http://facebook.com/indonesiapustaka DIAM
sep erti itu bergabung dengan hening—seperti sebuah doa
yang khusyuk. Pengalaman yang dahsyat dan radikal itu tak
sep enuhnya bisa diungkapkan. Tak bisa juga ia sepenuhnya
transp aran bagi umat, para murid, para pengikut, yang berada
di waktu lain, di saat lain. Sebab yang benar-benar dahsyat se
pen uhnya singular: tak terbandingkan. Di sini, orang akan
men yebutnya ”yang suci”.
Tapi dalam the celebration of the community, yang suci juga
tak dibiarkan sendirian. Orang membangun topografi. Kesuci
an yang tak terbandingkan itu perlu sebuah ruang tersendiri.
Peta pun dibuat dan letak ditentukan: ada bagian paling suci,
ada yang kurang suci, ada yang tak suci.... Topografi jadi hierar
ki.Ruang pun sinonim dengan tingkatan—sesuatu yang se
ring direpresentasikan oleh pagoda, menara masjid, dan kate
dral. Pucuk bangunan itu menyempit, meninggi.
Pucuk itu sebuah metafora, tentu saja. Yang hendak di
kiaskan adalah sebuah gerak energi yang dulu datang nun di
puncak kesendirian, di pucuk hening, di bawah pohon Bodhi,
di pucuk Tursina, di padang gurun, di Gua Hira.
Tapi kita tahu, kiasan ada untuk mewakili apa yang tak ada.
Ketika hening yang dulu itu hilang, agama tak ikut hilang.
Tapi ia jadi bagian ”imperialisme bahasa”.
TEMPO, 28 Juli 2013
130 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka KEMOSABI
John Reid: I’m not a savage!
Tonto: You are not a man.
SEORANG lelaki bertopeng, berpakaian putih bertopi
putih dan menaiki seekor kuda yang putih pula,
menempuh keluasan Texas dan masuk ke dunia saya diam-
diam. Dalam bentuk komik. Ketika itu saya masih di sekolah
dasar. Tokoh itu, The Lone Ranger, sering saya temukan di
salah satu lemb ara n koran bekas dari Amerika yang terlontar
ke kota kecil kam i sebagai bahan impor untuk pembungkus.
Saya belum mengerti bahasa Inggris, dan tak tahu tentang
isi cerita bergambar itu. Beberapa tahun kemudian saya baru
men gerti, ini kisah kepahlawanan John Reid, ciptaan Fran
Striker dan George W. Trendle. Tentu sang pahlawan melawan
para penjahat, seperti umumnya jagoan cerita Western. Yang
khas pada Reid: ia menyamar. Ia hanya dikenal sebagai ”The
Lone Ranger”. Dan ia punya sahabat sejati bernama Tonto, se
orang Indian.
Saya juga baru kemudian tahu dari mana Tonto muncul. The
Lone Ranger diproduksi pada 1933, bukan dalam bentuk ko
mik, melainkan sandiwara radio di Studio WXYZ di Detroit.
Agar sang tokoh utama tak terus-menerus omong sendiria n,
ia perlu teman. Pada episode ke-11, Tonto diciptakan—tanpa
dipikirkan matang-matang tampaknya, sebab dari Studio
WXYZ ada dua versi tentang kenapa ia jadi pendamping John
Catatan Pinggir 11 131
http://facebook.com/indonesiapustaka KEMOSABI
Reid.
Yang pertama dikisahkan dalam siaran 7 Desember 1938:
Tonto terluka ketika sebuah tambang emas diledakkan
penjahat. Ia sengaja tak dibunuh agar bisa dituduh sebagai
pelakunya. Tapi Reid menyelamatkannya.
Versi kedua, ketika cerita ini mulai jadi seri televisi: justru
Tonto yang berjasa. Lima orang anggota Texas Ranger dijebak
bandit Butch Cavendish. Hanya Reid yang hidup. Tonto, yang
keb etulan menyaksikan pembantaian itu, menolongnya. Kata
yang empunya cerita, orang Indian ini mengenali kembali
Reid. Dulu, ketika mereka berdua masih anak-anak, Reid
pernah menyelamatkannya. Sejak itu Tonto menyebutnya
”Kemosabi”. Menurut versi sandiwara radio, kata itu dalam
bahasa suk u Tonto berarti ”teman setia”. Menurut versi serial
televisi, ”kem osabi” berarti ”pemandu yang tepercaya”.
Menarik bahwa dalam versi film tahun 2013 kata itu oleh
Tonto (diperankan Johnny Depp) justru diartikan sebagai
”teman yang keliru”.
Film, komik, legenda—bahkan teks-teks sakral—bisa
diulang, bisa diberi versi baru, atau sekadar dibaca lagi. Tapi
tiap kali ia berubah. Manusia, dalam ruang dan waktu, tak bi
sa kembali persis ke situasi yang telah lewat—juga dalam tafsir
nya. Tonto dari tahun 1930-an adalah Tonto dari masa ketika
mayoritas orang Amerika memandang orang kulit merah seba
gai manusia sezaman yang hidup di waktu yang berbeda—di
masa yang seharusnya sudah lampau. Kata ”primitif”, ”bia
dab” (savage), atau ”terkebelakang” datang dari sikap yang
menampik kesama-an waktu itu.
Dalam Time and the Other, Johannes Fabian menyebut pe
132 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka KEMOSABI
nampikan itu ”a denial of coevalness”. Anthropolog terkemuka
itu mengemukakan satu kritik terhadap anthropologi zaman
mutakhir. Fabian menunjukkan bahwa sejak abad ke-19 dalam
anthropologi ada sejenis ”politik waktu”. Dalam chronopolitics
itu mereka yang menguasai wacana memproyeksikan waktu
sebagai ruang. Mereka letakkan manusia dan kebudayaannya
dalam deret jenjang di ruang itu. Lalu mereka letakkan Tonto
(dan manusia di luar Eropa modern) dalam sebuah jarak—dan
jadi ”yang-lain”.
Tapi ada beberapa arti ”yang-lain”, yang dalam bahasa
Inggris disebut the Other. ”Yang-lain”, yang ”mereka”, yang
”bukan-kita” adalah Tonto dari zaman ketika ia dan bangsanya
dih adirkan karena alasan praktis: untuk membebaskan The
Lone Ranger yang berkulit putih itu dari kejemuan monolog.
Tapi ada yang berharga ketika cerita terjadi: dalam narasi
nya,pelan atau segera, ”yang-lain” berubah jadi liyan. Kata ini
bera sal dari bahasa Jawa, liya, yang berarti ”lain”, ”berbeda”.
Nam un dalam konteks yang berbeda, liyan bisa lebih
dekat dengan ”sesama”. Misalnya dalam kalimat ”Aja gawe
sengsaraning liyan” (”jangan menyengsarakan sesama”).
Walhasil, liyan tak bisa dipatok dalam identitas, tak dibica
rakan dengan rumus a priori. Ia hidup dalam konteks dan pro
ses.Ia hidup dalam kejadian.
Kejadian itulah yang membentuk narasi cerita. Dengan itu,
Tonto yang semula hanya diniatkan buat mengisi kekosongan
suara berkembang jadi orang yang mendengarkan dan dide
ngark an—dan dengan demikian ikut membentuk Reid. Mere
ka bersama-sama jadi unsur suspens cerita. Bahkan dalam
versi film yang beredar tahun ini, disutradarai Gore Verbinski,
Catatan Pinggir 11 133
http://facebook.com/indonesiapustaka KEMOSABI
Tonto adalah dasar cerita.
Film ini dimulai dengan adegan seorang bocah yang me
ngunjungi Pekan Raya San Francisco 1933. Ia bertemu dengan
seorang tua dari suku Comanche; dialah Tonto. Dari mulut
orang inilah, dari ingatannya, kisah The Lone Ranger tersusun.
Mungkin karena ini tahun 2013. Sementara dulu orang
Indian adalah sosok yang hanya hadir sebagai gambaran
orang kulit putih, kini kian sulit membicarakan bangsa yang
sekarang disebut ”bumiputra Amerika” itu in absentia. Kini
Tontodalam tubuh Johnny Depp bisa mengejek ”kemosabi”
sebag ai ”teman yang keliru”. Ia bisa mengecam pretensi The
Lone Ranger untuk beradab di Texas yang buas (”I am not a
savage”)sebagai kenaifan dan ke-satu-sisi-an. Kata-kata Tonto
kepad anya, ”You are not a man”, bisa berarti ”kamu tak jantan”,
tapi jug a bisa berarti ”kamu bukan manusia”.
Tapi apa itu ”manusia”? Manusia adalah Tonto. Ia liyan
dan jug a sesama. Kehadirannya saat ini bukan mewakili tafsir
terakhir tentang dirinya. Ia tak bisa ada di luar différance. Maka
cerita dan sejarah jadi hidup dan hidup jadi sejarah—dan saat,
tempat, dan orang-orang pun berubah, dan yang beradab dan
yang biadab (dan entah apa lagi) berganti-ganti.
TEMPO, 4 Agustus 2013
134 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka Zhèngmíng
APA yang pertama kali akan dilakukan Konghucu jika
ia mendapat kesempatan memerintah sebuah negeri?
Jawabn ya, ”Membereskan nama-nama.”
Membereskan nama-nama, atau Zhèngmíng, bagi sang
Guru adalah langkah yang menentukan. Khususnya dalam
kehid upan sosial-politik. ”Jika nama-nama tak benar,”
katanya, ”bah asa tak akan sesuai dengan kebenaran hal-ihwal.
Jika bahasa tak sesuai dengan kebenaran hal-ihwal, perkara
tak akan ada yang berhasil diatasi.” Dengan kata lain, nama,
sebagai penand a, harus punya arti yang tertib.
Saya tak kenal betul konteks pemikiran Konghucu di Cina
abad ke-6 sebelum Masehi. Yang bisa saya tebak, ia tampak
meyakini adanya kebenaran yang terakhir, dan menganggap
bah asa bisa jadi representasi kebenaran itu. Ia tak melihat
bahwa kebenaran terakhir (kalaupun ada) tak bisa sepenuhnya
diwakili dunia kata-kata: begitu banyak perubahan yang bisa
terjadi, begitu banyak yang terpendam dalam pengalaman.
Menurut sebagian pakar, dalam teks Cina lama ”nama”
(míng ) memang tak identik dengan ”kata”. Tapi sama-sama
seb agai penanda, kata (dan terutama nama) bukanlah wadah
keb enaran yang transendental, yang melampaui ruang dan
waktu. Nama bermula dari perbedaan yang timbul dalam
penga laman manusia sehari-hari.
