GOENAWAN MOHAMAD
CPaitantgaginr11
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 6 iii
TEMPO PUBLISHING
Kumpulan tulisan
Goenawan Mohamad
di majalah Tempo, Januari 2013-Desember 2014
CPaitantgagin1r1
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 11 i
http://facebook.com/indonesiapustaka
ii Catatan Pinggir 11
Goenawan MohaMad
CPaitantgaginr11
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 11 iii
TEMPO PUBLIshInG
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 11
Goenawan Mohamad
Kumpulan Catatan Pinggir di majalah Tempo,
Januari 2013-Desember 2014
Kata pengantar: Intan Paramaditha
Editor bahasa: H. Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Indeks: Danni Muhadiansyah
Kulit muka: S. Malela Mahargasarie
Tata letak dan ilustrasi: Edi RM
Foto pengarang: Dwianto Wibowo
© Goenawan Mohamad
Hak cipta dilindungi undang-undang
Cetakan Pertama, 2017
MOHAMAD, Goenawan
Catatan Pinggir 11
Pusat Data dan Analisa Tempo, 2017
xx + 442 hlm.; 14.5 x 21 cm
ISBN 978-602-6773-12-8
Dicetak oleh Percetakan PT Temprint, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
iv Catatan Pinggir 11
Daftar Isi
ix Pengantar
http://facebook.com/indonesiapustaka 2013
3 Herodes
7 Mithos
11 Kacukan
15 Banjir
19 Prometheus
23 Selebritas
27 Shibuya
31 Gereja
35 Tubuh
39 A Jun
43 Pedagang
47 Perang
51 Zhuangzi
55 Pasah
61 Terminal
65 Thatcher
69 Perempuan di Luar Garis yang Lurus
77 Tertawa
81 Italia/Mana Saja
85 Thukul
91 Demos
95 Fasisme
Catatan Pinggir 11 v
http://facebook.com/indonesiapustaka DAFTAR ISI
99 Muselmann
103 Gelanggang
107 Rahim
111 Makna
115 Maaf
119 Arab
123 Sirna
127 Diam
131 Kemosabi
135 Zhèngmíng
139 Pentas
143 Mesir
147 Jazz
151 Tembok
155 Sopir
159 Al-Falsafa
163 Pedang Tuhan
167 Realisme Sosialis, di Suatu Masa, di Suatu Tempat
175 Ganyang
179 Seni untuk...
183 Sejarah
187 Gramsci
191 Laut
195 Belanga
199 Titah
203 Mata Air
207 Dari Djémila ke Sela-sela Sejarah
213 Warna
217 Monumen
vi Catatan Pinggir 11
DAFTAR ISI
http://facebook.com/indonesiapustaka 221 Berkabung
2014
227 Religio
231 Pelan
235 Heteroglossia
239 Rosa
243 Anwar
247 Analekta
251 Douch
255 Racun
259 Universitas
263 Melankolia
267 Merah
271 Joyoboyo
275 Lumrah
279 Golput
283 Malin
287 Suksesi
291 Bhisma
295 Richard
299 Undang
303 Caraka
307 Bukan Si Miskin
311 Politik
315 Babi Yar
319 Air Kelapa
323 The Tank Man
327 Kotor
Catatan Pinggir 11 vii
DAFTAR ISI
http://facebook.com/indonesiapustaka 331 Sa’aman
335 Kecapekan
339 Princip
343 Kejadian
347 Memihak
351 Al-Ludd, 1948-2014-...
359 Tangis
363 Digul
367 Iskandar
371 Shane
375 Daulat
379 Westphalia
383 Adi
387 Bandit
391 Polisi
395 Komedi
399 Takhta
403 Sengkuni
407 Lempad
411 Sekarpandan
415 Shylock
419 Waktu
423 Fung Seng
427 Pagar
431 Santa
435 Koper
viii Catatan Pinggir 11
Catatan Si Pejalan
http://facebook.com/indonesiapustaka Intan Paramaditha
Saya melihat Catatan Pinggir dengan kacamata generasi
yang datang kemudian. Pada akhir 1990-an, saat mulai
memb aca kolom Goenawan Mohamad di majalah Tempo,
saya seperti melompat ke dalam kereta yang telah menempuh
perjalanan panjang. Catatan Pinggir pertama kali terbit
pada 1976, sebelum saya lahir, dan ketika buku kumpulan
Catatan Pinggir volume pertama dibukukan pada 1982, saya
baru belajar mengeja. Di dalam gerbong, saya bertanya-tanya
dengan cemas: apakah saya terlambat? Bagaimana mengejar
yang telah lewat? Buku kumpulan Catatan Pinggir buat saya
adalah sebua h perjalanan menelusuri rekaman sejarah.
Bahkan sekarang, ketika saya menengok kembali tulisan
Goen awan Mohamad tahun 2013 dan 2014 yang terangkum
dalam volume ke-11 ini, saya terdorong untuk melihat ke
belakang dan menimbang ulang peristiwa yang telah lewat.
Apa yang saya ingat dari tahun-tahun itu? Esai-esai Goenawan
kembali mengingatkan kita pada apa yang beredar di ruang
pub lik, seperti film The Act of Killing (2013) yang turut
menggulirkan wacana internasional tentang 1965, juga proses
pemiliha n presiden yang menegangkan pada 2014. Banyak
kematian dan kehilangan besar yang direkam, misalnya Nelson
Mandela dan Slamet Gundono, dua tokoh yang sama-sama
menolak batasan—yang satu dalam konteks politik ras, yang
lain dalam medium seni. Kita juga diingatkan pada kematian
aktivis Internet muda Aaron Swartz, yang mengunduh jutaan
Catatan Pinggir 11 ix
http://facebook.com/indonesiapustaka CATATAN SI PEJALAN
dokumen ilmiah demi akses setara atas ilmu pengetahuan.
Saya membayangkan 20 tahun mendatang, seperti yang
saya alami pada akhir 1990-an, generasi yang lebih muda akan
melihat buku ini sebagai arsip yang merekam peristiwa besar
dan kecil, perputaran wacana, serta perspektif yang dominan
ataupun yang terlupa pada masa tertentu—masa lalu, demikian
mereka akan menyebutnya. Dan sebagaimana kita diingatkan
kalimat tersohor L.P. Hartley (yang juga dikutip Goenawan
dalam buku ini), masa lalu adalah sebuah negeri asing. Dua
puluh tahun kemudian, pembaca akan menyusuri jalan dan
kelokan di negeri asing itu, bukan lewat suara otoritatif atas
sejarah, melainkan melalui catatan seseorang yang melihat
ke sekeliling, mengamati, merekam, dan melontarkan
pertanyaan. Buku Catatan Pinggir menempatkan pembaca
pada posisi khusus, yaitu sebagai rekan seorang pejalan.
Penulis sebagai Flâneur
Analogi ”pejalan” saya gunakan di sini untuk merujuk pada
cara Goenawan Mohamad menangkap apa yang berlangsung
di sekitarnya dan berpindah tatapan dari satu hal ke hal lain.
Sebagai penulis, ia mengingatkan saya pada flâneur, sosok
pejalan kaki di kota modern abad ke-19 yang muncul dalam
tulisan Baudelaire dan sejak abad ke-20 telah menjadi bahan
perbincangan di kalangan akademis via Walter Benjamin.
Flâneur menurut Benjamin adalah figur urban yang menonton
dan mengamati kota selayaknya seorang detektif; secara
ambivalen ia menjadi bagian dari pengalaman urban sekaligus
menjaga jarak darinya.
Cara Goenawan menelusuri sederetan peristiwa dan wacana
x Catatan Pinggir 11
CATATAN SI PEJALAN
http://facebook.com/indonesiapustaka dalam esainya bisa kita lihat sebagai flânerie. Seperti flâneur
yang menyusuri jalan, ia berhenti sejenak untuk menatap dan
berpikir, lalu berpindah lagi ke sudut kota lainnya. Goenawan
menjelajahi khazanah gagasan dengan irama kaki orang yang
berjalan-jalan di kota: tidak tergesa, kadang sedikit cepat,
tapi selalu kontemplatif. Kita, pembaca, mengikuti ke mana
ia memandang, melangkah, dan berbelok. Sering kali satu
tempat mengingatkannya pada tempat lain, yang mungkin
teramat jau h, tapi ia tak ragu menempuh jarak untuk pergi
ke tempat itu dan barangkali tak kembali ke titik berangkat.
Flâneur abad ke-19 punya cukup waktu untuk merenung dan
tersesat; setidaknya, mereka tidak disibukkan oleh smartphone
dan selfie. Goenawan si penulis/pejalan tahu banyak tempat dan
mengunjunginya berulang kali—kadang demi kenyamanan
(karena ia sudah sangat paham seluk-beluk tempat itu), kadang
demi nostalgia, dan kadang untuk menguji cara pandang yang
berbeda. Pada saat yang sama, ia juga terus mencari tempat
baru meski ini berarti menghadapi risiko yang lain, baik itu
pertemuan baru maupun jalan buntu.
Sosok flâneur takjub sekaligus kritis terhadap kebaruan.
Sebagaimana Benjamin mencoba memaknai fashion sebagai
fenom ena modern dalam The Arcades Project, pada 2013
Goenaw an merenungi hal-hal baru di sekitarnya, dari budaya
anak muda di Shibuya hingga fenomena media sosial. ”Pelan”,
esainyatentang media sosial, cukup menarik untuk dibahas
karena beberapa hal. Esai ini menunjukkan apa yang ideal bagi
si flâneur—kemerdekaan individu: ”menghayati waktu sebagai
ketakjuban yang selalu baru”—dan sulitnya memperoleh
kemerdekaan itu di dunia digital abad ke-21. Goenawan
Catatan Pinggir 11 xi
http://facebook.com/indonesiapustaka CATATAN SI PEJALAN
menulis:
”Mungkin saya menyukai pagi karena di sana saya berlind ung
dari kecepatan detik.
