The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by suharnowo, 2021-11-04 03:02:50

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 12 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA HURUF

sosial. Da­lam pergulatan antara bahasa privat dan bahasa
publik itu­lah puisi sering mengejutkan, kadang aneh dan
sulit—seba­gai­mana bahasa kitab suci. Tapi energi puitik tak
membuat kitab su­ci, atau buku sajak, jadi seunggun teka-teki
yang bisa dipe­cahk­ an dengan prosedur analisis.

Alif Lam Mim. Rasanya ini juga bukan teka-teki. Rasanya­
ini sentuhan yang ”sayup-sayup lembut” untuk kembali ke
dalam pengalaman religius. Rasanya tak dibutuhkan seorang
aulia buat mengungkapkan makna yang benar dari tiga huruf
ini, sebab apa yang akan diungkapkannya akhirnya toh juga
sebu­ah interpretasi.

Seorang teman mengutipkan kalimat seorang penelaah
Qur­an: al-wajh al-akhtar li al-nass. Interpretasi adalah sisi
lain teks: dua belahan dari sebuah pengalaman religius yang
tunggal. Tak ada teks yang tak diinterpretasikan. Tak ada
interpreta­si tanpa sejarah. Tak ada seorang besar atau kecil
yang menafsir dari luar ruang tertentu, waktu tertentu. Tak
ada yang tak harus disertai kerendah-hatian.

Alif Lam Mim. Ia mengingatkan, kita bukan pikiran yang
sepenuhnya mengerti.

TEMPO, 26 Juli 2015

122 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka LEBUR

Ah, Tuhan, tak bisa kita lagi bertemu
dalam doa bersama kumpulan umat
—Sitor Situmorang, ”Cathedrale de Chartres”

MUNGKIN ia menginginkan keheningan. Tapi bisakah
ia lepas ke dalam sunyi, menyingkir dari ”doa bersama
kum­pulan umat”, di dalam katedral dengan arsitektur gothis
yang mengagumkan itu, tempat jemaat, peziarah, dan turis
berd­ atangan? ”Keagungan yang tanpa nama ini, keagungan
di atas segala hal ini, rimba batu yang lebat dan tembang
yang penuh cerita besar ini...”—Orson Welles menyanjung
bangunan dari abad ke-12 itu, yang ia jadikan latar bagi film
besar ter­akhirn­ ya, F for Fake. Sang sineas hanyalah salah satu
dari jutaan pengunjung yang terpesona.

Sungguh tak mudah untuk hening. Katedral dan gereja­
adalah ekspresi agama sebagai lembaga yang membentuk orang
jadi umat. Umat adalah identitas yang tampaknya saja stab­ il,
tapi sebenarnya bisa berubah-ubah—kadang-kadang se­bagai
sebuah persaudaraan, kadang-kadang sebuah kesatuan­dalam
pas­ukan, kadang-kadang sebagai sebuah kelimun. Sewaktu-
wakt­u, kelimun, crowd, yang berkumpul tanpa bentuk yang
jelas, bisa berubah jadi gerombolan, sebuah kolektivitas yang
mel­ahirkan energi. Apa pun bentuknya, di dalamnya, nasib
bu­kanlah ”kesunyian masing-masing”, untuk memakai

Catatan Pinggir 12 123

http://facebook.com/indonesiapustaka LEBUR

kalimat Chairil Anwar. Nasib, dalam kolektivitas itu, adalah
derap se­buah parade, empasan sebaris gelombang.

Imaji yang tajam, ekstrem, dan mengejutkan tentang
perubah­an identitas umat itu kita temukan dalam sajak
terkenal Ren­dra, ”Khotbah”.

Adegan: di suatu Minggu siang yang panas, di sebuah gereja­
yang penuh. Jemaat duduk berdesak, menatap ke arah mimbar.
Seorang padri muda yang rupawan berdiri di sana, ”matanya­
manis seperti mata kelinci”, kedua tangannya ”bersih dan
halus bagai leli”. Ia feminin, ia memikat.

Tapi ia juga hadir sebagai sebuah kontras di depan orang-
orang yang berderet itu. Menghadapinya, jemaat pun berubah.
Mer­eka bukan lagi sebuah persaudaraan, melainkan lebih
seperti sebuah gerombolan. Sang padri makin tampak bukan
ba­gian dari mereka, terutama ketika suaranya terdengar
menginginkan misa itu batal, kumpulan itu mencair, tak
terjadi. ”Se­karang kita bubaran,” katanya. ”Hari ini khotbah
tak ada.”

Tapi orang-orang itu tak mau bergerak.

Mata mereka menatap bertanya-tanya.
Mulut mereka menganga
berhenti berdoa
tapi ingin benar mendengar.

Bagi orang banyak itu, doa tak lagi merupakan ekspresi
ataupun keinginan. Doa yang khusyuk bertaut dengan
hening.­ Orang-orang itu justru ”ingin benar mendengar”,
menghendaki­ bunyi. Mereka bahkan membangun bunyi:

124 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka LEBUR

”dengan se­ren­tak mereka mengesah”.
Bunyi—bukan suara. Suara adalah sesuatu yang datang

dari makhluk hidup dengan lapis-lapis kesadarannya. Bunyi
dat­ang dari zat dan benda-benda.

Tapi padri itu memahaminya lain. Orang-orang itu
mengingink­ an ”pedoman”, demikian kesimpulannya, dan itu
bera­ rti­memerlukan sebuah komunikasi antara kesadaran yang
sat­u dan kesadaran yang lain. Kesalahan mereka, menurut
padri itu, adalah tak mau mengaktifkan kesadaran mereka
sendiri. Me­reka ”sekelompok serigala yang malas dan lapar”.

Dan ia, yang melihat dirinya sebagai sang pemberi
pedoman, tak punya banyak pilihan. Ia pun menyampaikan
khotbah.

Tapi dengan demikian, ia sebenarnya menyerah. Ia
mengikuti­ hasrat orang banyak itu. Ia tak lagi sebuah
kontras nun di atas mimbar. Ia meleburkan diri ke dalam
energi dalam kolektivitas itu. Berangsur-angsur, ”pedoman”
yang diberikannya ber­ubah: dari suara menjadi suara yang
bercampur aduk dengan bunyi.

Kepada kaum lelaki yang suka senapan
yang memasang panji-panji kebenaran di mata bayonetnya
aku minta dicamkan
bahwa lu-lu-lu, la-li-lo-lu.
Angkatlah hidungmu tinggi-tinggi
agar tak kaulihat siapa yang kaupijak.
Kerna begitulah li-li-li, la-li-lo-lu.

Sajak ini, dengan suspens yang memukau, kemudian
mengisahkan bagaimana orang banyak itu menyambut dan

Catatan Pinggir 12 125

http://facebook.com/indonesiapustaka LEBUR

meni­rukan bunyi yang datang dari mulut sang padri. Suara
mereka bers­atu, sambil mengentakkan kaki ke lantai. Ra-
ra-ra. Hum-pa-pa..., ketika sang padri menyatakan bahwa
”kebijaksanaan hid­ up adalah ra-ra-ra, ra-ra-ra, hum-pa-pa...”.

Tak ada arti. Tak ada arahan. Tak ada pedoman.
Berangsur-angsur, bunyi dengan rima dan tekanan
yang beru­ lang-ulang itu memperoleh daya hipnotis, seperti
tetabuhan yang membikin pemain kuda lumping trance dan
memper­oleh energi yang tak lazim. Sajak ”Khotbah” diakhiri
dengan seb­­ uah communion yang radikal: gerombolan jemaat
itu makin­agresif. Mereka bergerak, mendesak, dan merusak
gereja. Akhirn­­ ya, mereka mencincang dan memakan tubuh
sang padri....
Fantastis. Rendra, dengan sajak ini, menghadirkan imaji-
ima­ji yang brutal dari sebuah kekuatan yang destruktif: apa
yang semula merupakan kontras akan segera lenyap. Sang padri­
yang lembut, yang ingin ”kembali ke biara, merenungkan
keinginan Ilahi”, tak ada lagi. Ia, yang semula berdiri di
mimbar un­tuk menegakkan peradaban dan kesadaran, luruh,
dan jadi bag­ ian dari orgy yang penuh nafsu, dinikmati dan
menikmati, ber­sama umat yang dengan seketika berubah jadi
puak serigala. Jadi kolektivitas yang ganas....

Ah, Tuhan. Tak bisa kita lagi bertemu
dalam doa bersama kumpulan umat.

(Di katedral tua itu, dalam keagungan yang tanpa nama
itu, seperti dalam semua ruang dan waktu di mana Tuhan
dimu­liakan, seperti dalam tiap agama, orang sebenarnya bisa

126 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka LEBUR

me­milih: ia akan membiarkan diri lenyap dalam kekhusyukan
yang tanpa-aku, atau akan meleburkan diri dalam kumpulan
yang hingar, sebuah ”kami” yang tanpa-aku.)

TEMPO, 2 Agustus 2015

Catatan Pinggir 12 127

http://facebook.com/indonesiapustaka

128 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka GURUN

DI sebuah gurun pasir, seorang gembala menyingkir
dari ke­marahan seorang nabi. Dalam kisah terkenal
Jalaluddin Rumi ini—dalam kitab Masnawi—Musa
mendengar­doa yang aneh dari mulut gembala itu: ”Oh, Tuhan,
di manakah Kau? Bolehkah aku jadi sahaya-Mu, menjahit
kasut-Mu dan men­ yisir rambut-Mu? Bolehkah aku mencuci
baju-Mu dan mem­basmi kutu-Mu dan membawakan-Mu
susu?....”

Bagi Musa, doa yang terlampau bergelora itu awal kekafiran:­
menyamakan Tuhan dengan manusia yang butuh air susu
adalah sikap yang kurang ajar.

Maka Musa berteriak: ”Sumbat mulutmu dengan kain!....
Ka­l­au tak kauhentikan tenggorokanmu memuntahkan
kata-k­ ata seperti itu, api akan datang dan membakar orang-
orang....”

Mendengar itu si gembala berhenti berdoa. ”Ah, Musa,
telah­kaubakar sukmaku dengan penyesalan....”

