The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

By Yohanes Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-04-27 21:04:02

Kopi, Kafe, dan Cinta Antologi Cerpen

By Yohanes Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri

Keywords: Yohanes Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri,Kopi, Kafe, dan Cinta Antologi Cerpen

Satu pesan elektronik aku kirim untuk Dickha dan Dicky. Pesan
itu bertuliskan

“Kalau, kamu masih sayang aku, temuin aku setelah pulang
sekolah di kelasku.”

Aku tak menduga, Dickha dan Dicky datang. Mereka duduk di
depanku, terlihat tidak akur. Saling melirik dan tak sedikitpun terlihat
senyum manis dari wajah mereka.

Perlahan-lahan aku berkata
“Sebenernya, kita bertiga ini sahabatan kok. Dickha maafin Dicky
yaa..., dan Dicky maafin Dickha yaa…. Aku tau..., kalian berdua sayang
sama aku. Kalau kalian berdua bener-bener sayang aku, maafan
dong..., pliss... Dicka, ini bukan waktu yang tepat buat kita ngejalin
hubungan tentang cinta. Inget! bentar lagi kamu ujian, belajar yang
bener, moga dapet sekolah yang kamu pengin selama ini. Dicky…,
ini juga bukan waktu yang tepat buat kita ngerangkai bunga asmara
itu. Bentar lagi kita juga mau ujian. Aku mohon banget sama kalian,
buat nganggep aku sebagai sahabat aja....”
Hening. Mungkin mereka sedang berdiskusi dengan hati mereka
masing-masing. Jantungku berdegup kencang menunggu keputusan
mereka berdua. Lalu, aku memulai untuk bersalaman dan kami saling
memaafkan. Ini sudah menjadi jalanku,
“Thanks God”
Yah.. semenjak itulah kami menjadi tiga sahabat. Tiga sahabat
yang saling mengerti satu sama lain dan melalui roda kehidupan
Tuhan yang begitu indah.

***

238

MERINDUKAN KAWAN

Leni Pratiwi Anggraini

Suatu hari ada seorang anak perempuan yang cantik bernama
Zaharatu Nida sebuah nama yang bagus yang mempunyai sebuah arti
bunga yang mempesona. anak ini berumur sekitar 9 tahun panggil saja
dia Nida, Nida merupakan salah satu anak yang pintar selain itu dia
juga sangat periang. Untuk saat ini Nida duduk di kelas 4 SD, karena
jarak rumah Nida ke sekolah cukup jauh Nida berangkat sekolah
menggunakan sepeda mini berwarna pink biasanya Nida berangkat
sekitar pukul 06.30 dan Nida pun sampai di sekolahnya sekitar pukul
06.50 sesampainya disekolah pun Nida langsung memarkirkan
sepedanya di parkiran setelah selesai memakirkan sepedanya Nida
pun bersalaman dengan guru-gurunya. Setelah bel sekolah berbunyi
yang berarti sekolah pun telah masuk Nida pun segera masuk ke
dalam kelas dan Nida pun memimpin doa karena Nida merupakan
ketua kelas di kelas 4A. Setelah doa selesai sambil menunggu gurunya
datang Nida pun mengeluarkan buku dan alat tulisnya setelah itu
Nida pun membaca-baca bukunya terlebih dahulu.

Saat ada acara Dokter Kecil dan sekolah Nida pun mengirimkan 3
anak dari ketiga anak tersebut salah satunya adalah Nida yang lain adalah
Tiwi teman satu kelas Nida dan yang satu lagi adalah Isna anak kelas 4B,
saat mengikuti pelatihan Dokter Kecil, Nida diajarkan berbagai macam
hal salah satunya adalah menangani orang yang sakit dan membidai.
Pelatihan Dokter Kecil ini dilaksanakan selama 3hari, walaupun sekolah
Nida tidak menang tapi setidaknya Nida mendapatkan pengalaman yang
sangat berharga. Setelah mengikuti pelatihan Dokter Kecil Nida pun
kelang ingin menjadi Dokter, kata Nida.

“Aku ingin menjadi Dokter karena aku ingin menyembuhkan
orang-orang yang sedang sakit selain itu aku juga dapat merawat
orangtuaku jika bliau sedang sakit”

239

Menjadi Dokter merupakan cita-cita yang cukup mulia selain itu
Dokter juga di Hormati oleh orang lain. Ujian Kenaikan Kelas pun
telah tiba, disekolah Nida Ujian Kenaikan Kelasnya selama 1 Minggu
dan Nida pun mengerjakannya dengan semaksimal mungkin dan
yang jelas tanpa menyontek. Kata Nida.

“Buat apa aku sekolah kalau ujung-ujungnya cuma mencontek,
aku yakin dengan otakku aku pasti bisa, lagi pula mencontek kan
perbuatan yang tak baik”

Suatu pemikiran yang sangat Luar Biasa untuk Gadis Kecil seusia
Nida, keyakinannya sagat besar bahwa ia bisa tanpa menyontek.

Kenaikan kelas pun telah tiba dan akhirnya Rapot Nida pun
diambil oleh mamanya dan hasilnya pun sangat memuaskan, Nida
mendapatkan peringkat 1 di kelasnya dan rata-rata nilai Nida pun
sangat bagus rata-ratanya 8,5 dan nilai terendah di rapot Nida adalah
7. Setelah pengambilan rapot sekolah Nida pun mengadakat piknik
ke Owabong dan Baturaden. Saat di Owabong Nida dan teman-
temannya berenang bersama dan mencoba wahana-wahana yang
ada di Owabong antara lain ember tumpah, plosotan dan lain-lain.
Tak terasa sekarang sudah siang dan saat ini saatnya sekolah Nida
melanjutkan perjalanannya menuju ke Baturaden. Di Baturaden
sangat dingin tapi dingin pun tak terasakan karena disana Nida dapat
melihat pemandangan yang sangat luar biasa indahnya, selain melihat
pemandangan yang sangat luar biasa Nida juga menaiki wahana
bebek-bebekan setelah puas di Baturaden Rombongan Nida pun segera
menuju Bus masing-masing dan segera bergegas untuk pulang, tapi
ketika sampai di tengah jalan Bus yang dinaiki Nida pun berhenti di
tempat untuk membeli oleh-oleh dan Nida pun membelikan oleh-oleh
untuk orangtuanya. Setelah membeli oleh-oleh pun Rombongan Nida
bergegas untuk pulang, saat perjalanan pulang Nida pun tertidur di
bus, karena terlalu puasnya tertidur Nida pun sampai tak tersadarkan
dan tiba-tiba teman Nida membangunkannya kerena ternyata telah
sampai disekolah. Dan ternyata papah Nida pun sudah menunggu
Nida, setelah turun dari bus Nida pun berpamitan pada Guru dan
langsung pulang, sesampainya dirumah Nida pun langsung Tidur.

Setelah penerimaan rapot dan piknik akhirnya sekolah Nida pun
libur selama 2 minggu, untuk mengisi liburan Nida pun pergi bersama

240

keluarganya ke pantai daerah Wonosari ada 4 macam pantai yang
dikunjungi Nida yaitu pantai Baron, pantai Kukup, pantai Krakal
dan pantai Sundak. Berbagai macam pantai yang terletak di Gunung
Kidol, Daerah istimewa Yogyakarta. Pantai-pantai disana sangat indah
dan disekeliling pantai dikelilingi bukit-bukit sungguh pemandangan
yang sangat Luar Biasa dan Nida pun senang karena bisa berlibur
disana bersama keluarganya.

Libur sekolah pun telah selesai dan hari ini adalah hari pertama
Nida masuk sekolah. Nida sangat senang karena Nida dapat bertemu
dengan teman-teman dan Nida pun sangat Rindu kepada teman-teman
karena sudah 2 minggu Nida tak bertemu dengan teman-temannya.
Beberapa bulan setelah Nida masuk sekolah Nida pun diminta oleh
Gurunya untuk mengikuti Lomba Kaligrafi karena Nida pandai
menggambar dan gambaran Nida pun sangat bagus. Awalnya Nida
pun tak yakin untuk menang karena Nida baru pertamakali mengikuti
Lomba Kaligrafi selain itu peserta lainnya pun Kaligrafinya sangat
bagus tapi ternyat Nida pun mendapatkan juara 1 dan Nida pun sangat
senang selain itu Orangtua Nida juga sangat bangga kepada Nida.

Tiga bulan sebelum ulangan tengah semester Nida pun di ikutkan
oleh Orangtua Nida Bimbingan Belajar, dan disana Nida mendapatkan
teman baru lagi. Setiap berangkat Nida diantarkan oleh orangtuanya
karena jarak rumah Nida dengan Bimbingan Belajarnya sangat jauh.
Hari demi hari Nida lalui di Bimbingan Belajar situ tiba-tiba Nida
bertanya kepada Guru di Bimbingan Belajarnya.

“Bu ciri-ciri orang masuk surga tu seperti apa?”
“Ya harus rajin sholat, rajin bersedekah”
“Kira-kira Nida bisa masuk surga tidak ya Bu”
“Insyaallah bisa”
Pagi hari pun telah tiba disekolah Nida diadaka TryQut untuk
anak kelas 5 SD, dan Nida pun mengikuti Try Qut tersebut dengan
baik dan setelah TryQut tersebut selesai dilanjutkan dengan pelajaran
seperti biasa.
Beberapa hari kemudian Hasil TryQut pun telah keluar dan
kata Gurunya, siswa harus mengambil sendiri hasil TryQut tersebut
di Bimbingan Belajar yang telah menyelangarakan TryQut tersebut.

241

Saat disekolah dan pada saat Istirahat Nida pun bilang kepada ke 3
sahabatnya Aini, Indah dan Okta.

“Nanti hasilnya ku ambilkan saja ya?”
“Beneran ?”
“Iya”
“Oke”
Setelah itu bel sekolah pun telah berbunyi dan Nida pun masuk
ke kalas, saat ini adalah pelajaran Kerajinan dan Nida pun ditugaskan
untuk menganyam tapi anyaman Nida pun telah selesai dan akhirnya
Nida pun mengajari sahabatnya yang tidak bisa.
Sore hari pun telah tiba sebelum Nida pergi mengambil hasil
TryQut Nida pun berpamitan kepada orangtuanya dan Nida pun
bersalaman dengan Orangtuanya selain itu Nida juga berpesan
kepada adiknya untuk merawat Kelinci kesayangannya setelah itu
Nida mengambil hasil TryQut dengan menggunakan sepeda, setelah
hasil TryQut tersebut telah terambil Nida pun segera pulang tapi naas
ketika Nida sedang menyebrang jalan Nida pun tertabrak motor dan
Nida pun terpental sejauh 5m dan jantung Nida pun pecah. Akhirnya
Nida pun dilarikan ke Rumah Sakit dan saat di Rumah Sakit Nida
selalu memanggil-manggil mana sahabatnya terbaiknya.
“Aini Aini Aini”
Di rumah sakit Nida tak dapat bertahan lama karena jantung nida
pun telah pecah dan akhirnya setelah beberapa jam Nida di rumah
sakit Nida pun meninggal. Teman-temannya pun sangat kehilangan
Nida dan saat Aini melayat di tempat Nida ibu Nida pun langsung
memeluk Aini sambil menceritakan bahwa Aini dipanggil-panggil
terus oleh Nida.
Setelah kepergian Nida 1 kelas 5A pun pergi menuju masjid untuk
mendoakan Nida serentak suasana di dalam Masjid pun menjadi
sepi dan semua teman-teman dan Guru Nida pun men­ angis karena
kehilangan Nida. Selamat tinggal Gadis Kecil yang Cantik, Pintar dan
Baik disini aku sahabatmu merindukanmu Leni Pratiwi Anggraini.

242

GORESAN PENA PENEBUS DOSA

Ellysa Nur Tristiana

Tiga ratus meter dari tempat pembuangan akhir (TPA), Ismi
hidup bersama ibunya. Kumuh, reot, dan tak layak huni. Itulah definisi
rumah Bu Rina. Bagaimana tidak dikatakan gubuk kalau ibunya saja
hanya seorang pemulung. Setelah ayahnya tiada karena mobil besar
yang membawa sampah-sampah itu menghantam tubuhnya yang
lemah. Sejak saat itulah Bu Rina mencari nafkah seorang diri.

Walaupun untuk makan saja susah tetapi Ismi tetap sekolah
di SMA Negeri Harapan Bangsa. Di sana teman-teman Ismi tak ada
yang miskin seperti Ismi. Namun, tak jadi masalah baginya. Dia bisa
memanfaatkan mereka untuk kesenangan dunia.

“Buuuuuu....” teriak Ismi dengan nada keras. “Mana makan
siangn­ ya? Pulang sekolah kok gak ada apa-apa, ngapain aja sih Ibu,
tu?”

“Ibu habis pulang dari mulung, Nak. Ibu juga belum bisa beli
nasi. Tadi uang ibu buat bayar hutang kemarin, Nak.”

“Ah... selalu gitu! Ya sudah! Sana cari uang, Bu!”
Ibunya langsung keluar dan memulung lagi. Walau badan begitu
lelah dia tak sedikit pun mengeluh untuk kebahagiaan anaknya.
Sampah demi sampah ia punggut demi menghasilkan sedikit rupiah
untuk membeli makan.
Setelah sampah hasil memulung dijual, Bu Rina langsung
membelikan Ismi sebungkus nasi. Walau Bu Rina merasakan lapar,
namun uang hasil memulungnya tidak cukup untuk membeli dua
bungkus nasi. Dengan langkah yang sangat lemas ia berjalan menuju
rumah.
“Nak, ini ibu bawa makanan ...” dengan suara halus mem­ anggil
anaknya.

