The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by suharnowo, 2021-11-04 03:02:50

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka 28 OKTOBER

kol­onial memberlakukan kategori yang sebenarnya baru bagi
penduduk di koloni: kategori ”ras” misalnya. Ketika para
admin­ istrator Eropa memakai konsep itu dalam desain sensus
me­reka, mereka sadar—seperti ditulis Anthony Reid dalam
Imperial Alchemy: Nationalism and Political Identity in Southeast
Asia—bahwa mereka sedang ”memaksakan kategori-kategori
kepada sebuah dunia yang bergeser”.

Pada awal 1930-an para penguasa Eropa sendiri
mengeluhkan betapa tak stabilnya pembedaan rasial di Burma.
Seorang per­ancang sensus kolonial mengakui: ”orang Timur
sendiri tak pu­nya konsep yang jelas tentang apa itu ras”.

Tapi sensus dan penguasaan diteruskan, dan kategori yang
dit­erapkan dari atas itu makin melekat.

Dalam cengkeraman kekuasaan itu penduduk me­
nyesuaikan diri. Mereka ikut menyebut diri ”Jawa” atau
”Melayu”. Den­ gan kata lain, anggota ”suku” yang sudah
tertentu. Seakan-akan mereka mewarisi sesuatu yang mereka
kenang, mereka lanjutkan, mereka hormati. Sampai kini.

Mereka kira mereka mengingat. Tapi ”bangsa” atau ”suku”
la­hir sering dengan ingatan yang palsu.

TEMPO, 18 Oktober 2015

172 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka SOTO

TIAP 28 Oktober saya teringat soto. Hari itu, di tahun
1928, ketika para pemuda menyatakan bersumpah
untuk mem­ iliki ”satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa”,
tak terdengar­ada kesepakatan untuk punya ”satu soto, soto
Indonesia”.

Demikianlah kini kita masih bisa merasai soto Bandung,
so­to Banjar, soto Betawi, soto Kudus, soto Pekalongan (yang
ter­akhir ini belum juga mau disebut soto, melainkan ”tauto”,
kar­ena ada unsur tauco di dalamnya), soto Madura, dan
seterus­nya, sehingga dari barat sampai ke timur berjajar soto-
soto—itulah Indonesia.

Soto agaknya satu hal yang mustahil diatur. Maksud saya,
ia sulit untuk dilebur dalam sebuah ”kesatuan”. Saya tak tahu,
se­jauh mana kalangan intelijen menganggap soto Bandung,
soto Banjar, soto Madura dan lain-lain itu sebagai ancaman
dan menyebarkan informasi: awas, soto adalah pendukung
diam-­diam federalisme dan pelawan ”NKRI”.

Adapun akronim ini sekarang dipakai sebagai bahasa resmi
unt­uk menyebut Republik kita—acap kali disebut dengan
seten­ gah menggertakkan geraham, khususnya ketika sampai
di hu­ruf ”K”. Tapi kita tahu, lidah kita tak bisa merasakan soto
da­ri mana pun pada saat kita menggertakkan geraham.

Mungkin karena soto akan senantiasa luput dari bahasa­
resmi. Ia bertaut erat dengan kelaziman perut dan lidah, yang
umumn­ ya terbentuk oleh pengalaman sejak masa kanak-

Catatan Pinggir 12 173

http://facebook.com/indonesiapustaka SOTO

kanak. Orang yang sejak berumur 6 tahun dihibur ibunya
dengan makan soto bersantan gaya Bandung tak akan dengan
gam­pang mencintai soto bening gaya Madura.

Dengan kata lain: soto berhubungan dengan selera, hasrat,
ke­nikmatan, ingatan, bawah-sadar, banyak hal jasmani yang
ters­impan dari masa lalu, yang kadang-kadang muncul, dan
agaknya disebut jouissance dalam psikoanalisis Lacan. Soto
bertautan dengan sesuatu yang mengandung hal-ihwal yang
tak selamanya dapat dibuat terang dan rapi. Soto yang tak
dapat dijadikan bagian dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28
Okt­ober itu menunjukkan bahwa dalam hidup memang ada
hal-hal yang tak dapat dijangkau oleh tata simbolik—oleh
bahasa, hukum, konvensi bersama, dan agama.

Yang menarik ialah bahwa 28 Oktober 1928 justru sebuah
pe­ristiwa dalam tata simbolik, ketika nama jadi demikian
pen­ting. Contoh yang paling jelas adalah salah satu yang
disebut dal­am Sumpah itu: ”bahasa persatuan, bahasa
Indonesia”. Bahasa ini bukanlah sesuatu yang baru pada saat ia
disepakati untuk dipakai. Bahasa ini telah beredar sekian abad
sebelumnya, umumnya disebut sebagai bahasa ”Melayu”, tapi
tak lagi persis se­perti yang dipergunakan suku Melayu, sebab
khazanah dan li­dah orang lain—terutama kaum peranakan
Cina, yang ban­ yak­berperan dalam perdagangan dan media—
ikut membent­uk­nya. Maka yang terjadi pada tanggal 28
Oktober 1928 itu adal­ah mengubah nama ”Melayu” menjadi
”Indonesia”.

Apa arti sebuah nama? Ini pertanyaan yang sering diulangi­
sejak Shakespeare menulis Romeo and Juliet. Bagi Romeo,
na­ma­ tak penting; kembang mawar tetap kembang mawar

174 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka SOTO

seandainya pun ia disebut ”dadap”. Romeo mendahului
teori lin­ gu­is­tik Saussure, jika ”nama” kita samakan dengan
”kata”: arti se­p­ atah kata bukanlah sesuatu yang berdiam
atau tersimpan dal­am kata itu sebagai satu hakikat. Arti itu
selamanya bergantung pada kata lain yang maknanya berbeda.
Maka X = mawar, sebab ia bukan Y bila Y = melati, dan Y =
melati, sebab Y bukan Z bila Z = alamanda, dan seterusnya.
Maka apa itu ”mawar”? Ki­ta cuma bisa angkat bahu.

Tapi tak selamanya kita bisa menyamakan ”nama” dengan
”ka­ta”. Nama sering punya sejarahnya sendiri. Ketika nama
”In­donesia” dipilih, yang simbolik tak hanya bunyi netral.
Ia di­gerakkan dan menggerakkan sebuah cita-cita, sebuah
harapan, mungkin sebuah rancangan. Jika kita lihat kini,
itulah cita-cit­a tentang sebuah negeri yang baik, tempat orang
yang berbeda-beda memutuskan untuk tak saling melempar
bom.

Ada yang pragmatis di situ: seandainya sebagian kita
bersikap seperti Imam Samudra, tak akan banyak lagi
di antara kita yang hidup, lebih banyak lagi yang dalam
ketakutan. Sebab orang seperti Imam Samudra—yang dengan
berapi-api menulis pembelaan atas perannya dalam mengatur
pengeboman di Bal­i—tak peduli tentang Indonesia. Ia tak
perlu Indonesia. Ia ingin menegakkan masyarakat Islam yang
tak terbatas pada ”sat­u bangsa dan satu tanah air” ini. Dan ia
merasa tahu pasti apa yang ”Islam” itu. Dan dengan klaim
itu, ia sah membunuh yang ”bukan Islam”. Islam, dalam
pandangan ini, selalu menghunus empat pedang.

Tapi tak ada sebuah kehidupan bersama yang bakal tahan
dal­am ancaman empat pedang yang terus-menerus. Ini bukan­

Catatan Pinggir 12 175

http://facebook.com/indonesiapustaka SOTO

ha­nya karena rasa jeri. Sesuatu yang lebih dalam tersimpan
dal­am pragmatisme itu: ”satu nusa, satu bangsa, satu bahasa”
adal­ah­ekspresi dari sebuah panggilan ke arah sesuatu yang
universal.

Setidaknya, dilihat di tahun 2005, Sumpah Pemuda
bukan­lah ambisi mendapatkan kekuatan politik dan
keluasan geografis. Sumpah itu buah kesadaran: tak pernah
ada kelompok (agama, suku, gender, dan lain-lain) yang bisa
mapan dan selesai dalam mencapai identitasnya. Yang disebut
”orang Jaw­ a”, juga yang disebut ”umat Islam”, sebenarnya
tak pernah je­las apa artinya—sebab di dalamnya keanekaan
berkecamuk, mesk­ ipun sering tak diakui.

Pada saat yang sama, kita tahu sudah takdir kita: meskipun
penghuni 17.000 pulau ini tak hadir serentak di satu ujung
jalan, kita tahu bahwa tiap saat kita bersentuhan dengan orang
yang lain. Bahkan Imam Samudra harus mencoba meyakinkan­
orang yang ”lain” itu, dan sebab itu ia bicara, berseru, menulis.

Dalam tiap seru, tersirat asumsi bahwa ada yang universal
da­lam kehidupan bersama ini. Ada hal-hal dalam ”milik” kita
yang khas yang kita harapkan dapat diterima dan dinikmati
siapa saja, entah kapan. Setidaknya begitulah kearifan penjual
sot­o: ia tak bermaksud menawarkan soto Kudus semata-mata
buat orang di kota di utara Semarang itu. Dan kita bersyukur.

TEMPO, 25 Oktober 2015
Catatan Pinggir ini pernah dimuat di TEMPO edisi 24-30 Oktober 2005

176 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka PADRI ITU

PADRI itu, Romo Jacques, diculik di awal pekan ketiga
Mei 2015. Ia sedang duduk di kamarnya yang sempit di
biar­a Mar Elian di tepi Kota Qaryatain di Suriah ketika orang-
orang bersenjata ad-Dawlah al-Islamiyah datang. Kekuasaan
yang dalam bahasa Inggris disebut Islamic State itu segera
menjad­ ikannya sandera. Tak banyak orang yang tahu.

Tapi pengarang Jerman terkemuka, Navid Kermani, yang
mend­ apat penghargaan Friedenspreis di Pekan Raya Buku
di Frankfurt 18 Oktober yang lalu, tak melupakannya. Ia
menyebut­ nasib Romo Jacques secara khusus dalam pidato
yang memuk­ au dalam upacara di Paul Kirche di hari Minggu
itu.

Kermani, keturunan Iran, dan bisa disebut sebagai
pengarang­muslim Jerman, bukan hanya seorang ilmuwan, tapi
ju­ga sastrawan sekaligus pemikir yang sesekali mengerjakan
per­jalanan jurnalistik. Di musim gugur 2012 ia mengunjungi
Su­riah yang diremuk perang untuk sebuah reportase. Di saat
itulah ia ketemu Romo Mourad di sebuah biara batu abad ke-7,
di tengah kesunyian gunung-gunung gurun.

