The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by suharnowo, 2021-11-04 03:02:50

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka BANDUNG

bangsa Asia-Afrika: ”Mr. Wright... overplays the color angle.”
Mochtar Lubis, yang bertemu dan berdiskusi dengannya di

Tugu, menyimpulkan: Wright memang melihat segala sesuatu
dengan ”kacamata berwarna”, menelaah banyak hal sebagai
persoalan rasial.

Tapi penulis Black Boy itu mungkin tak bisa mengelak dari
warna. Baginya, seperti tertera dalam karya otobiografis itu,
warna kulit adalah sejarah politik.

Ia anak negro dari Amerika bagian selatan, di Mississippi,
di awal abad ke-20, di zaman ketika kulit hitam sama dengan
kodrat keledai yang berkudis. Dihina, diperah, disisihkan. Ia
anak yang ditinggalkan bapaknya. Ibunya tak punya uang
untuk sewa tempat tinggal, tak cukup menyediakan makan.

Lapar, seperti tergambar dalam Black Boy, seakan-akan
hadir mengikuti Richard kecil. Pada suatu saat, lapar terasa
duduk di dipan tempat ia tidur, menatapnya dengan muka
kuyu.

”Tiap kali aku minta makan, Ibu akan menuangkan
secangkir teh.” Tak ada roti.

Pada umur 12, aku telah punya sikap hidup yang melekat terus,
...semangat yang membuatku mengerti lebih dalam kesengsaraan orang lain.

Ia pindah ke Chicago, bekerja di kantor pos, kemudian
menganggur. Ia mulai dekat dengan Partai Komunis yang
membentuk solidaritas orang-orang yang terhina dan kosong
perut. Ia merasa tak sendiri. Tapi satu dasawarsa kemudian
partai itu ditinggalkannya. Wright, seperti banyak penulis
komunis masa itu, menentang tindakan Stalin menghukum

72 Catatan Pinggir 12

BANDUNG

http://facebook.com/indonesiapustaka mati tokoh-tokoh Partai yang jadi pesaingnya.
Tapi komunisme membuat dirinya jadi bagian sebuah

subyek tanpa batas nasional.
Ia meninggalkan Amerika. Ia sudah jadi pengarang yang

dikenal dan hidupnya sangat membaik di Kota New York,
tapi ia memilih hidup di Paris, seorang émigré yang berteman
dengan Sartre dan Albert Camus. Ia jadi warga negara Prancis
pada 1947.

”Kekuatan sejarah yang lebih perkasa membentuk aku jadi
seorang Barat,” katanya dalam sebuah ceramah.

Tapi tak jelas apa arti ”seorang Barat”. Wright sadar akan
warna kulit dan sejarah hidupnya yang pahit karena warna itu.
Ia ikut mendirikan Présence Africaine, sebuah organisasi untuk
memperkenalkan karya sastra dan pemikiran para penulis asal
Afrika yang hidup di Eropa. Tapi ia tahu, ia orang yang ”tak
berakar”—dan tak merasa risau dengan keadaan itu.

Itu sebabnya ia menampik pertalian dengan khazanah nenek
moyang. Ia menolak semangat para penulis keturunan Afrika
yang menyuarakan ide negritude. Ketika ia mengunjungi
Ghana dan kemudian menulis Black Power, 1954, ia tak hendak
mencari akar. Ia seperti para penulis Indonesia yang membuat
”Surat Kepercayaan Gelanggang”: tak ingin ”mengelap-elap”
hasil kebudayaan lama. Dalam salah satu ceramahnya ia
menohok Afrika dengan pertanyaan yang menggugat:

Sanggupkah Afrika mencopot Afrikanisme dari Afrika? Sanggupkah
orang Afrika mengatasi sikap sendiri yang memuja nenek moyang?

Seperti Takdir Alisjahbana di pertengahan pertama abad

Catatan Pinggir 12 73

http://facebook.com/indonesiapustaka BANDUNG

ke-20, Wright penganjur sikap rasional Eropa: ia tantang
orang Afrika untuk meniru Descartes yang meragukan semua
yang dilihat dan didengar dan dengan itu ”mengembangkan
semangat obyektivitas” dan ”menguasai teknik ilmu”.

Tentu saja ini suara seseorang yang berjarak dari orang yang
diajak berbicara, tapi juga suara orang yang sadar dirinya lebih
piawai.

Mungkin itu sebabnya para intelektual Indonesia yang
ditemuinya selama di Indonesia memandangnya dengan
negatif, meskipun mereka orang yang sebenarnya sepaham
dengannya. Di majalah Siasat Asrul Sani mencemooh Wright
yang tak paham bahwa orang Indonesia—berbeda dengan
orang ”Barat”—tak biasa memakai kertas toilet untuk cebok.

Tapi bukan saja kepada Afrika dan Asia Wright
menganjurkan rasionalisme ”Barat”. Ia berkunjung ke Spanyol
setahun sebelum Bandung: baginya negeri ini mandek di masa
lalu. Dalam Pagan Spain, ia melihat kemandekan itu pada
1492, ketika orang Yahudi dan muslim dibasmi dan pemikiran
yang bebas dibumihanguskan. Kini yang tersisa hanyalah
”ampas berlumpur paganisme yang irasional”.

Tapi yang menarik, di sini Wright tak mengenakan
”kacamata berwarna”. Di Spanyol yang putih, bukan cuma
si kulit berwarna yang dinistakan, tapi juga perempuan-
perempuan Protestan.

Ia kemudian ke Bandung. Saya kira ia bisa mengerti: arti
antithesis Asia-Afrika yang sebenarnya adalah penindasan di
mana saja.

TEMPO, 3 Mei 2015
74 Catatan Pinggir 12

Eksekusi

http://facebook.com/indonesiapustaka SEORANG ayah ingin menyaksikan hukuman mati itu
dijalankan. Ia ingin melihat seorang pembunuh yang
buas dihabisi: di Aljir, menjelang 1914, satu keluarga petani,
termasuk anak-anaknya, dibantai seorang buruh ladang yang
juga merampok harta si korban.

Ayah itu pun bangun pagi-pagi dan berangkat menuju
tempat eksekusi yang terletak di ujung kota. Kerumunan besar
sudah menunggu di sana: orang-orang yang ingin menonton
bagaimana guillotine memotong kepala sang penjahat. Tapi
ketika ayah itu kemudian kembali ke rumah, tak seorang pun
tahu apa yang dirasakannya.

Anaknya kemudian menulis: ”Apa yang disaksikannya
pagi itu tak pernah dikatakannya kepada siapa pun. Ibu hanya
bercerita, Ayah pulang cepat-cepat, wajahnya mengeriput,
tak mau berbicara, berbaring sejenak di amben, dan tiba-tiba
muntah-muntah.”

Anak itu, Albert Camus, kemudian jadi penganjur yang
meyakinkan agar hukuman mati dihapuskan. Kenangannya
tentang kejadian itu, yang terjadi sebelum ia lahir, ditulisnya
dalam Réflexions sur la guillotine, satu esai yang paling banyak
dikutip kaum abolisionis. Novelnya yang kemudian terkenal,
L’Étranger, menggambarkan Meursault yang dihukum mati
karena membunuh seorang Arab tanpa berpikir panjang.
Dalam selnya, ia teringat apa yang dikatakan ibunya: ”Emak
dulu sering mengatakan kita selalu dapat menjumpai sesuatu

Catatan Pinggir 12 75

http://facebook.com/indonesiapustaka EKSEKUSI

yang bisa membuat kita bahagia. Di penjara, ketika langit jadi
merah dan siang menyelinap ke dalam selku, aku sadar, Emak
benar.”

Hidup begitu berharga di tiap detik, hukuman mati
memotongnya. Tapi adakah Meursault berpikir demikian
tentang orang Arab yang ditembaknya di tengah piknik di
pantai itu? Dalam novel ini kita tak menemukan orang yang
hampir muntah-muntah menyaksikan orang lain dibunuh.
Meursault tampak jauh dari seorang korban yang datang dari
asal-usul yang berbeda—dan dengan kematian yang berbeda.

Di sini, ada sikap yang mendua. Kematian memang
kesunyian masing-masing. Yang jelas, kekejaman terhadap
Meursault seperti tak terkait dengan kekejaman kepada si
orang Arab. Dari segi ini, sikap anti-hukuman mati Camus tak
tampak memikirkan kematian lain.

Mungkin ia harus berpindah ke latar lain. Meursault
dibesarkan di Aljir, salah satu ”kota tanpa sejarah”—dan
sejarah bisa berupa eksekusi dalam skala besar. Di Paris, Camus
melihat: Prancis modern membuat dan dibuat sejarah dengan
eksekusi yang bertubi-tubi.

Revolusi Prancis tak hanya ditandai pemenggalan kepala
Raja dan Ratu. Revolusi ini membawa cita-cita yang agung dan
kebencian yang eksplosif. Kemerdekaan, kesamarataan, dan
persaudaraan antarmanusia begitu berharga hingga Gereja,
aristokrasi, borjuasi, orang kaya harus ditiadakan.

Musim panas 1793, ketika perlawanan terhadap Revolusi
meledak di Vendée, dari Paris Komite Keamanan Publik
mengirim Jean-Baptiste Carrier untuk memadamkannya
seraya menjaga Kota Nantes. Maka ia perintahkan para hakim

76 Catatan Pinggir 12

EKSEKUSI

http://facebook.com/indonesiapustaka agar membersihkan kota dari siapa saja yang dicurigai—
bangsawan, pastor, saudagar, dan pejabat. Mereka ini harus
”ditiadakan dalam waktu dua jam”, titahnya.

Penjara-penjara Nantes penuh sesak. Para tahanan
kekurangan makanan. Mereka pun dinaikkan ke perahu dan
rakit ke Sungai Loire. Dalam empat bulan ada 4.000 orang
disingkirkan. ”Akan kita jadikan Prancis kuburan,” kata
Carrier, seorang Pol Pot abad ke-18, ”daripada kita tak bisa
melahirkan generasi baru dengan cara kita.”

Awal Desember, Kota Lyon mendapat giliran. Hari itu
60 orang dibariskan ke sebuah lapangan di seberang Sungai
Rhone, diposisikan di antara dua parit perlindungan, dan
dikuburkan dengan serangkaian tembakan. Esoknya 209
tahanan dieksekusi. Dan tak berhenti hari itu. Seorang penulis
sejarah mencatat: mayat-mayat terhukum yang membusuk
mulai meracuni udara kota. Di musim panas 1794, ada yang
menghitung 40 ribu orang ditembak atau dipancung di seluruh
Prancis, demi ”keamanan publik”. Demi kelahiran masyarakat
yang baru. Demi Prancis yang bersih.

Saya kira itu sebabnya Camus menampik Revolusi dan
memilih jadi seorang abolisionis yang menentang hukuman
mati.

Tapi baru pada 1981, setelah ia meninggal, hampir dua
abad setelah kebuasan Revolusinya, Prancis menghapuskan
hukuman mati. Begitu lama orang memperbaiki peradaban.
Dan belum bisa ditentukan sudah lahirkah sebuah Prancis
baru tanpa kekerasan sejak kaum abolisionis menang. Tak ada
kepastian.

Mendengar hukuman mati dijatuhkan kepadanya,

Catatan Pinggir 12 77

http://facebook.com/indonesiapustaka EKSEKUSI

Meursault menolak ”kepastian yang brutal” yang ditentukan
atas dirinya—brutal dan absolut, karena tak bisa digugat dan
dikoreksi.

