http://facebook.com/indonesiapustaka APOCALYPSE
Tengah abad ke-11, teru tama oleh seorang misterius bernama
Hassan al-Sabbah. Orang ini memimpin organisasi rahasia
para pendukung dinasti Fatimiyah untuk secara sistematis
membunuhi tokoh-tokoh penguasa Seljuk, pengikut Sunni,
yang berkuasa di Bagdad.
Al-Sabbah bersembunyi di pegunungan di utara Suriah,
di pelosok Mazanderan. Organisasinya diperkuat dengan
para dai yang menyebarluaskan doktrin perlawanan dan para
fidayin yang melaksanakan dengan patuh ajaran dan instruksi
sang pemimpin. Para penulis sejarah mengatakan para fidayin
melakukan pembunuhan sehabis mengisap hashish, supaya
teler— dan sebab itu mereka disebut hashashin, yang dalam
bahasa Inggris diucapkan sebagai assassin.
Memang mengherankan bahwa dendam dan kebengisan
menghantui bagaikan mambang Timur Tengah selama 1.000
tahun. Persekutuan antara Sunni dan Syiah terus berlanjut,
balas-membalas, hingga hari ini, sementara di dunia lain
sengketa antar-umat, kalaupun ada, tak seawet itu. Di dunia
lain, waktu berjalan, zaman bergerak, bahkan ada konsep
”kemajuan”, tapitak demikian tampaknya di gurun dan kota-
kota Irak.
Bahkan bahasa bertahan dalam idiom tua. Syekh Abu
Muhammad al-Adnani, juru bicara Daesh alias IS, misalnya,
menyerukan agar orang kafir dihantam kepalanya dengan
”batu karang” atau diracuni atau ”dirusak ladangnya”—ketika
ia berb icara kepada pengikutnya di Kanada dan Prancis di
abad ke-21.
Adakah IS datang dari kapsul waktu? Dapatkah orang lain
zam an ini mengajak mereka ke dalam percakapan? Ataukah
222 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka APOCALYPSE
mereka justru hendak menunjukkan bahwa perubahan zaman
hanya fetish, sesuatu yang dianggap azimat yang dipegang
teguh?
IS, berbeda dengan gerakan radikal sejak abad ke-19,
mungkin sebuah keyakinan dystopia, antithesis dari utopia.
Masa kin i begitu buruk bagi mereka, tapi masa depan juga
tak menjanjik an dunia yang lebih baik—bahkan masa
depan hanya akan leb ih berharga jika itu berarti Kematian
dan Kiamat. Tumbuh di masyarakat Irak dan Suriah, di
mana politik buk anberartipembebasan, bukan pula berarti
merebut keadilan, daulat yang mereka tegakkan tak dilahirkan
melalui proses politik. Bahkan praktis menolak politik. Daulat
mereka lahir dari dend am yang menahun dan putus asa yang
tersembunyi.
Dendam itu terarah ke ”Barat”. Perasaan ini tertanam
sejak kolonialisme menginjak-injak mereka, dan mencapai
puncakn ya—makin tajam, makin punya dasar—setelah
pada 2003, Amerika Serikat dan Inggris, dengan dusta besar
yang dibiarkan dunia, menyatakan Irak menyimpan ”senjata
pemusnah massal”. Amerika dan Inggris pun menyerbu negeri
itu. Yang mereka tinggalkan: kehancuran yang berlarut-larut.
Di situlah putus asa merayap masuk. Ada kesadaran
bahwadusta dan kesewenang-wenangan akan tetap bertahan,
berkuasa, dan tak akan bisa mereka kalahkan. Pintu tetap
tertutup dan ruang hidup terkutuk. Waktu tak berjalan ke
depan.
Apocalypse Now! Pembinasaan semesta tak terjadi nanti, tapi
hari ini—seperti yang digambarkan Kol. Kurtz dalam film
Francis Coppola itu. Perang diledakkan tanpa dalih kecuali
Catatan Pinggir 12 223
http://facebook.com/indonesiapustaka APOCALYPSE
penaklukan, kekejaman dilakukan tanpa sesal. Dengan kata
lain, sebuah perspektif tanpa harapan.
”Aku telah melihat horor... horor yang tak pernah kau lihat.
Tapi kau tak berhak menyebutku pembunuh. Kau berhak
membunuhku... kau tak berhak menghakimiku,” kata Kurtz.
Tapi andai demikian, apa yang berharga dalam karunia
yang disebut hidup?
TEMPO, 3 Januari 2016
224 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka MANI
There’s been an awakening. Have you felt it? The Dark side, and the
Light.
—Star Wars: The Force Awakens
SEJAK mula, permusuhan ”sisi Gelap” dengan ”sisi Terang”
mendasari pelbagai dongeng segala zaman; di abad ke-3
seseorang yang disebut ”Nabi Mani” di Persia menegaskannya,
dan di abad ke-20 dan 21, Star Wars mengulanginya.
Dikhotomi Mani, ”Manikheanisme”, memang tak mudah
mati: kosmologi dualistis ini telah membuat ”Gelap” dan
”Terang”, kekejian dan kebajikan, selamanya bentrok di alam
semesta—begitu jelas dan sederhana, seolah-olah yang keji
dan yang mulia bisa mutlak, seakan-akan hitam dan putih
telah melen yapkan abu-abu, hingga orang gampang tak
membantah.
George Lucas dengan sadar mendaur ulang kosmologi itu.
Kita ingat adegan pembuka Star Wars empat dasawarsa yang
lalu: sederet kalimat bergerak di layar, sebuah statemen bahwa
kisah ini datang dari ”...zaman nun dahulu kala, di galaksi
yang sangat jauh”.
”Dahulu kala”: keinginan George Lucas memang bukan
membuat sebuah fantasi futuristik seperti 2001: A Space
Odyssey, film Stanley Kubrick. Ia justru hendak mengembalikan
kisah moralitas yang hidup di masa ketika film hitam-putih
Catatan Pinggir 12 225
http://facebook.com/indonesiapustaka MANI
menampilkan Tom Mix. Melalui genre Western bisu tahun
1910-an, sang ”koboi” (misalnya dalam Saved by the Pony
Express) dengan gagah dan lurus bertempur sebagai si ”topi
putih” yang melawan si ”topi hitam”.
Di hampir semua filmnya, Tom Mix adalah petarung di
zamanbergaris lurus. ”Putih” berarti suci dan benar, ”hitam”
bera rti kotor dan jahat.
Dalam wawancaranya dengan The Washington Post baru-
baru ini Lucas mengatakan ia ingin menebus kembali garis ala
Mani itu: hitam-putih-gelap-terang yang kini telah buram.
”Terakhir kalinya kita lakukan itu ialah di masa film Western,”
katanya. Dan ketika genre film ini nyaris tak beredar lagi, ia
merasa kehilangan medium untuk menegaskan aturan ”ethis”
yang diyakini di masa lalu.
Lucas pernah mengatakan ia ingin menciptakan ”a modern
fairy tale”. Mungkin itu sebabnya Star Wars terkadang terasa
sedikit ”retro”. Ia bahkan bisa dituduh anti-progresif: dalam
film pertamanya, sang pahlawan, pasangannya, sekutu
dan musuhnya, semua berkulit putih, meskipun mereka
bukan warga Wyom ing atau Kansas, meskipun mereka
konon makhluk planet lain—dan diciptakan Lucas pada
1977, setelah warga kulit hitam Amerika secara dramatis
menegakkan hak-hak dasar mereka dan mulai muncul di
lanskap kehidupan. Dengan kata lain, Luke Skywalker, Putri
Leia, Obi-Wan Kenobi, Han Solo, dan lain-lain tak jauh dari
tokoh-tokoh Flash Gordon Alex Raymond dari tahun 1930-an.
Dalam cergam termasyhur itu, Flash Gordon adalah kesatria
kebajikan yang bule dan pirang; law annya: Ming si Jahat yang
bukan bule dan pirang.
226 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka MANI
Tapi tentu tak adil menilai Star Wars hanya angan-angan
yang Amerika-sentris dan retrogresif. Kita justru bisa melihat
pengaruh luar yang kuat, terutama dari Yojimbo dan Seven
Samurai Kurosawa: Lucas menampilkan petarung yang
terampil dan elegan dengan pedang, ethos samurai dalam diri
seorang Jedi, film action dengan latar yang tegang dan eksotis.
Lagi pula Amerika-nya Alex Raymond bukan Amerikanya
Lucas. Pada 1973 Lucas menuliskan garis besar kisah Star Wars
seb agai kisah ”sebuah imperium teknologi yang besar yang
memburu sekelompok kecil pejuang kemerdekaan”. Lucas,
yang lahir pada 1944, mengalami bagaimana generasinya
memandang Perang Vietnam (bermula pada pertengahan
1950-an, berakhir 1975)—dan kita tahu siapa yang mereka
anggap ”Gelap” dan siapa yang ”Terang”, mana yang
”imperium” dan mana yang ”pejuang kemerdekaan” dalam
konfrontasi di Asia Tenggara itu.
Tapi ini abad ke-21. The Force Awakens, dongeng ke-7 Star
Wars, masih memperpanjang thema Manikhean itu. Namun
yang ditampilkan J.J. Abrams bukan nostalgia Lucas kepada
”moral” film Western. Konflik antara rezim ”The First Order”
dan gerakan ”Resistance” dalam film ini tak terasa sebagai
gema kekerasan hari ini. Zaman sudah berubah.
Kini zaman ditandai manikheanisme yang memb ingung
kan dan sekaligus menakutkan.
Ia membingungkan karena label ”Gelap” dan ”Terang”
dengan cepat berpindah, dalam periode yang sama dan ruang
yang sama: ”Taliban”, ”IS”, ”AS”, ”Israel”, ”Arab Saudi”....