243

“Lama banget! Aku udah lapar dari tadi. Ya sudah siapin sana!”
“Ini Nak, ada di meja” kata ibunya dengan nada lemas.
Dengan nada yang selalu membentak Ismi ucapkan pada ibunya.
Ismi makan dengan lahapnya. Walau dia tahu kalau ibunya lapar. Ia
tidak sedikitpun peduli. Ibunya hanya menatap anaknya yang minum
segelas air putih unuk mengganjal perutnya yang sangat lapar.
“Buuuuuuuuu..., ini piringnya, cuci!”
Bu Rina begitu menyayangi Ismi. Dia harta satu-satunya yang
dimiliki Bu Rina. Apa pun yang diinginkan Ismi sebisa mung­kin Bu
Rina menurutinya. Saat dia merasakan lelah, Bu Rina ha­nya tidur
dengan beralaskan tikar. Berbeda dengan Ismi yang kamarnya ada
kasur dan kipas angin pemberian kepala desa di desa Suka Miskin itu.
Saat ibunya tidur terlelap, Ismi selalu memandangi wajah Ibunya.
Dia memang merasa bersalah tetapi di dalam hatinya terpendam rasa
benci yang mendalam karena telah mengajaknya dalam kehidupan
yang susah ini. Ketika malam tiba, Ismi selalu menuliskan dosa-dosa
terhadap ibunya. Di dalam buku diary-nya, dia goreskan penanya
untuk menuliskan semua dosa-dosanya terhadap ibunya seharian
itu. Menurutnya, dengan menggoreskan pena atas dosa-dosanya, dia
bisa menebus dosanya dan dianggap sudah tidak punya dosa lagi.
Ketika pagi datang, Ismi bersiap-siap untuk berangkat sekolah,
sedangkan ibunya menyiapkan sarapan untuk Ismi.
“Makanan apa ini? Bego banget sih, Lhu Bu! Mana bisa ngunyah
makanan kaya gini!”
Ibunya hanya tersenyum, seakan-akan tak menghiraukan
perkataa­ n putrinya.
Ismi begitu marah, dia pergi dengan wajah kesal dan membanting
pintu seakan-akan memberi tahu ibunya bahwa dia sangat membenci
kehidupan ini.
Ibunya menangis ketika Ismi sudah jauh dari rumah. Ia
merindukan putrinya sewaktu masih kecil. Dia sangat lucu dan tak
pernah sekali pun membantah ibunya.
“Aku ingin anakku kembali ya Allah, ubahlah sikapnya, namun
jangan pernah Kau sakiti putriku, aku mohon, ya Allah.” doanya
dalam hati.

244

Walau tubuhnya begitu lemah Bu Rina tetap mencari nafkah demi
membahagiakan anaknya. Saat truk pengangkut sampah tiba, Bu Rina
dan pemulung yang lain berebut untuk mencari sampah plastik. Bau
yang menyengat sudah biasa bagi pemulung di kawasan itu.

Gunjingan-gunjingan tentang keluarganya sudah biasa Bu Rina
dengar ketika memulung. Semua orang selalu membicarakan putrinya.
Hanya dengan memegang dadanya dia bisa menenangkan dirinya.
Bu Rina tak mau putrinya jadi bahan pembicaraan orang-orang.

Jam menunjukkan pukul dua dan sebentar lagi Ismi pulang.
Bu Rina bergegas untuk pulang takut Ismi sudah sampai duluan di
rumah. Dia bergegas menjual hasil memulungnya dan membeli dua
nasi bungkus untuknya dan juga untuk putrinya.

“Ibu, mana makannnya? Pasti enggak ada lagi.” tanya Ismi
dengan nada kesal.

Ismi membuka tudung saji yang ada di meja makan. Ternyata
sudah ada makanan di meja makan.

“Nasi bungkus lagi? Ah... membosankan Bu. Aku gak mau makan
di rumah, aku mau pergi ama temen-temen, minta uangnya sini!”

“Ibu tak punya uang, Nak.” katanya dengan sabar.
Ismi ke kamar dan menulis semua dosanya lagi di buku diary-
nya. Sekilas dia meneteskan air mata karena sebenarnya dia tak ingin
menyakiti ibunya. Namun dia tak mau merasa iba.
“Ibuku yang salah, kenapa dia harus melahirkanku ke dunia
kalau hanya untuk merasakan susah seperti ini” dalam hati Ismi
ucapkan.
Dia mengusap air matanya dan lari pergi dari rumah dengan
membawa dompet ibunya. Ibunya berlari mengejar Ismi, dia sangat
membutuhkan uang itu untuk membelikan kado ulang tahun untuk
Ismi. Namun Ismi tak menghiraukan kejaran ibunya.
“Nak..., ibu butuh uang itu...” teriak ibunya.
Ibunya terus mengejar Ismi. Menyeberang pun tak lihat kanan dan
kiri. Tiba-tiba truk besar menghantam kakinya saat dia menyeberang
dengan berlari.
Suara rem dan hantaman mobil yang sangat kencang terdengar.
Ismi melihat ke belakang.

245

“Ibuuuuuuu..........” teriaknya keras-keras sambil menangis.
Ismi menciumi Ibunya. Truk yang menabraknya lari. Ismi sangat
takut saat itu. Dia mencari-cari bantuan tetapi tak ada orang satu pun
di sekitar itu karena di situ adalah tempat yang misterius. Ismi lari ke
rumah untuk mengambil gerobak sampah. Dia tak kuat menggendong
ibunya sendiri.
“Tolong, tolong, tolong. Tolongin Ibu saya, Pak ... Bu...” teriaknya
kepada tetangga desa.
Sia-sia, tak ada yang memperdulikan teriakannya. Dikira dia
hanya mencari sensaji saja. Ismi tetap menolong ibunya. Dia membawa
gerobak itu dengan lari sambil menangis. Sesampainya di sana ibunya
dimasukkan dalam gerobak itu dan membawanya ke rumah sakit
yang jaraknya tak jauh dari tempat kejadian.
Sesampainya di rumah sakit, Ismi dan ibunya ditolong perawat
di sana. Ismi pingsan karena sangat lelah dan juga takut kalau ibunya
tak selamat. Walau pingsan dia tetap selalu meneteskan air mata.
Beberapa jam kemudian dia sadar.
“Mana ibu saya, Mbak?” tanyanya kepada perawat yang me­
rawatnya saat pingsan.
“Ibumu kakinya lagi diamputasi. Sabar ya, Nak. Kalau tidak
diamputasi nanti kaki ibumu akan semakain parah. Ibumu selamat,
hanya kakinya yang hilang” kata perawat itu sambil menguatkan Ismi.
Ismi sangat terpukul mendengar kabar ibunya yang sudah tak
punya kaki lagi. Dia membaca buku diary-nya yang selalu ia bawa
di dalam tasnya sambil menunggu ibunya selesai diamputasi. Begitu
banyak dosa yang sudah diperbuat terhadap ibunya. Hanya tersisa dua
lembar kertas kosong. Dia merasa sangat bersalah terhadap ibunya.
Buku diary-nya dia sobek-sobek.
Setelah ibunya keluar dari ruang amputasi, Ismi meminta maaf
kepada ibunya. Dia begitu merasa bersalah.
“Bu ..., Ismi minta maaf udah jahat banget sama Ibu. Ibu sakit
karena Ismi. Ismi jahat Bu. Aku tahu Ibu sayang banget sama Ismi.
Tapi, Ismi jahatin Ibu. Aku janji Bu akan berubah.
Ibunya tersenyum walau dalam hati kecilnya menangis karena
kehilangan kakinya. Ibunya hanya dirawat di rumah karena kalau

246

dirawat di rumah sakit tak kuat untuk membayar. Amputasi kakinya
saja yang membayarkan Pak Kades.

Ismi memutuskan untuk tidak bersekolah lagi karena ia
menggantikan ibunya menjadi pemulung. Dia melayani ibunya
seperti ibunya dulu selalu melayani Ismi. Semua orang di desa menjadi
sangat ramah pada Ismi. Dia memulung bersama teman-temannya
yang sebaya dengannya yang juga sebagai pemulung. Menurutnya
lebih menyenangkan teman-temannya memulung dari pada teman-
temannya di sekolah karena teman-temannya di sekolah selalu
menyombongkan kekayaannnya.

247

PENGKHIANATAN YANG BERAKHIR
DENGAN KEBAHAGIAAN

Rizqi Ragil Habibah

Aku memang orangnya itu tidak bisa santai. Suka-suka akulah,
mau bikin status apa itu juga privasi aku. Yang nulis juga aku.
Kenapa kamu yang sewot? Tahu tidak? Aku bikin status seperti itu
supaya kamu itu sadar apa yang kamu lakukan terhadap aku. Apa
yang kamu balas dari kebaikanku. Hah..., cuma membalas dengan
menjelekkan nama aku. Aku sih tidak perhitungan sebanyak apa aku
menolong kamu supaya kamu peka sendiri. Eh..., ternyata tidak. Malah
saat aku butuh kamunya tidak mau menolong aku. Apa itu yang
namanya sahabat? Oh tidak...! Dulu kamu memang nomer satu di
hatiku. Tetapi kamu mengkhianati cinta aku dan kamu lebih memilih
dengan sahabatku. Hah..., nggak pacar, nggak sahabat, sama-sama
pengkhianat. Terus kalau sudah begitu apa sudah hebat...?

Kalian berdua itu memang sengaja melakukan sesuatu untuk
menyakiti aku. Apa salahku sama kalian berdua, kurang baik apa
aku? Kenapa kalian tega menghancurkan hatiku? Mana janji kamu
kepada aku? Apa sudah kamu laksanain? Janji palsu saja! Ngomong
bisa praktiknya susah, makanya tidak usah muluk-muluk kalau bicara.

Aku kira kamu cowok baik, setia, penyayang, ternyata semua
pikiranku terhadap kamu itu salah. Salah besar!

“Hei Andi, aku kira selama satu tahun hubungan dengan kamu
ternyata hanya untuk belajar mencintai tho? Kamu memanfaatkan
aku untuk bahan belajar mencintai seseorang. Iya, umur kita memang
berbeda dua tahun, tua aku. Pasti banyak juga pengalaman dari aku
makanya kamu memanfaatkan aku. Ironis banget kisah cinta aku.
Aku mencintaimu, menyayangimu dengan tulus hati, tapi kamu
mengecewakan aku. Andi apa mau kamu dari aku?” gumamku

248

Perasaanku hancur. Hanya luka yang aku rasakan. Hari-hariku
menjadi sepi seperti aku tidak memiliki motivasi lagi. Sunyi sepi hanya
ditemani dengan suara musik galau. Tiba-tiba handphone berbunyi, aku
pun membuka pesan itu dan aku senang banget kalau yang mengirim
message itu cowok yang aku suka sekaligus orang yang membuat
aku luka.

From : Andi
To : Ecy

“Ecy..., maaf kalau selama ini aku tidak bisa bikin kamu bahagia
malah bikin kamu sedih terus. Lebih baik kita sampai sini saja. Aku
tidak bisa meneruskan hubungan ini sebab aku telah mencintai wanita
lain. Mungkin kamu marah pada aku karena telah mengecewakan
kamu. Lebih baik kita sampai sini saja. Aku tidak bisa terus sama
kamu. Sepertinya itu yang aku beri ke kamu, makasih ya..., udah
bagian dari hidupku. Semoga kamu mendapatkan laki-laki yang setia
sama kamu dan lebih baik dari aku. Makasih untuk semuanya.”

Jleeeebbb..., jleeebbb..., jleeebb..., jantungku sampai berhenti
membaca message dari dia. Awalnya aku kira menyapa aku ternyata
tidak.

“Huh...!” perasaan seneng beubah berubah menjadi duka.
“Hu..., hu..., hu...” sempat menangis karena harus berpisah
dengan orang yang aku cinta.
Katanya sih aku pacar pertamanya, tapi kenapa dia me­nya­kitiku
seperti ini. “Tuhan..., apa dia tak pantas bersama aku? Apa dia bukan
untuk aku miliki?” pintaku sejenak.
Aku pun membalas message dari dia dengan rela ataupun
tidak rela. Rasa tak mau atupun mau. Tapi aku harus ikhlas melihat
kenyataan ini. Aku harus menerima pengakuannya. Ya, walau dari
pengakuannya membuat aku kecewa, sakit hati, kacau balau, bahkan
sangat galau.

249

To: Andi
From: Ecy

“Kamu tiba-tiba meminta aku untuk memutuskan hubungan kita.
Andi, apa kurang yang aku berikan untukmu? Aku memepertahankan
hubungan ini sampai mengorbankan waktu untuk hubungan ini.
Kamu tidak mikir apa dengan pengorbananku selama satu tahun
bersama kamu! Aku seperti membimbing kamu, malah aku seperti
mengajarimu kasih sayang. Oh..., aku tahu kenapa kamu meminta
aku untuk memutuskan hubungan ini. Pasti kamu mencintai orang
lain! Wanita itu tidak lain sahabatku sendiri. Ya! Terima kasih, ya
Andi, atas pengakuanmu dan terima kasih sudah mendoakan aku
mendapatkan cowok yang lebih baik dari kamu. Bye, bye.”

Semenjak kita berdua berpisah sekolah, hubungan aku sama dia
kandas di jalan. Untung aku memiliki sahabat yang bernama Vitha. Dia
masih duduk di bangku SMP kelas 8. Dia selalu memberi aku motivasi.
Walaupun aku sering menyepelkan kata-katanya. Tapi setelah aku
pikir-pikir memang aku harus pergi dari kehidupan Dhimas. Harus
bisa “Move On”.