Tapi ”kepastian yang brutal” juga tak bisa diberlakukan
pada kasus lain. Pada 2003, di wilayah Colorado, Amerika
Serikat, Edward Montour dipenjarakan karena dianggap
membunuh bayinya yang baru berumur 11 minggu. Di
penjara, ia habisi nyawa seorang penjaga. Ia dikutip Rocky
Mountain News 13 Februari 2003: ”Pengadilan tak tahu benar
betapa aku tak menghargai jiwa manusia.... Jelas aku akan
membunuh lagi jika aku mendapat kesempatan.... Negara
dapat membunuhku, aku tak peduli.”

Apa yang harus dilakukan kepada orang macam ini?
Memang, pada akhirnya, 2014, satu dasawarsa kemudian,
mahkamah agung Negara Bagian Colorado memutuskan tak
jadi menghukumnya mati. Ia dipenjarakan seumur hidup.
Montour menunjukkan rasa sesal, dan menghargai bahwa
ayah-ibu korbannya memaafkannya. Tapi seorang hakim tak
bisa melupakan bahwa orang ini telah membunuh orang lain
dengan darah dingin—dan tak ada jaminan tak akan ada lagi
pembunuhan....
Saya menentang hukuman mati, dan itu saya nyatakan
dengan mudah. Tapi saya tahu tak mudah memberi jaminan
dengan menetapkan hidup dan mati di zaman seperti ini.

TEMPO, 10 Mei 2015

78 Catatan Pinggir 12

ATHEIS

http://facebook.com/indonesiapustaka SEORANG germo, atau sesuatu yang muncul sebagai
germo, tapi berpakaian seperti Kolonel Sanders Kentucky
Fried Chicken, bertanya tentang Tuhan. ”Bagaimana rupa
Tuhan? Dan apa yang dikerjakannya?”

Dalam Kafka on the Shore (Umibe no Kafuka), novel Haruki­
Mur­akami, kolonel fiktif itu mengajak Hoshino dari tempat
per­setubuhan ke tepi hutan. Di situlah ia tiba-tiba mengajukan­
per­tanyaan itu. Hoshino bingung sejenak, lalu menjawab,
”Jan­ gan­ tanya saya. Tuhan ya Tuhan. Ia di mana-mana,
mengawasi­apa yang kita lakukan, menilai apakah itu baik atau
buruk.”

”Kedengarannya seperti wasit sepak bola.”
”Ya begitu kira-kira....”
Kolonel Sanders yang bukan Kolonel Sanders itu tampak
tak yakin persamaan dengan wasit sepak bola itu tepat, tapi
ia bis­a mengerti. Baginya, Tuhan tak terlepas dari imajinasi
manusia. ”Tuhan selamanya semacam konsep yang luwes,”
katan­ ya.­Terutama di Jepang.
Tapi bukan hanya di Jepang. Ketika John Lennon
bernyanyi,­”God is a concept by which we measure our pain,” ia
agaknya melihat dari zaman ke zaman manusia merasakan
kepedihan dan menyeru ke sesuatu yang dianggap sebuah
daya yang dahsyat. Tergantung bagaimana keadaan jiwa si
penderita, kekuata­ n­ itu jadi Sang Pelipur Lara, atau Sang
Pengutuk, atau Sang Peng­uji.

Catatan Pinggir 12 79

http://facebook.com/indonesiapustaka ATHEIS

Mungkin itu sebabnya Tuhan yang disebut dengan pelbagai
na­ma—tapi tak pernah dipahami—tak mati-mati. Juga ketika
orang berikhtiar membunuhnya (atau ”membunuh-Nya”).

Delapan tahun setelah Partai Komunis berkuasa di Rusia,
pad­ a 1925 sebuah organisasi dibentuk dengan nama yang
disingk­ at jadi ”Liga Atheis Militan”.

Stalin menugasinya ”menyerbu langit”. Sejarawan Daniel
Per­is menggunakan kata itu buat judul bukunya, Storming
the Heavens: The Soviet League of the Militant Godless (1998).
Dengan memaparkan sejarah ”Liga Atheis Militan” dalam
dela­pan­bab, Peris menunjukkan bagaimana atheisme bermula
dar­i keyakinan segelintir orang dan berakhir jadi sebuah tong
besar yang bocor. Mirip agama, sebenarnya.

Sikap menolak Tuhan itu mula-mula dirumuskan dua-tiga­
orang pemikir seperti Marx dan Lenin. Ketika Marxisme-
Leninisme berkuasa, ide atheisme berkembang di surat
kabar Bezbozhnik. Kemudian, karena dukungan penguasa di
Kremlin, dal­am sedasawarsa ia jadi gerakan yang mengaku
beranggota 5,5 juta—dua juta lebih banyak ketimbang anggota
Partai.

Dengan semangat misionaris, ”Liga Atheis Militan”
menerbit­kan koran dan majalah, membuat film, meng­
organisasi paw­ ai, dan mendirikan museum anti-agama di
bekas-bekas gere­ja. Kompetisi diadakan antara anak-anak
yang dibaptis dan yang tak dibaptis. Pameran pertanian
diselenggarakan untuk memb­ uktikan unggulnya ”ladang tak
bertuhan”. Wilayah pertanian yang mengembangkan tanaman
dengan kaidah ilmu ditunjukkan lebih produktif ketimbang
tanah yang diolah dengan iringan doa. ”Brigade tak-bertuhan”

80 Catatan Pinggir 12

ATHEIS

http://facebook.com/indonesiapustaka dan ”pabrik tak-bertuhan” pun muncul di mana-mana.
Tapi atheisme di masa Stalin akhirnya mirip agama yang

di­d­ ukung kekuasaan: sebuah keyakinan yang dipaksakan.
Seorang penulis komunis yang skeptis menyaksikan perilaku
par­a penyerbu langit itu dan mencemooh mereka sebagai umat
”sekt­e atheis”. Liga, katanya, ”Mengadopsi semua ciri buruk
lawannya dalam hal intoleransi dan fanatisme.”

Akhirnya, mirip agama yang riuh rendah, atheisme
terpimpin itu jadi sebuah tong kosong yang nyaring bunyinya,
atau leb­ ih tepat: sebuah ukhuwah yang bocor. Ketika Ketua
Liga, Yar­ov­skii, mengatakan semua kota dan desa mengaku
”atheis”, ia jug­ a tahu ada kalanya pengakuan itu ”cuma
lelucon”. Mereka yang menyatakan diri tak beriman, karena
ingin selamat, menyembunyikan Tuhan di lubuk hati. Pada
1928, Menteri Pendidikan Lunacharskii mengakui: ”Agama
itu seperti paku, makin dipukul, makin tertanam di kayu.”

Lunacharskii, pengikut Lenin yang akrab dengan seni dan
sast­ra, mungkin membaca banyak tentang sebuah revolusi dua
abad sebelumnya: Revolusi Prancis. Kaum revolusioner di­akhir­
abad ke-18 itu juga memusuhi agama. Mereka mengumumk­­ an
rumah ibadat yang tak diubah jadi sekolah akan dih­ anc­ urkan.
Katedral Notre Dame diganti namanya jadi ”Kuil Akal Budi”.
Akhirnya semua gereja di Paris ditutup.

Tapi rakyat banyak tak hendak mengikuti semua itu.
Pemimpin Revolusi mulai menyadari kesalahan yang terjadi.
Robespierre mengakui, atheisme itu ”aristokratik”, bukan
demokratik. Men­dengar suara rakyat, Robespierre tak berniat
mematikan agam­ a. Maka ia rayakan sebuah ”pemujaan”, le
culte de l’Être suprême, di hadapan 10 ribu penduduk Paris,

Catatan Pinggir 12 81

http://facebook.com/indonesiapustaka ATHEIS

dengan kereta yang ditarik lembu putih dan sebuah patung
Atheisme yang did­ irikan untuk dibakar.

Tapi tak jelas, adakah Tuhan yang lama diakui kembali.
Mungkin akhirnya orang Jepang atau Prancis atau Indonesia
ta­hu Tuhan tak untuk diakui. Juga tak untuk ditolak. Juga tak
unt­uk diperbantahkan. Manusia berisik karena ingin mengerti
dirinya dan dunia dan butuh percakapan. Dalam novel
Murakam­ i kita akan menemukan Hoshino—tinggal berdua
dengan je­nazah Nakata yang tua—akhirnya berbicara kepada
batu di rumah itu.

Malam itu semua tanpa bunyi, kecuali erang AC yang di­
hidupk­ an penuh di rumah sebelah. Jam menunjukkan angka
sem­bilan, lalu sepuluh, tapi tak terjadi apa-apa. Hoshino ingin
ti­dur dan ia pikir lebih baik tidur di dekat batu, siapa tahu ada
ses­uatu yang terjadi.

”Hai, batu! Aku mau tidur sekarang. Kita ngobrol besok
saja....”

Hoshino mendengarkan suaranya sendiri. Batu itu diam.
Mungk­ inkah esok pagi, atau kelak, ia akan menemukan
sesuatu yang berbeda untuk mengadu, meskipun tetap tak
disahut, mi­salnya Tuhan?

TEMPO, 17 Mei 2015

82 Catatan Pinggir 12

TUKAR

http://facebook.com/indonesiapustaka UANG bisa mempertemukan pelbagai hal yang jauh dan
tak jauh. Saya ingat film The Cup.
Di sebuah biara pengungsian di kaki Himalaya yang
sunyi,­ Orgyen, seorang rahib remaja, mengidap ketagihan
satu hal duniawi: ia keranjingan sepak bola. Ketika di Eropa
Piala Dun­ ia­ diperebutkan dan kesebelasan Prancis dan
Brasil berlaga di babak final, Orgyen dan temannya, Lodo,
mengerahkan teman-temannya seasrama untuk iuran. Mereka
ingin menyewa pe­sawat TV dan antena parabola dari seorang
pedagang India di kampung sebelah.

Iuran terkumpul, tapi uang tak cukup. Orgyen yang
keras hat­i itu akhirnya membujuk Nyima, bocah yang baru
mengungsi dari Tibet, agar ikhlas menggadaikan arloji
pemberian orang tuanya.

Target dana yang dikumpulkan pun tercapai. Bocah-bocah
itu berhasil. Mereka bisa mengikuti final Piala Dunia lewat
telev­ isi.

Tapi di tengah riuh rendah penghuni biara, ketika mereka
meng­ikuti pertandingan di layar TV, Orgyen tak tenteram. Ia
me­rasa bersalah kepada Nyima. Ia pun kembali ke kamarnya.
Anak berumur 14 tahun itu mengambil pisau kuno pemberian
ibunya: ia ingin menebus arloji yang digadaikan dengan benda
yang berharga bagi dirinya—dengan miliknya sendiri.

Di biara di kaki Himalaya itu, arloji, pisau, antena
parabola—­ benda-benda yang berbeda sejarah dan perannya—

Catatan Pinggir 12 83

http://facebook.com/indonesiapustaka TUKAR

bertemu. Mereka saling menggantikan.
Kita bisa melihatnya sebagai isyarat tiadanya keterikatan

man­ usia kepada miliknya—sebuah dasar ethis Buddhisme.
Ta­pi kita juga bisa melihat bahwa yang terjadi adalah
pertukaran—tak berbeda dengan yang terjadi di Mall Pondok
Indah atau di sisi remang tempat pelacuran. Dalam kegiatan
yang di­sebut ”pasar”, seks, gaun, buku filsafat, kitab doa, dan
potong­an rambut dengan cekatan berpindah dari satu tempat
ke tempat lain. Semua berada di satu dataran: arena jual-beli.

