http://facebook.com/indonesiapustaka SENI UNTUK...
ka pindah ke Odessa, ia kembali bentrok dengan penguasa. Ia
pun dibuang ke Mikhailovskoe selama dua tahun. Tapi justru
di sana ia menemukan waktu dan ruang untuk melimpah
rua hkan ”kegundahan lirisnya”. Di tempat jauh itu, selain
melahirkan sebuah sajak cinta yang nostalgis dan memukau, ia
men eruskan menulis karya besarnya, sebuah novel berbentuk
puisi, Eugene Onegin.
Ketika Tsar baru, Nikholas I, naik takhta, dengan otokrasi
yang lebih keras dan serba curiga, Pushkin berada dalam
ketakutan yang mendekati takluk. Tapi belum sepenuhnya
takluk. Tak bisa. Yang ingin ”menghambur ke luar” dari dalam
dirinya,”pernyataan yang bebas” itu, tak bisa dilunakkan.
Meskipun suasana mencekam. Pemberontakan Desember
1825, yang mencoba mencegah Nikholas naik takhta, gagal—
dan Tsar baru itu pun menyapu bersih siapa saja yang tak
mengenakkannya. Alexander Herzen, yang pada 1835 dibuang
ke sebuah kota di timur laut Rusia (hanya karena menghadiri
sebuah pembacaan puisi yang mengejek Tsar), mengenang
keadaan waktu itu dengan deskripsi yang suram. ”Kematian
dan keb isuan di mana-mana,” tulisnya. ”Semua merunduk,
tak man usiawi, dan tanpa harapan.”
Saya tak tahu sejauh mana Herzen tahu apa yang dirasakan
Pushkin di masa yang represif itu. Ada cerita bahwa justru
waktu itu Tsar Nikholas ingin memberi pengampunan kepada
Pushkin atas kelakuannya di masa lalu. Tapi kemudian
ditemukan laporan Kepala Polisi Benkendorf tentang penyair
itu, sekitar tahun 1827: Pushkin, katanya, ”orang yang tak
pernah beres kerjanya.” ”Jika kita dapat mengarahkan pena
dan lidahnya,” tulis sang Kepala Polisi, ”hasilnya akan baik.”
180 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SENI UNTUK...
Bagi orang-orang di sekitar Tsar, Pushkin yang termasyhur
itu memang harus diubah fiilnya sesuai dengan norma yang me
reka anggap benar. Seorang penyair bernama V.A. Zhukovsky
menulis surat kepada Pushkin: ”Pikiranmu yang liar, yang
berbaju puisi..., telah jadi panutan anak-anak muda.” Pushkin,
kata Zhukovsky pula, telah ”menimbulkan kerusakan yang
sangat, kerusakan yang tak bisa diobati”. Maka ia berpetuah:
”Bakat itu bukan apa-apa. Yang paling utama adalah keagung
an akhlak....”
Tsar Nikholas setuju dengan semua itu. Dalam risalah G.V.
Plekhanov tentang seni dan masyarakat disebutkan bahwa
kepada Pushkin Nikholas ingin memberi tugas menulis ”sajak-
sajak patriotik”.
Tapi Pushkin menampik—setidaknya dengan sajak. Seperti
kata-katanya dalam sajak yang dikutip di atas: seorang pen yair
adalah raja, yang harus berani sendirian untuk menempuh
”jalan kemerdekaan”.
Dengan itulah, menurut Plekhanov, Pushkin merumuskan
sikapnya yang menegaskan ”seni [adalah] untuk seni”. Seni
bukan untuk tujuan apa pun selain sebagai nyanyi.
Bukan, bukan buat gairah dunia,
Bukan untuk kerakusan ataupun perjuangan,
Tapi untuk inspirasi, untuk doa
dan merdunya nyanyi, penyair datang
Yang menarik, Plekhanov, yang lazim disebut sebagai ”Ba
pak Marxisme Rusia”, melihat semboyan l’art pour l’art datang
bersama sejarah keterasingan dan pembebasan. ”Keyakinan
Catatan Pinggir 11 181
http://facebook.com/indonesiapustaka SENI UNTUK...
akan semboyan seni-untuk-seni timbul bilamana sang seniman
tak akur hubungannya dengan lingkungan sosialnya.”
Plekhanov bukan orang yang menganjurkan semboyan itu,
tapi berbeda dengan kritikus Marxis maupun non-Marxis se
sudahnya, ia menganalisisnya. Ia tak meletakkan pendirian itu
seb agai sesuatu yang serta-merta harus dibabat. Historisitas
penting, karena tak ada pendirian yang datang dari langit di
atas ubun-ubun.
Pushkin, dengan perilaku dan puisinya yang intens, juga
terlibat dalam laku sejarah—dan ia bukan penyair yang
dituntun langit mana pun.
Tanganku minta seraut pena; dan datanglah pena
dan secarik kertas—dan sajakku akan mengalir bebas
Mengalir ke mana? Ia tak menjawab. Ia membuat kita
mencari arah sendiri. Puisi Pushkin, seperti umumnya puisi
liris, memb eri kita peluang untuk tak tunduk kepada titah
yang menentukan tafsir. Juga di sini puisi tak ingin punya Tsar.
TEMPO, 20 Oktober 2013
182 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SEJARAH
SEORANG pengarang pernah mengatakan, masa lalu ada
lah sebuah negeri asing. Senantiasa asing. Kita, yang hidup
hari ini, tak akan pernah kenal benar dunia luar dan dalamnya,
jalan raya dan jurang-jurangnya, penghuni dan perkakasnya.
Tentu saja sejarah ditulis. Tak hanya satu kali dan tak
hanyaoleh satu orang. Tentu saja para sejarawan tak jarang
saling debat tentang suatu masa yang tak ingin dilupakan,
yang dramatis dan mungkin juga traumatis, katakanlah tahun
1965 kita—sebuah masa lalu yang ingin ditengok kembali.
Dokumenpun dikumpulkan dan dianalisis, statistik dibaca
kembali, wawanc ara direkam. Tapi sejauh mana sebuah
rekonstruksi bisa menghadirkan kembali masa lalu?
Ingatan datang dari gua yang gelap; ia bahkan bagian dari
gua itu. Ketika kita menampilkannya di bawah cahaya yang
men yorot, sepatutnya kita tahu ia telah berubah. Rekonstruksi
itu mengandung metamorfosis. Terutama jika kita sadar
bahwa masa lalu adalah seperti sebuah teks dengan bahasa lain
yang harus diterjemahkan, dan tiap terjemahan mengandung
transformasi, karena dilakukan dalam waktu yang berbeda
dan suasana yang berbeda pula.
Juga karena kita mencipta.
Sekitar 10 pekan sebelum meninggal, Agustus 1941,
Rabindranath Tagore dengan tajam, bahkan dengan
sengit, mengecam penulisan sejarah. ”Aku semata-mata se
orang penyair,” tulisnya. ”Aku... seorang pencipta yang se
Catatan Pinggir 11 183
http://facebook.com/indonesiapustaka SEJARAH
penuhnya sendirian dan merdeka. Hanya sedikit hal yang
menyangkutkan aku ke dalam jaring peristiwa di luar diriku.
Sukar bagiku untuk berdamai dengan sejarawan yang
memamerkan kepintarannya ketika ia mencoba memaksaku
keluar dari pusat kreativitasku....”
Tagore tak percaya kepada historiografi . Meskipun, seperti
dikatakan Ranajit Guha dalam History at the Limit of World-
History, sang penyair—di bagian akhir dari paragraf yang
dikutip di atas—mengembalikan sejarah dalam percaturan. Ia
men engok masa kecilnya, ”kembali ke masa pembuka karierku
seb agai penyair”.
Yang dikisahkannya kemudian akan jadi contoh, bagaimana
sejarah yang paling otentik (setidaknya bagi Tagore) adalah
cerita pengalaman diri yang menyerap dunia—seperti ketika
yang disaksikannya pertama kali di masa kanak-kanak itu:
embun yang berkilau di pucuk nyiur di waktu fajar, himpunan
tebal awan gelap membiru di atas rumah moyangnya di waktu
senja, seekor lembu yang menjilati punggung anaknya....
Pengalaman itu privat, dan Tagore menekankan itu: sejarah
bukan yang tercatat dari tokoh dan adegan publik. Sejarah
adalah cerita pratyahik sukhduhkha, ”suka-duka sehari-hari”
manusia, yang disampaikan secara kreatif. Sejarah-Dunia
dalam pengertian Hegel akan tak mampu menangkap itu.
Kita tahu Hegel, dalam filsafatnya yang berkembang
kemudian, melihat sejarah bukan kisah seseorang dalam
kesendiriannya. Sejarah mengikuti desain dari langit—
sebuah kisah besar manusia pada umumnya, progresi menuju
kemerdekaan, melalui dialektika dan tahap-tahap kemajuan.
Dalam pand angan Hegel di masa tuanya (yang terpantul juga
184 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SEJARAH
dalam pandangan Marx), bayang-bayang eskatologi agama
yang dicoba disingkirkan oleh Zaman Pencerahan diam-diam
kembali: nasib manusia bermula dari asal, dan ada takdir, dan
ada pergulatan ke arah penebusan, ada surga. Dengan catatan:
bagi Hegel, ”isi keseluruhan sejarah dunia bersifat rasional,
dan memang harus rasional”.
Demikianlah subyek sejarah bukan seorang manusia yang
bersendiri menatap embun dan punggung lembu, awan senja
dan kilau fajar. Pelaku sejarah adalah Roh, Geist. Suka-duka
seh ari-hari orang seorang—dalam tubuhnya yang fana—
bukan kisah yang penting.
Tak urung, dalam gerak sejarah yang mengikuti desain itu,
tak akan diakui keganjilan penciptaan, karena semua sudah
ditetapkan. Yang mempesona, yang menakjubkan, tak mend a
pat tempat. Semua bisa dijelaskan.
Hegel, sebagaimana agama dan mithologi, menggambarkan
manusia sebagai yang bermula dari asal. Namun tak seluruhnya
tepat. Manusia memulai hidupnya tanpa menyadari asal itu.
