http://facebook.com/indonesiapustaka FIDEL
menghukumnya, kata-kata Marti tercantum dalam pleidoinya
yang lantang: ”Bahkan dari dalam gua, kehendak keadilan
lebih kuat ketimbang tentara.”
Tapi meja Castro tak hanya dihiasi patung penyair dan
pejuang kemerdekaan yang legendaris itu. Ada sebuah karya
seni rupa yang lain: rautan kawat yang menggambarkan Don
Quixote dengan kudanya yang kerempeng, Rocinante. Tokoh
fiktif karya Cervantes ini sosok yang sering diolok-olok—
pengelamun tua yang ingin menegakkan nilai-nilai kesatria
yang kuno di zaman yang serba praktis.
Tapi Don Quixote de La Mancha memikat imajinasi
banyak orang justru karena ia menggapai yang tak
mungkin. Kemajenunannya, atau tekadnya, seakan-akan
yang menggerakkan perubahan sejarah. Menjelang pergi
meninggalkan orang tuanya di Argentina, Che Guevara
menulis kata-kata pamitan yang kocak, sadar akan tekad dan
impiannya yang mungkin konyol seperti lamunan laki-laki
aneh dari La Mancha. ”...Aku rasakan tulang rusuk Rocinante
di bawah tungkai kakiku”—dan ia pun berangkat untuk
memerdekakan rakyat di mana-mana.
Seorang revolusioner yang baik perlu punya kemampuan
melihat diri sendiri di atas seekor kuda kurus. Revolusi adalah
transformasi besar-besaran, dengan harapan yang gigantis,
dan sebab itu kaum revolusioner mudah terjebak dalam
waham tentang kekuatan dan kekuasaan yang nyaris tanpa
batas. Marx mengingatkan salahnya waham itu: ”Manusia
membuat sejarahnya sendiri, tapi mereka tak membuatnya
dengan sekehendak hatinya.”
Dengan kata lain, ”membuat sejarah” perlu semangat besar
422 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka FIDEL
tapi pada saat yang sama juga kesadaran akan ironi. Cerita
perjuangan Castro bisa dikatakan berhasil ketika ia mengakui
bahwa sampai hari ini Kuba belum selesai.
Dari sel penjaranya, ketika ia dihukum setelah gagal
memimpin pemberontakan tahun 1953, Fidel menulis sepucuk
surat kepada temannya: ”Kita masih punya kekuatan buat mati
dan tinju buat berkelahi.”
Ia kemudian bebas. Menyusun kembali perlawanan.
Klimaksnya adalah 25 November 1956: penyeberangan di atas
kapal Granma, dari pantai timur Meksiko ke daratan Kuba.
Kapal kayu itu seharusnya hanya memuat selusin orang tapi,
dengan tekad Castro yang keras, diisi dengan 90 pejuang.
Menempuh laut yang diguyur hujan dalam ombak yang
keras, setelah tujuh hari di laut mereka sampai di pantai Kuba.
Tapi sedikit meleset dan terlambat. Lelah dan lapar, mereka
disambut tembakan musuh yang sudah menunggu. Separuh
dari mereka tewas. Tapi Revolusi Kuba mulai.
Dan Castro maju terus, dengan susah payah, tapi
dengan pengalaman dan tekad yang makin bertambah,
setelah kemenangan pertama atas pasukan Rezim Batista
di pertengahan Januari 1956. Kurang dari dua tahun, kaum
revolusioner menang.
Yang mengagumkan, di hari-hari itu Castro tak
menunjukkan sikap jemawa. Ia tak merasa Revolusi Kuba
lebih unggul ketimbang revolusi lain. Ia juga tak hendak
melambungkan diri. Ia bahkan tak ingin jadi presiden setelah
menang. Ia memandang dirinya sebagai seorang revolusioner
yang tak akan tenang di kursi, atau pensiun—karena, seperti
diakuinya, masih banyak yang timpang di Kuba, masih banyak
Catatan Pinggir 12 423
http://facebook.com/indonesiapustaka FIDEL
kerja revolusi yang, untuk memakai kata-kata Chairil Anwar,
”belum selesai, belum apa-apa”.
