di sampingnya. Air mataku luruh memandanginya. Jemari berkulit
keriput Kakek terasa beku dalam genggamanku. Tak tahu, berapa
banyak doaku yang dapat menggapai langit. Tuhan beri aku waktu
lebih lama bersama Kakek. Apa pintaku berlebihan?
“Kalau Kakek harus pergi Alex tidak boleh nangis.” suara Mama
dibelakangku.
“Jangan nyerah, Ma. Kakek pasti tertolong,” harapku tanpa henti.
“Kita sudah berusaha maksimal. Ikhlaskan kalau memang sudah
waktunya. Tuhan sayang kepada Kakek.”
Kami pun terlarut dalam haru penantian yang tidak menentu.
***
Ketika matahari beranjak meninggi, ketika kami lengah
diketenangan pagi itu, Kakek benar-benar pergi pergi mening
galkan kami yang masih menharapkan beliau sembuh. Hujan pun
tiba-tiba turun dengan lebatnya, sangat lebat. Alam pun seakan ikut
mengirimkan isyarat bela sungkawa. Kucium Kakekku yang sudah
terbujur kaku. Di wajahnya sudah tidak tergurat sedih dan sakit.
Guratan senyum di bibir Kakek seakan mengisyaratkan bahwa beliau
tenang di alam sana dan berpesan supaya kami tid ak perlu sedih. Aku
sangat masih mengagumi sosok Kakek. Aku tak sanggup beranjak.
Suara-suara datang silih berganti, kupejamkan mataku dalam balutan
serba hitam pertanda lara, aku ingin menemani arwah kakek terbang
menjauh. Awan membawa kami membumbung tinggi. Mencari
letak surga. Di kedudukan Maha Pekat, Tuhan menyayangi kami.
Mengirimkan sakaratul maut untuk membungkam penyakit Kakek.
Aku masih disamping kepala Kakek yang terbaring sambil ku bacakan
doa untuk Kakek.
Aku tertatih menuju pemakaman Kakekku yang tidak jauh dari
rumah. Ragaku bagai tak berpijak seluruh tarikan nafas kupenuhi
doa untuk mengantar Kakek. Saat jasad Kakek diliang lahat betapa
aku ingin menemaninya. Segenggam tanah merah kutabur pelan-
pelan menutupi tubuh Kakekku. Berjongkok dan melihat dengan jelas
arah Kakek dihadapkan ke kiblat. Gumpalan tanah hampir menutupi
semua kain kafan. Aku tak mau percaya pada penglihatanku. Kakek
di bawah sana tertimbun sendirian.
“Tuhan cinta Kakekku dan beri tempat paling indah disisi-Mu,”
88
dalam hati aku berkata.
Tengadah menatap langit, kesadaran bahwa hidup akan menemui
titik akhir. Aku pun juga akan mati. Episode akan berganti. Ah, aku
memang tumbuh dewasa melebihi umurku. Kakek yang mengajariku.
Pernahkan terpikir olehmu akan datangnya keajaiban? Semerbak
malam lebaran menyapa bumi langit berhias kelap-kelip bintang aku
sedang diberanda berbincang dengan Kakek.
“Kamu anak baik, Alex. Tetaplah rajin belajar.”
Suara Kakek membelai telingaku. Aku gembira, rasanya seabad
aku tidak mencium wangi khas itu menyebar. Bunga-bunga dihalaman
rumah Kakek bermekaran. Seribu peristiwa ingin kubagi pada Kakek.
Dan inilah saatnya. Ternyata aku hanya bermimpi bertemu Kakek.
Tuhan, mengapa lebaran kali ini sangat berbeda? Apakah Kakek hadir
melihat kami?
Kakek, lebaran telah datang. Kami semua merindu Alex mohon
maaf atas kesalahan. Tahukah Kakek, Alex selalu mencintai Kakek.
Kakek akan tetap selalu dihati. Dan Alex sangat bangga menjadi cucu
Kakek. Pembicaraan kita tidak akan pernah tuntas, Kakek….
DALAM SEBUAH MIMPI
Yuliana Diah Ayu P.
Enam belas tahun sudah aku menghabiskan waktuku dengan
ibu. Wanita yang lahir pada tangga l 9 Oktober 1972 itu bernama Susi
Supriyati. Tapi dia lebih akrab dipanggil “Mbak Us”, bahkan aku pun
memanggilnya “Mbak Us”. Wanita berkulit sawo matang ini mantan
penyayi lho. Dari SD, ibuku udah terjun di dunia tarik suara. Dan
waktu SMA dia sering ngisi di radio bahkan di televisi lokal. Dan
wanita yang ceria dan lucu ini juga dekat dengan Yulius Sitanggang,
penyanyi top tahun 80-an. Ibuku tidak terlalu tinggi, ya sekitar 155 cm
lah. Sekarang sih aku sama ibuku lebih tinggian aku. Menurut cerita
89
yang aku dengar, setelah melahirkan aku, ibu jadi gendut hahaha.
Rambut ibuku bagus, dan sampai sekarang aku masih iri
sama rambutnya yang hitam dan tebal. Rambutku sedikit lebih
bergelombang dibandingkan dengan rambut ibuku. Dan rambut
ibuku itu lembut, rapi pula. Ibuku juga punya mata yang indah, dan
alisnya tebal seperti alisku. Satu nih yang aku sebel. Gara-gara aku
ngefans sama 1D (One Direction), dan tiap hari dengerin lagu-lagu
1D, sekarang ibuku juga ikut-ikutan jadi DIRECTIONERS! Gilak aja,
udah tua ngefans sama boyband kece kayak 1D, aku sih sedikit nggak
terima. Ibuku juga ngefans sama Westlife, dia juga ngikutin drama-
drama korea. Aku suka drama korea karena ibuku.
Semenjak aku belum bisa membaca dan menulis, ibu dan ayah
sudah bercerai, jadi aku tinggal dengan Ibuku, Nenekku, Kakek
Buyutku, Nenek Buyutku dan Pamanku. Kami sangat teramat bahagia.
Hampir setiap hari aku pergi jalan-jalan dengan keluargaku. Ke mall,
ke museum, ke funworld, ke kolam renang, dinner di luar, beli barbie,
dan banyak kegiatan menyenangan yang kami lalui. Kangen rasanya
setiap aku buka album foto keluargaku waktu kami main-main. Tanpa
aku minta, nenek dna ibuku selalu memberiku apa yang aku pengen
dan apa yang aku butuhkan. Dan ketika aku pengen sesuatu, pasti
dibelikan. My heaven is my childhood.
Tapi Nenek Buyutku meninggal lima tahun yang lalu, dua tahun
kemudian kakek buyutku meninggal. Tinggalah aku, ibuku, pamanku
dan nenekku. Dan saat ini karena suatu alasan yang rumit, nenekku
meninggalkan rumah. Pamanku pun menikah dan tinggal di rumah
mertuanya. Sepi deh rumahku. Hanya ada aku dan ibuku. Ah, tidak
juga. Rumahku. tak sesepi itu. Setiap pagi sebelum aku berangkat ke
sekolah, kami selalu bertengkar. Ribut. Sibuk sendiri-sendiri.
Suatu pagi, entah setan apa yang merasukiku, aku bangun pukul
05.30! Keren kan?! Hahaha, aku biasa bangun pukul 06.15 bahkan
malah jam 06.30 makanya aku sering terlambat. Dan faktor lain kenapa
aku terlambat itu nungguin ibuku mandi. Beeeeeh, lama banget kalo
mandi! Nyebelin pokoknya.
“Alifia... Dek... Alifia... Alifia... bangun, dek... Alifia...” Ibuku
terus memanggil namaku sampai aku bangun.
Biasanya, aku akan bilang, “Aku udah bangun!”, terus aku tidur
90
lagi. Tapi entah kenapa hari ini aku langsung bangun. Ku buka mataku,
mencari karet rambut di sekitar bantal. Dan dengan lemasnya ku ikat
rambutku yang tebal. Aku berjalan sempoyongan mengambil handuk
merah jambuku, kemudian menuju ke kamar madi. Seperti yang aku
bilang tadi, ibuku lama banget kalau mandi, tapi anaknya makin
lama lagi kalau mendi hehehe. Selesai mandi aku segera ganti baju,
dengan keleletanku aku menyisir rambut panjangku. Aku bangga
sekali karena di SMA ini aku bisa panjangin rambutku. Ini rambut
paling panjang yang pernah aku pelihara.
“Adek! Cepet sisirannya! Lelet banget! Potong pendek aja lah biar
nggak repot!” Kata ibuku setiap aku menikmati aktivitasku menyisir
rambut.
“Nggak mau! Potong aja sendiri, aku sih nggak mau ya”, jawabku.
Jam 07.00 aku berangkat ke sekolah. Seperti biasa naik motor
diantar ibuku. Sepanjang jalan kami selalu ngobrol (kalau lagi akur).
Atau ibuku sering ceramah dan marah-marah sepanjang jalan. Ini nih
yang paling kau sebel dari ibu kalau dia mulai ceramah dan ngomel
di jalan. Kan malu diliatin banyak orang. Kalau di rumah sih nggak
papa, lah ini di jalan. Bayangin aja gimana perasaan lo kalau diomelin
sama nyokap di jalan! Malu kan? Exactly, itu yang gue rasain.
Hari ini ibuku cerita tentang mimpi anehnya. Ketika berhenti di
lampu bangjo Madukismo Padokan ibuku mulai cerita.
“Dek, semalem aku mimpi!” Kata Ibuku.
“Mimpi apa?” Tanyaku.
“Mimpi didatengin simbah”, jawab ibuku.
“Gimana ceritanya?” Tanyaku lagi. Dan dari situ ibuku mulai
menceritakan kronologi mimpinya yang dramatis dan sedikit aneh.
Dia berjalan menuju lorong panjang yang sangat gelap.
Melangkah perlahan dengan pandangan kosong.
Tap... Tap.. Sreeet... Sreeet
Derapan langkahnya terdengar hingga ujung lorong. Benar-benar
sepi, seakan tak ada kehidupan lain selain dirinya. Rambut panjangnya
tergerai menutup telinga. Nyaris seperti hantu berjalan dengan baju
abu-abu. Lorong seperti semakin memanjang dan semakin gelap.
Sedari tadi dia tak mengenakan alas kaki, sedang lantai lorong sudah
sedingin es batu. Seakan-akan ia tak merasakan betapa dinginnya
91
lantai itu, pandangannya masih kosong...
“Aaaaa!!” Ibuku berteriak. Dia terjatuh. Terdengar langkah kaki
kecil yang berlari menuju ke arahnya.
“Ibu.........!” Aku datang dari belakangnya. Aku merengek dan
memeluknya.
Seperti tersadar dari tidur panjang. Ibuku membalas pelukanku.
“Tidak apa-apa.... Ibu baik-baik saja....”, katanya dengan lembut.
Dibelainya rambut pendekku dengan penuh kasih sayang.
