The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Teguh Siswanto, 2020-02-19 09:28:49

BUKU 2 - MEMBANGUN BPK PARIPURNA

BUKU 2 - MEMBANGUN BPK PARIPURNA

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Diresumekan dari Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2018, hlm 202

543

Membangun BPK Paripurna

Lemahnya pembinaan dan pengendalian tersebut terbukti mengakibatkan
penyimpangan pengelolaan keuangan desa yang mengakibatkan kerugian negara.
Pemeriksaan Kinerja Efektivitas Pembangunan Desa Tahun Anggaran (TA) 2017-Semester
I tahun 2018 di Pemerintah Kabupaten Barito Timur Kalimantan Tengah mengungkapkan
bahwa keuangan desa belum sepenuhnya dikelola dengan tertib.

Terdapat indikasi penggunaan uang tunai di luar mekanisme Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa (APBDes) minimal sebesar Rp1,36 miliar, antara lain merupakan
penarikan uang tunai atas pekerjaan yang tidak dilaksanakan. Selain itu, terdapat uang
tunai atas pajak yang belum disetor sebesar Rp323,82 juta.

Mengingat pembinaan dan pengawasan pusat dan daerah tidak optimal, maka tidak
menutup kemungkinan permasalahan tersebut juga terjadi di daerah lainnya. Nilai uang
yang telah dikucurkan ke desa tidak sedikit. Pemerintah telah menggelontorkan DD sebesar
Rp187 triliun dalam waktu empat tahun. Nilai tersebut belum memperhitungkan ADD yang
besarnya 10% dari dana perimbangan pusat ke kabupaten/kota, setelah dikurangi Dana
Alokasi Khusus (DAK) dan bagi hasil pajak dan retribusi daerah.

Untuk menjamin pemulihan kerugian negara dalam hal ini kerugian desa, maka
kerugian desa perlu diproses sesuai peraturan yang berlaku. Masalahnya, penyelenggara
pemerintahan desa tidak dimasukan dalam subjek penanggung jawab kerugian negara,
sehingga penyelesaian kerugian desa sampai saat ini masih mengandalkan Aparat Penegak
Hukum (APH) melalui proses pidana.
544

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Penyelenggara
Pemerintahan Desa

Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengatur
bahwa setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum
atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.

Ketentuan tersebut dapat berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindakan melanggar
hukum atau kelalaian (frasa “seseorang”). Tapi, UU Nomor 1 Tahun 2004 hanya mengatur
mengenai penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara dan pegawai
negeri bukan bendahara dan pejabat lain. Pengenaan ganti kerugian terhadap bendahara
ditetapkan oleh BPK dan terhadap pegawai negeri bukan bendahara/pejabat lain
ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota.

Rincian mengenai siapa yang dimaksud pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat
lain diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara Atau
Pejabat Lain. Pegawai negeri bukan bendahara adalah pegawai ASN, anggota TNI dan Polri
yang bekerja/diserahi tugas selain tugas perbendaharaan. Sedangkan pejabat lain adalah
pejabat negara dan pejabat penyelenggara pemerintahan yang tidak berstatus pejabat
negara, tidak termasuk bendahara dan Pegawai Negeri Bukan Bendahara.

Dalam penjelasan Pasal 2 PP Nomor 38 Tahun 2016, disebutkan bahwa pejabat
penyelenggara pemerintahan yang tidak berstatus pejabat negara adalah ketua dan
anggota DPRD sebagai pejabat daerah serta pimpinan dan anggota lembaga nonstruktural
yang dibiayai APBN/APBD.

Permendagri Nomor 133 Tahun 2018 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Daerah
Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara Atau Pejabat Lain merinci pejabat lain sebagai
Pimpinan dan Anggota DPRD serta pimpinan dan anggota lembaga nonstruktural yang
dibiayai APBD. Dengan demikian, maka Kepala Desa dan Perangkat Desa tidak disebutkan
secara tegas dan jelas sebagai subjek penanggung jawab kerugian negara.

Hal ini menimbulkan kekosongan hukum terkait penyelesaian ganti kerugian negara
terhadap penyelenggara pemerintahan desa bilamana penyelenggara pemerintahan desa
melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian desa. Sampai saat ini,
penyelesaian kerugian terhadap penyelenggara pemerintahan desa masih mengandalkan
proses pidana. Sedangkan tidak semua kerugian desa diakibatkan oleh tindak pidana, dan
tidak semua tindak pidana dapat diketahui atau diproses oleh aparat penegak hukum.

545

Membangun BPK Paripurna

Kedudukan kepala desa dan perangkat desa adalah pejabat pemerintahan yang tidak
berstatus sebagai pejabat negara maupun ASN. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan
kerugian negara terhadap kepala desa dan perangkat desa yang melakukan perbuatan
melawan hukum sehingga mengakibatkan kerugian negara dhi kerugian desa, maka frasa
“pejabat lain” perlu diperluas atau ditambahkan dengan kepala desa dan perangkat desa.
Dengan demikian, maka tata cara penyelesaian ganti kerugian negara terhadap kepala
desa dan perangkat desa dapat mengikuti mekasnisme yang diatur dalam PP Nomor 38
Tahun 2016.

Sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2016, atasan
langsung memverifikasi informasi kerugian negara/daerah dan melaporkannya kepada
Pejabat Penyelesai Kerugian Daerah (PPKD) dalam hal ini, kepala daerah.

Jika subjek penanggung jawab kerugian adalah perangkat desa, maka kepala desa yang
memverifikasi dan melaporkan ke kepala daerah. Jika subjek penanggung jawab kerugian
adalah kepala desa, maka kepala daerah dapat menugaskan Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah untuk memverifikasi.

Kepala daerah dalam hal ini merupakan atasan langsung kepala desa karena kepala
desa memiliki kewajiban pelaporan kepada kepala daerah sesuai dengan Pasal 27 UU
Nomor 6 Tahun 2014. Setelah menerima laporan verifikasi, PPKD dapat menugaskan Tim
Penyelesaian Kerugian Daerah (TPKD) untuk melakukan pemeriksaan. Selanjutnya, proses
berjalan sesuai mekanisme yang diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2016. Karena telah
menyelenggarakan pengelolaan keuangan mandiri, maka uang ganti kerugian negara
disetor langsung ke kas desa.

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan
pemulihan kerugian negara dalam hal ini kerugian desa, pertama, Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) merevisi Permendagri Nomor 133 Tahun 2018, khususnya
menambahkan “kepala desa dan perangkat desa” dalam pengertian pejabat Lain.

Kedua, pemda menerbitkan peraturan kepala daerah yang mengatur lebih lanjut
mengenai tata cara pelaksanaan penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Daerah dan
menambahkan “kepala desa dan perangkat desa” dalam pengertian pejabat Lain.

Ketiga, pemerintah daerah segera melakukan tuntuan ganti kerugian terhadap
kepala desa dan perangkat desa yang melakukan perbuatan melawan hukum sehingga
mengakibatkan kerugian negara dhi kerugian desa sesuai dengan mekanisme PP Nomor
38 Tahun 2016.

546

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

E. Penutup
Simpulan
Penyelenggara pemerintahan desa sebagai pengelola keuangan desa merupakan

subjek pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Setiap kerugian yang
timbul akibat perbuatan melawan hokum, baik sengaja atau lalai, yang dilakukan oleh
penyelenggara pemerintahan desa harus dipulihkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Lemahnya pembinaan dan pengendalian pengelolaan keuangan desa terbukti dapat
mengakibatkan penyimpangan atas pengelolaan keuangan desa yang mengakibatkan
kerugian negara. Namun, mekanisme penyelesaian ganti kerugian terhadap penyelenggara
pemerintahan desa belum diatur. PP Nomor 38 Tahun 2016 dan Permendagri Nomor
133 Tahun 2018 tidak mencantumkan kepala desa dan perangkat desa sebagai subjek
penanggung jawab kerugian negara

Kepala desa dan perangkat desa menyelenggarakan urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan NKRI, sehingga dapat
dikatakan menjalankan fungsi pemerintahan sesuai kewenangannya.

Kedudukan kepala desa dan perangkat desa adalah sebagai badan atau pejabat
pemerintahan yang tidak berstatus pejabat negara maupun ASN. Untuk menyelesaikan
kerugian negara terhadap kepala desa dan perangkat desa yang melakukan perbuatan
melawan hukum sehingga mengakibatkan kerugian, maka frasa “pejabat lain” dapat
diartikan termasuk juga kepala desa dan perangkat desa. Dengan demikian, maka tata cara
penyelesaian ganti kerugian negara terhadap kepala desa dan perangkat desa mengikuti
mekanisme yang diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2016.

Saran
Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan

pemulihan kerugian negara dalam hal ini kerugian desa, pertama, Kemendagri merevisi
Permendagri Nomor 133 Tahun 2018 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Daerah
Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara dan Pejabat Lain, khususnya menambahkan
“kepala desa dan perangkatd Desa” dalam pengertian pejabat lain.

Kedua, pemda menerbitkan peraturan kepala daerah yang mengatur lebih lanjut
mengenai tata cara pelaksanaan penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Daerah dan
menambahkan “kepala desa dan perangkat desa” dalam pengertian pejabat lain.

547

Membangun BPK Paripurna
Ketiga, pemerintah daerah segera melakukan tuntuan ganti kerugian terhadap

kepala desa dan perangkat desa yang melakukan perbuatan melawan hukum sehingga
mengakibatkan kerugian negara dalam hal ini kerugian desa sesuai dengan mekanisme PP
Nomor 38 Tahun 2016.

548

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-Undangan:
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa
PP Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Terhadap Pegawai
Negeri Bukan Bendahara Atau Pejabat Lain
Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Permendagri Nomor 133 Tahun 2018 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Daerah
Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara Atau Pejabat Lain
Literatur lainnya
BPK RI, Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2018
BPK RI, Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2018
BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Tengah, Pemantauan Penanganan Hasil
Pemeriksaaan BPK yang Ditindaklanjuti oleh Instansi Penegakan Hukum 2018
Direktorat Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Kelurahan Direktorat Jenderal

Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri, Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Desa, Jakarta.
Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers,
2008.
Sumber internet:
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/21/19000481/icw-ada-181-kasus-korupsi-dana-
desa-rugikan-negara-rp-406-miliar?page=all
http://www.berdesa.com/infografis-struktur-organisasi-pemerintahan-desa/

549

Membangun BPK Paripurna

Optimalisasi Penghitungan
Kerugian Negara Daerah yang

Mendorong Pengembalian
Kerugian Negara/Daerah

Hasby Ashidiqi, S.E., M.Comm., Ak., CA., CfrA., CSFA
(Kepala Auditorat Kekayaan Negara/Daerah Yang Dipisahkan)

A. Pendahuluan
Latar Belakang

Sesuai Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2017 diketahui Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyelesaikan dan menerbitkan 171 Laporan hasil
Penghitungan Kerugian Negara/Daerah senilai Rp15,87 triliun dan USD2,71 miliar atau
seluruhnya ekuivalen Rp52,68 triliun.

