|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat
B. Pembahasan
Sekilas Mengenai SMAP
SMAP merupakan adaptasi dari ISO 37001:2016 - selanjutnya disebut ISO 37001-
yang dirilis oleh the ISO tanggal 15 Oktober 2016. ISO 37001 yang dikenal dengan Anti-
Bribery Management Systems merupakan pengembangan dari pedoman serupa yang
sudah diterapkan di The International Chamber of Commerce, Organization for Economic Co-
operation and Development, dan Transparency International. Standar ini juga mengadopsi
pedoman yang dikeluarkan oleh regulator internasional seperti the US Department of
Justice, US Securities and Exchange Commission, dan UK Ministry of Justice. ISO 37001 ini
dibuat dengan tujuan untuk memperkuat pencegahan terhadap penyuapan di sebuah
instansi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, ISO 37001 menciptakan budaya yang berbasis
integritas, transparansi, dan kepatuhan dalam organisasi. Standar ini bisa diimplementasikan
sebagai sistem tersendiri atau diintegrasikan dengan sistem manajemen yang sudah ada,
misalnya Sistem Manajemen Mutu (ISO 9001).
ISO 37001 menitikberatkan penyuapan di beberapa area, yaitu pada sektor publik,
swasta, dan nirlaba; oleh organisasi; oleh individu yang mengatasnamakan organisasi;
oleh rekan kerja/bisnis yang mengatasnamakan organisasi; terhadap organisasi; terhadap
individu dalam kaitannya dengan aktivitas organisasi; terhadap rekan kerja/bisnis dalam
kaitannya dengan aktivitas organisasi; secara langsung dan tidak langsung, misalnya
suap yang dilakukan melalui pihak ketiga.
Badan Standarisasi Nasional (BSN) telah menyusun peta jalan penerapan SMAP di
Indonesia. Terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi pada tanggal 22 September 2016 menandai
upaya penerapan SMAP di Indonesia.
Melalui Inpres tersebut, Presiden memerintahkan BSN sebagai penanggungjawab dalam
penyelesaian standar internasional serupa ISO 37001 untuk sektor swasta dan Pemerintah.
BSN menetapkan terjemahan ISO 37001 dalam Bahasa Indonesia dengan Keputusan Kepala
BSN Nomor 325/KEP/BSN/12/2016 tanggal 6 Desember 2016. Mulai bulan Juli 2017, BSN
mengadakan pilot project pembinaan penerapan SNI ISO 37001: 2016 (Prasetya, 2017).
Sampai bulan November 2017, beberapa instansi, baik publik maupun swasta, telah
berpartisipasi dalam implementasi SMAP. Dua instansi telah memperoleh sertifikasi ISO
37001 yaitu UD Hari Mukti Teknik dan Balai Besar Karantina Pertanian Makassar. Dua instansi
menjalani audit internal yaitu Inspektorat Utama BNN dan Dinas Kesehatan Palembang.
443
Membangun BPK Paripurna
Satu instansi sedang dalam tahap penyiapan dokumen, yaitu Auditorat Utama Investigasi
(AUI) BPK (Prasetya, 2017).
ISO 37001 mendefinisikan penyuapan sebagai tindakan menawarkan, menjanjikan,
memberikan, menerima, atau meminta keuntungan yang tidak semestinya dari nilai apa
pun, berupa keuangan atau nonkeuangan, langsung atau tidak langsung, terlepas dari
lokasi, merupakan pelanggaran peraturan perundang-undangan, sebagai bujukan atau
hadiah untuk orang yang bertindak atau menahan diri dari bertindak terkait kinerja dari
tugas orang tersebut.
Kesesuaian dengan standar ini tidak menjamin penyuapan tidak akan terjadi, tetapi
standarinidapatmembantuorganisasimenerapkanrancangan yang wajar dan proporsional
untuk mencegah, mendeteksi, dan menanggapi penyuapan (IBFGI, 2017).
Penyuapan telah menjadi fenomena yang menyebar luas. Penyuapan dapat disebabkan
oleh tiga hal, yaitu sistem yang lemah, penegakan hukum yang buruk, dan budaya permisif.
SMAP sesuai ISO 37001 hadir untuk menangani dua penyebab pertama, yakni sistem yang
lemah dan penegakan hukum yang buruk.
ISO 37001 terdiri atas 10 klausul dengan menerapkan standar dokumen sistem
manajemen Annex SL. Standar dokumen ini selaras dengan berbagai standar lain yang
telah dikeluarkan oleh ISO, seperti ISO 9001:2015 Sistem Manajemen Mutu dan ISO
27001:2013
Sistem Manajemen Keamanan Informasi. Kesamaan ini memudahkan integrasi ISO
37001 dengan standar-standar lain tersebut (IBFGI, 2017). SMAP terdiri atas persyaratan
yang dibutuhkan oleh suatu organisasi sehingga bisa memeroleh sertifikat dan panduan
untuk membangun, menerapkan, memertahankan, dan meningkatkan manajemen anti
penyuapan.
444
|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat
Sistem manajemen ini terdiri atas beberapa komponen inti sebagai berikut.
Komponen Inti SMAP
Sumber: ibfgi.com
Adapun persyaratan minimum yang dibutuhkan sebuah organisasi agar memenuhi
kualifikasi sesuai ISO 37001 (TI, 2016), yaitu:
1. Mengimplementasikan kebijakan dan program anti penyuapan;
2. Mensosialisasikan kebijakan dan program tersebut kepada pegawai dan mitra kerja
yang relevan;
3. Menunjuk manajer (compliance manager) yang bertugas mengawasi pelaksanaan
kebijakan dan program anti penyuapan;
4. Menyediakan pelatihan anti penyuapan bagi pegawai;
5. Melakukan penilaian atas risiko penyuapan;
6. Mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa organisasi dan mitra kerja
telah mengimplementasikan pengawasan terhadap penyuapan;
7. Memverifikasi tingkat kepatuhan personil terhadap kebijakan anti penyuapan;
8. Mengendalikan hadiah, donasi, dan manfaat yang serupa agar tidak mengarah pada
tujuan yang bersifat koruptif;
9. Menerapkan pengendalian atas pengelolaan keuangan, pengadaan, dan perikatan
445
Membangun BPK Paripurna
perjanjian untuk mencegah penyuapan;
10. Menerapkan prosedur pengaduan (whistle blowing);
11. Melakukan investigasi dan menyelesaikan kasus dugaan penyuapan;
12. Memantau dan mereviu efektivitas program, dan membuat pengembangan jika
dibutuhkan.
Beberapa konsultan memberikan kiat-kiat untuk mencapai sertifikasi ISO 37001.
Menurut konsultan yang berbasis di AS, RSM US, organisasi hendaknya mempertimbangkan
beberapa upaya ini agar bisa memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk memperoleh
sertifikasi ISO 37001, pertama, melaksanakan penilaian internal untuk menganalisis
kebijakan, prosedur, dan praktik anti penyuapan yang sudah ada. Penilaian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi kesenjangan (gap) antara persyaratan dan sistem yang telah
berjalan.
Kedua, menginisiasi perubahan yang dibutuhkan. Setelah melakukan penilaian
internal, pimpinan organisasi dapat membuat rencana aksi korektif. Rencana aksi ini
memuat prioritas, jadwal, dan penanggung jawab dari masing-masing perubahan yang
dilakukan secara rinci.
Ketiga, mengaudit sistem yang telah dimodifikasi untuk tujuan review sertifikasi. Setelah
melakukan modifikasi sistem, penilaian dari pihak luar dibutuhkan untuk menentukan
apakah sistem yang telah dimodifikasi memadai.
Suatu organisasi harus melewati beberapa tahapan dalam penerapan SMAP, yaitu
persiapan, pengembangan sistem, implementasi, review sistem, dan sertifikasi.
Tahapan Sertifikasi ISO 37001
Sumber: BSN, 2017
446
|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat
Penerapan SMAP di BPK
Saat ini BPK telah menerapkan beberapa sistem informasi dan aktivitas yang
mendukung penegakan integritas pegawai BPK. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya, Itama BPK telah menginisiasi beberapa program penegakan integritas
seperti Pembangunan ZI, PPG, dan pengaduan melalui WBS (Sundari, 2019).
Pembangunan ZI merupakan bagian dari program Reformasi Birokrasi di lingkungan
BPK. Sampai dengan tahun 2018, terdapat satu satuan kerja yang telah memperoleh
predikat Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yaitu Badan Pendidikan dan
Pelatihan Pemeriksaan Keuangan Negara (Badiklat PKN) serta 11 Perwakilan BPK yang
memperoleh predikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) (Sundari, 2019).
Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(PermenPANRB) Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas
Menuju WBK dan WWBM di Lingkungan Instansi Pemerintah, Menuju WBK adalah predikat
yang diberikan kepada suatu unit kerja yang memenuhi sebagian besar manajemen
perubahan, penataan tatalaksana, penataan sistem manajemen Sumber Daya Manusia
(SDM), penguatan pengawasan, dan penguatan akuntabilitas kinerja. Sementara itu, satuan
kerja yang memperoleh predikat Menuju WBBM memenuhi kondisi WBK ditambah dengan
penguatan kualitas pelayanan publik.
Sementara, PPG di BPK diwujudkan dengan aplikasi PPG (http://www.ppg.bpk.go.id).
Pada Tahun 2018, Inspektorat Penegakan Integritas (PI) menerima tujuh laporan gratifikasi.
Berdasarkan hasil telaahan yang dilakukan oleh Satuan Tugas (Satgas) PPG, tujuh laporan
tersebut ditetapkan sebagai gratifikasi terkait kedinasan (Sundari, 2019).
Serupa dengan program pengendalian gratifikasi, pengaduan melalui WBS juga
dilakukan melalui situs WBS (http://www.wbs.bpk.go.id). Pada tahun 2018, Inspektorat PI
telah menerima dua laporan melalui aplikasi WBS. Hingga akhir tahun 2018, status kedua
laporan tersebut telah ditelaah dan masih menunggu arahan pimpinan untuk proses
lebih lanjut (Sundari, 2019).
Saat ini ketiga program penegakan integritas tersebut merupakan upaya yang telah
dilakukan BPK dalam hal ini Itama dalam rangka menyediakan pondasi yang kokoh bagi
penerapan SMAP di BPK. Sesuai dengan persyaratan minimum yang disebutkan oleh
Transparency International, program penegakan integritas tersebut mendukung SMAP
dalam hal aktualisasi kebijakan dan program anti penyuapan, pengendalian atas hadiah,
donasi, dan manfaat yang serupa agar tidak mengarah pada tujuan yang bersifat koruptif,
serta penerapan prosedur pengaduan (whistle blowing).
447
Membangun BPK Paripurna
Namun demikian, program penegakan integritas yang telah diupayakan di BPK tersebut
ternyata belum cukup mencegah terjadinya penyuapan secara efektif. Sementara itu,
penerapan ISO 37001, ini diharapkan dapat membantu BPK dalam menyempurnakan SMAP
dengan mengintegrasikan aplikasi-aplikasi yang telah ada, dan semakin meningkatkan
kontrol secara lebih memadai.
Sertifikasi ISO 37001 tidak menjamin bahwa di suatu organisasi tidak akan ada suap.
Tapi, kepatuhan terhadap standar ini dapat menunjukkan langkah yang tepat dilakukan
oleh sebuah organisasi untuk mencegah penyuapan dan memberikan jaminan kepada
manajemen dan stakeholder bahwa organisasi BPK telah melaksanakan praktek kontrol anti
suap yang baik yang diakui secara internasional.
C. Penutup
Saran
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan sebelumnya, penerapan ISO 37001 SMAP
di BPK sangatlah penting untuk memperkuat program penegakan integritas yang sudah
ada. Diharapkan penerapan ISO 37001 SMAP di BPK diprioritaskan pada satuan kerja
(satker) yang berisiko tinggi terjadi kasus penyuapan. Untuk penerapan tersebut, BPK perlu
mengambil langkah-langkah, pertama, menetapkan satker-satker yang berisiko tinggi
untuk melaksanakan proses sertifikasi ISO 37001, misalnya Satker Auditorat Keuangan
Negara (AKN), AUI, dan/atau Perwakilan BPK yang sudah memperoleh predikat WBK
karena telah mengadopsi manajemen perubahan dan penguatan pengawasan untuk
memperoleh predikat tersebut. Penetapan berdasarkan prioritas pada satker-satker dengan
risiko penyuapan tinggi/cukup tinggi.
Kedua, melaksanakan penilaian atas risiko penyuapan. Berdasarkan kasus-kasus
penyuapan yang terjadi di BPK, area yang berisiko tinggi adalah penyusunan laporan hasil
pemeriksaan dan penentuan opini dalam pemeriksaan laporan keuangan). Untuk itu, BPK
perlu menyusun langkah-langkah strategis guna memitigasi risiko di area-area tersebut
dan juga pada Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT), terutama terkait pemeriksaan
pengadaan.
