The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

By Yohanes Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-04-27 21:04:02

Kopi, Kafe, dan Cinta Antologi Cerpen

By Yohanes Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri

Keywords: Yohanes Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri,Kopi, Kafe, dan Cinta Antologi Cerpen

waktu untuk melanjutkan air mata lagi. Bila memang begitu yang
akan terjadi, sekiranya malam ini aku mencoba bersiap.

***
Cermin tembus pandang memantulkan ekspresi yang sama
dengan bayangan yang berbeda. Terbingkai oleh garis luar pintu
yang kubiarkan daunnya ternganga. Dua bayangan hasil tempaan
pijar lampu, cepat menjadi satu. Bayangan abstrak terus bergerak-
gerak. Orkestra dari korekan kodok dan dengkingan jangkrik dipause
menyisakan malam berjubah kelam mengundang anaknya, langit,
berkostum abu-abu. Langit malam tahu, duka menyumbul dari
keluargaku. Ia ikut berbela sungkawa dengan menutup gemintang
yang selalu ceria. Runtuhan es menghujam kalbu. Menyebar keseluruh
permukaan. Membekukan. Setelah sempurna beku, diayunkan godam
itu. Tepat, menyisakan puing hati. Tiada daya selain kekuatan ikhlas
sebagai penawarnya.
Tuhan, bolehkah aku mengeluh sekarang? Setelah kedua makhluk
serupa malaikat itu telah kau ambil semua? Menyisakan aku yang
tengah beranjak dewasa ditemani wanita renta yang harusnya pensiun
dari tugas berat “mengasuh” serta satu adik kecilku. Beginikah caraMu
mencintaiku? Membiarkan semua yang kukasihi meninggalkanku
satu-satu? Berat hati aku menerima adilMu. Tiadakah pilihan? Ambil
semua materi kembalikan yang berarti. Namun Kau tak mengenal
negosiasi dalam hal ini. Semua hadir, membawa aliran anak sungai
di bawah matanya, itu mencopot satu duri yang bersemayam di hati.
Aku berduka tak sendiri.
Selamat jalan Ayah, selamat melepas rindu dengan Ibu. Juga
Ayahmu yang menjadi Kakekku. Biarkan Anggi, Intan, Uti disini
berjuang keras menghadapi ujian dari Sang Khalik. Menunggu waktu
yang tepat Tuhan memanggil kami untuk bersama lagi.

***
Malam pertama selepas peninggalanmu,
Kisah gagak itu ingin kusampaikan padamu. Mengenai kebenaran
cerita yang kau suguhkan denganku dulu. Aku masih terbujur lunglai
di alas persegi panjang ini. Aku bangkit beranjak dengan lemah
menggelayuti. Tapi rasa penasaran itu otomatis menggerakkan kakiku.

288

Belum usai kedua kakiku menapaki lantai, dinding-dinding kamarku
kembali memantulkan suara horor yang kini sangat kubenci.

Apakah yang kali ini benar nama yang terkandang dalam lingkar
negatif itu?

Uti

289

SEABADI PERSAHABATAN

Irma Aimma Turrohmah

Di sebuah sekolah SMAN Media Aksara. Ada dua orang siswa
yang duduk di kelas XII yang bernama lengkap Ayunda Melani Putri
yang lebih akrab dipanggil Ayunda dan Shintia Bela Purnama yang
lebih akrab dipanggil Bela. Mereka merupakan sahabat yang sejak kecil
selalu bersama. Bela adalah seorang anak tunggal dari keluarga kaya.
Semua kebutuhan dan keinginan­nya selalu terpenuhi. Sedangkan
Ayunda adalah seorang anak pedagang es cendol di tepi jalan
raya,disamping sekolah me­reka. Namun,walaupun mereka berbeda
derajat orang tuanya, mereka tetap bersama tanpa memperdulikan
apa kata orang. Ses­ ungguhnya, Bela adalah anak yang pintar, baik
hati, dan tidak milih-milih teman. Begitupun dengan Ayunda. Di saat
umur 15 tahun, Ayunda mulai berpikir bahwa dirinya itu minder
dekat-dekat ataupun bersahabat dengan Bela, namun sebelmnya Bela
mengatakan kepada Ayunda bahwa mereka harusnya jangan ber­
pikiran tentang derajat jika bersahabat. Akhirnya,dengan kata-kata
Bela pun, sampai sekarang Ayunda tidak minder lagi.

Di balik semua itu ada seorang teman mereka yang bernama Cika
yang tidak suka Ayunda berteman dengan Bela. Cika beranggaapan
Ayunda tidak pantas bersahabat dengan Bela. Disaat Ayunda dan
Bela curhat berdua di taman, di balik tiang kelas ternyata Cika sudah
memberitahukan teman-temannya untuk mengerjain Ayunda dengan
cara menumpahkan jus jeruknya diseragam Ayunda. Disaat kejadian
itu terjadi, Cika berkata “ups, sorry. Aku nggak sengaja, dimaafin yah?”.

Ayunda pun menjawabnya dengan suara lembut, “oh, nggak
apa-apa, kok. Namanya juga nggak, sengaja.”

Dengan cepatnya Bela ikut membersihkan seragam sekolah
Ayunda dan berkata kepada Cika, “Eh,Cika. Apa-apaan sih kamu,
aku tahu kalau kalau kamu itu sengaja. Ngaku aja, deh.”

290

Dengan ceplas-ceplosnya Cika membalas perkataan Bela.
“Heh,Bela. Seharusnya itu, kamu nggak boleh teman sama cewek
gembel ini,nanti kemu diber virus es cendol, lagi.”
Ayunda merasa sangat terhina atas perkataan Cika. Namun, Bela
selalu ada disaat Ayunda sedih dan saat itu Bela terus menghibur
Ayunda. Ayunda pun kembali ceria. Ayunda telah melupakan
kejadian tadi, yang tadinya dilakukan oleh Cika padanya. Dan dibalik
semua itu, Cika dengan kesalnya ingin membalas dendam kepada
mereka berdua.
Keesokan harinya adalah ulang tahun yang ke-17. Bela meng­
undang semua teman sekelasnya dan sebagian temannya dikelas lain.
Bela membuat sebuah pesta ulang tahun yang sangat istimewa dan
meriah. Dan, tentunya Bela mengundang sahabatnya itu, yaitu Ayunda
untuk datang kepesta ulang tahunnya. Begitupun dengan Cika. Saat
tiba dipesta tesebut, nampaknya Cika telah menyusun sebuah rencana
bersama kedua temannya untuk mengerjain Ayunda yang selama
ini sangat dibencinya. Cika mebuat rencana untuk mempermalukan
Ayunda didepan orang banyak. Ayunda diajaknya kekamar Bela tanpa
sepengetahuan Bela.
Cika berkata, “Hei, Nda. Bela bilang sama gue untuk memb­ uat
penampilan loh jadi lebih keren mala mini. Jadi, lu iku gue sekarang
ke kamar Bela.”
Padahal, semua yang dikatakan oleh Cika semuanya boh­ ong,
karena Bela tidak pernah berkata seperti itu kepada Cika. Namun,atas
kepercayaannya kepada Cika dan teman-temannya, Ayunda pun
mengikuti apa yang dikatakan mereka. Sampailah mereka dikamar
Bela yang tertata rapi dan mewah. Langsung, Ayunda di dorong
kekursi meja rias Bela oleh Cika. Sejak itu, Ayunda mulai curiga
dengan tingkah laku Cika, dan mencoba membuka rahasia dari Cika.
Namun, cika tetap saja membuat Ayunda semakin percaya denganya.
Di bawah,tepatnya dikolam renang rumah Bela, Bela telah menunggu
Ayunda yang tidak tahu kemana perginya. Dikamar Bela, Ayunda
telah didandani dengan dandanan yang cukup “gila”. Cika membuat
semuanya kacau dengan cara mendandani Ayunda yang nampak
seperti orang “gila”. Wajah cantik Ayunda menjadi tak karuan,

291

karena ulah Cika yang mengolesi wajah Ayunda menggunaka lipstik
berwarna merah. Setelah itu, dibawanya Ayunda oleh Cika dan teman-
temannya kehadapan teman-teman yang lainnya agar Ayunda merasa
malu nantinya.

Bela sangat terkejut dengan melihat penampilan Ayunda yang
acak-acakan dan dilihatnya rambut Ayunda yang tak kalah sepertinya
dengan rambut singa yang berkelahi.

”Kasihan Ayunda,” kata Bela,sahabatnya.
Di sisi lain, Cika dan teman-teman yang lainnya menertawai
Ayunda yang nampak seperti orang gila.
Satu minggu kemudian,Cika kembali menyusun rencana agar
Bela tidak mau lagi bersahabat dengan Ayunda,yang dianggapnya
sebagai orang kampong oleh Cika. Cika memberitahukan kepada
Ayunda agar Ayunda meminta uang kepada Bela sebesar Rp5.000.000
untuknya. Namun, Ayunda tidak mau mendengar bujukan Cika.
Dengan tampak sedih namun hanya berbohong, Cika berkata pada
Ayunda , ”Nda, aku butuh sekali uang itu, sekarang Kakakku ada
dirumah sakit dan aku tidak punya uang untuk menebus biaya
administrasinya. Makanya aku minta kamu untuk meminta uang
Rp5.000.000 kepada Bela karena aku tahu kalau Bela sebenarnya juga
benci sama aku dan aku juga tahu kalau Bela deket sama kamu, Nda.
Aku mohon kali ini. Tolonglah!”
“Ya sudah, insya Allah aku lakuin itu semua demi kamu dan
Kakak kamu. Kamu yang sabar, yah? Mudah-mudahan aku berhasil,”
kata Ayunda.
“Nda, tapi kamu jangan sampai bilang kalau kamu disuruh
sama aku, yah. Aku mohon, karena mungkin jika kamu bilang kamu
disuruh sama aku mungkin Bela nggak akan ngasih ke kamu,” kata
Cika dengan bujukannya
“Iya,iya Cika,” jawab Ayunda.
Tiba-tiba, dengan menaiki mobilnya, Cika dengan ngebutnya
langsung ke rumah Bela dan mengadudombakan Bela dan Ayunda.
“Bel, Bel,buka pintunya Bel. Aku mohon, semua ini demi kebaikan
kamu, Bel,” kata Cika dengan terengah-engah.
Tidak sempat melepas seragam sekolahya, Bela pun langsung
membuka pintu rumahnya dan menemui Cika yang kelihatan panik.

292

Kemudian, Cika mulai mengarang cerita untuk mengadu domba
Ayunda dengan Bela.

“Bel, ternyata aku sudah mengetahui semuanya. Ayunda itu
sebenarnya mendekati kamu itu karena ada maunya. Aku tahu apa
maunya, dia mau memanfaatkan kamu dan uangmu disaat kamu
sudah menganggapnya sebagai sahabatmu. Dan sempat mendengar
ketika Ayunda sedang bercerita kepada vira kalau dia itu butuh uang
untuk membuat acara diluar sepengetahuan kamu dan menggunakan
uang kamu dengan alasan yang berbeda,” kata Cika membujuk Bela.

“Hah? Ayunda ngomong gitu? Nggak mungkin. Aku sudah tahu
banya tentang Ayunda dan menurut aku Ayunda itu anak yang baik-
baik, bukan seperti yang kamu katakana tadi. Kamu pasti salah dengar,
Cika,” jawab Bela tidak percaya.

“Aku serius Bel, malahan dua rius. Dan kalau kamu tidak per­caya
dengan apa yang aku katakana tadi, kamu boleh membuktikan sendiri
dengan menyaksikan kedatangan Ayunda kesini dengan meminta
uang kepada kamu dan dengan alasan yang berbeda dengan apa
yang telah aku katakan tadi,” kata Cika mengompori.

“Ya, sudah kalau itu mau kamu. Aku akan membuktikan semua
itu,” kata Bela.

Akhirnya, Ayunda pun sampai ke rumah Bela. Seperti yang
diperintahkan Cika, Ayunda pun meminta uang kepada Bela. Bela
pun tanpa ragu memberikan uang yang diminta Ayunda dengan hati
penuh kecurigaan. Setelah hal itu terjadi,Ayunda langsung ditelepon
oleh Cika dan menyuruhnya untuk datang ke pesta meriahnya disalah
satu cafe terkenal. Ayunda pun masuk ke dalam jebakan Cika. Disaat
itu, Cika mulai menelepon Bela untuk dapat menghadiri acaranya
yang sepengetahuan Bela bahwa acara itu adalah acara dari perbuatan
Ayunda padanya. Bela pun merasa sangat kesal pada Ayunda dan
menganggap bahwa perkataan Cika memang betul. Dan sejak itu Bela
mulai benci pada Ayunda. Namun, Ayunda tidak tahu apa penyebab
semua itu terjadi pada sahabatnya.

“Akhirnya rencana aku berjalan mulus, dan ini yang dari dulu
aku inginkan. Menghancurkan hubungan persahabatan kalian
berdua,” kata Cika dalam hati.

293

Suatu saat, Ayunda terus saja mendekati Bela untuk menjelaskan
kejadian ini. Namun, kelihatannya Bela tak mampu menahan
amarahnya kepada Ayunda yang telah difitnah oleh Cika sehingga
Ayunda pun mendapat gertakan dari Bela bahwa Bela sudah tidak
mau bertemu dengan Ayunda bahkan tidak mau berkenalan lagi
dengan orang yang bernama Ayunda. Ayunda sangat sedih. Pertama,
Ayunda berpikir bahwa Bela akan memberikan senyuman manis
kepadanya. Namun, begitu sulitnya membentuk sebuah senyuman
dari bibir manis Bela yang sudah terlanjur benci kepada Ayunda.

