The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Teguh Siswanto, 2020-02-19 09:28:49

BUKU 2 - MEMBANGUN BPK PARIPURNA

BUKU 2 - MEMBANGUN BPK PARIPURNA

|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah

penetapan raperda (rancangan peraturan daerah), khususya raperda tentang APBD/APBD-P.
Situasi politik yang dapat memengaruhi kegiatan pengelolaan keuangan daerah adalah

pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Kepentingan para pihak
di daerah menjelang pileg dan pilkada sangat dominan berpengaruh pada kebijakan
pengelolaan keuangan daerah.

keempat, ketergantungan pemda pada data eksternal. Sebagian besar, bahkan
hampir seluruh data yang digunakan dalam penyusunan LKPD mengandalkan data yang
bersumber dari data internal pemda. Namun, kadangkala pemda juga harus mengandalkan
data yang disediakan oleh pihak di luar pemda. Dalam hal pemda menerima hibah aset dari
pihak lain, seringkali pemberi hibah tidak menyertakan dokumen dan data yang lengkap
tentang harga aset tersebut. Hal tersebut akan menyulitkan pemda pada saat mencatat
dan melaporkan aset tersebut di laporan keuangan pemda.

C. UPAYA BPK PERWAKILAN PROVINSI RIAU
Sebagai bagian dari organisasi BPK, maka BPK Perwakilan Provinsi Riau harus men-

dukung tercapainya visi dan misi yang ditetapkan dalam Renstra BPK. Maka BPK Riau juga
harus berupaya mengimplementasikan visi BPK dalam rangka menjadi pendorong penge-
lolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang berkual-
itas dan bermanfaat. Namun demikian, dalam implementasi visi dan misi BPK, hal terpent-
ing yang juga perlu diperhatikan adalah mempertahankan nilai-nilai dasar BPK yaitu, integ-
ritas, independensi, dan profesionalisme.

Berikut adalah langkah-langkah dan upaya yang dilakukan oleh BPK Perwakilan Provinsi
Riau dalam rangka menjadi pendorong bagi pemda untuk dapat menciptakan dan mening-
katkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khususnya dalam rangka mengatasi
permasalahan dan kendala yang berkaitan dengan penyajian kewajaran LKPD.
Pertama, identifikasi permasalahan dan kendala serta tawaran alternatif solusinya.
Langkah awal yang dilakukan adalah menginventarisasi dan mengidentifikasi
permasalahan yang berpotensi dapat mempengaruhi penyajian kewajaran LKPD. Hal ini
sangat penting untuk menentukan langkah-langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Dengan memahami permasalahan dan potensi permasalahan yang dihadapi pemda,
maka kita dapat menentukan alternatif solusi yang dapat diberikan untuk mengantisipasi
dan mengatasi permsalahan tersebut. Permasalahan dan kendala pemda yang dapat
diidentifikasi telah diuraikan di bagian sebelumnya.

493

Membangun BPK Paripurna

Kedua, meningkatkan komunikasi BPK dengan pemda, baik secara kuantitas maupun
kualitas. Komunikasi BPK Perwakilan dengan pemda merupakan faktor utama dan penting
yang menentukan dalam penerapan visi BPK. Tanpa adanya komunikasi, maka BPK tidak
mungkin dapat menjalankan perannya menjadi pendorong pengelolaan keuangan daerah.
BPK Perwakilan harus mampu membangun, memelihara, dan meningkatkan komunikasi
yang efektif dengan pemda. Komunkasi yang dibangun dengan pemda bukan hanya dari
aspek kuantitas atau frekuensinya saja, tetapi juga harus dilihat dari aspek kualitasnya. Selain
menyangkut materi dan cara komunikasi, aspek kualitas komunikasi juga menyangkut
tingkat atau level pejabat yang diajak komunikasi. Sekali t, yang tidak boleh diabaikan
dalam komunikasi adalah prinsip integritas dan independensi.

Langkah konkret yang telah dan sedang dilakukan oleh BPK Perwakilan Provinsi Riau
dalam rangka meningkatkan komunikasi dengan pemda sebagai upaya untuk mendorong
akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah adalah sebagai berikut:

a. Pada 9 Juli 2019, melaksanakan pertemuan dengan para Kepala BPKAD dan Inspektur
Daerah Provinsi serta seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau

b. Pada 16 Agustus 2019, mengirim surat kepada Gubernur serta seluruh Bupati dan
Walikota

c. Secara bertahap dan bergantian, mengadakan pertemuan dengan para Sekda beserta
Kepala BPKAD dan kepala OPD yang terkait dengan pengelolaan aset yang masih
bermasalah. Pertemuan tersebut secara bertahap dilaksanakan mulai bulan Oktober
2019.

Ketiga, melaksanakan PDTT sebagai dukungan terhadap pemeriksaan LKPD. Upaya
mendorong pemda untuk meningkatkan kualitas pelaporan keuangan juga dapat dilaku-
kan dengan pemeriksaan selain pemeriksaan keuangan, antara lain pemeriksaan dengan
tejuan tertentu atau PDTT. BPK dapat melaksanakan PDTT terhadap objek pemeriksaan
yang dianggap memiliki kontribusi yang signifikan terhadap kewajaran penyajian LKPD.
Pada umumnya, faktor yang memengaruhi opini atas laporan keuangan pemda adalah ter-
kait dengan asset tetap. Dalam hal ini BPK dapat melakukan PDTT terhadap manajamen
aset.

Hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Riau atas LKPD 2018 menunjukkan bahwa pen-
gelolaan persediaan obat-obatan dan bahan habis pakai di salah satu RSUD masih belum
tertib. Padahal persediaan obat-obatan mempunyai nilai yang signifikan. Sehubungan
dengan hal tersebut, untuk mengantisipasi permasalahan terkait dengan perngolaan

494

|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah

obat-obatan pada RSUD lainnya, maka pada tahun 2019 ini, BPK Perwakilan Provinsi Riau
melakukan PDTT atas beberapa RSUD di Provinsi Riau.
keempat, melakukan pemeriksaan interim LKPD lebih awal. Pemeriksaan LKPD yang
dilakukan BPK selama ini terdiri atas dua tahap yaitu pemeriksaan interim yang dilakukan
sebelum pemda menyerahkan LKPD unaudited dan pemeriksaan terinci yang dilakukan
setelah pemda menyerahkan LKPD unaudited kepada BPK. Pemeriksaan interim biasanya
dilakukan pada awal tahun, antara bulan Januari-Maret.
Dalam rangka upaya untuk mendorong pemda dalam meningkatkan kualitas LKPD, maka
BPK juga dapat melakukan pemerikaan interim LKPD lebih awal yaitu pada akhir tahun, bu-
lan November-Desember. Pada akhir tahun 2019 ini, BPK Perwakilan Provinsi Riau melaku-
kan pemeriksaan interim pada empat kabupaten. Penentuan kabupaten yang diperiksa di-
dasarkan pada pertimbangan bahwa entitas tersebut dianggap memiliki potensi masalah
LKPD yang lebih besar dibandingkan dengan entitas lainnya.

D. KESIMPULAN
Sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara, BPK dituntut agar lebih aktif dalam

menjalankan tugas pemeriksaan. Agar hasil pemeriksaan lebih efektif dan bermanfaat,
maka BPK tidak boleh hanya bersikap menunggu tindak lanjut yang dilakukan oleh entitas
yang diperiksa. BPK harus lebih aktif membangun komunikasi dengan pemerintah, baik
pusat maupun daerah. Hal ini juga yang sudah dan sedang dilakukan BPK Perwakilan
Provinsi Riau dalam rangka mendorong pemda untuk menimgkatkan kualitas pengelolaan
keuangan daerah. Upaya ini sejalan dengan visi yang ditetapkan dalam Renstra BPK yaitu
menjadi pendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui
pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat. Komunikasi yang efektif antara BPK dengan
pemda merupakan faktor yang menentukan dalam rangka mewujudkan visi BPK tersebut.

495

Membangun BPK Paripurna

E. DAFTAR PUSTAKA
Arens, Alvin A.; Randal J. Elder; Mark S. Beasley. 2014. Auditing and Assurance Services,

Pearson Education Limited
Boynton, William C.; Johnson, Raymond N. 2006. Modern Auditing: Assurance Services, and

the Integrity of Financial Reporting. John Wiley & Sons, Inc.
BPK-RI.2009. BPK RI Menunaikan Amanat Konstitusi, Jakarta: BPK RI
BPK-RI.2016. Rencana Strategis BPK RI 2016-2020. Jakarta: BPK RI
BPK-RI.2019. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2019. Jakarta: BPK RI
BPK-RI.2019. Resume Sidang BPK, 9 Januari 2019
Purwanto, Djoko.2006. Komunikasi Bisnis. Jakarta: Penerbit Erlangga
------------.2010.Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi

Pemerintahan
------------.2009.Permendagri No. 9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana,

Sarana, dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di Daerah.
------------. https://id.scribd.com/doc/183741065/Assurance-Atestasi-Dan-Auditing
------------.https://www.ispartnersllc.com/blog/defining-attestation-assurance-auditing/

496

|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah

497

Membangun BPK Paripurna

Implementasi Tambahan
Penghasilan PNS Daerah

Dengan TuKIN dalam
Pemberian Gaji Ke-13 serta

Tunjangan Hari Raya

Hery Purwanto S.E., M.M., Ak. , CA, CSFA
(Kepala BPK Pewakilan Provinsi Nusa Tenggara Barat)

A. Pendahuluan
Dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah dapat

memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil (pns) dengan tetap
memerhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil
daerah tersebut menggunakan kriteria pertimbangan beban kerja, kelangkaan profesi,
prestasi kerja, dan/atau pertimbangan objektif lainnya dengan memedomani Peraturan
Pemerintah. Apabila Peraturan Pemerintah tersebut belum terbit, maka Kepala Daerah
dapat memberikan tambahan penghasilan bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN)
setelah mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.

Selain nomenklatur pemberian tambahan penghasilan kepada PNS daerah, dikenal
juga adanya nomenklatur tunjangan kinerja. Tunjangan kinerja adalah tunjangan yang
diberikan kepada Pegawai Negeri sebagai wujud dari keberhasilan pelaksanaan reformasi
birokrasi dan didasarkan pada capaian kinerja pegawai negeri yang sejalan dengan
capaian kinerja organisasi tempatnya bekerja. Oleh karena itu, tukin individu Pegawai
Negeri dapat meningkat atau menurun sejalan dengan peningkatan atau penurunan
kinerja yang diukur berdasarkan lndikator Kinerja Utama Instansi (kementerian/lembaga
dan pemerintah daerah).1

1 Peraturan Menpan RB Nomor 63 Tahun 2011 tentang Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai
Negeri, Lampiran I.4 angka 4;

498

|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah

Pada Tahun 2019, Pemerintah menerbitkan dua aturan terkait kebijakan pemberian
gaji ke-13 dan tunjangan hari raya yaitu PP Nomor 35 Tahun 2019 tentang Perubahan
Ketiga PP Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pemberian Gaji, Pensiun, Atau Tunjangan Ketiga
Belas Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun Atau Tunjangan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2019 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya
Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan.

Komponen pemberian gaji atau tunjangan ketiga belas dan Tunjangan Hari Raya
tersebut paling sedikit meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan
atau tunjangan umum, dan paling banyak meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga,
tunjangan jabatan atau tunjangan umum, dan Tukin.

Permasalahan yang dapat muncul dalam pelaksanaan pembayaran gaji ke-13 dan
tunjangan hari raya adalah apakah tambahan penghasilan pegawai bagi PNS Daerah secara
substantif sama dengan tunjangan kinerja sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 35
Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2019 sehingga dapat diberikan
ataukah sebaliknya.

Pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah:
1) Pengaturan Tukin dalam Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah
2) Pengaturan mengenai tambahan penghasilan pegawai bagi ASN Daerah dalam

pengelolaan keuangan daerah; dan
3) Implementasi pemberian tambahan penghasilan pegawai sebagai komponen

Gaji ke-13 dan Tunjangan Hari Raya Tahun 2019.

B. Identifikasi Masalah
1) Pengaturan Tukin dalam Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah
Penerapan tunjangan kinerja telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 15
Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa selain
gaji, PNS juga menerima tunjangan dan fasilitas.2

Definisi dari Tunjangan kinerja sendiri adalah tunjangan yang diberikan kepada
Pegawai Negeri sebagai wujud dari keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi

2 UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 80 ayat (1) dan Penjelasan

499

Membangun BPK Paripurna

dan didasarkan pada capaian kinerja Pegawai Negeri tersebut yang sejalan dengan
capaian kinerja organisasi dimana Pegawai Negeri tersebut bekerja. Oleh karena
itu, tunjangan kinerja individu Pegawai Negeri dapat meningkat atau menurun
sejalan dengan peningkatan atau penurunan kinerja yang diukur berdasarkan
lndikator Kinerja Utama lnstansi (kementerian/lembaga dan pemerintah daerah).3
Prinsip-prinsip dalam implementasi tunjangan kinerja adalah:4
a. Efisiensi/optimalisasi pagu anggaran belanja Kementerian/Lembaga dan
Pemerintah Daerah;
b. Equal pay for equal work, pemberian besaran tunjangan kinerja sesuai dengan

harga jabatan dan pencapaian kinerja.
Pemberian tunjangan kinerja kepada pegawai negeri didasarkan pada faktor-faktor
sebagai berikut:5

5a. tingkat capaian pelaksanaan reformasi birokrasi instansi;
b. nilai dan kelas jabatan;
c. indeks harga nilai jabatan;
d. faktor penyeimbang; dan
e. indeks tunjangan kinerja daerah provinsi (Locality-Based Comparability
Payments I Locality Pay Rate).

Pengaturan mengenai Tambahan Penghasilan Pegawai bagi ASN Daerah dalam
pengelolaan keuangan daerah

Terkait dengan pengelolaan keuangan daerah, saat ini telah terbit Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang mencabut
PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada prinsipnya,
Pemerintah Daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada Aparatur Sipil
Negara dengan memerhatikan kemampuan keuangan daerah dengan terlebih dahulu
memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persetujuan DPRD tersebut dilakukan bersamaan dengan pembahasan Kebijakan Umum
Anggaran (KUA).6

3 Peraturan Menpan RB Nomor 63 Tahun 2011 tentang Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai
Negeri, Lampiran I.4 angka 4;

4 Peraturan Menpan RB Nomor 63 Tahun 2011 tentang Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja
Pegawai Negeri, Pasal 1;
5 Ibid., Pasal 3

500

|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah

Kriteria pemberian tambahan penghasilan berdasarkan pertimbangan sebagai
berikut:
n Tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja diberikan kepada Pegawai ASN

yang dibebani pekerjaan untuk menyelesaikan tugas yang dinilai melampaui
beban kerja normal.
n Tambahan penghasilan berdasarkan tempat bertugas diberikan kepada
Pegawai ASN yang dalam melaksanakan tugasnya berada di Daerah memiliki tingkat
kesulitan tinggi dan Daerah terpencil.
n Tambahan penghasilan berdasarkan kondisi kerja diberikan kepada Pegawai ASN
yang dalam melaksanakan tugasnya berada pada lingkungan kerja yang memiliki
risiko tinggi.
n Tambahan penghasilan berdasarkan kelangkaan profesi diberikan kepada
Pegawai ASN yang dalam mengemban tugas memiliki keterampilan khusus dan langka.
n Tambahan penghasilan berdasarkan prestasi kerja diberikan kepada Pegawai
ASN yang memiliki prestasi kerja yang tinggi dan/atau inovasi.
n Tambahan penghasilan berdasarkan pertimbangan objektif lainnya diberikan
kepada Pegawai ASN sepanjang diamanatkan oleh peraturan perundang- undangan.

Pemberian tambahan penghasilan kepada pegawai ASN daerah berdasarkan kriteria
yang disebutkan di atas ditetapkan melalui Peraturan kepala daerah dengan memedomani
Peraturan Pemerintah. Apabila Peraturan Pemerintah tersebut belum terbit, maka Kepala
Daerah dapat memberikan tambahan penghasilan bagi Pegawai ASN setelah mendapat
persetujuan dari Menteri Dalam Negeri. Persetujuan tersebut setelah memperoleh
pertimbangan dari Menteri Keuangan.8

Apabila dalam pelaksanaannya, Kepala Daerah menetapkan pemberian tambahan
penghasilan tanpa ada persetujuan dari Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh
pertimbangan dari Menteri Keuangan, maka Menteri Keuangan akan melakukan
penundaan dan/atau pemotongan Dana Transfer Umum atas usulan Menteri Dalam Negeri.

Implementasi pemberian tambahan penghasilan pegawai sebagai komponen
Gaji ketiga belas dan Tunjangan Hari Raya Tahun 2019

Pada Tahun 2019, Pemerintah menerbitkan regulasi untuk mengatur pemberian Gaji
ketigabelas serta Tunjangan Hari Raya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun
2019 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2016 tentang

501

Membangun BPK Paripurna

Pemberian Gaji, Pensiun, Atau Tunjangan Ketiga Belas Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit
Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara,
dan Penerima Pensiun Atau Tunjangan serta Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2019
tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara
Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara,
Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan.

Terkait dengan PNS Daerah, Gaji, pensiun atau tunjangan ketiga belas diberikan sebesar
penghasilan pada bulan Juni meliputi paling sedikit meliputi gaji pokok, tunjangan
keluarga, dan tunjangan jabatan atau tunjangan umum, dan paling banyak meliputi gaji
pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, dan tunjangan
kinerja10 dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Yang dimaksud dengan “gaji pokok” adalah gaji pokok sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan tentang gaji.
b. Yang dimaksud dengan “tunjangan keluarga” adalah tunjangan keluarga

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang gaji.
c. Yang dimaksud dengan “tunjangan jabatan” adalah tunjangan jabatan

sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang gaji.
Tunjangan jabatan tersebut meliputi tunjangan jabatan struktural, tunjangan
jabatan fungsional, dan tunjangan yang dipersamakan dengan tunjangan jabatan.
Yang dimaksud dengan “tunjangan yang dipersamakan dengan tunjangan jabatan”
bagi PNS adalah: a. tunjangan tenaga kependidikan; b. tunjangan jabatan
Anggota dan Sekretaris Pengganti Mahkamah Pelayaran; c. tunjangan Panitera;
d. tunjangan Jurusita dan Jurusita pengganti; e. tunjangan pengamat gunung api
bagi PNS golongan I dan II; dan f. tunjangan petugas pemasyarakatan. Tunjangan
jabatan Pejabat Negara termasuk tunjangan yang dipersamakan dengan tunjangan
jabatan bagi Pejabat Negara yaitu tunjangan jabatan bagi pejabat tertentu yang
ditugaskan pada Badan Pemeriksa Keuangan dan Tunjangan Hakim.
d. Yang dimaksud dengan“tunjangan umum”adalah tunjangan umum sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang gaji.
e. Yang dimaksud dengan “tunjangan kinerja” adalah tunjangan yang diberikan
berdasarkan kelas jabatan dengan mempertimbangkan penilaian reformasi
birokrasi, capaian kinerja organisasi, dan capaian kinerja individu yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan.

502

|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah

Tunjangan kinerja tersebut merujuk pada penerapan tunjangan kinerja yang diatur melalui
Peraturan Menpan RB Nomor 63 Tahun 2011 tentang Pedoman Penataan Sistem Tunjangan
Kinerja Pegawai Negeri dan Peraturan Kepala BKN Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman
Penghitungan Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri Sipil.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa komponen pembayaran gaji ketiga belas paling
sedikit meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan atau tunjangan umum,
dan paling banyak meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan
umum, dan tunjangan kinerja. Komponen- komponen tersebut merupakan komponen yang
bersifat limitatif serta memiliki definisi yang jelas, sehingga tidak dimungkinkan adanya
interpretasi penghasilan di luar komponen tersebut.

Selanjutnya terkait pengaturan mengenai pemberian Tunjangan Hari Raya, sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2019 tentang Pemberian Tunjangan Hari
Raya Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara, Penerima Pensiun, Dan Penerima Tunjangan
tidak berbeda dengan substansi pengaturan pada PP Nomor 35 Tahun 2016 demikian juga
dengan analisa permasalahannya.

Substansi yang telah ditentukan dalam PP Nomor 35 Tahun 2019 dan PP Nomor 36 Tahun
2019 untuk implementasi di level pemerintah daerah ialah:

1) PNS daerah diberikan gaji atau tunjangan ketiga belas serta Tunjangan Hari
Raya;
2) Gaji atau tunjangan ketiga belas bagi PNS daerah diberikan sebesar penghasilan pada

bulan Juni dan Tunjangan Hari Raya diberikan sebesar penghasilan 1 (satu) bulan pada
2 (dua) bulan sebelum bulan Hari Raya;
3) Penghasilan ketiga belas serta Tunjangan Hari Raya bagi PNS daerah secara limitatif
diatur paling sedikit meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan
atau tunjangan umum, dan paling banyak meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga,
tunjangan jabatan atau tunjangan umum, dan tunjangan kinerja, sehingga tidak
dimungkinkan adanya penghasilan di luar komponen tersebut;
4) Terkait dengan tunjangan kinerja, unsur-unsur yang terdapat pada definisi tunjangan
kinerja yaitu diberikan berdasarkan kelas jabatan dengan mempertimbangkan
penilaian reformasi birokrasi, capaian kinerja organisasi, dan capaian kinerja individu
yang ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan merupakan definisi serta
subtansi dari tunjangan kinerja yang dimaksud dalam Peraturan Menpan RB Nomor
63 Tahun 2011 tentang Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri.

503

Membangun BPK Paripurna
C. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa definisi serta substansi

tunjangan kinerja pada PP No. 35 Tahun 2019 dan PP No 36 Tahun 2019 diberikan
berdasarkan kelas jabatan dengan mempertimbangkan penilaian reformasi
birokrasi, capaian kinerja organisasi, dan capaian kinerja individu yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut linier dengan yang dimaksud
dalam Peraturan Menpan RB Nomor 63 Tahun 2011 tentang Pedoman Penataan Sistem
Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri, sehingga dalam hal ini tambahan penghasilan
pegawai PNS Daerah yang belum memenuhi definisi serta subtansi dari tunjangan
kinerja, maka tambahan penghasilan pegawai PNS Daerah tidak dapat diberikan sebagai
komponen penghasilan ketiga belas dan Tunjangan Hari Raya.

504

|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah

Daftar Pustaka
PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pemberian Gaji, Pensiun, Atau
Tunjangan Ketiga Belas Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional
Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara, dan
Penerima Pensiun Atau Tunjangan;
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2019 tentang Pemberian Tunjangan Hari
Raya Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara, Penerima Pensiun, Dan
Penerima Tunjangan;
Peraturan Menpan RB Nomor 63 Tahun 2011 tentang Pedoman Penataan Sistem
Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri.

505

Membangun BPK Paripurna

Sinergi BPK Perwakilan
Provinsi Sulawesi Selatan
dan Inspektorat Kabupaten
Dalam Pemeriksaan Dana Desa

Wahyu Priyono, SE, MM, Ak, CSFA
(Kepala BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan)

A. PENDAHULUAN
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang bertugas untuk

memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana termaktub
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),
Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan. Untuk memperlancar tugas dan meningkatkan kualitas hasil
pemeriksaan, maka sesuai amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 23G yang menyatakan
bahwa “BPK berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi”
dan UU Nomor 15 Tahun 2006, tentang BPK pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa “BPK
memiliki perwakilan di setiap provinsi”, dibentuklah kantor perwakilan BPK RI yang berdiri
di setiap wilayah provinsi di Indonesia.

BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan adalah salah satu perwakilan wilayah timur
yang berada di bawah Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) VI yang dikepalai oleh
Auditor Utama (Tortama) Keuangan Negara VI, setingkat dengan pejabat Eselon Ia.

Sesuai dengan Renstra BPK RI dan Renstra BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan
tahun 2016-2021, BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan memiliki visi menjadi
pendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui
pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat. Sementara misi BPK Perwakilan Provinsi
Sulawesi Selatan adalah (1) memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

506

|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah

negara secara bebas dan mandiri, dan (2) melaksanakan tata kelola organisasi yang
berintegritas, independen, dan profesional.

Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan
mempunyai tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara pada
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, kota/kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan (Kota
Makassar, Kota Parepare, Kota Palopo, Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, Kabupaten
Jeneponto, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Selayar, Kabupaten
Sinjai, Kabupaten Bone, Kabupaten Sopppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Tana Toraja,
Kabupaten Toraja Utara, Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru,
Kabupaten Enrekang, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Luwu Utara,
Kabupaten Pinrang, dan Kabupaten Sidrap), selain itu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
dan lembaga terkait di lingkungan entitas, termasuk melaksanakan pemeriksaan yang
ditugaskan oleh AKN.

Ada tiga jenis pemeriksaan yang dilaksanakan oleh BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi
Selatan sesuai dengan Undang-undang No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun
2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan
kinerja, dan PDTT.

Pemeriksaan Keuangan, adalah pemeriksaan atas LKPD se-provinsi Sulawesi Selatan.
Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini
tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah
sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Pemeriksaan Kinerja, adalah pemeriksaan
atas suatu program atau kegiatan pemerintah dari aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas
dengan tujuan memberikan rekomendasi perbaikan atas kinerja yang belum baik.
Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT), adalah pemeriksaan yang dilakukan
dengan tujuan tertentu, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk
dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal–hal lain yang berkaitan
dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif.

Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut di atas, BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi
Selatan banyak menghadapi permasalahan baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi tersebut, salah satu permasalahan yang
menjadi isu strategis adalah belum optimalnya PDTT atas pengelolaan Dana Desa.

507

Membangun BPK Paripurna

B. PEMBAHASAN
Program Dana Desa merupakan program nasional sebagai perwujudan dari Nawacita

ke-3 yang berbunyi “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Jumlah Dana Desa yang dikucurkan oleh
pemerintah pusat ke desa-desa di seluruh Indonesia sangat besar sehingga memerlukan
pengawasan dan pengendalian yang memadai agar penggunaan Dana Desa tersebut
mencapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Jumlah alokasi Dana Desa (ADD) yang
dikucurkan desa-desa di Provinsi Sulawesi Selatan untuk empat tahun terakhir adalah
sebagai berikut.

Alokasi Dana Desa di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2017-2019

NO NAMA DAERAH Alokasi (dalam ribuan rupiah)

1 Kab. Maros Tahun 2017 Tahun 2018 Tahun 2019
2 Kab. Pangkep
3 Kab. Barru 67.073.813 73.737.621 86.296.412
4 Kab. Pinrang
5 Kab. Enrekang 55.879.672 61,304,517 71.198.484
6 Kab. Gowa
7 Kab. Takalar 34.627.514 42.812.704 49.331.603
8 Kab. Jenepoto
9 Kab. Bantaeng 56.907.593 56.913.255 67.521.173
10 Kab. Bulukumba
11 Kab. Kepulauan Selayar 89.128.443 97.508.525 115.526.328
12 Kab. Sinjai
13 Kab. Bone 100.250.326 124.634.770 147.622.452
14 Kab. Soppeng
15 Kab. Wajo 62.964.264 69.833.666 80.246.588
16 Kab. Luwu
17 Kab. Luwu Timur 70.517.527 84.858.339 106.818.350
18 Kab. Luwu Utara
38.832.355 38.790.336 45.639.495

86.988.704 95.847.004 108.344.633

64.709.384 70.191.557 82.222.354

55.525.848 59.319.066 70.834.464

255.911.673 286.729.589 337.332.552

41.962.571 44.544.050 52.014.824

111.165.441 104.135.947 119.030.097

162.238.175 166.109.370 195.242.489

99.140.948 99.665.965 116.788.775

132.520.096 143.593.365 174.756.329

508

|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah

NO NAMA DAERAH Alokasi (dalam ribuan rupiah)

19 Kab. Tana Toraja Tahun 2017 Tahun 2018 Tahun 2019
20 Kab. Toraja Utara
21 Kab. Sidrap 90.547.246 102.329.496 124.964.994
  Jumlah
88.526.067 108.333.029 133.918.314

55.100580 55.024.515 65.498.274

1.820.518.240 1.924.912.169 2.351.148.984

Banyak permasalahan terkait pengelolaan Dana Desa yang menjadi temuan pemeriksaan
BPK dan Inspektorat, dan permasalahan yang ditangani oleh Aparat Penegak Hukum
(APH) Permasalahan yang menjadi temuan dari hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi
Sulawesi Selatan atas laporan keuangan pemerintah kabupaten di Sulawesi Selatan antara
lain sebagai berikut.

1. Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDesa Belum Disampaikan
kepada Bupati sebesar Rp1,57 miliar

2. Perhitungan dan Penyaluran Bagi Hasil Pajak Restribusi (PBPR) ADD Tahun Anggaran
Tidak Sesuai Dengan Peraturan Bupati

3. Proses Penatausahaan dan Pencairan Dana Desa, ADD, dan BHPR Belum Memadai
4. Terdapat Penyetoran Atas Jasa Giro Rekening Desa ke Rekening Kas Daerah

Kabupaten pada TA 2018 Sebesar Rp105.48
5. Penggunaan Dana Desa untuk keperluan pribadi.

Permasalahan-permasalahan yang terjadi tidak selalu disebabkan oleh kesengajaan dari
aparatur desa, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kekurangtahuan atau kekurangpahaman
mereka dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Dana Desa. Untuk itu
peranan pembinaan dan pengawasan termasuk dari BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi
Selatan sangat diperlukan agar pengelolaan dan pertanggungjawaban tesebut lebih
baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan tujuan pemberian
bantuan Dana Desa tersebut dapat tercapai.

Sesuai dengan visi BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan menjadi pendorong
pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang
berkualitas dan bermanfaat, BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan semestinya dapat
lebih berperan dalam mendorong pengelolaan keuangan daerah termasuk di dalamnya
Dana Desa agar lebih transparan dan akuntabel dan menyejahterakan masyarakat desa.

509

Membangun BPK Paripurna

Namun sejak Program Dana Desa diluncurkan pada tahun 2015 sampai dengan tahun 2018
BPK Provinsi Perwakilan Sulawesi Selatan belum pernah melakukan PDTT atas pengelolaan
dana desa. Selain karena keterbatasan anggaran pemeriksaan, keterbatasan jumlah
pemeriksa menjadi penyebab tidak dilakukannya pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas
pengelolaan dana desa tersebut. Anggaran pemeriksaan yang tersedia lebih diprioritaskan
untuk melakukan pemeriksaan keuangan (LKPD) dan pemeriksaan kinerja tematik, serta
pemeriksaan tujuan tertentu atas belanja daerah yang mendukung pemeriksaan keuangan
tahun berikutnya.

Selama ini pemeriksaan Dana Desa dilaksanakan sebagai bagian dari pemeriksaan
laporan keuangan pemerintah daerah sehingga sampel yang diperoleh sangat kecil
dengan pengujian yang terbatas pada data penyalurannya saja yang diperoleh dari OPD
di Pemerintah Kabupaten. Untuk itu sangat diperlukan PDTT atas pengelolaan Dana Dana
dengan sampel yang lebih luas/banyak dan pengujian sampai kepada pengelolaan dan
bukti-bukti pertanggungjawaban di desa-desa.

Dalam Rencana Kerja Pemeriksaan (RKP) BPK Perwakilan Sulawesi Selatan tersedia
anggara PDTT atas pengelolaan dana desa pada dua entitas yaitu Kabupaten Wajo dan
Bulukumba. Jumlah desa di Kabupaten Wajo sebanyak 142 dan di Kabupaten Bulukumba
sebanyak 109. Waktu pemeriksaan selama 35 hari kalender dengan jumlah pemeriksa
sebanyak empat orang, yaitu 1 orang ketua tim dan 3 orang anggota tim. Dengan jumlah
personil pemeriksa sebanyak 4 orang dalam waktu 35 hari maka jumlah sample desa yang
akan diperiksa tidak akan mencapai target 30% dari jumlah desa yang ada.

Untuk itu perlu diambil langkah strategis agar jumlah sample desa yang diperiksa dapat
terpenuhi. Untuk Kabupaten Wajo jumlah minimal sample yang harus dipriksa sebanyak 43
desa dan untuk Kabupaten Bulukumba sebanyak 33 desa. Strategi yang dapat dilakukan
adalah bersinergi dengan Inspektorat Kabupaten dalam pemeriksaan dengan tujuan
tertentu atas pengelolaan dana desa. Bentuk sinerginya dalam bentuk pemeriksaan bersama
antara tim pemeriksa BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan dengan tim pemeriksa
Inspektorat Wajo dan Bulukumba. 4 orang Tim Pemeriksa BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi
Selatan akan dibantu oleh 8 orang pemeriksa Inspektorat Kabupaten. Mereka akan dibagi
dalam 4 sub tim dengan komposisi 1 orang dari BPK dan 2 orang dari Inspektorat. Dengan
pembagian ini diharapkan jumlah sample yang akan diperiksa akan menjadi lebih banyak
dan memenuhi target.

Sebelum pelaksanaan pemeriksaan dilakukan, terlebih dahulu diadakan FGD tentang
pemeriksaan atas pengelolaan dana desa yang diikuti oleh para pemeriksa dari BPK

510

|Bagian 5 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah

Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan, Inspektorat Wajo dan Inspektorat Bulukumba pada
tanggal 17 Oktober 2019 di Kantor BPK Perwakilan Sulawesi Selatan. FGD ini bertujuan
untuk sharing pengetahuan dan pengalaman terkait pemeriksaan atas pengelolaan dana
desa sehingga dapat diperoleh pemahaman yang sama anatara pemeriksa dari BPK dengan
pemeriksa dari Inspektorat.

Setelah FGD, sesuai dengan usulan dari Inspektorat, kerja sama pemeriksaan atas
pengelolaan dana antara BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan dan Inspektorat
dituangkan dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS). Penandatangan PKS tersebut sudah
dilaksanakan pada tanggal 21 Oktober 2019 oleh Kepala Perwakilan dan Kepala Daerah di
Kantor BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan. Pelaksanaan pemeriksaan pada entitas
saat ini sedang dilaksanakan mulai tanggal 22 Oktober s.d. 25 November 2019. Berdasarkan
hasil supervise Pengendali Teknis dan Wakil Penanggung Jawab Pemeriksaan, pelaksanaan
pemeriksaan di lapangan berjalan dengan baik dan lancar.

C. PENUTUP
PDTT atas pengelolaan dana desa dalam pelaksanaannya perlu melibatkan inspektorat

kabupaten agar pengambilan sampel dapat dilakukan lebih luas dan pengujian lebih
mendalam. Dengan demikian, peran BPK dalam ikut mendorong pengelolaan keuangan
negara khususnya dana desa dapat lebih dioptimalkan.

