The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by suharnowo, 2021-11-04 03:02:50

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka EINSTEIN

menyatakan diri di alam semesta materi”. Tapi ketakjuban
itu tak harus membuat kita mewujudkan Tuhan ”yang bisa
mengajukan tuntutan kepada kita”.

Dengan kata lain, manusia membentuk sendiri hubungan
etis di antara sesama dari kerendahan-hati itu. ”Alam bukanlah
insinyur atau kontraktor,” jawab Einstein ketika ditanya apa
yang akan terpikir olehnya sebelum meninggal.

Ia meninggal 18 April 1955.

TEMPO, 27 Maret 2016

272 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Herakleitos

”Semua hubungan yang tetap, yang cepat membeku, beserta deretan
prasangka dan opininya yang kuno, disapu hanyut. Semua hal yang baru
berbentuk dengan segera jadi usang.... Semua hal yang solid meleleh ke
udara....”

DI tahun 1848, dengan kalimat yang dramatis itu,
Manifesto Komunis menggambarkan datangnya zaman
ketika modal memasuki kehidupan sosial. Marx dan Engels
tak meramal ke masa depan; mereka hanya memaparkan
betapa menakjubkannya kaum borjuis mengubah dunia. Dan
mengguncang-guncangnya.

Tapi di abad ke-21, kalimat itu jadi mirip nujum.
Setelah satu abad merupakan sistem yang kukuh (yang
disebut Werner Sombart sebagai ”kapitalisme”), menjelang
akhir abad ke-20, gerak modal, yang kini ada di mana-mana,
kembali ditandai ketidakstabilan: kapital jadi global, bergerak
dalam ”deteritorialisasi”, batas wilayah raib. Ada yang
menyebutnya sebagai ”modal yang tak sabar”. Nilai saham,
perpindahan milik, perpindahan tempat dan tenaga kerja,
arus jasa dan benda, tak pernah bisa ajek. Bung Karno pernah
menggambarkan revolusi sebagai dinamika ”menjebol dan
membangun”, tapi sebenarnya kapitalisme yang pada akhirnya
demikian. Tema guncangan hari ini tak jauh berbeda dari
masa Manifesto Komunis.
Kita tengah terseret hidup ke dalam kondisi Herakleitosian.

Catatan Pinggir 12 273

http://facebook.com/indonesiapustaka HERAKLEITOS

Kata-kata Herakleitos, pemikir Yunani pra-Sokrates yang
hidup 500 tahun sebelum Masehi, ini berlaku sekarang: ”Panta
rhei... tiap hal berubah dan tak ada yang tetap”, dan ”kita tak
pernah bisa masuk ke dalam arus yang sama”. Atau: ”Semua
entitas bergerak dan tak ada yang berhenti”. Satu-satunya yang
permanen adalah perubahan itu sendiri.

Sosok kapitalisme sendiri mengalami mutasi, seperti
organisme yang berubah dalam lingkungan yang berbeda.
Ketika teknologi digital masuk ke dalam kehidupan, para
kapitalis terkadang seperti tak mengenali posisi mereka
sendiri lagi. Kini semboyan lama ”pembeli adalah raja” bukan
lagi menghadirkan konsumen sebagai konsep yang abstrak.
Dengan pelbagai instrumen interaktif, konsumen—sang
”raja”—adalah orang seorang yang konkret, mirip pelanggan
di kedai kecil di masa lalu. Pemilik modal tak bisa sewenang-
wenang mengarahkan pasar. Dan pasar dan persaingan pun
berubah jadi sangat heterogen, dengan cepat. Kini ada yang
melihat munculnya distributed capitalism—yang belum
disadari pengusaha taksi Blue Bird, misalnya.

Perubahan kendali modal tak hanya di sana. Di masa
lalu, kerja diorganisasi dalam piramida yang kukuh, dengan
struktur terpusat; waktu kerja buruh dihitung dengan standar
yang tetap. Kini apa yang disebut ”kerja imaterial” mulai
memimpin dinamika produksi: menghasilkan ide-ide, survei,
program, teks, desain, konsultasi psikologis, layanan medis....
Hasilnya bukan cuma benda dan jasa, tapi juga komunikasi
dan kerja sama, bahkan gaya hidup. Waktu kerja tak dapat
dibakukan (berapa harga desain sebuah logo jika dihitung
dengan jam kerja?), kendali manajemen tak bisa jadi linear.

274 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka HERAKLEITOS

Pengawasan institusional atas arus hasil kerja dan informasi
tak bisa lagi utuh terpadu.

Satu dasawarsa yang lalu ada yang melihat perubahan ini
dengan optimisme. Antonio Negri dan Michael Hardt menulis
Empire (2000) dan Multitude (2004) untuk memperlihatkan,
dengan bergelora, bahwa pekerja di bawah kapitalisme yang
Herakleitosian ini akan jadi kekuatan alternatif. Mereka bukan
proletar, karena hubungan dan sifat kerja sudah berubah.
Mereka bukan bangsa, karena negara-bangsa jadi tak relevan
dalam hubungan modal-dan-pekerja ini. Mereka adalah
multitude. Mereka, tanpa rencana tanpa organisasi, muncul
sebagai semacam sosok, Gestalt, dari arus deras informasi,
jaringan antarmanusia, dengan hierarki yang tak menentu,
dengan pelbagai kontradiksi dan dikotomi yang menyebar—
sebagaimana kontak yang tak selamanya disadari antara buruh
di Cengkareng dan desainer di Milan. Mereka merupakan
sumber demokratisasi yang sekarang sedang menjalar.

Menarik bahwa disuarakan dari semangat yang anti­
kapitalisme, Empire dan Multitude menghasilkan optimisme
yang sama dengan apa yang disuarakan Thomas Friedman
yang datang dari sisi lain: The Lexus and the Olive Tree berbicara
bukan tentang pekerja, melainkan konsumen dan perannya
dalam demokratisasi.

Bisakah kita berharap? Lebih dari satu dasawarsa kemudian,
belum ada tanda yang meyakinkan bahwa optimisme itu
berdasar. Demokratisasi yang terjadi di Dunia Arab, misalnya,
punya sisi buruk dan baik. Dalam zaman Herakleitosian ini,
kita toh tak bisa melupakan apa yang dikatakan sang filosof
kuno: alam semesta yang paling apik (kallistos kosmos) pun

Catatan Pinggir 12 275

http://facebook.com/indonesiapustaka HERAKLEITOS

hanya ”sebuah onggokan sampah yang acak”. Kita hidup dalam
keadaan serba mungkin, tidak ditentukan sebuah kodrat.
Dengan kata lain, sebuah keadaan yang acak, tak berarah.

Mungkin itu nasib yang buruk—atau justru dasar
kemerdekaan manusia.

TEMPO, 3 April 2016

276 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Pilatus

ECCE homo! Apa yang dimaksudkannya? Apa yang
dikehendaki wakil Imperium Romawi itu, dalam bahasa
Latin, dari penduduk Yerusalem yang berkelimun tak sabar
menunggu di bawah balkon? Ataukah teriak itu ditujukan
kepada Kaiafas dan para tokoh agama yang hadir di sana, yang
menuntut agar ”orang itu” dihukum mati?

Ecce homo! Lihat orang itu! Tapi buat apa?
Barangkali inilah yang dimaui Pontius Pilatus: agar orang
ramai itu bisa tambah yakin menista ”orang itu”—tahanan
yang kepalanya telah mereka pasangi selingkar duri sebagai
cemooh. Atau mungkin supaya mereka bisa menatapnya
sepuas-puasnya dengan benci—dan mendukung keputusan
hukuman mati atas Yeshua itu. Bukankah sudah lama rabi
muda itu dituduh menghasut orang banyak, agar menyimpang
dari ajaran agama?
Ataukah Pilatus bermaksud sebaliknya? Mungkinkah
ia berseru ”Ecce homo!” justru agar khalayak ramai itu punya
rasa belas kepada wajah yang tulus tapi luka-luka itu? Atau
supaya mereka menyadari—setelah melihat dari dekat sosok
tahanan itu—bahwa mereka sedang hendak menghukum
mati seseorang yang tak bisa disederhanakan dengan hukum
dan kategori? Atau agar para tokoh agama itu berpikir
kembali bahwa dengan dalil-dalil mereka yang diresmikan
Tuhan sekalipun, mereka tetap khilaf dalam menafsirkan
seorang manusia—makhluk 1.001 kemungkinan dan 1.001

Catatan Pinggir 12 277

http://facebook.com/indonesiapustaka PILATUS

kemustahilan?
Ecce homo! Pilatus memperlihatkan paras Yeshua. Mungkin

ia ingin menunjukkan bahwa paras itu, seperti paras siapa pun,
adalah wujud yang singular, dan sebab itu tak ternilai, tak bisa
dipertukarkan dengan siapa pun....

Tapi akhirnya tak mudah mengerti apa maksud dua patah
kata Latin yang diteriakkan dari balkon hari itu. Akhirnya
kita harus menimbang pejabat Romawi itu: jahat, tidak-jahat,
jahat....

Ada yang mengatakan, ia seperti hampir semua pembesar
Romawi: brutal dan arogan. Para pengikut Yeshua, yang
kemudian disebut umat ”Kristen”, pantas menganggap
penguasa itu tak bersih. Ia memang memperlihatkan kepada
khalayak ramai bahwa ia mencuci tangannya sebelum orang
ramai melecut Yeshua ke bukit untuk disalibkan. Tapi
penguasa itu tak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab.

Tapi ada yang menduga, Pilatus sebenarnya tak berencana
menghabisi Yeshua. Ia hanya tak mau dimusuhi orang-orang
Yahudi Yerusalem. Mereka sudah mendesak agar orang itu
disalibkan, dan pejabat Imperium Romawi yang jauh dari
pusat itu tak ingin penduduk lokal melawannya. Ia orang yang,
dengan pragmatisme politik, ingin kekuasaannya aman di
jalan yang tak lurus.