Suatu pagi ditepi jalan, Ayunda kembali menyapa Bela dengan
sebuah senyuman manis yang tak lupa ia berikan kepada Bela. Namun,
karena kemarahan Bela mulai memuncak,sehingga dengan kesalnya,
Bela mendorong Ayunda ke tengah jalan raya sampai-sampai Ayunda
terserempet mobil dan terkapar di jalanan. Bela kaget dengan apa
yang spontan dilakukannya. Segera ia memeluk Ayunda dan meminta
pertolongan orang-orang di sekitar mereka untuk membawanya ke
rumah sakit dengan menggunakan mobil Bela. Sesampainya dirumah
sakit, dan setelah Ayunfa lepas dari fase kritisnya. Ayunda langsung
memanggil nama Bela. Bela langsung masuk keruang Ayunda dan
bertemu langsung dengan Ayunda.

“Kalau gara-gara uang itu, sih aku nggak masalah-masalah amat.
Namun, aku hanya mempermasalahkan alasan kamu membuat pesta
itu,” ujar Bela sambil melengos.

“Hah? Pesta, apa? Setahu aku, aku nggak pernah ngrayain pesta
dengan menggunakan uang kamu. Atau pesta Cika disel­enggarain 2
malam yang lalu itu maksudmu?” jelas Ayunda.

“Hah? Pesta Cika?” tanya Bela
“Iya pesta Cika. Dia memintaku untuk minta uang padamu.
Katanya untuk biaya pengobatan Kakaknya yang sakit. Tetapi ternyata
uang utu dia pergunakan untuk mengadakan pesta. Sedangkan aku
disuruhnya untuk tidak menjelaskan secara rinci untuk apa uang
yang aku minta darimu itu,” jelas Ayunda tegas.
“Oh, jadi gitu ceritanya, Nda?”
“Iya.”
“Aku ngerti sekarang.”
“Ngerti? Ngerti gimana, Bel?”

294

“Ngerti kalau Cika itu sengaja mengadu dombakan kita, agar
kita saling benci. Tapi apa gunanya?’ Tanya Bela

“Aku juga mulai ngerti Bel. Iya, betul apa kata kamu. Dan semua
itu dilakukan oleh Cika semata-mata karena Cika nggak mau kalau
cewek kayak aku temenan apalagi sahabatan dengan anak orang kaya
seperti kamu. Iya, kan.”

“Nah, itu jawabannya.”
Setelah Bela memaksa Cika untuk mengaku atas perbuatannya
kepada Ayunda selama ini Bela pun kembali bersahabat. Bagi Bela,
persahabatan adalah segala-galanya. Persahabatan akan abadi melebihi
abadinya kekayaan.

295

TAKKAN HILANG SEMANGATKU

Khusni Ika Prajanti

Memang ya, masa Sekolah Menengah Atas (SMA) itu biasanya
lagi seru-serunya banyak teman, mulai cari sesuatu yang baru, dan
yang pasti banyak cerita tentang cinta. Sama seperti cewek yang
bernama Ika ini. Dia duduk dikelas XI di sebuah SMA yang cukup
terkenal didaerah Jogja. SMA 1 Bolung nama sekolahnya. Ika baru
saja melewati satu semester di kelas XI. Tentu dia ingin punya seorang
pacar, tapi sering dia abaIkan karena dia punya janji terhadap dirinya.
Suatu saat, disekolahnya ada suatu event yang melibatkan seluruh
warga sekolah. Dia ikut dalam kepanitiaan di event tersebut. Selesai
dari event tersebut malam harinya dia mendapatkan sms dari nomer
baru yang tak dia kenal. Tetapi nomor itu menyebutkan namanya
dan siapa dirinya itu. Ika memberanIkan diri untuk membalas pesan
singkat itu. Ika benar-benar kaget ketIka tahu kalau nomer itu milik
seorang kakak kelasnya disekolah. Ika lebih kaget lagi saat nomer itu
berkata kalau dia ada rasa sama Ika, Arief nama pemilik nomer itu.

Ika bercerita kepada Ibunya. Ibunya tidak keberatan kalau
Ika dekat dengan Arief, begitu pula Ayahnya. Sampai suatu saat,
Ika dan Arief bertemu tidak sengaja disekolah. Mereka berdua
semakin lama semakin dekat. Akhirnya mereka memutuskam untuk
menjalin hubungan yang lebih serius. Ika ingin mendapatkan restu
dari keluarganya, sehingga dalam menjalin hubungan Ika tidak
bersembunyi-bersembunyi dari orangtuanya. Saat teman dikelas Ika
tahu tentang hubungan mereka berdua, mereka seperti tak percaya.
Banyak dari teman-teman Ika yang bilang kalau mereka suka dengan
Arief tapi Ika bersikap biasa saja.

Arief mulai mengajak pergi keluar rumah. Ika tentu masih takut
untuk meminta izin kepada orang tuanya. Tapi Ika mencoba bercerita
kepada Ibunya. Ika tergolong dekat dengan Ibunya. Ika mendekati

296

Ibunya yang sedang duduk dan membaca majalah diruang keluarga
sendirian.

“Ma,” panggil Ika.
“Ada apa, Ika?” jawab Mama Ika.“Ika mau cerita sama Ibu, tapi
Mama jangan marah sama Ika, ya?” kata Ika agak takut.
“Ya Ika mau cerita apa hayooo,” jawab Mama agak sedikit
mengeledek.“Ma, Ika kan udah punya pacar, Mas Arief itu, lho. Nah,
Mas Ikwan, kan mau ngajak aku nonton turnamen, Ma. Boleh nggak?”
tanya Ika.
“Lha turnamennya, dimana? sudah bilang Ayah belum? kalau
Mama boleh-boleh aja, asal Arief jemput kamu dirumah dan pulangnya
jangan malam-malam,” jawab Mama mengizinkan.
Aku belum bilang, Ayah. Aku takut kalau dimarahi atau nggak
boleh, Ma.”
“Bilangin Ayah ya, Ma,” kata Ika berharap.
Setelah perbincangan itu, kemudian Ayah Ika datang
menghampiri. Ibu kemudian segera berbicara pada Ayah tentang
masalah itu tadi. Pada awal pembicaraan terjadi perbedaan antara
Ayah dan Ibu Ika. Di satu sisi Ibu Ika mengizinkan, namun Ayah Ika
tidak mengizinkan. Ika mulai merasa takut kalau tidak mendapat izin.
Ibu membujuk dan merayu Ayah, sampai akhirnya Ayah memberIkan
izin kepada Ika.
“Ika, Ayah mengizinkanmu pergi dengan Arief, tapi ingat jangan
pulang malam-malam, kalau sudah selesai segera pulang, jangan main-
main ketempat lain. Pergi boleh, asal kamu ucapkan kepada Ayah
benar-benar seperti tempat yang kamu datangi bersama Arief. Ayah
percaya sama kamu dan Arief, Nak,” jawab Ayah sambil menasehati.
“Benarkan Ayah ? Aku diijinkan pergi sama mas Arief besok,,
? terimakasih Ayah. Tenang saja Ayah , aku akan pergi sesuai pesan
Ayah…,” Jawab Ika dengan muka kegirangan
Esok pagi di sekolah, Ika tidak bertemu Arief. Ika tetap biasa
saja dengan hubungan ini. Sepulang sekolah, Ika mempersiapkan
baju yang akan dipakainya bersama Arief. Tak terasa hari sudah sore,
Ika segera bersiap-siap untuk pergi bersama Arief. Waktu pun tiba,
Arief berkata pada Ika lewat telepon, kalau Arief akan segera menuju

297

kerumah Ika. Sesampainya dirumah Ika, Arief bertemu dengan orang
tua Ika. Setelah berpamitan, mereka pun berangkat.

Ika merasa senang karena diberikan izin pergi bersama Arief.
Di perjalanan menuju tempat turnamen, Arief bertanya kepada
Ika tentang kepergian mereka. Perbincangan mereka tidak hanya
sampai disitu, tetapi terus berlanjut sampai di tempat turnamen. Di
tempat turnamen tersebut, Arief bertemu dengan teman-temannya.
Ika dikenalkan dengan teman-teman Arief. Arief seperti bingung
mau bicara dengan Ika atau teman-temanya, tetapi, Arief berusaha
untuk membagi waktu atau berbicara kepada keduanya. Setelah itu,
hubungan Ika dan Arief semakin lancar. Kalau ada masalah kecil
mereka selalu selesaikan bersama.

Suatu saat terlintas kekhawatiran Ika. Sebentar lagi dia harus
pergi dalam waktu cukup lama dan akan kehilangan komunikasi
dengan Arief. Ika bingung menyampaikannya kepada Arief. Akhirnya
Arief mengerti dan menerimanya dengan senyuman meski awalnya
kurang menerima. Sampai tiba waktu Ika menghadapi ujian semester.
Intensitas mereka berkomunikasi agar dikurangi pinta Ika terhadap
Arief. Arief mengerti itu.

Ujian pertama telah diselesaikan Ika. Hari berikutnya, ketika
menghadapi ujian dihari kedua, Ika merasa kaget karena tiba-tiba
Arief menemuinya di kelas.

“Dik, aku mau ngomong, nih,” kata Arief.
“Mau bicara apa, Kak.
“Dik, aku minta maaf sebelumnya. Aku sudah gak bisa pacaran
lagi denganmu. Maafin aku ya, Dik,” jelas Arief sambil meninggalkan
Ika perlahan-lahan.
Saat kejadian itu, Ika tak pernah bertemu Arief. Hari-hari
berikutnya, Ika berangkat sekolah untuk menempuh ujian dengan
berusaha tidak mengingat hal itu walau hatinya sedang kalut. Ika
tetap berusaha berkonsentrasi untuk mengerjakan soal ujian. Sampai
dirumah, Ika bercerita kepada Ibunya. Ika yang disaat itu menghadapi
hal yang tak mudah, terus didampingi oleh Ibunya. Ibu Ika menjadi
tempat curhat Ika dan luapan emosi Ika. Dia selalu memberkan
pengarahan, support, penjelasan, pencerahan, dan semuanya untuk

298

Ika. Yaa…karena sedang menempuh ujian, Ibu Ika lebih ekstra
memberikan perhatian pada Ika.

Beberapa hari berlalu, sebentar lagi Ika akan menerima rapor
sementer ini. Harap-harap cemas, itu yang dirasakan Ika. Ika takut
jIka nilainya akan turun drastis, karena ujian yang dilaluinya dengan
hati kalut. Saat pengambilan rapor telah tiba. Ika hanya berdiam diri
didalam kamar. Ika menatap kepergian Ayahnya ke sekolah dengan
tatapan yang penuh harap. Ibu Ika mengantar kepergian Ayahnya
dengan senyuman. Setelah itu, Ika kembali berdiam diri di kamar.
Ibu Ika hanya menatap Ika disaat Ika berjalan menuju kamarnya.

Waktu menunjukan pukul 11.00 WIB, sebentar lagi Ayah Ika
pulang dari sekolahan Ika. Perasaaan Ika campur aduk. Takut
mengecewakan orangtuanya. Dari kejauhan terdengar suara motor dan
suara itu motor Ayah Ika yang sudah pulang. Ika mengintip dari pintu
kamarnya yang terbuka sedikit. Dilihatnya Ibu Ika yang menyambut
kedatangan Ayahnya. Terlihat Ayah dan Ibu Ika bercakap-cakap diluar
rumah, tepatnya digarasi rumah. Kemudian mereka berdua masuk
kedalam rumah. Ika kemudian masuk ke dalam kamar lagi dan seakan
bersembunyi. Ayah memanggil Ika untuk keluar. Perlahan-lahan Ika
menampakkan wajahnya dan keluar dari kamarnya. Lalu duduklah
Ika dihadapan kedua orang tuanya.

“Ika, selamat ya, Nak…kamu berhasil masuk jurusan yang kamu
inginkan, rankingmu juga tidak turun,” kata Ayah Ika membuka
perbincangan saat itu.

Terlihat wajah Ika yang terheran-heran mendengar perkataan
Ayahnya.

“Haa… yang benar, Yah..?” tanya Ika keheranan.
Ayah menjawab dengan senyuman dan menyodorkan repot Ika
yang sudah ada ditangan Ayahnya. Ibu Ika tersenyum didepan Ika.
“ Terima kasih, Nak, kamu bisa menunjukan pada kami
perjuanganmu. Kami yakin kamu akan dapat yang lebih baik dari
kemarin,” kata Ibu Ika.
Ika tersenyum dengan Ibunya yang kemudian memeluknya
sambil berkata “Terima kasih Ibu, terima kasih doanya. Aku akan
yakinkan hal itu di pedoman hidupku.”

299

Setelah hasil ujian diumumkan, Ika memberanikan diri untuk
menemui reza teman baik Arief, saat rapat pembubaran osis.

“Kak, aku mau tanya sesuatu, nih?” tanya Ika.
“Mau Tanya apa, Ik. Tanya aja,” jawab Reza dengan senyuman.
“Akhir-akhir ini aku merasa kalau Kak Arief menghindar dariku.
Kalau boleh tahu sebenarnya apa yang terjadi dengan Kak Arief
sampai-sampai dia meninggalkanku, Kak?” tanyaku dengan agak
penasaran.
“Arief ada dirumah sakit, Ik. Dia nungguin kamu,” jawab Reza
dengan suara pelan.
Ika tiba dirumah sakit dan menuju kamar Arief dirawat, tapi yang
terlihat dan terdengar hanya tangisan. Ika bingung, apakah Ika salah
masuk kamar . Ika mencoba memastikannya lagi sampai ia melihat
seorang wanita yang tidak asing baginya. Ia mendekati seorang wanita
itu dan teryata wanita itu adalah Tante Rosa Ibunya Arief.
“Ika, Arief,” kata Ibu Arief.
“Kak Arief, kenapa Tante?”
“Arief sudah tiada, Ik. Dia terkena leukemia. Dia selalu
memanggil nama kamu, Ik. Dia selalu menunggu kamu di sini sampai
saat terakhirnya. Dia hanya menitipkan surat ini untuk Ika. Ika adalah
orang yang selalu Arief sayang,” jawab Ibu Arief terisak-isak.
Ika terdiam, Ika tak percaya dengan semua ini. Ika berusaha
bangun dari mimpi buruknya, lalu Ika menangis dan mulai sadar
kalau ini bukan sebuah mimpi. Kak Arief telah pergi untuk selama-
lamanya tanpa berpamitan kepada Ika, pikirnya dalam hati.

