|Bagian 8 Memperkuat Pengendalian Pemeriksaan
oleh BPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), selambat-lambatnya dua bu-
lan setelah menerima laporan keuangan dari pemda.
Rangkaian pemeriksaan LKPD dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan pemerik-
saan lapangan, penyusunan konsep laporan hasil pemeriksaan, pelaksanaan review berjen-
jang dan review oleh tim kelompok kerja (pokja) LKPD, hingga pencetakan dan penyerahan
laporan hasil pemeriksaan kepada DPRD.
Mengingat rangkaian proses tersebut, jangka waktu dua bulan merupakan waktu yang
singkat. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan persepsi stres pada pemeriksa yang ber-
dampak pada kualitas laporan pemeriksaan (Margheim, L. dkk, 2005).
Keempat, anggaran BPK Perwakilan yang terbatas. Anggaran pemeriksaan dapat mem-
batasi jumlah hari dan jumlah Pemeriksa pada pemeriksaan atas LKPD. Selain pada jumlah
hari dan jumlah Pemeriksa, anggaran pemeriksaan selama ini juga membatasi Pemeriksa
dalam melakukan prosedur pemeriksaan yang membutuhkan biaya yang besar, seperti
konfirmasi ke daerah yang cukup jauh maupun uji laboratorium secara mendalam.
Untuk mengatasi kerbatasan sumber daya Pemeriksa, waktu dan anggaran pemeriksaan
maka fokus pemeriksaan harus diarahkan kepada area-area yang berisiko tinggi agar ha-
sil audit BPK bebas dari risiko kesalahan audit dan dapat memenuhi harapan masyarakat
berupa hasil pemeriksaan yang berkualitas.
Strategi Dalam Penerapan Risk Based Audit yang Praktis
Untuk mencapai efektivitas penerapan RBA, Pemeriksa perlu mendalami aspek- aspek
apa saja yang terdapat dalam RBA agar Pemeriksa dapat menyusun dan menjalankan pro-
gram pemeriksaannya selaras dengan prinsip RBA tersebut (Standarisasi, 2018).
693
Membangun BPK Paripurna
Dalam mendalami aspek-aspek RBA, Pemeriksa harus mengidentifikasi risiko yang dih-
adapi entitas berdasarkan pemahaman entitas yang dilakukan, kemudian menilai pengen-
dalian yang telah diterapkan entitas untuk memitigasi risiko, serta mengidentifikasi risiko
residual yang ada.
Secara umum, ada empat strategi dalam penerapan RBA yang praktis, pertama, pema-
haman bisnis entitas. Pemahaman atas entitas dan proses bisnis merupakan kegiatan awal
yang harus dilakukan Pemeriksa, yaitu melalui pemahaman atas input, proses, dan output
entitas. Terkait pengelolaan keuangan daerah, pemda di Provinsi Sulawesi Barat lebih ban-
yak mengelola belanja (Expense Centre) dibanding pendapatan. Sehingga, keingintahuan
masyarakat atas pelaksanaan belanja daerah cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
keingintahuan terhadap pendapatan daerah.
Untuk itu, risiko penyalahgunaan keuangan daerah lebih didominasi oleh pelaksana be-
lanja daerah dibandingkan pelaksana penerimaan daerah. Oleh karena itu, Pemeriksa harus
memahami dengan baik proses pelaksanaan belanja daerah oleh entitas yang diperiksa.
Pemahaman pelaksanaan belanja daerah dapat diperoleh melalui pemahaman atas an-
ggaran yang tertuang dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran/Dokumen Perubahan Pelak-
sanaan Anggaran (DPA/DPPA). Tahun 2017 dan 2018, pemda pada Provinsi Sulawesi Barat
cenderung terlambat dalam penetapan APBD Perubahan sehingga mengandung risiko
dalam pertanggungjawaban atas waktu dan nilai belanjanya.
Informasi dalam anggaran harus disandingkan dengan daftar pekerjaan/kontrak untuk
mengidentifikasi pelaksanaan pekerjaan/kontrak yang tidak tersedia anggarannya, seka-
ligus mengidentifikasi tingkat risiko, sifat, jenis, dan bentuk pelaksanaan belanja.
Tingkat risiko dapat dipertimbangkan dari pemilihan lokasi pekerjaan, ketidakberlan-
jutannya pekerjaan, nilai yang dianggarkan, adanya indikasi pemecahan paket pekerjaan,
dan uraian jenis pekerjaan yang akan dilaksanakan.
Selain itu, pemahaman yang lebih komprehensif dapat diperoleh dari pengolahan Arsip
Data Komputer (ADK) dari aplikasi yang digunakan oleh entitas untuk menyusun laporan
keuangan. Melalui pengolahan ADK, Pemeriksa dapat mengetahui satuan kerja mana yang
memperoleh alokasi anggaran terbesar, mana yang telah banyak merealisasikannya, jenis
belanja hingga rincian obyek mana yang banyak dianggarkan, serta dapat mengetahui in-
formasi SP2D yang telah terbit.
Kedua, pemahaman hasil pemeriksaan sebelumnya. Dalam proses perencanaan pe-
meriksaan LKPD, hal pertama yang penting untuk dilakukan Pemeriksa adalah mempertim-
bangkan dan memahami hasil pemeriksaan sebelumnya serta tindak lanjut atas rekomen-
694
|Bagian 8 Memperkuat Pengendalian Pemeriksaan
dasi yang signifikan dan berkaitan dengan tujuan pemeriksaan yang sedang dilaksanakan.
Melalui hasil pemeriksaan sebelumnya, Pemeriksa dapat memahami tren permasalah-
an, pengulangan atau permasalahan yang sering terjadi, dan sebab-sebab yang melandasi
permasalahan tersebut. Dengan demikian, Pemeriksa dapat menilai risiko serta merancang
strategi pemeriksaan dengan penekanan-penekanan tertentu.
Hasil pemahaman atas hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Barat pada
tahun 2017 dan 2018 diketahui terdapat temuan berulang yang menjadi sumber identifikasi
risiko pemeriksaan, seperti yang tertuang pada tabel berikut.
Hasil Pemahaman Pemeriksaan Sebelumnya
Temuan Pemeriksaan LKPD TA 2018 Kategori
No LKPD TA 2017
1 Pencatatan buku mutasi Penatausahaan persediaan bahan
gudang farmasi dan kartu material dan form rekam medik pada
persediaan pada RSUD tidak tertib
28 unit pelayanan tidak tertib
Temuan berulang
berindikasi kelalaian
Pendistribusian pengadaan
benih jagung untuk cadangan
benih daerah belum
dipertanggungjawabkan
2 Kesalahan penganggaran Belanja barang dan jasa yang
belanja pada 3 OPD digunakan untuk memperoleh aset
tetap yang akan dimanfaatkan pada
delapan organisasi perangkat daerah Temuan berulang
(OPD) tidak dianggarkan dalam berindikasi kesengajaan
belanja modal
695
Membangun BPK Paripurna
3 Proses serah terima sarana dan Penatausahaan aset tetap belum
prasarana pengalihan urusan dilaksanakan secara tertib
pemerintahan yang tercatat
pada aset lain-lain belum
dilakukan
Aset renovasi per 31 Kerja sama pemanfaatan aset barang
Desember milik daerah berupa tanah dan pabrik
2017 tidak diyakini es pada Dinas Kelautan Perikanan
keberadaannya tidak sesuai ketentuan
Pemerintah daerah belum
melaporkan aset tetap Sekolah Temuan berulang
Luar Biasa Negeri berindikasi kelalaian
Proyek pembangunan gedung
Rumah Sakit Umum Daerah
kelas B mengalami kerusakasn
pada beberapa hasil pekerjaan
4 Pengajuan klaim pelayanan Klaim tagihan retribusi pelayanan Temuan berulang
kesehatan pada program kesehatan belum diselesaikan berindikasi kesengajaan
jaminan kesehatan nasional
(JKN) tidak tertib
BPK Perwakilan Sulawesi Barat
Temuan Pemeriksaan LKPD TA 2018 Kategori
No LKPD TA 2017
5 Penetapan tunjangan tambahan Pengangkatan pegawai non- PNS tidak
penghasilan pegawai (TPP) PNSD berdasarkan keputusan kepala daerah
prestasi kerja untuk eselon I tidak dan belum mempertimbangkan analisa
memiliki dasar perhitungan dan jabatan dan analisa beban kerja
pemberian TPP beban kerja tidak
didukung dengan dokumen analisa
beban kerja
Pembayaran dan pertanggungjawaban Pembayaran dan pertanggungjawaban Temuan berulang
belanja jasa medik program jaminan belanja jasa medik program jaminan berindikasi
kesehatan pada tidak sesuai ketentuan kesehatan tidak sesuai ketentuan kesengajaan
Besaran tunjangan perumahan Pembayaran insentif dokter pns pada
anggota DPRD tidak sepenuhnya kegiatan kemitraan peningkatan
memperhatikan kewajaran harga kualitas dokter dan paramedis tidak
sesuai dengan ketentuan
696
|Bagian 8 Memperkuat Pengendalian Pemeriksaan
Pembayaran tunjangan transportasi
anggota DPRD TA
2017 melebihi ketentuan standar
biaya masukan TA 2017
Kelebihan pembayaran belanja
penunjang operasional pimpinan
DPRD TA 2017
Pembayaran tunjangan profesi
tambahan penghasilan dan tunjangan
khusus guru PNSD tidak sesuai
ketentuan
6 Penyajian kewajiban jangka pendek Pengadaan alat kesehatan tahun
pada Dinas PUPR belum didukung anggaran 2018 pada RSUD yang rusak
dengan dokumen kontrak dan berita namun garansi belum diklaim dan Temuan berulang
acara serah terima belum dimanfaatkan berindikasi
kelalaian
7 Denda keterlambatan penyelesaian Jaminan pelaksanaan atas pekerjaan
pekerjaan belum dipungut dan putus kontrak belum dicairkan
jaminan pelaksanaan pekerjaan Kelebihan pembayaran atas pekerjaan Temuan berulang
terlambat dicairkan fisik pada Dinas PUPR, Dinas Tenaga dan berpotensi
Kerja, serta Dinas Kelautan dan terjadi setiap
Perikanan, denda keterlambatan atas waktu
pekerjaan fisik pada Dinas PUPR
8 Pengelolaan pendapatan retribusi Pengelolaan pendapatan asli daerah
pada RSUD serta dinas kelautan dan pada dinas pekerjaan umum dan
perikanan tidak sesuai ketentuan penataan ruang (PUPR), badan
pengelola keuangan dan pendapatan
daerah (BPKPD) dan dinas pertanian
tidak tertib Temuan berulang
dan berpotensi
terjadi setiap
waktu
Pelayanan pemeriksaan kesehatan
kepada keluarga pegawai RSUD sebagai
pasien umum non jaminan tidak
ditagihkan
9 Realisasi belanja perjalanan dinas Pembayaran perjalanan dinas pada Temuan berulang
pada sekretariat DPRD tidak sesuai tujuh OPD melebihi standar biaya,
ketentuan dibayar ganda dan tidak mempunyai berindikasi
dasar ketentuan kesengajaan
697
Membangun BPK Paripurna
10 Pemberian uang representasi kepada Pengangkatan jumlah tim ahli/ Temuan
tenaga ahli tidak sesuai ketentuan kelompok pakar pada pimpinan berindikasi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kesengajaan
melebihi ketentuan Pembayaran
honorarium tim peneliti kontrak tidak
sesuai dengan pelaksanaan kegiatan
11 Kelompok masyarakat penerima Organisasi kemasyarakatan penerima Temuan berulang
hibah belum menyampaikan hibah belum menyampaikan yang lazim
pertanggungjawaban penggunaan pertanggungjawaban penggunaan
hibah hibah
Tabel di atas menunjukkan proses identifikasi risiko pemeriksaan sudah dapat dilakukan
melalui metode yang simpel dengan cara menganalisa hasil-hasil pemeriksaan dua tahun
sebelumnya dan menyusun kategori permasalahan menurut sebabnya, yaitu unsur ke-
lalaian; permasalahan karena unsur kelaziman (sesuatu yang lazim terjadi); permasalahan
yang hanya terjadi pada periode yang diperiksa karena kejadian tertentu pada periode
tersebut; permasalahan yang berpotensi terjadi setiap waktu; dan permasalahan yang ber-
kaitan dengan pejabat tertentu (pejabat pengadaan, bendahara, dan lain-lain).
Melalui kategori tersebut, Pemeriksa dapat menilai proses bisnis mana yang akan men-
jadi fokus perhatiannya dan akun mana yang akan dilakukan pengujian subtantif. Dalam
tabel tersebut, proses bisnis yang akan menjadi fokus perhatian adalah temuan yang ber-
kategori adanya indikasi kesengajaan dalam praktek pengelolaan keuangan daerah di en-
titas yang diperiksa. Kemudian akun- akun yang akan menjadi fokus pemeriksaan dengan
pengujian subtantif adalah akun Belanja Barang dan Jasa – Belanja Pegawai dan Belanja
Perjalanan Dinas dan akun Pendapatan Asli Daerah – Retribusi Daerah.
