http://facebook.com/indonesiapustaka WESTPHALIA
abad ke-17. Setelah Perang 30 Tahun yang menewaskan 7,5
juta manusia itu, ketika para penguasa Protestan dan Katolik
selama tiga dasawarsa saling mengerahkan pasukan untuk
menghabisisatu sama lain, sebuah perjanjian perdamaian pun
berlangsung di Westphalia, sebuah wilayah Jerman di barat
laut.
Ini perundingan yang tak mudah. Perlu waktu empat
tahun untuk mencapai hasil. Mewakili 194 kekuasaan yang
bertempur, ribuan duta besar, diplomat, staf, sekretaris, dan
pelbagai macam petugas ditempatkan pada tahun 1644-
1648 di Westphalia. Acara pertama—enam bulan lamanya—
membahas protokol: siapa duduk di mana, siapa yang masuk
lebih dulu ke ruangan dan setelah siapa. Salah satu hasilnya:
utusan Prancis dan Spanyol selama empat tahun itu tak pernah
bertemu karen aaturan protokolernya tak memungkinkan.
Akhirnya, upacara penandatanganan kesepakatan di
setujui(perlu tiga minggu untuk itu), dan Perjanjian Damai
Westphalia diteken. Pukul dua siang, Sabtu, 24 Oktober 1648.
Salah satu keputusan: Swiss memperoleh ”kedaulatan”.
Tapi tak berarti ”kedaulatan” itu sama artinya dengan pe
ngertian yang berlaku sekarang. Seorang sejarawan, Andreas
Osiander, menunjukkan bahwa kata yang dalam bahasa Ingg ris
disebut sovereignty itu sebenarnya tak sangat dikenal di masa
itu, juga dalam teks Latin dokumen resmi. ”Tak seorang pun
waktu itu menggubris ’kedaulatan’ sebagai sebuah konsep.”
Kata itu tak tampak dalam komunikasi diplomatik ataupun
dalam pamflet-pamflet yang mengiringi alasan perang. Perang
30 Tahun bukan perang mempertahankan kedaulatan sebuah
bangsa di sebuah wilayah—berbeda dengan perang di dunia di
380 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka WESTPHALIA
abad ke-20—melainkan lebih berupa perang memperjuangkan
kemerdekaan beragama.
Maka Osiander yakin, bukan Perjanjian Westphalia di abad
ke-17 itu yang memulai batas-batas kedaulatan yang kemudian
disebut ”Tata Westphalia”. Kedaulatan yang seperti kita kenal
sek arang agaknya baru mulai mencari bentuknya setelah Re
volusi Prancis, ketika kedaulatan tak lagi melekat pada pribadi
raja yang menguasai sebuah wilayah. Kedaulatan sejak saat itu
menjadi kedaulatan semua warga—kedaulatan bangsa—yang
berada dalam proteksi sebuah negara. Dan ”negara”, dalam
telaah Osiander, baru hadir dalam maknanya yang sekarang
sejak abad ke-19.
Dengan kata lain, ”negara” adalah produk sebuah masa,
sebuah tempat. Meskipun demikian, ia tak mudah hilang
bersama waktu. Marx pernah meramalkan suatu hari nanti,
bila masyarakat komunis tercapai, negara akan menyusut dan
menghilang, melapuk dan layu. Tapi sampai hari ini, belum
tampak tanda-tanda ke arah itu. Di mana-mana masih ada
struktur politik dengan pusat pengambilan keputusan yang juga
punya wew enang memaksa, yang hadir dukung-mendukung
dengan sebuah komunitas yang disebut ”bangsa”—komunitas
yang menghuni satu wilayah di muka bumi. ”Negara,” tulis
Osiander dalam Before the State: Systemic Political Change in the
West from the Greeks to the French Revolution, ”terus dianggap
sebag ai kerangka yang tak bisa dilepaskan dari politik.”
Tak berarti dalam hubungan antarnegara kita melanjutkan
”Tata Westphalia”. Sejarah dan geografi Westphalia terlampau
jauh untuk bisa saya bayangkan berpengaruh ke percaturan
internasional Indonesia hari ini. Sejarah bukanlah satu garis
Catatan Pinggir 11 381
http://facebook.com/indonesiapustaka WESTPHALIA
lurus dengan arah ke pelbagai penjuru. Sejarah adalah pelbagai
diskontinuitas.
Maka, seperti Osiander, saya tak yakin ”tata” itu ada dan
berlanjut dipatuhi sampai sekarang. Yang ada hanyalah ”tata”
yang sekaligus ”bukan-tata”: ketertiban teritorial yang dijaga
den gan kekuatan dan ancaman yang sesekali bisa meledak,
dan untuk mencegahnya lahirlah kesepakatan antarnegara
yang sesekali retak.
Dalam bentuk ekstremnya, ”tata” yang ”bukan-tata” itulah
yang sebenarnya hendak dijadikan alasan perang Daulat Isla
miyah (IS), yang tak mengakui batas geografi politik yang ada.
Tapi itu juga yang sebenarnya diberlakukan Israel di wilayah
Palestina yang didudukinya.
Memang, kadang-kadang orang sebal dengan batas. Tapi
bila kita ingat akan ”tata” perbatasan yang bisa diacak-acak de
ngan kekerasan, mungkin kita sesekali tersenyum kepada pe
tug as imigrasi.
TEMPO, 21 September 2014
382 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka ADI
LAKI-LAKI tua yang jangkung dan bermuka keras itu,
yang hidup dengan seekor monyet kecil di sebuah gubuk,
bercerita dengan suara yang masih ganas tentang bagaimana ia
memb unuh. ”Aku tebas buah dada perempuan itu; dari akar
putingnya mengalir air susu. Lalu aku potong lehernya....”
Dokumentasi tentang kekejaman di Indonesia sekitar 1965
bertambah—dan bisa bertambah. The Look of Silence, film
baru Joshua Oppenheimer, semacam sambungan dari filmnya
yang terdahulu, The Act of Killing, kini sudah beredar secara
terbatas. Dalam rekaman seperti yang saya kutip, dari ingatan,
Oppenheimer menunjukkan keunggulannya sebagai pembuat
film dokumenter dan keunggulan seseorang yang datang
mengu sik hati kita dengan pertanyaan.
Tentu ia bukan orang pertama dalam perkara ini. Pada
Agustus 1969, majalah Horison memuat tulisan Usamah, ”Pe
rangdan Kemanusiaan”. Tulisan ini, nonfiksi, begitu menarik
perhatian hingga diterjemahkan ke dalam jurnal akademik
Indonesia dari Cornell University. Di dalamnya kita baca
kesaksian seorang muda, penulis yang antikomunis, yang
dengan hati terbelah terlibat dalam penangkapan, penyekapan,
dan pembunuhan orang-orang yang dituduh komunis—
termasuk teman-temannya.
Buat menerbitkan kesaksian seperti ini ketika ”Orde Baru”
mulai efektif perlu keberanian tersendiri. Tapi waktu itu
Horison tampak ingin membuka pintu Indonesia yang luas. Di
Catatan Pinggir 11 383
http://facebook.com/indonesiapustaka ADI
sana pula terbit cerita pendek Umar Kayam, ”Musim Gugur
Kembali di Connecticut”, yang dengan kalimat-kalimat pen
dek dan tenang menyentuh hati: seorang intelektual kiri yang
tak berbuat apa-apa dibunuh dalam pembasmian yang meluas
di tahun 1960-an itu.
Sastra Indonesia tampaknya medium yang memulai peng
ungkapan sejarah yang tragis setengah abad yang lalu itu: ada
novel Yudhistira A.N.M. Massardi Mencoba Tidak Menyerah,
trilogi Ahmad Tohari, dan kemudian, dua tahun lalu, Pulang
Leila S. Chudori dan Amba Laksmi Pamuntjak. Luar sastra me
nyusul: majalah Tempo 1-7 Oktober 2012 merekam pertemua n
dengan para pelaku pembantaian....
Bahwa The Act of Killing yang paling menyentak kita,
mudah dipahami: film selalu lebih menjangkau orang banyak,
dan seb uah film dokumenter tentang sejarah yang setengah
terpendam selalu mengejutkan, apalagi datang dari luar. Maka
The Act of Killing lebih menarik perhatian ketimbang Sang
Penari, film Indonesia pertama yang, berdasarkan fiksi Ahmad
Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, menampilkan kekerasan
”anti-gestap u” tahun 1960-an.
The Look of Silence agaknya tak akan kalah kontroversial ke
timb ang pendahulunya—dan bagi saya lebih menggugah.
Kebuasan yang digambarkannya di Deli Serdang, Sumatera
Utara, tidak hanya dilakukan satu orang. Berbeda dengan The
Act of Killing, ia tak diselingi khayal surealistis dengan humor
yang seram dan potret-potret preman hari ini; dalam The Look
of Silence tak ada permainan antara imajinasi dan rekonstruksi.
Bah an utamanya wawancara, praktis tanpa intermezo. Kata-
kata terus terang, telanjang, brutal.
384 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka ADI
Sepasang laki-laki tua mendemonstrasikan bagaimana
mereka, hampir setengah abad yang lalu itu, mengerat
kemaluan korbannya dari pantat, sebelum menikam merihnya
dan menyepak tubuhnya ke sungai. ”Aku minum darah orang
yang aku potong,” kata seseorang yang lain, ”agar aku tidak
gila.” Darah manusia manis-manis asam, katanya dengan
muka yang selalu tegang. ”Aku minum dua gelas. Kuambil
dari bagiantenggorokan.”
Di manakah selama ini bagian yang terpendam, ganas, dan
merisaukan dari sejarah Indonesia ini? Malukah kita meng
akuinya? Atau takut? Atau tak tahu? Atau tak peduli?
Tokoh di pusat The Look of Silence adalah Adi. Di masa penuh
darah itu kakaknya, Ramli, ditangkap dan dibantai dengan
bengis. Adi, yang lahir setelah pembunuhan itu, hanya men
dapat ceritanya dari ibunya yang masih menyimpan dendam
yang getir. Pada suatu hari Adi melihat rekaman penga kuan
dua laki-laki yang membunuh orang-orang komunis. Kita tak
tahu bagaimana ia mendapatkan video itu, tapi sejak itu laki-
laki itu pun mencari jawab, menemui orang yang terlibat—
dan tak mendapatkan apa-apa, selain kisah kebiadaban yang
dilakukan sesamanya.
Adi, seperti kita, menuntut penyesalan para pembunuh.
Tapi sia-sia. Dan itulah yang merisaukan. Bagi kita kekejaman
mereka secara universal patut dikutuk, tapi jangan-jangan
antara kita dan mereka tak ada dasar bersama untuk menuntut
sesal. Jangan-jangan apa yang biadab, apa yang beradab, ada di
kepala dengan dunia masing-masing.
Film ini tentu tak bertolak dari asumsi itu. Bagi Adi dan
Oppenheimer, kebuasan itu sangat terbuka, sangat terang-
Catatan Pinggir 11 385
http://facebook.com/indonesiapustaka ADI
benderang, buat dihakimi. Tapi tampaknya tak segampang
itu. Ada dunia lain yang belum tertembus.