Tiba-tiba cahaya muncul di belakang. Bukan lilin atau cahaya
matahari. Ibuku menggenggam tanganku dan berjalan mengikuti
cahaya itu. Mendekat... cahaya pun membesar. Sampailah kami di
ujung lorong. Ibu mencoba keluar dari lorong, tetapi tidak bisa. Ujung
lorong rupanya sebuah cermin. Rupanya cahaya itu pantulan cermin.
Tetapi bagaimana bisa? Belakang kami hanyalah kegelapan yang
hampa, bagaimana bisa ada cahaya yang memantul pada cermin ini?
Ibu mundur beberapa langkah. Ia menggendong putri kecilnya
yang manis, memejamkan matanya dan setengah berlari menuju
cermin tadi. Ditembusnya cermin itu! Ia menembus cermin itu! Dia
sampai di sebuah taman yang hijau. Ia menoleh ke belakang dan
lorong itu menghilang, cermin itu telah tiada.
“Apa ini?” Tanyanya dalam hati.
Aku turun dari gendongannya. Aku berlari ke arah selatan. Ada
sungai kecil di selatan taman. Ibu mengikutiku dari belakang. Matanya
masih berkeliling, berusaha menebak tempat apa ini. Ibu mengenal
taman ini, tapi di mana? Kapan dia pernah ke sini?
“Si!” Teriak seorang kakek yang sedang duduk memancing di
pinggir sungai.
“Eyang?”, kata Ibu.
Rupanya itu adalah Kakek Ibu, yang tak lain adalah Kakek
Buyutku. Ibu berlari ke arah Kakek. Aku sudah lebih dulu sampai
di tempat kakek buyutku berada. Kakek yang tengah memancing
tersenyum melihatku datang. Lalu Ibu tiba dan memeluk Kakek erat-
erat.
“Eyang uyut bawa alat pancing lain?”, tanyaku kepada kakek.
“Tidak. Eyang hanya bawa satu. Adek mau mancing?” ucap
Kakek.
92
“Iya, eyang.......” jawabku.
“Ah, itu nenekmu bawa keranjang makanan, sana kamu makan
saja” kata Kakek sambil menunjuk ke arah Nenekku.
Ibuku menghampiri Nenekku dan membawakan keranjang
makanan yang dibawa Nenek. Aku berlari menyusul Ibu dan
nenek, kupeluk nenekku erat-erat. Kami duduk di pinggir sungai
yang ditumbuhi rumput hijau lebat. Matahari bersinar terang, angin
berhembus perlahan. Banyaknya pohon di pinggir sungai membuat
udara menjadi sejuk dan nyaman. Kami bercanda, kami tertawa dan
tampak sangat bahagia.
“Eyang uyut! Itu dapat ikan!!!” Teriakku. Kakek segera menarik
pancingannya. Kami berhasil mendapatkan satu ikan besar. Ikan
gurameh besar.
“Yeni, ambil keranjang yang tadi!” Seru Kakek kepada Nenekku.
“Ini, Pak...” jawab Nenek sambil memberikan keranjang yang
diminta ayahnya.
Ikan itu lepas dari genggaman Kakek, dan kami berusaha
menangkap ikan yang melompat-lompat di tanah. Semua tertawa
ceria. Tak lama kemudian kami mendapatkan ikan lagi. Kali ini tak
sebesar ikan yang pertama. Aku sangat bahagia karena aku yang
menarik pancing dan mendapatkan ikan kedua. Ibu menyuapi kakek
dengan buah mangga segar yang dibawa nenek. Sedangkan nenek
tiduran di samping kakek. Tiba-tiba seorang anak laki-laki berjalan di
seberang sungai. Dia melihat keceriaan kami. Bajunya lusuh, badannya
kurus kering, wajahnya pucat.
“Kakek, siapa itu?” Tanyaku. Nenek bangun, kemudian melihat
ke depan, ke seberang sungai dan dilihatnya anak itu.
“Kemari, nak!” Teriak Kakek. Anak itu segera berenang
menyebrangi sungai. Menghampiri kakek yang memanggilnya.
“Si, ambilkan roti, berikan pada anak itu.” Perintah Kakek kepada
Ibuku.
Ibu segera mengambil roti yang diminta kakek. Sementara Kakek
mengambil gurameh besar tadi. Kakek mencari plastik di sekitarnya
dan memasukkan gurameh tadi ke dalam plastik. Anak itu berhasil
menyebrang sungai. Airnya memang tidak deras, bahkan bisa dibilang
tenang. Wajah yang semula pucat bertampab pucat setelah berenang.
93
Anak itu benar-benar mengerikan. Tak ada senyum di bibirnya. Aku
pun takut dan bersembunyi di bahu Nenek.
“Ini, bawa pulang..”, kata Kakek kepada anak itu.
Kakek memberikan roti dan ikan gurameh besar hasil tangkapan
tadi. Anak itu hanya menundukkan kepalanya dan mencium tangan
kakek. Ia sama sekali tidak mengucapkan terimakasih. Tetapi dia
tersenyum. Bibir pucat itu tersenyum pada Kakek, Ibu, Nenek dan
kepadaku. Anak itu masuk ke dalam air dan berenang menyebrang
sungai lagi. Setibanya di seberang sungai, ia tak menoleh ke belakang
sama sekali. Dia berdiri dan berlari menjauh. Berlari sangat kencang.
Dia sudah tak terlihat.
“Ayok, mancing lagi!” Ajak Kakek. Aku melanjutkan memancing
bersama Kakek.
Aku tampak sangat bahagia. Begitu juga ibu dan neneknya. Hari
mulai sore. Udara begitu sejuk dan damai. Ibu merasa seperti di surga.
“Melihat ibu tersenyum seperti ini... Melihat kakek tertawa
bersamaku... Tak ada hal lain yang kuinginkan selain menikmati
indahnya hari ini...”, Ibu berkata dalam hati. Ia tersenyum bahagia.
Kakek sudah mendapatkan dua ikan lagi. Tiba-tiba ada seorang
nenek bungkuk yang datang menemui kami. Nenek itu menggendong
kayu bakar. Rambutnya putih pucat dan wajahnya keriput. Nenek
itu mengenakan setelan kebaya dan jarik coklat yang sedikit kumal.
Dia tampak sangat lelah.
“Mari, Nek, duduk di sini...”, kata Ibu.
Nenek itu tersenyum dan duduk di samping Ibu. Bibir nenek
kering. Ibu yang menyadari hal itu langsung mengambil air minum
dan memberikannya pada nenek. Lagi-lagi nenek hanya tersenyum.
Nenek meneguk air itu sampai habis.
“Sepertinya nenek itu masih haus. Ambil minum lagi, As..”, bisik
Nenek pada Ibu.
Ibu segera mengambilkan minuman lagi untuk nenek. Sementara
Nenek mencoba mengobrol dengan nenek itu. Ternyata rumahnya
ada di seberang sungai. Nenek itu mencari kayu setiap harinya.
Biasanya dijulal pada tetangga dan ia gunakan sendiri untuk memasak.
Kakek yang sedari tadi memancing mendengar cerita nenek. Kakek
94
mengambil dua ikan hasil pancingannya bersamaku. Dimasukannya
ikan itu ke dalam plastik hitam. Kemudian diberikan pada nenek tadi.
“Ini mbak... Untuk dimasak di rumah...” kata Kakek sambil
memberikan ikan itu.
“Terimakasih banyak...” kata Nenek itu sambil menerima plastik
berisi ikan dari Kakek.
Nenek itu pun pulang. Ibu masih bertanya-tanya. Sedari tadi
Kakek selalu memberikan makanan kami kepada orang lain yang
bahkan tak kami kenal. Ibu mengemasi barang-barangnya, bersiap-
siap untuk pulang karena hari sudah sore. Kami pun pulang.
**
Mimpi ibuku itu masih abstrak selama satu minggu setelah ibuku
menceritakannya. Satu bulan berlalu dan kehidupan keluarga kami
masih biasa-biasa saja. Normal. Tapi sebulan setelahnya, nenekku sakit
keras sampai nggak bisa ngapa-ngapain. Menggigil, dan setengah
nggak sadar. Pamanku sampai nangis lihat nenekku kayak gitu. Karena
nenekku sekalipun nggak pernah sakit separah ini. Paling-paling cuma
masuk angin, tapi kali ini benar-benar sakit. Kami membawa nenek
ke RS.Elisabeth Ganjuran. Gula darah dan kolesterol nenekku tinggi,
ada gangguan di jantung. Dan nenekku hampir kena leukemia, untung
aja ditangani dengan cepat.
Karena rumah sakit itu dekat tampat peziarahan Candi Ganjuran,
ibuku tiap hari berdoa di sana dan ambil air suci untuk diminum
nenekku. Tapi setelah sembuh, nenekku melakukan hal konyol yang
sangat menyebalkan. Sudah belasan tahun nenekku melakukan
kekonyolan ini, tapi kali inilah puncaknya. Ini benar-benar konyol dan
tidak berguna. Bahkan menyakitkan. Ini menyakiti hatiku, menyakiti
hati ibuku, menyakiti hati pamanku. Nenekku benar-benar tolol kali
ini. Dia tidak sadar bahwa kami sangat mencintainya. Dan ibuku
hancur gara-gara kelakuan nenek. Aku tidak dapat mengatakan
95
kekonyolan apa yang nenekku perbuat karena ini memalukan.
Setiap malam ibuku berdoa di Gereja Salib Suci Gunung Sempu.
Dengan harapan nenekku berubah, dan mungkin dengan harapan
anaknya sukses di sekolah. Tapi sampai sekarang nenekku justru
makin menggila. Sudah hampir dua bulan nenekku tidak pulang.
Aku bahkan belum melihatnya semenjak pulang dari CIS kemarin.
Kasihan juga ibuku melihat ibunya yang menggila seperti itu.
Tapi terkadang ibuku juga membuatku kesal. Tapi sebenarnya dia
seru. Dia lucu (tapi kadang garing juga). Dia juga narsis banget, ih!
Dan saat ini dia lagi menikmati profesinya sebagai makelar tanah. Di
mana-mana selalu promosiin tanah dagangannya. Aku sampe bosen
denger tanah, tanah, rumah, rumah, tanah lagi tanah lagi dan lagi. Tapi
berkat tanahlah aku dapet laptop samsung yang aku pakai sampai
sekarang. Walaupun aku super menyebalkan, but actually mom, I love
you so much...
GADIS, DUNIA, DAN FANA
Adhi Bayu Perkasa
Bunga yang berlalu, tiang yang menguap, norma yang terlupakan,
barisan rapi kelam, dan harga mati. Siapa yang mampu memahami
kata resapan ini? Kau pikir ini akan keluar dalam mata ujian sehingga
96
kau rela mempelajarinya sampai tengah malam? Atau seperti anak
lain kau coba untuk tinggal dan menyeleksi sinetron kesukaan ibumu.
Pada remote televisi aku bertanya, kenapa setiap simbolmu terkesan
menodai? Hampir tak ada yang aman jika kutelantarkan tanganku
menekan tujuanmu. Kutanya lagi, benarkah semuanya akan berakhir?
