GOENAWAN MOHAMAD
CPaitantgaginr12
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 6 iii
TEMPO PUBLISHING
Kumpulan tulisan
Goenawan Mohamad
di Majalah Tempo, Januari 2015-Desember 2016
CPaitantgagin1r2
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 12 i
http://facebook.com/indonesiapustaka
ii Catatan Pinggir 12
Goenawan MohaMad
CPaitantgaginr12
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 12 iii
TEMPO PUBLIshInG
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 12
Goenawan Mohamad
Kumpulan Catatan Pinggir di Majalah Tempo,
Januari 2015-Desember 2016
Kata pengantar: Hamid Basyaib
Editor bahasa: Uu Suhardi
Indeks: Danni Muhadiansyah
Tata letak dan ilustrasi: Edi RM
Foto pengarang: Dwianto Wibowo
© Goenawan Mohamad
Hak cipta dilindungi undang-undang
Cetakan Pertama, 2017
MOHAMAD, Goenawan
Catatan Pinggir 12
Pusat Data dan Analisa Tempo, 2017
xxviii + 438 hlm.; 14.5 x 21 cm
ISBN 978-602-6773-18-0
iv Catatan Pinggir 12
Daftar Isi
http://facebook.com/indonesiapustaka ix Pengantar
2015
3 Dalam Sajak
7 Bencana
11 Mahomet
15 Tanda-Tanda
19 KPK
23 Pi-Kai
27 Pegida
31 Polisi
35 Pemimpin
39 Negara
43 Pi
47 Mati
51 O
55 Lee
59 Danton
63 Cacing
67 Grass
71 Bandung
75 Eksekusi
79 Atheis
83 Tukar
87 Indonesia
Catatan Pinggir 12 v
DAFTAR ISI
http://facebook.com/indonesiapustaka 91 Cinta
95 Piyadasi
99 Bocah
103 Gembrot
107 Sastrawan
111 Don Quixote
115 Narsisus
119 Tiga Huruf
123 Lebur
129 Gurun
133 Pesimisme
137 1945
141 Wallace
145 Imigran
149 Foto Itu
153 Metropolis
157 Luka
161 Sepatu
165 Kekejaman
169 28 Oktober
173 Soto
177 Padri Itu
181 Ingatan
185 L’État
189 Rojava
193 Kosmopolis
197 Ayaan
201 Peta
205 Teroris
vi Catatan Pinggir 12
DAFTAR ISI
http://facebook.com/indonesiapustaka 209 Yang Kiri, yang Tanpa Ajektif
2016
221 Apocalypse
225 Mani
229 Benci
233 Hatra
237 Sang Militan
241 TG
245 Nostalgia
249 Badui
253 Fayadh
257 Paranoia
261 Amangkurat
265 Sabangau
269 Einstein
273 Herakleitos
277 Pilatus
281 Ilmu
285 Subaltern
289 Maaf
297 tuhan
301 Mandalika
305 Almansor
309 Komunisme
313 Topeng
317 Kebenaran
321 Panggung
325 Attar
Catatan Pinggir 12 vii
DAFTAR ISI
http://facebook.com/indonesiapustaka 329 JPC
333 Terkutuk
337 Bekisar
341 Sumbang
345 Eropa
349 Orloj
353 Rivera
357 Batik...
361 Fobia
365 Huesca
369 Tiga Dara
373 Molek
377 Angsa
381 Rakyat
385 Aura
389 Bhima
393 Dylan
397 Kuning
401 Komedie
405 Dusta
409 Trump
413 Kitman
417 Yang Ditampik
421 Fidel
425 Amarah
429 Calas
433 Indeks
viii Catatan Pinggir 12
Stamina, Style,
Strategi Goenawan Mohamad
http://facebook.com/indonesiapustaka Hamid Basyaib
Catatan Pinggir pasti merupakan rubrik tetap ter
panjang yang ditulis oleh satu orang di sebuah majalah.
Guinness World Records layak mempertimbangkannya untuk
status ini.
Dimulai pada 1976, rubrik itu sudah lama identik dengan
penulisnya, jauh sebelum ia memasuki dekade kelima.
Bahkan, ketika Tempo dibredel pada 1994, ia tetap hidup. Ia
hadir di Suara Independen sampai Tempo terbit kembali (1998).
Di buletin bawah tanah itu, Catatan Pinggir bahkan tak jarang
muncul lebih panjang daripada di rumah aslinya.
Mengapa stamina penulisnya sedemikian tangguh hingga
ia mampu merawatnya setiap pekan selama lebih dari 40 tahun
tanpa henti?
Mungkin karena ia tak mengharapkan apa-apa dalam
konteks perubahan sosial dari kerja literernya. Ia sekadar
mengekspresikan pikirannya melalui halaman majalah yang
ikut ia dirikan dan lama ia pimpin itu. Dalam operasinya ia
bahkan tak mengikatkan diri pada sifat aktual sebuah majalah
berita.
Catatan Pinggir sangat jarang mengomentari langsung
peristiwa hangat yang terjadi pada pekan yang bersangkutan.
Pada umumnya ia mempertimbangkan news peg dengan cara
lain: menuturkan kisah paralel dari tempat yang mungkin
Catatan Pinggir 12 ix
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
sangat jauh dan dari masa yang sangat lampau. Ia menerapkan
strategi alusi—perangkat lazim penyair.
Dari segi sumber pun ia tak terikat hanya pada peristiwa
faktual. Bahkan terlihat tendensi pada penulisnya untuk lebih
suka mengutip karya fiksi sebagai ”preseden” atau kesejajaran
dengan peristiwa yang sedang terjadi di Jakarta atau kota-kota
lain.
Untuk memetik contoh yang agak baru, Catatan Pinggir
menuturkan peristiwa mirip yang dialami Gubernur DKI
Basuki Tjahaja Purnama, yang diadili dan akhirnya dihukum
untuk ucapannya yang dianggap menista agama mayoritas
publik. Sang Gubernur adalah pemegang minoritas ganda.
Dari segi sosial dan budaya, ia sangat lemah. Persis seperti
tokoh antihero dalam novel masyhur Harper Lee, To Kill a
Mockingbird, dengan setting awal abad ke-20 di sebuah kota
kecil di Amerika Serikat, di masa diskriminasi rasial masih
amat mencekam. Mengadili dan menghujat begitu keras
seseorang yang sedemikian rentan posisi sosialnya karena
perbedaan ras dan agama bagaikan membunuh mockingbird,
burung mini yang diindonesiakan dengan sangat baik dan
dijadikan judul, ”Burung-Tiru”.
Watak, isi, dan gaya seperti itu menambah keunikan
Catatan Pinggir sebagai karya jurnalistik. Ia tampil sebagai
rubrik tetap (belakangan, ia hadir di halaman akhir Tempo),
tapi ia bukan tajuk rencana atau editorial. Hadir dengan byline,
ia murni suara penulisnya.
Dari segi itu pun Catatan Pinggir tak berpreseden dalam
sejarah jurnalistik Indonesia. Bahkan hingga kini tak ada
media serupa yang memelihara rubrik sejenis—apalagi yang
x Catatan Pinggir 12
STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
http://facebook.com/indonesiapustaka ditulis hanya oleh satu orang. Saya duga dalam hal ini Tempo
diilhami oleh Combat (1941-1974), majalah tempat Albert
Camus bekerja di masa pendudukan Jerman atas Prancis di
Paris; oleh rubrik yang ditulis orang Prancis-Aljazair itu.
Sikap sumeleh kepenulisan Goenawan Mohamad, yang
tak mengharapkan letupan pengaruh sosial dari tulisan-
tulisannya, ia pegang dengan konsisten. Sikap ini semakin
jelas jika, misalnya, dikontraskan dengan Bondan Winarno,
meski dengan alasan yang lebih personal, tanpa terkait dengan
”perubahan sosial”. Beberapa tahun lalu, ia mengumumkan:
ia berhenti menulis cerita pendek. Alasannya ia nyatakan
dengan tegas: setelah sekian lama menulis cerpen dan
mempublikasikannya di media massa ternama, pengakuan
dari komunitas sastra tak kunjung ia terima.
Isu ”sastra dan perubahan sosial” itu pula yang diangkat
Goenawan dalam mengkritik Sutan Takdir Alisjahbana (STA)
dalam esainya di Horison pada awal 1980-an. Ia mengkritik
kredo ”sastra bertendens” yang sudah diungkapkan STA
puluhan tahun sebelumnya dan ia amalkan dalam novel-
novelnya. Sastra, menurut STA, harus terlibat dalam masalah-
masalah yang dihadapi masyarakat; bahkan diharapkan
memberi solusi atas problem-problem itu. Goenawan menolak
pembebanan berlebihan dan tak pada tempatnya terhadap
pundak sastra dan kesenian pada umumnya.