Tapi sejarah punya tikungan yang tak terduga. Castro wafat
ketika dunia sedang bergerak ke arah balik: ke pelukan kaum
”reaksioner”, mereka yang mau mengubah dunia ke bentuk
yang dulu pernah ada, mereka yang menentang demokrasi,
kesetaraan sosial, solidaritas bangsa-bangsa. Masa depan, bagi
kaum Islamis di Timur Tengah dan Indonesia, sebagaimana
bagi kaum Fasis di Eropa dan Amerika, adalah masa lalu.
Castro meninggalkan kita ketika Donald Trump naik
takhta.
TEMPO, 11 Desember 2016
424 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka Amarah
NEGERI ini didirikan dengan impian yang ramah. Tapi
itu tiga perempat abad yang lalu.
Kita ingat: menjelang 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan
didengungkan sebagai sesuatu yang aktual (”sekarang!” seru
Bung Karno pada 1 Juni tahun itu), ada keyakinan: ”Di dalam
Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita!”
seperti kata Bung Karno. Ada harapan rakyat Indonesia punya
potensi penuh untuk jadi manusia yang tak terbelenggu,
karena kemerdekaan politik adalah ”jembatan emas”—gilang-
gemilang, kukuh, dan aman untuk mencapai yang dituju.
Tapi semenjak tiga perempat abad lalu, ”jembatan emas” itu
ternyata impian yang terlalu manis atau retorika yang khilaf:
Indonesia pasca-kolonialisme adalah juga sebuah negeri yang
penuh kekerasan, ketidakadilan, konflik, kecurangan.
Tampak pula bahwa sebagian besar ”rakyat” bukan pribadi-
pribadi yang menentukan pilihan sendiri. Mereka yang miskin
dicengkeram ketimpangan sosial. Mereka yang bersuara
disumpal dogma. Mereka yang bersikap ternyata tak berani
melepaskan diri dari panutan kolektif.
Impian yang ramah juga terasa ketika dalam pidato 1
Juni itu Bung Karno menegaskan: negara Indonesia yang
akan berdiri ”bukan satu negara untuk satu orang, bukan
satu negara untuk satu golongan”, melainkan negara ”satu
buat semua, semua buat satu”. Bung Karno meyakini, dalam
proses perpaduan antara ”satu” dan ”semua” itu akan efektif
Catatan Pinggir 12 425
http://facebook.com/indonesiapustaka AMARAH
”musyawarah”, lewat suatu proses politik dengan perwakilan
rakyat.
Tiga perempat abad kemudian inilah yang sering dialami:
”musyawarah” bisa berarti pengekangan yang tersamar
terhadap pendirian yang berbeda; ”perwakilan rakyat” jadi
parlemen yang diangkat seorang diktator atau diseleksi para
pendukung oligarki. Tak jarang dari sana berkuasa suara yang
digerakkan hasutan, uang suap, atau kepicikan.
Kemudian, mimpi yang ramah 1945 pun terguncang
bersama sejarah dunia yang terguncang. Tiga kali, setidaknya.
Yang pertama gagalnya ikhtiar besar untuk mendirikan
masyarakat yang tumbuh dalam kesetaraan. Sosialisme bukan
lagi janji masa depan yang pasti; sosialisme kini jadi petilasan
masa silam—mungkin terasa indah atau sebaliknya grotesk,
tapi tak bergerak.
Yang kedua ketakaburan dan kesia-siaan ”globalisasi”.
Pernah ada janji, menyebarnya modal dan perdagangan
bebas ke segala penjuru akan membuahkan rasa kenyang
dan perdamaian. ”Tak ada dua negeri yang sama-sama punya
McDonald’s pernah bertempur satu sama lain, sebab masing-
masing punya McDonald’s-nya sendiri,” kata suara yang paling
optimistis tentang globalisasi, diwakili Thomas L. Friedman.
