The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by suharnowo, 2021-11-04 03:02:50

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka PANGGUNG

kota dari batu merah yang tinggi, gapura berukir, pohon-pohon
tanjung berbunga lebat, taman bertingkat, dan arsitektur candi
dengan menara yang menjulang. Perhatiannya lebih ke hal
estetis ketimbang politis. Tentang sakit dan wafatnya Gajah
Mada dan perundingan rahasia di istana untuk mengatasi
kehilangan perdana menteri yang tak tergantikan itu Prapanca
hanya menyebutnya dalam beberapa kalimat.

Penulis ini mungkin tak tahu. Kekuasaan dalam
Negarakertagama-nya tak ditandai pangeran-pangeran yang
berambisi atau para perwira yang siap dengan pasukan.
Administrasi pemerintahan hanya kelihatan dalam klasifikasi
pedesaan. Selebihnya, tanda hadirnya kekuasaan adalah
kunjungan raja dan upacara meriah yang berulang kali. Tak
ada konfl ik. Tak ada penaklukan. Satu-satunya yang mirip itu
terjadi dalam perburuan; para hewan hutan kalah menghadapi
pasukan Hayam Wuruk.

Tapi benarkah Majapahit hanya ibarat pesta yang
berpindah-pindah?

Clifford Geertz memperkenalkan istilah yang kemudian
terkenal: negara sebagai ”theatre state”, yang ia simpulkan
dari pengamatannya tentang Bali abad ke-19. Di sana Negara
memerintah dengan simbol dan ritual, bukan dengan
kekuatan yang memaksa. Kerajaan berjalan bukan melalui
administrasi yang efektif ataupun penaklukan, melainkan
melalui ”spectacle” yang dipertunjukkan dengan memukau.

Mungkin itu pula yang bisa dikatakan tentang
Negarakertagama Prapanca: sebuah pentas. Upacara jadi
tujuan utama. Kemegahan dan kemeriahan itu bukan buat
melayani kekuasaan, melainkan kekuasaan itu yang justru

322 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka PANGGUNG

untuk melayani kemegahan. Kata Geertz, ”Power served pomp,
not pomp power.”

Ada yang mencatat bahwa ”theatre state” itu tak hanya
fenomena Bali dan Majapahit. Upacara dan peneguhan simbol
bisa dilihat dalam tradisi Kerajaan Inggris dan mungkin di
negara-negara di mana konstitusi belum dituliskan. Negara
memerlukan panggung—dan ia jadi panggung.

Tapi saya kira Geertz mengabaikan satu hal: di panggung
itu sebenarnya kita tak tahu di mana pomp mulai dan power
berakhir. Seperti umumnya dalam sejarah, kekuasaan,
kekerasan, dan pemaksaan selalu tersembunyi dalam diri
Negara. Setidak-tidaknya dalam genealoginya. Dengan
mengagungkan seorang ratu dari Singasari sebagai chattra
ning rat wisesa (”pelindung bumi yang utama”), Prapanca
menunjukkan pertalian Kerajaan Singasari di abad ke-13
dengan Majapahit di abad ke-14. Dan kita tahu Singasari
didirikan Ken Arok; ia tumbuh dari pembunuhan dan
penaklukan.

Dalam menafsirkan masa lalu sebagai bagian masa kini,
dalam merangkai upacara Hayam Wuruk dari pentas ke
pentas yang berbeda, Prapanca ingin menunjukkan Majapahit
sebagai sebuah bangunan yang koheren dan konsisten.
Seantero wilayahnya diibaratkan satu kota dalam telatah Raja:
salwaning yawabhumi tulya nagari sasikhi ri panadeg. Tapi
sejauh mana yang dianggap ”satu kota” itu bisa mengingkari
multiplisitas yang tak tepermanai, yang tak bisa konsisten?
Negara mana pun, juga negara modern, tak akan bisa.

Pernah Desawarnana Prapanca menampilkan pentas
sebagai karnival: Hayam Wuruk ikut membanyol, rakyat

Catatan Pinggir 12 323

http://facebook.com/indonesiapustaka PANGGUNG

datang berduyun, terkadang mabuk, tanpa diarahkan. Dalam
karnival, seperti kata Mikhail Bakhtin, struktur, hierarki, dan
hukum ditangguhkan. Mungkin di situ tampak sisi Negara
yang hendak disembunyikan, tapi yang malah membuatnya
hidup: selalu akan ada politik yang tak mengekalkan struktur,
melainkan mengingatkan bahwa manusia itu setara.

TEMPO, 19 Juni 2016

324 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Attar

Attar hidup di sebuah zaman yang tipis harapan
dan tewas pada usia 76 tahun dalam pembantaian. Di
Nishapur, di Provinsi Khorasan, Persia, tempat ia lahir sekitar
1145, ia sebenarnya tak kekurangan suatu apa. Sebelum
menulis puisi dengan memakai nama Attar dan berkunjung
ke pelbagai penjuru menjumpai sufi-sufi ternama, ia hidup
cukup sebagai ahli obatobatan. Banyak penderita sakit yang
datang. Dari mereka Attar mendapat nafkah—dari mereka
pula ia mengenal cerita-cerita muram manusia dan rapuhnya
kepercayaan kepada hidup.

Ia pun menulis Mosibatnāmeh atau Kitab Kesengsaraan—
sebuah puisi epik yang menggugat Tuhan.

Tak jelas kapan karya itu selesai; buku itu jarang disebut
dalam biografi Attar yang samar-samar. Dunia hanya
mengenalnya sebagai penulis Mantiq-ut-Tair atau Persidangan
Burung-burung, sebuah alegori perjalanan spiritual manusia
dengan tokoh pelbagai burung yang mencari Simurgh,
sesembahan mereka. Karya Attar konon berjumlah lebih
dari 100 judul, tapi di masa hidupnya ia tak luas dikenal. Ia
dikatakan dipancung pasukan Mongol yang membantai
penduduk Nishapur. Orang hanya ingat yang dikatakan
Rumi: ”Attar telah melintasi tujuh kota Cinta, sementara kita
masih di satu tikungan jalan.”

Beda antara Attar dan Rumi (lahir 1207) memang
pengalaman hidup separuh abad. Tapi ada beda yang lebih

Catatan Pinggir 12 325

http://facebook.com/indonesiapustaka ATTAR

radikal di antara karya kedua penyair Persia itu, jika kita baca
Kitab Kesengsaraan. Puisi Rumi adalah litani tentang sentuhan
Kasih Tuhan yang membahagiakan. Sebaliknya karya Attar
yang satu itu, dalam kata-kata Navid Kermani, ”karya paling
muram dalam sastra dunia”.

Kermani, penulis muslim Jerman yang terkemuka
dewasa ini, membuat telaah yang mendalam tentang Kitab
Kesengsaraan dalam Der Schrecken Gottes (versi Inggris: The
Terror of God). Lewat lima bab yang menjalin khazanah
Yahudi, Kristen, dan pemikiran Eropa modern, Kermani
menampilkan Attar sebagai suara yang mendesah, sengit tapi
tak berdaya, dalam ”pertengkaran dengan Tuhan”.

”Pertengkaran” itu dimulai dengan perjalanan seorang
”pengembara pikiran”. Sang pengembara penuh amarah.
Baginya tak ada yang bisa dipercaya. Ia tak mampu lagi
membedakan mana yang baik dan yang keji. Di sekitar, yang
tampak hanya dusta dan tipuan. Penguasa menindas dan
sejumlah penyair menjual bakat mereka di istana. Hukum
agama hanya menuduh. Tak ada keyakinan apa pun yang bisa
dipegang.

Ia pun mencari. Mengikuti tradisi sufi, ia dibimbing seo­ rang
pir, seorang guru. Tapi akhirnya ia tahu: guru yang sebenarnya
adalah penderitaannya.

Dalam perjalanan itu—diceritakan kembali oleh Kermani
dengan memukau—ia lihat 100.000 jalan menuju ke segala
arah dan 100.000 lautan darah. Ia lihat dunia-dunia yang
sesat dan kosmos yang membengkak. Ia lintasi 100.000 surga
dan neraka, ia mengetuk, tapi tak ada pintu yang terbuka.
Akhirnya ia hilang ingatan. Ia bicara kepada rasa sakit, dan

326 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka ATTAR

rasa sakit jadi keyakinan dan kekufurannya. Ia pun membisu,
menyerah, habis tenaga.

Ia berjumpa dengan Malaikat Jibril . Ia bertanya tahukah
sang malaikat obat apa yang baik bagi rasa sakitnya. Jibril tak
tahu; ia sendiri dalam keadaan yang lebih buruk. Ada teror,
heybat, yang dihadapinya—teror dari sesuatu yang bahkan
Jibril tak berani sebut namanya.

Demikian juga reaksi para malaikat lain, termasuk para
penyangga Takhta Tuhan. Mereka semua sengsara. ”Berdiriku
begitu guyah,” jawab salah satu dari mereka, ”hingga bila
selembar serat tubuhku bergerak, aku akan jatuh ke dalam
jurang yang dalam.”

Kenapa demikian? Kenapa tak ada jawab? Dalam Kitab
Kesengsaraan Tuhan adalah kesewenang-wenangan yang
memperlakukan ciptaan-Nya sebagai obyek yang tak berarti.
Sang pengembara pun menyimpulkan, dalam sebaris
kalimat Attar, bahwa sejak mula manusia memang ”bak bola
permainan”.

Tentu, dalam kisah-kisah penjelajahan yang seperti
siklus putus asa itu, sang guru selalu mengingatkan: dalam
kesengsaraan manusia, Tuhan punya alasan tersembunyi
yang baik. Tapi Kermani menunjukkan, puisi Attar
kurang mengedepankan itu. Ia justru memberi tekanan
pada gambaran ”kekalutan pikiran sang pengembara dan
pemandangan mengerikan yang ditemuinya...”. Jawaban sang
guru tak memadai. Yang lebih nyaring adalah ”pertanyaan
yang selalu datang dari sang musafir”.