Ia pun merobek gamisnya dan seraya napasnya melenguh
dal­­am, ia menengok ke ujung gurun dan dengan seketika pergi.­

Di saat itu, demikian dikisahkan Rumi, Tuhan menegur­
Mus­a: ”Telah kaupisahkan hamba-Ku dari Aku. Engkau
datang­untuk merukunkan, atau untuk meretakkan? Jangan
kau mem­ isah-misahkan; hal yang Aku benci adalah perceraian.
Te­lah Kuberikan kepada tiap orang bentuk ekspresi yang
tersend­­ iri.... Aku tak bergantung pada kemurnian maupun

Catatan Pinggir 12 129

http://facebook.com/indonesiapustaka GURUN

najis, tak bergantung pada kemalasan maupun kegairahan
sembahy­ ang.”

Mendengar teguran Tuhan, Musa bergegas lari ke tengah
gur­un mengejar sang gembala. Ketika mereka bertemu lagi,
sang Nabi memberitahukan kabar gembira itu: ”Sudah datang
perk­ enan Tuhan: kau tak perlu mencari aturan atau cara untuk
sem­bahyang. Ungkapkan saja apa yang dikehendaki hatimu.”

Tapi—dan ini yang tak disangka-sangka dari dongeng
Rumi ini—sang gembala menjawab: ”Ah, Musa, aku telah
melamp­ aui itu: aku kini tenggelam, berendam, dalam air mata
tan­ gisku.”

Sang gembala tak hendak kembali ke dalam acuan
Musa. Na­bi itu tetap bertumpu pada ”perkenan”, perizinan,
sabda. Dengan kata lain: rumusan hukum. Sang gembala
lebih menyukai keakraban yang total dengan Tuhan yang
dicintainya.­Mas­nawi Rumi tampaknya menunjukkan bahwa
Musa—yang dalam Alkitab dikisahkan sebagai penerima
10 Aturan Tu­han—tak memahami sepenuhnya apa yang
dikatakan Tuhan: ”Mereka yang memperhatikan aturan
berbicara dan berperilaku adalah satu hal; mereka yang
terbakar oleh cinta [kepada Tuhan] adalah hal lain.”

Sang gembala tak mau menyerah kepada jalan yang
dianggap linear: hukum. Ia memilih tinggal di gurun. Di
tengah ben­tangan pasir dan batu karang itu, batas-batas tak
jelas. Juga tak penting. Garis lurus bisa ditarik tanpa ada barat
atau timur. Ke arah mana menghadap Tuhan? ”Di dalam
Ka’bah,” tulis Ru­mi, ”perlukah kepastian kiblat?”

Saya pernah membaca sebuah pembahasan yang
menganggap gurun dalam bagian Masnawi ini sebagai sebuah

130 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka GURUN

kiasan yang penting ketika berbicara tentang iman—yang
sering dise­derh­ anakan dan disebut sebagai ”agama”.

Beberapa ratus tahun setelah Rumi, Derrida menampilkan
lagi imaji itu. Dalam La Religion, ketika membahas
pengalaman­religius manusia, ia menyebut ”gurun di dalam
gurun”: keti­ka manusia mengalami secara total ”ketiadaan”,
ketika aku, dalam pengalaman mistis itu, seakan-akan hilang
tanpa jejak, le­bur dalam haribaan Yang Lain.

”Gurun di dalam gurun” itu, sebagaimana umumnya
agama-agama, mengandung janji, pengharapan yang
”messianik”: nun nanti di ufuk sana, di bawah kaki langit, ada
Yang Lain ke ma­na kita tabah dan tawakal akan sampai. Tapi
janji itu tak bis­a digambarkan lebih dulu. Ia mengisyaratkan
sesuatu yang tak terhingga.

Bersama itu, ”gurun di dalam gurun” itu juga khôra:
”tempat” yang bukan tempat, sesuatu yang sama sekali berbeda
dari apa pun. Dengan kata lain, dalam iman selalu terkandung
halhal yang tak bisa diringkas tapi memanggil kita untuk
terus-me­nerus mencari. Bersama itu pula kita mengenal dan
menghargai apa yang mustahil namun bernilai—misalnya
janji Keadilan yang akan datang.

Dengan demikian iman mengandung keberanian—
yang umumnya pudar ketika diringkus jadi sebuah sistem
dan ditertibkan dengan hukum-hukum yang menjaga jalan
lurus. Dal­am The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion
without­Religion, John D. Caputo menggambarkan ”agama”
dalam pe­m­ ikiran Derrida sebagai ”sebuah iman tanpa dogma
yang maj­u dengan risiko di dalam malam yang gelap pekat”.

Malam di gurun....

Catatan Pinggir 12 131

http://facebook.com/indonesiapustaka GURUN

Jauh dari padang pasir, hidup di antara pantai kepulauan
dan samudra, mungkin bagi kita lebih pas metafora lain untuk
meng­gambarkan iman yang tanpa dogma: lautan. Iman yang
tak dibatasi sistem adalah samudra yang merupakan kancah
ge­rak yang tak pernah berhenti. Arah hanya dikenal di bintang-
bintang. Ombak seakan-akan itu-itu juga, tapi sesungguhnya
se­nantiasa berbeda, berubah. Itu sebabnya lautan, yang
menampung air dari pelbagai sungai, sebenarnya tak pernah
bernama, sampai datang para penakluk dan pembuat peta.

Iman memang kemudian diberi label (”Islam”, ”Kristen”,
”Ya­hudi”, ”Hindu”, dan sejenisnya). Ia diletakkan dalam
sebua­ h peta. Tapi ibarat lautan, ia tetap mengandung risiko.
”Unggahlah muatan dan berangkatlah berlayar,” tulis Rumi.
”Tak seo­ rang pun bisa tahu pasti akankah kapal tenggelam
atau sam­pai ke pelabuhan.”

Dalam ketakpastian itulah keyakinan, atau iman,
menyatakan diri. Itu berarti ia lebih kuat ketimbang konsep
dan ajaran. ”Be­rapa banyak lagi kalimat, konsep, dan kiasan?
Aku ingink­ an­api yang membakar, membakar, membakar”—
Masnawi 2: 1760.

TEMPO, 9 Agustus 2015

132 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka PESIMISME

1949: tak lama setelah Indonesia bangkit dengan euforia
kemerdekaan, Chairil Anwar menuliskan baris ini dalam
sal­ah satu sajaknya: ”Hidup hanya menunda kekalahan.”

Sebuah kontras. Mungkin antiklimaks.
Saya yakin kalimat itu hanya gumam Chairil dalam saat
yang murung; sajak ini ditulis beberapa bulan sebelum ia
meninggal pada umur 27 tahun. Tapi ada yang melihatnya
seba­gai bagian dari perasaan dan perspektif sebuah generasi
di Indonesia—perasaan yang dianggap tak pada tempatnya di
kanc­ ah sebuah bangsa yang baru tampil ke depan setelah lepas
dari penj­ajahan.
Maka S. Takdir Alisjahbana mengecam kemuraman karya-
karya Chairil, ”ketakutannya akan dunia sekitarnya yang tak
di­kuasainya”. Bagi Takdir, sajak-sajak seperti yang digubah
Chai­ril memperlihatkan tendensi buruk para penulis Indonesia­
yang ”telah mengambil krisis Barat dan pesimisme Barat”. Bagi
Takdir, Chairil dan angkatannya cuma gema yang ganjil dari
sua­sana Eropa yang kehilangan harapan.
Di Eropa pesimisme memang berkecamuk di antara dua
pe­rang besar yang melibatkan banyak negara, 1914-1918 dan
1939-1945. Orang, terutama kaum terpelajar dan seniman,
me­nurut Takdir, merasa ”tiada berkuasa sedikit jua terhadap
pemb­ antaian manusia yang besar-besaran”. Akhirnya dalam
kar­ya-karya mereka (di sini Takdir mengutip André Malraux)
tak ada lagi kepercayaan kepada manusia.

Catatan Pinggir 12 133

http://facebook.com/indonesiapustaka PESIMISME

Tak adanya lagi kepercayaan kepada manusia adalah
sebuah pesimisme yang gawat. Takdir tentu tak melihat gejala
itu telah terjadi di Indonesia pasca-1945. Ia sejak dulu yakin
akan gerak ma­ju masyarakat dari zaman ”jahiliah” Indonesia
ke masa depan yang gemilang, Tapi di awal 1950-an, ia sendiri
tampaknya tak bisa mengelak dari situasi yang dibayangi krisis.

Sejak 1951 ia berbicara tentang impasse dalam kreativitas
ma­n­ usia Indonesia. Sebuah simposium yang diorganisasinya
mengambil pokok ”Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan
Seka­r­ang”. Di sana dinyatakan bahwa kebudayaan di Indonesia
ada ”di jalan buntu”.

Kebuntuan atau impasse atau ”krisis” dengan segera jadi
per­cakapan intelektual yang dominan di Indonesia pada 1950-
an.­Di nomor pertama jurnal Konfrontasi, 1954, Soedjatmoko
mens­inyalir adanya krisis yang ”telah meresap ke dalam
masyarakat kita di dalam segala pernyataan dan tindakan jiwa
ma­nusia”.

Kata-kata Soedjatmoko dramatis—dan agaknya tak
meyakinkan. Beberapa sanggahan pun dikemukakan, atau
bila kata ”krisis” menjalar ke tempat lain, ia jadi sesuatu
yang berkait dengan yang jenaka: pada 1953 Usmar Ismail
membuat film Krisis yang segera disambung dengan Lagi-lagi
Krisis. Dalam film yang kedua ini kita lihat Husin bin Said
yang pasang papan nama sebagai dukun dan Pedro bintang
sandiwara lama yang su­dah tak laku. Akhir cerita: sebuah
kegagalan usaha mempro­duksi film....

Tak adakah harapan yang serius? Begitu gampangkah
pesimisme dan begitu cepatkah sinisme?

Pada 1860, Ranggawarsita menulis karyanya yang terkenal,­

134 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka PESIMISME

Ser­at Kalatida: 12 bait puisi-tembang yang paling muram
dalam sastra Jawa. Ia berbicara tentang ”zaman edan” yang
dialamin­ ya: merasa tersingkir, ia lihat keadaan politik yang
kacau,­rurah pangrèhing ukara, dan orang di sekitarnya yang
ha­nya­berebut harta dan kedudukan.

