The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by suharnowo, 2021-11-04 03:02:50

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA DARA

kritik terhadap antropologi kolonial; kedua pihak berada di
kurun waktu yang sama, tapi seakan-akan tidak. Yang satu di
dunia Harper’s Bazaar abad ke-21, yang lain di ladang, jukung,
dan jaring abad yang lalu—eksotis, menarik sebagai penghias
latar.

Tapi itulah Indonesia: negeri yang berubah, terkadang
mengagumkan, terkadang mencemaskan.

TEMPO, 11 September 2016

372 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Molek

ADA apa dengan Picasso? Atau Sudjojono? Di sekitar 1950,
sewaktu Sudjojono belum 40 tahun, ia memutuskan
sesuatu yang tak biasa: bersama seniman lain naik sepeda dari
Yogya ke Jakarta. Tujuan mereka mendesak Presiden Sukarno
agar menyetujui ide Sticusa, sebuah lembaga kebudayaan
Belanda di Jakarta, menyelenggarakan pameran besar karya-
karya perupa Eropa abad ke-20: Picasso, Matisse, Braque.

Cerita ini saya petik dari kesaksian Willem Mooijman, yang
waktu itu bekerja di Sticusa. Saya menemukannya dalam buku
yang menarik tentang sejarah seni dan kesenian Indonesia
antara tahun 1950 dan 1960, Ahli Waris Budaya Dunia, yang
disunting Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem.

Sejauh mana Mooijman akurat, saya tak tahu. Yang jelas,
sejarah Indonesia setelah kemerdekaan tak pernah mencatat
adanya pameran besar kanvas Picasso. Sudjojono gagal. Bung
Karno menolak.

Mungkin Sudjojono tak tahu betapa rumitnya membuat
pameran seperti itu. Mungkin juga selera seni rupa Bung
Karno lain: bukan Picasso yang terpukau seorang perempuan
dan membuat wajahnya seakan-akan retak. Bung Karno
lebih menyukai perempuan dengan paras makin cantik dan
tubuh menonjol. Baginya itulah yang ”indah”, seperti lukisan
kembang sumringah, gunung dan laut biru, sawah menguning.

Sudjojono, kita tahu, mencemooh selera ”Mooi Indie”
macam itu. Bagi penikmat ”Hindia yang molek,” kata

Catatan Pinggir 12 373

http://facebook.com/indonesiapustaka MOLEK

Sudjojono, ”semua serba bagus dan serba romantis, semua serba
enak, tenang, dan damai.” Ia menghendaki perupa Indonesia
melukiskan pabrik gula dan petani lapar, mobil si kaya dan
celana kumuh si miskin. Sudjojono, yang kemudian jadi wakil
Partai Komunis di parlemen, ingin menunjukkan realitas
Indonesia bukan sawah dan angin sepoi-sepoi basa. Realitas:
pertentangan kelas.

Tapi menarik bahwa Sudjojono lebih menginginkan
pameran karya Picasso, Braque, dan Matisse dari Paris, bukan
karya-karya Gerasimov dan Brodsky dari Moskow. Jika kita
lihat lukisannya, Cap Go Meh, yang menghadirkan wajah-
wajah ganjil, buruk, dan seram, Sudjojono tak akan cocok
dengan formula Lunacharski, menteri kebudayaan Soviet
yang diangkat Lenin; Lunacharski menghendaki representasi
”tubuh yang sehat, wajah yang ramah, dan senyum yang cerdas
dan bersahabat”.

Dengan kata lain, Lunacharski juga menghendaki
yang ”serba bagus”, tenang, dan tertib. Stalin kemudian
menegaskannya lebih jauh dengan mengharuskan optimis­
me—demi pembangunan. Mungkin bukan kebetulan jika
di Jerman Hitler juga memaklumkan doktrin yang mirip.
Nazi mengganyang seni rupa seperti karya Otto Dix sebagai
Entartete Kunst, ”seni rupa bobrok”, karena di kanvas itu wajah
dan tubuh tampak peyot seperti sakit oleh hidup yang terluka.

Dengan kata lain, penampilan tubuh harus sejalan dengan
penertiban manusia: tata harus ditegakkan di atas hidup yang
bergejolak—sesuatu yang juga tersirat dalam estetika ”Hindia
Molek”. Sebab ”Mooi Indie” adalah kanvas-kanvas yang
mandul, bahkan mati. ”Hindia Molek” mengemuka karena

374 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka MOLEK

sudut pandang kolonialisme.
Kolonialisme tak ingin citra koloni adalah kehidupan yang

resah, kegelisahan di bawah represi. Semua tenang, karena
semua terkendali. Semua tampak statis, melalui ”tatapan
kolonial”: melalui fokus dan pigura yang dipegang erat sang
penjaga Orde.

Wajar jika estetika ”tatapan kolonial” tak menghendaki
”the shock of the new”—guncangan sesuatu yang baru,
yang tak terdugaduga, yang menyeruak dalam karya-karya
Picasso, Braque, Dali, dan lain-lain, seperti pernah diuraikan
penulis sejarah seni rupa Robert Hughes. Guncangan itu
disebut ”modernisme”. Yang ”molek” bukan lagi kembang
dan perempuan mekar. Segala formula dan kategori dibabat.
Duchamp memajang tempat kencing bikinan pabrik sebagai
karya seni.

Sebenarnya dengan semangat semacam itu juga Sudjojono
membangkang. Seniman Indonesia harus melukis pabrik gula,
katanya—tanda perubahan dari masyarakat lama.

Namun, dengan begitu, perlawanan terhadap tatapan
kolonial ini tak akan kembali ke dunia pra-pabrik-gula. Sebab
kehidupan yang sering dianggap sebagai dunia ”Timur” yang
anteng itu diam-diam cocok dengan tatapan kolonial: mandek,
dan karena itu eksotis.

Itu sebabnya, bagi Sudjojono, kesenian Indonesia harus ”ke
Barat, untuk menuju Timur”. Maka ia ingin Picasso, bahkan
siap bekerja sama dengan Sticusa yang Belanda. Sebab ada apa
dengan ”Barat”? Dengan ”Timur”?

TEMPO, 18 September 2016
Catatan Pinggir 12 375

http://facebook.com/indonesiapustaka

376 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Angsa

JAKARTA punya sejarah yang panjang, tapi punyakah ia
nostalgia? Kota bergerak kian cepat; pada saat yang sama
kian sedikit penghuni yang memandang foto-foto lama sebagai
bagian dari riwayat mereka. Di Jakarta generasi manusia,
gedung, dan peta berganti berkali-kali.

Kita punya Chairil Anwar (mungkin dia satu-satunya), yang
sekilas mencatat satu adegan Jakarta modern di ujung 1940-
an—bioskop Capitol memutar film Amerika, anak-anak muda
menunggu trem dari Kota—tapi tak ada yang melihat kembali
bagian yang ditinggalkan. Dengan murung atau tidak.

Transformasi tentu juga dialami kota lain. Paris di abad
ke-19, misalnya, berganti rupa mirip ciptaan baru: pada 1853,
Napoleon III menugasi Baron Georges-Eugène Haussmann
untuk mengubah Paris. Kembali dari pembuangan selama 12
tahun di London, penguasa itu benci ibu kotanya sendiri.

Selama ia absen, jumlah penduduk meningkat dari 759 ribu
jadi sejuta lebih. Kolera dan tifus membunuh ribuan orang.
Dibandingkan dengan London masa itu, Paris berantakan
dan sesak napas. Napoleon, yang melanjutkan kekuasaannya
melalui kudeta dan jadi diktator, ingin pusat kerajaannya
punya lampu terang, udara bersih, air jernih, taman luas, dan
avenue dengan deretan pohon.

Haussmann dianggap pejabat yang tepat untuk transformasi
itu. Birokrat bertubuh tinggi besar ini terkenal pintar di
perguruan tinggi. Menteri Dalam Negeri menggambarkannya

Catatan Pinggir 12 377

http://facebook.com/indonesiapustaka ANGSA

sebagai ”salah satu dari orang paling luar biasa di zaman kita”.
Dan Haussmann, yang bisa omong nonstop selama enam

jam, bersedia menyimak ketika Napoleon III berkata: ”Ini yang
saya mau.” Dibentangkannya peta Paris yang diberi tiga garis
tebal, satu dari utara ke selatan dan dua dari timur ke barat.
Artinya, sejumlah wilayah padat—yang juga bersejarah—
harus dibongkar.

Maka ”Haussmannisasi” pun dimulai. Sekitar 12 ribu
bangunan dihancurkan, buat memperbaiki wilayah Opéra
National de Paris dan akses ke pasar Les Halles. Stasiun-stasiun
kereta api baru didirikan dan dihubungkan dengan jalan raya
yang lempang dan lebar. Boulevard sepanjang 137 kilometer
terentang.

Tapi tak cuma itu. Juga deretan tiang lampu, kios surat
kabar, dan pajangan di 27 taman dan lapangan. Di bawah
tanah, Haussmann memasang jaringan saluran limbah kota;
dibangunnya juga akuaduk dan cadangan air minum bersih.

