GOOD BYE
Ine Politia A.
Langit mendung seakan mewakili perasaan Lily saat ini. Satu
minggu berlalu, tapi Lily tetap sedih dengan kematian ibunya.
“Sungguh bukan ini yang aku inginkan… Ya Tuhan, maafkan
aku.. maaf…” desisnya.
Penyelasan dan kesdihan Lily tak akan merubah segala. Tetapi
yang jelas, Tuhan dan ibunya pasti memaafkankannya. Lily percaya
itu. Kejadian seminggu lalu membuat ingatannya muncul kembali.
Hari ini hujan turun lagi, tetapi tak membuat seorang remaja
ini menghentikan rencanya untuk bersenang-senang dengan teman-
temannya nanti malam.
“Lily…! Hai!! Kita jadi pergi malam ini kan?” seorang remaja
lelaki yang separuh baya menghapirinya.
“Oh hai, Dennis!!! Jadi dong.” Jawabnya riang.
“Liilyy…. Ayo nak, makan siang dulu..”
“Nanti.”
“Nanti maagmu kambuh lho..”
“Bu! Aku capek! Nanti saja! Ngerti gak sih yang aku omongin?!
Sudah sana!”
“Liilyy… tolong dengarkan ibu sekali saja….”
“Bu! Pergi sana!”
Lily tetap tak mendengar apa yang dikatakan ibunya. Baginya,
ibunya hanya sekedar satpam yang selalu membukakan pintu
untuknya. Malam tiba, dan Lily sudah cantik seperti biasanya untuk
pergi bersama temannya, Dennis.
“Bu, minta uang! Uang jajanku ME-NI-PIS! Mana?”
“Lho? Bukannya minggu lalu sudah ibu beri uang jajan?”
Pertanyaan ibu membuat Lily naik darah, tanpa pamit meminta
ke ibunya, Lily dengan senang membongkar semua lemari ibunya.
388
“Lily!!! Jangan mengambil semua uang ibu… Itu uang untuk
membayar sekolahmu sayaang…”
“Halah! Cerewet! Sama anak sendiri pelitnya minta ampun!”
Dan tanpa pamit serta mendengarkan ucapan ibunya, Lily pun
pergi dan tak merasa bahwa itu adalah malam terakhir Lily bertemu
ibunya.
“Lilyyy…… kamu mau kemana nak?? Kenapa tak dirumah saja?”
“Bukan urusan ibu!”
“Liliy… hati-hati… ibun sayang kamu nak….”
Lily pun berhenti mendengar kalimat ibunya tersebut. Tetapi,
tak menghentikan langkah Lily untuk pergi malam ini.
Sejam…
Dua jam…
Tiga jam…
“Lily kemana? Kenapa belum pulang?”
Jam menunjukkan pukul 10 malam. Lily yang sedang asyik
dengan malam ini dan tak menggubris segala apapun termasuk sms
serta telepon di handphonenya, ternyata ada sekitar 11 telepon tak
terjawab dari sahabatnya, Dinda serta saudara-saudaranya. Serta
sms yang begitu banyak dari sahabatnya serta ibu dan saudaranya.
Dibukanya satu demi satu, dan mengejutkan buatnya.
Seperti…
“Lily….!!! Kau di mana? Aku menelponmu berkali-kali tapi tak
dijawab! Ibumu Lily! Ibumu kecelakaan! Dan sekarang kritis!!” Lalu,
“Lily!!!! Kau di mana sih????? Ibumu Lily, sudaahh…
sudaaaaahhh…. Tak… tak ada lagi… Maafkan aku Li…. Ibumu sudah
tiada…. Beliau kekurangan darah….”
Dan,
“Lily…. Jika kau sudah membaca smsku ini…. tolong kau cepat
pulang…. Ibumu membutuhkan doamu…. Cepat pulanglah Lily….”
Betapa kagetnya Lily mendengar berita itu. Lily pun meng
hiraukan ucapan Dennis yang sedari tadi cerita tentang kehidupannya.
Dan dibukanya sms terakhir dari ibunya…
“Lily… kenapa kamu belum pulang nak? Ibu sangat khawatir…
ibu menjemputmu ya nak…”
389
Dibacanya sms ibunya selanjutnya….
“Lily…. Anakku yang tercinta…. Yang ibu sangat sayangi….
Ibu mau menjemputmu, tetapi sepertinya Tuhan belum merestui….
Ibu harus duluan ke tempat Tuhan, Maafkan ibumu yaa, karena tak
bisa menjagamu dengan baik. Ibu mohon padamu untuk lebih baik
lagi. Jaga kesehatan dan terus berdoa sayang. Ibu menyayangimu.
Sampai jumpa anakku…”
Lily hanya bisa menangis membaca sms terakhir ibunya… takdir
Tuhan memang tak bisa diubah. Lily pun hanya bisa mendoakan dan
meminta maaf kepada ibunya yang selalu disia-siakan.
“Ibu…. Maafkan Lily…. Aku akan selalu mendoakanmu dan tak
akan menjadi nakal lagi. Terus bombing Lily bu, dalam menghadapi
semua cobaan dari Tuhan… Lily sungguh menyayangimu ibu….”
390
WARNA MIMPI CLEO
Ine Politia A.
“Cleo, cuci kaki, cuci muka, gosok gigi, lalu tidur. Ini sudah
malam.”
Pandanganku tetap menonton film favoritku dan tak
mengindahkan perintah Mom. Tapi tiba-tiba, beliau dengan cepat
nmengambil remote dan mematikan tv.
“Aduh, Mom.. Kenapa dimatikan?” tanyaku agak kesal.
“Cepat tidur!”
Ah, Mom selalu begitu. Film favoritku belim selesai. Harry
Potter belum menghabisi Vpldemort. Ya, film favoritku Harry Potter
dan yang sedang kulihat adalah seri terakhirnya. Aku selalu tersihir
dengan film Harry Potter. Aku seakan tersedot kedalamnya. Ini adalah
film terkeren sepanjang masa. Sering kali aku berimajinasi berada di
dunia harry Potter. Sungguh menakjubkan!
“Cleo!” hertakan Mom mengganggu lamunanku. Tapi ya
sudahlah, lebih baik aku menuruti mom kesayanganku ini.
“Cleo!”
“Iyaaa, moomm...”
“Good night sayaaang. Mimpi indah. Jangan lupa berdoa yaa..”
Klek!
Ucapan selamat malam Mom begitu indah bagiku, dan aku
bersyukur masih bisa mendengar ucapan selamat malam dari Mom.
Lebih baik aku tidur dan sebelum itu berdoa sesuai permintaan Mom.
Tak lupa, aku set jam wekerku sekitar pukul 5 pagi
“Kriing, kriing! Kriing, kriing!”
Eh, Sudah pagi? Iyakah? Sepertinya aku baru saja tidur. Tetapi
kenapa jam wekerku sudah meneriakiku supaya bangun? Aku yang
salah mengatur jam wekerku atau jam wekerku sudah rusak? Dengan
mata berat, aku mencoba bangun dari ranjang empukku. Perlahan
391
kubuka mataku yang masih mengantuk. Eh, tapi.. Kenapa cahayanya
begitu terang? Ah, ini membuatku tak mengantuk lagi. Daaan, jreeng..
jreeng.. betapa terkejutnya aku, ternyata aku berada disebuah ruangan
yang begitu terang, berbackground putih dan diruangan ini terdapat
tiga pintu yang tepat didepanku. Ya Tuhan, aku dimana? Momku
dimana? Ruangan apa ini? Kenapa begitu asing bagiku? Begitu banyak
sekali pertanyaan muncul dipikiranku.
Sebelum aku melanjutkan kebingunganku dengan ruang ini,
tiba-tiba saja... Criing! Aaa!! Seberkas cahaya disana berkumpul dan
menjadi bentuk kecil. Dan sepertinya... Aha! Seperti peri kecil! Oh,
tidak, tidak! Ini bukan seperti peri kecil! Tetapi, itu memang peri kecil!
Dan, hey! Dia kearahku, mendekatiku, dan memberi salam padaku!
“Hai, selamat datang... Perkenalkan namaku Cici. Kau pasti
Cleo kan?” Tanyanya dengan tertawa kecil dan sepertinya itu sudah
menjadi ciri khasnya.
“Kenapa kau bisa tahu aku Cleo? Siapa kau?” Tanyaku penasaran
kepada peri kecil ini, yang jujur saja, dia sangat lucu!
“Cleo, lebih baik kau segera bertemu dengan dunia kecilmu
ini.” Dia tak menjawab pertanyaanku dan mengganti topik yang lain.
Sungguh kau peri kecil lucu yang licik!
“Cleo, sudahlah.. cepat kau masuk satu persatu di tiga pintu
ajaib ini.” Perintahnya yang membuatku iri dengan kelucuannya!
Tanpa berkata apapun kepadanya, aku segera masuk ke pintu
pertama. Dan kau tahu? Tempat ini begitu banyak orang berlalu-lalang
dan ketakutan serta teriakan meminta tolong yang kulihat. Tempat
apa ini? Kukira tempat yang kutuju ini, tempat dimana begitu banyak
permen-permen yang selalu aku makan setiap pulang sekolah. Bukan
tempat seperti ini!
“Cleoooo!!! Kau di sini rupanya!!”
Haduh, siapa lagi ini?! Aku dimana sih?! Belum sempat aku
bertanya, orang ini sudah nyerocos duluan!
“Kau kemana saja? Apa kau tidak mendengar aku minta tolong
kau untuk membawa barang-barang ini? Cleoooo.. Cleooo.. kenapa
sifatmu tak berubah-berubah? Tolonglah kami, sebentar sajaa...”
Glek! Kenapa dia tahu kalau aku sedikit enggan untuk menolong
orang?
392
“Heh, ini dimana sih? Kau siapa?” Tanyaku sedikit kesal.
“Ya ampun Cleo... aku teman sekelasmu, Bolly.. Dan barusan,
sekitar satu jam yang lalu ada kebakaran di sekitar sekolah kita.. Jadi,
sekarang cepat bantu yang lain yaa.. Oke?”
Akhirnya, dengan terbengong-bengong aku segera menolong
yang lain. Sungguh ini kejadian yang mengerikan, begitu banyak
orang panik dengan kebakaran ini. Aku sedih melihat semua ini, begitu
jahatnya aku yang sering enggan membantu sesama. Ya Tuhaaan,
maafkan aku. Aku sungguh menyesal tak pernah membantu teman-
temanku dan hanya mengerjai mereka.
“Cleo! Terimakasih kau sudah membantu, maaf jika
merepotkanmu. Ini aku punya sedikit hadiah untukmu. Daaahh...”
“Eeeh, eeehh Bolly!! Eh, iya, sama-sama..” aku telat, Bolly sudah
jauh meninggalkanku. Kubuka, bingkisan kecil ini. Daan... jeeng..
jeeng.. Yeeeiii!!! Permeen!! Aku mendapatkan permeenn! Aaa!!
Terimakasih Bolly!
Tetapi, hey! Ada seberkas cahaya di permen ini! Ada cici! “Hey,
Cici! Bisa kau jelaskan semua ini?” Dengan senyum lucu liciknya, dia
tak menjawab pertanyaanku.
“Kau sudah dapat permen, dan masuklah ke duniamu yang lain..
Silahkan Cleoo.., dasar Cici! Senyum lucu licikmu menghipnotisku!”
Itu dia pintu selanjutnya, dengan perlahan-lahan dan taraaa...!!!
heh? Tempat ini sepi sekali. Sangat kontras sekali dengan pintu
pertama. Kau tau? Aku sekarang berada di pasar yg sepi, kotor, bau,
dan sungguh ,membuatku tak nyaman berada disini. Padahak pasar
ini terdapat spanduk bertuliskan “Be a Comfortable”, halaah tulisan
menipu!
“Oh, hai Cleo! Akhirnya kau datang juga. Ayo kutunjukkan
pasar ini!”
Siapa lagi ini??!! “Kau siapa? Apa maksudmu ‘ayo kutunjukkan
pasar ini’ ?”
Dengan mengerutkan dahinya, dia menjawab, “Kau amnesia atau
bagaimana?? Kau kan yang ingin mensurvei pasar ini untuk artikel
‘limgkunganku’ di majalah sekolah? Dan aku? Aku Felly, temam lesmu
dulu.. hadeeh.. ayo cepat Cleo!”
393
Apa?! Mensurvei tempat sekotor ini?? Mana bisa??!!
“Cleo! Ayolah.. Kau tidak usah seperti itu.. Buatlah dirimu
senyaman mungkin dan hargai apapun itu. Karena, sejelek-jeleknya
ini adalah lingkunganmu. Jadi, hargailah lingkungan bagaimanapun
bentuknya. Dengan begitu kau bisa merasa nyaman dan syukurilah
Cleo..”