“Sudahlah Mbak, jangan dipikirin lagi. Eehhm..., mending kita
seneng-seneng aja” rayu Viha dengan wajah senyam-senyum.

“Bagaimana caranya untuk senyum? Aku sudah tidak bisa
tersenyum lagi. Aku lupa deh!” jawabku sambil menangis.

“Semua itu ada hikmahnya Mbak Cantik. Mungkin Mbak dapat
cowok yang lebih sayang sama Mbak. Tapi Mbak tidak menyadari
itu semua. Sadar Mbak...” sambungnya dengan menatap wajahku
meyakinkan.

“Siapa? Siapa coba? Sepertinya tidak ada cowok yang care sama
aku” bantahku sambil menguap pipi.

“Ada Mbak, itu lho..., Mas Pandu.”
“Hah!! Pandu? Tapi dia kan belum pernah ketemu dengan aku.
Mustahil kalau aku mau pacaran sama orang yang belum bertemu
langsung. Wah ngaco kamu, Dikk.” bantahku.
“Ya coba dululah Mbak. Aku lihat Pandu serius sama kamu.
Kamu sudah punya pacar saja dia sanggup menunggu kamu sampai

250

putus. Kamu kan pernah dikasih puisi cinta dari dia. Kamu tidak sadar
apa kalau yang di sana itu ada yang menanti kamu? Mbak..., sudah
dech, tidak usah meratapi atau mendramatisir tentang ini. Bangkit
dong, ya” imbuhnya.

“Ihh... ogah ah! Iya sih Dik, kalau aku lihat dia sering sharing-
sharing di dindingku dan memberi puisi cinta. Tapi apa benar dia
menunggu aku. Kalau tidak, aku juga yang ngrasain sakit hati lagi
karena ke-pede-an aku.”

“Hah terserah kamu aja dech mbak” jawabnya dengan nada kesal.
Dari pada galau-galau tidak jelas bersama Vitha mending cari
hiburan nangkring di depan leptop sambil internetan, ahh. Buka
jejaring sosial, yaitu facebook.
Ketika buka, widddiiiiihh banyak amat pemberiatahuan di
berandaku. Kebanyakan dari Pandu nih ternyata.
“Haaaa..., serius Mbak, yeyeye lalala yeyeyelalala cie-cie yang
lagi kasmaran” ejek Vitha.
“Jiahahaha..., kasmaran ahhh..., biasa hehehe...” jawabku dengan
terpaksa.
Kenapa ya, yang namanya Pandu itu suka sama aku, kan cuma
care saja sama dia dan aku anggap teman cerita saja. Tapi, kok dia
menganggapnya lebih dari teman. Dan setelah dia tahu kalau aku
putus dari Andi semakin mendekati aku dengan puisi indahnya yang
bikin aku berbunga-bunga sampai-sampai hampir melayang di langit
yang indah ada pelanginya. Ahahaha..., lebay-nya diriku ini.
Pandu pun meng-inbox dan meminta nomer aku. Awalnya aku
ragu untuk memberi nomerku karena aku baru kenal dari dunia maya.
Apalagi dia anak Sumatra. Takut kalau aku diapa-apain dan diculik.
Tapi nggak apa-apa dech, aku kasih itung-itung buat temen sms-an
haha....
Waktu berjalan dengan singkat. Tanpa terasa hubunganku
dengan pandu semakin dekat dan dekat. Aku pun mulai mengenal
dia lebih jauh lagi. Ternyata dia baik, perhatian, tanggung jawab.
Ya, walau hanya pikiranku saja kalau prediksiku benar. Pandu pun
mengungkapkan isi hatinya kepada aku, kalau dia memiliki perasaan
sayang dengan aku. Namun aku baru menegenalnya dua minggu.
Itu yang membuat perasaanku masih ragu. Ya, aku mencoba dan

251

berusaha menerima pengakuan perasaannya itu. Aku juga menghargai
kejujuran hatinya. Setelah aku pikir-pikir dengan pengakuan itu, aku
pun membalas dan menerima dia sebagai kekasihku. Tetapi dalam
hatiku masih belum dapat melupakan Dimas.

Hubungan masih seperti jagung. pPandu melanjutkan sekolahnya
di Pondok Pesantren yang bertempat di Solo. Hufh...! Sedih juga.
Bahkan, dia tidak diperbolehkan bawa handphone. Ya, akhirnya kita
berdua memutuskan untuk saling setia, percaya, dan menanti sampai
waktunya bertemu lagi. Aku sangat bahagia bersamanya saat dia
berucap seperti itu.

Ternyata dia memang mencintaiku dan sungguh-sungguh
menyayangiku setulus hati. Pengorbanan dia terhadapku pun banyak.
Aku harus berusaha bisa mencintai dia seperti dia mencintaiku.

Bulan berganti bulan. Aku pun masih menantinya walau dengan
perasaan ragu dan putus asa. Pagi yang cerah itu membuat perasaanku
juga cerah setelah ada pesan singkat dari dia. Ternyata benar-benar
dia menepati janjiannya itu. Hah..., senangnya diriku saat dia memberi
pesan kalau bulan Ramadhan dia pulang dan liburnya satu bulan.
Aku langsung sumringah. Wajah lesu menjadi semangat lagi.

252

SAYANG AKU INGIN PUTUS

Saat aku sedang tidak ada Pekerjaan, tiba-tiba ada seseorang
yang mengirimi aku es-em-es.

“Anggi” isi sms-nya.
Aku pun langsung membalasnya dengan bertanya
“Siapa ini?”
Dia mengaku sebagai Ahmad, teman sekelasku. Aku masih belum
percaya bahwa dia Ahmad. Akhirnya, aku bertanya dengan teman-
temanku apakah mereka mengetahui nomor siapa ini. Ternyata nomor
itu milik Pandu, teman sekelasku juga. Dia mendapatkan nomorku
dari salah satu temanku.
Setelah itu, kami jadi sering sms-an. Awalny, aku tidak mem­ i­
liki perasaan apa-apa kepadanya, tetapi suatu saat dia men­ embakku
dan aku tidak bisa menerimanya karena aku meng­anggap dia hanya
teman. Dia tidak putus asa, beberapa kali dia menembakku lagi sampai
akhiirnya aku menerimanya karena aku memiliki perasaan yang sama
dengannya. Tapi ketika aku me­nerimanya, aku berkata bahwa aku
tidak boleh berpacaran selama masih sekolah. Jadi, kita tidak bisa
ketemuan atau ngedate. Ia pun menyanggupinya. Ya, seperti orang
yang tidak pacaran pada umumnya.
Kami berpacaran hanya lewat sms dan telepon. Di sekolah pun
kami jarang berbicara karena kami tidak mau teman-teman kami yang
lain tau bahwa kami berdua berpacaran. Selama itu, kami banyak
menghadapi masalah. Sampai-sampai kami harus putus, sambung
lagi, putus dan nyambung lagi. Suatu saat aku ketahuan berpacaran
oleh orang tuaku. Akhirnya hp-ku disita dan kami tidak berhubungan
lagi. Ketika hp-ku menghubungi Rendi lagi dan kami pun berpacaran
kembali.

253

Saat itu Pandu ingin sekali menemuiku, tapi aku tidak mau
karena takut ketahuan. Kami pun sepakat bertemu di depan jendela
kamarku pada pukul 15.00. Ketika kami bertemu, kami senang sekali
walau dibatasi oleh teralis jendela kamarku. Tapi sayang, saat itu
juga mamaku masuk ke kamarku dan melihat ada Pandu di depan
jendelaku. Pandu pun langsung pergi dan aku hanya bisa diam saat
mamaku memarahiku. Hp-ku kembali disita selama berbulan-bulan.
Kami tidak ada berhubungan sama sekali. Aku mengira bahwa Pandu
telah memiliki kekasih yang baru dan melupakanku. Ternyata tidak.
Syukur deh kalau begitu karena saat itu aku masih sangat sayang
kepadanya.

”Ndu tunggu saat tiba nanti, ya....”
Setelah enam bulan, hp-ku pun dikembalikan, tapi aku tidak
menghubungi Pandu sebab aku gengsi bila aku menghubunginya
apalagi aku takut dimarahin mama lagi kalau ketauan. Pada tanggal
23 Februari, saat dia berulang tahun, kuberanikan diri untuk
mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Aku kira dia tidak
akan membalas sms-ku, tapi ternyata dia membalas sms-ku dengan
ucapan terima kasih. Bermula dari sanalah hubungan kami terjalin lagi.

***
Saat pembagian kelas, aku dan Sandi sekelas lagi, tapi orang
tuaku tidak menyetujuinya dan meminta kepada guruku untuk
memindahkanku ke kelas yang lain. Aku pun rela dipindahkan dan
tidak sekelas lagi dengan Rendi. Tapi, kami masih berhubungan baik
walaupun aku terkadang cemburu dengannya yang sekelas dengan
mantannya. Tapi percaya aja deh aku dengannya. Di saat itu, aku
biasanya meminta Pandu untuk meneleponku dan kuceritakan semua
unek-unekku kepadanya. Tidak jarang dite­lepon aku menangis dan
Pandu juga ikut menangis.
Sebenarnya, aka ingin kami tidak berhubungan lagi karena
aku tidak mau terus-terusan membohongi orang tuaku. Aku dulu
berjanji bahwa aku tidak mau berpacaran lagi tapi ternyata aku tetap
berpacaran. Berbagai cara aku coba untuk membuat Pandu benci
kepadaku dan meninggalkan aku. Saat itu aku hanya bisa berkata
bahwa aku tidak akan bisa membuat kamu bahagia karena keadaanku
yang terlau dikekang dan aku tidak pernah bisa mengerti kamu. Tetapi

254

Pandu selalu saja berkata
”Tujuan hidupku hanya kamu Kik, jadi kalau kita putus, aku

tidak punya tujuan hidup lagi. Aku hanya ingin nanti kita menikah
dan bersama selamanya. Aku akan selalu mengerti keadaanmu dan
memahami segala kekuranganmu.”

Aku hanya bisa menangis mendengar perkataannya. Semakin
aku mencintainya dengan perkataan dia yang bersungguh-sungguh.

Suatu saat aku benar-benar ingin Pandu meinggalkan aku dan
memberikannya dia kebebasan untuk mencari wanita lain yang lebih
baik dariku yang dibolehkan pacaran oleh orang tuanya sehingga
wanita itu bisa membahagiakan Pandu. Aku akhirnya meminta kepada
Pandu untuk putus dengan alasan aku sudah tidak tahan dan tidak
sayang lagi dengannya, padahal aku sangat sayang kepadanaya.
Aku tahu itu menyakitkan baginya, tapi hanya cara itulah yang bisa
kulakukan. Pandu pun bersedia untukku putuskan.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan dengan Pandu, aku
merasa sangat kesepian dan hampa. Aku hanya dapat berharap
suatu saat kami bisa bersama, kalau pun tidak bisa semoga saja dia
mendapatkan kebahagiaan dengan wanita pilihannya. Amin.

255

SYAIR DAN SAHABAT

Bartholomeus Alfa Amorrista

Aku mengagumi seorang perempuan. Kugambarkan keindahan­
nya lewat bait-bait nada yang kuciptakan sendiri bersama gitar tua
yang selalu kutenteng setiap pergi ke kampus. Monza. Itulah nama
perempuan yang kini hinggap di selubung otakku. Tak habisnya
ia menebarkan pesonanya hingga menyihir semua kaum Adam di
kampus, termasuk aku yang selalu setia menunggunya di halaman
kampus dan menyempatkan diri untuk senantiasa menatap wajahnya.
Rambutnya yang terurai dan tersibak ditiup angin membuatku
semakin terpana.

Sayang, Monza bukanlah wanita kesepian. Ia telah memiliki
seorang kekasih. Bagai binduk merindukan bulan. Terkadang aku
bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku mencintai kekasih
orang dan tidak mungkin kugapai keindahannya. Sulit bagiku men­
deskripsikan segalanya lewat kata-kata. Mungkin saja, aku lebih
berminat menuangkan segala perasaan ini lewat sebait lagu yang
kuciptakan untuknya. Monza, perempuan yang aku cintai.

Berulang-ulang kali Aditya memintaku untuk mendekatinya.
Bahkan, menyampaikan rasa atau melakukan sesuatu yang membuat
Monza lebih tertarik padaku ketimbang Rendy yang hanya bermodal
tampang dan harta. Aditya memang sahabat yang baik bagiku.
Namun, ia bukan seorang guru yang pantas memberikan tugas yang
menyangkut hati dan perasaan. Biarkan perasaan terpendam ini aku
saja yang menyimpan. Biarlah waktu yang akan menentukan kapan
aku bisa meraih keindahan cinta Monza.

Jam istirahat merupakan waktu yang paling pas bagiku untuk
mengeluarkan kemampuan besarku memetik gitar. Bersama syair
lagu yang kuciptakan tentang perasaan terdalamku pada Monza.
Kumainkan tiap-tiap nadanya dengan harmonisasi yang pas. Syair

256

ini teramat bagus untuk menggambarkan kekagumanku pada Monza.
Tidak sepadan dengan nyaliku untuk merebut hatinya dari dekapan
Rendy. Tak kusadari seseorang tengah menemaniku bermain gitar.
Ternyata Aditya, ia duduk di sampingku sambil menyodorkan sebotol
air mineral.

“Elo bikin lagu baru itu untuk siapa? Monza?” pertanyaan yang
lahir dari mulut Aditya memang tepat.