Tak semua orang menyaksikan transformasi itu dengan
antusias. Baudelaire menuliskan sajak-sajaknya yang terkenal
dari kegundahan menapak Paris dalam desain Haussmann.
Penyair yang selama hidupnya berpindah dari tempat ke
tempat di kota itu suatu hari lewat di Place du Carrousel, dekat
Museum Louvre. Wilayah ini dulu jadi pusat penjual buku dan
karya seni. Ketika Baudelaire menyaksikannya, para pedagang
itu sudah dipindahkan. Rumah-rumah kecil yang jadi kedai
sudah hilang. Di sajak ke-89 dalam kumpulannya Les Fleurs du
mal, ia pun menulis:

378 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka ANGSA

Paris lama tak lagi di situ!
(Sebuah kota berubah bentuk lebih cepat ketimbang hatiku).

Di bait berikutnya ia menyebut bagaimana ia, di suatu pagi,
melihat seekor angsa lepas dari kandang, tapi tak menemukan
air lagi. Bulunya yang putih menyusuri tanah. Di parit yang
kering ia membuka paruhnya yang berlumur debu, bertanya:
”Air, kapankah kau turun dalam hujan?”

Angsa itu sebuah alegori: makhluk elok bukan-manusia
yang menanggungkan ambisi, kepentingan, dan kalkulasi
manusia—seperti alam dan mereka yang di pinggiran
terancam perluasan kuasa teknologi dan modal. Baudelaire
mempersembahkan Le cygne buat Victor Hugo yang waktu
itu hidup di pengasingan. Kita tahu ke mana pengarang Les
Miserables itu berpihak: bersama para nestapa.

Tapi suara Baudelaire bukan nostalgia. Masa lalu tak
semuanya indah. Bait pertama Le cygne menyebut nama
dalam khazanah lama, Andromache, perempuan Troya yang
suaminya gugur dan negerinya dibinasakan dengan bengis
oleh yang lebih kuat dan ia jadi budak. Air matanya mengalir,
membentuk sungai kecil yang dalam mithologi Yunani juga
dewa, Simoeis. Dengan tak langsung, Le cygne mengingatkan
ada yang kalah hari ini, tapi juga dulu dan nanti—dan itulah
yang menyedihkan dalam sejarah manusia.

Tentu saja bisa ditambahkan: air yang mengalir itu bisa jadi
energi. Peradaban bisa terbangun. Kalimat Walter Benjamin
yang sering dikutip itu rasanya benar: ”Kisah peradaban
adalah juga kisah kebiadaban.”

Saya tak tahu apakah dengan itu Benjamin bisa menjelaskan

Catatan Pinggir 12 379

http://facebook.com/indonesiapustaka ANGSA

bahwa ”Haussmannisasi” yang brutal pada akhirnya
menjadikan Paris menarik, dan seorang flaneur bisa kluyuran
di celah-celahnya, memandang dengan rasa tertarik dan cerdas
deretan komoditas di sekitarnya.

Di Jakarta, kita tahu, tak mudah lagi kita kluyuran.
Mungkin hanya jauh di malam hari: ketika jalan lengang,
ketika terang dan gelap saling menyeling, dan kota—dalam
ketenangan dinihari—jadi sebuah ilusi.

TEMPO, 25 September 2016

380 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Rakyat

Setelah pembangkangan 17 Juni itu,
Sekretaris Persatuan Pengarang membagikan selebaran
di Jalan Raya Stalin.
Dikatakannya bahwa rakyat telah melanggar
kepercayaan Pemerintah,
dan hanya bisa menebusnya kembali
dengan usaha berlipat ganda.

Tidakkah dalam hal ini sebenarnya lebih mudah
bagi Pemerintah
untuk membubarkan rakyat
dan memilih rakyat yang baru?

—Bertolt Brecht (1953)

PAGI hari di pertengahan Juni 1953, buruh bangunan di
satu bagian timur Berlin memulai sesuatu yang semula
tak terpikirkan di bawah kekuasaan Partai Komunis: mereka
mogok. Mereka berontak.

Sudah sejak musim semi ketakpuasan menjalar: upah
dirasakan tak cukup dan penghasilan timpang. Kepada para
pejabat Partai dan serikat pekerja Bolsyewik yang datang
membujuk, seorang buruh berseru, ”Perut kalian buncit,
tapi coba lihat kami; penghasilan kalian tak cuma 144 mark;
kalian mendapat 1.200.” Dan ketika masih diulang anjuran
agar buruh bekerja keras ”untuk masa depan yang lebih baik”,

Catatan Pinggir 12 381

http://facebook.com/indonesiapustaka RAKYAT

mereka pun membuang semua alat kerja dan turun ke jalan.
”Kami bukan budak,” teriakan terdengar.

Dengan segera buruh di tempat lain bergabung. Pemogokan
jadi protes politik. Keberanian berkembang di pelbagai kota
Jerman Timur. Penduduk melucuti polisi, mengepung kantor
Partai Komunis, dan menyerbu penjara, membebaskan para
tahanan. Tanggal 17 Juni 1953 jadi tanggal pembangkangan.
Semua berakhir setelah tank-tank Uni Soviet datang
memadamkannya dan korban jatuh.

Dengan humor yang getir, Brecht (ia sudah dikenal sebagai
pengarang Komunis terkemuka yang tinggal di Jerman
Timur) menulis sajaknya yang saya kutip di atas. Dan kita pun
berpikir: mungkinkah rakyat dibubarkan? Bisakah ”rakyat
yang baru” dipilih Pemerintah?

Brecht memakai kata das Volk. Dalam bahasa Jerman setelah
runtuhnya Nazi, kata itu lebih terlepas dari pengertian etnis.
Kita menerjemahkannya dengan ”rakyat”. Kata ini sudah ada
dalam naskah Nusantara lama, tapi maknanya berubah setelah
bangkitnya gerakan politik untuk kemerdekaan di abad ke-20.
Majalah Fikiran Ra’ jat didirikan Bung Karno pada awal 1930-
an misalnya. Di sampulnya ada kalimat: ”Kaoem Marhaen!
Inilah madjallah kamoe!”

”Rakyat”, dengan kata lain, identik dengan ”marhaen”,
anggota lapisan sosial yang miskin. Namun ia bukan lagi
orang bawahan yang hanya dihimpun untuk menuruti titah
raja seperti dalam Sejarah Melayu. Rakyat di abad ke-20 telah
jadi subyek yang menderita tapi ber-”fikir”. Ia dibayangkan
homogen, padu, kuat—juga setengah misterius karena hanya
bisa sedikit jelas definisinya bila dihadapkan dengan yang

382 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka RAKYAT

”bukan-rakyat”.
Biasanya, yang ”bukan-rakyat” itu ”Pemerintah”—

yang dianggap ditentukan rakyat. Rakyat yang berdaulat
mendasarinya. Saya bayangkan ”Pemerintah” seperti bahtera
di atas laut dalam; laut itulah ”rakyat” yang terus-menerus ada
dan dianggap perkasa dan utuh. Sajak Brecht di atas bermain-
main dengan pintar: ia tahu tak mungkin ada Pemerintah yang
memilih rakyat baru. Bahtera itu yang datang dan pergi. Laut
tetap.

Tapi analogi itu tak selamanya pas. Rakyat bisa terbentuk
baru. Di Jerman Timur Juni 1953 itu, buruh di pelbagai
tempat, berbareng dalam ketakpuasan yang setara dengan
penduduk lain, jadi ”rakyat” hampir seketika. Dalam ”revolusi
sosial” yang meletus di Sumatera Timur pada 1946—yang
mencoba menumbangkan kekuasaan kaum bangsawan
Melayu—rakyat terbentuk jadi baru sebagai suara amarah,
menghadapi satu hal yang membuat mereka terpadu dan jadi
kekerasan. Sejumlah besar kerabat Kesultanan Melayu Asahan
dibunuh. Di hari-hari yang ganas itu, ”rakyat” adalah suara
yang menghendaki keadilan tapi juga kekuatan yang menggila.

Di Berlin, pertengahan Juni 1953, rakyat terbentuk dan
sekaligus berubah. Ia bukan lagi nama yang menggerakkan
citacita sosialisme. Ia barometer sebuah defisit: ia menunjukkan
kekurangan dan ketimpangan sosial. Tapi ia juga satu
kekuatan yang tak-rasional, yang meledak tanpa menimbang
kekuatannya sendiri. Maka ”rakyat”, yang selama itu
dikendalikan dan diwakili Partai, makin tak bisa diandalkan.
Rakyat, kata Brecht, telah ”melanggar kepercayaan
Pemerintah”.

Catatan Pinggir 12 383

http://facebook.com/indonesiapustaka RAKYAT

Wajah ”rakyat” yang dua-sisi itu kembali setelah Republik
Demokrasi Jerman roboh pada 1989. Kini tak ada partai
yang legitimasinya tak bergantung pada rakyat. Tapi dalam
suasana serba waswas akan terorisme, pendatang, dan Islam,
tampak wajah irasionalitas lain. Kini orang berbicara tentang
”populisme”, yang menganggap suara cemas adalah suara sah
Jerman yang tak bisa diwakili elite politik mana pun.

Di Indonesia, sesuatu yang lain berlangsung. Partai-partai
dan parlemen (tanpa mengikuti Brecht) seakan-akan telah
”membubarkan rakyat dan memilih rakyat yang baru”. Politik
hanya transaksi di antara oligarki. Rakyat yang baru mereka
bentuk: sebagai gema dari jauh.