Tapi ternyata McDonald’s bukan lambang dan jalan
damai, melainkan, sebagai modal, penyebab kegendutan dan
keretakan. Hanya sedikit yang bisa menikmati akumulasi
modal global—dan bagi yang tak kebagian, McDonald’s (atau
mobil Ferrari, atau koper Louis Vuitton) menandai sesuatu yang
mudah dicurigai: benda dari kebudayaan dan keserakahan
asing. Globalisasi pun ditentang—juga di Amerika Serikat dan
426 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka AMARAH
Eropa, dua wilayah ekonomi yang paling kuat berperan dalam
penyebaran modal yang lepas dari perbatasan itu.
Yang ketiga: kegalauan, amarah, dan kekerasan yang
merundung orang-orang beragama. Yang paling nyaring, kita
tahu, terdengar dari ”dunia Islam”.
Dalam sebuah esai yang baru-baru ini terbit di The
Guardian, yang merekam dengan peka dan menilik dengan
dalam hiruk-pikuk dewasa ini, Pankaj Mishra menyebut masa
ini sebagai ”Zaman Kemarahan”.
Ia tak membatasi ”kemarahan” kolektif itu di dunia Islam
tempat terorisme tumbuh. Amarah yang seperti api dalam
sekam itu juga terdengar sebagai suara pelbagai kaum di
pelbagai negeri. Tapi Indonesia hari-hari ini menyaksikan
yang lebih khusus—sesuatu yang tak dikenal tiga perempat
abad yang lalu, dalam mimpi ramah para pendiri Republik:
kebencian yang diteriakkan, permusuhan yang menghalalkan
fitnah dan dusta, demagogi ala Rizieq.
Apa gerangan sebabnya? Mishra menyebut satu pengertian
yang dulu antara lain dikemukakan Nietzsche ketika
mengamati gejala psikologi kaum yang beragama: ressentiment.
Dalam kata ini terkandung ”paduan yang intens rasa iri, rasa
terhina, dan tak berdaya”—seperti dahulu, ketika para ulama
Yahudi dikungkung hegemoni Romawi.
Kini di kalangan ulama Islam ressentiment itu juga
menunjukkan sesuatu yang intens: sebuah frustrasi. Mereka
sadar tapi tak mau mengakui bahwa apa yang disebut ”Barat”,
yang sebenarnya campuran yang hidup dari pelbagai anasir,
tak henti-hentinya berada dalam hegemoni, sementara dunia
Islam tak mampu lagi menghasilkan sesuatu yang berarti bagi
Catatan Pinggir 12 427
http://facebook.com/indonesiapustaka AMARAH
peradaban. Frustrasi itu jadi suara amarah yang makin nyaring
tapi tak beroleh jalan ke luar, kecuali penghancuran.
Sampai kapan, kita tak tahu. Yang jelas, Indonesia bisa
terbangun dari impian ramah 1945—atau cuma ketakutan.
TEMPO, 18 Desember 2016
428 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka Calas
IA tak percaya kepada agama apa pun. Voltaire hanya percaya
kepada Tuhan—dan ia selalu dikenang karena kecamannya
yang keras dan mendasar. Dan bertalu-talu.
Sastrawan, penulis lakon, esais, dan pemikir yang
terkemuka di Eropa ini menggugah dalam menyampaikan
pikiran, kocak dalam mengejek. Nada tulisannya ceria, baik
dalam berkisah maupun dalam polemik. Tapi sejak awal 1760-
an, Voltaire kehilangan sikap cerianya; dari penanya lahir
pamflet-pamflet yang marah.
Persisnya sejak Maret 1762, setelah seseorang bernama Jean
Calas dijatuhi hukuman agar disiksa dan dibunuh.
Syahdan, saudagar tekstil yang sukses di Toulouse ini di
umur 68 tahun dihukum karena kematian anak sulungnya,
Marc-Antoine. Bersama tiga anaknya yang lain dan seorang
pelayan, Calas dituduh berkomplot membunuh pemuda
itu. Dugaan, atau dakwaan, atau desas-desus: mereka, orang
Protestan, melakukan kejahatan itu karena marah ketika tahu
anak muda itu telah murtad dari agamanya dan siap memeluk
keyakinan Katolik.
