http://facebook.com/indonesiapustaka RELIGIO
caman nabi-nabi”. Lucretius menyatakan bahwa ia menulis
De Rer um Natura untuk ”membebaskan pikiran manusia dari
belenggu agama yang menjerat”.
Dengan sikap yang seperti itu, tak mengherankan bila ber
abad-abad kemudian, setelah teks De Rerum Natura ditemukan
pada tahun 1417, muncul tangkisan demi tangkisan, terutama
dari Gereja Katolik. Tapi tak mengherankan pula bila pan
dangannya disambut orang di zaman ”Pencerahan”, yang me
ray akan kemerdekaan berpikir—sebuah zaman yang, seperti
dikatakan Kant, didukung Frederick II. Penguasa Prusia ini,
yang berteman dengan Voltaire, berkata pada tahun 1741:
agama adalah ”monster kuno”.
Tapi agama tak mati-mati. Mungkin karena tak seluruhnya
Lucretius benar bahwa agama ”mengarahkan manusia ke da
lam mala dan kekejian”. Mungkin karena proyek pencerahan
Lucretius gagal.
Pada tahun 1771 Voltaire mengarang surat-menyurat imaji
ner yang membicarakan penyair Romawi itu. Di sana disebut
kanLucretius mati bunuh diri. Kita ingat De Rerum Natura
yang dibuka dengan semangat berpendar-pendar diakhiri
dengan deskripsi suram tentang Athena yang kena sampar.
Sang filosof tak kunjung menemukan ”kuil-kuil tenteram para
aulia”. Yang ia lihat hanya neraka: kebodohan, kerakusan....
Meskipun sesekali ada secercah kemerdekaan.
TEMPO, 5 Januari 2014
230 Catatan Pinggir 11
PELAN
Liquor is quicker
—Ogden Nash
http://facebook.com/indonesiapustaka SAYA menyukai pagi: dengan gerimis atau sinar matahari,
saya akan berjalan mengikuti bayang-bayang pohon se
panjang alur, atau sebaliknya, duduk tiga menit memejamkan
mata di depan jendela terbuka. Ada sisa harum kemuning yang
mekar semalam dan bau daun-daun yang lumat di rumput be
cek. Ada suara burung yang cerewet—ya, pagi adalah suara
burung yang cerewet. Juga suara tokek, bunyi berat yang sabar
satu demi satu, seakan-akan melawan kecepatan detik.
Mungkin saya menyukai pagi karena di sana saya berlin
dungdari kecepatan detik.
Meskipun bisa tak bertahan. Sebab jika pada menit ber
ikutnya saya buka laptop, akan menghambur apa yang disebut
”informasi”—ribuan kata, suara, angka, dan gambar yang
desak-mend esak, singkir-menyingkirkan: kabar dari situs
dot.com, salam dan umpatan dan keluhan minta perhatian di
Twitter, foto-foto pamer diri di Facebook, pesan-pesan sejenak
dari teman dan orang yang tak dikenal di telepon seluler....
Mereka melintas. Mereka tenggelam. Mereka diingat, tak
lengkap. Mereka mungkin statemen, mungkin salah paham
yang bergegas. Mereka berubah.
Di depan laptop, dunia melawan pagi.
Di depan laptop, di luar iPad, di luar kamar, kita diproyeksi
kan seolah-olah terancam: makhluk yang akan runtuh bila
tak bergerak cepat. Klaus Schwab, pendiri World Economic
Catatan Pinggir 11 231
http://facebook.com/indonesiapustaka PELAN
Forum, menyebarluaskan kecemasan itu: ”Kita bergerak dari
sebuah dunia di mana yang besar memakan yang kecil ke arah
dunia di mana yang cepat menelan yang pelan.”
Saya tak ingin mengamini itu. Kecepatan itu riuh-rendah.
Say a lebih menginginkan apa yang digambarkan Chesterton
sebagai ”the gift of loneliness, which is the gift of liberty”. Kesunyi
anitu mengandung karunia: kebebasan.
Tapi memang ada, memang makin banyak, orang
yang menampik karunia itu: mereka yang waswas bila tak
melakukan apa-apa, mereka yang tak mengerti bagaimana
duduk dengan mata terpejam mendengarkan bunyi hujan dan
suara katak di selokan—orang-orang yang mau cepat-cepat
mengakhiri sunyi, orang-orang yang dikerubuti waktu yang
selalu dihitung.
Saya tak pernah merasa merdeka dengan waktu yang
dihitung, bukan karena tiap kali dikejar deadline, tapi mungkin
karena saya datang dari generasi yang berbeda. Di waktu kecil,
di malam hari, sambil terbaring di ambin, saya sering mende
ngark an suara orang ura-ura membawakan Wedhatama dalam
tembang. Ada kalimat ”sepa sepi lir sepah samun” yang tak saya
pah ami artinya tapi saya rasakan sendunya. Saya juga datang
dari sebuah masa ketika sehabis isya anak-anak tergolek di sam
ping ibu, dibimbing ke mimpi dengan dongeng yang panjang.
Mungkin sebab itu saya bisa mengerti mengapa Carl
Honoréberubah. Ia koresponden pelbagai surat kabar, antara
lain The Economist, yang menulis berita-berita luar negeri. Ia
mengejar (atau dikejar?) berita dari kota ke kota asing, masuk-
keluar bandara dan pesawat, terus-menerus menelepon editor
dan sumber-sumber berita (dan tak lagi mendengarkan musik
232 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka PELAN
di Walkmannya), tak sempat pula bercerita panjang untuk
menga ntar tidur anak-anaknya.
Pada suatu saat, ketika ia sedang antre di sebuah bandara,
terbaca olehnya sebuah tulisan, ”The One-Minute Bedtime
Story”. Eureka! Ia bergembira: akhirnya orang bisa membuat
don geng yang cuma satu menit panjangnya. Ia perlu kemudah
an seperti itu, sebab ia tak bisa melayani permintaan anak-
anaknya untuk membawakan cerita yang asyik. Hampir saban
malam ia harus menulis, mengirim artikelnya, menjawab sur-
el,membaca kabar, dan berdiskusi.
Tapi bagaimana membawakan dongeng Hans Christian
Andersen dalam 60 detik?
Hanya dalam gerak yang pelan, kita bisa menyusuri hidupSi
Thumbelina. Sebuah dongeng akan mati ketika ia jadi ikhtisar.
Ia tak hidup dengan ketakjuban dari saat ke saat, sejak si tok oh
alit lahir, diculik katak, diselamatkan ikan, kupu-kupu,dan
tikus, dan akhirnya mendapatkan pangeran peri-bunga seba
gai pasangannya—seraya si burung biru patah hati menyaksi
kannya pergi.
Carl Honoré pun berubah. Ia menulis buku In Praise of
Slowness.
Yang agak kurang ditekankan Honoré ialah hubungan
gerakyang tak terburu-buru dengan karunia kesunyian dan
kebebasan—sesuatu yang telah rusak karena zaman berubah
dan manusia resah untuk bekerja dan bekerja. Nietzsche
pernah menyebutnya sebagai ”kehausan Amerika”. Bujukan-
bujukan berlomba cepat (”liquor is quicker”, kata penyair
Amerika, Ogden Nash), juga pertukaran.
Dalam proses itu, hilang kemampuan orang menghayati
Catatan Pinggir 11 233
http://facebook.com/indonesiapustaka PELAN
waktu sebagai ketakjuban yang selalu baru. Orang pun terus-
men erus berbicara soal ”kurang waktu”. Tak ada lagi yang
hendak memasuki keheningan ”vita meditativa”. Tak ada
renungansebelum tindakan.
Dan lahirlah Twitter, Facebook, san-dek, yang dengan
seketika menembakkan kata. Sementara dulu tiap ekspresi
yang akan disiarkan harus menempuh prosedur berlapis—ada
editor, ada penerbit, ada penyebar—kini semua itu diterabas.
Bersaing cepat, berlomba menarik perhatian, bersaing mau
diakui, berlomba teriak. Aku menggebrak, maka aku ada.
Kecepatan dan kekuatan bisa efektif seperti peluru. Tapi
peluru tak perlu nalar dan tak menumbuhkan tukar pikiran.
”Med ia sosial” akhirnya hanya (mengutip seorang teman yang
men gutip Macbeth untuk ini) ” full of sound and fury, signifying
nothing”.
Maka saya menyukai pagi. Sesekali masih ada sisa mimpi,
ingatan akan dongeng ayah, ninabobok ibu, gema di kepala
dari sebuah lagu, novel yang semalam hadir dalam kesendirian
dan kesunyian—dalam karunia kebebasan.
TEMPO, 12 Januari 2014
234 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka HETEROGLOSSIA
DI lantai pentas itu bisa ada rebana, suling dan ukulele,
gambang dan wayang, gunungan dan kecrek, payung
dan setandan pisang. Pernah ada balon yang sebenarnya kon
dom-kondom yang ditiup, tak jauh dari seonggok nasi tum
peng. Pernah ada dua benda yang dibungkus kain, dan sebuah
struktur yang mirip pintu masjid, di sebelah sebuah tabung.
Beg itu banyak barang, masing-masing sepele dan tak jelas
fungsinya.
Tapi ada pesona.
Di panggung, atau mungkin di lantai pentas, banyak hal bi
sa terjadi, sebab seorang dalang adalah seorang pesulap, dan Ki
Dalang Slamet Gundono adalah pesulap yang tak tepermanai.
Kini ia tak ada lagi di antara kita. Ia meninggal, Minggu, 5
Januari 2014, hanya sekitar lima hari setelah dirawat di sebuah
rumah sakit di Sukoharjo, dekat Surakarta. Saya sudah cemas
ketika ia mengirim sandek ke telepon seluler saya pada 31
Desember 2013: ”Mas Goen, saya sakit.... Kaki saya tak bisa
jalan dan sakit luar biasa.”
Terakhir kali saya melihat ia di Teater Salihara: pementasan
tanggal 16 November 2013 itu, yang dinantikan tamu dari
pelbagai negara, tak selesai. Ia sudah tak sehat.
Tapi orang tahu, ia luar biasa. Saya tak berhenti takjub ba
gaim ana pesona itu bukan saja membuat pentasnya yang se
akan-a kan kacau itu jadi hidup—dan bagaimana ia, dengan
warna lokal yang tebal, bisa menyentuh secara universal.
Catatan Pinggir 11 235
http://facebook.com/indonesiapustaka HETEROGLOSSIA
Saya pernah menonton ia memainkan lakon Taliputra-
Taliputri dengan gaya wayang klasik, mengenakan beskap
hitam dan blangkon warna cokelat tua. Tapi ia lebih dikenal
sebagaidalang dengan kostum yang ia rancang sendiri, dengan
dadan yayang penuh lemak itu terbuka, memainkan ”wayang
suk et”, ”wayang lindur”, dan ”wayang air”—pertunjukan yang
din amainya sendiri tanpa mencoba menjelaskannya sampai
tuntas.