The Look of Silence amat kuat berbicara tentang apa, kapan,
dan bagaimana. Tapi film ini tak cukup menggambarkan
menga pa dan siapa. Tak banyak informasi tentang latar sosial
Adi dan Ramli. Penonton yang berbahasa Jawa akan tahu,
orang tua Adi datang dari Jawa, tapi justru akan bertanya
mengapa mereka hidup di Deli Serdang dan apa yang mereka
lakukan. Apa yang Ramli lakukan? Adakah ia seorang aktivis
komunis—dan apa artinya itu bagi para pembunuhnya:
bagaimana genealogi kebuasan itu? Dari mana datangnya?
Hanya karena perintah dan propaganda aparat kekuasaan?
Mungkinkah laku yang sekeji itu—yang terus mereka bang
gakan—terbit tanp a kebencian yang bersemai dalam pribadi
dan tubuh sosial?
Hari-hari ini kebencian masih berkecamuk dan kita tak
tahu kenapa, kebiadaban masih dibanggakan dan kita tak
tahu apa sebabnya. The Look of Silence akan berjasa besar jika
bersamanya kita ingat, ada pertanyaan yang gawat dan belum
terjaw ab itu. Tak hanya di Indonesia.
TEMPO, 28 September 2014
386 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka BANDIT
BAJINGAN dan pahlawan kadang-kadang manunggal
dalam evolusi.
Di Indonesia kita tahu kisah Ken Arok, di Australia orang
ken al cerita Ned Kelly. Dalam Pararaton yang ditulis pada 1481
ditunjukkan Ken Arok sebagai seseorang yang bermuladari
keh idupan yang terkutuk: ”perilakunya tak baik, memutus
kankendali kesusilaan, jadi pengganggu Hyang yang gaib”,
lumaku tan rahayu amegati apusira pinakapamañcananing
hyan Suksma. Ia juga dengan ambisi berkuasa yang ganas
membunuh siapa saja yang ia perlukan untuk naik takhta. Dan
ia memang naik takhta dan jadi pendiri Kerajaan Singasari di
abad ke-14.
Ia sendiri mati terbunuh, tapi berangsur-angsur evolusi
terjadi: ia jadi pahlawan yang tak pernah hilang. Di abad ke-
20 baik Muhammad Yamin maupun Pramoedya Ananta
Toer membangun, dalam karya fiksi mereka, sosok Arok yang
heroik.
Di Australia, di abad ke-19, Ned Kelly memasuki sejarah
sebagai perampok, pembunuh, musuh kekal polisi. Tapi,
sementara ia bermula dari manusia yang dikecam, ia berakhir
jadi tokoh yang memikat imajinasi orang Australia. Pelukis
termasyh ur Sidney Nolan menampilkannya dalam kanvas-
kanvas yang memukau: Ned Kelly dalam topeng pelindungnya
yang persegi dan penuh teka-teki. Sejak awal 1900-an beberapa
film dib uat, termasuk yang dibintangi Mick Jagger dan Heath
Catatan Pinggir 11 387
http://facebook.com/indonesiapustaka BANDIT
Ledger.
Daftar bandit ini bisa panjang. Di Meksiko di awal abad ke-
20: Pancho Villa. Di India di abad kita: Phoolan Devi. Di anta
ra penduduk Turki Siprus: Hassanpoulia, jagoan yang mati pa
da 1896.
Di Amerika Serikat lebih terkenal: Billy the Kid. Setelah
terbunuh pada 1881, ia juga lahir kembali sebagai kisah
penjahat yang memikat, meskipun kebajingannya sebenarnya
tak pernah spektakuler. Michael Ondaatje menulis novel
puitik yang ia sebut The Collected Works of Billy the Kid: Left-
Handed Poems pada 1970. Jauh sebelum itu, sederet film dibuat,
antara lain oleh Sam Peckinpah, dan Bob Dylan menggubah
musiknya. Bahk an sebelum itu pada 1938, si bandit masuk di
pusat sebua h karya ballet Aaron Copland.
Di Italia ada Salvatore Giuliano. Penjahat dari dusun mis
kin di Sisilia ini mulai beroperasi sebagai penyelundup kecil
bah an makanan di pasar gelap ketika Italia Selatan terancam
kelaparan setelah Perang Dunia II. Tapi segera ia sudah jadi le
genda bahkan sebelum mati dibunuh pada 1950.
Syahdan, di suatu hari di tahun 1944, penjahat berwajah
tamp an ini merampok rumah seorang bangsawan putri dari
Pratameno. Bersama anak buahnya, Giuliano diam-diam
masuk ke kediaman sang duchessa. Dengan hormat dan sopan,
si kep ala bandit mencium tangan nyonya rumah—tapi ia
meminta agar emas berlian diserahkan. Ketika permintaannya
ditolak, Giuliano mengancam akan menculik anak-anak
keluarga itu. Sang duchessa menyerah. Giuliano pun pergi
dengan harta rampasan yang cukup setelah mencopot cincin
berlian dari jari nyonya rumah dan meminjam satu buku karya
388 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka BANDIT
John Steinbeck dari perpustakaan—buku yang seminggu
kemudian ia kembalikan.
Dengan cerita semacam itu sutradara Francesco Rosi
membuat sebuah film dokumenter gaya neo-realis tentang
Giulianopada 1962. Dan tak mengherankan bila sejarawan
Marxis terkenal, Eric Hobsbawm, dalam Bandits, menyebut
Giuliano salah satu contoh bajingan dalam ”tradisi” Robin
Hood. Giuliano pernah menembak mati kepala kantor pos
yang mencuri parsel yang dikirim untuk orang dusun dari
kerabatnya di Amerika, dan ia bunuh pemilik toko yang jadi
lintah darat.
Sudah tentu, evolusi dari bandit ke pahlawan bukan sebuah
peristiwa sejarah. Umumnya ia lebih sebuah proses imajinasi
sosial yang terbentur. Ia lahir ketika orang banyak merasakan
ada Keadilan (dengan ”K”) tapi tak bisa diutarakan dalam
suasana Ketidakadilan, ada Juru Selamat tapi tak terlihat.
Dalam pelbagai dongeng rakyat yang dibangun dari tokoh
nyata seperti Ken Arok dan Pancho Villa, sang pelanggar
hukum adalah ungkapan bahwa hukum telah kehilangan aura
nya.Atau lebih tepat: kehilangan daya tipunya. Sang bandit ja
di ”pahlawan” dengan menegaskan kata ”lawan”: ia bongkar
ilusi dan tunjukkan bahwa hukum yang dirumuskan para le
gislator dan aparat negara sesungguhnya sebuah pencurian
hak—yakni hak menentukan apa yang adil.
Di Indonesia, hukum disebut ”undang-undang”. Seperti ju
ga ”undangan”, ia memanggil dan memberi tahu orang ramai.
Tampak, ada jalinan erat antara ”undang-undang” dan baha
sa: dalam hukum—yang dirumuskan dengan kata-kata—ada
kemestian berkomunikasi. Dan seperti bahasa, ”undang-un
Catatan Pinggir 11 389
http://facebook.com/indonesiapustaka BANDIT
dang” adalah sebuah konvensi, sebuah pegangan yang disep a
kati secara umum, tapi sekaligus tak bisa lepas dari dialek dan
aksen yang berbeda-beda di suatu saat, di suatu tempat.
Dengan kata lain, interpretasi, itulah proses yang men en
tukan. Penafsiran adalah cara mengakomodasi kec enderungan
yang partikular dalam konstruksi hukum yang berniat univer
sal itu. Maka tak ada undang-undang yang tak ditafsirkan, ju
ga ketika tafsir dinyatakan terlarang.
Penafsiran itulah cara membuat Keadilan (dengan ”K”) me
wujud dalam hidup sehari-hari. Tapi tak pernah selesai. Ia se
lalu sia-sia. Dalam sejarah, Keadilan acap menggerakkan lahir
nya hukum, tapi hukum tak pernah sama dengan Keadilan.
Maka hukum hanya akan jadi berhala, ketika para pe
nguasa tak mau mengakui bahwa seadil-adilnya undang-
undang, hukum hanya gema dari Keadilan yang entah di
mana. Derridapern ah mengatakan, ”Keadilan” selalu hanya
akan datang, ”aven ir”, tapi saya kira tidak. Keadilan telah hadir
hari ini, namun selalu sejenak, selalu akhirnya mengelak.
Dalam sejenak itulah terjadi revolusi, meledak protes, ada
kem arahan. Dan kadang-kadang ada bandit, ada pahlawan.
TEMPO, 5 Oktober 2014
390 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka POLISI
DI sebuah asteroid yang sangat-sangat kecil, ada seorang
raja yang duduk di atas takhta tanpa didampingi siapa
pun. Jubah besarnya berjela menutupi seluruh planet mini
itu. Tak ada tempat bagi yang lain. Syahdan, dalam dongeng
Pangeran Kecil Antoine de Saint-Exupéry yang termasyhur ini,
sang pangeran mengunjungi tempat raja yang kesepian itu.
Melihat seorang tamu datang, raja itu pun gembira. ”Nah, ini
ada rakyat,” ia berseru.
Tampak ia sangat merindukan ”rakyat”. Kita tak tahu se
jakkapan. Yang kita jadi tahu dari kisah ini (yang mungkin
sebuah amsal) adalah bahwa kekuasaan hanya bisa disebut de
mikian bila ada orang lain yang dikuasai. Bahkan lebih dari
itu: seo rang penguasa, mau tak mau, selalu harus memberi
pemben ara n otoritasnya di depan orang lain, juga bila orang
lain itu berada dalam posisi hamba sahaya. Raja dalam cerita
Saint-E xup éry memerintah, tapi titahnya hanya terlaksana
jika yang diperintah merasa cocok. ”Otoritas diterima
pertama-tama karena ia masuk akal,” kata baginda. ”Jika kita
perintahkan orang membuang diri ke dalam laut, mereka
akan membangkang dengan revolusi. Aku punya hak untuk
dipatuhi karena titahku masuk akal.”
Artinya, hak untuk dipatuhi tak datang dari takdir yang
men entukan bahwa sang raja adalah manusia yang lebih
utama, tapi justru karena ia pada dasarnya setara dengan
mereka yang mematuhinya. Kedua pihak bertolak dari ”masuk
Catatan Pinggir 11 391
http://facebook.com/indonesiapustaka POLISI
akal”. Ada pengakuan bahwa sang hamba punya posisi yang
juga menentukan apa arti ”masuk akal”.
”Ah! Voilà un sujet,” seru sang raja: kata sujet saya terjemahkan
jadi ”rakyat”, tapi sebenarnya lebih tepat sujet adalah ”sahaya”.
Kata ”sahaya”, yang dalam naskah lama Melayu umumnya
mengacu ke arti oknum yang tunduk, kemudian berkembang
jad i ”saya”, atau ”aku”, sebagaimana sang raja.