Ketiga, melakukan evaluasi terhadap aplikasi-aplikasi penegakan integritas yang telah
diinisiasi sebelumnya untuk diintegrasikan dalam SMAP yang lebih terintegrasi.
Keempat, melakukan sosialiasi SMAP dengan tujuan untuk lebih memperkuat awareness,
pemahaman kepada seluruh pelaksana BPK dan seluruh stakeholder, pihak eksternal yang
terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi BPK, seperti entitas yang diperiksa dan
448
|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat
rekanan pengadaan BPK, untuk bisa menerapkan SMAP secara efektif, dibuktikan dengan
meraih sertifikasi ISO 37001.
Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang masalah, informasi mengenai ISO 37001, SMAP, dan
usulan penerapan SMAP di BPK, d a p a t d i s i m p u l k a n b e b e ra p a h a l, p e r t a m a ,
permasalahan suap merupakan masalah krusial dan berisiko merusak reputasi Pemeriksa
dan BPK yang harus segera diatasi dan dimitigasi untuk memastikan tercapainya tercapai
visi BPK
Kedua, program penegakan integritas di BPK saat ini, terutama untuk pencegahan
risiko penyuapan belum optimal dan belum terintegrasi. Hal ini terlihat dari masih adanya
kasus penyuapan.
Ketiga, penerapan sertifikasi ISO 37001 SMAP di BPK bermanfaat tidak hanya untuk
mencegah penyuapan tetapi juga memulihkan reputasi BPK. Publikasi terhadap upaya
meraih sertifikat ISO 37001 akan menjadi citra positif bagi BPK dalam upaya merespon kasus-
kasus penyuapan yang terjadi.
Keempat, untuk meraih sertifikat ISO 37001 SMAP, BPK perlu melakukan beberapa
langkah, di antaranya menetapkan prioritas satuan kerja untuk melaksanakan proses
sertifikasi, melaksanakan penilaian risiko penyuapan, mengevaluasi program- program
yang telah ada, dan menumbuhkan partisipasi pihak stakeholder melalui sosialisasi.
449
Membangun BPK Paripurna
Daftar Pustaka
ACFE Asia Pacific, Report To The Nation. 2018. Global Study On Occupational and Abuse, Asia
Pacific Edition, 2018
ACFE Indonesia Chapter, Survai Fraud 2016. Indonesia. 2016
Badan Pemeriksa Keuangan, BPK Gelar Workshop Implementasi Kode Etik (http://www.
bpk.go.id/news/bpk-gelar-workshop-implementasi-kode-etik), diakses pada 9
November 2019
BSN. 2017. SNI ISO 37001:2016Sistem ManajemenAnti Penyuapan.
IBFG Institute (IBFGI). 2016. SNI ISO 37001:2016 Sistem Manajemen Anti Penyuapan di https://
ibfgi.com/iso-370012016/, d i akses 1 November 2019.
Oktaviangsih, T. 2012. Peran Humas Lembaga Negara Dalam Menjaga Reputasi Organisasi
(Studi pada Peran Humas DPR RI dalam Menjaga Reputasi Kinerja Anggota DPR RI).
Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia:
Jakarta.
Prasetya, B. 2017. Adopsi, Penerapan dan Progres Pencapaian SNI ISO 37001:2016. makalah
disampaikan dalam International Business Integrity Conference (IBIC) 2017.
Sundari, I. 2019. Integritas, Independensi, dan Profesionalisme (IIP) Menjadi Penopang dalam
Pencapaian Visi dan Misi BPK.
Transparency International (TI). 2016. International Anti-Bribery Standard ISO 37001 http://
www.transparency.org.uk/international-anti-bribery-standard-iso-37001/, diakses 1
November 2019
450
|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat
451
Membangun BPK Paripurna
452
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
Bagian 5
Memperbaiki Tata
Kelola Keuangan
Pemerintah Daerah
453
Membangun BPK Paripurna
Dampak Perubahan Regulasi
Terhadap Penyimpangan
Dalam Pertanggungjawaban
Biaya Perjalanan Dinas
Luar Daerah
Yusnadewi S.E., M.SI., Ak, CSFA
(Kepala BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Barat)
A. Pendahuluan
Perjalanan dinas merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pegawai
pemerintah, baik Aparat Sipil Negara (ASN) maupun nonASN. Perjalanan dinas terdiri
dari perjalanan dinas dalam daerah dan perjalanan dinas luar daerah tempat kedudukan
pegawai tersebut, serta perjalanan dinas luar negeri.
Biaya yang dikeluarkan oleh pegawai yang melakukan perjalanan dinas menjadi beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) pada Belanja Barang dan Jasa - Perjalanan Dinas.
Biaya perjalanan dinas terdiri dari beberapa komponen yaitu biaya transportasi pulang
dan pergi, biaya penginapan, uang harian, dan biaya operasional. Mekanisme pencairan
biaya perjalanan dinas dilakukan dengan cara penggantian (reimbursement) dan pemberian
uang muka.
Biaya perjalanan dinas pegawai pada Kementerian/Lembaga (K/L) negara diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menetapkan standar biaya perjalanan dinas
yang berlaku untuk seluruh pegawai kementerian dan lembaga. PMK tersebut dibuat
berdasarkan survei terhadap tren biaya transportasi yang diterbitkan maskapai, tarif biaya
hotel yang dikeluarkan oleh pengusaha perhotelan, dan biaya hidup yang dikeluarkan
di masing-masing wilayah di seluruh Indonesia. Dengan demikian besaran satuan biaya
perjalanan dinas untuk seluruh kementerian/lembaga adalah sama untuk tujuan perjalanan
yang sama.
454
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
Biaya perjalanan dinas pegawai pada pemerintah daerah (pemda) diatur oleh masing-
masing pemda melalui peraturan kepala daerah. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
sebagai pembina keuangan daerah telah mengatur kebijakan terkait biaya perjalanan dinas
pemerintah daerah.
Namun, ketentuan terkait perjalanan dinas tersebut tidak ditetapkan secara konsisten,
dan terjadi perubahan yang mendasar antara Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
Nomor 37 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran (TA) 2015 dan
Permendagri Nomor 52 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2016.
Standar satuan biaya perjalanan dinas yang sebelumnya pada APBD TA 2015
memedomani besaran satuan biaya yang berlaku dalam APBN, diubah pada APBD TA 2016.
Pada APBD TA 2016, setiap pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk menetapkan
biaya perjalanan dinas berdasarkan kemampuan daerahnya masing-masing, dengan
memperhatikan aspek transparansi, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, kepatuhan dan
kewajaran serta rasionalitas. Ketentuan tersebut berlanjut hingga saat ini.
Sejak masing-masing pemda dapat mengatur sendiri besaran satuan biaya perjalanan
dinas, terjadi variasi besaran satuan biaya perjalanan dinas antar pemerintah daerah
walaupun tujuan perjalanannya adalah daerah/kota sama.
Peraturan Kemendagri terkait Biaya Perjalanan Dinas (TA 2014-2018)
No. Permendagri Sewa Kend- Biaya Trans- Uang Harian Biaya Penginapan Keterangan
araan dalam portasi dan Uang Rep- Tambahan
Kota resentasi
1 Permendagri Dibayarkan Dibayarkan ses- Dibayarkan secara Dibayarkan sesuai Standar satuan
Nomor 37 Tahun sesuai biaya riil. uai biaya riil. lumpsum. biaya riil. Dalam hal harga perjalanan
2014 tentang Komponen sewa pelaksana perjalanan dinas ditetapkan
Pedoman Peny- kendaraan hanya dinas tidak menggu- dengan Keputusan
usunan Anggaran diberikan untuk nakan fasilitas hotel Kepala Daerah,
Pendapatan dan Gubernur/Wakil atau tempat pengina- dengan mempe-
Belanja Daerah Gubernur, Bupati/ pan lainnya, kepada domani besaran
Tahun Anggaran Wakil Bupati, yang bersangkutan satuan biaya yang
2015 Walikota/Wakil diberikan biaya pengi- berlaku dalam
Walikota dan napan sebesar 30% APBN sebagaima-
Pimpinan DPRD (tiga puluh persen) na diatur dengan
Provinsi. dari tarif hotel di kota peraturan perun-
tempat tujuan sesuai dang-undangan.
dengan tingkatan
pelaksana perjalanan
dinas dan dibayarkan
secara lumpsum.
455
Membangun BPK Paripurna
No. Permendagri Sewa Kend- Biaya Trans- Uang Harian Biaya Penginapan Keterangan
araan dalam portasi dan Uang Rep- Tambahan
Kota resentasi
2 Permendagri Dibayarkan Dibayarkan - Dibayarkan sesuai Standar satuan
biaya riil. Dalam biaya untuk
Nomor 52 Ta- sesuai biaya sesuai biaya hal pelaksana perjalanan dinas
perjalanan dinas ditetapkan den-
hun 2015 ten- riil. Komponen riil. tidak menggunakan gan Keputusan
fasilitas hotel atau Kepala Daerah,
tang Pedoman sewa kend- tempat penginapan berdasarkan
lainnya, kepada kemampuan
Penyusunan araan hanya yang bersangkutan keuangan daerah
diberikan biaya dengan mem-
Anggaran diberikan un- penginapan sebesar perhatikan aspek
30% (tiga puluh per transparansi,
Pendapatan tuk Gubernur/ seratus) dari tarif akuntabilitas,
hotel di kota tem- efisiensi, efektif-
dan Belanja Wakil Guber- pat tujuan sesuai itas, kepatutan
dengan tingkatan dan kewajaran
Daerah Tahun nur, Bupati/ pelaksana per- serta rasionalitas
jalanan dinas dan sesuai kebutu-
Anggaran 2016 Wakil Bupati, dibayarkan secara han nyata, yang
lumpsum. akan diberikan
Walikota/Wakil petunjuk lebih
lanjut.
Walikota, Peja-
bat Pimpinan
Tinggi Madya
dan pejabat
yang diberikan
kedudukan
atau hak
keuangan dan
fasilitas set-
ingkat Pejabat
Pimpinan Ting-
gi Madya.
3 Permendagri Dibayarkan Dibayarkan Dibayarkan se- Dibayarkan sesuai Standar satuan
Nomor 31 Ta- sesuai biaya sesuai biaya cara lumpsum. biaya riil. Dalam biaya untuk
hun 2016 ten- riil. Komponen riil. hal pelaksana perjalanan dinas
tang Pedoman sewa kend- perjalanan dinas ditetapkan den-
Penyusunan araan hanya tidak menggunakan gan Keputusan
Anggaran diberikan un- fasilitas hotel atau Kepala Daerah
Pendapatan tuk Gubernur/ tempat penginapan dengan mem-
dan Belanja Wakil Guber- lainnya, kepada perhatikan aspek
Daerah Tahun nur, Bupati/ yang bersangkutan transparansi,
Anggaran 2017 Wakil Bupati, diberikan biaya akuntabilitas,
Walikota/Wakil penginapan sebesar efisiensi, efekti-
Walikota, Peja- 30% (tiga puluh per vitas, kepatutan
bat Pimpinan seratus) dari tarif dan kewajaran
Tinggi Madya hotel di kota tem- serta rasionalitas.
dan pejabat pat tujuan sesuai
yang diberikan dengan tingkatan
kedudukan pelaksana per-
atau hak jalanan dinas dan
keuangan dan dibayarkan secara
fasilitas set- lumpsum.
ingkat Pejabat
Pimpinan Ting-
gi Madya
456
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
No. Permendagri Sewa Kend- Biaya Trans- Uang Harian Biaya Penginapan Keterangan
araan dalam portasi dan Uang Rep- Tambahan
Kota resentasi
4 Permendagri Dibayarkan Dibayarkan Dibayarkan se- Dibayarkan sesuai Standar satuan
Nomor 33 Ta- sesuai biaya sesuai biaya cara lumpsum. biaya riil. Dalam biaya untuk
hun 2017 ten- riil. Komponen riil. hal pelaksana perjalanan dinas
tang Pedoman sewa kend- perjalanan dinas ditetapkan oleh
Penyusunan araan hanya tidak menggunakan Kepala Daerah
Anggaran diberikan un- fasilitas hotel atau dengan mem-
Pendapatan tuk Gubernur/ tempat penginapan perhatikan aspek
dan Belanja Wakil Guber- lainnya, kepada transparansi,
Daerah Tahun nur, Bupati/ yang bersangkutan akuntabilitas,
Anggaran 2018 Wakil Bupati, diberikan biaya efisiensi, efekti-
Wali kota/Wakil penginapan sebesar vitas, kepatutan
Wali kota, Peja- 30% (tiga puluh per dan kewajaran
bat Pimpinan seratus) dari tarif serta rasionalitas.
Tinggi Madya hotel di kota tem-
dan pejabat pat tujuan sesuai
yang diberikan dengan tingkatan
kedudukan pelaksana per-
atau hak jalanan dinas dan
keuangan dan dibayarkan secara
fasilitas set- lumpsum.
ingkat Pejabat
Pimpinan Ting-
gi Madya.
