The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Teguh Siswanto, 2020-02-19 09:28:49

BUKU 2 - MEMBANGUN BPK PARIPURNA

BUKU 2 - MEMBANGUN BPK PARIPURNA

Buku - 2



Penerbit Badan Pendidikan dan
Pelatihan Pemeriksaan Keuangan Negara

BPK RI

i

VISI BPK

Menjadi Lembaga Pemeriksa
Tepercaya yang Berperan
Aktif dalam Mewujudkan Tata
Kelola Keuangan Negara yang
Berkualitas dan Bermanfaat
untuk Mencapai Tujuan Negara

ii

Membangun BPK Paripurna

MENENTUKAN MASA DEPAN NEGARA

Copyright © 2020 Badiklat PKN BPK RI
All rights reserved

Penyunting :
Gunarwanto
Andy A. Krisnandy

Perancang Sampul dan Penata Letak:
Teguh Siswanto

Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
Badiklat PKN BPK RI

Membangun BPK Paripurna /Badiklat PKN BPK RI.
Jakarta : Badiklat PKN BPK RI, 2020.

ISBN : 978 623 92663 01

17,6 cm X 25 mm
xix + 900

Cetakan Pertama: Januari 2020

1. Keuangan negara – badan pemeriksa. 2. Audit keuangan -
- Pemeriksaan keuangan negara. I. Judul.

Penerbit :
Badan Pendidikan dan Pelatihan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK RI

Jl. Bina Warga II, Kalibata Raya, Jakarta Selatan 12750
Telp. 021.79190864 / Fax. 021. 79190867
Email: [email protected]
Website: http://badiklatpkn.bpk.go.id

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

iii

Sambutan
Ketua BPK RI

Setiap awal tahun menjadi hari istimewa bagi Badan Pemeriksa Keuangan Republik
Indonesia (BPK). Ya, BPK lahir pada 1 Januari 1947. Dengan demikian, hingga Januari 2020,
BPK telah berkiprah membangun negeri selama 73 tahun. BPK menjadi lembaga negara yang
bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Banyak sumbangan BPK bagi kemajuan negara dan bangsa Indonesia. Peningkatan opini
wajar tanpa pengecualian (WTP) pada laporan keuangan pemerintah pusat, kementerian,
lembaga, dan pemerintah daerah merupakan kontribusi besar BPK dalam memperbaiki
transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. BPK juga memeriksa penggunaan keuangan
negara benar-benar ditujukan untuk mencapai tujuan bernegara.

BPK berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas pemeriksaan dan laporan hasil
pemeriksaannya. Melalui rekomendasi yang diberikan kepada pemerintah, BPK berperan
besar dalam memperbaiki akuntabilitas pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya, melalui
Rencana Strategis BPK 2020-2024, BPK akan melaksanakan pemeriksaan yang makin
berkualitas dan bermanfaat. BPK menetapkan visi yaitu “Menjadi lembaga pemeriksa
tepercaya yang berperan aktif dalam mewujudkan tata kelola keuangan negara yang
berkualitas dan bermanfaat untuk mencapai tujuan negara”.

Sesuai Renstra baru BPK, pemeriksaan BPK ke depan harus lebih menyentuh isu-isu
sentral dalam masyarakat sehingga rekomendasi yang ditindaklanjuti oleh entitas akan
berdampak pada meningkatnya kesejahteraan rakyat. Agenda pembangunan nasional yang
bersifat lintas sektor dan melibatkan berbagai kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah

iv

mengharuskan BPK lebih bersinergi dalam melaksanakan kebijakan terkait tema, fokus,
dan strategi pemeriksaan. Upaya ini sekaligus berdampak positif bagi tingkat kematangan
organisasi BPK agar dapat mencapai level insight atau bahkan foresight tanpa meninggalkan
peranan pada level oversight.

Di dunia internasional, BPK telah mengharumkan nama Indonesia dengan terpilih sebagai
pemeriksa eksternal International Atomic Energy Agency (IAEA) dan menjadi anggota panel
pemeriksa eksternal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas sebagai lembaga
pemeriksa untuk badan-badan dalam komunitas PBB. BPK juga terlibat dalam pemeriksaan
Sustainable Development Goals (SDGs) di lingkungan organisasi lembaga pemeriksa sedunia.
Terakhir, BPK semakin dipercaya untuk memeriksa lembaga internasional dengan terpilih
sebagai pemeriksa eksternal International Maritime Organization (IMO). Keaktifan BPK di
dunia Internasional menjadi salah satu bukti peningkatan kualitas para pemeriksa BPK dan
menunjukan kemampuan anak bangsa dalam memeriksa lembaga internasional.

Pada bidang nonpemeriksaan, BPK akan melanjutkan implementasi Supreme Audit
Institution Performance Measurement Framework (SAI PMF) yang dimulai pada tahun 2019.
SAI PMF menjadi perangkat penting untuk menilai kinerja kelembagaan BPK. Salah satu
aspek yang ada dalam SAI PMF adalah komunikasi. Pimpinan BPK saat ini telah menetapkan
slogan “Akuntabilitas untuk Semua” atau “Accountability for All” dengan maksud agar publik
semakin memahami arti penting akuntabilitas keuangan negara. Saya mengharapkan slogan
ini dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan.

Pertama, memasukkan materi akuntabilitas keuangan negara ke dalam kurikulum diklat
ASN, TNI, dan Polri. Kedua, mengubah muatan dari kegiatan BPK Goes to Campus menjadi
edukasi untuk memahami APBN dan APBD. Frekuensi penyelenggaraan Media Visit dan
Media Workshop perlu ditingkatkan. Ketiga, BPK akan meminta kementerian, lembaga, dan
pemerintah daerah memublikasikan neraca dan laporan realisasi anggaran (LRA) yang telah
diperiksa BPK di media massa.

Sejalan dengan tekad BPK untuk menciptakan akuntabilitas untuk semua, saya menyambut
baik penyusunan buku “Membangun BPK Paripurna” oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan
Pemeriksaan Keuangan Negara (Badiklat PKN) BPK. Penyusunan buku yang merupakan
kumpulan tulisan dari 73 orang pemeriksa BPK yang mempunyai gelar profesi Certified State
Finance Auditor (CSFA) menjadi momen penting untuk menyambut hari ulang tahun BPK ke
73 pada Januari 2020.

Tulisan yang dimuat dalam buku ini mempunyai perspektif yang luas dalam memandang,
menganalisis, menilai, dan menjelaskan masalah pengelolaan keuangan negara dan
pemeriksaannya, serta bagaimana meningkatkan peran BPK sebagai pemeriksa keuangan
negara dalam menentukan arah masa depan negara. Sesuai dengan kematangan organisasi
BPK, peran BPK tidak saja terkait dengan upaya pemberantasan korupsi, meningkatkan

v

transparansi dan akuntabilitas, serta meningkatkan ekonomi, efisiensi, dan efektivitas
(oversight), namun BPK juga mendalami kebijakan dan masalah publik (insight), serta
membantu masyarakat dan pengambil keputusan untuk memilih alternatif masa depan negara
(foresight). Objek yang ditulis dalam buku ini juga sangat luas, meliputi masalah pengelolaan
keuangan di pemerintah pusat, lembaga negara, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD, serta
entitas pengelola keuangan negara lainnya.

Semoga kehadiran buku ini bisa bermanfaat bagi semua pihak dalam rangka accountability
for all, bagi internal BPK dan pemerintah, lembaga perwakilan, akademisi, peneliti, pelajar,
dan masyarakat umum lainnya. Uang negara adalah uang rakyat yang harus dipergunakan
untuk kepentingan rakyat. Kehadiran BPK adalah menjaga agar uang rakyat benar-benar
dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Selamat membaca.

Jakarta, Januari 2020
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan

Republik Indonesia
Dr. Agung Firman Sampurna, S.E., M.Si., CSFA

vi

Pengantar

Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan PKN BPK

Puji syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa atas petunjuk dan perkenan-Nya sehingga
kami bisa menyusun buku yang berjudul “Membangun BPK Paripurna”. Buku yang memuat
73 tulisan dari 73 orang pemeriksa BPK ini merupakan kado ulang tahun BPK yang ke-73
tahun pada Januari 2020. Mudah-mudahan kado ini bisa menjadi penanda kiprah 73 tahun
BPK mengabdi kepada negeri tercinta, sekaligus menjadi referensi bagi BPK untuk makin
meningkatkan perannya dalam membangun negara.

Ide penyusunan buku ini berawal dari kegiatan pada bulan September s.d Desember
2019 lalu. Pada dua bulan itu, BPK menorehkan sejarah baru dalam pengembangan profesi
pemeriksa keuangan negara di Indonesia. Untuk pertama kali BPK menyelenggarakan ujian
profesi bagi pemeriksa keuangan negara di internal BPK. Ke depan, ujian sertifikasi pemeriksa
keuangan negara juga akan diadakan untuk pemeriksa dari luar BPK, yaitu para akuntan
publik dan pengawas internal pemerintah.

Sertifikasi profesi di bidang pemeriksaan keuangan negara merupakan tindak lanjut
dari amanah Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara (SPKN) yang mengatur “BPK menjamin pemeriksa memiliki keahlian yang diperlukan,
dimana pemeriksa harus menjaga kompetensi profesional mereka melalui pengembangan
profesional berkelanjutan” dan “Pemeriksa secara kolektif harus memiliki kompetensi

vii

profesional yang memadai untuk melaksanakan tugas pemeriksaan, yang dibuktikan dengan
sertifikat profesional yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang atau dokumen lainnya
yang menyatakan keahlian”

Sertifikasi profesi juga untuk menindaklanjuti amanah Peraturan Pemerintah Nomor
11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang mengatur: “Sertifikasi teknis
dikeluarkan organisasi profesi baik internasional atau nasional yang sudah diakui oleh
lembaga pemerintah yang berwenang di bidang sertifikasi profesi” dan “Dalam hal belum
terbentuk organisasi profesi, sertifikasi teknis dikeluarkan oleh instansi teknis”.

Penyelenggaraan sertifikasi profesi juga dalam rangka merintis pembentukan organisasi
profesi pemeriksa keuangan negara sebagaimana diamanahkan oleh Permenpan RB
Nomor 49 Tahun 2018 tentang Jabatan Fungsional Pemeriksa yang mengatur: “BPK
bertugas memfasilitasi pembentukan organisasi profesi Jabatan Fungsional Pemeriksa” dan
“Pembentukan organisasi profesi paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan Menteri PAN dan
RB diundangkan”.

Sesuai dengan peraturan tersebut, penyelenggaraan sertifikasi profesi bertujuan untuk
meningkatkan mutu pemeriksaan keuangan negara melalui pembentukan para profesional
di bidang pemeriksaan keuangan negara. Profesionalisme para pemeriksa keuangan negara
tersebut ditandai dengan pemberian sertifikat profesi pemeriksa keuangan negara yang
mendapatkan gelar profesi CSFA (Certified State Fincance Auditor).

Penyelenggaraan ujian sertifikasi CSFA pertama kali diikuti oleh kalangan internal BPK.
Mereka adalah Ketua, Wakil Ketua, dan para Anggota BPK, serta para pejabat Eselon I, Eselon
II, Pemeriksa Ahli Utama, serta para senior pegawai BPK yang sudah purnabakti namun
masih aktif dalam profesi pemeriksa keuangan negara. Dengan demikian, Sertifikasi CSFA
yang dilaksanakan bersifat pengakuan atau recognition karena sesungguhnya para peserta
Sertfikasi CSFA yang sehari-hari “bergelut” dengan pemeriksaan keuangan negara sudah
memiliki kemampuan secara profesional di bidang pemeriksaan keuangan negara yang
terbentuk melalui pendidikan, pelatihan, dan praktik di lapangan.