Demokrasi dimulai dengan dorongan menegaskan bahwa
baik raja maupun rakyat masing-masing sebuah subyek, sebuah
”saya”. Kedua-duanya setara, baik yang berdaulat maupun
yang tidak. Seperti telah dilihat Aristoteles di Yunani di abad
ke-4 Sebelum Masehi, perjuangan ke arah demokrasi bergerak
karena timbulnya kesadaran egaliter, karena keyakinan akan
kesetaraan yang mendasar.
Saya kira pepatah lama Melayu ”raja adil raja disembah,
raja lalim raja disanggah” bermula dari pengalaman sejarah
kita: posisi seorang raja adalah sesuatu yang serba mungkin,
contingent. Tanpa dasar yang kekal, raja naik atau raja turun
karen a pergulatan yang tak jarang dibarengi kekerasan.
Bahkan di Jepang. Maharaja Jepang, Tennô, yang bertakhta
sampai hari ini, dikatakan sebagai keturunan dewi matahari
Amaterasu. Tapi sejarah resmi juga mencatat kekuasaan dinasti
ini bermula dengan Maharaja Jimmu pada 660 Sebelum
Masehi. Kedaulatannya dikukuhkan dengan ekspedisi militer.
Gambarn ya menunjukkan sosok gagah yang membawa busur
besar.
Dengan senjata, tanpa dewi matahari, tanpa sumber yang
kekal buat siapa pun, siapa saja bisa berkuasa. Dari situlah de
mokrasi bangkit. Demokrasi, seperti dikatakan Rancière da
392 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka POLISI
lam ”10 Thesis tentang Politik”, bukanlah sebuah sistem. Pada
dasarnya ia perjuangan politik dari siapa saja yang ambil bagian
untuk membangun suatu kehidupan yang bisa mereka terima
dan sebab itu punya legitimasi kuat. ”Siapa saja” itu berartijuga
mereka yang semula ”tak masuk hitungan”—seperti Kaum
Kulit Hitam di Amerika Serikat yang berjuang menegaskan
kesetaraan pada tahun 1960-an.
Hasilnya tak bisa ditentukan dengan sebuah formula.
Desain para ahli konstitusi atau pemegang doktrin tak se
lamanya terlaksana. Mereka ini, seperti halnya kaum elite
yang terbentuk di suatu kurun waktu, justru yang perlu
didobrak. Dalam sejarah, merekalah yang menghambat proses
demokratisasi dengan memilah-milah siapa yang berhak jadi
penggembala dan yang harus hanya jadi gembala. Politik lahir
dari gerakan menggebrak pemilahan itu. Politik dalam hal ini
sama dengan semangat demokrasi: sebuah ”dissensus”, bukan
konsensus.
Tak mengherankan bila demokrasi mengundang para
pembencinya. Rancière mengingatkan hal itu dalam La haine
de la démocratie (versi Inggrisnya, Hatred of Democracy): ke
bencian kepada demokrasi tak akan berkesudahan. Di masa
Yunani Kuno ia ditertawai, di abad ke-20 di zaman Fasisme ia
diangg ap ”asing” atau ”berbahaya”, di Indonesia dulu dan kini
ia dianggap ”impor Barat” dan harus diwaspadai. Mendukung
demokrasi yang menegaskan hak rakyat, kata pembenci demo
krasi, sama halnya dengan mendukung suara yang bodoh atau
kacau.
Dan itulah yang hari-hari ini terjadi: rakyat, yang dalam be
berapa pemilihan selama hampir satu dasawarsa sanggup me
Catatan Pinggir 11 393
http://facebook.com/indonesiapustaka POLISI
nunjukkan betapa pentingnya hak politik bagi mereka, dan se
kaligus menunjukkan kesanggupan mereka mengelola konflik
dan dissensus, oleh pendukung oligarki di parlemen disisihkan.
Lembaga perwakilan rakyat berhenti mewakili kehendak rak
yat. Representasi yang berasumsi akan mencerminkan secara
sempurna apa yang direpresentasikannya ternyata cuma ilusi
besar, dan kini jadi dusta.
Dengan demikian, politik dibekukan. Sebagai gantinya
akan ditegakkan ”Polisi”, untuk mengikuti istilah Rancière:
penga turan, pengendalian, dan penjagaan hidup orang banyak,
melalui lembaga-lembaga yang didirikan. Polisi ini akhirnya
hanya membuat posisi para penguasa lembaga kukuh,dengan
alasan merekalah sang penjaga.
Tapi perlawanan akan terjadi. Dalam Pangeran Kecil, sang
raja merumuskan hidupnya sebagai pemerintah dan pengatur.
Dialah penegak Polisi. Ia minta tamunya jadi ”menteri keha
kima n” di asteroid yang praktis kosong itu. Tapi sang tamu
sudah melihat betapa ganjilnya raja yang tanpa rakyat itu.
Dan ia pun menolak.
TEMPO, 12 Oktober 2014
394 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka KOMEDI
1918, November, Volksraad dibentuk. Pemerintah kolonial
Belanda mengumumkan sebuah janji untuk rakyat jajahan,
bahwa dengan ”dewan [perwakilan] rakyat” itu proses demo
kratisasi akan terjadi. Tapi ”janji November” itu tak terpenuhi:
Volksraad ternyata tak bisa menampung, atau mewakili,
apa yang hendak disuarakan rakyat. Para anggotanya ramai
berdebat, tapi tak banyak yang punya dampak ke dalam
kehidupan volks, orang banyak di luar gedung. Maka, dengan
sarkasme yang cerdas, Haji Agus Salim mengejeknya sebagai
sebuah ”komedi omong”.
Tentu tak seluruhnya tepat. ”Komedi” mengandung humor,
sedangkan kata-kata yang diutarakan di Volksraad umumnya
seperti lucu—dan orang tertawa pahit—karena yang terdengar
hanya sebuah kegaduhan drum kaleng yang tanpa isi.
Tapi agaknya bukan hanya di Volksraad. Setelah kemer
dek aa n, di masa tahun 1950-an, ketika Indonesia sebuah
”demokrasi parlementer”, para anggota parlemen tak pernah
berhenti diejek media. Tampaknya selalu ada persoalan dengan
pen gertian ”wakil” dan ”perwakilan”.
”Wakil” ada ketika subyek yang harus berfungsi tak ada,
atau sedang tak hadir. Dalam sebuah masyarakat seperti Indo
nesia, mustahil rakyat hadir serentak—maka diasumsikanlah
bahw a rakyat harus punya wakil. Kedaulatan rakyat dalam
prakteknya pun menjadi kedaulatan wakil mereka.
Tapi sebuah ilusi untuk menganggap bahwa antara wakil
Catatan Pinggir 11 395
http://facebook.com/indonesiapustaka KOMEDI
dan yang diwakili tak dengan segera terjadi jarak—bahkan
hubungan yang mencong.
Kedaulatan rakyat, yang dikukuhkan dalam ide demokrasi
dari zaman ke zaman, adalah sebuah kerinduan akan keadil
an—yakni keadilan yang dimanifestasikan dalam kesetaraan.
Inilah motif besar di balik pelbagai revolusi. Tapi ketika
revolusi tak lagi bisa hanya merupakan gerakan politik
rakyat dan sebuah lapisan kaum revolusioner khusus bekerja
mewakili merek a—seperti para anggota Partai Bolsyewik
dalam Revolusi Rusia, seperti para anggota kelompok Jakobin
dalam Revolusi Prancis—kedaulatan punya tempat yang lain.
Maka politik, sebagai gerak dan gelora di kalangan rakyat—
yang semula jadi kekuatan Revolusi—berhenti. Suara yang
plural dan hidup digantikan apa yang oleh Hannah Arendt
dalam On Revolution dianggap sebagai ”politik semu” di
kancah partai-partai.
Di negeri-negeri lain yang telah mapan dan tak lagi bergerak
oleh politik kalangan bawah, ”politik semu” itu—yang tak jauh
berbeda dengan ”komedi omong”—juga yang berlangsung.
Konstitusi negeri-negeri ini menjamin kesetaraan, tapi pada
hak ikatnya itu sebuah kesetaraan yang diberikan dari sebuah
”politik semu”.
Itu berarti keadilan dirumuskan dalam proses politik
yang maknanya terjadi melalui transaksi kekuasaan. Rumus
”keadilan” itulah yang disebut ”hukum”, dan dengan langsung
atau berangsur-angsur orang ramai pun menerima—melalui
bujukan, tekanan, atau ancaman—rumusan ”keadilan” yang
membuat orang banyak pasif itu.
Saya teringat cerita Kafka itu lagi: seseorang dari pedalaman
396 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka KOMEDI
datang ke sebuah pintu gerbang berpenjaga untuk menemui
Hukum. Ia tak kunjung bisa masuk. Bertahun-tahun ia
men ungg u di depan pintu gerbang itu, hingga akhirnya
meninggal.
Ada semacam tragi-komedi dalam cerita ini. Kisah Kafka
selalu ganjil. Ada sejenak kita ingin tersenyum. Ada saat lain
kita merasa sedih atau ngeri.
Demikianlah orang yang malang itu menyangka bahwa
Hukum begitu penting. Barangkali ia salah menyangka bahwa
yang tersembunyi di balik pintu itu adalah Keadilan—sesuatu
yang pantas dijelang dari jauh, dari pedalaman. Salah sangka
yang besar dan tragis.
Yang juga tragis adalah ”menantikan”. Orang itu duduk
saja, atau ia sesekali bertanya kepada penjaga pintu. Ia tak me
nerob os. Setelah beberapa lama menanti, ia juga tak pergi. Ia
tak hendak meninggalkan tempat itu dan mencari pintu lain.
Ia tak tahu bahwa Hukum, yang dirumuskan untuk dia dalam
sebuah proses ”politik semu” di atas sana, tak layak dinantikan
samp ai mati. Ia tak hendak menjebol Hukum itu dan memulai
satu proses politik yang sebenarnya—politik yang melibatkan
dan menumbuhkan dirinya dalam daya, atau kuasa, dan cita-
cita.
Mungkin seperti banyak orang lain di antara kita, ia tak ta
hu ia bisa merdeka untuk keadilan.
TEMPO, 19 Oktober 2014
Catatan Pinggir 11 397
http://facebook.com/indonesiapustaka
398 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka TAKHTA
TAKHTA kelihatan gilang-gemilang, tapi kekuasaan ada
lah sebuah dilema. Catatan tertua tentang itu agaknya
bisadibaca dari kisah Hakim Samuel.
Dalam Perjanjian Lama, disebutkan bagaimana orang tua
ini menyaksikan pengikutnya, bangsa Israel, mencoba memilih
sebuah sistem politik yang lain setelah sebuah penyelewenga n
terjadi.