Pelbagai hal itu dilepaskan dari sifat unik masing-masing;
mer­eka diterjemahkan jadi sesuatu yang ada karena bisa
dipertu­karkan. Mereka dipasangi pengukur yang berlaku
umum di sebuah masyarakat. Semuanya dihadirkan dalam
rupiah,­dolar, atau dinar. Dengan itulah mereka saling ketemu.
Marx ben­ ar: uang membentuk ”persaudaraan” hal-hal yang
pada da­sar­nya mustahil berkaitan—die Verbrüderung der
Unmöglichkeiten.

Tapi sebenarnya ada yang lain yang terjadi di luar
”persaudaraan” itu. Uang memutus pertalian. Dalam film The
Cup, ia memisahkan Nyima dari arloji yang merupakan bagian
hid­ up­nya sebagai pengungsi, memisahkan Orgyen dari pisau
yang di­berikan ibunya ketika ia pergi memasuki kehidupan
biara.

Uang membuat benda-benda tak istimewa, bisa jadi bagian
hid­ up siapa saja—sebagaimana halnya uang itu sendiri.
Lembar rupiah itu benda yang banal, kertas sehari-hari yang
ditemukan di mana-mana, yang sebenarnya kosong; bobotnya
ditentukan dari waktu ke waktu oleh orang ramai.

Dilihat secara demikian, uang memisahkan, tapi sekaligus

84 Catatan Pinggir 12

TUKAR

http://facebook.com/indonesiapustaka jad­ i perantara antara obyek-obyek.
Syahdan, ada seseorang bernama Li Changgeng. Ia hidup

be­berapa dasawarsa yang lalu di wilayah Jiangyou, Provinsi
Sichuan, Tiongkok. Saya menemukannya dalam buku yang
di­su­sun sastrawan Liao Yiwu dari wawancaranya dengan
orang-orang lapisan bawah yang diterjemahkan dalam The
Corpse Walker.

Li Changgeng seorang juru tangis dalam upacara
berkabung.­ Sejak berumur 12 tahun, ia bekerja dengan
keahlian itu bersama grupnya. ”Kebanyakan orang yang
kehilangan anggo­ta­keluarganya meledak tangisnya dan mulai
meraung-raung ket­ika melihat tubuh si mendiang,” cerita Li.
”Tapi raungan mer­eka tak bertahan lama. Rasa sedih segera
akan merasuk ke jan­tung, mereka terguncang atau pingsan.
Tapi bagi kami, begitu kami bisa mendapat suasana hati
yang pas, kami kendalik­ an emosi dan dengan mudah kami
membuat improvisasi. Ka­mi bisa meraung lama, selama yang
dipesan.”

Lalu tambahnya: ”Dalam upacara pemakaman besar, jika
ba­yarannya bagus, kami bikin banyak improvisasi untuk
menyen­ angkan hati tuan rumah.”

Tangis, dalam profesi Li, adalah dukacita yang dipisahkan
dar­i orang yang menangis. Tangis itu telah jadi obyek; ia hanya­
sebuah komoditas, ekspresi berkabung yang dipertukarkan
dengan upah. ”Dukacita” itu bukan datang dari dalam, bukan
kep­ unyaan Li. Bertahun-tahun jadi juru tangis profesional, ia
menga­ kui: ”Lama-kelamaan, kami tak punya perasaan lagi.”

Kalimat yang sama agaknya bisa diucapkan bintang jelita
YY atau ZZ, di belakang punggung kliennya, setelah layanan

Catatan Pinggir 12 85

http://facebook.com/indonesiapustaka TUKAR

sek­sual mereka diterjemahkan ke dalam angka-angka dolar.
Dengan uang, semua jasa dan benda seakan-akan

berkembang mandiri, bukan bagian pribadi YY atau ZZ,
Orgyen atau Li. Tapi pada saat yang sama, benda dan jasa itu
juga jadi datar dan dangkal. Mereka tak punya sejarah lagi;
mereka tak membutuhkannya.

Mungkin itu sebabnya masyarakat yang hidup dari uang
ke uang adalah masyarakat yang tak perlu kenang-kenangan.
Kalau tak salah, itulah yang dimaksudkan Georg Simmel
sebagai ”kini yang tak punya dimensi”, ketika ia membahas
panjang-leb­ ar hubungan uang, waktu, dan kehidupan.

”Kini yang tak punya dimensi” adalah waktu hidup yang
tak punya apa pun yang dalam dan mempesona. Untunglah
man­ usia masih punya saat dan tempat di mana ia mengalami
ked­ alaman ”kini dengan pelbagai dimensi”—misalnya dalam
mo­men religius dan estetik yang hening.

Sayangnya, momen-momen itu sering berubah jadi
ekspresi—baik yang bersifat keagamaan maupun berbentuk
seni—yang dipamerkan untuk diperjualbelikan. Ramai,
meriah, tapi sebenarnya resah....

Saya ingat The Cup. Di akhir film, Orgyen mendengarkan
ce­ramah biarawan sepuh seraya melipat kertas ke dalam
bentuk­teratai. Lambang pencerahan yang tenteram. Saat yang
tak ternilai.

TEMPO, 24 Mei 2015

86 Catatan Pinggir 12

INDONESIA

http://facebook.com/indonesiapustaka SEORANG dokter kapal menyediakan nama bagi
Indonesia. Pada 1861, Adolf Bastian, kelahiran Bremen,
Jerman,­ berlayar di Asia Tenggara. Ia kemudian menulis
sejumlah buk­ u. Salah satunya dibaca banyak orang: Indonesien
oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884-1894. Dari buku
ini nama ”In­donesia” mulai menandai kepulauan yang ribuan
jumlah­nya­itu.

Bastian berpengaruh karena ia bukan hanya seorang dokter­
kapal. Ia lulus ilmu hukum, lulus biologi, ia berminat dalam
ilmu yang di zamannya disebut ”ethnologi”, dan ia juga dokter.
Bahw­ a ia jadi dokter kapal, itu tanda keinginannya menjelajahi
ba­gian bumi yang lain. Pada 1873, ia ikut mendirikan Museum
für Völkerkunde di Berlin, dengan koleksi besar karya manusia
dari pelbagai penjuru.

Dokter kapal yang tak henti-hentinya mengarungi laut
melint­asi batas ini—dan meninggal dalam perjalanan di
usia 80 tah­ un—yakin bahwa ada yang menyatukan sesama
manusia: ”ga­gasan-gagasan dasar”, Elementergedanken.

Umat manusia, tulis Bastian, ”Punya segudang gagasan
yang dibawa lahir dalam diri tiap orang.” Gagasan elementer
itu muncul dalam pelbagai variasinya dari Babilonia sampai
de­ngan Laut Selatan.

Tapi manusia juga menunjukkan Volkergedanken, gagasan­
yang dikondisikan oleh ruang hidup yang beragam. Bastian
mengg­ unakan pengertian Volk, atau dalam bahasa Yunani

Catatan Pinggir 12 87

http://facebook.com/indonesiapustaka INDONESIA

”ethnos”, untuk menyebut kelompok manusia yang dipertalikan
ras, adat, bahasa, nilai-nilai.

Bagi zaman ini, theori Bastian tak lagi menakjubkan.
Bahkan pengertian ”ethnos”, juga ”ras”, yang jadi tulang
punggung theori itu, kini guyah. Tapi bisa kita bayangkan
kuatnya gema pe­mikiran ini di abad ketika imperialisme
membentuk bumi.

Imperialisme, sebagaimana penjelajahan ”ethnologi” (atau
”anthropologi”), mempertemukan manusia dari pelbagai
asal-usul, namun pada saat yang sama menunjukkan sebuah
jarak—bahkan ketimpangan dan penaklukan. Dalam
imperial­is­me, sebagaimana dalam karya ethnografis, orang
”Barat” buk­ an menemui melainkan menemukan dunia lain—
seakan-akan ”barang” itu ada setelah dilihat oleh ”Barat”.
Saat itu, ”barang” itu pun beku. Ia berubah jadi ”yang-lain”—
sebagaimana­dalam dongeng Yunani, manusia jadi batu ketika
Medusa me­nat­apnya.

Peralihan dari ”liyan” jadi ”yang-lain” itulah sendi utama
imp­ erialisme. Imperialisme menorehkan sesuatu yang buruk
pa­da kesadaran: dalam kungkungannya, kata Edward Said,
orang jadi yakin bahwa dirinya semata-mata ”putih” atau
semata-mata bukan. Imperialisme membuat orang tak sadar
bahwa ia bukan hanya satu identitas, bahwa ia juga punya
sejarah yang membuatnya tak sepenuhnya ajek, utuh, dan
tunggal.

Dalam sejarah itu juga berlangsung dialektik antara temu
dan takluk. Orang berada di satu ruang hidup, tapi dalam posisi
yang satu tunduk, yang lain bertakhta. Pertemuan bukan lagi
pertemuan, melainkan penaklukan. Di ruang politik yang

88 Catatan Pinggir 12

INDONESIA

http://facebook.com/indonesiapustaka sama itu mereka tak saling menyapa—bahkan dalam hidup
sehari-hari.

Dalam A Certain Age, catatan-catatan yang disusun secara
men­ arik oleh sejarawan Rudolf Mrazek dari wawancaranya
dengan generasi tua Indonesia, kita tahu bahwa dulu, di kota-
kota kita, penduduk Belanda hadir tapi dengan jarak.

”Waktu saya anak-anak,” cerita Nyonya Surono, ”saya tak
pern­ ah ketemu orang Belanda di jalan.” Pak Mewengkang
berk­ isah tentang masa kecilnya di Sulawesi Utara. ”Saya
besar di dus­un, dan tak ada orang Belanda di sana. Hanya,
pada hari Mingg­ u, kadang-kadang... seorang pastor Belanda
datang.” War­tawan Rosihan Anwar hanya sedikit berbeda.
Di masa kecilnya di Agam, Sumatera Barat, ayahnya kenal
orang Belanda: seorang controleur yang datang ke rumah tiap
Lebaran. Hanya tiap Lebaran. Si anak cuma boleh melihat dari
jauh. Sedangkan Pak Oey, yang besar di Surabaya dan Batavia,
cuma melihat orang Belanda di kolam renang.

Wertheim, sarjana Belanda yang dikenal sebagai
cendekiawan antikolonialisme, juga mengalami jarak itu. Ia
baru tahu ada yang tak beres di sekitarnya ketika pembantunya
bercerita bah­wa anaknya mati karena tak ada yang mengobati
sakitnya.

Zaman itu adalah zaman diabaikannya apa yang universal
dal­am diri manusia; Elementergedanken Bastian pelan-pelan
dil­upakan. ”Liyan” tak lagi berarti ”sesama”.

Itu sebabnya racun imperialisme jadi menyengat
ketika konteksnya bergeser. Kita ingat riwayat Soewardi
Soerjaningrat. Juli 1913 ia menulis di sebuah koran mengecam
pemerin­tah kolonial yang hendak merayakan kemerdekaan

Catatan Pinggir 12 89

http://facebook.com/indonesiapustaka INDONESIA

Belanda dar­i kekuasaan Prancis. Soewardi mengandaikan diri
sebagai se­orang Belanda yang tahu diri dan berseru, ”Aku tak
akan mem­buat pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita
rampas kem­ erdekaannya.”

Sesungguhnya Soewardi menegaskan apa yang universal
da­l­am sesama: semua ingin merdeka, terutama orang-orang
jajahan. Tapi itulah yang tak diakui pemerintah kolonial.
Soewar­di ditangkap. Pada umur 14 tahun, ia diasingkan ke
Belan­da.