TEMPO, 2 Oktober 2016

384 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Aura

ADA suatu masa ketika raja dan kesatria menghilang.
Para pangeran Pandawa lenyap ke dalam rimba selama
13 tahun; Rama menyingkir dari istana Ayudhya dan hidup
dalam belantara hampir satu setengah dasawarsa. Dalam kedua
wiracarita itu hutan meniadakan penampilan; tapi hidup jadi
bagian ritus ke arah kemenangan.

Dalam tradisi Veda, ritus itu disebut vanaprastha,
”menyingkir jauh ke dalam rimba”. Di sana, meskipun tak
selamanya diartikan harfiah, tak tampak di depan umum
mengisyaratkan hidup yang tak lagi digoda kekenesan dan
nafsu lain.

Keadaan itu meruapkan sebuah aura tersendiri—satu hal
yang juga terjadi dalam sejarah politik modern. Di Ekuador,
Velasco Ibarra, presiden yang hidup dalam pengasingan,
dikenal sebagai El Gran Ausente: ia absen dan ia hebat dalam
ketidakhadirannya. Pada 1933 ia dipilih dengan 80 persen
dari suara yang masuk, tapi kudeta militer menjatuhkannya.
Velasco pun hidup sebagai eksil, tak tampak di tanah air, tapi
kemudian muncul kembali dan berkuasa (meskipun kemudian
dijatuhkan lagi). Velasco tak pernah sepenuhnya kalah. Pada
1968, ia menang buat kelima kalinya; usianya 75 waktu itu.
Kali ini pun ia dikudeta, tapi Ekuador tak bisa menghapus El
Gran Ausente dari ingatan.

Absen dan aura juga terpaut dalam sejarah Iran abad ke-
20. Ayatullah Khomeini menentang kebijakan Shah yang

Catatan Pinggir 12 385

http://facebook.com/indonesiapustaka AURA

berkuasa. Ia pun ditangkap. Empat belas tahun setelah
November 1964 itu ulama besar tersebut hidup dari tempat
pengasingan yang satu ke yang lainnya: Bursa di Turki, Najaf
di Irak, Neauphle-le-Château di Prancis. Selama itu, namanya
semakin termasyhur, auranya membubung, dan pengaruh
politiknya semakin menyebar.

Aura—semacam daya yang bukan fisik yang memancar
dari seseorang atau sebuah benda—terbit karena sifat unik
orang atau benda itu. Tapi tak hanya itu. Juga karena ”di
luar”, karena jarak. Walter Benjamin, yang menulis satu esai
yang terkenal tentang perubahan perspektif atas karya seni
sesudah zaman mesin, mendefinisikan aura sebagai einmalige
Erscheinung einer Ferne, penampilan unik dari sebuah jarak,
betapapun dekatnya fenomena itu.

”Jarak” itu bisa berarti ruang dan waktu, tapi juga bisa
berarti kondisi ketika ia terasa tak bisa didekati. Aura patung
Durga di dalam satu ruang candi di Prambanan di Jawa
Tengah terbentuk bukan saja karena kehadirannya yang
remang-remang, tapi juga karena suasana yang tumbuh dari
kemegahan kompleks pemujaan itu. Sebagaimana dibangun
di abad ke-9, ada 240 candi yang tersusun dengan ukiran yang
menakjubkan di wilayah yang luas itu.

Aura itu kini punah. Tentu karena orang datang, dalam
bus-bus yang gembira, bukan untuk menyembahnya.
Benjamin menguraikan hilangnya aura pada karya seni karena
dunia modern masuk dan kapitalisme dengan gampang
mereproduksi karya itu: patung Rodin, ”sang pemikir”, tak lagi
menggetarkan setelah ia diperbanyak dalam pelbagai ukuran
di gerai turisme.

386 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka AURA

Tapi saya kira mudahnya reproduksi justru melahirkan
efek sebaliknya. Aura malah tumbuh. Dalam sejarah politik
modern, dalam ”pemujaan sosok pribadi” Stalin, Mao Zedong,
Kim Il-sung, dan Bung Karno, aura justru diproduksi lewat
bahasa dan gambar, slogan dan poster yang diulangulang
mengumandangkan keagungan mereka. Di sini, aura dibentuk
dalam rekayasa. Indoktrinasi diperkuat dengan kultus dan
mantra ideologi.

Semakin dilambungkan sang pemimpin, seperti ketika
semakin banyak predikat ”agung” dikenakan kepada Bung
Karno, semakin tak terjangkau ia oleh pemikiran dan
imajinasi orang banyak. Karena posisinya, karena hierarki,
seorang pemimpin mengandung enigma. Kultus mempertebal
lapisan yang menutup enigma itu, menghindari dari apa
yangtransparan dalam dirinya. Dengan begitu sang pemimpin
seakan-akan berada di atas politik. Ia tak ikut siasat dan
menunjang kepentingan diri. Ia bukan bagian politik sebagai
antagonisme; ia seakan-akan jadi panutan bersama.

Dengan kata lain, ia tampil sebagai gema dari
panggilan moral yang universal. Velasco Ibarra, misalnya,
mengidentifikasikan dirinya dan pendukungnya bukan
sebagai pengejar kebendaan. Yang layak diusahakan ialah
”keagungan moral”, [la] grandeza moral, sesuatu yang abadi.

Aura, jarak dari politik dan retorika moral—semua itu
tak dengan sendirinya kabar baik. Dalam kultus, dalam
melipatgandakan aura, seorang besar dibentuk atau
membentuk diri, tapi pengalaman panjang sejarah Tiongkok
telah mengajarkan sebuah pemeo: ”orang besar adalah nasib
malang masyarakat”.

Catatan Pinggir 12 387

http://facebook.com/indonesiapustaka AURA

Apalagi ketika antagonisme politik disikapi sebagai
pergulatan moral. Publik pun akan terbelah dalam kubu-
kubu yang melihat diri sebagai pembawa ”keagungan moral”:
argumenku jadi mutlak, bahkan suci sepenuhnya.

Yang tak diakui ialah bahwa politik juga (yang nisbi dan
terbatas) yang menentukan mana yang suci dan yang busuk.
Tak jarang intoleransi bertaut dengan kemunafikan.

TEMPO, 9 Oktober 2016

388 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Bhima

I” A mencari air kehidupan, mungkin ia mencari kebenaran,”
kata dalang yang semalam mengisahkan cerita Bhima yang
menemui Dewa Ruci di tengah samudra. ”Mungkin kesatria
itu tak tahu apa yang dicarinya dan yang akan diperolehnya,”
katanya lagi.

Saya terkesima. Semalam, di layar, saya menatap wujud
kecil itu, Dewa Ruci, berkata kepada kesatria itu agar masuk
ke dalam dirinya melalui telinganya. Bhima mesti meyakini
yang mustahil sebagai yang mungkin. Dan ia menurut. Dan
ia berhasil.

Ia menerobos lubang kuping itu dan menemukan dirinya
berada di dalam ruang yang tak terkira. Serat Dewa Ruci
menggambarkannya sebagai ”samodragung, tanpa têpi nglangut
lumaris/lêyêp adoh katingal”—samudra besar, tanpa tepi dan
semua sayup tampak di kejauhan. Dalam adegan yang sering
mengutip risalah-risalah kebatinan Jawa, di sanalah Bhima
menyaksikan permainan empat warna: hitam, merah, kuning,
putih. Warna-warna itu, menurut Dewa Ruci, merupakan imaji
dari energi apa yang ada dalam diri sendiri—durmaganing tyas,
terutama yang negatif, kecuali yang putih.

Tampak benar fokus cerita ini adalah manusia dan
kemampuannya mengendalikan diri dan mencapai sesuatu.
Ketika di bagian berikutnya ada paparan tentang persamaan
”jagat besar” dengan ”jagat kecil”, kita kembali bertemu
dengan manusia sebagai penentu perspektif tentang semesta.

Catatan Pinggir 12 389

http://facebook.com/indonesiapustaka BHIMA

Bahwa kemudian dikatakan tubuh hanyalah perkakas yang
dikuasai yang memberi hidup, kang karya gesang, itu justru
menunjukkan betapa yang kekal dekat sekali dengan kefanaan
insan.

Serat Dewa Ruci (yang saya baca teks yang digubah Mas
Ngabehi Mangunwijaya dari Wanagiri sebagai tafsir dari karya
Sunan Bonang di abad ke-15) berasal dari sebuah masa ketika
manusia dianggap akan mampu mencapai kebenaran dengan
puruhita, mencari dan berguru lewat jalan yang rumit—dan
bisa bertemu dengan yang dicari. Belum ada kekecewaan
ketika manusia, dengan kehendaknya untuk benar, ternyata
melahirkan bencana.

Namun ada yang perlu ditambahkan di sini. Serat Dewa
Ruci, meskipun meletakkan manusia sebagai pengendali diri,
tak bertolak dari norma yang sudah jadi. ”Ajaran” dalam teks
ini bersifat pragmatis. Yang penting bukanlah kejelasan apa itu
”kebenaran” atau kepastian yang kita ketahui; yang penting
bukanlah alasan yang logis, melainkan tindakan mengubah
diri dan efeknya bagi dunia; yang utama adalah aksi, laku. Tak
ada hukum ataupun aturan moral yang sudah dirumuskan.