Para pengikut Mo Tzu, yang hidup sekitar 100 tahun
setelah Konghucu dan dianggap sebagai lawan filsafatnya,
Catatan Pinggir 11 135
http://facebook.com/indonesiapustaka Zhèngmíng
menegaskan hal itu: seseorang dianggap ”tahu” bukan karena
mengerti arti kata dengan tepat, melainkan karena mampu
membedak an hal-ihwal dalam laku. Bagi para pengikut Mo
Tzu—umumn ya orang kebanyakan—bukan ketertiban
bahasa yang men entukan kehidupan sosial-politik, melainkan
kemampuan bertindak dalam memilih dari hal-hal yang
berbeda.
Tapi dalam satu hal penting Konghucu benar. Bahasa,
dan di dalamnya nama-nama, terkait dengan kekuasaan
dan politik. Bukan hanya dalam efeknya, tapi juga dalam
mekanismenya.
Terutama di Cina, negeri orang-orang yang telah mengenal
aksara sejak ribuan tahun yang lalu. Tulisan, kata Walter Ong,
penulis buku terkenal Orality and Literacy, ”bergantung pada
atura n yang secara sadar direncanakan”. Dengan kata lain,
para pengatur kata (dan aksara) memegang posisi yang nyaris
tak tergantikan dalam bahasa Cina.
Dulu posisi itu di tangan para punggawa kemaharajaan,
kemudian ia di bawah birokrasi Negara yang mengatur
Republik Rakyat Cina dan Taiwan. Atau, sebagaimana halnya
di Hong Kong, aturan itu dinegosiasikan di antara penguasa
media.
Bahasa dan kekuasaan: kita tahu betapa efektifnya kom
binasi kedua hal itu. Dalam salah satu esai dalam The Hall of
Uselessness, Simon Leys, sang penulis, menunjukkan bahwa
sejarah aksara Cina sejak mula ”secara akrab terhubung
dengan... otoritas politik”. Sejarah aksara itu juga sejarah se
luruh bahasa.
Zaman Mao Zedong adalah contohnya yang ekstrem.
136 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka Zhèngmíng
Simon Leys bukan pengagum komunisme Mao. Bagi pakar
Sinologi yang dikenal sebagai Pierre Ryckmans ini, zaman Mao
adalah ”tiga dasawarsa pemerintahan orang buta huruf”. Tentu
saja kesimpulan ini berlebihan. Sebab di zaman itu—sebuah
masa kekuasaan totaliter seperti dalam novel Orwell 1984—
huruf & bahasa justru dipakai menghancurkan musuh politik
dan memperkukuh sang Ketua. Kata ”kontrarevolusioner”,
”kanan”, atau ”pengambil jalan kapitalistis” dipakai sebagai
cap. Orang yang terkena cap itu akan dihabisi hidup atau ka
riernya. Tentu saja yang menentukan arti kata dan korbannya
adalah Ketua Mao dan aparat propaganda Partai Komunis-
nya.
Mao tahu benar daya yang tersimpan dalam bahasa. Ia me
nulis puisi dan membuat kaligrafi yang sampai setelah ia diku
burkan tetap dipuja, disebut khusus gaya Maoti, meskipun, da
lam penilaian Leys, karya Mao hanya menunjukkan ”egoism e
yang flamboyan”. Kata-katanya jadi hafalan wajib seperti fatwa
suci di kalangan Pengawal Merah yang militan. Dalam arti
tertentu, di bawah Mao, RRC adalah sebuah ”lingokrasi”: ke
kuasaan yang mengandalkan peran bahasa.
Dalam bentuknya yang lebih lunak, ”lingokrasi” berkuasa
di mana-mana di zaman ini. Deleuze menyebutnya ”imperialis
me bahasa” dan dalam telaahnya tentang karya-karya Samuel
Beckett ia berbicara tentang ”bahasa nama-nama” (langue des
noms) yang terbentuk dari nama atau penanda yang terpisah-
pisah atau dipasang dalam kombinasi. Saya bayangkan sebagai
tiang-tiang pancang yang tak bergerak.
Tapi bukannya tak ada celah untuk pelbagai gerak. Leys
dengan tepat melihatnya dalam puisi klasik Cina. Puisi ini
Catatan Pinggir 11 137
http://facebook.com/indonesiapustaka Zhèngmíng
bukanlukisan yang menirukan alam. Sajak-sajak itu tampil
seakan-akan bukan ekspresi subyektif penyair, melainkan
manifestasi alam itu sendiri. Karya seni bukan meniru alam,
kata Picasso, melainkan bekerja seperti alam. Maka gunung,
kembang, dan jalan di hutan disajakkan berulang-ulang, tapi
dalam puisi ada proses dan ”pertemuan yang tak terduga-
duga”, kata Leys, dan ”satu kehidupan baru mungkin berpijar”.
Dan bahasa pun bukan lagi dibangun dari nama-nama
yang ditentukan tempatnya. Ia mengalir, tak tegar tak kaku,
selalu mengandung yang tak terduga, yang hadir dan tak hadir,
yang ganjil.
Bahasa yang seperti itu—dengan keindahannya—mau
tak mau akan bertabrakan dengan program Konghucu untuk
”membereskan nama-nama”.
Berabad-abad kemudian tabrakan itu terjadi. Mao, me
nurut Leys, menghancurkan karya seni peninggalan lama,
bukan karena mereka karya seni feodal, melainkan karena
mereka indah.
Saya tak percaya itu sebabnya. Tapi keindahan memang
tak cocok untuk kekuasaan dan doktrin yang ingin semuanya
beres dan patuh. Keindahan membuat gunung, kembang, dan
jalan di hutan hidup kembali, liar kembali, sebelum dijinak
kan.
TEMPO, 11 Agustus 2013
138 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka PENTAS
DEMOKRASI adalah sebuah teater dan antiteater. Ia di
mulai dengan penolakan terhadap panggung, pajangan,
gerak, permainan cahaya, pilihan kostum yang dipergunakan
raja (di Eropa: juga Gereja) untuk membangkitkan imajinasi
tentang kekuasaan yang mempesona dan mencengkam.
Dalam naskah Jawa ada Serat Mahasastata yang mengkodifi
kasikan tata cara dan tata busana keraton yang harus dipatuhi
seb agaimana kewibawaan raja dipatuhi. Di balairung, di
sitihinggil, baginda, punggawa, dan abdi adalah sosok-sosok
yang berp eran dan disaksikan, untuk dikagumi, setidaknya
dinilai.
Peran panggung, tempat upacara dipertunjukkan, begitu
penting dalam kekuasaan di masa silam, hingga Clifford
Geertz dalam satu studi tentang Kerajaan Bali abad ke-
19 menyimpulkan, ”Power served pomp, not pomp power.”
Kekuasaan itulah yang melayani kemegahan upacara, kata
Geertz, dan buk an sebaliknya.
Saya tak yakin kesimpulan dalam Negara: The Theatre State
in Nineteenth-Century Bali itu benar. Tapi Geertz bisa dengan
hidup melukiskan pertautan upacara ngaben raja-raja Bali
dengan kemegahan dan kelanggengan derajat mereka:
Seluruh upacara merupakan demonstrasi yang diulangi dengan beribu-
ribu cara, dengan beribu-ribu citra, tentang betapa digdayanya hierarki
menghadapi kekuatan yang paling ampuh dan membuat semua melata.
Catatan Pinggir 11 139
http://facebook.com/indonesiapustaka PENTAS
—Maut, anarki, gelora hati, api. ”Raja telah dibumihanguskan! Hidup
derajatnya!”
Itu adegan dan kesan di abad lalu, tentu saja—yang kini
umumnya tak diakui lagi. Perubahan dalam sejarah telah me
rontokkan aura dari pentas macam itu. Beberapa tahun yang
lalu saya ikut upacara ngaben keluarga sebuah puri besar di Bali.
Upacara itu masih tetap spektakuler meskipun saya tak bisa
mendapat kesan bahwa inilah bagian dari yang disebut Geertz
”teater metafisik”. Seorang anggota keluarga puri berkata, ”Ka
mi hanya bisa menyelenggarakan ngaben yang besar jika raky at
ikut membantu puri. Kami berutang budi kepada para petani
itu.”
Raja pergi dan raja datang, tapi jelas makin merasuk sebuah
kecenderungan lain: para petani Bali itu, dan orang kebanyak
an di mana pun di negeri ini, telah mengenal sumber-sumber
kekuasaan lain, pembawa aura lain, yang dirayakan tiap kali:
Republik Indonesia. Yang gemerlap dalam ”negara teater”
Geertz telah dibongkar sebagai hanya ”sandiwara”—sebuah
kata yang mengandung cemooh atau sikap tak percaya.
Di zaman ini, teater, ”sandiwara” itu, dibenturkan ke
”realitas”.
Bukan kebetulan jika semangat menegaskan ”realitas” hi
dupsehari-hari datang berbareng dengan revolusi demokratik.
Dalam sejarah kesenian, semangat itu diwakili ”Realisme”. Di
Indonesia, misalnya, pelukis S. Soedjojono menyuarakan se
mangat ”Realisme” sebagai bagian dari ”Revolusi Agustus”. Di
Prancis abad ke-19: Coubert. Dalam sepucuk surat bertahun
1851, pelopor ”Realisme” dalam seni rupa Prancis itu menyata
kan, ”Aku tak hanya seorang sosialis, tapi juga seorang demo
140 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka PENTAS
krat dan pendukung ide republik.”
”Realisme” dan ”demokrasi”: cetusan antiteater sebagai ke
hendak membongkar apa yang mereka anggap mitos dalam
pangg ung politik raja-raja dan pembesar agama. Mitos diseja
jarkan dengan fantasi, dan fantasi atau imajinasi diletakkan se
bagai lawan ilmu dan rasionalitas. Dengan pemikiran seperti
itulah Tan Malaka, misalnya, tokoh Marxisme Indonesia (yang
percaya bahwa Marxisme itu ilmiah), menggugat manfaat
cerita Ramayana bagi bangsanya. Ia tak ingin mengutamak an
teater. Ia ingin ”ilmu bukti”.
Tapi demokrasi juga akhirnya punya tuntutan teaternya
sendiri. Di zaman modern, gerakan massa merupakan bagian
kehidupan politik yang tak terbendung. Pawai, suara sembo
yan, nyanyian perjuangan, poster, kata-kata bergelora, dan
kostum yang spesial tampil di jalan, di lapangan, dan di tribun-
tribun. Politik dan estetik bertaut; nilai yang diutamakan
makin lama bukan transparansi seperti yang semula dicita-
citakan demokrasi, melainkan yang oleh Walter Benjamin
disebut ”nilai pameran”, Ausstellungswert.
Dewasa ini ”nilai pameran” itu bisa kita saksikan di sebuah
pentas yang sangat efektif: televisi. Citra, bukan fakta, jadi
menentukan. Ilmu bukti tak berlaku. Demokrasi berpisah
dengan ”realisme”. Yaron Ezrahi menulis sebuah buku,
Imagined Dem ocracies (Cambridge University Press, 2012)
dengan subjudul Necessary Political Fictions.
