The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Teguh Siswanto, 2020-02-19 09:28:49

BUKU 2 - MEMBANGUN BPK PARIPURNA

BUKU 2 - MEMBANGUN BPK PARIPURNA

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

f. Tanggal 28 September 2015, Gubernur BI menyampaikan Surat Nomor 17/9/GBI/
DHK kepada Menteri Keuangan perihal pandangan BI terhadap RPP tentang jenis
dan tarif PNBP yang berlaku pada PPATK, berkenaan dengan Surat DJA No S-447/
MK.02/2015 tanggal 16 Juni 2015 yang dinyatakan:
1) Terkait rekomendasi untuk membuat SOP link antara PPATK dengan BI maupun
OJK dalam hal pengenaan sanksi administrasi pelanggaran kewajiban pelaporan
termasuk denda dikelola oleh LPP (BI dan OJK), BI berpendapat bahwa kebutuhan
SOP sudah diakomodir dalam Nota Kesepahaman antara BI dengan PPATK.
2) Sesuai dengan UU BI dan Peraturan BI mengenai Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT) bagi PJK sistem pembayaran bukan
bank dan pedagang valuta asing bukan bank, kewenangan pengenaan sanksi
administrasi ada pada BI. Dengan demikian, kesepakatan antara PPATK, BI dan
OJK untuk mengatur pengenaan sanksi administrasi yang dikelola oleh PPATK
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

g. Tanggal 28 Februari 2017, sesuai risalah rapat koordinasi antara PPATK, BI, OJK,
Kementerian Keuangan, dan Kementerian KUKM, dengan hasil pembahasan bahwa
perlu adanya perjanjian kerja sama antara PPATK dan LPP yang memuat rincian
pengaturan terkait dengan mekanisme pertukaran informasi mengenai pelanggaran
kewajiban pelaporan dan koordinasi pengenaan sanksi administrasi, dan proses
penyusunan RPP tentang Jenis dan Tarif PNBP PPATK masih terus ditindaklanjuti. RPP
ini hanya akan memuat jenis dan tarif terkait pelanggaran kewajiban pelaporan atas
pihak pelapor yang berada dalam pengawasan PPATK.

Sampai dengan pemeriksaan atas Laporan Keuangan PPATK Tahun 2018, terkait
kondisi tersebut BPK memberikan rekomendasi agar Kepala PPATK menyusun
milestone RPP tentang jenis dan tarif atas PNBP yang berlaku pada PPATK dan
segera memproses pengajuan RPP tersebut. Atas rekomendasi tersebut, PPATK telah
menyampaikan milestone percepatan penyusunan RPP tentang Jenis dan tarif atas
PNBP pada PPATK, dengan target waktu penyelesaian/penetapan RPP direncanakan
pada Februari 2021.

393

Membangun BPK Paripurna
D. KESIMPULAN

KETIADAAN pengaturan PP PNBP atas denda administrasi kepada pihak pelapor yang be-
lum memiliki lembaga pengawas dan pengatur oleh PPATK dapat mengakibatkan:

1. Tidak dapat diterimanya PNBP;
2. Melemahkan upaya pencegahan dan pemberantasan TPP karena tidak memberikan

efek jera bagi pihak pelapor untuk taat dalam melaksanakan kewajiban pelaporannya.
Untuk itu, mengingat ketentuan terkait denda administrasi ini telah ditetapkan dengan
UU Nomor 8 Tahun 2010, PPATK dhi. Pemerintah seyogyanya segera menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada PPATK. Pemerintah
perlu lebih serius dan mempercepat milestone yang telah disusun PPATK, sehingga
pengenaan sanksi berupa denda administrasi oleh PPATK pada Pihak Pelapor yang lalai
menyampaikan laporan LTKM, LTKT, dan LTPBJ, dapat segera diterapkan, demi suksesnya
penegakan hukum atas upaya Pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana.

394

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pemeriksa Keuangan, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Sistem Pengendalian Intern Pu-

sat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Tahun 2018, Jakarta, 2019.
Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan, Buletin Statistik Anti Pencucian Uang dan

Pendanaan Terorisme, ISSN 89997, Volume 112/THN X/2019, Juni 2019.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Un-

dang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pem-

berantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

395

Membangun BPK Paripurna

Peran BPK dalam
Meningkatkan Kualitas
Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara

pada Proyek KPBU

E. Priyonggo Sumbodo, S.E., M.M., Ak, CSFA
(Kepala Auditorat III.C)

A. Pendahuluan

Ketersediaan infrastruktur yang memadai dan berkesinambungan merupakan

kebutuhan mendesak untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka

meningkatkan perekonomian nasional, menyejahterakan masyarakat, dan meningkatkan

daya saing Indonesia dalam persaingan global. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran

yang cukup besar dalam penyediaan infrastruktur.

Selama periode

2015-2019,

pemerintah telah

mengalokasikan

dana pembangunan

infrastruktur

sebesar total

Rp1.739,2 triliun.

Namun anggaran

tersebut masih lebih

kecil dibandingkan

total kebutuhan

pembangunan

infrastruktur

396

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Indonesia yang mencapai Rp5.519,4 triliun sebagaimana disampaikan oleh Deputi Bidang
Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian
PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam paparannya tentang
Konektivitas Infrastruktur Wilayah dan Antar Wilayah pada tahun 2014.

Biaya sebesar itu digunakan untuk membangun antara lain: jalan, jalur kereta api,
bandara, pelabuhan, rapid transport, pembangkit listrik, Sistem Penyediaan Air Minum
(SPAM), kilang minyak, dan akses telekomunikasi pita lebar (broadband) yang mencakup
seluruh wilayah Indonesia.

Sebaran Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur

Sumber: paparan Deputi Sarpras Kementerian PPN/Bappenas 2014
Guna mempercepat pembangunan infrastruktur, dengan ketersediaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terbatas, pemerintah mengambil langkah-
langkah komperehensif, di antaranya mendorong keikutsertaan badan usaha. Salah satu
skema yang dikembangkan pemerintah adalah Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha
(KPBU).
B. KPBU
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 tahun 2017 tentang Rencana Kerja
Pemerintah Tahun 2018 disebutkan beberapa pihak dapat terlibat dalam pembangunan
infrastruktur.

397

Membangun BPK Paripurna

Sumber: Perpres Nomor 79 tahun 2017 tentang Rencana Kerja Pemerintah 2018
Berdasarkan perpres tersebut, KPBU merupakan salah satu skema yang dapat
dimanfaatkan dalam mengintegrasikan sumber-sumber pendanaan pembangunan
infrastruktur antara pemerintah dan swasta dalam hal ini badan usaha.
KPBU merupakan skema baru yang didesain oleh pemerintah untuk menciptakan
iklim investasi berdasarkan prinsip-prinsip usaha yang sehat. Skema tersebut diharapkan
dapat meningkatkan sinergitas antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan
infrastruktur dan layanan sosial. Kemudian untuk melindungi dan menjaga kepentingan
masyarakat sebagai konsumen, serta kepentingan badan usaha, pemerintah melakukan
pengaturan melalui Perpres Nomor 38 tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah Badan
Usaha.
KPBU bukan pengalihan kewajiban pemerintah dalam penyediaan layanan kepada
masyarakat, namun merupakan pembiayaan untuk merancang, membangun, dan
mengoperasikan proyek-proyek infrastruktur kepada swasta. Konsep berpikir terhadap
skema KPBU ini antara lain, pertama, investasi swasta bukan sumbangan gratis kepada
pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik.
Kedua, KPBU bukan merupakan privatisasi barang publik. Ketiga, KPBU bukan merupakan
sumber pendapatan pemerintah yang akan membebani masyarakat dalam pemberian
layanan umum. Keempat, KPBU bukan merupakan pinjaman (utang) pemerintah kepada
swasta.

398

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Khusus mengenai konsep bahwa KPBU bukan merupakan pinjaman atau utang
pemerintah, akan menjadi perhatian tersendiri, khususnya dalam skema pengembalian
investasi KPBU dalam bentuk Availibility Payment.

Ilustrasi Pengertian KPBU

Dalam Perpres No. 38 Tahun 2015 disebutkan bahwa dalam KPBU terdapat beberapa
pihak yang terlibat, pertama, Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama (PJPK) dapat terdiri
dari Menteri, Kepala Lembaga, Kepala Daerah, atau Direksi Badan Usaha Milik Negara
(BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Kedua, Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah sebagai PJPK dapat mendelegasikan
kewenangannya kepada pihak yang dapat mewakili Kementerian/Lembaga/ Pemerintah
Daerah, disebutkan pada Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional (Permen PPN)/Kepala Bappenas Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Ketiga, Simpul KPBU bertugas melakukan perumusan kebijakan, sinkronisasi, koordinasi,
pengawasan, evaluasi terhadap kegiatan KPBU. Keempat, Tim KPBU mempunyai peran dan
tanggung jawab:

a) Melakukan kegiatan penyiapan kajian awal dan kajian akhir Prastudi Kelayakan;
b) Memastikan kegiatan tahap penyiapan dan transaksi KPBU setelah penetapan Badan

Usaha Pelaksana hingga Financial Close;
c) Menyampaikan pelaporan kepada PJPK secara berkala melalui Simpul KPBU; dan
d) Melakukan kordinasi dengan Simpul KPBU dalam pelaksanaan tugasnya.

399

Membangun BPK Paripurna

Kelima, Panita Pengadaan mempunyai peran dan tanggung jawab untuk
mempersiapkan pelaksanaan proses Pengadaan Badan Usaha setelah menyelesaikan
Dokumen Prastudi Kelayakan. Keenam, pihak yang menjadi pelaksana proyek kerja sama
disebut dengan istilah Badan Usaha Pelaksana (BUP).

Dalam Pasal 11 ayat (2) Perpres Nomor 38 tahun 2015 disebutkan bahwa pengembalian
investasi BUP atas penyediaan infrastruktur bersumber dari pembayaran oleh pengguna
dalam bentuk tarif, pembayaran ketersediaan layanan (Availability Payment); dan/atau
bentuk lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dua skema utama pengembalian yaitu tarif
pengguna (User Charge/Concession) dan ketersediaan layanan (Availability Payment).

Ilustrasi Perbedaan Atas Dua Skema Pembayaran.

Perbedaan mendasar antara kedua skema tersebut adalah pada pembayaran ke BUP
penyedia infrastruktur/layanan. Pada skema Availability Payment, pembayaran ke BUP
dilakukan oleh pemerintah sedangkan pada skema User Charge, BUP memperoleh pengem-
balian langsung dari pengguna melalui pengenaan tarif atas layanan yang diberikan.

Risiko atas keberhasilan pengembalian investasi pada kedua skema tersebut juga
berbeda. Proyek KPBU dengan skema pengembalian Avaibility Payment dilakukan pada
proyek-proyek yang tidak komersil seperti pada lokasi terpencil, terluar dan tertinggal.

400

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Oleh sebab itu, pemerintah menjamin kepastian pembayaran pengembalian ke BUP
tanpa harus menunggu adanya penerimaan dari masyarakat yang menggunakan layanan
tersebut.

Dalam hal ini, pemerintah secara substansi terikat untuk melakukan pengembalian atas
investasi BUP selama jangka waktu tertentu sesuai perjanjian kerja sama. Atau, dengan kata
lain, pemerintah memiliki kewajiban jangka panjang (liabilities) yang jumlah dan jangka
waktunya pasti sesuai dalam kontrak.