Sejak awal, Bhima dikatakan mencari ”air kehidupan”.
Dengan ”air” (tirta atau toya) sebagai perumpamaan, kita
mendapat kesan betapa pentingnya apa yang dicari itu bagi
hidup. Tapi sekaligus betapa tak kedap; air transparan,
mengalir, luwes, selalu merespons sebuah lingkungan. Maka
apabila yang dicari kesempurnaan—atau kebenaran yang
membawa kesempurnaan—yang diperoleh bukan sesuatu
yang mandek dalam aturan atau standar.

Mungkin itu sebabnya ”kearifan lokal” seperti ini—berbeda

390 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka BHIMA

dengan agama-agama yang berpegang kepada Kitab—tak
menawarkan hukum. Filsafat, bagi teks ini, bukan metafisika,
melainkan ”ethika”: uraian dan penjelajahan keadaan yang
memungkinkan terjadinya tindakan dan kehidupan yang
”baik”. Tapi ”ethika” di sini terbatas. Dalam Dewa Ruci tak ada
orang lain yang membuat semua itu berharga. Tak ada orang
lain dengan siapa Bhima berbagi dalam proses pencarian dan
penemuannya. Kesatria Pandawa itu meninggalkan saudara-
saudaranya. Ia sendirian.

Kesendirian itu lebih terasa ketika orang lain bisa berarti
musuh yang tersembunyi. Bhima pergi karena Durna, guru
dan juga sekutu Kurawa, hendak menjerumuskannya, dan ia
pulang dari perjalanannya dengan kemampuan mengalahkan
dirinya sendiri dan dunia. Selesai meresapkan ajaran Dewa
Ruci ia (merasa) lebih unggul, seakan-akan seantero jagat
raya bisa ia rengkuh sekaligus, sawêngkon jagad raya/sagung
kawêngku.

Ada kecenderungan solipsisme yang kuat dalam Serat Dewa
Ruci. Ada tendensi menganggap hanya kesadaran sendiri yang
ada dalam proses pencarian kebenaran. Orang lain, liyan, hadir
tanpa bekas. Mungkin karena naskah ini dilahirkan dalam
ruang-ruang meditatif dan lingkungan di mana percakapan
adalah percakapan hierarkis, antara guru dan murid atau
orang yang berbeda tingkat keilmuan. Tak ada dialog.

Maka dalam kalimat-kalimat tembang yang setengah
gelap, naskah Dewa Ruci sering berakhir sebagai sesuatu yang
esoterik: makin sedikit dipahami, makin mempesona. Hanya
seorang dalang yang piawai yang berkata: mungkin Bhima
(dan kita semua) tak tahu apa kebenaran yang dicari dan yang

Catatan Pinggir 12 391

http://facebook.com/indonesiapustaka BHIMA

akan diperoleh.
Dan dalang tua itu tersenyum kecil dan kita ingat: tirta

adalah sesuatu yang mengalir, tak berhenti. Dengan itulah ada
kearifan lain: sungguh berbahaya proses mencari kebenaran,
tapi lebih berbahaya lagi setelah yang dicari ditemukan.

TEMPO, 16 Oktober 2016

392 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Dylan

SAYA tak mengerti Bob Dylan. Mungkin memang
harus demikian: sesuatu yang memukau adalah sesuatu
yang tak harus, atau bisa, dimengerti. Saya baca Tarantula,
buku puisinya yang ia tulis pada umur 25 tahun atau pada
1966. Di dalamnya kata-kata bergerak bukan sebagai huruf,
bukan sebagai wadah makna, melainkan sebagai bunyi:
pengulangannya, konsonannya, tekanannya, panjang-pendek
suku katanya:

mother say go in That direction & please
do the greatest deed of all time & say i say
mother but it’s already been done & she say
well what else is there for you to do & i say
i dont know mother, but i’m not going in That
direction—i’m going in that direction & she
say ok but where will you be & i say i dont
know mother but i’m not tom joad & she say
all right then i am not your mother

Kita hidup di suatu masa ketika tak ada lagi hierarki
antara makna dan bunyi, antara kata dan nada. Kita hidup
di suatu masa ketika yang sastra dan yang bukan-sastra tak
jelas terpisah—dan bahwa Dylan menerima Hadiah Nobel
Kesusastraan menunjukkan runtuhnya struktur imajiner
yang memisahkan itu. Tarantula sendiri memperlihatkan
saat ketika khaos hadir di celah-celah bentuk. Yang kacau tak

Catatan Pinggir 12 393

http://facebook.com/indonesiapustaka DYLAN

dijinakkan yang tertata, dan yang tertata tetap berada di dalam
yang kacau.

Ruang ini, dengan 4.800 karakter, terbatas untuk
menghormati Dylan secara sepatutnya. Jika ada yang harus
saya katakan: saya tak kagum kepada tiap kalimatnya; saya
terpesona akan suaranya yang bergetar, lugu, dengan kesayuan
yang tiap kali ditingkah patahan dan ironi. Tapi saya tak heran
bahwa ia bergema kuat: ia bisa dibaca, atau didengarkan—
rekaman suaranya yang bersahaja tapi menyentuh, dengan
harmonika di mulut dan gitar di pelukan—tatkala kejadian-
kejadian dilontarkan dalam headline atau dibaca keras di
televisi. Tapi kita terpukau karena ada yang tak hilang dari
sana: pertanyaan.

How many seas must a white dove sail
before she sleeps in the sand?

Di tahun 1960-an, lagu ini dijadikan suara protes. Tapi
kini mungkin protes itu tak lebih ketimbang sebuah sajak yang
merundung kita terus-menerus.

”Blowing in the Wind” pertama kali jadi termasyhur
melalui suara Peter, Paul, dan Mary, trio penyanyi folk yang
mewakili suasana Amerika tahun 1960-an, ketika Amerika
mengirimkan anak-anak muda ke kancah Perang Vietnam,
ketika kaum hitam mulai menggugat perlakuan masyarakat
mayoritas putih, ketika sebuah generasi resah—antara cemas
dan cinta, antara santai dan gemuruh, ketika begitu banyak
pertanyaan tentang hidup tak terjawab. Perang, kematian,
ketakadilan, kekejaman, tapi juga kesetiaan dan pengorbanan:

394 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka DYLAN

pernahkah akan berakhir? Mengapa? The answer, my friend, is
blowing in the wind....

Melodi itu datang ke kenangan Dylan dari sebuah negro
spiritual yang lama, ”No More Auction Block”—suara yang
menusuk, ketika para budak mensyukuri kebebasan di sekitar
Perang Saudara Amerika di abad ke-19. ”Tak ada lagi tempat
lelang, tak ada lagi lecutan, tak ada lagi garam yang disiramkan
ke luka siksaan.”

Tapi ”Blowing in the Wind” seakan-akan nyanyian yang
lebih tua ketimbang itu, dengan kata-kata yang lebih langgeng.
Dylan, yang nama masa kecilnya Bobby Zimmerman,
dibesarkan dalam keluarga Yahudi pemilik toko mebel dan
peralatan di Hibbing, Minnesota. Mungkin saja di kepalanya
bergaung petilan Kitab Kejadian dan Ezekiel. Tapi tak berarti
puisi dan nyanyi mematuhinya. Mereka menerobos peta dan
mengelakkan genealogi.

Citra Bob Dylan adalah citra anak muda yang menerobos.
Ia tampil seperti penyanyi pujaannya, Woody Guthrie, yang
menggubah lagu ketika mengunjungi daerah Amerika yang
terpukul kemiskinan selama depresi ekonomi. Sejak ia pindah
ke New York dan mengabadikan namanya di Greenwich
Village, Dylan seperti berpindah bahkan dari asal-usulnya,
mengaburkannya, dan muncul dalam persona yang berbeda
dari saat ke saat. I’m Not There (2007) mencoba menangkap
itu: film ini ”diilhami oleh musik dan pelbagai hidup Bob
Dylan”—dan enam aktor memerankan pelbagai sosok dirinya,
termasuk aktor perempuan yang ulung itu, Cate Blanchett.

Dengan parasnya yang feminin dan halus, rambutnya
yang lebat tak tersisir, dengan suaranya yang seperti menutupi

Catatan Pinggir 12 395

http://facebook.com/indonesiapustaka DYLAN

melankoli, dan puisinya yang tak linear, Dylan—seperti dalam
albumnya, The Freewheelin’ Bob Dylan—adalah penggubah
dan pengubah: seperti ketika ia bertolak dari corak musik folk
seraya menjadikannya sesuatu yang lain.

Tapi ada yang tetap datang di dalam dirinya: kepekaan
kepada hidup yang dicederai. Meskipun ia tak bisa jadi
pembimbing. Ia menemukan yang lain. ”Aku menemukan
sifat religius dan filsafat dalam musik.... Aku tak mengikuti
rabi, pengkhotbah, evangelis, semua itu.”

Anehnya, suaranya terasa lebih benar ketimbang khotbah:

Yes, how many ears must one man have
Before he can hear people cry?

TEMPO, 23 Oktober 2016

396 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Kuning

PURBASANGKA tak gampang mati dengan sejarah.
Ada sebuah kata, ada sebuah warna, yang di abad ke-19
diperkenalkan di Eropa sebagai sesuatu yang menakutkan:
”kuning”.

