The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

By Yohanes Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-04-27 21:04:02

Kopi, Kafe, dan Cinta Antologi Cerpen

By Yohanes Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri

Keywords: Yohanes Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri,Kopi, Kafe, dan Cinta Antologi Cerpen

Bayu. Kakinya mulai lemas kelelahan berlari. Tenggorokannya pun
terasa kering karena terus berteriak supaya Bayu mengembalikan
diarynya. Namun Fina masih mengejar Bayu. Sampai pada akhirnya
Fina terjatuh di sebelah meja guru karena menabrak Rian, murid culun
berkacamata tebal. Rian membantu Fina berdiri. Fina tersenyum dan
mengucapkan terimakasih. Ia kembali duduk ke kursinya. Nadia
segera menyusul Fina duduk. Tak ada pilihan lain lagi, mereka tak
ingin diary itu dibaca orang lain. Ancaman Bayu berhasil membawa
Nadia dan Fina masuk ke kebun Mbah Yadi. Pulang sekolah, mereka
bertiga sungguh-sungguh pergi ke kebun Mbah Yadi. Mereka keluar
dari lingkungan sekolah, berjalan ke arah selatan. Jalan setapak menuju
kebun Mbah Yadi sudah tampak. Nadia dan Fina tampak sedikit
takut melihat jalan menuju hutan, semakin dilihat semakin gelap,
pohon-pohon pun merapat.

“Ayo!” seru Bayu sambil menarik tangan Nadia.
Nadia menarik tangan kiri Fina. Mereka berjalan satu persatu
melalui jalan setapak yang sempit itu. Fina mulai ketakutan, terdengar
suara Mamanya di telinga, “Fina jangan sekali-kali masuk ke kebun
itu, Fina dengar mama, jangan pernah main ke situ!” Begitulah pesan
mama Fina. Kata-kata mamanya terus terdengar ditelinga. Semakin
jauh masuk ke dalam kebun, semakin keras suara itu, semakin erat
pula Fina menggenggam tangan Nadia.
“Fina, ada aku, ada Bayu, jangan takut!” bisik Nadia, padahal
dirinya sendiri ketakutan.
Bayu tersenyum kecil melihat Nadia dan Fina yang ketakutan.
Sok berani, padahal dalam lubuk hatinya, Bayu pun sedikit takut.
Tiba-tiba Nadia berhenti di tengah jalan.
“Itu rumahnya!” Nadia menemukan sebuah rumah tua di tangah
kebun.
Mereka bertiga berlari menuju rumah itu. Cat putih sudah tak
nampak putih lagi. Dinding bawah penuh lumut. Kaca jendela bening
sudah tertutup debu tebal dan sarang laba-laba. Bayu mendekat ke
pintu kayu.
“Bay,” bisik Fina.
Dilihatnya bayangan di balik jendela berdebu. Fina mencengkram
lengan Nadia.

38

“Nad! Itu, Nad!” bisik Fina panik.
“Apa? Mana?” tanya Nadia ikut panik melihat Fina ketakutan.
Bayu hampir memegang ganggang pintu. Tiba-tiba pintu terbuka.
Seseorang membukanya dari dalam.
“Halo? Permisi?” Bayu mencoba menyapa.
Tangannya memegang ganggang pintu, membukanya lebih lebar.
Sebuah tangan pucat terulur dan menarik Bayu ke dalam rumah itu!
Menyeret Bayu masuk dalam kegelapan.
“Aaaaaaa! Lepasin aku! Nadiaaa! Finaaa!” teriak Bayu sambil
berusaha melepaskan tangan pucat itu dari lengannya.
“Bayu!!!” teriak Nadia dan Fina bersamaan.
Mereka ketakutan sambil terus meneriakkan nama Bayu. Mulut
Bayu pun tak ada henti-hentinya memanggil nama Nadia dan Fina.
Seorang wanita! Orang yang memasukkan Bayu ke dalam rumah
adalah seorang wanita! Ia mendudukkan Bayu pada kursi kayu dan
mengikatnya kuat-kuat. Dililitnya tangan dan kaki Bayu dengan tali
merah. Bayu terus saja berteriak ketakutan. Bajunya basah karena
keringat yang mengalir hebat. Wajah Bayu sudah pucat ketakutan.
Tak terasa air matanya meleleh membasahi pipi. Merasa terganggu
dengan teriakan Bayu, wanita itu merobek baju lusuhnya yang bau
dan membungkam mulut Bayu dengan robekan baju.
Bayu menggoyangkan tubuhnya ke kanan ke kiri, berusaha
bergerak, ingin melarikan diri. Ikatan itu terlalu kuat untuk bocah
kurus seperti Bayu, tentu saja Bayu tak dapat melepaskan ikatan itu
dengan gerakan tubuhnya. Bayu menyerah, berusaha menenangkan
diri. Diperhatikannya wanita yang menangkapnya, kini wanita itu
mengamati Bayu. Rambutnya panjang tergerai. Ia sangat bau, sangat
kotor! Ia mengenakan celana pendek coklat yang sudah robek. Bajunya
putih kekuning-kuningan. Wajahnya pucat menyeramkan. Matanya
bulat dan besar, alisnya tipis. Bibirnya tersenyum jahat melihat Bayu.
Tiba-tiba wanita itu menangis histeris. Nadia yang hendak masuk ke
dalam rumah itu langsung mundur menjauh. Fina menutup kedua
telinganya dengan telapak tangan. Wanita di dalam rumah masih
menangis histeris. Matahari sudah bergerak jauh ke barat, hari mulai
petang. Tangisan histeris wanita itu membuat kebun Mbah Yadi empat
kali lebih menyeramkan! Sekumpulan warga yang sedang bekerja

39

bakti di pos ronda mendengar teriakan dan tangisan histeris dari
arah kebun Mbah Yadi.

“Apa itu?” tanya salah satu warga yang menghentikan pekerja­
annya.

“Ah, paling-paling orang gila yang kemarin nangis di depan
rumah Pak Heru, yang kemarin itu, lho,” warga lain menanggapi
sambil menyapu pos ronda.

“Beda, Pak! Suaranya Zulpeng nggak kayak gitu. Ayo kita lihat,
Pak!” balas seorang warga yang tadi mendengar suara tangis wanita
dari dalam kebun.

“Bereskan ini dulu, baru kita cek ke sana!” kata warga yang lain.
Nadia memberanikan diri, ia mulai langkah pertamanya menuju
ke pintu rumah, ia ingin menolong Bayu, sangat ingin mengeluarkan
Bayu dari situ. Tetapi Fina terus mencengkram tangan Nadia.
“Fina lepas! Kita harus tolong Bayu, Fin!” teriak Nadia.
“Ta, tapi bahaya, Nad! Kita cari bantuan dulu!” kata Fina sedikit
takut dengan bentakan Nadia.
Nadia menangis. Fina semakin kuat menahan Nadia untuk tak
masuk ke dalam rumah. Nadia berusaha lebih kuat untuk melepaskan
cengkraman Fina. Tiba-tiba pintu rumah terbanting. Tanpa sengaja
cengkraman Fina lepas. Nadia berlari ke pintu rumah. Membuka pintu
dengan tangan kecilnya yang gemetar menahan takut. Gagal! Pintu itu
terkunci! Diketuknya pintu itu keras-keras. Berusaha membukanya,
terus berusaha membuka pintu kayu itu.
“Bayu?! Bayu?!” teriak Nadia memanggil Bayu.
Fina berdiri terpaku. Menatap Nadia yang panik karena tak
dapat membuka pintu. Kaki Fina gemetaran. Keringat bercucuran
membasahi wajahnya yang pucat ketakutan.
“Fina, lari panggil warga! Lari!” teriak Nadia sambil menatap
Fina.
Fina mengangguk dan segera lari keluar kebun. Berlari sekuat
tenaga. Kakinya yang kecil tersandung akar pohon. Fina terjatuh.
Lututnya mendarat di bebatuan dan berdarah. Tak dihiraukannya
rasa sakit itu, ia berusaha bangun dan berlari lagi. Lari melalui jalan
setapak yang sempit. Lari! Lari! Ia berhasil keluar dari kebun Mbah
Yadi. Berlari lagi mencari warga.

40

“Tolooong! Toloooong!” Fina berteriak minta tolong.
Sekumpulan warga yang sedang bekerja bakti membersihkan
pos ronda mendengar teriakan Fina. Mereka mencari sumber suara.
Rupanya seorang gadis pucat berseragam putih-merah berdiri di dekat
rumah Pak Abimanyu, salah seorang polisi yang tinggal di daerah
situ. Warga menjumpai Fina. Menanyakan apa yang terjadi.
“Bayu masuk ke rumah putih, Pak. Ada orang di dalam rumah itu!
Rumah di tengah kebun! Tolong temanku, Pak. Orang itu mengunci
pintunya,” jelas Fina ngos-ngosan, nafasnya tersengal-sengal setelah
berlari.
Fina mulai menangis. Ia panik dan takut. Pak Abimanyu keluar
dari rumah setelah mendengar ribut-ribut di depan rumahnya, masih
mengenakan seragam polisi lengkap karena baru saja pulang dari
bertugas. Warga meminta Pak Abimanyu menemani warga masuk
ke rumah itu. Mereka segera berlari menuju ke rumah tua di tengah
kebun. Nadia semakin keras menangis, ia masih meneriakkan nama
Bayu. Pukulannya terhadap pintu semakin lama semakin melemah.
Nadia hampir putus asa. Pipinya basah air mata, tubuhnya basah
penuh keringat.
“Lepasin, Bayu! Buka pintunya! Tolong lepasin, Bayu!” teriak
Nadia.
Tiba-tiba Nadia berhenti menangis. Dilihatnya batu sebesar
kepalan tangan tepat di bawah jendela. Nadia mengambil batu itu.
Berjalan mundur empat langkah dari pintu. Menatap kaca jendela,
bersiap-siap melemparkan batu. Satu... dua... Pyaaaaarrrrr! Batu dari
tangan Nadia meluncur... Memecahkan kaca berdebu. Wanita berparas
menyeramkan di dalam rumah terkejut mendengar suara kaca pecah.
Ia berjalan menuju jendela yang pecah. Rumah begitu gelap. Pecahan
kaca menusuk telapak kaki wanita pucat itu. Ia mengaduh, mengerang
kesakitan. Darah mengalir dari telapak kakinya. Wanita itu berjalan
menjauhi jendela, tetapi justru semakin banyak pecahan kaca yang
menusuk telapak kakinya. Dia terjatuh. Mengerang kesakitan, men­
cabut kaca-kaca yang menusuk telapak kakinya. Darah mengalir
semakin deras. Fina dan warga sekitar berlari lebih kencang setelah
mendengar suara wanita mengerang. Mereka tiba! Fina memeluk
Nadia dari belakang. Kakinya sudah tak sanggup berdiri lagi. Ia begitu

41

lelah, belum lagi luka di lututnya terasa nyeri dan perih. Fina terjatuh,
ia memegang betis Nadia erat. Nadia pun jongkok dan memeluk Fina.
Mereka berdua menangis dalam pelukan.

“Bayu...,” panggil Fina lirih.
Mendengar Fina memanggil nama Bayu, Nadia pun menangis
lebih keras. Warga bersama Pak Abimanyu mendobrak pintu rumah.
Pak Abimanyu mengeluarkan senter kecil dari sakunya. Cahaya senter
berkeliling ke kanan dan ke kiri. Pada akhirnya berhenti sekitar satu
setengah meter dari jendela yang pecah. Pak Abimanyu tak asing lagi
melihat wanita yang kakinya berlumuran darah. Wajah pucat, bibir
pecah-pecah dan mata menyeramkan, ini bukan pertama kali Pak
Abimanyu bertemu dengannya. Tanpa pikir panjang, Pak Abimanyu
segera mengeluarkan borgol dari saku belakangnya dan memborgol
tangan wanita itu. Sementara itu, warga menemukan Bayu dan
melepaskan ikatan tali yang melilit badan Bayu. Tangan Bayu sangat
dingin, tubuhnya gemetaran, wajahnya pucat ketakutan, Bayu masih
menangis. Seorang warga memeluk Bayu, berusaha menenangkannya
dan membawanya keluar dari rumah itu. Bayu ngeri melihat lumuran
darah di kaki wanita yang mengikatnya. Wanita itu melotot menatap
Bayu yang tengah lewat di depannya. Matanya menatap Bayu dengan
penuh amarah, seakan hendak menerkam dan mengunyah tubuh
Bayu. Yang dapat Bayu lakukan hanya memejamkan mata dan
mem­percepat langkahnya untuk meninggalkan rumah itu. Melihat
Bayu keluar, wanita itu berteriak histeris, menggoyang-goyangkan
tubuhnya, berusaha melepaskan borgol di tangannya. Nadia dan Fina
melepas pelukan mereka setelah melihat Bayu keluar dari rumah.
Mereka berteriak bersamaan memanggil nama Bayu. Mereka berlari
menjumpai Bayu dan memeluknya erat. Tiba-tiba Nadia melepas
pelukan Bayu dan Fina. Nadia menatap Bayu beberapa detik kemudian
memukul bahu Bayu.
“Ini gara-gara kamu! Semuanya gara-gara kamu!” teriak Nadia
sambil terus memukul bahu Bayu.
Semakin lama pukulan Nadia semakin lemah. Fina dan Bayu
memeluknya lagi. Mereka menangis lagi. Sesaat kemudian Ayah
Nadia, Mama Bayu dan Mama Fina datang. Ketiga orang tua itu pun
me­meluk anaknya masing-masing. Beberapa warga memberitahu

42

mereka bahwa putra-putri mereka terjebak di kebun Mbah Yadi, lalu
mereka segera menyusul ke kebun. Mama Fina memeluk putrinya
sambil menagis. Ayah Nadia mengusap air mata dan membelai ram­
but putrinya tercinta. Mama Bayu pun membelai putranya dan me­
meluknya erat.