Syair yang penuh dengan kekagumanku ini memanglah teruntuk
Monza. Perempuan yang menjadikan hariku semakin berwarna dan
berarti. Tanpa pikir panjang, kuanggukkan kepala sembari memetik
gitar lagi.

“Apa artinya Lo punya lagu bagus, tapi Lo nggak bisa mengung­
kapkan seluruh perasaan Lo, sama Monza….” ejek Aditya.

Mendengar ungkapan itu, kuhentikan permainan gitarku yang
saat ini kulangsungkan. Kuarahkan mataku melihat Aditya yang
mendadak membisu. Ingin kukeluarkan sebuah umpatan yang akan
membuat Aditya mengerti akan keputusan memendam perasaanku
akan Monza.

“Menyatakan cinta itu butuh waktu, Dit. Nggak segampang
membalikkan telapak tangan ketika harus mengungkapkan perasaan
suka pada seseorang yang kita cintai. Termasuk ungkapan cintaku
sama Monza” sahutku ketika Aditya mulai mengerti akan semua
keputusan yang kuambil kali ini.

“Biarkan semua ini menjadi urusanku. Izinkan aku memutuskan
apa yang terbaik buat perasaanku, Dit…” sambungku.

Akibat perkataan itu, Aditya mendadak membisu. Tidak ada
lagi sahutan dari dalam benaknya.



Tidak biasanya, Monza tampak begitu bersedih. Terduduklah
perempuan itu di bawah pohon yang berselubungkan kerindangan. Di
tempat yang sama, Rendy berdiri menatap perempuan di hadapannya
dengan geram. Entah mengapa Rendy sangat marah pada Monza.
Hatiku yang kala itu melihatnya merasa sangat miris. Kupikir, Rendy
yang hanya bermodal tampang dan harta, tidak bisa bermodalkan
cinta yang tulus. Semuanya ia bandingkan dengan uang, hiburan
dan perempuan. Bagiku, fenomena seperti ini bukan fenomena asing.

257

Kunantikan saat-saat manakala Rendy menyingkir dari hadapan
Monza.

Lima menit dari detik yang berjalan, kutemukan Monza yang
tampak sendirian. Sisa tangisnya masih tampak. Secara tidak langsung,
mata Monza beralih kepadaku yang terduduk bersama gitar tua yang
selalu kubawa. Kulihat sebagian bibirnya hampir terbuka, ingin
mengucapkan kata-kata.

“Gue kayak anak kecil, ya. Cuma gara-gara diputusin sama
Rendy, gue nangis kayak gini…” seloroh Monza.

Begitu menggugahku yang kala itu mendadak berdiri dan
mendekati perempuan itu bermaksud menemani kesendiriannya.
Mendengar bahwa Rendy telah memutuskan hubungannya dengan
Monza, titik terang mendadak mendekatiku beriringan. Aku masih
punya kesempatan memiliki hati Monza.

“Kamu nggak pantas menangis. Rendy malahan yang seharusnya
tahu diri. Harusnya dia bersyukur bisa jadi bagian dalam diri
perempuan sesempurna kamu….” hiburku yang tampak sok bijak.

Tiba-tiba saja kata-kata itu terutas dari dalam mulutku, tanpa
harus aku tahu apakah Monza betul-betul mendengarkan nasihatku.
“Buat apa harus ada rasa cemburu kalau ada cinta yang lebih tulus…”
lanjutku.

“Lo malaikat bukan sih. Gue penasaran banget samaLo. Setahu
gue, Lo bukan cowok beken kan di kampus ini. Bahkan, tanda-tanda
kehadiran Lo di kampus ini nggak sekeren Rendy atau teman-
temannya…” ejek Monza yang kali ini sedikit menyindir kebekenanku
di kampus. Namun, kucoba untuk memberikan penjelasan nyata
tentang ungkapannya tadi.

“Buat apa harus jadi malaikat? Bisa ngobrol berdua sama kamu
merupakan hal yang paling langka buat aku yang hanya mahasiswa
biasa di kampus ini….” sanggahku.

“Tapi Lo itu beda. Elo itu aneh, tahu nggak sih! Mendadak, Lo
bisa buat gue happy lagi karena kata-kata Lo. Jarang ada cowok yang
punya tipe kayak Elo. Bagi gue, Elo adalah malaikat yang jatuh dari
surga siang-siang bolong dan Elo dengan senang hati mau hibur hati
gue…” sambungnya.

258

Jutaan pujian mulai mengalir dari mulut Monza. Tak habisnya,
kudengarkan kata-kata manis dari bibirnya. Lebih dari itu, Monza telah
menganggapku malaikat yang senantiasa mengerti dan memahami
perasaannya yang kini kacau balau.

“Lebih dari apa yang kamu kira, aku sangat senang kalau kamu
juga senang. Jangan pernah menangis lagi karena laki-laki itu…”
kataku lagi.

Untuk pertama kalinya, Monza memelukku dengan erat. Tangan­
nya terjuntai di pinggangku. Mungkin, aku adalah sat­ u-satunya laki-
laki yang jujur dengan seluruh perasaanku, menggu­na­kan sepenuh
hati ini untuk mencintai seorang perempuan sesempurna Monza.


Kepul-kepul asap mulai tercipta. Bau daging ayam juga ikut
tercium ketika aku dan Aditya memutuskan untuk mencari makanan
agar cacing-cacing dalam perut kami tidak lagi kosong. Kami
memutuskan untuk membeli sate ayam yang berada persis di depan
rumah. Seperti biasa, kami memesan sate ayam dua belas tusuk dan
segelas es teh. Ritual yang sering kami lakukan untuk melepas status
jomblo dalam diri kami.
Dengan langkah cepat, kulangkahkan kaki untuk meraih dua
piring sate dan dua gelas es teh yang begitu menggiurkan. Aditya
yang tampak kelaparan mendadak terbangun kembali dari lamunan
singkatnya.
“Jreng…Jreng…Jreng! Pesanan datang…” kataku sembari men­
dekati Aditya yang tampak sumringah melihat makanan dan minuman
lezat telah tersaji di hadapannya.
“Gue nggak sabar banget buat makan. Cacing di perut gue udah
main ngamuk aja sekarang…” seloroh Aditya sembari meraih sate
dan es teh bagiannya.
Sudah menjadi tradisi jomblo jika kami hanya makan sate berdua
di warung Pak Bahar selama seorang perempuanpun tidak mendekati.
Namun, aku mempercayai satu hal bahwa sebentar lagi Monza akan
menjadi bagian dalam hidupku, meskipun semua itu butuh proses.
Beberapa menit setelah menghabiskan waktu untuk menikmati
sate membuat Aditya menanyaiku sesuatu. “By the way, gimana

259

keputusannya? Kapan Lo bakalan nembak Monza? Gue denger, dia

habis putus sama Rendy, kan?”

“Iya. Bahkan aku melihat sendiri Rendy marah-marah sama dia.

Kasihan banget kan, Monza. Cewek secantik dia, sesempurna dia,

kena semprot kecemburuannya Rendy yang sok kaya dan sok beken

itu…” jelasku.

“Nah. Itu dia salah satu kesempatan Lo untuk deketin Monza.

Siapa tahu, Monza bisa luluh sama Lo. Lagian, cowok sejenis Lo kan

cuma Lo doang, Fer…” sahut Aditya seraya menyuapkan se­tusuk

sate ke dalam mulutnya.

“Tenang aja, Dit. Semuanya udah aku siapkan. Tinggal tunggu

tanggal mainnya aja….”



Pagi ini, hujan membasahi bumi. Tiap-tiap bulirnya adalah sebuah

anugerah ketika aku bisa datang ke kampus tanpa setetes airpun di

badanku. Ketika kulangkahkan kaki menuju kelas, keterkejutan itu

tiba saat seseorang menepukku dari belakang. Kupalingkan wajahku

menuju si penepuk itu. Melihat wajahnya yang cantik, tersungginglah

senyum di bibirku. Aku meyakini betul bahwa ia bukan bidadari

yang turun dari surga. Dia Monza, perempuan yang amat kukagumi.

“Hai Ferdi. Mau jalan ke kelas?” tanya Monza kepadaku.

Mendengar pertanyaan tersebut, kuanggukan kepala be­berapa

kali. Tak terasa, Monza yang tampak begitu gembira men­dadak

menggandeng tanganku. Perasaan tak menentu tiba begitu saja tanpa

disadari.

“Bareng gue yuk…” rayunya.

Sepanjang itu pula perasaan ini diaduk-aduk oleh perempuan

yang kini teramat cantik dengan sentuhan hem berwarna pink dan

celana jeansnya tersebut.

“Kamu nggak diantar sama Rendy lagi, Za?” tanyaku sedikit

basa-basa sembari berjalan bersama menuju kelas yang berada di

ujung koridor lantai dua. Suasana yang dingin membuatku cepat-

cepat mengencangkan jaket.

“Kita udah putus. Bukannya Lo kemarin udah lihat gue sama

dia berantem ya…” ucapnya, membuatku semakin bercahaya akan

kesempatan yang akan datang. “Cowok kayak dia itu nggak pantas

260

buat dimiliki. Lagaknya aja banyak duit, tapi otaknya nol banget
deh. Jauh banget dari kesan pinter. Beda sama Lo, manusia sekaligus
malaikat yang tiba-tiba hadir ketika gue sedih…” sambungnya.

Mendengar ucapan yang begitu berarti dari mulut Monza
membuatku semakin optimis untuk segera menyatakan cinta padanya.

Setelah sampai di kelas masing-masing, kuputuskan untuk
berpisah dengan Monza. Meskipun kerlingan matanya begitu
bermakna untuk dinikmati, aku harus tetap menjalankan tugas sebagai
mahasiswa. Toh, kini Monza bukan lagi milik Rendy. Ia sudah menjadi
wanita bebas dan kesepian sekarang.



13.00 p.m, Kantin Kampus. Kunyatakan seluruh keinginanku untuk
mengajaknya dinner malam ini. Kebetulan, kukosongkan seluruh
jadwal untuk berkicau di twitter, membuat status galau di facebook
atau merekam suara dengan lagu terbaru dan kumasukkan filenya
ke account Sound Cloud demi mengajak Monza lebih dekat dengan
hatinya. Sepulang dari kampus, bergegaslah kujemput Monza di depan
kelasnya. Meskipun Rendy tampak begitu angkuh ketika kugandeng
tangan Monza keluar dari kelas, bahkan tak sekalipun kuhiraukan
tatapan laki-laki yang kini menggandeng seorang perempuan yang
levelnya lebih jatuh ketimbang Monza.

“Lo nggak perlu terlalu sensitif sama kelakuannya Rendy. Dia
udah biasa kayak gitu. Udah biasa buat gue lihat dia gonta-ganti
cewek. Emang dasar playboy sih. Toh, ceweknya yang sekarang udah
jauh level sama gue…” ungkap Monza yang tampak optimis dengan
proses Move onnya dari Rendy.

Tentunya, proses move on tersebut begitu aku nantikan.
“Mana ada, cewek secantik kamu cuma jadi cadangan. Lebih
baik menjadi satu-satunya, kan…” ujarku seakan tidak sadar dengan
apa yang kuungkapkan secara basa-basi pada Monza yang kala itu
sibuk menghisap ice cream di tangannya.
“Emang dasarnya aja itu cowok emang bodoh. Nggak bisa bedain
mana pacaran serius atau pacaran main-main…” jawabnya.
“Lo bener juga. Lihat aja, paling dua bulan lagi, mereka putus.
Gue yakin, cewek itu pasti bakalan sadar kalo Rendy itu cuma
modal tampang sama harta doang. Rata-rata, belum ada cewek yang

261

bisa bertahan sama dia sampai satu tahun. Paling pol juga putus
nyambung. Punya hubungan sama Rendy itu kayak nggak punya
kejelasan. Mendingan juga punya cowok yang punya tipe kayak Lo.
Pengertian, pinter dan bisa ngeyakinin gue, kalau Lo adalah pacar
yang setia” selorohnya.

Terdengarlah kembali kata-kata memuji dalam diri Monza,
semakin memantapkan langkahku untuk memiliki hatinya.

“Oh ya Za. Ntar malem kamu ada acara nggak?” tanyaku mantap.
“Emangnya kenapa, Fer ?” tanya Monza padaku.
“Kalau misalkan kamu nggak ada acara malam ini, aku pengin
ngajak kamu makan malam…” kataku sembari mengelap sisa ice cream
yang masih menempel di mulut Monza yang tampak sensual.
“Bareng temen-teman kamu atau ...?”
“Berdua aja. Special Dinner…” sahutku cepat-cepat.
“Jam berapa, Fer?” tanya Monza lagi.
“Jam tujuh malam di café perfecto…”
“Oke. Tapi aku usahakan, ya….”
Setelah usia berbincang berdua, aku memutuskan untuk
mengantar Monza pulang, seperti apa yang dilakukan oleh Rendy
saat keduanya masih menjalin kasih.



19.00 p.m, Perfecto café. Suasana yang teramat romantis mem­
buatku ingin cepat-cepat melancarkan siasatku untuk menyatakan
seluruh perasaanku pada Monza. Bersama gitar yang berulang kali
kubawa, untuk pertama kalinya aku akan membawakan lagu yang
menggambarkan kekagumanku pada Monza. Kini, tugasku adalah
menantikan kehadiran Monza yang tampaknya agak ngaret. Tapi,
aku memakluminya. Jarak rumah Monza menuju café ini memang
agak jauh, tidak sepertiku yang punya jarak pendek ketika harus
pergi ke café ini.