Penghitungan Kerugian Negara per 31 Desember 2017

No. Permintaan Jumlah Nilai Kerugian Negara/Daerah

(Rp juta) (Valas ribu)

1. Kepolisina RI 88 1.639.847,34

1 USD2.716.860

2. Kejaksaan RI 66 1.011.413,37

3. KPK 16 13.225.546,70

Subtotal 15.876.807,41 USD2.716.860
Valas ekuivalen
36.808.014,53 USD2.716.860
(Rp)
Total 171 52.684.821,94

550

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Penghitungan kerugian negara yang dilakukan BPK tersebut dalam rangka memenuhi
permintaan Penyidik yang sedang melakukan penyidikan atas dugaan perkara tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh pengelola keuangan negara/daerah termasuk pejabat
Badan Usaha Milik Negera (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Pengembalian kerugian keuangan negara merupakan salah satu tujuan dasar dari
pemberantasan tindak pidana korupsi (Suhariyanto, 2016). Analisis database yang
dilakukan Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) atas putusan
Mahkamah Agung ( M A ) dan pengadilan yang telah incracht menunjukkan nilai kerugian
negara akibat tindak pidana korupsi di Indonesia selama 2001 – 2015 mencapai Rp203,9
triliun. Sementara, penerimaan negara yang berasal dari denda dan sita aset hanya sebesar
Rp21,26 triliun atau hanya 10,42% dari nilai kerugian negara (Pradiptyo, Partohap, dan
Pramashavira, 2016).

Dalam kajian tersebut, penerimaan negara yang berasal dari pemulihan kerugian negara
tidak dirinci berapa yang berasal dari pidana denda, perampasan barang bukti (aset),
dan pidana pembayaran uang pengganti.

Putusan hakim yang berhubungan langsung dengan pemulihan kerugian negara/
daerah yang terjadi adalah putusan pidana pembayaran uang pengganti. Tujuan pidana
pembayaran uang pengganti adalah untuk memulihkan kerugian negara/daerah akibat
tindak pidana korupsi sedangkan pidana denda semata-mata ditujukan untuk pemasukan
ke atau penerimaan negara (Tuanakotta, 2014).

Lebih lanjut, sesuai Laporan Keuangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun
2005-2017 diketahui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diperoleh KPK dari
penanganan kasus korupsi sejak tahun 2005 sampai dengan 2017 sebesar Rp1,97 triliun, di
antaranya sebesar Rp778,78 milyar (39,50%) berupa uang pengganti.

551

Membangun BPK Paripurna

PNBP KPK Tahun 2005-2017

No. Uraian Rp
1. Hasil Denda 70.682.977.501
2. Ongkos Perkara 6.792.500
3. Penjualan hasil lelang TPK 59.778.589.980
4. Uang Sitaan TPPU 373.009.504.658
5. Penjualan hasil lelang TPPU 39.351.675.893
6. Uang sitaan TPK 607.664.565.854
7. Gratifikasi 42.316.760.086
8. Uang pengganti TPK 778.780.743.090
1.971.591.609.562
Jumlah

Dari uraian tersebut, tampak bahwa penerapan tindak pidana korupsi atas kasus fraud
dalam pengelolaan keuangan negara/daerah masih jauh dari optimal dilihat dari aspek
pemulihan kerugian negara.

Rumusan Masalah
Sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menilai dan menetapkan

kerugian negara/daerah yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, BPK
seharusnya mengembangkan metodologi penghitungan negara/daerah yang bukan
hanya menghasilkan nilai kerugian negara/daerah yang akurat tetapi juga mampu
menggambarkan kasus pidana korupsi dari aspek keuangan, sehingga dapat menyediakan
informasi bagi Hakim dalam memutus pidana pembayaran uang pengganti dalam rangka
pemulihan kerugian negara. Rumusan masalah dari tulisan ini adalah bagaimana proses
penghitungan kerugian negara/daerah yang mendorong pengembalian kerugian negara/
daerah.

552

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

B. Landasan Teori
Penghitungan Kerugian Negara

Akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk
auditing pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar
pengadilan (Tuanakotta, 2010). Penerapan akuntansi forensik dalam penegakan hukum
tindak pidana korupsi di Indonesia dilakukan melalui pelaksanaan penghitungan kerugian
negara/daerah.

Kedudukan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa

Keuangan, kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang,
yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja
maupun lalai.

Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, kata ‘kerugian negara’ muncul pada
Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 25/PPU-XIV/2016 menyatakan frasa
‘dapat’ dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bertentangan dengan konstitusi sehingga frasa
‘dapat’ tidak mengikat.

Dengan putusan tersebut, maka penanganan kasus tindak pidana korupsi menjadi sulit
(Prasetyo,

2017). Lebih lanjut, penanganan tindak pidana korupsi menjadi delik materiil dalam arti
tindak pidana dinyatakan terjadi jika telah ada akibatnya, yakni kerugian keuangan negara.

Kewenangan BPK dalam Menetapkan dan Menyatakan Kerugian Negara/Daerah
Kewenangan BPK dalam menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang

diakibatkan oleh perbuatan melawan hokum, baik sengaja maupun lalai, yang dilakukan
oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara, didasarkan pada Pasal 10 UU Nomor 15
Tahun 2016.

Penilaian dan penetapan jumlah kerugian negara oleh BPK tersebut dilakukan melalui
pendekatan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara.
Pendekatan ini didasarkan pada Pasal 13 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

553

Membangun BPK Paripurna

Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketentuan Pasal 13 dimaksud
menyatakan bahwa Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna
mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.

Dengan demikian, penghitungan kerugian negara tidak dilakukan semata-mata
perhitungan matematis, melainkan melalui pelaksanaan prosedur pemeriksaan yang
sistematis dan mendalam, guna meyakinkan terpenuhinya unsur-unsur kerugian negara,
yakni adanya perbuatan melawan hukum, nilai kerugian negara, dan adanya hubungan
kasualitas antara perbuatan melawan hukum serta kerugian negara yang timbul.

Pemulihan Kerugian Negara
Uang pengganti sesungguhnya merupakan salah satu konsep dan mekanisme yang

dapat ditarik dari asas asset recovery sehingga masih terbuka dan sangat mungkin ditempuh
mekanisme lain demi pengembalian kekayaan negara yang dikorupsi (Hardjono, Dimyati,
Purwadi,Yudoko, Paramita, Setioboedi, 2008). Keberhasilan asset recovery sangat ditentukan
oleh keberhasilan melakukan pembekuan atau penyitaan sejak dalam tahap penyidikan.

Sementara, tujuan pidana pembayaran uang pengganti adalah untuk pemulihan
kerugian akibat tindak pidana korupsi yang jumlahnya harus dihubungkan dengan
kerugian keuangan negara yang timbul oleh tindak pidana korupsi yang dilakukan
terpidana (Tuanakotta, 2014).

Dalam rangka pemulihan kerugian, maka investigasi atas perolehan, pengalihan dan
manajemen aset milik terdakwa merupakan hal penting untuk selanjutnya dilakukan
penyitaan (Chuhan dan Kenkre, 2010).

Pasal 18 ayat (1) angka b UU Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diiubah dengan
UU Nomor 20 Tahun 2001, mengatur bahwa selain pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai pidana tambahan
adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

C. Pembahasan
Kejelasan Konstruksi Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi

Penghitungan merupakan dukungan bagi proses penegakan hukum yang dilakukan
instansi berwenang pada tahap penyidikan terkait kerugian negara. Tujuan dari
Penghitungan Kerugian Negara adalah untuk mengungkap adanya kerugian negara/
daerah dan selanjutnya menghitung nilai kerugian negara/daerah atas kasus dugaan

554

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

tindak pidana korupsi yang sedang disidik oleh Penyidik.
Penghitungan Kerugian Negara dengan adanya permintaan dari instansi yang

berwenang seperti Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan KPK.

Berdasarkan permintaan tersebut kemudian dilakukan ekspose kasus oleh Penyidik
kepada BPK. Berdasarkan hasil ekspose tersebut dilakukan Penelaahan Informasi Awal
untuk menentukan dan mengusulkan bisa tidaknya dilakukan Penghitungan Kerugian
Negara. Dalam Penelaahan Informasi Awal ini dilakukan analisa dengan tujuan untuk
mengetahui, pertama, penyimpangan yang menunjukkan cukup jelas adanya fraud
bukan penyimpangan adminsitratif.

Kedua, terpenuhinya unsur minimal 5 W 2 H yakni What, When, Where, Who, Why,
How, dan How Much. Ketiga, kecukupan bukti-bukti yang telah diperoleh Penyidik terkait
dengan penyimpangan dan hubungan sebab akibat (kausalitas) antara penyimpangan
dengan kerugian negara/daerah yang terjadi.

Bila Tim Penelaahan Informasi Awal dapat memperoleh seluruh bukti-bukti dari
Penyidik terkait kasus, maka tim bukan hanya mampu menelaah kecukupan bukti, tetapi
juga sudah dapat melakukan prosedur pemeriksaan untuk menyakini setiap penyimpangan
berdasarkan bukti-bukti yang cukup, kompeten dan relevan. Dengan demikian, bisa
menggeser sebagian prosedur pemeriksaan Penghitungan Kerugian Negara atau ditarik ke
tahap Penelaahan Informasi Awal.

Hal ini dilakukan untuk meyakini bahwa adanya kejelasan konstruksi kasus. Terutama
setiap penyimpangan telah didukung dengan bukti-bukti yang cukup, kompeten dan
relevan. Dengan demikian, pelaksanaan PKN dapat dipersingkat waktu pemeriksaannya
karena pemeriksa hanya tinggal melengkapi bukti-bukti yang kurang dan melakukan
klarifikasi kepada para pihak terkait.

Namun demikian, sering kali penyidik tidak dapat memberikan copy seluruh bukti-bukti
yang diperoleh Penyidik dengan alasan belum ada surat tugas Penghitungan Kerugian
Negara. Beberapa kasus, Penyidik hanya dapat memberikan kesempatan kepada Tim
Penelaahan Informasi Awal untuk membaca dan tidak diperbolehkan untuk meng-copy.

Pemahaman akan pentingnya kejelasan konstruksi kasus yang didukung dengan bukti-
bukti yang cukup, kompeten dan relevan dalam penentuan dapat tidaknya PKN dilakukan
perlu dikomunikasikan dengan para Penyidik.

BPK telah mempunyai Memorandum of Understanding (MoU) atau kesepakatan
bersama dengan instansi yang berwenang, yakni KPK tahun 2006, Kejakgung tahun 2007,

555

Membangun BPK Paripurna

dan Polri tahun 2008. Namun, MoU tersebut perlu diperbarui lagi untuk menyesuaikan
perkembangan kerja sama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, antara
lain, terkait pemerolehan bukti-bukti kasus yang dimintakan Penghitungan Kerugian
Negara kepada BPK.

Follow The Money
Seringkali dalam pemberian keterangan ahli atas kerugian negara/daerah, hakim

meminta keterangan kepada ahli kerugian negara, bukan hanya nilai kerugian beserta
metodologi Penghitungan Kerugian Negara, tetapi juga mengharapkan ahli dapat
memberikan gambaran mengenai aliran dana atas kasus yang sedang disidang. Termasuk
para pihak yang diduga menikmati dana yang berasal dari kerugian negara/daerah tersebut.

Dengan pengetahuan akuntansi, teknologi informasi, teknik-teknik investigasi, dan
hukum, auditor forensik mampu mengembangkan dan menerapkan prosedur untuk follow
the money atas kasus, sehingga mampu menggambarkan dan menjelaskan kasus dari
aspek keuangan, termasuk para pihak yang terkait dengan aliran dana tersebut.

Beberapa sumber yang dapat digunakan auditor untuk melaksanakan prosedur follow
the money yaitu: data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), data
dari nasabah bank, serta data pribadi dan/atau perusahaan.

Data dari PPATK dapat diperoleh melalui surat permintaan oleh Auditor Utama (Tortama)
Investigasi. Data ini biasanya mencakup seluruh aliran dari beberapa rekening yang terkait
dengan rekening yang diminta auditor investigasi BPK. Namun, data PPATK ini tidak
dapat digunakan sebagai bukti hukum di pengadilan. Oleh karena itu, auditor masih perlu
melakukan prosedur klarifikasi kepada pemilik rekening untuk memperoleh pengakuan
dan dokumen pendukungnya seperti rekening koran dan bukti setor/transfer.

