The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by suharnowo, 2021-11-04 03:02:50

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka KPK

Tapi pada akhirnya kedaulatan itu bertopang pada
legitimasi yang contingent. Tak ada dasar yang a priori yang
membuat kedaulatan itu, dan para pemegang kekuasaan
istimewa itu, datang begitu saja.

Dengan kata lain, di ”daerah tak bertuan”, kekuasaan justru
semakin perlu pembenaran. Apalagi kekuasaan yang diperoleh
ICAC dan KPK bersifat derivatif: bukan datang dari pil­ihan
rakyat—sumber mandat sebuah demokrasi—melainkan­dari
badan-badan yang dipilih rakyat. Ia terus-menerus butuh
pihak di luar dirinya. Ia butuh sekutu, dengan segala risikonya.
Bahwa tugas ICAC maupun KPK merupakan tugas luhur
yang mengatasi kepentingan sepihak, tak berarti politik (”the
political”) berhenti. Kekuasaan selalu ada bersama resistansi
ter­hadap dirinya.

Maka konflik bukanlah sesuatu yang mengejutkan.
Sengketa bahkan bisa lebih panjang ketimbang sebuah cerita
film Hong Kong. Adegannya mungkin kurang brutal dan
dramatis,­tapi akan ada korban manusia yang bersalah atau tak
bersalah. Sebab, di ”daerah tak bertuan”, perjuangan melawan
korupsi­ adalah perebutan tiap jengkal ruang strategis yang
tersedia. Ti­ap benteng harus dikuasai, bukan dikosongkan.
Tiap langkah adalah kesetiaan, dengan kegemasan, tapi juga
dengan organi­sasi yang dipersiapkan untuk perang 100 tahun.

TEMPO, 1 Februari 2015
Dimuat kembali dari TEMPO edisi 5-11 Oktober 2009

22 Catatan Pinggir 12

PI-KAI

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah,
mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah.
Dari Barus ke Qudus terlalu payah,

akhirnya dijumpa di dalam Rumah.

http://facebook.com/indonesiapustaka EMPAT abad semenjak Hamzah Fansuri mencari Tuhan­
di Ka’bah dan menulis syair Sidang Ahli Suluk, ada
seorang makhluk angkasa luar yang dengan susah payah juga
men­cari Tuhan.

Dengan catatan: ini sebuah dongeng modern. Persisnya,
sebuah satire. Saya mengikutinya, dan menikmatinya, di
sebuah bioskop: film PK, karya sutradara Rajkumar Hirani.

”PK” adalah nama yang diberikan kepada sesosok makhluk
angkasa luar yang turun di Rajasthan, dari kata ”pi-kai”,
kata Hin­di yang kurang-lebih berarti ”slebor”. Makhluk itu,
dimainkan oleh aktor Aamir Khan dengan sangat bagus,
dianggap ma­nusia bumi sebagai seseorang yang oleng
pikirannya.

Ia memang tampak demikian. Begitu turun ke bumi, alat
komunikasinya dengan pesawat ruang angkasanya dicuri
orang. Ia memburu benda itu—tapi ia tak bisa berbahasa
manusia. Ia sosok yang ganjil. Ke mana-mana ia bertelanjang
bulat. Ia baru mendapatkan pakaian dari mencuri baju dan
celan­ a pasangan manusia yang menanggalkan pakaiannya
untuk­ ber­setubuh di dalam mobil yang diparkir. Setelah

Catatan Pinggir 12 23

http://facebook.com/indonesiapustaka PI-KAI

melalui sa­lah paham yang merepotkan, ia baru bisa berbahasa
manusia—­ dalam hal ini bahasa Bhojpuri—setelah menyedot
isi kesadar­an seorang pelacur dengan cara memegang
tangannya erat-erat se­lama beberapa jam.

Dengan kecakapan baru itu ia meneruskan perjalanannya
men­dapatkan kembali instrumennya yang hilang. Ia ke Delhi.
Tapi tentu saja di kota dengan penduduk lebih dari 11 juta itu ia
ibarat mencari sebutir kedelai dalam unggunan kacang polong.
Hanya Tuhan yang tahu, begitu ia dengar orang menjawab
pertanyaannya.

Maka ia pun mencari Tuhan.
Ia tak tahu bagaimana wujud Tuhan. Ia pun datang ke
dal­am kuil Hindu, gereja Katolik, masjid, dan menjalani
ritual yang (menurut kata orang) dikehendaki Tuhan agar
permintaannya dipenuhi. Ia mencoba—dalam keadaan putus
asa—berh­ ubungan dengan Yang Maha-Tahu dan Maha-
Penolong. Tapi orang ramai tak paham. Ia malah dikejar-kejar
karena dianggap mencemari apa yang sakral.
Akhirnya ia mulai melihat bahwa berhubungan dengan
Tuhan sebagaimana ditentukan agama-agama tak akan
mend­ apat­kan apa-apa. Bahkan teperdaya. Bahkan bisa
menghasilkan sesuatu yang negatif. Manusia di dunia
mencoba mengontak yang ilahi, tapi itu seperti seseorang
yang menelepon dan ter­sam­bung pada nomor yang salah dan
mendapat jawaban yang bu­kan dari Tuhan sendiri.
”Salah nomor” adalah sindiran film ini kepada agama-
agam­ a. Di balik nomor yang salah itu yang bersuara adalah
kehau­ sa­ n manusia akan kuasa. Personifikasinya adalah
seseorang yang diagung-agungkan sebagai aulia besar, Tapasvi

24 Catatan Pinggir 12

PI-KAI

http://facebook.com/indonesiapustaka Maharaj. Orang bertubuh tambun dan tinggi ini dengan
efektif mempertontonkan wibawa. Ia mengeluarkan fatwa dan
petunjuk yang diyakini umat, meskipun menyesatkan. Umat
takut, me­rek­ a cemas, dan dengan mudah mempercayainya.
Juga ketika fatwa itu tak adil, atau menimbulkan penderitaan,
atau mem­ int­a orang mempersembahkan segalanya untuk
kemegahan sang pemberi sabda.

Akhirnya PK membongkar semua itu: kita telah ”salah
nomor”. Dan di mana Tuhan? Tetap tak ada yang tahu,
meskipun iman tetap utuh.

Yang jelas, penghuni angkasa luar itu mendapatkan
kembali alat komunikasi yang dicarinya dengan susah payah
karena per­sentuhannya dengan manusia—dalam hal ini Jaggu
(dimaink­ an Anushka Sharma), seorang gadis presenter TV
yang dengan setia mendampinginya.

Juga seseorang yang mengalami bagaimana agama-agama
mem­ isahkannya dari laki-laki yang dicintainya, Sarfaraz,
seorang­pria muslim, hidup di Pakistan.

Dengan kata lain, Tuhan yang tak tampak, yang selamanya­
dic­ ari, sebenarnya dapat ditemui ketika seseorang terketuk
hati­nya oleh seorang lain, melampaui ketakutan, kecurigaan,
dan kebencian. Satire yang kocak dan tajam dalam PK
mengand­ ung­sesuatu yang sering diingatkan seorang sufi .

Ada bait lain dalam Sidang Ahli Suluk yang seperti itu:

Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata.

Catatan Pinggir 12 25

http://facebook.com/indonesiapustaka PI-KAI

Tuhan ”terlalu nyata”, bila kita tak menutup mata kita
sebagai bagian dari sesama yang fana, tapi sebenarnya tak bisa
di­simp­ ulkan dengan gampangan.

TEMPO, 8 Februari 2015

26 Catatan Pinggir 12

PEGIDA

Di udara dingin mengaum sejarah

http://facebook.com/indonesiapustaka —Sitor Situmorang (1923-2014)

DI udara dingin malam itu yang mengaum di alun-alun
tua Kota Frankfurt tak hanya satu sejarah. Dua, tiga,
mungkin lebih.

Sekitar 17 ribu orang berdesakan di Römerberg, di tengah
kompleks seluas 10 ribu meter persegi itu. Sambil melindungi­
diri dari gerimis dalam suhu 2 derajat, mereka hadir untuk
menyatakan bahwa mereka, orang Jerman, penghuni
Frankfurt, me­nentang Pegida, gerakan anti-Islam yang malam
itu juga ber­encana menghimpun 500 pendukungnya di bagian
lain kota.

Pidato pun disuarakan, disambut tepuk tangan, terdengar
lag­ u dan musik, dan saya lihat seorang anak memegang poster:
Gehört Islam zu Deutschland? Bagian dari Jermankah Islam? Di
bawah pertanyaan itu tertulis jawabannya dengan huruf besar
ber­warna merah: Ja.

Malam itu, kata ”Ja” itu terasa menyentak. Kini ia jadi
sebu­ah antithesis. Pegida, singkatan dari Patriotische Europäer
Gegen die Islamisierung des Abendlandes (”Patriot Eropa
Melawan­Islamisasi Dunia Barat”), yang bermula di Dresden
Oktober­ 2014, telah membangkitkan para penentangnya.
Mereka da­tang dengan gelombang yang lebih besar, ketika

Catatan Pinggir 12 27

http://facebook.com/indonesiapustaka PEGIDA

melihat dukungan makin meluas buat para ”patriot” yang
ingin menjaga Ero­pa dari ”Islamisasi” itu.

Pegida memang punya daya tarik. Gerakan politik yang
berhasil selalu dimulai dengan mengisi lubang yang timbul
kar­ena ada yang direnggutkan dari impian orang banyak.
Peng­anut Pe­gida berangkat dengan semboyan ”Menentang
fanatism­ e aga­ma... bersama-sama tanpa kekerasan”. Atau:
”Menentang­per­ang agama di tanah Jerman”.

Artinya Pegida punya daya tarik karena fanatisme serta ke­­
kerasan mengerikan yang ditunjukkan sebagian orang Islam—­
dan daya tarik itu universal.

Tapi yang ”universal” tak bisa bertahan bersama paranoia.
Pa­ranoia bisa bersenyawa cepat dengan kebencian, dan
kebencian bisa kuat karena keyakinan. Tapi di ujung semua itu,
yang ”uni­versal” ambruk. Sejarah kemudian akan mencatat
dua per­ist­iwa murung: kerusakan dan/atau kekalahan.