Kesabaranku terpenuhi. Monza datang padaku dengan gaun
berwarna hijau muda terang. Tubuhnya yang langsing membuatku
sempat terpana ketika menatapnya. Hasratku untuk memilikinya
semakin besar. Sebesar rasa cinta yang kumiliki untuknya.

“Hai, Fer. Sorry, gue ngaret banget ya. Abis, di jalan macet dan
nggak ada kelonggaran, jadinya nggak bisa tepat waktu…” alasan

262

itu tampak nyata. Kawasan rumah Monza merupakan kawasan yang
terkenal macet di Jakarta. Pantas jika ia datang terlambat. Meskipun
begitu, aku tetap menghargai kedatangan perempuan itu. Paling tidak,
Monza bersedia menemuinya malam ini, bukan hanya sekedar makan
malam, namun juga membicarakan kata hati yang sebenar-benarnya.

“No problem kok, Mon. Yang penting, kamu udah me­ngos­ ongkan
waktu malam minggu kamu untuk ketemu sama aku…” kataku itu
membuat Monza lega. Aku bersyukur bisa berada se­de­kat ini dengan
Monza, meskipun sebuah perasaan yang lain mendadak muncul.
Perasaan yang aneh. Bukan rasa cinta. Lebih pada perasaan untuk
bersahabat dengan hati perempuan di hadapannya. Entah bagian apa
dalam diri Monza yang mendadak mengingatkannya seseorang di
masa lalunya.

“Sebenernya, Lo mau ngomongin apa ke gue, sampai harus stay
di tempat seromantis ini..” ujar Monza padaku.

Melihat reaksiku yang mendadak serba salah, Monza kembali
memberikan sebuah pertanda.

“Jujur, gue nggak bisa nebak apa isi pikiran Lo sekarang… tapi,
Lo bener-bener manusia yang penuh kejutan…”

Merasa tidak sabar akan kejutan yang lebih indah, bergegaslah
aku berdiri dari kursi, membawa gitar yang senantiasa menjadi
perabotan dalam menyatakan cintaku akan Monza yang kala itu
hanya bisa tersenyum dan terkekeh melihatku sudah berada di atas
panggung. Kali ini, aku siap menyanyikan lagu yang mengungkapkan
seluruh perasaanku padanya. Petikan-petikan gitar mulai terdengar,
suara hati mulai berbicara dan segalanya penuh dengan cinta-cinta.
Dengan tersipu-sipu, Monza memberikan reaksi yang berbeda. Ia
tampak begitu bahagia dengan lagu yang kubawakan hingga akhir
syair. Di mana saatnya aku dapat menyatakan seluruh perasaanku
pada Monza.

“Buat seorang cewek yang ada di sana. Lagu ini teruntukmu…”
ucapku disambut tepuk tangan yang meriah dari orang-orang yang
mampir dan menikmati makanan di tempat masing-masing.

“Yang nggak boleh terlewatkan, aku ingin mengutarakan seluruh
perasaanku sama kamu…” lanjutku, sempat membuat Monza salah

263

tingkah dan menatapku dengan sayu. Rupanya, ia memberikan sebuah
pertanda yang baik.

“Aku harap, kamu mau mendengarkan suara hati ini. Meneliti
sebagaimana hatiku berbicara bahwa… Aku mencintaimu…” Monza
terkejut. Aku bisa melihat dari tatapan matanya. Semua orang riuh-
riuh memberikan tanda bahwa mereka menyetujui hubunganku
dengan Monza. Sesimpul senyum mendadak muncul dari kedua
lesung pipi Monza. Entah apakah ia mau menjadi pacarku ataulah
menolakku mentah-mentah.

Tak sabar ingin menatap kebahagiaan dalam mata Monza,
cepat-cepat kulangkahkan kaki keluar dari panggung dan kembali
ke tempat di mana Monza telah menunggu kedatanganku. Dengan
wajah memelas, Monza menatapku sekembalinya aku dari panggung.
Mendadak, keresahan melanda hatiku entah mengapa.

“Lo yakin mau jadi pacar gue?” ujar Monza sembari tersenyum
lesu. “Lo yakin sama semua kata-kata yang Lo omongin barusan?”

Dengan sebuah anggukan pas-pasan, kuanggap semuanya hanya
sebatas ujian kecil dari Monza untuk menguji ketulusanku.

“Lo yakin nggak akan menyesal ketika Lo tahu yang sebenarnya
tentang jati diri gue?”

Aku terkejut karena ucapan Monza begitu menyudutkanku.
Entah kemana arah ucapannya tersebut, aku tak mengerti. Yang
jelas, Monza mendadak menggulingkan tetes demi tetes air matanya.
Sebuah keanehan mulai tercipta.

“Kamu kenapa, Mon?” tanyaku pada Monza yang kala itu
mencoba mengusap air matanya.

“Kalau Lo benar-benar cinta sama gue, Lo harus terima gue
apa adanya, termasuk pengakuan yang satu ini, pengakuan yang
belum pernah satupun mantan gue tahu…” jelas Monza yang sempat
membuatku terperangah dan penasaran.

Ada apa dengan Monza? Hatiku tak dapat membaca segala
pertanda yang ia berikan.

“Pengakuan apa sih Mon? Pengakuan apa yang belum aku tahu
tentang kamu…” tanyaku mendesak.

Mendengar ketegasan yang tercipta dari mulutku, Monza
bergegas menunjukkan sesuatu. Mengutarakan segala keluh kesahnya

264

tentang sejuta sejarah yang ia simpan sendiri, bahkan ia rahasiakan
dari mantan-mantannya termasuk Rendy. Tanpa berlama-lama, ia
menggulung lengan pakaian yang menutupi bagian atas tubuhnya.
Kulihat sebuah tato bergambar naga yang sama persis dengan tato
yang dibuat oleh Mas Wilham, pembuat tato langganan Okto. Aku
tahu persis lekuk-lekuk dan aksen dari gambar tersebut. Yang lebih
membuatku terperangah, posisi tato di lengan Monza sama persis
dengan posisi tato di tangan Okto, sahabat yang selama ini kucari
entah di mana keberadaannya. Ada hubungan apa antara Okto dan
Monza, semuanya menjadi sebuah misteri.

“Kenapa tato di lengan kamu sama persis dengan tato teman
lamaku…?” Melihat reaksiku akan tato di lengannya, Monza hanya
bisa mengalirkan seluruh air matanya. Entah mengapa perempuan itu
mendadak hanyut dalam kesedihannya. Berulang kali ia menggenggam
erat tanganku, seakan memberikanku sebuah isyarat.

“Lo harus tahu semuanya tentang gue….”
“Tentang apa sih, Mon? Ngomong sama aku...!”
“Mungkin, pengakuan ini bakalan jadi sebuah pengakuan paling
freak buat Lo. Tapi… Lo harus sadar bahwa ke-5 mantan gue nggak
pernah tahu kalau gue ....“
“Kalau kamu apa, Mon? Tolong bicara Mon!” desakku tidak
sabar.
“Kalau gue ini ....“
“Kalau kamu apa, Mon?”
“Kalau gue ini ...“ Monza menarik nafas. “Gue ini Okto….”
Mendengar pengakuan itu, aku terperanjak kaget. Sesaat, aku
menjauhkan diri dari hadapan Monza yang kini kuketahui adalah
Okto, sahabat yang selama ini kucari. Entah apa yang membuat Okto
memutuskan untuk melakukan semuanya. Otakku masih berputar,
mencari akal dan mengorek kesempatan untuk mengetahui kejelasan
tentang alasan Okto mengubah diri menjadi Monza, sosok perempuan
yang selama ini kucintai.
“Kenapa kamu melakukan semua ini, To?”
“Gue terpaksa, Fer. Gue nggak sanggup. Orang tua gue mau
kalo gue fokus untuk jadi model. Orang tua gue nggak mau gue jadi
laki-laki. Ketika mereka berhasil memvermak gue jadi sosok Monza

265

sekarang, gue menyisakan satu tanda di lengan gue. Tato Okto yang
sekarang menjadi tato Monza…”

Jadi itu alasannya. Mendadak, air mataku ikut tumpah.
“Gue sengaja menyisakan tato ini biar Lo nggak khawatir lagi
sama gue. Biar Lo nggak resah cari-cari di mana gue berada. Tapi,
saat Lo menyatakan cinta sama gue barusan, gue jadi dilema sendiri.
Apa bisa kita pacaran? Gue Okto yang dulu adalah laki-laki, dan Lo
juga laki-laki. Nggak mungkin kita bersatu, Fer. Nggak akan bisa…!”
Kucoba untuk melunak dan menerima segala perbedaan yang
semula adalah sebuah ikatan persamaan.
“Kenapa enggak. Kamu adalah Monza, sekarang. Bukan Okto,
sahabat yang selalu aku cari-cari keberadaannya. Kenapa kita nggak
mencoba untuk menyamakan semuanya. Toh, semuanya udah jadi
cerita masa lalu kamu kan?” Mendadak, seutas senyum mulai muncul
di lesung pipi Monza.
“Kita lakukan semuanya dengan penuh rahasia, ya ...“ tukas
Monza, “biar manusia di dunia ini tahu, persamaan bukanlah
penghalang untuk kita” lanjutnya.

266

OMPOL

Faridhatul Nangim Rokhimah

Kini aku duduk di bangku kelas 1 SMA. Di mana aku sudah
harus menata jati diriku karena aku mulai tumbuh menjadi remaja
yang lebih dewasa dibanding dengan usia SMP yang masih cenderung
kekanak-kanakan. Aku duduk di kelas 1D. Aku mempunyai teman
sebangku, namanya Firyal. Dia anak yang baik, ramah, pintar dan
cantik. Tetapi, kini dia sudah mulai berubah kelakuan. Dia sering
menganggap dirinya paling oke dibanding yang lain. Bahkan, dia
sering semena-mena dengan teman-temannya. Hingga aku menjadi
sangat kesal terhadap perubahan perilakunya.

Aku melirik arlojiku menunjukkan pukul 10.00, waktu untuk
istirahat. Aku keluar dari kelas dan duduk di bangku kursi berkeramik
yang panjang. Tiba-tiaba Firyal menghampiriku.

“Hey, aku boleh cerita enggak” kata Firyal.
Aku tersenyum dan menganggukkan kepala tanda aku me­
nyetujuinya. “Tau nggak? Aku naksir sama seseorang, kelas 1C,
namanya Alfan“ jelas Firyal kepadaku.
Akupun menanggapinya. “Hah? Yang mana sih orangnya? Aku
belum pernah melihat orangnya.”
“Pasti kamu tahu, mungkin hanya kamu belum tahu namanya
saja” kata Firyal.
“Mungkin bisa jadi” jawabku dengan senyuman masam.
Firyal hanya bercerita denganku tentang Alfan. Alfan yang
ganteng lah, kece lah, macho lah, dan masih banyak lagi. Sebagai
seorang teman aku harus menghargainya. Walaupun sebenarnya
aku tidak terlalu suka membicarakan laki-laki. Karena aku meng­
anggap semua laki-laki itu sama saja, tidak ada hatinya. Mereka
selalu menyakiti hati perempuan. Setelah Firyal selesai bercerita, dia
langsung pergi meninggalkanku tanpa sepatah kata apapun padaku.
Seutas kata “terima kasih” saja dia tidak menyempatkan membuka

267

mulutnya untuk mengatakannya padaku. Firyal berlari menuju kelas
1C. Dia berharap bisa mendapatkan nomor telepon Alfan.

Namun, kejadian lain terjadi. Teman-teman kelas Alfan berkata
padaku, “Hey. Alfan padamu”. Mereka berulang-ulang mengatakan
kalimat itu, aku merasa tidak enak hati terhadap Firyal. Aku hanya
bisa membisu.

Bel masuk pun berbunyi. Aku kembali menuju kelas untuk
mengikuti pelajaran selanjutnya. Aku kembali ke tempat dudukku
di barisan nomor 3 dari meja guru, dekat jendela. Firyal menyusul
duduk di sampingku. Ia memasang wajah yang acuh, marah dan
kesal kepadaku. Aku berpikir, mungkin dia marah karena gojlokan
teman-teman Alfan terhadapku. Ketika bu guru sudah datang di kelas
kami dan memulai untuk mengajar. Firyal masih saja bersikap tidak
baik kepadaku. Hal ini membuat hatiku tidak nyaman. Firyal tidak
bisa biasa seperti padaku, mengeluarkan buku pelajaran saja dengan
tenaga, menaruh buku di meja juga memakai gebrakan.

Bel berbunyi dengan nada yang panjang, tanda bahwa jam
sekolah telah usai. Hari ini, sekolahku pulang lebih awal dibanding
dengan hari-hari biasanya karena hari ini, OSIS sekolahku mengadakan
classmeeting. Kegiatan itu diisi dengan berbagai lomba, seperti
pertandingan bola voli, bola basket, tenis meja, bulu tangkis, dan
lain-lain. Kami pun berkemas dan berdoa dengan seksama.

Setelah berdoa usai Firyal beranjak berdiri dan rasanya terburu-
buru untuk pergi.

“Firyal kamu langsung mau pulang?” tanyaku.
Firyal menjawab dengan nada kasar “Nggak, lagian aku nggak
dapat bagian buat ikut lomba kok”.
“Tapi, kita kan menyemangati teman-teman kelas kita?” kataku
lagi. “Penting ya? Semangati aja sendiri, emang aku pikirin.” jawab
Firyal kesal.
Firyal beranjak keluar dari dalam kelas. Aku berlari dan berusaha
menghentikan langkahnya.
“Firyal, kamu marah sama aku? Pasti gara-gara teman-teman
Alfan tadi kan? Sumpah Firyal aku nggak tahu apa-apa Firyal” kataku
kepada Firyal.
Firyal menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam

268

kelas. Di kelas hanya tinggal aku dan Firyal. Firyal berkata kepadaku,
“Kamu tahu? Selama ini aku menganggapmu sebagai teman sebangku
terbaikku, tapi apa balasanmu? Kamu malah menusukku dari bela­
kang! Pagar makan tanaman! Puas kamu!”

