The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 11 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by suharnowo, 2021-11-04 03:06:08

Catatan Pinggir 11 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 11 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka KOTOR

Yang diingatkan Ivan Karamazov ialah bahwa keadilan—
sa­lah satu nilai yang universal—meskipun tak pernah penuh
dan kekal di dalam hidup yang terbatas, sepenuhnya berharga.
”Atau aku akan menghancurkan diriku sendiri.”

TEMPO, 29 Juni 2014

330 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka SA’AMAN

SA’AMAN membunuh Kopral Paijan. Ia membunuh ayah­
nya sendiri. Novel Keluarga Gerilya Pramoedya Anan­
ta­ Toer menuturkan kisah dramatis itu: seorang gerilyawan­
dalam perang revolusi tertangkap pasukan Belanda dan me­
nung­gu hukuman matinya. Dengan ikhlas. Ia begitu yakin
tujuan perjuangannya hingga ia anggap adil menghukum
mati ayahnya sendiri: Kopral Paijan bekerja untuk tentara
penduduka­ n. ”Revolusi menghendaki segala-galanya...,” kata­
nya.

Demikian hebatnya revolusi. Kemanusiaanku kukorbankan. ...Kupaksa
di­riku menjalani kekejaman dan pembunuhan agar orang yang ada di bumi
yang kuinjak ini tak perlu lagi berbuat seperti itu....

Bisakah ia dikutuk? Bisakah ia dimaafkan? Dalam konfron­
tasi manusia dengan dunia yang dirundung mala dan citacita,­
tiap agenda besar—revolusi, perjuangan pembebasan, atau pe­
neg­ akan keadilan—akan kepergok pilihan yang sulit ini: jika
unt­uk membuat hidup lebih bersih kau harus menggunakan
car­a yang kotor, apa yang harus kaulakukan?

Pertanyaan ini datang tiap kali, dalam situasi yang berbeda,
ke­pada tokoh yang berbeda.

Dalam Mahabharata, Yudhistira, kesatria yang menjaga
kejujuran itu, pada satu saat dalam perang di Kurusetra harus
mem­ ilih: berbohong agar Durna bisa teperdaya dan dibunuh,

Catatan Pinggir 11 331

http://facebook.com/indonesiapustaka SA’AMAN

atau jujur dengan akibat Durna selamat dan jadi panglima pe­
rang­yang ulung di kubu musuh.

Dalam konteks yang lain, Hamlet, sang Pangeran Denmark­
dal­am lakon Shakespeare, mengucapkan dilema itu dengan
gem­ etar: ”I must be cruel only to be kind.”

Pilihan bersikap ”kejam” (cruel) lebih dulu agar bisa ”baik
ha­ti” (kind) nanti, ”berbohong” lebih dulu agar kejahatan ka­
lah­kelak, adalah sebuah dilema buah simalakama—setidak­
nya­bagi orang yang tak sanggup mengabaikan hukum moral
da­lam dirinya.

Buah terkutuk itu jadi seluruh ruang hidup ketika orang itu
me­masuki arena tindakan dan harapan politik. Sa’aman meng­
huninya, dan ia memilih ”kejam”. Ia biarkan tangannya ko­tor
unt­uk sebuah negeri yang bersih. Kekejaman dihalalkann­ ya
dem­­ i sebuah manfaat. ”Guna” dan ”hasil” dijadikannya nilai
yang utama.

Orang bisa memahami itu, mungkin sebagai penjelasan,
mungk­ in sebagai dalih agar dimaafkan. Tapi sampai kapan?

Dalam lakon Sartre, Les Mains Sales (”Tangan-tangan Ko­
tor”), seorang pemimpin partai komunis direncanakan dibu­
nuh. Ia dianggap menyimpang dari garis partai. Ia membuat
aliansi dengan partai lawan ketika sama-sama menghadapi re­
zim fasis yang menindas.

Hoederer, sang pemimpin, membela diri di depan pemuda
yang akan membunuhnya dengan mengaku ia memang telah
memb­ uat langkah yang tercela. Tapi tak ada alternatif. ”Ta­
ngank­ u memang kotor sampai ke siku. Aku telah mencelup­
kan­nya dalam darah dan tahi,” katanya. Tapi, tanyanya, bisa­
kah orang berkuasa tanpa berkubang najis?

332 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka SA’AMAN

Bagi Hoederer, jawabnya ”tak bisa”. Baginya, keadaan
”tanpa berkubang najis”, tanpa dosa (innocemment), berada
di luar arena orang ”berkuasa” (terjemahan bebas untuk
gouverner).

Dengan kata lain, ”tangan kotor” dilihat sebagai hakikat
pol­itik dan kekuasaan—hakikat yang tak pernah lapuk
dan le­kang. Tokoh Sengkuni dalam Bharatayudha adalah
personifikasinya. Perdana menteri itu licik untuk menang.
Baginya, kemenangan tak akan diraih jika orang sibuk
menjadi ”baik”. Di abad ke-15, Machiavelli menyambut
sengkuniisme itu dalam Il Principe. ”Seorang raja yang ingin
mempertahankan kuasanya ha­rus belajar bagaimana bersikap
tak baik,” tulisnya.

Tapi sikap ”tak baik”, ”tangan kotor”, mustahil dilihat
seba­gai hakikat, sebagaimana juga sikap yang ”baik”. Sebuah
hakikat, atau esensi, berada di luar situasi eksistensial yang
berubah-ubah. Machiavelli sendiri mengajarkan, memang
perlu seorang pelaku kekuasaan menerapkan ilmu ”bersikap
tak baik”, tapi tak selalu. Tak ada formula, tak ada yang tetap.

Lagi pula, masa depan selamanya sebuah teka-teki. Kita tak
per­nah tahu ”tangan kotor” akan selalu melahirkan bumi yang
ber­sih.

Maka dari luka dan kekecewaan, tak semua orang meraya­
kan politik, dalam arti politik sebagai Beruf. Kata ini dari Max
Weber: politik sebagai karier khusus. Tak semua orang siap ber­
kec­ impung terus dalam darah dan tahi. Sewaktu-waktu­krisis
bisa mengoyak diri dan masyarakat. Sewaktu-waktu Sengkuni
dit­untut melihat yang busuk dalam lakunya.

Saat-saat itulah yang menyebabkan sejarah bukan hanya sa­

Catatan Pinggir 11 333

http://facebook.com/indonesiapustaka SA’AMAN

tu cerita, tapi pelbagai cerita: ada kekotoran dan anti-kekotor­
an, ada kebengisan dan anti-kebengisan. Sa’aman adalah pah­
law­ an dalam tragedi modern yang bernama ”politik-sebagai-
per­tarungan”: ia sadar ia harus berdosa tapi ia merasa pantas
di­t­untut mengunyah najisnya sendiri. ”Dosaku banyak,” kata­
nya sebelum dibawa ke depan regu tembak. ”Lebih dari 50
orang kubunuh....”

Pengakuan itu penting, juga bagi yang tak hadir di sana: ti­
ap kali kekejaman sendiri diakui dengan pedih di depan sesa­
ma,­manusia merintis kembali jalan ke bumi yang tak teperma­
nai.

TEMPO, 6 Juli 2014

334 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka KECAPEKAN

KITA mungkin akan hidup sebagai sebuah masyarakat
yang kecapekan oleh dusta. Tahun 2014 adalah tahun
pem­ ilih­an­ yang paling brutal—brutal dalam wujud kata-
kata—sepanjang sejarah kita sejak 1945. Dalam proses yang
sen­ git­ini, hampir tiap saat kita mendengarkan ”fakta” yang
dikatakan untuk di­putarbalikkan, bantahan-bantahan yang
tak berniat mencari apa yang benar, dan cepat atau lambat, me­
ruy­ akn­ ya saling tidak percaya—bahkan kebencian. Bersama
itu: hilangnya percakapan yang serius.

Percakapan yang serius mengandung keinginan untuk
saling mendengarkan, meskipun tak harus untuk saling setuju.­
Percakapan yang serius tak berarti percakapan tanpa humor;­
bahkan humor bisa penting di situ. Dalam percakapan yang
ser­ius ada asumsi bahwa kata-kata punya sebuah kekuatan, da­
lam bunyi dan makna, dalam pikiran dan perasaan— kekuat­
an yang kadang-kadang disebut ”maksud”. ”Maksud” dalam
ba­hasa Indonesia bisa berarti ”makna”, bisa juga berarti ”inten­
si”. Tapi ketika dusta begitu sering diucapkan, maksud pun
ha­nyut—dan kadang-kadang tenggelam—dalam arus bunyi
yang desak-mendesak yang dalam gramatika disebut (untuk
me­makai ucapan Hamlet yang kesal) ”kata, kata, kata...”.

Mark Twain pernah mengatakan, perbedaan antara
dusta dan kucing ialah bahwa kucing hanya punya sembilan
nyawa. Dust­a, dengan kata lain, jauh lebih sulit mati. Ia
hanya bisa dihentikan oleh lawannya yang sering disebut

Catatan Pinggir 11 335

http://facebook.com/indonesiapustaka KECAPEKAN

sebagai ”kebenar­an”. Tapi kebenaran, apa pun definisinya,
tampaknya kini sudah kecapekan sebelum berhasil mengejar
dan menghajar kebohongan.

Pelan-pelan, sebuah masyarakat yang kecapekan oleh
dus­ta, sebuah masyarakat yang tak bisa lagi bercakap-cakap
secara serius, akhirnya mirip sebuah koleksi suara berisik
yang sebenarnya tak berkata apa-apa. Kita seakan-akan
bagian lakon te­levisi yang disajikan Samuel Beckett: tidak
ada lagi dialog. Bah­ asa sudah habis. Dalam Quad, kita akan
melihat para aktor bergerak di pentas dan tak mengucapkan
sepatah kata pun. Kata-kata hanya ditulis Beckett sebagai
arahan pementasan. Deleuze membahas lakon tanpa-kata itu
dengan judul l’Épuisé, ”yang kehabisan tenaga”. Tak ada lagi
tenaga untuk saling menyapa. Setidaknya oleh Beckett bahasa
ditunjukkan sebagai bag­ ian dari keadaan yang lebih runyam
ketimbang sekadar lelah.