Biara itu biasa dikunjungi umat Kristen dari mana-mana,
ta­pi juga, dalam jumlah yang lebih besar, muslim Arab.
Mereka, kata Kermani, ”Datang mengetuk pintu untuk
menemui saudara-saudara yang Nasrani, untuk berbicara,
bernyanyi, dan berdiam diri bersama, dan juga bersembahyang
mengikuti­ritual Islam di sebuah sudut gereja di mana tak ada

Catatan Pinggir 12 177

http://facebook.com/indonesiapustaka PADRI ITU

gambar atau patung.”
Romo Jacques anggota Ordo Mar Musa yang didirikan di

awal 1980 di biara yang sudah rusak itu. Komunitas Katolik
di Qaryatain itu unik: didirikan khusus dengan sikap yang
membawakan ”cinta kasih kepada muslim”.

Memang terdengar ”gila”, kata Kermani, bahkan
”menggelikan”: orang-orang Kristen yang, sebagaimana
mereka ka­tak­ an­sendiri, ”jatuh cinta kepada Islam”. Tapi ini
sebuah kenyat­aa­ n di Suriah belakangan ini. ”Dengan kerja
tangan mereka, keb­ aikan di hati mereka, dan doa di hati
mereka, para biara­wan dan biarawati Mar Musa menciptakan
sebuah tempat yang bagi saya bagaikan sebuah utopia...,”
kata Kermani pula. Lingkungan ini mungkin tak mereka
perkirakan sendiri sebe­lumn­ ya, tapi ternyata ”telah jauh
menjangkau rekonsiliasi eskatologis”.

Romo Mourad memimpin biara itu sendirian. Pendiri
kom­ u­nitas itu, seorang Jesuit dari Italia bernama Paolo
Dall’Oglio, sudah tak diketahui di mana lenyapnya. Sejak 28
Ju­li 2013 ia diculik pasukan Islamic State. Tapi karena bersuara
krit­is kepada Gereja Suriah—ordo ini menentang sikap para
pem­besar Katolik yang mendukung rezim—biara ini praktis
tak­dipedulikan.

Jacques Mourad orang Suriah asli yang pendiam dan tekun.
Bi­caranya pelan, biasanya sambil menutup mata, dan tampak
le­lah. Tapi kelelahan itu juga sebuah penegasan bahwa ”ia tak
akan bisa beristirahat sampai ia masuk ke kehidupan setelah
ini”: kelelahan ”seorang dokter dan pemadam kebakaran yang
memb­ agi kekuatannya ketika kesulitan jadi terlalu berat”.

Padri itu menampung ratusan pengungsi yang melarikan

178 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka PADRI ITU

di­ri dari perang saudara Suriah, sebagian besar muslim. Ia
tahu ba­haya yang bisa terjadi. Tapi ia tak menganjurkan
umatnya me­ninggalkan tempat itu. ”Kami, orang Nasrani,
adalah bagi­an dari negeri ini, meskipun kaum fundamentalis
tak menghargai kenyataan ini, baik di sini maupun di Eropa.
Kebudayaa­ n Arab adalah kebudayaan kami.”

Ikatan kepada tanah tumpah darah itukah yang
menyatukan hati umat Katolik di Qaryatain dengan mereka
yang berbeda iman? Mungkin. Tapi mungkin juga ada
sesuatu yang leb­ ih kuat. Ketika orang-orang bersenjata yang
mengklaim diri pe­negak hukum Quran itu mengancamnya,
Romo Mourad bers­iteguh menyatakan bahwa mereka ”telah
memencongkan wajah Islam yang sebenarnya”.

Kermani terkesima mendengarkan kata-kata itu—yang
justru diucapkan seorang nonmuslim yang terancam, tapi
penuh de­ngan kepercayaan kepada ”wajah Islam” yang tak
kejam.

Persoalannya, justru kini belum terjawab bagaimana
gerangan wajah Islam yang sebenarnya. Wajah yang dengan
buas men­ yembelih manusia lain dan berteriak, ”Allahu
Akbar,” kar­ena takut kepada yang berbeda dan berubah, cemas
kepada ger­ak sejarah ke masa depan yang tak pasti? Atau wajah
yang per­nah menyinarkan ilmu, pemikiran, dan keindahan
ber­abad-abad, yang melahirkan karya Ibnu Arabi, puisi Rumi,
his­toriografi Ibnu Khaldun, filosofi Ibnu Rushd, yang berdiri
dengan iman yang kuat seperti iman Romo Mourad, dan sebab
itu berani membuka diri kepada yang di luar sana?

Dalam pidatonya, Kermani menyuarakan rasa murungnya
bahw­ a yang berjangkit di kalangan Islam kini adalah tak

Catatan Pinggir 12 179

http://facebook.com/indonesiapustaka PADRI ITU

dikenalnya lagi tradisi kreatif yang berani itu. Yang hendak
diterapkan kaum Wahabi dan Islamic State adalah doktrin
yang se­akan-­akan tak tersentuh sejarah, bahkan antisejarah:
Islam dianggap selesai sebelum manusia mencipta. Akhirnya
yang terjadi, kata Kermani, adalah ”amnesia peradaban”.

TEMPO, 1 November 2015

180 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka INGATAN

1965: Apa yang menakutkan dari ingatan?

HARI itu saya berjalan kaki menyusuri Berlin,
menyeberang ke bagian kota yang dulu disebut Berlin
Timur. Sa­ya­bersama Pipit.

Saya diam-diam terpesona: ia cuek dengan kee­ ksentrik­
annya, dengan pakaiannya yang hitam-hitam, dengan tutup
kep­ al­anya yang mirip topi infanteri Prusia, dengan pikiran-
pikir­ann­ ya yang mendesakkan hal-hal yang diabaikan orang
ba­nyak.­Terutama politik.

Pipit Rochijat: kukuh, lempang, keras kepala. Tapi ia
juga bis­a kocak seperti karyanya, sebuah parodi bergambar
dengan mo­del wayang yang mengejek habis rezim Soeharto,
Bharatayuda di Negeri Antah Berantah, diedarkan secara gelap
pada 1993.

Empat puluh tahun lebih ia tinggal di kota Jerman yang
ditemp­ a sejarah yang keras itu. Pada usia 66 tahun, ia bisa
bercerit­a tentang Perang Dingin yang membelah dunia dan
membelah Berlin, tentang tembok yang didirikan kekuasaan
Komunis di sisi Timur—yang akhirnya berakhir dengan
sebuah ekspose: kekuasaan itu tak bisa bertahan. Tembok
Berlin dihancurkan ramai-ramai oleh penduduk yang ingin
bebas.

Kini bangunan seram itu praktis tak bersisa, seperti penjara
Bastille dalam sejarah Revolusi Prancis. Hanya hantunya

Catatan Pinggir 12 181

http://facebook.com/indonesiapustaka INGATAN

yang meng­endap dalam ingatan. Reruntukannya di Bernauer
Strasse menampilkan fragmen dari cerita selama seperempat
abad. Sejak 1961, tembok itu menghalangi orang Berlin Timur
men­ yeb­ erang ke dunia ”kapitalis”; beberapa yang mencobanya
di­tem­bak mati.

Pipit menyaksikan itu. Ia mengetahui itu. Bahkan bisa
dikatakan ia mengalami Perang Dingin dalam hidupnya
sejak seb­ elum ia berangkat ke Jerman pada umur 21
tahun. Keteganga­ n dan konflik antara Komunisme dan
Antikomunisme membakar praktis seluruh dunia—tak hanya
di Berlin, tapi juga di Ked­ iri.

Pipit, yang lahir di Bandung, besar di kota Jawa Timur
itu. Ayahnya Direktur Pabrik Gula Ngadirejo sejak 1959.
Kartawidjaja, orang Tasikmalaya lulusan sekolah pertanian
Bo­gor,­me­mu­lai kariernya di onderneming Turen, di selatan
Malang. Ia di­angkat memimpin pabrik bekas milik NV
Handels­ Ver­en­ ig­ ing Amsterdam itu setelah diambil alih
Negara di ba­wah ”Ekon­ omi Terpimpin” Bung Karno.

Semakin dekat ke suasana konflik 1965, Pipit mengalami
ke­tegangan bukan saja antar-”lapisan” sosial, tapi juga antara
yang ”komunis” dan ”antikomunis”. Tentu saja ia berada di
antara anak pejabat perkebunan, employee, yang diantar ke
sekolah dengan bus khusus, sementara anak-anak buruh
pabrik tak punya hak itu. Tak ada pergaulan antar-mereka,
kecuali ka­dang-kadang di lapangan bola. Buruh sering bekerja
sebagai pem­bantu rumah tangga di rumah direktur pabrik—
dan menyebut ”ndoro” si tuan rumah.

Mungkin sebab itulah ketegangan jadi laten. Sekitar 95
per­sen pekerja pabrik itu anggota Serikat Buruh Gula (SBG)

182 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka INGATAN

yang berada dalam naungan PKI. Hanya sebagian kecil yang
masuk organisasi di bawah NU dan PNI.

Pipit kemudian menceritakan kenangannya tentang suasana
yang kemudian jadi konflik berlumur darah itu. Sebagian yang
diceritakannya kepada saya siang itu pernah dikemukakannya
lewat Internet pada 1996.

Menjelang 1965, PKI sangat ”agresif”. Juga dominan. SBG
ti­dak hanya menuntut perbaikan nasib, tapi juga menuntut
agar Kartawidjaja dicopot (”Ganyang Karta!” mereka berseru
ge­muruh di rapat-rapat), seakan-akan direktur ini sang
kapitalis, meskipun pabrik yang dipimpinnya milik Negara.
Di SMA tempat Pipit bersekolah, para pelajar terbelah. Juga
para pemuda. Dalam pawai-pawai dengan drum band yang
gagah, pihak yang ”non-komunis” selalu terdesak. Mereka
”keok melu­lu” ketika meneriakkan yel-yel. Bahasa politik
sudah dikuasai PKI; yang lain hanya bisa meniru atau bisu.

Dan tak banyak alternatif. Anak muda seperti Pipit tak bisa
men­ ikmati The Beatles, tak bisa menonton film Amerika. Yang
bo­leh beredar hanya film Eropa Timur dan RRT; ceritanya
”per­ang melulu, dan isinya kegagahan geng komunis belaka”.