Sampai hari ini, pelbagai risalah filsafat dan agama—Islam,
Kristen, Yahudi—bergulat dengan pertanyaan itu: mengapa

Catatan Pinggir 12 327

http://facebook.com/indonesiapustaka ATTAR

Yang Mahakuasa tak melepaskan manusia dari sengsara?
Dan jika itu hukuman atas dosa, kenapa Ia tak mencegahnya?
Benarkah Ia pengasih, benarkah Ia adil?

Ada yang menjawab, Tuhan tak bisa dinilai dengan
rasa keadilan dan belas kasih manusia. Tapi ada yang
menambahkan: jika benar demikian, penilaian itu justru harus
ditegaskan di dunia. Kitab Kesengsaraan menyesakkan karena
kita tahu, ada yang seharusnya bukan kesengsaraan.

TEMPO, 26 Juni 2016

328 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka JPC

Pada batu marmer yang sudah kusam, di tembok ruang
bawah Museum Wayang di Kota Tua Jakarta, terukir
sebuah nama:

DIE STICHTER VAN BATAVIA
JAN PIETERSZOON COEN
IN 1634
Sang pembangun Batavia” yang dikuburkan di sana juga
seorang yang bersemboyan, tercatat pada 1618: ”Jangan patah
harapan, jangan ampuni lawan, sebab kita bersama Tuhan.”
Ia memang seorang Kristen yang keras, seorang
administrator penegak disiplin, dan tentu saja seorang
pelaksana hasrat VOC untuk menguasai persaingan dagang di
Asia di abad ke-17.
Empat tahun setelah mengucapkan kalimatnya itu,
gubernur jenderal perhimpunan dagang Belanda itu menyerbu
Banda. Dengan pasukannya ia bantai ribuan penduduk yang
melawan dengan sengit; ia perintahkan satu regu samurai
Jepang yang disewanya untuk memancung serentak penghulu-
penghulu setempat yang tak mau menyerah.
Di bawah ancaman senjata, orang Banda tak boleh
menjual buah pala mereka kepada orang Inggris atau siapa
pun. Rempah-rempah itu hanya untuk VOC yang kemudian
menjualnya di pasar Eropa dengan laba berlipat-lipat.

Catatan Pinggir 12 329

http://facebook.com/indonesiapustaka JPC

Tak jelas bagaimana Tuhan ada dalam kebuasan dan
keserakahan itu. Mungkin bagi Coen, Tuhan adalah Ia yang
memegang pedang, menegaskan kesalehan, dan menyusun
pembukuan. Suatu hari Coen mengetahui seorang gadis remaja
asuhannya bermain cinta dengan seorang pemuda Indo—dan
mereka melakukan perbuatan itu di ruang pribadinya. Sang
gubernur jenderal murka. Wajahnya memucat dan meja yang
dipeganginya bergetar. Ia perintahkan pemuda itu dipotong
lehernya dan gadis itu ditenggelamkan.

Agaknya ia merasa jadi penjaga moral di kota yang
dibangunnya—moral ala kaum borjuis Belanda yang dibentuk
Gereja Reformasi yang puritan, yang waspada kepada seks dan
hemat dengan sensualitas, yang selalu menahan diri dari sikap
yang berlebihan. Singkat kata: seperti tokoh makelar kopi
dalam novel Max Havelaar, pedagang yang takut boros dan
hanya berpikir tentang ”manfaat”—atau laba.

Tapi keketatan macam itu tak mudah buat kota yang
dibangun

Coen nun jauh di negeri tropis di abad ke-17. Di awal hidup
Batavia, mayoritas penghuni adalah laki-laki. Jean Gelman
Taylor menggambarkannya dalam The Social World of Batavia
sebagai ”serdadu dan kelasi yang telah tercerabut dari tanah
asalnya”, yang ditempatkan ”di barak-barak di pinggiran
peradaban yang asing”. Perempuan makhluk yang langka.
Kalaupun ada, mereka wanita pribumi yang dianggap rendah,
mudah berahi, gampang menyerah. Kebanyakan budak
belian. Dalam satu catatan tahun 1618 dilaporkan: tiap malam
berlangsung ”orgi” antara laki-laki bebas dan ”perempuan-
perempuan hitam”.

330 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka JPC

Benar atau tidak cerita itu, Coen tak jenak dengan
kehidupan sosial Batavia. Ia pun mengeluarkan peraturan:
barang siapa yang tinggal dalam ”republik Jacatra” dilarang
memelihara satu atau dua budak perempuan, seorang gundik
atau lebih. Tak boleh wanita Kristen berhubungan seks dengan
pria yang tak beragama (heidense) atau Arab (Moor).

Hasrat untuk kemurnian—yang kadang-kadang
mirip kesucian—mendorong Coen, atau siapa pun,
untuk menegakkan hidup yang eksklusif. Pada 1619 ia
menghancurkan Jakarta (”Jacatra”). Dimusnahkannya dua
bangunan yang jadi pusat kota: kabupaten dan masjid. Di atas
puing-puingnya ia dirikan ”Kasteel Batavia”—yang segera jadi
sebuah ruang isolasi. Penduduk asli sudah meninggalkannya,
orang Jawa dilarang tinggal, dan di sekitarnya hutan berisi
binatang buas. Pada 1642 ada larangan bagi perempuan
untuk ke luar gerbang ”Kastil”. Para budak belian tak boleh
dijual pemiliknya kepada orang Yahudi, Islam, atau yang tak
bertuhan.

Dalam The Social World of Batavia digambarkan
bagaimana alimnya kehidupan di Kastil itu, yang dikuasai
Gereja Reformasi, satu-satunya denominasi Kristen yang
diperbolehkan. Kebaktian diselenggarakan di Balai Kota,
doa pagi dan malam berlaku di Kastil, dan para pejabat
dan pegawai VOC berpuasa menjelang kapal niaga mereka
berangkat. ”Tak ada yang lebih mampu menyatukan hati
orang ketimbang kesatuan iman dan dijalaninya agama secara
benar,” tulis Coen dalam suratnya kepada para pembesar VOC
di Amsterdam.

Seperti lazimnya orang yang taat beragama, Coen me­

Catatan Pinggir 12 331

http://facebook.com/indonesiapustaka JPC

nyangka Tuhan bersamanya dan kehendaknya akan jadi. Tapi
sejarah menunjukkan, Batavia proyek yang gagal. Ia dibangun
sebagai transplantasi kota Belanda, ia diharapkan akan
memenangkan ajaran Calvinis yang lurus. Tapi kelembapan
kota, berjangkitnya malaria, dan keinginan manusia untuk
hidup tanpa merasa takut dosa membongkar desain itu. Kastil
ditinggalkan. Kebudayaan Kristen Eropa lumer oleh pengaruh
kebudayaan Indonesia yang beragam dan yang terus tumbuh.
Yang murni hilang, yang campuran jadi—sebuah kebudayaan
mestizo yang berlaku di Jakarta hingga hari ini.

TEMPO, 3 Juli 2016

332 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Terkutuk

KITA terbiasa dengan gambaran ini, yang agaknya
datang dari benua lain: penyair, terusir dari Kallipolis,
lusuh, bau, kelayapan, insomniak, hidup tanpa jadwal, dan
memproduksi hal-hal yang tak jelas fungsinya: sajak-sajak.
Ia jarang mendapat tempat dalam sebuah struktur. Ia di luar.
Kalaupun ia ingin, Kallipolis tak akan menerimanya kembali.
Dalam kota ideal yang diangankan Plato itu, penyair adalah
elemen yang hanya berperan buat memuja para pahlawan—
dan kita tahu, itu tak akan cocok, sebab pahlawan adalah
tokoh yang membeku dalam dongeng wajib. Maka ada
benarnya, meskipun agak berlebihan, bila pada 1832 Alfred de
Vigny menulis bahwa penyair adalah ”kaum yang akan selalu
dikutuk mereka yang berkuasa di atas bumi”.

Waktu itu kota-kota Eropa, terutama Paris, mulai bergerak
dengan desain modern yang lugas dan teratur. Di sana puisi,
dengan sifatnya yang tak terduga-duga, makin terasing.
Paul Verlaine menyusun kumpulan puisi, Les Poètes maudits,
yang terbit pada 1884: karya-karya ”penyair terkutuk”.
Yang tergabung dalam rombongan ini Verlaine sendiri, juga
Rimbaud dan Mallarmé—untuk menyebut yang paling
dikenal di luar Prancis. Di barisan depan: Baudelaire.

Baudelaire dijatuhi hukuman setelah ia menerbitkan Les
Fleurs du mal, 25 Juni 1857. Kumpulan puisi itu dianggap
menampar ”moralitas masyarakat”. Baudelaire tak dipenjara,
namun didenda dan enam sajak dalam Les Fleurs du mal harus

Catatan Pinggir 12 333

http://facebook.com/indonesiapustaka TERKUTUK

dicabut.
Seperti berulang kali terjadi, sensor adalah ketakaburan

yang bodoh: mengutuk buku berarti membuatnya ramai
dicari. Pada umur 36 tahun, Baudelaire telah menghasilkan
satu karya yang paling banyak dibicarakan dan dikagumi—
meskipun ia semula datang untuk mencerca dan dicerca.