Tapi seperti ketika Takdir berbicara tentang impasse dan
Soed­ jatmoko tentang ”krisis”, dalam pesimisme Ranggawarsita
ada optimisme yang terselip: keadaan yang buruk itu bisa
diatasi. Dalam konsep Takdir, impasse adalah jalan buntu pada
za­man ”peralihan”: akan ada perubahan. Dalam pemikiran
Soed­ jatmoko, ”krisis” bisa diatasi dengan ”konfrontasi”,
sebuah perlawanan aktif. Dalam Kalatida: keadaan buruk
dihadapi de­ngan mengundurkan diri ke dalam sepi, muhung
mahas ing asepi, mematikan hasrat ibarat ”mati dalam hidup”.

Tentu ada yang membedakan Ranggawarsita dengan para
cen­dekiawan Indonesia abad ke-20: ada sisa samar-samar
kesadar­an lama tentang waktu. Dalam pandangan Takdir
dan Soe­djatmoko, seperti laiknya orang-orang modern, waktu
adalah­sesuatu yang linear, ibarat garis yang titik ujungnya tak
akan berulang. Dalam Kalatida—meskipun digubah setelah
di Jawa orang mengenal jam—masih ada jejak konsep waktu
seb­ agai siklus: waktu adalah sejumlah kala dengan ciri-ciri
ke­adaa­ n tertentu, yang pernah terjadi dan akan terjadi lagi.
Dengan kata lain, waktu bergerak bersama cakra manggilingan:
nas­ib ibarat roda pedati, sesekali di atas, sesekali di lantai.

Pada akhirnya, memang tak ada yang mengatakan, ”Hidup­
ha­nya menunda kekalahan.” Kita belum bisa mengatakan,
”Tak ada lagi kepercayaan kepada manusia.” Sajak Chairil
yang san­ gat muram itu pun masih memperlihatkan tenaga

Catatan Pinggir 12 135

http://facebook.com/indonesiapustaka PESIMISME

”menunda” justru di tengah waktu yang berubah. Ia masih
hendak men­ gat­akan sesuatu, ”Sebelum pada akhirnya kita
menyerah.” Se­perti satu baris dalam The Unnamable Samuel
Beckett: ”...in the silence you don’t know, you must go on, I can’t go
on, I’ ll go on.”

Belum antiklimaks.

TEMPO, 16 Agustus 2015

136 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka 1945

”...dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
—Bagian dari teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
17 Agustus 1945

REVOLUSI tak pernah ”seksama”. Tak ada revolusi
yang di­kerjakan dengan teliti, sistematis, terjaga dari
kemeleset­an. Revolusi justru memelesetkan. Ia tak hendak
mengikuti­ apa yang sudah digariskan kekuasaan yang
mendahuluinya.

Itu sebabnya 17 Agustus 1945 sebuah momen revolusi: di
pag­ i itu dinyatakan lahirnya sebuah negeri baru. Penguasa­
Hindia Belanda, yang rapi dan represif, telah runtuh, juga
rezim­ militer Jepang, yang kokoh dan bengis, telah kalah.
Mere­ka tak ada lagi. Hubungan-hubungan kekuasaan di
Indonesia beru­ bah secara radikal.

Pelbagai tatanan terguncang, juga acuan tentang waktu dan
kesabaran. Semua hendak dikerjakan ”dalam tempo yang se­
singk­ at-singkatnya”. Chaos menyusul sebelum dan sesudahnya.­

Dua bulan setelah 17 Agustus 1945, di tiga kota Pantai
Utara Jawa kaum pemuda militan kelas bawah meledakkan
dendamn­ ya kepada para pamong praja yang di masa penjajahan
dianggap membantu Belanda dan Jepang. Para priayi dibunuh
atau dianiaya. Raden Ayu Kardinah, adik Kartini yang
menikah dengan Bupati Tegal, diarak keliling kota dengan

Catatan Pinggir 12 137

http://facebook.com/indonesiapustaka 1945

diberi pa­kaian kain goni.
Hampir setahun kemudian, kekerasan merebak di Sumatera

Utara dan Timur, ketika rakyat yang selama itu dipinggirkan­
menumpas kekuasaan para bangsawan Kesultanan Melayu.­
Dari Langkat sampai dengan Simalungun, sejumlah aristokrat,
termasuk penyair Amir Hamzah, disembelih.

”Pemindahan kekuasaan” yang dijanjikan teks Proklamasi
tak benar telah disiapkan ”dengan cara seksama”. Selama
tahun 1940-an itu, Indonesia terguncang-guncang. Pada
1948, Surakarta menyaksikan gerakan pelbagai kelompok
politik, ber­senjata atau tidak, kian eksplosif. Culik-menculik
terjadi. Pas­ukan pemerintah dilucuti pasukan pro-PKI.
Setelah Musso, yang datang ke Tanah Air dari Uni Soviet,
memaklumkan­berdirinya republik ”soviet” di Madiun, Divisi
Siliwangi datang. Dalam rangkaian kejadian itu, pertumpahan
darah yang men­ gerikan berlangsung....

Kekerasan, chaos, jatuhnya ribuan korban, semua atas nama
”rev­ olusi”, tidak hanya terjadi di Indonesia. ”Revolusi bukan
jamuan makan malam,” kata Mao Zedong dari sejarah RRT. Ia
ber­bicara dari pengalaman Tiongkok yang keras, tapi agaknya
ju­ga berdasarkan catatan sejarah.

Bahkan juga sejarah Revolusi Amerika. Revolusi ini
umum­nya dibayangkan sebagai peristiwa besar yang berpusat
pada se­lembar deklarasi yang ditandatangani. Tanpa darah.
Tak ada gedung penjara besar yang dihancurkan (seperti
Revolusi Prancis), tak ada peluru meriam ditembakkan dari
kapal sebag­ ai aba-aba penyerbuan pasukan pemberontak
(seperti Revolusi­Rus­ia). Dari jauh tampak bahwa yang terjadi,
seperti dalam Rev­ olusi Indonesia, hanya satu teks yang ditulis,

138 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka 1945

diumumkan, diterima.
Jika dilihat lebih dekat: kekacauan.
Republik federal baru yang dibentuk dari pelbagai state itu

(dalam bahasa Indonesia disebut ”negara bagian”) tak segera
bers­atu-padu. Kongres tak mampu menghimpun pajak yang
mem­ adai dari mereka, sementara dana diperlukan buat biaya­
pe­merintahan. Konflik antara pendatang dan penghuni
wilayah baru meletus di sana-sini. Perselisihan agama di antara
gereja Kristen yang berbeda-beda berkecamuk. Perbudakan
tak beru­ bah, hak pilih perempuan dibatasi.

Mengamati itu semua, di awal 1800-an Thomas Jefferson,
sal­ah satu bapak pendiri republik baru itu, yakin bahwa
Amerika berjalan mundur, bukan maju. Bahkan seorang
penanda­ tan­ gan Deklarasi Kemerdekaan, Benjamin Rush,
menulis pada 1812: ”Eksperimen revolusi Amerika... pasti
akan gagal.” Ia pun­membakar semua catatannya yang semula
ia siapkan untuk disusun sebagai memoar. Beberapa puluh
tahun setelah itu, Amerika Serikat berdarah-darah oleh Perang
Saudara.

Sebenarnya, kekecewaan selalu membayang dalam proses
re­volusi mana pun. Revolusi adalah anak waktu. Semangatnya
di­lecut waktu, dan gagasannya dibimbing waktu sebagai garis
lu­rus dengan optimisme ”idea of progress”. Tapi waktu juga
yang kelak akan memudarkannya.

Mungkin, secara instingtif, itulah yang disadari
para perumus­ Proklamasi 17 Agustus 1945. Mereka
mengharapkan—ka­laupun bukan menjanjikan—cara yang
”seksama” dan sekaligus proses kerja ”dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya”. Akan aneh seandainya mereka tak tahu

Catatan Pinggir 12 139

http://facebook.com/indonesiapustaka 1945

ada kontradiksi dalam kedua bagian kalimat itu.
Kontradiksi itulah kemudian terbukti yang menyebabkan

rev­ olusi Indonesia (sebagaimana revolusi Amerika dan lain-
lain) tak jelas rumusan hasilnya.

Tapi tak berarti revolusi tak punya arti. Revolusi tak
akan jera bangkit. Revolusi adalah teriak dan tindakan yang
menolak­ keadaan hari ini, sekaligus teriak dan tindakan
berangkat ke perjalanan lepas—seperti satu sajak Rivai Apin
pada 1940-an itu.

Sang penyair mengutuk kebekuan sekitarnya:

Apa di sini
Batu semua!

Yang ia inginkan adalah ”taufan gila” dan ”ombak tinggi”
yang ”perkasa” yang mengguncang hingga ”kayu kapal
berderak-­d­ e­rak”. Jika kita rasakan semacam kegetiran di sana,
mung­kin itulah yang disebut Nietzsche sebagai ”pesimisme
Dio­ ­nysian”: muram tapi berani menemui ”yang menakutkan
dan penuh tanda tanya”.

Tak ada tujuan yang mengikat. Tujuan macam itu berarti
kem­ andekan baru: sesuatu yang dipatok sebelum sauh
diangkat.­Bagaimanapun yang dihadapi adalah masa depan
yang sec­ ara radikal terbuka—masa depan yang tak kita kuasai
dan menguasai kita, masa depan yang juga menyiapkan kita
untuk kecewa.

Jangan-jangan itulah perspektif terbaik abad ke-21: abad
yang kian cepat berubah, tujuh puluh tahun setelah 1945.

TEMPO, 23 Agustus 2015

140 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka WALLACE

ILMU dimulai dengan sifat seorang anak yang takjub.
Dalam salah satu catatannya, Alfred Russel Wallace—
orang Inggris yang bersama Charles Darwin menemukan
”teori evolusi”—menyatakan betapa ia, bak seorang anak,
terkesim­ a­melihat kumbang. Kumbang adalah ”keajaiban di
tiap lad­ ang”. Siapa yang tak mengenalnya ”melewatkan sumber
kesen­ anga­ n dan keasyikan yang tak pernah pudar”.

Kesenangan dan keasyikan itulah yang membuat Wallace
ber­tahun-tahun mengamati makhluk hidup dari pelbagai
jenis­dan habitat, meskipun ia bukan ilmuwan dalam arti yang
lazim.­Karena orang tuanya jatuh miskin, pada umur 14 tahun
ia harus putus sekolah. Kemudian ia pindah ke wilayah Wales
membantu kakaknya yang punya usaha survei pertanahan.

