tidak memiliki visa, maka ia diusir ke
Tiongkok . Lalu ia pergi ke Shanghai. Ia
bermukim di Tiongkok selama 10 setengah
tahun dan ternyata ia tidak betah tinggal di
Tiongkok. Akhirnya pada tahun 1934, karena

289

pandangannya terhadap Hindia Belanda sudah
berubah, maka pemerintah Hindia Belanda
mengijinkan ia kembali ke Hindia Belanda.

Kwee Hing Tjiat kembali menginjakkan
kakinya di Surabaya pada Maret 1934. Dia
segera mengadakan persiapan untuk korannya
yang baru. Mula-mula koran itu hendak diberi
nama Mardika, tapi karena Mardika (merdeka)
merupakan kata tabu pada waktu itu dan tidak
mendapatkan izin dari pemerintah Belanda,
maka diganti dengan nama “Mata Hari”.

“Mata Hari” mulai terbit pada awal
Agustus 1934 di Semarang. Nomor perdana
“Mata Hari” cukup berhasil, namun tak sedikit
pula yang kurang menyenanginya karena dia
menulis tajuk rencana dengan judul “Baba
Dewasa” yang menganjurkan agar Tionghoa
peranakan Hindia Belanda melakukan asimilasi
total dengan masyarakat Pribumi. Dari
kalangan Tionghoa tidak sedikit orang-orang
yang kurang senang dengan ide asimilasinya

290

dan bahkan di kota Magelang mereka
melakukan pemboikotan terhadap koran Mata
Hari.

Perjalanan hidup Kwee Hing Tjiat
sangat pendek, tetapi berliku-liku. Sepak
terjangnya sering tidak disetujui orang. Ia
pernah mengubah haluan politiknya. Mula-
mula ia seorang nasionalis Tionghoa dan
mengaku dirinya rakyat Tiongkok, tetapi
setelah dia bermukim sepuluh setengah tahun di
Tiongkok, dia berkeyakinan bahwa Tiongkok
bukan tempat yang cocok bagi Tionghoa
peranakan. Dia berubah menjadi nasionalis
Indonesia, menerima kaula negara Belanda dan
mencetuskan ide “putera Indonesia” dan
menganjurkan asimilasi total. Maka Kwee Hing
Tjiat adalah orang Tionghoa peranakan yang
mula-mula adalah nasionalis Tionghoa, tetapi
kemudian berubah seratus delapan puluh
derajat menjadi pelopor yang menganjurkan

291

orang Tionghoa berasimilasi ke dalam bangsa
Indonesia yang sedang terbentuk.

Lim Koen Hian (Penganjur Asimilasi Politik)

Lim Koen Hian lahir di Banjarmasin
pada tahun 1896 dan setelah dewasa ia
merantau ke Surabaya. Di Surabaya ia menjadi
wartawan “Tjhoen Tjhioe”. Pada tahun 1918 ia
merantau ke Aceh, lalu ke Padang dan di sana
ia menjadi wartawan “Sinar Sumatra”. Pada
tahun 1921 ia kembali ke Surabaya untuk
memimpin “Pewarta Surabaya”.

Pada tahun 1925, ia berhenti dari
“Pewarta Surabaya” dan menjadi pemimpin
“Soeara Poeblik” yang juga terbit di Surabaya.
Dalam periode inilah ia mulai mengembangkan
idenya yang baru dan dikenal sebagai “Indiesch
Burgerschap”. Kemudian ia pindah kerja lagi
dan menjadi wartawan “Sin Tit Po”. Di koran
“Sin Tit Po”, konsep “Indiesch Burgerschap”
diubah menjadi “Indonesierschap” karena pada

292

waktu itu istilah “Indonesie” baru mulai
dipopulerkan untuk mengganti istilah “Indies”.

Menurut konsep “Indonesierschap”,
peranakan (termasuk Indo-Belanda, peranakan
Tionghoa, dan peranakan Arab) merupakan
salah satu komponen dari bangsa yang sedang
terbentuk itu. Menurut Liem, Tionghoa
peranakan harus dipisahkan dari Tionghoa
totok karena Tionghoa totok itu memiliki cara
hidup yang berbeda. Tionghoa peranakan lebih
dekat dengan Pribumi yang tinggal sedaerah
daripada dengan Tionghoa totok. Tionghoa
peranakan akan merasa kerasan tinggal di
antara Pribumi, tetapi canggung kalau hidup di
antara Tionghoa totok. Tiongkok merupakan
kampung halaman Tionghoa totok, bukan untuk
Tionghoa peranakan. Bagi Tionghoa peranakan,
Tiongkok merupakan tanah yang misterius.
Sehingga Liem berpendapat bahwa integrasi
Tionghoa peranakan ke dalam masyarakat

293

Pribumi lebih mudah dibandingkan dengan
kaum Tionghoa totok.

Namun Liem tidak menganjurkan
bahwa Tionghoa peranakan harus membaurkan
diri dengan suku bangsa Indonesia dalam arti
bahwa mereka masuk Islam, ganti nama, dan
membuang adat istiadat mereka. Dia
menganggap bahwa ini semua merupakan
persoalan pribadi dan “Nasion Indonesia” yang
akan terbentuk itu mempunyai ruangan yang
cukup luas untuk menampung kebudayaan yang
berlainan. Jadi Liem hanya menganjurkan
asimilasi politik.