Untuk data nasabah bank, data ini merupakan informasi yang masuk dalam rahasia
perbankan sehingga auditor tidak dapat memperoleh langsung dari bank. Cara yang
bisa dilakukan adalah auditor meminta pemilik rekening untuk memberikan surat kuasa
kepada auditor, untuk dapat meminta print out rekening koran di bank yang bersangkutan.
Prosedur ini sangat ditentukan bagaimana cara auditor dalam mendekati pemilik rekening.

Sementara data pribadi dan/atau perusahaan, dengan berbantuan teknologi, auditor
dapat meminta akses dan melakukan kloning data milik para pihak terkait, baik di
handphone, komputer, dan email serta pembukuan perusahaan.

Tujuan dari prosedur ini adalah mencari informasi komunikasi para pihak terkait dan
catatan mengenai adanya aliran dana. Sesuai peraturan perpajakan bahwa biaya-biaya

556

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

yang dikeluarkan perusahaan berupa biaya pelayanan, sumbangan termasuk pemberian
dana kepada pihak lain dapat dikurangkan dari pendapatan perusahaan dengan catatan
pengeluaran biaya tersebut harus dicatat secara jelas diberikan kepada siapa saja. Aturan
ini memberikan peluang bagi auditor untuk menemukan adanya kick back bila ada di
pembukuan perusahaan.

File Sharing Untuk Mendukung Kolaborasi Tim
Simpulan pemeriksaan baru dapat disusun setelah diperoleh bukti-bukti yang cukup,

kompeten dan relevan. Bukti-bukti harus diuji baik dari sisi validitas dan relevansinya
terhadap kasus. Pengujian dilakukan selama proses pengumpulan bukti dari sedikit demi
sedikit. Untuk itu, perlu ada suatu dukungan file sharing sebagai tempat setiap personel
tim dapat mengakses data tim dari mana pun dan waktu kapan pun sehingga terbentuk
kolaborasi tim. Kecukupan bukti dapat dengan mudah diketahui oleh Ketua Tim untuk
mengarahkan anggota tim menuju pencapaian tujuan pemeriksaan.

D. Simpulan dan Saran
Simpulan

Informasi mengenai aspek keuangan atas kasus tindak pidana korupsi berupa aliran dana
dan para pihak yang menikmati kerugian negara/daerah akan memberikan nilai lebih dari
hanya sekedar penentuan nilai kerugian negara/daerah selama pelaksanaan Penghitungan
Kerugian Negara. Informasi tersebut akan menjadi pertimbangan hakim dalam memutus
perkara dan menjatuhkan pidana pembayan uang pengganti untuk memulihkan kerugian
negara/daerah.

Hal tersebut akan tercapai jika selama pelaksanaan Penghitungan Kerugian Negara,
auditor selain membuktikan kerugian negara/daerah juga memfokuskan adanya aliran
dana atas kasus serta mampu menyajikan kerugian negara/daerah tersebut dinikmati oleh
siapa saja dalam laporan Penghitungan Kerugian Negara.

Saran
Berdasarkan uraian yang sebelumnya, berikut beberapa saran yang bisa dipertimbangkan,

pertama, pengujian penyimpangan berdasarkan bukti-bukti dari Penyidik digeser
pelaksanaannya ke tahap Penelaahan Informasi Awal sehingga Penghitungan Kerugian
Negara dapat dilaksanakan setelah ada kejelasan konstruksi kasusnya.

557

Membangun BPK Paripurna
Kedua, penerapan follow the money dalam pelaksanaan Penghitungan Kerugian

Negara. Ketiga, pemanfaatan file sharing untuk mendukung kolaborasi Tim Penghitungan
Kerugian Negara. Keempat, pembaruan MoU dengan instansi berwenang yakni KPK, Polri,
dan Kejagung.

558

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Daftar Pustaka

Arun Chuhan dan Mark Kenkre. 2010. Fraud Investigation part one
Budi Suhariyanto. 2016. Restorasi Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi

Demi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara. Melalui http://rechtsvinding.bphn.
go.id/ejournal/index.php/jrv/article/view/153
HM Prasetyo. 2017. Jaksa Agung: Putusan MK Jadikan Pidana Korupsi Delik Materiil. Melalui
https://news.detik.com/berita/d-3410935/jaksa-agung-putusan-mk-jadikan-pidana-
korupsi-delik-materiil
Imam Hardjono, Khudzaifah Dimyati, Hari Purwadi, Singgih Yudoko, Maya Paramita, Arief
Setioboedi. 2008. Model Manajemen Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi yang Strategis bagi Pengembalian Keuangan Negara.
Rimawan Pradiptyo, Timotius Hendrik Partohap, dan Pramashavira, 2016. Korupsi
Struktural; Analisis Database Korupsi Versi 4 (2001 – 2015). Melalui https://
beritagar.id/artikel/berita/kerugian-negara-akibat-korupsi-di-indonesia-rp2039-
triliun
Theodorus M. Tuanakotta, Akuntansi Forensik & Audit Investigatif, 2014

Dokumen Lain
Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2017
Laporan Keuangan KPK Tahun 2005-2017
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PPU-XIV/2016

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

Jawab Keuangan Negara
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksan Keuangan Negara.

559

Membangun BPK Paripurna

MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA
DALAM KASUS DUGAAN TIPIKOR
TERKAIT ASPEK LINGKUNGAN HIDUP

Dwi Sabardiana, S.E., M.A., CFrA., CSFA
(Kepala Auditorat Investigasi Keuangan Negara Pusat)

A. LATAR BELAKANG
Auditor Utama (Tortama) Investigasi telah menegaskan bahwa volume permintaan

Aparat Penegak Hukum (APH) dan kompleksitas kasus yang ditangani Auditorat Utama
Investigasi (AUI) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semakin meningkat, sehingga
memerlukan upaya-upaya peningkatan kapasitas pemeriksaan forensik.1 Salah satu peran
AUI yang memerlukan kapasitas forensik yang tinggi adalah dalam rangka penghitungan
kerugian keuangan negara sebagai dukungan litigasi hukum atas kasus-kasus tindak pidana
korupsi yang ditangani oleh APH. Peningkatan kapasitas dalam hal ini penyempurnaan dan
diseminasi pengetahuan dalam menghitung kerugian negara menjadi fokus utama dalam
upaya peningkatan kapasitas internal di AUI.

Sejalan dengan Visi BPK menghasilkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang
bermutu dan bermanfaat, Pimpinan BPK dan Manajemen AUI berkomitmen untuk secara
berkelanjutan meningkatkan kualitas pemeriksaan investigatif dalam rangka Penghitungan
Kerugian Negara (PKN), antara lain melalui peningkatan kualitas metodologi pemeriksaan,
penajaman atau fokus pada bidang-bidang khusus, dan peningkatan kualitas quality
assurance dan quality control pemeriksaan. Strategi AUI sejalan dengan harapan Pimpinan
untuk menggapai tingkat kedewasaan organisasi pemeriksa ke jenjang yang lebih strategis2,
serta menguatkan fungsi quality assurance dan quality control untuk meningkatkan kualitas
pemeriksaan3.

1 Paparan Tortama Investigasi pada Raker BPK tanggal 1 Oktober 2019
2 Paparan Wakil Ketua BPK-RI pada Raker BPK-RI tanggal 30 September 2019
3 Paparan Anggota I BPK-RI pada Raker BPK-RI tanggal 30 September 2019

560

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Salah satu tema yang menjadi fokus adalah terkait dengan penghitungan kerugian
negara atas dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) yang berkaitan dengan aspek
lingkungan hidup. Fokus tema ini menjadi penting bagi AUI mengingat beberapa kasus
dugaan tipikor berkaitan dengan aspek lingkungan hidup, antara lain kasus dugaan tipikor
bidang pertambangan sumber daya alam dan kehutanan. Selain itu, Penulis pernah menjadi
salah seorang Narasumber bagi KPK berkaitan dengan penghitungan kerugian negara atas
kasus-kasus terkait dengan aspek lingkungan hidup.

Aspek lingkungan hidup khususnya yang menyangkut kerusakan lingkungan, serta
dampak negatif bagi pembangunan nasional dan kehidupan bangsa telah menjadi fokus
utama bangsa. BPK turut serta dalam kerangka besar dengan menyusun Rencana Strategis
yang mengakomodasi tema

lingkungan hidup dalam kerangka pencapaian Sustainable Developments Goals
(SDGs). Paparan Kepala Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan
Pemeriksaan Keuangan Negara (Kaditama Revbang) dan Staf Ahli Bidang Lingkungan
Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan dalam Rapat Kerja (Raker) BPK Tahun 2019 telah
menguraikan detil peta jalan dan strategi besar tersebut.

Dalam kaitan dengan tema lingkungan hidup, penulis menemukan adanya problematika
dalam menghitung kerugian negara atas kasus dugaan tipikor yang berterkaitan dengan
lingkungan hidup, antara lain: problematika lingkup keuangan negara dan perekonomian
negara dalam tindak pidana korupsi; kaitan lingkup aspek lingkungan hidup dan hubungan
dengan keuangan negara; penerapan sifat kerugian keuangan negara; pencatatan akuntansi
sumber daya alam, khususnya pada laporan keuangan; perbedaan pemahaman aparat
penegak hukum terkait dengan aspek lingkungan hidup; dan potensi untuk meningkatkan
peran BPK. Tulisan memfokuskan untuk menguraikan problematika menghitung kerugian
negara, khususnya dalam aspek lingkungan hidup, khususnya yang terkait dengan lingkup
keuangan negara, kerugian negara dan lingkungan hidup dalam tatanan perekonomian
negara serta peran BPK untuk mendorong pencatatan akuntansi sumber daya alam dalam
laporan keuangan.

Menggunakan analisis kualitatif untuk menguraikan akar permasalahan, penulis
menyajikan risiko atau dampak signifikan yang memengaruhi kualitas penghitungan
kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan aspek
lingkungan hidup. Selain itu, Disajikan contoh valuasi ekonomi lingkungan dan peta
konversi yang dapat dipahami secara sederhana untuk mentransformasikan kerugian
lingkungan menjadi kerugian keuangan negara.

561

Membangun BPK Paripurna

Tulisan ini dimulai dengan latar belakang permasalahan dalam menghitung kerugian
negara yang terkait dengan aspek lingkungan hidup. Bagian berikutnya menguraikan
definisi dan konsepsi berpikir yang terkait dengan tema dalam makalah, yang diikuti
dengan analisis permasalahan dari sudut pandang seorang praktisi. Bagian terakhir berisi
kesimpulan dan saran bagi BPK.

B. KERANGKA TEORITIS
Secara sederhana perekonomian negara diartikan sebagai sebuah sistem untuk

mengelola sumber daya atau faktor-faktor produksi, termasuk memproduksi dan
mendistribusikannya untuk kesejahteraan masyarakat. Pengertian keuangan negara dapat
terlihat dari Pasal 1 (1) Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, yaitu semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian serupa diadopsi
dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.