Malam dingin Januari 2015 itu, orang Frankfurt
berhimpun di Römerberg, di sekitar ”Pancuran Keadilan”,
karena cemas tentang apa yang akan terjadi dengan kebencian.
Gerechtigkeitsbrunnen, nama Jerman untuk fonten yang
dihiasi patung dewi itu, didirikan 600 tahun yang lalu di sana.
Dulu, ketika seorang kaisar dinobatkan, dari fonten itu akan
mengucur anggur. Orang berpesta. Tapi tak selamanya hanya
cerita suka­cita. Perang Agama pada abad ke-17, ketika selama
30 tahun orang Katolik dan Protestan saling bunuh, menyebar
kematian dan kehancuran juga di Frankfurt. Patung di atas
Gerechtigkeitsbrunnen itu salah satu saksinya. Pada 1863,
penyair lokal Friedrich Stoltze melukiskannya dengan cemooh
yang pahit: ”Ini dia Dewi Keadilan! Ia tampak mengerikan;

28 Catatan Pinggir 12

PEGIDA

http://facebook.com/indonesiapustaka timbangan di ta­ngannya musnah... direnggutkan setan, ia
kehilangan separuh tangannya.”

Kalaupun 17 ribu orang Frankfurt tak semuanya ingat
Pe­rang­Agama 30 Tahun, mereka pasti ingat Perang Dunia
II: hamp­ ir semua bangunan di sekitar alun-alun itu luluh-
lantak dihantam bom Inggris dan Amerika. Kehancuran
dimulai ketika Hitler ingin memperkuat Jerman dengan
pekik keadilan ta­pi timbangan keadilan di tangannya musnah
karena Jermannya adalah negeri dengan kebencian.

Jika sebagian besar orang Jerman kini menolak—dengan
ra­sa cemas—arus pasang Pegida, tentu karena mereka selalu
ingat kebencian itu, tentang Auschwitz dan kamp-kamp
konsentrasi lain tempat orang Yahudi dan yang ”kurang-
Jerman” dihabisi. Dan tak mudah mereka melupakan Dresden
dan Berlin yang hancur berkeping-keping bersama jatuhnya
Hitler dan Partai Nazi.

Tapi ingatan selalu disertai lupa, dan kebencian bisa
kambuh lagi di celah-celahnya.

Bukan karena dalam sejarah melekat kebencian yang
kekal. Apa yang tampak berulang sesungguhnya bukan
repetisi, melainkan kelahiran baru yang berbeda dengan yang
sebelumnya. Pada suatu masa di abad ke-17 Leibniz, filosof
yang merasa­ harus membela agama Protestan, memandang
Islam sebagai ”wa­bah”, la peste de mahometisme. Ia hidup ketika
militer Turki­ke Eropa sangat dirasakan. Kini fobia terhadap
Islam berkecam­ uk karena kekejaman teror IS, keganasan Boko
Haram, fanatisme Taliban dan para pendukungnya.

Maka bersama kebencian yang berbeda, persekutuan
keben­cian juga bisa berubah. Kaum pendukung Pegida kini

Catatan Pinggir 12 29

http://facebook.com/indonesiapustaka PEGIDA

bersekutu dengan sebagian kaum Zionis yang menganggap
teror­ adalah bagian Islam yang hakiki. Dulu, juga kini,
sebagian orang Islam membenarkan Nazi karena memandang
orang Yah­ udi secara esensial harus dibenci.

Di udara dingin, di udara tak dingin, sejarah memang tak
pernah mengaum sendirian.

TEMPO, 15 Februari 2015

30 Catatan Pinggir 12

POLISI

http://facebook.com/indonesiapustaka DARI mana datangnya polisi?
Dikisahkan bahwa kepolisian pertama ada di zaman
Majapahit, ketika Patih Gajah Mada membentuk pasukan
bersenjata ”Bhayangkara” untuk menjaga keamanan kerajaan.
Sa­y­ a tak punya cukup pengetahuan untuk membuktikan
bahwa ini bukan hanya imajinasi. Yang tampaknya luput
dalam sejarah ini adalah pentingnya membedakan sebuah
kerajaan abad ke-14 dari sebuah republik di abad ke-21.

Sebuah kerajaan abad ke-14 menegaskan sumber
legitimasinya pada diri seorang penguasa yang berakar di
sebuah dinasti­dan didukung sederet mithos. Sebuah republik
sama sekali bed­ a: Republik Indonesia mengedepankan diri
(dan diterima) sebagai sebuah kekuasaan yang sah melalui
revolusi.

Revolusi 1945 itu sederhana tapi ajaib. Mao Zedong pernah
mengatakan bahwa kekuasaan datang dari laras bedil, tapi hari
17 Agustus itu tak ada bedil yang dipakai untuk mendirikan
ked­ aulatan. Yang kedengaran hanya sebuah pernyataan ”atas
nam­ a bangsa Indonesia”. Dengan suara Bung Karno yang agak
menggeletar membaca paragraf-paragraf pendek yang diketik
ter­gesa-gesa, sebuah nation dinyatakan ada. Serentak dengan
itu, juga sebuah Negara. Begitu saja: dari imajinasi.

Baru kemudian, Negara itu berubah dari imajinasi menjadi
seb­ uah administrasi. Dengan kata lain, dari sebuah antusiasme
menjadi sebuah rasionalitas.

Catatan Pinggir 12 31

http://facebook.com/indonesiapustaka POLISI

Dalam proses itulah polisi datang. Atau mungkin
datang kem­bali. Kita ingat tokoh Jacques Pangemanann
dalam novel­ Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer: seorang
pengagum Pranc­ is yang yakin dirinya merupakan bagian dari
rasionalitas­—dasar kekuasaan Eropa yang modern. Apa yang
dika­tak­ an Foucault tentang sejarah Prancis abad ke-17 dan ke-
18 pun dianggap berlaku di wilayah yang dikuasai Nederland
di abad ke-20: ”Polisi menandai sebuah program rasionalitas
pemerintahan.”

Dari sanalah datangnya polisi, juga setelah Pangemanann­—
set­elah Revolusi 1945. Artinya setelah sebuah Negara dis­usun
de­ngan pelbagai peraturan dan lembaga pengawasan pun
dipasang.

Namun berbeda dari yang digambarkan Foucault, tak
pernah terjadi pemerintahan, apalagi di Indonesia, yang mirip
Pan­ op­tikon: sistem politik yang mampu membuat penduduk
mer­a­sa kehidupan mereka sedang terus-menerus diawasi.

Mungkin karena Revolusi 1945 telah menerobos hierarki
kek­ uasaan yang lama dan membuat kehendak sama-rata-
sama-r­asa jadi sah. Revolusi seperti itu menandai tak kekalnya
kek­ uas­aan yang bertahan pada ketidaksetaraan, kekuasaan
yang disertai pengawasan yang satu arah—kekuasaan
seperti yang di­gambarkan Foucault: ”Di tepiannya, orang
sepenuhnya dilihat tanpa mampu melihat; di menara pusat,
orang sepenuhnya melihat tanpa bisa dilihat.”

Dalam pengalaman kita, keadaan ”dilihat sepenuhnya”
atau ”melihat sepenuhnya” itu tak pernah terjadi. Polisi
(dengan­”P”, yang dalam makna yang luas adalah sehimpun
instit­us­i pengaturan dan pengawasan) mungkin saja punya

32 Catatan Pinggir 12

POLISI

http://facebook.com/indonesiapustaka ambisi untuk itu. Tapi Indonesia, dengan jumlah penduduk
yang besar dan dengan pulau yang 17 ribu, tak akan terjangkau
oleh ”pengl­ihatan” siapa pun. Sementara itu, Polisi (dengan
”P”) ses­ung­guhnya tak pernah terwujud, sebagaimana
Birokrasi (dengan ”B”), sebagai sarana rasionalitas, tak pernah
terbentuk. Yang ada di Indonesia adalah aparat kekuasaan yang
retak-retak dan liku-liku kantor pemerintahan yang ruwet.

Dan selalu ada perlawanan.
Saya selalu teringat sebuah adegan yang diceritakan seorang
rep­ orter beberapa tahun yang lalu. Di tepi sebuah jalan ke arah
luar kota Jakarta, ia pernah melihat dua orang polisi menjemur­
lembar-lembar rupiah di rumput. Reporter itu kemudian tahu,
uang itu dikeluarkan kedua polisi itu dari kotak korek-api yang
dilemparkan para sopir truk besar yang melintas di sana. Uang
itu basah. Akhirnya reporter itu juga tahu: sebelum para sopir
mel­emparkan uang sogok itu ke luar jendela ke arah kedua
polisi itu—agar perjalanan tak diganggu—lembar-lembar
rupiah itu mereka ludahi. Itu tanda penghinaan dan rasa muak
diam-diam.
Hubungan kekuasaan selalu punya saat yang rapuh. Bahkan­
ketika tak seimbang. Terutama ketika ia tak lagi didukung­
taklid dan keyakinan, sebagaimana di zaman ini. Mereka
yang lemah, yang tertindas, selalu punya siasat bertahan dan
melawan. Michel de Certeau punya deskripsi yang bagus
tentang itu: sementara yang berkuasa punya ”strategi”, mereka
yang dai­f punya ”taktik”. Dalam kiasan De Certeau, taktik itu
adalah la perruque—seperti ketika buruh mengambil waktu
kerja di per­usahaan majikannya untuk dirinya sendiri. La
perruque itu yang juga dipakai para sopir untuk menyuap agar

Catatan Pinggir 12 33

http://facebook.com/indonesiapustaka POLISI

tak ditanyai­po­lisi dan para pelanggar agar lepas dari hukuman.
La perruque bahkan menular ke kantor polisi, peradilan, dan
kantor ke­menterian: para bawahan tak mau patuh karena para
atasan tak pernah acuh.

Itu sebabnya di Indonesia Polisi tak datang.

TEMPO, 22 Februari 2015

34 Catatan Pinggir 12

PEMIMPIN

KEKUASAAN mengurung orang dalam kesendirian, dan
terkadang mengutuknya dalam kesepian. Ini bisa terjadi
pa­da pemimpin mana saja, namun hanya sebuah novel yang
bag­ us yang bisa melukiskannya: Cien años de soledad (”Seratus
Ta­hun Kesendirian”), karya tersohor Gabriel Garcia Marquez.

Mari kita baca lagi Marquez ketika ia lukiskan tahapan
hidup­Kolonel Aureliano Buendia sejak kekuasaannya semakin
be­sar.

Di malam itu juga, ketika wewenangnya diakui semua komand­ an
pemberontakan, ia terbangun dengan ketakutan, dan ber­s­eru meminta
selimut. Dingin yang meretakkan tulang-tulangnya, yang menyiksanya
bahkan di bawah terik matahari,­te­lah membuatnya tak bisa tidur selama
berbulan-bulan.... Mabuk kekuasaan yang semula dirasakannya pun mulai
terburai ditempa rasa tak nyaman yang datang bergelombang.... Perintahnya
dilaksanakan bahkan sebelum ia ucapkan, bahkan sebelum ia pikirkan....
Tersesat dalam kesendirian kekuasaannya yang amat besar, ia mulai
kehilangan arah.