Baginya, fungsi sastra adalah medium ekspresi individual.
Mungkin saja problem yang ditanggapi sang pengarang
adalah masalah sosial, tapi tanggapannya niscaya personal dan
subyektif, jauh dan memang tak perlu berpretensi memecahkan
masalah tersebut. Mungkin pula pembaca memetik ide sosial
Catatan Pinggir 12 xi
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
dari ekspresi individual sang pengarang.
Tapi yang penting diingat: sastra bukanlah SK menteri
atau kebijakan pemerintah. STA menanggapi, lalu terjadilah
polemik di majalah bulanan sastra tersebut.
Tak lama setelahitu,arenasastradiramaikandenganwacana
dan polemik ”sastra kontekstual”, dengan pencetus awal
Arief Budiman, Ariel Heryanto, dan kemudian dimeriahkan
sejumlah orang. Goenawan hampir tak melibatkan diri dalam
kancah polemik ini, yang sebenarnya versi baru atau perluasan
saja dari sastra bertendens, dan untuk ini ia sudah panjang-
lebar memaparkan posisinya.
Terlepas dari isi dan posisi setiap pihak, polemik semacam
itu sangat baik dan mencerdaskan. Publik Indonesia sejak itu
hanya menikmati serpihan-serpihan dangkal dari apa yang
disebut ”kritik sastra”—yang masih terus goyah pengertiannya
dan langka contoh karyanya.
***
Dengan stamina tinggi berkat sumelehnya, Goenawan
Mohamad mengalirkan pengaruh besar pada banyak aspiran
penulis. Boleh dikata, dari semua penulis muda Indonesia yang
berniat serius menapaki karier sebagai kolumnis dan esais, tak
ada yang lolos dari bayang-bayang pengaruhnya.
Beberapa orang kemudian terlihat berhasil membebaskan
diri dan menemukan suaranya sendiri. Beberapa lagi tampak
gagal—atau merasa keterpengaruhannya telah menjadi
gaya autentiknya sendiri. Terlihat juga ada yang sejak awal
menghindari pengaruh Goenawan karena menyadari
”bahaya”-nya, tapi tanpa sadar terpengaruh pula dari sisi lain
xii Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
atau dengan cara lain; sebutlah terpengaruh secara negatif.
Keseluruhan fenomena pemengaruhan inilah yang oleh
kritikus sastra Harold Bloom disebut dalam judul esainya yang
masyhur, The Anxiety of Influence—sebuah frasa mengejutkan
yang tepat; dengan contoh pahlawan abadi Bloom, William
Shakespeare, sebagai nenek moyang kaum penyair dan
sastrawan; meski belakangan Bloom mengakui Shakespeare
pun sempat dipengaruhi Christopher Marlowe, rekan
sezamannya. Walaupun Bloom memaparkan mekanisme
perpengaruhan itu dalam konteks sajak, teori puisinya itu
berlaku pula pada penulisan esai. Ia membagi enam tahap
pengaruh dari penulis terdahulu pada penulis kemudian, dan
seseorang mungkin mengalami keenam tahap itu, mungkin
pula hanya satu atau dua tahap. Tahap ”pembebasan diri”
disebutnya kenosis.
Pesona gaya Goenawan Mohamad memang tak gampang
ditangkal oleh aspiran penulis dan tentu saja juga oleh
pembaca umum. Ia memadukan dengan amat mengesankan
keterampilan jurnalistik dan kecanggihan sastra. Ia sangat
menguasai teknik standar presentasi ide tapi menyajikannya
dengan cara yang tak prediktabel, menjadikan keseluruhan
gaya paparan esainya unik tapi tanpa terkesan bergaya-gaya
dan sekadar memburu cara ungkap yang berbeda, selain tetap
memenuhi elemen-elemen jurnalistik, seperti informatif, logis,
dan bersumber jelas.
Tak ada yang baru di bawah matahari, kata orang Belanda.
Isi esai-esai Goenawan pun mungkin tak ada yang baru—
bukankah ia gemar sekali mengutip begitu banyak tulisan
orang lain dari masa lalu? Itu artinya apa yang ia katakan sudah
Catatan Pinggir 12 xiii
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
lama dikatakan orang lain.
Tapi ia menyajikannya dengan cara baru. Dan persis itulah
inti kerja penulisan: mengemukakan hal lama dengan cara
baru. Dan dengan itu pula hal lama bisa terasa baru; atau
bahkan pembaca bisa menemukan hal baru di dalam ihwal
lama atau gabungan hal lama yang disintesiskan oleh penulis
Catatan Pinggir.
Begitulah, di tangan Goenawan, pernyataan lama yang
sudah pernah kita baca pun mendapat kesegaran baru dan
merangsang kita untuk mempertimbangkan konsekuensi-
konsekuensi baru. ”Kita mungkin tak setuju dengan
perspektifnya,” ujar seorang penulis senior Indonesia, ”tapi
cara Goenawan mengungkapkannya membuat kita terpukau.”
Dalam melakukan itu, kepenyairannya sangat me
nopangnya, khususnya dalam memilih diksi, selain piawai
dalam mengerahkan alusi dan metafor yang tajam. Ia begitu
terbiasa menghindari klise, termasuk dalam struktur, sampai
kemampuannya mendapatkan diksi yang tak klise itu,
bahkan juga sambil mempertimbangkan bunyi kata, bukan
hanya makna persisnya, telah menjadi naluri—sebagaimana
keahliannya dalam membuat intro tulisan. Tekniknya telah
sangat dikuasainya dan telah ia terapkan begitu sering, hingga
menjadi instingtif. Pembukaan tulisannya selalu memikat,
mencengangkan, mengherankan, pendeknya mendorong
orang untuk melanjutkan pembacaan.
”Ada sebuah kota fantasi yang terbelah. Tapi barangkali
tak istimewa. Tiap kota besar selalu terbelah.” ”Bangsa lahir
dan tumbuh dengan sejenis lupa. Bangsa lahir dan bertahan
dengan sebekas ingatan.” ”Apa yang bisa kita lakukan terhadap
xiv Catatan Pinggir 12
STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
http://facebook.com/indonesiapustaka masa lalu, ketika kita berdiri tercengang di puing-puing
Hatra?” Tidak ada penulis Indonesia yang membuka tulisan
dengan topic sentence semacam itu.
Jika ia tak menemukan kosakata tertentu dalam kamus
untuk ihwal, peristiwa, atau perasaan tertentu, ia berani
menjalankan fungsi seorang penulis: menciptakan kata atau
frasa baru.
Ketika dramawan Rendra pulang dari studi di Amerika dan
bereksperimen dengan gaya berteater baru pada 1968, publik
(dan Rendra sendiri!) tidak tahu nama model drama ”Bip Bop”
yang hanya berisi aneka gerak dan nyaris tak ada dialog itu,
Goenawan menemukannya: teater mini-kata. Ketika film-film
India mulai masuk ke Indonesia pada pertengahan 1950-an
dan membawa serta musik ilustrasinya, publik menamainya
musik Melayu; grupnya dinamai orkes Melayu (OM).
Muncullah sejumlah besar OM—Pancaran Muda, Soneta,
Radesa, dan lain-lain—di tingkat ”pusat”, dan banyak sekali di
daerah. Lama-kelamaan penamaan itu terasa tidak tepat.
Itu adalah nama untuk jenis musik dari kawasan Melayu,
khususnya Deli, Sumatera Utara, dengan instrumen pokok
gambus (oud), akordeon, biola, dan rebana (bukan gendang).
Goenawan memperkenalkan nama yang segera dianggap
pas oleh publik melalui majalah Tempo dan belum dijadikan
lema oleh kamus: dangdut—diilhami bunyi alat yang men
definisikan jenis musik itu, gendang, yang di negeri aslinya
disebut tabla. Bahwa banyak OM tetap OM dan enggan
menggantinya dengan OD, itu cerita lain.
Begitu pula halnya dengan frasa burung-tiru yang sudah
disebut di atas. Mockingbird belum diterjemahkan, sampai ia
Catatan Pinggir 12 xv
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
menemukan burung-tiru. Ia juga memilih turah (Jawa) untuk
makna lebih atau berlebihan, atau lebih tepat: keberlebihan
yang tak perlu.