Ia anti-batasan. Saya pernah menulis: Gundono adalah ”tea
tertanpa definisi”. Gundono bisa menembangkan pangkurdan
melantunkan suluk, mengalir luwes dari nada diatonik ke penta
tonik, tapi ia juga bisa menyerukan azan dan mengutip Quran
dengan gaya qiraat Mesir. Ia memetik ukulele seakan-akanse
orang penyanyi Hawaii, dan yang terdengar adalah kasidah.
Repertoarnya sering tak terduga. Ia menggubah satu bagian
mitologi tentang Manikmaya, atau Syiwa, dewa utama di ka
hyangan, dan istrinya, Uma atau Durga. Ia mampu memukau
dengan kisah seorang kiai lokal yang melawan ulama yang ber
kuasa, tafsir atas Serat Cabolek karya Yasadipura I dari Keraton
Surakarta abad ke-18. Di ketika lain, ia bergabung dengan teks
Prancis terjemahan Elisabeth Inandiak atas satu fragmen Serat
Centhini.
Slamet Gundono adalah sebuah heteroglossia.
Ketika Mikhail Bakhtin memperkenalkan kata ini, orang
Rusia ini hendak menunjukkan keistimewaan bentuk novel
dalam sastra. Novel adalah medium tempat pelbagai ragam
bah asa bisa masuk, karena ia menampung percakapan sehari-
hari: dialek daerah, bahasa khas satu kelompok sosial, bahasa
den gan istilah profesional, bahasa birokrasi....
236 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka HETEROGLOSSIA
Bakhtin berangkat dari pengamatannya tentang kehidupan
verbal petani Rusia. Petani di pedalaman itu berbahasa Slavo
nik Gereja kepada Tuhannya, berbahasa dengan dialek lokal
kep ada anak-istrinya, dan mencoba meniru frasa pejabat
kelas atas ketika mendiktekan sebuah permintaan kepada
pemerintah setempat.
Di Indonesia heteroglossia juga kita temui tiap kali—
meskipun dengan sejarah sosial yang berbeda. Terutama
dalam tradisi daerah. Ketika pepatah lama mengatakan bahwa
”bahasa men unjukkan bangsa”, yang dimaksudkan adalah
hubungan bahasa dengan hierarki: tiap ”bangsa”—lapisan
sosial—akan menggunakan tata krama verbal yang sesuai.
Saya ingat satu adegan dalam novel monumental Putu
Wijaya, Putri: sang tokoh, perempuan muda lulusan Universitas
Uday ana, pada suatu ketika bertemu dengan tiga orang berkas
tatinggi yang di kampus itu bekerja sebagai tukang parkir, pe
gaw ai kantin, dan pesuruh kantor. Putri—anak petani Meli
lingyang jadi abdi dari puri setempat—tetap menggunakan
bah asa halus kepada mereka. Sapaan Putri ”langsung menusuk
ketiga orang itu”. Mereka terkejut: ”Hidup yang tambah keras
membuat mereka terbiasa menerima segala bahasa....”
Dan gadis itu pun sadar: bahasa ”mungkin tak sengaja
menjadi alat kekuasaan”. Bahasa, kesimpulan Putri pula,
”mencoba men gendalikan manusia dari dalam suaranya”.
Slamet Gundono lahir dan dibesarkan di Slawi, dekat Tegal,
dengan bahasa yang sering diolok-olok orang Jawa Tengah
yang lain, terutama dari kalangan priayi. Tapi Slamet juga anak
seorang dalang yang tak asing dengan bahasa Jawa literer wa
yang kulit. Sumbangan besar Slamet Gundono di sini tampak:
Catatan Pinggir 11 237
http://facebook.com/indonesiapustaka HETEROGLOSSIA
heteroglossia-nya menyingkirkan otoritas bahasa yang dirawat
di rumah-rumah bangsawan. Dengan lancar, tanpa beban,ia
masukkan ungkapan verbal orang Slawi yang biasa dipakai
nelayan pantai utara. Di sana-sini, begawan Manikmayanya
akanmenggunakan kata nyong untuk ”aku”, kata nok untuk
mem anggil si upik.
Heteroglossia Slamet, dengan demikian, bukan sekadar sua
rayang beragam. Ia mengandung perlawanan kelas yang di
bisukan menghadapi kelas yang memonopoli wibawa dan
ukura n keindahan. Kesenian Slamet Gundono bukan punya
komitmen sosial dalam pesan-pesannya, tapi lebih dalam: da
lam pilihan ekspresinya. Dan ia melakukannya tanpa berteriak
karena semua wajar, tanpa kemarahan, sebab resistansi terbaik
menghadapi wibawa yang kaku adalah humor....
Ketika ia pergi di usia 47 tahun, yang tetap kembali adalah
sumbangan itu, senyum itu, pesona itu.
TEMPO, 19 Januari 2014
238 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka ROSA
95 tahun yang lalu, mereka membunuh Rosa Luxemburg.
Hari itu Rabu yang dingin, 15 Januari. Beberapa orang
anggota Garda Burgergerwehr dari Wilmersdorf, di bagian
luar Berlin, menangkap Rosa Luxemburg dan temannya seper
gerakan, Karl Liebknecht. Kedua tokoh sosialis kiri itu mereka
bawa ke arah penjara Moabit. Di tengah jalan mobil berubah
arah: ke Tiergarten, taman yang penuh pohon di pusat kota.
Malam itu, di antara semak-semak, Liebknecht ditembak mati.
Rosa diseret ke dalam sebuah mobil lain. Dengan gagang
pistol, seorang opsir memukul kepala perempuan berumur
48 tahun itu hingga pingsan. Sebuah revolver membuyarkan
otaknya. Mayat Rosa ditenggelamkan di Kanal Lanswher.
Baru beberapa bulan kemudian tubuh itu diketemukan—
meskipun tak pernah pasti benarkah itu jenazah Rosa.
Saat-saat yang gelap, tulis Hannah Arendt tentang masa
itu. Rosa hidup, berjuang, hilang, di bagian abad ke-20 yang
diliputi rusuh, kelaparan, pembunuhan massal, dan rasa benci
kepada ketidakadilan yang membuat orang marah dengan
suara serak.
Tapi, mengikuti pengantar Arendt dalam Men in Dark
Times,di saat-saat macam itu berharap adalah sah—berharap
akan cahaya. Bukan dari ide, tapi dari ”suar-suar yang tak pasti,
yang kelap-kelip dan sering lemah” yang datang dari mereka
yang hidup, berkarya, dan membawa terang biarpun sebatang
lilin.
Catatan Pinggir 11 239
http://facebook.com/indonesiapustaka ROSA
Rosa seperti itu: lilin yang diterpa angin dan terlambat.
Arendtbertanya mengapa perempuan ini, tokoh yang ”agak
marg in al”, yang pengaruhnya tak sebesar pendekar Marxisme
sez amannya (Plekhanov, Lenin, Trotsky...), kemudian, setelah
mati, penting untuk didengarkan?
Jawabnya: karena Rosa Luxemburg tak jadi mati. ”Kemer
dekaan adalah kemerdekaan bagi mereka yang berpikir beda,”
itu kalimatnya yang termasyhur dari tahun 1920, ketika ia
mengkritik Revolusi Lenin yang membungkam kemerdekaan
bersuara dan demokrasi. ”Kemerdekaan yang hanya buat
pendukung pemerintah, hanya buat anggota satu partai—
betapapun banyak anggotanya—bukanlah kemerdekaan
sama sekali.” Pada 1988, ribuan pemuda Jerman Timur
menggunakan asas kemerdekaan itu untuk menggugat ke
kuasaan Partai Sosialis. Dan Tembok Berlin runtuh.
Tahun 1988 adalah tahun ketika Rosa Luxemburg benar
dan Lenin salah dan kekuasaan partai Marxis-Leninis di
manamana jatuh.
Tapi perlu ditambahkan di sini: sekian dasawarsa yang
lalu, tak mudah mengatakan Lenin salah sepenuhnya dalam
Revolusi Oktober 1917. Terutama jika orang berada di hari-
hari yang mengguncang dunia itu, dengan segala konflik
dan ancamannya. Terutama jika diakui sebuah revolusi
menghendaki kekuatan yang lebih, dan kekuatan yang lebih
mengandungkekerasan yang tak terelakkan. ”Revolusi bukan
jamuan makan malam,” kata Mao Zedong di Cina beberapa
tahun kemudian.
Akhirnya, dengan segala kritiknya kepada Revolusi
Oktober yang hendak menegakkan komunisme, Rosa tak
240 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka ROSA
memusuhiLenin dan apa yang telah dilakukannya.
Hubungan di antara kedua orang ini memang naik-turun.
Lenin mengunjungi Rosa pada 1911, dan mereka cocok. Lenin
menyenangkan untuk diajak bicara, kata Rosa, ”ia pintar dan
terp elajar”—dan ”menyukai kucingku, Mimi.”
Tapi ada saat-saat hubungan mereka buruk. Karya besar
Rosa Luxemburg, Die Akkumulation des Kapitals, terbit pada
1913. Di sini Rosa sebenarnya ingin menunjukkan kesalahan
kaum Marxis, ”jalan tengah” yang tak lagi yakin bahwa
kapitalisme akan membusuk dan akan terjadi revolusi. Bagi
Rosa, kap italisme, yang niscaya ekspansionistis, akan butuh
lebih lua s wilayah yang belum dirambah mekanisme modal,
sampai seluruhnya tertelan—dan krisis akan terjadi.
Tapi buku itu juga mengandung kritik terbuka kepada
Marx. Marx, menurut Rosa Luxemburg, tak melihat ada batas
akumulasi modal.
Lenin membaca buku itu dan marah. Rosa telah ”menye
lewengkan Marx,” katanya. Dan ketika dalam buku itu
digambarkan dampak destruktif kapitalisme yang berekspansi
ke Amerika Latin, Lenin menuliskan kata-kata pedas di
pinggir halaman: ”Deskripsinya tentang penyiksaan orang
negro di Amerika Selatan berisik, warna-warni, dan tak ada
artinya. Dan terutama, ini semua ’non-Marxis’.”