Aku pun menyela Firyal, “Tapi aku tidak tahu semua itu. Aku
juga kaget teman-teman Alfan berkata seperti itu kepadaku. Kumohon
percayalah! aku juga nggak ada simpatik sedikitpun sama Alfan.”

“Omong kosong! Pantas saja aku cerita kepadamu panjang
lebar tentang Alfan, kamu menanggapinya hanya....” belum selesai
perkataan yang akan Firyal lontarkan. Aku langsung menyelanya.

“Aku hanya biasa-biasa saja, bukan aku cemburu! Tapi aku
benci akan sifatmu sekarang ini. Kamu instropeksi diri dong! Sadar!
Kamu sekarang sering berlaku semaumu, merendahkan teman-teman
sesukamu, kamu tidak merasakan apabila kamu di posisi mereka!
Direndahkan seperti tak punya harga diri” lanjutk).

Firyal menggeram kesal kepadaku. Dia segera membalikkan
badan disertai hentakkan satu kaki kanannya tanda dia kesal denganku
dan dengan sigap berlari pergi dariku. Aku sengaja membiarkannya
pergi supaya dia bisa meredamkan emosinya dan menenangkan
pikirannya terlebih dahulu.

Tiba-tiba dering ponselku terdengar, akupun membukanya.

From: Firyal, “Bentar lagi Alfan juga bakalan sms kamu. Selamat
menikmati ya!!”

Aku bertambah kesal dengan perlakuan Firyal terhadapku. Aku
kira dia sadar apa yang telah aku sampaikan kepadanya tadi. Ternyata
hanya dugaan belaka. Tiba-tiba ponselku kembali berdering. Aku
mulai membaca sms dari nomor yang belum terdaftar dalam buku
telepon hpku.

From: 081227464619: “Untaian kata indah tak selamanya menjadi
bukti kesetiaan. Janji manis kadang membuat kekecewaan, hanya
kejujuran dan kasih sayang yang akan membuat indah arti percintaan.
Hidup ini penuh tantangan dan halangan. Untuk itu, izinkanlah
aku untuk menantang hatimu dengan cara kau menjadi kekasihku...
yang mencintaimu, Alfan”

269

Aku mendesah, “huh… kenapa semua jadi gini sih. Orang yang
dicintai atau disukai teman terbaikku malah melenceng mencintai
aku.”

Akupun kembali duduk di atas kursi di depan kelasku. Aku
pun segera membalas es-em-es dari Alfan supaya tidak akan ada
kesalahpahaman kembali antara Firyal terhadapku. Aku mencoba
membalas sms Alfan dengan santai supaya dia juga tidak sakit hati
kepadaku. Bagaimanapun aku harus bisa menghargai perasaan orang
lain kepadaku.

For: 081227464619: “Maafkan saya Alfan, bukan saya tidak
mencintaimu dan menyayangimu. Aku cinta dan sayang kepadamu,
tapi hanya sebagai teman, tidak lebih. Aku mohon kamu memaafkan
aku. Aku tidak menolakmu, hanya saja aku belum bisa menerimamu.
Kamu tahu Firyal kan? Dia sangat mencintaimu. Kejarlah dia, dia
wanita baik-baik Kita berteman saja Alfan. Oke?:D.”

Aku merasa lega sudah membalas sms Alfan. Semoga dia bisa
mengerti dan dia mau dengan Firyal, harapanku sih seperti itu. Tak
lama kemudian ponselku bergetar lagi.

From: 081227464619: “Oh, begitu. Ya gak papa. Tapi, aku masih
berharap bisa denganmu. Firyal? Ya, aku tahu. Tapi, tidak semudah
itu mencintai, mungkin aku harus lebih jauh mengenal dia terlebih
dahulu.”
Hatiku gembira dengan jawaban Alfan. Classmeeting hampir
selesai. Aku beranjak dari tempat dudukku menuju parkiran. Saatnya
pulang sekolah.
Akhirnya, aku sampai di rumah. Aku segera ganti baju dan
makan. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahku. Aku segera
membuka pintu. Melihat siapakah tamu yang datang. Ketika aku
membuka pintu, aku sangat terkejut. Ternyata, tamu yang datang
adalah Alfan. Aku gugup. Namun, aku berusaha menanyakan.
“Dari mana kau tahu alamat rumahku?” tanyaku kepada Alfan.
Dia tersenyum meringis dan menjawab, “Buat apa aku mencintai
kamu, kalau tidak tahu tentangmu?” jawabnya.
“Hemm…, begitu. Tapi sekarang cinta sebagai teman kan?”

270

“Hahaha ...” Alfan hanya tersenyum kecil.
Akupun mempersilakan Alfan masuk dan duduk di kursi sofa
berwarna merah maru di ruang tamuku.
Kami pun mulai pembicaraan.
“Bagaimana kalau aku sms Firyal untuk datang ke sini supay­ a
nanti kamu bisa menjelaaskannya atas kesalahpahamannya terhadap­
ku” pintakuku kepada Alfan membuka pembicaraan.
“Tidak perlu sms, telepon langsung saja.”
Akupun mencoba menelepon Firyal. “Tut...tut...tut....”
“Halo? Ada apa!” sahut Firyal dari kejauhan.
“Fi..fi,,,fi,,Firyal...tolong....ke sini...sini!!!” pintaku.“Aaku kee...
hhhabisan ooobat asmakkkkuu.... “
“Ya... Allah…, kenapa bisa terjadi? Oke. Aku akan belikan kamu
obat dan segera ke rumahmu... jawab Firyal seperti orang ketakutan.
“Tut....” telepon pun tertutup. Aku sengaja membohonginya.
Tak lama kemudian Firyal datang dengan jalan terburu-buru.
Ketika dia masuk dan mengucapkan salam ia kecewa karena telah
dibohongi dan ada Alfan di sana. Ketika Firyal akan keluar aku
menarik tangannya dan menyuruhnya untuk duduk. Walaupun
sangat sulit. Akupun menjelaskan semuanya secara perlahan agar
tidak terbawa emosi.
Akhirnya Firyalpun tersenyum lebar terhadapku. Aku bahagia
begitu pula Firyal. Kitapun berpelukan.
Aku dan Firyal memandang Alfan yang sedang sibuk dengan
ponselnya. Firyal meminta berjabat tangan dengan Alfan, tangan
kirinya sibuk dengan HP dan tangan kanannya....
“Aaaaarrrghhhh…” aku dan Firyal berteriak. Aku dan Firyal
sangat kaget. Tangan kiri Alfan sibuk dengan HP dan tangan kanannya,
ia sibukkan dengan alat kelaminnya. Ternyata ia mempunyai kelainan
yang biasa orang menyebutnya dengan onani.
Aku, menyuruh Alfan segera pergi dari rumahku secara paksa.
Aku dan Firyal mendorongnya keluar pintu dan segera mengunci
pintu. Kami menghela nafas lega dan tidak habis pikir, cowok yang
dianggap Firyal sempurna dimatanya, ternyata mempunyai kelainan.
Padahal, di sekolah dia tak pernah melakukan hal itu. Memamerkan
alat kelaminnya.

271

Akupun berkata pada Firyal, “Firyal, pertemanan itu seperti
ompol ya? Kita dapat sama-sama merasakan baunya. Namun, tak
bisa merasakan kehangatannya.”

Kami tertawa bersama dan masih geli dan jijik oleh perilaku Alfan
tadi. Kesalahpahaman ini membawa kita jauh dari malapetaka si Alfan.

“Hahaha...ha…ha…” kami berdua tertawa terbahak-bahak.
Firyal langsung mencoba menghubungi teman laki-laki yang
duduk sebangku dengan Alfan. Firyal menceritakan semua kejadian
yang baru saja dialami. Ternyata teman Alfan selama ini tahu tentang
semua itu. Namun ia tak sampai hati jika harus memberi tahu kepada
Firyal tentang itu semua. Terlebih, ia tak ingin teman-teman yang
lain tahu. Selama ini, Alfan jarang keluar rumah karena ia tak ingin
kelainannya itu diketahui orang banyak yang dapat membuatnya
malu.

272

HATI ANTARIKSA

M. Afnan Rozzak G.

Aku menyukai sore yang tenang, saat langit masih jingga, saat
sayap sayap merpati masih menghiasinya. Tapi sore ini sedikit lebih
berisik dari sore biasanya. Karena aku dan Mamaku.

“Ma, Aku butuh, Ma buat sekolah aku.”
“Iya, Nak, tapi uangnya masih mama pakai buat yang lain lain.
Sabar, ya, Nak. Kamu pakai yang ada dulu aja. Entar Mama beliin,
apa tadi namanya? Tablet, sabar ,ya.”
“Huh,”
Aku berbalik badan, menuju pintu keluar rumah. Aku menutup
pintunya dengan sedikit kasar. Ternyata menimbulkan suara yang
cukup keras.
“Anna! Mau kemana!? Anna!”
Mamaku memanggilku dari dalam. Aku bisa mendengarnya
dari luar. Tapi aku tak peduli. Namaku Anna Inayah lengkapnya,
dipanggil Anna. Aku memang membutuhkan fasilitas itu. Lagipula
aku tidak lahir di keluarga yang miskin. Semua sudah tercukupi
dan pasti ada dana tersisa untuk gadgetku. Ah, menyebalkan. Aku
mengayuh sepedaku ke rumah Indri, teman rumahku, karena sore
ini ada rencana belajar kelompok dirumah salah satu temanku,
Tabah. Aku akan menunggu dirumah Indri sampai nanti sore. Aku
menceritakanya ke Indri.
“Yah, Anna. Kamu juga harus sabar dong, udahlah.”
”Tapi temen lain udah pada pake, Ndri. Masa aku enggak!”
”Banyak, kok yang belum pake Tab, aku udah sih tapi. Udah,
sekarang kamu sabar aja. Doain Ibumu dapet rezeki.”
Huh, sepertinya dia tidak mendukungku. Tak ada yang
kutangkap dari kata katanya.
“Ya udah. Yuk cuss ke rumah Tabah. Udah sore nih.”

273

”Hmph.”
Aku menjawab sekenanku. Kami berangkat dengan motor.
Indri yang menyetir karena ini motornya. Sesampai di rumah Tabah,
kami memulai belajar kelompok seperti biasanya. Rumah Tabah
sepi, orang tuanya mungkin bekerja. Dia punya satu adik. Rumah
yang sederhana, rumahku lebih baik, kurasa. Semua berjalan biasa
sampai waktunya salat maghrib. Tabah menjadi imam. Aku, Indri,
dan Ara. Sedangkan Harun mengumandangkan Iqomat. Saat Tabah
akan memulai Takbirratulikhram, handphone di sakunya berdering,
dia mengangkat teleponnya.
“Assalamualaikum. Halo, iya, iya, hah?” dengan suara yang
sedikit naik.
“Iya, wa’alaikumsallam.”
Dia diam, menunduk. Kami tak bisa melihat wajahnya, hanya
punggungnya
“Bah? Ada apa?”
Indri memulai pertanyaan yang ada dibenak kami semua. Tabbah
hanya mulai
takbirnya“Allahhuakbar!”dankamimengikutinya.“Assalamualaikum
wa rahmatullah, assalamualaikum wa rahmatullah,” selama sholat tadi,
suara Tabah seperti menahan sesuatu. Ada semacam getaran di tiap
doanya. Harun menepuk pundaknya dan bertanya.
“Kenapa, Bah?”
Tabbah hanya diam, lalu. Dia menangis.
“ Tadi ada yang telepon, Ibuku, dia.. dia.. dirumah sakit,”
Itu suara tangisan, dia menangis. Kami belum mengerti.
“Ibumu dimana? Ayo, aku anterin,” kata Harun.
Aku dan Indri juga ikut. Di Rumah sakit, kami langsung menuju
kamar tempat Ibu Tabah dibaringkan. Ternyata, Ibunya Tabah benar-
benar sudah tiada. Beliau mengalami kecelakaan saat sedang bekerja,
tentu itu mati Syahid. Tabah berlari menghampiri Ibunya, jenazahnya
ditutupi selimut putih. Dokter membuka selimut itu. Terlihat wajahnya
Ibunya terluka cukup, tetapi tubuhnya utuh. Air mata Tabah berlinang,
dia terus memandangi Ibunya. Ia mencoba mengusap wajah Ibunya,
namun tangannya hanya mengambang diatas kulit Ibunya. Diiringi
isak tangis. Ia mengucapkan.

274

“Ibu, terimakasih selama ini kau mengurusku hingga aku dewasa,
selalu ada saat aku terpuruk. Terima kasih. Ibu sudah berikan semua
untuk keluarga kita. Ibu, aku ingin kau melihatku menjadi orang yang
kau inginkan. Meski itu dari sana.”

Itu menyedihkan, mengharukan. tanpa kata kata, aku, Indri, Ara,
dan Harun sepakat membantu Tabah. Dari pintu masuk, Ayah tabah
muncul bersama adiknya.

