http://facebook.com/indonesiapustaka TERTAWA
lain: fana. Tapi juga dalam kefanaan, yang tragis tak mungkin
diingkari.
”Comedy is a tragedy plus time,” kata Woody Allen. Dunia,
seperti dipetuahkan para aulia, memimpikan surga karena ia
buk an surga. Malapetaka selalu terjadi. Hanya dengan jarak
waktu kita bisa melihatnya sambil tertawa. Dengan komedi,
kita menaruh yang tragis di dalam kurungan, beberapa saat.
Seperti tokoh Cecilia dalam film Woody Allen The Purple
Rose of Cairo. Ia, pekerja restoran yang dianiaya suami, hanya
bisa menghibur diri di bioskop. Suatu hari, ia mendapatkan
bahw a tokoh utama film yang ditontonnya tiba-tiba turun dari
layar putih dan jatuh cinta kepadanya. Ia berbahagia sekali. ”I
just met a wonderful new man! He’s fictional, but you can’t have
everything.” Ia tahu laki-laki ganteng dan baik budi itu hanya
fiktif. Tapi dalam hidupnya yang rudin, ia tak meminta ba
nyak.
Melankoli itu membuat kita tersenyum. Cecilia yang ko
nyol.Cecilia yang bersyukur di tengah kemuraman. Cecilia
kita.
TEMPO, 5 Mei 2013
80 Catatan Pinggir 11
ITALIA/MANA SAJA
http://facebook.com/indonesiapustaka ”Orang sekarang memperlakukan para pelawak dengan serius dan meng
angg ap politikus mereka lelucon.”
—Will Rogers, humoris Amerika (1870-1935)
DULU seorang bintang film cabul. Kini seorang pelawak.
Dulu Cicciolina. Kini Beppe Grillo.
Semua itu terjadi di Italia, tapi bisa jadi ia hanya bentuk lain
dari yang terjadi di mana saja, juga di Indonesia. Politik adalah
pergulatan yang serius, dengan akibat yang serius karena keti
dakseriusannya. Dan orang bisa secara serius pula mencemo
ohnya sebagai soal yang tak serius.
Pada 1987 orang Italia ramai-ramai mendukung Cicciolina
jad i anggota Parlemen. Dunia pun kaget dan geli. Tapi sejak
itu orang mempertanyakan kembali apa arti politik dan politi
kus. Perempuan ini, waktu itu berusia 37 tahun, terkenal
bukan karena ia tokoh masyarakat yang—seperti para senator
Romawi kuno dan politikus Italia abad ke-20—”terhormat”.
Cicciolina seorang bintang film porno.
Ia dengan gembira menegaskan itu: ia biasa berpidato
politik dengan buah dada yang sebelah terbuka. Setelah ia
duduk di Parlemen ia tetap muncul telanjang dalam majalah
Playboy di mana-mana. Idenya tentang penyelesaian konflik
internasional radikal, sederhana, dan bercanda: ia menyatakan
bersedia berm ain seks dengan Saddam Hussein dan Usamah
bin Ladin asal mereka menyetujui perdamaian.
Catatan Pinggir 11 81
http://facebook.com/indonesiapustaka ITALIA/MANA SAJA
Kata-kata terkenalnya: ”Buah dadaku tak melukai siapa
pun,sementara peperangan Bin Ladin mengakibatkan ribuan
orang jadi korban.”
Tapi ia tak cuma itu. Ia, yang dicalonkan oleh Lista del Sole,
partai ”hijau” pertama di Italia, dan kemudian berpindahke
Partito Radicale, sebagai anggota Parlemen menyuarakan opo
sisi terhadap keanggotaan Italia dalam NATO. Ia juga peng
anjur hak-hak asasi manusia. Ia berhasil dipilih kembali pada
1991. Ketika kemudian ia mendirikan Partai Demokrasi, Alam
& Cinta, ia menyerukan dihapuskannya harta para anggota
”kasta” politik yang kaya-raya.
Nonsens atau tidak, ia menampar politikus lama. Ucapan
seorang jenderal Prancis yang kemudian jadi presiden, De
Gaulle, ia buktikan dengan caranya sendiri: politik itu bukan
urusan main-main, maka tak boleh dibiarkan hanya jadi urus
an para politikus.
Dan Cicciolina, seperti De Gaulle, adalah sosok yang tak
memb iarkan itu. Bedanya: bintang film cabul ini menandai
ditelanjanginya sebuah tradisi politik yang ternyata hanya
ban guna n yang setengah palsu. Konstruksi itu tak pernah
punya fondasi. Ia hanya berdiri di atas lambang-lambang
yang dipamerkan terus-menerus, tapi menutupi apa yang tak
tampak.
Agaknya itu juga yang kini diungkapkan Beppe Grillo.
Tokoh komedi berusia 64 tahun yang berambut awut-awutan
ini sejak empat tahun yang lalu berkeliling Italia seperti nabi
yang jengkel. Ia tunjukkan apa yang disebutnya sebagai epide
mia, wabah hilangnya harapan rakyat ketika ekonomi terus-
men erus merosot, sementara politikus yang mengurus negara
82 Catatan Pinggir 11
ITALIA/MANA SAJA
http://facebook.com/indonesiapustaka tak henti-hentinya bobrok atau goblok.
Grillo, yang dulu ditertawai karena leluconnya, kini dide
ngark an karena protesnya. Orang Italia makin tak percaya
terhadap politik sebagai mesin yang bekerja buat kebersamaan.
Maka mereka pun masuk ke politik sebagai gerakan bersama
yang setengah mengejek—seraya menirukan.
Dengan kata lain, Grillo bukanlah, seperti yang disebut The
Economist, seorang badut. Tawa yang menyambutnya adalah
tawa yang mengguncang keadaan.
Gerakan yang terbangun dari tulisan-tulisannya se
bagai blogger ia sebut Movimento 5 Stelle (Gerakan Lima
Bintang), disingk at ”MLS”. Dengan cepat MLS menjulang
dan mengempas. Telah terjadi ”tsunami Grillo”, kata para
analis politik: gemuruh suara antimediasi dalam proses
politik. Rakyat mau berb icara sendiri, langsung. Separuh
isi manifestonya menyerukan agar kekuasaan dan privilese
anggota Parlemen dikurangi, bahkan ditiadakan.
Tapi ”tsunami” ini bukan revolusi. Seraya bersuara menolak
politik yang lama, MLS ikut dalam pemilihan umum—dan
memperoleh dukungan sekitar 25 persen suara di Senat dan di
Dewan Perwakilan Rakyat.
Grillo sendiri menolak duduk di lembaga-lembaga itu.
Partainya tak duduk dalam kabinet yang dengan alot dibentuk.
Seluruh sikapnya seakan-akan menegaskan bahwa gerakannya
adalah protes yang mencemooh.
Jika terasa cemooh itu ambivalen, mungkin karena belum
terjawab pertanyaan: bisakah politik berjalan, juga sebagai per
gerakan orang ramai, tanpa politikus?
Bukan kebetulan jika di Italia itulah pertanyaan yang terus-
Catatan Pinggir 11 83
http://facebook.com/indonesiapustaka ITALIA/MANA SAJA
men erus bergema. Berada di tengah Colosseum yang dibangun
di Roma 2.000 tahun yang lalu, kita diingatkan tentang para
penguasa dan senator yang mengambil hati rakyat dengan
menyajikan ”roti dan sirkus”, panem et circenses. Tontonan yang
paling populer pun diacarakan: di arenanya, gladiator saling
bunuh, puluhan hewan buas diadu dengan musuh Romawi
yang kalah, para pengkhianat dibantai.
Darah muncrat dan sorak-sorai terdengar dan campur-baur
terjadi: antara niat melayani nafsu dan mengukuhkan kuasa,
antara membujuk dan meneror. Semua menunjukkan bahwa
hub ungan antara politikus dan rakyat sebenarnya genting—
dan dicoba dijalin dengan tawar-menawar, gertak, dan mani
pulasi.
Parlemen, partai, kabinet, presiden, konsul, kaisar bekerja
dalam proses itu. Untuk menstabilkan diri, kekuasaan pun
menjelma dalam simbol yang disepakati dan ditaati.
Colosseum itu monumennya: ia tegak—dan mengingkari
apa yang tak tampak. Di antara pertunjukan meriah di
arena dan kekedapan tembok-temboknya, ada kebuasan,
syahwat, nafsu kemenangan. Zaman kita memang tak
memperlihatkan itu. Tapi yang tak tampak dalam politik tetap
dicoba disembunyikan, meskipun gagal. Cicciolina adalah
hiperbolanya. Grillo adalah parodin ya.
TEMPO, 12 Mei 2013
84 Catatan Pinggir 11
THUKUL
http://facebook.com/indonesiapustaka WIJI Thukul adalah sebuah catatan kaki. Dalam kitab
besar sejarah Indonesia, politik ataupun sastra, ia bu
kansebuah judul atau tokoh di tengah halaman. Ia ada di ba
wah lembar pagina, mungkin malah di akhir bab, dengan hu
rufkecil-kecil.
Tapi, seperti tiap catatan kaki, ia mengingatkan kita bahwa
ada satu informasi yang penting. Atau ia mengimbuhkan sebu
ah nota yang layak diperhatikan—dan menunjukkan bahwa
sejilid teks yang ”lengkap” sekalipun selalu meninggalkan
satu-dua perkara yang masih merundungnya.
Pada saat yang sama, ia juga bagian yang mendapatkan
makn a karena buku besar itu. Wiji Thukul terpaut dengan
sejarah perubahan politik Indonesia menjelang akhir abad ke-
20, ketika demokratisasi bergerak lagi melintasi penindasan,
kek erasan, bahkan pembunuhan. Dalam arti tertentu, ia
ikut mend apatkan kemenangan. Tapi ia pemenang yang tak
membawa pialanya ke rumah. Ketika rezim yang dilawannya
runtuh, ia hilang. Mungkin ia diculik dan dibunuh, seperti
beberapa aktivis prodemokrasi lain, tanpa meninggalkan jejak.
Saya sedih tiap kali mengingat itu. Kami gagal bertemu sen
ja itu di Kedai Tempo di Jalan Utan Kayu 68-H, Jakarta Ti
mur. Thukul, yang berminggu-minggu berhasil disembunyi
kan di sebuah loteng untuk menghindari penangkapan militer,
seakan-akan melanjutkan status kaburnya. Ia mendadak jauh
dari jangkauan teman-teman sendiri, ketika kami semua
Catatan Pinggir 11 85
http://facebook.com/indonesiapustaka THUKUL
menduga bahwa para pembunuh, setelah Soeharto jatuh,
sudah tak pun yadaya lagi dan mereka yang di bawah tanah
bisa bebas ke luar.