Berdasarkan Peraturan Kemendagri terkait Biaya Perjalanan Dinas (TA 2014-2018),
diketahui bahwa sejak APBD TA 2016 besaran satuan biaya perjalanan dinas ditetapkan
dengan memperhatikan aspek transparansi, akuntabilitas, efisiensi, efektifitas, kepatutan
dan kewajaran serta rasionalitas.
Namun, sampai dengan saat ini belum ada petunjuk lebih lanjut yang ditetapkan
Kemendagri untuk mendefenisikan aspek-aspek tersebut, sehingga setiap pemerintah
daerah menetapkan standar biaya perjalanan dinas menurut pertimbangan masing-masing
tanpa ukuran yang jelas. Mayoritas yang menjadi pertimbangan pemerintah kabupaten/
kota adalah besaran satuan biaya perjalanan dinasnya tidak melebihi besaran satuan biaya
yang diberlakukan pemerintah provinsi, walaupun itu jauh lebih besar daripada satuan
biaya sesuai PMK.
Berdasarkan telaahan atas temuan-temuan yang dimuat dalam Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terlihat adanya indikasi peningkatan
penyimpangan yang dilakukan pelaksana dalam mempertanggungjawabkan biaya
perjalanan dinas sejak tahun 2016.
Peningkatan penyimpangan terjadi setelah Kemendagri memberikan kebebasan kepada
masing-masing pemda untuk menetapkan besaran satuan biaya perjalanan dinas tersebut.
Nilai biaya perjalanan dinas yang besar tersebut menjadi pemicu bagi pelaksana untuk
457
Membangun BPK Paripurna
melakukan penyimpangan/kecurangan dalam pertanggungjawaban biaya perjalanan
dinas.
Sesuai visi BPK untuk menjadi driving force demi tercapainya tata kelola keuangan
negara yang akuntabel dan transparan maka keberadaan pemeriksaan BPK merupakan satu
faktor penting untuk memerangi fraud di Indonesia. Dalam melaksanakan kewenangan
pemeriksaannya BPK juga dapat memberikan pendapat dalam rangka perbaikan tata
kelola keuangan negara sesuai undang undang BPK.
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk mengatasi permasalahan
yang terjadi, yang dapat disampaikan kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri
dan daerah baik melalui rekomendasi pada saat melakukan pemeriksaan maupun melalui
penyampaian bahan pendapat.
B. Landasan Teori
Kerangka konseptual yang paling sering digunakan dalam menjelaskan mengapa
seseorang melakukan kecurangan (fraud) adalah Fraud Triangle Theory yang dikembangkan
oleh Donald Cressey pada tahun 1953 (Cressey,1953).
Menurut teori ini, ada tiga aspek yang menyebabkan fraud terjadi, pertama, tekanan
(pressure). Tekanan memberikan seseorang motivasi untuk melakukan fraud. Tekanan
dapat berupa kebutuhan keuangan yang tidak dapat dibagi (non-shareable financial need)
atau dapat juga disebabkan karena perilaku kacanduan, ketidakpuasan ditempat kerja dan
lainya.
Kedua, kesempatan (opportunity). Unsur kesempatan merupakan faktor yang dapat
menjadikan seseorang melakukan fraud tanpa terdeteksi dan terhindar dari hukuman.
Faktor ini lebih banyak disebabkan karena adanya kelemahan dalam proses pengendalian
(internal control weakness).
Ketiga, rasionalisasi (rationalization). Rasionalisasi merupakan faktor pembenaran bagi
pelaku fraud sehingga menganggap tindakan fraud merupakan hal yang biasa yang dapat
diterima.
Lebih lanjut, Albrecht menyebutkan bahwa usaha pencegahan fraud dapat dilakukan
dengan dua pendekatan yaitu dengan menciptakan budaya kejujuran dan keterbukaan,
serta menghilangkan unsur opportunity bagi pelaku fraud (Albrecht et all., 2015).
458
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
C. Pokok Masalah
Perubahan ketentuan dalam Permendagri Nomor 52 Tahun 2015 dan selanjutnya hingga
Permendagri Nomor 33 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2018 yang mengubah kebijakan terkait besaran satuan
biaya perjalanan dinas yang sebelumnya memedomani satuan biaya yang berlaku dalam
APBN, menjadi berdasarkan pertimbangan masing-masing pemerintah daerah.
Sejak APBD TA 2016, besaran satuan biaya perjalanan dinas pada masing-masing
pemerintah daerah berbeda-beda walaupun tujuan perjalanan dinasnya sama, karena
didasarkan pada pertimbangan masing-masing yang tidak terukur. Besaran satuan biaya
tersebut mayoritas melampui besaran biaya yang berlaku dalam APBN. Hal tersebut
memicu terjadinya kenaikan biaya perjalanan dinas dan peningkatan kasus penyimpangan/
kecurangan (fraud) dalam pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas.
D. Analisis Masalah
Dari hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Barat atas LKPD TA 2015-
2018 di wilayah Sumatera Barat, diketahui masing-masing daerah menyusun standar biaya
dan komponen perjalanan dinas berbeda-beda meskipun wilayah yang dituju sama dan
terjadi kenaikan yang cukup signifikan pada sebagian besar pemda antara realisasi belanja
perjalanan dinas TA 2015, 2016, 2017 dan 2018. Dalam rentang waktu tersebut, temuan
pemeriksaan terkait belanja perjalanan dinas juga mengalami peningkatan.
Realisasi Belanja Perjalanan Dinas
Tren Realisasi Belanja Perjalanan Dinas dari TA 2015 sampai 2018 pada pemda di
lingkungan Provinsi Sumatera Barat meningkat setiap tahunnya.
459
Membangun BPK Paripurna
Pada TA 2015, pada saat Kemendagri mewajibkan seluruh Kabupaten/Kota untuk
memedomani PMK dalam merealisaskan belanja perjalanan dinas, realisasi belanja
perjalanan dinas relatif lebih kecil dibandingkan dengan realisasi TA 2016-2018, ketika
Kemendagri tidak lagi mewajibkan seluruh kabupaten/kota untuk memedomani Peraturan
Menteri Keuangan dalam merealisasikan biaya perjalanan dinas.
Temuan Pemeriksaan Terkait Perjalanan Dinas
Hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Barat atas LKPD TA 2015-2018
terhadap belanja perjalanan dinas menunjukkan adanya peningkatan nilai temuan.
Temuan pemeriksaan LKPD TA 2015 s.d TA 2018
pada BPK Perwakilan Prov. Sumatera Barat
Tahun Nama Entitas dan Nilai Temuan
pemeriksaan
No
Pasaman Pasaman Barat Solok Selatan Agam
1 LKPD TA 2015 Rp103.613.600,00 Rp33.723.156,00 Rp20.805.500,00 -
2 LKPD TA 2016 Rp1.875.747.320,00 Rp1.756.582.536,00 Rp21.504.000,00 Rp56.455.000,00
3 LKPD TA 2017 Rp1.920.882.511,33 Rp1.301.023.876,00 Rp286.070.600,00 Rp1.716.256.500,00
4 LKPD TA 2018 Rp27.240.000,00 Rp2.088.385.598,00 Rp1.117.807.980,00 Rp38.500.000,00
Hal yang sama juga terjadi pada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Istimewa
(DI) Yogyakarta, dan kemungkinan besar juga pada daerah-daerah yang lain. Dari hasil
pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi DI Yogyakarta untuk pertanggungjawaban belanja
TA 2016 menunjukkan perbedaan penetapan besaran satuan biaya perjalanan dinas antar
pemerintah daerah. Selain itu, hampir seluruh komponennya lebih tinggi dari pada besaran
satuan biaya yang ditetapkan dalam PMK.
460
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
Temuan BPK Perwakilan Provinsi DI Yogyakarta
No Entitas Hasil Pemeriksaan
1 Provinsi dI Tarif SHBJ yang tidak merujuk pada PMK yang mengatur SBM TA 2016, yaitu tarif
Yogyakarta penginapan di Jawa Barat dan tarif uang harian ke semua tujuan perjalanan dinas,
ditetapkan rata-rata 340% lebih tinggi daripada yang ditetapkan PMK Nomor 65/
PMK.02/2015.
Komponen uang harian untuk Walikota, Wakil Walikota, Pimpinan dan Anggota DPRD,
2 Kota Yogyakarta serta Pejabat Eselon II sampai dengan PNS Golongan I ke seluruh tujuan perjalanan dinas
yang ditetapkan lebih tinggi daripada PMK TA 2016. Penyusunan SHBJ Tahun 2016 tidak
didasarkan pada survei harga, tetapi hanya mengacu pada standar Provinsi DIY.
3 Kabupaten a) Perubahan nilai biaya perjalanan dinas untuk uang harian wilayah Jakarta, Banten,
Sleman Jawa Barat, Jawa Timur dan Luar Pulau Jawa kecuali Papua lebih tinggi dari PMK.
b) Terdapat perubahan nilai uang representasi yang diberikan kepada pejabat Eselon II
yang melakukan perjalanan dinas yang tidak sesuai dengan PMK.
4 Kabupaten Tarif komponen uang harian Bupati dan Wakil Bupati, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota
Bantul DPRD serta pejabat Eselon II sampai PNS Golongan II ditetapkan lebih tinggi. Penyusunan
SHBJ Tahun 2016 tidak didasarkan pada survei harga, tetapi hanya mengacu pada standar
Provinsi DIY.
5 Kabupaten Standar biaya perjalanan dinas dalam Perbup Nomor 23 Tahun 2016 ditetapkan lebih
Kulon Progo tinggi dibandingkan dengan PMK. Dalam Perbup ini, SHBJ untuk uang harian (uang saku
dan uang makan) dibedakan untuk masing-masing pelaksana, berbeda dari yang di atur
dalam PMK yang tidak membedakan nominal uang harian.
6. Kabupaten Tarif uang harian ke semua tujuan perjalanan dinas ditetapkan lebih tinggi daripada SBM
Gunung Kidul TA 2016.
Lebih lanjut, pada pemeriksaan atas Belanja Daerah tahun 2018 dan LKPD TA 2018,
juga ditemukan penyimpangan/kecurangan dalam pertanggungjawaban biaya perjalanan
dinas, dengan nilai masing-masing sebesar Rp1,07 miliar dan Rp2,44 miliar.
Selain itu, permasalahan dalam pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas sebagian
besar terjadi pada Satuan kerja (Satker) Sekretariat Dewan, yang pelaksana perjalanan
adalah para anggota dewan.
Biaya perjalanan dinas pemerintah daerah seharusnya ditetapkan secara obyektif yaitu
berdasarkan lokasi yang dituju. Sebab, lokasi tersebut memengaruhi harga kamar hotel
dan biaya hidup, bukan secara subyektif berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah
daerah yang akan melakukan perjalanan dinas, dan pertimbangan-pertimbangan pada
aspek-aspek yang tidak terukur.
Jika biaya perjalanan dinas ditetapkan secara obyektif, maka pegawai dari pemerintah
daerah manapun yang melaksanakan perjalanan dinas ke suatu lokasi yang sama akan
461
Membangun BPK Paripurna
memeroleh biaya penginapan dan uang harian yang sama juga sebagaimana yang berlaku
dalam dalam APBN.
Sebaliknya, jika biaya perjalanan dinas ditetapkan secara subyektif sesuai dengan
kemampuan keuangan daerah, maka biaya perjalanan dinas ke suatu lokasi yang sama,
pelaksana perjalanan dinas dari pemerintah daerah yang memiliki kemampuan keuangan
tinggi akan lebih besar daripada yang diberikan kepada pegawai dari pemerintah daerah
yang memiliki kemampuan keuangan rendah.
Hal ini akan mengakibatkan ketidakadilan dan ketimpangan antar pegawai dari
pemerintah daerah yang berbeda walaupun dalam satu provinsi yang sama. Selain itu,
pada prinsipnya uang harian yang diberikan kepada pegawai yang melakukan perjalanan
dinas bukanlah merupakan tambahan penghasilan, tetapi merupakan biaya hidup selama
pegawai yang melakukan perjalanan dinas tinggal di luar kota yang dituju.
Jika dikaitkan dengan teori fraud triangle, kebebasan masing-masing daerah dalam
menetapkan besaran satuan belanja perjalanan dinas merupakan unsur opportunity bagi
pelaku fraud untuk menyalahgunakan biaya perjalanan dinas. Apalagi sebagian besar
pelaku penyalahgunaan belanja perjalanan dinas dalam temuan pemeriksaan BPK adalah
anggota DPRD.
Menurut teori fraud, hal ini masuk akal karena anggota DPRD memiliki unsur pressure
yang lebih tinggi untuk melakukan fraud, karena kedudukan dan posisinya dalam
pemerintahan dan masyarakat. Anggota DPRD juga selalu diminta oleh konstituennya
untuk memberikan bantuan atau program kerja yang memerlukan banyak dana. Pressure
tersebut dapat menjadi motivasi bagi anggota DPRD yang mempunyai kewenangan
persetujuan dan pengawasan APBD untuk menekan pemerintah daerah supaya menaikan
besaran satuan biaya perjalanan dinas.