Keluarga Calas membantah: Marc-Antoine mati karena
gantung diri. Pemuda berumur 29 tahun itu masuk ke sekolah
tinggi hukum, tapi tanpa harapan akan dapat bekerja. Undang-
undang Prancis waktu itu melarang orang berpraktek sebagai
dokter dan pakar hukum kecuali bila ia punya sertifikat yang
menunjukkan ia seorang Katolik. Marc-Antoine menolak
Catatan Pinggir 12 429
http://facebook.com/indonesiapustaka CALAS
berpindah agama, tapi ia juga tak bisa cari nafkah lain dan
tak menyukai bekerja di toko ayahnya, sementara utangnya
menumpuk di meja judi. Agaknya pemuda pemurung
ini jengkel dengan nasibnya, merasa hina-dina di antara
keluarganya, atau putus asa—dan memilih mati.
Seharusnya Calas mengungkapkan itu kepada polisi. Tapi
ketika ia diinterogasi pertama kalinya, ia mencoba membuat
cerita bahwa Marc-Antoine tewas terbunuh, dan si pembunuh
raib. Agaknya ini caranya untuk mengelakkan sesuatu yang
juga menakutkan: di masa itu, di Prancis, jasad seseorang yang
bunuh diri akan ditelanjangi dan diseret sepanjang jalan. Tapi
dengan cerita palsunya, Calas membuat penyebab kematian
Marc-Antoine makin kabur. Para dokter yang memeriksa
mayatnya menyimpulkan: pemuda malang itu ”digantung
hidup-hidup, oleh dirinya sendiri atau oleh orang-orang lain”.
Tiga puluh enam jam setelah disekap di dalam sel bawah
tanah, barulah Calas mengatakan: Marc-Antoine ”digantung
hidup-hidup oleh dirinya sendiri”.
Sistem peradilan Prancis di abad ke-19 tak punya asas
”praduga tak bersalah” atau cara lain untuk melindungi
seorang tersangka dari prasangka dan fitnah. ”Satu bisikan
dapat mematikan bagaikan sampar,” kata seorang penulis.
Dan di hari-hari itu, sampar berkembang lewat desas-desus
dan kabar angin, tatkala penyebab kematian anak muda itu
serba meragukan.
Pada akhirnya Calas dibawa ke depan mahkamah
(”parlemen”) dan para hakim yang mengadilinya memutuskan:
si terdakwa harus dipaksa agar menunjuk nama-nama anggota
komplotannya—lalu tubuhnya dipatahkan dengan roda, dan
430 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka CALAS
dibakar.
Calas tak menyebut nama siapa pun, sebab memang tak
ada. Maka siksaan dijalankan. Ada tahap ketika mulutnya
dicagak dengan dua tongkat agar terbuka dan disentor air
berkendi-kendi dan kemudian lubang hidungnya dipencet.
Ketika tak ada juga pengakuan, ia dibawa ke depan umum,
diarak ke alun-alun, diangkat ke perancah, dan diikat ke
sebuah salib berbentuk X. Seorang algojo dengan besi panas
menghancurkan tulang-tulang orang tua itu. Setelah tubuhnya
patah, ia ditautkan dengan sebuah roda dan mukanya
dihadapkan ke langit. Dua jam lamanya. Tapi ia tak juga
mengakui kesalahannya, tak mau melepaskan imannya. ”Aku
mati tanpa salah,” katanya. Ia dicekik. Tubuhnya dilontarkan
ke api....
Écrasez l’ infame! Ganyang kekejian itu! Dengan dua
kata itu, yang artinya tak pernah persis tapi semangatnya
menggelegak, Voltaire pun menyatakan perangnya kepada
kebencian yang dinyalakan fanatisme agama. ”Orang yang
mengatakan kepadaku, ’Berimanlah dengan imanku, kalau
tidak, Tuhan akan mengutukmu,’ kini akan mengatakan,
‘Berimanlah dengan imanku, kalau tidak, aku bunuh kau’.”