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagi sang Kolonel, dalam ”kesendirian kekuasaannya” itu
du­nia dan manusia membuatnya risau. Ketika di dusun sebelah
penduduk mengelu-elukannya dengan ramai, ia bayangkan­
sambutan itu juga diberikan orang-orang itu kepada musuhnya.
Di mana-mana ia merasa orang menggunakan matanya, mat­a
sang pemimpin, dalam menatap, menggunakan suara­nya—­
suara sang pemimpin—sewaktu berbicara. Ia duga me­re­ka

Catatan Pinggir 12 35

http://facebook.com/indonesiapustaka PEMIMPIN

menyalaminya dengan rasa curiga sebagaimana ia menya­lami
mereka.

Dirinya pun terasa tercerai-berai dan lebih sendirian
ketimbang sebelumnya. Dan akhirnya—meskipun di awal
novel­ini disebut bahwa sang tokoh akan mati di depan regu
tembak—­ Aureliano Buendia meninggal tanpa heroisme: ia
mati tersandar di batang pohon castaño tempat ayahnya yang
sakit jiwa bert­ahun-tahun yang lalu diikat. Jalan raya yang
dulu mema­kai namanya kemudian lenyap....

Tentu tak semua orang yang berkuasa akan berakhir suram.­
Tapi satu hal pasti: kesendiriannya. Di puncak piramida
kekuasaan, orang tak akan bisa naik banding. The buck stops
here: sebuah kalimat yang tertulis di atas meja kerja Presiden
Harry S. Truman di Gedung Putih. Jika sebuah kebijakan
sesat, sang presiden itulah yang akhirnya harus disalahkan.
Sang presiden sendiri.

Kesendirian mengandung keberanian, tapi juga sesuatu
yang buruk: keangkuhan. Truman hanya mau melihat dunia
de­ngan sepasang mata sendiri.

The buck stops here: akulah yang memutuskan, akulah yang
bert­anggung jawab. Agaknya itulah sikapnya ketika Agustus
1945 ia perintahkan bom atom dijatuhkan di Hiroshima
dan Na­gasaki. Membunuh hampir 270 ribu orang Jepang,
termasuk para ibu dan anak-anak, Truman tak pernah
menyesal. Ketika Oppenheimer, salah seorang perancang
bom atom, me­ngatakan, ”Pak Presiden, tangan saya berlumur
darah,” Trum­ an­ menjawab ketus: ”Yang berlumur darah
adalah tanganku, dan biarlah ini jadi urusanku.”

Truman tak pernah ragu. Ia tahu bahwa senjata itu sangat

36 Catatan Pinggir 12

PEMIMPIN

http://facebook.com/indonesiapustaka men­ gerikan,jugabagimasadepanmanusia.Dayadestruktifnya
mirip, dalam gambaran Truman, ”Pembinasaan dunia yang
dinubuatkan di zaman Lembah Eufrat di masa Nabi Nuh.”
Ia juga tahu sejumlah jenderalnya, termasuk Eisenhower,­
menganggap Amerika tak perlu menjatuhkan bom atom untuk
menaklukkan Jepang, toh Jepang sudah nyaris menyerah. Tapi
Truman terus. Ia hanya mendengar penasihat yang disukainya:
mereka yang menyetujui pandangannya.

Maka bom itu pun meledak. Sejak itu selama berpuluh
tahun dunia ketakutan, dan perlombaan senjata yang paling
dah­syat dalam sejarah manusia berlangsung. Menuju sebuah
kiam­ at.

Apa yang dapat mencegah seorang pemimpin tertinggi,
dalam kesendiriannya, membuat keputusan yang destruktif?
Ja­wab­an yang sederhana dan tak mengejutkan: percakapan.
Tapi saya kira bukan cuma itu. Justru di pucuk kekuasaan
seseorang perlu melihat bahwa kekuasaan itu tak hanya
membantunya naik, tapi juga memerosotkannya pelan-pelan.

2003: Presiden Vaclav Havel mengundurkan diri dari
kehidup­an politik Cek. Sastrawan ini dulu dipilih jadi kepala
nega­ra setelah ”Revolusi Beludru” yang tanpa percikan darah
itu men­ ang. Mungkin sebab itu ia orang yang peka akan rasa
gen­tar­yang tiap hari harus ditanggung sendiri oleh seseorang
yang berkuasa.

Pidato perpisahannya diucapkan dengan nada murung
tapi dengan kearifan yang dalam. Posisinya selama jadi kepala
negar­a, katanya, bukan menyebabkannya beroleh pengalaman­
yang membuatnya yakin kepada diri sendiri. Justru sebaliknya:
”Tiap hari saya kian menderita demam-panggung, tiap hari

Catatan Pinggir 12 37

http://facebook.com/indonesiapustaka PEMIMPIN

saya­kian takut kalau-kalau saya tak pantas untuk pekerjaan
ini.” Ia sadar, orang sekitarnya, juga hati nuraninya sendiri, tak
lagi ber­tanya apa yang ideal bagi bangsanya dan bagaimana
meng­ubah dunia jadi lebih baik. Lama-kelamaan yang
ditanyakan han­ ya: apa yang sudah dicapainya dan apa yang
akan jadi pen­ inggalannya setelah tak berkuasa lagi.

Mungkin karena ia makin merasa sendirian jauh di atas.
Nun di atas, seorang pemimpin lebih mungkin melihat
liku-liku perjalanan sejarah yang tak bisa ia kuasai. Di sana
pula kes­endirian dalam kekuasaan terasa sama dengan
kesendirian penyair dalam puisi: masing-masing berada dalam
kesunyian yang tak bisa diwakilkan. Tapi, kalaupun sejarah
pernah membuat seorang penyair mengalami posisi penguasa,
kalaupun sejarah menjadikan sang penyair seorang pemimpin,
kita, kata Havel, ”Tak dapat mengharapkan dunia... akan tiba-
tiba jadi se­buah sajak.”
Dunia memang tak akan jadi sesuatu yang indah hanya
berkat kekuasaan seorang pemimpin—kekuasaan yang
mengu­rungn­ ya dalam kesendirian.

TEMPO, 1 Maret 2015

38 Catatan Pinggir 12

Negara

http://facebook.com/indonesiapustaka KE depan sebuah gerbang seseorang datang dari udik dan
berkata kepada lelaki tegap yang ia duga bertugas sebagai
penjaga: ”Saya datang untuk melihat Negara. Saya ingin
masuk ke dalam.”

Orang yang ia duga petugas itu (dengan pakaian hitam yang
mungkin baju seragam) menatapnya sejenak, lalu menjawab,
”Maaf. Ada prosedur.”

Ketika ditanya bagaimana prosedur itu, si penjaga hanya
menggeleng. ”Tak begitu jelas, sebenarnya—kalau saya boleh
berterus terang. Maksud saya, Saudara harus menunggu.”

Maka orang dari udik itu pun menunggu. Sejenak ia waswas
bahwa ia akan di sana lama sekali, menanti, duduk, berbaring,
tidur, bangun, dan seterusnya, sampai entah kapan—ia
waswas bahwa ia sedang berperan dalam sebuah cerita Kafka.

Tapi kemudian ia lihat orang yang ia duga sebagai penjaga
itu tak ada lagi. Tempat itu kosong. Mungkin di sini tak
perlu ada konsistensi. Sekarang terpasang sebuah maklumat:
”Silakan masuk.”

Tamu itu pun masuk.
Dua meter ia melangkah, di hadapannya, agak ke kanan,
terukir sebuah tulisan lain: ”Dilarang membawa hal-hal yang
dilarang.”
Tak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan ”hal-hal”
itu. Maka tamu itu menyimpulkan bahwa maklumat itu hanya
kata-kata yang tak akan punya efek. Ia pun berjalan terus. Ia

Catatan Pinggir 12 39

http://facebook.com/indonesiapustaka NEGARA

memasuki sebuah gang kecil yang berkelok-kelok. Ada bau
sigaret. Toilet. Makanan kecil. Kertas-kertas.

Ia sebenarnya terkejut. Ia semula menyangka Negara
sebuah arsitektur berbentuk bujur sangkar. Tapi yang
ditemuinya sebuah terowongan, mirip labirin, dengan dinding
yang dipasangi beribu-ribu cermin yang, sebagaimana halnya
cermin di kamar kita, tak transparan dan memantulkan semua
hal terbalik.

Sejenak, orang dari udik itu terpekur. Di mana ia
sebenarnya: dalam sebuah cerita Kafka tentang laki-laki yang
entah sabar entah putus asa menunggu terus di depan Hukum
dan Kekuasaan yang tak pernah terbuka? Ataukah ia seperti si
Alice yang memasuki dunia ganjil dalam novel Lewis Carroll,
Through the Looking-Glass?

Mendadak seseorang muncul di tepi terowongan dan
berkata:

”Dilarang membawa kata dari luar.”
”Kata? Dilarang membawa kata? Bapak siapa?”
”Saya pegawai negara.” Ia tak menyebut nama. Hanya
nomor. Wajah orang itu rata. Tingginya rata. Kostumnya tak
berwarna.
”Saya dari bagian wastasing, kantor BLTR.”
Sang tamu dengan segera tahu, ”wastasing” yang baru
didengarnya itu pasti sebuah akronim. Tapi ia tak merasa perlu
menebak apa artinya, juga tak mencoba menduga kata apa
yang diringkus dalam singkatan ”BLTR” itu. Ia merasa tafsir
apa pun tak ada gunanya.
Di belakang pegawai itu ada sebuah pintu yang terkuak ke
sebuah kamar. Di dalam kamar itu tampak ada yang berdesak-

40 Catatan Pinggir 12

NEGARA

http://facebook.com/indonesiapustaka desak: ratusan akronim dan singkatan. Beberapa bertampang
keren dan bergas, tapi sebagian besar mulai kuning dan layu.

”Negara,” kata tamu dari udik itu dalam hati, ”tampaknya
dibuat dari ribuan akronim.” Ia mencoba mengingat-ingat:
Kabag. Kadin. Waka. BPKP. Sudin. BKST. Subdit. TBK.
Karo. PKLN. Tupoksi. Raker. Rusid. Pokja. Ranmor. Miras.
Bareskrim....

