The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Teguh Siswanto, 2020-02-19 09:28:49

BUKU 2 - MEMBANGUN BPK PARIPURNA

BUKU 2 - MEMBANGUN BPK PARIPURNA

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

Rancangan Teknokratik Rencana Strategi BPK
Kerangka Rancangan Teknokratik Rencana Strategi BPK dibangun di atas fondasi nilai-
nilai dasar BPK, yakni Independensi, Integritas, dan Profesional. Berdasarkan Strategi 3
yaitu “meningkatkan efektivitas pelaksanaan pengendalian internal”, maka untuk kegiatan
pengawasan internal yang akan dilaksanakan oleh Inspektorat Penegakan Integritas
diarahkan pada Sasaran Kegiatan “Menguatnya Implementasi Nilai-Nilai Dasar BPK”,
dengan Indikator 4: Tingkat Kepatuhan terhadap Kode Etik dan Disiplin. Indikator ini
mengukur tingkat kepatuhan pegawai atas disiplin dan/atau Kode Etik serta mengukur
tingkat penerapan nilai-nilai dasar BPK sebagai budaya organisasi oleh seluruh personel di
BPK baik di level pimpinan maupun pegawai.
Dalam rangka mencapai Sasaran Kegiatan tersebut, Inspektorat Penegakan Integritas
telah mengusulkan“Pembangunan Sistem Manajemen Integritas”sebagai Inisiatif Strategis.

793

Membangun BPK Paripurna

C. Permasalahan dalam Penegakan Integritas
Berdasarkan latar belakang serta inisiatif strategis, sasaran kegiatan, dan indikator dalam

Rancangan Teknokratik Rencana Strategi BPK sebagaimana diuraikan di atas, terdapat
permasalahan yang perlu dianalisis, yakni:

1. Bagaimana model Sistem Manajemen Integritas (SMI) yang dapat dikembangkan di
BPK;

2. Kegiatan apa saja yang perlu dilakukan dalam rangka mencapai Sasaran Kegiatan
“Menguatnya Implementasi Nilai - Nilai Dasar BPK”; dan

3. Bagaimana mengukur tingkat kepatuhan terhadap kode etik dan disiplin.

D. Konsepsi Sistem Manajemen Integritas
Analisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan konsepsi manajemen

pengelolaan integritas yang dikembangkan oleh Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD)9.

Integrity Framework
Manajemen Integritas tidak condong pada pendekatan yang berbasis aturan ataupun

pendekatan nilai-nilai, tetapi keseimbangan antara keduanya yang fleksibel. Dalam
beberapa tahun terakhir, manajemen publik dan pembuat kebijakan telah dituntut untuk
membuat inovasi di sektor publik, salah satunya adalah pembuatan instrument SMI yang
bertujuan untuk mewujudkan integritas pada sektor publik sehingga tercapai tujuaan dari
good governance.

Pada kerangka kerja manajemen integritas, terdapat komponen kunci yang terbagi
dalam tiga pilar penting dan dua lapisan. Ketiga pilar tersebut, pertama, pilar instrument
yang bertujuan untuk merangsang dan menegakkan integritas, mencegah korupsi dan
pelanggaran integritas lainnya dalam organisasi. Instrumen Integritas dibagi dalam empat
fungsi utama manajemen integritas yaitu menentukan dan mendefinisikan integritas;
membimbing menuju integritas; memantau integritas; dan menegakkan integritas.

Kedua, pilar proses, mengacu pada proses perencanaan, pengembangan, implementasi,
evaluasi, dan adaptasi dari manajemen intergritas secara berkelanjutan.

Ketiga, pilar struktur, mengacu pada aspek organisasi yaitu meliputi siapa yang
bertanggung jawab atas manajemen integritas dan bagaimana mengkoordinasikan para
subjek organisasi yang kegiatannya berdampak pada integritas organisasi.

9 Konsepsi OECD ini merupakan pengembangan dari kegiatan manajemen penegakan integritas yang diterapkan
pada ratusan negara baik negara maju maupun negara berkembang.

794

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

Masing-masing pilar tersebut terdiri dua lapisan, yaitu lapisan inti (core) dan lapisan
pelengkap (complementary), yaitu: Lapisan pertama yaitu inti (core). Lapisan inti pada pilar
Instrumen yaitu adanya kode etik, ketentuan mengenai konflik kepentingan, pengaturan
Whistle Blowing System (WBS), dan lain-lain; sedangkan lapisan inti pada proses dan
instrumen adalah aktor integritas bertugas menumbuhkan integritas dalam organisasi
sektor publik.

Lapisan kedua yaitu instrumen integritas pelengkap, proses dan pelaku manajemen
integritas. Lapisan pelengkap memainkan peranan penting dalam manajemen integritas.

Sistem Manajemen Integritas, Konsepsi OECD

Pada manajemen integritas terdapat pendekatan holistik, yaitu bahwa manajemen
integritas tidak hanya membahasan mengenai kerangka manajemen integritas yang
meliputi inti (core) dan pelengkap (complementary) tetapi juga melingkupi aktor dan faktor-
faktor di luar konteksnya.

Dalam manajemen integritas terdapat konteks dalam dan luar. Konteks dalam mengacu
di dalam organisasi yaitu semua aktor dan faktor-faktor yang dapat mempengarui integritas
organisasi.

Konteks luar mengacu pada aktor dan faktor-faktor dalam sektor publik yang lebih
luas dan lingkungan tata kelola yang berada di luar kendali organisasi, tetapi memiliki
dampak penting pada manajemen integritas. Misalnya, termasuk undang-undang tentang
partai politik dan pembiayaan pemilu, peraturan terkait integritas, keterlibatan pemangku
kepentingan (stakeholder) dalam pengawasan publik, pengawas integritas di luar organisasi,
dan lain-lain.

795

Membangun BPK Paripurna

Kerangka kerja manajemen integritas dan konteksnya (dalam dan luar) bersama-sama
akan membentuk kerangka kerja integritas pada semua instrumen, proses, struktur dan
faktor-faktor, baik di dalam maupun di luar organisasi sektor publik yang memengaruhi
integritas organisasi.

The Integrity Framework

Integrity Framework

Integrity Management Framework Context

Core Processes Structures Complementary Structures Inner Outer
Instrument Instrument Processes Context Context

Kerangka manajemen integritas yang telah disusun harus dapat bersifat implementatif.
Apabila tidak dilaksanakan atau bahkan tidak dapat dilaksanakan, menunjukan bahwa niat
dari manajemen organisasi hanya sebatas membuat kerangka kerja manajemen integritas
sebagai imitasi agar terkesan bahwa pihak menajemen organisasi menganggap bahwa
manajemen integritas sebagai hal yang penting, tetapi pihak manajemen tidak benar-
benar serius dalam implementasinya.

Ketidakkosistenan manajemen organisasi antara kata dan perbuatan dalam
implementasi manajemen integritas akan menimbulkan sinisme dalam pelaku di organisasi
sehingga meningkatkan terjadinya pelanggaran integritas.

Berdasarkan tinjauan literatur OECD dan pengalaman negara-negara OECD, instrumen
manajemen integritas yang baik memenuhi empat klasifikasi yaitu: menentukan dan
mendefinisikan integritas (determining and defining integrity); membimbing menuju
integritas (guiding towards integrity); memantau integritas (monitoring integrity); dan
menegakkan integritas (enforcing integrity).

E. Pengembangan Sistem Manajemen Integritas BPK
Berdasarkan konsepsi SMI yang dikembangkan OECD, maka SMI BPK dapat diartikan

sebagai suatu keterpaduan instrumen, proses, dan struktur baik yang bersifat inti (core)
maupun pendukung (complementer) dalam rangka menjaga martabat, kehormatan,
citra, dan kredibilitas BPK sebagai lembaga negara yang mampu memberikan informasi

796

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

akurat dan terpercaya kepada masyarakat tentang cara bagaimana pemerintah melakukan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Integrity Framework di BPK

Determining & Guiding towards Monitoring Enforcing

defining integrity integrity integrity integrity

Core Rules 1. Analisis risiko 1. Pelatihan 1. Kebijakan WBS 1. Sanksi formal
(telah dibuat tiap integritas (baru (Peraturan (dijatuhkan oleh
Based Satker dalam direncanakan) Sekjen BPK No. MKKE untuk

Manajemen 2. Aturan mengenai 507 Th. 2011 sanksi etik dan
Risiko BPK). integritas (tersebar mengenai WBS) Ankum untuk
2. BPK telah ke beberapa 2. Kebijakan Barang sanksi disiplin)
memiliki Kode peraturan seperti dan Jasa (BPK 2. Prosedur untuk
Etik ASN, Kode Kode Etik telah memiliki menangani
Etik Pemeriksa, Pemeriksa dan kebijakan barjas) pelanggaran
dan Peraturan Disiplin PNS) 3. Inspeksi/ integritas
Disiplin. 3. Pakta Integritas Sidak (Irtama (terdapat hukum
3. Kebijakan (setiap pelaksana secara periodik acara dalam
benturan BPK telah melakukan MKKE dan
kepentingan membuat pakta sidak mengenai Penjatuhan
yang tesebar integritas) disiplin/integritas Hukuman Disiplin
di beberapa 4. Konseling (Biro pegawai BPK) oleh PPK dan
peraturan SDM BPK 4. Penilaian BAPEK)
(Peraturan Kode memiliki unit integritas (belum
Etik, SPKN, khusus untuk dilaksanakan)
PMP). konsling) 5. Penanganan
4. Kebijakan 5. Konsultasi Risiko (telah
Gratifikasi telah Integritas dibuat tiap
di miliki BPK (Inspektorat PI Satker dalam
dalam Peraturan telah memiliki Manajemen
Program fungsi konsultasi Risiko BPK)
Pengendalian di bidang
Gratifikasi (SK integritas)
Sekjen No. 305a
Tahun 2014)
5. Rotasi dan
Mutasi telah
dilaksanakan
periodic oleh Biro
SDM, baik mutasi
eksternal maupun
internal

797

Membangun BPK Paripurna

Determining & Guiding towards Monitoring integrity Enforcing
defining integrity integrity integrity
6. Proses pengadaan/e-
Core Rules 6. Pengaturan pasca procurement
Based kerja (terjadi (pengadaan barjas
program pelatihan sudah berbasis
Values memasuki masa elektronik)
pensiun)
7. investigasi internal
(inspektorat PI telah
melaksanakan fungsi
investigasi internal)

8. Survei pengukuran
pelanggaran
integritas (pernah
dilakukan survei
integritas organisasi
menggunakan tool
Intosaint namun
belum dikembangkan
lebih lanjut)

9. Iklim organisasi
(telah dibuat
budaya organisasi
BPK namun belum
terinternalisasi secara
sempurna pada satker
tertentu)

1. Analisis dilema etis 1. Pelatihan 1. Langkah-langkah Sanksi
(belum dibuat) integritas berbasis survei dilema Informal
nilai (belum integritas (belum (sanksi
2. Konsultasi staf dilaksanakan) dilaksanakan) sosial atas
dan pemangku
kepentingan (BPK 2. Mengintegrasikan 2. Pencarian informal
telah melaksanakan integritas untuk dilema etis
fungsi konsultasi dalam wacana (belum dilaksanakan)
dengan reguler (mis.
stakeholder) Mengumumkan 3. Masalah diantara staf
kebijakan (masalah antar staf
3. Kode etik (telah integritas telah diakomidasi di
ada Kode Etik ASN melalui saluran Biro SDM pada unit
dan Kode Etik komunikasi konsultasi SDM)
Pemeriksa) internal dan
eksternal),
4. Penetapan standar BPK telah
non-tertulis melaksanakan
(norma-norma pengumuman
yang berlaku di kebijakan
masyarakat harus integritas
dipatuhi pelaksana diberbagai media,
BPK) seperti TV BPK,
banner, email,
Surat tugas, WG,
Website, Portal
BPK, dll

798

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

Determining & Guiding towards Monitoring integrity Enforcing
defining integrity integrity integrity

Values 3. Perilaku teladan
Based oleh manajemen
(ada pemilihan
Role Model)

4. Pelatihan dan
konseling untuk
integritas (belum
dilaksanakan)

1. Menilai keadilan sistem penghargaan dan 1. Kontrol dan audit
promosi (telah ada misal: SLKS, SLWK dan internal,(dilakukan
Promosi) oleh Inspektorat
Utama BPK)
2. Prosedur yang tepat untuk pengadaan,
manajemen kontrak dan pembayaran (telah 2. Kontrol eksternal dan
ada kebijakan barjas di BPK) audit (dilakukan oleh
KAP dan per reviu
3. Tindakan dalam manajemen personalia oleh BPK Negara lain)
(misalnya integritas sebagai kriteria untuk
pemilihan, evaluasi dan promosi karier),
syarat integritas telah ada pada penilaian
kinerja individu, integritas menjadi syarat
dalam pemerolehan penghargaan SLKS,
SLWK dan pegawai teladan.