Tapi kita tahu, kita tak mungkin hidup tanpa bahasa. Kita
mus­tahil kembali ke sebuah masa pra-linguistik, sebelum
bahasa dipergunakan, sebab masa itu tak pernah ada. Realitas
yang kita kenal tidak saja disebut dengan bahasa, tapi bahkan­
dikonstruksikan bahasa—apa pun bentuknya. Dalam keadaan
”kehabisan tenaga” verbal, kita tahu ada bahasa bunyi, ada
bahasa imaji, ada bahasa isyarat. Seorang ”bisu” yang dibuang
ke sebuah pulau hukuman selama bertahun-tahun, seperti di­
tunjukkan catatan-catatan Pramoedya Ananta Toer dalam
Nya­n­ yi Sunyi Seorang Bisu, justru orang yang mengutarakan
ban­ yak hal.

”Bisu” di situ berarti penampikan: menampik bahasa ke­
kuas­aan yang membekukan pikiran dan tafsir, menolak bahasa

336 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka KECAPEKAN

yang memenjarakan hidup dan percakapan ke dalam label dan
identifikasi (”Gestapu”, ”Golongan A”), atau melawan bahasa
yang memutarbalikkan pengalaman (”Tefaat”, akronim dari
”tempat pemanfaatan”, sesungguhnya adalah tempat pe­
nyekapan). ”Bisu” dalam hal ini mirip dengan yang disebut
Del­euze sebagai ”gagap”, bégaiement, satu ekspresi yang me­
nyanggah ”imperialisme” bahasa yang membekukan gerak
dan arus makna.

Dengan kata lain, ada sebuah alternatif ketika percakapan­
kehabisan tenaga verbal. Tapi saya tak tahu apa jadinya jika
ma­syarakat yang kecapekan oleh dusta kemudian kehabisan
asum­si bahwa saling percaya adalah satu hal yang mungkin.
Ket­ika fitnah diproduksi dan disebarkan bertubi-tubi—tak
jar­ang oleh mereka yang seharusnya dipercaya, yakni tokoh
agam­ a—ketika orang saling menyidik apakah tetangganya
”Kristen”, ”zionis”, ”teroris”, ”Islam fundamentalis”, ”neo-lib”,
atau ”kom­ unis”, ketika itulah dunia kehidupan lumpuh. Polisi
meng­gantikan Politik: pengawasan menggantikan ikhtiar ber­
sam­ a.

Dalam keadaan itu, yang tersirat dari Quad—apa pun mak­
sud Beckett dengan lakon yang ditulisnya—mengingatkan
situasi itu: di atas pentas, empat sosok berkerudung berge­rak­
di bidang bersegi empat, tak punya nama, asal-usul, dan per­­
cakapan. Masing-masing hanya tampak beda dari warna ja­
labiahnya dan bunyi perkusi yang mengantarnya masuk. Me­re­
ka semua menyembunyikan identitas, karena mereka tak mau
diawasi dan diberi label. Atau sebaliknya, mereka semua te­lah
jadi serupa: penghuni-penghuni yang dicurigai, penghuni-
penghuni yang saling mencurigai.

Catatan Pinggir 11 337

http://facebook.com/indonesiapustaka KECAPEKAN

Kita mungkin akan hidup sebagai sebuah masyarakat yang
mac­ am itu: kecapekan fitnah dan dusta.

TEMPO, 13 Juli 2014

338 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka PRINCIP

SERATUS tahun yang lalu, seorang pemuda berumur 19
tah­ un menembakkan pistol semi-otomatisnya ke sepasang
suami-istri di sebuah sudut jalan di Sarajevo.

Yang dibunuh Franz Ferdinand, pewaris takhta Imperium­
Austro-Hungaria yang sedang berkunjung ke kota taklukannya­
itu; istrinya, Sophie, ikut tewas. Si pembunuh Gavrilo Princip,
ang­gota gerakan nasionalis Serbia yang ingin mengenyahkan
ke­kuasaan imperial itu di wilayahnya.

Kedua tokoh ini seakan-akan melambangkan sejarah yang
sed­ ang terjadi satu abad yang lalu. Franz Ferdinand, yang du­
duk di dalam mobil dengan pakaian kemaharajaan itu, bagian
dari kekuasaan lama. Princip, yang berada di jalan di depan se­
buah toko makanan dekat sebuah jembatan, adalah unsur ke­
kuata­ n baru yang sedang menyeberang ke masa depan.

Pada akhirnya mereka salah sangka. Masa depan tak bisa di­
te­bak. Penembakan 28 Juni 1914 itu disusul perubahan zaman­
dengan entakan-entakan besar yang tak lurus arahnya.

Ketika tembakan menembus nadi dekat lehernya, Franz
Ferd­ inand tak tahu bahwa istrinya, yang perutnya ditembus
pe­luru, tak ada harapan untuk hidup. ”Sophie, Sophie, jangan
mat­i!” katanya. ”Bertahanlah, untuk anak-anak kita!”

Anak-anak mereka hidup selamat nun jauh di istana, di Wi­
na. Tapi tak lama setelah Sophie dan suaminya mati, berpuluh
ri­bu istri dan suami dan anak-anak juga mati. Sebuah perang
be­sar meletus dan meluas. Orang Jerman menyebutnya

Catatan Pinggir 11 339

http://facebook.com/indonesiapustaka PRINCIP

Weltkrieg, dari mana kata ”Perang Dunia” berasal, meskipun
pada das­arnya konflik ini adalah sengketa negeri-negeri Eropa.

Perang Dunia I, dimulai dengan serbuan Austria ke Serbia,­
akhirnya melibatkan pasukan pelbagai negeri, terutama
Jerman dan Prancis, sampai dengan Selandia Baru. Delapan
juta pra­jurit mati dan sejarah pelbagai bangsa berubah: Mekah
dan Madinah direbut dari Daulat Usmani oleh tentara Arab
yang dibantu Inggris—dan kekuasaan Saudi bertahan hingga­
hari ini. Imperium Austro-Hungaria dipecah dan lahir
negeri­Cekoslovakia dan Yugoslavia. Di Rusia, pemerintahan
berganti: 1917 Lenin menegakkan sebuah negeri sosialis
pertama yang bertahan selama lebih dari 70 tahun dan
ketakutan Ame­rika terhadapnya menyebabkan Perang Dingin
berlarat-larat, de­ngan sisa yang masih hadir di abad ini.

Nothing comes from violence and nothing ever could.

Lirik Sting itu, sebagaimana umumnya puisi, bukanlah
per­nyataan yang berniat akurat; ia lebih merupakan cetusan
em­pati. Sebab banyak hal lahir dari kekerasan—tak semuanya
bu­ruk. Tindakan Princip membunuh penerus kekuasaan
Austro-Hungaria 100 tahun yang lalu itu terbukti mengubah
seja­rah—termasuk memerdekakan banyak bangsa di dunia.
Di peng­adilan, anak muda Serbia itu berkata, ”Saya seorang
na­sio­nalis Yugoslavia, bertujuan menyatukan semua orang
Yugoslav.” Tujuannya tercapai. Sekitar empat tahun kemudian,
Yugoslavia yang merdeka dimaklumkan.

Tapi sebagaimana kekuasaan imperium Austro-Hungaria­
salah sangka tentang masa depannya sendiri, juga Princip

340 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka PRINCIP

dan­nas­ionalismenya. Austro-Hungaria roboh setelah Perang
Dunia I; persatuan Yugoslavia berakhir sebelum abad ke-21
da­tang.

Princip akan menangis seandainya ia menyaksikan itu.
Tapi ia mati di penjara karena tuberkulosis—dan mungkin tak
menyadari bahwa kekerasan punya jejak yang panjang.

Tomorrow’s rain will wash the stains away
but something in our minds will always stay

Ketika para pengawal bertanya kepada Franz Ferdinand
yang tertembak itu apakah ia kesakitan, sang hertog menjawab,­
gagah: ”Ini bukan apa-apa.” Itu kata-katanya yang penghab­ is­
an. Kemudian, hanya beberapa jam setelah ia dan istrinya mati,
penguasa Austria di Sarajevo membalas dendam kolektif. Me­
rek­ a kobarkan bara permusuhan terhadap orang-orang Serbia
di kota itu dan kemudian di kota-kota lain. Golongan Kroasia
dan muslim Bosnia digalakkan menghantam tetangga mereka;
sebuah militia yang umumnya terdiri atas orang muslim Bos­
nia dibentuk, disebut Schutzkorps, buat meneror. Sebagian
orang Serbia dipenjarakan dan 460 dihukum mati.

Tak mengherankan ketika Yugoslavia ditegakkan dan di­
pim­pin Tito, politik divide et impera penguasa Austria itu di­
ganti dengan kampanye melawan ”nasionalisme”—dalam arti
”go­longanisme”. Kadang-kadang dengan tangan besi, yang
pad­ a gilirannya membuat perlawanan terhadap itu jadi terasa
adil.

Memang ”something in our minds will always stay”, seperti
nya­nyi Sting dalam Fragile. Kekerasan membiakkan dendam,

Catatan Pinggir 11 341

http://facebook.com/indonesiapustaka PRINCIP

dan dendam dengan cepat berbaur kebencian, dan tanpa disa­
dari, seseorang berubah ketika kebencian kian jadi bagian ke­
jiwaannya.

Yugoslavia runtuh karena orang-orang yang semacam itu.
Man­ usia runtuh bersamanya.

TEMPO, 20 Juli 2014

342 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka KEJADIAN

Do I contradict myself? Very well, then I contradict myself. I am large.
I con­tain­multitudes.