Ia mulai melihat, dalam labirin itu akronim dan singkatan
itu berbaris dari lorong ke lorong, dari bilik ke bilik.
Tampaknya mereka saling bisik... ya, mereka berbisik dalam
kombinasi kosakata yang tak bersentuhan dengan percakapan
yang datang dari luar.

Maka yang terdengar adalah sebuah bahasa yang tak
ingin dimengerti dan dirasakan, yang tak bisa dipakai untuk
menganalisis dan bercanda, yang tak dapat melahirkan puisi
atau melontarkan lelucon—sebuah bahasa yang jadi berarti
bagi penghuni Negara karena secara rutin datang dan pergi
dari SK ke SK, dari dokumen ke dokumen, dari kamar rapat
yang satu ke kamar rapat yang lain. Pendeknya, sebuah bahasa
yang cocok dengan sebuah labirin: bahasa yang berhati-hati
dan membingungkan.

Tamu itu pun melangkah terus melalui kamar-kamar
dengan pintu tertutup. Pada jam ketiga ia merasa pegawai
negara dari bagian ”wastasing, kantor BLTR” itu berjalan
mengikutinya.

”Bapak tidak sibuk?” sang tamu bertanya.
”Kita harus bergerak maju,” terdengar jawab. Wajah itu
rata, suara itu rata.
Ketika tamu itu mengernyitkan jidat, pegawai itu pun

Catatan Pinggir 12 41

http://facebook.com/indonesiapustaka NEGARA

menunjuk ke dinding, ke deretan cermin-cermin. Seketika
itu semuanya jadi jelas: seperti sudah disebut di atas, cermin
itu tak transparan dan menampilkan semua hal terbalik. Kiri
adalah kanan. Maju adalah mundur. Gerak adalah mandek.
Tujuan adalah prosedur. Sebab adalah akibat. Peraturan yang
rapi adalah peraturan yang ruwet. Tertib adalah chaos. Sanksi
adalah promosi. Mengamankan adalah membuat rasa tidak
aman. Menjaga adalah memperlemah....

Ketika tamu itu melihat lebih jauh ke dalam cermin, labirin
raksasa itu ternyata mirip sebuah papan catur besar. Di atasnya
bidak-bidak hanya mengikuti kotak dua warna: hitam-putih.
Gerak mereka sudah ditentukan.

Menatap itu dengan agak sedih dan takjub, tamu kita pun
mulai merasa ganjil: ia bukan sedang memasuki sebuah cerita
Kafka. Ia sedang dalam buku Through the Looking-Glass. Lewis
Carroll berkisah bahwa dalam mimpinya Alice naik ke sebuah
papan catur yang absurd, dan bidak Ratu berkata: ”HERE, you
see, it takes all the running YOU can do, to keep in the same place.”

Jika di papan catur ini orang harus berlari sebanyak-
banyaknya agar dapat berada di tempat yang sama, berarti
Negara tak punya arah, demikian tamu kita berpikir. Berarti
tak seperti yang selama ini dibayangkan di luar.

Di luar, Negara memang dibayangkan sebagai alat—untuk
menindas atau sebaliknya untuk melindungi. Tapi ketika tamu
dari udik itu keluar dari dalamnya ia menyimpulkan, ”Saya tak
tahu buat apa sebenarnya labirin itu.”

TEMPO, 8 Maret 2015

42 Catatan Pinggir 12

Pi

Saya bisa bayangkan ucapan penghabisan seorang atheis:
”Putih, putih! K-K-Kasih! Tuhanku!....”

—Life of Pi

http://facebook.com/indonesiapustaka ATHEISME itu sejenis iman. Seorang atheis yakin Tuhan
tak ada. Ia bukan seorang agnostik. Sang agnostik tak
punya keyakinan apa-apa.

Maka bagi Piscine Molitor Patel, alias Pi, orang-orang
atheis sejajar dengan dirinya yang meyakini Tuhan. ”Seperti
halnya aku,” kata tokoh novel Life of Pi ini, ”orang-orang atheis
menjelajah sejauh nalar membawa mereka—dan kemudian
mereka melompat.”

Pi juga ”melompat” ke arah lain: ia mempercayai Tuhan. Ia
beriman karena ia secara berani menyeberang ke dalam entah,
ketika nalar tak bisa menjangkau.

Dalam hal ini, yang dikisahkan Yann Martel dalam
Life of Pi bisa dikatakan versi pemikiran eksistensialis ala
Kierkegaard—hanya jauh lebih memikat.

Bagi Kierkegaard, apa yang oleh orang banyak dianggap
”keyakinan” sebenarnya adalah ”harapan”, karena dengan itu
orang berharap sesuatu itu benar. Sebaliknya iman yang sejati
mempercayai sesuatu meskipun tahu bahwa tak ada alasan
buat mempercayainya. Iman adalah passion. Iman adalah
gairah yang membuat kita tergerak berpegang erat-erat dalam

Catatan Pinggir 12 43

http://facebook.com/indonesiapustaka PI

ketidakpastian. Bagi Kierkegaard, iman adalah kerinduan
kepada yang tak ada di sini. Iman menandai kegelisahan yang
dalam, kuat—dan tak hendak dilepaskan.

Di bagian awal Life of Pi sebenarnya Martel telah
mengisyaratkan ini. Seorang lelaki setengah baya berkata
kepadanya, ”Aku punya satu cerita yang akan membuatmu
percaya kepada Tuhan.”

Seperti kita ingat (setidaknya dari film yang disutradarai
Ang Lee), ini kisah seorang anak India yang memanggil
dirinya Pi. Ia terlontar dari kapal Tsimtsum berbendera Jepang
yang tenggelam dihantam badai. Semua anggota keluarganya
hilang, dan ia menemukan dirinya dalam satu perahu bersama
harimau dari kebun binatang ayahnya. Mereka berdua hanyut
berhari-hari melintasi Lautan Teduh.

Dalam perjalanan yang tak direncanakan itu, berangsur-
angsur Pi bersahabat dengan makhluk yang semula ia takuti.
Bahkan ia akhirnya sadar: ikatan hatinya bukanlah kepada
sesama manusia, yang bisa berniat jahat, melainkan kepada
hewan buas yang menjadi buta bersamanya—binatang yang
di suatu saat menyelamatkannya dari serangan manusia lain.
Hewan kepada siapa ia percaya.

Maka ia pun menangis ketika harimau itu, yang dinamai
Richard Parker, meninggalkannya begitu mereka terdampar di
pantai Meksiko.

Ia tahu apa artinya kesendirian. Tapi ia juga tahu
kesendiriannya telah merawat Tuhan dalam hatinya.
”Kehadiran Tuhan adalah anugerah yang terbaik,” ia ingat
itulah yang dirasakannya di tengah laut.

Sejak ia kecil, dalam diri anak dari Kota Pondicherry

44 Catatan Pinggir 12

PI

http://facebook.com/indonesiapustaka ini memang bergetar passion yang unik. Anak Hindu itu
menemui Tuhan dalam agama-agama yang berbeda. ”Terima
kasih, Wishnu,” begitu doanya kepada dewa yang merawat
kehidupan, ”Tuan telah memperkenalkan aku kepada Kristus.”
Pada saat yang sama, dalam Islam ia hayati salat yang khusyuk
sebagai pemberi jiwa.

Ia memang bisa membingungkan, tapi agaknya hanya
membingungkan mereka yang sudah terbiasa dengan
kategori tua. Pi belum tua. Baginya, orang Hindu, dalam
kemampuannya mencintai, adalah ”orang Kristen yang tak
berambut”; sedangkan orang Islam, dalam cara mereka melihat
Tuhan di segala hal, adalah ”orang Hindu yang berjanggut”;
juga orang Kristen: dalam pengabdian mereka kepada Tuhan,
mereka ”muslim yang pakai topi”.

Ayahnya yang rasionalis memperingatkan: ”Kalau kamu
mempercayai tiap hal, akhirnya kamu tak akan mempercayai
hal apa pun.”

Jawab Pi: ”Aku cuma ingin mencintai Tuhan.”
Di tengah lautan yang penuh bahaya itu cinta itu bertaut
dengan tawakal. Menyaksikan guruh dan petir yang
mengerikan di seantero lanskap, anak itu menyadari: ia
memang sengsara, tapi kesengsaraannya berlangsung ”di
tengah sebuah latar yang besar”. Kesengsaraannya hanya
terbatas dan sepele. ”Dan aku pun dapat menerimanya. Tak
apa-apa.”
Tawakal itu, bagian dari iman, sepenuhnya eksistensial:
sesuatu yang dialami sendiri, tak bisa diajarkan, tak datang dari
ajaran. Tak ada formula yang ilmiah. Pi menolak sikap agnostik
yang ingin rasional, yang hanya mempercayai ”faktualitas yang

Catatan Pinggir 12 45

http://facebook.com/indonesiapustaka PI

kering, tak pakai ragi”. Baginya iman, cinta, dan tawakalnya
bukan diperkuat fakta dan rasionalitas, melainkan keasyikan
dan imajinasi.

Dan hanya dengan keasyikan dan imajinasi pula kisahnya
yang tak lazim bisa dipercayai. Pi tahu umumnya orang lebih
suka penuturan yang masuk akal. Ia tahu orang lebih memilih
cerita Pi yang tanpa harimau, meskipun dengan itu tanpa
imajinasi, ”kering, tak pakai ragi”.

Tapi baginya ada sesuatu yang lain—dan ini berharga:
iman, sebuah ketakjuban terus-menerus, bukan sebuah
kesimpulan terakhir.

TEMPO, 15 Maret 2015

46 Catatan Pinggir 12

Mati

http://facebook.com/indonesiapustaka SAYA tak setuju hukuman mati. Ketika umur saya
belum lagi enam tahun, ayah saya dieksekusi pasukan
pendudukan Belanda. Tiap kali tembakan diarahkan untuk
mematikan seseorang, ada kerusakan sampingan yang terjadi.
Keluarga kami tak menyesal Ayah menemui akhir hidupnya
secara demikian—dia bukan penjahat—tapi trauma diam-
diam membekas. Meskipun berubah.

Kasus saya tidak istimewa. Beratus ribu, ya berjuta-juta,
anak dan ibu Indonesia mengalaminya. Sejarah Indonesia
dibangun dari jutaan tembakan dan kematian.