Tapi di situlah agaknya tersimpan yang berharga dalam
pemikiran perempuan Yahudi dari Polandia ini: empati
kepada man usia yang konkret, bukan cuma keyakinan kepada
satu konsep tentang ”proletariat”. Mungkin itu sebabnya ia bisa
menyentuh. Tokoh Gerard dan Bhisma dalam novel Amba
Laksmi Pamuntjak tentu saja fiktif, tapi bisa dibayangkan
Catatan Pinggir 11 241
http://facebook.com/indonesiapustaka ROSA
bila mereka, seperti kita, tergerak oleh kata-kata Rosa
Luxemburg ini: ”Aku merasa dekat dengan korban yang sengsara
di perkebunan-perkebunan di Putamayo dan orang-orang negro
Afrika yang tubuhnya dijadikan bola mainan orang-orang
Eropa.... Aku tak punya tempat yang istimewa bagi kaumku,
kaum Yahudi. Aku merasa rumahku di seluruh bumi di mana
ada awan dan burung-burung dan air mata manusia.”
Dengan kata lain, solidaritas di antara sesama bukan
lahir karena takdir. Sejarah yang membuatnya: manusia,
dari pengalaman-pengalaman yang partikular, membangun
sesuatu yang universal. Dari dunia yang berbeda-beda,
tumbuh saat-saat yang sama.
Maka bagi Rosa Luxemburg, demokrasi adalah bagian sah
sosialisme. Lewat demokrasi kita bergulat terus-menerus me
nata konflik dan perbedaan, karena perbedaan akan selalu ada,
tapi manusia butuh ”rumah” yang mencakup yang bermacam-
ragam: awan, burung, air mata. Tanpa itu: kediktatoran.
Sekian puluh tahun setelah 15 Januari 1919, di seantero
Erop a Timur pikiran itu bergaung. Good bye Lenin. Lilin itu
berkelip.
TEMPO, 26 Januari 2014
242 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka ANWAR
DARI mana datangnya kekejaman?
Anwar Congo (dalam film dokumenter The Act of Killing
Joshua Oppenheimer): seorang lelaki tua dengan paras seorang
kepala sekolah dusun, seorang bapak dengan kehangatan sapa
seo rang tetangga, seorang teman bicara dengan senyum yang
selalu membayang. Tapi juga seseorang dengan riwayat yang
buas.
Kamera menyorotnya: ia tunjukkan apa yang dilakukannya
ketika ia membunuh orang. Itu berlangsung di hari-hari yang
gelap dan guncang 1965-1966: ia belitkan sebatang kawat besi
ke leher seorang korban, lalu ia tarik sekencang-kencangnya
hingga orang itu tercekik; ia letakkan kaki meja di tenggorok
an orang yang dalam keadaan tak berdaya ditelentangkan,
dan Anwar—bersama teman-temannya—duduk di daun
meja sambil mengguncang-guncangkannya, sampai terdengar
suaranapas yang putus. Atau ia pukuli orang hingga berdarah-
darah dan mati.
Menonton The Act of Killing adalah menonton sebuah teater
keg anasan. Tapi juga sebuah gambar hidup ingatan.
Anwar seorang preman yang hidup sebagai tukang catut
karc is bioskop di Medan, mungkin di tahun 1950-an. Ketika
film Amerika masih diperbolehkan diputar, dan orang ramai
datang menonton, penghasilannya cukup. Tapi kemudian,
menjelang pertengahan 1960-an, PKI berkampanye mengga
nyang produksi Hollywood. Film Amerika pun dilarang
Catatan Pinggir 11 243
http://facebook.com/indonesiapustaka ANWAR
masuk. Pemerintah ”demokrasi terpimpin” Bung Karno me
neruskan gerakan anti-”neo-kolonialisme”.
Tapi, bagi Anwar Congo, di masa ”komunis yang ingin
berkuasa” itu, kehidupan berubah drastis. Tak banyak lagi
penonton bioskop. Gedung itu sepi. Anwar, si tukang catut,
kehilanga n nafkah. ”Kita sebagai preman susah cari makan.”
Lalu datang Oktober 1965. PKI dituduh berada di belakang
pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat, dan gelom
bang besar antikomunis menjulang, menggulung. Militer
mengg erakkan mesinnya. Orang ”komunis” di mana-mana
ditangkap dan dibunuh atau dikurung. Di Kota Medan,
Anwar— dengan dendam di hati—jadi jagal. Di hari-hari itu,
kata seseorang yang mengenalnya, mendengar nama Anwar
saja orang ketakutan.
Anwar tersenyum lebar mendengarkan cerita itu. Ia bangga.
Dari mana datangnya rasa bangga akan kekejaman? Dari
dalam dirinya? Bukankah ia seorang manusia?
Saya ingat kata-kata Ivan Karamazov: ”Orang kadang-ka
dangberbicara tentang kebuasan binatang, tapi itu sangat tak
adil bagi hewan. Hewan tak pernah sekejam manusia, hewan
tak pernah begitu kejam secara artistik.”
Mungkin Dostoyevski menciptakan Ivan dalam novel
Karam azov Bersaudara untuk membuat kita tak percaya
lagi—setidaknya sejenak—kepada makhluk yang, menurut
kitab suc i, diciptakan sesuai dengan citra Tuhan itu. Manusia,
kata Karam az ov ini, lebih dari macan. Macan ”tak akan ber
pikir untuk mem aku kuping orang, seandainya pun ia bisa
melakukannya”.
Ivan kemudian bercerita tentang tentara Turki yang
244 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka ANWAR
menduduki Bulgaria: para serdadu yang merenggutkan orok
dari perut ibunya, atau—setidaknya dalam cerita Ivan—para
serdadu yang membuat seorang bayi tertawa-tawa sebelum
kepalanya mereka tembak dari jarak dekat.
Manusia, kata Ivan pula, telah menciptakan Iblis mirip
dengan dirinya.
Di sini, saya kira, Dostoyevski ingin menciptakan satu
bagian yang hiperbolik untuk novelnya. Sebab di luar novel,
kekejaman, kekejian, kejahanaman, mala—semua itu tak
terjadi sebagai ekspresi sifat-sifat Setan yang kekal. Tapi juga
tak selam anya larut ke dalam rutin hidup sehari-hari. Hannah
Arendt melihat adanya ”the banality of evil”. Saya lebih melihat
”the contingency of evil”. Yang mala, yang keji, yang jahanam,
bisa terjadi tapi juga bisa tidak, bergantung pada sebuah masa,
sebuah tempat: sebuah situasi.
Bagi saya, The Act of Killing merisaukan hati bukan karena
film ini mendokumentasikan kekejaman Anwar Congo. Sebu
ah gambar hidup ingatan adalah sebuah narasi yang berlubang-
lubang: Anwar tak mengisahkan riwayat hidupnya secara pe
nuh; dalam film ini, latar Kota Medan—hubungan etnis dan
ketegangan kelas-kelas sosialnya—tak tergambar.
Berbeda dengan yang terjadi di Bali dan di Jawa, di Medan
tak ada konflik di sekitar tanah pertanian yang meledak dalam
kebuasan terhadap para pendukung PKI. Yang tampak dalam
film dokumenter ini sebuah latar lain—dan itulah justruyang
merisaukan: kekejaman Anwar Congo adalah bagian yang
akrab dengan apa yang bisa disebut sebagai ”ekologi kekeras
an”.Ia tak akan berhenti setelah semua orang ”komunis” diha
bisi.
Catatan Pinggir 11 245
http://facebook.com/indonesiapustaka ANWAR
”Preman”—apa pun etimologi kata ini—adalah bagi
an masyarakat yang paradoksal. Mereka tak sepenuhnya di
dalam. Mereka, dengan diperlakukan sebagai sesuatu yang di-
”lua r” kehidupan bersama yang resmi, artinya di ”luar” polis,
secara tak langsung justru membangun makna polis sebagai wi
layah tempat hukum dan lembaga-lembaga politik berfungsi.
Tapi pada saat yang sama ”preman”, seperti yang ditunjukkan
dalam The Act of Killing dalam wujud Pemuda Pancasila, juga
bagian dari kekuasaan yang membuat polis ditegakkan dan
politik dijalankan.
Dengan seragam, upacara, dan hierarki yang mirip tentara
resmi, dengan pertemuan yang dihadiri bahkan oleh seorang
Wak il Presiden, dengan anggota yang berwajah bengis yang
den gan sewenang-wenang mengutip uang dari pedagang
kecil orang Tionghoa di pasar, para preman itu menunjukkan
betapa akrabnya kekuasaan dengan kekerasan.
Anwar Congo lahir sebagai jagal di tengah ekologi keke
rasan itu. Dan ia tak sendiri.
TEMPO, 2 Februari 2014
246 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka ANALEKTA
KONGHUCU adalah kearifan yang ditularkan dengan
kata-kata. Persoalan yang sering muncul: bagaimana
kata-kata, betapapun dinyatakan sakti dan suci, tak akan ber
ubahmakna ketika bersentuhan dengan dunia yang tak sakti
dan tak suci?
Barangkali orang perlu mencoba mendengarkan diam—
menyimak yang tak dikatakan.
Sejarawan Annping Chin menulis dalam The Authentic
Confucius: A Life of Thought and Politics (2007): ”Konghucu
tak ingin kata-katanya berakhir sebagai hukum.” Sebab ia
”mencintai seluruh perjalanan pribadinya buat menemukan
apa yang benar dan mungkin dicapai di antara pelbagai
variabel hid up”.
Sepanjang usianya yang 72 tahun, orang arif dengan jidat
seperti gunuk itu menyadari apa yang berlangsung dalam
dunianya penuh cacat. Ia hidup di masa ketika Cina dalam
keadaan rusuh. Perang antar-kerajaan berkecamuk, dunia
seakan-akan berubah jadi ajang kekerasan dan kerakusan.
”Yang benar” dan ”yang mungkin dicapai” terkadang tak
bertaut.
Apalagi ketika tatanan politik porak-poranda. Konghucu
tak percaya hukum akan membuat kehidupan beres. Yang per
lu dilakukan adalah menjalankan ritus. Saya tak yakin ia ben ar,
tapi di abad lain, di dunia dan pengalaman yang lain, Montes
quieu seakan-akan mengulanginya: ”Bila satu kelompokma
Catatan Pinggir 11 247
http://facebook.com/indonesiapustaka ANALEKTA
nusia (un peuple) punya ideal moral bersama yang baik (bonnes
moers), huk um akan jadi bersahaja.”
Tapi lebih penting dari itu adalah ”perjalanan pribadi”
untuk menemukan ”yang benar” dan ”yang mungkin dicapai”.
Yang tragis, perjalanan itu sering dihentikan oleh kekuasaan
(dan klaim Kebenaran) yang merenggutkan apa yang pribad i.
Maka dalam sejarah, Konghucu yang wafat 479 tahun
sebelum tarikh Masehi itu datang, disingkirkan, didatangkan
lagi, disingkirkan, didatangkan.... Sampai abad ke-21.