Untuk yang tercinta Ika

Dik, sebelumnya aku minta maaf sama adik soal kejadian itu, aku
terpaksa bilang kayak gitu karena aku tau aku nggak bisa bahagiain
adik, aku nggak akan bisa ngelindungi adik, karena waktuku nggak
banyak dik. Aku nggak mau nyakitin kamu, buat kamu sedih.

Maafin aku dik, aku bohong tentang perasaan aku ke adik, aku sayang
adik, sayang banget, tapi waktu tak mengizinkan kita bersatu dik,
waktu kita selalu salah.
Saat ini aku cuma pengen adik bahagia, aku nggak pengen ngliat
adik sedih. Aku pengen ngliat adik bahagia jadi, aku cuma minta

300

carilah orang yang cinta sama adik, Karena aku udah nggak bisa
jagain adik lagi.
Salam sayang dan cinta
Arief

301

SEIKHLAS ALIRAN SUNGAI OGAN

Erwita Danu Gondohutami

Kriing…, alarmku berbunyi nyaring. Jarum panjang di angka
12 dan jarum pendek di angka 4. Ini masih pagi buta, bahkan adzan
subuh pun belum menggema.Namun, aku sudah harus bangun dan
mandi, kemudian bersiap ke bandara.

“Dita… Bangun! Kamu cepetan mandi, makan, siap-siap…
Jangan lupa salatnya… Nanti harus udah sampai Adi Sucipto jam 6
kan?” kata Ibuku sembari melihatku yang masih diam dan berkutat
dengan ponsel di kamar.

“Iya, Bu… Bentar ini bales sms temenku, nanyain mau jam berapa
ke bandaranya.”

“Udah, balesnya nanti aja. Yang penting mandi dulu. Mandinya
jangan kelamaan, Ibu juga mau mandi.”

“Iya iya, Bu…” Aku bergegas menguncir rambut panjangku,
mengambil handuk, dan kaos polo putih bertuliskan Student Exchange.

Usai mandi, barulah adzan subuh terdengar sayup di kejauhan.
Baru pertama kali aku bangun lebih pagi dari kokok ayam di halaman
depan. Surya mulai menunjukkan cahyanya ketika aku selesai sarapan
dan sudah siap dengan koper di tangan.Ibuku mengantar sampai
bandara Adi Sucipto dan menungguku hingga aku memasuki gerbang
keberangkatan.

“Kita jadi pergi beneran, nih?”tanyaku pada Bayu, salah seorang
sahabatku sesama teman pertukaran pelajar.

“Iyalah. Tuh tiket udah di tangan. Tuh, barang-barang udah
ready. Jangan-jangan kamunya yang belum siap?” tanyanya mencibir.

“Eh, sialan! Aku udah siap banget, ya,” ujarku sebal. Bayu
tersenyum, sementara aku menatap tiket di depan mataku. Garuda
Indonesia dengan nomor penerbangan GA0203 tujuan CGK dan
GA0116 tujuan PLM.

302

Aku menghela nafas panjang. Dua minggu ke depan, aku dan
39 pelajar SMA/SMK sekota Yogyakarta akan belajar di tanah orang.
Separuh dari kami akan belajar di kota Palembang, dan sisanya di
kabupaten Ogan Ilir yang berjarak 35km dari kota tersebut. Aku
termasuk sisanya. Tapi, tak apa. Aku tak terlalu menyesal mendapat
jatah di kabupaten. Toh, aku masih bersama 19 teman lainnya.

“Woy! Dita! Mau ketinggalan di bandara? Yuk, udah waktunya
ke pesawat, nih,” ajak Rahma, salah seorang sahabat baruku juga.

“Oke, Ma. Lewat gate berapa?” tanyaku polos.
Rahma menatapku seolah tak percaya.
“Kan tadi udah dibilang, lewat gate 3. Tumben kamu nggak fokus
gini. Ada apa, sih, Neng?” tanyanya kesal namun setengah khawatir.
“Nggak, kok. Hehe, Yuk!”
Aku mengamit lengannya lalu berjalan seolah tanpa beban.
Ini adalah penerbangan pertamaku sejak 10 tahun terakhir. Aku
tak terlalu takut. Hanya saja aku masih memikirkan teman-teman
di Yogyakarta yang kutinggalkan 2 minggu ke depan. Kurasa aku
akan sangat merindukan mereka. Aku bahkan masih membayangkan,
seperti apa Ogan Ilir? Seperti apa sekolahku kelak? Dan apakah aku
akan mendapatkan fasilitas-fasilitas seperti disini? Ah, entahlah!

***
Spanduk besar bertuliskan ‘Welcome to Palembang’ benar-benar
menyadarkanku bahwa kini aku berpijak di bumi Sriwijaya, bukan
dikota Gudeg lagi. Aku tersenyum sembari melambai ke arah teman-
temanku yang akan belajar di kota ini. Sementara, aku dan 19 temanku
yang lain masih harus menempuh perjalanan selama 2 jam untuk
sampai di Ogan Ilir.
“Masih banyak lahan kosong ya, Ma. Kebanyakan pabrik-pabrik.
Tuh banyak banget truk besar-besar! Kayaknya ngangkut kayu
gelondongan,” ujarku pelan.
“Iya, Dit. Beda banget ya sama Jogja.”
Rahma juga tak bisa menyembunyikan keheranannya. Setelah
tertidur sebentar, bus yang membawaku sampai juga di suatu tempat
semacam kantor Dinas Pendidikan di sana. Nampaknya kedatangan
kami sudah sangat ditunggu. Aku membubuhkan sedikit bedak di
wajahku, merapikan baju batik dan rambut, lalu kami turun karena

303

prosesi penyambutan sudah dimulai. Penari yang cantik juga telah
bersiap. Sekotak kapur sirih pun digunakan sebagai properti tarian.
Usai tarian dan selaksa sambutan yang membosankan, tibalah hal
yang ditunggu yaitu pengumuman keluarga angkat dan pembagian
sekolah.

“Arindita Sekarjati,” pembawa acara itu terdengar memanggil
namaku.

Aku pun berdiri sembari tersenyum.
“Arindita akan bersekolah di SMAN 1 Indralaya dan mendapat
orang tua angkat Bapak Dedy Ardian dan Ibu Tabdila.”
Seorang Ibu yang cantik tampak tersenyum ke arahku.
“Hai, aku Alya Ardian. Panggil aja Alya,” sapa seorang gadis
manis yang tampak sedikit malu sembari menghampiriku.
Nampaknya dia adalah saudara angkatku di sini, putri Pak Dedy
dan Bu Tabdila.
“Aku Arindita Sekarjati. Panggil aja Dita,” balasku sembari
tersenyum.
“Dita, rumah kito dekat sekali samo kantor ini dan sekolah Alya.
Nggak apa-apa, kan. Kita naik bentor saja?”
Terdengar Bu Tabdila sangat memaksakan penggunaan bahasa
Indonesia yang tercampur bahasa Palembang. Kami akhirnya
menghadang sebuah bentor alias becak motor.
“Kau ini dapat di Indralayo, pusat dari kabupaten OI. Beruntunglah
sudah ramai.Kasihan kawan kau yang dapat Tanjung Batu. Masih sepi
lah itu,” jelas beliau.
“Jadi Indralaya ini memang pusatnya ya? Kalau Tanjung Batu
itu kira-kira seberapa jauh? Kalau Tanjung Raja?”
“Dua-duanya jauh, Dita.Ya mungkin sekitar 1 jam perjalanan
lagi,” jawab Alya. Wow!Rahma dapat Tanjung Batu. Jadi, dia jauh
dariku? Ah, meski begitu dia cukup beruntung karena menjadi anak
angkat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir.
Aku sampai di sebuah rumah yang tak terlalu besar. Aku dan
Alya menempati kamar yang sama. Aku tersenyum melihat kedua adik
perempuannya, Rina dan Dini.Dua gadis kecil itu tampak malu-malu
melihatku.Aku meletakkan koperku, dan memasukkan baju-bajuku ke

304

bagian lemari yang memang sudah dipersiapkan. Besok pagi adalah
hari pertamaku sekolah.

***
Adzan Subuh membangunkanku dari malam pertamaku di
Indralaya. Aku salat, mandi, dan bersiap seperti biasa.Aku berusaha
menenangkan dadaku yang berkecamuk. Jujur, aku masih canggung
dan bingung sepertiapa harus menghadapi hari-hariku disini kelak.
Aku melipat selembar kerudung, dan mematut diri di cermin.
“Dita pakai kerudung?” tanya Alya.
“Iya. Meskipun di Jogja biasanya aku nggak pakai, tapi karena
di sini wajib jadi aku pakai. Dimana bumi dipijak, disitu langit
dijunjung… Hehe,” jawabku.
“Oh gitu. Eh, kamu udah siap? Yuk, berangkat,” ajak Alya.
Kami berjalan kaki menuju sekolah. Sebelumnya aku juga
menghampiri temanku, Rita dengan saudara angkatnya, Shinta.
Kebetulan kami masih di komplek perumahan yang sama. Aku
memasuki sebuah gerbang yang cukup besar bertuliskan SMAN 1
Indralaya.Tanah yang kulewati masih merah dengan sedikit genangan
air, bukan paving block seperti di sekolahku.Beberapa anak tampak
membersihkan area sekolah.
“Di sini setiap pagi memang sepertiini, Dita,” jelas Shinta yang
melihatku terkagum memandangi anak-anak yang sibuk menyapu
dan memungut sampah.
“Emangnya nggak ada tukang kebun atau cleaning service,
gitu?”aku memberanikan diri bertanya.
“Enggak ada. Murid yang membersihkan sekolah setiap hari.
Ya, kayak gini,” jelasnya.
“Oalah… Keren, ya? Membersihkan sekolah sendiri,” gumam
Rita.
Aku terus berjalan ke belakang, menuju kelasku. Aku melihat
beberapa kelas yang lantainya masih berupa ubin hitam, belum
berkeramik.Ada juga beberapa eternit yang nampak rusak, dan
beberapa cat yang mengelupas. Aku hanya bisa bicara dalam hati,
sedikit mengutuki nasibku yang mendapat jatah di kabupaten kecil
ini. Aku sampai di kelas yang kutempati. Aku tersenyum saat melihat

305

lantainya yang telah berkeramik. Namun, sepatu-sepatu berjajar rapidi
depan pintu. Tunggu! Apa maksudnya ini? Jangan-jangan…

“Dita, ini kelasku. Karena kelasku pakai keramik, sepatunya
dilepas,” jelas Alya.

Aku sedikit kaget, namun sejurus kemudian aku melepas sepatu
begitu saja. Aku meletakkan tasku di samping bangku Alya dan
berkenalan dengan teman-teman sekelas. Ternyata Nabila, salah satu
teman pertukaran pelajar juga mendapat kelas yang sama denganku.

“Hai! Selamat datang di SMAN 1 Indralaya, khususnya kelas
XI IPA 2… Aku Deny. Kamu?” sapa seorang laki-laki yang ternyata
ketua kelas.

“Iya makasih, Deny. Aku Dita. Sekolahmu besar juga, ya. Banyak
pepohonan yang rindang,” ujarku.

“Iya, tapi kamu maklum, yah keadaannya begini. Kelasku aja
nggak ada listriknya,” jawabnya.Aku hanya bisa tercengang.