Meskipun bisa tak bertahan. Sebab jika pada menit ber
ikutn ya saya buka laptop, akan menghambur apa yang disebut
”informasi”—ribuan kata, suara, angka, dan gambar yang desak-
mendesak, singkir-menyingkirkan: kabar dari situs dot.com, salam
dan umpatan dan keluhan minta perhatian di Twitter, foto-foto
pamer diri di Facebook, pesan-pesan sejenak dari teman dan orang
yang tak dikenal di telepon seluler.... Mereka melintas, mereka
tenggelam. Mereka diingat, tak lengkap” (231).
Flânerie tak punya tempat di era kapitalisme global
(Benjamin pun telah mengatakan bahwa kemenangan
kapitalisme adalah akhir dari si flâneur). Catatan Pinggir
adalah semacam tempat berlindung Goenawan dari dunia
yang serba bergegas, memuja efisiensi, penuh hitung-hitungan.
Esai ”Pelan” adalah salah satu dari sedikit tulisan yang
menempatkan ”saya penulis” di dalam pengamatan. Pada esai-
esailain, kita lebih sering menjumpai hasil observasi Goenawan
tanpa punya banyak akses pada si penulis. Flâneur, meski
terus terpesona pada keramaian, senantiasa menjaga jarak
sebagai pengamat. Pandangannya yang kritis dan individualis
terlihat lebih terang apabila dibandingkan dengan figur
urban abad ke-19 lainnya, badaud. Benjamin membedakan
flâneur yang berkonsentrasi mengamati obyek di sekitarnya
dengan badaud yang melongok penuh rasa ingin tahu tapi tak
punya pandangan kritis. Flâneur ada (dan terasing) di dalam
kerumunan, tapi badaud adalah kerumunan itu sendiri.
xii Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka CATATAN SI PEJALAN
Dalam esai-esai Goenawan, kita tahu pertanyaan sekaligus
kecurigaannya terhadap banyak hal (termasuk kerumunan),
tap i kita tak selalu bisa melihat bagaimana ia mengkritisi
posisinya dalam hubungan dengan obyek pengamatannya.
Bahkan dalam esai ”Pelan”, meski kita bisa membayangkan
sosok sang penulis (ia suka bangun pagi demi mencari sepi
sebelum membuka laptopnya), jarak antara penulis dan
apa yang ia amati tetap ada. Goenawan Mohamad, flâneur
penyendiri yang kontemplatif, mengambil jarak antara dirinya
dan kerumunan yang riuh di Facebook (mereka ini bisa kita
sebut bad aud yang ingin tahu kehidupan orang lain sekaligus
berpartisipasi dalam budaya ramai-ramai pamer diri).
Lalu bagaimana membaca Catatan Pinggir sebagai rekan si
pejalan? Esai-esai Goenawan Mohamad tidak menyodorkan
seb uah tesis atau argumen yang kokoh. Keterbatasan ruang
Catatan Pinggir tidak memungkinkannya. Catatan Pinggir
menga jak pembaca ikut mengamati; si pejalan mengajukan
pertanyaan untuk dirinya sendiri, dan ia membaginya dengan
kita. Kita mungkin menemukan keasyikan menatap dengan
cara seorang detektif, seperti mengamati detail sebuah
pohon yang berkali-kali dilalui orang tapi tak ada yang
tahu apa namanya. Terkadang rekan kita si penulis/pejalan
menceritakan ulang—mengambil peran sebagai pemandu
wisata. Kita mungk in merasa terpanggil, mungkin pula merasa
bosan.
Bila Anda bertanya apakah si pejalan punya tesis
yang spesifik atau penyelesaian masalah yang konkret,
kemungkinan Anda mengajukan pertanyaan yang tak terlalu
produktif. Struktur Catatan Pinggir cenderung mengantar kita
Catatan Pinggir 11 xiii
http://facebook.com/indonesiapustaka CATATAN SI PEJALAN
pada pertanyaan-pertanyaan yang berbeda: bagaimana kita
merespons si pejalan serta kelokan-kelokannya yang menarik,
mengejutkan, atau membuat kita mengernyitkan dahi? Apakah
tempat-tempat yang berarti buatnya punya makna yang sama
buat kita? Bagaimana ia menatap dan memberi kerangka pada
tempat tertentu, dan genealogi pemikiran macam apa yang
menghasilk an tatapan dan kerangka itu? Bagaimana bila
kita tak sepak at—rute mana yang dapat kita tempuh—dan
apakah pertemuan kembali di persimpangan dimungkinkan?
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari interaksi pembaca
dengan si pejalan justru lebih menjanjikan karena ia membuka
kemungkina n untuk perjalanan lain.
Pertemuan dan Jalan Bercabang: Kosmopolitanisme
danHumanisme Universal
Hubungan saya sebagai pembaca dengan si penulis/
pejalandipenuhi ambivalensi; ada titik berangkat yang sama,
jalan berc abang, dan persimpangan—titik temu setelah
perpisahan. Saya merasa terhubungkan dengan isu-isu
tertentu yang diangkat di Catatan Pinggir, khususnya gagasan
seputar kosmopolitanisme. Goenawan Mohamad punya
ketertarikan besar pada perjalanan, keterbukaan, dan keadaan
di antaranya; ini tecermin dari judul-judul seperti ”Terminal”
dan ”Laut” (”siapa terpukau laut, tak akan membangun
monumen”, halaman 191). Saya menaruh perhatian khusus
pada hal ini karena saya adalah pejalan yang lain. Sejak
meninggalkan Indonesia 12 tahun lalu, saya hidup berpindah
kota dan negara dan belum pernah benar-benar ”pulang”.
Hubungan antarbangsa buat saya ditandai oleh perpindahan,
xiv Catatan Pinggir 11
CATATAN SI PEJALAN
http://facebook.com/indonesiapustaka keterpengaruhan, dan rekonfigurasi terus-m enerus. Karena
itu, ”Indonesia” sebagai gagasan, terlepas dari bayangan-
bayangan kolektif tentang keutuhan, tak pernahbisa menjadi
entitas yang bulat, tetap, dan tertutup. Goenawan Mohamad
paham hal ini dan menggambarkannya dengan tepat: ”Hanya
pengembara dan penjelajah yang tahu: dunia tak dapat
dipaparkan dengan batas yang keras. Ruang kehidupan tak
pernah ajek. Hidup tak dibangun dengan pagar” (427).
Pagar adalah antitesis dari perspektif Goenawan
Mohamad. Ia, seorang pejalan kosmopolitan, curiga pada
nasionalisme yang parokial. Ini tecermin dalam beberapa
esainya, termasuk tentang Nelson Mandela, tokoh yang ia
anggap menunjukkan nasionalisme yang ”bisa melampaui
dirinya sendiri” (115). Kosmopolitanisme Goenawan juga
tecermin lewat penjelajahan khazanah pemikiran yang
menolak batasan ruang dan waktu. Dalam hal ini, pengantar
William Liddle dalam buku Catatan Pinggir terdahulu bisa
disepakati. Goenawan menolak pengotakan Timur-Barat,
dan ini terlihat dari beragam narasi dan pemikiran yang
turut menyusun Catatan Pinggir: dari cerita Yun ani Kuno,
sejarah Eropa dan Asia, hingga cerita pewayangan. Dalam
volume kali ini, ia—terinspirasi oleh seorang rekannya—
membandingkan Aaron Swartz yang mencuri dokumen dan
melanggar hukum dengan Prometheus yang mencuri api dari
para dewa. Meskipun penjajaran-penjajaran yang dilakukan
kadang menimbulkan pertanyaan (misalnya, atas dasar apa A
dan B dibandingkan dan apa konsekuensi dari perbandingan
itu), semangat membuat perbandingan dan mencari titik temu
adalah upaya Goenawan melompati pagar. Meminjam teks
Catatan Pinggir 11 xv
http://facebook.com/indonesiapustaka CATATAN SI PEJALAN
dalam Surat Kepercayaan Gelanggang (1950), saya memandang
esai-esai Goenawan Mohamad sebagai ”ahli waris yang sah
dari kebudayaan dunia”.
Namun, sebagaimana pernyataan kosmopolitan penuh
percaya diri Surat Kepercayaan diikuti oleh kalimat ”dan
kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”,
kosmopolitanisme Goenawan juga selalu bertaut pada
rumah. Rumah di sini bukanlah sesuatu yang tak berubah
dan romantik. Sebalikn ya, ia adalah tempat yang bergejolak,
tak sepenuhnya bisa ditangkap. Esai-esai Goenawan seputar
pemilihan presiden pada 2014 menangkap harapan sekaligus
kegelisahan pada rumah yang dilanda gempa dan barangkali
nyaris roboh. Buat Goenaw an, Indonesia adalah proses yang
terus berjalan: ”Tak ada Indonesia yang tunggal dan final”
(106).
Kecenderungan Goenawan membuat penjajaran, mencari
garis hubung, dan mengidentifikasi kesamaan melampaui
batas negara berpotensi menjadi kritik bagi model pemikiran
”Indonesia sentris” di kalangan banyak orang. Ciri spesifik
Indonesia berdasarkan konteks geografis, budaya, politik,
dan agam a sering membuat kita terjebak, berkutat pada
gagasan serb a unik dan otentik (singkatnya: fenomena khas
Indonesia), yang justru mempersempit cara pandang. Esai-
esai Goenawan membayangkan dunia yang lebih terbuka yang
memungkinkankita becermin satu sama lain. Namun, di sisi
lain, saya rasa kita juga perlu bertanya: apa konsekuensi dari
pencarian terhad aphal yang bisa diperbandingkan, kesamaan,
pengalaman universal?