Ia bergerak dengan langkah pertama, kata permulaan, hasrat
pembuka, yang ia lakukan tanpa jelas benar apa selanjutnya
dan bagaimana nanti akhirnya. Manusia tak ditentukandari
asal, tapi membangun kisahnya dari awal. Sebab pada dasar
nya, ia pencipta.
Tak berarti kita hanya bisa berpegang pada sikap Tagore
yang lebih suka menyambut ”sejarah isi batinnya yang misteri
us”. Puisi seperti yang ditulis Tagore bisa memperkaya peng
alama n kita, tapi mengenal masa lalu tak cukup dengan itu.
Manusia tak hanya sebuah kamar yang privat. Riwayatnya—
seb agai pencipta—mau tak mau mengandung dimensi politik.
Catatan Pinggir 11 185
http://facebook.com/indonesiapustaka SEJARAH
Ia berada di sebuah ruang dan waktu dengan yang lain—
bercakap-cakap, bergabung, berbentrok, berlaga—juga ketika
mencoba mengunjungi kembali masa lalu, negeri asing itu.
Dan itu adalah proses yang akan berlangsung terus-me
nerus. Masa lalu, ibarat sebuah negeri asing, akan punya
potret yang selamanya berbeda, selamanya bermetamorfosis.
Tapi dengan demikian, juga masa depan tidak akan seperti
dibayangkan Hegel. Ia selalu lahir dari ”the production of
novelty”, untuk memakai kata Whitehead. Ia tak akan punya
akhir yang terjamin, tapi mungkin sebab itu mendebarkan,
mengasyikkan, mencemaskan.
TEMPO, 27 Oktober 2013
186 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka Gramsci
TADI malam saya baca satu adegan dalam hidup Antonio
Gramsci. Pada senja hari 8 November 1926, tokoh Partai
Komunis ini ditangkap pemerintah Fasis Italia, dan dua tahun
kemudian hukuman 20 tahun penjara dijatuhkan. Hari itu
jaksa berkata, ”Untuk selama 20 tahun harus kita hentikan
otak ini berfungsi.”
Banyak cara buat menghentikan pikiran, banyak penjara
dan bukan penjara, terkadang efektif, terkadang gagal. Pene
gak hukum itu gagal. Setelah disekap dalam sel Regina Coeli di
Rom a, Gramsci akhirnya dikurung di penjara Turi, hampir di
ujung selatan Italia, dengan kesehatan yang kian memburuk.
Ia meninggal karena perdarahan di otak pada umur 46 tahun,
27 April 1937. Namun kemudian diketahui, dari 11 tahun di
dalam sel sendirian itu lahir ribuan catatan, berisi pikiran-pi
kira nnya, di samping sekitar 500 pucuk surat untuk keluarga
dan teman-temannya.
Catatan-catatan itu kemudian dikumpulkan dalam tiga
jilid (versi Inggrisnya: Prison Notebooks) yang kemudian
jadi sumber yang segar dalam perdebatan tentang revolusi
dan Marxisme. Memang ada jaksa dan Mussolini, tapi tak
ada kurungan pikiran bagi Gramsci. Meskipun tak dengan
sendirinyaada kemerdekaan.
Catatan-catatannya baru bisa diterbitkan dengan leluasa
beb erapa tahun setelah Perang Dunia II. Di sana tampak
kemampuannya secara orisinal meninjau pokok-pokok
Catatan Pinggir 11 187
http://facebook.com/indonesiapustaka GRAMSCI
Marxisme—di samping kita temukan renungannya tentang
hal-hal lain, tentang bahasa, misalnya. Namun semua itu baru
diketahui luas setelah Stalin meninggal. Sebelumnya, teman-
teman seperjuangannya menyiarkannya dengan hati-hati.
Bukan hanya karena rezim Mussolini. Hubungan Gramsci
dengan Stalin, pengendali gerakan komunisme internasional
yang bertakhta di Kremlin, tak selamanya lurus. Pemimpin
PKI (Partai Komunis Italia) yang lain, termasuk Togliatti,
kawan dekatnya sejak satu sekolah, bisa dengan jinak menerima
titah dari ”pusat”. Gramsci tak bisa patuh pada saat ketika ia
harus patuh. Andai tak dipenjarakan Mussolini, ia mungkin
akan dihabisi Stalin sep erti ratusan orang revolusioner lain.
Barangkali karena ada dua sosok Gramsci. Keduanya
bisa dibedakan, tapi tak terpisahkan. Sejarawan Marxis Eric
Hobsbawm pernah menulis: berbeda dengan Lenin, Gramsci
seorang intelektual sejak awal. Ia ”seseorang yang hampir-
hampir secara fisik tergugah hanya karena daya tarik ide-ide”.
Dalam tergugah, tak ada yang bisa memerintah. Tapi pada saat
yang sama, ia pemimpin Partai. Partai adalah ide, program,
kerja, disiplin. Ia, seorang Marxis sejati, yang selalu berada di
tengah konfrontasi, tak hanya hendak menafsir dunia, tapi juga
mengubahnya. Ia memihak. Vivo, sono partigiano. ”Aku hidup,
aku seorang partisan. Aku merasakan denyut aktivitas negeri
masa depan yang dibangun mereka yang berdiri di pihakku.”
Seorang partisan sering harus meringkas ide jadi doktrin
dan mengemas doktrin jadi pedoman. Peta masa depan harus
dib uat jelas, langkah harus dibikin pasti. Gramsci tentu pernah
lebih memilih cara yang efektif itu ketimbang melanjutkan
pemikiran yang dalam.
188 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka GRAMSCI
Tapi tak selalu demikian agaknya. Ia bisa berubah sebag ai
mana tafsir tentangnya berubah. Februari 1934, di sebuah ber
kala Partai seseorang melukiskan profil Gramsci dengan ka
gum—tapi memperlihatkannya sebagai penyabar yang selalu
mempertanyakan segalanya, seperti Sokrates. Ia, kata sang
pen ulis, bukan jenis tokoh Partai yang selalu cepat memberi
jawab. Dengan kata lain, bagi Gramsci, tak selalu ada jawab
yang siap pakai.
Tulisan itu tampaknya satu kritik terselubung terhadap
kecenderungan PKI yang makin doktriner. Tak mengherankan
sang penulis dengan segera dikecam. Bagi para pembesar
Partai, Gramsci bukan seorang Sokrates yang bertanya. Dalam
kegalauan ideologis masa itu, ketika di Moskow Stalin meng
ubah dasar-dasar yang ditegakkan Lenin, PKI harus punya
Gramsci yang stabil.
Tapi dalam selnya, Gramsci merasa ada yang bisa berubah
dalam dirinya:
Aku merasa, andaikata aku dibebaskan dari penjara sekarang, ...[A]ku
akan terus hidup dengan otakku semata-mata... melihat orang-orang,
bahk an yang seharusnya kuanggap dekat, bukan sebagai makhluk yang
hidup, melainkan sebagai teka-teki yang harus dipecahkan....
Bertahun-tahun terasing dari gemuruh perdebatan dan
keasyikan kebersamaan, seorang pemikir memang mudah
terseret ke dalam sunyi Cartesian: liyan akan hanya hadir
sebagai obyek analisis. Manusia ada untuk dirumuskan.
Doktrin akan kian menentukan pandangan sang pemikir,
bukan hubungan yang tak terduga antarmanusia.
Catatan Pinggir 11 189
http://facebook.com/indonesiapustaka GRAMSCI
Bagi Gramsci, di situlah kematian seorang pejuang revolusi.
”Berapa kali aku bertanya-tanya sendiri, bagaimana mungkin
menjalin hubungan dengan orang banyak ketika kita tak
pernah punya simpati yang kuat kepada siapa pun, bahkan
kepada orang tua kita sendiri: seakan-akan kita sanggup punya
kebersamaan sementara tak ada orang-orang yang mencintai
kita.”
Mencintai dan dicintai sering jadi banal dan tak pernah di
sebut dalam teori revolusi. Tapi kita ingat Gramsci dalam sel:
men ulis, menulis, menulis. Ia menjangkau mereka yang bukan
obyek analisis yang bisa dirumuskan. Tiap kata yang ia pakai
mengandung ucapan orang lain yang entah di mana pernah
memakainya dan akan memakainya. Kata adalah kesepakat
an,benturan, kesalahpahaman, pergulatan. Tak bisa sendiri.
Bahasa, meskipun memihak, bisa hanya sepihak. Ia bukan
prod uk ketidakpedulian.
”Aku benci ketidakpedulian,” tulisnya. ”Ketidakpedulian
dan apati sama dengan benalu, sikap pengecut.”
TEMPO, 3 November 2013
190 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka LAUT
SIAPA terpukau laut, tak akan membangun monumen.
Nenek moyang kita, para pelaut—generasi-generasi yang
berlayar dari pelbagai pesisir—tak meninggalkan arsitektur
yang ingin mengenang dan ingin dikenang di bandar dan
pantai mereka.
Laut adalah ”tujuan biru”, menurut frasa Chairil Anwar
yang tak terduga-duga. Kita tahu, ”biru” warna dari segala
yang jauh: di sana laut adalah ruang tanpa hektare, di mana
arah dan perbatasan hanya tampak pada susunan bintang, dan
ombak, yang tak terhitung, muncul dan lewat terus-menerus.
Seperti kekal. Saya tak pernah tahu di mana cakrawala dibatasi
waktu di keluasan itu.
Mungkin itu sebabnya terkadang laut menjadi metafor
pemb ebasan dari beban sejarah. Laut melebur segala pusaka.
Kita baca kembali sajak S. Takdir Alisjahbana, ”Menuju ke
Laut”. Di sana tergambar sebuah biduk yang meninggalkan
masa lalu. ”Telah kutinggalkan engkau,” katanya, ”teluk
yang ten ang tiada beriak.” Teluk itu perlindungan yang
memperdaya dan mengungkung. Takdir menampiknya. Ia
ingin generasin ya lepas dari sana dan memasuki laut, ke dalam
kehidupan baru yang dinamis, karena ”teluk yang tenang
tiada beriak” itu cuma sebuah ketenteraman warisan yang
kedaluwarsa. Modernitas telah menggebrak pintu. Tradisi,
adat-istiadat, yang berabad-abad jadi dasar hidup yang aman
itu sedang digantikan dengan sesuatu yang lebih terbuka dan
Catatan Pinggir 11 191
http://facebook.com/indonesiapustaka LAUT
mengasyikkan.
