The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 11 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by suharnowo, 2021-11-04 03:06:08

Catatan Pinggir 11 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 11 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka WESTPHALIA

abad ke-17. Setelah Perang 30 Tahun yang menewaskan 7,5
juta manusia itu, ketika para penguasa Protestan dan Katolik
selama ti­ga dasawarsa saling mengerahkan pasukan untuk
menghabisi­satu sama lain, sebuah perjanjian perdamaian pun
berlangsung di Westphalia, sebuah wilayah Jerman di barat
laut.

Ini perundingan yang tak mudah. Perlu waktu empat
tahun untuk mencapai hasil. Mewakili 194 kekuasaan yang
bertempur, ribuan duta besar, diplomat, staf, sekretaris, dan
pelbagai macam petugas ditempatkan pada tahun 1644-
1648 di Westphalia. Acara pertama—enam bulan lamanya—
membahas pro­tokol: siapa duduk di mana, siapa yang masuk
lebih dulu ke ruangan dan setelah siapa. Salah satu hasilnya:
utusan Prancis dan Spanyol selama empat tahun itu tak pernah
bertemu karen­ a­aturan protokolernya tak memungkinkan.

Akhirnya, upacara penandatanganan kesepakatan di­
setujui­(perlu tiga minggu untuk itu), dan Perjanjian Damai
Westphalia diteken. Pukul dua siang, Sabtu, 24 Oktober 1648.

Salah satu keputusan: Swiss memperoleh ”kedaulatan”.
Tapi tak berarti ”kedaulatan” itu sama artinya dengan pe­
nger­tian yang berlaku sekarang. Seorang sejarawan, Andreas
Osi­ander, menunjukkan bahwa kata yang dalam bahasa Ingg­ ris
disebut sovereignty itu sebenarnya tak sangat dikenal di masa
itu, juga dalam teks Latin dokumen resmi. ”Tak seorang pun
waktu itu menggubris ’kedaulatan’ sebagai sebuah konsep.”­
Kata itu tak tampak dalam komunikasi diplomatik ataupun
da­lam pamflet-pamflet yang mengiringi alasan perang. Perang
30 Tahun bukan perang mempertahankan kedaulatan sebuah
bangsa di sebuah wilayah—berbeda dengan perang di dunia di

380 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka WESTPHALIA

abad ke-20—melainkan lebih berupa perang memperjuangkan
kemerdekaan beragama.

Maka Osiander yakin, bukan Perjanjian Westphalia di abad
ke-17 itu yang memulai batas-batas kedaulatan yang kemudian
disebut ”Tata Westphalia”. Kedaulatan yang seperti kita kenal
sek­ arang agaknya baru mulai mencari bentuknya setelah Re­
vo­lusi Prancis, ketika kedaulatan tak lagi melekat pada pribadi
raja yang menguasai sebuah wilayah. Kedaulatan sejak saat itu
menjadi kedaulatan semua warga—kedaulatan bangsa—yang
berada dalam proteksi sebuah negara. Dan ”negara”, dalam
telaah Osiander, baru hadir dalam maknanya yang sekarang
sejak abad ke-19.

Dengan kata lain, ”negara” adalah produk sebuah masa,
sebuah tempat. Meskipun demikian, ia tak mudah hilang
bersama waktu. Marx pernah meramalkan suatu hari nanti,
bila masyarakat komunis tercapai, negara akan menyusut dan
menghilang, melapuk dan layu. Tapi sampai hari ini, belum
tampak tanda-tanda ke arah itu. Di mana-mana masih ada
struktur po­litik dengan pusat pengambilan keputusan yang juga
punya wew­ enang memaksa, yang hadir dukung-mendukung
dengan se­buah komunitas yang disebut ”bangsa”—komunitas
yang menghuni satu wilayah di muka bumi. ”Negara,” tulis
Osiander dalam Before the State: Systemic Political Change in the
West from the Greeks to the French Revolution, ”terus dianggap
sebag­ ai kerangka yang tak bisa dilepaskan dari politik.”

Tak berarti dalam hubungan antarnegara kita melanjutkan
”Tata Westphalia”. Sejarah dan geografi Westphalia terlampau
jauh untuk bisa saya bayangkan berpengaruh ke percaturan
internasional Indonesia hari ini. Sejarah bukanlah satu garis

Catatan Pinggir 11 381

http://facebook.com/indonesiapustaka WESTPHALIA

lurus dengan arah ke pelbagai penjuru. Sejarah adalah pelbagai
diskontinuitas.

Maka, seperti Osiander, saya tak yakin ”tata” itu ada dan
berl­anjut dipatuhi sampai sekarang. Yang ada hanyalah ”tata”
yang sekaligus ”bukan-tata”: ketertiban teritorial yang dijaga
den­ gan kekuatan dan ancaman yang sesekali bisa meledak,
dan untuk mencegahnya lahirlah kesepakatan antarnegara
yang sesekali retak.

Dalam bentuk ekstremnya, ”tata” yang ”bukan-tata” itulah­
yang sebenarnya hendak dijadikan alasan perang Daulat Isla­
mi­yah (IS), yang tak mengakui batas geografi politik yang ada.
Tapi itu juga yang sebenarnya diberlakukan Israel di wilayah
Pal­estina yang didudukinya.

Memang, kadang-kadang orang sebal dengan batas. Tapi
bil­a kita ingat akan ”tata” perbatasan yang bisa diacak-acak de­
ngan kekerasan, mungkin kita sesekali tersenyum kepada pe­
tug­ as imigrasi.

TEMPO, 21 September 2014

382 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka ADI

LAKI-LAKI tua yang jangkung dan bermuka keras itu,
yang hidup dengan seekor monyet kecil di sebuah gubuk,
ber­cerita dengan suara yang masih ganas tentang bagaimana ia
memb­ unuh. ”Aku tebas buah dada perempuan itu; dari akar
putingnya mengalir air susu. Lalu aku potong lehernya....”

Dokumentasi tentang kekejaman di Indonesia sekitar 1965
bert­ambah—dan bisa bertambah. The Look of Silence, film
baru Joshua Oppenheimer, semacam sambungan dari filmnya
yang terdahulu, The Act of Killing, kini sudah beredar secara
ter­batas. Dalam rekaman seperti yang saya kutip, dari ingatan,
Oppenheimer menunjukkan keunggulannya sebagai pembuat­
film dokumenter dan keunggulan seseorang yang datang
meng­u­ sik hati kita dengan pertanyaan.

Tentu ia bukan orang pertama dalam perkara ini. Pada
Agust­us 1969, majalah Horison memuat tulisan Usamah, ”Pe­
rang­dan Kemanusiaan”. Tulisan ini, nonfiksi, begitu menarik
per­hatian hingga diterjemahkan ke dalam jurnal akademik
Indonesia dari Cornell University. Di dalamnya kita baca
kesaksian seorang muda, penulis yang antikomunis, yang
dengan hati terbelah terlibat dalam penangkapan, penyekapan,
dan pembunuhan orang-orang yang dituduh komunis—
termasuk teman-temannya.

Buat menerbitkan kesaksian seperti ini ketika ”Orde Baru”
mulai efektif perlu keberanian tersendiri. Tapi waktu itu
Horison tampak ingin membuka pintu Indonesia yang luas. Di

Catatan Pinggir 11 383

http://facebook.com/indonesiapustaka ADI

sana pu­la terbit cerita pendek Umar Kayam, ”Musim Gugur
Kembali di Connecticut”, yang dengan kalimat-kalimat pen­
dek dan tenang menyentuh hati: seorang intelektual kiri yang
tak ber­buat apa-apa dibunuh dalam pembasmian yang meluas
di ta­hun 1960-an itu.

Sastra Indonesia tampaknya medium yang memulai peng­
ungkapan sejarah yang tragis setengah abad yang lalu itu: ada
no­vel Yudhistira A.N.M. Massardi Mencoba Tidak Menyerah,
tril­ogi Ahmad Tohari, dan kemudian, dua tahun lalu, Pulang
Leila S. Chudori dan Amba Laksmi Pamuntjak. Luar sastra me­
nyusul: majalah Tempo 1-7 Oktober 2012 merekam pertemua­ n
dengan para pelaku pembantaian....

Bahwa The Act of Killing yang paling menyentak kita,
mudah dipahami: film selalu lebih menjangkau orang banyak,
dan seb­ uah film dokumenter tentang sejarah yang setengah
terpendam selalu mengejutkan, apalagi datang dari luar. Maka
The Act of Killing lebih menarik perhatian ketimbang Sang
Penari, film Indonesia pertama yang, berdasarkan fiksi Ahmad
Tohari,­­ Ronggeng Dukuh Paruk, menampilkan kekerasan
”anti-ges­tap­ u” tahun 1960-an.

The Look of Silence agaknya tak akan kalah kontroversial ke­
timb­ ang pendahulunya—dan bagi saya lebih menggugah.

Kebuasan yang digambarkannya di Deli Serdang, Sumate­ra
Utara, tidak hanya dilakukan satu orang. Berbeda dengan The
Act of Killing, ia tak diselingi khayal surealistis dengan humor­
yang seram dan potret-potret preman hari ini; dalam The Look
of Silence tak ada permainan antara imajinasi dan rekonstruksi.
Bah­ an utamanya wawancara, praktis tanpa intermezo. Kata-
kat­a terus terang, telanjang, brutal.

384 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka ADI

Sepasang laki-laki tua mendemonstrasikan bagaimana
mereka, hampir setengah abad yang lalu itu, mengerat
kemaluan kor­bannya dari pantat, sebelum menikam merihnya
dan menyepak tubuhnya ke sungai. ”Aku minum darah orang
yang aku potong,” kata seseorang yang lain, ”agar aku tidak
gila.” Dar­ah manusia manis-manis asam, katanya dengan
muka yang selalu tegang. ”Aku minum dua gelas. Kuambil
dari bagi­an­tenggorokan.”

Di manakah selama ini bagian yang terpendam, ganas, dan
me­risaukan dari sejarah Indonesia ini? Malukah kita meng­
akuinya? Atau takut? Atau tak tahu? Atau tak peduli?

Tokoh di pusat The Look of Silence adalah Adi. Di masa pe­nuh
darah itu kakaknya, Ramli, ditangkap dan dibantai dengan
bengis. Adi, yang lahir setelah pembunuhan itu, hanya men­
dapat ceritanya dari ibunya yang masih menyimpan dendam
yang getir. Pada suatu hari Adi melihat rekaman penga­ kuan
dua laki-laki yang membunuh orang-orang komunis. Kit­a tak
tahu bagaimana ia mendapatkan video itu, tapi sejak itu laki-
laki itu pun mencari jawab, menemui orang yang terlibat—
dan tak mendapatkan apa-apa, selain kisah kebiadaban yang
dilakukan sesamanya.

Adi, seperti kita, menuntut penyesalan para pembunuh.
Tapi sia-sia. Dan itulah yang merisaukan. Bagi kita kekejaman
mer­eka secara universal patut dikutuk, tapi jangan-jangan
antara kita dan mereka tak ada dasar bersama untuk menuntut
se­sal. Jangan-jangan apa yang biadab, apa yang beradab, ada di
kepala dengan dunia masing-masing.