Ya tuhaaan.. Kenapa dia bisa tahu aku sering sekali tak merasa
nyaman dengan apapun. Aku tak pernah menghargai apapun itu.
Sekali lagi, maafkam aku ya tuhaan.
Hei! Sudah melamunnya?? Ayo Cleo..”
Setelah sekitar setengah jam aku dan Felly menyusuri pasar
ini, aku dan Felly pun beristirahat. Lega rasanya bisa senyaman ini.
Sebelum aku pergi ke pintu terakhir, felly memberi sedikit hadiah
untukku. Sebuah miniatur lucu yg bertuliskan “Be a Comfortable”.
Aku tersenyum sendiri melihat tulisan ini. Kata felly, ini buatannya
sendiri yg di khususkan untukku. Jadi, aku dengan senang hati akan
menjaganya dengan baik! Aku janji!
Setelah mengucapkan sampai berjumpa kembali padanya, aku
melihat ada seberkas cahaya dispanduk pasar itu. Dan jelas sekali
itu adalah Cici.
“Hai, hai.. Cleo... Bagaimana perjalanannya? Menyenangkan
bukan? Kurang satu lagi! Ayo kita bersama-sama kesana! Tuh,
pintunya!” dengan sedikit kesal, aku mengikuti perintahnya. Dia
seperti jelangkung dengan versi yang lucu! Aish!
Tempat apa lagi ini? Tadi tempat yang banyak sekali orang-orang
panik, pintu kedua di pasar yang sangat kotor dan sekarang? hanya
tempat yang kosong tak terdapat apapun itu, hanya putih bersuh
yang kutahu.
“Kau bingung Cleo sayaang??” Aish! Cici mengagetkanku saja.
“Iya, cepat kau jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Maksudnya
semua ini apa Ciciiii????
Penjelasan Cici sedikit mengagetkanku, semua ini adalah pelajaran
untukku agar aku lebih baik lagi. Dengan ciri khasnya tertawa kecil dia
menjelaskan tiga pedoman hidup untukku. Yang pertama adealah tiga
kata ajaib! Tolong, terimakasih, dan maaf! Aku harus menjadi pribadi
yang dengan senang hati ,menolong siapapun dan tak enggan meminta
394
tolong kepada siapapun, selalu berterimakasih setiap mendapatkan
pertolongan dan tak lupa meminta maaf jika berbuat salah.
Yang kedua tidak lain adalah sikap nyaman dan menghargaiku.
Aku harus bisa nyaman dengan apapun dan selalu menghargai orang-
orang dan lingkunganku. Dan terakhir, Cici berkata
“Hidupmu bersih sebersih tempat ini, tinggal dirimu saja yang
akan melukisnya dengan duniamu sendiri. Tapi ingatlah, selalu
berpikir positif apapun yang terjadi agar pikiranmu menjadi bersih
dan mendapatkan hasil yang baik. Sampai jumpa Cleo, selamat
berpetualang lagi.. Dadaaa.”
“Kriiing!! Kriiiing!
Aaaaaaa!! Cicii!!!
Aku pasti bermimpi. Yasudahlah, lebih baik aku mandi dan
bersiap-siap berangkat sekolah. Rapikan selimut dulu deh. Eh,
apa ini?? Kubuka selimutku dan ternyata!! Waaah!! Inikan permen
pemberian Bolly, miniatur lucu buatan Felly, dan apa ini?? Tisu??
Aaa!! Ternyata ini pemberian dari Cici!! Waah... tisunya bertuliskan
“think positive”. Terimakasih Tuhan, Mom, Cici, Bolly, Felly. Pelajaran
hidup yang kalian berikan padaku akan aku terapkan dalam hidupku
dari sekarang dan masa depanku besuk.
395
TITIP SALAM BUAT AYAHKU YA, KAKAK!
Akyasa Adiba
“Lihat ibu! Aku menang! Aku menang!” Aku berkata sambil
berlari kearah Ibuku memegang piala emas berbentuk pengeras suara
itu di kedua tangan mungilku. Juara satu lomba menyanyi tingkat kota
untuk siswa sekolah dasar terukir dibawah piala itu dan setelah sekian
lama berlatih aku akhirnya berhasil mendapatkan juara. Namaku Tida
Kurniawati disingkat menjadi Tida K di piala itu tapi tidak apa-apalah.
Aku tetap senang!
“Hebat! Congratulations! Aku bangga sekali!” Ibuku berkata
sambil memelukku erat. Ia mengelus rambutku dan mencium kedua
pipiku dengan penuh cinta.
“Bu! Ayah dimana?” tanyaku setelah aku berhasil membujuk
ibuku untuk melepaskanku dari pelukannya. Seminggu sebelum
kompetisi dimulai, Ayahku sudah berjanji akan datang dan
menontonku. Tidak seperti anak-anak yang lain, aku tidak bisa
bertemu dengan ayahku setiap hari jadi aku senang sekali saat ayahku
berjanji akan menonton lombaku.
Aku menatap ibuku dan mencoba untuk mempertahankan rasa
optimisku tetapi melihat wajah ibuku yang seperti itu, aku langsung
kecewa. Seperti lilin yang ditiup mati, sinar dari kedua mata ibuku
langsung meredup. Ibuku mengalihkan pandangannya ke lantai
sebentar, seolah-olah ibu merasa bersalah padaku, sebelum ibu
menatapku lagi. Kali ini pandangannya terlihat mengiba.
“Ayah tidak bisa datang hari ini.”
Kata-kata yang keluar dari mulut ibuku terasa seperti tonjokan
keras ke ulu hatiku. Piala yang aku gengam ditanganku hampir aku
jatuhkan. “Tapi... tapi... Ayah sudah berjanji!” aku berkata dengan
susah payah, mencoba untuk mengalahkan gumpalan kesedihan yang
berkumpul di tenggorokanku.
396
“Tida,” Ibuku berkata dengan suara lembut sambil menghapuskan
air mata yang bergulir ke pipiku. “Tida, mengerti kan mengapa Ayah
tidak bisa pulang hari ini?”
Aku mencoba untuk menatap wajah ibuku dibalik tirai air
mataku. Walaupun buram aku tahu kalau ibuku sedang tersenyum.
Aku berusaha keras untuk menghapus air mataku dan berhenti
menangis. Aku ingin tersenyum karena ibuku pun juga tersenyum.
Tapi sekeras apapun aku berusaha, air mataku terus mereka terus
saja mengalir, meluapkan rasa kecewa yang ada di hatiku terhadap
ayahku sendiri.
Ibuku tak berkata apa-apa. Ibu hanya melingkarkan tangannya
di bahuku dan memelukku erat. Aku tahu ibu tidak menginginkanku
menjadi bahan tontonan orang-orang yang berada di Amplas ini.
Setelah tangisanku agak mereda aku bertanya, “Ibu... Ayah itu...
sering mengingkari janji-janjinya ya?”
Aku mendengar tarikan nafas ibuku yang berat. Ia memelukku
erat dan terdiam lama. Keheningan yang berat menyelimuti kami
berdua. Pada akhirnya ibuku melonggarkan pelukannya dan
menatapku. “Hus! Tida, jangan ngomong kayak gitu, ya? Ayah pasti
menepati janjinya lain kali.”
Lain kali? Aku ragu akan itu. Sebelum aku dapat menimpali kata-
kata ibuku, ibuku sudah menggandeng tanganku dan mengajakku
jalan membelah lautan manusia menuju ke Ice Blizzard.
Aku menatap ibuku bingung tapi Ibu hanya tersenyum ringan.
“Ayo kita makan di Ice Blizzard sekarang! Kamu bisa memesan Mega
Choco Chunk atau Rocky Sunday buat makanan penutupmu.”
“Beneran, bu?” Aku berkata, sedikit bersemangat. Ibuku
mengagguk dan aku tidak bisa lagi menahan senyuman kecil yang
memaksa untuk muncul di bibirku. Ice Blizzard adalah restoran
favoritku yang terkenal akan kelezatan es krimnya. Tapi restoran
Ice Blizzard itu ramai banget sih, makannya ibu jarang mengajakku
ke sana.
Aku menatap piala di genggamanku dan mendesah lelah.
Sebenarnya, apa sih alasanku mengikuti lomba ini?
*
397
“Kak Tida! Kak Tida! Kok Kakak nyuekin aku, sih?” ujar Adila,
adik kelasku yang paling menyebalkan! Sukanya pamer saja kesana-
kesini. Aku heran mengapa ia tidak dibenci anak-anak satu sekolahan.
Aku ingin langsung masuk saja ke dalam mobil jemputanku
tapi karena si nyebelin ini terus memanggilku, aku membalikkan
badanku dengan perlahan dan menatapnya. Rambut bergelombang
yang berkilau, porporsi badan yang sempurna dan dua bola mata
bulat yang mirip dengan mataku. Tentu saja, dengan bulu mata Adila
yang lentik, bola matanya yang bulat itu tidak terlihat kebesaran di
wajahnya.
Tch, dia memang cantik. Aku akui itu, tapi ia juga tak harus sok
akrab sama aku.
“Lihat apa yang dibeli ayahku kemarin!” ujarnya sambil
memamerkan tas barunya dengan bangga. “Ini dibeli ayahku dari
Perancis lho Kak. Katanya ini model terbaru.”
“Oh? Terus? Ayahku juga pernah ke Perancis,” kataku dengan
dingin.
Adila masih tetap tersenyum namun sekarang ia tidak terlihat
begitu tulus melakukannya. “Apa yang dibeli sama Ayahnya kakak?”
“Kalung Eiffel Tower yang ada brillian aslinya,” aku berkata dan
tersenyum puas ketika rasa kaget menyapu wajahnya. Sebenarnya
ayahku pernah ke Perancis dua tahun yang lalu. Saat itu ayahku
membelikan aku kalung Eiffel Tower yang terbuat dari besi. Oke,
oke, mungkin aku melebih-lebihkannya sedikit tapi anak itu sudah
membuatku kesal sih, jadi aku tak peduli!
Untuk sesaat aku dapat menikmati rasa marah yang bermain di
wajahnya karena aku mendapatkan hadiah yang lebih mewah darinya.
Namun ia memasang topengnya lagi dan tersenyum. Senyuman
mengejek dan merendahkan yang aku benci. “Kemarin aku ikut lomba
nari lho, Kak. Yah, walaupun aku nggak menang, kedua orangtuaku
tetap datang dan mendukungku. Habis itu aku dibeliin boneka dari
Lacy Dolls oleh orangtuaku. Ayahku memang kenal banget sih sama
aku jadi ia memilih boneka Kelinci Putih yang aku sukai. Besok aku
lihatin, ya?”
“Terserah,” aku berkata dengan bosan sambil masuk ke dalam
mobil jemputanku. Kalau aku berkata aku iri, aku akan berbohong
398
pada diriku sendiri. Aku sangat iri! Ayahku sendiri tidak pernah
membelikanku boneka. Apalagi dari Lacy Dolls! Aku ingat dulu
aku pernah memintannya tapi permintaanku langsung ditolak
mentah-mentah sama kedua orangtuaku. Salahku juga sih, meminta
orangtuaku saat aku tahu kalau keluargaku dulu sedang mengalami
krisis keuangan. Apa ayah akan membelikan boneka Lacy Dolls
untukku sekarang ya? Sejak kesuksesan ayahku dalam bisnisnya,
keuangan keluargaku sekarang sudah membaik. Malah sekarang, uang
yang dimiliki oleh orangtuaku lebih dari cukup untuk membiayai
dua keluarga sekaligus.
Tiba-tiba saja Adila masuk ke dalam mobilku. Aku mengira kalau
ia ingin menguntitku tapi dengan sikap yang sok sedih ia berkata,
“Aku ikut sama kamu ya, Kak? Ibuku tidak bisa menjemputku hari
ini.”
Ya, nggak apa-apa. Kamu duduk manis saja... di bagasi! Itulah yang
ingin aku katakan tapi aku tahu itu tak sopan jadi aku mengiggit saja
lidahku dan mengangguk. Walaupun rumah kami berjauhan ibuku
dan ibunya Adila memang berteman jadi Adila sering menumpang
pulang di mobilku.
Sepanjang perjalanan aku harus mendengar ocehan Adila tentang
keluarganya dan barang-barang yang telah dibeli ayahnya. Rasanya
aku ingin melempar anak kecil itu keluar jendela saja tapi aku tak
tega. Sabar sekali ya, aku ini?
Saat sopirku menurunkanku di depan rumahku, aku melihat
mobil ayahku terparkir di garasi dan langsung teringat janji yang
diingkarinya. Tch, aku malas bertemu dengan ayah.
Aku harus mengumpulkan seluruh energiku untuk memaksa
diriku sendiri turun dari mobil jemputanku. Aku menutup pintu
mobilku dengan lesu dan berjalan ke rumahku. Aku mencoba untuk
mengalihkan pikiranku ke hal-hal yang lebih baik tetapi dengan
suara rauman motor dan klakson mobil yang terdengar di jalan raya,
aku tidak bisa berpikir apa-apa kecuali mempertanyakan mengapa
orangtuaku memutuskan untuk membangun rumah di dekat jalan
raya.