Voltaire sendiri beriman kepada ”wujud” yang maha-luhur,
tapi ia ”tak bergabung dengan salah satu sekte yang akan saling
bantah.” Agama seorang ”deist”, katanya, adalah agama paling
purba: semata-mata menjunjung satu Tuhan yang mendahului
”semua sistem di dunia”.
Ia telah menyaksikan bagaimana ”sistem” itu—sistem
kepercayaan itu—tidak hanya mengikat, tapi juga membuat
kecurigaan mudah dan paranoia gampang. Juga: permusuhan
Catatan Pinggir 12 431
http://facebook.com/indonesiapustaka CALAS
dan prosekusi. Risalah tentang Toleransi yang ditulisnya ia
tutup dengan sebuah doa: ”Semoga semua variasi kecil ini
yang membedakan tiap zarah yang bernama manusia tak akan
memicu kebencian dan penindasan.”
Di tengah suasana yang menyesakkan seperti Prancis di
abad ke-18 itu, Voltaire seakan-akan berdoa di samping kita, di
Indonesia, kini.
TEMPO, 25 Desember 2016
432 Catatan Pinggir 12
INDEKS
http://facebook.com/indonesiapustaka A Bonaparte, Napoleon 12, 377
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi Bookchin, Murray 199
Boym, Svetlana 246
9 Brecht, Berthold 70, 381-384
Abu Bakar al-Baghdadi 221 Breton, André 355
Adorno, Theodor 199, 283, 335 Budiardjo, Carmel 293
Akonjee, Maulama 361 Budiman, Arief 205, 210
Alisjahbana, Takdir 73, 133, 307 Buendia, Aureliano 35, 36
Amangkurat 261-264, 337-340 Bulgakov, Mikhail 279
Amichai, Yehuda 317, 318, 320 Bunsal, Januminro 267, 268
Anderson, Benedict 209, 211-214, C
Calas, Jean 429
216, 217, 242, 244, 404 Calasso, Roberto 299
Anwar, Rosihan 89 Camus, Albert 73, 75, 205, 238,
Anwar, Chairil 51, 107, 121, 124,
270
133, 204, 335, 359, 365, 377, Carroll, Lewis 40, 42
416, 424 Castro, Fidel 421-424
Apin, Rivai 108, 140 Changgeng, Li 85
Arendt, Hannah 295 Chwang, Yuan 98
Attar 325-328 Cisneros, Francisco Jiménez de
Ayaan Hirsi Ali 197-200
B 306
Bakhtin, Mikhail 324 Coen, Jan Pieterszoon 329-331
Bastian, Adolf 87 Cohen, Matthew Isaac 401-403
Baudelaire, Charles 333-335, 378, Cornford, John 365-368
379 D
Benjamin, Walter 168, 379, 386 Dalai Lama 96
Benn, Gottfried 70 Danton 59-62
Bergson 92, 93 Darwin, Charles 141, 143, 367
Bhima 230, 289, 389-392 Dawkins, Richard 283
Bisri, Mustofa 297-300
Catatan Pinggir 12 433
INDEKS
http://facebook.com/indonesiapustaka Derrida, Jacques 131, 292, 293, H
296 Habermas, Jürgen 346
Hae, Zen 3
Dinata, Nia 369, 370 Hamid, Amarzan Ismail 296
Dix, Otto 374 Hamzah, Amir 138, 166, 250
Djoen, Oey Hay 296 Hardojo 296
Drupadi 230, 289 Hardt, Michael 275
Dursasana 230, 289 Hassan al-Sabbah 222, 305, 307,
Dylan, Bob 393-396
E 308
Eagleton, Terry 6 Hatta, Muhamad 307, 406
Eco, Umberto 257 Haussmann, Baron 377, 378
Einstein, Albert 269-272, 282 Havel, Vaclac 37, 38, 231
Eisenhower 37 Havelaar, Max 330
Engels, Friedrich 273 Hegel, Georg Wilhelm Friedrich
