http://facebook.com/indonesiapustaka GOLPUT
hari Minggu malam, Wall Street lengang dan muram seperti
kota hantu. Bartleby pasti sering memandang lewat jendela
kamar kerjanya dan hanya menemui tembok yang kosong.
”I would prefer not to.”
”You will not?”
”I prefer not.”
Kalimat Bartleby tak pernah jelas. Orang hanya bisa
membaca tubuhnya. Akhirnya majikannya tak berbuat apa-
apa terh adapnya: ia justru yang memutuskan pindah kantor. Ia
sewak an kantor itu kepada orang lain.
Sang penyewa bertindak lebih drastis. Ia usir Bartleby. Tapi
orang ini tak mau pergi: ia duduk-duduk dan tidur di tangga.
Majikannya yang lama, yang mengisahkan kejadian ini, da
tang dan mencoba membujuknya untuk pergi dari emper itu.
Ia bahkan menawarkan sebuah kamar di rumahnya untuk
ditempati. Tapi Bartleby menjawab: I would prefer not to.
Mungkin ini sebuah cerita sedih: Bartleby akhirnya di
penjarakan dan mati karena ia menolak makan. ”Sebaiknya
saya leb ih suka tidak....”
Tapi bisa juga kesedihan itu tak harus dilihat sebagai sesu
atu yang tragis. Deleuze, yang ikut membahas karya Melville
ini,menyimpulkan, kisah Bartleby justru sebuah teks yang sa
ngat lucu, dan yang lucu, yang komikal, katanya, ”selamanya
harfiah”. Kisah ini bukan sebuah kiasan.
Memang tak ada makna lain yang tersirat dalam ”I would
prefer not to”. Tapi sikap Bartleby tetap tak bisa ditebak
karena mula-mula, setelah ia mengucapkan kalimat itu, ia toh
280 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka GOLPUT
mengerjakan apa yang jadi tugasnya. Sampai pada satu titik—
mungkin ketika ia sadar bahwa kata-kata itu punya dampak
kepada orang sekelilingnya. Kemudian, kepada dirinya sendiri.
Dampak itu terasa karena kalimat itu bergema di sebuah
kantor pengacara di Wall Street, dunia tembok-tembok
kekar, di ruang yang tertib, di antara dokumen-dokumen
yang cermat,di celah-celah bahasa hukum yang ingin persis
dan prediksi yang ingin tepat. Di antara itu semua, kata-kata
Bartleby tak menampik, tapi juga tak menerima. Ia menghapus
makna yang diacunya sendiri, tapi juga menghapus makna lain
yang mungkin. Ia menggunakan ungkapan yang lempang
tanpa kiasa n, tapi, setidaknya bagi Deleuze, ”ia menciptakan
sebuah vak um dalam bahasa (langue)”. Sebagaimana ia
berhenti menyalin dokumen, ia pun berhenti menyalin bahasa
orang lain yang umum.
Akhirnya ia memang seorang luar, sepenuhnya. Andai ia me
nyatakan maksud yang jelas ia menolak, ia masih meletakkan
diri dalam satu posisi. Tapi tidak. Dalam ambiguitas itu, ia me
lakukan resistansi.
Saya tak bisa menyimpulkan bahwa resistansi itu efektif.
Deleuze memang bertepuk tangan: ”Bartleby telah memenangi
hak untuk lanjut hidup, artinya, untuk tetap tak bergerak dan
tegak di depan sebuah dinding buta.” Tapi orang lain bisa me
ngatakan aksi Bartleby hanya mengarah ke sebuah impase; tak
ada langkah tegas ke pembebasan.
Bartleby memang bisa dipandang sebagai tubuh yang mem
protes ”kandang besi” yang membentuk Wall Street. Tapi ia
sendiri. Ia menyendiri. Ia menolak apa pun yang dari luar, ju
gamakanan; ia seperti seorang pertapa yang memegang teguh
Catatan Pinggir 11 281
http://facebook.com/indonesiapustaka GOLPUT
puasa dan prinsip. Tapi ia juga seperti penderita anoreksia yang
sek aligus narsis.
Di penjara dan di kuburannya, ia tak mengubah apa-apa.
Tapi mungkinkah ia sepenuhnya sendiri? Ada yang terjadi,
mesk ipun tak senantiasa terjadi: seseorang yang sebenarnya
bisa menyingkirkannya—sang majikan di kantor pengacara
itu—tak hendak melakukan tindakan itu. Bahkan ia menga
lah. Kemudian menawarkan tempat. Kemudian mengirimi
Bartleby makanan.
Bisa saja sang majikan melakukan itu buat menyelamatkan
muk anya sendiri, atau ia tak mau heboh, atau ia... entah. Tapi
yang jelas, ia merasa Bartleby bukan unsur yang bisa dibuang.
Ia merasa Bartleby tak sendirian.
Maka apa nama yang akan kita berikan kepada mereka
yang menolak tapi tak menolak? Mungkin ”golput”—bila
ambiguitas itu, ketakjelasan bahasa itu, bisa memberi isyarat:
kami bukan hanya sedang tak mau diganggu.
TEMPO, 6 April 2014
282 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MALIN
MASA lalu tak pernah berdiri sendiri. Andai ia berdiri
send iri, ia tak akan pernah ada. Kita mengingat, dan
itusebenarnya kita mengaitkan apa yang kita ingat—sesuatu
yang muncul kembali dalam kepala kita—dengan isi kepala
kita yang ada di tubuh kita hari ini.
Sebab itulah orang tak akan mengingat semua hal secara
komp let. Masa lampau hadir kembali dalam bentuk yang telah
diraut masa kini. Mengingat sebenarnya berjalan di sebuah ja
lur yang terputus.
Barangkali itulah yang terjadi dengan Si Malin Kundang.
Dalam legenda yang terkenal ini, pada suatu hari ada seorang
anak muda yang mendaratkan perahu besarnya di sebuah
dusun pantai. Ketika ia melangkah ke darat dan berjalan
beberap a belas meter memasuki dusun itu, seorang perempuan
tua mendekatinya. Ia memanggil orang muda yang tampak
gagah dan sukses itu sebagai ”anakku, Malin”.
Syahdan, laki-laki itu menolak. Ia tak mau mengakui
wanita tua itu sebagai ibunya. Perempuan tua itu pun sakit
hati. Ia mengutuk. Kata sahibulhikayat, tak lama kemudian,
badai pun datang, dan orang muda itu, yang sudah kembali ke
perah unya, tenggelam. Ia dan kapalnya berubah jadi batu di
tepi lau t dari mana ia datang.
Tapi benarkah ia harus dikutuk? Benarkah ia telah menam
pikibu yang membesarkannya? Bukan mustahil ia seseorang
yang lupa sama sekali dan tak mengenali lagi pantainya yang
Catatan Pinggir 11 283
http://facebook.com/indonesiapustaka MALIN
dulu. Jangan-jangan perempuan tua itu yang salah ingat dan
salah sangka.
Tanpa banyak pertanyaan, orang pun menyampaikan sebu
ah petuah melalui legenda Si Malin Kundang: lupa adalah se
bua h kesalahan. Sebaliknya, mengingat dianggap jalan yang
bersih dan sebab itu tepat arah yang sepatutnya.
Saya tak percaya bahwa pernah ada jalan yang bersih itu.
Di dunia kesadaran, tak ada jalan yang tepat arah. Mengingat
adalah menafsirkan masa lalu, tapi sudah tentu kita tak akan
bisa pergi untuk mencocokkan tafsir kita dengan masa lalu
itu send iri. Kita tak akan pernah bisa melangkah, biarpun se
jenak, keluar dari waktu. Waktu bukan kereta api yang bisa
sesekali berhenti dan masinisnya turun untuk menengok apa
yang terjadi di gerbong belakang.
Di lain pihak, mengingat juga berarti membaca masa lalu
den gan kecenderungan menatap ke masa depan. Mereka
yang memandang masa silam dengan nostalgia, seperti
sebagian orang yang kini menyambut kenangan tentang
zaman Soeharto—dan memasang gambar senyum lebar
presiden yang pad a 1998 turun takhta itu—sebenarnya sedang
menemukan alasanbaru buat menyatakan kritik kepada masa
sekarang. Dalam kritik itu tersirat hasrat untuk sesuatu di masa
yang akan datang.
Sebab itu, nostalgia bukanlah kerinduan akan masa lalu.
Nostalgia justru menginginkan sebuah masa depan. Kita
tengok lagi dongeng Si Malin Kundang: bukan mustahil
perempuan tua di dusun pantai itu ingin merangkul anak
muda yang datang itu dengan harapan hidupnya akan jadi
lebih bahagia— dan ia keliru.
284 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MALIN
Kita hidup dengan apa yang oleh Walter Benjamin disebut
”kipas ingatan”. Siapa saja yang mulai membuka lipatan
”kipas ingatan” itu selalu menemukan hal-hal baru, bagian
baru, bacaan baru. Tapi bila yang ”lama” (yang diingat-ingat)
akhirnya sama dengan yang ”baru” (yang saat itu ditemukan),
yang terjadi sebenarnya semacam paralelisme antara ingatan
dan lupa.
Apalagi lupa bisa punya peran yang diinginkan. Seperti
nostalgia, lupa juga bisa merupakan protes terhadap hari ini
yang tak menyenangkan.
Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!
Ajakan itu menyeru dalam sajak Chairil Anwar, ”Cerita buat
Dien Tamaela”. Tampak antara ”tari”, ”ria”, dan ”lupa” ada be
nang merah yang mempertalikannya: gerak, dinamisme, mo
bilitas. Kata-kata kunci zaman modern. Semangat yang me
nampik kemandekan yang represif.
Tapi paradoks sajak Chairil Anwar ini adalah bahwa seruan
itu diperdengarkannya dari sebuah suasana purba ketika
dunia masih penuh dengan sihir. Suasana itu dihidupkan
Chairil dengan citra-citra primitif: hidup yang dimulai dengan
”dayung dan sampan” sejak seseorang lahir, lingkungan yang
”dijaga datu-datu” di siang dan di malam.
Paradoks cerita ini adalah bahwa kehendak ”berlupa” akhir
nya sama dengan kehendak kembali ke masa silam....
