http://facebook.com/indonesiapustaka PAGAR
mereka tak pernah benar-benar jelas di mana.
TEMPO, 14 Desember 2014
430 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SANTA
SEMUANYA diawali dengan imajinasi dan keinginan ber
gembira.
Santo Nikolas pun jadi Sinterklas dan jadi Santa Klaus.
Nun di benua yang dingin, legenda tentang seorang suci di
abad ke-4 berkembang jadi tradisi yang tak jelas lagi asal-usul
dan unsur-unsurnya. Ada bekas kepercayaan orang Jerman se
belum Kristen tentang Dewa Odin, tapi ada juga gambaran
yang dibentuk lewat sebuah sajak yang tersiar di abad ke-19
dan kemudian diperkuat sebuah iklan Coca-Cola.
Ia makhluk asing yang tak disebutkan Injil. Ia produk
Eropa yang dirakit di Amerika.
”Ia tampak seperti seorang penjaja yang membuka kantong
dagangannya,” demikian ia dideskripsikan dalam sajak yang
ditulis Clement Moore menjelang Natal 1822. ”Pipinya
merona seperti mawar, hidungnya seperti sebutir buah ceri,
mulut kecilnya yang lucu melengkung seperti busur, dan...
perutnya kecil bulat, terguncang-guncang bila ia tertawa....”
Moore sebenarnya bukan seorang penyair; ia guru besar
theologi di sebuah sekolah tinggi Kristen di New York.
Sajak itu ditulisnya untuk dibaca di lingkungan keluarganya
sendiridi malam Natal. Tak disangkanya profil manusia ajaib
yang dikhayalkannya itu (yang ketika itu masih disebut ”St.
Nicholas”) kemudian menyebar dan merasuk ke dalam hidup
orang Amerika.
Mungkin di negeri Protestan itu tersirat niat untuk menam
Catatan Pinggir 11 431
http://facebook.com/indonesiapustaka SANTA
pilkan seorang santo yang lain dari yang diproyeksikan Gereja
Katolik: orang ”suci” ala Amerika ini gembil dan gendut.
Mungkin ada sebab lain: St. Nicholas jadi Santa Klaus yang
koc ak, ramah, dan pemurah karena orang-orang—dimulai
di Belanda—menghendaki sejenak kegembiraan. Mereka tak
inginterus-menerus takluk dipelototi para rohaniwan Calvinis
yang mengharamkan sukacita lahiriah.
Atau mungkin sebab lain: di New York pada dua dasawarsa
pertama abad ke-19 itu, ketika kapitalisme tumbuh dan bank-
bank besar mulai didirikan, ada kebutuhan membuat keajaiban
akrab kembali. Maka berkembanglah imajinasi tentang se
seorang yang datang malam-malam dari negeri misteri dan
masuk ke rumah diam-diam melalui cerobong asap. Ia tak
menakutkan. Sekilas tampak sebagai seorang penjaja, ia
sebenarn ya tak berjualan apa-apa; ia malah membagi-bagikan
mainan gratis.
Tapi jika ”adat” itu dianggap sebagai subversi terhadap
masyarakat yang dikuasai jual-beli, ”perlawanan” itu tak
bisa bertahan. Dengan segera kapitalisme menangkap dan
menyulap tok oh dongeng ini.
Konon kostumnya yang merah-putih itu berasal dari pe
nampilannya dalam serangkaian iklan Coca-Cola tahun
1940-an—meskipun sebenarnya Santa sudah tampil seperti
itu dalam ilustrasi yang dibikin Norman Rockwell di sampul
majalah The Country Gentlemen pada 1921. Bagaimanapun,
mod al dan media massa mencetaknya dengan sebuah identitas
yang diulang-ulang. Ia dibuat agar mudah dikenali dan diingat
sebagaimana lazimnya komoditas. Tanpa kejutan, tanpa ke
takjuban.
432 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SANTA
Dan dengan energi baru Santa Klaus pun menembus pusat-
pusat belanja. Ia bagian dari sekularisasi Natal, ketika saat yang
disebut dengan syahdu dalam lagu ”Malam Sunyi” itu ditarik
keluar dari ruang yang takzim dan jadi bagian pasar yang
meriah. Natal dan ke-Kristen-an berpisah. Di Jepang yang tak
percaya Yesus, misalnya, ketika orang bersuka ria dengan pesta
bounenkai (mari-lupakan-ini-tahun) di ujung Desember, satu
acara Natal yang menarik dibuat di Roppongi: ”Sexy Santa
Party”.