Kau lihatlah kebohongan diluar sana. Kau akan melihat remaja
tampan dari negeri Paman Sam menyanyikan lagu semacam sendu.
Sebenarnya kau malu mengungkapkan bahwa suaranya tak lebih
dari suara tetanggamu yang berbising. Namun, kau telalu melihat
fananya yang nyata-nyata menggebu. Nafsumu mengudara seraya
menatapi wajahnya yang rupawan. Lalu kau rela menempelkan wajah-
wajahnya dikamarmu, menggantikan tulisan-tulisan indah tentang
Tuhanmu. Kau lupakan siapa sang pemberi cahaya dan kau lebih
memilih wajahnya yang kau kira serupa cahaya.
Barisan mahluk legendaris yang disebut manusia, rela mengor
bankan nyawanya demi mendapat sebuah kertas kecil yang kalian
sebut itu ‘tiket’. Lalu kalian berharap wanita yang suka menari-nari
dengan membuka auratnya dan lenggak-lenggok menonjolkan
tubuhnya yang serupa hewan melata. Dan kau rela meninggalkan
tiket emas nyata yang lebih asli dari dua puluh empat karat. Tiketmu
menuju sesuatu yang nyata daripada fana, surga keabadian.
Kau akan berteriak dan menangis keras saat menyesali perbuatan
mu. Kesalahanmu karena meninggalkan pertunjukannya, idolamu
yang selalu kau puja lebih-lebih berhala. Dan aku belum pernah
menemui atau bahkan bisa membayangkan bagaimana kau menangis
tersedu-sedu untuk bertaubat. Meski dalam volume terkecil sekalipun.
Kini kulihat dunia yang semakin menjadi. Jadi arang, jadi abu.
Dimanakah dapat kudaki rerumpunan kecil hati yang masih saling
mengingatkan tentang pemberi jiwa? Penyawa raga? Dan penegak
rasa? Tidak lain yang kudengar selama ini hanyalah dendang
kemusrikan. Melambaikan tangan dan membual dengan sengaja.
Kurasa gadis yang dulu kutatap selama ini masih memberikan
karpet merah untukku. Sedangkan yang lainnya lebih beragam dengan
warna hijau atau kuning. Gadis yang kurasa masih memiliki indera
ketujuh, kesetiaannya pada siapa yang benar seharusnya. Gadis yang
97
selama ini akan mati suri dalam benakku dan mengaliri pikiranku
dengan nada-nada minor bertempo cepat.
Ternyata dugaanku benar adanya, setelah sekian lama aku
bernaung dalam hati para gadis belia. Hanya di gadis inilah aku
melihat sebuah kekuatan yang tak lagi kusebut fana. Entah kenapa
aku tetap meninggalkannya demi wanita lain yang kuanggap lebih
menawan, nyatanya sama saja dengan para gadis yang selama ini
kusesali lalu kutinggalkan.
Asaku menjelma serupa batu, lalu melayang dengan beratnya
menutupi pundakku dan serasa memberikanku realita tentang
kemunafikan. Kemunafikan itulah yang kini kusebut kenyataan, dan
keberadaaan dari anonimnya selalu kuikrarkan sebagai fana.
“Mengapa kau menangisiku? Bukankah aku yang telah
membuatmu kecewa?” tanyaku pada gadis penarik hatiku dahulu.
“Mengapa kau masih disini? Bukankah kau yang telah
membuatku kecewa?” isyaratnya hanya membalikkan pertanyaanku.
Ternyata itu kekuatannya, yang rasanya juga telah membalikkan
hatiku ke sebelah jantung.
“Aku hanya ingin kau tak menangis, mengapa kau lakukan itu?”
“Mengapa kau lakukan ini terhadapku? Kau sesungguhnya tak
mengerti wanita…”
“Sesungguhnya aku mengerti wanita, kau adalah alasannya
ataupun asalannya. Namun perlu kau ketahui aku tak ingin mendengar
tangismu meski semerdu angin bertiup,”
“Pergilah, pahamilah mengapa kau pergi dariku dan kembalilah
disaat yang tepat. Disaat aku sudah tak bisa meneteskan air mataku
kecuali dua butir saja,”
“Aku tidak ingin memperbaiki hatimu. Aku hanya ingin
mengakhiri penderitaanmu,” lalu aku pergi dan meninggalkannya
dalam sapaan yang amat teramat dalam.
Kalian mungkin tak akan paham bahasa yang kugunakan,
sepaham kau menghafalkan rumus matematika. Namun kalian kulatih
untuk tidak terbiasa menghafal logat, kecuali ayat-ayat Allah dan
nama Ibunda kalian.
Kuratapi setiap aliran air dan setiap keringat yang dikeluarkan
98
angin. Lalu kuhafalkan ritmenya sampai jantungku ikut hafal. Aku
sekarang berubah jadi pembunuh. Aku selesai mempelajari bahasa
alam, lalu kugunakan untuk menghabisi apa yang perlu dihilangkan
disekelilingku. Para munafik yang sedang menyamar dengan keras.
Sebelumnya kupotong nadi para munafik pada setiap jengkalnya,
lalu menghafalkan bau dan gemerlapnya. Kuhisap darahnya dan
menemukan rasa baru dari setiap munafik hingga aku sangat
mengetahui siapa saja yang harus kubunuh hanya dari naluriku.
Setidaknya aku telah selesai membasmi ribuan mahluk munafik disini.
Sangat banyak? Itu benar, karena setiap lelaki yang kutemui adalah
para munafik. Mereka semua sama saja dan hampir aku tak pernah
melihat ada lelaki beraroma surga ataupun sekedar jembatannya saja
di dunia ini.
Aku memandangi sekitar. Nyatanya lautan darah itu tak pernah
ada, namun sungai darah masih bisa kupastikan dengan tanganku
sendiri. Namun mengapa aku masih tak tega membunuh para
perempuan itu. Seharusnya aku tidak merasakan belas kasihan.
Aku terlalu kuat untuk takut! Namun kini aku terlalu takut untuk
berhadapan dengannya.
Kini kulihat dihatiku tepat, telah tertusuk sebilah pedang yang
terlihat ganas dan rupawan. Kudapati gadis yang dulu sangat kucintai
telah menikamku. Dalam pandangan membaur, aku mulai bertanya
padanya…
“Mengapa kau datang kembali? Bukankah aku yang harusnya
datang kembali?” tanyaku dalam parau dan darah yang menyeruak.
99
Ia menangis lalu berusaha dengan sekuat bumi menahan
tangisnya hinga yang menetes hanyalah dua bulir.
“Bukankah aku telah berjanji padamu mengirimkan dua tetes
tangis? Dan benar hanya dua…”
“Lalu mengapa kau harus menikamku dari belakang? Ini bukan
hanya perumpamaan, ini kenyataan yang tak mungkin fana…”
“Kau pikir aku suka bercanda? Mungkin sebaiknya aku pulang
dan menangisimu karena aku tak bisa menangis disini. Aku berjanji
hanya dua tetes.”
“Dan kini kau menatapi hatiku yang telah tertusuk. Di dalam
dan luarnya. Apa kau akan memperbaikinya?”
“Aku tidak ingin memperbaiki hatimu. Aku hanya ingin meng
akhiri penderitaanmu,” ia mengembalikan kataku yang dahulu.
Dan kini ia yang pergi dengan ganasnya. Kupahami mengapa
ia mengakhiriku. Kukira bauku, aromaku bahkan nadiku adalah
munafik. Aku mati sebagai munafik yang tertawa dalam penderitaanku
sendiri. Lalu beberapa tepuk tangan mulai terdengar. Sebuah suara
mengagung-agungkan namaku. Setelah lama mendiam, akhirnya
kusadari aku tengah mendapat penghargaan film terbaik atas skenario
karanganku sendiri. Penghargaan? Apa yang sebenarnya sedang
terjadi di sini?
SENANDUNG MELODI
Allysa Zain
Berdebarlah rasa di dada ini. Tak terkira olehku sebelumnya
akan bisa tampil pada acara ini. Perasaanku sekarang kacau, antara
rasa senang dan gugup semua bercampur menjadi satu. Badan ini
pun menjadi terasa dingin walau sebenarnya suasana di ruangan itu
100
benar-benar panas hingga keringat pun menbasahi tubuhku. Kini aku
telah di panggil untuk tampil.
“Baiklah ini dia penyanyi kita.... Lisa....,” pembawa acara itu
memanggil namaku.
Aku kini berusaha untuk menampilkan yang terbaik di atas sana.
Di atas panggung ini. Kulihat banyak sekali orang yang menyoraki
dan memanggil-manggil namaku. Perasaan ini menjadi tak menentu,
padahal aku sudah berdandan dengan baik untuk acara ini. Gaun putih
seperti salju yang dingin, sepatu yang lebih mengkilat dari sebuah kaca
yang bening, riasan yang anggun dengan bedak dan bibir yang merah
bagai mawar yang baru mekar. Dengan semua ini akan kucoba untuk
menampilkan yang terbaik, supaya aku bisa membuat mereka senang.
***
Tanggal 23 Mei 1999 di setasiun Yokohama. Saat itu sekitar pukul
5 dini hari. Suasana masih sangat sunyi. Bahkan sang dewa kehidupan
pun belum menampakan dirinya dari tempat persembunyiaannya.
Aku sudah berdiri menggendong tas yang berisi beberapa pakaian,
bekal dan barang-barang lain yang ku perlukan. Hari ini juga aku akan
bulatkan tekatku. Aku akan pergi ke Tokyo sekarang juga. Aku akan
raih impianku menjadi seorang penyanyi, yang selama ini terhalang
oleh kondisi ekonomi keluargaku. Kereta itu sudah datang. Kali ini
benar, sudah bulat sekali tekat dalam hati ku ini. Aku akan benar-
benar meraih imp ianku. Akhirnya kulangkahkan kaki ini ke dalam
gerbong kereta. Aku yakin aku bisa meraihnya. Aku berdoa dalam
hatiku, dan saat itu juga rentetan gerbong itu bergerak menuju kota
yang penuh germelap itu. Aku benar-benar senang hari ini. Banyak
sekali yang tekesima denganku. Dalam benak seorang gadis yang
sudah seperempat abad ini, hal yang tadi itu adalah hal yang biasa.
Sudah banyak tepuk tangan dan sorak-sorak yang tertuju kepadanya.
“Lisa…. Lisa…. Lisa…,” begitulah sorak-sorak yang selalu datang
kepadanya.
Hari ini dia mengucapkan terimakasih kepada para pengemar
dan seluruh orang-orang yang terlibat dalam konser ini.
“Untuk semuanya aku ucapkan terimakasih. Tanpa kalian
mungkin aku tak kan bisa menjadi apa-apa sampai sekarang ini.
101
Sekali lagi aku ucapkan terimakasih,” aku menundukkan kepala
tanda hormat kepada semua orang.
Dalam hati aku menahan rasa ini. Tak bisa kuperinci, tetapi benar-
benar sesak rasanya. Tak terasa air mata ini harus mengalir satu demi
satu dan membasahi pipiku.