Mungkin Pilatus seorang tokoh dalam drama ambiguitas
yang tegang. Di abad ke-2 pernah beredar surat-suratnya
(ternyata palsu) yang menunjukkan bahwa pejabat Romawi ini
sebenarnya beriman Kristen. Dengan kata lain: ia tak bersalah.
Di abad ke-3, Origen Adamantius (184-253), pakar theologi
dari Alexandria, misalnya, menulis bahwa orang Yahudi-

278 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka PILATUS

lah yang membunuh Yesus—sebuah pandangan yang ikut
mendasari anti-Semitisme Kristen sampai hari ini. Meskipun
di abad ke-4 para theolog kembali meletakkan kesalahan pada
Pilatus....

Sejarah, kita tahu, tak pernah ditulis lurus.
Maka Ecce homo! Di sekitar Paskah wajar jika orang (terutama
yang bukan Kristen) lebih ingin melihat si penghukum, bukan
si terhukum. Mikhail Bulgakov mendatangkan Pilatus ke
Moskow abad ke-20 dalam novel The Master and Margarita, ke
kancah dunia yang tak tenteram di antara fantasi yang ganjil.
Pilatus hadir dan membenci kota ”Yershalaim” tempat ia
bertugas, kota dengan bau mawar yang tak disukainya dan
suara fanatik di mana-mana. Suatu hari ia harus menginterogasi
laki-laki pengembara itu, Yeshua Ha-Nozri. Orang ini dituduh
akan menghancurkan Baitulah.
Tapi Yeshua menyangkal. Tak berarti ia menyukai kenisah
itu. Ia percaya bangunan iman lama akan digantikan dengan
yang baru. Ia percaya ”semua kekuasaan adalah bentuk
kekerasan terhadap orang banyak”. Tapi ia yakin ada kerajaan
kebenaran dan keadilan, kerajaan yang damai—dan kerajaan
itu akan datang.
”Tak akan pernah!” teriak Pilatus membantah. Baginya
kekuasaan yang ada, di bawah Maharaja Tiberius, adalah
kekuasaan yang sudah sempurna. Baginya Yeshua tolol,
percaya bahwa semua orang baik, bahkan Yudas yang
mengkhianatinya.
Tapi Pilatus kemudian berteman dengan filosof dari udik
yang mengembara itu. Ia, yang membenci semua hal, hanya
bisa mengharapkan untuk tak dibenci dari seorang Yeshua.

Catatan Pinggir 12 279

http://facebook.com/indonesiapustaka PILATUS

”Dan mereka berbicara tentang soal yang penting dan
membingungkan, dan tak satu pihak pun dapat meyakinkan
yang lain... maka percakapan mereka semestinya menarik dan
tak pernah berakhir.”

Tapi kemudian Yeshua dihukum mati.
Lihat orang itu. Lihat kekosongan itu. Tak ada lagi
percakapan yang berlanjut dan tak harus mufakat. Kota berbau
mawar klise dan penuh suara fanatik.

TEMPO, 10 April 2016

280 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Ilmu

AGAMA dan ilmu bertabrakan berulang kali, juga di abad
ke-21. Juga di abad lain, pada 12 April 1633, ketika orang
tua itu, Galileo, pada umur hampir 70 tahun, disekap selama
dua pekan oleh Dinas Inkuisisi, aparat Gereja yang mengusut
dan memeriksa kesungguhan iman.

Bagi Vatikan, Galileo sesat. Ia harus mengaku bahwa ia
percaya kepada teori Kopernikus tentang bumi dan matahari,
padahal 17 tahun sebelumnya ia berjanji untuk tak demikian.
Hari itu Galileo mengelak: ia hanya memaparkan teori bahwa
bumilah yang mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya. Ia
mengelak dan itu sebabnya ia dikurung. Tapi pada akhirnya
ia mengakui dosanya, menyesal, menyangkal kepercayaannya
kepada teori Kopernikus, dan kembali ke jalan yang
ditunjukkan agama: ”Saya berpegang pada pendapat... bahwa
bumi tak bergerak dan mataharilah yang demikian.”

Ada yang mengecam sikap penakutnya, apalagi itu sia-sia,
sebab ia tetap dihukum penjara seumur hidup. Tapi sebenarnya
Galileo tak pernah takluk.

Eppur si muove. Konon itulah yang diucapkannya setelah
vonisnya diumumkan: ini, bumi, tetap saja bergerak, biarpun
Gereja mengingkarinya. Dalam tahanan rumah di Arcetri di
dekat Firenze, dengan diawasi petugas Kantor Inkuisisi, dan
melalui masa sedih karena anak perempuannya meninggal, ia
menyelesaikan Discorsi e Dimostrazioni Matematiche Intorno a
Due Nuove Scienza. Buku ini terpaksa diterbitkan di Leiden,

Catatan Pinggir 12 281

http://facebook.com/indonesiapustaka ILMU

Negeri Belanda, pada 1638, karena karya Galileo dinyatakan
terlarang oleh Vatikan—termasuk yang belum ditulisnya.

Discorsi adalah kepiawaian Galileo dalam fisika dan
matematika—atau lebih tepat: dalam memperlakukan fisika
secara matematis. Dari sinilah Einstein memaklumkan
Galileo sebagai ”bapak fisika modern”. Matematikawan Alfréd
Rényi menyanjungnya sebagai karya terpenting selama 2.000
tahun; Galileo menerjemahkan gerak secara matematis, satu
hal yang belum pernah dilakukan Zeno atau Arkhimedes di
zaman Yunani Kuno.

Sejak usia 19 tahun Galileo memang sudah jatuh cinta
kepada matematika. Ia tinggalkan kuliah kedokterannya
di Universitas Pisa, pergi ke Firenze untuk mendalami ilmu
itu. Pada usia 58 tahun, ia menulis Il Saggiatore. Di sana ia
tunjukkan hanya ada satu bahasa yang sanggup membaca
”buku” Alam, yang, sebagai bahasa matematika, aksaranya
adalah ”segitiga, lingkaran, dan bentuk-bentuk geometri
lain...”.

Galileo, seperti dikatakan Pietro Redondi dalam Galileo
Heretico, bukan hanya pemikir, tapi memang ”seorang
matematikawan”, yang ”ingin membedakan apa yang dapat
diketahui secara obyektif dan kuantitatif, dari apa yang tak
dapat dikatakan secara ilmiah”.

Tapi benarkah, tanpa bahasa matematika, ”orang akan
mengembara ke sana-kemari dalam labirin yang gelap?”

Wade Rowland, yang menulis Galileo’s Mistake, me­
nunjukkan ada ”kebutaan yang tragis” dalam pandangan ini.
”Galileo yakin, hanya ada satu penjelasan yang unik tentang
fenomena alam, yang dapat dipahami melalui observasi dan

282 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka ILMU

nalar dan yang membuat semua penjelasan lain salah.” Maka
persoalan Galileo dengan Gereja sebenarnya bukan tentang
teori Kopernikus, tapi tentang bagaimana menguji kebenaran
pengetahuan kita.

Di dalamnya tampak persaingan: siapa yang bisa memberi
penjelasan yang final tentang hal-ihwal: Ilmu? Agama?

Ilmu, kata Richard Dawkins, punya sihirnya sendiri—sihir
yang ada pada realitas. Ilmu tak membutuhkan sifat magis
yang sering jadi dasar agama-agama. Dengan argumen itu,
kita lihat persaingan itu bahkan perbenturan.

Di satu pihak ilmu, bisa menguraikan ”sihir” (magic)
realitas jadi sesuatu yang bisa dijelaskan dan dikuasai; itulah
yang dikumandangkan para pemikir ”Atheisme Baru” seperti
Dawkins. Di pihak lain agama, yang jadi jalan penyelamatan
pribadi, atau sebaliknya, jadi sebuah sistem kepercayaan.

Keduanya bisa menguasai—dan meringkus—kehidupan.
Kini kritik kepada ilmu—yang makin terkait dengan
teknologi—agaknya perlu ditengok lagi. Kini, ketika
berkibar segala inovasi yang mempesona (artificial intelligence,
penjelajahan ruang angkasa, kloning hewan dan manusia, teori
baru tentang alam semesta...), orang tak lagi ingat, misalnya,
Dialektika Pencerahan, yang di pertengahan abad ke-20
dengan suram menghujat kemajuan dunia modern. Hubungan
manusia dengan benda-benda, kata Adorno, penulisnya, telah
mirip hubungan diktatorial. Ia jadi terasing. Apa yang ada
dalam diri benda-benda berubah jadi sesuatu-untuk-manusia.
Dadurch wird ihr An sich Für ihn.
Di pihak lain, agama, yang dilahirkan dari pesona,
ketakjuban, dan kegentaran dalam ”pengalaman religius”,

Catatan Pinggir 12 283

http://facebook.com/indonesiapustaka ILMU

kini melahirkan keterasingan tersendiri. Yang Maha-Agung
dan Gaib digantikan. Tuhan jadi konsep, dan konsep, seperti
dikemukakan Jean-Luc Marion, jadi ”berhala”: sesuatu yang
dirumuskan dan dibentuk manusia sendiri, sesuai dengan
ukuran dirinya, tapi kemudian disembah.

Di tengah dua kekuatan itu, kita masih bernapas. Tapi tak
adakah sesuatu yang lain di sana?

TEMPO, 17 April 2016

284 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Subaltern

ORANG-ORANG miskin terkadang mirip dewa-dewa
yang malang: suara mereka perlu disimak, tapi sering
kali dunia mendengarnya melalui perantara.