Kita menemukan motif yang sedikit berbeda dalam cerita
Catatan Pinggir 11 285
http://facebook.com/indonesiapustaka MALIN
Si Malin Kundang: masa lalu yang hendak dihidupkan kemba
li (”anakku, Malin”) kemudian hendak dihapus. Bersama itu,
masa depan mau ditiadakan. Si Malin dikutuk jadi batu: ia di
benamkan dalam kebekuan, seakan-akan batu yang mandek
dan bisu itu hendak dijadikan imun dari sentuhan waktu.
Tapi jika demikian yang dikehendaki sang perempuan
tua— atau dikehendaki sang empunya cerita—di sini kita te
mukan sebuah waham, setidaknya dugaan yang keliru. Batu di
pantai itu jauh dari kekal. Ia juga berproses: akan datang lumut
ke punggungnya, akan melekat siput-siput laut ke sisinya, dan
akan terkikis ia oleh ombak. Sementara itu, orang akan datang
dan pergi, memandangnya dengan cara yang terus berubah.
Ada suatu masa ketika orang melihatnya sebagai peninggalan
yang penuh dongeng, ada lagi masa lain ketika orang menatap
nya sebagai perintang.
Bahkan batu tak pernah mandek dan berdiri sendiri.
Sebagaimana masa lalu yang murni tak pernah ada, begitu
juga masa kini dan masa depan. Manusia tak bisa lupa sama se
kali, manusia tak bisa ingat secara lengkap, juga manusia tak
bisa tanpa diam-diam berharap.
TEMPO, 13 April 2014
286 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SUKSESI
DITULIS dalam bentuk tembang yang merdu, Babad
Tanah Jawi adalah kisah pertempuran bengis yang
sambung-menyambung. Tentang kekuasaan.
Syahdan, dalam keadaan sakit dan terbaring di Balai Ku
ning, Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram,
memberikan pesannya yang terakhir. Ia menetapkan bahwa
salah seorang putranya, Ki Adipati Anom, menggantikannya.
”Segenap putraku hormatilah penggantiku....”
Dalam versi terjemahan bahasa Indonesia yang diterbitkan
Amanah-Lontar (dengan editor penyair Sapardi Djoko
Damono), dikisahkan bagaimana Raja wafat dan istana
berk abung. Tak lama kemudian, orang kepercayaannya,
Mangkubumi, mengumumkan kepada khalayak ramai:
”Wahai orang-orang di Mataram, ketahuilah bahwa kini
Pangeran Adipati bertakhta menjadi raja di Mataram.
Hai segenap putra dan kerabat, siap a yang tidak setuju,
mengamuklah, aku ini lawanmu.”
Mendengar itu, orang Mataram ketakutan. Tampaknya bi
bit-bibit ketegangan sudah terasa. Ini mulai mengemuka ketika
salah seorang pangeran, yang lebih tua, kemudian tak hendak
datang menghadap raja yang baru.
Mula-mula suasana damai: raja muda itu cukup bijaksana
untuk tak menggunakan kekerasan. Ia malah memberi kakak
nya, Pangeran Puger, kekuasaan di Demak, sebuah wilayah sa
telit Mataram.
Catatan Pinggir 11 287
http://facebook.com/indonesiapustaka SUKSESI
Tapi tak lama. Dari Demak Puger, yang kemudian disebut
Adipati Demak, menyatakan kedaulatannya sendiri.
Demak ingin lepas. Tak ayal, perang pun terjadi. Dipimpin
sendiri oleh Baginda, bala tentara Mataram bergerak ke utara.
”Dilih atdari kejauhan seperti laut tanpa tepi, diseling gunung
terbak ar.” Ribuan tombak kadang-kadang tampak seperti
kilat, kadang-k adang seperti sinar pelangi.
Dan pertempuran terjadi. Terpojok, Adipati Demak mela
wan dengan berani. Ia sakti, demikian cerita Babad Tanah Ja
wi, dan sempat membunuh banyak prajurit Mataram. Tapi
akhirnya ia terperangkap jaring dan diringkus. Demak ditak
lukk an.
Raja tak menghukum mati kakaknya yang memberontak
itu. Ia hanya dicopot dari jabatannya. Tapi konflik tak ber
akhir.Dari Ponorogo, adik Baginda, Pangeran Jayaraga, juga
melawan. Ia pun segera dijinakkan. Namun kemudian Mata
rammelancarkan perang baru, perang penaklukan ke Jawa Ti
mur....
Sampai jilid yang terakhir, pupuh-pupuh Babad Tanah Jawi
menunjukkan bahwa ”tanah Jawa” bukanlah sebuah kosmos
yang terjamin dan tanpa konflik.
Ditulis di abad ke-18, karya ini, meskipun mengandung
”mitologi, legenda, folklor” (seperti tertulis di bawah judul ver
siIndonesianya), sebenarnya juga menunjukkan sebuah per
spektif yang modern: melihat sejarah sebagai kisah yang tak
men ampilkan sifat sakral kekuasaan. Takhta selalu bersifat
sementara. Babad ini boleh dikatakan disunting dari riwayat
raja-raja yang bangun dan jatuh. Perang suksesi tak kunjung
berhenti.
288 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SUKSESI
Penguasa dan para pecundang dalam buku ini memang me
nyebut ”kehendak Tuhan” ketika mereka memilih sebuah tin
dakan. Tapi hanya sejenak Tuhan hadir. Hanya dalam momen
itu, hanya dalam ucapan itu. Selebihnya: manusia.
Dan manusia, di sini, menunjukkan bahwa tak ada sesuatu
yang transendental di dasar ”harmoni” sosial sebuah kerajaan.
Yang menonjol adalah status quo sesudah atau sebelum
pertarungan politik—pertarungan yang mencoba menutup-
nutup dirinya.
Dari segi ini penulis Babad Tanah Jawi mirip dengan
Machiavelli. Orang Firenze ini menuliskan gagasannya dari
Italia abad ke-16 yang penuh persengketaan. Risalahnya
yang termasyhur, Il Principe dan Discorsi, bukanlah, seperti
umumnya ditafsirkan, serangkaian nasihat jahat kepada
penguasa. Machiavelli hanya memperlihatkan bahwa sejarah
kekuasaan selalu bersifat serba mungkin, penuh risiko, dan
genting. Dalam kea daan demikian, diperlukan politik yang
tepat, laku dengan sikap tertentu, terutama yang berani dan
cerdik. Dan itu bisa dip elajari dan didapatkan siapa saja.
Dengan kata lain, kekuasaan sebagai Il Principe bisa dida
patkan siapa saja. Untuk memakai kata-kata Claude Lefort,
ia sebuah ”tempat kosong”, un lieu vide, karena tak ada yang
sudah niscaya mengisinya. Ia tempat yang diperebutkan.
Tentu saja kata ”tempat kosong” bisa menyesatkan. Takhta
seb agai ”tempat” sama sekali tak kosong, meskipun ketika tidak
ada seorang pun yang duduk di sana. Takhta mengandungse
bua h pesona, mungkin candu, juga banyak hal yang najis dan
destruktif.
Yang menarik ialah bahwa Babad Tanah Jawi juga
Catatan Pinggir 11 289
http://facebook.com/indonesiapustaka SUKSESI
memperlihatkan takhta sebagai wilayah kosong (dan tak jarang
penuh najis) yang diperebutkan. Secara tersirat ia bercerita
tentang tak adanya monopoli kuasa yang dipegang selama-
lamanya. Tak ada hak istimewa untuk itu. Tak ada legitimasi
terus-menerus.
Bahkan jika dibaca lebih jauh, akan kita ketahui bahwa
asal-usul raja-raja Jawa bermula dari campuran antara takdir
dan kebetulan dalam kehidupan rakyat biasa: ayah dari
Panemb ahan Senapati—yang sebelum naik jenjang bernama
Sutowijoyo—adalah seorang petani, Ki Ageng Pemanahan,
yang tanpa disengaja meminum air kelapa yang mengandung
nasib baik.
Konon di negeri lain, katakanlah di Jepang dan Prancis
sebelum Revolusi, mereka yang bertakhta dianggap tubuh yang
sebagian berisi roh dari langit. Babad Tanah Jawi, sebaliknya,
tak akan meyakinkan bila ia menampilkan Raja Amangkurat
yang buas itu sebagai separuh titisan Tuhan.
Tentu akan aneh bila dikatakan bahwa cerita raja-raja Jawa
itu mengajari kita wawasan demokrasi. Tapi bagaimana juga,
sem angat demokrasi tumbuh ketika—setelah membaca Babad
Tanah Jawi—kita sadar, tiap kekuasaan politik pada akhirnya
han ya menunda kekalahan.
TEMPO, 20 April 2014
290 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka BHISMA
APA yang direnungkan Bhisma, menjelang ajalnya datang?
Dikisahkan dalam Mahabharata, panglima perang tua
ini akhirn ya roboh dari keretanya. Ia tergeletak, bersandar
pada puluhan anak panah yang menghunjam tubuhnya.
Ia belum tew as. Matanya memandang ke keluasan medan
pertempuran: tamasya yang mengerikan. Ratusan kereta
perang hancur, ratusan kuda dan gajah terbunuh, ribuan jasad
manusia tercincang atau remuk. Bau amis darah menyebar.
Suara rintihan kesakitan terdengar dari tepi ke tepi. Muram.
Langit seperti tak menghendaki matahari.
Bhisma, seraya menahan sakit, melirik ke sekitarnya. Pe
rangsaudara itu sedang dihentikan. Ia lihat para kesatria dari
ked ua kubu yang bermusuhan mengumumkan gencatan
senjata dan segera mereka datang menghampirinya. Dengan
baju zirah yang kotor oleh lumpur dan debu, dengan luka-luka
di pelipis dan di bahu, mereka datang untuk memberi hormat.
Mereka tahu ia akan segera mati.
Mula-mula Yudhistira yang bersimpuh di sebelah kirinya.
Kem udian pangeran sulung Kurawa, Duryudana, di dekat
kaki.Kemudian yang lain-lain. Terakhir Arjuna yang hampir
dibunuhnya dalam pertempuran sejam yang lalu. Adakah
semua berk abung? Atau harus menunjukkan diri berkabung?