Di pedalaman itulah ia terpikat pada kehidupan tumbuh-
tum­buhan. Ia mulai menelaah pelbagai tanaman dengan
penuh antusiasme. ”Siapa yang pernah melakukan sesuatu
yang ba­ik dan besar kalau bukan orang yang antusias?” ia
pernah ber­kata.

Pada usia 25 tahun ia berangkat ke rimba Brasil, di sekitar
Su­ngai Amazon dan Rio Negro—menjelajah lebih jauh.

”Di sini, tak seorang pun, selama ia punya perasaan kepada
yang tak tepermanai dan yang sublim, akan kecewa,” tulisnya
da­ri belantara tropis itu. Ia seakan-akan tak bisa berhenti
menyeb­ ut pepohonan besar yang rimbun, akar dan serat yang
terg­ ant­ung-gantung, burung langka dan reptil yang cantik.

Catatan Pinggir 12 141

http://facebook.com/indonesiapustaka WALLACE

Keajaiban, kata orang, tak ada lagi di dunia modern. Tapi
pes­ona? Bagi Wallace, pesona itu bukan tentang sesuatu yang
ma­gis. Ketika kemudian ia menemukan seekor kupu-kupu di
Pul­au Bacan, Indonesia, ia terpukau menatap sayapnya: ”...
jantungku berdebar hebat, darah naik ke kepalaku, dan aku
merasa seperti akan pingsan.”

Ia seperti seorang sufi yang menemukan tanda-tanda
Tuhan, atau penyair yang tergerak melahirkan sajak.

Tak mengherankan bila sejumlah seniman merespons
dengan ketakjuban baru pelbagai spesimen Wallace dalam
”Pam­ er­an 125.660 Spesimen Sejarah Alam” di Galeri Salihara
(15 Agustus-15 September)—sebuah pameran yang menarik:
pers­ent­uhan seni dan ilmu.

Tapi berbeda dengan bagi perupa, dan bagi sufi, bagi Wallace,
seperti patutnya sikap ilmuwan, ketakjuban menghadirkan
alam sebagai ”problem”; bukan sebagai kasih Tuhan, bukan
misteri. Problem adalah sesuatu yang dilemparkan di depan
kita untuk dipecahkan. Wallace beranjak dari pesona ke dalam
tanya.

Mengapa hewan di Papua dan di Kalimantan berbeda,
meski­pun kedua wilayah itu beriklim sama dengan geografi
yang mir­ip? Mengapa ada persamaan dunia hewan di Australia
dan Pa­pua, meskipun alam yang satu gurun dan yang lain
hutan tro­pis? Bukan karena keajaiban langit.

Adakah spesies X satu varietas dengan Y? Apa beda antara­
”spesies” dan ”varietas?” Adakah ”varietas yang permanen”?
Buk­ ankah ”varietas yang permanen” sebuah konsep yang
mustahil? Bukankah dalam alam perbatasan kabur dan dalam
evol­us­i, perbedaan hanya aksidental?

142 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka WALLACE

Januari 1858, di ulang tahunnya yang ke-35, dalam
penjelajaha­ nnya Wallace sampai di Ternate; ia tinggal di
sebuah rum­ ah rusak yang disediakan seorang Belanda
penguasa pulau. Ia datang untuk menemukan jawab. Suatu
hari, dalam keadaan dem­ am, ia terus merenungkan problem
ini: teori evolusi yang dir­umuskannya mengatakan spesies
berubah, tapi bagaimana dan mengapa mereka berubah jadi
spesies baru dengan kekhususan yang jelas? Mengapa mereka
bisa beradaptasi penuh dengan modus hidup yang berbeda?

Dalam dua jam yang meriang, Wallace merumuskan
jawaba­ nnya. Dua malam berikutnya ia tuliskan lengkap teori
”seleksi alami” dengan survival of the fittest yang termasyhur
itu. Ia te­lah menjelaskan mekanisme perubahan spesies dalam
proses evol­usi.

Itu juga yang ditemukan Darwin, setelah hampir 20
tahun se­belumnya menyiapkannya—meskipun tak pernah
mempublik­ asikannya. Satu kebetulan yang bersejarah terjadi.
Pada 1 Juli 1858, di pertemuan para ilmuwan London,
penemuan Darw­ in dan Wallace dibacakan. Darwin sendiri
tak bisa hadir kar­ena berkabung atas kematian anaknya.
Wallace berada nun jau­ h di timur.

Beberapa penulis kemudian mengatakan Darwin hanya
menga­ mbil alih buah pikiran Wallace. Dalam The Heretic
in Darw­ in’s Court yang ditulis Ross A. Slotten tentang
riwayat ilmuwan otodidak yang hampir mati di Ternate itu,
disebutkan Dar­win memang cemas ketika ia membaca surat
Wallace yang mem­ aparkan teorinya—cemas kalau orisinalitas
teorinya diragu­kan. Tapi Wallace tak berkata begitu. Baginya,
pengarang The Origin of Species itu penemu sejati teori evolusi.

Catatan Pinggir 12 143

http://facebook.com/indonesiapustaka WALLACE

Tampaknya, bagi Wallace, yang terpenting bukan
keunggul­an diri. Teorinya belum tentu jawab terakhir. Ia
bahkan me­nelaah apa yang oleh para ilmuwan dalam zaman
positivism­ e itu dianggap ”takhayul”: pertemuan manusia
dengan du­nia­ roh. Wallace, yang menolak jawaban agama
yang mengaku pa­ling benar tentang hidup, juga menolak ilmu
yang ogah bertanya tentang mati. Keberaniannya adalah ingin
tahu.

TEMPO, 30 Agustus 2015

144 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka MIGRAN

POLISI menemukan sebuah truk yang ditinggalkan
orang di sebuah desa Austria yang sepi, di tepi jalan raya
antara­Wina dan Budapest. Bau basing menyeruak. Dengan
segera di­ketahui: ada 50 mayat yang membusuk di dalam
truk itu. Bangk­ ai para migran. Diduga orang-orang ini mati
karena ter­se­kat, kehabisan oksigen, dalam bak tempat mereka
bersembunyi atau disembunyikan, ketakutan dan berharap
untuk bisa me­nembus wilayah Austria.

Nahas telah jadi rutin dalam kehidupan manusia yang
tak lag­ i bertanah air ini—mereka yang berjalan jauh
untuk meng­ubah nasib. Hanya beberapa hari sebelum truk
ditemukan di des­a Parndorf itu, di Laut Tengah 40 orang tewas
bertimbun-timb­ un di dalam kapal yang lima jam sebelumnya
meninggalkan pantai Libya menuju Italia. Asap dari ruang
mesin mene­ro­bos ke paru mereka di ruang yang berjejal-jejal
dan kepanasa­ n itu.

Nasib buruk dan impian indah adalah bagian yang lazim
dal­am sejarah—itu juga yang menyebabkan migrasi dan
pengungs­ian terjadi. Dari zaman ke zaman.

Tapi kini kita hidup dengan tiga paradoks. Pertama, inilah­
masa ketika teknologi mendekatkan manusia dari pelbagai
temp­ at yang berbeda, tapi di pihak lain makin sulit manusia
berp­ indah tempat. Tahun 2015 mencatat 300 ribu orang
mening­galkan negerinya dan bergerak untuk berpindah ke
Eropa—dan ceritanya hanya tragedi. Ada yang tewas, ada yang

Catatan Pinggir 12 145

http://facebook.com/indonesiapustaka MIGRAN

di­tangk­ ap dan dikurung dalam karantina-karantina, ada yang
ber­diri setengah putus asa di pagar perbatasan yang dibangun
baru.

Kita tahu mengapa mereka pindah. Tapi agaknya inilah
paradoks kedua: di zaman yang katanya dibentuk ”globalisasi”
ini kita makin sukar untuk ”imagine, there is no country...”.
Memb­ a­yangkan tak ada lagi gerbang imigrasi, tak ada lagi
visa, tak ada penjaga perbatasan? Kini di banyak sudut Eropa
petugas­imigrasi bersenjata tampak siap, dengan paranoia yang
beberapa tahun lalu tak tampak.

Paradoks ketiga ada pada kenyataan bahwa manusia,
terutama yang miskin, tak bisa melintasi paranoia itu, ketika
kapital­ism­ e bergerak dalam sekejap mata menyeberangi
wilayah. Gun­cangan ekonomi RRC menggugurkan pasar
saham di ham­pir seluruh dunia persis ketika ribuan imigran
yang melar­at dihadang di Calais dan di Masedonia. Saya tak
bisa benar-be­nar ”imagine, there is no country”.

Tapi apa pula arti country? ”Negeri”? Atau ”negara”?
Seorang Indonesia, dengan bahasa yang tumbuh dalam
sejarah, agaknya segera tahu bahwa ”negeri” tak harus
disatukan perb­ atasan nasional.
Sejarawan Anthony Reid, seorang penelaah yang tekun
tentang masa lalu politik Indonesia, menulis sebuah buku yang
la­yak dibaca: Imperial Alchemy (2010). Ia memperkenalkan
isti­l­ah ”ethnie”, yang pengertiannya tak sama dengan ”nation”
dan tak sama pula dengan ”race”. ”Ethnie” adalah sekelompok
ma­nusia yang punya perasaan atau kesadaran yang kuat bahwa­
mereka punya persamaan—a strong sense of being similar. Di
antara mereka mudah dibangun solidaritas karena mereka­

146 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka MIGRAN

merasa punya nama kolektif yang sama, mithos tentang
nenek­moyang yang sama, beberapa bagian sejarah dan tradisi­
yang sama, di sana-sini juga bahasa dan agama yang sama.
Tak kurang dari itu, ada keterkaitan mereka dengan sebuah
wilayah, di masa lampau atau sekarang.

Hal penting yang dikemukakan di sini: wilayah itu (marilah
kit­a sebut sebuah ”negeri”) tampak satu terutama karena situs
dan pusat yang sama-sama dianggap sakral, atau dihormati
dan ditakuti, bukan karena perbatasan nasional yang tegas.

”Negara” dengan perbatasan nasionalnya datang kemudian.­
Kita tahu ”negara [nasional]” lahir dengan berapi-api
menentang­imperialisme. Tapi dalam menentukan perbatasan
sebe­nar­nya ia bersenyawa dengan ketentuan imperialisme.
Memang, para penghuni wilayah yang kemudian disebut
”negara” itu tak dengan sendirinya merasa pas dengan
konstruksi baru itu. Tapi ”negara” punya manfaatnya sendiri:
pengelola kesejahteraan dan penjaga keamanan. Setidaknya,
para penghuni pun­ ya tempat untuk menuntut untuk itu.