Ia menakutkan karena ketika cap ”Gelap” dan ”Terang”
diterapkan, meskipun dengan cepat berpindah sasaran, tiap
Catatan Pinggir 12 227
http://facebook.com/indonesiapustaka MANI
kali keduanya dibuat demikian kental, demikian kekal.
Seakan-a kan hanya penghancuran total yang akan jadi
penentu—penghancuran bukan efek sejarah yang serba
mungkin, tapi sebagai takdir.
Takdir....
Di layar putih, Kylo Ren berkata: ”Aku akan memenuhi
takdirku.” Di luar bioskop, di antara kebencian dan
pembunuhan di jalan-jalan, kalimat seperti itu terasa heroik
tapi buntu.
TEMPO, 10 Januari 2016
228 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka BENCI
”Luapkan kemarahanmu. Hanya kebencianmu yang dapat
menghancurkan aku.”
—Darth Vader kepada Luke Skywalker, dalam satu adegan duel
dalam Return of the Jedi
KEBENCIAN adalah kekuatan. Kemarahan adalah
tenaga. Darth Vader memahami ini. Dan mungkin
juga para perumus kata dan tindakan politik sejak abad ke-
20: dari Hitler sampai dengan Donald Trump, dari Stalin
sampai dengan IS, dari Ku Klux Klan sampai dengan Pol Pot,
dari Pengawal Merah sampai dengan FPI. Mereka kobarkan
rasa marah, mereka sebar-luaskan rasa benci, dan kemudian
mereka jadikan ked uanya ”ideologi”—dan sejak itu entah
berapa kemenangan dirayakan dan berapa juta mayat
bergelimpangan.
Kemarahan, kebencian, kekerasan—masing-masing ber
beda dan tak senantiasa punya hubungan sebab-akibat. Tapi
betapa sering kita menyaksikan ketiganya bertaut, baik dalam
sejarah maupun dalam imajinasi.
Di Indonesia kita berkali-kali menemukan itu. Sebelum
”Revolusi Sosial” di Sumatera Timur pada 1946, sebelum
”pemberantasan G-30-S/PKI” pada 1965, dalam Babad
Tanah Jaw i bisa kita baca bagaimana Sultan Amangkurat II
memperlakukan Trunajaya, pemberontak yang pernah jadi
Catatan Pinggir 12 229
http://facebook.com/indonesiapustaka BENCI
sekutunya dan kemudian dikhianatinya itu. Sang sultan
muda menerima sang pemberontak yang kalah di istananya
dengan sangat ram ah—seakan-akan ia tak punya dendam dan
benci. Tapi seg era setelah sang tamu menyambut salamnya,
ia perintahkan para bupati yang berkumpul di balairung
menghunus keris mereka. Trunajaya pun ramai-ramai ditikam.
Tubuhnya hancur. Sultan memerintahkan agar bagian hatinya
dipotong-potong, untuk dibagikan kepada para bupati yang
harus mengunyah dan menelannya di situ juga. Kemudian
kepala Trunajaya dipisahkan dari lehernya dan diletakkan
sebagai alas kaki di depan pintu, agar tiap orang yang keluar-
masuk menginjak bagian jasad yang bergelimang darah dan
berbau anyir itu.
Mungkin kita perlu melihat diri sendiri di cermin dengan
lebih lengkap—termasuk melihat adegan itu sebagai bagian
lanskap hidup kita. Kita punya narsisisme yang sering jadi
mithos dan filsafat. Dalam Serat Dewa Ruci dikisahkan
bagaimana Bhima menemui dewa yang misterius itu dan
mendapat ajaran bahwa manusia tinitah luwih, ditakdirkan
jadi makhluk yang unggul. Tapi kemudian kita menyaksikan,
dalam Bharatayudha, perang perebutan takhta dan pembalasan
dendam itu, bagaimana sang kesatria membunuh Dursasana:
ia minum darah korbannya, lalu ia beri kesempatan Drupadi,
perempuan para Pandawa itu, mencuci rambutnya dengan
darah segar itu.
Tampaknya di sana hendak diperlihatkan, ”makhluk yang
ungg ul” tak terpisahkan dari kebinatangan: humanisme
hanyalah bentuk lain cinta diri sendiri. Selalu ada dalih untuk
kekejian: kita memaklumi mengapa Bhima dan Drupadi
230 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka BENCI
begitu buas. Babad Tanah Jawi tak mengecam apa yang terjadi
pada Trunajaya.
Bisa dimengerti mengapa humanisme kemudian digugat.
Dan bukan tanpa alasan. Sampai jam ini, pembunuhan dan
kebuasan tak juga usai setelah ribuan tahun berlangsung.
Violence, the bloody sire of all the
world’s value
Kata-kata Robinson Jeffers dalam sajak dari tahun 1940
ini, setelah Perang Dunia I, mengandung nada sarkastis—
dengan rasa kecewa kepada manusia sebagai sumber sejarah.
Maka sang penyair yang meninggalkan kota dan membangun
sendiri rumah terpencil di pantai dekat Carmel, California, itu
memilih:
We must unhumanize our views a little, and become confident
As the rock and ocean that we were made from.
”Menidak-manusiawi-kan pandangan kita”, bagi sang
pen yair, justru memperkuat kita: kita bisa percaya diri
sebagaimana batu karang dan lautan dari mana kita terjadi.
Tapi ”animisme” seperti ini tak akan didengar. Sejak
manusia merasa dipilih Tuhan. Apa beda mendasar Yoshua
dan amarah Tuhan yang membantai semua penduduk Kota
Yerikho dalam Perjanjian Lama dengan pasukan IS yang
menyembelih tawanan mereka dengan kebencian yang
diperam? Tidak ada.
Saya ingat yang dikatakan Vaclav Havel dalam sebuah
Catatan Pinggir 12 231
http://facebook.com/indonesiapustaka BENCI
simposium tentang ”anatomi kebencian” di Oslo, akhir
Agustus 1990: bagi seorang pembenci, ”Kebencian lebih
penting ketimbang sasarannya.” Ia tak membenci seseorang
tertentu, melainkan apa yang ia anggap diwakili orang
itu: jalinan hambatan untuk mencapai apa yang mutlak,
”pengakuan mutlak, kekuasaan mutlak, persamaan diri secara
mutlak dengan Tuhan, keb enaran, dan ketertiban dunia”.
Tapi benci tak bisa sendiri. Darth Vader ingin agar Luke
Skywalker membenci, menghancurkan, dan kuat. Untuk
berkuasa. Tapi ia gagal. Dalam Return of the Jedi, yang menang
dalam pergulatan hati itu adalah sesuatu yang juga kuno tapi
sering terselip: kasih sayang, empati, juga pada momen yang
palingmustahil.
TEMPO, 17 Januari 2016
232 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka HATRA
APA yang bisa kita lakukan terhadap masa lalu, ketika kita
berd iri tercengang di puing-puing Hatra?
Hanya beberapa tahun yang silam, di padang pasir
antara Sungai Tigris dan Eufrat, di tengah wadi datar yang
kecokelatanhampir 300 kilometer dari Bagdad, reruntukan
kota purba itu terbentang di arah utara. Sisa-sisa dinding
kota menjulang tinggi. Para arkeolog mengatakan tembok
itu, yang dibuat daribatu bata, pelindung sebuah kehidupan
2.200 tahun yang lalu—semacam benteng melingkar dengan
diameter dua kilometer. Juga sebuah karya arsitektural yang
memukau: berjalan mengelilinginya, kita akan menemukan
empat pintu gerbang, sebelas bastion, 28 menara besar, dan
160 menara kecil.
Di pusat kota, ada ”temenos”. Di sini, di wilayah berbentuk
persegi panjang yang luasnya satu hektare lebih ini—juga
dikelilingi tembok—tak ada rumah, tak ada istana. Yang
ada hanya kuil demi kuil, dengan balai agung yang terbuka
di depannya, dengan dekorasi topeng-topeng wajah muda,
dengan atap berbentuk kubah.
Mungkin jajaran kuil itu yang menyebabkan orang Arab
yang 500 tahun sebelum Islam adalah penghuni Hatra—
setelah orang Parthia, setelah orang Persia—menamakan kota
ini, dalam bahasa Aramaik, Beit ’Elāhā’, atau ”Rumah Tuhan”.
Tuhan atau dewa-dewa memang tak kurang di sini.
Bersama itu, lapisan sejarah. Hatra, seperti halnya kota-kota
Catatan Pinggir 12 233
http://facebook.com/indonesiapustaka HATRA
lain di wilayah yang dulu disebut Mesopotamia itu, adalah
sebuah dokumen yang tak tepermanai tentang manusia.
Tapi yang ”tak tepermanai” itu hanya terasa bila kita
merasakan kharisma masa lalu, bila kita menemui masa lalu
dengan rasa ingin tahu, atau takjub, atau bersyukur, atau
rindu. Sebag aimana umumnya manusia. Itulah yang membuat
turisme tumbuh, arkeologi jadi ilmu, museum berdiri, hikayat
ditulis, dan tambo jadi ritual.
Tapi tidak bagi IS, atas nama ”Islam”. Tak ada kharisma
masa lalu itu bagi mereka.
Selama beberapa bulan dalam tahun 2015, ketika mereka
mend udukiHatra,merekahanyamenjalankanapayangmereka
anggap ”hukum Islam”: kuil, patung, ukiran, prasasti, sem ua
harus dihancurkan. Dari artefak di museum Kota Mosul,Irak,
sampai dengan kuil berumur 2.000 tahun di Palmira, Suriah,
IS menunjukkan salah satu bentuk ikonoklasme yang paling
agresif dalam sejarah. Seperti pendahulu mereka: 15 tahun
yang lalu Taliban mendinamit sepasang patung Buddha yang
terb esar di dunia di kaki pegunungan Hindu Kush. Patung
berusia 1.700 tahun di Afganistan Tengah itu runtuh.