Takdir menggambarkan laut sebagai keasyikan ter
sendiri. Ia menyebut di sana ”ombak ria berkejar-kejaran”.
Ia tak menampakkan laut sebagai ruang petualangan
dan ketidakpastian. Ia, yang percaya bahwa sastra harus
mengkampanyekan hal yang baik (baginya tak ada ”seni untuk
seni”), ingin agar dunia modern tampil memikat. Takdir
bukan orang yang akan men gatakan bahwa modernisasi
memperkenalkan manusia dengan krisis: penuh risiko, penuh
peluang. Ia tak hendak mengakui bahwa laut bisa jadi kiasan
bagi krisis itu. Sajaknya ditulis sebelum Revolusi 1945.
Di tahun 1940-an, Rivai Apin menulis:
Tiada tahan
ke laut kembali, mengembara
cukup asal ada bintang di langit
Berbeda dengan imaji yang dipilih Takdir, dalam sajak
Rivai laut adalah avontur yang menantang, sebuah rantau
yang riskan. ”Aku” dalam sajak ini siap menghadapi, bahkan
mencari, ”taufan gila”. Yang kita baca adalah sebuah manifesto
pembangkangan terhadap sekitar, terhadap masyarakat yang
seperti fosil. ”Batu semua!” hardik Rivai. Ada kejengkelan
yang tak kita temukan dalam sajak S. Takdir Alisjahbana yang
tersusun tertib. Bagi Rivai, apa yang kukuh, keras, beku, tak
hanya harus ditinggalkan, tapi juga dimaki.
Tapi di sini kita juga bisa tersesat. Laut dalam sajak-
sajak itu—yang ditulis penyair perantau, bukan pelaut se
sungguhnya—seakan-akan tak ada kaitannya dengan ruang
192 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka LAUT
yang lain, yang lebih terkait dengan masa silam: jung atau
biduk, perahu atau kapal, di mana sang ”aku” berada.
Kapal adalah bagian dari petualangan, tapi ia tak bersatu le
bur dalam wilayah petualangan itu. Ia bahkan bisa menjadi se
buah kontras. Dalam kapal itulah hidup bukan selamanya ki
sah penjelajahan yang heroik. Dalam kapal, untuk memakai
kata-kata Chairil Anwar (dalam sajak ”Kabar dari Laut”), ”hi
dup berlangsung antara buritan dan kemudi”.
Bahkan jika laut bisa dijadikan kiasan kemerdekaan, kapal
sebaliknya. ”Berada dalam kapal adalah berada dalam penja
ra,” kata Samuel Johnson, penulis Inggris abad ke-18.
Imajinasi orang ini agak terbatas. Johnson seorang penyusun
kamus yang termasyhur; ia bukan penyair. Tapi kata-kata
nya mengingatkan kita pada kenyataan ini: kapal juga produk
dari hubungan sosial. Ada pemilik dan majikan, ada jual-beli,
hierarki, dan kelasi yang terasing atau mualim yang tak bebas.
Kapal juga sesuatu yang menandai bahwa daratan tak dapat
dimungkiri. Tiap pelaut akan berlabuh. Kapal menyimpan
ingatan, bukan cuma di kabin nakhoda, tapi di seluruh keha
dira nnya. Ada kemarin yang akan, dan perlu, dijelang kemba
li. Kapal bahkan terkadang mirip sebuah monumen dengan
nam a yang selalu bisa diingat.
Tapi apa yang perlu diingat, sebenarnya? Apa yang ingindi
lupakan? Setelah bahtera kembali, para pelaut mungkin tak
bern iat membangun tugu tentang perjalanan mereka yang ga
gah berani dan bersejarah mengarungi laut. Tapi selalu ada saat
manusia memuji yang agung dan memuja yang kekal dalam
dirinya. Persoalannya, adakah ia mengakui bahwa ada yang
tersingkir di tengah puja-puji itu. Di pesisir yang kering, kita
Catatan Pinggir 11 193
http://facebook.com/indonesiapustaka LAUT
mungkin ditinggalkan, terdampar, tersingkir, atau tak sadar
bahwa kita juga bisa demikian.
Di akhir sajak ”Kabar dari Laut” Chairil Anwar memergoki
kita dengan pertanyaan yang tajam seperti sebilah pisau bedah:
Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,
Atau di antara mereka juga terdampar,
Burung mati pagi hari di sisi sangkar?
TEMPO, 10 November 2013
194 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka BELANGA
ENAM tahun setelah Jan Pieterszoon Coen meninggaldi
tengah kepungan tentara Mataram, 35 tahun setelah ia
mend irikan Batavia di atas puing pertempuran dengan orang
Inggris, VOC membangun enam benteng kecil di bekas wila
yahKerajaan Banten yang dikuasainya. Letak masing-masing
sejauh dua kilo dari pusat, seperti menghadang tanah dan sa
wahdi sekitar.
Pada 1656 itu, penduduk yang disebut ”Jawa” dilarang
hidup di dalam wilayah yang dilindungi tembok kota.
Mereka ditempatkan di luar, di beberapa lokasi di wilayah
Ommelanden itu. Sejarawan Remco Raben (yang menulis
sebuah esai yang sangat informatif dalam Jakarta-Batavia:
Socio-Cultural Essays, ed. P. Nas; KITLV: 2000) menyebut
kejadian itu salah satu ”perkembangan yang... mengubah
penampilan Batavia secara dramatis”.
Kemudian didatangkanlah orang-orang dari Ambon yang
jadi tentara VOC. Mereka diberi tanah di perbatasan timur
den gan Karawang. Setelah itu, dimasukkan orang Bugis dan
Makassar. Juga para bekas pembangkang yang takluk, seperti
pasukan Bali yang pada 1708 menyerah. Kampung-kampung
pun dibentuk.
Dan penduduk pun bertambah. Bersama itu, ketenteraman
mulai terganggu. Pada 1686, sebuah gardu kompeni diserang
sejumlah besar ”bandit” asal Bali. Dengan segera penguasa Ba
tav ia pun mengubah cara kontrolnya. Tiap komunitas diberi se
Catatan Pinggir 11 195
http://facebook.com/indonesiapustaka BELANGA
petak wilayah. Masing-masing dipimpin orang yang diangkat
VOC dengan pangkat militer. Para penghuni dijauhkan dari
pusat kota, harus bisa menopang sendiri hidup mereka, tapi
selalu siap dimobilisasi untuk perang. Pada 1773 tercatat 17
kampung yang dipimpin ”opsir bumiputra”: antara lain dua
kampung Jawa, lima Bali, tiga Bugis, satu Makassar, satu
Melayu, satu Ambon—dengan nama yang masih terdengar
sampai hari ini.
Tapi, menurut Raben, segregasi dari atas itu tak berjalan
sesuai dengan rencana. Peraturan VOC itu praktis gagal. Para
pemuda yang diberangkatkan perang tak selamanya mau
kembali ke kampung asal mereka. Para opsir memperluas
tanah milik, sering menjauh dari pusat, dan tanah pribadi itu
punya pilihan permukiman tersendiri.
Tentu saja garis besar peta demografi tetap. Orang ”Jawa”
tinggal di arah perbatasan barat dan timur. Orang ”Eropa”
merapat ke pusat, mendirikan rumah tetirah mereka di tepi
Ciliwung. Orang Cina—yang kebanyakan bekerja di ke-80
pabrik gula di wilayah sekitar itu—mencari lingkungan yang
berhutan. Sementara itu, orang Bali, Bugis, Makassar, dan
lainnya tak begitu jelas pola tinggalnya.
Pada akhirnya kerancuan terjadi—kerancuan selalu
terjadi. Kekuasaan, dengan bedil dan buku, akhirnya hanya
miripderetan benteng darurat di luar tembok kota: ada jarak
antara mereka dan pedalaman yang menyimpan pelbagai
ketakmungkinan.
Dalam catatan Raben, pemasangan label etnis oleh VOC
pada penduduk ”bumiputra” tak pernah pas. Label itu tak men
cerminkan, dan tak pula membangkitkan, perasaan kesukuan
196 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka BELANGA
atau seasal-usul. Pertalian sosial ternyata tak berdasarkan
”daerah”—mungkin karena definisi ”daerah” juga hanya kon
struksi administrasi.
Raben memberi contoh orang-orang ”Ambon”. Rombongan
pertama sebenarnya berasal dari pelbagai pulau di kepulauan
Ambon. Pada 1671 terjadi perkelahian di antara mereka
sendiri—antara yang Kristen dan yang Islam. Mirip dengan
itu, pada 1686, insiden meletus antara orang Bali yang lahir
dan dibesarkan di Batavia dan orang Bali yang baru datang.
Mereka tak hendak tinggal sekampung.
Yang lebih rawan dan ambigu hubungan antara orang
Tionghoa dan penduduk lain, khususnya yang muslim.
Oktober 1740, terjadi pemberontakan penduduk Cina
terhadap VOC. Seorang pemimpinnya, Khe, punya ajudan
seorang Cirebon yang disebut ”Pangeran Dipati”. Tapi tak
banyak orang yang buk an Tionghoa yang memihak mereka.
Mungkin karena tak merasa senasib, mungkin juga karena
para pembangkang dianggap ”bangsa” lain, ”suku” lain.
Tapi apa sebenarnya ”suku”? Saya tak tahu batasannya dan
tak tahu kapan kata itu masuk percakapan sosial-politik Indo
nesia. Pada 1701, dan ditegaskan lagi pada peraturan bertahun
1766, pemerintah kolonial melarang perkawinan di antara go
longan etnis yang berbeda. Tapi penduduk tak benar-benar
taat, dan pelanggaran tak pernah dihukum. Tak semua orang,
yang umumnya berhubungan dengan bahasa yang sama, baha
sa Melayu, menyandang labelnya sendiri dengan mantap.
Raben punya kasus menarik: pada 1781, Hauwa, perempu
an asal Bima, membuat surat wasiat di depan notaris. Ia dibantu
dua orang Bali tetangganya, Samsuddin dan Nyoman. Da
Catatan Pinggir 11 197
http://facebook.com/indonesiapustaka BELANGA
lam wasiatnya Hauwa menyebut Ma Samuel sebagai ahli waris
hartanya; ia perempuan Bugis.