“Nggak, ada?” ulangku tak percaya.
“Iya, nggak ada. Makanya nggak ada kipas angin juga, kan?”
jawab Deny.
Aku hanya tersenyum, entah tampak sebagai senyum terpaksa
atau apa. Aku juga baru menyadarinya. Bel berdentang dan seorang
guru masuk ke kelasku. Beliau adalah guru Bahasa Indonesia.
“Di sekolahmu, ada atau tidak kebiasaan yang berbeda dari di
sini?” tanya guru tersebut yang ternyata bernama Bu Ani, saat sesi
perkenalan.
“Hmm… Di sekolah saya tidak ada siswa yang bersih-bersih
sekolah pagi hari. Adanya siang dan ada jadwal piketnya. Ada satu
kelas yang bertugas tiap harinya.Lalu, di Jogja setiap sekolah wajib
menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap pagi,” jelasku.
“Wah, itu kebiasaan yang bagus sekali. Anak-anak mau tidak
menyanyi Indonesia Raya?” tanya Bu Ani.
“Mau, Bu,” jawab teman kelasku yang baru itu kompak.
Aku pun diminta memimpin menyanyikan lagu tersebut.
Pelajaran kedua pun datang, yaitu pelajaran Pendidikan Agama Islam.
Tadarus kali ini entah mengapa membuatku teringat kebiasaan yang
sama pada mata pelajaran yang sama di Yogyakarta. Ini benar-benar
membuatku merindukan kawan-kawanku. Selain itu, arti surah Al Fath

306

ayat 6-10 kali ini membuatku berkaca-kaca. Apalagi, usai tadarus, aku
mendapat pesan singkat dari salah seorang teman di Yogyakarta. Ia
mengabarkan bahwa guru Kimia kesayangan sekaligus wali kelasku
barusan kehilangan suaminya. Tanpa kusadari, air mata menuruni
pipiku pelan. Tuhan, semoga aku kuat dan mampu bertahan…

***
Lima hari sudah berjalan, aku merasa semakin bosan.Aku hampir
frustasi dengan keadaan disini. Aku merasa tak nyaman. Aku duduk
bertiga dengan Nabila dan Rita selepas pelajaran olahraga.
“Aku kangen Jogja,nih,” keluhku.
“Aku juga, Dit,” jawab Nabila pelan.
“Aku kangen sekolahku. Kangen dua kipas angin di kelasku,
kangen AC di laboratorium TIK, kangen semuanya,” ujarku sembari
menahan tangis.
“Aku juga, aku kangen semuanya. Padahal ini baru jalan 5 hari.
Masih ada 9 hari lagi. Aku kangen AC kelasku. Aku capek pasang
lepas sepatu,” ujar Rita.
Aku membiarkan semua perasaan rindu yang campur aduk
ini di dalam hatiku. Malamnya, aku sempat membantu Alya
dengan beberapa PR Matematikanya. Namun, hatiku tak kunjung
membaik. Bahkan, acara-acara televisi tak mampu menghiburku.
Aku memutuskan mengirim pesan singkat pada Bayu yang berada
di antara hingar bingar Ampera.
Lampu kamar sudah padam. Kulihat Alya juga sudah terpejam.
Sementara, aku masih asyik smsan dengan Bayu. Dia berusaha
menghibur dan menguatkanku mati-matian, seperti biasanya. Tak
terasa, air mataku jatuh lagi. Ponselku bergetar… Bayu calling. Aku
mengangkat telepon darinya.
“Udah buruan kalau mau curhat,” ujarnya.
“Aku… Nggak kuat, Bay. Aku capek. Sekolahnya… Beda banget
sama di Jogja. Nggak ada listrik di kelasku, nggak ada LCD proyektor.
Aku harus cekeran, harus lepas sepatu, mana panas banget. Aku capek
denger temen-temen disini ngomong keras-keras pake bahasa mereka.
Tempe goreng yang di Jogja sebiji lima ratus rupiah, di sini dua ribu
cuma dapet tiga.”

307

Bayu terdiam di ujung sana. Aku menghela nafas hendak me­
lanjutkan.

“Aku kangen AC. Tiap hari, sepulang sekolah aku selalu mampir
mini market waralaba yang kayak di Jogja. Itu semua cuma buat
ngobatin kangenku sama bau AC. Aku heran deh, Bay… Anak-anak
di sini… Kok, mereka betah, ya dengan hal kayak gini? Kalau mereka
mau beli tas bermerek, mau nonton, atau jalan ke mall, mereka harus
menempuh perjalanan 35 km… Kenapa mereka tahan? Bahkan ketika
aku tanya tentang tempat wisata, mereka menjawab kalau mereka
nggak punya tempat wisata di Ogan Ilir,” keluhku sembari sedikit
terisak.

Bayu masih terdiam, mendengarkan. Tak lama kemudian, ku­
dengar sebuah helaan nafas panjang darisana.

“Kamu hanya perlu belajar menerima, Dita… Kamu harus kuat.
Sembilan hari lagi, Dita. Coba kamu hayati pelan-pelan. Di sini, aku
tidur sekamar berlima lho. Tapi, aku nikmati aja semuanya. Beneran
nikmati aja. Pasti enak, kok,” ujarnya.

Aku terdiam.
“Ya, udah Dita. Ini udah malem. Kamu besok sekolah, kan? Tidur
sana! Selamat tidur ya, Dita…” ujar Bayu lagi yang kuyakin saat dia
mengatakannya dia sedang tersenyum.
Aku hanya menjawabnya dengan satu kata “ya”. Aku meletakkan
ponselku pelan dan mulai memejamkan mata. Tanpa aku tahu, Alya
membuka matanya dan terisak pelan.

***
Pagi datang menjelang. Ini fajar ke-enam di tanah orang. Aku
sedikit mampu tersenyum karena sudah puas curhat dengan Bayu
semalam. Namun, ada yang berbeda dengan Alya kaliini. Entah
kenapa, sorot matanya memancarkan kesedihan, rasa malu, dan
sedikit kemarahan. Begitupun beberapa orang di kelas ini. Mereka
memandangku dengan aneh. Ada apa dengan mereka?
“Alya kenapa, sih kamu?” tanyaku.
Dia menggeleng pelan dan tersenyum masam lalu meninggal­
kanku.Apa yang salah denganku?
“Dita, Dita, Kamu ini,” ujar Dea yang kini menghampiriku.
“Kenapa, ya?”

308

“Masih tanya kenapa?” Dea tersenyum sinis.
“Alfi, jelasin sama tamu kurang ajar kita ini!”
Aku masih bingung dan tak paham kemana arah pembicaraan
mereka.
“Kita tahu sih kamu dari Jogja, kamu anak kota.Tapi, ya kamu
nggak bisa seenaknya ngomong dan jelek-jelekin kita, dong!” ujar
seseorang yang bernama Alfi.
“Maksudnya apa, ya?”
“Dih! Nggak usah pura-pura, deh! Kamu selalu bandingin
sekolahmu dan sekolah kita. Bahkan, di depan umum kamu bilang
kalau sekolah kita belum semuanya dialiri listrik kan? Tahu nggak,
sih itu keterlaluan! Terus kamu sering curhat ke sesama teman Jogja
tentang keadaan menyedihkan di sini, kan? Tega banget kamu!”
cerocos Dea tanpa henti.
“Iya, kita menyedihkan, kok! Mau ke mall harus 35 km perjalanan.
Iya, emang! Nggak kayak kamu! Anak kota yang manja. Kepanasan
dikit aja nggak bisa! Bahkan, kamu ngatain kita nggak mengenal
potensi wilayah, kan? Karena kita nggak tahu mau wisata kemana?
Hah! Sudah beruntung kamu ditampung disini,” ujar Alfi tak kalah
pedas.
Aku terdiam, aku bingung harus berbuat apa. Aku sendirian di
dekat kantin yang mulai lengang.
“Kalian. Aku, Aku nggak bermaksud,” aku terisak pelan.
Aku ingat saat perkenalan, aku memang tak sengaja menyinggung
listrik. Itu pun maksudku, agar teman-teman kelas XI IPA 2 bisa
merasakan listrik seperti kelas lainnya.
“Ah! Waktu pelajaran Matematika tempo hari. Nggak usah sok
pinter, deh! Nggak usah sok gaya-gayaan ngoreksi Bu Ida! Selama
ini, belum ada yang pernah mengoreksi Bu Ida karena beliau guru
yang hebat.Kamu benar-benar tidak sopan!” ujar Dea.
Aku masih tak bisa membalasnya.Waktu itu, aku mengoreksi
karena memang beliau kurang tepat saat menyebutkan dan
menggambar garis. Dan jika hal itu dibiarkan tentu akan mempengaruhi
perhitungan dan menyebabkan persamaan garisnya menjadi berbeda.
“Alaah! Tangisan buaya! Kita tinggalin aja ini anak kota. Manja!”
ujar Alfi sembari mengamit lengan Dea.

309

Aku hanya bisa menangis sendiri. Kenapa semua niat baikku
menjadi serba salah sepertiini?Dari mana mereka tahu kalau aku curhat
tentang hal itu semalam? Dan… Ah! Apa yang harus kulakukan?

“Dita… Kamu… Baik-baik aja, kan?” sapa sebuah suara.
“Deny? Aku… Aku.”
“Nggak apa-apa, Dita. Aku tahu semuanya,” Deny tersenyum
dan mengulurkan sekotak kecil tisu padaku.
“Maafkan kedua temanku tadi. Mereka sangat berlebihan.
Aku tahu semua maksudmu, aku bahkan setuju dengan beberapa
perkataanmu. Hanya saja.”
“Apa, Deny?”
“Susah untuk menghentikan gosip dari mulut kedua orang itu,”
jelas Deny.
Aku hanya bisa pasrah.

***
Hari sudah berganti. Mentari sudah memunculkan senyumnya
lagi. Namun, sikap Alya masih sama. Dia masih diam padaku.
“Dita, nanti sepulang sekolah ikut aku, ya,” ujar Alya tiba-tiba.
“Oke, Alya. Ngomong-ngomong kamu kenapa, sih? Dari kemarin,
kok aneh sama aku?” tanyaku.
“Nggak apa-apa, Dit,” jawabnya sembari tersenyum masam.
Aku tak bisa menanyainya lagi, aku membiarkannya. Sepulang
sekolah, Alya, Deny, Shinta, Rita, Nabila, dan aku naik angkutan
umum ke arah Tanjung Raja. Entah sebenarnya kemana tujuan kita
kali ini, aku ikut saja. Dari percakapan Rita dan Shinta, aku tahu
bahwa kita akan menuju ke Pantai Jodoh yang terletak di tepi aliran
Sungai Ogan. Sesampainya di Pantai Jodoh, kami berfoto sebentar
dan melihat alam sekitar. Beruntung kali ini masih musim kemarau,
sehingga pantai ini masih bisa dinikmati. Aku melihat hamparan pasir
dan sungai Ogan yang amat lebar.Indah, dengan selaksa kelokan di
sekujur tubuhnya. Aku berjalan ke tepian, kemudian disusul Alya
dan Deny.
“Dita, aku minta maaf,” ujar Alya tiba-tiba, yang disambut
anggukan oleh Deny.
“Maksud kalian, apa?”

310

“Aku dengar semua keluh kesahmu semalam di telepon.
Aku sebenarnya sedikit sakit hati, namun ya memang seperti ini
keadaannya di kampung halamanku. Oleh karena itu, aku minta maaf
tidak bisa membuatmu nyaman. Kemarin pagi, aku curhat dengan
Deny. Ternyata Dea dan Alfi mendengarnya dan membumbuinya.
Dan mereka. Mereka menyebarkan rumor, mereka bahkan berani
mengatai kamu secara langsung,” ujar Alya.

Aku terdiam. Aku merasa ditampar dua kali. Ini semua salahku,
salahku yang tak bisa menerima semua kekurangannya. Aku merasa
terpukul. Andai aku bisa menerima semuanya. Andai aku tak perlu
curhat dengan Bayu di telepon. Ah! Alya terisak dan memelukku
erat. Deny menatap kami dari tempatnya. Kemudian, mereka pergi
dan membiarkanku sendiri sejenak. Sendiri menatap kelokan sungai
Ogan yang tak bertepi.

***
Genap 14 hari aku tinggal di kabupaten kecil ini. Sebuah
kabupaten yang terbilang baru, hasil pemekaran Kabupaten Ogan
Komering Ilir pada tahun 2004. Semenjak aku datang ke tepian sungai
Ogan tersebut, aku belajar membuka mata hatiku untuk berbagai hal.
Ternyata, anak-anak di sini hebat. Dengan segala keterbatasan sarana
dan prasarana, mereka tetap antusias dalam setiap mata pelajaran.
Bahkan, mereka menghargai kakak-kakak yang melakukan KKN-
PPL selayaknya guru. Hal ini berbeda sekali dengan di Yogyakarta.
Pagi ke-empat belasku di tanah orang, dan ini pagi terakhir
di sini. Koper sudah di tangan, dan ransel sudah di punggungku.
Aku memeluk Ibu angkatku di sini, kemudian diantar oleh Ayah
angkatku ke SMAN 1 Indralaya untuk berkumpul disana. Semua
teman menghambur keluar, beberapa tampak sedih karena kami akan
berpisah.
“Dita, jangan lupakan kami, ya,” kata Deny yang disambut isakan
dan anggukan teman-teman sekelas lainnya.
“Pasti. Aku nggak akan bisa lupa sama kalian. Tetap jaga
silaturahmi ya? Kalau kalian ke Jogja, jangan lupa hubungi aku,”
jawabku.
Mereka mengiyakan dengan bersemangat.

311

“Ah iya, aku minta maaf untuk semuanya, atas semua sikap
menyebalkan yang kuperbuat selama disini. Sampaikan salam dan
maafku pada Dea dan Alfi juga,” ujarku.

Beberapa dari mereka terlihat mencibir ketika kuucapkan dua
namaitu. Agaknya, mereka sudah mengerti siapa yang salah saat
kejadian itu.Alya menatapku lama.

“Alya, aku pasti bakalan kangen banget sama kamu,” ujarku
sembari memeluk Alya.

Ia balas memelukku lama. Aku tak kuasa meneteskan air mata,
begitupun teman-temanku dan saudara angkat masing-masing. Ketika
jam sudah menunjukkan waktu perpisahan, aku dan 19 temanku
menaiki bus yang akan membawa kami ke Bandara Sultan Mahmud
Badaruddin II. Sepanjang perjalanan, semua asyik membagi cerita
petualangan selama empat belas hari disini. Ada Rizka yang tinggal
di Pemulutan, hidup di rumah panggung dan terkadang bertemu
buaya di rawa. Rahma dengan desa Tanjung Batu yang merupakan
sentra perhiasan dan tenun. Ada juga Dinda dengan desa Meranjat
yang terkenal dengan Pindang Meranjat-nya. Seperti mereka, aku
juga punya cerita.