Dalam hidupnya, Konghucu berjalan dari tempat ke
tempat, yakin ia bertugas membereskan keadaan. Tapi tanpa
formula, tanpa hukum. Dalam Analekta—kumpulan ucapan
pend ek, dialog, dan anekdot yang dihimpun para ”murid”-nya
selama kurang-lebih 75 tahun setelah Sang Guru wafat—kita
akan menemukan sebuah proses usaha, ya, usaha, mengubah
dun ia.
Ia melatih kader-kader yang berbakat, yang ulung, dan siap
membereskan sebuah wilayah. Bila ia datang, ia biasanyadite
rima dengan hormat—tapi kemudian, setelah berhasil membe
reskan pemerintahan, intrik terjadi. Para pejabat istana merasa
tersingkir. Mereka tak mau menerima. Suatu ketika di sebuah
kerajaan sebuah siasat berhasil: para pejabat mengirim 80 pe
rempuan cantik untuk Menteri yang bertugas melind ungi
Sang Guru. Ketika Pak Menteri tak muncul di kantor selama
tiga hari, Konghucu dan murid-muridnya diusir.
Ada yang mengatakan, ia tak disukai karena ia dianggap
radikal.
Ia menghujat penguasa yang menindas, yang ia gambarkan
leb ih buas ketimbang macan. Orang arif ini juga agaknya terla
248 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka ANALEKTA
lu banyak mencerca. Laozi pernah mengatakan kepadanya:
”Jangan berisik, jangan seperti orang memukul genderang
untuk menemukan anak yang hilang.”
Tak mengherankan bila, dengan pelbagai alasan, ajarannya
diharamkan. Sekitar 213 tahun sebelum Masehi, maharaja
Cin a pertama, untuk mengendalikan pengetahuan di bawah
titahnya, membakar Analekta.
Tapi seperti saya katakan di atas, Konghucu yang pernah
disingkirkan juga pernah didatangkan lagi. Di bawah Wangsa
Han, ajarannya jadi ideologi negara sampai sekitar dua ribu
tah un kemudian. Menjelang pertengahan abad ke-20, Mao
Zedong memutuskan lain. Ajaran Sang Guru diganyang. Di
Qufu, di Provinsi Shandong, tempat kelahiran Konghucu, di
awal ”Revolusi Kebudayaan” yang gemuruh, Pengawal Merah
setempat menyerbu Situs Tiga Kong yang dikeramatkan.
Mula-m ula gagal. Tiga bulan kemudian, November 1966,
mereka berh asil. Makam Sang Guru dihancurkan sampai rata
dengan tanah. Januari 1967, para petani merampok makam itu
untuk mendapatkan harta terpendam.
Namun Konghucu tak seterusnya absen. Mao mangkat,
Rep ublik Rakyat Cina-nya berubah total. Abad ke-21 datang
bersama kapitalisme—tapi tanpa demokrasi. Para pemuda di
geb uk habis setelah demonstrasi di Lapangan Tiananmen, ke
kuasaan Partai dipulihkan. Tapi dengan perubahan.
Sementara gelora politik dari bawah diredam dengan sema
ngat untuk jadi kaya, Partai Komunis tak lagi menyebut diri
”partai revolusioner”. Marxisme-Leninisme dibisukan, dan
Kongh ucu didatangkan lagi.
Pada ulang tahun ke-2557 Sang Guru, yakni sewindu yang
Catatan Pinggir 11 249
http://facebook.com/indonesiapustaka ANALEKTA
lalu, Negara membakukan gambar wajahnya: pak tua berparas
lembut, dengan tangan tersilang di dada. Satu tradisi baru
dimaklumkan: pasangan suami-istri memperbarui sumpah
perk aw inan di depan patung pak tua itu. ”Harmoni itu hal
yang mesti dimuliakan,” Ketua Partai sudah mengutip kata-
kata dalam Analekta.
Kata-kata.... Pernah Konghucu menjawab, andai ia
berkuasa, yang pertama sekali akan dilakukannya adalah
”membenark an nama-nama”. Nama, atau kata, harus sesuai
dengan apa yang disebutkan, demikian keyakinannya. Hanya
dengan itu orang bisa bekerja.
Tapi ia tentu tahu, nama dan kata bisa meleset menandai—
dan meleset dimaknai. Setelah begitu banyak berpetuah dan
mencerca, ia tentu tahu, ada hal-hal yang bisa terjadi dalam di
am.
Menjelang akhir hidupnya, ia bertanya kepada para
muridnya: ”Berbicarakah Langit? Toh empat musim susul-
menyusul sesuai arah dan ratusan makhluk dilahirkan.
Berbicarakah Langit?”
TEMPO, 9 Februari 2014
250 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka DOUCH
APA yang dapat dikatakan tentang seorang algojo?
Sudah kita saksikan Anwar Congo dalam film doku
menterThe Act of Killing Joshua Oppenheimer: preman Medan
yang dengan bangga mengaku telah membantai banyak orang
”komunis” di pertengahan 1960-an, tapi di adegan terakhir
hamp ir sepenuhnya diam, hanya batuknya yang terdengar di
rum ah bekas tempat pembunuhan itu, hanya tubuh tuanya
yang lelah menuruni tangga....
Ketika film berakhir, tak ada cerita tentang apa yang terjadi
dengan Anwar Congo di saat itu, setelah itu. Akhirnya manusia
tak bisa lengkap didokumentasikan, pikir saya. Anwar Con go
tak hanya satu.
Mungkin begitu juga Douch. Nama sebenarnya Kang Kek
Iew. Dalam sejarah Kamboja yang berlumuran darah selama
dasawarsa 1970-an, ia pejabat Khmer Merah yang memimpin
Penjara Tuol Sleng, yang juga disebut ”S-21”. Ia tokoh kebe
ngisa n yang tak kalah mengerikan.
Selama empat tahun Partai Komunis berkuasa di Kamboja,
rib uan disekap di tempat yang berarti ”bukit pohon beracun”
itu.
Douch, direktur ”S-21” sejak 1975, adalah sang pencabut
nyawa. Ketika Khmer Merah kalah dan ia ditangkap dan
diadili, bukti-bukti ditunjukkan: ada perintah tertulisnya, mi
salnya, untuk ”menghantam sampai hancur” 17 tahanan (8 pe
mud a belasan tahun dan 9 anak-anak). Dalam daftar 20 tah an
Catatan Pinggir 11 251
http://facebook.com/indonesiapustaka DOUCH
an perempuan ia menulis instruksi di bawah tiap nama: ”ba
wa untuk dieksekusi”; ”terus diinterogasi”; ”untuk eksperimen
medis”.
Douch juga mengakui: anak buahnya merenggutkan bayi
dari ibu mereka dan membenturkan kepala orok itu ke pohon,
sampai mati.
Dari sekitar 17 ribu tahanan, hanya tujuh yang hidup.
Pejabat yang dulu seorang guru matematika ini orang yang
teliti tampaknya. Hampir tiap korban dicatat dan dipotret.
Ketika Khmer Merah meninggalkan Phnom Penh, lari dari
pasukan Vietnam yang masuk dan membentuk pemerintahan
sosialis baru, Douch tak sempat membakar dokumentasi itu—
dan itu yang menjeratnya.
Mengapakah kekejaman itu harus direkam? Ekspresi
sadism e seorang jagal? Atau bagian desain masa depan yang
diperkirakan akan perlu bukti pembantaian itu—masa depan
yang akan membenarkannya?
Douch percaya, itulah yang akan terjadi: masa depan
akan membenarkannya. Baginya, kekejaman tak terelakkan
untuk menggerakkan sejarah. Bukankah revolusi Prancis
”memenggal beratus-ratus kepala”? ”Tak peduli besarnya
korban,” kata Douch, ”yang penting adalah keagungan tujuan
itu sendiri.”
Ia katakan semua itu di suatu malam, di sebuah sudut hu
tan, di depan orang yang ditangkapnya dengan tuduhan
”mata-mata CIA”: François Bizot.
Bizot, antropolog muda dari Prancis, sedang mempelajari
Buddhisme di pedalaman Kamboja. Itu tahun 1971: bukan
periode yang aman bagi siapa pun. Kelompok komunis lokal,
252 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka DOUCH
”Khmer Merah”, baru bangkit, dan makin kuat justru karena
pengeboman Amerika. Berada di sekitar Angkor Wat yang me
reka kuasai, Bizot ditangkap. Ia dirantai di sebuah kamp ta
hanan kecil di hutan.
Dua temannya, orang Kamboja, juga ditangkap (dan
kemudian dibunuh). Bizot dibiarkan hidup. Bahkan akhirnya
setelah tiga bulan disekap, ia dibebaskan. Sekitar 30 tahun
kemudian, setelah lama diam, ia menulis buku tentang
pengalamannya itu, Le Portail—sebuah buku yang ditulisnya
dengan ”kep ahitan yang tak terhingga”.
”Kepahitan” agaknya bukan datang dari Douch. Orang
yang ia sebut ”penyiksa” ini membiarkan Bizot mandi di su
ngaidan berjalan-jalan di sekitar kamp. Bizot bisa berbahasa
Khmer, Douch berbahasa Prancis. Berangsur-angsur, ada se
mac am kecocokan di antara mereka berdua.
Di malam menjelang Bizot dibebaskan, Douch membuat
pesta: pidato, lagu-lagu, dan jamuan, dengan 13 ekor ayam
dipotong. Dan sampai fajar merekah, si tahanan dan si algojo
dud uk bercakap-cakap di depan api unggun yang pelan-pelan
pad am.
Apa yang bisa dikatakan tentang Douch? Ia lelaki yang amat
yakin tentang masa depan dan pada umur 29 tahun bersiap
jadi pembunuh. Tapi Douch juga yang mempertaruhkan nya
wanya sendiri ketika ia mengusulkan kepada para atasannya
yang bertangan besi agar Bizot dibebaskan.
Ketika kemudian Douch tertangkap dan dibawa ke depan
mahkamah, ada pertanyaan: maukah Bizot bersaksi? Kepada
koran Libération ia menjawab ”ya, jika pihak penuntut memin
tanya, ya, jika pihak pembela memintanya”.
Catatan Pinggir 11 253
DOUCH
http://facebook.com/indonesiapustaka Sikap yang mendua, tentu. Sebab baginya, jagal di Kamp ”S-
21” itu tokoh yang tragis, ”seorang anak yang memberanikan
diri hidup di antara serigala”. Agar hidup terus, ”ia minum susu
mereka, dan belajar melolong seperti mereka”. Sejak itu, Teror
berkuasa dan ”membujuknya untuk memakai wajah moralitas
dan ketertiban”.