Pada 1853, Arthur de Gobineau menerbitkan bukunya
setebal 1.400 halaman, Essai sur l’ inégalité des races humaines,
sebuah risalah yang hendak membuktikan bahwa manusia
tidak diciptakan setara. Akar rasial menentukan mutunya. Ada
tiga ras yang menurut Gobineau membentuk umat manusia
dan peradabannya: putih, kuning, dan hitam. Di antara
mereka, hanya ras putih yang memegang monopoli kecantikan,
kecerdasan, dan kekuatan. Sejarah, tulis Gobineau, bermula
”hanya dari kontak dengan ras putih”.

Tapi sejarah tak selamanya berarti kemajuan. Gobineau
seseorang yang memandang masa depan dengan masygul:
peradaban akan runtuh. Percampuran ras, ketika si putih
tak lagi murni, akan menenggelamkan semuanya. Terutama
ketika si kuning masuk.

Ras kuning, menurut Gobineau, adalah kebalikan dari ras
hitam. Energi bangsa ini kecil. Ia cenderung bersikap apatis.
Hasratnya lemah, kekuatan kemauannya tak menyebabkan
tindak kekerasan, hanya menyebabkannya gigih. Si kuning
mencintai manfaat, menyukai bisnis, dan menghormati
undang-undang. Sifat-sifat itu menyebabkannya lebih unggul
ketimbang ”negro”, tapi tetap lebih rendah dibandingkan

Catatan Pinggir 12 397

http://facebook.com/indonesiapustaka KUNING

dengan ras putih. Meski demikian, ada yang menakutkan dari
dirinya. Gobineau menulis Amadis (1881). Dalam sajak epik
ini digambarkan bagaimana peradaban Eropa hancur oleh
bangsa Cina.

Gobineau bukan seorang pakar biologi atau genetika;
sastrawan ini juga penulis buku perjalanan (ia seorang
diplomat) dan penulis karya nonfi ksi yang terus-menerus
menganggap demokrasi dan kesamarataan sesuatu yang
buruk. Bisa dimengerti: ia keturunan aristokrat Prancis yang
tersingkirkan karena Revolusi. Ia mencoba menegaskan
bahwa aristokrasi itu sebuah takdir: kaum bangsawan adalah
keturunan satu bagian ras putih yang istimewa, yakni bangsa
”Arya”, jenis manusia yang punya sejarah panjang.

”Arya” hanya sebuah mithos. Tapi itulah yang kemudian
dikumandangkan Hitler ketika ia ingin mengusir ras lain dari
Eropa.

Hitler, tentu saja, wujud ekstrem rasialisme Gobineau.
Padanya, purbasangka dan kebencian kepada ras lain,
terutama Yahudi, bergabung dengan kehendak mendesain
sebuah tatanan; ia menyebutnya Neuordnung, ”Orde Baru”. Ia
yang pernah ingin jadi seorang arsitek punya keyakinan bahwa
sebuah tata yang sempurna perlu dibangun dari unsur-unsur
yang homogen.

Keyakinan ini mirip dengan gagasan Gesamtkunstwerk,
”karya seni yang bersatu padu”, yang dicita-citakan
komponis Richard Wagner, seorang teman Gobineau.
Dalam kesatupaduan itu apa yang tak pas, atau dianggap
mengganggu, harus disingkirkan atau tak diterima. Ketika
perspektif ini masuk ke dunia politik, sebuah struktur dimulai

398 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka KUNING

dengan diskriminasi. Ada yang masuk ke ruang yang ”sah”,
ada yang di luar.

Ruang itulah yang dibangun Kaisar Wilhelm II—sebuah
ruang yang curiga. Pada 1895, Baginda memesan sebuah
lukisan yang didesainnya sendiri, dengan judul ”Rakyat Eropa,
Jagalah Barang-barangmu yang paling kamu sukai!”.

Maka pelukis Hermann Knackfuss pun melaksanakannya:
di kanvas itu, Malaikat Mikhail dengan pedang terhunus
bercahaya berdiri di sebuah tebing, diiringi sejumlah orang—
dalam wujud perempuan, lambang Eropa—yang bersenjata
dan berperisai. Mereka siap bertempur. Di hadapan mereka,
nun di seberang, tampak sebuah patung Buddha yang diling
kari api yang dibawa seekor naga. Tak ayal: itulah gerombolan
”Asiatik”.

Pada 1900, kartunis Prancis Bianco menggambar pada satu
seri kartu pos. Salah satunya: ”Bahaya Kuning, Mimpi Buruk
Eropa”. Tampak sederet orang tidur—personifi kasi bangsa-
bangsa Eropa—di tengah lanskap berwarna kuning. Pada
saat yang sama, dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya,
orang-orang kuning menghambur dari sebuah imperium
langit.

Kata Gelbe Gefahr, ”bahaya kuning”, yang dipakai pertama
kali oleh Wilhelm II, jadi bagian dari demagogi Jerman yang
cepat beredar. ”Kuning” tentu tak dengan sendirinya berarti
Cina. Dalam kesadaran orang Eropa, ”kuning” berubah-
ubah—apa saja yang ”bukan-putih-bukan-hitam”. Juga
kata ”Asia”: di dalamnya termasuk Yahudi, Arab, Melayu,
dan seterusnya. Apabila kemudian Hitler menggaungkan
demagogi itu lebih jauh, dengan darah dan besi, kita dapat

Catatan Pinggir 12 399

http://facebook.com/indonesiapustaka KUNING

melihat bagaimana kebencian, purbasangka, dan kekerasan
selalu mudah didaur ulang.

2016: daur ulang itu berlangsung lagi. Kali ini ”kuning”
berarti Arab atau Afrika. Dan di Eropa orang mulai lupa bahwa
tiap peradaban adalah warna-warna yang bergerak tak tentu
arah. Meskipun purbasangka tak mati-mati.

TEMPO, 30 Oktober 2016

400 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Komedie

DI negeri ini, ada orang-orang yang tampil di atas podium,
ada yang berjubel tampak dan tak tampak. Sebenarnya
yang tampak-dan-tak-tampak itulah yang membuat sejarah.

Saya ingin mengatakan: ”Indonesia” dimulai dari bawah;
28 Oktober 1928 bukanlah awalnya. Sebelum namanya
ditetapkan, ”Indonesia” sudah terjadi di tempat-tempat yang
dianggap remeh, di pinggir percaturan politik, di kehidupan
yang tampaknya main-main, tapi sesungguhnya jerih-payah.
Salah satunya: di dunia hiburan.

Kita mulai di Surabaya. Sebelum 1928, di sini lahir sebuah
usaha seni pertunjukan, Komedie Stamboel.

Dalam The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial
Indonesia, 1891-1903, Matthew Isaac Cohen menceritakan
kehidupan grup pertunjukan zaman itu dengan rinci,
memikat, dan informatif. Membaca hasil penelitian sejarahnya
kita akan mendapat gambaran tentang teater populer akhir
abad ke-19, selera artistik produsen dan konsumennya, dengan
latar sosial masyarakat kolonial di kota-kota. Kita akan dibawa
ke tengah kehidupan orang-orang peranakan, jatuh-bangun
mereka, peran artistik dan sosial mereka. Kita akan melihat
dunia seni pertunjukan masa itu seakan-akan dunia burung-
burung yang hinggap dari pohon ke pohon dan tanpa sengaja
menebar benih. Dari situlah tumbuh sebuah kebudayaan baru
yang disentuh dunia modern dan kosmopolitanisme, justru
dari dunia orang ramai, orang kebanyakan, bukan dari sebuah

Catatan Pinggir 12 401

http://facebook.com/indonesiapustaka KOMEDIE

elite yang berselera tinggi.
Berangsur-angsur ini berpengaruh pada sebuah kesadaran

yang terbuka. Dari situ ke-Indonesia-an terbentuk, tanpa
diprogram, tanpa ideologi, dan tanpa dinding pemisah kelas,
suku, dan etnis yang kedap. Sumpah Pemuda 1928 penting,
tapi lebih sebagai upacara pembaptisan.

Komedie Stamboel didirikan pada Januari 1891 ketika
Surabaya tumbuh sebagai kota dengan penduduk hampir 130
ribu orang—sangat kecil jika dilihat sekarang, tapi sangat besar
di masa itu. Mereka beragam: 90 persen ”pribumi”, sisanya
Tionghoa, Arab, Eropa, dan peranakan, dengan kekayaan dan
status sosial yang tak setara. Yang menyatukan mereka: dunia
urban yang baru.

Matthew Isaac Cohen menyebut kota sebagai ”arena of
observation”, tempat saling memperhatikan, dan masyarakat
di tempat-tempat padat di Indonesia sebagai ”an open-
gallery society”. Di masyarakat ini, apa yang dipamerkan,
dipertunjukkan, dan disajikan di depan umum berpengaruh
pada harkat sosial. Galeri terbuka adalah ruang bersama
untuk mengungkapkan diri, coarticulation, dengan dinding
pembatas yang mudah diterobos dan pembatasan yang tak
ketat. Komedie Stamboel lahir dan tumbuh di situ.

Rombongan teater ini sebuah bisnis kecil. Dalam kongsi
yang memilikinya ada nama Yap Gwan Thay. Ia wiraswasta.
Usahanya beragam dan manajemennya simpang-siur: firma
obat tradisional ”Banyu Urip”, pabrik limun, usaha dekorasi
gedung. Ia, yang pernah dipenjara karena terlibat pemalsuan
uang, oleh sebuah koran berbahasa Melayu di Surabaya pada
1899 disebut sebagai ”pujangga”.