Ikonoklasme adalah kelanjutan yang tak diakui dari
Yudaisme. Kitab Keluaran (Exodus) yang melarang manusia
membuat apa saja yang menyerupai segala sesuatu yang di
langit, di darat, dan di dalam air menghantui para perupa
Yahudi berabad-abad.
Juga berlanjut ke abad ke-16, di dunia Kristen. Yang paling
diingat adalah tahun 1566, ketika di Kota Antwerp orang-
orang Calvinis merusak sebuah katedral dan membakar
patung dan lukisan di dalamnya—dan menandai apa yang
234 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka HATRA
dalambahasa Belanda disebut Beeldenstorm di Nederland dan
sekitarnya. Itu pula bagian konflik sosial yang mendalam di
sana, yang merebakkan Perang Agama bertahun-tahun.
Tanpa disadari, para ikonoklas sebenarnya mengukuhkan
apa yang naif dalam kepercayaan para penyembah berhala:
mereka meyakini bahwa berhala bisa jadi substitusi, atau
pesaing, Yang Maha Dimuliakan. Mereka tak memahami
kebutuha n manusia akan simbol dan kiasan, dan lupa akan
kemampuan man usia membentuk dan menerima imajinasi.
Dan seperti kau m Wahabi di Arab Saudi yang mencoba
meniadakan petilasan Nabi, mereka menampik kharisma
masa lalu.
Dalam hal itu, IS tak jauh berbeda dengan para Pengawal
Merah dalam ”Revolusi Kebudayaan” Tiongkok. Dengan
bernabi pada Ketua Mao, Pengawal Merah bertekad
”Hancurkan Empat Kuno”. Pada pertengahan 1960-an, Kuil
Konghucu di Shandong yang berumur 2.000 tahun lebih
mereka ganyang; 6.000 artefaknya mereka binasakan.
IS, Pengawal Merah: ada sikap yang mengutamakan ”patah
arang” dan bukan ”kelanjutan” dalam sejarah. Bagi mereka
harus ada manusia yang dianggap lain, atau yang mewakili
waktu lain—dan ”lain” berarti ”najis”, atau ”cemar”, atau
”berdosa”.
Mereka tampik Mesopotamia. Mereka hancurkan bekas-
bek asnya. Mereka tak ingin mengakui bahwa dalam peradaban
yang tak mengenal Islam itulah orang menemukan roda dan
aksara—bagian sentral hidup kita hari ini.
Dalam ketakutan akan menjadi kurang suci, mereka ingin
memutlakkan kesucian. Mereka tak menyadari bahwa agama
Catatan Pinggir 12 235
http://facebook.com/indonesiapustaka HATRA
mereka sendiri juga mengakui pendahulunya: sebagai bagian
dari perbenturan, persilangan, dan pertautan di dunia yang
kemudian disebut ”peradaban”.
Mungkin mereka lupa mereka dianjurkan mencari ilmu
samp ai ke Tiongkok—tanah yang tak bertuhan. Mereka takut
memperoleh ilmu dari masa lalu Hatra yang juga menakjubkan.
TEMPO, 24 Januari 2016
236 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka SANG MILITAN
”Kemanusiaanku kukorbankan.”
—Saaman, dalam Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer
SEORANG militan adalah orang yang melenyapkan
dirinya sendiri untuk jadi sesuatu yang efektif,
menggetarkan, mengalahkan. Saaman, tokoh dalam novel
Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer, pada umur
23 tahun sudah memimpin gerilya kota, ketika Jakarta
diduduki pasukan Belanda, dan melancarkan serangkaian
pembunuhan—termasuk membunuh ayah tirinya sendiri
karena bapak itu berada di pihak musuh. Ia tertangkap. Tapi
ia tahu ia harus mati, sebagaimana ia harus mematikan. Ia
seorang militan.
Ada yang mengatakan istilah ”militan” berakar pada kata-
kata Latin lama, yang akhirnya kurang-lebih berarti ”orang-
yang-menempuh-jarak-bermil-mil”. Mungkin itu men unjuk
kan sifat teguh, juga dalam menanggung sakit dan penat,
dengan sukarela, menuju sesuatu yang maknanya melebihi
dirin ya sendiri.
Saaman menanggungkan dosa, atau perasaan bersalah,
seraya menunggu regu tembak mencabut nyawanya. Tapi ia
tak merasa sia-sia: ”Kupaksa diriku menjalani kekejaman dan
pembunuhan,” katanya, ”agar orang yang ada di bumi yang
kuinjak ini tak perlu lagi berbuat seperti itu.”
Catatan Pinggir 12 237
http://facebook.com/indonesiapustaka SANG MILITAN
Ada sesuatu yang paradoksal di sini. Sang militan telah
meniadakan diri, ”Kemanusiaanku kukorbankan.” Tapi pada
saat itulah Saaman, juga di penjara itu, jadi subyek, bukan
cuma pelengkap penyerta, bukan hanya pelengkap penderita.
Ia, sebagai subyek, menghendaki, meniatkan, melakukan.
Ketika jad i subyek juga berarti seakan-akan jadi sebuah nol—
”nol” karena ia tak bisa tertangkap dalam kategori apa pun—ia
pada saa t itu jadi sesuatu yang berarti—”a Nothingness counted
as Something”, untuk memakai kata-kata Žižek dalam The
Ticklish Subject.
Sang subyek, sang militan, juga jadi ”Sesuatu” yang
universal.Ia menanggalkan apa yang partikular dari dirinya—
pertalian keluarganya, agamanya, bahkan statusnya sebagai
seorang anggota bangsa tertentu. Ia berbuat seraya menjangkau
siapa saja, di mana saja; seperti dikatakannya, ”agar orang yang
ada di bumi yang kuinjak ini tak perlu lagi berbuat seperti itu.”
Ia memberontak kepada suatu keadaan yang menindasnya,
tapi dengan itu ia tak hanya membebaskan dirinya.
Sebab hubungan antara majikan-dan-pelayan pada
dasarnya tak hanya mengikat sang pelayan. Jika sang hamba
bebas, sang tuan juga terbebas. Masyarakat ”komunis” yang
dicita-citakan Marx bukanlah ditandai kemenangan sepihak,
kaum proletariat, melainkan hilangnya perbedaan kelas.
Kata-kata Albert Camus terkenal dalam L’ homme révolté
menggemakan thema itu: ”Aku berontak, maka kita ada.”
Di sini menarik membandingkan seorang militan seperti
Saaman dan seorang tentara IS yang menjadikan dirinya bom.
Pengebom-bunuh-diri, seperti sang patriot, juga berkorban
untuk sesuatu yang lebih besar ketimbang dirinya. Ia juga bisa
238 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka SANG MILITAN
jad i contoh heroisme.
Itu sebabnya IS bisa mempesona generasi yang, terutama
di Eropa, hidup dalam ennui: di sangkar besi modernitas yang
serb a teratur dan mapan. Generasi ini berada dalam suasana
”akhir sejarah”. Di mana-mana yang mereka temui adalah apa
yang diejek Nietzsche sebagai ”manusia penghabisan”: orang-
orang yang tak lagi punya dorongan jiwa untuk mencapai yang
luhur dan agung. Tak ada laku yang heroik. Tak ada yang seru.
Membosankan....
Tak ayal, generasi yang bosan ini pun dengan mudah
terpikat:
IS mempresentasikan dunia seperti Star Wars di muka
bum i. Kebosanan yang ekstrem dihabisi dengan aksi yang
ekstrem merangsang sensasi—termasuk kebuasan.
Dengan kostum yang gagah dan seram, dengan doktrin
yang dramatis dan dahsyat, IS berhasil mengerahkan anak-
anak muda itu agar bersiap untuk mengorbankan diri.
Tapi berbeda dari seorang Saaman. Seorang Saaman, atau
seorang teroris pejuang revolusioner seperti Kalyayev dalam
sejarah Rusia, tak mengharapkan surga; mereka tak percaya
ada kehidupan sesudah mati. Mereka hanya percaya hidup di
dunia yang lebih baik bagi banyak orang.
Sebaliknya seorang ”pengantin” dalam terorisme IS: ia
yakin ia akan mendapatkan surga yang lengkap, justru karena
yang hendak dicapainya bukan kebaikan yang universal,
bukan untuk seluruh umat manusia, melainkan hanya
untuk kemenangan umat Islam—bahkan hanya umat yang
menganut doktrinnya. Bagi IS, kita tak akan ada. Yang ada
hanya ”aku”, kaumku. Tafkir, mengkafirkan mereka yang
Catatan Pinggir 12 239
http://facebook.com/indonesiapustaka SANG MILITAN
”bukan-kami”, adalah sebuah narsisisme.
Narsisisme itu pada akhirnya semacam benteng, dengan
temb ok yang juga cermin, tempat para narsis berlindung seraya
mengagumi pose mereka sendiri dan menunggu pahala surga
yang akan mereka nikmati sendiri—seraya menampik orang
lain.
Betapa beda. Saya ingat ketika Saaman menggambarkan
sikap seorang patriot. ”Orang yang berjuang, Dik Imah,
adalah men yediakan surga untuk berpuluh juta manusia
bangsanya”—bukan memperoleh surga untuk diri sendiri.