Tak adakah happy end bagi orang kerempeng ini? Diakah ke
lanjutan si bocah cilik yang selamanya kalah dalam ”Megatruh
Solidaritas”?
akulah bocah cilik kurus itu
yang tak pernah menang bila berkelahi
Tapi bila potret diri dalam sajak ini muram, tak berartiia
kelam. ”Megatruh” jauh dari sikap mengasihani diri. Di da
lamn ya ada kesakitan yang lebih menggores ketimbang
kekalahan ”aku” si anak sial itu:
...kudengar kabar
seorang kawan kita mati terkapar
mati ditembak mayatnya dibuang
kepalanya koyak
darahnya mengental dalam selokan
Dalam beberapa bait saja, sajak ini berhasil memotret
satu rua ng dan waktu sosial-politik Indonesia. Ada anak
yang menjual gelang emaknya untuk bisa bermain dadu
lalu mengais-ngais tempat sampah untuk beroleh beberapa
butir kacang. Ada seorang pemuda yang mati ditembak dan
ditelantarkan di selokan (entah kenapa).
Agaknya satu ciri sastra Indonesia pasca-kemerdekaan
adalah kemiskinan, represi, dan kekerasan politik yang tak
86 Catatan Pinggir 11
THUKUL
cuma sekali muncul dalam puisi. Pada 1961 terbit sajak Agam
Wispi, ”Matinya Seorang Petani”. Karya penyair Lekra yang
terkenal ini bercerita tentang petani yang ditembak mati ketika
memprotes ketidakadilan di Tanjung Morawa:
dia jatuh
rubuh
satu peluru dalam kepala
ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa cuma dapat bangkainya
Sajak itu dilarang beredar oleh penguasa militer di awal
”Dem okrasi Terpimpin”. Ironis atau tidak, peristiwa yang
mirip terjadi di akhir masa itu, 1966.
Seorang mahasiswa di Jakarta mati terkena peluru tentara
ketika ia ikut berdemonstrasi menentang kenaikan harga-
harga yang menekan hidup orang sekelas penjual rambutan di
tepi jalan. Taufiq Ismail (yang menerbitkan sajaknya dengan
nama sam aran; ia termasuk sastrawan pendukung ”Manifes
Kebudayaan” yang diberangus) menulis suasana protes dan
berkabung di kampus Salemba saat itu:
http://facebook.com/indonesiapustaka Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu.
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Catatan Pinggir 11 87
http://facebook.com/indonesiapustaka THUKUL
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi
Tak perlu ditegaskan lagi: sajak Thukul, Wispi, dan Taufiq
adalah tiga rekaman tentang yang traumatik, tapi berulang,
dalam sejarah Indonesia modern. Andai kita tak kenal data
biografis masing-masing penyair (yang berada dalam posisi
politik yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan),
kita akan menemukan variasi atas satu thema: kekuatan
yang bersenjata membunuh orang yang tak bersenjata, dan
kekuasaan dicoba ditegaskan.
Tapi saya rasa Thukul berbeda: ia adalah kepolosannya.
Sementara tiga anak kecil dalam sajak Taufiq adalah satu device
buat menegaskan kontras yang tajam antara kepolosan dan
efektifnya kekuasaan, dalam sajak Thukul si anak dan si polos
itu tak cuma datang dari luar. Kekuasaan yang laten dan brutal
menyengat langsung tubuhnya.
Mungkin sebab itu sajakn ya (tak hanya yang saya kutip ini)
terasa longgar, seperti suara anak yang seenaknya dalam eks
presi. Sajak Taufiq menjaga bentuknya dalam imaji-imaji yang
minimalis, lugas, deskriptif. Sajak Wispi menata langkahnya
ke klimaks dengan ketegangan di tiap baris, ketika dengan
pathos yang diam sang pencerita menyatukan diri dengan si
korban.
Sajak Thukul lain: ekspresinya yang longgar terasa ketika
dibiarkannya dirinya memakai kata Jawa seperti nang
(”buyung”) dan simbok (”emak”), tak peduli akan pahamkah
pembacanya di Fakfak. Ia terbebas dari beban keinginan
menampakkan kepiawaian puitik. Mungkin karena ia begitu
berk elindan dengan kemelaratan, ia cuekkan keindahan.
88 Catatan Pinggir 11
THUKUL
Tapi bisakah keindahan dicuekkan di ”rumah-rumah mi
ring”? Käthe Kollwitz, perupa sosialis Jerman (1867-1945),
hidup dengan kaum buruh yang melata di Berlin. Aneh atau
tak aneh, baginya kaum buruh semata-mata ”indah”. Das
Proletariat war für mich eben Schön.
Tapi ”yang indah” memang bisa meluas: semacam tarikan
cinta yang misterius, yang membuat sajak-sajak Thukul tak
melihat dengan jijik benda-benda penanda kekumuhan di se
kitarnya. Itu sebabnya ia, seperti Kollwitz, tak hanya menggo
reskan teriak, tapi puisi: suara lirih yang akrab dan tajam di
catatan kaki.
TEMPO, 19 Mei 2013
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 11 89
http://facebook.com/indonesiapustaka
90 Catatan Pinggir 11
DEMOS
http://facebook.com/indonesiapustaka MENGAPA mereka harus dilenyapkan? Seorang penyair
kurus kering, beberapa pemuda yang tak punya
pengikut jutaan dan tak punya senjata, seseorang bertubuh
kecil yang bersuara seperti seharusnya orang bersuara (yaitu
menunjukkan terjadinya pelbagai kesewenang-wenangan)....
Menga pamereka harus dihabisi?
Sebuah rezim yang berkuasa dengan kekang dan kekerasan
selalu berada dalam pusaran mimang. Ia tak yakin akan
legitimasinya sendiri. Ia bertumpu dengan menginjak
orang-orang yang takut, yang mungkin diam dengan hati
yang marah. Dan kian cemas rezim itu akan kemungkinan
marah rakyatnya, kian meluas ia menginjak. Dan kian luas
menginjak, kian waswas dia. Demikian seterusnya. Orde Baru
dengan sederet jenderalnya adalah rezim dalam pusaran itu.
Maka orang-orang pun disingkirkan: Wiji Thukul dan
Munir dan lain-lain. Mereka itulah yang tampak di bawah,
ibarat catatan kaki di sebuah kitab tebal, ibarat nota kecil dalam
tubuh narasi besar—tapi justru sebab itu berarti. Mereka, nota
kecil itu, untuk memakai istilah Rancière, adalah orang-orang
”di-luar-hitungan” (hors-compte). Merekalah demos.
Dalam buku kedua Iliad, cerita Perang Troya yang
dikisahkan Homeros, personifikasi mereka adalah Thersites,
seorang prajurit rendah yang dilukiskan berkaki pengkor
dan berkepalasulah. Homeros hanya menyebut satu insiden
pendek tentang orang ini. Tapi gemanya panjang.
Catatan Pinggir 11 91
http://facebook.com/indonesiapustaka DEMOS
Syahdan, setelah beberapa tahun perang berlangsung alot
melawan pasukan Troya, Raja Agamemnon bertemu dengan
pasukannya. Tak disangka-sangka, Thersites berdiri. Ia meng
umpat raja yang memaksa para prajurit bertempur terus-me
nerus itu. Ia tunjukkan bahwa sang Raja—yang mengerahkan
ribuan tentara hanya untuk merebut istrinya kembali dari
Troya—orang yang rakus. Thersites berseru agar orang-orang
pulang, meninggalkan sang Raja serakah sendirian. Ia tahi-ku
cingkan semua heroisme konyol di medan tempur itu.
Menyaksikan itu, seorang aristokrat perkasa, Odysseus,
marah. Dipukulnya punggung Thersites dengan tongkat ke
besaran raja hingga roboh. Lukanya berdarah. Prajurit itu me
nangis. Yang hadir menertawainya. Semua kemudian mende
ngark an kata-kata Odysseus yang fasih, teratur, menggugah,
hingga kembali hasrat akan kemenangan.... Dan tak ada yang
mengikuti Thersites.
Tapi memang sudah sejak mula, Thersites ditetapkan
”di-luar-hitungan”. ”Kau cuma sampah!” hardik Odysseus.
Oknum itu, sang demos, diikutsertakan sebagai bagian dari
himpunan, namun pada saat yang sama disisihkan untuk tak
bisa ambil bagian. Dalam salah satu dari 10 thesisnya tentang
politik, Rancière menunjukkan—seraya memakai Thersites
sebagai acuan—bahwa demos berarti ”si miskin”.
Tapi di sini ”miskin” bukan kategori orang yang tak
berpunya. Mungkin ia melarat, mungkin ia penyair lapar yang
hanya bisa menuliskan protes, mungkin ia pengungsi yang
tak punyasurat-surat, mungkin ia gay, mungkin ia Syiah di
kancah Sunni, atau sebaliknya—tapi apa pun, dalam partage
du sensible,dalam pembagian yang menentukan mana ”yang
92 Catatan Pinggir 11
DEMOS
http://facebook.com/indonesiapustaka oke” dan ”tak oke”, letak sang demos nyaris di luar cerita.
Tapi Odysseus terganggu. Itu menunjukkan betapa rapuh
sebenarnya posisi Raja menghadapi nota kecil dari bawah yang
semula tak berarti. Legitimasi Agamemnon guyah. Wacana
tentang kekuasaannya dan citra keperkasaan bala tentaranya
tiba-tiba nyaris serupa balon yang mengempis. Ada kebenaran
yang menusuknya: kata-kata Thersites, gema keluhan pasukan
yang letih.
Itu sebabnya Odysseus membungkam Thersites—tapi se
telah itu, dalam pidatonya, ia ingin menunjukkan empatinya
kepada para prajurit yang sudah rindu kampung halaman.
Dan seperti kemudian dikisahkan Homeros, begitu perang
usai dan Troya kalah, pasukan Yunani bukannya berlomba-
lomba menjarah hasil kemenangan, tapi cepat-cepat naik ke
kapal untuk berlayar kembali ke tanah air. Dengan kata lain,
Thersites—dengan bahasa dan tampangnya yang dijauhi ba
nyakorang—sebenarnya ”mengutarakan apa yang dipikirkan
orang lain”. Umpatannya adalah perasaan kolektif.
Tentu, ia tak menang. Dalam cerita Homeros, Agamemnon
tak lengser. Odysseus berhasil kembali ke kerajaannya.
Thersites bahkan mati dibunuh Achilles ketika mencemooh
pendekarperang ini.