399
“Kak Tida!” Suara cempreng dan menyebalkan itu lagi. Aku
menengok ke arah mobil jemputanku dengan sebal dan melihat Adila
melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Mulutnya bergerak,
membentuk sebuah kalimat tapi aku tak bisa mendengarnya karena
suara klakson dari bis yang hendak lewat.
Adila tersenyum padaku dan menaikan kembali kaca jendelanya.
Aku menatapnya dengan sengit sampai akhirnya mobil itu sudah
tertelan oleh lautan kendaraan. Apa-apaan sih dengan senyumannya
itu? Kok rasanya ia baru menjelek-jelekkan aku ya? Aku mendesah
kesal dan melanjutkan jalan untuk menuju rumahku. Lebih baik nggak
usah mikirin anak nyebelin itu, ah!
Aku masuk ke dalam rumahku dan menengok sana-sini, ingin
menghindari ayahku. Hehe, sepertinya aman. Aku tidak melihat
ayahku dimana-mana. Dengan santai aku menaiki tangga dan menuju
kamarku. Setidaknya aku bisa bersembunyi di sana untuk sementara
waktu.
Aku membuka pintu kamarku dan... Akh! Duduk di samping
tempat tidurku adalah ayahku. Huh, seharusnya aku tidak sebodoh
ini! Aku ingin berlari keluar tapi rasanya sudah terlambat. Mata hitam
ayahku menatapku dan senyuman lebarnya yang menurutku seperti
bulan sabit itu memekar di bibirnya.
“Tida,” ia mengucapkan namaku dengan lembut seolah-olah
aku adalah burung yang siap terbang jika burung itu ditakut-takuti.
Tangan kanannya ia sembunyikan dibalik punggungnya seolah-olah
ayahku sedang menyembunyikan sesuatu.
“Ayah,” aku berkata dengan datar. Entah mengapa tetapi
rasanya semakin aku bertambah besar semakin susah bagiku untuk
mengucapkan kata itu.
“Maafkan ayah karena tidak bisa datang dan melihatmu
bernyanyi,” ujarnya sambil berdiri.
“Nggak apa-apa, ayah,” aku berbohong. Aku mencoba untuk
menutupi perasaan sedihku dengan senyuman tetapi sudah kelihatan
sekali bahwa ayahku tahu kalau aku sedang berbohong. Tatapan dari
mata hitamnya itu tajam, menusuk menembus semua kepalsuanku.
400
“Aku nggak apa-apa kok, ayah. Ayah nggak usah khawatir.” Aku
berkata, mencoba untuk meyakinkannya tetapi sekarang air mataku
sudah mulai mengancam turun.
Ayahku melembutkan pandangannya dan mendekat padaku.
“Sudahlah. Ayah tahu kalau kamu marah pada, ayah. Tumpahkan
saja. Tumpahkan saja semuanya.”
“Aku nggak mengerti maksud ayah. Aku nggak marah kok,”
ujarku, melipat kedua tanganku di dada dan mengalihkan pandanganku
pada poster Anime yang aku tempel di dinding kamarku.
“Jadi, Tida, nggak apa-apa?” tanya ayahku berhati-hati.
Kehinangan menyelimuti kami berdua selagi aku memikirkan
pertanyaan itu.
“Ya,” akhirnya aku berkata dengan berat hati.
Ayahku mengerutkan dahinya dan mendesah lelah. Sepertinya
ayahku bingung tentang apa yang harus dilakukannya karena aku
terus berbohong padanya. “Kalau begitu sini, ayah punya hadiah
buat kamu.”
Dengan langkah-langkah yang ragu aku mendekat pada ayahku.
Ayahku tersenyum sedih melihat itu tapi ia tidak berkata apa-apa.
“Ini. Tida pernah minta boneka kan?” ayahku berkata sambil
memberiku boneka kelinci putih dengan pita merah yang terikat di
lehernya. Aku memeggang kelinci itu dan dikejutkan oleh betapa
halus bulunya itu. Baunya pun harum seperti es krim vanilla. Ini...
tidak mungkin! Ini boneka dari Lacy Dolls! Boneka Lacy Dolls yang
sama dengan yang dipunyai anak nyebelin itu! Entah mengapa ini
membuatku marah. Amarah besar yang belum pernah aku rasakan
sebelumnya. Aku meremas boneka itu di tanganku dan menatap
ayahku tajam.
“Aku nggak suka, ayah! Aku nggak suka!” teriakku marah
sambil membantingkan boneka itu. “Kenapa ayah menyamakanku
dengannya? Kenapa?!”
Ayahku sama sekali tidak terlihat terkejut dengan amarahku itu.
“Tida tahu kan kalau ayah harus bersikap adil pada kalian berdua?”
“Adil? Adil? Ini tidak adil ayah! Kenapa ayah datang ke lomba
narinya dan tidak ke lomba nyanyiku? Padahal... Padahal, ayah sudah
berjanji padaku duluan!” Aku berkata membiarkan air mataku jatuh.
401
Dengan pandangan yang kabur aku berjalan ke meja belajarku dan
mengambil piala kejuaraanku.
Aku menyerahkan piala itu pada ayahku dan berkata, “Aku
memenangkan piala ini untuk ayah tapi ayah nggak ada di sana untuk
melihatku! Apa artinya piala ini kalau begitu, ayah?”
Ayahku tidak berkata apa-apa ia hanya memandang piala itu.
Wajahnya pun datar sehingga aku tidak bisa mengetahui apa yang
sedang dipikirkannya.
“Ayah lihatlah aku!” Aku meminta dengan keras sampai suaraku
bergetar.
“Ayah jangan mengira kalau aku nggak tahu apa-apa. Aku sudah
duduk di kelas lima sekarang. Aku sudah mulai mengerti mengapa
ibu menangis setiap hari di kamarnya saat ayah nggak ada! Apa ayah
sudah nggak sayang sama ibu? Sama aku?”
Ayahku menatapku tajam dan suaranya pun mengeras. “Bukan
begitu, Tida! Ayah sayang padamu dan Ibu.” Ayah mendekat padaku
tapi aku melangkah mundur. Ayahku terkejut dan membeku.
Sepertinya langkah kecilku tadi menyakiti hati ayahku.
“Benarkah, ayah? Kalau begitu, ayah nggak usah lagi ke rumahnya
Adila! Aku nggak suka! Aku nggak suka! Teman-temanku tidak harus
membagi ayah mereka, kenapa aku harus?” tanyaku marah dengan
mata yang berkaca-kaca.
“Ayah tidak bisa begitu saja meninggalkan Adila dan mamanya,”
Ayahku berkata dengan nada yang tegas, menunjukan kenyataan
pahit yang tak bisa aku tinggalkan.
“Itulah satu hal yang nggak bisa aku mengerti. Mengapa ayah
tega-teganya menduakan ibu? Apa ibu sudah nggak cukup lagi buat
ayah? Atau... apa semua ini gara-gara aku?” Aku berkata dengan
suara yang lemah. “Aku tahu kalau aku nggak secantik Adila. Aku
juga nggak sepintar atau sesempurna dirinya karena itulah ayah pasti
lebih bangga pada Adila daripada aku.”
“Bukan begitu. Mamanya Adila telah membantu keluarga kita
lebih dari apa yang bisa Tida bayangkan,” ayahku berkata mulai
menjelaskan tapi aku tak mau mendengar. Aku sama sekali tidak
suka dengan mamanya Adila yang sok seperti anaknya itu. Aku berlari
402
keluar dari kamarku, keluar dari rumahku dan akhirnya mengerti apa
yang dikatakan Adila padaku saat ia melambai-lambaikan tangannya
tadi di mobil.
“Titip salam buat ayahku ya, Kakak!”
403
BELOK
Rusyda Faza Wulaningrum
Namaku Alena, aku gadis 17 tahun yang kata orang aku tak
patut menjadi layaknya seorang “gadis” karena penampilanku lain.
Yah! Orang bilang aku adalah gadis tomboy. Rambutku pun, kupotong
pendek seperti potongan boyband. Jujur, aku ingin selayaknya
perempuan yang berambut panjang, memakai rok yang cantik,berjalan
seanggun mungkin. Aku ingin memiliki jiwa yang seperti itu. Namun,
keadaanlah yang membuatku seperti ini. Aku tinggal di kalangan
preman yang sangat keras pergaulannya, mabuk-mabukkan, narkoba,
dan seks bebas. Aku harus berpenampilan seperti ini agar aku tidak
dijadikan perempuan jalang oleh preman-preman penguasa daerah
rumahku. Bapakku ingin menjadikan aku selayaknya perempuan-
perempuan jalang yang ada di daerah rumahku. Dimarahi, dibentak,
dipukul, ditampar oleh ayahku adalah hal yang biasa. Aku harus
berpenampilan selayaknya laki-laki agar aku dihargai dan tidak
dijadikan perempuan jalang.
“Woy! Ngelamun aja kamu?”
Aku tersentak kaget, karena ada yang menepuk pundakku. Aku
pun menoleh.
“Wey, ada apaan Van?”
Dia pun duduk disebelahku.
“Nggak apa-apa, ngelamunin apa Neng? Neng...? Nggak pantes
kamu dipanggil Neng. Hahahaha...” kata Revan.
Revan adalah sahabatku dari aku kelas 1 sekolah dasar. Dia
sangat memahami aku yang seperti ini.
“Apa sih kamu Van, nggak apa-apa kok” kataku sambil
tersenyum.
“Ayahmu?” tanyanya tiba-tiba.
“Nggaklah. Emang aku selalu ngelamunin lelaki nggak tau malu
404
kayak dia” kataku sambil tertawa.
“Len, cewek itu manis juga yaa?” Revan menunjuk salah satu
gadis yang duduk di seberang bangku kantin yang kami duduki.
“Oh itu, anak baru itu kan?”
“Yaa, dia anak baru. Kelas apa dia?”
“Wiih, kepo banget kamu tanya-tanya tentang dia?”
“Napa? Cemburu?” tanya Revan sambil tertawa terbahak-bahak.
***
Pulang sekolah aku jalan kaki. Memang panas terik matahari
dan derasnya hujan sering menemani langkahku dalam meneruskan
pendidikanku ini. Tiba-tiba mobil berhenti di sampingku saat aku
lagi berjalan,
“Hei nebeng aku yuk?” seorang gadis yang ada di dalam mobil
tersebut mengajakku.
“Mmmm..., nggak usah makasih” jawabku sambil tersenyum.
Gadis itu pun turun dari mobil dan menarikku masuk ke dalam
mobilnya.
“Ayolaah” pinta gadis itu.
Aku pun tak dapat menolak. Gadis itu adalah gadis yang sedari
tadi di kantin terus diperhatikan oleh Revan.
Dia yang menyetir mobil itu dan mengulurkan tangannya
“Aku Jessi, kamu siapa?” Tanya gadis itu
“Oh Jessi namanya” kataku dalam hati
“Aku Alena” membalas uluran tangannya
“Nanti malem ada acara?” Tanya Jessi
“Nggak, emang kenapa?”
“Keluar yuk, lagi boring aku di rumah”
“Boleh. Kemana emang?”
“Entah. Clubbing mungkin. Mau?”
“Oke deh”
“Aku ntar jemput kamu jam 7 aja. Oke?”
“Oke. Eh Jess pelan-pelan, ada perempatan depan itu belok
kanan ada gang sempit kamu berhenti di depan gang itu aja. Soalnya
mobilmu nggak bakal cukup masuk gang itu, hehehe”
“Oke Len”
Jessi pun mengantarkan ku sampai gang sempit yang ku maksud.
405
“Sampai ketemu nanti malem ya” Ucap Jessi dari dalam mobil.
“Oke” Kataku sambil tersenyum .
Malam sekitar pukul 7 aku menunggu di depan gang tempat
dimana Jessi mengantarku tadi, 10 menit kemudian dia datang
mengendarai mobil. Jessi pun membuka kaca mobil.
“Ayok” Kata Jessi dari dalam mobil.
“Iya” Jawabku lalu memasuki mobil.
Mobil Jessi pun menuju tempat clubbing tersebut.
“Belum, hehe” jawabku polos .
“Ha? Hahaha kamu belum pernah clubbing?” Jessi terbahak-
bahak mendengar pernyataanku.
“Gadis tomboy kayak kamu belum pernah clubbing? Kirain
sering gitu” Lanjut Jessi .
“Iya, aku belum pernah clubbing sebelumnya. Kenapa emang?”
Tanyaku polos.
“Lucu aja” Sisa tertawa nya masih terdengar.
