Bersenjata 5 Oktober 1965. Mereka sudah
mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur ke Jakarta. Maka Gerakan 30
September (G30S) bergerak mendahului untuk
mencegah kudeta Dewan Jenderal.
G30S mengumumkan bahwa mereka telah
membentuk Dewan Revolusi dan mereka telah
mengambil alih pemerintah RI dari tangan Kabinet
Dwikora; ini berarti G30S sudah melakukan kudeta
terhadap pemerintahan Presiden Soekarno.
Pada sore harinya rakyat Indonesia semakin
menjadi bertambah bingung ketika mendengar pidato
singkat Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto,
yang menyampaikan melalui RRI bahwa pada tanggal
1 Oktober 1965, di Jakarta telah terjadi suatu peristiwa
yang dilakukan oleh suatu gerakan kontra revolusioner
yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”.
Mereka telah menculik beberapa perwira tinggi
Angkatan Darat dan telah memaksa dan menggunakan
Studio RRI Jakarta dan Kantor Telkom Jakarta untuk
keperluan aksi kudeta mereka. Seluruh Slagorde
332
Angkatan Darat kompak bersatu dan siap bekerja sama
dengan Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian untuk
menumpas pemberontakan G30S.
Selanjutnya, operasi pembersihan terhadap para
pelaku dan pendukung G30S dilakukan secara intensif.
Pembersihan ini terutama ditujukan kepada pimpinan,
kader, aktivis, anggota PKI dan ormas-ormas yang
bernaung di bawahnya, antara lain Pemuda Rakyat,
Gerwani, SOBSI, PGRI non Vaksentral, BTI, dan
CGMI. Pembersihan juga dilakukan terhadap seluruh
pimpinan, kader, aktivis, dan anggota ormas-ormas
yang dianggap “kiri.”
Pada tanggal 14 Oktober, Ketua G5 KOTI dari
Markas Besar Angkatan Darat melalui Radiogram
memberikan instruksi kepada seluruh komandan
militer di daerah-daerah agar melarang kegiatan-
kegiatan organisasi-organisasi masa atau partai politik
yang para pemimpinnya menunjukkan dukungan
kepada G30S. Instruksi ini segera disambut oleh LPKB
yang memerintahkan seluruh kantor-kantor cabangnya
untuk menyebarluaskan pernyataan-pernyataan LPKB
333
yang dikeluarkan sejak meletusnya G30S, untuk
menunjukkan bahwa LPKB bukan ormas kalangan
Tionghoa pendukung G30S.
Sebaliknya, dalam aksi pembersihan itu,
kantor-kantor Baperki dan ormas pendukungnya PPI
(Permusyawaratan Pemuda Indonesia) turut menjadi
sasaran. Kemudian Baperki dan PPI dinyatakan
sebagai organisasi terlarang. Lalu Menteri PTIP
Brigjen Dr. Syarif Thajeb memerintahkan untuk
menutup Universitas Res Publica (Ureca) milik
Baperki dan membekukan organisasi mahasiswa
CGMI dan Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa
Indonesia, perhimpunan dari mahasiswa-mahasiswa
Tionghoa).
Pembubaran Baperki
Pada tanggal 19 Oktober, beberapa
pucuk pimpinan LPKB menulis surat kepada
Presiden Soekarno. Mereka mendesak Presiden
agar membubarkan Baperki. Mereka
mengajukan alasan bahwa Baperki, dengan
334
keanggotaannya yang hampir seluruhnya terdiri
dari golongan WNI etnis Tionghoa dan dengan
keikut-sertaan mereka dalam politik pro PKI,
dapat mendorong konflik politik beralih
menjadi konflik rasial. Para anggota Baperki
sendiri yang pada mulanya hanya tertarik
kepada Baperki semata-mata karena alasan
sosial dan pendidikan, sekarang mereka
menjadi terlibat dalam situasi yang sebenarnya
tidak mereka kehendaki.
Kemudian seruan untuk pembubaran
Baperki juga dilakukan oleh pimpinan Nahdatul
Ulama (NU), H.S. Syaichu, yang menyatakan
bahwa kalau para anggota Baperki tidak
membubarkan diri, maka pemerintah harus
membubarkannya. Hal ini meratakan jalan bagi
serangan bersama terhadap Baperki. Para
pejabat militer dan kantor-kantor cabang LPKB
di berbagai daerah bekerja sama untuk
membekukan kegiatan Baperki dan mendorong
335
para anggota Baperki untuk membubarkan
cabang-cabang mereka sendiri.
Upaya LPKB untuk mempengaruhi para
anggota Baperki untuk membubarkan diri
berjalan lancar. LPKB berhasil menjelaskan
dan meyakinkan bahwa Baperki sebagai suatu
ormas dari etnis Tionghoa yang ekslusif, oleh
penduduk Indonesia pada umumnya, dianggap
sebagai mewakili semua golongan WNI etnis
Tionghoa. Sekalipun Baperki mula-mula
dibentuk sebagai suatu organisasi sosial dan
politik, namun kemudian organisasi ini
bergeser menjadi aktif di bidang politik kiri dan
secara konsisten mengikuti garis PKI.
Sebagaimana orang-orang LPKB melihatnya,
jelas bahwa percobaan kudeta dirancang dan
dilaksanakan oleh PKI dan para simpatisannya.
Akibatnya, disebabkan oleh Baperki yang
bersimpati pada PKI, maka orang-orang
Indonesia pada umumnya cenderung untuk
memandang setiap etnis Tionghoa di Indonesia
336
adalah pendukung PKI. Tambahan pula,
Baperki tetap bungkam setelah kudeta gagal,
sama sekali tidak mengutuk G30S dan tidak
menyatakan duka cita secara terbuka atas
meninggalnya para jenderal yang dibunuh oleh
PKI. Sikap-sikap ini memperkuat kecurigaan
masyarakat Indonesia pada umumnya menjadi
percaya bahwa Baperki memang benar adalah
kaki tangan PKI dan kemungkinan besar juga
menjadi kaki tangan G30S.
Selanjutnya LPKB juga menjelaskan
bahwa Baperki tidak memperkuat garis
pemisah antara Tionghoa asing dan WNI etnis
Tionghoa, dan Baperki kerap kali mengadakan
hubungan erat dengan Kedutaan Besar RRT.
Sikap pro G30S yang disuarakan oleh Radio
Peking sejak percobaan kudeta, dapat
membahayakan WNI etnis Tionghoa di
Indonesia karena tidak dibedakan antara WNI
etnis Tionghoa dengan bangsa Tionghoa yang
bermukim di Indonesia.
337
Namun demikian, LPKB memberikan
hiburan kepada para anggota Baperki yang
sedang galau, dengan menyatakan: Sebenarnya
bukan mereka yang bersalah, mereka hanya
diperdayakan oleh beberapa pemimpin jahat.
Maka jalan keluar dari kesulitan yang sedang
mereka hadapi adalah mereka sendiri dapat
menuntut pembubaran Baperki. Dalam situasi
yang berubah ini, para anggota Baperki harus
menempatkan kepercayaan kepada pemerintah
yang sedang berkuasa. Khususnya kepada
LPKB dan Angkatan Bersenjata, dan berbuat
sebaik-baiknya untuk berasimilasi ke dalam
masyarakat Indonesia. Sebagian besar anggota
Baperki hanya memerlukan sedikit dorongan
untuk lari mencari perlindungan dan
menunjukkan bahwa mereka bukan bagian dari
pendukung G30S.
Para anggota Baperki yang sudah
terperosok menjadi anggota Baperki
mempunyai alasan kuat untuk merasa takut.
