The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 11 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by suharnowo, 2021-11-04 03:06:08

Catatan Pinggir 11 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 11 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka SHIBUYA

ke kota itu untuk jadi bintang iklan bir, mendengar kalimat-
kalimat bahasa Jepang yang panjang diterjemahkan dengan
be­gitu singkat tapi efektif: tiba-tiba kita sadar banyak kata
yang bisa hilang begitu saja—tapi kita tetap mengerti apa
yang di­kehendaki. Dalam film itu kita lihat juga Charlotte,
seorang perempuan muda yang baru menikah dan kecewa,
menyentuhkan hidupnya kepada Bob; tapi di Tokyo, bukan
bahasa yang menentukan komunikasi mereka, melainkan
kesepian.

Tokyo: sebuah kesepian di ruang riuh. Seperti di tiap kota
besar, di sini orang—the lonely crowd—merapat, seakan-akan
menyadari bahwa rasa cemas adalah nasib, dan nasib adalah,
seperti kata Chairil Anwar, ”kesunyian masing-masing”.
Perjumpaan tak punya waktu yang pasti, tempat yang pasti.

It seems that we have met before, laughed before, loved before,
but who knows where and when....

Itu satu adegan dalam Lost in Translation: seorang penyanyi
jazz melagukan Where and When di bar NY di Shinjuku. Tapi
itu bisa juga satu adegan siapa saja di keriuhan Shibuya. Atau
bukan Shibuya.

TEMPO, 17 Februari 2013

30 Catatan Pinggir 11

Gereja

http://facebook.com/indonesiapustaka JEMAAT makin tak terlihat di negeri kelahiran Paus
Benediktus XVI yang mengundurkan diri.
Peribadatan lengang. Gereja-gereja jadi gedung menganggur­
yang harus dibongkar. Majalah Der Spiegel 14 Februari yang
lalu mencatat: di Jerman, selain di wilayah Protestan, juga di
Bav­ aria yang Katolik, misa tak ramai lagi.

Di Börssum, di Niedersachsen, cuma 5% penduduk
yang dat­ang ke misa di Gereja Santo Bernward tiap Minggu
(sementara biaya perawatan mencapai € 134.500). Kesimpulan:
gereja yang hanya makan ongkos itu harus dirobohkan. Lain
lagi biara St. Maximin di Trier: jadi tempat olahraga sekolah.
Herz-Jesu-Kirche di Kaltenberg: tempat latihan dansa dan
pilates. Di Essen, ada 83 rumah peribadatan Katolik yang
harus diratakan dengan tanah.

Pastor Michael Kemper ingat ia memimpin misa Corpus
Christi terakhir di Duisburg. Dengan sayu ia mengenang ba­
gai­mana dulu ia berjalan di bawah kanopi altar, dengan ju­
bahnya yang berwarna pucat, melewati barisan umat yang
makin muram. ”Menutup gereja ini membuat saya sakit,” ia
berkata.

Tapi barangkali telah tiba suatu tanda, bukan tentang
akhir­zaman, melainkan tentang satu ”pandangan dunia yang
punah, sebuah kebudayaan yang melenyap”, untuk meminjam
kat­a-kata Octavio Paz. Penyair ini berbicara tentang satu bagi­
an sejarah Meksiko, negerinya, dan bukan tentang nasib Gereja

Catatan Pinggir 11 31

http://facebook.com/indonesiapustaka GEREJA

Katolik—tapi di sana juga, gereja itu kini terasa jadi satu visión
del mundo yang sedang kehilangan daya hidup.

Roberto Blancarte, seorang sosiolog dan sejarawan, (dikutip
Latin American Herald Tribune 15 Februari) mencatat bahwa
leb­ ih dari 1.000 orang di Meksiko meninggalkan Gereja tiap
ha­ri selama dasawarsa terakhir.

Tentu, di tempat lain, di Asia misalnya, Gereja Katolik
masih kukuh dan penuh. Tapi tahun ini di mana-mana seakan-­
akan ditandai seorang Paus yang tua dan kelelahan hingga
mengundurkan diri. Di abad macam ini, seberapa kuatkah
Ge­reja sebenarnya? ”Paus, berapa batalion dia punya?”

Pada 1944, itu pertanyaan Stalin, seorang komunis yang
menganggap agama hanya takhayul. Agaknya ia hendak
menc­ emooh, atau ia heran, bahwa negara-negara pemenang
Perang Du­nia II macam Inggris sangat memperhitungkan
sikap sebuah negeri seluas 44 hektare yang cuma didiami 800
manusia yang tak punya tentara: Vatikan.

Dengan kata lain, Stalin mungkin tak paham makna ”iko­
nik”­kota kecil Italia itu. Sang pemimpin Kremlin hidup di
masa ke­tika bedil dan batalion pasukan—yang begitu fisik
dan begi­tu langsung efektif—menentukan kekuasaan.

Tapi bukan salah dia agaknya. Sejarah posisi Paus adalah
sejarah yang rumit tentang silih-bergantinya yang fisik dengan
yang ”ikonik”.

Pada mulanya adalah sebuah ketegangan. Yesus berpesan
bah­wa para murid adalah sesama saudara. Jangan memanggil
siapa pun ”Rabi” atau ”Bapa”, katanya, karena ”hanya satu
Bapamu, yaitu Bapa yang di Surga”. Tapi selama tiga abad
pertama Masehi, ada sekitar seratus aliran kepercayaan

32 Catatan Pinggir 11

GEREJA

http://facebook.com/indonesiapustaka Kristen—dan pelan-pelan diperlukan ”bapa” yang mengelola
perbedaan.

Perbedaan itu makin kompleks terutama setelah Paulus
menyatakan bahwa hukum Taurat tak memadai. Baginya,
ajaran Yesus—yang berakar pada Yudaisme—terbuka meliputi
Yahudi maupun Yunani, budak maupun tuan, pria ataupun
wanita.

Universalitas yang dikumandangkan Paulus (di zaman ini
dit­irukan bahkan oleh seorang atheis seperti Alain Badiou)
menggugah. Tapi keanekaragaman yang tercakup bisa membi­
ngungkan. Tak jarang aliran yang satu mengutuk aliran yang
lain—satu hal yang juga terjadi dalam agama lain, Islam
ataupun Buddhisme. Apalagi di masa itu belum ada pusat
yang menentukan. Menurut Will Durant dalam The Story of
Civilization, yang disebut papa (kemudian jadi pope, ”paus”)
adalah tiap uskup di sebuah wilayah. Belum ada yang berkuasa
atas yang lain.

Tapi berangsur-angsur, ada kebutuhan rupanya. Berangsur-
angsur, uskup dari Roma didengar dan dipandang. Roma pu­
nya­makna ”ikonik” sebelum fisik. Di sanalah Rasul Petrus­
dulu membangun gereja. Memang tak serta-merta makna
”ikonik” itu efektif. Pada 218, ketika Callistus ditunjuk jadi
pem­ impin Gereja Roma, perpecahan terjadi.

Tapi sejarah berpihak kepadanya. Roma, di mana bangunan
politik yang kukuh beberapa abad berdiri, mengajarkan kepada
Gereja gabungan antara yang ”ikonik” dan kekuatan fisik:
organisasi. Ketika penguasa politik Romawi merosot peran
dan wibawanya, Gereja Roma mengambil alih perannya.

Salah satu momen yang menentukan di abad ke-8, ketika

Catatan Pinggir 11 33

http://facebook.com/indonesiapustaka GEREJA

Ro­ma terancam serangan dari Lombardia dan Charlemagne,
raj­a bangsa Franka, menyelamatkannya. Di malam Natal
800, sang raja mendapat imbalan: berkah Tuhan. Ia berlutut
di depan Paus Leo III. Di atas kepalanya, uskup Roma itu
memasang mahkota Imperium Eropa Barat.

Tradisi ini berlangsung sampai berabad-abad kemudian.
Tapi gabungan yang ”ikonik” dan yang fisik mencapai
puncaknya ketika sebuah dokumen palsu dibuat: di situ
dicantumkan bahwa kepada Paus dihibahkan otoritas,
kekayaan, dan wi­layah kemaharajaan Roma oleh Raja
Konstantin. Bahwa dokumen palsu tentang hibah itu dibuat
di abad ke-8, sekian abad setelah Konstantin mangkat,
menunjukkan: kekuasaan fisik memerlukan sesuatu yang
lain—pengesahan dari masa lalu yang gemilang.

Kekuasaan fisik itu kemudian menciut ketika abad ke-
20 yang nasionalistis datang. Yang tinggal, dan dicoba
dikukuhkan, adalah makna ”ikonik”.

Makna ini dibentuk mithos dan ingatan orang ramai
tentang mithos itu. Tapi ia juga dikekalkan oleh panggilan
yang di awal sejarah agama Kristen sangat kuat: panggilan
keadilan­ dan kebebasan. Ketika panggilan itu mengalami
distorsi, di abad ke-21 tak banyak gembala yang datang lagi.

TEMPO, 24 Februari 2013

34 Catatan Pinggir 11

TUBUH

http://facebook.com/indonesiapustaka TERKADANG demokrasi mencemaskan karena di­gam­­
barkan seperti sesosok tubuh yang tanpa kepala.Ter­
kadang sebuah republik tampak punya sejumlah kepala yang
pe­lan-pelan memotong kakinya sendiri.

Meskipun saya tak sepaham untuk mengiaskan struktur
mas­yarakat sebagai ”tubuh-politik”, saya bisa mengerti bila
orang melihat Indonesia seperti itu. Tak jarang orang menge­
luh karena negeri ini punya kepala yang tak jelas: seorang pre­
si­den yang jangan-jangan tak memimpin. Setidaknya memim­
pin menurut petuah Machiavelli yang bagus: harus meniru
singa (il leone) yang kukuh-berani melawan kawanan serigala,
dan sekaligus meniru rubah (la volpe) yang tangkas berkelit da­
ri jerat.

Sementara itu, dengan menggunakan kiasan yang sama,
Ind­ onesia juga tampak seperti sebuah tubuh-politik dengan
sederet kepala.

Saya tak tahu pernahkah keadaan ini diperhitungkan. Di
kal­angan gerakan prodemokrasi menjelang Reformasi 1998,
ras­anya tak ada yang memperkirakan dampak biaya kompetisi
kek­ uasaan. Kini kita sadar, ini negeri 17.508 pulau dan wilayah
1.919.000 kilometer persegi yang harus ditempuh perjalanan
kampanye yang panjang untuk menang, yang harus diliput ca­
kupan media yang luas dan digerakkan ribuan organisator.

Pada gilirannya, hanya mereka yang punya dana berlimpah
yang bisa ikut. Ketika dana itu terasa tak memadai, ketika

Catatan Pinggir 11 35

http://facebook.com/indonesiapustaka TUBUH

persaingan ke luar dan ke dalam partai hendak dimenangi,
korupsi untuk membayar ongkos politik pun berkecamuk—
dan tentu saja sembari mempergemuk perut para pemimpin.
Ada yang tertangkap, ada yang tidak.

