The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 11 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by suharnowo, 2021-11-04 03:06:08

Catatan Pinggir 11 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 11 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka GOLPUT

ha­ri Minggu malam, Wall Street lengang dan muram seperti
ko­ta hantu. Bartleby pasti sering memandang lewat jendela
kamar kerjanya dan hanya menemui tembok yang kosong.

”I would prefer not to.”
”You will not?”
”I prefer not.”

Kalimat Bartleby tak pernah jelas. Orang hanya bisa
membaca tubuhnya. Akhirnya majikannya tak berbuat apa-
apa terh­ adapnya: ia justru yang memutuskan pindah kantor. Ia
se­wak­ an kantor itu kepada orang lain.

Sang penyewa bertindak lebih drastis. Ia usir Bartleby. Tapi
orang ini tak mau pergi: ia duduk-duduk dan tidur di tangga.­
Majikannya yang lama, yang mengisahkan kejadian ini, da­
tang dan mencoba membujuknya untuk pergi dari emper itu.
Ia bahkan menawarkan sebuah kamar di rumahnya untuk
ditempati. Tapi Bartleby menjawab: I would prefer not to.

Mungkin ini sebuah cerita sedih: Bartleby akhirnya di­
penjarakan dan mati karena ia menolak makan. ”Sebaiknya
saya leb­ ih suka tidak....”

Tapi bisa juga kesedihan itu tak harus dilihat sebagai sesu­
atu yang tragis. Deleuze, yang ikut membahas karya Melville
ini,­menyimpulkan, kisah Bartleby justru sebuah teks yang sa­
ngat lucu, dan yang lucu, yang komikal, katanya, ”selamanya
har­fiah”. Kisah ini bukan sebuah kiasan.

Memang tak ada makna lain yang tersirat dalam ”I would
prefer not to”. Tapi sikap Bartleby tetap tak bisa ditebak
karena mul­a-mula, setelah ia mengucapkan kalimat itu, ia toh

280 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka GOLPUT

mengerjakan apa yang jadi tugasnya. Sampai pada satu titik—
mungkin ketika ia sadar bahwa kata-kata itu punya dampak
kepada orang sekelilingnya. Kemudian, kepada dirinya sendiri.

Dampak itu terasa karena kalimat itu bergema di sebuah
kantor pengacara di Wall Street, dunia tembok-tembok
kekar, di ruang yang tertib, di antara dokumen-dokumen
yang cer­mat,­di celah-celah bahasa hukum yang ingin persis
dan prediksi yang ingin tepat. Di antara itu semua, kata-kata
Bartleby tak menampik, tapi juga tak menerima. Ia menghapus
makna yang diacunya sendiri, tapi juga menghapus makna lain
yang mungkin. Ia menggunakan ungkapan yang lempang
tanpa ki­asa­ n, tapi, setidaknya bagi Deleuze, ”ia menciptakan
sebuah vak­ um dalam bahasa (langue)”. Sebagaimana ia
berhenti menyalin dokumen, ia pun berhenti menyalin bahasa
orang lain yang umum.

Akhirnya ia memang seorang luar, sepenuhnya. Andai ia me­
nyatakan maksud yang jelas ia menolak, ia masih meletakkan
diri dalam satu posisi. Tapi tidak. Dalam ambiguitas itu, ia me­
lakukan resistansi.

Saya tak bisa menyimpulkan bahwa resistansi itu efektif.
De­leuze memang bertepuk tangan: ”Bartleby telah memenangi­
hak untuk lanjut hidup, artinya, untuk tetap tak bergerak dan
te­gak di depan sebuah dinding buta.” Tapi orang lain bisa me­
ngat­akan aksi Bartleby hanya mengarah ke sebuah impase; tak
ada langkah tegas ke pembebasan.

Bartleby memang bisa dipandang sebagai tubuh yang mem­
protes ”kandang besi” yang membentuk Wall Street. Tapi ia
sendiri. Ia menyendiri. Ia menolak apa pun yang dari luar, ju­
ga­makanan; ia seperti seorang pertapa yang memegang teguh

Catatan Pinggir 11 281

http://facebook.com/indonesiapustaka GOLPUT

puasa dan prinsip. Tapi ia juga seperti penderita anoreksia yang
sek­ aligus narsis.

Di penjara dan di kuburannya, ia tak mengubah apa-apa.
Ta­pi mungkinkah ia sepenuhnya sendiri? Ada yang terjadi,
mesk­ ipun tak senantiasa terjadi: seseorang yang sebenarnya
bis­a menyingkirkannya—sang majikan di kantor pengacara­
itu—tak hendak melakukan tindakan itu. Bahkan ia menga­
lah.­­ Kemudian menawarkan tempat. Kemudian mengirimi
Bartleby makanan.

Bisa saja sang majikan melakukan itu buat menyelamatkan
muk­ anya sendiri, atau ia tak mau heboh, atau ia... entah. Tapi
yang jelas, ia merasa Bartleby bukan unsur yang bisa dibuang.
Ia merasa Bartleby tak sendirian.

Maka apa nama yang akan kita berikan kepada mereka
yang menolak tapi tak menolak? Mungkin ”golput”—bila
ambiguitas itu, ketakjelasan bahasa itu, bisa memberi isyarat:
kami bukan hanya sedang tak mau diganggu.

TEMPO, 6 April 2014

282 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka MALIN

MASA lalu tak pernah berdiri sendiri. Andai ia berdiri
send­ iri, ia tak akan pernah ada. Kita mengingat, dan
itu­sebenarnya kita mengaitkan apa yang kita ingat—sesuatu
yang muncul kembali dalam kepala kita—dengan isi kepala
ki­ta yang ada di tubuh kita hari ini.

Sebab itulah orang tak akan mengingat semua hal secara
komp­ let. Masa lampau hadir kembali dalam bentuk yang telah
di­raut masa kini. Mengingat sebenarnya berjalan di sebuah ja­
lur yang terputus.

Barangkali itulah yang terjadi dengan Si Malin Kundang.
Dalam legenda yang terkenal ini, pada suatu hari ada seorang
anak muda yang mendaratkan perahu besarnya di sebuah
dusun pantai. Ketika ia melangkah ke darat dan berjalan
beberap­ a belas meter memasuki dusun itu, seorang perempuan
tua men­dekatinya. Ia memanggil orang muda yang tampak
gagah dan sukses itu sebagai ”anakku, Malin”.

Syahdan, laki-laki itu menolak. Ia tak mau mengakui
wanita tua itu sebagai ibunya. Perempuan tua itu pun sakit
hati. Ia mengutuk. Kata sahibulhikayat, tak lama kemudian,
badai pun datang, dan orang muda itu, yang sudah kembali ke
perah­ u­nya, tenggelam. Ia dan kapalnya berubah jadi batu di
tepi lau­ t dari mana ia datang.

Tapi benarkah ia harus dikutuk? Benarkah ia telah menam­
pik­ibu yang membesarkannya? Bukan mustahil ia seseorang
yang lupa sama sekali dan tak mengenali lagi pantainya yang

Catatan Pinggir 11 283

http://facebook.com/indonesiapustaka MALIN

dul­u. Jangan-jangan perempuan tua itu yang salah ingat dan
sal­ah sangka.

Tanpa banyak pertanyaan, orang pun menyampaikan sebu­
ah petuah melalui legenda Si Malin Kundang: lupa adalah se­
bua­ h kesalahan. Sebaliknya, mengingat dianggap jalan yang
ber­sih dan sebab itu tepat arah yang sepatutnya.

Saya tak percaya bahwa pernah ada jalan yang bersih itu.
Di dunia kesadaran, tak ada jalan yang tepat arah. Mengingat
adal­ah menafsirkan masa lalu, tapi sudah tentu kita tak akan
bis­a pergi untuk mencocokkan tafsir kita dengan masa la­lu
itu send­ iri. Kita tak akan pernah bisa melangkah, biarpun se­
jenak, ke­luar dari waktu. Waktu bukan kereta api yang bisa
se­sekali ber­henti dan masinisnya turun untuk menengok apa
yang terjadi di gerbong belakang.

Di lain pihak, mengingat juga berarti membaca masa lalu
den­ gan kecenderungan menatap ke masa depan. Mereka
yang me­mandang masa silam dengan nostalgia, seperti
sebagian orang yang kini menyambut kenangan tentang
zaman Soeharto—dan memasang gambar senyum lebar
presiden yang pad­ a 1998 turun takhta itu—sebenarnya sedang
menemukan ala­san­baru buat menyatakan kritik kepada masa
sekarang. Dal­am kritik itu tersirat hasrat untuk sesuatu di masa
yang akan da­tang.

Sebab itu, nostalgia bukanlah kerinduan akan masa lalu.
Nost­­algia justru menginginkan sebuah masa depan. Kita
tengok­ lagi dongeng Si Malin Kundang: bukan mustahil
perempuan tua di dusun pantai itu ingin merangkul anak
muda yang da­tang itu dengan harapan hidupnya akan jadi
lebih bahagia—­ dan ia keliru.

284 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka MALIN

Kita hidup dengan apa yang oleh Walter Benjamin disebut
”kipas ingatan”. Siapa saja yang mulai membuka lipatan
”kipas ingat­an” itu selalu menemukan hal-hal baru, bagian
baru, bacaan baru. Tapi bila yang ”lama” (yang diingat-ingat)
akhirnya sa­ma dengan yang ”baru” (yang saat itu ditemukan),
yang terjadi sebenarnya semacam paralelisme antara ingatan
dan lupa.

Apalagi lupa bisa punya peran yang diinginkan. Seperti
nost­algia, lupa juga bisa merupakan protes terhadap hari ini
yang tak menyenangkan.

Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!

Ajakan itu menyeru dalam sajak Chairil Anwar, ”Cerita buat
Dien Tamaela”. Tampak antara ”tari”, ”ria”, dan ”lupa” ada be­
nang merah yang mempertalikannya: gerak, dinamisme, mo­
bilitas. Kata-kata kunci zaman modern. Semangat yang me­
nampik kemandekan yang represif.

Tapi paradoks sajak Chairil Anwar ini adalah bahwa seruan
itu diperdengarkannya dari sebuah suasana purba ketika
dunia mas­ih penuh dengan sihir. Suasana itu dihidupkan
Chairil dengan citra-citra primitif: hidup yang dimulai dengan
”dayung dan sampan” sejak seseorang lahir, lingkungan yang
”dijaga da­tu-datu” di siang dan di malam.

Paradoks cerita ini adalah bahwa kehendak ”berlupa” akhir­
nya sama dengan kehendak kembali ke masa silam....