Ia anak muda pesolek dan pemboros, pelanggan seorang
pelacur botak yang buruk muka. Kata orang, dari sini ia
terkena raja singa yang pelan-pelan membunuhnya. Mungkin
tak hanya sifilis. Ia penikmat laudanum, candu yang dilarutkan
dalam alkohol. Ia mengagumi Edgar Allan Poe, penyair
Amerika pemabuk yang menurut Baudelaire menggambarkan
”kegemilangan” opium, yang muram, hitam, tapi menggugah.
Sang penyair Les Fleurs du mal juga anggota tetap Club
des Hashischins, sebuah perhimpunan sastra di Paris yang
bertujuan menjelajahi kreativitas manusia saat kesadarannya
berubah karena pengaruh hashish.

Tak mengherankan bila ia ingin ada jarak, bahkan
pertentangan, antara dirinya, juga puisinya, dan ukuran-
ukuran akhlak yang lazim. ”Ibu tahu,” tulisnya di sepucuk
surat kepada ibunya beberapa belas tahun sebelum ia meninggal
di pangkuan perempuan belahan jiwanya itu, ”bahwa aku
selalu menganggap sastra dan seni mengejar tujuan yang tak
tergantung kepada moralitas.”

Sajak-sajaknya memang anti-pesan-moral. Ia menyentuh
dengan akrab seks, melankoli, kematian—dengan kata-
kata yang menampar. Sajak pembuka Les Fleurs du mal, ”Au
lecteur” (Kepada Pembaca), menyamakan sang pembaca
seperti dirinya: hipokrit. Bila manusia berani, tulisnya,

334 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka TERKUTUK

hidup yang datar seperti ”kanvas yang banal” ini seharusnya
bisa dihiasi dengan ”perkosaan, racun, pisau, dan api yang
membasmi”. Sebab ada yang ”lebih buruk, lebih jahat, lebih
jorok” ketimbang semua yang mengancam kehidupan, dan itu
adalah ”Rasa Jemu”, l’Ennui.

”Penyair terkutuk” yang memusuhi rasa jemu itu pada
gilirannya jadi posisi tersendiri dalam hubungan sastra dengan
masyarakat. Di mana-mana. Seandainya kumpulan Verlaine
terbit di pertengahan abad ke-20, dan meliputi sastra seluruh
dunia, ia mungkin akan memasukkan sajak Chairil Anwar,
”binatang jalang/dari kumpulannya terbuang”.

Tapi apa artinya bagi ”kumpulannya”, bagi masyarakatnya?
Baudelaire menyatakan karyanya tak mengejar ”tujuan
yang tergantung kepada moralitas”. Tapi itu tak berarti sajak-
sajaknya tak berangkat dari konteks moral tertentu. ”Semua
sajak, semua benda seni, sepenuhnya menyarankan secara wajar
dan kukuh satu moral,” tulisnya. Keindahan tak cuma ”abadi”.
Ia juga terpaut kepada keadaan yang merupakan gabungan
”zaman, cara hidup, moral, dan gairah hati”. Dengan kata lain,
dalam sesuatu yang indah, ada yang tak tersentuh ruang dan
waktu; tapi sesuatu yang indah harus hadir dalam ”sesuatu”,
dan ”sesuatu” hanya terwujud dalam dunia manusia di mana
moral dan masyarakat saling membentuk.
Tapi ia tetap mandiri: tak bisa ditaklukkan kutukan ”mereka
yang berkuasa di dunia”. Juga tak bisa digunakan melayani
Negara, Partai, Modal, dan Pasar. Dalam posisi itu puisi justru
menggugat. Ia menjadikan dirinya tak berguna, dan dengan
itu, seperti dikatakan Adorno, ia melawan pemujaan kepada
”guna”—sebuah pemujaan yang lupa bahwa ”guna” selalu

Catatan Pinggir 12 335

http://facebook.com/indonesiapustaka TERKUTUK

ditentukan oleh imperialisme manusia atas benda-benda.
Di tengah imperialisme itu, puisi terkutuk, tapi ia me­

nunjukkan sesuatu yang lain: ada yang berarti dalam benda-
benda tak berguna.

TEMPO, 10 Juli 2016

336 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Bekisar

PADA suatu hari sekitar tahun 1650, Amangkurat I, yang
bertakhta di Mataram, menerima sebuah persembahan
yang unik: seekor bekisar, unggas keturunan ayam hutan. Yang
mempersembahkan pamannya sendiri, Pangeran Surabaya.

Bekisar ini bukan hanya cantik warna bulunya. Seb­ agai­
mana diuraikan Pangeran Surabaya di depan Raja, menurut
catatan sejarah Babad Tanah Jawi,

...bakisar puniki
pawèstri asalé kina
sampun sawulan laminé
lami-lami dados lanang
warnanipun apelag
dhatêng sagêd akaluruk
mangké konjuka sang nata

Unggas elok yang dipeliharanya itu, sembah Pangeran
Surabaya dengan bangga, juga istimewa: dalam waktu sebulan
ia berubah dari betina jadi jantan, dan pandai berkokok. Sang
Pangeran merasa patut mempersembahkannya kepada Raja.

Amangkurat mengucapkan terima kasih. ”Saya percaya
akan rasa sayang Paman,” katanya. Tapi ia berdusta. Dalam
hati ia marah. Ia melihat persembahan itu sebuah isyarat jahat.

Amangkurat, raja yang bengis, adalah penguasa yang graita
landhêp pasêmon, orang yang dengan tajam menilik tiap isyarat

Catatan Pinggir 12 337

http://facebook.com/indonesiapustaka BEKISAR

dan sindiran. Kita akan menyebutnya paranoia.
Paranoia memang lazim berkembang ketika seorang

penguasa makin terisolasi di singgasananya, terutama ketika
takhta yang didudukinya berimpit dengan kekerasan—
sebagaimana kisah kekuasaan Mataram.

Maka esoknya Amangkurat berkata kepada para menteri­
nya: ia curiga. Ia anggap pamannya menyindirnya agar turun
takhta, untuk digantikan putra mahkota, yang juga cucu
Pangeran Surabaya.

Ketika seseorang menyampaikan kecurigaan Raja kepada­
nya, Pangeran Surabaya gemetar ketakutan. Didampingi
istrinya, ia tergopoh-gopoh menghadap. Mereka menyatakan
bersedia dihukum mati jika Raja menganggap bekisar itu
hanya pasemon....

Pasemon: ungkapan semu, yang mengatakan sesuatu tapi
sebenarnya lain. Tapi tentu saja ungkapan itu hanya berfungsi
bila ia membentuk makna.

Dalam cerita kita, Amangkurat mengampuni pamannya.
Tapi bagaimanapun ia membentuk makna yang sama sekali
berbeda dari yang ditawarkan Pangeran Surabaya. Raja secara
sewenang-wenang menganggap si bekisar bukan hewan yang
unik, melainkan sebuah tanda. Secara sewenang-wenang pula
ia menafsirkan tanda itu sebagai oposisi politik.

Memberi makna sebuah tanda memang umumnya di­
lakukan secara arbitrer, ”sewenang-wenang”. Sebuah tanda
bisa persis sama dengan yang ditandai: foto wajah kita di KTP
menandai wajah kita. Atau sebuah tanda menjadi index dalam
pengertian semiotika Pierce: menampilkan sesuatu yang lazim
mewakili sebuah pengertian, seperti asap menandai api, jejak

338 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka BEKISAR

telapak menandai kaki. Atau, ia merupakan lambang: sesuatu
yang maknanya sepenuhnya terbentuk dan dipa hami dalam
proses kebudayaan, seperti bendera merah-putih, yang praktis
tak mirip dengan benda apa pun, kecuali warnanya, namun
ada makna tertentu yang diberikan kepadanya.

Tapi bekisar itu? Apa yang membuatnya jadi tanda—tanda
oposisi? Tak ada. Kelak, selama pemerintahannya yang penuh
konflik, Amangkurat akan disindir dengan perumpamaan
”kalpika” (cincin) yang terlalu kecil atau ”kenaka” (kuku)
yang patah. Tapi bekisar tak ada hubungannya dengan imaji
negatif seperti itu. Tidak dari bentuknya. Tidak pula dari
transformasinya dari betina jadi jantan; dalam dunia misoginis
Amangkurat, perubahan itu tak akan tampak sebagai
penghinaan. Bekisar itu bukan juga nama hewan yang bunyi
akhir suku katanya bisa jadi wangsalan, semacam pantun
yang menyindir—sebuah permainan verbal Jawa yang secara
berliku-liku mengasosiasikan, misalnya, pengertian ”tumben”
(dalam bahasa Jawa, kadingarèn) dengan pohon nyiur gunung
(dalam bahasa Jawa, arèn).

Dengan kata lain, Amangkurat membentuk makna dengan
kesewenang-wenangan yang ekstrem. Ia ciptakan sesuatu yang
gawat dari yang praktis bukan apa-apa.

Dari masa ke masa, orang memang merasa perlu menghindar
dari ekspresi verbal. Kata bisa berbahaya. Mungkin karena
bahasa dirasakan lebih terbatas maknanya ketimbang dunia di
luarnya. Dalam keadaan itu, sebuah ungkapan bisa terjebak
dalam makna yang terbatas pula. Maka ungkapan pikiran
dan perasaan pun dinyatakan dengan benda-benda atau sikap
tubuh. Makna terbentuk secara ”intersemiotik”, yang verbal

Catatan Pinggir 12 339

http://facebook.com/indonesiapustaka BEKISAR

dan nonverbal susup-menyusupi.
Sebenarnya itu satu bentuk perlawanan sosial terhadap

kekuasaan yang antisosial. Ketika ia membentuk sendirian
sebuah makna dari nol, dengan membuat seekor bekisar yang
unik jadi tanda yang mengancam, Amangkurat menganggap
mutlak kekuasaannya atas apa pun, juga atas makna. Ia mirip
Tuhan.