Fansuri, Hamzah 23
Fayadh, Ashraf 253-256 241, 242, 291, 351
Foucault, Michel 32, 255, 256, 315 Heidegger, Martin 100, 162-164,
Friedman, Thomas 275
Fuadi, Ahmad 299 202, 203
G Heine, Heinrich 305
Galilei, Galileo 281-283 Heinemann, Margot 366-368
Galip 15-17, 149, 152 Hemingway 108, 193, 194, 367
Geertz, Clifford 322 Hirani, Rajkumar 23
Gibran, Kahlil 265, 268 Hitler, Adolf 29, 57, 70, 229, 247,
Gobineau, Arthur de 397, 398,
307, 374, 398, 399, 407
413-416 Hooker, Virginia 8
Godber, Peter Fitzroy 19, 21 Houellebecq , Michel 51-54
Goens, Rijcklof van 263 Huang , Wen 64
Goethe 12, 13, 269 Hugo, Victor 379
Gogh, Van 161, 163, 197, 198 I
Gramsci, Antonio 285, 287 Ibarra, José María Velasco 385,
Grass, Gunter 67-70
Guevara, Ché 315, 422 387
Isak, Joesoef 296
Ismail, Usmar 134, 369
J
J.J. Abrams 227
434 Catatan Pinggir 12
INDEKS
http://facebook.com/indonesiapustaka Jacotot, Joseph 287 Malraux, André 133, 367
Jeffers, Robinson 231 Mandelstam, Osip 254
Jefferson, Thomas 139 Marcos, Subcomandante 313-316
Jenar, Syekh Siti 415 Marion, Jean-Luc 61, 284
Jing, Wong 19 Márquez, Gabriel García 35
Johnson, Boris 342 Marti, José 421-422
K Marx, Karl 80, 84, 187, 238, 273,
Kaliayev, Yanek 205, 206
Kalmar, Ivan 350 291, 311, 315, 355, 366, 422
Kalyayev, Ivan 239 Mayakovski 309-312
Kartini 137, 166, 358 McGlynn, John H. 8, 9
Kermani, Navid 177-180, 326, 327 Mix, Tom 226
Ketua Mao 235 Monginsidi, Wolter 290, 293
Keulemans, Chris 189, 190 Monnet, Jean 346, 347
Khan, Aamir 23 Mooijman, Willem 373
Khrushchev, Nikita 312 Mourad, Romo 177-179
Klee, Paul 246 Mrazek, Rudolf 89
Knackfuss, Hermann 399 Murakami, Haruki 82
Kubrick, Stanley 225 Napoleon III 377, 378
Kundera, Milan 289 Negri, Antonio 275
Kurtz 223, 224 Nietzsche, Friedrich 140, 239, 319,
L
Lang, Fritz 153-155 427
Leibniz 29, 363 O
Lenin 80, 81, 287, 311, 355, 374 Oetama, Jakob 242
Lubis, Mochtar 72, 307 Omar 11
Lucas, George 225 Oppenheimer, Joshua 36, 157, 158
Luther, Martin 258, 363 Orwell , George 191, 192
M P
Mada, Gajah 31, 322 Pamuk, Orhan 15
Madasari, Okky 301 Pangeran Alit 263
Mahieu, Auguste 403 Pangeran Purbaya 262
Mahomet 11-14, 52 Pasternak, Boris Leonidovich 310
Mallarmé, Stéphane 254, 255, 333 Peris, Daniel 80
Picasso 254, 255, 355, 356, 367,
373-375
Catatan Pinggir 12 435
http://facebook.com/indonesiapustaka Pilatus, Pontius 277-280 INDEKS
Pirsig, Robert M. 250, 251
Plato 6, 57, 58, 333 Spivak, Gayatri Chakravorty 285,
Poe, Edgar Allan 334 286
Pol Pot 77, 229
Prapanca 321-323 Stalin 72, 80, 81, 192, 229, 254,
Proudfoot, Ian 8 310-312, 355, 374, 381, 387
Quixote, Don 111-114, 422
R Sukarno 170, 210, 307, 373
Raymond, Alex 226, 267 Sultan Agung Mataram 262
Rediger 51, 52 Sultan Amangkurat II 229
Redondi, Pietro 282 Syahdan 16, 85, 115, 183, 201,