Syahdan, 1 Oktober 1965, sampailah kabar ”Peristiwa
Gestapu” bahwa sejumlah perwira TNI diculik dan dibunuh
ger­ak­an tentara yang diatur PKI. Tiba-tiba PKI, yang kemarin
be­gitu dominan, di hari-hari bengis itu berdiri tanpa sekutu.
Ia dim­ usuhi ramai-ramai. Di Kediri, letupan kekerasan yang
pernah terjadi sebelumnya jadi lebih eksplosif. Para pemuda
NU, PNI, Kristen, Katolik, juga yang lain, yang selama
ini merasa ter­ancam, membalas dendam. ”Kebueeencian”
terhadap ”geng ko­munis”, tulis Pipit, sudah meluap-luap.

Catatan Pinggir 12 183

http://facebook.com/indonesiapustaka INGATAN

Orang-orang NU am­bil inisiatif, disusul kalangan Marhaenis.
Pembunuhan pun berlangsung, tak henti-henti selama

sekitar sepekan. Tiap hari puluhan mayat hanyut di sungai
yang membelah kota.

”Waktu itu,” tulis Pipit, ”tentu saja kita bersyukur bahwa­
yang non-komunislah yang memulai kekerasan.” Sebab ada
ke­ya­kinan, ”kalow nggak kita duluan, komunislah yang
ngeduluin.”

Kalimat itu seperti menikamkan ingatan lain. Kaum
komun­ is telah membikin sengsara orang Jerman, dan orang
bisa menambahkan, juga Polpot di Kamboja....

Hari itu, di sebuah kedai kopi di Berlin, ketika orang Jerman­
merayakan penyatuan kembali negara mereka yang dibe­lah
Perang Dingin, Pipit menyatakan, tak mudah meminta maa­ f
atas pembunuhan 1965.

Saya terdiam. Pesan itu diucapkan seseorang yang selama
bert­ahun-tahun aktif dalam kegiatan anti-Soeharto, seseorang
yang paspornya ditahan rezim Orde Baru dan dimusuhi
tentara.

Mungkin, 50 tahun setelah ”G-30-S”, kita tak menyadari
bet­­apa sulitnya ingatan, dan sekaligus betapa mudahnya ia
menj­ebak dan mengurung. Jangan-jangan kita akan lebih bebas
bila masa lalu tak kita bentuk sebagai narasi yang utuh. Jangan-
jangan dengan begitu trauma bisa lebih ditanggungkan,
dendam dan kenangan buruk bisa lebih enteng dilepaskan.

TEMPO, 8 November 2015

184 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka L’État

A, B, C. Map-map berisi kertas dengan daftar puluhan
nama­itu terletak di tengah meja kantor sebuah rumah
ta­han­an di Jakarta, dengan klasifikasi yang akan menentukan
nas­ib orang-orang yang disekap. A: dihabisi. B: dibuang ke
Nu­sakambangan. C: dikurung di kota terdekat. Atau tak jelas
nant­i bagaimana.

”Tak jelas” adalah manifestasi kedaulatan dalam bentuknya
yang paling ekstrem: kekuasaan bertindak dengan asumsi tak
akan dituntut memberi alasan. Juga ketika menentukan hidup
mat­i ribuan orang. Juga ketika salah.

Dengan kata lain, kedaulatan menampakkan diri dengan
seb­ uah keputusan untuk mengecualikan diri dari hidup
bersa­ma yang dibentuk hukum dan bahasa. Ketika hidup
ditinggalkan hukum dan percakapan, orang pun bisa dengan
semena-men­ a digolongkan ke dalam oknum yang tak diakui:
A, B, C, D....

Seakan-akan Giorgio Agamben sedang mengukuhkan
thesisnya di Indonesia di hari-hari itu: kekuasaan tampil
berdaulat ketika memproduksi manusia sebagai vita nuda,
kehidupan bug­ il yang bisa dijadikan ”korban” tanpa bisa
digugat. Ia buk­ an­ ”korban” sebagai putra Ibrahim yang
disucikan, tapi semat­a-mata sebagai tumbal buat menegakkan
sebuah Orde, sepert­i kerbau yang kepalanya ditanam sebelum
sebuah gedung di­ban­ gun.

Tapi kekuasaan yang tak hendak berada dalam hukum dan

Catatan Pinggir 12 185

http://facebook.com/indonesiapustaka L’ÉTAT

perc­ akapan makin tampak sebagai kekuasaan yang tegang
dan pe­nuh kecurigaan. Indonesia, hari-hari itu, adalah sebuah
republik yang tak menentu.

Di ibu kota, tak jelas siapa yang mengendalikan aparat
dan mem­beri arah. Bung Karno masih disebut Presiden dan
Pemim­pin Besar Revolusi; sistem politiknya ”Demokrasi
Terpimp­ in”. Tapi bisakah ia mengontrol Angkatan Darat?
Masih dipat­uhi­kah ia oleh organisasi-organisasi politik yang
selama ini ja­di penyangga kekuasaannya?

Juga di ibu kota, Soeharto, yang belum seorang jenderal
penuh, duduk sebagai panglima keamanan dan ketertiban;
ia me­ngendalikan kekuatan militer, yang di masa itu juga
mengen­da­l­ikan pos-pos pemerintahan sipil. Sanggupkah
ia terang-ter­anga­ n melawan Bung Karno andai kepala
negara yang sangat berw­ ibawa itu berkeras memerintahkan
pembantaian dihentikan?

Mungkin di hari-hari itu, di wilayah Indonesia tak ada
Negara seperti dipikirkan para pakar hukum konstitusi. Yang
mungkin ada hanya bayang-bayangnya: seperti hantu. Hantu­
yang menakutkan, tapi tak konsisten. Yang mungkin konsisten
dan punya efek hanya ruang penyiksaan di pelbagai tempat,
den­ gan map A, B, C atau tidak. Pembunuhan besar-besaran
ter­jadi di Kediri, sebagaimana cerita seorang saksi mata,
dilakukan para pemuda NU, PNI, dan lain-lain—bukan oleh
alat Neg­ ara. Pembunuhan sejenis terjadi di Jawa Tengah dan
Bali, den­ gan bantuan RPKAD, resimen khusus Angkatan
Darat, alat Negara. Sebaliknya di Jawa Barat tak tercatat
pembantai­an­ orang PKI dalam skala besar—dan kalaupun
terjadi, itu dilak­ uk­ an jauh sebelum 1965 oleh pasukan Darul

186 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka L’ÉTAT

Islam di dusun-­dusun. Pernah di sebut, panglima militer di sini,
Mayjen Ibrahim Adjie, mencegah pembantaian di wilayahnya;
ia mengambil sikap yang berbeda dengan Soeharto. Ada
pula yang men­ u­lis bahwa di Jawa Barat beberapa perwira
teritorial (ya, alat Negara) pro-PKI; mereka tak membiarkan
pembunuhan sep­ er­t­i di tempat lain terjadi.

Hari-hari yang bengis dan tak menentu itu menunjukkan
be­tapa sulitnya menunjuk ”Negara”, menuntutnya agar minta­
maaf. ”Negara” bukan satu struktur yang tak berubah sejak
1965. Jika ”Negara” ibarat sebuah ruang, ia ruang yang diisi
dan dibentuk sejarah—dan sejarah dibangun bukan saja oleh
saat-saat seia-sekata, tapi juga saat-saat konflik. Jika ”Negara”
ibar­at sebuah tata yang mirip bangunan, ia didirikan setelah
men­ anam kepala yang lepas dari leher yang dipenggal, secara
har­fiah atau kiasan.

Dengan kata lain, Negara adalah kisah kekerasan dan
waktu. Marx menunjukkan ”Negara” selalu bersifat represif
terhad­ ap kelas yang lain, dan hanya kelak, ketika perbedaan
kelas hi­lang, ”Negara” akan lapuk dan layu. Para pemikir
sesudahnya­ju­ga menunjukkan terpautnya ”Negara” dengan
sejarah. Bagi Ba­diou, misalnya, ”Negara” selalu genting.
L’État, menurut Bad­ iou, sebenarnya efek ”menghitung-jadi-
satu”, comptepour-un,­atas sebuah situasi—dan yang disebut
”situasi” itu pun efek da­ri penyatuan yang ditampilkan dari
multiplisitas yang mirip anarki. L’État tak stabil karena dalam
tubuhnya selalu ada unsur yang tak diperhitungkan yang suatu
saat bisa meletus sebag­ ai pembangkangan.

Singkat kata, ”Negara” adalah tata yang terbentuk
secara acak­dari saat ke saat, sebuah proses yang belum juga

Catatan Pinggir 12 187

http://facebook.com/indonesiapustaka L’ÉTAT

berakhir—­ dan selamanya mengandung instabilitas dan
kekeras­an. Hukum, yang menjaganya dari khaos, setali tiga
uang.

Dalam perspektif ini, menghakiminya adalah sebuah
ikhtiar­ yang rumit, mungkin heboh; tapi saya tak yakin
keadilan akan tercapai setelah itu—baik ketika ”Negara”
dinyatakan bers­alah maupun tidak.

Lagi pula, siapa yang patut mewakili ”Negara” untuk
dituntut­ atas kekejaman dan kejahatan setengah abad yang
lalu—set­idaknya karena telah membiarkannya? Dan jika
”Negara” ber­diri selalu dengan menciptakan orang-orang yang
harus di sis­ihkan, yang hidup dalam vita nuda, adilkah jika ia
hanya di­gug­ at karena pembantaian di satu waktu, bukan di
waktu lain?

Tentu, kita mesti mengungkap kekejaman 1965 (atau
sebelumnya, atau sesudahnya). Kita perlu mengutuk keras-
keras, meng­hukum para algojo, mengurung para penggerak
mereka. Tap­ i ada satu kalimat tua yang arif: ”...di tempat
pengadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan, dan di tempat
keadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan.”

TEMPO, 15 November 2015

188 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka ROJAVA

DI daerah pertempuran itu, anak-anak menonton The
Kid Charlie Chaplin. Mereka ketawa berderai-derai.
Orang tua atau kakak-kakak mereka mungkin sedang berjaga-
jaga dengan bedil dikokang di perbatasan, tapi di Rojava, di
wilayah uta­ra Suriah yang didiami orang Kurdi itu, perang
memang sedang jeda dan harapan dibangun.