Kita menemukan motif yang sedikit berbeda dalam cerita

Catatan Pinggir 11 285

http://facebook.com/indonesiapustaka MALIN

Si Malin Kundang: masa lalu yang hendak dihidupkan kemba­
li (”anakku, Malin”) kemudian hendak dihapus. Bersama itu,
ma­sa depan mau ditiadakan. Si Malin dikutuk jadi batu: ia di­
be­namkan dalam kebekuan, seakan-akan batu yang mandek
dan bisu itu hendak dijadikan imun dari sentuhan waktu.

Tapi jika demikian yang dikehendaki sang perempuan
tua—­ atau dikehendaki sang empunya cerita—di sini kita te­
mu­kan sebuah waham, setidaknya dugaan yang keliru. Batu di
pant­ai itu jauh dari kekal. Ia juga berproses: akan datang lumut
ke punggungnya, akan melekat siput-siput laut ke sisinya, dan
akan terkikis ia oleh ombak. Sementara itu, orang akan datang
dan pergi, memandangnya dengan cara yang terus berubah.
Ada suatu masa ketika orang melihatnya sebagai peninggalan
yang penuh dongeng, ada lagi masa lain ketika orang menatap­
nya sebagai perintang.

Bahkan batu tak pernah mandek dan berdiri sendiri.
Sebagaimana masa lalu yang murni tak pernah ada, begitu
ju­ga masa kini dan masa depan. Manusia tak bisa lupa sama se­
kali, manusia tak bisa ingat secara lengkap, juga manusia tak
bi­sa tanpa diam-diam berharap.

TEMPO, 13 April 2014

286 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka SUKSESI

DITULIS dalam bentuk tembang yang merdu, Babad
Tanah Jawi adalah kisah pertempuran bengis yang
sambung-menyambung. Tentang kekuasaan.

Syahdan, dalam keadaan sakit dan terbaring di Balai Ku­
ning,­ Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram,
mem­berikan pesannya yang terakhir. Ia menetapkan bahwa
sal­ah seorang putranya, Ki Adipati Anom, menggantikannya.
”Se­genap putraku hormatilah penggantiku....”

Dalam versi terjemahan bahasa Indonesia yang diterbitkan­
Amanah-Lontar (dengan editor penyair Sapardi Djoko
Damono), dikisahkan bagaimana Raja wafat dan istana
berk­ abung. Tak lama kemudian, orang kepercayaannya,
Mangkubumi, mengumumkan kepada khalayak ramai:
”Wahai orang-orang di Mataram, ketahuilah bahwa kini
Pangeran Adipati bertakhta menjadi raja di Mataram.
Hai segenap putra dan kerabat, si­ap­ a yang tidak setuju,
mengamuklah, aku ini lawanmu.”

Mendengar itu, orang Mataram ketakutan. Tampaknya bi­
bit-bibit ketegangan sudah terasa. Ini mulai mengemuka ketika­
salah seorang pangeran, yang lebih tua, kemudian tak hendak
da­tang menghadap raja yang baru.

Mula-mula suasana damai: raja muda itu cukup bijaksana
unt­uk tak menggunakan kekerasan. Ia malah memberi kakak­
nya, Pangeran Puger, kekuasaan di Demak, sebuah wilayah sa­
telit Mataram.

Catatan Pinggir 11 287

http://facebook.com/indonesiapustaka SUKSESI

Tapi tak lama. Dari Demak Puger, yang kemudian disebut
Adipati Demak, menyatakan kedaulatannya sendiri.
Demak ingin lepas. Tak ayal, perang pun terjadi. Dipimpin
sendi­ri oleh Baginda, bala tentara Mataram bergerak ke utara.
”Dilih­ at­dari kejauhan seperti laut tanpa tepi, diseling gunung
terbak­ ar.” Ribuan tombak kadang-kadang tampak seperti
kilat, ka­dang-k­ adang seperti sinar pelangi.
Dan pertempuran terjadi. Terpojok, Adipati Demak mela­
wan dengan berani. Ia sakti, demikian cerita Babad Tanah Ja­
wi,­ dan sempat membunuh banyak prajurit Mataram. Tapi
akhir­nya ia terperangkap jaring dan diringkus. Demak ditak­
lukk­ an.
Raja tak menghukum mati kakaknya yang memberontak­
itu. Ia hanya dicopot dari jabatannya. Tapi konflik tak ber­
akhir.­Dari Ponorogo, adik Baginda, Pangeran Jayaraga, juga
mel­awan. Ia pun segera dijinakkan. Namun kemudian Mata­
ram­melancarkan perang baru, perang penaklukan ke Jawa Ti­
mur....
Sampai jilid yang terakhir, pupuh-pupuh Babad Tanah Jawi
menunjukkan bahwa ”tanah Jawa” bukanlah sebuah kosmos
yang terjamin dan tanpa konflik.
Ditulis di abad ke-18, karya ini, meskipun mengandung
”mit­ologi, legenda, folklor” (seperti tertulis di bawah judul ver­
si­Indonesianya), sebenarnya juga menunjukkan sebuah per­
spektif yang modern: melihat sejarah sebagai kisah yang tak
me­n­ ampilkan sifat sakral kekuasaan. Takhta selalu bersifat
se­men­t­ara. Babad ini boleh dikatakan disunting dari riwayat
raja-raja yang bangun dan jatuh. Perang suksesi tak kunjung
berhenti.

288 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka SUKSESI

Penguasa dan para pecundang dalam buku ini memang me­
nyebut ”kehendak Tuhan” ketika mereka memilih sebuah tin­
dakan. Tapi hanya sejenak Tuhan hadir. Hanya dalam momen­
itu, hanya dalam ucapan itu. Selebihnya: manusia.

Dan manusia, di sini, menunjukkan bahwa tak ada sesuatu
yang transendental di dasar ”harmoni” sosial sebuah kerajaan.
Yang menonjol adalah status quo sesudah atau sebelum
pertarungan politik—pertarungan yang mencoba menutup-
nutup di­r­inya.

Dari segi ini penulis Babad Tanah Jawi mirip dengan
Machiavelli. Orang Firenze ini menuliskan gagasannya dari
Italia abad ke-16 yang penuh persengketaan. Risalahnya
yang termasyhur, Il Principe dan Discorsi, bukanlah, seperti
umumnya ditafsirkan, serangkaian nasihat jahat kepada
penguasa. Machiavelli hanya memperlihatkan bahwa sejarah
kekuasaan selalu bersifat serba mungkin, penuh risiko, dan
genting. Dalam kea­ daan demikian, diperlukan politik yang
tepat, laku dengan sikap tertentu, terutama yang berani dan
cerdik. Dan itu bisa dip­ elajari dan didapatkan siapa saja.

Dengan kata lain, kekuasaan sebagai Il Principe bisa dida­
patkan siapa saja. Untuk memakai kata-kata Claude Lefort,
ia se­buah ”tempat kosong”, un lieu vide, karena tak ada yang
sudah niscaya mengisinya. Ia tempat yang diperebutkan.

Tentu saja kata ”tempat kosong” bisa menyesatkan. Takhta
seb­ agai ”tempat” sama sekali tak kosong, meskipun ketika tidak­
ada seorang pun yang duduk di sana. Takhta mengandung­se­
bua­ h pesona, mungkin candu, juga banyak hal yang najis dan
dest­ruktif.

Yang menarik ialah bahwa Babad Tanah Jawi juga

Catatan Pinggir 11 289

http://facebook.com/indonesiapustaka SUKSESI

memperlihatkan takhta sebagai wilayah kosong (dan tak jarang
penuh naj­is) yang diperebutkan. Secara tersirat ia bercerita
tentang tak adanya monopoli kuasa yang dipegang selama-
lamanya. Tak ada hak istimewa untuk itu. Tak ada legitimasi
terus-menerus.

Bahkan jika dibaca lebih jauh, akan kita ketahui bahwa
asal-usul raja-raja Jawa bermula dari campuran antara takdir
dan kebetulan dalam kehidupan rakyat biasa: ayah dari
Panemb­ ahan Senapati—yang sebelum naik jenjang bernama
Sutowijoyo—adalah seorang petani, Ki Ageng Pemanahan,
yang tanpa disengaja meminum air kelapa yang mengandung
nasib baik.

Konon di negeri lain, katakanlah di Jepang dan Prancis
sebelum Revolusi, mereka yang bertakhta dianggap tubuh yang
se­bagian berisi roh dari langit. Babad Tanah Jawi, sebaliknya,
tak akan meyakinkan bila ia menampilkan Raja Amangkurat
yang buas itu sebagai separuh titisan Tuhan.

Tentu akan aneh bila dikatakan bahwa cerita raja-raja Jawa
itu mengajari kita wawasan demokrasi. Tapi bagaimana juga,
sem­ angat demokrasi tumbuh ketika—setelah membaca Babad
Ta­nah Jawi—kita sadar, tiap kekuasaan politik pada akhirnya
han­ ya menunda kekalahan.

TEMPO, 20 April 2014

290 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka BHISMA

APA yang direnungkan Bhisma, menjelang ajalnya datang?
Dikisahkan dalam Mahabharata, panglima perang tua
ini akhirn­ ya roboh dari keretanya. Ia tergeletak, bersandar
pa­da puluhan anak panah yang menghunjam tubuhnya.
Ia belum tew­ as. Matanya memandang ke keluasan medan
pertempur­an: ta­masya yang mengerikan. Ratusan kereta
perang hancur, ratusan kuda dan gajah terbunuh, ribuan jasad
manusia tercincang atau remuk. Bau amis darah menyebar.
Suara rintihan kesakitan terdengar dari tepi ke tepi. Muram.
Langit seperti tak menghendaki matahari.

Bhisma, seraya menahan sakit, melirik ke sekitarnya. Pe­
rang­saudara itu sedang dihentikan. Ia lihat para kesatria dari
ke­d­ ua kubu yang bermusuhan mengumumkan gencatan
senjata dan segera mereka datang menghampirinya. Dengan
baju zi­rah yang kotor oleh lumpur dan debu, dengan luka-luka
di pe­lipis dan di bahu, mereka datang untuk memberi hormat.
Mereka tahu ia akan segera mati.