4. Tindakan dalam manajemen keuangan
(misalnya ‘kunci ganda’, kontrol keuangan),
BPK telah melaksanan pengendalian
internal yg memadai pada manajemen
keuangan di Biro Keuangan

5. Tindakan dalam manajemen informasi
(misalnya, melindungi basis data otomatis).
Biro TI BPK telah memiliki kebijakan
dan sistem perlindungan atas data-data,
khususnya data pemeriksaan dan Non-
Pemeriksaa dalam aplikasi e-audit, SIPTL,
SMP, SISDM, MAKIN, portal BPK, dll.

6. Tindakan dalam manajemen mutu
(misalnya meninjau alat penilaian kualitas)

BPK telah memiliki Inspektorat PKMP yang
bertugas pemerolehan keyakinan mutu
atas kinerja pemeriksaan BPK dan memili
Inspektorat PIMK yang bertugas melakukan
pemeriksaan internal dan pemerolehan
keyakinan mutu atas kinerja kelembagaan
di lingkungan BPK.

Hasil persandingan pemetaan atas manajemen integritas di BPK dalam kerangka integrity
framework yang dikembangkan OECD dalam tabel di atas menunjukan, pertama, BPK telah
memiliki seluruh komponen atau unsur SMI dalam lapisan pendukung (complementer).

799

Membangun BPK Paripurna
Kedua, BPK telah memiliki dan menerapkan sistem manajemen penindakan atas

pelanggaran nilai-nilai dasar dengan sangat baik.10
Alur Penanganan Kasus atas Pelanggaran Kode Etik

Ketiga, sebagian besar komponen atau unsur SMI dalam lapisan inti (core) yang
dikembangkan oleh OECD telah dimiliki oleh BPK. Hanya sebagian kecil saja yang belum
ada dan perlu dilengkapi, yaitu sebanyak delapan unsur dari 33 unsur lapisan inti (core),
baik rules based maupun values based.

Kedelapan komponen inilah yang perlu dikembangkan oleh Inspektorat Penegakan
Integritas guna mencapai sasaran strategisnya, yakni, pertama, penilaian integritas.
Dalam Integrity Framework, penilaian integritas merupakan aturan dasar dalam kegiatan
monitoring untuk mengetahui sejauh mana implementasi nilai-nilai dasar oleh para
pimpinan dan pegawai BPK yang bisa dituangkan dalam bentuk Indeks Persepsi Integritas,
Independensi, dan Profesionalisme (nilai-niai dasar BPK).

10 Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan.

800

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

Kedua, analisis dilema etis. Dalam Integrity Framework, analisis dilema etis perlu
ditetapkan dan didefinisikan dalam kerangka nilai dasar untuk mengetahui kesulitan atau
tingkat kesulitan dari implementasi nilai-nilai dasar BPK.

Ketiga, pelatihan integritas berbasis nilai, yang merupakan bagian penting bagi para
pimpinan maupun Pemeriksa BPK sebagai langkah bimbingan menuju integritas. Keempat,
pelatihan dan konseling untuk integritas, dilakukan dalam kerangka bimbingan menuju
integritas.

Kelima, survei pengukuran pelanggaran integritas. Survei ini pernah dilakukan dengan
menggunakan tool yang dikembangkan oleh IntoSAINT namun belum dikembangkan lebih
lanjut.

Keenam, Iklim organisasi. BPK telah memiliki iklim organisasi yang baik untuk
menegakkan integritas namun masih ada satker yang belum menginternalisasikan budaya
organisasi tersebut dalam pelaksanaan tugasnya.

Ketujuh, langkah-langkah survei dilema integritas. Kedelapan, pencarian informal
untuk dilema etis, yang perlu dilakukan sebagai bentuk monitoring atas implementasi nilai-
nilai dasar BPK.

F. KeSimpulan
BPK telah melakukan upaya penindakan atas pelanggaran nilai-nilai dasar secara tegas

yang didasarkan atas hukum acara maupun materiil, sedangkan upaya yang bersifat
pencegahan masih perlu ditingkatkan.

Dalam mewujudkan Inisiatif Strategis “Pembangunan Sistem Manajemen Integritas“, BPK
dapat mengembangkan desain pencegahan pelanggaran nilai-nilai dasar dengan mengacu
pada Integrity Framework yang telah dikembangkan OECD.

Berdasarkan Integrity Framework yang dikembangkan OECD yang terdiri dari lapisan inti
(core) dan pelengkap (complementary), BPK telah memiliki seluruh unsur yang terdapat dalam
lapisan pelengkap dan hanya tujuh unsur yang belum dimiliki atau dilaksanakan dari total
33 unsur dalam lapisan inti (core), yakni:penilaian integritas, analisis dilema etis, pelatihan
integritas berbasis nilai, pelatihan dan konseling untuk integritas, survei pengukuran
pelanggaran integritas, iklim organisasi, dan langkah-langkah survei dilema integritas, dan
pencarian informal untuk dilema etis.

Kegiatan yang perlu dilakukan dalam kerangka manajemen pencegahan pelanggaran
atas nilai-nilai dasar BPK, antara lain, pertama, menyusun desain atau SMI BPK, bukan hanya
fokus pada penindakan atas pelanggaran yang terjadi tetapi juga difokuskan pada upaya
pencegahan.

801

Membangun BPK Paripurna
Kedua, menyusun instrumen atau alat ukur (tools) untuk mengetahui tingkat kepatuhan

Pimpinan, Pemeriksa, dan Satker terhadap nilai-nilai dasar BPK. Ketiga, menyusun mekanisme
dan melaksanakan pengukuran atas penerapan nilai-nilai dasar BPK.

Keempat, melakukan aktivitas pengukuran penerapan nilai-nilai dasar BPK dalam rangka
mengetahui indeks persepsi nilai-nilai dasar BPK.

802

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

803

Membangun BPK Paripurna

Tantangan Hasil Evaluasi
LHP Terkait Profesionalisme
Pemeriksa untuk Mendorong

Peningkatan Kualitas LHP

Selvia Vivi Devianti, S.E., M.Sc., Ak., MCP., CFE., CSFA
(Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Internasional)

A. Pendahuluan
Sebagai lembaga pemeriksa yang dibentuk dan diatur dalam Undang-Undang Dasar

(UUD) 1945, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki tugas untuk mendorong pencapaian
tujuan bernegara melalui mandatnya yaitu melaksanakan pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri. Sesuai visi BPK dalam
rancangan Rencana Strategis (Renstra) BPK tahun 2020-2024 yang menyesuaikan dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yaitu ‘Menjadi Lembaga
Pemeriksa Terpercaya yang Berperan Aktif dalam Mewujudkan Tata Kelola Keuangan Negara
yang Berkualitas dan Bermanfaat untuk Mencapai Tujuan Negara’ maka sangat diperlukan
kelembagaan BPK yang berkualitas sehingga dapat mencapai visi tersebut.

Visi BPK tersebut kemudian diturunkan menjadi misi, sasaran strategis dan inisiatif
strategis yang pelaksanaannya dijabarkan dala(m Rencana Implementasi Renstra (RIR)
dalam kurun waktu 2020-2024. Sasaran strategis dicapai melalui beberapa strategi yang
dikelompokkan dalam dua arah kebijakan yang disusun dengan menyelaraskan program
penganggaran BPK. Arah kebijakan pertama adalah Peningkatan sinergi dan kolaborasi
dalam pemeriksaan dan penyelesaian ganti kerugian negara secara berkelanjutan. Arah
kebijakan ini terdiri dari lima strategi sebagai berikut:
1. Strategi 1, Meningkatkan kapabilitas organisasi pemeriksaan yang modern dan dinamis;
2. Strategi 2, Meningkatkan kualitas pemeriksaan secara strategis, antisipatif, dan respon-

sif;
3. Strategi 3, Meningkatkan efektivitas pelaksanaan pengawasan internal;

804

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

4. Strategi 4, Mewujudkan pusat unggulan pendidikan dan pelatihan pemeriksaan keuan-
gan negara;

5. Strategi 5, Menguatkan regulasi dan aspek hukum keuangan negara serta penyelesaian
ganti kerugian negara.
Arah kebijakan kedua adalah Peningkatan sinergi dan kolaborasi dalam tata kelola or-

ganisasi. Arah kebijakan ini memiliki strategi untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber
daya dan kerja sama dengan pemangku kepentingan. Rancangan Renstra BPK 2020-2024
dan strateginya adalah sebagai berikut:

Rancangan Renstra BPK 2020-2024

Berdasarkan rancangan Renstra tersebut, dalam mewujudkan visinya kunci untama
peran BPK adalah melalui pelaksanaan pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat agar
dapat mendorong tata kelola keuangan negara yang baik.
B. Isu Strategis

Untuk dapat mendukung tata kelola keuangan negara yang akan berdampak pada pen-
capaian tujuan negara maka kebijakan yang berdampak langsung adalah kebijakan per-
tama pada rancangan Renstra BPK 2020-2024 dengan strategi kedua yaitu ‘Meningkatkan
kualitas pemeriksaan secara strategis, antisipatif dan responsif’. Salah satu unit kerja yang
memiliki tugas untuk melaksanakan evaluasi atas laporan hasil pemeriksaan BPK adalah

805

Membangun BPK Paripurna

Direktorat Evaluasi dan Pelaporan Pemeriksaan (Dit. EPP).
Direktorat EPP sebagaimana diatur dalam Peraturan BPK Nomor 1 tahun 2019 tentang

Organisasi dan Tata kerja Pelaksana BPK mempunyai tugas menyusun Ikhtisar Hasil
Pemeriksaan Semester (IHPS) dan Laporan Evaluasi Hasil Pemeriksaan. IHPS merupakan
dokumen yang disampaikan kepada Lembaga Perwakilan dan Presiden sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor. 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan. Terkait dengan tugas tersebut, setiap semester Dit. EPP bersama satuan kerja
(satker) pemeriksaan akan mengevaluasi seluruh Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang
terbit setiap semester.