”Moralitas” berarti keyakinan komunis yang murni se
murni-murninya, ”ketertiban” membasmi apa saja yang di
anggap cacat. Douch hidup dengan ekologi kekerasan sejarah
modern Kamboja: kolonialisme, Perang Dingin, intervensi
Amerika dengan bombardemennya, Perang Vietnam, Revolusi
Kebudayaan Cina, kebrutalan penguasa, dan kesengsaraan di
pedalaman.
Dari semua itu lahir niat dengan ideologi untuk mengubah
dun ia, dengan iman yang mutlak dan menggelegak. Dunia
pun dibelah: ada yang ”lama” dan yang ”baru”, ”patriot” dan
”pengkhianat”, ”proletar” dan ”borjuis”. Sejarah adalah cerita
dua kubu yang saling menghantam untuk jadi Merah atau
Hitam.
Dengan pandangan itu, seorang Douch tak akan tertegun
bila sadar bahwa selama pemerintahan Khmer Rouge sekitar
dua juta orang Kamboja dibunuh. Dan kita pun akan ingat se
mua kebengisan sejak 1914 dan kata-kata Elias Canetti: ”It is a
mark of fundamental human decency to feel ashamed of living in
the 20th century.”
Agaknya itulah dasar ”kepahitan yang tak terhingga” yang
mengiringi Bizot menulis.
TEMPO, 16 Februari 2014
254 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka RACUN
BAHASA datang, dan kemudian penghancuran. Kini
orang bisa dengan mudah menulis atau membaca kata-
kata yang agresif, makian kasar, dan kalimat benci yang brutal
di Internet, terutama dalam Twitter. Mungkin semua itu ha
nyaekspresi tak matang dan gagah-gagahan anak muda. Tapi
jangan-jangan tak selamanya ”anak muda”. Jangan-jangan ada
sesuatu yang lebih serius.
”Bahasa tak semata-mata menulis dan berpikir bagiku; ia juga
mak in lama makin mendikte perasaanku dan mengatur keselu
ruhan hidup rohaniku dan tanpa sadar aku menyerah sepenuhnya
kepadanya. Dan apa yang terjadi jika bahasa yang diolah itu
terbuat dari anasir yang beracun...?”
Kata-kata itu ditulis diam-diam oleh Victor Klemperer di
Jerman di bawah kekuasaan Nazi, antara tahun 1933 dan 1935,
ketika kebencian adalah bagian dari hidup sosial-politik.
Klemperer, guru besar sastra di Universitas Teknologi
Dresden, mengalami sendiri bagaimana bahasa membubuhkan
mark a-marka ke jalan kematian. Dikerumuni pidato, poster,
pers propaganda yang terus-menerus, orang Jerman hidup da
lam bahasa yang akhirnya memisahkan mana yang Jerman (as
li) dan yang bukan (Yahudi). Klemperer dicopot dari statusnya
karena ia ada di bawah kata ”Yahudi”, dan ribuan orang lain
masuk ke kamar gas.
Catatan-catatan itu kemudian diterbitkan dengan judul
LTI–Lingua Tertii Imperii: Notizbuch eines Philologen pada
Catatan Pinggir 11 255
http://facebook.com/indonesiapustaka RACUN
1947 dan terbit dalam versi Inggris pada 2002. Petilan-petilan
nya menunjukkan bagaimana traumatisnya pengalaman
Klemperer: ”Kata-kata dapat seperti dosis-dosis kecil arseni
kum: ditelan tanpa disadari, seakan-akan tak punya efek, dan
kemudian sejenak lagi reaksi racunnya merasuk.”
Merasuknya arsenikum yang tanpa disadari itu yang
agakn ya menyebabkan tak mudah menganalisis bagaimana
proses pembinasaan itu bekerja. ”Aku sendiri tak pernah bisa
mengerti,” tulisnya, ”bagaimana ia [Hitler], dengan suaranya
yang tak merdu dan bising, dengan kalimat-kalimatnya yang
kasar dan bentukannya bukan-Jerman..., bisa memikat orang
banyak dengan pidato-pidatonya....”
Barangkali orang banyak itu sedang membutuhkan suara
yang tak merdu dan bising—bukan suara puisi Goethe atau
Rilk e. Atau mungkin manusia tak sepenuhnya, dan tak selalu,
sadar bahwa kekerasan itu cocok baginya. Manusia hidup da
lam yang disebut oleh Žižek (dengan sedikit berlebihan, seperti
biasa) ”rumah penyiksaan melalui bahasa”, torture-house of
language. Sejak bayi, manusia dibentuk oleh makna kata yang
ditentukan ayah-ibu, keluarga, masyarakat, dan Negara—
dan tak bisa membebaskan diri sepenuhnya dari bentukan itu,
mesk ipun dengan makna itu manusia berselisih.
Atau tindas-menindas.
Bagaimanapun, ada kekuasaan dalam bahasa. Dalam Alki
tab dikisahkan bahwa Tuhan memberi mandat kepada Adam
untuk memberi nama kepada hewan—dan sejak itu Adam
berkuasa untuk, misalnya, memisahkan ulat dari kupu-kupu.
Pem isahan akhirnya juga terjadi dengan label ”Yahudi”, ”neg
ro”, ”Eropa”, ”kiri”, ”kanan”, ”liberal”, ”kafir”, dan lain-lain.
256 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka RACUN
Orang pun dikurung.
Sebab bahasa selalu punya dorongan untuk menstabilkan
makn a. Kamus disusun dan batasan diteguhkan. Sekolah,
mahk amah, dan polisi menegaskannya. Kekuasaan lahir dari
ujung bedil, kata Mao Zedong. Tapi sebelum bedil dimaknai
seb agai senjata yang bisa membunuh, tak akan ada kekuasaan.
Bahkan bahasa bisa mematikan sebelum bedil ditodongkan.
Mao sendiri menggunakannya dalam Revolusi Kebudayaan
yang diledakkannya di seluruh Cina pada pertengahan 1960-
an. Xing Lu, pengajar di DePaul University, menulis Rhe
toric of the Chinese Cultural Revolution (2004): sebuah doku
mentasi panjang tentang hubungan kata dan pembinasaan.
Poster dengan huruf-huruf besar yang ditulis Pengawal Merah
memuja-m uja Mao sebagai ”matahari yang paling merah dari
yang termerah”, tapi berisi makian, cercaan, kepada ”musuh-
musuh rev olusi”—makin lama makin memekik, dengan
nama-nama bin atang: ”despot-anjing”, ”ular”, ”babi”.... Kata-
kata kotor dianggap jadi lambang militansi.
Bahasa kekerasan itu, dalam catatan Xing Lu, berakhir de
ngan tindakan kekerasan. Pengawal Merah menyiksa dan
memb unuh kaum ”kontrarevolusioner” di mana-mana. Ayah
XingLu sendiri salah satu korbannya.
Satu insiden yang menarik ialah ketika seseorang disekap
dan dilarang berbicara selama berhari-hari. Begitu Revolusi
Keb udayaan dihentikan oleh Mao, orang itu dibebaskan. Tapi
selama berminggu-minggu ia bisu. Ia kehilangan bahasa.
Sebab bahasa pada mulanya adalah proses pertemuan.
Pertemuan: ketika engkau hadir bukan sebagai rupa yang telah
dip ipihkan jadi rata, melainkan wajah yang bisa berbicara,
Catatan Pinggir 11 257
http://facebook.com/indonesiapustaka RACUN
tersenyum, dan bersentuhan. Pengawal Merah tak berhadapan
dengan wajah itu. Juga penulis kata-kata kebencian dalam
Twitter. Mereka sebenarnya mengelak dari pertemuan apa
pun, justru ketika mereka sibuk sepenuhnya dengan kata-kata.
Hannah Arendt agak keliru ketika ia membedakan, bahkan
mempertentangkan, kekuasaan dengan kekerasan. Bagi saya,
sen antiasa ada unsur kekerasan dalam kekuasaan. Tapi Arendt
benar bahwa ada wilayah di mana kekerasan tercegah: kehi
dupan politik sebagai kehidupan dengan Vorhandensein von
Anderen, hadirnya orang lain secara wajar dalam pertemuan.
Itulah yang tak ada dalam amuk massa—juga tak ada ketika
kita duduk memisah dari orang lain dan menulis di Twitter.
Tapi hanya dalam pertemuan, racun dalam kata-kata bisa
menemukan penangkalnya.
TEMPO, 23 Februari 2014
258 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka UNIVERSITAS
SELAMA lebih dari setengah abad, mungkin tak lebih dari
50 orang yang pernah datang ke ruang di Pod vodárenskou
vez i4 di Kota Praha itu.
Sejak tahun 1958, di sana tersimpan 315 jilid kitab suci dari
Tibet, bagian dari perpustakaan Pusat Studi Dunia Timur di
Rep ublik Cek itu. Tapi sebenarnya tak jelas adakah di sana
Tibetologi diminati secara luas, dan apa pula manfaatnya bagi
bangsa yang jutaan kilometer terpisah dari Asia itu.
Tapi ”manfaat” adalah kata yang tak selamanya pantas di
pakai. Seorang filosof Cina tiga abad sebelum Masehi pernah
dikutip mengatakan, ”Orang semua tahu manfaatnya hal yang
bermanfaat, tapi mereka tak tahu manfaatnya hal yang tak
bermanfaat.” Simon Leys mengingatkan kita akan kearifan
Zhuang Zi itu dalam kumpulan esainya yang asyik dan pintar
yang ia beri judul (tentu saja) The Hall of Uselessness.
Leys berbicara tentang universitas—sebuah lembaga yang
di mana saja didirikan dengan pengharapan yang muluk. Tapi,
bagi Leys, itu juga lembaga yang seharusnya bebas dari kata
”manfaat”. ”Kegunaan yang tertinggi dari universitas,” tulis
Leys, ”terletak pada apa yang oleh dunia dianggap sebagai
ketidakbergunaannya.”
Bisa kita bayangkan Menteri Pendidikan, para anggota
parlemen yang mengurus anggaran sekolah tinggi, serta orang
tua yang mengidamkan anaknya lulus dan punya karier yang
tajir di perusahaan ternama akan terenyak merenungkan
Catatan Pinggir 11 259
http://facebook.com/indonesiapustaka UNIVERSITAS
paradoks itu: universitas itu penting untuk dilihat sebagai
sesuatu yang tak berguna.
Soal ini soal lama, sebab Leys bukan orang pertama yang
men gemukakannya. Lebih terkenal lagi Kardinal Newman.