Tak mengherankan bila akhirnya, dengan alasan yang
berbeda, ia bunuh Pangeran Surabaya beserta seluruh
keluarganya. Seperti Tuhan, ia jarang berunding. Tapi cerita
belum berhenti. Di hadapan itu manusia, bersama-sama, bisa
memperluas makna.

TEMPO, 17 Juli 2016

340 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Sumbang

IBLIS, menurut Rumi, memberikan sebuah petuah—dan
agaknya penting bagi percakapan manusia. ”Orang yang
berpikiran buruk tak akan dengarkan kebenaran meskipun
dihadapkan pada seratus tanda-tanda.”

Iblis, dalam pandangan seorang sufi seperti Rumi, bukan
makhluk yang negatif, dan dalam hal ini kata-katanya
meyakinkan: salah satu kegagalan yang berulang dalam
sejarah adalah kegagalan mendengarkan. Tanda, kata, isyarat
yang mengantar ke kebenaran ternyata tetap saja tak membuat
orang berubah jadi mengerti. Dan itu berlaku sampai abad ini.
Kini para psikolog berbicara tentang cognitive dissonance.

Gejala ”sumbang” dalam pemahaman itu tak serta-merta
karena ”pikiran buruk”. Seorang perokok berat berulang
kali membaca ulasan tentang bahaya nikotin, berulang kali
melihat gambar paru-paru manusia yang digerogoti kanker,
tapi ia terus saja mengisap tembakau. Ia tahu bahaya itu. Ia
sebenarnya terusik. Ia mengalami cognitive dissonance. Ada
yang tak konsisten antara apa yang dimengertinya dan apa
yang dilakukannya. Tapi alih-alih mengubah tindakannya,
ia menciptakan konsistensi dalam dirinya dengan mengikuti
informasi lain yang cocok dengan keinginannya terus
merokok. Ia ingin harmoni terbentuk kembali. Informasi
(”tanda-tanda”) yang sebenarnya bisa mengubahnya terbentur
tembok, sia-sia.

Dalam interaksi antarmanusia, kesia-siaan itu telah me­

Catatan Pinggir 12 341

http://facebook.com/indonesiapustaka SUMBANG

nambah bagian yang suram, bahkan menakutkan, dalam
sejarah. Berabad-abad orang tak mau ada yang sumbang dalam
dirinya, ada konflik antara pengetahuannya yang baru dan
keyakinannya yang semula. Maka mereka pun berpegang
teguh pada idée fixe mereka. Stereotipe tentang liyan, misalnya,
terus bertahan: orang hitam tolol, orang putih bejat, orang
kuning culas, orang cokelat malas, perempuan tak rasional,
laki-laki misoginis. Bahkan sampai di abad ke-21, laki-laki
pirang pucat yang kini jadi Menteri Luar Negeri Inggris,
Boris Johnson, mengaitkan orang Papua Nugini dengan
”kanibalisme” dan menyebut orang Afrika piccaninnies, ejekan
buat anak-anak kulit hitam.

Beratus buku pernah ditulis, berpuluh film dibuat,
berbentuk fiksi atau reportase, yang menunjukkan bahwa
dunia amat kompleks dan manusia sering berbeda secara tak
disangka-sangka. Hari ini seharusnya orang tahu bahwa tiap
stereotipe adalah bentuk yang dimencongkan. Tapi seperti
dikatakan Iblis dalam versi Rumi, ”Ketika kepada orang yang
berkhayal dikemukakan nalar, khayalnya justru bertambah.”
Dan ketika nalar gagal meluruskan khayal buruk tentang
liyan, bukan hanya salah paham yang terjadi; kebencian dan
penghancuran menyusul.

Mungkin aneh, mungkin tidak, tapi merisaukan: ada yang
mengatakan, kini kita dibentuk tsunami informasi yang selalu
baru dan berubah, tapi manusia mengatasi cognitive dissonance-
nya dengan nalar yang lain, bukan nalar yang mencari dan
memverifikasi. Agama, lengkap dengan kecenderungan
dogmatisnya, tampak kian tegar bahkan di universitas-
universitas di Indonesia, ruang yang dulu dibangun untuk

342 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka SUMBANG

melatih pengetahuan empiris dan penalaran. Sementara itu,
di media sosial yang diciptakan teknologi mutakhir, ”khayal”
jenis lain berkecamuk: dugaan-dugaan yang ganjil, fitnah yang
liar, dan teori konspirasi yang paling absurd.

Apa yang dicapai manusia, sebenarnya, sejak percakapan
dimulai? Sejak orang mencoba bertukar-pikiran, sejak data
dan fakta dicari, dihimpun dan disusun, sejak pengetahuan
empiris menggantikan pengetahuan spekulatif, sejak takhayul
diusir dari argumen?

Lebih dari satu dasawarsa yang lalu Bush di Amerika
Serikat dan Blair di Inggris memutuskan untuk menyerbu
Irak, untuk melucuti Saddam Hussein dari ”senjata pemusnah
massal”. Lebih dari satu dasawarsa yang lalu pelbagai sumber
meragukan adanya senjata itu—dan inspeksi resmi bahkan
membantah informasi itu. Tapi Bush dan Blair tak hendak
mendengarkan. Tentu ada sesuatu yang bukan sekadar alasan
psikologis dalam penolakan itu; kepentingan-kepentingan
imperialisme pasti jadi dasarnya. Tapi tampak pula bahwa ada
nalar lain yang membuat ”kebenaran” tak hendak bergerak
dari posisi yang beku.

Kini dunia pemikiran tak yakin lagi ada jaminan dari sebuah
pusat, dari sebuah fondasi, untuk menentukan ”kebenaran”.
Kini agama jadi demikian sektarian dan egosentris, hingga
tak punya wibawa untuk jadi dasar universal. Kini ilmu-ilmu
makin jelas hanya menjawab sebagian pertanyaan kehidupan.
Apa selanjutnya? Sebaiknyakah percakapan terhenti dan
jawaban yang terbaik adalah, seperti pesan Iblis dalam
Masnawi Rumi, ”diam dan damai”?

Saya ingin jawab: jangan. Saya ingin jawab: selalu ada celah

Catatan Pinggir 12 343

http://facebook.com/indonesiapustaka SUMBANG

dan saat ketika kebenaran masuk. Tapi kita memang lebih dulu
harus berangkat dari sebuah awal, dari ”diam dan damai”.

TEMPO, 24 Juli 2016

344 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Eropa

DI tepi jalan kereta api di stasiun Köln Messe/Deutz
patung-patung raja berkuda jadi hijau oleh cuaca beratus
tahun. Terselip di antara pepohonan dan kabel-kabel yang
terentang, mereka seperti barang logam bekas yang diletakkan
di sana karena orang tak tahu ke mana harus dibuang. Yang saya
lihat sebuah sosok yang seakan-akan sedang menggerakkan
kudanya maju, tapi jalan telah raib. Abad ke-21 meletakkan
sisa-sisa raja ke ruang yang kehilangan arti.

Tentu saja tak hanya sisa-sisa raja. Dan tak hanya di Jerman.
Juga mimpi dan rasa cemas di Eropa yang membagi-bagi benua
itu—sebelum ataupun sesudah Brexit. Dari jendela gerbong
dari Frankfurt menuju Amsterdam—ini tahun 2012—saya
menyadari, tapal batas antara Belanda dan Jerman kini hanya
dikenang sebagai cerita absurd nasionalisme. Ribuan orang
mati dalam dua perang besar abad ke-20 untuk mengubah
letak tapal batas itu. Di abad ke-21, yang mati pura-pura
dikenang, dan yang dipertengkarkan tak berbekas.

Tapi benarkah? Peta telah jadi digital, ya—namun kemajuan
tak dengan sendirinya disertai tumbuhnya sesuatu yang
nyaman: ruang hidup yang akrab. Eropa telah jadi bangunan
supranasional; pelbagai keputusan yang mengatur hidup orang
ditentukan nun jauh di luar ibu kota negeri masing-masing,
oleh orang-orang, terutama para teknokrat, yang duduk di
markas besar Uni Eropa di Brussels. Tapi dengan demikian,
ada sebuah proses yang terasa tak terjangkau, terasa tak hadir.

Catatan Pinggir 12 345

http://facebook.com/indonesiapustaka EROPA

Dalam sebuah wawancara dengan Die Zeit 12 Juli 2016—
setelah Brexit—Habermas menyebut terjadinya ”pengosongan
teknokratis” (technokratische Entleerung) dari kehidupan. Uni
Eropa, kata Habermas, dibentuk sedemikian rupa hingga
keputusan ekonomi yang paling elementer, yang akibatnya
mengenai seluruh masyarakat, ”ditanggalkan dari pilihan
demokratis”. Brexit adalah gejala ”pasca-demokrasi”, ketika
orang banyak, para warga, merasa hak dan kendali mereka
lepas, dan sebab itu mereka bangkit untuk merebutnya kembali
dalam sebuah referendum.

Dengan kata lain Brexit sebuah ungkapan anti-teknokrasi.
Ada keinginan kembali kepada ruang hidup yang lebih akrab.
Ada keyakinan yang tumbuh bahwa dalam ruang hidup itu
peran negara nasional, yang mengikutsertakan para warga,
bisa lebih cocok dengan keinginan orang banyak.

Yang dilupakan, suara orang banyak di Jerman, Prancis,
Italia, dan lain-lain itulah yang pernah bersorak untuk
nasionalisme dan perang. Maka tak mengherankan bila
Persatuan Eropa—dengan tujuan mencegah perang
baru—sejak mula dirintis dengan langkah yang mirip cara
membentuk perusahaan besar ketimbang ramai-ramai
mendirikan sebuah alternatif bagi nasionalisme. Jean Monnet,
”Bapak Eropa”, tak memulainya dengan gerakan politik.
Ia mendirikan ”Masyarakat Batu Bara dan Baja Eropa”,
yang mengintegrasikan industri Jerman dan Prancis, yang
dikoordinasi sebuah ”otoritas tinggi”.