Orang-orang Kristen yang alim akan merengut, tentu,
melihat hura-hura Santa macam itu—yang makin menegaskan
pem isahan Natal dari iman. Tapi umumnya kita lupa, orang
Protestan sendiri pernah mengharamkan Natal. Ketika mereka
menguasai Inggris, pada 1647, Parlemen menyatakan Natal se
bagai ”festival kepausan”, papal festival, yang tak berdasarkan
Alkitab. Di Boston, Amerika, perayaan Natal dilarang selama
20 tahun sejak 1659. Baru di pertengahan abad ke-19 orang
Boston terbiasa bilang Merry Christmas. Kini di kota itu
bahkan bisa dibaca iklan ”Santa Claus for Hire”, menawarkan
ten ag a-tenaga yang bisa memerankan Santa Klaus buat pesta.
Santa yang disewakan, yang bisa dipertukarkan, dengan
segera jadi Santa yang muncul di segala sudut dunia seperti
McDonald’s dan Starbucks. Di abad ke-19 Thomas Nast
menggambar sosoknya di majalah Harper’s Weekly dengan
wajah orang pedalaman yang kasar: ia dikesankan sebagai
penghuni Kutub Utara yang belum dijinakkan peradaban.
Kini ia lebih necis dan borjuis, bergerak tanpa paspor tanpa
visa.
Mungkin sebab itu pemerintah Kanada membuat satu
Catatan Pinggir 11 433
http://facebook.com/indonesiapustaka SANTA
kamp anye jenaka: Desember 2008, Santa Klaus diberi status
warga negara. Kata menteri urusan kewarganegaraan, Santa
”berhak kembali ke Kanada setelah perjalanannya melanglang
dunia selesai”.
Apa salahnya jenaka? Santa toh bagian kegembiraan (dan
barang dagangan) yang tak perlu pikiran mendalam.
TEMPO, 21 Desember 2014
434 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka KOPER
KOPER tua yang terbuat dari kaleng itu peyot. Hampir
tak berisi. Tapi dalam empat novel Pramoedya Ananta
Toer yang legendaris itu, benda sepele itu jadi buhul tempat
berkait sebuah cerita panjang, sebuah sejarah yang getir.
Koper itu sebuah tanda trauma.
Di akhir Anak Semua Bangsa, di dalamnya ditemukan
beberapa lembar pakaian milik Annelis yang mati secara
tragis. Koper itu pula yang mengingatkan Nyai Ontosoroh
kepada masa ketika ia, pada usia 14 tahun, dijual kepada lelaki
Belanda. Di akhir Jejak Langkah, ketika Minke ditahan polisi
kolonial, ia hanya membawa koper tua itu juga—juga setelah ia
kembali dari Ambon tempat ia diasingkan.
Dalam Rumah Kaca, Pangemanan, komisaris polisi Hindia
Belanda yang dengan tekun membuntuti gerak-gerik pelopor
gerakan nasionalisme itu, heran.
”Tak ada bawaan lain, Tuan?” tanyanya. ”Ada,” jawab
Minke. Tapi tak ada yang perlu dibantu dibawakan orang lain.
”Sem ua sudah kubawa dalam kepalaku.”
Laurie Sears, dalam Situated Testimonies, sebuah telaah yang
perseptif atas karya sastra yang berdasarkan sejarah kolonial
dan pascakolonial Indonesia, meletakkan kisah koper itu se
bagai titik jangkar, a quilting or anchoring point, bagi riwayat
Minke.
Mungkin ia juga bandul, ballast, yang menstabilkan perja
lana n hidup Minke, Ontosoroh, Pangemanan, dan lain-lain—
Catatan Pinggir 11 435
http://facebook.com/indonesiapustaka KOPER
seb uah kisah yang penuh guncangan di tengah proses tumbuh
nya sebuah bangsa.
Dalam guncangan itu trauma tak terelakkan. Dan Situated
Testimonies menampilkan sejarah Indonesia dari segi itu: seja
rah yang dituliskan setelah tertunda, nyaris tak terkatakan
atau tak boleh dibicarakan, karena luka yang dalam.