Konsep Liem tentang nasionalisme
Indonesia telah menyebabkan bentrok dengan
kelompok Sin Po yang menganjurkan
nasionalisme Tionghoa.

Liem hidup di antara nasionalis
Indonesia. Pekerjaannya sebagai wartawan
telah memungkinkannya bergaul erat dengan

294

tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia.
Pada Mei 1932, Liem berhasil mengadakan
gerakan boikot sepakbola di Surabaya. Atas
inisiatif Sin Tit Po dan dengan dukungan penuh
dari “Soeara Oemoem”, koran organ Persatuan
Bangsa Indonesia (PBI), sebuah rapat telah
dilangsungkan pada tanggal 8 Mei 1932 di
Surabaya. Empat puluh organisasi, termasuk
partai politik dan perkumpulan olahraga yang
terdiri dari tiga “bangsa” (Indonesia, Tionghoa
peranakan, dan Arab) mengirim wakil mereka
ke rapat tersebut. Liem terpilih sebagai ketua
rapat. Rapat itu digunakan oleh nasionalis
Indonesia untuk mendirikan sebuah Komite
Bangsa Berwarna, yang berbunyi: “Comite van
actie Persatuan Bangsa Asia untuk
mengorganisir pemboikotan pertandingan bola”.
Setelah pembentukan komite tersebut selesai,
Liem Koen Hian ditahan oleh polisi Belanda.
Penahanan Liem menimbulkan protes dari para
nasionalis Indonesia, terutama dari Panitia
Pusat PBI dan Husni Thamrin yang pada waktu

295

itu menjadi anggota Volksraad (Parlemen
Hindia Belanda). Tidak lama kemudian, Liem
dibebaskan dari rumah tahanan.

Pada September 1932, Liem Koen Hian
dan beberapa orang Tionghoa peranakan yang
mengidentifikasikan diri dengan nasionalisme
Indonesia mendirikan sebuah partai yang diberi
nama Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Rapat
pendirian diadakan pada tanggal 25 September
1932 di Surabaya.

Dalam rapat pendirian PTI itu Liem
Koen Hian terpilih sebagai ketua, Kwee Thiam
Tjing sebagai sekretaris dan Ong Liang Kok
sebagai bendahara. PTI hanya menerima
Tionghoa peranakan sebagai anggota. Orang
Tionghoa totok hanya dapat diterima sebagai
anggota luar biasa yang tidak mempunyai hak
suara.

Pada tahun 1945, Liem Koen Hian
diikutsertakan sebagai salah seorang anggota

296

Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini
diketuai oleh Soekarno dan Hatta. Kiprah Liem
sebagai anggota BPUPKI tetap menganjurkan
kewarganegaraan Indonesia untuk orang
Tionghoa.

Setelah Indonesia memperoleh
kemerdekaannya, Liem diangkat menjadi
anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
(1946) dan anggota delegasi Indonesia ke
Konfrensi Renville (1947) untuk
memperjuangkan kemerdekaan Republik
Indonesia.

Pada pertengahan tahun 1951,
pemerintahan kabinet Sukiman mengadakan
“Razia Agustus” dengan menangkap orang-
orang yang dicurigai kekiri-kirian. Dalam razia
ini Liem ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Konon keadaan dan perlakuan yang dialami
dalam penjara sangat buruk dan Liem yang
kesehatannya mulai merosot dan mulai sakit-

297

sakitan, menjadi lebih parah sakitnya. Akhirnya
ia dibebaskan dari tahanan pada tanggal 29
Oktober 1951. Liem merasa sangat kecewa
dipenjarakan oleh bangsanya sendiri dengan
sewenang-wenang tanpa proses pengadilan.
Liem telah mengalami semacam kejutan
emosional dalam penjara, lalu ia melepaskan
kewarganegaraan Indonesia pada masa opsi
hampir saja lewat. Ia menjadi seorang warga
negara Republik Rakyat Tiongkok.

Ada penulis yang menganalisis bahwa
dipenjarakannya Liem oleh Perdana Menteri
Sukiman itulah yang menyebabkan Liem
menolak kewarganegaraan RI. Liem yang
sudah menganjurkan nasionalisme Indonesia
dan asimilasi politik kepada Tionghoa
peranakan, serta mendirikan PTI untuk turut
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,
merasa telah dizholimi oleh bangsa dan negara
yang dicita-citanya, akhirnya harus kecewa. Ia
menjadi putus asa dan melepaskan

298

kewarganegaraan Indonesia yang sejak dulu
sangat didambakan serta turut
diperjuangkannya.

Partai Tionghoa Indonesia (PTI)

Partai Tionghoa Indonesia (PTI)
didirikan oleh Liem Koen Hian pada tahun
1932. Berbeda dengan kelompok Sin Po yang
berkiblat ke Tiongkok dan CHH yang berkiblat
ke Hindia Belanda, PTI berkiblat ke Indonesia
yang sedang diperjuangkan kemerdekaannya.
Tentunya PTI lebih mengidentifikasikan diri
kepada Indonesia daripada negeri Tiongkok
atau Belanda. PTI didirikan dengan tujuan
untuk membantu Indonesia membangun bidang
ekonomi, sosial, dan politiknya menuju ke
suatu negara yang rakyatnya dapat menikmati
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang setara.
PTI juga menganjurkan persamaan rasial.
Mengenai kebudayaan Tionghoa, PTI percaya
bahwa Tionghoa peranakan harus
mempertahankan identitasnya, akan tetapi

299

secara politis berasimilasi dengan Indonesia.
Jadi PTI tidak menganjurkan asimilasi orang
Tionghoa dengan pribumi secara biologis atau
sosiologis. PTI hanya menganjurkan asimilasi
politik.