Sedangkan dalam skema User Charge, Pemerintah tidak perlu melakukan pembayaran
terjadwal sebagaimana dalam skema Avaibility Payment. BUP diberikan hak konsesi
untuk memungut tarif atas pengguna layanannya dan memperoleh pengembalian atas
investasinya dari pembayaran pengguna tersebut.

Sampai dengan tahun 2019 setidaknya terdapat 25 proyek KPBU yang sedang ditangani
oleh pemerintah, baik yang sedang dalam tahap Avaibility Payment penyiapan sampai
dengan tahap operasi.

Dari sebagian besar pengembalian investasi proyek KPBU, dilaksanakan dengan skema
Avaibility Payment sebanyak 13 proyek. Hal ini menimbulkan potensi kewajiban pembayaran
sejumlah tertentu dalam jangka waktu tertentu yang harus dikeluarkan oleh pemerintah
melalui PJPK masing-masing.

401

Membangun BPK Paripurna

C. Peran BPK
Dari 13 proyek KPBU yang menggunakan skema Avaibility Payment, terdapat empat

proyek yang PJPK-nya adalah Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Sesuai
bidang tugasnya, Auditorat III.C pada Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) III telah
melakukan pemeriksaan pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)
atas Laporan Keuangan Tahun Anggaran (TA) 2018 dan Belanja Tahun Anggaran 2017
sampai Triwulan III 2019 (Pendahuluan). Hasil dua pemeriksaan tersebut menunjukkan
adanya potensi masalah pada proyek KPBU-Palapa Ring.

Proyek Palapa Ring dilaksanakan mulai Tahun 2015 yang mencakup 57 kabupaten/kota
di seluruh Indonesia. Pekerjaan tersebut dilaksanakan dalam tiga paket dengan nilai total
Availability Payment Rp21,06 triliun yaitu, paket pertama, Paket Barat yang mencakup lima
kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh Konsorsium Moratelindo dan Ketrosden Triasmitra
dengan nilai akumulasi Avaibility Payment Rp3,49 triliun.

Paket Kedua, Paket Tengah yang mencakup 17 kabupaten/kota. Dilaksanakan oleh PT
LEN (BUMN) dengan nilai akumulasi Rp3,51 triliun. Paket Ketiga, Paket Tengah: mencakup 35
kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh Konsorsium Moratelindo, IBS dan Smart Telecom
dengan nilai Rp14,07 triliun.

402

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Proyek Palapa Ring dibayar dengan skema Availability Payment yang dijadwalkan per
bulan,selama 15 tahun masa konsesi.

Tahun Skedul Avaibility Payment per Paket per Tahun (Rp)
ke
Barat Tengah Timur Jumlah
1
2 Sub Paket I Sub Paket II
3
4 304.165.014.996 289.687.650.000 809.064.201.000 558.504.815.004 1.961.421.681.000
5
6 304.165.014.996 289.687.650.000 809.064.201.000 558.504.815.004 1.961.421.681.000
7
8 304.165.014.996 289.687.650.000 809.064.201.000 558.504.815.004 1.961.421.681.000
9
10 304.165.014.996 289.687.650.000 809.064.201.000 558.504.815.004 1.961.421.681.000
11
12 304.165.014.996 289.687.650.000 809.064.201.000 558.504.815.004 1.961.421.681.000
13
14 228.124.002.996 253.561.710.000 606.797.906.004 418.878.855.996 1.507.362.474.996
15
228.124.002.996 253.561.710.000 606.797.906.004 418.878.855.996 1.507.362.474.996

228.124.002.996 253.561.710.000 606.797.906.004 418.878.855.996 1.507.362.474.996

228.124.002.996 253.561.710.000 606.797.906.004 418.878.855.996 1.507.362.474.996

228.124.002.996 253.561.710.000 606.797.906.004 418.878.855.996 1.507.362.474.996

164.987.606.004 158.541.339.996 248.787.396.000 171.740.096.004 744.056.438.004

164.987.606.004 158.541.339.996 248.787.396.000 171.740.096.004 744.056.438.004

164.987.606.004 158.541.339.996 248.787.396.000 171.740.096.004 744.056.438.004

164.987.606.004 158.541.339.996 248.787.396.000 171.740.096.004 744.056.438.004

164.987.606.004 158.541.339.996 248.787.396.000 171.740.096.004 744.056.438.004

8.323.247.515.020 5.745.618.835.020

3.486.383.119.980 3.508.953.499.980 14.068.866.350.040 21.064.202.970.000

Salah satu komponen dalam Avaibility Payment adalah Biaya Modal dalam hal ini, Capital
Expenditure yang ditujukan sebagai pengembalian investasi yang sudah dikeluarkan oleh
BUP. Pengembalian investasi ini sesuai dengan skema dalam perjanjian bahwa pada akhir
masa konsesi, aset akan diserahkan kepada PJPK dalam hal ini Kemenkominfo. Nilai Capital
Expenditure diperoleh dari nilai investasi/Biaya Modal Badan Usaha yang dibagi selama
masa konsesi.

403

Membangun BPK Paripurna

Poin-poin penting dalam perjanjian kerja sama Palapa Ring

Deskripsi Perjanjian Persyaratan Signifikan Perjanjian

Pengembangan, Pembiayaan, Desain A. Periode konsesi 15 tahun sejak operasi
Rekayasa, Pengadaan, Konstruksi, komersial;
Pemasangan, Pengujian, Uji Coba Sistem,
Kepemilikan, Pengoperasian, Pengelolaan, B. Pembayaran ketersediaan layanan oleh
Pemeliharaan dan Pengalihan Fasilitas PJPK (Kemenkominfo) kepada operator
Jaringan Tulang Punggung Telekomunikasi per bulan sesuai skedul; dan

C. Pengalihan jaringan serat optik kepada
PJPK pada akhir perjanjian dengan
pembayaran sebesar Rp1.000,00

Dari uraian sebelumnya, menunjukkan, pertama, Kemenkominfo memiliki kewajiban
untuk membayar Avaibility Payment sesuai skedul dalam perjanjian. Kedua, Avaibility
Payment, termasuk di dalamnya adalah Biaya Modal (Capital Expenditure) yang ditujukan
untuk penggantian investasi BUP, namun dianggarkan dalam belanja barang dan jasa
(525118 : belanja ketersediaan layanan BLU). Ketiga, pada akhir masa konsesi aset akan
dialihkan kepada Kemenkominfo.

Atas proyek Palapa Ring tersebut, Kemenkominfo tidak menyajikan nilai aset dan
kewajibannya. Kemenkominfo hanya mengungkapkannya pada Catatan atas Laporan
Keuangan (CaLK) bagian F. Pengungkapan Lain-lain. Pengungkapan yang dilakukan
terbatas pada dasar hukum, kebijakan akuntansi, dan penetapan tarif, lokasi proyek,
kemajuan proyek, denda keterlambatan yang ada, serta jumlah Avaibility Payment yang
telah dibayar sampai dengan tanggal neraca.

Kemenkominfo tidak mengungkapkan sisa kewajiban sampai dengan akhir masa
konsesi sesuai dengan skedul pembayaran Avaibility Payment. Hal ini menimbulkan potensi
masalah atas penganggaran PJPK sebagai Wajib Bayar yang dapat berakhir pada kegagalan
bayar.

Selain itu, diketahui juga bahwa dalam Laporan Keuangan BUP tidak disajikan Aset Tetap
atas properti proyek Palapa Ring. Dalam Laporan Keuangan PJPK juga tidak disajikan dalam
Neraca. Dalam perjanjian kerja sama juga diketahui tidak ada rincian daftar aset yang akan
dialihkan dari BUP ke PJPK pada akhir masa konsesi. Hal ini menimbulkan potensi masalah
atas pengamanan aset tersebut.

Belum ada standar akuntansi yang mengatur khusus mengenai penyajian dan
pengungkapan KPBU pada laporan keuangan pemerintah. Namun, dalam Exposure Draft
tentang Akuntansi Kerja Sama Operasi disebutkan, pertama, Paragraf 21 “Aset Kerja sama

404

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Operasi disajikan di Neraca dalam klasifikasi aset lainnya dalam Pos Kemitraan dengan
pihak ketiga.

Kedua, Paragraf 24 “Terhadap pengakuan aset Kerja Sama Operasi yang disediakan
oleh Badan Usaha selaku operator, entitas akuntansi/pelaporan juga mengakui kewajiban
jangka panjang kemitraan dengan pihak ketiga.

Ketiga, Paragraf 37 “Entitas akuntansi/pelaporan mengakui aset Kerja Sama Operasi
yang sumber dayanya berasal dari operator, pada saat penyerahan aset oleh operator
kepada entitas akuntansi/pelaporan di awal masa konsesi, pada saat aset atau operasi Kerja
Sama Operasai mulai beroperasi atau di akhir masa konsesi atau perjanjian Kerja Sama
Operasi berakhir.

Keempat, Paragraf 39 “Atas aset entitas akuntansi/pelaporan yang digunakan dalam
pembentukan/penambahan/pembangunan aset atau usaha operasi Kerja Sama Operasi,
entitas akuntansi/pelaporan melakukan reklasifikasi aset yang sudah ada tersebut sebagai
aset Kerja Sama Operasi”.

Kelima, Paragraf 40 “Aset Kerja Sama Operasi sebagaimana dimaksud dalam Paragraf
37 dan Paragraf 39 disajikan di Neraca dalam klasifikasi aset lainnya dalam pos kemitraan
dengan Pihak Ketiga”.

Sebagai bahan perbandingan, Pemerintah Australia menerbitkan Australian Capital
Territory (ACT) Accounting Policy sebagai pedoman dalam perlakuan akuntansi atas Public
Private Partnerships Financed by Operator with the Assets being Territorry Assets at the End of
the Arrangement.

Kebijakan akuntansi tersebut dikeluarkan untuk Public Private Partnerships atau serupa
dengan KPBU yang didanai oleh Operator (BUP), serta dengan kondisi bahwa asetnya
menjadi milik pemerintah pada akhir masa perjanjian.

Kondisi tersebut serupa dengan KPBU Palapa Ring di Kemenkominfo. Adapun dalam
Accounting Policy Pemerintah ACT tersebut disebutkan bahwa:

A lease is classified as a finance if it transfer subtantially all the risks and
rewadrs incidental to ownership. A lease is classified as an operating lease
if it does not transfer substantially all the risks and rewards incidental
to ownership (AASB 117.8). The indicators of a finance lease include the
following:
- the lease transfer ownership of the asset to the lessee by the end of the lease
term;
- the lease term is for the major part of the economic life of the asset;

405

Membangun BPK Paripurna

- at the inception of the lease the present value of the minimum lease
payments amounts to at least substantially all of the fair value of the leased
asset; and

- The leased assets are of such a specialised mature that only the lessee can use
them wthout major modifications.
Indicative criteria for a finance lease are ini AASB 117 at paragrafs 10 and
11. Typically, the type pf PPP project assets covered by this policy meet the
finance lease definition.