Entah sampai kapan.
Tapi tampak ada yang tumbuh: di wilayah seluas satu
setengah­ kali Belgia itu orang sedang mencoba sebuah
masyarakat­ yang egaliter; sebuah perekonomian yang tanpa
akumulasi mo­dal; sebuah tata yang tanpa pusat kekuasaan;
sebuah demok­ rasi di mana lelaki dan perempuan setara
dan bukan hanya orang Kurdi yang mendapat hak. Sebuah
demokrasi yang radik­ al.
Penulis Belanda, Chris Keulemans, yang berkunjung
ke sana, menulis sebuah reportase dalam De Groene. Ia
mengirimkan versi bahasa Inggrisnya kepada saya—sebuah
tulisan pen­dek yang dengan memukau menampilkan suasana
interim antara damai dan tak damai: buruh bangunan yang
mengenakan ba­ju terbaiknya di hari Minggu; komandan yang
punya raut da­gu seperti George Clooney; nenek-nenek yang
menyandang sen­ apan Kalashnikov; barak yang dengan ketat
dibarikade, tem­pat perempuan-perempuan muda pejuang
duduk bersama di atas karpet....
Hari-hari itu orang Rojava sedang membangun gedung

Catatan Pinggir 12 189

http://facebook.com/indonesiapustaka ROJAVA

parl­emen rakyat. Jonas Staal, salah seorang dari tiga seniman
Bel­anda yang datang dan tinggal di sana untuk membantu
mereka, berkata, ”Di sini revolusi masih kerja yang belum
selesai.”­ Mungkin akan berlanjut. Ia berseru dalam bahasa
Kurdi, ”Berxwedan Jiyane.” Perlawanan adalah kehidupan.

Apa yang dilawan? Di Rojava musuh itu kapitalisme,
konsen­trasi kuasa, pemerintah Turki yang menolak
kemerdekaan orang Kurdi, dan lebih dekat lagi: ISIS.

Korban sudah banyak jatuh. Tiga orang baru saja tewas
oleh bom bunuh diri. Tiap orang yang ditemui Keulemans
punya­ sanak saudara yang terbunuh. Semen, yang sedang
dipakai­ membangun gedung parlemen, kadang-kadang
harus dipindah­kan untuk membangun barikade. Sekop yang
untuk me­ngeruk tanah kadang-kadang diambil orang untuk
membuat li­ang lahad.

Tapi mereka tak menyerah. Orang-orang Kurdi ini berhasil­
merebut kembali Kota Kobane dan menolong orang-orang
Yezd­ i dari pembantaian ISIS. Dan lebih dari itu, di wilayah
perang itu, mereka mencoba mempraktekkan ide-ide Abdullah
Öcalan.

Sejak ditangkap pada 1999, sampai hari ini Öcalan disekap
pem­ erintah Turki di Imrali, pulau penjara yang dijaga pasukan
1.000 orang. Ia berbahaya. Ia mendirikan Partai Pekerja Kurdi
yang Marxis-Leninis, untuk melahirkan negeri tersendiri.
Untuk kemerdekaan Kurdi, ia angkat senjata.

Tapi berangsur-angsur, pandangannya berubah. Kini ia
me­milih jalan damai. Ia melepaskan Marxisme-Leninisme
dan mengadopsi ide-ide pemikir politik kelahiran New York,
Murray Bookchin.

190 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka ROJAVA

Bookchin, yang semula juga seorang Marxis, sejak 1970-
an­ merumuskan gagasannya yang ia sebut ”libertarian
munici­palism”: demokrasi rakyat di lingkungan yang kecil.
Rojava mung­kin tempat pertama di dunia di mana cita-
cita yang bermula pada Anarkisme itu—menampik modal,
mengelakkan bir­okrasi besar negara—sedang dijalankan.
”Revolusi akan berh­ asil!” kata Staal.

Optimismekah yang harus disuarakan? Atau sinisme?
Mungk­ in bukan kedua-duanya. Mereka yang melihat
kembali­mas­a lalu dengan sedih akan menemukan bagaimana
percobaan demokrasi radikal tumbuh, menggugah, tapi tak
lama ke­mud­ ian kelihatan rapuh.

Tapi mungkin tak sepenuhnya sia-sia.
Pada akhir 1936 George Orwell—ia sudah dikenal karena­
bukunya Keep the Aspidistra Flying—datang dari Inggris ke
Spa­nyol untuk menulis tentang Perang Saudara yang waktu itu
sed­ ang jadi pusat perhatian dunia. Tapi akhirnya ia bergabung
den­ gan para pejuang kiri yang bertempur di wilayah Catalonia­
dan Aragon. ”Pada waktu itu dan dalam suasana itu, itulah
satu-s­atunya hal yang terpikirkan untuk dilakukan,” tulisnya.
Homage to Catalonia, yang ditulisnya sebagai rekaman
masa itu, adalah kesaksiannya. Ia gambarkan keberanian
para pejuang yang kacau dalam perang yang tak siap (”Ini
bukan perang,”­kata seorang komandannya yang agak putus
asa melihat kualitas anak buahnya. ”Ini opera penggeli hati di
mana orang kad­ ang-kadang mati”).
Tapi Orwell bukan mengejek. Sebab ia juga menyaksikan
se­s­uatu yang menakjubkan: sebuah masyarakat sama-rata-
sama­-rasa yang suatu saat terjadi di Barcelona.

Catatan Pinggir 12 191

http://facebook.com/indonesiapustaka ROJAVA

”Itulah buat pertama kalinya saya lihat sebuah kota di
mana ka­um buruh memegang kendali,” tulis Orwell. Praktis
tiap gedung sudah mereka rebut dan dihiasi bendera merah,
gambar­palu-arit, bendera kaum Anarkis, dan slogan-slogan
perjuangan. Di kafe-kafe, para pelayan tak diperlakukan
sebagai pelay­ an.­Tak ada sebutan ”Senior” atau ”Don”. Yang
ada ”kamer­ad”.­ Gereja dan para padri yang semula pegang
privilese sudah di­habisi. Tak tampak ada orang kaya. Tak ada
penganggur.

”Semua tampak ganjil dan mengharukan,” tulis Orwell
pula.­ ”Banyak yang tak saya pahami, malah ada cara-cara
yang tak saya sukai, tapi segera saya mengenalinya sebagai satu
keada­an yang berharga untuk diperjuangkan.”

Ia pun ikut dalam perjuangan itu—tapi tak lama kemudian­
kal­ah. Sekutunya, Partai Komunis, dengan dukungan dari
Stal­in, sengaja tak berbagi senjata dengan mereka. Pada suatu
hari bahkan ada pembersihan. Orwell melarikan diri. Tapi
kata-kata itu tak pernah disangkalnya: ia pernah melihat ”satu
kea­ daan yang berharga untuk diperjuangkan”.

Dan perjuangan itu tak sepenuhnya bisa ditutup dengan
satu kesimpulan. Seperti film The Kid yang dimulai dengan
sebar­is teks: A picture with a smile, and perhaps, a tear.

TEMPO, 22 November 2015

192 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka KOSMOPOLIS

KOTA besar yang terbentang, kosmopolis yang membuat
tiap orang jadi seorang asing dan sekaligus tamu yang
bebas di sudut yang tanpa alamat—mungkin itulah yang
membuat Paris dan New York tak mudah dilupakan.

”Tak pernah ada akhir apa pun bagi Paris, dan kenangan tentang tiap
orang yang pernah tinggal di dalamnya berbeda dari kenangan tentang yang
lain. Kita selalu kembali kepadanya....”

Hemingway menuliskan itu dalam A Moveable Feast,
sebuah nostalgia tentang Paris tahun 1920-an. Paris-nya
adalah Par­is ”ketika kami melarat dan bahagia”.

Naskah buku itu diduga selesai sekitar tahun 1960,
kemudian diterbitkan empat tahun kemudian, setelah
pengarangnya men­ embak dirinya sendiri di rumahnya. Ia
tewas ketika usian­ ya­61.

Dalam pengantar tiga paragraf Hemingway menulis:
”Pembaca bisa memilih untuk melihat buku ini sebagai sebuah
fiksi. Tapi selalu mungkin fiksi seperti itu bisa menjelaskan apa
yang te­lah ditulis sebagai fakta.”

Antara fiksi dan fakta, A Moveable Feast memang lebih
berbicara tentang Hemingway muda ketimbang tentang
Paris. Ia sendiri menyadari itu: naskah itu ditulisnya dari yang
disisakan ingatan dan hatinya, meskipun, seperti diakuinya,
ingatan itu su­dah diaduk waktu dan kemurahan hati itu ia

Catatan Pinggir 12 193

http://facebook.com/indonesiapustaka KOSMOPOLIS

tak punya. Tapi He­mingway masih menuliskannya dengan
bergelora justru ket­i­ka energi kreatifnya mulai habis, dan itu
membenarkan apa yang dikatakannya: ”Tak pernah ada akhir
apa pun bagi Paris.”­

Nostalgia adalah penangkal sederhana bagi kosmopolis
yang bergerak terus: sebuah kemewahan yang tersembunyi dan
memb­ uat kita lebih lembut, secercah kerinduan di pinggir­an
ket­ika kota ingin menguasai apa saja, juga cakrawala waktu.

Saya teringat percakapan dalam novel Don DeLillo,
Cosmopolis, di sebuah bagian Kota New York:

”...Apa itu ragu? Kau tak percaya kepada keraguan. Kau pernah katakan
itu kepadaku. Komputer punya kekuatan melenyapkan ragu. Semua keraguan
muncul dari pengalaman masa silam. Tapi masa silam sedang menghilang.
Dulu kita tahu masa lalu, bukan masa depan. Ini berubah sekarang....”

Dengan Cosmopolis tampak DeLillo ingin menunjukkan
du­nia yang kemilau dan takabur, yang terus-menerus rakus,
yang bertaut dengan ruang yang rapi dan teknologi seperti
dalam science fiction tentang manusia masa depan. Tapi
sementar­a itu, tokohnya bergerak di sela-sela sesuatu yang tak
dikenalin­ ya: khaos yang menetap dalam hidup sehari-hari,
masa lalu yang tersisa di hari ini.

Dalam ketakpekaan itu, New York terguncang habis ketika­
pada suatu pagi ia digedor dunia luar yang kacau dan orang-
orang yang ganas oleh dendam. Cosmopolis agaknya menyindir­
itu: novel ini terbit dua tahun setelah Menara Kembar New
York ditabrak dua pesawat terbang bunuh diri dan hampir
3.000 orang tewas.