Separuh karena impian perdamaian, separuhnya lagi
dengan pragmatisme, negeri-negeri Eropa lain bergabung
(Inggris menolak—sebuah indikasi Brexit yang paling awal).

346 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka EROPA

Lembaga inilah yang setahap demi setahap jadi Uni Eropa,
lewat diplomasi dan pengembangan organisasi yang rumit.
Monnet cocok untuk proses itu. Ia orang Prancis kelahiran
1888, anak saudagar brendi yang sejak usia muda mewakili
bisnis keluarganya di pelbagai negeri. Lahir di Cognac, ia
menggambarkan tempat lahirnya sebagai ”kota brendi di mana
orang mengerjakan sesuatu dengan perlahan-lahan dan penuh
konsentrasi”. Politik, baginya, berarti negosiasi yang sabar di
tingkat atas, bukan kampanye untuk mendapat dukungan
khalayak ramai.

Monnet meninggal pada usia 91 tahun. Eropa yang bersatu
mulai jalan dan membesar. Dimulai dengan enam, kini ia
persatuan 28 negara, terutama bekas negara sosialis yang
dengan cepat jadi kapitalis. Tak mengherankan bila modal
(bukan khalayak ramai) sangat berperan. Sebuah laporan
Oxfam menyebutkan, dalam kelompok yang memberi
masukan untuk reformasi pajak Eropa, 82 persen adalah wakil
kepentingan swasta dan komersial. Kata seorang sosiolog: Uni
Eropa adalah sebuah ”mesin deregulasi”.

Dan peran negara dalam menjaga keadilan jadi layu, dan
kesepakatan untuk reformasi makin rumit, dan ketimpangan
sosial menajam. Sekitar 123 juta orang Eropa terancam miskin
ketika tak sampai 400 orang hidup dengan bermiliar euro.

”Pengosongan teknokratis” akhirnya juga pengosongan
proyek Eropa dari antusiasme bersama. Rakyat banyak pun
cari harapan di tempat lain—dengan kemarahan. ”Kami”,
underdogs yang tersingkir, berdiri melawan ”Mereka”, siapa saja
yang ”bukan-Kami”. Suasana antagonistis seperti api dalam
sekam. Kekerasan datang, kemarahan menjalar.

Catatan Pinggir 12 347

http://facebook.com/indonesiapustaka EROPA

Dan Eropa, seperti patung kuda para raja di tepi rel itu,
belum tampak mau ke mana.

TEMPO, 31 Juli 2016

348 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Orloj

JAM besar berumur 600 tahun di Kota Praha itu berubah,
dalam sejarahnya, jadi rasa waswas akan sesuatu yang
disebut ”Turki”. Terpasang di menara pada dinding selatan
balai kota Kota Tua di Staromèstské Nàmèstí, tanda waktu itu,
Orloj, disusun dengan sederet simbol yang berpesan.

Di kiri-kanan lingkaran jam, tampak empat patung kecil
dari kayu. Ada sebuah rangka manusia. Ia separuh berjubah
dan memegang sebuah kotak panjang di tangan kiri; di
dalamnya tampak gelas waktu. Di tangan kanannya sebuah
lonceng. Di tiap jam, sang tengkorak menggoyangkan lonceng
itu dengan keloneng yang nyaring. Ia lambang Maut.

Tiga yang lain berwajah manusia. Sosok pertama membawa
cermin—lambang watak genit yang sibuk mempercantik diri.
Sosok kedua membawa kantong uang—lambang sifat rakus
dan bakhil. Sosok ketiga seseorang yang membawa alat musik
dengan dawai—lambang kesenangan kepada kemewahan dan
kenikmatan jasmani.

Si Genit, Si Bakhil, dan Si Mewah menggelengkan kepala
tiap kali lonceng Maut berbunyi: mereka tak mau menerima
bahwa hidup ini fana....

Agama, rasa cemas, dan purbasangkanya mendekam awet
di jam tua itu. Tanda waktu itu adalah bagian sejarah agama
dalam masa yang sengit. Di bagian atas menara, ada dua
tingkap kecil. Tiap kali Maut mengguncangkan lonceng,
kedua jendela itu terbuka. Di ambangnya akan tampak para

Catatan Pinggir 12 349

http://facebook.com/indonesiapustaka ORLOJ

rasul, murid-murid Yesus yang awal, tampil berurutan, seakan-
akan menengok dari langit. Mereka tampak menilai apa yang
terjadi di bawah, di bumi yang alpa dan penuh kontradiksi—
dunia yang tak sepenuhnya positif, tak sepenuhnya Kristen.

Patung Si Bakhil berhidung bengkok: ia ”Yahudi”. Dua
dari patung kecil itu, Si Genit dan Si Mewah, memakai sorban.
Mereka ”Turki”.

Di lingkar wajah jam yang kedua, yang di bawah, ada
juga dua boneka kayu yang ”Turki”. Tapi di sini orang-orang
bersorban itu tak menggambarkan kemewahan. Yang di
sebelah kiri: ”filosof”, memegang buku. Yang di sebelah kanan:
pakar astronomi, memegang teleskop. Mereka tak dibiarkan
sendiri. Di dekatnya ada sosok Malaikat Mikail, dengan
pedang terhunus dan tongkat yang menunjuk ke waktu yang
bergerak.

Bekas-bekas ketegangan antara iman dan ilmu terasa
di Orloj. Para pembangun tanda waktu itu tampak hendak
menegaskan bahwa ilmu tak bisa berdiri sendiri, tak akan
sanggup menampik datangnya Hari Kiamat. Apalagi sejak
beberapa abad sebelumnya mereka berasal dari sumber-sumber
bukan-Nasrani: dari dunia ilmu dan pemikiran Islam, yang di
patung-patung kecil itu dipersonifikasikan sebagai ”Turki”.

Tapi ”Turki” di sini tak harus identik dengan ”Islam”. Di
zaman ketika patung-patung itu dibuat, Eropa masih merasa
asing dengan keduanya. Di Orloj, ”Turki” pada dasarnya
”mereka”, ”yang bukan-kita”.

Dalam Early Orientalism: Imagined Islam and the Notion of
Sublime Power (2014), Ivan Kalmar menafsirkan konfigurasi
patung-patung dalam Orloj dari sejarah pergulatan sengit dan

350 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka ORLOJ

berdarah antara Gereja Katolik dan Protestan.
Praha berada di pusat konflik itu; kota ini di bawah

kekuasaan Katolik. Pada 1620, kaum Katolik menang penuh
dalam pertempuran di Pegunungan Putih. Praha dibangun
kembali. Gedung-gedung berubah; arsitektur gothik dan gaya
zaman Pencerahan diganti dengan bangunan barok.

Beberapa tahun berikutnya, di jam tua di Staromèstské
Nàmèstí dipasang patung-patung ”Turki” itu. Ada niat
menunjukkan—terutama kepada kaum Protestan—bahwa di
luar Gereja Katolik, dunia tak akan dapat mencapai kebaikan
dan kebenaran. Ada kehendak menegaskan bahwa Reformasi
yang dibawakan Luther dan Calvin menyesatkan, karena
akibat pembangkangan mereka, manusia meyakini sebaliknya.

Orloj tampaknya hendak mendahului apa yang dua
abad kemudian dikemukakan Hegel: Reformasi, lahirnya
Protestantisme, mengguncang supremasi Gereja Katolik, dan
sejak itu timbul kesadaran bahwa kekuasaan sekuler juga bisa
memberikan dunia yang baik. Yang terjadi di Praha, sebuah
kemenangan politik Kontra-Reformasi, adalah kehendak
meneguhkan kembali agama di atas apa yang disebut Hegel
das Weltliche, yang ”duniawi”.

Tapi mampukah agama? Dari bagian atas menara Orloj,
para rasul yang sudah di langit menengok ke bawah. Tapi dari
sana tak ada kuasa yang mengendalikan apa yang oleh Gereja
disebut ”bakhil”, ”genit”, ”mewah”, apalagi membimbing
filsafat dan ilmu. Pundi-pundi uang, cermin, dan alat musik—
juga buku dan teleskop—ternyata punya energi sendiri.
Mereka mampu menggagalkan purbasangka dan kecemasan
agama.

Catatan Pinggir 12 351

http://facebook.com/indonesiapustaka ORLOJ

Akhirnya, segala yang ”Turki”, alias iman dan buah
kebudayaan lain, hanya bisa dicurigai—atau dikarikaturkan
dengan patung-patung kecil. Jam yang menakjubkan itu pada
gilirannya hanya jadi hiasan Praha. Di Lapangan Kota Tua itu,
ketika Sang Maut membunyikan lonceng, akan kita lihat para
turis bertepuk.

TEMPO, 7 Agustus 2016

352 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Rivera

GAMBAR di kanvas: seorang perempuan berdiri dengan
baju kurung warna ros, berselendang, memegang seikat
kembang, sopan. Diego Rivera yang melukisnya mungkin tak
akan melihatnya sebagai bagian dari pendiriannya: ”Semua
seni adalah propaganda....”

Aneh, memang, Gadis Melayu dengan Bunga dalam
pameran Koleksi Istana Kepresidenan di Galeri Nasional bulan
ini adalah karya Rivera sang perupa revolusioner Meksiko.
Sosok perempuan itu teramat kalem. Tak ada yang gemuruh di
sekitarnya. Tak ada keringat, gerak, kepedihan. Semua jinak.
Kanvas ini tak ingin meyakinkan, mengubah, menggempur.
Malah membosankan—jauh dari gelora dalam lukisan
Sudjojono yang mempesona.