PTI di bawah pimpinan Liem Koen
Hian menganjurkan nasionalisme Indonesia di
kalangan Tionghoa peranakan. Tionghoa
peranakan harus sadar untuk menjadi
Indonesier. Ia menjelaskan pendapatnya tentang
Indonesiers sebagai berikut:

Istilah “Indonesier” dapat berarti
Indonesia asli dan ini merupakan
konsep etnologis dari istilah
tersebut, tetapi dapat pula berarti
rakyat dari negara ini; inilah arti
politisnya .... . Oleh karena itu
bukan hal yang luar biasa kalau
istilah “Indonesier” tidak hanya
berarti orang-orang Indonesia
akan tetapi juga mereka yang

300

menjadi rakyat Indonesia. Orang
dapat mengatakan bahwa selama
Indonesia belum merdeka tidak
akan ada rakyat Indonesia ataupun
Indonesier dalam arti politis.
Memang pandangan ini benar ...
Saya percaya bahwa dalam waktu
yang tidak lama lagi konsep politis
akan muncul dan
kewarganegaraan Indonesia akan
terbuka tidak hanya bagi orang
Indonesia asli, tetapi juga bagi
Tionghoa peranakan, Belanda
peranakan, dan Arab peranakan.

Selanjutnya mengenai hal asimilasi
orang Tionghoa dengan Pribumi secara
sosilogis, Liem (PTI) berpendapat:

Dalam arti politis seperti inilah
saya menggunakan istilah
Indonesier... Saya tidak
membicarakan atau bermaksud

301

membicarakan mungkin tidaknya
Tionghoa peranakan dilebur ke
dalam masyarakat Indonesia asli.
Saya berpendapat bahwa
peleburan merupakan suatu proses
yang jalannya bergantung pada
waktu dan situasi tanpa campur
tangan manusia dengan cara
mempercepat atau memperlambat
jalan proses tersebut. Kalau
waktunya sudah sampai proses
akan berkembang secara alamiah
dan tak seorangpun yang dapat
menghentikannya.

Persatuan Tionghoa (PT)

Persatuan Tionghoa (PT) didirikan oleh
sejumlah Tionghoa peranakan terkemuka pada
tanggal 23 Mei 1948 di wilayah yang masih
diduduki Belanda. Tokoh PT yang paling
menonjol adalah bekas pimpinan CHH, Thio
Thiam Tjong. Dalam pandangan beberapa

302

nasionalis Indonesia, PT erat berhubungan
dengan kolonialis Belanda karena Thio adalah
penasihat Gubernur Jenderal Belanda Van
Mook. Walaupun demikian, sebenarnya
susunan partai politik tersebut lebih kompleks
daripada yang disangka orang. Para pemimpin
bekas CHH memang merupakan pendukung
utama, tetapi selain itu ada juga orang dari
kelompok Sin Po dan nasionalis Indonesia.

PT juga mendapat dukungan dari Chung
Hwa Chung Hwee dan Siang Hwee yang
sebagian besar anggotanya Tionghoa totok,
serta Sin Ming Hui yang didominasi oleh
Tionghoa peranakan, sebab tujuan utama PT
adalah melindungi kepentingan kaum minoritas
Tionghoa dalam negara Indonesia yang
merdeka.

PT berpandangan bahwa berdirinya
negara Indonesia merupakan hal yang tak dapat
dielakkan dan Tionghoa yang terlahir di
Indonesia harus menjadi warga negara dari

303

negara yang baru itu karena mereka akan
tinggal dan mencari nafkah di Indonesia. PT
ingin mendapatkan keyakinan bahwa negara
baru tersebut memberikan hak dan kewajiban
yang sama kepada kelompok minoritas
Tionghoa seperti kepada kelompok-kelompok
lainnya tanpa memandang asal usul rasial,
kebudayaan, maupun agama.

Walaupun demikian PT menyatakan
bahwa menerima kewarganegaraan Indonesia
tidak berarti meninggalkan begitu saja identitas
etnisnya sendiri, karena dalam masyarakat yang
demokratis dan modern kaum minoritas etnis
diperkenankan untuk tetap mempertahankan
kebudayaan dan agamanya.

Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI)

Setelah Republik Indonesia Serikat lahir,
pada tanggal 12 Maret 1950, PT mengubah
namanya menjadi Partai Demokrat Tionghoa
Indonesia (PDTI) tanpa mengubah asasnya,

304

yaitu mempertahankan kepentingan kaum
minoritas Tionghoa.