Umumnya perantara merasa punya kewajiban mewakili
mereka—dan tak jarang, merasa punya hak untuk itu. Pejabat
publik. Anggota parlemen. Partai politik. Calon gubernur
yang serius dan pura-pura serius. Pengisi yang rajin Twitter dan
Facebook. LSM. Aktivis dengan rasa keadilan yang kuat atau
hanya kadang-kadang kuat. Atau para kiai, padri, dan pendeta.
Atau media—juga stasiun televisi yang dimiliki bisnis besar
dengan komentatornya yang mengumumkan, ”Saya dulu
pernah melarat.”

Tapi tiap kali, kita sebenarnya berjumpa dengan pertanyaan
ini: benarkah mereka berhak? Apa artinya ”mewakili”? Seberapa
jauh dan dekatkah mereka dengan kaum miskin, yang selama
ini tak berdaya, mereka yang berada di luar hitungan—kaum
yang disebut (mengikuti Gramsci) ”subaltern”?

Pada 1994 Gayatri Spivak menulis satu risalah yang
judulnya menggugah dan persoalannya penting untuk dikaji,
juga di hari ini: Can the Subaltern Speak?.

Tulisan itu sulit dibaca. Yang bisa saya tangkap adalah
teguran Spivak: kita perlu melihat lebih jauh yang terkandung
dalam kata ”representasi”—kata yang lebih tajam ketimbang
”perwakilan”. Dalam kata ”perwakilan”, seperti dalam kata
”representasi”, memang tersirat ada sesuatu yang tak hadir

Catatan Pinggir 12 285

http://facebook.com/indonesiapustaka SUBALTERN

namun beroleh penggantinya yang seakan-akan menghadirkan
dia. Tapi kata ”representasi” tak hanya itu.

Spivak mengemukakan ada dua kata Jerman yang tercakup
dalam kata ”representasi”: Vertretung dan Darstellung. Yang
pertama berarti ”bicara atas nama” si X, sebagaimana partai
politik, atau Negara, atau cendekiawan atau LSM berbicara
atas nama si miskin. Yang kedua berarti penggambaran seperti
dalam pentas—sebuah cerminan kenyataan dan juga sebuah
kreasi.

Darstellung bisa mempengaruhi yang Vertretung. Pend­ erita­
an,­suka-duka, suara, dan kebisuan si miskin yang dipaparkan
di sebuah panggung lengkap dengan dramaturginya dapat
mendorong munculnya perwakilan politik bagi kaum papa itu.
Tapi bagaimanapun narasi dan dramaturgi itu memerlukan
bentuk, dengan format yang pas, dengan tokoh-tokoh
yang mengemuka. Pada akhirnya, kita akan mendapatkan
penggambaran ”makro-logis”, yang mengabaikan karut-
marut, liku-liku, nuansa, dan apa saja yang samar dan rinci.
Pada saat yang sama, dari pementasan itu biasanya muncul
para ”pahlawan”, para juru bicara atau pembela, yang lazimnya
lebih besar, lebih seru, ketimbang para subaltern sendiri.

Dan tak kurang dari itu, kaum miskin pun cenderung
ditampilkan seperti satu identitas dengan hakikat yang sama
dan tak berubah-ubah—sebuah pendekatan ”esensialis”.
Kaum miskin hanya muncul sebagai bagian sebuah taksonomi.

Saya kira Spivak tak berniat mengatakan bahwa kaum
subaltern tak boleh diwakili. Pada umumnya kaum papa ini
tak punya akses ke percakapan yang lebih luas dan diabaikan
percaturan kekuasaan para elite. Maka kaum subaltern perlu

286 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka SUBALTERN

disiapkan, dididik, buat mengartikulasikan hasrat dan
kepentingan mereka sendiri.

Namun persoalannya kembali: siapa yang akan mendidik?
Pemikir politik Rancière pernah menulis sebuah buku
dengan judul Le Maître ignorant, ”kepala sekolah yang tak
tahu apa-apa”. Rancière menampilkan pengalaman Joseph
Jacotot, seorang guru di abad ke-19 yang menunjukkan
bahwa mengajar adalah konsep yang salah: tak ada guru
yang lebih pandai ketimbang murid. Tak mengherankan bila
baginya, gagasan ”mendidik” kaum papa, bahkan ”mewakili”
mereka, adalah agenda yang hanya melanjutkan ketimpangan
kekuasaan.
Pada 16 Oktober 2012, di Universitas San Martin di ibu
kota Argentina, Rancière mengemukakan teorinya tentang
demokrasi—dan keyakinannya bahwa asas perwakilan yang
kini dipraktekkan di negeri-negeri demokrasi ”sepenuhnya
berintegrasi dengan mekanisme oligarki”. Yang diperlukan
sekarang, katanya, adalah ”sebuah gerakan aksi yang kuat yang
merupakan wujud kekuasaan, yang merupakan kekuasaan
setiap orang dan siapa saja”.
Ada semangat anarki yang sehat dalam pemikiran ini—
tapi juga ada pertanyaan yang membuat lubang di dalamnya:
bagaimana ”aksi yang kuat” itu dapat jadi mekanisme
kekuasaan, jika tanpa organisasi, tanpa struktur, tanpa
pemimpin yang mewakilinya?
Pada akhirnya, kita kembali ke problem klasik yang tak
mudah diselesaikan. Konon Gramsci, tokoh komunis Italia
yang dipenjara kaum Fasis itu, berbicara tentang subaltern
lantaran ia lihat ketimpangan garis yang dipilih Lenin, ketika

Catatan Pinggir 12 287

http://facebook.com/indonesiapustaka SUBALTERN

membentuk organisasi Partai yang berbicara atas nama
proletariat.

Proletariat tak serta-merta mewakili yang miskin. Dan
Partai Komunis tak serta-merta mewakili proletariat. Pada
akhirnya pandangan itu terbukti. Tapi hanya sesekali kaum
miskin lepas dari posisi seperti dewa-dewa yang malang, yang
suaranya hanya terdengar dalam gema.

TEMPO, 24 April 2016

288 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Maaf

M” AAF” tak pernah bisa dipisahkan dari ingatan, tapi
mungkinkah ingatan bisa kekal? Mungkinkah kita
berbicara tentang ”maaf” di luar sejarah?

Dalam Žert (Lelucon, The Joke), novel Milan Kundera,
Ludvik ingin membalas sakit hati atas perlakuan temannya di
masa lalu, yang menyebabkan ia, hanya karena sebuah lelucon,
disingkirkan Partai Komunis yang berkuasa. Pembalasan itu
berhasil, tapi yang terjadi tak membuatnya bahagia. Ternyata
ada ”lelucon” lain: manusia terkecoh ketika menyangka bahwa
ingatan bisa kekal, dan terkecoh mengira kesalahan masa silam
bisa dibereskan. Pada akhirnya, tulis Kundera, dendam dan
maaf ”akan diambil alih oleh lupa”.

Tentu tak selalu demikian. Lupa nyaris tak punya efek
dalam Bharatayudha. Dalam kisah perang besar itu, dengan
dendam yang utuh, Bhima memenggal leher Dursasana dan
meminum darahnya, dan Drupadi mencuci rambutnya
dengan darah itu pula. Waktu tak menggerus sakit hati mereka
kepada pangeran Kurawa itu, yang di malam pertandingan
dadu bertahun-tahun sebelumnya mencoba menelanjangi
Drupadi di depan majelis.

Di luar cerita, di dalam sejarah, dendam juga masih
utuh dalam, misalnya, riwayat Ken Arok di abad ke-13 dan
persengketaan orang Dayak dengan Madura di Sampit,
Kalimantan Tengah, di abad ke-21. Maaf ikut mati dalam
bunuh-membunuh itu. Seakan-akan berlaku prinsip

Catatan Pinggir 12 289

http://facebook.com/indonesiapustaka MAAF

pembalasan yang setimpal dari dalam Kitab Suci Taurat: lex
talionis yang menentukan ”satu mata dibalas satu mata”—
hukum yang juga didapatkan dalam Undang-Undang
Hammurabi di Mesopotamia 1.754 tahun sebelum Masehi.

Tak berarti kalimat itu selalu ditafsirkan secara harfiah, tapi
ajaran-ajaran ethis yang kemudian datang menyadari bahwa
dendam yang destruktif bisa jadi sah di dalam lex talionis itu.
Yesus membalikkannya secara radikal. Ia mengajarkan agar
kita sama sekali tak membalas, bahkan membiarkan pipi kita
yang satu dipukul lagi setelah pukulan di pipi lain. Quran
menegaskan bahwa Taurat memang mengajarkan Qasas,
tapi bila kita bermurah hati untuk tak memberlakukannya,
perilaku buruk kita akan dihapuskan.

Hukum pembalasan pun diubah jadi pemaafan; siklus
kekerasan dicoba dihentikan. Agaknya disadari, lex talionis
hanya akan menghancurkan masyarakat manusia. Satu dialog
dalam lakon musikal Fiddler on the Roof:

Orang dusun: Satu mata dibalas satu mata, dan sepotong gigi dibalas
sepotong gigi.
Tevye: Bagus, bagus! Dengan demikian seluruh dunia akan buta dan
ompong.

lll

”Maaf” punya beragam cerita dan beberapa lapisan. ”Maaf”
yang dipertukarkan dalam ucapan Lebaran (sering dengan
pantun yang boyak) tak akan terasa sedalam ”maaf” yang
diberikan Wolter Monginsidi kepada regu tembak Belanda
beberapa menit sebelum ia dieksekusi.

290 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka MAAF

Maka apa arti permintaan maaf pemerintah sekarang—
andai kata pemerintah setuju untuk mengutarakannya—atas
kekejaman pasca-1965?