Ezrahi tak serta-merta mengecam politik sebagai kehidup
an yang memerlukan fiksi. Agaknya baginya apa boleh buat,
demokrasi, sebagai arena persaingan dan perbantahan,
akhirnya lebih mementingkan opini ketimbang kebenaran.
Catatan Pinggir 11 141
http://facebook.com/indonesiapustaka PENTAS
Kini konstituen yang menentukan pilihan politiknya bukanlah
makhluk yang melihat dunia dari posisi ”aku berpikir”,
melainkan dari ”aku-nonton-televisi”. Dan siapa menjamin
ada kebenaran dalam TV?
Tapi hidup berjalan dengan apa yang disebut Ezrahi sebagai
”suspension of disbelief ”: kita lebih baik tak terus-menerus
merisaukan ”kebenaran” dari seni pertunjukan yang disebut
politikitu. Seperti ketika kita membaca novel atau menonton
film, kita memasuki fiksi sebagai fiksi—dan menyesuaikan
diri dengan itu.
Fiksi bukanlah pangkal kesesatan. Khususnya dalam teater,
fiksi punya ”kebenaran”-nya sendiri, yang berbeda dengan
yang dirumuskan ”ilmu bukti”. Kebenaran yang berproses di
ataspentas teater tetap berharga: kebenaran itu bukan sesuatu
yang mandek karena dianggap pasti.
Demokrasi adalah pergulatan di tengah kebenaran yang tak
pasti itu. Mungkin itu kelebihannya. Ketidakpastian sering
diingkari, padahal itulah hidup itu sendiri.
TEMPO, 18 Agustus 2013
142 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MESIR
SIAPAKAH Mesir? Saya tak tahu. Mungkin tak ada yang
tahu. Juga mereka yang menembakkan bedil ke arah
kerumunan orang yang memprotes di Lapangan Rabaah al-
Adawiyah di Kairo hingga ratusan orang mati dan ribuan
luka-luka. Jug a para anggota Al-Ikhwan al-Muslimun yang
marah selama beberapa hari di bulan Agustus 2013 ini, karena
presiden piliha nmereka, presiden yang sah, dijatuhkan. Juga
mereka yang men entang kaum ”Islamis” yang waswas bila
Mesir diubah jadi neg ara Islam dan dengan demikian pecah.
Juga orang-orang Koptik yang beberapa puluh gereja dan
rumah yatimnya dibakar.
Siapakah Mesir? Mungkin orang melihatnya terbelah ke
dalam dua kubu: mereka yang mengacungkan empat jari seba
gai ”tanda Rabaah” dan mereka yang mengacungkan dua jari
seb agai tanda kemenangan menjatuhkan Presiden Mursi. Tapi
Mesir jangan-jangan bukan sesuatu yang terbelah, karena
sebenarnya ia memang tak pernah ”satu”. Maka, siapakah
Mesir? Mungkin jawabnya: ”sebuah bayangan yang hilang”.
Kini orang bisa tersenyum pahit bila membaca lagi harap
an dua tahun lalu, ketika dari Lapangan Tahrir orang menum
bangk an kekuasaan Mubarak yang lebih dari 30 tahun. Saya
kutip apa yang ditulis Slavoj Žižek dalam koran Inggris The
Guardian waktu itu. Ia menganggap peristiwa itu sebagai
”mukjizat”: ”Saat paling sublim terjadi ketika orang-orang
Islam dan Kristen Koptik berdoa bersama di Lapangan Tahrir
Catatan Pinggir 11 143
http://facebook.com/indonesiapustaka MESIR
Kairo, berseru bersama, ‘Kami satu!’”
Bagi Žižek, seperti dikatakannya dengan bersemangat
dalam sebuah wawancara dengan Al-Jazeera, inilah bukti
bekerjanya ”universalisme”. Orang-orang Mesir telah me
nangkis mereka yang percaya akan adanya ”clash of civilization”.
Merek a membantah ”multikulturalisme”—pandangan yang
menampik adanya yang ”universal” di dunia tempat beraneka
ragam ”bud aya” hidup.
Kata Žižek pula tentang para demonstran di Lapangan
Tahrir: ”Orang-orang universalis sejati bukanlah mereka yang
berkhotbah tentang toleransi global terhadap perbedaan dan
tentang persatuan yang mencakup semua, melainkan mereka
yang melibatkan diri dalam perjuangan yang berapi-api untuk
menyatakan Kebenaran yang mendorong aksi mereka.”
Saya tak hendak mencemooh kesimpulan itu; saya hanya
ingin bertanya: apa yang dapat dikatakan Žižek sekarang?
Tidakkah mereka yang mengacungkan ”tanda Rabaah” adalah
orang-orang ”universalis sejati”—yang bentrok berdarah-
darah dengan orang-orang yang juga ”universalis sejati”? Kebe
nara n yang bagaimanakah yang mendorong kedua pihak
bertempur berapi-api? Tidakkah ini berarti ada lebih dari satu
”Kebenaran”—dan dengan demikian sama sekali bukan kebe
naran yang ”universal”, melainkan yang ”partikular” atau yang
”sepihak”?
Apa yang tragis di Mesir, dengan klimaks yang berdarah di
bulan Agustus itu, adalah belum sempatnya orang memperta
nyak an itu. Tapi mungkin juga yang tragis di Mesir adalah tak
adanya kerendahhatian kepada sejarah. Ada kearifan Marx
yang pantas diingat berkali-kali: ”Manusia membuat sejarah
144 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MESIR
mereka sendiri, tapi mereka tak membuatnya sesuka-suka me
rek a; mereka tak membuatnya di dalam keadaan yang mereka
pilih sendiri, melainkan dalam keadaan yang langsung mereka
jumpai, yang diberikan dan ditransmisikan dari masa lalu.”
Dalam proses ”membuat sejarah” dengan kondisi yang se
perti itu, Kebenaran bisa sangat berarti, tapi tak akan bisa se
penuhnya dilaksanakan. Dalam proses ”membuat sejarah” itu,
Keb enaranitujugaberadadalamproses.Iatakakanbisaseutuh
nya, secara hakiki, diwakili satu pihak. Seperti dikemukak an
Laclau, pemikir politik yang sering bersentuhan dengan Žižek,
yang universal itu tak satu. Yang universal selalu hanya me
rupakan hasil tafsiran satu orang atau satu kelompok tertentu.
Tafsir itu selalu dipersaingkan, bahkan dipertentangkan. Pad a
suatu saat mungkin saja tafsir itu memegang posisi yang me
nentukan, tapi hegemoni itu tak akan bisa total dan selama-
lamanya.
Sebab siapakah Mesir? Sebuah bayang-bayang yang
menghilang tiap kali ada orang (atau kekuatan sosial-politik)
yang mengatakan, ”Akulah Mesir.” Klaim itu akan selalu
digugat—meskipun, seperti yang dialami di masa Mubarak,
gugatan itu bisa lebih dari 30 tahun dibungkam.
Persoalannya, dengan cara apa gugatan itu dilakukan.
Dengan kekerasan? Memang bisa efektif, atau tampak
gagah perkasa dan heroik, tapi kekerasan (sebagaimana anti-
kekerasan) tak mungkin jadi sebuah formula. Tiap kali
manusia akan berada dalam kondisi yang berbeda dan formula
apa pun akan kedaluwarsa. Tiap kali seseorang atau sebuah
kelompok berhubungan dengan orang atau kelompok lain, tak
hanya antagonisme yang terjadi. Politik, kita tahu, adalah juga
Catatan Pinggir 11 145
http://facebook.com/indonesiapustaka MESIR
proses komunikasi.
Tak berarti proses itu menuju ke arah konsensus. Tak ber
arti akhir politik adalah tercapainya mufakat di antara subyek
tiv itas yang berbeda-beda. Konsensus itu bukan jaminan. Ha
berm as, yang sangat percaya akan daya bahasa untuk memba
ngun hubungan antarsubyek, lupa bahwa bahasa—dan juga
orang yang berkomunikasi dengan bahasa—tak sepenuhnya
konsisten dan transparan. Salah paham bukanlah sebuah kece
lakaan yang tak terduga. Di celah-celah permufakatan, selalu
ada gangguan yang menunggu. Sebuah masyarakat tak pernah
tanpa konflik.
Itu sebabnya kita tak akan bisa menjawab ”siapa Mesir” sera
ya merujuk sebuah identitas yang utuh. ”Siapa Mesir” adalah
sesuatu yang labil, genting. Mereka yang tak berhati-hati, yang
tak sabar dan tak tahu batas, akan dengan mudah terjerumus
trag edi.
TEMPO, 25 Agustus 2013
146 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka JAZZ
SUATU siang yang bagus, siang California di akhir Juli
2012: di antara pohon-pohon di taman itu, di sebuah
pangg ung sederhana—sepetak teratak kayu tanpa dinding
dan dengan atap yang bolong-bolong—seorang perempuan
mem egang bas dan berkata kepada rekannya yang duduk di
dep an piano: ”Saya hanya akan bilang, ini C minor.”
Ia seakan-akan menantang sang pianis untuk segera
menebak lagu apa yang akan dibawakannya, sesaat sebelum
bergabung dalam permainan bunyi yang akan menyusul. Dan
seray a membetot senar basnya, ia pun menyanyikan sebuah
lagu dari tahun 1937:
Until I first met you I was lonesome
And when you came in sight, dear,
my heart grew light...
Suaranya berat tapi tangkas dalam menyusun dan memec ah
harmoni, ditingkahi degup pelan-pelan bas di tangannya. Pada
ketukan kelima, sang pianis sudah dengan cepat menangkap
nada apa yang harus dimasukkannya ke kancah interaksiitu.
Dan bunyi pun jadi kaya. Mendadak saja. Dan hadirin yang
duduk di antara pohon-pohon itu bertepuk....
Jika apa yang di panggung itu membuat orang terkesima,
tentu karena si pemegang bas adalah Nicki Parrott dan sang
pianis Rossano Sportiello, dengan Hal Smith pada drum.
Catatan Pinggir 11 147
http://facebook.com/indonesiapustaka JAZZ
Tapi konser di Filoli Gardens di Woodside itu tak hanya
memukau dan menghibur. Dari teratak sederhana itu ada
yang disampaikan kepada kita oleh jazz: orang bisa berbahagia
bukan karena sesuatu yang merdu, megah, dan rapi. Orang bisa
berbahagia karena kejutan-kejutan kecil yang tanpa tujuan.
Sportiello bercerita kepada para penonton bahwa kelompok
itu baru kemarin untuk pertama kalinya bermain bersama.