Mereka semula hidup bersama dengan dipimpin penghulu
yang disebut ”hakim-hakim”. Samuel adalah hakim pengha
bisan. Ketika usianya makin lanjut, ia mengangkat dua anak
nya yang lelaki menggantikannya. Tapi Yoel dan Abia ternyata
mengecewakan. ”Mereka mengejar laba, menerima suap, dan
memutarbalikkan keadilan.”
Mengetahui kejahatan itu, berkumpullah para pinisepuh.
Mereka datang kepada Samuel di Rama, menyatakan niat
untuk mencoba sebuah sistem yang lain: mereka tak ingin lagi
dipimpin para hakim, mereka ingin menjadikan kebersamaan
sosial-politik mereka sebuah kerajaan.
Mereka pun mengajukan semacam petisi kepada Samuel,
orang yang mereka hormati tapi telah mengecewakan: ”Engkau
sudah tua dan anak-anakmu tidak hidup seperti engkau; mak a
angkatlah sekarang seorang raja atas kami untuk memerintah
kami, seperti pada segala bangsa-bangsa lain.”
Samuel kesal. Tapi ia tak menjawab. Ia mengutarakan isi
hatinya kepada Tuhan dalam doa.
Catatan Pinggir 11 399
http://facebook.com/indonesiapustaka TAKHTA
Yang menarik, dalam cerita ini, Tuhan menyatakan Ia tahu
ada yang salah dalam permintaan bangsa Israel itu, tapi Ia tak
hendak mencegahnya. Sebagaimana disebutkan dalam Alki
tab, Tuhan mengeluarkan firman, menyuruh Samuel melulus
kan permintaan itu. ”Sebab bukan engkau yang mereka tolak,
tetapi Akulah yang mereka tolak. Mereka tidak menghendaki
Aku lagi sebagai raja mereka.”
Tak mudah, bahkan tak mungkin, menerka kenapa per
mintaan perubahan tata kekuasaan itu harus dikabulkan.
Yang jelas Samuel, hakim tua itu, tahu bahwa hidup tak akan
jadi lebih mudah.
Itu juga yang dikemukakannya, mungkin dengan sedikit
gerutu, kepada orang-orang Israel itu: dengan diangkatnya se
seorang jadi raja, penguasa ini akan punya hak memberi titah
dan orang banyak harus tunduk. Raja itu akan memaksa
anak-anak lelaki membajak ladangnya, mengumpulkan hasil
panenn ya, membuat senjata-senjatanya dan perkakas kereta
perangnya, sementara anak-anak perempuan akan dijadikan
pembua t minyak wangi atau bekerja sebagai tukang masak
dan tukang roti baginda. Hidup bersama yang sama rata sama
rasa akanberakhir.
Bahkan juga kesetaraan dalam hak milik akan hilang. Raja
akan mengambil 10 persen hasil gandum dan anggur yang di
pan en dan akan diberikannya kepada para pegawai istana.
Bahk an raja ”akan mengambil budakmu, ternakmu yang
terbaik, dan keledaimu....”
Betapapun kerasnya peringatan Samuel, bangsa Israel
tetap mengangkat seorang raja dan tak lagi mengakui otoritas
hakim. Mungkin mereka ingat (satu hal yang tak dikatakan
400 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka TAKHTA
pak tua itu) bahwa para hakim juga, seperti terbukti dengan
Yoel dan Abia, tak lepas dari kemungkinan berbuat sewenang-
wen ang.
Namun gagasan mereka untuk mengganti para hakim
dengan raja-raja memang bukan sebuah reformasi yang radikal.
Dalam sejarah bangsa Israel, bahkan Raja Daud (yang dalam
trad isi Islam dianggap ”nabi”) terbukti melakukan hal-hal
yang cela, hanya berbeda sekian derajat dari yang digambarkan
Samuel.
Tapi mungkin malah sebelum Samuel, manusia selalu di
persimp angan itu: kedaulatan, atau kekuasaan, yang dilam
bangkan dengan takhta, adalah keniscayaan yang tak memba
wa kepastian. Ia perlu didirikan. Tapi ia mencemaskan. Di luar
tata dan takhta itu, selalu membayang sesuatu yang Entah.
Pertanyaan yang tak mudah dijawab: jika ada kesadaran
seperti itu, mengapa orang tak kembali saja kepada Tuhan,
yang menurut Alkitab pernah jadi ”raja” mereka?
Dikatakan bahwa memang kontrak kekuasaan itu tak
mereka perpanjang lagi. Bisa diduga karena bagi mereka
Tuhan yang memberikan hukum adalah Tuhan yang tak
terjangkau. Sejak mula, bahkan di depan Musa, Ia tak hendak
memperlihatkan wajah-Nya. Orang banyak itu tak bisa
bertanya, apalag i menggugat. Hukum Tuhan senantiasa hanya
ditafsirkan orang-orang tertentu, yang andai kata lurus hati
pun tetap memandang dunia dari seginya yang terbatas.
Dalam hubungan itu tampak bahwa takhta raja-raja—
sebuah bangunan kekuasaan pasca-Tuhan—mengandung
sebuah pengakuan yang tersirat: hukum para raja, yang
selalu mengh endaki pemaksaan, bukan datang bersama apa
Catatan Pinggir 11 401
http://facebook.com/indonesiapustaka TAKHTA
yang disebut Walter Benjamin sebagai ”kekerasan ilahiat”,
göttliche Gewalt. Takhta raja-raja membawa serta ”kekerasan
mithologis”, kekerasan untuk menegakkan hukum, sedangkan
”kekerasa n ilahiat” menghancurkan hukum—khususnya
hukum yang dianggap berhala dan menuntut ketaatan kita.
”Kekerasan mithologis” adalah ketika hukum yang dibangun
manusia sendiri wibawanya ditopang pelbagai mithos buat
menunjukkan ia adalah titisan Keadilan yang melintasi ruang
dan waktu.
Pengakuan yang tersirat bahwa ia memang tak ada kaita n
nya dengan Tuhan membuka pintu bagi perjuangan keadilan.
Pada akhirnya, keadilan adalah sesuatu yang dipergulatkan
manusia di dunia yang rumit dan fana, bukan tertib yang diha
diahk an dari luar bumi.
Di dalam proses itu, takhta yang gilang-gemilang itu akan
tampak seperti kursi di kedai. Posisinya ditentukan dari saat ke
saat. Tak istimewa.
TEMPO, 26 Oktober 2014
402 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SENGKUNI
AGAKNYA kita harus selalu bersiap di perbatasan antara
terlibat dan tak terlibat dalam kekuasaan. Atau kita akan
terjerat.
Siapa pun yang berada dalam kekuasaan tak boleh diharap
kan selamanya jadi pelaku kebajikan. Seorang raja, demikian
petuah Machiavelli, ”Mesti memperoleh kekuatan untuk
bertindak tidak baik.”
Nasihat seperti itu dibaca orang Italia sejak Il Principe ber
edar di abad ke-16. Buku itu membuat Machiavelli dikenal
sebagai penasihat yang keji bagi para raja. Dalam imajinasi
mereka yang mengenal Mahabharata, pemikir politik Italia itu
seorang Sengkuni.
Dalam wayang, tokoh ini perdana menteri para Kurawa
yang berhasil merancang tipu muslihat untuk menyingkirkan
para Pandawa, musuh mereka, dari kerajaan. Ia dibenci siapa
saja—dalang, penonton, para komentator. Pernah, pada tahun
1970-an, sebuah pertunjukan wayang kulit besar-besaran yang
membawakan lakon Bharatayudha diakhiri dengan mem
buang tokoh wayang ini ke Laut Selatan. Agar tak ”kembali”.
Tapi Machiavelli bukan sepenuhnya seorang Sengkuni
yang dibenci. Jika kita menilik tempat dan masanya, kita akan
bisa lebih paham mengapa ia bisa dibenarkan. Penggagas ”teori
politik” ini hidup di Italia abad ke-16 yang diguncang perang
antarkota dan antar-penguasa wilayah. Machiavelli mencitakan
sebuah republik yang kukuh seperti di zaman Romawi. Tapi ia
Catatan Pinggir 11 403
http://facebook.com/indonesiapustaka SENGKUNI
lihat tak semua pangeran sanggup membangun sebuah tata.
Dalam pandangannya, tak semua pemimpin siap berbuat ke
ras, kejam, bengis.
Ia menjadikan temannya, Piero Soderini, sebagai contoh.
Soderini memimpin Republik Firenze pada tahun 1502-1512.
Pemimpin ini bersikap ”baik hati, alim, dan penuh belas”.
Sikap itu justru membuat diri dan rakyatnya celaka. Soderini
sebenarnya bisa menyelamatkan republiknya andai ia membu
nuh para bangsawan utama di wilayahnya.
Seorang raja yang arif, tulis Machiavelli, ”Tak akan risau
jikadikecam karena berbuat kejam yang menyebabkan rakyat
nya bersatu dan setia.” Dengan menampakkan kebengisan,
”Ia seb enarnya jauh lebih berbelas-hati ketimbang mereka
yang dengan sikap yang sangat pemaaf membiarkan kekejian
berkecamuk.”
Dalam petuah seperti ini, Machiavelli bukan orang per
tama.
Sekitar 300 tahun sebelum tarikh Masehi, di India seorang
pangeran muda berhasil memperbesar kekuasaannya, merebut
takhta dinasti Magadha, bahkan kemudian mengalahkan
pasukan Iskandar yang Agung dari Makedonia yang men
duduki wilayah itu. Tapi ia, Chandragupta, tak sendirian. Di
dekatnya ada seorang penasihat yang petuahnya bisa lebih culas
dan kejam ketimbang Machiavelli atau bahkan Sengkuni:
Kautilya Chanakya.
Dalam kitab Arthashastra, Chanakya membanggakan apa
yang disebutnya sebagai ”ilmu politik”. Bukan agama, bukan
takhayul, melainkan ”ilmu” itu yang memperkuat kekuasaan
seorang raja, ujar Chanakya hampir 2.500 tahun yang lalu,
404 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SENGKUNI
mendahului para penganjur realisme politik di abad modern.
Adapun ”ilmu” Chanakya terdiri atas petunjuk yang rinci
tentang cara berbuat licik dan kejam (satu hal yang tak kita da
patkan dalam risalah Machiavelli). Seorang raja harus mengu ji
para menterinya dengan informasi palsu agar memberontak,
misalnya dengan ditipu bahwa permaisuri jatuh cinta kepad a
nya. Bila terjebak, sang menteri harus dibuang ke hutan atau ke
tamb ang-tambang.
Selain teknik disinformasi seperti itu, Arthashastra punya
daftar cara menyiksa dan membunuh. Salah satunya dengan
visha-kanya, perempuan yang tubuhnya disiapkan dengan
bisa hingga siapa pun yang bersentuhan dengannya akan mati.
Dengan cara itulah Chandragupta membunuh Raja Parvatak.
Dengan racun pula ia menghabisi Raja Nanda dan kedelapan
putranya sekaligus.
Seraya musuh politik dilenyapkan, mata-mata dipasang di
mana-mana. Semua penduduk harus diawasi agen-agen raha
siayang menyamar sebagai ”pertapa suci, rahib pengelana...
pengamen, tukang sulap, gelandangan, penujum, ahli
astrologi, jug a pedagang roti, nasi, dan daging masak”.