Ada 350 tahun perlawanan terhadap kesewenang-wenangan
Kompeni dan tentara kolonial. Kekerasan tak berhenti setelah
17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan dinyatakan, dari Den
Haag Hindia Belanda hendak direstorasi dengan kekuatan
militer, dan perang gerilya yang melawan itu pun merebak di
seluruh Indonesia. Pada 1948, perang itu reda. Tapi selama
itu, dan setelah itu, ada kekerasan yang panjang di Jawa Barat
dan di Sulawesi Selatan: antara mereka yang mau menegakkan
”Negara Islam” dan tentara Republik yang mempertahankan
sebuah Indonesia yang bineka. Ada pula bentrok bersenjata
dengan pendukung ”Republik Maluku Selatan” yang hendak
memisahkan diri dari Republik, kemudian dengan ”Gerakan
Aceh Merdeka” dan dengan ”OPM”. Pada akhir 1950-an
meletus ”perang saudara” di Sumatera dan di Sulawesi, dalam
peristiwa PRRI dan Permesta. Yang kini diingat dengan

Catatan Pinggir 12 47

http://facebook.com/indonesiapustaka MATI

pelbagai perasaan dan sikap: pembunuhan besar-besaran
yang berlangsung terhadap orang-orang komunis, atau yang
dianggap komunis, di paruh kedua tahun 1960-an. Kemudian
Indonesia mengambil wilayah Timor Timur dan perang
berkobar lagi, sementara teror dan kontrateror mengambil
nyawa berkali-kali....

Mungkin sejarah kekerasan yang panjang itu—yang
tak dialami Singapura, Malaysia, Swedia, dan Australia,
misalnya—ikut membentuk pandangan kita tentang
kematian, khususnya kematian yang dipaksakan. Trauma
yang terjadi menyebar, tapi justru dengan demikian ia tak lagi
luar biasa.

Bahkan mati adalah bagian kehidupan sehari-hari.
Ada sebuah esai Geoffrey Gorer dari tahun 1955 yang
menyebut ”the pornography of death”. Di Eropa, khususnya
Inggris di zaman Ratu Victoria, kematian tidak hanya
dianggap lumrah, tapi juga mengandung keagungan—
terutama ketika yang tergambar, seperti dalam karya-karya
sastra masa itu, adalah sikap tabah mereka yang berkabung.
Ada yang menyebut bahwa Gorer melebih-lebihkan keadaan
zaman itu sebagai ”the golden age of grief ”, masa keemasan
perkabungan. Tapi yang menarik dari esainya saya kira tetap
sahih: dalam abad ke-20, kematian alami bukan sesuatu yang
akrab.
Dalam abad ke-20 dan kini, kematian dianggap tak patut
dibicarakan di depan anak-anak. Menurut Gorer, tak ada lagi
novel yang menggambarkan proses menjelang maut secara
grafis. Bahkan ada suatu masa ketika harian Christian Science
Monitor menolak memuat kata kematian. Kematian terjadi

48 Catatan Pinggir 12

MATI

http://facebook.com/indonesiapustaka dalam perang, dalam malapetaka, dalam peristiwa-peristiwa
publik, tapi seakan-akan hanya di sanalah manusia menemui
ajal. Di sebuah masyarakat di mana wabah tak pernah
menjamah, bencana alam sangat jarang, dan orang-orang tua
berusia sangat lanjut, kematian adalah sesuatu yang tertutup.

Rata-rata orang di Amerika meninggal bukan di rumah,
melainkan di rumah sakit. Jenazah akan diletakkan di rumah
jenazah. Kata ”rumah-orang-mati” sejak abad ke-19 diperhalus
menjadi morgue. Sanak keluarga, terutama anak-anak, akan
datang berkabung dan menengok sesuatu yang sebenarnya
disembunyikan seakan-akan sebuah gambar cabul: mayat itu
bukan lagi mayat, melainkan tubuh yang dihias dan diberi
pakaian rapi. Jasad yang tak bernyawa itu dilulur dengan
balsam: sebuah indikasi bahwa kematian sudah jadi tabu, dan
tabu—ketika dilanggar—melahirkan pornografi .

Di Indonesia sebaliknya. Kita biasa melihat sanak keluarga
yang terbaring sebagai mayat di kamar sebelah. Ia mungkin
mati karena demam berdarah, atau karena ketabrak mobil, atau
karena ia berada di sebuah lokasi gempa atau tanah longsor.
Di Indonesia, satu kalimat sajak Subagio Sastrowardojo
lebih berlaku: ”Kematian hanya selaput gagasan yang gampang
diseberangi.”

Orang akan berduka, ada trauma, tapi (dan ini saya rasakan
dalam keluarga saya setelah Ayah dimakamkan, dan orang
berbicara baik tentang almarhum) trauma itu bisa berubah.
Rasanya, ”Tak ada yang hilang dalam perpisahan, semua
pulih....”

Dalam sajaknya yang lain, Subagio memandang kematian
bahkan lebih ringan: ia menyebutnya sebagai ”tidur yang lebih

Catatan Pinggir 12 49

http://facebook.com/indonesiapustaka MATI

lelap”. Kematian bukan Sang Maut, sebuah kehadiran lain di
luar aku, melainkan bagian diriku sebagai proses:

Waktu tidur tak ada yang menjamin kau bisa bangun lagi
Tidur adalah persiapan buat tidur lebih lelap
Diujung ranjang menjaga bidadari menyanyi nina-bobo

Tapi tentu kita tak tahu, begitukah kiranya seseorang
memandang akhir hidupnya ketika ia tahu esok hari ia akan
dicabut nyawanya di depan regu tembak.

Saya hanya bisa membayangkan rasa ngeri yang tetap
tak dapat diabaikan. Kekejaman yang tersirat di dalam
pelaksanaan hukuman mati adalah kesewenang-wenangan
jika kita melihat betapa ada orang yang merasa mampu
memberi keputusan final tentang sifat dan nasib orang lain.

Itu sebabnya saya tak setuju hukuman mati. Tapi saya
kira diperlukan sebuah perjalanan sejarah yang baru bagi
orang di Indonesia—sebagaimana bagi orang di Belanda dan
Australia—untuk menolaknya beramai-ramai. Kita perlu
sejarah yang lebih damai, sejarah yang tiap kali meneguhkan
keadilan karena menyadari ketidakadilan dengan gampang
dilakukan.

TEMPO, 22 Maret 2015

50 Catatan Pinggir 12

O

Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida

—Chairil Anwar, 14 Juli 1943

http://facebook.com/indonesiapustaka TAPI tak semua orang seperti Chairil Anwar. Tujuh
puluh dua tahun setelah sajak itu ditulis, tampak bahwa
ada yang tak mau merdeka, yang takut merdeka, yang lelah
merdeka, dan yang menyesali manusia merdeka.

Kini samar-samar mulai tampak apa yang bisa disebut
sebagai ”simtom O”.

Setengah abad lebih sebelum terbit novel yang boyak tapi
laris itu, Fifty Shades of Grey, dunia buku disemarakkan (atau
dihebohkan) sebuah cerita erotik yang seru, Histoire d’O.
Dalam segala segi ”kisah O” karya Pauline Reage melebihi
fiksi E.L. James, meskipun keduanya berkisah tentang
sadomasokhisme, tentang jiwa dan tubuh yang menikmati
hilangnya kemerdekaan dan merasa asyik disakiti dan
dibelenggu.

Kini kisah kebahagiaan dalam takluk dan menyerah itu
bisa jadi sebuah perumpamaan untuk kasus yang lain. Dalam
Soumission, novel baru Michel Houellebecq, seorang rektor
universitas bernama Rediger membujuk tokoh utama novel ini,
François, untuk membaca Kitab Suci dalam bayang-bayang

Catatan Pinggir 12 51

http://facebook.com/indonesiapustaka O

Histoire d’O. ”Puncak kebahagiaan manusia,” kata Rediger,
”ditemukan dalam sikap menyerah secara mutlak.”

Rediger ingin agar François masuk Islam. Dan François
akhirnya mengikuti jalan itu.

Novel ini terbit 7 Januari 2015, ketika sebelas orang di
kantor mingguan Charlie Hebdo sekaligus dibunuh dua
bersaudara yang mengibarkan bendera Islam. Seperti banyak
yang lain, Soumission adalah bagian dari pergulatan orang
Prancis dengan agama yang merisaukan mereka sejak Voltaire
menulis lakon Le fanatisme ou Mahomet pada 1736.

Sebelum Soumission, Houellebecq menulis Plateforme
(2001), sebuah novel yang tokohnya, Michel, menyebut turisme
seks layak diterima sebagai ”pembagian kerja internasional”.
Nasibnya kemudian dientakkan secara mengerikan: Valérie,
pacarnya, tewas berkeping-keping bersama 116 pelacur ketika
sejumlah pemuda muslim meledakkan mereka dengan bom.

Dan novel ini pun menampilkan percakapan dua orang
Mesir yang mengecam kalimat syahadat sebagai ”nonsens”.

Orang Islam marah. Tapi seperti kemudian kita temukan
dalam

Soumission, novel ini bukan semata-mata kisah kebrutalan
Islam sebagai dilihat orang ”Barat”. Houellebecq bahkan
mengecam ”Barat” dengan alasan yang sering dipakai orang
dari dunia Islam. ”Aku tak merasa benci kepada Barat,” kata
si narator Plateforme. ”Paling-paling aku memandangnya
dengan sikap menghina. Aku hanya tahu, tiap-tiap kita penuh
dengan egoisme, masokhisme, kematian....”

Bagi Houellebecq, ”Barat” telah salah jalan sejak Zaman
Pencerahan. Sejak abad ke-19 itu, manusia melihat diri sendiri

52 Catatan Pinggir 12

O

http://facebook.com/indonesiapustaka sebagai makhluk yang merdeka, dan dengan mengandalkan
nalarnya lepas dari pangkuan agama. Baik Plateforme maupun
Soumission menghadirkan tokoh yang tak lagi memekik ”aku
mau bebas dari segala”. Michel dan François justru hidup
dalam keadaan letih kebebasan. Mereka menyesali manusia
merdeka.

François seorang profesor kesusastraan di Universitas
Sorbonne yang hidup menyendiri. Ia tak berteman. Tiap
hari ia hanya pulang ke kamarnya di apartemen tinggi untuk
menyantap makanan dingin, menonton TV dan film porno.
Ia merasa kehampaan yang rutin di sekitar. Para pelacur yang
ditidurinya tak menutup kekosongan itu.

Di saat itu, Prancis berubah: sebuah partai Islam, sejenis Al-
Ikhwan al-Muslimun yang moderat, menang pemilu. Lambang
bulan sabit keemasan dipasang tinggi di gerbang Sorbonne.
Perdana Menteri Ben Abbes membiarkan partai-partai koalisi
mengambil kursi kementerian lain, tapi meletakkan seorang
Al-Ikhwan al-Muslimun sebagai menteri pendidikan. Sejak itu
tak ada kebinekaan budaya. Yang ada: disiplin.