Apa arti seorang orang tua seperti dirinya, orang yang mungkin
tak lay ak lagi dihormati karena ia tak lagi meletakkan diri
sebagai penengah di atas sengketa, malah akhirnya memilih
Catatan Pinggir 11 291
http://facebook.com/indonesiapustaka BHISMA
pihak—dengan pilihan yang membingungkan? Semua tahu
(atau barangkali hanya menduga?) hati orang tua itu lebih dekat
ke para pangeran Pandawa, tapi Bhisma justru memutuskan
menjadi musuh mereka.
Dikisahkan bahwa seraya terbaring itu ia berpesan kepada
Yudhistira agar membaca Vishnusahasranama, menyebut
1.000nama Vishnu. Apa yang suci, apalagi yang mahasuci, tak
dap at diringkas dengan satu sebutan karena tak tepermanai,
dan juga karena begitu akrab, seperti rasa di hati yang tak bisa
diikhtisarkan dengan satu-dua kata.
”Dharma teragung,” Bhisma berbisik, ”adalah Vishnu, yang
tak punya awal dan tak punya akhir.”
Kita tak tahu apa reaksi Yudhistira.
Mungkin pangeran sulung Pandawa ini akan tetap terkesi
ma dan bertanya-tanya siapa sebenarnya Bhisma, apa yang
memb entuknya? Jangan-jangan Vishnusahasranama itu hen
dak menunjukkan bahwa dewa dan manusia adalah 1.000
kecenderungan dan keinginan dalam satu sosok, 1.000
paradoks den gan tafsir yang tak punya awal, tak punya akhir.
Legenda tentang orang ini menakjubkan: seorang anak
berumur 16 tahun yang menghentikan arus Sungai Gangga
dengan hunjaman anak panah. Seorang pangeran yang untuk
keb ahagiaan orang lain, ayahnya, memilih melepaskan haknya
atas takhta dan menjadi brahmacari, tak akan menikah dan
berketurunan.
Tapi ia ternyata juga tak hendak meninggalkan kerajaan.
Ia tak berangkat ke hutan untuk bertapa sebagai vanaprashta.
Ia malah terlibat jauh dalam kekuasaan: ia berperang untuk
memperkuat Hastinapura, ia jadi wali raja bagi para pangeran
292 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka BHISMA
ketika mereka masih anak-anak.
Mungkin itu panggilan tugas. Tapi mungkin itu juga tanda
ia gagal melepaskan diri dari jaringan kepentingan kerajaan.
Ketika Drupadi, perempuan yang dicoba ditelanjangi Pangeran
Dursasana di depan umum itu, datang kepadanya minta di
bela, di balairung itu Bhisma tak bergerak. Ia khawatir, bila
Dursasana dihukum karena skandal itu, wibawa istana akan
guncang. Ia hanya berkata, lirih, ”Jalan dharma itu tak mudah
dip ahami.”
Ataukah itu justru kearifan yang bukan main, karena
justru di saat itu ditunjukkan bahwa kekuasaan hanya sia-sia?
Drupadi tetap tak menyerah. Dursasana tak berhasil.
Ia sendiri, Bhisma, tak berhasil. Ketika bertahun-tahun
yang lalu ia menyatakan sumpahnya yang menggetarkan
untuk jadi brahmacari, ia merasa bisa menunjukkan bahwa
tak ada takdir yang melekatkan kekuasaan pada diri seseorang.
Kek uasaan seperti senjata: sesuatu yang ampuh, namun bisa
ditanggalkan. Dan sebagaimana senjata, ia bisa berbahaya,
juga untuk diri pemegangnya. Kekuasaan tak hanya bisa
aku miliki; ia bisa memiliki aku. Melepaskan diri dari hasrat
kekuasaa n, Bhisma manusia bebas.
Tapi di antara para cucunya, tak ada yang mengikuti kearif
an itu. Para Pandawa merasa hak mereka atas takhta benar dan
seb ab itu mutlak. Para Kurawa merasa posisi mereka tak bisa
dikurangi. Bhisma ternyata tak bisa jadi tauladan: memperoleh
takhta baginya bukan harga mati. Tapi Yudhistira dan
Duryudana bersaudara tak bisa membaca tauladan itu.
Dalam hal itu, Bhisma gagal. Dan bukankah ia sendiri tak
sanggup meninggalkan istana dan akhirnya mempertahankan
Catatan Pinggir 11 293
http://facebook.com/indonesiapustaka BHISMA
takhta Kurawa di Hastina di peperangan itu?
Di tepi medan Kurusetra, dengan tubuh yang kian lama ki
an lemah, ia memejamkan matanya. Di akhir hidupnya ia me
nyaksikan kesia-siaan yang tak terkira. Ia sendiri contoh sik ap
luhur yang tak meyakinkan. Pangeran Kurawa hampir sem ua
nya terbunuh. Juga generasi kedua Pandawa. Apa akhirnyake
men angan jika tak ada anak-anak yang akan melanjutkanke
jayaan?
Kekuasaan: tak seorang pun mendapatkan apa yang dicari
nya setelah itu. Mereka yang bertahun-tahun bersengketa dan
menyiapkan perang habis-habisan tampaknya lupa ceritada
lam Maitri Upanishad: seorang raja meninggalkan istana, hi
dupbertapa di hutan, dan bertemu dengan seorang aulia yang
berkata, ”Tuan, di tubuh ini, di himpunan tulang, kulit, otot,
sperma, darah, lendir, air mata ini... adakah yang baik untuk
men ikmati hasrat? Dunia melapuk seperti tubuh ngengat,
pohon-pohon tumbuh dan kemudian kering....”
Pada hari kesekian, Bhisma menutup mata selama-lamanya.
Di saat itu ia bebas benar-benar.
TEMPO, 27 April 2014
294 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka RICHARD
KINI kita hidup dengan politik yang berubah: politik seba
gai show business. Telah datang para pesohor yang cantik,
tampan, wangi, merdu, bertubuh bagus, dan tak berkeringat.
Mereka dipasang, atau memasang diri, sebagai orang-orang
yang diharapkan dipilih dalam sebuah persaingan kekuasaan.
Televisi, di sebuah negeri di mana hampir tiap rumah punya
pesawat penyebar informasi itu, mempertegas seni panggung
ini. TV telah jadi medium yang menggantikan peran pesan;
isi yang hendak disampaikannya tak penting lagi. The medium
is the message—kalimat Marshall McLuhan setengah abad
yang lalu itu kini punya gema baru. Tak penting agenda apa
yang hend ak diperjuangkan politikus/bintang dan bintang/
politikus itu. Yang penting: nun di sana ada sosok audiovisual
yang men arik.
Nun di sana.... Televisi telah membangun pentas politik
dari jarak jauh; kata tele (dari kata Yunani Kuno, tèle) sangat
penting diingat. Dalam kejauhan itu, yang tampil adalah
”citra”— sebuah kata yang maknanya dideskripsikan dalam
sajak UsmarIsmail (dan diberi melodi oleh komponis Cornel
Simanjuntak) seb agai ”bayangan”. Dan tak cuma ”bayangan”;
citra selalu terkait dengan ”kabut”. Di kejauhan, yang gemerlap
sama saja dengan yang tak jelas.
Sebab itu siapa yang melihat gerak-gerik seorang politikus
sebagai ”pencitraan” (artinya palsu) akan salah. Dalam kabut
yang meliputi citra, kita tak akan pernah tahu mana yang asli.
Catatan Pinggir 11 295
http://facebook.com/indonesiapustaka RICHARD
Pada akhirnya, orang harus percaya penuh atau orang harus
curiga penuh. Kata ”pencitraan” akhirnya jadi sebuah umpat
an yang latah dan sia-sia.
Sebenarnya semua ini terjadi bukan dari titik nol.
Hubunga npolitik dengan teater—dengan permainan peran
dan pen amp ila n diri—punya sejarah yang panjang. Dari
panggungnya di The Globe, di tepi Sungai Thames di akhir
abad ke-16, Shakespeare telah mengungkapkan itu. Permainan
kekuasaan ditentukan oleh kiat mengelabui dan pura-pura.
Dalam Hamlet, sang pangeran menyiapkan pembalasan
kematian ayahnya dan tak seorang pun tahu pasti, juga ia
sendiri, apakah ia telah setengah sinting. Dalam Macbeth, sang
panglima perang mengundang rajanya menginap di kastilnya
untuk kemudian dib unuh di waktu tidur.
Dan tentu saja Richard III: di sini ambiguitas dalam agenda
untuk berkuasa begitu jelas. Penampilan adalah pencitraan.
Adik raja, Duke of Gloucester, yang kemudian bertakhta seba
gai Richard III, berterus terang kepada penonton bagaimanaia
tak berterus terang: dalam menjalankan perannya, ”kedurjana
annya yang telanjang” ia tutupi dengan anjuran-anjuran
lama yang ia curi dari sabda Tuhan. Ia mengakui bahwa ia
menampakkan diri sebagai seorang suci ketika ia ”memainkan
peran iblis”.
And thus I clothe my naked villainy
With odd old ends, stol’n out of holy writ;
And seem a saint, when most I play the devil.
Richard adalah aktor yang berlapis-lapis. Ia memainkan
296 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka RICHARD
sebuah identitas di atas panggung, tapi ia juga memainkannya
den gan kesadaran bahwa ia berperan di hadapan penonton.
Dengan kata lain: ia ”bersandiwara” untuk ”tak bersandiwara”.
Dalam lakon ini, ia berpura-pura kepada para musuh dan
korban-korbannya untuk memperdaya mereka, tapi sementara
itu ia bersikap jujur kepada hadirin yang duduk dan berdiri
di The Globe—seakan-akan hendak meminta dukungan di
dalam sebuah persekongkolan.
Iamunculpertamakalidengansebuahkabaryangoptimistis:
masa baru kerajaan telah datang, negeri memasuki akhir ”mu
sim dingin ketidakpuasan”, the winter of our discontent. Ma
tahari dinasti York mulai bersinar, setelah perang panjang, za
man damai terwujud, cinta dan persahabatan kembali. Tapi
seg era kabar gembira itu punya warna lain: di masa seperti
itu, ia, seorang bangsawan tinggi yang seharusnya merayakan
kemenangan, justru menyadari tubuhnya yang bungkuk dan
buruk—dan ia mengeluh tak bisa ikut bergembira. Di bawah
sinar matahari sehabis winter, yang ia lihat hanya bayangan
tubuhnya, dan ia menyadari cacatnya sendiri.
