KOPI
CAFE
DAN CINTA
Antologi Esai
Bengkel Sastra Indonesia 2013
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
i
KOPI
CAFE
DAN CINTA
Antologi Esai
Bengkel Sastra Indonesia 2013
Penyunting
Y. Adhi Satiyoko
Ahmad Zamzuri
Pracetak
Rijanto
Sri Weningsih
Karyanto
Ninik Sri Handayani
Amanat
Rahmadi Sugiharto
Penerbit
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA
Jalan I Dewa Nyoman Oka 34
Yogyakarta 55224
Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667
Laman www.balaibahasa.org
Cetakan Pertama
September 2013
ISBN: 978-602-777-744-6
ii
KATA PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY
Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga
hari ini, sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009, yang dipertegas lagi dalam Permendikbud
Nomor 21 Tahun 2012, masih mengemban tugas sebagai suatu lembaga
pembina dan pengembang bahasa dan sastra Indonesia dan Daerah,
khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu, hingga
hari ini pula, Balai Bahasa Provinsi DIY tetap melakukan serangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan pengembangan substansi bahasa
dan sastra serta berkenaan dengan pembinaan terhadap masyarakat
pengguna bahasa dan apresiator sastra. Di antara serangkaian kegiatan
yang dimaksudkan itu ialah pembinaan proses kreatif berbahasa dan
bersastra melalui kegiatan yang dinamakan Bengkel Bahasa dan Sastra
Indonesia.
Sasaran kegiatan pembinaan proses kreatif yang dilakukan
pada tahun ini masih tertuju pada generasi muda, khususnya bagi
para siswa SLTA. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa
generasi mudalah yang kelak diharapkan menjadi generasi yang
kreatif, inovatif, dan mampu bersaing baik di tingkat lokal, nasional,
maupun global. Generasi mudalah yang di masa datang juga akan
menjadi pemegang kendali kekuatan dan kesejahteraan bangsa; dan
oleh karenanya, sejak dini mereka harus dibekali dengan kepekaan
yang tinggi, wawasan yang tajam, dan sikap yang kritis sehingga kelak
mampu menghadapi segala tantangan dan hambatan. Dan kita yakin,
bekal semacam itu, niscaya dapat diperoleh dari belajar berproses
kreatif menulis, di antaranya menulis esai dan cerpen.
iii
Pembaca yang budiman, sejumlah karangan (esai dan cerpen)
dalam buku antologi ini adalah bukti bahwa generasi muda kita,
khususnya para siswa SMA, MA, dan SMK Kota Yogyakarta,
Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul mampu “mencipta” sesuatu
(karangan) melalui proses kreatif (perenungan dan pemikiran); dan di
dalamnya mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki ketajaman
penglihatan dan kepekaan menangkap problem-problem sosial dan
kemanusiaan yang dihadapinya. Untuk itu, kelak, setelah selesai
berproses kreatif melalui kegiatan Bengkel Bahasa dan Sastra 2013
yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi DIY selama hampir
tiga bulan ini diharapkan mereka menjadi generasi yang senantiasa
aktif dan kreatif. Sebab, hanya generasi yang aktif dan kreatiflah yang
akan mampu meraih kualitas hidup yang lebih baik.
Yogyakarta, September 2013
Drs. Tirto Suwondo, M.Hum.
iv
KATA PENGANTAR
Salah satu tugas Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai instansi pemerintah yang melaksanakan program
pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia dan
daerah ialah ikut berperan serta membina kemampuan menulis bagi
masyarakat, tak terkecuali bagi para siswa. Peran serta itu, antara
lain, diwujudkan dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan Bengkel
Sastra Indonesia dalam bentuk ”Pelatihan Penulisan Cerpen” yang
diperuntukkan bagi siswa SLTA (SMA, SMK, MA) Kota Yogyakarta,
Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul.
Selama sepuluh kali pertemuan peserta Bengkel Sastra Indonesia
mengikuti pelatihan penulisan cerpen. Hasil kerja keras mereka
diwujudkan dalam sebuah antologi cerpen dengan judul ”Kopi, Cafe,
dan Cinta”. Di dalam antologi itu ditampilkan 58 cerpen dari siswa.
Cerpen para siswa itu mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan
fenomena kehidupan sehari-hari, seperti cinta, budaya, dan seni.
Dengan diterbitkannya antologi cerpen ini mudah-mudahan
upaya Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk
meningkatkan kemampuan dan keterampilan menulis cerpen bagi
para siswa dapat membuahkan hasil yang menggembirakan. Di
samping itu, semoga antologi ini dapat memperkaya khazanah bacaan
bagi para remaja.
Yogyakarta, September 2013
Koordinator
v
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY..................................iii
KATA PENGANTAR...........................................................................v
DAFTAR ISI........................................................................................ vii
KOPI, CAFE, DAN CINTA
Akbar Yoga Pratama (SMA Negeri 7 Yogyakarta)............................. 1
SENJATA MAKAN TUAN
Novisca Dyah Ayu L. (SMA Negeri 2 Sleman)................................ 20
KEMBARAN BERBULU DALAM KENDI
Sofia Aulia Zakiyatun Nisa (MAN Yogyakarta 3)............................ 27
RUMAH MISTERI
Alifia Nuralita Resqiana (SMA Negeri 7 Yogyakarta)...................... 35
BOHONG ITU MENYIKSA
Yuliana Dyah Ayu P. (SMA Negeri 7 Yogyakarta).......................... 44
BUKAN JODOH
Novisca Dyah Ayu L. (SMA Negeri 2 Sleman)................................ 50
AINIY FI QOLBIY
Sofia Aulia Zakiyatun Nisa (MAN Yogyakarta 3)............................ 58
DI BALIK SEBUAH RUMAH TAK BERNYAWA
Alifia Nuralita Resqiana (SMA Negeri 7 Yogyakarta)...................... 64
FATAMORGANA
Muhammad Ikhwan Priambodo (SMA GAMA Yogyakarta)........... 73
vii
DI BATAS SENJA
Fathi Abida Nurunnafi Ghaniyaska (MAN Yogyakarta 1)............... 77
LEBARAN TANPA KAKEK
Muhammad Ikhwan Priyambodo (SMA GAMA Yogyakarta)......... 86
DALAM SEBUAH MIMPI
Yuliana Diah Ayu P. (SMA Negeri 7 Yogyakarta)........................... 89
GADIS, DUNIA, DAN FANA
Adhi Bayu Perkasa (MAN Yogyakarta 1)......................................... 96
SENANDUNG MELODI
Allysa Zain (SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta)........................ 100
KEADILAN SEMU
Yosef Astono Widhi (SMA Negeri 6 Yogyakarta)........................... 118
HUJAN SAYAP MALAIKAT
Adhi Bayu Perkasa (MAN Yogyakarta 1)....................................... 124
TITIK HIDUP
Allyssa Zain (SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta)....................... 129
KETIKA HUJAN REDA
Yosef Astono Widhi (SMA Negeri 6 Yogyakarta)........................... 134
KANAN UNTUKMU, KIRI UNTUKKU
Denti Dwi Lestari (SMA Negeri 1 Mlati)....................................... 139
KERINDUAN BUNNY
Erni Ferlina (SMA PIRI 1 Yogyakarta).......................................... 144
CINTAKU UNTUK NEGERIKU
Selia Eriani (SMA negeri 1 Turi).................................................... 149
SENYUM TERAKHIR
Denti Dwi Lestari (SMA Negeri 1 Mlati)....................................... 152
U-KISS FANPARTY IN JAKARTA
Ajeng Covita Anekinda Rizki (SMA negeri 2 Yogyakarta)............. 156
viii
ZONA
Norma Elfania (SMA Negeri 2 Sleman).......................................... 163
KURANGNYA RASA KASIH SAYANG ORANG TUA
Erni Ferlina (SMA PIRI 1 Yogyakarta).......................................... 166
STORY OF LOVE
Ajeng Covita Anekinda Rizki (SMA negeri 2 Yogyakarta)............. 172
LASMI
Teresa Gowinda Artati (SMA Negeri 6 Yogyakarta)...................... 179
MUSAI
Norma Elfania (SMA Negeri 2 Sleman).......................................... 190
HARAPAN DI ATAS TANAH
Selia Eriani (SMA Negeri 1 Turi)................................................... 197
TIGA RODA
Putri Nur Rahmadhani (SMA Negeri 1 Ngemplak)....................... 230
MERINDUKAN KAWAN
Leni Pratiwi Anggraini (SMA PIRI 1 Yogyakarta)........................ 239
GORESAN PENA PENEBUS DOSA
Ellysa Nur Tristiana (SMA Negeri 2 Ngaglik)............................... 243
PENGKHIANATAN YANG BERAKHIR DENGAN KEBAHAGIAAN
Rizqi Ragil Habibah (SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta)........... 248
SAYANG AKU INGIN PUTUS..................................................... 253
SYAIR DAN SAHABAT
Bartholomeus Alfa Amorrista (SMA BOPKRI 2 Yogyakarta) ....... 256
OMPOL
Faridhatul Nangim Rokhimah (MAN Pakem)................................ 267
HATI ANTARIKSA
M. Afnan Rozzak G. (SMA Negeri 1 Kasihan)............................... 273
ix
ANGELIKA
Yossie Putri Isnaini (SMA Negeri 1 Prambanan)........................... 279
MITOS ITU SETENGAH BERLAKU
Ida Ayu Zahrotun Na’im (SMK Negeri 2 Godean)......................... 285
SEABADI PERSAHABATAN
Irma Aimma Turrohmah (MAN Pakem)......................................... 290
TAKKAN HILANG SEMANGATKU
Khusni Ika Prajanti (SMA Negeri 1 Seyegan)................................ 296
SEIKHLAS ALIRAN SUNGAI OGAN
Erwita Danu Gondohutami (SMA Negeri 7 Yogyakarta)............... 302
SAYAP-SAYAP PATAH
Umi Nurul Khasanah (SMA Negeri 1 Ngemplak).......................... 313
GARA-GARA KAMU
Zara Anisa Islami Arifin (MAN Godean)....................................... 322
LIBURAN YANG HILANG
Farah Rindhita Bestari (SMA Angkasa Adisucipto)....................... 332
GARA-GARA KAOS KAKI
Clara Deo Kristiandari (SMA Negeri 2 Sleman)............................. 339
ATMOSPHERE OF IED
Nurrahmat Sena Aji P. (SMA Negeri 1 Kasihan)........................... 344
TERNYATA
Phegy Patsari Sintia Danti (SMA Negeri 1 Pakem)....................... 349
DRAMA
Bartholomeus Alfa Amorrista (SMA BOPKRI 2 Yogyakarta)........ 356
IA AKAN BERLALU
Faridhatul Nangim Rokhimah (MAN Pakem)................................ 369
GARA-GARA FACEBOOK
Zubaidah Afriza (SMK Muhammadiyah 2 Moyudan).................... 376
x
JEMARIKU YANG TAK MAMPU MERAIHNYA
Nabela Maharani Pranadita (SMA Negeri 1 Kalasan).................... 381
GOOD BYE
Ine Politia A. (SMK Negeri 5 Yogyakarta)...................................... 388
WARNA MIMPI CLEO
Ine Politia A. (SMK Negeri 5 Yogyakarta)...................................... 391
TITIP SALAM BUAT AYAHKU YA, KAKAK!
Akyasa Adiba (SMA Negeri 1 Banguntapan)................................. 396
BELOK
Rusyda Faza Wulaningrum (SMA Negeri 2 Ngaglik).................... 404
SAYANG TAK SAMPAI
Rusyda Faza Wulaningrum (SMA Negeri 2 Ngaglik).................... 414
REWIND
Puti Mentari (MAN Tempel).......................................................... 423
PEMINTA DI ATAS AWAN
Yossie Putri Isnaini (SMA Negeri 1 Prambanan)........................... 431
SEHARUM BUNGA DI YOGYAKARTA
Nia Damayanti (SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta).................. 437
LIBURAN YANG TERTUNDA
Farah Rindhita Bestari (SMA Angkasa Adisucipto)....................... 444
BIODATA PESERTA CERPEN BENGKEL SASTRA
INDONESIA TAHUN 2013............................................................. 451
BIODATA NARASUMBER BENGKEL SASTRA INDONESIA
TAHUN 2013...................................................................................... 460
BIODATA PANITIA BENGKEL BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA TAHUN 2013............................................................. 462
xi
xii
KOPI, CAFE, DAN CINTA
Akbar Yoga Pratama
“Selamat malam, Kak. Selamat datang di kafe kami. Silakan
duduk dan pesan menu.”