194 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka KOSMOPOLIS

Tokohnya Eric Packer. Ia asset manager berumur 28 tahun
yang baru menikahi perempuan Eropa waris harta yang
berlimpah. Pagi itu ia berangkat dari apartemennya yang
seharga­140 juta dolar untuk potong rambut di tukang cukur
kesukaa­ nn­ ya di West Side Manhattan.

Perjalanannya—dengan limousine putih berkilau—
ternyata makan waktu sehari penuh. Jalanan macet. Presiden
sedang berada di New York dengan penjagaan ketat yang
menghalangi­la­lu lintas. Ada demo antiglobalisasi yang ribut
dan agresif di Times Square.

Selama itu, Eric mengamati, tak tersentuh, dan melakukan
apa yang biasa dilakukannya.

Ia praktis tak pernah berpindah. Limo putih itu tampaknya
peru­ mpamaan DeLillo tentang kosmopolis yang palsu:
ruang hid­ up yang serba cukup tapi tak terbuka dan terpisah
dari debu dan daki manusia lain yang tak masuk hitungan.
Semua bisa dilakukan di mobil panjang itu. Layar monitor
untuk mengikuti­gerak mata uang dan saham. Oven pemanas
makanan. Alat pemantau jantung. Tempat dokter memeriksa
kandung kem­ ih. Tempat Eric membahas segala hal dengan
penasihat tekn­ ologi dan keuangannya. Tempat ia berzina
dengan teknik foreplay yang paling mutakhir.

Gambaran hiperbolik itu tak baru, pesannya klise, tapi
dengan bahasa yang terampil, Cosmopolis menunjukkan
pongah­nya orang-orang di haribaan hiperkapitalisme. Dunia
me­reka adalah konstruksi digital yang pasti, ”the digital
imperative that defined every breath of the planet’s living billions”.
Komputer me­re­ka sanggup menindas keraguan dan masa
silam.

Catatan Pinggir 12 195

http://facebook.com/indonesiapustaka KOSMOPOLIS

Jika novel ini agak membosankan, mungkin karena
ia meng­ikuti hidup Eric yang membosankan; orang ini
menikmati­sensasi tanpa ingin meloncat ke luar.

Tapi ia sebenarnya rapuh. Di ujung novel, digambarkan
dengan realisme ala DeLillo yang memikat, sang miliarder
akhirn­ ya sampai ke tempat tukang cukurnya. Ia turun dari
limo putihnya, turun ke masa kini yang juga masa lalu sehari-
hari. Di atas kursi sang barber bersahaja yang dahulu tetangga
ayahnya, Eric duduk. Ia tertidur.

Nostalgia adalah celah untuk istirahat bagi kehidupan yang
di­lecut keyakinan bahwa ”masa silam sedang menghilang”.
Nos­talgia adalah pelindung kecil di sebuah kosmopolis. Maka
ia akan bertahan, bahkan di hadapan teror. New York 2001;
Paris 2015.

Setelah tubuh-tubuh yang terbunuh bertumpuk di atas
remukan kaca etalase, setelah teriakan takut dan marah
terdengar­ber­sama raung sirene, ada sesuatu dari masa lalu yang
muncul. Xenofobia, paranoia, tapi juga keinginan bersaudara
kembali.

Maka orang pun bersentuhan dalam cemas dan berkabung,
dan kota itu kembali jadi kota manusia.

TEMPO, 29 November 2015

196 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka AYAAN

HAMPIR tiap hari, kata ”Islam” diseru, dengan marah
atau takut atau khidmat. Pada saat yang sama bom
bunuh diri meledak dan menghancurkan, dan sederet leher
dipancung di depan kamera televisi, dan gadis-gadis diculik,
dan ba­ngunan bersejarah dimusnahkan. Apa arti kata itu
sebenarn­ ya?

”Islam bukan sebuah agama perdamaian,” tulis Ayaan Hirsi
Ali dalam bukunya yang baru terbit, Heretic: Why Islam Needs
a Reformation Now.

Kesimpulan itu tentu akan menimbulkan kontroversi, tapi
Ayaa­ n Hirsi Ali sudah lama hidup dalam kontroversi. Yang
menarik, buku setebal 272 halaman itu menunjukkan sikapnya­
yang lebih lunak kepada agama yang telah ditinggalkannya. Ia
mu­lai percaya bahwa Islam, seperti agama Kristen dan Yahudi,
akan mengalami reformasi.

Dulu ia pernah lebih keras, dengan gayanya sendiri.
Kita ingat, 11 tahun yang lalu ia membuat sebuah film
bersama Theo van Gogh. Film 10 menit itu, Submission,
bercerita­tent­ang empat perempuan yang dimainkan seorang
aktris yang bercadar; tapi di balik chador dengan kain
transparan­ itu tam­pak tubuh perempuan yang telanjang.
Tubuh yang berbe­kas-bekas pukulan dan siksaan itu juga
sebuah kanvas di mana ter­tera ayat-ayat Quran yang mengatur
kehidupan pria dan wan­ ita—yang sebenarnya bisa ditafsirkan
baik atau buruk, atau kedua-duanya.

Catatan Pinggir 12 197

http://facebook.com/indonesiapustaka AYAAN

Tapi dalam sebuah pertengkaran yang sengit, tafsir buruk
mend­ esak tafsir baik. Tak lama kemudian, Theo van Gogh
dibunuh dengan bengis di sebuah jalan di Amsterdam;
pembunuhnya seorang pemuda muslim Belanda. Ayaan Hirsi
Ali, yang menerima ancaman, memaklumkan bahwa Islam
adalah ”mus­uh” yang harus dikalahkan.

Kita tak tahu bagaimana ia akan mengalahkan Islam; yang
kit­a tahu ia pindah ke Amerika dan jadi warga negara negeri
itu dua tahun yang lalu. Ini bukan buat pertama kalinya
ia beremigrasi. Ayahnya, seorang tokoh oposisi Somalia,
berpindah ke Arab Saudi, lalu Ethiopia, dan kemudian
Kenya. Ayaan tak mengikuti ayahnya; ia ke Nederland dan
memperoleh suaka pol­itik pada 1992.

Ia bukan seekor burung yang dikurung. Berangsur-angsur,
ia meninggalkan agamanya dan jadi seorang atheis. ”Islam itu
ibar­at sebuah kurungan jiwa,” tulisnya dalam Infidel. ”Mula-
mu­la, ketika kita buka pintunya, burung yang terkurung itu tak
mau keluar; ia takut. Ia telah menjadikan keterpasungannya­
ba­gian dari dirinya.” Tapi kemudian Ayaan menyadari
kesalahannya sendiri, dan ia, si burung, pun terbang ke luar.

Dari luar, ia bisa melihat dengan amarah, mungkin
dendam, bekas penjaranya.

Tapi amarah—seperti dendam, seperti benci—bisa jadi
penj­ara tersendiri, dan terbang mau tak mau menciptakan jarak
pandang. Ayaan memandang Islam dari atas, dari arah kepala,
sebagai konsep, bukan pengalaman, seakan-akan Islam tak
punya kaki yang tersentuh sejarah. Nama ”Islam” itu sendiri
berarti ”berserah-diri” (submission), katanya dalam Heretic.
Mak­ a dengan itu kita menyerahkan diri ke seperangkat penuh

198 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka AYAAN

key­ akinan. Di sana, aturan ”bersifat persis dan keras, tegar”.
Dengan kata lain, baginya, Islam sepenuhnya (dan selama-

la­manya) bersifat legalistik. Tanpa kompromi. Tertutup.
Karena itulah apa yang disebut Ayaan sebagai ”Muslim
Madinah” men­ guasai percakapan: mereka mendesakkan
kepatuhan ber­agama berdasarkan doktrin Islam dari masa
ketika Nabi mem­ba­ngun kekuasaan dan melaksanakannya,
ketika orde sedang di­kukuhkan dengan hukum, dan
pertimbangan politik mendominasi tafsir.

Tapi Ayaan tak sepenuhnya benar. ”Berserah-diri” bisa
juga ber­arti menolak jadi angkuh. Submission bisa berarti
menyerahk­ an diri kepada penilaian Hakim Yang Maha-Tahu
dan Adil tentang yang benar dan yang salah, yang kafir dan
yang beri­man.

Tapi tentu saja sebuah agama tak ditentukan coraknya
dari ka­ta sebutannya. Sebuah agama menemukan corak dari
pengalaman—dari sejarah. Tiap kali, menurut Adorno, sejarah
”me­nerobos masuk ke dalam kata”. Kata tak pernah imun dari
dun­ ia yang mengelilingi dan melahirkannya. Laku dalam
ruang dan waktu, bukan doktrin, itulah yang melahirkan
”ngèlmu”, pengetahuan dan kearifan hidup.

Pernah saya bertemu dengan Nasr Abu Zayd (almarhum),
pen­ elaah dan penafsir ajaran Islam dari Universitas Kairo yang
terk­ enal itu, pemikir yang diancam dibunuh oleh organisasi
Jihad Islam Mesir. Kepada saya ia mengatakan ia sedang
hendak me­neliti kitab-kitab fikih yang tersimpan dalam
pelbagai perpustakaan di Asia Tengah.

Kenapa justru kitab fikih, tanya saya.
Jawabnya: Di dalamnya sangat mungkin dapat kita

Catatan Pinggir 12 199

http://facebook.com/indonesiapustaka AYAAN

temukan keputusan-keputusan para hakim agama setempat
tentang perkara yang dialami umat sehari-hari. Dari sana
dapat diketahui, sejauh mana agama hidup, sejauh mana pula
ia teks yang be­ku.

Islam, dengan kata lain, adalah proses. Bagi Ayaan Hirsi­
Ali, yang dikungkung dan diawasi, agama sebuah sangkar.
Bagi Nasr Abu Zayd, sebuah perjalanan.

TEMPO, 6 Desember 2015

200 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka PETA

HIDUP bukan peta yang dibingkai. Tapi manusia agaknya
mu­dah melupakan itu, ketika sejarah jadi sebuah cer­it­a
yang sud­ ah selesai—sebelum penaklukan.

Ada sebuah anekdot dari abad ke-18, ketika orang-orang
Erop­ a berlayar ke pelbagai penjuru bumi sebagai penjelajah
dan kemudian (atau sekaligus) sebagai penjajah. Suatu hari
pada 1787, La Pérouse, panglima armada Prancis, setelah
menga­ rungi­Lautan Teduh selama 100 hari, tiba di Tiongkok.
Ini bi­sa dikatakan ekspedisi keilmuan: La Pérouse membawa
10 il­muwan. Mereka ingin membuat peta garis pantai Pulau
Sak­ hal­in.