TEMPO, 31 Januari 2016
240 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka TG
JIKA ada satu ikon yang menengarai zaman ini, itu adalah
ponsel. Bahasa Indonesia menerjemahkannya dengan
tepat sekali: ”telepon genggam”. Saya singkat: TG. Ia bisa kita
genggam kapan saja di mana saja, ia juga bisa menggenggam
kita kapan saja dan di mana saja. Hampir tiap kali seseorang
duduk sendirian di sebuah pojok, atau dengan temannya
bertemu di seb uah kafe, atau berjejal di bus atau hadir di rapat
desa, akan seg era HP, eh, TG dikeluarkan dari saku, pesan di
layar sempit itu dibaca diam-diam, dan perhatian berpindah
sejenak. Tak jarang percakapan terhenti.
Kini benda pertama yang ditengok ketika bangun pagi—
seb elum lampu dinyalakan—bukan koran, bukan radio,
bukan TV. Tapi TG: si BlackBerry, si Samsung, si Nokia, si
Motorola....
Kita memasuki senjakala media cetak, seseorang berkata
seperti penujum. Mungkin yang lebih tepat: kita memasuki
dunia yang justru tak mengacuhkan nujuman dan senjakala.
Dunia sedang dibentuk kapitalisme digital. Produksi,
pemasaran, persaingan, dan meluasnya konsumen kini seperti
medium digital itu sendiri: meringkus, atau mengabaikan,
ruang dan waktu.
Dua abad yang lalu, ”Membaca koran pagi adalah doa pagi
seo rang realis,” kata Hegel di Eropa. Dengan doa dan koran
arah pandang seseorang dibentuk oleh Tuhan (dalam doa)
atau oleh ”dunia sebagaimana adanya” (melalui berita-berita).
Catatan Pinggir 12 241
http://facebook.com/indonesiapustaka TG
Kedua-duanya, kata Hegel, memberikan rasa aman: orang
tahu di mana ia berdiri.
Saya tak yakin, tapi bisa mengerti: di zaman Hegel,
berlangganan koran adalah salah satu cara merawat stabilitas;
koran yang dipilih seseorang adalah surat kabar yang sesuai
dengan seleranya selama ini. Ia tahu ”di mana ia berdiri”.
Tak mengherankan bila dalam Imagined Communities
Bened ict Anderson mengutip Hegel. Tapi ia menambahkan.
Sep erti doa pagi, membaca koran berlangsung dalam ruang
privat yang hening, dalam lapis dalam kepala kita. Tapi pada
saa t yang sama, masing-masing kita sadar bahwa ratusan ribu
orang lain yang tak kita ketahui identitasnya melakukan hal
yang sama—tiap hari, sepanjang tahun.
Sebuah ”komunitas” pun terbangun dalam imajinasi kita.
Kita tak hanya sadar di mana kita berdiri. Kita sadar dengan
siapa kita berdiri. Kesadaran akan satu bangsa—diperkuat
lagi oleh satu bahasa dan satu jenis aksara—tumbuh dari
”kapitalism e cetak” ini, menurut thesis Anderson.
Tapi kini kita tak lagi hidup di zaman Mas Marco bahkan
tak di zaman Jakob Oetama. Apa jadinya jika yang tercetak
digantikan dengan yang digital?
Kita tatap layar kecil TG kita. Informasi berdatangan, rapat,
cepat. Pesan lalu-lalang. Di Twitter berita 29 orang terbunuh di
Burk ina Faso disusul cerita seseorang yang kucingnya hamil.
Praktis tiap tiga detik, sepanjang 24 jam. Balas-membalas, dari
pelbagai pojok bumi.
Sementara halaman surat kabar ditata sang editor dengan
hierarki antara yang penting dan yang kurang penting, dalam
TG tak ada organisasi itu. Tiap informasi sama posisinya.
242 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka TG
Dialog (pesan ”interaktif”) berlangsung tanpa moderator,
tanpa otoritas. Siapa saja, dari orang yang paling tahu sampai
dengan yang paling tolol, hadir di satu arena yang riuh.
Huruf bersilang selisih dengan foto, bunyi-bunyian, dan
film. Indra penglihatan, yang dalam medium cetak praktis
mendominasi pencerapan manusia tentang dunia—meskipun
berlangsung sebidang demi sebidang—kini lebur bersama
indra pendengaran. Kecuali indra penghidu dan peraba, tubuh
kita bergelut secara simultan dengan manusia dan peristiwa di
man a pun. Sementara koran harian akan jadi basi dalam 24
jam,informasi digital akan hambar pada detik berikutnya.
Jarak jadi tipis. Kini kita tak membayangkan lagi sebuah
kantor, di bagian komunitas nasional kita, tempat koran
yang kita baca diproduksi. Pesan berlangsung dalam
”deteritorialisasi”.
Mungkin sebab itu komunitas yang dalam dua abad
terakhirterbentuk berkat pengaruh ”kapitalisme cetak” akan
beru bah. ”Bangsa” mungkin akan tak terkait dengan sebuah
wilayah dan kenangan yang sama. Kita sudah banyak dengar
tentang globalisasi, perpindahan modal dan tenaga dari satu
neg eri ke negeri lain. Mungkin kini pudar pengertian ”tanah
tump ah-darah”.
Tapi saya ragu bahwa akhirnya akan terjadi apa yang
dimimpikan lagu Imagine. Kini memang menonjol, atau
timbul lagi, ”perkauman” yang tak berpaut pada ”bangsa”
dan ”teritori”. Malah ada penolakan kepada konsep ”bangsa”.
Tapi MichaelBillig menulis satu buku yang serius tapi kocak,
Banal Nationalism: nasionalisme hadir tiap hari, tak selalu
mengejutkan: ada waktu nasional, ada iklim nasional, ada
Catatan Pinggir 12 243
http://facebook.com/indonesiapustaka TG
makanan nasional. Kosmopolitanisme pun hanya dalam
fantasi.
”Saya belum pernah bertemu dengan banyak orang
kosmopolitan dalam hidup saya,” kata Ben Anderson.
”Mungkin tak lebih dari lima orang.” Selebihnya, bahkan
dengan TG, tetap seperti dulu.
TEMPO, 7 Februari 2016
244 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka NOSTALGIA
INI tahun 2016. Pada umur 75, masa depan saya jauh
makin sed ikit ketimbang masa lalu saya. Pada umur ini
orang lazimnya akan gugup dengan masa kini, karena di
abad ke-21 masa kini kian didera masa depan. Teknologi yang
mengelilingi kita dipasang bukan untuk sekarang: kereta api
cepat, mobil dengan energi matahari, komunikasi hologram....
Hidupsep erti bergerak tanpa mampir ke hari ini.
Tapi di celah-celah itu ada nostalgia.
Kadang-kadang kita duduk. Di depan kita, sebuah
meja kayu mahogani. Meja ”Victorian”, sebuah katalog
menyebutnya, tap i tak amat penting informasi ini. Meja antik
itu tetap memikat, dari mana pun zamannya, sebab ia langka.
Ia bukan seperti meja kebanyakan yang digelar di toko mebel.
Sesuatu yang berbeda, yang tak terduga, memang memberi
nilai tambah dalam kreasi manusia. Tapi ada hal lain: meja itu
menarik karena ia bertaut dengan kesadaran waktu yang kini
tak ada lagi.
Ia hasil craftsmanship, atau ”kekriyaan”, proses kerja yang
dalam bahasa Jawa ditandai sikap ”titis, telaten, taberi”.
Dengankata lain, ia dibuat dengan gerak tangan yang seakan-
akanmenyatu dengan alat, bahan, dan rancangan. Semuanya
berjalan dengan bebas, dengan intens, tak peduli waktu,
hingga karya selesai.
Kini kita kehilangan intensitas kerja pra-industrial itu. Rasa
kehilangan itu, nostalgia, bukan kehilangan sebuah milik.
Catatan Pinggir 12 245
http://facebook.com/indonesiapustaka NOSTALGIA
Svetlana Boym, dalam The Future of Nostalgia, dengan bagus
menggambarkannya sebagai kehilangan ”irama yang lebih
perlahan dari mimpi-mimpi kita”.
Nostalgia, kata Boym, melawan gagasan modern tentang
waktu. Di dunia modern waktu adalah mesin hitung dalam
gerak sejarah, dan gerak sejarah adalah kemajuan.
Tapi nostalgia bukan sepenuhnya pembangkangan.
Nostalgia bisa produktif. Ia membentuk utopianya sendiri,
membangun sebuah imaji tentang masa lalu yang utuh,
memukau, men imbulkan rindu. Tapi utopia itu sebenarnya
tak menangkapmasa lalu itu sebagaimana adanya. Masa lalu
tak akan pernah kita ketahui kembali dengan persis. Sebab
itu dalam nostalgia utopia itu tak mengarah ke sana, tapi
”ke samping”. Nostalgia, kata Boym, bukan anti-modern,
melainkan ”off -modern”.
Kata off itu menunjukkan keadaan terlepas, dan dalam
hal ini terlepas dari modernitas. Nostalgia sebenarnya sebuah
interupsi terhadap perjalanan yang lurus maju. Ia membawa
kita berb elok dari narasi sejarah yang seakan-akan memastikan
bahw a the idea of progress adalah kebenaran manusia.
Dalam nostalgia, kita diam-diam meninggalkan
kegandrungan kita kepada ”yang baru”. Tapi tak berarti
kita hendak membuat ”yang lama” sebagai kuil tempat kita
menutup diri. Nostalgia hanya mencegah kita jadi ”malaikat
sejarah” yang duduk dalam kokpit pesawat pancar gas, yang
(berbeda dengan Angelus Novus dalam gambar Paul Klee)
hanya menatap ke depan dengan gugup karena ia tak bisa lagi
membedakan mana ungg unan puing dari kerusakan akibat
zaman yang bergerak dan mana awan yang menutupi konstelasi
246 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka NOSTALGIA
bintang petunjuk arah. Nostalgia tak menyukai malaikat ini.