Mula-mula Yudhistira yang bersimpuh di sebelah kirinya.
Kem­ udian pangeran sulung Kurawa, Duryudana, di dekat
kaki.­­Kemudian yang lain-lain. Terakhir Arjuna yang hampir
dibunuhnya dalam pertempuran sejam yang lalu. Adakah
semua berk­ abung? Atau harus menunjukkan diri berkabung?
Apa art­i seorang orang tua seperti dirinya, orang yang mungkin
tak lay­ ak lagi dihormati karena ia tak lagi meletakkan diri
sebagai pe­nengah di atas sengketa, malah akhirnya memilih

Catatan Pinggir 11 291

http://facebook.com/indonesiapustaka BHISMA

pihak—de­ngan pilihan yang membingungkan? Semua tahu
(atau barangkali hanya menduga?) hati orang tua itu lebih dekat
ke para pa­ngeran Pandawa, tapi Bhisma justru memutuskan
menjadi musuh mereka.

Dikisahkan bahwa seraya terbaring itu ia berpesan kepada­
Yudhistira agar membaca Vishnusahasranama, menyebut
1.000­nama Vishnu. Apa yang suci, apalagi yang mahasuci, tak
dap­ at diringkas dengan satu sebutan karena tak tepermanai,
dan juga karena begitu akrab, seperti rasa di hati yang tak bisa
di­ikhtisarkan dengan satu-dua kata.

”Dharma teragung,” Bhisma berbisik, ”adalah Vishnu, yang
tak punya awal dan tak punya akhir.”

Kita tak tahu apa reaksi Yudhistira.
Mungkin pangeran sulung Pandawa ini akan tetap terkesi­
ma­ dan bertanya-tanya siapa sebenarnya Bhisma, apa yang
memb­ entuknya? Jangan-jangan Vishnusahasranama itu hen­
dak menunjukkan bahwa dewa dan manusia adalah 1.000
kecenderungan dan keinginan dalam satu sosok, 1.000
paradoks den­ gan tafsir yang tak punya awal, tak punya akhir.
Legenda tentang orang ini menakjubkan: seorang anak
ber­umur 16 tahun yang menghentikan arus Sungai Gangga
dengan hunjaman anak panah. Seorang pangeran yang untuk
keb­ ahagiaan orang lain, ayahnya, memilih melepaskan haknya
atas takhta dan menjadi brahmacari, tak akan menikah dan
ber­keturunan.
Tapi ia ternyata juga tak hendak meninggalkan kerajaan.
Ia tak berangkat ke hutan untuk bertapa sebagai vanaprashta.
Ia malah terlibat jauh dalam kekuasaan: ia berperang untuk
mem­perkuat Hastinapura, ia jadi wali raja bagi para pangeran

292 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka BHISMA

ket­ika mereka masih anak-anak.
Mungkin itu panggilan tugas. Tapi mungkin itu juga tanda­

ia gagal melepaskan diri dari jaringan kepentingan kerajaan.
Ket­ika Drupadi, perempuan yang dicoba ditelanjangi Pangeran
Dursasana di depan umum itu, datang kepadanya minta di­
bela, di balairung itu Bhisma tak bergerak. Ia khawatir, bila
Dur­sasana dihukum karena skandal itu, wibawa istana akan
gun­cang. Ia hanya berkata, lirih, ”Jalan dharma itu tak mudah
dip­ ahami.”

Ataukah itu justru kearifan yang bukan main, karena
justru di saat itu ditunjukkan bahwa kekuasaan hanya sia-sia?
Drupadi tetap tak menyerah. Dursasana tak berhasil.

Ia sendiri, Bhisma, tak berhasil. Ketika bertahun-tahun
yang lalu ia menyatakan sumpahnya yang menggetarkan
untuk jadi brahmacari, ia merasa bisa menunjukkan bahwa
tak ada takdir yang melekatkan kekuasaan pada diri seseorang.
Kek­ uasaan seperti senjata: sesuatu yang ampuh, namun bisa
di­tang­galkan. Dan sebagaimana senjata, ia bisa berbahaya,­
juga un­t­uk diri pemegangnya. Kekuasaan tak hanya bisa
aku miliki; ia bisa memiliki aku. Melepaskan diri dari hasrat
kekuasaa­ n, Bhisma manusia bebas.

Tapi di antara para cucunya, tak ada yang mengikuti kearif­
an itu. Para Pandawa merasa hak mereka atas takhta benar dan
seb­ ab itu mutlak. Para Kurawa merasa posisi mereka tak bisa
di­kurangi. Bhisma ternyata tak bisa jadi tauladan: memperoleh
takhta baginya bukan harga mati. Tapi Yudhistira dan
Duryudana bersaudara tak bisa membaca tauladan itu.

Dalam hal itu, Bhisma gagal. Dan bukankah ia sendiri tak
sang­gup meninggalkan istana dan akhirnya mempertahankan

Catatan Pinggir 11 293

http://facebook.com/indonesiapustaka BHISMA

takhta Kurawa di Hastina di peperangan itu?
Di tepi medan Kurusetra, dengan tubuh yang kian lama ki­

an lemah, ia memejamkan matanya. Di akhir hidupnya ia me­
nyaksikan kesia-siaan yang tak terkira. Ia sendiri contoh sik­ ap
luhur yang tak meyakinkan. Pangeran Kurawa hampir sem­ ua­
nya terbunuh. Juga generasi kedua Pandawa. Apa akhir­nya­ke­
men­ angan jika tak ada anak-anak yang akan melanjutkan­ke­
jayaan?

Kekuasaan: tak seorang pun mendapatkan apa yang dicari­
nya setelah itu. Mereka yang bertahun-tahun bersengketa dan
me­nyiapkan perang habis-habisan tampaknya lupa cerita­da­
lam Maitri Upanishad: seorang raja meninggalkan istana, hi­
dup­bertapa di hutan, dan bertemu dengan seorang aulia yang
ber­kata, ”Tuan, di tubuh ini, di himpunan tulang, kulit, otot,
sperma, darah, lendir, air mata ini... adakah yang baik untuk
men­ ikmati hasrat? Dunia melapuk seperti tubuh ngengat,
pohon-pohon tumbuh dan kemudian kering....”

Pada hari kesekian, Bhisma menutup mata selama-lamanya.­
Di saat itu ia bebas benar-benar.

TEMPO, 27 April 2014

294 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka RICHARD

KINI kita hidup dengan politik yang berubah: politik seba­
gai show business. Telah datang para pesohor yang cantik,
tampan, wangi, merdu, bertubuh bagus, dan tak berkeringat.
Me­reka dipasang, atau memasang diri, sebagai orang-orang
yang diharapkan dipilih dalam sebuah persaingan kekuasaan.

Televisi, di sebuah negeri di mana hampir tiap rumah punya
pesawat penyebar informasi itu, mempertegas seni panggung
ini. TV telah jadi medium yang menggantikan peran pesan;
isi yang hendak disampaikannya tak penting lagi. The medium
is the message—kalimat Marshall McLuhan setengah abad
yang la­lu itu kini punya gema baru. Tak penting agenda apa
yang hend­ ak diperjuangkan politikus/bintang dan bintang/
politikus itu. Yang penting: nun di sana ada sosok audiovisual
yang men­ arik.

Nun di sana.... Televisi telah membangun pentas politik
da­ri jarak jauh; kata tele (dari kata Yunani Kuno, tèle) sangat
pen­ting diingat. Dalam kejauhan itu, yang tampil adalah
”citra”—­ sebuah kata yang maknanya dideskripsikan dalam
sajak Usmar­Ismail (dan diberi melodi oleh komponis Cornel
Simanjuntak) seb­ agai ”bayangan”. Dan tak cuma ”bayangan”;
citra selalu terkait dengan ”kabut”. Di kejauhan, yang gemerlap
sama saja dengan yang tak jelas.

Sebab itu siapa yang melihat gerak-gerik seorang politikus
se­bagai ”pencitraan” (artinya palsu) akan salah. Dalam kabut
yang meliputi citra, kita tak akan pernah tahu mana yang asli.

Catatan Pinggir 11 295

http://facebook.com/indonesiapustaka RICHARD

Pada akhirnya, orang harus percaya penuh atau orang harus
cu­riga penuh. Kata ”pencitraan” akhirnya jadi sebuah umpat­
an yang latah dan sia-sia.

Sebenarnya semua ini terjadi bukan dari titik nol.
Hubunga­ n­politik dengan teater—dengan permainan peran
dan pen­ amp­ ila­ n diri—punya sejarah yang panjang. Dari
panggungnya di The Globe, di tepi Sungai Thames di akhir
abad ke-16, Shakespeare telah mengungkapkan itu. Permainan
kekuasaan dit­entukan oleh kiat mengelabui dan pura-pura.
Dalam Hamlet, sang pangeran menyiapkan pembalasan
kematian ayahnya­ dan tak seorang pun tahu pasti, juga ia
sendiri, apakah ia telah set­­engah sinting. Dalam Macbeth, sang
panglima perang meng­undang rajanya menginap di kastilnya
untuk kemudian dib­ unuh di waktu tidur.

Dan tentu saja Richard III: di sini ambiguitas dalam agenda­
untuk berkuasa begitu jelas. Penampilan adalah pencitraan.
Adik raja, Duke of Gloucester, yang kemudian bertakhta seba­
gai Richard III, berterus terang kepada penonton bagaimana­ia
tak berterus terang: dalam menjalankan perannya, ”kedurjana­­
annya yang telanjang” ia tutupi dengan anjuran-anjuran
lama yang ia curi dari sabda Tuhan. Ia mengakui bahwa ia
menampakkan diri sebagai seorang suci ketika ia ”memainkan
peran iblis”.

And thus I clothe my naked villainy
With odd old ends, stol’n out of holy writ;
And seem a saint, when most I play the devil.

Richard adalah aktor yang berlapis-lapis. Ia memainkan

296 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka RICHARD

sebuah identitas di atas panggung, tapi ia juga memainkannya
den­ gan kesadaran bahwa ia berperan di hadapan penonton.
De­ngan kata lain: ia ”bersandiwara” untuk ”tak bersandiwara”.
Dalam lakon ini, ia berpura-pura kepada para musuh dan
korban-korbannya untuk memperdaya mereka, tapi sementara
itu ia bersikap jujur kepada hadirin yang duduk dan berdiri
di The Globe—seakan-akan hendak meminta dukungan di
dalam sebuah persekongkolan.

Iamunculpertamakalidengansebuahkabaryangoptimistis:
masa baru kerajaan telah datang, negeri memasuki akhir ”mu­
sim dingin ketidakpuasan”, the winter of our discontent. Ma­
tahari dinasti York mulai bersinar, setelah perang panjang, za­
man damai terwujud, cinta dan persahabatan kembali. Tapi
seg­ era kabar gembira itu punya warna lain: di masa seperti
itu, ia, seorang bangsawan tinggi yang seharusnya merayakan
kemenangan, justru menyadari tubuhnya yang bungkuk dan
bur­uk—dan ia mengeluh tak bisa ikut bergembira. Di bawah
si­nar matahari sehabis winter, yang ia lihat hanya bayangan
tubuhnya, dan ia menyadari cacatnya sendiri.