Tak terasa energi Rivera yang biasa.
Kita ingat El Vendedor de Alcatraces (”Penjual Bunga Lili”),
karya tahun 1941, sebuah contoh yang terkenal. Rivera melukis
beberapa perempuan penjual bunga sebelumnya, tapi kanvas
ini menampilkan ekspresinya yang paling kuat: sapuan kanvas
yang penuh untuk latar yang gelap, sesosok tubuh perempuan
dengan warna kulit moreno dan rambut hitam lurus. Rivera
menampilkan seorang pekerja Indian yang memanggul bakul
kembang yang lebih besar ketimbang tubuhnya. Kembang
itu bisa berarti beban yang dipertalikan ke badannya, beban
yang berlebihan, bisa juga berarti sesuatu yang indah tapi harus
diperdagangkan. Atau mungkin lukisan ini menyiratkan

Catatan Pinggir 12 353

http://facebook.com/indonesiapustaka RIVERA

apa yang menggugah hati dalam kerja bersama: di belakang
perempuan yang merunduk berlutut itu ada sepasang kaki
dan tangan yang menolong memasangkan beban besar itu di
punggungnya.

El Vendedor bisa dilihat sebagai sebuah komentar sosial-
politik—sebuah ”propaganda”, tak berbeda dengan beberapa
mural yang dibuat Rivera: karya ekspansif yang menyampaikan
sikapnya tentang manusia dalam sejarah.

”Semua seni adalah propaganda...,” katanya. Dalam
arti tertentu Rivera benar, tapi kiranya catatan sastrawan
revolusioner Tiongkok Lu Xun bisa menambahkan frasa yang
lebih tepat: ”Tapi tak semua propaganda adalah seni.” Atau,
tambahan dari saya: seni mengandung propaganda, tapi bukan
propaganda yang mengulangi represi lama atau menghasilkan
represi baru.

Di abad ke-20, seni bisa jadi propaganda dan sebaliknya,
dengan sah dan berarti, jika yang menggerakkan adalah,
untuk memakai istilah Rancière, ”disensus”—kata lain untuk
penolakan terhadap konsensus yang menekan. Di abad ke-20
dan sampai hari ini, meskipun tanpa berteriak, seni adalah
bagian emansipasi sebagai proses yang hidup. Yang berperan
bukan cuma negasi yang disampaikan sang seniman terhadap
kebekuan, melainkan juga bagaimana karya itu diterima atau
ditolak orang di suatu masa, di suatu tempat.

Pada 1934, Rivera menerima pesanan dari keluarga jutawan
Amerika Rockefeller untuk membuat mural di Rockefeller
Center, di tengah Manhattan, New York. Themanya: manusia
di persimpangan jalan. Di dalamnya diinginkan ada gambar
seseorang yang menatap ke depan untuk memilih jalan ke

354 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka RIVERA

masa depan yang lebih baik, meskipun tak pasti.
Rivera pun menyampaikan sebuah sketsa rancangan

muralnya. Tapi ternyata kemudian yang dibuatnya berbeda.
Ia agaknya terusik cemooh kalangan kiri New York

karena ia, seorang seniman komunis, bersedia bekerja untuk
propaganda seorang kapitalis besar. Maka di mural itu ia
tambahkan dua gambar: di sebelah kanan gambar Lenin,
pemimpin revolusi Rusia; di sebelah kiri gambar Rockefeller,
sedang mereguk martini di dekat seorang pekerja seks.

Tak mengherankan, proyek itu gagal. Mural Rivera ber­
sejarah justru karena dihapus dari dinding.

”Disensus” seperti ini tak hanya ia terapkan kepada sang
kapitalis. Pada 1938 ia ikut menandatangani ”Manifesto bagi
Sebuah Seni Revolusioner yang Independen”. Penyusunnya
Trotsky, pemimpin komunis Rusia yang menyingkir dari
kekuasaan Stalin di Moskow (dan kemudian dibunuh), dan
André Breton, sastrawan pelopor (”Paus”) Surealisme; ia juga
komunis.

Manifesto itu mengutip Marx yang mengatakan bahwa
seorang penulis tak memandang kerjanya sebagai sarana,
melainkan sebuah tujuan sendiri. Dalam hubungan itu, ”Seni
resmi Stalinisme”, kata lain dari ”realisme sosialis”, dikecam.
Politik Partai bukanlah panglima. Manifesto itu justru
menyerukan kehidupan seni yang ”tanpa otoritas, tanpa dikte,
tanpa sedikit pun perintah dari atas”.

Rivera beberapa kali dipecat dari keanggotaan Partai
Komunis. Ia kembali bergabung. Meskipun demikian, seperti
pada Picasso—yang juga seorang komunis—seninya tak
pernah bersedia mengikuti formula, tak pernah patuh pada

Catatan Pinggir 12 355

http://facebook.com/indonesiapustaka RIVERA

apa pun. ”Saya tak pernah percaya kepada Tuhan, tapi saya
percaya kepada Picasso,” katanya.

Kemudian ia juga meninggalkan Picasso: hidup kreatif
memang tak bisa ajek.

TEMPO, 14 Agustus 2016

356 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Batik...

DI pakaian seragam para atlet untuk Olimpiade di
Rio, di restoran Indonesia di Amsterdam, di ruang
tamu para pejabat di Jakarta, di tas cendera mata konferensi
internasional di Bali, ”Indonesia” adalah batik, ukiran garuda,
kain songket.... Hiasan-hiasan yang tak lagi jadi pemanis, tapi
penanda.

Dalam sejarahnya, penanda itu lama-kelamaan mengeras,
membeku, memberati. Perannya sebagai ornamen hilang;
ia bisa ditampilkan dengan selera estetik yang minimal
dan dorongan komunikatif yang maksimal. Dalam
perkembangannya, gambar ”garuda” harus dibuat sesuai
dengan standar, sesuai dengan kelaziman, agar mudah
dipahami, meskipun bentuknya kaku. Ia bukan lagi karya
desain. Ia pesan ideologis. Umumnya didukung kekuasaan,
ia diulang-ulangi sebagai mantra visual. Ia kegemaran para
pejabat yang cemas bila melihat apa saja yang baru dan tak
biasa. Ia, penanda yang membeku itu, dijaga para birokrat,
makhluk yang hidup dengan s.o.p.

Bersama itu, apa yang disebut ”identitas” Indonesia terjerat.
Ia mengalami osifikasi.

Gejala ini sudah lama sebenarnya. Sejak elite sosial-
politik kita bertemu dengan manusia lain dan dunia lain,
persoalan ”identitas” jadi kerepotan yang tak henti-hentinya.
Imperialisme Eropa, yang merengkuh pelbagai jenis manusia
dari pelbagai sudut muka bumi, membuat pertemuan itu

Catatan Pinggir 12 357

http://facebook.com/indonesiapustaka BATIK...

sebuah perubahan sejarah. Sering kali traumatis. Edward
Said dengan tepat menguraikannya: ”Imperialisme berhasil
mengkonsolidasikan campuran kebudayaan dan identitas
dalam skala global,” tulisnya di akhir buku Culture and
Imperialism. ”Tapi pemberiannya yang terburuk dan yang
paradoksal adalah memungkinkan orang untuk yakin bahwa
mereka hanyalah, semata-mata, Putih, atau Hitam, atau orang
Barat, atau orang Timur.”

”Memungkinkan orang untuk yakin” butuh kekuasaan dan
hegemoni. Membuat orang yakin bahwa dirinya ”hanyalah,
semata-mata” Timur adalah membuat penanda identitas
jauh dari percampuran: batik, garuda, dan lain-lain itu harus
mengikuti tradisi; si bumiputra, si inlander, mesti ”asli”.

Syahdan, sejarah imperialisme mencatat sejumlah
”pameran kolonial”, sejak abad ke-19 sampai dengan abad ke-
20. Di Jerman pameran itu juga disebut Völkerschauen, tempat
manusia dari tanah jajahan didatangkan dan dipertontonkan
di kota-kota besar Eropa. Dari sini, yang ”eksotis” pada manusia
non-Eropa dikukuhkan. Mula-mula dengan sikap menghina,
pada gilirannya ia jadi daya tarik. Tapi dengan itu pula
stereotipe tentang Sang Lain diproduksi dan disebarluaskan.

Dalam sepucuk surat bertanggal 9 Januari 1901, Kartini
menceritakan sepasang tamu Eropa yang datang ke Jepara
untuk menemuinya dan adik-adiknya: ”Aku yakin orang
tidak akan memberikan seperempat perhatian mereka kepada
kami [seandainya kami tidak] memakai sarung dan kebaya,
melainkan gaun; [seandainya] selain nama Jawa kami, kami
punya nama Belanda....”

Ada nada sarkastis yang halus pada kalimat itu. Ada

358 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka BATIK...

kepedihan merasakan ditatap dalam jerat ”identitas”. Ada rasa
geli yang getir karena dilekati label eksotis dan penanda yang
keras, beku, memberati.

Saya tak akan heran jika hal itu juga yang membuat para
siswa STOVIA menyimpan bara pembangkangan kepada
pemerintah kolonial dalam diri mereka: mereka harus
mengenakan pakaian daerah, tak diizinkan berpakaian jas dan
pantalon, sebagaimana mereka, ketika jadi dokter, hanya boleh
naik kereta kelas dua, tak boleh kelas satu—meskipun orang
Eropa yang lebih rendah jabatannya mendapat privilese itu.

Saya bisa membayangkan bagaimana sedihnya Raden
Saleh, sepulang kembali ke tanah kelahirannya, ditolak
Ratu Belanda ketika ia memohon satu hal: diperkenankan
mengenakan kostum marinir Belanda, meskipun seragam itu
sudah tak dipergunakan lagi....