Perspektif humanisme universal, berbasis kepercayaan
xvi Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka CATATAN SI PEJALAN
atas adanya nilai kemanusiaan yang sama—yang mengatasi
perbedaan ideologi, kebangsaan, agama, ras, kelas, dan
gender—san gat dominan dalam esai-esai Goenawan
Mohamad. Kemerdekaan individu, ciri khas flâneur, adalah
salah satu aspekyang menyusun kemanusiaan universal yang
ideal. Ketika Goen awan menulis tentang Gramsci, misalnya, ia
tak menyentuh diskusi tentang konsep hegemoni (barangkali
dengan sengaja karena ini terlalu sering dibahas), tapi memilih
mengangkat pergulatan batin Gramsci yang merasa gelisah
tentang cara pandangnya atas yang liyan dan hubungan
antarmanusiapada umumnya. Dalam esai lain tentang novelis
Soewarsih Djojopoespito, yang ditulis setelah presentasi
Aquarini Priyatna tentang Soewarsih di Salihara, kita melihat
perspektif serupa beroperasi. Esai ini, satu dari sedikit ulasan
Goenawan tentang perempuan, lebih menggarisbawahi
gagasan kebebasan yang universal ketimbang gender (”Bila
dengan itu ia berbicara tentang dan sebagai perempuan, karena
dalam novelnya peremp uan bukan sebagai sebuah ide besar,
bukan sebagai tujua n yang jauh tinggi”, halaman 75). Ada
kondisi material yang mengabur ketika kata ”kelas” hilang
dari tulisan tentang Gramsci, atau ketika kata ”feminis” dan
”patriarki”—kata kunc i yang digunakan Aquarini Priyatna—
absen dalam pembahasan tentang Soewarsih.
Universalisme juga tecermin dalam esai ”Warna”, yang
bisa dilihat sebagai obituari untuk Nelson Mandela. Menurut
Goenawan, Mandela, seperti juga Frantz Fanon yang datang
sebelum dirinya, memperjuangkan sebuah dunia di mana
manusia ”tak lagi terpisahkan dinding dua atau lebih dari
dua warna” (216). Harapan Goenawan pada humanisme
Catatan Pinggir 11 xvii
http://facebook.com/indonesiapustaka CATATAN SI PEJALAN
universal dipengaruhi oleh gagalnya politik berbasis ideologi
yang ia saksikan, seperti komunisme yang muncul dengan
semangat pembebasan tapi dalam prakteknya—seperti Pol Pot
di Kamboja—justru berakhir dengan ”agenda pembantaian”
(214). Politik berbasis ideologi, perbedaan, dan identitas
menciptakan jarak antara ”kami” dan ”liyan”; ketika jarak
makin lebar, penguata n kelompok dapat berujung pada
penyingkiran sang liyan: ”liyan yang hadir di ruang kita adalah
musuh kita. Humanism euniversal harus ditampik” (214).
Pengalaman saya sebagai seorang pejalan, yang turut
membentuk hasrat dan nilai kosmopolitan, membuat saya
lebih memahami kedekatan gagasan antara kosmopolitanisme
dan humanisme universal dalam hal penolakan terhadap
cara pandang berbangsa, beragama, dan berbudaya yang
sempit. Namun perjalanan dan perpindahan dari satu negara
ke negara lain tak menjamin kemerdekaan individu di dunia
tanpa batas. Sebaliknya, semakin sering saya berpindah,
semakin dekat saya—seorang perempuan kulit berwarna dari
dunia ketiga—dengan batas, tembok, dan pagar. Masalah
dari gagasan human isme universal adalah bahwa ia cenderung
menetralisasi perbedaan, hubungan kuasa, dan hierarki dalam
keterhubungan. Pada kenyataannya, globalisasi dan batas
tidak bertentangan; di dunia yang makin terbuka, pagar itu
justru makin nyata. Tak semua orang bisa melompatinya. Dan,
seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini dari Brexit ataupun
kemenangan Trump, pagar dianggap banyak kalangan sebagai
jalan keluar.
Dunia masih beroperasi dengan cara yang sama; margina
lisasi, penyingkiran, dan dehumanisasi berdasarkan identitas
xviii Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka CATATAN SI PEJALAN
tertentu masih terjadi. Pertanyaannya: apakah dunia yang
lebih terbuka dan setara haruslah sebuah dunia tanpa degradasi
warna? Goenawan Mohamad sendiri menyadari bahwa yang
univ ersal kerap merupakan hasil tafsir kelompok tertentu
(145), tapi sebagian esainya juga menyiratkan dikotomi antara
hum anisme universal, paradigma yang berbasis kesamaan
serta keterbukaan, dan paradigma di seberang sana, yang
ditandai oleh partikularitas, pemisahan, dan pengukuhan
identitas (”kami”—yang dengan demikian menciptakan
”liyan”). Label, dalam sudut pandang Goenawan, cenderung
mengurung manusia (257). Namun apakah politik identitas
dengan sendirinya bersifat mengurung dan anti-keterbukaan?
Membaca Catatan Pinggir sebagai seorang feminis
mungkin bisa memberi perspektif lain di sini. Buat seorang
perempua n dunia ketiga yang tinggal di ”Barat”, label adalah
pengingat.Ia mengingatkan kita bahwa tidak ada penindasan
yang universal. Diskriminasi yang dialami perempuan kulit
putih kelas menengah tak sama dengan penindasan yang
dialamiperemp uan kulit hitam kelas bawah. Ketika feminis
gelombang ked uayang mayoritas heteroseksual, kulit putih,
dan kelas menengah membawa bendera ”perempuan”
yang universal, label sep erti ”feminisme kulit hitam” atau
”feminisme dunia ketiga” memperumit sekaligus memperkaya
gerakan feminisme lewat seb uah kritik: sangkar yang
mengurung kita tidak sama. Di era neoliberalisme yang
diikuti oleh migrasi dan paranoia, oleh tembok yang runtuh
dan terus diperkukuh, kita perlu menemukan cara baru untuk
merumuskan hubungan universal dan yang partikular dengan
menimbang tegangan yang muncul.
Catatan Pinggir 11 xix
http://facebook.com/indonesiapustaka CATATAN SI PEJALAN
Pemantik Dialog
Esai-esai Goenawan Mohamad membawa kita turut
serta dalam penjelajahannya sebagai seorang pejalan yang
mengunjungi dan merenungi beragam pengalaman dan
wacana. Dalam perjalanan itu, kita terus diingatkan: rekan
kita tidak memaksakan satu pandangan tertentu. Esai-
esainya memantik posisi tak setuju, percakapan, pertanyaan
lebih lanjut. Kita mungkin akan berpisah di tengah jalan, tapi
perpisahan itu, say a kira, perlu dilakukan dengan penuh rasa
hormat. Catatan Pinggir adalah upaya penting menyiasati kota
yang bergegas. Ia menawarkan ruang berteduh di dunia digital
yang diibaratkan Goenawan sebagai ”peluru”: cepat, efektif,
tapi tak menjanjikan kesempatan bertukar pikiran.
xx Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 11 2013
1
http://facebook.com/indonesiapustaka
2 Catatan Pinggir 11
HERODES
http://facebook.com/indonesiapustaka BANYAK sekali yang dikatakan di hari Natal, tentang
Natal, dan begitu banyak nasihat dan petuah yang aus.
Maka kita harus berterima kasih kepada W.H. Auden. Atau
kepada puisi.
Di tahun 1942, semasa Perang Dunia II yang menakutkan,
Auden menulis sebuah sajak panjang, 1.500 baris, sebuah
oratorio Natal, For the Time Being. Bukan sebuah khotbah.
Tapi justru di dalamnya berpendar kembali apa yang religius—
yang sebelumnya tertimbun di bawah ajaran yang kering.
Bagi Auden, Natal bukan cuma ritual akhir Desember.
Natal adalah pengingat bahwa di satu celah dari hidup yang
banal,di antara laku yang sepele dan tak istimewa—membayar
tagihan, memperbaiki alat yang rusak, menghafal kata yang
sulit— ada saat yang menyadarkan kita bahwa mukjizat
telah terjadi, yakni hidup itu sendiri. Di saat itu yang rutin
menemukan pesonanya kembali.
Menebus kembali pesona yang hilang dari kata sehari-
hari— itulah ikhtiar puisi. Khotbah dan petuah tak berniat
untuk itu. Bagi para imam, yang penting hanya yang abadi,
yang berdosa, dan yang kelak di alam baka. Bagi mereka, detik
dan jam— juga hari dan bulan suci yang datang tiap tahun—
tak akan mengubah desain kehidupan.
Para pemimpin umat menjadikan hari suci sebagai hari
konsolidasi: di depan mimbar, para penganut dikumpulkan
kemb ali dan ditata. Untuk itu institusi harus punya pegangan
Catatan Pinggir 11 3
http://facebook.com/indonesiapustaka HERODES
yang ajek. Yang rutin dan klise penting. Ketika umat dikiaskan
sebagai ”gembala”, mereka diharapkan untuk mengikut, me
nyatu stabil dalam penanda yang sama. Repetisi dibutuhkan
bua t menghindari chaos. Bahasa untuk ”gembala” harus tak
beru bah-ubah mengejutkan.