—Walt Whitman

PULUHAN ribu orang berhimpun di sebuah sore yang
tak terduga-duga: berlapis-lapis antusiasme, bertimbun-
timbun harapan, juga cemas, berbarisbaris wajah yang tak
cuma men­ atap kaku dan pasif. Saat itu, dalam ruang itu
berlangsung­ sebuah transformasi: kemeriahan itu seketika
jadi sebuah ”kam­ i”. Sebuah Kami yang siap. Sebuah Aku yang
yakin. Sebuah subyek yang, dari saat ke saat, mengutuhkan
dirinya.

Di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, 5 Juli 2014, konser
dua jam untuk Jokowi itu sudah tentu bukan cuma sebuah
perhelatan musik; tapi juga bukan hanya satu elemen kampanye
pol­itik. Saya kira saya menyaksikan sebuah ”kejadian”.

Dalam hal ini kata ”kejadian” (dengan akar kata ”jadi”)
leb­­ ih pas ketimbang (jika kita ikut-ikut membaca Badiou)
”l’ événement”. Sebab yang semula tak berbentuk seketika ha­
dir—­ tanpa digerakkan sebuah sistem, tanpa bisa dirumuskan
dan dinamai.

Di sini saya tak berbicara tentang sebuah keajaiban. Yang ter-
”jadi” adalah semata-mata sesuatu yang sangat langka, ses­ua­ tu
yang tak bisa diuraikan dengan satu sebab dan satu akibat. Itu
barangkali cirinya: tiap kejadian adalah terobosan dari tat­anan

Catatan Pinggir 11 343

http://facebook.com/indonesiapustaka KEJADIAN

sebab-akibat dan kelaziman yang biasanya berlaku. Ketika
dalam politik hari ini pelbagai hal—dukungan di parlemen,
demonstrasi di jalanan, pendapat di media massa—bias­a
diperdagangkan, di Gelora Bung Karno sebaliknya: puluhan
ribu orang, ratusan musikus dan penyanyi, datang ke sana
dan aktif di sana tanpa mendapatkan bayaran atau janji apa
pun.­Ketika lazimnya ribuan orang berhimpun dengan tujuan
memprotes sesuatu, sore itu, dari tribun dan lapangan rumput
stad­ ion di Senayan itu, tak ada suara marah.

Fenomen penting dalam Pemilihan Presiden 2014 adalah
ber­duyun-duyunnya ribuan relawan. Dengan segera ”relawan”
(dengan tekanan kembali kata ”rela”) jadi bagian kosakata po­
litik Indonesia—sesuatu yang belum pernah terjadi dalam se­
jarah, dan mungkin sesuatu yang kelak akan mengubah hu­
bungan-hubungan kekuasaan.

Tapi tak hanya itu. Fenomen lain yang penting: kreativitas­
dan humor, yang muncul dengan cepat dan tangkas, dari pelb­ a­
gai sudut. Nyanyian ”Salam Dua Jari” yang sederhana dan pas
diciptakan Slank dan menyebar dari sudut ke sudut. Para pe­
rupa menghasilkan kartun (yang terkenal, Jokowi ditampilkan­
sebagai Tintin), stiker, poster, desain untuk kaus, dalam variasi
yang hampir tak habis-habis. Para sineas dan pembuat karya
audiovisual memproduksi film pendek dalam YouTube yang
cer­das dan kocak.

Semacam anarki yang memikat berkecamuk. Tak ada pu­
sat.­Tak ada komando. Tapi ada sesuatu yang terasa hadir di
ma­na-mana: harapan.

Sampai sekarang saya belum bisa sepenuhnya mengerti
be­nar, mengapa Joko Widodo, tokoh kurus yang tak pandai

344 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka KEJADIAN

berpidato itu—ia bukan Ali Sadikin yang karismatis atau
Soehart­o yang serius dan angker—bisa jadi fokus harapan
orang ban­ yak.­ Mungkin karena ia tampil sebagai seorang
pemimpin yang bekerja, tanpa banyak lagak, bersahaja, bersih.
Ia wajah bar­u ketika politik Indonesia mengecewakan. Tapi
mungkin juga ia, sikapnya, kerjanya, telah mengisi sebuah
lambang yang selama ini kosong: tanpa menjadi seorang suci,
ia jadi lambang pemimpin yang ”baik”, yang justru tampak
sebagai manusia yang tak istimewa.

Apa itu ”baik”? Tak bisa dirumuskan. Tapi ”yang-baik” itu
seb­ enarnya hadir tiap hari dalam pergaulan manusia— kita
me­ngenalnya dalam pertolongan dan pemberian yang ikh­
las­—dan sebab itu bukan keajaiban. Hanya, ketika pada suatu
mas­a ”yang-baik” itu terasa hilang, ia berubah jadi harapan
yang intens. Juga sesuatu yang universal.

Sore itu, di Gelora Bung Karno, dalam gairah ribuan
orang itu, yang universal sejenak singgah. Bukan dari langit,
melain­kan­dari debu jalanan yang melekat di keringat orang
yang berharap. Sebuah ”Kami” pun lahir. Tapi pada saat itu,
sebenar­nya bukan hanya ”Kami”, melainkan juga ”Kita”.

Saya menyaksikan kejadian itu. Saya tak bisa mer­umus­
kannya dan saya kira ia bukan sesuatu yang bisa dirumuskan
secara tetap. Tapi bagaimanapun, sore itu saya melihat bahwa
po­litik, dengan akar kata polis (”kota” atau ”negeri”), tak hanya­
satu wajah. Politik bukan hanya sebuah ketegangan dengan
”Mereka”. Ia juga sebuah proyek ”Kami-Kita”.

TEMPO, 27 Juli 2014

Catatan Pinggir 11 345

http://facebook.com/indonesiapustaka

346 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka MEMIHAK

KAU tak memihak. Kau tak ingin pandanganmu tersekat
bar­­ikade. Kau ingin tunjukkan, di balik tiap barikade,
baik di kubu yang di sana maupun yang di sini, bertengger
yang kotor dan keji. Ada siasat dan alat penghancuran yang
disiapkan. Kau ingin tegaskan bahwa peranmu (”Aku cen­
dekia­wan,” katamu) adalah melawan itu. Ingin kau garis-
bawahi kem­bali nalar yang jernih, standar kebaikan yang tak
berat sebelah, dan hati nurani yang didengar.

Sebab itu kau tak ingin memihak.
Tapi aku memihak.
Baiklah aku jelaskan kenapa. Di hari-hari pemilihan
presid­ en 2014 ini, justru dengan memihak—tapi tak asal
memihak—aku memutuskan ikut dalam ikhtiar menemukan
tujua­ n­yang kau ingin capai, tujuan yang aku ingin capai.
Bedanya: aku tak berdiri di menara pengawas. Bagiku me­
nar­a pengawas itu hadir di jarak yang semu. Ia tampak jauh,
atau menganggap diri jauh, menjulang ke dekat langit. Tapi
fon­dasinya terletak di sepetak tanah. Lokasinya tidak cuma ak­
rab dengan pucuk pohon yang hijau, tapi juga dengan air payau
dan pelbagai tahi. Aku tak ingin berada di menara itu bukan
kar­ena tak nyaman dengan najis. Aku tak ingin di sana karena
me­rasa tak bisa pura-pura menatap bumi dari luar sejarah yang
bergolak.
Pandanganku mungkin terbatas. Mungkin aku kehilangan
pers­pektif yang mencakup semua. Tapi aku tak pernah yakin

Catatan Pinggir 11 347

http://facebook.com/indonesiapustaka MEMIHAK

bah­w­ a ”melihat” selalu sama dengan ”mengetahui”, dan ”me­
nge­tahui” sama dengan ”mengalami”. Ketika aku memihak,
ada yang hilang dari penglihatanku, tapi aku mengalami sesu­
a­tu.­

Yang sangat menonjol dalam pemilihan presiden 2014
adal­ah peredaran fitnah yang deras, dalam derajat yang tak
pernah­ dialami sejarah politik Indonesia. Mungkin ini bisa
terjadi ka­re­na perpindahan fokus dari ideologi ke tokoh—
sebuah tren yang menegas karena kekuasaan televisi. Di layar
yang gemilang itu, wajah dan citra lebih penting ketimbang
program dan pikiran. Dan wajah dan citra itulah yang oleh
fitnah hendak dirusak.

Tapi fitnah yang menderas itu juga karena persaingan
politik telah diperlakukan sebagai permusuhan absolut. Kau
tentu ingat, ”perang” telah dipakai untuk menggambarkannya.
Le­bih­tajam lagi: perang antara ”kafir” dan ”Islam”. Dalam
permusuhan yang mutlak itu, tak ada lagi nilai-nilai yang
dianggap berlaku bersama. Fitnah dan dusta dihalalkan,
karena pertarungan macam itu adalah pertarungan tanpa
kemungkinan re­konsiliasi. Pihak yang memfitnah merasa
pantas mengecualikan diri dari nilai-nilai bersama tentang
yang jujur dan yang tidak.

Persaingan politik 2014 dengan segera berubah jadi per­
juangan moral—satu hal yang membuatnya sengit, berkibar-
kibar, tapi juga tragis.

Ketika politik bertaut dengan tuntutan moral, orang ramai
me­mang merasa menemukan sebuah arah—sebuah arah yang
bernilai dan sebab itu menggerakkan hati. Dari sinilah lahir
part­isan yang intens. Tak ada lagi sikap acuh tak acuh, yang

348 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka MEMIHAK

umum berkembang ketika demokrasi jadi sekadar prosedur,
ketika demokrasi tak banyak mengubah keadaan. Yang timbul
adalah rasa cemas dan amarah, menyaksikan kebohongan dan
usaha penipuan beranak-pinak—dan bisa menang.

Reaksi terhadap itu adalah militansi yang tanpa diperintah.
Ada akal sehat bersama yang dihina. Kau, yang mengambil ja­
rak dari gelora dan keramaian itu, tetap tak memihak. Kau ma­
lah mencemooh, ”Betapa naifnya orang ramai itu!” Tapi aku
tak yakin lagi yang kau usahakan adalah kembalinya nalar,­
stan­dar nilai yang adil, dan hati nurani yang peka.