Syahdan, sederet kepala pun muncul dari dalam gelap
dan air payau: wajah dasamuka oligarki. Atau jika kita ingin
gambaran yang kurang suram: partai-partai kini seperti toko
pak­ ai­an. Di etalase para tauke memasang deretan manekin
yang hampir mirip satu sama lain—badan yang tak punya hati
dan pikiran—yang ditawarkan untuk disukai. Dan tiap saat,
karena pasar makin sepi, toko itu menunggu pemodal baru.

Pasar memang makin sepi. Oligarki dan etalasenya makin
tera­ sing dari katalisator politik yang dulu demikian kuat,
terutama di ”zaman pergerakan” di awal abad ke-20: dorongan
kau­ m yang tak terdengar dan tak terlihat, mereka yang tak ber­
ben­tuk. Mereka ibarat serpihan kayu yang terbuang ketika
tiang dan dinding bangunan diraut agar pas. Mereka adalah
tat­al.­

Justru dari tatal masyarakat inilah politik bergelora dan
men­dapatkan artinya. Sesuatu yang baru dan berharga pun
bisa tegak—mengingatkan kita akan alegori yang dipakai para
wal­i di Jawa ketika mereka mendirikan tiang agung Masjid
Dem­ ak di abad ke-15.

Mereka yang ragu-ragu akan mengatakan transformasi se­
perti itu mustahil. Tapi Žižek menunjukkan, dan ia benar mes­
kipun sedikit berlebihan, bahwa politik yang sejati adalah ”the
art of the impossible”: kiat untuk melakukan (dan menggapai)
yang mustahil. Politik yang otentik justru mengubah parame­
ter yang membatasi apa yang dianggap ”mungkin” oleh tata

36 Catatan Pinggir 11

TUBUH

http://facebook.com/indonesiapustaka yang ada. Para aktivisnya jauh berbeda dengan pemilik toko
pa­kaian yang tak laku. Geraknya penuh vitalitas, meskipun di
sana-sini disertai cemas dan kepedihan.

Jaringan oligarki terus mencoba meredam vitalitas itu.
Ia pert­ahankan kedaulatannya. Ia sisihkan tiap serpih tatal
yang mengganggu. Ia cegat pendatang baru yang ”tak cocok”.
Ia pasang ideologi ”konsensus”. Ia gertak ke seluruh ruang
bersama bahwa konsensus perlu ada untuk merawat kodrat:
sebuah tubuh-politik tak boleh dirusak antagonisme.

Gertak itu bukan baru. Ilustrasi yang dibuat Wenceslas
Hollar di Inggris pada 1668 adalah salah satu­nya.­ Di sana
sebatang tubuh tampak berantakan: kepala ditebas tangan
sendir­i yang mengayunkan pedang; kepala itu jatuh.

Sang penggambar jelas ingin berpesan: si tangan tak boleh­
melawan si kepala, apalagi meniadakannya. Hollar seorang
pem­bela status quo. Baginya masyarakat manusia terbentuk
oleh sebuah desain, bukan antagonisme. Baginya perubahan
han­ ya mengacaukan.

Ilustrasinya tak mengakui bahwa status quo itu—yang
di­te­gakkan dengan bangunan oligarki—sebenarnya tak
turun da­ri langit. Ia lahir dari pergulatan dan benturan.
Marx menyebutnya ”perjuangan kelas”—perjuangan yang
membentuk sejarah zoon politikon.

Maka kitaakansesat,atauteperdaya,ataumenyembunyikan­
apa yang sebenarnya, jika kita melihat struktur sosial seba­gai
”tubuh-politik”. Shakespeare pernah menunjukkan itu.

Awal tragedi Coriolanus adalah adegan rakyat Roma yang
mar­ah. Mereka, yang kelaparan, ingin berontak menghabisi­
kekuasaan Jenderal Caius Martius. Tapi seorang aristokrat,

Catatan Pinggir 11 37

http://facebook.com/indonesiapustaka TUBUH

Men­ enius Agrippa, meredam amarah itu dengan sebuah per­
umpamaan: sebuah negeri adalah sebatang tubuh. Dalam
tubuh itu tak boleh ada kecemburuan.

Pada suatu masa, kata Menenius, para anggota tubuh mem­
berontak. Mereka tuduh Perut menerima bagian makanan pa­
ling­dulu, sementara ia tak harus mendengar, atau melihat, atau
jadi kaki yang melangkah. Ia parasit. Tapi Perut punya jawab:
I am the store-house and the shop/Of the whole body. Akulah gu­
dang penyimpan dan toko seluruh tubuh.

Dengan cara itu Menenius ingin menunjukkan bahwa para
pe­nguasa—yang berada di pusat tubuh-politik—tak merebut
sem­ uanya untuk diri sendiri.

Tapi ia keliru—atau berdusta. Coriolanus bercerita terus
ten­tang perang, perebutan kekuasaan, dan pengkhianatan.
Par­a jelata, tatal masyarakat, tak bersuara. Tapi mereka yang
ber­kuasa, dalam aristokrasi atau oligarki, tak akan berhenti
sampai yang lain tak berkutik lagi.

TEMPO, 3 Maret 2013

38 Catatan Pinggir 11

A JUN

http://facebook.com/indonesiapustaka DENGAN tubuh yang agak bungkuk tapi liat, lelaki
berumur 83 tahun itu bertahan: ia mendiami terataknya
selama hampir setengah abad sebagai pengungsi.

Sebut saja namanya A Jun. Ia tinggal di semak-semak Kali­
asin, di luar Kota Singkawang. Gubuk itu 3 x 7 meter persegi.
Atapnya rumbia yang bocor dan dindingnya bilah-bilah kayu
kas­ar. Tak ada listrik. Bahkan siang itu tampak gelap. Milik
leb­ ihnya mungkin cuma sebuah sepeda tua dan potret-potret
pernikahan anaknya di dinding. Atau sebuah altar Konghucu:
sebilah papan dilapisi kain merah tempat yang punya rumah
menghormati arwah nenek moyang.

Dengan suara yang nyaris tak terdengar, dengan kalimat
yang minimal, A Jun berkata bahwa ia jadi pengungsi sejak
1967. Ia lahir dan dibesarkan di wilayah Sintang, Kalimantan­
Barat, dan hidup dengan kebun lada. Tapi datang 1965. Me­
nyu­sul tahun yang penuh kekerasan itu, militer Orde Baru
memb­ asmi sisa-sisa Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS)
dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). Para
gerilyaw­ an itu akrab dengan gerakan perlawanan komunis
di Malaysia, dan mereka umumnya keturunan Cina. Maka
semacam pem­bersihan etnis berlangsung. Dengan bantuan
militer, suku-suku Dayak mengusir penduduk keturunan
Cina dari ped­ alaman. Sekitar 70 ribu orang mengungsi dengan
berjalan ka­ki berpuluh-puluh kilometer ke kota-kota.

Ada yang merasa beruntung eksodus itu terjadi; dengan

Catatan Pinggir 11 39

http://facebook.com/indonesiapustaka A JUN

berpindah ke perkotaan, mereka lebih cepat terkait dengan
”kemajuan”. Tapi tidak bagi A Jun. Ia jatuh melarat. Istrinya­
meninggal. Salah satu anaknya tak pernah menengoknya
lagi. Anaknya yang lain lebih mujur: menikahi seorang anak
perempuan penjaja es serut yang juga pengungsi. Anak itu
kini bekerja sebagai buruh perusahaan keramik. A Jun sendiri
meneruskan hidupnya dengan bertani sayur-mayur. Kulitnya
yang ge­lap dan serual pendeknya yang kumuh menunjukkan
ia tak berh­ enti mengolah tanah di terik khatulistiwa.

Selama 46 tahun ia tak pernah kembali ke kampung kelahir­
annya. Mungkin asal-usul baginya tak relevan lagi. Ia telah di­
gebrak kenyataan bahwa asal-usul, baik biologis maupun geo­
grafis, sudah diambil alih definisinya oleh negara.

Duduk di hadapannya di rumah berlantai tanah itu saya
bayangkan betapa bingungnya A Jun dulu, di tengah sejarah
definisi itu. Mungkin bagi orang seperti dia, negara adalah
kehadiran yang abstrak dan mengejutkan.

Ia lahir sekitar tahun 1930. Ketika ia berumur 15 tahun,
Republik Indonesia didirikan. Sementara itu, di negeri yang
se­ring disebut ”tanah leluhur”, Republik Cina sedang bergulat
dal­am perang saudara yang sengit antara kaum Nasionalis dan
Ko­munis. Sangat mungkin di hari-hari itu A Jun lebih meng­
anggap diri seorang warga Republik Cina. Tapi di pedalaman
Ka­limantan itu, si republik ”leluhur” sangat jauh dan masa
depannya belum jelas.

Kemudian berubah. Dengan langkah lambat, akhirnya
mod­­ ernitas datang ke hutan Kalimantan. Bersama itu: negara.
Dan tiap negara, baik di Indonesia maupun di Cina, adalah
sebuah proses ”memasukkan” dan ”mengeluarkan” manusia.

40 Catatan Pinggir 11

A JUN

http://facebook.com/indonesiapustaka Ti­ap­ negara juga membangun apa yang disebut Agamben
sebagai zona di indistinzione, wilayah tempat orang yang
dimasukkan adalah juga orang yang dikeluarkan. Di situlah A
Jun, yang cuma bisa berbahasa Khek, berada.

Kedaulatan negara (yang tak jelas dari mana asalnya)
menentukan bahwa ia bukan semata-mata zoe, makhluk yang
hi­dup­di bawah langit, di tepi hutan dan sungai; ia bagian dari
ruang yuridis-dan-politis Indonesia. Tapi pada saat itu juga,
ketika batas sudah ditentukan, ternyata ia disisihkan dari ruang
itu: ia tak dianggap bagian yang sah dari tanah kelahirannya.

Saya tak bertanya, apakah ia ikut merayakan Cap Go Meh
yang meriah di Singkawang—dengan parade sepanjang 8
kilometer, dengan lebih dari 700 orang tatung yang mempera­
gakan tubuh yang ditusuk dan disampirkan ke benda tajam,
dengan ribuan lampion merah mawar di malam hari, dengan
le­lang yang ramai untuk menghimpun dana beberapa ratus ju­
ta dalam sehari.... A Jun mungkin terlampau tua, dan terlalu­
miskin, untuk mengikuti semua itu—walaupun ia pantas ber­
gembira, sebab dalam beberapa tahun terakhir parade itu telah
ja­di semacam bonus, setelah selama 30 tahun lebih Orde Baru
di­larang penguasa.