***
Kereta itu akhirnya sampai di stasiun Tokyo. Aku langsung
berlari menuju ke luar stasiun. Sampai di luar stasiun, aku benar-
benar terkejut. Aku baru pertama kali pergi ke kota Tokyo. Dan hal
ini aku lakukan sendirian dengan penuh pesonanya kota ini, dengan
banyaknya gedung pencakar langitnya, dan banyaknya langkah
kaki yang sulit ku hitung berapa jumlahnya. Kali ini aku akan pergi
ke stasiun TV Tokyo. Aku akan ikut audisi untuk menjadi seorang
penyanyi yang hebat. Belum juga aku masuk ke gedung megah itu
tapi rasanya kakiku kram, tak bisa aku gerakan. Aku merasa sangat
gugup, apalagi dengan banyaknya antrian orang di sana. Saat aku
mengantri untuk mendapatkan nomor pes erta, aku melihat ke arah
mereka. Sepertinya mereka terus melihat ke arahku. Mereka pun
berbisik-bisik dan entah berbisik apa mereka di belakangku. Aku
menjadi merasa kecil hati. Aku pun langsung menjauh saat aku sudah
mendapatkan nomor yang kumau.
Saat aku duduk di ruang tunggu. Kulihat mata mereka terus
melihat ke arahku. Aku merasa mungkin ada yang salah dengan
diriku. Apa aku terlihat aneh bagi mereka. Seseorang datang me
nemuik u, gadis cantik dengan rambut ikal dan bibir merah. Tapi
sayang, kata-katanya yang keluar dari bibirnya sungguh tak kuduga.
“Mau apa kau gadis desa ke sini. Kau ini hanya bisa mem alukan
dirimu sendiri. Lihatlah dirimu benar-benar tidak pantas. Seharusnya
kau ada di tempat sampah dari pada di sini. Ya ampun bagaimana
orang tuamu mendidikmu,” kata gadis itu di depanku.
Setelah mengatakan itu ia langsung berpaling meningg alk anku.
Kata-kata itu benar-benar menusuk hatiku. Aku memang seorang anak
desa dari keluarga kelas bawah. Tapi tak usahlah ia mengejekku separti
itu. Apalagi ia menbawa orang tuaku. Aku benar-benar marah. Tapi
rasanya sangat sesak hingga aku menahan tangis. Teman-temanku
menemuiku, mereka mengu capkan selamat kepadaku. Sekarang,
102
banyak karangan bunga yang menghiasi ruanganku. Ini semua
adalah pemberian orang yang sayang padaku. Aku merasa sangat
terharu melihat semua ini. Aku melihat diriku sendiri di kaca. Melihat
sekarang aku sudah bisa menjadi seorang yang sukses dengan jerih
payah ku sendiri. Aku sekarang benar-benar bangga dengan diriku.
“Lisa, sekarang kau sudah bisa membuktikan kepada semua
orang bahwa kau bisa. Terus pertahankan lisa kau harus menjadi
yang terbaik di antara yang terbaik. Semangat Lisa semangat!” begitu
caraku menyemangati diriku sendiri.
***
Aku rasa kata-kata itu terus terngiang di telingaku. Aku tak bisa
menahan rasa ini. Aku harus bisa buktikan kepadanya bahwa aku
pasti bisa. Saat namaku dipanggil aku pun langsung bersemangat dan
berjalan dengan cepat ke ruang studio. Tetapi tak kusangka dia sengaja
menyandung kakiku. Aku pun terjatuh. Mereka terus bersorak dan
menertawaiku. Tawa mereka bagaikan duri yang terus melukai hatiku.
“Hahaha……… hahaha……. Dasar anak kampung mau apa kau
ke sini. Mau cari mati, yah kau ke sini,” kata semua orang yang ada
di sana.
Aku tak bisa menahan tangis ini lagi. Aku pun akhirnya
menangis dan berlari ke arah tempat audisi. Akhirnya selesai juga.
Rasanya sangat lelah saat acara tersebut. Aku benar-benar banyak
mengeluarkan tenaga untuk acara itu. Sampai di apartemen aku pun
hanya bisa terbaring.
“Hah…. Benar-benar melelahkan hari ini,” sambil ku rebahk an
tubuhku ke sofa.
Aku melihat ke arah tumpukan hadiah yang diberikan kepadaku.
Ada salah satu hadiah yang sangat membuat kutertarik. Sebuah kotak
yang di hiasi sebuah pita merah di atasnya. Aku menga mbi kotak itu.
Rasanya saat melihat kotak itu. Kotak itu tak asing bagiku. Seperti
aku pernah melihatnya. Lalu, kubuka kotak itu. Saat aku melihat
isinya aku benar-benar terkejut. Hal ini membuat air mata ku tak bisa
menahan tangisan. Kotak itu penuh sekali dengan kenangan. Dari
kengan madu hingga kenangan racun tersusun rapih di dalam kotak
itu. Aku benar-benar terharu. Rasa ini tak bisa ku ungkiri. Saat aku
melihat gambar-gambar yang ada dalam kotak itu. Gambar masa lalu
103
yang penuh impian yang pernah aku alami. Aku hapus air mataku.
Aku tak boleh seperti ini terus. Aku harus ingat untuk apa aku ke
sini. Aku pun bangkit, dalam hatiku aku bertekad.
“Aku adalah seseorang yang terbaik yang akan mengantarkan
sebuah senandung melodi indah yang akan membangun sebuah
kehidupan,” desahku dalam hati.
Seperti semangat dalam tubuh ku sudah kembali. Hal ini seperti
ledakan bom atom, benar-benar dahsyat dan membuat aku sangat
bersemangat. Aku pun membuka pintu audisi itu dan ku masuki
ruangan yang akan memberiku harapan besar.
***
Ketika aku melihat di antara foto itu ada terselip foto kedua orang
tuaku. Melihat itu justru membuat ku lebih tak kuat lagi menahan
tangis ini. Air mata ini terus mengalir. Aku pandangi wajah mereka di
foto itu. Ibu ku benar-benar memesona. Bahkan lebih mempesaona dari
sepucuk bunga mawar. Dan lebih indah dari sebuah berlian. Sikapnya
yang tegas dan teguh namun lembut itulah yang selalu ku ingat
dari beliau. Aku ingat saat pertama kali aku mengatakan impianku
kepada Ibu. Malam itu Ibu menyisir rambutku. Aku pun bersandar
di pangkuannya. Aku sangat men ikmati hal itu. Kasih sayangnya itu
tak ternilai oleh apa pun. Bahkan dengan mobil mewah atau bahkan
uang bermiliaran. Waktu itu ia bertanya kepadaku dengan nada yang
sangat halus bahkan lebih dari selembar kain sutra.
“Nak, besok kalau kau sudah dewasa kau ingin menjadi apa?”
dengan nada lembutnya sambil ia terus menyisir rambut ku yang
panjang dan lurus itu.
“Aku…. Aku ingin menjadi penyanyi,” dengan percaya dirinya
aku langsung berdiri dari pangkuan Ibuku.
Aku menatap mata ibuku yang menyatakan betapa seman gatnya
aku untuk meraih cita-cita ku. Ibu hanya mengangguk melihat aku
begitu semangat.
“Nak, Ibu pasti akan mendukung apapun yang kalian cita-
citakan.”
Setelah mendengar kata-kata itu aku benar bahagia. Kulihat
sebuah senyuman terlukis di paras anggunnya itu.
***
104
Terhenyak setelah anganku memikirkan Ibuku. Hilang semua
rasa Maluku kini. Sekarang kepercayaan diriku berkobar-kobar. Aku
tak akan pernah mengecewakan orangtuaku. Dengan aku berdiri di
sini akan aku bahagiakan mereka. Aku sambut para juri yang duduk
di sana dengan senyuman.
“Perkenalkan, namaku Lisa Oribe. Umurku 15 tahun. Aku berdiri
di sini karena aku ingin bisa menjadi seorang penyanyi yang karyanya
selalu dikenang dalam hati.”
Dengan percaya dirinya aku memperkenalkan diriku dengan
suara lantang. Hilang semua rasa malu dan grogi ini. Yang aku
rasakan sekarang adalah tekat yang sangat berkobar-kobar untuk
meraih impianku.
“Baiklah Lisa lagu apa yang ingin kaunyanyikan sekarang?”
tanya seorang juri kepadaku.
Tanpa basa-basi dan mengatakan judulnya aku pun langsung
menyanyikan lagu yang ingin kunyanyikan itu.
“Gokigen na chou ni natte kirameku kaze ni notteIma sugu kimi ni ai
ni yukou
Yokei na koto nante wasureta hou ga mashi sa
Kore ijou shareteru jikan wa nai
Nani ga wow wow wow wow wow kono sora ni todoku no darou
Dakedo wow wow wow wow wow ashita no yotei mo wakaranai
Mugendai na yume no ato no nanimo nai yo no naka ja
Sou sa itoshii omoi mo makesou ni naru kedo
Stay shigachi na imeeji darake no tayorinai tsubasa demo
Kitto toberu sa on my love”
“Menjadi seekor kupu-kupu. Terbawa angin berkilau.
Sekarang ku pergi untuk bertemu kau.
Hal yang bukan urusanmu lebih baik lupakan saja tidak ada waktu
untuk bermain-main.
Apa yang wow wow wow… bisa di capai di langit ini.
Tetapi wow wow wow… kita tidak tahu rencana esok hari.
Setelah mimpi panjang tiada akhir di dunia sepi.
Hinga pikiran bersemangat kelihatannya akan kalah tetapi kepak
105
seyap tiada kabarnya hanya berhayal pasti kan bisa terbang.
Oh… sayangku.”
Kunyanyikan lagu butterfly ini. Lagu ini memang sedang terkenal
sekarang. Karena lagunya yang bersemangat dan menjadi lagu pengisa
sebuah anime terkenal di tahun ini. Karena ini lagu yang bersemangat
aku pun menyanyikannya dengan penuh semangat. Aku pun benar-
benar menghayati lagu ini, karena aku akan bisa meraih mimpiku
seperti yang dijelaskan di lagu ini bahwa berkhayal pasti akan bisa
kalau engkau berusaha. Kulihat mata semua juri menatap padaku
setelah aku menyanyikan lagu ini. Mereka kemudian bangkit dari
duduknya dan bertepuk tangan kepadaku. Ketiga juri itu pun memuji
kemanpuanku.
“Kau sangat hebat.”
“Suaramu sangat bagus.”
“Aku suka gayamu.”
Semua kata-kata itu membuatku semangat. Sepertinya jalan
menuju kemenangan sudah dekat dan kurasakan jantungku yang
berdetak sangat kencangnya. Sekeluarku dari tempat itu, sudah tak
ada lagi rasa gundam di hati ini. Semua kata yang keluar dari mulut
mereka tak akan kupedulikan lagi. Karena itu hanya membuang
waktuku saja. Aku duduk diantara mereka, aku sekarang merasa
sangat percaya diri. Aku rasa aku pasti bisa memenangkannya.