Beberapa polisi datang ke rumah itu, bertemu dengan Pak
Abimanyu kemudian membawa wanita berborgol pergi dari situ.
Rupanya wanita itu adalah Martini. Seorang ibu berusia 47 tahun
yang mengalami kelainan jiwa. Ia melihat anaknya bunuh diri
dengan menggantung di dalam rumah kecilnya di daerah Gamping,
Sleman. Semenjak saat itu Martini mengalami kelainan jiwa. Seminggu
yang lalu dia membunuh seorang anak laki-laki 11 tahun yang tak
lain adalah keponakannya sendiri. Setiap melihat anak laki-laki, ia
hendak membunuhnya dengan alasan agar anak yang ia bunuh dapat
menemani putranya di surga. Pak Abimanyu sudah menangkap
Martini sehari setelah ia membunuh keponakannya, namun Martini
berhasil kabur dari kantor polisi dan bersembunyi di bekas rumah
Mbah Yadi tersebut.

“Tenang, nak. Semua sudah aman sekarang. Bapak, Ibu, awasi
putra-putrinya dengan baik, jangan sampai terjadi hal semacam ini
lagi,” kata Pak Abimanyu.

Beliau mengucapkan terimakasih kepada warga sekitar yang
membantu proses penangkapan Martini dan membantu menyela­
matkan Bayu. Orang tua Bayu, Nadia dan Fina pun tak lupa mengucap­
kan terimakasih kepada Pak Abimanyu dan warga sekitar yang telah
menyelamatkan putra-putri mereka dari Martini. Nadia dan Fina
melepaskan pelukan orang tuanya. Mereka berjalan perlahan ke arah
Bayu dan memeluknya erat-erat.

43

BOHONG ITU MENYIKSA

Yuliana Dyah Ayu P.

Anak SMA....., tepat sekali, Itulah gelarku saat ini. Aku memang
baru 6 bulan ini jadi anak SMA. Namaku Riska Ardila. Orang
memanggilku Riska. Banyak orang bilang aku pendiam.Ada juga yang
bilang kalau aku pemalu dan banyak yang bilang aku culun, gara-gara
aku memakai kacamata dan rambutku selalu dikucir satu.Walaupun
aku pemalu dan pendiam tapi aku tidak mau menyianyiakan waktuku.
Aku selalu mengisi waktu kosongku dengan berlatih memainkan biola.
Biola adalah teman dalam kesendirianku. Suaranya memberikanku
ketenangan.

Sore ini, aku duduk di depan rumah sambil memegang handphone.
Dalam kerinduanku dengan sahabatku SMP, Hanif. Aku mencoba
membuka handphone, melihat foto-foto saat kami bersama. Saat aku
buka foto itu, aku teringat saat Hanif jatuh.

“Lompat bersama-sama, ya teman-teman. 1.. 2… 3…,” aba-abaku
sebelum menekan tombol untuk menggambil gambar.

Tiba-tibaa…. Duubraaak! Ternyata Hanif jatuh. Karena saat mau
meloncat tali sepatunya terinjak oleh Annisya dan aku mendapatkan
gambar saat Hanif jatuh. Aku tidak bisa menahan ketawa saat aku
melihat foto itu dan kita semua menertawakan Hanif karena tingkah
lucunya. Hanif pun juga ikut tertawa.

“ Ha,ha... Hanif, kamu kenapa?” tanya Maya.
“ Ha,ha.. tali sepatuku terinjak oleh Anisya saat mau lompat,”
jawab Hanif sambil tertawa.
Saat aku teringat kejadian, itu setetes air keluar dari kelopak
mataku. Maya, Hanif, Linangkung sudah 3 bulan aku dan mereka
tidak bertemu. Semenjak Lebaran kemarin sampai menjelang Natal.
Rasanya kehilangan kebahagian yang dulu pernah ada. Aku coba
untuk menanyakan kabar, dan aku coba ajak mereka untuk bermain
bersama sekadar berkumpul. Lalu aku telepon Linangkung

44

“Halo, Inan ? besuk bisa kumpul buat sekedar main?”
“Hmmm.. bisa Ris, kumpul di SMP saja, ya?”
“Oke, deh,” jawabku bersemangat.
Esok harinya, Krrrrrriiiiiiinggggg….. krrrriiinngggg…. Tiba-
tiba terdengar bunyi dering jam. Astaga waktu sudah menunjukan
pukul 08.00 pagi. Hari ini kan aku sudah punya rencana dengan
teman-teman bahwa pada hari Senin 24 Desember 2012, aku mau
main bersama Hanif, Maya, dan Linangkung. Lalu aku cepat-cepat
mengambil handukku. Aku masuk kamar mandi dan membersihkan
seluruh tubuhku. Setelah mandi, aku pun menyemprotkan minyak
wangi ke arah tubuhku. Lalu, dengan penuh semangat aku bergegas
mengambil kunci motor. Saat aku beranjak menaiki motor, tiba tiba
terdengar terikan.
“Eh, mau kemana? ” teriakan Ayah melarangku pergi.
“Eem..aku …. Main bareng temen-temen SMP. Boleh, ya?”
“ Tidak boleh ! Jalanan ramai sekali, apalagi naik motor sendiri,”
Ayah melarangku pergi.
“Kenapa gak boleh, Yah? Plisss,” suaraku merayu Ayah.
Tetapi Ayah tetap bersikeras melarangku. Tiba-tiba Ibu datang
mendekati Ayah. Mungkin karena Ibu kasihan dengan aku, yang
jarang sekali keluar untuk bermain dengan teman-teman. Akhirnya
Ibu berbicara kepada Ayah agar aku dibolehin untuk pergi. Akhirnya,
Ayah pun membolehkan aku pergi. Ini semua berkat Ibuku aku
dibolehin naik motor sendiri dan ini bener-bener keberuntungan!
“Oke, Yah. Aku akan hati-hati selama aku pergi. Aku berangkat
dulu, ya Yah, Bu.”
“Ya, hati-hati di jalan. Jangan buru-buru,” kata Ibu kepadaku.
Aku pun berangkat ke sekolahku tercinta. Dalam perjalanan aku
membayangkan betapa senangnya nanti bisa bertemu dengan teman-
teman yang sudah lama tak bertemu. Saat membayangkan itu, bibirku
tak henti-hentinya tersenyum. Setelah sampai di sekolah. Baru ada
Linangkung, lalu ke mana yang lain?Aku menelepon semua teman-
teman yang belum datang. Dan semuan­ ya tidak bisa dihubungi. Lalu
aku telepon Maya.
“Halo, May? Kok, kamu belum datang?”
“Iya, Ris. Maaf, ya. aku tidak ada motor, nih. Gimana?”

45

“Wah, aku gak berani jemput kamu. Jalannya macet, nih.”
Akhirnya Maya menunggu sampai Ayahnya pulang. Sambil
menunggu kedatangan Maya, tiba-tiba Hanif datang membawa gitar.
Hanif yang selalu ceria ini membuat aku dan linangkung tersenyum
karena tingkahnya yang lucu. Beberapa saat kemudian terdengar suara
motorberwarna orange dan pengemudinya adalah Maya. Dia datang
dengan diantar Ayahnya. Waktu sudah menunjukkan jam sebelas.
“Astaga, sudah siang. Ayo kita mau kemana, nih teman?” kataku
mengajak teman-teman.
“Hm.. kita ikutan, aja deh,” teriak Linangkung.
“Ayo, ke Mangunan aja!” kata Hanif
“Ayo, ayo,” teriak Linangkung dan Maya.
“Eh, Mangunan? Naik gunung, ya? Aku gak boleh sama Ayahku,”
aku mengelak.
“Ya, sudah ke hutan Pinus aja, gimana?” kata Maya.
“Dimana itu? Naik gunung juga, yah? Menakutkan gak jalannya?”
aku masih ragu.
“Enggak, kok Ris. Cuman situ,” kata Maya.
Apa kata Ayahku jika aku pergi sampai naik gunung. Dalam
perjalanan banyak kutemui jalan yang berliku-liku dan sangat curam.
Aku merasa mual. Jalannya terasa makin jauh. Tetapi, saat sampai
Hutan Pinusnya semua perasaan bimbang itu hilang tatkala melihat
sejuknya Hutan Pinus. Kami turun dan berfoto-foto. Dalam suasanya
yang tenang sejuk karena hembusan angin yang melewati sela-
sela pohon pinus, Hanif mengeluarkan gitar. Tidak beberapa lamu
alunan nada-nada indah terdengar dari petikan senar Hanif. Aku
pun terhanyut dalam sebuah nada yang dimainkan. Saat-saat itulah
yang tak bisa kulupakan, bernyanyi bersama dengan kawan lama.
Di saat kita bernyanyi bersama, ternyata waktu menunjukkan
pukul 13.00. Di saat kita ingin pulang Hanif mengusulkan untuk
meneruskan perjalanan ke Mangunan.Tapi aku ragu-ragu. Aku pun
bertanya, ngapain ke Mangunan? Mana jalannya juga nanjak.Nanti
kalau Ayahku tahu bagaimana?
“Mangunan aja. Rugi kalau ke Hutan Pinus tapi gak ke
Mangunan,” ajak Hanif.
“Hah? Gak apa-apa, nih?” aku masih ragu-ragu.

46

“Iya, gak apa-apa. Lihat pemandangan. Bagus, kok,” kata Hanif
merayuku.

Akhirnya kami pergi ke Mangunan.Ternyata lokasinya tak jauh
dari Hutan Pinus itu. Jalannya sangat curam. Saat aku melewati
tanjakan itu ada sedikit masalah pada motorku. Krrrik..kriik.. kriik..
suara apa itu? Suara itu sepertinya berasal dari motorku. Aduh,
motorku kenapa? Aku sudah ketakutan dan saat sampai Mangunan.

“Aduh, kenapa motorku tiba-tiba ada suara itu?” tanyaku kepada
Hanif dan Maya.

“Mungkin itu socbreakerknya, Ris,” jawab Maya.
“Bener? Tapi gak apa-apa kan?” tanyaku ragu.
Disaat aku masih cemas dengan motorku, tiba-tiba terdengar
suara yang nyaring….Kriiiinggg…. Krrrinnngg…. Suara apa lagi itu?
Kali ini bukan berasal dari motor, tetapi suara itu… tepat! Handphoneku
berbunyi. Astaga tanteku telepon. Aduh gimana nih. Akhirnya aku
angkat teleponnya. Aku bergeser menjauh dengan teman-teman.
“Halo?Ada apa tante?”
“Kamu dimana? Oia, cepet pulang ya, kita ke gereja jam 3.”
“Oh, yaa. Aku pulang,” tuuuut…tuttt…tutt… dan ternyata sudah
putus teleponnya.
Segera aku mengajak temen-temen pulang. Waktu sudah
menunjukan pukul 14.00. Aku takut dimarahi orang tuaku. Tiba-tiba
handphoneku berbunyi lagi. Aduh, dalam hatiku kenapa aku ditelepon
lagi? Saat aku keluarkan handphoneku ternyata hanya dering SMS.
Kubuka SMS tersebut, bunyinya ”Ayo pulang! Sudah siang. Main
dari tadi pagi sampai siang gini? PULANG!” Astaga, aku mulai tidak
tenang. Akhirnya kita sepakat untuk pulang. Di perjalanan, tiba-tiba
handphoneku berbunyi lagi. Tanteku telepon lagi. Aku langsung minta
temen-temen mematikan mesin motor.
“Halo, Ris kamu dimana?”
“Hmm… aku… lagi sama temen-temen SMP.”
“Dimana?”
“Hm… di rumah temenku. Daerah deket SMP.”
“Oh, ya wis. Gek pulang, ya.”
Astagaaa… aku bohong. Aduh..aku jadi gak tenang nih.Perasa­
anku saat ini benar-benar kacau. Aku berulang kali tanya temen-temen.

47

“Sampai rumah jam 3 cukup, gak nih?”
“Cukup, cukup..tenang ajaaa,” kata Hanif
Astaga aku tidak tenang dijalan. Aku sudah bohong. Aku takut
dimarahi, karena bermain sampai naik gunung. Aku berharap semoga
saja sampai rumah tidak dimarahi. Sampai rumah jam tiga tepat.
Huh.... rasanya lega bisa pulang jam tiga tepat. Tetapi, aku belum
bertemu Ayah. Ketika berhadapan dengan Ayah....
“Nah ini dia. Main dari jam sembilan sampai jam tiga. Dari mana
saja, toh?” tanya Ayah kepadaku
“He,he.. dari tempat temen, kok.”
“Huuu… main aja sukanya,”kata Ayahku dengan sedikit
senyum­an.
Aku hanya tersenyum, berharap Ayah tidak marah besar. Tetapi
aku masih tidak tenang, karena aku belum jujur kalau telah bermain
ke hutan Pinus. Malam harinya aku tidak bisa tidur, karena masih
kepikiran gara-gara aku bohong tadi. Bagaimana nasibku kalau
aku bohong? Aduh bagaimana? Tik, tok, tik, tok. Ini waktu sudah
menjunjukan pukul dua belas malam dan aku belum bisa tidur. Aku
masih terbayang bayang tentang kejadian tadi. Aku harap Ibu dan
Ayah tidak marah dan aku berencana kalau besuk pagi akan jujur
sama Ayah dan Ibu.
Keesokkan harinya, ..dag dig dug dueeeeer… Pagi ini aku mau
bilang tetapi kok ragu-ragu. Namun, dengan tekat yang kuat aku akan
bilang sejujurnya, walaupun aku tahu pasti nanti aku kena marah
besar. Tetapi tidak apa-apa, yang penting aku sudah jujur dan aku gak
ketakutan seperti ini lagi. Ayah dan Ibu belum pulang. Aku menunggu
sambil tidur, karena mengantuk sekali. Tetapi tidak bisa tidur juga.
Perasaanku tak tenang, gara-gara bohong. “Tuhaaaaaan…. Maafkan
aku”. Tiba-tiba Ayah dan Ibuku datang. Aduh, bagaimana ini. Mereka
sudah senyum gembira. Aku takut mengecewakan mereka. Saat Ayah
dan Ibu sedang duduk, aku mendekati mereka. Saat aku mau bicara
kepada mereka.
“Hmmm….,” gumamku tidak tenang.
“Oh, iya Ris. Kemarin kamu darimana? Kok ada fotomu berada
di hutan?”

48

Jreeeng…. Jreeeeng….waduuuuhhhhhhh....... Harus menjawab
apa aku? Astaga..foto–foto kami kemarin itu! iyaaa !foto-foto itu
diunggah oleh Maya di facebook. Aduuuuuuuuuh. Sungguh, aku sudah
seperti pemain catur yang kena ”skak”, mati, diam, kaku, malu.