“Yaa, makasih,” jawabku sambil tersenyum.
Kata-kata tadi tak asing bagiku. Tiga hari sudah aku berkunjung
ke kafe ini, pada waktu yang sama, menu yang sama, pelayan yang
tadi menyapa pun sama, serta suasana hati yang masih sama. Dan
inilah hari keempat dejavu itu kembali terjadi. Tidak! aku tak sama
sekali bosan. Aku menikmatinya. Terkadang aku hening dan menulis,
terkadang aku berbicara dengan sosok imajiner yang diciptakan
otakku.
“Double espresso, Kak?” wajah lelahnya masih coba diwarnai
senyumnya.
“Yaa, Mbak,” jawabku membalas senyum.
Semua pelayan di sini sudah mengerti menuku. Setidaknya
aku menyadari bahwa sekitar sepuluh pelayan di kafe ini terheran-
heran melihatku. Mungkin, kesimpulan dari otak mereka, aku
adalah pelanggan favorit yang menjadi objek penjualan efektif yang
menyenangi salah satu menu mereka yang pahit dan sangat mudah
dibuat. Aku bisa menghabiskan waktu semalaman di kafe ini jika
aku sedang betah. Dan aku bisa memaklumi keheranan mereka saat
mendapati pelanggannya yang betah selama empat hari berturut-turut
yang tak bosan selama sekitar tiga sampai empat jam setiap harinya
di sana, dan tak kunjung mati karena meneguk lebih dari lima double
espresso untuk sekali kunjungan.
Dulu aku biasa datang ke tempat ini berdua dengan seseorang.
Sekarang, aku harus menikmati ini sendirian. Ya, aku harus segera
terbiasa sendiri. Seperti biasa, aku mengambil tempat di sudut selatan
kafe, berdekatan dengan kolam kecil yang bagus. Aku mengerti, malam
1
ini cukup indah. Perpaduan remang-remang kafe dari lampu putih
dan kuning dengan kain sutra hitam pekat yang membentang di atas,
ditambah gemericik air mancur kecil dari kolam di sudut selatan kafe,
serta aroma petrichor yang menguar dari sekeliling kolam menambah
sendu suasana malam ini. Sayang, kini harus kunikmati ini sendirian.
“Aku sama sekali nggak salah tempat,” batinku.
Kurang lebih begitulah keseharianku selepas ujian ini. Aku
begitu bukan tanpa alasan. Ada tiga alasan terklise yang membuatku
demikian. Pertama, kesukaanku pada kopi. Kedua, suasana kafe
yang senantiasa berdampak positif untuk produktivitas tulisanku.
Ketiga, dirinya. Dirinya yang membuat semua selama dua tahun ini
terasa berbeda, dirinya yang membuatku seolah terbunuh oleh rindu,
dirinya yang membuat suasana hati ini terasa klop dengan kafe ini,
juga dengan kopi ini. Klop karena jalan cerita yang sama-sama pahit.
Dirinya, Gendhis.
Alasan pertama ialah kopi. Aku suka kopi bukan tanpa alasan.
Kopi menunjukkan bahwa hidup tidak selamanya manis. Pahit kopi
adalah tamparan untuk hidupku yang menyadarkanku dari kosong
tiap kali aku jatuh. Ampasnya ialah sisa-sisa masa lalu yang masih
mengerak di sudut-sudut hati yang tak terurus. Pandanganku ini
mungkin berbeda dengan pandangan orang lain. Banyak orang menilai
kopi hanya sebagai teman rokok bagi para orang tua. Dari sisi medis,
aku mendengar bahwa kopi dapat merangsang denyut nadi sehingga
minuman ini tidak pas diminum saat cemas, dan mungkin karena itu
kopi dinilai sebagai penyebab utama komplikasi pada jantung dan
ginjal. Terkadang, aku takut dengan penilaian yang kedua. Tetapi
sejauh ini aku memandang kopi sebagai suatu filosofi.
“Kamu tuh suka banget double espresso. Kenapa?” tanya Gendhis
suatu ketika.
“Hah? Tumben tanya begitu.”
“Lha, habis setiap ke sini, kamu pesen kopi itu terus.”
“Iya, suatu saat nanti kamu bakal tahu dan merasakan sendiri,”
jawabku demi membuatnya tak bertanya lagi.
Alasan kedua adalah kafe dan segala yang disajikan di dalamnya.
Aku sangat sering berkunjung ke kafe di daerah Kotab aru. Interior
kafe ini cukup cantik. Dinding yang berlapis wallpaper berwarna
2
coklat begitu serasi dengan lantai parquet. Jam antik serta meja-meja
kayu yang tampak kuno menambah nuansa vintage. Kemampuan si
penyanyi kafe untuk “bertelepati” dengan pengunjung, khususnya
aku, menambah nilai plus tempat ini bagiku. Lagu-lagu akustik nan
melankolis yang terus dilantunkannya membuatku percaya jika
pemilik kafe ini memiliki selera musik yang bagus. Terkadang di
sudut kafe, terlihat beberapa remaja sibuk bergurau satu sama lain,
serta beberapa eksekutif muda sedang berbisnis. Di sudut yang lain,
sepasang kekasih sedang asik bermesraan. Semua orang larut menik
mati suasana. Kecuali aku.
Sebelum berlanjut ke alasan ketiga. Perkenalkan, inilah aku.
Namaku Ramadewa, panggil saja Rama. Seorang yang memiliki
sejuta alasan untuk terus menunggu. Untungnya, aku masih menyukai
namaku. Kedua orang tuaku beralasan memilih nama Ramadewa
sebagai refleksi dari tokoh Ramayana, yaitu tokoh dalam seni sendratari
berwujud pangeran yang rupawan dan ksatria. Lalu ditambah kata
“Dewa” supaya menimbulkan kesan lebih tinggi dan elegan. Tapi
kenyataannya? Entahlah.
Aku suka beralasan. Menurutku, tidak ada tindakanku yang tak
beralasan. Dan inilah alasan terklise dari yang paling klise mengapa
aku jadi begini. Tak seharusnya begini memang. Tapi kita bisa apa
jika rasa itu telah datang. Entah benar atau tidaknya tercipta untukmu
dan untuknya. Namun, jika kau merasa ada yang berbeda saat pertama
menatapnya, sesungguhnya kau tahu, konspirasi itu telah ada. Lalu
kau tak akan asing dengan rasa seperti ini. Seperti kopi yang pahit,
seperti asap dari kopi yang mem udar namun tetap kau mainkan,
seperti yang sedang kurasakan.
Aku paling suka alasan yang ketiga, alasan mengapa aku tak
panjang-panjang menceritakan kopi dan kafe. Aku mencoba hidup
dalam persembunyian, yaitu di dalam pahitnya kopi dan nyamannya
kafe dari seorang wanita yang senantiasa kutunggu selalu. Namun,
tak jua terbalas. Layaknya sesuatu yang tiada lenyap dari khayal sang
pangeran saat sang putri terus saja mengukir mimpi yang lain bersama
denting waktu di istana.
***
3
Betapa polos dan konyolnya aku saat pertama mengajaknya
kenalan. Berhiaskan senyum bodoh, kuberanikan ragaku mengham
pirinya. Memulai segalanya.
“Hai, boleh kenalan? Aku Rama. Kamu?” tanyaku sambil meng
ulurkan tangan.
“Aku Gendhis. Kamu dari SMP mana?” jawabnya menyambut
jabat tanganku. Suaranya lembut, terkesan intelek, dan penuh tangg ung
jawab. Kulitnya yang halus menyambarkan aura ketenangan luar biasa,
membuatku tak ingin melepaskannya.
“Oke. Dari SMP 1. Kamu, Dhis?”
“Aku dari SMP 16. Kita kayaknya sekelas ya?”
“Oke! Iya, emang sekelas kan, tuh kamu namamu ada di absensi,
hehe.”
“Haha, iya. Duduk, yuk!”
Perkenalan singkat yang tidak akan pernah terlupakan. Sejak
saat itu, aku mengerti, ini tidak akan menjadi perasaan yang sebentar.
Ya, Gendhis. Dia manis seperti namanya. Aku lebih suka me
mangg ilnya begitu. Tapi itu tetap tak merubahnya. Bagiku, ia sesosok
bunga melati yang tumbuh di sela-sela bebatuan gunung yang meneb ar
eksistensinya di setiap tanjakan pegunungungan. Sekali kau bertemu
dengannya, mengenalnya, mendengarnya, lalu kau akan paham
tentang suatu mahakarya Tuhan yang nyaris sempurna. Kau akan
menyadari bahwa kau benar-benar beruntung telah mengenalnya.
Entah mengapa, orang yang namanya Gendhis selalu manis.
Melati di sela-sela bebatuan gunung. Mengapa begitu? Kebetulan
hobi kami sama, hiking. Ya, kami mengikuti ekstrakurikuler yang
serupa pula. Pecinta alam. Aku masih ingat debut kami ke Merbabu.
Sekitar empat bulan setelah percakapan pertama kami. Di Merbabu,
dia menemukan melati yang menurutnya sangat indah. Terus begitu
di setiap tanjakannya. Dia terus saja berbicara tentang melati itu.
Pembahasan tak berhenti di melati, terus berlanjut hingga sepagi
ini. Mentari belum juga menunjukkan dirinya, nyanyian mesra satwa
pagi juga masih belum terdengar. Ah, sedari kemarin aku juga
tak melihat mereka. Fajar di lereng Merbabu yang cukup dingin
membuatku berinisiatif membuatkannya secangkir kopi sebagai
penghangat. Selain juga untuk menepati janjiku yang semalam kalah
4
bertaruh dengannya. Kami bertaruh siapa yang pagi ini bangun lebih
awal akan membuatkan kopi. Aneh memang.
“Nih, Dhis kopinya.”
“Nah, sip Makasih Ram. Kopi dari seorang barista.”
“Sama-sama. Aku cuma coffee lovers, Nona. Bukan barista.”
“Iya, aku tahu. Sini duduk sini, lihat sunrise.”
“Pagi ini dingin ya, Dhis?”
“Banget. Tapi sudah semestinya hawa gunung seperti ini.”
“Jadikan kopi itu penghangat! Tubuhmu membutuhkannya.”
“Iya. Eh, masih ingat melati yang kemarin, kan?” tanya dia
sembari mengeluarkan melati itu dari saku jaketnya.
“Yap, cantik,” kataku.
“Haha, kamu tahu kenapa aku suka melati, Ram?”
“Kamu bukan sekedar suka melati. Kamu seperti melati. Aku
tahu itu.”
“Hah, maksudnya?” dia bertanya. Aku tahu dia sudah tahu
jawaba nnya.
“Ya, kamu seperti melati di gunung ini. Tegar dihajar angin.
Namun, kamu tetap memancarkan keanggunan dan keindahan khas
wanita. Dan tentu saja, mewangi untuk orang-orang di sekitar. Kamu
lebih dewasa dari yang pernah kukira,” terangku.
“Makasih, Ram. Aku cuma berusaha jadi diri sendiri.”
“Itulah yang membuat kamu berbeda. Kamu nggak sembunyi di
balik rupa-rupa orang lain. Setidaknya, kamu lebih baik dari mereka
yang belum menemukan dirinya.”
“Kamu juga dewasa, Ram. Aku beruntung kenal kamu.”
“Oke, cukup. Dihabisin kopinya!” kataku mengalihkan pem
bicaraa n.
“Pahit!” balasnya
“Tapi kamunya manis. Melati itu mau kamu apakan?” kataku
sembari tersenyum bodoh padanya.
“Gombal, Rama, ih! Aku mau bawa pulang satu atau dua. Karena
kita nggak tau kapan lagi bisa ke sini.”
“Bagus! Jika sedang di gunung, erat kaitannya dengan harapan.
Apa harapanmu? Yang terdekat saja.”
5
“Harapan? Aku berharap bisa merayakan sweetseventeen di atas
gunung,” katanya.
Aku langsung merekam jelas kalimatnya di otakku Kujadik an
pupuk bulir harapanku supaya tumbuh dan tampak jelas bahwa
akulah orang yang berhasil mengajaknya merayak an sweetseventeennya
di atas gunung kelak. “Amiin,” aku mengamini.
“Kamu, Ram?”
“Aku? Aku tidak begitu terobsesi gunung sepertimu. Mungkin
tidak menjadi insomnia lagi adalah harapanku.”