Sangat jarang penulis, di seluruh dunia, yang berani
menempuh risiko itu. Kembali kita perlu menyebut
Shakespeare, yang menurut Harold Bloom menyumbangkan
kira-kira 1.800 kata baru dalam bahasa Inggris. Penulis Inggris-
India Salman Rushdie termasuk yang suka melakukannya,
umumnya berupa ”pelesetan”, meski kegemarannya dalam
bermain kata cenderung turah sampai ia lupa fungsi pokok
novel sebagai penuturan cerita (storytelling), seperti dikritik
oleh pengulas novel barunya di majalah Economist.
Tapi produsen paling produktif untuk kosakata baru
bukanlah kaum penulis, melainkan para ilmuwan, untuk
menamai temuan-temuan baru mereka. Juga para waria
ataupun ”anak gaul”, yang setiap hari menemukan kata baru
sebagai ragam lisan, dengan cara pembentukan yang tak
berpola dan serampangan, yang tampaknya sekadar untuk
mencapai efek ”asyik” dan kadang kocak, mungkin juga
sejenis pemberontakan terhadap kemapanan sosial—dan yang
terpenting: mereka hanya memodifikasi bunyi atau susunan
kata/frasa yang sudah ada, tanpa memperkaya muatan
konseptualnya.
Ia juga yang memperkenalkan dan menerjemahkan sebuah
frasa dari karya Milan Kundera, The Book of Laughter and
Forgetting. Kalimat yang dikutipnya dalam sebuah Catatan
Pinggir: ”Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah
perjuangan ingatan melawan lupa” (”The struggle of men against
power is the struggle of memories against forgetting”). Lalu frasa
xvi Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
”melawan lupa” menjadi terkenal; disebut oleh banyak orang
dan dalam berbagai konteks, sampai mendekati klise. Metro
TV bahkan punya program tetap mingguan ”Melawan
Lupa”—tampaknya tanpa tahu asal-usul frasa itu dan siapa
yang mempopulerkannya.
Tapi sumbangan Goenawan Mohamad pada pertumbuhan
bahasa Indonesia melampaui sekadar dalam diksi. Ia terutama
menyumbang besar dalam bentuk presentasi ide dengan
warna sastra yang kuat, dan menjadikan pemaparan gagasan
dalam bahasa Indonesia terasa modern, cerdas, dan memenuhi
persyaratan kompleksitas yang selayaknya ada pada pemaparan
ide yang berkualitas.
Panitia Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru)
1981 layak dipuji karena menjadikan sebuah Catatan Pinggir
sebagai bahan ujian untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Intro esai berjudul ”Roots” itu, yang saya baca di ruang ujian
Sipenmaru di Yogya: ”Alex Haley menulis Roots.” Sebuah kisah
tentang penelusuran leluhur seorang penulis kulit hitam yang
dituangkan dalam karya otobiografis. Berpuluh-puluh soal
ujian kemudian bertolak dari esai itu.
***
Yang mengagumkan, Goenawan sudah menguasai
serta memilih teknik dan gaya penulisan yang kemudian
membawanya ke kemasyhuran karier itu sejak usia belia.
Setahu saya, ia sudah memakai gaya itu paling tidak sejak
1961 atau 1962, saat ia melibatkan diri dalam polemik tentang
tuduhan plagiat kepada Buya Hamka oleh Pramoedya Ananta
Toer di halaman sastra (”Lentera”) yang diasuhnya di koran
Catatan Pinggir 12 xvii
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
Bintang Timur.
Pramoedya menghujat Hamka dengan sangat keras
untuk apa yang menurut dia telah diperbuat Hamka, yaitu
menjiplak karya Mustafa Lutfi al-Manfaluti, pengarang Mesir
yang dianggap pelopor sastra Arab modern, untuk novel
masyhurnya, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Sejumlah penulis lalu melibatkan diri dalam polemik
yang memanas itu, mengingat suasana politik kala itu dan
mengingat posisi Hamka sebagai ulama yang sangat dihormati.
Sebagian besar peserta polemik memilih kubu Pramoedya
(meski mereka tampak kesulitan menyamai keganasan
penanya), dan rupanya hanya Goenawan Mohamad dan
H.B. Jassin yang cenderung membela Hamka atau setidaknya
berusaha memproporsionalkan perkara. Ditulis 57 tahun
silam, dua tulisannya di buku itu mencerminkan kedewasaan
dan wawasan matang, selain menampilkan gaya yang berbeda
dengan semua tulisan lain yang tampil di sana.
Sangat menarik melihat bagaimana ia sudah menemukan
bentuk suara yang diinginkannya dalam usia yang begitu muda,
dan bentuk itu dipegangnya sampai enam dekade kemudian.
Pembaca juga akan menemukan gaya serupa, misalnya dalam
kritik panjangnya yang mengesankan atas antologi puisi Saini
K.M. pada 1968; suatu kritik yang kualitasnya jarang terlihat
di masa itu, juga hari ini—kritik sastra memang tamu yang
sangat jarang berkunjung ke rumah kesusastraan Indonesia,
bahkan di tengah suburnya pertumbuhan karya sastra dalam
20 tahun terakhir.
Atau juga pada esai otobiografisnya pada 1969, Potret
Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang, di mana ia
xviii Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
memakai bentuk orang ketiga (ia atau dia) untuk menuturkan
sudut pandang dirinya sendiri. Mungkin ini percobaan
pertama dalam seni penulisan di Indonesia, dan memang tak
pernah menjadi lazim sampai sekarang.
Semua penulis tahu bahwa menggunakan cara itu tidaklah
mudah, setidaknya lebih sulit daripada cara lumrah yang
sekadar perpanjangan dari ragam lisan, yaitu memakai ”saya”
sebagai sebutan untuk orang pertama; suatu kemudahan yang
berisiko menimbulkan kesan bahwa penulisnya akan dianggap
menonjolkan diri dan merasa sebagai tokoh penting.
Dari semua karyanya yang sering kita baca, dengan aman
bisa disimpulkan bahwa Goenawan Mohamad adalah stylist
terbaik, selain ia tak dapat dirujuk pada penulis Indonesia
mana pun sebelumnya. Mudah diduga bahwa ia membangun
ciri ini dengan tidak mudah pada awalnya, lalu bertahun-
tahun kemudian kebiasaan itu menjadi bagian baku dari
kepenulisannya, sehingga dalam tulisan sependek apa pun kita
bisa merasakan kehadiran sosoknya.
***
Dari segi isi, ciri utama dalam Catatan Pinggir adalah
keraguan dan penghindaran dari segala bentuk pemastian
dan pemutlakan—kecuali, seperti diidentifikasi oleh Ignas
Kleden, dalam soal kebebasan; bahwa kebebasan mutlak perlu
bagi setiap orang, bagi warga negara.
Sering pembaca digiring dengan cukup jelas, dan menduga
akan dibawa ke tujuan tertentu yang cukup bisa ditebak, tapi
ternyata sebelum tiba di sana, penulisnya membuyarkannya
dan berbelok ke arah tak terduga. Dengan cara itu, penulisnya
Catatan Pinggir 12 xix
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
seakan-akan memaparkan perjalanan idenya sendiri di dalam
dan selama proses penulisan, dan bukannya ia telah punya ide
bulat lalu menyajikannya setahap demi setahap demi meraih
efek kejut atau aura kontemplatif dan menunda penyajian
”kesimpulan” yang sebetulnya sudah disimpannya sejak awal.
Dinamik pikirannya ikut dipaparkan dalam tulisan,
meski dengan cara yang subtil—ia tentu memilih subtleties;
ia terlalu cemerlang untuk memilih penyajian yang sederhana
dan prediktabel. Dengan kata lain, jika laku menulis boleh
disebut sebagai intensive self-conversation, Catatan Pinggir bisa
disebut sebagai contoh yang tepat, terutama karena intensitas
dialog-diri itu turut tergambar di dalamnya, mungkin dengan
kesengajaan, sebab dengan cara itu pula ia dengan efektif
mengajak pembacanya berpikir bersama, tapi tak pernah
sampai terlarut menjadi solilokui.
Ia tak pernah bersikap mewejang, mengajari pembacanya
tentang mana yang baik dan benar, mana yang jelek dan
salah—ini justru sifat dasar sebuah tajuk rencana sebagai
posisi formal. Bagi para pemburu kepastian atau pengejar
kejelasan sikap—hal yang terbiasa mereka harapkan dari
suatu bacaan—tentu sikap ini bisa dianggap kegamangan
yang menjengkelkan. Seorang kawan pernah menyebut bahwa
penulis Catatan Pinggir adalah ”orang bingung” karena
tak pernah menjelaskan apa yang dia harapkan, padahal dia
disuguhi banyak pertanyaan oleh esai itu.