”Itulah asyiknya,” katanya. That’s the beauty of it. Pianis asal
Italia ini, lulusan akademi musik dalam piano klasik, memilih
jazz karena ia tergugah oleh improvisasi. Kamu bisa main satu
lag u sekarang dan kemudian memainkannya lagi 10 menit
kemudian—keduanya tak akan sama. Dalam improvisasi,
musik masuk ke dalam dirimu. Berbeda dengan ketika
memainkan son ata Beethoven, dalam jazz kau memainkan apa
yang kau rasa pada saat itu juga. Ada perasaan merdeka.
Beda di tiap saat, baru di tiap waktu—mungkin itu ke
mungkinan yang dibuka oleh jazz. Nicki Parrott: ”I like the fact
that in Jazz every gig is different.” Tiap konser selalu segar.
Jazz adalah desain yang tanpa desain. Di sana tak ada pemi
sah antara komposisi di depan meja dan permainan di atas
pangg ung. Tak ada beban. Kita mengulang lagu lama, tapi kita
takharus mematuhinya. Kita memberinya intensitas baru.
Bei mir bist du schön means that you’re grand
Bei mir bist du schön
Is such an old refrain, and yet I should explain
It means I am begging for your hand
Jazz tak pernah akan memuja yang satu dan itu-itu juga.
148 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka JAZZ
Tia pkali ia tak mengulang satu identitas. Maka memang tak
masuk akal bahwa Adorno menampik jenis musik ini. Aneh
bahwa ia—mungkin satu-satunya filsuf abad ke-20 yang
menulis renungannya tentang musik dengan meyakinkan—
menganggap jazz tak benar-benar mengandung improvisasi.
Saya tak pah am mengapa ia tak memasukkan jazz ke dalam
apa yang ia sebut sebagai ”une musique informelle” yang spontan
dan acuh tak acuh akan apa yang kemudian akan menyusul
dari tiap barisn ya.
Memang Adorno menganggap jazz sebagai musik yang
mudah jadi komoditas dalam industri budaya. Dalam
analisisnya, jazz menampakkan ”subyek yang tak berdaya”.
Tapi Adorno agaknya tak melihat ada beda besar antara jazz dan
musik pop yang gampang berkompromi dengan permintaan
pasar. Kalaupun dalam jazz subyek itu ”tak berdaya”, itu
karena sang senim an, katakanlah Sportiello, tak meletakkan
diri sebagai peranc ang dan pengendali arus. Dalam jazz,
rancangan dan kendali tak berada dalam kehendakku. Musik
masuk ke dalam diriku. Aku bukan majikan nada dan dunia....
Mungkin itu sebabnya perasaan dan emosi dalam jazz
tak dicegah—dan kita tercenung mendengarkan suara dan
tromp et Chet Baker dalam Almost Blue yang seperti ingin
menenggelamkan sebuah kesedihan tapi tak sepenuhnya
sanggup. Jazz tak pernah takut untuk membiarkan melankoli
dan sentimentalitas.
Tapi selalu saja, entah di mana, tiba-tiba perasaan itu berbe
lok. Mungkin karena di sebelah sana, pemain drum atau
pemain bas meningkahi dengan suasana nada yang lain. Tak
ada yang hendak dikukuhkan sebagai sesuatu yang utuh. Jazz
Catatan Pinggir 11 149
http://facebook.com/indonesiapustaka JAZZ
bukan musik doktriner dan totaliter. Saya kira Heinz Steinert
benar ketika ia mengatakan bahwa jazz adalah ”seni yang ironis
secara mendalam”.
Di pentas itu Nicki Parrott menyusupkan perasaan enteng
dan bermain-main ketika ia lantunkan frasa Jerman dalam
lagu yang merayu ini:
Bei mir bist du schön, please let me explain
Bei mir bist du schön, means you’re grand
Ironi, seperti halnya bercanda, bisa merupakan kejutan-
kejutan kecil yang tak berencana tapi berharga.
TEMPO, 1 September 2013
150 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka TEMBOK
PADA suatu hari, 1.600 tahun yang lalu, Leontius berjalan
dari Piraeus ke Athena. Ia melihat mayat-mayat tergeletak
di bawah tembok utara kota: orang-orang yang dihukum mati.
Dalam cerita yang disampaikan Sokrates itu, Leontius, antara
jijik dan bernafsu, tak dapat menahan diri untuk mendekat
dan menatap tubuh-tubuh yang tak bernyawa itu. Bahkan
ia berseru: ”Tatap kemari, hai terkutuk! Puaskan menikmati
wajahku yang cerah ini!”
Fragmen kecil bisa kita temukan dalam Politeia Plato,
risalah yang lebih dikenal dalam versi Inggrisnya sebagai The
Republic itu. Jika kita ikuti interpretasi Adi Ophir dalam Plato’s
Invisible Cities, pusat perhatian kita bukanlah kepada apa dan
siapa Leontius. Yang penting adalah tembok kota, jasad-jasad
yang tergeletak tanpa dikubur, dan hasrat yang tak rasional di
luar pagar itu untuk menatap dan berbicara dengan sejumlah
tubuh yang membusuk.
Pagar, tembok, garis demarkasi. Dengan itu sebuah kota,
atau negeri, atau polis, merumuskan dan menjaga dirinya. Tulis
Ophir: ”Kota dengan demikian menegaskan dirinya sebagai
wilayah kehidupan; perbatasannya adalah juga garis demarkasi
antara yang hidup dan yang mati.”
Yang hidup, menurut Politeia,adalah manusia. Lebih persis
lagi: orang Yunani, laki-laki. Ada sumber yang menyebutkan
tig a hal yang disyukuri Sokrates. Pertama, bahwa ia dilahirkan
seb agai manusia, bukan hewan. Kedua, bahwa ia dilahirkan
Catatan Pinggir 11 151
http://facebook.com/indonesiapustaka TEMBOK
seb agai laki-laki, bukan perempuan. Ketiga, bahwa ia orang
Yunani, bukan ”barbar”.
Walhasil, yang mati tak cuma terhampar di luar garis.
Mereka juga sebuah perumpamaan tentang kaum yang celaka,
terkutuk (seperti kata Leontius), dengan akal budi yang tak
berfungsi. Mereka tak butuh keadilan. Merekalah yang
disisihkan keadilan. Atau lebih jelas: mereka dihukum karena
kehendak menegakkan keadilan.
Tembok kota: demarkasi. Dalam Politeia, sebuah negeri
terbentuk karena batas kota yang jelas, dan hanya di dalam
batas itu keadilan terjadi.
Hubungan kota dengan ”keadilan” esensial. Pertama, ka
ren asebuah negeri selalu memerlukan terjaminnya keadilan;
bila tidak, ia akan rusuh. Kedua, hanya bila ada sebuah negeri
keadilan bisa dilaksanakan dan dijamin.
Tapi apa gerangan ”keadilan”? Politeia, yang ditulis Plato
sebagai ”rekaman” dialog terkenal Sokrates dengan lawan-
lawan bicaranya, pada akhirnya tak menawarkan definisi apa
pun. Tiap kali salah satu dari yang hadir memberi rumusan
”kea dilan”, Sokrates berhasil menunjukkan kesalahannya.
Bagi Sokrates sendiri ”keadilan” tampaknya bisa terjadi
biarpun tanpa konsep. ”Keadilan” tak punya definisi. Namun
dalam laku dan situasi konkret ia mengentara.
Di sini kita bertemu dengan paradoks ”republik” ala
Sokrates. Dalam ”republik” ini tembok kota adalah tanda garis
dem ark asi yang jelas untuk keadilan. Tapi apa yang diinginkan
di dalamnya—yakni ”keadilan”—tak punya batasan yang
tegas.
Tanpa batasan yang tegas itu, tak bisa dikatakan ada ukur
152 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka TEMBOK
an untuk menilai. Benarkah penghuni sebuah negeri manusia
yang berakal budi, makhluk yang tak bersifat hewan—dan
meniatkan agar keadilan terlaksana?
Saya bukan pakar pemikiran Yunani Kuno. Saya hanyada
pat menduga bahwa jawaban atas pertanyaan itu tersirat dalam
dialog Sokrates yang lain: Politikos, yang dalam versi Inggris di
sebut Statesman. Berbeda dengan yang kita baca dalam Politeia,
dalam Politikos ada peran waktu dalam tafsir: pengetahuan
tentang apa yang baik—dan tentunya juga tentang yang adil—
baru memadai bila disadari bahwa pengetahuan itu terjadi
dalam waktu (kairos). Ia tak mandek.
Dalam tafsir Leo Strauss, Politikos memanggul mithos
tentang dua zaman. Zaman yang lebih awal adalah zaman
Kronos, ketika sang mahadewa menentukan segala-galanya.
Zaman kemudian adalah zaman Zeus, ketika kehidupan tak
seluruhnya diarahkan dewa tertinggi. Manusia dibiarkan
sendiri. Dalam ketakadilan dan kekacauan yang berlangsung,
manusia harus menemukan jalannya sebaik mungkin. Tapi di
masa ”kelangkaan” ini, keadilan yang penuh tak akan tercapai.
Politikos memperlihatkan apa yang tak dikatakan dalam
Politeia: pemerintahan yang sempurna seperti yang dicitakan
Sokrates adalah sesuatu yang mustahil. ”Baik” atau ”sempurna”
dinilai dengan ukuran yang nisbi dan tak bisa kekal. Manusia
terbatas.
Dalam keadaan itulah ”filsuf” (manusia yang oleh Plato
dia nggap mendekati tingkat dewa) tak akan pernah jadi raja.
Atau bila jadi, ia bukan sepenuhnya ”filsuf” lagi. Manusia
tak bisa hanya dinilai dari rasionalitasnya. Antara tubuh dan
akal budi tak ada garis demarkasi yang bak tembok kota. Yang
Catatan Pinggir 11 153
http://facebook.com/indonesiapustaka TEMBOK
”barbar” dan yang ”beradab” (Sokrates mengidentifikasinya
sebag ai ”Yunani”) tak bisa ditentukan sejak lahir. Tak ada
yang a priori. Tak ada yang ditentukan Kronos. Pengertian
”keadilan” bahk an bertolak dari tak adanya yang ditakdirkan
di dalam dan dipastikan di luar.
Politik pun berkecamuk: politik sebagai perjuangan.
Memang ada saat-saat ketika politik menjadi proses konstruksi
kekuasaan, penyusunan mana yang di dalam dan yang di luar
garis. Tapi itu—baik dalam bentuk ”demokrasi terpimpin”
maupun ”demokrasi liberal”, baik kekuasaan oleh minoritas
maupun oleh mayoritas—tak akan bisa selama-lamanya.
Pada akhirnya akan tampak bahwa pemerintahan yang
baik dimulai dengan bersahaja: menyadari bahwa tak ada Zeus
atau Tuhan yang membentenginya.