Tapi terkadang tidak. Terkadang nostalgia membuahkan
sesuatu yang juga menakutkan, ketika ia hanya berarti algia
(kerinduan) dan nostos (kembali ke rumah).
Boym dengan tepat melihat, ketika ”kerinduan” jadi
desakan ”kembali ke rumah”, dan menimbulkan energi yang
berkecamuk di masyarakat, ia bisa jadi bagian ideologi-ideologi
yang melahirkan monster.
Boym tampaknya ingin mengacu ke nostalgia ala Nazi.
Naziisme merayakan Blut und Boden, pertalian ”darah dan
tanah”. Ikatan primordial itu menolak mereka yang bukan
”prib umi”, dan dengan itu Hitler membasmi orang Yahudi,
kaum tsigana yang mengembara, dan semua oknum yang
bukan Jerman.
Pasca-Nazi, datang yang lain: orang-orang yang ingin
kembali ke ajaran yang ”asli-murni”—sebuah utopia yang
kaku. Mereka tak mau tahu yang ”asli-murni” niscaya berubah
ketika dipandang dari posisi yang berubah. Asal-usul yang
mereka kenang hari ini, dalam usia sekarang, sebenarnya
adalah bagian fantasi dan utopia.
Kemudian fantasi itu mereka anggap bukan fantasi
dan utop ia itu bukan utopia. Mereka mengubah nostalgia
jadi doktrin—sebuah sindrom ”fundamentalisme” yang
menganggap masa lalu, manusia, dan teks bisa terbentuk di
luar sejarah.
Untunglah, tak semua nostalgia melahirkan rabun itu.
Memandang almari antik, di depan bangunan kota tua, di latar
pastoral pedesaan, nostalgia adalah rasa sayu yang berkabung.
Mungkin ini perkabungan manusia modern, yang sekaligus
Catatan Pinggir 12 247
http://facebook.com/indonesiapustaka NOSTALGIA
terasa sebagai sebuah pengalaman estetik: kita bersua dengan
sesuatu yang tak disangka-sangka, mempesona, dan membuat
kita terpekur. Kita merasakan hidup sedang memberi hormat
kepada waktu.
TEMPO, 14 Februari 2016
248 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka BADUI
ADA sebuah cerita tentang seorang Badui yang hidup jauh
dari Damaskus, jauh di pedalaman Suriah, yang kecewa
ketika ia naik kereta api buat pertama kalinya. ”Aku tak puas,”
ia mengeluh kepada temannya. ”Karcisnya mahal, padahal
perjalanan berakhir terlalu cepat.”
Ia mungkin terdengar bodoh, seperti umumnya cerita
orang kota yang mengolok-olok orang udik, tapi sebenarnya si
Bad ui mengingatkan orang-orang modern satu hal: mencapai
sesuatu dengan ”cepat”, yang bagi kebanyakan kita merupakan
formula keberhasilan di zaman ini, bisa tak sepadan dengan
nilai pengalaman. Kecepatan memang bisa menghasilkan, tapi
pada saat yang sama menepis sesuatu yang lain.
Mengutamakan ”cepat” hanyalah cara memandang waktu
secara tertentu: waktu sebagai terowongan. ”Cepat” berarti
terowongan itu pendek. Menganggap itu hal terpenting berarti
tak menganggap ukuran yang lain perlu—bahkan tak melihat
kemungkinan lain di luar terowongan itu.
Si Badui, misalnya. Ia tak memandang waktu sebagai
sesuatu yang tertutup. Mungkin ia membayangkannya sama
dengangurun pasir yang utuh yang nyaris tanpa tepi. Berhari-
hari ia biasa mengarunginya. Di atas untanya yang setia,
ia menuju suatu titik, tapi ia praktis seperti seseorang yang
menjelajah. Ia mengikuti jadwalnya sendiri yang tak dituliskan
dengan tegas—dengan kemungkinan yang belum pasti.
Contoh lain orang yang berada dalam waktu yang tak
Catatan Pinggir 12 249
http://facebook.com/indonesiapustaka BADUI
sebagai berada dalam terowongan adalah seorang penyair
ketika men ulis sebuah sajak. Ia bukan seorang wartawan
yang menulis dengan deadline. Ia bisa mulai menulis kapan
saja, dan di saa t itu ia sama sekali tak tahu kapan ia merasa
pas dengan kalim at yang akan ditulisnya dan apa pula yang
akan diungkapnya sebagai kata akhir. Tak ada kepastian.
Tapi prosesnya intens, dan pengalamannya kaya. Ia seakan-
akan berada di antara yang kekal dan tak kekal. Seperti Amir
Hamzah:
Lalu waktu bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku...
”Kadang-kadang bepergian sedikit lebih baik ketimbang
tiba.” Sometimes it’s a little better to travel than to arrive.
Kalimat itu diucapkan sang narator dalam Zen and the
Art of Motorcycle Maintenance. Dan dengan itu, sang narator,
mungkin sang pengarang sendiri, Robert M. Pirsig, berangkat
dari Minnesota ke Carolina Utara di atas sepeda motornya. Ia
berdua dengan anaknya, Chris, yang baru berumur 12 tahun.
Dari sinilah Pirsig menulis. Tapi seperti dikemukakannya,
buk u nonfiksi ini (yang kemudian laku terjual sebanyak lima
juta eksemplar) bukan tentang Buddhisme Zen dan bukan
pula tentang perawatan motor.
Pirsig sibuk dengan yang lain. Sepanjang perjalanan 17
hari itu pikirannya penuh dengan dialog, kenangan, cerita
tentang Phaedrus, si filosof yang tak diakui yang sebenarnya
dirinya sendiri di masa lalu, yang ingin membahas satu nilai
kehidupanyang disebut ”Quality”.
250 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka BADUI
Demikianlah ia berjalan. Tak penting agaknya ke mana
dan kapan ia akan tiba. Seperti sang Badui, ia memilih berada
dalam waktu sebagai ruang terbuka. Seperti halnya ia memilih
sepeda motor, bukan mobil.
Dalam mobil kita selalu dalam sebuah kompartemen, dan karena kita
sudah terbiasa dengan itu kita tak menyadari bahwa melalui jendela mobil
semua yang kita lihat hanya ibarat TV. Kita jadi pengamat yang pasif dan
semua bergerak di depanmu dengan membosankan di dalam satu bingkai.
Di atas sepeda motor, bingkai itu lenyap. Kita sepenuhnya dalam kontak
den gan semua, tak cuma mengamati....
Dalam kontak dengan semua itu, ”cepat” tak merupakan
soa l yang penting. Yang penting liyan, orang lain, dunia tempat
kita ada: anak, sahabat, lanskap musim panas, itik-itik liar,
burung hitam, pegunungan, badai, mimpi.... Bahkan juga
benda yang selama ini hanya alat, seperti sepeda motor Pirsig
itu, misaln ya, yang ia rawat dengan telaten dan mesra.
Ada sesuatu yang seperti si Badui di tengah padang pasir
yang membuat kita, juga Pirsig, bisa merasa betah dengan itu
semua.
Kita tak menaklukkan gunung dengan yang disebut Pirsig
sebagai ego-climbing. Orang yang membawa egonya akan
sampai di puncak namun tetap tak berbahagia. Ia merasa tak
men emukan sesuatu yang ajaib. Ia tak menemukan sesuatu
yang ajaib karena keajaiban itu, yang berada di sekitarnya sejak
awal, dalam benda-benda sehari-hari, tubuh dan perasaan
hatinya send iri, tak pernah ditengoknya, dan tak pernah
mempesonanya. Ia seperti rabun dalam terowongan waktu.
Catatan Pinggir 12 251
http://facebook.com/indonesiapustaka BADUI
Kita lebih kagum kepada sang Badui, yang melepaskan
diri dari terowongan itu. Di padang pasir yang tak terukur
ia memungut segenggam pasir. Segenggam pasir itu—dan
berjuta-juta isi dan bentuknya yang beraneka tak tepermanai—
bagin yasebuah dunia. Antara kekal dan tak kekal.
TEMPO, 21 Februari 2016
252 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka FAYADH
FAYADH tak jadi dihukum mati. Kabar di awal Februari
ini mengatakan: sebagai gantinya, ia dihukum delapan
tah un penjara dan dicambuk 800 kali.
Ashraf Fayadh penyair, umurnya 36 tahun, ia kurator seni,
ia menerbitkan sebuah kumpulan sajak (saya terjemahkan
dari jud ul Inggris) Instruksi di Dalam, dan ia ditangkap Polisi
Syariatpada 2013. Oleh hakim Arab Saudi ia dianggap murtad.
Hukumannya dipenggal atau digantung.
Untung nasibnya diketahui dunia luar. Dari pelbagai
penjuru protes dikemukakan, dan Kerajaan Saudi mundur—
setengahtapak. Delapan tahun disekap dan didera cambuk
800 kali bukan hukuman yang enteng. Instruksi di Dalam
tetap dianggap kejahatan serius.
Saya belum pernah membaca lengkap sajak-sajak seniman
asal Palestina ini. Beberapa buah saya temukan di Internet
dalam terjemahan Inggris; salah satunya (dalam versi Indonesia
say a) merupakan statemen yang lamat-lamat, mungkin tentang
ketakbebasan, mungkin juga bukan:
ia tak berhak berjalan, bagaimanapun,
bergoyang, bagaimanapun,
menangis, bagaimanapun
ia tak berhak membuka jendela
hati sendiri, buat melepas air mata, sampah,
Catatan Pinggir 12 253
FAYADH
dan udara lagi
http://facebook.com/indonesiapustaka Sajak itu dilanjutkan dengan semacam pengingat, entah
kepada siapa: kau cenderung lupa, kau adalah sepotong roti.