Tak adakah hak pada dirinya? Sebenarnya ada yang
paradoksal dalam hak, juga dalam hak yang asasi: ia bisa
dinyatakan sebagai perisai untuk menghadapi tangan besi
kedaulatan neg­ a­r­a, tapi ia juga hanya bisa dikukuhkan dengan
kedaulatan itu. Hak untuk bersuara mencegah kesewenang-
wenangan tak bisa hanya tertulis di kitab konstitusi. Ia harus
diefektifkan dengan menggunakan lembaga parlemen,
peradilan, dan polisi.

Catatan Pinggir 11 41

http://facebook.com/indonesiapustaka A JUN

Negara, dengan kata lain, tak bisa dirumuskan tanpa
melihat gerak kedaulatannya saat demi saat. Saya kira Agamben
keliru bila ia menggambarkan kedaulatan itu dengan warna
muram yang tunggal, seakan-akan di dalamnya warga negara
tak cuma menemukan sebuah labirin, tapi juga jalan buntu.

Memang, kedaulatan negara telah merasuk ke pelbagai su­
dut kehidupan. Ia terbukti pernah menentukan secara sewe­
nang-wenang batasan biologis (”etnis”) dan geografis seorang
A Jun. Tapi kedaulatan itu juga dibutuhkan untuk membentuk
infrastruktur kemerdekaan dan keadilan bagi warga negara.
Dengan kedaulatan para wakil rakyat, konstitusi Indonesia
meniadakan pembedaan antara ”pribumi” dan ”nonpribumi”.
Oleh Gus Dur sebagai presiden, diskriminasi itu kian di­
tegaskan sebagai sesuatu yang harus ditolak.

Meskipun ada yang tersisa. Dalam hidup ribuan A Jun,
diskriminasi mengambil bentuk lain: kemiskinan.

TEMPO, 10 Maret 2013

42 Catatan Pinggir 11

PEDAGANG

http://facebook.com/indonesiapustaka PEDAGANG adalah kelas yang dianggap hina di abad ke-
18 Jawa. Dalam kitab Wulangreh, yang disebut sebagai
karya Pakubuwana IV, ada sederet petuah bagi para aristokrat
muda tentang perilaku yang baik dan yang buruk.

Dalam bagian ke-8, dengan bentuk tembang wirangrong,
disebutkan empat cacat besar yang harus dihindari kaum
ningrat. Yang pertama sifat pemadat (wong madati), yang
kedua penjudi (wong ngabotohan), dan yang ketiga penjahat
(wong durjana). Yang keempat, sifat ”orang berhati saudagar”.

...wong ati sudagar awon, mapan suka sugih watekipun, ing
rina lan wengi, mung bathine denetang, alumuh lamun kalonga.

...Iku upamane ugi, duwe dhuwit pitung bagor, mapan nora
marem ing tyasipun, ilanga sadhuwut, gegetun patang warsa,
padha lan ilang saleksa.

Orang yang berhati saudagar, menurut Wulangreh, hanya
men­ yukai kekayaan. Siang-malam cuma laba yang ia hitung,
ce­mas kalau berkurang. ”Uang tujuh karung” pun tetap tak
akan memuaskannya. Ia akan murung ”selama empat tahun”
bila jumlahnya berkurang sedikit, seakan-akan hartanya
lenyap berjuta-juta.

Di dunia Pakubuwana IV (1788-1820)—Raja Surakarta
yang disebut juga Sunan Bagus—yang ethis berpaut dengan
yang esthetis: kehalusan budi ditandai dengan sikap elegan. Itu
sebabnya citra kaum saudagar dalam Wulangreh sebenarnya
tak ada kaitannya dengan kejahatan atau kebejatan. Di bagian

Catatan Pinggir 11 43

http://facebook.com/indonesiapustaka PEDAGANG

ke-11 kitab itu, Pakubuwana mengecam orang semasanya
yang setelah beroleh kedudukan bersikap seperti pedagang:
sibuk membuat perhitungan, ingin serba cepat dapat, hingga
tingkah lakunya pun berantakan: polahe salang-tunjang.

Pandangan seorang aristokrat kepada para pedagang yang
seperti ini tentu tidak hanya di Jawa. Di Cina, kaum shang
bera­ da di lapisan terbawah struktur sosial. Di atasnya kelas
shi (priayi berilmu), nong (petani), dan gong (tukang, pekerja
kriya).­ Di masa Dinasti T’ang (618-907), ketika ekonomi
Cina tumbuh pesat dan para pedagang jadi sangat kaya,
takhta kerajaan ce­mas melihat tanda-tanda ketegangan sosial.
Para aristokrat dan petani tak suka pameran kemewahan
kaum shang, yang dih­ ina sebagai benalu: makhluk yang
menghimpun harta dari kerja orang lain tanpa mereka sendiri
mengeluarkan keringat. Maka titah pun dimaklumkan untuk
mengatur cara para saudagar berpakaian, berkendaraan, dan
bertempat tinggal. Ke­terl­ibatan kelas ini dalam peristiwa sosial
dibatasi. Mereka dianggap vulgar.

Di Jepang, shang disebut shô. Di sini pun, lapisan sosial ini
dilihat dengan ambivalen: mereka terpaksa diterima karena
punya peran penting, tapi kaum samurai—kaum aristokrat—
memandangnya dengan menista, curiga, dan cemburu.

Sikap ini tumbuh menjalar di masa selanjutnya. Ada sebuah
gambar cetakan kayu karya Kawanabe Kyosai, bagian dari
seri Isoho Monogatari, di pertengahan tahun 1870-an: sebuah
karikatur yang tajam tentang masyarakat di masa itu.

Di tengah bidang tampak satu sosok berparas buruk duduk
meng­isap cangklong. Ia pakai dasi lebar yang bertulisan (da­
lam huruf Latin, dan bahasa Inggris) ”FINANCIER”. Di

44 Catatan Pinggir 11

PEDAGANG

http://facebook.com/indonesiapustaka sekitarnya ada makhluk-makhluk grotesk yang tampak bekerja
ker­as di lantai.

Dengan itulah Kyosai mengecam kondisi sosial Jepang di
abad ke-19, ketika modernitas mulai membawa kegairahan
dan kepedihan. Sang perupa menamai karyanya ”Si Malas di
Tengah-tengah”. Si Malas adalah si pengatur uang, si pedagang
busuk, lintah yang tak henti-hentinya mengisap hasil je­rih­
payah orang lain. Dan lintah itu ”asing”. Ia bertopi tinggi dan
berdasi dengan bahasa bukan-Jepang.

Dua kegetiran bertemu dalam kritik sosial Kyosai: ia
memprotes dominasi modal dan sekaligus kekuatan asing.
Dalam perk­ embangan pemikiran politik Jepang, dua ke­
getiran itu tetap kuat bahkan dapat ditemukan di dua kubu
yang berseber­angan: di kalangan kaum nasionalis kanan dan
kaum kiri yang menuntut keadilan.

Di Indonesia, satu setengah abad setelah Wulangreh,
sikap yang menampik wong ati sudagar itu juga berevolusi.
Ia membayang dalam gerakan sosialis dan kaum nasionalis
dalam pelbagai variannya, ketika di abad ke-20 timbul
pembangkangan terhadap kolonialisme Belanda. Bagi kaum
sosialis, watak yang siang-malam menghitung laba adalah
watak kapitalisme, dan ini yang akhirnya menguasai koloni
yang disebut ”Hindia Belanda.” Bagi kaum nasionalis, kap­ i­
talisme Belanda itu harus enyah karena ia ”bukan-kita”.

Tapi Wulangreh-isme yang tersirat dalam ideologi politik
Indonesia akhirnya bertabrakan dengan sejarah. Seperti hal­
nya­di Cina dan di Jepang, kaum pedagang—dengan ke­ku­at­
an uang mereka—mendesakkan diri. Mereka bahkan meng­
ambil­ alih posisi yang semula dikuasai para ningrat, para

Catatan Pinggir 11 45

http://facebook.com/indonesiapustaka PEDAGANG

pemilik takhta, para shi dan samurai.
Sejarah berlanjut. Di abad ke-21 ini tak ada lagi sikap yang

menganggap kaum pedagang buruk dan tak elegan. Mungkin
ini satu kemajuan. Tapi proses lain terjadi: saudagar-isme
jadi pola perilaku di mana-mana, juga dalam politik. Untuk
meminjam dikotomi Albert Hirschman, passion terdesak
interest. Politik yang lahir dari gelora hati telah diambil alih
politik seb­ ag­ ai kalkulasi kepentingan. Kampanye sebagai
pembentukan solidaritas pun jadi pemasaran dengan iklan
dan door prize. Konstituen adalah konsumen.

Yang mencemaskan, seperti diutarakan Wulangreh, ketika
linggihe lawan tinuku, kedudukan yang diperoleh lewat jual-
be­li akhirnya akan merusak ruang hidup bersama, tan wurung
angr­ usak desa. Dan ruang itu sirna.

TEMPO, 17 Maret 2013

46 Catatan Pinggir 11

PERANG

”…in the end, everybody breaks, bro. It’s biology.”

http://facebook.com/indonesiapustaka AGEN CIA dalam film Zero Dark Thirty itu telah meng­
ubah orang yang diinterogasinya: tahanan itu akhirnya
cuma bangunan biologis. Tubuh itu dicancang pada kaki
dan ta­ngan. Sesekali ia dibaringkan seraya kepalanya
dibungkus kain untuk ditenggelamkan dalam air sampai
hampir tak bernapas. CIA ingin orang ini membuka celah
ke persembunyian Usamah bin Ladin. Untuk itu, di ruang
penyiksaan yang kumuh itu ia diformat jadi sebuah kantong
yang diinjak agar dari dalamnya muncrat informasi.

Sebuah kantong yang diinjak, sebentuk benda biologis,
sebuah kehidupan yang sepenuhnya bugil, la vita nuda: ia
materi tanpa proteksi. Ketika orang dihilangkan harga diri,
rasa malu, rasa bersalah, dan keyakinannya, ia tak diharap bisa
bertahan. Everybody breaks.

Kita tahu film itu fiksi, tapi kebrutalan itu bukan. Dan
sebuah fiksi, sebagaimana sebuah puisi, sering dibebani tafsir
yang tak diniatkannya sendiri. Orang-orang kanan Amerika,­
para senator dan CIA, menuduh Zero Dark Thirty melebih-
lebihkan peran penyiksaan dalam perburuan Bin Ladin, dan
dengan demikian mencoreng muka Amerika. Sebaliknya
orang-orang kiri menuduh sutradara Kathryn Bigelow
bertindak seperti sineas Leni Riefenstahl mengagungkan
Naziisme delapan dekade yang lalu. Seorang penulis terkenal

Catatan Pinggir 11 47

http://facebook.com/indonesiapustaka PERANG

memperingatkan­Bigelow: kau akan dikenang sebagai ”wanita
pelayan penyiksa­an”.