Akhirnya kami pun tiba di daerah clubbing tersebut. Aku sedikit
merasa asing dengan tempat ini, walaupun daerah rumahku adalah
daerah “pelacuran” dimana para kupu-kupu malam pun mulai
beterbangan.
“Ayok” Jessi pun menggeret tanganku sambil tersenyum.
Aku pun tersadar dari lamunan ku .
Gemerlapan lampu yang bekadap-kedip serta dentuman musik
yang memekakan gendang telinga membuat detak jantung Alena
berdetak kencang. Jessi menari di tengah dentuman musik yang cukup
kencang, Jessi menggoyangkan tubuhnya. Aku hanya duduk-duduk
dan menikmati musik tersebut. Akhirnya diapun menghampiriku.
“Nggak mau ikutan kesana?” Jessi menunjuk para pengunjung
diskotik tersebut yang sedang berjoget menikmati dentuman musik
tersebut.
“Nggak ah Jess, hehehe” jawabku.
Jessi duduk di sampingku.
“Percuma dong aku ngajak kamu, kalo kamu nggak mau
menikmati ini” dengan nada sedikit kecewa. Entah kenapa perasaanku
tidak enak menyelimuti ku. Ingin ku memeluk dia, bukan karena dia
temanku tapi? Ah.. Sudahlah.
406
“Maafkan aku Jess, aku nggak maksud kayak gitu” Aku pun
memeluk dia. Yaa, walaupun dengan perasaan berbeda.
Perasaan ini memang berbeda, aku merasa sangat nyaman
dengan dia saat ini. Aku hampir tidak memiliki teman perempuan,
mungkin karena latar belakang ku yang seperti ini. Sahabat yang
sangat mengerti aku pun hanya Revan yang kumilikki.
“Iya, nggak papa kok Len. Hehehe” Kata Jessi sambil tersenyum.
Kami pulang clubbing sekitar pukul 01.00 pagi.
“Terimakasih untuk mala mini Jess,” kataku.
“Iya, sama-sama Len. Aku harap seterusnya seperti ini” kata Jessi.
“Maksudnya?” tanyaku.
“Lupakan. Turunlah dan beristirahat” kata Jessi.
Aku turun dari mobil, karena telah sampai di gang dimana Jessi
menjemputku tadi.
Jessi pun meninggalkan gang tersebut. Aku sangat bahagia dapat
menikmati malamku bersamanya.
Aku membuka pintu rumahku. Bapak sudah berada di depanku.
“Dari mana saja kamu sampai pagi begini?” tanya bapak.
“Dari rumah temen, Pak” Jawabku sambil tertunduk
Plaaakk!! Tampran bapak melayang ke pipiku. Aku hanya dapat
memegangi pipiku yang perih sambil menangis.
“Disuruh kerja nggak mau,. Kerja kayak para wanita-wanita itu
kamu nggak mau, sekarang? Cuma bisa main aja kamu!” bentak bapak.
“Aku mau kerja tapi yang halal Pak, bukan kayak gini” jawabku
lirih sambil menangis.
“Nggak ada kata halal, yang penting bisa dapet duit banyak!”
bentak bapak lagi.
Bapak pun keluar dari rumah dengan membanting pintu. Aku
hanya dapat menangis tersedu-sedu. Aku sangat membenci bapak, ibu
meninggal juga karena kepikiran bapak. Rena? Kakak perempuanku
kini telah kabur dari rumah entah ke mana karena nggak kuat dengan
perlakuan bapak yang seperti ini.
Di tempat tidurku yang tipis dan keras aku menangis. Dan
akhirnya aku pun terlelap dan terjaga dalam tidurku.
Keesokkan pagi nya aku kesekolah dengan mata sembab.
“Kamu kenapa Len?” Tanya Jessi yang tiba-tiba berada didepanku.
407
“Aku nggak papa Jess” Jawabku sambil tersenyum.
“Kamu jangan bohong sama aku Len” Kata Jessi sambil
memegangi pipiku. Dan terlihat jelas kekhawatiran dia.
“Kamu nggak papa nggak cerita, tapi inget kamu punya aku.
Aku bisa jadi temenmu kapan pun kamu mau Len” Ujar Jessi sambil
memelukku
Pelukkan Jessi sangat hangat, aku dapat merasakan itu. Aku pun
melepaskan pelukkan tersebut. Aku lalu tersenyum lebar pada nya .
“Besok tanggal 14 nih Len” Kata dia saat berjalan pada ku menuju
kelasku
“Iya, terus kenapa?” Tanyaku
“Aku pengen, kita lebih dari temen Len” Kata Jessi
“Hah? Jess?” Aku hanya melongo mendapati pernyataan Jessi
Namun dalam hati ini aku mengatakan bahwa ku sangat
menyayangi Jessi. Jessi telah memberikan rasa nyaman yang lebih
kepada ku. Akhirnya aku memeluk Jessi dengan erat
“Aku sayang kamu Jess” Ujar ku sambil memeluknya
“Kalian saling akrab?” Tanya seseorang dibelakangku. Saat ku
menengok, ternyata Revan.
“Eh Revan, kenalin ini Jessi temenku. Hehehe” Kataku
“Oh. Hai, aku Revan” Katanya sambil mengulurkan jabatan
tangan
“Hai aku Jessi”Kata Jessi sambil membalas uluran jabatan tangan
Revan
“Kalian kenal dimana?” Tanya Revan
“Kepo deh kamu Van. Hehehe” Jawab Lena sambil meringis
“Kepo is care Lena hahaha” Kata Revan sambil tertawa terbahak-
bahak
“Kamu kelas apa Jess?” Susul Revan di sela tawanya
“XII IPS 1, kamu Van?” Tanya Jessi
“Sama kayak Lena, XII IPA 2“ Jawab Revan
“Kelas yuk Len, bentar lagi masuk nih” Ajak Revan
“Ayook kamu nggak papa kan Jess kita duluan ke kelas?”
“Iya nggak papa Len, aku juga mau ke kelas kok”
“Oke, daah Jessi”
408
Jessi hanya membalas dengan senyuman. Kami berpisah di depan
lab kimia tadi. Aku sangat merasa bahagia, bisa bersama Jessi saat ini.
Di kelas, saat pelajaran Bahasa Indonesia namun tidak ada guru
nya karena sang guru sedang pergi keluar kota. Aku dan Revan
bercandaan dikelas.
“Len, kok kamu bisa kenal sih sama Jessi?” Tanya Revan
“Iya. Kita kenalan waktu aku mau jalan pulang, dia nebengin
aku. Kenapa emang Van? Pengen tahu banget?”
“Dia gadis yang manis menurutku Len”
“Kamu suka sama Jessi?” Tanyaku tiba-tiba
“Kalo suka, dari awal ketemu juga udah suka. Aku liat dia
celingukkan di perpustakaan waktu awal ajaran baru gitu”
Aku bingung harus menanggapi seperti apa perkataan Revan.
Aku hanya dapat tersenyum kecut.
Saat istirahat aku dan Revan dudukdi bangku kantin. Kudapati
Revan melihat sosok yang tak lepas dari pandangannya. Aku pun
melihat dia terus memandangi Jessi yang sedang berjalan membeli
makanan.
“Woy! Liat siapa kamu?” Senggol ku ke Revan
“A..aa e..enggak Len. Enggak kok. Hehee” Dia terlihat kaget
dan gelagapan
“Aku tau kok kamu liatin siapa. Hahhaha” Kataku sambil tertawa
“Hei, aku duduk sini yaa” Jessi tiba tiba duduk di depan kami
“Oh, iyaa Jess. Hehehe” Kataku
Kulihat Muka Revan merah padam duduk berhadapan dengan
Jessi. Aku tau apa yang Revan rasakan saat ini.
***
Siang ini aku pulang dengan berjalan kaki seperti biasanya
“Tiiiinn…” Suara klakson mobil berbunyi dan berhenti
disampingku. Yaa, itu adalah mobil Jessi.
“Ayo bareng aku aja Len” Suara Jessi dari dalam mobil
Aku mengangguk dan masuk kedalam mobil Jessi
“Makan dulu yuk” Ajak Jessi
“Enggak deh, aku mau pulang aja”
“Ayolaah.. Yaa?” Bujuk Jessi sambil menggenggam tangan kiri ku
“Iyaa Jess” Kataku sambil tersenyum
409
Dia pun lalu mencium tanganku
Kami telah sampai di tempat makan yang cukup luas
tempatnya,dan nyaman jika untuk sekedar duduk-duduk menikmati
suasana disana
“Kenapa kamu lebih mencintai perempuan daripada laki-laki”
Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulutku
“Aku tidak mempercayai laki-laki. Laki-laki lah yang membuatku
hancur sedalam ini”
“Maksudmu?” Tanyaku sambil mengernyitkan dahi
“Aku ditinggal pergi begitu saja oleh kekasihku setahun lalu
dengan alasan yang tidak jelas. Aku benar-benar putus asa hingga
akhirnya aku seperti ini” Jawabnya
“Bagaimana dengan kau? Kenapa kau mencintai ku?” Susulnya
410
“Aku benci bapakku. Bagaimana pun dia adalah laki-laki biadab.
Dia sering memperlakukan aku kasar, melakukan hal yang tidak
senonoh kepada ku, bahkan hingga pernah hampir aku dijual ke
lelaki hidung belang oleh bapakku sendiri”
Jessi menatapku kasian. Dia pun memelukku erat.
Kami jalan-jalan di siang ini seusai sekolah dan makan siang.
Selayaknya orang pacaran, namun karena kami sama-sama perempuan
jadi tidak ada orang yang curiga terhadap kami. Aku pun menyebutnya
dengan “kencan pertamaku”.
Kami jalan-jalan hingga sore hari. Jessi pun mengantarkan ku
hingga depan gang rumahku seperti biasanya. Aku pun turun dari
mobil
“Terimakasih untuk hari ini” Ujarku dari luar mobil
“Sama-sama Len” Dia pun tersenyum
Jessi meninggalkan depan gang rumahku
Sesampainya dirumah aku melihat bapakku bersama wanita
jalang. Aku sudah muak dengan keadaan ini. Dikamarku, kumasukkan
segala baju-baju dan keperluan ku ke dalam tas. Aku keluar kamar
dengan menggendong tas.
“Mau kenana kamu Len?” Tanya bapak yang sedang merangkul
wanita tersebut duduk di ruang tamu
“Minggat pak, ngapain dirumah cuma sama keluarga setan to
pak” Kataku dingin
Bapak hanya terdiam mendapati pernyataanku
Aku asli Jogja, tapi harus tinggal di Bandung bapak orang Jogja.
Aku pindah di Bandung mulai kelas 2 SD. Dulu, sebelum bapak di PHK
bapak nggak pernah mabuk-mabukkan apalagi sampai main wanita.
Ibu sudah meninggal 2 tahun yang lalu karena sakit komplikasi, tapi
aku tetap menyalahkan bapak yang selalu mabuk-mabukkan dan
main wanita. Ibu pasti sakit karena mikir bapak.
Aku berjalan, terus berjalan ntah kemana. Hembusan angin
malam menemani malam ku.
“Lena? Ngapain kamu keluyuran malam-malam gini?” Suara
411
itu terdengar dari depanku
Aku pun mengangkat kepalaku yang sedari jalan sambil
tertunduk
“Revan?”
“Ngapain kamu malam-malam kayak gini keluyuran?” Tanya
Revan sambil menyentuh pipi ku dengan kedua tangannya
“Kamu juga kenapa bawa-bawa tas juga? Kamu mau kemana
Len?”
“Aku pergi dari rumah Van, aku sudah muak dengan kelakuan
bapak selama ini” Kataku dengan nada dingin
“Ayo ikut aku pulang. Mumpung masih ada kamar kost sisa,
ntar kamu bisa bayar kapan aja kamu mau”
“Nggak, aku nggak mau ngerepotin kamu Van”
“Nggak ada kata saling ngerepotin untuk sahabat itu Len” Kata
Revan, sambil tersenyum
Senyuman Revan menghangatkan hatiku. Setidaknya bisa
menjadi selimut yang hangat di malam yang dingin ini.
***
Kericuhan di depan ruang BK membuat ku merasa penasaran.
Aku pun menerobos di sela-sela keramaian tersebut. Kulihat Revan
sedang meletakkan lututnya dilantai dengan tangan kanan membawa
bunga mawar merah dan didepan Revan melakukan itu adalah Jessi.
Sekucur tubuhku serasa lemas, ingin ku menangis. Namun apa
yang harus ku lakukan? Sahabatku mencintai orang yang ku cintai.
Tak terasa air mataku menetes begitu derasnya. Aku pun berlari
meninggalkan tempat itu, aku benar-benar hancur saat ini.