Sesuai data tahun 2016 sampai dengan semester I tahun 2019 jumlah LHP yang telah
diterbitkan BPK adalah sebagai berikut:

Jumlah LHP yang terbit tahun 2016 s.d. Semester I/2019
Terhadap seluruh LHP tersebut dilakukan evaluasi yang mengacu pada tiga kriteria yai-
tu: akurasi, konsistensi dan lain-lain. Tujuan dari evaluasi adalah untuk memperoleh keya-
kinan yang memadai bahwa penyajian LHP telah sesuai dengan standar dan juklak-juknis
yang ada sehingga dapat memberikan masukan kepada satker pemeriksaan terkait pro-
fesionalisme pemeriksa yang ada di satkernya guna peningkatan kualitas LHP yang ber-
dampak pada manfaat hasil pemeriksaan BPK.

806

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

C. Tiga Indikator Penting
BPK melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan mandat yang diatur dalam UUD 1945

dan tiga paket UU Keuangan Negara. Secara berkala, setiap tahun BPK mengukur dampak
hasil pelaksanaan pemeriksaannya dengan melakukan survey kepada para pemangku
kepentingan. Ada tiga indikator penting yang diukur oleh BPK untuk mengetahui tingkat
manfaat hasil pemeriksaan di antaranya yaitu:

a. Tingkat relevansi hasil pemeriksaan dengan harapan stakeholder
Indeks ini mengukur kesesuaian jenis dan lingkup pelaksanaan audit yang dilak-

sanakan BPK dengan kebutuhan auditee. Untuk tahun 2018 hasil pengukuran atas
indeks ini menunjukkan hal sebagai berikut:

Tingkat relevansi pemeriksaan dengan harapan stakeholder

Dari data yang disajikan terlihat bahwa pada tahun 2018 pemeriksaan yang dilak-
sanakan BPK melampaui sedikit lebih tinggi dari harapan stakeholder. Secara capaian,
hasil tahun 2018 sedikit meningkat dibanding hasil pengukuran tahun 2017, namun
dibawah hasil tahun 2016. Secara data saja, peningkatan atau penurunan relevansi
tidak dapat dibandingkan secara kuantatif mengingat harapan stakeholder berbeda
fokus/lingkup setiap tahunnya. Data yang ada menunjukkan sejak tahun 2016-2018
pelaksanaan pemeriksaan BPK selalu dapat memenuhi harapan stakeholder.

b. Indeks kepuasan auditee atas kinerja BPK, dan pengukuran kepuasan auditee atas
kinerja BPK menunjukkan gambar tingkat kepuasan auditee atas pelaksanaan pe-
meriksaan yang dilakukan BPK sejak tahun 2016-2018.

807

Membangun BPK Paripurna

Indeks kepuasan auditee
Dari data pelaksanaan survei dapat dilihat, tingkat kepuasan auditee atas hasil pe-

meriksaan BPK menunjukkan tingkat capaian yang tidak mengalami perubahan
pada tahun 2018 jika dibandingkan dengan tahun 2017, meskipun jika dibanding-
kan dengan tahun 2016, maka tahun 2017 lebih rendah dari sisi nilai kepuasan. Un-
tuk itu, ke depannya BPK perlu menegembangkan strategi pemeriksaan yang dapat
lebih berdampak kepada auditee.
c. Indeks mutu organisasi
Indeks ini mengukur proses pengembangan mutu organisasi yang dilakukan
dilingkungan BPK untuk mendukung peningkatan sarana prasarana, kompetensi au-
ditor dan juga ketersediaan perangkat lunak. Hasil capaian dari survey yang dilaku-
kan pada tahun 2018 adalah sebagai berikut:







Indeks mutu organisasi

808

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa realisasi peningkatan mutu organisasi mengala-
mi penurunan pada tahun 2017 dan mengalami kenaikan kembali pada tahun 2018. Salah
satu sasaran strategis (SS) dalam Renstra BPK adalah meningkatkan kualitas sistem pen-
gendalian mutu (SPM) untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan. Hal ini meliputi pening-
katan kualitas sistem pengendalian mutu di tingkat pemeriksaan (audit engagement) dan
di tingkat kelembagaan. Peningkatan kualitas ini penting untuk meniadakan hasil pemerik-
saan yang tidak akurat dan digugat oleh pihak terkait. Salah satu indikator Indeks Mutu Or-
ganisasi adalah penguatan nilai dasar BPK (Integritas, Independensi dan Profesionalisme),
meningkatnya nilai pelayanan publik serta meningkatnya Indeks Persepsi Anti Korupsi.

Jika dilihat dari hasil survei yang dilakukan kepada stakeholders, publik dan akademisi
maka terlihat bahwa ketiga indikator tersebut memiliki hasil capaian positif. Ketiga indika-
tor tersebut sangat terkait erat dengan kompetensi dari pemeriksa yang ada di lingkungan
BPK. Dalam peraturan BPK No.4 tahun 2018 tentang Kode Etik BPK, terdapat nilai yang ter-
kait langsung dengan proses pelaksanaan pemeriksaan di BPK yaitu nilai profesionalisme.
Dinyatakan dalam peraturan BPK No.4 tahun 2018 pasal 1 yang dimaksud dengan profe-
sionalisme pemeriksa adalah nilai dasar BPK yang berupa kemampuan, keahlian dan komit-
men profesi dalam menjalankan tugas. Sedangkan dalam Peraturan BPK No.1 tahun 2017
tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara pada Kerangka Konseptual dinyatakan
bahwa profesionalisme adalah kemampuan,keahlian dan komitmen profesi dalam men-
jalankan tugas disertai prinsip kehati-hatian, ketelitian dan kecermatan serta berpedoman
kepada standar dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam mengukur tingkat
profesionalisme pemeriksa terutama terkait dengan produk laporan hasil pemeriksaan BPK,
berikut hasil evaluasi penyajian laporan hasil pemeriksaan BPK semester II tahun 2018 dan
semester I tahun 2019 dari tiga kriteria apenilaian yaitu akurasi, konsistensi dan lain-lain.

809

Membangun BPK Paripurna

Evaluasi Akurasi, Konsistensi dan Lain-lain Semester II tahun 2018
810

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

Sedang hasil evaluasi LHP untuk semester I tahun 2019 adalah sebagai berikut:

Evaluasi Akurasi, Konsistensi dan Lain-lain Semester I tahun 2019

811

Membangun BPK Paripurna

Dari data dua semester evaluasi atas LHP dalam rangka penyusunan IHPS tersebut, ter-
lihat kesalahan dari sisi akurasi, konsistensi dan lain-lain ada yang mengalami peningkatan
namun ada juga yang mengalami penurunan pada masing-masing wilayah satker pemerik-
saan. Di sisi lain dari hasil evaluasi juga terlihat bahwa jenis kesalahan masih berulang dari
sisi jenisnya.

D. Kesimpulan
Berdasarkan hasil survei dan hasil evaluasi laporan hasil pemeriksan BPK maka dapat

disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
a. Dari sisi harapan, kepuasan dan indeks organisasi menunjukkan bahwa capaian hasil
ketiga indeks tersebut menunjukkan hasil yang positif
b. Dari hasil evaluasi Laporan Hasil Pemeriksaan BPK terlihat fluktuasi kesalahan dalam
penyajian dan dari jenisnya masih sama antara evaluasi semester II tahun 2018 dan
semester I 2019

Berdasarkan kedua data dan informasi di atas dan dikaitkan dengan profesionalisme
pemeriksa maka kondisi tersebut menjadi tantangan bagi satker pemeriksaan untuk
meningkatkan profesionalisme pemeriksanya untuk dapat meningkatkan kualitas
penyajian laporan hasil pemeriksaan BPK sehingga dapat memberikan dampak manfaat
kepada stakeholder dan auditee. Untuk itu, satker pemeriksaan perlu meningkatkan
proses reviewberjenjang (Quality Assurance), meningkatkan kompetensi dan pemahaman
pemeriksa atas dampak laporan hasil pemeriksaan yang berkualitas dan mendorong
pemahaman atas pentingnya nilai profesionalisme karena menjadi salah satu hal yang
wajib dilaksanakan oleh Pemeriksa dalam peraturan tentang Kode Etik BPK.

812

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

813

Membangun BPK Paripurna

Sinergi Antar Perwakilan
Melalui Integrasi Pemeriksaan

Tematik Lokal Dalam Rangka
Pembangunan Daerah

Muhammad Rizal Assiddiqie, S.E., M.M., Ak., CA., CSFA
(Kepala Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan)

A. PENDAHULUAN
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menetapkan Rencana Strategis (Renstra) BPK

Tahun 2016-2020 melalui Keputusan Badan Nomor 7/K/I-XIII.2/12/2015 tanggal 28 Desember
2015. Renstra BPK menyatakan bahwa visi BPK adalah “menjadi pendorong pengelolaan
keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang berkualitas
dan bermanfaat”. Dalam kurun periode Renstra 2016-2020, BPK juga akan menjalankan dua
misi, yaitu: (1) memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas
dan mandiri; serta (2) melaksanakan tata kelola organisasi yang berintegritas, independen,
dan profesional. Untuk mencapai visi tersebut, Renstra BPK menyebutkan dua tujuan
strategis BPK, yaitu (1) meningkatkan manfaat hasil pemeriksaan dalam rangka mendorong
pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara, dan (2) meningkatkan
pemeriksaan yang berkualitas dalam mendorong pengelolaan keuangan negara untuk
mencapai tujuan negara. Tujuan strategis tersebut kemudian diturunkan dalam sasaran
strategis bidang pemeriksaan, dan pengembangan dan optimalisasi sumber daya.

Dalam konteks pemeriksaan, Renstra BPK 2016-2020 merupakan implementasi mandat
BPK sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan. Untuk menjalankan mandat tersebut, BPK menerbitkan
Keputusan BPK Nomor 3/K/I-XIII.2/7/2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana
badan Pemeriksa Keuangan. Pada perkembangan selanjutnya, Pemerintah melalui Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyetujui penyempurnaan
Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) BPK melalui Surat Nomor B/56/M.KT.01/2019.

814

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

Salah satu materi penyempurnaan SOTK adalah perubahan nomenklatur, tugas, dan fungsi
Auditorat V.B dan VI.B menjadi Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan pada Auditorat Utama
Keuangan Negara V dan VI.

Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan adalah satuan kerja yang berada di bawah Auditorat
Utama Keuangan Negara (AKN) V atau VI, dan mempunyai tugas memeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan daerah pada Pemerintah Provinsi, kota/kabupaten di
Provinsi yang bersangkutan, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan lembaga terkait di
lingkungan entitas, termasuk melaksanakan pemeriksaan yang ditugaskan oleh AKN.
Berikut ini beberapa tugas strategis Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan.

a. pengoordinasian dan pengompilasian usulan kebijakan dan strategi pemeriksaan
pada lingkup tugas AKN V atau VI;

b. pemantauan dan pengevaluasian pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan strategi, dan
pelaksanaan kegiatan pemeriksaan pada lingkup tugas AKN V atau VI;

c. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan pemeriksaan pada lingkup tugas AKN V atau
VI;

d. penganalisisan isu-isu strategis berdasarkan hasil pemeriksaan pada lingkup tugas
AKN V atau VI;

e. pemantauan dan pengevaluasian hasil pemantauan tindak lanjut rekomendasi hasil
pemeriksaan pada lingkup tugas AKN V atau VI;

f. penjaminan mutu pelaksanaan kegiatan dukungan pemeriksaan pada lingkup tugas
AKN V atau VI;

Pelaksanaan tugas Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan harus turut berupaya mewu-
judkan visi BPK sebagai bentuk keselarasan tujuan (goal congruence) dengan organisasi.
Visi dan misi BPK harapan besar yang akan dituju dengan melibatkan seluruh satuan kerja
organisasi. Oleh karena itu, setiap elemen organisasi, termasuk setiap satuan kerja, harus
memiliki komitmen untuk mewujudkan visi BPK.