“Tabah!”
”Bapak, Rehan.”
Mereka berpelukan. Dengan air mata mereka mencoba menerima
keputusan Tuhan.
”Kami turut berduka, Om. Semoga Om dan keluarga bisa
menerima takdir-Nya. Tabah, yang sabar, ya,“ ucap Indri.
Kami pamit pulang. Aku masih enggan pulang kerumah, tetapi
karena malam sudah larut, aku memutuskan tetap pulang. Dalam
perjalanan pulang, sambil mengayuh aku masih memikirkan Tabnya.
Sampai dirumah dengan wajah murung aku masuk, Ibuku menyapaku
“Udah pulang, Na?”
”Kelihatanya?”
”Kamu kenapa sih,Na? Masih marah sama Mama? Kan Mama
bilang kamu harus sabar, jangan merengut gitu. Entar, Mama ... “
”Tak usah,” potong Anna sambil berteriak, “udah, ah males,
aku mau pergi lagi!”
”Anna! Mau kemana!? Udah malam! Anna!”
Aku berlari keluar rumah, hanya berlari, sejauh 30 meter dari
rumah aku sudah lelah. Aku sedikit menangis, entah mengapa. Dan
aku lapar. Oh, ada kedai di seberang jalan. Aku langsung duduk di
kursi kedai itu. Saat aku merogoh sakuku. Aku tidak bawa uang! Tidak!
Pasti tertinggal dirumah! Uuh, perutku sudah berbunyi, sial. Tuhan
marah padaku, kurasa. Lalu, aku hanya duduk di pinggir trotoar,
melihat mereka berlalu-lalang. Orang-orang itu, hanya melihatku
dari luar. Apa yang ada dimata mereka? Mungkin, aku hanya gadis
menunggu jemputan dari orang tua atau angkot atau apapun. Ingin
aku teriakan “hey, aku lapar!” tapi itu bodoh. Aku masih bingung.
Agak menyesal juga aku sok keluar dari rumah padahal entah aku
mau kemana. Sekarang aku harus apa? Pulang, mengetuk pintu lalu

275

bilang “Hay, Ma! Aku pulaang..! Masak apa, Ma?” dengan nada tak
bersalah. Lamunanku buyar, oleh seorang Ibu. Entah apa yang dia
lakukan, seperti membungkuk, aku hanya bisa melihat punggungnya
dari seberang jalan. Dia berbalik, dia menggendong anak kecil, bukan
bayi. Mungkin sekitar 4 tahun. Ternyata dia pemulung, mencoba
mencari ampas dunia. Aku membantunya? Putar saja kepalaku! Lepas
dari dia, aku tundukkan kepalaku di kedua kakiku yang aku tekuk
keatas, dilapisi tanganku yang terlipat. Aku harus apa?

“Non, ini botolnya boleh saya ambil?”
“Eh?” aku kaget.
Ternyata Ibu itu sudah menyebrangi jalanan menuju ke arahku
untuk mengambil botol? Aku tidak bawa botol apapun. Ternyata,
maksudnya adalah botol minuman kosong disampingku.
“Ambil aja, Bu, bukan punyaku.”
Ibu itu mengambilnya. Anaknya seperti mengatakan sesuatu,
kurasa dia lapar, karena Ibunya mengambil sekantung plastik
gorengan. Anak itu memakannya dengan lahap. Kurasa, bagi mereka
gorengan adalah suatu kemewahan.
“Non, mau bakwan?”
“Eh, enggak, Bu, makasih”
“Iya, Non, maaf mungkin, Non jijik sama saya yang cuma
pemulung.”
Jujur, itu benar.
“enggak, kok Bu. Mmm, boleh saya minta satu?”
Apa? Aku lapar.
“Oh, iya Non. Ini ambil.”
Aku mengambil satu gorengan itu, mencoba tidak menunjukan
kejijikanku. Aku selalu mencoba tidak melukai orang lain, kurasa.
“Makasih, Bu, Ibu baik, ya.”
“Gak papa, Non. Lagian kita kan harus berbagi. Keliatan, Non
lapar.”
“He, he.”
Aku hanya cengengesan, teringat apa yang aku pikirkan tentang
orang-orang.
“Non, cewek gak boleh keluar malem-malem. Kok, ga pulang?”
“Eemmmmm, Males, Bu.”

276

“Kenapa, Non?”
Aku agak terganggu dengan pertanyaan ini, tapi entah kenapa
sesuatu mendorongku bercerita. Yah, Terkadang orang yang tak
dikenal adalah alasan kita mau bercerita. Mereka takkan “ember”.
“Mamaku, Bu, Mama pelit. Masa gak mau beliin aku Tab. Padahal
aku butuh.”
“Mungkin, Mama, Non lagi ga ada uang, Non. Lagian apa itu
Tab?”
“He, he.... Itu tu yang kaya TV tapi datar dan bisa dibawa ke
mana-mana.”
“Oooooo.....saya pernah liat. Yang banyak dibawa orang-orang
itu dan diusap-usap itu, to?”
“Betul, Bu,” jawabku sambil nyengir geli.
“Eh, lalu kalau tidak dibeliin, Non gimana. Apa masih kurang
kebutuhan hidup, Non?”
“Enggak, Bu, aku yakin semua udah gak kurang lagi.”
“Kalau gitu apa yang kurang, Non. Non, punya semuanya, kan?”
Ah, aku lupa aku sedang bicara dengan orang yang lebih kurang
dariku. Dan pasti aku terlihat menyedihkan. Oh iya, aku melihat Ibu
ini, wajahnya sama sekali tak ada beban. Dia ramah. Sepertinya dia
bisa menerima semua yang ia alami, meski anaknya menangis. Tapi
daripada itu, aku hanya mengeluh. Ah aku malu sekali. Tapi itu
menyadarkanku sesuatu. Aku harus pulang.
“Bu, saya mau pulang, terimakasih bakwannya.”
“Iya, Non.”
Dalam perjalanan aku berlari, tak sabar bertemu Mamaku
untuk meminta maaf padanya. Mamaku pasti memaafkanku. Itu
yang kupikirkan. Aku berlari sambil mereka-reka apa yang akan
aku katakan. Mungkin, sedikit bercanda? Atau serius tanpa seukir
senyum? Semua aku coba susun dengan rapi dalam perjalanan. Tapi,
sampai didepan pintu. Aku bahkan ragu-ragu untuk membukanya.
Tanganku berat untuk mengetuk pintu. Aku hanya diam didepan
pintu. Semua rekaanku buyar, bahkan terdengar konyol dikepalaku.
Aku teringat Tabah. apa yang ia alami. Saat di depan Ibunya. Dan
apa yang ku perbuat pada Mamaku. Apa aku sudah bersikap pantas
pada Mamaku? Aku hanya menangis, awalnya hanya isakan,

277

tapi lama kelamaan benar- benar tangisan. Aku memalukan.. aku
menaruh kepalaku dipintu, menjadikannya penopang tubuh sambil
tetap menangis. “Grek”, pintu terbuka dari dalam, Ibuku mendengar
tangisanku, dia juga menangis. Dia memelukku. Aku balas pelukanya.

“Ma, Maafin Anna, Ma. Anna nyesel, Ma. Anna gak butuh Tab.
Anna butuhnya Mama aja. Maafin Anna, Ma.”

“Iya Anna, udah malam. Ayo masuk. Makan Malam udah siap.”
Mamaku bukan pelit, hanya aku yang manja. Aku mengerti kasih
sayangnya tak dapat diartikan dengan memberikan apa yang kumau.
Kasih sayangnya ada pada hatinya, ketulusan tiap kata katanya, dan
menerimaku meski aku benar-benar manja, menyedihkan, memalukan.
Cinta dalam hatinya lebih indah dari langit jingga, lebih teduh dari
sayap merpati yang menyelimutinya. Cintanya melompati antariksa.

278

ANGELIKA

Yossie Putri Isnaini

Mentari siang ini amat terik. Membuat aku sulit tuk membuka
mataku. Panas, panas sekali. Pikirku siang ini matahari sedang
dirundung amarah. Terlontar cahayanya menembus pori-pori
kulitku serasa hampir terbakar. Sekian lama aku berjalan. Tempat
teduh tak kudapati. Tak ada satu pun tempat singgah untuk sekedar
melepas peluh. Keringat sebesar biji rambutan mengalir deras di
keningku hingga kerudungku mulai sempurna basah. Aku berhenti
di sebuah warung kecil, membeli air dingin untuk melegakan
tenggorokanku. Setiap air yang aku teguk memberikan kesegaran
pada kerongkonganku yang sedari tadi tercekik kehausan.

Sembari istirahat, kuarahkan pandanganku ke persimpangan
jalan yang tak jauh di depanku. Kulihat seorang anak perempuan
berpakaian lusuh, dipenuhi lubang dan noda, tapi matanya yang
coklat membuat dia semakin cantik. Hidungnya yang mancung
membuat dia sempurna seperti anak yang lain. Berdiri dengan satu
kaki yang ditopang tongkat kayu sambil menggoyangkan kaleng kecil
menandakan bahwa pekerjaannya peminta-minta. Kuperhatikan anak
itu tak pernah beranjak dari tempatnya berdiri. Aku penasaran. Ragu
kakiku untuk menghampirinya. Tapi, apa yang akan aku lakukan
setelah bertatap muka dengan anak itu? Aku bingung. Akhirnya aku
duduk kembali di tempat semula sambil menghabiskan sisa air.

Pandanganku tetap tak berpaling darinya. Terlintas di pikiranku,
aku membayangkan jika aku menjadi dirinya. Akan kulakukan apa
yang ia lakukan sekarang. Mukanya kini mulai memerah, merasakan
panas hari ini. Sesekali ia duduk, namun tak lama berdiri lagi, tetapi
tetap saja badannya tak ada niat untuk beranjak. Waktu yang hampir
sore menuntunku untuk kembali berjalan. Pulang. Matahari tak seterik
sebelumnya. Petualanganku hari ini telah usai. Berniat aku akan

279

melanjutkannya esok. Kini pikiranku dipenuhi anak di persimpangan
itu.

Di berbagai tempat di mana pun aku di rumah selalu
terbayang anak itu. Ada saja desakan yang menyuruhku untuk lebih
mengenalnya. Terdengar samar bisikan di telingaku, “Kamu harus
segera menemuinya! Kasihan dia, sudah tidak ada waktu lagi untuk
menundanya. Hanya kamu yang bisa selamatkan keberadaannya.”

“Dia? Siapa dia?”
Ah, barangkali hanya imajiku saja.

***
Pagi masih sangat hitam. Hiruk-pikuk manusia telah mewarnai
suasana. Seperti yang kebanyakan orang perumahan lakukan,
jogging setiap pagi di hari libur merupakan kewajiban bagi kami.
Tidak terkecuali aku. Pagi ini, setelah berlari-lari sebentar, aku tidak
akan menyiakan kesempatan. Aku akan kembali ke tempat kemarin,
tempat aku memandangi anak itu. Kali ini semangatku lebih besar,
hanya untuk melihat anak yang mengharap belas kasihan orang-
orang. Rencana untuk bisa mendekatinya telah aku susun rapi dalam
pikiranku. Hatiku tergerak untuk melaksanakannya. Jiwaku tergugah
untuk menjalankan niat. Berkenalan dengan anak yang hidup di
jalanan adalah hal yang barangkali orang lain anggap bodoh.
Seseorang meneriakiku dari kejauhan, “jangan dekati dia!”
Sepertinya orang itu melarangku untuk menghampiri si anak. Entah
apa yang ada dalam pikiran orang itu. Aku tak mengerti kenapa dia
melarangku. Tanpa menghiraukan teriakannya, aku mendekatinya.
Dia berdiri di tempatnya kemarin, dengan pakaian yang sama pula.
Kuberanikan diri menepuk pundak mungil itu dan dengan sigap
kuraih tangannya yang menengadah.
“Hey, bolehkah aku tau siapa namamu?”
Keringat dingin merajai tubuhku. Aku berusaha mengusir
ketakut­anku. Ia terperanjat, merasakan tepukanku yang sepertinya
terlalu kencang di pundaknya. Segera setelah itu ia menunduk,
memalingkan wajahnya dari hadapanku. Aku berusaha membuatnya
mau menatapku, dengan kata-kata, “Hei, jangan takut!” tapi nihil.
Aku tak berhasil.
“Kamu haus? Mau minum?”, aku memulai basa-basi.

280

Berbicara kepada orang yang baru aku temui seperti dia me­
mang membutuhkan nyali yang cukup. Dia pun hanya meng­
angguk, menyanggupi tawaranku. Sejenak aku dibuat gamang dan
bimbang saat kugandeng tangannya menuju ke warung tempat aku
mengamatinya kemarin. Namun tekadku sudah bulat. Dorongan
naluriku yang semakin kuat. Apalagi bisikan-bisikan halus yang
sering mengiang di telingaku. Kusodorkan minuman kepadanya.
Disambetnya minuman itu lantas ditenggaknya hingga tak tersisa
setetes pun. Semua dihabiskannya seketika. Tanpa ada kata yang
terucap, dia langsung pergi meninggalkan tempat kami duduk menuju
persimpangan jalan.

Di hari-hari berikutnya, setiap pulang sekolah, aku meng­ajaknya
makan dan minum di tempat biasa. Tapi tak pernah kudengar ia mau
bersuara. Aku hanya bisa menyaksikan ia me­nyantap makanannya
dengan lahap. Tetap saja dia terlihat can­tik walaupun aku tahu
wajahnya tak secantik orang rumahan. Wajahnya dipenuhi cemong.
Kepadaku ia tidak memiliki sopan santun sama sekali. Selalu saja
habis selesai makan-minum, dia langsung pergi. Kalau seperti itu terus
kelakuannya, kesabaranku mungkin akan habis. Tapi aku teringat niat
awalku mendekati anak ini. Namanya saja orang jalanan, mana ada
sopan santun. Yang dia tau hanyalah bagaimana mendapatkan uang
yang banyak untuk memenuhi kebutuhannya. Tak pernah peduli
pada kepentingan orang lain. Masa bodoh.