“Hm..i, i, iya kemarin aku main ke hutan Pinus,” jawabku
mendesis.

“Ha? Kamu main ke hutan Pinus? Yang dekat Mangunan, itu?”
tanya Ibu.

“Astaga, Riska. Itu jauh banget, jalannya naik lagi,” kata Ayah
sedikit marah.

“Pokoknya besuk gak boleh lagi, ya,” kata Ibu kepadaku.
“Iya, maaf ya Ayah, Ibu.”

“Yaaa..besuk lagi tidak boleh! Kalau enggak motormu aku
sita,”kata Ayah kepadaku.

Aku terkejut. Apaaa?! Aku tak mau motorku disita. Akan
tetapi, aku berpikir bahwa ini lebih baik sebagai tumbal kesalahan­
ku. Oke, tak apalah. Tetapi gara-gara berbohong itulah hati ku tidak
tenang, sungguh tidak tenag dan tak akan aku ulangi lagi. Bohong
itu menyiksa ! Sungguh !

49

BUKAN JODOH

Novisca Dyah Ayu P.

“Oke, badannya nyamping sedikit. Matanya lihat ke depan. Nah
begitu”

“Jepret, jepret,jepret.”
“Icha bangun, Cha!” suara yang tiba-tiba membuatku bangun
dari mimpi yang indah.
Mataku langsung tertuju pada jam dinding.
“Aaaa aku telat!” aku pun bergegas ke kamar mandi dan bersiap
untuk ke sekolah.
“Mama kan sudah bilang, kalau baca novel jangan malam-malam,
dong, inget waktu juga. Papa aja udah berangkat dari tadi kok. Ayo
sarapan dulu,” ujar Mama dengan menyiapkan roti tawar dan susu
untuk sarapanku
“Aku bawa aja, ya Ma? Udah telat nih,” ujarku sambil mengikat
tali sepatu.
Aku bergegas mengambil motor kesayanganku, Vespa cantik
yang aku beri nama Moni. Ya, meskipun Moni sudah berumur, aku
tetap bangga mengendarainya. Sesampainya di sekolah ternyata
gerbang sudah ditutup, untung saja Pak Slamet penjaga sekolahku
berbaik hati membukakan gerbang. Di kelas, Bu Nindy yang super
centil itu sudah mulai mengajar.
“Jika semua sudah paham, sekarang kerjakan soal halaman 12, ya
Nak,” suara Bu Nindy yang khas centilnya terdengar sampai depan
kelas
“Permisi, Bu,” ujarku di depan kelas sedikit gugup
“Icha telat lagi, Ya. Ayo, masuk kelas,” Bu Nindy dengan mata
yang berisyarat menyuruh duduk.
Aku duduk dengan sahabatku Luta. Dia anak yang baik, pintar,
cantik, manja dan sedikit jutek. Aku dan Luta selalu bertukar pendapat

50

mengenai hal-hal yang ingin kami lakukan. Seperti impianku yang
ingin sekali menjadi foto model dan menjadi cover majalah remaja.
Khayalanku pun sudah mulai terbayang, betapa indahnya mimpiku
tadi malam mengenakan gaun hijau tosca, rambut yang tergerai dengan
tatapan tajam namun berekspresi, serta arahan-arahan fotografer yang
mengatur badanku begini-begitu yang akan menambah keramaian
suasana foto model.

“Cha!” suara Luta sambil menyenggol lenganku.
“Eh, ada apa, Lut?” ujarku bingung.
“Kenapa, sih? Bukannya ngerjain soal malah senyum-senyum aja
dari tadi. Berangkatnya liat cowok ganteng, ya?” Luta mengejekku.
“Ini lebih penting dari pada cowok ganteng ha, ha, ha.”
“Hah? Apa emangnya? Cerita, dong!” Luta dengan wajah
penasaran.
“Nanti aja deh waktu istirahat.”
Bel tanda istirahat pun sudah berbunyi, Aku dan Luta bergegas
ke kantin. Aku memesan bakso dan es buah. Seperti biasanya Luta
yang paling suka sama soto ayam langsung ngantri bersama anak-
anak yang lain.
“Nah sotonya udah aku dapetin, nyerobot dari si Indra anak IPA
2 yang cupu itu,” ujar Luta dengan bangganya
“Huss anak kayak gitu kamu kerjain,” ujarku dengan tertawa
“Bodo amat! eh gimana cepetan cerita. Apa yang lebih penting
dari cowok ganteng?”
“Gini, tadi malem aku pakai gaun bagus banget, rambutku juga
keren,” dengan wajah yang berbinar
“Hah? Serius? Maksud kamu, semalam kamu kencan sama
cowok?” ujar Luta dengan kening yang mengkerut
“Bukan, aku jadi foto model!”
“Wah selamat ya, di studio mana? Akhirnya impianmu selama
ini sukses juga,” katanya dengan menghentikan suapan kuah soto
ayam yang sudah ditangannya
“Tapi baru di tempat tidur sih Lut he..he..he,” ujarku dengan
menggaruk kepala.
“Cuma mimpi gitu? Dasar Icha..!!!” Luta yang spontan langsung
mengacak-acak poniku.

51

***
Sampai rumah, Mama sudah menyiapkan makan siang untuku.
Semur ayam pun habis aku santap di meja makan. Mama yang
melihatku begitu lahapnya hanya menggelengkan kepala. Selesai
makan aku bergegas ganti pakaian karena aku sudah ada janji dengan
Luta ke Mall untuk mengikuti castting foto model. Aku dan Moni
beranjak ke rumah Luta yang sudah menunggu di depan rumah.
“Siap Lut?” ujarku dengan gembira.
“Pastinya, dong,” ujar Luta yang langsung memboncengku.
Dijalan kami selalu bercanda gurau, hingga kerap kali di lihat
oleh pengguna jalan lainnya. Kami merasa malu sendiri, hingga sampai
di parkiran Mall kami bertemu dengan Alice, gadis idola di sekolahku
karena wajahnya yang cantik dan badannya yang terlihat langsing,
ya sekaligus musuh bebuyutanku untuk mendapatkan Radit. Alice
ditemani Nita teman satu kelasnya yang selalu pengen ikutan terkenal
di sekolah. Hubunganku dengan Alice dulu baik, kami satu anggota
OSIS tapi semenjak Radit ketua OSIS yang tampan, tinggi, gagah itu,
sering mengobrol denganku, Alice kini menjauhiku.

***
“Mari-mari silakan yang mau mendaftar castting sebagai foto
model majalah remaja, mari mendaftar disini,” suara teriakan laki-
laki yang berkalung kertas dan bertuliskan panita.
“Kak, saya mau mendaftar,” ujarku kepada panitia tersebut.
“Silakan dek, kamu mengisi formulir dulu ya?” ujarnya dengan
memberikan kertas formulir.
“Permisi, Kak, saya mau mendaftar,” suara lembut dari arah
belakang.
Aku pun berbalik badan dan melihat bahwa ternyata Alice.
“Pasti dia daftar karena pengen dapat perhatian khusus dari
Radit,” ujarku lirih.
Setelah aku selesai mengisi formulir pendaftaran, segera
kuserahkan kepada panitia. Saat menunggu hasilnya, tiba-tiba Alice
menghampiriku.
“Kamu suka foto model?” ujarnya sedikit dingin.
“Banget! Kan, biar Radit makin terpesona sama aku,” ujarku
mem­buat wajahnya memerah.

52

“Oh,” ujar Alice dengan arti yang penuh kekesalan.
“Kamu sudah jadian sama Radit?” selidik Alice.
“Doakan saja, ya!” ujarku dingin.
Setelah menunggu sekian lama ternyata hasil casting akan
diumum­kan disekolah masing-masing. Aku pun bergegas keluar dari
ruangan dan menghampiri Luta yang setia menungguku. Kami pun
mampir makan di warung langganan kami, setelah itu aku meng­
antarkannya sampai rumah, tak lupa aku mengucapkan terima kasih
kepadanya lalu aku bergegas pulang dengan perasaan senang dan
cemas untuk hasil pengumuman besok. Sesampainya di rumah aku
pun menulis buku harian yang selalu setia menemani hari-hariku
terutama di waktu malam, aku mulai menggoreskan pena, sedangkan
jemariku menari-nari diatas lembaran kertas. Aku tuangkan perasaan
bahagia yang aku alami hari ini.

***
Pagi pun sudah menyambut, hari ini aku tidak akan telat lagi.
Karena aku tidak sabar ingin cepat-cepat ke sekolah dan melihat hasil
pengumumannya. Papa dengan pakaian rapi berdasi sudah siap di
meja makan, sedangkan Mama sedang menuangkan susu di gelas
Papa.
“Pagi, Ma,” sapa Papa sambil kucium pipi Mama.
Mama hanya tersenyum.
“Pagi Papa sayang, Icha nggak telat kan buat ikut sarapan bareng
Papa?” ujarku dengan mencium pipi dan duduk di samping kiri Papa.
“Pagi, Sayang, iya belum telat. Tumben nih pagi-pagi sekali
bangunnya, lagi bahagia, ya? Dari tadi senyum-senyum sendiri,”
ujar Papa yang terlihat heran menatapku.
“Iya, Pa, kemarin aku ikut castting foto model majalah remaja.
Dan pengumumannya ada disekolah, makanya aku nggak sabar
untuk melihat hasilnya,” ujarku sambil mengangkat gelas susu yang
disiapkan Mama.
“Begitu, ya? Jadi icha suka bergaya lenggak-lenggok didepan
kamera?” ujar Papa yang tersenyum melihatku.
“Iya dong pa, Mama sama Papa dukung, kan?” ujarku dengan
anggukan.

53

“Iya pasti Mama dan Papa dukung, asal kamu ikut foto model
ini atas dasar keinginan kamu sendiri, kemampuan dan talenta kamu,
bukan karena ingin terkenal di sekolah dan tidak ingin di saingi oleh
teman-temanmu yang lain,” ujar Papa menasehatiku.

“Benar kata, Papa, kamu jangan cuma ikut-ikutan teman kamu
yang karena ingin terkenal dan nantinya akan membuat kamu
sombong. Dan yang pasti harus tetap belajar,” ujar Mama melanjutkan
nasehat Papa.

Aku pun hanya terdiam, aku tidak begitu memperhatikan apa
yang Mama dan Papa bicarakan.

***
Sesampainya disekolah aku bergegas melihat papan
pengumuman yang sudah dikerumuni banyak orang membicarakan
mengenai kandidat yang terpilih dalam castting kemarin. Dan saat
aku melihat ada namaku di lembaran pengumuman itu, aku langsung
loncat kegirangan dan sedikit berteriak, namun aku agak sedikit kesal
karena ternyata Alice juga terpilih. Tapi tak apalah toh jadi memicu
semangatku untuk mengalahkannya. Aku pun berlari menuju ruang
kelas untuk menemui Luta, tetapi saat melewati kelas IPA 1, didepan
pintu ada Radit yang tersenyum dan membuatku berhenti sejenak
serta membalas senyumannya yang membuat jantungku berdebar
kencang.
“Selamat, ya kamu terpilih casting,” ujarnya dengan menjul­urkan
tangan dan tangan yang satu mengusap poniku.
“Makasih, ya! Jangan dirusak poniku, susah nih ngrapiinnya,”
ujarku dengan berjabat tangan dan bibir yang sedikit manyun.
“Ih, cantiknya kalo lagi marah,” ujar Radit yang membuat
kepalaku tertunduk malu.

***
“Lut, Lut, dengerin aku,” dengan suara yang heboh di ruang
kelas.
“Kenapa? Gimana hasilnya, tadi pagi aku lihat di Papan belum
ada,” ujar Luta sama hebohnya menanggapiku.
“Aku terpilih, Lut! dan yang nggak kalah mengejutkan lagi
tadi Radit memberi aku selamat dan dia bilang aku cantik kalau lagi
marah,” ujarku gembira.

54

“Emangnya kamu tadi marah-marahin dia cha?” ujar Luta
bingung.

“Enggak, Lut, tadi itu aku kesal sama dia karena dia beran­takin
poniku,” aku pun menjelaskan.

“Oh begini, ya?” sahut Luta sambil berantakin poni yang sudah
aku tata rapi

“Lutaaaaaa!” teriaku kesal.
“Benar ya, kamu makin cantik kalau lagi marah gitu, Cha,” Luta
berlari menjauhiku dengan tertawa lepas.

***
Bel tanda masuk pun telah berbunyi, aku dan teman-teman
satu kelas termasuk Luta bersiap berganti pakaian olahraga. Jadwal
olah raga kelasku dengan kelas Radit bersamaan, jadi aku sering
melihat dia bermain basket dan sesekali dia tersenyum menatapku.
Aku pun menjadi malu-malu membalas senyumnya. Hari ini sekolah
telah usai, aku tergesa-gesa pulang ke rumah, karena hari ini ada sesi
pemotretan di studio foto. Luta yang biasanya menemaniku kini telah
sibuk dengan Mamanya mengatur toko bunga milik keluarganya. Mau
tidak mau aku dan Moni segera meluncur ke studio foto yang tidak
jauh dari Mall saat aku casting. Disana sudah banyak gadis-gadis yang
menunggu giliran berfoto, terlihat Alice mengenakan gaun hitam yang
membalut kulitnya yang putih bersih, sedangkan aku di pilihkan gaun
yang tepat oleh tata rias yang sudah disediakan. Orang-orang disekitar
memandangku dengan terpana termasuk Alice. Aku mengenakan
gaun oranye yang membalut tubuh kuning langsatku dan tatanan
rambut yang sengaja dibuat kriting samar. Sesi foto yang pertama kali
buat aku ini sangat melelahkan karena dari siang hingga larut malam.
Mama dan Papa mengkhawatirkanku hingga menjemputku di studio
dengan membawa Pak Man, penjaga rumahku supaya membawa
motorku pulang. Papa dan Mama sudah menunggu di mobil, kami
pun mampir ke warung pinggir jalan yang menjadi favoritku.
Hari-hari terus berlalu tak terasa sudah satu bulan aku menjalani
peranku sebagai seorang modeling. Fotoku terus terpampang di
majalah remaja edisi-edisi terbaru. Namun aku jarang melihat Radit,
sesekali bertemu pun dia tidak seperti biasanya. Tatapannya terlihat
dingin. Ada apa dengannya. Apa dia marah padaku, ataukah dia

55

sudah jadian dengan Alice, dan Alice melarangnya mendekatiku.
Alice sudah lama berhenti dari hobinya berlenggak-lenggok di depan
kamera, entah alasan apa yang membuatnya memutuskan untuk
keluar dari modeling. Semakin hari aku semakin lelah menjalani
semua ini, sepulang sekolah aku harus buru-buru ke studio foto hingga
larut malam. Aku pun jadi jarang sekali belajar, grafik nilaiku pun
turun. Dan kini aku jarang berkomunikasi dengan Papa, Mama, Luta
bahkan Radit. Aku kini menjadi asing bagi teman-teman sekolah,
mungkin karena aku lebih mementingkan modelingku. Jemariku terus
menggoreskan tinta dalam lembaran buku harian. Aku menceritakan
apa yang terjadi setiap hari dalam kehidupanku.