Terkait dengan pemberantasan korupsi, Penjelasan UU Nomor 31 Tahun 1999 memuat
pengertian keuangan negara sebagai seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,
yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena pertama, berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara,
baik di tingkat pusat maupun di daerah; kedua, berada dalam penguasaan, pengurusan,
dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Undang-
undang tersebut juga memuat pengertian perekonomian negara sebagai kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah,
baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Pengertian kerugian negara termuat dalam Pasal 1 Angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun
lalai. Pengertian serupa diadopsi juga dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15

562

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Tahun 2006 tentang BPK. Terkait dengan pengertian dan sifat kerugian negara, Penjelasan
Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor
memuat “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah
kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang
berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”

Pengertian lingkungan hidup termuat dalam Pasal 1 (1) UU Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
memengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lain. Pengertian UU tersebut memperluas dampak pengelolaan
lingkungan hidup dengan menambahkan frasa “yang memengaruhi alam itu sendiri”
dari pengertian lingkungan hidup pada UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang ketentuan- ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Pengertian kerugian lingkungan hidup termuat dalam Penjelasan Pasal 90 (1) UU
Nomor 32 Tahun 2009 yaitu kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat. Pengertian tersebut khususnya
terkait dengan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu dari Pemerintah terhadap usaha
dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Pengertian serupa termuat dalam
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan
Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup sebagai aturan pelaksaan
UU tersebut.

Penghitungan Kerugian Negara (PKN) merupakan salah satu mandat kewenangan
BPK-RI dari Pasal 13 UU Nomor 15 Tahun 2004, yang berdasarkan Keputusan BPK Nomor
X/K/I- XIII.2/11/2016 menjadi tugas dan tanggung jawab AUI. Pemeriksa AUI melaksanaan
PKN dengan menerapkan metode pemeriksaan investigatif mengingat PKN merupakan
tindak lanjut dari permintaan Penyidik APH pada tahap penyidikan kasus dugaan tipikor.
PKN menerapkan pula Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) sebagaimana
pemeriksaan lainnya di BPK. LHP PKN disampaikan kepada Penyidik APH yang meminta
untuk dimanfaatkan dalam proses penegakan hukum. Pada akhirnya LHP PKN akan terkait
dengan proses Pemberian Keterangan Ahli (PKA), sesuai dengan Pasal 11 UU Nomor 15

563

Membangun BPK Paripurna

Tahun 2006, dimana BPK dapat memberikan keterangan Ahli dalam proses peradilan
mengenai kerugian negara/daerah.

C. ANALISIS MASALAH
Dalam pertemuan koordinasi dengan KPK terkait dengan kasus pertambangan nikel di

Sulawesi Tenggara44, penulis mengungkapkan problematika penuntutan kasus tersebut
terkait dengan penghitungan kerugian keuangan negara. Jaksa pada KPK menuntut
terdakwa telah merugikan keuangan negara senilai Rp4,32 triliun sebagai akibat dari
penambangan nikel yang penerbitan perizinannya tanpa melalui prosedur yang legal,
sehingga menimbulkan kerugian lingkungan. PN Jakarta Pusat kemudian memutus
terdakwa bersalah dalam pasal tipiko, namun tidak memperhitungkan nilai kerugian
lingkungan yang dihitung oleh ahli.

Dalam putusan banding, PT DKI Jakarta memutus terdakwa bersalah dan
mempertimbangkan keterangan Ahli telah terjadinya kerusakan lingkungan secara massif,
dan belum lagi bila dihitung biaya pemulihan akibat kerusakan lingkungan hidup yang
mengakibatkan kerugian yang berskala besar. Kedua putusan Pengadilan tersebut tetap
tidak mempertimbangkan nilai kerugian yang telah dihitung oleh ahli. Dalam kasus
tersebut, BPK tidak diminta untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara.

Menurut pendapat penulis, problematika pertama muncul sebagai konsekuensi dari
pemisahan frasa “kerugian keuangan negara” dan “kerugian perekonomian negara” dalam
UU Tipikor, dengan menggunakan frasa penghubung “atau” . Dengan demikian, JPU
dalam dakwaannya harus memisahkan apakah dugaan tipikor mengakibatkan kerugian
keuangan negara atau kerugian perekonomian negara. JPU tidak dapat menggabungkan
kedua akibat tersebut dalam satu dakwaan bersamaan.

Dalam kasus ini, kerugian lingkungan dianggap sebagai kerugian keuangan negara.
Konsekuensinya, segala karakteristik yang menyangkut kerugian lingkungan harus sejalan
dengan karakteristik kerugian keuangan negara. Problematika pertama ini kemudian akan
terkait erat dengan problematika lingkup perekonomian negara, lingkungan hidup dan
keuangan negara, serta terkait pula dengan sifat suatu kerugian.

Problematika kedua berawal dari perbedaan pandangan dalam memaknai keuangan
negara yang terpisah dari perekonomian negara dan memaknai lingkungan hidup bukan
sebagai bagian dari perekonomian negara. Dalam berbagai literatur ilmu ekonomi,

4 Putusan PN Jakarta Pusat Nomor: 123/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst dan Putusan Banding PT DKI Jakarta No-

mor: Nomor 16/Pid.Sus-TPK/2018/PT.DKI

564

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

lingkungan hidup berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi, baik dari sudut pengelolaan
faktor produksi (pemanfaatan sumber daya alam sebagai input proses produksi) maupun
dari sudut dampak negatif produksi terhadap kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena
itu, dalam literatur dan pengajaran ilmu ekonomi, aspek perlindungan lingkungan hidup
menjadi salah satu subtema penting. Berbagai upaya perlindungan lingkungan terutama
mengatur mengenai analisis faktor-faktor produksi dan dampak negatif proses produksi
terhadap kelestarian lingkungan. Konsekuensinya, kerugian lingkungan seyogyanya
didakwakan sebagai bagian dari kerugian perekonomian negara. Gambar berikut
melukiskan pemisahan dari ketiga aspek tersebut.

Pemisahan lingkup perekonomian negara,
keuangan negara dan lingkungan hidup

Sumber: Paparan Penulis di KPK tanggal 10 September 2018
Namun demikian, mengingat lingkup atau cakupan perekonomian negara yang teramat
luas dan menyangkut berbagai variabel makroekonomi dan mikroekonomi, sosial budaya,
politik dan lainnya, penulis memahami mengapa sub pasal “kerugian perekonomian
negara” sulit untuk dihitung dan dibuktikan di pengadilan, yang membutuhkan
pembuktian atas delik materiil. Selain itu, perhitungan kerugian perekonomian negara
perlu melibatkan ahli dalam bidang perekonomian, menggunakan metode yang sahih
dan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional, serta sepengetahuan penulis,

565

Membangun BPK Paripurna

melibatkan perhitungan menggunakan model-model yang menerapkan asumsi-asumsi
ekonomi makro. Walaupun dapat dipertanggungjawabkan secara keahlian, namun tetap
meninggalkan risiko pertentangan di sidang pengadilan terkait dengan sifat kerugian yang
nyata dan pasti.

Problematika ketiga terkait dengan sifat kerugian negara yaitu NYATA dan PASTI. Kedua
frasa tersebut, terlebih setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pasal tipikor sebagai
delik materiil, menjadi sebuah tantangan tersendiri, khususnya bagi auditor atau pihak
penghitung kerugian negara. Merujuk pada dua putusan pengadilan dalam kasus di atas,
maka penulis mencoba menganalisis sifat NYATA dan PASTI dari perhitungan kerugian
lingkungan yang disusun oleh ahli KPK. Laporan ahli KPK menguraikan adanya kerugian
negara karena musnahnya atau berkurangnya ekologi lingkungan senilai Rp2,72 triliun
yang menjadi beban biaya yang harus ditanggung oleh negara karena timbulnya kerusakan
lingkungan. Konsekuensinya, negara belum NYATA mengeluarkan uang tersebut, dan
belum PASTI karena negara bahkan belum menganggarkan beban biaya tersebut dalam
APBN atau APBD tahun berjalan atau tahun-tahun berikutnya. Problematika ini merupakan
resultan dari dakwaan yang mengakomodasi kerugian lingkungan sebagai kerugian
keuangan negara.

Untuk menganalisis kerugian yang bersifat nyata dan pasti, penulis memberi contoh
valuasi ekonomi lingkungan yang dilakukan pada Tahun 2016 oleh Koalisi Melawan Limbah,
yang terdiri dari Walhi Jawa Barat, Pawapeling dan LBH Bandung, Greenpeace Indonesia
yang bekerja sama dengan tim peneliti dari Institute Of Ecology Universitas Padjadjaran
untuk mengidentifikasi kerusakan lingkungan dan dampak yang diderita masyarakat serta
menghitung total kerugian ekonomi akibat pencemaran di kawasan Rancaekek dengan
fokus sekitar aliran sungai Cikijing55. Hasil penelitian mengungkapkan total kerugian
ekonomi akibat pencemaran di kawasan Rancaekek dengan pendekatan Total Economic
Valuation (tanpa mengikutsertakan biaya abai baku mutu)mencapaiangkaRp11,38triliun.
Kerugian terdiri dari perkiraan biaya remediasi yang dibutuhkan untuk pemulihan 933,8
Ha lahan tercemar sebesar Rp8,04 triliun dan total kerugian masyarakat sejak tahun 2004-
2015 sebesar Rp3,34 triliun. Kerugian multisektor meliputi sektor pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan, kesehatan, kerugian karena kehilangan jasa air, penurunan kualitas
udara, dan kehilangan pendapatan.

Hasil analisis penulis atas laporan valuasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat
perkiraan biaya remediasi yang dibutuhkan untuk pemulihan lahan tercemar, yang

5 Laporan Konsekuensi Tersembunyi: Valuasi Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran Industri, www.melawanlim-
bah.org, 2016

566

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

sifatnya masih perkiraan kebutuhan biaya pemulihan lahan. Konsekuensinya, apabila nilai
valuasi ekonomi lingkungan tersebut akan didakwakan sebagai kerugian negara, baik
kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara, belum bersifat NYATA
karena belum nyata-nyata dikeluarkan oleh negara melalui APBN/APBD, serta belum PASTI
jumlahnya mengingat masih berupa perkiraan dan belum dialokasikan dalam anggaran
negara. Selanjutnya, analisis atas metode untuk menghitung kerugian kesehatan (nilai
kerugian sebesar Rp815,07 miliar yang dialami masyarakat selama 12 tahun adalah dengan
menghitung nominal jumlah yang telah dikeluarkan untuk biaya pengobatan karena sakit
oleh setiap responden dan dirata-ratakan. Jumlah rata-rata tersebut dikalikan dengan total
penduduk setiap desa untuk diekstrapolasikan pada masing-masing desa yang menjadi
wilayah studi.

Penggunaan responden, metode hitung rata-rata dan ekstrapolasi jelas tidak dapat
digunakan untuk menghitung kerugian keuangan negara, yang mensyaratkan nilai yang
nyata dan pasti. Hasil valuasi ekonomi tersebut tidak serta merta dapat diadopsi sebagai
kerugian keuangan negara.

Problematika ketiga hal tersebut terkait pula dengan konsep kerugian lingkungan hidup
yang diatur dalam Permen LH Nomor 7 Tahun 2014, di mana kerugian lingkungan hidup
terjadi karena: Dilampauinya Baku Mutu Lingkungan; Penggantian biaya pelaksanaan
penyelesaian sengketa lingkungan hidup; Penggantian biaya penanggulangan pencemaran
dan/atau kerusakan; dan Kerugian ekosistem. Keempat jenis kerugian tersebut memerlukan
pemastian proses terjadinya kerugian, yaitu adanya pencemaran yang mengakibatkan
kerusakan dan kerugian, sehingga negara mengeluarkan biaya.

Dalam tahapan tersebut, untuk kerugian jenis pertama dan keempat, negara perlu
memoneterisasi kerugian lingkungan karena dilampauinya baku mutu lingkungan dan
kerusakan ekosistem ke dalam nilai uang sebelum mengalokasikan anggaran dalam APBN/
APBD, serta secara pasti telah merealisasikan anggaran tersebut. Demikian pula untuk jenis
kerugian keduadan ketiga, yaitu penggantian biaya pelaksanaan sengketalingkungan hidup
dan penggantian biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan,
di mana negara telah nyata-nyata mengeluarkan sejumlah uang yang kemudian dapat
diklaim sebagai bentuk kerugian negara. Gambar berikut secara jelas mengilustrasikan
peta konversi untuk menghitung kerugian negara terkait aspek lingkungan hidup.