Pemerintah kolonial, kita tahu, memisah-misahkan
manusia dalam apartheid agar bisa dikuasai. Tapi kadang-
kadang wajahnya manis: wajah pelindung ”identitas” pribumi,
penganjur tradisi (yang tak jarang ”feodalistis”), dan segala hal
yang diberi label ”asli”.

Kemudian meledak Revolusi 1945. Dalam kebudayaan,
semangat revolusi itu ditandai semangat menghancurkan
penanda-penanda yang membeku. Merdeka juga berarti
melepaskan diri dari osifikasi ”jati diri”.

Chairil Anwar dan teman-temannya disebut sebagai
”Angkatan 45”, tapi tampak: elan perlawanan mereka tak
diwujudkan dalam pekik ”nasionalisme” yang lazim, yang
umumnya dikaitkan dengan tahun 1945. Kalimat terkenal
dalam manifesto mereka, Surat Kepercayaan Gelanggang, yang

Catatan Pinggir 12 359

BATIK...

terbit pada 1949:

Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk
kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang
kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap
hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk
dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan
baru yang sehat.

Dengan itulah generasi Chairil memerdekakan kita:
menerjang kebekuan.

TEMPO, 21 Agustus 2016

http://facebook.com/indonesiapustaka 360 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Fobia

BAGIAN yang menyedihkan dalam sejarah adalah ketika
tak ada lagi orang-orang tak bersalah. Jika benar seorang
ulama di wilayah Queens, New York, ditembak kepalanya
dari jarak dekat, hanya karena ia muslim atau berpakaian
seperti orang Timur Tengah, maka ia seseorang yang dianggap
terlibat dengan kejahatan, bahkan kekejaman, di tempat lain,
di waktu lain, yang dilakukan atas nama Islam. Maulama
Akonjee seorang imam masjid yang halus budi, tapi orang yang
menembaknya memastikan ia ikut dalam satuan politik orang-
orang jahat. Label sudah dipasang. Dendam bisa dibalaskan
kepadanya.

Kini orang-orang berbicara tentang ”Islamofobia” yang
berjangkit di Eropa dan Amerika. Kata ”fobia”—sebagaimana
halnya dalam ”komunistofobia”, ”xenofobia”, dan pelbagai
bentuk penolakan kolektif—tak sepenuhnya tepat. Yang
berkecamuk bukan cuma gejala kejiwaan sosial. Mungkin ini
lebih berupa gema sejarah konflik politik yang panjang, yang
melibatkan orang ramai secara luas, ketika agama dikibarkan
dalam keyakinan dan kebencian.

Tak mudah menemukan dari mana mulainya. Bisa disebut
tahun 852, ketika sebuah armada ”Saracen” dengan 73 kapal
mendarat di pulau Ostia dan menyerbu ke darat, menuju
Roma. Gereja St. Petrus dan St. Paulus dibakar.

Dengan segera, Paus yang baru, Leo IV, yang sudah
membangun tembok melindungi bukit Vatikan, membentuk

Catatan Pinggir 12 361

http://facebook.com/indonesiapustaka FOBIA

angkatan laut bersama penguasa kota Napoli, Amalfi , dan
Gaeta. Perang pun berlangsung. Roma menang.

Tujuh abad kemudian Rafaelle mengabadikannya dalam
lukisan yang menghiasi salah satu istana Vatikan: di kanvas
sebelah kanan, tampak sisa-sisa armada ”Saracen” yang
kalah, dibelenggu dan dijambak rambutnya oleh tentara
Kristen dengan pedang terhunus; di tengah, kapal-kapal yang
berantakan; di kanvas sebelah kiri, tampak Paus menatap ke
langit, berterima kasih kepada Tuhan yang telah mengirim
taufan yang memporak-porandakan armada ”Saracen”.

Tampaknya taufan yang datang hari itu dianggap
pertolongan Ilahi kepada pasukan Kristen—memperkuat
apa yang kemudian berulang: iman sangat penting dalam
peperangan.

Sebenarnya tak ada tanda bahwa orang ”Saracen” menyerbu
atas nama Islam; umumnya mereka perompak yang menjarah
harta. Kata ”Saracen” konon berasal dari Yunani, Sarakenos.
Ada yang mengatakan, aslinya memang dari bahasa Arab,
syarqiy, ”dari Timur”, orang-orang dengan warna kulit gelap.

Dalam perkembangannya kemudian, sejak Perang Ostia, di
masa Abad Pertengahan akhir, dikotomi ”Timur” dan ”bukan-
Timur” beralih jadi ”Islam” dan ”Kristen”. ”Saracen” juga
sebutan bagi muslim di Albania dan Chechnya.

Tiga abad setelah kemenangan Paus di Ostia, sebuah
konflik yang kian mengukuhkan posisi agama sebagai motif
utama berkecamuk: Perang Salib. Perang yang bermula di abad
ke-11 ini dikobarkan oleh Paus Urbanus II untuk merebut
Yerusalem. Tapi ada sejumlah perang yang disebut ”Perang
Salib”, dalam skala besar dan kecil, sampai dengan abad ke-

362 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka FOBIA

13. Tak selamanya yang diperebutkan Tanah Suci, dan tak
selamanya melawan Turki.

Tapi ”Turki” tetap jadi sosok yang negatif. Tahun 1453,
Sultan Muhammad II merebut Konstantinopel, mengakhiri
imperium Byzantium. Tahun 1526, Sultan Sulaiman I (1520-
1566) menaklukkan Hungaria.

Suasana terancam menyebabkan Martin Luther sejak 1528
berbicara. Bapak Protestantisme ini menyatakan bangsa Turki
”perampok dan pembunuh”. Merasa bahwa mereka sudah
di ambang pintu dunia Kristen, Luther melihatnya sebagai
peringatan Tuhan tentang sudah dekatnya hari Kiamat, agar
umat Kristen bertobat.

Tapi Luther juga melihat bahaya sebaliknya: Islam bisa
memikat. Dalam komentarnya atas sebuah risalah tentang
agama dan adat-istiadat orang Turki, yang disiarkan pada
1830, Luther melihat kelebihan ”agama orang Turki dan
Muhammad” dalam adat-istiadat. Ada kesederhanaan soal
”makanan, busana, tempat tinggal... juga dalam hal puasa,
bersembahyang, dan berhimpun”. Seraya menyerang kaum
Katolik, Luther mengatakan ia ”sepenuhnya yakin, tak akan
ada penganut Paus, rahib, dan padri yang mampu tetap dalam
iman mereka andai mereka tinggal tiga hari saja bersama orang
Turki”.

Ada selalu drama dan hiperbol dalam gambar-gambar besar
sebuah konflik—drama yang menutup pelbagai hal yang di
luar pola umum. Pada 1687, filosof Leibniz menyebut ”wabah
Islam”, la peste de mahometisme, di Eropa. Seperti dikatakan
Ian Almond dalam History of Islam in German Thought, Leibniz
memahami Islam pada hakikatnya sebuah satuan politik.

Catatan Pinggir 12 363

http://facebook.com/indonesiapustaka FOBIA

Dalam hal itu, ia, yang menganggap Islam ”wabah”, sama
dengan kaum Islamis yang kini menganggap diri sebagai
wakil Islam yang sah. Islam: sebuah satuan politik yang tak
memungkinkan perbedaan, dalam satu label. Di sana, tiap
orang terlibat. Tak ada yang tak bersalah. Tak ada yang bisa tak
ikut, untuk membunuh atau dibunuh.

TEMPO, 28 Agustus 2016

364 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Huesca

SEJAK 1948, puisi itu selalu menggetarkan. Kita, di
Indonesia, akan mengenangnya—meskipun dari sebuah
terjemahan—sebagai bagian dari pukau yang bernama Chairil
Anwar.

Jiwa di dunia yang hilang jiwa
Jiwa sayang, kenangan padamu
Adalah derita di sisiku
Bayangan yang bikin tinjauan beku

Chairil telah menunjukkan, menerjemahkan, khususnya
puisi, bukanlah mengikuti sesuatu yang sudah ada, melainkan
mencipta. Ia melintasi asal-usul. Dalam bentuk aslinya,
”Huesca” adalah empat bait yang akrab dengan hidup seorang
John Cornford.

Penyair Inggris itu menuliskannya sebelum ia tewas
dalam Perang Saudara Spanyol pada hari ulang tahunnya, 27
Desember 1936. Umurnya baru 21 tahun. Sebelumnya, dalam
pertempuran di Madrid melawan pasukan Fasis, ia terluka di
kepala. Puisi itu lahir ketika ia dirawat: sebuah sajak cinta yang
murung, di saat hidup akrab dengan kematian:

Dan jika untung malang menghamparkan
Aku dalam kuburan dangkal
Ingatlah sebisamu segala yang baik

Catatan Pinggir 12 365

HUESCA

Dan cintaku yang kekal

http://facebook.com/indonesiapustaka Tapi kemurungan itu bukan segalanya—hanya melintas,
mendorong, tak menenggelamkan. Sajak cinta itu bahkan
melampaui dirinya sendiri sebagai sajak cinta. Sang penyair
tahu ia sedang di ambang pertempuran yang menentukan
dengan merebut Kota Huesca, sebuah wilayah yang jadi ”pagar
penghabisan dari kebanggaan kita”. Sang penyair tahu ia bisa
dibunuh dan membunuh. Tapi bukan untuk dirinya sendiri.
Ia ingin menemukan sesuatu yang berharga di dunia yang
kehilangan harga.

Di sini Chairil tak mengungkapkan apa yang tersirat dalam
sajak penyair Inggris itu. ”Jiwa di dunia yang hilang jiwa”
(dalam versi Chairil) berbeda dengan kalimat ”the heart of the
heartless world” (dalam sajak Cornford). Kata ”heartless” sama
dengan ”tak berperasaan” atau ”bengis”. Kata ”hilang jiwa”
bisa berarti ”mati”.