Dalam hidup nenek moyang kita, hampir dua abad
mendahului Sumpah Pemuda 1928, sesuatu yang mirip cerita
kuliner terjadi: asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam
belanga. Ada asam, ada garam—masing-masing terpisah-
pisah—tapi kecuali itu ada kerja. Asam didatangkan dari
pohon di dataran tinggi; garam dibawa dari kawah lumpur
atau pantai datar. Kemudian sesuatu berlangsung dan sesuatu
berubah. Tak ada lagi puc uk, tak ada lagi laut, tak ada lagi
batas, kecuali batas yang sementara: belanga.
Dan belanga adalah wadah yang dibuat dari tanah, dipasang
di dapur, dengan api, kayu bakar, arang, asap, debu—karena
rasa lapar, karena kreativitas yang lahir dari lapar dan mengge
rakkan tangan dan mengeluarkan keringat. Dalam hal itu
sejarah sebuah bangsa juga sejarah kebudayaan: cerita tentang
lapar, tentang kreativitas dan tangan dan keringat manusia
yang menembus batas.
TEMPO, 17 November 2013
198 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka TITAH
KADANG-KADANG orang merasa perlu untuk lepas
dari sejarah, telanjang kembali di pulau imajiner yang
tak bercacat, karena peradaban bisa menakutkan.
Mungkin benar Freud pernah mengatakan bahwa peradab
an dibangun oleh manusia pertama yang melontarkan kata
pengh inaan—bukan melontarkan batu. Freud agaknya hen
dakmenunjukkan: ada yang disembunyikan dengan dan da
lam bahasa ketika manusia menjadi ”beradab”. Tapi yang tak
ditegaskannya: agresi yang berubah jadi bahasa itu bukanlah
untuk melukai. Bahasa ”hanya” menjerat dan menaklukkan.
Pera daban dimulai dengan titah.
Salah satu titah paling purba meninggalkan jejak yang pan
jang. Kurang-lebih 2.600 tahun sebelum tarikh ini, ratus
an ribu budak Mesir dikerahkan untuk mengangkut 800 juta
bongkah batu melalui perjalanan 15.000 kilometer. Beban itu,
jarak itu, harus ditanggungkan untuk membangun piramida
besar dan kecil di sekitar Kairo, tempat mumi para firaun
diawetkan. Tak jauh dari sana, tampak potongan batu yang
seperti ditaruh tanpa niat: tanda kubur lain. Di sanalah liang
bag i para budak. Sekian ribu tahun yang lalu itu, tiap hari
ratusan dari mereka, yang bekerja, tewas di kaki konstruksi
yang mereka tegakkan.
Di gurun pasir Mesir itu, kekuasaan tampaknya hendak
menaklukkan waktu. Di dalam dan di luar piramida seakan-
akantak ada jam yang bergerak. Titah itu abadi.
Catatan Pinggir 11 199
http://facebook.com/indonesiapustaka TITAH
Pablo Neruda menyadari bahwa tak ada titah yang abadi.
Pada 1943 ia pulang dari hidupnya di luar negeri, kembali ke
Cile, mampir di Peru dan mengunjungi Machu Picchu, ba
nguna n megah bangsa Inca dari abad ke-15 yang terletak di
ketinggian 2.400 meter dari permukaan laut. Di sana ia sadar,
ketika waktu ditaklukkan dan membeku di antara batu-batu,
ada yang harus menanggungkannya: para budak, tentu saja. Di
puncak itu, seperti kita baca dalam sajaknya Alturas de Macchu
Picchu, satu bagian dari Canto General, Neruda terpesona, tapi
ia juga bertanya:
Macchu Picchu, kau pasangkah batu berlapis batu
di hamparan kain kumuh,
Arang di atas arang
dan di dasarnya air mata?
Api pada emas, yang menyimpan cercah darah,
darah yang gemetar?
Kembalikan padaku budak
yang kau kuburkan,
Sentakkan dari bumi roti keras
mereka yang miskin, tunjukkan baju
sang pelayan dan di mana pula jendelanya
Jika waktu membeku, mereka yang miskin dan terkubur
tak mungkin terungkap, dan tak akan mungkin jadi bebas.
Persoalannya—dan ini penting dalam pandangan tentang
sejarah—tidakkah pembebasan mustahil.
Neruda, seorang Marxis, tentu tak memustahilkan itu.
Tap i dengan pandangan yang gelap dan curiga kepada
200 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka TITAH
sifat manusia, Freud tak percaya. Sebagaimana peradaban
melupakanmayat para budak, peradaban juga, bagi Freud, tak
pernah mengand ung janji kemerdekaan ataupun kebahagiaan.
”Manusiaberadab telah menukarkan sebagian kesempatannya
untuk berbahagia dengan keamanan,” ia berkata.
Ia hendak menunjukkan bahwa peradaban adalah pen ge
kangan atas dorongan naluri seksual dan agresif. Peradaban
adalah proses manusia memilih kendali, sejalan dengan ia
memilih keindahan, kesehatan, dan ketertiban.
Dengan kata lain, peradaban sebuah paradoks: manusia
menc iptakannyauntukmelindungidiridariketidakbahagiaan,
tapi dalam proses itu kebahagiaan justru harus digadaikan.
Ketika ia ingin aman dari benturan naluri yang agresif di ma
syarakat, manusia membiarkan kemerdekaannya direduksi.
Di sana titah berdiri.
Tapi bagaimana titah, pengekangan, dan kompromi bisa
terjadi, itu yang hanya sedikit disinggung Freud. Dalam per
adaba n, seperti telah disebut di atas, ada Titah. Artinya ada
yang memperoleh posisi menitahkan, ada yang tidak. Tatanan
itu tak datang dari langit, tapi bagaimana bisa, Freud tak me
nelaahnya. Ia tak tertarik kepada politik. Ia juga tak melihat se
jarah sebagai narasi dalam waktu yang berubah. Dalam pan
dangannya, si budak tak mungkin merdeka benar-benar.
Orang akan menilai, pandangannya a-historis. Meskipun
demikian, ia berjasa dalam mengguncang pandangan yang
bertahun-tahun melekat tentang peradaban. Ia tunjukkan per
adaban tak selalu berkaitan dengan kesopanan, kehalusan,
kepantasan. Seperti yang terucap dalam sajak Neruda, di ba
wahkemegahan produk sebuah peradaban, di lapis terdalam
Catatan Pinggir 11 201
http://facebook.com/indonesiapustaka TITAH
Machu Picchu, ada hamparan kain kumuh, bekas air mata,
cercah darah yang gemetar. Di sebelah piramida Djoser di
utara Memphis ada kubur ribuan budak yang tak dikenal.
Kata-kata Walter Benjamin yang termasyhur menegaskan diri
dari Memphis sampai dengan Machu Picchu: tiap dokumen
peradaban adalah sekaligus dokumen barbarisme.
Mungkin itu sebabnya tak jarang orang merasa perlu untuk
lepas dari sejarah. Bukan untuk mandek, melainkan untuk
melepaskan diri dari ilusi umum tentang peradaban.
Ada nostalgia kepada alam, menjadi alam—nostalgia yang
sea kan-akan ingin kembali ke sebuah masa pra-perubahan.
Tapi agaknya yang ingin dikembalikan hanyalah sebuah ke
adaan tanpa Titah, ketika bahasa tak menjerat dan menakluk
kan. Telanjang di pulau imajiner yang tak bercacat adalah
imajinasi tentang keadaan itu—yang mustahil, tentu saja, tapi
kini jad i utopia (artinya: imajinasi yang mengimbau untuk
bertindak) yang mendesak.
Kini Titah lama digantikan Titah baru. Tak ada budak
yang harus mengangkut 800 juta bongkah batu dari Aswan,
tapi ada inkarnasi dari dorongan kekuasaan itu. Dulu ia berna
ma hasrat untuk hidup kekal. Kini ia bernama keserakahan.
TEMPO, 24 November 2013
202 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MATA AIR
KEBUDAYAAN dimulai dengan kaki yang bergerak di
saw ah dan tangan yang meraut joran. Dalam bahasa
Indonesia asal katanya berkait erat dengan kerja pertanian:
ada asosiasi yang dekat antara budaya dan budi daya. Dalam
bahasaEropa, culture juga berakar pada kata Latin colere, yang
bisa bera rti mengolah tanah atau air, menghuni, merawat,
memperelok,atau memuja. Tapi kemudian para cerdik pandai
berbicara tentang kebudayaan sebagai sesuatu yang halus
dan tinggi, sea kan-akan sejarahnya bermula dan berakhir di
balairung, galeri, dan ruang-ruang seminar.
Barangkali ada sebuah transisi yang dilupakan. Riwayat
man usia menunjukkan ladang dan laut bukan semata-mata
sumber hidup, tapi juga tempat ia menyusun pengalamannya
tentang waktu. Akal yang cerdik pun mengukur musim, dan
sejak itu manusia yakin akan kemampuan dirinya. Pada saat
yang sama manusia juga menghadapi gempa dan badai yang
seakan-akan datang dari alam yang lain, dan ia gentar oleh
misteri.
Nilai-nilai tumbuh ketika manusia bergulat dengan itu se
mua. Kebudayaan pun lahir. Pada suatu tahap, nilai-nilaiitu—
yang menyebabkan orang merasa malu atau bersalah ketika
mengecoh orang lain atau membakar rumah yatim—membu
at sikap ”berbudaya” berarti juga sikap yang ”beradab”. Seti
dakn ya dalam bahasa Indonesia, ”kebudayaan” dan ”pera dab
an”bisa saling menggantikan.
Catatan Pinggir 11 203
http://facebook.com/indonesiapustaka MATA AIR
Agaknya demikian juga dalam bahasa-bahasa Eropa. Tapi
kemudian datang sebuah masa ketika hal-hal yang dianggap
”bera dab”, hal-hal yang mencerminkan civility, mengambil
bentuk yang makin jauh dari tubuh, bumi, dan pergulatan
hidup yang menumbuhkan nilai-nilai. Makin jauh, makin tak
mendalam, meskipun makin meluas jangkauannya. Dan apa
yang disebut ”peradaban” akhirnya hanya ditandai perilaku
yang tampak manis dan sopan dan halus di permukaan: peri
laku yang mengikuti kepatutan sosial yang di mana-mana di
akui.