567

Membangun BPK Paripurna

Peta konversi kerugian lingkungan menjadi kerugian negara

Sumber: Paparan di KPK tanggal 10 September 2018
Problematika keempat yaitu terkait dengan pencatatan akuntansi sumber daya alam
dalam laporan keuangan, yang hingga saat ini belum dapat terakomodasi dalam Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
71 Tahun 2010. Pernyataan Nomor 076 tentang Akuntansi Aset Tetap belum menerapkan
pencatatan sumber daya alam dari hutan dan sumber daya alam yang dapat diperbaharui
(regenerative natural resources) serta dari kuasa pertambangan, eksplorasi dan penggalian
mineral, minyak, gas alam, dan sumber daya alam serupa yang tidak dapat diperbaharui
(non-regenerative natural resources). SAP hanya mengatur pencatatan akuntansi bagi
penerimaan yang berasal dari sumber daya alam, seperti royalti batubara dan mineral, hasil
hutan dan alokasinya.
Hal ini di ibartakan “uang yang turun dari Tuhan”, karena penerimaan dari SDA tercatat
dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA), namun tak diketahui berasal dari aset tetap yang
produktif di neraca yang mana. Konsekuensinya, tidak terdapat hubungan logis antara
neraca dan LRA, serta pembaca laporan keuangan tidak dapat melakukan prosedur analitis
yang memadai. Idealnya, layaknya pencatatan Green Accounting, laporan keuangan entitas
telah mempertimbangkan aspek lingkungan hidup, dengan mencatat sumber daya alam
sebagai aset tetap dan nilai kerugian lingkungan sebagai suatu kontijensi.

6

568

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Problematika keempat ini terkait dengan ketersediaan data baseline untuk mengukur
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, serta mengidentifikasi berkurangnya barang
(aset). Secara konsepsi, kerugian adalah berkurangnya volume, sifat atau karakteristik suatu
materi, yang untuk menghitungnya memerlukan data awal (baseline) untuk menghitung
posisi awal dan posisi akhir.7 Sulit dibayangkan mengukur kerugian tanpa adanya data
baseline dan pencatatan yang memadai. Negara tidak dapat mengklaim adanya kerugian
karena berkurang asetnya apabila negara tidak pernah mencatat aset tersebut dalam
laporan keuangannya.

Dalam kasus dugaan tipikor tersebut, hakim belum mempertimbangkan nilai kerugian
lingkungan sebagaimana dihitung oleh ahli KPK, karena negara belum nyata-nyata
mengeluarkan uang baik dari APBN atau APBD sebagai konsekuensi dari kerusakan
lingkungan, serta penyidik KPK belum melakukan konversi perhitungan dari kerugian
lingkungan hidup menjadi kerugian keuangan negara.

D. KESIMPULAN DAN SARAN
Mengatasi problematika dalam menghitung kerugian negara dalam kasus tipikor yang

terkait dengan aspek lingkungan hidup memerlukan berbagai upaya untuk mengakomodasi
karakteristik hukum yang diatur dalam UU Tipikor, UU Keuangan Negara, UU Pemeriksaan
atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU Lingkungan Hidup.
Keselarasan semua pihak terkait dalam memahami karakteristik hukum di masing-masing
bidang menentukan keberhasilan penuntutan di Pengadilan.

Beberapa problematika dapat di identifikasi terkait dengan menghitung kerugian
negara, antara lain terkait dengan pemahaman mengenai lingkup perekonomian negara,
keuangan negara dan lingkungan hidup, terkait sifat kerugian negara, terkait pencatatan
akuntansi sumber daya alam serta ketersediaan data baseline. Problematika tersebut saling
memengaruhi sehingga diperlukan suatu pengetahuan inter-disipliner yang cukup untuk
menganalisis dan menentukan solusi pemecahannya.

APH telah memulai mengungkap kasus dugaan korupsi yang terkait dengan pengelolaan
sumber daya alam dengan menekankan pada perhitungan kerugian lingkungan hidup
sebagai akibat dari salah kelola sumber daya alam dan dampak kerusakan lingkungan.
Dengan dinamika yang terjadi, berbagai pihak perlu duduk bersama mengurai solusi demi
pencapaian tujuan bangsa.

7 Kerugian negara adalah berkurangnya uang, surat berdarga dan barang

569

Membangun BPK Paripurna

Tanggung jawab BPK untuk menghitung kerugian keuangan negara perlu didukung
dengan kesiapan pengetahuan khususnya terkait dengan bidang-bidang spesifik, antara
lain bidang lingkungan hidup. Pemahaman yang memadai mengenai karakteristik ilmu
dan hukum lingkungan dapat membantu pemeriksa mengembangkan pengetahuan dan
metodologi pemeriksaan yang tepat untuk menghasilkan LHP PKN yang bermutu dan
bermanfaat bagi pengguna (Penyidik APH).

Untuk itu, penulis dalam makalah singkat ini menyarankan agar BPK-RI khususnya
Auditorat Utama Investigasi untuk secara sistematis dan kontinyu mengembangkan
pengetahuan penghitungan kerugian negara yang terkait dengan bidang lingkungan
hidup, antara lain melalui penerbitan PetunjukTeknis Pemeriksaan Investigatif dalam rangka
Penghitungan Kerugian Negara terkait aspek lingkungan hidup, mendorong Pemerintah
untuk menyempurnakan Standar Akuntansi Pemerintahan untuk mengakomodasi aspek
lingkungan hidup dan pencatatan sumber daya alam dalam Laporan Keuangan Pemerintah,
serta bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait untuk merumuskan strategi
bersama pemberantasan korupsi di bidang lingkungan hidup.

570

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tang-

gung Jawab Keuangan Negara;
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan;
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkun-

gan Hidup;
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;

SAP edisi 2019; diunduh pada tanggal 6 November 2019 di laman http://www.ksap.
org/sap/standar- akuntansi-pemerintahan/
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan
Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup;
Paparan Wakil Ketua BPK-RI pada Raker BPK-RI tanggal 30 September 2019;
Paparan Anggota I BPK-RI pada Raker BPK-RI tanggal 30 September 2019;
Paparan Auditor Utama Investigasi pada Raker BPK-RI tanggal 1 September 2019;
Paparan Staf Ahli Bidang Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan pada Raker
BPK- RI tanggal 1 Oktober 2019;
Paparan Kepala Direktorat Utama Revbang pada Raker BPK-RI tanggal 30 September 2019;
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 123/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst dan Pu-
tusan Banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: Nomor 16/Pid.Sus-TPK/2018/
PT.DKI
Laporan Konsekuensi Tersembunyi: Valuasi Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran Indus-
tri, www.melawanlimbah.org, 2016

571

Membangun BPK Paripurna
572

|Bagian 7 Mengoptimalkan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan

Bagian 7
Mengoptimalkan

Tindak Lanjut
Rekomendasi Hasil

Pemeriksaan

573

Membangun BPK Paripurna

Rekomendasi Hasil
Pemeriksaan Kinerja

Bermanfaat untuk
Intensifikasi Pendapatan

Daerah:

Studi Kasus Pemeriksaan Kinerja
Samsat Pada Pemerintah Provinsi

Sumatera Barat

Indria Syzinia, S.E., M.Si., Ak., CA., CSFA
(Kepala BPK Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau)

A. Pendahuluan
Suatu organisasi harus menetapkan lebih awal sasaran dan tujuan yang akan dicapai

di masa depan, yang biasanya ditetapkan dalam bentuk visi dan misi organisasi. Setelah
menetapkan sasaran, barulah beralih pada pertanyaan where we are (di mana kita berada),
yang berarti menanyakan kepada internal organisasi, mampukah organisasi mencapai
tujuan yang telah ditetapkan? Pertanyaan tersebut dengan maksud mengetahui potensi
sumber daya yang dimiliki, kemudian mengidentifikasi tantangan dan hambatan, serta
memikirkan upaya pencapaian sasaran dan tujuan, sesuai dengan kemampuan yang ada.
Beberapa hal yang menjadi latar belakang tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) tugas BPK antara lain memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, BUMD, BLU dan lembaga atau
badan lain yang mengelola keuangan Negara.

Dalam melaksanakan tugas tersebut Pimpinan BPK telah menetapkan tujuan
strategis dalam Rencana Strategis (Renstra) 2016-2020, antara lain meningkatkan

574

|Bagian 7 Mengoptimalkan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan

manfaat hasil pemeriksaan dalam rangka mendorong pengelolaan keuangan negara
untuk mencapai tujuan negara. Tujuan strategis itu kemudian diuraikan dalam sasaran
strategis, yakni meningkatnya pemanfaatan hasil pemeriksaan oleh para pemangku
kepentingan.

2. Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana
Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan bahwa fungsi kepala BPK perwakilan antara
lain merumuskan rencana kegiatan BPK perwakilan berdasarkan rencana aksi, serta
tugas dan fungsi BPK Perwakilan;

3. Nota Dinas Kepala Pusat Standarisasi dan Evaluasi Diklat PKN Nomor
179/ND/XXVII.1/09/2019 tanggal 26 September 2019 tentang Acara Sertifikasi
Profesi Pemeriksa Keuangan Negara, CSFA Recognition Program, pada lampiran 2
menyatakan Pejabat Struktural Eselon II dan Pejabat Fungsional Pemeriksa Ahli Utama
wajib menyusun makalah sesuai bidang tugas dan fungsi masing-masing;

4. Kondisi saat ini, belum semua kepala BPK Perwakilan beserta jajarannya berupaya
melakukan komunikasi dengan pemangku kepentingan untuk memperoleh masukan
tentang pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan BPK RI dan minta masukan atas
topik atau fokus pemeriksaan yang diharapkan dilakukan oleh BPK, sebagaimana
kegiatan BPK mendengar yang dilakukan perwakilan Sumbar BPK Perwakilan Provinsi
Sumbar.

5. Atas masukan dari pemangku kepentingan, maka disusunlah rencana kegiatan
BPK Perwakilan sesuai dengan rencana aksi, tugas dan fungsi BPK Perwakilan, sesuai
dokumen perencanaan pada lampiran 2.

B. Tugas dan Wewenang BPK
Sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 2006, pada Bab III jelas bahwa tugas dan wewenang

BPK adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Dalam Renstra BPK 2016-2020 diketahui bahwa hasil dari pelaksanaan tugas dan

wewenang BPK RI antara lain adalah berupa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). LHP inilah
hasil pelaksanaan mandat tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 2004, tentang pemeriksaan pengelolaan dan
tanggungjawab keuangan negara Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK meliputi LHP
atas laporan keuangan, LHP kinerja, dan LHP dengan tujuan tertentu, termasuk dhi. LHP
kepatuhan, LHP investigatif, dan lain-lain.

575

Membangun BPK Paripurna

Tulisan ini dapat menjadi contoh bagi BPK Perwakilan dalam ikhtiar mewujudkan
pemeriksaan yang benar-benar bermanfaat bagi pemangku kepentingan dalam perbaikan
tata kelola keuangan negara dalam mencapai tujuan negara. serta menjadikan suatu
kepuasan bagi Pemeriksa. Hal itu dapat terwujud bila hasil pemeriksaannya dapat
menimbulkan perubahan tata kelola keuangan negara yang dilaksanakan oleh pejabat
yang diperiksa menjadi semakin baik, tertib, akuntabel dan bermanfaat bagi masyarakat.