Harapanya sinergi pemeriksaan BPK dan inspektorat kabupaten yang sedang
dilaksanakan dapat berhasil dengan baik dan dapat diterapkan dalam pemeriksaan di
kabupaten-kabupaten lainnya.

511

Membangun BPK Paripurna
512

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Bagian 6

Memperkuat
Aspek Hukum dan

Penyelesaian
Kerugian Negara/

Daerah

513

Membangun BPK Paripurna

Mitigasi Risiko
Gugatan Hukum terhadap
Hasil Pemeriksaan pada BPK
Perwakilan Provinsi Jambi

Hery Ridwan, S.E., M.M., Ak., CA., CSFA
(Kepala BPK Perwakilan Provinsi Jambi)

A. Pendahuluan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Jambi merupakan salah

satu satuan kerja (satker) Pelaksana BPK di daerah. Tugasnya untuk melaksanakan
pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan daerah pada pemerintah
daerah ( p e m d a ) Provinsi/Kabupaten/Kota, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan
lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan daerah di wilayah Provinsi Jambi.
Pemeriksaan dimaksud dapat berbentuk pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD), pemeriksaan kinerja, dan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT).

Seiring waktu dan perkembangan teknologi dalam era keterbukaan informasi,
kesadaran dan perhatian publik terhadap pertanggungjawaban keuangan negara,
termasuk terhadap hasil pemeriksaan BPK semakin besar. Publik maupun pihak yang
terkait dengan tugas pemeriksaan BPK semakin kritis dan memberikan perhatian yang
lebih besar terhadap hasil pemeriksaan BPK, termasuk menggugat hasil pemeriksaan BPK.

Dalam beberapa tahun terakhir, gugatan hukum terhadap terhadap BPK dan/atau
Pemeriksa terkait hasil pemeriksaan BPK menjadi hal yang tidak jarang terdengar di
media. Gugatan hukum tersebut akan berdampak terhadap kinerja dan pelaksanaan tugas
pemeriksaan serta berkurangnya kepercayaan publik terhadap BPK maupun terhadap hasil
pemeriksaan BPK. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi BPK untuk meminimalisir risiko
terjadinya gugatan hukum sehingga kepercayaan publik dan para pemangku kepentingan
terhadap BPK semakin besar.

514

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diambil beberapa permasalahan yaitu

adanya risiko gugatan terhadap hasil pemeriksaan BPK dan bagaimana memitigasi risiko
terjadinya gugatan hukum terhadap BPK dan/atau Pemeriksa melalui identifikasi faktor-
faktor yang berpotensi menjadi sebab terjadinya gugatan hukum.

C. Pembahasan
Kedudukan dan Fungsi BPK

Konstitusi mengamanatkan bahwa tujuan negara adalah untuk mencapai masyarakat
yang adil, makmur dan sejahtera. Keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok
dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat
penting guna mewujudkan tujuan negara. Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk
menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 15Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan, BPK adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Tugas dan wewenang BPK dimaksud mencakup antara lain memeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah
daerah (pemda), lembaga negara lainnya, Bank Indonesia (BI), Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau
badan lain yang mengelola keuangan negara.

Selanjutnya, BPK memantau pelaksanaan tindak: lanjut basil pemeriksaan yang dilakukan
oleh pejabat yang terkait dan hasilnya diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
serta pemerintah.

BPK juga menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang dan memantau
penyelesaian ganti kerugian negara/daerah dan pelaksanaan pengenaan ganti kerugian
negara/daerah dan pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah.

Selain itu, BPK memberikan pendapat kepada lembaga perwakilan maupun entitas
pemeriksaan; pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh
pemerintah; dan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Manajemen Risiko di BPK

515

Membangun BPK Paripurna

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) telah mengatur bahwa dalam melakukan
pemeriksaan, Pemeriksa (harus) mewaspadai, menyadari, mempertimbangkan, dan
mengelola risiko pemeriksaan.

Risiko pemeriksaan merupakan risiko bahwa hasil pemeriksaan tidak sesuai dengan
kondisi yang sebenarnya, sehingga Pemeriksa (harus) mengembangkan prosedur
pemeriksaan dan melaksanakannya dengan tujuan mengurangi risiko pemeriksaan.

Selain itu, salah satu risiko pemeriksaan yang sangat mungkin terjadi atas pelaksanaan
pemeriksaan BPK adalah risiko hukum berupa adanya tuntutan hukum/gugatan kepada
organisasi, dalam hal ini kelembagaan BPK maupun secara perorangan yaitu personel
Pemeriksa BPK.

Dalam era demokrasi, keterbukaan informasi dan kebebasan menyampaikan pendapat
sangat terbuka lebar, tidak heran kalau BPK terkadang mengalami hambatan dalam bentuk
gugatan pihak ketiga dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan.

Meskipun demikian, BPK telah melakukan upaya-upaya mitigasi. Salah satunya, dalam
rangka manajemen risiko di lingkungan BPK, BPK telah menerbitkan Keputusan BPK Nomor
7/K/I-Xlli.2/9/2018 tentang Pedoman Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan BPK.
Termasuk risiko hukum berupa tuntutan hukum kepada organisasi maupun Pemeriksa.

Kategori-kategori risiko yang telah berhasil diidentifikasi di lingkungan BPK1, pertama,
risiko kebijakan. Kebijakan organisasi atau kebijakan internal maupun ekstemal organisasi
yang berdampak langsung terhadap organisasi.

Kedua, risiko kepatuhan. Organisasi atau pihak eksternal tidak mematuhi dan/atautidak
melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Ketiga,
risiko hukum. Tuntutan hukum kepada organisasi, baik itu perdata, Tata Usaha Negara (TUN),
maupun pidana.

Keempat, risiko kecurangan (fraud). Kecurangan yang disengaja oleh pihak internal
yang merugikan keuangan negara. Kelima, risiko operasional. Risiko ini bisa karena
ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, dan
kegagalan sistem serta kejadian eksternal yang memenuhi operasional.

Keenam, risiko reputasi. Kegagalan atas mitigasi risiko-risiko lainnya sehingga mulai
turunnya kepercayaan publik terhadap kualitas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK.

Proses komunikasi dan konsultasi dengan pemangku kepentingan (stakeholder) eksternal
dan internal perlu dilaksanakan selama proses manajemen Rrsiko pada semua tahapan
melalui Sidang Badan, Rapat Koordinasi (Rakor) Pelaksana BPK, Rapat Kerja (Raker) Pelaksana
BPK, Forum Eselon, Forum Pengelola Risiko dan Focus Grup Discussion (FGD).

1 Keputusan BPK No.7/K/I-XIlI.2/9/2018 tentang Pedoman Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan BPK

516

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Ketujuh, risiko hukum dalam pemeriksaan BPK. Hasil pemeriksaan dapat berimplikasi
timbulnya hak dan/atau kewajiban atau bahkan berimplikasi hukum bagi pihak-pihak
yang terkait dengan pemeriksaan. Timbulnya hak dan kewajiban maupun implikasi hukum
tersebut kemudian memungkinkan respon dari pihak-pihak yang terkait pemeriksaan.
Responnya dapat berupa ketidaksetujuan, keberatan, atau bahkan gugatan hukum
terhadap BPK dan/atau pemeriksa yang merupakan risiko hukum bagi BPK. Risiko hukum
tersebut dapat berupa gugatan Tata Usaha Negara (TUN), gugatan perdata, maupun
tuntutan pidana.

Dalam beberapa tahun terakhir, gugatan hukum terhadap BPK dan/atau Pemeriksa
BPK menjadi hal yang tidak asing terdengar.BPK dan/atau pemeriksa BPK telah beberapa kali
menghadapi gugatan hukum dari pihak-pihak yang terkait pemeriksaan. Sebagai contoh,
pada BPK Perwakilan Provinsi Jambi, terdapat dua gugatan perdata atas basil pemeriksaan
BPK, yaitu gugatan perdata oleh PT BAM kepada BPK Perwakilan Provinsi Jambi Tahun 2011
terkait temuan pemeriksaan dalam LHP atas Kegiatan Pembangunan Sarana Air Bersih
Tebing Tinggi Kuala Tungkal pada Pemerintah Kabupaten Tanjab Barat.

Lalu, gugatan TUN oleh saudara AW kepada BPK Perwakilan Provinsi Jambi Tahun 2015
terkait temuan pemeriksaan kepatuhan dalam LHP atas LKPD TA 2015.

Gugatan terhadap LHP BPK Perwakilan Provinsi Jambi oleh pihak yang berkepentingan
yaitu atas nama perusahaan (PT. BAM) clan atas nama pribadi (Sdr. AW) sampai ke
tingkat kasasi pada Mahkamah Agung. Hasil Putusan Kasasi oleh Mahkamah Agung yang
mengabulkan permohonan Kasasi BPK, menegaskan bahwa LHP BPK tetap mengikat dan
wajib ditindaklanjuti oleh pemda.

Gugatan hukum terhadap BPK diajukan, antara lain karena para pihak yang terkait
dengan pemeriksaan BPK, dalam hal ini, penggugat merasa dirugikan hak-haknya
sehubungan dengan proses dan/atau hasil pemeriksaan BPK.

Gugatan hukum terhadap BPK dan/atau pemeriksa, langsung maupun tidak langsung,
akan berpengaruh terhadap kinerja dan pelaksanaan tugas-tugas pemeriksaan BPK. Disadari
atau tidak, gugatan hukum telah menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian Pemeriksa
akan adanya potensi digugat secara hukum oleh pihak yang terkait pemeriksaan. Jika tidak
dikelola sedemikian rupa akan berdampak terhadap kinerja dan produktivitas Pemeriksa.

Salah satu gejala yang terlihat dari adanya kekhawatiran Pemeriksa tersebut, yaitu
adanya kecenderungan atau upaya untuk menghindari tugas-tugas pemeriksaan yang
terkait dengan kerugian negara/daerah, atau bahkan keengganan untuk melaksanakan
tugas-tugas pemeriksaan.

517

Membangun BPK Paripurna

Terjadinya gugatan hukum, tentunya akan berdampak terhadap BPK sebagai
sebuah lembaga. Kepercayaan publik clan para pemangku kepentingan kepada BPK
maupun terhadap hasil pemeriksan BPK akan tergerus/berkurang. Terlepas dari hasil akhir
persidangan, yang menetapkan suatu gugatan hukum diterima atau ditolak, kepercayaan
publik kepada BPK telah terlanjur berkurang dan memunculkan persepsi yang negatif di
kalangan pubJik.

Di sisi lain, kepercayaan publik tersebut mutlak diperlukan karena tugas dan wewenang
BPK sangat strategis. Publik mengharapkan BPK dapat mendorong terciptanya tata kelola
dan pertanggungjawaban keuangan negara yang akuntabel, transparan dan berkualitas,
yangpada akhirnya akan memberikan sumbangsih terhadap pencapaian tujuan negara.

Mengingat dampak yang ditimbulkan oleh gugatan hukum terhadap BPK dan/atau
Pemeriksa, maka risiko atau potensi terjadinya gugatan hukum harus dikelola dan
dimitigasi. Mitigasi risiko terjadinya gugatan hukum akan mengurangi atau bahkan bukan
tidak mungkin meniadakan gugatan hukum terhadap BPK dan/atau pemeriksa.

Salah satu cara mitigasi risiko terjadinya gugatan hukum yaitu dengan mengidentifikasi
faktor-faktor yang potensial menyebabkan terjadinya gugatan hukum. Dengan
mengidentifikasi faktor penyebabnya, maka akan dapat dirumuskan strategi atau formula
menghindari terjadinya gugatan hukum dimaksud.

Dari beberapa kasus gugatan hukum kepada BPK dan/atau Pemeriksa, faktor-faktor
yang potensial menjadi penyebab terjadinya gugatan dapat berasal dari internal BPK
maupun dari eksternal BPK.