Why, I in this weak piping time of peace,
Have no delight to pass away the time,
Unless to see my shadow in the sun
And descant on mine own deformity.

Tuluskah ia dalam keluhan itu? Tulus ataupun tidak,
dengan itu ia memproyeksikan diri sebagai oknum di luar se­
mua­nya: di luar nasib baik, di luar tata krama, di luar ukuran
moral­sesama. Ia bertekad jadi jahat dan membenci hari-hari

Catatan Pinggir 11 297

http://facebook.com/indonesiapustaka RICHARD

yang nya­man berleha-leha: I am determined to prove a villain/
And hate the idle pleasures of these days.

Dan ia pun membunuh; ia merayu; ia menipu. Dengan
darah dingin. Licin, julig, penuh khianat. ”...I am subtle, false,
and treacherous...,” demikian pengakuannya. Ia kawini putri
se­orang bangsawan yang suami dan ayahnya ia habisi. Setapak
dem­ i setapak ia naik sampai ke takhta, setelah membersihkan
mus­uh-musuh politiknya.

Pencitraan Richard praktis dan cerdik. Ia tak tampan—
dan tak bisa tampil tampan karena ia bersua dengan orang lain
buk­ an melalui televisi. Maka ia justru mengandalkan buruk
tu­buhnya. Protesnya kepada nasib memberinya alasan untuk
ben­ gis. Ia seorang korban takdir, dan sebagaimana umumnya
orang yang merasa jadi korban, ia merasa berhak untuk
membenci.

Bisa juga dikatakan: ia mengelabui orang yang hendak
dimusuhinya. Ketika sosoknya yang ”deformed, unfinish’ d”
dianggap tak berbahaya, ia membuktikan diri bisa mematuk
seperti ular yang melata.

Richard III adalah sebuah tesis politik: pencitraan adalah
amb­ iguitas terus-menerus. Orang membentuk identitasnya
ber­sama kehadiran orang lain. Dengan beberapa lapis kabut.

TEMPO, 4 Mei 2014

298 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka UNDANG

SAYA sering ingat cerita yang ganjil itu, cerita Kafka,
tentang seseorang yang datang dari udik agar diterima
oleh Huk­ um. Tapi ia hanya sampai di depan sebuah pintu yang
dijaga. Sang penjaga, berbaju wol, berhidung besar dengan
kumis hitam orang Tartar, mengatakan kepadanya bahwa
belum saa­ tnya ia diterima.

Itu yang terus-menerus dikatakannya.
Dan orang dari udik itu pun menunggu. Berhari-hari,
berbulan-bulan, bertahun-tahun. Sang penjaga sebenarnya tak
je­las-jelas menghalanginya. Ia mengatakan, kalau mau, tuan
bi­sa saja masuk tanpa izin. Tapi, ia menambahkan, bersiaplah:
set­el­ah lewat pintu itu akan ada pintu lain, dengan penjaga
lain, yang makin perkasa, makin perkasa, tak putus-putus.
Tamu itu pun akhirnya tak mencoba menerobos ke dalam.
Ia hanya duduk di depan pintu. Berhari-hari, berbulan-bulan,
ber­tahun-tahun. Lama-kelamaan tubuhnya melemah. Akhir­
nya ia mati. Ia mati sambil menyadari bahwa selama itu rupa­
nya­­tak ada orang lain yang minta diterima Hukum melalui
pin­tu itu. Pintu ini, kata sang penjaga, memang disediakan ha­
nya buat tuan.
Kita tak tahu mengapa. Tapi, sebelum ajal datang, sang ta­
mu melihat cahaya kemilau bersinar dari balik pintu. Hukum­
kah­ itu? Seperti apakah gerangan yang disebut ”Hukum”?
Menga­­ p­ a­ia, yang sudah disiapkan pintu masuk khusus, tetap
tak di­terimanya?

Catatan Pinggir 11 299

http://facebook.com/indonesiapustaka UNDANG

Bermacam-macam tafsir dibuat tentang cerita ini.
Saya cenderung melihat, Kafka menggoda kita untuk
memperlihatkan betapa besarnya aura hukum bagi orang
dari udik itu: seakan-akan ada sesuatu yang transendental
dalam dirinya— meskipun sebenarnya tidak. Aura itu bertaut
dengan misteri, dan orang-orang tak melihat, atau menyidik,
asal-usulnya. Si tamu den­ gan gampang patuh.

Tak jelas riwayatnya. Ia tak disebut datang untuk menerima
vonis atau mau memprotes. Ia hanya patuh, dan bukan karena­
terpaksa. Saya kira orang udik itu datang karena ia selama hi­
dup­mengalami jarak yang begitu jauh antara ”hukum” dan
”und­ ang-undang”.

Hukum, dalam bahasa Jerman yang dipakai Kafka di sini,
ada­lah Gesetz. Kata dasarnya setzen, ”memasang, mengatur”,
tak jauh dari kata Inggris, law, yang asal katanya dari bahasa
Norse lama yang berarti ”meletakkan di dasar, menata”. Dalam
ba­hasa Indonesia, ”hukum” tak persis sama dengan ”undang-
und­ ang”. Undang-undang bukan sekadar seperangkat aturan
yang dipasang, melainkan sesuatu yang di-undang-kan.
”Undang” terkait dengan unsur pokok dalam kata ”meng-
undang”, yang berarti mengajak.

Maka bisa diartikan, tiap undang-undang mengandung
ajak­an kepada semua orang dalam wilayah tempat undang-
und­ ang itu diberlakukan: ajakan untuk mengetahui, terlibat,­
mendukung, dan mematuhi. Ada liyan, orang lain yang kon­
kret, di dalam makna itu. Ada sebuah ruang yang berpenghuni.­
Ada penghuni yang hidup, mendengar, berbicara, mengguna­
kan bahasa dari waktu ke waktu.

Sementara itu ”hukum”, dalam pengertiannya yang la­zim­

300 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka UNDANG

—­yang juga dipakai dalam ilmu fisika (misalnya, ”hukum
Arch­ i­m­ edes”)—meletakkan diri di luar liyan, tak terikat ruang
dan waktu. Ia mengklaim sebuah kebenaran yang universal.
Ia berasumsi tiap manusia yang berpikir akan menyetujuinya.

Tapi ada perbedaan yang diametral antara hukum dalam
il­mu-ilmu alam dan hukum sebagai hasil proses legislasi. Hu­
kum­ Archimedes dirumuskan setelah sebuah eksperimen
yang ter­uji kapan saja di mana saja—hasil proses penalaran
dalam di­ri yang menyendiri, hasil aku-yang-berpikir seraya
mengambil jarak dari ketakstabilan pengalaman sehari-hari.

Dalam legislasi sebaliknya: ia tak disiapkan di laboratori­
um. Legislasi adalah hasil hubungan sosial dan proses politik.­
Ketika disebut sebagai ”produk hukum”, ia diproyeksikan akan­
pu­nya­wibawa yang mengatasi proses politik itu. Lembaga-­lem­
bag­ a kenegaraan kemudian membangun sebuah ”ideologi”,
dan hukum pun tampak dengan citra yang amat luhur. Ne­
gara pun harus mematuhinya, seperti tersirat dalam kata ”ne­
gara hu­kum”.

Tapi sesungguhnya yang terjadi adalah sejenis ”fetisisme”.
Kat­a ”fetisisme” saya pinjam dari Marx, ketika ia menggambar­
kan bagaimana komoditas, benda-benda hasil kerja buruh
yang diperdagangkan, seakan-akan terlepas dari proses kerja
dan berjalan sendiri, dipuja dan digila-gilai. Dalam sejarah le­
gisl­asi, agaknya dalam tahap seperti itulah ”hukum” menjauh
da­ri proses produksi dan distribusinya.

Umur ideologi itu lama. Dalam karya terakhirnya, Nomos,
Pla­to sudah membedakan nomothetés, legislator yang ”memberi
hukum”, dari politikos, orang yang memerintah negeri. Pada
yang pertama diharapkan adanya kearifan dan kemampuan

Catatan Pinggir 11 301

http://facebook.com/indonesiapustaka UNDANG

ber­pikir rasional, sekaligus kecakapan meyakinkan orang.
Yang­kedua tak dituntut banyak; asal ia efektif bekerja.

Tapi di luar risalah Plato, terutama di zaman demokrasi,
nomothetés dan politikos jumbuh di satu tubuh, di satu
ruang, di sat­­u proses—meskipun yang separuhnya tak suka
ditampakkan. Cadar dipasang. Apalagi legislator, yang di
Indonesia le­bih­sering dipanggil ”wakil rakyat”, seakan-akan
niscaya punya hubungan yang transparan dengan mereka yang
sepantasnya­di-undang.

Cerita Kafka Di Depan Hukum membuka cadar itu: ini ce­
rita tentang sejenis fetisisme yang demikian gila, hingga sese­
orang begitu terpukau sampai mati oleh Hukum—Hukum
den­ gan aura serta misterinya.

Tapi pada saat yang sama, Kafka membuat kita melihat: di
de­pan pintu itu ada penjaga yang perkasa. Ia sopan dan lugas,
tap­­ i kata-kata dan sosoknya adalah ancaman dengan hati di­
ngin.­Aura Hukum memang tak lahir dari keadilan dari langit
atau dari otak para genius—tapi bisa jadi dari trauma.

TEMPO, 11 Mei 2014

302 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka CARAKA

HERMES, yang bertugas menyampaikan pesan dewa-
dewa Yunani Kuno kepada manusia, konon berjalan
hanya di malam hari. Ia, sang caraka, menempuh jalur dan
tikungan yang sulit.

Kearifan acap datang dalam perumpamaan; Hermes adalah
sal­ah satunya. Sebuah pesan, apalagi dari yang mahajauh, tak
per­nah transparan. Mungkin itu sebabnya dengan latar yang
ge­lap dan tak lurus oknum mithologi yang misterius ini tampil
dal­am pelbagai awatara. Hanya ada satu identitasnya yang
agak tetap: ia seorang putra Zeus, raja kahyangan itu; ia lincah
da­lam pelbagai hal yang berhubungan dengan kata-kata.

Nama Hermes terkait dengan ermeneus, sang penafsir.
Setidaknya itu yang disebut dalam rekaman percakapan
Sokrates dengan Kratylos di abad ke-4 sebelum Masehi.
Sokrates, seba­gai­mana dikutip Plato, menjelaskan bahwa sang
penafsir dianggap juga sang pembawa pesan—tapi juga sang
”pencuri”, ”pendusta”, dan ”tukang menawar”.