Pemerolehan Sertifikasi CSFA – Recognition bagi para Pimpinan BPK dan pejabat Eselon I
dilaksanakan dengan cara menyampaikan orasi ilmiah di hadapan para Pimpinan BPK, pejabat
Eselon I dan II, serta peserta Sertifikasi CSFA-Recognition lainnya. Sedangkan pemerolehan
CSFA bagi para pejabat Eselon 2, para Pemeriksa Ahli Utama, dan Purnabakti adalah dengan
cara mengikuti orasi ilmiah para Pimpinan BPK dan Eselon 1, menyusun makalah ilmiah, dan
mengikuti ujian sertifikasi dengan materi utama yang berasal dari makalah Pimpinan BPK
dan para pejabat Eselon 1.

Topik makalah ilmiah yang diorasikan oleh Pimpinan BPK adalah topik pemeriksaan yang
berkaitan dengan Perencanaan Strategis, Filosofi Audit, Quality Assurance dan Quality Control,

viii

Strategi Pembangunan dan Kebijakan Pembangunan Nasional, Etika Pemeriksaan, Fraud
Audit, dan Kerugian Negara. Sedang topik makalah ilmiah bagi para pejabat Eselon I adalah
topik pemeriksaan yang berkaitan dengan bidang tugas dan fungsi masing-masing. Tujuannya
untuk memperjelas bahwa pemeriksaan keuangan negara dapat dilihat dalam berbagai sudut
pandang (perspektif) yang luas, misalnya dalam metodologi audit, proses pemeriksaan, jenis
pemeriksaan, konsep three line of defenses, hubungan kelembagaan dengan stakeholders, dan
sebagainya. Semua pembahasan yang dituangkan dalam makalah, serta disampaikan dalam
orasi ilmiah makin memperkaya khasanah pengembangan pemeriksaan keuangan negara di
Indonesia.

Untuk mengabadikan momen penting sertifikasi CSFA untuk pertama kali tersebut, Badan
Pendidikan dan Pelatihan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK mengumpulkan 73 makalah
yang disusun oleh 73 peserta sertifikasi dalam satu buku yang diberi judul: “Membangun BPK
Paripurna”. Kami berharap semoga buku ini bermanfaat bagi BPK, pemerintah, akademisi,
pengawas internal, dan masyarakat umum lainnya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penerbitan
buku ini. Tidak ada gading yang tidak retak, pun demikian dengan buku ini. Kami mohon maaf
jika ada kekurangan dan mohon masukan untuk perbaikan ke depan. Selamat membaca dan
semoga bermanfaat.

Januari, 2020
Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan

Pemeriksaan Keuangan Negara

Hery Subowo S.E., MPM., Ak., CIA., CFE. , CA, CSFA

ix

Daftar Isi iv
vii
Sambutan Ketua BPK 361
362
Pengantar Kepala Badan Diklat PKN BPK 374

Bagian 4. Memperbaiki Tata Kelola Keuangan 386
Pemerintah Pusat 396

1. Analisis Kebijakan Pendanaan Inovatif Pemerintah dalam 410
Perspektif Laporan Keuangan Pemerintah oleh Beni 426
Ruslandi, S.E., M.COM., Ak., CA, CSFA (Kepala Auditorat 440
Keuangan Negara II.B)

2. Laporan Belanja Perpajakan: Isu Strategis dalam
Transparansi Fiskal Indonesia oleh Emmy Mutiarini, SE,
MSi, Ak, CA, CSFA (Kepala Auditorat II.A)

3. Pengenaan Denda Administrasi oleh Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan: Penegakan Hukum atas
Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang oleh Flora Anita Diassari, M.M., CSFA
(Kepala Auditorat II.C)

4. Peran BPK dalam Meningkatkan Kualitas Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara pada Proyek KPBU
oleh E. Priyonggo Sumbodo, S.E., M.M., Ak, CSFA (Kepala
Auditorat III.C)

5. Optimalisasi Fokus Pemeriksaan dalam Mendorong
Perbaikan Tata Kelola Keuangan Negara pada BUMN
Melalui Strategi Peningkatan Fungsi Auditor Intern BUMN
oleh Dadang Ahmad Rifa’i, S.E., M.Sc., Ak., CIA., CA., CSFA
(Kepala Auditorat VII.D)

6. Optimalisasi Profesionalisme Pemeriksa Melalui PASTI
dalam Mewujudkan Pemeriksaan Berkualitas dan Ber­
manfaat oleh Poegoeh Yoedo Roesmanto, S.ST., M.E., Ak,
CSFA (Kepala Auditorat III.D)

7. Penerapan SMAP untuk Mewujudkan BPK yang Kredibel
oleh Edy Witono, S.E., M.M., Ak., CA., CFE, CSFA (Kepala
Auditorat I.A)

x

Bagian 5. Memperbaiki Tata Kelola Keuangan 453
Pemerintah Daerah 454
466
1. Dampak Perubahan Regulasi Terhadap Penyimpangan 478
dalam Pertanggungjawaban Biaya Perjalanan Dinas Luar 488
Daerah oleh Yusnadewi S.E., M.SI., Ak, CSFA (Kepala BPK
Perwakilan Provinsi Sumatera Barat) 498
506
2. Pemeriksaan Jaminan Pertambangan Berbasis SDGs oleh 513
Tornanda Syaifullah S.E., M.M., Ak, CSFA (Kepala BPK 514
Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan)
xi
3. Pemeriksaan Kinerja atas Manajemen Aset Tetap
Pemerintah Daerah oleh Dadek Nandemar, S.E., M.I.T.,
Ak., CA., CFE, CSFA (Kepala BPK Perwakilan Provinsi
Kalimantan Timur)

4. Mendorong Pemerintah Daerah Meningkatkan Akun­
tabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah oleh Thomas Ipoeng
Andjar Wasita S.E., M.M. , CSFA (Kepala BPK Perwakilan
Provinsi Riau)

5. Implementasi Tambahan Penghasilan Pegawai Negeri Sipil
Daerah dengan Tunjangan Kinerja dalam Pemberian Gaji
Ketiga Belas serta Tunjangan Hari Raya oleh Hery Purwanto
S.E., M.M., Ak. , CA, CSFA (Kepala BPK Pewakilan Provinsi
Nusa Tenggara Barat);

6. Sinergi BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan dan
Inspektorat Kabupaten Dalam Pemeriksaan Dana Desa
oleh Wahyu Priyono, SE, MM, Ak, CSFA (Kepala BPK
Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan)

Bagian 6. Memperkuat Aspek Hukum dan
Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

1. Mitigasi Risiko Gugatan Hukum terhadap Hasil
Pemeriksaan pada BPK Perwakilan Provinsi Jambi oleh
Hery Ridwan, S.E., M.M., AK., CA, CSFA (Kepala BPK
Perwakilan Provinsi Jambi)

2. Penataan Pembentukan Peraturan BPK Melalui Program 526
Legislasi BPK oleh Herny Yanuarni, S.H., M.M., CLA., 536
CSFA (Plt. Kepala Direktorat Legislasi, Pengembangan, dan
Bantuan Hukum) 550
560
3. Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap 573
Penyelenggara Pemerintah Desa oleh Ade Iwan Ruswana,
S.E., M.M., Ak., CA., CSFA (Kepala BPK Perwakilan Provinsi 574
Kalimantan Tengah) 584
592
4. Optimalisasi Penghitungan Kerugian Negara/Daerah 602
yang Mendorong Pengembalian Kerugian Negara/Daerah
oleh Hasby Ashidiqi, S.E., M.Comm., Ak., CA., CFrA,
CSFA (Kepala Auditorat Kekayaan Negara/Daerah Yang
Dipisahkan)

5. Menghitung Kerugian Negara dalam Kasus Dugaan Tipikor
Terkait Aspek Lingkungan Hidup oleh Dwi Sabardiana, S.E.,
MA, CFr.A, CSFA (Kepala Auditorat Investigasi Keuangan
Negara Pusat)

Bagian 7. Mengoptimalkan Tindak Lanjut
Rekomendasi Hasil Pemeriksaan

1. Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Kinerja Bermanfaat untuk
Intensifikasi Pendapatan Daerah: Studi Kasus Pemeriksaan
Kinerja Samsat pada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat

oleh Indria Syzinia, S.E., M.Si., Ak., CA, CSFA (Kepala BPK

Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau)
2. Memanfaatkan Hasil Pemeriksaan untuk Mendorong

Tata Kelola Keuangan Negara yang Berkualitas oleh
Hari Wiwoho, S.E., M.M., Ak. , CA., CSFA (Kepala BPK
Perwakilan Provinsi Lampung)
3. Meningkatkan Manfaat Hasil Pemeriksaan Kinerja dan
Kepatuhan Melalui Pembentukan Tim Pengelolaan
Fokus Pemeriksaan pada BPK Perwakilan oleh R. Aryo
Seto Bomantari, SE., MM., Ak., CA., CSFA (Kepala BPK
Perwakilan Provinsi Bengkulu)
4. Strategi Akselerasi Penyelesaian TLHP oleh Yuan Candra
Djaisin, S.E., MM., Ak., CPA, CSFA (Kepala BPK Perwakilan
Provinsi DKI Jakarta)

xii

5. Optimasi Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan 612
dengan Pemanfaatan Aplikasi SMP dan SIPTL pada 618
Auditorat IV.C oleh Muhamad Toha Arafat, S.E., Ak., M.Si., 629
CA., CSFA (Kepala Auditorat IV.C) 630

6. Percepatan Penyelesaian TLRHP BPK oleh: Harry Purwaka, 640
S.E., MSF., Ak. , CA., CSFA (Kepala Perwakilan BPK 648
Perwakilan Provinsi Jawa Timur)
658
Bagian 8. Memperkuat Pengendalian Pemeriksaan 670
680
1. Peningkatan Kualitas KKP Melalui Peningkatan Kualitas
Pengendalian Mutu oleh Ahmad Adib Susilo, S.E., M.Sc., 690
Ak., CA, CSFA (Kepala Auditorat III.A) xiii

2. Penyelesaian KKP Secara Lengkap, Tepat Waktu dan
Berdaya Guna Melalui Penerapan Bertahap atas Aplikasi
SIAP dalam Pemeriksaan Keuangan oleh Jariyatna, S.E.,
M.M., Ak., CPA., CPSAK, CSFA (Kepala Biro Teknologi
Informasi)

3. Meningkatkan Kualitas Hasil Pemeriksaan Melalui
Optimalisasi Kegiatan Pemerolehan Keyakinan Mutu
Pemeriksaan oleh Paula Henry Simatupang, S.E., M.Si., Ak.,
CFrA., CA, csfa (Kepala BPK Perwakilan Provinsi Papua)

4. Peran Penanggungjawab Dalam Melaksanakan Quality
Control pada Pemeriksaan LKPD Provinsi Kalimantan
Barat Tahun Anggaran 2018 oleh oleh Joko Agus Setyono,
S.E., Ak. , CSFA, CPA., CA., CSFA (Kepala Perwakilan BPK
Provinsi Kalimantan Barat)

5. Peningkatan Kualitas LHP Melalui Pembentukan Tim
Review Kepatuhan oleh M. Ali Asyhar, S.E., Ak, CSFA
(Kepala Perwakilan BPK Provinsi Maluku Utara)