Tapi harus aku akui, ada benarnya yang kau lihat.
Sebab ketika perjuangan politik berkembang jadi per­
tarungan moral, orang sering lupa: dalam sejarah, tak ada perta­
rungan antara kebaikan dan keburukan yang selesai. Tuntut­
an agar kebaikan terlaksana di sebuah negeri tak pernah terpe­
nuhi. Ketaksabaran akan menyusul, terkadang melahirkan te­
ror dan penindasan. Atau kekecewaan.
Politik adalah jalan yang efektif buat mengubah dunia dan
kek­ ecewaan, tapi politik sesungguhnya bukan jalan yang baik.
Raym­ ond Aron pernah menulis, politik mengandung ”pakta
dengan kekuatan-kekuatan neraka”. Politik, sebagai perjuang­
an ke arah kekuasaan, selamanya menjurus ke kekerasan: ke
arah­negara di mana kekerasan jadi hak eksklusif.
Tapi justru dari situlah aku mendapatkan sesuatu. Tiap saat
aku dipaksa berharap dan cemas. Tiap kali aku belajar kembali­
meniti buih antara ”kekuatan neraka” dan tuntutan moral­
yang menggerakkan hati jutaan orang tempat aku terpaut.
Tiap saat kutemukan kemungkinan dan keterbatasan manusia,­
kebusukan dan kemuliaannya, egoisme dan kemauannya

Catatan Pinggir 11 349

http://facebook.com/indonesiapustaka MEMIHAK

berkorban. Tiap kali aku merasa perlu mengakui: manusia itu
mungk­ in ada dalam diriku.

Tentu kau tak mengalami itu. Kau berdiri aman jauh dari
ba­rikade, berkomentar sesekali dengan pintar. Aku tak tahu
ada­kah yang mendengar.

TEMPO, 3 Agustus 2014

350 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka AL-LUDD, 1948-2014-...

SEJARAH yang brutal, sengsara, dan tak berujung itu
mungkin dimulai di sebuah kota kecil Palestina, 15
kilometer di tenggara Tel Aviv. Orang Arab menyebutnya al-
Ludd ( ), orang Yahudi menyebutnya Lod.

Sebelum zaman diguncang Perang Dunia II, di kota itu
pen­duduk Arab hidup tenang berdampingan dengan para pe­
mu­kim Yahudi yang datang sejak 1903. Di lembah al-Ludd, se­
orang Yahudi pendatang mendirikan sebuah pabrik sabun dari
minyak zaitun; yang lain sebuah rumah yatim piatu korban
pengu­ siran paksa di Eropa Timur.

Tak ada yang benar-benar berhasil. Tapi kemudian, pada
1927, datang Siegfried Lehmann.

Mantan dokter tentara Jerman itu lahir di Berlin pada 1892
da­ri keluarga Yahudi yang kaya dan dermawan. Pada 1917, ia
mend­ irikan rumah penampungan bagi yatim piatu Yahudi di
Kot­a Kovnia, Lituania. Tapi keadaan memburuk; di sini pun
orang Yahudi dimusuhi. Ia memutuskan pindah ke Palestina.

Seperti para pendahulunya, ia memilih lembah di atas al-
Ludd. Di sana ia dirikan sebuah ”desa-pemuda”, dengan nama
Ben Shemen. Di situ para anak asuh dilatih beternak, berkebun,
berladang anggur, sambil bersekolah. Menjelang 1946, ada
500 murid dari umur 12 sampai dengan 18 yang tercatat di
Ben Shemen: sebuah zona kecil Zionis yang damai—yang tak
disangka kelak akan bertaut dengan perang, pembantaian,
dan pembuangan.

Catatan Pinggir 11 351

http://facebook.com/indonesiapustaka AL-LUDD, 1948-2014-...

Pada mulanya, hubungan Lehmann dengan penduduk
Arab di al-Ludd akrab. Ketika gempa bumi menghancurkan
seb­ agian kota dan menewaskan sejumlah penduduk, dokter
Yahudi-Jerman itu datang merawat korban yang luka-luka.
Kli­niknya terbuka bagi orang-orang Palestina. Para pemuda
Zionis membangun sebuah air mancur tempat penduduk kota
bisa minum ketika hari terik. Tiap akhir pekan, murid-murid
Ben Shemen berkunjung ke dusun-dusun Arab di sekitar itu.
Di tiap festival desa-pemuda, pemain musik dan penari masya­
rakat Arab diundang serta.

Tapi suasana seperti gambar di kartu pos yang cantik itu tak
bertahan. Di tahun-tahun itu dunia digedor pelbagai hal. Ti­
mur Tengah berubah jadi sebuah tragedi dengan peta baru. Se­
hab­ is Perang Dunia II, negara-negara pemenang mengesahkan
se­buah tempat bagi sisa-sisa orang Yahudi yang hendak diha­
bisi Hitler. Inggris melepaskan posisinya sebagai pengampu
wil­ayah Palestina, dan bagi kaum Zionis yang berjuang buat
ke­merdekaan bangsa Yahudi, itulah negeri yang dijanjikan
Tuhan dan sejarah. Pada 14 Mei 1948, David Ben-Gurion
memaklumkan berdirinya Negara Israel di wilayah itu—
wilayah yang mereka anggap diwariskan buat mereka tapi yang
ber­abad-a­ bad lamanya dihuni orang Arab. Tak ayal, tentara
Arab dari sekitar pun menyerbu.

Mereka gagal. Bahkan sebaliknya yang terjadi: Israel
memperluas kekuasaannya. Di awal Juli, Operasi Larlar
diluncurkan untuk merebut beberapa wilayah di Palestina,
termasuk al-Ludd.

Ari Shavit, yang baru-baru ini menerbitkan bukunya, My
Promised Land: The Triumph and Tragedy of Israel, pernah me­

352 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka AL-LUDD, 1948-2014-...

ngi­sahkan apa yang terjadi di al-Ludd dalam majalah The New
Yorker, 21 Oktober 2013. Ia menulis sebuah catatan sejarah, ta­
pi juga perenungan kembali dengan beberapa pertanyaan besar
yang tak terjawab.

Pada 11 Juli 1948, tentara Israel, dengan dibantu batalion
yang dipimpin Moshe Dayan—lengkap dengan sebuah
kenda­raan berlapis baja yang dipasangi kanon—menyerbu
al-Ludd, disertai para pemuda yang telah dilatih perang dari
Ben­Shemen. Kota itu dicoba dipertahankan para milisi Arab.
Tapi da­lam 47 menit, belasan orang Arab tewas, termasuk
perempuan, orang tua, dan anak-anak. Di pihak Israel,
sembilan orang mati.

Malam itu juga posisi-posisi kunci di pusat kota direbut.
Pen­duduk Palestina, dalam jumlah ribuan, dipaksa masuk ke
masj­id utama. Ketika beberapa orang Arab mencoba melawan
de­ngan menembaki tentara Israel dari dekat sebuah masjid
kecil, balasan datang tak tanggung-tanggung.

Granat dilontarkan ke rumah-rumah. Masjid kecil itu di­
temb­­ ak dengan peluru antitank. ”Dalam 30 menit, dua ratus­
li­ma puluh orang Palestina tewas,” tulis Shavit. ”Zionisme te­
lah­melakukan pembantaian di al-Ludd.”

Dan itu bukan akhir cerita. Setelah kota diduduki, Yitzhak
Rab­ in, perwira operasi, meneruskan keputusan Ben-Gurion
dal­am sebuah instruksi tertulis: ”Penduduk al-Ludd harus di­
usir­secepatnya, tanpa memandang umur.”

Menjelang malam, sekitar 35 ribu orang Arab Palestina
berduyun-duyun meninggalkan kota kelahiran mereka—
dalam ba­risan yang amat panjang menuju timur. Tak pernah
bisa kemb­ ali.

Catatan Pinggir 11 353

http://facebook.com/indonesiapustaka AL-LUDD, 1948-2014-...

Ari Shavit menuliskan adegan itu dengan nada sedih. Ia
tah­ u kekejaman telah terjadi terhadap orang Palestina yang
tak berd­ osa dan tak berdaya itu—orang-orang usiran abad
ke-20, se­perti bangsa Yahudi, orang-orang usiran abad ke-6
sebelum Mas­ehi. Tapi ia tak mengutuk. Wartawan harian
Haaretz itu tak sanggup mengutuk para pemimpin Israel yang
memerintahkan kesewenang-wenangan di al-Ludd. ”Tanpa
mereka,” tu­lisnya, ”aku tak akan pernah dilahirkan. Mereka
melakukan ker­ja yang keji itu yang memungkinkan bangsaku,
rakyatku, anak-anakku, dan diriku hidup.”

Shavit lahir di Rehovot, 20 kilometer dari Tel Aviv, sembilan­
tahun setelah Negara Israel berdiri. Ada yang jujur dalam
pernyataannya: ia mengaku tak berdaya di tengah pilihan-pi­
lih­an mo­ral yang sulit.

Ia ingat Mula Cohen, komandan tentara yang mengawasi
peng­usiran orang-orang Palestina di senja itu. Shavit mewa­
wan­c­ arai orang ini seperempat abad setelah kejadian di al-
Ludd.­ Cohen bercerita bagaimana ia menyaksikan orang-
orang­Palestina yang diusir itu, tua-muda, berjalan makin la­
ma­makin jauh, memanggul barang, sampai tak tahan lagi dan
mem­buang apa yang ingin mereka simpan dalam pengasingan.