Kontroversi belum berakhir. Tapi satu hal tercapai. Zero
Dark Thirty—dengan realisme yang mengesankan—telah
memaparkan bahwa ”perang melawan terorisme” mengandung
kontradiksi dalam dirinya sendiri. Para penggeraknya
menyebutnya ”perang yang adil”, karena terorisme adalah keji.
Tapi perang itu justru awal dari laku yang tak adil dan yang
keji.

Ada sebuah masa ketika satu tatanan modern dalam
hubungan internasional mendapatkan bentuknya. Itu di Eropa
sejak 1648. Perjanjian Westfalia menghentikan perang orang
Protestan vs Katolik yang meluluh-lantakkan kehidupan.
Sejak itu, orientasi ruang lebih terarah, batas wilayah pun
dipatok. Di situ dibangun sebuah tertib hukum. Lahir satuan
hukum-dengan-ruang-hidup, Ordnung und Ortung. Sebuah
Nomos, untuk memakai istilah Carl Schmitt.

Sejak itu, menurut Schmitt, perang jadi monopoli yang
terjaga dari Negara. Konfl ik pun lebih mirip duel: sebuah
”pe­rang­-yang-rancak”, un guerre en forme. Ia bertolak dari
pertimbangan rasional, bukan moral; ia bukan perang suci.
Dengan ras­ionalitas pula ada aturan yang dipatuhi bersama.
Lawan tak dianggap ”musuh mutlak”. Ia bukan Iblis,
bajingan tengik, atau si barbar yang harus dimusnahkan atau
ditobatkan. Ia tet­ap seperti ”kita”.

Paparan Schmitt, orang Jerman yang pro-Nazi ini, tentu
saja Eropa-sentris dan terbatas; tak diceritakannya bagaimana
tentara kolonial memperlakukan lawannya di Asia dan Afrika.­
Schmitt mengutarakannya untuk mengecam yang terjadi set­e­

48 Catatan Pinggir 11

PERANG

http://facebook.com/indonesiapustaka lah kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I. Dalam Perjanji­
an Versailles, Jerman tak diajak ikut di meja perundingan.
Bangs­a itu diperlakukan sebagai penjahat.

Tak mengherankan Schmitt hanya menampilkan segi yang
bisa memperkuat thesisnya. Ia menghapus kenyataan bahwa ju­
ga dalam ”perang-yang-rancak”, aturan hanya dilihat sejenak.­
”Seolah-olah ada aturan untuk membunuh orang,” tulis Leo
Tolstoi dalam novel besarnya, Perang dan Damai, ketika me­
ngisahkan keluhan Napoleon kepada Kutusov, panglima­Rusia,
dalam invasi tahun 1812: pasukan Prancis menggunakan pe­
dang, sementara pasukan Rusia—tentara rakyat—memba­
lasnya dengan pemukul, ”tanpa menghiraukan selera atau
atura­ n siapa pun.”

Sejarah perang yang ”tanpa menghiraukan selera dan aturan
siapa pun” itu, umumnya perlawanan rakyat, sama panjang
dengan riwayat un guerre en forme, perang di antara tentara re­
gu­ler dua negara yang bersengketa. Sejak Revolusi Amerika di
abad ke-18 sampai dengan perang Afganistan di abad ini, tak
ada batas jenis senjata yang dipakai, tak ada pula batas antar­a­
yang sipil dan yang militer. Semua bisa menembak. Semua bisa
dit­embak. Kekerasan bukan cuma urusan Negara. Korban­bi­
sa merambah ke mana-mana.

Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah dalih pe­
rang­itu—baik dalih kaum gerilyawan maupun lawan mereka
dal­am counter-insurgency yang sama-sama tak berbatas.

Saya kira ada yang penting dari thesis Schmitt: ia memujikan
”perang-yang-rancak” bukan karena perang itu tak brutal. Ia
memujikannya sebagai perang yang bermula ketika negara
berpisah dari dalih-dalih agama: perang itu bukan perang

Catatan Pinggir 11 49

http://facebook.com/indonesiapustaka PERANG

suci. Musuh bukan makhluk terkutuk. Ini perselisihan sesama
manusia.

Tapi pada 11 September 2001 sepasang gedung World Trade
Center New York dihantam dua pesawat dan ribuan orang
tak bersalah tewas. Bush pun menyiapkan ”perang melawan­
ter­orism­ e”. Maka maraklah perang yang tak jelas indikator
kemenangannya, sebab tak akan ada wakil kekuasaan lawan
yang akan menandatangani traktat kekalahan.

Di saat itu, orang Amerika yang marah, juga para cendekia­
wan mereka, memekikkan dan merumuskan ”perang yang
adil”—sejenis perang pembalasan dari pihak yang tak merasa
ber­salah, yang bersih, yang ber-Tuhan. Alasan moral pun
masuk kembali seperti dalam Perang Salib. Sang musuh jadi
Setan. Dunia harus diubah. Amerika menirukan Taliban.

Dalam semangat ”perang yang adil” ala Taliban itulah
Amer­ika merasa berhak memutuskan untuk menganggap
siapa­saja yang dimusuhinya bukan manusia. Segera setelah itu
ia juga me­rasa berhak mengabaikan hukum internasional—
dan dikumandangkannya satu dusta yang luar biasa dan
diserbunya Irak yang sebenarnya tak sedang membahayakan
dirinya.

Minggu ini dusta itu berumur 10 tahun.

TEMPO, 24 Maret 2013

50 Catatan Pinggir 11

Zhuangzi

http://facebook.com/indonesiapustaka APA yang terjadi setelah rasa kecewa kepada politik?
Saya kebetulan mendapatkan sebuah anekdot yang
dipetik dari Cina abad ke-4 sebelum Masehi, di masa ketika
perang berkecamuk selama hampir dua abad—sebuah periode
yang dibentuk darah dan ambisi. Dalam era Zhànguó Shídài
itu, para penguasa dari tujuh wilayah saling menyerang,
dengan ribuan tentara yang direkrut dari anak-anak petani,
dengan kesengsaraan yang seakan-akan tanpa akhir. Pada
masa itulah muncul para filosof, terutama di kota Lo-yang. Di
antaranya Zhuangzi. Anekdot itu mengenai dirinya.

Selama antagonisme politik yang ganas itu, seseorang
menjadi filosof karena ia mau tak mau merenungkan apa yang
terjadi. Bahkan ia akan berpikir keras mencari jalan keluar—
kalaupun ada jalan keluar—dari penderitaan manusia di
sekitarnya.

Salah seorang dari mereka yang termasyhur adalah Mèngzî.
Ia yakin, sebuah negeri bisa jadi baik bila rajanya berpikir
lurus, tak buas dan serakah—dengan cara mendapatkan
nasihat yang benar. Mèngzî pun mendatangi istana-istana,
sebagai konsultan. Meskipun tak selamanya diterima (ia
pernah diusir), penerus Konghucu ini akhirnya hidup dengan
kehormatan kerajaan.

Dalam hal Zhuangzi, ceritanya berbeda.
Di sekitar tahun 310 SM, pemikir ini sudah termasyhur
dengan tulisannya yang tajam dan cemerlang, paduan antara

Catatan Pinggir 11 51

http://facebook.com/indonesiapustaka ZHUANGZI

sa­ti­re dan perenungan; tapi ia tak hendak datang mendekati
raja-raja.

Menurut cerita, Raja Wei dari Negeri Chu mengirim dua
pej­abat tinggi untuk membujuk agar sang filosof bersedia jadi
per­dana menteri. Mereka menemui Zhuangzi yang sedang
memancing. Tanpa menengok ke arah tamunya, si tuan
rumah berkata, ”Saya pernah mendengar, di Chu ada seraut
kulit pen­ yu­yang bertuah. Penyunya telah mati 3.000 tahun
yang lalu, dan Baginda menyimpannya di kuil nenek moyang
beliau.... Tapi lebih baik mana: kura-kura itu mati dan kulitnya
dihormati sedemikian rupa, atau ia hidup dan menyeret
ekornya di lumpur?”

Pilihan Zhuangzi jelas. Ia lebih baik menyeret ekornya di
lumpur ketimbang hidup dengan kekuasaan yang melibatkan
di­rinya. Ia ingin bebas. Ada yang mengatakan, dialah anarkis
pal­ing awal dalam sejarah.

Setidaknya Zhuangzi melihat, betapa sia-sianya (dan betapa­
destruktifnya) kekuasaan yang terus-menerus dihimpun. Buat
kemegahan? Apa arti kemegahan? Ada perumpamaan sungai
dan lautan. Di banjir musim gugur, sungai menuju ke muara
den­ gan arus yang cepat dan congkak, tapi ketika sampai ke
samudra yang seperti tak terbatas, ia sadar betapa kecil dirinya.­
Namun lautan itu juga demikian. Seperti diakuinya kepada
sun­ gai: jika dilihat letaknya di alam semesta ini, dirinya hanya
secercah.

Dalam sejarah filsafat Cina, Zhuangzi pernah disebut seba­
gai pembawa ”perspektivalisme”: hal-ihwal, juga nilai-nilai,
dic­ er­apkan berbeda-beda oleh manusia, tergantung posisi
dan sud­ ut pandangnya. Tak ada yang absolut. Saya lebih

52 Catatan Pinggir 11

ZHUANGZI

http://facebook.com/indonesiapustaka suka menyebut pemikirannya ”kontekstualis”. Sungai dan
lautan itu masing-masing tak berdiri sendiri—selalu dalam
hubungannya­dengan yang lain, selalu dalam sebuah konteks.

Itu juga yang dikatakan Zhuangzi tentang bayang-bayang:
”Dengan cahaya dan matahari aku muncul, dengan kegelapan
dan malam aku menyingkir. Bukankah aku tergantung pada
substansi dari mana aku dilontarkan? Dan substansi itu juga
tergantung pada sesuatu yang lain.”

Tergantung pada sesuatu yang lain, itu pula yang berlaku
pada legitimasi kekuasaan. ”Penguasa turun takhta dalam kon­
disi yang berbeda-beda, dinasti berlanjut dalam kondisi yang
tak sama,” kata Zhuangzi. Dan dalam konteks yang berlainan,
si penguasa bisa disebut patriot atau perebut takhta.

Dari sinilah kita tahu, kenapa sang filosof menolak untuk
masuk ke kekuasaan—yang seperti ia lihat di masa hidupnya,
terbangun dari kerakusan dan kebengisan yang hendak diberi
legitimasi. Legitimasi itu berdasarkan apa yang ”benar”, bukan
yang ”salah”. Tapi bagi Zhuangzi, keduanya bukan saling
melenyapkan. Alam semesta menghadirkan ”yang benar”
sebagai partner ”yang salah”. Bukannya kita tak tahu dan tak
peduli mana yang benar dan mana yang salah, tapi kita perlu
meletakkan diri sebagai subyek-dalam-poros.