Tapi bukan kebetulan bahwa dalam seluruh kisah Perang
Troya, Thersites satu-satunya nama prajurit rendah yang
disebut Homeros. Meskipun diletakkan sebagai sesuatu
yang hampir tak tampak seperti catatan kaki dalam epos itu,
ia tak dapat diabaikan. Ia adalah ”yang-lain” yang tak bisa
diseragamkan. Bahkan seorang penafsir Iliad, Eustathios dari
Thessalonike (yang hidup di abad ke-12), mengemukakan
Catatan Pinggir 11 93
http://facebook.com/indonesiapustaka DEMOS
sebuah teori: Thersites yang tak bertubuh kukuh itu direkrut
ke dalam pasuk an untuk Perang Troya karena dikhawatirkan,
andai kata ia lep as, ia akan menghasut pemberontakan.
Thersites dicatat sebagai anarithmoi, ia yang tak lepas tapi
tak layak dihitung: itulah indikasi paranoia. Paranoia adalah
seb uah lubang gelap dalam mimpi buruk sebuah rezim.
Paranoia adalah sebuah kerowak dalam kesadaran yang
mengklaim dirinya organisme yang tak retak—dan sebab itu
waswas melihat sesuatu yang lain.
Wiji Thukul pun harus hilang, Munir diracun, dan
berikutnya, dan berikutnya. Namun tak bisa selamanya.
Seperti dikatakan Badiou, manusia adalah ”makhluk yang
mampu mengenali dirinya sendiri sebagai korban”. Tapi justru
”situasi paling buruk yang ditimpakan pada manusialah yang
menunjukkan dirinya kekal”. Jerit dan protesnya menjadi
universal. Suaranya bergema di semua ruang, di semua waktu.
Di momen itu ia menolak jadi sampah. Ia bukan ada-
menuju-mati. Ia ada-menuju-emansipasi.
TEMPO, 26 Mei 2013
94 Catatan Pinggir 11
FASISME
http://facebook.com/indonesiapustaka DI sebuah rumah tua di Dusun Dirgo di Kabupaten
Ngawi, Jawa Timur, seberkas naskah ditemukan.
Naskah itu transkripsi pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945—
pidato ”Lahirnya Pancasila”. Bahwa barang itu ditemukan
di sana bukan hal yang aneh. Rumah itu milik Radjiman
Wedyodiningrat.
Tokoh ini, yang lahir di tahun 1879, pada usia 66 tahun
ditunjuk mengetuai sidang-sidang panitia persiapan
kemerdek aan Indonesia (sering disingkat jadi PPKI) yang
dibentuk empat bulan sebelum 17 Agustus 1945. Radjiman
seorang sarjanakedokteran lulusan sebuah sekolah tinggi di
Amsterdam, tapi aktif dalam gerakan untuk kemerdekaan. Ia
anggota Budi Utomo dan kemudian anggota Partai Indonesia
Raya. Memasuki akhir pendudukan Jepang, ia ditunjuk
memimpin pertemuan PPKI sejak April hingga 1 Juni 1945
itu.
Dialah orang yang bertanya kepada Bung Karno, apa filsa
fat dasar republik yang akan lahir sebentar lagi. Dan Bung
Karno pun memberi jawab—dan Pancasila pun dirumuskan.
Saya tak tahu bagaimana sebenarnya pemikiran politik
Radjiman. Tapi pengantarnya yang ringkas untuk buku
Lahirnya Pancasila agaknya penting dicatat.
Radjiman menulis, sidang PPKI diselenggarakan ”di
bawah penilikan yang keras dari pemerintah Bala Tentara
Jepang”. Namun Bung Karno teguh. Dalam Pancasila yang
Catatan Pinggir 11 95
http://facebook.com/indonesiapustaka FASISME
dibentangkannya ada ”suatu demokratisch beginsel”—prinsip
demokratis. ”Fasisme Jepang berkuasa di negeri kita,” tulis
Radjiman, tap i gag asan demokratis ”tak pernah dilepaskan
oleh Bung Karno”.
Pidato ”Lahirnya Pancasila” memang mengesankan itu.
Bung Karno menegaskan pentingnya perwakilan rakyat dan
permusyawaratan. Ia juga menggambarkan sebuah masa depan
politik yang dinamis: sebuah republik yang mengandung
”pergeseran pikiran”, ”perjoangan”, saling ”bergosok”, proses
yang akan membuahkan ”nasi Indonesia yang sebaik-baiknya”.
Tapi sebenarnya ada yang tak disebutkan. ”Pergeseran pikir
an”antarkekuatan yang saling ”bergosok” itu sering membuat
cemas. Orang waswas bila semua itu akan destruktif bagi ”ke
keluargaan” sebuah bangsa.
Bung Karno sendiri tak menyukai konsep ”kekeluargaan”.
”Kekeluargaan adalah satu paham yang statis,” katanya. Ia leb ih
menyukai ”gotong-royong”. ”Gotong-royong” lebih dinamis,
”menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan”.
Namun tak jelas benar, bagaimana usaha yang dinamis
itu bisa berlangsung tanpa kebebasan berpartisipasi. Saya
kira Bung Karno mengakui keniscayaan kebebasan itu. Tapi
bertentangan dengan Bung Hatta, ia menolak bila dalam
kehidupan bernegara kebebasan itu dirumuskan sebagai dasar
hak-hak manusia dan warga negara, les droits de l’ homme et du
citoyen. Baginya hak-hak itu memberi posisi berlebihan kepada
individu.
Tapi siapa kemudian yang secara bebas akan ikut bergo
tong-royong? Tak ada jawaban yang konsisten. Bung Hatta
inginhak-hak warga negara dipertahankan, tapi ia juga meno
96 Catatan Pinggir 11
FASISME
http://facebook.com/indonesiapustaka lak ”individualisme”. Ia tak memproyeksikan manusia sebagai
makhluk ”sebatang kara”. Ketika individu diposisikan di depan
masyarakat, kata Bung Hatta, usaha ke arah kemakmurandi
dorong oleh ”timbangannya sendiri”. Hasilnya adalah ”perten
tangan dalam masyarakat”.
Tampak, ada sikap mendua dalam pemikiran itu. Juga ada
tendensi melihat orang-seorang sebagai ”individu” dan melihat
”individu” sebagai ancaman. Tak dilihat bahwa ”individualis
me” hanya sebuah mithos. ”Mengatakan seorang individu bisa
berp roduksi di luar masyarakat... adalah sebuah absurditas,”
kata Marx. Manusia hidup karena bahasa dan dalam bahasa—
dan bahasa adalah daya formatif yang bermula dari masyarakat.
Juga tak dilihat bahwa orang-seorang bukan selamanya
ancaman; ia punya peluang menjadi korban, justru karena
kemerdekaannya.
Tapi ”kemerdekaan” memang soal yang genting. Ia datang
bersama derap modernitas: di latar sejarah yang berubah,
manusia tampak sebagai aktor yang melepaskan diri dari alam,
bahkan mengalahkannya. Berhala lama runtuh. Iman, adat,
dan komunitas mencair. Orang tak lagi menggubah ceritako
lektif, tapi mengekspresikan dunianya sendiri. Jadi ”sebatang
kara” bukan lagi sebuah kutukan, melainkan hal yang lumrah,
bahk an bisa heroik.
Tapi sementara di tahun 1940-an kesusastraan Indonesia
merayakan modernitas itu dengan penuh—puisi Chairil
Anwar melahirkan paradigma baru—dalam pemikiran
politik ada rasa gentar, mungkin rasa hormat, kepada yang
pramodern.
Bukan mustahil jika fasisme Jepang bisa masuk menyeli
Catatan Pinggir 11 97
http://facebook.com/indonesiapustaka FASISME
nap. Fasisme itu tidak hanya didukung oleh kekuatan bedil dan
pedang, tapi juga—seperti di Jepang sendiri—oleh nostalgia.
Ada seorang penelaah latar belakang pemikiran fasisme,
Maruyama Masao, yang mengatakan bahwa di Jepang, fasisme
tumbuh dalam ”modernitas yang tak lengkap”. Di satu sisi,
Jepang mendesak memasuki dunia modern dengan bedil
dan kapital. Di sisi lain, masa lalu dipanggil kembali. Ada ke
ingina n merawat Jepang sebagai satu ”keluarga” tradisional.
”Nasion alisme kita,” kata seorang pendukung fasisme yang di
kutip Maruyama, ”harus merupakan perluasan dari asas ke
keluargaan.”
Gema suara seperti ini terdengar dalam sidang PPKI (alias
Dokuritsu Junbi Chôsakai) yang dibidani penguasa Jepang
itu—yang juga mengawasinya, menurut Radjiman, dengan
”keras”. Dalam paparannya, Supomo, seorang guru besar ilmu
hukum, menganjurkan Indonesia jadi negara ”kekeluarga
an”—sebuah ”ide totaliter”. Ia memakai Jepang sebagai taula
dan.
Tentu saja di sana tak ada ”demokratisch beginsel” yang di
sebut Radjiman. Tapi Supomo tak sendiri. Dalam sejarah, kita
berulang kali mengalami rasa cemas menerima beginsel yang
menyambut ”pergeseran pikiran” itu. Dalam sejarah, godaan
”ide totaliter” tak mudah mati.
TEMPO, 2 Juni 2013
98 Catatan Pinggir 11
MUSELMANN
MUSELMANN dalam bahasa Jerman berarti ”muslim”.
Tak selamanya disebut dengan citra yang baik. Di masa
lalu di Jerman ada sebuah nyanyian untuk anak-anak:
http://facebook.com/indonesiapustaka K-a-f-f-e-e
K-a-f-f-e-e,
trink nicht so viel kaff ee!
Nicht für Kinder ist der türkentrank
schwächt die Nerven, macht dich blaß lassen und krank.
Sei doch kein Muselmann,
der ihn nicht lassen kann!
(Kopi
Kopi
Jangan minum banyak kopi!
Bukan untuk anak-anak, ini minuman Turki
bikin saraf lemah, bikin sakit dan pucat pasi.
Jangan jadi muslim,
kamu nanti tak sanggup apa-apa!)
Nyanyian dari tahun 1930-an ini saya dapat dari wawancara
Gil Anidjar, penulis The Jew, the Arab: A History of the Enemy,
dengan Nermeen Shaikh.
Anidjar menyebutnya sebagai contoh bagaimana orang Ero
pa memandang Islam. Sebagaimana Yudaisme, ia diposisikan
seb agai ”musuh”. Ketika itu Eropa sedang merumuskan dirinya
sendiri, dan ”musuh” diperlukan untuk mempersatukan.
Catatan Pinggir 11 99
http://facebook.com/indonesiapustaka MUSELMANN
Persepsi yang tak ramah itu tak terbatas pada lagu anak-
anak. Kita menemukannya dalam pandangan Hegel. Pemikir
Jerman yang berpengaruh itu menyebut Islam sebagai Religion
der Erhabenheit, agama yang menganggap sesembahannya de
mik ian sublim dan agung hingga para pemeluk harus patuh
sem ata-mata kepada hukum yang tegar. Mereka memandang
diri sendiri sebagai hamba, bukan subyek yang berdaya. Mere
ka hidup dalam alienasi.