Kant melihat itu dengan masygul dan berkata, ”Kita ber
adab,dan mungkin malah terlalu beradab.” Kita menyangka
kita telah mencapai tingkatan moralitas. Tapi sebenarnya
yang kita perlihatkan hanya sejumlah pencitraan, simulacra,
moralitas.
Simulacra itu makin lama memegang peran sentral.
Masyarakat diubah oleh kapitalisme. Hampir semua hal jadi
komoditas yang bisa dipertukarkan karena semua hal sudah
diterjemahkan dengan harga. Tak ada lagi sesuatu yang
unik, istimewa, dan tak bisa diperbanyak atau ditirukan. Di
toko-toko, orang memasarkan kata-kata ucapan cinta, atau
berkabung, atau ucapan selamat pada kartu pos yang dicetak
dalam jumlah ribuan: cara yang efisien untuk menggantikan
ekspresi kita.
Dengan kapitalisme pula, peradaban bergerak semakin
meluas, menghimpun makin banyak benda dan milik. Ia
merambah ke mana-mana—bahkan jadi alasan kolonialisme,
ketika orang-orang Eropa berangkat ke benua lain dengan
semangat, atau dalih, untuk menjalankan mission civilisatrice.
204 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MATA AIR
Dalam keadaan seperti itu, kebudayaan sering dibayangkan
untuk bisa jadi sebuah kekuatan alternatif. Terry Eagleton
menyebutnya sebagai ”oasis nilai-nilai”, tapi kiasannya tak
tepat ben ar: menampakkan sesuatu yang tanpa daya dan tanpa
gerak. Lebih tepat agaknya bila kebudayaan dianggap mata
air nilai-nilai yang oleh peradaban dialihkan alirnya ke danau
yang cemar.
Sebab di atas segalanya kita bisa selalu mengingat kembali
bagaimana semuanya bermula. Ada kaki yang bergerak di sa
wah dan tangan yang meraut joran—dan kita tahu kaki dan
tangan itu bukan otomaton yang hanya bisa mengulang-ulang.
Semua menjadi berarti karena ada sesuatu yang baru dan
berbeda muncul, sesuatu yang bukan alam tapi dari alam.
Kita lihat patung Cokot yang mengubah sebatang ranting
jadi sebuah patung Bali, seakan-akan ia bukan berasal dari
sekerat sisa pohon. Kita juga simak imaji laut pada karesansui,
taman karang Zen di Kuil Naga yang Damai di Kyoto: laut itu
hidup karena gerak imajiner dari pasir.
Keduanya tak ekspansif. Keduanya tak terpisah jauh dari
pohon dan debu. Keduanya menyimpan apa yang diam dan
dengan demikian mengingatkan: kapitalisme gemuruh di
mana-mana, tapi tidak adakah yang tak bisa dipertukarkan?
TEMPO, 1 Desember 2013
Catatan Pinggir 11 205
http://facebook.com/indonesiapustaka
206 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka Dari Djémila ke Sela-sela Sejarah
Kira-kira 20 tahun sejak ia dilupakan, Albert Camus dikenang
kembali. Di hari ulang tahunnya ke-100 simposia diadakan di seluruh
dunia. Pekan lalu di Bandung peringatan satu abad penulis Prancis itu
berlangsung selama sebulan. Seluruhnya dirancang dan diselenggarakan
para mahasisw a; tak semuanya dari sastra Prancis.
Di malam terakhirnya, 28 November 2013, sekitar 400 hadirin, seba
gia n besar berumur di bawah 35 tahun, berjubel di auditorium IFI (Institut
Français Indonesia) untuk mendengarkan ceramah tentang pengarang itu.
Mengapa Camus? Saya tak bisa menjawabnya dengan pas.
Camus bukan hanya satu cerita, dan kita bukan hanya satu pikiran.
DUSUN di perbukitan pantai utara Aljazair itu, Djémila,
adalah lanskap dengan puing imperium Roma. Juga bu
kit, langit lazuardi, dan laut.
Ketika berumur 26 tahun Camus berkunjung ke sana. Ca
tatannya:
...di tempat ini, para penakluk telah menandainya dengan
peradaban para opsir rendahan. Mereka rumuskan ide yang
menggelikan tentang ” keagungan”; mereka ukur keagungan
sebuah imperium berdasar luasnya permukaan bumi yang
direngkuh.
Yang ajaib adalah bahwa puing-puing peradaban itu justru
yang menampik ideal mereka. Di kota yang tinggal rangka ini,
bila kita lihat dari atas ketika malam mendekat dan sayap-sayap
putih merpati mengitari sisa gerbang kemenangan, tak ada tanda
apa pun yang ditatah di langit, tak ada tanda apa pun tentang
Catatan Pinggir 11 207
http://facebook.com/indonesiapustaka DARI Djémila KE SELA-SELA SEJARAH
amb isi dan penaklukan.
Pada akhirnya, dunia mengalahkan sejarah. Batu-batu Djé
mila berseru ke selangkang gunung, antara langit dan kesunyian:
aku kenal betul puisi itu, cerah, acuh tak acuh, tanda-tanda sebe
narnya dari keindahan atau tiadanya harapan....
Di sini kita tak hanya menemukan satu fragmen puitik yang
khas Camus, tapi juga thema utamanya. ”Pada akhirnya, dunia
mengalahkan sejarah.” Jika ada ketegangan dalam filsafat
Camus, itu adalah ketegangan antara ”dunia” dan ”sejarah”.
”Dunia” di sini adalah reruntuhan tua, angin senja, sayap
merp ati, langit di hari hujan, embik kambing yang mendadak
di gigir gunung, tubuh yang menikmati laut dan renang. Juga
kesadaran akan kematian. ”Dunia” adalah segala sesuatu yang
konkret, khas, berproses, fana, namun tak tergantikan.
Bagi Camus, hidup bermula di situ. Hidup tak bermula dari
pik iran, kesadaran, atau ide. Hidup bahkan tak bisa ditangkap
den gan konsep-konsep.
Para penulis segenerasinya, menjelang 1940-an—mereka
yang sering disebut ”eksistensialis”—menggugat rasionalisme:
meragukan, bahkan menampik, pandangan yang meletakkan
inti pikiran murni, res cogitans dalam teori Descartes, sebagai
pusat yang terpisah dari dunia, bahkan menentukan adanya
dunia.
Camus tak hendak dimasukkan ke kategori ”eksistensialis”.
Tapi sebagaimana Sartre dan yang lain, ia menulis karya
kreatif—sastra dan lakon—di mana imajinasi, ingatan, dan
ketaksadaran memegang peran lebih besar ketimbang pikiran.
Camus bahkan tak melihat diri sebagai seorang filosof. ”Saya
hanyaberbicara tentang hidup yang saya alami,” katanya. Yang
208 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka DARI Djémila KE SELA-SELA SEJARAH
dialaminya: ”nihilisme, kekerasan, dan pusaran kehancuran”.
Ia dibesarkan di antara dua perang besar yang destruktif
dan kemiskinan yang panjang. Ibunya seorang babu cuci yang
setengah tuli; ayahnya buruh tani yang tak pernah dikenalnya
karena tewas dalam pertempuran di Eropa. Sulit bagi
Camus meyakini bahwa hidup bersifat rasional, dan dengan
rasionalitas sejarah bisa disebut ”kemajuan”.
Kita telah mendengar bagaimana lanskap Djémila hadir
di hadapannya: bukan tanda kekuasaan dan kejayaan, tapi
indahnya langit yang kosong, tanpa tanda penaklukan.
Di sana, dunia kita temui dengan sabar dan ”men anggung
kan”. Nous patientons—plutôt nous pâtissons.
Dunia yang seperti itu juga hadir kembali di pantai Tipassa:
Tengah hari, di lereng yang setengah tertutup pasir itu, yang
bertaburkan kembang matahari bagaikan riak yang ditinggalkan
gelombang ganas ketika surut, kutatap laut, yang naik-turun pe
lan, seakan-akan telah lelah; kutebus kedua dahagaku, dahaga
yang tak dapat diabaikan lebih lama jika hidup tak ingin
seluruhnya kering—dahaga untuk mencintai dan dahaga untuk
mengag umi....
Dahaga untuk mencintai, untuk mengagumi: tanpa itu hi
dup tak ada gelora. Bila pada saat yang sama kita hanya terus-
men erus menuntut—termasuk menuntut keadilan—akan ada
kehilangan: cinta jadi mustahil, sementara keadilan tak cukup.
Bag i Camus, kita harus kembali ke ”keindahan purba, langit
yang muda”.
Itu sebabnya ia mempersekutukan ”peradaban”—yang
Catatan Pinggir 11 209
http://facebook.com/indonesiapustaka DARI Djémila KE SELA-SELA SEJARAH
kehilangan ”keindahan purba” itu—dengan ”sejarah”. Sejarah
baginya tragis. Sebagaimana halnya kemajuan dan peradab
an, sejarah merusak pertalian manusia dengan alam. ”Orang
tak dapat mendengar pekik burung-burung dalam dingin ma
lam—dunia sebagaimana adanya. Sebab ia telah diliputi satu
lapisan tebal sejarah yang harus ditembus, agar bahasanya da
pat kita dengarkan.”
Maka sejarah sesungguhnya hanya pengganggu. Ia tak
punya makna, seperti hidup itu sendiri. Tapi berabad-abad ilusi
dibangun menutupi absurditas itu. Agama, terutama Kristen,
mendoktrinkan bahwa sejarah bukan gaduh dan rusuh yang
tak berarti apa-apa, melainkan sebuah garis lurus yang akan
bera khir dengan Surga. Tuhan adalah sang penentu.
Tapi pada suatu masa, agama surut, ”Tuhan mati”. Di saat
itu manusia seharusnya merdeka. Tapi tidak. Ia tak meneruskan
pembangkangannya. ”Lepas dari penjara Tuhan,” kata Camus,
”perhatiannya pertama adalah untuk membangun penjara
sejarah dan akal budi.”