Film ini tentu tak bertolak dari asumsi itu. Bagi Adi dan
Oppenheimer, kebuasan itu sangat terbuka, sangat terang-

Catatan Pinggir 11 385

http://facebook.com/indonesiapustaka ADI

benderang, buat dihakimi. Tapi tampaknya tak segampang
itu. Ada dunia lain yang belum tertembus.

The Look of Silence amat kuat berbicara tentang apa, kapan,­
dan bagaimana. Tapi film ini tak cukup menggambarkan­
menga­ pa dan siapa. Tak banyak informasi tentang latar sosial­
Adi dan Ramli. Penonton yang berbahasa Jawa akan tahu,
orang tua Adi datang dari Jawa, tapi justru akan bertanya
menga­pa me­reka hidup di Deli Serdang dan apa yang mereka­
lakukan. Apa yang Ramli lakukan? Adakah ia seorang aktivis­
komunis­—dan apa artinya itu bagi para pembunuhnya:
bagaimana geneal­ogi kebuasan itu? Dari mana datangnya?
Hanya karena perint­ah dan propaganda aparat kekuasaan?
Mungkinkah laku yang sekeji itu—yang terus mereka bang­
gakan—terbit tanp­ a ke­bencian yang bersemai dalam pribadi
dan tubuh sosial?

Hari-hari ini kebencian masih berkecamuk dan kita tak
ta­hu kenapa, kebiadaban masih dibanggakan dan kita tak
tahu apa sebabnya. The Look of Silence akan berjasa besar jika
bersamanya kita ingat, ada pertanyaan yang gawat dan belum
terjaw­ ab itu. Tak hanya di Indonesia.

TEMPO, 28 September 2014

386 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka BANDIT

BAJINGAN dan pahlawan kadang-kadang manunggal
dalam evolusi.
Di Indonesia kita tahu kisah Ken Arok, di Australia orang
ke­n­ al cerita Ned Kelly. Dalam Pararaton yang ditulis pada 1481
dit­unjukkan Ken Arok sebagai seseorang yang bermula­dari­
keh­ idupan yang terkutuk: ”perilakunya tak baik, memutus­
kan­kendali kesusilaan, jadi pengganggu Hyang yang gaib”,
lumaku tan rahayu amegati apusira pinakapamañcananing
hyan Suksma. Ia juga dengan ambisi berkuasa yang ganas
membunuh siapa saja yang ia perlukan untuk naik takhta. Dan
ia memang naik takhta dan jadi pendiri Kerajaan Singasari di
abad ke-14.

Ia sendiri mati terbunuh, tapi berangsur-angsur evolusi­
terjadi: ia jadi pahlawan yang tak pernah hilang. Di abad ke-
20 bai­k Muhammad Yamin maupun Pramoedya Ananta
Toer membangun, dalam karya fiksi mereka, sosok Arok yang
heroik.

Di Australia, di abad ke-19, Ned Kelly memasuki sejarah
sebagai perampok, pembunuh, musuh kekal polisi. Tapi,
sementara ia bermula dari manusia yang dikecam, ia berakhir
jadi to­koh yang memikat imajinasi orang Australia. Pelukis
termasyh­ ur Sidney Nolan menampilkannya dalam kanvas-
kanvas yang memukau: Ned Kelly dalam topeng pelindungnya
yang per­segi dan penuh teka-teki. Sejak awal 1900-an beberapa
film dib­ uat, termasuk yang dibintangi Mick Jagger dan Heath

Catatan Pinggir 11 387

http://facebook.com/indonesiapustaka BANDIT

Ledger.
Daftar bandit ini bisa panjang. Di Meksiko di awal abad ke-

20: Pancho Villa. Di India di abad kita: Phoolan Devi. Di anta­
ra penduduk Turki Siprus: Hassanpoulia, jagoan yang mati pa­
da 1896.

Di Amerika Serikat lebih terkenal: Billy the Kid. Setelah
terbunuh pada 1881, ia juga lahir kembali sebagai kisah
penjahat yang memikat, meskipun kebajingannya sebenarnya
tak pernah spektakuler. Michael Ondaatje menulis novel
puitik yang ia sebut The Collected Works of Billy the Kid: Left-
Handed Poems pada 1970. Jauh sebelum itu, sederet film dibuat,
antara lain oleh Sam Peckinpah, dan Bob Dylan menggubah
musiknya. Bahk­ an sebelum itu pada 1938, si bandit masuk di
pusat sebua­ h karya ballet Aaron Copland.

Di Italia ada Salvatore Giuliano. Penjahat dari dusun mis­
kin di Sisilia ini mulai beroperasi sebagai penyelundup kecil
bah­ an makanan di pasar gelap ketika Italia Selatan terancam
kel­aparan setelah Perang Dunia II. Tapi segera ia sudah jadi le­
genda bahkan sebelum mati dibunuh pada 1950.

Syahdan, di suatu hari di tahun 1944, penjahat berwajah
tamp­ an ini merampok rumah seorang bangsawan putri dari
Prat­ameno. Bersama anak buahnya, Giuliano diam-diam
masuk ke kediaman sang duchessa. Dengan hormat dan sopan,
si kep­ ala bandit mencium tangan nyonya rumah—tapi ia
meminta agar emas berlian diserahkan. Ketika permintaannya
ditolak, Giuliano mengancam akan menculik anak-anak
keluar­ga itu. Sang duchessa menyerah. Giuliano pun pergi
dengan har­ta rampasan yang cukup setelah mencopot cincin
berlian da­ri jari nyonya rumah dan meminjam satu buku karya

388 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka BANDIT

John Stein­beck dari perpustakaan—buku yang seminggu
kemudian ia kembalikan.

Dengan cerita semacam itu sutradara Francesco Rosi
membuat sebuah film dokumenter gaya neo-realis tentang
Giuliano­pada 1962. Dan tak mengherankan bila sejarawan
Marxis terkenal, Eric Hobsbawm, dalam Bandits, menyebut
Giuliano sa­lah satu contoh bajingan dalam ”tradisi” Robin
Hood. Giul­ia­no pernah menembak mati kepala kantor pos
yang mencur­i parsel yang dikirim untuk orang dusun dari
kerabatnya di Amer­ika, dan ia bunuh pemilik toko yang jadi
lintah darat.

Sudah tentu, evolusi dari bandit ke pahlawan bukan sebuah
pe­ristiwa sejarah. Umumnya ia lebih sebuah proses imajinasi
sos­ial yang terbentur. Ia lahir ketika orang banyak merasakan
ada Keadilan (dengan ”K”) tapi tak bisa diutarakan dalam
suasana Ketidakadilan, ada Juru Selamat tapi tak terlihat.

Dalam pelbagai dongeng rakyat yang dibangun dari tokoh
nyata seperti Ken Arok dan Pancho Villa, sang pelanggar
hukum adalah ungkapan bahwa hukum telah kehilangan aura­
nya.­Atau lebih tepat: kehilangan daya tipunya. Sang bandit ja­
di ”pahlawan” dengan menegaskan kata ”lawan”: ia bongkar­
ilus­i dan tunjukkan bahwa hukum yang dirumuskan para le­
gisl­ator dan aparat negara sesungguhnya sebuah pencurian
hak—yakni hak menentukan apa yang adil.

Di Indonesia, hukum disebut ”undang-undang”. Seperti ju­
ga ”undangan”, ia memanggil dan memberi tahu orang ramai.
Tampak, ada jalinan erat antara ”undang-undang” dan baha­
sa: dalam hukum—yang dirumuskan dengan kata-kata—ada
ke­mestian berkomunikasi. Dan seperti bahasa, ”undang-un­

Catatan Pinggir 11 389

http://facebook.com/indonesiapustaka BANDIT

dang” adalah sebuah konvensi, sebuah pegangan yang disep­ a­
kati secara umum, tapi sekaligus tak bisa lepas dari dialek dan
aks­en yang berbeda-beda di suatu saat, di suatu tempat.

Dengan kata lain, interpretasi, itulah proses yang men­ en­
tukan. Penafsiran adalah cara mengakomodasi kec­ en­derungan
yang partikular dalam konstruksi hukum yang berniat univer­
sal itu. Maka tak ada undang-undang yang tak ditafsirkan, ju­
ga ketika tafsir dinyatakan terlarang.

Penafsiran itulah cara membuat Keadilan (dengan ”K”) me­
wujud dalam hidup sehari-hari. Tapi tak pernah selesai. Ia se­
lalu sia-sia. Dalam sejarah, Keadilan acap menggerakkan lahir­
nya hukum, tapi hukum tak pernah sama dengan Keadilan.

Maka hukum hanya akan jadi berhala, ketika para pe­
nguasa­ tak mau mengakui bahwa seadil-adilnya undang-
undang, hukum hanya gema dari Keadilan yang entah di
mana. Derrida­pern­ ah mengatakan, ”Keadilan” selalu hanya
akan datang, ”aven­ ir”, tapi saya kira tidak. Keadilan telah hadir
hari ini, namun selalu sejenak, selalu akhirnya mengelak.

Dalam sejenak itulah terjadi revolusi, meledak protes, ada
kem­ arahan. Dan kadang-kadang ada bandit, ada pahlawan.

TEMPO, 5 Oktober 2014

390 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka POLISI

DI sebuah asteroid yang sangat-sangat kecil, ada seorang
raj­­a yang duduk di atas takhta tanpa didampingi siapa­
pun. Jubah besarnya berjela menutupi seluruh planet mini
itu. Tak ada tempat bagi yang lain. Syahdan, dalam dongeng
Panger­an Kecil Antoine de Saint-Exupéry yang termasyhur ini,
sang pangeran mengunjungi tempat raja yang kesepian itu.
Me­lihat seorang tamu datang, raja itu pun gembira. ”Nah, ini
ada rakyat,” ia berseru.

Tampak ia sangat merindukan ”rakyat”. Kita tak tahu se­
jak­kapan. Yang kita jadi tahu dari kisah ini (yang mungkin­
sebuah amsal) adalah bahwa kekuasaan hanya bisa disebut de­
mi­ki­an bila ada orang lain yang dikuasai. Bahkan lebih dari
itu: seo­ rang penguasa, mau tak mau, selalu harus memberi
pemben­ ara­ n otoritasnya di depan orang lain, juga bila orang
lain itu ber­ada dalam posisi hamba sahaya. Raja dalam cerita
Saint-E­ x­up­ éry memerintah, tapi titahnya hanya terlaksana
jika yang diperintah merasa cocok. ”Otoritas diterima
pertama-tama karena ia masuk akal,” kata baginda. ”Jika kita
perintahkan orang membuang diri ke dalam laut, mereka
akan membangkang dengan revolusi. Aku punya hak untuk
dipatuhi karena titahku ma­suk akal.”

Artinya, hak untuk dipatuhi tak datang dari takdir yang
men­ entukan bahwa sang raja adalah manusia yang lebih
utama, tapi justru karena ia pada dasarnya setara dengan
mereka yang mematuhinya. Kedua pihak bertolak dari ”masuk

Catatan Pinggir 11 391

http://facebook.com/indonesiapustaka POLISI

akal”. Ada pengakuan bahwa sang hamba punya posisi yang
juga menentukan apa arti ”masuk akal”.

”Ah! Voilà un sujet,” seru sang raja: kata sujet saya terjemahkan
jadi ”rakyat”, tapi sebenarnya lebih tepat sujet adalah ”sahaya”.
Kata ”sahaya”, yang dalam naskah lama Melayu umumnya
mengacu ke arti oknum yang tunduk, kemudian berkembang
jad­ i ”saya”, atau ”aku”, sebagaimana sang raja.