Tapi justru di sana, di negeri dengan kehidupan
demokratis itu, ia kian sadar bahwa ”liyan” adalah ”sesama”
dan ”sesama” bis­a berarti ”setara”. Dialektik antara temu dan
takluk bergerak:­sementara di negeri jajahan temu tenggelam
oleh takluk, di Eropa yang merdeka takluk tersisih oleh temu.
Pembangkangan Soew­ ardi kian tegas. Perlakuan hukum yang
sama di masyarakat­­ Belanda mengukuhkan keyakinannya
bahwa mereka yang seperti dirinya bukan hamba. Mereka
berasal dari sebuah ke­pul­auan yang tak mau takluk dan jadi
”Hindia Belanda”.

April 1917, di halaman Hindia Poetra, Soewardi memilih
na­ma yang dipakai Bastian bagi tanah airnya. Indonesia:
negeri yang dibangun oleh yang universal, untuk semua, dan
sekali­gus oleh yang berbeda.

TEMPO, 31 Mei 2015

90 Catatan Pinggir 12

CINTA

http://facebook.com/indonesiapustaka —untuk Haidar Bagir

CINTA: sebuah pengertian yang selama berabad-abad
mengg­ etarkan hati dan membingungkan, sepatah kata
yang dengan mudah pula jadi banal tapi juga bisa membuat
orang merelakan dirinya sendiri. Kita tak bisa merumuskannya.­
Ia bukan bagian dari yang secara konseptual kita ketahui.

”Cinta tak punya definisi,” konon demikianlah kata Ibnu
Arabi, sufi dan pemikir kelahiran Spanyol dari abad ke-12,
dalam risalahnya, Futuhat. ”Ia yang mendefinisikan cinta
berarti­tak mengenalnya... sebab cinta adalah minum tanpa
hilang ha­us.”

Cinta hanya bisa dimengerti sebagai proses. Ia tak pernah
bisa dipotret utuh. Seabad kemudian, Jalaluddin Rumi,
sufi yang paling masyhur mengungkapkan pengertian itu,
menyebut­nya Ishq. Cinta adalah ”laut ke-Tak-Ada-an,” kata
Rumi. Ta­bir kerahasiaan selalu mengerudunginya. ”Apa pun
yang kau-k­ atakan atau lakukan untuk menanggalkan tabir
itu, kau akan menambahkan selapis tabir lagi di atasnya.”

Agaknya karena itu, dalam ribuan baris masnawi dan
diwann­ ya, Rumi hanya mengemukakannya dalam bentuk
negas­i,­dengan sederet kata bukan: Cinta ibarat ”sebuah pohon
yang teg­ ak bukan di atas tanah bukan di atas pokok, bahkan
bukan di mahkota Surga”.

Atau ia menjelaskannya dengan menampakkan Cinta

Catatan Pinggir 12 91

http://facebook.com/indonesiapustaka CINTA

sebagai antithesis. Dalam renungan Rumi, Cinta adalah kubu
yang berlawanan dengan nalar. Menemui Cinta, kata Rumi,
”Int­elek lumpuh kakinya.” Sementara intelek atau nalar sibuk
me­ne­rangi ruang dan meraih dunia, Cinta punya hidup dan
aktivitasnya sendiri:

Nalar menegakkan pasar
dan mulai berdagang
Cinta menyimpan kerja
dalam persembunyian

Orang yang mencintai, kata Rumi pula, ”Menemukan
tempat-tempat rahasia di dunia yang penuh kekerasan ini.” Di
sa­na­lah mereka ”melakukan transaksi dengan keindahan”.

Tapi itulah yang tak diakui ”Nalar”.

Omong kosong, ujar Nalar.
Aku telah berkeliling dan mengukur dinding
dan tak kujumpai tempat seperti itu.

Sikap anti-nalar bukan cuma disuarakan para sufi Islam di
za­man Ibnu Arabi dan Rumi. Di abad ke-20, terutama di Eropa
sejak berkecamuk krisis kepercayaan kepada rasionalisme,
beberapa pemikir juga menegaskan pertentangan terhadap
intelek/nalar itu.

Di tahun 1930-an di Prancis, Bergson mengumandangkan­
élan vital, dorongan hidup yang terus-menerus mengalir dan
tum­buh, bukan kehadiran yang statis. Ilmu, yang disusun
intelek/nalar, tak akan mampu memahaminya. Nalar mampu­

92 Catatan Pinggir 12

CINTA

http://facebook.com/indonesiapustaka menga­ nalisis, menganalisis berarti mengurai, tapi untuk itu
kit­a harus memandang sebuah proses yang bergerak terus
seakan-­akan mandek. Lagu, misalnya. Intelek bisa mengurai
sebuah lagu jadi deretan not, dan dengan cara itu kita bisa
menghitung tinggi-rendahnya nada. Tapi dengan demikian
lagu itu har­us diperlakukan sebagai benda yang ”berhenti”;
kita tak mend­ engarkan lagi merdunya.

Baru lagu itu bisa hadir sebagai alun yang bergerak,
menggetarkan, jika kita berangkat dengan intuisi, kata
Bergson. Han­ ya­ dengan intuisi kita bersua dan menangkap
élan vital yang meng­gerakkan kehidupan.

Agaknya élan vital itulah yang dalam peristilahan Rumi
diseb­ ut Ishq, dan dalam istilah yang lebih lazim disebut Cinta.

Ishq anti-mandek. Ia lawan kebekuan. Ia menampik ide yang
jadi dogma dan hidup yang diterjemahkan dalam bilangan.­Ia
menolak akal yang membuat kalkulasi untuk mencapai satu
tuj­uan tertentu. Ia tak patuh kepada ”akal instrumental” yang
efekt­if buat menaklukkan alam, menjadikan dunia sebagai
ob­yek, menghimpun modal (”menegakkan pasar”), dan
menguasai sesama.

Maka Cinta tak akan bisa hidup bersama perhitungan untung-
rugi, tak bisa dipakai dalam siasat politik. Cinta juga tak bis­a
menerima doktrin yang membekukan pikiran dan perasaan—
doktrin yang ampuh untuk mengukuhkan kekuasaan. Cinta
berani lepas dari itu semua. Ia mengembara, mencari te­rus-­
menerus, mencoba memasuki misteri yang dihadirkan Tuhan.

Agaknya bukan kebetulan jika Cinta—yang bergetar di
dasar hidup para sufi—terasa intens sebagai perlawanan ketika­
kekuasaan jadi tujuan hidup orang-orang yang seharusnya

Catatan Pinggir 12 93

http://facebook.com/indonesiapustaka CINTA

dekat dengan Tuhan.
Di abad ke-11 dan ke-12, dari Bagdad sampai dengan

Kairo,­ para qazi yang jadi hakim agung agama tak jarang
menggunakan kekuasaan mereka untuk hidup makmur. Di
masa itulah San­ ai, penyair sufi kelahiran Afganistan, menulis
Hadiqat al-Haq­ iqat (Kebun Kebenaran) dan mencerca hakim
agama yang ”menuliskan fatwa menyerukan pertumpahan
darah, digerakkan niat keji, kebodohan, dan sifat tamak”. Ia
mencaci mereka yang seraya ”menerima suap, menggariskan
aturan”.

Perlawanan terhadap kebusukan itu juga yang mendorong­
sufi seperti Sanai menjauh dari godaan kekuasaan dan
melepaskan jabatannya di Istana. Kisah yang lebih terkenal
adalah ba­gian dari otobiografi Al-Ghazali, Al-Munqidh
min al-Dalal (”Selamat dari Sesat”). Dalam Rumi: Past and
Present, East and West, Franklin D. Lewis menguraikan
dilema yang dialami ulama besar pada abad ke-12 itu: Al-
Ghazali menikmati posis­i yang makmur sebagai tokoh agama
yang jadi pengajar utama­Perguruan Nazimiyah di Bagdad,
tapi ia juga tahu integri­tas­dirinya pelan-pelan rusak. Selama
hampir enam bulan ia ter­ombang-ambing ”antara daya tarik
duniawi dan dorongan ke keh­ idupan yang kekal”. Akhirnya ia
meninggalkan kota besar yang gemerlap itu, Bagdad; ia pergi
mengembara.

Ia mungkin bukan digerakkan Cinta seperti Rumi. Tapi
ia ta­hu Tuhan tak ada di dekat kursi tempat orang pamer
kepandai­an dan kealiman. Ia juga tahu Tuhan tak dapat
dijangkau den­ gan nalar laba-rugi; sang sufi memilih sunyi.

TEMPO, 7 Juni 2015
94 Catatan Pinggir 12

PIYADASI

http://facebook.com/indonesiapustaka DI pilar batu karang setinggi 15 meter itu terpahat 14 titah­
yang tak mati-mati. Diukir pada abad ke-2 sebelum
Masehi, sabda itu datang dari Piyadasi, atau Devanampiyadasi,
raj­a yang membawahkan wilayah yang kini jadi bagian utama
Ind­ ia.

Hampir semua barisnya mempesona, tapi yang terasa
menggugah adalah titah yang ke-7:

Baginda Devanampiyadasi berkehendak semua agama ada di mana
saja, sebab semua menghendaki pengendalian diri dan kemurnian hati....
Kemudian diketahui sebutan lain Devanampiyad­ asi adalah Asoka—nama
yang kini praktis terkait dengan ”perdamaian”, penanda yang mengacu
kepada tauladan Buddhisme. Ki­ta kagum, karena titah itu dari seorang
raja yang justru meyakini agamanya sendiri. Baginda Devanampiyadasi
menghormati­para pertapa dan pemangku rumah tangga dari semua agama,
dan ia menghormati mereka dengan berbagai anugerah dan kehormatan.
Tapi Baginda tak menghargai anugerah dan kehormatan sebagaimana
ia menghargai ini: ketika orang menumbuhkan apa yang hakiki dalam
agama. Orang menumbuhkannya den­ gan cara yang berbeda-beda, namun
semuanya berakar pada pen­ gendalian diri dalam bicara, baik ketika memuji-
muji agama sen­diri, ataupun ketika mengecam agama orang lain.... Siapa
pun yang memuji agamanya sendiri, karena kebaktiannya yang sungguh-
sungguh, dan mengecam agama lain dengan niat ”Biar ku­agung­kan agamaku
sendiri”, hanya akan melukai agama sendir­ i.... Orang harus mendengarkan
dan menghargai keyakinan yang dipeluk orang lain. Baginda Piyadasi ingin
agar semua orang bel­ajar bersungguh-sungguh ajaran yang baik dalam agama

lain.

Catatan Pinggir 12 95

http://facebook.com/indonesiapustaka PIYADASI

Dibaca di hari-hari ini, ketika kecurigaan antar-agama jadi
ke­bencian, saya tak tahu bisakah keinginan raja yang baik hati
itu bertahan.

Titah Asoka pernah tenggelam selama 700 tahun, sampai­
pa­da 1915, setelah para arkeolog menemukan sebuah pilar
yang tersisa yang menyebut namanya. Kemudian Republik
In­d­ ia­mengadopsi lambang perdamaian Asoka yang Buddhis
itu ke desain bendera nasional, meskipun mayoritas penduduk
bera­­ gama Hindu. Tentu karena maknanya melintasi batas
apa pun.­ Dari Tibet, dan di pengasingannya, Dalai Lama
menguta­r­akan pesan yang sejajar dengan titah perdamaian di
pilar kar­ang itu.

Tapi jangan-jangan tak ada efek besar yang terjadi.
Jangan-ja­ngan pesan Piyadasi sederet klise yang mudah
disingkirkan. Di awal abad ke-21, persisnya 30 Mei yang lalu,
BBC menyiarkan sebuah reportase tentang Buddhisme yang
berbeda—yang ker­as dan kelam.