“Haha, insomnia. Kamu insomnia?”
“Iya. Kenapa?”
“Makanya kamu kalah!” katanya sambil menjulurkan lidahnya
padaku.
“Aku juga terbiasa bangun pagi.” sanggahku.
“Sebentar, kamu insomnia? Tapi kamu suka kopi? Aneh.”
“Itulah yang aku bingung. Aku suka kopi saat pahitnya berdecak
di ujung belakang lidahku. Tapi, aku benci saat kopi membuatku
terus terjaga. Aku ingin terlelap, aku ingin bermimpi. Pahit kopi akan
menyadarkanmu saat kamu jatuh. Kamu memang boleh memiliki mimpi
dan harapan. Tapi, saat kamu jatuh, kamu tidak akan tak sadarkan diri,
lalu tetap pada mimpi itu saja. Pahitnya akan menamparmu supaya
kamu tetap sadar, dan tentu saja membuatmu kembali melangkah.”
“Jadi, kamu belum pernah merasakan indahnya mimpi?”
“Pernah. Tapi belum pernah seindah ini.” “Hah? Maksudnya?”
“Nggak apa-apa. Aku ke tenda dulu, ya.” aku tak ingin melan
jutkan perkataanku. Sebelum berlalu, aku mengenakan jaketku ke
tubuhnya yang tampak menggigil. Cardigan yang dikenakannya tak
mampu menahan tusukan hawa fajar gunung.
“Ram. Makasih, ya,” katanya.
Aku hanya membalas dengan tersenyum. Kami berbicara banyak
hal pagi itu. Dari pagi sampai mimpi. Dari melati ke kopi. Dari
sweetseventeen hingga insomnia. Dari hawa gunung yang menusuk
jantung sampai perlahan menghangat oleh obrolan pagi. Dan Gendhis
terus saja seperti melati. Sampai saat ini, sampai aku hanya bisa
menenggelamkan diri dalam sejuta harap. Tanpa tahu realisasi akan
rasa yang tak tentu. Kau tahu? Ini hebat.
6
Merbabu menunggu senja.
Pagi semakin ditinggalkan. Pemandangan tentang tepian daun,
embun, matahari, dan angin pagi, kini digantikan oleh suasana senja.
Aku mencintai senja. Aku menyukai bagaimana cara sang senja
bersayap datang menghiasi cakrawala dan mulai membatasi segala
ingatan tentang pagi tadi. Namun, tetap saja, aku tidak akan pernah
melupakan peristiwa pagi tadi.
Aku ingat perkataan para ilmuwan baru-baru ini. Mereka men
jelaskan, saat senja, langit membiaskan dua gelombang cahaya, merah
dan jingga, yang kemudian ditangkap dan diproses oleh otak menjadi
sesuatu yang membuatmu merasa lebih tenang dan lebih nyaman.
Dan jika cahaya itu jatuh pada suatu benda, lalu dipantulkan masuk
ke dalam mata, benda itu akan terasa lebih indah. Entah, aku sendiri
tidak begitu paham. Namun, Gendhis terlihat sangat cantik sore itu.
Aku tidak bisa berhenti mengaguminya.
“Ayo, lihat senja, Dhis!” ajakku.
“Di gunung lihat senja? Lucu.”
“Apa salahnya? Kita awali hari dari sini, maka akhiri juga di
tempat yang sama.”
“Yang ada itu, lihat sunset di pantai.”
“Udah, nggak usah debat. Ini kopimu,” kataku sambil mem
berikan kopi.
“Makasih.”
Gendhis tak lagi mendebatku, ia menurut saja.
“Yep. Masih ingat yang tadi pagi kita bicarakan?” aku memulai
obrolan sambil memandang jauh ke barat, tempat sang surya mengubur
dirinya sendiri.
“Yang tentang apa? Kita bicara banyak hal pagi tadi.”
“Oh. Yang tentang harapan. Harapan dan masa depan.”
“Oke, menarik. Jadi, gimana tentang harapan dan masa depan?”
“Kalau kamu diberi kesempatan ke masa depan, kamu mau
ngapain, Dhis?”
“Nggak ngapa-ngapain,” jawabnya singkat.
“Nggak ngapa-ngapain?”
“Nggak ngapa-ngapain.”
Aku tertawa heran. Jawaban itu, bukan jawaban sebenarnya.
7
Aku tahu gadis hebat seperti dia tak ingin banyak bicara soal masa
depan. Dia lebih suka menyelesaikan yang ada saat ini dulu.
“Jadi, menurutmu nggak ada yang menarik di masa depan?”
“Bukan begitu. Ram, hidup itu seperti kalimat. Jangan cepat-
cepat ingin bertemu titik kalau belum bersua dengan beberapa koma.
Koma itu yang akan memperindah jalanmu.”
“Lalu?”
“Kritik, lika-liku, kesulitan, perjuangan, itu yang aku maksud
dengan koma. Dengan semua itu, kalimatmu akan menjadi lebih tak
terduga. Mungkin lebih indah, tapi pastinya lebih menarik,” terangnya.
“Hmm..”
“Dan semua koma itu ada di dalam diri kamu sendiri. Tinggal
bagaimana dan di mana kamu menempatkannya! Yang penting itu
kan prosesnya. Ya nggak?” tambahnya dengan yakin, “Ram, Rama.
Kamu dengerin aku kan?”
Aku tersadar dari sekian detik yang kugunakan untuk mengagumi
betapa cantiknya dia sore ini. Sekali lagi, senja menunjukkan magisnya.
Jika saja aku mempunyai nyali lebih, mungkin aku sudah mengecup
bibirnya.
“Dhis..”
“Ya?”
“Kamu mau jadi masa depanku?”
“Hah?”
“Nggak apa-apa. Ah, itu senjanya bagus.”
Hampir saja.
***
Waktu yang membuat kami mengenal satu sama lain. Gendhis,
dia gadis yang memiliki pengaruh. Dia anggun sebagaimana wanita
pada umumnya. Bukan, Gendhis bukan seorang yang suka memakai
pakaian ketat dan mengekspos setiap bagian tubuhnya. Kata teman-
temannya, sejak SMP dulu hingga kini kulihat sendiri di SMA, Gendhis
memang cantik dan selalu menjadi idola setiap lelaki. Entah lelaki
dari OSIS, pecinta alam, tim redaksi majalah sekolah, tim futsal, tim
basket, anak band, tonti, hingga alumni semua menyukainya. Namun,
ia tidak peduli dengan kecantikannya. Mungkin ini pesona Gendhis.
8
Ia seakan seonggok gula. Dan semua yang ada di sini adalah semut-
semut yang terpusat, dan berevolusi padanya. Tak terkecuali aku.
Aku masih ingat. Aku terus mengingat dan menulis bagaimana
aku pertama kali melihat suatu kesempurnaan di depan mataku.
Senyumnya, oh Tuhan. Ingin aku supaya Engkau memundurkan waktu
sejenak agar aku bisa melihat lagi sen yumnya. Menyejukkan. Saat itu
juga, aku sadar bahwa konspirasi semestalah yang mempertemukanku
dengan Gendhis. Tentunya dengan cara terindahnya. Yaitu, bermula
dari dua anak manusia yang bertemu, memutuskan menjadi sahabat,
lalu aku merasakan ada yang pantas untuk lebih dari sahabat. Sayang
nya, semua hanya berhenti di rasa. Tak pernah ada suatu nyali untuk
mengeruk palung itu lebih dalam lagi. Mungkin karena palung itu
terlalu dalam dan gelap sehingga tak terlihat apa dan siapa saja yang
ada di dalamnya. Meskipun aku tahu akan keindahan di dasar palung
itu, aku masih belum berani mengeruknya terlalu dalam. Entahlah,
mungkin karena Gendhis terlalu sempurna.
Gendhis yang membangkitkan minat menulisku lagi setelah
sempat terhenti. Dia memintaku untuk membuka blognya. Seketika,
aku dapat menyimpulkan bahwa dia seindah kata-kata yang ia tulis di
sana. Kau ialah embun yang... Ah sudahlah, aku tak pandai melukiskan
betapa cantik perempuan ini. Aku tak pandai mengandaikan ia
seindah purnama yang tak kunjung tenggelam, secantik langit senja,
atau senyumnya senyaman surga. Yang kutahu aku benar-benar
mengaguminya.
“Dhis, tulisanmu di blog bagus.”
“Wah, kamu baca? Hehe, makasih.”
“Pantas dibaca kok. Kamu emang suka nulis?”
“Yap. Sedikit-sedikit.”
“Kenapa sedikit? Total dong! Bagus, kok.”
“Aku nggak terlalu tergila-gila sastra kayak kamu, Ram.”
“Lho, kenapa? Tulisan-tulisanmu bagus.”
“Aku tetap pengen jadi arsitek.”
“Oke, gambarmu juga bagus. Mungkin lebih bagus dari tulisan
mu?”
“Haha, sialan. Iya, aku lebih fokus ke sana.”
9
“Senangnya jadi kamu. Kamu bisa merefleksikan secercah
keindahan dunia dalam gambar-gambarmu.”
“Arsitek hanya menggambar dimensi, Ram. Kamu juga, bahkan
kamu bisa memiliki sedikit keindahan dunia di atas kertas-kertasmu.”
“Setidaknya, kita beruntung jadi kita. Kita sudah menemukan
diri sendiri pada usia segini. Bukannya jumawa, tapi aku akui, kamu,
kita jauh lebih baik dari mereka yang masih sembunyi di balik bayang-
bayang orang lain.”
“Aku setuju. Aku beruntung kenal kamu, Ram.”
“Aku juga,” jawabku dalam hati.
Padahal dari blogmu aku mendapati beberapa keindahan.
Setiap kata yang kau eja, setiap baris yang kau tulis, setiap bait puisi
yang kau hembuskan nyawa, selalu saja membuatku merinding.
Entahlah, mungkin aku telah terikat kepada bagian dari dirimu. Dapat
kupastikan itu.
***
Keesokan harinya,
“Dhis, tadi malam kamu udah belajar?”
“Belum belajar blas! Kamu?”
“Hah? Udah, tapi gak masuk.”
“Duh, gak masuk kenapa?”
“Kebanyakan mikirin kamu mungkin.”
“...”
Bibirku menggores senyum saat mengucap itu. Aku kagum
dari caranya berkata “belum belajar blas.”, padahal nanti ada ulangan.
Namun, sekali lagi selain senyumnya yang magis ia memiliki otak
yang ajaib pula. Ditunjukkannya bukti sahih kecerdasan seorang insan
yang tanpa belajar banyak mampu meraih nilai yang nyaris sempurna.
Aku semakin tak menyesal telah mengenalnya, mengaguminya. Dan
lagi, ia seperti padi. Makin berisi makin menunduk.
***
Waktu berganti. Tahun pertama di putih abu-abu berlalu, dan
aku masih tak mampu mengungkapkan gunungan perasaanku
padan ya. Betapa beruntungnya aku, kebijakan sekolah nampaknya
berkonspirasi dengan hatiku. Mengapa? Karena ternyata kebijakan
itu membuatku bisa lebih lama mengagumi Gendhis. Kami akan tetap
10
sekelas untuk dua tahun kedepan. Tiga tahun di sini akan tetap indah
meski sejatinya ini cerita pahit. Cerita yang masih sama, tentang ia
yang tak kunjung bernyali untuk membuka. Tentang ia yang lebih
senang menunggu. Menunggu yang tak pasti. Tentang dia, aku.
Kulirik jam tangan. Ah, jam empat tepat. Sudah dua jam aku di
sini. Sepi, sendiri di meja ini, di ruangan ini. Di hadapanku terben
tang halaman-halaman Canting karya Arswendo Atmow iloto. Aku
tak begitu menikmati buku itu seperti biasanya. Aku hanya sedang
menikmati kesendirian. Sampai akhirnya getar ponselku membang
kitkan lamunanku. Sebuah pesan singkat dari Gendhis yang belakangan
tak sempat terbalas karena masalah klasik pelajar. Pulsa habis.
Baiknya, hari ini, aku sudah punya pulsa.
“Ram, kamu bisa ke kafe biasanya sekarang, nggak?”
“Ada apaan, sih? Ya, tunggu sebentar, ya.”
“Penting. Oke!“
Cukup. Tak lagi kubalas. Aku bergegas ke kafe di bilangan
Kotabaru. Kafe tempat biasa kami saling bertukar cerita. Tempatku
bisa memiliki dia seutuhnya. Di dalam hatiku.
Sesampainya di kafe,
“Ada apa, Dhis?”