“Lenaaaa!!” Teriak Jessi
Namun aku tak menghiraukan. Aku tetap berjalan dengan cepat
dan menjauhi suara itu
Bahuku tertarik kearah belakang hingga akhirnya aku menoleh
belakang. Aku masih menangis sesenggukkan
“Kamu kenapa Len? Aku nggak sayang sama Revan. Kamu inget
kan aku benci sama semua lelaki didunia ini. Aku sayangnya sama
kamu cinta nya sama kamu!” Bentak Jessi
Aku hanya dapat menangis sesenggukkan
Jessi pun memeluk erat tubuhku
412
“Jadi kalian?” Suara itu muncul saat kami tengah berpelukkan.
Hingga akhirnya kami melapaskan pelukkan kami.
Kami melongo dan kaget ternyata yang tanya itu adalah Revan
Revan menatap kami dengan tatapan tak percaya dan
meninggalkan kami berdua
Aku pun mengejar Revan
“Revan, Revan dengerin aku dulu Van” Kataku sambil mengejar
Revan
Revan pun menghentikkan langkah nya
“Apa alasanmu nyampe kamu jadi “belok” gini Len? Kamu
cewek, kamu berhak mencintai laki-laki bukan mencintai perempuan!”
Bentak Revan
Ucapan Revan ku cerna baik-baik dan aku meyadari bahwa aku
salah. Aku salah melampiaskan kebencianku dengan cara ini, aku
harus melupakan Jessi. Apapun yang terjadi.
Aku menemui Jessi
“Kita harus bicara Jess” Kataku dengan nada dingin
“Ada apa Len?”
“Nggak bisa kita terus-terusan kayak gini. Revan bener-bener
sayang sama kamu. Aku bisa menyadari itu”
“Tapi aku nggak sayang dia Len”
“Kamu bisa mencoba buat menyayangi dia. Dia lebih bisa buat
kamu bahagia daripada aku. Aku adalah seorang perempuan, dan
kau juga adalah seorang perempuan. Kuharap kau bisa menyayangi
Revan kayak kamu sayang sama aku”
“Aku akan sayang sama Revan, buat kamu. Iya buat kamu Len”
Kata Jessi sambil tersenyum
Kita pun berpelukkan, untuk terakhir kali nya sebagai “pacar”
***
Sudah ku masukkan barang-barang dan semua pakaian ku ke
dalam tas ku
“Sudah siap Len?” Tanya Revan
“Udah dong, hehehhee”
“Yakin? Bisa hidup di Jogja?”
“Yakin, aku akan balik ke Bandung setelah aku sukses nanti”
413
Jawabku sambil tersenyum
Revan menaikkan barang-barangku kedalam mobil. Sudah ada
Jessi juga yang siap mengantarkanku ke terminal .
Sesampainya di terminal, aku berpelukkan dengan Revan dan
Jessi
“Terimakasih untuk kalian. Dan berbahagialah” Kataku sambil
tersenyum
“Cukup sekali aja “belok” nya. Jangan untuk yang kesekian
kalinya” Kata Revan
“Iya, pasti Van. Makasih ya selama ini mau jadi sahabatku”
“Revan sayang sama kamu. Jangan “belok” lagi ya kamu” bisikku
ke Jessi
“Pasti Len, aku janji sama kamu” Kata Jessi
Aku pun berjalan menuju bis dan meninggalkan mereka. Tekad
dan janji ku, aku nggak akan “belok” lagi dan aka kambali ke Bandung
dengan membawa kesuksesan
SAYANG TAK SAMPAI
Rusyda Faza Wulaningrum
“Ziza suka fotomu yang sama Manda” kata Ziza
“Iya, kamu udah ngetweet itu yang di cc ke aku Za” Kata Joseph
“Hehehe, iya ya. Kirain kamu marah Seph gara-gara aku ngetweet
gitu”
“Enggaklah, ngapain”
Ziza dan Joseph duduk dibangku yang terdapat dibawah pohon
jambu biji. Di depan koridor kelas XI terdapat 4 pohon jambu biji.
Salah satunya terdapat di kelas XI IPA 1, kelasnya Joseph. Joseph
adalah teman sekelas Ziza saat masih duduk di bangku kelas X. Ziza
414
sangat merasa nyaman saat berada di dekat Ziza. Walaupun Ziza
sangat sakit mendapati Joseph yang sudah jadian dengan Amanda,
teman sekelasnya juga dulu.
“Kamu dong, buru-buru cari pacar” Kata Joseph
“Apaan sih. Mentang-mentang motor baru, kamu juga pacar
baru. Wuuu”
“Hehehehe, nggak papa lah. Aku udah cukup lama jomblo loh”
“Ziza juga pengen jomblo lama kok yeee” Ucapku lalu
menjulurkan lidah ku
“Pengen jomblo lama ata belum move on Za?” Goda Joseph
“Joseph! Apa-apaan sih” Ziza memukul-mukul bahu Joseph
“Hahaha, iya kan Za? Iya kan Za?” Joseph sambil tertawa
terbahak bahak
Ziza pun lalu cemberut dengan memoyongkan bibirnya
“Ih, jeleknya kalo lagi cemberut. Jeleknya ih” Goda Joseph lagi
“Auk yaa, Joseph nyebelin” Ziza pun pergi meninggalkan Joseph
“Cie, ngambek cie” Teriak Joseph menyertai langkah cepat Ziza
Ziza duduk di kelasnya karena masih kesal dengan perkataan
Joseph.
“Kamu alasan ku kenapa aku belum pacaran lagi. Dan kamu
alasanku untuk move on dari sakit hatiku” Kata Ziza dalam hati
Joseph masih duduk dibangku bawah jambu. Melihat lekat-lekat
pohon jambu biji yang sedang meneduhinya dari panasnya sinar
matahari di siang ini.
“Andai kamu tahu Za. Seandainya aku diberikan rasa sayang
ini sebelum aku nembak Manda. Aku nggak akan nembak Manda.
Seandainya aku lebih dapat sabar nunggu kamu move on” Kata Joseph
dalam hati
“Woy bro. Mana nih pajak jadian sama Manda? Nggak inget
temen nih ceritanya” Kata Christ yang menepuk bahu Joseph lalu
duduk disamping Joseph
“Apaan sih, nggak ada pajak-pajakkan aku aja belum dapet npwp
mau bayar pajak” Kata Joseph
“Hahaha.. Nggak nyangka bisa jadian juga kamu sama Manda.
Dulu aja pas kelas X, nutup-nutupin hubunganmu rapet-rapet sama
temen-temen X7 tentang hubunganmu sama Manda. Bilangnya nggak
415
ada apa-apa gitu” Kata Christ di sisa tawanya
“Iya ya. Dulu pada kepo banget tentang hubungan ku sama
Manda” Kata Joseph
***
Siang ini Joseph sedang menuggu Manda di depan kelasnya
lebih tepat bangku dibawah pohon jambu
“Manda belum keluar kelas Seph?” Tanya Ziza berada di
belakang Joseph
Joseph menengok ke belakang
“Udah nggak ngembek?” Goda Joseph
“Tuh kan, mulai lagi deh kamu Seph. Nungguin Manda Seph?”
Tanya Ziza lalu duduk di sebelah Joseph
“Iya Za, kita mau makan siang bareng. Mau ikut?”
“Hahaha.. Kamu ngajak Ziza? Yang ada jadi obat nyamuk Ziza
disana” Kata Ziza
“Enggak Za, aku ngajak kamu biar sekalian kamu jadi tukang
cuci piring disana” Kata Joseph lalu tertawa terbahak-bahak
“Tuh kaaannn… Baru aja Ziza maafin kamu yang tadi. Sekarang
dibuat ngambek lagi Ziza nya”
“Ih ngambek ngomong-ngomong ih”
“Biarin week”
Manda pun berjalan dari samping Joseph ke depan Joseph
“Ayo jadi nggak Seph?” Tanya Manda
“Ayo Mand, udah kutunggu daritadi”
“Ziza nggak diajak nih kak?” Tanya Ziza ke Manda
“Nggak, kamu jagain aja pohon jambu ini” Kata Manda sambil
tertawa cekikikan
“Ah, kak Manda jahat ah”Ziza pun cemberut lagi
“Hahaha.. Yaudah kita jalan dulu ya Za” Pamit Manda, lalu
berjalan meninggalkan Ziza
“Iya kak. Hati-hati, kalian longlast yaa” Kata Ziza sambil
melambaikan tangan
Manda pun menengok sambil tersenyum dan menganggukkan
kepala.
Ziza memanggil Manda dengan sebutan kak. Karena Manda
dianggap paling dewasa untuknya.
416
“Iya, kalian longlast ya” Ujar Ziza dalam hati
***
Ziza memang menyukai bahkan sangat menyukai Joseph.
Menurut nya, Joseph ada betadine bagi luka di hatinya. Kalau Ziza
lagi sedih Joseph lah orang pertama yang menanyakan “Ziza kenapa
sedih?” dan Josephlah yang selalu menghibur Ziza saat Ziza sedang
sedih.
“Sayang, ada yang mencari kamu” Panggilan ibu membuyarkan
lamunan Ziza saat belajar
“Ah, iya ibu. Ziza turun sekarang” Jawab Ziza
Ziza turun kebawah memenuhi panggilan ibu
“Siapa bu, yang nyari aku?” Tanya Ziza saat diruang keluarga
dan ibu sedang menonto tv
“Nggak tau nak, ibu belum pernah bertemu sebelumnya”
Ziza mengernyitkan dahi. Setau Ziza ibu mengetahui semua
teman-temannya tak terkecuali Joseph dan Manda. Ziza pun ke ruang
tamu. Dilihatnya cowok duduk diruang tamunya bertubuh kurus
dan berpenampilan maskulin.
“Zaki?” Tanya Ziza
Zaki lalu berdiri
“Hey Za,” Sapa Zaki
Ziza lalu duduk di salah satu kursi di ruang tamu. Dia heran,
ada apa Zaki malam-malam begini berada dirumahnya.
“Ada apa Zak? Malam-malam gini kok kamu kerumah Ziza ?”
Tanya Ziza polos
“Cuma pengen main aja. Aneh kan? Bukan malem minggu tapi
main kerumah cewek. Hehehhe” Ujarnya
“Hehehe iya aneh Zak” Ziza tertawa garing
“Za, boleh aku ngomong sesuatu?” Tanya Zaki sambil menatapa
seluruh lekat-lekat mata Ziza
“Ha? Boleh kok Zak” Ziza memandang sambil melongo
“Aku suka sama kamu. Aku nggak cuma pengen jadi pacarmu
aja, tapi aku juga pengen menjadi jodoh mu kelak”
“Ha? Tapi Ziza kan masih kelas 2 SMA belum mau mikirin jodoh”
Kata Ziza polos
417
“Iya Za aku tahu itu. Tapi setidaknya aku bisa deket sama kamu
Iya deket, tapi bukan hanya sekedar lebih dari temen”
“Ziza boleh mikir-mikir dulu nggak Zak hehehe? Jujur Ziza kaget
denger pengungkapan Zaki tadi”
“Iya, boleh kok Za” Jawab Zaki sambil tersenyum
Zaki berada dirumah Ziza hingga pukul 9 malam, mereka banyak
bercanda dan saling bercerita tentang kehidupan dikelas masing-
masing. Ziza senang karena ada yang mau menemaninya mengobrol
di malam ini, setidaknya ada alasan untuk tidak belajar hehehe.
Ziza dan Zaki sebenarnya sudah dekat sejak awal masuk kelas
XI. Mereka sering smsan dan saling perhatian satu sama lain namun,
mereka tidak memperlihatkan kedekatannya. Zaki, merupakan cowok
yang dingin dan tertutup. Ziza pun tadi tidak menyangka bahwa Zaki
dapat mengungkapkan perasaan dan dapat bercanda bersamanya.
Malam ini Ziza sangat bingung, apakah akan menerima
pernyataan Zaki atau tidak. Akhirnya dia pun menelpon Joseph.
“Tuutt… Tuutt” Ziza menelpon Joseph berkali-kali. Namun
belum diangkat.
Tak berberapa lama kemudian handphone Ziza berdering
“Halo” Angkat Ziza
“Ada apa Za? Malem-malem telpon?” Tanya Joseph
“Kamu udah tidur ya tadi kok Ziza telpon nggak diangkat-
angkat?”
“Maaf Za, tadi lagi dijalan habis nganterin Manda pulang”
“Jlebb..” Begitu perasaan Ziza, saat mendengar pernyataan itu
“Oh gitu” Jawab Ziza singkat
“Ada apa non? Pasti mau curhat? Yaa kan?”
“Iya Seph, Ziza mau cerita. Tadi Ziza didatengin Zaki, itu loh
yang anak XI IPA 4.”
“Iya, terus Zaki kenapa?”
“Zaki, nembak Ziza. Dan Ziza bingung mau jawab apa Seph”
Nyesss banget hati Joseph mendengar itu dari Ziza
“Terima aja Za, dia cowok yang baik. Katanya kamu mau punya
cowok yang baik, rajin shalat, punya tanggung jawab yang besar, dan
dia kalo kata cewek-cewek di kelasku katanya senyumannya manis.