Di sebuah kuil kecil di bagian pinggir Kota Kolombo,
Sri Lanka, kita dipertemukan dengan Galagoda Aththe
Gnanasara Thero. Di atas jubah warna merah menyala itu kita
bertatap­an dengan wajah yang angker. Kita segera tahu rahib
ini bukan tit­isan Asoka.

Asoka mengirim pesannya ke seluruh penjuru, dengan
ba­has­a Brahmi maupun Yunani dan Aramaik, dengan
kepercayaa­ n bahwa ada yang akan mempersatukan manusia
dalam perbedaan yang besar. Sebaliknya Gnanasara Thero. Ia
bersiteguh:­Buddhisme-nya adalah nasionalisme dengan dasar
ethnis.

Ia orang Sinhala yang merasa jadi ”pribumi” Sri Lanka.

96 Catatan Pinggir 12

PIYADASI

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagin­ ya, negerinya sedang dihancurkan ”orang luar”—artinya
orang Tamil dan muslim.

”Kami mencoba... kembali ke negeri bangsa Sinhala,”
kata Gna­nasara Thero. ”Kita akan siap berkelahi, sampai itu
tercapai.”

Ia pun membentuk BBS, Bodu Bala Sena, organisasi yang
sej­ak 2012 aktif ke jalan-jalan. BBS menyerbu tempat muslim
me­nyembelih hewan, atau bahkan mendemo sebuah fakultas
huk­ um karena dianggap hasil ujian telah dipelintir untuk
mengu­ tamakan mahasiswa muslim.

Tak hanya itu. Wartawan BBC, Charles Haviland,
berkunjung ke kota kecil Aluthgama. Juni 2014, tiga orang
tewas sete­l­ah Bodu Bala Sena menyelenggarakan rapat anti-
muslim di ko­ta itu. Haviland bertemu dengan keluarga muslim
yang rum­ ahn­­ ya habis dibakar dan tinggal di gedung sekolah
sebagai pengu­ ngsi.

Muslim adalah asing, kata Gnanasara, sambil melupakan
bah­wa muslim telah berabad-abad berakar di negeri itu.

Tapi BBS juga melakukan kekerasan terhadap orang
seagama yang tak sependapat. Vijitha Thero, seorang pendeta
Buddha, diculik karena ia menentang aksi-aksi anti-minoritas.
Ia dibikin tak sadar dan disunat secara paksa. Ketika
pendeta itu meng­ungkapkan keluhan masyarakat muslim
dalam sebuah­konf­erensi pers, para anggota BBS menyerbu.
Gnanasara meng­ancamnya: ”Jika kau terlibat lagi dengan
perbuatan khian­ at­yang bodoh, kau akan diambil dan dibuang
ke Sungai Mahaweli.”

Dan orang pun bergidik: di sungai itu, pada 1989, puluhan­
mayat terapung-apung setelah 60 ribu oposan pemerintah

Catatan Pinggir 12 97

http://facebook.com/indonesiapustaka PIYADASI

musn­ ah.
Tampaknya di tiap agama kita ketemu Gnanasara, tokoh

yang beriman—dengan iman sebagai dasar pembersihan dan
pen­ aklukan.

Asoka sendiri bermula sebagai penguasa yang bengis.
Seorang pengelana dari Tiongkok, Yuan Chwang, mencatat
di ke­rajaan India itu ada sebuah penjara yang disebut ”Neraka
Asok­ a”. Tapi raja ini punya nasib dan pekerti yang lain. Suatu
ha­ri ia menyaksikan seorang suci yang dihukum di dalam air
mend­ idih dan menerima nasibnya dengan tenang. Pada waktu­
itu pula pasukan kerajaan membantai suku Kalinga habis-
habis­an. Kekejaman itu akhirnya kesia-siaan dan penaklukan
itu ke­kosongan—dan sejak itu Asoka berubah.

Ia menemukan apa yang tenggelam di bawah takhta dan
naf­su berkuasa: sifat sakral dunia sehari-hari. Yang sakral hadir­
ketika kita merenung, peka, dan bertanya, ”berpikir bukan
dalam arti menghitung-hitung,” kata Julia Kristeva, bukan
da­lam niat menguasai makhluk yang lain. Dan ketika yang
sakral kem­bali, hidup pun dengan bersahaja disyukuri.

TEMPO, 14 Juni 2015

98 Catatan Pinggir 12

BOCAH

http://facebook.com/indonesiapustaka SEORANG bocah menggambar. Ia bayangkan seekor ular
san­ca menelan utuh seekor gajah. Dalam gambarnya,
sosok gajah itu sudah tak tampak lagi. Yang kelihatan: perut si
ular yang menggelembung.

Si bocah pun menunjukkan gambar itu kepada orang
dewasa.

Kau tak takut melihat ini, tanyanya. Kenapa harus takut
me­lihat gambar sebuah topi, jawab si orang dewasa.

Di situlah, sebagaimana diutarakan dalam Pangeran Kecil­
An­toine de Saint-Exupéry, orang dewasa gagal. Mereka tak
gent­ar, tapi itu karena mereka tak bisa membayangkan sesuatu
yang lain dari apa yang kasatmata, yang praktis dan lazim.
Mere­ka tak betah berbincang tentang ular yang menelan gajah
di rim­ba yang aneh. Mereka lebih tertarik membicarakan
”jembatan, dan golf, dan politik, dan dasi”.

Imajinasi telah mengering di dunia mereka—sebuah dunia
yang terpisah dari kehidupan anak-anak yang berkhayal dan
berm­ ain.

Pangeran Kecil dengan lembut mengukuhkan keterpisahan
itu: di satu pihak wilayah anak dengan keasyikan dan
keindahan yang tersendiri; di lain pihak dunia orang dewasa
yang di­bent­uk teknologi, uang, dan pertarungan. Buku
kecil ini sebua­ h kritik. Ia menjauhi kehidupan yang dikuasai
rasionalitas un­tuk meraih hasil. Saint-Exupéry mengajak kita
menyaksikan­se­buah kehilangan yang bernama dunia modern.

Catatan Pinggir 12 99

http://facebook.com/indonesiapustaka BOCAH

Kita tak bisa la­gi mengatakan bahwa manusia tinggal di dunia
secara puitis, ”dichterisch wohnet der Mensch”, untuk memakai
ungkapan Hei­degger. Tak ada lagi padang pasir tempat kita
berjumpa si pa­ngeran kecil. Kini manusia menghuni dunia
dan ia menghitung.

Beda yang tajam itu pernah dilukiskan Tagore dalam sajak
ter­kenal ini: ”Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar
ber­layar mengarungkan perahu, sementara anak-anak
menghimpun batu dan menebarkannya kembali....”

”Menghimpun batu dan menebarkannya kembali” adalah
keg­ iatan yang dicerca di dunia orang dewasa, dunia modern,
ka­rena tak produktif.

Tentu saja Tagore, sebagaimana Saint-Exupéry, tak hendak
men­ yebut bahwa sebenarnya tak ada batas yang kedap antara
du­nia yang ”mencari mutiara” dan dunia anak yang hanya
bermain dengan batu dan ombak.

Terutama ketika pengertian ”anak-anak” belum tergaris
tegas.

Ada masa dan tempat di mana akta kelahiran tak dikenal­
dan orang tak menandai persis tanggal dan tahun dalam
hidupnya. Belum ada sekolah yang menentukan batas umur
murid. Belum ada administrasi kota yang meminta kita mengisi­
formulir untuk KTP. Di dalam lingkungan itu, perjalanan
hid­ up manusia dari bayi hingga mati ditandai dengan ritus:
sunat, potong gigi, pingitan, membunuh hewan buruan. Jarak
antara ”masa kanak” dan ”akil balig”” praktis pendek atau
berbatas kabur. Apa yang kini dilihat sebagai ”buruh anak-
anak” jan­ gan-jangan bukan kejahatan, hanya karena tenaga
kerja tak dibedakan umurnya dan semua anggota keluarga

100 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka BOCAH

harus menc­ a­ri nafkah. Di daerah pertanian yang melarat,
anak adalah bag­ ian dari alat produksi.

Dengan kata lain, konsep ”bocah” tak datang sejak awal
kehi­d­ upan sosial. Ia sebuah konstruksi masyarakat, sebuah
sebuta­­ n yang ditemukan sesuai dengan perkembangan sejarah.

Mungkin sebab itu kita tak pernah melihat tokoh anak
dal­am­ wayang kulit atau golek, bahkan ketika dalang
mengisahkan lahirnya Gatotkaca. Phillipe Ariés, yang
menelaah sejarah anak-anak di Eropa, menunjukkan bahwa di
sana pun sampai se­kitar abad ke-12 seni rupa ”tak kenal masa
anak-anak dan tak mencoba menggambarkannya”. Bayi Ismail
dari Perjanjian Lama dilukiskan dengan otot perut lelaki
dewasa. Bayi Yesus bar­u tampak sebagai bayi di abad ke-14 seni
rupa Italia.

Dalam kehidupan sehari-hari, di masa itu, anak memang
bu­kan kehadiran istimewa yang terpaut di hati. Kematian
lum­rah. Bocah gampang datang dan pergi. Ariés mengutip
Mont­­aigne, penulis esai termasyhur itu: ”Aku telah kehilangan
du­a atau tiga anak di masa kecil mereka, bukannya tanpa sesal,
tap­ i tanpa dukacita yang dalam.”

Baru kemudian, anak-anak mengambil posisi sentral. Di
mas­a lalu yang lebih miskin, ketika lampu belum ditemukan­
dan malam adalah jam panjang yang gelap, anak-anak tidur­
bersama sekamar dengan orang dewasa. Ketika kehidupan
semakin baik, dan kebutuhan semakin beragam, mereka
men­dap­ atkan kamar sendiri. Pakaian mereka tak lagi hanya
miniatur pakaian orang tua. Model baju mereka lain, seperti
tampak pa­da potret si kecil yang dipasang di mana-mana.

Sejak itu, masa depan tergaris bersama anak-anak.

Catatan Pinggir 12 101

http://facebook.com/indonesiapustaka BOCAH

Kindergarten muncul di tiap sudut: persiapan ke tahap
pendidikan se­sudahnya. Di Indonesia, sejak kelas menengah
tumbuh, maja­lah seperti Ayah Bunda jadi penting: yang baru
jadi orang tua but­uh bimbingan untuk mengantar buah hati
mereka dari awal. Di Jepang, orang tua mendera anak-anak
mereka sejak usia dini agar jadi murid yang 12 tahun kemudian
bisa masuk ke universitas terkemuka. Harapan dibangun
dengan rasa cemas.

Maka sebuah paradoks baru muncul: ketika anak jadi
makh­luk spesial, mereka juga jadi proyek. Mereka disiapkan
ja­di penerus orang tua, baik dalam iman maupun harta.
Mereka tak dibayangkan mandiri, sebagai pembaharu apalagi
pembangkang. Masa kecil yang spontan pun hilang: si bocah
tak lag­ i ”menghimpun batu dan menebarkannya”, melainkan
sejak dini berangkat ”mencari mutiara”. Kontrol diberlakukan,
dan kadang-kadang tak jelas mana bimbingan dan mana
penganiayaan.

”Semua orang dewasa dulu juga anak-anak... tapi hanya
sedikit yang ingat itu”—Antoine de Saint-Exupéry, Pangeran
Kecil.

TEMPO, 21 Juni 2015

102 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka GEMBROT

BUKAN kematian yang membuat seorang penakluk
runtuh, melainkan kegemukan. Itulah yang terjadi pada
Raja William ketika ia berusia 59 tahun.