“Tunggu, mau minum apa?”
“Biasan ya aja. Ada apa, sih?”
“Mbak, double espresso satu, ya!” serunya memanggil si pelayan.
“Dhis, kenapa?”
“Gini, Ram. Deadlinek u untuk artikel tempat-tempat bagus di
Jogja tinggal dua hari lagi, dan aku masih bingung tempat mana yang
bener-bener bagus,”ujarnya yang mendapat tugas membuat artikel
tersebut untuk majalah internal sekolah.
“Kamu 16 tahun di Jogja masih nggak tahu tempat-tempat keren
nya?”
“Candi? Tamansari? Kantor Pos? Vredeburg? Kraton?” tanya dia.
Aku hanya menggelengkan kepala, heran.
“Ini jam 5 sore. Malam ini juga aku kasih tahu kamu tempat
paling keren di Jogja.”
“Serius? Makasih banyak lho, Ram.”
11
“Itu memang tempat yang dari dulu ingin aku tunjukin ke kamu,
Dhis.” batinku.
Double espresso pesananku datang. Kulingkarkan jari telunjukk u
di gagangnya, meniupnya mesra, dan segera menyesapnya. Hangat,
pahit. Seperti dua yang dipertemukan dalam suatu kebetulan, saling
jatuh cinta tanpa perlu lagi alasan.
“Hmm.. double espresso lagi. Kenapa?” dia bertanya seperti se
tahun lalu. Dan kukira, inilah saatnya dia tahu tentang kopi ini.
“Oke, cobain kopiku!” Gendhis menyesap double espressoku.
“Hueeekk! Pahit! Seleramu jelek, Ram,” katanya.
Aku terbahak. “Haha! Itulah sensasinya. Kamu ingat waktu di
Merbabu dulu aku pernah bilang apa.”
“Yang soal apa? Kita bicara banyak waktu itu.”
“Yang tentang kopi. Inilah kopi itu dan sedikit keterangan dari
jawabanku,” jawabku sembari menghela nafas, merasa lega ia masih
mengingatnya.
“Pahit banget, sih!” katanya.
Namun, kulihat goresan senyum ikhlas di wajahnya.
“Iya,” balasku datar.
“Eh, kamu sudah salat ashar belum? Aku nggak mau kalo kamu
ke sini tapi belum salat. Nanti sebelum ke tempat itu, kita maghriban
dulu.”
“Sudah, manis. Iyalah, pasti.” jawabku sedikit menggoda.
Itulah salah satu yang membedakan dia dengan gadis lainnya. Dia
selalu mengingatkanku untuk ibadah, dan aku sendiri tahu kalau dia
adalah seorang muslim yang taat. Aku sudah yakin kalau pertemuan
kita bukan kebetulan, Allah SWT telah mengatur segalanya sampai
sejauh ini. Intervensi dari Sang Kuasa membuatku bertemu dengan
mahakarya-Nya berupa bidadari yang sekarang ada di depan mataku.
“Hih. Tunggu-tunggu, secinta apa, sih kamu sama kopi?”
“Hah, kenapa? Kami cuma sahabat yang melepas rindu dalam
beberapa tegukan. Dia mendengarkanku, dan aku mampu dengan
cerdas menyayanginya.” jawabanku terdengar gila. Namun, sudah
mampu membuat Gendhis menyunggingkan senyumnya lagi.
“Jelas aku lebih sayang kamu lah, Dhis. Karena perasaan ini beda
dengan kopi, yang bisa dibuat lagi dengan rasa yang sama,” batinku.
***
12
Sesuai janjiku tadi, kuantar dia ke salah satu tempat terkeren di
Jogja. Atau mungkin... Tempat paling romantis di Jogja.
“Sudah sampai!” ikatan penutup mata masih terpasang di
matanya. Aku meraihnya untuk segera turun dari mobil klasikku.
“Terima kasih. Sudah sampai?”
“Sudah. Hirup dulu aromanya, yakinkan ini akan jadi objek
tulisan yang indah!” kataku sambil melepaskan penutup matanya.
Dia mengendus aroma di sekitar sini.
“Petrichor! Hah! Ini kan cuma Taman Grha Sabha Pramana. Ada
apa di sini?”
“Ada apa di sini? Di sini ada magis, kamu lihat remang lampu-
lampu putih dan kuning itu? Mereka laksana lampu sorot pada suatu
pertunjukan, dan kita adalah pemainnya.”
“Iya. Sebenarnya keren sih. Ada lagi yang langka di sini?”
“Entah ini pengalaman sial atau beruntung. Kamu akan bertemu
dengan ibu-ibu paruh baya yang mengaku peramal zodiak yang
mencari sumbangan untuk panti asuhan. Aku sudah mengalaminya
dua kali.”
“Bagaimana hasilnya? Kamu percaya?”
“Cukup tahu saja. Ah, tak terlalu buruk.”
Dia mulai menulis. Aku menemaninya. Aroma petrichor juga
tercium disini. Kami berdua menyukai aroma itu. Udara bahagia
memenuhi pikiranku saat ini. Setelah setahun lebih, akhirnya aku
berhasil juga mengajaknya ke tempat ini. Surganya orang Jogja
untuk bercumbu. Dan sebagai manusia yang berpijak di tanah Jogja,
kau akan merasa rugi jika tak pernah merasakan magis tempat ini.
Sembari menuntunnya untuk menulis, ingin aku mendekapnya. Tapi,
sekali lagi, tak ada satupun partikel bernama ‘nyali’ di otakku saat
ini. Tentu saja, sekarang aku merasa benar-benar bahagia. Bahagia
saat aku merasa memiliki Gendhis seutuhnya. Pemikiran yang agak
egois memang. Tapi, itulah yang kini kurasakan.
***
Setiap pagi, sambil membaca beberapa cerpenku, aku menan
tinya datang. Dia murid yang lucu, kadangkala Gendhis “gemar”
telat masuk sekolah dengan alasan yang membuatku tersenyum. Dia
memasang muka masam nan lugu dipadu dengan perasaan yang
13
entah tak terdefinisikan olehku, semuanya terpancar dari wajah
manisnya. Terpaan cahaya pagi yang sedikit menyilaukan wajahnya
ikut menceritakan secara tersirat peristiwa pagi itu. Pelajaran pertama,
kedua, istirahat, jam kosong, istirahat, pelajaran ketiga, sampai
akhirnya pulang sekolah.
Esoknya, seharian aku sibuk menulis suatu “teori” tentang
konspirasi semesta yang berperan besar terhadap tumbuhnya cinta
bagi para anak manusia. Saat pulang sekolah, aku meminta Gendhis
untuk menilai tulisanku.
“Dhis, dibaca ya terus dinilai! Thanks!”
“Hah, apa ini?”
“Udah, baca aja!”
Selagi ia membaca, aku diam memandanginya. Ya Tuhan...
Harus berapa kali aku berterimakasih pada-Mu akan anugrah ini.
Mengenalnya, memandangnya, mendengarnya, dan berbicara
dengannya ialah keberuntungan yang tiada terganti apapun. Aku
melihat matanya, suatu tatapan tulus mengarah pada tulisanku.
Sejurus kemudian giliran bibirnya yang mengukir senyuman favoritku
itu. Ia seakan tahu bahwa senyum itulah yang kunanti sedari tadi.
Lalu saat dia selesai membaca, tanpa sepatah kata pun dia berlalu,
keluar kelas. Aku melihatnya memandangi hujan. Sejenak aku dapat
memahaminya, dia pernah mengalami seperti tulisanku tadi.
“Kenapa, Dhis?”
“Nggak apa-apa, Ram. Bagus kok tulisanmu.”
Kata “Nggak apa-apa” yang keluar dari mulutnya hanya bisa ku
telan mentah-mentah. Aku tahu yang dirasakannya. Aku tak mau
membahas itu. Aku hanya ingin tahu kualitas tulisanku di matanya.
“Gimana tulisanku, Dhis? Bagus aja?” tanyaku sedikit terbahak.
“Terlalu klise, terlalu melankolis. Tapi... Amazing!” ujarnya ter
bahak pula memecah suasana yang sempat sendu tadi. Aku pun ikut
tertawa. Itu terakhir kali aku mampu membuatnya tersenyum dan
tertawa.
Terakhir kali. Tak terjadi lagi. Sayangnya, suasana itu tak abadi.
Setelahnya, aku hanya menjadi saksi hidupnya. Dengan seenaknya aku
mengobarkan kasih tanpa tahu kapan harus berhenti. Sedangkan dia,
Gendhis, sudah dapat kusimpulkan bahwa dia lebih condong pada
14
suatu yang lain. Ya, Andro, Mantan kekasihnya dulu yang secara tiba-
tiba memintanya kembali. Aku tahu, Gendhis masih sayang padanya,
dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak mau merusak segalanya.
Esoknya, sepulang sekolah dia menghampiri mejaku,
“Ram, kantin, yuk! Aku mau cerita,”ajaknya ceria.
“Nanti dulu, ya,” jawabku sambil pura-pura sibuk.
“Halah, ayo sekaranglah!”
“Kamu duluan aja sana, nanti aku nyusul.”
“Oke aku tunggu, yaa..”
Aku tak sempat menjawabnya lagi, dia sudah berlalu ke kantin.
Aku tak habis pikir, dia sangat gembira sekarang karena Andro, mulai
mendekatinya lagi. Dia sendiri yang bercerita padaku, aku selalu
mencoba menjadi pendengar yang baik meski sekarang terkesan seperti
tempat sampah yang sempurna baginya. Sekarang dia girang gemilang,
dan aku tahu bukan aku penyebabnya. Bukan aku, dan memang tak
akan pernah membuatku menjadi penyebabnya. Aku sendiri sadar
bahwa dia semakin dekat dengan lelaki lain, dan aku memperburuk
keadaan dengan menjadi semakin tak pandai membuatnya tertawa,
atau bahkan sekedar tersenyum. Aku hanyalah seorang yang ahli
mengukir elegi. Aku mulai menuju kantin. Menemuinya.
“Gimana, Dhis? Kayaknya seneng banget.”
“Biasa aja sih, Ram. Gini, aku bingung ternyata Andro beneran
mau balikan sama aku. Ternyata, dia nggak main-main”
Tiba-tiba ada rasa muak yang entah datangnya dari mana.
“Trus, gimana?!” tanyaku ketus.
“Aku sudah maafin dia kok, Ram.”
“Memaafkan, Dhis? Dhis, dulu laki-laki ini tanpa sebab me
ninggalkan kamu begitu saja. Dan sekarang, dengan mudahnya semua
kenangan buruk itu menguap dan terganti euforia kembalinya dia!
Iya?” Kusesap kopiku sampai habis sebelum meneruskan kalimatku.
“Harus butuh berapa kali lagi laki-laki ini membuatmu me
nangis? Harus berapa lama lagi kamu berpura-pura kuat? Yang kamu
butuhin itu bahagia yang nyata, Dhis, bukan perasaan sesaat ataupun
cinta karena penasaran!” kataku. Gendhis menatapku tajam.
“Rama, itu dulu, tiga tahun lalu! Setiap orang berhak dapat
kesempatan kedua! Hatiku, ya hatiku. Kepada siapa aku jatuh cinta
15
itu urusanku. Ini bukan perasaan sesaat, aku sayang dia,” Gendhis
berkelakar.
“Tapi kamu nggak bahagia!” balasku.
Kugenggam erat cangkirku. Aku merasa sesuatu di kepalaku
akan tumpah sebentar lagi.
“Kamu selalu begitu, selalu jatuh cinta dengan orang yang salah.
Kamu selalu membuka pintu bagi mereka yang kamu sayangi, bukan
bagi mereka yang sayang kepadamu. Tanpa kamu tahu mereka yang
kamu damba justru balik menginjak-injakmu,” kataku semakin muak.
Tak kusadari nadaku meninggi. Tapi, aku tidak peduli. Apapun
akan kulakukan agar dia mengerti. Seketika air menumpuk di
pelupukn ya. Terus membuncah, menetes satu demi satu, lalu akhirnya
membanjir.
“Ram... aku nggak bisa,” Gendhis terbata.
“Aku capek... setiap kesempatan dariku selalu dianggap lelucon
oleh mereka... Tapi aku nggak bisa menghindar. Aku udah jatuh,
dalam banget... Dan buat manjat ke atas udah terlambat. Kali ini, I
guess he’s the right one,” kelakarnya.