Dan semua awatara itu, kata Sokrates, ada urusannya
dengan bahasa. Hermes adalah si cerdik dalam hal cerita dan
per­ca­kapan.

”Cerdik”. ”Pencuri”. ”Pendusta”. ”Tukang menawar”. De­
ngan­imaji-imaji Hermes yang hanya berjalan di malam hari
itu agaknya kita diharapkan mafhum bila sebuah pesan tak
per­nah terjamin akan transparan dan seutuhnya lurus. Bila pe­
san adalah ibarat utusan dari satu pihak ke pihak lain, bentrok­

Catatan Pinggir 11 303

http://facebook.com/indonesiapustaka CARAKA

an bukan hal yang luar biasa.
Ada sebuah dongeng tentang asal-usul huruf Jawa yang

meng­isyaratkan itu. ”Ha-na-ca-ra-ka...” adalah kisah tentang­
du­a orang utusan Raja Ajisaka yang sama-sama setia, tapi
akhir­nya bersengketa. Yang satu diberi pesan baginda agar
men­jaga keris pusakanya selama ia mengembara ke tempat la­in.
Yang lain diberi pesan untuk mengambilnya kembali. Ajisa­ka
yakin pesan itu punya makna yang sama: perintah yang mene­
gaskan miliknya, titah yang harus ditaati. Tapi sang Raja keli­
ru. Makna itu tak bisa lagi lurus ketika menempuh proses inter­
pretasi. Kedua utusannya saling membunuh. Ajisaka ingin
mencegah hal yang sama terjadi; ia bermaksud menstabilkan
makna dengan mencatatnya dalam huruf hitam di atas putih.

Tapi stabilitas itu tak tercapai. Hanya mereka yang yakin
bah­wa manusia bisa mengandalkan rasionalitasnya yang perca­
ya bahwa makna (karena dijaga huruf dan kata yang definitif)
tak akan cair, mengalir, berubah.

Mereka salah duga. Makna lahir dalam percakapan, dan
perc­­ akapan tak pernah beku.

Di sini saya akan kembali ke Sokrates. Ia, yang mengaitkan­
nama Hermes dengan bahasa dan juga segala sifat yang tak lu­
rus, juga orang yang memusuhi karya manusia yang hidup­da­
lam bahasa: puisi. Dalam Politeia, ia ingin para penyair di­bu­
ang dari negeri yang ideal.

Di satu pihak ia mengakui, puisi bisa dilihat sebagai penya­
lur sabda dewa-dewa ke dalam bahasa manusia; tapi di sisi lain
ia menganggap puisi menyesatkan. Puisi adalah suara irasional,­
dan hanya intelek (nous) yang mampu menangkap kebenaran.

Tapi jika Sokrates benar mengenai Hermes, ia salah mendu­

304 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka CARAKA

ga bahwa kebenaran hanya tersingkap secara demikian—dan
bah­wa puisi mendistorsikan komunikasi. Bahasa bukan cul-de-
sac, bukan sebuah tabung yang terbuka di pangkal dan tertu­
tup di ujungnya. Bahasa adalah sebuah proses tanpa ujung,
tan­pa tutup—dan sesungguhnya ke dalamnya selalu hadir apa
yang diam.

Berabad-abad kemudian sejak Plato dan Sokrates, setelah
sej­­arah mengajarkan banyak kekecewaan dan harapan dalam
ko­m­ unikasi manusia, kita bisa berbicara tentang bahasa justru­
dengan berpegang pada puisi: ketika ke dalam diri kita sebu­
ah sajak Rendra bisa mengungkapkan secercah makna, kita
meng­a­ laminya seperti ketika kita bertemu dengan sebuah
kar­ya Rusli atau S. Teddy. Sebuah keseluruhan makna terjadi
tanpa karya itu mengekspresikannya seluruhnya, dengan garis,
war­na, kata. ”Tiap patah kata,” kata Gadamer, ”sebagai seb­ u­
ah kejadian di suatu saat, membawa serta apa yang tak dika­ta­
kan.” Ke dalam apa yang tak dikatakan itu kata menjawab dan
jug­ a menyeru.

Seperti dalam Stanza Rendra ini:

Ada burung dua, jantan dan betina
Hinggap di dahan
Ada daun, tidak jantan tidak betina
Gugur dari dahan
Ada angin dan kapuk randu, dua-dua sudah tua
Pergi ke selatan

Catatan Pinggir 11 305

CARAKA

Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu
Mengendap dalam nyanyiku

TEMPO, 18 Mei 2014

http://facebook.com/indonesiapustaka 306 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka BUKAN SI MISKIN

PRESIDEN yang menolak tinggal di istana dan memilih­
hi­dup di ladang dan menempati rumahnya sendiri di
lorong tak beraspal dan sehari-hari hanya dijaga dua pengawal
di kelokan jalan dan ditemani seekor anjing berkaki tiga yang
se­tia dan ke mana-mana mengendarai sebuah VW kodok
tahun­1987 berwarna kusam: ia bukan tokoh sebuah dongeng
Amerika Latin. Ia benar ada, di abad ke-21: José Mujica,
Presiden Urug­ uay.

Pada usia 78 tahun, ia, yang dipanggil ”Pepe”, seorang ka­
kek­rombeng, dengan sepatu usang dan baju acak-acakan. Ia
ber­gaji 20 ribu dolar, tapi 90 persen dari uang itu ia berikan
untuk sumbangan buat orang-orang yang kekurangan. Sisanya
prakt­is senilai pendapatan rata-rata orang Uruguay. Bersama
istri­nya, Lucía Topolansky, yang juga seorang senator, ia tetap
meng­olah ladangnya yang ditanami kembang krisan, tanpa
pem­bantu.

Ia tak peduli bila orang menyebutnya pak tua eksentrik. Ia
tak mau disebut sebagai ”presiden paling miskin di dunia”. Ia
pu­nya pengertian sendiri tentang ”miskin”. Orang yang paling
mis­kin, demikian katanya, ”adalah orang yang punya banyak
kei­nginan.”

Mungkin ia terdengar seperti seorang Buddhis yang meng­
anggap hasrat dan lobha (atau ”loba” dalam bahasa Indonesia)
adal­ah pangkal penderitaan. Tapi orang Marxis (atau bekas
Marxis) ini tak menginginkan pencerahan. Mungkin ia terde­

Catatan Pinggir 11 307

http://facebook.com/indonesiapustaka BUKAN SI MISKIN

ngar seperti seorang pengikut Gandhi yang melaksanakan ”hi­
dup di tingkat bawah, tapi pikiran di tingkat tinggi”. Tapi José
Mu­jica bagi saya lebih menakjubkan ketimbang Gandhi.

Gandhi tak pernah duduk di takhta; Mujica justru persis
ber­ada di situ. Dengan kata lain, ia berada di ruang kekuasaan
dan pelbagai godaannya, sementara Gandhi tidak. Gandhi,
yang di masa mudanya seorang advokat yang hidup cukup, me­
milih kebersahajaan yang ekstrem sebagai pernyataan politik
dan spiritual. Mujica tak demikian. Ia tak mengubah dirin­ ya.­
”Gaya hidup saya adalah konsekuensi dari luka-luka saya,” ka­
tanya kepada Jonathan Watts dari The Guardian, akhir tahun
lalu. ”Saya anak sejarah saya sendiri.”

Luka dalam sejarah itu cukup banyak; juga secara fisik. Sejak
awal 1960-an ia bergabung dengan gerilyawan Tupamaros
yang merampok, menculik, dan mendapatkan uang tebusan
un­tuk dibagi-bagikan kepada rakyat yang melarat. Pada 1970
ia ditangkap buat pertama kalinya. Ia melarikan diri dari
penjara Punta Carretas dengan menggedor pintu bui. Sejak itu
ia beberapa kali kena tembak: ada enam luka di tubuhnya. Pada
1972 ia ditangkap dan disekap selama 14 tahun. Dua tahun di
ant­aranya ia dikungkung di dasar sumur, tempat ia, agar tak ja­
di gila, berbincang dengan kodok dan cengkerik.

Mungkin itu sebabnya ia berkata, ”Bertahun-tahun saya
cu­kup bahagia dengan hanya memiliki sepotong kasur.” Dan
kin­ i rumahnya pun cuma punya satu kamar tidur. Tak perlu le­
bih; tak ada orang lain yang tinggal. Presiden dan Ibu Negara
Uru­guay mencuci pakaian mereka sendiri. Orang bisa melihat­
nya dijemur di gantungan di halaman.

Pepe tak menganggap kesederhanaan itu harus diajarkan ke­

308 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka BUKAN SI MISKIN

pada orang lain. ”Kalau saya minta orang lain hidup seperti ini,
mereka akan membunuh saya,” katanya. Tapi ia sadar, seperti
Gandhi: bila semua orang mengembangkan kebiasaan hi­dup
berlebihan, bumi yang hanya satu ini tak akan memadai—
dan akan rusak dieksploitasi tanpa henti. Ia pernah berkata,
”Cukupkah sumber kekayaan planet ini jika sebagian besar
orang hidup dengan konsumsi setingkat penghuni negeri ka­
ya?”

Dalam hal itu, cara hidupnya adalah perjuangan gerilya­
yang panjang melawan kecenderungan konsumtif—ketika Pa­
sar demikian berkuasa dan manusia seperti kerbau dicocok hi­
dungnya. Ia tetap melihat mala yang datang dari kapitalisme,
ta­pi ia bukan seorang Marxis lagi ketika tak membayangkan
se­buah akhir sejarah di akhir revolusi. ”Dunia selamanya akan
me­merlukan revolusi,” katanya. Revolusi tak berarti harus
dengan kekerasan. Ajaran Konghucu dan Kristen itu revolusio­
ner,­kata bekas gerilyawan bersenjata ini.

Tak aneh. Hidup dalam praxis bertahun-tahun, Pepe tak bis­a
setia mati kepada doktrin. Dalam lakunya selalu ada seman­ gat­
pembebasan, tapi ia gabungkan itu dengan tujuan praktis.­Ia
undang modal asing, dengan tujuan menumbuhkan ekonomi,
agar pemerataan tak berarti pemelaratan. Ia bebaskan jual-beli
mariyuana, dengan tujuan agar kartel narkoba tak bisa me­­
monopoli. Dan ia menjalani hidup yang begitu bersahaja, de­
ngan tujuan ia (dan mudah-mudahan manusia) bisa bebas da­ri
benda-benda.