Reid terutama berbicara tentang Asia Tenggara. Tapi
hari-ha­ri ini agaknya kita bisa memakai analisisnya untuk
wilayah lai­n. Ketika ”negara” tak tampak lagi bermanfaat,
Sultan, seorang imigran Sudan yang dengan susah payah
mencoba mema­suki Inggris, bertanya siapa yang menentukan
perbatasan, selain aksiden sejarah.

Pertanyaan itu juga penting bagi mereka yang merasa
berada dal­am satuan ”ethnie” yang dipertautkan agama atau
kenang­an kolektif. Ketika mereka hendak membangun satu
”negara”, mer­eka juga sebenarnya hendak menggariskan
perbatasan—sesuatu yang tak kekal, tapi hari-hari ini terbukti

Catatan Pinggir 12 147

http://facebook.com/indonesiapustaka MIGRAN

mendatangkan penolakan, paranoia, dan kematian.

TEMPO, 6 September 2015

148 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka FOTO ITU

...and the grave
Proves the child ephemeral...
—W.H. Auden

FOTO itu—foto yang mengharubirukan perasaan itu,
foto yang tak ingin kita lihat itu, foto yang ditakutkan
akan mem­bawa mimpi buruk bagi orang-orang lembut hati
di se­luruh dunia itu—dengan segera jadi penanda kecemasan
kita ha­ri ini. Mayat seorang bocah berumur tiga tahun
tertelungkup­ di garis pantai. Jidatnya yang rapuh dan kecil
tercelup ke ujung om­bak yang menghanyutkan tubuhnya
kembali ke wilayah Tur­ki. Warna biru celana pendeknya dan
merah kausnya se­akan-­akan memanggil-manggil ke seantero
Semenanjung Bodrum.

Kemudian diketahui ia bernama Aylan. Dari Suriah.
Bersama kakaknya, Galip, yang berumur lima tahun, dan
ibunya, Reh­ an, ia tenggelam ketika perahu yang membawa
mereka terbalik. Mereka menuju Pulau Kos, di wilayah
Yunani, empat kilometer saja jaraknya dari sana, tapi tak
sampai. Hanya si ayah, Ab­dullah, yang lepas dari bencana. Ada
12 orang pengungsi dal­am dua kapal yang penuh, dan delapan
di antaranya anak-anak.

Tak mudah kita untuk bertanya, apalagi menjawab, apa
yang akan terjadi berikutnya pada bapak yang malang itu.

Catatan Pinggir 12 149

http://facebook.com/indonesiapustaka FOTO ITU

”Mas­a depan saya hilang,” hanya itu yang dikatakannya
setelah me­makamkan jasad anak-anak dan istrinya. Ia kembali
ke Suriah.

Hari buruk itu 2 September 2015, menjelang musim
gugur­Yunani. Abdullah pernah menginginkan masa depan
dan musim Kanada yang tenang: ia meninggalkan tanah
kelahirannya yang dihancurkan perang yang kejam antara
”IS”, ad-Dawlah al-Islâmiyah, dan tentara pemerintah dan
pasukan pemberontak dan pasukan Kurdi dan entah apa lagi.
Tapi Kanada, dengan birokrasi yang dingin hati, menolak
Abdullah dan anak-is­trinya masuk.

Mereka pun mencoba mencari negeri lain, lewat sebuah
ujung Turki, mencoba menyeberangi Laut Aegia, mencapai­
pulau tempat kelahiran Hipokrates, bapak kedokteran, di
wi­layah Yunani itu. Mereka seperti ribuan pengungsi yang
kini men­ abrak pagar Republik Hungaria, menerobos tepi-
tepi Eropa—barisan harapan yang berubah jadi barisan
perkabungan yang panjang. Perkabungan atas robohnya
ribuan rumah asal dan runtuhnya bumi kelahiran.
Perkabungan untuk orang-orang­yang terusir, Timur Tengah
yang remuk-redam, Afrika­yang dihantam kebengisan, negeri
yang dirobek sengitnya perlawanan terhadap kekuasaan yang
zalim, dicincang mata-gelap fanatisme agama, dijahanami
kerakusan memperoleh wilayah, minyak bumi, dan posisi,
disulut dendam yang tersimpan bertahun-tahun.

Kita, jauh dari sana sekalipun, mau tak mau ikut dalam
barisa­ n itu. Bukan cuma untuk Aylan. Kita juga murung
untuk Ab­dullah yang berkata, ”Masa depan saya hilang.”
Sebab apa ger­angan yang akan tiba nanti dengan harapan-

150 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka FOTO ITU

harapan manusia yang patah—setelah dunia menghela napas
lega karena pe­rang nuklir tak jadi meletus 25 tahun yang lalu,
tapi ternyata hid­ up tak lebih jauh dari putus asa?

Foto itu, foto di pasir basah itu. Aylan.
”Tiap anak lahir dengan pesan bahwa Tuhan belum hilang
har­apan kepada manusia,” konon Rabindranath Tagore pernah
berkata. Penyair besar Bengali ini selalu punya frasa-frasa yang
canggih dan cerah, yang manis—dan agak memabukkan. Tapi
mungkin karena ia belum menyaksikan Aylan kecil­tergeletak
dengan muka tersungkur. Aylan yang datang dengan pesan
yang baik tapi tiba-tiba tenggelam.
Di pantai semenanjung itu, adakah Tuhan masih belum
hilang harapan dan semangat kepada manusia? Sebaliknya
masih belum hilangkah semangat manusia di hadapan Tuhan,
set­e­lah anak-anak dengan cepat dan mudah jadi korban
kekuatan-kekuatan besar yang brutal—di dunia yang tak
mereka pil­ih,­ tak mereka pahami, seperti mereka juga tak
memilih dan mem­ ahami pesan Tuhan—jika pun itu ada?
Barangkali pesan itu, kalaupun ada, memang keras,
muram.­ Tapi sejarah selalu menunjukkan bahwa pada saat
yang sama yang keras dan muram itu juga mengundang
sebuah komitmen: yang lahir akan bisa segera hilang, yang tak
bersalah ataupun yang berdosa tak akan bertahan, tapi yang
hidup layak dipertahankan.
Hanya mereka yang pernah berada dalam barisan harapan
dan perkabungan yang bisa mengalami kontradiksi itu dengan
teg­ uh dan diam: keteguhan yang berbisik seperti doa.
Saya kira itulah yang ada dalam baris-baris ”Lullaby”, Nina-
Bob­ ok, yang ditulis Auden dalam tahun-tahun yang terancam

Catatan Pinggir 12 151

http://facebook.com/indonesiapustaka FOTO ITU

per­ang dan kematian, 1930-1940-an. Ia tak bisa membawakan
opt­imisme Tagore. Tapi ia juga jauh dari kegetiran kepada
hidup,­meskipun di dunia yang cedera.

Barangkali kita bisa membaca ”Lullaby” dan teringat Aylan
yang tersenyum dalam foto bersama Galip sebelum ayah-
ibunya­berangkat mengungsi:

... kubur
mengingatkan betapa sementara
anak itu. Tapi di pelukanku
sampai fajar datang
biarlah makhluk yang hidup, telentang
fana, berdosa, tapi
indah, sepenuhnya.

TEMPO, 13 September 2015

152 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka METROPOLIS

ADA sebuah kota fantasi yang terbelah. Tapi barangkali
tak istimewa. Tiap kota besar selalu terbelah.
Di satu lapis, ruang hidup dibentuk penduduk yang kaya
ray­ a; di lapis lain, orang-orang yang miskin dan terpojok. Di
sat­u sisi, ada bagian yang selalu ingin diperlihatkan, sebagai
scene; di sisi lain, bagian yang hendak disembunyikan, obscene.

Metropolis, karya Fritz Lang yang termasyhur, menampilkan­
keterbelahan itu dengan gamblang—meskipun kota dalam
film ini cuma sebuah fantasi tentang masa depan. Diproduksi
pada 1927, film bisu ini bercerita tentang sebuah kota raya
nun pa­da tahun 2026, yang berdiri dengan bangunan dan
infrastruk­tur yang di mana pun di dunia waktu itu belum
pernah ada.

Tapi pesan moralnya amat tua.
Di balik gedung-gedung megah yang menjulang ke langit
dan jalan-jalan raya yang terbentang jauh di atas tanah,
kekuasa­an berada di tangan keras satu orang: Joh Fredersen.
Ia bukan tokoh politik. Ia pemilik modal. Ia tampak sendirian,
tanpa saingan, tanpa bergandengan tangan (atau berhadapan)
dengan kekuasaan lain. Bahkan di layar putih itu, kita
mendapatkan kesan sebuah kota besar yang amat lengang. Tak
ada manusia berkerumun. Tak ada Negara. Fredersen Dewa
Modal Yang Maha-Tunggal.
Tapi sejak film ini bermula kita tahu, ada yang mengerikan
dan menyedihkan di balik itu: ribuan pekerja yang tak

Catatan Pinggir 12 153

http://facebook.com/indonesiapustaka METROPOLIS

berwajah tampak menggerakkan seantero metropolis dari
sebuah ruangan mesin di dunia bawah.

Mereka, seperti kemudian tampak dalam film Modern
Times­ Charlie Chaplin, bekerja dengan murung di celah
keperka­sa­an mesin. Mereka adalah barisan panjang yang
berseragam dan berjalan kaku seperti boneka. Hidup mereka
diarahkan wak­tu yang terukur persis. Dengan disiplin yang
absolut. Tanpa senggang. Tanpa percakapan.

Film ini memang sebuah imajinasi tentang masa depan
yang mencemaskan, sebuah dystopia. Bertahun-tahun setelah
kary­ a Fritz Lang, kita temukan kembali thema itu dalam film
sep­ erti Blade Runner dan Children of Men: masa depan adalah
kegelapan. Kelak adalah neraka. Harapan dihabisi dengan
anti-utopia.

Tapi tiap dystopia pada dasarnya sebuah kritik tentang hidup­
di hari ini. Tak ada masa depan yang tak disemai sekarang.­
Fritz Lang dan filmnya hidup sezaman dengan para pelukis
Eks­presionis Jerman di masa Republik Weimar, setelah Perang
Dunia I. Pada dua dasawarsa awal abad ke-20 itu, seniman-
se­ni­man ini menyaksikan ambruknya kehidupan justru di
tengah­optimisme sebuah kota modern.