Aku tergelak. Tiga tahun berteman, dan hari ini, Gendhis Juwita
Putri, seorang perempuan yang kukenal cerdas dan pandai berargumen,
berpikir rasional. Gila. Cinta sanggup membuat orang menjadi gila,
gila sekali. Cinta merusak sistem bernama logika, memutus setiap
kabel, dan menggantinya dengan imaji maya berbentuk siapapun
dia yang kita puja.
Aku menarik nafas panjang.
“Gendhis, aku lelah! Aku lelah menjadi tempat sampahmu,
menampung semua keluh kesahmu. Aku lelah untuk harus selalu
mengingatkanmu. Aku bukan kopi pahit yang setiap saat ada untuk
menamparmu. Kamu seharusnya bahagia. Kamu seharusnya memilih
siapa yang membuatmu bahagia. Karena... Ah, sudahlah.
Kuambil tasku dan bergegas pergi.
“Bye, Dhis.”
Di tengah deras, aku mematung. Sepersekian detik, aku bisa
melihatnya memandangku sendu, seakan memintaku untuk tetap
tinggal. Tubuhku terasa robek menjadi dua. Sebagian diriku ingin
kembali, mendekapnya, mengecup keningnya, dan mengatakan
16
“Tenang, di sini, kamu aman”. Sebagian lainnya memilih menyerah
dan pergi memb iarkannya terisak. Namun pilihan apapun, sepertinya
akan sia-sia saja.
Aku semakin sadar bahwa yang disebut konspirasi semesta itu
butuh waktu. Beberapa sahabatku yang tahu akan hal ini terus mem
bujukku supaya melupakan dia. Aku sendiri tahu, cinta juga butuh
logika. Tidak bisa hanya dengan mengutamakan perasaan yang bisa
mengubahmu menjadi bisu dan tuli, yang mampu mengubahmu
menjadi budak waktu untuk senantiasa diam menunggu. Selalu kucoba
menikmatinya meski bukan karena aku. Aku tahu, ini bukanlah derita,
tapi sesuatu yang harus dicoba.
Semakin bisa kusimpulkan bahwa “kami” bukan lagi hanya
sekedar aku dan dia. Melainkan “kami” ialah aku merasakannya dan
dia yang tak entah tak pernah, tak perlu, atau tak mau tahu.
***
Kini aku merasa semakin jauh, jauh darinya. Gendhis, ia sudah
tidak pernah lagi mengajakku ke kantin dan melakukan hal gila
lainnya. Kami menjadi canggung, dan aku memperburuk keadaan
dengan tidak berani menyapa bahkan hanya menatapnya. Meski
aku masih merasakannya, aku mencoba menutupinya. Lagi, aku
membohongi diri sendiri. Keesokan harinya, aku mencoba tenang.
Saat di kantin, meja paling barat bukan menjadi milik kami lagi.
Meja ini seketika menjadi privasiku, dan aku tidak senang dengan ini.
Tiba-tiba Benny tiba-tiba menghampiriku dan tak dinyana dia bertanya
perihal Gendhis. Mengejutkan! Seorang teman laki-laki yang kukenal
skeptis dan terkesan noncinta, ternyata paham juga dengan beberapa
hakikat cinta yang bahkan tak pernah kubayangkan sebelumnya.
“Ram, kamu masih nunggu Gendhis? Sudah, belajarlah meng
ikhlaskan!”
“Nggak tahu, Ben. Biarlah dia bahagia sama Andro,” aku ter
senyum menjawabnya.
“Aku bingung, kenapa dulu kalian nggak pernah jadian?”
“Karena dia nggak pernah punya rasa yang sama kayak aku.”
“Gimana kamu bisa tahu? Kamu aja belum pernah bilang,” Benny
terus mencecar.
17
“Aku tahu, dia kemarin yang bilang. Dia mau balikan sama
Andro.”
“Oh. Aku kasih tahu kamu beberapa hal tentang cinta, Ram.”
“Apa? Gimana?” aku penasaran terhadap kata-katanya.
“Ram, cinta itu bisa datang. Cinta juga bisa memilih. Dan cinta
juga bisa pergi. Tapi ada satu hal yang dia nggak bisa.”
“Apa?” aku benar-benar penasaran.
“Cinta nggak bisa menunggu, Ram.”
“Hmm...,” sebenarnya aku terhenyak.
Aku menyesal telah menilainya sebagai skeptis sejati yang sangat
awam tentang cinta. Namun, sekali lagi, aku salah.
“Cinta nggak bisa menunggu, Ram.”
Kata-kata Benny tadi menohok jantungku. Bukan. Bukan hanya
karena ia skeptis yang mendadak melankolis. Pun juga karena kata-
katanya tadi bermakna besar. Iya, menunggu memang bukan pekerjaan
yang menyenangkan. Kau hanya akan berkawan ketidakpastian
dan kebimbangan. Menunggu adalah pekerjaan yang mengesalkan.
Menunggu membuatmu gelisah. Menunggu membuatmu resah dan
tak nyaman. Dan kau hanya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang
akan terjadi selanjutnya.
Aku tak pernah ingin mengakhiri hangatnya persahabatan kami
selama dua tahun yang sarat makna ini. Maka dari itu, dari pertama
aku dekat dengannya, tak pernah tercipta nyali untuk mengatakannya.
Berusaha menjaga perasaanya adalah bukan perkara mudah. Aku tak
ingin mengakhiri persahabatan ini hanya karena lahirnya perasaan
berlebihan secara sepihak. Dua tahun adalah waktu yang terlalu
lama bagi kami untuk saling canggung. Dan aku sudah senang bisa
memilikinya sebatas sahabat, walau kadang ada hati yang meronta
untuk meminta lebih.
“Maaf jika aku tak pernah menyanyangimu dengan cara yang
kau mau. Karena aku tak pernah tahu.”
***
Aku semakin paham. Melati akan selalu ada di sela-sela batu
gunung itu. Semakin tegar sungguhpun angin menerpanya untuk
terjatuh dan menjauh. Ia tetap tumbuh walau raganya terhimpit
bebatuan gunung. Bagaimanapun juga, apapun yang terjadi, Gendhis
18
tetaplah seperti melati itu. Tak perlu lagi ada bantahan tentangnya.
Sekarang aku masih sibuk berharap, dan tentu saja menu
lis. Menulis fiksi yang terus kuharapkan menjadi realita. Isinya
kujadikan lebih baik supaya realita itu semakin baik pula pada
akhirnya. Harapanku supaya Gendhis membaca dan menyadarin ya.
Menyadari bahwa kebahagiaan itu pernah nyata. Gendhis, kau wujud
kebahagiaan itu.
Aku gagal menjadi pangeran layaknya namaku. Mungkin kini
aku hanya sosok kurcaci yang senantiasa mengganggu mekarnya
melati itu. Sosok kurcaci yang dicintai kesendirian. Dan kini si kurcaci
hanya bisa menunggu putri yang masih saja terlelap dan bermimpi
tentang pangeran lain bersama denting waktu di istana.
Jika suatu saat kau tanya bahagiakah aku saat ini, maka jawabku
adalah, “Ya, aku bahagia.”. Ya, karena memang aku bahagia. Aku
melakukannya dalam diam dan aku bahagia. Mungkin akan tiba
saatnya aku merasa lelah dan kau benar-benar tidak membuka hati
untukku.
Lelahmu, jadi lelahku juga
Bahagiamu, bahagiaku pasti
Berbagi, takdir kita selalu
Kecuali, tiap kau jatuh hati
Kali ini, hampir habis dayaku, membuktikan padamu, ada cinta
yang nyata
Setia, hadir setiap hari
Tak tega, lihat engkau sendiri
Meski seringkali, kau malah asyik sendiri.
Ah, lagu itu. Si penyanyi kafe menyanyikannya tak terlalu baik.
Bungkam tak menenangkan. Pergi pun tak beralasan. Melupakan
bukan jawaban. Yang jelas, jika suatu saat kau memutuskan untuk
bersamaku, tentu hatiku siap menerima. Bersamaan dengan lagu yang
sedang dinyanyikan oleh penyanyi kafe, aku terhanyut. Suaranya
memang tak begitu indah, tapi lirik dari lagu itu yang dalam.
Bersamaan dengan asap kopi kelima yang memudar. Aku mengerti,
cinta ini sudah terlalu tua.
19
SENJATA MAKAN TUAN
Novisca Dyah Ayu L.
Lonceng tanda pulang sekolah telah berbunyi. Sesampainya di
rumah, Mama sudah menyiapkan makan siang untuku. Ayam goreng
pun habis aku santap di meja makan. Mama yang melihatku makan
begitu lahapnya hanya menggelengkan kepala. Selesai makan aku
duduk di teras rumah dan bermain-main dengan Lala, kucingku yang
pintar dan cantik. Lala selalu menemaniku dalam keadaan apa pun.
Lala selalu mengerti setiap keinginanku.
Bang Rado, abangku, orangnya super jail. Dulu aku sering
dibuat menangis olehnya. Menurut teman-teman sekolahku, abangku
orangnya ganteng dan pesonanya bikin cewek-cewek tertarik. Memang
sejak SMP dia selalu pintar menaklukan hati cewek,
“Wah Icha, udah pulang sekolah Cha? Lagi main sama Lala,
ya?” Bang Rado yang baru pulang kuliah sok menyapaku dengan
mengelus-elus kepala Lala.
“Udah tahu, tanya lagi!” jawabku ketus.
“Kok ditanya jawabnya jutek sih, adiku yang cantik!” dengan
tangannya mencubit pipiku.
“Tumben baik? Pasti ada maunya?” selidikku.
“Enggak. Cuma mau minta tolong saja. Nanti kalau Filla datang
ke sini, tolong bilang saja kalau aku lagi pergi, nganterin Mama
membeli bunga.”
“Tapi, kan Mama beli bunganya nanti sore sama Papa, Bang?”
kataku sambil mengkerutkan kening.
“Alah …, bilang aja gitu Cha, nanti gue kasih surprise, deh!”
“Oke! Awas Saja ngasih kecoa! Tidak akan pernah aku tolongin
lagi!”
“Makasih, adiku yang cantik.”
Bang Rado dengan mencubit pipiku dan bergegas masuk rumah.
***
20
“Permisi,” suara wanita terdengar dari pintu gerbang.
“Iya…! Tunggu sebentar!” teriakku sambil berjalan menuju
gerbang.
“Cha, abangmu ada?” tanya Kak Rusyda dengan suara yang
lembut.
Aku pun terdiam sejenak dan berpikir. Tadi kata Bang Rado kalau
Kak Filla datang, suruh bilang kalau Bang Rado lagi nganterin Mama
membeli bunga. Peraturan ini berlaku nggak ya buat Kak Rusyda.
“Sayang…, sudah lama? Gimana sih Cha, kok pacarku tidak
disuruh masuk?” Bang Rado yang tiba-tiba keluar dari rumah menuju
gerbang.
“Baru saja nyampek kok. Langsung berangkat, yuk!” Kak Rusyda
langsung menggandeng tangan Bang Rado untuk masuk ke mobil.
“Inget pesanku tadi, ya Cha!” teriak Bang Rado dari mobil dan
langsung melaju kencang.
“Dasar playboy nggak modal! Masa pergi pakai kendaraan milik
ceweknya, sih?” desisku lirih.
***
Aku dan Lala yang lagi asik menonton teve. Tiba-tiba terdengar
bunyi bel depan rumah.
“Pasti Papa?” kataku lirih dengan berjalan menuju pintu.
“Hai Icha, abangmu ada?” suara Kak Filla yang serak-serak basah
mengawali pembicaraan setelah aku membuka pintu.
“Oh, baru aja pergi sama Mama beli bunga, Kak” jawabku dengan
menggaruk kepala.
“Kira-kira pulang jam berapa ya? Tadi aku telepon handphon-nya
nggak bisa” dengan wajah kecewa dan cemas.
“Mungkin nanti sore, Kak!” jawabku dengan keningku meng
kerut.
“Ya sudah besok Kakak kesini lagi saja. Tolong sampaikan ke
Abangmu ya, Cha. Kakak pulang dulu, salam buat Papa dan Mama,”
katanya dengan wajah yang penuh kekecewaan.
“Iya Kak, hati-hati ya. Pasti nanti aku sampaikan!” balasku yang
membuat Kak Filla tersenyum.