***
“Ya Tuhan nilaiku!” aku sedikit berteriak yang spontan kaget
melihat nilai ulanganku di bawah nilai teman-temanku.
“Icha, ada apa?” suara Pak Rudi bertanya padaku dari meja guru.
“Nggg tidak apa-apa, Pak,” ujarku tersenyum masam.
Mengapa aku saat ini susah untuk mendapat nilai yang baik,
aku terus merenungi kejadian akhir-akhir ini, aku duduk termenung
didepan kelas.
“Dapat nilai jelek, ya, kok mukanya kusut gitu?” suara Radit
mengagetkanku sambil duduk disampingku.
“Dari mana kamu tahu?” ujarku bingung.
“Aku selalu menanyakan kabarmu kepada Luta dan dia selalu
menceritakan perubahan-perubahan yang terjadi padamu,” ujar Radit
menjelaskan.
“Aku berubah?” ujarku dengan mengkerutkan kening.
“Aku bahkan tidak mengenalmu akhir-akhir ini. Icha yang aku
kenal adalah seorang yang ceria, selalu fokus pada pelajaran, pintar,
dan tidak pernah tidur di kelas saat pelajaran berlangsung,” ujar Radit
sambil menatapku tajam.
Aku hanya terdiam.
“Aku lebih suka kamu yang dulu di bandingkan yang sekarang,
kamu yang ceria, selalu aktif dalam penulisan cerpen di majalah
dinding sekolah, bukan yang terkenal dan lupa oleh tugas utamamu
sebagai pelajar. Jadilah dirimu sendiri, Cha. Aku lebih menyukaimu
yang seperti itu,” ucapan panjang Radit sambil menepuk pundakku.

56

Aku termenung, tak bereaksi apapun, hingga tak sadar bahwa
Radit telah meninggalkanku. Sesampainya di rumah, tarian pena dari
jemariku terus bercerita pada buku harian, lembaran demi lembaran
terus aku goreskan. Kini aku termenung, aku baru menyadari bahwa
modeling ini bukan duniaku karena aku mengikuti ini agar Radit
tertarik padaku dan hanya untuk menunjukan bahwa aku lebih segala-
galanya dibanding Alice. Aku terus menyesali keadaanku. Aku pun
terus menelan ucapan-ucapan Radit tadi. Ternyata dengan menjadi
diri sendiri, aku tidak akan kehilangan orang-orang yang kusayangi.
Mereka lebih nyaman dengan aku yang ceria dan gemar menulis.
Ternyata laki-laki yang benar-benar mencintaiku akan menerima apa
adanya diriku tanpa aku harus bersusah payah menjadi orang lain.

57

AINIY FI QOLBIY

Sofia Aulia Zakiyatun Nisa

“Nak, tolong Ibu membawa pisang-pisang ini ke rumah,” ujar
seorang wanita berambut agak putih menghampiri putri tunggalnya.

Namun, putrinya yang sangat cantik dan berkulit putih itu
tak menjawabnya. Matanya yang sedikit sipit itu hanya berpaling
menghindari pandangan Ibunya. Keheningan menghampiri mereka
berdua. Bu Sabar yang sejak tadi mengusap keringatnya setelah mema­
nen pisang, segera mengangkat keranjang besar berisi pisang yang
tingginya hampir menutupi seluruh badan mungilnya. Sayangnya,
putrinya yang bernama Aini terus mengunci hatinya untuk sekedar
membantu ibunya. Aini bahkan meninggalkan Ibunya yang berjalan
lambat itu menuju rumahnya yang jauhnya dua kilometer dari ladang.
Ladang yang setiap hari dirawat Bu Sabar adalah satu-satunya
harta berharga peninggalan suaminya yang telah meninggal dua
belas tahun lalu, beberapa saat setelah Aini lahir. Bu Sabar selama
bertahun-tahun menjalani kehidupan pahitnya demi membesarkan
putrid kesayangannya.

Terkadang terbesit dalam benak Bu Sabar, apa maksud Tu­
han yang telah memberikan kehidupan seperti ini. Namun demi
anaknya, ia bekerja keras agar hidupnya lebih baik. Salah satu ca­ranya
dengan menjajakan pisang goreng dari hasil ke­bunnya. Mulai dari
jalan kampung, warung-warung, sekolah-seko­lah, hingga terminal-
terminal. Dalam benaknya, semua yang dila­kukannya hanya untuk
bidadari kecilnya dirumah. Ia tak per­nah merasa lelah berjalan keluar
masuk kampung mencari nafkah. Semua demi akan kesayangannya.
Karena lelahnya, tak jarang menetes darah dari hidungnya. Namun,
itu tidak pernah digubrisnya.

“Pisang.. pisang.. pisang,” suara fasih itu selalu menemani
lang­kah Bu Sabar. Pelanggannya yang setia telah hafal suara khas

58

wanita yang selalu mengenakan jarik batik itu. Sekejap anak muda,
tua, bahkan anak-anak segera mengantri untuk mencicipi pisang
goreng Bu Sabar yang terkenal enak. Meskipun begitu, tak semua
orang menyukai Bu Sabar. Bahkan Bu Sabar sering dilempari batu
oleh anak-anak kampung yang ia lewati saat berjualan.

“Hei, Bu, jangan memasuki daerah kami. Kami takut jik­ a warga
sini akan bermata satu sepertimu. Kami juga risih me­lihatmu.”

Kata-kata itu sudah tidak asing bagi wanita tua berkulit bersih
dan cerah itu. Hanya senyuman yang selalu ia balaskan kepada semua
ejekan yang selali mendengung di telinganya se­lam­ a bertahun-tahun.
Meskipun dulu sebelum ia terbiasa, ia ker­ap menangis dan putus
asa. Tetapi, sekali lagi karena putri kesa­yangannya ia berdiri tegar
hingga saat ini. Bu Sabar menik­ ah dengan Pak Trima, seorang pemuka
agama di kampung terse­but. Dahulu, dia berharap kehidupannya
akan bahagia dunia akhirat. Namun, Tuhan mempunyai rencana lain.
Bu Sabar harus me­wujudkan harapannya itu sendiri hingga usinya
memasuki kepala empat. Lebih menyedihkan lagi, Aini tidak sempat
melihat ayahnya. Ayahnya wafat beberapa saat setelah Aini lahir.

“Nak, kau sudah sarapan? Jangan lupa sarapan ya sebelum
sekolah biar kamu berfikir maksimal. Susunya juga jangan lupa
diminum. Oh iya, jangan jajan sembarangan juga,” Bu Sabar menasehati
putrinya seraya membersihkan rumahnya yang terbuat dari bambu
dan berukuran kecil itu yang pintunya sudah berlubang dimakan
rayap.

“Aku bukan anak kecil lagi, Bu. Jangan banyak ngomel, ah. Aku
sudah tau apa yang harus kuperbuat.”

Nia menuju dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi, lalu
mengambil sepiring nasi, sepotong tempe, dan segelas susu putih
kesukaannya. Ibunya yang telah kebal dengan sentakan putrinya
hanya menghampiri Aini dan mengelus-elus pundak Aini.

“Maafkan Ibu, Nak. Ibu hanya mengingatkan saja. Sekarang
makanan yang beredar dipasaran tidak terjamin keamanannya. Ibu
tidak mau anak Ibu yang cantik ini sakit. Maafkan Ibu juga, ya Aini,
kemarin dagangan ibu sepi, makanya hari ini kamu hanya makan
tempe. Kalau kamu mau ambil saja bagian Ibu Nak, biar kamu semakin
kenyang,” mata Bu Sabar yang sipit berkaca-kaca.

59

Aini hanya terdiam dan segera menyalami ibunya untuk ber­
pamitan pergi kesekolah. Karena takut terlambat, Aini mempercepat
langkahnya. Dia mengambil sepeda bututnya dibawah pohon mangga
depan rumahnya. Sementara itu, Bu Sabar berdoa melepas kepergian
putrinya itu dari balik jendela ruang tengah, lalu kembali menuju
dapur untuk menggoreng pisang untuk dijual hari ini.

***
“Saya tahu, Pak cara mengerjakan soal itu,” kata Aini bersemangat
sambil menunjuk papan tulis bewarna hitam yang ada di depan
kelasnya.
Aini percaya diri dan maju kedepan kelasnya yang lebih layak
disebut kandang kambing itu. Ya maklum saja, ibunya hanya mampu
menyekolahkan Aini di tempat tersebut. Dalam hitungan detik, Aini
dapat menyelesaikan soal dari gurunya dengan benar. Sebenarnya
hal ini sudah biasa dilakukan oleh Aini. Ia memang sangat cerdas,
bersemangat, antusias, dan percaya diri. Namun sayang, ia tidak
memiliki fasilitas lebih yang bisa mengimbangi kemampuan yang
ia miliki itu. Ia bagai berlian yang sangat berkilau yang terendam
dalam got. Dalam kondisi seperti itu, Aini tetap bersemangat menuntut
ilmu, meski tidak jarang Aini harus membenahi bangkunya yang
telah berusia lebih dari lima belas tahun, sebelum pelajaran dimulai.
Ia juga harus membersihkan mejanya yang selalu kotor dan basah,
karena kelasnya tidak memiliki atap, dan lain-lain. Bagaimanapun
juga, berlian akan nampak indah dimanapun ia berada, termasuk Aini.
Pukul 13:00 WIB, saatnya Aini mengakhiri aktivitas di sekolah
dan pulang ke gubuknya. Dikayuhnya dengan kuat-kuat sepedanya
yang sudah tarasa berat itu, mungkin karena rantai sepeda tua itu
belum pernah diganti sejak saat pertama kali membeli. Ban sepedanya
pun juga terlihat sangat tipis. Di perjalanan, Aini selalu berguman
dalam hati, yang tak bisa ia hentikan dalam pertanyaan besar dalam
hidupnya. Sejak ia berusia tujuh tahun, pertanyaan itu mulai menempel
dalam alam bawah sadarnya.
“Tuhan, kenapa ya hidupku seperti ini. Aku salah apa? Mengapa
dulu akau terlahir jika harus menghadapi hidup yang penuh batu ini.
Apa Engkau tidak tahu, aku telah berdarah-darah melewati semua
batu yang telah Kau gelintirkan dalam perjalanan hidupku. Tuhan..

60

Tuhan, mengapa juga Kauambil Ayahku, padahal aku belum sempat
melihat beliau, apalagi mendengar suaranya yang mungkin dapat
memberi salam perpisahan dulu sebelum menghadap Mu. Tuhan..
Tuhan, kenapa juga Kau sisakan kepadaku seseorang dalam hidupku
yang seperti ibuku, wajahnya bagai moster bermata satu itu, aku
takut melihatnya ya Tuhan. Aku harus bagaimana? kapan ini semua
berakhir?,” Aini berguman dalam hati.

Tidak terasa, Aini telah sampai pada halaman kecil depan rumah­
nya.

“Sudah pulang, ya Aini. Bagaimana sekolahnya? Kamu tidak
nakal, kan. Pasti anak Ibu capek, ya. Segera ganti baju. Ibu ambilkan
makan, ya. Tadi ibu kepasar dan membeli ayam goreng kesukaanmu.
Kebetulan ibu mengumpulkan uang selama tiga bulan ini untuk
membelikan rantai sepedamu dan ternyata masih sisa. Jadi bisa buat
beli ayam goreng, ” suara Bu Sabar sangat semringah.

“Ya, aku masuk dulu. Capek, minggir!” jawab Aini ketus dan
membuang muka.

“Sabar, sabar,” kata Bu Sabar dalam hati.
Tak berselang lama, Aini keluar kamar dan mulai makan ayam
goreng pemberian Ibunya.
“Bu, kenapa ayamnya asin begini sih. Ibu kira aku sakit gondong?”
Aini membentak ibunya yang sedang akan beristirahat siang.
“Maafkan ibu Nak, kamu jangan marah ya. Ini ambilah milik
ibu, rasanya enak, kok. Belum ibu gigit sama sekali, nanti milikmu
biar ibu yang makan ya Nak. Sekarang makanlah!”
Bu Sabar menyodorkan piring yang lain kepada Aini. Hal seperti
ini tak asing lagi bagi Bu Sabar, setiap hari anaknya selalu bersikap
keras padanya. Namun ia sadar, mungkin itu terjadi karena ia belum
bisa membahagiakan putrinya, ditambah lagi wajahnya yang dianggap
menakitkan itu akan menambah rasa benci anaknya padanya. Ia hanya
bisa pasrah dan bersabar sesuai namanya. Mungkin ini jalan terbaik
bagi hidupnya yang semakin senja ini. Puncak dari segala kekerasan
hati putrinya adalah terjadi pada saat Aini melarang ibunya pergi
menghadiri acara pertemuan orang tua murid ke sekolah. Aini tidak
ingin diejek teman-temannya karena memiliki ibu bermata satu. Ia
bersikeras agar Bu Sabar tidak melangkahkan kaki sedikitpun ke

61

sekolah. Namun Bu Sabar ingin sekali saja berkonsultasi pada guru
Aini mengenai perkembangan putrinya itu, yang mungkin tidak akan
terulang lagi. Begitulah pikiran sederhana Bu Sabar.