Mula-mula, ada yang harus diurai.
Belum jelas mengapa pemerintah yang sekarang wajib minta
maaf, atau mengapa Kepala Negara hari ini, Joko Widodo—
laki-laki yang baru berumur lima tahun ketika kekejaman di
pertengahan 1960-an itu terjadi—harus minta maaf untuk itu.
Benarkah ”Negara” yang sekarang identik dengan ”Negara”
yang berkuasa pada 1966, dan sebab itu menanggung dosa
yang sama? Bisakah pendekatan legal semata-mata berlaku,
yang melihat subyek, dalam hal ini ”Negara”, sebagai identitas
yang tak berubah?
”Negara”, dalam pengertian Hegel, memang sebuah
struktur di mana yang universal menemukan wujudnya.
Tapi bagi saya Marx lebih benar: ”Negara” tak pernah bisa
jadi wadah bagi siapa saja, kapan saja. ”Negara” selalu bersifat
”partikular”, hanya merupakan alat kekuasaan kelas tertentu
di ruang dan waktu tertentu. Bukan sesuatu yang kekal.
Bagi para pemikir setelah Marx, bahkan ”Negara” bukan
sesuatu yang siap. Ia sebuah proyek untuk menertibkan situasi
yang berlipat-lipat ragamnya, situasi yang, kata Badiou, mirip
”anarki sejati”. Dalam ”Negara” sebagai proyek penertiban,
unsur dan bagian-bagian diklasifi kasikan, dan diberi sebutan,
posisi, dan peran. Mungkin ia tampak utuh, tapi dalam
tersusunnya sistem itu selalu ada ”bagian yang tak punya
bagian”. Dengan itulah sebuah komunitas politik, sebuah
”Negara”, menjadi—sesuatu yang tak stabil dan mengandung
sengketa.

Catatan Pinggir 12 291

http://facebook.com/indonesiapustaka MAAF

Kepala Negara meminta maaf? Untuk apa? Untuk
kejahatan yang bukan kejahatannya, atas nama Negara yang
sebenarnya tak bisa diwakilinya?

lll

SEJAK 1945, dunia menyaksikan pelbagai adegan
penyesalan, pengakuan, atau apologi. Dari orang per orang
sampai dengan kepala negara menyatakan minta ”maaf”
yang disiarkan secara luas. Tapi tidakkah sebuah permintaan
maaf kenegaraan, semacam upacara resmi, hanya bagian dari
perhitungan politik, strategi yang tersembunyi dalam (untuk
memakai ejekan Derrida) ”komedi” permaafan?

Semua bukannya tak bermanfaat. Tapi Derrida, dalam
Pardon, mengingatkan apa yang terjadi bila ”maaf”
diberlakukan sebagai proyek politik, ketika ”maaf” disertai
syarat.

”Maaf” dengan syarat adalah seperti yang diberlakukan
Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran di Afrika Selatan.
Para pelaku kejahatan apartheid diberi amnesti bila
mengungkapkan sepenuhnya perbuatan yang mereka lakukan
di masa lalu. Bagi Derrida, ”maaf” macam ini akhirnya
berfungsi bukan sebagai maaf itu sendiri, melainkan sebagai
jalan membangun dan merawat sebuah bangsa. Dengan kata
lain, ”maaf” telah jadi sebuah ”ekonomi pertukaran”.

Memaafkan secara bersyarat juga menghadirkan sebuah
hierarki. Yang memberi maaf dan menetapkan syarat
meletakkan diri di atas pihak yang diberi syarat dan akan
diberi maaf. Maaf bisa dibatalkan jika syarat tak dipenuhi.
Faktor kekuasaan menonjol. ”Apa yang membuat ’aku-

292 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka MAAF

maafkan’ kadang-kadang memuakkan dan menjengkelkan,
bahkan terasa tak senonoh, adalah dikukuhkannya sebuah
daulat dalam kata-kata itu,” kata Derrida.

Memaafkan dengan sikap demikian pada akhirnya
membalik kebrutalan semula: sang korban dielu-elukan
sedemikian rupa hingga si pelaku kejahatan direndahkan—
dan akhirnya membuat sang korban tak hadir sebagai korban,
si penjahat tak terasa sebagai penjahat, dan maaf hilang
maknanya.

Tapi mungkinkah ada maaf yang tanpa syarat? Mungkin—
betapapun langkanya. Monginsidi, pejuang gerilya Sulawesi
Selatan itu, memaafkan regu tembak yang sebentar lagi
mencabut nyawanya. Sang korban tetap sebagai korban dan
pembunuhan tetap sebagai pembunuhan, namun sesuatu yang
baru, yang luar biasa, tumbuh dari Monginsidi—dari yang
diberikan Monginsidi.

Hanya dengan mengacu kepada yang tumbuh itu, hanya
memandang dan membandingkan diri ke ”maaf yang murni”
itu, pelbagai ”maaf” lain mendapatkan arti.

lll

TAPI terlampau mudah berbicara tentang ”maaf” ketika
kita mengenang apa yang dilakukan terhadap Sri Ambar,
sebagaimana dikisahkan dalam Bertahan Hidup di Gulag
Indonesia yang ditulis Carmel Budiardjo tentang perempuan-
perempuan yang ditahan rezim Soeharto sejak 1966.

Sri Ambar seorang anggota SOBSI, serikat buruh
pendukung PKI yang penting. Ia ditangkap di awal Oktober
1965, hari bermulanya kekerasan dan kebuasan terbesar

Catatan Pinggir 12 293

http://facebook.com/indonesiapustaka MAAF

dalam sejarah Indonesia modern. Ia dibawa ke sebuah tempat
interogasi di Jalan Gunung Sahari, Jakarta.

Di hadapannya dihadirkan seorang teman yang meng­
khianatinya dan membuka penyamarannya. Tapi Sri Ambar
tak sepatah kata pun mau mengaku. Penyiksaan pun mulai:
bersama si pengkhianat ia ditelanjangi dan dihajar. Malamnya
mereka berdua diikat dan digantung pada pohon. Ketika tetap
saja Sri Ambar tak mau mengaku, Acep, perwira tahanan,
ambil tindakan yang lebih drastis: pantat kiri Sri Ambar
ditikam. Darah muncrat ke mana-mana. Sri Ambar mencoba
menutupkan kembali luka dengan tangannya. Acep pun
memerintahkan agar pisau dihunjamkan lagi ke pantat kanan
Sri Ambar. Perempuan setengah baya itu pingsan.

Ia siuman dua hari kemudian di rumah sakit militer. Luka-
lukanya dijahit. Tapi tak lama kemudian datang seorang dokter
lain yang mengatakan jahitan lukanya harus dibuka. Dalam
kesakitan yang amat sangat, Sri Ambar mendengar dokter itu
diperintah Markas Besar Angkatan Darat.

Dan sebelum sembuh benar, ia dibawa kembali ke tempat
interogasi. Di ruangan itu, ia melihat dua anak perempuannya:
mereka sedang dipukuli. Mereka ikut ditahan dan dipaksa
menceritakan siapa saja yang bertamu ke rumah mereka.
Kedua anak itu menolak berbicara. ”Ibu jangan bilang apa-
apa!” teriak kedua anak itu, ”Biar kami tanggungkan ini!”

Dan Sri Ambar pun diam, menyaksikan kedua anaknya
disiksa. Ia juga diam ketika kemudian ibunya yang tua
didatangkan ke ruang interogasi itu—ibu yang mengatakan
bahwa Sri Ambar memang anaknya dan bahwa ia akan
melindunginya dengan risiko apa pun. Orang tua itu segera

294 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka MAAF

jadi tahanan politik.
Bisakah ”maaf” akan berlaku di sini? Bisakah Sri Ambar

memaafkan? Berhakkah ia?
Hannah Arendt pernah mengatakan bahwa ”maaf” seperti

hukuman. Keduanya dimaksudkan untuk mengakhiri sebuah
kejahatan. Tapi ia juga mengakui ada yang tak terjangkau oleh
keduanya: ”kekejian yang radikal”—kekejian yang sedemikian
rupa hingga tak ada lagi hukuman yang pantas. Itu berarti juga
kekejian yang tak ada maaf yang bisa ditawarkan. Maaf adalah
bagian proses bersama di mana hidup manusia mungkin.

lll

PADA pertengahan Maret 2000, Abdurrahman Wahid,
Presiden Republik Indonesia, sekaligus seorang tokoh NU dari
generasi yang mengalami sendiri apa yang terjadi di hari-hari
mengerikan dan penuh kekejaman pasca-1965, mengucapkan
minta maaf kepada para korban. Ia juga tak ingin menutupi
bahwa banyak anggota NU ikut dalam pembantaian orang-
orang PKI atau yang dianggap PKI.

Dari seorang Gus Dur hal itu tak mengejutkan: sudah lama
ia berhubungan dengan para eksil, aktivis Kiri di Eropa; sudah
lama ia dikenal sebagai seseorang yang membuka pikiran
orang banyak dengan berani.

Yang mengejutkan adalah reaksi Pramoedya Ananta Toer,
yang disekap bertahun-tahun di Pulau Buru dan ketika bebas
jadi sebuah ikon tersendiri. Ia menolak permintaan maaf Gus
Dur. ”Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya
Gus Dur.”

Saya masygul mendengar reaksi ini. Bagi saya, sikap Pram

Catatan Pinggir 12 295

http://facebook.com/indonesiapustaka MAAF

tidak tepat. Dan saya tak sendiri. Sekitar dua hari sesudahnya
saya bertemu dengan beberapa bekas tahanan politik di rumah
Oey Hay Djoen, tokoh Lekra, penerjemah Das Kapital. Saya
sering ke rumah yang sejuk di Cibubur itu. Hari itu kami—
Amarzan Ismail Hamid, Hardojo, Joesoef Isak, Hay Djoen
sendiri—membicarakan apa yang dikatakan Pram.

Di satu bagian percakapan terdengar Hay Djoen berkata,
seperti kepada dirinya sendiri: ”Apa hak moral kita untuk
menolak memberikan maaf....”

Tiba-tiba dari kalimat yang lirih itu ”maaf” punya arti
yang sangat dalam. Hay Djoen, sastrawan, aktivis PKI yang
bertahun-tahun disekap dan disiksa, adalah suara yang bahkan
tak dibayangkan Derrida: pemberi maaf yang tak berbicara
tentang syarat dan tak meletakkan diri sebagai ”sang korban”
yang secara moral lebih tinggi dan lebih berdaulat.