Kegandrungan pada ketakpastian segala hal-ihwal dan
misteri adalah ciri lain Catatan Pinggir. Ia menyukai misteri
di semua level, termasuk pada serial Sherlock Holmes karya
Arthur Conan Doyle.
xx Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
Setara dengan kegemarannya pada misteri, ia pun tidak
suka pada segala bentuk pemastian dan pemutlakan, dari
mana pun datangnya, apa pun sumber yang dijadikan orang
sebagai landasannya. Ia mencibir para penceramah agama
yang sangat gemar berkata-kata ”dengan mulut yang yakin”—
dengan pretensi mengetahui pasti kehendak Tuhan, lalu
mutlak memastikan bahwa orang tertentu pasti selamat dan
orang lainnya akan dicemplungkan ke kolam neraka.
Sama tak sukanya ia pada pemastian oleh kaum atheis,
yang dengan gegabah memastikan bahwa Tuhan tak ada. Ia
menertawai program ”atheisisasi” di Uni Soviet yang ”bermula
dari keyakinan segelintir orang dan berakhir sebagai tong
besar yang bocor”. Ia juga mengecam new atheism—”atheisme
ilmiah”—yang muncul dalam 20 tahun terakhir di Inggris
dan Amerika.
Baginya, kedua kubu itu sama belaka dalam hal menuntut
kepastian (”Tuhan pasti ada” dan ”Tuhan pasti tidak ada”).
”Tuhan saya adalah Tuhan harapan, bukan Tuhan kepastian,”
katanya suatu kali. Ini bisa punya dua arti. Tuhan harapan
adalah Tuhan yang diharap ada; Tuhan harapan juga adalah
Tuhan yang mudah-mudahan mengabulkan harapan kita,
bukan yang pasti ada atau yang pasti mengabulkan doa hamba-
Nya.
Tapi, dalam arti yang mana pun, ciri utamanya tetap:
ketidakpastian.
Namun, dalam skala agnostisisme, terlihat bandul
Catatan Pinggir lebih ramah pada theisme; betapapun, ia
kerap membincangkan wacana religius—apalagi dalam versi
esoteriknya—dengan kesenduan seorang daif yang rendah
Catatan Pinggir 12 xxi
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
hati.
Dalam konteks ketidakpastian itu pula ia kritis terhadap
sains dan ilmuwan, yang ia curigai berpretensi tahu pasti
tentang misteri alam semesta; asal-usulnya, tahap-tahap
perkembangannya, dan segala konsekuensi kosmologisnya,
termasuk asal-usul manusia berikut aneka kecenderungan
psikologisnya.
Bisa dikatakan dalam semua Catatan Pinggir yang
menyinggung isu ini (dan ini tak sering), ia, sebagaimana
banyak orang lain yang bergerak di ranah kebudayaan, tidak
pernah menulis dengan nada apresiatif terhadap sains, yang
cenderung dianggapnya mereduksi kekayaan kehidupan
dengan segenap misterinya yang mempesona.
Tentu saja ia mengerti faedah teknologi sebagai anak
kandung sains dalam mempermudah hidup umat manusia,
tapi pengakuan ini hampir selalu ditindih oleh dominasi
kerisauannya terhadap ongkos kemanusiaan yang mahal dari
perkembangan teknologi itu, cenderung tak sebanding dengan
manfaat yang didapat umat manusia. Bukankah rangkaian
perang yang terjadi dalam sejarah umat manusia menjadi amat
mengerikan dampaknya justru karena kemajuan teknologi?
Posisi semacam itu pula yang menjelaskan mengapa
Goenawan semakin intens menyelami aneka buku filsafat,
sampai pada filosof mutakhir seperti Alain Badiou dan Slavoj
Zizek, selain terus merujuk Nietzsche, Hegel, Heidegger,
Kierkegaard, dan Sartre, tanpa ia selalu setuju dengan mereka.
Sebab, filsafat bertanya, bukan menjawab dengan pasti dan
mutlak.
Sebab, filsafat mengukuhkan misteri, menekankan
xxii Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
kemisteriusan segala hal ihwal, dan meyakinkan kita bahwa
kita hanya mampu meraba-raba permukaan kebenaran;
hanya sanggup menyentuh pinggiran-pinggirannya—dan
justru di situ pula letak daya pukaunya. Segalanya serba tak
pasti, misterius, tapi bukan pula gelap sempurna sampai tak
memungkinkan penglihatan minimum. Secara umum, ia jauh
lebih antusias berbincang atau bertengkar dengan para filosof
itu daripada dengan ilmuwan, khususnya natural scientist.
Cukup mengherankan bahwa sebagai pemikir yang
punya minat dan keprihatinan besar pada begitu banyak
bidang, seperti terlihat jelas pada sekitar 2.000 Catatan
Pinggir, termasuk dalam kumpulan di volume ini, ia sangat
kurang peduli—jika bukan cenderung merendahkan—
perkembangan mutakhir di bidang sains, yang akselerasinya
terutama dalam tiga dekade terakhir nyaris eksponensial
dan sungguh-sungguh menakjubkan, bahkan dalam
beberapa hal melampaui proyeksi para penulis science fiction.
Semuanya berpengaruh sangat besar pada cara manusia
memandang dirinya dan dunia; pada cara orang berbisnis
dan menghabiskan waktunya; pada kemampuan pemerintah-
pemerintah mengatur dan mengawasi warga negara mereka.
Catatan Pinggir, baik secara langsung maupun tak
langsung, memprihatinkan perkembangan umum hal-
hal semacam itu di tingkat global, meski selalu ia kaitkan
dengan situasi nasional (atau sebaliknya: menjadikan isu
nasional sebagai titik masuk untuk membaca suasana global).
Nada umum yang sangat terasa di sana adalah kemurungan,
pesimisme terhadap perkembangan situasi di banyak kawasan
dunia, penekanan pada ironisme yang mengiris hati.
Catatan Pinggir 12 xxiii
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
Spirit kemanusiaan penulisnya yang melimpah cenderung
membawanya ke sana. Ia menulis: abad XX diselamatkan oleh
Nelson Mandela, yang kelapangan batinnya dalam memaafkan
para penindasnya menjadi potret teladan bagi dunia, dengan
mengesankan bahwa jika tanpa teladan Mandela, abad XX
yang penuh kekerasan dan kekejian manusia tentu tak akan
menyisakan hal-hal mulia yang bisa dikenang dan dicontoh
bagi kehidupan umat manusia di abad berikutnya.
Kadar kemurungan dan pesimisme Catatan Pinggir dalam
memandang sejarah dan peradaban manusia tentu diperlukan
oleh siapa pun yang ingin terus berikhtiar meminimalkan
derita dan korban manusia akibat aneka perubahan di semua
bidang. Apa boleh buat, dunia memang tak sempurna. Tapi
benar pula bahwa ia melioristik, secara keseluruhan makin
membaik. Terlalu banyak bukti untuk menopang klaim ini di
semua bidang kehidupan.
Meski secara individual manusia tak bertujuan (purposeless),
sebagaimana halnya alam semesta seperti dikatakan para
fisikawan seperti Steven Weinberg, sejarah manusia sendiri
menunjukkan arah yang jelas, yang menurut sejarawan Israel,
Yuval Harari, ”menuju konvergensi; mengarah ke kesatuan
kemanusiaan”.
Persis karena alasan ketakbertujuan manusia itulah ia
memerlukan nilai-nilai untuk membentuk makna agar
keberadaannya, juga dalam serba interaksi di antara mereka,
memiliki makna. Jika ruang besar ini tak diisi, manusia berada
dalam situasi sediakala, yang secara ringkas kita sebut tak
bermakna.
Makna adalah fiksi. Dan, kembali menurut Harari, 99
xxiv Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
persen isi dunia ini adalah fiksi. Hanya 1 persen yang berupa
”realitas obyektif”.
Martabat, hak asasi manusia, dan harga diri, misalnya,
adalah makna atau pemaknaan yang dilekatkan pada sosok
manusia. Martabat dan lain-lain itu tentu saja tidak ada di
dalam diri biologis manusia. Semua dokter paham belaka
bahwa jika tubuh manusia dibedah, yang akan terlihat adalah
usus, ginjal, paru-paru, jantung, dan sebagainya. Tidak ada
martabat atau HAM di sana.