Potensi sebab yang berasal dari internal BPK merupakan kondisi di mana terjadinya
atau tidak terjadinya gugatan hukum akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berada dalam kendali BPK, antara lain, pertama, proses dan hasil pemeriksaan belum
seluruhnya dapat memenuhi SPKN maupun pedoman, atau petunjuk pelaksanaan
pemeriksaan.

Dalam rangka melaksanakan tugas pemeriksaan,BPK dan/atau Pemeriksa diharuskan
berpatokan pada SPKN. Dalam hal pelaksanaan tugas pemeriksaan, BPK dan/atau
Pemeriksa tidak dapat memenuhi SPKN, pedoman, ataupun petunjuk teknis (juknis)
yang ada, maka akan ada risiko terjadinya gugatan hukum dari pihak-pihak yang terkait
dengan pemeriksaan akan semakin besar. Misalnya, dalam kasus gugatan perdata, salah
satu alasan yang mendasarinya adalah pandangan penggugat bahwa pemeriksaan BPK
tidak sesuai dengan SPKN maupun ketentuan perundangan yang berlaku, setidaknya
menurut penggugat.

518

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Kedua, perbedaan persepsi di lingkungan Pemeriksa BPK dalam menyikapi suatu
kondisi yang dianggap sebagai indikasi permasalahan/temuan. Dalam pelaksanaan tugas
pemeriksaan, adanya perbedaan persepsi antara sesama pemeriksa dalam menyikapi
suatu kondisi atau permasalahan yang ditemukan dalam pengelolaan keuangan negara/
daerah sangat mungkin terjadi. Hal tersebut tercermin dari adanya keberatan dari pihak-
pihak yang terkait dengan pemeriksaan, baik yang disampaikan langsung kepada BPK
maupun melalui berita di media.

Menurut pandangan pihak yang terkait dengan pemeriksaan BPK, terdapat perbedaan
sikap dan perlakukan Pemeriksa terhadap suatu permasalahan yang sama, yang terjadi di
tempat dan/atau waktu yang berbeda, yang mengesankan adanya standar ganda yang
digunakan oleh BPK dan/atau Pemeriksa. Akibatnya, pihak yang diperiksa atau yang
terkait pemeriksaan merasa bahwa BPK dan/atau Pemeriksa telah merugikan hak-haknya.

Ketiga, pedoman, petunjuk, atau prosedur-prosedur pemeriksaan belum sepenuhnya
dapat menjamin pemenuhan standar dan kebutuhan Pemeriksa. BPK pada dasarnya
telah menyusun dan menetapkan berbagai pedoman, petunjuk, maupun prosedur-
prosedur pemeriksaan, yang dimaksudkan, antara lain, untuk menjamin pemenuhan
standar pemeriksaan maupun keselarasan/keseragaman proses bisnis pemeriksaan.

Namun demikian,ada kalanya pedoman, petunjuk, ataupun prosedur yang telah ada,
belum sepenuhnya dapat menjamin terpenuhinya standar pemeriksaan maupun belum
dapat memenuhi kebutuhan Pemeriksa akan tersedianya suatu manual/alat/perangkat
lunak untuk mempermudah pelaksanaan tugas pemeriksaan.

Dalam konteks ini, pedoman, petunjuk, ataupun prosedur yang telah ada belum
dapat menyediakan panduan yang detail dan rinci bagi Pemeriksa dalam melaksanakan
tugasnya. Misalnya, terkait dokumentasi hasil wawancara, pengujian fisik, maupun
metode-metode perhitungan akibat ketidaksesuaian pekerjaan fisik.

Keempat, konsistensi penerapan standar dan sistem pengendalian mutu pemeriksaan.
Standar pengendalian mutu diperlukan untuk memastikan kualitas hasil pemeriksaan.
BPK telah menyusun dan menetapkan kebijakan dan berbagai prosedur untuk menjamin
kualitas hasil pemeriksaan.

Namun demikian, semua kebijakan dan prosedur tersebut belum sepenuhnya
dilaksanakan secara konsistendanterus-menerus,yang berpotensimenyebabkan terjadinya
kesalahan, kekeliruan atau ketidakakuratan dalam LHP BPK. Hal ini dapat mengakibatkan
pihak-pihak yang terkait pemeriksaan merasa dirugikan hak-haknya.

519

Membangun BPK Paripurna

Kelima, belum memadainya pengetahuan, pemahaman, dan persepsi Pemeriksa
pada umumnya terkait aspek hukum dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab
keuangan negara. Kondisi ini sangat dimungkinkan terjadi mengingat latar belakang
pendidikan dan pengalaman Pemeriksa yang beragam.

Selain faktor-faktor yang berasal dari internal BPK, faktor lain yang potensial
menyebabkan timbulnya gugatan hukum adalah yang berasal dari pihak ekstemal BPK,
yang antara lain, pertama, meningkatnya kesadaran hukum publik, khususnya, terkait
dengan hak dan kewajibannya.

Seiring perkembangan jaman dan era keterbukaan informasi, maka kesadaran dan
pemahaman hukum publik atau masyarakat semakin meningkat. Pada dasarnya hal ini
berdampak positif untuk mendorong tata kelola keuangan negara menjadi lebih baik
karena publik semakin kritis, termasuk terhadap proses pemeriksaan keuangan negara
yang dilaksanakan oleh BPK dan/atau Pemeriksa.

Kedua, perbedaan persepsi atau pemahamaan publik maupun pihak yang terkait
terhadap pemeriksaan keuangan negara. Perbedaan persepsi dan pemahaman tersebut
berpotensi menyebabkan pihak yang terkait pemeriksaan merasa dirugikan hak-haknya
karena BPK dan/atau Pemeriksa melakukan pemeriksaan tidak mengacu kepada ketentuan
perundangan dan SPKN. Hal tersebut seharusnya dapat dihindari jika persepsi atau
pemahaman tentang pemeriksaan keuangan negara antara penggugat dengan pemeriksa
telah sama.

Upaya Meminimalisir Terjadinya Gugatan Hukum
Faktor-faktor yang potensial menjadi penyebab terjadinya gugatan hukum, khususnya

yang berasal dari internal BPK perlu dikendalikan dan dikelola sedemikian rupa sehingga
risiko terjadinya gugatan hukum dapat diminimalisir. Upaya mitigasi yang dapat dilakukan
untuk mengendalikan dan atau bahkan meniadakan faktor-faktor penyebab terjadinya
gugatan hukum dimaksud antara lain, pertama, mengoptimalkan fungsi pengendalian dan
pengawasan atas proses pemeriksaan BPK yang dimaksudkan untuk dapat menjamin
dilaksanakannya sistem pengendalian mutu secara konsisten dan secara terus-menerus
sehingga proses dan hasil pemeriksaan dapat memenuhi standar maupun pedoman-
pedoman pemeriksaan. Pada akhimya akan meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan.

Peningkatan kualitas hasil pemeriksaan dengan sendirinya akan mengurangi risiko
terjadinya gugatan hukum terhadap BPK dan/atau Pemeriksa. Adanya anggapan
bahwa BPK melaksanakan tugas pemeriksaan tidak mengacu SPKN maupun ketentuan

520

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

perundangan menjadi berkurang atau bahkan hilang sehingga tidak dapat dijadikan
alasan untuk mengajukan gugatan hukum kepada BPK dan/atau Pemeriksa.

Fungsi pengendalian dapat dilakukan secara internal di masing-masing unit
pemeriksaan melalui mekanisme review qualityassurance oleh pejabat struktural pemeriksa
maupun melalui mekanisme review quality control yang dilakukan secara mandiri dan
berjenjang oleh pejabat fungsional pemeriksa.

Selain itu, fungsi pengawasan oleh organisasi pemeriksaan BPK dilakukan oleh
Inspektorat Utama (Itama), melalui pemantauan atas pengembangan Sistem
Pengendalian Mutu kinerja pemeriksaan serta rekomendasi hasil penjaminan mutu
kinerja pemeriksaan;

Kedua, menyusun dan/atau menyempumakan pedoman, petunjuk dan prosedur
yang lebih rinci dan sesuai kebutuhan Pemeriksa sehingga Pemeriksa mempunyai
panduan dan rambu-rambu yang rinci dan berlaku sama di seluruh unit-unit
organisasi pemeriksaan.

Pedoman, petunjuk dan prosedur yang lebih rinci tersebut harus dapat mendorong
dan memastikan bahwa dalam proses analisis permasalahan dan perumusan hasil
pemeriksaan harus didasarkan data, bukti, atau dokumen yang valid dan relevan,
sehingga pengambilan keputusan yang didasarkan pada pertimbangan profesional
Pemeriksa menjadi berkurang.

Dengan adanya panduan yang lebih rinci akan mengurangi adanya anggapan
bahwa terdapat perbedaan perlak:uan atas suatu masalah yang sama atau anggapan
bahwa perumusan simpulan hasil pemeriksaan tidak didasarkan pada bukti-bukti yang
valid dan handal.

Ketiga, meningkatkan pemahaman Pemeriksa tentang aspek hukum dalam
pemeriksaan yang mencakup substansi hukum maupun struktur hukum. Hal
tersebut antara lain dapat dilakukan dengan menambah porsi materi pembelajaran
hukum dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan (diklat) Pemeriksa, sosialisasi
tulisan dan/atau pendapat hukum, maupun kasus-kasus gugatan hukum yang
terjadi, termasuk hasil akhir persidangan, kepada Pemeriksa dengan cara publikasi
melalui media-media internal BPK (portal, Sistem Informasi Sumber Daya Manusia SISDM), dan
lainnya), serta optimalisasi fungsi dan dukungan unit organisasi BPK, seper ti Direktorat
Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara (Ditama
Binbangkum) dan subbagian hukum melalui pemberian pendapat hukum yang konkret
atas temuan-temuan pemeriksaan yang berpotensi berimplikasi hukum.

521

Membangun BPK Paripurna

Keempat, penegakan kode etik dan pemantauan implementasinya sehingga

pelanggaran-pelanggaran kode etik semakin berkurang, yang pada akhimya dapat

meningkatkan kepercayaan publik.

Kelima, menyosialisasikan dan memublikasikan secara luas tugas-tugas pemeriksaan

BPK, tidak terbatas pada tugas, fungsi, dan hasil pemeriksaan BPK, namun juga

publikasi dan sosialisasi terkait standar, pedoman dan proses bisnis di BPK (dalam batasan-

batasan tertentu), sehingga masyarakat luas, khususnya, pihak-pihak yang terkait dengan

pemeriksaan dapat menilai dengan objektif dan memeroleh pemahaman yang memadai

terkait dengan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara.

Sosialisasi dan publikasi, khususnya kepada publik dan para pemangku

kepentingan harus dilakukan secara intens dan terus-menerus sehingga tercipta

pemahaman dan persepsi yang sama terhadap pemeriksaan keuangan negara.

Dengan perkembangan teknologi informasi, sosialisasi dan publikasi relatif lebih

mudah untuk dilakukan;

Keenam, peningkatan Peran Subbagian Hukum BPK Perwakilan. Selain meningkatkan

pemahaman Pemeriksa tentang aspek hukum dalam pemeriksaan yang mencakup

substansi hukum maupun struktur hukum, Subbagian Hukum BPK Perwakilan juga

perlu dioptimalkan perannya. BPK Perwakilan Provinsi Jambi telah meningkatkan peran

subbagian hukum, dengan menetapkan kebijakan bahwa setiap temuan pemeriksaan yang

berpotensi menimbulkan permasalahan hukum, berindikasi tindak pidana korupsi dan/

atau mengakibatkan kerugian daerah, agar dikomunikasikan sejak awal kepada subbagian

hukum, baik dalam bentuk diskusi dan/atau permintaan telaahan/pendapat hukum. Selain

itu, setiap temuan pemeriksaan yang memuat rekomendasi berupa penyetoran ke Kas

Daerah, pengambilan sejumlah aset/uang yang jumlahnya signifikan, agar didiskusikan

dan/atau dimintakan telaahan ke subbagian hukum.