Rohaniwan ini pada 1854 menjadi Rektor Catholic University
of Ireland. Empat tahun kemudian, setelah pensiun, ia
menerbitkan kuliah-kuliahnya dalam The Idea of a University:
sebuah karya klasik yang mempertahankan prinsip bahwa
”pengetahuan mampu menjadi tujuannya sendiri”. Dengan
itu, Newman menegaskan universitas sebagai dunia keilmuan
yang tak dilecut prinsip ”semua-mesti-mengandung-guna”,
semangat utilitarianisme yang menganggap bahwa yang ”tak
berguna” sama dengan ”tak bernilai”.
Kita ingat 315 jilid kitab suci kuno dari Tibet yang dirawat
terus di perpustakaan yang tak mencolok di Kota Praha itu:
bend a-benda yang tak pernah digugat buat apa, tapi selalu bisa
ditelaah oleh seorang dua orang yang dalam kesendirian mere
ka mengerti, ada sebuah nilai lain dalam hidup.
Nilai lain itu adalah apresiasi kepada yang ”baik”. Kardinal
Newman: ”Meskipun yang berguna tak selalu berarti baik,
yang baik selalu berguna. Baik tak sekadar baik, tapi merepro
duksi kebaikan.”
Dengan pikiran seperti itulah Kardinal Newman menya
takan bahwa baginya lebih baik sebuah universitas yang tak
mengajarkan apa-apa ketimbang sebuah universitas yang ”me
nuntut para anggotanya agar kenal dengan setiap ilmu yang
ada di bawah matahari”. Artinya si mahasiswa harus bisa
mengg eluti pengetahuan-pengetahuan yang mencerdaskan
dan membuka pikiran, tapi tak berguna. Ia harus jadi seorang
260 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka UNIVERSITAS
gentleman yang tak didera nafsu mendapat manfaat dari tiap
geraknya.
Pendirian Newman juga tak baru. Ia bagian dari sebuah
polemik panjang yang berkecamuk di Inggris di masanya—
dan berlanjut ke pelbagai penjuru dunia di masa ini.
Di sebuah ruang di University College London ada mumi
yang disimpan di sebuah almari: sosok bertopi yang agak me
melas dan sedikit mengerikan. Tapi itulah jenazah Jeremy
Bentham, filosof Inggris menjelang pertengahan abad ke-19,
pelopor utilitarianisme.
Berdasarkan pemikirannya, The University of London di
dirikan sebagai perguruan tinggi yang berniat mengajarkan
segala sesuatu yang berguna. Bentham memperkenalkan asas
chrestomathic. Apa itu tak jelas, tapi umumnya ditafsirkan
sebagai ”cocok dan bagus untuk belajar yang berguna”. Adapun
”yang berguna” itu bisa luas sekali: dalam prospektus universitas
itu dari tahun 1825, terbaca mata kuliah matematika, teknik,
hukum, bahasa Hindustan, Sanskerta, ilmu ekonomi....
Mungkin ini ada hubungannya dengan kepentingan para
pem egang saham yang mengongkosi universitas itu: para
pejabat pemerintahan dan pengusaha yang berhubungan
dengan kep entingan dagang di India. Tapi semangat
chrestomathic itu juga mencerminkan kepentingan kelas
sosial yang makin agresif di Inggris—yang punya model yang
berbeda dari gentleman ala Kardinal Newman. Kelas ini tak
ingin jadi priayi yang tinggal tenteram (dan merenung) di
menara gading.
Zaman memang berubah. Kata-kata Flaubert, novelis
Prancis pelopor realisme, menunjukkan perubahan itu:
Catatan Pinggir 11 261
http://facebook.com/indonesiapustaka UNIVERSITAS
”Aku selalu mencoba hidup di sebuah menara gading, tapi
gelombang tahi selalu menerpa dindingnya, mengancam akan
mengguyahkannya.”
Di negeri-negeri yang lahir dari revolusi sosial dan politik,
setelah kolonialisme, termasuk Indonesia, ”menara gading”
memang tak akan dibiarkan. Dianggap dosa. Tapi bukan ”ge
lombang tahi” yang mengguyahkan eksklusif itu, melainkan
rasa keadilan, mendesaknya problem keterbelakangan yang
harus dijawab, dan kehendak mengubah sejarah.
Tapi ada juga ”gelombang tahi” yang lain, bernama
komersialisasi. Universitas bukan lagi tempat pengetahuan
berproses.Ia jadi pabrik tenaga yang mau serba praktis. Ia jadi
tempat orang berbelanja ”keterampilan”.
Dalam tulisannya yang saya kutip di atas, Leys mengambil
sikap. Ketika universitas tempat ia mengajar menyebut
mahasiswa sebagai ”konsumen”, ia tahu itu saatnya ia harus
mengundurkan diri. Universitas memang akan guyah ketika
ia jadi mall.
TEMPO, 2 Maret 2014
262 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MELANKOLIA
SEJARAH Indonesia (dan agaknya bukan hanya sejarah
Ind onesia) bermula dari euforia dan berlanjut dengan me
lankolia. Revolusi 1945 dimulai dengan proklamasi yang yakin
meskipun di tengah ketidakjelasan apa yang harus dilakukan.
Tap i pada akhir 1950-an, euforianya hilang di jalan. Maka di
tahun 1958 Bung Karno membuat manifesto yang menyata
kan”menemukan kembali Revolusi”—meskipun ternyata ”re
volusi”, ketika ia ditemukan lagi, tak mungkin sama dengan
yang dahulu. Demikian juga Reformasi 1998: perubahan ini
dengan mengesankan memulihkan demokrasi yang sesat di
jalan selama 40 tahun, tapi hampir dua dasawarsa semenjak
itu, orang berkeluh-kesah lagi.
Barangkali euforia mendorong kita untuk lupa bahwa ada
yang statis dalam yang bergerak maju—satu hal yang tampak
nya tak mudah diatasi, dan yang bukan cuma dalam sejarah
Indonesia. Gunter Grass pernah menulis tentang ”kemandekan
dalam kemajuan” yang dimuat dalam Aus dem Tagebuch
einer Schnecke (saya baca versi Inggrisnya, From the Diary of a
Snail)—dan ia menggunakan siput sebagai kiasan. Baginya,
schnecke, siput, adalah jalan yang pelan, yang membosankan
(kecuali bagi si siput sendiri), tapi bagaimanapun itulah
langkah-langkah perubahan.
Di akhir 1960-an itu, sekitar sepuluh tahun sebelum ia
mend apatkan Hadiah Nobel untuk Kesusastraan, Grass aktif
berk ampanye untuk Partai Sosial Demokrat. Dan orang tahu
Catatan Pinggir 11 263
http://facebook.com/indonesiapustaka MELANKOLIA
apa yang ditawarkan sebuah partai dengan agenda sosial-
demokrasi: hasrat untuk perubahan besar, dari rasa keadilan
yang dilukai, tapi semua harus terjadi tanpa revolusi. Biar
lambat, asal tak segera tamat. Biar siput, asal berlanjut.
Dengan itu Grass membedakan diri dari kalangan radikal
sayap kiri yang mendesakkan transformasi sosial dari akar-
akarn ya. Ia tak ingin terjebak dalam gambaran masa depan
yang demikian sempurna sehingga harus dicapai dengan
mengorb ankan apa pun—sebab itu sebuah agenda yang
umumnya berakhir dengan kekecewaan.
”Hanya mereka yang tahu dan menghargai kemandekan
dalam kemajuan,” tulisnya, ”yang pernah sekali atau lebih dari
sek ali menyerah, yang pernah duduk di atas cangkang siput
dan mengalami sisi gelap utopia, hanya mereka itu yang dapat
menilai kemajuan.”
Seorang sosialis yang ingin perubahan tapi sekaligus juga
seo rang demokrat yang tak hendak jadi diktator perubahan
adalah seorang yang telah menyaksikan hubungan antara
utopia dan melankolia.
Grass berbicara tentang melankolia ketika ia, semasa kam
panye di awal 1970-an itu, diminta berceramah di Nürnberg
untuk memperingati Albrecht Dürer.
Ia mengambil sebuah kartu pos berisi reproduksi dari
litograf karya perupa abad ke-16 itu, Melencolia I. Dürer
melukisnya 500 tahun yang lalu: sosok perempuan bersayap
yang duduk merenung di antara benda dan suasana yang penuh
teka-teki sampai hari ini. Mungkin ia seorang malaikat yang
beristirahat. Mungkin ia jenius yang sedang berhenti ketika
tengah memecahkan sebuah problem. Yang jelas, di sekitarnya
264 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MELANKOLIA
berseraka n martil, alat-alat kerja, hewan yang terenyak, bujur
sangkar geometris bertulisan angka-angka.
Agaknya bagi Grass, kombinasi dan kontras itu hendak di
pak ai Dürer sebagai penanda: makhluk itu perkasa tapi mu
rung. ”Sebagaimana kita sekarang, ia melihat batas dari
zamannya.” Makhluk bersayap itu ingin mampu mencapai
yang diidamkannya, tapi ternyata tak sepenuhnya. Ada utopia,
setelah itu melankolia. Melankolia dan utopia, kata Grass,
saling menyuburkan.
Seorang teman, Taufik Rahzen, menyarankan kepada saya
agar mencoba melihat suasana dalam karya Dürer yang dibahas
Grass itu dalam hubungannya dengan politik di Indonesia.
Saya kira ia tak mengada-ada. Demokrasi, seperti ditunjukkan
Grass, juga seperti bisa kita saksikan di sini, hidup di antara me
lankolia dan utopia. Demokrasi bisa diartikan sebagai sebuah
prosedur yang teratur, pemilihan umum dan pergantian
pengurus kenegaraan yang dilakukan secara ajek. Tapi proses
yang ”itu-itu juga” itu menunjukkan bahwa perubahan harus
selalu dilakukan lagi: seperti statis, tak pernah dramatis. Sering
dilupakan, prosedur itu dulu dilahirkan dari hasrat yang
intens untuk perubahan yang tak setengah-setengah, seperti
makhluk bersayap yang hendak terbang, seperti jenius yang
hendak memecahkan soal yang paling sulit.
Makhluk itu, jenius itu, seperti dalam karya Dürer, akhir
nya terduduk. Dan kita, seperti Grass, akan ”berdiri tak berge
rakdi tengah kemajuan”. Tapi sementara itu kita tahu, betapa
murungnya untuk harus sabar seperti mengikuti siput.
TEMPO, 9 Maret 2014
Catatan Pinggir 11 265
http://facebook.com/indonesiapustaka
266 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MERAH
Aku berdiri di Ukraina yang berduka
disalib Moskow di tiang pancang yang lurus
SAJAK itu ditulis, lalu kertasnya dibakar, dan ditulis
kembali dari ingatan di negeri jauh yang aman. Penulisnya
Oleksa Hai-Holovko, tahun 1933—tahun Holodomor, tahun
”Kelaparan Besar”. Suaranya murung, tapi sebenarnya geram.