Berdasarkan pelaksanaan pemeriksaan kinerja atas penyelenggaran Sistem Administrasi
Manunggal Satu Atap (SAMSAT) di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Barat pada
Semester II 2018. Pemeriksaan kinerja atas penyelenggaraan sistem administrasi manunggal
satu atap (samsat) pada Pemprov Sumatera Barat dilakukan setelah memperhatikan hasil
yang dilaksanakan sebelumnya (Semester II 2015) yang tidak berdampak signifikan untuk
perbaikan tata kelola penetapan target dan pemungutan pajak daerah di lingkungan
Pemprov Sumatera Barat.

Temuan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas pengelolaan Pajak Daerah
yang dilaksanakan semester II

2015 antara lain memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1) P e t u n j u k P e l a k s a n a a n ( Juklak) Pemungutan PKB dan BBNKB (Pergub)

bertentangan dengan Perda.
BPK merekomendasikan Gubernur Sumatera Barat agar mengevaluasi Pergub

khususnya tentang penerbitan SKPD.
2) Tunggakan PKB dan potensi sanksi dari tunggakan PKB belum ditetapkan.
BPK merekomendasikan Gubernur Sumatera Barat agar memerintahkan Kepala

Dinas Pengelolahan Keuangan Daerah (DPKD) segera memprioritaskan validasi data
kendaraan bermotor Tidak Daftar Ulang (TDU) dan menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak daerah (SKPD) atas kendaraan yang telah melalui proses validasi untuk dapat
dilaporkan sebagai Piutang PKB.
3) Nilai penerimaan PKB pada Database transaksi berbeda dengan nilai penerimaan
PKB pada Laporan Bidang Pajak.

BPK merekomendasikan Gubernur Sumatera Barat agar memerintahkan Kepala
DPKD untuk menginstruksikan Kepala Bidang Pajak, Unit Pelaksana Teknis Daerah
Pelayanan Pendapatan Provinsi UPTD P3 Sumatera Barat dan Bendahara Penerimaan
untuk melaksanakan rekonsiliasi penerimaan harian.

576

|Bagian 7 Mengoptimalkan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan

Sampai dengan semester II 2017, ketiga rekomendasi di atas belum selesai dan
memperhatikan trend realisasi PKB dan BBNKB sejak Tahun 2014 s.d. 2017 tidak terdapat
peningkatan yang signifikan.

Target dan Realisasi PKB dan BBNKB periode 2014-2016

TA PKB BBNKB

Target Realisasi % Target Realisasi %

2014 426,935,043,000 461,713,837,205 108,14 387,339,000,000 416,036,998,850 107,41

2015 458,000,000,000 487,742,104,641 106,49 332,339,000,000 351,717,221,250 105,83
2016 500,400,000,000 538,273,898,262 107,57 332,339,000,000 369,760,479,200 111,26

2017 535,800,684,000 563,694,008,682 105,21 366,209,170,000 398,913,262,900 108,93

Sumber : LHP LKPD Pemprov. Sumbar TA 2014 s.d. 2017 pada BPK Perwakilan Provinsi Sumbar

Pemeriksaan BPK
Sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 2006 , jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK

adalah pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan PDTT. Pemeriksaan keuangan
bertujuan untuk memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan . Tujuan
pemeriksaan kinerja adalah memberikan kesimpulan atas aspek ekonomi, efisiensi
dan /atau efektivitas pengelolaan keuangan negara, serta memberikan rekomendasi untuk
perbaikan. Sedangkan PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan
tujuan pemeriksaan ditetapkan. PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan
pemeriksaan investigatif.

Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang
terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan aspek efektivitas.
Pemeriksaan kinerja dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu: pertama, pendekatan
proses/prosedur/metode yang dilakukan pada entitas/program/kegiatan yang diperiksa,
dan; kedua, pendekatan hasil yang dicapai oleh entitas/program/kegiatan yang diperiksa.

Sesuai standar pemeriksaan, pemeriksa harus mempertimbangkan signifikansi
suatu masalah dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas pemeriksaan kinerja.
Suatu masalah dianggap signifikan apabila masalah itu relatif penting bagi pencapaian
tujuan pemeriksaan dan bagi pengguna laporan hasil pemeriksaan. Pemeriksa dapat
menentukan beberapa area potensial yang dapat dikembangkan dalam pemeriksaan.

577

Membangun BPK Paripurna

Area potensial yang telah teridentifikasi, selanjutnya akan dipilih berdasarkan urutan
prioritas untuk ditentukan sebagai fokus utama obyek pemeriksaan yang disebut area
kunci.

Area kunci adalah area, bidang, program, atau kegiatan yang merupakan fokus
pemeriksaan dalam entitas yang diperiksa.

Dalam menentukan urutan prioritas area kunci dapat menggunakan empat pendekatan
faktor-faktor pemilihan, yaitu risiko, impact/dampak, auditable dan signifikan atau dikenal
dengan RIAS.

Kriteria dalam pemeriksaan kinerja adalah standar-standar kinerja yang masuk akal dan
dapat digunakan untuk menilai aspek ekonomi, efisiensi dan efektivitas dari kegiatan yang
dilaksanakan oleh entitas yang diperiksa. Kriteria merefleksikan suatu model pengendalian
yang bersifat normatife mengenai hal- hal yang sedang direviu. Kriteria merepresentasikan
praktek-praktek yang baik, yaitu suatu harapan yang masuk akal mengenai “apa yang
seharusnya”.

Laporan hasil pemeriksaan kinerja diharapkan dapat :
1) mengomunikasikan hasil pemeriksaan kepada pihak yang berkepentingan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
2) membuat hasil pemeriksaan terhindar dari kesalahpahaman,
3) membuat hasil pemeriksaan sebagai bahan untuk melakukan tindakan

perbaikan oleh instansi terkait, dan
4) memudahkan pemantauan tindak lanjut untuk menentukan pengaruh tindakan

perbaikan yang semestinya dilakukan.

Pemeriksa harus menyampaikan rekomendasi kepada entitas untuk memperbaiki
kinerja atas bidang yang bermasalah guna meningkatkan kualitas pelaksanaan kegiatan
entitas yang diperiksa. Suatu rekomendasi dikatakan sangat konstruktif/membangun
apabila:

1) diarahkan untuk menyelesaikan masalah yang ditemukan;
2) berorientasi pada tindakan nyata dan spesifik;
3) ditujukan kepada pihak yang mempunyai wewenang untuk bertindak;
4) dapat dilaksanakan; dan
5) apabila dilaksanakan, biayanya memadai.

578

|Bagian 7 Mengoptimalkan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan

Definisi Pajak dan Pajak yang dikelola Provinsi
Dalam peraturan perundang-undangan antara lain; UU Nomor 28Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta peraturan perudang-undang terkait, antara lain
dijelaskan sebagai berkut:

Definisi Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang- undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Jenis Pajak Provinsi terdiri dari:
1) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB KB)
4) Pajak Air Permukaan; (PAP)
5) Pajak Rokok.

Jenis Pajak seperti PKB, BBNKB dan PAP dipungut berdasarkan penetapan Kepala
Daerah (official assessment) sedangkan jenis PBB KB dan Pajak Rokok dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak (self assessment).

Pemungutan Pajak terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP), merupakan
pembayaran pajak terutang oleh Wajib Pajak berdasarkan penetapan Kepala Derah
menggunakan:

1) Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan atau
2) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang.

Pemungutan Pajak terutang dengan cara dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ,
merupakan pembayaran pajak terutang oleh Wajib Pajak menggunakan:

1) Surat Pemberitahuan Pajak Daerah;
2) Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar; dan/atau
3) Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan.

Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek
dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang
sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi,
serta pengawasan penyetorannya.

579

Membangun BPK Paripurna

Pemeriksaan Kinerja Penyelenggaraan SAMSAT pada Pemprov Sumatera Barat
Pada semester II 2018 melakukan pemeriksaan kinerja penyelenggaraan Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) yang mempunyai tujuan menilai Efektivitas
Penyelenggaraan SAMSAT dalam Intensifikasi Penerimaan PKB dan BBNKB.
Pelaksanaan pemeriksaan kinerja didasarkan hasil BPK mendengar dengan DPRD
Provinsi yang menginginkan BPK perwakilan melakukan pemeriksaan atas penetapan
target penerimaan pajak di lingkungan Pemprov dan menilai capaian kinerja dalam
pelayanan publik yang diberikan kantor SAMSAT kepada masyarakat.
Lingkup pemeriksaan adalah penyelenggaraan SAMSAT dalam hubungannya untuk
intensifikasi penerimaan PKB dan BBNKB dengan pendekatan proses kegiatan, pertama,
perencanaan dhi terkait penetapan target penerimaan, Audit question yang akan dijawab
saat pemeriksaan: apakah penetapan target penerimaan pajak atas kendaraan bermotor
berdasarkan metode yang tepat, logis dan relevan..? kedua, pelaksanaan pemungutan
dalam hal ini pengelolaan sistem informasi dan pemeliharaan database SAMSAT, serta
penanganan permasalahan dalam pemungutan dan penyediaan fasilitas pendukung
pelayanan publik untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan masyarakat dalam
melaksanakan kewajiban membayar pajak, khususnya PKB dan BBNKB.

Audit question yang akan dijawab saat pemeriksaan, antara lain;
a) Apakah pengelolaan sistem informasi dan pemeliharaan database
SAMSAT berjalan dengan baik..?
b) Apakah kegiatan pemungutan PKB dan BBNKB berjalan baik dan sesuai ketentuan..?
c) Apakah penanganan permasalahan (troubleshooting) dalam pemungutan
PKB dan BBNKB berjalan dengan baik..?
d) Apakah fasilitas pendukung pelayanan publik memberikan kenyamanan bagi

masyarakat pengguna layanan SAMSAT..?

Penyelenggaraan SAMSAT melibatkan empat instansi yaitu Kepolisian dalam hal ini
Ditlantas dan/atau Satlantas Polda, Pemprov dalam hal ini Badan Pengelola Keuangan/
Pendapatan, PT Jasa Raharja dan Perbankan yang telah ditunjuk untuk kerjasama.

PKB adalah pajak yang dipungut atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan
bermotor yang dipungut berdasarkan penetapan kepala daerah (official assessment).

BBNKB adalah bea/pajak yang dipungut atas penyerahan kepemilikan kendaraan
bermotor (official assessment). Berdasarkan hasil pemeriksaan kinerja tersebut telah

580

|Bagian 7 Mengoptimalkan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan

diungkapkan beberapa temuan, antara lain: pertama, Data NIK yang digunakan untuk
penetapan pajak progresif PKB dan BBNKB belum sepenuhnya valid, sehingga penerimaan
PKB dan BBNKB dari pengenaan tarif pajak progresif tidak optimal; kedua, Deteksi pengenaan
PKB secara progresif tidak akurat, sehingga penerimaan dari pengenaan tarif pajak progresif
tidak optimal. ketiga, Pelaksanaan pengenaan pajak progresif belum sesuai ketentuan Perda,
sehingga Pemprov Sumbar kehilangan potensi penerimaan dari pajak progresif atas pemilik
kendaraan yang masih satu KK dan atas kendaraan barang yang berplat hitam.

Rekomendasi atas Hasil Pemeriksaan PKB dan BBNKB serta Tindak Lanjut
Atas temuan temuan tersebut BPK telah menginstruksikan Gubernur Sumatera Barat

antara lain agar memerintahkan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (Bakeuda) untuk:
1) Melakukan perubahan kebijakan dan perubahan aplikasi e-SAMSAT dengan melakukan
penambahan fitur database NIK pemilik kendaraan;
2) Melakukan pemeliharaan database NIK pemilik kendaraan untuk menghindari
terdapat informasi ganda;
3) Melaksanakan penetapan pajak progresif sesuai dengan Perda dan Pergub.