Secara umum, kebijakan tersebut menganjurkan perlakuan akuntansi seperti finance
lease untuk kondisi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya (serupa Palapa Ring).
Oleh sebab itu, kewajiban pemerintah harus dicatat pada awal masa lease atau saat mulai
dimanfaatkan sebagaimana paragraf berikut.

The leased assets and a corresponding lease laibility will be recognised on the
balance sheet at the commencement of the lease term i.e. at Commercial Ac-
ceptance, which is the date on which the lessee becomes entitled to use the
leased assets for the provision of public services (AASB 117.20)
Sesuai dengan organisasi dan tata laksana BPK, Kemenkominfo merupakan bagian dari
entitas pemeriksaan di lingkungan Auditorat III.C sehingga pemeriksaan pada entitas terse-
but merupakan bentuk pelaksanaan salah satu Misi BPK “Memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri”.

406

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Rekomendasi yang dapat diberikan BPK khususnya untuk perbaikan perlakukan akun-
tansi KPBU di Kemenkominfo dapat mendukung Visi BPK “Menjadi pendorong penge-
lolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang
berkualitas dan bermanfaat”.

Hal tersebut juga dapat menjamin tercapainya Tujuan Strategis 1 yaitu “Meningkatkan
manfaat hasil pemeriksaan dalam rangka mendorong pengelolaan keuangan negara
untuk mencapai tujuan negara”

D. Kesimpulan
Pelaksanaan KPBU mengandung beberapa risiko. Salah satunya adalah komponen aset

dan kewajiban terkait perlakukan akuntansi dalam pelaporan keuangan pemerintah. BPK
dapat mengambil peran dalam hal ini dengan melakukan pemeriksaan seperti Pemerik-
saan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas manajemen aset dan utang untuk menginventa-
risasi dan menjamin kewajaran nilai investasi KPBU yang dilaksanakan.

Selain itu, KPBU melibatkan pendanaan yang cukup besar, sehingga pemeriksaan yang
mendalam atas KPBU, khususnya atas entitas di lingkungan Auditorat III.C dalam hal ini
Kemenkominfo dapat berkontribusi pada tercapainya Tujuan Strategis BPK sesuai Visi dan
Misi Organisasi.

407

Membangun BPK Paripurna

Daftar Pustaka

Menteri PPN/Kepala Bappenas. 2012. Alternatif Pembiayaan Infrastruktur. Jakarta: Desember
2012.

Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian PPN/Bappenas. 2014. Konektivitas Infras-
truktur Wilayah dan Antar Wilayah. Mataram: 10 Desember 2014.

Pemerintah Indonesia, 2015. Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemer-
intah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Lembaran RI Tahun 2015
No. 38. Jakarta: Sekretariat Negara.

BPK, 2015. Rencana Strategis Badan Pemeriksa Keuangan Tahun Anggaran 2016 Sampai
Dengan Tahun Anggaran 2020.

ACT Government, 2016. ACT Accounting Policy for Public Private Partnerships Financed by the
Operator with the Assets being Territory Assets at the End of the Arrangement.

Pemerintah Indonesia, 2017. Peraturan Presiden No. 79 Tahun 2017 tentang Rencana Kerja
Pemerintah Tahun 2018. Lembaran RI Tahun 2017 No. 79. Jakarta: Sekretariat Negara.

Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, 2018. Exposure Draft Akuntansi Kerja Sama Oper-
asi.

Auditorat Utama Keuangan Negara III, 2019. LHP No.114B/HP/XVI/05/2019 atas Sistem Pen-
gendalian Intern Kementerian Komunikasi dan Informatika Tahun 2018.

Kementerian Keuangan RI, 2019. Anggaran Infrastruktur APBN 2019. http://visual.kemenkeu.
go.id/anggaran-infrastruktur-Avaibility Paymentbn-2019/. Diakses pada November
2019.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan RI, 2019.
Profil Proyek KPBU. http://kpbu.djppr.kemenkeu.go.id/profil-proyek/. Diakses pada
November 2019.

408

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

409

Membangun BPK Paripurna

Optimalisasi Fokus
Pemeriksaan dalam
Mendorong Perbaikan Tata
Kelola Keuangan Negara
pada BUMN Melalui Strategi
Peningkatan Fungsi Auditor

Intern BUMN

Dadang Ahmad Rifa`i, S.E., M.Sc., Ak., CIA., CA., CSFA
(Kepala Auditorat VII.D)

A. Pendahuluan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang

(UU) Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, bertugas memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah (pemda), Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia (BI), Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan
lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

Pasal 7 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006, menyatakan bahwa BPK menyerahkan hasil
pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) sesuai dengan kewenangannya.

Penjelasan Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan BPK meliputi hasil
pemeriksaan atas laporan keuangan, hasil pemeriksaan kinerja, hasil Pemeriksaan Dengan
Tujuan Tertentu (PDTT), dan ikhtisar pemeriksaan semester.

Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) menggambarkan ringkasan menyeluruh hasil
pemeriksaan BPK dalam satu semester, hasil pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan
(TLHP), penyelesaian kerugian negara, dan temuan yang mengandung unsur pidana.

410

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Berdasarkan review terhadap IHPS I tahun 2013 sampai dengan Semester II tahun 2017,
hasil PDTT pada BUMN selama 5 tahun terakhir, menunjukkan rata-rata jumlah kasus
kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI) per satu Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)
PDTT pada BUMN adalah sebanyak 8 – 10 kasus dengan tren yang meningkat.

Kasus Kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI)
dalam PDTT pada BUMN Selama 5 Tahun terakhir

Uraian 2013 2014 2015 2016 2017
Jml Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) 58 48 55 45 50
Jml Kasus
Jml Kasus Kelemahan SPI 1.130 936 1.110 901 1.033
Per 1 LHP: 510 391 455 486 496
• Rata-rata Jml kasus
• Rata-rata Jml kasus Kelemahan SPI 19,48 19,50 20,18 20,02 20,66
8,79 8,15 8,27 10,80 9,92

Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara pada BUMN dilakukan
oleh Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) VII. AKN VII memiliki empat unit eselon II,
salah satunya yaitu Auditorat VII.D. Apabila dilakukan penelitian lebih dalam terhadap
hasil PDTT pada BUMN di Auditorat VII.D, maka gambaran kasus kelemahan SPI dapat
dijelaskan, pertama, temuan pemeriksaan/kasus kelemahan dalam PDTT selama 5 tahun
dapat dirinci sebagai berikut: 49% kasus kelemahan SPI, 46% kasus terkait ketidakpatuhan
terhadap ketentuan perundang-undangan dan 5% kasus terkait aspek ekonomi, efisiensi
dan efektivitas.

411

Membangun BPK Paripurna
Komposisi Kasus/Temuan Pemeriksaan Berdasarkan Hasil PDTT
pada Auditorat VII.D Tahun 2013 -2017

Kedua, dari jumlah kasus kelemahan SPI tersebut, sebesar 56% merupakan kelemahan
struktur pengendalian intern. Lalu, sebanyak 30% merupakan kelemahan sistem
pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja. dan 14% merupakan
kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan.
412

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Komposisi Kasus Kelamahan SPI Berdasarkan Hasil PDTT
pada Auditorat VII.D Tahun 2013-2017

Ketiga, dari jumlah kasus tersebut, kasus yang dominan yaitu 76% terkait prosedur/
Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ada pada entitas tidak berjalan secara
optimal atau tidak ditaati, 22% terkait entitas tidak memiliki prosedur yang formal, dan
sisanya terkait tidak ada pemisahan tugas dan fungsi yang memadai dan lain-lain.

413

Membangun BPK Paripurna
Komposisi Kasus Kelemahan SPI Berdasarkan Hasil PDTT
pada Auditorat VII.D Tahun 2013-2017

Mengapa jumlah kasus kelemahan SPI selama 5 tahun terakhir tetap bahkan cenderung
meningkat? Apakah tidak ada perbaikan yang signifikan terhadap kelemahan SPI yang
ditemukan dalam LHP BPK? Padahal tentunya dalam LHP tersebut, telah diberikan
rekomendasi perbaikan untuk mengatasi kelemahan SPI tersebut. Apalagi jika melihat
substansi kasusnya, tidak sedikit terdapat temuan pemeriksaan yang berulang.
414

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

B. Analisis Permasalahan
Dalam Rencana Strategis (Renstra) BPK 2016-2020 yang ditetapkan dengan Keputusan BPK

No. 7/K/I-XIII.2/12/2015 dinyatakan beberapa hal, pertama, saat memasuki periode Renstra
2016-2020, fokus pengembangan BPK dalam mendorong perbaikan tata kelola keuangan
negara bergeser dari assurance yang lebih condong pada administrasi pengelolaan keuangan
negara menuju assurance pada capaian substansi (outcome dan dampak) atas program
pembangunan.

Kedua, ke depan, pemanfaatan hasil pemeriksaan BPK diharapkan dapat memberi dampak
yang lebih besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mendorong pemerintah
untuk memperbaiki kebijakan publik dan kualitas belanja dalam rangka mencapai tujuan
negara.

Ketiga, BPK perlu memantapkan pemeriksaan keuangan berbasis akrual, pemeriksaan
kinerja atas program prioritas pembangunan nasional dalam Rencana Oembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN), memfokuskan PDTT pada isu aktual dan permintaan pemangku
kepentingan, serta menyinergikan ketiga jenis pemeriksaan untuk mendorong kualitas
pengelolaan keuangan negara dalam rangka mencapai tujuan negara.

Oleh karena itu, agar fokus pengembangan BPK dalam mendorong perbaikan tata kelola
keuangan negara dapat bergeser dari assurance yang lebih condong pada administrasi
pengelolaan keuangan negara menuju assurance pada capaian substansi (outcome dan
dampak).

Sementara, faktanya kasus kelemahan SPI tidak mengalami penurunan dari tahun ke tahun,
maka diperlukan strategi untuk meningkatkan kekuatan SPI entitas yang diperiksa, dalam hal
ini SPI BUMN. Sehingga ke depannya, PDTT pada BUMN dapat difokuskan pada isu aktual dan
permintaan pemangku kepentingan.

Strategi penguatan SPI BUMN dapat dicapai, antara lain, melalui penguatan salah satu
unsurnya, yaitu, auditor intern (Satuan Pengawasan Intern/SPI) BUMN, mengingat auditor
intern BUMN sebagai lini pertahanan terakhir pada BUMN (3rd lines of defense), setelah unit
risiko dan kepatuhan (2nd lines of defense) dan unit manajemen (1st lines of defense), memiliki
peran yang strategis dalam memastikan efektivitas SPI BUMN.

Sesuai Peraturan Menteri (Permen) Negara BUMN Nomor Per-01/MBU/2011 tanggal 1
Agustus 2011 tentang PenerapanTata Kelola PerusahaanYang Baik (GoodCorporatGovernance/
GCG) Pada BUMN Pasal 28 ayat (4) menyatakan, fungsi pengawasan intern, antara lain, evaluasi
atas efektivitas pelaksanaan pengendalian intern, manajemen risiko, dan proses tata kelola
perusahaan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan perusahaan.

415

Membangun BPK Paripurna

Kedua, sesuai Keputusan Sekretaris Kementerian (Sesmen) BUMN Nomor SK-16/S.
MBU/2012 tanggal 6 Juni 2012 tentang Indikator/Parameter Penilaian Dan Evaluasi Atas
Penerapan GCG pada BUMN, menyatakan bahwa satuan pengawasan intern (audit intern)
memberikan rekomendasi (masukan atas prosedur) yang meningkatkan proses tata kelola.