Poros, dalam metafora Zhuangzi, adalah sesuatu yang stabil
dalam pusaran perubahan dan sekaligus jadi penyambung dua
bagian yang berlawanan—seperti pada sepasang roda pedati.
Pada poros, yang positif dan negatif tak bertabrakan; keduanya
”berbaur dalam persatuan yang tak terhingga”.

Di sini Zhuangzi sebenarnya kembali ke pemikiran tradi­
sional Cina yang sudah beratus tahun umurnya: di balik se­

Catatan Pinggir 11 53

http://facebook.com/indonesiapustaka ZHUANGZI

mua­nya, ada kesatuan kosmis. Semesta adalah harmoni.
Ia memang menolak pemikiran Mo Tzu seratus tahun
sebelumnya, yang menghendaki kesatuan—sesuatu yang
ditandai kekuasaan, organisasi, dengan tertib hukum. Tapi
dalam arti tertentu ia tak jauh dari ajaran Guru Mo: seperti
”Moisme” ia tak mengh­ endaki politik, karena politik bukanlah
konsensus, melainkan dis-sensus.

Itu sebabnya Zhuangzi memilih tiadanya tindakan, juga
untuk perubahan ke arah hidup yang lebih baik. ”Tiadanya
tindakan Langit adalah kemurniannya; tiadanya tindakan di
Bumi adalah kedamaiannya.”

Bisa dimengerti bila Hui Tzu, seorang filosof sezamannya,
berk­ ata kepadanya, ”Semua yang kamu ajarkan berpusat pada
apa yang tak berguna.”

Benar—tapi Zhuangzi punya jawab. ”Hui Tzu,” begitulah­
ia kurang-lebih berkata, ”kamu tak bisa menghargai apa yang
tak berguna, sesuatu yang sebenarnya terbentang luas di muka
bumi.” Lebih luas ketimbang yang berguna, lebih luas ke­
timbang politik.

”Sebab suwung, sunyi, ketenteraman, tanpa rasa, kebisuan,
dan tanpa-laku, itu adalah akar dari semua hal.”

TEMPO, 31 Maret 2013

54 Catatan Pinggir 11

PASAH

http://facebook.com/indonesiapustaka Demikianlah kisah hari Pasah
Ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta dan kota...

—Cathedrale de Chartres, Sitor Situmorang

KAPANKAH alam tak diburu resah, dan hidup tak terdiri
atas benturan yang sering ganjil?
Pertanyaan itu muncul ketika saya menemukan kembali
sajak yang langka dalam sastra Indonesia ini tadi malam—tapi
tak hanya tadi malam.

Sajak Sitor Situmorang ini langka karena ia bertolak dari
sebuah hari Paskah di Prancis, yang tak pernah ditulis penyair
In­donesia sebelumnya, juga karena di sana bertaut (1) bentuk
kuatren yang rapi, konvensional, dan (2) ekspresi yang tak
lurus, nonlinear, bahkan campur aduk—benturan yang sering
ganjil.

Campur aduk: di dalamnya kita bertemu dengan seorang
laki-laki pendatang yang guyah di kota yang ”diburu resah”, di
se­buah katedral angker dari abad ke-12, seorang asing di negeri
asing tapi merasa nyaman dengan keasingan itu: ”Di bumi
Perancis/Di bumi manis”.

Bait pertama sajak ini melukiskan rasa harap-harap cemas
ten­tang Tuhan ketika hari pucat bersalju:

Akan bicarakah Ia di malam sepi

Catatan Pinggir 11 55

PASAH

Kala salju jatuh dan burung putih-putih

—sementara kita tahu, ini sebuah sajak Paskah. Dan
Paskah, apalagi di Prancis, bukan hari yang dingin. Paskah
dalam bahasa Inggris disebut Easter, dari kata ”Estre”, nama
dewi cahaya yang mulai bangkit.

Tampak, ke dalam sajak ini menyusup ingatan tentang
sebuah momen lain, sebuah hari Natal, ”kermis”, di musim
ketika pohon tak berdaun—ketika di dinihari penduduk
Chartres pulang dari misa:

Ketika malam itu sebelum ayam berkokok
Dan penduduk Chartres meninggalkan kermis
Tersedu ia dalam daunan malam rontok
Mengembara ingatan di hujan gerimis

http://facebook.com/indonesiapustaka Maka Natal dan Paskah pun berbaur, dengan kontrasnya,
tapi juga dengan kemurungan yang sama (”tersedu”):

Menangis ia tersedu di hari Paskah
Ketika kami ziarah di Chartres di gereja
Doanya kuyu di warna kaca basah
Kristus telah disalib manusia habis kata

Pada titik ini, Sitor mengingatkan: Natal adalah berita
baik, ta­pi dalam misteri dan kecemasan, dan Paskah menandai
harap­an kebangkitan dari kematian, tapi juga menandai
apa yang sur­am. Kristus disalib, dan umatnya (”manusia”)
kehilangan mak­na (”habis kata”).

Di sajak ini adegan-adegan memang saling memintas. Tiap
mo­men bukan hanya satu thema. Cerita Paskah adalah cerita

56 Catatan Pinggir 11

PASAH

”Air mata resah” tapi juga ”bunga-bunga merekah”.
Dengan kata lain Paskah—begitu pula tiap momen dalam

hid­ up—mengandung dikotomi yang tak menghilangkan
sa­lah satu sisinya. Air mata itu tak membuat kembang yang
mekar lenyap. Tiap situasi menyimpan unsur yang lain, dan
dengan begitu menafikan keutuhannya sendiri. Yang utuh
murni tak pernah ada.

Bahkan dengan latar belakang katedral yang sejak abad ke-
12 jadi tempat ziarah itu, dosa tak sepenuhnya selesai dan iman
tak seluruhnya bersih:

Demikianlah kisah hari Pasah
ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta dan kota
Karena dia, aku dan isteri yang setia

Maka malam itu di ranjang penginapan
Terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan
Bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan
Lambaian cinta setia dan pelukan perempuan

http://facebook.com/indonesiapustaka Goda, zina, kota yang ruwet, kota yang asing—semua
itu mengharu biru. Berbareng dengan itu, rasa bimbang pun
mengu­ sik antara cinta kepada pacar dan ingatan kepada istri,­
ant­ara perselingkuhan dan kesetiaan (”Hati tersibak antara
zinah­dan setia”, demikian disebut dalam bait lain). Syahwat di
ranjang penginapan itu juga berkecamuk, sementara nyanyian
suci gereja masih terngiang-ngiang di telinga....

Tiap puisi yang indah mengandung khaos: sesuatu yang tak
tersangka-sangka yang belum ditertibkan sebuah blueprint.

Catatan Pinggir 11 57

http://facebook.com/indonesiapustaka PASAH

Sebuah sajak yang kuat adalah sebuah rimba tropis yang tak
hendak jadi taman-sari kerajaan. Ada sudut dan saat yang gelap
yang tiap kali membangkitkan rasa terkesima dan ingin tahu.

Sebab itu puisi yang memukau bukanlah sebuah petuah,
bu­kan khotbah di mana semua hal tegas, lempang seperti ba­
ris­an tentara yang tak memberi peluang lain.

Dan bila sajak Sitor Situmorang ini memukau, karena
ia me­negaskan kembali peluang yang lebih luas itu: dalam
kontra­diksi dan campur aduk. Saya kira bukan kebetulan ia
memakai kat­a ”Pasah” dan tak hanya ”Paskah”. Kata ”Pasah”
lebih dekat ke istilah Ibrani, Pesach, yang mengingatkan kita
kepada percampuran antara yang Yahudi dan yang Nasrani
dalam sejarah ritual ini.

Dengan kata lain (sebagaimana kata Easter merupakan
pem­b­ auran dengan kepercayaan yang bukan Kristen), tak
ada iman yang berdiri sendiri, tanpa pendahulu, tanpa
sistem keperc­ ayaan yang beda. Mungkin itu sebabnya Sitor
Situmorang,­yang Protestan, tak merasa janggal menulis dari
ruang sebuah ka­tedral Katolik yang luput dari penghancuran
oleh umat Huguenot ketika berkobar perang antar-agama
di Prancis­abad ke-16. Sang penyair tak merasa harus murni
dalam kepercayaa­ nnya.

Kemurnian memang sering berarti kesatusisian. Banyak hal
bertaut, juga berbenturan, dalam paradoks yang tak mudah
dipahami:

Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatu padu

58 Catatan Pinggir 11

PASAH

Jangan-jangan manusia seperti puisi: sebuah kosmos, kesa­
tuan yang tampak konvensional, tapi sebenarnya dibangun da­
lam ketidakmurnian yang penuh sengkarut. Ia melelahkan, ia
tak membosankan.

TEMPO, 7 April 2013

http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 11 59

http://facebook.com/indonesiapustaka

60 Catatan Pinggir 11

TERMINAL

http://facebook.com/indonesiapustaka SAYA tak tahu persis dari mana kata ”preman”. Ada yang
men­ gatakan asal-usulnya dari kata Belanda vrijman—
dengan tekanan pada vrij, ”bebas”.

Jika benar demikian, saya kira itu kata yang pas. Mereka
jenis penghuni sebuah wilayah yang memb­ ebaskan diri dari
hukum wilayah itu. Mereka orang yang berada di sebuah
ruang yuridis-politis, tapi menunjukkan­diri, terang-terangan
atau tidak, sebagai perkecualian—dan dengan demikian
mengambil alih kedaulatan di tangan sendiri.

Bunuh-membunuh yang terjadi pekan lalu di Yogya dan
Sleman—ketika praktis Republik Indonesia dianggap tak
punya arti—adalah pengukuhan bahwa kedaulatan direbut
mer­e­ka yang tak mengakui hukum sebagai penjaga ketertiban.
Ba­gi mereka, ketertiban hanya bisa lahir dari nyali dan ke­
kejaman. Akhirnya, sebuah paradoks: ketertiban berdiri
dengan ket­idaktertiban dan mereka adalah warga dari sebuah
negara tapi yang sekaligus berada di luarnya.

Bukan fenomena yang unik sebenarnya. Sang preman bis­a
ada di mana-mana, muncul dari zaman ke zaman. Pada per­
tengahan abad ke-19, di Manhattan, New York, ada seorang
tok­ oh yang kemudian dikisahkan kembali hidupnya dalam
Gangs of New York, sebuah film Martin Scorsese. Ia Bill ”the
Butcher” Cutting yang kata-katanya seakan-akan bergaung di
Yogya dan Sleman malam itu, dan mungkin juga di Jakarta di
hari lain:

Catatan Pinggir 11 61

http://facebook.com/indonesiapustaka TERMINAL

”Seseorang mencuri milikku, aku potong tangannya. Ia menghinaku, aku
cop­ ot lidahnya. Ia bangkit melawanku, aku penggal kepalanya, lalu kucoblos­
dan kupasang di tonggak, tinggi-tinggi, supaya semua orang bisa lihat. Itu
yang bikin tata tertib. Rasa takut.”