Why, I in this weak piping time of peace,
Have no delight to pass away the time,
Unless to see my shadow in the sun
And descant on mine own deformity.
Tuluskah ia dalam keluhan itu? Tulus ataupun tidak,
dengan itu ia memproyeksikan diri sebagai oknum di luar se
muanya: di luar nasib baik, di luar tata krama, di luar ukuran
moralsesama. Ia bertekad jadi jahat dan membenci hari-hari
Catatan Pinggir 11 297
http://facebook.com/indonesiapustaka RICHARD
yang nyaman berleha-leha: I am determined to prove a villain/
And hate the idle pleasures of these days.
Dan ia pun membunuh; ia merayu; ia menipu. Dengan
darah dingin. Licin, julig, penuh khianat. ”...I am subtle, false,
and treacherous...,” demikian pengakuannya. Ia kawini putri
seorang bangsawan yang suami dan ayahnya ia habisi. Setapak
dem i setapak ia naik sampai ke takhta, setelah membersihkan
musuh-musuh politiknya.
Pencitraan Richard praktis dan cerdik. Ia tak tampan—
dan tak bisa tampil tampan karena ia bersua dengan orang lain
buk an melalui televisi. Maka ia justru mengandalkan buruk
tubuhnya. Protesnya kepada nasib memberinya alasan untuk
ben gis. Ia seorang korban takdir, dan sebagaimana umumnya
orang yang merasa jadi korban, ia merasa berhak untuk
membenci.
Bisa juga dikatakan: ia mengelabui orang yang hendak
dimusuhinya. Ketika sosoknya yang ”deformed, unfinish’ d”
dianggap tak berbahaya, ia membuktikan diri bisa mematuk
seperti ular yang melata.
Richard III adalah sebuah tesis politik: pencitraan adalah
amb iguitas terus-menerus. Orang membentuk identitasnya
bersama kehadiran orang lain. Dengan beberapa lapis kabut.
TEMPO, 4 Mei 2014
298 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka UNDANG
SAYA sering ingat cerita yang ganjil itu, cerita Kafka,
tentang seseorang yang datang dari udik agar diterima
oleh Huk um. Tapi ia hanya sampai di depan sebuah pintu yang
dijaga. Sang penjaga, berbaju wol, berhidung besar dengan
kumis hitam orang Tartar, mengatakan kepadanya bahwa
belum saa tnya ia diterima.
Itu yang terus-menerus dikatakannya.
Dan orang dari udik itu pun menunggu. Berhari-hari,
berbulan-bulan, bertahun-tahun. Sang penjaga sebenarnya tak
jelas-jelas menghalanginya. Ia mengatakan, kalau mau, tuan
bisa saja masuk tanpa izin. Tapi, ia menambahkan, bersiaplah:
setelah lewat pintu itu akan ada pintu lain, dengan penjaga
lain, yang makin perkasa, makin perkasa, tak putus-putus.
Tamu itu pun akhirnya tak mencoba menerobos ke dalam.
Ia hanya duduk di depan pintu. Berhari-hari, berbulan-bulan,
bertahun-tahun. Lama-kelamaan tubuhnya melemah. Akhir
nya ia mati. Ia mati sambil menyadari bahwa selama itu rupa
nyatak ada orang lain yang minta diterima Hukum melalui
pintu itu. Pintu ini, kata sang penjaga, memang disediakan ha
nya buat tuan.
Kita tak tahu mengapa. Tapi, sebelum ajal datang, sang ta
mu melihat cahaya kemilau bersinar dari balik pintu. Hukum
kah itu? Seperti apakah gerangan yang disebut ”Hukum”?
Menga p aia, yang sudah disiapkan pintu masuk khusus, tetap
tak diterimanya?
Catatan Pinggir 11 299
http://facebook.com/indonesiapustaka UNDANG
Bermacam-macam tafsir dibuat tentang cerita ini.
Saya cenderung melihat, Kafka menggoda kita untuk
memperlihatkan betapa besarnya aura hukum bagi orang
dari udik itu: seakan-akan ada sesuatu yang transendental
dalam dirinya— meskipun sebenarnya tidak. Aura itu bertaut
dengan misteri, dan orang-orang tak melihat, atau menyidik,
asal-usulnya. Si tamu den gan gampang patuh.
Tak jelas riwayatnya. Ia tak disebut datang untuk menerima
vonis atau mau memprotes. Ia hanya patuh, dan bukan karena
terpaksa. Saya kira orang udik itu datang karena ia selama hi
dupmengalami jarak yang begitu jauh antara ”hukum” dan
”und ang-undang”.
Hukum, dalam bahasa Jerman yang dipakai Kafka di sini,
adalah Gesetz. Kata dasarnya setzen, ”memasang, mengatur”,
tak jauh dari kata Inggris, law, yang asal katanya dari bahasa
Norse lama yang berarti ”meletakkan di dasar, menata”. Dalam
bahasa Indonesia, ”hukum” tak persis sama dengan ”undang-
und ang”. Undang-undang bukan sekadar seperangkat aturan
yang dipasang, melainkan sesuatu yang di-undang-kan.
”Undang” terkait dengan unsur pokok dalam kata ”meng-
undang”, yang berarti mengajak.
Maka bisa diartikan, tiap undang-undang mengandung
ajakan kepada semua orang dalam wilayah tempat undang-
und ang itu diberlakukan: ajakan untuk mengetahui, terlibat,
mendukung, dan mematuhi. Ada liyan, orang lain yang kon
kret, di dalam makna itu. Ada sebuah ruang yang berpenghuni.
Ada penghuni yang hidup, mendengar, berbicara, mengguna
kan bahasa dari waktu ke waktu.
Sementara itu ”hukum”, dalam pengertiannya yang lazim
300 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka UNDANG
—yang juga dipakai dalam ilmu fisika (misalnya, ”hukum
Arch im edes”)—meletakkan diri di luar liyan, tak terikat ruang
dan waktu. Ia mengklaim sebuah kebenaran yang universal.
Ia berasumsi tiap manusia yang berpikir akan menyetujuinya.
Tapi ada perbedaan yang diametral antara hukum dalam
ilmu-ilmu alam dan hukum sebagai hasil proses legislasi. Hu
kum Archimedes dirumuskan setelah sebuah eksperimen
yang teruji kapan saja di mana saja—hasil proses penalaran
dalam diri yang menyendiri, hasil aku-yang-berpikir seraya
mengambil jarak dari ketakstabilan pengalaman sehari-hari.
Dalam legislasi sebaliknya: ia tak disiapkan di laboratori
um. Legislasi adalah hasil hubungan sosial dan proses politik.
Ketika disebut sebagai ”produk hukum”, ia diproyeksikan akan
punyawibawa yang mengatasi proses politik itu. Lembaga-lem
bag a kenegaraan kemudian membangun sebuah ”ideologi”,
dan hukum pun tampak dengan citra yang amat luhur. Ne
gara pun harus mematuhinya, seperti tersirat dalam kata ”ne
gara hukum”.
Tapi sesungguhnya yang terjadi adalah sejenis ”fetisisme”.
Kata ”fetisisme” saya pinjam dari Marx, ketika ia menggambar
kan bagaimana komoditas, benda-benda hasil kerja buruh
yang diperdagangkan, seakan-akan terlepas dari proses kerja
dan berjalan sendiri, dipuja dan digila-gilai. Dalam sejarah le
gislasi, agaknya dalam tahap seperti itulah ”hukum” menjauh
dari proses produksi dan distribusinya.
Umur ideologi itu lama. Dalam karya terakhirnya, Nomos,
Plato sudah membedakan nomothetés, legislator yang ”memberi
hukum”, dari politikos, orang yang memerintah negeri. Pada
yang pertama diharapkan adanya kearifan dan kemampuan
Catatan Pinggir 11 301
http://facebook.com/indonesiapustaka UNDANG
berpikir rasional, sekaligus kecakapan meyakinkan orang.
Yangkedua tak dituntut banyak; asal ia efektif bekerja.
Tapi di luar risalah Plato, terutama di zaman demokrasi,
nomothetés dan politikos jumbuh di satu tubuh, di satu
ruang, di satu proses—meskipun yang separuhnya tak suka
ditampakkan. Cadar dipasang. Apalagi legislator, yang di
Indonesia lebihsering dipanggil ”wakil rakyat”, seakan-akan
niscaya punya hubungan yang transparan dengan mereka yang
sepantasnyadi-undang.
Cerita Kafka Di Depan Hukum membuka cadar itu: ini ce
rita tentang sejenis fetisisme yang demikian gila, hingga sese
orang begitu terpukau sampai mati oleh Hukum—Hukum
den gan aura serta misterinya.
Tapi pada saat yang sama, Kafka membuat kita melihat: di
depan pintu itu ada penjaga yang perkasa. Ia sopan dan lugas,
tap i kata-kata dan sosoknya adalah ancaman dengan hati di
ngin.Aura Hukum memang tak lahir dari keadilan dari langit
atau dari otak para genius—tapi bisa jadi dari trauma.
TEMPO, 11 Mei 2014
302 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka CARAKA
HERMES, yang bertugas menyampaikan pesan dewa-
dewa Yunani Kuno kepada manusia, konon berjalan
hanya di malam hari. Ia, sang caraka, menempuh jalur dan
tikungan yang sulit.
Kearifan acap datang dalam perumpamaan; Hermes adalah
salah satunya. Sebuah pesan, apalagi dari yang mahajauh, tak
pernah transparan. Mungkin itu sebabnya dengan latar yang
gelap dan tak lurus oknum mithologi yang misterius ini tampil
dalam pelbagai awatara. Hanya ada satu identitasnya yang
agak tetap: ia seorang putra Zeus, raja kahyangan itu; ia lincah
dalam pelbagai hal yang berhubungan dengan kata-kata.
Nama Hermes terkait dengan ermeneus, sang penafsir.
Setidaknya itu yang disebut dalam rekaman percakapan
Sokrates dengan Kratylos di abad ke-4 sebelum Masehi.