Peningkatan peran subbagian hukum juga dilakukan dengan mengoptimalkan layanan

konsultasi hukum, melalui konsultasi Hukum berbasis Portal BPK (Pokrol Bambu), di mana

setiap Pemeriksayang menemukan potensi permasalahan hukum saat pemeriksaan dapat

secara langsung berkonsultasi melalui https:/lportal.bpk.go.idlsites/jambilsubbaghukum/

pokrolbambu,dan segera mendapatkan jawaban (solusi hukum) dari Tim Pokrol Subbagian

Hukum, sehingga potensi permasalahan hukum dapat dideteksi lebih awal.

Layanan konsultasi hukum lainnya, melalui konsultasi hukum on site. Berdasarkan hasil

komunikasi dan konsultasi yang dilakukan melalui Pokrol Bambu, apabila diperlukan, Tim

Subbagian Hukum akan melaksanakan asistensi lapangan secara langsung (konsultasi on

522

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

site) ke entitas pemeriksaan, guna memberikan pendapat/solusi bukum yang lebib objektif
sesuai bukti-bukti pendukung yang ada.

Terakhir, melalui pelibatan tim konsulen hukum saat pelaporan pemeriksaan. Pada saat
konsinyering penyusunan LHP, subbagian hukum perlu dilibatkan sebagai “Tim Konsulen
Hukum”, sehingga Pemeriksa dapat setiap saat berdiskusi seputar permasalahan bukum
selama proses penyusunan laporan pemeriksaan.

Dengan dilibatkannya subbagian hukum ke dalam proses penyusunan LHP akan
mencipatakan komitmen bersama demi terwujudnya hasil pemeriksaan BPK
Perwakilan yang berkualitas dan meminimalisir potensi gugatan oleh pihak lain.

D. KESimpulan
Pelaksanaan pemeriksaan oleh BPK merupakan peristiwa hukum yang dapat

berimplikasi timbulnya hak dan/atau kewajiban atau bahkan berimplikasi hukum bagi
pibak-pihak yang terkait dengan pemeriksaan, sehingga berpotensi terjadinya gugatan
hukum terhadap BPK dan/atau pemeriksa.

Untuk mengendalikan dan mitigasi risiko terjadinya gugatan hukum maka perlu
diidentifikasi faktor-faktor yang potensial menyebabkan terjadinya gugatan hukum, yaitu
dapat berasal dari internal BPK maupun dari ekstemal BPK.

Pada akhirnya, peningkatan kualitas hasil pemeriksaan melalui pemenuhan standar dan
konsistensi penerapan sistem kendali mutu serta upaya-upaya sosialisasi dan publikasi
tugas, standar, serta proses bisnis pemeriksaan kepada para pemangku kepentingan dan
masyarakat luas merupakan dua hal utama yang akan mengurangi potensi terjadinya
gugatan hukum kepada BPK dan/atau Pemeriksa.

523

Membangun BPK Paripurna

Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan

Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
Keputusan BPK Nomor 7/K/I-Xlll.2/9/2018 tentang Pedoman Penerapan Manajemen

Risiko di Lingkungan BPK.
Paparan Prof. Dr. Bahrullah Akbar, MBA “Mitigasi Risiko Hukum BPK”, Denpasar, 21

Maret 2019.
Paparan Prof.Dr. lgn.Wairocana, SH, MH Guru Besar Fak. Hukum Universitas Udayana,

“Mitigasi Risiko Hukum Atas LHP BPK Terkait Gugatan Pihak Ketiga” Denpasar, 21
Maret 2019.
Paparan Kepala Subdit Bantuan Hukum Ditama Binbangkum, Mitigasi Risiko Hukum
BPK”, Palu, 9 Juli 2019.
http://www.hukumonline.com

524

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

525

Membangun BPK Paripurna

Penataan Pembentukan
Peraturan BPK Melalui
Program Legislasi BPK

Herny Yanuarni, S.H., M.M., CLA., CSFA
(Plt. Kepala Direktorat Legislasi, Pengembangan, dan Bantuan Hukum)

A. Pendahuluan
Peraturan perundang-undangan merupakan sistem, karena di dalamnya terdapat

beberapa peristiwa/tahapan yang terjalin dalam satu rangkaian yang tidak terpisahkan
antara satu dan lainnya. Tahapan tersebut yaitu tahap perencanaan, tahap penyusunan,
tahap pembahasan, tahap pengesahan, tahap pengundangan, selanjutnya penyebarluasan.
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa seharusnya norma hukum yang hendak dituangkan
dalam rancangan peraturan perundang-undangan, benar-benar telah disusun berdasarkan
pemikiran yang matang dan perenungan yang memang mendalam, semata-mata untuk
kepentingan umum (public interest), bukan kepentingan pribadi atau golongan1.

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan, Peraturan BPK adalah aturan hukum yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang mengikat secara umum dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia2. Sebagaimana peraturan perundang-undangan, pembentukan Peraturan Badan
Pemeriksa Keuangan (PBPK) harus memperhatikan skala prioritas sesuai kebutuhan untuk
pelaksanaan tugas dan wewenang BPK.

Untuk menghasilkan PBPK yang sesuai dengan kebutuhan organisasi, mendukung
pencapaian tugas BPK, serta tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan
dan peraturan internal BPK lainnya yang ada (secara horizontal), dan tidak bertentangan
dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), serta peraturan perundang-
undangan di atasnya (secara vertikal), maka perlu disusun suatu Program Legislasi (Proleg)
BPK.

1 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang di Indonesia, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Jakarta, hlm 320.

2 Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

526

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Ketentuan mengenai Proleg BPK diatur dalam Pasal 17 Peraturan BPK Nomor 3 Tahun
2018 tentang Penyusunan Peraturan, Instruksi, Surat Edaran, Keputusan, dan Pengumuman
pada Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa perencanaan
penyusunan PBPK dilakukan berdasarkan Program Legislasi BPK. Program Legislasi BPK
disusun satu kali dalam lima tahun berdasarkan skala prioritas dalam rangka pemenuhan
pembentukan Peraturan BPK yang diperintahkan oleh undang-undang atau diperlukan
dalam penyelenggaraan kewenangan BPK. Prioritas dalam Proleg BPK dapat berubah dalam
hal diperlukan perubahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/
atau kebutuhan organisasi.

B. PERUMUSAN MASALAH
Dalam Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2018 belum terdapat pengaturan lebih lanjut
mengenai Proleg BPK. Masalah-masalah yang timbul adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana meningkatkan tata kelola/penataan pembentukan Peraturan BPK dalam
Proleg BPK?
2. Bagaimana usulan mekanisme penyusunan Proleg BPK agar dapat meningkatkan
ketepatan penyelesaian Peraturan BPK dan mencegah permasalahan rendahnya
penyelesaian Peraturan BPK?
3. Produk hukum apa yang perlu dikeluarkan BPK untuk mendukung implementasi
Proleg BPK?

C. PEMBAHASAN
Penataan Pembentukan Peraturan BPK

Peraturan BPK adalah aturan hukum yang dikeluarkan oleh yang mengikat secara
umum dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Peraturan BPK diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan3.

UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan harus memenuhi asas-asas sebagai berikut4:

a. asas kejelasan tujuan;
b. asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

3 Pasal 8 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
4 Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.

527

Membangun BPK Paripurna

c. asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. asas dapat dilaksanakan;
e. asas kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. asas kejelasan rumusan; dan
g. asas keterbukaan.

Sebagaimana peraturan perundang-undangan, pembentukan Peraturan BPK sudah
semestinya dilakukan dengan terencana, terpadu, dan sistematis melalui Proleg BPK,
dengan memperhatikan skala prioritas sesuai kebutuhan untuk pelaksanaan tugas dan
wewenang BPK.

Terencana dimaknai suatu usaha yang sengaja dilakukan untuk menyusun skala
prioritas pembentukan peraturan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat; terpadu
menunjukkan keharusan penyusunan program legislasi dilakukan secara terkoordinasi,
baik di internal lingkungan pemerintah daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), tentunya dengan tetap mempertimbangkan masukan dari instansi vertikal terkait
yang mengurusi bidang hukum, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
adapun sistematis adalah penggunaan metode dan parameter tertentu dalam penyusunan
program legislasi5.

Proleg BPK adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan BPK yang
disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis6. Secara operasional, istilah Proleg BPK
digunakan dalam arti yang merujuk pada materi atau substansi rencana pembentukan
peraturan perundang-undangan dalam hal ini Peraturan BPK. Dalam konteks ini Proleg BPK
adalah daftar rencana pembentukan Peraturan BPK yang disusun berdasarkan metode dan
parameter tertentu serta dilandasi oleh visi dan misi BPK. Visi BPK adalah menjadi Lembaga
Pemeriksa terpercaya yang berperan aktif dalam mewujudkan tata kelola keuangan negara
yang berkualitas dan bermanfaat untuk mencapai tujuan negara. Adapun misi BPK adalah :

1. memeriksa tata kelola dan tanggung jawab keuangan negara untuk memberikan
rekomendasi, pendapat, dan pertimbangan;

2. mendorong pencegahan korupsi dan percepatan penyelesaian ganti kerugian
negara; dan

3. melaksanakan tata kelola organisasi yang transparan dan berkesinambungan agar
menjadi telada bagi institusi lainnya.

5 Wicipto Setiadi, dalam Kata Pengantar Pedoman tentang Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah,
Jakarta: BPHN, 2012.

6 Pasal 1 angka 14 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang
Penyusunan Peraturan, Instruksi, Surat Edaran, Keputusan, dan Pengumuman pada Badan Pemeriksa Keuangan.

528

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Proleg BPK dapat diartikan sebagai perencanaan pembentukan Peraturan BPK yang
memuat skala prioritas Proleg Jangka Menengah dan Tahunan yang disusun secara
terencana, terpadu dan sistematis yang ditetapkan oleh BPK sesuai usulan yang diajukan
satuan kerja. Proleg Jangka Menengah adalah daftar rancangan Peraturan BPK yang disusun
untuk jangka waktu lima tahun dalam satu masa keanggotaan BPK. Proleg Tahunan adalah
daftar rancangan PBPK yang disusun sebagai pelaksanaan Proleg Jangka Menengah yang
dilaksanakan setiap tahun.

1. Usulan Mekanisme penyusunan Proleg BPK
Mekanisme/tahapan penyusunan Proleg BPK baik Proleg BPK Jangka Menegah maupun
tahunan meliputi tahapan sebagai berikut:
1) tahap pengumpulan masukan
identifikasi kebutuhan satuan kerja akan perlunya penyusunan atau revisi PBPK da-
lam waktu lima tahun ke depan. Output kegiatan ini adalah kompilasi usulan masu-
kan dari satuan kerja tentang PBPK yang perlu disusun dalam waktu lima tahun ke
depan.
2) tahap penyaringan masukan
Tim membahas hasil kompilasi untuk menentukan kelayakan dan prioritas daftar
usulan Peraturan BPK yang akan disusun dan ditetapkan dalam Proleg BPK. Output
kegiatan ini adalah daftar usulan PBPK yang akan disusun dan ditetapkan dalam Pro-
leg BPK.
3) tahap penetapan awal
Penetapan awal intinya merupakan pembahasan di level Pejabat Pimpinan Tinggi
Madya (PPTM) atas hasil analisis Tim yang menyaring usulan Peraturan BPK. Dalam
pembahasan PPTM ini juga ditunjuk/disepakati Unit Kerja Pengusul yang akan ber-
tanggung jawab atas penyusunan substansi rancangan dan konsepsi pengaturan
Peraturan BPK. Berdasarkan pembahasan dan kesepakatan PPTM akan ditetapkan
daftar sementara usulan PBPK yang akan disusun dan ditetapkan dalam Proleg BPK,
yang memuat daftar PBPK yang akan disusun dan target penyelesaian; dan penun-
jukkan Unit Kerja Pengusul, yaitu unit kerja yang akan bertanggung jawab atas peny-
usunan substansi rancangan dan konsepsi Peraturan BPK.