Bill ”the Butcher” sendiri tewas dalam serbuan tentara yang
hend­ ak menegakkan ketertiban. Ia terpelanting jatuh oleh
sebuah ledakan. Akhirnya seorang anak muda yang hendak­
mem­balas kematian ayahnya menikamnya. Kata-kata ter­
akhir­n­ ya: ”Thank God, I die a true American.”

Tak jelas apa yang dimaksudkannya. Ia terbunuh karena
aparat negara hendak menegakkan kedaulatannya. Ia juga
terbunuh karena seseorang merasa punya kedaulatan atas hidup
dan matinya. Adakah hidupnya habis sebagai seorang preman,
ataukah sebagai seorang warga negara, ”a true American”? Ia
telah meletakkan dirinya sebagai orang yang merdeka, ia bukan
budak, tapi ia tak mengakui bahwa kemerdekaannya, hak-
haknya, dijamin dan dijaga sebuah republik yang sebenarnya
ia ingkari: republik yang mengakui hak warga negara dan hak
asasi manusia.

Tapi barangkali Bill ”the Butcher” termasuk orang yang
membedakan hak warga negara dari hak asasi itu—seperti
pe­nguasa Nazi Jerman, Soviet Stalin, Orde Baru Soeharto,
dan anggota TNI yang membunuh empat orang (yang telah
mereka tentukan sebagai penjahat dan pembunuh) tanpa
memberi me­reka kesempatan membela diri.

Memang sebuah pertanyaan besar: apa yang memper­­
tautkan hak warga negara dengan hak asasi manusia?
Jangan-jan­ gan­ ”manusia” di situ sebenarnya hanya sebuah
konsep.­ Jangan-j­angan hak jadi hak ketika sebuah negara

62 Catatan Pinggir 11

TERMINAL

http://facebook.com/indonesiapustaka mengukuhkann­ ya. Dalam praktek, tanpa negara, manusia
memang bisa diperlakukan seakan-akan telanjang.

Ada seseorang bernama Mehran Karimi Nasseri. Ia lahir
di Iran, pada 1942. Ayahnya seorang Iran asli, seorang dokter
yang bekerja untuk perusahaan minyak milik Iran dan
Inggris. Ibunya, demikian dikatakannya, seorang perawat
dari Skotlandia. Pada 1971, ia diusir dari Iran karena aktif
menentang ke­kuasaan Shah Iran. Setelah ikhtiar yang lama dan
susah, ia men­dapat bantuan Komisi PBB urusan pengungsi: ia
diberi kes­empatan jadi emigran di Belgia.

Tapi pada 1986 ia memutuskan akan tinggal di Inggris.
Ia merasa berhak karena ibunya warga negara itu. Dua tahun
kemudian ia berangkat. Apa lacur, di Paris tasnya dicuri orang.
Semua dokumennya, juga paspornya, hilang. Tapi ia nekat.
Ia tetap berangkat dengan pesawat ke London. Di Heathrow,
tanpa paspor, ia tak boleh masuk. Ia dikembalikan ke Paris.­
Menurut hukum ia, dengan tiket yang utuh, boleh masuk ke
Bandara Charles de Gaulle. Tapi dari sana ia tak bisa keluar;­
ia tak punya visa untuk Prancis. Juga ia tak punya negara lagi.
Belgia juga menolaknya, sebab menurut hukum negeri itu
seorang emigran yang sudah pindah ke negara lain tak bisa
kembali sebagai penduduk.

Nasseri akhirnya hidup di Terminal Satu Bandara Charles
de Gaulle selama 17 tahun—dan kisahnya digubah jadi sebuah
film Prancis, Tombés du ciel (”Yang Jatuh dari Langit”, 1994),
dan film Hollywood, Terminal (2004), dengan Tom Hanks
sebagai orang yang terdampar, bernama Viktor Navorski,­dari
ne­geri Krakozhia, yang pemerintahannya berganti dan tak di­
akui dunia.

Catatan Pinggir 11 63

http://facebook.com/indonesiapustaka TERMINAL

Ia tak boleh masuk. Ia tak boleh keluar. Ia bebas. Tapi ia
tak merdeka. Tragis, tapi juga lucu. Apakah hak-hak manusia
adalah hak warga negara? Ataukah hak warga negara adalah
hak-hak asasi manusia?

Status Nasseri mengharuskan kita berpikir: perbedaan
antara ”manusia” dan ”warga negara” justru membuka
jalan sese­orang untuk jadi subyek perjuangan politik yang
menggugat ta­tanan yang bisa membuat orang terdampar di
luar kehendakn­ ya.

Dalam arti tertentu, subyek itu mirip seorang vrijman. Ia
membebaskan diri dari tatanan yuridis-politik yang ada. Tapi
ia lain dari preman dalam Gangs of New York: bukan ketertiban
dan kontrol yang hendak ditegakkannya, apalagi dengan
kekejaman yang menyebarkan rasa takut. Preman dalam
sebuah perj­uangan politik ke arah hak-hak justru menampik
ketertib­an yang akan jadi status quo.

Ia akan menggunakan posisinya di terminal yang tak jelas
itu sebagai thema: akan ada selalu mereka yang kehilangan
hak,­dan akan ada selalu yang melawan keadaan kehilangan
itu.

TEMPO, 14 April 2013

64 Catatan Pinggir 11

THATCHER

”...you know, there’s no such thing as society”

—Margaret Thatcher

http://facebook.com/indonesiapustaka JIKA benar bahwa yang disebut ”masyarakat” sesungguhnya
tak pernah ada, apa yang terjadi? Jika benar yang ada adalah
individu-individu, bukan kebersamaan, apa yang terjadi?

Pada umur 22, Margaret lulus dari Somerville College,
Oxford, dalam ilmu kimia. Ia diterima bekerja di sebuah
perusahaan plastik. Di laboratorium British Xylonite itu
ia mengembangkan cara merekatkan polyvinyl chloride ke
logam....

Saya kira wajar jika kimiawan yang terbiasa di laboratorium
ini menghadapi dunia sebagai himpunan problem untuk
dipec­ ah­kan dan dikuasai. Wajar bila ia melihat hidup terdiri
atas anas­ir yang bisa dianalisis dan diisolasi dan melihat
”masyarakat” hanya sebagai konsep. Dalam pengalaman
empiris, kita tak pernah ketemu makhluk itu.

Yang kita temui politik. Yang kita temui politik sebagai
antagonisme.

Margaret Thatcher mulai memasuki kancah itu pada 1948
dan jadi anggota Parlemen 10 tahun kemudian. Ia, anak pe­
remp­ uan seorang pemilik toko, menempuh jalan yang tak
gamp­ ang. Ketika ia jadi pemimpin Partai pada 1975, separuh
pe­rempuan Inggris hanya tinggal di rumah sebagai istri atau
ibu. Bisa dimengerti bila bagi wanita pertama yang jadi perda­

Catatan Pinggir 11 65

http://facebook.com/indonesiapustaka THATCHER

na menteri dalam berabad-abad sejarah Inggris ini, politik ada­
lah pergulatan. Dalam film tentang riwayat hidupnya, Iron
Lady, kita lihat Thatcher (diperankan Meryl Streep) berkata,
te­gas, congkak: ”With all due respect sir, I have done battle, every
single day of my life.”

Kata yang dipakainya ”battle”, peperangan. Politik baginya
tak bergerak karena permufakatan. Ketika ia jadi pemimpin
Part­ai Konservatif pada 1975, ia menegaskan bahwa yang
memb­ entuk dirinya bukanlah politik konsensus, melainkan
”ke­yakinan”.

Keyakinan: sesuatu yang tak bisa dinegosiasikan. Thatcher
se­orang Kristen Methodis, tapi bukan cuma dalam agama
ia tak ragu. Di sebuah pertemuan Partai Konservatif tahun
1970-an ia mengambil sebuah buku Friedrich von Hayek
dan membantingnya ke meja sambil berkata, ”Inilah yang
kita yakini!” Sebelum umurnya 30 tahun, ia sudah membaca
karya pemikir kelahiran Austria yang dikenal sebagai musuh
sosialisme itu.

Sosialisme, bagi Thatcher, adalah janji yang salah ke masa
de­pan. Sebagai perdana menteri, ia buat rapuh gerakan buruh.
Baginya, serikat sekerja—dengan tuntutan upah yang terus-
men­ erus, dengan perlawanan mereka terhadap pembaruan tek­
nologi yang mengurangi jumlah pekerja—adalah penghambat
gerak maju perekonomian.

Thatcher menendang dan mengubah. Ia tak ingin
meneruskan Inggris yang sejak awal abad ke-20 menyediakan
anggaran besar untuk melindungi orang yang tak produktif.
Ia tak percay­ a Negara harus membantu mereka yang miskin
dan yang lanjut usia. Sebuah welfare state baginya adalah

66 Catatan Pinggir 11

THATCHER

http://facebook.com/indonesiapustaka kedermawanan yang tak pada tempatnya.
Bersama itu, Thatcher menghentikan peran Negara dalam

per­ekonomian. Pasar bebas akan lebih efisien membereskannya.
Katanya, sebagai gaung dari pemikiran Adam Smith, ”Rakyat
harus mengurus diri sendiri dulu, kemudian mengu­ rus­orang
lain.” Negara lebih baik diam.

Dengan itu ia memang berhasil membangkitkan produkti­
vitas manufaktur nasional. Menurut survei OECD, Inggris,
yang pernah berada di peringkat ke-12, naik ke peringkat
ke-5 dalam periode 1979-1994. Bahkan memasuki 2007,
produktivitas per kepala di seluruh perekonomian sederajat
dengan Jerman. Di sini, terapi Thatcher yang menggebrak
terbukti manjur.

Tapi gebrakan itu juga melanjutkan politik sebagai
antagonisme. Inggris memang bukan lagi ”Si Sakit dari Eropa”,
tapi jumlah penganggur naik dari sekitar 4 persen jadi di atas 9
persen. Orang yang hidup di bawah garis kemiskinan mening­
kat­sampai di atas 22 persen. Jurang antara yang miskin dan
yang kaya melebar, dan Inggris jadi negeri yang paling parah
ke­timpangan sosial-ekonominya di Eropa.

Thatcher telah menghentikan sosialisme sebagai sebuah
utop­ ia. Tapi dengan segera sosialisme jadi sebuah nostalgia—
kenangan tentang sebuah masa ketika ”masyarakat” bukan
sebuah ilusi dan kebersamaan menenteramkan.