Kemudian terjadi perselisihan dalam
tubuh PDTI, antara kelompok yang pro partai
multietnis dengan kelompok yang pro partai
eksklusif etnis Tionghoa. Menurut kelompok
pro multietnis yang dipimpin oleh Yap Tjwan
Bing dan Tan Boen An, apabila Tionghoa
peranakan mendirikan partai minoritas yang
didasarkan atas asal-usul etnis, mereka akan
terpencil sehingga akan meningkatkan
kemungkinan diskriminasi. Sebagian besar dari
kelompok ini meninggalkan PDTI dan memilih
bergabung dengan partai-partai politik etnis
pribumi sambil tetap mempertahankan
identitasnya sebagai Tionghoa peranakan. Yap
Tjwan Bing dan Tjoa Sie Hwie masuk PNI,
Tjung Tin Jan menjadi anggota Partai Katolik,
Tan Po Goan dan Tan Boen An bergabung
dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

305

Thio Thiam Tjong dan Khoe Woen Sioe
pro partai etnis. Mereka berpendapat
keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia
merupakan suatu realitas. Diskriminasi terbukti
ada di segala bidang. Karena itu, kaum
minoritas perlu bersatu dan berjuang melawan
diskriminasi. Dalam pandangan kelompok ini,
tidak ada gunanya orang Tionghoa peranakan
memasuki partai lain karena di sana pun
mereka tetap menjadi minoritas. Kalau terjadi
pertentangan kepentingan antara kaum
mayoritas dan minoritas, bagaimana pun juga
kelompok minoritas pasti kalah.

Pada tahun 1953, Menteri Luar Negeri

Sunario, mendesak pemerintah agar

mengeluarkan undang-undang

kewarganegaraan baru yang berstelsel aktif

untuk menggantikan UU Kewarganegaraan

Tahun 1946 yang mengacu pada perjanjian

Konferensi Meja Bundar (KMB) yang

berstelsel pasif.

306

RUU ini menimbulkan kegelisahan dan
protes keras dari kalangan masyarakat
Tionghoa. Kalau RUU ini berhasil diundangkan,
akan banyak sekali orang-orang Tionghoa yang
menjadi warga negara asing.

Pada waktu itu, PDTI yang asasnya
adalah untuk mempertahankan kepentingan
kaum Tionghoa, sedang dalam keadaan lesu
darah, setelah ditinggal oleh kelompok pro
multietnis. Dengan demikian pada akhir tahun
1953 timbul pemikiran di antara para
pemimpinnya untuk membentuk suatu panitia
untuk membahas masalah RUU
Kewarganegaraan sambil mengupayakan fusi
dengan organisasi-organisasi etnis Tionghoa
lainnya. Maka kemudian PDTI mengundang
para tokoh Tionghoa peranakan dari Sin Ming
Hui dan perkumpulan etnis Tionghoa lainnya
untuk membahas masalah ini.

Pada tanggal 13 Maret 1954, bertempat
di Gedung Sin Ming Hui, Jalan Gaja Mada 188,

307

Jakarta berlangsung pertemuan para tokoh
Tionghoa untuk membentuk organisasi
masyarakat Tionghoa yang akan diberi nama
Badan Permusyawaratan Warga Negara
Keturunan Tionghoa (Baperwat).

Berdasarkan risalah rapat, hadir 44
tokoh-tokoh Tionghoa dari berbagai aliran
masyarakat. Ke-44 orang tokoh Tionghoa yang
hadir tersebut dapat dibagi dalam tiga kubu
aliran politik. Pertama adalah golongan kanan
yang diwakili oleh simpatisan PSI dan Partai
Katolik. Kedua adalah golongan kiri, yang
diwakili oleh orang-orang yang memiliki
pandangan politik yang pro Republik Rakyat
Tiongkok. Ketiga adalah kubu yang secara
politis netral, mereka tidak mendukung salah
satu ideologi politik apa pun.

Baperki

Dalam keputusan rapat tokoh-tokoh
Tionghoa di Sin Ming Hui tanggal 13 Maret

308

1954, ternyata Baperwat diubah menjadi Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia
(Baperki). Berbeda dari PDTI, keanggotaan
organisasi sosiopolitik yang baru ini tidak
terbatas pada warga negara Indonesia keturunan
Tionghoa. Orang Indonesia asli dianjurkan
untuk menjadi anggota Baperki.

Baperki menyetujui kemajemukan,
karena beranggapan bahwa warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa adalah anak
Indonesia dan karenanya harus diterima
sebagaimana adanya. Pengasingan berbagai
suku (termasuk Tionghoa peranakan) yang
diciptakan politik kolonial Belanda masih
merupakan kenyataan hidup. Namun Baperki
tidak melarang orang yang bukan berasal dari
kelompok etnis Tionghoa untuk menjadi
anggota walaupun dalam kepemimpinan
Baperki, hampir semua diduduki oleh warga
negara Indonesia etnis Tionghoa.

309

Baperki tidak mendukung asimilasi
antara Etnis Tionghoa dengan Pribumi. Baperki
lebih memilih berintegrasi. Pokok-pokok
pendirian Baperki tentang asimilasi adalah
sebagai berikut:

Asimilasi atau amalgamasi minoritas ke
dalam mayoritas tidak dapat dalam waktu yang
singkat melenyapkan diskriminasi rasial.

Asimilasi tidak perlu karena minoritas
boleh hidup berdasarkan Pancasila, Bhineka
Tunggal Ika, Demokrasi, Hak Asasi Manusia.
Minoritas Tionghoa adalah anggota dari tubuh
masyarakat Indonesia. Pemerintah kolonial
dengan politik “pecah belah dan jajahnya” telah
memisahkan etnis Tionghoa dari tubuh
masyarakat Indonesia. Maka anggota minoritas
Tionghoa itu dan tubuh masyarakat Indonesia
harus diutuhkan kembali. Ini namanya
“integrasi” (keutuhan bangsa). Maka Baperki
berupaya mempertahankan adanya kelompok
etnis Tionghoa.