Chanakya tentu tak mempersoalkan kebajikan di bagian
kitab ini. Ia berfokus pada logika kekuasaan: efektivitas.
Syahdan, di bawah Chandragupta, kerajaan memang
tumbuh dan kaya. Para duta besar asing mencatat bagaimana
Patalip utra, ibu kota, dibangun seluas 12 x 4 kilometer dan
menampilk an istana kayu jati yang berhiaskan mutu manikam.
Salah satu kota kerajaan itu, Taxila, sekitar 30 kilometer dari
Rawalpindi sekarang, jadi kota universitas. Sederet perguruan
tinggi tamp ak, yang antara lain mengajarkan ilmu kedokteran.
Catatan Pinggir 11 405
http://facebook.com/indonesiapustaka SENGKUNI
Tapi, tentu saja, tak semua hal dapat ditegakkan dan di
kendalikan. Dalam otokrasi itu, Chanakya, sang Sengkuni,
telah melembagakan paranoia. Chandragupta harus terus-
menerus merasa terancam. Tiap malam ia berpindah-pindah
kamar tidur yang dikelilingi penjaga bersenjata. Ia harus secara
kontinu memanjangkan mata, telinga, dan kuasa.
Tak terelakkan, ia ketabrak pada batas. Pada suatu masa, ke
rajaan itu diserang bencana lapar yang panjang hingga bagind a
merasa tak mampu mengatasinya. Ia pun meninggalkan istana
dan hidup mengembara sebagai pertapa agama Jain selama 12
tahun. Ia mangkat dalam ketiadaan makan.
Chandragupta habis. Ia gagal menempatkan diri di perba
tasa n antara terlibat dan tak terlibat logika kekuasaan. Ia sep e
nuhnya terjerat.
Di zamannya, Machiavelli punya nasihat sederhana agar se
orang raja tak terjerat: baginda tidak hanya harus kenal kelicik
an dan kekejaman, tapi juga harus tahu kapan itu tak harus di
pakai.
TEMPO, 2 November 2014
406 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka LEMPAD
PADA suatu hari, tahun 1968, saya mengunjungi Lempad
di rumahnya. Perupa jenius dari Ubud itu menemui saya
sambil berdiri di antara patung-patung batu yang disusunnya
secara acak di beranda. Usianya sudah sekitar 100 tahun.
Tanpa baju, kulit tubuh bagian dadanya tampak mengeriput.
Ramb utnya menipis putih hampir gundul.
Ia menunjukkan satu bundel gambar. Dan saya terpesona.
Di lembar-lembar kertas itu Lempad menghidupkan kembali
cerita sedih Jayaprana dan Layonsari. Sejak kecil saya mengenal
nasib pasangan itu: anak angkat Raja Wanakeling Kalianget
yang dibunuh baginda sendiri, ketika orang tua itu ternyata ja
tuh cinta kepada menantunya, Layonsari. Syahdan, Jayaprana
rela dibunuh, Layonsari bunuh diri.
Yang mempesona dari karya hitam-putih Lempad ialah garis
dan guratan penanya yang bergetar, spontan, tapi mantapme
nangkap apa yang erotis dalam adegan percintaan Jayaprana-
Layonsari. Kain yang tersingkap di atas ranjang. Peluk yang ge
regetan tapi halus. Gerak yang bergairah tapi elegan....
Karya itu tak pernah saya lupakan—dan tak pernah saya
jumpai kembali. Beberapa tahun kemudian saya mencarinya
di antara kertas-kertas gambar Lempad yang dikoleksi seorang
penatah perak, tapi tak saya temukan. Di Museum Neka,
Ubud,saya dapatkan karya-karya sang empu lebih lengkap, ta
pitak ada Jayaprana-Layonsari.
Buku monumental yang baru terbit, Lempad, buah tangan
Catatan Pinggir 11 407
http://facebook.com/indonesiapustaka LEMPAD
bersama Jean Couteau, Ana Gaspar, dan Antonio Casanovas,
juga tak menampilkannya—meskipun kita beruntung menda
patkan jejaknya. Dalam buku ini bisa kita temukan goresan
pensil tentang malam pengantin dari cerita Arjunawiwaha dan
adegan sanggama Sasarata dan Kekayi, misalnya—dan kita
bisa beroleh sekilas kesan betapa ulungnya Lempad dalam me
wujudkan apa yang erotis dengan puisi yang diam.
Jika kita lihat kembali kini, ada sesuatu yang sederhana tapi
bera rti di gambar itu. Kini, di Indonesia, orang sedang me
namp ik ekspresi tentang tubuh dalam gairah dan percintaan.
Indonesia telah jadi masyarakat yang takut runtuh karena
pornografi. Di saat seperti ini, karya Lempad bisa menunjukkan
yang lain.
Besar beda antara yang erotis dan yang pornografis. Porno
grafi hanya menarik perhatian orang kepada alat-alat kelamin
dan hasrat seksual. Ia tak beranjak jauh dari satu tempat dan
kita sudah tahu ujungnya. Yang erotis lain: ia menghadirkan
suasana, konteks, dan perasaan yang tak terlukiskan dan,
terutama dalam gambar-gambar Lempad, seakan-akan tak
sepenuhnya bagian dari kehidupan sehari-hari.
Sebagian besar karyanya memang tak hendak menghadir
kan kembali—merepresentasikan—kehidupan biasa. Penga
ruhrealisme dari seni rupa Eropa membekas hanya pada pa
tung-patungnya. Sahabatnya, Walter Spies, tamu yang baru da
tang dari Eropa, membuatnya tak hanya tertarik menggambar
dari adegan dongeng, atau Mahabharata, atau Ramayana.
Gambar-gambar Lempad dari tahun 1930-an melukiskan
peremp uan menumbuk padi, lelaki menyembelih babi, bah
kan adegan wanita melahirkan dengan bantuan paraji pria.
408 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka LEMPAD
Tapi wajah orang-orang itu, gerak tubuh mereka—yang selalu
mengand ung sesuatu yang grotesque sebagai lazimnya karya
seni rupa Bali yang akrab dengan hantu, raksasa, dan makhluk
ajaib lain—sama sekali bukan sekadar bagian realitas yang
diulang dalam gambar. Juga latar kosong yang seakan-akan
jadi ruang hidup itu seperti dipetik dari mimpi.
Bahkan ketika ia menggambarkan kehidupan Pan Brayut,
istri, dan kedelapan anaknya, dengan sentuhan humor dan
olok-olok, tetap terasa ada yang tak-berasal-dari-dunia-ini di te
ngah-tengah kehidupan orang Sudra yang melaratitu: sesuatu
yang berbeda, dengan detail dan arah yang tak terduga-duga.
Jean Couteau mengungkapkannya dengan bagus:dalam seri
gambar tentang Pan Brayut, pena Lempad tak dibimbing pe
nyusunan pola. Pena itu bergerak sendiri seraya menemukan-
dan-menciptakan yang baru, beraneka-ragam, tak henti-
hentinya, ”not guided by patterning but by infinitely varied
inventiveness”.
Agaknya itulah yang menyebabkan karya seni berarti. Karya
seni sering tak dimengerti bahkan tak diakui, tapi ia mampu
mengembalikan pesona ke dalam dunia kita. Di zaman ini
pesona itu telah terkikis; manusia sibuk menyusun pola-pola,
merum uskan identitas-identitas, mengatur perbedaan dengan
konsep dan klasifikasi. Karya seni mencoba menangkis proses
itu dengan merayakan perbedaan yang tak disusun konsep apa
pun—différence sans concept, kata Deleuze.
Maka selalu ada yang bergerak berbeda dalam tiap karya
seni rupa yang bagus, puisi yang menyentuh, novel yang me
muk au,musik yang menghanyutkan rasa.
Bukan kebetulan bila gerak juga terasa sebagai inti karya-
Catatan Pinggir 11 409
http://facebook.com/indonesiapustaka LEMPAD
kary a Lempad. Setahu saya Lempad sedikit sekali melukis
alam benda. Yang ramai dalam karyanya adalah orang-orang
yang bekerja, bercakap-cakap, menari, melukis. Gerak selalu
terasa dalam karya Bali yang luar biasa ini, yang menciptakan
gambar-gambar minimalis, dengan bidang yang tak pernah
diisi penuh. Semangat kreatifnya adalah gerak—dan itu juga
bera rti gerak yang tak berkesudahan.
Lempad menunjukkan apa yang pernah saya sebut sebagai
”estetika jeda”: karyanya memberi kesan sebagai karya yang
tak rampung. Ia seperti selalu sampai pada saat jeda, hanya
berhenti sejenak. Ada kutipan yang menarik dalam Lempad,
mungkin kata-kata sang empu sendiri: ”Ingatlah debu: betapa
seringnya pun kita sapu lantai, selalu akan ada sisa yang harus
disapu lagi.”
Tiap karya seni dimulai dengan gelora, berakhir dengan is
tirahat dan mungkin kerendahan-hati.
TEMPO, 9 November 2014
410 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SEKARPANDAN
NAMANYA Sekarpandan. Ia pendek, pantatnya mengge
lembung. Dalam wayang kulit Cirebon, ia satu dari
sembilan punakawan yang mengiringi lima kesatria Pandawa.
Sekarpandan mendapat bentuk tubuh itu setelah ia meng
ejek Semar yang ingin jadi suami kakaknya, Sudiragen. Tapi ia
kalah bertarung dengan calon ipar yang buruk rupa itu, terlon
tar jatuh ke rumpun pandan, dan seketika itu juga berubah
wujudnya: ia jadi replika orang yang dicemoohnya. Juga dalam
watak.
Mirip Semar, watak Sekarpandan lebih serius ketimbang
koc ak. Ia arif dan sakti.
Agaknya karena itulah pelukis kaca gaya Cirebon yang
termasyhur, Rastika, membuat kaligrafi dengan sosok
Sekarpand an. Endo Suanda, etnomusikolog yang luas pen eliti
annya dalam seni rakyat, menunjukkan kepada saya: kaligrafi
berbentuktubuh Sekarpandan itu adalah formasi huruf Arab
yang berbunyi ”Bismillah-irrahman-irrahim”.
Kaligrafi: sebuah metamorfosis. Kata itu datang dari bahasa
Yunani kallos (keindahan) dan graphç (tulisan), tapi sebenarnya
Rastika tak cuma mau memperindah aksara yang kaku. Di
dalam karyanya tiap huruf, tiap kata, dilahirkan baru, sering
secara mengejutkan dan nyaris tak terbaca lagi: aksara jadi
gambar, dan teks terkadang mendapatkan apa yang dalam
tradisi kaligrafi Cina disebut kuang, bentuk yang ”gila-gilaan”.