402 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka KOMEDIE

Yap membangun beberapa gedung pertunjukan untuk
Opera Cina berbahasa Tionghoa dan topeng Jawa, di samping
membentuk rombongan sandiwara berbahasa Melayu. Dengan
bahasa Melayu pula—yang sudah jadi lingua franca tanpa
diperintahkan—Komedie Stamboel mementaskan cerita
1.001 Malam yang populer di masa itu dengan menampilkan
fantasi dunia ”Arab”. Juga lakon Nyai Dasima dan cerita Si
Conat, kepala bandit dari Tangerang. Juga Pembunuhan
Pangeran William van Oranye.

Ada sifat gado-gado dalam sejarah sosial Komedie Stamboel,
ada sifat eklektik pada pementasannya, ada campuran
keragaman dalam penggemarnya. Dalam Pandji Poestaka
Armijn Pane mencatat: untuk beroleh laba, pilihan cerita
Komedie Stamboel diolah untuk memenuhi selera kelompok
etnis dan kelas sosial yang berbeda-beda.

Tapi mungkin itu juga indikasi sebuah himpunan sedang
terbentuk, melintasi pengelompokan etnis dan sosial. Pelbagai
elemen—umumnya dari kalangan di luar tatanan kelas dan
norma sosial yang ada—pelan-pelan mencari identitasnya
sendiri.

Tokoh sejarah teater masa itu, sosok utama yang dengan
menarik ditampilkan Cohen, adalah Auguste Mahieu. Ia
aktor, penulis lagu, manajer, sutradara—orang berdarah Jawa
yang lahir di Bangkalan, Madura. Riwayatnya perlu tulisan
tersendiri untuk ditampilkan. Sementara ini bisa dikatakan:
ia, yang dikagumi tapi juga tak sepenuhnya diakui secara
sosial karena seniman panggung dan ”Indo” tak pernah jadi
bagian yang terhormat, adalah elemen sejarah yang nyaris tak
tercatat dalam proses simbiosis dalam keanekaragaman yang

Catatan Pinggir 12 403

http://facebook.com/indonesiapustaka KOMEDIE

kemudian bernama ”Indonesia”. Bahasa, selera, dan posisi
pinggiran yang sama mempertemukan itu.

Komedie Stamboel menunjukkan bahwa bukan cuma
surat kabar (”kapitalisme cetakan”, kata Benedict Anderson),
tapi juga bisnis hiburan populer berkeliling yang membangun
pertemuan itu. Sungguh, Indonesia tak datang dari atas.

TEMPO, 6 November 2016

404 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Dusta

KITA, di negeri ini, hidup dengan politik yang
sangat ramai tapi sepele. Tak ada hal-hal mendasar
yang dipertarungkan—hal-hal yang mendasar karena
menggetarkan hati, pikiran, dan kehidupan hampir semua
orang.

Pernah, dahulu, politik bisa gemuruh mirip gempa laut:
politik adalah antagonisme yang membuat sebuah kekuasaan
yang mapan guyah dalam tubuh dan jiwanya. Kini yang
semacam itu absen. Kebenaran yang kukuh—hingga tak
hanya bergaung secara partisan, tapi juga di dalam kesadaran
kawan dan lawan—kini lapuk. Bahkan tidak bisa ada. Kini
pertarungan bergerak semata-mata karena opini, dengan opini.

Dalam situasi seperti ini saya bisa mengerti kenapa Badiou
menyebut opini secara mutlak bertentangan dengan ”ethika
kebenaran”, l’ éthique de la vérité. Badiou adalah salah satu dari
sedikit pemikir di masa ini yang mempertahankan pandangan
bahwa kebenaran bukanlah hasil bentukan sepihak; ia bersifat
universal, tak tergantung posisi, waktu, dan tempat.

Kebenaran ini muncul melintas bersama l’ événement,
kejadian yang mengguncang keadaan. Ketika pertempuran
matimatian terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya,
waktu itu tampak jelas keadilan dan kemerdekaan hendak
direnggutkan lagi dari bangsa Indonesia. Makin tampak pula
ada sesuatu yang jahat terungkap pada rezim kolonial yang
hendak memaksakan kekuasaannya kembali. ”Keadilan” dan

Catatan Pinggir 12 405

http://facebook.com/indonesiapustaka DUSTA

”kemerdekaan” hari itu tak dirumuskan, tapi keduanya tetap
kebenaran yang mengimbau, menggugah, dan menggetarkan
saat itu, juga dalam kenangan hari ini.

Ada sebuah cerita. Konon di Surabaya hari itu seorang opsir
Inggris melihat seorang pejuang Indonesia muda tertidur di
sebuah sudut, beristirahat dengan bedil di sampingnya ketika
tembak-menembak berhenti sementara. Ia mengatakan—
kalau tak salah kepada Bung Hatta yang dikawalnya—bahwa
Indonesia tak akan bisa dikalahkan dalam perang di bulan
November itu: di tubuh kecil itu ada suatu keyakinan yang
besar. Saya kira sang opsir, di pihak seberang, tanpa banyak
bicara mengakui sifat universal dari kebenaran yang mendasari
keyakinan itu.

Memang, selalu, di mana pun, ketika kebenaran
dirumuskan jadi pengetahuan dan hukum, ketika ia
dipaksakan sebagai sesuatu yang mutlak, ia tak lagi seperti
ketika ia buat pertama kalinya mencekam dan menggugah; ia
jadi pandangan sepihak, yakni yang sedang berkuasa.

Hari ini politik adalah politik pandangan-pandangan
sepihak. Ia politik tak-peduli-kebenaran. Majalah The
Economist menyebut keadaan ini, yang bercabul seperti wabah
di mana-mana, sebagai politik post-truth, ”pasca-kebenaran”.
Sebagaimana yang terjadi dalam pemilihan Presiden Amerika,
dan pilkada di Jakarta, dusta, fitnah, dan manipulasi kata dan
fakta berkecamuk. Para politikus dan aktivis tak lagi merasa
perlu mengacu pada nilai yang universal.

Berbeda dengan politik di zaman yang terdahulu. Dulu
kebohongan juga disebar dan dikomunikasikan, namun
dengan argumen yang mengacu pada kebenaran, meskipun

406 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka DUSTA

kebenaran yang lemah dan hanya lamat-lamat. Dulu diam-
diam masih ada pengharapan bahwa dusta yang diucapkan
itu, melalui waktu dan adu pendapat, akhirnya akan bisa
diterima siapa saja. Ketika para propagandis Nazi berpedoman
bahwa ”kebohongan yang terus-menerus diulang akan
jadi kebenaran”, orang-orang Hitler itu sebenarnya masih
mempedulikan kebenaran, meskipun dengan sikap kurang
ajar dan sinis.

Kini dusta dan manipulasi dilakukan tanpa peduli itu.
Faktor yang baru dalam komunikasi politik yang sarat dusta
kini adalah kecepatan. Teknologi, dengan Internet, membuat
informasi dan disinformasi bertabrakan dengan langsung,
dalam jumlah yang nyaris tak terhitung, menjangkau
pendengar dan pembaca di ruang dan waktu yang nyaris
tak terbatas. Bagaimana untuk membantah? Bagaimana
memverifikasi?

Pernah zaman ini mengharap Internet akan membawa
pencerahan. Informasi makin sulit dimonopoli. Ketertutupan
akan bocor. Dialog akan berlangsung seru. Yang salah
diperhitungkan ialah bahwa media sosial yang hiruk-pikuk
kini akhirnya hanya mempertemukan opini-opini yang saling
mendukung. Yang salah diperkirakan ialah bahwa dalam
banjir bandang informasi kini orang mudah bingung dan
dengan cemas cenderung berpegang pada yang sudah siap:
dogma, purbasangka yang menetap, dan takhayul modern,
yaitu ”teori” tentang adanya komplotan di balik semua
kejadian.

Tak ada lagi Hakim dan Juri yang memutuskan dengan
berwibawa mana yang benar dan yang tidak, mana yang fakta

Catatan Pinggir 12 407

http://facebook.com/indonesiapustaka DUSTA

dan mana yang fantasi. Media, komunitas ilmu, peradilan:
semua ikut kehilangan otoritas, semua layak diduga terlibat
dalam orkestrasi dusta yang luas kini.

Dan agama? Yang tak disadari kini: agama telah mengalami
sekularisasi, ketika Tuhan jadi alat antagonisme politik,
bukan lagi yang Mahasuci yang tak dapat dijangkau nalar dan
kepentingan sepihak.

TEMPO, 13 November 2016

408 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Trump

DONALD Trump adalah gejala penyakit kambuhan
Amerika. Penyakit ini bermula dari sederet ketimpangan.
Ada ketimpangan sosial antara yang kaya dan yang miskin,
antara yang ”sudah sangat kaya” dan ”belum kaya”. Di sini,
garis pemisah makin tegas dan tebal dalam tiga dasawarsa
terakhir. Memang diyakinkan berulang-ulang sahihnya
”impian Amerika”, impian yang jadi sejenis iman, bahwa siapa
pun di negeri itu, bila bekerja keras, bisa mencapai kehidupan
yang jaya. Tapi sebagaimana layaknya mimpi, ia dimulai dari
tidur. Dan masyarakat Amerika lama tertidur: mereka tak
melihat bahwa gerak ke atas dalam mobilitas sosial sangat
terbatas; yang miskin umumnya tetap miskin. Pada saat yang
sama, kian miskin seseorang, kian terbatas modal informasi
(terkadang disebut ”modal budaya”) untuk menang bersaing.