6. Optimalisasi Penerapan SPKM untuk LHP BPK yang
Berkualitas dan Bermanfaat oleh Agus Priyono, S.E., Ak.,
M.Si., CSFA., CA., csfa (Kepala BPK Perwakilan Provinsi
Kalimantan Utara)

7. Risk-Based Audit: Hambatan Atau Solusi? (Suatu
Tinjauan Praktis Untuk Solusi Peningkatan Kualitas Hasil
Pemeriksaan LKPD) oleh Eydu Oktain Panjaitan, S.E.,
M.M., Ak., CA, CSFA (Kepala BPK Perwakilan Provinsi
Sulawesi Barat)

8. Mitigasi Risiko Kecurangan Dalam Pelaksanaan 702
Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah oleh Dr. 717
Abdul Latief, SE, MM, CSFA (Kepala Auditorat III.B)
718
Bagian 9. Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan 730
SDM 740
750
1. Penguatan Fungsi Koordinasi dalam Penyusunan Kebijakan 760
dan Strategi Pemeriksaan pada AKN V: Implementasi, 770
Tantangan, dan Strategi oleh Novie Irawati Herni Purnama 780
S.E., M.Ak.,CFE, CSFA (Kepala Auditorat Pengelolaan 790
Pemeriksaan)

2. Penganggaran Pemeriksaan Keuangan Negara: Perbanding­
an Beberapa Pendekatan dalam Menyusun Kerangka Pen­
danaan di BPK oleh R. Edy Susila, S.H., CSFA (Kepala Biro
Keuangan)

3. Pemanfaatan dan Pengembangan Sistem Informasi dalam
Mendukung Pemeriksaan yang Berkualitas dan Bermanfaat
di BPK Perwakilan Provinsi Aceh oleh Arif Agus, S.E., M.M.,
Ak., CPA., CSFAA (Kepala Perwakilan BPK Provinsi Aceh)

4. Meningkatkan Kualitas dan Manfaat Pemeriksaan
Keuangan oleh Dwi Setiawan Susanto, S.E., M.Si., Ak.,
CSFA(Kepala Direktorat Penelitian dan Pengembangan)

5. Mengawal Visi BPK Melalui Pemeriksaan yang Memberi
Efek Jera oleh Arman Syifa, SST, M.Acc., Ak, CSFA (Kepala
Perwakilan BPK Provinsi Jawa Barat)

6. Pengembangan Kompetensi Pemeriksa BPK Melalui
Penyelenggaraan Diklat di Badiklat PKN oleh Rio Tirta
S.E., M.Acc, CSFA (Kepala Pusat Perencanaan dan
Penyelenggaraan Badiklat PKN)

7. Peningkatan Kualitas LHP atas Laporan Keuangan Melalui
Optimalisasi SDM oleh Andri Yogama, SE., MM., Ak, CSFA
(Kepala Perwakilan BPK Provinsi DI Yogyakarta)

8. Membangun Sistem Manajemen Integritas BPK Dalam
Rangka Peningkatan Kepatuhan Terhadap Kode Etik
oleh Etty Herawati, S.H., M.H., C.L.A, CSFA (Inspektur
Penegakan Integritas)

xiv

9. Tantangan Hasil Evaluasi LHP Terkait Profesionalisme 804
Pemeriksa untuk Mendorong Peningkatan Kualitas LHP 814
oleh Selvia Vivi Devianti, S.E., M.Sc., Ak., MCP., CFE,
CSFA (Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama 826
Internasional) 839
840
10. Sinergi Antar Perwakilan Melalui Integrasi Pemeriksaan 850
Tematik Lokal Dalam Rangka Pembangunan Daerah oleh 860
Muhammad Rizal Assiddiqie, S.E., M.M., Ak., CA, CSFA 872
(Kepala Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan)

11. Pentingnya Standardisasi Metodologi dan Teknik
Pemeriksaan Fisik Pada Audit Kepatuhan atas Kontrak
Pengadaan Jasa Konstruksi oleh Dede Sukarjo, S.E., M.M.,
Ak., CA., CSFA (Kepala Auditorat V.A)

Bagian 10. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dan
Komunikasi dalam Pemeriksaan

1. Pembentukan Organisasi Profesi Pemeriksa Keuangan
Negara oleh Gunarwanto, SE, MM, Ak, CA, CSFA (Kepala
Pusat Standarisasi dan Evaluasi Diklat PKN)

2. Partisipasi Elemen Masyarakat dalam Tugas Pemeriksaan
BPK oleh J. Widodo Hario Mumpuni, M.B.A., Ak., CFrA.,
CA, CSFA

3. Meningkatkan Kualitas Komunikasi untuk Pencapaian
Visi dan Misi BPK oleh Dr. Juska Meidy Enyke Sjam, S.E.,
M.M , CSFA (Kepala Direktorat Evaluasi dan Pelaporan
Pemeriksaan)

4. Meningkatkan Manfaat Hasil Pemeriksaan Melalui
Komunikasi dengan Stakeholder dalam Perencanaan
Pemeriksaan oleh Didik Julianto, S.E., M.Sc., Ak., CA, CSFA
(Kepala Auditorat KN VII.B)

xv

Membangun BPK Paripurna
360

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Bagian 4
Memperbaiki Tata
Kelola Keuangan
Pemerintah Pusat

361

Membangun BPK Paripurna

Analisis Kebijakan
Pendanaan Inovatif
Pemerintah dalam
Perspektif Laporan
Keuangan Pemerintah

Beni Ruslandi, S.E., M.Com., Ak., CA, CSFA
(Kepala Auditorat Keuangan Negara II.B)

A. Latar Belakang
Pemerintah dalam Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

Tahun 2019 menyatakan, terdapat kebijakan pemerintah yang mengakibatkan keterbatasan
ruang gerak (fiscal space) menjadi terbatas, antara lain, adanya pemenuhan pengeluaran
negara yang diwajibkan (mandatory spending). Ketentuan perundang-undangan yang
mewajibkan pengeluaran negara di antaranya, pertama, Amandemen Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945, Pasal 31 Ayat (4) tentang Penyediaan Anggaran Pendidikan dari APBN/
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang mengamanatkan kewajiban
penyediaan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD.

Kedua, Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 171,
yang mengamanatkan alokasi dana kesehatan sekurang-kurangnya sebesar 5% dari APBN
di luar gaji.

Ketiga, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat Dan Pemerintah Daerah, yang mewajibkan penyediaan dana perimbangan berupa
Dana Alokasi Umum (DAU) sekurang-kurangnya sebesar 26% dari penerimaan dalam
negeri neto, Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Keempat, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengamanatkan
penyediaan dana otonomi khusus untuk Provinsi Aceh dan UU Nomor 35 Tahun 2008
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

362

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang yang mengamanatkan penyediaan
dana otonomi khusus bagi Provinsi Papua yang mencakup Provinsi Papua dan Papua Barat.
Besaran dana otonorni khusus dimaksud masing-masing sebesar 2 persen dari DAU
Nasional.

Kelima, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengamanatkan sekurang-
kurangnya sebesar 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam
APBD setelah dikurangi DAK.

Selain mandatory spending, pemerintah juga memiliki program prioritas yang harus
diselesaikan. Salah satu prioritas tersebut pembangunan infrastrktur. Berdasarkan
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016, yang telah direvisi menjadi Perpres
Nomor 58 Tahun 2017, pemerintah memiliki 245 proyek strategis dan 2 program prioritas
yang dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Anggaran Kementerian Keuangan, anggaran
infrastruktur selama 2014-2018 terus meningkat, dari Rp157,3 triliun pada tahun 2014
menjadi Rp410,4 triliun pada tahun 2018.

Adanya mandatory spending dan kebutuhan pendanaan untuk program dan kegiatan
prioritas tersebut akan menimbulkan pelebaran defisit anggaran. Oleh karena itu,
pemerintah menerapkan skema pendanaan yang tidak mempengaruhi defisit anggaran
dengan melaksanakan kebijakan-kebijakan pembiayaan inovatif.

Kebijakan-kebijakan yang merupakan kewenangan pemerintah tersebut dilaksanakan
di luar lingkup proses penyusunan dan pertanggungjawaban APBN tetapi memiliki dampak
terhadap hak dan kewajiban negara. Beberapa contoh kebijakan pembiayaan kreatif yang
dilakukan oleh pemerintah, antara lain pembiayaan dengan skema Kerja Sama Pemerintah
dengan Badan Usaha (KPBU) dan Pembiayaan Infrastruktur NonAnggaran (PINA), dan
pembelian tanah untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) melaJui pembiayaan dalam APBN.

B. Tinjauan Teori
Keuangan Negara

UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjelaskan bahwa pendekatan
yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek,
proses, dan tujuan.

Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala

363

Membangun BPK Paripurna

sesuatu, baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dari sisi subjk ek yang dimaksud dengan keuangan negara, meliputi seluruh obyek
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda), perusahaan negara/daerah, dan
badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.

Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan objek, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, mulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.

Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan
hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek -sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya- dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

Rasul (2003), menyatakan, dalam melaksanakan suatu kegiatan maupun program,
pemerintah perlu melakukan akuntabilitas kepada publik sebagai pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan negara. Akuntabilitas publik mencakup beberapa aspek, di
antaranya, akuntabilitas program, akuntabilitas kebijakan dan akuntabilitas keuangan.

Akuntabilitas program berarti bahwa program program organisasi hendaknya
merupakan program yang bermutu dan rnendukung strategi dalam pencapaian visi, misi,
dan tujuan organisasi. Lembaga publik harus mempertanggungjawabkan program yang
telah dibuat sampai pada pelaksanaan program. Pada dimensi ini, para stakeholder atau
pihak yang membuat dan menjalankan kebijakan tersebut dituntut untuk bisa mencapai
visi misi yang menjadi tujuan organisasi.

Pada akuntabilitas kebijakan, lembaga-lembaga publik hendaknya dapat
mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan
dampak di masa depan. Dalam membuat kebijakan harus dipertimbangkan apa tujuan
kebijakan tersebut, mengapa kebijakan itu dilakukan.

Sementara, akuntabilitas keuangan merupakan pertanggungjawaban lembaga-
lembaga publik untuk menggunakan dana publik (public money) secara ekonomis, efisien
dan efektif, tidak ada pemborosan dan kebocoran dana, serta korupsi.

Akuntabilitas keuangan ini sangat penting karena menjadi sorotan utama masyarakat.
Akuntabilitas ini mengharuskan lembaga-lembaga publik untuk membuat laporan
keuangan untuk menggambarkan kinerja keuangan organisasi kepada pihak luar.

364

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Kebijakan Publik
Dunn (2018: 8) menjelaskan lima tahapan kegiatan yang relevan dengan analisa

kebijakan. Pertama, problem structuring/penataan masalah. Metode penataan masalah
digunakan untuk menghasilkan pengetahuan tentang masalah apa yang harus dipecahkan.
Metode penataan masalah rnencakup influence diagram clan decision tree.

Kedua, forecasting/peramalan. Metode peramalan digunakan untuk menghasilkan
pengetahuan tentang hasil kebijakan yang diharapkan. Meskipun banyak jenis metode
peramalan, contoh alat peramalan sederhana adalah scorecard.

Ketiga, rekomendasi. metode rekomendasi digunakan untuk menciptakan pengetahuan
tentang kebijakan yang disukai. Contoh metode preskriptif adalah spreadsheet.

Keempat, monitoring (pemantauan). Metode pemantauan digunakan untuk
menghasilkan pengetahuan tentang hasil kebijakan yang diamati. Scorecard adalah
metode sederhana untuk memantau hasil kebijakan yang diamati serta memperkirakan
hasil kebijakan yang diharapkan.