“Pokoknya ibu tidak usah ke sekolah,” Aini berteriak.
“Sekali saja, Nak. Izinkan Ibumu ini.”
“Tidak ya, tidak. Aku malu memiliki Ibu sepertimu. Lebih baik
dirumah saja,” Aini keluar rumah dan membanting pintu.
Mendengar kata-kata anaknya yang begitu menyayat hatinya,
tiba-tiba hidung Bu Sabar mengeluarkan darah. Tidak seperti biasanya.
Kali ini dadanya ikut sesak dan kepalanya sangat pusing. Tiga jam
berlalu, Aini sudah jenuh bermain. Dia bergegas pulang karena
mendengan tetangganya memanggil namanya. Mendekati remahnya,
Aini tertegun karena banyak orang dating berkerumun di rumanhya.
Surah Yasin dan Tahlil berkumandang ramai dari dalam rumahnya.
Aini semakin tertegun dan jantungnya semakin kencang berdegup. Ia
melangkahkan tergopoh menuju ruangan tengah digandeng seorang
tetangganya. Semakin tertegun dan sesak dadanya melihat Ibunya
sudah terbujur kaku di atas dipan. Bu Sabar telah menghadap Tuhan.
Beberapa tetangga di sekitar jasad Bu Sabar menangis terisak-isak. Aini
terjatuh berlutur di depan jasad Ibunya. Dia terdiam seribu bahasa,
tak dapat bergerak. Ia hanya bisa memnadang dengan tatapan kosong.
Dia tidak tahu harus berbuat apa.

***
Sehari setelah pemakaman. Aini masih terbengong dengan
keadaan yang menimpa dirinya. Teman-temannya silih berganti
berdatangan menghiburnya, begitu pula tetangga yang saying dengan
Aini. Suatu sore, Aini menemukan sebuah surat bewarna putih bersih
di laci almarinya. Ia segera membukanya.

Untuk Bidadariku tercinta

Nak, ibu tidak tahu harus memulai dari mana, terlalu banyak yang
harus Ibu ceritakan. Nak, Ibu sangat mencintaimu bahkan melebihi
cinta ibu kepada diri Ibu sendiri. Saat kau belum lahir, sebenarnya
ayahmu adalah saudagar kaya di kampung ini, namun karena
kami sudah menikah lima tahun dan belum dikaruniai momongan,
maka kami bernadzar bila kami dikaruniai momongan, kami akan

62

memberikan seluruh harta kami untuk kepentingan agama di
kampung ini dan sekitanya. Dan ternyata Ibu mengandung kamu,
Nak. Kami sangat bahagia dan segera menepati janji kami. Kami
mulai berusaha lagi membangun rumah yang baru, dan maaf kami
hanya bisa memberikanmu gubuk bambu dan sepetak tanah, karena
ayahmu telah dulu dipanggil Sang Kuasa. Jangan khawatir Nak,
dunia ini sementara saja, kau akan bahagia di akhirat nanti, yakinlah.
Dan saat kau lahir kenyataan pahit harus Ibu hadapi. Kau terlahir
tanpa mata yang lengkap, Ibu sangat sedih dan bingung saat itu. Ibu
tidak ingin hidupmu akan pahit seperti Ibumu ini, maka dari itu Ibu
memberikan mata Ibu yang buruk ini untukmu Nak, maaf, Nak Ibu
hanya bisa memberikan mata Ibu untukmu. Lalu Ibu menamaimu
Ainiy Fi Qolbiy, dengan arti mataku di hatiku.Ibu ingin Ibu selalu
ada di hatimu, Nak, karena kaulah satu-satunya pelipur hati Ibu
selama ini. Maafkan Ibu bidadariku, Ibu harus pergi. Terimakasih
sudah mau menjadi putri dari moster bermata satu ini. Jangan pernah
kau menyerah pada hidup, Nak. Kaulah mata hati ibu dan ayah
sepanjang waktu,”

Setelah membaca surat tersebut, Aini serasa jatuh terhempas
ke tanah. Badan, pikiran, dan perasaannya sakit. Urat-urat nadinya
seakan tak berdaya lagi. Oh, inilah sebuah kenyataan yang baru saja
disadarinya. Rasa sesalnya tiada guna.

63

DI BALIK SEBUAH RUMAH
TAK BERNYAWA

Alifia Nuralita Resqiana

Pagi yang cerah. Ah, bukan! Pagi yang sedikit mendung. Mentari
masih malu menampakkan diri. Seorang gadis berkacamata berjalan
melalui gerbang tua sekolah dasar. Tubuh mungilnya terbalut seragam
putih-merah. Sepatu berwarna merah jambu, kaos kaki merah jambu,
jam tangan merah jambu dan tasnya juga berwarna merah jambu.
Gadis manis berkulit putih ini pun berhenti di depan ruang kelas VI.
Ia menyisir rambut panjangnya dengan jari dan masuk ke dalam kelas.
Dilihatnya kerumunan anak-anak mengelilingi meja pojok kanan.
Meja Dodi!

“Sumpah! Aku denger sendiri dari Papaku!” ucap Dodi di tengah
kerumunan anak-anak berseragam merah-putih.

“Ada apa sih? Ribut bener...,” tanya gadis merah jambu.
“Aish, ketinggalan kamu, Pink! Udah telat!” seru Rangga sang
ketua kelas.
“Makanya aku tanya ada apa!” emosi si gadis merah jambu
terpancing.
Fina, seorang murid hitam manis keluar dari kerumunan. Sebuah
bandana putih menghias rambut pendeknya. Fina menghampiri
Nadia, si gadis merah jambu, kemudian menceritakan berita heboh
yang didengarnya dari mulut Dodi. Menurut cerita yang didengar
Fina, semalam bapak-bapak yang tengah berjaga malam di pos ronda
melihat seorang wanita pendek berbaju putih berlari ke arah kebun
yang sangat luas milik Mbah Yadi. Bapak-bapak menyangka wanita itu
pencuri, maka mereka mengejarnya. Mereka berpencar, berkeliling di
kebun Mbah Yadi. Mengarahkan senter ke sana ke mari, tapi mereka
gagal menemukan wanita tersebut. Sepertinya wanita itu masuk ke
dalam rumah besar di tengah kebun. Rumah bercat putih yang kini

64

tak lagi putih, kusam dan berlumut. Maklum saja, rumah itu kosong
selama belasan tahun.

Mbah Yadi sempat tinggal di sana beberapa bulan sebelum
akhirnya meninggalkan Yogyakarta dan pindah ke Surabaya. Kebun
tak terurus, rumah juga tak terurus. Dan tak ada warga yang mau
mengurus. Sejak Mbah Yadi pergi, jarang ada warga yang masuk
ke rumah itu. Bukan jarang lagi, tak pernah, tidak ada yang berani
masuk ke situ. Fina menceritakan semua itu kepada Nadia. Seorang
anak laki-laki turut keluar dari kerumunan di meja Dodi. Namanya
Bayu. Salah satu murid tampan di kelas VI. Alisnya tebal, hidungnya
mancung, matanya seperti elang.

“Selama ini kita belum pernah pulang sekolah lewat situ, kan
Pink?” tanya Bayu sambil menghampiri Nadia.

“Belum dan nggak akan!” balas Nadia.
Semenjak Nadia pindah dari Makassar ke Jogja awal semester
lalu, dia selalu pulang bersama Bayu dan Fina. Sekolah Dasar Kanisius
berada di dusun yang sama dengan rumah mereka. Kurang lebih 150
meter jaraknya, namun ada banyak jalan pintas menuju ke sekolah.
Salah satunya adalah kebun Mbah Yadi, kebun yang sedang heboh
dibicarakan di kelas.
“Pulang sekolah nanti, aku bakalan lewat sana, dan kalian harus
ikut!” kata Bayu.
“Nggak!” seru Nadia dan Fina bersamaan.
“Kalian harus ikut! Kecuali... kalian pengen buku ini dibaca
semua orang di SD.Kanisius!” Bayu berjalan menuju bangkunya,
mengeluarkan sebuah diary berwarna kuning, membukanya, dan
hendak membacanya.
“Bayu! Jangaaaaaan!” Fina berteriak sambil berlari ke meja Bayu.
Nadia segera menyusul.
Mereka pun kejar-kejaran di dalam kelas. Tiba-tiba Pak Mujono,
Guru Bahasa Jawa masuk ke kelas. Semua murid panik dan segera
duduk di bangkunya masing-masing. Bayu tersenyum licik ke arah
meja Nadia dan Fina sambil sengaja menunjukkan diary kuning milik
mereka. Kumpulan kisah hidup Bayu, Nadia, dan Fina ada di diary
itu. Nadia mencurahkan seluruh isi hatinya dalam diary itu, Fina
pun demikian. Setiap hari mereka bergantian menuliskan banyak

65

hal konyol dan memalukan yang mereka alami. Diantara ketiga anak
tersebut, Bayu lah yang hampir tak pernah menulis. Ketika giliran
Bayu yang membawa buku itu, ia tidak menuliskan kisahnya. Kegiatan
Bayu di rumah hanya bermain game saja. Fina merobek sebagian
kertas buku tulisnya dan mulai menuliskan sesuatu, “Kamu udah
janji kalau buku itu Cuma buat kita bertiga! Janji adalah hutang! Balikin
buku itu sekarang!” Fina menulis demikian. Ia memberikan kertas itu
kepada Nadia, kemudian Nadia segera menyulapnya menjadi bola
kertas kecil dan melemparkannya ke arah Bayu. Menyadari hal itu,
Bayu langsung mengambil bola kertas tadi di bawah kursinya. Bayu
tersenyum membaca tulisan di kertas itu. Ia mengambil pensil dan
membalas pesan singkat tersebut. “Sesekali melanggar janji itu bukan
masalah! Lagian nggak ada hal penting yangaku tulis di situ :p “

Selesai menulis, Bayu melemparkan bola kertas balik ke Fina
dan Nadia. Membaca surat dari Bayu, mereka pun semakin emosi.
Kini giliran Nadia yang menulis, kemudian melemparkan kertas ke
Bayu.”Sumpah, Bay! Kamu jahat banget! Aku benci sama kamu”

Bayu hanya tersenyum, ia tak membalas surat itu lagi. Jam
pelajaran Bahasa Jawa selesai. Pak Mujono berjalan meninggalkan
kelas, seharusnya sesaat kemudian Bu Sisil masuk kelas untuk
mengajar Ilmu Pengetahuan Alam, tetapi beliau berhalangan hadir.
Kelas pun mulai ramai seperti pasar. Anak-anak berlarian dan saling
melempar kertas. Beberapa sibuk bermain game di handphone mereka,
termasuk Bayu. Nadia dan Fina menghampiri Bayu di mejanya.

“Balikin diary itu! Sekarang!” teriak Nadia.
“Bay, itu rahasia! Cukup kita bertiga yang tahu! Jangan disebar-
sebar dong!” tambah Fina.
“Aku udah kasih pilihan yang enak kan? Ikut aku lewat kebun
itu, atau pengen seisi sekolah baca buku ini?” balas Bayu santai.
“Nggak dua-duanya!” teriak Nadia lagi.
“Duh, sayang banget, istirahat nanti temen-temen bakalan tahu
kalau sebenarnya... kalian.”
Kata-kata Bayu terpotong, Nadia dan Fina memukuli lengannya.
Mereka berusaha mengambil diary yang tergeletak di laci meja Bayu.
Namun Bayu sudah lebih dulu mengambil diary itu. Mereka pun
kembali kejar-kejaran, berebut diary kuning. Nadia berhenti mengejar

66

Bayu. Kakinya mulai lemas kelelahan berlari. Tenggorokannya pun
terasa kering karena terus berteriak supaya Bayu mengembalikan
diarynya. Namun Fina masih mengejar Bayu. Sampai pada akhirnya
Fina terjatuh di sebelah meja guru karena menabrak Rian, murid culun
berkacamata tebal. Rian membantu Fina berdiri. Fina tersenyum dan
mengucapkan terimakasih. Ia kembali duduk ke kursinya. Nadia
segera menyusul Fina duduk. Tak ada pilihan lain lagi, mereka tak
ingin diary itu dibaca orang lain. Ancaman Bayu berhasil membawa
Nadia dan Fina masuk ke kebun Mbah Yadi. Pulang sekolah, mereka
bertiga sungguh-sungguh pergi ke kebun Mbah Yadi. Mereka keluar
dari lingkungan sekolah, berjalan ke arah selatan. Jalan setapak menuju
kebun Mbah Yadi sudah tampak. Nadia dan Fina tampak sedikit
takut melihat jalan menuju hutan, semakin dilihat semakin gelap,
pohon-pohon pun merapat.

“Ayo!” seru Bayu sambil menarik tangan Nadia.
Nadia menarik tangan kiri Fina. Mereka berjalan satu persatu
melalui jalan setapak yang sempit itu. Fina mulai ketakutan, terdengar
suara Mamanya di telinga, “Fina jangan sekali-kali masuk ke kebun
itu, Fina dengar mama, jangan pernah main ke situ!” Begitulah pesan
mama Fina. Kata-kata mamanya terus terdengar ditelinga. Semakin
jauh masuk ke dalam kebun, semakin keras suara itu, semakin erat
pula Fina menggenggam tangan Nadia.
“Fina, ada aku, ada Bayu, jangan takut!” bisik Nadia, padahal
dirinya sendiri ketakutan.
Bayu tersenyum kecil melihat Nadia dan Fina yang ketakutan.
Sok berani, padahal dalam lubuk hatinya, Bayu pun sedikit takut.
Tiba-tiba Nadia berhenti di tengah jalan.
“Itu rumahnya!” Nadia menemukan sebuah rumah tua di tangah
kebun.
Mereka bertiga berlari menuju rumah itu. Cat putih sudah tak
nampak putih lagi. Dinding bawah penuh lumut. Kaca jendela bening
sudah tertutup debu tebal dan sarang laba-laba. Bayu mendekat ke
pintu kayu.
“Bay,” bisik Fina.
Dilihatnya bayangan di balik jendela berdebu. Fina mencengkram
lengan Nadia.