TEMPO, 8 September 2013
154 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SOPIR
SOPIR adalah bagian yang dilupakan dari modernitas di
ten gah kita. Andai kita di Yogyakarta di awal tahun 1930-
an, kita akan sadar bahwa dunia modern telah didatangkan—
secara fisik, tapi sekaligus juga sebagai sebuah alegori—dalam
bentuk jalan aspal yang lurus. Para sopir adalah pelaku di
dataran baru itu.
Di awal tahun 1930-an itu, para sopir Yogyakarta menerbit
kan majalah: Sopir. Saya tahu tentang ini berkat Rudolf
Mrazek. Dalam Engineers of Happy Land—sejarah masuknya
teknologi ke kehidupan Indonesia—sejarawan Cek itu menyu
sun sebuah montase dengan pernik-pernik hasil penelitian
yang menarik, dan menjadikan bukunya serangkai corat-
coret tentang hal penting dan tak penting yang terkait secara
tak disangka-sangka: para sopir, jalan aspal, pembuatan peta,
perek ama n sidik jari, jalan kereta api, gaya arsitektur—dan
lain-lainjejak kekuasaan kolonial dan modernisasi.
Ada sebuah kata yang jadi penting: ”gerakan”. Atau
”pergeraka n”, kata yang dikenal sejak 1914, sejak Mas Marco
Kartodikromo menerbitkan surat kabar Doenia Bergerak. Di
awal 1930-an itu, ”gerakan” atau ”pergerakan” tampaknya bisa
punya arti kiasan tapi juga harfiah.
Jalan-jalan modern dan rel kereta api, tulis Mrazek, adalah
pembuluh darah dan urat nadi ”gerakan”. Di sanalah terpusat
”pedih dan pengharapan” dari ”gerakan” itu....
Para sopir Yogya itu misalnya. Mereka mendirikan Per
Catatan Pinggir 11 155
http://facebook.com/indonesiapustaka SOPIR
satoean Chauffeur Mataram (PCM). Seperti organisasi lain
sebelumnya—Boeroeh Bergerak (1920) dan Ra’jat Bergerak
(1923)—para sopir hendak menyatakan diri. Dalam majalah
Sopir, menurut catatan Mrazek, ada dua kata yang sering
muncul: ”kesopiran” dan ”kebangsaan”.
Di masa itu, mayoritas sopir adalah ”bangsa Indonesia”
(waktu itu artinya praktis sama dengan ”orang bumiputra”).
Dulu orang Belanda dan ”orang Cina” mau jadi pengemudi,
ketika gaji masih tinggi. Tapi menurut artikel yang berjudul
”Nasib kaoem Sopir”, martabat pekerjaan ini merosot. Tak ba
nyak lagi orang Belanda dan ”orang Cina” yang melakukannya.
”Bangsa Indonesia” pun akhirnya pegang ”monopoli”.
Dalam keadaan itu, mereka menjual kerja mereka, di
sebuah dunia di mana teknologi dan kekayaan berkuasa.
Kaum Marxis akan menjadikannya bukti bahwa para sopir
itu—bagian dari proletariat—berbeda dengan petani di
udik; mereka membentuk organisasi modern. Tapi ada yang
tampaknya tak mengikuti teori itu: proletariat ini (setidaknya
para sopir Mataraman) tak akan jadi pelopor revolusi.
Ada yang tak disebutkan Mrazek secara eksplisit: PCM (dan
mungkin juga HCM, Himpoenan Chauffeur Minangkabau)
adalah organisasi konservatif. Mereka membuat ”geraka n”,
tapi makna politik kata itu bertentangan dengan ”geraka n”
dalam arti mekanik.
Majalah Sopir menguraikan bahwa salah satu ciri ”kesopir
an” adalah kesadaran ”menjaga keselamatan” kendaraan.
Tak kurang penting: mengikuti aturan hukum. Tak ada
perlawanan. Simbol PCM bukan tangan buruh yang kukuh,
melainkan gambar mobil.
156 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SOPIR
Seperti diterangkan dalam Sopir, radiatornya—yang ber
fungsi mendinginkan air—melambangkan tenaga untuk me
ngontrol dan menyejukkan. Lampunya: pembawa terang yang
melenyapkan gelap. Dengan kata lain, bagi PCM, yang mo
dernadalah yang tak berapi-api, tak bergejolak, dan jelas. Yang
modern adalah yang terkendali, terang, dan persis.
Para redaktur Sopir misalnya menegaskan bahwa ”kesopir
an” tak sama dengan sikap para sais gerobak atau sado. Mereka
yang kuno ini sering dianggap sebagai ancaman bagi kesela
mata n di jalan. Sebuah majalah lain masa itu, Motorblad,
bahkan menyerukan agar para kusir diharuskan punya
rijbewijs.
Dengan kata lain, gubernemen dipersilakan jadi sumber
disiplin dan kontrol. Modernitas menghendakinya. Seakan-
akan tak ada sisi lain dari zaman baru yang gemuruh itu:
hilangnya rambu-rambu lama, runtuhnya aura kekuasaan
tradisi, keresahan sosial dalam menampik dan mencari sebuah
kehidupan yang lebih bebas. Seakan-akan di masa itu telah
lenyap sebuah zaman yang cuma beberapa tahun sebelumnya
digambarkan Haji Misbach, tokoh komunis yang bergelora itu,
sebagai djaman balik boeono—zaman ketika dunia terbalik.
Tapi bagi mereka yang tak mengakui guncangan itu hidup
baru adalah jalan lurus, beraspal, tanpa lumpur, tanpa genang
an air, apalagi banjir dan arus yang tak terduga mencampur-
aduksemua. ”Memerintah negeri jajahan, menjadi modern...
berarti mengurung arus,” tulis Mrazek.
Arus dan khaos membuat sang pemerintah waswas. Maka
segalanya dibuat rata, terang, dapat dihitung pasti, bersih dari
najis—dan najis sering berarti ”inlander”, alias yang-lain.
Catatan Pinggir 11 157
http://facebook.com/indonesiapustaka SOPIR
Bumi pun disalin dalam topografi yang terukur, penduduk
dipisahk an ke dalam identitas-identitas yang seakan-akan
kekal, dan hampir semua dituliskan hitam di atas putih dan
diarsipkan dalam lajur-lajur yang tegar.
Tapi kita tahu, kekuasaan kolonial yang waswas itu—ya, tiap
kekuasaan yang melihat diri sebagai ”orde”—akhirnya gagal.
Sejak mula. Ann Laura Stoler menulis Along the Archival Grain:
Epistemic Anxieties and Colonial Common Sense (2009) dengan
pembukaan yang menunjukkan betapa sia-sianya kecemasan
kolonial itu: lajur-lajur yang dibentuk untuk membua t semua
hal bisa dimengerti, grids of intelligibility, sebenarnyadisusun
dari pengetahuan yang guyah. Ketakpastian epistemik ber
ulang kali mengguncang keangkuhan imperial yang meng
asumsikan bahwa semua tertata.
Semua? Mana mungkin? Di bawah tiap hukum dan ke
kuasaan selalu ada yang tak tertata, yang membuat kemutlakan
hanya ilusi.
TEMPO, 15 September 2013
158 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka AL-FALSAFA
KATAK dalam tempurung tampak konyol karena takabur,
ilmu dalam tempurung akan mati. Di pertengahan abad
ke-9, di Bagdad, Al-Kindi menegaskan sikap yang menentang
tempurung itu: ”Kita tak harus malu mengagumi atau mem
pero leh kebenaran, dari mana pun asalnya. Bahkan kalaupun
ia datang dari negeri-negeri yang jauh dan dari bangsa asing.”
Sebenarnya menarik bahwa ia perlu menegaskan hal
itu dalam bukunya, Fi al-Falsafa al-Ula (”Tentang Filsafat
Pertama”)—sementara semua orang Islam kenal petuah Nabi
agar tak gamang mencari ilmu ”sampai ke negeri Cina”, alias
negeri yang berbeda, yang di abad ke-20 oleh Sayyid Qutb
akan digolongkan dalam dunia ”jahiliah”.
Memetik sesuatu dari pemikiran ”jahiliah” itu tak ditampik
Al-Kindi, tapi agaknya ia harus menghadapi tekanan, mung
kin juga kecemasan, di sekitarnya. Ada rasa takut akan hilang
nya kemurnian, ada rasa curiga kepada arus dari ”luar,” ada
sangk aan bahwa yang berlaku di sini dengan sendirinya tak
berlaku di sana.
Al-Kindi sendiri tentu tak perlu cemas. Ia, yang lahir sekitar
tahun 800 dan wafat pada usia 70 tahun, datang dari keluarga
aristokrat Arab. Nenek moyangnya salah satu sahabat Nabi.
Seb agai filosof di Bagdad, ia hidup di bawah lindungan dua
khalifah, Al-Mu’tasim dan Al-Ma’mun.
Tapi ia sadar akan kuatnya pandangan kaum tradisionalis
(terutama di bawah pengaruh Ibnu Hambal) dan kemungkin
Catatan Pinggir 11 159
http://facebook.com/indonesiapustaka AL-FALSAFA
an para penguasa untuk bertindak sewenang-wenang. Al-
Kindi sering dikaitkan dengan pemikiran ”rasionalis” kaum
Mu’tazilah—kedua khalif di Bagdad adalah pelopornya—tapi
hubungannya dengan istana tak selamanya mesra. Pada tahun
833, atas nama iman yang ”rasional”, sebuah pembersihan
yang kejam, Mihnah, dilancarkan terhadap mereka yang tak
sepaham. Beberapa tahun kemudian Al-Kindi sendiri meng
alami nasib buruk: dua orang ilmuwan menghasut Khalif
al-Mutawakkil agar menyita perpustakaan sang filsuf, dan
bahkan Al-Kindi dianiaya secara fisik.
Untung, perpustakaan yang kaya itu kemudian dikembali
kan. Tapi seorang pemikir di zaman itu tak mudah hidup
tenteram.
Selintas, Bagdad di abad ke-9 adalah zaman keemasan
pemikiran. Buku dari pelbagai arah, terutama dari para
pemikir Yun ani, diterjemahkan. Al-Kindi hidup hampir persis
sezaman dengan penerjemah utama zaman itu, Hunayn bin
Ishaq, seo rang cendekiawan Kristen. Ia sendiri memimpin
grup yang mengalihbahasakan karya Aristoteles, Alexander
dari Aphrodisias, Plotinus, dan Proclus.
Tapi orientasi kepada Yunani ini bukan satu-satunya
corak masa itu. Peter Adamson, dalam Al-Kindi (2007),
yang meriwayatkan dunia intelektual penulis kitab Fi al-
Falsafa al-Ula itu, menyebutkan bahwa abad ke-9 juga masa
berkembangnya ilm al-kalam, telaah theologis dalam Islam.
Kita tahu, di mana pun theologi bukan teman yang selalu
diinginkan (dan menginginkan) filsafat. Para pakar theologi,
kaum mutakallimun,memb eri rasionalisasi kepada dasar-dasar
agama. Filsafat memp ertanyakan semuanya dari dasar.