Kami sekarang berdiri dengan sejajar di pangg ung. Sekarang saatnya
pengumuman juaranya. Juri pun naik ke atas panggung. Jantungku
berdebar rasanya. Keringatku mengucur deras. Rasanya aku sangat
gugup. Sekarang kulihat bibir juri itu mulai bergerak. Mengatakan
sesuatu kata yang akan membuat tempat ini bergemuruh.
“Baiklah, pemenangnya adalah,” seorang juri mengatakannya
dengan sangat semangat.
Rasanya aku tak bisa terus mendengar kata-katanya lagi. Aku
merasa sangat pusing dan pandanganku pun gelap.
“Pemenangnya adalah Llllliii….,” saat seorang juri itu meng
ucapkan kata terakhir itu aku sudah tidak bisa mendengarnya lagi.
Dan ketika kata terakhir itulah, aku jatuh tak sadarkan diri.
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
KEADILAN SEMU
Yosef Astono Widhi
“Aku sudah tidak percaya pada Tuhan. Ini semua tidak adil...!”
teriak Hanjar dengan lantang.
***
BRUAKK! Bos itu memukul mejanya dengan keras.
“Sedikit lagi kutegaskan Hanjar. Di zaman krisis moneter seperti
ini, kita haruslah bersikap bijak dalam pengeluaran anggaran. Dan
untuk itulah, aku harus selektif dalam memilih karyawan” Bos berkata
penuh makna.
“Tapi mengapa saya Pak? Apa kekurangan saya?” kata Hanjar
nanar.
“Ya, Hanjar. Saya tahu kau adalah pekerja yang rajin, baik dalam
bertutur juga laku. Kau juga ulet dan beretos kerja tinggi. Tapi kau juga
harus tahu, di atas langit masih ada langit. Dan kau tidak termasuk
langit ke dua, tiga, empat apalagi ke-tujuh!” Bos berseringai geram.
“Pak, saya memiliki keluarga yang harus saya nafkahi. Satu
kesempatan saja, Bos. Sa-sa-saya mohon belas kasihan Bapak….”
Hanjar berkata terbata-bata dan mengharapkan belas kasihan dari
Bos-nya itu.
“Kau pikir saya juga tidak memiliki keluarga? Kau pikir saya
sudah kaya? Kau pikir ini perusahaan besar dengan keuntungan
gigantic? Ini cuma perusahaan kecil Hanjar...” jelas Bos sedingin es.
“Lagipula, saya sudah memiliki penggantimu. Dan tentu lebih
menjamin profit bagi perusahaan ini, dibanding kamu, Hanjar. Kau
tahu siapa?” tanya Bos yang lebih seperti menghina Hanjar.
“Hahaha, ia adalah Danu!” tata Bos tersenyum licik.
“Hah? Danu? Si anak saudagar kapal yang hanya lulusan SMP
itu? Apa Anda yakin, Bos?”
118
“Yah, memang kau lebih baik dibanding ia dari beberapa sisi. Ia
tidak mahir sepertimu, otaknya pun tidak se-brilian otakmu, Hanjar.
Tapi di zaman krisis seperti ini, kita lebih membutuhkan orang bodoh
seperti dia untuk kita manfaatkan. Ya, ini tentang uang Hanjar. UANG!
Bahkan gajimu satu tahun tidak akan menyamai uang suap dari ayah
Danu. Hahaha” lagi Bos menyeringai licik.
“Apa? Jadi ayah Danu membayarmu untuk mempekerjakan
anaknya? Ini sungguh gila!”
“Jika kegilaan dapat membawa keuntungan, why not?”
“Tapi ini tidak adil, Bos!”
“Apa kau tinggal di bawah batu, Hanjar? Ini kompetisi hidup!
Semua adil dalam cinta dan perang. Ini perang mempertahankan
pekerjaan dan harga diri. Sudahlah, cepat keluar dan ambil semuanya!”
Bos memberikan dua buah surat berisikan surat-surat dan sejumlah
pesangon.
“Bos, saya akan bekerja lebih giat lagi. Saya akan membuktikan
bahwa saya jauh lebih berharga daripada uang suapan si penjilat itu.
Demi Tuhan!”
“PUAH! Naif kau Hanjar! Apa kau masih mempercayai-Nya?
Percaya bahwa Tuhan akan memberikan keadilan bagi hidupmu
ini? HAH? Hidup ini keji, Hanjar. Bahkan, Tuhan tak akan mampu
sebijaksana itu dalam mengatasi semua konflik di dunia ini. Jikalau
keadilan ada di tangan Tuhan, tentu perusahaan ini akan menjadi
perusahaan super! Gedung pencakar langit dengan hiasan keramik
di sudut-sudutnya, bukan dengan bangunan tua dan sarang laba-laba
di mana-mana! Keadilan itu tidak ada!”
JDAR...! Bagai petir menyambar tubuhnya. Hanjar terenyak. Ia
hanya bisa terpaku diam merenungi kata-kata bos-nya itu.
“Ta-ta-tapi Bos..”
“Ah sudahlah cepat keluar! Saya sudah muak mendengar
ocehanmu ini! Saya minta maaf, Hanjar. Memang beginilah kenyataan
hidup.”
Hanjar keluar dengan perasaan kesal bercampur murka. Ia tak
habis pikir bahwa Bos-nya lebih memilih Danu daripada dirinya.
Untuk menenangkan diri, ia memacu motor lawas-nya menuju warung
119
kopi langganannya. Keadilan itu tidak ada! Kalimat tersebut selalu
terngiang di pikiran Hanjar.
“Loh ndingaren to Mas. Biasanya masih ngantor?” tanya Bi Inah
seraya memberikan kopi pesanan Hanjar.
“Bi..., Bi Inah percaya tidak sama Tuhan?”
“Weh, lha gimana to Mas, ya percaya no!. Kalau ndak ada Tuhan,
Mas Hanjar ya ndak bisa ngopi di sini to ya!” ujar Bi Inah kental dengan
logat Jawanya.
“Lalu, apa Bi Inah percaya dengan keadilan? Maksud saya, apa
Bi Inah menganggap hidup Bi Inah itu adil?”
“Hemmm, ya kadang-kadang aku juga ndak sreg sama pekerjaanku,
Mas. Iri lho liat orang-orang ke mana-mana pakai sepeda motor, wong
sini aja masih ngonthel!” cercah Bi Inah dengan nada agak kesal.
Bi Inah ini asli Gunung Kidul yang mencoba peruntungannya
dengan bekerja di kota metropolitan Jakarta. Ia ditinggal kawin lagi
oleh suaminya dan memilih membuka warung kopi kecil-kecilan
untuk menafkahi kedua anaknya.
“Saya habis dikeluarkan dari tempat kerja saya, Bi.”
“Hah, mosok to, Mas?”
“Iya, Bi. Bos sialan itu lebih memilih suapan uang si Danu dungu,
anak saudagar kaya itu, ketimbang saya. Ini tidak adil, Bi.”
Terlihat kesedihan di raut wajah Hanjar. Ia sangat kesal terhadap
bosnya. Kesal terhadap Danu. Kesal terhadap Tuhan. Bi Inah hanya
diam melihat pelanggan setianya itu, ia juga merasakan bagaimana
pahitnya hidup ini.
“Lagian Bi, pekerjaan Ndari juga sedang susah! Pelanggan
kateringnya sudah tidak memesan lagi, alasannya kemahalan. Huaaah
dipikir harga bahan bakar ga pengaruh sama harga bahan-bahan
sembako apa ya! Tuhan aja tidak adil, gimana pemerintah mau adil!”
Hanjar mencercah penuh kesal.
“Astaghfirullah! Ya ndak gitu juga to Mas!”
Hanjar hanya bisa kembali menyeruput sisa kopinya.
“Mas, si Ndari tadi bilang ada niat mau kerja jadi TKW, bener
to, Mas?” Bi Inah berusaha mencairkan suasana.
“Emang iya ya, Bi? Kok aku malah ngga tahu ya?”
“Tadi sempet ngobrol di pasar, Mas. Cuma bentar tapi…”
120
“Ah sudah sore, aku harus buru-buru pulang, Bi. Kasian Ndari,
di rumah sendiri.” ucap Hanjar memotong perkataan Bi Inah. Setelah
membayar kopi yang dibelinya, Hanjar kembali memacu motornya
menuju rumah. Semoga Ndari bisa menenangkan, pikir Hanjar.
***
“Ayo dong, kita narik lagi! Masak cuma satu kali putaran.” ujar
Hanjar mengajak Handi dan Banar balapan lagi.
“Aku sih mau-mau aja. Tapi jangan harap bisa kabur ya kalau
kau kalah!” balas Handi.
“Tenang Handi, aku tidak akan kalah atau kabur. Aku sudah
menang banyak hari ini.”
“Cih, baru menang hari ini aja belagu. Ingat, kau berhutang
banyak pada kami berdua.”
“Hahaha..., kita besarin saja taruhannya. Jikalau aku kalah, maka
impas!” tantang Hanjar.
“Kau pikir kami takut padamu?” Handi menjawab tantangan
Hanjar.
“Sudahlah, tak usah banyak cakap. Kita tarik sajalah!” Banar
berusaha mengakhiri pertentangan kedua temannya itu.
***
“Masih berani kamu membela Tuhan-mu itu? Masih berani kamu
memuja Tuhan tanpa keadilan itu?” Hanjar mendorong Ndari, istrinya,
hingga jatuh.
“Astaga, nyebut Mas, nyebut!”
“Hahaha..., Ndari, Ndari. Kau itu munafik! Apa kau pernah
merasakan keadilan? APA PERNAH? Kita selalu hidup dalam
keterbatasan. 48 tahun aku mengabdi pada-Nya, baru kali ini aku
sadar. Aku sudah dibodohi-Nya.” Terlihat depresi merasuki tubuh
Hanjar.
“Mas, kita kan tahu, hidup ini seperti roda. Kadang di atas,
kadang di bawah. Apa kamu belum sadar, Mas?”
“Cih, kamu itu banyak omong ya.” Hanjar hendak menampar
istrinya. Tapi ia mengurungkan niatnya. Ia mengambil kunci motornya
dan berjalan menuju pintu.
“Mau ke mana kamu, Mas?”
121
“Aku mau membuat hidup kita berada di atas. Aku bosan berada
di bawah.”
“Jangan bilang mau balapan liar lagi.” Hanjar tetap melaju tanpa
menghiraukannya dan men-start motornya.
“MAS!” Ndari berteriak mencoba menghentikan niat buruk
suaminya itu.
Tetapi suaranya tertelan gelapnya malam dan bisingnya suara
motor. Sadarkanlah ia, ya Tuhan, ucap Ndari dalam hati. Ndari lalu
mengemas barangnya. Tekadnya sudah bulat. Sampai nanti, Mas.
***
“Hahaha, kapan-kapan main lagi ya” tawa Hanjar senang.
“Kau itu hanya beruntung kali ini.” ucap Handi.
“Bah, terserah katamu! Yang penting utangku berkurang.
Hahaha, Ndari aku bawa duit!”