TEMPO, 1 Mei 2016

296 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka tuhan

Tuhan semakin banyak....

SAJAK-SAJAK Mustofa Bisri tak pernah dibangun dari
statemen yang marah. Puisi itu bahkan bisa kocak. Lebih
sering bait-baitnya gundah—kegundahan yang menarik:
seorang alim melihat keadaan rumpang di sekitarnya tanpa ia
merasa jadi lebih suci dari sekitarnya itu. Tiap kali sajak penyair
dan kiai dari Rembang ini mengandung kritik sosial, tiap kali
ia serasa ditikamkan ke satu bagian hidupnya sendiri.

”Tuhan semakin banyak” mengemukakan satu paradoks
zaman ini: makin sering Tuhan dipajang di pelbagai laku
dan kata-kata, makin jauh Ia dari bumi. ”Aku” manusia telah
menggantikan-Nya:

Di mana-mana tuhan, ya Tuhan
Di sini pun semua serba tuhan
Di sini pun tuhan merajalela
Memenuhi desa dan kota
Mesjid dan gereja
Kuil dan pura
Menggagahi mimbar dan seminar
Kantor dan sanggar
Dewan dan pasar
Mendominasi lalu lintas
Orpol dan ormas
Swasta dan dinas

Catatan Pinggir 12 297

http://facebook.com/indonesiapustaka TUHAN

Tuhan pun jadi ”tuhan” (dengan ”t”): bukan saja hanya
jadi salah satu dari wujud di dataran benda-benda, tapi juga
hanya sebuah bunyi yang diulang-ulang. Tuhan jadi banal.
Iman jadi otomatik. Bersamaan dengan itu, ”Aku” manusia
menggantikannya dalam posisi di depan.

Khutbahku khutbah tuhan!
Fatwaku fatwa tuhan!
Lembagaku lembaga tuhan
Jama’ahku jamaah tuhan!
Keluargaku keluarga tuhan!
Puisiku puisi tuhan!
Kritikanku kritikan tuhan!
Darahku darah tuhan!
Akuku aku tuhan

Tentu saja ada perbedaan yang radikal antara ”Akuku aku
tuhan” di akhir sajak itu dengan ekspresi mistik manunggaling
kawula gusti. Pengalaman seorang sufi adalah pertalian cinta;
sajak Mustofa Bisri menunjukkan sebaliknya: Tuhan dipasang
sebagai alat, mirip stempel. Dan puisi ini mencatatnya dengan
masygul.

Tuhan yang ”semakin banyak” yang disebut Mustofa Bisri
agaknya seperti dewa-dewa Yunani dalam Iliad: mereka ikut
mengintervensi dan bertikai dalam hampir tiap babakan
Perang Troya. Atau mungkin yang terjadi sebaliknya: dalam
perang yang bengis itu, para pelakunya ingin memindahkan
tanggung jawab dan kesalahan kepada kekuatan di luar diri
mereka—kekuatan yang digambarkan sebagai mutlak dan
bebas dan bisa berbuat tak semena-mena. Dan itulah dewa-

298 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka TUHAN

dewa mitologi Yunani.
Roberto Calasso, yang beberapa novelnya adalah tafsir baru

atas mitologi, menulis dalam La letteratura e gli dèi (”Sastra dan
Para Dewa”) bahwa sastra dapat merupakan siasat halus untuk
membawa dewa-dewa lepas dari tempat mereka yang aman,
bersih, dan kekal—dari ”klinik universal” (clinica universale)
mereka. Sastra ”mengembalikan mereka ke dunia, untuk
diserakkan ke permukaan bumi, tempat mereka biasanya
berdiam”.

Dengan kata lain, sastra, karena tak meletakkan diri sebagai
Kitab Suci, bisa membuat yang sakral jadi bagian hidup sehari-
hari, bersentuhan dengan segala macam hal, termasuk yang
terbuang, najis, dan kurang patut. Tapi biarpun terserak di
seantero muka bumi, yang suci tetap tak jadi profan dan banal,
selama ia tak dijadikan alat manusia seperti ”tuhan” dalam
sajak Mustofa Bisri.

Ada sebuah petuah agar kita membuat iman ibarat garam:
sesuatu yang tak tampak namun meresap memberi corak,
membubuhkan rasa tanpa berlebihan, dan sebab itu tak
membuat berat atau heboh dalam perjalanan.

Novel Ahmad Fuadi, Negeri Lima Menara, adalah contoh
yang baik bagaimana iman selamanya hadir tak kurang dan
tak berlebihan—dan sebab itu tak berbenturan dengan
kehidupan, bahkan ketika kehidupan berpindah dan berubah.

Novel ini sebuah rekaman rite of passage Alif Fikri, seorang
anak muda Sumatera Barat. Ia selalu murid yang pintar
sejak di madrasah tsanawiyah di Kabupaten Agam sampai
dengan ketika ia belajar di Pondok Gontor, Jawa Timur. Ia
sebenarnya ingin masuk SMA, tapi pesan amaknya yang ia

Catatan Pinggir 12 299

http://facebook.com/indonesiapustaka TUHAN

cintai menahannya untuk tetap berada di jalur pendidikan
agama. Sesekali ada kebimbangan, tapi Alif Fikri menyukai
kehidupan di pesantren itu—yang sebenarnya tak terpisah
dari Indonesia yang ”modern”. Di sana ia juga bertemu dengan
fragmen-fragmen dunia lain. Ia tak gentar mengalami beda
dalam dirinya. Pesan Kiai Rais selalu dikenangnya: ”Jangan
berharap dunia yang berubah, tapi diri kitalah yang harus
berubah.”

Maka dalam novel ini tak terasa ada guncangan dan
krisis, ketika kesalihan kota kecil Indonesia bertaut dengan
modernitas ”Barat”. Awal cerita di dekat Gedung Capitol yang
diselimuti salju di Washington, DC; akhir cerita: di bawah
monumen Nelson di Trafalgar Square, London. Negeri Lima
Menara dibuka dengan kata-kata Imam Syafi’i di abad ke-8
yang diajarkan kepada para murid Pondok Gontor: ”Aku
melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir
menjadi jernih....”

Yang dirayakan gerak dan perjalanan. Tuhan sudah dengan
sendirinya menyertai, tanpa, dalam kata-kata Mustofa Bisri,
”mendominasi lalu lintas”.

TEMPO, 8 Mei 2016

300 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Mandalika

HIDUP sama sekali tak mudah bagi Maryam—dan
agama tak menolongnya. Bahkan sebaliknya. Dalam
hidup tokoh novel Okky Madasari ini, agama menghimpun
tiga anasir represif terhadap hidupnya: orang tua yang menekan
anak-anaknya, laki-laki yang diutamakan di atas perempuan,
dan doktrin yang membuat orang-orang terikat dan kemudian
bermusuhan. Di bawah tekanan semua itu, kebaikan menjauh.

Maryam mencoba melawan itu—dengan setengah diam.
Menjelang akhir novel (”Maret 2006”), seorang bayi
perempuan lahir. Maryam dan suaminya yang baru, Umar,
penuh harap. Mereka menamai anak itu ”Mandalika”—
nama yang diambil dari legenda lokal. Bukan nama Arab, kata
Maryam. Bukan seperti ayah dan ibunya.
Bagi Maryam, itu langkah awal sekaligus paling mudah
untuk menjauhkan anaknya dari segala kepedihan yang
dialami keluarganya. ”Biarlah anak ini jauh dari agama tapi
dekat dengan kebaikan,” katanya, berulang kali.
”Jauh dari agama tapi dekat dengan kebaikan”—agaknya
ini ungkapan penampikan yang bisa membuat orang terenyak
(tapi tak terelakkan) dan membuat novel Maryam unik
dalam karya sastra Indonesia terakhir, di masa ketika agama,
khususnya Islam, hadir kuat di mana-mana.
Maryam lahir dan dibesarkan di Desa Gerupuk, di pantai
selatan Lombok. Ia generasi ketiga pengikut Ahmadiyah.
Mula-mula Komunitas Ahmadi hidup berdampingan

Catatan Pinggir 12 301

http://facebook.com/indonesiapustaka MANDALIKA

dengan penduduk muslim yang lain. Tapi bukannya tanpa
ketegangan—dan sebagaimana dikisahkan novel ini, ada
ketegangan membisu yang merayap ke dalam hidup Maryam.

Sebagaimana dalam komunitas iman yang lain, di sini juga
para penganut membentuk lingkaran tertutup, dengan tembok
yang mudah mengeras. Sejak remaja Maryam berusaha hidup
dalam lingkaran itu dengan tertib, atau lebih tepat: dengan
ketakutan. Terutama dalam berhubungan dengan laki-
laki: ketika cinta tumbuh antara orang Ahmadi dan bukan
Ahmadi, hubungan lebih jauh akan terancam. Komunitas di
kedua pihak akan merintangi itu, dan konflik terjadi.