Syahdan, seorang penduduk setempat memberi tahunya
dengan cara sederhana: menggariskan tongkatnya ke pasir,
membuat sebuah gambar. Ia tak peduli akankah peta yang
dicoretkannya terhapus hujan. La Pérouse, yang datang dari
dunia la­in, dengan segera meniru gambar itu dengan pensil
dan mere­kamn­ ya di buku catatan.

Kelak, dengan peta semacam itulah para ilmuwan menelaah
bumi dan imperialisme Eropa menjangkau dunia. Jagat pun
dil­etakkan sebagai pigura, diawetkan, diukur, dijangka;
langsung atau tak langsung dikuasai.

Sejak itu, manusia, ”aku”, muncul sebagai yang mengetahui
dan menguasai. Ia sang pengendali. Sejak itu, bumi dan alam
ra­ya tak bertaut lagi dengan ”aku”, melainkan membisu: benda
yang ditatap.

Catatan Pinggir 12 201

http://facebook.com/indonesiapustaka PETA

Sejak itu, tak diakui lagi mantra:

Bulat batu kubula bulat
Bulat batang padi
Aku tahu asal kau ulat
Mate beras mare kau menjadi

Dalam mantra, ”aku” dengan alam flora dan fauna tak
berjarak, bahkan saling menyusupi. Batu, batang padi, ulat,
beras,­ semua bagian dari ”aku”—dan ”aku” bagian dari
mereka. Manusia tak berhadap-hadapan dengan alam; ia
hidup jauh di da­lamn­ ya.

Tapi semua itu berubah sekarang. Dalam peta, ”aku” bera­ da
de­ngan jarak tertentu dari ruang di mana ”aku” ada, dan ”aku”
men­ atap ke ruang di mana ”aku” ada. Inilah, kata Heidegg­ er,
”Za­man Gambar Dunia”, die Zeit des Weltbildes.

Di zaman ini, bumi diwakili gambar. Praktis, bumi
adalah gambar. Gambar itu adalah ”representasi”—sesuatu
yang meng­gantikan yang tak hadir, dan sekaligus sesuatu
yang seakan-akan dihadirkan lagi, meskipun sebenarnya
tidak: berbe­da dengan kehidupan di tengah alam, gambar itu
mandek, tet­ap, riwayatnya selesai. Diletakkan dalam posisi itu
ia bisa di­ana­lisis, dihitung unsur-unsurnya, diteliti.

Demikianlah dunia yang tak lagi percaya mantra datang
den­ gan paradigma baru: apa-yang-ada di alam dan apa-yang-
ada dalam diriku bukan sesuatu yang ada bersama iklim dan
se­jarah, melainkan data yang diam, tak berubah—tapi dapat
di­bawa melintasi ruang dan waktu. Bruno Latour, pemikir
Pranc­ is yang banyak membahas ilmu-ilmu pasti dan alam,

202 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka PETA

menyebutnya mobile immuables.
Latour menggambarkannya dari pengalaman bekerja

di labor­atorium. Di sana, ilmuwan mengubah tikus-tikus
dan bahan­ kimia jadi bagian dari karya ilmiah. Dalam
laboratorium, kat­a Latour, ”Tiap hal dan apa saja dijadikan
inskripsi.” Inskripsi itu immuable (tak bisa diubah), tapi mobile
(bisa berpindah)—untuk dipergunakan—dari laboratorium
yang satu ke lab­ oratorium yang lain.

Rumus kimia, hasil sensus, opini publik, ketimpangan
sosial,­ kesetaraan gender—semua bisa direpresentasikan
dengan itu.

Yang dikemukakan Latour tepat dan menarik, tapi agaknya
ia hanya melihat gejala di dunia ilmu dan teknologi. Ia tak
melihat mobile immuables juga berlaku di dunia ideologi dan
agam­ a—yang juga punya asumsi bahwa hidup hanya bisa
diketah­ ui bila dibingkai (Gestell, dalam istilah Heidegger)—
bukan­ di­bingkai sistem dan prosedur laboratorium, tapi
dengan ker­angka dogma dan dalil. Dengan bingkai itu
hidup sepenuhnya­ dijelaskan dengan hukum-hukum yang
permanen. Mobile immuables, seperti halnya hukum bagi
kaum Fundamentalis, ha­nya mengenal yang sama, dengan
ilusi bahwa tak akan ada hal yang tak diduga. Yang ganjil
dianggap salah dan ditenggelamkan.

Namun tatapan yang represif itu tak bisa mutlak. Manusia
tak hanya berada dalam peta yang dibingkai dan kanvas yang
stat­is. Ia punya apa yang saya sebut ”ruang puitik”, di mana
ber­kecamuk segala yang tak-dapat-diperhitungkan, di mana
seg­ ala yang-tak-pasti melontarkan bayang-bayangnya.

Maka manusia selalu bisa menghirup udara di luar barisan

Catatan Pinggir 12 203

http://facebook.com/indonesiapustaka PETA

mobile immuables yang tak mengakui ilusinya sendiri.
Dunia, kata Latour mengingatkan kita, bukanlah sebuah

be­nua yang padat-padu yang di sana-sini diselingi ”telaga
ketidakpastian”. Dunia adalah sebuah ”lautan ketidakpastian”.
Ada­pun bentuk-bentuk yang stabil, yang ditimbang dan
diukur­dengan tertib, hanya sesekali muncul.

Di ”ruang puitik” bisa kita tangkap gema baris-baris sajak
Chairil Anwar untuk Gadis Rasid: mari kita lepas jiwa mencari­
jadi merpati/ terbang mengenali gurun, sonder ketemu, sonder
mend­ arat.

TEMPO, 13 Desember 2015

204 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka TERORIS

Stepan: Cuma bom yang revolusioner.

HAMPIR separuh abad yang lalu Arief Budiman
menerjemahkan lakon Les Justes dengan judul Teroris,
yang ke­mud­ ian jadi naskah Albert Camus yang paling banyak
dipentaskan di kota-kota Indonesia.

Saya tak tahu mengapa kata ”teroris” yang dipilih; saya
percaya Arief Budiman, yang mengagumi dan dengan
mendalam menelaah Camus, tahu apa yang dilakukannya.
Yang sekarang sa­ya lihat, Teroris, lakon itu, seperti yang
sedang terjadi di mana-mana, menunjukkan hubungan yang
merisaukan, atau me­nger­ikan, antara pembunuhan dan
keadilan, antara kebenaran dan kematian, antara politik dan
ketakberhinggaan.

Dalam pengantar untuk naskahnya, dengan titimangsa
1949,

Camus menulis bahwa lakonnya berdasarkan peristiwa
nyata, meskipun Les Justes ”bukan sebuah lakon sejarah”.
Februari 1905, di Moskow, sekelompok teroris yang merupakan
bagian partai sosialis revolusioner merancang percobaan
pembunuhan atas Hertog Agung Serge Alexandrovich,
paman Tsar Rusia. Camus juga menyebut ia tak mengubah
nama tokoh utamanya, Kaliayev. Itu karena ”rasa hormat dan
kagum” kepad­ a mereka yang dalam usaha yang amat nista itu
”tetap tak mamp­ u menyingkirkan suara hati mereka”.

Catatan Pinggir 12 205

http://facebook.com/indonesiapustaka TERORIS

Yanek Kaliayev, pemuda itu, memang tak mampu untuk
mel­epaskan hatinya. Ia disiapkan untuk melemparkan
bom Ta­pi ketika kereta sang Hertog datang, ada yang tak
disangka-sangkanya. Di kereta tamu agung itu ada dua
anak kecil, kemenak­ an sang Hertog. Wajah mereka tampak
sedih, memandang lu­rus ke depan. Melihat itu, Yanek batal
menjalankan perintah. ”Tanganku jadi lemas. Kakiku goyah,”
katanya kemudian.­ Bom tak jadi dilemparkan; kereta itu
berlalu, selamat.

Yanek kembali ke tempat persembunyian dengan
perasaan ka­cau. Tapi teman-temannya memaklumi sikapnya.
Mereka me­maafkan kegagalannya. Hanya Stepan yang
berkeras. Baginya, bom harus tetap diledakkan, juga jika
harus membunuh ke­dua anak itu. ”Karena Yanek tak jadi
membunuh mereka,” ka­tanya, ”jutaan anak-anak Rusia akan
mati kelaparan beberapa tahun ke depan....”

Barangkali pendirian ini yang kini ada di antara mereka­
yang di tahun ini saja membunuh 43 orang di Beirut, 132 di
Pa­ris, 224 di pesawat yang terbang dari Jazirah Sinai, 27 di
Kota Kuwait, 38 di Sousse, Tunisia.... Mereka adalah Stepan:
atas nam­ a yang tertindas dan yang dihinakan, atas nama
keadilan, atas nama iman yang dahsyat, tak ada batas bagi
pembunuhan. Te­ror, kata Stepan, tak mengambil bentuk
seperti yang diinginkan orang-orang yang lunak hati (délicats).
”Kita pembun­ uh, dan kita telah memilih jadi demikian.”

Dalam Teroris, memang ada Dora, si perakit bom. Ia
menyelipkan satu pertanyaan dan mengingatkan, ”Bahkan
dalam dest­ruksi sekalipun, ada tatanan, ada batas-batas.”

Stepan tak akan menggubris ini sebab ia bisa bertanya

206 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka TERORIS

balik: siapa yang menentukan batas? Bukankah revolusi justru
meng­hancurkan tata—juga nilai-nilai kemanusiaan yang
lazim­dicanangkan orang yang lunak hati?

Hanya bom yang revolusioner. Puisi, dunia kaum délicats,
tak cocok untuk mengubah kehidupan. Kebenaran tak dapat
di­tawar, juga oleh kematian. Aksi politik yang militan harus
siap untuk menjalani yang tak berhingga.

Yanek akhirnya melemparkan bom. Sang Hertog terbunuh
dan si pembunuh ditangkap. Yanek dihukum gantung. Tapi
ia mati dengan tenang. Pembunuhan, tulis Camus dalam
L’Homme Revolté, adalah ”perkecualian yang tanpa harapan”
(une exception désespérée). Yanek, sang pembangkang,
membu­nuh, agar jelas bahwa pembunuhan sebenarnya, dan
selanjutnya, tak bisa dilakukan. Yanek tahu ia harus mati.