Aneh sekali puisi: beberapa puluh patah kata cukup
membua t sebuah kekuasaan dengan senjata lengkap dan
lembaga perkasa merasa harus membungkamnya. Hari ini
Fayadh. Di masa lain, di Uni Soviet di bawah Stalin. Penyair
Osip Mandelstam dihujat, ditangkap, disingkirkan, akhirnya
dibuang dan mati nyaris tak diketahui di Siberia. Juga karena
sejumlah sajak. Ia dianggap tak patuh kepada garis yang
ditetapkan Partai untuk kesusastraan, dan akhirnya dianggap
menyerang Stalin.
Bagaimana para penguasa itu—hakim Saudi dan pembesar
Partai Komunis—menganggap interpretasi mereka adalah
tafsir yang benar, sementara mungkin makna itu bukan niat
penyairnya?
”Dalam karya sastra yang murni,” kata penyair Prancis
Stéphane Mallarmé di abad ke-19, dalam Crise de Vers, ”sang
penyair menghilang sebagai pembicara dan menyerahkan
tugasnya kepada kata-kata.”
Kata-kata puisi lahir tanpa blueprint, dan hidup bak anak
yatim. Begitu sebuah sajak kau tafsirkan, kata-katanya praktis
kau adopsi. Ada satu anekdot tentang Picasso. Seorang opsir
Jerm an masuk ke apartemen pelukis terkenal itu dan melihat
foto Guernica, mural besar Picasso yang mengungkapkan
keganasan perang dan kepedihan penduduk Kota Guernica
di Span yol. Opsir Jerman itu bertanya: ”Tuan yang membuat
itu?” Jawab Picasso: ”Bukan, Tuan yang membuatnya.”
254 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka FAYADH
Picasso mungkin hendak menunjukkan kekejaman Nazi
di mural itu, tapi mungkin juga ia hendak menunjukkan
bahwa begitu sang opsir membuat tafsir atas karya itu ia pun
mengadopsi maknanya—apa pun makna itu. Sang perupa tak
ikut lag i.
Tapi Polisi Syariat Saudi, apparatchik Soviet, tak akan
mudah mempercayai keterangan Mallarmé dan tak akan
menyadari bahwa mereka bertanggung jawab atas apa yang
mereka baca dan tafsir. Orang-orang itu, yang pakaian dan
isi kepalanya diseragamkan, terbiasa membuat asumsi bahwa
kata-kata berjalan lurus dari otak ke kertas cetak, dan bahwa
makna selalu transparan dan gampang disepakati secara
serentak, bahwa kata tetap seperti semula padahal telah
disentuh pelbagai emosi dan analisis.
Bukankah dokumen dan perintah atasan yang mereka
terima selalu seperti itu?
Dan di situlah soalnya. Aparat kekuasaan, apalagi yang
punya niat mengatur hidup manusia sampai ke lubuk hati dan
imajinasi, selalu punya khayal: kekuasaan yang menghadirkan
mereka akan selalu sanggup mencakup dunia. Ironisnya, bagi
mereka kekuasaan itu justru selalu genting. Tiap kata bisa
mereka anggap peluru yang ditembakkan dengan peredam.
Mungkin tak sepenuhnya salah. Kita hidup dalam
masa Foucault. Kita makin menyadari bahwa kekuasaan,
yang bersifat relasional, sebenarnya selalu terkait dengan
”wacana” (discourse)—dengan persuasi, komunikasi, melalui
penggunaan bahasa, pen guk uhan simbol-simbol, perumusan
hukum, pengelolaan ritua l, juga penggunaan gertak, teror, dan
kekerasan. Senantiasa untuk menegakkan legitimasi.
Catatan Pinggir 12 255
http://facebook.com/indonesiapustaka FAYADH
Tapi wacana, sebagaimana juga kekuasaan, tak pernah
berada di satu tempat. Ada yang menguasai, ada yang
dikuasai, tapi selalu interaktif dan tak stabil. ”Wacana menjadi
wahana kekuasaan,” kata Foucault, ”juga memproduksi dan
meneguhkannya, tapi dalam pada itu menggerogoti dan
menelanjanginya, hingga membuat kekuasaan keropos dan
bisa dirintangi.”
Kekuasaan dengan demikian tak pernah stabil, di masa
lalu, apalagi di masa ”modernitas yang cair” ini.
Sajak-sajak Fayadh mungkin terasa menunjukkan
ketakstabilan itu. Ia berbicara tentang ”tuhan-tuhan yang
telah kehilangan harga dirinya”.
TEMPO, 28 Februari 2016
256 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka PARANOIA
Odi ergo sum. Aku membenci, maka aku ada.
DI sebuah rumah yang terletak di gang yang mesum di
Paris, 24 Maret 1897, seorang lelaki berumur 67 tahun
tampak menulis. Kita tak tahu siapa dia. Jika kita ikuti tutur
Sang Pencerita dalam novel Umberto Eco Il cimitero di Praga
(Pek uburan Praha) ini, memang tak seorang pun di awal kisah
ini yang ”sudah dinamai”.
Orang itu sendiri pun tak ingat siapa dirinya. Dua hari
sebelumnya, ketika ia bangun tidur, ia tahu ia ”Kapten
Simonini”. Tapi kemudian ia menemukan fakta-fakta lain:
ia adalah Pastor Dalla Piccola, ”atau orang yang dianggap
bernama itu”.
Ia tahu: ia ”hilang ingatan”. Kata ini, anehnya, justru
membuatnya teringat percakapan di Chez Magny sekian tahun
yang lalu. Di rumah makan itu ia berkenalan dengan sejumlah
dokter,dan terutama dengan seorang dokter muda dari Austria,
Sigmund Froïde. Mereka berbicara tentang kepribadian ganda
dan hubungannya dengan jiwa yang mengalami trauma.
Trauma ini bisa dikurangi dampaknya dengan merekonstruksi
pengalaman masa lalu. Tapi Simonini tak ingin mengisahkan
kemb ali masa lalunya di depan orang lain. Ia menulis.
Harus segera saya susulkan, ini bukan novel tentang
kelainan jiwa. Il cimitero di Praga membawakan sesuatu yang
lebih gelap. Kerancuan ”siapa aku” dalam hidup tokohnya
Catatan Pinggir 12 257
http://facebook.com/indonesiapustaka PARANOIA
berkait den gan cerita di baliknya: ia adalah identitas yang
berubah-ubah,selama bertahun-tahun. Ia seorang penipu—
atau lebih tepat: ia seorang juru palsu yang terus-menerus
menyamar.
Ia memproduksi dan menjual dokumen palsu untuk apa
saja, dalam perkara warisan ataupun politik. Ia siap membuat
kebohongan asalkan dibayar mahal. Pernah ia jadi agen rahasia
ganda yang memperdaya kedua pihak yang bermusuhan.
Untuk mempertahankan para penguasa, ia menyusup ke
pelbagai gerakan politik. Ia rapi dalam melipatgandakan
fitnah. Simonini mengikuti pesan: untuk menuduh seseorang,
ia tak perlu cari bukti. ”Lebih mudah dan lebih murah
menciptakannya.”
Il cimitero di Praga (versi Inggris: The Prague Cemetery)
memang dimaksudkan jadi sebuah cerita tentang seorang
manusia yang culas, sinis, tanpa moral. Saya membacanya
dengan sedikit lelah tapi kagum: Eco begitu asyik
menggambarkan detail kehidupan Eropa abad ke-19, mirip
keriangan hati seorang turis yang baru mengunjungi sebuah
negeri eksotis. Ada liku-liku kota dan racikan kuliner, ada
skandal politik dan roman pic isan. Hasilnya: sebuah novel
semi-dokumenter. Kecuali Simonini, semua tokohnya,
termasuk Freud yang dieja jadi Froïde, muncul dari sejarah.
Tapi justru karena itu apa yang gelap dalam novel yang
datar ini jadi terasa kian gelap. Motif yang menggerakkannya
kebencian. Eco mempertajamnya dengan menjadikan
kebencian itu bagian utama watak Simonini. Si Italia blasteran
ini membenci siapa saja—orang Italia, Jerman, Prancis, muslim
(”Saracen”), padri Jesuit, pengikut Freemasons, Martin Luther,
258 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka PARANOIA
dan tentu saja orang Yahudi. ”Aku bermimpi tentang orang
Yahuditiap malam selama bertahun-tahun,” tulisnya. Dalam
dokumen palsu yang kemudian terkenal ia sebut pekuburan tua
orang Yahudi di Kota Praha, sebuah tempat angker di ibu kota
Cek itu, sebagai tempat utusan 12 suku Bani Israel menyusun
”Protokol Para Sesepuh Zion”, sebuah agenda ”menaklukkan
dunia”.
Novel tentang pelbagai kepalsuan ini memang sedikit
melebih-lebihkan. Tapi di balik kata-kata Simonini tergambar
purbasangka yang terpendam lama dalam masyarakat
Eropa—purbasangka yang jadi sumbu api kekerasan di abad
ke-19, Naziisme dan Holocaust di abad ke-20, sikap anti-Islam
dan kaum imigran di abad ke-21.
Pada 20 Februari yang lalu Eco meninggal. Novel ter
akhirnya ini mungkin warisannya yang tepat waktu: sebuah
cerita tentang abad ke-19 yang menjelaskan bau busuk hari
ini. Seperti dahulu, kebencian, juga kebencian sosial, tetap jadi
unsur utama pengukuhan identitas, pembentukan ”aku”. Jika
saya memb enci seseorang, kata Simonini, ada sesuatu yang
hadir dalam diri saya. Diri saya tak kosong lagi. Odi ergo sum.