Pada pagi di awal September 1087 itu, di sebuah
pertempuran untuk menaklukkan sebuah kota Prancis,
Baginda terlontar­dari atas kudanya. Perutnya yang membuncit
menabrak bagi­an depan pelana dan ia tak bisa dengan tangkas
menjaga kese­im­bangan. Ia terjungkal dan tewas.

Masalah yang timbul tak berhenti di situ. Ketika
pemakaman­dimulai, ternyata sarkofagus batu yang disiapkan
untuknya terl­alu sempit. Ketika para padri dan petugas
mencoba menjejalkan tubuh gembrot itu agar bisa masuk peti
mati itu, perut jen­ azah meletup. Bau busuk menebar. Para
pelayat cepat-cepat me­nyelesaikan upacara sambil menahan
muntah.

Mungkin sejak itu orang berhenti menghubungkan tubuh
besar dengan kewibawaan seseorang—setidaknya dalam kasus­
William Sang Penakluk.

Berkuasa di Inggris dan Normandia selama bertahun-
tahun, mula-mula ia mungkin merasa bahwa tubuhnya yang
mak­ in memuai punya aura tersendiri. Tapi akhirnya ia juga
sadar: ada yang salah dengan kegembrotan itu. Raja Philip
dari Prancis menyamakan perut Raja Inggris itu dengan perut
peremp­ uan hamil tua. Dan ia tahu itu bukan sebuah pujian. Ia,
seo­ rang raja yang buta huruf, mencoba diet dengan ngawur: ia

Catatan Pinggir 12 103

http://facebook.com/indonesiapustaka GEMBROT

mengganti makanan dengan minuman keras.
Tapi ia memang hidup di sebuah zaman dan sebuah

kebudayaan yang memandang gemuk, bahkan gembrot, secara
tak konsisten. Ketika bencana kelaparan masih sering terjadi,
orang Eropa menafsirkan kegemukan dan pinggang tebal
sebagai indikator ketahanan dan akhirnya jadi sebuah prestise.
Mak­ a ada masanya ketika beruang yang tambun jadi lambang
ke­kuatan, meskipun kemudian, pada periode lain, lambang
ke­unggulan yang tepat adalah singa: ramping di pinggang,
per­kasa di dada.

Tapi juga bisa dikatakan, sebelum abad ke-15 Eropa, ukuran­
tubuh tak relevan untuk ditampilkan dalam narasi bersama.
Se­perti ditunjukkan Georges Vigarello dalam (versi Inggris)
The Metamorphosis of Fat: A History of Obesity, dalam gambar-
gambar yang dibuat di atas permadani di abad ke-11 tentang
par­a pendekar perang yang menaklukkan Inggris, semua
tokoh kelihatan seragam dalam ukuran dada dan pinggang—
ter­masuk William.

Tentu saja itu berubah ketika teknik menggambar berubah
dan pengertian perspektif ruang diperkenalkan dan ”realisme”
jad­ i acuan utama. Sampai abad ke-13, penampilan manusia
da­lam seni rupa Eropa tampaknya tak mempersoalkan perkara
ge­muk-kurus.

Sangat berbeda dengan citra yang tampak dalam wayang
ku­lit di Jawa selama berabad-abad. Bentuk dan ukuran badan
pun­ ya sugesti yang lebih jauh ketimbang perkara jasmani.
Para kes­atria, dengan Arjuna sebagai tauladan, umumnya
ramping­—bahkan kerempeng. Yang gembrot adalah pihak
”lain”: para gergasi, buto, atau orang sabrangan. Dalam alam

104 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka GEMBROT

piktorial Ja­wa, kurus itu bagus; di dalamnya berlaku bukan
semata-mata penilaian estetis, tapi juga moral.

Sebenarnya dalam sejarah Eropa—dan sejarah manusia­
umumn­ ya—kecenderungan seperti itu juga selalu hadir.
Terutama di dunia di mana rohaniwan berpengaruh. Gemuk
me­nand­ ai sifat tamak dan doyan. Kita dengan mudah bisa
tahu bah­wa menahan hasrat dan nafsu adalah tuntutan moral
yang ada di mana saja. ”Berhentilah makan sebelum kenyang”,
petua­ h Rasulullah yang terkenal (meskipun sering diabaikan),
tak ha­nya berlaku buat orang Islam.

Pada dasarnya agama-agama selalu menyiratkan sikap risau­
kepada tubuh. Tubuh adalah sesuatu yang harus dicurigai.
Me­mang dengan demikian diakui yang jasmani punya peran
yang besar dalam hidup, namun ada keyakinan dengan
mengendalikannya manusia akan jadi makhluk yang selamat.

Dari sinilah kita bertemu dengan pertapaan. Bertapa
menun­jukkan sikap waswas kepada tubuh dan pada saat yang
sa­ma menyiratkan tuntutan moral untuk mengendalikannya.
Se­perti halnya puasa. Dalam arti ini, puasa adalah bertapa
dengan cara yang bersahaja.

Upanishad, yang ditulis 800 tahun lebih sebelum agama
Kris­ten dan Islam, menyatakan bahwa memang ada yang
menya­tukan puasa dan bertapa: laku menahan diri. Apa yang
dik­ e­nal sebagai ”puasa”, anâksayâna (demikian ditulis dalam
khand­ a ke-5), adalah brahmakarya, menahan nafsu dan hasrat.
Beg­ itu pula dengan apa yang dikenal sebagai kehidupan
pertapa aranyâna.

Jika ada beda yang besar antara bertapa dan berpuasa, itu
ada­lah dampaknya bagi kehidupan seseorang. Pada umumnya,­

Catatan Pinggir 12 105

http://facebook.com/indonesiapustaka GEMBROT

bertapa adalah sebuah transformasi kehidupan. Sementara itu
berp­ uasa selama sebulan umumnya tak mengubah lifestyle.

Apalagi di abad ke-21. Kini orang menahan hasrat makan
dan minum—seperti halnya diet—untuk kepentingan yang
tak jauh jaraknya dari cermin dan timbangan di kamar: untuk
ke­sehatan, kecantikan, atau kegantengan diri.

Tapi agaknya pintu perlu dibuka.
Di Amerika Serikat, di mana takaran makan dan
minum— dar­i popcorn di bioskop dan McDonald’s di sudut
jalan—makin membesar dan makin menyebarkan wabah
kegembrotan, puasa, dalam pelbagai variannya, bisa punya
pengaruh bagi perubahan sosial. Obesitas telah terbukti
membebani masyarakat dengan penyakit gula dan jantung
yang merenggutkan te­naga-tenaga yang produktif dari
sekitar kita. Kegagalan menahan hasrat telah terbukti ikut
menyebabkan lingkungan han­cur, bumi dikuras, dan laut
dikalahkan untuk melayani kons­umsi yang tak habis-habisnya
meningkat.
Lebih dari seribu tahun yang lalu William Sang Penakluk
mangkat; ia dikenang bersama perut gendutnya yang pecah di
pet­i mati. Gembrot, di zaman itu, adalah keberlebih-lebihan
yang berakhir di kubur masing-masing. Gembrot, di zaman
kit­a, tak seperti itu lagi: ia tanda sebuah kekalahan sosial.

TEMPO, 28 Juni 2015

106 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka SASTRAWAN

SASTRAWAN, terutama di Indonesia, sering yakin
mereka warga masyarakat yang penting—lebih penting
ketimbang karya mereka. Ada ”sindrom pujangga” yang sering
berjangkit.

Di masa lalu, ”pujangga” disebut sebagai pemberi fatwa,
petunjuk ke pintu kebenaran. Ia diletakkan, atau meletakkan
di­ri, di tataran yang lebih suci dan mulia dalam fi’ il dan
pengetah­ uan.

Di abad ke-19, Ronggowarsito menamakan salah satu
karyanya Serat Wirid Hidayat Jati. Dalam buku kecil itu ia
tampak­ siap memberikan ”hidayah” yang ”benar” kepada
pembacan­ ya.­Di abad ke-20, di tahun 1930-an, ketika sejumlah
sastra­wan­memaklumkan pembaruan, ”sindrom pujangga” tak
ber­ubah. Mereka namakan majalah mereka Poedjangga Baroe.
Mer­eka, terutama Takdir, memandang sastrawan sebagai
pelopor dalam kerja membangun kembali masyarakat, dalam
”reconstructie arbeid ”.

Tapi kemudian datang Revolusi 1945. Yang dijebol bukan
ha­nya wibawa pemerintah kolonial. Pemberontakan sosial,
kehendak menghabisi aristokrasi atau pangreh praja, yang
disebut ”feo­dal”, meledak di Sumatera Timur dan di pantai
utara Jawa Te­ngah. Tahun 1945: sebuah ledakan anti-hierarki.

Sejak masa itulah, sejak generasi sastrawan di sekitar Chairil
Anw­ ar, sastrawan menyebut diri ”penulis”, atau ”penyair”. Kata
”puj­angga” jadi olok-olok. Para sastrawan meletakkan diri

Catatan Pinggir 12 107

http://facebook.com/indonesiapustaka SASTRAWAN

setara dengan pembaca mereka. Chairil bersama Asrul Sani
dan Ri­vai Apin menerbitkan sebuah buku puisi berjudul Tiga
Me­ngua­ k Takdir: sebuah statemen tersirat yang menunjukkan
tak ada yang selamanya berada dalam posisi yang menentukan.

Sikap itu tampaknya datang bersama apa yang mereka baca
sebagai kesusastraan: karya para penulis dunia yang—setelah
konflik-konflik besar di Eropa dan Asia meledak dan membawa­
korban—melihat kesusastraan gagal menyelamatkan manusia
den­ gan petuah dan pesan. Para penulis mulai memandang diri
send­ iri dengan ironis. Seseorang pernah bertanya apa pesan
yang hendak diungkapkan Hemingway dalam buku-bukunya.­
”Tak ada pesan dalam novel-novel saya,” jawab­ penulis A
Farewell to Arms itu. ”Kalau saya mau sampaikan pesan, saya
ki­rimkan lewat pos.”

Jawaban itu bukan gurau, bukan pula kerendah-hatian yang
pura-pura. Para penulis makin sadar, mereka hidup bersama
ke­bisuan yang tak bisa diungkai sepenuhnya dalam diri hal-
ihwal dunia. Hutan yang majemuk, dusun yang berubah,
lampu-lampu kota yang bertebaran, percakapan yang tak
selesai, amarah dan kebencian yang terpendam....

Tapi seperti ditunjukkan Rancière (dalam La parole muette),
ke­bisuan semua itu tak membuat mandul. Karya baru akan
ditulis. Dikelilingi hal-hal yang tak bisa terungkai penuh,
tiap pengarang, sendiri atau dengan berdialog, selalu akan
membuka jalan lain penafsiran. Tak lagi ada yang dengan
meyakinkan men­ gatakan, aku-sang-pemberi-hidayah.

Juga kata-kata makin jelas ”membisu”: mereka tak dapat
meng­ungkapkan makna yang seutuhnya transparan kepada
sang penulis dan pembaca. Kata ”akanan” dalam sajak Chairil

108 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka SASTRAWAN

An­war ”Senja di Pelabuhan Kecil” kadang muncul dalam arti
”kak­ i langit”, kadang dalam arti ”apa-yang-akan-datang”.

Makna sebuah kata tak bisa dibuat tunggal oleh konsensus—
sebab makin tampak konsensus sebenarnya menyembunyikan
kekuasaan yang mendesakkan dan membentuknya. Di zaman
ketika sastrawan dan pembaca (termasuk kritikus) dud­ uk sama
rendah, ”sindrom pujangga” tampak seperti adegan lak­ on
zaman Dardanella: melambung-lambung.