Maka HAM dan lain-lain itu adalah fiksi. Bahkan hal-
hal yang selama ini secara universal dipercaya sebagai realitas
obyektif pun sesungguhnya hanya fiksi, seperti negara dan
batas-batasnya, uang, politik, permata. Mereka adalah
fiksi yang disepakati bersama, sehingga menjadi ”realitas”.
Hukum bahkan mengenal doktrin yang jelas menyebut fiksi
di dalamnya: fiksi hukum; semua warga negara oleh negara
dianggap tahu tentang undang-undang tertentu segera setelah
ia dicatatkan di lembaran negara. Mungkin bukan kebetulan
pula bahwa patokan genre karya literer adalah fiksi, dan di luar
itu adalah ”nonfiksi”.
***
Seluruh karier kepenulisan Goenawan Mohamad
bergerak di wilayah luas pemaknaan itu. Ia turut me
nyumbangkan pemaknaan melalui perangkat pembentuk
makna yang ampuh, yaitu tafsir. Sepanjang menyangkut
fiksi, ruang tafsir terbuka selebar-lebarnya. Dalam pasar dan
kontestasi makna itu, Catatan Pinggir memainkan peran aktif
meski, seperti sudah disebut, ia melakukannya tanpa ambisi
Catatan Pinggir 12 xxv
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
tinggi; hal yang memungkinkan staminanya terjaga hingga
memasuki dekade kelima.
Dengan bentuknya yang ringkas-padat (kini satu halaman
majalah, pada tahun-tahun awal kehadirannya dua pertiga
halaman), Catatan Pinggir seperti gumaman kakofoni di
tengah ceramah tokoh-tokoh besar—para pejabat negara,
pemimpin dunia, ulama yang dipanuti jutaan orang, ilmuwan
yang disanjung berkat temuan-temuan besarnya.
Jika celetukannya tak digubris—ia tahu inilah yang selalu
terjadi—ia tak jera. Dari pinggir, ia terus mencatat tiap pekan,
sebab barangkali ia terutama sedang mencoba merumuskan
tafsir baru atas fiksi lama ataupun baru untuk membentuk
pemaknaan baru buat dirinya sendiri dan mungkin sejumlah
lingkungan audiens sasarannya. ”Every writer has an address,”
kata sastrawan Polandia, Isaac Bashevis Singer. Catatan
Pinggir pun pasti menyimpan alamat.
Bentuk pendek Catatan Pinggir itu cocok pula untuk
memenuhi kecenderungan penulisnya yang tak berminat
menuntaskan pembahasan, sebab ia tak percaya isu-isu
pelik kegemarannya bisa dibahas tuntas; ia selalu memilih
kebelumselesaian. Sebab, kebenaran—apa pun makna kata
ini—tak mungkin diraih dan justru mengasyikkan untuk
senantiasa diburu.
Keengganannya pada ketuntasan membuat kata terakhir
yang ditulisnya di ujung tulisan bukanlah akhir peristiwa atau
tanda bahwa pembahasannya sudah ia nyatakan tuntas. Kata
terakhir itu hanyalah tanda akhir cerita, bukan akhir perkara.
Selain penulis terbaik Indonesia sepanjang masa, Goenawan
Mohamad adalah salah satu stylist terbaik dunia. Bacalah
xxvi Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka STAMINA, STYLE, STRATEGI GOENAWAN MOHAMAD
penulis-penulis besar bereputasi internasional, maka Anda
akan tahu bahwa ia lebih baik dibanding mereka, juga dalam
erudisi. Misalnya, lihat kumpulan esai datar Mario Vargas
Llosa, peraih Nobel Sastra dari Peru itu.
Ada tiga resep ampuh untuk dapat menghasilkan tulisan
sebaik karya Goenawan Mohamad. Sayang sekali, tidak ada
orang lain yang tahu satu pun dari ketiganya.
Catatan Pinggir 12 xxvii
http://facebook.com/indonesiapustaka
xxviii Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 12 2015
1
http://facebook.com/indonesiapustaka
2 Catatan Pinggir 12
DALAM SAJAK
—mengenang Sitor Situmorang (1924-2014)
AGAM Wispi pernah mengatakan, ia diselamatkan puisi.
Pen yair ini, seorang anggota Partai Komunis Indonesia,
menulis sajak-sajak yang berarti bukan karena isinya semata,
melainkan karena sikapnya kepada makna.
Ia memang pernah, beberapa waktu lamanya, mencoba
menyerahkan makna kepada kebenaran yang diresmikan
Partai. Tap i pada akhirnya ia tak bisa. Pada akhirnya ia kembali
kepada puisi itu sendiri:
puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi, hanya kaulah pacarku terbang
http://facebook.com/indonesiapustaka Puisi, dalam sajak ini, adalah tempat yang akrab, semacam
rum ah, juga sesuatu yang menemaninya dengan setia, ibarat
”pac ar”, dalam perjalanan jauh. Setiap penyair tahu, hidup
dalam sajak adalah hidup dalam kata dengan makna yang
tak tunduk kepada batas—dan bersama itu kemerdekaan
bergelora.
Ketika mengenang Agam, yang meninggal pada 2003,
sebuah sajak Zen Hae menangkap geloranya: Agam Wispi,
yang hid up sebagai eksil sejak 1965 dan meninggal di Belanda
tempat terakhir perjalanannya, sebenarnya bukanlah ”orang
bua nga n”.
Catatan Pinggir 12 3
http://facebook.com/indonesiapustaka DALAM SAJAK
kau menyebutku orang buangan. aku seorang kelana, sebenarnya. aku
tidur dan jaga di atas kudaku. aku dan tungganganku adalah satu.
Dengan itu sang penyair menjelajah ke dalam wilayah yang
terb entang luas: ”sajakku jutaan bintang merah di bawah langit
tanpa pintu.”
Dengan itu pula sang penyair selamat dari ruang tertutup
dan jalan buntu—yang umumnya dialami para sastrawan
yang harus, atau ingin, patuh kepada sebuah doktrin.
Dalam sebuah wawancara dengan Hersri Setiawan dalam
jurnal Indoprogress November 2014, Agam menyatakan
kesimpulannya: doktrin yang dulu ada kini tak memadai lagi.
”Yang dulu sudah tidak ada,” katanya. ”Nonsens itu!
Sudah omong kosong. Buat saya sudah berakhir... ide-ide soal
’Seni untuk Rakyat’, ’Politik adalah Panglima’... semua sudah
ketinggalan.”
Agam tak hendak berhenti, sementara slogan dan
doktrin men gandung beban yang mudah mandek. Dalam
pengembaraa n Agam ada sesuatu yang mengingatkan kita
kepada Chairil Anwar yang membelot kepada ruang yang
meringkus: ia ingin terbang dalam ”the only possible non-stop
flying”. Tanpa mendarat.
Tapi dalam sajak, seorang penyair tak mungkin sepenuhnya
dalam ”non-stop flying”. Ia pasti pernah menyentuh tempat ia
bera sal, tempat ia pernah tinggal. Bahasa yang dipakainya mau
tak mau terkait dengan sebuah lingkungan yang memberinya
arti, biarpun arti itu tak permanen. Bahasa itu juga diutarakan
tubuh yang dibentuk sebuah habitat yang menumbuhkan
bunyi, irama, dan langgam tertentu.
4 Catatan Pinggir 12
DALAM SAJAK
Sitor Situmorang dalam banyak hal mirip Agam Wispi.
Penyair ini juga disingkirkan (dipenjarakan, kemudian hidup
di Eropa) setelah perubahan politik 1965. Ia juga meninggal
di Belanda di sekitar tahun baru. Dan seperti Agam, ia pernah
men genal Eropa sebelum akhirnya hidup di sana. Agam di
Leipz ig, Sitor di Paris.
Kedua orang ini ”kelana”. Mereka berangkat dengan puisi
sebagai ”tunggangan”. Tapi tampak, hubungan mereka dengan
tempat asal—tanah air, kampung halaman, dengan kenangan
masa lalu—adalah hubungan yang ambigu.
Dalam wawancaranya Agam mengakui, ia tak merasa
terikat lagi dengan Indonesia, tapi bahasa Indonesia adalah
bahasa yang dipakainya untuk menulis puisi, biarpun
bertahun-tahun ia hidup dengan bahasa Jerman.