Cerita tentang sebuah kota kecil, jauh dari hingar bingar Ampera.
Kota yang mengajarkanku untuk tetap tertawa lepas, sepahit apapun
pil yang harus kutelan. Kota kecil yang bersahaja, dan menyimpan
segala pesonanya di balik kelokan sungai Ogan yang mengalirinya.
Kota dengan pelajarnya yang mengajarkanku untuk bertahan dan
terus bersemangat di tengah sejuta keterbatasan. Kota baru dan
pelajaran tentang kerendahan hati. Kota yang mengajarkan bahwa
aku harus menyimpan dulu binar setengahku, agar pada saat yang
tepat Ia mampu bersinar abadi di tengah gelap dunia. Inilah ceritaku,
hasil empat belas hari pengembaraanku. Inilah pelajaran kehidupan
yang kudapatkan. Berjuta penerimaan dan selaksa keikhlasan.Seikhlas
arus sungai Ogan yang mengikuti kelokan. Hanya menerima dan
mengikuti jalur, tanpa memaksakan alur.

312

SAYAP-SAYAP PATAH

Umi Nurul Khasanah

Aku melangkah dari satu rumah kerumah yang lain. Berjalan
sambil menuntun seorang wanita cantik dengan satu tongkatnya. Dia
adalah Ibuku. Ya, dia Ibuku yang telah lama buta. Kehidupan kami
sering dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Mereka mencela
Ibuku dengan serangkai kalimat, “ wanita cantik, kok pura-pura
buta!” itu kata mereka. Aku hanya terdiam mendengarnya, walau
sebenarnya aku marah. Tahu apa sih mereka tentang kebutaan Ibuku.
Mereka pikir Ibuku hanya penipu, layaknya mereka yang mengemis
dengan kebutaan palsunya. Namun, Ibuku tetap tegar. Ibuku tetap
kuat laksana pohon yang hanya bergoyang walau diterpa badai. Ibu
tidak rapuh, Ibu malah kuat. Semakin kuat.

Aku hidup hanya bersama Ibuku. Kata orang Ayahku telah
meninggal 15 tahun lalu karena sebuah kecelakaan kereta. Ibuku juga
sering bercerita tentang Ayah. kata Ibu, Ayahku itu sosok yang kuat.
Ayah selalu menggendongku ketika dia pulang kerja. Ayahku bekerja
sebagai tukang ojek. Hasilnya memang tak cukup banyak layaknya
gaji para pejabat. Namun, rupiah itu setidaknya masih cukup untuk
dibelikan butiran-butiran beras, garam, dan juga tempe. Tapi sayang,
Ayah telah tiada dan kecelakaan kereta. Waktu itu pula yang membuat
Ibuku buta sampai saat ini. Begitulah rantaian kisah masa laluku
yang hanya sebatas cerita orang. Namun, aku dapat merasakan hal
itu walau hanya sekedar angan.

Aku dan Ibu sudah berjalan cukup jauh. Aku mengajak Ibu untuk
menyandarkan pundak sejenak dibawah rimbunnya pohon mangga.
Aku menoleh ke atas. Kulihat ada buah mangga yang sudah masak.
Ingin sekali rasanya aku memetik memetik mangga itu. Tapi, milik
siapa pohon mangga ini? aku ingin memetiknya untuk Ibuku.

313

“ Ibu, diatas ada buah mangga yang sudah masak. Ibu mau
tidak?” tanyaku sembari kupegang tangannya.

“Jangan, Rah! Itu namanya mencuri. Ibu nggak mau makan dari
hasil yang haram,” kata Ibu sambil memeluk telapak tangan kananku
dengan kedua telapak tangannya.

Baiklah, aku urungkan niatku untuk mengambil mangga itu.
Rah, itulah panggilan Ibu kepadaku. Namaku adalah Sirah. Ya,
cukup dengan kata Sirah saja. Kau kaget? tak hanya kau yang kaget
dengan namaku. Semua orang jika bertanya siapa namaku dan aku
menjawabnya, merekapun hanya terdiam dengan tatapan tanya. Ada
apa dibalik kata Sirah itu. Kata Ibu, Sirah itu berasal dari bahasa
jawa yang artinya kepala. Ibu memberikan arti kepala pada namaku
karena hidupku sangat dibutuhkan banyak orang, termasuk Ayah
dan Ibuku. Ibu berharap aku bisa menjadi pelindung yang perkasa
untuk keluargaku maupun orang lain. Coba kau pikirkan! jika kau
terjatuh lalu kepalamu retak, organ otakmu bermasalah, pastilah kau
akan tertidur dalam kecacatan. Kepala sangatlah penting. Didalam
kepala terdapat banyak organ yang sangat penting dan wajib untuk
kita lindungi. Dari situlah Ibu menginginkanku untuk menjadi anak
yang kuat. Walau sayapku telah patah satu. Ibu selalu memintaku
untuk kuat dan tegar. Ibuku selalu bilang, Allah selalu melihat
dan membantu kita dimanapun dan kapanpun kita membutuhkan
pertolongan.

Matahari semakin terik. Kulitku mulai tersengat oleh panasnya
matahari. Sebenarnya aku lelah dan aku ingin pulang. Namun, aku
belum mendapatkan hasil yang cukup untuk membeli beras pada hari
ini. Aku iba melihat Ibuku. Keringat begitu deras mengaliri wajah
tuanya. Seharusnya Ibu bersantai dirumah menikmati masa tuanya.
Dan waktunya aku yang bekerja untuk Ibu. Namun, Ibu tak pernah
mau. Menurut Ibu, Masa tuanya telah termakan oleh kegelapan
dunianya. Jadi buat apa Ibu hanya duduk diam dirumah menyendiri.

Aku dan Ibu melanjutkan perjalanan menuju perumahan Graha
Asri. Disana tugas kami adalah mengambil sampah dari satu rumah
ke rumah yang lain. Sebenarnya kami dilarang masuk dalam komplek
itu. Namun aku melawannya. Aku datang menemui pengurus
sekaligus pemilik perumahan itu. Aku memohon kepada Bapak

314

Darmawan untuk mengizinkan aku dan Ibuku mengais rejeki dari
tumpukan sampah di perumahan itu. Tanpa keraguan Pak Darmawan
mengizinkan kami untuk mengambil sampah-sampah perumahan.
Awalnya aku dan Ibu diberi masa percobaan. Karena dinilai cara
kerja kami baik, maka Pak Darmawan memperbolehkan kami untuk
bekerja tetap di perumahan Graha Asri.

Hari ini sampah di perumahan Graha Asri tak begitu banyak.
Aku dan Ibu hanya mendapatkan beberapa botol plastik yang
nampaknya tidak mencapai 50 botol. Kami hanya mampu diam dan
tetap bersyukur atas rezeki yang kami dapat hari ini. Hari semakin
sore. Aku dan Ibu segera menyetorkan barang-barang kami kepada
agen rosokan.

“Pak ini barang yang kami dapat,” kataku sambil menyodork­ an
barang-barang rosokan yang kudapat.

“Oh, iya. Dik antri dulu, ya,” kata seorang laki-laki tua yang
tengah menimbang barang-barang bekas.

Didunia ini bukan hanya aku dan Ibuku saja yang memiliki
jabatan sebagai tukang rosok. Masih banyak orang yang bernasib
seperti kami. Bahkan ada seorang Ibu yang mencari barang rosokan
sambil menggendong anak batitanya demi membeli susu untuk
anaknya itu. Entah bagaimana kehidupan ini. Begitu kejamkah dunia
ini terhadapku? mungkin tidak, namun bisa saja iya. Hanya waktu
yang mampu memberikan jawaban pertanyaanku. Kini giliranku
untuk menimbangkan barang-barang rosokanku. Aku memberikan
barang rosokanku. Laki-laki tua itu melihat timbangan itu dan
memberikan rupiah untuk hasil kerjaku dan Ibuku.

“Ini, Dik uangnya,” kata Bapak itu.
“Terima kasih, Pak,” kataku dan Ibu sambil pergi meninggalkan
tempat agen rosokan itu.
“Dapat berapa, Rah?” tanya Ibuku.
“Alhamdulilah, Bu dapat sepuluh ribu,” jawabku sambil menuntun
Ibuku.
“Alhamdulilah. Ya sudah nanti kita mampir dulu ke warung beli
tahu ya, Nak.”
“Iya, Bu.“

315

Aku dan Ibu terus berjalan menuju gubuk singgahku. Kami harus
melangkahkan kaki kami sepanjang 15 km. Adzan maghrib mulai
terdengar di kedua telingaku. Aku dan Ibu segera masuk kedalam
rumah dan membersihkan diri. Sambil menunggu Ibu mandi, aku
pergi ke warung membeli nasi dan tahu. Aku membeli makanan yang
sudah siap makan. Tapi bukan berarti aku tidak masak. Jarang sekali
aku masak dirumah. Pikirku hanya membuang-buang uang saja jika
harus memasak dirumah. Orang sepertiku sangat memperhitungkan
betapa mahalnya minyak goreng, garam, penyedap rasa dan korek api
yang harus kubeli dalam waktu beberapa hari saja. Orang sepertiku
ini selalu berusaha untuk hidup hemat sehemat mungkin. Setelah
kudapati makan malamku, aku pulang kerumah. Sesampainya aku
dirumah, kuletakkan bungkusan itu di meja. Aku langsung bergegas
mandi dan shalat maghrib. Beberapa menit kemudian kudapati Ibu
sedang duduk didepan rumah. Ku hampiri Ibu dan ku ajaknya makan.

“Ibu, makan dulu, yuk,” ajakku sambil membantu Ibu bangun
dari duduknya.

Kubukakan nasi bungkus untuk Ibuku. Kudekatkan nasi itu pada
Ibu. Ibupun mulai memakannya.

“Rah, kamu beli ayam?” kata Ibu.
“Tidak, Bu. Hanya saja tadi nasinya diberi kuah opor ayam.
Tapi, lauknya hanya tahu saja, Bu. Ibu mau ayam, ya?” kataku yang
tak kuat menahan air mataku ini.
“Oh tidak, Rah. Walau hanya kuahnya saja Ibu sudah serasa
makan ayam, kok. Sirah makan yang banyak, ya. Biar nggak sakit,”
kata Ibu sambil tersenyum.
Ya, Allah, sakit banget perasaanku jika harus dihadapakan
dengan kondisi seperti ini. Aku tak sanggup membelikan opor ayam
untuk Ibuku sendiri. Ibu, bersabarlah besok akan kubelikan opor ayam
yang paling enak untuk Ibu.
Pagi mulai datang kembali. Aku dan Ibuku kembali melakukan
aktivitas seperti biasanya. Kami berjalan entah sampai berapa kilometer
perjalanan kami dihari ini. Hari ini aku akan bekerja keras agar aku
bisa mendapatkan hasil yang cukup banyak dan aku bisa membeli
opor ayam untuk Ibuku. Pagi ini aku berjalan tanpa ada sebutir nasi
yang masuk dalam perutku. Uang yang aku dapat dihari kemarin

316

tak cukup untuk membeli sarapan di pagi ini. Mungkin nanti dijalan
aku akan membeli sebuah roti dan teh panas untuk aku dan Ibu.
Perjalanan kami mulai dipandang banyak orang. Karena sang surya
mulai menampakkan dirinya pada dunia. Kulihat ada seorang Ibu
sedang membuka warungnya. Aku tuntun Ibuku ke arah warung itu.

“Mau kemana kita, Nak?” tanya Ibuku.
“Kita beli roti sebentar, Bu. Pagi ini kita belum sarapan sama
sekali,” jawabku.
Ibu memang peka terhadap rute perjalanan kami, karena sudah
belasan tahun Ibuku menjadi tukang rosok.
“Permisi, Ibu. Saya mau membeli roti ini,” kataku sambil
melihatkan roti yang ada ditanganku.
“Oh iya, Nak. Itu harganya seribu rupiah,” jawab Ibu itu ramah.
“Bu, bolehkah saya membeli segelas teh panas?” tanyaku.
“Maaf, Nak. Ibu tidak menjual teh panas,” jawab Ibu itu yang
sambari tersenyum padaku.
“Mmm…maksud saya, Ibu pasti punya the didalam rumah Ibu.
Maukah Ibu membuatkan segelas teh panas untuk Ibuku. Nanti saya
tukarkan air teh itu dengan uang saya, Bu. Kasihan Ibu saya, dia belum
sarapan,” kataku sambil memohon kepada Ibu pemilik warung.
“Sirah. Tidak boleh begitu. Ibu ini mungkin sedang sibuk. Lagian
Ibu juga sudah biasa nggak sarapan. Sudah Ibu tidak apa-apa,” jawab
Ibuku.
“Oh tidak, Bu. Saya tidak repot. Anak Ibu benar. Ibu harus
sarapan dulu. Sebentar ya, Nak Ibu buatkan teh dulu,” kata Ibu
pemilik warung.
Kemudian Ibu pemilik warung itu masuk kedalam rumahnya.
Sedangkan aku dan Ibuku menunggunya sambil duduk di latar
rumahnya. Beberapa menit kemudian, Ibu pemilik warung itu keluar
dengan 2 buah gelas diatas nampannya.
“Ini, Nak tehnya. Silahkan diminum,” kata Ibu itu sambil
tersnyum lagi.
“Tapi, Bu, tadi saya hanya memesan 1 teh panas saja,” kataku.
“Iya, Ibu dengar kok, nak. Minumlah yang satunya untukmu.
Pasti kamu juga belum sarapan,kan?” jelas Ibu pemilik warung itu.

317

“Tapi uangku tidak cukup, Bu. Apa Ibu mau kuhutangi?” kataku
sembari mengurungkan wajahku.