Ketiga, evaluasi action plan dan implementasi tindak lanjut. Masih ditemukannya
temuan yang berulang menunjukkan tidak efektifnya implementasi atas tindak lanjut ha-
sil pemeriksaan. Ketidakefektifan tersebut bisa disebabkan oleh rencana aksi (action plan)
yang diusulkan tidak linear dengan permasalahan sehingga tidak menyentuh pokok atau
akar permasalahan dan berakibat pada design sistem pengendalian yang diterapkan.
Keempat, penentuan metode uji petik. Dalam pemilihan uji petik, Pemeriksa harus
membuat suatu matrik yang dapat menjelaskan pertimbangan-pertimbangan yang di-
gunakan dalam pemilihan uji petik pemeriksaan. Pemilihan uji petik tidak selalu berpa-
tokan pada besaran atau nilai suatu pekerjaan, tetapi juga mempertimbangkan penilaian
698
|Bagian 8 Memperkuat Pengendalian Pemeriksaan
risiko yang telah disusun sebelumnya. Misalnya, pada beberapa kasus pelaksanaan belanja,
pekerjaan dapat dipecah menjadi beberapa bagian, sehingga secara individu nilainya tidak
besar, namun secara total menjadi signifikan.
Pemilihan uji petik juga harus mempertimbangkan metode penunjukan penyedia
barang/jasa. Pemeriksa tidak dapat menghindari pemilihan suatu pekerjaan untuk diuji
petik dengan alasan keterbatasan personil maupun kemampuan personil. Dalam hal ke-
terbatasan tersebut, Pemeriksa harus mengomunikasikan secara berjenjang, langkah apa
yang harus diambil dalam menilai suatu pekerjaan tersebut disertai dengan risiko-risiko
yang mungkin ada atas pelaksanaan pekerjaan tersebut. Apabila dinilai sangat berisiko
dan memiliki dampak signifikan, penggunaan ahli menjadi salah satu pilihan untuk melak-
sanakan pemeriksaan pekerjaan tersebut.
C. Penutup
RBA adalah suatu pendekatan yang dapat membantu Pemeriksa untuk dapat melak-
sanakan pemeriksaan LKPD secara efisien dan efektif. Dengan RBA, fokus pemeriksaan dil-
etakkan pada area/akun laporan keuangan yang memiliki risiko tinggi atas terjadinya salah
saji. Namun demikian, harus dipahami bahwa keterbatasan waktu pemeriksaan tetap saja
menjadi hambatan utama Pemeriksa untuk bisa menerapkan semua langkah-langkah pe-
nilaian risiko pemeriksaan dengan pendekatan-pendekatan yang disarankan dalam pan-
duan pemeriksaan LKPD selain hambatan keterbatasaan jumlah dan kompetensi Pemeriksa
dan anggaran pemeriksaan.
Ke depan, dibutuhkan strategi yang lebih praktis untuk bisa menilai risiko pemeriksaan
yang dihadapi dalam pemeriksaan LKPD. Hal utama yang dapat dilakukan oleh Pemeriksa
LKPD adalah memahami dengan baik proses bisnis entitas dalam melaksanakan kegiatan-
nya dan melakukan analisis atas temuan-temuan hasil pemeriksaan pada entitas tersebut
yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya serta evaluasi tindak lanjutnya. Hasil
dari pemahaman dan penilaian risiko yang praktis tersebut, akan membantu Pemeriksa
LKPD untuk menentukan luas dan lingkup uji petik yang akan dilakukannya dalam pelak-
sanaan pemeriksaan LKPD.
Selanjutnya diharapkan diperlukan penyempurnaan prosedur pemeriksaan standar
yang telah ada dalam panduan pemeriksaan, sehingga Pemeriksa dapat mengimplemen-
tasikan RBA dengan sebaik mungkin guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerik-
saan dan kualitas hasil pemeriksaan LKPD.
699
Membangun BPK Paripurna
Daftar Pustaka
Badan Pemeriksa Keuangan. (2016). Panduan Pemeriksaan Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah. Jakarta.
Badan Pemeriksa Keuangan. (2017). Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Jakarta. Mar-
gheim, L., Kelley, T., & Pattison, D. (2005). An Empirical Analysis of the Effects of Auditor
Time Budget Pressure and Time Deadline Pressure. The Journal of Applied Business
Research, Volume 21, Number 1.
Nerda, D. N., & Martin, K. A. (2016). The Effects of Auditor Experience and Professional Commit-
ment on Acceptance of Underreporting Time: A Moderated Mediation Analysis. Current
Issues in Auditing, Vol. 10, No. 2, pp. A14–A27.
Republik Indonesia. (2004). Undang – Undang 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. (2006). UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuan-
gan. Jakarta.
Standarisasi, B. (2018). Pemeriksaan Berbasis Resiko 1. Jakarta: Badiklat PKN BPK RI
Tuanakotta, T. M. (2010). Akuntansi Forensik & Audit Investigatif. Jakarta: Salemba Empat.
700
|Bagian 8 Memperkuat Pengendalian Pemeriksaan
701
Membangun BPK Paripurna
Mitigasi Risiko
Kecurangan Dalam
Pelaksanaan Pemeriksaan
Laporan Keuangan
Pemerintah
Dr. Abdul Latief, SE, M.M., CSFA
(Pemeriksa Ahli Utama)
A. Pendahuluan
Melalui Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) sesuai visi dan misi telah mendorong pemerintah untuk meningkatkan transparansi
dan akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara. Selama kurun waktu lima tahun (Tahun
2014 - 2018), pemerintah telah mencapai banyak kemajuan dalam meningkatkan kualitas
laporan keuangan. Kemajuan tersebut tercermin dari peningkatan opini yang diberikan
oleh BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKKP) maupun Laporan Keuangan
Kementerian/Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi/
Kabupaten/Kota.
LKPP Tahun 2016 dan LKPP 2017 serta LKPP Tahun 2018 telah mendapat opini Wajar Tan-
pa Pengecualian (WTP) yang sebelumnya LKPP Tahun 2004 s.d. Tahun 2008 selalu mendapat
opini Disclaimer. Dan mendapatkan opini WDP atas LKPP sejak Tahun 2009 s.d Tahun 2015.
Opini LKPP ini sejalan dengan peningkatan kualitas Laporan Keuangan Bendahara Umum
Negara (LKBUN) dan LKKL.
Adapun perkembangan opini atas LKK/L dan LKPD bersumber dari IHPS Semester I 2019
sebagai berikut:
702
|Bagian 8 Memperkuat Pengendalian Pemeriksaan
Perkembangan Opini LKK/L 2014-2018
Opini Tahun 2016 2017 2018
2014 2015
Wajar Tanpa Pengecualian 74 80 81
(WTP) 62 56
4
Wajar dengan Pengecualian 17 26 8 6
(WDP) 1
54 6 2 0
Tidak Memberikan Pendapat 86
(TMP) 00 0 0
84 86 88 88
Tidak Wajar (TW)
Jumlah entitas Pelaporan
Perkembangan Opini LKPD Tahun 2014 -2018
Opini Tahun
2014 2015
2016 2017 2018
Wajar Tanpa Pengecualian 252 316
(WTP) 378 411 443
Wajar dengan Pengecualian (WDP) 247 187 141 113 86
23 18 13
Tidak Memberikan Pendapat (TMP) 35 29 0 0 0
542 542 542
Tidak Wajar (TW) 53
Jumlah entitas Pelaporan 539 542
Tabel di atas menunjukkan tren peningkatan kualitas lLKKL dan LKPP. Sebagai gambaran
LKKL Tahun 2018 yang mendapat opini WTP sebanyak 81 (94,19 %). Pada tahun sebelumnya,
yang diperiksa sebanyak 88 entitas dan yang mendapat opini WTP sebanyak 80 (90,90%).
Sementara LKPD tahun 2018 dari jumlah yang diperiksa sebanyak 542 LKPD yang mendapat
opini WTP sebanyak 443 (82%). Sedangkan pada tahun 2017, dari 542 entitas yang diperiksa,
411 mendapat opini WTP (75,83%)
703
Membangun BPK Paripurna
Sekalipun secara persentase menunjukkan adanya kenaikan opini WTP, namun ternyata
masih diikuti dengan meningkatnya temuan ketidakpatuhan dan korupsi/fraud baik dari sisi
jumlah kasus maupun nilainya.
Terkait dengan hal tersebut banyak masyarakat yang mempertanyakan atas opini BPK.
Pertanyaan itu muncul sehubungan dengan masih adanya kasus tindak pidana korupsi yang
terbongkar dan diproses oleh Aparat Penegak Hukum.
Hal ini dapat dilihat dari kenyataan atas beberapa hasil pemeriksaan laporan keuangan
yang mendapat opini WTP tetapi di entitas terkait terdapat masalah hukum yaitu:
1. Pemerintah Sumatera Utara, opini tahun 2015 WTP, terdapat masalah hukum terkait
kasus suap dan korupsi APBD.
2. Pemerintah Riau tahun 2012 opini WTP, terdapat masalah korupsi APBD dan tahun
2014 opini WTP terdapat kasus penyuapan.
3. Pemerintah Papua tahun 2014 opini WTP terdapat kasus korupsi pengadaan barang
dan jasa.
Selain itu menurut catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam 5 tahun
terakhir per 7 Oktober 2019 ada 119 kepala daerah yang tersangkut masalah korupsi. Sektor
pekerjaan umum atau pengadaan barang dan jasa serta proyek fisik paling rawan dikorupsi,
mulai dari penganggaran sampai tender dilakukan secara formalitas. Seperti pada kasus
Kabupaten Lampung Selatan, Labuhan Batu, Pak Pak Barat, Muara Enim, dan Kota Medan
serta Kabupaten Indramayu, terkait dengan proyek fisik dan pekerjaan pada dinas pekerjaan
umum.
Masyarakat mengharapkan adanya korelasi yang berbanding terbalik antara kualitas
opini dengan indikasi tindak pidana korupsi. Artinya apabila instansi/lembaga/pemerintah
daerah telah mendapat kualitas opini yang baik yakni WTP maka seharusnya tidak ada
atau sangat minim akan terjadinya tindak pidana korupsi di kementerian/lembaga dan di
pemerintah daerah yang bersangkutan.
Dari sudut Pemeriksa maupun para pihak yang mengerti pemeriksaan laporan keuangan,
tentu saja, dapat dipahami bahwa opini WTP atas laporan keuangan bukanlah jaminan
bahwa entitas yang diperiksa akan bebas dari tindak pidana korupsi atau fraud.. Namun
demikian, harapan masyarakat tersebut perlu menjadi perhatian dan acuan BPK untuk lebih
aktif mendorong terciptanya pengelolaan keuangan yang bebas fraud dan hasil audit BPK
sudah maksimal mendeteksi risiko fraud.
704
|Bagian 8 Memperkuat Pengendalian Pemeriksaan
Tulisan ini berusaha mengulas tentang mitigasi risiko fraud atau kecurangan dalam
pelaksanaan Pemeriksaan keuangan. Mitigasi ini sebagai upaya optimal pemeriksa untuk
mengantisipasi risiko kecurangan yang berpotensi terjadi di entitas yang diperiksa.
Tulisan ini dilakukan melalui pendekatan dan metodologi yaitu Pengumpulan data dan
informasi, permintaan keterangan, diskusi dan tanya jawab, Studi literatur dan juknis pemer-
iksaan keuangan, pengamatan langsung atas penerapan pedoman penyusunan program
pemeriksaan dan laporan atas pemeriksaan keuangan.
Berdasarkan uraian tersebuit di atas maka rumusan masalah adalah bagaimana strategi
pemeriksaan laporan keuangan dalam memitigasi potensi kecurangan dalam pelaksanaan
pemeriksaan keuangan.
B. Risiko Pemeriksaan Keuangan
Pengertian Risiko berdasarkan ISO 31000 adalah pengaruh ketidakpastian terhadap
pencapaian sasaran organisasi. Pengaruh (the effect) adalah sebagai ketidaksesuaian
(penyimpangan), sedangkan ketidakpastian (uncertainty) adalah sebagai kurangnya
informasi (baik informasi kemungkinan kejadian maupun dampak peristiwa).
Risiko pemeriksaan meliputi yang bersumber dari entitas yang diperiksa dan risiko yang
bersumber dari internal lembaga pemeriksa. Dua sisi harus dianalisis pada awal persiapan
pemeriksaan. Dalam Pedoman Manajemen Pemeriksa (PMP) disebutkan risiko eksternal perlu
dilakukan penilaian apakah dalam pengelolaan keuangan Negara/kegiatan/program pada
entitas memiliki risiko terjadinya kerugian atau fraud, sedangkan risiko internal BPK yaitu
meliputi kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM), biaya pemeriksaan, hasil pemeriksaan
dan reputasi BPK.