Sitor, dalam sajaknya yang terkenal, ”Si Anak Hilang”,
berkisah tentang dirinya yang pulang ke tepi Danau Toba,
disambut ibu dengan bahagia. Tapi,
http://facebook.com/indonesiapustaka Anak diam mengenang lupa
Dingin Eropa musim kotanya
Ibu diam berhenti berkata
Tiada sesal hanya gembira
Malam tiba ibu tertidur
Bapak lama sudah mendengkur
Di pantai pasir berdesir gelombang
Tahu si anak tiada pulang
Anak itu tiada pulang, tapi sajak ini tak jauh-jauh terbang:
di dalamnya kita merasakan langgam syair Melayu lama.
Catatan Pinggir 12 5
http://facebook.com/indonesiapustaka DALAM SAJAK
Begitu pula ketika Sitor berkisah tentang sebuah percintaan
di Italia: frasa-frasanya yang mengejutkan dan mempersona
adalah bentuk pantun yang dihidupkan kembali:
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati
Bergerak antara pengembaraan yang tak kenal pulang dan
kea kraban dengan tempat asal, sajak-sajak ini sebenarnya tak
ingin jadi pernyataan yang final. Hidup dalam sajak adalah
hidup yang peka akan gerak yang berbeda dan bertentangan—
juga dalam diri sendiri.
Mungkin itu sebabnya puisi tak bisa berbaris-baris,
mengikutitata. Plato mengusir para penyair ketika ia hendak
meneguhkan sebuah Republik yang terjaga moralitasnya.
Tapi (saya kutip Terry Eagleton dalam The Event of Literature,
2012) sastrabukannya berbahaya bagi moralitas, melainkan
bagi moralism e—penilaian moral yang diabstrakkan dan
terlepas dari hidup manusia yang utuh. Sebab sastra selalu
mengembalikan penilaian itu kepada konteksnya yang hidup
dan rumit.
Artinya, beruntunglah kita punya penyair.
TEMPO, 4 Januari 2015
6 Catatan Pinggir 12
BENCANA
http://facebook.com/indonesiapustaka 10 Mei 1883, seorang penjaga mercusuar di sebuah titik di
Laut Jawa merasa bahwa fondasi menara itu beralih. Laut
tamp ak berubah putih, seakan-akan sejenak beku, seperti
cermin yang menakutkan....
Itulah tanda-tanda awal tsunami dan ledakan besar
Krakatau yang dicatat dan digambarkan kembali oleh Simon
Winchester dalam Krakatoa: The Day the World Exploded:
August 27, 1883.
Dari pelbagai dokumen sejarah, kita tahu betapa
mengerikann ya bencana itu. Hampir seluruh Pulau Krakatau
lenyap. Energi yang menggelegak dari letusan itu diperkirakan
empat kali lebih besar ketimbang ledakan bom thermonuklir.
Asap vulkanis yang membubung ke angkasa mengitari bumi
beberap abulan. Warna langit senja di mana-mana berubah,
sampai ke New York. Bahkan merah dan jingga yang tampak
di latar lukisan Edvard Munch yang terkenal, ”Teriak”—yang
menggambarkan wajah seseorang yang ketakutan—diduga
berasal dari efek Krakatau di angkasa Norwegia.
Sekitar 40 ribu orang tewas. Tsunami yang berbareng
dengan ledakan itu mengempaskan gelombang setinggi 40
meter dan menghancurkan Kota Merak dan sebagian wilayah
Lampung.
Seratus dua puluh tahun sebelum Winchester menuliskan
buk unya, hanya dua bulan setelah bencana besar itu, sudah
ada sebuah naskah yang ditulis seseorang yang tak dikenal,
Catatan Pinggir 12 7
http://facebook.com/indonesiapustaka BENCANA
yang merekam kesaksiannya. Syair Lampung Karam, terbit
pada 1883, ditulis dalam aksara Jawi. Penulisnya Muhammad
Saleh. Bulan ini, naskah itu terbit sebagai Krakatau: The Tale
of Lampung Submerged, dalam bahasa asli dan bahasa Inggris,
terjemahan John H. McGlynn dari The Lontar Foundation.
Mula-mula, pada bulan Rajab, demikian syair ini bercerita,
turun abu putih sampai setebal ”dua jari”. Kemudian suara
gemuruh menggelegar dan angin kencang melabrak. Dan
pada sebuah pagi hari Ahad, setelah ”guruh menderu-deru”
seperti suara kapal api yang mendekat, ombak yang besar pun
melanda.
Pukul lima nyatalah hari,
Gaduhlah orang di dalam kali,
Perahu berlaga sama sendiri,
Airnya datang tidak terperi.
Sepanjang 345 bait, syair ini melukiskan bagaimana
bencana itu menghabisi nyawa dan harta pelbagai dusun.
Muhammad Saleh agaknya reporter pertama dalam sejarah
Indonesiayang melaporkan semua itu secara faktual: ”Bukan
hamba membuat dusta.”
Sebagai balada, bentuk syair memang biasa ditulis
untuk men gisahkan sebuah peristiwa yang masih hangat.
”Sesungguhnya inilah gaya jurnalistik pada abad naskah,”
tulis Ian Proudfoot dan Virginia Hooker dalam penutup buku
terjemaha n McGlynn ini.
Tentu, bentuk syair punya keterbatasan untuk jadi sebuah
reportase. Harus mengikuti bait dan rima yang sudah tertentu,
8 Catatan Pinggir 12
BENCANA
http://facebook.com/indonesiapustaka kesaksian tentang karamnya wilayah Lampung di abad ke- 19
ini tak seleluasa deskripsi Abdullah bin Abdulkadir Munsyi
tentang perubahan sosial di Singapura di masa Raffles dalam
Hikayat Abdullah. Penyusun Syair Lampung Karam harus
memb atasi kata-katanya.
Tapi bentuk syair ini memberi peluang bagi sikap
seorang penc atat: berbeda dengan puisi liris modern, ada
jarak emosional antara dia dan apa yang disampaikannya.
Kita bahkan tak tahu, sejauh mana bencana itu menimpa
penulisnya atau keluarg anya.
McGlynn pantas dihargai karena ia merawat jarak emosional
itu dengan menyusun kuatren-kuatren yang memakai rima
yang teratur, meskipun dengan bunyi dan variasi kata yang
lebih beragam (bahasa Inggris memungkinkan itu) dan
dengan makna yang terkadang menyimpang.
Dalam keteraturan itu, versi asli Lampung Karam tak
menimbulkan gerak dan progresi yang membuat kita terpukau.
Lap oran di dalamnya mencakup wilayah yang luas, tapi tak
dib angun dengan suspens melalui waktu yang berjenjang.
Banyak deskripsi yang nadanya tak meninggi atau merendah.
Kisah seperti berulang-ulang biarpun tentang tempat dan
kejadian yang berubah-ubah. Hampir seluruhnya sebuah
monotoni.
Tapi pada dasarnya: sebuah harmoni. Muhammad Saleh,
sebagai seorang muslim zaman itu, tak ingin menggugat nasib
yang menimpa orang banyak yang tak bersalah tapi sea kan-
akan menerima laknat itu. Ia bahkan tak mengisyaratkan
kemarahan—meskipun, menurut Winchester, bencana
Krakatauberpengaruh pada antagonisme penduduk Islam di
Catatan Pinggir 12 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BENCANA
Banten kepada kekuatan kolonial.
Di bait 274 digambarkan bagaimana putri sang pejabat
Belanda (”Tuan Kontelir”) hilang dipukul gelombang
seperti kebanyakan penduduk. Di bait 280-281 dikisahkan
bagaimana bahkan di antara orang-orang yang berniat
membunuhnya ada yang mengasihaninya—hingga ia selamat.
Dalam beberapa bait sejak 344, kita bertemu dengan Residen
yang dengan ramah membantu para korban....
Bencana bisa membuat orang protes, tapi juga bisa membuat
kita bersama berkabung. Meskipun tanpa khotbah, tanpa
petuah.
TEMPO, 11 Januari 2015
10 Catatan Pinggir 12
MAHOMET
http://facebook.com/indonesiapustaka APRIL 1741, sebuah lakon tentang ”Mahomet”
dipanggungkan di sebuah teater di Lille, Prancis utara.
Penulisnya akan dikenang orang berabad-abad (meskipun
lakon ini jarang dibicarakan), karena ia Voltaire, karena
Voltaire selalu mengu tarakan pikiran-pikiran yang cerdas,
kadang-kadang dalam, kadang-kadang dangkal, bisa kocak,
bisa kasar, tapi umumnya merisaukan. Khususnya tentang
sesuatu yang berlanjut hingga abad ke-21 ini: manusia dan
fanatisme dan keben gisan.