338
Mereka terdorong untuk memilih
membebaskan diri dari keterkaitan dengan
politik pro PKI dari Baperki dan mereka lebih
suka memilih untuk turut membubarkan
Baperki dari pada dianggap sebagai orang yang
pro PKI. Dalam waktu yang amat singkat,
hampir semua kantor cabang Baperki di seluruh
Indonesia dibubarkan oleh anggota-anggota
Baperki sendiri.
Sesudah G30S digagalkan, PKI
dibubarkan dan Baperki dihancurkan, maka
program asimilasi yang dicanangkan oleh
LPKB tidak lagi mendapat perlawanan dari
Baperki.
Dengan dibubarkannya organisasi
Baperki, LPKB ditugaskan untuk menangani
masalah Tionghoa. LPKB menganjurkan orang
Tionghoa di Indonesia berasimilasi total ke
dalam masyarakat pribumi sebagai satu-satunya
solusi masalah Tionghoa.
339
Peran LPKB Di Zaman Orde Baru
Konsep asimilasi LPKB diuraikan
secara rinci oleh Dr. Ong Hok Ham, sejarawan,
teoritikus, dan konseptor terkemuka doktrin
asimilasi. Ia menulis sebuah artikel dengan
judul “Asimilasi Golongan Peranakan
Tionghoa” yang dimuat dalam majalah Star
Weekly pada tanggal 27 Februari 1960.
Menurut Ong Hok Ham, satu-satunya
jalan agar minoritas peranakan meninggalkan
kedudukannya sebagai minoritas dan menjadi
loyal kepada negara RI adalah melakukan
asimilasi, atau melakukan amalgamasi menjadi
orang-orang Indonesia “asli”. Ia berpendapat
bahwa terpisahnya kelompok Tionghoa dari
orang-orang Indonesia umumnya disebabkan
oleh orang-orang Tionghoa sendiri yang masih
mempertahankan identitas Tionghoanya, dan
340
mengelompok secara ekslusif dengan sesama
etnis Tionghoa.
Ong menerangkan bahwa pemerintah
dimungkinkan membuat rencana mengadakan
asimilasi WNI etnis Tionghoa ke dalam
masyarakat pribumi dengan cara tidak
menganggap etnis Tionghoa sebagai suatu
kelompok tersendiri, dengan mendirikan
sekolah campuran (non eksklusif), dan juga
dengan menganjurkan etnis Tionghoa untuk
mengubah nama-nama mereka menjadi nama
Indonesia.
Ong berpendapat bahwa langkah yang
diambil menuju persatuan bangsa sangat
penting. Persatuan itu dapat dicapai melalui
asimilasi, sehingga sifat eksklusif etnis
Tionghoa lenyap dan hubungan antara etnis
Tionghoa dengan pribumi menjadi lebih baik,
selanjutnya akan bertambahlah jumlah
perkawinan campuran. Dengan demikian,
asimilasi biologis dan sosiologis dapat tercapai.
341
Upaya LPKB Memisahkan WNI Etnis
Tionghoa dengan WNA
Dalam bulan-bulan sesudah percobaan
kudeta, LPKB sepenuhnya terlibat dalam
mengusahakan peningkatan kesatuan nasional
Indonesia, terutama dengan jalan asimilasi
WNI etnis Tionghoa sesuai dengan perhatian
LPKB sejak pembentukannya.
Perhatian utama LPKB adalah kepada
para pendukungnya sendiri, WNI etnis
Tionghoa. Tema pokok kebijaksanaan LPKB
adalah berikut: “Haruslah ada garis pemisah
jelas yang ditarik antara orang Tionghoa asing
dan WNI etnis Tionghoa, dan haruslah tidak
ada garis pemisah semacam itu antara WNI
etnis Tionghoa dan orang Indonesia pribumi”.
LPKB memberikan perhatian
sepenuhnya kepada keinginan ini dan tanpa
342
dinodai oleh suatu kebencian apapun
mengambil langkah sebagai berikut ini:
a. meregistrasikan dengan teliti semua orang
asing di Indonesia dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya;
b. menertibkan organisasi bagi semua
Tionghoa asing, sehingga hanya ada satu
organisasi tunggal bagi mereka;
c. menertibkan semua organisasi-organisasi
yang bersifat eksklusif rasial dalam
lingkungan tubuh bangsa Indonesia di
bawah pengawasan dan bimbingan LPKB;
d. mengadakan pembatasan-pembatasan yang
sekeras-kerasnya terhadap peranan
golongan asing di bidang ekonomi,
pendidikan, pengajaran dan kebudayaan.
LPKB juga memikirkan untuk menutup
sekolah-sekolah Tionghoa asing.
Di samping itu LPKB bersama-sama
dengan Kogam V akan mengambil tindakan-
tindakan yang semuanya itu dimaksudkan
343
untuk mempercepat “nation and character
building” sesuai dengan jiwa integrasi dan
asimilasi.
LPKB menjadi semacam katalisator
yang dapat mempercepat dan memimpin proses
persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan
diterangkan sebagai proses fisik yang
menggabungkan bersama berbagai unsur tetapi
tetap mempertahankan identitasnya sendiri-
sendiri. Kesatuan di lain pihak, merupakan
proses yang melenyapkan unsur ini dan
digantikan oleh sesuatu yang sama sekali baru
yang berada di suatu tingkat lebih tinggi. Jadi,
di bidang pembangunan bangsa, persatuan
bangsa adalah tahap pertama yang membentuk
satu front tunggal bagi berbagai unsur etnis,
kedaerahan dan ideologi; kesatuan bangsa
merupakan tahap kedua yang menyatukan
unsur ini seperti aliran-aliran kecil yang
membentuk sungai mahabesar. Dengan
demikian kegiatannya ditujukan untuk
344
menghilangkan provinsialisme, regionalisme,
dan suku-isme.
Walaupun LPKB sebenarnya sejak
tahun 1963 sudah resmi menjadi lembaga
pemerintah, pada tanggal 22 November 1967
LPKB dibubarkan dan semua fasilitas dan
personilnya dilimpahkan kepada Departemen
Dalam Negeri. Pimpinan LPKB mengeluarkan
pernyataan bahwa dari sudut strategi politik
LPKB secara pokok telah mencapai sasaran.
Konsepsi mengenai asimilasi sudah menjadi
putusan politik pemerintah Orde Baru yang
wajib dilaksanakan.
Politik Asimilasi Orde Baru
Pada zaman Orde Baru, pemerintah
Soeharto melarang semua organisasi politik
Tionghoa. Larangan ini bukan saja karena
politik kiri Baperki, tetapi juga karena konsep
“nation building” yang dianut oleh pemimpin
Orde Baru. Mereka memandang organisasi
345
Tionghoa itu eksklusif, maka pemerintah Orde
Baru ingin melihat orang Tionghoa itu
bergabung dalam ormas yang didominasi oleh
pribumi, bukan yang eksklusif, khusus hanya
sesama etnis Tionghoa dan WNI etnis
Tionghoa tidak bergabung ke dalam organisasi
Tionghoa Asing (WNA).
Politik Orde Baru untuk
mengasimilasikan orang Tionghoa paling jelas
tercermin dalam kebijakan pendidikan, bahasa,
dan ganti nama.
Pendidikan
Sejak zaman Orde Baru, semua anak
Tionghoa hanya bisa belajar di sekolah
Indonesia. Jadi, pada zaman Orde Baru, anak-
anak Tionghoa baik peranakan maupun totok,
sama-sama mengalami Indonesianisasi.