Berkaitan dengan pengertian risiko audit dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pengertian Risiko Audit
Risiko audit adalah istilah yang umum digunakan dalam kaitannya dengan audit atas
laporan keuangan.
Tujuan utama dari audit tersebut adalah untuk memberikan suatu tindakan untuk
berpendapat, apakah laporan keuangan yang diaudit menyajikan secara wajar
keuntungan keuangan, posisi/rugi dan arus kas entitas.
Risiko Audit adalah risiko dalam memberikan pendapat yang tidak pantas atas
laporan keuangan, terutama ketika laporan keuangan tersebut mengandung salah
saji material.
705
Membangun BPK Paripurna
2. Komponen Risiko dalam Kegiatan Audit
Risiko Audit diartikan sebagai tingkat ketidakpastian tertentu yang dapat diterima
Pemeriksa dalam pelaksanaan auditnya, seperti ketidakpastian validitas dan realibilitas
bukti audit dan ketidakpastian mengenai efektivitas pengendalian internal.
Resiko audit terdiri atas risiko inheren/bawaan, risiko pengendalian, dan pendeteksian.
a. Risiko Inheren berkenaan dengan kemungkinan adanya kekeliruan dalam segmen
audit yang melampaui batas toleransi sebelum memperhitungkan faktor efektivitas
pengendalian internal.
b. Risiko Kontrol (Pengendalian), adalah risiko kebijakan pengendalian internal entitas
dan prosedur internal gagal untuk mendeteksi atau mencegah salah saji material.
c. Risiko Deteksi berkenaan dengan kemungkinan terjadinya kekeliruan dalam segmen
audit yang melampaui batas toleransi yang tidak terdeteksi karena pengujian
menggunakan uji petik, prosedur audit yang tidak tepat/salah aplikasi, kekeliruan
interprestasi atas hasil implementasi prosedur audit.
d. Risiko Kecurangan. Selain Risiko intern, risiko pengendalian dan risiko deteksi untuk
mengetahui adanya fraud perlu dilakukan penilaian terhadap risiko kecurangan
(fraud Risk/FR). FR adalah kecurangan yang menyebabkan salah saji material, sekecil
apapun kecurangan tersebut.
C. Pengaruh Fraud/Kecurangan terhadap Opini atas Laporan Keuangan
Sesuai Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 15Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dinyatakan bahwa Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan pemerintah memuat opini. Selanjutnya dalam
penjelasan ayat (1) Pasal 16 tersebut dinyatakan pengertian opini yakni merupakan
pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan
dalam Laporan Keuangan yang didasarkan pada kriteria kesesuaian dengan standar
akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.
Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni opini Wajar Tanpa
Pengecualian (unqualified opinion), opini Wajar Dengan Pengecualian (qualified opinion),
opini Tidak Wajar (adversed opinion), dan Pernyataan Menolak Memberikan Opini (disclaimer
of opinion).
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa opini yang diberikan BPK
atas laporan keuangan pemerintah bukan hanya berdasarkan kepada aspek pencatatan
706
|Bagian 8 Memperkuat Pengendalian Pemeriksaan
atau kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) namun juga didasarkan
pada kepatuhan entitas dalam pengelolaan keuangan negara.
Apabila ditemukan adanya indikasi penyimpangan/kecurangan dalam pelaksanaan
kegiatan/program tersebut maka sesuai ketentuan Pasal 16 UU Nomor 15 Tahun 2004 akan
berpengaruh kepada opini yang diberikan. Namun, masih berdasarkan penjelasan ayat
(1) Pasal 16 tersebut yang menyatakan bahwa opini merupakan pernyataan profesional
mengenai kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Maka, pengaruh
atas ketidakpatuhan/kecurangan terhadap opini masih harus ditentukan terlebih dahulu
apakah berpengaruh terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan. Apabila kecurangan
tersebut mengakibatkan secara material laporan keuangan tidak dapat disajikan secara
wajar maka BPK tidak dapat memberikan opini wajar tanpa pengecualian. Opini bisa wajar
dengan pengecualian atau tidak dapat memberikan pendapat (disclaimer) tergantung dari
dampaknya kepada laporan keuangan secara keseluruhan.
Pemeriksa harus waspada pada kemungkinan adanya situasi dan/atau peristiwa yang
merupakan indikasi kecurangan dan/atau ketidakpatutan. Apabila timbul indikasi tersebut
serta berpengaruh signifikan terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan, pemeriksa
harus menerapkan prosedur pemeriksaan tambahan untuk memastikan bahwa kecurangan
dan/atau ketidakpatutan telah terjadi dan menentukan dampaknya terhadap kewajaran
penyajian laporan keuangan.
707
Membangun BPK Paripurna
Apabila LHP akan mengganggu proses penyidikan atau peradilan, maka BPK harus
membatasi laporannya, misalnya hanya mengungkapkan hal-hal yang telah diketahui oleh
umum (masyarakat).
D. Risiko Keterbatasan Informasi Kecurangan dalam Pelaksanaan
Pemeriksaan Keuangan
Dalam mengungkap kecurangan dalam pemeriksaan keuangan terdapat risiko atas
keterbatasan informasi kecurangan dalam pelaksanaan pemeriksaan laporan keuangan.
Risiko ini termasuk kategori risiko operasional, yaitu risiko yang disebabkan kurangnya
sumber daya untuk memperoleh informasi, misalnya terjadi karena keterbatasan personel
yang berkompeten yang gagal mengungkap informasi kecurangan.
Selain itu adanya waktu pemeriksaan yang dibatasi yaitu Pasal 17 ayat (1) UU Nomor
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dalam pasal itu dinyatakan bahwa laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan
pemerintah disampaikan oleh BPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selambat-
lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah.
Waktu tersedia hanya 2 bulan bagi BPK untuk melakukan pemeriksaan lapangan dan
menyusun serta menyampaikan laporan hasil pemeriksaan. Ini tentu menjadi kendala utama
bagi pemeriksa bila menemukan indikasi kecurangan selama pemeriksaan berlangsung.
Kendala tersebut terkait dengan keputusan yang harus dilakukan oleh pemeriksa, yakni
apakah akan mengungkapkan sampai tuntas indikasi kecurangan tersebut dengan risiko
laporan hasil pemeriksaan terlambat diterbitkan.
Apabila pemeriksa memutuskan untuk menunda pengungkapannya maka akan ada
risiko bahwa pemeriksa dianggap menutup-nutupi suatu kasus kecurangan. Apabila
indikasi kecurangan ditunda pengungkapannya melalui pemeriksaan investigasi yang
akan dilakukan setelah laporan hasil pemeriksaan keuangan diterbitkan maka sesuai
standar pemeriksaan, laporan kepatuhan pada laporan hasil pemeriksaan keuangan hanya
memuat informasi umum atau yang telah diketahui masyarakat terkait indikasi kecurangan
tersebut.
708
|Bagian 8 Memperkuat Pengendalian Pemeriksaan
E. Mitigasi atas Risiko Keterbatasan Informasi kecurangan dalam
Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan.
Dengan tingginya risiko kecurangan dalam pengelolaan keuangan, maka BPK dan
Pemeriksa seharusnya melakukan upaya-upaya atau menentukan strategi pemeriksaan
yang dapat memitigasi risiko kecurangan dalam pemeriksaan. Sehingga diharapkan bahwa
pemberian opiniWTP bukan hanya untuk menyakinkan penyajian informasi keuangan telah
bebas salah saji material atau wajar, tetapi juga dapat mencerminkan bahwa pemerintah,
kementerian/lembaga, dalam melaksanakan kegiatan/program sebagaimana dilaporkan
tersebut selalu mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan dan sangat minimal
adanya kecurangan. Strategi pemeriksaan keuangan yang memitigasi risiko kecurangan
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Pemetaan Risiko Kecurangan
Temuan-temuan yang terakumulasi dari tahun ke tahun tersebut harus dikelola den-
gan baik sehingga dapat digunakan untuk memetakan risiko kecurangan pada in-
stansi Pemerintah. BPK perlu membangun suatu data warehouse untuk mengelola
temuan-temuan pemeriksaan tersebut sehingga dapat dengan mudah untuk diak-
ses dan dikelola serta diketahui korelasi antar temuan, data statika temuan ketidak-
patuhan pada entitas pemerintah secara keseluruhan.
Pemetaan risiko kecurangan tersebut dilakukan baik berdasarkan klasifikasi entitas
atau kegiatan/program pemerintahan dengan mengelompokkan dalam tiga risiko
yakni risiko rendah, risiko sedang dan risiko tinggi. Berdasarkan temuan-temuan ha-
sil pemeriksaan selama ini, BPK dapat memetakan instansi mana saja yang berisiko
kecurangan yang rendah, sedang maupun tinggi.
Indikasi kecurangan yang sering ditemukan dan diungkap dalam laporan hasil pe-
meriksaan adalah sebagai berikut:
a. Mark up Harga Pengadaan
Mark up harga biasanya dilakukan melalui rekayasa perencanaan dan dokumen
pengadaan bahwa dari segi dokumen, proses pengadaan telah sesuai dengan
ketentuan peraturan. Dalam pemeriksaan seringkali pemeriksa memperoleh har-
ga pembanding sehingga dengan mudah pemeriksa mengindikasikan adanya
mark up harga pengadaan. Namun demikian dalam pembentukan harga pem-
banding ini seringkali melibatkan asumsi-asumsi sehingga sulit dibuktikan dalam
proses peradilan.
709
Membangun BPK Paripurna
b. Pengadaan Fiktif dan Kurang Volume
Kecurangan ini biasanya dilakukan dengan merekayasa dokumen perencanaan
pengadaan dan dokumen berita acara serah terima pekerjaan.
c. Kas Tekor
Kecurangan dalam kas tekor biasanya dilakukan oleh bendahara dengan cara me-
malsukan rekening koran. Rekayasa ini bisa dilakukan sendiri oleh oknum benda-
hara ataupun bekerja sama dengan oknum bank. Bank secara resmi akan tetap
menerbitkan rekening koran bank, namun dalam dokumen sumber pembukuan,
rekening koran bank ini kemudian diganti oleh oknum bendahara dengan reken-
ing koran yang dibuat persis dengan rekening koran terbitan bank, namun isinya
telah disesuaikan dan dimodifikasi oleh oknum bendahara.
d. Bantuan Sosial atau Hibah
Kecurangan dalam belanja bantuan sosial atau hibah biasanya dilakukan dengan
cara merekayasa pertanggungjawaban. Dokumen pertanggungjawaban yang
diterima pemeriksa menunjukkan seolah-olah bantuan sosial atau hibah terse-
but telah diterima oleh yang berhak. Namun dari konfirmasi seringkali ditemukan
bahwa pihak yang seharusnya menerima sesuai dokumen pertanggungjawaban
menyatakan tidak menerima dananya, atau hanya menerima sebagian dana ban-
tuan sosial atau hibah.
e. Perjalanan Dinas
Kecurangan dalam biaya perjalanan dinas biasanya dilakukan dengan cara mer-
ekayasa bukti pertanggungjawaban seperti adanya tiket dan boarding pass tidak
sesuai dengan manifest penerbangan menurut maskapai penerbangan.
Integrasi Ketiga Jenis Pemeriksaan dalam Sinergi Pemeriksaan
Sesuai UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dinyatakan
bahwa pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT).
Untuk dapat meminimalkan risiko kecurangan maka perlu dilakukan sinergi antara
seluruh jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK untuk meningkatkan kualitas hasil
pemeriksaan pemerintah yang merupakan mandatori bagi BPK. Dengan demikian keluasan
aspek dan kedalaman prosedur pemeriksaan atas indikasi kecurangan dapat dilakukan
dalam rangka pemeriksaan laporan keuangan, bukan lagi menjadi kendala keterbatasan
waktu pemeriksaan.
710
|Bagian 8 Memperkuat Pengendalian Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan laporan keuangan dapat ditindaklanjuti lebih lanjut dengan PDTT
atau pemeriksaan kinerja. Sebaliknya, hasil PDTT dan pemeriksaan kinerja dapat digunakan
sebagai bahan analisa lebih lanjut dalam pemeriksaan laporan keuangan terutama
apakah terdapat temuan ketidakpatuhan yang berpengaruh terhadap penyajian informasi
keuangan pemerintah. Skema sinergi ketiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK dapat
digambarkan sebagai berikut:
2. Perencanaan Pemeriksaan yang Proaktif Untuk Mendeteksi Adanya Indikasi
Kecurangan
Risiko kecurangan yang tinggi dalam pengelolaan keuangan negara maka Pemeriksa
harus selalu memperhatikan risiko kecurangan di entitas yang diperiksa dan menjadikan
salah satu bahan pertimbangan dalam melakukan penilaian risiko, penyusunan fokus
dan strategi pemeriksaan, pengembangan prosedur pemeriksaan dan pelaporan.