67

“Nad! Itu, Nad!” bisik Fina panik.
“Apa? Mana?” tanya Nadia ikut panik melihat Fina ketakutan.
Bayu hampir memegang ganggang pintu. Tiba-tiba pintu terbuka.
Seseorang membukanya dari dalam.
“Halo? Permisi?” Bayu mencoba menyapa.
Tangannya memegang ganggang pintu, membukanya lebih lebar.
Sebuah tangan pucat terulur dan menarik Bayu ke dalam rumah itu!
Menyeret Bayu masuk dalam kegelapan.
“Aaaaaaa! Lepasin aku! Nadiaaa! Finaaa!” teriak Bayu sambil
berusaha melepaskan tangan pucat itu dari lengannya.
“Bayu!!!” teriak Nadia dan Fina bersamaan.
Mereka ketakutan sambil terus meneriakkan nama Bayu. Mulut
Bayu pun tak ada henti-hentinya memanggil nama Nadia dan Fina.
Seorang wanita! Orang yang memasukkan Bayu ke dalam rumah
adalah seorang wanita! Ia mendudukkan Bayu pada kursi kayu dan
mengikatnya kuat-kuat. Dililitnya tangan dan kaki Bayu dengan tali
merah. Bayu terus saja berteriak ketakutan. Bajunya basah karena
keringat yang mengalir hebat. Wajah Bayu sudah pucat ketakutan.
Tak terasa air matanya meleleh membasahi pipi. Merasa terganggu
dengan teriakan Bayu, wanita itu merobek baju lusuhnya yang bau
dan membungkam mulut Bayu dengan robekan baju.
Bayu menggoyangkan tubuhnya ke kanan ke kiri, berusaha
bergerak, ingin melarikan diri. Ikatan itu terlalu kuat untuk bocah
kurus seperti Bayu, tentu saja Bayu tak dapat melepaskan ikatan itu
dengan gerakan tubuhnya. Bayu menyerah, berusaha menenangkan
diri. Diperhatikannya wanita yang menangkapnya, kini wanita itu
mengamati Bayu. Rambutnya panjang tergerai. Ia sangat bau, sangat
kotor! Ia mengenakan celana pendek coklat yang sudah robek. Bajunya
putih kekuning-kuningan. Wajahnya pucat menyeramkan. Matanya
bulat dan besar, alisnya tipis. Bibirnya tersenyum jahat melihat Bayu.
Tiba-tiba wanita itu menangis histeris. Nadia yang hendak masuk ke
dalam rumah itu langsung mundur menjauh. Fina menutup kedua
telinganya dengan telapak tangan. Wanita di dalam rumah masih
menangis histeris. Matahari sudah bergerak jauh ke barat, hari mulai
petang. Tangisan histeris wanita itu membuat kebun Mbah Yadi empat
kali lebih menyeramkan! Sekumpulan warga yang sedang bekerja

68

bakti di pos ronda mendengar teriakan dan tangisan histeris dari
arah kebun Mbah Yadi.

“Apa itu?” tanya salah satu warga yang menghentikan pekerja­
annya.

“Ah, paling-paling orang gila yang kemarin nangis di depan
rumah Pak Heru, yang kemarin itu, lho,” warga lain menanggapi
sambil menyapu pos ronda.

“Beda, Pak! Suaranya Zulpeng nggak kayak gitu. Ayo kita lihat,
Pak!” balas seorang warga yang tadi mendengar suara tangis wanita
dari dalam kebun.

“Bereskan ini dulu, baru kita cek ke sana!” kata warga yang lain.
Nadia memberanikan diri, ia mulai langkah pertamanya menuju
ke pintu rumah, ia ingin menolong Bayu, sangat ingin mengeluarkan
Bayu dari situ. Tetapi Fina terus mencengkram tangan Nadia.
“Fina lepas! Kita harus tolong Bayu, Fin!” teriak Nadia.
“Ta, tapi bahaya, Nad! Kita cari bantuan dulu!” kata Fina sedikit
takut dengan bentakan Nadia.
Nadia menangis. Fina semakin kuat menahan Nadia untuk tak
masuk ke dalam rumah. Nadia berusaha lebih kuat untuk melepaskan
cengkraman Fina. Tiba-tiba pintu rumah terbanting. Tanpa sengaja
cengkraman Fina lepas. Nadia berlari ke pintu rumah. Membuka pintu
dengan tangan kecilnya yang gemetar menahan takut. Gagal! Pintu itu
terkunci! Diketuknya pintu itu keras-keras. Berusaha membukanya,
terus berusaha membuka pintu kayu itu.
“Bayu?! Bayu?!” teriak Nadia memanggil Bayu.
Fina berdiri terpaku. Menatap Nadia yang panik karena tak
dapat membuka pintu. Kaki Fina gemetaran. Keringat bercucuran
membasahi wajahnya yang pucat ketakutan.
“Fina, lari panggil warga! Lari!” teriak Nadia sambil menatap
Fina.
Fina mengangguk dan segera lari keluar kebun. Berlari sekuat
tenaga. Kakinya yang kecil tersandung akar pohon. Fina terjatuh.
Lututnya mendarat di bebatuan dan berdarah. Tak dihiraukannya
rasa sakit itu, ia berusaha bangun dan berlari lagi. Lari melalui jalan
setapak yang sempit. Lari! Lari! Ia berhasil keluar dari kebun Mbah
Yadi. Berlari lagi mencari warga.

69

“Tolooong! Toloooong!” Fina berteriak minta tolong.
Sekumpulan warga yang sedang bekerja bakti membersihkan
pos ronda mendengar teriakan Fina. Mereka mencari sumber suara.
Rupanya seorang gadis pucat berseragam putih-merah berdiri di dekat
rumah Pak Abimanyu, salah seorang polisi yang tinggal di daerah
situ. Warga menjumpai Fina. Menanyakan apa yang terjadi.
“Bayu masuk ke rumah putih, Pak. Ada orang di dalam rumah itu!
Rumah di tengah kebun! Tolong temanku, Pak. Orang itu mengunci
pintunya,” jelas Fina ngos-ngosan, nafasnya tersengal-sengal setelah
berlari.
Fina mulai menangis. Ia panik dan takut. Pak Abimanyu keluar
dari rumah setelah mendengar ribut-ribut di depan rumahnya, masih
mengenakan seragam polisi lengkap karena baru saja pulang dari
bertugas. Warga meminta Pak Abimanyu menemani warga masuk
ke rumah itu. Mereka segera berlari menuju ke rumah tua di tengah
kebun. Nadia semakin keras menangis, ia masih meneriakkan nama
Bayu. Pukulannya terhadap pintu semakin lama semakin melemah.
Nadia hampir putus asa. Pipinya basah air mata, tubuhnya basah
penuh keringat.
“Lepasin, Bayu! Buka pintunya! Tolong lepasin, Bayu!” teriak
Nadia.
Tiba-tiba Nadia berhenti menangis. Dilihatnya batu sebesar
kepalan tangan tepat di bawah jendela. Nadia mengambil batu itu.
Berjalan mundur empat langkah dari pintu. Menatap kaca jendela,
bersiap-siap melemparkan batu. Satu... dua... Pyaaaaarrrrr! Batu dari
tangan Nadia meluncur... Memecahkan kaca berdebu. Wanita berparas
menyeramkan di dalam rumah terkejut mendengar suara kaca pecah.
Ia berjalan menuju jendela yang pecah. Rumah begitu gelap. Pecahan
kaca menusuk telapak kaki wanita pucat itu. Ia mengaduh, mengerang
kesakitan. Darah mengalir dari telapak kakinya. Wanita itu berjalan
menjauhi jendela, tetapi justru semakin banyak pecahan kaca yang
menusuk telapak kakinya. Dia terjatuh. Mengerang kesakitan,
mencabut kaca-kaca yang menusuk telapak kakinya. Darah mengalir
semakin deras. Fina dan warga sekitar berlari lebih kencang setelah
mendengar suara wanita mengerang. Mereka tiba! Fina memeluk
Nadia dari belakang. Kakinya sudah tak sanggup berdiri lagi. Ia begitu

70

lelah, belum lagi luka di lututnya terasa nyeri dan perih. Fina terjatuh,
ia memegang betis Nadia erat. Nadia pun jongkok dan memeluk Fina.
Mereka berdua menangis dalam pelukan.

“Bayu...,” panggil Fina lirih.
Mendengar Fina memanggil nama Bayu, Nadia pun menangis
lebih keras. Warga bersama Pak Abimanyu mendobrak pintu rumah.
Pak Abimanyu mengeluarkan senter kecil dari sakunya. Cahaya senter
berkeliling ke kanan dan ke kiri. Pada akhirnya berhenti sekitar satu
setengah meter dari jendela yang pecah. Pak Abimanyu tak asing lagi
melihat wanita yang kakinya berlumuran darah. Wajah pucat, bibir
pecah-pecah dan mata menyeramkan, ini bukan pertama kali Pak
Abimanyu bertemu dengannya. Tanpa pikir panjang, Pak Abimanyu
segera mengeluarkan borgol dari saku belakangnya dan memborgol
tangan wanita itu. Sementara itu, warga menemukan Bayu dan
melepaskan ikatan tali yang melilit badan Bayu. Tangan Bayu sangat
dingin, tubuhnya gemetaran, wajahnya pucat ketakutan, Bayu masih
menangis. Seorang warga memeluk Bayu, berusaha menenangkannya
dan membawanya keluar dari rumah itu. Bayu ngeri melihat lumuran
darah di kaki wanita yang mengikatnya. Wanita itu melotot menatap
Bayu yang tengah lewat di depannya. Matanya menatap Bayu dengan
penuh amarah, seakan hendak menerkam dan mengunyah tubuh
Bayu. Yang dapat Bayu lakukan hanya memejamkan mata dan
mempercepat langkahnya untuk meninggalkan rumah itu. Melihat
Bayu keluar, wanita itu berteriak histeris, menggoyang-goyangkan
tubuhnya, berusaha melepaskan borgol di tangannya. Nadia dan Fina
melepas pelukan mereka setelah melihat Bayu keluar dari rumah.
Mereka berteriak bersamaan memanggil nama Bayu. Mereka berlari
menjumpai Bayu dan memeluknya erat. Tiba-tiba Nadia melepas
pelukan Bayu dan Fina. Nadia menatap Bayu beberapa detik kemudian
memukul bahu Bayu.
“Ini gara-gara kamu! Semuanya gara-gara kamu!” teriak Nadia
sambil terus memukul bahu Bayu.
Semakin lama pukulan Nadia semakin lemah. Fina dan Bayu
memeluknya lagi. Mereka menangis lagi. Sesaat kemudian Ayah
Nadia, Mama Bayu dan Mama Fina datang. Ketiga orang tua itu pun
memeluk anaknya masing-masing. Beberapa warga memberitahu

71

mereka bahwa putra-putri mereka terjebak di kebun Mbah Yadi, lalu
mereka segera menyusul ke kebun. Mama Fina memeluk putrinya
sambil menagis. Ayah Nadia mengusap air mata dan membelai
rambut putrinya tercinta. Mama Bayu pun membelai putranya dan
memeluknya erat.

Beberapa polisi datang ke rumah itu, bertemu dengan Pak
Abimanyu kemudian membawa wanita berborgol pergi dari situ.
Rupanya wanita itu adalah Martini. Seorang ibu berusia 47 tahun
yang mengalami kelainan jiwa. Ia melihat anaknya bunuh diri
dengan menggantung di dalam rumah kecilnya di daerah Gamping,
Sleman. Semenjak saat itu Martini mengalami kelainan jiwa. Seminggu
yang lalu dia membunuh seorang anak laki-laki 11 tahun yang tak
lain adalah keponakannya sendiri. Setiap melihat anak laki-laki, ia
hendak membunuhnya dengan alasan agar anak yang ia bunuh dapat
menemani putranya di surga. Pak Abimanyu sudah menangkap
Martini sehari setelah ia membunuh keponakannya, namun Martini
berhasil kabur dari kantor polisi dan bersembunyi di bekas rumah
Mbah Yadi tersebut.

“Tenang, nak. Semua sudah aman sekarang. Bapak, Ibu, awasi
putra-putrinya dengan baik, jangan sampai terjadi hal semacam ini
lagi,” kata Pak Abimanyu.

Beliau mengucapkan terimakasih kepada warga sekitar yang
membantu proses penangkapan Martini dan membantu menyela­
matkan Bayu. Orang tua Bayu, Nadia dan Fina pun tak lupa mengucap­
kan terimakasih kepada Pak Abimanyu dan warga sekitar yang telah
menyelamatkan putra-putri mereka dari Martini. Nadia dan Fina
melepaskan pelukan orang tuanya. Mereka berjalan perlahan ke arah
Bayu dan memeluknya erat-erat.

72

FATAMORGANA

Muhammad Ikhwan Priambodo

Danau ini serasa sejuk dengan hembusan angin dan rindangnya
pepohonan. Awalnya aku senang kemari karena suasana dan jernihnya
air danau. Kemudian aku disapa oleh Bimo, pemuda yang sering
menjaring ikan disekitar danau hingga aku betah untuk duduk
berlama-lama. Namaku Sadewa, aku duduk di bangku kelas dua
Sekolah Menenga Atas.

“Kita aneh, ya?“ tanyaku sembari tersenyum.
Ia menoleh menatapku tak mengerti
” Aneh aja. Kita bersahabat, ketemu, ngobrol, bercanda tapi,”
ucapanku tak kulanjutkan sembari kuhisap sebatang rokok.
Ia hanya diam, mungkin menunggu bicara lagi. Setelah beberapa
saat aku tetap diam, sambil menghela nafas ia bertanya.
“Tapi kita belum kenalan,“ Bimo ikut tersenyum.
“Benar,“ jawabku tanpa menoleh.
“Aku tahu namamu Sadewa dan kamu tahu namaku Bimo,”
ucapnya pelan lebih mirip gumaman.
“Kita seumuran?”tanyaku
“Mungkin. Atau mungkin lebih tua aku,” jawabnya mengulum
senyuman.
“Aku enam belas,” jawabku tanpa meminta menyebutkan
usianya. Dia tertawa pelan. Itu yang kusuka darinya.“
“Aku satu tahun lebih tua,” jawabnya kalem.
Kami terdiam dan kembali kepada angan masing-masing.
Sebenarnya, dari awal pertemanan, aku sudah merasakan ses­ uatu yang
berbeda dan janggal. Tetapi tentu saja aku tidak ingin mengusiknya dengan
pertanyaan-pertanyaan konyol un­tuk memuaskan rasa penasaranku.
Yang aku tahu, itu tidak akan membuatnya nyaman bersamaku. Itu
sebabnya aku diam saja. Ia pun sama, tidak pernah mengusik dengan

73

banyak tanya tentangku. Pertemanan kami mengalir begitu saja seperti
tanpa ada penhalang atau jarak diantara kami. Bercanda dan kadang
tertawa lepas, tidak sedikit pun gambaran kesedihan terpampang diantara
kami. Semakin lama, pertemanan itu berubah menjadi persahabatan yang
unik dengan seiring berjalannya waktu.