Sehubungan dengan kesempatan turut mewujudkan visi organisasi, makalah ini akan
menyajikan program kerja yang akan diusulkan untuk diimplementasikan oleh Kepala Au-
ditorat Pengelolaan Pemeriksaan. Program kerja yang saya susun berjudul “Sinergi antar
Perwakilan Melalui Integrasi Pemeriksaan Tematik Lokal dalam rangka Pembangunan Daer-
ah”. Saya meyakini bahwa keberhasilan program ini akan berdampak postif bagi perkem-
bangan organisasi. Implementasi program kerja ini sekaligus diharapkan dapat menjawab
isu dan kebutuhan publik terutama dalam rangka pembangunan daerah.

815

Membangun BPK Paripurna

B. KONDISI SAAT INI
Sebagai organisasi pembelajar (learning organization), BPK perlu mengetahui kekuatan

(strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan tantangan (theats).
Pemahaman atas analisis SWOT ini sangat bermanfaat untuk mengoptimalkan kekuatan
dan memperbaiki kelemahan dalam rangka memaksimalkan keuntungan atas peluang
serta meminimalkan dampak atas tantangan eksternal (David, 2011: 178-179).

Kekuatan merupakan faktor positif pada organisasi yang menjadi modal dan kekuatan
sehingga organisasi dapat melaksanakan tugasnya dengan baik (Allison dan Kaye, 2005:
136). Sehubungan dengan pelaksanaan tugas pemeriksaan, saat ini BPK memiliki kekuatan,
yaitu: (1) dukungan para pimpinan; (2) dukungan dan pemanfaatan Teknologi Informasi (TI);
serta (3) fleksibilitas pemanfaatan Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk dan atas nama BPK
dan Aparat Pengawaan Inten Pemerintah (APIP) untuk menambah Sumber Daya Manusia
(SDM).

Kelemahan merupakan faktor negatif pada internal organisasi yang membutuhkan
perbaikan (Allison dan Kaye, 2005: 136). Pada saat ini BPK memiliki kelemahan sebagai
berikut: (1) kekurangan jumlah dan mutu SDM; (2) fokus pemeriksaan berbasis Pemerintahan
Pusat; dan (3) information sharing antar perwakilan belum efektif.

Peluang merupakan kondisi positif dari eksternal organisasi yang bermanfaat untuk
pencapaian tujuan (Allison dan Kaye, 2005: 136). Kedepan, BPK mendapatkan peluang
antara lain: (1) Tetap melaksanakan tugas mandatory sebagai lembaga pemeriksa keuangan
negara; (2) BPK turut berperan dalam pembangunan; dan (3) BPK turut berperan pada
agenda internasional.

Tantangan merupakan kondisi eksternal yang mengancam atau berpotensi
menghambat organisasi dalam mencapai tujuan (Allison dan Kaye, 2005: 136). BPK akan
menghadapi tantangan antara lain: (1) Pemerintah Daerah belum sepenuhnya memahami/
mengimplementasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development
Goals (SDGs); (2) kebutuhan penyelarasan pembangunan daerah; dan (3) kebutuhan
peningkatan kapasitas daerah.

Analisis SWOT tersebut bermanfaat untuk mengembangkan strategi dalam rangka
meningkatkan peran BPK. Strategi pada makalah ini diharapkan dapat diimplementasikan
secara teknis pada satuan kerja dan lintas satuan kerja di AKN VI. Dengan demikian, setiap
satuan kerja juga akan berperan serta untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan strategis
organisasi.

816

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

C. LANDASAN TEORITIS
Harry Azhar Azis (2015) menyatakan bahwa BPK harus memberikan perhatian dan

prioritas dalam pemeriksaannya pada program-program yang memberikan dampak bagi
peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya, BPK harus memberikan perhatian
besar pada pemeriksaan atas program-program yang menguasai hajat hidup orang banyak
dan rawan terjadi korupsi. Untuk itu, makalah ini akan menjelaskan landasan teoritis yang
diambil dari berbagai literatur dan peraturan yang berlaku.

Semangat memberikan perhatian terhadap isu publik sebenarnya bukan hanya
berkembang di BPK. INTOSAI telah menerbitkan ISSAI 12: The Value and Benefits of
Supreme Audit Institutions – making a difference to the lives of citizens. Secara umum, ISSAI
12 menjelaskan mengenai tiga harapan mendasar terhadap lembaga pemeriksa agar turut
memberikan kontribusi dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu, lembaga pemeriksa harus
memperhatikan tiga manfaat yang perlu dimiliki yaitu: (1) memperkuat akuntabilitas,
transparansi, dan integritas pemerintah serta entitas publik (strengthening the accountability,
transparency and integrity of government and public sector entities); (2) melaksanakan tugas
yang sesuai dengan harapan rakyat, parlemen, dan pemangku kepentingan (demonstrating
ongoing relevance to citizens, Parliament and other stakeholders); serta (3) menjadi model
organisasi melalui keteladanan kepemimpinan (being a model organisation through leading
by example).

Pemenuhan manfaat lembaga pemeriksa bagi kehidupan masyarakat tersebut juga akan
meningkatkan level kematangan organisasi BPK. Pada masa mendatang, BPK diharapkan
bukan hanya berada pada level oversight yang mendorong upaya pemberantasan korupsi,
meningkatkan transparansi, menjamin terlaksananya akuntabilitas, serta meningkatkan
aspek ekonomi, efisiensi, efektivitas, etika dan nilai keadilan. Lebih dari itu, BPK diharapkan
mampu menjadi organisasi pemeriksa pada level insight, yaitu turut mendalami kebijakan
publik, atau bahkan pada level foresight dengan turut membantu masyarakat dan
pengambil keputusan untuk memilih alternatif masa depan.

Pada saat ini, salah satu kebijakan publik yang menjadi perhatian adalah upaya
mengimplementasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development
Goals (SDGs). SDGs merupakan kesepakatan pemimpin dunia melalui forum Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk merencanakan dan menjalankan aksi global untuk
mengentaskan kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan menjaga lingkungan. SDGs
memiliki prinsip utama “no one left behind” memilii 17 tujuan utama yaitu: (1) menghapus
kemiskinan; (2) mengakhiri kelaparan; (3) kesehatan yang lebih baik dan kesejahteraan;

817

Membangun BPK Paripurna

(4) pendidikan bermutu; (5) kesetaraan gender; (6) akses air bersih dan sanitasi; (7) energi
bersih dan terjangkau; (8) pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; (9) infrastruktur,
industri dan inovasi; (10) mengurangi ketimpangan; (11) kota dan komunitas berkelanjutan;
(12) konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; (13) penanganan perubahan iklim;
(14) menjaga ekosistem laut; (15) menjaga ekosistem darat; (16) perdamaian, keadilan, dan
kelembagaan yang kuat; serta (17) kemitraan untuk mencapai tujuan.

Sehubungan dengan agenda internasional tersebut, BPK perlu untuk turut berpartisipasi
melalui pemeriksaan. Keterlibatan BPK ini juga merupakan implementasi Tujuan Ke-16
dari SDGs yaitu membangun kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua
tingkatan. Peranan BPK untuk mengawal pelaksanaan SDGs sekaligus menjaga agenda
pembangunan untuk mengimplementasikan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57
Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Implementasi Perpres ini selain menjalankan agenda internasional juga merupakan bagian
dari pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional berdasarkan UU Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

D. KERANGKA KERJA
Dalam rangka memperkuat dasar pemikiran program kerja, makalah ini juga menjelaskan

kerangka kerja untuk melaksanakan pengelolaan pemeriksaan. Kerangka kerja dibangun
sesuai dengan perangkat lunak yang telah tersedia di BPK meliputi: Renstra BPK 2016-2020,
SPKN 2017, dan Pedoman Manajemen Pemeriksaan. Tiga perangkat lunak ini merupakan
dasar minimal yang digunakan untuk membangun program kerja. Dalam implementasinya,
sangat memungkinkan untuk mengacu pada pedoman, Petunjuk Pelaksana (juklak),
Petunjuk Teknis (juknis), dan best practice yang ada di internal BPK maupun perangkat
lunak yang tersedia pada praktik internasional.

Sesuai Renstra BPK 2016-2020, BPK ingin mewujudkan pemeriksaan yang berkualitas
dan bermanfaat. Strategi pemeriksaan yang ditetapkan adalah tema dan fokus pemeriksaan
untuk mengawal agenda pembangunan nasional sesuai Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN). Sehubungan dengan strategi pemeriksaan ini, para pimpinan
memberikan arahan pada saat Rakor Pelaksana BPK 2019 untuk terus mengembangkan
pada periode renstra kedepan. Untuk itu, program kerja ini disusun dalam rangka
mengembangkan strategi pemeriksaan yang saat ini telah berjalan agar dapat meningkatkan
peran BPK untuk berkontribusi dalam perbaikan kehidupan masyarakat hinga ke level
daerah.

818

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

Agar dapat menyentuh isu pembangunan daerah yang banyak mendapat perhatian
masyarakat, Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan perlu memperoleh hal pokok (subject
matter) berdasarkan sumber dan analisis yang handal. Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara (SPKN) 2017 menjelaskan bahwa hal pokok (subject matter) hal-hal yang diperiksa
dan/atau hal-hal yang menjadi perhatian dalam suatu penugasan pemeriksaan, yang
dapat berupa informasi, kondisi, atau aktivitas yang dapat diukur/dievaluasi berdasarkan
kriteria tertentu. Pemerolehan hal pokok perlu dibangun dengan membuat basis data yang
kuat dengan memanfaatkan teknologi informasi. Selain itu, hal pokok yang relevan perlu
dianalisis dengan berbagai sudut pandang terutama melalui perspektif kebijakan publik.
Oleh karena itu, prasyarat kapabilitas sumber daya manusia sangat dibutuhkan.

Dari sisi pengelolaan pemeriksaan, pemeriksaan tematik lokal juga harus
mempertimbangkan Pedoman Manajemen Pemeriksaan. Sesuai PMP 2015, pemeriksaan
tematik adalah pemeriksaan di luar pemeriksaan keuangan dan dilakukan sesuai tema
yang terdapat pada kebijakan dan strategi pemeriksaan BPK atas program pemerintah
dalam suatu bidang yang diselenggarakan oleh berbagai entitas. Pemeriksaan tematik
dapat dilaksanakan dengan dua skema, yaitu: dekonsentrasi dan desentralisasi. Pemilihan
skema yang akan digunakan pada tematik lokal akan ditentukan pada proses perencanaan
pemeriksaan sesuai dengan hasil analisis hal pokok.