Sampai dengan semester I tahun 2019, hampir seluruh rekomendasi BPK dalam LHP
Kinerja Penyelenggaraan SAMSAT pada Pemprov Sumbar telah dilaksanakan antara lain:

Kepala Bakeuda telah melakukan koordinasi dengan Dinas Dukcapil untuk memperolah
database NIK pemilik kendaraan melalui aplikasi SiAK (Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan)

Kepala Sumatera Barat Bakeuda telah memerintahkan seluruh kepala UPTD untuk
menerapkan pajak progresif mulai Januari 2019 dan telah diberlakukan pada UPTD.

Hasil dari penerapan pajak progresif sejak Januari 2019 s.d. September 2019 menunjukkan
terdapat penerimaan pajak progresif PKB untuk 7.776 unit kendaraan dengan nilai pajak
sebesar Rp4.131.390.750,00.

Hasil perbandingan antara realisasi PKB sebelum diterapkan pajak progresiff dengan
realisasi PKB setelah diterapkan pajak progresif pada posisi cut off yang sama yaitu posisi per
tanggal 30 September, menunjukkan peningkatan penerimaan PKB yang cukup signifikan,
yaitu untuk realisasi PKB posisi sampai dengan September 2018 (sebelum diterapkan
pajak progresif) sebesar Rp454,12 miliar, sedangkan realisasi PKB posisi sampai dengan
September 2019 (setelah diterapkan pajak progresif) sebesar Rp505.20 miliar, atau
meningkat minimal sebesar Rp5.10 miliar.

581

Membangun BPK Paripurna

C. Simpulan dan Saran
a. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan antara lain:
1) Tujuan strategis dalam Renstra 2016-2020, antara lain meningkatkan manfaat

hasil pemeriksaan dalam rangka mendorong pengelolaan keuangan Negara untuk
mencapai tujuan Negara yang kemudian diuraikan dalam sasaran strategis berupa
meningkatnya pemanfaatan hasil pemeriksaan oleh para pemangku kepentingan;
2) Kondisi saat ini, belum semua BPK perwakilan mempunyai pandangan yang
sama untuk terbuka dan/atau meningkatkan efektivitas komunikasi dengan
pemangku kepentingan;
3) Kondisi saat ini, fokus dan/atau objek pemeriksaan BPK perwakilan cendrung hanya
melaksanakan arahan dari pimpinan yang merupakan objek pemeriksaan tematik.
Padahal topik atau fokus pemeriksaan tersebut belum tentu merupakan topik atau
kondisi yang sangat dibutuhkan pemangku kepentingan di lingkungan perwakilan,
untuk diperiksa dan/atau direkomendasikan oleh BPK;
4) Tindak lanjut atas rekomendasi hasil pemeriksaan kinerja penyelenggaraan Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) pada Pemprov. Sumbar langsung
menunjukkan dampak yang positif dengan meningkatnya penerimaan pajak
daerah, khususnya PKB dan BBNKB. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan
BPK sangat bermanfaat bagi entitas yang diperiksa dalam penyelenggaraan tugas
dan fungsi guna mencapai tujuan negara.
b. Saran
1) Diharapkan kepala BPK perwakilan dengan didukung oleh pimpinan dhi Tortama
harus bersifat terbuka dan/atau meningkatkan komunikasi yang efektif dengan
pemangku kepentingan guna memperoleh masukan tentang hal-hal apa yang
masih menjadi masalah bagi pemangku kepentingan dalam mewujudkan tujuan
Negara.
2) Masukan yang diberikan oleh pemangku kepentingan harus menjadi perhatian dan
diusulkan sebagai objek pemeriksaan berikutnya sebagai topik muatan lokal bagi
BPK perwakilan yang bersangkutan.

582

|Bagian 7 Mengoptimalkan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan

Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara;

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan;

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017
tentangStandar Pemeriksaan Keuangan Negara;

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangan;

Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 7/K/I-XIII.2/12/2015
tentang Rencana Strategis Badan Pemeriksa Keuangan Tahun Anggaran 2016 s.d.
2020;

Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 9/K/I-XIII.2/12/2011
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja;

Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 10/K/I-XIII.2/12/2011
tentang Petunjuk Teknis Penentuan Area Kunci;

Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 11/K/I-XIII.2/12/2011
tentang Petunjuk Teknis Penetapan Kriteria Pemeriksaan Kinerja;

Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 04/K/I-XIII.2/03/2016
tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja;

-----------, April 2015, April 2016, April 2017, April 2018, Laporan Hasil Pemeriksaan atas
Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Tahun Anggaran 2014,
Tahun Anggaran 2015, Tahun Anggaran 2016 dan Tahun Anggaran 2017;

-----------, Desember 2015, Laporan Hasil Pemeriksaan Pengelolaan Pajak Daerah Tahun
2014 dan Smester I 2015 pada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat;

-----------, Desember 2018, Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja Efektivitas Penyelenggaraan
Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) dalam Intensifikasi Penerimaan
Pajak atas Kendaraan Bermotor (PKB dan BBNKB) TA

2016 s.d. 2018 pada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat;

-----------, Juni 2019, Laporan Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun
2019;
583

Membangun BPK Paripurna

Pemanfaatan Hasil
Pemeriksaan untuk
Mendorong Mewujudkan
Tata Kelola Keuangan Negara
yang Berkualitas untuk
Mencapai Tujuan Negara

Hari Wiwoho S.E., M.M., Ak. , CA., CSFA
(Kepala BPK Perwakilan Provinsi Lampung)

A. PENDAHULUAN
Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

mengamanatkan bahwa BPK memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya,
Bank Indonesia (BI), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Badan
Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara, serta
menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
kepada lembaga perwakilan dhi. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daer-
ah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta presiden/gubernur/bupati/
walikota untuk digunakan sesuai tugas dan kewenangannya.

Dalam rangka melaksanakan amanat pemeriksaan tersebut, BPK telah menerbitkan
regulasi berupa standar, panduan, pedoman teknis maupun pedoman pelaksanaan untuk
menjaga agar kualitas hasil pemeriksaan sesuai dengan standar yang diharapkan. Hasil pe-
meriksaan yang berkualitas diharapkan memberi manfaat untuk mendorong peningkatan
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan yang lebih transparan dan akuntabel
serta untuk peningkatan kinerja entitas.

BPK juga telah menyusun pencapaian visi dan pelaksanaan misi BPK yang dituangkan
dalam tujuan strategis BPK. Dalam Rencana Strategis (Renstra) tahun 2016—2020, tujuan
strategis BPK adalah:

584

|Bagian 7 Mengoptimalkan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan

1. Meningkatkan manfaat hasil pemeriksaan dalam rangka mendorong pengelolaan
keuangan negara untuk mencapai tujuan Negara

2. Meningkatkan pemeriksaan yang berkualitas dalam mendorong pengelolaan keuan-
gan negara untuk mencapai tujuan negara.

Berkelanjutan dengan Renstra 2016-2020 (yang disesuaikan menjadi tahun 2016-2019),
BPK telah mendesain rancangan teknokratik Renstra BPK 2020-2024. Dalam rancangan
teknokratik tersebut disebutkan BPK ingin menjadi lembaga yang berperan aktif dan
terpercaya dalam mewujudkan tata kelola keuangan negara yang berkualitas untuk
mencapai tujuan negara.

Dengan memperhatikan arti penting tugas BPK seperti uraian sebelumnya tulisan ini
membahas tugas BPK dengan menitikberatkan pada “Hasil Pemeriksaan BPK Mampu
Mendorong Mewujudkan Tata Kelola Keuangan Negara Yang Berkualitas Untuk
Mencapai Tujuan Negara”. Tujuan negara/pemerintah dalam pembahasan ini adalah
peran negara/pemerintah mampu menyediakan data dan informasi secara nasional
mengenai pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil pada berbagai tingkatan secara
lengkap, akurat, mutakhir dan mudah diakses sesuai dengan yang diamanatkan UU Nomor
23 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2013
tentang administrasi kependudukan.

Amanat Undang-Umdang tersebut selanjutnya dituangkan pada Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yaitu peningkatan ketersediaan dan kualitas
data dan informasi pembangunan kependudukan dan keluarga berencana yang akurat
dan tepat waktu, serta pemanfaatan data dan informasi tersebut untuk perencanaan dan
evaluasi hasil-hasil pembangunan. Pemeriksaan yang telah dilakukan terkait hal ini adalah
Pemeriksaan Tematik Kinerja Atas Efektivitas Pengelolaan Administrasi Kependudukan
pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Pemerintah Daerah (Pemda).

B. Gambaran Umum Administrasi Kependudukan
Untuk membangun database kependudukan sesuai amanat Undang-Undang tentang

Administrasi Kependudukan maka perlu dilaksanakan kegiatan pemutakhiran dan
konsolidasi database kependudukan secara nasional. Hasil pemutakhiran dan konsolidasi
data digunakan sebagai dasar penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional
yang bersifat unik dan tunggal. NIK dicantumkan dalam setiap dokumen kependudukan,
pemutakhiran peristiwa kependudukan dan digunakan sebagai dasar penerbitan dokumen

585

Membangun BPK Paripurna

identitas lain. Dokumen kependudukan meliputi biodata penduduk, Kartu Keluarga, Kartu
Tanda Penduduk (KTP), Surat Keterangan Kependudukan, dan Akta Pencatatan Sipil.

Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan bertujuan untuk: pertama, memberikan
keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen penduduk untuk setiap Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk; kedua, memberikan
perlindungan status hak sipil Penduduk; ketiga, menyediakan data dan informasi
kependudukan secara nasional mengenai Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah diakses sehingga
menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya; keempat,
mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional dan terpadu; dan kelima,
menyediakan data Penduduk yang menjadi rujukan dasar bagi sektor terkait dalam
penyelenggaraan setiap kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.

Pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan dilaksanakan melalui pembangunan
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). SIAK adalah sistem informasi yang
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan
informasi administrasi kependudukan di tingkat penyelenggara dan instansi pelaksana
sebagai satu kesatuan.

Pengelolaan SIAK bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan pendaftaran penduduk
dan pencatatan sipil, menyediakan data dan informasi skala nasional dan daerah mengenai
hasil pendaftaran penduduk dan catatan sipil yang akurat, lengkap, mutakhir dan mudah
diakses, serta mewujudkan pertukaran data secara sistemik melalui sistim pengenal
tunggal dengan tetap menjamin kerahasiaan. SIAK merupakan satu kegiatan yang terdiri
dari unsur database, perangkat teknologi informasi dan komunikasi, sumber daya manusia,
pemegang hak akses, lokasi database, pengelolaan database, pemeliharaan database,
pengamanan database, pengawasan database, data cadangan.

Database kependudukan merupakan kumpulan berbagai jenis data kependudukan
yang sistematis, terstruktur dan tersimpan yang saling berhubungan satu sama lain dengan
menggunakan perangkat lunak, perangkat keras dan jaringan komunikasi data. Database
kependudukan dikelola melalui kegiatan:

a. perekaman data pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil ke dalam database
kependudukan;

b. pengolahan data pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil;
c. penyajian data sebagai informasi data kependudukan;
d. pendistribusian data untuk kepentingan perumusan kebijakan di bidang

pemerintahan dan pembangunan.