Tentu, kapitalisme bisa lebih efisien dan efektif menyedia­
kan barang dan benda yang diimpikan orang ramai. Tapi ada
yang luput dilihat: apa yang disebut Fred Hirsch sebagai ”social
limits to growth”, batas sosial pertumbuhan ekonomi. Ketika
kian banyak orang memperoleh benda dan barang yang langka,

Catatan Pinggir 11 67

http://facebook.com/indonesiapustaka THATCHER

baik mobil BMW dan Mercedes maupun gelar akademik, ke­
tika itu pula mereka yang memperolehnya belakangan tak
lagi merasakan keistimewaannya. Bahkan yang mereka alami
adalah jalan ke arah sukses yang desak-mendesak dan lowong­
an kerja yang tak bertambah lebar. Dan frustrasi datang
kembali.

Frustrasi itu menunjukkan bahwa kapitalisme juga sebuah
janji yang salah. Kompetisi ala Thatcher, bahkan permusuh­
an antarkelas sosial, menganggap kebersamaan atau bebrayan­
hanya impian manis. Tak dilihat bahwa dalam sebuah masya­
rakat ada dimensi politik yang lain: bukan hanya antagonisme.

Chantal Mouffe, yang memaparkan pemikirannya
tentang politik sebagai permusuhan, juga akhirnya mengakui:
meskipun antagonisme tak bisa hilang dari kehidupan
masyarakat, hub­ ungan itu bisa berubah jadi ”agonisme”.
Agon, dalam kamus sejarah Yunani, mengacu ke pertandingan
atletik. Sepert­i pertandingan atletik, tujuan pergulatan politik
dalam demok­ rasi adalah mengalahkan musuh, tapi juga
menghormatinya.

Mungkin Thatcher sendiri tak lupa akan hal itu. Ketika
ia pertama kali hendak memasuki Kantor Perdana Menteri,
Downing Street 10, ia kutip kata-kata orang suci dari Assisi:
”Di mana ada pertikaian, mungkin akan kita bawa keselaras­
an.”

TEMPO, 21 April 2013

68 Catatan Pinggir 11

PEREMPUAN DI LUAR GARIS YANG LURUS

http://facebook.com/indonesiapustaka IA hampir dilupakan. Ada yang mencatat ia lahir 21 April,
ada juga yang menyebutnya 20 April. Seperti Kartini, kata-
katanya, tulisannya, merupakan catatan harapan dan kepedih­
an perempuan Indonesia yang melawan dan terjepit. Tapi ia
bu­kan Kartini. Penuturannya lebih kompleks, lebih intim, le­
bih­terbuka, dan dengan latar yang lebih luas ketimbang surat-
surat Habis Gelap Terbitlah Terang.

Mungkin karena ia seorang novelis dan seorang aktivis ge­
rak­an kebangsaan: Soewarsih Djojopoespito.

Saya beruntung mengikuti sebuah paparan tentang sastra­
wan ini di Serambi Salihara 9 April yang lalu oleh Aquarini
Priyatna dari Universitas Padjadjaran. Dari sana saya tahu
Soew­ ars­ih bukan hanya pencerita yang baik tentang tekad
dan jer­ih­seorang istri dan juga aktivis gerakan nasionalisme
tahun 1930-an (dalam novel Manusia Bebas); ia juga bisa
mendeskripsikan tanpa kikuk gejolak berahi perempuan dan
perselingkuh­annya (dalam Marjanah).

Ia memang bukan orang yang lazim. Soewarsih lahir di
Desa Cibatok, 20 kilometer dari Bogor. Dalam Wikipedia
disebut ia anak petani buta huruf. Tapi tentang riwayat hidup
nove­lis­ ini saya banyak menggunakan bahan dari tulisan
Gerard Term­ orshuizen, sejarawan dari Universitas Leiden,
yang mene­mui Soew­ arsih pertama kali pada 1970 dan sempat
menyimpan­mem­ oarnya.

Dari bahan ini diketahui Soewarsih anak ketiga Raden

Catatan Pinggir 11 69

http://facebook.com/indonesiapustaka PEREMPUAN DI LUAR GARIS YANG LURUS

Bagoes Noersaid Djojosapoetro. Ayah ini keturunan Ke­
sultanan Cir­ebon. Ibunya yang lemah lembut, Hatidjah,
seorang perempuan Tionghoa dari keluarga kaya yang masuk
Islam.

Dengan latar keluarga seperti itu, keenam anak keluarga
Djojosapoetro bisa hidup tanpa beban. Di posisi sosial mereka,
kel­uarga itu bisa mengirim anak-anaknya ke sekolah di
Buitenzorg (kini Bogor). Sang ayah menyukai petualangan,
pandai mend­ alang, dan memperlakukan anak lelaki dan
perempuan se­tara. ”Kemajuan itu di tangan wanita,” katanya
kepada pen­du­duk Desa Cibatok.

Soewarsih (”Cicih”) dan kakaknya, Soewarni (”Nining”),
masuk ke Sekolah Kartini pada 1918, tingkat MULO (sekolah
dasar lanjutan), empat tahun setelah sekolah itu dibuka di
Bogor. Biaya sekolah ditanggung kakek mereka. Mereka
tinggal di asrama sampai suatu saat ongkosnya jadi terasa
terlalu mahal dan mereka terpaksa kembali ke rumah orang
tua. Mereka tekun dan pintar.

Sebagaimana diceritakan Termorshuizen, setelah lulus
MU­LO, Cicih, dengan beasiswa dari ”Dana Kartini”,
diterima­di sekolah pendidikan guru untuk bangsa Eropa—
satu dari dua anak Indonesia yang bisa masuk di kelas yang
berisi 30 murid itu. Seorang gurunya mengajarkan karya-
karya Multatu­li. Dan seperti para pemuda Indonesia waktu
itu yang merasakan betapa tak adilnya kekuasaan kolonial,
Cicih terkena efeknya. ”Ketika guruku membacakan sesuatu
dari Max Havelaar, aku tak lagi merasa sendirian di rumah.
Hidupku menjadi bermakna lagi, dan aku tahu ke mana aku
harus mengarahkan masa depanku.”

70 Catatan Pinggir 11

PEREMPUAN DI LUAR GARIS YANG LURUS

Masa depan itu adalah memimpin bangsanya yang 95
persen buta huruf.

Meskipun ia punya ijazah untuk mengajar di sekolah kolo­
ni­al, ia memilih jadi guru dengan gaji pas-pasan di sebuah ”se­
ko­lah liar”—sekolah yang didirikan kaum nasionalis tanpa
subs­idi gubernemen, sekolah yang murid-muridnya memberi
salam kepada bendera dan menyerukan lagu:

Lihatlah bendera kami,
Merah, Poetih, berkibar,
Dikibarkan hari ini,
Dengan hati jang riang

http://facebook.com/indonesiapustaka Di Batavia, di sekolah yang sama, ia bertemu dengan
Soegondo Djojopoespito; pemuda asal Tuban inilah yang
kemudian memimpin Kongres Pemuda tahun 1928 yang
bersejarah itu. Mereka menikah, tanpa perundingan dengan
orang tua, den­ gan keadaan nafkah yang berat berlarat-larat.

Juga dalam keadaan politik yang makin represif. Tahun-
ta­hun itu, sehabis pemberontakan kaum komunis di Banten
1926, baik pemerintah maupun masyarakat Belanda jadi
beringas. Kaum pergerakan ditangkapi, atau setidaknya
diawasi terus-menerus. Guru-guru ”sekolah liar” harus siap:
sewaktu-waktu mereka bisa didatangi polisi dan dilarang
mengajar.

Soegondo dan Soewarsih hidup dari kota ke kota, ke
Purwak­ art­a, Bandung, Semarang, dan—setelah gagal di
Semarang­—ke Bandung lagi, 1937. Soewarsih kehilangan
pekerjaa­ n.­

Catatan Pinggir 11 71

http://facebook.com/indonesiapustaka PEREMPUAN DI LUAR GARIS YANG LURUS

Pengalaman yang tak tenteram di tahun 1933-37 itulah
yang kemudian ia tuliskan dalam Manusia Bebas. Atau lebih
tepat, dalam versi pertamanya, dalam bahasa Belanda, Buiten
het Gareel (”Di Luar Kekang”).

Dengan catatan: itu sebenarnya bukan novel pertamanya.
Soewarsih pernah menulis sebuah novel berbahasa Sunda,
tentang seorang perempuan muda yang tak bahagia dalam
pernikahannya. Ia kirim naskahnya ke Balai Pustaka. Tapi
ditolak. Balai Pustaka, yang didirikan pemerintah kolonial,
menganggap karya itu tak cukup ”mendidik”.

lll

KETIKA kemudian Soewarsih menulis Buiten het Gareel,
ia tak bermaksud ”mendidik”.

Karya ini tak bisa dipisahkan dari E. du Perron. Sastrawan
Be­landa ini, yang lahir di Jatin­ e­gara pada 1899, mengunjungi­
ta­nah kelahirannya ketika umurn­ ya 39 tahun. Selama sekitar­
setahun tinggal di Indonesia,­ penyair-penulis yang sudah
terkenal dengan sebuah novel semi-otobio­grafis Het land
van herk­ omst (”Negeri Asal Usul”) itu bergaul akrab dengan
kalangan intelektual Indonesia dan Belanda yang progresif.
Ia ikut jadi redaksi Kritiek en Opbouw, sebuah berkala
antikolonial yang didirikan di Bandung oleh seorang sosialis-
demokrat, D.M.G. Koch, di tahun 1938 itu. Ketika Sjahrir
hidup di pembuangan, Du Perron menulis surat kepadanya,
menyatakan betapa ia, yang berdarah campuran, merasa
diterima dengan pas ketika­ber­ada di tengah orang Indonesia.

Di situlah Du Perron berkenalan dengan Soewarsih dan
Soeg­ ondo.

72 Catatan Pinggir 11

PEREMPUAN DI LUAR GARIS YANG LURUS

http://facebook.com/indonesiapustaka Ia mendorong Soewarsih menulis dalam bahasa Belanda.
Ia kem­ udian membawa naskahnya ketika ia kembali ke
Nederland untuk diterbitkan di Utrecht pada 1940. Dengan
itu Du Perron membuktikan harapannya: dalam bahasa
Belanda,­ Soew­­ arsih bisa membayangkan sedang berbicara
kepada pembaca yang asing, yang tak membuatnya rikuh
bila menyebutkan­hal-hal yang dirasa aib atau menyinggung
perasaan. Ia jug­ a ter­hindar dari kecenderungan didaktis.

Bisa diduga penulis Het land van herkomst itu memperkenal­
kan Soewarsih dengan pelbagai nuansa sebuah novel semi-
otobiografis. Agaknya ia juga memperkenalkannya dengan
sema­ngat modernisme: semangat yang membebaskan sastra
tidak saj­a dari konvensi, tapi juga dari tujuan apa pun yang
dipatok dit­etapkan.