E. PROGRAM KERJA
Program kerja utama yang ingin dilaksanakan Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan

adalah terwujudnya integrasi pemeriksaan atas pembangunan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan daerah. Integrasi pemeriksaan merupakan pemeriksaan tematik lokal
yang melibatkan beberapa satker perwakilan dalam rangka turut mendalami kebijakan
publik. Pelaksanaan integrasi pemeriksaan ini dapat memberikan hasil pemeriksaan
yang bermanfaat karena menangkap isu pembangunan daerah dan pelaksanaan agenda
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Selain itu, integrasi pemeriksaan tematik lokal
juga menunjukkan proses yang berkualitas karena melibatkan antar perwakilan dengan
dukungan Satuan Kerja (satke)r lain yang terkait seperti Inspektorat Utama (Itama), Direktorat
Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara (Ditama
Revbang), Badan Diklat PKN, dan Biro Teknologi Informasi. Oleh karena membutuhkan
prasyarat kapabilitas, pemeriksaan ini sekaligus menjadi sarana untuk meningkatkan
kapasitas organisasi. Integrasi pemeriksaan dilaksanakan melalui tiga tahapan strategi, yaitu:
persiapan pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan, serta evaluasi dan tindak lanjut.

819

Membangun BPK Paripurna

Pada tahapan persiapan pemeriksaan, Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan akan
melaksanakan beberapa kegiatan utama agar mampu melaksanakan sinergi dan integrasi
pemeriksaan tematik lokal. Kegiatan utama tersebut mencakup kegiatan peningkatan
kapasitas pemeriksa, analisis kebutuhan, identifikasi isu strategis, dan pembentukan
tim perencana pemeriksaan. Kegiatan peningkatan kapasitas pemeriksa meliputi:
diklat pembangunan daerah, kebijakan publik, SDGs, database TI, dan sebagainya.
Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan akan bekerja sama dengan Badan Diklat PKN untuk
menyelenggarakan diklat bagi pegawai.

Kegiatan analisis kebutuhan pembangunan daerah dilakukan melalui Focus
Group Discussion dengan kepala daerah, lembaga perwakilan daerah, akademisi, dan
kementerian/lembaga yang terkait seperti Bappenas, Kemendagri, Kemenkeu, dan BPS.
Kegiatan identifikasi isu strategis pembangunan daerah dilakukan melalui pengembangan
hasil analisis kebutuhan dan melanjutkan analisis terhadap data perencanaan daerah serta
hasil pemeriksaan sebelumnya. Pembentukan Tim Perencana Pemeriksaan Tematik Lokal
melibatkan pemeriksa pada satker pusat dan lintas perwakilan. Hal ini dilakukan untuk
mengombinasikan sinergi pemeriksaan lintas satker.

Tahap Perencanaan dan Pelaksanaan Pemeriksaan dilaksanakan dengan berbagai
kegiatan utama. Pada tahap ini, metodologi dan hal pokok akan pemeriksaan dikumpulkan
dari seluruh perwakilan yang akan dilibatkan untuk diselaraskan agar pemeriksaan tematik
lokal dapat menjangkau isu strategis pada berbagai daerah. Pemantapan metodologi dan
hal pokok akan melibatkan Direktorat Litbang dan Direktorat PSMK. Kegiatan selanjutnya
adalah Rapat Koordinasi Teknis yang melibatkan AKN V dan VI serta seluruh perwakilan.

Setelah kegiatan perencanaan, pemeriksaan tematik lokal antar perwakilan akan
dilaksanakan sesuai dengan tahapan pada PMP 2015 yaitu perencanaan, pelaksanaan,
dan pelaporan pemeriksaan. Lebih lanjut pada saat penyusunan LHP Tematik Gabungan
akan didesain rekomendasi koordinatif lintas entitas terhadap temuan-temuan yang terjadi
secara masif dan seragam di berbagai daerah. Permasalahan yang masih akan menjadi
materi untuk perumusan bahan pendapat BPK agar hasil pemeriksaan tematik lokal dapat
didorong menjadi perhatian bagi Presiden untuk mengungkapkan permasalahan masif
yang terjadi di daerah.

Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut akan melibatkan satker internal BPK dan pihak
eksternal BPK. Pada tahap ini akan dilaksanakan penjaminan mutu (quality assurance)
oleh Itama untuk meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan BPK dan memastikan due
process atas three lines of defence telah dilakukan. Kegiatan selanjutnya adalah evaluasi

820

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

hasil pemeriksaan yang melibatkan Direktorat EPP dalam rangka perbaikan berkelanjutan
(continuous improvement).

Selain itu, Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan akan mengoordinasikan pemantauan
tindak lanjut rekomendasi koordinatif hasil pemeriksaan terutama yang mengungkapkan
permasalahan masif pada berbagai entitas. Kegiatan ini akan melibatkan banyak entitas
pemeriksaan sehingga dapat saling bertukar pengetahuan (knowledge transfer) mengenai
strategi entitas yang berhasil menindaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan.

Lebih lanjut, setiap perwakilan didorong untuk mendapatkan testimoni publik terhadap
pemeriksaan tematik lokal sebagai bentuk penilaian publik terhadap hasil pemeriksaan
BPK. Kegiatan utama yang juga signifikan untuk dilaksanakan adalah merintis pemeriksaan
tindak lanjut atas tematik lokal. Ini dimaksudkan untuk mengetahui atau mengidentifikasi
dampak tindak lanjut atas rekomendasi hasil pemeriksaan apakah telah memberikan
manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat dan pembangunan daerah.

Untuk melaksanakan strategi pemeriksaan integrasi tematik lokal melalui sinergi antar
perwakilan, prasyarat yang dibutuhkan perlu dipenuhi sekaligus menjadi bagian dari
peningkatan kapasitas organisasi. Prasyarat yang dibutuhkan antara lain: SDM pemeriksa
yang cukup dan kompeten, infrastruktur big data, kolaborasi dengan para pemangku
kepentingan, dan sinergi perwakilan. SDM yang cukup diperlukan agar Perwakilan dapat
memprioritaskan dan mengalokasikan SDM untuk integrasi pemeriksaan tematik lokal.

Untuk itu, Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan akan mendorong satker perwakilan
untuk melibatkan lebih banyak Kantor Akuntan Publik yang bekerja untuk dan atas nama
BPK dalam pemeriksaan mandatory seperti pemeriksaan laporan keuangan dan bantuan
partai politik. SDM yang kompeten juga diperlukan untuk menganalisis kebijakan publik
dalam rangka pembangunan daerah dan implementasi SDGs. Pada kegiatan ini, Auditorat
Pengelolaan Pemeriksaan akan melibatkan Badan Diklat PKN.

Untuk memperkuat kebutuhan analisis data, Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan akan
bekerja sama dengan Biro Teknologi Informasi untuk membangun dan menggunakan
infrastruktur big data. Hal ini sangat bermanfaat untuk mengumpulkan data perencanaan
daerah, hasil pemeriksaan dan tindak lanjutnya, peraturan perundang-undangan, dan
sebagainya dalam rangka memperkuat analisis kebijakan publik.

Upaya perbaikan pembangunan daerah tidak mungkin dapat dilaksanakan BPK
tanpa melibatkan para pemangku kepentingan. Oleh karena itu, Auditorat Pengelolaan
Pemeriksaan akan menjalin kolaborasi dengan para pemangku kepentingan melalui
berbagai kegiatan seperti FGD analisis kebutuhan, identifikasi isu strategis, koordinasi

821

Membangun BPK Paripurna

tindak lanjut hasil pemeriksaan, testimoni publik, serta kegiatan lainnya. Strategi ini
sekaligus bermanfaat untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap BPK.

Prasyarat lain yang juga signifikan untuk dilakukan adalah sinergi pada satker di internal
BPK. Integrasi pemeriksaan tematik lokal membutuhkan sinergi dengan perwakilan,
Ditama Revbang, Itama, Badan Diklat PKN, Biro TI, dan satker lain. Oleh karena itu, Auditorat
Pengelolaan Pemeriksaan akan membangun pola komunikasi yang sinergis baik secara
formal maupun informal.

Selain program kerja utama tersebut di atas, peningkatan kompetensi sumber daya
manusia pemeriksa di lingkungan Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan guna mendukung
pelaksanaan program kerja utama, direncanakan sebagai berikut:

1. melaksanakan knowledge management, dengan cara:
a. melaksanakan knowledge sharing melalui diskusi kelompok secara rutin dua
mingguan;
b. kegiatan mentoring;
c. membangun file sharing yang memuat data entitas, kriteria yang digunakan
dalam pemeriksaan, temuan pemeriksaan, dsb.

2. melaksanakan diklat bekerja sama dengan Badan Diklat PKN terkait tematik
pemeriksaan;

3. meyelenggarakan pekan tertib kertas kerja pemeriksaan, pada waktu kegiatan
pemeriksaan sedang tidak dilaksanakan.

4. Menyusun database penugasan pemeriksa sebagai bahan dalam pengembangan
kompetensi pemeriksa melalui penugasan-penugasan berikutnya;

5. Membangun budaya kerja di lingkungan Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan guna
meningkatkan kinerja satuan kerja.

Di bidang sarana dan prasarana pendukung pemeriksaan, program kerja yang
direncanakan akan dilaksanakan adalah:

1. menginventarisir ketersediaan sarana dan prasarana yang ada untuk dibandingkan
dengan kebutuhan minimum yang harus dicukupi. Kekurangan atau kelebihan
sarana dan prasarana yang ada akan dikoordinasikan dengan satker terkait guna
memperoleh jalan keluarnya.

2. Bekerja sama dengan Biro Umum guna merencanakan penataan ruangan sesuai
rencana kerja Biro Umum dengan masukan kebutuhan seluruh sumber daya manusia
di lingkungan Auditorat Pengelolaan Pemeriksaan.

822

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

F. KESIMPULAN
BPK perlu untuk turut terlibat dalam perbaikan pembangunan daerah sebagai bentuk

perwujudan visi pencapaian tujuan negara serta keterlibatan pada pelaksanaan agenda
internasional. Untuk itu, makalah ini mengembangkan program kerja integrasi pemeriksaan
tematik lokal melalui sinergi pemeriksaan yang melibatkan berbagai satker perwakilan,
satker lainnya, dan para pemangku kepentingan. Untuk mewujudkan program kerja ini
didesain prasyarat yang dibutuhkan dan dikembangkan strategi utama meliputi persiapan
pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan, serta evaluasi dan tindak lanjut. Keberhasilan
pelaksanaan program kerja ini diharapkan dapat meningkatkan kematangan organisasi
BPK pada level insight dan foresight tanpa mengesampinkan pelaksanaan peran sebagai
oversight.

823

Membangun BPK Paripurna

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan
Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.

Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014, tentang
Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangan.

Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2015, tentang
Rencana Strategis Badan Pemeriksa Keuangan 2016-2020.

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2017, tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2017,
tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor
3/K/I-XIII.2/7/2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana Badan Pemeriksa
Keuangan.

Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 5/K/I-XIII.2/10/2015 tentang Pedoman
Manajemen Pemeriksaan.

Allison, Michael dan Kaye, Jude. 2005. Strategic Planning for Nonprofit Organizations A
Practical Guide and Workbook Second Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Azis, Harry Azhar. 2015. Transformasi Hasil Pemeriksaan BPK dalam Meningkatkan
Kesejahteraan Rakyat. Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion di
Universitas Airlangga, Surabaya pada 6 Maret 2015.

David, Fred R. 2011. Thirteenth Edition Strategic Management Concepts and Cases. New
Jersey: Pearson Education.