Grosz, misalnya, melukis Berlin dalam Großstadt (1916-
1917): dengan warna merah muram di angkasa, metropolis
itu, Berl­in, tampak sebagai ruang tanpa akhlak. Kanvas Grosz
menampilkan secara karikatural orang-orang kaya dengan
perut mengg­ elembung; lelaki, berpakaian necis di sebuah
kafe yang men­ atap perempuan yang duduk hampir telanjang;
pria de­ngan­wajah babi yang berciuman mulut dengan wanita
bugil....

154 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka METROPOLIS

Seperti Metropolis Fritz Lang, ada bayang-bayang
kesalihan­di sini: uang adalah akar mala dan kekejian, kata
Injil. Fritz Lang menampilkan alegori dari Alkitab tentang
pelacur Babilonia dan angkuhnya menara Babil; Großstadt
juga mengu­mand­ angkan kembali kecaman agama kepada
tubuh dan syahw­ at—meskipun Grosz seorang komunis,
dengan sikap antikapitalis yang sengit. Mungkin karena yang
hendak diperli­hatk­ annya sebenarnya sebuah kota yang ingin
menyembunyi­kan bagian dirinya sendiri yang obscene.

Ia pernah mengatakan, ia sendiri seperti sosok-sosok yang
di­gambarnya; di satu saat ia ”orang kaya... yang memadati
perutn­ ya dengan makanan dan menenggak sampanye”. Tapi
di sa­at lain ia juga orang yang berdiri di luar pintu, diguyur
hujan, men­ gemis. ”Aku seakan-akan terbelah dua.”

Persoalannya: apa yang akan terjadi dengan keterbelahan
ini? Apa yang bisa dilakukan? Revolusi? Baik Fritz Lang
maupun Grosz mengelak.

Grosz kemudian pindah ke Amerika, bosan dengan
kanvasnya sendiri yang karikatural. Dalam Metropolis, konflik
antara Fre­dersen, sang superkapitalis, dan para buruhnya yang
tertindas tak diselesaikan dengan pemberontakan. Metropolis
akhir­nya hanya sebuah melodrama.

Sang Dewa Kapital yang digambarkan tak punya hati
kemu­dian jadi insaf karena rasa sayang kepada anaknya yang
tungg­ al, Freder. Seperti Sidharta Gautama, Freder dilindungi
di istana agar tak pernah melihat penderitaan. Tapi suatu
ketika­ia bertemu dan jatuh cinta kepada Maria, perempuan
mu­da pelindung si miskin. Seperti Gautama, Freder berubah.
Ia me­mihak yang ditindas.

Catatan Pinggir 12 155

http://facebook.com/indonesiapustaka METROPOLIS

Tapi film ini diakhiri dengan jabat tangan. Yang semula
sebuah dystopia berujung pada utopia. Dengan gampang.

Dalam banyak hal, Metropolis—yang pekan lalu diputar
di Teater Jakarta, dengan iringan musik hidup dari Orkestra
Babelsberg, sebagai awal festival German Season—adalah
sebuah prestasi sinematik yang mengagumkan, yang
mendahului­masanya. Tapi ia juga sebuah cerita yang itu-itu
saja: membawakan petuah tua.

Ajaran moral sering sangat menyederhanakan sejarah,
seakan-akan hidup hanya dihuni ide-ide yang sudah jadi. Tapi
Metropolis cocok dengan itu: karya ini megah tapi tampak
lebih mengutamakan gambar bidang-bidang yang tertib,
ketim­bang apa yang tak terduga-duga dalam manusia. Di awal
film, orang-orang yang di bawah itu ditertibkan Fredersen dan
kek­ ua­saannya. Di akhir film, mereka ditertibkan Maria dan
kemuliaannya.

Si lemah tetap tak berwajah, tak bernama. Jangan-jangan
mer­­eka tak dianggap hidup, hanya jembel dalam sebuah kota
yang terbelah.

Tak mengherankan bahwa Partai Nazi bertepuk tangan
untuk Metropolis.

TEMPO, 20 September 2015

156 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka LUKA

SEORANG tua yang hampir bisu, kehilangan ingatannya,­
juga kehilangan anaknya dalam sejarah yang menakutkan:­
dia kakek pikun dalam film Joshua Oppenheimer, The Look of
Silence.

Dalam film yang hendak menampilkan kekejaman di
Indone­sia di pertengahan 1960-an itu, tokoh setengah lumpuh
ini sea­ kan-akan sebuah alegori tentang berat dan bisunya masa
lal­u.

Saya menonton The Look of Silence di sebuah bioskop di
Glasg­ ow, Skotlandia, dua pekan yang lalu. Sebagian besar
ha­dir­in tak kenal Indonesia. Agaknya film Oppenheimer
ini introduksi pertama tentang kepulauan yang jauh, rumit,
eksotis, dan tak tenteram itu.

Adegan awal: di sebuah rekaman video, dua lelaki tua usia
70-an. Kemudian kita ketahui mereka hidup di Deliserdang,
30 kilometer dari Medan. Dengan bangga mereka ceritakan
bag­­ aimana dulu mereka habisi ”orang komunis” di tepi Sungai­
Ular.

Kemudian ditunjukkan kedua lelaki tua itu datang ke
sungai­itu. Di sini cerita lebih rinci: misalnya, untuk mematikan­
seorang korban yang kuat, mereka tebas kemaluannya dari
belak­ ang. Sang pembunuh menirukan suara orang yang
dibunuhn­ ya ketika berteriak minta tolong.

Di adegan lain pembunuh itu bahkan menunjukkan sebuah
buku panjang di mana ia menuliskan pengalamannya—

Catatan Pinggir 12 157

http://facebook.com/indonesiapustaka LUKA

dengan gambar adegan kebuasan yang dilakukannya.
Di latar yang lain, pembunuh yang satunya mengisahkan

bag­ aimana ia memotong buah dada seorang perempuan
sebelum menyembelihnya. Tiap kali membantai, ia minum
darah­kor­bannya. Agar tak jadi gila, katanya. Seorang tua lain,
duduk di sebelah anaknya, menceritakan ia selalu membawa
gelas sebelum menyembelih. Dari mana darah ditakik? Dari
leher yang dilubangi. Suatu kali ia mengirim sepotong kepala
ke sebuah toko orang Cina; hanya untuk menakut-nakuti.

The Look of Silence: sebuah karya sinematik yang ulung.
Kam­ eranya pas mengambil angle, gambarnya cemerlang,
tokohn­ ya­ hadir kuat, editingnya membentuk suspens yang
memukau. Konstruksi film ini begitu apik hingga dunia yang
dire­kam­nya seakan-akan siap dijadikan sebuah narasi.

Mengagumkan bahwa Oppenheimer berhasil mengh­ adap­
kan para tokoh sejarah yang mengerikan itu dengan Adi. Laki-
lak­ i berumur 44 tahun itu punya abang, Ramli namanya, yang
dibantai. Adi menanyai orang-orang tua itu, mencoba menarik
ma­af dari mereka, mendorong agar mereka ungkapkan masa
lal­u yang ganas itu.

Dari situlah cerita film ini terbentuk.
Sehabis film, saya—tamu dalam festival Discover
Indonesia—diminta menjawab pertanyaan. Segera saya sadar:
begitu be­sar jurang informasi antara The Look of Silence dan
penontonn­ ya yang kagum. Penduduk Glasgow itu tak tahu
apa sebenarn­ ya para pembunuh itu: petani, buruh, tuan tanah,
algojo prof­e­sional? Mengapa bangga akan kebuasan mereka?
Mereka menyatakan diri antikomunis. Tapi tak jelas mengapa
sikap itu saj­a membuat mereka jadi pembunuh yang fanatik.

158 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka LUKA

Dari mana ke­bencian seintens itu?
Dalam perjalanan pulang, seorang penonton bertanya

soal yang lain: siapa sebenarnya korban para pembantai itu?
Mereka dianggap anggota PKI, jawab saya. Tapi jawaban itu
tak memu­askan tampaknya. Apakah PKI waktu itu partai
ilegal, organisasi musuh yang sembunyi-sembunyi? Tidak. PKI
salah sat­u partai yang kuat di tahun 1960-an, jawab saya lagi.
Dari film dapat disimpulkan korban dan pembunuhnya lama
hidup ber­tetangga; tentunya mereka saling tahu pilihan politik
ma­sing-­masing. Mengapa mendadak bangkit keinginan
membasmi? Dan mengapa PKI tak memukul balik?

Saya ingin menjelaskan—tapi saya sadar, untuk itu perlu
sebuah ceramah panjang tentang sejarah politik Indonesia
(yang se­tengahnya tak saya ingat). Mungkin perlu juga sejarah
sosial:­ penonton yang tak kenal perbedaan bahasa, logat,
dan kelompok sosial Indonesia—karena hanya membaca
teks dalam bahasa Inggris—tak akan tahu bahwa ibu Ardi
berbahasa Jawa dan ayahnya, pak tua yang sudah kehilangan
ingatan itu, mungk­ in pendatang dari Jawa yang sudah
bertahun-tahun hi­dup di wilayah orang Melayu dan Tapanuli;
dalam kepikuna­ nn­ ya, ia hanya ingat sebuah lagu Melayu.
Kenapa ia di sana, kenapa mereka di sana, dan mungkinkah
konflik jadi sengit karena asal-usul, saya hanya menduga.

Yang pasti saya tak bisa menjelaskan kenapa Ramli, kakak
Adi, diceritakan dihajar dan akhirnya dibantai. Dan saya
terdiam ketika datang pertanyaan yang lebih mendasar: kenapa
mas­a lalu perlu diungkapkan jika hasilnya bukan rekonsiliasi,­
bukan pula penyesalan—malah resah risau dan mungkin
kembal­in­ ya kebencian?

Catatan Pinggir 12 159

http://facebook.com/indonesiapustaka LUKA

Masa lalu itu sebuah ”luka”, kata seorang lelaki yang lepas
dar­i genosida Sungai Ular. Luka lama, kata seorang penggerak
aks­i pembantaian. Dan pemotong buah dada itu marah
ketika Adi menggali lebih jauh apa yang dulu terjadi. Ibu Adi
takut. Ada kecemasan bila luka itu dibuka lagi, koreng malah
menjadi-jadi.