Bukan saja sekolah Tionghoa
diindonesiakan, bahkan Universitas Res Publica
(milik Baperki) juga diambil alih dan dijadikan
346
Universitas Trisakti. Komposisi mahasiswanya
pun mengalami perubahan. Universitas Trisakti
bukan lagi universitas yang hanya menampung
pemuda Tionghoa saja tetapi juga pribumi.
Bahkan jumlah mahasiswa pribumi lebih besar
daripada yang nonpribumi. Universitas Trisakti
tidak dapat lagi dikatakan Universitas yang
eksklusif.
Bahasa
Selama zaman Orde Baru bahasa
Tionghoa tidak boleh dipamerkan dan nama
semua toko harus dalam bahasa Indonesia.
Koran Tionghoa sangat dibatasi, hanya sebuah
koran “berbahasa Tionghoa” yang diizinkan
terbit. Koran ini bernama “Harian Indonesia”,
sebuah harian pemerintah yang terbit di Jakarta.
Meskipun “Harian Indonesia” boleh beredar
secara bebas di Indonesia, koran dan buku
bahasa Tionghoa yang terbit di luar negeri
dilarang beredar. Kemudian penanam modal
dari Taiwan yang cukup banyak di Indonesia,
347
diizinkan untuk mendirikan sebuah sekolah
Tionghoa khusus untuk anak-anak bangsa
Taiwan. Tetapi anak-anak WNI etnis Tionghoa
tidak boleh sekolah di sana.
Ganti Nama
Kebijakan yang paling komprehensif
untuk mengubah identitas Tionghoa di
Indonesia adalah peraturan ganti-nama. Pada
tahun 1961, ketika Soekarno masih berkuasa,
peraturan ganti-nama sudah diumumkan, akan
tetapi tidak dilaksanakan. Pada tahun 1966,
setelah Soeharto berkuasa, peraturan ganti-
nama berlaku lagi. Kali ini prosedurnya
disederhanakan dan banyak orang Tionghoa
mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti-
nama ini tidak wajib. Namun, bagi kebanyakan
orang Tionghoa, pada tahun 60-an, terasa ada
tekanan halus dari pemerintah untuk ganti-
nama, karena ganti-nama dianggap sebagai
sebuah tingkah laku simbolik, semacam
deklarasi orang Tionghoa bahwa mereka mau
348
menjadi bangsa Indonesia seutuhnya dan mau
mengubah identitas dirinya menjadi sama
dengan sesama bangsa Indonesia lainnya.
Mengindonesia
Politik pemerintah Indonesia yang
mengizinkan bangsa Indonesia bebas beragama
telah memungkinkan etnis Tionghoa
mempertahankan identitas etnisnya melalui
agama Konghucu. Perlu ditegaskan di sini
bahwa kebijakan agama yang liberal ini bukan
disebabkan oleh adanya orang Tionghoa.
Kebijakan ini dibuat karena hakikat masyarakat
Indonesia sendiri. Indonesia adalah masyarakat
majemuk dan banyak agama. Untuk
mempersatukan bangsa Indonesia, telah
diterapkan ideologi Pancasila yang memberikan
persamaan terhadap semua agama besar di
Indonesia.
Sebetulnya, pada zaman Orde Lama
telah dikeluarkan sebuah Penetapan Presiden
349
(Penpres No.1/1965) yang mengakui enam
agama di Indonesia: Islam, Katolik, Protestan,
Hindu Bali, Budha, dan Konghucu. Agama
Konghucu umumnya dipeluk oleh orang
Tionghoa. Tidak mengherankan jika
pemerintah Orde Baru, yang ingin melebur
orang Tionghoa menjadi pribumi, akhirnya
tidak mengakui agama Konghucu sebagai
agama. Pada tahun 1979, pemerintah Orba
mengeluarkan instruksi, yang menyatakan
bahwa agama Konghucu bukan agama,
melainkan hanya filsafat etika. Maka Agama
Konghucu tidak lagi diakui sebagai agama
resmi.
Antara tahun 1979 dan Mei 1998,
meskipun agama Konghucu tidak diakui
sebagai agama resmi namun tidak dilarang.
Orang Tionghoa masih bisa memeluk agama
Konghucu walaupun tidak bisa mengadakan
upacara agama-agama Konghucu secara
terbuka.
350
Politik asimilasi Orde Baru ini
mempunyai dampak besar terhadap masyarakat
Tionghoa, terutama bagi generasi muda etnis
Tionghoa totok. Mereka berubah menjadi
Tionghoa peranakan dan hanya berbahasa
Indonesia. Mereka semakin mengindonesia.
Mengindonesia, awalan “me”
menunjukkan bahwa mengindonesia bukanlah
suatu kata benda, melainkan suatu proses.
Mengindonesia merupakan suatu kata kerja.
Artinya, menjadi Indonesia mengimplikasikan
adanya suatu gambaran yang ingin diwujudkan.
Yang ingin diwujudkan itu adalah kesepakatan
bersama. Dalam kaitan dengan “nation state”
Indonesia, mengindonesia berarti proses
mewujudkan imajinasi bangsa Indonesia yang
bersatu, adil, dan makmur.
Mengindonesia berarti mewujudkan
identitas bangsa Indonesia yang diimajinasikan
itu. Perwujudan identitas bangsa Indonesia
merupakan suatu proses yang
351
berkesinambungan, bahkan tidak pernah selesai.
Hal ini mengimplikasikan pula bahwa identitas
bangsa Indonesia atau jati diri bangsa Indonesia
mengalami pasang surut di dalam
perkembangannya.
Mengindonesia berarti proses memiliki
jati diri dari bangsa Indonesia. Akan tetapi,
ketika generasi muda etnis Tionghoa sedang
dalam proses mengindonesia sedang dalam
proses mewujudkan jati diri sebagai bangsa
Indonesia, pemerintah Orde Baru tidak
konsisten. Politik asimilasi Orde Baru menjadi
ambivalen, sehingga proses pemuda-pemudi
etnis Tionghoa mengindonesia menjadi agak
surut dan ragu-ragu karena sepertinya ada
hambatan dari politik asimilasi Orde Baru yang
ambivalen.
Politik Asimilasi yang Ambivalen
Politik asimilasi Orde Baru sangat
ambivalen, di satu sisi pemerintah giat
352
mengasimilasikan WNI etnis Tionghoa, tetapi
di sisi lain pemerintah juga giat membedakan
etnis Tionghoa dengan bangsa Indonesia pada
umumnya melalui tindakan diskriminatif
terhadap WNI etnis Tionghoa. Di satu sisi
pemerintah giat menganjurkan WNI etnis
Tionghoa untuk mengganti nama Tionghoa
dengan nama yang serupa dengan nama orang
Indonesia pada umumnya, tetapi di sisi lain
pemerintah memerintahkan kepada aparat
pemerintah daerah untuk memberi kode tertentu
pada Kartu Tanda Penduduk WNI etnis
Tionghoa, agar pemerintah dapat membedakan
WNI etnis Tionghoa dengan bangsa Indonesia
pada umumnya, untuk membedakan antara
Pribumi dan Nonpribumi.
Selama periode Soeharto, dan terutama
sesudah pertengahan 1980-an, terdapat suasana
rekayasa polarisasi antara minoritas etnis
Tionghoa dan mayoritas etnis pribumi. Suasana
ini diperparah dengan adanya gejala yang sama
353
dalam hubungan antara golongan Islam dan
Kristen, yang cukup banyak di antaranya adalah
etnis Tionghoa. Polarisasi antara minoritas etnis
Tionghoa dengan mayoritas etnis pribumi,
menyuburkan antagonisme antargolongan.
Keadaan demikian memungkinkan terjadinya
kerusuhan dahsyat di Jakarta pada pertengahan
Mei 1998, yang jelas ditujukan kepada etnis
Tionghoa.