“Teh ini murah kok, Nak. Sudah, minumlah dulu.”
“Terima kasih, Bu.”
Aku dan Ibuku segera minum teh buatan Ibu pemilik warung
itu dan juga melahap roti yang kubeli tadi. Kupotong roti itu dengan
bagian Ibu lebih besar dari pada bagianku. Aku tidak mau Ibu sakit.
Aku siap jika harus mengalah, asalkan Ibu tetap sehat bersamaku.
Habis juga aku dan Ibu meminum teh dan memakan roti. Akupun
segera membayar semuanya.
“Bu, semua jadinya berapa?” tanyaku.
“Semuanya seratus ribu, Nak,” jawab Ibu pemilik warung itu
yang membuat aku dan Ibuku terhenyak hebat.
“Haaaaaa…..mahal sekali, Bu. Aku tak punya uang seban­ yak itu,
Bu. Butuh waktu 1 bulan bahkan lebih untuk kami mengumpulkan
uang sebesar itu, Bu,” jelasku.
“Kau tak punya uang, Nak?” tanya Ibu itu lagi.
“Iya, Bu,” jawabku sambil menundukkan kepalaku.
“Ya sudah, bayarlah dengan senyuman cantikmu, Nak. Karena
senyummu lebih besar nilainya dari pada uang seratus ribu itu,” jawab
Ibu itu sambil tersenyum.
“Haaaa??? hanya sebuah senyuman, Bu?” jawabku kaget.
“Senyum adalah ibadah, Nak. Maka sedekahkanlah Ibu dengan
senyuman manismu itu, Nak. Lalu ajaklah Ibumu kembali bekerja
sebelum matahari semakin terik lagi,” jawab Ibu pemilik warung
dengan kembali melihatkan senyumannya kepadaku dan juga Ibuku.
“Alhamdulilah, ya Allah. Kau temukan aku dengan orang-orang
penghuni surga seperti Ibu ini. Terimakasih atas bantuannya, Bu dan
inilah bayaran dariku dan juga Ibuku,” kataku sambil tersenyum
kepada Ibu pemilik warung.
“Baiklah, Bu, kami harus kembali bekerja untuk makan hari ini.
Terimakasih atas kebaikan Ibu. Semoga Allah membalas kebaikan
Ibu,” kata Ibuku yang juga tersenyum kepada Ibu pemilik warung.
Aku dan Ibu kembali melanjutkan perjalanan. Hatiku teras begitu
senang setelah bertemu kepada Ibu pemilik warung tadi. Semoga

318

saja hari ini aku bertemu dengan orang yang baik seperti Ibu tadi.
Sungguh mulianya hati Ibu tadi.

Aku berjalan dengan penuh semangat demi membeli opor ayam
untuk Ibuku. Namun, sampai terik matahari aku belum mendapatkan
setengah karung sampah botol. Aku bingung, harus bagaimana lagi
aku bisa mendapatkan sampah botol yang cukup banyak. Kupandangi
wajah tua Ibuku. Ibu terlihat mulai lelah. Kuajak Ibuku bersandar
disebuah toko untuk berteduh. Namun sayang, kudapati pemilik
toko yang begitu kejam. Aku dan Ibuku diusir dari tokonya. Pemilik
toko itu takut tidak ada pelanggan yang akan datang ke tokonya
karena melihat aku dan Ibuku. Segitu hinakah orang sepertiku dan
juga Ibuku ini?

“Heh pengemis! pergi kaliyan dari tokoku. Tokoku jadi sepi gara-
gara kalian!” kata pemilik toko itu dengan ketusnya.

Aku dan Ibuku segera pergi dari toko itu. Belum jauh dari toko
tadi, aku dihadang oleh lelaki tampan, bersih dan juga rapi dengan
jas hitam yang melindungi tubuhnya.

“Nak, sedang apa kamu?” tanya lelaki itu.
“Kami sedang mencari rosokan, Pak,” jawabku.
“Siapa, Rah?” tanya Ibuku.
“Belum tahu, Bu,” jawabku.
“Barang apa yang kau butuhkan?” tanya lelaki itu lagi.
“Botol plastik, Pak,” jawabku.
“Tunggulah sebentar, Nak,” kata lelaki itu sambil meninggalkan
aku dan Ibuku dipinggir jalan.
Lelaki itu berjalan menuju mobil mewahnya. Dia buka pintu
bagasi mobil belakangnya. Dia ambil bungkusan karung besar dan
menutup kembali pintu belakang mobilnya. Lelaki itu kembali berjalan
menuju kearahku.
“Ini, Nak barang yang kau butuhkan. Ambilah!” kata lelaki itu
sambil menyodorkan karung besar kepadaku.
Kuambil karung itu. Kulihat isinya adalah puluhan botol yang
sedang aku kumpulkan.
“Barang apa itu, Nak?” tanya Ibuku.
“Botol bekas, Bu. Jumlahnya juga sangat banyak, Bu,” jawabku.

319

“Pak, bukannya kami menolak. Tapi kami tidak ingin bermanja-
manjaan, Pak. Kami ingin bekerja dengan usaha kami sendiri,” kata
Ibu sambil mengajakku pergi.

“Tunggu dulu, Bu. Baik, saya mengerti maksud Ibu, tetapi saya
hanya ingin memberikan ini saja. Saya ini memiliki warung makan.
Sudah banyak botol bekas yang menumpuk di warung saya. Nah,
kebetulan saya bertemu dengan Ibu dan juga anak Ibu. Dari pada
saya harus berjauhan membuang barang-barang ini, lebih baiknya
kan saya titipkan barang ini kepada Ibu dan anak Ibu. Mungkin ini
sudah rezeki keluarga Ibu.” Jelas lelaki itu.

“Tetapi, Pak,” kata Ibuku.
“Maaf, Bu saya terburu-buru. Ini nak kartu nama saya jika kamu
membutuhkan barang bekas banyak ambilah di warung makan saya.
Permisi,” kata lelaki itu sambil meninggalkan aku dan Ibuku.
“Terima kasih, Pak!” teriakku kepada bapak itu yang belum
cukup jauh dari tempatku berdiri.
Aku dan Ibuku langsung berjalan menuju tempat agen rosokan.
Alhamdulilah banyak rupiah yang kudapati hari ini. Semoga uang ini
cukup untuk membeli opor ayam untuk Ibu. Aku dan Ibu berjalan
menuju arah rumah kami.
Sorepun telah hadir kembali. Kulihat Ibu sedang tertidur pulas
dikamarnya. Mungkin sekarang waktunya untuk aku membeli opor
ayam untuk Ibuku. Aku keluar rumah menuju warung makan tempat
biasa aku membeli makan. Kali ini aku benar-benar membeli lauk
opor ayam untuk Ibuku.
“Bu, nanti daging dan tulang ayamnya dipisah ya, Bu,” kataku.
Biarkan Ibu memakan daging ayamnya sedangkan aku tulang
saja sudah cukup. Hatiku begitu senang membelikan opor ayam ini
untuk Ibuku. Aku segera pulang. Sesampainya dirumah Ibu aku
bangunkan.
“Bu, makan dulu, yuk. Wajah Ibu pucat, Ibu terlalu lelahkan.
Nih, Sirah beli makanan enak, Bu,” kataku.
Ibu tidak bangun juga. Aku terus mencoba membangunkan
Ibu. Namun, hasilnya nihil. Aku memeriksa udara dari hidung Ibu,
namun sudah tak ada udara lagi yang keluar dari hidungnya. Aku
mulai panik, aku coba periksa denyut nadinya. Namun tak berdetak

320

juga. Aku mulai lemas. Aku panggil tetanggaku dan kusuruh dia
memeriksa Ibuku. Hasilnya pun sama, Ibu telah tertidur tenang untuk
selamanya. Hatiku benar-benar hancur. Hatiku mulai rapuh melihat
kenyataan pahit ini. Ibu pergi meninggalkanku dan juga opor ayam
yang sudah ku belikan untuk Ibu. Dunia ini begitu keras untukku.
Sayapku yang dulunya tinggal satu, kini telah patah semuanya. Entah
harus bagaimana lagi aku ini. Masih dapatkah aku terbang tanpa
sayap-sayapku lagi?. Entahlah....

321

GARA-GARA KAMU

Zara Anisa Islami Arifin

Hari ini Masa Orientasi Siswa (MOS) di SMA 034 Balikpapan
telah berakhir. Semua siswa bergembira termasuk aku. Kami semua
melempar topi wisuda buatan kami sebagai tanda kegembiraan
kami, karena MOS tahun ini telah selesai. Pagi ini bumi menyambut
bumi dengan sangat hangat dan dengan diiringi suara-suara burung
yang sedang berzikir kepada Tuhan mereka karena telah diberikan
kenikmatan yang berlimpah. Suara merdu dari burung-burung itu
membuat Queensa terbangun dari tidurnya. Dengan mata yang
masih merem-melek, Queensa langsung mengambil air wudhu untuk
menjalankan sholat subuh.

“Bbbbrrr…….., gila ini air kayak dari kulkas aja. dingin banget,”
kata Queensa dengan badan yang mengigil.

Setelah selesai sholat, Queensa langsung sarapan, mandi, dan
persiapan untuk berangkat sekolah.

“Hari pertama masuk sekolah harus berangkat lebih pagi nih, biar
dapat tempat duduk paling depan,” kata Queensa dengan semangat
empat lima.

“Wuih….., maunya….,” kata Luna tiba-tiba.
“Eits……, tunggu-tunggu, tuh orang datang dari mana. Tahu-
tahu, kok datang sendiri tanpa ada undangan. Aaahh…., sudahlah dari
pada kita bahas itu orang, yang gak penting, mending kita lanjutkan
saja ceritanya. Ok, langsung saja kita ke TKP.
Disekolah….
“Hm..hm..hm.., gue dapat kelas apa dan tempatnya dimana,
ya?” kata Queensa sambil menyusuri beberapa ruang kelas untuk
mencari namanya.
Akhirnya, ia sampai di ruang paling pojok, dekat ruang OSIS
dan AVA.

322

“Nama gue ada enggak, ya? Nur Queensa…..Nur Queensa…
Nur Queensa….Nur Queensa….,aha, ini dia. Tapi, kenapa dapat kelas
yang paling pojok, terpisah lagi. Hu..hu…hu..,” gumamnya Queensa
dengan nada penyesalan.

Hahahahaha…..kasihan banget sih, lu. Makanya, jadi orang
jangan terlalu menuntut. Sudahlah syukuri apa yang ada, hidup
adalah anugerah.”

“Heh!!!!, Lu, dari tadi ngapain sih ngeganggu gue mulu, ntar
gue hajar lu. Awas aja, pulang tinggal nama lu.”

Karena takut ancaman tersebut, Luna langsung lari entah kemana.
Emang tuh orang kaya setan, datang tak diundang pulang tak diantar.

“Okelah, enggak apa-apa dapat kelas di sini. Siapa tahu orang-
orangnya pada baik-baik,” kata Queensa sambil masuk ke kelas dan
duduk dikursi nomor dua dari depan.

Karena dikelas masih sepi Queensa hanya duduk termenung,
entah apa yang ia pikirkan. Waktu telah menunjukkan pukul 06.15
wib. Ditengah-tengah lamunannya, tiba-tiba terdengar suara seorang
cewek yang membuat Queensa tersentak kaget.

“Permisi, gue boleh duduk disamping, lu?” tanya Ayu.
“Oh.., boleh-boleh, silahkan,” jawab Queensa dengan senyuman
terbaiknya.
Ayu langsung duduk disamping Queensa. Ayu dari tadi melirik
dan memperhatikan Queensa dan membatin.
“Kayanya gue pernah lihat ini cewek, tapi dimana?” kemudian
Ayu berpikir sejenak, “Oh, iya, itukan anak yang satu bimbel
denganku.”
Tanpa basa-basi lagi Ayu langsung mengajak Queensa berkenalan.
“Hai, kenalkan, nama gue Ayu Oktavi. Lu bisa panggil gue Ayu.”
“Nama gue Nur Queensa Qurata A’yun. Gue terbiasa dipanggil
Queensa.”
“ Eh…Bbbuuusseett…dah…., itu nama kok super duper ribet.
Oh, iya, kayaknya gue pernah liat lu dibimbel.”
“Iya, emang gue les disana.”
“Pantes.., sepertinya gue pernah lihat lu disana. Gue juga les
disana.”

323

“Oiya?”
“Tentu”
Baru saja berkenalan, tetapi mereka sudah sangat dekat. Mereka
saling bercerita tentang kehidupan mereka masing-masing.
***
Waktu sudah menunjukkan jam 07.00 wib. Berarti sudah
waktunya semua siswa masuk kelas masing-masing. Karena hari
ini adalah hari pertama masuk sekolah, maka siswa kelas X tidak
pelajaran, mereka hanya melakukan perkenalan dan membuat struktur
organisasi kelas. “Tet….tet..teeeeet…” Waktu istirahat telah tiba,
semua siswa berhamburan keluar kelas, begitu juga dengan Queensa
dan Ayu, si Joli ini keluar kelas dan menuju koperasi yang berada
di dekat ruang guru. Setelah dari koperasi si Joli ini kembali dan
memakan jajanan yang telah mereka beli tadi. Ditengah-tengah canda
tawa mereka, tiba-tiba suara cewek mengagetkan mereka berdua.
Cewek itu bernama Vilsi.
“Ddeerr…” teriak Vilsi.
Ayu dan Queensa tersentak kaget.
“Ha..ha..ha.., maaf ya,” tawa Vilsi.
“Enggak apa-apa, kok,” kata Ayu dan Queensa bersamaan.
“Kayaknya seru banget, sih yang cerita, dari tadi aku lihat kalian
tertawa terus.”
“Ah.., kita cuma iseng-iseng cerita aja, kok,” jawab Ayu.
“Gue boleh ikut, enggak?”
“Tentu saja,” jawab Queensa.
Waktu demi waktu telah berlalu, semua siswa telah terbiasa
dengan kegiatan yang bada di sekolah. Begitu juga dengan Ayu,
Queensa, dan Vilsi, mereka menjadi sahabat yang selalu bersama,
dimana ada salah satu dari mereka pasti ada mereka berdua. Pada
suatu hari saat Ayu, Queensa dan Vilsi berkumpul, tidak disengaja
mereka bertemu seseorang. Ia bernama Feldy.
“Hai.., perkenalkan, nama gue Feldy,” kata Feldy sambil
mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan.
“Nama gue, Vilsi.”
“Lu bisa panggil gue, Ayu.”
“Nama gue, Queensa”

324

Akhirnya mereka menjadi sahabat karib. Hari ini, hari Sabtu,
disekolah Queensa, Ayu, dan Vilsi sedang tidak ada pelajaran,
pelajarannya diganti dengan kerja bakti.