Cohen seorang prajurit yang berasal dari Ben Shemen; ia te­
lah memperoleh didikan dokter Lehmann yang mengenal­baik
orang-orang Palestina itu. Meskipun tak merasa bersal­ah, ia
merasa ada yang menekan di hatinya. Ia saksikan pembu­nuh­
an,­penjarahan, rasa marah, dendam. Ia saksikan rombong­
an orang Arab yang dihalau. Di hadapan semua itu ia merasa­
”pendidikan humanis” yang didapatkannya di Ben Shemen
run­tuh. Ia merasa ada sesuatu yang luar biasa besar yang tak

354 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka AL-LUDD, 1948-2014-...

dap­ at dihadapinya, sesuatu yang bahkan tak dapat dimengerti.
Pada akhirnya, orang memang bisa bertopang pada sejenis­

pragmatisme: apa saja yang bisa menghasilkan yang baik, itulah
yang harus dinilai. ”Perang memang tak manusiawi,” kata
Shmarya Gutman, dulu perwira yang ditugasi jadi gubernur
mil­iter Israel setelah al-Ludd diduduki. ”Tapi perang... bisa
mem­ ecahkan soal-soal yang tak terpecahkan di masa damai.”

Shavit tak mengatakan demikian—dan mungkin sebab itu
ia tak bisa lepas dari dilema yang berkecamuk dalam dirinya.­Ia
tak bisa ”mencuci tangan”-nya dari Zionisme. Ia tak bisa meng­
ingkari kebutuhan orang Yahudi untuk memiliki tanah air me­
reka sendiri. Akhirnya seperti Cohen, ia merasa berbentur­an
dengan sesuatu yang demikian besar yang tak dapat ia hadapi.

Tapi dengan demikian ia mengelakkan pertanyaan-perta­
nyaa­ n lain. Ia memang berbeda dari banyak orang Israel yang
sel­amanya menyangkal bahwa riwayat Israel bukan cuma
cerita peradaban, tapi juga barbarisme. Bagaimanapun, ada
yang mas­ih kurang. Shavit tak bertanya lebih jauh: haruskah
al-Ludd bernasib demikian? Tak adakah jalan lain?

Ia menyimpulkan penaklukan al-Ludd dan pengusiran
pen­duduk kota itu ”bukan sebuah kebetulan”. ”Kejadian-
kejad­ i­an itu merupakan satu fase yang menentukan dalam
revolusi Zionis,” tulisnya. Di al-Ludd pasukan Yahudi praktis
meletakkan batu awal Negara Israel—sebab kota itu strategis,
sebab dar­i sana bandara internasional yang menghubungkan
republik­ ba­ru itu dengan bantuan dari dunia luar bisa
diganggu.

Tapi haruskah sebuah negara berdiri dengan menghalau
35 ri­bu orang yang tak dikehendaki—dan mereka tak

Catatan Pinggir 11 355

http://facebook.com/indonesiapustaka AL-LUDD, 1948-2014-...

dikehendaki karena mereka dianggap ancaman, dan mereka
dianggap anc­ aman hanya karena mereka bukan sekaum,
berbeda label dan identifikasi?

Perang memecahkan soal-soal yang tak terpecahkan dalam
mas­a damai, kata Gutman. Dan kekejaman di al-Ludd itu, ka­
ta Shavit, memungkinkan sebuah bangsa memperoleh tempat
berl­indung di mana generasi-generasi tumbuh, juga anak-anak
mu­da yang menampik melanjutkan kekejaman.

Tapi pragmatisme demi-sebuah-masyarakat-baru seperti
ini­bisa jadi dalih siapa saja—dari Pol Pot sampai dengan para
jend­ er­al yang menghabisi ratusan nyawa di Bosnia. Siapkah
Israel, dan Amerika Serikat, melihat yang terjadi di Palestina
dengan ukuran yang sama?

Sampai hari ini, Israel dengan susah payah mencoba
menjawab, atau menampik, pertanyaan seperti itu. Sampai
hari ini, se­jarah yang brutal itu seperti tak berujung.

Mungkin itu sebabnya Shavit menutup tulisannya dengan
satu paragraf panjang yang muram:

Dari titik tertinggi desa-pemuda Ben Shemen, aku memandang ke lembah
al-Ludd. Kulihat kota dan menara tinggi masjid besar. Kulihat rerimbun­
pohon-pohon zaitun yang punah, dusun Lehmann yang hilang. Dan aku
renungkan tragedi yang dulu terjadi di sini. Empat puluh lima tahun setelah
orang-orang Yahudi diusir paksa di Eropa, Zionisme tiba di lembah al-Ludd
dan memulai malapetaka manusia. Empat puluh lima tahun setelah masuk­
ke lembah al-Ludd atas nama mereka yang kehilangan rumah, Zionisme
mengu­ sir barisan orang yang kehilangan rumah. Di bawah panas yang berat,
menembus kabut debu, melintasi padang-padang kering yang kecokelatan,
kul­ihat mereka bergerak ke timur. Begitu banyak tahun telah berlalu, tapi ba­
risa­ n itu tetap bergerak ke timur....

356 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka AL-LUDD, 1948-2014-...

Gerak itu tak juga berhenti, mungkin tak akan berhenti.
Samp­ ai hari ini, seperti yang bisa disaksikan di Gaza, orang Pa­
lest­ina terus-menerus dibantai, terus-menerus melawan, terus-
men­ erus diabaikan dunia.

Sejarah memang tak pernah menjanjikan penutup yang
bahagia bagi semua orang; juga tak ada happy ending yang jadi
akhir selama-lamanya. Tapi sejarah juga terdiri atas tindakan
yang tak henti-hentinya membangkang, menuntut: al-Ludd,
ka­ta lain dari kesewenang-wenangan, tak boleh terjadi lagi.

TEMPO, 10 Agustus 2014

Catatan Pinggir 11 357

http://facebook.com/indonesiapustaka

358 Catatan Pinggir 11

TANGIS

Siapa tahu matahari seorang yang buta?

—Les Misérables

http://facebook.com/indonesiapustaka MATAHARI bisa begitu terang, tapi begitu jauh dan tak
ped­ uli kesengsaraan manusia. Les Misérables, yang terbit
pertama kali 1 April 1862, ingin lebih dekat ke bumi dan peka
kepada tangis Prancis. Satu baris kalimatnya yang termasyhur:
”Siapa yang tak menangis, tak melihat.”

Victor Hugo ingin mata kita basah dan melihat, dengan
peka, ke sekitar. Pada umumnya ia berhasil, setidaknya di
antara pemb­ acanya 200 tahun yang lalu. Konon penerbitan
pertama nov­ el ini di Brussel tertunda karena para juru cetak
terisak-isak waktu membaca manuskripnya.

Sang novelis tak ingin jadi pemikir besar. Ia tak mau mena­
tap­ semesta dan melihat sejarah semata-mata sebagai survei
wil­a­yah. Ia tak mau sibuk dengan tata zodiak hingga ia tak
melihat anak kecil yang mencucurkan air mata.

Tak mengherankan bila novel yang terdiri atas lima bagian
panj­ang ini padat dengan tokoh kecil yang melata, kaya akan
adegan yang menyayat hati dengan khazanah kata yang
tak ha­bis-habisnya. Paragraf demi paragraf bergerak antara
renungan sang pengarang dan dialog para peran—sebagian
besar les misérables, para nestapa. Fantine, gadis yang hamil,
ditinggalkan pa­car dan jadi pelacur; Cosette, yatim yang
terdampar; Jean Val­jean, lelaki yang dihukum keras karena

Catatan Pinggir 11 359

http://facebook.com/indonesiapustaka TANGIS

mencuri sepotong roti.
Tapi tak hanya itu. Novel ini memang terkadang terasa

seperti sebuah melodrama yang majemuk, tapi Les Misérables
ses­ung­guhnya sebuah novel politik. Melalui bab demi bab, kita
bera­ ngsur-angsur masuk ke dalam latar Paris menjelang Revo­
lusi 1830. Suara rakyat, khususnya kaum buruh, makin nya­
ring­di depan umum, di kedai-kedai anggur dan di salon-salon­
pertemuan. ”Demam revolusi berjangkit. Tak ada titik di Kota
Pa­ris atau di Prancis yang bebas darinya. Urat nadi berdenyut
ke­ras di mana-mana. Bagaikan membran yang tercipta
dari inflamasi dan membentuk tubuh manusia, jaringan
perkumpula­ n rahasia mulai menyebar ke seluruh negeri.”

Dalam jaringan itu, di kamar-kamar belakang yang sete­
ngah­tersembunyi, para buruh bersumpah akan segera turun
ke jalan begitu tanda pertama dibunyikan. Dan barikade pun
di­bentuk. Aparat kekuasaan ditantang. Tembak-menembak
terj­adi. Darah tumpah dan asap memenuhi trotoar. Di celah-
ce­lah itu, tampak ”mulut-mulut yang menyemburkan napas
api”, ”wajah-wajah yang luar biasa”.

Di adegan seperti itu kita lihat: politik adalah sebuah
tiwikrama, ketika manusia bergulat untuk mengubah keadaan
jadi se­buah dunia yang lebih baik. Politik mentransformasi
manusia yang rutin, terbatas, dan terpisah-pisah, menjadi
subyek yang menggerakkan dan digerakkan tuntutan yang
melebihi ket­erbatasan dan kepentingan dirinya.

Di Indonesia kita telah menyaksikan transformasi itu
dalam po­litik di awal abad ke-20 semasa pergerakan nasional
dan ketika perang kemerdekaan meletus pada 1940-an: di saat
seperti itu, politik tumbuh dari tuntutan dan empati—dari

360 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka TANGIS

”melihat” dan ”menangis”.
Menangis, dalam pengertian ala Hugo, adalah sebuah

”penga­­ laman ethis”. Kata ini saya pinjam dari Simon Critchley­
dalam Infinitely Demanding: sebuah pengalaman ketika da­
tang tuntutan ethis dan ”aku siap mengikatkan diriku kepa­da­
nya”. Dengan itu aku bertekad penuh—tak sekadar memenuhi
akidah normatif—karena ada sesuatu yang keji yang terjadi.