Kebencian tentu tak sendirian. Ketika orang lain adalah
oknum-oknum yang menjijikkan yang mengancam, sebuah
benteng ditegakkan, menara pengawas dan bedil disiapkan.
Paranoia tumbuh jadi pedoman. Dengan mata setengah
terpicing karena membidik, para pembenci melihat: di luar
gerbang hanya ada persekongkolan jahat yang mengepung.
Dari sini berkecamuklah ”theori konspirasi”, campuran
khayal dengan dusta. Di dunia, juga di Indonesia, kini ia laku
keras. Dusta bisa memikat, dan kepalsuan bisa mengubah
Catatan Pinggir 12 259
http://facebook.com/indonesiapustaka PARANOIA
sejarah, ketika orang haus akan satu kebenaran yang
menjelaskan 1.000 peristiwa.
Tapi mengapa tak kita biarkan dunia tetap punya teka-teki
yang penuh kebetulan? Sebuah enigma yang ganjil, namun
mempesona?
TEMPO, 6 Maret 2016
260 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka AMANGKURAT
AMANGKURAT adalah kesendirian: raja yang tak
berteman di sebuah pulau.
Ketika mulai Januari 1648 penguasa Mataram itu
memindahkan keratonnya dari Karta ke Plered, di lokasi di
Bantul itu Sun gai Winongo sudah dibendung. Danau-danau
buatan sudah mulai dibangun di sekitar istana.
Pekerjaan itu seperti tak pernah berhenti.
Tiga belas tahun kemudian, pada 1661, sebuah laporan
orang Belanda masih menyebutkan bahwa Raja tetap sibuk
”menjadikan tempat kediamannya sebuah pulau”. Dua tahun
berikutnya Amangkurat memerintahkan agar dibuat ”sebuah
kolam besar di sekeliling istananya”. Pada 5 September tahun
itu juga Baginda menyiapkan lagi pembuatan sebuah batang
air di belakang keraton. Sebulan setelah itu penggalian ”laut”
Segarayasa dimulai.
Mataram dimobilisasi. Tiga ratus ribu orang bekerja,
bahkan penduduk daerah Karawang dipanggil—tak peduli
sawah mereka terbengkalai, dan kekurangan pangan terjadi.
Sebab kehendak sang Raja harus jadi. Dan memang jadi.
Pada 1668, seperti disebut dalam buku De Graaf, Disintegrasi
Mataram di Bawah Mangkurat I, seorang pejabat VOC
berkunjung. Ia berjalan melalui ”jembatan di atas parit yang
mengelilingi istana”.
Parit dan benteng: Amangkurat tak pernah percaya kepada
siapa pun di luar dirinya. Ia dirikan keraton baru dengan batu
Catatan Pinggir 12 261
http://facebook.com/indonesiapustaka AMANGKURAT
bata, bukan lagi kayu seperti istana ayahnya, Sultan Agung.
Ia langsung mengawasi sendiri pembangunannya. Beberapa
pejabat tinggi yang tak mau ikut bekerja diperintahkannya
untuk diikat, dibaringkan di paseban, dijemur. Sedangkan
pendud uk, seperti ditulis dalam Serat Kandha, harus
”membakar ban yaksekali batu bata”.
Benteng itu akhirnya berdiri; 13 November 1659
menyebutkan tembok keraton itu lima depa tingginya dan dua
depa leb arn ya. Tapi Baginda toh masih ingin menambahkan
lagi ”tembok yang serupa sebuah perisai, setinggi dada”.
Syak wasangka tampaknya sejak mula merundung
Amangkurat, yang menyebut diri Ingalaga (”di kancah
peperangan”). Di hari ketika ayahnya yang sudah dekat ajal
memaklumkan putra sulungnya sebagai Raja Mataram yang
baru, semua pintu gerbang, gudang senjata, dan depot mesiu
dijaga ketat. Keluarga kerajaan ditahan selama beberapa hari di
dalam istana, agar tak bisa mengadakan komplotan.
Baru setelah raja tua, Sultan Agung, mengembuskan napas
yang penghabisan, sang raja muda muncul di balairung. Babad
Tanah Jawi mencatat, waktu itu tiba-tiba Pangeran Purbaya,
kakak Sultan almarhum, naik ke takhta. Bersikap seolah-
olah ia yang jadi susuhunan, ia menantang siapa yang berani
melawannya. Yang hadir menundukkan kepala ketakutan.
Merasa aman, Purbaya pun turun dari dampar, bersimpuh di
lantai, menyembah raja yang baru.
Kecemasan membayang di jam-jam itu: betapa gentingnya
pergantian kekuasaan. Bukankah sebagian besar peperangan
di Tanah Jawa adalah perang suksesi?
Dan terbukti. Di tengah kesibukan Mataram membangun
262 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka AMANGKURAT
keraton Plered, adik Raja, Pangeran Alit, menyiapkan
penyerbuan. Ia hendak merebut takhta. Tapi sebelum bergerak,
kedua pembantu dekatnya ketahuan, terjebak, dan dibunuh.
Kepala mereka dipersembahkan kepada Raja. Sang adik
akhirnya menyerang hanya dibantu enam lurah dengan anak
buah yang tak seberapa—dan tewas terluka kerisnya sendiri
yang beracun.
Konon, Amangkurat merasa sedih atas kematian itu.
”Aku akan membela adikku,” demikian ia dikutip dalam
Babad Tanah Jawi. Baginda pun melukai bahunya sendiri—
cara yang aneh untuk ”membela” seseorang. Tapi dalam diri
Amangkurat kita tak tahu benarkah penguasa ini—yang
bertakhta sendirian seperti pulau yang dikelilingi laut—bisa
punya empati kepada orang lain. Segera setelah menyatakan
berkabung, ia berk ata, ”Hatiku sudah lega.”
Dan seraya tampil dengan rambut kepala yang dicukur
seb agai tanda belasungkawa, ia perintahkan empat orang
kepercayaannya menyiapkan sebuah pembunuhan besar-
besaran. Ia menduga para ulama di Mataram terlibat
pemberontakan Pangeran Alit. Setelah nama, keluarga,
dan alamat semua tokoh agam a itu dicatat, dengan isyarat
tembakan meriam dari istana, pembantaian pun dimulai.
Dalam tempo 30 menit 5.000-6.000 ulama (termasuk para
istri dan anak-anak) dihabisi.
Kebuasan tak berhenti di situ. Hari itu Raja juga
memerintahkan tujuh orang pembesar dibunuh bersama
keluarga mereka.... ”...betapa angkuh dan kejamnya orang-
orang ini,” tulis Van Goens, orang Belanda yang mencatat
peristiwa berdarah pembangkangan Pangeran Alit.
Catatan Pinggir 12 263
http://facebook.com/indonesiapustaka AMANGKURAT
Mataram memang kian suram. Tangan Amangkurat
berlumur darah, sampai akhirnya Baginda meninggal sakit
dalam pelarian, setelah pemberontakan Trunajaya meletus
dan Mataram jatuh.
Ketika sakitnya memberat, Amangkurat minta sereguk
air kelapa. Putra mahkota pun menyiapkannya. Tapi sejenak
Bag ind a menatapnya, ”Aku tahu maksudmu, kau ingin
mempercepat.”
Kejatuhan dan kekejaman tak pernah punya teman.
TEMPO, 13 Maret 2016
264 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka Sabangau
Saya bosan Kahlil Gibran, tapi sejenak kata-katanya melintas di kepala:
Pohon-pohon adalah sajak yang ditulis bumi
ke atas langit.
KAKI saya mencari injakan akar di hutan gambut itu,
sambil berjalan setapak demi setapak di air kemerahan
yang menggenang di antara pokok-pokok jelutung dan ramin.
Dahan batang-batang muda itu masih lebat merintangi jalan,
tapi segera tampak: ”sajak yang ditulis bumi” telah hampir
terhapus di Sungai Sabangau.
Jutaan pohon telah ditebang. Hutan tropis Kalimantan
Tengah seluas 568.700 hektare punah. Keserakahan
manusia— merampas kayu meranti tak henti-hentinya untuk
memperkaya diri—telah melukai lingkungan ini sampai ke
intinya.
Lima belas tahun lamanya, sejak 1980, penjarahan itu
berlangsung.
Manusia adalah ”super-predator”, kata orang. Tapi saya kira
bukan, sebelum datang pasar besar, modal besar, kuasa politik
besar, dan kerakusan besar. Dan di Indonesia, 1980-1995,
keempat anasir itu bergabung: klimaks zaman yang bernama
”Orde Baru”. Negeri dibangun dengan ke-tak-sabar-an yang
destruktif.
Tahun 1995: Presiden Soeharto memutuskan 1,5 juta
Catatan Pinggir 12 265
http://facebook.com/indonesiapustaka SABANGAU
hektare hutan gambut Kalimantan Tengah dimusnahkan
untuk membuat sawah. Rakyat setempat tak bisa menolak.
Para pakar tahu proyek itu sebuah kesalahan (padi tak tumbuh
di bekas lahan gambut, yang tingkat keasamannya tinggi),
tapi mereka tak bisa berbicara. Dalam novel Sarongge Tosca
Santoso digambarkan bagaimana niat untuk menyiapkan
lahan pangan itu berakhir dengan malapetaka.
Dalam sepucuk surat kepada kekasihnya, Husin, Karen
yang mengunjungi tempat itu bercerita: cadangan air
dikeringkan, diubah jadi saluran irigasi yang berpuluh-puluh
meter panjangnya. Parit-parit baru membuat gambut tak
mampu lagi menyerap air bila musim hujan tiba. Kemarau jadi
bencana: air kurang, hutan di sekitar selalu terbakar. Penduduk
hidup terjepit. Tulis Karen: ”...hasil hutan pun tak bisa didapat
lagi.”