Reid, Anthony 146, 172
Ren, Kylo 228 358, 429
Rénan, Ernest 169 Syekh Abu Muhammad al-Adnani
Rendra 124, 126, 417, 418
Rivera, Diego 353-356 222
Ronggowarsito 107 T
Rowland, Wade 282 Taylor, Jean Gelman 330
Rumi, Jalaluddin 91, 129 Thay, Yap Gwan 402
S Toer, Pramoedya Ananta 32, 237,
Said, Edward 78, 88
Saleh, Muhammad 8, 9 295, 307
Sani, Asrul 74, 108 Truman, Harry S. 36, 37
Santoso, Tosca 266 Trump, Donald 229, 409, 410-
Scott, James 267
Setiawan, Hersri 4 413, 424
Sharma, Anushka 25 Trunajaya 229-231, 264
Shaw, George Bernard 271 V
Situmorang, Sitor 3, 5, 6, 27, 123 Verlaine, Paul 333, 335
Sokrates 274 Voltaire 11-14, 52, 429, 431, 432
Soeharto 181, 184, 186, 187, 213, W
Wahid, Abdurrahman 295
215, 265, 266, 293, 307 Wallace, Alfred Russel 141
Sombart, Werner 273 Widodo, Joko 291
Wilhelm II 399
436 Catatan Pinggir 12 Winchester 7, 9
Wispi, Agam 3, 5
Wright , Richard 71-74
Wuruk, Hayam 321-323
Y
Yew , Lee Kuan 55
INDEKS
Yiwu , Liao 63, 85
Z
Zedong, Mao 31, 138, 387
Zeno 282
Žižek, Slavoj 238
Zopire 11, 12
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 12 437
http://facebook.com/indonesiapustaka
438 Catatan Pinggir 12
http://facebook.com/indonesiapustaka Goenawan Mohamad
SELURUH karir kepenulisan Goenawan Mohamad bergerak di wilayah luas
pemaknaan. Ia turut menyumbangkannya melalui perangkat pembentuk makna
yang ampuh: tafsir.
Sepanjang menyangkut fiksi, ruang tafsir terbuka selebar-lebarnya. Dalam
pasar dan kontestasi makna itulah Catatan Pinggir memainkan peran aktif, meski
ia melakukannya tanpa ambisi tinggi; hal yang memungkinkan staminanya terjaga
hingga memasuki dekade kelima.
Dengan bentuknya yang ringkas-padat, Catatan Pinggir seperti gumaman
kakofoni di tengah ceramah tokoh-tokoh besar—para pejabat negara, pemimpin-
pemimpin dunia, ulama yang dipanuti jutaan orang, ilmuwan yang disanjung berkat
temuan-temuan besar mereka.
Jika celetukannya tak digubris—ia tahu inilah yang selalu terjadi—ia tak jera. Dari
pinggir, ia terus mencatat tiap pekan, sebab barangkali ia terutama sedang mencoba
merumuskan tafsir baru atas fiksi lama maupun baru untuk membentuk pemaknaan
baru buat dirinya sendiri, dan mungkin sejumlah lingkungan audiens sasarannya.
Bentuk pendek Catatan Pinggir itu cocok pula untuk memenuhi kecenderungan
penulisnya yang tak berminat menuntaskan pembahasan, sebab ia tak percaya isu-
isu pelik kegemarannya bisa dibahas tuntas. Ia selalu memilih kebelumselesaian.
Selain penulis terbaik Indonesia sepanjang masa, Goenawan Mohamad adalah
salah satu stylist terbaik dunia.
Ada tiga resep ampuh untuk dapat menghasilkan tulisan sebaik karyanya. Sayang
sekali tidak ada orang lain yang tahu satu pun dari ketiganya.
(Hamid Basyaib)
ii Catatan Pinggir 6