Luka itu menandai karya dan hidup Pramoedya dan
siapa saja yang melewati pembantaian dan penindasan 1965-
1966. Luka itu juga terasa dalam novel Ayu Utami, Larung.
”Pram oedya Ananta Toer dan Ayu Utami memperkenalkan
protagonis yang terkena trauma dalam novel-novel mereka,”
tulis Sears, dan ”menawarkan cerita dengan penutup yang tak
lengkap.”
Koper itu: sebuah ruang kecil yang itu-itu juga, tapi berisi
mimp i dan kenangan yang bisa berubah bagi tiap orang yang
memb awanya.
Ia wadah kosong, tapi juga tanda trauma: ada yang telah
direnggutkan. Nyawa dan cinta Annelis. Kemerdekaan gadis
yang kelak jadi Nyai Ontosoroh. Kebebasan dan keperkasaan
Minke yang punah setelah diasingkan. Trauma itu juga melu
kaiPangemanan, sang petugas keamanan kolonial; kekerasan
yang dilakukannya untuk menegakkan penjajahan Hindia
Belanda ternyata membuat dirinya sendiri runtuh.
Yang tertinggal: kesaksian. Tapi kesaksian itu bukan titisan
masa lalu. Sears menjelaskannya dengan istilah yang dipakai
dalam analisis kejiwaan Freud, Nachträglichkeit: trauma selalu
muncul kemudian, setelah kejadian. Bila ia harus dituturkan,
tak ada teks yang sudah siap. Arsip, kalaupun tersimpan,
hanyalah isi masa lalu yang ditentukan arahnya di masa kini.
436 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka KOPER
Kesaksian bukanlah ulangan pengalaman lama.
”Kesaksian adalah sebuah pengalaman baru,” demikianlah
Sears mengutip Dori Laub, pakar psikoanalisis yang pernah
mengalami kekejaman Hitler. Ketika masa lalu yang traumatis
itu dikisahkan, orang yang bersangkutan sebenarnya
tak dibawa ”kembali ke horor dan kesedihan yang dulu
ditemuinya”. Kesaksian itu ”menempuh hidupnya sendiri”
ketika ia dituturkan. Tak bisa diramalkan bagaimana akhirnya
keseluruhan cerita.
Ingatan, dalam trauma, memang tak bisa dibentuk secara
naratif. Ada yang tak bisa dijelaskan. Dalam Rumah Kaca,
Pangemanan tiap kali didatangi hantu Si Pitung, perusuh yang
dibinasakannya. Lebih kelam lagi adalah penuturan di bagian
awal novel Ayu Utami, Larung.
Di sini kita dapatkan seorang muda yang aneh, yang
berencana membunuh neneknya yang tak mati-mati. Larung
menghadapi orang lain seperti sebuah mikroskop kasar: orang
lain adalah sebuah bangunan anatomis. Orang lain adalah
detail: betis, relung kuping dan cairannya, jembut, vagina,
pelbagai bau. Kekerasan tersirat dalam tatapan seperti itu. Dan
pelan-pelan kita tahu, ada kekerasan yang lebih luas dan masa
lalu yang lebih kelam dalam hidup Larung.
Ketika ia masih kanak-kanak, ayah Siok Hwa, sahabatnya,
dik eroyok sampai mati dalam sebuah kerusuhan anti-Cina,
dan Siok Hwa hilang. Kemudian tahun 1965: ayahnya sendiri,
seorang tentara yang dituduh komunis, mati ramai-ramai di
siksa. Orang-orang yang membunuh ayahnya menjebloskan
siapa pun yang mereka kira musuh ”ke sebuah nganga”.
Trauma adalah koper dalam nganga kegelapan. Sampai ada
Catatan Pinggir 11 437
http://facebook.com/indonesiapustaka KOPER
orang lain.
Pangemanan memangkas kegelapan dengan menuliskan
kesaksiannya untuk Madame Le Boucq. Larung tampil sebagai
subyek yang beberapa saat jernih ketika mendampingi Saman
melawan penindasan baru.
Penindasan, kesewenang-wenangan: Indonesia memang
terd iri atas pelbagai trauma. Tapi koper itu tak kosong dan bisa
nyaring bunyinya bila diajak bicara.