Setelah Hegel, sikap terhadap Islam sebagai agama yang
membuat orang ”tak sanggup apa-apa” itu berlanjut sampai
tahun 1940-an. Hitler berkuasa dan ia kirim ribuan orang ke
kamp pembantaian; sebagian besar Yahudi. Tak ada orang
Islam yang terdaftar di tempat-tempat itu, tapi di Auschwitz,
kata ”muslim” ternyata disebut.
Yang merekamnya adalah Primo Levi, sastrawan Italia ke
turunan Yahudi yang pada umur 25 tahun dikirim ke kamp
konsentrasi Auschwitz. Levi tak lama disekap, sejak 1943
sampai dengan 1945, tahun kejatuhan Hitler. Tapi catatannya
tentang kehidupan di neraka itu membekas dalam kenangan
orang.
Se questo e un uomo terbit pada 1958 (versi Inggrisnya: If this
is a man). Di dalamnya kita diperkenalkan kepada satu kateg ori
tahanan: orang-orang yang remuk. Merekalah Muselmanner:
”Orang-orang yang tenggelam... massa yang tanpa nama...
makhluk-bukan-manusia yang berjalan dan bekerja dalam
bisu....” Orang ragu untuk menyebut mereka hidup, juga ragu
untuk menyebut kematian mereka ”kematian”. Mereka terlalu
lelah untuk mengerti apa arti mati.
Bahwa di kamp tahanan itu orang-orang Yahudi yang su
100 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MUSELMANN
dahremuk disebut ”Muselmann” menunjukkan citra macam
apa yang ada di Jerman tentang umat Islam waktu itu: manusia
yang tak berguna lagi, mirip sampah—orang-orang yang di
kungkung dan dikekang hukum agama, orang-orang yang se
benarnya terasing dari hidup yang bergerak dan berubah terus.
Kita ingat Marx menyebut agama sebagai ”candu”: sesuatu
yang bisa menghibur namun membuat manusia tersandarse
perti lumpuh. Agaknya pengaruh Hegel membekas di sana:
agam a itu memperbudak. Marx pun menyerukan pembebasan,
dan seluruh pemikir modern Eropa menggerakkan sekulari
sasi: tinggalkan titah Tuhan dan sambut kemampuan manusia;
singkirkan agama dari kehidupan.
Di sini saya ingin kembali ke Anidjar. Yang menarik dari
pend apatnya ialah bahwa sekularisasi justru bermula ketika
agama hendak mengukuhkan kekuasaannya: di Spanyol dan
Portugal, di abad ke-15.
Waktu itu kekuasaan Katolik sedang mengkonsolidasikan
kemenangannya setelah kerajaan Islam terakhir jatuh. Gereja,
dengan lembaga Inkuisisinya, menetapkan aturan limpieza de
sangre: orang-orang yang baru menjadi Kristen harus ber-”da
rah-murni”; ia bukan keturunan Yahudi atau Arab.
Tapi dengan demikian ketentuan agama yang lama di
tinggalkan. Sakramen tak lagi berfungsi, karena sia-sia
menandai pertobatan ataupun konversi. Kekuasaan sang
Inkuisitor—sang pengusut yang menghakimi iman sese
orang—lebih efektif ketimbang ketentuan Tuhan. Tokoh
Inkuisitor Agung dalam cerita Dostoyevsky yang termasyhur
bahkan lebih berkuasa ketimbang Yesus.
Dan itulah awal sekularisasi.
Catatan Pinggir 11 101
http://facebook.com/indonesiapustaka MUSELMANN
Tapi itu berarti bahwa tak ada retakan yang dalam antara
yang religius dan yang sekuler. Lambang-lambang agama
tak ditinggalkan; bedanya: Tuhan telah digantikan petinggi
gereja, ayatullah, majelis ulama, kementerian agama. Yang
sekuler dan yang religius disatukan dalam kekuasaan duniawi.
Tapi itu bukan berarti pembebasan. Bahkan dengan
kekuasaan yang dibayang-bayangi aura Tuhan, siapa saja yang
di tampuk pimpinan akan gampang tergoda untuk menuntut
agar selamanya ia dipatuhi dalam taklid yang sempurna. Ada
Tuh an baru; ada hamba-hamba baru. Ada penindasan—dan
dalam bentuknya yang ekstrem, di ujungnya ada Muselmann.
Di sini Muselmann bukan lagi ”muslim”, dengan citra yang
kelam. ”Muslim” jadi sesuatu yang universal: siapa saja, di
mana saja, kapan saja, yang tertindas.
Maka pembebasan bukan datang serta-merta karena
sekularisasi. Pembebasan hanya bisa diraih melalui perlawanan
terhadap represi. Dan agar tak ada kekuasaan yang akan meng
ulangipenindasan, perlawanan itu harus berarti—dan itu ha
nya mungkin bila pada mulanya adalah kesaksian. Bukan ke
saksian orang yang hanya melihat, melainkan kesaksian orang
yang menanggungkan. Para korban.
Tapi tak sembarang korban.
Dalam Quel che resta di Auschwitz (versi Inggrisnya:
Remnants of Auschwitz), Giorgio Agamben mengutip Primo
Levi tentang ”saksi yang sejati”. Saksi ini bukan orang seperti
dirin ya, yang keluar dari neraka. Saksi yang ”lengkap” yang
harus diutamakan adalah mereka yang tak bisa keluar,
tenggelam, tak lagi bisa bicara: para Muselmann.
TEMPO, 9 Juni 2013
102 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka GELANGGANG
INDONESIA adalah sebuah sosok yang dimulai dengan
kata kami. Dan itu terjadi pada 17 Agustus 1945. ”Kami
bangsa Indonesia...”—kalimat pembuka Bung Karno tatkala
memaklumkan lahirnya sosok baru itu ke dunia.
Kata kami berbeda dengan kita—kosakata yang tak ada
pad anannya dalam bahasa Eropa. Kami adalah penanda satu
himp unan orang yang meletakkan diri di hadapan liyan yang
diposisikan ”di luar” himpunan itu.
Tapi ada paradoks. Di satu pihak, sebagai identitas, kami
membuat batas untuk menjadikan diri beda. Kami me
ngeluarkan liyan dari dalam perbatasan itu. Tapi di lain
pihak ia jadi beda justru karena ada liyan kepada siapa ia di
perbandingkan. Ind onesia adalah Indonesia karena ia bukan
Cina, bukan Malaysia, dan seterusnya. Pada saat yang
sama: Cina bukan Indonesia, dan seterusnya. Yang ”luar”,
liyan, memberi bentuk kepada kami, tapi sebaliknya kami
membentuk yang ”luar”.
Kita tahu, pembedaan tak akan pernah selesai; pelbagai hal
dalam jumlah yang tak terhingga memberi bentuk sosok X.
Derrida menyebut peran l’extérieur constitutif. X selamanya
X yang belum definitif. Identitas (”X”, ”kami”) adalah
pengertian yang selalu tertunda.
Ini tecermin dalam sebuah dokumen yang bertanggal 18
Februari tapi terbit pada 22 Oktober 1950 di majalah Siasat
di Jakarta—teks yang sampai kini masih dikenang, meskipun
Catatan Pinggir 11 103
http://facebook.com/indonesiapustaka GELANGGANG
jarang ditelaah: Surat Kepercayaan Gelanggang.
Saya kutip sebagian besarnya:
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan
ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.... pengertian rakyat bagi kami
adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dila
hirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo ma
tang, rambut kami yang hitam... tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan
oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, ka
mi tidak... akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk
dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru
yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai
rangsang suara.... Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit
dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai
usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi
di tanah air kami sendiri belum selesai....
...Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami
membawa sifat sendiri. Penghargaan kami terhadap... masyarakat adalah
penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara
masyarakat dan seniman.
Seperti Proklamasi Kemerdekaan, subyek teks itu kami,
bukan kita: penanda sebuah kelompok sedang berbicara
kepada orang di luar kelompok itu. Ada kesan, pernyataan ini
tengah berhadapan dengan pendirian lain.
Maka sering disebut, Surat Kepercayaan itu satu antithesis
bagi Mukadimah Lekra, organisasi yang dibentuk pada 17
Agustus 1950 dengan inisiatif M.S. Ashar, A.S. Dharta, D.N.
Aidit, dan Njoto (kedua yang terakhir ini pemimpin PKI).
104 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka GELANGGANG
Tapi saya ragu. Yang saya lihat, kedua teks itu malah punya
perspektif penting yang sejajar.
Sementara Mukadimah Lekra ”membantah pendapat
bahwakesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat”, Surat
Kepercayaan juga mengatakan adanya ”saling pengaruh antara
masyarakat dan seniman”. Sementara Surat Kepercayaan
menolak ”melap-lap hasil kebudayaan lama” dan bercita-cita
ke arah ”dunia baru yang sehat”, Mukadimah juga ”menerima
dengan kritis peninggalan-peninggalan nenek moyang kita”
dan berniat aktif ”memenangkan sesuatu yang baru maju”.
Sementara Mukadimah menegaskan peran ”rakyat” sebagai
pencipta keb udayaan, Surat Kepercayaan menyebut, dari
rakyatlah ”dunia baru yang sehat dapat dilahirkan”.
Jika terasa ada perbedaan, itu karena Surat Kepercayaan
lebih sadar diri dalam menghadapi dunia luar. Kalimat
”Revolusi di tanah air kami” dalam teksnya tampak ditujukan
kepada pihak yang bukan bagian dari tanah air itu.
Mungkin di sana ada gema zamannya: Indonesia, yang
baru lima tahun memaklumkan kelahirannya, merasa hadir
setara dalam kancah internasional. Surat Kepercayaan terbit
hanya 24 hari setelah republik baru ini jadi anggota PBB, 28
September 1950.
Dalam kancah itulah teks ini menegaskan ”ke-Indonesia
an”. Meskipun menyatakan diri ”ahli waris kebudayaan dunia”,
teks itu menambahkan: kebudayaan dunia itu ”kami terusk an
dengan cara kami sendiri”.
Tapi kami di sana tak diwakili oleh sesuatu yang tetap.
Kami diwakili ”pernyataan hati dan pikiran”—sesuatu yang
berlapis-lapis dan terus-menerus baru. Juga ketika beberapa
Catatan Pinggir 11 105
http://facebook.com/indonesiapustaka GELANGGANG
tahun berikutnya, Indonesia makin aktif memperkenalkan
diri ke luar negeri, sebagaimana dikisahkan dalam buku
yang disusunJennifer Lindsay & Maya H.T. Liem, Ahli Waris
Budaya Dunia. Tak ada Indonesia yang tunggal dan final.