Demokrasi dimulai dengan dorongan menegaskan bahwa
bai­k raja maupun rakyat masing-masing sebuah subyek, sebuah
”saya”. Kedua-duanya setara, baik yang berdaulat maupun
yang tidak. Seperti telah dilihat Aristoteles di Yunani di abad
ke-4 Sebelum Masehi, perjuangan ke arah demokrasi bergerak
ka­rena timbulnya kesadaran egaliter, karena keyakinan akan
kes­etaraan yang mendasar.

Saya kira pepatah lama Melayu ”raja adil raja disembah,
raja lalim raja disanggah” bermula dari pengalaman sejarah
kit­a: posisi seorang raja adalah sesuatu yang serba mungkin,
contingent. Tanpa dasar yang kekal, raja naik atau raja turun
karen­ a pergulatan yang tak jarang dibarengi kekerasan.
Bahkan di Jepang. Maharaja Jepang, Tennô, yang bertakhta
sampai ha­ri ini, dikatakan sebagai keturunan dewi matahari
Amate­ra­su. Tapi sejarah resmi juga mencatat kekuasaan dinasti
ini bermula dengan Maharaja Jimmu pada 660 Sebelum
Masehi. Kedaulatannya dikukuhkan dengan ekspedisi militer.
Gambarn­ ya menunjukkan sosok gagah yang membawa busur
besar.

Dengan senjata, tanpa dewi matahari, tanpa sumber yang
ke­kal buat siapa pun, siapa saja bisa berkuasa. Dari situlah de­
mokrasi bangkit. Demokrasi, seperti dikatakan Rancière da­

392 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka POLISI

lam ”10 Thesis tentang Politik”, bukanlah sebuah sistem. Pada
das­­arnya ia perjuangan politik dari siapa saja yang ambil bagi­an
untuk membangun suatu kehidupan yang bisa mereka terima
dan sebab itu punya legitimasi kuat. ”Siapa saja” itu berarti­juga
mereka yang semula ”tak masuk hitungan”—seperti Kaum
Ku­lit Hitam di Amerika Serikat yang berjuang menegaskan
ke­setaraan pada tahun 1960-an.

Hasilnya tak bisa ditentukan dengan sebuah formula.
Desain para ahli konstitusi atau pemegang doktrin tak se­
lamanya terl­aksana. Mereka ini, seperti halnya kaum elite
yang terbentuk di suatu kurun waktu, justru yang perlu
didobrak. Dalam se­jarah, merekalah yang menghambat proses
demokratisasi de­ngan memilah-milah siapa yang berhak jadi
penggembala dan yang harus hanya jadi gembala. Politik lahir
dari gerakan menggebrak pemilahan itu. Politik dalam hal ini
sama dengan semangat demokrasi: sebuah ”dissensus”, bukan
konsensus.

Tak mengherankan bila demokrasi mengundang para
pembencinya. Rancière mengingatkan hal itu dalam La haine
de la démocratie (versi Inggrisnya, Hatred of Democracy): ke­
bencian kepada demokrasi tak akan berkesudahan. Di masa
Yuna­ni Kuno ia ditertawai, di abad ke-20 di zaman Fasisme ia
diangg­ ap ”asing” atau ”berbahaya”, di Indonesia dulu dan kini
ia di­anggap ”impor Barat” dan harus diwaspadai. Mendukung
de­mokrasi yang menegaskan hak rakyat, kata pembenci demo­
kras­i, sama halnya dengan mendukung suara yang bodoh atau
kacau.

Dan itulah yang hari-hari ini terjadi: rakyat, yang dalam be­
ber­apa pemilihan selama hampir satu dasawarsa sanggup me­

Catatan Pinggir 11 393

http://facebook.com/indonesiapustaka POLISI

nunjukkan betapa pentingnya hak politik bagi mereka, dan se­
kal­igus menunjukkan kesanggupan mereka mengelola konflik­
dan dissensus, oleh pendukung oligarki di parlemen disisihkan.­
Lembaga perwakilan rakyat berhenti mewakili kehendak rak­
yat. Representasi yang berasumsi akan mencerminkan secara
sempurna apa yang direpresentasikannya ternyata cuma ilusi
bes­ar, dan kini jadi dusta.

Dengan demikian, politik dibekukan. Sebagai gantinya­
akan ditegakkan ”Polisi”, untuk mengikuti istilah Rancière:
penga­ turan, pengendalian, dan penjagaan hidup orang banyak,­
melalui lembaga-lembaga yang didirikan. Polisi ini akhir­nya
ha­nya membuat posisi para penguasa lembaga kukuh,­dengan
alasan merekalah sang penjaga.

Tapi perlawanan akan terjadi. Dalam Pangeran Kecil, sang
ra­ja merumuskan hidupnya sebagai pemerintah dan pengatur.
Dialah penegak Polisi. Ia minta tamunya jadi ”menteri keha­
kima­ n” di asteroid yang praktis kosong itu. Tapi sang tamu
sudah melihat betapa ganjilnya raja yang tanpa rakyat itu.

Dan ia pun menolak.

TEMPO, 12 Oktober 2014

394 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka KOMEDI

1918, November, Volksraad dibentuk. Pemerintah kolonial­
Belanda mengumumkan sebuah janji untuk rakyat jajah­an,­
bahwa dengan ”dewan [perwakilan] rakyat” itu proses demo­
kra­tisasi akan terjadi. Tapi ”janji November” itu tak terpenuhi:
Volksraad ternyata tak bisa menampung, atau mewakili,
apa yang hendak disuarakan rakyat. Para anggotanya ramai
berdebat, tapi tak banyak yang punya dampak ke dalam
kehidupan volks, orang banyak di luar gedung. Maka, dengan
sarkasme yang cerdas, Haji Agus Salim mengejeknya sebagai
sebuah ”ko­medi omong”.

Tentu tak seluruhnya tepat. ”Komedi” mengandung humor,­
sedangkan kata-kata yang diutarakan di Volksraad umumnya
seperti lucu—dan orang tertawa pahit—karena yang terdengar­
hanya sebuah kegaduhan drum kaleng yang tanpa isi.

Tapi agaknya bukan hanya di Volksraad. Setelah kemer­
dek­ a­a­ n, di masa tahun 1950-an, ketika Indonesia sebuah
”demokrasi parlementer”, para anggota parlemen tak pernah
berhenti diejek media. Tampaknya selalu ada persoalan dengan
pen­ gertian ”wakil” dan ”perwakilan”.

”Wakil” ada ketika subyek yang harus berfungsi tak ada,
atau sedang tak hadir. Dalam sebuah masyarakat seperti Indo­
nesia, mustahil rakyat hadir serentak—maka diasumsikanlah
bahw­ a rakyat harus punya wakil. Kedaulatan rakyat dalam
prakt­eknya pun menjadi kedaulatan wakil mereka.

Tapi sebuah ilusi untuk menganggap bahwa antara wakil

Catatan Pinggir 11 395

http://facebook.com/indonesiapustaka KOMEDI

dan yang diwakili tak dengan segera terjadi jarak—bahkan
hu­bungan yang mencong.

Kedaulatan rakyat, yang dikukuhkan dalam ide demokrasi
dari zaman ke zaman, adalah sebuah kerinduan akan keadil­
an—yakni keadilan yang dimanifestasikan dalam kesetaraan.
Inilah motif besar di balik pelbagai revolusi. Tapi ketika
revolusi tak lagi bisa hanya merupakan gerakan politik
rakyat dan sebuah lapisan kaum revolusioner khusus bekerja
mewakili me­rek­ a—seperti para anggota Partai Bolsyewik
dalam Revolusi Ru­sia, seperti para anggota kelompok Jakobin
dalam Revolusi Prancis—kedaulatan punya tempat yang lain.
Maka politik, sebagai gerak dan gelora di kalangan rakyat—
yang semula jadi ke­kuatan Revolusi—berhenti. Suara yang
plural dan hidup digantikan apa yang oleh Hannah Arendt
dalam On Revolution di­anggap sebagai ”politik semu” di
kancah partai-partai.

Di negeri-negeri lain yang telah mapan dan tak lagi bergerak­
oleh politik kalangan bawah, ”politik semu” itu—yang tak jauh
berbeda dengan ”komedi omong”—juga yang berlangsung.
Konstitusi negeri-negeri ini menjamin kesetaraan, tapi pada
hak­ ikatnya itu sebuah kesetaraan yang diberikan dari sebuah
”pol­itik semu”.

Itu berarti keadilan dirumuskan dalam proses politik
yang mak­nanya terjadi melalui transaksi kekuasaan. Rumus
”keadilan” itulah yang disebut ”hukum”, dan dengan langsung
atau berangsur-angsur orang ramai pun menerima—melalui
bu­jukan, tekanan, atau ancaman—rumusan ”keadilan” yang
mem­buat orang banyak pasif itu.

Saya teringat cerita Kafka itu lagi: seseorang dari pedalaman­

396 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka KOMEDI

dat­ang ke sebuah pintu gerbang berpenjaga untuk menemui­
Hukum. Ia tak kunjung bisa masuk. Bertahun-tahun ia
me­n­ ungg­ u di depan pintu gerbang itu, hingga akhirnya
meninggal.

Ada semacam tragi-komedi dalam cerita ini. Kisah Kafka
sel­alu ganjil. Ada sejenak kita ingin tersenyum. Ada saat lain
ki­ta merasa sedih atau ngeri.

Demikianlah orang yang malang itu menyangka bahwa
Hu­kum begitu penting. Barangkali ia salah menyangka bahwa
yang tersembunyi di balik pintu itu adalah Keadilan—sesuatu
yang pantas dijelang dari jauh, dari pedalaman. Salah sangka
yang besar dan tragis.

Yang juga tragis adalah ”menantikan”. Orang itu duduk
saja, atau ia sesekali bertanya kepada penjaga pintu. Ia tak me­
ne­rob­ os. Setelah beberapa lama menanti, ia juga tak pergi. Ia
tak hendak meninggalkan tempat itu dan mencari pintu lain.
Ia tak tahu bahwa Hukum, yang dirumuskan untuk dia dalam
se­buah proses ”politik semu” di atas sana, tak layak dinantikan
samp­ ai mati. Ia tak hendak menjebol Hukum itu dan memulai­
satu proses politik yang sebenarnya—politik yang melibatkan
dan menumbuhkan dirinya dalam daya, atau kuasa, dan cita-
cita.­

Mungkin seperti banyak orang lain di antara kita, ia tak ta­
hu ia bisa merdeka untuk keadilan.

TEMPO, 19 Oktober 2014

Catatan Pinggir 11 397

http://facebook.com/indonesiapustaka

398 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka TAKHTA

TAKHTA kelihatan gilang-gemilang, tapi kekuasaan ada­
lah sebuah dilema. Catatan tertua tentang itu agaknya
bisa­dibaca dari kisah Hakim Samuel.

Dalam Perjanjian Lama, disebutkan bagaimana orang tua
ini menyaksikan pengikutnya, bangsa Israel, mencoba memilih­
sebuah sistem politik yang lain setelah sebuah penyelewenga­ n
terjadi.