Maryam ikut menanggungkannya.
Ia jatuh cinta kepada Gamal, sesama Ahmadi, tapi gagal:
Gamal membelot dari keyakinan keluarganya. Maryam
pindah ke Jakarta, bekerja di sebuah bank. Ia bertemu dengan
Alam, yang bukan penganut Ahmadi. Mereka saling jatuh
cinta dan siap menikah, tapi calon mertuanya berkata: ”Suami
adalah imam seorang isteri. Ketika sudah menikah nanti, isteri
harus mengikuti suaminya, menuruti suaminya, apalagi dalam
soal beragama.” Sebaliknya ibu Maryam bertanya kepada
Alam: ”Apa itu berarti Nak Alam sudah siap menjadi seorang
Ahmadi? ”
Orang-orang tua melindungi, tapi juga menguasai dan
menekan anak-anak mereka. Orang-orang tua dilindungi
ajaran mereka, tapi sebenarnya dikuasai sepenuhnya.
Maryam, mungkin karena ia seorang perempuan, me­
rasakan tekanan yang lebih—maka lebih pula resistansinya. Ia
letakkan pikirannya dalam semacam isolasi. Ia mencoba lupa.
Kadang-kadang ia berpikir, ”Ia hanya Ahmadi ketika sedang

302 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka MANDALIKA

berada di tengah-tengah pengajian Ahmadi.”
Tapi pernikahan Alam dan Maryam tak sampai berumur

lima tahun. Mereka tak kunjung punya anak. Orang tua Alam
mendesak, dan dalam keadaan kesal, Maryam merasa bahwa
orang tua itu menyalahkannya karena ia pernah ”sesat”. Ia pun
meninggalkan Alam, dan kembali ke Lombok, ke keluarganya
sendiri.

”Sesat” adalah kata yang ganas. Itu pula yang menyebabkan
masyarakat Islam di Gerupuk, yang menganggap Ahmadiyah
”sesat”, pada suatu hari—setelah mendengar khotbah yang
dulu tak pernah mereka dengar—mengusir tetangga mereka.
Mereka melempar batu ke genting dan kaca jendela orang
Ahmadi, merusak pagar dengan parang dan cangkul. Akhirnya
17 rumah dibakar, dengan ultimatum: kaum Ahmadi harus
meninggalkan iman mereka atau hengkang.

Keluarga Maryam terusir. Bahkan ketika ayahnya
meninggal karena kecelakaan lalu lintas, ia tak boleh
dimakamkan di desanya sendiri.

Apa yang dibawa agama: kebaikan? Atau ganasnya kata
”sesat”? Apa yang dibawa iman bersama: ketenangan? Atau
desakan yang menghilangkan kebebasan memilih?

Maryam kembali ke komunitas Ahmadiyah yang harus
hidup di pengungsian. Ia memprotes pejabat Negara yang tak
melindungi orang-orang yang dianiaya itu, yang selama enam
tahun terpaksa menempati kamar-kamar sempit di Gedung
Transito. ”Kami hanya ingin pulang....”

Dalam arti tertentu, Maryam pulang: dari lupanya akan
asal-usul. Tapi ia tak kembali. Ia diam-diam merestui adiknya,
Fatimah, meninggalkan komunitasnya untuk menikah dengan

Catatan Pinggir 12 303

http://facebook.com/indonesiapustaka MANDALIKA

”orang luar”. Dengan demikian, ia mengatasi demarkasi yang
bernama agama, sambil menunggu kelahiran Mandalika.

Mandalika, dalam legenda Lombok Selatan itu, putri
raja yang mengorbankan diri untuk mencegah permusuhan.
Ia, yang diperebutkan, menenggelamkan diri di laut. Tapi,
kata sahibulhikayat, ia datang kembali setahun sekali saat
purnama, dalam wujud cacing-cacing—hewan yang dianggap
menjijikkan—untuk menyuburkan tanah. Tanah siapa saja.

TEMPO, 15 Mei 2016

304 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Almansor

”Betapa dalam kau terpuruk, wahai Granada!”

DALAM Almansor, tragedi karya Heinrich Heine,
Almansur bin Abdullah pulang ke Granada dari
pengasingan. Ia kembali ke kastil masa kecilnya: bangunan itu
masih tetap di atas tanah ”yang tua dan tercinta”, dengan lantai
yang dilapisi permadani berwarna-warni; pilar-pilar marmar
itu setia bertahan. Almansur merasa betah kembali. Tapi ada
yang membuatnya waswas. So heimisch ist mir hier, und doch so
ängstlich. Kehidupan telah berubah. Kerajaan Islam Spanyol,
terlena dalam kegemilangannya sendiri, jatuh, direbut
kekuasaan Katolik di bawah Ratu Isabella dan Raja Ferdinand.

Dan Granada terpuruk. Tak ada lagi kemerdekaan
menjalankan agama seperti dulu, ketika orang Islam, Kristen,
dan Yahudi hidup bersama dan bertukar peradaban. Di awal
lakon, Almansur berjumpa kembali dengan Hassan, pelayan
keluarga Abdullah yang dulu mengasuhnya. Mereka saling
menceritakan keadaan yang muram.

Ribuan muslim ”merundukkan kepala agar dibaptis”
dalam ketakutan, kata Almansur. Di masa itu, seorang pejabat
tinggi Gereja dan Kerajaan, ”Ximenes yang mengerikan” (der
furchtbare Ximenes), dengan disaksikan khalayak di tengah
pasar melemparkan Quran ke api unggun.

Hassan mendengarkan semua itu dengan masygul, tapi
ia tampak tak terkejut. Ia mengucapkan satu kalimat seperti

Catatan Pinggir 12 305

http://facebook.com/indonesiapustaka ALMANSOR

meramal: ”Di mana mereka bakar kitab-kitab, di sana mereka
akhirnya bakar manusia.”

”Ximenes” dalam tragedi Heine adalah Gonzalo Jiménez de
Cisneros, pejabat tinggi Gereja dan kepercayaan Ratu Isabella.
Tokoh sejarah Spanyol yang hidup antara 1436 dan 1517 ini
adalah padri yang keras kepada dirinya sendiri dan kepada
orang lain—apalagi orang lain dari iman yang lain.

Ia tak tergoda kemewahan; pada usia di atas 40 tahun ia
bergabung ke dalam Ordo Fransiskan dan membiasakan
diri tidur di tanah tanpa alas, melipatgandakan puasa, dan
mengenakan kain yang dianyam dari surai kuda. Tapi dengan
kekuasaan dan keyakinan akan keunggulan imannya, ia
memaksa para biarawan yang sudah ditahbiskan untuk
hidup selibat, menetap di paroki, dan bekerja penuh. Ketika
ketentuan ini dikenakan lebih ketat dan lebih luas, 400 rahib
mengungsi ke Afrika—dan masuk Islam.

Bagi Cisneros, Islam dan Yahudi iman yang sesat. Pada
1492, di awal ia jadi pastor Ratu Isabella, ”Maklumat
Pengusiran” diumumkan. Sekitar 200 ribu orang Yahudi
terpaksa jadi Kristen; puluhan ribu yang lain diusir. Tak
berhenti di situ. Cisneros memaksa ribuan Mudéjares, muslim
yang hidup di wilayah Kristen, berpindah agama—meskipun
dengan demikian ia melanggar perjanjian Alhambra ketika
Ferdinand dan Isabella mengambil alih kekuasaan Islam.
Ketika penduduk muslim berontak dan dikalahkan, Cisneros
memberi mereka ultimatum: masuk Kristen atau diasingkan.
Sebagian besar, seperti disebut Heine dalam Almansor,
”merundukkan kepala untuk dibaptis”, ”menggenggam erat
salib, dalam ketakutan akan mati”.

306 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka ALMANSOR

Dan seperti tersebut dalam tragedi itu, buku pun dibakar.
Sekitar 5.000 judul karya penulis dan pemikir Islam
dimusnahkan dalam api. Kemudian manusia. Tercatat, sejak
1481, Gereja Katolik Spanyol membakar hidup-hidup 31.912
orang yang dianggap sesat iman. Dalam jumlah itu, ada
3.564 yang dihanguskan dalam api auto-da-fé atas keputusan
”Ximenes yang mengerikan”.

Heine, sastrawan Jerman di abad ke-19, tentu saja
menggubah Almansor dari petilan-petilan sejarah itu—dan
dengan gambaran yang negatif tentang rezim ”Ximenes”. Yang
tak diduganya: kalimat yang diucapkan tokoh Hassan akan
jadi semacam peringatan dari masa ke masa—terutama setelah
di abad ke-20, Jerman memunculkan Hitler dan Gerakan
Nazi dan ribuan buku dibumihanguskan. Pada 10 Mei 1933,
misalnya, mahasiswa pendukung Nazi membakar habis 35
ribu jilid buku yang isinya dianggap ”tak bersifat Jerman”: dari
Marxisme sampai dengan buku seni rupa mutakhir, dari yang
dianggap ”liberal” sampai dengan yang dianggap ”ilmu palsu”,
yaitu Darwinisme. Kemudian kamp konsentrasi didirikan dan
ribuan orang Yahudi dan lain-lain dimatikan.

Di Indonesia juga pernah orang membakar buku dan
membunuhi manusia. ”Demokrasi Terpimpin” Sukarno
melarang risalah Bung Hatta Demokrasi Kita, semua novel
Takdir Alisjahbana, Mochtar Lubis, dan lain-lain, juga semua
puisi para penulis yang menandatangani ”Manikebu”. Di
bawah ”Orde Baru” Soeharto, apa saja buku yang dianggap
”komunis” diberangus, bukan hanya novel Pramoedya Ananta
Toer. Kekerasan dan supremasi kekuasaan jadi pola, makin
lama makin menajam.

Catatan Pinggir 12 307

http://facebook.com/indonesiapustaka ALMANSOR

Menarik bahwa kejahiliahan ini berulang, justru di bawah
Republik yang berbeda-beda yang saling menyalahkan.
Tampaknya belum juga disadari, bila kata tak bisa dipakai
untuk berbicara, orang akan pelan-pelan saling mematikan
dengan kedegilan. Hassan dalam Almansor benar.

TEMPO, 22 Mei 2016

308 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Komunisme

Mayakovski, penyair Rusia itu, menulis mengapa ia memilih
komunisme:

Kaum proletar
sampai ke Komunisme
dari bawah

lewat jalan rendah tambang-tambang,
lewat sabit
dan sekop

tapi aku
dari langit sajak
terjun ke dalam Komunisme

sebab
tanpa itu
aku tak merasakan cinta

SEJAK remaja ia memang sudah seorang aktivis Bolsyewik,
organisasi komunis yang diharamkan itu. Suatu ketika ia
membantu para perempuan tahanan politik melarikan diri.
Ia tertangkap dan dihukum 11 bulan penjara pemerintahan
Tsar. Tapi dari sini lahir Mayakovski sang Penyair. Dalam
sel, ia menulis sajak—dan sejak itu tak berhenti. Kian lama
karyanya, juga seni grafis, teater, dan film, kian menunjukkan
sesuatu yang mempesona dan cemerlang.