Maka timpang juga kesetaraan dalam kesiapan persepsi.
Di sebelah sini hidup mereka yang lebih mengenal dunia yang
rumit dan aneka warna; di sebelah sana berjubel mereka yang
tak kenal, bahkan menolak, dunia itu. Dalam kancah yang
egosentris itu, tiap yang ”asing”, dari ”luar”, un-American—
sosialisme, komunisme, Yahudi, Islam—membangkitkan
waswas. Apa yang belakangan ini disebut sebagai ”populisme”
berkecamuk dengan paranoia, rasa terancam, dan kebencian.

Populisme pun jadi suara parau yang membentuk dan
dibentuk antagonisme, terutama ketika situasi terasa menekan
dan kekuasaan yang menjaganya dianggap berkepala batu.

Catatan Pinggir 12 409

http://facebook.com/indonesiapustaka TRUMP

Kelompok-kelompok politik mulai terbentuk. Hasilnya satu
mata rantai ketidakpuasan. Mereka memandang diri sebagai
”Kami”, ”Rakyat” yang padu, menghadapi ”Yang Lain” yang
isinya mereka bayangkan berdasarkan amarah saat itu. Mereka
melihat lembaga-lembaga sosial-politik yang ada selama ini
tak membawa suara ”Rakyat”. Partai politik dan politikusnya
dikuasai ”Yang Lain”, yakni kaum elite. Media massa serta
media sosial dikendalikan orang-orang di atas. Mereka
melawan.

Beberapa bulan sebelum kemenangan, Donald Trump
dikecam para pembesar Partai Republik—partai politik yang
notabene mendukungnya dan mencalonkannya. Tapi di hari
pemilihan ia justru dengan gemuruh dipilih langsung oleh
”Rakyat”.

Pelbagai kecenderungan ”populis” yang memusuhi ”Yang
Lain” tampak bergabung di sini. ”Yang Lain” bisa berarti para
pemimpin politik di ibu kota. ”Yang Lain” bisa berarti imigran
Meksiko, Muslim, orang Hitam, kaum gay, para intelektual,
dan seniman yang membela minoritas-minoritas ini dengan
bahasa yang jauh dari ”Rakyat”. ”Yang Lain” juga bisa berarti
pendukung ”perdagangan bebas” dan ”globalisasi” yang bagi
suara populis ini hanya menguntungkan ”bukan kami”.

Tampak, populisme ini tak bisa disebut ”kanan” tak pula
bisa dicap ”kiri”. Penamaan dan label lama sudah tak bisa
berlaku.

Tapi pada saat yang sama, bayang-bayang kemarahan dan
kebencian masa lalu muncul kembali. Penyakit lama kambuh
mencari antagonisme baru. Rasisme Putih yang menampik
dan mencurigai orang Hitam, Kuning, Cokelat lahir dari

410 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka TRUMP

sedimentasi purbasangka abad lalu ketika kata ”Negro”
berarti penghinaan. Semangat feminis yang menegaskan
hak perempuan untuk mengelola fungsi keibuan kaum
wanita—termasuk dalam memilih untuk tak melahirkan—
dicurigai sebagai penyebab susutnya penduduk kulit putih dan
guncangnya nilai-nilai keluarga yang dianggap jadi benteng
Mayoritas. Demikian juga homoseksualitas dimusuhi dengan
doktrin- doktrin agama yang cemas dari abad ke abad.

Tak mengejutkan bila populisme dengan cepat bertaut
dengan konservatisme.

Donald Trump adalah pengingat bahwa proses demokrasi
memang bisa membuat perubahan, tapi perubahan tak dengan
sendirinya berarti kemajuan, tak pula berarti perbaikan.
Dengan catatan, bila pengertian ”maju” dan ”lebih baik” masih
tetap seperti yang disepakati sejak dunia modern menetapkan
diri.

Modernitas melihat sejarah ibarat arus sungai ke arah
muara kemerdekaan manusia—dan itu dianggap arah yang
lebih baik. Populisme abad ke-21 menunjukkan pandangan
yang sebaliknya: arah yang lebih baik itu omong kosong.
Kemerdekaan (yang dilihat sebagai hidup yang liar dan
centangperenang) adalah kemerosotan. Persaudaraan
antarmanusia hanya bisa secara terbatas, atau bila tidak, akan
merusak kemurnian etnis atau nilai-nilai ”Kami”. Dengan
itu populisme menggabungkan konservatisme dengan sikap
reaksioner yang meledak-ledak.

Amerika kini menampakkan diri sebagai masyarakat
yang macam itu—memandang dunia dengan kelam dan tak
punya kemampuan berharap. Yang mencemaskan bukanlah

Catatan Pinggir 12 411

http://facebook.com/indonesiapustaka TRUMP

kepemimpinan Donald Trump; ia hanya symptom. Yang
mencemaskan ialah bahwa sebuah negeri yang punya lembaga
pendidikan terbaik di dunia, ilmuwan yang teruji, karya sastra
dan seni yang tak henti-hentinya kreatif, ternyata dengan
gampang jatuh jadi katak yang meradang tapi setia di bawah
tempurung.

TEMPO, 20 November 2016

412 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Kitman

ADA sebuah dusta yang dilembagakan. Ia disebut kitman.
Di dalam sejarah Islam, terutama di Persia, laku itu—
sebenarnya sebuah muslihat, yang juga disebut taqiya—
sudah dijalankan berabad-abad. Mungkin ia tumbuh ketika
kekuasaan yang keras mengambil alih ajaran dan agama jadi
represi.

Baru pada abad ke-19 orang Eropa mengenal, dengan rasa
takjub, bahwa ada dusta yang semacam itu.

Setidaknya seorang Arthur de Gobineau. Novelis dan
penulis perjalanan ini lebih dikenal sebagai pembawa ”teori”
bahwa orang kulit putih adalah ras yang paling ulung;
pengaruh Gobineau dalam hal ini merasuk jauh ke dalam
pemikiran ideologi Nazi dan kaum rasis Amerika yang,
sampai di zaman Trump ini, menolak mereka yang berbeda.
Tapi Gobineau juga menulis buku-buku lain. Menarik bahwa
ia sebenarnya tak sepenuhnya negatif dalam memandang
bangsabangsa yang bukan ”putih”. Bukunya tentang agama-
agama di Asia Tengah (Gobineau pernah jadi diplomat Prancis
di Persia), terutama tentang Bahai, dianggap cukup akurat
dan mengandung simpati—atau setengah simpati setengah
bingung.

Islam, menurut Gobineau, cenderung bersifat toleran
dan inklusif. Dengan syahadat yang bersahaja, agama ini
mengundang tiap orang buat menerimanya. Agama ini jadi
”selimut yang nyaman” yang melindungi seluruh ”gagasan

Catatan Pinggir 12 413

http://facebook.com/indonesiapustaka KITMAN

lama dan yang bercampuran, yang mekar tiap hari di sebidang
tanah yang mengandung begitu banyak hal-ihwal yang sedang
membusuk”.

Dalam kecenderungan itu, sifat fanatik ”adalah fenomen
yang tak cocok bagi semangat orang Timur”. Tak ada
”kebencian bersama yang tegas batasannya”. Yang ada adalah
kelompok- kelompok kecil atau perseorangan, dan di sekitar
itu orang bisa keluar-masuk ”tanpa berisik dan tanpa heboh”.
Semua menganggap diri pemilik kebenaran dalam segala hal,
tapi mereka ”terlalu lemah dan terlalu sibuk mempertahankan
diri hingga tak punya waktu senggang, rencana besar,
keberanian, dan tekad yang kukuh yang melahirkan
fanatisme”.

Dalam keadaan itu, hidup dan keyakinan tak putus-
putusnya menahan diri untuk tak menonjol. Atau menghindari
konfrontasi. Atau bernegosiasi. Atau berpura-pura.

Seorang sufi, kata Gobineau dalam Les religions et les
philosophies dans l’Asie centrale, mengatakan dengan bisik-bisik
kepadanya bahwa di Persia tak ada seorang pun muslim yang
penuh, tak terdapat musulman absolu.

Ada sikap palsu yang meluas. Kitman dipakai hampir
tiap kali—sebuah praktek yang, menurut Gobineau, sudah
berlangsung sejak ajaran Zoroaster yang represif ketika jadi
agama negara. Para pendeta Zoroaster menjalankan kekuasaan
yang mencekik. Dengan paksa mereka mengusut ketulusan
iman tiap orang.

Orang Persia, yang tak betah dengan tekanan itu,
menyembunyikan penolakan mereka kepada kepercayaan
resmi. Berangsur-angsur mereka mengembangkan teknik

414 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka KITMAN

dusta yang memperdaya untuk menutupi ”cara beragama
mereka yang tersembunyi”.

Kitman, menurut Gobineau, adalah ”sejenis karnival yang
terus-menerus”, yang membuat para pelakunya tak terjangkau
serangan. Ia semacam samaran dan cara menghindar. Mereka
berbicara dengan fasih dan cerdas menggunakan argumen
dan istilah yang lazim dipakai para ulama yang berkuasa,
tapi sebenarnya mereka menentang doktrin yang dipaksakan.
Mereka ibarat mengenakan cadar yang tergantung dari atas—
meskipun di bawah tak ada yang menambatkan kain itu,
hingga jika angin bertiup, akan tampak apa yang di baliknya.