Kelima, evaluasi. Metode evaluasi digunakan untuk menghasilkan pengetahuan
tentang nilai atau kegunaan dari hasil kebijakan yang diamati dan kontribusinya terhadap
kinerja kebijakan.

Anggaran Pemerintah
Veiga et al. (2015: 28) mengemukakan empat fase umum utama dari sistem anggaran

dan dua di antaranya, pertama, eksekusi. Prosedur akuntansi dan pelaporan diterapkan
untuk menjamin bahwa pendapatan dan pengeluaran terus dipantau dan sesuai dengan
jumlah yang telah diperkirakan dan diotorisasi.

Eksekutif memiliki wewenang diskresi untuk melakukan penyesuaian anggaran
yang kecil, tetapi perubahan besar sering kali membutuhkan persetujuan di tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi atau legislatif.

Kedua, Pelaporan, audit, dan evaluasi. Pejabat publik harus bertanggung jawab
kepada warga negara atas cara mereka memperoleh dana publik dan cara mereka
membelanjakannya. Untuk menjamin akuntabilitas dan terus memberi informasi kepada
para pemangku kepentingan, evaluasi dan pelaporan menjadi sangat penting.

365

Membangun BPK Paripurna

C. Identifikasi Masalah
Permasalahan terkait pembiayaan inovatif yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu:
1. Bagaimana kesesuaian pembiayaan inovatif dengan peraturan perundang-
undangan?
2. Apakah standar dan kebijakan akuntansi telah mengatur pembiayaan kreatif
tersebut?
3. Bagaimana kesesuaian pembiayaan kreatif tersebut dengan standar dan kebijakan
akuntansi?
4. Bagaimana penyajian pembiayaan kreatif tersebut dalam Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat?
5. Bagaimana dampak pembiayaan kreatif tersebut terhadap ketepatan perhitungan
mandatory spending dan pehitungan defisit?

D. Analisis Masalah
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pembiayaan di luar APBN, pemerintah telah

mengambil kebijakan-kebijakan yang berdampak terhadap hak dan kewajiban negara. Ke-
bijakan-kebijakan tersebut, yaitu:

1. Kebijakan Pemerintah atas Penyediaan Infrastruktur Melalui Skema KPBU dan
PINA
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa

total nilai investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur selama 2015-
2019 sebesar Rp4.769 triliun. Kebutuhan pembiayaan tersebut sebesar 41% (Rp1.969,6
triliun) direncanakan dipenuhi melalui APBN. Sedangkan sebesar 58,7% diharapkan dapat
dipenuhi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (22,2% atau setara Rpl.058,7 triliun) dan
partisipasi swasta (36,5% atau setara Rpl.740,7 triliun).

Dalam rangka pendanaan pembangunan infrastruktur dari luar APBN, pemerintah
mengembangkan pembiayaan dengan skema KPBU dan PINA. KPBU merupakan kerja sama
antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan
umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh menteri/
kepala lembaga/kepala daerah/BUMN/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang sebagian
atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan memerhatikan
pembagian risiko di antara para pihak. Sedangkan PINA, sebuah skema fasilitasi yang
bertujuan untuk mengakselerasi investasi pihak swasta untuk membiayai proyek-proyek

366

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

strategis nasional, yang dananya bersumber dari non-APBN/APBD dan sepenuhnya
didukung oleh kebijakan pemerintah.

Untuk mendukung skema KPBU, pemerintah berkomitmen menyediakan berbagai fasilitas
dan dukungan, yaitu fasilitas penyiapan proyek, dukungan kelayakan, dan penjaminan
infrastruktur. Pemerintah juga memperkenalkan skema pengembalian investasi proyek KPBU,
yakni skema pembayaran berdasarkan ketersediaan layanan atau yang biasa dikenal dengan
Availability Payment (AP). Dengan skema ini badan usaha tidak memiliki risiko permintaan
atau demand risk dan memiliki kepastian pengembalian investasi.

Melalui skema PINA, pemerintah tidak melalukan intervensi jaminan maupun sumbangan,
seperti halnya dalam skema KPBU. Skema PINA memiliki tiga fungsi utama, yaitu: fungsi
fasilitasi, fungsi pipelining, dan fungsi ekosistem. Untuk menarik minat investor, skema PINA
akan memberikan imbas hasil (return) investasi yang tinggi.

Terkait kebijakan KPBU dan PINA, pemerintah belum mengatur mekanisme penganggaran,
pertanggungjawaban, dan pelaporan atas pendanaan penyediaan infrastruktur melalui
skema KPBU dan PINA sesuai dengan peraturan perundang-undangan keuangan negara.
PermasaJahan yang timbul terkait kebijakan KPBU dan PINA tersebut, yakni, pertama, skema
KPBU availability payment dalam proyek palapa ring.

Perpres Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan Infrastruktur mengatur bahwa salah satu pengembalian investasi badan
usaha pelaksana atas penyediaan infrastruktur bersumber dari pembayaran ketersediaan
layanan (Availability Payment).

Pembayaran ketersediaan layanan adalah pembayaran secara berkala oleh menteri/
kepala lembaga/kepala daerah kepada badan usaha pelaksana atas tersedianya layanan
infrastruktur yang sesuai dengan kualitas dan/atau kriteria sebagaimana ditentukan dalam
perjanjian KPBU.

Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama (PJPK) menganggarkan dana pembayaran
ketersediaan layanan untuk penyediaan infrastruktur yang dilakukan oleh badan usaha
pelaksana pada masa operasi selama jangka waktu yang diatur dalam perjanjian kerja sama.
Penganggaran dilakukan dengan memperhitungkan biaya modal, biaya operasional, dan/
atau keuntungan badan usaha pelaksana.

PJPK melakukan pembayaran ketersediaan layanan kepada badan usaha pelaksana
apabila telah memenuhi kondisi infrastruktur yang dikerjasamakan telah dibangun dan
dinyatakan siap beroperasi serta menteri/kepala lembaga/kepala daerah menyatakan bahwa
infrastruktur telah memenuhi indikator layanan infrastruktur sebagaimana diatur dalam
perjanjian kerja sama.

367

Membangun BPK Paripurna

Berdasarkan perjanjian kerja sama antara Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kementerian Kominfo) dengan badan usaha diketahui bahwa PJPK, dalam hal ini,
Kementerian Kominfo, memiliki kewajiban untuk menganggarkan dan melakukan
pembayaran ketersediaan layanan atas Proyek Palapa Ring kepada badan usaha pelaksana
selama masa pengoperasian infrastruktur minimal sebesar Rp15, triliun.

Tidak terdapat pengakuan atas kewajiban tersebut serta tidak terdapat juga pengakuan
aset pada Laporan Keuangan Kementerian Kominfo selaku PJPK atas Proyek Palapa Ring,
namun pada tahun 2018 dan 2019 telah terdapat pembayaran sebesar Rp1,27 triliun
kepada badan usaha.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 260/PMK.08/2016 tentang Tata Cara
Pembayaran Ketersediaan Layanan Pada Proyek Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan
Usaha Dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur, mengatur bahwa PJPK bertanggung jawab
sepenuhnya atas segala tindakan yang dilakukannya. Termasuk melakukan perencanaan
dan penyiapan pembayaran ketersediaan layanan, serta pengalokasian anggaran dan
pembayaran atas dana pembayaran ketersediaan layanan.

Dengan demikian, selama masa pengoperasian infrastruktur, pembayaran ketersediaan
layanan akan mempersempit ruang fiskal APBN.

Kedua, aset konstruksi berupa jalan, gedung, peralatan dan jaringan atas jalan tol yang
dibangun oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) belum dilaporkan dalam Laporan Keuangan
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR).

Pencatatan aset konstruksi berupa jalan, gedung, peralatan, dan jaringan atas jalan tol
yang dibangun oleh BUJT yang baru dilakukan setelah masa konsesi dinilai kurang tepat.
Kewenangan kepemilikan dan penguasaan penuh jalan tol ada pada pemerintah, dalam
hal ini, Kementerian PUPR dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), dimana BUJT hanya
mempunyai hak untuk mengusahakan saja sehingga aset jalan tol tersebut seharusnya
dicatat dan dilaporkan sebagai aset pemerintah.

Ketiga, kebijakan akuntansi Kementerian PUPR belum mengatur pelaporan atas
kegiatan penyelenggaraan jalan tol.

Kementerian PUPR telah mengeluarkan Surat Edaran No. 01/SE/M/2016 tentang
Kebijakan Akuntansi Berbasis Akrual dalam Pelaporan Keuangan dan Pelaporan Barang
Milik Negara pada Kementerian PUPR. Kebijakan tersebut dikeluarkan sebagai panduan
dalam menyusun laporan keuangan dan laporan Barang Milik Negara (BMN) di lingkungan
Kementerian PUPR.

368

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Sebagai pedoman dalarn penyusunan laporan keuangan, kebijakan akuntansi tersebut
belum mengatur mengenai penyajian aset yang dihasilkan dari kegiatan penyelenggaraan
jalan tol yang dilakukan oleh Ditjen Bina Marga dan BPJT.

Kegiatan pembangunan jalan tol yang dilakukan melalui kerja sama antara BPJT dengan
BUJT disajikan di neraca dalam akun aset kemitraan dengan pihak ketiga. Kebijakan
akuntansi atas penyajian akun tersebut belum ada, sehingga belum ada panduan yang
menjelaskan mengenai definisi, jenis, pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan atas
aset-aset yang dihasilkan dari kerja sama antara BPJT dengan BUJT dalarn penyelenggaraan
jalan tol. Hal ini turut mempengaruhi proses penyusunan Laporan Keuangan Tahun
Anggaran (TA) 2018 pada satuan kerja (satker) lingkup Ditjen Bina Marga.

Keempat, kewajiban kontingensi belum diatur secara khusus dalam Standar Akuntansi
Pemerintahan dengan Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) tersendiri.

Pengungkapan yang dilakukan pemerintah pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
(LKPP) TA 2018 didasarkan pada PSAP Nomor 4 tentang Catatan atas Laporan Keuangan
(CaLK) paragraf 58 sampai 62 dimana sudah mensyaratkan bahwa kewajiban kontingensi
perlu diungkapkan dalam CaLK.

2. Kebijakan Pemerintah atas Pembelian tanah untuk PSN melalui LMAN
Pemerintah mengalokasikan dan merealisasikan dana untuk pengadaan tanah

infrastruktur Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikelola Lembaga Manajemen Aset
Negara (LMAN) melalui pos pembiayaan APBN.

Berdasarkan kajian yang disusun LMAN dalam rangka penganggaran dana pengadaan
tanah PSN tahun 2016, dalam APBN-Perubahan Tahun 2016, diketahui bahwa kebijakan
tersebut diambil dengan pertimbangan pemerintah kesulitan mengalokasikan pendanaan
pengadaan tanah PSN yang membutuhkan anggaran cukup besar.

Pengalokasian belanja negara dibatasi ruang geraknya oleh anggaran yang bersifat
mandatory, seperti pada sektor pendidikan dan kesehatan, di mana setiap penambahan
anggaran belanja di sektor selain membuat kebutuhan dana, secara keseluruhan
bertambah 25%. Hal ini berimplikasi pada pelebaran defisit anggaran.

Selain itu, dengan dialokasikannya dalam Pos Pembiayaan APBN, penggunaan dana
oleh LMAN akan lebih fleksibel. LMAN dapat membayar ganti rugi tanah yang proses
pengadaannya selesai dalam tahun berjalan maupun tertunda sampai tahun-tahun
berikutnya.