Apabila dikaitkan dengan kasus yang telah diuraikan sebelumnya, permasalahan yang
dominan mengenai prosedur/SOP yang ada pada entitas. Prosedur/SOP tidak berjalan
secara optimal atau tidak ditaati. Selain itu, entitas tidak memiliki prosedur yang formal.

Penyebab dari permasalahan tersebut, salah satunya, dapat terjadi karena kurang
optimalnya peran audit intern dalam menjalankan tugasnya sesuai ketentuan yaitu
memberikan rekomendasi (masukan atas prosedur) yang meningkatkan proses tata kelola.

Oleh karena itu, diperlukan evaluasi atas fungsi (kualitas dan efektivitas) auditor intern
BUMN. Evaluasi atas efektivitas fungsi audit intern ini sejalan dengan ketentuan yang
diatur dalam International Organization of Supreme Audit Institutions of Guidelines on the
Evaluation of Public Policies (INTOSAI GOV) 9150 Coordination and Cooperation between SAIs
and Internal Auditors in the Public Sector, paragraf 3.3.5 yang menyatakan bahwa “As external
auditors, Supreme Audit Institutions/SAIs have the responsibility of evaluating the effectiveness
of the internal audit function”.

Selanjutnya dapat direncanakan tindak lanjut terhadap hasil evaluasi tersebut melalui
strategi peningkatan fungsi auditor intern BUMN. Misalnya, untuk BUMN-BUMN yang
kualitas dan efektivitas fungsi audit intern-nya lemah, maka dapat diusulkan untuk
dilakukan PDTT atau ditambah sasaran pemeriksaan terkait penerapan fungsi audit intern
yang nantinya menghasilkan rekomendasi yang mengikat untuk ditindaklanjuti.

Sementara untuk BUMN-BUMN yang kualitas dan efektivitas fungsi audit intern-nya kuat/
cukup kuat, maka PDTT-nya dapat diarahkan pada isu aktual dan permintaan pemangku
kepentingan sebagaimana ditetapkan dalam Renstra BPK 2016-2020.

C. Pembahasan dan Hasil Pemetaan Efektivitas Fungsi Audit Intern
BUMN

Tinjauan Peraturan
Salah satu peraturan yang menjadi kriteria dalam penilaian GCG terkait penerapan

audit intern yaitu Permen BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tanggal 01 Agustus 2011
tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) pada BUMN. Pasal 44
ayat (1) Permen tersebut menyatakan bahwa BUMN wajib melakukan pengukuran
terhadap penerapan GCG dalam bentuk penilaian (asesmen), oleh penilai eksternal

416

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

yang dilaksanakan secara berkala setiap 2 tahun; serta evaluasi (review) oleh internal
BUMN yang meliputi evaluasi terhadap hasil penilaian eksternal dan tindak lanjut atas
rekomendasi perbaikan.
Berdasarkan Pasal 44 ayat (6) Permen BUMN tersebut, pelaksanaan penilaian dan evaluasi
dilakukan dengan menggunakan indikator/parameter yang ditetapkan Sesmen BUMN.

Keputusan Sesmen BUMN No.SK-16/S.MBU/2012 tanggal 6 Juni 2012 menetapkan 43
Indikator dan 153 Parameter Penilaian dan Evaluasi atas Penerapan GCG pada BUMN,
di antaranya Indikator No. 35 tentang Direksi Menyelenggarakan Pengawasan Intern
Yang Berkualitas dan Efektif, dengan tiga paramater, yaitu: perusahaan memiliki Piagam
Pengawasan Intern yang ditetapkan oleh Direksi; SPI/Fungsi Audit Intern dilengkapi
dengan faktor-faktor pendukung keberhasilan pelaksanaan tugasnya; dan Audit
Intern melaksanakan fungsi pengawasan intern untuk memberikan nilai tambah dan
memperbaiki operasional perusahaan.

Sementara beberapa peraturan yang menjadi kriteria dalam penilaian penjaminan
kualitas dan peningkatan fungsi audit intern BUMN (Quality Assurance and Improvement
Program/QAIP), pertama, Surat Keputusan (SK) Sesmen BUMN Nomor SK-16/S.
MBU/2012 tentang Indikator/Parameter Penilaian dan Evaluasi atas Penerapan GCG
pada BUMN: Indikator 35, parameter 129 angka (5) huruf b menyatakan bahwa Kepala
SPI/fungsi audit intern melaksanakan program jaminan kualitas dan peningkatan fungsi
audit intern, yang mencakup seluruh program jaminan aspek dari aktivitas fungsi
pengawasan intern.

Huruf c menyatakan bahwa SPI/fungsi audit intern dianjurkan untuk melakukan
penilaian atas program jaminan kualitas dan peningkatan fungsi audit intern secara
keseluruhan. Asesmen (review) berkala dilakukan untuk menilai kepatuhan terhadap
charter audit internal, standar, kode etik dan efisiensi, serta efektivitas dan fungsi audit
internal dalam memenuhi kebutuhan dari berbagai stakeholders-nya. Asesmen yang
dilakukan oleh asesor independen sekurang-kurangnya sekali dalam 5 tahun.

Kedua, Peraturan BI Nomor 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan
(Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank
Umum, antara lain: Angka 9.3 Review Ekstern, yaitu untuk menilai mutu operasi Satuan
Kerja Audit Intern, fungsi audit intern bank harus di-review oleh lembaga ekstern
sekurang-kurangnya sekali dalam 3 tahun



417

Membangun BPK Paripurna

Ketiga, International Standards for The Professional Practice of Internal Auditing (Standards)
October 2016: Standard 1300 tentang Quality Assurance and Improvement Program
(QAIP).

QAIP dirancang untuk, antara lain, menilai efisiensi dan efektivitas kegiatan audit
intern dan mengidentifikasi peluang perbaikan. QAIP wajib meliputi asesmen internal
(standard 1311) dan eksternal (standard 1312). Asesmen eksternal, wajib dilaksanakan
sekurang-kurangnya 5 tahun sekali oleh asesor independen atau tim asesmen dari luar
organisasi yang kompeten.

Analisis Data
Berdasarkan Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Pelaksana BPK Pasal 810-816, Auditorat VII.D mempunyai tugas memeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara pada BUMN jasa perbankan, BUMN jasa keuangan
nonbank, Perum Bulog, BUMN jasa perdagangan dan jasa logistik lainnya, BUMN jasa
penilai/sertifikasi, BUMN jasa lainnya, serta lembaga terkait di lingkungan entitas.

Jumlah entitas yang diperiksa pada Auditorat VII.D yaitu sebanyak 31 BUMN dan 58
anak perusahaan. Namun demikian, yang menjadi lingkup analisis ini hanya BUMN saja.
Selanjutnya AKN VII.D menyampaikan surat kepada Direksi BUMN untuk meminta data-
data sebagai berikut:

1. Laporan penilaian (asesmen) penerapan GCG oleh pihak eksternal periode yang
terakhir;

2. Laporan evaluasi (review) terhadap hasil penilaian GCG pada huruf a di atas dan
tindak lanjut atas rekomendasi perbaikan;

3. Laporan penilaian internal atas program jaminan kualitas dan peningkatan fungsi
audit intern (SPI) yang terakhir;

4. Laporan penilaian eksternal atas program jaminan kualitas dan peningkatan fungsi
audit intern yang terakhir -sesuai ketentuan, penilaian oleh asesor independen
dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 5 tahun.

Berdasarkan jawaban terhadap surat tersebut, dari 31 BUMN, 2 BUMN menyampaikan
bahwa saat ini sedang dalam proses restukturisasi keuangan, manajemen, dan/atau
karyawan, sehingga tidak dapat memenuhi permintaan data dimaksud. Sehubungan
dengan itu, lingkup analisis ini hanya mencakup 29 BUMN pada Auditorat VII.D.

418

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Adapun kegiatan yang dilakukan dalam analisis/evaluasi ini, pertama, me-review
laporan-laporan di atas posisi per April 2018, terutama capaian dan kelemahan yang
ditemukan dalam pelaksanaan fungsi audit intern BUMN dan mendokumentasikan hasil
review tersebut dalam lembar review.

Kedua, melaksanakan validasi atas kualitas dan efektivitas fungsi audit intern pada
BUMN secara uji petik. Ketiga, memetakan kualitas dan efektivitas fungsi audit intern BUMN
berdasarkan hasil review dan analisis pada kegiatan sebelumnya. Keempat, menyusun
strategi peningkatan fungsi auditor intern BUMN.

Hasil Pemetaan
1. Berdasarkan hasil review terhadap kepatuhan BUMN dalam melaksanakan pengukuran

GCG dan QAIP fungsi audit intern pada posisi April 2018, diketahui beberapa hal,
pertama, terkait kepatuhan pengukuran GCG, dari 29 BUMN: 8 BUMN (32%) belum
melakukan penilaian (asesmen eksternal) GCG dan 8 BUMN (32%) belum melakukan
evaluasi (review internal) GCG.

Hasil review terhadap 17 BUMN yang sudah melakukan penilaian (asesmen eksternal)
GCG: 14 BUMN memiliki kelemahan terkait Indikator 35 (direksi menyelenggarakan
pengawasan intern yang berkualitas dan efektif ), 17 BUMN yang sudah melakukan
evaluasi (review internal) GCG, dan 11 BUMN memiliki kelemahan terkait Indikator 35.

Kedua, terkait kepatuhan pelaksanaan QAIP, dari 29 BUMN: 22 BUMN (76%) belum
belum melakukan quality assurance eksternal dan 25 BUMN (86%) belum melakukan
periodic self-assessments (internal).

Hasil review terhadap 7 BUMN yang sudah melakukan QAIP eksternal, seluruhnya
memiliki kelemahan terkait penerapan fungsi audit intern serta 4 BUMN yang sudah
melakukan periodic self-assessments (internal), seluruhnya memiliki kelemahan terkait
penerapan fungsi audit intern.

2. Hasil review terhadap dokumen QAIP yang disampaikan, baik internal (periodic self-
assessment) maupun asesmen eksternal dan diskusi dengan beberapa auditor intern
BUMN, diketahui bahwa pemahaman auditor intern BUMN tentang QAIP berbeda-beda.

Hal ini dapat dilihat dari dokumen yang disampaikan kepada BPK, misalnya, untuk
laporan eksternal QAIP, terdapat BUMN yang menyampaikan laporan penilaian Internal
Audit Capability Model (IA-CM) atau laporan Pernyataan Standar Audit (PSA) 62 mengenai
audit kepatuhan.

419

Membangun BPK Paripurna

Demikian juga untuk periodic self-assessment, terdapat BUMN yang menyampaikan
Laporan Pengendalian Internal dengan pendekatan Committee of Sponsoring
Organizations of the Treadway Commission (COSO), Laporan Penilaian Tingkat Maturitas
Sistem Pengendalian Intern, Laporan Realisasi Program Kerja Pengawasan Tahunan
(PKPT), Laporan Kegiatan SPI, Evaluasi Mutu Auditor SPI, Audit mutu internal berbasis
ISO 9001:2015, dan lain-lain. Laporan QAIP yang disampaikan beberapa BUMN tidak
sesuai standar atau tidak sesuai ketentuan.