Tiba-tiba semua orang yang ada di kawasan balap liar tersebut
berlari panik. Semua memacu motornya meninggalkan tempat itu.
“POLISI, ada polisi!” teriak seseorang.
“Hah, polisi? Ada polisi, kabur, kabur!” Ujar yang lain.
Hanjar hanya bisa terpaku. Karena kepanikannya, ia segera
mengambil motor dan menariknya dengan kecepatan penuh tanpa
peduli pada uang yang baru saja ia dapatkan tadi. Sampai di tempat
yang sekiranya aman, ia berhenti.
“Bangsat! Uangnya tertinggal!” Hanjar memukul motornya
dengan kesal. Ia pun menaiki motornya menuju rumahnya. Tiga bulan
sudah ia tidak pulang ke rumah. Ia rindu pada Ndari. Ia rindu pada
masakan orang yang paling ia cintainya itu.
“Ndari, buka pintunya! Ndari, Ndar?” Tidak ada balasan dari
dalam. Rumahnya terlihat sangat kotor seperti sudah ditinggal lama
tanpa penghuni. Hanjar mencoba mencari kunci yang biasanya di
sembunyikan di lubang ventilasi pintu. Huh, untung saja kunci itu
ada di sana.
***
Di sore yang temaram itu Hanjar hanya bisa duduk menikmati
secangkir teh manisnya. Sudah dua minggu semenjak ia kembali ke
rumah dan selalu mengharapkan kehadiran belahan hatinya pulang.
Ia masih tidak mengetahui ke mana Ndari pergi. Hanjar mengambil
122
koran hari ini dan membaca headline-nya. Seorang WNI dihukum
pancung karena membunuh majikannya di Arab. Hanjar mendengus
pelan, mungkin ini yang namanya keadilan. Meski ia sangat membenci
hukuman mati terhadap seseorang, tapi ia pikir ini adalah hukuman
yang pantas, meski itu WNI sekali pun. Kembali ia menyeruput tehnya
yang sudah mulai dingin. Ia kembali teringat pada Ndari. Hanjar
mulai menyesal atas tindakan bodohnya meninggalkan rumah tiga
bulan lalu. Andai Hanjar tidak pergi. Andai Hanjar tidak dipecat.
Andai Hanjar percaya apa itu keadilan, ia tidak akan bekerja serabutan
seperti sekarang. Ia tidak akan kehilangan istrinya.
Beberapa hari setelah berita hukuman mati WNI itu, Hanjar
mendapat sebuah kiriman surat. Melihat tanda cap bertuliskan Arab,
Hanjar segera membuka surat tersebut.
Mas, mungkin Mas sudah tau berita tersebut. Kulakukan semua
ini untuk membuktikan akan adanya keadilan bagi Mas. Ketika kau
membaca surat ini, mungkin aku sudah melihatmu dari atas sana.
Kutunggu kau di sini, Mas. Semoga kau sadar.
Ndari
PRANG! Cangkir yang dipegang Hanjar jatuh. Karena kebodoh
annya, karena ketidakpercayaannya terhadap keadilan istrinya
meninggal. Mungkin hidup ini sangat keji bagi Hanjar, juga semua
orang yang menganggap bahwa keadilan itu tidak ada. Keadilan itu
hanya bersifat semu bagi mereka.
123
HUJAN SAYAP MALAIKAT
Adhi Bayu Perkasa
Sore ini seperti pada biasa, hampir tidak istimewa. Abah duduk
di samping jendela yang terbuka. Ia tatap lembut hujan yang begitu
semangat merajam bumi, dari ketinggian langit yang tak tertembus
pandangan, samnil dihirupnya dalam-dalam sebatang sigaret. Ibu
masih belum pulang, dan semoga masih nanti.
Dan aku, setia menunggu datangnya keajaiban. Menunggu
ribuan malaikat kecil, yang nanti akan mengajakku bermain-main.
Lalu memberkahiku sayap-sayapnya yang seakan meremehkan rumah
tua kami.
Sebenarnya aku sudah berusia remaja menuju dewasa. Nam un
sepertinya Tuhan member fisikku sedikit guncangan. Mungkin itu
suatu kelebihan. Aku masih menjadi anak-anak. Mungkin akan
semakin kekanak-kanakan pula.
Belum selesai aku membayangkan diri, para malaikat sudah
datang mendahului. Entah darimana mereka bermunculan. Terbang
mengelilingi lampu atau apapun yang bercahaya. Menggeliat diantara
dinding rumah, dan beberapa berakhir di rahang cicak.
“Kau senang mereka datang?” tanya abah kepadaku. Abah masih
menghirup dalam-dalam sebatang sigaretnya. Lalu menghempaskan
nafasnya yang berasap pekat sambil dilarutkan dalam secangkir kopi
hangat.
Senang rasanya melihat mereka beterbangan kesana-kemari.
Aku menari-nari dibawahnya. Menangkapi mereka satu persatu, lalu
melepaskannya lagi. Hanya para malaikat inilah yang mengajariku
untuk bisa hidup dengan penuh tertawa. Hidupku menjadi lebih
ringan rasa rasanya.
Para malaikat semakin banyak berhamburan mengisi rumah.
Mereka berdatangan tanpa permisi. Lalu sebuah kenop pintu terputar,
124
ibu datang pula bersama para malaikat. Dengan muka lesu dan kesal.
Menatap abah sambil menambah kerutan diwajah.
Aku terpaku melihat ibu datang. Abah masih begitu santai me
nikmati sigaret dan kopinya. Para malaikat terus berdengung sambil
mengitari lampu rumah. Dan muka ibu semakin penuh dengan kerutan
menatap para malaikat. Kuharap ibu tidak melenyapkan mereka lagi
dari rumah, tapi semua sudah terlambat. Ibu mengusir para malaikat
keluar dari rumah.
Tak kubayangkan betapa teganya ibu membuang kebahagiaanku.
Membuang ratusan malaikat tak berdosa. Membiarkanku melata
dalam bayang rumah, sendirian tanpa teman yang nyata kecuali abah
yang selalu sibuk bersama asap-asapnya.
“Sudah puas bermain laron? Sudah puas menambah beban ibu?
Mengotori lantai dan menggemukan cicak. Kau pikir siapa yang nanti
akan membersihkannya? Ibu lagi!” tiba-tiba ibu meledak. Apakah itu
kutukan karena telah mengusir malaikat?
***
Pagi lagi, aku terbangun untuk membuka hari. Beberapa sisa
sayap malaikat masih berserakan. Lalu kulihat abah sudah siaga
didekat jendela sambil mengagungkan asapnya. Kopi hangat juga
terselip diantara lengan jendela.
“Sudah bangun Cok?” sebuah suara tiba-tiba menghampiriku.
Ucok adalah panggilanku, sedang nama asliku sendiri aku tidak
pernah tau.
“Kalau sudah bangun, segera ambil air wudhu dan sholat subuh!
Agar badan jadi segar…” ibu begitu berkilau di pagi hari. Nadanya
sopan dan perangainya lembut selembut sutra raja. Namun begitu
malam tiba, kurasa aku tidak ingin membayangkannya.
Aku tidak berkata-kata. Karena memang sangat sulit berbicara
pada saat baru terbangun. Aku segera mengambil air wudhu dan
melaksanakan sholat. Abah mengajariku cara beribadah yang baik
sejak kecil.
Sebelum kujamah sajadah kecilku, kulihat ibu sudah siap pergi.
Meninggalkan rumah ini lagi dan merubah dirinya menjadi orang
lain di malam hari. Ibu melemparkan senyum kepadaku, dan masih
125
tertangkap oleh pandangan sebelum sholat kulaksanakan. Begitu
manis dan terasa lembut.
***
Sore datang lagi, ditambah hujan yang dengan riang berlonjakan
diatas genting. Dengan sepenuh hati kutunggu kedatangan rombongan
malaikat. Beramai-ramai mengisi ruang rumah dengan kebahagiaan.
Meski hanya sesaat.
Hujan sedikit reda, belum ada tanda-tanda munculnya para
malaikat. Aku merasa sedikit lapar karena menunggu terlalu lama.
Abah masih seperti biasa, meluangkan waktu untuk menikmati sigaret
dan segelas kopi didekat jendela.
Kulihat asap yang mengepul diantara sigaret abah mulai menjadi-
jadi, aku terbantuk menerima gumpalannya. Lalu dalam batuk-batuk
kecil yang kuluapkan, terlihat sosok-sosok kecil mulai berdatangan.
Itu para malaikat!
Betapa gembiranya hatiku melihat mereka datang dari berbagai
penjuru. Seakan mampu menembus dinding, mereka memasuki
rumah lewat berbagai celah yang ada. Aku mulai men gejar salah
satu malaikat kecil yang terbang menuju abah. Dan terjatuh disamping
kursi samping penikmat setia sigaret itu.
Aku tidak merasakan sakit karena terlalu bahagia. Salah satu
malaikat yang berhasil kutangkap menggelitiki pergelangan tanganku.
Lalu kulihat sisanya mulai mengitari lampu penerang rumah.
“Kalau kamu suka bermain dengan mereka, coba ajak mereka
mengobrol. Agar kau punya teman yang datang setiap sore saat
redup dan bekas hujan,” tiba-tiba abah menepuk pundakku sambil
mengarahkanku.
“Sekarang bah?” tanyaku dengan penuh kacau.
“Hahaha. Mau kapan lagi? Menunggu ibumu datang dan
memarahimu lagi ?”
Abah menyalakan sigaret yang lain. Setidaknya aku mengetahui
nama pipa kecil yang selalu dibawa abah untuk bersantai. Aku tau
nama itu saat ibu pulang dari kerja dahulu, ia mencaci-maki abah
yang semakin tua semakin sakit. Semakin tua semakin nyaman di
kursi kayunya.
126
Tidak perlu menunggu lama-lama. Kudekati rombongan malaikat
yang sedang mengitari lampu dan mulai menanyakan hal-hal yang
ingin kuketahui. Apalagi itu saran abah, biasanya saran abah itu baik.
“Hai malaikat kecil…” tanyaku pada salah satu dari mereka yang
kehilangan sayap “mengapa kalian terus berputar diantara lampu
yang silau itu?”
“Aku sedang mencari Ka’bah, begitu pula teman-temanku..”
katanya perlahan sambil menggeliat diantara telapak tanganku.
“Mencari Ka’bah? Kata abah, tempat suci itu letaknya jauh dari
sini. Bukan didalam lampu itu pak malaikat..”
“Sepengertianku, Ka’bah adalah tempat yang terang dan begitu
hangat. Tempat yang memiliki cahaya mendamaikan. Maka dari itu
kami selalu mencar Ka’bah dimana-mana. Meskipun kami kecil, tapi
kami ingin memiliki hati sesuci samudra dengan mencari Ka’bah..”
Aku tidak mengerti apa maksud dari pak malaikat. Lalu ia
meloncat dan pergi meinggalkanku mencari sayapnya. Aku kembali
menari dan tertawa bahagia bersama para malaikat yang lain.