Kak Filla pun bergegas pergi. Aku dan Lala melanjutkan menon
ton teve di ruang keluarga. Tak terasa aku tertidur hingga jam makan
21
malam. Mama tidak membangunkanku. Mungkin Mama tahu kalau
aku suntuk menyelesaikan tugas-tugas di sekolah. Aku pun segera
mandi dan menyusul ke ruang makan. Terlihat Mama, Papa, dan Bang
Rado sedang menungguku untuk makan malam bersama.
“Eh…, Tuan Putri sudah datang. Kita baru bisa makan nih,
padahal perutku sudah keroncongan dari tadi,” ledekan Bang Rado
di meja makan.
“Sini, Sayang!” kata Papa dan Mama kompak.
“Maaf, ya Pa, Ma, Icha ketiduran,” jawabku sedikit menghela
nafas.
“Ih, tadi habis buat pulau di bantal, ya Cha. Ih jorok, bau. Mama,
besok bantalnya langsung dicuci, ya jangan sampai baunya menyebar
ke seisi rumah ini!” ejekan Bang Rado dengan tertawa lepas.
“Apa sih! Kamu tuh yang jorok. Diam kenapa? Lihat saja nggak
bakalan gue bantuin lagi besok-besok!” balasku dengan wajah yang
memerah.
“Sudah-sudah ini meja makan bukan tempat sidang!” Mama
mencoba meleraiku dengan Bang Rado.
“Bang Rado yang mulai duluan! Oh iya, tadi Kak Filla ke sini,
Ma, nyariin Si playboy gak modal ini! Oh ya, Kak Filla titip salam buat
Mama sama Papa,” ujarku dengan suara lantang yang menyindir
Bang Rado.
Bang Rado tiba-tiba tersedak dan Mama segera memberikan
segelas air putih, sedangkan Papa hanya tersenyum.
“Oh, iya surprize yang aku janjiin tadi siang sudah ada di kamarmu,
Cha!” ujar Bang Rado dengan wajah yang tidak meyakinkan.
***
Setelah selesai makan malam aku langsung bergegas masuk
kamar dan membayangkan surprize yang diberikan Bang Rado
kepadaku. Saat menaiki tangga aku baru sadar bahwa Lala tidak
bersamaku. Biasanya Lala selalu menemaniku. Ketika aku mandi pun
Lala selalu menungguku di depan pintu kamar mandi. Aku bingung
mencari Lala, di dapur, di kamar Papa, Mama, ruang tamu, ruang
keluarga, ke semua ruangan sudah aku geledah sampai taman depan
rumah pun sudah aku cari, tetapi hasilnya nihil. Lala menghilang bak
22
ditelan bumi, padahal tadi saat menonton teve, bahkan ia juga tidur
di sampingku.
“Ma, tahu Lala?” teriakku dengan wajah yang bingung.
“Enggak, Sayang. Dari tadi kan main sama kamu,” jawab Mama
yang sedang melihat-lihat majalah di ruang keluarga.
“Pa, tahu Lala?
“Enggak, dong. Tadi kan tidur di depan teve sama kamu,” jawab
Papa yang sedang sibuk menyelesaikan tugas kantornya.
Aku memang sengaja tidak menanyakan Lala pada Bang Rado
karena pasti dia akan mengejek dan menertawakan aku. Aku pun
bergegas masuk kamar. Perasaanku sedih kehilangan Lala malam
ini. Saat aku merebahkan tubuhku, terdengar suara Lala disekitar
ruang kamarku.
“Meaong, meaong”
Saat aku mencari-cari di mana asal suara itu, ternyata suara
itu adalah Lala yang ada di bawah tempat tidur dengan kaki terikat
serta badan Lala penuh dengan cat. Dan aku menemukan surat yang
bertuliskan seperti ini.
Cha, ini surprize buat kamu. Lala aku bikin anak gaul. Aku kasih cat
biar tambah funky men. Dari Abangmu paling ganteng.
Rado.
“Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” teriakanku
“Iya, kenapa Icha?” Mama yang terlihat panik menghampiri
kamarku.
“Ini Ma, Lala jadi kayak gini gara-gara Bang Rado,” kataku sambil
meneteskan air mata.
“Haduh, Lala malang sekali nasibnya. Sudah-sudah jangan
menangis!” Mama memeluku dan mengusap air mata yang menetes
membasahi pipiku.
“Ada apa, Ma? Icha kenapa?” tanya Papa yang langsung datang
ke kamarku dengan raut wajah panik.
“Ini, Pa. Si Lala jadi kayak gini. Ini pasti ulah Rado!” Mama
menjelaskan kepada Papa.
“Papa kira Icha kenapa? Jangan cengeng dong! Putri Papa yang
23
paling cantik pasti tidak cengeng, kan? ” Papa mencoba menenang
kanku.
“Tapi Bang Rado, Pa, bikin kesel!” letusku dengan terus menetes
kan air mata.
“Abangmu sayang kok sama kamu, makanya dia senang sekali
menjailimu” hibur Papa mengheningkan suasana.
Perasaanku masih kesal, rasanya ingin aku caci maki tuh playboy
nggak modal. Kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku. Teramat
berisik suara dari kamarnya. Seperti biasa Bang Rado menutar musik
sampai bikin gendang telinga mau pecah.
***
Pagi telah menyambut, semua sudah berkumpul di meja makan
untuk sarapan, termasuk Bang Rado.
“Tuan Putri mau makan apa?” seloroh Bang Rado.
Aku pun hanya terdiam karena masih marah mengenai
perlakuannya tadi malam.
“Meaong..meaong.”
Suara Lala yang meraung-raung juga kesal melihat Bang Rado.
“Icha kok diem? Sakit gigi, ya? Wah nanti harus di bawa ke
dokter tuh biar di suntik giginya,” ledek Bang Rado semakin menjadi.
“Mau ayam goring, nggak?”
Aku tetap diam tak bereaksi
“Nggak mau, ya. Ya sudah. Ayam gorengmu aku makan, ya?
Nyam, nyam,” ujar Bang Rado yang membuat wajahku mulai meme
rah menahan amarah
“Ini, La. Gue kasih. Enak, kan?” ujar Bang Rado menyodorkan
setengah daging ayam kepada Lala
“Meaong,” Lala mengiyakan ucapan Bang Rado
Aku tetap diam dan semakin kesal melihat Lala menikmati
ayam yang Bang Rado berikan. Aku hanya minum susu yang sudah
disediak an Mama. Setelah selesai aku pamitan dengan Papa Mama
tanpa mempedulikan Bang Rado di sebelahku. Dalam hati aku masih
dongkol dan marah dengan Bang Rado, aku lalu menceritakan kepada
sahabatku Devi.
“Hah sampai segitunya?” ujar Devi setelah aku selesai bercerita
“Iya, dia keterlaluan banget!” ujarku menunjukan kekesalan
24
“Abangmu emang harus dikasih pelajaran, Cha. Biar dia kap ok!”
Devi memberi solusi
“Tapi apa? Nanti kalau aku kerjain balik, dia bakalan lebih ngeri
lagi ngerjain aku”
“Gini, dia paling takut sama apa? Kamu kan adiknya pasti
tau dong kelemahan abangnya apa? Manusia itu nggak ada yang
sempurna, Cha,” ujar Devi.
“Hmmm, aku inget sekarang kalau Abangku paling takut kalau
ketahuan selingkuh.”
“Nah, mendingan kamu jebak, tuh Abangmu”
***
Sepulang sekolah aku mengatur rencana supaya bisa menjebak
Bang Rado. Di teras rumah aku dan Lala bermain seperti biasa tapi
kini aku banyak diam karena memikirkan strategi yang tepat.
“Icha,” suara lembut dari dalam rumah memanggilku
“Eh, kak Rusyda? Udah lama kak?” suaraku yang mendadak
serak.
“Sebelum kamu pulang sekolah, kakak sudah didalam, Cha.
Sekarang mau ke Mall cari baju sama Abangmu,” kata Kak Rusyda
dengan tatapan wajah yang berbinar.
Aku bergegas masuk kamar dan segera menelefon kak Filla, aku
akan ajak kak Filla ke Mall biar bisa mergokin Bang Rado dengan
kak Rusyda.
***
“Kak Filla?” teriaku dengan melambaikan tangan pada kak
Filla yang terlihat di seberang toko dalam Mall. Kak Filla pun
menghampiriku.
“Ada apa, Cha? Kok ngajak ketemu disini?” suara kak Filla yang
terdengar tenang dan dewasa.
“Kasihan kak Filla harus jadi korbannya Abangku yang playboy
itu,” desisku lirih.
“Apa sih, Cha? Kakak nggak denger,” kata Kak Filla sambil
memegang tanganku.
“Nggg, ngajak jalan-jalan aja. Icha bosen kak dirumah,” jawabku
bohong.
25
“Ya sudah kita lihat baju-baju disana, yuk! Biasanya Abangmu
selalu nemenin kakak cari baju disana,” ajak Kak Filla.
Dari jauh terlihat Bang Rado sedang menemani Kak Rusyda
melihat-lihat kemeja. Aku pun segera menggandeng kak Filla untuk
menghampiri mereka.
“Abaaaaaaang!” teriaku dari belakang Bang Rado seakan-akan
kaget. Bang Rado dan kak Rusyda membalik arah yang menatap aku
dan Kak Filla.
“Nggak nyangka Abang punya dua pacar. Sadar, Bang kasihan
kakak-kakak cantik ini,” ucapan panjangku dengan menggeleng-
gelengkan kepala.
Suasana pun tiba-tiba menjadi hening, keheningan yang cukup
membosankan. Tiba-tiba Bang Rado, Kak Filla, dan Kak Rusyda
tertawa terbahak-bahak. Bang Rado sampai mengusap air mata yang
keluar dari matanya, sedangkan Kak Filla dan Kak Rusyda tertawa
dengan memegang perut mereka. Aku bingung melihat kejadian ini.
Mengapa mereka malah tertawa, bukankah seharusnya mereka bertiga
bertengkar.
“Icha, Icha kedua kakak cantik ini memang benar pacar Abang.
Tetapi, mereka yang memaksa Abang untuk menjadi pacar mereka,
karena mereka berdua nggak akan rela kehilangan Abang,” ujar Bang
Rado dengan menahan tawa
“Iya, Cha, kami yang setuju kalau diduakan,” Kak Filla menyam
bung.
“Bener, Icha, kami sama-sama sayang sama Abangmu,” Kak
Rusyda menambahkan.
Aku pun hanya terdiam dan menundukan kepala karena malu.
26
KEMBARAN BERBULU DALAM KENDI
Sofia Aulia Zakiyatun Nisa
Kunang-kunang memamerkan kilau tubuhnya. Sayap mungilnya
membawa kunang-kunang menuju daun-daun hijau di belakang
rumah bewarna putih. Rumah itu asri dengan tatanan rerumputan
hijau yang tingginya sekitar satu meter. Pagar besi mengkilat dan
hitam membuat kesan megah rumah di Solo itu. Saat masuk ke
gerbang, pohon cemara dan mangga berjejer rapi membentuk setengah
lingkaran. Pintu bewarna emas memiliki gagang pintu bewarna
hitam, didampingi dua jendela berkaca besar. Ruangan rumah itu
jauh dari kata modern, namun tata ruangnya sangat elok dan bergaya
kerajaan. Di suatu sudut ruang ada sebuah kendi besar indah berkilau,
namun tidak ada yang tau asal-usul kendi bertinggi dua meter dan
berdiameter tiga puluh centi itu. Konon kendi itu ada sejak ribuan
tahun lalu, dan kendi itu menambah kesan tradisional rumah besar,
di tengah sungai itu.
“Ndhuk, ayo bangun!Shalat subuh dulu, ya. Habis itu bantu Ibu
di dapur. Ingat jangan tidur lagi, nanti rejekimu dipathok ayam,” kata
Ibu paruh baya berambut hitam sedikit putih.
“Njih, Bu.”
Gadis berambut panjang lurus, melipat selimut merah bergambar
panda. Kaki panjang berkulit putih menuntun gadis itu menuju
mushola rumah. Udara pagi yang mencoba merayunya, meski badan
kurusnya mulai bergetar, ia tetap melangkah. Keheningan menemani
gadis bernama Elma tersebut, butiran-butiran sungai mengalir dari
mata hitamnya. Ia ungkapakan semua keinginan dan pengganjal
hatinya pada Sang Ilahi. Setelah melipat mukena putihnya, ia melewati
lorong-lorong rumahnya menuju dapur.
Dapur berukuran tiga meter itu nampak indah dengan ukiran-
ukiran kayu disetiap dindingnya. Disampingnya terdapat meja bundar
dari kayu lengkap dengan empat kursinya.