369

Membangun BPK Paripurna

Pengalokasian Anggaran dan Realisasi Pendanaan Pengadaan Tanah PSN pada Pos
Pembiayaan menimbulkan ketidakakuratan perhitungan mandatory spending dan
perhitungan defisit, dengan uraian sebagai berikut.

Pertama, pengalokasian anggaran untuk pengadaan tanah PSN pada Pos Pembiayaan
tidak Tepat.

Berdasarkan PSAP Nomor 02, pembiayaan (financing) adalah setiap penerirnaan yang
perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Dalam penganggaran
pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit atau memanfaatkan surplus
anggaran.

Selain itu, dalam paragraf 55 PSAP Nomor 02 juga dijelaskan bahwa pengeluaran
pembiayaan adalah semua pengeluaran Rekening Kas Umum Negara/Daerah, antara lain
pemberian pinjaman kepada pihak ketiga, penyertaan modal pemerintah, pembayaran
kembali pokok pinjaman dalam periode tahun anggaran tertentu, dan pembentukan dana
cadangan.

Terkait dengan dana pengadaan tanah untuk PSN yang dikelola LMAN, pada saat
Bendahara Umum Negara (BUN) menyerahkan dana kepada LMAN, tidak ada ketentuan yang
mengatur kewajiban LMAN untuk membayar kembali kepada BUN.

Dana yang diterima LMAN sepenuhnya akan digunakan LMAN untuk membayar
pengadaan tanah. Tanah hasil pengadaan akan dicatat pada sebagai Aset Lain-Lain BUN pada
Laporan Keuangan LMAN, Laporan Keuangan BUN (LKBUN), dan LKPP tidak dimaksudkan
untuk dijual kembali.

Kedua, investasi tanah PSN untuk kepentingan umum tidak sesuai dengan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2011 tentang lnvestasi Pemerintah.

Berdasarkan Pasal 1 PP Nomor 49 Tahun 2011 tersebut, investasi pemerintah adalah
penempatan sejumlah dana dan/atau barang dalam jangka panjang untuk investasi
pembelian surat berharga dan investasi langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi,
sosial, dan/atau manfaat lainnya.

Dalam pasal 4 PP tersebut juga dijelaskan bahwa investasi langsung berupa penyertaan
modal dapat dilakukan dengan cara kerja sama investasi antara badan investasi pemerintah
dengan badan usaha dan/atau Badan Layanan Umum (BLU) dengan pola kerja sama
pemerintah dan swasta (public private partnership). Cara lainnya dengan kerja sama investasi
antara badan investasi pemerintah dengan badan usaha, BLU, pemerintah provinsi/
kabupaten/kota, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), dan/atau badan hukum asing,
dengan selain pola kerja sama pemerintah dan swasta (nonpublic private partnership).

370

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Selain itu, dalam PSAP Nomor 06 Akuntansi Investasi (Revisi 2016) paragraf 06 disebutkan
bahwa investasi adalah aset yang dimaksudkan untuk memperoleh manfaat ekonomi
seperti bunga, dividen dan royalti, dan/atau manfaat sosial, sehingga dapat meningkatkan
kemampuan pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Kemudian Investasi
nonpermanen adalah investasi jangka panjang yang tidak termasuk dalam investasi
permanen, dimaksudkan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan.

Dalam paragraf 05 PSAP No 06 juga menyebutkan bahwa Pernyataan Standar Akuntansi
Investasi ini tidak mengatur penempatan uang yang termasuk dalam lingkup setara kas,
pengaturan bersama (joint arrangements) yang mencakup operasi bersama (joint operation)
atau ventura bersama (joint venture), aset tetap yang dikerjasamakan, dan properti investasi.

Ketiga, terdapat ketidakkonsiten pendanaan pengadaan tanah PSN. Pengeluaran untuk
biaya operasional dan biaya pendukung pengadaan tanah PSN dialokasikan dari anggaran
belanja modal Kementerian/Lembaga (K/L) terkait.

Biaya operasional dan pendukung pengadaan tanah PSN yang dapat dikapitalisasi
ke dalam nilai tanah PSN, antara lain adalah realisasi belanja modal tahun 2018 pada
Kementerian PUPR sebesar Rp5,46 miliar dan Kementerian Perhubungan dalam hal ini
Ditjen Perkeretaapian sebesar Rp14,27 miliar untuk pengadaan jasa penilai/Kantor Jasa
Penilai Publik yang melakukan perhitungan Nilai Penggantian Wajar (NPW) tanah untuk
PSN.

Lalu, terdapat pengadaan tanah PSN yang anggarannya berasal dari pos
pembiayaan investasi BUN dan belanja modal tanah pada Kementerian Perhubungan dan
Kementerian PUPR.

Selain itu, pengalokasian anggaran untuk pengadaan tanah PSN melalui pos pembiayaan
tidak konsisten dengan tanah nonPSN yang dilakukan melalui belanja modal meskipun
tanah hasil pengadaan memiliki nature yang sama.

Permasalahan di atas berdampak terhadap penyajian aset, belanja dan kewajiban
Pemerintah serta berdampak pada keakuratan perhitungan mandatory spending dan
perhitungan defisit.

E. KESimpulan
Dari apa yang telah diuraikan sebelumnya, terdapat beberapa kesimpulan. Pertama,

pelaksanaan kebijakan pendanaan inovatif yang dilakukan pemerintah tidak seluruhnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kedua, pelaksanaan kebijakan pendanaan inovatif yang dilakukan pemerintah belurn

371

Membangun BPK Paripurna

didukung dengan standar dan kebijakan akuntansi dan/atau tidak sesuai dengan standar
akuntansi yang berlaku.

Ketiga, pelaksanaan kebijakan pendanaan inovatif yang dilakukan pemerintah ber-
dampak terhadap hak dan kewajiban negara. Akan tetapi hak dan kewajiban tersebut be-
lum sepenuhnya dicatat dan disajikan dalam LKPP.

Belurn dilaporkan atau dipertanggungjawabkannya pelaksanaan kebijakan pendanaan
inovatif tersebut terjadi karena belum terdapat aturan yang jelas terkait perencanaan, stan-
dar akuntansi dan pelaporan serta pertanggungjawaban.

Keempat, pelaksanaan kebijakan pendanaan inovatif yang dilakukan pemerintah
berpengaruh terhadap ketepatan perhitungan mandatory spending dan pehitungan de-
fisit.
Saran

Untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas dari pelaksanaan kebijakan pen-
danaan inovatif, maka pemerintah menetapkan aturan mengenai tata cara perencanaan,
pertanggungjawaban, pelaporan, serta standar akuntansi atas seluruh kebijakan inovatif
emerintah dalam membiayai kebutuhan dana pembangunan yang berdampak langsung
maupun tidak langsung terhadap APBN.

372

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Daftar Pustaka

Badan Pemeriksa Keuangan. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaanatas Laporan Keuangan Pe-
merintah Pusat tahun 2018. Jakarta

Dunn, W. N. (2018). Public Policy Analysis: An Integrated Approach. New York: Routledge
Rasul, Syahrudin. 2003. Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja dan Anggaran dalam

Perspektif UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. PNRI. Jakarta
Veiga, L. G., Kurian, M., & Ardakanian, R. (2015). Intergovernmental Fiscal Relations:
Questions of Accountability and Autonomy. New York: Springer

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Un-
dang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Oto-
nomi Khusus Bagi Provinsi Papua
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2011 tentang lnvestasi Pemerintah

373

Membangun BPK Paripurna

LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN:
ISU STRATEGIS DALAM

TRANSPARANSI FISKAL INDONESIA

Emmy Mutiarini, SE, MSi, Ak, CA, CSFA
(Kepala Auditorat II.A)

A. PENDAHULUAN
Sebagai pengemban amanat konstitusi untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung

jawab keuangan negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki peran yang sangat
strategis dalam mendorong dan mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan negara. Selain melaksanakan pemeriksaan atas
pengelolaan keuangan negara, BPK diharapkan dapat memberikan nilai tambah dan
manfaat kepada masyarakat, salah satunya dengan memperkuat akuntabilitas, transparansi,
dan integritas Pemerintah serta entitas-entitas sektor publik sesuai dengan kewenangan
yang dimilikinya.

Salah satu bentuk nilai tambah atas keberadaan BPK tersebut, BPK telah melakukan
review atas pelaksanaan unsur transparansi fiskal pada Pemerintah Pusat yang dilakukan
bersamaan dengan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) sejak
tahun 2008. Review pelaksanaan transparansi fiskal tersebut bertujuan untuk memberikan
simpulan umum atas pemenuhan unsur transparansi fiskal Pemerintah Pusat dengan
berpedoman pada praktik-praktik yang baik dalam transparansi fiskal sebagaimana
tertuang dalam The IMF’s Fiscal Transparency Code (FTC) tahun 2014.

Dalam Laporan Hasil Review no 64/LHP/XV/05/2018 tanggal 21 Mei 2018 atas
pelaksanaan transparansi fiskal tahun 2017, BPK menyatakan bahwa Pemerintah telah
memenuhi sebagian besar kriteria pilar transparansi fiskal pada level good dan advanced.
Namun masih terdapat kondisi-kondisi yang menempatkan kriteria pada level basic yaitu
belum adanya estimasi kehilangan pendapatan dari pengeluaran-pengeluaran pajak yang
diterbitkan oleh pemerintah (tax expenditure report) secara berkala.

374

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Menindaklanjuti hasil review tersebut, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian
Keuangan menerbitkan Laporan Belanja Perpajakan 2016 – 2017. Laporan tersebut adalah
laporan pertama dalam sejarah perpajakan Indonesia yang berupaya untuk melaporkan
kebijakan pemerintah baik berupa insentif-insentif perpajakan maupun perlakuan
perpajakan yang berbeda dari aturan umum perpajakan. Laporan Belanja Perpajakan
ini dipandang penting, tidak hanya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bentuk
transparansi dan akuntabilitas kebijakan pemerintah, tetapi juga menjadi instrumen
pengawasan dan evaluasi bagi pemerintah dalam mengelola keuangan negara dan
menjadi dasar pengambilan kebijakan dalam bidang perpajakan berikutnya.

Tulisan ini mengangkat isu strategis atas keberadaan Laporan Belanja Perpajakan, baik
dari sisi substansi laporan tersebut, maupun manfaat dan peluang perkuatan atas Laporan
Belanja Perpajakan untuk transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam penganggaran
dan kebijakan fiskal.

B. KAJIAN PUSTAKA
Menurut UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

(KUP), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan
pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai
semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Dalam pemerintahan, pajak
memiliki berbagai fungsi, yaitu: pertama, Fungsi Anggaran (Budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2018 menyajikan
realisasi pendapatan perpajakan tahun 2018 sebesar Rp1.518,77 triliun atau 78,14% dari
total pendapatan sebesar Rp1.943,67 triliun. Dengan demikian, penerimaan pajak menjadi
sumber pembiayaan pembangunan yang utama di Indonesia. kedua, Fungsi Mengatur
(Regulerend)

Melalui kebijakan perpajakan, pemerintah dapat mengatur pertumbuhan ekonomi.
Pajak bisa digunakan sebagai alat untuk menarik investor luar negeri untuk berinvestasi
di Indonesia dengan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. ketiga, Fungsi Stabilitas
Sebagai penyumbang penerimaan negara yang terbesar, pajak memungkinkan pemerintah
untuk menjalankan kebijakan fiskal yang berhubungan dengan stabilitas harga. keempat,

375

Membangun BPK Paripurna

Fungsi Redistribusi Pendapatan Pajak yang sudah dipungut akan digunakan untuk
membiayai pembangunan yang dinikmati masyarakat secara luas. Kegiatan pembangunan
tersebut akan membuka kesempatan kerja bagi masyarakat dan membuka peluang
investasi yang akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Dalam pengelolaan keuangan negara, perpajakan selama ini masih dipandang hanya
dari satu aspek, yakni sebagai penerimaan. Data dan informasi perpajakan yang disajikan
dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) hanya dari penerimaan tanpa
mempertimbangkan adanya ‘kehilangan pendapatan’ yang berasal dari kebijakan fiskal
yang ditetapkan pemerintah.