354
BAB XIII
KERUSUHAN ANTI
TIONGHOA MEI 1998
Peristiwa kerusuhan Mei 1998 tidak bisa
dipahami sebagai sebuah peristiwa yang terpisah dari
rangkaian peristiwa sebelum, bersamaan, maupun yang
terjadi setelahnya. Hal itu dikarenakan kerusuhan Mei
1998 merupakan paduan dari dinamika sosial, politik,
dan ekonomi yang melibatkan pertarungan berbagai
kepentingan di dalamnya. Untuk itu, maka tinjauan
historis menjadi sebuah kebutuhan yang penting untuk
membantu memahami dinamika tersebut. Salah satu
upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mencoba
memahami konteks yang melingkupi terjadinya
kerusuhan Mei 1998 dengan merunut pada peristiwa
menonjol yang terjadi sebelumnya.
Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi
dalam kurun waktu beberapa tahun sebelum kerusuhan
Mei 1998. Tidak mudah memang memastikan relasi
355
atau keterkaitan antara peristiwa-peristiwa tersebut,
karena tidak selalu terkait secara langsung.
Peristiwa Politik
Sejak terpilihnya kembali Soeharto sebagai
presiden dengan Try Sutrisno sebagai wakil presiden
pada tahun 1992, wacana pergantian kekuasaan mulai
merebak. Beberapa skenario dan wacana mulai
bermunculan. Salah satu yang paling menonjol adalah
keyakinan bahwa posisi wakil presiden periode
selanjutnya merupakan posisi yang sangat strategis
dalam menentukan presiden baru (pengganti Presiden
Soeharto).
Isu penggantian kekuasaan Presiden Soeharto
yang telah lebih dari tiga puluh tahun berkuasa, tidak
hanya beredar di kalangan elit politik. Bagi banyak
kelompok masyarakat, khususnya aktivis politik dan
sosial yang menginginkan terjadinya perubahan, seolah
mendapatkan peluang yang semakin besar. Berbagai
wacana melalui berbagai diskusi, aksi demonstrasi, dan
lainnya mulai meningkat baik secara kualitatif maupun
kuantitatif.
Pembentukan ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia) pada tahun 1990 yang dimotori dan
diketuai oleh B.J. Habibie menjadi isu hangat yang
dihubungkan dengan proses penggantian kekuasaan
Indonesia.
356
Setelah pembentukan kabinet baru pada tahun
1993, beberapa menteri kabinet baru tersebut diketahui
memiliki latar belakang ICMI. Hal ini semakin
menghangatkan suasana politik dan lalu berkembang
menjadi isu yang bermuara pada isu penggantian
kekuasaan.
Berseberangan dengan ICMI yang dipimpin
oleh B.J. Habibie, ada Nahdlatul Ulama (NU) yang
dipimpin oleh Abdurrachman Wahid (Gus Dur). NU
adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Walaupun NU menyatakan tidak memposisikan diri
sebagai organisasi politik (setelah kembali ke Khitah
1926 pada tahun 1984), NU tetap memiliki posisi
politik yang kuat. NU menjadi sasaran dari banyak
kepentingan politik termasuk pemerintah dan elit
politik yang ada di dalamnya.
Terjadinya berbagai konflik pada tubuh
organisasi-organisasi berbasis massa besar di
Indonesia, sulit dilepaskan dari kepentingan politik saat
itu. Hal ini disebabkan oleh potensi politik yang
dimiliki masing-masing organisasi tersebut. Berbagai
konflik yang terjadi secara beruntun pada organisasi-
organisasi massa, meningkatkan wacana tentang
suksesi kepemimpinan nasional. Berbagai media massa
secara terbuka mulai mengembangkan wacana-wacana
kriteria dan skenario-skenario pergantian
kepemimpinan nasional. Di balik semua konflik yang
357
terjadi, diyakini terdapat agenda-agenda kelompok
politik elit tertentu yang semuanya bermuara pada
pembentukan pra-kondisi dalam rangka suksesi
kepemimpinan nasional.
Konflik Sosial
Peristiwa konflik-konflik sosial yang menonjol
menjelang bulan Mei 1998 adalah kerusuhan-
kerusuhan etnis dan agama.
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di
Indonesia bukan merupakan hal baru. Tindakan
diskriminatif terhadap etnis Tionghoa sudah terjadi
sejak zaman VOC dan terus dilestarikan pada zaman
setelah Indonesia merdeka. Akan tetapi, sejak awal
masa Orde Baru aksi-aksi anti Tionghoa semakin
meningkat dan berkembang lebih meluas.
Pada awal masa berdirinya Orde Baru, isu anti
Tionghoa dikaitkan dengan sentimen anti komunis.
Aktivitas anti Tionghoa kemudian meluas, bahkan
muncul dalam keputusan-keputusan tentang agama,
kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa. Dalam
instruksi Presiden Soeharto tersebut ditetapkan bahwa
seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat
Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan
keluarga dan dalam ruang tertutup. Instruksi presiden
ini bertujuan melikuidasi seluruh pengaruh kebudayaan
Tionghoa termasuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat
358
dan agama, serta mendorong terjadinya asimilasi
secara total dan terjadinya peleburan etnis Tionghoa
menjadi pribumi (amalgamasi).
Pada masa Orde Baru, berbagai peristiwa
kerusuhan baik dalam skala kecil maupun besar di
Indonesia, pada banyak kasus menjadikan warga etnis
Tionghoa menjadi korban. Walaupun tidak khusus
sebuah kerusuhan anti Tionghoa, tetapi nuansa
sentimen rasialnya cukup terasa.
Secara konseptual, perumusan berbagai
peraturan mengenai hal golongan minoritas (etnis
Tionghoa) yang pada masa pemerintahan Orde Baru
disebut “masalah Cina” tidak pernah diselesaikan
dengan sungguh-sungguh. Persoalan konseptual
menjadi terbengkalai ketika asimilasi total dianggap
sebagai satu-satunya penyelesaian.
Situasi anti Tionghoa terus berkembang.
Sejumlah pihak kelihatan ikut bermain dalam
mengobarkan kebencian terhadap etnis Tionghoa.
Memang sejak tahun 1995, sekelompok elit dalam
taktik politiknya memutuskan mengambil sikap “anti
Cina (Tionghoa)” agar bisa mendapatkan legitimasi
populis.
359
Krisis Ekonomi
Pada tanggal 2 Juli 1997, Muangthai
mengalami krisis moneter yang kemudian merambat ke
negara tetangganya, Malaysia, dan Korea Selatan.
Krisis moneter ini akhirnya turut menimpa Indonesia.
Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis
ekonomi membuktikan bahwa konsep pembangunan
rezim Orde Baru ternyata membawa kesengsaraan
kepada seluruh rakyat Indonesia. Hanya segelintir
penguasa bersama kroninya, sekelompok konglomerat
hitam yang menikmati hasil pembangunan. Seluruh
hasil pembangunan ternyata hanya fatamorgana yang
dihasilkan melalui utang dan penjarahan kekayaan
alam negara. Selama 32 tahun pemerintah rezim Orde
Baru telah membuat Indonesia bangkrut dengan
meninggalkan utang yang luar biasa besarnya.
Pengaruh praktik ekonomi sebagai akibat
praktik “Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme” dengan
cepat mempengaruhi jatuhnya mata uang Rupiah dan
bangunan perbankan Indonesia. Sejak Oktober 1997
pemerintah sudah tidak mampu lagi mempertahankan
sistem kurs devisa mengambang terkendali yang telah
dipraktikkan sejak lama, selama Orde Baru.