Ia mengerjakan karyanya itu, Le Fanatisme, ou Mahomet le
Prophète, sejak 1739. Dari judulnya sudah kelihatan bahwa ia
mengaitkan fanatisme dengan Nabi yang membawa Islam ke
dunia.
Cerita yang terdiri atas lima babak ini berkisar pada
rencana Mahomet untuk mengalahkan Zopire, Gubernur
Kota Mekah. Dalam babak ke-4, Zopire dibunuh pemuda
yang ia say angi,Séïde, yang sebenarnya anaknya sendiri tapi
telah jadi pengikut Mahomet yang dengan patuh menjalankan
perintah pembunuhan itu. Pada saat yang sama, Séïde diracun
Omar, orang kepercayaan Mahomet. Anak muda itu mati
pelan-pelan. Ia harus disingkirkan agar tak lagi berada di
dekat Palmire, gadis yang menawan hati sang Prophète. Di
akhir lakon, Palmire menampik Mahomet dan perempuan itu
bunuh diri.
Saya tak tahu adakah Mahomet sebuah karya utama dalam
Catatan Pinggir 12 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MAHOMET
riw ayat Voltaire; lakon ini tak seterkenal karyanya yang lain,
Cand ide, misalnya, meskipun berkali-kali dipentaskan Tapi
ada seorang pengkritiknya yang layak didengar meskipun
bukan datang dari kalangan sastra dan dikutip pendapatnya
hamp ir seabad kemudian: Napoleon Bonaparte.
Ketika penguasa Prancis ini berjumpa dengan Goethe pada
1808 di Kota Erfurt, ia menyatakan ketidaksukaannya kepada
Mahomet—meskipun Goethe-lah yang menerjemahkan
lakon itu. Sebuah ”karikatur”, kata Napoleon—dan saya bisa
mengerti kenapa demikian. Mahomet tak mendalam, mudah
ditebak tendensnya, tokohnya hampir sepenuhnya satu sisi.
Mirip sebuah melodrama. Atau sebuah propaganda.
Goethe tak membantah. Ia pengagum Voltaire tapi pada
saat yang sama amat kuat simpatinya kepada Islam; ia dijuluki
”Meccarus” karena itu. Tak mengherankan bila ia mencoba
mengubah sosok Mahomet dalam versi Jerman lakon ini. Ia
tak ingin mengulang ”sikap kasar” Voltaire. Dalam teks asli
Mahomet mengatakan kepada Zopire ia siap jadi lebih kejam
ketimbang musuhnya itu, Je serai plus que toi cruel, impitoyable,
sementara dalam teks Goethe yang kita temukan adalah
kalimat, ”Kau mengundangku untuk bengis,” Du forderst selbst
zur Grausamkeit mich auf.
Bagi Goethe, berbeda dari bagi Voltaire, kekerasan dalam
sejarah Islam terjadi karena sesuatu yang datang dari luar.
Tapi bersama Voltaire ia menolak iman yang melahirkan
kebengisan dan agama yang bersandar pada kekuasaan yang
tak mau digugat.
Dalam Mahomet, sang tokoh utama menyatakan
ambisinya: ia, dengan ”iman yang lebih murni” ketimbang
12 Catatan Pinggir 12
MAHOMET
keyakinanlain, ingin menegakkan imperium yang mencakup
semesta. Mungkin sebab itu dalam tafsir Goethe, Mahomet
adalah sindiran bagi Gereja Katolik—meskipun anehnya
Voltaire mempersembahkan karyanya buat Paus Benediktus
XIV. Bisa jadi ini caranya melindungi diri dari sensor.
Permusuhan antara Voltaire dan Gereja memang termasyhur,
dan di zamannya kekuasaan atas nama agama memang bisa
terdengar bodoh tapi tetap mengancam: sebuah sajak Voltaire
diperintahkan Parlem en Paris untuk dibakar di depan umum,
23 Januari 1759.
Dari Voltaire ke Goethe, cukup panjang masa itu. Tapi
ada yang berlanjut terus: hasrat akan kehidupan rohani yang
berbeda dari yang ditunjukkan agama-agama. Para sejarawan
mengatakan niat itu lahir bersama Zaman Pencerahan yang
mengu tamakan nalar manusia. Tapi saya kira tak hanya
terbatas di masa itu. Tiap kali agama-agama bergerak jadi
mekan ism e pembalasan, tiap kali Tuhan dirindukan dengan
cara lain.
Voltaire menampik agama-agama, ketika pada saat yang
sama ia juga menolak atheisme. Ia menyebut diri seorang
”theis”. Sekitar tahun 1750 ia mengumumkan penjelasannya
tentang apa yang disebutnya ”theisme”:
http://facebook.com/indonesiapustaka Seorang theis adalah seseorang yang menerima dengan teguh adanya satu
Wujud Yang Maha Luhur yang menghukum kejahatan tanpa sikap yang
kejam, dan yang dengan baik hati memberi anugerah kepada laku kebajikan.
Seorang theis tak tahu bag aim ana cara Tuhan menghukum, bagaimana cara
Tuhan menganugerahi, bagaimana cara Tuhan mengampuni, sebab ia...
tak menganggap dirinya mengerti laku Tuhan. Yang ia ketahui... Tuhan itu
adil....
Catatan Pinggir 12 13
http://facebook.com/indonesiapustaka MAHOMET
Voltaire: hampir tiga abad kemudian. Rasanya ada yang
salah di hari ini ketika dari Prancis ia seakan-akan perlu
mengulang kata-katanya lagi.
TEMPO, 18 Januari 2015
14 Catatan Pinggir 12
TANDA-TANDA
”Hidup adalah lautan petunjuk, dalam setiap tetesnya rasa
asin mengarahkan kita ke dalam misteri di belakangnya.”
—Orhan Pamuk, Kara Kitap
http://facebook.com/indonesiapustaka GALIP, tokoh dalam novel Orhan Pamuk Kara Kitap
(Kitab Hitam), agaknya menyadari bahwa manusia—
seperti dirinya—tak akan berhentihentinya membaca tanda-
tanda. Pada saat yang sama, misteri Tuhan tak putus-putusnya
membayangi.
Karena tanda ada di mana-mana dan ada di dalam tiap hal, misteri itu
pun di mana-mana dan di dalam tiap hal. Seperti wajah kekasih dalam sajak,
mutiara, mawar, gelas anggur, burung bulbul, rambut keemasan, malam,
dan lidah api....
Di hadapan semua itu, manusia membuat sejarah—dan
iman dan keyakinan lahir.
Sejarah itu panjang, beribu-ribu tahun, dan panjang dan
beribu-ribu pula tafsir yang ditulis. Dan seperti yang dikatakan
dalam paragraf itu, selama tanda-tanda tampak, misteri itu
pun tampak. Tanda-tanda dan misteri itu tak terpisahkan
akhirnya. Galip merasakan itu: ”...benda-benda di sekitarnya
sekaligus menandai diri mereka sendiri dan misteri yang pelan-
pelan ia dekati.”
Novel Kitab Hitam dimulai seperti sebuah cerita detektif.
Catatan Pinggir 12 15
http://facebook.com/indonesiapustaka TANDA-TANDA
Syahdan, Galip, seorang pengacara yang hidup di Istanbul,
pulang dari kantor dan mendapatkan istrinya, Rüya, telah
meninggalkannya. Dengan segera ia berangkat mencari. Ia
yakin, ia akan menemukan Rüya (dalam bahasa Turki nama ini
berarti ”mimpi”) bila ia berhasil menemukan Jelal, sepupunya,
yang juga raib. Ia yakin kedua orang ini berpacaran.
Dalam pencarian itu ia temukan jejak-jejak Jelal: seorang
pen ulis kolom yang penuh teka-teki untuk sebuah majalah
yang tak jelas. Kolom-kolom itu agaknya berisi isyarat. Untuk
men getahui lebih dalam, Galip memutuskan ia harus jadi Jelal.
Ia tinggal di kamar sepupu itu, mengenakan bajunya, bahkan
menulis seakan-akan ia sang kolumnis yang terus bekerja.
Ketika novel berakhir, melalui perjalanan dan tamasya
yang beragam, menemukan catatan-catatan yang detail dan
majemuk, Rüya tetap tak kembali. Perempuan yang tak pernah
hadir itu tetap tak hadir. Ia terbunuh. Jelal demikian juga: ada
yang menafsirkan ia dibunuh penggemarnya sendiri. Seorang
pensiunan kolonel yang membaca kolom-kolom Jelal selama
bertahun-tahun akhirnya menyimpulkan bahwa teka-teki
dan isyarat rahasia yang ditulisnya ternyata tak punya makna
apa pun. Ia merasa ditipu. Baginya sang kolumnis, Jelal, ibarat
nabi yang mengecewakan, guru palsu yang mewartakan ajaran
agama yang seakan-akan maha-dalam.