Sokrates, sebagaimana dikutip Plato, menjelaskan bahwa sang
penafsir dianggap juga sang pembawa pesan—tapi juga sang
”pencuri”, ”pendusta”, dan ”tukang menawar”.
Dan semua awatara itu, kata Sokrates, ada urusannya
dengan bahasa. Hermes adalah si cerdik dalam hal cerita dan
percakapan.
”Cerdik”. ”Pencuri”. ”Pendusta”. ”Tukang menawar”. De
nganimaji-imaji Hermes yang hanya berjalan di malam hari
itu agaknya kita diharapkan mafhum bila sebuah pesan tak
pernah terjamin akan transparan dan seutuhnya lurus. Bila pe
san adalah ibarat utusan dari satu pihak ke pihak lain, bentrok
Catatan Pinggir 11 303
http://facebook.com/indonesiapustaka CARAKA
an bukan hal yang luar biasa.
Ada sebuah dongeng tentang asal-usul huruf Jawa yang
mengisyaratkan itu. ”Ha-na-ca-ra-ka...” adalah kisah tentang
dua orang utusan Raja Ajisaka yang sama-sama setia, tapi
akhirnya bersengketa. Yang satu diberi pesan baginda agar
menjaga keris pusakanya selama ia mengembara ke tempat lain.
Yang lain diberi pesan untuk mengambilnya kembali. Ajisaka
yakin pesan itu punya makna yang sama: perintah yang mene
gaskan miliknya, titah yang harus ditaati. Tapi sang Raja keli
ru. Makna itu tak bisa lagi lurus ketika menempuh proses inter
pretasi. Kedua utusannya saling membunuh. Ajisaka ingin
mencegah hal yang sama terjadi; ia bermaksud menstabilkan
makna dengan mencatatnya dalam huruf hitam di atas putih.
Tapi stabilitas itu tak tercapai. Hanya mereka yang yakin
bahwa manusia bisa mengandalkan rasionalitasnya yang perca
ya bahwa makna (karena dijaga huruf dan kata yang definitif)
tak akan cair, mengalir, berubah.
Mereka salah duga. Makna lahir dalam percakapan, dan
perc akapan tak pernah beku.
Di sini saya akan kembali ke Sokrates. Ia, yang mengaitkan
nama Hermes dengan bahasa dan juga segala sifat yang tak lu
rus, juga orang yang memusuhi karya manusia yang hidupda
lam bahasa: puisi. Dalam Politeia, ia ingin para penyair dibu
ang dari negeri yang ideal.
Di satu pihak ia mengakui, puisi bisa dilihat sebagai penya
lur sabda dewa-dewa ke dalam bahasa manusia; tapi di sisi lain
ia menganggap puisi menyesatkan. Puisi adalah suara irasional,
dan hanya intelek (nous) yang mampu menangkap kebenaran.
Tapi jika Sokrates benar mengenai Hermes, ia salah mendu
304 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka CARAKA
ga bahwa kebenaran hanya tersingkap secara demikian—dan
bahwa puisi mendistorsikan komunikasi. Bahasa bukan cul-de-
sac, bukan sebuah tabung yang terbuka di pangkal dan tertu
tup di ujungnya. Bahasa adalah sebuah proses tanpa ujung,
tanpa tutup—dan sesungguhnya ke dalamnya selalu hadir apa
yang diam.
Berabad-abad kemudian sejak Plato dan Sokrates, setelah
sejarah mengajarkan banyak kekecewaan dan harapan dalam
kom unikasi manusia, kita bisa berbicara tentang bahasa justru
dengan berpegang pada puisi: ketika ke dalam diri kita sebu
ah sajak Rendra bisa mengungkapkan secercah makna, kita
menga laminya seperti ketika kita bertemu dengan sebuah
karya Rusli atau S. Teddy. Sebuah keseluruhan makna terjadi
tanpa karya itu mengekspresikannya seluruhnya, dengan garis,
warna, kata. ”Tiap patah kata,” kata Gadamer, ”sebagai seb u
ah kejadian di suatu saat, membawa serta apa yang tak dikata
kan.” Ke dalam apa yang tak dikatakan itu kata menjawab dan
jug a menyeru.
Seperti dalam Stanza Rendra ini:
Ada burung dua, jantan dan betina
Hinggap di dahan
Ada daun, tidak jantan tidak betina
Gugur dari dahan
Ada angin dan kapuk randu, dua-dua sudah tua
Pergi ke selatan
Catatan Pinggir 11 305
CARAKA
Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu
Mengendap dalam nyanyiku
TEMPO, 18 Mei 2014
http://facebook.com/indonesiapustaka 306 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka BUKAN SI MISKIN
PRESIDEN yang menolak tinggal di istana dan memilih
hidup di ladang dan menempati rumahnya sendiri di
lorong tak beraspal dan sehari-hari hanya dijaga dua pengawal
di kelokan jalan dan ditemani seekor anjing berkaki tiga yang
setia dan ke mana-mana mengendarai sebuah VW kodok
tahun1987 berwarna kusam: ia bukan tokoh sebuah dongeng
Amerika Latin. Ia benar ada, di abad ke-21: José Mujica,
Presiden Urug uay.
Pada usia 78 tahun, ia, yang dipanggil ”Pepe”, seorang ka
kekrombeng, dengan sepatu usang dan baju acak-acakan. Ia
bergaji 20 ribu dolar, tapi 90 persen dari uang itu ia berikan
untuk sumbangan buat orang-orang yang kekurangan. Sisanya
praktis senilai pendapatan rata-rata orang Uruguay. Bersama
istrinya, Lucía Topolansky, yang juga seorang senator, ia tetap
mengolah ladangnya yang ditanami kembang krisan, tanpa
pembantu.
Ia tak peduli bila orang menyebutnya pak tua eksentrik. Ia
tak mau disebut sebagai ”presiden paling miskin di dunia”. Ia
punya pengertian sendiri tentang ”miskin”. Orang yang paling
miskin, demikian katanya, ”adalah orang yang punya banyak
keinginan.”
Mungkin ia terdengar seperti seorang Buddhis yang meng
anggap hasrat dan lobha (atau ”loba” dalam bahasa Indonesia)
adalah pangkal penderitaan. Tapi orang Marxis (atau bekas
Marxis) ini tak menginginkan pencerahan. Mungkin ia terde
Catatan Pinggir 11 307
http://facebook.com/indonesiapustaka BUKAN SI MISKIN
ngar seperti seorang pengikut Gandhi yang melaksanakan ”hi
dup di tingkat bawah, tapi pikiran di tingkat tinggi”. Tapi José
Mujica bagi saya lebih menakjubkan ketimbang Gandhi.
Gandhi tak pernah duduk di takhta; Mujica justru persis
berada di situ. Dengan kata lain, ia berada di ruang kekuasaan
dan pelbagai godaannya, sementara Gandhi tidak. Gandhi,
yang di masa mudanya seorang advokat yang hidup cukup, me
milih kebersahajaan yang ekstrem sebagai pernyataan politik
dan spiritual. Mujica tak demikian. Ia tak mengubah dirin ya.
”Gaya hidup saya adalah konsekuensi dari luka-luka saya,” ka
tanya kepada Jonathan Watts dari The Guardian, akhir tahun
lalu. ”Saya anak sejarah saya sendiri.”
Luka dalam sejarah itu cukup banyak; juga secara fisik. Sejak
awal 1960-an ia bergabung dengan gerilyawan Tupamaros
yang merampok, menculik, dan mendapatkan uang tebusan
untuk dibagi-bagikan kepada rakyat yang melarat. Pada 1970
ia ditangkap buat pertama kalinya. Ia melarikan diri dari
penjara Punta Carretas dengan menggedor pintu bui. Sejak itu
ia beberapa kali kena tembak: ada enam luka di tubuhnya. Pada
1972 ia ditangkap dan disekap selama 14 tahun. Dua tahun di
antaranya ia dikungkung di dasar sumur, tempat ia, agar tak ja
di gila, berbincang dengan kodok dan cengkerik.
Mungkin itu sebabnya ia berkata, ”Bertahun-tahun saya
cukup bahagia dengan hanya memiliki sepotong kasur.” Dan
kin i rumahnya pun cuma punya satu kamar tidur. Tak perlu le
bih; tak ada orang lain yang tinggal. Presiden dan Ibu Negara
Uruguay mencuci pakaian mereka sendiri. Orang bisa melihat
nya dijemur di gantungan di halaman.
Pepe tak menganggap kesederhanaan itu harus diajarkan ke
308 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka BUKAN SI MISKIN
pada orang lain. ”Kalau saya minta orang lain hidup seperti ini,
mereka akan membunuh saya,” katanya. Tapi ia sadar, seperti
Gandhi: bila semua orang mengembangkan kebiasaan hidup
berlebihan, bumi yang hanya satu ini tak akan memadai—
dan akan rusak dieksploitasi tanpa henti. Ia pernah berkata,
”Cukupkah sumber kekayaan planet ini jika sebagian besar
orang hidup dengan konsumsi setingkat penghuni negeri ka
ya?”
Dalam hal itu, cara hidupnya adalah perjuangan gerilya
yang panjang melawan kecenderungan konsumtif—ketika Pa
sar demikian berkuasa dan manusia seperti kerbau dicocok hi
dungnya. Ia tetap melihat mala yang datang dari kapitalisme,
tapi ia bukan seorang Marxis lagi ketika tak membayangkan
sebuah akhir sejarah di akhir revolusi. ”Dunia selamanya akan
memerlukan revolusi,” katanya. Revolusi tak berarti harus
dengan kekerasan. Ajaran Konghucu dan Kristen itu revolusio
ner,kata bekas gerilyawan bersenjata ini.
Tak aneh. Hidup dalam praxis bertahun-tahun, Pepe tak bisa
setia mati kepada doktrin. Dalam lakunya selalu ada seman gat
pembebasan, tapi ia gabungkan itu dengan tujuan praktis.Ia
undang modal asing, dengan tujuan menumbuhkan ekonomi,
agar pemerataan tak berarti pemelaratan. Ia bebaskan jual-beli
mariyuana, dengan tujuan agar kartel narkoba tak bisa me
monopoli. Dan ia menjalani hidup yang begitu bersahaja, de
ngan tujuan ia (dan mudah-mudahan manusia) bisa bebas dari
benda-benda.