Setelah sang penyair mati, Partai Komunis yang menang
mendirikan patungnya, setinggi enam meter, di Lapangan

Catatan Pinggir 12 309

http://facebook.com/indonesiapustaka KOMUNISME

Triumphalnaya, Moskow. ”Mengabaikan kenangan tentang
dia dan karyanya,” kata Stalin tentang Mayakovski, ”akan
dianggap sebagai tindak kejahatan.”

Jika pujian itu terdengar seperti ancaman, itu indikasi
yang menyedihkan. Sejarah puisi Mayakovski bisa menandai
perbedaan vibrasi gerakan komunis dalam era yang berbeda:
bermula dari perlawanan yang tanpa pamrih terhadap
kekuasaan, berakhir dengan monumen yang mandek dan
pemujaan yang wajib. Berawal dari gairah puitik yang
dramatik, eksplosif, tak gentar menampilkan ”aku” yang
menentang kompromi di sekitar (puisi Mayakovski yang
ditulis pada 1913: ”Menampar Wajah Selera Publik”), berakhir
dengan kepatuhan kepada petunjuk resmi.

Sebenarnya, sebuah tragedi.
Pada 14 April 1930, Mayakovski menembak dirinya sendiri.
Umurnya masih 36 tahun. Catatan yang ditinggalkannya:
”Jangan salahkan siapa pun atas kematianku dan tolong,
jangan bergosip.”
Ada yang mengatakan, ia bunuh diri karena cinta yang
tak pasti. Ada yang menduga, kekuasaan Partai mulai
mengasingkannya; hubungan ”cinta” dalam sajaknya dengan
Komunisme sudah berubah. Ada yang melihat, bunuh diri
itu bagian dari narsisme Mayakovski yang selamanya siap
memamerkan diri. Pesolek ini memang aktor panggung dan
pembaca puisi yang bisa memikat. Temannya, Boris Pasternak,
yang kemudian dikenal sebagai penulis novel Doctor Zhivago,
menggambarkan Mayakovski sebagai penyair dengan ”suara
seperti penyanyi mazmur dan tinju seperti pegulat”. Ia sebuah
atraksi. Bunuh diri—seperti dalam kasus Mishima, seorang

310 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka KOMUNISME

narsis lain—juga sebuah atraksi.
Itu juga ambiguitas Mayakovski. Itu juga ketegangan

dalam sajak-sajaknya yang ingin menegaskan ”aku” yang
liris bersamaan dengan kesadaran revolusioner yang lurus.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pertama Uni Soviet,
Lunacharski, melihat ada dua wajah penyair ini. Yang pertama:
wajah seseorang yang hatinya berdegup bagaikan palu yang
dipukulkan (”Mayakovski metal”). Yang kedua: seseorang
yang rapuh, sensitif, seakan-akan dalam dirinya ada ”tukak
lambung yang berdarah”. Kata Lunacharski, sang penyair
bunuh diri karena sosok ”tukak lambung” itu yang mengambil
alih.

Justru ketika Komunisme memasuki ”abad besi”.
Tapi di situ juga tampak dilema cita-cita yang dirumuskan
Marx dan dilaksanakan Lenin—kontradiksi yang harus di
alami Mayakovski. Cita-cita Komunisme berangkat dari
semangat pembebasan ”kaum yang terhina dan lapar” yang
sakitnya terasa bak ”tukak lambung yang berdarah”. Tapi pada
akhirnya ia harus melalui ”abad besi”, ketika mesin dan martil
dipukulkan untuk meratakan jalan, merampat permukaan—
atau menghabisi lawan. Gerakan Komunis lahir untuk
membentuk masyarakat yang ”sama rata sama rasa”. Tapi di
tengah jalan, agar efektif, ia harus membentuk Partai yang
hierarkis dan keras—dan pada gilirannya, represif.
Di bawah Stalin, Partai Komunis makin keras, kukuh, dan
pembangunan berjalan, dan perang melawan Nazi dimenangi.
Tapi juga pada pertengahan 1930-an itu, represi adalah teror.
Ribuan orang ditangkap, dibuang, atau ditembak mati—
di antaranya kawan-kawan seperjuangan Lenin di masa awal

Catatan Pinggir 12 311

http://facebook.com/indonesiapustaka KOMUNISME

Revolusi.
Pada 1956, Khrushchev, yang waktu itu memimpin Partai

Komunis, membongkar kekejaman Stalin dalam sebuah pidato
rahasia. Teksnya baru disiarkan resmi 32 tahun kemudian....

Tertutup dan tanpa kebebasan yang luas untuk menelaah
persoalan, cara pidato itu disembunyikan (sebuah otokritik
besar yang oleh PKI, di Indonesia, tak pernah disebut)
menunjukkan apa yang akhirnya membuat gerakan komunis
gagal: ketakmampuannya dengan segera memperbaiki
cacatnya sendiri. Ia pun ditinggalkan sejarah dan jadi
kenangan, dipuja atau dibenci.

Mayakovski pernah punya idaman: pena akan setara dengan
bayonet, Stalin akan lapor ke Politbiro ia sedang menggubah
sajak. Itu cita-cita yang indah, seperti Komunisme. Tapi itu tak
pernah terjadi.

TEMPO, 29 Mei 2016

312 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Topeng

Laki-laki bertopi infanteri bertopeng ski hitam dengan
pipa kecil yang menyembul dari mulutnya itu tak tampak
lagi. Tak di San Cristobal de las Casas, tak di kota lain, tak
juga di pedalaman Meksiko. Di sana ia pernah angkat senjata,
bertempur, berbicara, menulis, dan bergabung dengan petani
Chiapas miskin yang memperjuangkan hak mereka. Sepuluh
tahun kemudian, Sub-komandante Marcos, tokoh paling
menonjol dalam pembangkangan Zapatista itu, menghilang.

Mungkin begitulah seharusnya: pejuang datang, pejuang
menang, pejuang menghilang. Sepuluh tahun sebelumnya
sekitar 3.000 anggota pasukan bersenjata Zapatista
menyatakan perang kepada tentara Meksiko, menduduki
beberapa kota, dan 150 orang tewas. Mereka kemudian
terpukul, tapi akhirnya diakui sebagai satu kekuatan politik
yang nyata yang berhasil membangun wilayah-wilayah
otonomi tanpa pengakuan resmi. Selama 10 tahun itu Marcos,
dengan penampilannya yang unik, jadi ikon perjuangan. Tapi
kemudian sebuah statemen Zapatista diumumkan pada 24
Maret 2014: Marcos tak ada lagi. ”Ia sosok yang diciptakan,
dan kini para penciptanya, kaum Zapatista, menghancurkan
dia.”

Kata ”menghancurkan” tentu saja sebuah kiasan. Sebab
Marcos menghilang bukan karena dibunuh atau disingkirkan,
melainkan karena gerakan pembebasan itu menyimpulkan:
perannya telah selesai. Kata orang yang bersangkutan, ”Suara

Catatan Pinggir 12 313

http://facebook.com/indonesiapustaka TOPENG

Tentara Pembebasan Nasional Zapatista tak lagi datang dari
saya.”

Mungkin ini terjadi karena arus balik: ada yang
mengatakan dukungan rakyat Chiapas semakin menipis.
Usaha menegakkan ekonomi rakyat yang swadaya tak
berhasil. Tapi Marcos (tentu saja bukan nama sebenarnya)
sejak mula memang tampak mendua dalam menjalankan
perannya. Ia tampil di tiap kejadian besar gerakan Zapatista,
berpidato di depan massa, dan mengesankan sebagai ideolog
gerakan itu; tapi ia tak pernah disebut ”komandante”; ia cuma
”sub-komandante”. Ia memang anggota gerakan pembebasan
bangsa Maya, orang Indian di ujung selatan Meksiko, yang
tanahnya diambil alih bisnis besar dan hidup miskin berabad-
abad; tapi ia bukan ”pribumi”. Dari celah topengnya, ia tampak
berkulit putih, bermata biru. Dalam potret yang tersebar di
seluruh dunia ia—kadang-kadang berkuda dan bersenjata—
kelihatan jantan dengan postur seorang pemimpin yang
karismatis; tapi jika kita dengarkan cara ia berpidato dan kita
simak bahasa tubuhnya, ia lebih mirip seorang profesor desain,
atau seorang penulis, yang tak kelihatan perkasa, tapi malah
santun. Kalimat yang dipilihnya dengan baik tak diucapkan
berapi-api. Kata-kata itu lebih menggugah orang berpikir—
bukan bahasa politik kerakyatan yang lazim. Ia tak hendak
mengkhotbahi audiens. Nadanya tak menganggap diri punya
otoritas yang lebih.

Ia tampaknya sadar: ia tak bisa mengklaim ia mewakili suara
petani miskin di sekitar hutan Lacandona. Betapapun dalam
simpatinya, betapapun erat hubungannya dengan para petani
itu, benar-benar tahukah ia tentang harapan dan rasa cemas

314 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka TOPENG

mereka? Dalam percakapannya dengan sastrawan Garcia
Márquez ia mengaku dibesarkan dalam keluarga guru dusun
yang kemudian makmur, dengan ayah-ibu yang mengajarinya
mencintai buku dan bahasa. Dari statemen-statemennya bisa
ditebak ia penulis yang bagus; ia memang menulis sejumlah
puisi, prosa, cerita.