310

Siauw Giok Tjhan, ketua Baperki
mengakui bahwa, keeksklusifan rasial
merupakan warisan kolonialisme, sedangkan
pemberantasannya hanya dapat dicapai melalui
pembentukan masyarakat sosialis. Ia yakin
bahwa tugas paling mendesak bukanlah untuk
membicarakan keeksklusifan rasial, melainkan
untuk mendirikan suatu masyarakat sosialis.
Setelah masyarakat sosialis tercapai,
pertentangan golongan maupun rasial akan
lenyap. Jadi bagi Baperki, lebih penting
memperjuangkan Indonesia menjadi negara
komunis daripada membahas keeksklusifan
etnis Tionghoa.

Yap Thiam Hien

Yap Thiam Hien lahir di Aceh pada
tanggal 25 Mei 1913. Ia berhasil mendapat
gelar Mr (Meester in de Rechten) yaitu gelar
Sarjana Hukum pada zaman Hindia Belanda.
Sejak tahun 1949 hingga akhir hidupnya ia
berprofesi sebagai advokat. Ia aktif sebagai

311

pengurus Gereja Tiong Hoa Kie Tok Kauw
Hwee (Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat)
yang disingkat menjadi GKI-Jabar. Ia terpilih
menjadi salah satu ketua Dewan Gereja-Gereja
Indonesia (DGI), yang kemudian namanya
diubah menjadi Persekutuan Gereja-Gereja
Indonesia (PGI). Ia juga menjadi pengurus
Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI).
Ia adalah salah seorang pendiri Lembaga
Bantuan Hukum (LBH). Setelah meninggal
dunia, ia dinobatkan sebagai “Pejuang Hak
Asasi Manusia”.

Yap juga menaruh minat terhadap
masalah Tionghoa. Ia ikut serta dalam
pembentukan Baperki pada tahun 1954. Pada
tahun 1955 ia terpilih menjadi Wakil Ketua IV
Baperki Pusat. Sejak 1956-1960, ia terpilih
menjadi Wakil Ketua I Baperki Pusat.

Di bawah pimpinan Siauw Giok Tjhan
sebagai Ketua Umum, berangsur-angsur
Baperki menjadi pro komunis. Para pemimpin

312

yang tidak setuju dengan kebijaksanaan Siauw
mengundurkan diri dari Baperki. Di antaranya
Auwjong Peng Koen (P.K. Ojong) yang
menjadi redaktur Star Weekly, yang kemudian
menjadi Pendiri dan Pemimpin Umum Harian
Kompas dan Ko Kwat Oen yang kemudian
masuk Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan
mewakili partai itu menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR-RI).

Siauw memaparkan bahwa Baperki
menjalankan politik “integrasionis”. Baperki
mengintegrasikan diri dengan perjuangan
rakyat Indonesia dalam usaha mencapai
masyarakat sosialis.

Yap sebagai Wakil Ketua Baperki
berbeda pandangan dengan Siauw. Ia tidak
setuju dengan banyak pokok yang dikemukakan
oleh Siauw, khususnya yang dianggap sebagai
“terapi komunis” ala Siauw untuk
menyelesaikan masalah Tionghoa. Ia
menerangkan bahwa andai kata masyarakat

313

komunis akan tiba kelak, hal itu hanya akan
terjadi dalam waktu yang amat lama dan
karenanya “terapi” Siauw tidak akan menolong
menyelesaikan masalah Tionghoa dalam waktu
dekat.

Kemudian Yap mengemukakan
resepnya untuk menyelesaikan masalah
Tionghoa. Ia menyebutnya “pembersihan hati”,
yang akan dapat menjauhkan diri dari
prasangka egoisme dan kemunafikan; dengan
demikian, kelompok yang berkuasa (dominant
group) dapat menjadi “kaum elit yang berjiwa
melayani seluruh rakyat”. Yap juga
mengusulkan diadakan peraturan dan hukum
yang tidak bersifat diskriminatif antara berbagai
kelompok etnis serta menganjurkan hukuman
bagi siapa pun yang melanggarnya.

Yap sangat kritis terhadap Baperki yang
telah mendukung Presiden Soekarno
memberlakukan kembali Undang-Undang
Dasar 1945, yang mengandung pasal bahwa

314

Presiden Indonesia haruslah “orang Indonesia
asli”. Pasal ini bagi Yap merupakan
diskriminasi dan bertentangan dengan tujuan
perjuangan Baperki. Bagi Yap asas itu penting,
tapi untuk Siauw kenyataan politiklah yang
terpenting. Kenyataan bahwa Baperki
membutuhkan dukungan Presiden Soekarno
dan bahwa UUD 1945 akan memperkuat posisi
Presiden Soekarno adalah hal yang membuat
Siauw mengambil sikap toleran terhadap
pelanggaran prinsip tujuan perjuangan Baperki.
Lalu Yap mengajukan mosi terhadap pimpinan
Siauw. Pada waktu itu Baperki sudah
didominasi oleh kelompok kiri, Yap kalah, lalu
ia meletakkan jabatan sebagai Wakil Ketua
Baperki.