Agar penerimaan perpajakan dapat disajikan secara utuh, diperlukan keberanian
pemerintah untuk menyajikan besaran ‘kehilangan pendapatan’ tersebut yang dapat
dianggap sebagai pengeluaran atau belanja perpajakan. Belanja Perpajakan secara umum
didefinisikan sebagai penerimaan negara yang hilang atau berkurang sebagai akibat dari
adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem perpajakan yang berlaku secara umum
kepada subjek dan objek pajak dengan persyaratan tertentu.

Kata “belanja” pada istilah tersebut melekat karena pada dasarnya terdapat aktivitas
belanja atau pengeluaran pemerintah yang terjadi secara tidak langsung. Dalam
praktiknya, beberapa jenis belanja perpajakan dalam bentuk kebijakan fiskal yang
diberikan pemerintah1 berupa keringanan pajak (allowances), pengecualian (exemptions),
pengurangan tarif pajak (rate relief), penangguhan atau penundaan (tax defferal), dan kredit
pajak (credits).

Terkait dengan transparansi dan akuntabilitas fiskal, The International Monetary
Fund (IMF) dan the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)
merekomendasikan agar pemerintah mengestimasikan dan melaporkan adanya belanja
perpajakan. Untuk itu, (IMF) telah menerbitkan yaitu  Fiscal Transparency Code  (FTC)
pada tahun 2014 sebagai standar internasional untuk pengungkapan informasi tentang
pengelolaan keuangan publik dan  Fiscal Transparency Evaluation  sebagai alat diagnostik
transparansi fiskal di suatu negara.

1 OECD, Tax Expenditure in OECD Countries, OECD Publishing, 2010, 12

376

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Four Pillars of the Fiscal Transparency Code

Sumber: IMF, Fiscal Transparency,  http://www.imf.org/external/np/fad/trans/
IMF menyatakan transparansi fiskal berkaitan dengan empat pilar yaitu:
1. Fiscal Report
Fiscal Report harus menyediakan ikhtisar yang komprehensif, relevan, tepat waktu,

dan dapat diandalkan tentang posisi dan kinerja keuangan pemerintah.
2. Fiscal Forecasting & Budgeting
Fiscal Forecasting & Budgeting harus menyediakan pernyataan yang jelas mengenai

tujuan dan maksud dari kebijakan anggaran pemerintahan, serta memiliki proyeksi
keuangan publik yang komprehensif, tepat waktu, dan dapat diandalkan.
3. Fiscal Risk Analysis & Management
Pemerintah harus mengungkapkan, menganalisis, dan mengelola risiko dari
keuangan publik dan memastikan adanya koordinasi yang efektif antara pengambilan
keputusan fiskal pada sektor publik.
4. Resource Revenue Management
Pemerintah mengungkapkan pengelolaan pendapatan dan sumber daya pemerintah
berkaitan dengan transparansi, alokasi, pengumpulan, dan pelaporan pendapatan
dan sumber daya tersebut.

377

Membangun BPK Paripurna

Untuk setiap prinsip transparansi fiskal, FTC membedakan penilaian terhadap praktik
yaitu dasar (basic), baik (good), dan tingkat lanjut (advanced), yang masing-masing dibagi
lagi dalam berbagai dimensi.

Standar IMF yang terkait dengan Belanja Perpajakan terdapat pada Pilar I Laporan
Fiskal pada kriteria Cakupan Pengeluaran Pajak. Secara prinsip, pemerintah secara teratur
mengungkapkan dan mengelola kehilangan pendapatan dari pengeluaran pajak. Penilaian
diberikan berdasarkan praktik yang dilaksanakan pemerintah dengan level hasil penilaian
sebagai berikut:

Kriteria Standar Penilaian IMF untuk Cakupan Belanja Perpajakan

Level Basic Level Good Level Advanced

Perkiraan kehilangan n Hilangnya pendapatan n Hilangnya pendapatan dari
pendapatan dari dari pengeluaran pengeluaran pajak diperkirakan
pengeluaran pajak pajak diperkirakan berdasarkan sektor atau bidang
diterbitkan setidaknya berdasarkan sektor atau kebijakan,
setiap tahun. bidang kebijakan,
n Diterbitkan setidaknya setiap
n Diterbitkan setidaknya tahun.
setiap tahun.
n Terdapat pengendalian, atau
tujuan penganggaran, dan
ukuran pengeluaran pajak.

Level transparansi fiskal pada kriteria ini dibedakan berdasarkan pengungkapan
estimasi kehilangan pendapatan sesuai sektor atau area kebijakan, dan apakah terdapat
pengendalian atau tujuan anggaran atas besaran pengeluaran pajak tersebut. Dengan
adanya kriteria tersebut, pemerintah diharapkan secara teratur mengungkapkan dan
mengelola kehilangan pendapatan dari pengeluaran pajak. Kondisi tersebut dapat
terwujud bila ada komitmen dari pemerintah untuk melaksanakannya.

Selain IMF, OECD juga memberikan guidelines terkait belanja perpajakan. Zainul Arifin2
menyatakan bahwa guideline OECD menetapkan bahwa pengurangan kewajiban pajak
dapat dikategorikan sebagai belanja perpajakan apabila memenuhi syarat-syarat, pertama,
akan berkontribusi dan memberi manfaat kepada sektor industri, aktifitas, atau kelompok
pendapatan wajib pajak tertentu. Kedua, harus mendukung suatu maksud yang jelas dan
tujuan yang dapat dicapai lewat kebijakan publik lainnya.

2 Zainul Arifin, Tax Expenditure: Pengenalan Konsep dan Praktik di Beberapa Negara, 2.

378

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Ketiga, harus ada patokan umum yang memadai sebagai pembeda (tax benchmark)
dari ketentuan khusus tersebut. Keempat, perubahan ketentuan pajak dimungkinkan jika
sewaktu-waktu ingin menghilangkan belanja perpajakan.

Kelima, harus ada ketentuan lain dalam sistem pajak yang dapat mengimbangi dampak
yang diperoleh dari belanja perpajakan.Dalam konteks global, IMF dan OECD sudah
menjadikan Laporan Belanja Perpajakan sebagai syarat wajib penilaian transparansi fiskal
suatu negara. Tidak hanya transparansi fiskal, Laporan Belanja Perpajakan pun akhirnya
ditujukan untuk menunjukkan transparansi pemerintah dalam menghubungkan sistem
perpajakan dengan proses penganggaran dan pengambilan kebijakan fiskal berikutnya

C. Isu Strategis Terkait Pelaporan Belanja Perpajakan
Laporan Belanja Perpajakan 2016 - 2017 mencakup jenis pajak yang dikelola

oleh Pemerintah Pusat, yaitu Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Barang Mewah (PPN dan PPnBM), Pajak Penghasilan (PPh), serta Bea Masuk dan
Cukai (BMC). BKF menyatakan bahwa metode yang digunakan untuk mengestimasi
besaran belanja perpajakan adalah revenue forgone method, yaitu dengan
menghitung selisih antara potensi penerimaan pajak yang diperoleh tanpa adanya
belanja perpajakan dengan penerimaan pajak akibat adanya ketentuan belanja
perpajakan. BKF3 menyatakan bahwa hasil estimasi belanja perpajakan tahun 2016
dan 2017 masing-masing sebesar Rp143,6 triliun dan Rp154,7 triliun. Pada tahun 2017,
estimasi belanja perpajakan tersebut sebesar 1,14 persen dari PDB. Jika dilihat berdasarkan
tujuannya, estimasi belanja perpajakan tahun 2017 yang terbesar hingga terkecil adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan umum, melindungi UMKM, mendukung dunia bisnis,
dan mendorong investasi. Adapun jika dilihat dari sektor yang memanfaatkan, tidak ada
sektor tertentu yang menikmati fasilitas belanja perpajakan.

Atas Laporan Belanja Perpajakan tersebut, BPK, dalam Laporan Hasil Review nomor
71/LHP/XV/05/2019 tanggal 20 Mei 2019 tentang Pelaksanaan Transparansi Fiskal,
menyimpulkan bahwa pemerintah telah memenuhi sebagian besar kriteria sehingga dapat
mencapai level advanced dan good. Namun, terkait dengan cakupan pengeluaran pajak,
BPK menilai bahwa transparansi fiskal pemerintah berada pada level basic. Walaupun
pemerintah telah menyusun Laporan Belanja Perpajakan pada tahun 2018, laporan
tersebut baru pertama kali terbit sehingga belum dipublikasikan secara berkala. Selain itu,
BPK memberikan catatan yang perlu diperbaiki, yaitu:

3 BKF, Laporan Belanja Perpajakan 2016 – 2017. 2018, IX.

379

Membangun BPK Paripurna

1. Belum adanya landasan hukum dalam menyusun Laporan Belanja Perpajakan;
2. Pemerintah belum mengestimasi seluruh item Belanja Perpajakan;
3. Laporan Belanja Perpajakan belum menyajikan data forward looking estimates;
4. Penyajian pembagian sektor pajak tanpa dihubungkan dengan rincian tipe pajak

yang dihitung;
5. Belum adanya ukuran kinerja yang ditetapkan untuk monitoring kesuksesan

pencapaian tujuan belanja perpajakan;
6. Masih terdapat ketidaksesuaian nilai pajak dalam Laporan Belanja Perpajakan.

Berdasarkan kajian pustaka dan hasil review BPK atas pelaksanaan transparansi fiskal
pemerintah, terdapat isu-isu strategis terkait dengan Laporan Belanja Perpajakan, yaitu:

1. Dasar hukum
Pemerintah perlu menjadikan aspek legalitas pelaporan belanja perpajakan sebagai

prioritasdalammenerapkankonsepbelanjaperpajakan. Sampaidengansaatini,pemerintah
belum memiliki landasan hukum Laporan Belanja Perpajakan. Upaya pemerintah untuk
menyajikan belanja perpajakan sebagai bagian dari transparansi dari pemberian berbagai
jenis fasilitas perpajakannya patut diapresiasi. Namun, belum adanya aturan hukum
berpotensi menimbulkan pertanyaan atas komitmen pemerintah untuk tetap menyajikan
Laporan Belanja Perpajakan secara periodik di masa depan. Selain itu, adanya dasar hukum
akan menjamin adanya konsistensi mekanisme penyusunan dan perhitungan belanja
perpajakan sehingga laporan tersebut dapat dibandingkan dari tahun ke tahun. Untuk itu,
pemerintah perlu menetapkan secara formal hal-hal sebagai berikut, pertama, Definisi

Definisi ini sangat penting untuk memberikan pedoman yang jelas dalam membuat
kriteria belanja pajak. Definisi yang jelas akan memberikan pemahaman dan kriteria/
ukuran-ukuran yang sama, baik bagi para pelaksana di pemerintahan, maupun bagi para
pemangku kepentingan atas Laporan Belanja Perpajakan. kedua, Standar pajak yang
berlaku (Tax Benchmark)

Tax benchmark secara umum dianggap sebagai ketentuan umum perpajakan
yang telah berlaku di suatu negara. Penentuan tax benchmark ini menjadi sangat krusial
karena mempengaruhi besaran belanja pajak. Dengan banyaknya perspektif yang berbeda
dalam menetapkan tax benchmark, diperlukan pembahasan yang komprehensif dalam
menentukan apakah suatu ketentuan itu berlaku secara umum atau sebaliknya merupakan
ketentuan khusus dalam menetapkan tax benchmark. ketiga, Cakupan pajak

Pajak apa saja yang akan diperhitungkan sebagai belanja perpajakan. Apakah hanya
pajak pusat? Atau termasuk pajak daerah juga? Laporan Belanja Perpajakan tahun 2016

380

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

– 2017 hanya menyajikan belanja perpajakan dari pajak pusat dan tidak mencakup pajak
daerah. keempat, Periode pelaporan Periode berlakunya belanja perpajakan. kelima,
pelaporan belanja perpajakan dan penetapan laporan belanja perpajakan sebagai bagian
dari dokumen anggaran

Agar Laporan Belanja Perpajakan dapat disusun dan dimanfaatkan secara optimal,
pemerintah perlu membahas tujuan dari penyusunan Laporan Belanja Perpajakan dengan
para pemangku kepentingan. Selain itu, pemerintah perlu mempertimbangkan Laporan
Belanja Perpajakan sebagai bagian dari dokumen anggaran. Saat ini, Laporan Belanja
Perpajakan merupakan dokumen yang terpisah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Ringkasan isi laporan tersebut dicantumkan pada Nota Keuangan dan
RAPBN 2019. Pemerintah perlu didorong agar menjadikan Laporan Belanja Perpajakan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari APBN agar dapat dikendalikan dan dikritisi oleh
para pemangku kepentingan.