Puisi justru hidup dengan merayakan yang mengejutkan
dan tak tersangka-sangka. Ia perlawanan terhadap klise dan
sebab itu ia anti-khotbah. Juga ketika berbicara tentang Tuhan
dan kebajikan. Sang penyair, seperti Auden, tak menulis seba
gaiseorang penggembala yang menggiring ternak ke sebuah
kand ang yang aman.
Bagi Auden bahkan Tuhan bukan ”jalan” yang lazim.
Mengikuti-Nya akan sampai ke tempat yang tak terduga:
He is the Way.
Follow Him through the Land of Unlikeness;
You will see rare beasts, and have unique adventures.
Dalam sajak ini, jalan Tuhan memasuki wilayah yang terba
ngun dari hal-hal yang tak bermiripan, bukan itu-itu saja. Di
san a kita akan bersua dengan ”hewan-hewan yang tak lazim”
dan masuk ke dalam ”petualangan yang unik”. Mengikuti jalan
ini adalah mengikuti Tuhan yang membebaskan manusiadari
ruang tertutupnya sendiri. Manusia dan semesta jadi ”Engk au”
(You), bukan cuma ”itu” (it).
Tentu, kebebasan itu mencemaskan mereka yang meng
anjurkan umat bertahan, bersiap tertib di dalam wilayah yang
sudah pasti.
Para penganjur itu bisa keras. Dalam sastra Jawa, personifi
4 Catatan Pinggir 11
HERODES
http://facebook.com/indonesiapustaka kasinya adalah Sunan Kudus. Wali Islam di abad ke-16 inilah
yang menghabisi nyawa Syekh Siti Jenar yang ”Islam”-nya
memb ingungkan. Ia juga yang disebut memimpin hukum
bakar Malang Sumirang, seorang sufi yang nakal.
Dalam sastra Eropa, tokoh Penjaga Tertib itu Sang Inkuisitor
Agung dalam novel Karamazov Bersaudara Dostoyevski. Dia
lah yang mengusut iman orang dan membakar orang itu hi
dup-hidup bila imannya dianggap palsu atau bengkok. Ia tak
percaya cinta kasih, karena cinta kasih terlalu mempercayai
manusia dan meletakkannya dalam kebebasan. Pejabat Gereja
ini menyalahkan Yesus. Manusia, katanya, tak seperti yang Tu
an harapkan: mereka ”tak dapat bebas, karena mereka lemah,
jahat, tak bermutu, dan pembangkang”.
Dalam sajak Auden, kita bertemu dengan Herodes. Menurut
Injil, raja ini berusaha mencegah kelahiran bayi Yesus dengan
membunuh tiap anak yang berumur dua tahun ke bawah di
Bethlehem dan sekitarnya. Dalam For the Time Being, ia tam
pak lain. Ia seseorang yang cemas akan hilangnya ”Hukum
Rasional”. Tanpa hukum ini, ia takut, ”Pengetahuan akan
merosot ke dalam kacau-balaunya pandangan-pandangan
subyektif.”
Bagi Herodes, sang raja, itulah anarki. Anarki itu akan da
tang bersama suara yang menegaskan bahwa cinta kasih adalah
dasar hidup antarsesama. Dengan itu akan terbangun hubung
an horizontal yang lurus setara: sebuah dunia yang bukan saja
tanp a Hukum Rasional, tapi juga tanpa struktur: ”Aristokrasi
Baru akan terdiri hanya atas para pertapa, gelandangan, dan
orang cacat permanen.”
Herodes memperingatkan kita, sebab ia tahu apa arti ke
Catatan Pinggir 11 5
http://facebook.com/indonesiapustaka HERODES
kuasaan, apa fungsi struktur, hierarki, dan hegemoni. Ia akan
menampik demokrasi, apalagi demokrasi yang radikal dalam
multitudes.
Seperti Sang Inkuisitor Agung yang menyesali Yesus,
Herodestak mengakui cinta kasih sebagai esensi kehidupan
bersam a. Kehidupan justru antagonisme dan persaingan.
Selalu ada yang kalah, ada yang takluk. Hubungan cinta kasih
hanya membuat keadaan mandek: tanpa dialektik. Hubungan
horizontal tanpa hierarki juga tak akan berkeadilan, cuma belas
kasihan—sebab orang yang salah tak akan dihukum, karena
tak ada aturan yang keras, karena tak ada takhta kehakiman.
Justice will be replaced by Pity as the cardinal human virtue, and
all fear of retribution will vanish....
Herodes: sungguh persuasif. Kita pun risau bila ternyata
ia benar bahwa manusia harus punya doktrin, hierarki, dan
struktur, selalu perlu khotbah, klise, konsolidasi ideologis, dan
pengukuhan kekuatan. Jangan-jangan manusia selalu punya
(dan perlu) musuh.
Tapi benarkah kata ”harus” dan ”selalu” itu? Kini abad
ke-21;saya tak bisa melihat hidup dari atas dengan teropong
sebuah ide—dan menyimpulkan esensi hidup adalah cinta
kasih atau sebaliknya, antagonisme. Hidup bergerak dalam
jutaan ”petualangan yang unik”. Ia tak bisa jadi satu thesis. Di
bumi inisejarah adalah proses yang serba mungkin, berubah,
berbeda. The Land of Unlikeness.
TEMPO, 6 Januari 2013
6 Catatan Pinggir 11
MITHOS
”Jackie Chan is a myth.”
—Jackie Chan
http://facebook.com/indonesiapustaka TAPI Jackie Chan bernapas. Ia makan, tidur, tersenyum,
berak, lari, berakting, melakukan loncatan akrobatik,
dan menikmati seks. Tapi seperti kebanyakan orang dengan
kemasyhuran tertentu, ia punya bayang-bayang. Hampir tiap
saa t bayang-bayang ini, dalam bentuk Jackie Chan tapi dengan
ukura n yang kadang lebih besar, berada rapat di belakangnya.
Atau di depannya.
Yang membuat bayang-bayang itu hadir tentulah ulah dan
kerja Jackie Chan sendiri; jangan dilupakan: itu bagian esensial
dunia film. Namun lebih penting lagi si bayang-bayang ada di
sana karena orang lain, baik pengagum maupun pencerca, te
lah memproduksinya—sebagai ikhtiar ”menangkap” Jackie
Chan yang senantiasa luput dari definisi.
Yang istimewa dari diri tokoh ini (atau bayang-bayangnya,
atau citranya) adalah geraknya yang cekatan, kelenturannya
untuk lepas dari perangkap, sikapnya yang sedikit bego dan se
dikit bermain-main, tapi tahan banting dan menunjukkan da
ya tahan yang luar biasa.
Tentu bukan karena itu ia mengatakan dirinya ”sebuah mi
thos”. Tapi bagaimanapun, satu sisi mithos adalah ”gerak”:
sebuah mithos, seperti Jackie Chan dalam film, tak pernah ter
pacak mandek. Itu sebabnya, seperti saya katakan tadi, ia sela
Catatan Pinggir 11 7
http://facebook.com/indonesiapustaka MITHOS
lu luput untuk disimpulkan. Sebuah mithos tak pernah jadi
sumber kebenaran yang sudah tak bisa diubah, terpaku di luar
waktu. ”Kebenaran” sebuah mithos bukanlah cocoknya secara
pen uh antara ”dongeng” dan ”fakta”; bobot naratifnya meng
apungdari satu pengalaman ke pengalaman lain manusia.
Tapi justru dengan demikian mithos tak terpisah dari kehi
dupan sehari-hari. Ketika Marlene Dietrich, bertentangan de
ngan Jackie Chan, mengatakan bahwa ia bukan mithos, ia be
nar dan juga keliru. Seperti banyak orang, ia mengira lawan
dari mithos adalah kehidupan nyata. Tapi ia lupa, yang ”nyata”
selamanya tampak dalam gerhana, dengan penumbra—terang
yang juga menunjukkan tak seluruhnya terungkap, seperti
Marlene sendiri dalam Blue Angel.
Di waktu kecil, saya pernah melintasi Pegunungan Dieng,
Jawa Tengah. Plateau yang merupakan lantai kaldera 2.000 me
ter di atas permukaan laut itu sejak tiga milenia yang lalu agak
nya sudah memancarkan aura yang tak lazim. Nama ”Dieng”
berasal dari kata ”di Hyang”, tempat Dewa bersemayam. Sia
pa yang pernah mengunjungi tanah tinggi ini akan melihatde
lapan candi Hindu berukuran kecil berderet. Tapi waktu itu
saya percaya—seperti juga orang yang menemani saya perca
ya—bahwa jumlahnya hanya lima. Dikatakan bahwa kelima
bangunan itu adalah ruang tempat lima kesatria Pandawa
dari kisah Mahabharata datang bersemadi di malam-malam
tertentu, merenungkan dosa mereka dalam perang dan
kekuasaan.
Setelah dewasa, saya menertawai dongeng itu. Para arkeolog
menegaskan candi-candi kecil yang dibangun sekitar tahun
750 itu adalah delapan konstruksi yang semula berjumlah 400,
8 Catatan Pinggir 11
MITHOS
http://facebook.com/indonesiapustaka did irikan untuk memuja Shiva. Ada ukiran topeng muka jahat
dan gergasi laut pada arsitektur itu, yang mungkin merintis ke
indahan Prambanan hampir 200 tahun kemudian. Tak ada
tanda-tanda cerita Mahabharata.