Untuk membuat perencanaan Pemeriksaan laporan keuangan yang memadai BPK telah
menetapkan Keputusan BPK Nomor 3/K/I-XIII.2/4/2017 Tanggal17 April 2017 tentang
Penilaian Risiko Pemeriksaan Keuangan dan Keputusan BPK Nomor 4/K/I-XIII.2/7/2014
Tanggal 16 Juli 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan.
711
Membangun BPK Paripurna
Dalam pemeriksaan keuangan Pemeriksa perlu menambahkan fokus pemeriksaan
untuk menilai apakah entitas yang diperiksa telah membuka adanya pos atau surat
pengaduan dan bagaimana penanganan tindak lanjut atas surat-surat pengaduan
yang diterima. Dengan menjadikan sebagai salah satu aspek yang harus dilihat
dalam pemeriksaan dan adanya temuan yang terkait dengan kelemahan sistem
pengendalian dalam memitigasi tindak kecurangan, maka Pemeriksa telah
mendorong entitas yang diperiksa untuk melakukan upaya-upaya mengurangi
tindak kecurangan dalam pengelolaan keuangan.
Pada tahap pelaksanaan pemeriksaan, pemeriksa harus selalu membangun
skeptisme profesional dan tidak mudah percaya kepada bukti yang disampaikan oleh
entitias yang diperiksa. Hal ini dilakukan karena dokumentasi yang terkait indikasi
tindak kecurangan umumnya rapi dan tertib namun merupakan hasil rekayasa dan
pemalsuan.
Selain itu, jika dalam pemeriksaan ditemukan kecurangan yang material berpengaruh
terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan, jika sifat tindak kecurangan
tersebut bersifat sistemik, maka pemeriksa perlu mempertimbangkan sebagai
kelemahan dalam pengendalian intern yang pada akhirnya akan berpengaruh
kepada opini atas laporan keuangan.
Optimalisasi E-Audit dalam Pemeriksaan Keuangan
Data transaksi dari seluruh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, BUMN, dan
BUMD tersedia di server BPK. Kondisi ini sangat membantu pemeriksa dalam melakukan
link and match untuk mendeteksi adanya transaksi abnormal yang perlu ditelusuri lebih
lanjut, yang umumnya merupakan tindak kecurangan, seperti volume transaksi yang besar
terus menerus (Real Time), dan transaksi yang mencurigakan.
Contoh implementasi e-audit yang telah efektif dan mudah dilakukan dalam mendeteksi
adanya tindak kecurangan adalah data tiket penerbangan dalam pertanggungjawaban
perjalanan dinas. Bukti pertanggungjawaban perjalanan dinas berupa tiket dan boarding
pass yang diperoleh dari dari kementerian/lembaga dicocokkan (link and match) dengan
data manifest penerbangan garuda yang ada di server BPK. Dengan adanya metode
pemeriksaan ini dampak baik buat entitas yaitu kasus perjalanan dinas dengan memakai
tiket fiktif hampir tidak terjadi lagi.
712
|Bagian 8 Memperkuat Pengendalian Pemeriksaan
Memanfaatkan Hasil Pemeriksaan APIP dan Satuan Unit Pengawasan
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2005 Pasal 24, pengawasan terhadap
urusan pemerintah di pusat dilakukan oleh Pejabat Pengawas Pemerintah yang terdiri dari
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) di Inspektorat Jenderal Departemen. Unit
Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab kepada
Menteri/Kepala Lembaga Negara Non Departemen (LPND) dan di daerah dilakukan
oleh Pejabat Pengawas Pemerintah, yang terdiri dari APIP Inspektorat Provinsi yang
bertanggung jawab kepada Gubernur dan Inspektorat Kabupaten/Kota yang bertanggung
jawab kepada Bupati/Walikota.
Salah satu unit yang melakukan audit atau pemeriksaan terhadap pemerintah
daerah (pemda) adalah inspektorat daerah. Inspektorat daerah mempunyai tugas
menyelenggarakan kegiatan pengawasan umum pemerintah daerah dan tugas lain yang
diberikan kepala daerah, sehingga dalam tugasnya inspektorat daerah sama dengan
auditor internal.
Hasil survei Pricewaterhouse Coopers (PWC) atas metode pendeteksian fraud
berdasarkan kasus-kasus fraud yang terjadi di Inggris diketahui bahwa metode fraud yang
paling ampuh adalah pemeriksaan internal sebagai urutan pertama. Fungsi pemeriksa
internal yang kuat dapat memonitor kejadian fraud (Bona Purba, Fraud dan Korupsi).
Memanfaatkan Pelaksanaan Manajemen Risiko Entitas
Penerapan Manajemen Risiko sebuah keniscayaan dalam rangka memberikan keyakinan
memadai bahwa sasaran organisasi untuk pengelolaan keuangan negara tercapai. Kasus-
kasus kerugian negara besar yang terjadi di sektor publik dan terjadinya temuan berulang
terhadap kerugian terindikasi salah satu penyebabnya adalah lemahnya penerapan
Manajemen Risiko.
Jika Manajemen Risiko telah diterapkan dengan baik oleh entitas pemeriksaan, maka
pemeriksa terbantu dalam mendapatkan informasi profil risiko, level dan peta risiko yang
dapat menggambarkan risiko tinggi serta rencana mitigasinya, informasi tersebut menjadi
bahan uji petik atas risiko kecurangan.
Selain itu dalam terdapat temuan audit yang sama sebelumnya terjadi kembali pada
entitas yang bersangkutan baik pada satker yang sama maupun pada satker lainnya,
seharusnya hal ini menjadi masukan entitas untuk mitigasi risiko terkait.
713
Membangun BPK Paripurna
Pelatihan Fraud Awareness bagi Pemeriksa
Dengan melihat karakteristik tindak kecurangan yang cenderung tidak ada audit trail
maka perlu diperluas kesempatan bagi pemeriksa untuk meningkatkan pengetahuan
dengan mengikuti pelatihan terkait dengan tindak kecurangan maupun perolehan
sertifikasi dalam pemeriksaan tindak kecurangan seperti Certified Fraud Audit.
Hal ini penting untuk meningkatkan pemahaman fraud melalui pelatihan dan pendidikan
yang didasari untuk mengidentifikasi dan mengenali situasi yang dapat menimbulkan
fraud. Organisasi harus menetapkan kebijakan pendidikan fraud kepada para pemeriksa,
agar mereka mempunyai pemahaman yang komprehensif, mengerti tanda-tanda dan
mengidentifikasi fraud.
F. Kesimpulan
Masyarakat menuntut bahwa opini yang diberikan BPK terhadap laporan keuangan
pemerintah merupakan jaminan tidak akan ada tindak kecurangan dalam pengelolaan
keuangan negara pada entitas pemerintah. Hal tersebut kurang sesuai dengan UU Nomor
15 Tahun 2004 maupun Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) mengingat tujuan
pemeriksaan laporan keuangan adalah untuk menilai kewajaran penyajian informasi
keuangan pemerintah dengan kriteria kesesuaian dengan SAP, kecukupan pengungkapan,
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan efektivitas sistem pengendalian
intern.
Namun demikian, BPK harus membangun suatu strategi pemeriksaan keuangan yang
aktif memitigasi risiko kecurangan dan penyimpangan melalui hal-hal berikut:
1. Pemetaan risiko kecurangan;
2. Intergrasi ketiga jenis pemeriksaan dalam sinergi pemeriksaan
3. Perencanaan pemeriksaan yang proaktif untuk mendeteksi adanya indikasi
kecurangan;
4. Optimalisasi e-audit dalam pemeriksaan keuangan;
5. Memanfaatkan hasil pemeriksaan Inspektorat dan Satuan Unit Pengawasan
6. Memanfaatkan pelaksanaan Manajemen Risiko entitas;
7. Pelatihan fraud awareness bagi pemeriksa.
714
|Bagian 8 Memperkuat Pengendalian Pemeriksaan
Daftar Pustaka
Keputusan Badan pemeriksa keuangan Nomor 4/K/I-XIII.2/7/2014 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan;
Keputusan Badan pemeriksa keuangan Nomor 7/K/I-XIII.2/12/2015 tentang Rencana
Strategis Badan Pemeriksa Keuangan Tahun Anggaran 2016 sampai dengan Tahun
Anggaran 2020;
Keputusan BPK Nomor 5/K/I-XIII.2/10/2015 tentang Pedoman Manajemen Pemeriksaan.
Keputusan Badan pemeriksa keuangan Nomor 3/K/I-XIII.2/4/2017 tentang Petunjuk Teknis
Penilaian Risko Pemeriksaan Keuangan;
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor I Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara;
Keputusan BPK Nomor6/K/1-XIII.2/8/2018 tentang Kebijakan Penerapan Manajemen Risiko
di Lingkungan BPK.
Keputusan BPK Nomor 7/K/1-XIII.2/9/2018 tentang Pedoman Penerapan Manajemen Risiko
di Lingkungan BPK.
Man Charles R. Vorst, BSN 2018 Majemen Risiko berbasis SNI ISO 31000;
Dewi Hanggraeni, 2016 Manajemen Risiko Perusahaan Terintegrasi berbasis ISO 31000,
(Teori dan Hasil Penelitian);
Bona P. Purba Fraud dan Korupsi, 2015, Lestari Kiranatama
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan;
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara;
Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK RI Semester I Tahun 2019
715
Membangun BPK Paripurna
716
|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM
Bagian 9
Memperkuat Tata
Kelola Pemeriksaan
dan SDM
717
Membangun BPK Paripurna
Penguatan Fungsi
Koordinasi dalam
Penyusunan Kebijakan dan
Strategi Pemeriksaan
pada AKN V:
Implementasi, Tantangan,
dan Strategi
Novie Irawati Herni Purnama S.E., M.Ak.,CFE., CSFA
(Kepala Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan)
A. Pendahuluan
Latar Belakang
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) merupakan lembaga negara yang mempunyai kewenangan memeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri.
Kewenangan tersebut diperkuat dengan lahirnya paket Undang-Undang (UU) bidang
Keuangan Negara, yaitu: UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan UU Nomor 15
Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam menjalankan tugasnya, BPK melakukan pemeriksaan secara bebas dan
mandiri, bebas dalam menentukan obyek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan
pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian
laporan pemeriksaan. Sedangkan mandiri dalam arti mencakup ketersediaan Sumber
Daya Manusia (SDM), anggaran dan sarana pendukung lainnya yang memadai, sehingga
dapat menghasilkan laporan hasil pemeriksaan yang berkualitas yang dapat mendorong
pengelolaan keuangan negara secara tertib, transparan dan akuntabel sesuai dengan visi
BPK.
718
|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM
Berdasarkan Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Pelaksana BPK, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya BPK dibantu oleh pelaksana
BPK yaitu, Sekretariat Jenderal (Setjen), Inspektorat Utama (Itama), Direktorat Utama
Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara (Ditama
Revbang), Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan
Keuangan Negara (Ditama Binbangkum), Badan Pendidikan dan Pelatihan Pemeriksaan
Keuangan Negara (Badiklat PKN), Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) I – VII, Auditorat
Utama Investigasi (AUI), BPK Perwakilan, dan pejabat fungsional lainnya.
BPK Perwakilan yang berada di 34 provinsi di Indonesia, mempunyai tugas memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah pada pemerintah daerah di wilayahnya.
Terdapat 16 perwakilan BPK di wilayah barat yang merupakan bagian dari organisasi AKN
V, sedangkan 18 perwakilan BPK di wilayah timur yang merupakan bagian dari organisasi
AKN VI.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk memastikan bahwa semua kebijakan dan strategi
pemeriksaan yang telah digariskan oleh pimpinan, khususnya di AKN V, dapat terlaksana
dengan baik d iseluruh perwakilan wilayah barat, maka diperlukan suatu koordinasi dan
sinergi yang baik, antar perwakilan di AKN V.
Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan AKN V yang berada di bawah struktur AKN V
mempunyai tugas mengoordinasikan pelaksanaan pengelolaan pemeriksaan pada lingkup
tugas AKN V, dalam hal ini 16 BPK Perwakilan Wilayah Barat. Dalam konteks pemeriksaan,
Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan mengoordinasikan sejak tahapan perencanaan,
pelaksanaan, pelaporan sampai dengan tindak lanjut hasil pemeriksaan.
Oleh sebab itu, menarik untuk menganalisis peran, tantangan dan strategi ke depan bagi
Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan dalam melaksanakan fungsi koordinasi pemeriksaan.
Identifikasi Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimana implementasi fungsi koordinasi pemeriksaan oleh Auditorat Pengelolaan
Pemeriksaan saat ini?
2. Apa saja tantangan dan strategi yang perlu diterapkan Auditorat Pengelolaan
Pemeriksaan dalam melaksanakan fungsi koordinasi pemeriksaan?
719
Membangun BPK Paripurna
B. Tinjauan Teori
Tugas dan Fungsi Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan
Sebelum berganti nomenklatur dan struktur, Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan bernama
Auditorat V.B berdasarkan Keputusan BPK RI Nomor 3/K/IXIII.2/7/2014 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Pelaksana Badan Pemeriksa, yang diubah dengan Keputusan BPK RI Nomor 14/K/I-
XIII.2/9/2017.