3. Hasil review terhadap penerapan fungsi audit intern dan parameter SPI, diketahui
beberapa kelemahan/area pengembangan di antaranya, pertama, kuantitas dan
kualitas/kompetensi auditor intern belum sesuai dengan beban kerja dan kebutuhan.

Kedua, terdapat beberapa kelemahan dalam Internal Audit (IA) Charter, antara lain: IA
belum update dan/atau belum sesuai standar. Ketiga, auditor intern belum memiliki
pedoman evaluasi atas efektivitas pelaksanaan pengendalian intern, pedoman penilaian
program penjaminan kualitas, dan fungsi audit intern, pedoman audit teknologi
informasi, atau pedoman evaluasi/review manajemen risiko.

Keempat, terdapat beberapa kelemahan terkait PKPT, antara lain: PKPT belum risk-based
audit, belum disampaikan ke dewan komisaris/dewan pengawas, dan lain-lain.

Kelima, auditor intern belum sepenuhnya melakukan evaluasi atas efektivitas
pelaksanaan pengendalian intern; belum memberikan rekomendasi (masukan atas
prosedur) yang meningkatkan proses tata kelola, atau peningkatan pengelolaan risiko;
serta belum mengevaluasi sejauh mana sasaran dan tujuan program serta kegiatan
operasi yang ditetapkan sejalan dengan tujuan organisasi.

Berdasarkan hasil analisis terhadap data-data atau output yang dihasilkan pada tahapan
sebelumnya, kemudian disusun strategi peningkatan fungsi auditor intern BUMN pada
Auditorat VII.D dengan beberapa kegiatan, pertama, audiensi atau surat kepada direksi
BUMN, meminta direksi BUMN untuk melakukan pengukuran terhadap penerapan
GCG secara berkala sesuai ketentuan dan memperbaiki kelemahan hasil pengukuran
penerapan GCG terutama Indikator 35;

Selain itu, memastikan pelaksanaan QAIP baik internal (periodic self-assessments)
maupun eksternal secara berkala sesuai ketentuan dan memperbaiki kelemahan hasil
pelaksanaan QAIP tersebut.



420

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Kedua, memberikan pemahaman kepada SPI BUMN tentang QAIP. Hal ini dapat
dilakukan dengan menyelenggarakan Forum BPK-SPI BUMN yang mengundang seluruh
auditor intern BUMN pada Auditorat VII.D, Kementerian BUMN, The Institute Internal
Auditor (IIA) Indonesia, dan Forum Komunikasi Satuan Pengawas Intern (FKSPI) sebagai
narasumber.

Ketiga, berkaitan dengan hasil pemetaan atas kelemahan penerapan fungsi audit intern
yang diuraikan sebelumnya, perlu dikoordinasikan dengan auditor eksternal lainnya,
misalnya, rapat/audiensi dengan beberapa Kantor Akuntan Publik (KAP) yang setiap
tahun melakukan audit atas laporan keuangan BUMN dan bagaimana hasil review KAP
terhadap sistem pengendalian intern dan efektivitas fungsi audit intern BUMN tersebut.

Mengingat pentingnya fungsi audit intern, maka dalam perencanaan pemeriksaan,
Tim Pemeriksa BPK agar mendalami juga penerapan fungsi audit intern, termasuk
memutakhirkan tindak lanjut rekomendasi hasil asesmen GCG (indikator 35) dan QAIP
dalam review SPI. Jika diperlukan, agar ditambahkan sasaran pemeriksaan atau PDTT
kepatuhan terkait penerapan fungsi audit intern dan efektivitas sistem pengendalian
intern.

Keempat, dalam INTOSAI GOV 9150 Coordination and Cooperation between SAIs and
Internal Auditors in the Public Sector, paragraf 3.3.5 dinyatakan bahwa: “As external
auditors, SAIs have the responsibility of evaluating the effectiveness of the internal audit
function”. If an internal audit function is judged to be effective, cooperation between the SAI
and the internal auditor will likely benefit both parties (ISSAI 1/3 and 16)”.

Oleh karena itu, BPK sebagai Supreme Audit Institution (SAI) juga harus memahami
tentang QAIP dan bagaimana melakukan asesmen QAIP sebagai salah satu bahan/tools
dalam mengevaluasi efektivitas fungsi audit intern.

Kegiatan yang dapat dilakukan yaitu mengadakan workshop untuk Pemeriksa BPK
tentang QAIP dengan mengundang IIA Indonesia sebagai narasumber. Sebagai tahap
awal, workshop ini dapat dilakukan untuk pemeriksa pada Auditorat VII.D.

Selain itu, BPK perlu menginisiasi koordinasi dengan auditor intern BUMN, misalnya,
untuk membahas area-area yang akan diaudit oleh auditor intern. Oleh karena itu,
auditor intern agar mengirimkan dokumen program kerja/Rencana Audit Tahunan/
PKPT dan laporan hasil audit secara berkala.



421

Membangun BPK Paripurna

Koordinasi juga diperlukan dalam rangka pengembangan kompetensi baik Pemeriksa
BPK maupun auditor intern BUMN. Bentuk koordinasi dengan auditor intern BUMN,
antara lain: sharing materi training, metodologi, dan program pemeriksaan; komunikasi
perencanaan dan strategi audit; pertemuan/rapat berkala; komunikasi terkait hasil audit;
dan/atau mengorganisasi pelaksanaan training bersama, misalnya terkait keuangan
negara dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).

D. Kesimpulan dan Saran
Sesuai Renstra BPK 2016-2020, PDTT diharapkan dapat difokuskan pada isu aktual dan

permintaan pemangku kepentingan. Sementara, dari hasil PDTT, ditemukan masih banyak
kelemahan SPI pada BUMN, sehingga diperlukan penguatan SPI BUMN.

Strategi penguatan SPI BUMN dapat dicapai, antara lain, melalui penguatan salah satu
unsurnya yaitu auditor intern atau SPI BUMN. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi atas
efektivitas fungsi auditor intern BUMN saat ini.

Analisis ini ditujukan, terutama untuk menyusun strategi peningkatan fungsi audit
intern BUMN dalam rangka mendorong perbaikan tata kelola keuangan negara di
BUMN. Sehingga, jika fungsi audit internnya efektif, diharapkan dapat berkontribusi pada
penguatan SPI BUMN dan meminimalisir kasus-kasus kelemahan SPI pada PDTT BUMN.

Dengan demikian, PDTT pada BUMN diharapkan dapat difokuskan pada isu aktual dan
permintaan pemangku kepentingan sebagaimana ditetapkan dalam Renstra BPK 2016-
2020.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, Auditorat VII.D telah memiliki database
kelemahan/peluang peningkatan penerapan fungsi audit intern BUMN pada Auditorat
VII.D; dan dokumen strategi peningkatan fungsi auditor intern BUMN pada Auditorat VII.D.

Sampai dengan tulisan ini disusun, beberapa strategi/kegiatan telah dilaksanakan,
yaitu audiensi dengan, direksi beberapa BUMN terkait dengan peningkatan penerapan
fungsi audit intern, baik saat entry/exit meeting pemeriksaan maupun saat penyerahan LHP,
komunikasi dan koordinasi berkala dengan auditor intern beberapa BUMN, dan workshop
untuk Pemeriksa pada Auditorat VII.D dengan tema “Asesmen Quality Assurance pada unit
Internal Audit BUMN”​telah dilaksanakan pada tanggal 17-18 Desember 2018.

Dalam rangka peningkatan penerapan fungsi audit intern BUMN secara berkelanjutan,
maka disarankan agar tindak lanjut strategi peningkatan fungsi auditor intern BUMN pada
Auditorat VII.D agar dilaksanakan secara konsisten, dan lebih jauh dapat diterapkan juga
untuk AKN VII secara bertahap.

422

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Selain itu, evaluasi atas efektivitas fungsi audit intern BUMN dilaksanakan secara
konsisten sehingga menjadi acuan bersama para Pejabat Struktural Pemeriksaan (PSP) dan
Pejabat Fungsional Pemeriksaan (PFP) dalam melakukan evaluasi atas efektivitas fungsi
audit intern BUMN.

423

Membangun BPK Paripurna

Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tanggal 30 Oktober 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tanggal 29
Maret 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangaan

Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/6/PBI/1999 tanggal 20 September 1999 tentang
Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar
Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum

Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tanggal 01 Agustus 2011
tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)
pada Badan Usaha Milik Negara

Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 7/K/I-XIII.2/12/2015 tanggal 28 Desember
2015 tentang Rencana Strategis Badan Pemeriksa Keuangan Tahun Anggaran 2016
Sampai Dengan Tahun anggaran 2020

Keputusan Sekretaris Kementerian BUMN Nomor SK-16/S.MBU/2012 tanggal 6 Juni 2012
tentang Indikator/Parameter Penilaian Dan Evaluasi Atas Penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara.

INTOSAI Guidance for Good Governance (INTOSAI GOV) 9150, Coordination and Cooperation
between SAIs and Internal Auditors in the Public Sector

International Standards for The Professional Practice of Internal Auditing (Standards), October
2016

IHPS
IHPS I Tahun 2013
IHPS II Tahun 2013
IHPS I Tahun 2014
IHPS II Tahun 2014
IHPS I Tahun 2015
IHPS II Tahun 2015

424

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

IHPS I Tahun 2016
IHPS II Tahun 2016
IHPS I Tahun 2017
IHPS II Tahun 2017

425

Membangun BPK Paripurna

Optimalisasi Profesionalisme
Pemeriksa Melalui PASTI
dalam Mewujudkan
Pemeriksaan Berkualitas
dan Bermanfaat

Poegoeh Yoedo Roesmanto S.ST., M.E., Ak., CA, CSFA
(Kepala Auditorat III.D)

A. Pendahuluan
Dalam Rencana Strategis (Renstra) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2016-2020, BPK

memiliki visi “menjadi pendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai
tujuan negara melalui pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat”. Visi tersebut
memberikan gambaran bahwa BPK bertekad menjadi pendorong pengelolaan keuangan
negara, penguatan pemberantasan korupsi, peningkatan transparansi dan akuntabilitas,
serta peningkatan manfaat keuangan negara untuk mencapai tujuan negara.

Dalam rangka mencapai visi tersebut, BPK menetapkan dua misi: memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri dan
melaksanakan tata kelola organisasi yang berintegritas, independen dan profesional.

Tulisan ini menguraikan rencana atau program kerja yang akan dilaksanakan
sebagai upaya meningkatkan profesionalisme Pemeriksa sehingga dapat dihasilkan
rekomendasi yang implementatif. Rekomendasi yang implementatif diharapkan
mampu mengoptimalkan peran BPK mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang
berkualitas dan bermanfaat.

426

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

B. Pembahasan
Latar Belakang Masalah

Menurut Jensen dan Meckling (1976), teori keagenan menyebutkan ada hubungan kerja
antara pihak yang memberi wewenang (principal) dengan pihak yang diberi wewenang
(agen) untuk melakukan pekerjaan dan pengambilan keputusan atas nama principal.
Apabila principal maupun agen memiliki tujuan yang sama, maka agen akan bertindak dan
mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan principal.