Karena mendukung politik Presiden
Soekarno dengan Manipol-Usdek dan Nasakom,
dengan otomatis Baperki berada dalam satu
barisan dengan seluruh “kekuatan revolusi”.

315

Mereka berada dalam satu barisan dalam
perjuangan masyarakat sosialis Indonesia.

Situasi itu menyebabkan Baperki lebih
dekat kepada PKI, Partindo, PNI, dan kekuatan-
kekuatan pendukung Bung Karno lainnya,
terutama dengan PKI yang selalu mendukung
Baperki dalam perjuangan menentang
diskriminasi rasial baik di DPR maupun di
forum-forum lainnya dan di media masa Harian
Rakyat. Hal ini menyebabkan banyak etnis
Tionghoa, khususnya anggota dan simpatisan
Baperki juga bersimpati pada PKI, Partindo,
dan ormas-ormasnya. Kemudian mereka ikut
bergabung ke dalamnya.

Piagam Asimilasi

Lawan Baperki adalah kelompok
Tionghoa peranakan yang anti komunis dan
mendukung asimilasi. Kelompok ini yang
kemudian dikenal sebagai Lembaga Pembinaan
Kesatuan Bangsa (LPKB).

316

Pada tahun 1952 beberapa orang
Tionghoa peranakan mengusulkan pembubaran
partai/organisasi Tionghoa yang ekslusif dan
mereka bergabung dengan partai/organisasi
yang didominasi kalangan pribumi. Salah satu
pemimpinnya adalah Lauw Chuan Tho, yang
pada masa menjadi mahasiswa di negeri
Belanda, pernah mengusulkan agar
perkumpulan Chung Hwa Hui (CHH)
dibubarkan dan warga negara Indonesia etnis
Tionghoa bergabung menjadi anggota
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI).

Gerakan asimilasi (pembauran)
mencapai puncaknya pada saat tokoh-tokoh
Tionghoa peranakan mengadakan seminar
Kesadaran Nasional di Bandungan (Ambarawa)
pada tanggal 13-15 Januari 1960, dengan topik
“asimilasi total sebagai sebuah jalan keluar
terhadap masalah minoritas Tionghoa”.
Seminar itu kemudian diikuti dengan

317

dideklarasikannya “Piagam Asimilasi”
(Asimilation Charter) pada tahun 1961.

Sepuluh tokoh penandatanganan Piagam
Asimilasi itu adalah Ojong Peng Koen, Ong
Hok Ham, Mr Tjung Tin Jan, Injo Beng Goat,
Tjia Djie Siong, Drs. Lo Siang Hien, Ir. Tan
Bian Seng, Drs. Lauwchuantho (Junus Jahja),
Drs. Tantekhian dan Drs. Kwee Hoat Djien.
Mereka mendeklarasikan “Piagam Asimilasi”
sebagai jawaban atas pendekatan Baperki yang
“integrasionis” dan anti asimilasi. Para
Tionghoa peranakan yang mendeklarasikan
“Piagam Asimilasi” menyatakan tekad mereka
untuk menjadi “orang Indonesia yang murni
dan patriotik” seperti disebut pada Sumpah
Pemuda tahun 1928, untuk mewujudkan satu
nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.

Dalam pandangan mereka, untuk
menjadi “orang Indonesia yang murni dan
patriotik” orang Tionghoa harus dilebur ke
dalam penduduk Indonesia asli sehingga kaum

318

minoritas Tionghoa tidak lagi menjadi suatu
kelompok tersendiri. Mereka juga
menganjurkan mayoritas orang Indonesia untuk
menerima “hal yang alamiah” itu serta untuk
membantu berlangsungnya proses asimilasi.

Salah seorang pemimpin kelompok itu,
Lauw Chuan Tho (Junus Jahja) beranggapan
bahwa apabila kaum minoritas Tionghoa tetap
merupakan “kasta” terpisah, maka mereka akan
terus-menerus menjadi objek diskriminasi.
Satu-satunya cara untuk menghilangkan
diskriminasi adalah melalui asimilasi ke dalam
penduduk Indonesia. Ia menyalahkan
pandangan yang mengatakan bahwa situasinya
belum matang untuk proses asimilasi karena
masih ada peraturan yang mendiskriminasi
orang Tionghoa. Ia mengemukakan bahwa
“terapi” asimilasi justru merupakan cara
menghilangkan diskriminasi.

Berdasarkan keyakinan bahwa Islam
adalah jalan pemecahannya, bagi apa yang

319

disebut masalah Tionghoa, Junus Jahja bersama
kawan-kawan, baik Tionghoa maupun pribumi
mendirikan Yayasan Ukhuwah Islamiyah pada
tahun 1981 dan mulai gerakan dakwah untuk
mengislamkan kelas menengah Tionghoa.

Pemimpin kelompok pro asimilasi
lainnya, Ong Hok Ham (Sejarawan, dosen
Fakultas Sastra Universitas Indonesia)
berpendapat bahwa, pemisahan diri dari
kelompok Tionghoa sering disebabkan oleh
orang Tionghoa sendiri yang ingin tetap
mempertahankan kelompok mereka yang
ekslusif. Dalam pandangan Ong, halangan-
halangan dari kelompok pribumi sedikit sekali,
dan kesukaran terbesar terletak pada orang
Tionghoa sendiri.