Dalam filsafat Camus, sejarah adalah ”penjara”, atau ”sir
kus”, atau ”titah”.
lll
SAYA kira ada ambiguitas, bahkan inkonsistensi, dalam pe
ngertian Camus tentang sejarah. Di situlah kelemahan posisi
nya. Dalam L’Homme Révolté ia dengan berapi-api mengecam
Hegel dan Marx yang memandang sejarah sebagai yang di
asumsikan akan bergerak ke satu tujuan. Baginya, kesalahan
Heg el, sebagaimana dusta ajaran agama, ialah memastikan
akan adanya ”akhir sejarah”, tahap pemungkas ketika
210 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka DARI Djémila KE SELA-SELA SEJARAH
manusia akhirnya merdeka. Atau, dalam teori Marx, akan ada
masyarakat komunis yang makmur, adil, tak berkelas.
Camus menilai pandangan itu cenderung membuat
manusia tak berarti: manusia, ”tubuh-tubuh”, hanya jadi
alat untuk tujuan yang muluk dan mustahil, ke sebuah masa
depan, ke sebuah Utopia. ”Utopia mengganti Tuhan dengan
masa depan,” tulisnya. Kita mengerti: ia berbicara dengan latar
belakang tahun 1950-an, ketika di bawah Stalin, Revolusi
Marxis-Leninis di Uni Soviet—yang bermula menjanjikan
pembebasan itu—tern yata membangun kamp konsentrasi dan
membunuh kader-kadernya sendiri. Atas nama masa depan.
Pembunuhan memang mudah jadi halal jika jalan ke masa
dep an begitu meyakinkan dan sejarah begitu agung. Tapi
memandang sejarah seagung itu bukanlah sikap yang lahir dari
pengalaman yang konkret. Dalam pengalaman yang konkret,
manusia tak pernah tahu adakah ”akhir sejarah”. Ia tak persis
tahu bagaimana nanti jadinya.
Ironisnya, Camus sendiri di sana-sini terseret ke dalam
abstraksi yang sama. Ketika ia menyebut kata ”penjara sejarah”,
metafor itu menunjukkan ia memandang sejarah sebagai yang
han ya punya corak: penindasan. Dengan kata lain, metafor itu
hasil sebuah abstraksi. Maka ia tampak sebagai sesuatu yang
tanpa tujuan—dan mutlak.
Dalam hal ini, Sartre lebih benar. Ketika Camus tewas da
lam kecelakaan mobil, Sartre—lawan politik dengan pandang
an filsafat yang berseberangan—menulis sebuah obituari yang
mengharukan, terbit 7 Februari 1960. Ia berkabung, tapi ia tak
lupa menunjukkan apa yang tak terjawab oleh Camus: jika tak
kita lihat laku manusia yang menjalaninya, sejarah hanyalah
Catatan Pinggir 11 211
http://facebook.com/indonesiapustaka DARI Djémila KE SELA-SELA SEJARAH
seb uah konsep yang abstrak dan tak bergerak. Tentang itu, kita
tak bisa mengatakan bahwa ia punya atau tak punya tujuan.
Tapi sementara kita tak bisa mengetahui ke mana arah sejarah,
”Kita bisa memberinya satu tujuan,” tulis Sartre.
Di saat itu, Sartre tak salah: Camus akhirnya tampak seperti
orang yang tak hendak melangkah ke dunia yang penuh risiko
dan tak pasti, sebab hanya dengan itulah orang ikut menentu
kan arah sejarah.
Tapi kita bisa mengerti pesimisme Camus. Ia telah me
nyaksikan begitu banyak kejadian ketika arah itu akhirnya
dikhianati. Yang saya kurang paham—mungkin karena
kecenderunga nnya memakai kalimat-kalimat yang punya
getar dramatik, terutama dalam L’Homme Révolté—Camus
sendiri seperti terlupa akan kebahagiaannya yang tersembunyi.
Katakanlah benar bahwa sejarah—atau peradaban, atau ke
majuan—merusak. Tapi ia pernah punya keyakinan sederha
na di tepi pantai Djémila: ”Pada akhirnya, dunia mengalahkan
sejarah.”
Dan bukankah kita akan selalu ingat, di tahun ke-100 ini,
kata-katanya yang terkenal ini: ”Matahari mengajariku bahwa
sejarah bukanlah segala-galanya”?
TEMPO, 8 Desember 2013
212 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka WARNA
MANDELA meninggalkan sebaris kalimat yang terngi
ang-n giang meskipun tak selalu tertangkap artinya: ”...
to be free is not merely to cast off one’s chains, but to live in a way
that respects and enhances the freedom of others.”
”Kemerdekaan orang lain,” katanya; kemerdekaan liyan
yangmembawa juga kemerdekaanku.
Ketika Mandela melangkah keluar dari kurungan, ketika
orang-orang hitam Afrika Selatan dibebaskan dari penindasan
rez im apartheid, ia lepaskan dua hal dari dalam dirinya: sakit
hati dan kebencian. Ia akan masih tetap terpenjara, tulisnya,
sea ndainya tak menanggalkan dua hal itu.
Dengan kata lain, di luar penjara itu ia memilih sikap yang
melawan semua itu. Ia mencintai—juga mencintai mereka
yang pernah membelenggunya.
Saya tak tahu adakah Mandela seorang Kristen. Yang saya
tahu agama itu—dan agama apa pun—cuma melintas sebentar
dalam hidupnya. Tapi ia seakan-akan mengumandangkan apa
yang dikatakan Isa Almasih, agar kita mencintai musuh kita,
mencintai tetangga kita, mencintai.... Tak berbatas.
Mungkin itulah saat ketika ada sesuatu yang universal
mengu bah Mandela, dan kita mendapatkan inspirasinya—
dan perjuangan kemerdekaan akan palsu jika hanya perjua ng
anuntuk kaum sendiri.
Terbitnya kesadaran tentang yang universal itu mungkin
sebuah nostalgia: kita ingin kembali ke sebuah masa ketika
Catatan Pinggir 11 213
http://facebook.com/indonesiapustaka WARNA
permusuhan belum terjadi, bendera belum dipasang, dan
identitas”kami” dan ”mereka” belum ditegaskan.
Tapi kesadaran itu juga bisa berupa sebuah agenda buat
masa depan.
Tak ada transformasi yang lebih radikal dalam dua abad ter
akhir ini ketimbang yang tampak dalam perjuangan pembe
basan Afrika. Kolonialisme bukan saja eksploitasi ekonomi
dan penindasan politik, tapi juga pengukuhan rasialisme yang
paling brutal: di benua itu, sejumlah manusia tak cuma ditak
lukkan; mereka juga dipisahkan sebagai himpunan makhluk
yang ditakdirkan Tuhan lebih rendah, sebagai subhuman,
karena warna ras mereka lain, tak ”putih”. Berabad-abad
lamanya mereka juga dibuat percaya bahwa posisi mereka
adalah hakikatdiri mereka.
Maka menakjubkan—betapa radikal!—ketika Mandela
justru membuktikan bahwa manusia yang tak ”putih” itu
tidaksaja sanggup membebaskan diri, tapi juga membangun
sesuatu yang gagal dicapai Pencerahan Eropa: kemanusiaan
yang universal.
Di Kamboja, di bawah komunisme Pol Pot, revolusi dan
kem enangan ”kaum yang lapar” diikuti dengan pembersihan
dan pembunuhan musuh secara besar-besaran. Dalam perju
angan itu Marxisme-Leninisme—anak kandung Pencerahan
Eropa yang ingin membebaskan manusia—muncul dengan
agenda pembantaian. Dengan kata lain, tak berbeda jauh dari
militerisme yang mau membawa ”modernisasi” di Indonesia.
Liyan yang hadir di ruang kita adalah musuh kita. Humanis
me universal harus ditampik.
Betapa beda dengan apa yang terjadi di Afrika Selatan. Mes
214 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka WARNA
kipun Mandela bukanlah mukjizat.
Ia tak datang tiba-tiba. Sebelum dia, tapi tak seberhasil dia,
adalah Frantz Fanon, pemikir dan aktivis antikolonialisme,
antirasisme, seorang kelahiran Martinique yang merasa diri
jadi bagian dari Aljazair yang berjuang melawan penjajahan
Prancis.
Ia menulis Peau Noire, Masques Blancs (”Kulit Hitam, To
pengPutih”), sebuah risalah yang tajam, bergelora, cemerlang.
Di salah satu babnya kita temui Mayotte Capécia. Perempuan
ini menulis sebuah otobiografi, Je suis Martiniquaise—satu
contoh bagaimana seorang wanita kulit ”berwarna” memposi
sik an dirinya di masyarakat kolonial yang terbelah.
Mayotte mengikuti pembelahan itu dengan sepenuh hati. Ia
memilih suaminya bukan karena lelaki itu ganteng, melainkan
karena matanya biru, rambutnya pirang, kulitnya putih.
Baginya dunia adalah bangunan yang terdiri atas dua kubu,
hitam dan putih—sebuah pandangan yang 100% bersifat
Man ikhean, veìritable conception manicheìiste du monde, kata
Fanon. Bagi Mayotte,
Aku putih: artinya aku memiliki kecantikan dan kebajikan,
yang tak pernah berwarna hitam. Aku warna cahaya siang....
Aku hitam: aku wujud perpaduan dengan dunia, saling suka
dan saling mengerti dengan bumi, ego yang dilepaskan dalam
jantung kosmos.... Aku benar-benar sinar matahari di bawah
tanah....
Apa yang kemudian jadi agenda Fanon adalah membuat
ban gunan Manikhean di kepala Mayotte Capécia itu jadi basis
teori perlawanan. Si Hitam harus menegaskan bedanya. Ia
harus menarik garis menghadapi si Putih. Perjuangan sengit
Catatan Pinggir 11 215
http://facebook.com/indonesiapustaka WARNA
perlu jelas bedakan ”kawan” dari ”lawan”. Bahkan kekerasan
adalah cara yang sah—satu hal yang ditegaskan Jean-Paul
Sartre dalam pengantarnya yang berapi-api untuk buku Fanon
yang lain, Les Damnes de la Terre. Sebab kekerasan, kata Sartre,
seperti lembing Achilles: dapat menyembuhkan luka yang
ditorehnya.