Tapi sindrom itu tak mudah hilang, rupanya. Ia muncul
dalam wujud yang lain: sastrawan sebagai pesohor.

Pada mulanya media massa. Koran, majalah, radio, TV
bisa mem­buat kesusastraan diketahui publik luas, tapi juga
membuatnya menyilaukan. Orang menatap, terpesona,
tapi juga tak­ melihat dengan jelas. Media massa cenderung
tergesa-gesa dan berbicara kepada orang ramai yang hanya
bisa dipertemukan­ dengan mempercakapkan sesuatu yang
bersahaja. Maka dari arus kesusastraan yang muncul adalah
sesuatu yang gampang di­ingat: tokoh.

Di tahun 1950-an tulisan A. Teeuw tentang kesusastraan
In­donesia modern diterjemahkan dengan judul Pokok dan
Tokoh. Penelaah itu ingin menampilkan ”tokoh” sebagai
bagian dar­i ”pokok” yang diekspresikan dalam sebuah karya
sastra. Ta­pi akhirnya ”tokoh” lebih mencuat, ”pokok” menciut.
Ter­utam­ a sejak pelajaran kesusastraan di sekolah tak dibawa
untuk menikmati karya dan menelaahnya. Memilih jalan
yang gamp­ ang, para guru hanya membawa murid mengetahui
nam­ a, judul karya, mungkin sinopsis.

Maka sastrawan tidak mati, kesusastraan yang mati.
Telaah sast­ra yang serius kian jarang ditulis. Hampir tak ada

Catatan Pinggir 12 109

http://facebook.com/indonesiapustaka SASTRAWAN

lagi media­ yang bersedia memuat kritik sastra berhalaman-
halaman,­seperti dalam majalah Budaya Jaya yang terbit pada
1968-1979; kini hanya berkala Kalam meneruskan tradisi
itu, dalam bentuk majalah online. Meskipun tak mudah
mendapatkan tulisa­ n yang layak, media seperti itu menyimpan
harapan akan bisa me­melihara percakapan kesusastraan yang
bersungguh-sungguh tentang ”pokok”, seperti di masa 1930-
an sampai dengan 1970-an, ketika gagasan dan bentuk ekspresi
adalah topik yang dibahas—bukan sastrawan dan kehidupan
pribadinya, anek­dotnya, atau pertengkarannya (lewat media
sosial) dengan sas­trawan lain.

Ada kelanjutan antara ”sindrom pujangga” dan ”sindrom
pe­sohor”. Keduanya meletakkan sastrawan sebagai pusat.
Keduan­ ya tak melihat ada pusat lain: dalam karya. Sastrawan
jadi ego yang melambung.

Tapi sementara para pujangga diharapkan berfatwa, para
pes­ohor diharapkan heboh. Dan kritik sastra pun jadi gosip.

TEMPO, 5 Juli 2015

110 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Don Quixote

SEBUAH olok-olok yang panjang bisa jenaka dan kemudian
jadi serius. Olok-olok paling panjang dalam sejarah di­t­ulis
Miguel de Cervantes di Spanyol abad ke-17: tentu saja Don
Quixote, novel setebal lebih dari 1.000 halaman.

Menertawai Don Quixote pun jadi kelaziman berabad-
abad. Tokoh ini seorang hidalgo, bangsawan kecil, yang
jadi majenun karena terlampau banyak membaca cerita
kesatria zaman lama. Ia begitu terpengaruh hingga ia ingin
berlaku sepert­i tokoh-tokohnya. Kita kenal adegan lucu yang
termasyhur ini: Don Quixote menaiki kuda kurus yang ia beri
nama Rocin­ ant­e, memakai panci sebagai tutup kepala, dan
menyerang kinc­ ir angin karena ia yakin itulah gergasi.

Cervantes sadar kisahnya kocak. Tertawa pertama kita
temuk­ an di novel itu sendiri di bab ke-9.

Di sana mula-mula disebutkan bagaimana sang pengarang­
tak bisa menyelesaikan ceritanya: ia tak bisa menemukan bahan­
tertulis tentang petualangan Don Quixote. Tapi, pada su­atu
hari, ia berada di alcaná, bagian pasar tua orang Yahudi di Kota
Toledo. Ia menemukan seorang anak yang menjual berkas­
kertas-kertas lama. Tertarik, Cervantes membelinya. Lembar-
lembar itu bertulisan Arab. Penuh rasa ingin tahu apa gerangan
isi­nya, ia mencari seorang morisco untuk menerjemahkannya.
Bar­u saja mulai membaca, si penerjemah terkekeh-kekeh....

Tapi bagian ini tak dilanjutkan dengan adegan lucu.
Dengan­segera lanjutan cerita menukik ke dalam sebuah narasi­

Catatan Pinggir 12 111

http://facebook.com/indonesiapustaka DON QUIXOTE

yang justru minta dihadapi dengan bersungguh-sungguh.
Pada­ berkas kertas itu tercantum: ”Hikayat Don Quixote
dari La Manc­ha, ditulis oleh Sayid Hamid Bin Angeli, seorang
sejarawan Arab....”

Don Quixote: sebuah cerita sejarah? Persoalan muncul, dan
ja­wabnya tak jelas. Dalam bahasa Spanyol-Castilia (setidaknya
di abad itu), baik ”sejarah” maupun ”kisah” disebut historia.
Cer­vantes menggunakan dua arti dan dua sisi itu dengan
mena­rik—dan mungkin itu sebabnya Don Quixote dianggap
mo­del novel modern: ia membawakan pelbagai lapisan suara.
Jika sejarah adalah ”kebenaran” dan kisah adalah ”fiksi”,
Cervantes mendorong pembaca untuk percaya bahwa buku
yang diikutinya itu mungkin kedua-duanya.

Tak ada batas yang pasti. Juga akhirnya siapa yang
mengarang novel ini? Narasi Don Quixote, sebagaimana
tokohnya yang gila, bergerak antara dunia nyata dan yang
imajiner, antara fakta yang benar, verdades, dan dusta, mentiras.

Don Quixote sadar bahwa ia ”hidup” dalam fiksi. Di
situ pula Cervantes menempatkan Sayid Hamid Bin Angeli
yang mist­er­ius sebagai pembentuk cerita. Sang Sayid juga
sebuah am­big­ uitas: ia dua perspektif, dua wajah. Cervantes
menganggapnya­ orang yang tak bisa dipercaya, sebab ia
seorang Arab, dan, kata­nya, berbohong adalah ”sifat umum
bangsa itu”. Tapi ia ju­ga me­nilai orang ini ”arif”.

Di jilid kedua Don Quixote, di adegan akhir hayat Don
Quixote, Sayid Hamid disebut sebagai pemegang kunci
kebenara­ n riwayat hidup lelaki kurus tua yang sebenarnya
bernama Alonso Quixano itu. Orang La Mancha itu wafat
seraya me­ning­galkan keinginan agar tak ada pengarang lain,

112 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka DON QUIXOTE

”kecuali Say­ id Hamid Bin Angeli”, yang bisa menghidupkan
kisahnya kemb­ ali.

Pertalian di antara mereka berdua dikukuhkan, dengan
meng­harukan, beberapa baris sebelum buku tutup. ”Hanya
un­tukku Don Quixote dilahirkan, dan sebaliknya, aku
dilahirkan untuknya,” begitulah pernyataan sang Sayid di
hala­man­penghabisan buku.

Olok-olok itu tak terasa lagi di sana....
Don Quixote terbit pertama kali pada 1601. Jilid keduanya­
beredar 15 tahun kemudian, 1615, persis empat abad yang
lalu. Jejak sejarah yang mempertemukan Cervantes dan Sayid
Hamid yang fiktif itu masih sangat terasa dalam novel yang
majemuk ini. Jejak sejarah itu bernama ”Islam”. ”Islam,” tulis
Frederick Quinn dalam The Sum of All Heresies: The Image of
Islam in Western Thought (2008), ”dulu jadi sebuah topik bukan
ha­nya­dalam tulisan-tulisan politik, agama, dan kebudayaan
di Prancis dan Inggris, tapi juga merupakan fokus pengarang
besar Spanyol abad ke-17, Miguel de Cervantes.”
Cervantes memang hidup dalam bayang-bayang pertautan
dan konflik antara Islam dan Kristen seperti yang tecermin­
dalam sejarah Spanyol antara abad ke-12 dan abad ke-15.
Perang an­tara Spanyol di bawah dinasti Habsburg dan Turki
di bawah daulat Usmani di abad ke-16 tentu membekas. Kita
merasak­ annya ketika kalimat-kalimat Cervantes menyentuh
tokoh Sa­yid Hamid: sikap yang ambivalen.
Kita telah melihat bagaimana Cervantes menyebut sang
Sayid bagian dari ”bangsa Arab” yang gemar berdusta. Tapi ia
jug­ a mengatakan bahwa siapa pun yang menikmati kisah Don
Quixote patut berterima kasih kepada Sayid Hamid, untuk

Catatan Pinggir 12 113

http://facebook.com/indonesiapustaka DON QUIXOTE

ketel­itiannya menelaah. ”Ia gambarkan apa yang dipikirkan,
ia ungkapkan khayalan, ia jawab pertanyaan yang tersirat,
bersih­kan keraguan....”

Pada akhirnya Don Quixote memberi makna bukan dengan­
menggambarkan sebuah kehidupan, melainkan dengan
mengekspresikan laku yang menerobos garis-garis demarkasi.­
Ia majenun, ia tak menghitung untung-rugi, aneh atau tak
aneh; ia pemb­ erani. ”Don Quixote melontarkan diri ke dalam
aksi, ke dalam lalu, dan membuka diri untuk diolok-olok,”
tulis Mi­gu­el­de Unamuno. ”Dengan demikian, dialah salah
satu taulad­ an ker­endah-hatian yang paling murni.”

TEMPO, 12 Juli 2015

114 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka NARSISUS

NARSISUS jatuh cinta kepada dirinya sendiri dan tak lama
kemudian mati. Pada umur 15 tahun, anak berwajah
rupawan itu dibawa ibunya ke hadapan Tiresias sang penujum.

Dalam Metamorfosis, puisi Ovidius yang digubah di sekitar
Ro­ma pada abad ke-4 sebelum Masehi, digambarkan peramal
yang buta itu mengucapkan sesuatu yang aneh: ”Bila anak ini
tak kenal dirinya sendiri, ia akan hidup panjang....”

Syahdan, Narsisus pun jadi lelaki dewasa, dan perempuan
dan pria pada jatuh cinta kepadanya. Tapi tak ada yang ia
acuhkan. Juga makhluk cantik yang biasanya menggoda: para
bida­dar­i bumi yang berdiam di rimba dan sungai.

Salah satu dari mereka adalah Gema. Pada suatu hari, ia
me­lihat Narsisus berburu melintasi ladang-ladang yang jauh.
Ia terpikat. Ia ikuti lelaki itu ke mana pun dengan sembunyi-­
sem­bunyi. Cintanya membakar diri, ”ibarat api membakar
be­lerang”, tapi ia hanya diam. Ia tak bisa merayu. Bidadari
itu­telah dikutuk seorang dewi; ia tak bisa berbicara, ia cuma
mamp­ u mengulang suara orang lain.

Dan itulah yang terjadi ketika Narsisus tersesat. Pemburu
itu berteriak: ”Siapa di sekitar sini?” Dari semak-semak Gema
pun bersuara, mengulang: ”Sekitar sini?”

Tak bisa lain. Tiap kali Narsisus berbicara, hanya ulangan­
kat­a-katanya yang menjawab. Sampai akhirnya ia berseru,
”Ma­ri, ke sini berdua!”