Ketergantungan pemerintah terhadap utang luar negeri
membuat nilai Rupiah semakin jatuh. Soeharto yang
pada awalnya masih bersitegang dengan pimpinan IMF
360
(International Monetery Fund), akhirnya bersedia
tunduk melaksanakan persyaratan yang diberikan IMF
untuk mendapatkan pinjaman baru, dengan diharuskan
menandatangani 50 paket IMF yang tertuang dalam
Letter of Intent (LOI) pada tanggal 31 Oktober 1997.
Salah satu butir LOI tersebut adalah kesediaan
pemerintah RI menutup 16 Bank Swasta. Butir tersebut
ternyata tidak berhasil mengembalikan kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan nasional. Secara
beramai-ramai masyarakat menarik dananya dari bank
hingga terjadi “rush” yang luar biasa. Efek selanjutnya
menjadi semakin parah dan meluas ke berbagai sektor.
Berbagai pabrik terpaksa ditutup akibat mahalnya
bahan baku dan suku cadang impor, serta banyak
terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Akibatnya,
pengangguran bertambah dengan cepat dan tersebar di
berbagai wilayah, khususnya di Pulau Jawa.
Pada sisi lain, akibat kenaikan harga pada
hampir semua barang dan terganggunya jalur dan
proses perdagangan membuat barang-barang
kebutuhan masyarakat, khususnya sembilan bahan
pokok (sembako) semakin langka di pasaran. Situasi
panik semakin menjadi dan masyarakat khususnya
orang-orang kaya mulai melakukan aksi borong
barang, terutama sembako. Situasi ekonomi dan sosial
menjadi semakin parah.
361
Situasi Sosial Politik Menjelang Kerusuhan
Beberapa tahun menjelang terjadinya krisis
moneter yang menimpa Indonesia, muncul rasa
ketidakpuasan di kalangan masyarakat luas, khususnya
terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan yang
dianggap hanya menguntungkan keluarga Presiden
Soeharto dengan kroninya, segelintir konglomerat etnis
Tionghoa. Situasi ini dengan mudah digunakan oleh
para provokator untuk melakukan aksi-aksi rasialis anti
Tionghoa.
Gejolak politik di Indonesia terjadi secara
akumulatif sejak tahun 1995. Salah satu opini yang
berkembang menyebutkan bahwa pemerintahan
Soeharto sebetulnya sudah tidak mampu lagi menjaga
keutuhan dan kekompakan barisannya. Elit politik
lebih banyak berjalan sendiri-sendiri dengan berbagai
agenda dan skenario. Kabinet sudah tidak kompak lagi.
Situasi ini terus berkembang menjadi konflik di antara
elit. Salah satu persoalan yang akhirnya membuat
fragmentasi dalam kabinet adalah soal penyikapan
terhadap sikap “anti-cina (Tionghoa)” dan menyangkut
Islamisasi. Di tubuh ABRI kemudian muncul ABRI
Merah Putih dan ABRI Hijau.
Faktor usia Soeharto merupakan salah satu
topik pembicaraan penting. Faktor usia presiden
memunculkan berbagai pemikiran soal perlunya
362
pertimbangan apabila hendak mencalonkannya
kembali menjadi presiden. Berbagai komentar pro dan
kontra mulai bermunculan. Sementara pro kontra
bermunculan, tidak ada tokoh-tokoh yang berani tampil
menantang dan bersaing dengan Soeharto secara
terbuka. Pilihan lebih banyak diarahkan kepada posisi
wakil presiden dan peran yang akan dilakukannya
selama masa jabatan tersebut.
Tanggal 20 Januari 1998, Soeharto
mencalonkan diri menjadi presiden untuk ketujuh
kalinya. Hal ini tentu saja meruntuhkan beberapa
skenario lain yang berkembang sebelumnya. Akhirnya,
melalui Sidang Umum MPR yang berjalan lancar,
Soeharto terpilih dan dilantik kembali menjadi
Presiden dan B.J. Habibie menjadi wakilnya.
Masyarakat politik, khususnya mahasiswa menyambut
pelantikan tersebut dengan meningkatkan aksi-aksi
demonstrasi di lapangan.
Kabinet baru yang dibentuk Soeharto
memunculkan nama-nama yang menjadi kontroversial.
Banyak para menteri yang duduk dalam kabinet
tersebut dianggap tidak memiliki kualitas yang layak
atau merupakan kroni dari Soeharto. Berbagai reaksi
masyarakat muncul menanggapi hal ini. Media massa
pun semakin gencar mengulas persoalan tersebut.
363
Perpecahan di Kubu Militer
Salah satu isu yang paling hangat menjelang
Kerusuhan Mei 1998 adalah isu perpecahan pada tubuh
militer. Ada ABRI Merah Putih, ada ABRI Hijau.
Walaupun tidak ada anggota ABRI yang menyatakan
hal tersebut secara terbuka, bahkan berupaya
menyangkal adanya perpecahan di tubuh militer, opini
dan wacana tentang hal itu telah berkembang pesat di
masyarakat. Salah satu informasi yang beredar lewat
teknologi internet sehubungan dengan isu perpecahan
di tubuh militer dapat dilihat pada dokumen CPDS
(Centre for Policy Development Studies) yang
diterbitkan oleh Jurnal Istiqlal lewat internet.
Dokumen tersebut merupakan analisis yang
dibuat dalam rangka memetakan kekuatan-kekuatan
yang dianggap berseberangan atau anti terhadap
Soeharto. Analisis tersebut dimulai dengan membagi
dua kelompok besar, yaitu kelompok anti Soeharto dan
kelompok pro Soeharto.
Sementara itu, melalui beberapa sikap dan
pernyataan petinggi TNI, baik secara langsung maupun
tidak langsung, mereka memberikan dukungan atas
sebagian kebenaran dari informsasi tersebut. Hal ini
akhirnya memperkuat pandangan berbagai kelompok
akan adanya pertentangan dalam tubuh TNI.
364
Gelombang Demonstrasi
Setelah terjadinya kepanikan akibat krisis
ekonomi, aksi-aksi mahasiswa, kelompok pemuda
nonmahasiswa dan profesional muda mulai meningkat.
Beberapa kali aksi dengan jumlah massa yang cukup
banyak dilakukan di gedung DPR/MPR di Jakarta.
Aksi-aksi mahasiswa di kota-kota besar di luar Jakarta
seperti Yogyakarta dan Bandung juga mulai terjadi.
Aksi-aksi tersebut terus menjadi pemberitaan media
massa, baik surat kabar, majalah, atau televisi.
Pada bulan Januari 1998, berbagai kelompok
mahasiswa, koalisi LSM, ormas, kelompok pemuda,
dan buruh melakukan aksi-aksi secara terpisah
merespon situasi saat itu. Aksi terjadi di beberapa kota
seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta,
Bogor, dan Bandar Lampung. Lokasi aksi umumnya
adalah kantor-kantor instansi pemerintah dan kampus.
Massa yang terlibat dalam aksi-aksi tersebut berjumlah
antara puluhan hingga ratusan orang. Isu-isu yang
menonjol adalah isu-isu ekonomi.
Pada bulan Maret 1998, aksi-aksi didominasi
oleh mahasiswa dan semakin meningkat dari bulan
sebelumnya baik dari jumlah kampus maupun massa
yang terlibat. Jumlah massa umumnya mencapai
ratusan orang dan pada beberapa kota mencapai ribuan
orang. Hal ini diikuti juga dengan meningkatnya
365
jumlah kota di tempat aksi-aksi dilakukan. Aksi
umumnya dilakukan di dalam kampus, walaupun ada
beberapa kampus melakukannya di luar gerbang
kampus atau di jalan raya. Isu ekonomi mulai bergeser
pada tuntutan kepada pemerintah dan sifatnya lebih
politis. Pada beberapa aksi, tuntutan terhadap Soeharto
mulai muncul dan menjadi pemberitaan media massa.