Pada struktur lama tersebut, Auditorat V.B dipimpin satu orang Kepala Auditorat tanpa ada
subauditorat di bawahnya. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri selama pelaksanaan
tugas Auditorat V.B. Seksi Litbang Organisasi (2019) menjelaskan bahwa beberapa alasan
perubahan nomenklatur, tugas, dan fungsi dari Auditorat V.B menjadi Auditorat Pengelolaan
Pemeriksaan, pertama, pelaksanaan fungsi penyusunan strategi pemeriksaan keuangan
daerah belum berjalan optimal serta strategi pemeriksaan keuangan daerah masih dijabarkan
secara umum dan belum dapat menangkap persoalan-persoalan dalam pengelolaan
keuangan daerah yang signifikan dan bersifat masif.
Kedua, rentang kendali Auditor Utama Keuangan Negara V (Tortama KN V) yang lebar
dalam mengendalikan pemeriksaan yang dilaksanakan oleh 16 BPK Perwakilan wilayah barat.
Ketiga, kebutuhan akan adanya unit kerja khusus untuk menganalisis data hasil
pemeriksaan keuangan daerah untuk mendukung penyusunan strategi pemeriksaan
keuangan daerah sehingga pelaksanaan pemeriksaan keuangan daerah lebih terfokus dan
hasil pemeriksaan dapat memberikan dampak yang lebih besar.
Keempat, kebutuhan akan adanya unit kerja khusus untuk mengoordinasikan kegiatan
pemeriksaan keuangan daerah, baik pada proses perencanaan, pelaksanaan, pelaporan,
maupun tindak lanjut atas hasil pemeriksaannya.
Kelima, kebutuhan untuk quality assurance dan pemantauan Tindak Lanjut Hasil
Pemeriksaan (TLHP).
Selanjutnya berdasarkan Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Pelaksana BPK, dibentuklah Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan yang mempunyai
tugas mengoordinasikan pelaksanaan pemeriksaan pada lingkup tugas AKN V dengan
beberapa fungsi, pertama, pengoordinasian dan pengompilasian usulan kebijakan dan
strategi pemeriksaan pada lingkup tugas AKN V.
Kedua, pemantauan dan pengevaluasian pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan strategi,
dan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan pada lingkup tugas AKN V. Ketiga, pengoordinasian
pelaksanaan kegiatan pemeriksaan pada lingkup tugas AKN V. Keempat, pemantauan dan
pengevaluasian hasil pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan pada lingkup tugas AKN V.
720
|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM
Pemeriksaan Keuangan Negara
Pemeriksaan didefinisikan sebagai proses identifikasi masalah, analisis, dan
evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional, berdasarkan
standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan
keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
(UU Nomor 15 Tahun 2004, pasal 1).
Berdasarkan konstitusi, pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara tersebut secara spesifik diamanatkan untuk dilaksanakan oleh Pemeriksa yang
independen yaitu BPK.
Mengacu pada Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 15Tahun 2006 disebutkan bahwa BPK bertugas
untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (pemda), Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia
(BI), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
Pelaksanaan tugas BPK tersebut dilakukan dalam bentuk tiga jenis
pemeriksaan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
serta Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), yaitu:
1. PemeriksaanKeuanganbertujuanuntukmemperolehkeyakinanmemadaisehingga
Pemeriksa mampu memberikan opini bahwa laporan keuangan menyajikan secara
wajar, dalam semua hal yang material, atas kesesuaian dengan standar akuntansi,
kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,
dan efektivitas Sistem Pengendalian Intern (SPI);
2. Pemeriksaan Kinerja untuk menguji dan menilai aspek ekonomi, efisiensi, dan/atau
efektivitas, serta aspek kinerja lainnya atas suatu hal pokok yang diperiksa dengan
maksud untuk memberikan rekomendasi yang dapat mendorong ke arah perbaikan;
3. PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan bertujuan untuk menilai apakah hal
pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Siklus Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan pemeriksaan dari suatu tahap ke tahap
lainnya (BPK, 2015). Secara umum, siklus pemeriksaan keuangan negara terdiri dari empat
tahapan, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan pemantauan tindak lanjut hasil
pemeriksaan (BPK, 2017).
Perencanaan pemeriksaan yaitu proses yang meliputi penetapan strategi pemeriksaan
721
Membangun BPK Paripurna
secara keseluruhan dan pengembangan rencana pemeriksaan. Perencanaan pemeriksaan
merupakan awal dari proses pemeriksaan setelah mempertimbangkan kebijakan dan
strategi pemeriksaan dan risiko manajemen pemeriksaan BPK sebagai dasar penentuan
tujuan, lingkup, dan sumber daya yang diperlukan dalam proses pemeriksaan. Perencanaan
pemeriksaan meliputi persiapan yang sifatnya teknis dan dukungan pemeriksaan.
Pelaksanaan pemeriksaan merupakan realisasi perencanaan pemeriksaan agar
pelaksanaan pemeriksaan dapat dilakukan secara efektif, efisien dan sesuai dengan standar
pemeriksaan yang ditetapkan.
Pelaporan pemeriksaan merupakan proses penyusunan laporan berdasarkan hasil
analisis atas temuan pemeriksaan yang diperoleh saat melakukan pemeriksaan. Proses
pelaporan pemeriksaan dimulai dengan penyusunan konsep Laporan Hasil Pemeriksaan
(LHP) oleh tim Pemeriksa, Review konsep LHP oleh Pengendali Mutu, penyampaian konsep
LHP kepada entitas untuk memperoleh tanggapan, dan diakhiri dengan penyusunan LHP
setelah mempertimbangkan tanggapan dari entitas.
Pemantauan TLHP, LHP ditindaklanjuti oleh pejabat pengelola keuangan negara selaku
pihak yang bertanggung jawab sesuai kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-
undangan. BPK memantau secara periodik pelaksanaan TLHP dan menyampaikan hasil
pemantauannya kepada lembaga perwakilan, dan pihak yang bertanggung jawab.
Koordinasi dalam Pemeriksaan Keuangan Negara
Dalam buku The Coordination of Public Sector Organizations oleh Geert
Bouckaert, B. Guy Peters, Koen Verhoest, koordinasi dalam konteks
inter-organisasi sektor publik adalah instrumen dan mekanisme yang bertujuan
untuk meningkatkan keselarasan secara sukarela atau tugas yang dipaksa beraturan
dan upaya organisasi dalam sektor publik.
Mekanisme ini digunakan untuk membuat koherensi yang lebih besar, dan untuk
mengurangi kelebihan, kekosongan dan kontradiksi di dalam dan di antara kebijakan,
implementasi atau manajemen.
Jennings dalam Alexander (2013) memandang koordinasi sebagai suatu
kegiatan yang menghubungkan sumber daya dan proses untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Dari perspektif ini, koordinasi juga terkait dengan perilaku yang
kolaboratif dan ketiadaan konflik (Alter dan Hage dalam Alexander, 2010).
Terkadang koordinasi diidentikkan dengan perilaku yang kolaboratif. Tapi,
meskipun koordinasi dan kolaborasi berkaitan, masing-masing cukup berbeda.
722
|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM
Kolaborasi adalah proses interaktif, dimana jika berhasil dapat menciptakan tindakan yang
terkoordinasi. Kaufmann, Majone, dan Ostrom dalam Alexander (2013),
Koordinasi terjadi sebagai sepanjang tindakan yang berbeda dari berbagai aktor
menjadi terkait untuk membentuk rantai tindakan. Definisi ini menekankan pada satu
aspek koordinasi inter-organisasional yang penting lainnya, yaitu interdependesi.
Menurut Handayaningrat (1991), koordinasi dibagi menjadi dua: koordinasi internal dan
koordinasi eksternal. Koordinasi internal meliputi, pertama, koordinasi vertikal/ struktural,
karena adanya keterkaitan hirarki organisasi.
Kedua, koordinasi horizontal/ fungsional, antara pihak dengan posisi yang selevel dan
secara tanggung jawab saling berkaitan. Ketiga, koordinasi diagonal, antara pihak yang
memiliki tingkat posisi yang berbeda namun tidak berada pada garis komando.
Dalam melakukan koordinasi supaya dapat dilakukan secara cepat, efisien dan efektif
diperlukan komunikasi yang terstruktur dan sistematis berupa sistem informasi.
Definisi koordinasi menurut Henry Fayol dalam Syafiie (2010; 85),
mengoordinasikan berarti mengikat bersama; menyatukan dan menyelaraskan semua
kegiatan dan usaha.
James D. Mooney dalam Syafiie (2010; 86) menyatakan, koordinasi adalah susunan
yang teratur (orderly arrangement) dari usaha kelompok (group effort), untuk menciptakan
kesatuan tindakan (unity of action) dalam mengejar (pursuit) tujuan bersama (common
purpose).
Dalam bukunya, Inu Kencana Syafiie (2010) menyusun unsur-unsur koordinasi, meliputi:
pengaturan, sinkronisasi, kepentingan bersama dan tujuan bersama.
Adapun pedoman dalam koordinasi (Handoko, 2013; 198), pertama, koordinasi harus
terpusat, sehingga ada unsur pengendalian guna menghindari tiap bagian bergerak
sendiri-sendiri yang merupakan kodrat yang telah ada dalam setiap bagian.
Kedua, koordinasi harus terpadu, keterpaduan pekerjaan menunjukkan keadaan yang
saling mengisi dan memberi. Ketiga, koordinasi harus berkesinambungan, yaitu rangkaian
kegiatan yang saling menyambung, selalu terjadi, selalu diusahakan dan selalu ditegaskan
adanya keterkaitan dengan kegiatan sebelumnya.
Keempat, koordinasi harus menggunakan pendekatan multi-instansional, dengan
wujud saling memberikan informasi yang relevan untuk menghindarkan saling tumpang
tindih tugas yang satu dengan tugas yang lain.
723
Membangun BPK Paripurna
C. Pembahasan
Implementasi Fungsi Koordinasi Pemeriksaan di Lingkungan AKN V
Dalam menyusun strategi pemeriksaan keuangan daerah dan menganalisis isu-isu
strategis berdasarkan hasil pemeriksaan keuangan daerah di Lingkungan AKN V, Auditorat
Pengelolaan Pemeriksaan memiliki peranan penting dalam memberikan masukan kepada
Tortama KN V mengenai kebijakan dan strategi pemeriksaan yang akan dilakukan oleh
masing-masing BPK Perwakailan seiring dengan dinamika dan isu-isu strategis yang muncul
dalam pengelolaan keuangan daerah.
Sesuai dengan tugas dan fungsinya, beberapa fungsi koordinasi yang dilakukan
oleh Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan antara lain, pertama, pengoordinasian dan
pengompilasian usulan kebijakan dan strategi pemeriksaan pada lingkup tugas AKN V.
Dalam proses penyusunan kebijakan dan strategi pemeriksaan yang akan dilaksanakan
di Lingkungan AKN V, Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan mempunyai peran untuk
melakukan koordinasi dengan seluruh Kepala BPK Perwakilan di wilayah AKN V untuk
mendapatkan masukan dan usulan terkait rencana obyek pemeriksaan, tema pemeriksaan
dan strategi pemeriksaan yang mengacu kepada Rencana Strategis (Renstra), Rencana
Kegiatan Tahunan (RKT), Hasil Rapat Koordinasi, dan arahan pimpinan.
Tahapan kegiatan yang dilakukan, antara lain: menyiapkan administrasi pembentukan
Kelompok Kerja (Pokja) dan kick off meeting Pokja, memfasilitasi rapat kerja, Focuss Group
Discussion (FGD) dan workshop Pokja.
Lebih lanjut Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan melakukan kompilasi atas konsep
kebijakan dan strategi pemeriksaan yang telah disusun pokja dan melakukan finalisasi
kebijakan dan strategi pemeriksaan. Selanjutnya akan disampaikan kepada Tortama V dan
Anggota V serta akan ditetapkan melalui Surat Edaran Anggota V.
Proses pengoordinasian dan pengompilasian tersebut dapat tercermin dalam hasil
kajian kebutuhan Pokja per tahun, Kerangka Acuan Kerja (KAK), Surat Keputusan (SK) Pokja,
laporan kegiatan, risalah rapat serta kebijakan dan strategi pemeriksaan LKPD, kebijakan
pemeriksaan kepatuhan dan strategic paper pemeriksaan kinerja.
Kedua, pemantauan dan pengevaluasian pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan strategi,
dan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan pada lingkup tugas AKN V.
Untuk memastikan bahwa kebijakan dan strategi yang telah ditetapkan melalui Surat
Edaran Anggota dilaksanakan dengan baik oleh seluruh BPK Perwakilan, maka diperlukan
suatu proses diseminasi, pemantauan dan pengevaluasian pelaksanaan kebijakan tersebut.