Tapi Mahabharata, di daerah masa kecil itu, bukan sekadar
seb uah epos. Meskipun penduduk umumnya muslim, nama
para dewa Hindu, para kesatria yang baik dan berani dalam
wiracarita itu, juga para sosok jahat, hidup dalam laku dan
bahasasehari-hari. Jarang sekali ada pertunjukan wayang kulit
yang mementaskan adegan perang terakhir keluarga Bharata
itu, di man a orang-orang besar dikisahkan gugur dalam
kemuliaan ataupun kekejian. Bagi penduduk desa yang saya
kenal, lakon pertempuran dahsyat itu harus disertai upacara
yang khidmat. Orang takut akan sesuatu yang mungkin
menghadang di hari esok, jangan-jangan imbas kekerasan,
dukacita, dan kesiasiaan Bharatayudha.
Sekitar akhir tahun 1960-an ada sebuah pementasan wa
yang kulit sebulan penuh yang menampilkan riwayat para
Pand awa dan Kurawa sejak mereka muda belia sampai dengan
saat mereka tewas di dalam dan setelah pertempuran. Di ujung
pementasan itu satu upacara menyusul: jasad Sengkuni (yang
tak lain adalah bentuk yang diukir dari kulit kerbau) diangkut
ke Lautan Hindia untuk dilarung. Sengkuni adalah tokoh pa
lingkeji dalam lakon. Ia sudah terbunuh. Ia harus dibuang dan
tak boleh kembali ke kehidupan.
Tampak, mithos bukan cuma sebuah fantasi, melainkan ba
gian kehidupan yang menjawab hasrat manusia melampaui ke
terbatasan dan kegelapan. Mithos, kata Karen Armstrong, me
natap ke dalam ”jantung sebuah kebisuan agung”, the heart of
Catatan Pinggir 11 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MITHOS
a great silence. Kebisuan tentang datang dan hilangnya rasa ba
hagia dan murung, kebisuan tentang sangkan paraning duma
di, asal dan arah dari semua yang terjadi dan menjadi.
Menatap ke dalam kebisuan itu, manusia merasa menda
patkan sesuatu: sebuah pengalaman yang tak terkatakan.
Di gua-gua manusia Neanderthal ditemukan kubur dengan
kerangka tub uh yang terletak seperti fetus dalam kandungan.
Konon itu ungk apan pengalaman mereka tentang teka-teki
kematian dan ketakjuban kelahiran. Apa pun arti gambar-
gambar hewan di gua-gua Lascaux yang berumur 17.300
tahun itu, mereka tampak mencoba menangkap kembali
apa yang mempesona dalam hidup dari musim ke musim.
Manusia adalah makhluk yang terpesona dan mengutarakan
keterpesonaannya. Dari situ juga lahir mithos.
Sekian puluh milenia kemudian—di masa Jackie Chan—
keterpesonaan itu ternyata tak berakhir. Juga rasa takjub dan
gentar kepada kebisuan agung. Ada yang menyangka ilmu
& teknologi telah menghapusnya sebagaimana mereka kelak
akan mengalahkan agama. Tapi, seperti Jackie Chan dalam
film, mithos bergerak terus, memberi arti kepada hidup yang
tak seluruhnya jelas.
TEMPO, 13 Januari 2013
10 Catatan Pinggir 11
KACUKAN
http://facebook.com/indonesiapustaka TERSEBUTLAH Hang Tuah; ia diusir dari kerajaan.
Sultan Malaka percaya kepada fitnah bahwa sang
laksamana telah berselingkuh dengan perempuan-perempuan
Istana. Dengan murka yang bagai api ia menitahkan agar Tuah
disingkirkan: ”Segera buangkan, aku tahukan matinya!”
Adegan Hikayat Hang Tuah ini jadi pangkal telaah yang
men arik oleh Henk Maier, pakar sastra Melayu klasik, yang di
muat dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde,
Riau in transition 153 (1997).
Maier menunjukkan, titah Sultan itu tak jelas sebenarnya:
diu sirkah Tuah? Atau dihukum mati? Dalam ambiguitas itu
(satu hal yang akan tampak lagi dalam bagian berikutnya),
laksam ana itu akhirnya tak dibunuh. Ia malah mendapatkan
sebuah kapal. Ia berlayar ke Indrapura.
Ia ke sana untuk membujuk Tun Teja, si jelita putri Perdana
Menteri, agar mau dipersunting Sultan Malaka. Hang Tuah
ingin mengambil hati baginda kembali; sudah lama yang
dipertuan itu mendambakan Tun Teja, tapi selalu ditampik.
Gadis itu memang teguh. Sekali lagi ia menolak lamaran
laksamana Malaka itu. Maka Hang Tuah pun memilih lang
kahdiplomatis. Pelan-pelan ia membuat dirinya makin dikenal
di Istana.
Syahdan, suatu hari Tun Jenal, abang si jelita, mengundang
nya ke perhelatan untuk menghormatinya. Para biduan me
nyambutnya dan bertanya, akankah tamu agung itu berkenan
Catatan Pinggir 11 11
http://facebook.com/indonesiapustaka KACUKAN
den gan ragam musik Indrapura yang hendak dimainkan.
Mereka ragu ”karena ragam orang Indrapura bukan Melayu”.
Walau para biduan itu Melayu, mereka bukan ”Melayu Melaka
sungg uh”. Mereka ”kacukan”. Mereka hibrid.
Hang Tuah tersenyum sopan, menjawab bahwa ia, yang
datang dari Malaka, juga bukan ”Melayu” dalam arti yang
murni. Ia juga ”kacukan”. ”Orang Melaka gerangan Melayu
kacukan,bercampur dengan Jawa Majapahit!” sahutnya.
Sebagaimana dilihat Maier, di sini ada permainan bahasa
yang tak bisa begitu saja selesai diartikan. Ambiguitas muncul
di tiap frasa. Kita tak dengan serta-merta dapat menyimpulkan
apa arti ”Melayu” di sana. Adakah ”Melayu sungguh” sebenar
nyanisbi? Tidakkah itu selamanya tak murni? Bermaksudkah
Hang Tuah menunjukkan bahwa orang Malaka, di pusat ke-
Melayu-an saat itu, justru punya unsur lain, yakni ”Jawa Maja
pahit”? Dengan kata lain, ”Melayu kacukan” tak lain adalah
”Melayu sungguh”?
Tak ada konklusi. Tapi di adegan berikutnya dikotomi anta
ra ”kacukan” dan ”sungguh” itu dicairkan—atau ditunda.Saat
men ari tiba. Hang Tuah dipersilakan. Laksamana Malaka ini
dengan merendah mengatakan ia tak pandai menari karena—
ia kembali berkata—ia bukan Melayu sungguh. Mendengar
itu, si tuan rumah, Tun Jenal, menyahut: ”Kita bermain adik-
beradik; hendaklah jangan menaruh syak di hati.”
Seperti ditunjukkan Maier, ”bermain adik-beradik” bisa
bera rti ”berpura-pura bersaudara kandung”. Bisa juga berarti
”Kita bermain, adik-beradik”: persaudaraan itu telah terjadi
dan sebab itu mereka bisa sewajarnya menari bersama. Yang
penting adalah tak ada ”syak di hati”.
12 Catatan Pinggir 11
KACUKAN
http://facebook.com/indonesiapustaka Dalam kisah Hang Tuah ini, apa arti ”Melayu”, apa pula
arti identitas etnis atau budaya yang murni, pada akhirnya
memang cair, ketika hubungan antarmanusia tumbuh dalam
suasana tanpa syak wasangka.
Maka membaca Hikayat Hang Tuah, kata Maier, kita
seperti selalu disarankan ke arah sebuah arti ke-Melayu-an:
menjadi ”Melayu” berarti mengandung hasrat menciptakan
rasa kebersamaan, keinginan untuk persaudaraan di antara
manusia-manusia konkret, bukan patuh buta kepada
seperangkat konvensi yang abstrak—atau kepada keyakinan
akan adanya ”satu identitas pribadi yang stabil”.
Bagi Maier, thema Hikayat Hang Tuah adalah hasrat
memp ercayai ”liyan” dan dorongan untuk membaur dengan
”liyan”.Tokoh utamanya sendiri menggambarkan itu: sebagai
seorang anak muda Hang Tuah berbicara dalam 12 bahasa,
mengabdikep ada Sultan Malaka, tapi mengembara di tujuh
samudra tanp a repot dengan persoalan apakah dia ”asli” atau
tidak. Di zaman hikayat itu, pengertian ”Melayu” tak mengan
dung ”bobot eksklusivitas”.
Tapi datang abad baru. Hari-hari ini ”Melayu” (dan tak cu
ma”Melayu”, tapi juga misalnya ”Minang”) justru identitas
yang berhenti merantau. Ia jadi penanda ”kaum” yang
seakan-akan homogen dan tak bergerak karena diasumsikan
tak berubah.Ia jadi sebuah identitas etnis atau budaya yang
dibayangkan telah jadi hakikat yang kekal.
Orang tak mempersoalkan lagi adakah ”hakikat yang ke
kal” itu. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan sebuah ”iden
titas etnis” atau ”budaya”? Sering itu semua dikaitkan dengan
pengertian ”kaum” atau ”suku” atau ”ras”, tapi orang lupa, atau
Catatan Pinggir 11 13
http://facebook.com/indonesiapustaka KACUKAN
tak tahu, bahwa pengertian-pengertian itu guyah dan proble
matis.
Di sebuah kuliah umum tahun 1994, dengan judul Race,
Culture, Identity: Misunderstood Connections, K. Anthony
Appiah menguraikan dengan mendalam bagaimana
pengertian ”ras” muncul dalam sejarah—dan bagaimana
sebenarnya yang disebut ”ras” itu tak pernah ada. Tapi ia
melihat identitas ”etno-rasial” tak henti-hentinya dibicarakan,
bahkan jadi fokus dalam hubungan antarmanusia. Maka
akhirnya yang ”etno-rasial” itu jadi ”imperialisme identitas”,
yang membuat pelbagai identitas lain dalam diri orang seorang
tenggelam hingga manusia pun seakan-akan hanya terdiri atas
ras-ras: cokelat, putih, hitam, atau kuning....