Dengan demikian, dengan Du Perron, kalangan Kritiek en
Opbouw praktis berseberangan dengan kalangan Poedjangga
Baroe yang dipimpin S. Takdir Alisjahbana.

Dalam sebuah nomor Poedjangga Baroe Takdir pernah me­
nyerang pandangan Soejitno Mangoenkoesoemo, salah se­
orang teman Du Perron dan Soewarsih. Ditegaskannya kepa­
da Soejitno (”Mas Jit”) perlunya kesadaran akan ”tanggung
jawab” sosial seorang penulis—yang dalam polemiknya yang
la­in ia sebut sebagai kesadaran akan tugas dalam ”reconstructie
arbeid”, kerja pembangunan.

Tapi bagi Du Perron, suara macam Takdir adalah suara
”sas­tra serdadu” yang berbaris berderap mencapai sasaran.

Itu memang yang tampak, setidaknya bagi saya, dalam no­
vel­macam Layar Terkembang.

Karya Takdir yang terbit tahun 1937 ini berbicara tentang

Catatan Pinggir 11 73

http://facebook.com/indonesiapustaka PEREMPUAN DI LUAR GARIS YANG LURUS

dua perempuan muda terpelajar dengan semangat untuk
bebas dan maju. Tapi dengan segera terasa, Maria dan Tuti
hadir sebagai dua sosok yang ”emblematik”, perwujudan tipe
yang sudah disiapkan, bukan jiwa yang hidup dan sebab itu
kompleks dan tak selalu terduga. Novel ini adalah personifikasi
gagasan-gag­ asan.

Lain halnya Buiten het Gareel. Du Perron melihat, ber­
beda dengan karya sastra yang mengambil tema utama
zaman itu—per­juangan nasional, emansipasi perempuan—
novel Soewarsih menggeluti hal-hal itu sebagai ”pertanyaan-
pertanyaan kehidupan”. Dalam kata pengantarnya untuk
Buiten het Gareel, Du Perron menunjukkan bahwa ”elemen
politik” dalam novel itu sesuatu yang aksidental (bijkomstig).
Elemen itu ada hanya ka­rena dalam diri siapa pun penulis
Indonesia di masa Soewar­sih, intensnya kesadaran politik ”tak
bisa dihindarkan”.

Dengan kata lain, novel Soewarsih membuktikan, kesusas­
traan bukanlah bangunan ide yang mengarah. Kesusastraan
adal­­ah imajinasi yang berangkat dari dan di dalam penga­ lam­
an­antarmanusia.

Itu pula yang agaknya dilihat C.W. Watson, penelaah sastra
Indonesia dan guru besar emeritus antropologi sosial dari
University of Kent (kini mengajar di ITB), dalam analisisnya
ten­tang Buiten het Gareel. Novel ini, tulis Watson, memang
menggambarkan kekuasaan kolonial dan dampaknya yang
me­nek­ an. Tapi ia bukan sebuah teks dokumenter. Di atas
segalanya,­ini novel tentang ”utamanya hubungan-hubungan
antarperso­nal”—meskipun kita paham bahwa hubungan-
hubungan itu se­lalu dikonstruksi dalam konteks sebuah

74 Catatan Pinggir 11

PEREMPUAN DI LUAR GARIS YANG LURUS

pergulatan politik me­ngenai nilai-nilai, ”the context of a politics
of culture”.

Itu sebabnya tokoh-tokoh dalam novel Soewarsih ini orang
yang tetap unik di tengah sejarah yang menerpa siapa saja.
Unik, artinya tak bisa diulangi. Soewarsih tak menulis sebuah
no­v­ el sejarah; ia tak berlaku sebagai seorang bapak yang hendak
mewariskan sesuatu kepada generasi anaknya. Seperti dik­ e­
mukakan kembali oleh Aquarini Priyatna, dengan mengutip
Man­ usia Bebas (versi Indonesia Buiten het Gareel yang terbit
tahun 1959), Soewarsih mendokumentasikan hidupnya
dengan menuliskan ”hal-hal yang sepele dan cetek-cetek”.

Tapi dengan yang sepele itu ia mengenal ironi. Ia mengenal­
ke­bebasan. Bila dengan itu ia berbicara tentang dan sebagai pe­
rempuan, karena dalam novelnya perempuan bukan seba­gai
sebuah ide besar, bukan sebagai sebuah tujuan yang jauh tinggi.
Perempuan adalah yang dengan akrab selalu disentuhnya,­
menyentuhnya.

TEMPO, 28 April 2013

http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 11 75

http://facebook.com/indonesiapustaka

76 Catatan Pinggir 11

TERTAWA

http://facebook.com/indonesiapustaka ADA sebuah cerita yang saya temukan di Internet dan saya
ubah di sana-sini untuk para pembaca:
Pada suatu hari di Slovenia, seorang atheis sedang joging di
hutan. Ia menikmati hijau pohon-pohon seraya tubuhnya ber­ge­
rak­di udara pagi.

Tiba-tiba ia dengar suara mengaum. Ketika ia menengok, ia
li­hat seekor singa besar (dan tampak lapar) mengejarnya.

Ia la­ri,­ menerabas semak. Tapi malang tak dapat ditolak:
ia ters­ungk­ ur di sebuah sudut. Singa itu pun tegak di dekatnya
bersiap men­­ erkam.

Putus asa total, si atheis sadar: hanya Tuhan yang bisa me­nye­
la­matkannya. Ia insaf. Ia berdoa: ”Ya, Tuhan, bebaskan aku dar­i
he­wan buas ini. Jadikanlah ia makhluk yang kristiani.”

Tiba-tiba hutan bercahaya selama 30 detik. Mukjizat terja­di.
To­koh kita tahu, doanya dikabulkan.

Dan terdengarlah suara singa itu, takzim: ”Bapa kami yang
ada di Surga, terpujilah nama-Mu. Telah Kauberi aku santap­an
pagi yang lezat.”

Andaikata peristiwa itu terjadi benar-benar, kita tak akan
tert­awa. Seseorang yang tersungkur di hadapan seekor singa
yang lapar bukanlah adegan yang menggelikan. Keajaiban
yang membuat seekor singa bisa berbicara juga bukan kejadian
yang lucu. Cerita di atas kocak karena ia satu konstruksi imaji­
natif yang menabrakkan apa yang mula-mula tampak galib
(se­seorang ketakutan dan putus asa menghadapi maut) dengan

Catatan Pinggir 11 77

http://facebook.com/indonesiapustaka TERTAWA

apa­yang mendadak tak masuk akal dan tak terduga (si singa
jadi Kristen... dan tetap tak melepaskan mangsanya).

Tapi tak hanya itu. Ada olok-olok dalam lelucon tadi—dan
agaknya dalam tiap lelucon. Olok-olok, seperti yang kita kenal
di dunia anak-anak, adalah unsur penting dalam permainan.
Le­lucon yang baik tak pernah serius, tak pernah ingin berpetu­
ah. Cerita di atas tak bermaksud mengingatkan orang agar tak
jadi atheis atau agar tak berputus asa di dalam krisis. Tak ada
yang dicela. Tak ada pesan moral.

Tapi orang bisa melihat hal-hal yang nyata di dalam cerita
itu, samar ataupun tidak. Seorang atheis dan seorang Kristen
buk­ anlah sosok yang ganjil. Sebuah lelucon tak bisa seluruhnya­
terdiri atas alam fantasi. Ia menggelikan karena ia tak berada di
sat­u dataran; ia meloncat-loncat. Di dalamnya selalu ada dunia­
sehari-hari yang kita alami yang hadir, meskipun umumnya
tak pernah pas. Dalam batas tertentu, lelucon mengandung
pe­niruan.

Sebab itu tiap lelucon bisa diartikan sebagai parodi. Parodi,­
peniruan yang dibengkokkan pada saat yang menentukan,
kit­a temukan misalnya dalam cerita wayang yang terkenal,
Petruk Jadi Raja. Di sini, sang badut yang datang dari kelas
jelata­ bertakhta di Kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu
Welge­duwelbeh.

Pada momen itu, yang lucu, yang komik, muncul—meski­
pun­itu semua berhenti ketika lakon ini jadi sebuah satire.­”Sa­
tire­­is a lesson, parody is a game,” kata novelis Vladimir Nabokov
dalam sebuah wawancara. Satire bisa agresif dalam memperli­
hatk­ an kebodohan, keculasan, atau ketidakadilan, semacam
ajara­ n dan advokasi agar semua itu tak dilakukan lagi. Sebab

78 Catatan Pinggir 11

TERTAWA

http://facebook.com/indonesiapustaka itu satire tak merasa perlu jadi lucu. Lakon Petruk Jadi Raja,
ket­ika bermaksud mencemooh orang bawah ketika berkuasa,
akan menusuk hati bagi yang terkena; ia tak membuatnya
terbahak-bahak.

Parodi, sebaliknya, lebih cenderung nakal, jahil, tapi
tanpa si­kap militan yang menghantam sasaran. Di dalamnya
ada sifat humor yang mendasar. Di dalamnya tertawa adalah
untuk kami dan sekaligus untuk kita. ”Tertawa tampaknya
butuh sebuah gema,” kata Henri Bergson dalam risalahnya
tentang tertawa. Ketika kita tertawa sendirian di perpustakaan
membaca se­buah lelucon, kita sebenarnya tertawa bersama
dengan orang lain, entah di mana, baik dengan si pembuat
lelucon itu maupun mereka yang membaca lelucon yang sama.

Tapi sifat sosial humor tak cuma di situ. Jika satire sering
tak lucu tapi menusuk, itu karena ia disuarakan sebuah subyek
yang—seperti dalam perang propaganda—tegas, tajam, ga­lak,­
memandang sasaran sebagai sesuatu yang harus dijatuhkan.­
Satire bukan kelaziman para punakawan dalam wayang. Mere­
ka lucu benar karena tak menampilkan diri perkasa.

Sejak awal, mereka subyek-dalam-keterbatasan: jelek, tak
anggun, bahkan cacat. Mereka memandang dunia sebagai­pro­
yeks­i diri mereka: sesuatu yang rumpang, tak beres, tapi tetap
bis­a ditanggungkan jika kita mengambil jarak dari kerum­
panga­ n itu.

Ada kearifan dalam sikap itu, seperti kearifan Semar yang
berjalan jauh mengikuti pengembaraan Arjuna. Orang tua
ini tertawa ketika jalan terjal mendaki dan menangis ketika
jalan tur­un landai. Hidup kita sambut justru karena kesulitan
akan di­gantikan kemudahan, dan sebaliknya. Dengan kata

Catatan Pinggir 11 79


Click to View FlipBook Version