Dalam tahapan ini Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan mempunyai peran, antara
724
|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM
lain, memastikan bahwa kebijakan dan strategi tersebut telah didiseminasikan kepada
seluruh pihak yang terkait dalam proses pemeriksaan, yaitu Kepala BPK Perwakilan, Kepala
SubAuditorat dan seluruh Pemeriksa, melalui kegiatan diseminisasi dan sosialisasi Kebijakan
Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan Pemeriksaan Kepatuhan.
Dalam pelaksanaannya diseminasi dilakukan secara regional di beberapa BPK Perwakilan
yang diikuti oleh pejabat struktural, Pengendali Teknis dan Ketua Tim Pemeriksa pada akhir
tahun. Selanjutnya akan dilakukan sosialisasi di semua perwakilan yang diikuti oleh semua
pemeriksa yang akan melaksanakan pemeriksaan LKPD pada awal tahun berikutnya.
Selain itu, untuk memastikan bahwa kebijakan pemeriksaan terkait sumber daya
pemeriksaan yang mencakup kecukupan jumlah Pemeriksa, anggaran, peralatan,
dan pelaksanaan pemeriksaan, dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan,
maka diperlukan pemantauan pelaksanaan pemeriksaan dan pemantauan pelaporan
pemeriksaan.
Proses ini dapat tercermin dalam bentuk laporan kegiatan diseminasi, rekapitulasi
kebutuhan data sumber daya dalam pemeriksaan (Pemeriksa, anggaran dan peralatan),
monitoring perkembangan jadwal pelaksanaan pemeriksaan, rekapitulasi hasil indikasi
permasalahan signifikan, hasil review opini, serta rekapitulasi jadwal penyerahan LHP
Laporan Keuangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan kepala daerah.
Secara umum data monitoring Laporan Keuangan dapat dilihat pada Sistem Aplikasi
Pemeriksaan Laporan Keuangan (SiAP LK) dan Monitoring LKPD.
Ketiga, pengoordinasian pelaksanaan kegiatan pemeriksaan pada lingkup tugas AKN V.
Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan pemeriksaan sesuai arahan pimpinan dan
memfasilitasi jika terdapat permasalahan yang membutuhkan arahan pimpinan.
Selain itu, dapat juga memfasilitasi kebutuhan data pemeriksaan di lingkungan AKN
V, misal, data hibah pemda ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), data bantuan keuangan
kepada instansi vertikal, data dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan data lain yang
membutuhkan koordinasi dengan satuan kerja (satker) lain (AKN terkait). Fungsi koordinasi
inilah yang harus dijalani oleh Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan.
Keempat, pemantauan dan pengevaluasian hasil pemantauan TLHP pada lingkup tugas
AKN V. Sesuai ketentuan Pasal 20 UU Nomor 15 Tahun 2004, antara lain, menyatakan bahwa
pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan dan memberi
jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan
hasil pemeriksaan. Selambat-lambatnya 60 hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.
BPK memantau TLHP dan memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut tersebut kepada
725
Membangun BPK Paripurna
lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester.
Efektifitas pemeriksaan BPK pada akhirnya ditentukan sejauh mana entitas pemeriksaan
melakukan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK. Untuk itu, diperlukan suatu
pemantauan dan evaluasi hasil pemantauan tindak lanjut pada Lingkungan AKN V.
Peran Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah melakukan
analisis hasil pemantauan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan (TLRHP) entitas
yang telah diajukan oleh Kepala BPK Perwakilan sebelum persetujuanTortama dan Anggota;
mengompilasi hasil analisis dan evaluasi data pemantauan TLRHP; menyusun rekapitulasi
laporan pemantauan TLRHP; mengompilasi hasil pemantauan terhadap rekomendasi yang
berlarut-larut dan belum ditindaklanjuti; serta menyusun rekapitulasi laporan pemantauan
terhadap rekomendasi yang berlarut-larut dan belum ditindaklanjuti.
Tantangan dan Strategi dalam Melaksanakan Fungsi Koordinasi Pemeriksaan
Dalam pelaksanaan pemeriksaan, Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan sebagai
koordinator ditantang untuk dapat menghasilkan strategi pemeriksaan keuangan daerah
yang lebih spesifik dan mampu menangkap permasalahan keuangan daerah yang masif
dan signifikan (litbang BPK, 2015).
Selain itu, Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan juga diharapkan untuk menganalisis
secara mendalam data hasil pemeriksaan keuangan daerah sebagai dasar untuk menyusun
strategi pemeriksaan keuangan daerah, sehingga pemeriksaan yang dilaksanakan
memberikan dampak lebih besar kepada masyarakat.
Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan sebagai koordinator selama pemeriksaan ditantang
untuk dapat memberikan solusi atau membantu penyelesaian masalah dengan cepat dan
tepat selama pemeriksaan. Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan juga dituntut mampu
mengetahui perkembangan pelaksanaan pemeriksaan pada BPK Perwakilan setiap saat.
Strategi Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan dalam melaksanakan fungsi koordinasi
pemeriksaan, adalah mengoptimalkan koordinasi melalui pengefektifan pelaksanaan
kegiatan Rapat Koordinasi Teknis, pokja tematik yang jelas dan terarah, penggunaan
portal sebagai salah satu media komunikasi antara AKN V dan BPK Perwakilan, antar BPK
Perwakilan, serta pembahasan TLHP.
Untuk menunjang pelaksanaan tugas sehari-hari saat ini Auditorat Pengelolaan
Pemeriksaan hanya dibantu beberapa orang staf dengan jabatan pelaksana administrasi,
sehingga menjadi hambatan tersendiri untuk dapat melakukan tugas dan fungsi analisis
isu-isu strategis dalam pemeriksaan keuangan daerah.
726
|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM
Selain itu, berdasarkan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK), struktur Auditorat
Pengelolaan Pemeriksaan memiliki jabatan fungsional. Namun, sampai dengan saat ini
belum terisi.
Strategi yang harus diterapkan adalah mengajukan penambahan jumlah SDM penunjang
yang kompeten dan memiliki latar belakang pemeriksaan, sehingga dapat melaksanakan
fungsi analisis dengan baik, selain itu, memperjelas penilaian dan angka kredit bagi jabatan
fungsional yang ke depannya akan melaksanakan tugas dan fungsi Auditorat Pengelolaan
Pemeriksaan.
D. Penutup
Kesimpulan
Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan yang berada di bawah struktur Tortama KN V
mengoordinasikan pelaksanaan pengelolaan pemeriksaan pada lingkup tugas AKN V.
Dalam konteks pemeriksaan, Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan mengoordinasikan
sejak tahapan perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, sampai dengan tindak lanjut hasil
pemeriksaan.
Oleh sebab itu, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis peran, tantangan dan strategi
ke depan bagi Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan dalam melaksanakan fungsi koordinasi
pemeriksaan.
Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan saat ini memiliki peranan penting dalam
memberikan masukan kepada Tortama KN V mengenai kebijakan dan strategi pemeriksaan
yang dilakukan oleh masing-masing BPK Perwakilan.
Di samping itu, Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan juga dapat mengambil peranan
penting dalam memfasilitasi terwujudnya sinergi dan harmonisasi dalam setiap
tahapan pemeriksaan. Peran tersebut tercermin salah satunya dengan terbentuknya
Pokja Pemeriksaan, yang bertugas menyusun konsep kebijakan, strategi dan panduan
pemeriksaan. Kebijakan, strategi dan panduan pemeriksaan tersebut diharapkan menjadi
media pendorong peningkatan kualitas hasil pemeriksaan.
Tantangan yang dihadapi Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan sebagai koordinator
saat ini ditantang untuk dapat menghasilkan strategi pemeriksaan keuangan daerah yang
mampu menangkap permasalahan keuangan daerah yang masif dan signifikan. Auditorat
Pengelolaan Pemeriksaan juga diharapkan untuk menganalisis data hasil pemeriksaan
keuangan daerah sebagai dasar untuk menyusun strategi pemeriksaan.
Untuk menunjang pelaksanaan tugas, Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan harus
727
Membangun BPK Paripurna
dibantu oleh staf pelaksana dengan jabatan Pemeriksa. Untuk menjawab tantangan
tersebut, Strategi Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan, pertama, optimalisasi koordinasi
yang dilakukan Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan. Kedua, mengajukan penambahan
jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) penunjang yang kompeten dan memiliki latar
belakang pemeriksaan.
728
|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM
Daftar Pustaka
Alexander, E.R. (2013). How Organizations Act Together: Inter-organizational coordination in
Theory and Practice. New York: Routledge
Bouckaert, G., Peters, B. G., & Verhoest, K. (2016). Coordination of public sector organizations.
London: Palgrave Macmillan.
Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana BPK
Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Handayaningrat, Soewarno. 1991. Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan
Regional. Jakarta: PT Toko Gunung Agung
Handoko, T, Hani. 2013. Manajemen. edisi kedua. Yogyakarta: BPFE - Yogyakarta
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Seksi Litbang Organisasi.2019. Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan. Bahan Paparan pada
Syafiie, Inu Kencana. 2010. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: PT Rineka Cipta
729
Membangun BPK Paripurna
Penganggaran Pemeriksaan
Keuangan Negara:
Perbandingan Beberapa
Pendekatan dalam Menyusun
Kerangka Pendanaan di BPK
R. Edy Susila, S.H., CSFA
(Kepala Biro Keuangan)
A. Pendahuluan
Peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran di Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) merupakan bagian dari pelaksanaan salah satu strategi dalam Rencana Strategis
(Renstra) BPK 2016-2020 yaitu strategi mengoptimalkan pemanfaatan anggaran.
Renstra BPK menjelaskan bahwa optimalisasi pemanfaatan anggaran dilakukan dengan
menerapkan penganggaran berbasis kinerja sehingga dapat memastikan bahwa keluaran
yang dihasilkan dapat memberikan manfaat kepada organisasi maupun kepada segenap
pemangku kepentingan.
Strategi ini merupakan bagian dari pelaksanaan misi BPK yaitu melaksanakan tata kelola
organisasi yang berintegritas, independen, dan profesional dalam rangka mencapai visinya
yaitu menjadi pendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara
melalui pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat (BPK, 2015).
Upaya peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran kemudian dilanjutkan dalam
Renstra BPK 2020-2024 yang penyusunannya masih dalam tahap rancangan teknokratik.
Dalam konsep Renstra tersebut, ditetapkan adanya strategi untuk mengoptimalkan
pengelolaan sumber daya, termasuk pengelolaan keuangan. Pengelolaan sumber daya
keuangan BPK diharapkan semakin andal, transparan, akuntabel, dan modern.
Strategi ini dilaksanakan dalam rangka melaksanakan salah satu misi BPK yaitu
melaksanakan tata kelola organisasi yang transparan dan berkesinambungan agar menjadi
teladan bagi institusi lainnya. Misi ini disepakati dalam rangka mendukung pencapaian visi
730
|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM
BPK yaitu menjadi lembaga pemeriksa terpercaya yang berperan aktif dalam mewujudkan
tata kelola keuangan negara yang berkualitas dan bermanfaat untuk mencapai tujuan
negara (BPK, 2019).
Dalam lingkup global, misi BPK untuk menjadi teladan bagi institusi lainnya merupakan
salah satu amanat penting dari International Organization of Supreme Audit Institutions
(INTOSAI)-Principle 12, yaitu “being a model organisation through leading by example” atau
menjadi organisasi yang dapat menjadi contoh bagi institusi lainnya.
Menurut Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nomor 5Tahun 2019, kerangka pendanaan
menjelaskan mengenai kebutuhan pendanaan secara keseluruhan untuk mencapai target
Sasaran Strategis Kementerian/Lembaga (K/L), Sasaran Program, dan Sasaran Kegiatan.
Koridor dalam menyusun kerangka pendanaan adalah memperhatikan beberapa hal,
pertama, penentuan target kinerja dilakukan dengan melihat hasil evaluasi pencapaian
target, sehingga dapat dihitung target yang masih harus dicapai dalam kurun waktu lima
tahun ke depan.
Kedua, target dan kebutuhan pendanaan disusun sesuai dengan tahapan kegiatan yang
direncanakan. Dalam hal ini perlu ditetapkan kapan kegiatan dimulai dan kapan kegiatan
tersebut harus berhenti.
Ketiga, kebutuhan pendanaan diprioritaskan untuk membiayai kebutuhan untuk
mencapai target pembangunan nasional yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menjadi tanggung jawab K/L terkait.
Keempat, perencanaan kebutuhan pendanaan dilakukan dalam perspektif jangka
menengah (lima tahun) sebagai wujud dari penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengah (KPJM). Kelima, penentuan target dan kebutuhan pendanaan disesuaikan
dengan kapasitas pelaksanaan K/L. Keenam, target dan kebutuhan pendanaan untuk setiap
program dan kegiatan dilakukan oleh unit organisasi tertentu sesuai dengan tugas dan
fungsinya.