Di situ ia menghidupkan kembali ethos yang diajarkan aga­
ma-agama: hidup dirayakan, tapi nafsu tamak diharamkan.
Bed­ anya: Pepe tak percaya Tuhan. Ia hanya percaya ada rasa

Catatan Pinggir 11 309

http://facebook.com/indonesiapustaka BUKAN SI MISKIN

kea­ dilan dan kesetaraan dalam sejarah, dan manusia berbuat
baik ke arah itu.

TEMPO, 25 Mei 2014

310 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka POLITIK

S” EPERTI kandil padam,” kata suster yang menyaksikan
ke­matian Václav Havel pada pukul 09.50 pagi. ”Begitu
diam.”

Di ranjang itu tak ada suara, memang. Tapi kita tahu: orang
tak akan diam, juga setelah kematian.

Ketika berita wafat bekas presiden itu menyebar dari Hrá­
de­ček, desa kecil di timur laut Praha itu, ke seluruh Republik­
Cek, orang pun berhimpun. Mereka mengenangnya: sastra­
wan pembangkang yang memimpin gerakan menentang
kediktatoran Partai Komunis. Presiden pertama yang mereka
pil­ih.­Kepala negara yang kemudian turun dari jabatannya dan
men­ yisih ke Hrádeček. Seorang tua yang menanggung sakit
samp­ ai di pagi 18 Desember 2011 itu: wafat.

Tak jelas adakah orang yang menangis. Tapi Havel kembali
did­ engar.

Ia hampir dilupakan. Dua puluh dua tahun jarak waktu
antara hari kematian itu dan 17 November 1989, hari
meletusnya­dem­ onstrasi pertama anti-pemerintah di Národní
Třída. Dal­am­periode itu banyak hal terjadi: revolusi berhasil
menumbangkan rezim dan ideologinya, tanpa jalan kekerasan:
”Revo­lusi Beludru”, 1989; Havel dipilih jadi presiden, pertama
kali, 1990, dan demokrasi datang ke Cekoslovakia.

Tapi kegembiraan dengan segera disisipi kekecewaan—
terutama ketika Cekoslovakia pecah menjadi Republik Cek
dan Slo­vakia.

Catatan Pinggir 11 311

http://facebook.com/indonesiapustaka POLITIK

Selama itu, Havel, bekas pejuang kemerdekaan yang jadi
ke­p­ ala negara, dielu-elukan di seluruh dunia. Tapi pelan-pelan
tamp­­ ak, ia tak selamanya seorang pemimpin yang berhasil.
Akhirn­ ya ia meninggalkan kursinya—dengan nada muram
ke­t­ika berbicara.

Bukan karena ia kehilangan kekuasaan; kekuasaan selalu
di­panggulnya dengan enggan dan kikuk. Suaranya tak cerah
ka­rena ia merasa ada yang hilang.

Dulu, di tengah pergerakan pembebasan yang bergelora,
Hav­ el mengalami politik yang lain—politik yang berarti laku
”me­layani mereka yang ada di sekitar kita” dan ”generasi yang
akan datang”. Tapi ketika pembebasan berhasil dan sistem
de­mokrasi ditegakkan, ia justru menyaksikan tamasya yang
menc­ emaskan. Masyarakat telah membebaskan diri, katanya,
tap­ i dalam beberapa hal ”berperilaku lebih buruk ketimbang
ke­tika di dalam pasungan”.

Kriminalitas meningkat, media yang tak disensor lagi jadi
pen­ yalur syahwat dan kedunguan, dan yang lebih berbahaya:
keb­ encian menyebar di antara kaum, juga rasa curiga, rasialis­
me, bahkan gejala fasisme.

Di ulang tahun ke-15 ”Revolusi Beludru”, Havel menulis. Ia
menyebut demokrasi yang akhirnya hanya jadi permainan pa­
ra konsumen, dan politik yang seperti ”sebuah medan perang
pa­ra lobbyist” untuk kepentingan spesifik yang terpisah-pisah.

Mirip yang terjadi di Indonesia: sejak kediktatoran jatuh,
de­mokrasi berbaur dengan kekecewaan dan politik kehilangan­
apa yang disebut Havel ”sebuah tanggung jawab yang lebih
tingg­ i”.

Tiap kali saya menyaksikan itu, terngiang kembali kata-ka­

312 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka POLITIK

ta Reinhold Niebuhr itu: ”Tugas sedih politik adalah menegak­
kan keadilan di dunia yang berdosa.” The sad duty of politics is to
establish justice in a sinful world.

Saya bukan seorang Protestan sebagaimana Niebuhr, theo­
log itu. Dunia bagi saya tak berdosa sejak diciptakan Tuhan;
dun­ ia adalah sejarah. Manusialah yang membuat sejarah ber­
ger­ak antara harapan-harapan minimalis dan kekecewaan
yang­datang dan pergi.

Di situlah politik, seperti kata Niebuhr, sebuah ”tugas”.
Po­litik bukan cuma usaha menghimpun dan menggunakan
kek­ uas­aan. Politik adalah pergulatan untuk keadilan, atau
kesetaraan, yang berlangsung terus-menerus. Rancière me­
nyeb­ utnya­la politique. Havel menyebutnya sebuah ”tanggung
jawab” (atau, seperti yang dikutip di atas: ”tanggung jawab yang
lebih ting­gi”) yang dinyatakan dengan tindakan. Tindakan
itu ditujukan kepada ”keseluruhan” dan bagi ”keseluruhan”.
Dengan kat­a lain, politik adalah pergulatan bukan untuk diri
sendiri.

Itu sebabnya Havel mempertautkannya dengan sesuatu
yang lebih dalam: panggilan moral. Ada ”landasan metafisik”,
kat­a­nya, yang dimulai dengan kesadaran atau kesetengahsa­
daran­ bahwa kematian bukanlah akhir. Akan ada catatan
entah di mana, ada penilaian entah di mana, mungkin di ”atas
ki­ta”. Ada ingatan tentang Hidup, dari Hidup, ”the memory of
Being”. Dan kita pun merasakan ”tata rahasia kosmos, alam,
dari ke­hidupan”. Ada Tuhan yang menilai.

Tapi sebenarnya tak pasti adakah ”tata rahasia” itu cocok
bu­at negeri-negeri di atas bumi. Tiap kali pergulatan berlang­
sung­ demi ”tanggung jawab yang lebih tinggi”, ia akan

Catatan Pinggir 11 313

http://facebook.com/indonesiapustaka POLITIK

terlontar­kembali ke kancah ”dosa” dunia. Salah satu ”dosa”
itu adalah ke­kuasaan: sesuatu yang perlu tapi menjerat dan
membusukkan manusia.

Agaknya itulah yang membuat Havel murung. Kemurung­
an­nya menjangkau kita—dan kita pun tahu apa yang salah, apa
yang hilang dalam politik hari ini. Kandil itu tak sepenuhnya­
diam ketika padam.

TEMPO, 1 Juni 2014

314 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka BABI YAR

PADA 1961, Yevgeny Yevtushenko menulis sajak tentang
orang-orang yang terbunuh di jurang panjang yang su­
ram­di timur laut Sungai Dnieper:

Akulah tiap orang tua
yang di sini
ditembak mati
Akulah tiap anak
yang di sini
ditembak mati

Dua puluh tahun sebelumnya, di jurang di Ukraina itu, di
Ba­bi Yar, hampir 34 ribu orang Yahudi—termasuk anak-anak,
orang tua, perempuan—dibunuh pasukan Jerman hanya­da­
lam waktu dua hari, 29-30 September 1941.

Yevtushenko bukan Yahudi; sajak itu, ”Babi Yar”, menyat­a­
kan, ”dalam diriku tak ada darah Yahudi.” Tapi ia menggugat­
apa yang terjadi di tempat itu sebagai kebuasan yang sedang
dilupakan—dan dengan demikian juga kebuasan lain di masa
la­lu yang tak diakui. Penyair Rusia ini menuliskan sajaknya
se­telah Stalin mangkat dan orang bisa membacanya sebagai
pengi­ngat kekejaman yang pernah terjadi di masa lalunya sen­
dir­i—sebagaimana kita di Indonesia akan bisa membacanya
den­ gan ingatan yang mirip.

Tentu, pembantaian Jerman terhadap orang Yahudi tak ter­

Catatan Pinggir 11 315

http://facebook.com/indonesiapustaka BABI YAR

band­ ingkan—karena tiap kekejaman sebenarnya tak bisa di­
ban­dingkan. Seperti yang di Babi Yar itu. Seorang sopir truk
pa­s­ukan Jerman yang berada di tempat itu menceritakan ke­
saks­iannya:

Setelah ditelanjangi, orang-orang Yahudi itu digiring ke da­
lam jurang, melalui dua atau tiga celah masuk. Ketika mereka­
sampai di dasar, para petugas Schutzpolizei mendorong mereka­
agar berbaring di atas mayat orang-orang yang baru saja
ditembak. Semua terjadi dengan cepat. Mayat itu berlapis-lapis.
Seo­ rang polisi datang dan menembak leher tiap orang Yahudi
di tem­pat ia terbaring dengan senapan semi-otomatis.... Begitu
satu orang Yahudi tewas, si penembak akan berjalan melintasi
tubuh­ orang mati itu untuk menembak korban yang lain. Ini
berlangsung tanpa henti, dan semua—laki-laki, perempuan,
anak-anak­—dihabisi. Anak-anak dibaringkan dekat ibu mereka
dan dit­­embak bersama-sama.

Tapi, dengan kekejaman yang membunuh hampir 34 ribu­
orang dalam dua hari, yang tak terbandingkan itu tetap me­­
merg­­ oki kita dengan pertanyaan tentang manusia pada umum­
nya: sebuas itukah makhluk ini?

Dari sejarah Jerman, jawabnya bisa bermacam-macam. Ada
kebencian rasial kepada mereka yang berbeda, dan sejak sekian
abad yang lalu yang berbeda itu berarti Yahudi. Ada perasaan
bang­sa yang terhina dan rakyat yang menderita setelah keka­
laha­ n dalam Perang Dunia I, disertai kerinduan akan negara
ku­a­ t,­pemimpin yang kuat, dengan dendam yang berkobar.

Tapi, dengan sebab-musabab yang khas Jerman seperti itu,

316 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka BABI YAR

Hitl­er dan rezimnya tetap ingin diakui sebagai bagian dari se­su­
atu yang universal. Sang Führer percaya bahwa kehidupan p­a­
da dasarnya bengis: ”Hukum kehidupan di dunia,” kata Hitler
dalam sebuah jamuan siang 10 Oktober 1941, ”mengharuskan
pembunuhan yang terus-menerus, agar mereka yang mutunya
lebih baik bisa hidup.”