TEMPO, 28 Desember 2014
438 Catatan Pinggir 11
INDEKS
http://facebook.com/indonesiapustaka A Chan, Jackie 7, 8, 10
Chatami, Pradewi Tri 22
Adorno 149 Chin, Annping 247
Aidit, D.N. 104 Cicciolina 81, 82, 84
Alexievich, Svetlana 268, 269 Coen, Jan Pieterszoon
Alisjahbana, S. Takdir 73, 191, 192 Congo, Anwar 243-246, 251
Allen, Woody 80
Andersen, Hans Christian 233 D
Anidjar, Gil 99, 101
Anwar, Chairil 30, 97, 112, 191, Damono, Sapardi Djoko 123, 287
Dharta , A.S. 104
193, 194, 218, 274, 285 Dietrich, Marlene 8
Apin, Rivai 192 Djojopoespito, Soegondo 71, 72
Appiah, K. Anthony 14 Djojopoespito, Soewarsih 69
Armstrong, Karen 9, 107 Djojosapoetro, Raden Bagoes
Ash, T.S. Eliot 108
Ashar, M.S. 104 Noersaid
Auden, W.H. 3-5 Durant, Will 33
Dürer, Albrecht 264
B
E
Bachri, Sutardji Calzoum 129
Bakhtin, Mikhail 236 Eagleton, Terry 205
Beckett, Samuel 111, 137, 336
Benjamin, Walter 23, 141, 175, F
202, 285, 369, 402 Ferdinand, Franz 339, 341
Bergson, Henri 79 Freud 199, 201, 436
Bigelow, Kathryn 47, 48
Blancarte, Roberto 32 G
Bown, Matthew Cullerne 172
Gardens, Filoli 148
C Gautama, Sidharta 127
Geertz, Clifford 139, 140
Capécia, Mayotte 215 Gerasimov, Aleksander 172
Certeau, Michel de 223 Gilgamesh 16-18
Giuliano 388, 389
Gorky, Maxim 167
Catatan Pinggir 11 439
INDEKS
http://facebook.com/indonesiapustaka Gramsci, Antonio 187-190 Kurawa 9, 291, 293, 294, 403
Grillo, Beppe 81, 82 Kutusov 49
Gronsky, Ivan 168
Gundono 235-238 L
Gundono, Ki Dalang Slamet 235
Levi, Primo 100, 102
H Lévinas, Emmanuel
Leys, Simon 136-138, 259, 260,
Hanks, Tom 63
Hannah Arendt 239, 245, 258, 262
Liem, Maya H.T. 106
368, 396 Lindsay, Jennifer 106
Harris, Bob 29 Lu, Xing 257
Hatidjah 70 Luxemburg, Rosa 239-249
Havel, Václav 311
Havelaar, Max 70 M
Hayek, Friedrich von 66
Hegel 100, 101, 184-186, 210, 222, Mahabharata 8, 9, 15, 16, 291, 331,
403, 408
223, 361
Herodes 3-6 Mandela, Nelson 115
Hilton, Paris 23 Mandelstam, Osip 168, 173
Hirsch, Fred 67 Mann, Thomas 163, 165
Hirschman , Albert 46 Masao, Maruyama 98
Hitler 25, 26, 100, 177, 256, 317, McLuhan, Marshall 295
Melville, Herman 279, 280
352, 365, 437 Mouffe, Chantal 68
Hoederer 332 Mrazek, Rudolf 155, 156, 157, 364,
Hollar, Wenceslas 37
Honoré, Carl 233 365
Hutagalung, Nadya 23 Mussolini 26, 187, 188
J N
Jenar, Syekh Siti 5, 125 Nabokov, Vladimir 78
Johnson, Samuel Napoleon 49, 329, 377, 378
Nasseri, Mehran Karimi 63
K Navorski, Viktor 63
Neruda, Pablo 200, 2001
Karamazov, Ivan 5, 244, 329, 330 Njoto 104
Kelly, Ned 387
Kissinger, Henry 24 O
Klemperer, Victor 255, 256
Okamoto, Tarô 29
Ong, Walter 136
440 Catatan Pinggir 11
INDEKS
http://facebook.com/indonesiapustaka Orwell, George 137, 176 Shaikh, Nermeen 99
Oshima, Hiroshi 28 Shavit, Ari 352-356
Shaw, George Bernard 27
P Situmorang, Sitor 55-58
Soegondo 71, 72
Pandawa 8, 9, 292, 293, 294, 403, Soeharto 62, 86, 284, 423, 426
411 Soewarsih 69-75
Sportiello, Rossano 147-149
Parrott, Nicki 147, 148, 150 Striker, Fran 131
Paz, Octavio 31 Suanda, Endo 411
Perron, E. du 72-74 Sukarno (Bung Karno) 95, 96,
Plekhanov, G.V. 181, 182, 204
Pol Pot 214, 356 103, 221, 244, 263, 343- 345
Priyatna, Aquarini 69, 75 Swartz , Aaron 19, 21, 22
Pushkin, Alexander 179
T
Q
Termorshuizen, Gerard 69, 70
Qabbani, Nizar 119 Thatcher, Margaret 65-68
Thomas, Dylan 419, 421
R Thukul, Wiji 85-89, 91, 94
Toer, Pramoedya Ananta 336, 387,