Tampaknya ia juga mempelajari fi lsafat dan tertarik
pada Marx, Althusser, Foucault. Ia seorang Marxis. Dengan
militan ia melawan penetrasi neoliberalisme dari Amerika ke
wilayahnya; ia mengagumi Ché Guevara, pahlawan Partai
Komunis Kuba. Tapi ia berhenti percaya ada partai yang bisa
mewakili kelas proletar di Chiapas. Berada di kancah petani
Maya, ia tak lagi melihat kelas proletar bisa jadi pelopor segmen
rakyat yang luas. Bagi Marcos, yang jadi pedomannya adalah
asas mandar obedeciendo, ”memimpin dengan mematuhi”, adat
orang Indian setempat.

Dengan kata lain, ia percaya kaum miskin itu yang punya
kearifan. Ia sendiri hanya berguru di sana, lebur di sana. Ia
bukan ”aku” yang berpikir, bukan pemandu jalan, bukan pula
pahlawan pembela yang jelata. Ia bukan siapa-siapa.

Di sini topeng—topeng yang dikenakannya bersama kaum
Zapatista—adalah satu pernyataan. Topeng itu meneguhkan
tak pentingnya nama-nama: tak ada yang pegang supremasi
dan memonopoli perjuangan. Tapi topeng itu juga
meneguhkan kemampuan memilih identitas ketika kekuasaan
yang ada menghapusnya. ”Kami menutupi wajah kami, agar
mereka melihat kami,” kata Marcos. ”Kami lepaskan nama
kami, agar mereka memanggil nama kami.”

Dengan kata lain, topeng membuat nama dan label hanya

Catatan Pinggir 12 315

http://facebook.com/indonesiapustaka TOPENG

sebagai tanda perlawanan, bukan cap yang menetap. Maka
ia bisa jadi lambang siapa saja. Marcos, dengan topengnya,
”adalah tiap minoritas yang tak diterima, ditekan, dan diisap—
dan melawan dan berkata, ’Cukup!’”

TEMPO, 5 Juni 2016

316 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Kebenaran

Di kepala kita, tanpa kita sadari, kadang-kadang tumbuh
sesuatu yang perkasa, bernama Kebenaran. Ia tak
tergerak oleh segala yang berubah, yang mengalir, mekar,
mengeriput, atau merosot. Ia mantap. Kita mungkin merasa
aman, tapi rasanya kita tak bisa hidup terus-menerus dengan
itu.

Saya ingat sebuah sajak Yehuda Amichai:

Dari tempat di mana kita benar
kembang tak pernah tumbuh
di musim semi

Tempat di mana kita benar
keras dan dipadatkan.
Seperti pekarangan.

Tapi keraguan dan cinta
menggemburkan bumi, seperti tikus tanah
seperti bajak.
dan ada bisik yang akan terdengar di tempat ini
di celah-celah
puing rumah

Dalam posisi sebagai ”kita-yang-benar”, bisa terjadi
sesuatu yang represif: kita jadi subyek yang menguasai
persoalan sepenuhnya—subyek yang tegak, keras, dan tegar.

Catatan Pinggir 12 317

http://facebook.com/indonesiapustaka KEBENARAN

”Kebenaran” dalam kepala kita tak hendak meluangkan
yang lain berkembang sendiri. Ia bahkan tak boleh terganggu
sekuntum bunga yang mendadak mengorak. Musim boleh
berganti, tapi tak dimungkinkan mengubah susunan yang
tetap.

”Kebenaran” yang mengeras di kepala kita akhirnya
sebuah konstruksi yang harus dibikin padat padu, ”keras
dan dipadatkan”. Ia tak akan punya kejutan. Semua ditata di
permukaan yang datar, mengikuti pagar dan petak pekarangan
yang persis dan sempurna.

Tapi selalu ada sesuatu yang lain. Dalam sajak Amichai, yang
lain itu adalah ”keraguan dan cinta”. Keraguan bisa membuat
kita seperti tanah gembur yang lunak, tak liat dan konsisten.
Dan ketika cinta merasuki kita, kita seakan-akan mendapat
semacam kekuatan tersembunyi yang tak bisa tunduk bahkan
kepada dalil-dalil ”Kebenaran”. Cinta menyelamatkan kita
dari penyempitan hidup yang hanya disederhanakan jadi
ruang ”salah” dan ”benar”. Cinta memperkukuh kita di tengah
keganasan antagonisme.

”Dan ada bisik yang akan terdengar di tempat ini/ di celah-
celah puing rumah.” Bisik itu mengingatkan: pernah ada
sebuah bangunan damai yang hancur, ketika kita bersikeras
bahwa kita dalam ”Kebenaran”—dan menutup pintu bagi
orang lain yang tak mau mufakat.

Mungkin Amichai (ia seorang penyair Israel) terlampau
lama mengalami perang dalam hidupnya—perang yang
masing-masing petarungnya tak mengizinkan keraguan
datang dan cinta menginterupsi. Mungkin kedua belah pihak
tak bisa lain. Dalam permusuhan sesengit itu, posisi dan klaim

318 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka KEBENARAN

kebenaran bisa sangat mengeras, menajam, membuahkan
sikap agresif: ”Kebenaranku absolut, dan pasti dibenarkan
siapa saja.”

Aneh, sebenarnya. Ketika permusuhan membelah ke­
hidupan jadi ”kami” dan ”mereka”, masing-masing bergerak
dengan militan justru karena meyakini ”Kebenaran” dalam
”kami” adalah Kebenaran yang universal—Kebenaran yang
juga diterima ”mereka” dan untuk ”mereka”.

Mungkin ini salah satu corak perang modern: saling
menghancurkan dengan pembenaran ideologi. Tapi juga
ini menegaskan bahwa ”kebenaran” belum hilang dari
percakapan. Juga sifat universalnya.

Ketika Indonesia baru saja berhasil merebut kemerdekaan
nasionalnya, pada 1945, para perumus konstitusinya menulis,
sebagai kalimat pembuka, bahwa kemerdekaan adalah
”hak segala bangsa”. Mukadimah ini tak hanya merayakan
kemerdekaan sendiri. Pembebasan itu tak sepihak. Ada sesuatu
yang lebih luhur dalam tujuan perjuangan ketimbang sekadar
memenuhi kepentingan sendiri. Kian bernilai dan berarti
perjuangan kemerdekaan, kian keras pula usaha di dalamnya.
”Kami” tak sendiri. Bahkan dengan ”mereka”, dengan musuh,
”kami” bisa berbagi beberapa nilai yang universal.

Tapi adakah nilai yang universal? Tidakkah, seperti
diungkapkan para pemikir pascamodern, apa yang
diasumsikan sebagai ”universal” ternyata hanya nilai Eropa
yang diterima di mana-mana karena hegemoni berabad-abad?
Bersama para pemikir pascamodern, kita bertemu lagi dengan
Perspektivismus Nietzsche: Kebenaran selamanya dirumuskan
dan diterima dalam tempat, sejarah, kebudayaan tertentu.

Catatan Pinggir 12 319

http://facebook.com/indonesiapustaka KEBENARAN

Sajak Amichai tampaknya bertolak dari Perspektivisme
ini. ”Dari tempat di mana kita benar....” Kita ”benar” bukan
di luar ruang dan waktu. Di kepala kita tak ada sabda dewa
langit. Lagi pula ada ”keraguan dan cinta” yang membuat kita
manusiawi kembali.

Ada kerendah-hatian dalam sajak Amichai. Tapi suka
atau tak suka, kita hidup di zaman digital yang langsung
menyaksikan kekejaman atas nama Tuhan (yang tak kenal
sejarah) dan arus keserakahan modal dan manusia (yang tak
kenal perbatasan). Menghadapi itu, apa jadinya jika yang
kita miliki hanya ”Kebenaran” yang terbatas pada perspektif
sendiri?

Keraguan membuat kita manusia kembali, di atas tanah
yang gembur. Tapi mungkin cinta akan membuat kita tak akan
kalah dikepung globalisasi fanatisme dan kerakusan: ”Cinta
itu seperti gudang penyimpan kebaikan hati dan kenikmatan,”
kata Amichai, ”seperti lumbung gandum dan tangki air ketika
kota dikepung.”

TEMPO, 12 Juni 2016

320 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Panggung

NAMA samarannya ”Prapanca”. Ia menggambarkan
dirinya sebagai lelaki yang tak disukai para perempuan
istana, tak fasih bicara, parasnya tak riang. Tapi ia penulis
reportase pertama dalam sejarah Indonesia: Desawarnana,
yang rampung ditulisnya pada 1365, adalah laporan kunjungan
perjalanan darat Hayam Wuruk, Raja Majapahit, ke pelbagai
wilayah kekuasaannya.

Sayangnya, Prapanca seorang pencatat yang terbatas.
Kakawinnya lebih merupakan rekaman kesan-kesan tentang
tamasya dan tontonan dari tempat ke tempat. Desawarnana
adalah travelogue abad ke-14. Ia bukan catatan peristiwa-
peristiwa.

Mungkin karena Prapanca bukan sepenuhnya orang dalam
istana. Kakawin yang hilang dan baru ditemukan lebih dari
500 tahun kemudian di Lombok ini ia tulis setelah ia tersingkir
dari pusat kekuasaan. Diduga ia menyelesaikannya di sebuah
desa di Bali. Deskripsi tentang dirinya di akhir kakawin
menggambarkan profil seseorang yang tak merasa mampu
bergabung dengan para penyair lain yang menulis seloka-
seloka untuk memuja Raja. Bisa jadi ini menandai kepahitan
dan kekecewaan yang dicoba disembunyikannya.

Apa gerangan yang terjadi? Mengapa ia tersingkir? Harus
saya katakan, kakawin yang juga disebut Negarakertagama ini
bukan informasi yang memadai tentang kehidupan politik
masa itu. Prapanca dengan memikat menggambarkan tembok

Catatan Pinggir 12 321


Click to View FlipBook Version