Kehidupan Prancis pun pelan-pelan jadi lain. François
melihat di masyarakat tumbuh ketertiban dan ketenangan.
Adakah Islam sebuah jalan keluar?

Itukah yang hendak ditunjukkan?
Houellebecq tak dikenal simpatinya kepada Islam. Tapi
seperti dikatakan Mark Lilla ketika membahas novel ini dalam
The New York Review of Books, ada yang tak disangka-sangka
dalam Soumission. Sasaran kecaman Houellebecq bukanlah
Islam, melainkan Eropa yang memilih untuk memperluas
kemerdekaan manusia dengan asumsi dunia akan lebih

Catatan Pinggir 12 53

http://facebook.com/indonesiapustaka O

berbahagia.
Bagi Houellebecq, justru itulah awal kemerosotan.
Ia tentu melihat nasib O dalam novel Pauline Reage bukan

keadaan yang ideal. Tapi ia tak hendak menyalahkan mereka
yang kini dijangkiti ”simtom O”—dengan memeluk Islam,
atau kembali ke dalam agama apa pun, rela terikat, rela takluk.

Mungkin Chairil perlu dilupakan.
Tapi saya ingat Iqbal, pemikir Islam terkenal itu. Ia yakin
Tuhan menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi.
Maka manusia merdeka—meskipun tak niscaya berbahagia.

TEMPO, 29 Maret 2015

54 Catatan Pinggir 12

Lee

http://facebook.com/indonesiapustaka SEORANG pemimpin besar mangkat, Lee Kuan Yew
meninggal; setelah itu apa? Mudah-mudahan: sebuah
kursi kosong.

Dunia mengakui betapa hebatnya pembangun Singapura
ini: ia meletakkan dasar yang membuat negerinya, bekas
koloni Inggris yang kecil itu, yang tak punya sumber kekayaan
alam apa pun, dalam 10 tahun terakhir mampu melampaui
Amerika Serikat dalam kemakmuran.

Tapi mungkin melihat kemungkinan itulah Lee justru
cemas. Ia melihat dirinya bagian dari manusia yang ulung—
dan agaknya ia tak salah. Ia yakin benar akan kemampuannya
memegang wewenang tanpa harus menanyakan pendapat
rakyat. ”Tanpa ragu sedikit pun saya mampu mengatur mereka
jauh lebih efektif untuk kepentingan mereka.”

Maka ia membangun politik Singapura sebagai sebuah
meritokrasi, bukan sebuah demokrasi. Negeri kecil itu tak
hendak dikelola dengan mengikuti suara rakyat, melainkan
dengan kualitas pemimpin yang unggul.

Lee: ”Bila orang mengatakan, ’Ah, tanya saja pendapat
rakyat!’ itu ocehan kekanak-kanakan.”

Lee tak percaya seorang penjual es tahu konsekuensi dari
suara yang diberikannya ketika pemilu. Di masyarakat, orang
lebih mendengarkan bujukan berlezat-lezat ketimbang seruan
untuk bekerja berat (”more to the carrot than to the stick”). Di
masa kampanye, politikus pun tak berani menghardik.

Catatan Pinggir 12 55

http://facebook.com/indonesiapustaka LEE

Dan itu biang sebuah masalah. ”Ketika dibutuhkan
kerja yang lebih keras dan untung yang lebih kecil untuk
meningkatkan modal, prinsip satu-orang-satu-suara hanya
menghasilkan yang sebaliknya.”

Dengan kata lain: demokrasi adalah jalan ke kebangkrutan.
Yang tak hendak diakui orang seperti Lee ialah bahwa apa
pun kekurangan sebuah demokrasi, sistem ini bisa jadi proses
buat menempatkan seseorang ke dalam kekuasaan. Meritokrasi
tak menjelaskan dari mana para pemimpin—manusia yang
ulung—datang.
Pada saat yang sama, meritokrasi bertolak dari asumsi dasar
bahwa manusia ulung itu langka.
”Aneh, tapi benar bahwa nasib jutaan manusia sering
berkisar di sekitar kualitas, kekuatan, dan visi sejumlah kecil
yang menentukan...,” kata Lee dalam satu seminar. ”Mereka
memutuskan apakah sebuah negeri mencapai kesatupaduan
seraya maju dengan teratur, atau berantakan dan merosot jadi
chaos.”
Di situ juga awal rasa cemas Lee. Pada 1966 ia mengakui,
seluruh pemerintahan Singapura terbangun dari the key
digits yang terbatas, dari satu ”lapis yang tipis”. Seluruh tata
laksana pemerintahannya berjalan berdasarkan ”kemampuan
dan dedikasi” sekitar 150 orang saja. Bila ada yang ingin
menghancurkan masyarakat ini, kata Lee pula, tinggal kenali
saja orang yang 150 itu dan bunuh mereka. Ketika pada 1971
angka 150 manusia ulung itu jadi 300, Lee berteori tentang
satu kemungkinan buruk yang lain: ”Bila ke-300 orang itu
berada dalam sebuah pesawat jet jumbo dan jatuh, Singapura
akan runtuh.”

56 Catatan Pinggir 12

LEE

http://facebook.com/indonesiapustaka Tapi terutama bukan karena kemungkinan bencana macam
itu Lee cemas. Ia melihat apa yang negatif dari rasa tenteram.
Kian makmur Singapura, kian aman, tenang, dan stabil
republik kecil itu, makin terbuka pula pilihan bagi generasi
mudanya untuk tak hanya memilih dunia politik jika mereka
ingin jadi pemimpin. Apalagi ketika makin tak ada keinginan
membuat perubahan politik.

Ketika saya mewawancarainya di awal 1970-an, Lee
mengutarakan rasa cemas itu. Yang saya dengar sebenarnya
sebuah pernyataan off-the-record, tapi kemudian ia
mengemukakannya dalam sebuah pidato di depan kepala-
kepala sekolah: ”Problem saya adalah begitu banyaknya
sekarang kesempatan membangun karier, dan bila kita tak
membuat bidang politik menawarkan insentif yang lebih
menarik, orang-orang terbaik kita akan masuk ke bidang
manajemen dan eksekutif [di dunia bisnis].” Akhirnya yang
akan mengetuk pintu politik hanyalah ”para pemburu karier
dengan mutu kelas dua”.

Itu yang dilihat Lee di Eropa Timur di bawah Partai
Komunis. Generasi pertama orang-orang komunis siap
dipenjarakan Hitler, dan dengan ketangguhan itulah
kepemimpinan teruji dan terbentuk. Tapi setelah Partai
Komunis berkuasa generasi berikutnya hanyalah mereka yang
bergabung ke dalam Partai karena mencari kedudukan.

Padahal seharusnya memasuki bidang politik bukan untuk
mendapatkan posisi. ”Ini sebuah panggilan,” kata Lee, ”tak
berbeda dengan kependetaan.”

Dari sini tampak, Lee, seperti sering dikatakan,
menghidupkan kembali pandangan antidemokratik Plato:

Catatan Pinggir 12 57

http://facebook.com/indonesiapustaka LEE

negara idealnya dipimpin raja yang juga filosof yang ditopang
satu lapisan ”wali penjaga”. Para ”wali penjaga” ini hidup
tanpa harta; hasrat mereka untuk ”lebih” adalah hasrat ke
arah keagungan. Dengan itu mereka mengabdikan hidup
sepenuhnya bagi masyarakat. Mereka berbeda dengan lapisan
sosial yang di bawah.

Pembagian sosial politik itu, juga ketentuan tentang apa
yang seharusnya dan yang tidak dalam struktur itu (Rancière
menyebutnya partage du sensible), bertolak dengan asumsi
bahwa legitimasi kekuasaan para ”wali penjaga” tak pantas
dan tak akan digugat. Pandangan Lee, dan agaknya juga Plato,
cenderung menafi kan sejarah: ada yang permanen dalam sifat
manusia.

Lee menyebutnya ”kebudayaan”. Ketika ia anggap
”kebudayaan Cina” lebih unggul karena sifatnya lebih ”intens”
ketimbang ”kebudayaan Hindi” atau ”Melayu”, ia tak melihat
bahwa ”kebudayaan” hanyalah jawaban kreatif manusia
kepada tantangan yang berubah. Bukan takdir.

Juga bukan takdir sebuah kaum untuk melahirkan kelas
pemimpin. Tak ada yang ulung yang kekal. Demokrasi, apa
pun cacatnya, tak punya nujum bahwa kekuasaan akan
seutuhnya baik dan tak berubah. Di sini memang ada ilusi, tapi
tak banyak. Demokrasi bergerak karena tiap kali seorang besar
meninggal akan tampak ia hanya penghuni sementara kursi
yang kosong.

TEMPO, 5 April 2015

58 Catatan Pinggir 12

Danton

http://facebook.com/indonesiapustaka BETAPA meletihkannya politik. Terutama bagi mereka
yang tak bisa bertahan dalam antagonisme. Menjelang
sore 5 April 1794, di Paris, seorang tokoh revolusi yang kalah
dalam pertarungan digiring untuk dihabisi guillotine. Dalam
perjalanan ke pemancungan ia berkata, ”Ah, lebih baik
jadi seorang nelayan miskin ketimbang ikut campur dalam
pemerintahan manusia.”

Danton, pada umur 34 tahun, mati dengan rasa capek
politik. Sejak muda ia aktif, dan berkembang dari seorang
advokat muda dari perdusunan di Champagne jadi tokoh
Revolusi Prancis di Paris—revolusi yang ia kobarkan dan
akhirnya membinasakan dirinya sendiri. Bakat terbesarnya
menggerakkan massa dengan pidato yang bergelora dan
bergema. Ketika pasukan Prusia masuk ke wilayah Prancis
untuk mencegah revolusi menjalar ke seluruh Eropa, Danton
datang berseru dengan pekik peperangan yang kemudian
ditirukan di mana-mana: ”Berani, sekali lagi berani, selalu
berani!”

Maka pasukan Prusia pun dipukul balik, dan Prancis baru
lahir: sebuah negeri yang bukan milik raja, melainkan milik
tiap warga, citoyen, yang siap mempertahankannya.