Penemuan lain Endo Suanda: dalam salah satu lukisan
Catatan Pinggir 11 411
http://facebook.com/indonesiapustaka SEKARPANDAN
kaca Rastika tampak adegan wayang kulit ketika Begawan
Mintarag a bertapa. Jika diperhatikan, panah di tangan sang
begawan sebenarnya aksara Arab yang membentuk simbolisasi:
bismillah jadi panah, panah jadi bismillah.
Mengubah kata ke dalam gambar—atau simbol—seperti
itu tentu saja tidak hanya ditemukan dalam kaligrafi tradisio
nal. Versi shu (tulisan tangan) yang digabungkan dengan hua
(luk isan) di Tiongkok lama juga tampak dalam ”hieroglif”
zaman ini: signage di bandara-bandara internasional yang
dengan desain yang apik menunjukkan tempat ambil
bagasi atau toilet; rambu lalu lintas yang dengan menarik
mengingatkan pengend ara mobil akan jalan yang licin.
Dalam The Hall of Uselessness, Simon Ley (nama pena pakar
sin ologi terkenal, Pierre Ryckmans) melihat analogi signage
mod ern dengan huruf Cina yang ”piktografis” itu: kedua-
duanya ”memberikan arah tanpa bahasa”, penanda visual yang
serta-merta dimengerti orang dari berbagai ragam penjuru.
Dengan analogi itu Ley menunjukkan betapa berbedanya
bah asa Cina dengan bahasa-bahasa dalam peradaban Yahudi
dan Kristen. Alkitab bercerita tentang proyek Menara Babil
yang ambruk: manusia gagal membangun wadah untuk saling
mengerti dengan bahasa yang tunggal. Sementara itu dalam
keb udayaan Tiongkok, kata Ley, orang hidup terus dalam
keadaan ”pra-Babil”. Aksara Cina seperti signage: penanda yang
”melintasi semua perbedaan ujaran”, menyampaikan makna
seraya ”melampaui bahasa”. Bahasa-yang-melampaui-bahasa
itu, metalanguage, kata Ley, ”menghubungkan umat manusia
kepada asal-usulnya yang paling awal” dan menawarkan tanda
persatuannya yang hakiki.
412 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SEKARPANDAN
Saya kira di sini Ley keliru. Bukan penanda visual itu
sendiri yang membuat manusia bersatu dalam memahami
makna. ”Persatuan” itu punya riwayat—khususnya riwayat
kekuasaan. Tanpa tangan besi dan administrasi yang efektif
di masa Maharaja Qin Shi Huang, 281-247 Sebelum Masehi,
Tiongkok tak akan memiliki Menara Babil ini: tulisan Cina
yang dibakukan, setelah berabad-abad di wilayah yang luas
itu huruf yang sama dibunyikan berbeda-beda dan disusun
berlainan.
Begitu juga signage. Di lorong-lorong bandara dan malls
simb ol itu diseragamkan maknanya oleh pasar global zaman
ini. Mereka diakui dan dikukuhkan hanya oleh orang-orang
yang biasa keluar-masuk tempat-tempat itu. Di jalan raya
antarkota, gambar piring, sendok, dan garpu (atau pisau) sama
sekali bukan metalanguage: mereka yang tak pernah bersantap
den gan cara ”Barat” tak akan segera tahu signage itu menunjuk
ke lokasi tempat makan.
Makna gambar, juga huruf Cina, perlu kodifikasi, dan ko
difikasi, agar diterima secara luas, perlu ditopang hegemoni.
Namun pada akhirnya kodifikasi, juga hegemoni, tak bisa
mutlak. Pesan yang disampaikan simbol visual itu mau tak
mau akan disentuh sejarah, dipengaruhi pengalaman yang
berb eda, dan beroleh bunyi yang berlainan. Signage yang sama
di bandara Kuala Lumpur dibunyikan ”tandas” dan di stasiun
bus Palembang ”kamar kecil”. Pernah kaligrafi berwujud
Semardianggap menghina Quran oleh seorang ulama yang
tak ken al tradisi Cirebon.
Ada seorang penelaah yang menunjukkan, dalam tiap kali
grafi Cina—dan agaknya kaligrafi mana pun, seperti dalam
Catatan Pinggir 11 413
http://facebook.com/indonesiapustaka SEKARPANDAN
karya Rastika—tersirat dua kutub yang tarik-menarik. Di
satu pihak koordinat yang membuat sebaris kaligrafi tampak
proporsional, tak berlebihan, di atas bidang datar. Di pihak
lain ada ”pusat gerak” yang tumbuh dari dinamika kuas (atau
pena) dan tangan pencipta. Ketegangan di antara kedua kutub
itu membuat huruf-huruf itu seakan-akan merendek dan
melonjak, bahkan menerabas ke luar. Kaligrafi hidup dengan
gaya meliuk merentang yang tak bisa diseragamkan.
Itulah yang membedakannya dengan huruf dalam tipografi
modern, barisan aksara di atas bidang horizontal dengan kaki
yang terukur dan teratur. Tujuan utamanya menstabilkan arti
dan pengertian. Tapi ada yang hilang di sana: gerak, bunyi,
sejarah. Tak ada pengalaman hidup yang kaya yang mengubah
gerak dan bunyi, seakan-akan tak ada sejarah yang menggeser
arti dan pengertian.
Tak mengherankan bila di barisan huruf itu—yang wujud
ekstremnya berupa akronim, jauh dari kaligrafi—mudah
berkutat konsep yang beku dan jiwa yang statis. Tak akan lahir
Sekarpandan yang ganjil tapi sakti.
TEMPO, 16 November 2014
414 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SHYLOCK
AGAMA, ras, kebencian: unsur-unsur itu dengan mudah
bertaut. Dalam Saudagar Venezia, lakon Shakespeare
yang termasyhur itu, mereka bertaut dan kita menyaksikan
sebuah ”komedi” yang tak bisa membuat kita ketawa.
Tokoh utama cerita ini Antonio, seorang saudagar kaya di
kota Italia itu, sebuah pusat perdagangan dunia di abad ke-
15. Di Rialto, wilayah bisnis utama Venezia, ia dikenal sebagai
pem ilik empat buah argosy, kapal dagang besar yang berlayar
sampai Tripoli, Meksiko, Inggris, bahkan Indonesia (Indies).
Ia dikenal murah hati. Sebagai orang Kristen zaman itu,
yang menaati Injil, ia meminjamkan uang tanpa bunga. Dalam
kisah ini ia menolong Bassanio, seorang bangsawan muda
Venezia yang membutuhkan dana 3.000 dukat untuk bisa me
lam ar Portia, seorang gadis cantik dan cerdas dari Belmont.
Antonio, yang tak punya uang tunai, menyanggupi jadi pen
jamin utang ketika Bassanio datang ke hadapan Shylock.
Shylock seorang Yahudi. Nama yang tak lazim ini mungkin
berasal dari ”Sheelah”, tokoh yang dapat ditemukan dalam
Alkitab. Shylock digambarkan Shakespeare sebagai tukang
kredit.
Seperti umumnya orang Yahudi di Eropa di masa itu,
Shylock menumbuhkan bisnis perkreditan karena, berbeda de
nganorang Kristen, para pengikut ajaran Musa menafsirkan
Alkitab secara tersendiri: larangan menarik bunga pinjaman
(yang dalam bahasa Ibrani disebut ribbit, dekat dengan ”riba”)
Catatan Pinggir 11 415
http://facebook.com/indonesiapustaka SHYLOCK
hanya berlaku di antara sesama mereka, tapi tidak dalam hu
bungan pinjam-meminjam dengan ”orang asing”. Dengan
bunga itulah—dan karena kebutuhan utang-piutang—bisnis
berkembang dan dunia perbankan tumbuh.
Bagi Shylock, yang seperti orang Yahudi lain di Venezia
diperlakukan sebagai ”orang asing”, orang seperti Antonio
bukan”sesama”. Tapi yang menarik dalam cerita ini adalah
bahwa Shylock tak hendak menuntut bunga darinya. Ia ber
sedia meminjamkan uang 3.000 dukat dengan syarat: jika
setelah tiga bulan uang itu tak dikembalikan, ia akan mengerat
daging tubuh saudagar yang jadi penjamin utang itu senilai
uang yang gag al dibayar.
Sebuah syarat yang ganjil dan buas—tapi Antonio me
neriman ya. Ia yakin, kapal-kapalnya akan kembali sebulan
sebelum saat utang itu jatuh tempo, dan ia akan sanggup
mengembalikan 3.000 dukat itu.
Tapi ada sebab lain: ia merasa lega bahwa Shylock, di luar
kebiasaan, tak mengenakan bunga pinjaman. Bagi Antonio, ini
sikap yang dermawan. Ia bahkan hari itu menyebut Shylock,
orang yang pernah dihinanya, sebagai ”Yahudi yang lembut
hati”. Orang Ibrani ini, kata Antonio kepada sahabatnya, akan
jadi orang Nasrani. ”He grows kind.”
Sebenarnya meragukan, sungguhkah Shylock ”tumbuh
jadi baik hati”. Ia merasa dirugikan Antonio. Saudagar Kristen
itu menjadi pesaingnya yang berat karena meminjamkan dana
tanpa bunga. Shakespeare, yang menulis lakonnya 500 tahun
yang lalu, ketika kebencian kepada orang Yahudi menyebar
kental di masyarakat Inggris, membuat Shylock jadi karikatur
antisemit: sosok si bakhil yang berhidung bengkok. Kata
416 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SHYLOCK
”shylock” menyakitkan hati orang Yahudi. Ketika pada 1962 di
New York Joseph Papp memulai program ”Shakespeare in the
Park” dan memilih Saudagar Venezia sebagai lakon pertama,
dewan rabbi kota itu memprotes.
Saya kira para ulama Yahudi itu terlampau cepat ter
singgung. Shylock bisa ditafsir sebagai tokoh yang ambigu. Ia
punya alasan yang kuat, meskipun tak sepenuhnya jelas, ketika
menetapkan syarat utang-piutangnya.
Ia kenal Antonio sebagai pembenci Yahudi. Antonio bah
kan pernah meludahi mukanya. ”Tuan menyebutku salah-
iman,anjing pemutus leher, dan meludahi jubah Yahudiku,”
katan ya kepada sang saudagar Venezia. ”Tuan—orang yang
pern ah melepaskan dahak ke janggutku.”
Shylock memang ingin menyakiti Antonio. Dendamnya
ia sad ari. Tapi syaratnya untuk dibayar dengan keratan tubuh
laki-laki itu bisa juga punya arah yang lain.
Ia tahu daging itu tak ada harganya; paha sapi atau
dada burung lebih bisa diperjualbelikan—meskipun pada
kontrak utang-piutang Antonio-Shylock keratan tubuh itu
diperlakukan dalam acuan nilai-tukar, mirip komoditas lain
di pasar.