Hal ini kemudian diikuti dengan adanya rasionalisasi, bahwa jumlah biaya perjalanan
dinas yang ditetapkan sebesar pagu merupakan hak pelaksana tersebut walaupun secara
riil biaya yang dihabiskan tidak sebesar pagu yang ditetapkan.
Penyimpangan/kecurangan dalam mempertanggungjawabkan biaya perjalanan dinas
merupakan faktor pembenaran bagi pelaku fraud sehingga mengganggap tindakannya
merupakan hal yang biasa yang dapat diterima.
Lebih lanjut, para peneliti dan praktisi yang memerangi fraud menyatakan bahwa
usaha pencegahan fraud dapat dilakukan dengan dengan dua pendekatan yaitu dengan
menciptakan budaya kejujuran dan keterbukaan dan menghilangkan unsur opportunity
bagi pelaku fraud.
462
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
Dalam hal biaya perjalanan dinas pada pemerintah daerah, lingkungan pengendalian
harus diperbaiki, mulai dari perencanaan sampai dengan pertanggungjawaban. Perbaikan
tersebut dapat dicapai salah satunya dengan penetapan kembali besaran belanja perjalanan
dinas yang sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan.
E. Simpulan dan Masukan
Dari analisis terhadap peraturan perundang-undangan dan praktik penentuan besaran
satuan biaya perjalanan dinas dapat disimpulkan bahwa sejak APBD 2016, Kemendagri
memberikan kebebasan kembali kepada pemda untuk menetapkan biaya perjalanan dinas,
sehingga pemda secara subjektif menentukan besarnya biaya perjalanan dinas berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang tidak terukur dan kemampuan keuangan daerah.
Hal tersebut mendorong pemerintah daerah dengan kemampuan keuangan tinggi
menetapkan besaran uang harian dan biaya penginapan lebih tinggi dari pemerintah
daerah dengan kemampuan keuangan rendah. Hal ini mengakibatkan ketidakadilan dan
ketimpangan antar pegawai dari pemerintah daerah yang berbeda, walaupun dalam satu
provinsi serta memicu terjadinya penyimpangan/kecurangan dalam pertanggungjawaban
belanja perjalanan dinas.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diharapkan, pertama, Kemendagri membuat
kebijakan yang terukur sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam menetapkan
besaran satuan biaya perjalanan dinas.
Kedua, Kemendagri menetapkan bahwa pertimbangan dalam menentukan besaran
satuan biaya perjalanan dinas adalah biaya hidup (biaya makan, transportasi, akomodasi,
dll) pada kota/daerah yang dituju, sehingga selaras dengan PMK.
Ketiga, oemda agar menerapkan pemakaian kartu kredit pemerintah dalam pembiayaan
perjalanan dinas, sehingga menutup celah adanya kecurangan dalam pertanggungjawaban
biaya perjalanan dinas.
463
Membangun BPK Paripurna
Daftar Pustaka
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah TA 2018
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32 Tahun 2018 tentang Standar Biaya Masukan Tahun
Anggaran 2019
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69 Tahun 2018 tentang Standar Biaya Keluaran Tahun
Anggaran 2019
Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 19 Tahun 2018 tentang Perjalanan Dinas di
Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat
Perbup Pasaman Nomor 23 Tahun 2017 tentang Perjalanan Dinas Pejabat Negara, Pimpinan
dan Anggota DPRD, PNS dan Pihak Lain di Lingkungan Pemerintah Kabupaten
Pasaman
Peraturan Bupati Pasaman Barat Nomor 67 Tahun 2016 tentang Standar Biaya Pemerintah
Kabupaten Pasaman Barat Tahun Anggaran 2017
Albrecht et all., 2015 Albrecht, W S., Albrecht, C.C., Albrecht, C.O., Zimbelman, M.F., Fraud
Examination, 5th Edition. Mason:Thomson South-Western Publishing.
Cressey, Donald R, Other People’s Money: A Study in the Social Psychology of Embezzlement.
Glencoe, Ill, Free Press, 1953.
464
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
465
Membangun BPK Paripurna
Pemeriksaan Jaminan
Pertambangan
Berbasis SDGs
Tornanda Syaifullah S.E., M.M., Ak, CSFA
(Kepala BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan)
A. Pendahuluan
Salah satu tujuan negara yang tertuang dalam alinea IV Pembukaan Undang- Undang
Dasar (UUD) 1945 dan erat dengan keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah
memajukan kesejahteraan umum.
Perubahan Ketiga UUD 1945 merupakan salah satu reformasi atas ketentuan Pasal 23
ayat (5) tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang telah memperkokoh keberadaan dan
kedudukan BPK yaitu sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri. Kemandirian
dan kebebasan dari ketergantungan kepada pemerintah dalam hal kelembagaan,
pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK agar dapat melaksanakan tugas
yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Visi BPK dalam Rencana Strategis (Renstra) 2016-2020 adalah “Menjadi pendorong
pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan
yang berkualitas dan bermanfaat”. Untuk mencapai visi tersebut, BPK mempunyai misi
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri
serta melaksanakan tata kelola organisasi yang berintegritas, independen, dan profesional.
Visi BPK tersebut sejalan dengan tugas dan wewenang BPK yang diatur dalam Undang-
Undang (UU) Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 9 huruf a
yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang menentukan
objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu
dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan.
Kewenangan pemeriksaan yang dilakukan BPK meliputi seluruh aspek dalam
pengelolaan keuangan negara, tidak terkecuali dalam bidang perizinan pertambangan
mineral dan batubara.
466
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
Kewenangan perizinan usaha pertambangan pada mulanya berada pada kewenangan
pemerintah kabupaten/kota, tetapi dengan diundangkan UU Nomor 23 Tahun 2014
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah,
kewenangan tersebut beralih ke pemerintah provinsi.
UU Nomor 23 Tahun 2014 yang diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, pada pasal
404 menyatakan bahwa serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana,
serta dokumen sebagai akibat pembagian urusan pemerintah antara pemerintah pusat,
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dilakukan paling lama dua tahun. Dengan
demikian peralihan kewenangan Izin Usaha Pertambangan dari pemerintah kabupaten/
kota ke pemerintah provinsi efektif berlaku pada Oktober 2016.
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Selain menjadi sumber energi, penambangan juga telah menjadi sumber kerusakan
lingkungan yang cukup masif. Bahkan, penambangan juga diklaim membawa kerugian
signifikan bagi masyarakat adat. Tercatat sebanyak 32 orang meninggal di Kalimantan
Timur dalam kurun waktu antara 2011-2018 atau 115 jiwa antara 2014-2018 dalam skala
nasional. Terdapat sekitar 3.500 bekas tambang yang harus direklamasi dan dilakukan
kegiatan pascatambang. Bekas- bekas galian tambang sering menelan korban karena
tidak kunjung dibenahi.1
Jaminan Reklamasi
Untuk meminimalisir dampak penambangan, setiap Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan
Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib memuat dan menyampaikan dana Jaminan
Reklamasi dan Jaminan Pascatambang.2
Reklamasi sendiri adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan
untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar
dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.3 Sedangkan pascatambang, adalah kegiatan
terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan
untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokasi di seluruh
wilayah penambangan.4
1 https://www.uii.ac.id/penambangan-batu-bara-timbulkan-dampak-lingkungan-masif/
2 Pasal 29 Ayat 2 huruf k dan pasal 79 huruf j UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
3 Pasal 1 ayat 26 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
4 Pasal 1 ayat 27 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
467
Membangun BPK Paripurna
Jaminan Reklamasi terdiri atas Jaminan Reklamasi tahap eksplorasi dan Jaminan Reklamasi
tahap operasi produksi.5 Pada Jaminan Reklamasi tahap eksplorasi, mencakup, pertama,
penempatan jaminan.
Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib menyediakan Jaminan Reklamasi
tahap Eksplorasi sesuai dengan penetapan besarannya. Jaminan Reklamasi tahap eksplorasi
ditempatkan seluruhnya di awal sesuai dengan penentuan biaya reklamasi tahap eksplorasi dan
dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi.
Jaminan Reklamasi tahap eksplorasi berbentuk deposito berjangka yang ditempatkan
pada bank pemerintah di Indonesia atas nama direktur jenderal atau gubernur qq pemegang
IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi yang bersangkutan dengan jangka waktu penjaminan sesuai
dengan jadwal Reklamasi tahap Eksplorasi.
Jaminan reklamasi dalam bentuk deposito berjangka dicairkan berikut bunga depositonya
yang akan menjadi milik perusahaan tambang.6 Penempatan Jaminan Reklamasi tahap
Eksplorasi tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi untuk
melaksanakan reklamasi.7
Kekurangan biaya untuk menyelesaikan Reklamasi tahap Eksplorasi dari jaminan yang telah
ditetapkan, tetap menjadi tanggung jawab pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi.8
Direktur jenderal (Dirjen) atas nama menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya
dapat memerintahkan pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi untuk mengubah jumlah
Jaminan Reklamasi tahap Eksplorasi apabila terjadi perubahan atas rencana Eksplorasi9; atau
biaya pelaksanaan Reklamasi tahap Eksplorasi tidak sesuai dengan rencana Reklamasi tahap
Eksplorasi.
Kedua, pencairan jaminan. Dirjen atas nama menteri atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya sebelum memberikan persetujuan pencairan Jaminan Reklamasi tahap
Eksplorasi wajib melakukan evaluasi terhadap Laporan Pelaksanaan Reklamasi tahap Eksplorasi
setelah dokumen Studi Kelayakan disetujui.10 Pencairan Jaminan Reklamasi tahap Eksplorasi
hanya dapat dilakukan setelah hasil penilaian mencapai nilai 100%.11
5 Pasal 29 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.
6 Keputusan Dirjen Pertambangan Umum No. 336.K/271/DDJP/1996 tentang Jaminan Reklamasi Pasal 13 ayat 4
dan 5.
7 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1827 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kaidah Teknik Pertambangan Yang Baik, (Lampiran VI, D., 3., a., 1), g);
8 Ibid, (Lampiran VI, D., 3., a., 1), h);
9 Ibid, (Lampiran VI, D., 3., a., 1), f);
10 Ibid, (Lampiran VI, D., 5., a., 1), c);
11 Ibid, (Lampiran VI, D., 5., a., 1), e);
468
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
Pada jaminan reklamasi tahap operasi produksi mencakup, pertama, penempatan jaminan.
Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib menyediakan Jaminan
Reklamasi tahap Operasi Produksi sesuai dengan besarannya yang telah ditetapkan.12
Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi untuk periode 5 tahun pertama ditempatkan
seluruhnya untuk jangka waktu 5 tahun. Untuk 5 tahun berikutnya dapat ditempatkan seluruhnya
untuk jangka waktu 5 tahun atau setiap tahun, berdasarkan hasil evaluasi kinerja pengelolaan
lingkungan. Dalam hal umur kurang dari 5 tahun, Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi
disesuaikan dengan umur tambang. Bentuk Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi dapat
berupa13:
1. Rekening Bersama ditempatkan pada bank pemerintah di Indonesia a.n Dirjen/gubernur
dan pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi;
2. Deposito Berjangka ditempatkan pada bank pemerintah di Indonesia a.n Dirjen/gubernur
qq pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi;
3. Bank Garansi yang diterbitkan oleh bank pemerintah di Indonesia atau bank swasta
nasional di Indonesia;
4. Cadangan Akuntansi (Accounting Reserve), dapat ditempatkan apabila pemegang IUP
Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.
Kedua, pencairan Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi. Dirjen atas nama menteri atau
gubernur sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan pencairan atau pelepasan
jaminan reklamasi tahap operasi produksi setelah dilakukan penilaian pencairan dengan
melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan reklamasi tahap operasi produksi dan
peninjauan lapangan.14
Penilaian penentuan besaran pencairan atau pelepasan jaminan reklamasi tahap operasi
produksi ditentukan sebagai berikut15:
1. Paling banyak 60% dari besaran Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi apabila telah
selesai melaksanakan penatagunaan lahan;
2. Paling banyak 80% dari besaran jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi apabila telah
selesai melaksanakan kegiatan dan pekerjaan revegetasi;
3. 100% dari besaran jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi setelah kegiatan Reklamasi
tahap Operasi Produksi memenuhi penyelesaian akhir.
Dalam hal penilaian keberhasilan Reklamasi tahap Operasi Produksi belum mencapai 100%,
12 Ibid, (Lampiran VI, D., 3., a., 2), a).
13 Ibid, (Lampiran VI, D., 3., a., 2), g).
14 Ibid, (Lampiran VI, D., 5., a., 2), d).
15 Ibid, (Lampiran VI, D., 5., a., 3).
469
Membangun BPK Paripurna
besaran nilai pencairan atau pelepasan Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi disesuaikan
dengan hasil penilaian di lapangan. Besaran sisa jaminan reklamasi tahap operasi produksi yang
belum dapat dicairkan atau dilepaskan wajib ditempatkan kembali sebagai Jaminan Reklamasi
tahap Operasi Produksi.