Raben, Remco 195
Rabin, Yitzhak 353 435, 436
Rahzen, Taufik 265 Trendle, George W. 131
Richards, Hoyt 28 Třída, Národní 311
Riefenstahl, Leni 47 Tuah, Hang 11-14
Riesman, David 28 Tzu, Hui 54
Ritchie, Donald 29 Tzu, Mo 54, 135, 136
Rockwell, Norman 432
Rosi, Francesco 389 V
Rubashov, Nicholas Salmanovitch
Verbinski, Gore 133
328
Ryckmans, Pierre 136, 142 W
Ryker, Rufus 372, 373
Watson, C.W. 74
S Wedyodiningrat, Radjiman 95
Whitman, Walt 343
Sadikin, Ali 344 Widodo, Joko 344
Sani, Asrul 367 Wijaya, Putu 237
Schmitt, Carl 48, 49, 377 Wispi, Agam 87
Scorsese, Martin 61
Sengkuni 9, 333, 403-406
Catatan Pinggir 11 441
INDEKS
Y
Yevtushenko, Yevgeny 315, 318
Yudhistira 291-293, 331, 384
Z
Zedong, Mao 136, 171, 240, 249,
257, 324
Zhdanov, Andrei 168, 173
Zhuangzi 51-54
Zhukovsky, V.A. 181
Žižek, Slavoj 36, 143-145, 256
Zola, Emile 168
http://facebook.com/indonesiapustaka 442 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SELEPAS jadi Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo dua periode (1971-1993 dan 1998-
1999), Goenawan nyaris jadi apa yang ia
pernah tulis dalam sebuah esainya: transit
lounger. Seorang yang berkeliling dari satu
negara ke negara lain: mengajar, berceramah,
menulis. Seorang yang berpindah dari satu
tempat penantian ke tempat penantian
berikutnya, tapi akhirnya hanya punya sebuah
Indonesia. Seperti ditulisnya dalam sebuah sajaknya: ”Barangkali memang ada
sebuah negeri yang ingin kita lepaskan tapi tak kunjung hilang.”
Dalam perjalanan itu lahir sejumlah karya. Bersama musisi Tony Prabowo
dan Jarrad Powel ia membuat libretto untuk opera Kali (dimulai 1996, tapi dalam
revisi sampai 2003) dan dengan Tony, The King’s Witch (1997-2000). Yang pertama
dipentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York. Pada 2006, Pastoral, sebuah
konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan, dimainkan di Tokyo. Pada tahun ini
juga ia mengerjakan teks untuk drama-tari Kali-Yuga bersama koreografer Wayan
Dibya dan penari Ketut Rina beserta Gamelan Sekar Jaya di Berkeley, California. Tapi
ia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam bahasa Indonesia dan
Jawa, Goenawan menulis teks untuk wayang kulit yang dimainkan dalang Sudjiwo
Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan dalang Slamet Gundono, Alap-alapan Surtikanti
(2002), dan drama-tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo. Ia menulis dan
menyutradarai opera Tan Malaka pada 2010 dan 2011.
Kumpulan esainya berturut-turut: Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin
Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993),
Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), dan Eksotopi (2002).
Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana
(1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001).
Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak,
terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).
Catatan Pinggir, esai pendeknya tiap minggu untuk majalah Tempo, di antaranya
terbit dalam bahasa Inggris oleh Jennifer Lindsay, dalam Sidelines (1994) dan
Conversations with Difference (2002). Kritiknya diwarnai keyakinan Goenawan bahwa
tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang, meminjam satu bait dalam
sajaknya, ”dengan raung yang tak terserap karang”.
ii Catatan Pinggir 6