Dengan catatan: rasa sakit ketika tubuh itu dikerat, juga
rasa puas ketika melihat seorang musuh menanggungkan luka,
adalah hal-hal yang tak bisa dipertukarkan, tak bisa ditimbang,
dibahasakan, atau dinilai. Baik bagi seorang Kristenmaupun
seorang Yahudi, kepedihan dan kebuasan hanya bero leh
makna bila pertanyaan Shylock ini menusuk jauh: ”Tidakkah
orang Yahudi juga punya mata? Tidakkah orang Yahudi juga
pun ya tangan, organ tubuh... panca-indra, perasaan, gelora
Catatan Pinggir 11 417
http://facebook.com/indonesiapustaka SHYLOCK
hati, menyantap makanan yang sama, terluka oleh senjata yang
sam a... seperti orang Kristen?”
Pertanyaan itu tak saya temukan jawabnya dalam Saudagar
Venezia. Lakon ini, kita ingat, berlanjut dengan babak di mana
Shylock yang hampir menang akhirnya terkecoh, kalah.
Tapi saya bayangkan ia dan Antonio di pentas ”The Globe”,
London. Di tepi Sungai Thames tempat kapal-kapal lewat,
Saudagar Venezia memungut bahan cerita dari negeri lain,
memungut kata (termasuk ”doit”, dari kata duit) dari bangsa-
bangsa yang jauh.
Juga saya bayangkan Venezia. Di Ponte de Gheto Novo, jem
batan kecil di dekat kampung Yahudi, Shylock memandangair
kanal Cannaregio berliku-liku menuju laut.
Nun di sana, bahtera dan manusia berniaga, pulang-balik
dari pelbagai pantai bumi. Laut biru dan juga tak biru. Kita tak
tahu di mana agama, ras, dan kebencian di situ.
TEMPO, 23 November 2014
418 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka WAKTU
KETIKA bumi kian cepat rusak, ketika kering & panas
menjalar membunuh hutan-hutan dan melelehkan es di
kutub, dan laut tak sanggup lagi menampung air yang meluap
dan kota-kota tenggelam, ketika pada suatu hari ini terjadi, apa
yang bisa dilakukan manusia? Rage, rage against the dying of the
light, baris sajak Dylan Thomas itu melintas. Marahlah kepada
cah aya yang punah. Marahlah.
Dalam film Interstellar, sajak itulah yang tak selesai di
ucapkan seorang ilmuwan tua, Brand, menjelang mati. Ia telah
diam-diam menyiapkan manusia untuk hengkang dari bumi
yang makin hancur: manusia harus mencari sebuah planet lain
sebagai alternatif. Tapi utopia itu tetap utopia: impian bagus
yang tak punya tempat. Empat belas penjelajah diluncurkan,
nam un tanpa jejak tanpa kepastian.
Tapi cerita ini tak seluruhnya mengusung fatalisme yang
muram.
Dengan gemuruh pesawat antarbintang yang menjangkau
Lub ang Hitam, dengan robot-robot yang pintar berbicara,
Interstellar berangkat sebagai sebuah science fiction dalam
tradisiStar Trek. Tapi sebenarnya ia sebuah mithos yang tak
jauh berbeda dari yang didongengkan orang sejak zaman dulu.
Pertama dalam kekuatan bercerita. Kedua dalam kandung
annya. Ketiga dalam perspektifnya tentang waktu.
Salah satu kekuatan mithos ialah menunda sikap tak per
caya. Kita tak mencegat keajaiban (atau keganjilan?) dalam
Catatan Pinggir 11 419
http://facebook.com/indonesiapustaka WAKTU
narasinya dengan tanda tanya besar. Kita sepenuhnya ter
kesima, kita asyik, dan kita menyimpan kesangsian di depan
layar ketik a Ki Dalang berkisah tentang Bima yang memasuki
tubuh Dewa Ruci yang kecil. Kita juga tak menggugat ketika
Interstellar disorotkan, tak bertanya bagaimana mungkin
Cooper, pilot itu, dengan sosok yang tetap gagah seperti ketika
ia berangkat mengemudikan pesawat Endurance, balik ke
kehidupa n manusia tapi memasukinya di masa depan, ketika
Murph, anakn ya, telah jadi perempuan berusia 100 tahun.
Bagaimana mungkin juga ayah itu, di ujung perjalanannya,
justru tiba di masa lalunya sendiri, memberi isyarat seperti
bisikan hantu kepada Murph yang masih kecil? Dan benarkah
ada ”mereka”, makhluk dengan dunia lima dimensi yang
berniat menolong manusia?
Interstellar—sebuah dongeng.
Dan seperti umumnya dongeng, di dalamnya ada yang
membuat kita lebih bijaksana, biarpun sedikit, tentang hidup.
Film ini menunjukkan bahwa egoisme bukanlah ciri manusia.
Ada saat-saat orang sanggup mengorbankan diri agar orang
lain selamat.
Cooper, misalnya, bersedia melakukan penjelajahan yang
pen uh teka-teki itu. Di satu saat bahkan ia melontarkan diri
nya dalam pesawat yang nyaris habis energi, agar rekannya,
Amelia, bisa sampai di sebuah planet tempat Edmunds, salah
satu penjelajah ruang angkasa terdahulu, menemukan ruang
hid up.
Jika saya katakan Interstellar sebuah dongeng, ia dongeng
yang, katakanlah, pasca-modern: ia mempertanyakan ide ”ke
majuan” dan agenda besarnya. Dengan segala teknologi dan de
420 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka WAKTU
rap modernitas untuk menguasai ruang & waktu, yang terjadi
malah bumi yang rusak. Dan lihat Cooper: seperti manusia
pertama di angkasa luar dalam sajak Subagio Sastrowardoyo,
ia terlontar dari bumi, kesepian, akibat ”1.000 rumus ilmu
pasti yang penuh janji”.
Tapi kutipan yang tepat untuk film ini saya kira bukan dari
Subagio Sastrowardoyo atau Dylan Thomas, melainkan dari
sebuah lagu yang dinyanyikan dalam suasana sentimental
dalam film Casablanca: lagu tentang waktu dan manusia.
Sementara waktu berlalu, as time goes by, kata lirik lagu itu,
cerita tua yang sama, the same old story, selalu kembali.
Waktu hadir di pusat Interstellar—tapi, seperti dalam
mithos tentang dewa dan manusia yang menitis, waktu itu
tanpa batas yang jelas di antara masa lalu, kini, dan nanti.
Dalam film ini, Cooper berada di tiga kurun sekaligus. Dan kita
pun jad i bertanya, sambil mencoba memahami teori relativitas
Einstein yang muskil itu, apa arti waktu jika demikian, dan
benark ah waktu ada dan berlalu—atau manusialah yang
mengkonstruksikannya demikian.
Para pemikir ”korelasionis” akan mengatakan bahwa
waktuada; tapi ia selalu ada dalam korelasi dengan manusia.
Pertanyaa n klasik para ”korelasionis”: mungkinkah akan ada
warna andai kata tak ada mata manusia? Ataukah sebaliknya:
benark ah warna, waktu, dan lain-lain memang pernah ada
dan akan ada tanpa kita?
Ilmu menunjukkan bahwa sudah terbentang alam semesta
14 miliar tahun yang lalu, sebelum manusia. Meillassoux me
nyebutnya ”arche-fossil”, jejak fenomena ”nenek moyang” bah
kan sebelum munculnya kehidupan—yang membuat pend a
Catatan Pinggir 11 421
http://facebook.com/indonesiapustaka WAKTU
pat ”korelasionis” guyah. Tapi sebaliknya: bagaimana waktu
bisa ada tanpa subyek yang menyusun ”kemarin”, ”kini”, dan
”kelak”?
Interstellar, sebagaimana dongeng, tak menjawab, sebab ia
bukan sebuah eksplorasi filsafat. Ia pertama-tama sebuah ke
asyikan. Meskipun tak cuma itu.
Yang membuat penjelajahan Cooper menarik adalah perta
uta nnya yang erat dengan bumi, meskipun bumi itu sedang
binasa—pertautan yang dibentuk cintanya kepada Murph.
Boc ah itu berumur sepuluh tahun ketika ditinggalkannya
berangkat mengarungi alam semesta mencari planet alternatif.
Pad a suatu saat, dari dalam kokpit Endurance pada jarak
sekian ratus tahun cahaya, si ayah menyimak pesan anaknya—
dan melihat bahwa yang berbicara kepadanya adalah Murph,
seorang perempuan dewasa. Bapak itu menangis. Seseorang
menghitung bahwa sejam di posisi ”interstellar” itu sama
dengantujuh tahun di bumi.
Tapi kerinduan seorang tua, cinta seorang anak, kasih yang
mungkin tak sampai tapi keras kepala, kasih yang lebih kuat
ketimbang pengharapan: semua itu membuat ruang & waktu
tak lagi relevan.
Benar, the same old story. Tapi siapa yang akan berkeberatan?
TEMPO, 30 November 2014
422 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka FUNG SENG
ANTHONY Salim lebih sering mengenakan baju batikke
timbang baju jenis lain. ”Saya pakai batik karena saya su
ka batik. Ada orang-orang yang menyukai pakai Gucci karena
mereka ingin dilihat berbaju merek itu. Biar saja.... Bagi saya,
say a pakai batik karena nyaman.”
Sosok Anthony, putra Liem Sioe Liong yang melanjutkan
jaringan bisnis raksasa ayahnya, juga setelah rezim Soeharto
yang mendukungnya jatuh, dilukiskan secara hidup dalam
buku Liem Sioe Liong’s Salim Group yang ditulis Richard
Borsuk dan Nancy Chng, yang terbit pada 2014 ini—agaknya
buku terb agus selama 10 tahun terakhir tentang sejarah bisnis
di Indonesia.
Anthony, menurut buku ini, ”tajam” dalam memandang
kesempatan bisnis. Anthony berani ambil risiko. Anthony yang
sejak kecil menunjukkan gairah bisnis. Anthony yang dipilih
ayahnya, meskipun bungsu, buat jadi pengganti. Anthony
yang berbeda dari kakak sulungnya, Albert.
Albert, menurut ayahnya, anak yang ”sedikit malas”,
”gemarmain gitar dan mobil balap”. Sebaliknya Anthony: tak
suk a dandan, pakai kacamata model kokok-beluk gaya lama,
dan tetap mengenakan kaus merek 777 produksi pabrik tekstil
ayahnya di masa lalu.
Sambil setengah bercanda, Anthony menjelaskan apa
yang tersirat dari batik. Desain batik yang rumit, katanya, itu
mirip cara berbisnis di Indonesia. ”Batik berbeda dari desain
Catatan Pinggir 11 423
http://facebook.com/indonesiapustaka FUNG SENG
Burberryyang bergaris-garis sangat jelas, clear-cut, yang kotak
dan batasnya segera tampak,” katanya. Sementara itu, ”Motif
batik selalu agak gelap.” Batas-batasnya ”kabur”. Tapi di tengah
itu, ”Bagaimana juga situasinya, kita akan dapat survive!”