Memang, orang di sana-sini butuh bertopang pada identi
tas. Tapi, kata Appiah, identitas itu harus disadari sebagai pe
nuh retakan dan tak ada dasarnya yang kekal. Dengan itu kita
bisa ”mempraktekkan ironi” antara ”sungguh” dan ”kacukan”.
Mem akai saran Tun Jenal: kita ”bermain”.
Dan itulah yang dilakukan Hang Tuah di tengah para
biduanIndrapura. Ia menari. Ia bergerak. Tak canggung.
TEMPO, 20 Januari 2013
14 Catatan Pinggir 11
BANJIR
http://facebook.com/indonesiapustaka BANJIR yang meluluhlantakkan hidup disebut berkali-
kali dalam pelbagai cerita purba, baik di Mesopotamia
maup un Yunani.
Juga dalam Mahabharata:
Anak-cucu Adamis dan Hevas dengan segera jadi begitu
jahat hingga mereka tak dapat lagi hidup rukun. Brahma
pun memutuskan untuk menghukum ciptaannya. Vishnu
memerintahkan Vaivasvata membangun sebuah kapal untuk
dirinya sendiri dan keluarganya. Ketika kapal itu siap, dan
Vaivasvata dan keluarganya ada di dalam dengan benih tiap
tanaman dan pasangan jantan-betina tiap jenis hewan, hujan
besar pun turun dan sungai-sun gai mulai meluap.
Dengan cepat akan terlihat persamaan nama antara Maha
bharata dan yang kita dapatkan dalam agama-agama Ibrahimi:
”Adamis” dengan ”Adam”, ”Hevas” dengan ”Hawa”. Juga na
ma anak-anak yang lahir dari Satyavarman setelah banjirbesar
dalam Matsya Purana mirip dengan keturunan Nuh yangdi
sebut Alkitab: ”Shem”, ”Sham”, dan ”Jyapeti” dekat sekali bu
nyinya dengan ”Shem”, ”Ham”, dan ”Japhet” (dalam Qura n:
”Yafith”).
Saya tak bisa memastikan adakah itu indikasi bahwa kitab-
kitab Hindu lama punya pengaruh ke dalam agama Ibrahimi.
Setidaknya bisa dikatakan: ada persamaan yang membayang-
bayangi di celah-celah perbedaan di antara pelbagai agama itu.
Teru tama kisah tentang banjir besar.
Catatan Pinggir 11 15
http://facebook.com/indonesiapustaka BANJIR
Air yang melanda secara destruktif itu adalah sebuah hu
kuman, dan bahtera yang dinaiki Vaivasvata atau Nuh adalah
seb uah garis pemisah dalam seleksi. Seperti dalam Mahabha
rata, dalam Quran disebutkan mereka yang zalim tak akan
diangkut, sedangkan mereka yang mukmin, atau yang jauh
dari kejahatan, akan selamat.
Dan sebuah transformasi terjadi: dunia lama tak bisa
dipertahankan dan dunia baru lahir. Yang fasik binasa.
Meskipun den gan catatan: tak semua yang selamat adalah
makhluk yang sam a sekali baru. Mereka yang berkembang
biak pascabanjir tetap segaris dengan mereka yang datang
dari dunia lama. Mereka telah melalui ujian, tapi mereka juga
manusia yang terbatas.
Thema tentang banjir yang membawa transformasi dalam
keterbatasan itu bisa didapatkan juga dalam Epik Gilgamesh.
Meskipun tanpa argumen tentang dosa dan hukuman.
Cerita yang versi standarnya berasal dari 1.000 tahun
sebelum Masehi ini kisah Gilgamesh, raja yang bertakhta di
Uruk, kota di tepi timur Sungai Eufrat.
Gilgamesh dua pertiga dewa dan sepertiga manusia. De
ngankombinasi itu ia bukan sosok yang stabil. Di satu sisi ia
angkuh bukan main. Dengan kekuasaannya yang mutlak dan
tubuhnya yang kuat serta ganas ia rebut semua bocah dari ayah
mereka dan ia renggutkan pula tiap anak perawan dari kekasih
mereka. Tapi di sisi lain ia juga gembala dan penghulu kota
yang arif, rupawan, dan teguh hati.
Tak merasa tenteram menghadapi sosok macam itu, orang-
orang Uruk memohon kepada para dewa agar didatangkan
orang yang sepadan buat menandingi Gilgamesh. Maka
16 Catatan Pinggir 11
BANJIR
http://facebook.com/indonesiapustaka diciptakanlah Enkidu. Ia kasar-kukuh, rambutnya panjang
terurai seperti rambut dewi jagung; tubuhnya penuh rambut
seperti dewa ternak. Tapi segera setelah perkelahian mereka
yang pertama, alih-alih membenci, sang Raja jatuh sayang
kepada Enkidu.
Mereka jadi sangat akrab, hingga ketika Enkidu meninggal
karena sakit, Gilgamesh meraung selama tujuh hari. Tiba-tiba
ia jadi takut Maut. Ia lupa Enkidu pernah bercerita bahwa de
wa agung telah berpesan lewat mimpi: Jangan sedih. Hidup
abadi bukanlah takdirnya. Toh, para dewa telah memberinya
kekuatan melepas dan mengikat, jadi gelap dan jadi terang ba
gi manusia....
Gilgamesh lupa itu; ia pergi mencari Utnapishtam, ”Sang
Nun Jauh”. Untuk itu ia harus minta Urshanabi, tukang pera
hu tambang, membawanya ke Dilmun, tempat Utnapishtam
tingg al. Orang inilah yang, setelah menempuh banjir yang
destruktif, berubah jadi makhluk abadi.
Di depan orang tua itu Gilgamesh bertanya: apa arti hidup
dan mati? Bagaimana ia menemukan keabadian yang ia cari?
Utnapishtam tak segera menjawab. Tapi akhirnya diceri
takannya juga pengalamannya melintasi air bah yang me
ngerikan yang dibikin para dewa itu.
Dalam Epik Gilgamesh, amarah para dewa bukan karena
man usia telah berdosa. Yang terjadi hanya rasa sesak di
Shurrupak. Di kota yang jadi tua bersama dewa-dewanya itu,
ruang hidup penuh, manusia bising. Ini membuat Aru, bapak
para dew a, jengkel. Ia perintahkan agar Enlil, dewa bumi yang
tak men yukai manusia, membasmi makhluk yang ribut itu.
Banjir pun disiapkan.
Catatan Pinggir 11 17
http://facebook.com/indonesiapustaka BANJIR
Tapi beruntung Utnapishtam. Di malam harinya Ea, dewi air
jernih yang menyayangi manusia, membisikkan satu perintah
dalam mimpi: buatlah perahu. Maka ketika banjir datang de
ngan angin gemuruh selama enam hari enam malam—hing
ga bahkan para dewa ikut ketakutan—Utnapishtam telah
siap dalam bahtera. Ia telah memunggah seluruh keluarganya,
barang berharga, dan satwa yang dimilikinya. Dan setelah
sepekan terhanyut, kapal itu menyangkut ke pucuk gunung. Ia
turun. Ia selamat. Bukan itu saja: Enlil datang kepadanya dan
kep ada istrinya dan menyatakan mereka abadi.
Dapatkah keabadian itu ditularkan? Begitu selesai bercerita,
orang tua itu memberi kesempatan Gilgamesh. Untuk
mencapai hidup kekal, lelaki dari Uruk itu harus bertahan tak
tidur selama enam hari tujuh malam.
Tapi Gilgamesh gagal. Ketika Utnapishtam memberinya sa
tu kesempatan lagi—ia harus mengambil sekuntum kembang
di bawah perahu yang dinaikinya pulang—ia juga gagal.
Bungayang seharusnya ia makan itu dicuri ular.
Gilgamesh akhirnya tahu, keabadian itu luput. Ia pun
kembali ke Uruk bersama Urshanabi. Menjelang masuk kota,
ia tunjukkan kepada tukang perahu itu betapa kokoh semua
yang dibangunnya. Di saat itu ia tampaknya menyadari: yang
fana bukan yang sia-sia.
TEMPO, 27 Januari 2013
18 Catatan Pinggir 11
PROMETHEUS
http://facebook.com/indonesiapustaka PADA umur 26 tahun, anak baik itu, Aaron Swartz,
menggantung diri. Diduga ia ketakutan. Kejaksaan
mengancamnya dengan hukuman berat. Jumat 11 Januari
yang lalu tubuhnya ditemukan tak bernyawa di apartemennya
di Brooklyn, New York.
Yang tak disangka-sangka—mungkin juga oleh Aaron sen
diri—ialah bahwa suara kehilangan bergema di mana-mana,
juga di Indonesia, terutama di dunia pengguna Internet.
Upacara pemakamannya di Central Avenue Synagogue
di Highland Park, Chicago, diiringi tangis dan ucapan
penghormatan yang tak mudah dilupakan.
”Aaron meninggal,” kata Tim Berners-Lee, penemu World
Wid e Web. ”Para pengelana dunia, kita telah kehilangan se
orang sesepuh yang bijaksana.... Para orang tua, kita telah kehi
langan seorang anak. Kita pantas menangis.”