Yang tampak, ”dunia”, kian penting. Tapi di sini juga ada
paradoks. Justru ketika apa yang diasumsikan sebagai ”ke-
Indonesia-an” dikemukakan sekuat tenaga ke dunia, identitas
itu rapuh. Kekhasan (”beda”) Indonesia yang ditegas-tegaskan
mudah untuk jadi ”beda” yang dirumuskan sebagai ”unik”—
atau ”eksotis”. Penciptaan pun terjebak dalam nilai-nilai yang
jadi penting demi ke-”unik”-an itu.
Untunglah, Surat Kepercayaan menolaknya. ”Kami tidak
akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia....”
Artinya kami jadi percakapan yang kreatif dengan dunia
dan zamannya. Kami jadi proses yang arahnya tak ditentukan
leb ih dahulu—”identitas” yang tak hendak selesai, ditempa
kemerdekaan, melanjutkan kemerdekaan.
TEMPO, 16 Juni 2013
106 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka RAHIM
DALAM bahasa Arab ada sepatah kata yang hampir tiap
kali diucapkan seorang muslim: ”rahim” ( ). Kataitu
sering diterjemahkan jadi ”penyayang”, tapi lebih jelas agaknya
bahasa Inggrisnya: compassionate.
Ada yang mengindonesiakannya jadi ”belarasa”, tapi saya
kira kata ”bela” mengandung hadirnya sebuah subyek yang
men entukan (atau jadi sumber) sebuah laku, seperti dalam ka
ta ”bela diri” atau ”belasungkawa”. Compassion, sementara itu,
justru bermula dari tak hadirnya subyek. Sifat ”rahim”—yang
juga berarti ”kandungan”—terjadi di saat dua pihak bersen
tuha n akrab, saling menumbuhkan. Di saat itu, aku ada bersa
ma engkau, di dalam engkau, ketika rasa sakit, duka, dan kehi
langan melukai engkau.
Kata ”engkau” berarti siapa saja: liyan yang tak dibatasi iden
titas, liyan yang satu-satunya cirinya adalah menanggungkan
pend eritaan. Itulah saat yang rahim, itulah compassion seperti
dalam cerita Yesus tentang seorang Samaria yang tanpa pamrih
menolong seorang Yahudi: menyelamatkan seseorang yang
luka-luka karena diserang perampok meskipun ia dan orang
itu berasal dari puak-puak yang saling membenci.
Karen Armstrong memahami hal ini jauh sebelum ia
menulis Twelve Steps to a Compassionate Life. Ia berbicara
tentang kenosis, mengosongkan diri, membuat ”aku” suwung,
dan extasis, mengeluarkan diri. ”Kita paling kreatif dan
menyadari kemungkinan-kemungkinan lain yang melampaui
Catatan Pinggir 11 107
http://facebook.com/indonesiapustaka RAHIM
pengalaman kita sehari-hari ketika kita meninggalkan diri
kita.” Itu kalimatnya dalam The Spiral Staircase: My Climb Out
of Darkness.
Buku yang terbit pada 2004 ini kisah pergulatan batinnya
sejak ia masuk ke kehidupan biarawati pada 1962 sampai
ketika ia meninggalkannya—seraya melambai selamat tinggal
kepada Tuhan dan imannya.
Perjalanan itu tak mudah. Sebuah puisi memberinya imaji
tentang kegalauan diri itu. Armstrong, yang kemudian masuk
ke jurusan sastra di Oxford, membaca sajak T.S. Eliot Ash
Wednesday yang seakan-akan ingin menyusun doa di hari
pertama puasa menjelang Paskah. Ia bayangkan sang penyair
menaiki sebuah tangga spiral: naik, berpusar, berulang,
mendaki terus. Dan biarawati muda itu merasa bahwa ia
juga sedang berada dalam tangga berkelok-kelok ke atas itu:
sebuah perjalanan puasa dan taubat. Ia merasa hatinya yang
buncah ditemani baris-baris sajak yang memukau itu: saat-saat
yang selaras berganti-ganti dengan yang ganjil, yang disonan,
terkadang berulangulang, sering mengejutkan, tak jarang
dalam susunan yang samar. Bahkan suram, antara tekad dan
putus asa:
Because I do not hope to turn again
Because I do not hope
Because I do not hope to turn
Pada mulanya adalah diri yang tak berarti. ”Orang Katolik,”
tulis Armstrong, ”membalur dahi mereka dengan abu untuk
mengingatkan mereka akan kefanaan mereka.” Sebab hanya
ketika kita menyadari kerapuhan dalam fitrah kita, kita akan
108 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka RAHIM
dap at memulai ikhtiar kita untuk menjangkau.
Meskipun dalam dirinya tak ada harapan kebangkitan
kemb ali di ujung tangga spiral itu, tampaknya masih ada sisa
makna tradisi itu ketika Armstrong berbicara tentang kenosis
dan extasis dalam proses menyatukan diri dengan liyan,
dengan yang di luar diri. Sebaris kalimat dalam Ash Wednesday
bisa mengingatkan hubungan antara ketiadaan ego itu dan
kebersamaan: ”Forgetting themselves and each other, united/In
the quiet of the desert”. Ketika semua orang ”melupakan diri
mereka sendiri dan satu sama lain, mereka pun berpadu, dalam
sunyi gurun pasir”.
Menarik, Armstrong mengacu ke sajak Eliot yang ditulis
setelah sang penyair memilih jadi umat Gereja Anglikan (ia
sebut ”Anglo-Katolik”), sementara Armstrong sendiri me
ninggalkan kepercayaan Katoliknya. Dan lebih radikal, Tuhan
tak hadir lagi dalam kehidupannya.
Tapi tak untuk selamanya. Kemudian ia menelaah agama
di luar Kristen, mempelajari Islam dan Yudaisme. Ia pun
merasa Tuhan berarti kembali justru dalam ketidakhadiran.
Armstrong menyebut dirinya ” freelance monotheist”, seorang
monotheis yang tak bergabung dalam agama apa pun. Ada
yang menyebutnya atheis, tapi baginya, atheisme sebenarnya
menampik Tuhan dalam citra tertentu. Jika Tuhan dilihat
sebagai satu ego yang mencampuri kemerdekaan dan
kreativitas manusia, Ia mirip tiran di bumi yang membuat
siapa saja cuma sekrup dalam mesin yang dikontrolnya. Dalam
hal itu atheisme dapat ”dibenarkan”. Bagi Armstrong, Tuhan
patut ditolak bila Ia memb uat kita kejam, mudah menghakimi,
menghukum, dan men yingkirkan, jauh dari sifat rahim.
Catatan Pinggir 11 109
http://facebook.com/indonesiapustaka RAHIM
Sebab yang utama adalah bagaimana berbuat baik. ”Cara
sejati menghormati Tuhan hanyalah dengan bertindak secara
moral seraya tak menghiraukan bahwa Ia ada,” tulisnya dalam
A History of God.
Bertindak secara moral berarti memperlakukan liyan,
merek a yang bukan-aku, sebagai tanda rahmat-Nya.
Dalam kalimat yang mengingatkan kita kepada Emmanuel
Lévinas, Armstrong mengatakan, kita kadang-kadang dapat
menemukanTuhan dalam ”asingnya seorang asing”, ”sebuah
sifat asing yang mula-mula dapat membuat kita jijik tapi dapat
menyentakk an kita dari sikap mementingkan diri sendiri”,
meskipun orang itu ”bukan bagian dari kelompok ethnik,
agama, atau ideologi kita”. Dalam ”intonations of that sacred
otherness” itulah kita den garsabda Tuhan.
Di satu bagian Ash Wednesday ada baris yang bertanya,
akankah para suster yang bercadar berdoa juga bagi ”anak-
anakdi pintu gerbang yang tak hendak pergi, yang tak bisa
berdoa”.
Will the veiled sister pray
For children at the gate
Who will not go away and cannot pray:
Pray for those who chose and oppose
Saya yakin, Armstrong akan menjawab ”seharusnya”.
TEMPO, 23 Juni 2013
110 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MAKNA
KNALPOT dan kata-kata. Peradaban bergerak ke hari ini
dan kesendirian terpisah dari keheningan. Sepeda motor
mend eru dalam jumlah ribuan di jalan-jalan; di sadel duduk
rib uan orang di satu ruang dan waktu, tapi dengan nasib dan
mimpi yang tak bersentuhan.
Juga kata-kata. Dalam kepalaku, dalam KTP-ku dan
telepon seluler di sakumu, di papan-papan iklan yang meminta
perhatian kita semua, kalimat berderet, kadang-kadang
bersahutan, kadang-kadang bertabrakan, kadang-kadang tak
saling mempedulikan.
Kita seperti berada dalam situasi Endgame. Bedanya: dalam
lakon Samuel Beckett yang sering disebut sebagai contoh
”teaterabsurd” ini, tak ada suara bising jalanan. Bising yang
membuat pekak itu digantikan kekosongan.
Di pentas itu—di sebuah ruang yang mirip bagian dalam
tonganggur yang tak berisi (sebagaimana dipanggungkan Tea
ter Garasi di Komunitas Salihara pekan ini)—hanya ada satu
kursi dan dua drum. Ada tangga sederhana dan satu jendela
kecil. Selebihnya: empat orang dengan tubuh yang cacat.
Hamm tak bisa berdiri dan buta. Ayahnya, Nagg, tersuruk
dalam drum tempat sampah dan tak punya kaki. Ibunya, Nell,
dalam keadaan serupa. Clov, pelayan Hamm, bisa berjalan tapi
tak bisa duduk. Bahkan boneka anjing itu tak lengkap. Bila ada
yang lain yang hadir di pentas, itu adalah berbaris-baris kata—
dialog yang tak jelas arah dan konklusinya, seakan-akan hanya
Catatan Pinggir 11 111
http://facebook.com/indonesiapustaka MAKNA
untuk mengisi ruang dan waktu yang tak berujung.
Tanpa arti. Meskipun mungkin ada makna.
Dalam bahasa Indonesia, kata meaning dalam bahasa
Inggris bisa diterjemahkan menjadi ”arti” dan ”makna”. Tapi
sebenarn ya ada jarak di antara kedua kata itu.
”Makna” tak biasa dipakai dalam percakapan sehari-hari;
ia muncul dalam retorika, puitis, dan sedikit arkais. ”Arti” kita
jump ai kapan saja, tapi bisa mengandung sesuatu yang pen
ting.Seperti dalam sajak Chairil Anwar ”Diponegoro” yang
terkenal: ”Sekali berarti/sudah itu mati”: lakukanlah sesuatu
yang penting sekali saja, sesudah itu kita siap meninggalkan
dunia ini.