Tentu tak bisa kita melihat para algojo ISIS sebagai para
ter­or­is dalam lakon Camus. Dilihat di hari ini, Teroris tak
terasa ge­lap, bahkan terlampau jernih. Camus seperti tak
mengenal kem­ ungkinan bahwa keadilan bisa berarti dendam
dan dendam bisa berarti kebencian. Bagi para algojo yang
menyembelih deretan korban di depan kamera—agar
disiarkan—pembunuhan bukan ”perkecualian yang tanpa
harapan”.

Tapi ada apa selanjutnya? Tiap penyiaran mengandung
undangan berbagi. Tak jelas dengan siapa para algojo itu
akan ber­b­ agi; mereka memperbanyak musuh, menyempitkan
diri. Pem­bunuhan-pembunuhan mereka hanya terasa
sebagai parade kekejaman—hanya sejenis nihilisme—untuk
kehancuran dir­i dan yang lain. Tak dibutuhkan sentuhan yang
mengimbau­apa pun, kecuali Tuhan yang diubah jadi buas.

Catatan Pinggir 12 207

http://facebook.com/indonesiapustaka TERORIS

Sebaliknya Dora, dalam Teroris, mengucapkan sesuatu
dengan sentuhan itu, menandai kekerasan hidupnya juga
menyem­bunyikan sesuatu yang merindukan yang universal.
Seje­nak ia ingin matahari bersinar, leher tak terus-menerus
bersitegang, dan keangkuhan dilepas. Sejenak ia menduga itu
”cinta”, katanya. Yang jelas, bukan sebuah monolog.

TEMPO, 20 Desember 2015

208 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG KIRI, YANG TANPA AJEKTIF

—penghormatan untuk Benedict Anderson (1936- 2015)

DI awal musim dingin 1956, ketika Ben Anderson
berumur­ 20 tahun, sesuatu terjadi—sesuatu yang
mengarah­kan jalan hidupnya.

Hari itu di kampus Universitas Cambridge sejumlah
mahasisw­ a India dan Sri Lanka menyuarakan protes yang
berapi-api.­ Ben, mahasiswa tahun terakhir Jurusan Klasik,
ikut men­den­­ gar­kan. Tapi tiba-tiba sebarisan laki-laki Inggris
menyan­ yik­ an God Save the Queen dan menyerbu. Mereka
merangsek dan memukuli mahasiswa-mahasiswa kurus
berkulit warna ge­l­ap yang sedang unjuk rasa itu. Ben mencoba
melerai. Tapi anak muda Irlandia yang rabun dan tak berotot
itu kena tonjok. Kacamatanya jatuh, dan sejumlah kaki
menghancurkannya.­”Aku belum pernah semarah itu seumur
hidupku,” cerita­nya ke­mudian.

Marah itu awal kebangkitan politik. Para mahasiswa
Asia itu sedang memprotes agresi pasukan Israel, Inggris,
dan Prancis ke Mesir di awal November 1956. Ketiga negara
itu berkomplot hendak menjatuhkan Presiden Nasser yang
mengambil alih Terusan Suez, wilayah Mesir yang semula
dikuasai Inggris. Akhirnya usaha para agresor itu gagal, tapi
Ben telah menyaksikan bagaimana kekuatan, kekuasaan,
dan kebuasan sal­ing­ merapat. Yang lemah, yang tak masuk
hitungan, mungkin sia-sia melawan, tapi akan lebih sia-sia bila

Catatan Pinggir 12 209

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG KIRI, YANG TANPA AJEKTIF

diam.
Kesadaran politik itu, ”my moment”, tulisnya, makin

mendalam di tengah haru-biru dekolonisasi di bekas-bekas
jajahan di Asia dan Afrika.

Dengan itu Ben, yang lulus dengan gemilang dari
Cambridge, melanjutkan belajar ke Amerika, ke Universitas
Cornell. Ia tertarik pada Indonesia. Waktu itu, kata Ben,
awal 1958, di Indonesia ”unsur-unsur sayap kanan dengan
dibantu CIA” hampir berhasil melawan seorang presiden
”sayap kiri”, Suk­ arno. Tentu saja bila dilihat dari dekat,
pembangkangan PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi
itu akan tampak tak sesederhana itu; tapi yang penting adalah
apa yang menggerakkan Ben. Ia, yang pernah kuliah pada
sejarawan Marxis, Eric Hobsbawm, hendak menegaskan
dan merumuskan amarah di lapangan kampus Cambridge
itu: amarah anti-kolonia­lis­me, protes kepada tata yang
mengukuhkan ketidaksetaraan.

Ia datang ke Indonesia. Selama dua tahun, 1962-1964, ia
men­ elaah, mengumpulkan bahan riset, dan hidup ”dengan
bah­ agia di Indonesia yang kacau”. Ketika itulah teman saya,
Soe Hok Gie, adik sahabat saya, Arief Budiman, mengajak
saya menemui anak muda dari Universitas Cornell itu. Kami
berkenalan. Saya duduk di sebelah Ben di tepi sebuah jalan di
Menteng, Jakarta. Dengan Onghokham. Makan durian.

lll

DI Indonesia, tentang Indonesia, Ben menelaah banyak
hal, yang kelak akan menghasilkan karya-karya cemerlang
yang be­gitu orisinal hingga memikat—dan kadang-kadang

210 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG KIRI, YANG TANPA AJEKTIF

tak mey­ a­kinkan. Terutama karena, pada tahap awal,
pandangannya­adalah pandangan seseorang yang terkesima.
Dalam blusukan­nya­ dengan Onghokham, yang waktu itu
masih mahasiswa sejarah, ia ikut ”terseret” (ini pengakuannya)
keasyikan bersama ”can­di, gamelan, wayang, pertunjukan
rakyat desa, dongeng, sop­ an santun, batik...”. Ia akrabi hal-
hal yang dianggapnya unik, tak lazim buat (dan sebab itu tak
tertangkap oleh) sudut pandang yang berlaku.

Ketika ia menulis The Idea of Power in Javanese Culture,
misal­nya, ia coba tunjukkan sesuatu yang tak dilihat para
ilmu­wan­ lain: adanya pemahaman yang berbeda antara
orang ”Bar­at” dan orang Jawa tentang ”power”. Tentu saja ini
sangat menarik—meskipun bagi saya sejak mula meragukan.
Bagi saya, Ben Anderson membandingkan dua hal yang sulit
dibandingkan: ia sendiri mengakui ia tak menemukan kata
Jawa yang sepadan dengan istilah power sebagaimana yang ia
maksudkan.

Saya, yang berbahasa Jawa, juga tak menemukannya.
Maka un­tuk praktisnya saya sebut saja itu ”X”. Dalam bahasa
politik­Indonesia, power berarti ”kekuasaan”; tapi itu juga tak
pas dengan ”X” yang diuraikan Ben. ”Kekuasaan” adalah
konsep yang ”relasional”, menyiratkan hubungan antara
subyek dan ob­yek, antara orang yang berkuasa dan orang
yang dikuasai, sed­ angkan ”X” bukan. ”X” bisa disebutkan
tanpa ada hubungann­ ya dengan orang lain—seperti ketika
”X” terpancar pada teja yang tampak di wajah seseorang yang
terpilih. Walhasil, ”X”, atau ”power-bagi-orang-Jawa”, benda
yang unik. Ia mempesona—tapi tanpa sejarah, tanpa politik.

The Idea of Power, yang membuat politik ”orang Jawa”

Catatan Pinggir 12 211

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG KIRI, YANG TANPA AJEKTIF

tampak misterius dan eksotis, terbit pada 1972. Kini, hampir
sete­ngah­ abad kemudian, thesis buku ini bisa dianggap
”esensialis”: mend­ asarkan diri pada pandangan bahwa ada
esensi ”Jawa” yang tak berubah, tak digerakkan sejarah.

Ben Anderson memang tak menjelaskan apa yang
dimaksudkannya dengan ”Jawa”. Dalam administrasi
kependuduk­an­ kolonial, yang hingga kini dilanjutkan
dengan membabibuta,­”Jawa” adalah satuan demografis yang
disederhanakan dengan mengabaikan keragaman mereka yang
hidup antara batas Jawa Barat dan Jawa Timur—dan tentu saja
mengabaikan konflik dan pergulatan hegemoni di dalamnya.
Tak hanya itu: penger­ti­an yang mengacu pada ”sebuah
amalgam yang unik” (menurut Ben) yang disebut ”Jawa”
itu sebenarnya representasi ”cara Ja­wi” yang, sebagaimana
ditunjukkan John Pemberton dalam On the Subject of ’Java’
(terbit 1994), baru tersusun pada perte­ngahan 1800-an. Cara
Jawi hadir sejak kerajaan-kerajaan Jawa Tengah terdesak
”Kompeni”, sebagai strategi keraton, dalam hal ini Surakarta,
untuk mengukuhkan diri dengan memba­ngun­ ritual yang
bagi orang luar, bagi orang Belanda, nyaris tak­tertembus.

Seandainya Ben melihat ”Jawa” sebagai sesuatu yang
historis, terbentuk dan berubah oleh sejarah, saya kira ia tak
akan men­ ulis The Idea of Power.

Tapi dua hal kemudian melepaskannya dari pesona awal.
Yang pertama kekejaman di sekitar Oktober 1965: ribuan
orang yang dianggap PKI dibantai dengan bengis—kebuasan­
yang menyebabkan sahabatnya, Onghokham, mengalami­
traum­ a, dan kemudian mencoba, dengan jadi penenggak
alko­hol, menghapuskan mimpi buruk tentang deretan mayat

212 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG KIRI, YANG TANPA AJEKTIF

berd­ ar­ah di sepanjang jalanan Jawa Timur yang pernah
disaksikannya. Bagi Ben, mendengar pembantaian massal di
negeri yang menambat hatinya itu seperti diberi tahu bahwa
saudara kan­dungnya pembunuh.

Ia ikut menyusun naskah akademik yang kemudian
terkenal sebagai Cornell Paper, yang mencoba menunjukkan
bahwa ”Per­istiwa G-30-S” bukan kudeta, bukan rancangan
PKI, melainkan konflik di dalam Angkatan Darat—dan
bahwa Soeharto terlibat, langsung atau tak langsung. Harus
diakui kes­imp­ ulan itu dibuat tergesa-gesa, ketika bahan
belum memadai.­Tapi pemerintah ”Orde Baru” tak tambah
meyakinkannya ketika dengan cara kasar dan pengecut
melarangnya masuk ke In­donesia, sejak 1972 sampai setelah
Soeharto jatuh.