United Nations. Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainbel Development.
INTOSAI. ISSAI 12: The Value and Benefits of Supreme Audit Institutions – making a difference

to the lives of citizens

824

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

825

Membangun BPK Paripurna

Pentingnya Standarisasi
Metodologi dan Teknik
Pemeriksaan Fisik Pada Audit
Kepatuhan atas Kontrak
Pengadaan Jasa Konstruksi

Dede Sukarjo, S.E., M.M., Ak., CA., CSFA
(Kepala Auditorat V.A)

A. PENDAHULUAN
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang setiap

semester disampaikan kepada lembaga perwakilan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
permasalahan yang seringkali mendapat perhatian sangat besar adalah terkait dengan
kasus-kasus kerugian negara yang menjadi temuan BPK. Dari daftar rekapitulasi kerugian
negara yang disajikan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Semesteran tersebut, tampak
bahwa penyumbang nilai temuan kerugian negara terbesar adalah dari hasil pemeriksaan
atas pelaksanaan kegiatan pengadaan barang dan jasa termasuk di dalamnya pengadaan
jasa konstruksi atau pelaksanaan kegiatan yang bersifat fisik. Kerugian negara atas
pelaksanaan pekerjaan fisik pada umumnya timbul karena kekurangan volume pekerjaan
(kuantitas) dan atau mutu (kualitas) hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi
teknis yang ditetapkan dalam dokumen kontrak.

Pemeriksaan kepatuhan yang semakin intensif dilakukan oleh BPK di satu sisi telah
membuahkan hasil berupa banyaknya kasus-kasus kerugian negara yang terungkap dan
diserahkan kepada aparat penegak hukum. Namun di lain pihak gugatan oleh pihak-pihak
yang merasa dirugikan dengan adanya hasil pemeriksaan BPK pun akhir-akhir ini mulai
bermunculan. Salah satunya adalah gugatan atas pelaksanaan pemeriksaan fisik yang
dilakukan oleh pemeriksa BPK.

Salah satu aspek yang banyak digugat terkait dengan hasil pemeriksaan fisik yang
dilakukan oleh BPK adalah terkait dengan kompetensi pemeriksa yang melakukan

826

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

pemeriksaan fisik di lapangan dan metodologi pemeriksaa fisik yang dilakukan oleh BPK.
Kompentensi pemeriksa dan metodologi pemeriksaan juga merupakan dua aspek penting
yang sering kali ditanyakan oleh pengacara ataupun majelis hakim ketika suatu kasus
sampai di sidangkan di pengadilan.

Dilihat dari kedua aspek tersebut, diakui atau tidak di BPK masih terdapat kelemahan
terutama dalam melakukan pemeriksaan fisik di lapangan. Sumber daya yang dimiliki BPK
berupa pemeriksa yang memiliki latar belakang pendidikan teknik sipil sangat terbatas.

Di samping itu dalam praktek pemeriksaan atas pelaksanaan pekerjaan fisik di BPK, baik
dalam cara pengambilan sample maupun dalam cara menghitung kekurangan volume
pekerjaan masih berbeda-beda meskipun untuk jenis pekerjaan fisik yang sama. Dalam
mengambil sample pada pemeriksaan fisik jalan, misalnya, ada yang mengambil sample
pada titik-titik tertentu sesuai dengan back up data kontraktor. Ada yang mengambil titik
sample berdasarkan kesepakatan. Ada juga yang mengambil titik sample yang ditentukan
oleh pemeriksa, dan lain-lain.

Belum lagi perbedaan dalam cara menghitungnya ada yang dirata-ratakan dari seluruh
sampel yang diambil, ada yang dirata-ratakan pada setiap segmen (ruas jalan tertentu)
yang diambil sampelnya dll. Hal tersebut menunjukkan bahwa metode dan teknik
pemeriksaan untuk kasus yang sama terjadi perbedaan perlakuan, yang pada akhirnya
akan menyebabkan terjadinya perbedaan perhitungan nilai kerugian negaranya.

Hal ini berpotensi menimbulkan risiko hasil pemeriksaan BPK terkait dengan pelaksanaan
pemeriksaan fisik di lapangan dipertanyakan bahkan digugat oleh pihak-pihak tertentu
yang merasa dirugikan. Untuk itu diperlukan adanya metodologi dan teknik pemeriksaan
fisik yang baku yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara akademis maupun secara
yuridis.

Sehubungan dengan latar belakang tersebut di atas, dalam penyusunan paper ini penulis
mengambil tema “Pentingnya Standardisasi Metodologi dan Teknik Pemeriksaan Fisik
pada Audit Kepatuhan atas Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi”.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, setidaknya terdapat empat aspek penting
yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaan pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh BPK
selama ini, yaitu (1) apakah BPK berwenang melakukan pemeriksaan fisik atas pelaksanaan
pekerjaan yang bersifat kontraktual yang telah diserahkan oleh kontraktor dan telah
diterima dengan baik oleh pemilik pekerjaan dhi dinas/kementerian Teknis; (2) apakah
pemeriksa BPK kompeten untuk melakukan pemeriksaan fisik di lapangan; (3) Bagaimana
metodologi dan teknik pemeriksaan fisik yang harus dilakukan oleh pemeriksa BPK supaya

827

Membangun BPK Paripurna

dapat dipertanggungjawabkan hasilnya; dan (4) Bagaimana menentukan dan menghitung
nilai kerugian negara dalam pemeriksaan pekerjaan fisik.

B. LANDASAN TEORI
Pemeriksaan Kepatuhan
Menurut Mulyadi (2014:30-32) Audit Kepatuhan (Compliance Audit) adalah audit yang

tujuannya untuk menentukan apakah yang diaudit sesuai dengan kondisi atau peraturan
tertentu. Hasil audit kepatuhan umumnya dilaporkan kepada pihak yang berwenang
membuat kriteria. Audit kepatuhan banyak dijumpai dalam pemerintahan. Sedangkan
menurut Agoes (2012:11-13) Pemeriksaan Ketaatan (Compliance Auditing) merupakan
pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah perusahaan sudah menaati
peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang berlaku, baik yang ditetapkan oleh pihak
intern perusahaan (manajemen, dewan komisaris) maupun pihak eksternal (pemerintah,
Bapepam LK, Bank Indonesia, Direktorat Jendral Pajak, dan lain-lain).

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Pasal 1, Ayat (1) dinyatakan bahwa
Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara
independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai
kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara.

Sesuai dengan Pasal 4 UU Nomor 15 Tahun 2004, pemeriksaan yang dilakukan
oleh BPK terdiri dari tiga jenis yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas
laporan keuangan. Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan
negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan
aspek efektivitas. Sedangkan Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan
yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan
atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem
pengendalian intern pemerintah.

Dilihat dari sisi tujuannya, pemeriksaan dengan tujuan tertentu berbeda dengan jenis
pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu
bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa, pemeriksaan
keuangan bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance)

828

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, sedangkan pemeriksaan
kinerja bertujuan untuk menilai ekonomi, efisiensi dan efektivitas.

Sesuai dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), Pemeriksaan Dengan
Tujuan Tertentu (PDTT) dapat bersifat eksaminasi (examination), reviu (review), atau
prosedur yang disepakati (agreed-upon procedures). Pemeriksaan atas pelaksanaan
pekerjaan fisik merupakan salah satu bentuk PDTT yang bersifat eksaminasi. PDTT yang
bersifat eksaminasi dilakukan untuk memberikan pernyataan positif (positive assurance) atas
hal yang diperiksa, yaitu bahwa hal yang diperiksa sesuai dengan kriteria yang ditentukan
dalam segala hal yang material.

SPKN
BPK telah menetapkan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2017

tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).Terkait dengan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu SPKN menyebutkan bahwa PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan
dan pemeriksaan investigatif. Dalam SPKN dinyatakan bahwa Pemeriksaan kepatuhan
merupakan pemeriksaan untuk menilai apakah hal pokok (subject matter) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan (yang digunakan sebagai kriteria). Tujuan
pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menyediakan informasi ke pengguna (intended user)
LHP apakah entitas yang diperiksa mengikuti/mematuhi peraturan perundang-undangan,
keputusan legislatif, kontrak, dan kode etik (codes of conduct) yang ditetapkan.

a. Metodologi Pemeriksaan Kepatuhan dan Teknik Pemeriksaan Fisik

Metode pemeriksaan merupakan hal yang sangat penting dalam melaksanakan
kegiatan pemeriksaan. Metodologi pemeriksaan pada hakekatnya merupakan
tahapan-tahapan pemeriksaan yang sistematis untuk memperoleh bukti-bukti
pemeriksaan.

Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kepatuhan yang ditetapkan dengan Keputusan
BPK Nomor 3/K/I-XIII.2/5/2018 membagi tahapan pemeriksaan kepatuhan
menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan.
Tahapan perencanaan pemeriksaan meliputi sembilan langkah kegiatan, yaitu: (1)
Identifikasi Pengguna Hasil Pemeriksaan dan Pihak yang Bertanggung Jawab, (2)
Penentuan Hal Pokok, Tujuan, dan Lingkup Pemeriksaan, (3) Identifikasi Kriteria,
(4) Pemahaman Entitas dan Lingkungannya, (5) Pemahaman Sistem Pengendalian
Intern, (6) Penentuan Materialitas, (7) Penilaian Risiko, (8) Penentuan Uji Petik, dan (9)

829

Membangun BPK Paripurna

Penyusunan Strategi dan Rencana Pemeriksaan.

Tahapan pelaksanaan pemeriksaan meliputi tiga langkah kegiatan, yaitu: (1)
Pemerolehan dan Analisis Bukti, (2) Pengembangan temuan, dan (3) Pemerolehan
Tanggapan atas Temuan Pemeriksaan. Sedangkan tahapan pelaporan pemeriksaan
meliputi dua langkah kegiatan, yaitu: (1) Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan, dan
(2) Tindak lanjut Pemeriksaan Kepatuhan.

Dalam pelaksanaan pemeriksaan, pemeriksa harus melakukan pengumpulan bukti
melalui prosedur dan teknik pemeriksaan yang memadai. Prosedur pemeriksaan
merupakan urutan langkah yang ditempuh oleh pemeriksa dalam rangka memperoleh
bukti, sedangkan teknik adalah cara untuk memperoleh bukti pemeriksaan yang
dimuat dalam prosedur pemeriksaan.

Bukti pemeriksaan yang harus diperoleh pemeriksa adalah semua media informasi
yang dapat digunakan oleh pemeriksa untuk mendukung argumentasi, pendapat atau
simpulan dan rekomendasinya dalam meyakinkan tingkat kesesuaian antara kondisi
dengan kriterianya. Tidak semua informasi bermanfaat bagi pemeriksaan, karena itu
informasi harus dipilih. Pedoman pemilihan informasi yang akan digunakan sebagai
bukti pemeriksaan adalah bahwa informasi tersebut harus andal sehingga mampu
meyakinkan pihak lain. Keandalan bukti pemeriksaan tergantung dari terpenuhinya
syarat-syarat bukti pemeriksaan, yaitu relevan, kompeten dan cukup.

Bukti pemeriksaan dapat dibedakan dalam beberapa jenis atau golongan sebagai
berikut, yaitu bukti pengujian fisik, bukti dokumen, bukti analisis, dan bukti keterangan.
Bukti pengujian fisik (dalam beberapa buku disebut sebagai bukti fisik) adalah bukti
yang diperoleh melalui pengamatan langsung dengan mata kepala pemeriksa sendiri
menyangkut harta berwujud. Pengamatan langsung oleh pemeriksa dilakukan
dengan cara inventarisasi fisik (dikenal pula dengan sebutan opname) dan inspeksi ke
lapangan (on the spot).