Tuntutan itu datang dari diriku sendiri, tak diperintah. Tapi
tak hanya itu. Jika ia disebut sebagai hasil nalar atau akal budi,
akal budi itu—sebagaimana ditunjukkan Hegel dan Marx—
bersifat sosial, dari proses saling-asah-saling-asih-saling-asuh
da­lam sejarah. Ia bertolak dari sebuah situasi yang konkret
dan terbatas, tapi menjangkau nilai yang universal. Itulah yang
tumb­ uh dalam diri Jean Valjean: tuntutan ethis yang dalam,
se­jak ia diampuni sang padri yang ia curi perabot peraknya
dan ia pukul kepalanya. Ia jadi seorang penolong yang tanpa
pamrih, tanpa ingin diakui.

Bagaimana itu mungkin? Mungkin hati nurani. Tapi dalam
ka­ta yang ringkas itu terkandung cerita kemanusiaan yang
seluruhnya terjelaskan. ”Untuk menulis tentang hati nurani,”
ka­ta Hugo, ”andai kata pun tentang seorang manusia semata-
mat­a, andai kata pun tentang orang yang paling dihujat, harus­
kita cernakan semua kisah epik yang definitif dan bernilai.”

Kisah epik itu agaknya yang mengingatkan kita tentang
tunt­utan ethis yang dalam yang membuat Jean Valjean jadi
orang baik, Revolusi 1830 tak hanya huru-hara dan politik ter­
gerak menjangkau nilai yang universal. Saya kira Critchley be­
nar: ethik tanpa politik itu kosong, politik tanpa ethik itu buta.

TEMPO, 17 Agustus 2014
Catatan Pinggir 11 361

http://facebook.com/indonesiapustaka

362 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka DIGUL

Tanah Merah, sebuah desa cantik di atas Sungai Digul....
—Surat Van der Plas kepada Van Mook, 18 April 1943

DI bekas wilayah hukuman itu saya melangkah masuk ke
hal­aman penjara tua yang didirikan pemerintah koloni­al
untuk para tahanan politik pada tahun 1920-an: ruang sempit,
kawat berduri di atas tembok, sel di bawah tanah tempat orang
hukuman yang bandel dikurung. Di bawah matahari yang
terik dan udara yang gerah di Boven Digul, yang sama se­ka­
li tak mirip ”desa cantik”, sejauh mana yang terhukum bisa
bertahan?

Saya tergetar, sebentar. Pernahkah ayah saya disekap di
bui itu? Saya tak bisa membayangkannya. Saya tak pernah
dengar cer­itanya. Ia dibuang ke tempat yang terpencil itu,
bersama ibu say­ a, setelah dipenjara dan ditahan di rumah
sejak pemberontakan tahun 1927. Saya baru dilahirkan sekitar
sembilan tahun­semenjak mereka dipulangkan ke Jawa. Bapak
tak sempat bercerita banyak tentang masa lalunya kepada saya:
ia ditembak ma­ti tentara Belanda ketika saya berumur lima
tahun. Ibu terlalu sibuk membesarkan kami. Yang membekas
dari Digul pad­ a keluarga kami sesuatu yang tanpa kata-kata:
salah satu kakak lahir di pembuangan itu.

Mungkin itu sebabnya di keluarga kami, masa lalu itu
jarang jadi percakapan.

Jangan-jangan Digul sebenarnya bukanlah sebuah drama

Catatan Pinggir 11 363

http://facebook.com/indonesiapustaka DIGUL

yang menarik untuk dikisahkan berulang kali?
Ibu cuma kadang-kadang bercerita tentang penduduk

Papua­setempat yang disebut ”orang Kaya-Kaya” yang datang
dari hutan, ”para hantu rimba” yang ikut membantu kerja, dan
me­manggil Ibu ”mama kuminis” dan Bapak ”papa kuminis”;
tent­ang para tahanan politik yang dengan sengaja membuang
obat yang didapat dari Rumah Sakit Wilhelmina (dengan ha­
rapan pemerintah kolonial akan bangkrut membiayai kamp
tah­ anannya); tentang orang buangan yang berani, terutama se­
orang pemuda bernama Salim.

Kakak saya pernah menyebutkan, dalam album keluarga
ada potret Ayah di antara teman-temannya dalam kamp, tapi
potret itu lenyap ketika pasukan Belanda menggeledah rumah
kami dan Ayah ditangkap, kemudian dieksekusi.

Kenangan mirip potret yang kabur, bahkan lenyap. Ia masa
lal­u yang berubah bersama yang terjadi di hari ini. Dalam A
Certain Age, sebuah buku ”sejarah” yang memukau sebab tak
laz­ im, Rudolf Mrazek mengeluarkan catatan wawancaranya
den­ gan bekas-bekas buangan Digul. Kita ketemu dengan
Sukarsih Moerwoto, misalnya. Aktivis pergerakan nasional ini
yang selama tujuh tahun dibuang merasa bahwa di Digul ”tak
cu­kup ada makanan. Tak cukup ada kebahagiaan”. Tapi ia juga
mengatakan tak ada rasa tertekan. Tak ada kawat berduri di se­
kitar kamp mereka. ”Kami sering berpiknik, dan kadang-ka­
dang naik kanu di sungai. Kami mendayung dan kemudian
mak­ an siang.”

Ada surat kabar yang datang tiap enam pekan, dan ketika
Bung Hatta diinternir di sana, ia tidak hanya membawa
enam pe­ti buku, tapi juga sebuah gramofon. Hatta mengajar

364 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka DIGUL

ekonomi, Sjahrir, kadang-kadang, mengajar bahasa Inggris
dan menyanyi.

Seperti diuraikan Mrazek dalam tulisan yang lain, ”Sjahrir­
in Boven Digoel”, dalam buku Making Indonesia (editor
Daniel­S. Lev dkk.), di kamp itu ada klub debat; para tahanan
mendiskusikan buku Ramsay MacDonald, Socialism: Critical
and Constructive, dan karya Firmin Riz, L’energie americaine.
Merek­ a membentuk grup gamelan dan musik Sumatera,
bahkan ada kelompok jazz yang disebut ”Digoel Buseneert”.
Pelajaran bah­ asa Inggris maju; di sana-sini ada penawaran jasa
laundry dan barbershop.

Ada sekolah buat anak-anak: sekolah Katolik dan Protestan,­
dan sebuah sekolah yang diajar seorang bekas tokoh komunis,
Soetan Said Ali, yang dalam sebuah laporan resmi disebut
”sebuah sekolah kecil komunis di Tanah Tinggi”.

Tapi tentu tak semua diperkenankan berkembang. Para
ta­han­an yang keras kepala dipisahkan di tempat yang jauh.
Tokoh PKI Aliarcham, salah satu pelopor pemberontakan
tahun 1926, adalah salah satunya. Ia meninggal di tempat
sunyi itu.

Pada akhirnya, Digul adalah proyek penjinakan. Gubernur
Jend­ eral De Graeff mengemukakan tujuan itu ketika kamp itu
dibuka: ”Ambisi politik yang ada harus diatasi dengan keterta­
rikan akan hal-hal yang lebih bersifat rumah tangga dan
sosial.”

Tapi bagaimana mungkin penjinakan ala borjuis itu
terj­adi ket­ika Digul—betapapun jauh bedanya dengan
kamp konsentrasi Hitler—tetap menunjukkan sifat dasar
kekuasaan. Apalagi kekuasaan kolonial: sebuah kekuatan yang

Catatan Pinggir 11 365

http://facebook.com/indonesiapustaka DIGUL

mengecualikan diri dari tuntutan kesetaraan. Ia membangun
kamp, ia memi­sah-misahkan sesama manusia. Tapi tiap kali
tuntutan melawan itu tak bisa diredam, dan politik bangkit.

Maka apa pun desain pemerintah Hindia Belanda, sebuah
kamp selalu menyiapkan hari akhirnya sendiri. Dalam sejarah
kol­onialisme di Indonesia, hari akhir itu 17 Agustus 1945.

TEMPO, 24 Agustus 2014

366 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka ISKANDAR

REVOLUSI selalu berkecamuk sebelum jam malam.
Dengan gelora hati. Setelah revolusi selesai, tak ada
lagi yang ber­k­ ecamuk. Tak ada lagi gelora hati. Perjuangan,
termasuk de­ngan kekerasan, berhasil, dan berakhir, lalu
berdirilah sebua­ h tata dan kedaulatan: sebuah bangunan yang
dingin dengan ga­ris-garis lempang....

Saya ingat film Lewat Jam Malam yang skenarionya ditulis
As­rul Sani dan diproduksi hanya beberapa tahun setelah pe­
rang­kemerdekaan: Iskandar, seorang bekas gerilyawan, jadi
seo­ rang asing, ketika ia masuk ke kehidupan normal setelah
per­juangan selesai dan Republik mulai bekerja sebagai sebuah
pem­ erintahan.

Iskandar dipekerjakan di kantor gubernuran. Ia tak betah.
Ia kecewa. Tak ada lagi gairah. Yang ia saksikan sebagai
hidup yang tertata itu adalah kepalsuan—satu hal yang tak
dialamin­ ya­ selama angkat senjata di hutan-hutan, ketika ia
menyiapkan hidupnya dan matinya untuk Tanah Air. Cerita
berakhir ke­tika Iskandar, yang resah dan risau dalam keadaan
pasca-per­juangan itu, tewas ditembak mati polisi militer. Ia
melarikan diri pada saat jam malam diberlakukan di kota itu.

Demikianlah sang bekas gerilyawan bertabrakan dengan
ke­daulatan. Kedaulatan itulah yang menetapkan jam malam
dan menyiapkan polisi militer. Kedaulatan itulah yang menya­
tak­­ an diri mau menjaga agar tata sosial tak terganggu—
meskipun dengan demikian para pencoleng ikut terlindungi.

Catatan Pinggir 11 367

http://facebook.com/indonesiapustaka ISKANDAR

Iskandar tak sendirian. Di negeri lain, di masa lain, Hannah
Arendt menulis buku tentang revolusi. Dalam On Revolution
ia uraikan sebuah keadaan ketika—seperti yang dialami para
rel­awan dalam pemilihan presiden 2014—ada pengalaman
ko­lek­tif tentang kekuasaan. Di saat itu, politik hidup. Tapi
kemudian perjuangan ”selesai”, dan satu sistem kekuasaan yang
dianggap mewakili mereka yang berjuang pun ditegakkan.
Kedaulatan hadir sebagai sebuah keniscayaan: sesuatu yang
me­njag­ a dan mengelola apa yang dianggap sebagai kelanjutan
har­apa­ n perjuangan.