Apalagi selama aku berorganisasi OSIS sama dia, dia orang yang on
418
time sama tugas. Berarti itu udah membuktikan kalo dia tanggung
jawab Za” Kata Joseph panjang lebar
Hati Joseph sebenarnya sakit menjelaskan tentang cowok lain
untuk Ziza
“Oh gitu yah. Iya tadi dia sempet bercandaan gitu sama Ziza
Seph”
“Nah, dia berarti orangnya asik dan nggak bosenin kan Za”
“Hehehe iya Seph”
“Besok kamu pulang lagi sama Manda Seph?” Susul Ziza
“Enggak, besok aku ke gereja dulu ada misa jumat pertama.
Kenapa?”
“Nggak papa, Ziza cuma tanya. Hehehe. Ziza bobo dulu ya Seph,
makasih udah mau dengerin cerita Ziza”
“Iya Ziza, nice dream ya”
Ziza pun mengakhiri pembicaraannya dengan Joseph.
“Coba aja kamu yang nembak Ziza, Seph” Ujarnya dalam hati
Dimatikannya lampu kamar, lalu ia tidur.
Joseph masih termenung di jendela kamarnya. Dia membuka
jendela kamarnya agar dapat meilhat bintang-bintang yang berkilauan
di langit.
“Za, coba aja kamu tau. Aku suka sama kamu, tapi kenapa
perasaan suka nya datang saat aku udah nembak Manda? Manda
sama kamu sama. Aku dan Manda berbeda keyakinan, begitu juga
ke kamu Za” Batin Joseph bergejolak saat mengungkapkan itu sambil
melihat bintang
Dingin pun mulai menusuk tulang-tulang Joseph yang kurus.
Uap air akibat embun malam sudah menyelimuti lensa kacamata milik
Joseph. Akhirnya dia pun menutup kaca jendela kamarnya dan tidur
menyusul Ziza didalam mimpi.
***
“Ziza berangkat sekolah dulu ya Yah, Bu” Pamit Ziza terhadap
ayah ibu nya
Ziza berangkat sekolah dengan naik motor. Di starter nya Honda
beat menuju sekolahnya.
Sesampainya disekolah, saat sedang memakirkan motor Ziza
419
sudah bertemu dengan Zaki. Ziza pun melepas helmnya
“Selamat pagi Zaki” Ucap Ziza ramah
“Selamat pagi juga Ziza”
Kebetulan motor mereka saling bersebelahan.
Mereka pun jalan kekelas bersama
“Zak, Ziza mau” Kata Ziza tiba-tiba
“Mau apa Za?” Tanya Zaki
“Mau menerima pernyataan Zaki tadi malem”
Zaki pun menghentikkan langkahnya dan menghadap Ziza yang
sedang berdiri tertunduk
“Kamu serius Za?”
“Iyaa, Ziza serius Zak”
“Makasih yaa Za, aku nggak mau peluk kamu. Soalnya ini
disekolah. Hehehe” Kata Zaki polos
“Iya Zak, Ziza tau kok” Kata Ziza sambil tersenyum
Mereka pun berjalan menuju kelas masing-masing.
Setelah Ziza menaruh tas di bangku nya Ziza berlari menuju
kelas XI IPA 1 kelasnya Joseph.
Seperti biasa, Joseph sedang duduk di bangku bawah pohon
jambu. Ziza muncul di depan Joseph dan mengagetkannya.
“Joseph!” Kata Ziza
“Iya Za?”
“Ziza udah nerima Zaki”
Perasaan sakit pada hati Joseph menyerang tiba-tiba.
“Oh, jadian dong? Selamat yaa Za” Joseph tersenyum
“Iya Seph, makasih ya. Ziza mau kasih tau Manda dulu ah. Daah
Joseph”
Ziza meninggalkan Joseph.
“Selamat ya Za. Semoga kamu bahagia mendapatkan Zaki.
Dibandingkan aku Zaki jauh lebih baik, untungnya kamu tidak
mendapat lelaki pecundang sepertiku. Aku sayang kamu Za” Ujar
Joseph dalam hati
“Ini caraku, untuk melupakan kamu dari pikiranku. Melupakan
segala perasaan yang tumbuh untukmu. Walau, membutuhkan
420
waktu lama untuk menumbuhkan rasaku untuk Zaki, itu akan tetap
kulakukan. Karena aku sadar, kita berbeda” Ziza berkata dalam hati
“Iya, kita bagaimanapun tetap berbeda” kata Joseph dalam hati
***
10 Tahun Kemudian……
Dilihatnya mata Joseph seorang perempuan mengenakan celana
jins hitam dan blus berwarna ungu serta syal bewarnya biru yang
menggulung dileher perempuan tersebut. Rambutnya panjang lurus
hitam. Dengan gerak-gerik masih sama seperti 10 tahun yang lalu.
“Seph, Seph , Seph tau nggak Seph?” Ujar perempuan tersebut
dari belakang
Perkataan itu masih sama, saat 10 tahun yang lalu. Dari awal
masuk SMA hingga sekarang dia tetap berkata seperti itu jika ingin
memberitahu sesuatu. Joseph pun tersenyum dan menoleh
“Ziza?” Tanya Joseph
“Iya, ini Ziza. Kamu ngapain di bandara ini?” Tanya Ziza sambil
tersenyum lebar
“Aku mau jemput Kak Sheila. Kamu? Kamu dari mana Za?”
“Aku dari Paris. Aku sekolah desain disana, tapi baru pulang
sekarang. Hehehe”
“Ziza?” Panggil lelaki dari samping Ziza. Dan Ziza pun menoleh
“Zaki” Ziza pun tersenyum lalu setengah berlari dan memeluk
Zaki
“Ziza kangen kamu Zak” kata Ziza
“Aku juga Za” Mereka pun lalu melepaskan pelukkan. Ziza pun
menggandeng Zaki menuju ketempat Joseph berdiri
“Seph, kamu inget dia kan? Dia Zaki” Kata Ziza penuh dengan
kebahagiaan sambil merangkul tangan Zaki
“Iya Za, aku inget dia siapa kok” Kata Joseph tersenyum
“Mana Manda? Kamu masih sama dia nggak?” Tanya Ziza polos
“Enggak Ziza, sekarang aku udah menikah. Dan syukurlah dapet
yang seiman”
“Bagus deh kalo gitu. Bulan depan datang yaa ke pernikahan
421
aku sama Zaki. Ntar aku sendiri lho yang nganterin undangannya.
Kalo nggak dateng , ku bakar rumahmu. Hahaha” Ziza pun tertawa
“Yaudah, aku pulang dulu ya Seph… Daah”
Ziza dan Zaki pun meninggalkan Joseph.
“Ku doakan selalu kau bahagia bersamanya,selamat tinggal cinta
pertamaku” Ucap Joseph lirih menyertai kepergian mereka
“Terimakasih, kamu mau nunggu aku selama ini Zak. Aku nggak
nyangka bisa menunggu selama 10 tahun ini” Kata Ziza didalam
mobil saat perjalanan pulang
“Aku ngelakuin itu karena aku sayang sama kamu dan
berekyakinan kalo kamu jodohku” Ucap Zaki.
“Terimakasih kau mau menungguku selama ini. Aku benar-benar
dapat menyadari bahwa ku sangat menyayangimu saat kita berpisah.
Saat aku di Paris dan kau di Bandung. Kau sangat sabar menungguku.
Selamat datang cinta sejati ku dan selamat tinggal cinta pertamaku”
Ucap Ziza dalam hati.
422
REWIND
Puti Mentari
Sebuah mobil Jeep Grand Cherokee berwarna putih yang melaju
kencang. Jalanan licin karena kucuran deras dari langit di pagi hari itu
makin memperlancar landasan pacunya. Tatapan tajam lurus ke depan
seperti tidak ada jalan berkelok dilaluinya. Sesekali dia mengusap
rambutnya yang hitam dan ikal yang memang sulit diatur. Dengan
style-nya yang selalu hitam-hitam, dia makin terlihat angkuh.
Jalanan yang membawanya seakan kembali ke masa lima tahun
yang lalu. Saat seorang gadis yang selalu memakai topi rajut berwarna
merah yang setiap paginya muncul dari perempatan itu masih tertawa
bersamanya, saling bertukar pikiran, berdebat soal film dan musik
yang masing-masing memiliki jagoanya sendiri.
“Aku harap kamu selalu baik-baik saja Leia. Haah..., setelah lima
tahun yang lalu baru aku kembali ke kota ini, harum udaranya masih
sama, hawa nyaman tetap kurasakan di kota ini, Melbourne.”
Leia seorang perempuan penggila warna merah. Merah apapun
dari yang marun, hati,merah darah sekalipun sangat tidak suka yang
manis. Lebih tepatnya yang terlalu manis, penyuka kucing, selalu
berfantasi tentang sepatu kaca Cinderella jika diganti dengan sepatu
yang lain, dan musik adalah jiwanya iped dan earphone selalu ada
dalam tas atau di kantong celananya.
Di dalam call box, Leia dengan santai bercuap-cuap ringan
dengan suaranya yang rendah dan tenang. Membicarakan apa saja
yg ada di benaknya tentang cuaca, pemandangan di balik jendela,
membacakan salam-salam pendengarnya, diakhiri memutarkan lagu.
Leia memilih untuk memutarkan “I Call It Love” dari Lionel Richie
“maybe I don’t know what love is maybe I’m a fool
I just know what I’m feeling
And its all because of you
423
Don’t tell me I don’t I want a truth
Cause they call it
We call it
You call it
I call it love”
Suasana di apartemen Hans tampak sepi. Hanya diramaikan oleh
radio dan Hans yang sedang asyik membaca buku. Bukunya jaman
SMA, Radikus Makan Kakus yang dia bawa dari Indonesia selalu
sukses membuat Hans terkikik geli dengan gaya penulisan Raditya
Dika yang penuh dengan banyol-banyol remaja itu. Namun, suasana
berubah, telinga Hans tiba-tiba menangkap suara yang membuat
matanya terbelalak, remasan tangannya membuat sampul buku
kesayangannya itu makin kusut. Ya, suara Leia. Hans tercekat dengan
apa yang didengarnya di pagi hari yang hujan itu. Didengarnya suara
yang rendah dan tenang itu dia terlihat baik-baik saja, sesekali dia
tertawa menarik napas. Semula suara yang dia kira hanya halusinasi
di kepalanya. Namun ini nyata, Hans tersenyum
“Menyenangkan mendengarmu baik-baik saja, semoga angin
membawa kita menjadi semakin dekat.”
Leia tetap bercuap-cuap di depan microphone-nya, memutar
lagu lalu statis. Pandangannya menerawang ke jendela call box-nya
merasapi lagu Back to You meresapi vocal John Mayer membuat
ingatannya melayang-melayang ke segala hal tak luput juga ingatannya
tentang sosok tinggi tegap yang berkulit sawo matang. Memiliki satu
gingsul digiginya, menjadi daya tarik sendiri untuk Leia, pecinta
warna hitam, selalu bawel dengan rambutnya yang ikal dan lebat
yang membuat sulit diatur itu dan penyuka seafood, Hans.
Sudah lima tahun Leia berusaha memunafikkan sosok itu pernah
mengisi bahkan berarti untuknya. Mencari kesibukan dengan bekerja
di salah satu stasiun radio, mengambil jam siaran pagi dan malam pagi
membuat hari-harinya terasa singkat dan tidak mungkin disia-siakan.
Setitik hitam di atas putih pun akan tetap terlihat, begitu juga Hans.
Titik yang tidak akan pernah hilang. Titik yang justru jadi penghias
untuk memori-memori Leia.
424
Melbourne Uni menjadi tempat bersejarah untuk Leia dan Hans
ketika kamera poket yang hilang akhirnya mempertmukan mereka.
“Excuse me, that’s my camera” Hans dengan tampang polos
mencegat Leia di koridor sambil membawa pamphlet bergambar
kameranya yang hilang. Leia yang memegang kamera itu dengan
bingung mencermati laki-laki yang berdiri di depannya mengangkat-
ngangkat alis meyakinkan bahwa kamera itu miliknya.
“Hello are you in there ? My camera please.”
Leia yang ditanya seperti itu langsung gelagapan menjawab
“ I found it at cafeteria, sorry”
“Hans Wijaya”
Leia kaget bercampur bingung melihat laki-laki itu justru tertawa
dan memperkenalkan diri sambil tersenyum.
“Leia Paramitha”
“Wow Indonesi juga? Great! “
Hans malah bersorak dengan kesamaan asal negaranya dengan
Leia. Leia hanya tersenyum menyangka laki-laki di depannya itu
imbisil.
Resident café menjadi tempat selanjutnya mereka bertemu. Hans
yang saat itu datang lebih dulu memilih meja dekat jendela dengan
pemandangan langsung jalanan kota. Leia yang masih belum percaya
bahwa dia akan ngedate dengan laki-laki kamera poket itu.