Dalam teori keagenan, auditor dapat berperan sebagai pihak yang berfungsi memastikan
bahwa agen (pemerintah daerah/pemda) telah bertindak sesuai kepentingan principal
(rakyat) melalui pemeriksaan atas laporan keuangan.

Apabila auditor memiliki kompetensi yang memadai, maka laporan pemeriksaan yang
dihasilkan akan semakin berkualitas, termasuk di dalamnya temuan dan rekomendasi yang
dihasilkan. Rekomendasi yang berkualitas adalah rekomendasi yang jelas, tidak ambigu
dan mudah ditindak lanjuti oleh auditee, sehingga nantinya persentase tindak lanjut
rekomendasi hasil pemeriksaan akan meningkat.

Peran aktif BPK dalam mewujudkan tujuan negara diturunkan dalam bentuk hasil
pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat sehingga menghasilkan rekomendasi yang
implementatif guna mencapai tujuan negara.

Salah satu cara menghasilkan rekomendasi yang implementatif adalah mengoptimalkan
profesionalisme Pemeriksa. Profesionalisme adalah Nilai Dasar BPK yang berupa
kemampuan, keahlian, dan komitmen profesi dalam menjalankan tugas.1

Profesionalisme adalah kemampuan, keahlian, dan komitmen profesi dalam menjalankan
tugas disertai prinsip kehati-hatian (due care), ketelitian, dan kecermatan, serta berpedoman
kepada standar dan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Sikap profesional Pemeriksa diwujudkan dengan selalu bersikap skeptisisme profesional
(professional skepticism) selama proses pemeriksaan, dan mengedepankan prinsip
pertimbangan profesional (professional judgement).2

Mengapa profesionalisme menjadi penting tanpa mengabaikan nilai yang lain? Sebelum
membahas lebih lanjut terkait profesionalisme pemeriksa, perlu melihat pencapaian tindak
lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan di Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) III
sampai Semester I 2019.

1 BPK RI, Peraturan BPK RI Nomoro 4 Tahun 2018 Tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta: Sekretariat
Negara, 2018, pasal 1 angka 11, hal.3.

2 BPK RI, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara 2017 Kerangka Konseptual Pemeriksaan, Jakarta: BPK RI, 2017,
paragraf 47, hal.16-17

427

Membangun BPK Paripurna

Pencapaian Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan AKN III Sampai Semeter I 2019

Berdasarkan informasi mengenai pencapaian tindak lanjut rekomendasi di AKN III,
diketahui pencapaian tindak lanjut sesuai rekomendasi hasil pemeriksaan cenderung
mengalami penurunan. Sedangkan pencapaian tindak lanjut belum sesuai dan tidak dapat
ditindaklanjuti cenderung meningkat.

Selain itu, meskipun pencapaiannya relatif kecil, rekomendasi yang tidak dapat
ditindaklanjuti juga cenderung menurun. Kecenderungan penurunan pencapaian tindak
lanjut sesuai rekomendasi dan peningkatan pencapaian tindak lanjut belum sesuai dan
belum ditindaklanjuti merupakan sinyal yang perlu mendapat perhatian serius BPK dalam
meningkatkan kualitas dan manfaat hasil pemeriksaan.

Dalam studi yang dilakukan oleh Lin dan Liu (Lin and Liu, 2012) diketahui bahwa entitas
yang memiliki temuan dan rekomendasi yang banyak, cenderung akan sulit melakukan
tindak lanjutnya. Sebab membutuhkan banyak waktu dibandingkan dengan entitas yang
memiliki sedikit temuan dan rekomendasi.

Berdasarkan ulasan hasil berbagai penelitian dan literatur dinyatakan bahwa ada korelasi
positif antara hasil pemeriksaan yang dicapai dan kompetensi Pemeriksa. Kompetensi
Pemeriksa akan berpengaruh positif terhadap profesionalisme pemeriksa dalam
pemeriksaan. Dengan kata lain, profesionalisme sangat dipengaruhi oleh kompentensi
yang dimiliki oleh Pemeriksa.

Oleh karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dan manfaat hasil
pemeriksaan adalah dengan meningkatkan profesionalisme Pemeriksa. Dalam hal ini,
peningkatan kompetensi melalui berbagai cara.

Program Kerja Optimalisasi Profesionalisme Pemeriksa
Mempertimbangkan latar belakang profesionalisme dan kompetensi Pemeriksa, perlu

melaksanakan rencana/program kerja PASTI. Rencana/program kerja tersebut, akan dapat
meningkatkan profesionalisme pemeriksa mendukung pencapaian sasaran strategis
AKN secara efektif dan efisien dalam rangka menyukseskan pencapaian visi BPK sebagai

428

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

pendorong pengelolaan negara untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang
berkualitas dan bermanfaat.

PASTI merupakan program kerja yang meliputi lima kegiatan utama, yakni Pengelolaan,
Antisipatif Kegiatan, Sinergi, Teknologi Informasi dan Integrasi. Pelaksanaan PASTI dibagi
menjadi tiga tahapan waktu yaitu jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

Pada tahapan jangka pendek dalam kurun waktu tiga bulan, program PASTI
melaksanakan pengelolaan melalui, pertama, penyempurnaan struktur Database
Entitas Pemeriksaan (DEP) Auditorat. Penyempurnaan struktur DEP dilakukan dengan
membedah, menguraikan, dan membentuk DEP yang lebih rinci, lengkap, relevan,
dan mutakhir. Dengan begitu, DEP menjadi lebih berkualitas dan dapat digunakan sebagai
media informatif; alat analisis perencanaan yang efektif; dan alat membangun kompetensi
serta pengetahuan proses bisnis entitas pemeriksaan secara berkesinambungan.

Kegiatan dilakukan meliputi p e m b a h a s a n dan penguraian struktur dan komponen
DEP, penyiapam pedoman/instruksi kerja pemutakhiran DEP, dan membangun aplikasi DEP.

Kedua, penyempurnaan file sharing Auditorat. Kolaborasi antar personel dalam Tim
Pemeriksa dapat berjalan efektif dan efisien bila didukung dengan adanya fasilitas file
sharing yang dapat diakses oleh personel tim tanpa batasan waktu dan tempat, dengan
memanfaatkan fasilitas yang telah ada seperti portal atau e-drive. Kegiatan ini dilakukan
sepanjang proses pemeriksaan. Dengan begitu, Pengendali Teknis dan Penanggung Jawab
dapat mengarahkan Tim Pemeriksa secara efektif pada pencapaian tujuan pemeriksaan.

Saat ini Biro Teknologi Informasi (Biro TI) telah menyediakan fasilitas untuk sarana
kolaborasi dan file sharing berbasis internet atau intranet seperti portal dan e-drive. Auditorat
perlu memanfaatkan fasilitas yang telah ada tersebut untuk mendukung pemeriksaan,
termasuk pemeriksaan investigatif.

Ketiga, pembentukan Gugus Tugas Talent Pool Auditorat. Gugus Tugas Talent Pool
bertugas mengidentifikasi dan memetakan kompetensi para Pemeriksa sehingga
diperoleh kelompok pemeriksa yang memiliki kompetensi unggul dalam rangka menjaga
keberlangsungan pelaksanaan tugas pemeriksaan yang bermanfaat dan berkualitas.

Keempat, pembentukan Gugus Tugas Penjaminan Mutu Auditorat. Gugus Tugas
Penjaminan Mutu Auditorat bertugas membantu Tim Pemeriksa memastikan bahwa hasil
pemeriksaan berkualitas dan bebas kesalahan. Pelaksanaan tugas diatur melalui silang
review antarSubauditorat.

Kelima, pemetaan temuan pemeriksaan berindikasi kerugian negara dan berpotensi
kerugian negara sebagai sumber indikasi awal terdapat fraud. Berdasarkan Undang-Undang

429

Membangun BPK Paripurna

(UU) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara, BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara. Pemeriksaan BPK tersebut meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan
kinerja, dan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT).

DalambukuberjudulAkuntansiForensik&AuditInvestigatif,Theodorus M.Tuanakotta
menjelaskan hubungan proses akuntansi, audit proaktif (pemeriksaan keuangan), audit
investigatif, dan hukum.

Lebih lanjut, dijelaskan dalam buku tersebut, bahwa dalam pelaksanaan risk assessment
pada pemeriksaan keuangan atau PDTT, kadangkala ditemukan indikasi potensi fraud. Atas
risiko tersebut, Pemeriksa harus mengembangkan prosedur untuk meyakinkan ada atau
tidak indikasi awal fraud.

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS), BPK, antara lain, menyampaikan
permasalahan yang berdampak indikasi kerugian negara dan potensi kerugian negara.
Selama Tahun 2012 sampai 2018, BPK telah melaporkan sebanyak 26.493 permasalahan
yang berindikasi kerugian negara sebesar Rp19,31 triliun dan 1.048 permasalahan yang
berpotensi kerugian negara sebesar Rp15,49 triliun.

Indikasi dan potensi kerugian negate pada entitas penelola keuangan negara (2012-2018)
(nilai dalam triliun rupiah)

Kelompok Indikasi KN Potensi KN Jumlah
Temuan Nilai Nilai Nilai

Pemerintah Pusat 4.669 6,07 70 0,64 4.739 6,71
Pemerintah Daerah 21.320 10,63 631 2,04 21.951 12,67
dan BUMD
BUMN dan Badan 504 2,61 347 12,81 851 15,42
Lainnya 26.493 19,31 1.048 15,49 27.531 34,80
Total

Selain itu, berdasarkan IHPS I Tahun 2018 diketahui hasil pemantauan penanganan
temuan pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada instansi berwenang. Selama periode
2003-30 Juni 2018, BPK telah menyampaikan temuan pemeriksaan yang mengandung unsur
pidana kepada instansi yang berwenang sebanyak 232 surat yang memuat 447 temuan
pemeriksaan yang mengandung unsur pidana senilai Rp33,53 triliun dan USD841,88
juta atau total ekuivalen Rp45,65 triliun. Sebanyak 96% temuan yang berindikasi pidana
tersebut telah ditindaklanjuti oleh instansi berwenang.

430

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Jumlah dan nilai temuan berindikasi tindak pidana tersebut masih lebih rendah
dibandingkan jumlah dan nilai temuan ketidakpatuhan yang berindikasi dan berpotensi
kerugian negara. Temuan pemeriksaan yang disampaikan kepada instansi berwenang,
periode 2012-30 Juni 2018 sebanyak 84 temuan pemeriksaan mengandung unsur pidana
senilai Rp6,58 triliun. Oleh karena itu, BPK baru dapat menyerahkan sebesar 0.31% dari
total temuan yang berindikasi dan berpotensi kerugian negara atau sebesar 14,79% dari
nilainya.

Berkaitan dengan hal tersebut, pemetaan atau profiling atas temuan ketidakpatuhan
yang mengandung unsur indikasi atau potensi kerugian negara perlu dilakukan. Berdasarkan
hasil pemetaan tersebut, klasifikasi dilakukan menurut nilai dan dampaknya bagi pelayanan
atau perekonomian untuk menentukan prioritas pemeriksaan di lingkungan Auditorat
dan usulan pemeriksaan investigasi bagi Auditorat yang membidangi investigasi.