Saya tak yakin Sartre benar di sini. Hidup enak di Paris ia
tak pernah menyaksikan bom meledak dan korban jatuh dari
dekat, kekerasan yang tak jarang memicu pertumpahan darah
baru. Ia juga tak menyebut adakah kekerasan yang dilakukan
sebuah rezim terhadap mereka yang lemah juga seperti lembing
Achilles.
Tapi dalam hal lain Sartre benar: perjuangan antikolonial
yang diserukan Fanon membuat orang-orang Eropa meng
alami”dekolonisasi” dalam diri mereka. Mereka digertak dan
terb angun.
Tak boleh dilupakan, Fanon sendiri menghendaki dekoloni
sasi seperti itu, hingga datang manusia baru yang tak lagi terpi
sahkan dinding dua atau lebih dari dua warna.
Mandela menunjukkan, dekolonisasi itu juga terjadi dalam
dirinya. Tentu dunia baru belum sepenuhnya terhampar. Ia
memang telah menaklukkan sebuah bukit besar. Tapi di ha
dapan itu masih banyak bukit lain.
Juga setelah ia, Mandela, beristirahat.
TEMPO, 15 Desember 2013
216 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MONUMEN
—untuk Hanung Bramantyo
TOKOH sejarah rata-rata mati dua kali. Pertama kali ia di
mak amkan. Kedua kali ketika ia dibangun sebagai mo
num en. Mandela akan mengalami itu, seperti halnya Sukarno.
Sebuah monumen berniat mengekalkan, tapi akhirnya
membekukan. Sang tokoh akan dianggap telah selesai, tinggal
dipuja.
Pada tahun 1924 di Rusia, negeri yang menegakkan
monumen di hampir tiap kota, satu acara resmi dibuka untuk
merayak an hari kelahiran penyair Pushkin, pencipta novel
puitik Eug ene Onegin yang termasyhur itu. Untuk acara
itu Mayakovski menulis sebuah sajak. Pada suatu malam,
demikian penyair itu bercerita, ia copot patung Pushkin
dari pedestalnya di Trevsrakay Bulvar, Moskow. Ia ajak sang
penyair abad ke-19 itu berjalan-jalan, bertukar-pikiran.
Bagi Mayakovski, tiap monumen, juga yang dibangun
untuk dirinya, harus diledakkan dengan dinamit. ”Begitu
benci aku kepada tiap benda mati/Begitu gandrung aku kepada
tiap bentuk hidup!”
Tapi ia sendiri mati dua kali. Pertengahan April 1930,
penyair berumur 37 tahun itu menembak dirinya sendiri.
Ditinggalkannya satu catatan: ”Jangan salahkan siapa pun
karena kem atianku, dan mohon jangan bergosip. Orang yang
sudah mati sangat tak menyukai itu....”
Catatan Pinggir 11 217
http://facebook.com/indonesiapustaka MONUMEN
Gosip tak bisa dicegah—juga pertanyaan kenapa
Mayakovski bunuh diri. Lunacharski, tokoh kebudayaan
Revolusi Oktob er, seorang penelaah puisi yang jernih
pandangnya, berbicara tentang dualisme dalam diri dan
puisi Mayakovski: yang satu keras bagaikan logam dan
yang lain lembut. Mungkin akhirnya dualisme itu tak dapat
diatasinya lagi. Mungkin ada cinta yang gagal. Mungkin
Mayakovski—penyair revolusioner ketika revolusi Rusia
sedang mengkonsolidasikan kekuatannya—mulai melihat ada
yang membeku dalam dirinya, juga dalam tah ap revolusi itu.
Kita tak akan pernah tahu. Mayakovski sudah jadi seorang
pemuda komunis yang ditahan polisi Tsar pada umur 15 tahun.
Dengan antusias ia sebut Revolusi Oktober 1917 sebagai ”re
volusiku”. Ia melihat awal masa depan yang serba baru.
Lima tahun sebelumnya, pada usia 19 tahun, bersama
sejumlah seniman lain ia mengeluarkan ”Manifesto Futuris”.
Jud ulnya menantang, ”Tamparan ke Selera Masyarakat”. Di
sana dinyatakan bahwa pernyataan itu adalah suara ”semangat
zam an”. Di sana juga diserukan agar para sastrawan lama di
buang jauh-jauh. ”Lemparkan Pushkin, Tolstoi, Dostoyevski,
dll. keluar dari Kapal Modernitas!”
Mungkin itu cara anak muda cari perhatian: menantang
raksasa. Mayakovski sendiri memulai penampilannya ke dunia
kesenian dengan muka dicat dan jas panjang warna limun.
Tapi di luar itu, ia memang berbakat istimewa. Bila ia memakai
begitu banyak tanda seru dalam puisinya, bila ia selalu men
dam ik dada (seperti ”aku” Chairil Anwar), ia tak sekadar ber
teriak minta dilihat. ”Itu dia sukmaku/serpih-serpih mega yang
tercabik/di langit yang terbakar/di atas salib berkarat/di menara
218 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MONUMEN
lonc eng.”
Puisi panjangnya pada tahun 1915, ”Awan dalam Celana”,
segera mendapat sambutan. Dengan cepat ia mendapat posisi
terkemuka. Ia duta puisi Soviet untuk dunia. Boris Pasternak,
yang kelak akan menerima Hadiah Nobel untuk novelnya,
Doctor Zhivago, punya tilikan yang tajam atas Mayakovski
yang dikenalnya di tahun-tahun itu.
Penyair asal Georgia itu, tulis Pasternak, ”seorang muda ru
pawan”, dengan ”suara seorang penyanyi mazmur dan tinjuse
orang pegulat”. Puisinya adalah puisi yang diraut dengan baik
oleh seorang seniman, nadanya arogan, ”diabolik”, liar gelap
sep erti suara setan, dan pada saat yang sama nasibnya ”telah
terpatri, tersesat selamanya, seakan-akan menjerit meminta
tolong”.
Pasternak benar: puisi itu tanpa disadari penyairnya tersesat
dalam sebuah zaman politik yang tak mau memahami keliar
an dan kompleksitas kata. Zaman Stalin.
Desember 1935, datang kematian Mayakovski yang kedua:
ketika ia oleh Stalin dinobatkan sebagai ”penyair terbaik dan
paling berbakat di masa Soviet”.
Orang ragu benarkah Stalin menyukai puisinya. Sebab di
antara penobatan itu Stalin merumuskan doktrin ”Realisme
Sosialis”. Sejak itu, dengan kendali Partai, ekspresi artistik di
tertibkan. Karya ala Mayakovski, yang sibuk dengan ”aku”,
yang arogan, liar, dan gelap, akan dianggap ”kontrarevolusi”.
Salah satu suara ”kontrarevolusi” itu teman kerja
Mayakovski: Meyerhold. Ia sutradara teater eksperimental
yang karya-karyanya mengungkapkan masa yang resah untuk
pembaruan itu. Juni 1939, ia ditangkap. Ia dituduh jadi mata-
Catatan Pinggir 11 219
http://facebook.com/indonesiapustaka MONUMEN
mata Jepang dan Inggris—dan ditembak mati.
Di antara penangkapan dan kematian seperti itu, Uni
Soviet bergema dengan titah Stalin: Mayakovski harus
dikenang. Tak menghormatinya adalah ”sebuah kejahatan”.
Maka orang pun berduyun-duyun membaca sajak-sajaknya di
sekolah, di tempat pertemuan, di semua kesempatan resmi. Di
saat itulahPasternak, yang menolak untuk diberi sanjungan
resmi apa pun, menulis: Mayakovski ditumbuhkan dengan
paksa ”seperti kentang di zaman Katerina Agung”—dan itu
adalah ”kematiannya yang kedua”.
Pada kematian kedua itu, sebuah patung didirikan di
Triumfalnaya Ploshchad di Moskow. Mayakovski jadi mo
numen.Untunglah cerita tak berhenti. Sebuah monumen tak
perludiled akkan; ia bisa direbut. Sejak Stalin mangkat, dan
kebekuan kreatif mencair, para penyair dan anak-anak muda
menggunakan taman di sekitar patung itu untuk membaca
sajak—sea kan-akan mereka bercengkerama kembali de
ngan Mayakovski, karena ini Mayakovski mereka, bukan
Mayakovski di atas pedestal yang ditegakkan seperti berhala.
TEMPO, 22 Desember 2013
220 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka BERKABUNG
MEMBACA sejarah, menyusun sejarah, adalah
berkabung. Kita menyadari ada kematian. Kita
menemui yang tak bisa lagi dihidupkan. Kita takziah ke
dunia tokoh-tokoh yang tak ada lagi dan peristiwa yang tak
bisa diulangi. Kita mencoba menghadirkannya kembali—
tapi pada saat itu juga kita tahu, selalu ada yang luput. Bukan
karena amnesia.
Sebuah riwayat—lihat film Soekarno, Lincoln, atau October:
Ten Days That Shook the World—hadir di sebuah layar putih.
Dengan kata lain, ia disusun dalam seraut bentuk. Bangunan
naratif itu menghendaki awal dan akhir. Apa gerangan yang
terjadi sebelum awal dan sesudah akhir itu? Sang penyusun ce
rita terpaksa menghilangkannya. Bentuk adalah reduksi yang
meringkus dan meringkas data yang bertaburan, susup-me
nyusup, berubah terus, centang-perenang.
Bentuk itu, kisah sejarah itu, terbangun oleh kenangan,
bukan oleh ingatan. Saya membedakan ingatan dari kenangan.
Yang pertama rekaman pengalaman yang kita bayangkan
tersimpan di sebuah ruang imajiner dengan label ”masa lalu”.
Ingatan mudah ditata. Kenangan sebaliknya: ia tak tertatada
lam ruang terpisah. Ia mengalir memasuki masa kini, bagian
dari masa kini, mengubah secara kualitatif masa kini. Kenang
an membikin masa lalu manunggal dengan semua masa.
Waktu bukan ruang yang terkotak-kotak.
Tapi para penyusun kitab sejarah membuat arsitektur:
Catatan Pinggir 11 221
http://facebook.com/indonesiapustaka BERKABUNG
cerita mereka terdiri atas bab demi bab, sebagaimana sebuah
film terdiri atas adegan demi adegan. Keruwetan ditiadakan,
bahkan dalam karya historiografis yang biasanya tak dianggap
”mod ern”.Seperti Syair Singapura Dimakan Api yang ditulis
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi di abad ke-19: cerita sejarah
ini disampaikan dalam bentuk puisi, tapi bukan puisi yang
ekspresif yang menyeruak acak-acakan dari jiwa yang terkena
trauma. Syair itu dengan runut bercerita.