Prancis dan revolusinya mengukuhkan diri dalam format
dan semangat itu. Danton terjun di dalamnya, membujuk
atau membakar semangat para warga—dan dengan itu
membinasakan musuh. Suatu saat, sekitar 1.400 orang disekap

Catatan Pinggir 12 59

http://facebook.com/indonesiapustaka DANTON

dan kemudian dibantai atas nama rakyat. Danton membantah
ia berada di balik pembunuhan itu. Tapi waktu itu ia menteri
kehakiman dan ia tak mencegah kekerasan selama tiga hari itu.
Bahkan ia mengatakan, ”Aku tak peduli dengan para tahanan
itu. Rakyat telah bangkit. Mereka telah bertekad mengambil
alih hukum ke tangan mereka.”

Gerak yang gemas rakyat melawan ketidakadilan—
dengan kata lain: politik—di hari-hari itu jadi antagonisme
yang tak pernah reda. Musuh selalu ada, selalu diciptakan,
militansi digembleng, ”Montagnard” melawan ”Girondin”,
”Kiri” melawan ”Kanan”. Retorika jadi buas. Musuh Danton
menyebutnya ”ikan gendut yang disumpal” yang harus dirobek
perutnya, dan sang orator membalas: ia akan ganyang otak si
lawan dan berak di tengkoraknya.

Tapi berbeda dengan banyak orang di masa yang disebut
”Teror” itu, Danton lebih sering hanya melontarkan kata-
kata. Ia jarang melaksanakan ancamannya. Dalam hidup
pribadinya, ia orang yang hangat, suka bersenang-senang, mau
mendengarkan orang lain—dan juga pandai cari celah dalam
pergaulan untuk meningkatkan posisi. Ia pintar merayu. Tapi
diam-diam ia juga orang yang mudah mengalami depresi
dan menyimpan pesimisme tentang masa depan Revolusi.
Ia tak amat teguh memegang prinsip: sebagai seorang tokoh
Revolusi, ia seharusnya menolak segala bagian Gereja Katolik,
tapi ia menikahi Louise dengan pemberkatan pastor. Ke dalam
ia lunak, ke luar ia keras.

Danton tahu bahwa politik adalah apa yang ditampakkan
ke luar, ke mata publik. Politik perlu pentas. Ketika ia datang
untuk mengucapkan pekik peperangannya yang terkenal itu,

60 Catatan Pinggir 12

DANTON

http://facebook.com/indonesiapustaka ia mengenakan kostum istimewa: sebuah jas panjang merah
darah. Sampai akhir hayatnya ia menyadari perlunya ditonton
dan pentingnya penonton. Menjelang lehernya ditebas dan
kepalanya lepas disaksikan orang ramai di lapangan eksekusi
itu, ia berpesan kepada algojonya: ”Tunjukkan kepalaku
kepada orang ramai itu: ada nilainya.”

Kepala yang copot dan berlumur darah itu jauh dari
menarik. Danton bukan lelaki rupawan. Di masa kecil, hidup di
peternakan kakeknya di perdusunan Champagne, ia beberapa
kali terluka: bibirnya robek dan hidungnya retak diseruduk sapi
jantan, pipinya berbekas luka, juga pelupuk matanya, diterjang
barisan babi. Kemudian cacar menyerangnya. Dengan tubuh
tambun dan muka buruk, Danton menemukan kelebihannya
dalam hal lain yang juga untuk ditampilkan: kecakapannya
berbicara.

”Danton, bibirmu punya mata.”
Kalimat itu diucapkan Marion, seorang pelacur simpanan
Danton, dalam lakon Georg Büchner, Kematian Danton
(Dantons Tod), yang ditulis pada 1835. Pada umur 21 tahun,
dramawan Jerman ini sanggup menampilkan paradoks tokoh
Revolusi Prancis itu secara puitis dan mendalam. Kalimat di
Babak Ketiga itu, ”bibirmu punya mata”, mengungkapkan
bagaimana fasihnya mulut Danton menangkap dan
mengungkap keadaan, dan bagaimana pula bibir itu pandai
mengeluarkan kata-kata yang mengenai sasaran. Dengan
kata lain: kata-kata Danton adalah peranti politik sebagai
antagonisme.
Tapi juga kalimat itu menunjukkan sisi lain orang ini: bibir
itu menandai sesuatu yang selamanya mencari sasaran untuk

Catatan Pinggir 12 61

http://facebook.com/indonesiapustaka DANTON

dikecup dan dikulum—bagian tubuh yang sensual, yang
selalu mencari kenikmatan.

Tubuh, bagi Danton yang ditampilkan Büchner, bisa
menjangkau dunia lebih pas ketimbang rasio. Ia menghargai
tubuhnya, sebagai ia menghargai seorang gadis yang selamanya
menari.

Di babak terakhir lakon Büchner, di malam menjelang
Danton digiring ke lapangan guillotine, ia mendengar detak
jam dengan resah. ”Tiap kali detiknya berbunyi, aku merasa
tembok makin menjepitku, sesempit peti mati.... Aku merasa
membusuk. Bangkaiku sayang. Aku tutup hidungku dan
berpura-pura melihatmu seperti seorang gadis yang berkeringat
bau sehabis menari, dan aku memujimu.”

Dalam paradoks antara politik yang terlihat di pentas
dan tubuh yang menari sendiri, Danton berangsur-angsur
lelah. Sebagaimana tercatat dalam biografinya, ia memang
berkali-kali ingin istirahat. Ia ingin kembali ke perdusunan
Champagne. Ia ingin jadi nelayan yang tak berpunya.

Yang dilupakannya ialah bahwa nelayan yang miskin itu
tiap kali bisa ketabrak dan merasakan sakitnya ketidakadilan.
Dan dengan itu politik bergerak.

TEMPO, 12 April 2015

62 Catatan Pinggir 12

Cacing

http://facebook.com/indonesiapustaka ”...Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak... tiap-tiap makhluk... pasti
akhirnya menggerakkan tenaganya, kalau ia sudah terlalu... teraniaya
oleh suatu daya angkara murka!”

—Bung Karno, Indonesia Menggugat

TIAP kali ada yang berbicara bahwa tak ada yang universal
pada manusia di latar yang berbedabeda, tiap kali ada
orang yang mengulang-ulang bahwa ”nilai-nilai kita” berbeda
dari ”nilai-nilai Barat” dalam hasrat untuk adil dan merdeka,
saya baca kembali Indonesia Menggugat. Kemudian saya baca
juga yang lain, misalnya, kali ini, Liao Yiwu.

Pada suatu malam bulan Juni 1989, Liao Yiwu, seorang
penyair Cina dari wilayah Sichuan di Tiongkok, terkejut ketika
mendengar ribuan mahasiswa yang berhimpun di lapangan
Tiananmen, di Beijing—yang menuntut Partai Komunis yang
berkuasa agar menegakkan demokrasi—ditembaki tentara.

Malam itu Liao menulis sajaknya, ”Pembantaian”. Pedih
dan marah. Ketika sajak itu ia bacakan, terdengar nada
nyanyian berkabung, ungkapan ketidakberdayaan:

Tak ada pedang untuk diayun
Tubuhmu hanya sarung berkarat,
Tanganmu guyah. Tulangmu membusuk,
Matamu rabun, tak sanggup membidik

Catatan Pinggir 12 63

http://facebook.com/indonesiapustaka CACING

Liao tak hanya merekam bacaannya. Ia juga membuat
sebuah film, Requiem, bersama beberapa temannya, sebagai
tanda solidaritas dengan mereka yang terbunuh di Tiananmen.

Dalam The Corpse Walker, sebuah perkenalan dengan
Liao dan karyanya, yang ditulis Wen Huang dan diterbitkan
Pantheon Books, New York (2008), kita dapat mengetahui apa
yang terjadi kemudian.

Liao ditangkap. Di dingin Februari 1990, ketika ia hendak
naik kereta api ke Beijing, polisi menyeretnya turun. Enam
orang penyair temannya, juga istrinya yang tengah hamil,
ditahan. Liao dihukum empat tahun penjara.

Di dalam kurungan itu ia berkali-kali disetrap: dihajar
dengan tongkat listrik, ditambat, diborgol seraya diperintahkan
berdiri dengan satu kaki berjam-jam. Dalam sel yang terpencil,
pernah tangannya dibelenggu di punggung selama 23 hari
sampai ketiaknya menderita abses. Dalam keadaan yang tak
tertahankan itu ia pernah dua kali mencoba bunuh diri.

Ketika akhirnya masa hukumannya dianggap berakhir, ia
pulang ke rumahnya. Istrinya sudah tak di sana lagi, membawa
pergi anak mereka. Kartu penduduknya dibatalkan; ia tak
bisa dipekerjakan. Teman-temannya, sesama sastrawan,
menghindarinya. Yang ada pada Liao cuma sebatang suling
yang ia pelajari memainkannya selama dalam penjara. Dengan
itu, tanpa pilihan lain, ia hidup di jalanan sebagai pengamen.

Tapi ia tak berhenti menulis. Dari hidup yang gentayangan
itu ia menghimpun sajak-sajak yang ditulis para penyair
20 tahun sebelumnya—sajak-sajak yang terlarang. Ketika
himpunan sajak itu diterbitkan, ia disekap lagi. Seorang wakil
perdana menteri RRT menganggap kumpulan puisi itu,

64 Catatan Pinggir 12

CACING

http://facebook.com/indonesiapustaka Robohnya Kuil Suci, sebagai ”usaha berencana menggulingkan
pemerintah, didukung kelompok anti-Tiongkok”.

Sejak itu, Liao kian terjepit. Ia mencari sesuap nasi dengan
bekerja apa saja. Tapi justru sebab itu ia menemukan wilayah
kehidupan yang lebih luas dan sama-sama ringsek—kehidupan
mereka yang dikenalnya sejak dalam penjara. Ia mewawancarai
mereka satu per satu dan mengumpulkan interview itu dalam
beberapa jilid dalam bentuk tanya-jawab: Wawancara dengan
Orang-orang di Anak Tangga Terbawah.

Di sini kita akan menjumpai aneka ragam manusia dan
kerja yang ditimpa dan ditempa sejarah Tiongkok: pengelola
kakus umum, juru tangis perkabungan, bekas tuan tanah,
pengikut Falun Gong, penyelundup orang. Mereka bagian
diceng, anak-tangga terbawah dalam jenjang masyarakat. Dan
terkutuk.

Buku itu, yang mula-mula diselundupkan ke Taiwan
dan diterbitkan di sana, kemudian diambil Balai Penerbitan
Yangtze, laku keras. Di Tiongkok, orang banyak menyukai
kisah-kisah itu—kisah sesama, kisah manusia.