Prioritas pemeriksaan investigasi yang sudah ditentukan tersebut akan dimintakan
persetujuan Badan untuk digunakan dalam perencanaan kegiatan pemeriksaan
investigative, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam perencanaan tersebut
juga perlu dipertimbangkan hasil analisa pengaduan masyarakat dan permintaan Aparat
Penegak Hukum (APH).

Bagi Auditorat, prioritas pemeriksaan tersebut akan digunakan untuk merencanakan
pemeriksaan yang lebih terarah. Tujuannya untuk mendukung upaya meningkatkan peran
aktif BPK dalam rangka pemberantasan korupsi khususnya upaya pencegahan tindak
pidana korupsi (Tipikor).

Pada tahap jangka pendek, program PASTI melaksanakan langkah antisipatif kegiatan
melalui: penjaringan minat dan harapan Pemeriksa; perumusan pedoman operasional
standar pengelolaan dan pemutakhiran DEP; serta penjaringan informasi terkait dengan
hal-hal yang dibutuhkan pimpinan, stakeholder, dan masyarakat.

Program PASTI pada tahap jangka pendek juga melaksanakan sinergi. Sinergi kegiatan
penyempurnaan struktur DEP dengan Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Dit.
Litbang) termasuk dengan Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum
Pemeriksaan Keuangan Negara (Ditama Binbangkum) dalam penyusunan pedoman
operasional standar pemutakhiran DEP.

Program PASTI berikutnya, untuk tahap jangka pendek ini adalah Teknologi Informasi
(TI). Penyusunan rancangan awal aplikasi pemutakhiran DEP sebagai dummy aplikasi DEP
yang akan digunakan dalam pembangunan aplikasi yang komprehensif dalam jangka
menengah.

431

Membangun BPK Paripurna

Dalam upaya optimalisasi penggunaan TI untuk mempercepat dan memudahkan proses
analisa, Perwakilan berkolaborasi denga Biro TI, Dit. Litbang, dan Direktorat Perencanaan
Strategis dan Manajemen Kinerja (Dit.PSMK) membangun DEP yang terintegrasi dengan
aplikasi lainnya.

Tujuan program kerja tersebut adalah menyinergikan langkah dalam meningkatkan
kualitas dan manfaat hasil pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan perencanaan yang
komprehensif.

Program PASTI teakhir, integrasi. Integrasi dalam jangka pendek ini difokuskan
pada kegiatan perencanaan sehingga ada hubungan rasional antara Rencana Kegiatan
Pemeriksaan (RKP) dan DEP melalui aplikasi yang dibangun.

Pada tahap jangka menengah, dalam kurun waktu di atas tiga bulan sampai satu
tahun, pada dasarnya, pelaksanaan program kerja dalam jangka menengah ini merupakan
pelaksanaan tahapan dalam jangka pendek yang dilakukan secara lebih luas dan
komprehensif.

Dalam tahapan jangka menengah, keterlibatan pihak internal dalam pelaksanaan
program kerja lebih dikuatkan dan ditambah dengan pelibatan pihak ekternal untuk
mendukung pelaksanaan program kerja.

Pelaksanaan Program Kegiatan PASTI dalam Jangka Menegah
(kurun waktu di atas tiga bulan s.d. satu tahun)
1) Pengelolaan:

a) Pembangunan Aplikasi DEP yang komprehensif dengan memadukan DEP dan data
lainnya

b) Pembangunan Gudang Data
BPK perlu mengelola secara profesional informasi baik DEP, hasil pemeriksaan
dan proses hukumnya di pengadilan dalam suatu gudang data (data warehouse).
Pengelolaan yang profesional atas gudang data tersebut diharapkan memudahkan
pemeriksa baik di lingkungan Auditorat maupun pemeriksa di lingkungan
Audit Utama Investigasi (AUI) untuk dapat mempelajari secara mendalam prosedur
pemeriksaan, mengindentifikasi kelemahan pengendalian internal secara
komprehensif termasuk modus setiap tipikor dan hasil putusan pengadilan yang
terkait dengan hasil pemeriksaan investigatif yang telah dilaksanakan BPK.

c) Pembangunan Talent Pool system
Talent Pool System merupakan bagian dari kegiatan Talent Management yaitu suatu

432

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

proses mengidentifikasikan pegawai yang memiliki kapabilitas untuk menjadi future
leader. Proses identifikasi talent mapping tersebut didasarkan pada dua aspek yaitu
kompetensi dan kinerja.
2) Antisipatif Kegiatan
Pembangunan kemitraan dengan entitas atau pihak terperiksa dalam rangka memasuki
tahapan otomatisasi yang akan dikembangkan dalam jangka panjang sehingga
mengurangi pekerjaan memasukan data karena sudah dikerjasamakan.
3) Sinergi
a) Penerapan sinergi internal

Sinergi yang kokoh dan berkesinambungan di lingkungan internal dapat memperkuat
dan mempertajam hasil pemeriksaan sehingga tujuan organisasi dapat dicapai secara
tepat, efektif dan efisien. Dalam pelaksanaan sinergi pada tahapan ini diarahkan pada
penyiapan pedoman/instruksi kerja menyeluruh atas setiap kegiatan yang ada sehingga
ada pedoman yang dipakai dalam melaksanakan kegiatan serta peningkatan penjaminan
mutu secara berkesinambungan. Pihak yang terlibat dalam hal ini antara lain Direktorat
Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara
(Ditama Revbang), Ditama Binbangkum, Biro TI, Inspektorat Utama (Itama) dan AKN
atau BPK Perwakilan.

Selain itu, pelaksanaan sinergi pun akan meningkatkan efektivitas pemberian
rekomendasi perbaikan atas kelemahan sistem pengendalian dan reviu peraturan dapat
meningkatkan peran BPK dalam pencegahan tipikor.

b) Penerapan sinergi eksternal

Pembangunan kesepahaman cara pandang pihak ekternal (auditee dan APH) dalam
upaya pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi. Pelaksanaan kegiatan
tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara antara lain Forum Diskusi Bulanan,
Kajian Gelar Perkara atas hasil pemeriksaan yang berindikasi KN serta Lokakarya terkait
dengan pencegahan dan penindakan Tipikor.

Selain itu, juga dilakukan kolaborasi sebagai contoh pembentukan Tim Gabungan baik
dalam pemeriksaan maupun dalam penghitungan KN. Kolaborasi dilakukan khusus atas
kasus-kasus yang signifikan dan menjadi sorotan masyarakat atau melibatkan tokoh
masyarakat.

433

Membangun BPK Paripurna

4) Teknologi Informasi
Dalam jangka menengah ini, keterlibatan teknologi informasi diarahkan pada

pembangunan aplikasi DEP yang komprehensif sehingga mampu menjadi fondasi
perencanaan yang tepat dan kurat dalam menyiapkan kegiatan pemeriksaan. Selain itu,
teknologi informasi juga diarahkan pada optimalisasi kegiatan pemeriksaan.
5) Integrasi
Fokus kegiatan integrasi dalam tahapan ini pada pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
termasuk aplikasi yang terkait dengan kegiatan tersebut. Tujuan integrasi dalam
tahapan ini adalah keterkaitan antar aplikasi, DEP dan data lainnya yang mendukung
pembangunan Big Data sebagai langkah lanjutan dan Data Warehouse yang akan
dikembangkan.

Pada tahapan jangka panjang, dalam kurun waktu lebih dari satu tahun, pelaksanaan
progam PASTI diarahkan pada pembangunan sumber daya yang dimiliki Auditorat
secara objektif, handal dan berkesinambungan melalui otomatisasi dan integrasi
menyeluruh menyambut era Industrialisasi 4.0.

Kegiatan ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang BPK sehingga BPK mampu
menunjukkan peran sebagai pendorong keberhasilan pencapaian tujuan negara
melalui pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat.

Dalam tahapan itu, BPK dapat memosisikan dirinya sebaga insight yang memahami
permasalahan dan mampu memberikan solusi yang efektif serta mampu menaksir
capaian yang akan diperoleh berdasarkan kondisi perekonomian, stabilitas politik
keamanan dan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki (foresight).

Arti Penting dan Relevan Program Kerja PASTI Bagi BPK
Dalam visi 2016 – 2020, BPK ingin menjadi pendorong pengelolaan keuangan negara

yang mengarah pada pencapaian tujuan negara melalui penguatan pemberantasan
korupsi, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, serta peningkatan manfaat keuangan
negara.

Penguatan pemberantasan korupsi dilakukan dengan ikut serta secara aktif dalam
penindakan terhadap korupsi dan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi oleh
pengelola keuangan negara. Arti penting program kerja yang diusulkan dan relevansinya
bagi BPK, yakni, pertama, optimalisasi peran BPK dalam pencapaian tujuan negara melalui
pemeriksaan berkualitas dan bermanfaat yang meningkat kualitas dan kuantitasnya.

434

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Kedua, optimalisasi peran BPK dalam pencegahan melalui pemberian rekomendasi
perbaikan atas kelemahan sistem pengendalian kecurangan solutif dan implementatif.
Ketiga, optimalisasi peran BPK dalam penindakan melalui pemeriksaan investigatif yang
berkualitas dalam rangka mengungkap indikasi Tipikor dan penghitungan kerugian
negara yang dimanfaatkan oleh APH (lebih dari 50%). Keempat, optimalisasi peran BPK
sebagai ahli dalam proses pembuktian di pengadilan.

Manfaat Program Kerja PASTI Bagi BPK
Program kerja PASTI akan memberikan beberapa manfaat kepada BPK. Beberapa

di antaranya, pertama, dalam jangka panjang, manfaat yang akan diperoleh adalah
terciptanya BPK yang mampu menjadi pendorong pencapaian tujuan negara melalui
peningkatan jumlah dan kualitas hasil pemeriksaan.

Kedua, dalam jangka menengah, manfaat yang akan diperoleh adalah terciptanya
Aplikasi DEP yang komprehensif, dukungan sinergi internal dan eksternal dalam rangka
peningkatan transparansi, dan akuntabilitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab BPK.

Ketiga, dalam jangka pendek, manfaat yang akan diperoleh antara lain tersedianya:
1. Pemeriksa yang berkualitas dan berkinerja unggul sesuai kompetensi, minat dan

keahlian pemeriksa termasuk tersedianya agen perubahan;
2. Aplikasi DEP Auditorat yang mampu menjadi landasan yang akuntabel untuk

menyusunan RKP dan/atau Rencana Kerja Tahunan (RKT);
3. Pedoman/instruksi kerja yang baku dalam setiap kegiatan utama khususnya

pemutakhiran DEP;
4. Temuan ketidakpatuhan yang berindikasi atau berpotensi kerugian negara hasil

pemetaan;
5. RKP/RKT yang memenuhi aspek kebutuhan pimpinan, stakeholder dan

masyarakat;
6. Peningkatan jumlah pemeriksaan yang lebih fokus termasuk usulan pemeriksaan

investigatif;
7. Hasil pemeriksaan yang berkualitas dan bebas kesalahan secara tepat waktu dan

bermanfaat termasuk rekomendasi yang solutif dan implementatif;
8. Data warehouse yang dapat diakses oleh seluruh pemeriksa BPK untuk

meningkatkan pemahaman atas indikasi kecurangan.