Mereka semula hidup bersama dengan dipimpin penghulu­
yang disebut ”hakim-hakim”. Samuel adalah hakim pengha­
bis­an. Ketika usianya makin lanjut, ia mengangkat dua anak­
nya yang lelaki menggantikannya. Tapi Yoel dan Abia ternyata
me­ngecewakan. ”Mereka mengejar laba, menerima suap, dan
me­mutarbalikkan keadilan.”

Mengetahui kejahatan itu, berkumpullah para pinisepuh.
Me­reka datang kepada Samuel di Rama, menyatakan niat
untuk mencoba sebuah sistem yang lain: mereka tak ingin lagi
di­pimpin para hakim, mereka ingin menjadikan kebersamaan
so­sial-politik mereka sebuah kerajaan.

Mereka pun mengajukan semacam petisi kepada Samuel,
orang yang mereka hormati tapi telah mengecewakan: ”Engkau­
sudah tua dan anak-anakmu tidak hidup seperti engkau; mak­ a
angkatlah sekarang seorang raja atas kami untuk meme­rin­tah
kami, seperti pada segala bangsa-bangsa lain.”

Samuel kesal. Tapi ia tak menjawab. Ia mengutarakan isi
ha­tinya kepada Tuhan dalam doa.

Catatan Pinggir 11 399

http://facebook.com/indonesiapustaka TAKHTA

Yang menarik, dalam cerita ini, Tuhan menyatakan Ia tahu
ada yang salah dalam permintaan bangsa Israel itu, tapi Ia tak
hen­dak mencegahnya. Sebagaimana disebutkan dalam Alki­
tab, Tuhan mengeluarkan firman, menyuruh Samuel me­lulus­
kan permintaan itu. ”Sebab bukan engkau yang me­reka tolak,
tet­api Akulah yang mereka tolak. Mereka tidak menghendaki
Aku lagi sebagai raja mereka.”

Tak mudah, bahkan tak mungkin, menerka kenapa per­
min­t­aan perubahan tata kekuasaan itu harus dikabulkan.
Yang jelas Samuel, hakim tua itu, tahu bahwa hidup tak akan
ja­di lebih mudah.

Itu juga yang dikemukakannya, mungkin dengan sedikit
ge­rutu, kepada orang-orang Israel itu: dengan diangkatnya se­
seorang jadi raja, penguasa ini akan punya hak memberi titah­
dan orang banyak harus tunduk. Raja itu akan memaksa
anak-anak lelaki membajak ladangnya, mengumpulkan hasil
panenn­ ya, membuat senjata-senjatanya dan perkakas kereta
perangnya, sementara anak-anak perempuan akan dijadikan
pembua­ t minyak wangi atau bekerja sebagai tukang masak
dan tukang roti baginda. Hidup bersama yang sama rata sama
rasa akan­berakhir.

Bahkan juga kesetaraan dalam hak milik akan hilang. Raja
akan mengambil 10 persen hasil gandum dan anggur yang di­
pa­n­ en dan akan diberikannya kepada para pegawai istana.
Bahk­ an raja ”akan mengambil budakmu, ternakmu yang
terbaik, dan keledaimu....”

Betapapun kerasnya peringatan Samuel, bangsa Israel
tetap mengangkat seorang raja dan tak lagi mengakui otoritas
hakim. Mungkin mereka ingat (satu hal yang tak dikatakan

400 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka TAKHTA

pak tua itu) bahwa para hakim juga, seperti terbukti dengan
Yoel dan Abia, tak lepas dari kemungkinan berbuat sewenang-
wen­ ang.

Namun gagasan mereka untuk mengganti para hakim
dengan raja-raja memang bukan sebuah reformasi yang radikal.
Dal­am sejarah bangsa Israel, bahkan Raja Daud (yang dalam
trad­­ isi Islam dianggap ”nabi”) terbukti melakukan hal-hal
yang cela, hanya berbeda sekian derajat dari yang digambarkan­
Sa­muel.

Tapi mungkin malah sebelum Samuel, manusia selalu di
per­s­imp­ angan itu: kedaulatan, atau kekuasaan, yang dilam­
bang­kan dengan takhta, adalah keniscayaan yang tak memba­
wa kepastian. Ia perlu didirikan. Tapi ia mencemaskan. Di luar
tat­a dan takhta itu, selalu membayang sesuatu yang Entah.

Pertanyaan yang tak mudah dijawab: jika ada kesadaran
seperti itu, mengapa orang tak kembali saja kepada Tuhan,
yang me­nurut Alkitab pernah jadi ”raja” mereka?

Dikatakan bahwa memang kontrak kekuasaan itu tak
mer­e­ka perpanjang lagi. Bisa diduga karena bagi mereka
Tuhan yang memberikan hukum adalah Tuhan yang tak
terjangkau. Se­jak mula, bahkan di depan Musa, Ia tak hendak
memperlihatkan wajah-Nya. Orang banyak itu tak bisa
bertanya, apalag­ i menggugat. Hukum Tuhan senantiasa hanya
ditafsirkan orang-orang tertentu, yang andai kata lurus hati
pun tetap memandang dunia dari seginya yang terbatas.

Dalam hubungan itu tampak bahwa takhta raja-raja—
sebuah bangunan kekuasaan pasca-Tuhan—mengandung
sebuah pengakuan yang tersirat: hukum para raja, yang
selalu mengh­ endaki pemaksaan, bukan datang bersama apa

Catatan Pinggir 11 401

http://facebook.com/indonesiapustaka TAKHTA

yang disebut Walter Benjamin sebagai ”kekerasan ilahiat”,
göttliche Gewalt. Takhta raja-raja membawa serta ”kekerasan
mithologis”, kekerasan untuk menegakkan hukum, sedangkan
”keke­rasa­ n ilahiat” menghancurkan hukum—khususnya
hukum yang dianggap berhala dan menuntut ketaatan kita.
”Keker­asan mithologis” adalah ketika hukum yang dibangun
manusia sendiri wibawanya ditopang pelbagai mithos buat
menunjukkan ia adalah titisan Keadilan yang melintasi ruang
dan waktu.

Pengakuan yang tersirat bahwa ia memang tak ada kaita­ n­
nya dengan Tuhan membuka pintu bagi perjuangan keadil­an.
Pada akhirnya, keadilan adalah sesuatu yang dipergulatkan
ma­nusia di dunia yang rumit dan fana, bukan tertib yang diha­
diahk­ an dari luar bumi.

Di dalam proses itu, takhta yang gilang-gemilang itu akan
tampak seperti kursi di kedai. Posisinya ditentukan dari saat ke
saat. Tak istimewa.

TEMPO, 26 Oktober 2014

402 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka SENGKUNI

AGAKNYA kita harus selalu bersiap di perbatasan antara
terlibat dan tak terlibat dalam kekuasaan. Atau kita akan
terjerat.

Siapa pun yang berada dalam kekuasaan tak boleh di­harap­
kan selamanya jadi pelaku kebajikan. Seorang raja, de­mikian
pe­tuah Machiavelli, ”Mesti memperoleh kekuatan untuk
bertindak tidak baik.”

Nasihat seperti itu dibaca orang Italia sejak Il Principe ber­
edar­ di abad ke-16. Buku itu membuat Machiavelli dikenal
sebagai penasihat yang keji bagi para raja. Dalam imajinasi
mere­ka yang mengenal Mahabharata, pemikir politik Italia itu
se­orang Sengkuni.

Dalam wayang, tokoh ini perdana menteri para Kurawa
yang berhasil merancang tipu muslihat untuk menyingkirkan
pa­ra Pandawa, musuh mereka, dari kerajaan. Ia dibenci siapa
saja—dalang, penonton, para komentator. Pernah, pada tahun
1970-an, sebuah pertunjukan wayang kulit besar-besaran yang
membawakan lakon Bharatayudha diakhiri dengan mem­
buang tokoh wayang ini ke Laut Selatan. Agar tak ”kembali”.

Tapi Machiavelli bukan sepenuhnya seorang Sengkuni
yang dibenci. Jika kita menilik tempat dan masanya, kita akan
bisa lebih paham mengapa ia bisa dibenarkan. Penggagas ”teori
pol­itik” ini hidup di Italia abad ke-16 yang diguncang perang
antarkota dan antar-penguasa wilayah. Machiavelli mencitakan
sebuah republik yang kukuh seperti di zaman Romawi. Tapi ia

Catatan Pinggir 11 403

http://facebook.com/indonesiapustaka SENGKUNI

lihat tak semua pangeran sanggup membangun sebuah ta­ta.
Dalam pandangannya, tak semua pemimpin siap berbuat ke­
ras, kejam, bengis.

Ia menjadikan temannya, Piero Soderini, sebagai contoh.
So­derini memimpin Republik Firenze pada tahun 1502-1512.
Pe­mimpin ini bersikap ”baik hati, alim, dan penuh belas”.
Sikap itu justru membuat diri dan rakyatnya celaka. Soderini
se­be­narnya bisa menyelamatkan republiknya andai ia membu­
nuh para bangsawan utama di wilayahnya.

Seorang raja yang arif, tulis Machiavelli, ”Tak akan risau
jika­dikecam karena berbuat kejam yang menyebabkan rakyat­
nya­ bersatu dan setia.” Dengan menampakkan kebengisan,
”Ia se­b­ enarnya jauh lebih berbelas-hati ketimbang mereka
yang de­ngan sikap yang sangat pemaaf membiarkan kekejian
berkecamuk.”

Dalam petuah seperti ini, Machiavelli bukan orang per­
tama.

Sekitar 300 tahun sebelum tarikh Masehi, di India seorang
pa­ngeran muda berhasil memperbesar kekuasaannya, merebut
takhta dinasti Magadha, bahkan kemudian mengalahkan
pasukan Iskandar yang Agung dari Makedonia yang men­
duduki wilayah itu. Tapi ia, Chandragupta, tak sendirian. Di
dekatnya ada seorang penasihat yang petuahnya bisa lebih culas
dan kejam ketimbang Machiavelli atau bahkan Sengkuni:
Kautilya Chanakya.

Dalam kitab Arthashastra, Chanakya membanggakan apa
yang disebutnya sebagai ”ilmu politik”. Bukan agama, bukan
ta­khayul, melainkan ”ilmu” itu yang memperkuat kekuasaan
se­orang raja, ujar Chanakya hampir 2.500 tahun yang lalu,

404 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka SENGKUNI

men­dahului para penganjur realisme politik di abad modern.
Adapun ”ilmu” Chanakya terdiri atas petunjuk yang rinci

tentang cara berbuat licik dan kejam (satu hal yang tak kita da­
patkan dalam risalah Machiavelli). Seorang raja harus mengu­ ji
pa­ra menterinya dengan informasi palsu agar memberontak,­
mis­alnya dengan ditipu bahwa permaisuri jatuh cinta kepad­ a­
nya. Bila terjebak, sang menteri harus dibuang ke hutan atau ke
tamb­ ang-tambang.

Selain teknik disinformasi seperti itu, Arthashastra punya
daf­tar cara menyiksa dan membunuh. Salah satunya dengan
visha-kanya, perempuan yang tubuhnya disiapkan dengan
bisa hingga siapa pun yang bersentuhan dengannya akan mati.
Dengan cara itulah Chandragupta membunuh Raja Parvatak.
De­ngan racun pula ia menghabisi Raja Nanda dan kedelapan
putranya sekaligus.