Dalam Endgame Beckett, bagi para tokoh yang tak bahagia
itu, situasi mereka tak punya apa pun yang penting, tak punya
arti, tak mengacu apa pun dan ke mana pun. Hamm dan Clov
tahu itu. Bagi mereka, mempunyai ”arti” justru sesuatu yang
tak disangka-sangka.
Hamm: Apakah kita tidak sedang dalam proses akan... berarti sesua tu?
Clov: Berarti sesuatu? Kamu dan aku berarti sesuatu? (ketawa sebentar)...
Ah, bagus itu!
Mungkin, seperti dibayangkan Hamm, satu makhluk
yang rasional yang mengamati mereka akan paham: mereka
itu ternyata bukan cuma dua onggok tubuh yang cerewet.
Tapi mana mungkin? Buat apa? Clov acuh tak acuh. Ia sibuk
menggaruk: ”Ada kutu di badanku.”
Tapi tanpa arti sekalipun, hidup dan percakapan mereka
bisa juga bermakna. Kata ”makna” mengacu kepada sesuatu
112 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MAKNA
yang lain, sesuatu yang tak bisa diucapkan dengan bahasa
sehari-hari—juga yang tak bisa ditangkap makhluk yang
rasionaldi bumi.
Karena ada sesuatu yang tak bisa didefinisikan dan tak
bisa dinamai di celah-celah dialog yang tak saling ketemu
seperti knalpot bising di jalan yang sibuk itu. Sesuatu itu
menyelinap, kita rasakan sebagai getar yang datang dari hasrat
yang terpendam, kerinduan yang tak tertangkap oleh sistem
simbolik.
Kerinduan—sebab suasana yang dihadirkan Beckett tak
ceria, membosankan, dan tanpa harapan. Tak ada empati.
Bahkan empat orang itu tak pernah saling menyentuh.
Hubungan Hamm dengan Clov mirip hubungan seorang
sadis yang terus-m enerus menyiksa dengan seorang masokhis
yang menikmati siksaan. Hamm tak pernah berbicara
kepada ibunya yang terkurung dalam drum sampah. Ia juga
menyumpahi Nagg, bap aknya. Ketika si ibu meninggal dan si
ayah menangis, Hamm cuma berkata, ”Yang mati pergi cepat-
cepat.”
Kita mungkin akan teringat lakon Sartre dari tahun 1944,
Huis Clos (”Pintu Tertutup”). Di panggung, tiga orang tampak
di akhirat. Mereka terhukum. Mereka harus tinggal bersama
di satu kamar selama-lamanya. Dari sinilah kata-kata terkenal
Sartre diucapkan: ”l’enfer, c’est les autres”. Hidup bersama liyan
adalah siksaan. Saling menatap sama artinya dengan saling
memerangkap.
Hamm, Clov, Nagg, Nell juga sebuah persilangan pen
deritaan. Tapi ada yang membuat karya Beckett ini berbeda.
Sementara dialog dalam Huis Clos hampir sepenuhnya
Catatan Pinggir 11 113
http://facebook.com/indonesiapustaka MAKNA
membentuk bangunan verbal makhluk-makhluk yang
rasional, dialog dalam Endgame bunyi dari tubuh yang pedih
dan tak lengkap. Saat-saat brutal tak bisa seluruhnya menutupi
sesuatu yang bisa menyentuh.
Di situlah yang puitis melintas, suatu getar yang tak
bisa dikatakan, sebuah ”entah”. Di saat itulah Hamm
membayangkansebuah akhir. Ia akan duduk diam, katanya,
damai. ”Di sana itu, di perlindungan tua, aku nanti sendirian,
bersandar pada kesunyian dan...keheningan.” Clov juga. Ia
merindukan ”sebuah dunia di mana semua diam dan anteng,
dan tiap bendaberada di tempatnya yang terakhir, di bawah
debu penghab isan”.
Pada akhirnya, mereka tak mencapai itu. Cerita mereka
berhenti. Tapi belum habis. Dan pelan-pelan kita pun sadar,
kita men emukan orang-orang yang cacat, malang, dan saling
menyakiti—tapi justru itu butuh sesuatu yang lain yang tak
ada dalam hidup mereka sehari-hari. Makna: sesuatu yang
terasa justru ketika direnggutkan.
Syahdan, ketika Clov hendak meninggalkannya, Hamm
menc egah. Untuk apa, tanya si pelayan. Mengisi dialog dalam
lakon, jawab si buta.
Dengan kata lain, untuk memperpanjang percakapan.
Memang knalpot dan kata-kata bisa tambah bising tak punya
arti. Tapi dari situasi yang tak lengkap, yang merindukan
sesuatu, di sela-sela dialog yang panjang, makna bisa datang
seperti puisi.
TEMPO, 30 Juni 2013
114 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MAAF
NASIONALISME bisa melampaui dirinya sendiri.
Memang tak selalu. Tapi Nelson Mandela telah me
nunjukkannya. Bila ia terasa tulus dan menggetarkan, itu
karena suaranya datang dari kancah orang-orang yang
menanggungkan aniaya yang begitu jahanam hingga terasa
tak pantas terjadi pada siapa saja, Afrika atau bukan Afrika.
Ia menulis dalam otobiografinya yang memukau, Long
Walk to Freedom: ”Menjadi merdeka bukanlah semata-mata
melempar jauh-jauh rantai yang membelenggu diri sendiri.”
Menjadi merdeka berarti ”hidup dengan menghormati dan
men eguhkan kemerdekaan orang lain”.
Kalimat itu, tercantum di bagian akhir buku itu, punya
riwayat yang berliku, terpatah-patah, tapi senantiasa teguh.
Ceritanya dimulai dari akhir sebuah ritus, ketika ia masih
dip anggil dengan nama kecilnya, Rolihlahla. Pada umur 16 ta
hun, bocah suku Xhosa itu baru selesai menjalani upacara di
sunat. Bersama anak-anak lain di desanya, ia harus meninggal
kan tahap remajanya, menjadi abakhwetha, yang siap dipotong
kulit kulupnya. Setelah itu segala lambang dari masa lalu hi
dupn ya dibakar.
Rolihlahla merasa bangga telah melalui ritus itu, apalagi ia
diberi hadiah seekor lembu muda dan empat ekor domba. Ta
pi sesuatu tiba-tiba mengganggu kegembiraannya. Seorang
orang tua, Meligqili, ketua suku, berpidato. Di tengah sambut
ann ya ia memandang ke arah para pemuda yang baru disunat.
Catatan Pinggir 11 115
http://facebook.com/indonesiapustaka MAAF
”Di sana duduk putra-putra kita, muda, sehat, dan tampan,
kembang suku Xhosa, kebanggaan bangsa kita. Kita baru menyu
nat mereka dalam satu upacara yang menjanjikan kehidupa n le
laki. Tapi... janji itu kosong dan memperdaya.... Karena kita,
orang-orang Xhosa, dan semua orang hitam di Afrika Selatan,
adalah kaum yang ditaklukkan. Kita budak di negeri kita sendi
ri. Kita penyewa tanah kita sendiri. Kita tak punya kekuatan, ke
kuasaan, kendali atas nasib kita sendiri di tanah kelahiran kita.
Anak-anak muda itu akan pergi ke kota-kota besar, tempat mere
ka akan hidup dalam gubuk dan menenggak alkohol murah...
karena kita tak punya tanah yang bisa diberikan kepada mereka
tempat mereka bisa makmur dan beranak-pinak. Mereka akan
batuk memuntahkan isi paru-paru mereka ke dalam tambang-
tambang orang kulit putih... hingga orang putih dapat hidup
sejahtera tiada tara.”
Kata-kata dari kemarahan di lubuk hati itu memperkenalkan
Rolihlahla dengan penindasan—meskipun malam itu ia
anggap Pak Ketua Suku bodoh karena menampik kehadiran
orang kulit putih yang telah membawa dunia modern ke Afri
ka Selatan. Mandela jengkel—tapi sebenarnya apa yang dika
takan Meligqili masuk ke hatinya. Pak tua itu ”telah menanam
kan sebutir benih” yang kelak tumbuh.
Kelak—ketika ia sadar bahwa yang bodoh hari itu bukanlah
Meligqili, melainkan dirinya.
Kemudian datang seorang penyair.
Krune Mqhayi adalah imbongi yang menyanyikan lagu-la
gu pujian untuk kejadian penting dalam sejarah suku. Tapi ia
jug a novelis bahasa Xhosa yang berpengaruh. Ketika ia datang
ke sekolah menengah tempat Mandela belajar, panggung pun
116 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MAAF
disiapkan dan semua guru serta petugas administrasi sekolah
had ir. Mandela berdebar-debar menunggu tokoh ini muncul.
Tapi pada pandangan pertama, Mqhayi mengecewakannya.
Penyair ini menarik perhatian karena ia mengenakan kaross
kulit macan tutul beserta topinya dan membawa sebatang
tombak assegai. Tapi sosoknya tak menonjol, bicaranya tak
lancar, juga gerak tubuhnya. Satu saat, ujung tombaknya
membentur kawat logam pada tirai. Bunyinya keras dan tirai
nyagoy ang.
Tapi kemudian, justru benturan tombak dengan kawat
logam itu bukan sia-sia: Mqhayi membuatnya jadi sebuah
amsal. Suaranya mengeras ketika ia memaparkan bahwa
tombak itu, yang diraut dari tulang hewan, melambangkan
keagungan Afrika, ”Afrika sebagai pahlawan perang dan
Afrika sebagai seniman.” Sedangkan si kawat logam hasil
pabrik orang Barat ”terampil tapi dingin, pintar tapi tak
berjiwa”. Maka benturan tadi sesungguhnya sebuah kiasan
tentang ”bentrokan yang sengit antara yang pribumi, yang
baik, dan yang asing, yang buruk”.
Yang ”pribumi”, bagi Mqhayi, adalah Xhosa—bukan
Afrik a Hitam seluruhnya. Sang penyair mempersembahkan
Bintang Pagi kepada ”Bumi Xhosa”, ”bangsa yang bangga dan
perkasa”. Ia mengatakannya sambil merunduk, berlutut.
Syahdan, yang hadir, terutama Mandela, bertepuk tangan
gem uruh. ”Aku bangga benar-benar, bukan sebagai seorang
Afrika, tapi sebagai seorang Xhosa,” tulisnya. Ia, yang pada
umur 16 tahun disadarkan akan adanya penindasan orang
kulit putih terhadap ”semua orang hitam di Afrika”, hari itu
justruterbawa ke dalam nasionalisme yang ”parokhial”.