Ong menegaskan bahwa hambatan
terbesar bagi asimilasi orang Tionghoa adalah
lemahnya orientasi orang Tionghoa terhadap
Indonesia. Pikiran ini dipengaruhi oleh jalan
pikiran zaman kolonial dan sekarang pikiran ini

320

harus ditinggalkan karena sudah tidak sesuai
lagi dengan zaman.

Ong juga menerangkan bahwa
pemerintah memang dapat membuat rencana
mengadakan asimilasi orang-orang keturunan
Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi dengan
cara tidak menganggap orang Tionghoa sebagai
suatu kelompok tersendiri, dengan mendirikan
sekolah campuran, dan juga dengan cara
menganjurkan orang Tionghoa untuk
mengubah nama-nama mereka menjadi nama
Indonesia. Ong berpendapat bahwa langkah
yang diambil menuju persatuan amatlah penting.
Persatuan ini dapat dicapai melalui asimilasi,
sehingga sifat ekslusif orang Tionghoa akan
lenyap dan hubungan antara orang Tionghoa
dengan orang pribumi menjadi lebih baik;
selanjutnya akan bertambah jumlah perkawinan
campuran. Dengan cara demikian, menurut Ong,
asimilasi dapat tercapai, baik secara biologis,
ekonomis, sosial, dan politik.

321

Pemimpin pro asimilasi lainnya adalah
Tjung Tin Jan. Ia lahir di Bangka pada tahun
1919 dan ia lulus dari universitas Leiden dalam
bidang hukum. Ia pernah menjadi Wakil Ketua
Pengadilan Negeri di Pangkal Pinang (Bangka).
Dari 1950 hingga 1953, ia adalah anggota
parlemen mewakili PDTI. Kemudian pada
tahun 1953 ia bergabung dengan Partai Katolik
dan mewakili partai tersebut di parlemen
hingga 1965.

Tjung berpendapat bahwa diskriminasi
di Indonesia setelah merdeka, merupakan
kelanjutan dari alam pikiran dari zaman
kolonial, ketika masyarakat Indonesia dibagi-
bagi dalam Golongan Eropa, Golongan Timur
Asing, dan Golongan Pribumi. Golongan-
golongan ini terpisah dalam kelompok-
kelompok, dan terpisah satu sama lain, lalu
timbul prasangka dan pengelonan golongan dan
suku sendiri, dan ini mengakibatkan
diskriminasi.

322

Jadi diskriminasi tidak berdiri sendiri.
Diskriminasi bukan soal pokok, melainkan
akibat dari struktur masyarakat kolonial yang
masih hidup berkelompok-kelompok dalam
golongan-golongan asli dan WNI keturunan
Tionghoa, dengan alam pikiran masing-masing
yang masih asing satu sama lain.

Bila hendak menghilangkan
diskriminasi, maka golongan-golongan harus
dihilangkan dan ini memerlukan goodwill dari
kedua belah pihak. Dengan hilangnya
golongan-golongan, tidak ada lagi golongan
Tionghoa dan golongan pribumi. Maka
hilanglah pula diskriminasi dan masalah
Tionghoa.

Di dalam teks Piagam Asimilasi, antara
lain dikatakan “Dengan asimilasi dimaksudkan
proses penggabungan golongan-golongan yang
mempunyai sikap mental, adat kebiasaan dan
pernyataan-pernyataan kebudayaan yang
berbeda-beda menjadi satu kebulatan sosiologis

323

yang harmonis dan bermakna, yaitu yang dalam
hal ini dinamakan bangsa (nation) Indonesia itu.
Dijalankannya proses sosial ini secara integral
oleh segenap warga dan unsur Rakyat
Indonesia akan mempercepat tercapainya cita-
cita nasional kita seperti yang disebut di atas.
Dalam hubungan dengan masalah Warga
Negara Indonesia keturunan Tionghoa,
asimilasi berarti masuk dan diterimanya orang-
seorang keturunan Tionghoa ke dalam tubuh
bangsa (nation) Indonesia Tunggal, sedemikian
rupa sehingga akhirnya golongannya yang
semula khas tak ada lagi.

Konsep Piagam Asimilasi Diperjuangkan
oleh LPKB

Gagasan Ong dan kelompok pro
asimilasi lainnya masih belum komprehensif.
Dalam menganjurkan asimilasi, mereka tidak
membicarakan apakah orang-orang Tionghoa
harus lebih dulu terasimilasi ke dalam suku-

324

suku asli sebelum terlebur ke dalam bangsa
Indonesia.

Kelompok pro asimilasi berakar di
daerah perkotaan, tempat masalah etnis
Tionghoa biasanya tidak terlalu mendesak.
Mereka tidak mempunyai program yang kuat
untuk dapat melaksanakan dan menerapkan
gagasan mereka. Meskipun demikian, gagasan
mereka kemudian diambil alih oleh pemerintah
dan hasilnya adalah pembentukan Lembaga
Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB).

Salah satu program utama LPKB adalah
pelaksanaan asimilasi di segala bidang
kehidupan secara serentak dengan titik berat
pada asimilasi sosial. Asimilasi setidak-
tidaknya dilaksanakan dalam lima bidang
kehidupan antara lain; asimilasi bidang politik,
kultural, ekonomi, sosial, dan kekeluargaan
(pernikahan). Kelima hal tersebut harus
dilaksanakan dengan sinkron.