Metode Perhitungan dan Penyajian Laporan Belanja Perpajakan
Metodologi perhitungan

Dalam Laporan Belanja Perpajakan Tahun 2016-2017, metode yang digunakan untuk
mengukur besaran belanja perpajakan tahun 2016-2017 adalah revenue forgone method.
Metode ini mengukur belanja perpajakan dengan asumsi tidak ada perubahan perilaku
wajib pajak, tidak memperhitungkan dampak ekonomi dan tidak memperhitungkan
perubahan kebijakan pemerintah.

Berbagai literatur dan praktik di negara lain menunjukkan tiga jenis metode untuk
mengukur besaran belanja perpajakan yang lazim digunakan, yaitu (i) Revenue Forgone
Method, (ii) Final Revenue Loss Method, dan (iii) Outlay Equivalent Method. Metode perhitungan
yang dipilih tentunya harus sejalan dengan tujuan penyusunan laporan.

Selain metode perhitungan, pemerintah perlu membahas secara komprehensif
kriteria pengurangan kewajiban perpajakan yang dapat dicantumkan sebagai belanja
perpajakan, antara lain yang terkait dengan sektor industri/aktifitas/atau kelompok
pendapatan wajib pajak mana yang akan menerima manfaat dari insentif pajak,
keselarasan dengan kebijakan publik lainnya, tax benchmark yang memadai dari ketentuan
khusus tersebut dan kemungkinan perubahan ketentuan pajak jika sewaktu-waktu ingin
menghilangkan belanja perpajakan.

381

Membangun BPK Paripurna

2. Penyajian Laporan Belanja Perpajakan

Pelaporan belanja perpajakan dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi
anggaran pemerintah. Untuk itu, informasi yang dimuat dalam Belanja Perpajakan
mencakup aspek berikut:

1) Keandalan perhitungan dan kualitas data yang dipergunakan
2) Sumber ketentuan belanja perpajakan baik yang berasal dari hukum pajak yang

berlaku, praktik otoritas, maupun tax treaty;
3) Tipe belanja perpajakan (pengurangan, keringanan pajak, insentif, dan

sebagainya);
4) Kebijakan dalam penghitungan;
5) Pengelompokan belanja perpajakan berdasarkan sektor baik secara terpisah

ataupun aggregat.
6) Laporan belanja perpajakan tersebut sebaiknya disajikan dalam tiap tingkatan

pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

3. Pemanfaatan Laporan Belanja Perpajakan untuk Penganggaran dan Dasar
Pengambilan Kebijakan Fiskal
Laporan Belanja Perpajakan  semestinya dapat disajikan secara tahunan dalam APBN

sebagai pertanggungjawaban terhadap rakyat atas pemberian fasilitas-fasilitas pajak.
Ada hal-hal negatif dari belanja perpajakan berupa insentif pajak sebenarnya dapat
mengganggu target penerimaan pajak sebagai penerimaan utama pemerintah. Selain
itu, pemberian insentif pajak juga terkait dengan isu keadilan karena adanya golongan/
sektor tertentu yang mendapatkan insentif pajak. Oleh karena itu, pemerintah harus dapat
mempertanggungjawabkan pemberian insentif pajak dengan memberikan informasi
terkait insentif tersebut kepada masyarakat. Indikator yang dapat digunakan antara lain
peningkatan nilai investasi langsung, pertumbuhan ekonomi, atau penambahan tenaga
kerja telah tersedia dan laporan yang relatif mudah diakses oleh masyarakat.

BKF, dalam Laporan Belanja Perpajakan 2016-2017, menyatakan bahwa estimasi belanja
perpajakan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan umum, melindungi UMKM,
mendukung dunia bisnis, dan mendorong investasi. Pernyataan tersebut harus dapat
dibuktikan dengan tersajinya data belanja perpajakan yang dapat dibandingkan dengan
data pertumbuhan ekonomi, pertumbugan investasi dan lain sebaginya. Kondisi tersebut
akan mendorong perbaikan administrasi atas insentif perpajakan. Selama ini, sekian banyak
insentif perpajakan yang diberikan oleh Pemerintah masih kurang teradministrasi dengan
baik.

382

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Terkait dengan penganggaran, adanya Laporan Belanja Perpajakan diharapkan dapat
mendorong insentif perpajakan yang diberikan menjadi lebih terkoordinir, efisien dan
efektif. Pemerintah dapat menetapkan bahwa setiap pengambilan kebijakan publik baru
harus disertai dengan proposal yang di dalamnya memuat analisa biaya dan manfaat,
termasuk belanja perpajakan. Merujuk pada pengungkapan belanja perpajakan di Australia,
laporan  belanja perpajakan disajikan secara lengkap sebagai lampiran dalam APBN-nya.
Dengan laporan tersebut, pemerintah Australia menyajikan secara lengkap pos-pos yang
menyebabkan tidak diterimanya penerimaan perpajakan serta besarnya penerimaan negara
yang yang tidak diterima tersebut. Dengan demikian pemerintah dapat mengukur seberapa
besar pajak yang tidak diterima dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh.

Selain transparansi atas insentif perpajakan, pemerintah perlu melakukan evaluasi
atas pemberian insentif fiskal. Insentif-insentif yang diberikan tersebut perlu diawasi dan
dievaluasi sehingga kebijakan pemberian insentif perpajakan berikutnya dapat lebih tepat
sasaran. Laporan Belanja Perpajakan juga dapat digunakan untuk mengukur apakah ada
suatu sektor atau industri yang mendapat insentif ganda. Hal ini dimungkinkan terjadi karena
banyaknya insentif yang diberikan oleh Pemerintah. Contohnya penerapan tax holiday yang
diberikan kepada industri pioneer tetapi ada juga tax holiday yang diberikan pada Kawasan
Ekonomi Khusus. Oleh karena itu, laporan belanja perpajakan seperti itu sangat dibutuhkan
agar pemerintah dapat memberikan pandangan secara komprehensif atas kebijakan insentif
perpajakan yang diberikan.

D. PENUTUP
Upaya pemerintah untuk memulai pelaporan belanja perpajakan perlu didukung segenap

para pemangku kepentingan. Pelaporan dengan cara perhitungan yang sederhana dapat
diteruskan secara konsisten dan terus diperbaiki seiring dengan peningkatan pemahaman
para pelaksana dan seluruh pemangku kepentingan akan peran penting Laporan Belanja
Perpajakan.

Untuk itu diperlukan langkah-langkah strategis yang dapat dimulai dengan menetapkan
dasar hukum Laporan Belanja Perpajakan yang antara lain merumuskan definisi belanja
perpajakan, tax benchmark, cakupan pajak, periode dan format pelaporan. Langkah
selanjutnya adalah mengidentifikasi, mengumpulkan seluruh ketentuan yang merupakan
deviasi dari tax benchmark dan menghitung besaran belanja perpajakan. Tahap selanjutnya
adalah melakukan evaluasi atas Laporan Belanja Perpajakan sebagai bahan pertimbangan
dalam penyusunan anggaran dan penentuan kebijakan fiskal di tahun berikutnya.

383

Membangun BPK Paripurna

DAFTAR PUSTAKA
Badan Kebijakan Fiskal, Laporan Belanja Perpajakan 2016 – 2017, 2018
Badan Pemeriksa Keuangan, Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pelaksanaan Transparansi

Fiskal, 2018
Badan Pemeriksa Keuangan, Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pelaksanaan Transparansi

Fiskal, 2019
The International Monetary Fund (IMF), Tax Expenditure Reporting and Its Use in Fiscal

Management A Guide for Developing Economies, 2019.
The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD),Tax Expenditures

in OECD Countries, 2010
International Budget Partnership, Guide to Transparency in Public Finances: Looking

Beyond the Core Budget
https://investor.id/opinion/membaca-ulang-laporan-tax-expenditure
https://www.imf.org/external/np/fad/trans/index.htm
https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/tax%20expenditure%20

pengenalan%20konsep%20dan%20praktik%20di%20beberapa%20negara%20(zainul%20
arifin).pdf

384

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

385

Membangun BPK Paripurna

Pengenaan Denda Administrasi oleh Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan:

Penegakan Hukum atas Upaya
Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang

Flora Anita Diassari M.M., CSFA
(Kepala Auditorat II.C)

A. Pendahuluan
PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merupakan lembaga inde-

penden yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pen-
cucian Uang (TPPU). Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan TPPU,
PPATK berwenang meminta dan mendapatkan data dan informasi dari Pihak Pelapor, yaitu
instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data
dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang meneri-
ma laporan dari profesi tertentu. Pihak pelapor meliputi penyedia jasa keuangan (PJK) dan
penyedia barang dan/atau jasa lain (PBJ).

PJK dan PBJ diwajibkan menyampaikan laporan kepada PPATK. Dalam rangka melak-
sanakan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor, PPATK berwenang menge-
luarkan ketentuan atau pedoman pelaporan, melakukan audit kepatuhan, memantau ke-
wajiban pelaporan, dan mengenakan sanksi.

386

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Jenis Pihak Pelapor dan Kewajiban Pelaporannya

Pihak Pelapor Kewajiban Keterangan
Pelaporan
1 Penyedia Jasa Keuangan (PJK) Pasal 23 UU
a. LTKM No. 8 Th. 2010
No Pihak Pelapor
Penyedia Barang dan Jasa (PBJ) : b. LTKT Keterangan
a. Perusahaan properti/agen property
c. LTKL
2 b. Pedagang kendaraan bermotor
c. Pedagang permata dan perhiasan/ logam mulia Kewajiban
d. Pedagang barang seni dan antik Pelaporan
e. Balai lelang
Laporan Transaksi Pasal 27 UU
(LTPBJ) No. 8 Th. 2010

Dari tabel di atas diketahui masing-masing pihak pelapor mempunyai kewajiban pel-
aporan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan pelanggaran atas ke-
wajiban pelaporan akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda administrasi.