“Hari ini kita pulang pagikan?” tanya Queensa
“Heem, kita pulang jam 10.00 pagi. Emang ada acara apa tho
habis kerja bakti?” tanya Ayu sambil garuk-garuk kepala
“Ya, biasalah gurnya rapat melulu,” jawab vilsi dengan nada
santai sambil smsan.
“Tet..tet..teeeeeet..,” jam pulang telah bebunyi, semua siswa
berhamburan keluar.
“Pulang, yuk” kata Ayu.
“Ntar, dulu dong. Ini, kan masih pagi, ntar aja kalau sudah agak
siangan,” bujuk Vilsi kepada Ayu.
“Kalau kalian ngak mau pulang. Ya udah, gue pulang sendirian
aja. Lagi pula gue ntar ada acara,” jawab Ayu dengan nada kesal.
Queensa dan Feldy dari tadi hanya terdiam mendengarkan Ayu
dan Vilsi yang saling menggerutu.
“Hhmm.., ya udah dari pada kita rebut dijalan mending kita
pulang aja bareng-bareng. Mumpung hari ini lagi gue enggak pakai
motor,” kata Queensa sambil membujuk Ayu dan Vilsi.
“Lho, kok lu malah bela Ayu sih? Gue, kan masih pingin main di
sekolah. Nanti aja pulangnya. Ayolah!” bujuk Vilsi dengan bujukan
mautnya.
“Maaf Vil, gue ngak bisa nemenin lu, soalnya Ibu gue dirumah
sendirian, ayah gue baru pergi keluar kota. Nanti gue juga mau mampir
kerumah Ayu sebentar buat ngambil buku gue.” jelas Queensa.
“Betul itu, lebih baik kita pulang sekarang aja,” bela Feldy.
“Ya udah, gue ikut kalian aja,” akhirnya Vilsi mengalah.
Mereka berjalan bersama-sama. Beruntung cuaca hari cukup
mendukung, jadi, mereka sangat menikmati perjalanan mereka.
Akhirnya sampai juga dipertigaan Lambao.
“Gue duluan, ya!” kata Ayu dan Queensa.
“Iya,” jawab Vilsi
“Fel, jaga itu anak orang jangan sampai hilang. Anterin Vilsi
sampai di perempatan depan!” kata Queensa sambil cengar-cengir.

325

“Udah santai aja. Kalau sama gue semuanya pasti aman. Kayak
ngak kenal gue aja, lu,” jawab Feldy.

“Sip,” jawab Queensa sambil mengacungkan jempolnya.
“Ya, ampun, kalian tega banget, sih, ngatain gue seperti itu.”
“Ha..ha..ha…, bercanda kok, Vil.”
“Iya, ngak apa-apa, kok.”
“Hati-hati dijalan, kalau ada polisi tidur jangan ikut-ikutan tidur.
Ntar ketabrak, lho! Ha..ha..ha,” kata Queensa sambil tertawa.
Mereka berempat berpisah Feldy dengan Vilsi dan Ayu dengan
Queensa. Selama dijalan Feldy dan Vilsi saling bercerita, entah apa
yang mereka bicarakan. Ditengah-tengah pembicaraan, Vilsi tiba-tiba
menawarkan uang sebesar Rp50.000 kepada Feldy.
“Fel, lu lagi butuh uang, kan?”
“Iya, emang kenapa?”
“Nih!, gue punya uang 50 ribu. Lu, pakai aja dulu.”
“Hhmm, gimana, ya?”
“Udah pakai, aja.”
“Okelah, gue ambil. Thank’s ya!”
“Oiya, ntar lu mau kemana?”
“Gue mau nyari buku buat nggantiin perpust.”
“Hhmm.., ya udah gue duluan, ya. Busnya sudah datang, tuh.”
“Hati-hati, ya!”
Vilsi dan Feldy berpisah dan pergi dengan tujuannya masing-
masing.
“Sudah jam 17.00 nih. Gue harus pulang, ntar kalau sampai
dicari sama senior tambah berabe nih, gue!”
Sambil bersepeda dengan santai, tiba-tiba ada sms masuk dari
hpnya. Ternyata sms itu dari Vilsi. Vilsi sms Feldy karena ada sesuatu
yang ingin ia omongkan.

To: 08593xxxxxx
Fel, uangku yg 50rb masih adakan?
Sender: 0838xxxxxxxxx

To: 0838xxxxxxxx
Emang knp?

326

To: 0893xxxxxx
Q butuh uang itu sekarang!!!!

To: 0838xxxxxxxxxx
Lho bkn.nya lu tdi minjemin ke gue? Klu lu minjemin uang buat
org lain, berarti lu siap nunggu org trsbut utk bisa bayar kmbali
Sender: 08593xxxxxxxxx

To: 08593xxxxxx
Pokoknya q gk mau tau. Kmu harus kmbalikan uang.ku!!
Sender: 0838xxxxxxxxxx

To: 0838xxxxxxxxx
Lha, aku mau byar gmn? Kmu.kan tau skrang bru kyk ap aku skrang
Sender: 08593xxxxxx

To: 08593xxxxxx
Mending kmu jual aja hpmu, kan bisa
Sender: 0838xxxxxxxxx
Feldy langsung menonaktifkan hpnya, karena ia sudah bosan
meladenin Vilsi yang dari tadi memaksanya. Pada malam harinya
Ayu sms Queensa

To: 083867xxxxxx
Queen, feldy pnya utang sma vilsi pho?
Sender: 0896xxxxxxxx

To: 0896xxxxxxxxxx
Ha? Iya pho? Aku kok mlh gk tau
Kok bisa?

To: 083867xxxx
Jdi gini ceritanya, vilsi itu pnya hutang sma hayuning, lha pas
hayuning nagih, vilsi bilang minta aja sma feldy.
Hayuning mau mnta feldy, tpi dia ngk enak sma feldy.nya
Sender: 0896xxxxxxxx

To: 0896xxxxxx
Hhmm gitu ya, jdi critanya dia gali lubang tutup lubang.
Emang hutangnya ke hayuning brp?

327

Sender: 0896xxxxxxxxxx

To: 083867xxxxxxx
11rb
Sender: 0896xxxxxxx

Keesokan harinya Queensa berangkat sekolah. Sesampai
disekolah Queensa bertemu dengan Feldy yang sedari tadi sudah
menunggu.

“Selamat pagi!” kata Queensa sambil menghampiri Feldy.
“Selamat pagi juga, Queen. Aku mau cerita nih.”
“Cerita apaan? Masalah Vilsi?”
“Kok, kamu tahu?”
“Tahu, dong. Queensa gitu, lho.”
“Hhuueekk, sok banget sih lu?”
“Katanya mau cerita. Sudah cepetan.”
“Jadi gini, Vilsi itu minjemin gue uang 50rb.”
“Lha, terus.”
“Kamu, kan tahu gimana keadaanku sekarang.”
“Jadi kamu ambil?”
“Ya, iya, lha terus waktu sorenya aku ditagih sama dia. Itukan
namanya ngak mutu. Harusnya dia kalau niat minjemin uang ke
seseorang, berarti dia bersedia nunggu dong.”
“Gini, lho Fel aku kasih tahu. Sebenarnya Vilsi itu punya hutang
sama Hayuning. Makanya biar dia ngak dikejar-kejar terus sama
Hayuning, dia pinjemin kamu uang, biar kamunya yang dikejar-kejar
sama Hayuning.”
“Ooooo, jadi gitu, Bajindut!!! Dasar munafik!!, untung dia cewek,
coba kalau cowok, mungkin dia pulang sudah tinggal nama!!”
“Sudah, Fel, ngak usah terlalu dipikirin. Besok kamu bayar Vilsi
39 ribu aja. Oh, iya, katanya Vilsi mau pindah ke Singapura?”
“Kamu tahu darimana?”
“Aku dengar dari teman-teman. Tapi, kok kita ngak dikasih tahu
duluan, ya?”
“Aahh, biarin aja, mudah-mudahan dia ngak balik kesini lagi.”

328

“Mudah-mudahan aja. Aku juga ngak nyangka kalau Vilsi
orangnya seperti itu, sampai-sampai sahabat sendiri aja ditaruhkan.”

“Iya.., dia emang munafik. Lha, itu hayuning.”
“Mana? Hayuning!!!” teriak Queensa.
“Apa?”
“Bentar, lu disitu aja, ntar aku kesana. Gue mau cerita sama
kamu.”
“Fel, lu tunggu disini dulu.”
Queensa berlari menuju perpustakaan. Disana sudah ada
Hayuning dan Pratami teman dari Hayuning.
“Ning, Feldy ada hutang sama kamu 11ribu, kan?”
“Bukan.., itu hutangnya Vilsi, kok.”
“Terserah kamu. Ini aku bayar uangmu 11ribu. Sekarang kamu
ngak usah bingung nagih Feldy.”
“Makasih, ya, oya, aku kemarin sms Vilsi, aku bilang ke Vilsi. Vil,
kamu itu pembohong, aku sudah ngak percaya lagi sama kamu, kamu
itu munafik, lha terus Vilsi jawabnya cuma gini, emang kenapa? gara-
gara hutangnya itu. Udahlah santai aja, kayak ngak kenal aku aja.”
“Sudah biarin aja, orang kayak gitu kalau diladenin malah ngak
selesai-selesai.”
“Katanya dia mau pindah ke Singapura?”
“Heem, katanya dia mau pindah. Ya.., mudah-mudahan ngak
pulang kesini lagi. Aku sudah sepet ngeliat wajahnya. Cuma nyusahin
orang lain aja,” kata Pratami menyela.
“Betul itu” kata hayuning.
“Eh, besok libur itu ada acara apa, to?” tanya Queensa.
“Iya,” jawab hayuning.
“Terus kita libur berapa hari?” kata Pratami.
“Hadeh, kalian itu gimana sih. Masak ngak, tahu,” jawab
Hayuning.
“Emang, apa?” tanya Pratami.
“Aku juga ngak tahu, he..he..he..,” jawab hayuning sambil
senyum-senyum.
“Kalau ngak tahu kenapa kamu tadi jawab,” kata Queensa.
“Ngak apa-apa, to, kan HAM,” kata hayuning.

329

Hayuning, Pratami, dan Queensa tertawa. Tiba-tiba Feldy
mendekati Queensa.

“Queen, anterin aku ke warung depan, yuk.”
“Oh., iya bentar-bentar. Ning, Tam, aku pergi dulu, ya?”
“Oke. makasih ya atas cerata-ceritanya,” jawab Hayuning dan
Pratami.
Sambil berjalan menuju warung. Feldy sempat berdebat dengan
Queensa. Ya.., debat yang tak berarti untuk negara, atau malah untuk
dunia?
“Huh, kalian itu, dasar cucok rumpi,” kata Feldy.
“Halah, sok tiyu kamu itu. Emang, lu tau apa yang gue bicarain
tadi sama Hayuning?”
“Enggak.”
“Ya, udah, kalau ngak tahu diam aja, lu.”
“Ouw.., Oke, fine..fine!!”
Sesampai di depan warung, Queensa dan Feldy makan siang.
“Fel, besok libur, kan?”
“Hmmmm..,” sambil melahap makanannya.
“Emang libur berapa hari?”
“Tiga hari, kan?”
“Mmm, tiga hari, ya. Kalau libur, lu mau kemana?” kata Queensa
sambil menyeruput minuman yang sudah dipesannya.
“Kalau gue sih kerja seperti biasanya atau ngak cuma dipondok.”
“Kalau gue paling cuma dirumah.”
Tidak tersa hari sudah semakin siang.
“Fel, kita pulang, yuk. Udah panas banget, nih”
“Iya bentar, gue habisin dulu minumannya.”
“Cepet, dong!”
“Oke, sudah selesai. Yuk, kita pulang.”
Masa liburan telah selesai. Semua siswa melakukan ke­giatannya
seperti biasa lagi, begitu juga dengan Queensa, Feldy, dan Ayu. Hari
ini hari yang membahagiakan untuk mereka. Ke­nap­ a tidak? Ya, karena
Vilsi si pembuat masalah telah pergi ke Singapura.
“Queen, Fel, gue dapat berita bagus, nih.”
“Emang, apa?”
“Vilsi udah pindah dari sekolah, dari pulau, dari negara.”

330

“Maksud, lu gimana, sih? Kita malah tambah bingung, nih.”
“Gini, lho, Vilsi udah pindah ke Singapura.”
“Ha..!!!, serius, lu?” tanya Queensa.
“Lu, tahu dari mana?” tanya Feldy.
“Gue serius. Gue tahu dari statusnya di fb. ini gue kasih tahu!”
“Wwweezzz.., asik merdeka!!!” teriak Feldy.
Mereka bertiga sangat bahagia. Begitu juga teman-teman yang
pernah disakiti Vilsi baik secara rohani maupun jasmani. Tetapi,
kepergian Vilsi tidak disambut bahagia sebagian orang yang pernah
memberikan pinjaman kepada Vilsi.