Masyarakat juga mulai memperlihatkan respon
mendukung aksi-aksi mahasiswa tersebut. Bentrok
dengan aparat pun mulai meningkat. Isu politik
semakin meningkat. Tuntutan reformasi, anti KKN,
dan menurunkan Soeharto mulai semakin gencar.
Dukungan masyarakat semakin bertambah, begitu juga
dukungan dari kelompok profesional.
Pada bulan Mei 1998, aksi mahasiswa telah
semakin meningkat, terlebih setelah pemerintah
menaikkan harga BBM dan terjadinya penembakan di
kampus Trisakti yang diikuti oleh kerusuhan di
berbagai kota. Di Jakarta aksi mahasiswa terakumulasi
pada gedung DPR/MPR.
Rangkaian aksi mahasiswa menjelang
terjadinya kerusuhan pada 13-15 Mei, menjadi
pemberitaan utama bersama dengan efek krisis
ekonomi seperti kenaikan harga, PHK, dan langkah-
langkah politik Soeharto dalam upaya mengendalikan
krisis ekonomi. Berbagai bentrok antara mahasiswa
dan aparat keamanan, khsususnya polisi, justru
366
semakin meningkatkan simpati masyarakat terhadap
mahasiswa. Hal ini terlihat dengan semakin
meningkatnya dukungan masyarakat dalam aksi-aksi
mahasiswa.
Kerusuhan Anti Tionghoa Mei 1998
Aksi-aksi menuntut reformasi yang dilakukan
para mahasiswa terus meluas sampai ke seluruh kota
besar di Indonesia. Pihak penguasa militer berusaha
membendung aksi-aksi tersebut, tetapi usaha tersebut
sia-sia belaka. Seluruh kampus di Indonesia telah
terbakar dengan semangat reformasi. Hampir setiap
hari demonstrasi-demonstrasi mahasiswa berlangsung
walaupun pihak keamanan dengan sangat represif
berusaha menggagalkannya. Demonstrasi-demonstrasi
tersebut dicegah dengan segala cara agar tidak keluar
dari kampus masing-masing.
Pada tanggal 12 Mei 1998, sejumlah mahasiswa
Trisakti yang sedang melakukan aksi unjuk rasa di
halaman kampusnya ditembaki pasukan polisi dan
militer yang mengepung kampus tersebut. Beberapa
orang mahasiswa tewas ditembaki penguasa. Tewasnya
sejumlah mahasiswa Trisakti tersebut telah menyulut
kemarahan seluruh rakyat Indonesia. Pada tanggal 13
Mei 1998, kembali terjadi aksi mahasiswa di halaman
kampus Trisakti untuk memprotes kelaliman penguasa
367
militer yang telah melakukan penembakan kepada para
mahasiswa yang tidak bersenjata.
Ternyata aksi tersebut ditungggangi para
provokator yang kemudian mengalihkan tujuan
demonstrasi berubah menjadi aksi rasialis anti-
Tionghoa dan meluas ke seluruh kota Jakarta,
Tangerang, dan Bekasi. Ribuan toko dan rumah tinggal
milik etnis Tionghoa habis dijarah dan dibakar.
Demikian juga ribuan kendaraan bermotor menjadi
bangkai karena dibakar gerombolan anarkis. Belum
lagi sejumlah shopping mall dan pertokoan antara lain
Supermall Karawaci, Glodok Plaza, Yogya
Departement Store Klender, Supermarket Hero dan
City Hotel serta pusat pertokoan Glodok.
Yang terjadi bukan hanya penjarahan,
pengrusakan, serta pembakaran terhadap harta etnis
Tionghoa, tetapi yang paling biadab adalah terjadinya
perkosaan massal terhadap ratusan etnis Tionghoa
yang dilakukan secara brutal. Akibat kerusuhan
tersebut, puluhan ribu warga etnis Tionghoa menderita
trauma dan berusaha menyelamatkan diri mengungsi
secara besar-besaran ke negara tetangga.
Bukan hanya etnis Tionghoa saja yang
dijadikan korban, tetapi ratusan rakyat kecil yang
terdiri dari ibu-ibu, para remaja, dan anak-anak yang
berhasil diprovokasi untuk menyerbu masuk ke dalam
368
beberapa mall dan menjarah barang-barangnya juga
dikorbankan. Setelah mereka masuk ke dalam mall
untuk menjarah, tempat itu kemudian dibakar oleh
provokator tersebut. Ratusan orang menjadi korban
pembakaran di Yogya Plaza Departemen Store
Klender.
Diperkirakan lebih dari seribu orang yang
tewas akibat aksi kerusuhan tersebut. Berbagai aksi
penjarahan, perusakan, dan perkosaan berlangsung
selama tiga hari, pada 13-15 Mei 1998. Selama
kerusuhan yang terjadi tiga hari, baik Kapolda Metro
Jaya maupun Pangdam Jaya bersikap pasif, tidak
berbuat suatu apapun untuk mencegah dan mengatasi
aksi-aksi anarkis tersebut. Demikian juga Panglima
ABRI tidak bereaksi dan tidak berkomentar.
Tragedi 13-15 Mei sangat memprihatinkan dan
memalukan serta merusak citra seluruh bangsa
Indonesia di dunia internasional. Dengan adanya
kemajuan teknologi di bidang komunikasi, seluruh
kejadian dengan gamblang dapat disaksikan secara
langsung oleh jutaan pemirsa TV di seluruh dunia.
Maka terjadilah aksi-aksi demonstrasi di muka
Kedutaan atau Perwakilan Republik Indonesia di
Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia, Hongkong,
Taipei, dan Beijing untuk memprotes kejadian biadab
tersebut.
369
Untuk meredamnya, Presiden B.J. Habibie
membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) di
bawah pimpinan Marzuki Darusman, S.H. dari
Komnas HAM.
Berakhirnya Era Orde Baru
Ketika terjadi tragedi 13-15 Mei 1998, Presiden
Soeharto sedang berada di Kairo, Mesir, untuk
menghadiri KTT G15 dan ia segera kembali ke
Indonesia. Setibanya di Indonesia, ternyata ia telah
kehilangan kendali pemerintah dan kekuasaannya,
karena aksi-aksi mahasiswa untuk menuntut
dilakukannya reformasi dan penggantian pemerintahan
telah mencapai puncaknya. Setiap hari puluhan ribu
mahasiswa dari berbagai universitas di kota-kota besar
di seluruh Indonesia melakukan aksi-aksi demonstrasi.
Pihak keamanan yang berusaha membubarkan aksi-
aksi tersebut dengan berbagai cara kekerasan ternyata
tidak berdaya sama sekali. Dalam situasi kritis ini, para
menteri pembantu presiden Soeharto mulai berkhianat
dan meninggalkannya. Di bawah pimpinan
Menteri/Ketua Bappenas Ir. Ginanjar Kartasasmita, 14
orang menteri mengajukan surat yang isinya menolak
duduk dalam kabinet baru (Kabinet Reformasi) yang
akan segera dibentuk Presiden Soeharto.
Demikian juga DPR/MPR mendesak Presiden
Soeharto agar segera mengundurkan diri. Pimpinan
370
DPR/MPR mengancam apabila Presiden Soeharto
tidak segera mengundurkan diri, maka akan digelar
Sidang Istimewa MPR untuk mencopot Soeharto dari
jabatan Presiden Republik Indonesia.