Suatu siang sesaat setelah dia selesai melahap makannya kemudian
berlari kembali ke perempatan jalan, tiba-tiba wanita tua penjaga
warung menghampiriku dengan wajah penuh tanya. Sepertinya ada
yang akan dbicarakan denganku. Karena memang sering sekali aku
bersama anak itu makan-minum di warungnya. Setelah berbasa-basi
sebentar, panjang lebar wanita tua itu menceritakan tentang anak yang
makan bersamaku tadi secara rinci. Penuh semangat kudengarkan
setiap kata, setiap kalimat yang diucapkannya.

“Sudah lama dia hidup di situ. Sejak masih balita dia sudah
bekerja, menunggu orang lain mau mengisi recehan di kantong plastik
bekas. Dulu, sering kami mengusirnya, tapi dia tak pernah mau pergi.
Semua orang di sini tahu sebenarnya dia anak orang kaya. Setiap hari
ketika pagi masih gelap ia diturunkan seseorang dari mobil mewah di

281

sebelah utara persimpangan, di pinggir lahan kosong itu. Tapi kami
pun tetap tak tahu siapa yang mengantarkannya. Suatu saat kutanyai
dia, hanya diam yang kami peroleh.”

Nenek itu mengakhiri ceritanya. Lalu dia tergopoh masuk ke
ruang dalam bagian belakang warungnya. Tak selang berapa lama
dia menghampiriku, menyodorkanku sesobek kertas kecil. Di situ
tertulis sebuah alamat. Setelah kubaca, tempatnya memang lumayan
jauh dari sini, tapi masih dapat aku tempuh sendiri dengan motor.

“Nek, ini apa? Ini alamat siapa? Apa maksudnya?”
Wanita tua itu tidak menjawab. Diam. Kemudian dia berlalu.
Setelah sekian lama dia tidak muncul, aku pergi. Aku memutuskan
untuk mendatangi alamat itu. Meskipun aku belum mengerti kenapa
wanita tua itu memberiku alamat. Padahal dia tidak menyinggung
alamat apa itu, alamat siapa itu. Apa hubunganku dengan alamat
itu? Ah, wanita tua itu membuatku tambah bingung. Namun hatiku
berbicara, aku harus mencarinya.

***
Desa Bumiasih. Itu kata-kata yang tertulis di sobekan kertas.
Kebetulan rumah salah seorang temanku tak jauh dari desa itu, di desa
Bumiayu. Aku bisa menginap di rumah temanku barang seminggu, ini
masa libur sekolah. Setahuku, tak ada rumah mewah di Desa Bumiayu.
Tapi, aku tak tahu keadaan di Bumiasih.
Semua rumah tampak biasa. Aku tak mendapati rumah mewah
di sana. Pasti aku telah salah sangka. Aku berpikir bahwa anak itu
anak orang kaya. Setiap kali aku menanyakan pada warga Desa
Bumiasih tentang seorang anak berumur 9 tahunan yang hidup di
persimpangan jalan di dekat kampus sebuah kota budaya, mereka
tak menjawab. Kedatanganku di Desa Bumiasih sepertinya menjadi
momok bagi warga desa. Ada bisik-bisik yang bilang bahwa si anak
dan keluarganya diusir. Ada yang bilang kena kutukan. Namun
kutemui keanehan, salah seorang warga ada yang mengaku bahwa
ia adalah paman dari seorang keponakan. Yang telah meninggal Dia
bilang kepadaku dengan penuh keyakinan bahwa keponakannya
itu telah meninggal setahun yang lalu tertabrak bus pariwisata di
jalan raya menuju sebuah pantai. Wajahnya yang cantik dan tubuh
mungilnya hancur, dan yang paling menyedihkan lagi, salah satu

282

kakinya hilang. Ada juga yang mengatakan bahwa banyak anggota
tubuhnya tersangkut di bus. Mendengar bahwa si anak semata
wayangnya meninggal, kedua orang tuanya shock berat dan akhirnya
menjadi gila.

Aku ragu dengan perkataan seorang warga yang mengaku paman
seorang anak kecil. Anak yang dia ceritakan mempunyai kemiripan
dengan anak yang berada di persimpangan jalan dekat kampus
kota budaya. Namun, sang Paman terus berusaha meyakinkanku,
bahwa yang aku lihat itu mungkin bukan keponakannya, karena
keponakannya sudah meninggal.

Langkahku ragu mengikuti ayunan kaki paman yang menuju
ke sebuah tempat keponakannya dimakamkan. Sungguh, perasaanku
tak yakin bahwa makam yang kami tuju adalah makam anak yang
hidup di persimpangan, yang ingin sekali aku mengenalnya. Namun
air mataku menetes. Entah mengapa. Aku melihat sebuah nisan
bertuliskan “Angelika”.

***
Dua minggu kemudian. Sekolah telah masuk kembali. Dalam
lamunan aku teringat kejadian heboh dan menggemparkan di sekolah
seusai kami pulang study tour dari pantai. Seluruh penghuni sekolah
dibuat kalang kabut dengan penemuan potongan kaki mungil
bersimbah darah tersangkut di bus yang kami tumpangi. Orang yang
melihat berteriak histeris. Beberapa ada yang jatuh pingsan karenanya.
Begitu juga aku. Mimpi tentangnya membuat aku selalu bingung.
Harus bagaimana aku?
Semua ini tergantung pada diriku, membiarkan Angelika
hidup di dunia yang bukan untuk dia sama halnya membiarkan dia
tersiksa di dunia yang penuh dengan kekerasan ini. Kedengaranya
sangat naif tapi ini harus aku lakukan demi ketenangan Angelika.
Tak ada seorang pun yang mampu memberiku solusi menyelesaikan
ini, beberapa dari mereka mengagapku gila dan memintaku untuk
tetap tutup mulut. Hanya meraka yang berjiwa pengecut saja yang
tidak mampu melakukan hal itu. Aku menganggap mereka tidak
bernyali. Mungkin disini hanya aku yang memiliki gagasan untuk
menyelesaikan masalah ini.

283

Aku meneguk ludahku yang mulai menggumpal. Aku hanya
tersenyum. Dan kubiarkan semua ini berlalu begitu saja. Tapi
Angelika?.

284

MITOS ITU SETENGAH BERLAKU

Ida Ayu Zahrotun Na’im

Aku mencoba menepis hasil berita buruk yang telah diolah
otakku menjadi bayangan kelam dan menggetarkan. Bahkan dengan
memejamkan mata, memunculkan lembaran-lembaran memori
indah dan bahagia saja. Tapi dasar berita buruk memiliki kekuatan
lebih dahsyat, mendengingkan kembali ke permukaan telingaku,
mengakibatkan bayangan kelam tak kalah berebut menimbun
bayangan baik yang kupaksa muncul menyelimuti ruang kalbuku.
Semula aku telah reda, namun bayangan tamu polisi, tangisan nenek,
adikku bangun, pelukan nenek, gagak itu, isu-isu yang beredar. Semua
mencuat kembali didepanku, seolah terputar nyata dihadapanku. Aku
kembali gerimis dibawah mataku yang masih berkabut tebal.

Terasa baru sepersekian menit aku merebahkan tubuh untuk
kembali mengumpulkan energi guna menghadapi hari panjang esok,
ada yang bertamu ke kamarku. Dengan lunglai aku meraih ganggang
pintu. Disana kudapati pemandangan wanita terhormat yang usianya
memasuki kepala enam dengan kelopak mata yang telah melar dan
banjir air mata. Aku memasang wajah yang tak kumengerti.

“Bapakmu, Nggi. Bapakmu...”
Kubiarkan daun pintu tetap menganga, membingkai pemandang­
an sendu seberang sana dan sini. Seolah seperti cermin memantulkan
ekspresi yang sama dalam bayangan orang yang berbeda.
“Kalau ada suara seperti itu,” Uti, panggilan untuk nenek, diam
sejenak.
Uti membiarkan kami, aku, dan adikku mendengarkan jelas
suara yang dimaksud tersebut. Tangannya mengepal dengan telunjuk
berdiri disebelah telinganya, menambah aroma mistis dengan desis
suara yang mendirikan bulu kuduk. Biasanya ada orang yang akan
meninggal. Itu berita dari alam mengenai kematian. Suara itu suara

285

gagak berkoak. Aku segera meraih tangan adikku. Membayangkan
dengan ngeri sebuah kematian dan hitam tubuh gagak. Apakah
malaikat maut itu hitam? Apakah roh yang keluar dari tubuh itu
menyeramkan? Sama menyeramkannya dengan cerita nenek?

“Hahaha kalian percaya dengan cerita seperti itu? Uti yang hidup
dijaman dahulu saja enggak percaya, tuh. Jangan jadi syirik dengan
mempercayai sesuatu yang sudah menjadi ketentuan Tuhan. Ingat
selalu, ya, jodoh, rezeki, kematian, tiada yang tahu selain Tuhan. Itu
hanya mitos,” Uti mengerjap genit.

Buluku yang semula berdiri mulai tumbang kembali melihat
senyum Uti dengan gaya genit. Aku kira itu sungguh nyata? Gaya
berceritanya benar-benar hebat. Aku ikut tertawa renyah memandang
wanita tercantik kedua setelah almarhum Ibuku sedang bersuka cita
bersama cucu-cucunya.

***
Suara gagak itu bergema disamping kamarku, memantul sampai
sudut-sudut dinding dan terperangkap gendang telingaku. Cerita
mengenai mitos gagak tak hanya kudengar dari nenek, tapi dari
banyak insan entah yang beriman ataupun yang ingkar terhadap
Tuhan. Aku mencoba menebas cerita isu yang tengah berseliweran
di otakku sampai pangkal. Namun anehnya ia seperti tumbuh
beregenerasi. Kilat menguasai otak.Aku gemas dengan perasaanku
sendiri. Terlalu dalamkah aku menanam mengenai berita kematian?
Dari yang fakta hingga yang sulit dilogika sangat mudah kucerna.
Apa ini imbas dari ketakutan yang teramat akan sebuah kehilangan
seseorang yang berpengaruh untuk kedua kalinya? Energi negatif kilat
diserap hati dan otak. Mengusir logika dan cahaya positif, semakin
terdesak. Sedangkan sedikit banyak aku terus menahan agar tetap
didalam. Aku menyimpan nama yang kini terkurung dalam lingkar
negatif.
Beranjak meninggalkan ruangan tiga kali tiga meter itu yang
masih memantulkan suara horor. Aku ingin mengudarakan gelisah
dengan bercengkerama bersamanya, pemilik nama yang berada dalam
kandang energi negatif sanubariku. Dia nampak bahagia. Sedang
memperhatikan tabung berlayar kaca yang mampu memproduksi
cahaya dan bayangan yang bergerak-gerak. Sesekali ia memegang

286

batang plastik bertombol-tombol diarahkan ke tabung itu. Aku
mendekat,menatap lamat-lamat dengan perasaan penuh rasa cinta dan
haru. Cinta adalah salah satu macam gumpal perasaan yang memiliki
takhta paling tinggi. Kupersembahkan untuk makhluk dihadapanku.
Aku meregangkan tangan, lalu menangkupnya. Tubuhnya mampu
kurengkuh dalam lengan-lengan buah kesabaran pengasuhnya.

Aku menyandarkan kepala pada pundak, “Anggi saaa...yang
Uti.”

Sekelebat kabut haru itu turun dipelupuk matanya. Aku menang­
kap dari sorot matanya yang sengaja kutatap untuk menemukan reaksi.
Ia tersenyum. Manis sekali, berani bertaruh, ia tak kalah manisnya
denganku waktu muda dulu, nyatanya seorang komandan polisi bisa
menaruh hati padanya. Ia juga punya lesung pipi yang mulai pudar
tertimbun keriput sebelum pudar seutuhnya, ia wariskan padaku. Ah
Uti, benarkah kau? Dirimu nampak selusin lebih bahagia dan tenang
kini. Jika memang begitu, aku akan besiap malam ini. Aku memulai
aksi, seperti biasa. Ya seperti biasa. Menyeduh beraneka ragam lurus,
mulus, halus kisah kehidupan. Tentu kau bertanya-tanya, “mengapa
bukan lurus kelok, mulus terjal, halus kasar kehidupan?” Ah tentu
saja, apa mungkin aku menyuguhkan hidangan penutup dengan kue-
kue pahit? Tentu tidak, bukan? Ia sudah gemar diet kesenangan dulu
dimasa belianya.

Aku menyalin air mukanya dengan kuas halus, menggu­nakan
hati sebagai medianya. Tak pernah sekali aku mencoba membayangkan
perpisahan itu kembali menghadiri keluargaku. Tak pernah. Tapi
sekarang ini? Keelastisan mataku tetap tak mampu membendung
air mata. Aku membiarkan surut jatuh diatas pangkuan saat berbalik
badan. Tentu aku tak akan membiarkan kejanggalan ini memupuk
tanya dalam benaknya.

“Anggi besok sekolah kan? Sekarang tidur sana!”
Aku segera beranjak, menyembunyikan waduk surut yang
kubuat sendiri diatas aliran air mata. Kiranya waktu sekejap tadi
cukup mematri kenangan indah sebelum semua berakhir dipenggal
sang waktu. Kamarku senyap, menyisakan dinding yang tetap acuh
dengan dinginnya. Aku dengan cepat melakukan ritual religi sebelum
upacara pemejaman mata diatas kain penyelimut kapuk. Tak ada

287


Click to View FlipBook Version