Jaminan Pascatambang
Jaminan pascatambang adalah dana yang disediakan oleh Pemegang IUP atau IUPK sebagai
jaminan untuk melakukan kegiatan pascatambang.16 Jaminan pascatambang ditetapkan
sesuai dengan rencana pascatambang yang ditempatkan setiap tahun dalam bentuk deposito
berjangka pada bank pemerintah yang wajib terkumpul seluruhnya 2 tahun sebelum memasuki
pelaksanaan pascatambang.
Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib menyediakan jaminan pascatambang sesuai
dengan besaran jaminan pascatambang yang telah ditetapkan, dengan ditempatkan setiap
tahun dan dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya operasi produksi tahunan. Jaminan
pascatambang berupa deposito berjangka ditempatkan pada bank pemerintah di Indonesia
dalam bentuk mata uang rupiah atau dolar Amerika Serikat dengan jangka waktu penjaminan
sesuai dengan jadwal pascatambang.
Penempatan jaminan pascatambang tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP
atau IUPK Operasi Produksi untuk melaksanakan pascatambang. Kekurangan biaya untuk
menyelesaikan pascatambang dari jaminan yang telah ditetapkan, tetap menjadi tanggung
jawab pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi.17
Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan pascatambang. Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak
ketiga untuk melakukan pascatambang dengan dana jaminan, apabila pemegang IUP atau IUPK
tidak melaksanakan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui.18
Dalam hal hasil penilaian terhadap pelaksanaan pascatambang menunjukkan pascatambang
tidak memenuhi kriteria keberhasilan, menteri, gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat
menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan pascatambang sebagian atau seluruhnya
dengan menggunakan jaminan pascatambang.19 Dalam hal jaminan pascatambang tersebut
tidak menutupi untuk menyelesaikan pascatambang, kekurangan biaya untuk penyelesaian
pascatambang menjadi tanggung jawab pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi.20
16 Ibid, Pasal 1 Ayat (17)
17 Lampiran VI, 3. Jaminan Reklamasi Dan Jaminan Pascatambang a. Jaminan Reklamasi angka 12) dan 13)
18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, Pasal 100
19 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, Pasal 39
20 Ibid, Pasal 40
470
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
B. Pemeriksaan Jaminan Pertambangan yang Mendorong
Tercapainya S D G s
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs)
adalah pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat
secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan
sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup, serta
pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu
menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.
SDGs merupakan komitmen internasional untuk meningkatkan kualitas hidup dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, SDGs menjadi salah satu acuan
dalam pembangunan nasional dan daerah, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
Di tingkat nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-
2019 merupakan dokumen perencanaan untuk jangka menengah 5 tahun yang menjadi
acuan bagi setiap Kementerian/Lembaga (K/L) dalam menyusun Renstra K/L dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
SDGs merupakan komitmen global dan nasional dalam upaya untuk menyejahterakan
masyarakat mencakup 17 tujuan. Salah satu tujuan SDGs yang sesuai dengan kebijakan
RPJMN 2015-2019 adalah tujuan ke-15, yaitu menghentikan penggurunan; memulihkan
lahan dan tanah kritis termasuk lahan yang terkena penggurunan; kekeringan dan banjir;
serta berusaha mencapai dunia yang bebas dari lahan terdegradasi.
Salah satu bentuk pemulihkan lahan, tanah kritis, termasuk lahan yang terkena
penggurunan adalah dengan kegiatan reklamasi dan pascatambang atas setiap usaha
pertambangan. Perusahaan pemegang IUP dan IUPK wajib memberikan jaminan bahwa
setelah kegiatan pertambangan lahan dapat kembali seperti semula dan ekosistem dapat
berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
Reklamasi dan pascatambang merupakan upaya untuk mengembalikan kualitas
lingkungan hidup dan sosial masyarakat untuk menjaga kualitas hidup dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Salah satu upaya untuk menjaga kualitas hidup generasi selanjutnya
adalah dengan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan reklamasi dan pascatambang.
Jika penentuan sampel dan fokus pemeriksaan didasarkan pada nilai rupiah, maka
kecenderungan isu lingkungan dan sosial tidak akan terpilih dan tidak dijadikan fokus
pemeriksaan.21
21 Edward G. Hasiholan Simanjutak, Staf Ahli Bidang Lingkungan Hidup Dan Pembangunan Berkelanjutan BPK RI,
Pembangunan Berkelanjutan Dan Implikasi Pada Desain Serta Strategi Pemeriksaan Yang Efisien Dan Efektif Untuk
Dapat Mendorong Tercapainya Tujuan Negara.
471
Membangun BPK Paripurna
Sebagai bagian dari keuangan negara/daerah, BPK berwenang untuk memeriksa
pengelolaan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang tersebut. Tujuan pemeriksaan
jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang tersebut, untuk menilai apakah pengelolaan
atas jaminan reklamasi dan pascatambang telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dan menilai tingkat efektivitas pengelolaan jaminan reklamasi dan pascatambang serta
dalam neraca daerah dicatat sebagai aset lainya dan di sisi pasiva sebagai kewajiban.
C. Permasalahan dalam Pengelolaan Jaminan Pertambangan
Dalam mengungkap permasalahan-permasalah yang terjadi atas pengelolaan jaminan
pertambangan ini, mengambil studi kasus yang terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan
(Kalsel). Pemerintah Provinsi (Pemrpov) Kalsel telah mampu mendongkrak pengumpulan
dana jaminan reklamasi dari ratusan perusahaan tambang yang beroperasi.
Sejak kewenangan bidang pertambangan dilimpahkan dari kabupaten ke provinsi,
jumlah dana jaminan reklamasi yang berhasil ditarik dari perusahaan tambang meningkat
tajam hingga hampir 400%.22
Tercatat pada 2016, saat kewenangan jaminan reklamasi berada di kabupaten sebesar
Rp109,5 miliar dan US$565. Ditambah jumlah dana jaminan pascatambang sebesar
Rp7,69 miliar. Hingga akhir 2018, setelah kewenangan bidang Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) ini ada pada Pemprov Kalsel, jumlah dana jaminan reklamasi yang
berhasil dikumpulkan naik hingga Rp402 miliar dan US$2,2 juta. Sedangkan dana jaminan
pascatambang juga meningkat menjadi Rp13 miliar dan US$333.000.
Hasil pemeriksaan BPK sampai dengan 31 Desember 2018 menunjukkan bahwa jumlah
jaminan reklamasi dari 450 pemegang IUP sebesar Rp390,30 miliar dan US$2,24 juta.
Sedangkan jumlah jaminan pascatambang sebesar Rp13,09 miliar dan US$333,309.13 dari
33 IUP.
Nilai jaminan pertambangan tersebut adalah nilai penempatan awal, belum termasuk
bunga yang dikapitalisasi ke dalam rekening maupun bunga yang ditempatkan dalam
rekening penampungan yang dikelola oleh bank tempat penempatan.
Namun demikian, tindak lanjut rekomendasi atas temuan pemeriksaan terkait jaminan
pertambangan belum optimal, di antaranya, terdapat beberapa rekomendasi temuan yang
sampai saat ini masih berstatus belum selesai ditindaklanjuti dan belum ditindaklanjuti.
Dari empat Laporan Hasil Pemeriksaan dengan 8 rekomendasi, sebanyak 3 rekomendasi
telah ditindaklajuti, satu rekomendasi telah ditindaklanjuti tetapi belum selesai, 4
22 Denny S, “Kalsel Dongkrak Raihan Jaminan Reklamasi Tambang 400%”, diakses dari https://mediaindonesia.com/
read/detail/212330-kalsel-dongkrak-raihan-jaminan-reklamasi-tambang-400, pada Tanggal 23 Agustus 2019.
472
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
rekomendasi belum ditindaklanjuti, dan tidak ada rekomendasi yang tidak dapat
ditindaklanjuti.
Dari 8 rekomendasi tersebut, mengandung potensi kerugian sebesar Rp1,13 miliar
dengan tidak lanjut sebesar Rp49,61 juta atau 5% dan belum ditindaklanjuti sebesar Rp1,08
miliar atau 95%.
Data Jaminan Reklamasi Provinsi Kalimantan Selatan Per 31 Desember 2018
Jaminan Reklamasi Jaminan Pascatambang
No. KAB. Jml Jml
UP IUP
Rp US$ Rp US$
1 Tabalong 11 2.194.400.000,00 - -- -
2 Balangan 7 3.281.089.493,00 - 3 1.325.666.684,00 -
Hulu 9.576.103.110,00 - -- -
3 Sungai 2
Selatan
4 Tapin 28 64.828.802.148,00 1,679,159.48 1 - 49,964.13
5 Banjar 53 53.949.494.140,00 - 4 609.916.580,00 -
6 Tanah Laut 119 60.177.343.759,00 - 17 9.757.432.434,00 -
7 Tanah 179 164.152.495.814,00 - 3 325.000.000,00 283,345.00
Bumbu
8 Kotabaru 51 32.148.187.631,00 564,762.00 5 1.081.676.400,00 -
Jumlah 450 390.307.916.095,00 2,243,921.48 33 13.099.692.098,00 333,309.13
Permasalahan-permasalahan yang terjadi atas pengelolaan jaminan pertambangan
pada Pemprov Kalsel dapat dijabarkan, pertama, pemerintah daerah ( p e m d a ) belum
melakukan rekonsiliasi atas jaminan reklamasi dan pascatambang dengan bank
penyimpan jaminan.
Data yang tercatat pada pemerintah daerah adalah nilai pokok jaminan reklamasi dan
pascatambang. Data tersebut tidak dilakukan update atas bunga simpanan, sehingga
terjadi potensi penyimpangan atas nilai bunga yang ada.
473
Membangun BPK Paripurna
Kedua, IUP yang sudah habis masa berlaku tidak dicairkan dan IUP tanpa masa berlaku.
Data yang ada menunjukkan bahwa terdapat 141 IUP yang telah habis masa berlakunya,
tetapi sampai dengan akhir masa berlaku izin tersebut, Kuasa Pertambangan (KP) tidak
mencairkan jaminan dan terdapat 122 IUP yang tidak menunjukkan masa berlakunya. IUP
yang telah habis masa berlakunya tersebut terjadi sebelum adanya peralihan kewenangan
dari kabupaten ke provinsi, dimana sebagian besar alamat perusahaannya sudah tidak jelas.
Jumlah Perusahaan dengan IUP yang Telah Habis Masa Berlakunya dan
Perusahaan dengan IUP yang Tidak Menunjukkan Masa Berlaku
No. Uraian Jumlah Setoran Jaminan Setoran Jam.
Perusahaan Reklamasi P.tambang
(Rp) (Rp)
Perusahaan yang menempatkan
Jamrek & Habis Masa Berlaku s.d.
1 Tahun 2018 141 46.804.010.444,00 1.831.610.451,00
Perusahaan yang menempatkan
Jamrek tapi Tidak Ada Masa
2 Berlaku 122 8.557.382.885,00 -
Jumlah 263 55.361.393.329,00 1.831.610.451,00
Nilai jaminan reklamasi pada IUP yang habis masa berlakunya dinilai kecil, sehingga
apabila dicairkan untuk dilakukan reklamasi oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh Pemprov
Provinsi Kalsel kemungkinan besar terjadi kekurangan biaya reklamasi. Tapi, kekurangan ini
sulit dihitung dikarenakan biaya reklamasi diperhitungkan berdasar dokumen reklamasi
yang disusun oleh perusahaaan yang dievaluasi dan disetujui oleh Pempov Kalsel.
Ketiga, kekurangan penempatan jaminan reklamasi jaminan pascatambang. Hasil
pemeriksaan terkait rekapitulasi penetapan nilai jaminan pertambangan dengan
rekapitulasi penempatan jaminan pertambangan di bank, diketahui masih terdapat
kekurangan atas penempatan jaminan reklamasi sebesar Rp145,92 miliar dan jaminan
pascatambang sebesar US$3,872.37.
474
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
Kekurangan Penempatan Jaminan Reklamasi dan Jaminan Pascatambang
No. Lokasi Jumlah Kekurangan Jaminan Jumlah Kekurangan
Perusahaan Reklamasi (Rp) Perusahaan Jaminan
1 Kab.Banjar 12 29.173.653.627,00 0 0.00
5.785.866.688,00 0 0.00
2 Kab.Kotabaru 4 9.556.675.048,00 0 0.00
44.092.440.065,00 0 0.00
3 Kab.Tabalong 3 34.289.741.675,00 0 0.00
23.022.984.529,00 1 3,872.37
4 Kab.Tanah laut 14 145.921.361.632,00 1 3,872.37
5 Kab.Tanah 14
Bumbu
6 Kab.Tapin 5
Jumlah 52
Kekurangan penempatan jaminan reklamasi terjadi pada saat jaminan pertambangan
dikelola oleh kabupaten. Kekurangan penempatan jaminan reklamasi dapat diketahui dari
selisih nilai jaminan yang ditempatkan dengan nilai jaminan yang ditetapkan di dalam
persetujuan dokumen rencana reklamasi.