Catatan Pinggir 11 117
http://facebook.com/indonesiapustaka MAAF
Kita tahu kemudian Mandela berubah. Ia kembali ke
nasionalisme yang merangkul semua: Xhosa dan bukan
Xhosa, kulit hitam atau bukan. Ia, yang pernah dipenjara total
selama27 tahun, telah menanggungkan sebuah rezim yang
dengan brutal mengukuhkan supremasi orang kulit putih. Ia
bagian dari Afrika yang diperlakukan sebagai makhluk yang
tak pantasdianggap setara. Tapi di akhir hukuman penjaranya
kata-katan ya seperti suara pemberian maaf yang mustahil:
”Berjalan menuju gerbang yang mengantarku ke kebebasan,
aku tahu, jika tak kutinggalkan kepahitan dan kebencianku,
aku akan tetap seorang yang terpenjara.”
Kalimat itu pasti bukan untuk dunia yang hanya mau
memaafkan bila si jahat bertobat. Maaf Mandela tak menuntut
itu, juga tak meletakkan diri lebih luhur. Derrida, yang men
dambakan ”permaafan yang murni”, akan menyebut sikap
Mandela, yang dikaguminya, sebagai ”kegilaan” meloncat ke
dalam la nuit de l’ inintelligible—malam yang menyimpan hal-
hal yang tak perlu dimengerti. Tapi maaf yang sulit dimengerti
itu menyelamatkan kita dari kebencian baru.
TEMPO, 7 Juli 2013
118 Catatan Pinggir 11
ARAB
”Apakah kita, bangsa Arab, sebuah dusta besar?”
—Nizar Qabbani
http://facebook.com/indonesiapustaka BUKAN, bukan dusta. Tapi kepedihan. Penyair Arab-
Suriah ini menyaksikannya dari dekat.
Kakak perempuannyabunuh diri karena dipaksa menikah
dengan orang yang tak dicintainya. Istrinya, seorang guru Irak
yang ia kenal pertam a kali dalam sebuah pembacaan puisi
di Bagdad, tewas di baw ahpuing Kota Beirut yang dibom.
Taufiq, anaknya lelaki, men inggal pada umur 22 tahun karena
serangan jantung.
Andai kata Qabbani masih hidup kini, ketika Damaskus,
kota kelahirannya, dikoyak-koyak perang saudara, baris perta
ma sajaknya ini mungkin akan seperti jerit, bukan nostalgia:
”Suaraku berdering, kali ini, dari Damaskus, berdering dari ru
mah ayah-ibuku....”
Nizar Qabbani lahir di ibu kota Suriah itu pada 1923. Ia
jadi diplomat yang menulis puisi. Sajak-sajaknya disebut
melanggarsemua kaidah puisi Arab, baik bentuk maupun apa
yang diungkapkannya. Tapi ia tetap tak bisa meninggalkan
pertaliannya dengan sastra yang memakai bahasa ibunya.
Dalam dirin ya tersimpan sebuah tanah air yang akrab,
tapi pada saat yang sam a ia ”berkeliling dunia dengan sepeda
kemerdekaan/lewat jalan-jalan ilegal”.
Dengan kata lain: ambivalen. Di satu sisi, ia mencintai
sebuah tempat (juga sebuah sejarah), atau setidaknya tak
Catatan Pinggir 11 119
http://facebook.com/indonesiapustaka ARAB
tega melepaskan tempat itu. Di sisi lain, ia merasa terjepit
dalam sebuah ruang politik tempat iman dan kekuasaan jadi
pengekang. Ia ingin melintasi batas terdekat.
Ambivalensi itu umum di dunia Arab. Qabbani pernah
menyebut Damaskus-lah tempat ”Arabisme” menemukan
bentuknya. Tapi apa arti ”Arabisme” selain melintasi batas-
batas lokal—Suriah, Mesir, atau Libanon—dan menjangkau
yang universal, misalnya cita-cita pembebasan?
Apa yang disebut al-Qawmiyya al-`arabiyya dari dorongan
itu.
Istilah itu diterjemahkan sebagai ”nasionalisme Arab”, de
ngan catatan: qawmiyya, , berasal dari kata qawm, ”kaum”.
Kata ini sering dibaca dalam pengertian etnis. Sejarah dan
geografi yang berbeda-beda—juga agama—tak masuk dalam
kesatuan ”bangsa” yang diproyeksikan itu. Di dunia tempat
Islam diwahyukan dan disemaikan, ”nasionalisme Arab”
ditand ai oleh bangkitnya Baathisme yang tak meletakkan
Islam seb ag ai faktor penentu. Paham ini menghendaki satu
negara Arab yang tak menganggap perbedaan ini selamanya
berarti: Islam, Kristen, Syiah, Sunni, Mesir, Tunisia, Libanon,
Arab Saudi.... Semua itu akan luruh, kata kaum Baathis.
Bangkitnya ”ke-Arab-an” akan mempercepat proses itu.
Juga ”Nasserisme”. Di Mesir, Nasser ingin jadikan dunia
Arab sebuah kekuatan yang bersatu. Maka ia tindas gerakan
Al-Ikhwan al-Muslimun yang menampik nasionalisme dan
memilih solidaritas yang berdasarkan agama, bukan qawm. Pe
mikir utama gerakan Islam ini, Sayyid Qutb, digantungnya di
penjara. Bukan hanya Qutb dan pengikutnya yang jadi korban.
Dalam proyek ”nasionalisme” itu pula Nasser memojokkan
120 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka ARAB
negeri-negeri Arab lain yang ia anggap melemahkan persatuan.
Sementara Qabbani, sang penyair, mengarungi dunia
dengan ”sepeda kemerdekaan”, para pemimpin nasionalis
merengkuhnya dengan mobilisasi massa dan senjata, darah
dan besi.
Dan kepedihan memudahkan mobilisasi itu: kepedihan
karena kalah oleh ”Barat”. Daulat Usmani yang berpusat di
Turk i, yang berabad-abad jadi penopang identitas ”Islam”,
runtuh. Lalu datang kolonialisme Inggris dan Prancis.
Sejak itu, Arab dan modernitas berhadapan, saling menolak,
saling membujuk. Lingkungan kebudayaan lama terbelah.
Adat makin terasa mengekang: rakyat, terutama perempuan,
tak bebas memilih; otokrasi dan kediktatoran berkuasa; agama
jadi pembungkam.
Di masyarakat yang menolak yang beda,
dan memaksa mulut diam dan pikiran diharamkan,
dan bertanya adalah dosa,
maaf, akan tuan izinkankah saya?
Tapi bukan cuma yang lama yang menakutkan. Yang baru,
modernitas, juga jadi jahanam. Maka ”Barat”, asal-usul mo
dern itas itu, tampak mengancam, kukuh, monolitik, dan
tak berubah. Untuk menghadapinya, pengertian ”Arab” pun
men geras. Ia identitas yang dibangun ibarat candi—selesai,
tertutup, bukan sebuah proses dalam waktu.
Zaman ”Arabisme” berlalu, tapi kepedihan belum. Al-
Ikhwanal-Muslimun, lawan nasionalisme Arab, ikut terkena
imbas kepedihan sejarah itu. Maka pemikiran Qutb tak
Catatan Pinggir 11 121
ARAB
http://facebook.com/indonesiapustaka berbeda jauh dengan kaum nasionalis Arab. Ia pandang
”Barat” secara esensial negatif. Contoh-contoh buruk dari
kehidupan di ”Barat” baginya bukan kebetulan; mereka sesuai
dengan hakikat ”Barat” itu.
Dalam alam pikiran ala Qutb, sejarah hanya sebuah krono
logi. Masyarakat tak dianggap lahir dari perjuangan hegemoni
dari masa ke masa. Masyarakat dianggap sebagai produk nilai-
nilai tertentu—dan bukan masyarakat itu yang mengolah dan
menumbuhkan nilai-nilainya.
Dalam pandangan yang a-historis itu, ”Islam” diletakkan
sebagai sehimpun norma yang tak pernah tersentuh konflik
dan kekuasaan. Ia suci murni sejak awal. Qutb menganggap
” jaahiliyyah” berkembang karena orang tak berpedoman ke
masa suci itu. Baginya masa depan yang sempurna harus sama
den gan masa lalu yang sempurna.
Tapi sayangnya manusia hidup di antara masa lalu dan
masa depan. Artinya, ia hidup di masa kini dengan luka dan
cacatnya. Ia hidup seperti Qabbani: saudara sekandung bunuh
diri, istri terkubur dalam puing, anak mati muda, di dunia
Arab dan dunia Islam yang tak bebas, tak damai, tak pasti.
Itu semua masih berlanjut ke hari ini, ketika dari bawah
orang bergerak untuk demokratisasi. Demokratisasi berarti
masuk ke jalan raya sejarah, menghadapi yang tak pasti, meng
atasi yang tak sempurna.
Jika tuan tanyakan alamat saya,
saya akan berikan alamat semua kaki lima
TEMPO, 14 Juli 2013
122 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SIRNA
”Kemudian... Brawijaya gaib. Patih pun tidak ketinggalan beserta orang-
orang yang setia berbakti kepada raja. Puri telah kosong, di luar sangat ribut,
san gat menakutkan. Deru suara orang-orang yang gaib jatuh ke samudera,
bag aikan dibakar....”
TIAP kali kekuasaan besar jatuh, sejarawan mencatat siapa
yang hilang dari takhta. Tapi betapa tak lengkap.
Kitab Babad Tanah Jawi (dalam terjemahan yang bagus
oleh penyair Sapardi Djoko Damono) hanya selintas menyebut
adegan akhir pertempuran di tahun 1478 itu, ketika Majapahit
diserang pasukan Kerajaan Demak dan Raja Brawijaya tiba-
tiba menghilang.
Kita tak tahu seberapa akurat catatan itu. Tapi mudah di
bayangkan, yang terjadi adalah sebuah perubahan politik yang
mengguncang. Seorang pujangga yang menulis Serat Kanda
menandai tahun itu—yakni 1400 Çaka—dengan kalimat
”sirnailang kertaning bumi”. Sesuatu yang traumatis tersirat di
sana.
Dalam sebuah buku yang ditulis di abad ke-16, Pararaton,
tahun itu ditandai dengan kronogram yang lain, ”sunya-nora
yuganing-wong”: ada isyarat terjadinya kekosongan setelah tak
ada lagi raja. Bagi Pararaton, itulah inti peristiwanya; mungkin
karena pada dasarnya teks ini hendak bercerita tentang raja-
raja Jawa.
Bahwa Serat Kanda, yang ditulis 200 tahun setelah itu,
Catatan Pinggir 11 123
http://facebook.com/indonesiapustaka SIRNA
menyugestikan sebuah kehilangan yang lebih gawat, agaknya
itu gema zamannya sendiri: yang sirna bukan hanya raja, tapi
kerta.
Kata itu dalam bahasa Jawa pasca-Pararaton berarti ”keada
an aman tenteram”. Tampaknya, tahun 1400 Çaka menandai
zam an kecemasan yang berlanjut.