Seraya musuh politik dilenyapkan, mata-mata dipasang di
ma­na-mana. Semua penduduk harus diawasi agen-agen raha­
sia­yang menyamar sebagai ”pertapa suci, rahib pengelana...
penga­men, tukang sulap, gelandangan, penujum, ahli
astrologi, jug­ a pedagang roti, nasi, dan daging masak”.

Chanakya tentu tak mempersoalkan kebajikan di bagian
ki­tab ini. Ia berfokus pada logika kekuasaan: efektivitas.

Syahdan, di bawah Chandragupta, kerajaan memang
tumbuh dan kaya. Para duta besar asing mencatat bagaimana
Patal­ip­ utra, ibu kota, dibangun seluas 12 x 4 kilometer dan
menam­pilk­ an istana kayu jati yang berhiaskan mutu manikam.
Salah sa­tu kota kerajaan itu, Taxila, sekitar 30 kilometer dari
Rawalpindi sekarang, jadi kota universitas. Sederet perguruan
tinggi tamp­ ak, yang antara lain mengajarkan ilmu kedokteran.

Catatan Pinggir 11 405

http://facebook.com/indonesiapustaka SENGKUNI

Tapi, tentu saja, tak semua hal dapat ditegakkan dan di­
kendalikan. Dalam otokrasi itu, Chanakya, sang Sengkuni,
telah me­lembagakan paranoia. Chandragupta harus terus-
menerus me­rasa terancam. Tiap malam ia berpindah-pindah
kamar tidur yang dikelilingi penjaga bersenjata. Ia harus secara
kontinu memanjangkan mata, telinga, dan kuasa.

Tak terelakkan, ia ketabrak pada batas. Pada suatu masa, ke­
rajaan itu diserang bencana lapar yang panjang hingga bagind­ a
merasa tak mampu mengatasinya. Ia pun meninggalkan istana
dan hidup mengembara sebagai pertapa agama Jain selama 12
ta­hun. Ia mangkat dalam ketiadaan makan.

Chandragupta habis. Ia gagal menempatkan diri di perba­
tasa­­ n antara terlibat dan tak terlibat logika kekuasaan. Ia sep­ e­
nuhnya terjerat.

Di zamannya, Machiavelli punya nasihat sederhana agar se­
orang raja tak terjerat: baginda tidak hanya harus kenal kelicik­
an dan kekejaman, tapi juga harus tahu kapan itu tak harus di­
pakai.

TEMPO, 2 November 2014

406 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka LEMPAD

PADA suatu hari, tahun 1968, saya mengunjungi Lempad
di rumahnya. Perupa jenius dari Ubud itu menemui saya
sambil berdiri di antara patung-patung batu yang disusunnya­
secara acak di beranda. Usianya sudah sekitar 100 tahun.
Tanpa baju, kulit tubuh bagian dadanya tampak mengeriput.
Ramb­ utnya menipis putih hampir gundul.

Ia menunjukkan satu bundel gambar. Dan saya terpesona.
Di lembar-lembar kertas itu Lempad menghidupkan kembali
ce­rita sedih Jayaprana dan Layonsari. Sejak kecil saya mengenal­
nasib pasangan itu: anak angkat Raja Wanakeling Kalianget
yang dibunuh baginda sendiri, ketika orang tua itu ternyata ja­
tuh cinta kepada menantunya, Layonsari. Syahdan, Jayaprana
re­la dibunuh, Layonsari bunuh diri.

Yang mempesona dari karya hitam-putih Lempad ialah ga­ris
dan guratan penanya yang bergetar, spontan, tapi mantap­me­
nangkap apa yang erotis dalam adegan percintaan Jayaprana-
Layonsari. Kain yang tersingkap di atas ranjang. Peluk yang ge­
regetan tapi halus. Gerak yang bergairah tapi elegan....

Karya itu tak pernah saya lupakan—dan tak pernah saya
jum­pai kembali. Beberapa tahun kemudian saya mencarinya
di antara kertas-kertas gambar Lempad yang dikoleksi seorang
pe­natah perak, tapi tak saya temukan. Di Museum Neka,
Ubud,­saya dapatkan karya-karya sang empu lebih lengkap, ta­
pi­tak ada Jayaprana-Layonsari.

Buku monumental yang baru terbit, Lempad, buah tangan­

Catatan Pinggir 11 407

http://facebook.com/indonesiapustaka LEMPAD

bersama Jean Couteau, Ana Gaspar, dan Antonio Casanovas,­
juga tak menampilkannya—meskipun kita beruntung men­da­
pat­kan jejaknya. Dalam buku ini bisa kita temukan goresan­
pens­il tentang malam pengantin dari cerita Arjunawiwaha dan
adegan sanggama Sasarata dan Kekayi, misalnya—dan ki­ta
bisa beroleh sekilas kesan betapa ulungnya Lempad dalam me­
wu­j­udkan apa yang erotis dengan puisi yang diam.

Jika kita lihat kembali kini, ada sesuatu yang sederhana tapi
bera­ rti di gambar itu. Kini, di Indonesia, orang sedang me­
namp­ ik ekspresi tentang tubuh dalam gairah dan percintaan.
In­donesia telah jadi masyarakat yang takut runtuh karena
pornografi. Di saat seperti ini, karya Lempad bisa menunjukkan
yang lain.

Besar beda antara yang erotis dan yang pornografis. Porno­
grafi hanya menarik perhatian orang kepada alat-alat kelamin­
dan hasrat seksual. Ia tak beranjak jauh dari satu tempat dan
ki­ta sudah tahu ujungnya. Yang erotis lain: ia menghadirkan
suasana, konteks, dan perasaan yang tak terlukiskan dan,
teruta­ma­ dalam gambar-gambar Lempad, seakan-akan tak
sepenuhnya bagian dari kehidupan sehari-hari.

Sebagian besar karyanya memang tak hendak menghadir­
kan­ kembali—merepresentasikan—kehidupan biasa. Pe­nga­
ruh­realisme dari seni rupa Eropa membekas hanya pada pa­
tung-patungnya. Sahabatnya, Walter Spies, tamu yang baru da­
tang dari Eropa, membuatnya tak hanya tertarik menggambar
dari adegan dongeng, atau Mahabharata, atau Ramayana.
Gambar-gambar Lempad dari tahun 1930-an melukiskan
peremp­ uan menumbuk padi, lelaki menyembelih babi, bah­
kan ade­gan wanita melahirkan dengan bantuan paraji pria.

408 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka LEMPAD

Tapi wajah orang-orang itu, gerak tubuh mereka—yang selalu
me­ngand­ ung sesuatu yang grotesque sebagai lazimnya karya
seni ru­pa Bali yang akrab dengan hantu, raksasa, dan makhluk
ajaib­ lain—sama sekali bukan sekadar bagian realitas yang
diulang dalam gambar. Juga latar kosong yang seakan-akan
jadi ruang hidup itu seperti dipetik dari mimpi.

Bahkan ketika ia menggambarkan kehidupan Pan Brayut,
istri, dan kedelapan anaknya, dengan sentuhan humor dan
olok-olok, tetap terasa ada yang tak-berasal-dari-dunia-ini di te­­
ngah-tengah kehidupan orang Sudra yang melarat­itu: sesuatu
yang berbeda, dengan detail dan arah yang tak terduga-duga.
Jean Couteau mengungkapkannya dengan bagus:­dalam ser­i
gambar tentang Pan Brayut, pena Lempad tak dibimbing pe­
nyusunan pola. Pena itu bergerak sendiri seraya menemukan-­
dan-menciptakan yang baru, beraneka-ragam, tak­ henti-
hen­ti­nya, ”not guided by patterning but by infinitely varied
inventiveness”.

Agaknya itulah yang menyebabkan karya seni berarti. Karya
seni sering tak dimengerti bahkan tak diakui, tapi ia mampu­
mengembalikan pesona ke dalam dunia kita. Di zaman ini
pesona itu telah terkikis; manusia sibuk menyusun pola-pola,
mer­um­ uskan identitas-identitas, mengatur perbedaan dengan
kons­ep dan klasifikasi. Karya seni mencoba menangkis proses
itu dengan merayakan perbedaan yang tak disusun konsep apa
pun—différence sans concept, kata Deleuze.

Maka selalu ada yang bergerak berbeda dalam tiap karya
seni rupa yang bagus, puisi yang menyentuh, novel yang me­
muk­ au,­musik yang menghanyutkan rasa.

Bukan kebetulan bila gerak juga terasa sebagai inti karya-

Catatan Pinggir 11 409

http://facebook.com/indonesiapustaka LEMPAD

kary­ a Lempad. Setahu saya Lempad sedikit sekali melukis
alam benda. Yang ramai dalam karyanya adalah orang-orang
yang bekerja, bercakap-cakap, menari, melukis. Gerak selalu
ter­asa dalam karya Bali yang luar biasa ini, yang menciptakan
gam­bar-gambar minimalis, dengan bidang yang tak pernah
di­isi penuh. Semangat kreatifnya adalah gerak—dan itu juga
bera­ rti gerak yang tak berkesudahan.

Lempad menunjukkan apa yang pernah saya sebut sebagai
”estetika jeda”: karyanya memberi kesan sebagai karya yang
tak rampung. Ia seperti selalu sampai pada saat jeda, hanya
ber­henti sejenak. Ada kutipan yang menarik dalam Lempad,
mungkin kata-kata sang empu sendiri: ”Ingatlah debu: betapa
seringnya pun kita sapu lantai, selalu akan ada sisa yang harus
disapu lagi.”

Tiap karya seni dimulai dengan gelora, berakhir dengan is­
ti­rahat dan mungkin kerendahan-hati.

TEMPO, 9 November 2014

410 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka SEKARPANDAN

NAMANYA Sekarpandan. Ia pendek, pantatnya mengge­
lem­bung. Dalam wayang kulit Cirebon, ia satu dari
sembilan punakawan yang mengiringi lima kesatria Pandawa.

Sekarpandan mendapat bentuk tubuh itu setelah ia meng­
ejek Semar yang ingin jadi suami kakaknya, Sudiragen. Tapi ia
ka­lah bertarung dengan calon ipar yang buruk rupa itu, terlon­
tar jatuh ke rumpun pandan, dan seketika itu juga berubah
wuj­­udnya: ia jadi replika orang yang dicemoohnya. Juga dalam
wat­ak.

Mirip Semar, watak Sekarpandan lebih serius ketimbang
koc­ ak. Ia arif dan sakti.

Agaknya karena itulah pelukis kaca gaya Cirebon yang
termasyhur, Rastika, membuat kaligrafi dengan sosok
Sekarpand­ an. Endo Suanda, etnomusikolog yang luas pen­ eliti­
annya dal­am seni rakyat, menunjukkan kepada saya: kaligrafi
berbentuk­tubuh Sekarpandan itu adalah formasi huruf Arab
yang berbunyi ”Bismillah-irrahman-irrahim”.

Kaligrafi: sebuah metamorfosis. Kata itu datang dari bahasa­
Yunani kallos (keindahan) dan graphç (tulisan), tapi sebenarnya
Rast­ika tak cuma mau memperindah aksara yang kaku. Di
dal­am karyanya tiap huruf, tiap kata, dilahirkan baru, sering
secara mengejutkan dan nyaris tak terbaca lagi: aksara jadi
gambar, dan teks terkadang mendapatkan apa yang dalam
tradisi ka­ligrafi Cina disebut kuang, bentuk yang ”gila-gilaan”.