Yang merisaukan adalah bahwa pembunuhan memang
terjadi di tempat lain, dilakukan bangsa lain—seakan-akan
seja­rah­tak bisa berubah, manusia pada dasarnya bengis, dan
Hitler membawakan tata normatif yang benar: ”hukum”-nya
la­yak­sebagai hukum, bersifat kekal, dan berlaku di mana saja.

Tapi kita ingat: ia menyebut ”kehidupan”. Kehidupan ber­
ubah. Beberapa kekejaman yang terjadi bukanlah sekadar versi
baru dari thema yang itu-itu juga. Hitler sendiri berada dalam
zam­ an yang lain dari zaman Genghis Khan, misalnya, dengan
ambisi dan hasrat yang lain dan cara-cara melaksanakan hasrat
yang lain pula.

Maka ketika ia mengemukakan bahwa pembunuhan adal­ah
”hu­kum kehidupan”, ia sesungguhnya mencoba menghalal­
kan­kekejaman dan pembinasaan yang dirancang dan dilaksa­
nak­ annya. Ia seperti hendak mengatakan, ”Aku tak bersalah,
aku hanya menjalankan apa yang sudah ada dan akan ada terus
dalam sejarah manusia.”

Yang tak diakuinya ialah bahwa ia perlu mengajukan
apologi itu (atas nama ”hukum kehidupan”) karena ada sesuatu
yang lai­n, yang berada di luar ”kehidupan” yang dilihatnya:
ada suat­u tata normatif yang berbeda, sesuatu yang belum
ditaklukkannya.

Dan itulah yang kemudian terbukti. Tata normatif Hitler

Catatan Pinggir 11 317

http://facebook.com/indonesiapustaka BABI YAR

tak bisa bertahan, bukan hanya karena ia kalah perang. Sajak
Yevt­ushenko menuturkan: bila kekejaman menemukan se­
kutunya di masa lain, di tempat lain, demikian juga sang
korban. Sang ”aku” yang merasa senasib dengan mereka yang
dibantai di jurang Babi Yar juga melihat dirinya di tempat
pembunuhan yang jauh, di sebuah hari yang jauh:

Dan di sini, pada salib, aku mereka musnahkan dalam siksa,
Dan sisa paku itu di tubuhku masih ada

Dengan kata lain, kepada kekejaman baru akan selalu ada
gu­gatan baru. Juga orang-orang yang berkata ”tidak” secara
bar­ u.

TEMPO, 8 Juni 2014

318 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka AIR KELAPA

ADA sesuatu yang menarik bila kekuasaan bermula dari
ce­rita tentang kata dan air kelapa.
Kita menemukannya dalam dongeng Jawa tentang pendiri
Ker­ajaan Mataram.

Tersebutlah pada suatu pagi Ki Ageng Giring, seorang pela­
dang, memanjat pohon nyiur di halamannya untuk memetik
seb­ utir kelapa. Ia ingin membuat santan. Tapi di pucuk pohon
itu tiba-tiba terdengar suara: ”Barang siapa yang meminum air
kel­apa yang kaupegang itu, akan ia turunkan anak-cucu yang
berk­ uasa di kerajaan masa depan.”

Dengan gemetar Ki Ageng Giring memetik nyiur itu,
meluncur turun, dan pulang. Tapi hari masih pagi; ia belum
haus. Bua­ h kelapa itu hanya ia lubangi untuk bisa direguk air­
nya­nan­ti, lalu ia letakkan di para-para dapur. Ia pun kem­bali
ke ke­bun untuk mencangkul.

Tak disangka-sangka, tetangga dan sahabat karibnya, Ki
Ageng Pemanahan, yang baru saja sibuk membersihkan se­
mak-s­emak, mampir. Karena haus tak tertahan, melihat nyiur­
yang sudah disiapkan di dapur itu, ia mengambilnya dan me­
re­guk airnya.

Dan demikianlah jadinya: Ki Ageng Pemanahan adalah
prog­ enitor pendiri Kerajaan Mataram. Anaknya, seorang pe­
mu­da cerdik dan pemberani, Sutawijaya, menjadi seorang
prajurit yang makin lama makin dipercaya di Kerajaan Pajang.
Ia ber­hasil menewaskan Arya Penangsang, seorang bangsawan

Catatan Pinggir 11 319

http://facebook.com/indonesiapustaka AIR KELAPA

yang tak mau takluk. Atas jasanya, Sutawijaya diberi gelar Pa­
nem­bahan Senapati dan sebentang wilayah. Berangsur-angsur,­
daerah itu ia kembangkan jadi kerajaan yang disebutnya
dengan nama ”Mataram”, seperti kerajaan Jawa dari zaman
kee­ masa­ n sebelum Islam. Ia memerintah dari 1584 sampai
meninggal pada 1601.

Bagi saya, yang penting dalam cerita itu adalah sepatah
kata dalam kalimat yang didengar Ki Ageng Giring: ”Barang
siapa...”. Tak ada nama tertentu yang disebut. Kekuasaan
pada hak­ ikatnya sebuah peruntungan yang terbuka. Tak ada
pintu ter­tutup bagi orang atau kaum tertentu. Jika Ki Ageng
Pemanah­an yang mendapatkan karunia itu, itu berarti asal-
usul kekuasaan bermula pada nasib yang tak eksplisit dan
sebuah kebetula­ n. Kata-kata gaib dan air kelapa—sebagai
bagian awal cerita ten­tang kejayaan dan kejatuhan raja-raja
Jawa—agaknya untuk pengingat bahwa kekuasaan sekaligus
mengandung mister­i dan hal sehari-hari.

Dengan kata lain, tak ada fondasi yang kukuh kekal yang
me­nentukan seseorang untuk berada di atas takhta atau di ba­
wahnya. Sumber legitimasi kekuasaan ibarat datang dari se­
buah liang tambang tua yang kosong tapi penuh kabut. Sejarah
ke­kuasaan adalah sejarah kecemasan.

Itu sebabnya kekuasaan perlu punya aura, dan aura
perlu mithos. Harus ada sesuatu yang akan memberi alasan
bahwa ia sah, bahwa ia patut diterima siapa saja kapan saja.
Itu berarti, dalam kecemasannya, kekuasaan tak bisa cuma
sebuah monolog. Ia butuh Liyan yang mengakuinya. Dengan
demikian sebenarnya ia mengakui bahwa ada pihak lain yang
dianggap setara, atau lebih luhur, yang punya daya untuk

320 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka AIR KELAPA

memberi peng­akuan atau menolaknya.
Di zaman demokrasi, Liyan itu ”rakyat”: himpunan yang

tak sepenuhnya dapat dihadirkan selain secara simbolis. Di
abad ke-16 itu, Liyan itu dilambangkan secara lain: seorang
ratu gaib dari laut selatan. Salah satu dongeng terkenal tentang­
Pan­ embahan Senapati adalah hubungannya dengan Nyai
Ro­ro Kidul. Dikisahkan, pada suatu saat putri alam gaib itu
mendatangi Baginda. Mereka bercintaan. Tapi pada saat yang
sama dikatakan juga bahwa Nyai Roro Kidul menyerah ke
dalam wib­ awa sang penguasa Mataram: sor prabawa lan wong
agung ngeksiganda.

Kekuasaan Senapati dan auranya, takhta, dan legitimasinya
menj­adi menguat dengan dongeng itu. Tapi tampak: seorang
pen­ guasa harus berjuang secara rumit dan subtil buat mem­
peroleh hegemoni.

Dongeng di atas bisa ditafsirkan untuk menggugat thesis
bah­wa perjuangan hegemoni sepenuhnya ditandai antagonis­
me. Sebab yang terjadi adalah jalin-menjalin yang tegang
anta­ra persaingan dan pertalian. Memang ada konflik yang
tersamar, tapi hegemoni tak mungkin hanya dicapai dengan
keris yang berdarah.

Kita tahu apa yang terjadi. Kekuasaan penerus dinasti­
Ma­tar­am, Amangkurat I (1646-1677), praktis adalah titah
yang berdarah. Babad Tanah Jawi mengisahkan suasana
kerajaan yang muram dan menakutkan—yang segera disusul
sebuah akhir yang dramatis. Riwayat Kerajaan Mataram
tamat ditutup pemberontakan Trunajaya. Legitimasi hilang,
hegemoni runtuh.

Para pendongeng kemudian berkisah, dalam perjalanan­

Catatan Pinggir 11 321

http://facebook.com/indonesiapustaka AIR KELAPA

me­larikan diri dari istananya, Amangkurat I mati karena
meminum air kelapa yang beracun. Mungkin ini juga sebuah
tams­il: rasa haus akan kekuasaan di saat yang tepat akan berha­
sil; rasa haus kekuasaan di saat yang salah akan membuat bina­
sa—dan orang tak selalu tahu kapan saat yang salah itu.

TEMPO, 15 Juni 2014

322 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka THE TANK MAN

IA disebut ”The Tank Man”: seorang berbaju putih yang
ber­diri sendirian di tengah jalan, menghadang empat tank
yang bergerak ke Tiananmen, Beijing.

Hari itu 5 Juni 1989.
Siapa dia? Tak ada yang tahu. Bisa jadi ia warga biasa yang
ti­ba-tiba tak bisa menahan marah melihat tentara datang
lagi set­elah membunuh puluhan demonstran di Lapangan
Tiananmen 40 jam sebelumnya. Mungkin ia hendak berseru:
”Kembalilah kalian! Korban sudah cukup!”
Kita tak tahu itukah yang dikatakannya. Tapi sejak itu,
dunia mengenangnya: sosok pemberani yang diabadikan
kamera dari jauh, tubuh yang bagaikan sebatang tiang
yang tegak—tiang putih yang menyangga hal-hal yang
tak kasatmata: keinginan bebas dari takut dan kekerasan,
keberanian bersikap, dan tekad yang mempercayai dialog,
bahkan dialog dengan pa­sukan infanteri yang siap tempur.
Orang bisa mengatakan, ”The Tank Man” menghendaki
apa yang mustahil. Sebab, Pemerintah begitu kuat. Penguasa­
di Beijing itu bisa dengan mudah mematikan suara yang me­
nunt­ut kemerdekaan bersuara dan mematikan mereka yang
tak­disukai bersuara.
Juga: mematikan ingatan tentang semua kematian itu.
Ada seorang ibu bernama Xu Jue. Dalam sebuah tulisan di
The New York Review of Books, 5 Juni lalu, Ian Johnson men­ ulis
tent­ang wanita ini, yang anaknya mati ditembak tentara­dan

Catatan Pinggir 11 323

http://facebook.com/indonesiapustaka THE TANK MAN

su­aminya meninggal dirundung sedih. Tiap musim semi, di
ha­ri raya Qingming, Xu Jue bermaksud mengunjungi mak­ am
anak dan suaminya. Tapi polisi mencegahnya datang tepat­5
April, ketika festival menghormati para mendiang itu diraya­
kan.­­Ibu itu boleh datang ke makam anaknya, tapi beberapa
har­i sebelum itu. Dan polisi akan menyertainya—meskipun
har­­us membaca tulisan di nisan itu: ”4 Juni, 1989”.