Sebaliknya bagi Adi dan Joshua: membuka balut luka itu
just­ru akan menyembuhkan. Lupa berbahaya, kekejaman
seru­pa bisa berulang.

Tapi mungkin karena mereka berdiri di luar luka itu.
Mereka tak mengalami kepedihan, kerumitan, dan kebengisan
itu; mer­eka lahir setelah 1965. Joshua anak Texas; Adi lahir
setelah tak ada lagi Ramli. Mereka ingin tahu.

Tapi tentu saja pengetahuan berbeda dari ingatan.
Mengetahui adalah menguasai realitas; mengingat bahkan tak
selama­nya­menguasai masa lalu.

”Mengingat semua perkara adalah satu bentuk kegilaan,”
kat­a Hugh, guru tua pemabuk dalam lakon Translations Brian
Friel, sebuah cerita dengan latar konflik berdarah di Irlandia.

Dalam The Look of Silence, kakek setengah lumpuh itu, ayah
Adi, tak gila. Ia hanya ingat sebuah nyanyi.

TEMPO, 27 September 2015

160 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka SEPATU

ADA sepasang sepatu tua yang kemudian jadi termasyhur,
di luar perhitungan pembuatnya yang tak diketahui.
Pada 1886, Van Gogh mampir di sebuah pasar loak di Paris.­
Ia melihat sepasang sepatu dan membelinya. Di suatu hari
yang hujan, perupa Belanda yang tinggal di ibu kota Prancis itu
men­ genakannya untuk berjalan, dan ia berjalan lama sekali. Ia
ingin membuat sepatu itu penyot—untuk dilukis. Kabarnya
ia per­nah mengatakan, ”Sepatu kotor dan bunga mawar bisa
sama-sama bagus.”

Ada yang berteori bahwa Van Gogh melukis itu untuk
mengu­ tarakan perjalanan hidupnya yang sulit. Saya tak begitu
yak­ in. Van Gogh banyak sekali menggambar alam benda, ya,
bah­kan beberapa kali melukis sepatu dan sandal petani, tapi
ia tak mengisyaratkan apa-apa dengan itu: benda-benda itu
memp­ esonanya, seakan-akan ia melihat masing-masing buat
pert­ama kalinya dalam hidup. Dengan demikian ia merasa ada
yang bisa disyukurinya dalam 24 jam. Dari itulah kreativitas
memang bermula: kemampuan untuk tergerak oleh dan
mengg­ erakkan sesuatu yang tak berguna. ”Apa yang saya cari
dal­am lukisan adalah satu cara untuk membuat hidup bisa
tertanggungkan,” demikian tulisnya dalam sepucuk surat
kepada adiknya, Theo, pada Agustus 1888.

Sepatu tua itu tak berguna: ia terpisah dari kaki pemakainya,­
terpotong dari niat pembuatnya. Ia kini hidup menyendiri
da­lam­ pigura yang disimpan dan dipasang dari museum

Catatan Pinggir 12 161

http://facebook.com/indonesiapustaka SEPATU

ke museum. Ia tak jadi obyek siapa pun. Tapi ia juga tak jadi
subyek yang mengarah kepada siapa pun. Ia tak mengarahkan,
ia tak di­arahkan.

Pada 1930, Martin Heidegger memandang pigura itu di
sebuah pameran di Amsterdam. Agaknya filosof itu tersentuh,
terg­ erak untuk menulis—dan tentu saja menafsir. Dari bagian
dalamnya yang sudah lapuk, yang tampak dari ujung laras
yang menganga gelap, ia melihat sebuah riwayat: ini sepasang
se­patu petani yang berjerih payah tapi kukuh. Pada kulitnya
ia lihat ”kelembapan dan juga kekayaan tanah” tempat alas
kaki itu menapak. Heidegger pun membayangkan kesunyian
jalan la­dang di bawah sol yang kotor itu ketika senja datang.
Di sana ”bergetar seruan bumi yang bisu”. Sepatu ini, tulisnya,
”bagian dari tanah, terlindung di dunia perempuan peladang
yang mengen­ akannya”.

Tapi tentu saja sepasang sepatu dua dimensi dalam pigura
itu—yang seakan-akan telah mengajak seorang filosof untuk
mer­enung dan mengaitkannya dengan kehidupan tertentu—
pa­da mula dan akhirnya cuma diam. Hanya sang filosof yang
me­nyusun kata-kata; ia membangun sebuah citra tentang
dunia petani di musim dingin, pekerja keras yang setia kepada
bum­ i tempat hidupnya—dan pesona dari semua itu.

Heidegger tentu saja tak salah—tapi siapa yang bisa
mengata­kan tafsirnya tepat? Ada yang menganggap
perspektifnya men­cerminkan kecenderungannya di Jerman
tahun 1930-an, ket­ika kaum Nazi mengumandangkan
kesetiaan kepada Blut und Boden, ”darah dan tanah”, kiasan
asal-usul yang belum ter­cemar. Heidegger sendiri menyukai
kehidupan yang umum­nya dianggap ”murni” itu: di Hutan

162 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka SEPATU

Hitam, Schwarzwald,­ di dekat Freiburg, ia punya pondok
yang seakan-akan bagian dari bu­kit dan pepohonan. Di sana
ia tercatat menuliskan renunga­ nnya. Di sana ia pernah tercatat
sebagai seorang Nazi.

Hari-hari ini Heidegger dan dongeng tentang asal-usul
yang belum tercemar mungkin mulai dilupakan. Sepasang
sepatu dalam lukisan Van Gogh itu kini sepasang sepatu lelaki
dan perempuan yang lelah, yang berjalan jauh dari Suriah atau
Sudan ke tepi benua, meninggalkan asal-usul. Zaman telah tak
lagi memberikan kemewahan dan rasa tenang sebuah wil­ayah.
Dan apakah artinya kesetiaan kepada ”darah dan tanah”
ketika dari sana yang datang hanya kebencian, ledakan bom
bunuh diri, dan penyembelihan?

Para migran berjalan, mencari wilayah baru, mencari ruang
yang belum tentu tanah yang dijanjikan Tuhan.

Mereka, tentu saja, bukan pelaku dan penderita baru
dalam sej­arah. Berabad-abad lamanya demografi dibentuk
oleh gelomb­ ang migrasi, oleh gerak perantau, oleh keuletan
para nomad, mereka yang berangkat. Memang acap kali para
pengkhot­bah ideologi kemurnian menyerukan ”kembalilah
kepada­hu­ruf yang pertama, asal yang murni, berpeganglah
kepada akarmu”. Tapi manusia bukan pohon yang hanya
berakar satu.

Deleuze, yang berbicara dengan fasih dan memukau
tentang­”deteritorialisasi”, mungkin pemikir yang pas dengan
suara kegemasan zaman ini, ketika ribuan migran melintasi
perb­ a­tasan yang sebenarnya juga berubah-ubah. ”Kita mesti
berhenti mempercayai pohon, sulur, dan akar tunjang,”
katanya.

Catatan Pinggir 12 163

http://facebook.com/indonesiapustaka SEPATU

Meskipun sebenarnya ada yang ganjil dalam kata-kata itu:
se­bab pohon juga sebuah riwayat, hutan juga sebuah kejadian,
sel­alu ”menjadi”. Ada yang tumbuh setelah kembang sari
terbang berpindah dibawa angin, dibawa burung. Tanpa
sepatu.

Atau lebih tepat, tanpa sepatu Martin Heidegger.

TEMPO, 4 Oktober 2015

164 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka KEKEJAMAN

SEBELUM pembantaian tak ada titik nol. Sebelum
kekejaman, ada kekejaman lain yang tak selamanya kita
akui, mungkin tak selamanya kita kenali.

Saya beruntung dilahirkan lebih dari 70 tahun yang lalu
dan masih bisa bercerita hari ini—bisa mengingat ayah yang
di­tembak, paman yang ditembak, tetangga yang ditembak,
lurah yang diculik gerilyawan dan ditusuk jantungnya, bekas
nyai Belanda yang dirampok dan dikuburkan hidup-hidup
di bawah pohon randu, mantan pemimpin perjuangan yang
diajak­ ke luar rumah oleh dua tamunya dan persis di tepi
rumpun bamb­ u, kepalanya dilubangi peluru.

Ketika saya belum lagi berumur 8 tahun, di dekat rumah
ka­mi di Wonosobo saya menemukan sehalaman selebaran,
mungk­ in pamflet, dengan potret kabur seorang gundul yang
dis­ebut sebagai ”Suhodo” (saya ingat namanya). Di sana
tertulis­bahwa Suhodo, ”algojo PKI” di sekitar Madiun pada
1948, te­lah membantai puluhan orang hingga darah mengalir
setebal­dua senti di lantai kamar penyembelihan. Sementara
itu, paman kami bercerita bagaimana orang-orang dihukum
tembak atau disiksa di depan umum di alun-alun Kudus:
”orang PKI”, kat­a paman—dan dua hari lamanya ia tak doyan
makan. Se­orang kakak saya, yang bergabung dengan pasukan
”merah” da­lam ”Peristiwa Madiun”, pulang ke rumah setelah
kompinya di­lucuti Pasukan Siliwangi; ia tak banyak bercerita
tentang apa yang terjadi, tapi saya lihat ia selalu membawa

Catatan Pinggir 12 165

http://facebook.com/indonesiapustaka KEKEJAMAN

sebuah revolver di saku celananya.
Tanpa dendam sekalipun, ingatan tentang kekerasan sering

ka­li hanya mengendap, sejenis sedimentasi yang seakan-akan
bers­embunyi dari hiruk-pikuk jalanan yang berubah. Tapi ia
se­sekali akan mengemuka dalam mimpi, atau jadi kisah samar-
sa­mar, dan berangsur-angsur kembali jadi endapan ingatan—
ka­li ini semacam bawah sadar kolektif.

Masyarakat Indonesia menanggung lapisan-lapisan
itu. Saya pernah baca memoar Pangeran Aria Achmad
Djajadiningrat yang terbit pada 1936; salah satu babnya,
seingat saya, menggambarkan pembunuhan kejam atas
para priayi oleh para sant­ri.­ Beberapa dasawarsa kemudian,
pemerintah kolonial raib dan pendudukan Jepang ambruk dan
Indonesia memaklumkan diri jadi republik tanpa instrumen
kekuasaan. Tak lama se­sudah itu, apa yang disebut ”revolusi
sosial” meledak di Su­ma­tera Timur. Para bangsawan dan
pejabat pamong praja di­bantai. Mereka dianggap berkolaborasi
dengan penjajah dan se­lama itu dianggap menghina rakyat
kecil. Tercatat 140 orang di­bunuh. Di antaranya penyair Amir
Hamzah, aristokrat yang se­benarnya seorang nasionalis yang
tulus, yang mempersembahkan kumpulan puisi pertamanya
untuk ”Ibunda Indonesia­Raya”.