Penemuan lain Endo Suanda: dalam salah satu lukisan

Catatan Pinggir 11 411

http://facebook.com/indonesiapustaka SEKARPANDAN

kaca Rast­ika tampak adegan wayang kulit ketika Begawan
Mintarag­ a bertapa. Jika diperhatikan, panah di tangan sang
begawan sebenarnya aksara Arab yang membentuk simbolisasi:
bismillah jadi panah, panah jadi bismillah.

Mengubah kata ke dalam gambar—atau simbol—seperti
itu tentu saja tidak hanya ditemukan dalam kaligrafi tradisio­
nal. Versi shu (tulisan tangan) yang digabungkan dengan hua
(luk­ isan) di Tiongkok lama juga tampak dalam ”hieroglif”
zaman ini: signage di bandara-bandara internasional yang
dengan­ desain yang apik menunjukkan tempat ambil
bagasi atau toilet; rambu lalu lintas yang dengan menarik
mengingatkan pengend­ a­ra mobil akan jalan yang licin.

Dalam The Hall of Uselessness, Simon Ley (nama pena pakar­
sin­ ologi terkenal, Pierre Ryckmans) melihat analogi signage
mo­d­ ern dengan huruf Cina yang ”piktografis” itu: kedua-
duanya ”memberikan arah tanpa bahasa”, penanda visual yang
serta-merta dimengerti orang dari berbagai ragam penjuru.

Dengan analogi itu Ley menunjukkan betapa berbedanya
bah­ asa Cina dengan bahasa-bahasa dalam peradaban Yahudi
dan Kristen. Alkitab bercerita tentang proyek Menara Babil
yang ambruk: manusia gagal membangun wadah untuk saling
me­ngerti dengan bahasa yang tunggal. Sementara itu dalam
keb­ udayaan Tiongkok, kata Ley, orang hidup terus dalam
keadaan ”pra-Babil”. Aksara Cina seperti signage: penanda yang
”melintasi semua perbedaan ujaran”, menyampaikan makna
ser­aya ”melampaui bahasa”. Bahasa-yang-melampaui-bahasa
itu, metalanguage, kata Ley, ”menghubungkan umat manusia
kepada asal-usulnya yang paling awal” dan menawarkan tanda
persatuannya yang hakiki.

412 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka SEKARPANDAN

Saya kira di sini Ley keliru. Bukan penanda visual itu
sendiri­ yang membuat manusia bersatu dalam memahami
makna. ”Per­satuan” itu punya riwayat—khususnya riwayat
kekuasaan. Tan­pa tangan besi dan administrasi yang efektif
di masa Maharaja Qin Shi Huang, 281-247 Sebelum Masehi,
Tiongkok tak akan memiliki Menara Babil ini: tulisan Cina
yang dibakukan, setelah berabad-abad di wilayah yang luas
itu huruf yang sama dibunyikan berbeda-beda dan disusun
berlainan.

Begitu juga signage. Di lorong-lorong bandara dan malls
simb­ ol itu diseragamkan maknanya oleh pasar global zaman
ini. Mereka diakui dan dikukuhkan hanya oleh orang-orang
yang biasa keluar-masuk tempat-tempat itu. Di jalan raya
antarkota, gambar piring, sendok, dan garpu (atau pisau) sama
se­kali bukan metalanguage: mereka yang tak pernah bersantap
den­ gan cara ”Barat” tak akan segera tahu signage itu menunjuk
ke lokasi tempat makan.

Makna gambar, juga huruf Cina, perlu kodifikasi, dan ko­
dif­­ikasi, agar diterima secara luas, perlu ditopang hegemoni.

Namun pada akhirnya kodifikasi, juga hegemoni, tak bisa
mut­lak. Pesan yang disampaikan simbol visual itu mau tak
mau akan disentuh sejarah, dipengaruhi pengalaman yang
berb­ eda, dan beroleh bunyi yang berlainan. Signage yang sama
di bandara Kuala Lumpur dibunyikan ”tandas” dan di stasiun­
bus Palembang ”kamar kecil”. Pernah kaligrafi berwujud
Semar­dianggap menghina Quran oleh seorang ulama yang
tak ken­ al tradisi Cirebon.

Ada seorang penelaah yang menunjukkan, dalam tiap kali­
grafi Cina—dan agaknya kaligrafi mana pun, seperti dalam

Catatan Pinggir 11 413

http://facebook.com/indonesiapustaka SEKARPANDAN

kar­ya Rastika—tersirat dua kutub yang tarik-menarik. Di
satu pihak koordinat yang membuat sebaris kaligrafi tampak
proporsional, tak berlebihan, di atas bidang datar. Di pihak
lain ada ”pusat gerak” yang tumbuh dari dinamika kuas (atau
pena) dan tangan pencipta. Ketegangan di antara kedua kutub
itu membuat huruf-huruf itu seakan-akan merendek dan
melonjak, bahkan menerabas ke luar. Kaligrafi hidup dengan
gaya me­liuk merentang yang tak bisa diseragamkan.

Itulah yang membedakannya dengan huruf dalam tipografi
mo­dern, barisan aksara di atas bidang horizontal dengan kaki
yang terukur dan teratur. Tujuan utamanya menstabilkan arti
dan pengertian. Tapi ada yang hilang di sana: gerak, bunyi,
sejarah. Tak ada pengalaman hidup yang kaya yang mengubah
gerak dan bunyi, seakan-akan tak ada sejarah yang menggeser
arti dan pengertian.

Tak mengherankan bila di barisan huruf itu—yang wujud
ekstremnya berupa akronim, jauh dari kaligrafi—mudah
berkut­at konsep yang beku dan jiwa yang statis. Tak akan lahir
Se­karpandan yang ganjil tapi sakti.

TEMPO, 16 November 2014

414 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka SHYLOCK

AGAMA, ras, kebencian: unsur-unsur itu dengan mudah
ber­taut. Dalam Saudagar Venezia, lakon Shakespeare
yang termasyhur itu, mereka bertaut dan kita menyaksikan
sebuah ”komedi” yang tak bisa membuat kita ketawa.

Tokoh utama cerita ini Antonio, seorang saudagar kaya di
kota Italia itu, sebuah pusat perdagangan dunia di abad ke-
15. Di Rialto, wilayah bisnis utama Venezia, ia dikenal sebagai
pem­ ilik empat buah argosy, kapal dagang besar yang berlayar
sampai Tripoli, Meksiko, Inggris, bahkan Indonesia (Indies).

Ia dikenal murah hati. Sebagai orang Kristen zaman itu,
yang menaati Injil, ia meminjamkan uang tanpa bunga. Dalam
kisah ini ia menolong Bassanio, seorang bangsawan muda
Venezia yang membutuhkan dana 3.000 dukat untuk bisa me­
lam­­ ar Portia, seorang gadis cantik dan cerdas dari Belmont.
An­tonio, yang tak punya uang tunai, menyanggupi jadi pen­
jamin utang ketika Bassanio datang ke hadapan Shylock.

Shylock seorang Yahudi. Nama yang tak lazim ini mungkin­
berasal dari ”Sheelah”, tokoh yang dapat ditemukan dalam
Alkitab. Shylock digambarkan Shakespeare sebagai tukang
kre­dit.

Seperti umumnya orang Yahudi di Eropa di masa itu,
Shylock menumbuhkan bisnis perkreditan karena, berbeda de­
ngan­orang Kristen, para pengikut ajaran Musa menafsirkan
Al­kitab secara tersendiri: larangan menarik bunga pinjaman
(yang dalam bahasa Ibrani disebut ribbit, dekat dengan ”riba”)

Catatan Pinggir 11 415

http://facebook.com/indonesiapustaka SHYLOCK

ha­nya berlaku di antara sesama mereka, tapi tidak dalam hu­
bungan pinjam-meminjam dengan ”orang asing”. Dengan
bunga itulah—dan karena kebutuhan utang-piutang—bisnis
ber­kembang dan dunia perbankan tumbuh.

Bagi Shylock, yang seperti orang Yahudi lain di Venezia
diperlakukan sebagai ”orang asing”, orang seperti Antonio
bukan­”sesama”. Tapi yang menarik dalam cerita ini adalah
bahwa Shylock tak hendak menuntut bunga darinya. Ia ber­
sedia meminjamkan uang 3.000 dukat dengan syarat: jika
setelah tiga bul­an uang itu tak dikembalikan, ia akan mengerat
daging tubuh saudagar yang jadi penjamin utang itu senilai
uang yang gag­ al dibayar.

Sebuah syarat yang ganjil dan buas—tapi Antonio me­
neriman­ ya. Ia yakin, kapal-kapalnya akan kembali sebulan
sebelum saat utang itu jatuh tempo, dan ia akan sanggup
mengembalikan 3.000 dukat itu.

Tapi ada sebab lain: ia merasa lega bahwa Shylock, di luar
ke­biasaan, tak mengenakan bunga pinjaman. Bagi Antonio, ini
sikap yang dermawan. Ia bahkan hari itu menyebut Shylock,
orang yang pernah dihinanya, sebagai ”Yahudi yang lembut
hati”. Orang Ibrani ini, kata Antonio kepada sahabatnya, akan
jadi orang Nasrani. ”He grows kind.”

Sebenarnya meragukan, sungguhkah Shylock ”tumbuh
jadi baik hati”. Ia merasa dirugikan Antonio. Saudagar Kristen
itu menjadi pesaingnya yang berat karena meminjamkan dana
tan­pa bunga. Shakespeare, yang menulis lakonnya 500 tahun
yang lalu, ketika kebencian kepada orang Yahudi menyebar
kent­al di masyarakat Inggris, membuat Shylock jadi karikatur­
antisemit: sosok si bakhil yang berhidung bengkok. Kata

416 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka SHYLOCK

”shylock” menyakitkan hati orang Yahudi. Ketika pada 1962 di
New York Joseph Papp memulai program ”Shakespeare in the
Park” dan memilih Saudagar Venezia sebagai lakon pertama,
dewan rabbi kota itu memprotes.

Saya kira para ulama Yahudi itu terlampau cepat ter­
singgung. Shylock bisa ditafsir sebagai tokoh yang ambigu. Ia
punya alasan yang kuat, meskipun tak sepenuhnya jelas, ketika
me­netapkan syarat utang-piutangnya.

Ia kenal Antonio sebagai pembenci Yahudi. Antonio bah­
kan­ pernah meludahi mukanya. ”Tuan menyebutku salah-
iman,­anjing pemutus leher, dan meludahi jubah Yahudiku,”
kat­an­­ ya kepada sang saudagar Venezia. ”Tuan—orang yang
pern­ ah melepaskan dahak ke janggutku.”

Shylock memang ingin menyakiti Antonio. Dendamnya
ia sad­ ari. Tapi syaratnya untuk dibayar dengan keratan tubuh
laki-laki itu bisa juga punya arah yang lain.

Ia tahu daging itu tak ada harganya; paha sapi atau
dada bu­rung lebih bisa diperjualbelikan—meskipun pada
kontrak utang-piutang Antonio-Shylock keratan tubuh itu
diperlakukan dalam acuan nilai-tukar, mirip komoditas lain
di pasar.