Oleh karena Presiden Soeharto menyadari
bahwa ia telah kehilangan kendali untuk
mempertahankan kekuasaannya dan dukungan dari
para pengikutnya juga berkurang, maka pada tanggal
21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan
pengunduran dirinya sebagai Presiden RI. Pada saat
bersamaan sesuai konstitusi, Wakil Presiden B.J.
Habibie diambil sumpahnya untuk menjadi Presiden RI
ke-3. Ratusan ribu mahasiswa yang sehari sebelumnya
telah berhasil menduduki gedung DPR/MPR
menyambut dengan gegap gempita lengsernya Presiden
Soeharto tersebut. Berakhirlah era pemerintahan
Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun
lamanya. Perjuangan para mahasiswa untuk melakukan
reformasi telah berhasil. Era Orde Baru sudah berakhir.
371
BAB XIV
MASYARAKAT TIONGHOA
PASCAORDE BARU
Tanggal 13-15 Mei 1998 adalah hari-hari yang
paling mencekam bagi etnis Tionghoa di Indonesia
karena selama tiga hari itu, di Jakarta, Palembang,
Solo, Surabaya, dan Lampung terjadi kerusuhan anti
Tionghoa secara besar-besaran, tidak saja terjadi
pembunuhan dan pembakaran, tetapi juga perkosaan
terhadap perempuan Tionghoa yang dilakukan secara
sistematis. Ketika itu etnis Tionghoa tidak mendapat
perlindungan sama sekali dari aparat penegak hukum
baik polisi maupun militer.
Tragedi 13-15 Mei 1998 sangat menghentak
etnis Tionghoa di seluruh Indonesia dan menimbulkan
kesadaran bahwa selama ini mereka dipinggirkan dan
dibuat tidak berdaya. Sebagian besar hak-haknya
sebagai warga negara telah dikebiri, didiskriminasi dan
selalu dijadikan tumbal bagi para penguasa korup.
372
Harkat sebagai bangsa dan etnis, bahkan sebagai
manusia telah dilecehkan. Peristiwa tersebut juga
membuktikan kebenaran sinyalemen bahwa etnis
Tionghoa selama ini dipersiapkan untuk dijadikan
kambing hitam dan bumper rezim Orde Baru di saat
menghadapi keruntuhan.
Kerusakan pada peristiwa Kerusuhan Mei
1998, khususnya di Jakarta memberikan dampak yang
begitu berarti terhadap berbagai sendi kehidupan
sosial, ekonomi, politik, dan keamanan di Indonesia
secara umum. Kerusakan yang begitu besar dan korban
yang begitu banyak memberikan gambaran betapa
mudahnya kaum minoritas etnis Tionghoa dijadikan
bumper Orde Baru.
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 telah
mengejutkan masyarakat Tionghoa dan dunia
internasional. Mereka yang mampu ada yang
mengungsi ke luar negeri, tetapi sebagian besar tetap
berdiam di Indonesia. Masyarakat Tionghoa umumnya
bingung dan banyak yang putus asa. Bahkan banyak
yang bertanya-tanya apakah masih ada tempat bagi
etnis Tionghoa di Indonesia ini?
Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Indonesia
mengumumkan pengunduran dirinya dan menyerahkan
tongkat estafet pimpinan pemerintah RI kepada Wakil
373
Presiden B.J. Habibie. Habibie segera disumpah
sebagai Presiden Indonesia ketiga.
Orang Indonesia pada bulan Mei 1998 tidak
terlalu berharap Habibie akan menjungkirkan struktur
politik dari Orde Baru Soeharto. Namun ia mulai
melakukan itu. Indonesia memerlukan langkah-langkah
reformasi drastis, dan terjadilah kejutan ketika Habibie
tampil sebagai pemrakarsa.
Presiden B.J. Habibie dengan segera berusaha
“menjaga jarak” dengan Soeharto dan memerintahkan
Jaksa Agung, Mayjen Andi Galib, S.H. agar
“memeriksa” kasus korupsi yang dilakukan mantan
Presiden Soeharto melalui yayasan-yayasan yang
dibentuknya. Namun, pemeriksaan itu ternyata hanya
sandiwara belaka dan berakhir dengan dihentikannya
pengadilan kasus tersebut (SP3).
Peristiwa kerusuhan anti-Tionghoa Mei 1998
telah merusak citra Indonesia di seluruh dunia. Untuk
membersihkan citra buruk Indonesia di dunia
internasional dan merangkul kembali etnis Tionghoa di
Indonesia. Presiden B.J. Habibie pada tanggal 16
September 1998 mengeluarkan Instruksi Presiden
No.26/1998. Instruksi ini ditujukan kepada seluruh
jajaran birokrasi agar menghapuskan penggunaan
istilah “pribumi” dan “non-pribumi.”
374
Sejak itulah sejarah kontemporer Indonesia
memasuki era reformasi. Dalam era baru yang
demokratis itu, etnis Tionghoa mulai merasa bahwa
mereka masih mempunyai harapan untuk memperoleh
tempat yang layak di bumi Indonesia ini.
Setelah terjadi peristiwa kerusuhan anti-
Tionghoa Mei 1998, etnis Tionghoa baik yang
peranakan maupun yang totok, mulai sadar bahwa
mereka harus bertindak dan memperjuangkan hak-hak
mereka sebagai warga negara Republik Indonesia.
Mereka mulai mendirikan partai politik Tionghoa
seperti Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI),
Partai Pembauran Indonesia (yang tidak lama
kemudian menjadi asosiasi biasa), dan Partai Bhinneka
Tunggal Ika Indonesia (PBI). Di samping itu, banyak
pula didirikan Non-Government Organizations (NGO)
atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti
Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Gerakan Anti-
Diskriminasi (Gandi), Paguyuban Sosial Marga
Tionghoa Indonesia (PSMTI), dan Perhimpunan
Indonesia Tionghoa (INTI), yang dibentuk untuk
memperjuangkan nasib orang Tionghoa di Indonesia.
Pada Pemilihan Umum tahun 1999, partai etnis
Tionghoa, seperti PARTI dan Partai Pembauran, tidak
berpartisipasi dalam pemilhan umum. Yang ikut serta
hanya PBI-nya Nurdin Purnomo, yang hanya mendapat
satu kursi di DPR 1999-2004. Ini menunjukkan bahwa
375
etnis Tionghoa lebih cenderung untuk mendukung
partai-partai pribumi ketimbang partai etnis. Pada
pemilu 2004, tidak satu pun partai etnis Tionghoa yang
memenuhi syarat untuk ikut serta dalam pemilu.
Namun, puluhan tokoh etnis Tionghoa yang
berpolitik bergabung dalam partai-partai “pribumi.”
Mereka sadar, jumlah orang Tionghoa di Indonesia
terlalu kecil sehingga suaranya tidak mungkin
terdengar. Tanpa dukungan masyarakat pribumi yang
mayoritas, bukan saja mereka tidak akan terpilih,
bahkan keselamatan mereka pun tidak akan terjamin.
Sebab memperoleh pengertian dan simpati rakyat
Indonesia “pribumi” merupakan syarat mutlak bagi
keselamatan orang Tionghoa di Indonesia. Orang-
orang Tionghoa makin sadar akan perlunya asimilasi
politik.
Gus Dur Menghidupkan Kembali Kebudayaan
Tionghoa
Pemilu 7 Juni 1999 dimenangkan oleh PDIP,
Partai Golkar menduduki urutan kedua, PPP ketiga,
PKB keempat, dan PAN berada di urutan kelima.
Pada sidang umum MPR September 1999,
pidato pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie
ditolak MPR. Pemilihan presiden baru pada Sidang
Umum MPR tersebut memilih Abdurrachman Wahid
376
(Gus Dur) sebagai Presiden Republik Indonesia
keempat.