“Kamu nggak pernah mengeluh kesakitan?”pertanyaan Bimo
membuatku tersentak.

“Mengeluh kepada siapa? Dokter? Perawat? Tidak akan memper­
baiki keadaan,”aku menepis serangga kecil yang menjalari tanganku.

“Kamu kuat sekali Sadewa.”
“Ia karena kamu tahu dalam hidup kita, semua diciptakan kuat
tidak ada yang lemah. Hanya malaslah yang membuat kita menjadi
lemah,” ucapku sambil kupegang pundak Bimo.
Tak terasa hari sudah semakin sore membuatku harus bergegas
kembali pulang ke rumah.
“Aku pulang, ya.”
Tanpa menunggu anggukan atau persetujuan dari Bimo. Aku
berdiri dan beranjak pulang, sedikit sempoyongan. Entah mengapa
tubuhku merasa sedikit nyeri dan sedikit pusing dikepala langsung
kunyalakan sepeda motorku untuk bergegas pulang. Sampai dirumah
kemudian aku menjatuhkan tubuh dipembaringan. Aku tak ingat
apa-apa lagi.

***
Seminggu kemudian aku kembali ke danau tersebut. Entah
mengapa aku sangat suka sekali dengan tempat ini. Belum lama setelah
aku standarkan sepeda motorku, ternyata Bimo sudah disana. Dia
menoleh dan menatapku dengan senyum dia bertanya kepadaku.
“Dimana saja kamu Sadewa selama ini?”
“Aku sibuk dengan kegiatanku disekolah dan banyak pekerjaan
dirumah yang harus aku kerjakan. Apakah kamu tidak ada kegiatan
disekolah?” tanyaku sembari aku memberi senyuman kepada Bimo.
Bimo hanya terdiam tidak menjawab pertanyaanku apakah
pertanyaanku salah dalam hati aku berkata. Beberapa jam kemudian
Ibuku meneleponku untuk segera pulang.
“Sadewa jam berapa ini? Kenapa kamu belum pulang dari
sekolah,” ucap Ibu dari telefon genggamku.

74

“Ya, Bu aku sedang didanau bersama temanku.”
“Ya sudahlah. Cepat pulang Sadewa! Pokoknya sebelum jam
lima sore kamu sudah harus sampai dirumah,” kata ibu.
Lalu ibu langsung menutup pembicaraan. Sepertinya Ibu marah
karena pulang sekolah aku bermain dahulu. Setelah menerima
telefon dari Ibu, aku kembali ketempat Bimo berada. Namun, tak
kutemui dia di sana. Bahkan, tak ada jawaban ketika aku berteriak-
teriak memanggil Bimo. Tanpa pikir panjang, aku bergegas pulang.
Sesampainya dirumah aku terus berpikir apa yang sedang terjadi
kepada Bimo. Pertanyaanku bergelayut di pikiranku, pertama ketika
aku bertanya kepada Bimo, dia tidak menjawab pertanyaanku dan
kedua, dia meninggalkanku begitu saja tanpa pamit. Bimo hilang
bagaikan ditiup angin meninggalkan tanpa jejak.
Beberapa hari kemudian aku mendatangi danau itu dan kembali
berharap Bimo muncul. Tetapi, entah mengapa ternyata Bimo tidak
ada disana. Kutunggu sampai beberapa jam, tetapi Bimo tidak
menampakkan dirinya. Aku terus berpikir apa yang telah terjadi
kepada Bimo. Sampai akhirnya aku bertemu dengan lelaki paruh
baya yang sedang membawa jaring dan ikan hasil tangkapannya. Aku
terdiam sejenak sepertinya aku pernah bertemu dengan lelaki paruh
baya ini sambil kuingat. Dia menghampiriku. Ternyata Pak Maman,
penjala ikan yang selalu berada di danau ini untuk menangkap ikan.
Aku pernah bertemu dengannya..
“Sedang apa, Nak kamu disini. Kenapa nampak gelisah?”
“Tidak, Pak. Saya hanya sedang menunggu teman saya, Bimo
yang sering bersama saya di sini. Apakah Bapak tahu? Dia berkulit
putih dan berambut pendek.”
“Bimo sering bersama kamu, Nak?” tanya Pak Maman dengan
raut wajah kaget.
“Memang ada apa, Pak?”dengan penasaran aku bertanya kepada
Pak Maman.
“Bimo sebenarnya adalah anak Bapak, Nak. Tetapi…”
“Tetapi apa, Pak. Tolong ceritakan kepada saya. Bimo sangat
baik kepada saya. Kami seakan-akan sudah seperti sahabat karib,
kami…” kata-kataku terutus tiba-tiba.

75

“Tetapi, Nak. Bimo telah meninggal dua tahun yang lalu karena
sakit. Bapak tidak mampu menyelamatkan nyawanya, karena tidak
mempunyai biaya untuk mengobati Bimo. Bapak sangat merasa
bersalah,” jelas Pak Maman sambil menitihkan air mata.

Aku langsung terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa, seakan
tidak percaya dengan cerita Pak Maman. Seakan aku tidak sadar
bahwa selama ini aku berteman dan bersahabat dengan orang yang
sudah meninggal. Kami memang berbeda dunia, tetapi kami pernah
menjadi teman dan sahabat. Suatu saat aku bertemu Pak Maman
kembali. Pak Maman mengajakku untuk pergi ke makam Bimo.
Makam tersebut tidak jauh dari danau. Aku mendoakan Bimo supaya
dia hidup tenang di alam baka.

76

DI BATAS SENJA

Fathi Abida Nurunnafi Ghaniyaska

Aku terharu oleh keindahan senja. Desir angin mengiringi
matahari terbenam diiringi debur ombak. Pantai selalu menjadi tempat
penuh asa.

“Hei, melamun saja. Bukankah ini tempat yang kamu sukai?”
seseorang mengagetkanku.

Aku tersenyum.
“Hanya tersenyum? Tidak ada respon lain selain senyuman?”
dia mulai protes.
“Lalu kamu minta apa?”
“Aku tidak tahu,” jawabnya tanpa berdosa.
Aku berdiri lalu meninggalkannya. Percakapan kecil di sore
tadi masih terngiang di kepalaku. Untuk gadis berumur 19 tahun
sepertiku terlalu sulit untuk menerima kenyataan pahit. Mungkin aku
belum cukup dewasa. Teman sekamarku sudah terlelap sej­ak satu jam
yang lalu. Kegiatan study tour untuk penelitian mem­buatnya lelah.
Sedangkan aku masih terjaga. Entah apa sebabnya, rasanya mataku
sulit untuk tertutup. Keheningan di tiap sudut kamar menambah
suasana kelabu di otakku. Sepertinya sudah seribu kali berganti posisi
untuk tidur, tetap saja tidak berhasil.
“Risaaa.. Kau ini kenapa dari tadi? Bolak-balik posisi, menggnggu
tidurku saja,” teriak teman sekamarku dengan logat Sumatera yang
terbangun akibat ulahku.
Namanya Eliana, dia asli Palembang, tapi entah kenapa logatnya
terdengar seperti logat Batak.
“Hihi, belum bisa tidur, El,” aku terkikik.
“Yaelah, tidur itu mudah. Kau tinggal memejamkan mata saja,”
ujarnya sambil memeluk guling untuk melanjutkan tidurnya.
Aku membuka pintu menuju balkon kamar. Dinginnya malam
mungkin bisa menghantarkanku tidur, pikirku. Suasana penginapan

77

dekat pantai memang menyenangkan. Percakapan senja itu benar-
benar memperparah malamku.

“Anak kecil seharusnya sudah tidur.”
Dia lagi. Tanpa berdosa mengagetkanku dari lantai atas.
Aku mendongkak. Dia tertawa. Aku berbalik dan menutup pintu,
memutuskan untuk tidur. Rupanya dia penghantar tidurku.

***
“Kriiiiing! Kriiiiiing!” alarm telepon genggam Dea menyambut
pagiku.
“De, bangun. Alarmnya sudah manggil kamu,” kataku dengan
keadaan setengah sadar.
“Hhhh, ya,” ujar Dea seraya terbangun dan mengambil telepon
genggamnya.
Rencanaku untuk melihat syahdunya pesona matahari terbit
gagal. Aku dan Dea berjalan menuju ruang makan untuk sarapan.
“Selamat pagi, Nona yang suka sekali melamun,” sapaannya
merusak pagiku.
“Hei boy, kau ini pagi-pagi sudah sok kenal sok dekat dengan
mahasiswi lain. Lekas sarapan, cacingku sudah protes ini,” kata
temannya santai.
Sepertinya Eli berasal juga dari Sumatra. Dengar-dengar namanya
Pukat. Dia melotot pada Pukat dan segera menarik Pukat menuju
ruang makan. Eli tertawa terbahak. Aku ganti memelototi Eli.
“Hahaha orang Sumatra itu lucu juga, ya, unik. Wajahnya juga
unik, seperti perawakan Cina. “
“Kamu suka, ya padanya?” kataku licik.
“Oi? Tahu namanya saja tidak,” wajah Eli merah padam.
Aku giliran menertawainya. Suara denting piring mengiringi
hiruk pikuk obrolan mahasiswa-mahasiswi yang sedang sarapan.
“Hahahaha kalian lucu ya, apa salahnya untuk sedikit membuka
hati sih?” Dea masih tertawa.
“Kalian siapa? Membuka hati? Apa maksudmu?” aku terheran.
“Kau, lah dan si dia. Iya, membuka hati untuk menerimanya.”
“Dia siapa? Tadi apa kamu bilang? Lucu? Menerima? Mem­ ang­
nya dia siapa?” aku semakin bingung.

78

“Kau ini macam wartawan perang saja, banyak tanya sekali,”
Dea terbahak.

“Jika tidak mau ditanyai, tidak usah memberi pernyataan dengan
sejuta pertanyaan,” kataku sambil menyuap sesendok nasi dengan
kesal.

“Yelah. Yelah, begitu saja marah,” Eli menyengir, “Itu, yang
tadi menyapamu. Kau pikir aku tidak tahu, sore kemarin kan kau
mengobrol dengannya di tepi pantai, Tatapan mata kau itu seperti
menatap bidadara surga.”

Aku melotot. Meninggalkan Eli yang masih melanjutkan nasi
goreng dipiringnya. Selesai sarapan, aku menuju ke pantai. Bermain
dengan pasir, melihat busa ombak menari bersama karang, dan
bersantai ditemani cakrawala. Aku tersenyum menikmati itu semua.
Terkadang aku tertawa melihat burung camar datang ribut menyapa
pagiku. Aku seakan senang setiap kali hembusan angin pantai merusak
tatanan jilbabku. Setiap kali aku merasa lelah, sebatang pohon kelapa
tua siap menopang semua beban pikiran dan hatiku. Mempersilakan
batangnya untuk disandari oleh punggungku. Aku merasa tenang.
Damai.

“Tadi aku mencarimu, ternyata kamu ada disini.”
Dia lagi yang menggangguku. Aku meninggalkannya.
“Tunggu, mau kemana?”
“Bukan urusanmu, penganggu,” ujarku ketus.
Dia terdiam. Aku tak menghiraukannya. Bagus jika dia tidak
mengejarku.
“Risaaaa, kau kemana saja? Pagi-pagi sudah menghilang.
Membuatku repot saja,” Eli menghampiriku dengan muka kusut.
“Lecek sekali mukamu. Sini aku setrika,” aku menggodanya.
“Tidak lucu,” Eli semakin cemberut, “Tadi kau dicari sang
bidadara.”
“Bidadara siapa?” aku tak peduli dengan guarauannya.
“Itu, si Deka,” Eli menjawab santai.
“Deka, siapa dia?” aku mengeryitkan dahi.
“Kau tidak tahu Deka?” ujar Eli kebingungan sambil menyeka
peluh di dahi.
Aku menggeleng.

79

“Dia itu yang suka mengusik kau.”
Aku terdiam.
“Kau kenapa diam begitu macam singa tidur?” tanya Eli
“Jadi, dia itu namanya Deka.”
“Jadi kau baru tahu?” tanya Eli keheranan.
Aku meringis.
“Iya.”
Aku kembali bertemu senja, memandangi langit dan lautan
jingga. Pikiranku melayang ke langit bebas menerobos saputan awan
yang mendampingi jingga dalam elegi.
Seseorang berdehem sambil berkata, “Maaf, aku menganggu
senjamu.”
Aku menengok, membenarkan tatanan jilbab yang tertiup angin.
“Tidak mengganggu sama sekali.”
“Maaf karena aku selalu mengusikmu. Tapi itu karena tulus
dari hatiku.”
“Mengusik? Kamu mengusik tulus dari hati?” aku mengernyitkan
dahi.
“Eh, maksudku aku mengusik karena hanya ingin menghiburmu.
Aku tahu pantai ini penuh kenangan bagimu. Aku tahu pantai ini
selalu mengingatkanmu tentang masa lalu. Aku tahu di pantai
ini kamu dan dia pernah bersama. Aku tahu dia,” katanya sambil
menyeka peluh leher, sepertinya dia gugup.
“Cukup,” aku memotong penjelasannya, “dari mana kamu tahu?”
“Aku mengagumimu sejak dulu. Sejak dia belum menjadi
milikmu. Aku hanya pengagum rahasia. Dan saat ini, pertama kalinya
aku memberanikan diri untuk…”
“Apa?” lagi-lagi aku memotong penjelasannya.
Dia diam. Kami terdiam dalam keheningan. Hanya ada suara
angin yang menemani kami.
“Ta, Tarisa Lintang Gaurinda.”
Aku menoleh.
“Ya?” aku meneguk ludah, “kau tahu namaku?”
“Aku menyukaimu. Aku tahu kamu belum bisa untuk melupakan
masa lalumu. Dia sudah di surga. Dia pasti muram melihatmu sedih
terus-menerus. Dia akan bahagia jika kamu sudah bahagia tanpanya.

80

Cobalah untuk melihat ke depan, menyambut sesuatu yang akan
datang. Aku sedih melihatmu terus melamun. Aku akan mencoba
membantumu untuk maju. Jadi, mau kamu bersamaku untuk
selanjutnya?”