Dengan catatan: rasa sakit ketika tubuh itu dikerat, juga
rasa puas ketika melihat seorang musuh menanggungkan lu­ka,
adalah hal-hal yang tak bisa dipertukarkan, tak bisa ditim­bang,
dibahasakan, atau dinilai. Baik bagi seorang Kristen­maupun­
seorang Yahudi, kepedihan dan kebuasan hanya bero­ leh
makna bila pertanyaan Shylock ini menusuk jauh: ”Tidak­kah
orang Yahudi juga punya mata? Tidakkah orang Yahudi juga
pun­ ya tangan, organ tubuh... panca-indra, perasaan, gelora

Catatan Pinggir 11 417

http://facebook.com/indonesiapustaka SHYLOCK

hati, menyantap makanan yang sama, terluka oleh senjata yang
sam­ a... seperti orang Kristen?”

Pertanyaan itu tak saya temukan jawabnya dalam Saudagar
Venezia. Lakon ini, kita ingat, berlanjut dengan babak di mana
Shylock yang hampir menang akhirnya terkecoh, kalah.

Tapi saya bayangkan ia dan Antonio di pentas ”The Globe”,
London. Di tepi Sungai Thames tempat kapal-kapal lewat,
Saudagar Venezia memungut bahan cerita dari negeri lain,
me­mungut kata (termasuk ”doit”, dari kata duit) dari bangsa-
bang­sa yang jauh.

Juga saya bayangkan Venezia. Di Ponte de Gheto Novo, jem­
batan kecil di dekat kampung Yahudi, Shylock memandang­air
ka­nal Cannaregio berliku-liku menuju laut.

Nun di sana, bahtera dan manusia berniaga, pulang-balik
dar­i pelbagai pantai bumi. Laut biru dan juga tak biru. Kita tak
tahu di mana agama, ras, dan kebencian di situ.

TEMPO, 23 November 2014

418 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka WAKTU

KETIKA bumi kian cepat rusak, ketika kering & panas
menj­alar membunuh hutan-hutan dan melelehkan es di
ku­tub, dan laut tak sanggup lagi menampung air yang meluap
dan kota-kota tenggelam, ketika pada suatu hari ini terjadi, apa
yang bisa dilakukan manusia? Rage, rage against the dying of the
light, baris sajak Dylan Thomas itu melintas. Marahlah kepada
cah­ aya yang punah. Marahlah.

Dalam film Interstellar, sajak itulah yang tak selesai di­
ucapkan seorang ilmuwan tua, Brand, menjelang mati. Ia telah
diam-diam menyiapkan manusia untuk hengkang dari bumi
yang makin hancur: manusia harus mencari sebuah planet lain
se­bagai alternatif. Tapi utopia itu tetap utopia: impian bagus
yang tak punya tempat. Empat belas penjelajah diluncurkan,
nam­ un tanpa jejak tanpa kepastian.

Tapi cerita ini tak seluruhnya mengusung fatalisme yang
muram.

Dengan gemuruh pesawat antarbintang yang menjangkau
Lub­ ang Hitam, dengan robot-robot yang pintar berbicara,
Interstellar berangkat sebagai sebuah science fiction dalam
tradisi­Star Trek. Tapi sebenarnya ia sebuah mithos yang tak
jauh berbeda dari yang didongengkan orang sejak zaman dulu.
Pertama dalam kekuatan bercerita. Kedua dalam kandung­
annya. Ke­tiga dalam perspektifnya tentang waktu.

Salah satu kekuatan mithos ialah menunda sikap tak per­
caya.­ Kita tak mencegat keajaiban (atau keganjilan?) dalam

Catatan Pinggir 11 419

http://facebook.com/indonesiapustaka WAKTU

nara­si­nya dengan tanda tanya besar. Kita sepenuhnya ter­
kesima, kit­a asyik, dan kita menyimpan kesangsian di depan
layar ketik­ a Ki Dalang berkisah tentang Bima yang memasuki
tubuh De­wa Ruci yang kecil. Kita juga tak menggugat ketika
Interstellar disorotkan, tak bertanya bagaimana mungkin
Cooper, pil­ot itu, dengan sosok yang tetap gagah seperti ketika
ia berangkat mengemudikan pesawat Endurance, balik ke
kehidupa­ n manusia tapi memasukinya di masa depan, ketika
Murph, anakn­ ya, telah jadi perempuan berusia 100 tahun.
Bagaimana mung­kin juga ayah itu, di ujung perjalanannya,
justru tiba di mas­a lalunya sendiri, memberi isyarat seperti
bisikan hantu kepada Murph yang masih kecil? Dan benarkah
ada ”mereka”, makhluk dengan dunia lima dimensi yang
berniat menolong manusia?

Interstellar—sebuah dongeng.
Dan seperti umumnya dongeng, di dalamnya ada yang
mem­buat kita lebih bijaksana, biarpun sedikit, tentang hidup.
Film ini menunjukkan bahwa egoisme bukanlah ciri manusia.
Ada saat-saat orang sanggup mengorbankan diri agar orang
lain selamat.
Cooper, misalnya, bersedia melakukan penjelajahan yang
pen­ uh teka-teki itu. Di satu saat bahkan ia melontarkan diri­
nya dalam pesawat yang nyaris habis energi, agar rekannya,
Ame­lia, bisa sampai di sebuah planet tempat Edmunds, salah
sat­u penjelajah ruang angkasa terdahulu, menemukan ruang
hid­ up.
Jika saya katakan Interstellar sebuah dongeng, ia dongeng
yang, katakanlah, pasca-modern: ia mempertanyakan ide ”ke­
maj­uan” dan agenda besarnya. Dengan segala teknologi dan de­

420 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka WAKTU

rap modernitas untuk menguasai ruang & waktu, yang terjadi
malah bumi yang rusak. Dan lihat Cooper: seperti ma­nus­ia
pertama di angkasa luar dalam sajak Subagio Sastrowardoyo,
ia terlontar dari bumi, kesepian, akibat ”1.000 rumus il­mu
pasti yang penuh janji”.

Tapi kutipan yang tepat untuk film ini saya kira bukan dari
Subagio Sastrowardoyo atau Dylan Thomas, melainkan dari
se­buah lagu yang dinyanyikan dalam suasana sentimental
da­lam film Casablanca: lagu tentang waktu dan manusia.
Sementara waktu berlalu, as time goes by, kata lirik lagu itu,
cerita tua yang sama, the same old story, selalu kembali.

Waktu hadir di pusat Interstellar—tapi, seperti dalam
mithos­ tentang dewa dan manusia yang menitis, waktu itu
tanpa­ bat­as yang jelas di antara masa lalu, kini, dan nanti.
Dalam film ini, Cooper berada di tiga kurun sekaligus. Dan kita
pun jad­ i bertanya, sambil mencoba memahami teori relativitas
Einstein yang muskil itu, apa arti waktu jika demikian, dan
benark­ ah waktu ada dan berlalu—atau manusialah yang
mengkonstruksikannya demikian.

Para pemikir ”korelasionis” akan mengatakan bahwa
waktu­ada; tapi ia selalu ada dalam korelasi dengan manusia.
Pertanyaa­­ n klasik para ”korelasionis”: mungkinkah akan ada
warna andai kata tak ada mata manusia? Ataukah sebaliknya:
benark­ ah warna, waktu, dan lain-lain memang pernah ada
dan akan ada tanpa kita?

Ilmu menunjukkan bahwa sudah terbentang alam semest­a
14 miliar tahun yang lalu, sebelum manusia. Meillassoux me­
nyebutnya ”arche-fossil”, jejak fenomena ”nenek moyang” bah­
kan sebelum munculnya kehidupan—yang membuat pend­ a­

Catatan Pinggir 11 421

http://facebook.com/indonesiapustaka WAKTU

pat ”korelasionis” guyah. Tapi sebaliknya: bagaimana waktu
bis­a ada tanpa subyek yang menyusun ”kemarin”, ”kini”, dan
”ke­lak”?

Interstellar, sebagaimana dongeng, tak menjawab, sebab ia
bu­kan sebuah eksplorasi filsafat. Ia pertama-tama sebuah ke­
asyik­an. Meskipun tak cuma itu.

Yang membuat penjelajahan Cooper menarik adalah perta­
uta­ nnya yang erat dengan bumi, meskipun bumi itu sedang
bi­nasa—pertautan yang dibentuk cintanya kepada Murph.
Boc­ ah itu berumur sepuluh tahun ketika ditinggalkannya
berangkat mengarungi alam semesta mencari planet alternatif.
Pad­ a suatu saat, dari dalam kokpit Endurance pada jarak
sekian ratus tahun cahaya, si ayah menyimak pesan anaknya—
dan melihat bahwa yang berbicara kepadanya adalah Murph,
se­orang perempuan dewasa. Bapak itu menangis. Seseorang
menghitung bahwa sejam di posisi ”interstellar” itu sama
dengan­tujuh tahun di bumi.

Tapi kerinduan seorang tua, cinta seorang anak, kasih yang
mungkin tak sampai tapi keras kepala, kasih yang lebih kuat
ket­imbang pengharapan: semua itu membuat ruang & waktu
tak lagi relevan.

Benar, the same old story. Tapi siapa yang akan berkeberatan?

TEMPO, 30 November 2014

422 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka FUNG SENG

ANTHONY Salim lebih sering mengenakan baju batik­ke­
timbang baju jenis lain. ”Saya pakai batik karena saya su­
ka batik. Ada orang-orang yang menyukai pakai Gucci karena
mer­eka ingin dilihat berbaju merek itu. Biar saja.... Bagi saya,
say­ a pakai batik karena nyaman.”

Sosok Anthony, putra Liem Sioe Liong yang melanjutkan
jar­ingan bisnis raksasa ayahnya, juga setelah rezim Soeharto
yang mendukungnya jatuh, dilukiskan secara hidup dalam
buku Liem Sioe Liong’s Salim Group yang ditulis Richard
Borsuk dan Nancy Chng, yang terbit pada 2014 ini—agaknya
buku terb­ agus selama 10 tahun terakhir tentang sejarah bisnis
di Indonesia.

Anthony, menurut buku ini, ”tajam” dalam memandang
kes­­empatan bisnis. Anthony berani ambil risiko. Anthony yang
sejak kecil menunjukkan gairah bisnis. Anthony yang di­pilih­
ayahnya, meskipun bungsu, buat jadi pengganti. Anthony­
yang berbeda dari kakak sulungnya, Albert.

Albert, menurut ayahnya, anak yang ”sedikit malas”,
”gemar­main gitar dan mobil balap”. Sebaliknya Anthony: tak
suk­ a dandan, pakai kacamata model kokok-beluk gaya lama,
dan tetap mengenakan kaus merek 777 produksi pabrik tekstil
ayahnya di masa lalu.

Sambil setengah bercanda, Anthony menjelaskan apa
yang ter­sirat dari batik. Desain batik yang rumit, katanya, itu
mirip ca­ra berbisnis di Indonesia. ”Batik berbeda dari desain

Catatan Pinggir 11 423

http://facebook.com/indonesiapustaka FUNG SENG

Burberry­yang bergaris-garis sangat jelas, clear-cut, yang kotak
dan ba­tasnya segera tampak,” katanya. Sementara itu, ”Motif
batik se­lalu agak gelap.” Batas-batasnya ”kabur”. Tapi di tengah
itu, ”Bagaimana juga situasinya, kita akan dapat survive!”