Seorang anak dan sekaligus sesepuh, pada usia 26—agak
nya itu kombinasi yang tak mudah dipahami, terutama bila di
kaitkan dengan tuduhan kriminal terhadapnya. Terutama bila
orang tak tahu bahwa jenius ini, pelopor ini, pejuang kemerde
kaan arus informasi ini, adalah seorang pengubah dunia.
Terutam a dunia tempat kapitalisme dielu-elukan, dan hidup,
”being”, ditenggelamkan ”milik”, ”having”—khususnya
yang diseb ut Erich Fromm sebagai ”hasrat bergelora untuk
menyimpan dan mempertahankan”.
”Aaron sangat, sangat ingin mengubah dunia,” Taren
Catatan Pinggir 11 19
http://facebook.com/indonesiapustaka PROMETHEUS
Stinebrickner-Kauffman, kekasihnya, berkata sambil menahan
tan gisdi dekat jenazah. ”Ia inginkan itu lebih dari uang. Ia
ingink an itu lebih dari kemasyhuran.”
Gadis itu tak berlebihan. Empat tahun yang lalu Aaron
menyusun sebuah manifesto yang menegaskan pandangannya:
informasi, terutama informasi ilmu pengetahuan, tak boleh
dikungkungi buat segelintir orang, khususnya di perpustakaan
kalangan akademia di negeri-negeri kaya. ”Menyediakan kar
yailmiah bagi universitas-universitas elite di Dunia Pertama,
tapi tidak untuk anak-anak di Dunia Selatan? Itu sama sekali
takpantas dan tak dapat diterima.”
Ia pun berseru: mereka yang punya akses ke sumber-sumber
informasi—mahasiswa, pustakawan, ilmuwan—harus me
nyad ari: itu sebuah privilese. ”Kalian dapat melahap jamuan
pen getahuan itu, sementara dunia di luar tak bisa masuk.”
Seb ag ai keharusan moral, kata Aaron, ”Kalian tak dapat
mengeloni privilese itu untuk diri sendiri. Kalian berkewajiban
membaginya kepada dunia.”
Aaron tak cuma berseru. Pada umur 15, ketika masih
seperti bocah agak gendut dengan kepala kegedean, ia sudah
membantu mengembangkan Creative Commons, organisasi
nirlaba yang membentuk sistem yang melonggarkan
ketentuan hak cipta antarseniman. Ia juga pernah memimpin
pembangunan Open Library, yang hendak memberikan akses
informasi tentang tiap buku yang diterbitkan.
Pada umur 25, ia berhasil menggerakkan puluhan juta
pengguna Internet untuk menggagalkan undang-undang
SOPA di Senat Amerika Serikat. Undang-undang ini di
maksudkan menjaga ”hak cipta” industri kreatif Amerika
20 Catatan Pinggir 11
PROMETHEUS
http://facebook.com/indonesiapustaka dari ”pembajakan”, tapi pada akhirnya bisa menghilangkan
kemerdekaan mend apatkan informasi—karena informasi itu
(yang disebut Aaron Swartz sebagai ”kebudayaan publik”)
akan tak bisa dib agi ke orang banyak.
Gerakan anti-SOPA itu berhasil.
Tapi ia tahu, ada yang tak akan berhenti: mereka yang
”buta oleh keserakahan”—perusahaan-perusahaan besar
dunia hiburan, film dan musik, seperti yang bertakhta di
Hollywood....
Dan tak hanya itu. Keserakahan juga bisa tampil dalam
bentuk yang lebih halus: kesadaran yang berlebih tentang
”milik”.
Di minggu pertama Januari 2011, Aaron ditangkap karena
ketahuan mengunduh 4 juta dokumen dari khazanah karya
ilmiah yang disimpan JSTOR, perpustakaan digital terkenal
itu. Ia menggunakan jaringan Massachusetts Institute of
Technology melalui sebuah laptop yang disembunyikannya
di lantai dasar Gedung 16. Ia bermaksud membagikan karya-
karya ilmiah itu ke siapa saja yang butuh tapi tak punya akses.
Ia menentang kebijakan JSTOR yang membayar penerbit dan
bukan penulis karya yang disimpannya bila karya itu diunduh.
Kantor kejaksaan di Boston—alat negara penjaga hak milik
prib adi—menuduh tindakannya sebagai kejahatan ( felony).
Ada 13 jenis, katanya. Ancaman hukumannya bisa sampai 50
tahun penjara dan denda US$ 4 juta.
Pihak JSTOR sendiri tak jadi menuntut; mereka tahu Aaron
tak menggunakan barang yang diambilnya buat keuntung
an sendiri; lagi pula ia mengembalikannya. Tapi kejaksaan tak
berhenti mengejar.
Catatan Pinggir 11 21
http://facebook.com/indonesiapustaka PROMETHEUS
Ancaman hukuman itu—dan proses pengadilannya—
yang agaknya memperburuk depresi yang ditanggungkan
Aaron. ”Everything gets colored by the sadness,” ia pernah menulis
itu dalam blognya.
Mungkin sebab itu akhirnya ia tak ingin terus.
Seorang teman di Twitter, Pradewi Tri Chatami, mengias
kandengan tepat Aaron Swartz sebagai Prometheus—tokoh
dalam mithologi Yunani yang mencuri api dari kungkungan
para dewa dan membagikannya kepada manusia. Prometheus
pun dihukum: dipancang di gunung karang agar burung ganas
merenggutkan jantungnya—yang tiap kali akan tumbuh lagi
dan direnggutkan lagi, selama-lamanya.
Aaron memilih mati. Mungkin ia salah jalan. Tapi ke
pergiannya, seperti nasib Prometheus di gunung karang, akan
selalu mengingatkan bahwa apa yang dianggap ”pencurian”
bermula dari premis yang bermasalah.
Marx mengatakan, ”pencurian”, yang merupakan kekeras
an terhadap ”milik” (Eigentum), bermula dari pra-anggapan
akan adanya ”milik”. Yang perlu ditanya, dari manakah datang
nya ”milik” itu. Yang perlu dilihat, sejauh mana pengetahu
an adalah ”milik” yang tak boleh dibagi. Sebab, tanpa berbagi,
pengetahuan akan mati di luar kebudayaan.
TEMPO, 3 Februari 2013
22 Catatan Pinggir 11
SELEBRITAS
http://facebook.com/indonesiapustaka SEORANG selebritas, atau pesohor, adalah orang yang
terasing dari cermin di hadapannya. Ia tak lagi sendirian
di kam ar mandi. Kini cerminnya digantikan alat lain: kamera,
alat perekam suara, atau catatan seorang jurnalis. Alat-alat itu
mewakili tatapan orang banyak yang ia asumsikan senantiasa
hadir. Di tatapan itulah ia melihat dirinya. Atau lebih tepat:
”diri”-nya.
Orang banyak itu—pembaca kolom gosip, pendengar
radio, penonton TV dan bioskop—tentu saja tak tampak di
matan ya. Ataupun tak jelas benar sebenarnya siapa sosok dan
suara itu. Massa. Kelimun. Orang ramai. Wajah tanpa riwayat.
Buk an ”engkau” yang bisa ia ajak bertegur sapa, melainkan
”mereka”. Dan ia berpose untuk ”mereka”.
Begitu menentukankah ”mereka” yang tak tampak itu,
hingga konstruksi ”diri” selebritas seperti Paris Hilton atau
Nad ya Hutagalung bisa berbeda dari muka yang di cermin?
Andai kita berada di pertengahan 1930-an, di puncak per
tam a perkembangan industri film dan teknologi fotografi, ja
wabannya lebih pasti. ”Mereka yang tak tampak, yang tak ha
dirketika [seorang aktor] menjalankan pertunjukannya, ada
lah mereka yang sesungguhnya mengontrol pertunjukan itu.”
Itu kesimpulan Walter Benjamin ketika di tahun itu ia berbica
ra tentang penonton, pendengar, dan pembaca media massa
yang tak terlihat oleh sang aktor.
Tapi Benjamin tak sepenuhnya benar. Sebagai konsumen,
Catatan Pinggir 11 23
http://facebook.com/indonesiapustaka SELEBRITAS
”mereka yang tak tampak” itu memang bisa sangat me
nentukan—mungkin sejalan dengan ”the invisible hand” pasar
bebas.Tapi di antara penonton dan sang aktor ada produsen:
buk an hanya sutradara, tapi juga, dan terutama, para pemilik
modal yang menguasai media massa, baik film itu sendiri
maupun koran gosip. Merekalah yang mengedarkan candu itu
(gosip adalah candu bagi orang ramai) hingga orang ramai itu
sep enuhnya asyik dalam kekaguman dan siap menanggung
segalanya.
Henry Kissinger—seorang menteri luar negeri yang pintar
yang telanjur jadi pesohor—pernah berkata dengan sedikit
menc emooh: ”Yang menyenangkan ketika jadi selebritas ada
lah bila kita membosankan orang banyak, orang banyak itu
menganggap itu gara-gara kesalahan mereka sendiri.”
Tapi Benjamin tak sepenuhnya salah. Di akhir paragraf
ia men ambahkan faktor kapitalisme—meskipun lebih tepat
bukan hanya kapitalisme, tapi juga tiap bentuk industri budaya
yang menjangkau massa, yang mengubah diri sang aktor jadi
”diri”. Padanya sebenarnya tak ada lagi pesona kepribadian.
Pesona itu sudah digantikan ”daya pukau yang sudah boyak”,
karena—terutama dalam kapitalisme—pesona itu ada hanya
sebagai komoditas. Pada akhirnya, jika sang pesohor memang
pun ya nilai, ia hanya punya Ausstellungswert, ”nilai-pameran” ,
”tontonan”, atau ”pajangan”.