27
“Bu, masak apa hari ini? Elma pingin opor ayam, nih,” rayu
Elma yang berhidung mancung.
“Nanti Ayah pulang, jadi kita masak nasi kuning kesukaan ayah
saja, ya. Nanti siang Ibu masakin opor, deh,” jawab Ibu beralis tipis itu.
“Ayah nanti pulang, Bu? Wah asik. Bisa mancing lagi, nih,” Elma
tersenyum, lesung pipit yang menghias pipinya membuat manis
wajahnya.
“Kamu ini, Ndhuk. Ndhuk, letakkan sayur-sayur ini di meja
makan, ya!”
Ibu Elma membersihkan dapur, lalu mencuci tangan berkulit
putihnya berubah menjadi hitam karena wajan tuanya.
“Bu, sudah siap. Mana ayah? kok lama banget,” Elma memajukan
bibir tipisnya dua senti.
“Ndhuk, Ayahmu kan selalu pesan sama kamu. Jadi orang itu
yang sabar, biar hatinya bersih dan tenang. Sebentar lagi juga datang,”
Bu Eka membelai lembut rambut anaknya.
“Tok, tok, tok.”
Elma segera mempercepat langkahnya menuju pintu.
“Assalamualaikum Putriku,” sosok tegap dan tinggi menyapa
Elma.
“Waalaikum salam, Ayah.”
Elma semringah. Di rumah besarnya itu Elma hanya tinggal
bersama ibunya. Ayahnya memiliki jabatan tinggi di Jakarta, hanya
hitungan hari dalam sebulan Elma bisa melihat ayahnya. Sementara
itu, ayah dan ibunya selalu mengatakan bahwa Elma anak tunggal.
“Yah, gimana kabarnya?” Bu Eki menghampiri suaminya seraya
mencium tangannya.
“Baik, Bu, buktinya bisa sampai sini,” Pak Eki tersenyum.
Ruangan makan yang biasanya hening menjadi ramai dengan
canda tawa keluarga kecil itu. Kucing putih berbulu tebal dihiasi
dua mata yang bening, tiba-tiba menghampiri ruang makan. Dengan
sayang, Elma segera mengambilkannya ikan teri yang mungil. Kucing
itu mengangguk-angguk senang, dengan jarinya yang lembut Elma
mengusap bulu kucing yang lembut. Kucing itu sudah lama tinggal
dirumah Elma. Namun kucing itu berbeda dengan kucing lainnya.
Kucing bermata sipit itu selalu menemani keluarga Elma saat makan,
28
saat sholat, saat berkumpul bersama, dan semua hal yang dilaku
kan keluarga Elma. Kucing itu selalu tidur pada siang hari diruang
keluarga, namun pada malam hari tiba-tiba tak terlihat batang
hidungnya. Keluarga Elma selalu menganggap kucing itu seperti
keluarga, dan menyayanginya.
“Ibu, aku mau pindah rumah saja. Disini aku nggak punya temen,
nggak ada yang cocok sama aku. Masak sudah dua tahun disini aku
hanya mengurung diri di rumah. Hanya berteman tiang-tiang kayu
rumah ini. Aku kan bosan, kenapa sih dulu Ayah milih rumah ini?,
aku pokoknya mau pindah rumah,” Elma membuat siang yang terik
menjadi semakin panas.
“Ndhuk, sini duduk dulu. Jangan emosi dulu, ya, mari bicarakan
baik-baik, Ndhuk. Hadapi semua masalah dengan kepala dingin,”
Ibu Eka mencoba mendinginkan hati anaknya yang sedang terbakar,
matanya yang sipit itu mulai berkaca-kaca.
Rumahnya yang rindang, seolah-olah gersang. Otaknya berputar
keras untuk merangkai kata-kata yang pas dan tidak menyakiti hati
anaknya yang sedang membara.
“Begini, Ndhuk,” Bu Elma tidak meneruskan kata-katanya
setelah melihat pintu rumahnya terbuka.
“Ada apa ini, kok pada tegang gini,” Ayah Elma yang menggaruk-
ngaruk kepalanya yang penuh dengan rambut bergelombang.
Sebagai kepala keluarga yang bijak, Pak Eki berusaha tenang.
“Begini, Ndhuk,” Ibu Elma berusaha meneruskan kata-katanya.
“Ayah penasaran ni, ada apa sebenarnya?” Ayah Elma menyela.
“Ayah kalau penasaran jangan menyela, dong,“ Ibu Elma mulai
kesal.
Seisi rumah kembali hening, sementara Elma terus tertuduk
dan ketakutan. Dalam hatinya sebenarnya merasa takut akan marah
orang tuanya, namun disisi lain Elma juga takut jika perasaannya yang
selama ini tersimpan akan meledak hebat pada suatu hari.
“Begini Ndhuk,“ wanita berhati sabar yang telah melahirkan
Elma dan membesarkannya memulai pembicaraan lagi.
Namun suami yang menikahinya tujuh belas tahun lalu kembali
menyela.
29
“Bu, jangan lama-lama bicaranya, ya. Ayah mau ke kamar mandi,
nih. Sudah dua jam lalu nahan,” Ayah Elma tak meneruskan kata-
katanya saat istrinya pergi ke dapur dan melirik tajam menandakan
kemarahannya.
Elma tak berkata sepatah pun. Ia menatap lantai rumahnya yang
terbuat dari kayu bergaris-garis. Dalam diam ia menghitung jumlah
garis lantainya untuk menglabuhi tatapan ayahnya. Dalam hatinya
yang keruh itu semakin bingung karena ditemuinya lantai yang selama
ini diinjaknya bergaris sesuai tanggal lahir anggota keluarga besarnya
secara berurutan dari kakek neneknya yang beriringan. Apalagi ada
suatu lantai dengan garis yang sama dan berjejer. Ternyata garis pada
lantai itu sesuai dengan tanggal lahirnya. Ia semakin penasaran, seolah
ia lupa akan kepedihan hatinya.
“Minum dulu, ya Ndhuk,” Ibu Elma yang tiba-tiba muncul
memecahkan penasaran anaknya.
“Ayah jangan menyela lagi, ya. Begini Ndhuk jujur Ibu juga
bingung, mau menjawab apa. Namun ketahuilah bahwa sebelum
nenekmu meninggal tiga tahun lalu, beliau telah meminta ayah dan
ibu merawat rumah tua ini. Lalu ayah dan ibu hanya bisa menuruti
kemauan beliau dan pindah dari Jakarta kesini. Jangan kau kira kami
sebagai orang tuamu juga tidak melakukan sesuatu tanpa berpikir.
Ayah saja sampai rela hanya pulang sebulan sekali dan menyelesaikan
tugas politiknya di Jakarta, bolak-balik Jakarta Solo dengan ikhlas hanya
untuk mematuhi amanat nenek. Kita hidup bukan untuk bersenang-
senang, Ndhuk. Hidup bermasyarakat bukan untuk membesarkan
ego kita, dan memaksa mereka menerima ego kita tersebut, namun
kita yang harus bisa menyesuaikan diri dengan mereka. Cobalah
memahami orang lain, Ndhuk, bukan menuntut untuk dipahami terus.
Percayalah, suatu hari nanti kamu akan merasakan betapa nyamannya
rumah ini dan lingkungannya. Semua butuh proses, Ndhuk,” Ibu
Elma berkata panjang lebar.
“Oh itu, to masalahnya, Ndhuk. Benar kata Ibumu itu. Kita di sini
juga menjalankan amanat keluarga dari nenek. Kamu jangan khawatir
dengan hal-hal yang masih ada dalam bayanganmu. Tapi cobalah
menghilangkan bayangan itu dan menjalani dulu. Itu bisikan setan,
Ndhuk. Kalahkan itu. Kamu anak yang ceria dan kuat, kok. Ayah
30
pecaya putri ayah ini bisa menjalani proses hidup dengan baik. Ya ini,
Ndhuk namanya hidup, apa yang kita inginkan tidak selamanya bisa
terkabulkan, tidak seperti di surga. Namun pasti ada hal terbaik untuk
kita, dan keikhlasan kita menerima ketetapan Allah akan membawa
kita menuju surga kelak,” Ayah Elma menjernihkan suasana.
“Tapi rumah ini aneh, Yah. Pagi sampai sore rumah ini ramai
dengan suara hewan-hewan, tapi malam hari selau sepi. Kan serem,
apalagi kucing putih itu juga menghilang pada malam hari. Dan
banyak lagi keanehan rumah ini,” Elma berusaha membela diri.
“Hindari pikiran negatif, Ndhuk. Itu akan menghancurkan
dirimu sendiri. Cobalah menerima semua ini dengan ikhlas dan
qonaah,” Ibu Elma menasehati anaknya dan memandang suaminya
dalam-dalam menandakan rasa permintaan maafnya karena telah
bersikap tidak baik kepada suami yang telah setia kepadanya.
Elma tidak menjawab, ia segera mendekati orangtuanya dan
memeluk erat. Hatinya yang beku mulai mencair, ia mulai berjanji
pada dirinya sendirinya untuk selalu ikhlas menerima semua jalan
yang membentang panjang pada kehidupannya.
Embun pagi menuruni daun-daun hijau di rumah Elma, butiran-
butiran air berkejaran untuk saling mendahului, karena bola raksasa
diangkasa bewarna kuning cerah yang bercahaya mulai menghiasi
awan-awan putih. Perlahan, embun-embun yang menghiasi daun-
daun mulai menghilang. Daun-daun mulai dihinggapi hewan-hewan
mungil yang bersayap warna-warni. Burung-burung mulai bernyanyi
menyambut hari yang cerah. Elma meninggalkan pemandangan indah
itu dan masuk kedalam rumah.
Matanya yang tadi memandang indah alam sekitar, kini mulai
berpaling pada hewan berbulu yang tiba-tiba didepannya. Kucing
putih itu menggoyang-ngoyangkan ekornya yang panjang dengan
manja. Sepertinya kucing itu mengajak Elma bermain. Dengan sigap
Elma menggendong kucing yang dinamainya Elmi itu. Sementara Ayah
dan Ibu Elma sedang sibuk dengan pekerjaan massing-masing. Ayah
Elma membawa ember merah muda kesayangannya dan mengambil
sabun cuci untuk mobil sedan hitamnya, lalu memandikan mobil
yang berplat B tersebut. Ibu Elma sibuk menari-narikan jari-jarinya
di sebuah gagang pisau. Alat-alat dapur yang biasanya tertata rapi di
31
rak meja gantung di dapurnya menjadi berantakan. Kali ini ia akan
mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menghasikan hidangan
terbaik untuk keluarganya. Setelah beberapa saat keluarga kecil itu
mulai menyantap makanan yang dibuat Ibu Elma dengan lahap.
“Ndhuk, Ayah dan Ibu mau pergi ada urusan. Ibu mau arisan,
ayah mau rapat RT. Jadi kamu nggak masalah kan kalau dirumah
sendiri. Arisan dan rapat RT-nya dimajukan, karena nanti ada acara
rapat warga, kan Ndhuk. Ya wajar, lah Ndhuk, di Jawa memang
persatuannya kuat, kamu harus mulai bisa membiasakan, ya,” Ibu
Elma bersemangat dan memamerkan gigi gingsulnya. Ayah Elma
tak melanjutkan kata-kata istrinya seperti biasanya, hati, jiwa dan
fikirannya masih terfokus pada piring merah muda di depannya.
Elma hanya mengangguk setuju.
Jam bulat klasik bewarna coklat yang menghias tangan mungil
Elma menunjukkan pukul 09:00. Elma mondar-mandir di ruangan
rumahnya bingung, ia tidak tahu akan melakukan apa dirumah
sebesar itu. Hari minggu acara TV dipenuhi dengan film kartun,
sementara Elma tidak menyukainya, ia lebih suka melihat serial
drama yang berbau mistis dan horor, meski ia sering ngompol karena
ketakutan. Elma mulai berkeliling kepada seisi rumah tanpa berhenti.
Langkahnya mulai terhenti setelah dihadapannya ia melihat kendi
besar yang selama ini tersimpan dirumahnya. Rasa penasarannya
begitu hebat, ia memutuskan untuk mendekat dan menyentuhnya.
Anehnya pada dinding-dinding kendi yang halus itu ada bulu-bulu
kucing. Ia mulai memutar memori otaknya, beberapa detik kemudian
ia teringat bila bulu itu milik Elmi kucingnya. Ia berlarian menyusuri
ruangan-ruangan rumahnya, dan berharap menemukan sosok Elmi.