Dengan kata lain, kitman adalah gejala ketidakbebasan
bicara, cara cerdik di bawah sebuah kekuasaan theokratis yang
memasung badan dan jiwa. Kitman adalah kiat bersembunyi
ketika orang bisa dibunuh karena berbicara lain, berpikir
lain. Kitman, lama-kelamaan, mendorong orang untuk
berkompromi dengan dusta, sebab ia sendiri dusta tempat
berlindung—dan tak jarang membangun ketakjelasan dan
kebingungan.

Dalam sejarah Indonesia, teknik persembunyian itu
berkembang biak ketika Islam pertama kali menguasai
kerajaan-kerajaan Jawa di pesisir abad ke-15. Legenda Syekh
Siti Jenar dan segala variasinya, bahasa dan cerita yang dipakai
mereka yang menolak ajaran dengan diam-diam atau setengah
diam-diam, frasa-frasa yang ambigu kaum ”kebatinan” yang
menampik hukum syariat—semua itu sejenis kitman yang
subur.

Kisah Siti Jenar yang sangat absurd, tentang orang yang
dibunuh para ulama tapi tetap jadi pembangkang yang tak

Catatan Pinggir 12 415

http://facebook.com/indonesiapustaka KITMAN

bisa mati, agaknya diciptakan para pelaku kitman untuk
menyembunyikan dan memberi makna bagi ”kesesatan” yang
tak bisa takluk.

Gobineau sedikit mencemooh perilaku di dunia muslim
itu—sebab dusta yang merata semacam itu, menurut dia, tak
ada di Eropa. Ia tak melihat bahwa penindasan tak pernah bisa
sepenuhnya menang, juga di dunia Islam. Di bawah tekanan,
muslihat adalah mencipta dan mencipta adalah muslihat.
Ulama dengan ”lembing katanya” (untuk memakai kiasan
Chairil Anwar) hanya akan menusuk angin.

TEMPO, 27 November 2016

416 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Yang Ditampik

YANG ditampik, yang berdosa, yang sifilis, yang
perempuan, yang tak punya apa-apa, adalah Maria
Zaitun. Kita tak mudah melupakan tokoh dalam sajak Rendra
itu. Dalam kesakitan ia memperkenalkan diri dengan lurus:
”Maria Zaitun namaku/Pelacur yang sengsara/Kurang cantik
dan agak tua”.

Kita akan selalu teringat adegan dalam sajak ”Nyanyian
Angsa” ketika pelacur lapuk itu diusir dari bordil. Sang germo
menilai pekerja seks ini—komoditas ini—sudah tak akan
menghasilkan uang lagi. Perempuan itu pun melangkah ke
jalan, tak tahu akan ke mana:

Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak ada mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.

Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.

Catatan Pinggir 12 417

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG DITAMPIK

Maria Zaitun tak hanya sakit parah; ia sampah. Ketika ia
pergi ke dokter langganannya, ia hanya diinjeksi vitamin C.
Tuan dokter tahu pasien itu tak bisa bayar, dan ”sudah jelas”
hampir mati. Kemudian, ketika ia datang ke pastoran (”Saya
perlu Tuhan atau apa saja/ untuk menemani saya”), ia diha dapi
seorang rohaniwan yang kenyang dan tak peduli. Dengan
bau anggur di mulutnya sang pastor menyatakan tak bersedia
menerimanya.

Dan Maria Zaitun pun angkat kaki ketika bapa pastor
memutuskan bahwa pendosa yang setengah sekarat itu adalah
orang yang setengah gila. Ia perlu psikiater, ujarnya, bukan
pastor.

Sajak ”Nyanyian Angsa” memang menusuk di sini:
kalkulasi laba-rugi dalam perdagangan seks dan ketabiban
telah membuang Maria Zaitun; kini di tempat di mana kasih
Tuhan dikutip dengan takzim ia juga persona non grata. Agama
telah jadi tembok.

Andai masih hidup hari ini, Rendra mungkin akan
dihukum; ”Nyanyian Angsa” jelas ”melecehkan agama”—
meskipun­ dengan alasan yang adil. Sajak ini dengan lugas
mem­perlihatkan bagaimana agama telah jadi Orde yang
dijaga hakim-hakim, bukan lingkungan yang menemani yang
daif dan luka. Para hakim inilah yang membagi siapa yang di
dalam dan siapa yang harus di luar. Di sana vonis pastor (atau
ulama) berkuasa: ”Kamu telah tergoda dosa”. Dan keputusan
itu didukung lambang-lambang keabadian.

Ada sosok penting dalam ”Nyanyian Angsa”, meskipun tak
di pusat adegan: ”malaikat penjaga firdaus”. Dalam tiga refrain
sajak ini, makhluk surga itu kadang-kadang tampak tampan,

418 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG DITAMPIK

dingin, atau jahat. Tapi selamanya ”dengki”.
Dengki adalah sikap penuh cemburu, curiga, dan benci.

”Nyanyian Angsa” memperlihatkan bahwa firdaus—yang
sering digambarkan secara hiperbolik sebagai karunia nikmat
dan suci—adalah wilayah diskriminasi yang bengis. Malaikat,
makhluk yang murni itu, akan mengusir mereka yang najis,
yang tak murni.

Siapa? Maria Zaitun, tentu. Tapi jika memang ada ukuran
keadilan yang universal—jika ada keadilan Tuhan—si germo,
si dokter, bahkan si pastor juga berdosa; mereka keji.

Tapi dengki tak pernah adil.
Dengki menyusun tembok, dan tembok dikukuhkan
kekuasaan, dan kekuasaan jadi Sang Penampik. Dengan Kitab
yang tak dibantah, dengan suara berwibawa atau memekik,
Sang Penampik (ia bisa juga polisi, atau suara keras mayoritas)
menyusun secara sepihak ukuran yang diberlakukan kepada
siapa saja. Dengan itu seseorang atau sekelompok manusia
diterima atau diusir—sebuah ”politik pengakuan”, politics of
recognition, yang selektif. Sasarannya bukan hanya seorang
Maria Zaitun, tapi juga (tergantung di mana kebencian
diletakkan): yang hitam, yang cina, yang arab, muslim,
kristen, yahudi, syiah, ahmadiyah, liberal, komunis, LGBT....
Pendeknya ”yang-lain”.
Sekilas tampak, kezaliman Sang Penampik untuk
meniadakan ”yang-lain” itu berbeda dengan ketakpedulian
(bahkan pengisapan) si kaya terhadap si miskin. Sekilas
tampak, tak adanya keadilan dalam ”politik pengakuan”—
dengan memberlakukan diskriminasi rasial, agama, atau
gender—tak berkaitan dengan tak adanya keadilan sosial.

Catatan Pinggir 12 419

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG DITAMPIK

Tapi lihat baik-baik: dalam hidup yang mengalir, per­
bedaan yang ditetapkan Sang Penampik, yang membuat
seseorang atau sekelompok manusia dipojokkan, tak pernah
jadi klasifikasi sosial yang beku. Maria Zaitun tak cuma
pelacur yang diperas; ia juga si sifilis yang ingin ditemani
Tuhan, ”pendosa” yang dianggap layak disumpahi laki-laki.
Sang Penampik memproduksi si lemah, dan si lemah berakhir
sebagai korban—dalam pelbagai versi.

Dan pembebasan? ”Nyanyian Angsa” bercerita, akhirnya
hanya korban lain yang mampu membebaskan—dengan
menerima si najis sebagai sesama dan melepaskannya dari
eksploitasi. Setidaknya dalam imajinasi. Sang pembebas, yang
memeluknya dengan penuh cinta di saat ajal, adalah sebuah
kehadiran yang pernah difitnah, dicerca, disalibkan.

TEMPO, 4 Desember 2016

420 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka Fidel

DI kamar pribadinya di Palacio de la Revolución—sebuah
ruang besar yang tak berhias—Fidel Castro bekerja di
antara puluhan buku yang tersusun di lemari dan beberapa
raut patung.

Tampak wajah mendiang José Marti, tentu. Penyair, esais,
dan aktivis penggerak revolusi kemerdekaan Kuba di akhir
abad ke-19 ini sering disejajarkan dengan dirinya, tokoh
revolusi abad ke-20. Kini mausoleumnya di Santiago de Cuba
akan didampingi makam Castro. Marti tewas 18 Mei 1895,
dalam pertempuran melawan tentara Spanyol. Tapi bersama
sajak yang kemudian jadi lagu nasional yang termasyhur,
Guantanamera, ia menanamkan dendam pembebasan seperti
api dalam sekam.

Sajakku adalah kijang luka
yang mencari tempat berlindung di tinggi gunung
Mi verso es un ciervo herido,
que busca en el monte amparo

Ada sikap gagah dalam perumpamaan yang puitis itu—
sebuah tekad justru ketika harapan nyaris mustahil; Marti
gugur hanya sebulan setelah pertempuran dimulai. Tapi
ia bukan lambang kekalahan. Pada 1953, ketika Castro
gagal dalam pemberontakan pertama menentang rezim
Batista, dan ia dihadapkan ke depan mahkamah yang akan

Catatan Pinggir 12 421


Click to View FlipBook Version