Keempat, perusahaan yang mencairkan/memindahkan bunga deposito atas jaminan
reklamasi dan jaminan pascatambang. Bunga deposito atas jaminan reklamasi dan
pascatambang sering dipindahbukukan setiap bulan ke rekening lain oleh perusahaan,
sehingga pada setiap akhir bulan, saldo rekening penampungan bunga atas deposito
menjadi nihil.
Hal ini terjadi karena pencairan bunga akibat dari penempatan jaminan reklamasi dalam
bentuk deposito berjangka yang ditempatkan tidak secara rinci diatur dalam ketentuan
peraturan perundangan-undangan.
D. Kesimpulan
Pemeriksaan atas jaminan reklamasi dan pascatambang adalah upaya untuk menjaga
kelestarian lingkungan dan menjaga keuangan negara yang bersumber dari jaminan
reklamasi dan pascatambang.
Lebih jauh adalah untuk mendukung program pemerintah tentang Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
475
Membangun BPK Paripurna
Pembangunan Berkelanjutan dan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2018 tentang Koordinasi, Perencanaan, Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan
Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Secara makro, pemeriksaan atas jaminan reklamasi dan pascatambang diharapkan
dapat mendorong tercapainya tujuan negara dalam memajukan kesejahteraan umum
sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan alinea IV UUD 1945.
Hal ini sejalan dengan visi BPK dalam Renstra 2016-2020 untuk menjadi pendorong
pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang
berkualitas dan bermanfaat.
Melihat kondisi dan hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan
sebelumnya, serta mempertimbangkan bahwa kondisi tersebut terjadi pada daerah di
Indonesia (penghasil tambang), perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh terkait reklamasi
dan pascatambang sebagai tematik lokal untuk memenuhi Renstra BPK 2020 – 2024, yang
dikoordinasikan dengan beberapa unit kerja pemeriksa terkait (AKN V, AKN VI, AKN IV,
Staf Ahli Bidang Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan). Hal ini berkaitan
erat dengan proses peralihan kewenangan bidang ESDM dari pemerintah kabupaten/kota
ke pemprov.
476
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi Dan Pascatambang
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1827 K/30/MEM/2018
tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan Yang Baik
Keputusan Dirjen Pertambangan Umum Noomor 336.K/271/DDJP/1996 tentang
Jaminan Reklamasi
BPK (2008). LHP Atas Pemeriksaan Pengendalian kerusakan Lingkungan Akibat
Kegiatan penambangan Batubara pada Pemerintah Kabupaten Tapin Nomor 1/S/
XIX.BJM/01/2008, 2 Januari 2008
BPK (2009). LHP Atas Pengelolaan Pertambangan Batubara Tahun Anggaran 2006
Dan 2007 Pada Kabupaten Tanah Bumbu Dan Perusahaan Pemegang Kuasa
Pertambangan Di Batulicin Nomor 10/LHP/XVII/02/2009, 23 Februari 2009
BPK (2009). LHP Atas Pengelolaan Pertambangan Batubara Tahun Anggaran 2006
Dan 2007 Pada Pemerintah Kabupaten Tanah Laut Dan Pemegang Kuasa
Pertambangan Di Pelaihari Nomor 12/LHP/XVII/02/2009, 23 Februari 2009
BPK (2018). LHP Atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan SelatanTahun
2017 Atas Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1.C/LHP/
XIX.BJM/05/2019, 25 Mei 2018
BPK (2019). LHP Atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun
2018 Nomor 1/LHP/XIX.BJM/05/2019, 20 Mei 2019
Edward G. Hasiholan Simanjutak, “Pembangunan Berkelanjutan Dan Implikasi Pada
Desain Serta Strategi Pemeriksaan Yang Efisien Dan Efektif Untuk Dapat
Mendorong Tercapainya Tujuan Negara”
Denny S, “Kalsel Dongkrak Raihan Jaminan Reklamasi Tambang 400%”, https://
mediaindonesia.com/read/detail/212330-kalsel-dongkrak-raihan-jaminan-
reklamasi-tambang-400”\h
https://www.uii.ac.id/ Penambangan Batu Bara Timbulkan Dampak Lingkungan Masif’
https://www.uii.ac.id/penambangan-batu-bara-timbulkan-dampak-lingkungan-masif/
https://www.academia.edu/11635720/Dampak_Pertambangan_Terhadap_Lingkungan
477
Membangun BPK Paripurna
Pemeriksaan Kinerja
atas Manajemen Aset
Tetap Pemda sebagai upaya
Penguatan Peran BPK
Perwakilan dalam
Mendorong Pencapaian
Visi BPK
Dadek Nandemar, S.E., M.I.T., Ak., CA., CFE, CSFA
(Kepala BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur)
A. Pendahuluan
Sebagai upaya meningkatkan peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam
pengelolaan keuangan negara yang mencapai tujuan bernegara, BPK menyusun Rencana
Strategis (Renstra) BPK RI 2016-2020 dengan visi “menjadi pendorong pengelolaan
keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang berkualitas
dan bermanfaat”.
Keuangan negara merupakan salah satu hal terpenting dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara dan memiliki manfaat guna mewujudkan tujuan negara yaitu
masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). BPK sebagai
lembaga tinggi negara yang bebas dan mandiri bertugas untuk memeriksa pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan negara guna mewujudkan tujuan negara tersebut.
Untuk mencapai visi tersebut, BPK mempunyai misi salah satunya yaitu memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri. Atas misi
tersebut, dituangkan lebih lanjut dalam dalam tujuan strategis, antara lain meningkatkan
manfaat hasil pemeriksaan dalam rangka mendorong pengelolaan keuangan negara
478
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
untuk mencapai tujuan negara (Tujuan Strategis 1). Pencapaian Tujuan Strategis ini akan
diwujudkan melalui peningkatan kualitas hasil pemeriksaan dan tingkat pemanfaatannya
oleh para pemangku kepentingan untuk pengambilan keputusan sesuai tugas dan
kewenangannya.
Sebagai upaya mencapai Tujuan Strastegis ini, BPK memfokuskan, antara lain, melalui
peningkatan pemeriksaan kinerja sehingga dapat serta memberikan telaah mendalam
(insight) dan pilihan masa depan (foresight ) atas kebijakan pemerintah.
Aset negara/daerah mempunyai peranan langsung untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut maka pengelolaan aset negara/daerah menjadi
salah satu prioritas pemerintah.
Usaha pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik dilakukan dengan
melaksanakan pengadaan aset berupa tanah dan infrastruktur yang terus meningkat dari
tahun ke tahun. Hal tersebut memberikan dampak konsekuensi semakin membengkaknya
anggaran belanja modal dan anggaran pemeliharaan.
Permasalahan yang sering muncul terkait pengadaan aset di antaranya, ketidaksesuaian
antara kebutuhan aset dengan pengadaannya tanpa memperhitungkan aset yang sudah
ada.
Permasalahan lain yang sering ditemui adalah banyaknya aset yang tidak digunakan
(idle), aset yang belum digunakan secara optimal untuk pelayanan (underused), serta
banyak aset belum digunakan sesuai dengan pemanfaatannya (underutilize).
BPK sebagai lembaga pemeriksa yang juga merupakan bagian integral dalam
ketatalembagaan negara dan turut berkontribusi dalam keberhasilan pembangunan
nasional berusaha untuk mengawal kebijakan dan strategi pemerintah selama lima tahun
ke depan melalui penilaian keberhasilan pemerintah dalam suatu tema besar Perekonomian
dan Keuangan Negara.
Terkait atas tema pemeriksaan ini, fokus pemeriksaan adalah pada dua program prioritas
pemerintah, yaitu Pelaksanaan Reformasi Keuangan Negara dan Peningkatan Efisiensi,
Produktivitas dan Daya Saing Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Fokus pemeriksaan akan diarahkan pada area-area kunci (key leverage) yang dapat
menghasilkan simpulan dan rekomendasi BPK untuk mendorong keberhasilan pemerintah
dalam pengelolaan keuangan negara.
Terkait dengan fokus pemeriksaan ini, maka tujuan pemeriksaan strategis tentatif
(tentative strategic audit objective) BPK antara lain menilai sistem, desain, perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban pengelolaan aset negara/daerah
(Renstra BPK RI 2016-2020, Hal 52).
479
Membangun BPK Paripurna
Pemeriksaan kinerja atas manajemen aset (tetap) atau pengelolaan Barang Milik Daerah
(BMD) diharapkan dapat melihat secara lebih utuh dan lebih menyeluruh atas permasalahan
aset tetap pemda, sehingga rekomendasi yang diberikan BPK dapat menguraikan dan
menyelesaikan permasalahan aset daerah.
Hal ini untuk memenuhi peran BPK RI sebagai insight yaitu memberikan pendapat
mengenai program-program, kebijakan, dan kinerja pemerintah dan menyarankan praktik
terbaik (best practices) untuk mencapai hasil yang bermanfaat bagi negara dan masyarakat.
B. Pembahasan
Konsekuensi logis dari pelaksanaan otonomi daerah adalah pemda bertanggungjawab
mengatur sumberdayanya. Termasuk bagaimana menyediakan dan mengoptimalkan
pemanfaatan aset daerah yang dimilikinya.
Sebagian besar pemda memiliki aset dengan jumlah cukup besar dibandingkan dengan
pendapatan asli daerahnya. Hal ini dikarenakan pemda diberikan kewenangan terbatas
untuk dapat memungut pajak, kewenangan pungutan pajak masih secara luas dikuasai
oleh pemerintah pusat.
Pada sisi lain, pemda diharuskan mengelola asetnya, mulai dari merencanakan,
mengadakan, menggunakan dan menghapuskan aset. Pemda mengalami kesulitan
mengelola asetnya secara optimal dengan dana yang terbatas, sehingga berdampak pada
rendahnya mutu pelayanan kepada masyarakat. Dengan dana terbatas ini, pemda harus
mengelola asetnya secara ekonomis, efisien dan efektif dengan tetap memenuhi pelayanan
kepada masyarakatnya sesuai kemampuan keuangan yang dimiliki.
Pada bagian ini akan diuraikan definisi aset tetap dan BMD, pengertian manajemen
aset, dan pemeriksaan kinerja manajemen aset tetap pada pemda. Pemeriksaan kinerja
aset tetap inilah yang diharapkan dapat memberikan solusi kepada pemda untuk dapat
mengelola asetnya secara ekonomis, efisien dan efektif.
Aset Tetap dan BMD
Terminologi “aset daerah” memiliki makna yang sama dengan BMD, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah, namun memiliki makna yang lebih sempit dari “kekayaan daerah”
dalam terminologi hukum dan mengandung makna yang lebih luas dari “aset tetap“ yang
biasa digunakan dalam terminologi akuntansi (Hadiyanto, 2009).
480
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
Menurut Pernyataan Standar Akuntasi Pemerintah (PSAP) 07 aset tetap adalah aset
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam
kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Aset tetap sering
merupakan suatu bagian utama aset pemerintah dan karenanya signifikan dalam penyajian
neraca.
Aset tetap di neraca diklasifikasikan menjadi akun Tanah; Peralatan dan Mesin; Gedung
dan Bangunan; Jalan, Irigasi, dan Jaringan; Aset Tetap Lainnya; dan Konstruksi Dalam
Pengerjaan (KDP). Permasalahan penyajian aset tetap dalam laporan keuangan pada intinya
akan terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu aset yang diketahui dan aset yang tidak diketahui.
1. Aset yang Diketahui
Aset yang Diketahui adalah aset yang diketahui baik secara administrasi pencatatannya
maupun fisik aset tersebut. Atas aset yang diketahui dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu pertama, Aset yang Dikuasai. Aset yang Dikuasai adalah aset yang berada dalam
penguasaan pemda. Aset ini didukung dengan terdaftar pada Kartu Inventaris Barang (buku
pembantu per jenis aset) Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sebagai buku dan termuat
dalam Kartu Inventaris Ruangan (terdapat pada ruangan gedung/bangunan) serta telah
dibubuhi kode inventaris pada masing-masing aset. Kondisi aset yang dikuasai dapat saja
layak digunakan, rusak ringan dan rusak berat. Apabila aset dalam kondisi rusak berat maka
dapat diusulkan untuk dihapuskan.
Kedua, Aset yang Tidak Dikuasai. Aset yang Tidak Dikuasai dapat berasal dari aset yang
sudah diserahkan dalam berita acara serah terima aset oleh Kabupaten Induk ke Kabupaten
Pemekaran, namun tetap dikuasai dan digunakan oleh Kabupaten Induk. Aset yang Tidak
Dikuasai dapat pula berasal dari adanya aset yang digunakan oleh pihak lain yang tidak
didukung dengan bukti pinjam pakai.