Dari koridor penyusunan kerangka pendanaan yang diterbitkan Bappenas tersebut,
terdapat beberapa kata kunci yang dapat menjadi acuan penyusunan yaitu “KPJM”,
“lima tahun”, “target kinerja”, “prioritas”, “kapasitas”, “tugas dan fungsi”. Namun, tidak ada
penjelasan lebih lanjut secara detail dan teknis tentang metode penyusunannya. Dengan
memperhatikan kata-kata kunci koridor penyusunan kerangka pendanaan, terdapat tiga
alternatif yang dapat dipilih oleh BPK dalam menyusun Kerangka Pendanaan BPK 2020-2024.
Renstra BPK 2016-2020 belum memberikan penjelasan metode yang digunakan dalam
731
Membangun BPK Paripurna
penyusunan kerangka pendanaan. Kerangka pendanaan dalam Renstra BPK 2016-2020
disusun dengan mengunakan pendekatan incremental budgeting, di mana penentuan
anggaran tahun berikutnya didasarkan pada anggaran tahun lalu.
Selain itu, usulan anggaran tahunan BPK kepada pemerintah jauh melenceng dari
kerangka pendanaan yang telah tercantum dalam Renstra. Deviasi yang cukup besar
tersebut merupakan indikasi bahwa kerangka pendanaan belum dapat dijadikan acuan
kebutuhan anggaran BPK dalam lima tahun periode Renstra.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kerangka pendanaan yang dibuat tidak sesuai
dengan kebutuhan anggaran tahun berkenaan. Hal ini mendorong Biro Keuangan dan
Direktorat Perencanaan Strategis dan Manajemen Kinerja (PSMK) dengan mencari metode
atau pendekatan terbaik dalam menyusun Kerangka Pendanaan BPK 2020-2024.
B. Alternatif Pendekatan Penyusunan Kerangka Pendanaan
Hasil analisis atas kata kunci koridor penyusunan kerangka pendanaan menunjukkan
bahwa paling tidak, ada tiga alternatif metode atau pendekatan dalam menyusun kerangka
pendanaan yaitu: pendekatan KPJM, pendekatan Performance-Based Budgeting, dan
kombinasi pendekatan Zero-Based Budgeting dan Performance-Based Budgeting. Bagian ini
akan menjelaskan mengenai ketiga alternatif pendekatan dan mengapa alternatif ketiga
yang dipilih untuk menyusun kerangka pendanaan BPK 2020-2024.
732
|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM
Pendekatan KPJM
Dengan kata kunci “KPJM”, salah satu alternatif pendekatan yang dapat dipilih dalam
menyusun kerangka pendanaan adalah pendekatan KPJM. Penggunaan pendekatan
Kerangka KPJM merupakan salah satu amanat Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja
dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, kemudian menjelaskan bahwa berdasarkan
pendekatan KPJM, dimensi waktu perencanaan anggaran yang semula berbasis tahunan
diubah menjadi multi tahun, satu tahun yang direncanakan ditambah tiga tahun rencana
ke depan.
Sedangkan orientasi penyusunannya juga berubah dari orientasi berdimensi selesai satu
tahun menjadi berdimensi pengguliran ke beberapa tahun selama kebijakan masih berjalan
dengan memanfaatkan prakiraan maju sebagai angka dasar bagi penyusunan anggaran,
tahun anggaran berikutnya, yang besarannya dapat disesuaikan dengan menggunakan
parameter.
Implementasinya, ketika BPK sebagai salah satu Kementerian/Lembaga (K/L), menyusun
Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) BPK Tahun 2020, maka BPK juga menyusun prakiraan
maju untuk Tahun 2021, 2022, dan 2023.
Pendekatan KPJM sebagai sumber data kerangka pendanaan BPK 2020-2024 mempunyai
beberapa kelemahan. Pertama, pendekatan KPJM sangat dominan menggunakan
733
Membangun BPK Paripurna
pendekatan top-down yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan melaluiditerbitkannya
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 142/PMK.02/2018 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan
Penelahaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Pengesahan
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran . Akibatnya, perubahan target kinerja yang direncanakan
oleh K/L belum termaksud dalam perhitungan KPJM tersebut.
Kedua, basis anggaran yang digunakan adalah anggaran tahun sebelumnya (tahun
2020 dalam kasus ini). Akibatnya, penambahan anggaran dari tahun 2021 sampai dengan
tahun 2023 hanya berkisar 0,59% sampai 0,69%. Pendekatan KPJM cenderung seperti
metode incremental budgeting.
Penjelasan klasik incremental budgeting diungkapkan oleh Wildavsky (1964) yaitu faktor
terbesar dalam menentukan anggaran tahun ini adalah anggaran tahun lalu. Anggaran
adalah produk dari keputusan-keputusan yang dihasilkan dari tahun anggaran sebelumnya.
Ketiga, anggaran tahun 2024 belum tercakup dalam KPJM tersebut. Andaikan kebutuhan
anggaran tahun 2024 dihitung, maka diprediksi hasilnya akan tidak jauh berbeda dengan
anggaran tahun 2023.
Beberapa kelemahan tersebut menunjukkan bahwa pendekatan KPJM tidak dapat
digunakan untuk menghasilkan kerangka pendanaan BPK 2020-2024.
Pendekatan Performance-BasedBudgeting
Kata kunci“lima tahun”,“target kinerja”, dan“prioritas”membawa kepada alternatif kedua
yaitu pendekatan Performance-Based Budgeting dalam menyusun kerangka pendanaan
BPK 2020-2024.
Pendekatan Performance-Based Budgeting dalam penyusunan RKA-K/L merupakan
amanat dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Konsep Performance-Based Budgeting
kemudian dijelaskan lebih detail dalam PP Nomor 90 Tahun 2010 dan PMK Nomor 142/
PMK.02/2018. Menurut PMK tersebut, Performance-Based Budgeting merupakan suatu
pendekatan dalam sistem penganggaran yang memperhatikan keterkaitan antara
pendanaan dan kinerja yang diharapkan, serta memperhatikan efisiensi dalam pencapaian
kinerja tersebut. Apa yang dimaksud kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dan/
atau hasil dari kegiatan yang dilakukan oleh K/L.
Implementasi Performance-Based Budgeting, baik di negara-negara lain maupun di
Indonesia menemui berbagai kendala. Di negara-negara anggota Organization for Economic
Cooperation and Development(OECD), pendekatan Performance-Based Budgeting digunakan
734
|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM
tetapi umumnya fleksibel dan tidak terkait dengan keputusan dalam mengalokasikan
anggaran.
Pada K/L umumnya menggunakan informasi kinerja untuk mengusulkan kenaikan
anggaran, tetapi dalam skala yang lebih kecil mereka menggunakan informasi kinerja untuk
mengurangi anggaran (OECD, 2014).
Widodo (2016) menemukan bahwa di Indonesia informasi kinerja belum digunakan dalam
menentukan alokasi anggaran K/L. Praktik incremental budgeting juga masih mend ominasi
keputusan anggaran. Informasi kinerja terutama digunakan untuk tujuan manajerial.
Penentuan anggaran K/L di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut PMK
Nomor 142/PMK.02/2018, faktor-faktor yang memengaruhi keputusan pagu anggaran K/L
adalah prioritas pembangunan nasional, angka dasar, inisiatif baru, kapasitas fiskal, hasil
evaluasi pelaksanaan program, serta efektivitas dan efisiensi belanja negara.
Pendekatan Performance-Based Budgeting menunjukkan bahwa fokus dari penyusunan
kebutuhan anggaran dari sisi K/L, seperti BPK adalah target kinerja dan prioritas ke depan.
Dalam konteks penyusunan kerangka pendanaan BPK 2020-2024, maka fokus Performance-
Based Budgeting adalah target kinerja selama lima tahun. Performance-Based Budgeting
belum memperhitungkan kata kunci lainnya dalam menyusun kerangka pendanaan, yaitu
“kapasitas” dan “tugas dan fungsi”.
Kombinasi Zero-Based Budgeting dan Performance-Based Budgeting
Dalam menyusun kerangka pendanaan BPK 2020-2024, pendekatan Performance-Based
Budgeting yang sudah memenuhi kata kunci “lima tahun”, “target kinerja”, dan “prioritas”
dalam koridor penyusunan pendanaan harus dikombinasikan dengan pendekatan lain
yang mendukung kata kunci “kapasitas” dan “tugas dan fungsi”. Pendekatan yang bisa
mendukungnya adalah pendekatan Zero-Based Budgeting.
Mengapa kombinasi pendekatan Zero-Based Budgeting dan Performance-Based
Budgeting sangat tepat untuk diterapkan dalam kondisi saat ini? Ada beberapa alasan.
Pertama, arah kebijakan pengelolaan belanja pemerintah pusat sesuai dengan Rancangan
Teknokratik RPJMN 2020-2024 adalah meningkatkan kualitas alokasi pendanaan prioritas
pembangunan.
Hal ini menjadi kebijakan dasar perencanaan dan penganggaran belanja K/L dan belanja
non-K/L. Dengan kata lain, kebutuhan anggaran suatu K/L, seperti BPK, perlu dikaji ulang,
bukan berdasarkan anggaran tahun sebelumnya tetapi sesuai prioritas, kapasitas, serta
tugas dan fungsinya.
735
Membangun BPK Paripurna
Kedua, pada tahun anggaran 2020, pemerintah mengajak seluruh K/L untuk
menggunakan anggaran secara lebih produktif dan bermanfaat nyata bagi perekonomian
dan kesejahteraan. Kebijakan belanja secara umum, antara lain, meningkatkan efisiensi
dan efektivitas; mempertajam prioritas penganggaran untuk mendukung target
pembangunan nasional; mendukung penguatan daya saing Sumber Daya Manusia (SDM);
dan mempertajam program dan kegiatan untuk semua K/L.
Efisiensi belanja terutama dilakukan terhadap biaya-biaya antara lain perjalanan
dinas, paket pertemuan, dan honorarium (Ditjen Anggaran, 2019). Minimnya anggaran
dibandingkan kebutuhan membuat BPK perlu melakukan langkah-langkah efisiensi dan
penajaman kegiatan. Walaupun peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran
selama ini sudah dilakukan, BPK belum pernah melakukan evaluasi secara menyeluruh
terhadap kebutuhan anggaran satuan kerja mulai dari nol, berapa kebutuhan minimum
satuan kerja untuk mencapai kinerja yang direncanakan. Untuk itu, pendekatan Zero-Based
Budgeting perlu dilakukan selain menggunakan pendekatan Performance-Based Budgeting.
Sesuai dengan namanya, pendekatan Zero-BasedBudgeting dilakukan dengan menyusun
anggaran dari awal, mulai dari nol. Anggaran tahun sebelumnya tidak dijadikan basis
untuk menyusun anggaran. Tren besaran anggaran pada masa lalu tidak lagi digunakan apa
adanya (given) untuk menentukan anggaran (Kavanagh, 2012).
Dengan pendekatan ini maka seluruh manajemen di setiap satuan kerja (satker)
diminta untuk menentukan dan mengevaluasi secara detail semua aktivitas sesuai dengan
kapasitas serta tugas fungsinya. Termasuk metode kerja saat ini dan rencana anggaran
untuk mencapai target kinerja. Analisis ini kemudian akan menghasilkan berbagai “paket
736
|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM
keputusan”. Minimal ada tiga “paket keputusan” anggaran yang bisa dihasilkan walaupun
dapat saja dibuat sampai dengan sepuluh keputusan (Kavanagh, 2012).
Tiga paket keputusan tersebut, pertama, paket dasar yaitu paket keputusan anggaran
untuk memenuhi kebutuhan minimum suatu satuan kerja agar mereka dapat bekerja
sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Kedua, paket normal yaitu paket keputusan anggaran untuk memenuhi kebutuhan
minimum suatu satuan kerja agar mereka dapat bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya
ditambah dengan kegiatan yang selama ini biasa atau secara normal dilaksanakan.
Ketiga, paket ekstensi yaitu paket keputusan anggaran sesuai dengan target kinerja
yang direncanakan di atas paket dasar dan paket normal. Paket ekstensi dapat disusun
dengan berbagai alternatif.
Paket normal dan paket ekstensi disusun dengan mengombinasikan pendekatan Zero-
Based Budgeting yang telah digunakan dalam paket dasar dengan pendekatan Performance-
Based Budgeting sesuai dengan target kinerja dan prioritasnya. Penerapan Zero-Based
Budgeting ini idealnya harus melibatkan seluruh manajer satker dan setiap satker diminta
untuk menghasilkan tiga paket keputusan tersebut.
Secara teori, kelebihan dari Zero-Based Budgeting adalah pendekatan ini dapat
menghasilkan keputusan rasional dan komprehensif pada masa pemotongan anggaran
atau berkurangnya anggaran karena Zero-Based Budgeting dapat menghasilkan keputusan
anggaran dengan berbagai skenario. Kelebihan Zero-Based Budgeting lainnya adalah
manajemen puncak dapat memahami secara detail aktivitas suatu satker.
Sedangkan kekurangan Zero-Based Budgeting adalah besarnya pekerjaan yang dilakukan
untuk menghasilkan paket kegiatan ini. Waktu yang dibutuhkan dapat mencapai 4-10
bulan. Komitmen dari seluruh manajemen untuk menghasilkan paket keputusan juga
sangat substansial.