Di situ ia menghidupkan kembali ethos yang diajarkan aga
ma-agama: hidup dirayakan, tapi nafsu tamak diharamkan.
Bed anya: Pepe tak percaya Tuhan. Ia hanya percaya ada rasa
Catatan Pinggir 11 309
http://facebook.com/indonesiapustaka BUKAN SI MISKIN
kea dilan dan kesetaraan dalam sejarah, dan manusia berbuat
baik ke arah itu.
TEMPO, 25 Mei 2014
310 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka POLITIK
S” EPERTI kandil padam,” kata suster yang menyaksikan
kematian Václav Havel pada pukul 09.50 pagi. ”Begitu
diam.”
Di ranjang itu tak ada suara, memang. Tapi kita tahu: orang
tak akan diam, juga setelah kematian.
Ketika berita wafat bekas presiden itu menyebar dari Hrá
deček, desa kecil di timur laut Praha itu, ke seluruh Republik
Cek, orang pun berhimpun. Mereka mengenangnya: sastra
wan pembangkang yang memimpin gerakan menentang
kediktatoran Partai Komunis. Presiden pertama yang mereka
pilih.Kepala negara yang kemudian turun dari jabatannya dan
men yisih ke Hrádeček. Seorang tua yang menanggung sakit
samp ai di pagi 18 Desember 2011 itu: wafat.
Tak jelas adakah orang yang menangis. Tapi Havel kembali
did engar.
Ia hampir dilupakan. Dua puluh dua tahun jarak waktu
antara hari kematian itu dan 17 November 1989, hari
meletusnyadem onstrasi pertama anti-pemerintah di Národní
Třída. Dalamperiode itu banyak hal terjadi: revolusi berhasil
menumbangkan rezim dan ideologinya, tanpa jalan kekerasan:
”Revolusi Beludru”, 1989; Havel dipilih jadi presiden, pertama
kali, 1990, dan demokrasi datang ke Cekoslovakia.
Tapi kegembiraan dengan segera disisipi kekecewaan—
terutama ketika Cekoslovakia pecah menjadi Republik Cek
dan Slovakia.
Catatan Pinggir 11 311
http://facebook.com/indonesiapustaka POLITIK
Selama itu, Havel, bekas pejuang kemerdekaan yang jadi
kep ala negara, dielu-elukan di seluruh dunia. Tapi pelan-pelan
tamp ak, ia tak selamanya seorang pemimpin yang berhasil.
Akhirn ya ia meninggalkan kursinya—dengan nada muram
ketika berbicara.
Bukan karena ia kehilangan kekuasaan; kekuasaan selalu
dipanggulnya dengan enggan dan kikuk. Suaranya tak cerah
karena ia merasa ada yang hilang.
Dulu, di tengah pergerakan pembebasan yang bergelora,
Hav el mengalami politik yang lain—politik yang berarti laku
”melayani mereka yang ada di sekitar kita” dan ”generasi yang
akan datang”. Tapi ketika pembebasan berhasil dan sistem
demokrasi ditegakkan, ia justru menyaksikan tamasya yang
menc emaskan. Masyarakat telah membebaskan diri, katanya,
tap i dalam beberapa hal ”berperilaku lebih buruk ketimbang
ketika di dalam pasungan”.
Kriminalitas meningkat, media yang tak disensor lagi jadi
pen yalur syahwat dan kedunguan, dan yang lebih berbahaya:
keb encian menyebar di antara kaum, juga rasa curiga, rasialis
me, bahkan gejala fasisme.
Di ulang tahun ke-15 ”Revolusi Beludru”, Havel menulis. Ia
menyebut demokrasi yang akhirnya hanya jadi permainan pa
ra konsumen, dan politik yang seperti ”sebuah medan perang
para lobbyist” untuk kepentingan spesifik yang terpisah-pisah.
Mirip yang terjadi di Indonesia: sejak kediktatoran jatuh,
demokrasi berbaur dengan kekecewaan dan politik kehilangan
apa yang disebut Havel ”sebuah tanggung jawab yang lebih
tingg i”.
Tiap kali saya menyaksikan itu, terngiang kembali kata-ka
312 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka POLITIK
ta Reinhold Niebuhr itu: ”Tugas sedih politik adalah menegak
kan keadilan di dunia yang berdosa.” The sad duty of politics is to
establish justice in a sinful world.
Saya bukan seorang Protestan sebagaimana Niebuhr, theo
log itu. Dunia bagi saya tak berdosa sejak diciptakan Tuhan;
dun ia adalah sejarah. Manusialah yang membuat sejarah ber
gerak antara harapan-harapan minimalis dan kekecewaan
yangdatang dan pergi.
Di situlah politik, seperti kata Niebuhr, sebuah ”tugas”.
Politik bukan cuma usaha menghimpun dan menggunakan
kek uasaan. Politik adalah pergulatan untuk keadilan, atau
kesetaraan, yang berlangsung terus-menerus. Rancière me
nyeb utnyala politique. Havel menyebutnya sebuah ”tanggung
jawab” (atau, seperti yang dikutip di atas: ”tanggung jawab yang
lebih tinggi”) yang dinyatakan dengan tindakan. Tindakan
itu ditujukan kepada ”keseluruhan” dan bagi ”keseluruhan”.
Dengan kata lain, politik adalah pergulatan bukan untuk diri
sendiri.
Itu sebabnya Havel mempertautkannya dengan sesuatu
yang lebih dalam: panggilan moral. Ada ”landasan metafisik”,
katanya, yang dimulai dengan kesadaran atau kesetengahsa
daran bahwa kematian bukanlah akhir. Akan ada catatan
entah di mana, ada penilaian entah di mana, mungkin di ”atas
kita”. Ada ingatan tentang Hidup, dari Hidup, ”the memory of
Being”. Dan kita pun merasakan ”tata rahasia kosmos, alam,
dari kehidupan”. Ada Tuhan yang menilai.
Tapi sebenarnya tak pasti adakah ”tata rahasia” itu cocok
buat negeri-negeri di atas bumi. Tiap kali pergulatan berlang
sung demi ”tanggung jawab yang lebih tinggi”, ia akan
Catatan Pinggir 11 313
http://facebook.com/indonesiapustaka POLITIK
terlontarkembali ke kancah ”dosa” dunia. Salah satu ”dosa”
itu adalah kekuasaan: sesuatu yang perlu tapi menjerat dan
membusukkan manusia.
Agaknya itulah yang membuat Havel murung. Kemurung
annya menjangkau kita—dan kita pun tahu apa yang salah, apa
yang hilang dalam politik hari ini. Kandil itu tak sepenuhnya
diam ketika padam.
TEMPO, 1 Juni 2014
314 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka BABI YAR
PADA 1961, Yevgeny Yevtushenko menulis sajak tentang
orang-orang yang terbunuh di jurang panjang yang su
ramdi timur laut Sungai Dnieper:
Akulah tiap orang tua
yang di sini
ditembak mati
Akulah tiap anak
yang di sini
ditembak mati
Dua puluh tahun sebelumnya, di jurang di Ukraina itu, di
Babi Yar, hampir 34 ribu orang Yahudi—termasuk anak-anak,
orang tua, perempuan—dibunuh pasukan Jerman hanyada
lam waktu dua hari, 29-30 September 1941.
Yevtushenko bukan Yahudi; sajak itu, ”Babi Yar”, menyata
kan, ”dalam diriku tak ada darah Yahudi.” Tapi ia menggugat
apa yang terjadi di tempat itu sebagai kebuasan yang sedang
dilupakan—dan dengan demikian juga kebuasan lain di masa
lalu yang tak diakui. Penyair Rusia ini menuliskan sajaknya
setelah Stalin mangkat dan orang bisa membacanya sebagai
pengingat kekejaman yang pernah terjadi di masa lalunya sen
diri—sebagaimana kita di Indonesia akan bisa membacanya
den gan ingatan yang mirip.
Tentu, pembantaian Jerman terhadap orang Yahudi tak ter
Catatan Pinggir 11 315
http://facebook.com/indonesiapustaka BABI YAR
band ingkan—karena tiap kekejaman sebenarnya tak bisa di
bandingkan. Seperti yang di Babi Yar itu. Seorang sopir truk
pasukan Jerman yang berada di tempat itu menceritakan ke
saksiannya:
Setelah ditelanjangi, orang-orang Yahudi itu digiring ke da
lam jurang, melalui dua atau tiga celah masuk. Ketika mereka
sampai di dasar, para petugas Schutzpolizei mendorong mereka
agar berbaring di atas mayat orang-orang yang baru saja
ditembak. Semua terjadi dengan cepat. Mayat itu berlapis-lapis.
Seo rang polisi datang dan menembak leher tiap orang Yahudi
di tempat ia terbaring dengan senapan semi-otomatis.... Begitu
satu orang Yahudi tewas, si penembak akan berjalan melintasi
tubuh orang mati itu untuk menembak korban yang lain. Ini
berlangsung tanpa henti, dan semua—laki-laki, perempuan,
anak-anak—dihabisi. Anak-anak dibaringkan dekat ibu mereka
dan ditembak bersama-sama.
Tapi, dengan kekejaman yang membunuh hampir 34 ribu
orang dalam dua hari, yang tak terbandingkan itu tetap me
merg oki kita dengan pertanyaan tentang manusia pada umum
nya: sebuas itukah makhluk ini?
Dari sejarah Jerman, jawabnya bisa bermacam-macam. Ada
kebencian rasial kepada mereka yang berbeda, dan sejak sekian
abad yang lalu yang berbeda itu berarti Yahudi. Ada perasaan
bangsa yang terhina dan rakyat yang menderita setelah keka
laha n dalam Perang Dunia I, disertai kerinduan akan negara
kua t,pemimpin yang kuat, dengan dendam yang berkobar.
Tapi, dengan sebab-musabab yang khas Jerman seperti itu,
316 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka BABI YAR
Hitler dan rezimnya tetap ingin diakui sebagai bagian dari sesu
atu yang universal. Sang Führer percaya bahwa kehidupan pa
da dasarnya bengis: ”Hukum kehidupan di dunia,” kata Hitler
dalam sebuah jamuan siang 10 Oktober 1941, ”mengharuskan
pembunuhan yang terus-menerus, agar mereka yang mutunya
lebih baik bisa hidup.”