Tapi bersama itu, politik mati—atau ditidurkan. Pengalam­
an kekuasaan tak lagi kolektif, tapi berkisar di sebuah lapisan
yang terbatas. Dalam Revolusi Rusia, lapisan itu para anggota
Part­ai Komunis, yang kemudian jadi nomenklatura. Dalam
Re­volusi Indonesia—juga dalam setiap perubahan besar sejak
1945, 1965, 1998—politik diambil alih partai, militer, dan di
sana-sini birokrasi.

Yang terjadi bukan hanya politik ditidurkan dan sebuah
kepalsuan yang seperti dirasakan Iskandar menyeruak, tapi
juga se­buah kekerasan disembunyikan di balik semua itu. Film
Lewat Jam Malam tanpa banyak kata-kata memperlihatkannya:
pas­ukan polisi militer dan bedil mereka itu, atas nama tata
tertib yang lempang dan dingin, membunuh seseorang yang
belum tentu bersalah.

Kekerasan memang terjadi dan dilakukan ketika Republik
hend­ ak dilahirkan. Iskandar dan kawan-kawannya tak segan-
se­gan membunuh tanpa menelaah adakah si korban pantas di­
len­ yapkan. Tapi kekerasan juga terus ketika hukum dibangun.
Ked­ aulatan mau tak mau harus ada dan bekerja.

368 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka ISKANDAR

Kedaulatan itu, tempat ”negara” mendasarkan dirinya, tiap
ka­li bisa represif, tiap kali bisa mengasingkan mereka yang tak
me­rasa lagi bisa berbagi dengannya. Juga tiap kali punya dalih,
ter­kadang dengan janji tentang keadilan. Tapi sejarah berkali-
ka­li menunjukkan bahwa janji semacam itu, atau klaim ke
arah itu, melahirkan sebuah ketakaburan dan pemberhalaan.
Keadilan atau Ratu Adil—meskipun mengimbau terus-
menerus seh­ ari-hari—tak pernah mewujud penuh di bumi.

Itu sebabnya politik yang ditidurkan tiap kali akan terjaga—­
politik dalam arti gelora orang banyak, di luar nomenklatura,
ketika bergerak secara kolektif pengalaman berkuasa. Jika
kemudian terjadi perubahan yang dahsyat itulah kekerasan
sebag­ ai­awal kisah sebuah kedaulatan yang gagal.

Walter Benjamin pernah menulis tentang kekerasan dan ia
ber­bicara tentang ”kekerasan ilahi” yang ”murni”, die göttliche­
reine Gewalt. Sebagaimana saya memahaminya, itu adalah ke­
kerasan yang murni karena tak tercemar dan murni karena­tak
bisa ditawar. Itu adalah sebuah guncangan terhadap kedaulat­­
an yang dengan kekerasannya sendiri membuat hukum se­
akan-­a­ kan tak akan lapuk.

Bagi Benjamin, kedaulatan yang terbaik justru kedaulatan
yang lapuk. ”Kekerasan ilahi” menegaskan itu. Akan ketahuan
bahw­ a kedaulatan selalu bersifat sementara dan tak bisa me­
ngua­ sai semuanya. Dengan demikian rakyat yang di bawah
itu bisa menegaskan bahwa politik tak bisa mereka lepaskan.
Kal­aupun tiap kali perjuangan bersama berakhir dengan
kekece­waan, dan kedaulatan menabrak, mereka tetap tahu
batas orang-orang yang berkuasa. Juga mereka tetap tahu daya
sangkal­mereka. Dalam politik, mereka tak sendiri.

Catatan Pinggir 11 369

http://facebook.com/indonesiapustaka ISKANDAR

Bila Iskandar mati sendirian, ia sebenarnya gejala ketika po­
li­tik disingkirkan.

TEMPO, 31 Agustus 2014

370 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka SHANE

SEORANG asing datang berkuda ke sebuah permukiman
pel­adang di lembah Wyoming, tahun 1889. Ia tampil
bukan sebagai orang biasa. Pandangannya ”angker”, kata
seorang boc­ ah yang memperhatikannya dengan kagum,
”membuat mer­inding dalam kesendiriannya yang kelam”,
chilling in his dark solitude.

Lelaki itu tak bersenjata, tapi ia tampak terbiasa dengan
pistol dan bedil. Ia tak banyak omong. Ia selalu siaga. Ia selalu
menyimak. Bahaya tersirat dalam tindak-tanduknya.

Namanya ”Shane”—itu saja.
Kemudian nama tokoh novel Jack Schaefer ini (pertama
ka­li terbit pada 1949) jadi termasyhur sejak sutradara George
Stevens membuatnya jadi sebuah film pada 1953, ketika dari
Hollywood jenis western masih laris.
Dalam film itu, bagi saya, Alan Ladd tak mengesankan
memerankan Shane. Ia terlalu rupawan dan tak muram dan
tanpa karisma. Tapi jika film ini berhasil jadi sebuah karya
klasik, mungkin karena ia berdasar sebuah novel western
yang tak­ lazim. Klimaksnya memang berupa duel tembak-
menembak.­ Tapi cerita ini—dikisahkan seorang bocah
berumur 10 tahun—jadi sebuah epos kecil tentang kesetiaan
yang kukuh, per­cintaan yang lembut, pengorbanan yang
radikal.
Shane datang ke lembah itu dan bekerja jadi pembantu Joe
Starrett yang sedang membangun tanah pertaniannya. Kedua­

Catatan Pinggir 11 371

http://facebook.com/indonesiapustaka SHANE

lelaki itu dengan segera jadi akrab. Joe bahkan menahan
cemburunya ketika melihat bahwa percintaan terbit lamat-
lamat ant­ara Shane dan istrinya. Berangsur-angsur, lelaki
misterius­itu jadi bagian keluarga itu, terutama karena anak
mereka, Joey,­terpesona dan jatuh sayang kepadanya.

Kemudian sesuatu terjadi. Rufus Ryker, tuan tanah, hendak­
mengusir para peladang di lembah kecil itu. Mereka bertahan.­
Ryker pun menyewa seorang jago tembak yang terkenal, Jack
Wilson. Nyawa Joe terancam. Di saat itu, Shane muncul
dengan penampilan yang berubah: ia mengenakan pakaian
dan­senjata yang selama ini disembunyikannya. Ia berangkat
meng­hadapi Wilson.

Duel terjadi. Kedua orang itu penembak mahir. Wilson te­
was. Shane luka-luka. Dan cerita berakhir: lelaki pendatang
itu me­mutuskan pergi meninggalkan keluarga Starrett, me­
ninggalkan Joey, meninggalkan lembah.

Tapi ia sempat berpamitan kepada anak itu. ”Aku harus
pergi lagi,” katanya. ”Orang harus jadi dirinya, Joey. Tak bisa
lepas da­ri cetakannya. Aku mencoba tapi tak berhasil.”

Si Joey kaget melihat ada luka peluru di tubuh itu. Tapi
Shane membelai rambut bocah itu dan berkata, ”Aku tak apa-
apa,­Joey. Pulanglah. Jadilah anak yang kuat dan lurus. Jaga
Bap­ ak-Ibu.”

Dan seperti galibnya ujung film western, sang jagoan pun
me­ngendarai kudanya melaju ke arah kaki langit. Adegan
yang tak terlupakan ialah ketika suara Joey bergaung keras di
sepanjang lembah: ”Shane, come back, Shane!”

Shane tak pernah kembali.
Ada bayang-bayang yang tragis dalam dialog akhir film ini:

372 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka SHANE

lel­aki itu mencoba jadi orang biasa dan hidup dalam keluarga­
yang biasa, tapi ia merasa gagal. Ia tak pernah menceritakan
ma­sa lalunya tapi kita pelan-pelan tahu ia dulu seorang
gunman—sebutan di mana bertaut manusia, senjata, dan ke­
ke­rasa­ n. Ia coba tanggalkan itu. Tapi akhirnya ia kembali ke
jalan pem­bunuhan.

Ia memang menempuhnya karena ia hendak me­
nyelamatkan nyawa Joe. Tujuannya mulia, tapi jelas: tangannya
kembali kot­or dengan darah manusia.

Yang menyentuh hati dalam dialog terakhir itu ialah bahwa
Shane merasa yang dilakukannya tak bisa dihalalkan. ”Joey,”
kat­anya, ”tak ada kehidupan dengan... dengan pembunuhan.
Tak­ ada jalan kembali dari pembunuhan.” Itu sebabnya
ia meng­hukum dirinya sendiri. Ia biarkan luka peluru di
tubuhnya dan ia berjalan jauh, mungkin untuk mati. Ia tak
ingin me­nguk­ uhkan jalan kekerasan di lembah tempat Joe,
istri, dan anaknya merintis masa depan.

Dengan kata lain, pengorbanannya ganda: ia menjadikan
di­rinya buas dan sebab itu ia perlu melenyapkan diri.

Tapi benarkah itu pilihan yang bernilai? Mungkin jalan­
akhir Shane sebuah penebusan dan pengorbanannya bisa
memb­­ awanya ke arah penyucian diri. Tapi tak ada jaminan
para peladang di lembah Wyoming itu akan aman tanpa dia.

Shane berasumsi, sejak hari itu senjata tak akan berbicara
lagi di sana, tapi bukankah kekuasaan Ryker tak serta-merta
runt­uh ketika Jack Wilson mati? Bukankah akan lebih
baik andai Shane tak memilih jalan yang soliter, tapi jalan
politik: kemb­ ali ke lembah dan bersama yang lain memihak
kehidupan?­

Catatan Pinggir 11 373

http://facebook.com/indonesiapustaka SHANE

Tapi sebenarnya mustahil Shane sepenuhnya sebuah mithos­
kesendirian. Ia datang dengan ”his dark solitude”, tapi ia pergi
berb­ eda. Dalam keluarga Starrett ia alami bahwa kasih sayang
lebih kuat ketimbang apa pun—yang ironisnya membuatnya
re­la kembali ke dunia yang ditentukan pembunuhan.