160 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka AL-FALSAFA
Al-Kindi memang hidup di masa ketika pengaruh Yunani
yang kuat—baik melalui tafsir atas Plato maupun atas Aristote
les—menegaskan pentingnya telaah nalar dalam kehidupan.
Ia tak mempertentangkan filsafat dengan agama. Tapi jelas,
baginya filsafat pemegang peran penting dalam menemukan
Kebenaran.
Lebih mencolok lagi apa yang kemudian dikatakan Alfarabi
(850-950). Bagi filosof yang dielu-elukan sebagai ”Guru Ke
dua” ini (sang Guru Pertama: Aristoteles), filsafat bahkan
”mendahului” agama. Filsafat memaparkan asas-asas yang pa
lingdasar yang dicerap oleh intelek. Agama menjelaskannya
dengan imaji-imaji dan perumpamaan. Intelek aktif manusia,
yang kadang disebut aql al-fa’al, menerima terusan Intelek
Pertama. Dengan kata lain, Tuhan tak langsung bertindak ke
dalam kehidupan di bumi.
Bagi kaum mutakallimun—dan tak hanya bagi mereka—
pandangan seperti ini terlalu jauh mengembara di negeri asing.
Maka ketika kemudian di abad ke-11 Al-Ghazali menulis
kary a polemisnya yang termasyhur, Tahâfut al-Falâsifa yang
menyerang beberapa argumen dalam filsafat Ibnu Sina (980-
1037)—yang sejalan dengan pendahulunya, Alfarabi—ba
nyakkaum tradisionalis yang bertepuk: filsafat layak mati.
Tapi filsafat tak mati-mati—meskipun percobaan pembu
nuhan terhadapnya terjadi berkali-kali. Al-Ghazali bukanlah
orang yang antifilsafat. Bahkan siapa yang dengan cerdas
memb aca Tahâfut al-Falâsifa akan tertarik untuk mempersoal
kan kembali hal-hal yang dibahas filsafat. Misalnya masalah
dari mana terjadinya sebab dan akibat—persoalan yang tak bi
sa dijawab begitu saja dengan doktrin agama.
Catatan Pinggir 11 161
http://facebook.com/indonesiapustaka AL-FALSAFA
Yang ditentang Al-Ghazali adalah kecenderungan rasiona
lisme yang kuat dalam pemikiran para penerus Plato dan
Aristoteles di dunia Islam itu. Dalam hal ini ia mengingatkan
kita akan para pemikir di Eropa abad ke-19 yang mengakui
kapasitas dari yang ”irasional”. Al-Ghazali berbicara tentang
”misteri kalbu”, tentang perlunya bahasa yang ”tanpa aksara
dan suara”. Menjauh dari rasionalitas, manusia—dengan
intuisi paria al-arifun—dapat menangkap secara langsung
pantulan Al-Lau h al-Mahfuz, ”sabak yang terawat kekal” yang
disebut secara puitis dalam Quran.
Dengan kata lain: ada pengalaman religius yang hanya
tersimpan dalam sunyi. Ia tak terjangkau al-falsafa. Tapi ia juga
tak bisa digunakan para pendekar agama untuk mobilisasi
massa dan derap politik.
TEMPO, 22 September 2013
162 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka PEDANG TUHAN
MÜNCHEN di bulan Juli awal tahun 1900-an adalah
sebuah kota yang asyik dengan siang yang cerah. Dalam
novela Thomas Mann, Gladius Dei, yang terbit di tahun 1902,
kota itu tampak seperti Firenze 500 tahun sebelumnya. Bukan
keb etulan. Dalam cerita ini ada bayang-bayang mini sebuah
drama besar di kota Italia di masa Renaisans itu: kisah tentang
iman dan amarah.
”München terang-benderang,” demikian cerita ini bermula.
Semua tampak santai, terutama di avenue di sebelah utara.
Orang tak didera keserakahan memperoleh penghasilan. Me
rek a hanya mau hidup nyaman. Para perempuan mengenakan
kostum ala penduduk Bukit Albani di tenggara Roma yang
panas, dan seperti konon di Firenze di abad ke-15, di München
kesenian muncul di tiap sudut.
Dari jendela-jendela yang terbuka suara piano, biola, atau
cello terdengar. Anak muda berkumpul di belakang gedung
teater, atau keluar-masuk perpustakaan mengantongi majalah
sastra, atau menyiulkan melodi dari satu fragmen opera
Richard Wagner, Siegfried, di adegan ketika pedang Nothung
ditempa.
”Seni tumbuh! Seni berkuasa!” kata sang narator dalam
Gladius Dei. Di atas München, seni seakan-akan tersenyum
merentangkan tongkat kerajaannya.
Syahdan, di salah satu bagian Lapangan Odeon di kota
itu, berdiri toko milik Tuan Blüthenzweig. Boutique itu me
Catatan Pinggir 11 163
http://facebook.com/indonesiapustaka PEDANG TUHAN
nawarkan reproduksi hampir semua karya besar seni rupa
dunia. Juga curio dari zaman Renaisans, kaca dekoratif dan
patung tembaga, vas warna-warni, dan potret para seniman
dan filosof tersohor.
Dan ada yang lain dari yang lain. Di etalase, di atas kuda-
kud a, tampak sebuah karya reproduksi yang melukiskan
Madonna dengan Sang Bayi.
Tapi gambar di pigura itu sungguh tak konvensional.
Wanita yang memangku bocah itu adalah sosok keperempu
ana n yang memukau. Bibirnya yang lentuk tersenyum, sete
ngah terbuka. Jari-jarinya yang lentik dan tampak gugup
menutupi pinggul si bocah yang bugil. Anak itu memainkan
payudara ibunya yang telanjang seraya matanya melirik ke
arah orang-orang yang memandanginya.
Seorang anak muda yang menatap foto itu mendesis, ”Der
Kleine hat es gut....’’ Si kecil itu enak banget! Temannya menam
bahkan: ”Dan tampaknya ia ingin bikin orang iri.” Komentar
berikutnya: ”Perempuan yang tak bisa dipercaya!”
Tapi pada saat itu ada seorang muda lain: Hieronymus.
Ia baru saja keluar dari Gereja Ludwig di mana ia merenung
men atap sebuah fresko di dinding, gambaran Hari Kiamat
yang mengerikan. Ketika ia kemudian lewat di depan etalase
toko Blüthenzweig dan melihat gambar Madonna itu—dan
mendengar komentar-komentar yang gemas itu—ia tak tahan.
Ia pulang. Tapi selama tiga hari ia tak bisa melepaskan pikir
annya dari reproduksi di toko di Lapangan Odeon itu. Tiba-
tiba ia merasa mendengar titah bahwa ia harus menyingkirkan
pigura yang mengguncang keyakinan kepada ”dogma
imakulata” itu, keyakinan bahwa Maria dilahirkan bebas dari
164 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka PEDANG TUHAN
dosa asal. Bagi Hieronymus: gambar itu hanya lahir dari hasrat
sensual.
Ia pun kembali ke boutique itu.
Di sini Hieronymus adalah titisan seorang rahib dari
Firenze abad ke-15, baik paras maupun perangainya—dan itu
memang niat Thomas Mann.
Girolamo Savonarola: dari mimbar Katedral San Marco,
padri Dominikan yang sebenarnya tak fasih berbicara itu te
rus-m enerus menembakkan khotbahnya ke arah segala yang
dianggapnya bejat secara moral di Firenze. Pengikutnya pun
bertambah banyak: para pemuda yang dengan keyakinan dan
amarah menyita dari rumah-rumah penduduk barang yang
dianggap mewah atau cabul. Semua ditumpuk di alun-alun
dan dibakar. Apa yang dikenal sebagai falò delle vanità, ”api
unggun barang-barang pesolek”, bermula di sini.
Tapi tak di semua hal Hieronymus adalah Savonarola. Sang
padri menganggap agama akan jadi kuat jika lebih banyak
buku dibasmi. Hieronymus justru mengakui pentingnya
pengetahuan. Pengetahuan, katanya, adalah ”kepedihan
terdalam dun ia”, juga ”api penyucian” yang akan mengantar
sukma manusia ke tingkat yang ideal.
Kecamannya kepada karya seni (seperti yang dilihatnya
di etalase itu) bukan hanya karena sebuah karya menghujat
yang suci. Hieronymus melihat bahwa seni, ”dengan warna
cemerlang”, telah dipakai menutupi kenestapaan hidup.
Padahal seni, bagi pemuda ini, adalah pengetahuan: obor
yang dengan kasih sayang menerangi jurang dalam di mana
tersimpan ”nista dan duka”. Mengetahui, menerangi, tak
menutupi—itulah yang utama.
Catatan Pinggir 11 165
http://facebook.com/indonesiapustaka PEDANG TUHAN
Tapi metafor ”terang” yang berasosiasi dengan ”api” itu juga
bisa mengarah ke kebinasaan; kita ingat Hieronymus terpukau
menatap lukisan di Gereja Ludwig: semesta yang menyala-
nyala di Hari Kiamat. Mungkin sebab itu gambarannya
tentang sen i mengandung paradoks. Seni, katanya, adalah ”api
ilahi” yang akan membakar dunia; semua yang memalukan
dan menyiksa akan binasa ”dengan belas kasih penebusan”.
Tampak bahwa kata-kata Hieronymus (atau Mann?) sering
melambung dan saling tabrak. Dan kita pun bertanya-tanya:
benarkah seni bersifat mengungkap dan mengetahui, dan me
ngandung daya yang dahsyat, hingga Tuhan cemas dan meng
ancam manusia dengan pedang, Gladius Dei super terram,
terutama ketika yang dirayakan adalah keasyikan indrawi?
Orang sering mengira, keasyikan itu karena manusia mene
mukan ”keindahan”; tapi sebenarnya tak jelas apa itu. Orang
masih berbantah, benar ”indah”-kah wajah di kanvas Picasso,
sentoran kencing Duchamp, lukisan Otto Dix, dan semua
karya yang dianggap ”bobrok” oleh kaum Nazi dan ”dekaden”
olehkaum Stalinis.
Jangan-jangan seni hanya pernyataan takjub yang tak biasa,
dalam proses yang tak terduga, tapi melibatkan diri kita yang
fan a secara intens. Namun apa pun maknanya, saya ragu be
narkah Tuhan akan cemas.
TEMPO, 29 September 2013
166 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka REALISME SOSIALIS,
DI SUATU MASA, DI SUATU TEMPAT
REALISME Sosialis lahir di Jalan Malaia Nikitskaia
Nomor 6, Moskow, 26 Oktober 1931. Di rumah megah
gaya art nouveau itulah asas kesenian itu dirumuskan—
dan dari kediaman sastrawan Maxim Gorky itu pula ia
dikembangkan jad i diktat yang disambut partai dan gerakan
komunis di seluruh dunia.