Yang merisaukan adalah bahwa pembunuhan memang
terjadi di tempat lain, dilakukan bangsa lain—seakan-akan
sejarahtak bisa berubah, manusia pada dasarnya bengis, dan
Hitler membawakan tata normatif yang benar: ”hukum”-nya
layaksebagai hukum, bersifat kekal, dan berlaku di mana saja.
Tapi kita ingat: ia menyebut ”kehidupan”. Kehidupan ber
ubah. Beberapa kekejaman yang terjadi bukanlah sekadar versi
baru dari thema yang itu-itu juga. Hitler sendiri berada dalam
zam an yang lain dari zaman Genghis Khan, misalnya, dengan
ambisi dan hasrat yang lain dan cara-cara melaksanakan hasrat
yang lain pula.
Maka ketika ia mengemukakan bahwa pembunuhan adalah
”hukum kehidupan”, ia sesungguhnya mencoba menghalal
kankekejaman dan pembinasaan yang dirancang dan dilaksa
nak annya. Ia seperti hendak mengatakan, ”Aku tak bersalah,
aku hanya menjalankan apa yang sudah ada dan akan ada terus
dalam sejarah manusia.”
Yang tak diakuinya ialah bahwa ia perlu mengajukan
apologi itu (atas nama ”hukum kehidupan”) karena ada sesuatu
yang lain, yang berada di luar ”kehidupan” yang dilihatnya:
ada suatu tata normatif yang berbeda, sesuatu yang belum
ditaklukkannya.
Dan itulah yang kemudian terbukti. Tata normatif Hitler
Catatan Pinggir 11 317
http://facebook.com/indonesiapustaka BABI YAR
tak bisa bertahan, bukan hanya karena ia kalah perang. Sajak
Yevtushenko menuturkan: bila kekejaman menemukan se
kutunya di masa lain, di tempat lain, demikian juga sang
korban. Sang ”aku” yang merasa senasib dengan mereka yang
dibantai di jurang Babi Yar juga melihat dirinya di tempat
pembunuhan yang jauh, di sebuah hari yang jauh:
Dan di sini, pada salib, aku mereka musnahkan dalam siksa,
Dan sisa paku itu di tubuhku masih ada
Dengan kata lain, kepada kekejaman baru akan selalu ada
gugatan baru. Juga orang-orang yang berkata ”tidak” secara
bar u.
TEMPO, 8 Juni 2014
318 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka AIR KELAPA
ADA sesuatu yang menarik bila kekuasaan bermula dari
cerita tentang kata dan air kelapa.
Kita menemukannya dalam dongeng Jawa tentang pendiri
Kerajaan Mataram.
Tersebutlah pada suatu pagi Ki Ageng Giring, seorang pela
dang, memanjat pohon nyiur di halamannya untuk memetik
seb utir kelapa. Ia ingin membuat santan. Tapi di pucuk pohon
itu tiba-tiba terdengar suara: ”Barang siapa yang meminum air
kelapa yang kaupegang itu, akan ia turunkan anak-cucu yang
berk uasa di kerajaan masa depan.”
Dengan gemetar Ki Ageng Giring memetik nyiur itu,
meluncur turun, dan pulang. Tapi hari masih pagi; ia belum
haus. Bua h kelapa itu hanya ia lubangi untuk bisa direguk air
nyananti, lalu ia letakkan di para-para dapur. Ia pun kembali
ke kebun untuk mencangkul.
Tak disangka-sangka, tetangga dan sahabat karibnya, Ki
Ageng Pemanahan, yang baru saja sibuk membersihkan se
mak-semak, mampir. Karena haus tak tertahan, melihat nyiur
yang sudah disiapkan di dapur itu, ia mengambilnya dan me
reguk airnya.
Dan demikianlah jadinya: Ki Ageng Pemanahan adalah
prog enitor pendiri Kerajaan Mataram. Anaknya, seorang pe
muda cerdik dan pemberani, Sutawijaya, menjadi seorang
prajurit yang makin lama makin dipercaya di Kerajaan Pajang.
Ia berhasil menewaskan Arya Penangsang, seorang bangsawan
Catatan Pinggir 11 319
http://facebook.com/indonesiapustaka AIR KELAPA
yang tak mau takluk. Atas jasanya, Sutawijaya diberi gelar Pa
nembahan Senapati dan sebentang wilayah. Berangsur-angsur,
daerah itu ia kembangkan jadi kerajaan yang disebutnya
dengan nama ”Mataram”, seperti kerajaan Jawa dari zaman
kee masa n sebelum Islam. Ia memerintah dari 1584 sampai
meninggal pada 1601.
Bagi saya, yang penting dalam cerita itu adalah sepatah
kata dalam kalimat yang didengar Ki Ageng Giring: ”Barang
siapa...”. Tak ada nama tertentu yang disebut. Kekuasaan
pada hak ikatnya sebuah peruntungan yang terbuka. Tak ada
pintu tertutup bagi orang atau kaum tertentu. Jika Ki Ageng
Pemanahan yang mendapatkan karunia itu, itu berarti asal-
usul kekuasaan bermula pada nasib yang tak eksplisit dan
sebuah kebetula n. Kata-kata gaib dan air kelapa—sebagai
bagian awal cerita tentang kejayaan dan kejatuhan raja-raja
Jawa—agaknya untuk pengingat bahwa kekuasaan sekaligus
mengandung misteri dan hal sehari-hari.
Dengan kata lain, tak ada fondasi yang kukuh kekal yang
menentukan seseorang untuk berada di atas takhta atau di ba
wahnya. Sumber legitimasi kekuasaan ibarat datang dari se
buah liang tambang tua yang kosong tapi penuh kabut. Sejarah
kekuasaan adalah sejarah kecemasan.
Itu sebabnya kekuasaan perlu punya aura, dan aura
perlu mithos. Harus ada sesuatu yang akan memberi alasan
bahwa ia sah, bahwa ia patut diterima siapa saja kapan saja.
Itu berarti, dalam kecemasannya, kekuasaan tak bisa cuma
sebuah monolog. Ia butuh Liyan yang mengakuinya. Dengan
demikian sebenarnya ia mengakui bahwa ada pihak lain yang
dianggap setara, atau lebih luhur, yang punya daya untuk
320 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka AIR KELAPA
memberi pengakuan atau menolaknya.
Di zaman demokrasi, Liyan itu ”rakyat”: himpunan yang
tak sepenuhnya dapat dihadirkan selain secara simbolis. Di
abad ke-16 itu, Liyan itu dilambangkan secara lain: seorang
ratu gaib dari laut selatan. Salah satu dongeng terkenal tentang
Pan embahan Senapati adalah hubungannya dengan Nyai
Roro Kidul. Dikisahkan, pada suatu saat putri alam gaib itu
mendatangi Baginda. Mereka bercintaan. Tapi pada saat yang
sama dikatakan juga bahwa Nyai Roro Kidul menyerah ke
dalam wib awa sang penguasa Mataram: sor prabawa lan wong
agung ngeksiganda.
Kekuasaan Senapati dan auranya, takhta, dan legitimasinya
menjadi menguat dengan dongeng itu. Tapi tampak: seorang
pen guasa harus berjuang secara rumit dan subtil buat mem
peroleh hegemoni.
Dongeng di atas bisa ditafsirkan untuk menggugat thesis
bahwa perjuangan hegemoni sepenuhnya ditandai antagonis
me. Sebab yang terjadi adalah jalin-menjalin yang tegang
antara persaingan dan pertalian. Memang ada konflik yang
tersamar, tapi hegemoni tak mungkin hanya dicapai dengan
keris yang berdarah.
Kita tahu apa yang terjadi. Kekuasaan penerus dinasti
Mataram, Amangkurat I (1646-1677), praktis adalah titah
yang berdarah. Babad Tanah Jawi mengisahkan suasana
kerajaan yang muram dan menakutkan—yang segera disusul
sebuah akhir yang dramatis. Riwayat Kerajaan Mataram
tamat ditutup pemberontakan Trunajaya. Legitimasi hilang,
hegemoni runtuh.
Para pendongeng kemudian berkisah, dalam perjalanan
Catatan Pinggir 11 321
http://facebook.com/indonesiapustaka AIR KELAPA
melarikan diri dari istananya, Amangkurat I mati karena
meminum air kelapa yang beracun. Mungkin ini juga sebuah
tamsil: rasa haus akan kekuasaan di saat yang tepat akan berha
sil; rasa haus kekuasaan di saat yang salah akan membuat bina
sa—dan orang tak selalu tahu kapan saat yang salah itu.
TEMPO, 15 Juni 2014
322 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka THE TANK MAN
IA disebut ”The Tank Man”: seorang berbaju putih yang
berdiri sendirian di tengah jalan, menghadang empat tank
yang bergerak ke Tiananmen, Beijing.
Hari itu 5 Juni 1989.
Siapa dia? Tak ada yang tahu. Bisa jadi ia warga biasa yang
tiba-tiba tak bisa menahan marah melihat tentara datang
lagi setelah membunuh puluhan demonstran di Lapangan
Tiananmen 40 jam sebelumnya. Mungkin ia hendak berseru:
”Kembalilah kalian! Korban sudah cukup!”
Kita tak tahu itukah yang dikatakannya. Tapi sejak itu,
dunia mengenangnya: sosok pemberani yang diabadikan
kamera dari jauh, tubuh yang bagaikan sebatang tiang
yang tegak—tiang putih yang menyangga hal-hal yang
tak kasatmata: keinginan bebas dari takut dan kekerasan,
keberanian bersikap, dan tekad yang mempercayai dialog,
bahkan dialog dengan pasukan infanteri yang siap tempur.
Orang bisa mengatakan, ”The Tank Man” menghendaki
apa yang mustahil. Sebab, Pemerintah begitu kuat. Penguasa
di Beijing itu bisa dengan mudah mematikan suara yang me
nuntut kemerdekaan bersuara dan mematikan mereka yang
takdisukai bersuara.
Juga: mematikan ingatan tentang semua kematian itu.