Harapannya pupus setelah orangtuanya pulang dan mengajaknya
pergi ke taman belakang untuk bersantai.
Elma terdiam karena tersimpan beribu tanya dalam benaknya.
Tatapannya jauh kedepan, dan tidak menatap ayah ibunya sama sekali.
“Ndhuk, ada apa lagi kamu?” Ayah Elma menatap Elma heran.
“Ndhuk, sampaikan saja pada kami. Kamu tidak bisa berb ohong,
kamu nampaknya sedang bingung begitu,” Ibu Elma ikut nimbrung.
“Aku mulai bingung dengan rumah ini lagi, Bu. Tadi aku melihat
kendi besar putih disudut rumah itu ada bulu Elmi. Tapi aku lihat
32
dalamnya tidak ada apa-apanya. Kalu Elmi masuk ke kendi itu kan
tidak mungkin, itu terlalu tinggi. Terus aku cari-cari Elmi, dia biasanya
kan masih ada di ruang keluarga,” Elma penasaran.
Ayah dan Ibu tidak menjawab dan hanya menunduk, sepasang
mata mereka yang sipit dan indah itu seperti tertutup saat menatap
Elma.
“Ayah, Ibu pasti tahu sesuatu, kan. Ayah ibu pasti menyembunyi
kan sesuatu, kan. Ayolah katakan padaku aku kan sudah mulai dewasa,
aku sudah SMA, Bu, sampai kapan Ayah Ibu merahasiakannya
dariku,” Elma mengeluarkan kata-kata yang bernada tinggi.
Namun orangtuanya tetap tidak menjawab. Burung-burung
gereja yang dari tadi mendengar pembicaraan mereka ikut terdiam.
Angin besar tiba-tiba menerpa taman belakang yang hijau itu.
“Sudah saatnya kamu mengetahui yang sebenarnya, Ndhuk.
Semoga kamu dapat mendengarnya denagn lapang hati,”Ayah Elma
membunuh keheningan yang mencekam beberapa saat yang lalu.
Jantung elma berdetak semakin cepat, ia tidak membayangkan
kebenaran apa yang sebenarnya selama bertahun-tahun. Ia menunggu-
nunggu kata demi kata dari ayahnya.
“Keluarga kita memiliki cerita yang turun temurun. Konon kendi
yang membuatmu penasaran itu adalah jelmaan nenek moyang kita
yang dulu pernah tinggal dirumah ini. Katanya nenek moyang itu
pernah kedatangan tamu yang mengatakan bahwa anak cucunya kelak
tidak boleh ada satupun yang kembar. Namun nenek moyang kita
membantah karena tidak mungkin keturunan kembar dihindari dari
keluarga besar kita, saat itu nanek moyang kita juga belum mengerti
mengapa keterunan kita tidak boleh kembar. Ternyata itu terjadi
karena sebuah kepercayaan yang kita juga tidak mengerti namun
telah mendarah daging selama bertahun-tahun. Lalu nenek moyang
kita dikutuk menjadi kendi. Itulah sebabnya kendi itu bersinar-
bersinar saat kita pandang. Dari kejadian itu tidak ada sanak saudara
kita yang berani menempati rumah ini, dan nenekmu memutuskan
agar kita tinggal dirumah ini, dengan harapan kita bisa menemani
nenek moyang kita itu. Mungkin akal kita tidak akan sampai untuk
memikirkan hal ini, tapi ini adalah sebuah kebenaran nak,” Ayah
Elma lalu berhenti bicara.
33
“Dan kucing putih dirumah kita adalah saudara kembarmu, ia
terkena kutukan pula. Ia akan kembali pada kendi itu setelah malam
tiba. Kami tidak bisa menolak takdir, Nak. Itulah yang harus kita
terima. Sementara jika kau hitung jumlah garis pada lantai rumah, kau
akan menemukan tanggal lahir yang berurutan pada silsilah keluarga
kita, jika kau temukan lantai yang berjumlah garis yang sama dan
berjejer, maka itu bertanda ada keturunan kembar dari keluarga kita.
Dan perlu kau ingat bahwa semua keturunan kita yang kembar akan
dikutuk oleh nenek moyang kita sendiri, agar nantinya tidak ada lagi
kendi besar berkilau dirumah ini. Kau mengerti, kan Ndhuk apa yang
kami maksud. Tolong kau terima ini dengan hati yang tenang dan
ikhlas, semua ini akan ada hikmahnya pada suatu hari nanti,” Ibu
Elma memeluk putrinya yang sedang menangis tersedu-sedu.
Elma tidak bisa berpikir mengapa ada masalah seperti ini pada
keluarganya. Seolah percaya dan tidak percaya. Tangis kesedihan
mengusik keluarga Pak Eki, ayah Elma. Keluarga kecil itu hanya
bisa berharap jika semua yang terjadi pada keluarga besarnya akan
memiliki arti tersendiri kelak.
“Pyar,” tiba-tiba suara menggelegar terdengar dari taman bela
kang.
Pak Eki dan keluarga kecilnya segera berlari dan mencari sumber
suara. Ternyata mereka menemukan kendi yang menjadi misteri
silsilah keluarganya pecah dan hancur berantakan.
34
RUMAH MISTERI
Alifia Nuralita Resqiana
Pagi yang cerah. Ah, bukan! Pagi yang sedikit mendung. Mentari
masih malu menampakkan diri. Seorang gadis berkacamata berjalan
melalui gerbang tua sekolah dasar. Tubuh mungilnya terbalut seragam
putih-merah. Sepatu berwarna merah jambu, kaos kaki merah jambu,
jam tangan merah jambu dan tasnya juga berwarna merah jambu.
Gadis manis berkulit putih ini pun berhenti di depan ruang kelas VI.
Ia menyisir rambut panjangnya dengan jari dan masuk ke dalam kelas.
Dilihatnya kerumunan anak-anak mengelilingi meja pojok kanan.
Meja Dodi!
“Sumpah! Aku denger sendiri dari Papaku!” ucap Dodi di tengah
kerumunan anak-anak berseragam merah-putih.
“Ada apa sih? Ribut bener...,” tanya gadis merah jambu.
“Aish, ketinggalan kamu, Pink! Udah telat!” seru Rangga sang
ketua kelas.
“Makanya aku tanya ada apa!” emosi si gadis merah jambu ter
pancing.
Fina, seorang murid hitam manis keluar dari kerumunan. Sebuah
bandana putih menghias rambut pendeknya. Fina menghampiri
Nadia, si gadis merah jambu, kemudian menceritakan berita heboh
yang didengarnya dari mulut Dodi. Menurut cerita yang didengar
Fina, semalam bapak-bapak yang tengah berjaga malam di pos ronda
melihat seorang wanita pendek berbaju putih berlari ke arah kebun
yang sangat luas milik Mbah Yadi. Bapak-bapak menyangka wanita itu
pencuri, maka mereka mengejarnya. Mereka berpencar, berkeliling di
kebun Mbah Yadi. Mengarahkan senter ke sana ke mari, tapi mereka
gagal menemukan wanita tersebut. Sepertinya wanita itu masuk ke
dalam rumah besar di tengah kebun. Rumah bercat putih yang kini
35
tak lagi putih, kusam dan berlumut. Maklum saja, rumah itu kosong
selama belasan tahun.
Mbah Yadi sempat tinggal di sana beberapa bulan sebelum
akhirnya meninggalkan Yogyakarta dan pindah ke Surabaya. Kebun
tak terurus, rumah juga tak terurus. Dan tak ada warga yang mau
mengurus. Sejak Mbah Yadi pergi, jarang ada warga yang masuk
ke rumah itu. Bukan jarang lagi, tak pernah, tidak ada yang berani
masuk ke situ. Fina menceritakan semua itu kepada Nadia. Seorang
anak laki-laki turut keluar dari kerumunan di meja Dodi. Namanya
Bayu. Salah satu murid tampan di kelas VI. Alisnya tebal, hidungnya
mancung, matanya seperti elang.
“Selama ini kita belum pernah pulang sekolah lewat situ, kan
Pink?” tanya Bayu sambil menghampiri Nadia.
“Belum dan nggak akan!” balas Nadia.
Semenjak Nadia pindah dari Makassar ke Jogja awal semester
lalu, dia selalu pulang bersama Bayu dan Fina. Sekolah Dasar Kanisius
berada di dusun yang sama dengan rumah mereka. Kurang lebih 150
meter jaraknya, namun ada banyak jalan pintas menuju ke sekolah.
Salah satunya adalah kebun Mbah Yadi, kebun yang sedang heboh
dibicarakan di kelas.
“Pulang sekolah nanti, aku bakalan lewat sana, dan kalian harus
ikut!” kata Bayu.
“Nggak!” seru Nadia dan Fina bersamaan.
“Kalian harus ikut! Kecuali... kalian pengen buku ini dibaca
semua orang di SD.Kanisius!” Bayu berjalan menuju bangkunya,
mengeluarkan sebuah diary berwarna kuning, membukanya, dan
hendak membacanya.
“Bayu! Jangaaaaaan!” Fina berteriak sambil berlari ke meja Bayu.
Nadia segera menyusul.
Mereka pun kejar-kejaran di dalam kelas. Tiba-tiba Pak Mujono,
Guru Bahasa Jawa masuk ke kelas. Semua murid panik dan segera
duduk di bangkunya masing-masing. Bayu tersenyum licik ke arah
meja Nadia dan Fina sambil sengaja menunjukkan diary kuning milik
mereka. Kumpulan kisah hidup Bayu, Nadia, dan Fina ada di diary
itu. Nadia mencurahkan seluruh isi hatinya dalam diary itu, Fina
pun demikian. Setiap hari mereka bergantian menuliskan banyak
36
hal konyol dan memalukan yang mereka alami. Diantara ketiga anak
tersebut, Bayu lah yang hampir tak pernah menulis. Ketika giliran
Bayu yang membawa buku itu, ia tidak menuliskan kisahnya. Kegiatan
Bayu di rumah hanya bermain game saja. Fina merobek sebagian
kertas buku tulisnya dan mulai menuliskan sesuatu, “Kamu udah
janji kalau buku itu Cuma buat kita bertiga! Janji adalah hutang! Balikin
buku itu sekarang!” Fina menulis demikian. Ia memberikan kertas itu
kepada Nadia, kemudian Nadia segera menyulapnya menjadi bola
kertas kecil dan melemparkannya ke arah Bayu. Menyadari hal itu,
Bayu langsung mengambil bola kertas tadi di bawah kursinya. Bayu
tersenyum membaca tulisan di kertas itu. Ia mengambil pensil dan
membalas pesan singkat tersebut. “Sesekali melanggar janji itu bukan
masalah! Lagian nggak ada hal penting yang aku tulis di situ :p“
Selesai menulis, Bayu melemparkan bola kertas balik ke Fina
dan Nadia. Membaca surat dari Bayu, mereka pun semakin emosi.
Kini giliran Nadia yang menulis, kemudian melemparkan kertas ke
Bayu.”Sumpah, Bay! Kamu jahat banget! Aku benci sama kamu!”
Bayu hanya tersenyum, ia tak membalas surat itu lagi. Jam pe
lajaran Bahasa Jawa selesai. Pak Mujono berjalan meninggalkan kelas,
seharusnya sesaat kemudian Bu Sisil masuk kelas untuk mengajar
Ilmu Pengetahuan Alam, tetapi beliau berhalangan hadir. Kelas pun
mulai ramai seperti pasar. Anak-anak berlarian dan saling melempar
kertas. Beberapa sibuk bermain game di handphone mereka, termasuk
Bayu. Nadia dan Fina menghampiri Bayu di mejanya.
“Balikin diary itu! Sekarang!” teriak Nadia.
“Bay, itu rahasia! Cukup kita bertiga yang tahu! Jangan disebar-
sebar dong!” tambah Fina.
“Aku udah kasih pilihan yang enak kan? Ikut aku lewat kebun
itu, atau pengen seisi sekolah baca buku ini?” balas Bayu santai.
“Nggak dua-duanya!” teriak Nadia lagi.
“Duh, sayang banget, istirahat nanti temen-temen bakalan tahu
kalau sebenarnya... kalian.”
Kata-kata Bayu terpotong, Nadia dan Fina memukuli lengannya.
Mereka berusaha mengambil diary yang tergeletak di laci meja Bayu.
Namun Bayu sudah lebih dulu mengambil diary itu. Mereka pun
kembali kejar-kejaran, berebut diary kuning. Nadia berhenti mengejar
37