Ia mengenang kematian 10 juta orang Ukraina yang kekurang
an pangan setelah dipaksa mengikuti kebijakan Stalin.
Awal 1930-an, Stalin, dari kursinya di Kremlin, menitahkan
industrialisasi. Tanah-tanah pertanian harus menopang pem
bangunan itu, dan agar lebih efektif, pertanian dijadikan satu
usaha kolektif. Tanah milik pribadi diambil alih. Tiap orang
harus bekerja dalam kelompok, harus memenuhi kuota yang
ditetapkan bagi hasil kerja yang harus diserahkan kepada Ne
gara. Keputusan ini tak boleh dibantah. Yang menentang akan
dianggap sebagai ”kulak”—tuan tanah, setan desa—dan di
tangkap.
Ketakutan pun meluas. Kemudian kelaparan. Dan Holo
domor jadi dendam nasionalisme Ukraina.
Masa lalu yang punya endapan buruk bisa keruh bertahun-
tahun. Kebencian dan purbasangka berhadapan, tusuk-menu
suk. Orang tak tahu apa yang harus dilakukan. Terutama keti
ka jejak sejarah adalah pembunuhan.
”Kita punya hubungan khusus dengan kematian,” tulis
Catatan Pinggir 11 267
http://facebook.com/indonesiapustaka MERAH
Svetlana Alexievich dalam La fin de l’ homme rouge (”Akhir
Man usia Merah”). ”Apa harga hidup manusia jika di masa lalu
yang belum lama jutaan orang mati karena kekerasan? Kita
dipenuhi kebencian dan prasangka. Kita semua datang dari
sana, negeri yang mengalami Gulag, tempat-tempat tahanan
disek apdan sebuah perang yang mengerikan....”
Svetlana Alexievich, pada usia 66 tahun, mungkin satu-
satunya penulis di negeri bekas Uni Soviet yang telaten
mengusut masa lalu itu. Yang khas pada hampir semua
karyanya, juga pad a buku terbaru ini: ia menakik ingatan
orang-orang yang tak dikenal. Di tengah kuburan luas dan
sisa pertumpahan darah yang bernama Rusia, katanya,
berlangsung ”sebuah dialog yang abadi antara algojo dan
para korban”. Dan pertanyaan yang terkutuk adalah (bagi
orang Rusia, tapi menurut saya juga bag i orang bukan Rusia,
misalnya orang Indonesia) ”apa yang harus dilakukan dan
siapa yang harus disalahkan”.
Svetlana Alexievich mendengarkan suara mereka yang
disebutnya sebagai Homo Sovieticus: jenis manusia yang di
ciptakan oleh ”laboratorium Marxisme-Leninisme” selama
70 tahun. ”Rasanya aku kenal orang ini,” tulisnya. ”Aku
bahkan mengenalnya dengan baik; kami hidup berdampingan
bertahun-tahun. Dia—itulah aku. Ia jenis orang-orang yang
sering aku temui, teman-temanku, orang tuaku. Aku berkelana
di seantero wilayah yang dulu Uni Soviet... sebab homo sovie
ticus buk an hanya orang Rus, tapi juga Belarus, Turkmeni,
Ukraina, Kazakh....”
Orang-orang ini dengan segera bisa saling cocok. Mereka
pun ya ”kamus” sendiri. Ada kata-kata yang terdengar
268 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MERAH
berulang dalam hampir tiap percakapan, ”tembak”, ”bedil”,
”dilikuidasi”. Kekerasan, pembasmian, tampaknya merayap
dalam bahasa dan di bawah sadar.
Mereka, kata salah seorang yang direkam, sulit untuk
melihat masa lalu dengan garis jelas tentang benar dan salah.
Di masa lalu itu, masa sosialisme, hidup lebih intens karena
ada yang dikorbankan untuk sesuatu yang ideal. Semua
dihalalkan— baik kebrutalan maupun nasib penderitanya.
”Kenapa kita belum mengadakan pengadilan atas Stalin?”
kata salah seorang yang ditemui Svetlana Alexievich. ”Untuk
mengh akimi Stalin orang harus menghakimi pula keluarganya
sendiri, orang-orang yang dikenalnya.... Bukan hanya Stalin
atau Beria... tapi juga Yura, dan Olya yang cantik itu.” Maka,
kita tak bisa menjadi hakim menurut ”hukum logika”. Kita
harus menghakimi berdasarkan ”keyakinan”.
Tapi keyakinan apa? Agaknya keyakinan yang mereka, ho
mo sovieticus, pegang erat-erat: komunisme. ”Komunisme pu
nya sebuah proyek gila,” tulis Alexievich, ”yakni mengubah
manusia ’lama’, Adam yang tua. Dan itu berjalan....”
Itu sebabnya La fin de l’ homme rouge menyidik apa yang
disebutnya sebagai sejarah sosialisme ”interior”. Dengan kata
lain, bagaimana sosialisme dialami, membentuk diri, semula
tanpa dipercakapkan, sebab itulah kehidupan sehari-hari—
yang akhirnya dinyatakan buntu.
Di kebuntuan itu dunia mereka mendadak berubah dan
mereka merasa asing. Mereka merasa betapa absurdnya kapita
lisme diterapkan di tengah kehidupan mereka. ”Orang Rusia,”
kata salah seorang homo sovieticus, ”bukan orang yang rasional
ataupun pintar dagang... kontemplatif dan bukannya aktif,
Catatan Pinggir 11 269
http://facebook.com/indonesiapustaka MERAH
bisa puas dengan yang sedikit.” Bagi suara ini, orang-orang
Rusia mem ang ”Bolsyewik”. ”Mereka tak hanya ingin hidup,
mereka ingin punya tujuan. Mereka ingin jadi bagian dari
sesuatu yang agung.”
Terasa di sini ada sikap memilih potret diri yang ideal
dalam percakapan itu. Kita memang lazim memandang diri
sebagai pelawan yang punya harga diri ketika zaman sedang
menyingkirkan kita. Yang tragis dari ”manusia merah”,
l’ homme rouge, yang sedang menemui akhir itu, adalah karena
harus merasak an betapa utopia yang dulu telah jadi nostalgia.
Tentu seraya melupakan apa yang memberat di hati orang
mac am Oleksa Hai-Holovko dengan dendam Ukraina.
TEMPO, 16 Maret 2014
270 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka JOYOBOYO
SELALU ada apokalipse, selalu ada ramalan, selalu ada
Joyoboyo. Mungkin gempa dan letusan gunung yang tak
putus-putusnya yang merundung hidup kita—dan sesekali ju
gaguncangan politik dan ekonomi yang mencemaskan—telah
membuahkan pola seperti itu dalam pandangan kita tentang
sejarah.
Tak lama setelah tsunami, banjir, letusan Gunung Sinabung
dan Merapi, orang (terutama di Jawa Tengah) berbisik-bisik
kembali menyebut ”ramalan Joyoboyo”. Ini bukan pertama
kali ini terdengar. Dari buku Peter Carey Takdir, Riwayat
Pangeran Diponegoro (1785-1855), sebuah karya historiografi
yang dengan saksama dan penuh simpati menguraikan sosok
Diponegoro dan masanya, kita tahu bahwa ”ramalan” muncul
dan dib icarakan sebagai tanda krisis.
Antara Januari 1817 dan April 1821, Jawa Tengah selatan
adalah sebuah dunia yang sakit dan ambruk. Panen padi nyaris
tanp a hasil. Kemarau panjang yang tak lazim saat itu menimpa.
Hampir empat bulan tak turun hujan, sawah terbengkalai ke
kurangan air, angin kering bertiup dari arah laut. Kemudian,
Juni 1821, ”wabah kolera Asia pertama” melanda. Di Pacitan,
tiap hari ada orang mati, dan diangkut dari perkebunan lada
dan kopi. Tubuh mereka lemah karena pangan tak lagi cukup;
hanya akar-akaran dan dedaunan yang bisa dimakan. Warga
desa semua mengungsi.
Wabah itu dijangkitkan para pelaut dari Pulau Pinang dan
Catatan Pinggir 11 271
http://facebook.com/indonesiapustaka JOYOBOYO
Melaka. Mula-mula yang terserang penduduk kompleks kaum
pend atang di Terboyo, Semarang. Pada awal Mei, penyakit me
nular itu menyebar ke sepanjang pantai utara Jawa. Di Batav ia,
hampir 160 orang mati setiap hari. Hingga akhir 1821, di Su
rabaya, Madura, dan ujung timur, korban mencapai 110 ribu
orang, atau sekitar 7 persen dari seluruh penduduk.
Syahdan, dua tahun sebelumnya ada seorang ”guru pertapa”
di Blitar, Jawa Timur, yang telah meramalkan bencana itu.
Meskipun nujumnya sedikit meleset dalam soal waktu,
malapetaka yang dilukiskannya mirip:
”Dalam tahun Jawa Alip mendatang (Masehi: 21 Oktober
1819-8 Oktober 1820) akan datang wabah besar dari bagian ba
rat. Bala tentara dari roh Taragnyono akan tampak seperti kab ut;
bentuknya macam-macam, ada yang seperti lipan, kalajengk ing,
ular, dan macan, pokoknya semua yang berbisa. Samp ar yang
dari timur akan dibawa oleh Nyai Roro Kidul dan bala tenta
ranya....”
”Setelah wabah itu datang, Jawa akan menjadi lautan darah
dengan mayat-mayat yang hanyut mengambang....”
Memang pada 1825 kita tahu sesuatu ternyata terjadi dan
ribuan orang akan tewas dalam perang.
Gunung Merapi meletus;
pucuknya seolah terlontar mencapai langit.
Yogyakarta serasa tertutup olehnya.
Langit menjadi api....
272 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka JOYOBOYO
Baris-baris dalam Babad Dipanegara itu, yang disebut seba
gai otobiografi sang pangeran pemberontak, disusul dengan
sebuah deskripsi: Diponegoro bersama istrinya keluar dari
pekarangan rumah Tegalrejo. Ia menyaksikan gunung yang
sedang terb akar dan bumi yang terguncang. Sang pangeran
tak kaget. Ia tersenyum dalam hati: murka Allah telah datang.
Itu saat apokaliptik, pertanda Ratu Adil akan muncul, seba
gaim ana tercantum dalam ”Ramalan Joyoboyo”.