Dalam tarikh Masehi itu berarti tahun 1478: awal guncang
an besar yang tak selesai di situ. Majapahit dalam bentuk yang
makin lama makin rapuh masih tercatat sampai dengan abad
ke-16, tapi transformasi Pulau Jawa merambah ke hal-hal yang
lebih mendalam—meskipun tak selalu berupa perubahan
yang radikal. Keyakinan Hindu dan Buddha diguncang dan
terdesak oleh makin meluasnya penganut Islam—yang dicoba
dikukuhkan oleh para wali dan para sultan sejak Demak berd i
ri—tapi tak seluruhnya hilang tanpa bekas. Sementara itu, pe
dagang-pedagang Eropa mulai masuk ke kota-kota. Belum lagi
peran pendatang dari Cina.
Hubungan-hubungan sosial lama tak bisa bertahan seperti
dulu. Tak ada lagi lembaga agama yang stabil. Kekuasaan begi
tu mudah tumbang dan diganti. Semua seperti permainan
catur di atas petak yang tanpa dasar. Tak ada jaminan yang
meyakinkan di dunia dan di surga. Yang terjadi adalah
”lenyapnya marka-marka kepastian”.
Kata-kata itu saya adaptasi dari Claude Lefort, ketika ia
menggambarkan keadaan setelah raja dipancung kepalanya di
dep an umum—sebuah peristiwa, dalam sejarah Prancis, yang
mem aklumkan bahwa raja tak berjasad ganda, yang satu sisi
bag ian Ilahi hingga ia ditakdirkan duduk di takhta. Pada saat
itu terungkaplah bahwa kekuasaan pada dasarnya tempat yang
124 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SIRNA
kosong. Antara tempat itu dan raja yang menghuninya tak ada
hubungan a priori. Dalam bahasa Pararaton, di mahligai itu
telah terjadi sunya, tapi bukan hampa. Justru terbuka.
Tapi dengan segera harus saya tambahkan: Lefort berbicara
tentang datangnya zaman modern dan berawalnya demokrasi,
sedangkan yang terjadi di sisa imperium Majapahit jauh dari
itu. Pengertian ”warga” belum lahir dengan ditopang kekuatan
ekonomi dan politik. Kerajaan-kerajaan yang ada, juga
yang baru, tetap meletakkan mereka yang di bawah sebagai
”kawula”. Tak jarang dengan senjata yang berdarah.
Meskipun demikian, kerta yang sirna bagaimanapun
telah menyebabkan masyarakat merasa asing dengan dirinya
sendiri: selalu menengok ke luar ruang-dan-waktu, atau ke
atas. Agama dan politik bertemu. Ketika dasar-dasar legitimasi
rapuh, imbauan agama dan ikhtiar kekuasaan bergerak untuk
menjangkau sesuatu yang melampaui situasi yang tanpa
fondasi itu.
Dalam sejarah Jawa, bangunan theologi-politik yang masih
belum mapan itu tampak di awal Kesultanan Demak. Dalam
Babad Jaka Tingkir, kondisi itu mendorong tiap ”kelainan”
dibereskan dengan kekerasan politik dan ketegaran doktrin.
Syekh Siti Jenar dipancung, Malang Sumirang dibakar. Wali
yang tampaknya memilih garis keras, Sunan Kudus, berkali-
kali menjalankan eksekusi atas nama Sultan dan Tuhan.
Juga terhadap seorang keturunan Raja Majapahit yang ma
sih hidup di wilayah Pengging. Orang yang disebut ”Ki Ageng”
ini tak menunjukkan bahwa ia bersedia patuh kepada Sultan
Demak. Berkali-kali ia diminta datang ke ibu kota untuk
menghadap, tapi menolak—meskipun dengan halus.
Catatan Pinggir 11 125
http://facebook.com/indonesiapustaka SIRNA
Akhirnya Sultan mengutus Sunan Kudus untuk menemui
nya. Dengan segera berbaur ketegangan politik dengan
ketegangan doktrin. Ketika akhirnya Sunan Kudus sampai di
Pengging dan menyatakan dirinya ibarat malaikat Jibril yang
diutus Allah, ia diterima sang Ki Ageng sendiri. Pertemuan
terjadi di ruang tidur. Di sana tuan rumah terbaring sakit.
Dengan suara ketus Sunan Kudus mendesaknya untuk
memilih.
Lah Ki Ageng, padhuka miliha
ing jaba lawan jerone,
ngisor miwah ing luhur,
pan ing kanan kelawan kering,
ing pungkur myang ing ngarsa...
Dari teks itu sebenarnya tak jelas kenapa pilihan itu antara
”luar dan dalam, bawah dan atas, kanan atau kiri, di belakang
atau di depan”. Tak jelas mana yang idiom agama dan mana
yang politik. Yang penting: harus memilih.
Tapi Ki Agengtakhendakmemilih.SunanKuduspunmem
bunuhnya: sang wali dan sang raja hendak mengembalikan
”marka-marka kepastian”.
Tapi sejak tahun 1400 Çaka, marka dan kerta itu telah
hilang. Kemudian Demak juga—dan kerajaan-kerajaan yang
mengg antikannya, yang terus-menerus berperang, berumur
pendek, tak jelas lagi dasar legitimasinya.
TEMPO, 21 Juli 2013
126 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka DIAM
ADA tempat dan saat ketika pengalaman yang dahsyat
terjadi pada hening dan kesendirian—dan agama-agama
mend apatkan energinya. Juga ambivalensinya. Di bawah
pohon Bodhi, di puncak Tursina, di padang gurun, di Gua
Hira.
Syahdan, ketika akhirnya Sidharta Gautama bersemadi
di bawah pohon itu, ia sudah ditinggalkan kelima temannya.
Merek a menilai pangeran yang jadi rahib pengembara itu tak
suci lag i. Sidharta—dalam keadaan yang hampir mati setelah
berhari-hari memilih lapar—akhirnya menyantap makanan;
ia sad ar tubuhnya punya batas seperti orang kebanyakan. Tapi
justru dalam tak adanya keinginan untuk memposisikan diri
dalam kesempurnaan yang mustahil bagi orang kebanyakan
itu, Buddha mendapatkan pencerahan—dan orang pada da
tangkepadanya.
Demikian juga Musa: ia naik ke pucuk Gunung Tursina.
Tuh an melarangnya membawa orang lain untuk menemui-
Nya.Tapi di sana ia dapatkan sesuatu yang bukan untuk di
rin ya sendiri. Ketika kemudian Musa turun, ia mengabarkan
sep uluh perintah Yahweh buat Bani Israel. Hukum itu
men eguhkan identitas orang-orang Yahudi sebagai satu
komunitas.
Di padang gurun, Yesus juga sendiri, berpuasa 40 hari
40 malam. Iblis datang menggodanya dengan tawaran
agar ia merengkuh kerajaan di dunia. Satu hal kelak akan
Catatan Pinggir 11 127
http://facebook.com/indonesiapustaka DIAM
dikatakannya lagi bahwa ”Kerajaanku tidak di bumi”. Tapi
sementara itu, Yesus—yang disebut sebagai ”Raja” sejak bayi di
palungan sampai dengan saat penyaliban di Golgotha—dalam
perjalanannya juga disebut sebagai ”Guru”: ia dengan kata
yang hidup, ia yang hendak berbicara, didengarkan, diikuti.
Di Gua Hira, Muhammad. Dalam kesendirian yang paling
punc ak itulah datang titah Allah untuk iqra. Tuhan memerin
tahkannya untuk ”membaca” yang tertulis dan tak tertulis.
Wahy u adalah sebuah pengalaman yang sublim. Tapi justru
den gan itu jelas betapa pentingnya makna ”membaca”. Dalam
kesendirian Muhammad, ditegaskan peran bahasa, sarana
komunikasi yang dibentuk dan ditumbuhkan bersama orang
lain.
Tapi bahasa yang menghubungkan pengalaman wahyu
dengan orang lain bukan tanpa persoalan. Kedahsyatan wahyu
mengguncang batas antara ”aku” dan ”yang lain”, bahkan
”aku”dengan ”yang maha-lain”. Chaos terjadi dalam kesadaran
ruang dan waktu. Bahasa mencoba menyederhanakan kejadian
itu. Bahasa berusaha membuatnya bisa dikomunikasikan, le
bih jelas, lebih urut, lebih tertib, lebih bisa diterima orang ba
nyak.
Agar tak membingungkan, kata hanya mengandung
makna yang tak berubah. Untuk mengemukakan sesuatu
yang baru, ia memakai bentuk yang sudah dikenal. Ia dipakai
untuk menjaga stabilitas tafsir. Bahasa berangsur-angsur jadi
konservatif. Kreativitas pun dijinakkan—”awas, jangan aneh-
aneh!”—dan imp uls untuk mengemukakan yang ganjil, yang
berbeda, dipasung.
Tapi pada akhirnya bukan hanya makna yang terpasung
128 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka DIAM
oleh kata. Semua yang ada, yang tampak dan yang tak
tampak, selamanya dikemukakan dalam bahasa—dan dengan
demikian, dalam semua strata itu, tak ada yang bisa mengelak
dari kungkungannya. Kita, untuk memakai sedikit hiperbola
dari Deleuze, berada di bawah ”imperialisme bahasa”.
Dalam kehidupan agama, ”imperialisme” itu terutama te
rasa ketika agama lebih dihayati sebagai, dalam kata-kata
Gellner yang terkenal, the celebration of the community: ketika
kehid upan agama bergerak untuk lebih memberi tempat
buat orang ramai—dengan bahasa, tentu saja, dengan kata-
kata yang maknanya stabil, yang bunyinya diulang-ulang
sampai konsensus terbentuk. Pendeknya, dengan bahasa yang
membuat orang tak bertualang dan bereksperimen lagi.
Sesekali, puisi hendak membebaskan kita dari
imperialisme itu. Ketika penyair Sutardji Calzoum Bachri
ingin membebaskan kata dari makna, ia sebenarnya ingin
membebaskan makna dari kata. Ia menyeru ”pot”, sepatah
bunyi yang tak mengikat makna apa pun. Lebih luas lagi,
penyair Subagio Sastrowardoyo ingin melepaskan seluruh
strata dari bahasa. Ia memilih hening, ”diam, merasakan
keramahan/pada tangan yang menjabat dan mata merindu”.
Dalam arti tertentu, diam seperti itu adalah diam yang
berlangsung di bawah pohon Bodhi, di puncak Sinai, di
padang gurun, di Gua Hira. Pengalaman yang radikal macam
itu memang seakan-akan pengalaman di dunia yang tanpa
bahasa. Tap i hanya seakan-akan. Sebab di kesendirian yang
paling punc ak itu pun bahasa tetap dipakai dan percakapan
tetap berlangsung.
Tentu tak boleh dilupakan, bahasa dan percakapan di saat
Catatan Pinggir 11 129