Nama kecilnya Liem Fung Seng. Arti harfiahnya ”menemu
keh idupan”, selamat dan hidup terus dari bencana. Hanya
beberapa pekan sebelum ia lahir, pada 1949, ayahnya, pedagang
yang waktu itu masih belum makmur, hampir tewas karena
kecelakaan mobil. Si bungsu seakan-akan isyarat bahwa hidup
bisa menjumpainya lagi. Berpuluh tahun kemudian, setelah
krisis ekonomi 1997 mengguncang konglomerasi ayahnya—
disebut ”Grup Salim”—Fung Seng juga yang menemukan hi
dupkembali bagi usaha keluarga itu.
Riwayat usaha keluarga itu, seperti lazimnya kisah pebisnis
di Indonesia—apalagi bila ia keturunan Tionghoa—memang
buk an berlangsung di atas garis-dan-petak ala Burberry. Tapi
Liem Sioe Liong memang berhak mengatakan ia mujur. Ia
sangatpercaya kepada feng shui. Ia tak mau merombak rumah
nya yang tak mentereng di Jalan Gunung Sahari, Jakarta.
Dengan alasan yang sama, di masa jayanya ia membiarkan
makam ayah dan kakeknya yang sangat bersahaja di bukit di
Niuazhai, sebuah dusun di Kota Fuqing, di Provinsi Fujian, di
pantaiTio ngk ok sebelah tenggara.
”Saya beruntung,” katanya sebagaimana dikutip Borsuk
dan Chng. ”Saya kerja dan saya berkembang. Kalau misalnya
say a hidup di Afrika, Timur Tengah, pegimana saya bisa kerja?
Waktu, tempat, dan keberuntungan... ini yang ndak bisa di
ubah.”
Tapi ia bisa membuat tempatnya berubah: meninggalkan
424 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka FUNG SENG
dusun tempat ia dilahirkan.
Di desa itu berlaku ucapan ” jiu nian han, yi nian zai”
(sembilan tahun kekeringan, satu tahun bencana). Antara
gersang dan banjir, antara gunung dan pesisir, tanah pertanian
itu nyaris tak bisa ditanami. Orang tua Liem, yang punya 11
anak, bukan peladang yang paling melarat. Tapi hidup tak
gampang.
”Kami kebanyakan makan apa yang kami tanam,” Liem
mengisahkan masa kecilnya. ”Jarang ada daging tersedia di
meja.” Hasil ladang juga tak menentu. Uang cepak. Orang
terkadang harus pinjam ke lintah darat.
Liem muda berusaha bertahan. Ia berdagang mi mentah.
Tapi pada 1937, ketika musim kering melanda, ayahnya
meninggal, setelah pulang memikul ubi. Hidup berubah. Di
saat itu juga Jepang mulai menyerbu Tiongkok.
Di umur 21 tahun, Liem meninggalkan dusunnya, mencoba
naik kapal menuju Jawa. Ia nyaris gagal, tapi akhirnya ia ber
hasil mendarat di Surabaya pada 1938—dengan kantong uang
yang dicopet. Dari Surabaya, ia ke Kudus di Jawa Tengah.
Di kota itu, Liem berdagang pakaian yang dipikulnya berke
liling jalan kaki. Dari sini ia mulai naik. Kudus menyenangkan
hatinya. Liem merasa buah kerjanya segera tampak. Penduduk
setempat ramah. Makanan juga enak—terutama soto Kudus.
Tapi baru di Semarang ia meloncat. Kota ini, pada akhir
abad ke-19, adalah pusat kerajaan bisnis Oei Tiong Ham, ”Raja
Gula”, saudagar besar pertama kelahiran Jawa yang berhasil
memb angun emporium internasional.
Liem kemudian menyusul, bahkan melampaui kejayaan
itu. Tapi, sementara Oei Tiong Ham tak membangun koneksi
Catatan Pinggir 11 425
http://facebook.com/indonesiapustaka FUNG SENG
bisnis dengan pemerintah Belanda, Liem berbeda: ia praktis di
tegakkan kekuasaan Soeharto, jenderal yang dikenalnya sejak
1949 meskipun baru jadi rapat dengannya setelah 1966. Liem,
yang selama perang kemerdekaan dari Semarang ikut menya
lurk an barang kebutuhan ke wilayah Republik yang diblokade
Belanda, dengan gampang menemukan teman di kalangan
orang militer ini.
Soeharto menjadikan pebisnis yang jinak dan ulet ini
pendukung kekuatannya—juga jadi pendorong pertumbuhan
ekonomi. Tapi ekonomi yang terbentuk ibarat bangunan besar
yang tak stabil, sebab cuma disangga dua tiang: kekuasaan
yang otoriter dan bisnis dengan monopoli yang dipaksakan.
Tapi Liem memang beruntung dan penggantinya, Anthony,
memang Fung Seng. Soeharto jatuh dan digantikan sebuah
sistem di mana monopoli tak berlaku. Tapi Anthony—bahkan
setelah Bank BCA lepas dari tangannya—bisa memanfaatkan
keadaan baru. Dan ia mengakui, ”Cara kita berbisnis [kini] le
bih terstruktur.”
Yang kini dilupakan: pernah ada seorang mujur, yang
dengan dukungan kekuasaan yang sewenang-wenang, bisa
membuat orang lain tak beruntung.
TEMPO, 7 Desember 2014
426 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka PAGAR
HANYA pengembara dan penjelajah yang tahu: dunia tak
dapat dipaparkan dengan batas yang keras. Ruang kehi
dupan tak pernah ajek. Hidup tak dibangun dengan pagar.
Tapi Kant memang bukan pengembara. Filosof ini, yang
mengibaratkan pengetahuan manusia sebagai ”sebuah pulau
dengan banyak tapal batas”, lahir di Kota Königsberg di timur
laut Jerman dan meninggal di kota yang sama. Sejak 1724
sampai dengan 1804—sejak jabang bayi sampai dengan jadi
jenazah—ia tak pernah keluar satu meter pun dari kota yang
tak jau h dari Laut Baltik itu. Ia orang yang menetap.
Ketika usianya kian lanjut, lelaki bertubuh kecil ini (tinggi
nya tak sampai 1,6 meter, kurus, dengan dada yang cacat) bah
kan memilih hidup yang serba tetap. Tiap pagi pelayannya
membangunkannya (ia perintahkan agar jangan sungkan
menge ntakkannya dari tidur) supaya ia bisa tepat waktu be
rangk at berjalan kaki menyusuri jalanan Königsberg. Konon
men it dan detiknya begitu persis hingga para tetangga me
nyetel jam mereka berdasarkan kebiasaan Kant.
Yang rutin, yang rata, yang rapi—dan tentu itu-itu saja. Se
peninggal Kant, tak ditemukan catatan harian. Mungkin ka
ren a ia sendiri tak tertarik merekam hidupnya sehari- hari yang
tanpa drama, tanpa gejolak. Kita tak akan bisa menulis kisah
hidup Kant, kata penyair Heinrich Heine mencemooh, karena
orang ini tak punya kisah dan tak punya hidup.
Setidaknya ia tak punya hidup yang diperlihatkannya ke
Catatan Pinggir 11 427
http://facebook.com/indonesiapustaka PAGAR
luar. Kant tampak memagari hidupnya yang privat dari bagian
dirinya yang terbuka buat umum, yakni karya-karyanya.
Pagar, itulah pola yang berulang pada pemikiran yang
termaktub dalam buku-bukunya. Pagar, patok, pembagian:
sesuatu yang perlu dan niscaya. Bagi Kant, dunia pemikiran
filsafat yang disebut ”metafisika”—yang mengatasi ilmu-ilmu
sosial dan fisika—semula adalah ibarat ”ratu” bagi semua ilmu,
sep erti di masa Aristoteles. Sang ”ratu” bertakhta tanpa batas,
mutlak, dan pada akhirnya mirip dogma.
Dalam perkembangan pengetahuan kemudian, metafisika
tak berkuasa seperti itu lagi. Ilmu-ilmu itu tak lagi butuh
tuntunannya. Namun apa yang kemudian terjadi juga bisa ber
bahaya. Para pembangkang, yang meragukan segala pengeta
huan sebagai dogma, para skeptis itu, ”ibarat suku-suku pe
ngembara yang membenci penghunian yang permanen dan
cara hidup yang mapan”.
Untung jumlah mereka tak banyak, kata Kant. Untung,
karena ia ingin menegakkan metafisika sebagai satu bangunan
baru yang mapan, tapi yang juga sadar akan batasnya sendiri.
Dan itu hanya bisa dicapai dengan membangun pemikiran
yang sistematis, terukur, dan tekun. Metafisika ini tak boleh
bercampur dengan—harus dibatasi secara jelas—”kebenaran”
yang dicapai dengan Schwärmerei yang tak rasional, yang de
ngan gairah langsung menggapai ke mana-mana, juga ke
dalam hal-hal ”yang tak terpikirkan”.
Dengan perspektif itu pula Kant menolak mistisisme, alam
pikiran para sufi .
Ia kembali kepada pagar, patok, pembatasan. Kant tak
hendak bertualang ke dunia yang ”ganjil”. Ia ingin berada dan
428 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka PAGAR
men etap di Königsberg pikirannya, dengan kecemasan kepada
”suku-suku pengembara” yang mengganggu alam pikiran.
Yang menarik, dan saya kira relevan dengan abad ke-21,
kita kemudian tahu pemikir Abad Pencerahan ini tak cukup
lepas dari latar gelap Eropa di zamannya—latar yang bertahan
sampai hari ini: pandangan curiga, bingung, dan marah
kepada orang dari luar. Ian Almond, dalam History of Islam in
German Thought (Routledge, 2011), sebuah telaah yang tajam
dan cerah, memperlihatkan bagaimana Kant mendekatkan
”suku-suku pengembara” bukan cuma sebagai kiasan tentang
orang-orang yang skeptis, tapi juga dengan bangsa nomad:
orang Arab dan Yahudi.
Kant bahkan mengaitkan Schwärmerei dengan
Muhammad, pendiri Islam, bukan untuk menunjukkan sisi
sufisme dalam ajarannya. Schwärmerei dalam diri Muhammad
bukan saja tak rasional, melainkan sebuah gelora hati,
antusiasme, yang membawanya ke ambisi lahiriah (”eksternal”)
dan sensua l. Tak kurang dari itu, kata Schwärmerei juga
dihubungkannya dengan sikap tak rasional lain: fanatisme.
Kant di Königsberg: sebuah kota pelabuhan yang di
masa lampau didatangi pelbagai bangsa, tapi riwayatnya tak
selaman ya ditandai ruang yang tenang dan terbuka. Kota ini
didirikan setelah bangsa Prusia dibasmi para kesatria Teuton
di abad ke-13. Kemudian, kemudian sekali, 9 November 1938,
di kota Kant itu malam ”Kristallnacht” terjadi, ketika kaca-
kaca toko dan rumah Yahudi dipecahkan dan kaum Nazi
membakar buku, memukuli dan membunuh orang ”lain” itu.
Fanatisme, Schwärmerei, tak hanya datang seperti ge
rombolan lebah dari luar. Pagar yang membedakan kita dan
Catatan Pinggir 11 429