Dan ia menyingkir tapi tak membisu. Ia berpesan untuk
mas­­a depan bersama yang lebih baik. Ia membelai kepala bo­
cah itu.

TEMPO, 7 September 2014

374 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka DAULAT

ADA sepatah kata yang berubah bersama sejarah: daulat.
Di masa lampau orang akan menyatakan siap menjalan­
kan­ titah sultan dengan berkata, ”Daulat, Tuanku.” Dalam
ucap­an itu tersirat hubungan dengan Yang-Di-Atas. Tapi kini
da­ul­at justru diucapkan sebagai idiom yang mengacu ke arah
se­baliknya: orang ramai: ”Ketua rombongan pun didaulat para
hadirin agar menyanyi di panggung.”

Dalam bahasa Malaysia, ucapan ”Daulat, Tuanku”
masih berlaku dalam acara resmi. Tak berarti tak ada arti
lain bagi daulat. Kamus Dewan Bahasa dari Kuala Lumpur
memaknainya juga sebagai kuasa yang datang dari luar
”Tuanku”. Dau­ ­lat, menurut kamus resmi itu, juga berarti
”merampas (kekuasaan...) dengan tidak sah...”.

Namun tak berarti ada tafsir yang sama dalam kedua cabang
bahasa Melayu itu. Tafsir Kamus Dewan Bahasa mengisyar­at­
kan sebuah tindakan yang tanpa legitimasi: ”merampas dengan
tidak sah”. Sebaliknya dalam bahasa Melayu-Indonesia, daulat,
sebagai aksi orang ramai, tidak hanya sah, tapi juga bagian
pergaulan sehari-hari.

Sejarah politik Indonesia telah membuat perbedaan itu.
Re­volusi 1945 menyisihkan para sultan dan privilese mereka.
Terk­ adang dengan darah dan besi, seperti di Sumatera Timur.
Ger­akan pembebasan nasional sejak awal abad ke-20 telah
membuat daulat kehilangan auranya. Kini kita menyebutnya
keda­ulatan.

Catatan Pinggir 11 375

http://facebook.com/indonesiapustaka DAULAT

Saya tak tahu kapan persisnya ”ke” dan ”an” itu menempel.­
Mungkin nasionalisme Indonesia memang ekspresi protes
yang meluas di seantero penduduk Hindia Belanda, hingga
dau­lat tak bisa lagi dianggap melekat ”di atas” atau di mana
pun.­Kini kedaulatan: sesuatu yang impersonal. Kata itu jadi
se­buah konsep, sesuatu yang universal. Ia jadi terjemahan kata
Bel­anda soevereiniteit atau kata Inggris sovereignty. Ia lebih se­
ring­disebut bersama kata nasional dan rakyat.

Dan kita menumbuhkannya. Maka kata daulat, jika kita
de­ngar sekarang, tak ada hubungannya dengan ”merampas ke­
kuasaan”.

Tapi sejarah politik modern Indonesia terkadang lupa bahwa
daulat (atau kedaulatan) sering datang dengan perampasan.­
Di abad ke-13 Kerajaan Singasari dibangun Ken Arok; ia me­
mulai kekuasaannya dengan membunuh akuwu Tumapel,
Tung­gul Ametung. Hubungan antara kedaulatan dan keker­as­
an tak berhenti di situ. Di Aceh, 400 tahun setelah itu, Sultan­
Iskandar Muda, yang membangun sebuah kerajaan yang me­
ngag­­ umkan, naik takhta setelah memberontak pamannya,
Sult­­an Ali Ri’ayat Syah III, dan membunuh pamannya yang
lai­n, Hussain.

Riwayat seperti itulah yang agaknya membuat orang
Indonesia tak mudah menerima kedaulatan sebagai sesuatu
yang ter­lepas dari gerak dan gejolak politik, dan juga tak
mudah memandang kuasa raja-raja sebagai perpanjangan
kuasa Tuhan.

Saya kira ini berbeda dengan pengalaman Eropa sejak ke­
maharajaan

Karolinger di abad ke-9. Dimulai dengan takhta Pippin

376 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka DAULAT

Kecil—ia pangeran bangsa Frank yang diasuh para biarawan—
ked­ aulatan diberi tudung keagamaan. Tudung itu makin lama
mak­ in menyatu dengan kedaulatan itu sendiri.

Di tahun 751 Pippin dinobatkan jadi raja dengan du­kung­
an­ Paus Zakharias. Wilayah sekitar yang direbutnya di­per­
sem­bahk­ annya kepada Takhta Suci. Anaknya, Karl Agung,
me­ngukuhkan simbiosis Takhta-Raja-Takhta-Suci dengan
men­ gemb­ angkan ”Dunia Kristen”; ia serang kerajaan Islam
di Span­­ yol­dan ia kristenkan bangsa Saxon. Klimaksnya, di
hari Nat­al tahun 800, di Basilika Santo Petrus, Paus Leo III
memasang mahkota kekaisaran di kepala Karl Agung.

Sejak itu kedaulatan pun jadi sakral. Raja, pemonopoli
kedaulatan, membangun analoginya dengan Tuhan. Tuhan
mendatangkan mukjizat, dan mukjizat adalah sebuah per­
kecualian da­ri hukum alam, dan perkecualian itu tanda ke­
daulatan-Nya yang mutlak. Analog dengan itu, raja-raja
dengan kuasa yang ab­solut juga berada di luar hukum
antarmanusia: seperti ditunj­ukkan Carl Schmitt, pemikir
Nazi itu, terutama di tangan raja-raja kedaulatan adalah cerita
”perkecualian”, Ausnahme.

Kemudian Revolusi Prancis menghabisi kaitan Tuhan dan
kuas­a para Yang Dipertuan. Juga ketika pada awal Desember
1804, Napoleon, perwira yang dibesarkan Revolusi, meng­
angkat­diri jadi maharaja. Upacara penobatannya ia buat mirip
de­ngan Karl Agung. Tapi betapa beda.

Dari Roma, Paus Pius VII datang ke Paris, ke Katedral No­
tre­ Dame, untuk meletakkan mahkota ke atas kepala sang
maharaja baru. Tapi Napoleon membatalkannya: sebelum Paus
semp­ at bergerak, Bonaparte meletakkan dengan tangannya

Catatan Pinggir 11 377

http://facebook.com/indonesiapustaka DAULAT

send­ iri mahkota itu di kepalanya. Jika Paus dianggap wakil
Tuhan, hari itu Tuhan disingkirkan di depan altar Notre
Dame.

Tapi tanpa Tuhan sekalipun kedaulatan tak hilang tuahnya.
Ia punya tuah baru yang lebih cocok di bumi, di mana senjata
dan dukungan orang ramai, demos, kekuatan di luar agama,
leb­ ih mengukuhkannya. Namun, berbeda dengan tuah lama,
kin­ i ada yang tak bisa ditutup-tutupi: kedaulatan adalah bagi­
an proses politik, dengan nafsu, gejolak, dan benturannya.

Jauh sebelum Napoleon di Prancis, Raja Mataram pertama
me­negaskan kenyataan itu ketika melalui pelbagai penaklukan
ia menamai diri sayidin panatagama: dialah—bukan ulama
yang dipilih Allah—yang ”menata agama”.

Tentu ia, seperti yang lain, juga membangun mithos
tentang­kekalnya kedaulatan; bayang-bayang agama tak bisa
sepenuhnya sirna dari ide tentang kedaulatan—bahkan hingga
hari ini. Tapi zaman tak bisa mengembalikan hikayat tua,
ketika agama dan raja menganggap manusia satu komunitas
yang siap berkat­a, ”Daulat, Tuanku.” Etienne Balibar me­
nyebut kedaulatan di­tandai ”impotence of the omnipotent”: di
satu sisi tampak yang mah­ akuasa, pada saat yang sama tampak
pula impotensinya.

Maka sudah sepantasnya daulat berubah makna.

TEMPO, 14 September 2014

378 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka WESTPHALIA

Imagine, there is no country.

KADANG-KADANG orang sebal dengan batas. Saya ki­ra
rat­a-rata orang Indonesia yang masuk ke negeri lain me­­
ra­sakan bahwa tiap meja imigrasi dipasang dengan kand­ ung­­
an syak wasangka. Petugasnya akan dengan tanpa sen­ yum­
me­natap kita, seakan-akan ingin menebak sesuatu dari ben­
tuk­hid­ ung­dan kuping kita. Ia biasanya akan menghela na­pas,
membetulkan letak kacamatanya, dan seperti mau menya­ta­
kan:­Anda saya silakan masuk ke negeri kami, tapi sebenarnya
And­ a bisa merepotkan kami.

Kita sebal, tapi kita akan tetap mematuhi prosedur: paspor
ki­ta akan kita serahkan, dan paspor Republik Indonesia itu
akan ditelaah semenit dua menit, dan visa akan diperiksa, lalu
akan ada sedikit tanya-jawab yang umumnya tak ada gunanya,
lal­u dok-dok-dok, stempel diterakan. Kita boleh lewat. Setelah
itu: pemeriksaan duane....

Negeri diberi batas oleh sejarah politik. Batas itu umumnya­
disambut baik karena ada yang didapat: kedaulatan. ”Kedaulat­
an” itu agaknya kata yang ampuh. Pengertiannya, seperti yang
dip­ ahami dan dipraktekkan hari ini di seluruh dunia, sebenar­
nya tidak dari kitab suci mana pun. Tapi ia punya mithosnya
sen­diri.

Dalam mithos yang umum diucapkan orang, pengertian
itu­ bermula dari sejarah Eropa yang bergelimang darah di

Catatan Pinggir 11 379


Click to View FlipBook Version