Hal kedua yang mengubah perspektifnya adalah Perry, adik
kand­ ung yang ia sebut adik secara biologis tapi kakak secara
inte­lektual. Anderson yang lebih muda ini sejarawan terkemuka­
yang memimpin New Left Review, dan dialah, kata Ben
dengan­sedikit melucu, yang meyakinkannya ”bahwa... orang
Indonesia bukan makhluk yang unik, melainkan bagian dari
spesies man­ usia”. Sebagaimana halnya manusia lain, tak ada
sifat-sifat makhluk ini yang tak berubah sepanjang riwayatnya.
Ben, yang selama 27 tahun tak pernah melihat Indonesia dari
dekat, pun­ ya kesempatan mengambil jarak. Ia misalnya bisa
melihat bah­wa tradisi Jawa sebenarnya sebuah konstruksi
di abad mo­dern.­Ia pun cenderung lebih peka kepada peran
gerak sejarah da­lam pembentukan ide dan wacana. Ia menulis
Imagined Communities-nya yang termasyhur itu sebagai usaha
mengkombinasikan ”sejenis materialisme sejarah” dengan apa

Catatan Pinggir 12 213

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG KIRI, YANG TANPA AJEKTIF

yang kem­ udian disebut discourse analysis.
Dengan perspektif Marxisme itu (digabungkan dengan

”postmodernisme” sebelum kata itu ditemukan, kata Ben)
ia tunj­ukkan wacana nasionalisme di tempat-tempat yang
berjauhan dan dalam kronologi yang berbeda.

Yang sering orang luput ketika membaca Imagined
Communities adalah elemen universal dalam pelbagai
nasionalisme itu. Bukan teknologi dan modal dalam
”kapitalisme cetak”, buk­ an­ jejak universalitas yang terputus
dari agama-agama, melai­n­kan (saya sebut ini dengan sedikit
bergurau) ”marahku-di-kampus-Cambridge”. Bung Karno
akan mengumpamakannya­ dengan pemberontakan seekor
cacing, sekalipun hanya cacing, yang di­injak. Tanpa orang
ramai yang menolak keadaan, ”kapitalis­me cetak” tak
akan punya dampak. Rancière akan menyebutnya sebagai
”subyektivasi politik”: kemampuan memproduksi ”polemik”
yang mengungkapkan kontradiksi antara para penjaga
tatanan (la police) dan politik (la politique). Adapun ”politik”
di sini berarti aksi-aksi mengguncang tatanan itu, le partage du
sensible itu, agar mereka yang tak masuk hitungan hadir,­yang
membisu berbicara, yang disisihkan tampil, yang digelapkan
muncul.

lll

DI masa kecilnya, Ben Anderson gemar membaca cerita-
cer­ita Sherlock Holmes. Yang selalu diingatnya adalah pesan
sang detektif: dalam meneliti satu kasus, tak cukup hanya
meng­analisis barang bukti yang ada. ”Seorang detektif harus
me­ngetahui ada yang absen, yang tak terlihat.”

214 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG KIRI, YANG TANPA AJEKTIF

Mungkin itu sebabnya Ben cenderung menyorot ke
arah ”yang absen, yang tak terlihat”. Sementara sebelumnya
orang men­ ulis sejarah nasionalisme dari ide-ide dan perang
antar-penguasa, Ben melihatnya (sesuai dengan perspektif
materialism­ e sejarah) pada lembar surat kabar harian, pada
hubungan per­cetakan, pasar, modal, dan bahasa; atau pada
sensus, museum, peta, dan makam pahlawan tak dikenal.

Ben sendiri memang cenderung tertarik pada yang sehari-
har­i di jalanan (”’polytheism’ of scattered practices”, kata De
Certeau), yang praktis tak tampak dari atas karena bukan yang
adi­luhung dan tak diadiluhungkan.

Ia akrab dengan Pipit Rochijat, aktivis mahasiswa Indonesia
di Jerman yang sejak 1980-an dikenal sebagai pembuat kisah
wayang sebagai parodi yang tajam tentang Rezim Soeharto—
de­ngan akibat tak bisa pulang ke Tanah Air. Pipit memang
memilih berada di luar garis apa pun. Berandal dalam
pikiran, suka meledek, menulis dengan bahasa Indonesia
yang eksentrik, émigré Indonesia di Berlin yang kreatif ini
dengan segera men­ arik hati Ben. Surat-surat Ben kepadanya
(Pipit mengizin­kan saya membacanya) memperlihatkan sisi
lain penulis The Idea of Power: bukan sebagai ilmuwan yang
termasyhur karena waw­ asannya yang impresif dan prosanya
yang memukau, melainkan sebagai Ben yang selalu muda,
suka bercanda dengan omongan yang mbeling, kurang ajar,
sarkastis, tidak ”baik-dan-benar”.

Saya petik surat di awal 1985: ”Belum tahu, ya, kalian, bahwa
ogut sudah naik pangkat, eh pantat, jadi masih kuat bertanding
den­ gan B.M., Bahaya Maut itu!” Ia memakai kata ”ogut”
dari per­gaulan remaja Jakarta; ia mencemooh militer dengan

Catatan Pinggir 12 215

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG KIRI, YANG TANPA AJEKTIF

menyebut dirinya ”Kolonel” dan menyebut Pipit ”Overste”
(lebih sering, ”Sersan”); ia menyamakan ”pangkat” dengan
”pantat”, dan ia mengolok-olok Jenderal Benny Moerdani
(”B.M.”) seb­ ag­ ai ”Bahaya Maut”.

Dalam sebuah tulisan yang tak dimuat, yang juga
dikirimkan ke Pipit, Ben memaparkan kontras antara Taman
Pahlawan, yang berisi nama besar dan pangkat besar, dan
kuburan orang-orang yang disebut ”djago”, pendekar tanpa
hierarki. ”Ma­jat mereka sulit diselipkan kedalam Taman
Pahlawan, jang di­nas imigrasinja tjukup ketat,” tulis Ben dalam
ejaan pra-Orba. Nama para ”djago” itu juga tak pernah muncul
di papan na­ma jalan. Tapi sementara Taman Pahlawan cuma
diziarahi ”klompok resmi dan pada waktu jang ditentukan oleh
pihak jang berwadjib”, para ”djago” yang terkubur di kampung-
kampung hi­dup dalam pelbagai bentuk ingatan kolektif,
dalam puisi dan teater rakyat.

Dengan menunjukkan kontras itu, kita tahu di mana hati
Ben terarah.

Sadar atau tak sadar, ada benang merah antara bahasa olok-
olok yang mencemooh para jenderal dan ”marah-dikampus-
Cambridge” 1956. Langsung atau tak langsung, ada
kontinuitas antara pemihakan kepada yang tak resmi, yang tak
terhormat, dan la politique, aksi yang mengguncang tatanan
yang me­l­embagakan pembagian itu.

Bangsa, sebagai ”masyarakat yang dianggit”, memang bisa
ter­bentuk jadi tatanan yang resmi dan represif. Tapi proses
imagining dalam sejarah nasionalisme yang dipaparkan Ben
And­ erson adalah bagian dari dialektika sejarah, selamanya
berl­angsung dengan antagonisme: pembangkangan terhadap

216 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG KIRI, YANG TANPA AJEKTIF

sta­tus quo.
Maka siapa yang tak melihat gerak radikal la politique dalam

proses terjadinya bangsa akan keliru membaca thesis Kiri Ben
And­ erson—dan akan tak bisa pula mengenali rasa anarkisme
dal­am perspektif nasionalismenya. Di Bawah Tiga Bendera,
yang versi Indonesianya diperkenalkan hanya beberapa hari
sebelum ia meninggal, sebenarnya sebuah statemen ”anarkisme
tanp­ a ajektif”, untuk memakai rumusan Fernando Tarrida
del Mármol, tokoh Kiri yang perjuangannya diceritakan Ben
dengan memikat. Di akhir buku itu Ben bercerita bagaimana
di seb­ uah rapat para aktivis di Manila ia membacakan selembar
pamflet yang tak ditandatangani siapa pun: Organize Without
Leaders! Dan ia membacanya dengan senang.

Di situlah Ben Anderson tak ada duanya: Marxis yang
tak pern­ ah mengutip teori, ilmuwan progresif yang tak
pernah mengenakan label. Kelebihannya tidak hanya pada
thesis-thesis­nya yang membuat kita berpikir, tapi juga pada
kesetiaannya ke­p­ ada kemarahan di kampus Cambridge, 1956.

TEMPO, 27 Desember 2015

Catatan Pinggir 12 217

http://facebook.com/indonesiapustaka

218 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka

2016

Catatan Pinggir 12 219

http://facebook.com/indonesiapustaka

220 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka APOCALYPSE

MUNGKIN Apocalypse Now! sedang dipertunjukkan di
Tim­ ur Tengah sekarang. Bukan sebagai film.
Pada 5 Juli 2014, di Masjid Al-Nuri di Kota Mosul, Irak,
seseorang yang disebut sebagai Abu Bakar al-Baghdadi muncul
dan memberi khotbah Ramadan. Sorbannya hitam, jubahnya
hitam, tubuhnya besar, wajahnya angker dengan alis yang
ketal; entah bagaimana prosedurnya, ia dianggap sebagai Sang
Kha­lif, pemimpin umat Islam sedunia. Dan sejak itu, sederet­
lap­ oran yang membingungkan mengalir lewat media dunia­
tentang apa yang dalam bahasa Inggris disebut IS, Islamic­State,
atau Daesh, akronim dari ad-Dawlah al-Islāmiyah fi ’ l-Irāq wa-
sh-Shām.

Yang terdengar bukan hanya proklamasi sebuah daulat, tapi
juga pernyataan perang—bahkan lebih dari itu, sebuah jalan
bru­tal menyambut Hari Akhir. Para prajurit IS menyembelih
dengan begitu saja para tahanan mereka untuk direkam
dalam vi­deo dan dipertontonkan ke seluruh dunia. Mereka
menyalib­kan musuh dan menembaki deretan manusia yang
mereka tang­kap. Mereka menyerang lawan, bila perlu dengan
menjadikan diri bom. Mereka membunuh di mana saja, juga
dalam kon­ser, siapa saja yang mereka anggap kafir.

Dunia bingung, khususnya dunia yang menganggap
waktu berjalan ke depan, lurus, tak berbalik. Fanatisme
dan kebrutalan IS tampak bukan dari zaman ini, tapi daur
ulang yang dibalik dari kebuasan sejarah politik Timur

Catatan Pinggir 12 221


Click to View FlipBook Version