Tapi dengan korban. Meskipun catatan-catatan Liao
sudah disaring dan diperpendek, yang berkuasa tetap murka.
Wawancara disingkirkan dari toko-toko buku. Editor Balai
Penerbitan Yangtze dihukum. Seluruh staf redaksi mingguan
yang mewawancarai Liao dan membahas bukunya dipecat.

Tampaknya penguasa, dengan semangat pembebasan
modern, komunisme, tak bisa lepas dari sikap bertakhayul
lama: bagi mereka, ada yang mengancam keselamatan dalam
lembar kata-kata.

Hanya mereka itu lebih berkuasa ketimbang tokoh-tokoh

Catatan Pinggir 12 65

http://facebook.com/indonesiapustaka CACING

diceng, yang juga hidup dan terguncang antara takhayul dan
komunisme: terjepit kolektivisme lama dan kolektivisme baru,
di mana seseorang—sering salah disebut sebagai ”individu”—
bisa diperlakukan bak seekor cacing yang mudah diinjak.

Tapi Liao menunjukkan, seakan-akan membuktikan
kata Bung Karno dalam Indonesia Menggugat, bahkan dalam
keanekaragamannya, si lemah yang seperti cacing pun seperti
makhluk umumnya: akan bergerak, ”berkelugat-keluget”, bila
merasa disakiti. Tak peduli cacing kiri atau cacing kanan, tak
peduli di Timur atau di Barat.

TEMPO, 19 April 2015

66 Catatan Pinggir 12

Grass

Lahir: 1927, meninggal pekan lalu.

GÜNTER Grass membaca sajak. Saya mendengarkannya
di pertemuan puisi di Rotterdam, Juni 1973. Pelan,
seolah-olah tiap kalimat membebani rahangnya dan membuat
wajahnya yang masam bertambah masam.

Nun zogen sie durch die Strassen, 3800 Propheten....

http://facebook.com/indonesiapustaka Tak ada melodi. Tapi imaji yang bermunculan dari
sajak itu tak mudah saya lupakan (saya masih simpan teks
Prophetenkost): belalang yang menyerbu kota, rumah yang
kehabisan air susu, rasul-rasul yang dilepas dari kurungan,
3.800 nabi yang menghambur ke jalan, warna abu-abu yang
menutupi permukaan dan ”bernama sampar”.

Sebuah sajak pendek, sebuah gambaran tentang adegan
yang menakutkan—mungkin tulah Tuhan dari langit—
yang seakanakan diambil dari lukisan religius Hieronymus
Bosch di abad ke-15. Kesan utamanya visual, ciri puisi Grass
sejak ia belajar di Akademi Seni Rupa di Düsseldorf. Warna
surealismenya kuat, seperti dalam buku pertamanya, Die
Vorzüge der Windhühner (1956): interaksi kata dan gambar
yang mencoba merekam mimpi yang aneh. Gambar-gambar
Grass adalah goresan fantasi tentang burung dan hewan buas,
sajak-sajaknya menghidupkan benda-benda yang dijumpai

Catatan Pinggir 12 67

http://facebook.com/indonesiapustaka GRASS

secara acak, saat yang tak disengaja.
Di Rotterdam malam itu Grass membaca beberapa sajak

lagi. Tetap membosankan. Tapi ia tetap mampu menghadirkan
apa yang ganjil, gelap, kadang-kadang kalut, ironis, kocak, atau
mengusik. Ia seorang Kafka dalam puisi. Ia membebaskan
bahasa dari arah yang harus lurus, dari makna yang didikte
tujuan, pesan, dan slogan, dari susunan kalimat yang lelah
seperti serdadu yang capek karena mengentakkan sepatu terus-
menerus.

Dalam sajak Grass, seperti dalam novelnya yang
menakjubkan itu, Die Blechtrommel (versi bahasa Inggrisnya:
The Tin Drum), hidup dibuat terbiasa dengan hal-hal yang luar
biasa—yang sering disangka sebagai dusta. Dalam campuran
karya realis dan magis ini, kita menerima Oskar Matzerath,
anak yang menolak tumbuh dewasa, dengan suara teriak yang
bisa meretakkan cermin, yang selalu siap dengan genderang
mainan tapi dengan nafsu syahwat orang dewasa.

”Ketika saya anak-anak, saya pendusta besar,” kata Grass
dalam sebuah wawancara. Tapi ia memilih ”dusta yang
tak melukai orang lain”—dusta yang kita perlukan untuk
mendampingi kebenaran.

Sebab, kata Grass, ”Kebenaran sering membosankan.”
Tapi sesekali penyair perlu juga membosankan. Di tahun
2012 Grass menulis Was gesagt werden muss (”Apa yang mesti
dikatakan”) dalam koran Süddeutsche Zeitung. Sajak itu
membuat heboh karena benar, dan karena buruk.
Ia ingin tak berbohong:

Kenapa aku baru sekarang bicara,
68 Catatan Pinggir 12

GRASS

http://facebook.com/indonesiapustaka di umur tua, dengan tetes tinta terakhir:
bahwa kekuatan nuklir Israel
adalah ancaman perdamaian dunia?

Dengan segera, pemerintah Israel marah. Grass jadi persona-
non-grata. Masa lalunya digugat: ia pernah ikut bergabung
dengan pasukan Waffen-SS di masa Nazi. Tentu saja ia
dituduh ”anti-Semit”. Banyak orang yang semula mengagumi
pemenang Hadiah Nobel 1999 itu menyalahkannya.

Tapi adakah yang mesti disalahkan? Sajak itu benar. Sudah
sepatutnya seseorang mengecam hipokrisi Amerika dan Eropa
yang membiarkan Israel menyembunyikan senjata nuklirnya
tapi melarang Iran mendapatkannya.

Meskipun demikian, benar saja tak cukup. ”Was gesagt
werden muss” diangkat dengan bentuk yang salah. Grass
seharusnya menulis petisi, dan bukan sebuah sajak yang buruk,
bila ia ingin mengerahkan kata-kata untuk menyatakan sebuah
kebenaran dan menyelamatkan kehidupan.

Tapi tampaknya ia ingin menunjukkan ia bisa bikin puisi
yang sanggup menggugah dunia, puisi yang juga laku politik.
Barangkali ia kadang-kadang lupa: politik yang terbaik ialah
politik yang tak dibikin sentimental karena puisi, dan puisi
terbaik adalah yang tak direcoki keinginan melayani program
politik.

Grass sebenarnya sudah membuktikan itu dengan dirinya.
Sajak yang dibacanya di malam itu kuat, justru ketika ia tengah
aktif dalam politik mendukung Partai Sosialis Demokrat di
bawah Willy Brandt.

Bagaimana ia menjaga demarkasi itu pasti soal yang
menarik.

Catatan Pinggir 12 69

http://facebook.com/indonesiapustaka GRASS

Tapi saya tak menanyakannya ketika kami duduk,
minum-minum, di antara para penyair lain yang datang
untuk pertemuan internasional baca puisi itu. Bahasa Jerman
saya, yang sangat terbatas, hanya dia pahami 10 persen, dan
bahasa Jermannya saya pahami 20 persen. Waktu itu dia lebih
mencoba sopan dengan menanyakan sedikit-banyak soal
Indonesia yang berada di bawah kediktatoran militer, tapi saya
tahu ia lebih tertarik kepada India.

Beberapa tahun kemudian, pada usia 85, bisa dimengerti
bila ia sesekali terpeleset ke dalam ilusi. Di masa lalunya ilusi
itu belum ada, ketika ia mengagumi Gottfried Benn, penyair
ekspresionis yang hidup di antara dua perang besar, seorang
pendukung Hitler yang kecewa. Bagi Benn, karya seni punya
arti yang besar justru karena ia ”secara historis tak efektif”,
puisi bernilai justru karena tak punya akibat praktis.

Tapi Grass tak hanya melihat ke arah Benn. Ia juga melihat
ke arah Bertolt Brecht, dramawan Marxis yang yakin bahwa
karya teaternya bisa ”mengubah kenyataan”. Ada yang
mengatakan Grass ingin jadi persilangan di antara kedua
pandangan itu. Tapi agaknya bukan sang sastrawan yang
menentukan ke sebelah mana novel dan puisinya condong.

Dalam Mein Jahrhundert, Grass menggambarkan per­
temuan imajiner antara Benn dan Brecht. Seorang mahasiswa
menguping percakapan mereka. Yang ia dapatkan sebuah
ironi: kedua sastrawan tenar itu tahu bahwa pembaca, bukan
mereka, yang membentuk arah mereka. Selalu ada jarak, selalu
ada selisih—dan selalu sang sastrawan tak bisa apa-apa lagi.
Mungkin karena di jalan ada suara 3.800 nabi.

TEMPO, 26 April 2015
70 Catatan Pinggir 12

Bandung

http://facebook.com/indonesiapustaka PADA umur 12 ia sudah tahu banyak tentang kemarahan.
Dengan masa lalu seperti itulah ia datang ke Bandung,
1955. Richard Wright: saksi yang sejak kecil ditindas, seperti
penghuni Afrika dan Asia di masa penjajahan, dan pada
akhirnya memerdekakan diri.

Di hari itu, di jalan yang dulu disebut Grote Postweg,
sastrawan kulit hitam itu melihat sesuatu yang penting dalam
sejarah hidup orang semacam dia: ”Yang dibenci, yang dihina,
yang dilukai, yang dimiskinkan... sedang bertemu....”

Ia menuliskan frasa itu dalam The Color Curtain, 1956.
Dari tiap alineanya terasa Wright yang berharap, merenung,
tergerak, dan di sana-sini salah sangka.

Dengan mobil kami melalui gedung konferensi itu dan melihat bendera
29 negeri Asia dan Afrika... berkibar pelan ditiup angin yang lemah; jalan
sudah penuh kerumunan, dan wajah mereka yang hitam dan kuning dan
cokelat menatap bersemangat ke setiap sedan yang lewat... mata mereka yang
sipit mengintip dengan penuh minat untuk bisa melihat... seorang U Nu,
seorang Zhou Enlai, atau seorang Nehru....

Di Indonesia, apalagi 60 tahun kemudian, kita tertegun
membaca betapa warna kulit begitu mencolok bagi Wright.
Tapi tak cuma kita. Seorang wartawan Amerika yang pernah
lama di Tiongkok menulis sebuah resensi di The New York
Times, 18 Maret 1956: ia menilai The Color Curtain melebih-
lebihkan warna kulit sebagai pengikat persatuan bangsa-

Catatan Pinggir 12 71


Click to View FlipBook Version