Kelemahan Zero-Based Budgeting lainnya adalah bisa jadi para manajer enggan untuk
menurunkan kebutuhan anggaran lebih rendah dari yang biasa mereka dapatkan. Satu
kelemahan Zero-Based budgeting yang cukup penting adalah bagaimana menyinkronkan
proses penganggaran dengan proses perencanaan.
Dalam kerangka peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran, tujuan
penerapan Zero-Based Budgeting bukan hanya terkait penyusunan kerangka pendanaan
BPK 2020-2024. Salah satu tujuan penting lain dari penerapan Zero-Based Budgeting ini
adalah terkait dengan independensi anggaran BPK.
Jika BPK akan mengusulkan independensi anggaran kepada pemerintah dan Dewan
737
Membangun BPK Paripurna
Perwakilan Rakyat (DPR), maka BPK harus siap ketika pemerintah akan mengkaji ulang
berapa kebutuhan anggaran BPK untuk memenuhi kebutuhan dengan berbagai skenario.
Misalnya, kebutuhan dengan paket keputusan dasar, normal, dan ekstensi. Antisipasi ini
perlu dilakukan karena selama ini dikhawatirkan masih ada sebagian aktivitas dan anggaran
BPK yang masih bisa dilakukan efisiensi.
Dalam penyusunan kerangka pendanaan melalui pendekatan Zero-Based Budgeting dan
Performance-Based Budgeting terdapat beberapa keterbatasan yaitu kurang lengkapnya
informasi terkait tugas dan fungsi setiap unit organisasi; keterbatasan informasi aktivitas
strategis yang akan dilaksanakan dalam lima tahun pelaksanaan renstra; dan adanya
implementasi yang tidak seragam terhadap kegiatan-kegiatan yang dibatasi. Selain itu,
kerangka pendanaan masih perlu dilengkapi dengan rencana pemenuhan sumber daya
manusia serta sarana dan prasarana.
C. Kesimpulan
Peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran harus terus dilakukan dalam
rangka pencapaian visi dan misi BPK terutama dalam kondisi keterbatasan sumber daya
keuangan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Biro Keuangan dan Direktorat PSMK
dalam mengoptimalkan pengelolaan keuangan adalah dengan kombinasi penerapan
penggunaan Zero-Based Budgeting dan Performance-Based Budgeting dalam penyusunan
Kerangka Pendanaan Renstra BPK 2020-2024.
Pendekatan ini dipilih karena memiliki kelebihan dari pendekatan yang lain yaitu
memberikan alternatif pengambilan keputusan rasional dan komprehensif, menyesuaikan
dengan ketersediaan sumber daya keuangan. Penggunaan pendekatan ini telah
menghasilkan Kerangka Pendanaan BPK yang sudah tercantum dalam Konsep Renstra BPK
2020-2024. Penyempurnaan akan terus dilakukan jika masih terdapat kegiatan- kegiatan
strategis yang belum teridentifikasi sebelumnya.
738
|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM
Daftar Pustaka
Bappenas.2019. Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 versi 14 Agustus 2019
Ditjen Anggaran. 2019. Pokok-Pokok Kebijakan Belanja dalam Pagu Indikatif 2020,
https://musrenbangnas.bappenas.go.id/files/rakorbangpus/RAKORBANGPUS%20
2019_DJA_Pokok%20Pokok%20Kebijakan%20Belanja%20dalam%20Pagu%20
Indikatif%20tahun%202020.pdf, diakses pada 8 November 2019
Kavanagh, S.2012. ZBB IS BACK. PM. Washington : Public Management.
Kavanagh, S (2012), ZERO-BASE BUDGETING: Modern Experiences and Current
Perspectives. Chicago: Government Finance Review.
OECD.2014. Budgeting Practices and Procedures in OECD Countries. Paris : OECD
Publishing.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor 5 Tahun 2019 Tata Cara Penyusunan
Rencana Strategis Kementerian/Lembaga Tahun 2020-2024
Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010. Penyusunan Rencana Kerja Dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga
PwC (2010), Zero-based Management : A Holistic Approach To Managing Budgets,
http://www.strategyand.pwc.com/gx/en/reports/strategyand-zero-based-cost-,
diakses pada 8 November 2019
INTOSAI. 2019. The International Standards of Supreme Audit Institutions Principles 12:
The Value and Benefits of Supreme Audit Institutions – Making a Difference to the
Lives of Citizens. Vienna: INTOSAI.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Widodo, T.2016. Performance-Based Budgeting: Evidence from Indonesia. Thesis.
University of Birmingham, UK.
Wildavsky, A.1964. The Politics of Budgetary Process, 1st edition, Boston: Little, Brown
and Company.
739
Membangun BPK Paripurna
Pemanfaatan dan Pengemban-
gan Sistem Informasi dalam
Mendukung Pemeriksaan yang
Berkualitas dan Bermanfaat
di BPK Perwakilan Provinsi Aceh
Arif Agus, S.E., M.M., Ak., CPA., CSFA
(Kepala BPK Perwakilan Provinsi Aceh)
A. Pendahuluan
Dalam rangka mendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan nega-
ra serta dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sesuai ketentuan perundang-undan-
gan, BPK menyusun Rencana Strategis (Renstra). Dalam Renstra Teknokratik BPK 2020-2024,
BPK merumuskan visi “Menjadi Lembaga Pemeriksa Terpercaya yang Berperan Aktif dalam
Mewujudkan Tata Kelola Keuangan yang Berkualitas dan Bermanfaat untuk Mencapai Tu-
juan Negara”. Sebagai penjabaran visi tersebut, BPK kemudian menyusun beberapa misi
yaitu: (1) memeriksa tata kelola dan tanggung jawab keuangan negara untuk memberikan
rekomendasi, pendapat, pertimbangan; (2) mendorong pencegahan korupsi dan percepa-
tan penyelesaian ganti kerugian negara; dan (3) melaksanakan tata kelola organisasi yang
transparan dan berkesinambungan agar menjadi teladan bagi institusi lainnya.
Tujuan strategis yang ditetapkan BPK terkait pencapaian visi dan misi tersebut adalah
“meningkatkan tata kelola keuangan negara yang berkualitas dan bermanfaat”. Pemerik-
saan yang berkualitas dan bermanfaat merupakan fondasi terbangunnya kepercayaan pe-
mangku kepentingan.
BPK Perwakilan Provinsi Aceh menangani 24 entitas pemeriksaan, yaitu satu Provinsi,
lima kota dan 18 kabupaten. Dengan entitas pemeriksaan sebanyak itu, BPK Perwakilan
Provinsi Aceh masuk dalam kategori perwakilan tipe A, diawaki oleh 83 pemeriksa (per Juli
2019). Syukurlah, dalam menghadapi tantangan besar itu, BPK Perwakilan Provinsi Aceh
memiliki daya dukung yang baik, yakni tersedianya teknologi informasi.
740
|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM
BPK telah mengembangkan beberapa sistem informasi, baik untuk kegiatan pemer-
iksaan sebagai tugas utama BPK maupun kegiatan penunjang pendukung pemeriksaan.
Untuk kegiatan pemeriksaan, BPK telah mengembangkan sistem pemeriksaan secara elek-
tronik yaitu e-audit, Sistem Manajemen Pemeriksaan (SMP), Sistem Aplikasi Pemeriksaan
(SiAP), Sistem Informasi Pemantauan Tindak Lanjut (SIPTL), dan Sistem Informasi Kerugian
Negara dan Daerah (SIKAD). Selain itu, dalam kegiatan penunjang pendukung pemerik-
saan, BPK telah mengembangkan beberapa sistem yang terintegrasi antara pusat, per-
wakilan, serta balai diklat yaitu Sistem Informasi Sumber Daya Manusia (SISDM) dan Sistem
Informasi Pusat Pendidikan dan Pelatihan (SIPusdiklat).
Selain yang dikembangkan BPK pusat, BPK Perwakilan Provinsi Aceh sebagai Per-
wakilan Tipe A memanfaatkan dan mengembangkan beberapa sistem informasi khusus
untuk menunjang kegiatan pemeriksaan dan kegiatan penunjang pemeriksaan. Peman-
faatan sistem informasi yang telah ada melalui penerapan best practice serta pengemban-
gan sistem informasi baru oleh pegawai BPK Perwakilan Provinsi Aceh diharapkan dapat
meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan dan efisiensi kegiatan penunjang pendukung.
Tulisan ini akan menguraikan pemanfaatan dan pengembangan sistem informasi dalam
mendukung pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat bagi pemangku kepentingan
di BPK Perwakilan Provinsi Aceh. Diharapkan, paparan ini dapat menjadi sumbangan pe-
mikiran bagi peningkatan kualitas dan manfaat hasil pemeriksaan melalui pemanfaatan
dan pengembangan sistem informasi di BPK Perwakilan Provinsi Aceh.
B. Sumber Daya Pengembangan Sistem Informasi
BPK menyediakan sistem informasi bagi seluruh satuan kerja demi kemudahan penyim-
panan, pengolahan, dan penyaluran informasi. Sistem informasi dibagi menjadi dua, yaitu
sistem informasi internal dan sistem informasi eksternal.
Sistem informasi internal dirancang untuk pertukaran informasi internal BPK dari dan/
atau kepada BPK Pusat dan satuan kerja BPK lainnya untuk mendukung pelaksanaan tugas
dan wewenang BPK, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Di dalamnya termuat konten
yang seragam, namun dapat disesuaikan dan dikembangkan oleh masing-masing unit ker-
ja sebagai user.
Sedangkan sistem informasi eksternal dirancang untuk menyediakan informasi kepada
pihak eksternal BPK, seperti entitas pemeriksaan yang tersebar di seluruh Indonesia dan
masyarakat secara luas. Sistem informasi eksternal ini dikenal sebagai website.
Untuk kebutuhan pemeliharaan dan pengembangan sistem informasi, BPK menye-
741
Membangun BPK Paripurna
diakan sumber daya yang cukup. BPK Perwakilan Provinsi Aceh mengganggarkan 0,17%
dari total anggarannya, atau 2,34% dari anggaran layanan sekretariat perwakilan, untuk
pengelolaan teknologi informasi. Dalam hal sarana dan prasarana, BPK menyediakan jar-
ingan intranet, internet, perangkat lunak dan keras Teknologi Informasi (TI). Selain itu, BPK
menyediakan sumber daya manusia yang cakap dalam menangani masalah-masalah TI
yang muncul sewaktu-waktu dan mengembangkan sistem yang telah ada.
C. Pemanfaatan dan pengembangan Sistem Informasi
Kualitas dan besarnya manfaat pemeriksaan ditentukan oleh ketepatan guna dan kete-
patan waktu hasil pemeriksaan sesuai dengan harapan dan kebutuhan pemangku kepent-
ingan. Ketepatan guna hasil pemeriksaan didukung oleh kompetensi dan keahlian pemer-
iksa. Berdasarkan surveiy Forbes Insight & KPMG pada 2014, tiga keahlian yang diharapkan
pemangku kepentingan dari pemeriksa adalah: (i) keahlian dalam bidang teknologi; (ii)
keahlian berkomunikasi; dan (iii) keahlian berpikir kritis, yang diikuti juga dengan keahlian
di bidang pemeriksaan investigatif. Klien mengharapkan pemeriksa mengenal teknologi
dan selalu mengikuti perkembangan teknologi. Klien sangat mempercayai bahwa teknolo-
gi akan meningkatkan kualitas pemeriksa.
Dalam rangka meningkatkan ketepatan guna dan ketepatan waktu hasil pemeriksaan,
pada tahun 2019, BPK Perwakilan Provinsi Aceh telah memanfaatkan dan mengembang-
kan beberapa sistem informasi pendukung dan penunjang pemeriksaan, yaitu:
1. Pojok Berita Sebagai Pendukung Kegiatan Pemeriksaan
Media massa adalah bentuk transportasi komunikasi massa sebagai pendistribusi pe-
san kepada audiens. Media massa merupakan sumber informasi terbesar yang tersebar luas
kepada masyarakat. Isu yang berkembang dalam masyarakat merupakan salah satu aspek
pendukung pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat. Dengan adanya isu yang diber-
itakan oleh media massa, BPK lebih mudah dan cepat mengetahui permasalahan yang
tengah terjadi. Hal ini tentunya dapat membantu BPK dalam menentukan fokus dan area
pemeriksaan.
Pada tahun 2019, BPK Perwakilan Provinsi Aceh mulai mengembangkan “Pojok Berita”,
suatu menu pada konten info internal di portal BPK Perwakilan Provinsi Aceh. Menu ini
berisi pantauan berita dari media cetak seputar keuangan negara/daerah dan pemberitaan
BPK yang tersebar di masyarakat Aceh. Inisiatif ini adalah salah satu bentuk replikasi best
practice yang diperkenalkan oleh BPK Perwakilan Provinsi Bangka Belitung.
742