331

LIBURAN YANG HILANG

Farah Rindhita Bestari

Sore itu, aku hanya termenung duduk di dekat jendela yang ada
di kamarku. Aku belum bisa menerima sepenuhnya kepergian Ayah
untuk pergi kembali ke luar kota menjalankan tugas pekerjaannya
itu. Tak bisa kubayangkan betapa heningnya rumah ini jika tanpa ada
sosok Ayah. Aku dan Bunda tidak begitu akrab. Entah, aku tak bisa
dekat dengan Bunda. Hanya Ayahlah satu-satunya orang yang paling
dekat denganku. Ayah yang selalu mengerti perasaanku, memberi
perhatian, dan menghiburku disaat aku tak tersenyum.

“Bella …. Buka pintunya! Turun, Nak. Ayo makan! Bunda
perhatikan dari tadi kamu di kamar terus. Lihat, lauk di meja makan
belum berkurang. Kamu belum makan ya, Nak?”

Lamunan ku terbuyar tiba-tiba ketika mendengar suara Bunda
dari luar pintu kamar. “Iya, Bun, nanti juga Bella pasti makan, kok,”
jawabku malas.

“Ya, sudah, Bunda tunggu di bawah, ya,” kata Bunda.
Kubuka pintu kamar, lalu menuju ke meja makan. Karena tak
nafsu makan, aku hanya mengambil nasi sebanyak 1 centhong. Rasanya,
semua makanan yang ada di meja makan ini tak enak untuk kulahap.
Padahal, aku paling suka dengan masakan Bunda.
“Telepon dari siapa, Bun?” tanyaku.
“Oh, Ayah,” kata Bunda.
“Barusan yang ngobrol dengan Bunda di telepon itu Ayah?
Kenapa Bunda tidak bilang sama Bella? Bella kan juga ingin ngobrol
dengan Ayah,” kataku kecewa.
“Bunda bilang ke Ayah, kalau Bella lagi makan. Tapi Ayah janji
nanti akan nelpon lagi Bell.”
“Benarkah? Kalau begitu, Bella tunggu telepon Ayah di taman
ya, Bun?”

332

“Iya, Nak,” jawab Bunda tersenyum padaku.
Kemudian, saat di taman. “Kring … Kring … !”
“Bel, bunyi telepon, tuh. Angkatlah!”
“Iya, Bunda,” jawabku dengan semangat kepada Bunda.
“Hallo, Assalamuallaikum.”
“Wa’alaikumsalam, Nak, bagaimana kabar anak Ayah yang cantik
ini?”
“Tentu baik, Ayah. Tapi, sedikit sedih.”
“Lho? Kenapa sedih Bella, Sayang?”
“Habisnya, Ayah tidak di rumah,” kataku manja.
Tiba-tiba terdengar suara Ayah sedang tertawa.
“Uhh .. kok ketawa sih, Yah? Emang ada yang lucu, ya?”
“Yaiyalah, Bella, lagian kamu baru Ayah tinggal beberapa hari
saja sudah sedih begitu.”
“Namanya juga kangen. Ayah, kan tahu, aku paling dekat dengan
Ayah. Tidak sama Bunda, tidak sama yang lain,” kataku.
“Iya Bella, Sayang, Ayah tahu itu. Tapi kamu sudah dewasa,
Nak, kamu harus mandiri, tanggung jawab, dan menjaga amanah.
Jaga Bunda baik-baik di sana. Jangan biarkan Bunda kesepian. Dia
juga merasakan hal yang sama. Ketika kamu jauh dari Bunda, sama
seperti Ayah jauh dari Bella”.
Tak terasa, air mataku menetes tiba-tiba. Apa yang dikatakan
Ayah itu benar. Selama ini aku tak bisa dekat dengan Bunda. Aku pun
menjawab pesan Ayah dengan nada tersedu-sedu. Iya Ayah, Bella janji.
“Ya, sudah kalau begitu sampai disini dulu ya nak, besok kalau
ada waktu luang Ayah akan meneleponmu lagi dan Bunda,” pesan
Ayah.
“Oke Ayah,” kataku ceria.
Aku tak ingin sedih di hadapan Ayah. Aku harus buktikan bahwa
aku adalah Bella yang kuat.

***
Hari ini, aku bangun tepat pukul 05.00 wib. Aku bergegas untuk
berwudhu dan melaksanakan shalat subuh. Setelah itu, mandi dan
memakai seragam. Lalu menuju ke meja makan untuk sarapan.
Kulihat, Bunda sedang mempersiapkan semuanya di atas meja. Kurasa,
semua yang disiapkan tak lain adalah semua kebutuhanku. Setiap

333

hari, aku berangkat sekolah diantar dan dijemput oleh Bang Mamat
menggunakan mobil. Sesampainya di sekolah, aku berpamitan kepada
Bang Mamat dan segera turun dari mobil. Huuffftt … baru jam 06.00.
Kupikir, ini sudah pelajaran. karena satpam sekolah sudah standby
di depan dan pintu gerbang juga tidak terbuka terlalu lebar. Ehh….
Ternyata aku terlalu pagi datang ke sekolah. Walaupun rumahku
jauh, tapi aku belum pernah tercatat sebagai siswi yang terlambat
datang ke sekolah. Ya, setidaknya itu menjadi point plusku di sekolah.

Hmm… udara kali ini sejuk sekali. Aku sengaja mampir ke taman
sekolah. Taman sekolah memang banyak di favoritkan oleh anak-anak
di sekolah ini. Karena banyak fasilitas yang memadai. Seperti, hotspot
area, kuliner area, pendopo, tempat duduk di sekeliling taman, dan
masih banyak fasilitas lainnya. Aku memilih duduk di dekat kolam
ikan. Gemericik air yang terdengar membuat suasana di pagi hari ini
menjadi sunyi dan tenang.

Suasana sedang hening di dalam kelas. Tiba-tiba Pak Banu
menegurku dan sahabatku, Ika yang sedari tadi asik mengobrol dan
tidak memperhatikan pelajaran matematika.

”Siapa yang ribut?” Tanya Pak Banu sembari menoleh ke anak-
anak.

“Upss ! Pak Banu tuh Bell, kata Ika panik”.
“Nah, ketahuan kan siapa yang habis ribut tadi. Sekarang,
untuk Ika dan Bella, Bapak kasih pertanyaan! Kalau kalian tidak bisa
menyelesaikan soal matematika dari Bapak, kalian harus bersihkan
WC sepulang sekolah”.
“Iya, Pak, kita terima konsekuensinya”.
“Berapakah hasil dari penyelesaian soal berikut?” tanya Pak Banu
menunjuk kearah papan tulis.
“Aduh, Bell. Gimana, dong? Aku tidak bias,” ucap Ika panik.
“Tenang, ada aku. Soal itu, mah, gampang banget.”
Dalam satu menit aku sudah selesai menjawab pertanyaan dari
Pak Banu. Aku berdiri dari kursi dan segera memberikan jawaban
pada beliau. Setelah duduk kembali, …
“Selamat! Bella dan Ika kalian tertunda untuk membersihkan
WC.”

334

Sontak, Ika memelukku erat an aku hanya tersenyum lega.
“Makasih ya, Bella. Untung ada kamu, Kalau tidak, mungkin aku
akan berurusan dengan wc. Kamu memang jago deh soal matematika”.

***
Tidak! Aku tidak menyangka, aku tidak percaya, bahkan aku tidak
tahu apa yang telah terjadi kepada ayah. Ayah pergi meninggalkan
Bella dan Bunda selamanya. Mengapa? Tuhan, mengapa Ayah pergi
mendahului kami? Jika engkau mengizinkan, ambilah aku untuk
Engkau jemput. Hamba tidak bisa menerima semua ini. Padahal,
baru saja kami menghabiskan waktu bersama untuk berlibur di Jogja.
Tapi kenapa engkau merebut kebahagiaan kami dalam sekejap? Lalu,
semua pandanganku menjadi gelap. “Ayah!!!” Aku terbangun dari
tidurku. Kulihat di kaca cermin rias. Air mata menetes membasahi
pipi. Mimpi itu sangat mengerikan dan membuatku sedih. Hingga aku
terbangun pun, air mataku masih menetes. Segera aku melaksanakan
shalat Ashar. Setelah itu aku berdoa agar apa yang telah terjadi dalam
mimpiku hanyalah khayalan semata. Aku juga menyertakan bunda
dalam doaku.
Jam menunjukan pukul 19.30 wib. Namun, Bunda belum kun­jung
pulang. Heran, biasanya Bunda menelponku jika pu­lang terlambat
ke rumah tapi kali ini tidak memberiku kabar. Mungkin Bunda lagi
sibuk dengan clientnya, pikirku. Walau sudah menenangkan hati, tetap
saja aku masih khawatir dengannya. Malam itu, aku memutuskan
menunggu Bunda di ruang keluarga di temani dengan TV yang
menyala, sambil tiduran di sofa. Nampaknya aku mulai mengantuk,
hoamm… aku tertidur. Satu jam kemudian, ting.. tong.. dengan nyawa
yang masih belum terkumpul dan mata terbuka setengah sipit, kulihat
sosok ibu-ibu berada di depanku mengenakan jilbab dan membawa
tas.
“Bunda?”
“Maaf ya, Bella, Bunda tidak sempat memberimu kabar. Bunda
juga terlambat pulang ke rumah, ada client Bunda dan harus metting
mendadak.”
“Oh, iya Bun, tidak apa-apa.”
Jawaban itulah yang selalu kuberikan kepada kedua orang
tuaku atas kesibukan pekerjaan mereka karena telah terbiasa oleh

335

alasan itu. Hari terus berganti, waktu telah berlalu. Tak terasa begitu
cepat kulalui. Dua minggu yang lalu, aku telah menempuh UKK dan
seminggu yang lalu adalah pengambilan rapor. Aku tidak menyangka
mendapat juara 1 dikelas. Itu berarti, aku masih bisa mempertahankan
prestasiku. Kebanggaan itu bukan hanya dirasakan olehku. Bunda
pun begitu bangga dan bahagia. Tak lupa, aku memberi kabar kepada
Ayah. Ayah sangat meresponnya. Bahkan, ia berjanji akan memberiku
hadiah untuk berlibur bersama. Kami akan berlibur setelah Ayah
selesai bertugas di luar kota dan Ayah akan pulang kembali ke Jogja.
Ia akan pulang dua hari lagi.

“Memangnya mau kemana sih? Repot sekali,” goda Bunda ketika
melihatku sedang packing.

“Mau liburan dong, Bunda,” jawabku.
Besok, kita akan berlibur bersama. Bunda dan Bella tidak kesepian
lagi dan Bella tidak mau mendengar alasan dari Ayah dan Bunda soal
kesibukan.
“Bella, anakku, kau begitu senang?”
“Tentu saja, Bunda.”
“Kalau kau bahagia, Ayah dan Bunda lebih bahagia dari apa
yang Bella rasakan.”
“Benarkah?” air mataku seketika menetes saat berada di pelukan
Bunda.
Kini, adalah saat yang ditunggu. Kita akan berangkat menuju
kota Malang. Aku dan Ayah memasukan semua barang-barang yang
akan di bawa ke dalam bagasi mobil. Sepanjang perjalanan, Ayah
menceritakan pengalamannya ketika dulu Ayah berlibur bersama
keluarga. Cerita itu sungguh menyenangkan. Keadaan lalu lintas
begitu ramai dan padat. Maklum saja, kota Jogja se­lalu dipenuhi
wisatawan domestik maupun mancanegara saat liburan sekolah.
Begitu banyak para pengemudi yang saling salip menyalip kendaraan
lainnya. Ketika kendaraan sudah mulai lengang, tiba-tiba mobil yang
berada dari lawan arah menerobos mobil di depannya. Dan saat itu …
Duuaarrr !!!! mobil itu menabrak mobil yang kami kendarai.
Entah apa yang tejadi, aku tidak sadarkan diri selama beberapa menit.
Setelah sadar, aku berbaring di tempat tidur dalam sebuah ruangan.
Saat itu, ada seorang suster yang berada di sampingku.

336

“Bella ada di mana?”
“Mbak lagi ada di rumah sakit,” jawabnya.
“Bagaimana dengan Ayah dan Bunda suster?”
“Mbak, tenangin diri dulu. Nanti dokter akan kabarkan kondisi
orang tua, Mbak,” jelas suster itu.
Terdengar bunyi pintu yang diketuk.
”Selamat malam, dengan Bella?”
“Iya dok,saya Bella.”
Belum sempat menjelaskan, dokter itu nampaknya cemas untuk
mengatakan padaku. Raut wajah dokter itu juga tidak meyakinkan
bahwa semua baik-baik saja.
“Saya harap, Nak Bella bisa menerima keadaan ini. Kami sudah
berusaha semaksimal mungkin namun takdir berkata lain.”
“Apa??? Apa maksud Dokter pada saya? Ayah dan Bunda tidak
mungkin meninggalkan Bella sendirian,” jawab Bella dengan nada
terengah-engah.
“Mohon maaf, beliau telah berpulang. Kejadian naas tersebut
sudah menjadi takdir”.

***
Aku adalah Bella. Ya, Nadine Aurabella Pratama. Aku seorang
yatim piatu. Sebulan yang lalu, Dokter memberitahu bahwa Ayah dan
Bunda telah tiada. Orang yang satu-satunya selamat dari kecelakaan
itu hanyalah aku.

***
Ketika aku terdiam termenung

Aku merasakan sesuatu
Aku tak tahu apa yang kurasakan
Mungkinkah ini perasaan rinduku?

Entahlah …
Ketika aku terdiam
Semua terasa hampa
Sunyi,senyap dan sepi …

Tuhan …
Mengapa semua datang begitu cepat
Aku belum siap untuk menerima semua ini

337


Click to View FlipBook Version