529

Membangun BPK Paripurna

4) tahap pembahasan
Output pembahasan ini adalah konsep Keputusan BPK tentang Proleg Jangka

Menengah serta Proleg Tahunan untuk disampaikan kepada Badan. Badan dapat
melakukan pembahasan dan memberikan arahan, masukan, perubahan, ataupun
tambahan atas konsep Keputusan tentang Proleg BPK Jangka Menengah dan
Tahunan sebelum memberikan persetujuan dan penetapan.
5) tahap penetapan Proleg
Konsep Keputusan BPK tentang Proleg Jangka Menengah dan Tahunan yang sudah
dibahas dan disepakati diajukan untuk mendapat persetujuan dan penetapan oleh
Badan. Output yang dihasilkan adalah Keputusan BPK tentang Proleg BPK Jangka
Menengah dan Tahunan.

Tahapan Pemantauan Proleg

Peran Satuan Kerja
Penyusunan Proleg BPK melibatkan seluruh unit kerja setingkat eselon I pada

pelaksana BPK, baik sebagai Unit Kerja Pengusul, maupun untuk memberikan
masukan dan membahas usulan, serta Pimpinan/Badan untuk memberikan
persetujuan/penetapan. Uraian peran unit kerja dalam penyusunan Proleg BPK
adalah sebagai berikut:
1) Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksa

Keuangan Negara (Ditamaa Binbangkum)
a) dalam tahap pengumpulan masukan, Ditama Binbangkum melaksanakan

pengumpulan masukan terkait kebutuhan pembentukan peraturan
dari Satker, untuk menghasilkan kompilasi/inventarisasi kebutuhan
pembentukan PBPK;
b) Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi dan Pengembagan Pemerintah

530

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Keuangan Negara bersama dengan Ditama Revbang serta satuan kerja
terkait melakukan pembahasan untuk menentukan kelayakan dan prioritas
daftar usulan PBPK yang akan disusun dan ditetapkan dalam Proleg BPK;
c) dalam tahap penetapan awal, Ditama Binbangkum mempresentasikan/
memaparkan daftar rancangan PBPK yang akan diusulkan dalam Proleg
BPK serta Satker yang bertanggung jawab kepada para PPTM untuk
disepakati bersama;
d) dalam tahap pembahasan, Ditama Binbangkum menyusun konsep
Keputusan BPK tentang Proleg BPK (Jangka Menengah dan Tahunan)
untuk dibahas oleh PPTM/Badan, serta menindaklanjuti arahan/masukan
Badan;
e) dalam tahap penetapan, Ditama Binbangkum mengajukan konsep
Keputusan BPK tentang Proleg BPK yang sudah dibahas oleh Badan untuk
mendapat pengesahan;
2) Ditama Revbang
a) bersama dengan Ditama Binbangkum dan satuan kerja terkait melakukan
penyaringan awal atas hasil kompilasi/inventarisasi usulan Peraturan BPK
dari satuan kerja;
b) menyusun dan menetapkan daftar sementara usulan Peraturan BPK yang
akan ditetapkan dalam Proleg BPK;
c) melakukan pembahasan usulan Proleg BPK; dan lain-lain
3) Unit Kerja setingkat Eselon I,
Unit kerja setingkat eselon I dapat berperan sebagai Unit Kerja Pengusul atau
sebagai satuan kerja terkait lain.
Unit Kerja Pengusul berperan:
a) mengajukan usulan atau perencanaan penyusunan Peraturan BPK ; dan
b) menyusun draf/rancangan Peraturan BPK serta Konsepsi Pengaturan.
4) Unit Kerja terkait lain berperan:
a) membahas hasil inventarisasi usulan penyusunan PBPK; dan
b) memberikan pertimbangan dan masukan dalam pembuatan daftar
sementara usulan Peraturan BPK yang akan ditetapkan dalam Proleg BPK.
5) PPTM
a) dalam tahap pengumpulan masukan, PPTM memberikan usulan untuk
penyusunan Peraturan BPK ;

531

Membangun BPK Paripurna

b) dalam tahap penetapan awal, PPTM membahas serta memberikan
pertimbangan serta melakukan penetapan atas konsep Proleg BPK
sebelum diajukan kepada Badan.

c. Pemantauan Proleg
Hal-hal yang dipantau adalah:
1) perkembangan penyusunan Peraturan BPK oleh Unit Kerja Pengusul apakah
telah sesuai dengan target penyelesaian; dan
2) kendala penyelesaian (bila ada).

Pihak-pihak terkait dalam pemantauan Proleg BPK:
1) Ditama Binbangkum
a) melakukan pemantauan dan evaluasi atas Proleg BPK satu kali dalam satu
tahun, dimulai pada saat Proleg BPK Jangka Menengah ditetapkan.
b) pemantauan dilakukan dengan pengisian Lembar Pemantauan
Penyelesaian Penyusunan Peraturan BPK dan penggalian serta identifikasi
permasalahan dalam penyusunan Peraturan BPK oleh Unit Kerja Pengusul.
c) Hasil pemantauan dapat berupa:
1) perkembangan penyusunan Peraturan BPK sesuai dengan Proleg BPK;
2) perkembangan penyusunan Peraturan BPK tidak sesuai Proleg BPK dan
terdapat permasalahan/kendala.
d) Output yang dihasilkan dari proses Pemantauan adalah laporan
perkembangan pelaksanaan penyusunan PBPK sesuai Proleg BPK yang
terdiri dari kompilasi hasil pemantauan dan daftar permasalahan/kendala
yang dihadapi Unit Kerja Pengusul dalam penyusunan Peraturan BPK
e) Hasil pemantauan disampaikan kepada PPTM.
2) Unit Kerja Pengusul berperan menyampaikan perkembangan penyusunan
Peraturan BPK kepada Ditama Binbangkum, memberikan masukan dan
menindaklanjuti rekomendasi Badan/PPTM.
3) PPTM berperan melakukan pembahasan atas hasil pemantauan Proleg BPK dan
merumuskan tindak lanjut atau rekomendasi berdasarkan hasil pemantauan.
Hasil pembahasan PPTM adalah berupa rekomendasi apakah akan melakukan
perubahan/revisi Proleg Jangka Menengah:
a) apabila terdapat penyusunan PBPK yang penyelesaiannya tidak sesuai target
Proleg BPK, apakah akan dilanjutkan/ditetapkan dalam Proleg Tahunan

532

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

tahun berikutnya (tanpa menghapus dari Proleg Jangka Menengah) atau
penyelesaiannya tidak akan dilanjutkan (dikeluarkan dari Proleg Jangka
Menengah)
b) apabila terdapat usulan pembentukan Peraturan BPK baru di luar Proleg
BPK yang sudah ditetapkan, apakah Proleg BPK Jangka Menengah akan di-
ubah.
4) Badan berperan melakukan pembahasan dan memberikan masukan atas kon-
sep revisi Proleg Jangka Menengah/Tahunan serta menetapkan revisi Proleg
Jangka Menengah/Tahunan yang telah disempurnakan sesuai masukan Badan.

Tahapan Pemantauan Proleg

2. Produk Hukum untuk mendukung Proleg BPK

Keputusan BPK tentang Mekanisme Penyusunan Proleg, dengan sistematika sebagai

berikut : : Latar Belakang, Maksud dan Tujuan, Ruang Lingkup, Dasar Hukum,
Bab I serta Sistematika Penulisan

Bab II : Gambaran Umum Perencanaan dan Penyusunan Peraturan BPK:

1. Pengertian

2. Asas-asas Pembentukan Peraturan BPK

3. Tahapan Penyusunan Peraturan BPK

4. Tahapan Penyusunan Program Legislasi BPK

533

Membangun BPK Paripurna

Bab III : Penyusunan dan Penetapan Program Legislasi BPK

1. Lingkup dan output

2. Pihak-pihak Terkait

3. Mekanisme Penyusunan Proleg BPK

4. Jadwal Penyusunan Proleg BPK

5. Bagan Alur Penyusunan Proleg BPK
Bab IV : Pemantauan Program Legislasi BPK

1. Lingkup dan output pemantauan

2. Pihak-pihak Terkait

Bab V 3. Pelaksanaan Pemantauan dan Mekanisme Revisi Proleg
: Penutup

1. Pemberlakuan Pedoman Penyusunan Proleg BPK

2. Pemutakhiran Pedoman Penyusunan Proleg BPK

3. Pemantauan Pedoman Penyusunan Proleg BPK

b. Keputusan BPK tentang Proleg BPK Jangka Menengah, menetapkan daftar ran-
cangan Peraturan BPK yang akan disusun beserta prioritas setiap tahun dengan
sistematika:
1) Konsiderans Menimbang;
2) Dasar hukum penetapan Proleg BPK Jangka Menengah;
3) Diktum menetapkan dan pemberlakuan; dan
4) Lampiran yang memuat Daftar Rancangan PBPK yang akan disusun dan Satu-
an Kerja Penanggungjawab serta tahun penyusunan.

c. Keputusan BPK tentang Proleg BPK Tahunan, menetapkan daftar rancangan PBPK
yang akan disusun satu tahun ke depan sesuai prioritas dalam Proleg BPK dengan
sistematika:
1) Konsiderans Menimbang;
2) Dasar hukum penetapan Proleg BPK Tahunan;
3) Diktum menetapkan dan pemberlakuan; dan
4) Lampiran yang memuat Daftar Rancangan PBPK yang akan disusun dan Satu-
an Kerja Penanggungjawab pada tahun dimaksud.

534

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan yang dapat ditarik adalah:
1. Proleg BPK adalah perencanaan penyusunan Peraturan BPK yang dilakukan secara ter-
encana, terpadu, dan sistematis dengan memperhatikan skala prioritas sesuai kebutu-
han untuk pelaksanaan tugas dan wewenang BPK.
2. Mekanisme penyusunan Proleg BPK adalah tahap pengumpulan masukan, tahap pen-
yaringan, tahap penetapan awal, tahap pembahasan dan tahap penetapan Proleg BPK.
Penyusunan Proleg BPK melibatkan seluruh satuan kerja di lingkungan BPK. Perlu
dilakukan evaluasi atas perkembangan penyusunan Peraturan BPK untuk mengetahui
apakah telah sesuai dengan target penyelesaian yang ditetapkan dalam Proleg BPK.
3. Produk hukum yang dihasilkan dari proses penyusunan Proleg BPK adalah Keputu-
san BPK yang mengatur mekanisme penyusunan Proleg BPK, Keputusan BPK ten-
tang Program Legislasi BPK Jangka Menengah dan Keputusan BPK tentang Program
Legislasi BPK Tahunan yang memuat daftar rancangan Peraturan BPK yang akan dis-
usun.

Referensi

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang di Indonesia, Sekretariat Jenderal Mah-
kamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm 320.

Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan.

Pasal 8 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perun-
dang-undangan.

Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.
Wicipto Setiadi, dalam Kata Pengantar Pedoman tentang Penyusunan dan Pengelolaan

Program Legislasi Daerah, Jakarta: BPHN, 2012.
Pasal 1 angka 14 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 2018 tentang Penyusunan Peraturan, Instruksi, Surat Edaran, Keputusan, dan
Pengumuman pada Badan Pemeriksa Keuangan.