”Berdua...!” suara Gema terdengar—dengan berbahagia

Catatan Pinggir 12 115

http://facebook.com/indonesiapustaka NARSISUS

sekali, sebab itulah satu-satunya kalimat yang sesuai dengan
ha­tin­ ya. Ia pun muncul dari semak-semak, langsung memeluk
Nar­sisus.

Tapi laki-laki itu mengelak, pergi.
Bidadari itu malu dan sedih dan mengembara jauh.
Tubuhnya jadi kurus, tinggal tulang. Akhirnya, seperti
dikisahkan Me­tamorfosis, tulang itu jadi batu. Gema hanya
hidup sebagai sua­ra yang tertinggal—suara yang tak bisa
mengungkapkan kei­nginannya sendiri.
Memang, Narsisus menyebabkan banyak hati yang patah.
Seb­ ab itu dewi Nemesis berniat menghukumnya: sewaktu
berburu, lelaki tampan itu diarahkan jalannya. Ia sampai ke
sebu­ah palung yang bening, dikelilingi lumut dan rumput
yang lemb­ ut. Kepanasan dari perjalanan dan dirundung
haus, Narsisus menelungkup ke arah air, ingin meraupnya.
Tapi ketika ia menatap ke palung itu, ”rasa haus yang lain
terbangun”. Sebua­ h pemandangan memukaunya. Ia kagum
dan jatuh cinta kepada apa yang dilihatnya: paras yang sangat
tampan. Ia menciu­ m bayangan itu, ia mengulurkan tangannya
ke dalam air. Ten­tu saja tak ada yang dapat disentuhnya.
Tapi Narsisus tetap menatap. Ia merasa bayangan itu ingin
di­kecup, ingin membalas peluk, dan selalu bersamanya. Bila
ia tersenyum, bayangan itu juga tersenyum. Bila ia menangis,
tamp­ ak yang di permukaan air itu menangis.

”Pandir, kenapa kau coba tangkap bayangan yang melin­tas, sia-sia? Apa
yang kau cari tak ada di mana-mana.... Yang tampak olehmu hanya bayangan
bentuk yang di­pantulkan: tak ada bagian dirimu yang ada di dalamnya. Ia
datang dan tinggal bersamamu, pergi bersamamu, jika kau bisa pergi!”

116 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka NARSISUS

Narsisus pun berangsur-angsur sadar: ia, yang kasmaran
ke­pada dirinya sendiri, tak tahu apa yang harus dilakukannya.

Dalam putus asa, air matanya menetes. Tetesan itu
menggerakkan permukaan telaga, dan bayangan itu lenyap. Ia
kehilang­an. Ia menanti. Menatap.

Dalam keadaan teramat lelah, ia terkapar di tepi palung itu.
Dan datanglah kematian, menutup mata yang indah itu untuk
sel­ama-lamanya.

Dan itulah nujum Tiresias: ketika pemuda rupawan itu
menge­nali dirinya sendiri, umurnya tak panjang....

Kini, 2.000 tahun kemudian, perempuan, lelaki, bangsa,
agam­ a, dan entah apa lagi boleh menyimak kisah ini:
”mengenali diri sendiri” (”aku adalah dia,” kata Narsisus
memandang ke bayangannya) mengandung ilusi yang serius.

Tapi narsisme biasa menyusup ke dalam diri kita, sering
dal­am­ ekspresi yang lamat-lamat: kita merasa berhasil
menemukan ”jati diri”, atau kita ingin mendapatkannya seraya
terus-me­nerus hanya menatap diri. Atau, untuk memakai
kata-kata Ovi­dius tentang Narsisus, kita menghasratkan diri
sendiri.

Perlukah kita katakan, di zaman selfie ini, zaman orang-
orang mengabadikan tampang, bahwa narsisme adalah jalan
sing­kat ke pelbagai kematian?

Sebab wajah yang kita lihat di cermin (dan di kamera)
adalah­gambar yang menyesatkan. Sejak seorang bocah melihat­
dir­in­ ya sendiri di sana—dalam ”tahap cermin”, menurut
psikoanalisis Lacan—ia sebenarnya hanya, untuk mengulang
kalimat dalam Metamorfosis, menangkap ”bayangan yang
melintas”. Perspektifnya ”sia-sia”. Bentuk yang dipantulkan

Catatan Pinggir 12 117

http://facebook.com/indonesiapustaka NARSISUS

kaca itu seb­ enarnya tak menyimpan bagian dari diri kita.
Tapi apa boleh buat: sejak kecil kita dibentuk oleh konvensi,

khususnya dalam bahasa dan kebutuhan sementara untuk me­
ngu­kuhkan ”aku” dan ”engkau”. Akhirnya itulah yang tak kita
sa­dari menjebak kita: ada subyek, ada obyek.

Kita pun membangun dunia berdasarkan ilusi bahwa ada
”aku” yang utuh, ”mereka” yang pasti. Kita alpa bahwa yang
ada adalah, dalam kata-kata Lacan, ”bayang-bayang ego
yang ber­gerak terus”. Kita lupa, kita bisa mengidentifikasikan
sesuatu hanya karena ada ”yang-lain”, yang ”bukan-aku”.
”Anjing” dikenal sebagai ”anjing” karena ia bukan ”kucing”,
bukan ”kanc­ il”, bukan ”macan”.... Tak ada definisi.

Dengan kata lain, anjing dan aku mendapatkan bentuk
kare­na kami tak sendiri. Narsisme identitas, narsisme ”jati
diri”, pa­da tiap perempuan, lelaki, bangsa, agama, dan ”aku”
apa saj­a, melupakan ini: yang tragis bermula dengan Narsisus
yang send­ irian di tepi kolam.

Bahkan ia tak ingin disertai Gema.

TEMPO, 19 Juli 2015

118 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA HURUF

TIGA aksara muncul enam kali dalam Quran, Alif Lam
Mim—dan orang bertanya-tanya apa artinya.
Tak ada yang tahu. Tafsir datang silih berganti. Ada yang
me­ngatakan bahwa bentuk tiga huruf itu melambangkan jalan­
hidup manusia. Ada pula yang membacanya sebagai bagian
dar­i ”matematika” Tuhan dengan angka-angka.

Saya tak tahu mana yang benar.
Saya hanya menyerah. Alif yang bergandeng dengan Lam
dan bergandeng lagi dengan Mim itu agaknya menunjukkan
be­tapa tak tepermanainya hubungan antara yang maha-tak-
ter­gambarkan dan bahasa manusia.
Sering dikatakan hubungan itu terjadi dalam wahyu.
Wahyu datang dan jadi pengalaman religius yang intens, yang
tak da­pat diulangi, yang hanya bisa dirasakan sendirian dan
mampu mengubah hidup seseorang: ”the individual pinch
of destiny”, da­lam kata-kata William James. Wahyu turun
dan sang pene­rima menadahnya dengan gentar gemetar,
terguncang terpesona. Tak ada kata-kata.
Tapi tak selamanya. Memang, seseorang yang baru berada
dal­am sebuah pengalaman religius bisa memilih diam bersama
ket­akmampuannya bercerita. Atau keengganannya. Tapi
kemudian ia merasa perlu memakai bahasa—juga buat dirinya
send­ iri—agar pengalamannya yang unik itu tak sekadar sekali
terjadi dan sudah itu tak bisa ditengok kembali.
Bahasa adalah perekam. Itulah sebabnya puisi digubah,

Catatan Pinggir 12 119

http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA HURUF

cat­atan harian ditulis, pengalaman dikisahkan. Dengan
itu orang ingin menghadirkan kembali apa yang dialami,
meskipun­tentang hal yang sebenarnya tak dapat dihadirkan
kemba­li. Jalaludin Rumi pernah mengatakan ada ”rahasia
yang tak teru­ ngkapkan” dan itu adalah Cinta, tapi pada saat
yang sama ia menulis berpuluh baris tentang ”rahasia” itu.

Dengan kata lain, ada ”rahasia yang tak terungkapkan”
namun yang terasa mendesak agar diungkapkan. Ada cinta
yang ibar­at lautan tak bertepi tapi kemudian direnungkan dan
dinilai kembali. Ketegangan selalu terjadi dalam diri seseorang
yang berada dalam hubungan yang akrab dan bergelora, baik
den­ gan seseorang maupun dengan Tuhan. Sang pencinta tahu
ka­ta-kata tak mampu menguraikan kegandrungannya, namun
ternyata ia perlu bahasa untuk merekonstruksi dan ”membaca”
kegandrungannya sendiri itu.

Mirip ketika kita terbangun dari tidur yang lelap dan
mencoba menyusun sebuah narasi yang utuh dari kegalauan
mimpi.

Dalam menyusun narasi itu—dalam ”membaca” itu—kita
ses­ungguhnya membuat tafsir. Kita meninjau pengalaman kita
den­ gan interpretasi. Tiap penerima wahyu melakukan itu. Ia
gen­tar, gemetar, dan terpesona, tapi ia tak mau terus-menerus
bi­ngung. Wahyu itu pun jadi teks, dan teks itu disertai sebuah
ta’wil.

Tak selamanya ta’wil itu membuat yang diinterpretasikan
jad­ i transparan. Kita ingat tiga huruf itu: Alif Lam Mim seakan-­
akan sebuah gudang perbendaharaan ilmu yang tak kunjung
kit­a dapatkan kunci pembukanya. Tak ada kamus, juga
perbendaharaan kata para sufi, yang bisa menerjemahkannya.

120 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA HURUF

Ada sebuah telaah tentang kamus para sufi di zaman awal
Is­lam. Saya menemukan satu kutipan dari Rűzbihân. Sufi
dari Shir­az, Iran, di abad ke-12 ini terkenal dengan ungkapan-
ungkapannya yang seperti prosa liris yang bergelora, shathiyyât.
Ia diejek sebagai Doctor Ecstaticus, tapi ia memang yakin ada
kata-ka­ta tertentu yang jadi ”wahana bagi rahasia-rahasia”,
kata-kata yang ”digetarkan oleh cahaya”. Di sana, menurut
Rűzbihân, terk­ andung ruműz dari ”khazanah titah Ilahi yang
sayup-sayup lembut”.

Dalam tradisi mistisisme masa itu, hanya orang-orang
tertentu yang dapat menangkap isyarat Tuhan. Sebuah
hierarki­pun terbentuk: di tingkat atas sekali sang Guru, dan
di lapis­beri­kutnya, secara berjenjang, mereka yang berbeda-
beda dal­am pengalaman dan kapasitasnya bisa akrab dengan
isyarat Ilahi.

Kini, hierarki itu mudah digugat. Islam tak mengakui
kelas­ ”kependetaan”, meskipun terus-menerus dirundung
kecenderungan itu. Semangat sufi pada hakikatnya egaliter,
sebab da­lam iman dan dalam pengalaman religius tak ada
pengukur unt­uk membuat peringkat.

Lagi pula masalahnya mungkin ada dalam sifat bahasa—
khu­susnya bahasa yang lazim kita temui dalam kitab-kitab
suci, yang berbicara dengan energi puitik. Puisi mengakui,
kata-­kata tak pernah memadai untuk mengungkapkan
pengalaman­ yang terdalam, apalagi kata-kata yang sudah
diulang-ulang orang ramai. Para penyair, Roestam Effendi dan
Chairil Anwar, misalnya, terkadang merasa perlu menciptakan
bentukan­kalimat dan kosakata baru. Tapi puisi mereka juga
tak bisa meng­elak sama sekali dari bahasa yang tumbuh secara

Catatan Pinggir 12 121


Click to View FlipBook Version