Di tahun itu, pada usia 63 tahun, Gorky, pengarang novel
yang termasyhur itu (yang diterjemahkan Pramoedya Ananta
Toer dengan judul Ibunda), telah jadi pujangga yang dielu-elu
kan pimpinan negara. Pertemuan di rumahnya hari itu diha
diri Stalin dan para pejabat puncak lain yang datang dari
Kremlin.
Agenda hari itu: menyusun sebuah kanun kesenian. Tentu
saja ide-ide tak datang mendadak. Benih gagasan sudah ber
kembang dalam seni dan sastra Rusia sebelum Revolusi
Oktob er 1917. Juga ketika revolusi itu menang, dan Lenin
memegang kendali ”kediktatoran proletariat” hingga ia wafat
dan kem udian Stalin menggantikannya.
Kanun yang hendak disusun itu diharapkan Gorky akan
mamp u ”menyatukan realisme dan romantisisme”, untuk
menggambarkan ”masa kini yang heroik”, dengan suara ”lebih
cer ah”.
Sekitar 50 sastrawan duduk di ruangan besar itu (meskipun
penyair Akhmatova dan Pasternak tak ada di sana; kelak me
Catatan Pinggir 11 167
http://facebook.com/indonesiapustaka REALISME SOSIALIS, DI SUATU MASA, DI SUATU TEMPAT
reka disingkirkan, Mandelstam dibuang). Ivan Gronsky,
juru bicara sastra, mengusulkan agar kanun baru itu dinamai
”Realisme Sosialis”. Stalin setuju.
Di hari itulah ia mengucapkan kata-katanya yang terkenal:
”Pengarang harus menjadi insinyur jiwa manusia.” Dalam
Kongres Pertama Persatuan Pengarang Soviet di tahun 1934,
Andrei Zhdanov, pejabat urusan kebudayaan pemerintah, me
negaskan kalimat itu sebagai petunjuk dasar.
Kata ”insinyur” mencerminkan apa yang sedang di
kobarkan. Rusia (kemudian disebut Uni Soviet) sedang me
luncurkan Rencana [Pembangunan] Lima Tahun yang
pertama. Dengan gemuruh, negeri agraris itu bergerak jadi
negeri industri. Sosialisme sedang dilahirkan, dengan tekad,
disiplin, dan pengorb ana n. Gaya hidup, cara berpikir, dan cara
kerja rakyat harus diu bah.
Dalam konteks inilah ”Realisme Sosialis” dapat dilihat
sebagai bagian strategi modernisasi yang berbeda dengan jalan
kapitalisme: dari sebuah masyarakat yang setengah feodal ke
arah zaman baru melalui dahsyatnya ”revolusi sosialis”.
lll
”REALISME” selalu punya daya tarik bagi mereka yang ber
gerak untuk perubahan zaman. Di Eropa abad ke-19, Realisme
dalam seni dan sastra datang bersama perkembanganilmu dan
teknologi optik, terutama kamera. Teknologi ini memperkuat
keyakinan bahwa ”realitas” dapat ditangkap dandihadirkan
kembali (”di-representasi-kan”) sebagaimana adan ya, tanpa
waham dan angan-angan. Di Prancis, Emile Zola— salah
satu pionir Realisme dalam sastra (ia sebut ”naturalisme”)—
168 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka REALISME SOSIALIS, DI SUATU MASA, DI SUATU TEMPAT
membawa kamera ke mana-mana. Orang yakin realitas—
benda hidup dan mati yang terpapar di dunia—bisa dib er
sihkan dari ilusi dan misteri.
Tapi Realisme tak cuma datang dari situ. Dalam sejarah se
ni dan sastra, aliran ini berkaitan dengan sikap menolak apa
yang dianggap sebagai dusta sosial.
Di Indonesia, di awal masa Revolusi, S. Sudjojono me
negaskan pentingnya Realisme untuk menentang seni rupa
zaman kolonial yang hanya memaparkan alam ”Mooi Indie”,
Hindia Belanda yang molek. Sudjojono ingin melukiskan
manusia Indonesia yang tak dipercantik: orang kampung yang
berkerumun mendengarkan radio umum, gerilyawan yang
bertubuh pendek, peserta pesta Cap Go Meh yang grotesk.
Di Prancis abad ke-19, Realisme menyertai oposisi terhadap
kembalinya kekuatan konservatif, setelah Revolusi 1848.
Realisme adalah niat melucuti tata rias kehidupan kelas borjuis
yang bergerak jadi aristokrasi baru. Statemen perupa Courbet
meneg askan pembangkangannya: ”Aku... seorang partisan
dalam semua revolusi dan di atas segalanya seorang Realis.”
Proudhon, pemikir sosialis itu, melihat lukisan Realis Courbet,
Para Pemecah Batu, sebagai ”ironi yang diarahkan ke hadapan
peradaban industri... yang tak mampu membebaskan manusia
dari tugas yang berat”.
Dengan kata lain, dalam Realisme Eropa abad ke-19, reali
tas adalah indikasi protes. Hakikat Realisme, kata Courbet,
adalah ”penampikan terhadap apa yang ideal”.
Mungkin karena apa ”yang ideal” sering ditentukan kelas
yang berkuasa.
lll
Catatan Pinggir 11 169
http://facebook.com/indonesiapustaka REALISME SOSIALIS, DI SUATU MASA, DI SUATU TEMPAT
TAK terasa ada indikasi protes dalam ”Realisme” yang di
rumuskan di rumah kediaman Gorky hari itu. Realisme Sosia
lis disusun oleh nomenklatura yang sedang memimpin. Mereka
bukan yang akan menggugat keadaan dan menafikan dunia
ideal yang hendak mereka gapai.
Bahkan kemudian, sejak 1946, dari atas itu dikumandang
kan ”teori bezkonfliknost” (tanpa konflik): karya seni harus
mencerminkan masyarakat Soviet yang tak berkelas, ma
syarakat yang hampir mencapai cita-cita komunisme.
Mereka memang sedang membangun masa depan
dengan key akinan dan optimisme. Dalam pendirian mereka,
”realitas” yang harus ditampilkan seni dan sastra adalah
kenyataan yang ten gah dikonstruksikan. Seniman, kata
Stalin, harus menunjukkan hidup ”secara benar”, dan bila
ia menggambarkannya ”secara benar”, ia pasti akan mem
perlihatkan bahwa hidup bergerak ke arah sosialisme.
Bisa dilihat, di sini ”benar” punya arti tersendiri. Bagi Stalin,
yang ”benar” adalah yang mengikuti tujuan yang ideal—se
suatu di masa depan. Osip Beskin, editor majalah seni rupa res
mi, Iskusstvo, menegaskan pandangan ini: seniman revolusi
oner bukanlah seorang ”obyektivis”, yang menangkap dan
melukiskan apa-yang-ada. Ia adalah ”pembangun komunisme,
dengan proyeksi yang luas ke masa depan”.
Di masa depan itu, dalam citra ”yang ideal”, tak akan
ada yang busuk dan yang bobrok. Maka gerak menuju
yang ideal adalah gerak yang sungguh dan berani. Agaknya
itu yang dikehendaki Gorky: karya sastra dan seni harus
menggambarkan ”masa kini yang heroik”, dengan suara ”lebih
cerah”. Di tahun 1933 Gorky bahkan menganjurkan para
170 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka REALISME SOSIALIS, DI SUATU MASA, DI SUATU TEMPAT
perupa menghasilkan karya-karya yang ”gembira”.
Dan mengikuti ”teori bezkonfliknost”, kanvas muram dari
tahun 1920-an, misalnya lukisan Bogorodski tentang anak ja
lanan, dicopot dari museum.
Maka yang terjadi bukan mimesis atas realitas, bukan
cerminan atau penghadiran kembali kenyataan yang ada.
Yang terjadi sebuah pemanggungan apa yang ideal. Karya seni
rupa Uni Soviet sesudah pertengahan 1930-an meneguhkan
gaya akad emis dengan kanvas besar, gambar yang mendetail,
selesai, terang, seperti fotografis yang mendokumentasikan
peristiwa dan tokoh heroik.
Memakai kata-kata Mao Zedong tentang ”romantisisme
rev olusioner”, karya Realisme Sosialis itu menekankan apa
yang ”lebih mendekati yang ideal, dan sebab itu lebih universal
ketimbang hidup sehari-hari”.
lll
MENEKANKAN yang ideal, Realisme Sosialis dirumus
kan sebagai asas yang normatif. Tiap karya harus punya ”isi”
yang secara politis benar: ideinost. Pesannya harus mudah di
pah ami. Perupa Lvov menegaskan: ”Dalam seni rupa tak boleh
ada keremang-remangan; tiap hal harus terang dan dapat
dimengerti siapa saja. Musuh bisa bersembunyi hanya selama
ada ketidakjelasan.”
Novel, misalnya, harus menampilkan ”hero yang positif”.
Sang tokoh mesti seorang manusia yang teguh, tenang, serius,
waspada, setia, sadar akan perjuangan—seperti Pavel Valov
dalam Ibunda atau Zukrai dalam novel Ostrovsky yang versi
Ingg risnya berjudul How the Steel Was Tempered.
Catatan Pinggir 11 171
http://facebook.com/indonesiapustaka REALISME SOSIALIS, DI SUATU MASA, DI SUATU TEMPAT
Sang ”hero positif” ini tentu lebih berfungsi sebagai taula
dan untuk menyampaikan ajaran. Ia ada berdasarkan ide,
bukan dari kehidupan konkret. Ia mengikuti satu tipe ideal
tertentu. Ia ”tipikal”—dan itu penting. Malenkov berpesan
di depan Kongres Partai Komunis Uni Soviet yang ke-9:
”Para seniman, sastrawan, dan pementas kita... mesti selalu
menyadari, bahwa... yang ’tipikal’ adalah wilayah vital di mana
semangat Partai dimanifestasikan dalam seni....”
Malenkov menegaskan perlunya memanifestasikan ”sema
ngat Partai”: partiinost adalah wajib. Yang tak pernah bisa di
jelask an ialah bagaimana cara mengetahui ada atau tidaknya
”semangat Partai” dan siapa yang menentukan.
Dalam praktek, yang menentukan pejabat Partai. Tapi
penilaian bisa berubah karena arah politik berubah. Dalam
Socialist Realist Paintings (1998), Matthew Cullerne Bown
mencatat satu peristiwa: karya besar Aleksander Gerasimov,
Para Komandan Kavaleri Pertama (1936), yang resmi dipajang
di Pameran Internasional di Paris, dicopot.