Di bawah ”Orde Baru”, kemerdekaan bersuara tak mati
sendirian. Hutan ikut mati. Ketika politik jadi panglima dan
ilmu ditaklukkan, tak perlu lagi hasil penelitian. Ketika segala
sesuatunya dipaksakan, akal sehat tak berfungsi.
Novel Sarongge bercerita: ketika Presiden Soeharto datang
untuk melihat sendiri ”Proyek Lahan Gambut” itu, para
bawahan bergerak cekatan. ”Pohon-pohon pisang yang sedang
berbuah dipindahkan... ke kebun bekas gambut. Padi-padi yang
hampir panen dari sawah-sawah Kalimantan Selatan dicabuti,
untuk [juga] dipindahkan.... Seolah lahan gambut itu memang
sudah siap berproduksi. Memenuhi mimpi sang presiden....”
Dilihat dari atas, yang di bawah sering menipu. Raja-raja
lama dan dunia modern melakukan kesalahan yang sama.
”Manusia modern merasa bisa menguasai alam, dan mengubah
266 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka SABANGAU
semaunya,” tulis Karen pula. ”Padahal, banyak hal yang tak
kita ketahui....”
”Manusia modern” jenis itu tak cuma bagian yang tragis
sejarah Indonesia. Pada akhir 1980-an, James Scott menulis
telaah yang memaparkan melesetnya ideologi ”modernis
tinggi” ketika penguasa dan birokrasi Negara melihat
ke kehidupan sehari-hari di ”bawah”. Seeing Like a State
memaparkan pelbagai contoh state-optics yang tajam fokusnya
tapi luput menangkap kenyataan yang rumit. Contoh yang
menarik berkembang di Prusia dan Saxony di abad ke-18.
Di kerajaan Jerman itu, tatapan ”ilmu” merumuskan hutan
sebagai ”arus komoditas yang bisa dijual”. Semua diringkus
bagi pendapatan Kerajaan. Maka hilanglah pepohonan, semak
belukar, dan tanaman yang tak laku. Bahkan juga disisihkan
tetumbuhan yang bisa dibuat obat, pohon yang bisa diraut jadi
permainan dan dibuat jadi benda keindahan.
Akhirnya, ukuran pohon dibakukan, dan ditetapkanlah
pohon yang dianggap normal, Normalbäume. Hutan pun jadi
”mesin komoditas tunggal” yang gampang serentak terserang
hama atau rusak oleh badai.
State-optics: Negara memandang hutan, menyederhanakan
nya—dan tak sanggup menyelamatkannya. Hutan terbakar,
berkali-kali, tapi api selalu dilihat dari atas: dari keputusan
Presiden, dari meja birokrasi, dari pesawat penyiram air yang
tak pernah sanggup memadamkan bara.
Agak di luar Kota Palangkaraya saya bertemu dengan
Januminro Bunsal. Laki-laki 56 tahun ini dengan tenaga
sendiri merestorasi hutan gambut, sepetak demi sepetak.
Ia adalah antitesis bagi state-optics: orang Dayak yang tak
Catatan Pinggir 12 267
http://facebook.com/indonesiapustaka SABANGAU
menatap hutan dari jendela perpustakaan. Ia merawat
pepohonan dengan pengetahuan yang rinci, pengalaman
yang tak sebentar, dan dengan akrab dan telaten. Maka ia
tahu bahwa cara memadamkan kebakaran hutan bukanlah
menyewa pesawat penyemprot air yang mahal. Januminro
membangun puluhan sumur bor dengan pompa penyemprot
dan mematikan api yang memusnahkan pohon-pohon dari
dekat.
Ia tak mengutip Gibran. Tapi ia tahu pohonku bukanlah
pohonku, melainkan hidup yang melindungi bumi anak-
anakku, anak-anakmu.
TEMPO, 20 Maret 2016
268 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka Einstein
”Saya lahir 14 Maret 1879 di Ulm....”
EINSTEIN menuliskan biodatanya pada suatu hari di
tahun 1932. Akademi Ilmu Pengetahuan Kaiser Leopold,
sebuah institusi yang sangat bermartabat—Goethe pernah
jadi salah satu anggotanya—memintanya bergabung.
Ada sembilan pertanyaan yang harus dijawab. Pada
pertanyaan ke-8 ia mengatakan, ia ”pernah diberi beberapa
medali”. Tapi ia tak merinci apa saja penghargaan itu. Ia
juga tak menyebutkan bahwa pada 1921 ia pernah menerima
Hadiah Nobel untuk Fisika....
Baginya, penghargaan adalah bagian puji-pujian yang
sering ia terima dengan enggan—atau dengan ironi. Sebagian
besar ia sembunyikan di satu sudut yang ia namai Protzenecke,
”pojok bual”. Baginya, yang lebih penting adalah kerja
keilmuan—yang sering harus menyendiri.
Uang tak pernah memancing Einstein. Yang diterima dari
Hadiah Nobelnya ia dermakan. Di tahun 1927, ia bantu 150
keluarga miskin di Berlin. Suatu hari ia mendapat US$ 1.500,
sumbangan Rockefeller Foundation. Ceknya ia pakai buat
penyekat halaman buku; bukunya hilang.
Pernah ia kaget dijanjikan honorarium tinggi untuk menulis
di sebuah majalah; ia pun menawar agar dibayar separuh saja
dari jumlah itu. Ia juga baru mau bergabung dengan Institute
for Advanced Studies di Universitas Princeton jika jumlah
Catatan Pinggir 12 269
http://facebook.com/indonesiapustaka EINSTEIN
gajinya dipotong. Ia menolak menerima pemberian, apalagi
ketika dihadiahi sebuah violin Guarnerius seharga US$ 33.000.
Ia merasa alat musik itu terlalu berharga buat kepandaiannya
bermain violin.
Ia tak mau mengambil banyak, ia selalu memberi banyak. Ia
membalas surat-surat yang mengalir ke alamatnya dari mana
saja: sarjana fisika yang termasyhur, Ratu Belgia, atau anak
kecil yang ingin dihibur. Ketika ia terima sekaleng tembakau
dari seorang buruh yang kehilangan kerja, ia membalasnya
dengan menulis khusus seuntai sajak terima kasih. Seorang
kelasi menulis surat bahwa di kapalnya ada kucing yang ikut
naik dari pelabuhan Jerman, dan awak kapal memberinya
nama ”Albert Einstein”. Sang pemenang Nobel membalas,
mengirim salam kepada kucing itu.
Einstein memang bukan orang yang gampang bilang
”tidak” kepada mereka yang tak didengar. Ia tahu ke
masyhurannya bisa berguna untuk orang banyak—terutama
untuk menghimpun dana, atau dukungan suara, untuk tujuan
seperti gerakan perdamaian.
Tentu saja untuk nasib orang-orang Yahudi yang di Eropa
berabad-abad terancam. Einstein seorang Zionis yang aktif.
Tapi ia tak melihat Zionisme sebagai gerakan nasionalis.
Zionisme, tulisnya di awal 1946, memberi sisa kaum Yahudi
kekuatan batin untuk menanggungkan hantaman, ”dengan
tegak dan tanpa kehilangan harga diri yang sehat”.
Ketika Nazi berkuasa di Jerman—waktu itu Einstein sudah
tak di sana lagi—rumahnya disita. Teori Relativitas dianggap
ilmu ”Yahudi” dan ”Komunis” (meskipun di Uni Soviet yang
komunis teori itu juga dihantam sebagai anti-”materialisme
270 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka EINSTEIN
dialektis”).
Di zaman penuh kebencian itu, ada saat-saat Einstein nyaris
putus asa. ”Tampaknya orang selalu butuh setan untuk saling
membenci; dulu itu kepercayaan agama, kini negara,” tulisnya
setelah usai Perang Dunia I. Ia tak yakin nalar manusia bisa
menyelamatkan. ”Nalar bukanlah satu cara mempertalikan
manusia di bumi....”
Tapi Einstein tahu, dunia yang dibentuk nalar bukanlah
segala-galanya. Ia, yang membaca karya-karya Yunani klasik
tanpa terjemahan (tapi tak begitu menyukai Plato, yang
baginya aristokratik), yang jatuh cinta dan menikah dengan
gadis Katolik dan punya anak di luar nikah, yang mencintai
musik dan bisa menulis tinjauan kritis atas lakon George
Bernard Shaw, mengalami bahwa ada sesuatu yang lain
dalam diri manusia. Yakni: dorongan etis, yang disebutnya
”moralitas”.
Bukan agama. ”Agama, menurut kodratnya, tidak
toleran,” katanya. ”Moralitas sepenuhnya persoalan manusia,”
tulis Einstein kepada seorang rabi di Chicago yang ingin
mengaitkan Teori Relativitas dengan Yudaisme di akhir 1939.
Tak berarti manusia bisa menjawab segala hal. Ilmuwan
hanya mencoba-coba mengutip kebenaran. Alam dan
eksperimen, tulis Einstein, bukanlah hakim yang bisa diduga
dan juga ”bukan hakim yang sangat bersahabat”. Lebih sering
Alam dan eksperimen mengatakan ”Tidak” kepada satu teori,
atau paling ramah ”Barangkali”. Malah sangat mungkin tiap
teori kelak akan bertemu dengan ”Tidak”.
Kerendahan-hati itu punya sifat ”religius”. ”Religius”
bagi Einstein adalah rasa takjub menyaksikan ”skema yang
Catatan Pinggir 12 271