Cornford agaknya menulis dengan gaung kalimat Marx
yang terkenal tentang ”[einer] herzlosen Welt”, dunia yang tak
punya hati dan perasaan.

Cornford seorang komunis yang yakin, tapi ia juga
penyair, bukan penghafal doktrin. Bagi Marx ”penghibur”
atau ”penawar”, das Gemüt, dalam dunia yang bengis itu
adalah agama, yang akhirnya jadi candu yang memperlemah
manusia. Bagi Cornford, penawar itu cinta, kenangan tentang
kebaikan, harga diri bersama (”kebanggaan kita”), tekad untuk
mengakhiri keadaan yang tak punya tempat bagi hal-hal yang
tak ternilai itu.

Sajak itu ditulisnya buat Margot Heinemann, kekasihnya

366 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka HUESCA

yang ia tinggalkan di London. Tapi gadis ini juga kawan
seperjuangan. Margot, mahasiswa Cambridge yang aktif
dalam gerakan Kiri, sejak 1934 bergabung dengan Partai
Komunis Inggris.

”Huesca” adalah sajak cinta dan sekaligus sajak politik.
Paduan itu membuat empat bait itu begitu tulus hingga tak
berteriak. Tak ada slogan. Suasananya menyentuh, melintasi
batas.

Cornford dan Heinemann tak datang dari kelas buruh.
Ayah John guru besar sejarah kuno di Universitas Cambridge,
ibunya penyair; ia keturunan Charles Darwin. Margot anak
seorang bankir yang mendukung Partai Buruh. ”Kami semua...
sekutu yang wajar kelas pekerja,” kata perempuan yang tak
pernah meninggalkan Partai itu, biarpun ia pernah kecewa.
Baginya, di hari-hari itu, yang mereka lakukan bukanlah
melampaui latar belakang kelas borjuis mereka, melainkan
mencoba menyatukan semua golongan dengan kehendak yang
sadar untuk ”menghadapi Fasisme dan perang”.

Ketika kaum Fasis mengambil alih kekuasaan di Spanyol
dan kaum Republiken bangkit melawan, sebagian dunia
bergerak. Menggetarkan hati bahwa ribuan orang—termasuk
sederet sastrawan dan perupa terkenal—bersedia bertempur
bersama di pelbagai tempat di Spanyol. W.H. Auden, Dos
Passos, Hemingway, Malraux, Picasso, Orwell (yang juga
terluka dalam pertempuran)....

Di London, Margot aktif mengedarkan pamflet dan
menghimpun rapat umum. John bergabung (bersama kaum
kiri dari segala penjuru dunia) dalam Brigade Internasional. Ia
berangkat ke Spanyol. Pertengahan Juni 1937, ia ada di antara

Catatan Pinggir 12 367

http://facebook.com/indonesiapustaka HUESCA

17 ribu orang yang mengepung Huesca, kota di timur laut yang
dikuasai kaum Fasis itu. Tapi mereka tak sekuat semangat
mereka.

Setelah bertempur sepekan, mereka gagal. Sekitar 9.000
pejuang tewas. Jasad Cornford tak ditemukan—tak juga di
kuburan dangkal.

Agaknya ia tak menyesal. Ia tak pernah membayangkan
kematian yang heroik. Sebuah sajaknya menggambarkan,
dengan lugas, betapa tak agungnya seorang pejuang yang
gugur: ”Death was not dignified.” Heinemann yang menulis
elegi untuk kekasihnya tahu: gugurnya John dan rekan-rekan
yang terbaik dan paling berani adalah hal yang tak bisa ditebus,
tapi bisa ditanggungkan. All this is not more than we can deal
with.

Spanyol, 1930-an: mungkin buat terakhir kalinya dalam
sejarah, energi bangkit untuk mengukuhkan sesuatu yang
universal dalam hidup manusia—dan ada orang-orang siap
mati untuk itu. Meskipun kalah.

TEMPO, 4 September 2016

368 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Tiga Dara

INDONESIA pertengahan abad ke-20, Indonesia awal abad
ke-21. Ada Tiga Dara, ada Ini Kisah Tiga Dara. Dua film
dari dua masa, dua indikator perubahan sosial.

Kerangka ceritanya kita kenal, juga tokoh-tokohnya:
seorang ayah yang duda, seorang nenek yang cerewet tapi
sangat menyayangi cucu-cucunya, dan tiga cucu—tiga anak
dara dalam usia siap pacaran, siap menikah. Mereka rukun.
Yang jadi soal: si sulung, dalam umurnya yang ”pantas”, tak
berminat mendapatkan pasangan. Si nenek gundah.

Dari situlah film itu mendapatkan suspensnya.
Tiga Dara tahun 1957: sebuah anekdot Indonesia yang
beringsut memasuki dunia modern. Tentu saja ada benturan
nilai- nilai di antara dua generasi yang berjarak—satu hal yang
sering jadi thema sastra awal abad ke-20, hingga jadi klise dan
ditinggalkan. Jika Usmar Ismail menampilkannya kembali, ia
bukan berniat mendaur-ulangnya. Ia melakukannya dengan
senyum dikulum. Nada dasar Tiga Dara humor; ironinya
terasa. Benturan nilai itu justru bahan gurau.
Ini Kisah Tiga Dara (2016) Nia Dinata berbeda: humor
disajikan, tapi film ini tak bertolak dari senyum dikulum.
Nada dasarnya serius. Ada yang tampaknya lebih urgen;
benturan ”tradisi” dan ”modernitas” tak lagi merupakan soal
pokok. Maka dalam film ini, Titiek Puspa sebagai oma tak
seperti Fifi Young sebagai nenek di Kebayoran tahun 1950-
an yang mengunyah sirih. Oma Titiek Puspa ikut menyanyi

Catatan Pinggir 12 369

http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA DARA

dan menari dan sesekali mengucapkan kata Belanda. Karya
Nia punya misi lain: advokasi pandangan yang progresif dalam
persoalan sosial yang menyangkut perempuan.

Dalam film ini, berbeda dengan karya Usmar, ketiga dara
itu pekerja yang aktif. Si sulung seorang chef piawai. Si tengah
mengelola promosi hotel dengan sukses. Si bungsu secara
sukarela mengajar anak-anak dusun Maumere berbahasa
Inggris. Ada yang lain: si bungsu tanpa risau hamil sebelum
menikah. Bujang dan dara tak lagi berpandangan dalam tari
pergaulan; tubuh mereka lekat di tempat tidur.

Pandangan feminis mengentara dalam banyak adegan.
Fokus diletakkan pada tokoh-tokoh perempuan. Laki-laki
datang dan pergi, datar, dengan cerita yang putus-putus.

Dalam Tiga Dara 1957, laki-laki juga datang dan pergi
dan datar. Tapi si nenek menghadirkan ambiguitas yang
kocak dalam menampilkan posisi perempuan: ia, wanita,
mendominasi rumah tangga itu; tapi benarkah ia bebas dari
nilai-nilai yang mengungkung perempuan? Dalam karya
Nia Dinata persoalan itu tak ada. Aksen yang kuat bagi ke-
perempuanan bahkan masuk ke lirik lagu-lagu.

Mengagumkan, tapi ini membuat Ini Kisah Tiga Dara
penting sebagai statemen, tak impresif sebagai musikal. Lagu-
lagunya diberi tugas mengusung pesan verbal. Dan ketika
nyanyian juga dipertautkan dengan tari, lagu-lagu itu seakan-
akan kehilangan peran.

Berbeda dengan Tiga Dara 1957: di sini tari dan nyanyi
hadir dengan keasyikan tersendiri—misalnya dalam adegan
Serampang 12. Usmar sesekali mengambil model film
Bollywood yang akrab dengan masyarakat bawah. Tiga

370 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA DARA

Dara diproduksi untuk bertahan bersaing, ketika penonton
Indonesia tergila-gila pada film Bombay. Hasilnya terasa dekat
dengan latar lokal. Apalagi pada 1957, Indonesia di ambang
”Demokrasi Terpimpin”. Mulai terasa semangat nasionalisme
kebudayaan yang lebih defensif. Ekonomi tak digerakkan
modal dan komoditas yang deras datang dari jauh. Dunia
hiburan terbatas antara program RRI dan bioskop kelas II.
Usmar hidup dalam kondisi itu.

Sebaliknya tahun 2016: modal dan dunia digital dengan
gemuruh hadir. Ini Kisah Tiga Dara adalah imajinasi yang
lebih dekat dengan Broadway Bob Fosse dan Michael Kidd.
Atmosfernya sepenuhnya kosmopolitan. Beberapa dialog
bahkan dalam bahasa Inggris. Tokoh-tokohnya dari kalangan
”sosialita”.

Tak ada lagi pemuda Herman yang bokek dalam adegan
yang kocak, ketika ia membawa Nenny pulang dengan jip
pinjaman yang diangkut truk derek. Dalam film 1957, si
sulung ditabrak becak. Dalam film 2016, yang nabrak seorang
pemuda dari Jakarta yang naik motor gede ke Maumere.

Indonesia dalam film 1957 adalah sekerat Jakarta dan
Bandung: dua kota besar, tapi tetap sebuah geografi yang
terbatas di negeri yang tanpa infrastruktur. Indonesia dalam
film 2016 sebaliknya: negeri ini adalah juga hutan dan laut
yang menakjubkan di Sikka, Flores. Seakan-akan raib jarak
antara tempat itu dan Jakarta.

Tapi apa lacur, jarak lain terbentang. Kehidupan
kosmopolitan pemilik hotel di Maumere itu seperti tak
tersentuh kehidupan setempat justru ketika berdekatan. Ada
semacam the denial of coevalness, untuk memakai istilah dalam

Catatan Pinggir 12 371


Click to View FlipBook Version