Dalam khazanah sastra dan pemikiran Jawa, ramalan
tampaknya satu bentuk wacana harapan-harapan yang
hancur—baik yang kita dengar dari sang guru pertapa di
Blitar maupun dari sebuah sumber yang disebut sebagai
Raja Jayabaya. Tapi dari puing-puingnya terbit harapan yang
radikal: di dunia yang tak adil, ada yang membawa penangkal
semua itu, disebut ”Ratu Adil”.
Dalam mithologi lain, ”tokoh” ini, Mesiah, hadir dalam
waktu yang oleh orang Yunani (dan kemudian dipergunakan
dalam theologi Kristen) disebut kairos, saat penantian yang
intens yang melebur ”dulu”, ”kini”, dan ”nanti”. Tapi bila
sebagianagama yakin Juru Selamat akan datang pada akhir
zaman, di tengah paceklik dan kolera di Jawa pada abad ke-
19 itu, atau kapan saja kehidupan sosial remuk-redam, justru
waktu sendiri yang seakan-akan berakhir.
Maka Ratu Adil, seperti yang dikisahkan dalam riwayat
Dipon egoro, tak mengenal ”kelak”. Dalam meditasinya di
Gua Selarong, sang pangeran merasa ia dipertemukan dengan
Ratu Adil sendiri (meskipun ia tak bisa melihat wajahnya) di
atas sebuah bukit.
Pada saat itulah tekadnya matang: ia akan melawan
Catatan Pinggir 11 273
http://facebook.com/indonesiapustaka JOYOBOYO
zamannya yang buruk. Dengan itu tampak kesadaran bahwa
janji tentang Keadilan hanya bisa dipenuhi dalam waktu
kehidupan praktis sehari-waktu yang linear, yang dapat
dihitung dalam hari, pekan, bulan, dan tahun. Kairos ditarik
ke dalam kronos, waktu yang linear itu. Dengan kata lain,
Keadilan (dengan ”K”) hanya bisa jadi keadilan dalam sejarah.
Diponegoro melancarkan perang yang sengit untuk sebuah
harapan yang radikal seraya tahu bukan dia sang Ratu Adil
yang mengatasi waktu. Ia hanya sarananya. Sebuah nujum
menyebut, peran itu tak akan lama: sira srananipun/ mapan iku
tan dawa...” (engkaulah sarananya/ meskipun hal itu tak akan
lama).
”Sekali berarti, sudah itu mati,” tulis Chairil Anwar dalam
sajaknya, Diponegoro. Yang penting bukanlah hidup atau mati,
melainkan membuat perjuangan berarti. Dengan itulah ha
rapan mendapatkan ”daya mesianik”: harapan akan Keadilan
itumampu melebur batas waktu.
TEMPO, 23 Maret 2014
274 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka LUMRAH
Mengapa ya, seekor anjing, yang tidur berjemur, kelihatan indah, ya kan,
indah, sementara seseorang yang berdiri di depan ATM untuk ambil uang
kelihatannya tolol betul?
LAKI-LAKI itu bertanya dan perempuan itu tak menjawab.
Percakapan dengan cepat berganti topik. Di antara mere
ka berdua waktu terbatas. Laki-laki dan perempuan itu sadar
mereka tak akan ketemu lagi dan banyak yang ingin diucapkan.
Tiap percakapan adalah saat yang berarti, meskipun tak per
nah selesai. Ya, tiap percakapan—meskipun tentang hal yang
biasa, yang lumrah, selumrah anjing yang tidur berjemur.
Film Before Sunrise tak terlupakan justru karena itu: kisah
tentang saat-saat yang lumrah, tentang 12 jam yang tanpa
drama dalam hidup dua orang yang tak sengaja bertemu
dan tak pun ya tujuan tertentu. Jesse naik kereta di Budapest
menuju Wina dari mana ia akan terbang kembali ke Amerika,
dan Celine menuju Paris, kembali kuliah. Dalam gerbong itu
mereka terlibat dalam percakapan, dan makin lama makin
merasa percakapan itu menyenangkan. Maka Celine setuju
untuk turun di Wina sampai esok paginya, sampai pada pukul
09.30 saat Jesse dengan Austrian Airlines kembali ke Amerika.
Jesse tak punya cukup uang untuk menginap di hotel;
mereka memutuskan untuk hanya berjalan sepanjang malam
menyusuri kota. Berjalan, bercakap-cakap, minum di kafe,
berbaring di taman, berciuman, tapi tak lebih. Mereka tahu,
Catatan Pinggir 11 275
http://facebook.com/indonesiapustaka LUMRAH
beberapa jam lagi mereka tak akan saling melihat. Mereka
takut akan saling kehilangan.
Pertemuan itu begitu sementara. Anehnya kita, yang meng
ikutin ya, justru tersentuh oleh apa yang sementara. Percakapa n
itu begitu biasa, tapi kita pelan-pelan tahu bahwa yang lumrah
itu justru istimewa.
Mungkin karena film ini terasa sebagai antithesis terhadap
hari ini. Kita hidup di dunia yang dibentuk oleh media untuk
terpukau hal-hal yang tak biasa. Kita menengok ke sekitar dan
pasar membujuk kita terpikat benda-benda yang tak lumrah
karena dikemas.
Dan yang sehari-hari, yang tak dikemas, pun jadi datar.
Rasa bosan, tanpa selalu disadari, menyusup. Kita pun terus-
menerus mencari cara membebaskan diri dari yang banal. Kata
”banal” memang berasal dari bahasa Latin Abad Pertengahan,
bannalis, yang mengacu ke kerja orang bawahan di pabrik, da
pur, sumur, atas titah tuan-tuan feodal. Dengan kata lain, yang
banal bukan yang heroik, luhur, atau gilang-gemilang. Yang
banal menjemukan.
Tapi kejemuan adalah sejenis bunuh diri yang lambat. Ia di
mulai ketika orang tak menemukan arti dalam hal-hal yang tak
bisa kekal, benda yang sepele, laku yang sederhana—semen
tara justru hal dan benda yang sedemikian itu yang merupakan
bagian langsung kehidupan.
Rilke, yang hidup di Jerman dalam peralihan ke abad ke-
20, melihat apa yang berubah hingga hal-hal lumrah direndah
kan. Dalam sepucuk suratnya ia menyebut datangnya ”benda-
bend a Amerika yang kosong, yang tak peduli, yang hanya pseu
do, yang hanya boneka”. Amerika, demikian tulis sang penyair
276 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka LUMRAH
dalam surat bertanggal 5 Juni 1896, adalah pabrik, ”tak punya
burung bulbul”.
Dalam serbuan ”leere gleichgültige Dinge” itu orang lupa
akan masa ketika ”Rumah”, ”Perigi”, menara yang biasa di
kenal, baju dan mantel yang biasa dikenakan, masing-masing
terasa begitu ”akrab tak terhingga”. Dalam tiap benda yang
seakan-a kan bernyawa itu, tulis Rilke, ”ditemukan dan
tersimpan kemanusiaan”.
Kini hal-hal itu punah. Kini benda diproduksi dengan
lekas dan dibuang dengan lekas. Rasa bosan dijadikan bagian
mekanisme pasar. Apa yang ”baru”, katakanlah mode pakaian
atau berita tentang tokoh, bukan datang dari pemandangan
yang begitu biasa, begitu wajar, (”anjing yang tidur berjemur”,
misalnya), melainkan harus dikemas dan sedapat mungkin
mengejutkan. Dan bila yang mengejutkan tak ada, orang pun
berdiri, duduk, berjalan, acuh tak acuh, dan jemu.
Mungkin mual. Seperti Antoine Roquentin dalam La
Nausée, (”Mual”), novel Sartre yang termasyhur itu.
Tak ada yang terjadi selama kita hidup. Pemandangan berubah, orang
masuk dan keluar, itu saja. Tak ada awal. Hari bertimbun di atas hari tanpa
ritme atau alasan, imbuhan yang tak habis-habis dan itu-itu saja.
Pada umur 30 tahun, Roquentin membenci dirinya sendiri.
Memang ia tak bunuh diri; ia memilih untuk memberi arti
bagi hidupnya. Meskipun demikian, dalam pandangannya,
tampaknya yang banal tak mendapatkan arti kembali.
Atau ia tak tahu: ada yang berharga di tiap saat yang terbatas.
Dalam Before Sunrise, Jesse dan Celine lebih beruntung.
Catatan Pinggir 11 277
http://facebook.com/indonesiapustaka LUMRAH
Mungkin di jalanan Wina itu, mereka sama-sama tampak tolol
seperti orang di depan ATM, tapi malam hari itu mereka me
nemukan sesuatu. Sesuatu yang fana, sederhana, tapi berharga.
Jesse: Aku pikir benar sekali, maksudku, semua hal—setiap hal—tak
bisa kekal. Tapi kamu juga tahu kan, itu yang membuat waktu kita, di saat-
saat tertentu, begitu penting?
Celine: Yah, aku tahu. Tapi itu kan seperti kita malam ini. Sehabis besok
pagi, kita mungkin tak akan pernah ketemu lagi....
Pagi datang dan mereka tak menangis. Hidup selalu terdiri
atas pelbagai selamat tinggal. Tapi bukan kematian.
TEMPO, 30 Maret 2014
278 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka GOLPUT
APA nama yang akan kita berikan kepada seseorang yang
men olak tapi tak menolak, dan terus demikian, dan
menyebabkan sebuah struktur terguncang? Mungkin ”golput”.
Mungkin Bartleby.
Cerita Herman Melville, Bartleby the Scrivener, berkisah
tentang seorang juru salin di sebuah kantor pengacara di Wall
Street. Begitu masuk bekerja, ia menunjukkan diri sebagai
orang yang sangat rajin: ia menyalin semua dokumen yang di
berikan kepadanya.
Tiba-tiba, pada satu hari, ia seperti menampik.
Tapi sebenarnya tak jelas demikian. Ia hanya mengatakan,
”I would prefer not to.”
Kalimat itu sopan sekali. Kalimat itu juga membingungkan.
Kurang-lebih berarti ”sebaiknya saya lebih suka tidak”.
Dan majikannya tercengang. Dan itu bukan yang terakhir
kali. Kalimat itu diutarakan Bartleby tiap kali ia diminta
mengerjakan sesuatu.
Akhirnya kian sedikit ia jalankan tugasnya. Rekan-rekan
sek erjanya mulai kesal. Majikannya makin tak paham. Apalagi
ketika Bartleby sama sekali berhenti menyalin dan tak mau
bera njak dari ruang kerjanya yang sempit.
Ketika pada suatu hari Minggu sang majikan menengok
kantornya, ia dapatkan Bartleby masih di dalam. Orang ini
menetap. Sang majikan jengkel. Tapi ia juga merasa kasihan.
Ia tak bisa mengusir pegawai yang aneh itu. Ia merasakan, tiap
Catatan Pinggir 11 279