535

Membangun BPK Paripurna

Penyelesaian Ganti
Kerugian Negara

Terhadap Penyelenggara
Pemerintah Desa

Ade Iwan Ruswana, S.E., M.M., Ak., CA., CSFA
(Kepala BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Tengah)

A. Pendahuluan
Latar Belakang
Desa atau yang disebut dengan nama lain berupa kesatuan sistem kehidupan

masyarakat adat telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
terbentuk. Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 18B
ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945, yang berbunyi “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI,
yang diatur dalam undang-undang”.

Sesuai dengan amanat konstitusi tersebut, diterbitkan Undang-Undang (UU) Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa yang di antaranya mengatur mengenai kewenangan dan
penyelenggaraan pemerintahan desa, keuangan dan aset desa, pembangunan desa,
dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Undang-Undang ini memberikan kewenangan
kepada kepala desa dan perangkat desa untuk mengelola keuangan desa yang dananya
bersumber dari pendapatan asli desa, bagi hasil pajak dan retribusi daerah, bagian dari
dana perimbangan keuangan pusat dan daerah, alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), bantuan keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta
hibah dan sumbangan dari pihak ketiga. Sumber pendapatan paling besar berasal dari
alokasi anggaran APBN, yaitu Dana Desa (DD).

Sasaran pembangunan desa dan kawasan perdesaan dalam kurun waktu 5 tahun (2015-
2019) adalah mengurangi jumlah desa tertinggal sampai 5.000 desa dan meningkatkan

536

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

jumlah desa mandiri sedikitnya 2.000 desa. Untuk mencapai sasaran tersebut, anggaran
DD yang dialokasikan oleh pemerintah semakin meningkat, yaitu dari Rp20,76 triliun pada
tahun 2015 hingga mencapai Rp60 triliun pada tahun 2018, dengan total anggaran DD
tahun 2015-2018 sebesar Rp187,74 triliun.1

Pemerintah daerah (pemda) wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk pengelolaan DD dan Alokasi Dana Desa
(ADD). Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester II Tahun 2018
menunjukan bahwa pemda belum cukup memiliki regulasi terkait pengelolaan DD dan
ADD, dan belum melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan DD dan ADD secara
memadai.2 Permasalahan ini di antaranya mengakibatkan DD dan ADD dan keuangan desa
pada umumnya tidak memberikan manfaat optimal bagi desa karena disalahgunakan,
bahkan mengakibatkan kerugian negara/daerah.

Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2015
sampai 2018, kasus korupsi DD mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam kurun
waktu 2015-2018, sedikitnya terdapat 181 kasus korupsi dana desa dengan nilai kerugian
sebesar Rp40,6 miliar.3

Pada level regional, misalnya di wilayah KalimantanTengah, pada kurun waktu 2017-2018
terdapat 15 permintaan Penghitungan Kerugian Negara (PKN) atas kasus penyimpangan
keuangan desa yang berindikasi korupsi dan mengakibatkan kerugian negara dengan
nilai kerugian sebesar Rp4,27 miliar. Sampai September 2019, terdapat 11 pengaduan
penyimpangan pengelolaan keuangan desa.4

Maraknya penyimpangan pengelolaan keuangan desa yang berindikasi korupsi
tentu tidak dapat menggambarkan besaran seluruh kerugian negara yang terjadi akibat
penyimpangan pengelolaan keuangan desa, karena banyak kasus penyimpangan
pengelolaan keuangan desa yang tidak berindikasi pidana.5

Walaupun kerugian negara akibat penyimpangan keuangan desa yang berindikasi
pidana dapat dipulihkan atau diselesaikan melalui proses hukum pidana, namun pada
prinsipnya setiap kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum
seseorang harus diselesaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

1 BPK RI, Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2018, hlm 197
2 Ibid., Hal.103
3 https://nasional.kompas.com/read/2018/11/21/19000481/icw-ada-181-kasus-korupsi-dana-desa- rugikan-negara-

rp-406-miliar?page=all
4 BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Tengah, Pemantauan Penanganan Hasil Pemeriksaaan BPK yang Ditindaklanjuti

oleh Instansi Penegakan Hukum 2018
5 Hasil pemeriksaan kinerja BPK atas efektifitas pembinaan dan pengawasan pemerintah daerah atas pengelolaan

DD dan ADD semester II 2018 pada 85 Pemda mengungkapkan 2 permasalahan kerugian senilai Rp137,76 juta,
1 permasalahan potensi kerugian senilai Rp440,19 juta, dan 2 permasalahan kekurangan penerimaan senilai
Rp303,26 juta

537

Membangun BPK Paripurna

sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara Jo. Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.

Masalahnya, pemerintah belum memiliki peraturan tentang tata cara penyelesaian
ganti kerugian negara terhadap penyelenggara pemerintah desa. UU Nomor 1 Tahun 2004
hanya mengatur bahwa pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara
ditetapkan oleh BPK dan terhadap pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain
ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti
Kerugian Negara/Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara dan/atau Pejabat Lain
yang menjabarkan lebih lanjut mengenai pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat
lain sebagai penanggung jawab kerugian, tidak memasukan kategori penyelenggara
pemerintahan desa dalam penanggung jawab kerugian.

Maraknya kasus kerugian keuangan desa dan rawannya penyimpangan keuangan
desa seharusnya menjadi perhatian bagi para penyelenggara negara untuk menyusun
formulasi yang tepat mengenai penyelesaian ganti kerugian. Negara tidak dapat hanya
mengandalkan tindakan aparat penegak hukum atas kerugian yang berindikasi pidana
saja, karena faktanya banyak kerugian negara yang sulit dibuktikan unsur pidananya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan administratif penyelenggara pemerintahan desa?
2. Bagaimana tata cara penyelesaian ganti kerugian negara terhadap penyelenggara
pemerintahan desa?

C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini mengulas mengenai tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah

terhadap penyelenggara pemerintahan desa sebagai sumbangsih pemikiran bagi
terlaksananya tata kelola pemerintahan yang baik.

D. Pembahasan
Setelah perjalanan panjang sejak kemerdekaan Indonesia, desa telah banyak berganti

bentuk. Pada masa orde lama, desa merupakan otonomi terbawah yang menyelenggarakan
pemerintahan sendiri. Sedangkan di era orde baru, desa kemudian berganti konsepsi
menjadi local state government, sebagai perpanjangan tangan pemerintah melalui

538

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

asas dekonsentrasi. Kini, desa dikonsepsikan sebagai gabungan antara local governing
community, yaitu daerah otonomi yang berbasis adat dan local-self government, yaitu
pelaksana desentralisasi dari pemerintah.6

Perubahan bentuk tersebut disertai perubahan pola perimbangan keuangan antara
pusat, daerah dan desa, mulai dari pola bantuan dan block grant yang penggunaannya sesuai
peruntukan, perimbangan keuangan daerah-desa (ADD) hingga sekarang menjalankan
pola perimbangan antara pusat, desa dan daerah melalui pengelolaan keuangan desa yang
mandiri.

Kedudukan Administratif Penyelenggara Pemerintahan Desa
Salah satu tujuan diundangkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah

memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem NKRI demi
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.7

Definisi desa begitu linier dengan definisi daerah otonom, yaitu kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal-usul, dan/atauhaktradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
NKRI. Dengan definisi demikian, desa merupakan daerah otonom.

Pemerintah desa merupakan penyelenggara urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan NKRI. Dengan demikian, pemerintah
desa merupakan subsistem pemerintahan, selain pemerintah pusat dan pemerintah daerah
yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri.

Pasal 25 UU Nomor 6 Tahun 2014, menyatakan bahwa pemerintah desa terdiri dari
kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dan dibantu oleh perangkat desa, atau
yang disebut dengan nama lain.

Kepala desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan,
pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Kepala desa dipilih secara langsung oleh
masyarakat desa, dilantik oleh dan bertanggung jawab kepada bupati atau walikota.

Kepala desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa dan mewakili
Pemerintah Desa dalam kepemilikan kekayaan milik desa yang dipisahkan. Kepala desa
dapat menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat desa selaku Pejabat
Pengelola Keuangan Desa (PPKD), yang terdiri dari:

6 Direktorat Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Departemen Dalam Negeri, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Desa, Jakarta, hlm 38-50.

7 Pasal 4 huruf b UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

539

Membangun BPK Paripurna

1. Sekretariat Desa
Sekretariat Desa dipimpin oleh seorang sekretaris desa yang membawahi paling

banyak tiga urusan. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 20 Tahun
2018 menetapkan Kepala Urusan (Kaur) Umum serta Kaur Perencanaan sebagai
pelaksana kegiatan anggaran. Sedangkan Kaur Keuangan melaksanakan fungsi
perbendaharaan.
2. Pelaksana Kewilayahan
Pelaksana kewilayahan merupakan unsur pembantu kepala desa sebagai satuan
tugas kewilayahan yang jumlahnya ditentukan secara proporsional antara pelaksana
kewilayahan yang dibutuhkan dan kemampuan keuangan Desa.
3. Pelaksana Teknis
Pelaksana teknis merupakan unsur pembantu kepala desa sebagai pelaksana tugas
operasional. Pelaksana teknis paling banyak terdiri atas tiga seksi, yaitu Kepala Seksi
(Kasi) Pemerintahan, Kasi Kesejahteraan, dan Kasi Pelayanan. Para Kasi tersebut
merupakan pelaksana kegiatan anggaran.

Struktur organisasi pemerintahan desa pada umumnya.

UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak mengatur
mengenai kedudukan administratif kepala desa dan perangkat desa. Peraturan perundang-
undangan yang ada tidak mengategorikan kepala desa sebagai pejabat negara.

540

|Bagian 6 MMemperkuat Aspek Hukum dan Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Sementara, ASN didefinisikan sebagai profesi bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah pusat
dan daerah. Instansi daerah adalah perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota yang
meliputi sekretariat daerah, sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dinas
dan lembaga teknis daerah. Dengan demikian, UU Nomor 5 Tahun 2014 menutup pula
kemungkinan kepala desa dan perangkat desa dikategorikan sebagai ASN.

Oleh karena menyelenggarakan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem pemerintahan N K R I , maka kepala desa dan perangkat desa

dapat dikatakan menjalankan fungsi pemerintahan sesuai kewenangannya. Sesuai
Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, fungsi
pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan administrasi pemerintahan yang
meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan.

Setiap orang yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah
maupun penyelenggara negara lainnya disebut sebagai badan atau pejabat pemerintahan.
Dengan demikian, maka kedudukan kepala desa dan perangkat desa adalah badan atau
pejabat pemerintahan yang tidak berstatus sebagai pejabat negara maupun ASN.

Ilustrasi kedudukan Kepala Desa dan Perangkat Desa dalam penyelenggaraan negara

Urgensi Pengaturan Tata Cara Ganti Kerugian Negara Terhadap Penyelenggara
Pemerintahan Desa

Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK Semester I Tahun 2018, terdapat beberapa
kelemahan terkait dengan pengelolaan keuangan desa, di antaranya, pertama, Standard
Operating Procedure (SOP) terkait dana desa dan pengelolaan keuangan desa belum memadai.

541

Membangun BPK Paripurna
Kedua, pembinaan dan pengawasan dana desa tidak optimal. Ketiga, Laporan

pertanggungjawaban DD, ADD, Bagian Dari Hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(BDHPDRD) belum disampaikan kepada bupati.

Keempat, pajak pusat yang telah dipungut bendahara desa masih dikuasai kepala
desa dan/atau bendahara desa serta belum disetor ke kas negara.

Pada semester II 2018, BPK melakukan pemeriksaan tematik: “Kegiatan Pembinaan dan
Pengawasan Pengelolaan DD” pada 33 provinsi yang meliputi 80 kabupaten dan 5 kota.

542


Click to View FlipBook Version