Pada tanggal 17 Januari 2000, Presiden
Abdurrachman Wahid mengeluarkan Keppres
No.6/2000 tentang pencabutan Inpres No.1/1967
tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina.
Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, etnis
Tionghoa sekarang diberi kebebasan untuk merayakan
upacara-upacara agama dan adat istiadatnya seperti
tahun baru Imlek, Capgome, dan sebagainya secara
terbuka. Demikian juga kebudayaan Tionghoa yang
selama ini dilarang termasuk atraksi liong, barongsai,
dan sebagainya bebas dipertunjukkan di muka umum
dan di ruang terbuka. Kemudian, pada tanggal 19
Januari 2001, Menteri Agama RI mengeluarkan
Keputusan No.13/2001 yang menetapkan tahun baru
Imlek sebagai hari raya fakultatif.
Pada tanggal 23 Juli 2001, Presiden
Abdurrachman Wahid berhasil disingkirkan dari
jabatan presiden melalui TAP/II/MPR/2001 tentang
pertanggungjawabannya. Kemudian, Megawati
Soekarnoputri diangkat menjadi Presiden RI kelima.
Etnis Tionghoa Masih Tetap NonPribumi
Pada era pasca-Soeharto, otoritarianisme telah
dicampakkan dan demokrasi dijunjung tinggi. Politik
asimilasi total Orde Baru yang sudah memberikan
377
dampak luar biasa terhadap masyarakat Indonesia pada
umumnya dan masyarakat etnis Tionghoa pada
khususnya, sudah kurang diminati. Multikulturalisme
menjadi pegangan baru para tokoh Tionghoa pasca-
Orde Baru.
Harus diakui bahwa politik asimilasi Orde Baru
sudah memberikan dampak luar biasa terhadap
perubahan orientasi politik para pemuda etnis
Tionghoa. Para pemuda etnis Tionghoa telah lebih
terintegrasi dan “membaur” ke dalam masyarakat
Indonesia pada umumnya dibandingkan dengan masa-
masa generasi sebelum mereka. Hal ini terjadi
disebabkan karena politik asimilasi Orde Baru sudah
menghapuskan tiga pilar kebudayaan Tionghoa, yaitu
organisasi Tionghoa, media massa Tionghoa, dan
sekolah/pendidikan Tionghoa.
Akan tetapi, masyarakat Tionghoa secara
keseluruhan masih belum homogen dalam corak
kebudayaan, meskipun anak-anak Tionghoa totok telah
mengalami peranakanisasi, bahkan Indonesianisasi.
Akan tetapi, masih ada sebagian kecil dari mereka
yang hanya bisa berbahasa Indonesia namun identitas
ketionghoaannya masih tetap berorientasi ke Tiongkok.
Hal demikian terjadi karena masih ada sebagian
angkatan tua etnis Tionghoa yang dilahirkan sebelum
tahun 1965, yang pada masa mudanya berpendidikan
Tionghoa, telah terindoktrinasi bahwa sekali bangsa
378
Tionghoa tetap bangsa Tionghoa, dan mereka pun
memberikan pendidikan demikian kepada anak-
anaknya. Mereka masih belum dapat meninggalkan
kiblatnya ke Tiongkok. Lain lagi anak-anak Tionghoa
peranakan, identitas ketionghoaannya sudah luntur,
bahkan banyak yang dapat dikatakan sudah hilang
sama sekali. Mereka sudah lebih banyak membaur
dengan masyarakat pribumi dari segala macam suku
bangsa daripada berbaur dengan masyarakat etnis
Tionghoa warga negara asing. Masyarakat Tionghoa di
Indonesia pada masa pasca-Orde Baru masih tetap
majemuk.
Walaupun masyarakat etnis Tionghoa
majemuk, tetapi bagi sebagian masyarakat pribumi
yang kurang berbaur (kurang bergaul) dengan
masyarakat etnis Tionghoa, tidak menyadari bahwa
etnis Tionghoa itu majemuk. Bahkan mereka tidak mau
membedakan antara bangsa Indonesia etnis Tionghoa
(WNI etnis Tionghoa) dengan bangsa Tionghoa warga
negara Tiongkok, Taiwan, atau Singapura. Bagi
mereka semua etnis Tionghoa sama.. Bagi mereka
semua etnis Tionghoa adalah nonpribumi, orang
keturunan asing bukan orang Indonesia asli.
Masalah Tionghoa sejak dulu tidak pernah
tuntas dan kebijakan asimilasi total Soeharto tidak
dapat dikatakan berhasil. Begitu pula pemisahan
pribumi dan nonpribumi masih kuat mengakar dan sulit
379
dikikis habis karena pemerintah Orde Baru sangat
ambivalen. Pemerintah mendesak etnis Tionghoa untuk
berasimilasi tetapi pemerintah juga masih
mempertahankan konsep pribumi dan nonpribumi dan
etnis Tionghoa tidak disetarakan dengan bangsa
Indonesia asli.
Pemikiran Tokoh-Tokoh Tionghoa Pasca-
Kerusuhan 1998
Setelah terjadi peristiwa Kerusuhan 1998,
masyarakat Tionghoa umumnya bingung dan putus
asa. Akan tetapi, masih ada tokoh-tokoh Tionghoa
yang dapat berpikir tenang dan jernih. Mereka
retrospeksi dan introspeksi untuk mencari solusi
terbaik bagi bangsa Indonesia etnis Tionghoa.
Di bawah ini disajikan beberapa “cuplikan”
dari komentar tokoh-tokoh Tionghoa pasca kerusuhan
Mei 1998.
Jusuf Wanandi (Liem Bian Kie) kuliah di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (UI) dan memperoleh
gelar Sarjana Hukum (SH) pada tahun 1960. Ia pernah
menjadi Direktur Eksekutif Centre for Strategic and
International Studies (CSIS). Di dunia internasional ia
dikenal sebagai tokoh urusan internasional dan
ASEAN. Tulisan di bawah ini adalah cuplikan dari
artikelnya yang pernah dimuat di Far Eastern
380
Economic Review yang berjudul The Road Ahead (30
Juli 1998).
Sementara ini, pemimpin Indonesia harus
berupaya sungguh-sungguh dan meyakinkan untuk
mengusut kekerasan (violence), termasuk kasus
penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa
yang terjadi sebelum peristiwa kerusuhan. Dalam
hal ini yang bersalah harus dihukum untuk
meyakinkan kalangan Tionghoa-Indonesia dan
kalangan lain bahwa perlakuan kejam ini tidak
akan terulang.
Untuk jangka menengah, isunya adalah
pembangunan bangsa (nation building) dan tempat
etnis Tionghoa di Indonesia. Dalam hal ini
tampaknya masyarakat harus memulai kembali
mengadakan rembug nasional tentang isu tersebut.
Di sini, peran pemerintah sangat diperlukan. Ini
harus ditegaskan bahwa pemerintah mempunyai
komitmen untuk melaksanakan cita-cita
membangun bangsa Indonesia (Indonesian nation)
sesuai dengan undang-undang. Mungkin
strateginya berbeda, tetapi harus dipilih yang baik.
Strategi pembauran Tionghoa (Chinese
assimilation) dimulai oleh Soeharto pada tahun
1967. Namun strategi ini dianggap gagal karena
Soeharto tidak melaksanakannya secara konsisten,
tidak mempertahankan cita-cita ini atau enggan
mendidik rakyat untuk pembangunan bangsa.
Alih-alih ia memberikan perlindungan kepada
segolongan pedagang/pengusaha Tionghoa-
381