Di tahun berikutnya Stalin menembak mati sebagian
besar tokoh yang diabadikan dalam lukisan itu. Ketakutan,
Gerasimov menyimpan karyanya di lantai studionya sampai
Stalin wafat.
lll
SEJARAH Realisme Sosialis memang tak selurus yang di
bayangkan para penyusun kanun itu di tahun 1932.
Penekanan agar mendekati ”yang ideal” memang telah
mend orong kemajuan teknik seni rupa yang mengagumkan,
karena menelad ankan karya-karya ”akademis”. Namun tak
172 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka REALISME SOSIALIS, DI SUATU MASA, DI SUATU TEMPAT
ada lagi ledakan kreativitas seperti di masa menjelang dan se
gera setelah kemenangan kaum Bolsyewik ketika pelbagai
ekspresi berkembang dan bersaing. Di bawah pengawasan
Zhdanov,seni dan sastra diharamkan bereksperimen dengan
sesuatu yang beda. Itu akan disebut ”formalisme” dan akan
ditindak sebagai ”kontrarevolusi”.
Tampak, begitu penting ide, seni, dan sastra diperlakukan
waktu itu. Para pemimpin Bolsyewik awal memang kaum in
teligensia: Lenin menulis risalah filsafat dan Trotsky penulis
esai yang menghargai puisi liris. Sejarah Realisme Sosialis tak
bisa dipisahkan dari semboyan kulturnost atau ”pembudayaan”.
Tapi kemudian Partai jatuh ke tangan Stalin, dan para biro
krat, dan polisi rahasia. Mereka tetap menganggap seni bukan
perkara main-main—tapi dengan mata yang waswas.
”Hanya di Rusia puisi dihormati; ia bisa menyebabkan
orang dibunuh,” kata penyair Osip Mandelstam. Benar saja:
ia menulis sebuah sajak yang dianggap menghina Stalin. Di
tahun 1938, ia ditangkap, dibuang ke Siberia, dan mati.
TEMPO, 6 Oktober 2013
Catatan Pinggir 11 173
http://facebook.com/indonesiapustaka
174 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka GANYANG!
1965—SEBELUM cerita pembantaian, pemberangusan,
penga singan, permusuhan, ada sesuatu yang acap kali dilu
pak an: bahasa. Bahasa yang mempermudah semua itu terjadi.
Bahasa yang tumbuh sejak 1958, sejak Indonesia diperintah
den gan ”Demokrasi Terpimpin” dan semangat ”revolusioner”
dikobarkan kembali dan mobilisasi massa berlangsung terus-
men erus. Bahasa yang dibangun dengan statemen-statemen
gagah, menghardik, dalam pidato, slogan, poster, indoktrinasi,
brifing: ”ganyang!”, ”kremus!”, ”retool!”, ”babat!” Bahasa yang
menetapkan siapa kawan dan siapa lawan, dan memberinya
makna yang mengeras, bahkan mutlak.
Bahasa dan kekerasan. Sering dianggap keduanya terpisah.
Walter Benjamin, misalnya, percaya ada satu wilayah yang ”se
penuhnya tak terjangkau oleh kekerasan”—yakni wilayah ”pe
mah aman”, Verständigung. Dengan kata lain, bahasa.
Tapi ia lupa: bahasa bisa memaksa. Bahasa itu sendiri me
ngandung sejenis kekerasan, malah sebelum tata bahasa dan
kam us membatasi. Sejak mula, kata dan lafalnya datang me
ngepung kita dari timangan ibu, percakapan bapak, suara di
jalan, aturan sekolah, aturan negara, ajaran agama, pengaruh
media massa—yang tanpa disadari merasuk ke dalam diri kita
dan keluar lagi seakan-akan produk kita sendiri.
Betapa banyaknya ungkapan klise yang kita dengar dan pa
kai tiap hari. Pada saat yang sama, betapa tak mudahnya meng
ungkapkan perasaan kita yang terdalam dengan cara ekspresif
Catatan Pinggir 11 175
http://facebook.com/indonesiapustaka GANYANG!
tap i sekaligus komunikatif, agar mencapai orang lain.
Mungkin itu yang menyebabkan Lacan tak menyebut
bahasa sebagai produk je parle (”aku bicara”), melainkan ça
parle (”itu bicara”). ”Aku” seakan-akan tak penting dalam
berbahasa. ”Aku” setengah tenggelam dalam bahasa, jadi ”itu”,
ketika makna kalimat muncul dalam wujud yang dibentuk
orang lain, orang ramai, terus-menerus, bertahun-tahun.
Saya katakan ”setengah tenggelam” karena sebenarnya te
tap ada sebuah ”aku”, sebuah subyek, yang dengan terbata-
bata ingin mengatakan sesuatu yang sama sekali baru. Tapi
ia selamanya tak berhasil penuh—dan jika ia berada dalam
kurunga n kekuasaan yang mengontrol bahasa, ia akan gagal.
Kita tentu saja akan ingat novel George Orwell yang jadi
karya klasik: 1984 (yang dulu pernah diterjemahkan dengan
bag us oleh Barus Siregar). Tak ada karya sastra lain yang mam
pu menandinginya dalam melukiskan sebuah kurungankek u
asaan di mana bahasa terkait erat dengan kekerasan.
Mungkin karena 1984 adalah sebuah fiksi yang hiperbolik.
Nov el ini dengan berlebihan melukiskan Inggris yang berubah
jadi ”Oceania” yang totaliter. Rakyat diawasi tiap saat oleh sang
penguasa yang tak pernah muncul tapi terus-menerus disebut
”Big Brother”. Bersama dengan itu, mereka ditenggelamkan ke
dalam bahasa yang sengaja dibangun untuk membuat mereka
menyerah.
Bahasa itu disebut ”basabaru” (newspeak). Ia disusun oleh
kata-kata bentukan baru dan pengertian yang lama dirombak:
”Perang” berarti ”Damai”, ”Kemerdekaan” adalah ”Perbudak
an”. Akronim pun dikembangbiakkan, agar kata mudah
dihafal dengan bunyi yang bisa efektif tanpa perlu dianalisis.
176 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka GANYANG!
”Basabaru” itu dikumandangkan lewat layar televisi
besar di seluruh negeri, disusun dalam kamus, dan dipakai
koran Partai. Rakyat, birokrat, dan anggota Partai harus
memakainya—dengan segala klise dan slogan-slogannya—
seraya menyiapkan punahnya bahasa lama. Semua orang jadi
beo massal, bukan lagi subyek yang bicara. Ça parle.
Di tengah itu, Winston Smith diam-diam mencoba
mempertahankan je parle. Ia tak ingin terseret ke dalam sebuah
bahasa yang, seperti dikatakan temannya, Syme, kamusnya
makin lama makin tipis. Sinonim ditiadakan. Tiap pengertian
han ya diwakili satu kata. Tak boleh ada variasi. ”Tidakkah
kau lihat bahwa seluruh tujuan basabaru adalah untuk
mempersemp it jangkauan pikiran?” kata Syme.
Pikiran: itulah kejahatan. Di bawah kekuasaan yang
totaliter itu—yang mengingatkan orang akan Jerman di
bawah Hitler, Rusia di bawah Stalin, Cina di bawah Mao, dan
Korea di bawah Kim—bahasa telah jadi teknologi pengerdilan
manusia.
Tapi bahasa tak berdiri sendiri. Ia bagian dari kehidupan
yang dibangun para penguasa—manusia yang praktis tanpa
wajah tanpa nama itu—dengan ketegangan. Dimaklumkan
ada perang yang tak kunjung berhenti, ada musuh, ada konspi
rasi.
Seluruh ruang hidup sarat oleh kecurigaan dan kebencian.
Tiap hari secara massal ”Dua Menit Kebencian” dilakukan:
tokoh pengkhianat bangsa yang anehnya tak kunjung
ditangkap dan sebab itu harus terus-menerus dicaci beramai-
ramai. Di saa t itu, seperti terkena setrum, gairah meluap.
Timbul hasrat membunuh, menyiksa, menggampar wajah
Catatan Pinggir 11 177
http://facebook.com/indonesiapustaka GANYANG!
orang dengan martil—meskipun kemarahan itu terasa
abstrak, sebab bisa diarahkan dengan cepat dari satu sasaran
ke sasaran lain.
Dari suasana seperti itulah kata dan kekerasan bertaut.
Winston ditangkap. Mula-mula ia hanya diajak bicara. Ia dico
ba diyakinkan dengan bahasa yang, untuk memakai kata-kata
Benjamin, dalam ”wilayah pemahaman”. Ia bertahan. Tapi
akhirnya ia tak bisa lagi. Ia menyerah ketika sekerangkeng
tikus ganas—hewan yang selalu ditakutinya—diancamkan
kepadanya. Di saat itu, ia tak bisa lain. Novel berakhir dengan
Winston mencintai ”Big Brother”. Melalui tikus dan kata-kata,
ia habis.
1984: saya ingat 1965. Ketika permusuhan, kebencian,
dan kecurigaan dikobarkan terus-menerus, dengan kata-kata
gagah dan ganas—seperti Indonesia menjelang tahun itu—
tikus dan bahasa tak lagi berbeda. Semua teror, penghapusan
manusia, kekerasan.
TEMPO, 13 Oktober 2013
178 Catatan Pinggir 11
http://facebook.com/indonesiapustaka SENI UNTUK...
Kaulah raja: hiduplah dalam sunyi.
Sepanjang jalan kemerdekaan, tetapkan langkahmu...
—Alexander Pushkin, ”Kepada Seorang Penyair”
BAHWA Pushkin tewas pada umur 38 tahun setelah ia ber
duel di sebuah sudut Kota St Petersburg—hari itu 8 Fe
bruari 1837—dan bahwa ia bukan pertama kali itu menerima
tantangan beradu tembak dengan pistol, menunjukkan
dengan langsung betapa dramatis kisah hidupnya. Meskipun
itu tak dengan sendirinya bisa dipakai untuk menilai puisinya.
Yang bisa dilihat: dalam diri penyair besar Rusia ini, puisi
liris yang intens sering bersentuhan dengan hidup yang intens.
Persentuhan itu membuat sajaknya mempesona dan hidupnya
tak gampang: perasaannya mudah tersentuh dan hatinya cepat
tersinggung, dan duel sampai mati baginya adalah ekspresi
perasaan yang penuh. Pushkin bukan orang yang bersedia
meredam apa yang disebutnya sebagai ”kegundahan liris”,
yang ”gem etar, melenguh, dan mengorak”, sesuatu yang
akhirnya akan ”menghambur ke luar, dalam pernyataan yang
bebas”.
Ia menulis puisinya yang pertama pada usia 15 tahun dan
diusir dari Moskow karena ikut gerakan sastra radikal pada
usia 21 tahun. Itulah pengalaman pertamanya terkena tangan
besi kekuasaan: di masa Tsar Alexander I (1801-1825).
Pengalaman berikutnya segera menyusul. Pada 1823, keti
Catatan Pinggir 11 179