Tiba-tiba sebuah dentuman keras menggugurkanku. Itu suara
pintu dibanting dengan keras. Suaranya membuatku takut akan
kejadian buruk yang sering terjadi padaku. Ibu pulang dari kerjanya.
Ibu yang lembut berubah menjadi monster saat pulang kerja.
“LAROOONN!!! BIKIN KOTOR RUMAH SAJA!!!” teriak ibu
beberapa saat setelah masuk rumah. Lalu ia mulai menyapu dan
mengusir seluruh malaikat keluar dari rumah.
“Aku bahagia menghabiskan hidupku untuk mencari Ka’bah,
mencari jalan Allah. Aku tidak bisa sholat sebagai mahluk kecil
begini, aku iri pada kalian umat manusia yang diberi bentuk paling
sempurna. Karena aku tidak bisa sholat, maka aku ingin mendekati
Allah dengan mencari cahaya ciptaan-Nya,” kata seorang malaikat
yang ada di telapak tanganku. Tiba-tiba malaikat itu terbang menjauh.
Ibu masih marah-marah dengan keadaan rumah. Tiga detik
kemudian, turunah sebuah hujan yang sangat indah. Sayap para
malaikat berjatuhan dari atap. Pelan-pelan jatuh ke bumi sambil
menangkapku dalam kekaguman.
Semakin terlihat garang dengan sapunya, ibu melenyapkan
barisan mahluk tak berdaya di seberang. Hujan belum juga berhenti.
127
Para malaikat segera pulang ke rumah yang entah dimana. Abah
masih menikmati sigaret terakhirnya hari ini. Lalu aku, tertunduk
layu membayangkan bagaimana rupa Sang Pencipta yang mampu
menciptakan keindahan seperti ini. Paling tidak, saat sebelum ibu
berhasil melenyapkan semuanya.
128
TITIK HIDUP
Allyssa Zain
Bel sekolah itu sudah berbunyi. Tubuh tambun, badan yang tak
terlalu tinggi ini mengejar keterlambatan. Upacara sudah di mulai,
aku masih belum siap karena aku terlambat datang. Yang lain sudah
berbaris rapih di depan sedang aku di sini masih sibuk membenarkan
rambutku dan mengenakan tapi ini.
Aku berlari menyusul yang lain. Belaga tidak ada apa-apa saat
guru datang memeriksa. Aku berbaris di belakang mencari tempat
aman. Sahabaku Eda yang sama-sama terlambat pun ikut berada di
sampingku.
“Eh, Do terlambat lagi ?” Tanyaku sambil menyikutnya.
“Ah…. Sudah biasa. Kau juga terlambat ya, Tom ?” Ia justru
menjawab semuanya dengan santai seolah tak ada masalah. Justru ia
melempar pertanyaan kepadaku yang membuatku mati gaya.
“hehehe…. Ia kau tau saja.” Aku berkata dengan kata-kata yang
terbata-bata. Di dalam hati aku benar-benar merasa malu karena ini
pertama kalinya aku terlambat datang sekolah. Biasanya aku selalu
rajin datang.
“Eh…. Tom… Tom…. Ibu killer datang.”
“Ah….” Aku kaget saat Edo berkata soal itu. Guru kami yang satu
ini memeang sangat tegas, namanya ibu Puji, tubuhnya tambun sama
sepertiku, kerudungnya yang coklat terlihat serasi dengan bajunya.
Tapi sanyang ia selalu galak, apalagi kepada anak yang melanggar
peraturan sekolah.
Ibu itu mendekati kami berdua. Jantungku terasa berdetak
dengan kencang. Aku merasa ada sesuatu yang aku lupakan. Aku
hanya bisa berdiri terdiam saat bu Puji mendekati kami. Matanya
menatapku dari bawah hingga atas. Jantung malah semakin berdetak
cepat. Aku kemudian tersontak saat ibu mengatakan.
129
“Tommi kemana sabukmu ?” Beliau bicara dengan nada yang
sangat lantang, yang membuat aku merasa sangat tegang.
Saat itu pun aku baru sadar bahwa aku tidak memakai sabuk.
Tadi pasti gara-gara aku terlalu terburu-buru makannya aku lupa
memakainya. Tapi itu sudah terlambat akhirnya pun aku tetap
mendapat hukuman untuk berdiri sambil hormat pada bendera sampai
jam pelajaran pertama selesai.
Entah kenapa hari ini aku merasa pusing sekali, tubuhku
terasa lemas bahkan keringatku pun mengucur deras. Padahal pagi
ini mendung. Cuacapun sedang sejuk. Tapi tubuh ini terasa sangat
panas. Aku pun tak kuat lagi, mata ku berkunang-kunang dan
pandangankupun mulai menghilang. Dan akuhirnya aku pun jatuh
tak sadarkan diri.
Saat mata ku terpejam ku lihat remang-remang lampu di atas
sana. Aku beru tersadar bahwa aku sekarang berada di uks sekolah.
Perawat di uks pun mengizinkanku pulang karena panas bedanku
cukup tinggi. Aku pun pulang di antar mobil sekolah.
Sepulangnya, ibu langsung mengngompresku. Panas ku cukup
tinggi aku pun menggigil. Ibu pun terus ada di sampingku.
“Bu aku merasa tenggorokanku tak enak.” Aku mengusap
tenggorokanku serasa seperti mau flu tetapi nyatanya aku tak batuk.
“Biar ibu buatkan minuman hangat untuk mu.”
Ibu menbuatkan ku segelas teh hangat. Tenggorokanku merasa
lebih baik. Panas badan ku tidak turun hingga malam. Ibu dan ayah
terlihat cukup kuwatir. Aku pun akhirnya di bawa ke dokter.
Saat di dokter, aku melihat wajah ayah dan ibuku saat aku di
periksa. Aku merasa tidak enak saat dokter menjamah tubuhku
dengan stetoskopnya. Setelah dokter selesai memeriksaku, beliaupun
berbincang-bincang dengan orang tua ku.
“Dok bagaimana kondisi anak saya ?” Ayah bertanya dengan
nada cemas.
“Anak tuan sepertinya harus mengikuti tes darah, saya akan
buatkan surat ke rumah sakit untuk melakukan tes darah. Saya takut
anak tuan terkena demam berdarah.”
Tangan ayahku pun bergetar saat menerima surat itu.
130
Keesokan harinya tubuhku sangat lemas. Aku pun tak mempu
untuk berdiri. Akhirnya ayah menggendongku ke mobil. Hari ini aku
mengikuti tes darah. Ibu terus memegang tangan ku. Sepertinya ibu
sangat menghawatirkanku.
Jarum itu disuntikkan ke padaku. Aku merasa seperti menembus
kulitku dengan tajamnya. Darahku pun diambil. Kata suster itu
hasilnya bisa di ambil besok.
Saat membuka hasilnya ayah tercengang ia begitu kaget. Aku
sendiri tak bisa melihat jelas beliau kini tubuhku tak bisa di ajak
kompromi. Panas tubuhku sangat tinggi, ibu bahkan sampai menangis
di dekatku. Aku pun akhirnya di rawat di rumah sakit pagi itu juga.
Kini tubuhku kritis, trombositku turun dengan drastis. Panas
tubuhku juga sudah sangat tinggi, sudah bukan main lagi tingginya
mungkin hingga bisa memasak air sampai mendidih. Aku tak bisa
berkata apa-apa lagi, pandanganku pun sekarang sudah tak jelas lagi.
“Nak ibu keluar sebentar untuk membeli obat mu ya.” Ibu
melepaskan genggamannya dari tangan ku.
Rasanya hari ini benar-benar dingin. Walau sebenarnya badan
ku sangat panas. Bahkan ruangan itu pun sebenarnya sangat panas
karena ac-nya tidak di nyalakan. Handphone ku terus bordering
sembari tadi, mungkin dari teman-teman ku. Mereka pasti sangat
menghawatirkanku.
Ayah mengangkat handphone-ku. Itu telepon dari Icha salah satu
sahabatku di kelas. “Halo….”
“Halo…. Pak bagaiman keadaan Tommi sekarang ?” tanyanya
kepada ayah ku nadanya benar-benar seperti khawatir.
Aku menyuruh ayah ku mengatakan bahwa aku baik-baik saja.
“Ah…. Tommi tidak apa-apa.”
Ayah menatapku saat beliau sudah selesai dengan telpon dari
Icha. “Nak kenapa kau begitu kepada sahabatmu ? ia benar-benar
sangat khawatir kepada mu.
Aku tak menjawab apa-apa. Tabu bagi ku untuk menjawab
pertanyaan itu. Di satu sisi aku tidak ingin mereka khawatir dan di
sisi lain aku merasa malu bila aku sudah tak bisa apa-apa lagi sekarang.
Sekarang aku terlihat seperti mantan jagoan yang biasanya membela
sahabat-sahabat ku, kini lemah tak berdaya.
131
Dokter datang memeriksa tubuhku. Aku sendiri hanya diam saja
tak bisa berkata apa-apa, saat dokter berkata padaku, “Nak Tommi,
bagaimana perasaannya ? apa ada yang masih sakit?”
Mulutku benar-benar sulit untuk di ajak bicara walau sepatah kata
saja. Dokter pun memilih untuk bicara dengan ayah. Dokter berkata
pada ayah ku bahwa demam berdarah yang aku derita bukan demam
berdarah biasa. Kondisinya pun sudah parah. Dokter menyuruh aku
untuk melakukan tes lagi, beliau khawatir hati ku terkena virus juga.
Hal itu yang menurut dokter sangat mengkhawatirkan.
Hari ini aku mengikuti berbagai macam rangkaian tes yang
tidak aku mengerti apa. Tubuh ku terasa lemas sekali setelah tes itu
berlangsung. Ibu menyuapiku dengan bubur, tapi perutku tak mau
menerima apa pun, semua yang masuk pasti akan di muntahkan.
Akhirnya hanya cairan infus dan cairan obat-obatan yang masuk ke
dalam tubuh ku.
Setiap hari di rumah sakit ini ku lewati. Tubuh ku mulai tak
karuan, setiap hari aku harus mengikuti macam-macam tes. Bahkan
saat aku di diapnosis dokter bahwa hati ku juga sudah terkena virus
tersebut. Dan menurut dokter bukan hanya satu jenis virus yang
menyerang tubuh ku. Aku sekarang semakin kehilangan semangat
untuk hidup.
Sudah satu bulan ini aku tidak masuk sekolah. Ibu yang melihatku
sangat kesepian, akhirnya memanggil teman-temanku untuk datang
menjengukku. Sebenarnya aku merasa malu pada mereka. Tapi rasa
rindu ini mengalahkan segalanya. Ada Edo, Icha, dan Asih yang
menemuiku. Mereka berkumpul mengeliliku. Sebenarnya aku sudah
tidak jelas lagi melihat wajah-wajah mereka. Bagaimana Edo yang
tinggi dan berkulit gelap, Icha yang berkerudung putih dan selalu
tersenyum manis kepada ku dan Asih yang selalu mengucir rambut
panjang dan keritingnya itu.
Aku sedikit remang melihat wajah mereka, tapi aku tau semuanya
memperlihatkan raut wajah yang sangat khawatir kepada ku.