Hans melambaikan tangan memberi tanda pada Leia. Obrolan
dibuka dengan hal-hal yang garing meurut Leia, sampai pada akhirnya
Hans menjaili Leia dengan memotret Leia. Leia yang cuek pun risih
dengan ulah Hans. Timbullah ejekan-ejekan, rengekan-rengekan,
dan tawa mulai meledak . Obrolan mengalir terus dan Hans tahu
jika lawan bicaranya itu memiliki selera musik yang menurutnya
tidak umum dan Hans menyukainya. Hingga tidak terasa langit pagi
berubah menjadi langit senja. Pandangan Leia menerawang keluar
jendela merasakan bias-bias senja merasuki tubuhnya. Perasaan damai
dan nyaman di meja ini dengan laki-laki ini, Leia tidak tahu perasaan
apa itu sebenarnya.Tapi dia tahu itu kebahagiaanya. Hans yang tidak
memalingkan matanya dari Leia membuat Leia bertanya
“Why you ask me out?”
425
“I don’t know, nyaman nyambung aja sama kamu, aku suka sama
kamu. Kurang memuaskankah jawabanku?”
Leia tertawa, blak-blakan apa adanya itulah Hans.
Leia tertawa kecil mengingat dengan Hans dulu. Hujan identik
dengan rindu, itulah yang Leia rasakan. Dihadapkan langsung
dengan butiran-butiran air hujan yang membasahi jendela call box-
nya membuat bayang-bayangan itu makin dirindukan Leia.
Hans yang tidak menyia-nyiakan waktu segera mencari stasiun
radio tempat Leia bekerja. Dirasakan Hans degub jantungya dua kali.
Oh tidak..., bahkan tiga kali lebih cepat dari biasanya. Kelima jarinya
dengan mantap mengendalikan si bundar melajukan mobilnya di
sepanjang jalan becek itu .
Menunggu di luar dengan tetap mengawasi pintu keluar stasiun
radio itu dan tidak lama pintu terbuka. Hans langsung menyerbu
pintu itu. Namun, bukan yang diharapkan yang keluar. Hans kembali
menunggu, ternyata lebih lama dari apa yang diperkirakannya. Hans
merasa bosan hingga pintu itu luput dari perhatiannya. Di dalam
mobil Hans menunggu lalu pintu itu terbuka, namun luput dari
perhatian Hans. Seseorang melewati mobil Hans menggunakan topi
rajut berwarna merah. Hans mengamati punggung itu dengan seksama
segera sadar bahwa itu Leia.
“Leia!”
Leia merasa suara itu tampak tidak asing, mencari arah suara itu
dan terkejut mendapat sumber suara itu adalah Hans. Masih dengan
jaket hitamnya yang kebesaran dan senyum merekah itu menonjolkan
gigi gingsulnya.
“Hans?”
“Iya, ini aku apa aku tampak berubah?”
Pertanyaan yang menurut Leia tidak perlu dijawab, Hans masih
sama. Leia tersenyum.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Aku sudah kembali Leia, kontrak kerjaku di New York sudah
habis, lagi pula bosku mempromosikan proyek padaku di Melbourne
jadi aku pulang.”
Ada terbesit harap dari Leia apa hanya karena alasan itu dia
pulang.
426
“Jadi kamu bekerja di sini sebagai penyiar radio?”
“Iya.”
Hans merasa tidak ada perubahan dari Leia. Wajahnya yang
terkesan acuh itu tetap seperti dulu. Leia yang tidak pernah berusaha
menarik lawan jenis dengan nada bicara yang dilembut-lembutkan,
atau ‘memasang’ muka yang dipolos-poloskan. Leia itu apa adanya.
Justru itu yang membuat Hans menyukai gadis ini.
“Mau aku antar? Apa apartemenmu pindah?”
Leia merasa aneh, lima tahun yang lalu dia ditinggalkan, dan
lima tahun dia tidak merasakan perhatian seperti ini.
“Thanks Hans, tidak usah, aku juga tidak pindah.”
“Hemm..., apa kamu masih sering ke Resident café? Mungkin
ada baiknya kita menjenguk tempat itu lagi.”
Leia merasa malu untuk menjawab tidak. Bagaimanapun tempat
itu sangat mengingatkan dia tentang Hans.
“Iya, lain waktu mungkin.”
“Oke, see you soon Leia.”
Hans pergi dengan mengusap topi rajut Leia hingga menutupi
sebagian muka Leia.
Mereka sama-sama berlalu mengambil jalan masing-masing. Leia
yang masih tidak percaya sosok itu kembali lagi, tidak jauh darinya.
Namun, Leia tidak membiarkan lamunan itu terlalu jauh.
Hans dengan sorak membanting tubuh ke ranjang apartemennya.
Entah apa yang dia rasakan sekarang. Tapi membuatnya senang dan
yakin ini untuk Leia.
Pagi hari Leia melanjutkan aktifitas seperti biasa, sarapan
sereal favoritnya, juga tidak lupa dengan sid anjing sekaligus teman
di apartemennya. Berangkat kerja dengan berjalan kaki adalah
kesenangan sendiri bagi Leia. Menikmati aktifitas Melbourne di pagi
hari, meresapi udaranya yang segar membuat jarak tidak terasa jauh.
Call box sudah menuggu Leia. Musik direktornya, Asad sudah
membuka acara pagi dengan memutar Marron5 “Sunday Morning”
yang menjdi mood booster untuk Leia.
“Maaf, Bang telat sepuluh menit, hehe....”
“Hemm...,biasanya juga segitu telatnya!”
427
Bang Asad memang orang yang paling paham dan dekat
dengan Leia selama di Melbourne ini. Segala curhatan suka-duka
Leia bersama dengan Bang Asad. Asad yang dewasa membuat Leia
merasa dilindungi dan diperhatikan.
Hans mengawali hari dengan lari pagi seperti biasanya. Entah
ada apa Hans membuat arah larinya menuju Resident café. Dilihatnya
tempat itu meja yang dulu selalu dia pakai bersama Leia sedang
dipakai orang lain. Menyesal, mungkin itu yang Hans rasakan. Dulu
ketika obsesinya membuat mimpi-mimpi yang telah dia rangkai
dengan Leia harus berhenti bahkan berakhir. Hans tidak melanjutkan
lamunannya, memlih pulang dan sarapan dengan donat super manis
kesukaanya. Hans merasa pertemuannya dengan Leia mungkin adalah
kesempatan mereka. Hans merasa kali ini tidak boleh disia-siakan.
Sudah cukup tahu dia rasanya lima tahun tanpa Leia. Mungkin Leia
tidak akan mudah untuk ditaklukkan, tapi Hans sudah mantap dengan
keinginannya.
Leia yang masih asyik dengan para pendengarnya seakan lupa
dengan kejadian yang kemarin dialaminya. Sampai pada sebuah lagu,
masuk pesan dari pendengar tanpa nama pengirim .
“Resident café jam dua siang....”
Hampir Leia membacakan isi pesan itu. Leia tidak tahu, pesan
itu dari siapa. Terbesit untuk tidak datang, tapi Leia berpikir sudah
lama sekali dia tidak menikmati kopi khas Resident café.
Jam tangan Leia menunjukkan pukuldua siang. Ragu tapi pasti,
Leia menyusuri jalan menuju Resident café. Tepat di depan pintu Leia
melihat Hans sudah duduk di meja biasanya mereka duduk dulu. Leia
menghampiri Hans yang sepertinya sudah datang sebelum jam dua
siang. Satu gelas kopi sudah hampir menyetuh ampasnya.
“Aku kira kamu akan terlambat atau tidak akan datang.”
Hans menyeringai genit melihat Leia datang bahkan tidak jauh
dari jam dua sesuai ajakannnya tadi.
“Kamu sepertinya yang datang lebih dulu, lihat gelas kopi mu!”
Leia membalas ejekan Hans dengan santai juga.
Hari itu berjalan dengan lancar. Leia dengan celotehan-
celotehannya belum habis dengan topik yang satu sudah pindah ke
topik yang lain. Memperdebatkan film-dilm horor favorit Leia. Dan
428
Hans yang selalu dengan ejekan-ejekannya membuat Leia seperti
tidak lelah bicara.
“Apa kamu merindukan saat-saat seperti ini?”
Leia yang ditanya seperti itu hanya diam.
“Leia, maafkan aku segala obsesiku dulu membuat kita seperti
sekarang ini. Aku mendapatkan apa yang aku inginkan, tapi aku
tidak punya seseorang untuk berbagi”
Leia merasa ini tidak bisa dibiarkan terlalu jauh. Leia memutuskan
untuk meninggalkan Hans. Hans hanya diam melihat bayang topi
merah itu keluar dari pintu café .
Tidak mudah untuk Leia menerima perkataan Hans, dulu dan
sekarang sudah berbeda. Leia merasa ini bukan yang dia inginnkan.
Membuka hati kembali sekalipun dengan orang yang sama tidak
mudah. Ketakutan akan terulang lagi atau jauh di lubuk hati Leia
dia sudah tidak menginginkan Hans.
Semenjak hari itu Leia dan Hans tidak bertemu. Hans menunggu
di tempat Leia bekerja tapi tidak membuat dia bertemu Leia. Hans
mencoba mendatangi apartemen Leia, namun hanya disambut oleh
sid. Mengulang yang dulu bukan mengulang sakit hatinya Hans
pikir Leia dapat mengerti.
Leia menghindar dari Hans mungkin juga dari isi hatinya.
Leia tidak ingin situasi ini terus berlanjut. Mudah saja ketika yang
meninggalkan menekan tombol rewind, sementara yang ditinggalkan
terjebak untuk mengkutinya atau malah menekan stop. Keyakinan
seperti dulu dirasakan Leia memang sudah hilang, mengiranya akan
kembali saja tidak. Di tengah dialognya dengan hati, pesan masuk.
”Resident café jam empat....”
Leia menarik nafas panjang, menghela dengan cukup kuat.
Merasa ragu sekarang adalah waktu yang tepatkah untuk memulai
semuanya dari awal. Masih tetap berdebat dengan hatinya.
Pukul empat sudah lewat. Hans masih setia dengan meja dekat
jendelanya. Sesekali menoleh ke arah pintu masuk, tapi yang ditunggu
tidak kunjung datang. Senja sampai berubah jadi malam, namun
tak mengurangi niat Hans untuk menunggu Leia. Kopi yang sudah
mencapai ampasnya menjadi lebih pait dari sebelumnya. Namun itu
yang membuat Hans yakin akan ada manis menghampirinya.
429
Leia membuka pintu itu dengan pelan. Melihat yang me
nunggunya sudah terlihat lelah.
Leia duduk berhadapan dengan Hans. Mereka saling tersenyum.
Hans yakin yang dia butuhkan dengan Leia sekarang hanya waktu,
dari mata Leia, Hans bisa melihat Leia pun ingin. Namun biarkan
semuanya seperti ini.
430
PEMINTA DI ATAS AWAN
Yossie Putri Isnaini
Mentari siang ini amat terik. Membuat aku sulit tuk membuka
mataku. Panas. Panas sekali. Pikirku siang ini matahari sedang dirun
dung amarah. Terlontar cahayanya menembus pori-pori kulitku serasa
hampir terbakar. Sekian lama aku berjalan. Tempat teduh tak kudapati.
Tak ada satupun tempat singgah untuk sekedar melepas peluh.
Keringat sebesar biji rambutan mengalir deras di keningku hingga
kerudungku mulai sempurna basah. Aku berhenti di sebuah warung
kecil, membeli air dingin untuk melegakan tenggorokanku. Setiap air
yang aku teguk memberikan kesegaran pada kerongkonganku yang
sedari tadi tercekik kehausan.
Sembari istirahat, kuarahkan pandanganku ke persimpangan
jalan yang tak jauh di depanku. Kulihat seorang anak perempuan
berpakaian lusuh, dipenuhi lubang dan noda, tapi matanya yang coklat
membuat dia semakin cantik. Serta hidungnya yang mbangir1 membuat
dia sempurna seperti anak yang lain. Berdiri dengan satu kaki yang
ditopang tongkat kayu sambil menggoyangkan kaleng kecil pertanda
pekerjaannya adalah meminta belas kasihan orang yang berlalu lalang
di situ. Kuperhatikan anak itu tak pernah beranjak dari tempatnya
berdiri. Aku penasaran. Ragu kakiku untuk menghampirinya. Tapi,
apa yang akan aku lakukan setelah bertatap muka dengan anak itu?
Aku bingung. Akhirnya aku duduk kembali di tempat semula sambil
menghabiskan sisa air yang masih tersisa.