435

Membangun BPK Paripurna

Hambatan Dalam Pencapaian Program Kerja PASTI
Berdasarkan identifikasi, diketahui beberapa hambatan pelaksanaan program kerja

PASTI, yaitu, pertama, Audiorat belum dapat secara optimal melaksanakan kegiatan karena
keterbatasan sumber daya terutama anggaran dan sumber daya manusia.

Kedua, keengganan untuk berubah dan keterbatasan pemahaman memanfaatkan
data warehouse karena semakin sulit mencari informasi sebagai dampak gudang data yang
semakin besar.

Ketiga, entitas dan/atau Instansi berwenang dalam hal ini APH belum mau berkolaborasi
untuk menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti hasil pemeriksaan atau pemeriksaan
investigatif yang disampaikan BPK.

Strategi Mengatasi Hambatan
Strategi yang akan dilakukan untuk mengatasi hambatan yang telah teridentifikasi

dalam uraian sebelumnya. Pertama, mendapatkan dukungan pimpinan BPK sehingga
sinergi internal dan eksternal melalui kegiatan nyata seperti kerja sama pemeriksaan,
studi banding, pendampingan dan konsultansi dapat dilaksanakan secara efektif.

Kedua, berkoordinasi dan bekerja sama dengan Biro TI mengelola gudang data dengan
cara yang memudahkan dan mempercepat pencarian informasi. Ketiga, berkoordinasi
secara proaktif dengan Biro Humas dan entitas dalam upaya meningkatkan kepercayaan
entitas dan APH melalui forum komunikasi formal dan informal, seperti BPK Mendengar,
Perkumpulan komunitas dan sebagainya.

C. Kesimpulan
Untuk mewujudkan peran aktif BPK dalam rangka mendorong pencapaian tujuan

negara, BPK harus bertransformasi menjadi lembaga yang modern, professional, tanpa
meninggalkan integritas dan kemandiriannya.

Melalui pelaksanaan program PASTI, langkah BPK untuk mewujudkan hal tersebut
sangat dapat direalisasikan. Manfaat yang akan diperoleh dengan PASTI adalah
peningkatan jumlah dan kualitas pemeriksaan, termasuk pemeriksaan investigatif serta
pemberian rekomendasi yang solutif dan implementatif.

BPK perlu melakukan pemetaan, analisis dan pemanfaatan temuan ketidakpatuhan
sebagai indikasi awal terjadi fraud untuk melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas
pemeriksaan, termasuk pemeriksaan investigatif.

436

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan kualitas pemeriksaan, BPK perlu
menyediakan fasilitas kolaborasi berbasis internet sehingga memungkinkan review secara
berjenjang dilakukan secara terus-menerus.

Selain itu, perlu ada sinergi baik internal dan eksternal untuk mendukung keberhasilan
PASTI, sehingga BPK dapat memberikan rekomendasi atas kelemahan sistem pengendalian
kecurangan kepada pengelola keuangan negara secara lebih efektif dan efisien.

Keberhasilan pelaksanaan Program PASTI pada akhirnya akan mendorong peran BPK
semakin meningkat dari oversight menjadi insight atau bahkan foresight dalam pemeriksaan
atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Dengan program kerja tersebut, dalam rangka mendukung pemberantasan korupsi,
maka kasus-kasus korupsi yang diproses di Pengadilan diharapkan sebagian besar, lebih
dari 50%, berasal dari BPK.

437

Membangun BPK Paripurna

Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara. Lembaran Negara RI Tahun 2004, No.66. Sekretariat Nega-
ra. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaran
Negara RI Tahun 2006, No.85. Sekretariat Negara. Jakarta.

M. Tuanakotta, Theodorus. 2013. Mendeteksi Manipulasi Laporan Keuangan. Penerbit:
Salemba.

Jensen M. C., Meckling W.H., 1976. Theory of the Firm: Managerial of Behaviour,
Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economic. V. 3, No. 4,
pp. 305-360.

Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Lembaran Negara RI Tahun 2017, No.1. Sekretariat Negara. Jakarta.

Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. Lemba-
ran Negara RI Tahun 2018, No.274. Sekretariat Negara. Jakarta.

Keputusan BPK Nomor 17/K/I-X-III.2/12/2008 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan In-
vestigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/
Daerah. Binbangkum BPK RI. Jakarta.

Keputusan BPK Nomor 03/K/I-XIII.2/03/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Sistem Pemer-
olehan Keyakinan Mutu. Binbangkum BPK RI. Jakarta.

Keputusan BPK Nomor 5/K/I-XIII.2/8/2010 tentang Petunjuk Teknis Kodering Temuan Pe-
meriksaan. Binbangkum BPK RI. Jakarta.

Seri Panduan Pemeriksaan, Penanganan Informasi Awal Dalam Pemeriksaan Investiga-
tif, BPK, Subdirektorat Litbang PDTT.

Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester Semester I Tahun 2012 s.d IHPS Semester I Tahun 2018.
Halim A., Abdullah S., 2006. “Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintah Daerah”. Dis-

ertasi. Tidak Dipublikasikan. Universitas Gajah

438

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

439

Membangun BPK Paripurna

Penerapan SMAP
sebagai Salah satu upaya

Mewujudkan BPK
yang Kredibel

Edy Witono, S.E., M.M., Ak., CA., CFE, CSFA
(Kepala Auditorat I.A)

A. Latar Belakang
Reputasi dan kepercayaan publik memiliki peran yang sangat vital bagi suatu organisasi

pemerintah. Reputasi adalah penggabungan antara citra yang dibentuk organisasi dan
penilaian publik atas kinerja organisasi. Menurut Dowling (1994), jika citra yang ditampilkan
oleh organisasi sesuai dengan perilaku individu-individu di dalamnya, maka individu
tersebut akan membangun reputasi yang baik bagi organisasi (Oktavianingsih, 2012).

Reputasi berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan publik. Kepercayaan publik
sangat penting artinya bagi sebuah lembaga pemerintahan untuk membayar pembiayaan
operasional institusi oleh masyarakat dalam bentuk pajak. Kepercayaan publik juga akan
berdampak pada tingkat dukungan dan partisipasi masyarakat terhadap aktivitas yang
dilakukan oleh sebuah lembaga pemerintahan.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki mandat
dan peran strategis dalam memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
negara sangat rentan terhadap godaan, gangguan dan kasus pelanggaran etika. Jika
tidak diantisipasi dengan upaya pencegahan yang efektif akan berpotensi menggerus
kepercayaan publik dan reputasi BPK.

Masalah suap ini ternyata juga sudah menjadi isu global. Bank Dunia memperkirakan
bahwa lebih dari USD 1 triliun transaksi suap setiap tahunnya. Permasalahan tersebut
mengganggu stabilitas politik, meningkatkan biaya bisnis, dan berkontribusi terhadap
kemiskinan. Suap adalah salah satu masalah di dunia yang paling merusak dan kompleks

440

|Bagian 4 Memperbaiki Tata Kelola Keuangan Pemerintah Pusat

dan selalu saja muncul meskipun upaya nasional dan internasional untuk memerangi
hal ini sudah ada. Hasil penelitian Association Certified Fraud Examiner (ACFE) untuk
kawasan Asia Pasific menunjukkan bahwa dari 11 skema kecurangan (fraud scheme), skema
kecurangan berupa korupsi (corruption) yang di dalam terdapat suap (bribery) menduduki
posisi pertama atau sebesar 51% (ACFE Asia Pacific Region,2018).

Untuk konteks Indonesia, hasil Survei Fraud Indonesia menunjukkan bahwa korupsi
(corruption) merupakan jenis fraud yang paling merugikan di Indonesia yakni sebanyak 178
kasus sebesar 77%, sedangkan penyalahgunaan aset (asset misaproriation) sebanyak 41
kasus sebesar 19%, dan kecuragan laporan keuangan (financial statement fraud) sebanyak
10 kasus sebesar 4%. (ACFE Indonesia Chapter,2016).

Jenis Fraud yang Paling Merugikan di Indonesia

Sumber : Survai Fraud Indonesia, ACFE Indonesia
Penyuapan telah menjadi tantangan yang sangat besar dalam pemberantasan korupsi
di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa dari tahun 2004 sampai
dengan bulan September tahun 2017, kasus penyuapan mendominasi tindak pidana
korupsi yang ditangani KPK. Sebanyak 54% dari kasus korupsi yang ditangani KPK selama
kurun waktu itu adalah penyuapan (BSN, 2017). Penyuapan juga melibatkan seluruh fungsi
dalam pilar pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif, sampai ke yudikatif.
Dalam menjalankan mandat BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab
keuangan negara, Rancangan Teknokratik Rencana Strategis BPK Tahun 2020-2024

441

Membangun BPK Paripurna

merumuskan Konsep Visi BPK adalah “Menjadi Lembaga Pemeriksa Terpercaya dan
Berperan Aktif dalam Mewujudkan Tata Kelola Keuangan Negara yang Berkualitas
dan Bermanfaat”. Selain itu, BPK yang juga telah menetapkan independensi, integritas
dan profesionalisme sebagai nilai-nilai dasar yang dijabarkan dalam Peraturan BPK Nomor
4 Tahun 2018 tentang Kode Etik BPK dan juga Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang
Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE).

Berbagai upaya dan langkah-langkah konkret untuk menginternalisasi nilai-nilai dasar
BPK tersebut telah dilakukan di antaranya dengan menggelar Workshop Implementasi
Kode Etik BPK, pada hari Senin 28 Oktober 2019, dengan tujuan peserta dapat mengenal
Kode Etik BPK dan Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK, serta berkomitmen untuk
mencegah terjadinya pelanggaran kode etik.

Berbagai langkah perbaikan manajemen internal, terutama penegakan integritas
untuk memulihkan dan reputasi BPK juga dilakukan memperkuat penegakan integritas
organisasi melalui beberapa aktivitas yang dicanangkan oleh Inspektorat Utama (Itama),
seperti pembangunan Zona Integritas (ZI), Program Pengendalian Gratifikasi (PPG), dan
pengaduan melalui Whistle Blowing System/WBS (Sundari, 2019). Namun demikian, masih
terjadinya kasus-kasus penyuapan mengindikasikan bahwa upaya-upaya yang disebutkan
tadi belum cukup efektif dalam mencegah penyuapan.

Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) adalah salah satu alternatif perbaikan
manajemen yang dapat diimplementasikan BPK untuk mencegah penyuapan sekaligus
memulihkan reputasi institusi. Selain memperbaiki manajemen internal BPK, publikasi atas
implementasi SMAP ini juga penting akan memperbaiki citra BPK di mata publik.

SMAP adalah standar yang berlaku secara internasional dan dirilis oleh lembaga
International Organization for Standardization (ISO). ISO adalah organisasi yang independen
yang beranggotakan badan penyusun standar dari 162 negara (TI, 2016).

SMAP juga membantu pencapaian visi dan BPK adalah menjadi lembaga pemeriksa
keuangan negara yang terpercaya dan kredibel. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
versi daring, kredibilitas mengandung makna perihal dapat dipercaya. Salah satu misi BPK
adalah melaksanakantata kelola organisasi yangberintegritas,independen, dan profesional.
Penerapan SMAP akan membantu BPK memperkuat penegakan integritas, terutama
mencegah penyuapan, yang pada gilirannya akan mendukung terjaganya reputasi BPK dan
menunjang tercapainya Visi BPK.

442


Click to View FlipBook Version