Hasil pengamatan fisik oleh pemeriksa tersebut dikukuhkan ke dalam suatu media
pengganti fisik yaitu berita acara pemeriksaan fisik, hasil inspeksi lapangan, foto, surat
pernyataan, denah lokasi atau peta lokasi dan lain-lain.

Pengamatan fisik dapat dilakukan untuk meyakinkan mengenai keberadaan
(kuantitatif) dan mutu (kualitatif) dari aktiva berwujud. Namun keandalannya sangat
tergantung dari kemampuan pemeriksa yang bersangkutan dalam memahami harta
berwujud yang dipemeriksaan. Dalam keadaan tertentu, hasil pengamatan fisik saja

830

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

belum sepenuhnya dapat dipakai untuk mengambil simpulan pemeriksaan, karena itu
perlu didukung dengan bukti yang lain, baik berupa bukti dokumen, bukti keterangan
maupun bukti kesaksian.

b. Dokumentasi Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan

Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) adalah catatan (dokumentasi) yang dibuat oleh
pemeriksa mengenai bukti-bukti yang dikumpulkan, berbagai teknik dan prosedur
pemeriksaan yang diterapkan, serta simpulan-simpulan yang dibuat selama
melakukan pemeriksaan.

Dokumentasi yang dibuat oleh pemeriksa tersebut meliputi dokumen-dokumen
yang dikumpulkan oleh pemeriksa, baik yang dibuat sendiri maupun dokumen yang
berupa fotokopi/salinan yang diperoleh pemeriksa selama pelaksanaan pemeriksaan.
Dalam pengertian dokumen bukan saja yang berbentuk kertas, namun juga termasuk
foto/film/gambar, kaset rekaman, disket, file komputer. Sumber dokumen KKP dapat
berasal dari pemeriksaan, pihak di luar pemeriksaan/instansi lainnya, maupun dari
pihak pemeriksa.

C. PEMBAHASAN
Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori tersebut di atas dapat

dikemukakan hal-hal sebagai berikut :

a. Kewenangan BPK dalam Melakukan Pemeriksaan Fisik
Sesuai dengan Pasal 6, UU Nomor 15Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan,

BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank
Indonesia (BI), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan
negara. Lebih lanjut dinyatakan bahwa Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan
keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Termasuk
dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain
yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif.

Untuk menjalankan tugasnya tersebut BPK diberi kewenangan untuk mendapatkan
data, dokumen, dan keterangan dari pihak yang diperiksa, kesempatan untuk
memeriksa secara fisik setiap aset yang berada dalam pengurusan pejabat instansi

831

Membangun BPK Paripurna

yang diperiksa, termasuk melakukan penyegelan untuk mengamankan uang,
barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara pada saat pemeriksaan
berlangsung.

Hal tersebut menjadi landasan yang jelas mengenai kewenangan BPK dalam
melakukan berbagai prosedur dan teknik pemeriksaan untuk memperoleh bukti
yang memadai, termasuk dalam melakukan pemeriksaan fisik di lapangan.

b. Kompetensi Pemeriksa dalam melakukan Pemeriksaan Fisik

Salah satu kendala yang dihadapi dalam melakukan pemeriksaan atas pekerjaan fisik
di lapangan adalah terbatasnya sumberdaya pemeriksa baik secara kuantitas maupun
kompetensinya. Oleh karenanya, dalam praktek pemeriksaan fisik atas infrastruktur
jalan dan jembatan misalnya, sebagian besar dilakukan oleh para pemeriksa yang
berlatar belakang pendidikan non teknik seperti akuntansi, hukum, manajemen
dll. Hal ini disebabkan sangat terbatasnya sumber daya yang dimiliki perwakilan
khususnya pemeriksa yang memiliki latar belakang pendidikan teknik sipil. Sebagai
contoh dengan jumlah entitas pemeriksaan sebanyak 27 entitas, Perwakilan BPK
Provinsi Jawa Barat hanya memiliki tiga orang personil yang berlatar belakang
pendidikan teknik sipil. Jumlah yang sangat kurang memadai dibandingkan dengan
intensitas pemeriksaan PDTT atas belanja daerah yang hampir setiap tahun dilakukan
oleh perwakilan.

Seiring dengan berjalannya waktu, akhir-akhir ini mulai bermunculan sikap kritis
dari para rekanan maupun para pelaksana dan penanggung jawab kegiatan yang
mempertanyakan kompetensi para pemeriksa BPK yang melakukan pemeriksaan
fisik di lapangan. Bahkan dalam beberapa kasus yang ditindaklanjuti oleh aparat
penegak hukum dan sampai disidangkan pada pengadilan tindak pidana korupsi
pertanyaan terkait dengan kompetensi pemeriksa seringkalai dipertanyaan oleh
majelis hakim dan pengacara.

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara pada pernyataan standar umum menyatakan
bahwa “Pemeriksa secara kolektif harus memiliki kecakapan profesional yang
memadai untuk melaksanakan tugas pemeriksaan”.

Standar Pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa setiap pemeriksaan dilaksanakan
oleh para pemeriksa yang secara kolektif memiliki pengetahuan, keahlian, dan
pengalaman yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Oleh karena

832

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

itu, organisasi pemeriksa harus memiliki prosedur rekrutmen, pengangkatan,
pengembangan berkelanjutan, dan evaluasi atas pemeriksa untuk membantu
organisasi pemeriksa dalam mempertahankan pemeriksa yang memiliki kompetensi
yang memadai.

Persyaratan kemampuan tersebut berlaku bagi organisasi pemeriksa secara
keseluruhan, dan tidak dengan sendirinya harus berlaku bagi pemeriksa secara
individu. Suatu organisasi pemeriksa dapat menggunakan pemeriksanya sendiri
atau pihak luar yang memiliki pengetahuan, keahlian, atau pengalaman di bidang
tertentu, seperti akuntansi, statistik, hukum, teknik, disain dan metodologi
pemeriksaan, teknologi informasi, administrasi negara, ilmu ekonomi, ilmu sosial,
atau ilmu aktuaria.

Oleh karenanya salah satu solusi alternatif untuk menanggulangi masalah
kompetensi pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan fisik di lapangan antara lain
dengan menggunakan tenaga ahli untuk dan atas nama BPK, atau bekerja sama
dengan laboratorium independen yang kompeten melakukan pemeriksaan fisik
konstruksi.

c. Metodologi dan Teknik Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada dasarnya adalah membandingkan antara kondisi fisik yang
terpasang dengan kondisi yang seharusnya menurut kontrak. Untuk meminimalisir
terjadinya hambatan dan risiko audit dalam pemeriksaan fisik di lapangan langkah-
langkah yang harus dilakukan dalam pemeriksaan fisik, antara lain (1) melakukan
rapat dengan Pengguna Anggaran (PA)/KPA, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan
Direksi Teknis untuk menyamakan persepsi antara pemeriksa dengan yang diperiksa
terkait dengan metoda dan cara pengambilan benda uji (sample), pengujian serta
menghitung kekurangan volume pekerjaan; (2) Menuangkan metode dan cara
pengambilan sample tersebut dalam dokumen kesepakatan yang ditandatangan
oleh kedua belah pihak; (3) Mengundang pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan
fisik yang diuji petik seperti PPK, PPTK, Pengawas Lapangan, Konsultan Pengawas
dan Rekanan; (4) Meminta konsultan dan pengawas lapangan untuk melakukan
pengukuran dan mengambil benda uji; (5) Pemeriksa mencatat hasil pengukuran dan
pengambilan sample yang dilakukan oleh konsultan dan/atau pengawas lapangan
untuk kemudian ditandatangani oleh para pihak; (6) Melakukan perhitungan
bersama atas hasil pengukuran dan pengujian benda uji untuk menentukan ada

833

Membangun BPK Paripurna

tidaknya kekurangan volume pekerjaan; (7) Menghitung kerugian negara atas hasil
perhitungan kekurangan volume pekerjaan; (8) Menyusun temuan pemeriksaan; (9)
Mendiskusikan dengan pejabat terkait dan meminta tanggapan/komentar instansi.

Dalam pemeriksaan atas pelaksanaan kegiatan konstruksi fisik bukti yang cukup
harus diperoleh oleh pemeriksa untuk memberikan dasar rasional bagi simpulan
yang dinyatakan dalam laporan. Dalam kasus kekurangan volume pekerjaan yang
merugikan keuangan negara pemeriksa tidak hanya mengandalkan kepada bukti
fisik tetapi juga harus didukung dengan bukti-bukti yang lainnya, yaitu bukti
dokumen, bukti analisis, dan bukti keterangan yang memadai.

Selain itu masalah kompetensi bukti fisik harus menjadi perhatian, antara lain dengan
cara melakukan inventarisasi fisik oleh sekurang-kurangnya dua orang pemeriksa,
karena menurut hukum, satu saksi bukan saksi. Selain kedua pemeriksa, sebaiknya
BAP ditandatangani pula oleh pihak auditi dan bila ada oleh kontraktor yang terkait
agar tidak terjadi ketidaksepakatan dikemudian hari. Bila bukti fisik berbentuk
foto dan denah lokasi atau peta lokasi, sebaiknya terdapat pula tanda-tanda yang
menunjukkan identitas auditi, misalnya dokumen tersebut dilegalisasi oleh pihak
auditi yang menunjukkan tempat dan waktu. Apabila berbentuk surat pernyataan
sebaiknya bermeterai dan dilengkapi dengan saksi. Hasil pengamatan fisik oleh
auditor tersebut dikukuhkan ke dalam suatu media pengganti fisik yaitu berita acara
pemeriksaan fisik, hasil inspeksi lapangan, foto, surat pernyataan, denah lokasi atau
peta lokasi dan lainlain.

d. Menghitung dan Menentukan Jumlah Kerugian Negara

Dalam Pasal 10 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, salah satu kewenangan BPK
adalah menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan
oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan
oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Adapun Kerugian Negara/
Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Merujuk pada rumusan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 31
Tahun 1999, maka kerugian keuangan negara tersebut dapat berbentuk :

1) Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah (dapat berupa uang, barang)
yang seharusnya tidak dikeluarkan.

834

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

2) Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah lebih besar dari yang seharusnya
menurut kriteria yang berlaku.

3) Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima (termasuk
diantaranya penerimaan dengan uang palsu, barang fiktif ).

Dalam menghitung nilai kerugian negara pada pelaksanaan pekerjaan fisik di lapangan
pada dasarnya hanya tinggal mengalikan jumlah kekurangan volume pekerjaan yang
diperoleh dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Fisik dengan harga satuan yang
dimuat dalam dokumen kontrak. Selain itu, dalam menghitung besarnya nilai kerugian para
pemeriksa juga harus memperhatikan klausul-klausul yang dimuat dalam dokumen kontrak.
Secara umum baik dalam menghitung kekurangan volume maupun dalam menentukan
besarnya nilai kerugian negara pada dasarnya mengacu pada syarat-syarat umum spesifikasi
teknis terkait dengan cara pengukuran untuk memperoleh pembayaran.

D. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Sehubungan dengan hasil pembahasan mengenai metodologi dan teknik pelaksanaan
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan kepatuhan tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1) Sesuai UU Nomor 15 Tahun 2004 jo. UU Nomor 15 Tahun 2006, BPK bertugas
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab negara. Pemeriksaan BPK mencakup
pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan
tertentu.
2) BPK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kontrak pelaksanaan
jasa konstruksi yang dilakukan oleh kontraktor yang dibiayai dari APBN/APBD
karena merupakan lingkup keuangan negara.
3) Standar Pemeriksaan Keuangan Negara mensyaratkan profesionalisme dan
kompetensi pemeriksa. Dalam standar umum antara lain dinyatakan bahwa
pemeriksa secara kolektif harus memiliki kecakapan profesional yang memadai
untuk melaksanakan pemeriksaan. Terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan fisik
pemeriksa harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk
melakukan pemeriksaan fisik di lapangan. Dalam hal tidak terdapat sumber daya
yang kompeten, maka solusi alternatifnya dapat menggunakan tenaga ahli yang
bekerja untuk dan atas nama BPK atau menjalin kerja sama dengan laboratorium
teknik yang independen.

835

Membangun BPK Paripurna

4) Metodologi dan teknik pemeriksaan fisik sangat penting dalam melaksanakan
tugas pemeriksaan. Metodologi dan teknik pemeriksaan pada dasarnya
merupakan tahapan-tahapan dalam melakukan pemeriksaan, dan cara
memperoleh bukti pemeriksaan yang relevan, cukup dan kompeten. Dalam
pelaksanaan pemeriksaan fisik untuk memperoleh bukti yang kompeten
pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh dua orang pemeriksa dan dituangkan
dalam Berita Acara Pemeriksaan Fisik yang ditandatangani oleh pihak-pihak
terkait, antara lain Pejabat Pembuat Komitmen, Pengawas Lapangan, Konsultan
Pengawas dan Kontraktor. Untuk meminimalisir terjadinya perbedaan perlakuan
dan perbedaan tatacara pelaksanaan pemeriksaan fisik di lapangan pada kasus
yang sama, maka sangat perlu adanya juknis pemeriksaan fisik.

5) Dalam menghitung dan menentukan kerugian negara atas kekurangan volume
pekerjaan dan pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi
teknis kontrak, harus memperhatikan klausul-klausul yang diatur dalam kontrak,
termasuk tata cara pengukuran dan pembayaran yang dimuat dalam spesifikasi
umum kontrak.

b. Saran
Untuk meningkatkan kredibilitas pemeriksaan BPK atas pelaksanaan pekerjaan fisik

konstruksi, maka disarankan hal-hal sebagai berikut :
1) Menyusun juknis pemeriksaan fisik konstruksi jalan, jembatan dll, sehingga para

pemeriksa BPK baik di pusat maupun di perwakilan memiliki menerapkan metode
dan cara perhitungan yang sama.
2) Memperkuat SDM pemeriksa BPK dengan melakukan diklat teknis pemeriksaan
fisik, menambah jumlah pemeriksa BPK yang memiliki latar belakang teknik sipil,
baik dengan melakukan rekruitmen baru atau menggunakan tenaga ahli yang
bekerja untuk dan atas nama BPK.
3) Bekerja sama dengan laboratorium independen yang memiliki kompetensi
melakukan pemeriksaan kuantitas dan kualitas pekerjaan fisik.

836

|Bagian 9 Memperkuat Tata Kelola Pemeriksaan dan SDM

Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

Jawab Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Keputusan BPK Nomor 3/K/I-XIII.2/5/2018 Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kepatuhan.
Mulyadi, 2014, Auditing. Jakarta: Salemba Empat
Agoes, Sukrisno, 2012, Auditig (Pemeriksaan Akuntan) Untuk Kantor Akuntan Publik,

Jakarta: FE UI

837

Membangun BPK Paripurna
838

|Bagian 10 Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dan Komunikasi dalam Pemeriksaan

Bagian 10

Meningkatkan
Partisipasi

Masyarakat dan
Komunikasi dalam

Pemeriksaan

839

Membangun BPK Paripurna

Pembentukan Organisasi
Profesi Pemeriksa
Keuangan Negara

Gunarwanto, S.E., M.M., Ak., CSFA
(Kepala Pusat Standarisasi dan Evaluasi Diklat PKN)

A. Latar Belakang
Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN mengatur bahwa aparatur

sipil negara (ASN) adalah sebuah profesi. Ketentuan tersebut diperkuat oleh Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS yang memerintahkan
setiap jabatan fungsional (JF) harus memiliki organisasi profesi. Dalam Pasal 99 PP tersebut
diatur instansi pembina JF memiliki tugas antara lain memfasilitasi pembentukan organisasi
profesi JF. Namun pada kenyataannya, belum semua JF memiliki organisasi profesi.

Ketiadaan organisasi profesi menyebabkan tidak semua JF memiliki kode etik profesi
dan kode etik jabatan. Pelaksanaan pekerjaan oleh pejabat fungsional hanya didasarkan
pada etika pribadi dan sebagian etika organisasi yang cenderung tidak sama antara pejabat
fungsional satu dengan yang lainnya, karena sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
dipegang oleh masing-masing pejabat fungsional. Ketiadaan kode etik profesi dan kode etik
jabatan tidak jarang berakibat pada berkurangnya rasa tanggung jawab pejabat fungsional
dalam melaksanakan pekerjaan dan tanggung jawab terhadap kualitas pekerjaan yang
dihasilkan.

Tugas organisasi profesi tentu harus diperluas tidak hanya menyusun kode etik,
melakukan advokasi, dan pemberian rekomendasi, tetapi juga tugas-tugas pengembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi, serta penyelenggaraan uji kompetensi profesi.
Hal ini selaras dengan Pasal 131 PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS yang
mengatur bahwa pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) yang lowong melalui mutasi
dari JPT satu ke JPT lainnya dapat dilakukan melalui uji kompetensi atau harus memenuhi
standar kompetensi teknis yang dibuktikan melalui sertifikasi teknis dari organisasi profesi.

840

|Bagian 10 Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dan Komunikasi dalam Pemeriksaan

Berdasarkan Profil Jabatan Fungsional PNS Tahun 2017 yang dikeluarkan Badan
Kepegawaian Negara (BKN) diketahui bahwa jumlah jabatan fungsional PNS di Indonesia
ada 154 jabatan fungsional. Meskipun demikian, jumlah organisasi profesi yang ada belum
sebanyak jumlah jabatan fungsional tersebut.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saat ini belum memiliki organisasi profesi bagi
pegawai BPK yang menyandang jabatan fungsional Pemeriksa. Namun BPK sudah memiliki
Kode Etik yang tertuang dalam Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan
Pemeriksa Keuangan. Kode Etik ini berlaku bagi Anggota BPK dan Pemeriksa yang berasal
dari PNS pada Pelaksana BPK, PNS dari APIP dan Akuntan Publik.

Dalam jangka panjang pemeriksaan laporan keuangan selain dilakukan oleh BPK, juga
dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Oleh
karena itu, keberadaan organisasi profesi pemeriksa sangat diperlukan antara lain untuk
meningkatkan profesionalisme pemeriksa, mendukung Badan Pendidikan dan Pelatihan
(Badiklat) BPK dalam melakukan sertifikasi bagi KAP, serta sebagai sarana pemeliharaan
kompetensi KAP.

B. Permasalahan
Sesuai dengan hasil review Inspektorat Utama BPK atas pelaksanaan pemeriksaan,

terdapat permasalahan sebagai berikut:
1. Pengendalian mutu pemeriksaan secara keseluruhan masih perlu ditingkatkan (paparan

Inspektur Utama pada acara Rapat Koordinasi Pelaksana BPK, 23 April 2018);
2. Sistem penguatan nilai-nilai dasar perlu dibangun lebih memadai memadai sehingga

mengurangi risiko menurunnya kinerja pemeriksaan dan meningkatnya pengaduan
pelanggaran kode etik/disiplin pegawai (paparan Inspektur Utama pada Rapat Kerja
AKN V Semester II 2018, 31 Juli 2018).

Upaya untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan sudah dilakukan melalui berbagai
cara, antara lain meningkatkan quality control dan quality assurance; meningkatkan kualitas
pendidikan dan pelatihan (baik materi dan nara sumber); meningkatkan ketersediaan
perangkat lunak pemeriksaan (standar, juklak, juknis, pedoman, dll); meningkatkan
bantuan teknologi informasi dalam pemeriksaan; meningkatkan data base pemeriksaan;
dan meningkatkan remunerasi pemeriksa.

Beberapa upaya memang sudah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan.
Namun, ada satu upaya penting lain yang bisa dilakukan yaitu membentuk organisasi

841

Membangun BPK Paripurna

profesi pemeriksa keuangan negara. Keberadaan organisasi profesi dapat digunakan
untuk meningkatkan profesionalisme para anggotanya. Dalam banyak profesi, keberadaan
organisasi profesi mempunyai peran besar dalam meningkatkan profesionalisme
anggotanya. Contohnya di kalangan dokter ada Ikatan Dokter Indonesia (IDI), profesi
insinyur ada Persatuan Insinyur Indonesia (PII), profesi auditor ada Asosiasi Auditor Internal
Pemerintah Indonesia (AAIPI).

Masalahnya, saat ini BPK belum membentuk organisasi profesi pemeriksa keuangan
negara. Penyebab belum dibentuk organisasi profesi karena PP 11 Tahun 2017 yang
mengharuskan pembentukan organisasi profesi relatif baru sehingga belum ditindaklanjuti.

C. Kajian Teori, Praktik, dan Hukum
Kajian Teori
Secara umum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dipahami bahwa

organisasi profesi adalah organisasi yang didirikan oleh dua orang atau lebih yang memiliki
profesi yang sama untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan beberapa ahli (Merton)
mendefinisikan bahwa organisasi profesi adalah organisasi dari praktisi yang menilai/
mempertimbangkan seseorang atau yang lain mempunyai kompetensi profesional dan
mempunyai ikatan bersama untuk menyelenggarakan fungsi sosial yang mana tidak dapat
dilaksanakan secara terpisah sebagai individu.

Organisasi profesi mempunyai dua perhatian utama, yaitu kebutuhan hukum untuk
melindungi masyarakat dari anggota profesi yang tidak berkualitas dan kurangnya standar
dalam bidang profesi yang dijalani. Organisasi profesi juga menyediakan kendaraan untuk
anggotanya dalam menghadapi tantangan yang ada saat ini dan akan datang serta bekerja
ke arah positif terhadap perubahan-perubahan profesi sesuai dengan perubahan sosial.

Secara umum, ciri-ciri organisasi profesi adalah: hanya ada satu organisasi untuk setiap
profesi. Ikatan utama para anggota adalah kebanggaan dan kehormatan, tujuan utama
adalah menjaga martabat dan kehormatan profesi, kedudukan dan hubungan antar
anggota bersifat persaudaraan, memiliki sifat kepemimpinan kolektif, dan mekanisme
pengambilan keputusan atas dasar kesepakatan.

Sedangkan tujuan organisasi profesi antara lain: meningkatkan dan mengembangkan
karier anggota; meningkatkan dan mengembangkan kompetensi anggota; meningkatkan
dan mengembangkan kewenangan profesional anggota sesuai kemampuan;
meningkatkan dan mengembangkan martabat anggota agar terhindar dari perlakuan tidak
manusiawi; serta meningkatkan dan mengembangkan kesejahteraan untuk meningkatkan
kesejahteraan lahir dan batin anggotanya.

842


Click to View FlipBook Version