Kini nilai itu merambat jadi ukuran di mana-mana. Di
zaman ketika 90 persen informasi yang diserap khalayak
Indonesia datang dari TV yang sibuk dengan pelbagai
show, ”nilai-tontonan” pun masuk ke politik: partai-partai
dengan sadar mencampuradukkan peran selebritas dengan
24 Catatan Pinggir 11
SELEBRITAS
http://facebook.com/indonesiapustaka kerja politik. Bintang sinetron TV—pembawa lakon yang
gampangan tapi gemerlap—ramai-ramai diubah jadi calon
pemimpin eksekutif atau anggota dewan legislatif. Dengan
keyakinan mereka akan dipilih. Maksudnya: akan laku.
Cukup mencemaskan. Sebab tren ini mengingatkan kita
pada yang pernah terjadi di masa lalu, di negeri lain, ketika
khalayak dibuat terpukau dan ”sang juara, sang bintang, dan
sang diktator muncul sebagai pemenang”.
Kata-kata itu juga dari Benjamin, di salah satu catatan ka
ki untuk risalahnya yang sama, tentang karya seni di masa tek
nologi reproduksi, yang ia tulis empat tahun sebelum ia lari da
ri penindasan Jerman Hitler tapi berakhir dengan bunuh diri
di perbatasan Prancis-Spanyol.
Benjamin berbicara tentang ”krisis demokrasi”. Ia menghu
bungk annya dengan perubahan kondisi yang menampilkan
politikus ke depan publik. ”Radio dan film,” tulisnya, ”tak ha
nya mengubah fungsi sang aktor profesional, tapi juga fungsi
mereka yang, seperti politikus, menampilkan diri di depan
med ia itu.”
Penampilan itu praktis dikendalikan instrumen yang ada.
Ia hanya jadi sejenis keterampilan teknis. Sementara aura se
orang Oedipus ketika diperankan Rendra bertaut dengan aura
sang aktor di pentas itu & di saat itu juga, sosok politikus yang
muncul melalui televisi sebenarnya hanya ”diri” yang tanpa
aura. Ia telah diformat.
Sebuah proses keterasingan pun berlangsung. Sang aktor
masuk ke arena politik tanpa subyektivitas, tanpa gelora hati
untuk agenda politik yang menuntut darah dan doa. Dua
kata itu mungkin terlampau dramatis buat zaman ini, ketika
Catatan Pinggir 11 25
http://facebook.com/indonesiapustaka SELEBRITAS
”demokrasi” berubah jadi akrobat dalam tong setan: berputar-
putar dengan terampil dari bawah ke atas—sebuah gerak yang
akan begitu selamanya. Para pelaku, yang tak punya kata-kata
send iri, akan kehilangan peran bila mereka mendobrak ke luar
tong.
Demokrasi-tong-setan ini bisa rapi dan memikat ba
nyak orang. Mungkin ini juga ”peng-estetis-an politik”,
Ästhetisierung der Politik, yang digemari Hitler dan Mussolini.
Tapi ia akan tak mampu menghadapi problem yang mendasar.
Di luar tong setan itu, keadilan dan kemerdekaan tiap kali
masih terus-m enerus harus direbut, dengan sengit, dan di
perluas. Sedangkan di dalam, ”Parlemen ditinggalkan orang.”
Ketika Benjamin menuliskan kata-kata itu, ia bermaksud
men unjukkan bagaimana teknologi mengambil peran dewan
perwakilan. Bagi saya, itu berarti politik di parlemen akan jadi
kosong dari percakapan dan pergulatan yang berarti. Bukan
mustahil sang juara akan tampil dari kekerasan, sang bintang
akan datang dari kebosanan, dan sang diktator dari kedungu
an.
TEMPO, 10 Februari 2013
26 Catatan Pinggir 11
Shibuya
http://facebook.com/indonesiapustaka Mungkin ini tiap hari terjadi di Tokyo: di Stasiun Shi
buya, ribuan orang keluar-masuk peron atau berjalan
dari gerbang barat menyeberang—dari tempat patung anjing
Hachikô yang mati menunggui tuannya yang tak kunjung
pulang—ke arah toserba Shibuya 109, yang membuka dengan
meriah lebih dari 100 boutique.
Anak-anak muda masih seperti dulu. Mereka tak putus-
putusnya bergerak riang, riuh, mengingatkan kembali
gaya gyaru gadis-gadis ABG tahun 1970-an yang mencoba
melepaskandiri dari sikap jinak dan konformitas. Tapi, pada
saat yang sama, mereka adalah bentuk konformitas yang baru.
Di sini hidup adalah degup siang dan malam—terutama
malam. Setelah pukul 18, lampu-lampu iklan digital
menegaskan bahwa yang gemebyar, yang mewah, yang
meriah, adalah pertemuan antara hasrat dan kemustahilan.
Kapitalisme busana menampakkan ambisinya di ratusan
papan iklan dan layar DOOH dengan ukuran besar: di tubuh
manusia kota, pakaian adalah pertarungan untuk menggapai
satu mode yang modelnya terlampau rupawan untuk ditiru,
tapi selalu ditiru. ”A fashionis nothing but an induced epidemic.”
Saya kira George Bernard Shaw benar.
Epidemi itu terutama berkecamuk di kelimun seperti di
Shibuya ini. Lebih dari setengah abad yang lalu David Riesman
menulis The Lonely Crowd, tapi sampai sekarang observasinya
masih kena: kalangan metropolis ini adalah orang-orang
Catatan Pinggir 11 27
http://facebook.com/indonesiapustaka SHIBUYA
yang other-directed, ”diarahkan-liyan”. Bukan lagi diarahkan
tradisi. Juga bukan lagi digerakkan kecenderungan diri yang
terbentuk sejak kecil.
Di tempat seperti Shibuya, yang mengarahkan bukan hanya
orang-orang di lingkungan yang dekat, tapi juga yang lebih
”tinggi”. ”Liyan” itu hanya mereka kenal dari media massa dan
billboard: Hiroshi Oshima atau Hoyt Richards—para model
dengan nama yang berubah jadi Versace atau Hugo Boss. Me
rek a sangat responsif terhadap nama dan gambar macam itu.
Bahkan mereka selamanya memasang radar untuk mendeteksi
bagaimana di depan ”liyan” yang jauh itu mereka harus
mematut-matut diri. Mereka ingin selalu menangkap—dan
kemudian mengikuti—selera apa yang tengah berkembang
dan opini apa yang tengah dikumandangkan.
Mereka bukan orang yang hidup dalam kolektivitas dusun;
mereka tak dibentuk rasa malu. Mereka juga bukan orang
yang hidup di tengah kolektivitas keluarga atau agama; mereka
tak dibentuk rasa bersalah. Hubungan antara orang-orang di
metropolis ini dan sekitarnya dibentuk rasa cemas.
Tapi di celah-celah cemas itu, pada orang-orang yang
”diarahkan-liyan” ini sebenarnya ada sejenis petualangan.
Analisis Riesman cenderung menyepelekan mereka, tapi
dengan sifat kosmopolitan mereka, mereka sesungguhnya
punya keberanian: meniadakan batas antara dunia yang
mereka kenal dan yang asing. Mereka serentak bisa ada di
mana saja.
Mungkin itu sebabnya Tokyo adalah kota yang pas untuk
mereka: tak ada ”Timur” dan ”Barat” di sini.
Di dinding Stasiun Shibuya, dalam lorong ke arah pintu
28 Catatan Pinggir 11
SHIBUYA
http://facebook.com/indonesiapustaka masuk jurusan Keiô Inokashira, terpampang sebuah mural
karya Tarô Okamoto, ”Mithos Hari Esok”, yang menggambar
kan sesosok manusia yang dihantam bom atom. Okamoto
belajar di Panthéon-Sorbonne pada tahun 1930-an di mana
ia hidup dengan kaum Surealis Prancis. Mural itu semula ia
buat untuk sebuah bangunan di Meksiko. Setelah 30 tahun
di sana, empat tahun yang lalu karya itu dibawa ke Stasiun
Shibuya: ia meneg askan sifat Tokyo yang Jepang tapi tak lagi
hanya Jepang. Ia juga menunjukkan bahwa bagi kota ini, yang
penting bukanlah corak satu yang padu.
”Di Tokyo,” tulis Donald Ritchie, kritikus film yang telah
berpuluh tahun tinggal di Jepang dan pada tahun 1999 menu
lis tentang Tokyo, ”orang merasa... bahwa kota ini tak punya
satu gaya yang tunggal.” Yang ada ”hanya usaha yang tak terhi
tung untuk mendapatkan gaya”. Di kota ini, terutama bagi
seorang asing yang menyusuri lekuk-lekuknya dengan berjalan
kaki, akan kelihatan ”hal-hal yang dikenal dipergunakan
dengan cara yang tak dikenal”.
Justru dengan demikian si orang asing, menurut Ritchie,
merasa bebas: ia tak perlu terikat dengan makna yang biasa bila
ia misalnya menyaksikan tiang-tiang Yunani kuno di celah
arsitektur kota, sebab tak berarti bangunan itu sebuah bank;
atap merah nun di sana itu juga belum tentu berarti ”Spanyol”.
Bahkan pemaknaan selalu bisa berlangsung tanpa penerje
mahan. Dalam film Sofia Coppola, Lost in Translation, dua
orang asing di Tokyo menemukan dunia dalam dua sisi: yang
sudah mereka kenal dan yang tidak. Tapi ternyata bukan alih
bahasa yang menghubungkannya.
Dalam salah satu adegan kita lihat Bob Harris, yang datang
Catatan Pinggir 11 29