586

|Bagian 7 Mengoptimalkan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan

C. Pemeriksaan Tematik Kinerja Administrasi Kependudukan
BPK telah memeriksa penyelenggaraan administrasi kependudukan pada Direktorat

Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri), dan 61 kabupaten/kota pada 23 Provinsi untuk periode Tahun 2015 s.d.
Semester I Tahun 2017. Dalam menetapkan 23 provinsi sebagai uji petik pemeriksaan, metode
pemilihan uji petik menggunakan purposive/judgement sampling dengan menentukan
kriteria pertimbangan pemilihan atas entitas uji petik. Pertimbangan yang digunakan adalah
berdasarkan populasi penduduk, realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), dan data kependudukan yang bermasalah.

Alasan pemeriksaan ini adalah;
(1) Salah satu titik berat RPJMN 2015-2019 terkait kependudukan adalah kualitas data dan

informasi kependudukan;
(2) Hasil kajian Litbang;
(3) Hasil pemeriksaan sebelumnya;
(4) Menjadi perhatian publik/masyarakat; dan
(5) Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai data untuk seluruh pelayanan publik.

Sedangkan tujuan pemeriksaan ini adalah menilai efektivitas penyelenggaraan administrasi
kependudukan oleh Ditjen Dukcapil Kemendagri dan Pemerintah Daerah dalam rangka
meningkatkan ketersediaan dan kualitas data dan informasi pembangunan kependudukan
yang akurat dan tepat waktu, serta memanfaatkan data dan informasi tersebut untuk
pembangunan nasional.

Pemeriksaan kinerja tematik ini melibatkan tim dengan jumlah yang besar dan tersebar
hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan perbedaan karateristik daerah yang melingkupi­
nya. Maka, perlu disusun strategi yang memadai agar dapat menangkap permasalahan-
permasalahan signifikan sehingga dapat menghasilkan rekomendasi yang dapat ditindak
lanjuti dan bermanfaat untuk perbaikan kinerja entitas. Langkah-langkah yang disusun adalah:

a. Penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan Jadwal Pemeriksaan;
b. Pengumpulan Data dan Informasi, melalui Tim Pengumpulan data dan Informasi;
c. Pelaksanaan Forum Discusion Group (FGD);
d. Penyusunan Strategic Paper;
e. Menentukan Tema, Tujuan , dan Sasaran dan metodologi yang tepat;
f. Penentuan Sample Pemeriksaan berdasarkan purposive/judgement sampling dengan

kriteria yang telah ditetapkan, agar lebih dapat dipertanggungjawabkan;
g. Perancangan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHP); dan
h. Menyusun bahan pendapat.

587

Membangun BPK Paripurna

Agar langkah-langkah tersebut mempunyai time line yang jelas dan mempunyai target
yang terukur, diperlukan jadual kegiatan yang berisi tentang kegiatan yang harus dilak-
sanakan dan personil yang terlibat serta jangka waktu pelaksanaannya.

No. Tahapan Waktu Uraian

Pemeriksaan Kegiatan • Pokja kecil
• Perwakilan Tim yang terdiri atas penanggung
Pemeriksaan Pendahuluan
jawab, pengendali teknis, dan ketua tim
a. Workshop I Juli 2018 • Output: Paket P2 Pendahuluan dan ST

Persiapan

Pemeriksaan

Pendahuluan

b. Pemeriksaan Juli s.d Ags • Jumlah hari pemeriksaan dan susunan Tim
Lapangan
Pendahuluan 2018 disesuaikan RKP

c. Laporan Pemeriksaan Ags 2018 Laporan Pemeriksaan Pendahuluan disampaikan

Pendahuluan kepada Pokja paling lambat tanggal 31 Agustus

2018

d. Persiapan Workshop II Sept 2018 • Pokja

Pembahasan hasil • Output: Konsep Paket P2 Terinci

pemrks pendahuluan,

Penysn P2 Terinci

Pemeriksaan Terinci

a. Workshop II Sep 2018  Perwakilan Tim yang terdiri atas

Persiapan Pmrksn penanggungjawab, pengendali teknis, dan

Terinci (Finalisasi P2 ketua tim

Terinci)  Pokja

b. Pemeriksaan Sep s.d  Jumlah hari dan susunan tim pemeriksaan

Terinci dan Nov 2018 disesuaikan RKP masing-masing perwakilan;

Penyusunan LHP  KHP Parsial disampaikan kepada Pokja
Parsial paling lambat tanggal 16 November 2018

Pelaporan

a. Persiapan Workshop Nov 2018  Pokja

III

Finalisasi Hasil

Pmrksn Terinci serta

Penyusunan Konsep

IHP dan Bahan

Pendapat

b. Workshop III Nov 2018  Tim perwakilan yang terdiri atas

Penyusunan LHP penanggungjawab, pengendali teknis, dan

Parsial dan Konsep ketua tim

IHP  Pokja

 Litbang

 EPP

c. FGD dalam rangka Des 2018  Pokja kecil

finalisasi IHP dan  Narasumber

Bahan Pendapat  Tempat: Jakarta

d. Penyerahan IHP, Des 2018  Penyerahan LHP Perwakilan

Bahan Pendapat dan  Penyampaian IHP dan Bahan Pendapat

LHP Parsial

588

|Bagian 7 Mengoptimalkan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan

Dari hasil pemeriksaan, BPK menemukan permasalahan pada beberapa aspek penye-
lenggaraan administrasi kependudukan yang dapat dirangkum sebagai berikut

a. Regulasi/Kebijakan belum selaras yaitu terkait penyelenggaraan administrasi
kependudukan belum selaras dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.

b. Penyediaan sarana dan prasarana belum memadai antara lain penyediaan blangko
Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) tidak sesuai kebutuhan pelayanan
penerbitan e-KTP, dan ketersediaan infrastruktur teknologi informasi belum
mendukung penyelenggaraan administrasi kependudukan.

c. Pengolahan dan penyajian data informasi kependudukan belum memadai karena
belum ditetapkannya kerangka kerja (framework) manajemen data dan proses
pembersihan data kependudukan belum terstruktur sehingga penyajian data
kependudukan belum valid, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

d. Pengaturan keamanan pada perangkat lunak, perangkat keras dan jaringan
komunikasi data yang digunakan untuk pengelolaan data kependudukan lemah
sehingga berpotensi terhadap serangan pihak-pihak yang tidak memiliki otorisasi.

e. Pemanfaatan data kependudukan untuk perencanaan dan evaluasi hasil-hasil
pembangunan belum optimal dan belum menggunakan data kependudukan yang
dikonsolidasikan dan dibersihkan.

Atas permasalahan tersebut, telah diberikan rekomendasi kepada entitas dalam rangka
perbaikan kinerja entitas dalam hal penyediaan data dan informasi secara nasional pada
berbagai tingkatan secara lengkap, akurat, mutakhir dan mudah diakses serta bermanfaat
untuk perencanaan dan evaluasi hasil pembangunan, sebagai berikut,

a. Melakukan revisi dan/atau menyusun aturan pelaksanaan terkait penyelenggaraan
administrasi kependudukan yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor. 24 Tahun
2013 dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

b. Menyusun grand design pengembangan sistem administrasi kependudukan yang
memuat antara lain pola koordinasi dan pelibatan seluruh instansi/lembaga yang
kompeten;

c. penyediaan sarana dan prasarana yang sesuai kebutuhan; penyediaan dan penataan
infrastruktur teknologi informasi yang memadai; penetapan kerangka kerja (frame-
work) manajemen data,

589

Membangun BPK Paripurna

d. proses pembersihan data kependudukan yang terstruktur; pengaturan keamanan
pada perangkat lunak, perangkat keras dan jaringan komunikasi data yang handal;
serta kemandirian teknologi dalam rangka mendukung pelayanan administrasi
kependudukan dengan baik dan dapat menghasilkan data kependudukan yang
valid, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Di era digital saat ini, penggunaan sistem informasi merupakan kebutuhan mutlak dalam
rangka mendorong kinerja yang efektif dan efisien, sehingga jika rekomendasi tersebut
ditindaklanjuti maka mampu mendorong pemerintah mempercepat integrasi NIK untuk
seluruh pelayanan publik sesuai dengan amanat UU Nomor. 24 Tahun 2013.

D. KESIMPULAN
Untuk mewujudkan BPK menjadi pemeran aktif terpercaya dalam mewujudkan tata

kelola keuangan negara yang berkualitas untuk mencapai tujuan negara, salah satu tantangan
terbesar bagi BPK adalah bagaimana mendesain pemeriksaan yang menyentuh kebutuhan
publik dan menjadi prioritas pemerintah serta memberikan rekomendasi hasil pemeriksaan
yang mampu memberikan perbaikan strategis yang berkelanjutan (strategic continuous
improvement).

Posisi BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara harus lebih fokus kepada hal
yang bersifat strategis, terkait dengan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara,
sehingga dapat memberikan manfaat dan daya dobrak perbaikan yang lebih besar. Untuk
mendisain pemeriksaan yang bersifat strategis, untuk beberapa pemeriksaan tertentu
perlu dilakukan FGD dengan para pakar untuk menentukan “level strategis”nya bagi
penyelenggaraan bernegara.

BPK telah melakukan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan Pemeriksaan
Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) dan dari hasil pemeriksaan tersebut diberikan rekomendasi
kepada entitas. Untuk menghasilkan rekomendasi pemeriksaan yang memberikan manfaat,
perlu dirancang prosedur dan kebijakan yang mendukung tujuan tersebut, yaitu adanya
diskusi mengenai rekomendasi tentatif dengan pihak-pihak terkait, sehingga LHP hanya
memuat rekomendasi yang bersifat signifikan dan memberikan manfaat perbaikan kinerja.

Namun di sisi lain, dalam kegiatan penyelesaian Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil
pemeriksaan (TLRHP), BPK selama ini hanya memantau apakah rekomendasi yang diberikan
telah dilaksanakan, namun tidak pernah mengukur ada atau tidak dampak pemeriksaannya
terhadap kegiatan yang telah diperiksa. Dalam hal ini, dalam kegiatan penyelesaian TLRHP

590

|Bagian 7 Mengoptimalkan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan

diperlukan mekanisme tambahan, yaitu dengan meminta pihak yang diperiksa untuk
menjelaskan manfaat atau dampak dari rekomendasi BPK.

591

Membangun BPK Paripurna

Meningkatkan Manfaat Hasil
Pemeriksaan Kinerja dan
Kepatuhan Melalui

Pembentukan Tim Pengelolaan
Fokus Pemeriksaan pada
BPK Perwakilan

R. Aryo Seto Bomantari, SE., MM., Ak., CA., CSFA
(Kepala BPK Perwakilan Provinsi Bengkulu)

A. Pendahuluan
Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK), menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya
BPK berwenang menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan
pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan
laporan pemeriksaan. Untuk memenuhi amanat undang-undang tersebut, BPK menyusun
sistem perencanaan pemeriksaannya dalam sebuah proses pengelolaan perencanaan
pemeriksaan yang sistematis dan terintegrasi mulai dari kebijakan pemeriksaan sampai
dengan perencanaan operasional pemeriksaan.

Kebijakan dan perencanaan operasional pemeriksaan merupakan proses sistematis
yang disusun untuk mewujudkan tujuan BPK di bidang pemeriksaan. Tujuan kebijakan
BPK di bidang pemeriksaan tersebut dimuat dalam Rencana Strategis (Renstra) BPK, yang
ditetapkan untuk jangka waktu lima tahun, dan merupakan landasan dalam penyusunan
dokumen perencanaan operasional pemeriksaan.

Rencana Strategis (Renstra) BPK 2020-2024 saat ini masih dalam bentuk rancangan.
Pernyataan visi dalam Rancangan Teknokratik Renstra BPK 2020-2024, adalah ”Menjadi
Lembaga Pemeriksa Terpercaya yang Berperan Aktif dalam Mewujudkan Tata Kelola

592


Click to View FlipBook Version