2. Aset yang Tidak Diketahui
Aset yang tidak diketahui adalah aset yang tercatat dalam laporan aset akan tetapi tidak
diketahui data lebih lanjut dan fisik atas aset tersebut. Aset yang Tidak Diketahui terbagi
menjadi dua jenis, yaitu Dapat Dihapuskan dan Belum Dapat Dihapuskan.
Aset yang Tidak Diketahui tersebut dipisahkan tahun pengadaannya. Apabila sudah
memasuki tahun penghapusan, maka aset tersebut dapat direklasifikasi ke aset lainnya.
Misalnya, untuk kendaraan bermotor adalah umur yang dapat dihapuskan enam tahun,
maka apabila tahun pemeriksaan laporan keuangan adalah tahun 2014, maka pengadaan
481
Membangun BPK Paripurna
kendaraan sampai dengan tahun 2008 dipisahkan dan dibuatkan daftar tersendiri.
Pengadaan aset sampai dengan tahun 2008 dapat direklasifikasi ke Akun Aset Lainnya.
Pengadaan aset tahun 2008 sampai dengan tahun 2014 merupakan Aset yang Hilang atau
Belum Dapat Dihapuskan dan dapat dilaporkan ke kepolisian.
Permasalahan penyajian aset tetap tersebut sebaiknya dituntaskan terlebih dahulu oleh
pemda sebagai langkah awal penerapan manajemen aset yang baik.
Kelompok Masalah Penyajian Aset Tetap
1. Manajemen Aset
Ada beragam definisi manajemen aset yang beredar di berbagai ranah bidang keilmuan.
Di antaranya, World Bank (2000) dalam Siregar (2004) mendefinisikan manajemen aset
sebagai suatu proses untuk perbaikan pemahaman kondisi aset, perbaikan biaya operasi
dan kinerja, yang membantu perbaikan dalam proses pengambilan keputusan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Lemer (2000) dalam Siregar (2004), ia mendefinisikan
manajemen aset sebagai proses menjaga atau memelihara dan memanfaatkan modal publik.
Fokus dari manajemen aset publik adalah pada pengambilan keputusan atas pembangunan,
penggunaan, pemeliharaan, perbaikan dan penghentian atau penggantian aset berupa
jalan, saluran air kotor (drainage) dan infrastruktur-infrastruktur lainnya. Tujuannya adalah
mencapai total pengembalian modal publik yang maksimal.
Pada sektor pelayanan publik, manajemen aset lebih banyak diterapkan dalam
pengelolaan infrastruktur jaringan seperti jalan, gedung, saluran air kotor (drainage), dan
aset tetap lainnya.
Berikut ini diuraikan beberapa contoh sukses penerapan manajemen aset:
1. Manajemen Aset Infrastruktur Saluran Air Kotor (Drainage) dan Gorong-gorong
(Culverts) di US Tahun 2008 (Najafi, dkk., 2008);
2. Manajemen Aset Infrastruktur Bangunan di Adelaide oleh Adelaide City Council, Tahun
2008;
3. Manajemen Aset Infrastruktur Jalan di Australia dan Selandia Baru, hasil hubungan
kooperatif dua negara tersebut; dan
4. Manajemen Aset Infrastruktur Jalan di Inggris oleh Highway Agency, UK Department of
Transport.
Lahirnya tiga paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara menjadi lokomotif bagi
perubahan paradigma manajemen aset negara/daerah. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara merupakan payung hukum tertinggi yang mengatur mengenai
482
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
fungsi pengelolaan barang milik negara/daerah sebagai bagian dari lingkup perbendaharaan
negara/daerah.
Lahirnya PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
(BMN/D) yang diamanatkan oleh UU Nomor 1 Tahun 2004, telah terjadi perubahan
paradigma dari “penatausahaan barang milik/kekayaan negara” menjadi “pengelolaan
barang milik negara/daerah atau BMN/D”.
Perubahan tersebut mencakup antara lain, lingkup pengelolaan yang luas dimulai
dari perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penatausahaan,
penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan,
pemindahtanganan, pemusnahan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian, Tuntutan
Ganti Rugi (TGR) dan sanksi.
Lingkup pengelolaan tersebut termuat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia (Permendagri) Nomor 19 tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang
Milik Daerah yang kemudian dikenal sebagai Siklus Pengelolaan Barang Milik Daerah/Aset
Daerah.
2. Siklus Pengelolaan Barang Milik Daerah/Aset Daerah
Siklus aset dimulai dari perencanaan kebutuhan dan penganggaran sampai dengan
pemusnahan aset, di mana fungsi pembinaan, pengawasan dan pengendalian berada
dalam setiap tahap dari siklus tersebut. Dalam pengelolaan aset dapat saja terjadi tuntutan
ganti rugi atas aset yang hilang atau tidak sesuai dengan kontrak pengadaan.
3. Pemeriksaan Manajemen Aset Tetap Pemda
Sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK memiliki kewenangan antara lain untuk melakukan
pemeriksaan kinerja.
Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri
atas pemeriksaan aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Dalam melakukan pemeriksaan
kinerja, pemeriksa juga menguji sistem pengendalian intern serta kepatuhan terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Renstra BPK RI 2016-2020 menetapkan fokus pemeriksaan antara lain atas Pelaksanaan
Reformasi Keuangan Negara yang memiliki tujuan pemeriksaan strategis tentatif (tentative
strategic audit objective), yaitu selain menilai sistem, desain, perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pertanggungjawaban pemungutan perpajakan.
483
Membangun BPK Paripurna
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah, belanja negara/daerah dan subsidi;
serta pengelolaan utang negara, juga menilai sistem, desain, perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pertanggungjawaban pengelolaan aset negara/daerah.
Berdasarkan Renstra BPK tersebut, kemudian dirancang tujuan, sasaran, objek, dan
alasan pemeriksaan kinerja manajemen aset tetap pemda berikut ini.
1. Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan kinerja manajemen aset tetap pemda adalah untuk menilai aspek
ekonomi, efisiensi dan efektivitas atas sistem, desain, perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pertanggungjawaban pengelolaan/manajemen aset tetap pemda.
2. Sasaran Pemeriksaan
Pemeriksaan kinerja manajemen aset tetap pemda meliputi pengujian atas
Siklus Pengelolaan Barang Daerah/Aset Daerah yang terdiri dari: 1) perencanaan
kebutuhan dan penganggaran; 2) pengadaan; 3) penatausahaan; 4) pengadaan;
5) pemanfaatan; 6) pengamanan dan pemeliharaan; 7) penilaian; 8) penghapusan;
9) pemindahtanganan; 10) pemusnahan; 11) pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian; 12) Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dan sanksi.
3. Objek Pemeriksaan
Adapun objek pemeriksaan dapat di pilih salah satu jenis aktiva tetap, misalnya atas
fasilitas jalan atau jembatan atau dapat di pilih salah satu unit pelayanan misalnya
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) atau Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
4. Alasan Pemeriksaan
Beberapa identifikasi permasalahan barang milik daerah atau aset (tetap) yang
sering ditemukan berdasarkan elemen siklus pengelolaan barang milik daerah dapat
dijadikan alasan pemeriksaan.
484
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
Lampiran Daftar Identifikasi Permasalahan Aset Tetap Daerah
Berdasarkan Siklus Aset/BMD
(1) Perencanaan kebutuhan dan penganggaran
a. Proses penyusunan anggaran tidak berdasarkan rencana kebutuhan barang unit dan
rencana kebutuhan pemeliharaan barang unit;
b. Perencanaan menyesuaikan dengan ketersediaan anggaran;
(2) Pengadaan
a. Pengadaan tidak sesuai volume dan spesifikasi teknis dalam kontrak;
b. Pengadaan barang tidak sesuai dengan perencanaan;
(3) Penatausahaan
a. Pencatatan aset belum dilakukan atau tidak akurat;
b. Aset tidak didukung dengan data yang andal;
c. Perbedaan nilai aset pada neraca dengan Kartu Inventaris Barang (KIB);
(4) Penggunaan
a. Aset yang tidak digunakan (idle);
b. Aset yang belum digunakan secara optimal untuk pelayanan (underused);
(5) Pemanfaatan
a. Pemanfaatan Aset belum optimal bagi pemasukan daerah;
b. Aset belum digunakan sesuai dengan pemanfaatannya (underutilize).
c. Rendahnya fungsi manfaat aset;
(6) Pengamanan dan pemeliharaan
a. Aset tidak diketahui keberadaannya;
b. Aset berupa tanah belum bersertifikat;
c. Aset dikuasai pihak lain;
d. Pinjam pakai bangunan dan kendaraan tanpa persetujuan;
(7) Penilaian
a. Tanah tidak memiliki nilai atau Rp 0;
b. Aset gelondongan atau tidak dapat ditelusuri nilai dari masing-masing aset;
(8) Penghapusan
a. Aset yang sudah layak untuk dihapuskan, namun belum dihapuskan;
b. Barang yang sudah tidak ada fisiknya, namun belum dihapuskan;
(9) Pemindahtanganan
a. Penjualan kendaraan dinas merugikan daerah;
b. Aset atau barang milik daerah yang dikuasai oleh pemerintah pusat belum
diserahterimakan
(10) Pemusnahan
a. Penghapusan aset tidak ditindaklanjuti dengan pemusnahan;
b. Pelaporan pemusnahan barang tidak dibuat.
485
Membangun BPK Paripurna
Pemeriksaan kinerja manajemen aset tetap pada dasarnya akan melihat empat fungsi
manajemen Planning, Organizing, Actuating, Controlling (POAC) tanpa meninggalkan 12
tahapan dalam siklus pengelolaan BMD sesuai Permendagri Nomor 19 Tahun 2016.
12 tahapan pengelolaan BMD diklasifikasikan ke dalam empat fungsi manajemen
POAC yaitu planning (perencanaan kebutuhan dan penganggaran), organizing, actuating
(pengadaan, penatausahaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan,
penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, dan pemusnahan) dan tahap pengawasan
dan pengendalian serta ganti rugi dan sanksi dapat dimasukkan sebagai fungsi controlling.
Pada tiap fungsi POAC akan dilihat dan dianalisis untuk membandingkan antara ketentuan
yang berlaku (kriteria) dengan realisasi pengelolaan yang dijalankan (gap analysis).
Dari analisis ini akan menghasilkan beberapa alternatif kebijakan dan strategi untuk
perbaikan manajemen aset. Selanjutnya dirumuskan rekomendasi yang diharapkan akan
menguatkan manajemen aset tetap di mana pada akhirnya mendukung terciptanya
perbaikan tata kelola (reformasi) keuangan negara/daerah di lingkungan pemda.
C. Kesimpulan
Visi yang ingin dicapai oleh BPK sesuai Renstra BPK 2016-2020 adalah “menjadi
pendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui
pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat”. Pemeriksaan kinerja atas manajemen
aset tetap pemda merupakan salah satu cara mewujudkan visi BPK tersebut. Pemeriksaan
kinerja atas manajemen aset tetap pemda dirancang sebagai jawaban atas permasalahan
aset yang dihadapi oleh pemda.
Pemeriksaan kinerja atas manajemen aset tetap ini diharapkan dapat memberikan telaah
mendalam (insight) atas fungsi manajemen aset tetap atau pengelolaan BMD di pemda
untuk dapat memberikan masukan sebagai upaya perbaikan pengelolaan manajemen aset
tetap pemda. Selaian itu dengan adanya telaah mendalam (insight) ini akan menguatkan
peran kepala perwakilan di mata para pemda.
486
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
Daftar Pustaka
Baird, G. (2011). “Defining Public Asset Management for Municipal Water Utilities”. Journal
American Water Works Association May 2011, 103:5:30, wwww.awwa.org.
BPK RI. 2015. Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 7/K/I-
XIII.2/12/2015 tentang Rencana Strategis Badan Pemeriksa Keuangan Tahun
Anggaran 2016 sampai dengan Tahun Anggaran 2020. BPK RI, 2015.
Hadiyanto. (2009). Strategic Asset Management : Kontribusi Pengelolaan Aset Negara Dalam
Mewujudkan APBN yang Efektif dan Optimal. In Era Baru Kebijakan Fiskal : Pemikiran,
Konsep, dan Implementasi. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Kemendagri. 2016. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 19 tahun
2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Park, S., Park, S. I., dan Lee, S.-H. (2016). Strategy on sustainable infrastructure asset
management: Focus on Korea†׳s future policy directivity. Renewable and Sustainable
Energy Reviews, 62, 710-722.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah.