Berdasarkan Buletin Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme Juni 2019, untuk
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang dilaporkan oleh Pihak PJK semes-
ter I tahun 2018 dan 2019, masing-masing sebanyak 29.518 transaksi dan 34.542 transaksi.
Jumlah pelaporan transaksi LTKM secara total memang meningkat 17,02%. Namun, jumlah
PJK yang melaporkan sampai dengan Juni 2019 hanya sebanyak 346 PJK, dengan rincian
sebagai berikut 1:

PJK Pelapor dan Pelaporan LTKM

PJK Pelapor Jumlah PJK Pelaporan LTKM Juni 2019 s.d. Juni
Jenis PJK 129 Juni 2018 s.d. Juni 2018 2,322 2019
Bank 2,3 16,349
Bank Umum 1,455 14,777
15,981
100 1,401 14,512

1 Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan, Buletin Statistik Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme,
ISSN 89997, Volume 112/THN X/2019, Edisi Juni 2019, Hlm. 4.

387

Membangun BPK Paripurna

# Bank Milik Negara 4 383 4,131 599 4,151
# Bank Swasta 51 861 8,672 1,556 10,276
# BPD 25 87 1,074 72 863
# Bank Asing 11 55 516 68 509
# Bank Campuran 9 15 119 5 182
BPR 29 54 265 22 368
1,69 14,741 1,686 18,193
Non Bank 217 85 743 138 934
211 1,71 175 1,652
Pasar Modal 25 0 3 0 12
192 2,046 178 2,026
Asuransi 38 1,039 8,363 936 10,175
137 1,611 246 3,128
Dana Pensiun 1 26 260 9 73
22 0 4 0 162
Lembaga Pembiayaan/ 81 0 1 4 31
Leasing 35 0 0 0 0
Kegiatan Usaha 11 0 0 0 0
Penukaran Valas 1 3,145 29,518 4,008 34,542
Money Remittance/
KUPU
Perush. Perdagangan
Berjangka Komoditi

Koperasi

Penyelenggara E-Money 3

Perusahaan Modal 0
Ventura

Lainnya 0

Total LTKM 346

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa masih banyak PJK yang tidak
melaksanakan kewajiban pelaporannya. Sebagai contoh, berdasarkan data Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), jumlah bank umum swasta setidaknya sebanyak 74 bank, namun berdasarkan
tabel 2, jumlah PJK bank swasta yang melaporkan LTKM hanya sebanyak 51 bank. Demikian
pula untuk asuransi, berdasarkan data OJK setidaknya terdapat 88 asuransi umum dan 47
asuransi jiwa, sedangkan berdasarkan data tabel 2 jumlah asuransi yang melaksanakan
kewajiban pelaporan hanya 38 perusahaan.

388

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

B. PERMASALAHAN
Pokok permasalahannya adalah sampai dengan saat ini, PPATK belum pernah mener-

apkan sanksi administrasi berupa denda administrasi terhadap pihak pelapor yang tidak
melaksanakan kewajibannya, sehingga penerimaan negara dari denda administrasi tidak-
diterima. Belum dipungutnya sanksi berupa denda administrasi ini juga melemahkan upa-
ya pencegahan dan pemberantasan TPPU, karena transaksi keuangan mencurigakan dan
pelaku pencucian uang tidak dapat segera dilacak.

C. PERMASALAHAN
Upaya Pencegahan dan Pemberantasan TPPU

Penanganan TPPU di Indonesia telah dimulai dengan disahkannya Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang sekaligus terben-
tuknya satu lembaga independen yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK). Undang-undang tersebut telah mengalami perubahan dan penyempurnaan, ter-
akhir UU Nomor 15 tahun 2002 tersebut dicabut dan diterbitkan UU Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang bertujuan
untuk memberikan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efekti-
vitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak
pidana, disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan
standar internasional.

Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara,
biasanya melalui pencucian uang. TPPU tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas
sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.2

Dalam konsep antipencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui
melalui penelusuran dengan menggunakan pendekatan mengejar hasil kejahatan (follow
the money) dalam mencegah dan memberantas tindak pidana. Pendekatan ini dilakukan 
dengan melibatkan berbagai pihak (dikenal dengan Rezim Anti Pencucian Uang).3 Apabila
Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan
dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas.

2 Penjelasan Umum Bab I, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.

3 Badaruddin, Kiagus Ahmad, https://www.ppatk.go.id, Sambutan Kepala PPATK

389

Membangun BPK Paripurna

Upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU, menunjukkan arah yang positif. Hal itu,
tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana undang-undang, seperti penyedia
jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, dan PPATK dalam kegiatan anal-
isis, hingga penjatuhan sanksi administratif.

Denda Administrasi Terhadap Pihak Pelapor dan Kendala Pengenaannya
PPATK merupakan lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan

memberantas TPPU. Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan TPPU,
PPATK berwenang meminta dan mendapatkan data dan informasi dari Pihak Pelapor. Pihak
pelapor meliputi penyedia jasa keuangan (PJK) dan penyedia barang dan/atau jasa lain
(PBJ).

PJK diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan yang mencurigakan (LTKM),
laporan transaksi keuangan tunai (LTKT) dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,00,
dan laporan transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri (LTKT). Sedangkan
PBJ wajib menyampaikan laporan transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa (LTPBJ)
dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau
setara dengan Rp500 juta kepada PPATK. Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan
terhadap kepatuhan Pihak Pelapor, PPATK berwenang mengeluarkan ketentuan atau
pedoman pelaporan, melakukan audit kepatuhan, memantau kewajiban pelaporan, dan
mengenakan sanksi.

Pihak pelapor yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan, akan dikenakan sanksi
administrasi. Lebih lanjut, pengenaan sanksi administrasi merupakan wewenang Lembaga
Pengawas dan Pengatur (LPP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, dalam hal LPP belum terbentuk, maka pengenaan sanksi administrasi terhadap
pihak pelapor dilakukan oleh PPATK.

Sanksi administratif yang dikenakan oleh PPATK dapat berupa: peringatan; teguran
tertulis; pengumuman kepada publik mengenai tindakan atau sanksi; dan/atau denda
administratif. Berdasarkan Pasal 30 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, penerimaan hasil denda administratif oleh PPATK
tersebut merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Ketentuan terkait sanksi berupa denda administrasi ini merupakan ketentuan baru
yang ditetapkan pada 20 Oktober 2010 dengan UU Nomor 8 Tahun 2010. Pada UU TPPU
sebelumnya, sanksi denda administrasi tidak diatur. Penambahan ketentuan denda
administrasi bertujuan untuk memberikan landasan hukum yang kuat untuk menjamin

390

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

kepastian hukum dan penegakan hukum demi suksesnya upaya pencegahan dan
pemberantasan TPPU.

Namun sangat disayangkan sampai dengan saat ini, PPATK belum pernah menerapkan
sanksi administrasi berupa denda adminstrasi terhadap pihak pelapor yang tidak
melaksanakan kewajibannya, sehingga PNBP dari denda administrasi tidak diterima dan juga
dapat berakibat melemahkan upaya penegakan hukum pencegahan dan pemberantasan
TPPU. PPATK baru menerapkan sanksi berupa pengumuman melalui publikasi/website resmi
PPATK. Belum dipungutnya denda adminstrasi ini disebabkan karena belum terbentuknya
Peraturan Pemerintah (PP) tentang Jenis dan Tarif PNBP pada PPATK, yang mengatur secara
rinci tentang denda administrasi tersebut.

Proses penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) baru
dilakukan sejak tahun 2014. PPATK juga telah melakukan pembahasan secara internal
dan menindaklanjuti dengan high level meeting pada tahun 2017 antara PPATK, BI,
OJK, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
(KUKM). Hasilnya, disepakati perlu ada perjanjian kerja sama antara PPATK dan LPP yang
memuat rincian pengaturan terkait dengan mekanisme pertukaran informasi mengenai
pelanggaran kewajiban pelaporan dan koordinasi pengenaan sanksi administrasi. Proses
penyusunan RPP tentang Jenis dan Tarif PNBP PPATK masih terus ditindaklanjuti. RPP hanya
akan memuat jenis dan tarif terkait pelanggaran kewajiban pelaporan atas pihak pelapor
yang berada dalam pengawasan PPATK.

Kronologis Penyusunan RPP Atas PNBP Pada PPATK
Kronologis penyusunan RPP tentang jenis dan tarif atas PNBP pada PPATK sejak tahun

2014 sebagai berikut:
a. Tanggal 8 Januari 2014, PPATK menyampaikan konsep/draft awal RPP tentang jenis
dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada PPATK. Draft awal RPP tersebut memuat
tentang ketentuan penerimaan denda administrasi dan cara perhitungan tarif denda
administrasi.
b. Tanggal 28 Januari 2015, dalam Rapat Koordinasi PPATK, Bank Indonesia (BI), dan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), disepakati untuk menugaskan BI dan OJK meminta
kajian ke Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan (Kemenkeu)
terkait denda administrasi atas pelanggaran kewajiban pelaporan ke PPATK
merupakan PNBP PPATK ataukah penerimaan BI/OJK sebagai Lembaga Pengawas
dan Pengatur (LPP).

391

Membangun BPK Paripurna

c. Tanggal 30 Januari 2015, PPATK mengajukan permohonan kajian kepada DJA
Kemenkeu terkait pengelolaan denda administrasi atas pelanggaran kewajiban
pelaporan ke PPATK, apakah termasuk PNBP PPATK atau penerimaan LPP.

d. Tanggal 16 Juni 2015, DJA menyampaikan tanggapan atas permohonan kajian
terkait pengelolaan hasil denda administrasi atas pelanggaran kewajiban pelaporan
ke PPATK, sebagai berikut:
1) penerimaan yang berasal dari pengenaan denda administrasi atas pelanggaran
kewajiban pelaporan ke PPATK dapat dikategorikan sebagai PNBP PPATK dengan
ketentuan bahwa pengenaan denda administrasi dimaksud merupakan hak/
kewenangan PPATK, dipungut oleh PPATK, dan ditetapkan dalam PP tentang
Jenis dan Tarif PNBP yang berlaku pada PPATK, serta wajib disetor secepatnya ke
kas negara.
2) BI dan OJK merupakan lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengenakan
sanksi termasuk denda kepada Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang berada di
bawah pengawasan mereka apabila tidak atau terlambat menyampaikan laporan
kepada PPATK
3) Untuk membangun sinergi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-
undangan tersebut, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut.
a) Dalam hal pengenaan sanksi administrasi pelanggaran kewajiban pelaporan
termasuk denda dikelola oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur (BI dan OJK)
disarankan adanya SOP prosedur antara PPATK dengan BI maupun OJK;
b) Dalam hal pengenaan sanksi administrasi pelanggaran kewajiban pelaporan
termasuk denda dikelola oleh PPATK, maka perlu ada kesepakatan antara
PPATK, BI, dan OJK yang dituangkan dalam berita acara yang mengatur hal
tersebut dan ditandatangani oleh pimpinan masing-masing instansi terkait.
Berita Acara dimaksud akan digunakan sebagai dasar penyusunan PP PNBP
PPATK.
4) Untuk PJK yang belum ada LPP, PPATK dapat mengatur sanksi termasuk dendanya
yang dituangkan dalam PP tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku
pada PPATK.

e. Tanggal 2 September 2015, pertemuan antara pimpinan PPATK, BI dan OJK disepakati
bahwa BI dan OJK menyiapkan bahan diskusi yang memuat pro dan kontra
mekanisme pengenaan sanksi administrasi atas pelanggaran kewajiban pelaporan
ke PPATK dan pengelolaan hasil penerimaan denda administrasi.

392


Click to View FlipBook Version