Suasana murung membayang dalam Kitab Hitam. Tapi
tanpa kecewa. Manusia tetap tak berhenti. Iman dan keyakinan
mencoba terus menjawab, dengan sejarah yang mirip sebuah cerita
detektif yang mempertarungkan dugaan yang benar atau salah.
Atau mirip kisah seorang sufi yang tak putus-putusnya di
rundung rindu kepada Tuhan.
16 Catatan Pinggir 12
TANDA-TANDA
http://facebook.com/indonesiapustaka Tak mengherankan bila Kitab Hitam menampilkan Rumi,
pencinta yang mengembara untuk menemui Yang Maha-Lain.
Dalam pengembaraan itu sang Maulana memilih
menyamar, memakai pelbagai identitas, karena ia tak mau
diikuti terusmurid-muridnya yang taklid. Tapi sebagaimana
Galip yang menyulap diri jadi Jelal, kian lama kian tak terjawab,
jug a oleh dirinya sendiri, siapa sebenarnya dia—dan perlukah
”identitas”? Dalam kisah para sufi, ada pengertian fana’,
leburnya diri dalam Allah. Identitas adalah pos sementara atau
bahkan penghambat. Tapi jika demikian, mengapa pencarian
berlangsung terus—dan mengapa misteri tetap membayang?
Suasana murung yang tersirat dalam karya Pamuk adalah
suasana bertanya—dan terasa letih. Di balik tanda-tanda itu
jangan-jangan tak ada suatu apa pun yang berarti. Kita hanya
ketagihan makna.
Meskipun demikian Pamuk, dalam Kitab Hitam, seperti
dalam novelnya yang lain, tak meniadakan agama; dalam
hal ini, di sebuah cerita dengan latar Turki, agama itu berarti
Islam. Islam mampu menyuguhkan dua hal yang bertaut
dan mempesona: tanda-tanda dan misteri. Jelal dan Galip
mengasyiki hidup karena itu.
Memang ada yang kadang-kadang meniadakan pesona
itu dan menjadikan agama hanya buku pedoman aksi yang
jelas. Mereka mirip tentara yang tiap kali menunggu aba-
aba. Tapi ada sepotong kalimat yang ditemukan Galip
di antara catatan-catatan Jelal, konon dari sebuah hadith
yang mengumandangkan Tuhan: ”Aku adalah harta yang
tersembunyi, dan aku rindu untuk diketahui.”
TEMPO, 25 Januari 2015
Catatan Pinggir 12 17
http://facebook.com/indonesiapustaka
18 Catatan Pinggir 12
KPK
http://facebook.com/indonesiapustaka SEMUA bermula di Hong Kong, kurang-lebih. Seorang
tem an yang telah menonton film baru sutradara Wong
Jingmengingatkan: film I Corrupt All Cops (produksi 2009)
menunjukkan bahwa bentrok antara komisi pemberantasan
korupsi dan pejabat polisi bukan hanya cerita Indonesia.
Tentu saja I Corrupt All Cops bukan cukilan sejarah. Film
ini menceritakan pergulatan beberapa petugas Independent
Commission Against Corruption (ICAC) melawan sejumlah
perwira polisi Hong Kong yang korup. Wong Jing berusaha
untuk tak norak, kata teman itu, tapi filmnya akhirnya hanya
menyajikan sepotong kisah yang disederhanakan.
Sejarah ICAC, yang didirikan pemerintah Hong Kong
pada 1974, dan akhirnya jadi sebuah ikhtiar yang berhasil (dan
dic ontoh oleh Indonesia untuk membentuk KPK), memang
bukan potongan-potongan cerita yang lurus.
ICAC mencatat prestasi ketika lembaga baru ini me
menjarakan Peter Fitzroy Godber, perwira tinggi polisi yang
tak bisa menjelaskan dari mana uang US$ 600 ribu ada di
rekening banknya. Godber melarikan diri ke Inggris dengan
bantuan rekan-rekannya. Dengan gigih, ICAC berhasil
mengekstradisi sang buaya kembali ke Hong Kong. Ke dalam
kurungan.
Tapi dengan segera HKPF, angkatan kepolisian kota itu,
merasa terancam. Pada 28 Oktober 1977, beberapa puluh
anggotanya menyerbu memasuki kantor ICAC. Ketegangan
Catatan Pinggir 12 19
http://facebook.com/indonesiapustaka KPK
terjadi. Akhirnya kepala pemerintahan Hong Kong (dulu
disebut ”Governor”) memutuskan untuk memberikan
amnesti kepada hampir semua anggota polisi yang korup yang
melakukan kejahatannya sebelum 1977. Wibawa ICAC pun
merosot.
Tapi kemudian terbukti, kebijakan pemerintah berbuah.
Sejak amnesti itu polisi Hong Kong memperbaiki diri. Bahkan
HKPF membiarkan pembersihan besar-besaran dalam dirinya
oleh ICAC pada 2008. Dari sini tampak, kekuasaan—apa pun
asal-usulnya—tak pernah berada di sebuah ruang politik yang
konstan.
Kekuasaan ICAC yang luas dan dijamin hukum tak
dengansend irinya lepas dari gugatan hukum. Wewenangnya
untuk menyadap pembicaraan telepon tak selamanya direstui
peradilan. April 2005, seorang hakim pengadilan distrik tak
mau menganggap rekaman yang dihasilkan ICAC sebagai
barang bukti. Alasan: tak ada prosedur yang legal yang
mengatur penyadapan itu. Tiga bulan kemudian, seorang
wakil hakim penga dilan distrik menganggap ICAC telah
melanggar ”secara terang-terangan” hak empat terdakwa,
dengan memberikan tugas kepada seorang bekas tertuduh
merekam percakapan mereka.
ICAC, sebagaimana KPK, tentu bisa mengatakan, dirinya
adalah tanda keadaan genting. Ia tak akan ada seandainya
polisi, jaksa, dan pengadilan bekerja penuh, sesuai dengan
tugas mereka, seandainya mereka membangun sebuah situasi
yang disebut ”normal”.
Tapi di Hong Kong sebelum 1980-an, sebagaimana
di Indonesia sampai sekarang, korupsi menyakiti tubuh
20 Catatan Pinggir 12
KPK
http://facebook.com/indonesiapustaka masyarakat di tiap sudut. Ada korupsi model Godber, yang
mempergunakan kekuasaannya yang tinggi; ada yang
dilakukan pemadam kebakaran yang memungut uang
sebelum bertugas mematikan api; ada pula para pelayan rumah
sakit yang di tiap sudut, dari ruang ke ruang, meminta uang.
Dalam situasi itu, kejahatan terbesar korupsi adalah
menghancurkan ”modal sosial”—sebuah sikap masyarakat
yang percaya bahwa orang lain bukanlah buaya. Korupsi
menyebabkan kepercayaan itu rusak. Ejekan yang
memelesetkan singkatan ICAC (jadi ”I can accept cash”, atau
”I corrupt all cops”) adalah indikasi hancurnya ”modal sosial”.
Negeri telah jadi sederet labirin yang membusuk.
Maka ICAC, terlebih lagi KPK, lahir dengan kekuasaan
yang abnormal: ia mekanisme penyembuhan yang juga sebuah
perk ecualian. Kekuasaannya lain dari yang lain. Wewenang
KPK bahkan lebih besar ketimbang ICAC. Di Hong Kong,
komisi itu tak punya wewenang menuntut. Di sini, KPK
mempunyainya.
KPK juga tak hanya harus bebas penuh dari dikte kekuasaan
mana pun. Di Hong Kong, ICAC bekerja secara independen
namun bertanggung jawab kepada ”Chief Executive”, yang
dulu disebut ”Governor”. Di Indonesia, KPK tak bertanggung
jawab kepada Presiden.
Keluarbiasaan itu mungkin kini tak hendak dibicarakan.
Tapi mungkin tak bisa dilupakan: keadaan yang melahirkan
kekuasaan sebesar itu ibarat (untuk memakai kata-kata
Agamben) ”daerah tak bertuan antara hukum publik dan fakta
politik”. Dengan kata lain, kekuasaan itu lahir dari kehendak
subyektif yang menegaskan kedaulatan.
Catatan Pinggir 12 21