Siregar, Doli D. (2004) Manajemen Aset, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
487
Membangun BPK Paripurna
Upaya Mendorong
Pemerintah Daerah
dalam Rangka Meningkatkan
Akuntabilitas Pengelolaan
Keuangan Daerah
Thomas Ipoeng Andjar Wasita S.E., M.M. , CSFA
(Kepala BPK Perwakilan Provinsi Riau)
A. PENDAHULUAN
Sebagai salah satu lembaga negara yang dibentuk dan diatur di dalam Undang Undang
Dasar (UUD) 1945, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bersama dengan lembaga negara lain
memiliki tugas untuk mendorong pencapaian tujuan negara seperti yang tercantum dalam
Pembukaan UUD tersebut. Hal ini dilakukan BPK melalui pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri.
Untuk menjalankan tugas tersebut, Pasal 23 E, F dan G UUD 1945 menetapkan mandat
BPK tersebut. Selanjutnya, Undang-Undang (UU) di bidang keuangan negara (2003-
2004) mengatur mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta
pemeriksaannya oleh BPK yang secara kelembagaannya diatur dalam UU Nomor. 15 Tahun
2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam rangka mendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara
serta dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sesuai ketentuan perundang-undangan
tersebut di atas, BPK menyusun Rencana Strategis (Renstra). Renstra BPK digunakan sebagai
rencana lima tahunan BPK untuk mencapai visi dan melaksanakan misi dengan tujuan dan
sasaran strategis, serta arah kebijakan, disertai dengan indikator-indikator pengukurannya.
Pada tahun 2019 ini, renstra yang berlaku di BPK adalah Renstra 2016-2020. Namun
demikian, dalam rangka penyesuaian dan penyelarasan dengan periode Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), maka dilakukan percepatan periode
Renstra 2016-2020 menjadi 2016-2019 (Sidang BPK, 9 Januari 2019). Dengan demikian,
tahun 2019 ini adalah tahun terakhir periode Renstra 2016-2020.
488
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
Berdasarkan Renstra BPK 2016-2020, BPK menetapkan visi sebagai berikut ”Menjadi
pendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui
pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat”.
Sedangkan misi yang ditetapkan adalah (1) Memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri; (2) Melaksanakan tata kelola organisasi
yang berintegritas, independen, dan profesional.
Pencapaian visi dan pelaksanaan misi tersebut dilakukan dengan dua tujuan strategis,
yaitu (1) Meningkatkan manfaat hasil pemeriksaan dalam rangka mendorong pengelolaan
keuangan negara untuk mencapai tujuan negara; (2) Meningkatkan pemeriksaan yang
berkualitas dalam mendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan
negara.
Dalam rangka mencapai visi, misi, dan tujuan strategis tersebut, BPK juga menetapkan
tiga nilai dasar sebagai landasan etika, yaitu Integritas, Independensi, dan Profesionalisme.
Visi BPK tersebut mengandung arti bahwa pemeriksaan BPK akan memastikan
bahwa seluruh pengelola keuangan negara telah menyusun dan melakukan program/
kegiatan pembangunan yang langsung berhubungan dengan pencapaian tujuan negara.
Pencapaian visi tersebut akan ditandai dengan meningkatnya manfaat hasil pemeriksaan
dan meningkatnya pemeriksaan yang berkualitas dalam mendorong pengelolaan
keuangan negara untuk mencapai tujuan negara.
Visi BPK yang menyatakan “menjadi pendorong” menuntut BPK agar mampu
merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan terhadap objek pemeriksaan yang memang
perlu diperiksa dan memberikan rekomendasi yang efektif dalam rangka meningkatkan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
Penetapan Renstra dan visi BPK tersebut, didasari oleh Model Kematangan Lembaga
Pemeriksa (the Accountability Organization Maturity Model) yang dikembangkan oleh
organisasi lembaga pemeriksa sedunia (INTOSAI). Kematangan lembaga pemeriksa dalam
model tersebut sejalan dengan peran yang dilakukan, yaitu oversight, insight, dan foresight.
Dari penjabaran peran di atas, saat ini BPK sudah melingkupi empat lapis pertama
(fungsi oversight), meskipun masih banyak di tiga lapis terbawah. Untuk pemenuhan atas
dua lapis teratas, fungsi insight sudah mulai dilakukan melalui pemeriksaan tematik dan
investigatif atas kebijakan dan isu nasional. Namun, untuk fungsi foresight belum ada
output yang dihasilkan BPK.
Sesuai dengan kewenangannya, maka pemeriksaan BPK dapat mencakup pemeriksaan
keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Agar mampu
489
Membangun BPK Paripurna
menjalankan fungsi insight dan foresight, maka BPK harus meningkatkan pelaksanaan
pemeriksaan kinerja, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Fungsi oversight selama
ini sudah banyak dilakukan oleh BPK melalui pemeriksaan keuangan dan PDTT, khususnya
terkait dengan upaya untuk menjamin terlaksananya akuntabilitas dan meningkatkan
transparansi.
Terciptanya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara
dapat dapat diukur melalui opini atas laporan keuangan pemerintah. Hasil pemeriksaan
BPK atas Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) dalam periode 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa entitas
yang memperoleh opini WTP mengalami peningkatan. Hasil pemeriksaan BPK atas LKKL
menunjukkan bahwa pada tahun 2014 sebanyak 62 KL mendapat opini WTP, sedangkan
pada tahun 2018 sebanyak 82 KL mendapat opini WTP, sehingga terdapat peningkatan
sebanyak 20 KL atau 32%. Sedangkan untuk hasil pemeriksaan LKPD menunjukkan bahwa
pada tahun 2014 sebanyak 252 pemda mendapat opini WTP dan pada tahun 2018 sebanyak
443 pemda mendapat opini WTP, sehingga terdapat peningkatan sebanyak 191 pemda
atau 76%.
Peningkatan jumlah opini WTP tersebut tidak terlepas dari peran BPK yang dijalankan
selama ini, khususnya dengan penerapan visi dalam Renstra BPK yaitu Menjadi pendorong
pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang
berkualitas dan bermanfaat. Meningkatnya jumlah opini WTP tidak boleh menyurutkan
peran BPK untuk terus mendorong pemerintah dalam rangka peningkatan pengelolaan.
Tulusan ini akan mencoba membahas bagaimana upaya yang dilakukan BPK Perwakilan
Provinsi Riau dalam rangka mengimplementasikan visi BPK, khususnya dalam periode dua
tahun terakhir.
B. PERMASALAHAN DAN KENDALA PEMDA
Agar mampu menjalankan peran sebagai pendorong dalam pengelolaan keuangan
negara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, khususnya dalam penatausahaan dan
pelaporan keuangan pemerintah daerah, maka hal terpenting dan terutama yang harus
dilakukan oleh BPK Perwakilan Provinsi Riau adalah mengenali permasalahan dan kendala
yang dihadapi pemda dalam penatausahaan dan pelaporan keuangan daerah.
Berdasarkan inventarisasi dan identifikasi hasil pemeriksaan LKPD dua tahun terakhir,
maka permasalahan yang sering terjadi dan masih berpotensi untuk terjadi dalam penatau-
sahaan LKPD adalah sebagai berikut.
490
|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah
Pertama, basis akrual belum diterapkan secara konsisten. Sesuai dengan PP 71 Ta-
hun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, maka pemerintah pusat dan pemer-
intah daerah harus menerapkan akuntansi basis akrual secara penuh mulai tahun 2015.
Meskipun sudah diterapkan selama empat tahun, hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Provin-
si Riau atas LKPD tahun 2018 menunjukkan bahwa seluruh pemda di lingkungan Provinsi
Riau belum menerapkan basis akrual secara penuh dan konsisten. Aplikasi keuangan yang
digunakan pemda belum sepenuhnya mengakomodasi semua transaksi akrual.
Kedua, kapitalisasi aset belum diterapkan secara konsisten. Dalam akuntansi ba-
sis akrual, pemda harus melakukan perhitungan penyusutan aset tetap. Selain itu, apabila
terdapat biaya rehabilitasi yang menambah masa manfaat suatu aset, maka biaya rehabil-
itasi tersebut harus ditambahkan atau dikapitalisasi terhadap nilai induk aset tetap yang
bersangkutan. Hasil pemeriksaan LKPD tahun 2018 menunjukkan bahwa belum seluruh
pemda di lingkungan Provinsi Riau menerapkan kapitalisasi aset tetap tersebut. Biaya reha-
bilitasi yang seharusnya menambah nilai asset induk, masih ada yang dicatat terpisah dari
asset induk.
Ketiga, banyak aset yang menjadi hak pemda yang belum dicatat dan disajikan
di neraca. Berdasarkan hasil pemeriksaan LKPD tahun 2017, BPK Perwakilan Provinsi Riau
menemukan bahwa hampir seluruh pemda belum melakukan pencatatan dan penilaian
atas aset tetap tanah di bawah jalan, irigasi dan jaringan.
Selain itu diketahui pula bahwa pemda juga belum melakukan inventarisasi terhadap
kewajiban para pengembang perumahan yang harus menyediakan dan menyerahkan
tanah sebagai prasarana dan sarana umum (PSU) yang meliputi jalan lingkungan, taman,
tanah untuk bangunan sarana ibadah, dll. Hal ini sebagaimana diatur dalam Permendagri
No. 9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan
dan Permukiman di Daerah.
Keempat, pelampauan anggaran tidak didukung dengan Perda APBD/APBD-P.
Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, APBD merupakan
wujud pengelolaan keuangan daerah yang dutetapkan setiap tahun dengan Peraturan
Daerah (Perda). Ini berarti APBD harus dibahas dan disetujui oleh DPRD. Jumlah anggaran
belanja yang ditetapkan dalam APBD merupakan batas tertinggi yang tidak boleh
dilampaui. Namun, hasil pemeriksaan LKPD 2018, BPK Perwakilan Provinsi Riau masih
menemukan pemda yang melaksanakan pengeluaran belanja yang tidak didukung dengan
perda sebagai bentuk persetujuan dan pengesahan DPRD.
491
Membangun BPK Paripurna
Permasalahan tersebut di atas dapat secara signifikan memengaruhi kewajaran penyajian
LKPD. Ada beberapa penyebabnya. Berdasarkan pengamatan selama penugasan di BPK
Perwakilan Provinsi Riau diketahui pemda menghadapi beberapa permasalahan yang secara
langsung maupun tidak langsung menjadi kendala dalam penyusunan LKPD berikut ini.
pertama, keterbatasan SDM yang memahami akuntansi. Hampir seluruh pemda
menghadapi masalah ini. Syarat mutlak yang diperlukan agar pemda dapat menyusun LKPD
adalah tersedianya SDM yang memahami akuntansi. Pada kenyataannya, saat ini banyak
pemda di Provinsi Riau yang belum didukung dengan tenaga akuntansi yang memadai.
Secara kelembagaan, sebenarnya sudah memadai karena terdapat posisi jabatan kepala
bidang akuntansi pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Namun,
tidak semua posisi kabid akuntansi dijabat oleh PNS yang berlatar belakang pendidikan
akuntansi. Dari 13 BPKAD Provinsi/Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Riau, hanya 7 BPKAD
yang memiliki kabid akuntansi yang berlatar belakang pendidikan akuntansi. Rincian latar
belakang kabid akuntansi masing-masing BPKAD.
Jumlah PNS yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi juga masih sangat terbatas.
Dari total 903 orang PNS yang ditempatkan di 13 BPKAD Provinsi/Kabupaten/Kota yang ada
di Provinsi Riau, hanya 147 orang PNS atau 16% yang memiliki latar belakang pendidikan
akuntansi. Bahkan ada BPKAD kabupaten yang hanya memiliki 1 orang PNS berlatar belakang
pendidikan akuntansi. Data rincian latar belakang pendidikan akuntansi PNS pada masing-
masing BPKAD disajikan dalam tabel 2. Tenaga akuntansi yang dimiliki pemda saat ini lebih
banyak dipenuhi melalui outsourcing dan/atau perekrutan tenaga kontrak.
kedua, komitmen pimpinan. Kepala daerah sebagai pimpinan pemda memiliki faktor
penting, bahkan bisa menjadi faktor utama yang dapat memengaruhi keberhasilan pemda
dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah
diperlukan peraturan dan keputusan yang harus ditetapkan oleh kepala daerah. Permasalahan
yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah seringkali harus melibatkan kepala
daerah. Apabila terdapat permasalahan yang berkaitan dengan keterbatasan SDM, perlunya
penggunaan fasilitas teknologi informasi, atau kelemahan dalam kelembagaan, maka
komitmen seorang kepala daerah sangat diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut.
ketiga, pengaruh proses politik. Dinamika politik yang terjadi di suatu daerah,
mau tidak mau sangat memengaruhi jalannya pemerintahan di suatu daerah, yang pada
akhirnya juga akan memengaruhi kegiatan pengelolaan keuangan pemda. Hubungan yang
tidak harmonis kepal akan memengaruhi kegiatan pemerintahan di daerah. Komunikasi
yang efektif antara kepala daerah dan DPRD diperlukan dalam proses pembahasan dan
492