325

Kepemimpinan LPKB dipegang oleh
Kapten Laut K. Sidhunata, seorang Tionghoa
peranakan beragama Katolik. Kelompok LPKB
kemudian mendapat dukungan dari kekuatan
politik sayap kanan (termasuk Angkatan Darat)
dan menjadi bukan saja saingan Baperki
melainkan juga saingan dari partai-partai sayap
kiri pribumi lainnya. Isu tentang asimilasi
bukan lagi merupakan isu “hubungan
minoritas-mayoritas”, tetapi telah menjadi isu
dalam perjuangan politik di Indonesia.

Dalam perkembangannya LPKB
menghadapi banyak rintangan. Apalagi setelah
kejadian peristiwa rasialis 10 Mei 1963, ketika
Baperki karena peranannya membela hak-hak
dan kepentingan etnis Tionghoa, mendapatkan
banyak simpati dari kalangan masyarakat
Tionghoa. Para tokoh LPKB merasa posisinya
makin tersisih dan terisolasi.

Dengan terjadinya peristiwa G30S,
tumbangnya Presiden Sukarno, dan

326

kemenangan Angkatan Darat, LPKB dapat
dikatakan menjadi pemenang. Baperki
dibubarkan.

Pada tahun 1967, penguasa Indonesia
pada waktu itu, membubarkan LPKB dengan
alasan misinya sudah berhasil dan sudah selesai.
Tetapi, pada tanggal 8 Agustus 1974 Gubernur
Jakarta membentuk sebuah organisasi yang
dinamakan Badan Pembinaan Kesatuan Bangsa
DKI yang mirip LPKB yang telah dibubarkan
itu.

Bakom – PKB

Setelah Peristiwa Malari 74 yang
meminta korban cukup banyak etnis Tionghoa
yang tidak berdosa, beberapa orang mantan
pimpinan LPKB merasa khawatir melihat
perkembangan situasi karena gap antara kaya
dan miskin di Indonesia semakin dalam dan
menjurus ke arah rasialisme. Dengan dukungan
Gubernur DKI-Jaya, Ali Sadikin pada bulan

327

Agustus 1974 mereka mendirikan Badan
Pembina Kesatuan Bangsa (BPKB), namun
dalam perkembangannya badan ini tidak
memainkan peranan penting dan menonjol.

Pada bulan Juli 1977, Departemen
Dalam Negeri menyelenggarakan suatu
konperensi nasional di Jakarta dengan
pesertanya para “tokoh” Tionghoa se-Indonesia.
Pada akhir konferensi, para peserta
mengeluarkan sebuah pernyataan yang
menyatakan keinginan mereka akan kesatuan
nasional dan mengusulkan pembentukan
sebuah forum komunikasi dan konsultasi,
sehingga terjalin kerja sama dengan pemerintah
dalam memungkinkan kesatuan nasional.

Pemerintah menganggap usul-usul dari
konperensi yang menyatakan, “usaha-usaha
pembauran bangsa perlu ditingkatkan di segala
bidang kehidupan dalam rangka memperkokoh
persatuan dan kesatuan bangsa” sangat baik dan
dapat diterima. Maka pemerintah khususnya

328

Departemen Dalam Negeri menyetujui
pembentukan Badan Komunikasi Penghayatan
Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB). Bakom
dibentuk pada tanggal 18 Oktober 1977 dan
mendapat pengakuan resmi dari Menteri Dalam
Negeri yang menjadi pelindungnya pada
tanggal 31 Desember 1977.

Sebagian besar pimpinan Bakom-PKB
adalah mantan aktivis LPKB. Bakom PKB
tidak mempunyai keanggotaan yang luas dan
kegiatannya sebagian besar dibiayai pemerintah
bersama-sama donasi dari para pengusaha
Tionghoa. Bakom-PKB menyebarkan
gagasannya melalui majalah “Pembauran”.

Setelah Baperki dan LPKB dibubarkan,
hiruk-pikuk pro dan kontra asimilasi etnis
Tionghoa yang dikaitkan dengan pertentangan
politik kanan dan kiri mulai reda dan tenang.
Masalah asimilasi etnis Tionghoa masih
dibahas, tetapi di dalam forum-forum seminar-
seminar ilmiah di kalangan kaum intelektual.

329

Konsepsi mengenai asimilasi etnis Tionghoa
sudah menjadi keputusan politik pemerintah
Orde Baru yang wajib dilaksanakan.

330

BAB XII

POLITIK ASIMILASI ORDE
BARU

Pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi, rakyat
Indonesia dikejutkan oleh sebuah pengumuman Radio
Republik Indonesia (RRI), yang menyatakan bahwa
telah terjadi suatu gerakan militer dalam Angkatan
Darat. Letnan Kolonel Oentoeng Samsuri dari Resimen
Tjarabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden
Soekarno, memimpin “Gerakan 30 September”
menantang para jenderal yang menamakan
kelompoknya “Dewan Jenderal”.

Menurut versi PKI, Dewan Jenderal disinyalir
merencanakan untuk mengadakan kudeta terhadap
pemerintahan Presiden Soekarno pada hari Angkatan

331


Click to View FlipBook Version