Nama kecilnya Liem Fung Seng. Arti harfiahnya ”menemu
keh­ idupan”, selamat dan hidup terus dari bencana. Hanya
beberapa pekan sebelum ia lahir, pada 1949, ayahnya, pedagang
yang waktu itu masih belum makmur, hampir tewas karena
ke­celakaan mobil. Si bungsu seakan-akan isyarat bahwa hidup­
bisa menjumpainya lagi. Berpuluh tahun kemudian, setelah
kris­is ekonomi 1997 mengguncang konglomerasi ayahnya—
di­sebut ”Grup Salim”—Fung Seng juga yang menemukan hi­
dup­kembali bagi usaha keluarga itu.

Riwayat usaha keluarga itu, seperti lazimnya kisah pebisnis
di Indonesia—apalagi bila ia keturunan Tionghoa—memang
buk­­ an berlangsung di atas garis-dan-petak ala Burberry. Tapi
Liem Sioe Liong memang berhak mengatakan ia mujur. Ia
sangat­­percaya kepada feng shui. Ia tak mau merombak rumah­
nya yang tak mentereng di Jalan Gunung Sahari, Jakarta.­
Dengan alasan yang sama, di masa jayanya ia membiarkan
makam ayah dan kakeknya yang sangat bersahaja di bukit di
Niuazhai, sebuah dusun di Kota Fuqing, di Provinsi Fujian, di
pantai­Tio­ ngk­­ ok sebelah tenggara.

”Saya beruntung,” katanya sebagaimana dikutip Borsuk
dan Chng. ”Saya kerja dan saya berkembang. Kalau misalnya
say­ a hidup di Afrika, Timur Tengah, pegimana saya bisa kerja?
Wak­tu, tempat, dan keberuntungan... ini yang ndak bisa di­
ubah.”

Tapi ia bisa membuat tempatnya berubah: meninggalkan

424 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka FUNG SENG

du­sun tempat ia dilahirkan.
Di desa itu berlaku ucapan ” jiu nian han, yi nian zai”

(sembilan tahun kekeringan, satu tahun bencana). Antara
gersang dan banjir, antara gunung dan pesisir, tanah pertanian
itu nyar­is tak bisa ditanami. Orang tua Liem, yang punya 11
anak, bukan peladang yang paling melarat. Tapi hidup tak
gampang.

”Kami kebanyakan makan apa yang kami tanam,” Liem
me­ngisahkan masa kecilnya. ”Jarang ada daging tersedia di
me­ja.” Hasil ladang juga tak menentu. Uang cepak. Orang
terkadang harus pinjam ke lintah darat.

Liem muda berusaha bertahan. Ia berdagang mi mentah.
Ta­pi pada 1937, ketika musim kering melanda, ayahnya
meninggal, setelah pulang memikul ubi. Hidup berubah. Di
saat itu juga Jepang mulai menyerbu Tiongkok.

Di umur 21 tahun, Liem meninggalkan dusunnya, mencoba
naik kapal menuju Jawa. Ia nyaris gagal, tapi akhirnya ia ber­
ha­sil mendarat di Surabaya pada 1938—dengan kantong uang
yang dicopet. Dari Surabaya, ia ke Kudus di Jawa Tengah.

Di kota itu, Liem berdagang pakaian yang dipikulnya ber­ke­
liling jalan kaki. Dari sini ia mulai naik. Kudus menyenangkan
hatinya. Liem merasa buah kerjanya segera tampak. Penduduk
setempat ramah. Makanan juga enak—terutama soto Kudus.

Tapi baru di Semarang ia meloncat. Kota ini, pada akhir
abad ke-19, adalah pusat kerajaan bisnis Oei Tiong Ham, ”Raja
Gula”, saudagar besar pertama kelahiran Jawa yang berhasil
memb­ angun emporium internasional.

Liem kemudian menyusul, bahkan melampaui kejayaan
itu. Tapi, sementara Oei Tiong Ham tak membangun koneksi­

Catatan Pinggir 11 425

http://facebook.com/indonesiapustaka FUNG SENG

bis­nis dengan pemerintah Belanda, Liem berbeda: ia praktis di­
te­gakkan kekuasaan Soeharto, jenderal yang dikenalnya sejak
1949 meskipun baru jadi rapat dengannya setelah 1966. Liem,
yang selama perang kemerdekaan dari Semarang ikut menya­
lurk­ an barang kebutuhan ke wilayah Republik yang diblokade
Belanda, dengan gampang menemukan teman di kalangan
orang militer ini.

Soeharto menjadikan pebisnis yang jinak dan ulet ini
pendukung kekuatannya—juga jadi pendorong pertumbuhan
eko­nomi. Tapi ekonomi yang terbentuk ibarat bangunan besar­
yang tak stabil, sebab cuma disangga dua tiang: kekuasaan
yang otoriter dan bisnis dengan monopoli yang dipaksakan.

Tapi Liem memang beruntung dan penggantinya, Anthony,­
memang Fung Seng. Soeharto jatuh dan digantikan sebuah
sis­tem di mana monopoli tak berlaku. Tapi Anthony—bahkan
se­telah Bank BCA lepas dari tangannya—bisa memanfaatkan
keadaan baru. Dan ia mengakui, ”Cara kita berbisnis [kini] le­
bih terstruktur.”

Yang kini dilupakan: pernah ada seorang mujur, yang
dengan dukungan kekuasaan yang sewenang-wenang, bisa
membuat orang lain tak beruntung.

TEMPO, 7 Desember 2014

426 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka PAGAR

HANYA pengembara dan penjelajah yang tahu: dunia tak
dapat dipaparkan dengan batas yang keras. Ruang kehi­
dupan tak pernah ajek. Hidup tak dibangun dengan pagar.

Tapi Kant memang bukan pengembara. Filosof ini, yang
meng­ibaratkan pengetahuan manusia sebagai ”sebuah pulau
de­ngan banyak tapal batas”, lahir di Kota Königsberg di timur
la­ut Jerman dan meninggal di kota yang sama. Sejak 1724
sampai dengan 1804—sejak jabang bayi sampai dengan jadi
jena­zah—ia tak pernah keluar satu meter pun dari kota yang
tak jau­ h dari Laut Baltik itu. Ia orang yang menetap.

Ketika usianya kian lanjut, lelaki bertubuh kecil ini (tinggi­
nya tak sampai 1,6 meter, kurus, dengan dada yang cacat) bah­
kan memilih hidup yang serba tetap. Tiap pagi pelayannya­
membangunkannya (ia perintahkan agar jangan sungkan
meng­e­ ntakkannya dari tidur) supaya ia bisa tepat waktu be­
rangk­ at berjalan kaki menyusuri jalanan Königsberg. Konon
men­ it dan detiknya begitu persis hingga para tetangga me­
nyetel jam mereka berdasarkan kebiasaan Kant.

Yang rutin, yang rata, yang rapi—dan tentu itu-itu saja. Se­
peninggal Kant, tak ditemukan catatan harian. Mungkin ka­
ren­ a ia sendiri tak tertarik merekam hidupnya sehari- hari yang
tanpa drama, tanpa gejolak. Kita tak akan bisa menulis kisah
hi­dup Kant, kata penyair Heinrich Heine mencemooh, karena
orang ini tak punya kisah dan tak punya hidup.

Setidaknya ia tak punya hidup yang diperlihatkannya ke

Catatan Pinggir 11 427

http://facebook.com/indonesiapustaka PAGAR

luar. Kant tampak memagari hidupnya yang privat dari bagian
dir­inya yang terbuka buat umum, yakni karya-karyanya.

Pagar, itulah pola yang berulang pada pemikiran yang
termaktub dalam buku-bukunya. Pagar, patok, pembagian:
se­sua­tu yang perlu dan niscaya. Bagi Kant, dunia pemikiran
fils­a­fat yang disebut ”metafisika”—yang mengatasi ilmu-ilmu
sosial dan fisika—semula adalah ibarat ”ratu” bagi semua ilmu,
sep­ erti di masa Aristoteles. Sang ”ratu” bertakhta tanpa batas,
mutlak, dan pada akhirnya mirip dogma.

Dalam perkembangan pengetahuan kemudian, metafisika­
tak berkuasa seperti itu lagi. Ilmu-ilmu itu tak lagi butuh
tuntunannya. Namun apa yang kemudian terjadi juga bisa ber­
ba­haya. Para pembangkang, yang meragukan segala penge­ta­
huan sebagai dogma, para skeptis itu, ”ibarat suku-suku pe­
ngem­bara yang membenci penghunian yang permanen dan
ca­ra hidup yang mapan”.

Untung jumlah mereka tak banyak, kata Kant. Untung,
karena ia ingin menegakkan metafisika sebagai satu bangunan
bar­u yang mapan, tapi yang juga sadar akan batasnya sendiri.
Dan itu hanya bisa dicapai dengan membangun pemikiran
yang sistematis, terukur, dan tekun. Metafisika ini tak boleh
ber­campur dengan—harus dibatasi secara jelas—”kebenaran”
yang dicapai dengan Schwärmerei yang tak rasional, yang de­
ngan­ gairah langsung menggapai ke mana-mana, juga ke
dalam hal-hal ”yang tak terpikirkan”.

Dengan perspektif itu pula Kant menolak mistisisme, alam
pikiran para sufi .

Ia kembali kepada pagar, patok, pembatasan. Kant tak
hendak bertualang ke dunia yang ”ganjil”. Ia ingin berada dan

428 Catatan Pinggir 11

http://facebook.com/indonesiapustaka PAGAR

men­ e­tap di Königsberg pikirannya, dengan kecemasan kepada
”su­ku-suku pengembara” yang mengganggu alam pikiran.

Yang menarik, dan saya kira relevan dengan abad ke-21,
kita kemudian tahu pemikir Abad Pencerahan ini tak cukup
lepas dar­i latar gelap Eropa di zamannya—latar yang bertahan
sampai hari ini: pandangan curiga, bingung, dan marah
kepada orang dari luar. Ian Almond, dalam History of Islam in
German Thought (Routledge, 2011), sebuah telaah yang tajam
dan cer­ah, memperlihatkan bagaimana Kant mendekatkan
”suku-suku pengembara” bukan cuma sebagai kiasan tentang
orang-orang yang skeptis, tapi juga dengan bangsa nomad:
orang Arab dan Yahudi.

Kant bahkan mengaitkan Schwärmerei dengan
Muhammad, pendiri Islam, bukan untuk menunjukkan sisi
sufisme da­lam ajarannya. Schwärmerei dalam diri Muhammad
bukan saj­­a tak rasional, melainkan sebuah gelora hati,
antusiasme, yang membawanya ke ambisi lahiriah (”eksternal”)
dan sensua­ l.­­ Tak kurang dari itu, kata Schwärmerei juga
dihubungkannya dengan sikap tak rasional lain: fanatisme.

Kant di Königsberg: sebuah kota pelabuhan yang di
masa lampau didatangi pelbagai bangsa, tapi riwayatnya tak
selaman­ ya ditandai ruang yang tenang dan terbuka. Kota ini
didirikan setelah bangsa Prusia dibasmi para kesatria Teuton
di abad ke-13. Kemudian, kemudian sekali, 9 November 1938,
di kota Kant itu malam ”Kristallnacht” terjadi, ketika kaca-
kaca toko dan rumah Yahudi dipecahkan dan kaum Nazi
membakar buku, memukuli dan membunuh orang ”lain” itu.

Fanatisme, Schwärmerei, tak hanya datang seperti ge­
rombolan lebah dari luar. Pagar yang membedakan kita dan

Catatan Pinggir 11 429


Click to View FlipBook Version