Aku menatapnya. Dia membalas tatapanku penuh arti.
“Aku perlu berpikir,” jawabku.
Dia tersenyum.

***
Kegiatan study tour sudah usai. Segala laporan penelitian sudah
rampung kukerjakan. Kesibukanku sudah mulai mereda. Suara
ketukan pintu terdengar lirih melawan suara televisi yang kutonton.
Aku mencoba mengecilkan volume televisi, bangkit dan menengok ke
arah jendela. Lalu, aku berjalan menuju ruang depan, dan membuka
pintunya. Sepi. Pasti anak-anak kecil yang iseng mengetuk-ketuk pintu
setiap rumah di komplek ini. Aku berbalik, kakiku terasa menginjak
sesuatu. Sepucuk amplop. Mengambil dan menuju kamar. Beralaskan
bantal untuk punggungku, aku memulai membuka tutup amplop
yang dilem rapi. Berisi surat dua lembar bertuliskan tangan. Di pojok
kiri atas tertulis rapi, “Untuk Tarisa Lintang Gaurinda.”
Akhirnya semua rasa penasaranku terjawab.

“Selamat siang Risa. Kamu pastilah bertanya-tanya siapa yang
mengetuk pintu siang bolong begini dan melemparkan surat melalui
ventilasi pintu. Aku, Deka. Radeka Ramawisnu. Kamu pastilah tidak
mengenalku jauh, tapi aku, sebaliknya, mengenalmu lebih jauh dari
Jembatan Suramadu. Disini aku bukan bermaksud melucu, tapi aku
akan memberimu penjelasan.

Kamu tahu, berminggu-minggu aku menulis surat ini. Selalu
muncl rasa gugup dan rasa bersalah. Aku adalah sahabat Mirza
Haskafilah, orang yang sangat kamu cintai. Aku yang berada di
mobil bersama dia. Aku yang berada di jok kiri di sampingnya. Aku
yang menemaninya di perjalanan untuk menemuimu. Pertemuan
yang kamu paksakan.

Kamu tahu Risa, saat itu Mirza sedang kelelahan, tapi dia selalu
menepati janji-janjinya. Dia tidak mau orang yang dicintainya
kecewa ditelan janji. Aku memutuskan untuk menemaninya. Aku

81

selalu merasa bersalah jika mengingat semua ini. Bukan, bukan
karena aku tidak mencegahnya. Aku sudah memintanya untuk
menyetir dan mengantarkannya tapi dia lebih kuat. Dia memaksa
agar dirinya sendiri yang menyetir. Aku sudah mencegah dengan
segala cara, tapi itulah seorang Mirza, segala caranya tidak bisa
dilawan.

Perjalanan berjalan mulus, tapi tiba-tiba aku melihat air
mukanya berubah pucat. Dia terlihat gelisah dan semua itu terjadi.
Aku tersadar saat berada di ruangan serba putih. Aku bangun dan
segera mencarinya. Tapi gagal, suster dan dokter memaksaku untuk
beristirahat. Aku meronta melawan tapi hasilnya nihil.

Baru aku esok harinya mendapatkan kabar bahwa Mirza, orang
yang kamu cintai dan mencintai kamu, sahabatku, teman ceritaku,
meninggal dunia. Saat pemakaman, aku melihat detil lekuk wajahmu
yang memancarkan kesedihan mendalam.

Risa, sungguh maafkan aku. Aku bersalah telah gagal men­
cegah Mirza, menolongnya sebelum semua itu terjadi. Paksaanmu,
permintaanmu, benar-benar membutakannya. Bukan, bukan aku
menyalahkanmu, tapi itu bukti bahwa dia tulus mencintaimu.
Sungguh aku bersalah. Menghilangkan semua kebahagiaan kalian,
menenggelamkan kenangan kalian, dan membuatmu bersedih setelah
kepergianya.

Kamu tahu, aku mengenalmu sebelum Mirza mengenalmu.
Sampai aku menyukaimu, menyayangi, lalu mencintai dalam diam.
Kita memang tidak pernah berkenalan tapi hatiku sudah mengenalmu.
Tapi ternyata Mirza, sahabatku yang berhasil mendapatka hatimu.

Aku dan dia memang berbeda. Dia seseorang yang pemberani,
penuh tantangan, dan bertanggung jawab. Sedangkan aku? Lelaki
pemalu, tak pantas mendapatkan sebuah anugrah yang di dapatkan
dengan keberanian, bukan rasa malu.

Tapi Risa, aku sungguh mencintaimu. Aku memang tak seberani
Mirza, tak setulus Mirza. Tapi bukalah hatimu. Bersihkan debu
dan masa kelam dihatimu. Dan simpan kenangan manis di sebuah

82

lemari dalam hatimu. Perkenankan orang baru masuk ke hatimu
dan mengisi semua harimu.

Sungguh, maafkan aku. Maafkan atas kelalaianku.

Dari Deka”

Tanganku gemetar. Dua lembar surat dari Deka terlepas.
***

“Silakan kopinya.”
“Makasih, Mbak.”
Seraya si pelayan pergi, kusesap perlahan cappuccino pesanank­ u.
Hangat. Kulirik jam tanganku. Satu jam. Sudah satu jam aku berada
di cafe yang bahkan sebelumnya belum pernah aku singgahi. Sejenak
kuperhatikan sekeliling. Interior cafe ini cukup cantik. Dinding yang
berlapis  wallpaper berwarna coklat begitu serasi dengan lantainya.
Jam antik serta meja-meja kayu yang tampak kuno menambah
nuansa  vintage. Lagu-lagu akustik yang terus diputar membuatku
percaya jika pemilik cafe ini memiliki selera musik yang bagus. Di
sudut cafe, terlihat beberapa remaja sibuk bergurau satu sama lain.
Di sudut yang lain, sepasang kekasih sedang asik bermesraan. Semua
orang larut menikmati suasana. Kecuali aku. Dan di sinilah aku.
Menunggu. Kau tahu? Menunggu ialah pekerjaan yang mengesalkan.
Menunggu membuatmu geli­sah. Menunggu membuatmu resah dan
tak nyaman. Dan kau ha­nya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang
akan terjadi sel­anjutnya.
Suara bel menandakan pintu cafe itu terbuka. Seorang laki-laki
dengan kaus berwarna cokelat berjalan masuk. Ia terlihat seperti
mencari sesuatu, atau mungkin seseorang. Aku memalingkan
pandangan.
“Maaf, aku terlambat satu jam,” dia membuka percakapan seraya
melihat jam tangannya, “tadi aku harus menyelesaikan peker…”
“Cukup. Aku tidak butuh penjelasan itu,” aku memotongnya.
“Baik, ayo ikut aku.”
Aku mengikutinya. Langkah kaki tegap yang sama dengan­nya,
Mirza. Aku menaiki motor ninjanya. Motor berjalan dengan kecepatan
tinggi.

83

“Kita mau kemana?” kataku agak berteriak karena melawan
suara motor.

“Lihat saja nanti.”
Selama perjalanan yang ada hanya keheningan. Kami sama-sama
diam, yang ada hanya suara berisik motornya.
“Maaf aku membawa motor dengan kecepatan tinggi. Kita sudah
sampai.”
Kau tahu, tempat yang kami tuju penuh dengan batu-batu
bertuliskan nama. Rumput-rumput kecil, dan pohon-pohon kam­
boja yang menemani. Kami berada di pemakaman. Aku hanya me­
lihat kanan kiri, bulu kudukku terasa berdiri mengikuti lang­kah kaki
Deka menuju sebuah batu nisan bertuliskan nama Mirza Haskafilah.
Nisannya yang tertimpa cahaya senja terlihat bercahaya. Aku seperti
melihat sosoknya tersenyum melihat ked­ a­tanganku dan Deka. Oh
Tuhan… Tanganku menengadah mengiringi doa yang dipanjatkan
Deka. Air mata mulai mengalir membasahi pipi.
“Mirza, sekarang, aku sedang bersama orang yang me­
nyayangimu. Orang yang merasa bersalah atas kejadian satu tahun
yang lalu. Orang yang selalu mencegahmu sebelum semua itu terjadi.
Dan orang yang mencintaiku…”
“Dek.. Deka.,” kataku terisak memecah keheningan.
“Ya?” jawabnya setelah memandangi nisan Mirza.
“Ayo, kita pulang,” Kataku terbata.
Deka tersenyum.

***
Motornya terhenti si sebuah taman kota. Aku mengikuti
dibelakangnya. Duduk di kursi ukir di tengah taman sambil
memandangi anak-anak kecil yang berlarian bermain air mancur.
“Mari menikmati senja,” katanya memulai percakapan.
“Aku suka senja.”
“Aku tahu, senja selalu menjadi lukisan didepan matamu.”
Aku tersipu.
“Jadi, apa jawabanmu?”
“Jawaban apa?” aku menoleh, melihat siluet wajahnya.
Dia beganti menoleh.
“Surat itu.”

84

“Aku sudah bisa membuka hati. Untukmu.”
Dia menoleh. Tersenyum dan tertawa riang.
“Aku berjanji pada diriku, padamu, dan pada Mirza. Bahwa aku
akan menjaga orang yang Mirza cintai.”
“Sekarang, kan kau yang mencintaiku,” aku mencubit
pingganggnya.
“Hei, jangan.”
Dia menghindar. Aku mengejarnya.
“Di bawah sinar senja hari ini, kamu terlihat cantik sekali,”
katanya sambil berteriak yang membuat anak-anak kecil berlarian
menoleh.
Aku tersipu. Kami tertawa. Di batas senja, aku menemukannya.

85

LEBARAN TANPA KAKEK

Muhammad Ikhwan Priyambodo

“Kehilangan seseorang bagai jiwa yang terlepas dari raga kita”
Namaku Alexander. Umurku pada waktu itu sepuluh tahun
dan aku tinggal di Jakarta. Pada waktu itu aku masih sekolah duduk
dibangku kelas lima sekolah dasar. Seperti orang lain, aku pun sangat
mencintai Kakekku dan mengasihinya lebih dari apapun. Kakekku
tinggal di Ngawi, Jawa Timur. Aku bertemu Kakekku setahun sekali,
tepatnya pada hari raya Idul Fitri.
Waktu itu Bibiku mau melakukan wisuda di Universitas Sebelas
Maret di Solo, Jawa Tengah. Aku, Mamaku, dan Bibiku dari Jakarta
langsung menuju ke Jogja untuk menginap dirumah Paman. Setelah
semalam kami bermalam, paginya kami langsung menuju ke Solo
menjemput bibiku di kost. Tak kusangka ternyata Kakekku sudah
berada di sana.
“Alex, Kakek kangen dengan kamu. Tak terasa cucu yang Kakek
sayangi sudah tambah besar dan tambah dewasa.”
“Begitu juga dengan aku, Kek. Aku sangat rindu, karena hanya
satu tahun sekali aku dapat bertemu dengan Kakek,” ucapku sambil
kupeluk erat Kakekku dengan rasa rindu.
Kakek adalah pensiunan tentara Angkatan Darat, Jadi, wajar
kalau beliau masih menyisakan badan yang gagah dan tegak. Tidak
terasa kami sekeluarga harus bergegas cepat menuju Universitas
Sebelas Maret. Wisuda dilakukan di pagi hari di kampus Universitas
Sebelas Maret. Kami sekeluarga menghadiri upacara wisuda. Kakek
menggunakan stelan jas dan terlihat gagah sedangkan kami sekeluarga
menggunakan baju batik. Bibiku yang diwisuda menggunakan kain
kebaya. Suasana acara wisuda begitu khidmat. Setelah acara wisuda
selesai diselingi dengan hiburan tarian daerah dan karawitan. Aku
selalu berada disamping Kakekku. Disana juga ada sepupuku yang
bernama Aisyah. Dia adalah anak Pamanku. Umurnya dua tahun lebih

86

muda dari aku. Tidak seperti biasanya aku bermain dengan Aisyah,
aku lebih memilih bersama Kakekku. Entah mengapa aku merasa
rindu sekali. Wajar bila aku sangat dimanja oleh Kakekku karna aku
merupakan cucu laki-laki satu-satunya.

Matahari menyengat dengan panasnya kami sekeluarga langsung
mencari hotel untuk bermalam. Pamanku bernama Hen­dro sibuk
mencarikan hotel untuk bermalam di Solo. Akhirnya setelah berkeliling
mencari hotel, Pamanku memilih untuk menginap di Hotel Asia. Tak
terasa sudah semalam aku dan kel­uar­ga bermalam di Hotel Asia. Aku
pun harus kembali ke Jogja dan pulang ke Jakarta. Tak terasa di waktu
yang singkat ini setidaknya aku bisa melepas rindu terhadap Kakek.

“Kek, Alex harus kembali ke Jakarta. Sebenarnya Alex masih
ingin berlama-lama dengan Kakek karena Alex masih kangen dengan
Kakek?”

“Kakek pun juga begitu. Tetapi kamu kan harus kembali masuk
seklolah. Waktu liburan saja Alex kunjungi Kakek di Jawa Timur.”

Aku memeluk Kakek dengan erat, kemudian berpamitan dengan
Kakek untuk pergi ke Jogja. Keretaku berangkat dari Stasiun Tugu.
Kakekku pun kembali pulang ke Jawa Timur.

***
Setelah bermalam di Jogja aku mendapatkan kabar dari mama
dengan wajah pucat mama berbicara kepadaku.
“Alex kita tidak jadi pulang hari ini,” kata Mama.
“Memang ada apa, Ma?”
“Mama baru saja mendapatkan kabar dari saudara bahwa Kakek
jatuh dan tak sadarkan diri.”
Aku langsung kaget dan tak bisa berkata apa-apa. Sepanjang
perjalanan aku hanya bisa terdiam dan berdoa memikirkan Kakekku
agar beliau diberi kesembuhan. Air mataku pun jatuh tak terbendung
lagi saat bertemu Kakek sudah tak sadarkan diri karena terkena
serangan stroke. Keadaan Kakek jauh berbeda ketika beliau bertemu
denganku kemarin.
“Maafkan Alex. Alex datang terlambat,” sambil kuusap tangan
Kakekku,

Kakek terlihat lemas dan pucat. Saat paling menyakitkan
dalam hidupku ini akhirnya datang juga. Aku hanya bisa terdiam

87


Click to View FlipBook Version