Ada seorang ibu bernama Xu Jue. Dalam sebuah tulisan di
The New York Review of Books, 5 Juni lalu, Ian Johnson men ulis
tentang wanita ini, yang anaknya mati ditembak tentaradan
Catatan Pinggir 11 323
http://facebook.com/indonesiapustaka THE TANK MAN
suaminya meninggal dirundung sedih. Tiap musim semi, di
hari raya Qingming, Xu Jue bermaksud mengunjungi mak am
anak dan suaminya. Tapi polisi mencegahnya datang tepat5
April, ketika festival menghormati para mendiang itu diraya
kan.Ibu itu boleh datang ke makam anaknya, tapi beberapa
hari sebelum itu. Dan polisi akan menyertainya—meskipun
harus membaca tulisan di nisan itu: ”4 Juni, 1989”.
Seorang ibu lain, Ding Zilin, ingat tanggal yang agak
berbeda: 3 Juni, 1989. Hari itu anaknya juga ditembak tentara
yang memadamkan demonstrasi di Tiananmen. Dalam
perkabunga nnya, ibu ini menghubungi keluarga yang juga
kehilangan anak mereka di Juni yang berdarah itu. Ding
Zilin membentuk satu jaringan (”Para Ibu Tiananmen”) yang
mencoba menemukan informasi tentang mereka yang tak
pulang. Ia beberapa kali menjadi tahanan rumah, tapi ia tak
menyerah. Sampai Agustus 2011, jaringan ini mencatat 202
korban.
Tangan yang berdarah (dan berkuasa) harus mematikan
ingata n seperti itu. Yang dihadapi bukan sekadar catatan ten
tangmasa lalu. Ingatan itu juga sebuah tuntutan keras ke masa
depan. Membungkam kenangan tentang kekejaman penting,
seb ab berkuasa harus siap dengan alasan bagi kekejaman baru.
Sejarah politik Tiongkok penuh dengan kekejaman itu. Ju
ga ingatan dan represi atas ingatan. Penyair dan penulis prosa
dok umenter, Liao Yiwu, punya masa lalu yang terapung-apung
antara hidup dan mati. Di pertengahan 1960-an, ayahnya,
seo rang guru, dituduh ”kontrarevolusioner” oleh Pengawal
Merah selama Revolusi Kebudayaan yang digerakkan Mao
Zedong. Si ayah dipecat dan dikucilkan masyarakat. Si ibu
324 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka THE TANK MAN
terpaksa menceraikannya agar bisa hidup dengan anaknya.
Tapi, pad a suatu hari, untuk dapat membeli makanan,
perempuan itu menjual kupon jatah pakaian yang dibagikan
Negara. Si ibu ditangkap dan diarak bersama sejumlah
penjahat di panggung Gedung Opera Kota Sichuan, kota
kelahirannya.
Liao Yiwu, yang beberapa kali disekap dan sajaknya diha
ramkan, memandang dengan pahit masa lalu yang dibangun
dan dihancurkan Mao. Seperti ditulisnya dalam The New York
Review of Books, Mao tak pernah minta maaf.
Mao tak minta maaf dan kekerasan dilakukan kembali.
”Rev olusi bukan jamuan makan malam,” itu ucapannya yang
term asyhur. Harus ada pengorbanan untuk kemenangan Re
volusi buruh dan tani, harus dibenarkan tindakan yang brutal
jika hanya itu yang mungkin.
Tiap laku politik, juga yang revolusioner, tampaknya
menga mini dalil Bismarck di Jerman di abad ke-19, yang
mengembangkan kekuasaan dengan ”darah dan besi”: Die
Politik ist die Lehre vom Möglichen. Politik hanya bisa bertolak
dari apa yang mungkin, dan sebab itu ia kiat memainkan apa
yang mungkin.
Berdiri di tengah Avenue Chang’an, ”The Tank Man” tak
mengikuti dalil itu. Hari itu ia contoh aksi politik yang dige
rakk an apa yang tak mungkin. Ia tak mengatakan, ”Karena
aku mustahil menang, aku lebih baik diam; kalaupun keadaan
tak bisa hapuskan kekejaman, biarlah, tak ada rotan akar pun
jadi.”
”The Tank Man” adalah isyarat: mereka yang mengatakan
”tak ada rotan, akar pun jadi” lama-kelamaan bisa lupa bahwa
Catatan Pinggir 11 325
http://facebook.com/indonesiapustaka THE TANK MAN
rotan ada, tak mustahil, meskipun bukan di hari ini.
TEMPO, 22 Juni 2014
326 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka KOTOR
BAGAIMANA menghakimi, ketika tak ada lagi yang tak
berd osa? Ketika ukuran dosa dan bukan dosa berganti?
Ketika yang kotor dan suci jadi serba mungkin—dan manusia
makin tak mengerti apa yang akan terjadi dengan sejarah?
Kita telah menyaksikan—ya, kita telah menempuh—pem
bunuhan besar dan kecil. Kita bergulat terus-menerus bagai
mana seharusnya bersikap. Diam-diam kita berharap pada
akhirn ya sejarah akan membawa kita ke sebuah keputusan
yangditerima kapan saja oleh siapa saja.
Tapi tidakkah kita terlalu percaya kepada sejarah? ”Bukan
kahsejarah selamanya tak manusiawi, pembangun yang tak
pun ya hati, yang mengaduk semennya dengan dusta, darah,
dan lumpur?”
Itu pertanyaan yang suram dalam novel Arthur Koestler,
Darkness at Noon. Novel itu datang dari pengalaman yang ber
beda dengan pengalaman kita, tapi mungkin tak sepenuhnya
berbeda. Koestler menulisnya di akhir 1939 di Eropa ketika
sejarah adalah pergolakan politik yang gemuruh, bergairah,
dan brutal. Baik gerakan Nazi (yang mau membangun Neue
Ordnung, ”Orde Baru”) maupun Komunisme (yang hendak
membangun ”Kehidupan Baru”) yakin bahwa sejarah akan
bergerak— dengan langkah pasti dan tak peduli—ke arah yang
ditunjukkan cita-cita mereka, meskipun selalu ”meninggalkan
lumpur yang dibawanya beserta mayat mereka yang tengge
lam”. Sejarah, dengan kata lain, tak pernah salah.
Catatan Pinggir 11 327
http://facebook.com/indonesiapustaka KOTOR
Dengan keyakinan itu, kekerasan dan pembunuhan tak
bisa dikutuk.
Darkness at Noon tak menyebut di mana ceritanya ber
langsung.
Tapi pembaca akan tahu bahwa peran utamanya, Nicholas
Salmanovitch Rubashov, adalah seorang aktivis Partai
Komunis Rusia—tokoh fiktif yang dibentuk dari pengalaman
sejati para pejuang Revolusi Oktober yang ditembak mati
kawan sep erjuangan mereka sendiri, Stalin, ketika orang ini
memegang tampuk pimpinan. Rubashov adalah orang yang
berjasa kepada Partai dalam mengukuhkan kekuasaan, tapi
kemudian dianggap berkhianat oleh Sang Ketua (disebut
sebagai ”No. 1”). Ia disekap, disiksa, disuruh mengakui per
buatan yang tak pernah dilakukannya, dan ditembak mati.
Tapi jangan-jangan Sang ”No. 1” benar. Rubashov sendiri
jadi ragu. Dengan keyakinannya tentang sejarah, ia tak serta
merta sanggup mengatakan bahwa sang ”No. 1” sewenang-we
nang. Orang-orang yang dibunuhnya mungkin akhirnya harus
mengakui—”meskipun dengan peluru di tengkuk”—bahwa
penguasa tertinggi itu tak berdosa. Ia telah bertindak sebagai
alat sejarah untuk membangun dunia yang lebih baik. Ia ga
nas, tapi tak bisa dihakimi dengan vonis yang meyakinkan.
”Tak ada kepastian,” gumam Rubashov dalam selnya, tak
berdaya.
Kita hanya bisa naik banding ke hadapan Sejarah (ditulis
dengan huruf kapital ”S”). Tapi yang tragis dalam hidup manu
sia ialah bahwa keputusan Sejarah diberikan ”hanya setelah
rahang orang yang naik banding itu sudah jadi debu bertahun-
tahun yang lalu”.
328 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka KOTOR
Sang hakim datang terlambat, selalu terlambat.
Tapi saya kira tidak. Saya kira ada yang salah dalam pan
danga n ini. Sejarah bukanlah hakim. Ia bukan orakel sakti
yang menebak. Sejarah tak berada di luar diri kita, dan kita tak
bera da di luarnya, dan manusia bukan cuma sarananya. Kita
tak perlu menuliskannya dengan huruf kapital ”S”. Marx benar
ketika ia mengatakan bahwa bukan sejarah yang mengguna
kanmanusia sebagai cara untuk mencapai tujuannya. ”Sejarah
han yalah kegiatan manusia dalam mengejar tujuan.”
Artinya, manusia itulah yang hakim.
Tapi di sini juga persoalan tak mudah diselesaikan, ketika
orang mulai mengatakan bahwa, seperti konon kata Napoleon,
bahkan ”nasib adalah politik”. Nasib, yang dianggap tak ter
elakkan datang dalam hidup manusia, semakin dibaca sebagai
hasil interaksi manusia, zoon politikon. Tak ada ketentuan yang
datang dari langit. Tak ada nilai yang tak tersentuh pergulatan
di bumi. Tak ada nilai yang universal yang ditentukan begitu
saja.
Tapi jika demikian halnya, menghakimi akan mustahil.
Ketika yang universal diasumsikan tak pernah terjadi, ukuran
guy ah. Apa yang pada suatu keadaan dianggap ”baik” pada
keadaan lain dianggap ”jahat”. Tak ada yang tak berdosa,
ketika ukuran dosa dan tak berdosa tiap kali bisa berganti.
Namun bisakah kita hidup tanpa menghakimi? ”Aku harus
mendapatkan keadilan, atau aku akan menghancurkan diriku
send iri,” kata Ivan Karamazov dalam novel Dostoyevsky
yang termasyhur itu. Dan bagi orang ini keadilan yang di
kehendakin ya bukan yang berada di ”ruang dan waktu yang
tak terhingga”. Ia menghendaki keadilan yang ada di bumi.
Catatan Pinggir 11 329