Tak lama setelah 17 Agustus 1945, ”Peristiwa Tiga Daerah”
me­ledak di Pantai Utara Jawa. Di Tegal, Raden Ayu Kardinah,
adik kandung Kartini, diarak di jalan-jalan dengan diberi
pakai­an goni setelah suaminya, Bupati Sunarjo, luput dari
kema­rah­an ”massa”.

Mengendap pula yang lain: pembangkangan bersenjata
terhad­ ap Republik baru oleh ”Darul Islam” yang berlangsung

166 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka KEKEJAMAN

samp­ ai lewat pertengahan 1960-an. Jawa Barat rusak berat.
Kemudian, ”Peristiwa Madiun”. Kemudian, peristiwa
”Republik Maluku Selatan”. Kemudian peristiwa PRRI dan
Permesta,­ prot­es dari daerah yang mengakibatkan konflik
bersenjata. Kemudian....

Di sekitar 1965, berlangsunglah pembunuhan dalam skala­
yang jauh lebih besar dan dengan permusuhan yang jauh
lebih intens. Tiap kekejaman tak bisa dibandingkan dengan
kekejam­an lain, sebab untuk itu semua harus diuraikan lebih
dulu; ta­pi dalam ingatan kolektif, semuanya berhimpun—dan
himp­ una­ n yang kacau itu membuat kita mudah menerima
keker­as­an, bahkan kekejaman, sebagai unsur yang niscaya
dalam sej­arah.

Kemerdekaan Indonesia diperoleh tanpa tembakan;
tapi di pelbagai monumen di jalan-jalan, sosok perjuangan
kemerdeka­an adalah orang yang bersenjata. Tiap perayaan
17 Agustus, di gapura-gapura kampung terlukis pemuda
gagah, pegang bedil atau bambu runcing, garang. Kegagahan,
keberanian berkorban, kekerasan, kekejaman—semua muncul
dalam pelba­gai­simbol dari endapan di bawah sadar.

Bahkan dengan mengemukakan sang korban, atau yang
ditamp­ ilkan sebagai ”korban”, kekejaman menyembul dan
dip­ erp­ anjang umurnya. Kasus yang paling mencolok adalah
pe­mu­taran film propaganda Pengkhianatan G30S: banyak
anak se­kolah yang diharuskan menonton film ini harus
menyaksi­kan­ adegan kebuasan yang diekstremkan—demi
menghalalkan korban jadi pahlawan. Memasuki dunia anak-
anak, ”pen­ gorb­ anan” (mengangkat obyek kekejaman sebagai
sosok yang mul­ia) disamarkan jadi ”pengorbanan” (kesediaan

Catatan Pinggir 12 167

http://facebook.com/indonesiapustaka KEKEJAMAN

memberikan jiwa dan raga untuk hal yang luhur). Pada
gilirannya kekejaman jadi bagian dari ritus yang tiap kali bisa
diulangi, meskipun repetisi itu selalu muncul sebagai laku
yang baru untuk din­ ik­mati.

”Ada wilayah kesepakatan manusia yang... sepenuhnya
tak ter­jangkau kekerasan: wilayah ’pemahaman’ yang pas,
yakni­ ba­hasa,” kata Walter Benjamin. Saya kira ia keliru.
”Pemahaman”, dengan bahasa, justru mengandung kekerasan
ketika manusia menegakkan konsensus dengan lambang,
verbal ataupun buk­ an, dari himpunan ingatan yang sebenarnya
kacau. Sedimentasi ingatan, horor dan kenikmatannya, hasrat
dan kecemasan yang impit-mengimpit seakan-akan disetrika
jadi rapi ke­tika diekspresikan. Kekerasan pun bertambah
ketika endapa­ n ingatan itu dipaksa untuk dikeluarkan buat
diterima publik.

Kita kemudian mencoba menganggap orang lain, bukan
aku, sebagai titik pertama kekejaman. Selalu orang lain—
dengan itu monster dalam diriku bisa bersembunyi lagi.

TEMPO, 11 Oktober 2015

168 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka 28 OKTOBER

BANGSA lahir dan tumbuh dengan sejenis lupa. Bangsa
lahir dan bertahan dengan sebekas ingatan.
Dalam satu kuliah umum tahun 1882, di Paris, Ernest
Rénan menyimpulkan bahwa ”lupa adalah satu faktor yang
esensial untuk terbentuknya sebuah bangsa”. Manusia, yang
berbe­da-beda asal-usulnya, bahkan yang pernah saling bunuh
di ma­sa lalu, menanggalkan ingatan tentang itu; kuatnya
hasrat ber­gabung untuk menjadi satu telah mendorong mereka
untuk lupa.

”Tiap warga Prancis,” kata Rénan, ”melupakan Hari Santo
Bar­tolomeus.”

Ia menyebut pembantaian orang Protestan Paris oleh
orang Ka­tolik Paris pada hari menjelang akhir Agustus
1572 itu. Tapi beberapa abad kemudian, para warga, yang
ingin membuat bangsa Prancis lahir dan tumbuh, tak
membangun monumen yang menandai dendam. Tanda itu
akan menghalangi persatuan antara kedua komunitas dalam
tubuh sebuah bangsa. Walhasil, untuk komunitas baru yang
disebut ”bangsa” (nasion), alih-alih melawan lupa, orang justru
mempromosikannya.

28 Oktober 1928 di Indonesia juga sebuah saat yang
mengan­dung ”lupa”. Gagasan jadi satu nusa, jadi satu bangsa,
di­per­tegas dengan tekad untuk tak lagi mengaitkan diri pada
apa yang sering disebut ”kedaerahan”, ”suku”, atau ”asal-usul”.

Kemarahan kepada penjajahan dan harapan kepada sebuah

Catatan Pinggir 12 169

http://facebook.com/indonesiapustaka 28 OKTOBER

bang­sa yang akan dibentuk mempertalikan semua. Dengan
itul­ah nasionalisme lahir. Ia mengandung kepercayaan, ada
yang ”eka” dalam ”kebhinekaan”.

Mungkin kepercayaan itu tak dengan sendirinya berarti
kepercayaan akan adanya ”yang universal” dalam hakikat
manus­ia. Tapi memang ada saat-saat dalam sejarah ketika
manusia­merasakan sesuatu yang secara universal menggugah
hati, mis­al­nya ketidakadilan. Itu agaknya yang menggerakkan
para pe­muda, dari utara atau selatan, timur atau barat, pada
tanggal 28 Oktober 1928.

Sentuhan nilai-nilai yang universal itu pula yang membuat
se­orang Gandhi dan seorang Sukarno mengatakan dengan
bangg­ a bahwa nasionalisme mereka hidup subur dalam ”taman
sarinya internasionalisme”.

Apalagi nasionalisme itu ditempa sejarah melawan
imperialis­me—dengan kesadaran yang dikukuhkan
Marxisme-Leninisme, sebuah ajaran yang yakin kepada
pembebasan semua orang, bukan saja tanpa kelas, tapi juga
tanpa ikatan negeri asal.

Tapi kemudian ada para nasionalis lain. Mereka
menganggap pernyataan yang melihat diri sebagai ”ahli waris
kebudayaa­ n dunia”—seperti manifesto ”Angkatan 45” dalam
kesusas­tra­a­ n Indonesia—cenderung membungkam sifat-sifat
yang khas dalam tradisi, peninggalan sejarah, dan ekspresi
budaya yang lama dan khas. Semua itu kekayaan yang tak boleh
hilang—dan itulah yang hendak ditegaskan para sastrawan
In­don­ esia pada periode 1950 dan kemudian dikukuhkan oleh
dokt­rin ”kebudayaan nasional”.

Dalam semangat nasionalisme jenis ini, bangsa lahir dengan­

170 Catatan Pinggir 12

http://facebook.com/indonesiapustaka 28 OKTOBER

mengingat, bukan melupakan. Di sanalah konon tersimpan
iden­titas. Identitas adalah anak yang gagah dari masa lalu.

Tapi masa lalu sebenarnya tak punya anak tunggal. Kita
memilih hanya satu atau dua yang kita anggap cocok dengan
keh­ endak kita hari ini. Bahkan kita sering tak menyangka
bahwa yang kita anggap berasal dari masa lalu, yang asli,
sebenarn­ ya berbeda genealoginya.

28 Oktober 1928: dikatakan hari itu para pemuda dari
pelbagai suku bangsa bertemu dan bersepakat. Tapi apa arti
”su­ku” sebenarnya?

Saya tak tahu. Saya juga tak tahu sejak kapan kata itu
dipergun­ akan dalam bahasa sosial-politik Indonesia. Saya
sering me­lihatnya ganjil. Pengertian ”suku” mengasumsikan
adan­ ya­ satu totalitas, katakanlah sebatang tubuh, di mana
”suku” ada­lah bagian-bagiannya. Artinya, dalam pikiran
kita, ”batang tub­­ uh” itu ada sebelum ”suku-suku”-nya. Tapi
anehnya dikat­ak­ an bahwa ”suku-suku” itu ada lebih dulu,
entah dari mana, dan merekalah yang menyusun diri jadi satu
”batang tubuh”.

Mungkin pada mulanya adalah sensus. Kini kita dengan
gampang menjawab sebuah sensus yang mengklasifikasikan
ki­ta dalam ”suku-suku”: ”Jawa”, atau ”Aceh”, atau ”Bali”. Kita
yak­­ in pengertian-pengertian itu berakar pada sejarah yang
tua. Kita lupa bahwa klasifikasi itu sebenarnya ditentukan
oleh cacah-jiwa yang diperkenalkan kekuasaan kolonial Eropa
di Asia. Kita tak melihat bahwa sensus bermula sebagai cara
mengu­asai rakyat jajahan.

Kemampuan menguasai dimulai dengan kemampuan
menyederhanakan kemajemukan dunia. Untuk itu pemerintah

Catatan Pinggir 12 171


Click to View FlipBook Version