Pandanganku tetap tak berpaling darinya. Terlintas di pikiranku,
aku membayangkan jika aku menjadi dirinya. Akan kulakukan apa
yang ia lakukan sekarang. Mukanya kini mulai memerah, merasakan
panas hari ini. Sesekali ia duduk, namun tak lama berdiri lagi, tetapi
tetap saja badannya tak ada niat untuk beranjak.
1 Bahasa Jawa; keterangan fisik untuk hidung yang mancung
431
Waktu yang hampir sore menuntunku untuk kembali berjalan.
Pulang. Matahari tak seterik sebelumnya. Petualanganku hari ini telah
usai. Berniat aku akan melanjutkannya esok. Kini pikiranku dipenuhi
anak di persimpangan itu.
Di berbagai tempat di mana pun aku di rumah selalu terba
yang anak itu. Ada saja desakan yang menyuruhku untuk lebih
mengenalnya. Terdengar samar bisikan di telingaku, “Kamu harus
segera menemuinya! Kasian dia, sudah tidak ada waktu lagi untuk
menundanya. Hanya kamu yang bisa selamatkan keberadaannya.”
“Dia? Siapa dia?”
Ah, barangkali hanya imajiku saja.
***
Pagi masih sangat hitam. Hiruk-pikuk manusia telah mewarnai
suasana. Seperti yang kebanyakan orang perumahan lakukan, jogging
setiap pagi di hari libur merupakan kewajiban bagi kami. Tidak
terkecuali aku. Pagi ini, setelah berlari-lari sebentar, aku tidak akan
menyiakan kesempatan. Aku akan kembali ke tempat kemarin, tempat
dimana aku memandangi anak itu. Kali ini semangatku lebih besar,
hanya untuk melihat anak yang mengharap belas kasihan orang-
orang. Rencana untuk bisa mendekatinya telah aku susun rapi dalam
pikiranku. Hatiku tergerak untuk melaksanakannya. Jiwaku tergugah
untuk menjalankan niat. Berkenalan dengan anak yang hidup di
jalanan adalah hal yang barangkali orang lain anggap bodoh.
Seseorang meneriakiku dari kejauhan, “Jangan dekati dia!”
Sepertinya orang itu melarangku untuk menghampiri si anak. Entah
apa yang ada dalam pikiran orang itu. Aku tak mengerti kenapa dia
melarangku. Tanpa menghiraukan teriakannya, aku mendekatinya.
Dia berdiri di tempatnya kemarin, dengan pakaian yang sama pula.
Kuberanikan diri menepuk pundak mungil itu dan dengan sigap
kuraih tangannya yang menengadah.
“Hey, bolehkah aku tau siapa namamu?”
Keringat dingin merajai tubuhku. Aku berusaha mengusir
ketakutanku. Ia terperanjat, merasakan tepukanku yang sepertinya
terlalu kencang di pundaknya. Segera setelah itu ia menunduk,
memalingkan wajahnya dari hadapanku. Aku berusaha membuatnya
432
mau menatapku, dengan kata-kata, “Hey, jangan takut!” Tapi nihil.
Aku tak berhasil.
“Kamu haus? Mau minum?”, aku memulai basa-basi. Berbicara
kepada orang yang baru aku temui seperti dia memang membutuhkan
nyali yang cukup. Dia pun hanya mengangguk, menyanggupi
tawaranku. Sejenak aku dibuat gamang dan bimbang saat kugandeng
tangannya menuju ke warung tempat aku mengamatinya kemarin.
Namun tekadku sudah bulat. Dorongan naluriku yang semakin kuat.
Apalagi bisikan-bisikan halus yang sering mengiang di telingaku.
Kusodorkan minuman kepadanya. Disambetnya minuman
itu lantas ditenggaknya hingga tak tersisa setetes pun. Semua
dihabiskannya seketika. Tanpa ada kata yang terucap, dia langsung
pergi meninggalkan tempat kami duduk menuju persimpangan jalan.
Di hari-hari berikutnya, setiap pulang sekolah, aku mengajaknya
makan dan minum di tempat biasa. Tapi tak pernah kudengar ia mau
bersuara. Aku hanya bisa menyaksikan ia menyantap makanannya
dengan lahap. Tetap saja dia terlihat cantik walaupun aku tahu
wajahnya tak secantik orang rumahan. Wajahnya dipenuhi cemong.
Kepadaku ia tidak memiliki sopan santun sama sekali. Selalu saja
habis selesai makan-minum, dia langsung pergi. Kalau seperti itu terus
kelakuannya, kesabaranku mungkin akan habis. Tapi aku teringat niat
awalku mendekati anak ini. Namanya saja orang jalanan, mana ada
sopan santun. Yang dia tau hanyalah bagaimana mendapatkan uang
yang banyak untuk memenuhi kebutuhannya. Tak pernah peduli
pada kepentingan orang lain. Masa bodoh.
Suatu siang sesaat setelah dia selesai melahap makannya kemudian
berlari kembali ke perempatan jalan, tiba-tiba wanita tua penjaga
warung menghampiriku dengan wajah penuh tanya. Sepertinya ada
yang akan dbicarakan denganku. Karena memang sering sekali aku
bersama anak itu makan-minum di warungnya. Setelah berbasa-basi
sebentar, panjang lebar wanita tua itu menceritakan tentang anak yang
makan bersamaku tadi secara rinci. Penuh semangat kudengarkan
setiap kata, setiap kalimat yang diucapkannya.
“Sudah lama dia hidup di situ. Sejak masih balita dia sudah
bekerja, menunggu orang lain mau mengisi recehan di kantong plastik
bekas. Dulu, sering kami mengusirnya, tapi dia tak pernah mau pergi.
433
Semua orang di sini tahu sebenarnya dia anak orang kaya. Setiap hari
ketika pagi masih gelap ia diturunkan seseorang dari mobil mewah di
sebelah utara persimpangan, di pinggir lahan kosong itu. Tapi kami
pun tetap tak tahu siapa yang mengantarkannya. Suatu saat kutanyai
dia, hanya diam yang kami peroleh.”
Nenek itu mengakhiri ceritanya. Lalu dia tergopoh masuk ke
ruang dalam bagian belakang warungnya. Tak selang berapa lama
dia menghampiriku, menyodorkanku sesobek kertas kecil. Di situ
tertulis sebuah alamat. Setelah kubaca, tempatnya memang lumayan
jauh dari sini, tapi masih dapat aku tempuh sendiri dengan motor.
“Nek, ini apa? Ini alamat siapa? Apa maksudnya?”
Wanita tua itu tidak menjawab. Diam. Kemudian dia berlalu.
Setelah sekian lama dia tidak muncul, aku pergi. Aku memutuskan
untuk mendatangi alamat itu. Meskipun aku belum mengerti kenapa
wanita tua itu memberiku alamat. Padahal dia tidak menyinggung
alamat apa itu, alamat siapa itu. Apa hubunganku dengan alamat
itu? Ah, wanita tua itu membuatku tambah bingung. Namun hatiku
berbicara, aku harus mencarinya.
***
Desa Bumiasih. Itu kata-kata yang tertulis di sobekan kertas.
Kebetulan rumah salah seorang temanku tak jauh dari desa itu, di desa
Bumiayu. Aku bisa menginap di rumah temanku barang seminggu, ini
masa libur sekolah. Setahuku, tak ada rumah mewah di Desa Bumiayu.
Tapi, aku tak tahu keadaan di Bumiasih.
Semua rumah tampak biasa. Aku tak mendapati rumah mewah di
sana. Pasti aku telah salah sangka. Aku berpikir bahwa anak itu anak
orang kaya. Setiap kali aku menanyakan pada warga Desa Bumiasih
tentang seorang anak berumur 9 tahunan yang hidup di persimpangan
jalan di dekat kampus sebuah kota budaya, mereka tak menjawab.
Kedatanganku di Desa Bumiasih sepertinya menjadi momok bagi
warga desa. Ada bisik-bisik yang bilang bahwa si anak dan keluarganya
diusir. Ada yang bilang kena kutukan. Namun kutemui keanehan,
salah seorang warga ada yang mengaku bahwa ia adalah paman
seorang keponakan. Dia bilang kepadaku dengan penuh keyakinan
bahwa keponakannya itu telah meninggal setahun yang lalu tertabrak
434
bus pariwisata di jalan raya menuju sebuah pantai. Wajahnya yang
cantik dan tubuh mungilnya hancur, dan yang paling menyedihkan
lagi, salah satu kakinya hilang. Ada juga yang mengatakan bahwa
banyak anggota tubuhnya tersangkut di bus. Mendengar bahwa si
anak semata wayangnya meninggal, kedua orang tuanya shock berat
dan akhirnya menjadi gila.
Aku ragu dengan perkataan seorang warga yang mengaku paman
seorang anak kecil. Anak yang dia ceritakan mempunyai kemiripan
dengan anak yang berada di persimpangan jalan dekat kampus
kota budaya. Namun Sang Paman terus berusaha meyakinkanku,
bahwa yang aku lihat itu mungkin bukan keponakannya, karena
keponakannya sudah meninggal.
Langkahku ragu mengikuti ayunan kaki paman yang menuju
ke sebuah tempat dimana keponakannya dimakamkan. Sungguh,
perasaanku tak yakin bahwa makam yang kami tuju adalah makam
anak yang hidup di persimpangan, yang ingin sekali aku mengenalnya.
Namun air mataku menetes. Entah mengapa. Aku melihat sebuah
nisan bertuliskan “Angelika”.
***
Dua minggu kemudian. Sekolah telah masuk kembali. Dalam
lamunan aku teringat kejadian heboh dan menggemparkan di sekolah
seusai kami pulang study tour dari pantai. Seluruh penghuni sekolah
dibuat kalang kabut dengan penemuan potongan kaki mungil
bersimbah darah tersangkut di bus yang kami tumpangi. Orang yang
melihat berteriak histeris. Beberapa ada yang jatuh pingsan karenanya.
Begitu juga aku. Mimpi tentangnya membuat aku selalu bingung.
Harus bagaimana aku?
Semua ini tergantung pada diriku, membiarkan Angelika
hidup di dunia yang bukan untuk dia sama halnya membiarkan dia
tersiksa di dunia yang penuh dengan kekerasan ini. Kedengaranya
sangat naif tapi ini harus aku lakukan demi ketenangan Angelika.
Tak ada seorangpun yang mampu memberiku solusi menyelesaikan
ini, beberapa dari mereka mengagapku gila dan memintaku untuk
tetap tutup mulut.
435
Hanya meraka yang berjiwa pengecut saja yang tidak mampu
melakukan hal itu. Aku menganggap mereka tidak bernyali. Mungkin
di sini hanya aku yang memiliki gagasan untuk menyelesaikan
masalah ini.
Aku meneguk ludahku yang mulai menggumpal. Aku hanya
tersenyum. Dan kubiarkan semua ini berlalu begitu saja. Tapi Angelika?
436
SEHARUM BUNGA DI YOGYAKARTA
Nia Damayanti
Sunyi senyap kini dirasakan Bunga di Yogyakarta. Tempat di
mana ia dilahirkan dan dibesarkan oleh kedua orang tuanya. Bulan
ini adalah bulan puasa yang penuh berkah baginya. Matahari senja
belum sepenuhnya merebahkan tubuhnya di kaki langit. Burung-
burung masih berterbangan di kota yang nyaman ini. Beberapa saat
kemudian, sayup-sayup terdengar suara adzan menggema bersaut-
sautan mengagungkan asma Sang Pencipta Alam Raya.
“Alhamdulillahirabbil’alamin……..”, dengan tangan-tangan
mungil yang sedang merajut membuat baju spesial untuk neneknya,
ia hentikan seketika lalu segera duduk di meja makan.
“E….jangan lupa berdo’a dulu anakku sayang…”. Bunda bunga
yang selalu mengingatkan dengan penuh kelembutan itu.
“Iya…Bunda….”, jawab Bunga dengan penuh semangat lalu
memanjatkan do’a buka puasa.
Pemandangan seperti ini selalu terasa menyenangkan bagi
Marni, ibunda Bunga yang selalu lemah lembut dalam segala hal.
Kesendiriannya pasca ditinggal oleh suaminya dua tahun yang
lalu seolah tak lagi menyisakan sepi yang menyesak di dada. Kini
Bungalah yang akan menjadi tulang punggung keluarganya. Bunga
yang lulus kuliah dengan nilai yang bagus ini masih mencari-cari
pekerjaan yang pas untuknya. Bunga yang sibuk dengan buku-buku
bacaannya terhenti seketika. Dia membayangkan seseorang ayah yang
dulu menjadi motivasinya kini telah tiada.
Mata Bunga semakin kehilangan binarnya. Kini tak lagi Marni
tau apa yang harus ia lakukan. Berbagai cara rasanya telah ia lakukan
untuk mengembalikan senyum manis Bunga, namun kematian
suaminya membuat Bunga semakin sulit melupakan semuanya itu.
Perlahan cairan hangat menetes dari pelupuk mata indahnya.
437