Dengan bentuk serunut itu, menulis sejarah adalah sebuah
perkabungan resmi. Sering kali kita memerlukannya. Kita te
lah bersua dengan waktu dan kematian. Kita seakan-akan
men yaksikan Kronos, dewa waktu dalam mithologi Yunani
yang—seperti digambarkan dalam sebuah lukisan Goya—
mengerkah anaknya yang hidup. Dan kita gentar.
Syahdan, di hadapan kita ada dua jalan. Pertama, jalan yang
ditempuh Hegel. Filosof Jerman ini menampik Kronos. Ia me
ngukuhkan Zeus, ”dewa politik”—Zeus yang mengendalikan
arus waktu, Zeus yang menegakkan stabilitas, Zeus (pen guasa
di Olimpus) yang membentuk struktur dan menegaskan
hukum-hukum yang abadi di atas bumi.
Jalan yang kedua: kita mengakui kematian, namun menolak
Kronos dan sekaligus Zeus. Kita membangun sebuah narasi
yang dekat dengan arus kehidupan yang tak abadi tapi berarti.
Kita ingin merasakan geraknya, menyentuh dinginnya, me
nyimak pelbagai partikel yang membuat warna dan aromanya.
Dengan hasrat itu kita bawa tokoh dan peristiwa yang sudah
lew at ke tengah masa kini—dan novel, lakon, dan film sejarah
pun diproduksi.
Dalam karya-karya itu, alur bergerak dalam ”hari yang se
222 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka BERKABUNG
akan-akan sekarang”. Para pembaca Bumi Manusia dibawa
kemasa kini Nyai Ontosoroh. Dalam bentuk lakon, seperti
Sandyakalaning Majapahit Sanusi Pane, ”hari yang seakan-
akan sek arang” bahkan datang lebih langsung. Di pentas,
sebagaim an a di layar putih, para tokoh sejarah hadir di masa
kini.
Para sejarawan akan menegaskan, itu bukan bagian
historiografi. Tapi barangkali bisa didalihkan, sebuah novel
(atau sebuah lakon, juga sebuah film) tetap penting karena ia
menamp ik Hegel. Dari puncak menara filsafat, Hegel (juga
Marx) memandang perjalanan hidup manusia dengan angkuh:
aku bisa melihat sejarah secara lengkap, aku tahu apa awal dan
ujungnya.
Novel menunjukkan bahwa hidup tak bisa disimpulkan da
ri menara tinggi. Para tokoh novel tumbuh dari kancah sejarah:
mereka tak akan beroleh gambaran total riwayat mereka sen
diri. Mereka melangkah, mereka berjuang, tapi selalu meraba-
raba jalan. Biarpun mereka tampak di tengah ”narasi besar”—
misalnya dalam perjuangan kemerdekaan sebuah bangsa—
hidup mereka adalah pelbagai narasi yang ”kecil” dan ”lokal”.
Yang mereka ketahui datang sepenuhnya dari praxis. Mereka
adalah kerja, mereka berkreasi, berproduksi; mereka bukan
makhluk teori.
Tentu teori tentang sejarah diperlukan. Dengan teori bisa
kita rumuskan gejala dan kita perkirakan arah; dalam sebuah
ikhtiar pembebasan, misalnya dalam melawan kolonialisme,
teori punya peran strategis.
Namun sang pengusung teori akan salah bila ia mem
bentuk apa yang digambarkan Michel de Certeau sebagai
Catatan Pinggir 11 223
http://facebook.com/indonesiapustaka BERKABUNG
”kota panorama”. Kota seperti itu tampil sebagai sebuah
totalitas, tapi totalitas itu sebenarnya hanya anggitan seorang
”dewapengintip”—kuasa yang hanya tertarik kepada keutuhan
cerita besar sejarah. Maka diabaikanlah narasi kecil yang tak
bisa dicocok-cocokkan oleh teori, dan disingkirkanlah apa
yang tak terduga-d uga. Di ”kota panorama”, berkuasa sikap
yang tak mau menyentuh perilaku manusia sehari-hari.
Seakan-akan datang kematian yang lebih mendasar: yang
seh ari-hari telah tak lagi punya pesona.
Tapi kita masih punya alternatif. Kita masih bisa berjalan
men yusuri kota seperti dalam sebuah novel, atau sebuah puisi,
atau sebuah film yang mampu memulihkan pesona itu: sebuah
jam tua di dinding, selembar kain warna saga di jemuran,
sekilas senyuman dalam hujan. Seakan-akan mereka buat
pertama kalinya muncul di dunia....
Kita akan selalu ketemu Kronos dan berkabung, tapi ada
hal-hal sepele yang membahagiakan kita.
TEMPO, 29 Desember 2013
224 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka
2014
Catatan Pinggir 11 225
http://facebook.com/indonesiapustaka
226 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka RELIGIO
AGAMA adalah monster: beberapa dasawarsa menjelang
kelahiran Isa Almasih, Lucretius, penyair dan pemikir Ro
maw i, menggambarkan religio sebagai makhluk mengerikan
yang men indas manusia.
...di seluruh negeri,
hidup manusia rusak terlindas
di bawah beban berat agama,
yang menampakkan kepalanya,
dari lapis langit,
mengancam manusia yang fana
dengan wajah yang menakutkan.
Lucretius menuliskan itu di pembukaan De Rerum Natura
(”Tentang Kodrat Benda-benda”). Ia menuliskannya ketika Re
publik Romawi berkecamuk oleh revolusi dan kontrarevolusi,
tahun 145-130 sebelum Masehi.
Sampai hari ini, kita hampir tak tahu apa-apa tentang
Lucretius, kecuali karyanya itu. Kita hanya bisa memperkirakan
bagaimana suasana dalam periode yang disebutnya sebagai
”masa rusuh tanah air kita” itu, dan bagaimana agama berpe
ran.
De Rerum Natura menggambarkan betapa gelap dan gai
rahn ya hasrat manusia untuk masyhur dan berkuasa—gelap
dan sia-sia. Seraya orang-orang mendaki ke puncak kehormat
Catatan Pinggir 11 227
http://facebook.com/indonesiapustaka RELIGIO
an, mereka selalu dalam bahaya. ”Rasa iri, bagaikan sambaran
petir, terkadang melontarkan mereka dari puncak hingga
terperosok ke dasar Tartarus yang busuk.”
Dalam pandangan Lucretius, ambisi dan kecemburuan itu
akan berakhir ke titik yang kosong. Sisyphus membawa batu
berat itu ke puncak, tapi tiap kali batu itu terlontar kembali
ke kaki gunung. Tiap kekuasaan—seperti ditunjukkan dalam
sejarah Romawi—segera berakhir.
Maka manusia, kata Lucretius, jika harus memilih, sebaik
nya”tinggal diam”, ketimbang punya kuasa dan mahkota.
Yang hendak ditawarkan Lucretius sebenarnya ajaran
Epicurus, seorang pemikir Yunani yang dikaguminya. Bagi
Epicurus, tujuan hidup adalah kenikmatan, dalam arti yang
khusus: kenikmatan yang tenang tenteram, justru dengan cara
meniadakan hasrat yang berlebihan.
Tapi manusia takut. Ia takut mati. Dalam ketakutan
itu—ketakutan yang tak berdasar, sebab mati harus diterima
sebagai bagian dari hidup—orang-orang menghimpun harta,
kalau perlu dengan ”pertumpahan darah di antara sesama
warga”. Den gan rakus mereka ”menggandakan kekayaan”,
”menumpuk pembantaian di atas pembantaian”.
De Rerum Natura—yang terdiri atas enam buku—ditulis
den gan keinginan untuk membebaskan zamannya dari semua
itu. ”Kita harus mengusir ketakutan dalam jiwa ini, kegelapan
ini,” tulis Lucretius, ”bukan dengan sinar surya atau anak
panah hari yang bercahaya, melainkan dengan nalar dan
tatapan alam.”
Memakai nalar, menelaah alam: Lucretius, sebagaimana
Epic urus, adalah pendahulu ilmu modern dan filsafat ”serba-
228 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka RELIGIO
zat”. Ia menjelaskan terjadinya wabah—yang dilukiskan
dengan sangat mengerikan di Buku VI—bukan sebagai
tulah dari langit, melainkan akibat ”partikel-partikel yang
beterbangan sekitar manusia yang membawa penyakit dan
kematian”. Baginya, yang ada hanya ”atom dan kehampaan”,
zat dan ruang. Atom tak bisa dihancurkan; tiap kehancuran
sebenarnya han ya perubahan bentuk. Atom (Lucretius me
nyebutnya dengan primordia, elementa, atau semina) saling
bertaut membentuk kombinasi yang tanpa henti, dan bergerak
terus-menerus, tanpa wujud akhir yang disiapkan.
Maka kematian bukanlah titik putus. Tak ada akhirat. Ne
rak a ada di dunia ini sebagai akibat kebodohan dan keserakah
an. Surga ada di dunia dalam bentuk sapientum templa serena,
”kuil-kuil tenteram para aulia”.
Dari sajak panjangnya, bisa dilihat Lucretius bukan seorang
atheis. Tapi baginya Tuhan, atau dewa-dewa, tak terlibat
dengan hidup kita. Mereka bukan pencipta makhluk, bukan
sebab-musabab kejadian. Alam menjalankan roda hidupnya
sendiri. Maka tak ada gunanya bersikap salih seperti yang
dilembagakan agama:
”Kesalihan bukan karena kita sering menundukkan kepala
yang bercadar ke arah batu-batu,” demikian tertulis dalam De
Rerum Natura. ”Bukan karena kita menghampiri semua altar,
buk an dengan bersujud di kuil para dewa, bukan pula karena
kita membasahi altar dengan darah hewan korban.” Kesalihan
adalah kesanggupan kita menatap semua hal ”dengan pikiran
yang damai”.
Pikiran yang damai itu—dengan menghalau ”teror dan
kemuraman jiwa”—tumbuh bila manusia bisa menangkis ”an
Catatan Pinggir 11 229