“Tom, kapan kamu sembuh? Nanti kalau kamu sudah sembuh
kita main sama-sama lagi,” kata Icha mencoba menghibur ku.
Aku hanya menggeleng pertanda tidak tahu.
“Tom kau jangan sakit saja, di kelas sekarang tak seru kalau tak
132
ada dirimu,” Asih berkata itu sambil menatap ku dengan tatapan
yang meyakinkan.
Edo pun menyenggolku dan berkata, “Eh… masa jagoan sekarang
kerjaannya terbaring di atas tempat tidur. Mana Tommi yang dulu
yang selalu bersemangat.”
Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata itu. Kata-kata
tersebut menjadi semangat dan hiburan yang berarti bagiku. Tapi
kini semua sudah terlambat, virus itu terus menggerogoti hatiku.
Hingga sekarang hatiku tak bisa berfungsi dengan baik lagi. Tubuhku
pun terus-menerus kejang dan demam di tubuhku juga turun naik tak
menentu. Ibu terus menangis melihat keadaan anaknya seperti ini.
Esoknya, setelah 40 hari aku dirawat, akhirnya aku tertidur
juga untuk selamanya. Banyak air mata yang mengalir mengiringi
kepergianku. Teman-teman dan para guru sekolahku ikut mengiringi
kepergianku. Akhirnya hanya air mata yang ada. Saat gundukan tanah
itu mulai ditaburi bunga. Sekarang yang terlihat adalah papan yang
tertulis Tommi Farhan.
133
KETIKA HUJAN REDA
Yosef Astono Widhi
Kata banyak orang pelangi itu indah. Penuh warna. Tapi bagiku
tidak, tidak lebih baik dari hidupku. Hidupku yang kelabu.
***
Mungkin sekarang mendung adalah sahabat terbaik matahari,
atau mungkin sudah terjalin hubungan yang lebih. Hampir sebulan
ini cuaca selalu mendung lalu hujan, tidak pernah cerah. Mungkin
kota ini harus diberi julukan ‘kota hujan ke-dua’ atau mungkin ‘kota
tidak pernah cerah’ atau apalah. Cuaca yang tidak memungkinkan
warganya untuk bersepeda. Mungkin ini sebabnya kota ini sudah
jarang disebut ‘kota sepeda’. Ataupun melakukan kegiatan pariwisata
yang juga merupakan julukan kota ini, ‘kota pariwisata’.
Speerti hari sebelumnya, hari ini hanya hujanlah yang menema
niku. Sebenarnya, aku bingung harus benci atau tidak pada hujan.
Hujan yang sebenarnya diturunkan oleh Sang Pencipta sebagai berkah
untuk makhluk-Nya. Benci, karena hujan kerap mendatangkan
musibah dan memaksaku untuk bergelut dengan kemacetan setiap
hari. Angkot yang biasa kunaiki pun tidak terlihat sejauh mata
memandang. Huh, sepertinya aku lebih kearah benci daripada suka
dengan hujan.
“Hai, sendirian aja. Namamu siapa?” Aku tersentak kaget, suara
itu membuyarkan lamunanku. Seorang wanita seumuranku duduk
di ssampingku seraya menyodorkan tangannya.
“Eh, hai, ngagetin aja. Namaku Arko Fanus. Panggil Arko aja.
Kalo kamu?” Jawabku sambil menerima tangan gadis itu.
“Nama yang bagus. Aku Luvia Kristi, Luvia. Kamu biasa nunggu
angkot di sini ya, Ko?”
“Iya angkot jurusan timur, Luv. Biasanya jam segini udah sampai
rumah nih. Berhubung hujan, macet deh. Angkot ngaret. Huh terkutuk
kau hujan!”
134
“Huh jangan ngomong gitu, hujan itu rezeki lo.”
“Bikin banjir kok rezeki. Benci deh.”
“Wah Ko, kita kayanya ngga bakal cocok deh. Aku cinta hujan,
juga pelangi!” Seru Luvia girang.
“Hah, apasih bagus hujan? Pelangi juga, bagiku pelangi cuma
kumpulan berbagai warna yang tak berseni.”
“Haha dasar Arko. Kau tahu, namaku Luvia, dalam bahasa
Spanyol yang berarti Hujan. Aku hidup bersama hujan, aku dan hujan
bersahabat dekat.” Kembali, Luvia tersenyum. Manis. Manis sekali.
“Hei kok bengong, tuh angkot nya udah datang. Sana naik, ke
buru sore.” Luvia mengagetkanku, aku segera bangkit hendak menuju
angkot. Kupikir Luvia ikut denganku, tetapi ia hanya diam.
“Aku beda jurusan, Ko.” Ucapnya melihat kebingunganku.
Setelah melambaikan tangan pada Luvia, aku segera menaiki angkot
yang lumayan sepi penumpang tersebut. Mungkin calon penumpang
lebih memilih taksi karena angkot terlalu lama datangnya.
***
Hari ini adalah tepat satu bulan setelah pertemuanku dengan
Luvia. Kami selalu bertemu sepulang sekolah di bawah naungan halte,
sekadar bercerita ngalor-ngidul. Selama satu bulan juga hujan selalu
menemani kami, seakan tidak membiarkan kami pergi.
“Apa kau ini dewi hujan, heh? Setiap kali kita bertemu selalu
diiringi hujan.” Seruku bercanda.
“ Kalo begitu kamu dewa pelangi dong, selalu pelangi menghiasi
angkasa saat hujan reda.”
“Haha, pelangi dan hujan. Mereka memang tercipta untuk
bersama kan. Ketika orang-orang benci dengan hujan, lalu pelangi
diturunkan untuk meredakan amarahnya. Ini sudah diatur.”
“Berarti pertemuan kita sudah diatur dong, Ko.” Aku kaget
mendengarnya. Tampak Luvia menerawang jauh kea rah pelangi
yang menjulang indah di angkasa.
“Kau bagai pelangi yang selalu mewarnai hari-hariku. Terima
kasih.” Ucap Luvia.
“Aku bisa merasakan hujan ketika orang lain hanya merasa
basah. Aku juga merasakan keindahan di setiap hari-hari di mana
135
kita selalu bertemu. Keindahan bagai pelangi.” Ucapnya lagi. Ia masih
menerawang jauh, seperti membayangkan sesuatu.
“Aku juga berterimakasih padamu. Berkatmu aku bisa merasakan
hujan dan pelangi. Walau sedikit.” Jawabku sekenanya. Perasaan
apakah ini? Perasaan yang nyaman namun berat untuk diungkapkan.
“Maukah kamu berjanji padaku?”Sekarang Luvia menatap
padaku. Terlihat harapan besar di matanya.
“Berjanji apa?”
“Berjanji untuk tidak membenci lagi pada hujan dan berjanji
padaku untuk selalu menjadi pelangi.” Aku bingung mendengarnya.
Aku tidak mengerti arti pertanaan tersebut.
“Eh hei itu angkotnya sudah datang. Mungkin bisa dilanjutkan
besok, Luv. Keburu sore nih.” Ucapku berusaha mengelak.
“Menghindar, heh?”
“Menghindar dari apa?”
“Sudahlah, hati-hati di jalan Ko. Sampai bertemu.
Aku menaiki angkot itu. Sekelebat aku melihat air mata di
ujung matanya. Tetapi angkot yang kunaiki segera berlalu. Tidak
ada lambaian tangan. Tidak ada senyum manis.
***
Mungkin semua orang iri pada kami. Dua orang yang sedang
asik bercengkrama di bawah hujan, dan sejenak melupakan rasa penat
dan jenuh di kehidupan ini. Mereka iri pada keakraban kami. Ya,
aku dan Luvia memang semakin terlihat akrab. Kami selalu bersama
menunggu angkot setelah pulang sekolah, ditemani hujan dan pelangi
tentunya.
“Luv, rumah kamu di mana sih? Kamu juga, sekolah di mana?”
Kedua pertanyaan itu akhirnya terucap juga. Pertanyaan yang selalu
memenuhi benakku. Tetapi Luvia hanya diam.
“Hei, aku bicara padamu.”
“Oh, eh, rumah ya? Di perumahan Tirto Asri blok O nomor 5.”
“Wah 1 blok dong dengan rumah kakekku. Tapi aku lupa nomor
berapa.” Aku berseru girang, mungkin suatu hari aku bisa main ke
rumahnya. Luvia tersenyum manis. Senyum yang sudah lama tak
kulihat
“Kalo sekolah, di mana, Luv?”
136
“Di SMA Pembangunan 2, dekat kok. Tapi pasti kamu tidak tahu”
“Iyasih, baru dengar.” Tiba-tiba perasaan itu muncul lagi,
perasaan yang tak bisa kumengerti. Tetapi perasaan itu memaksaku
untuk berucap, dan lidahku kalah.
“Luv, apa kita ini cuma teman?” Aku mengucapkan dengan
lebih menekankan pada kata ‘teman’.
“Maksudmu gimana, Ko?”
“Aku tahu perasaan ini aneh. Tapi apakah kita bakal selalu
menjadi teman, sedangkan semua orang berpikir bahwa kita ini tidak
hanya teman?” Kembali, kutekankan pada kata ‘teman’,
“Maaf.” Hanya itu? Apakah kau tidak memiliki ekspresi lebih untuk
ini Luvia?
“Maaf, tapi aku enggak bisa, Ko.” Luvia bicara lagi.
Sebelum aku menjawabnya, Luvia berlari pergi menerjang hujan
yang lebih lebat dari biasanya. Aku ingin mengejarnya, tetapi badanku
seolah menolakku untuk merasakan dinginnya tetesan-tetesan hujan
itu. Tetesan hujan kali ini terasa sangat tajam. Sangat tajam sehingga
membuat luka hati ini sangat dalam.
***
Kali ini, adalah hari ketujuh aku menunggu angkot itu sendirian.
Tidak ada Luvia, tidak ada hujan juga pelangi. Seharusnya aku senang
dengan keadaan ini. Keadaan yang sudah amat lama aku rindukan,
cuaca cerah. Tetapi hati ini berkata lain. Aku sangat merasa kehilangan
Luvia. Kemana ia pergi? Apakah ia pergi bersamaan dengan perginya
hujan?
Sesampainya di rumah, aku langsung menemui ayah.
“Yah, kita ke rumah kakek yuk.” Ajakku pada ayah yang sedang
membaca koran.
“Ke rumah kakek yang di Perumahan Tirto Asri? Weekend deh,
Ko. Tapi kok tumben kamu pengin ke sana?”
“Kangen aja, Yah.” Jawabku cepat sambil berlalu menuju kamar.
Kamarku ini adalah kamar peninggalan median ibuku. Ya, ibuku
sudah meninggal akibat kecelakaan. Kecelakaan yang diakibatkan
hujan lebat. Saat aku masih berumur 4 tahun. Mungkin itu salah satu
alasan aku benci dengan hujan. Aku mengambil foto ibuku. Ibu dan
kakek sedang berpose di depan rumah kakek. Rumah yang berada di
137