Seorang ibu lain, Ding Zilin, ingat tanggal yang agak
berbeda: 3 Juni, 1989. Hari itu anaknya juga ditembak tentara
yang me­madamkan demonstrasi di Tiananmen. Dalam
perkabunga­ nnya, ibu ini menghubungi keluarga yang juga
kehilangan anak mereka di Juni yang berdarah itu. Ding
Zilin membentuk satu jaringan (”Para Ibu Tiananmen”) yang
mencoba me­ne­mukan informasi tentang mereka yang tak
pulang. Ia beber­a­pa kali menjadi tahanan rumah, tapi ia tak
menyerah. Sampai Agustus 2011, jaringan ini mencatat 202
korban.

Tangan yang berdarah (dan berkuasa) harus mematikan
ingata­ n seperti itu. Yang dihadapi bukan sekadar catatan ten­
tang­masa lalu. Ingatan itu juga sebuah tuntutan keras ke masa
de­pan. Membungkam kenangan tentang kekejaman penting,
seb­ ab berkuasa harus siap dengan alasan bagi kekejaman baru.

Sejarah politik Tiongkok penuh dengan kekejaman itu. Ju­
ga ingatan dan represi atas ingatan. Penyair dan penulis prosa
dok­ umenter, Liao Yiwu, punya masa lalu yang terapung-apung
ant­ara hidup dan mati. Di pertengahan 1960-an, ayahnya,
seo­ rang guru, dituduh ”kontrarevolusioner” oleh Pengawal­
Me­rah selama Revolusi Kebudayaan yang digerakkan Mao
Zedong. Si ayah dipecat dan dikucilkan masyarakat. Si ibu

324 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka THE TANK MAN

terpaksa menceraikannya agar bisa hidup dengan anaknya.
Tapi, pa­d­ a suatu hari, untuk dapat membeli makanan,
perempuan itu menjual kupon jatah pakaian yang dibagikan
Negara. Si ibu­ dit­angkap dan diarak bersama sejumlah
penjahat di panggung­ Ge­dung Opera Kota Sichuan, kota
kelahirannya.

Liao Yiwu, yang beberapa kali disekap dan sajaknya diha­
ram­kan, memandang dengan pahit masa lalu yang dibangun
dan dihancurkan Mao. Seperti ditulisnya dalam The New York
Re­view of Books, Mao tak pernah minta maaf.

Mao tak minta maaf dan kekerasan dilakukan kembali.
”Rev­ olusi bukan jamuan makan malam,” itu ucapannya yang
term­ asyhur. Harus ada pengorbanan untuk kemenangan Re­
vol­usi buruh dan tani, harus dibenarkan tindakan yang brutal
ji­ka hanya itu yang mungkin.

Tiap laku politik, juga yang revolusioner, tampaknya
menga­ mini dalil Bismarck di Jerman di abad ke-19, yang
mengembangkan kekuasaan dengan ”darah dan besi”: Die
Politik ist die Lehre vom Möglichen. Politik hanya bisa bertolak
dari apa yang mungkin, dan sebab itu ia kiat memainkan apa
yang mungkin.

Berdiri di tengah Avenue Chang’an, ”The Tank Man” tak
meng­ikuti dalil itu. Hari itu ia contoh aksi politik yang dige­
rakk­ an apa yang tak mungkin. Ia tak mengatakan, ”Karena
aku mustahil menang, aku lebih baik diam; kalaupun keadaan
tak bisa hapuskan kekejaman, biarlah, tak ada rotan akar pun
ja­di.”

”The Tank Man” adalah isyarat: mereka yang mengatakan
”tak ada rotan, akar pun jadi” lama-kelamaan bisa lupa bahwa

Catatan Pinggir 11 325

http://facebook.com/indonesiapustaka THE TANK MAN

ro­tan ada, tak mustahil, meskipun bukan di hari ini.

TEMPO, 22 Juni 2014

326 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka KOTOR

BAGAIMANA menghakimi, ketika tak ada lagi yang tak
berd­ osa? Ketika ukuran dosa dan bukan dosa berganti?
Ke­tika yang kotor dan suci jadi serba mungkin—dan manusia
ma­kin tak mengerti apa yang akan terjadi dengan sejarah?

Kita telah menyaksikan—ya, kita telah menempuh—pem­
bunuhan besar dan kecil. Kita bergulat terus-menerus ba­gai­
mana seharusnya bersikap. Diam-diam kita berharap pada
akhirn­ ya sejarah akan membawa kita ke sebuah keputusan
yang­diterima kapan saja oleh siapa saja.

Tapi tidakkah kita terlalu percaya kepada sejarah? ”Bukan­
kah­sejarah selamanya tak manusiawi, pembangun yang tak
pun­ ya hati, yang mengaduk semennya dengan dusta, darah,
dan lumpur?”

Itu pertanyaan yang suram dalam novel Arthur Koestler,
Darkness at Noon. Novel itu datang dari pengalaman yang ber­
be­da dengan pengalaman kita, tapi mungkin tak sepenuhnya
berbeda. Koestler menulisnya di akhir 1939 di Eropa ketika
sejarah adalah pergolakan politik yang gemuruh, bergairah,
dan brutal. Baik gerakan Nazi (yang mau membangun Neue
Ordnung, ”Orde Baru”) maupun Komunisme (yang hendak
membangun ”Kehidupan Baru”) yakin bahwa sejarah akan
berger­ak—­ dengan langkah pasti dan tak peduli—ke arah yang
dit­un­jukkan cita-cita mereka, meskipun selalu ”meninggalkan
lum­pur yang dibawanya beserta mayat mereka yang tengge­
lam”. Sejarah, dengan kata lain, tak pernah salah.

Catatan Pinggir 11 327

http://facebook.com/indonesiapustaka KOTOR

Dengan keyakinan itu, kekerasan dan pembunuhan tak
bisa dikutuk.

Darkness at Noon tak menyebut di mana ceritanya ber­
langsung.

Tapi pembaca akan tahu bahwa peran utamanya, Nicholas
Sal­manovitch Rubashov, adalah seorang aktivis Partai
Komunis Rusia—tokoh fiktif yang dibentuk dari pengalaman
sejati­ para pejuang Revolusi Oktober yang ditembak mati
kawan sep­ erj­uangan mereka sendiri, Stalin, ketika orang ini
memegang tampuk pimpinan. Rubashov adalah orang yang
berjasa kepada Partai dalam mengukuhkan kekuasaan, tapi
kemudian dianggap berkhianat oleh Sang Ketua (disebut
sebagai ”No. 1”). Ia disekap, disiksa, disuruh mengakui per­
buatan yang tak pernah dilakukannya, dan ditembak mati.

Tapi jangan-jangan Sang ”No. 1” benar. Rubashov sendiri­
jadi ragu. Dengan keyakinannya tentang sejarah, ia tak serta­
mer­ta sanggup mengatakan bahwa sang ”No. 1” sewenang-we­
nang. Orang-orang yang dibunuhnya mungkin akhirnya harus
mengakui—”meskipun dengan peluru di tengkuk”—bahwa
penguasa tertinggi itu tak berdosa. Ia telah bertindak seba­gai
alat sejarah untuk membangun dunia yang lebih baik. Ia ga­
nas, tapi tak bisa dihakimi dengan vonis yang meyakinkan.

”Tak ada kepastian,” gumam Rubashov dalam selnya, tak
berdaya.

Kita hanya bisa naik banding ke hadapan Sejarah (ditulis
de­ngan huruf kapital ”S”). Tapi yang tragis dalam hidup manu­
sia ialah bahwa keputusan Sejarah diberikan ”hanya setelah
rahang orang yang naik banding itu sudah jadi debu bertahun-
ta­hun yang lalu”.

328 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka KOTOR

Sang hakim datang terlambat, selalu terlambat.
Tapi saya kira tidak. Saya kira ada yang salah dalam pan­
danga­ n ini. Sejarah bukanlah hakim. Ia bukan orakel sakti
yang menebak. Sejarah tak berada di luar diri kita, dan kita tak
bera­ da di luarnya, dan manusia bukan cuma sarananya. Kita
tak perlu menuliskannya dengan huruf kapital ”S”. Marx benar
ket­ika ia mengatakan bahwa bukan sejarah yang mengguna­
kan­manusia sebagai cara untuk mencapai tujuannya. ”Sejarah
han­ yalah kegiatan manusia dalam mengejar tujuan.”
Artinya, manusia itulah yang hakim.
Tapi di sini juga persoalan tak mudah diselesaikan, ketika
orang mulai mengatakan bahwa, seperti konon kata Napoleon,­
bahkan ”nasib adalah politik”. Nasib, yang dianggap tak ter­
elak­kan datang dalam hidup manusia, semakin dibaca sebagai
has­il interaksi manusia, zoon politikon. Tak ada ketentuan yang
dat­ang dari langit. Tak ada nilai yang tak tersentuh pergulatan
di bumi. Tak ada nilai yang universal yang ditentukan begitu
saja.
Tapi jika demikian halnya, menghakimi akan mustahil.
Ket­ika yang universal diasumsikan tak pernah terjadi, ukuran
guy­ ah. Apa yang pada suatu keadaan dianggap ”baik” pada
keadaan lain dianggap ”jahat”. Tak ada yang tak berdosa,
ketika ukur­an dosa dan tak berdosa tiap kali bisa berganti.
Namun bisakah kita hidup tanpa menghakimi? ”Aku harus
men­dapatkan keadilan, atau aku akan menghancurkan diriku
send­ iri,” kata Ivan Karamazov dalam novel Dostoyevsky
yang ter­masyhur itu. Dan bagi orang ini keadilan yang di­
kehendakin­ ya bukan yang berada di ”ruang dan waktu yang
tak terhingga”. Ia menghendaki keadilan yang ada di bumi.

Catatan Pinggir 11 329


Click to View FlipBook Version