blok yang sama dengan rumah Luvia. Terlihat mobil lawas kakek di
sana, juga tercetak nomor rumah kakek di dinding, nomor 5.
PRANG!! Aku menjatuhkan pigura itu. Nomor 5. Nomor yang
sama juga dengan nomor rumah Luvia. Bagaimana ini bisa terjadi.
Aku sangat bingung.
“Arko. Ada apa?” Tanya ayah yang tiba-tiba datang setelah
mendengar suara benda jatuh dan pecah.
“Ayah, nama ibu itu Via kan?”
“Iya, Luvia Kristi lengkapnya.Hei kenapa, Ko? Teringat sama
ibu ya?”
Aku tercekat kaku mendengar nama itu. Bagaimana ini bisa
terjadi. Aku tidak bisa berkata-kata. Semua ini sangat aneh. Aku ingin
meraung sekeras-kerasnya. Seketika penglihatanku menjadi kelabu.
Pelangi yang awalnya tercetak indah di angkasa juga menjadi kelabu.
Semua kelabu.
***
“Kuberi nama kamu Arko Fanus. Arko yang dalam bahasa
Spanyol berarti pelangi. Janganlah kamu membenci hujan, jadilah
pelangi. Kau terlahir bersama hujan dibawah pelangi.” Suara itu
menyejukkanku. Ibu.
138
KANAN UNTUKMU, KIRI UNTUKKU
Denti Dwi Lestari
Aku dan calon pacarku belum menjalin hubungan lebih jauh
menjadi sepasang kekasih. Banyak sekali perbedaan diantara kami,
kami berdua memutuskan untuk mencari persamaan kami terlebih
dahulu sebelum menjalin hubungan yang lebih jauh.
Pagi ini kami berdua akan bertemu di sebuah danau yang sering
sekali kami kunjungi semasa SMA, kami akan kembali bertemu disana
setelah tiga tahun kami tidak bertemu untuk belajar di perguruan
tinggi. Aku sampai duluan di danau itu, dan menunggu Andi di
sebuah kursi yang sekarang sudah terkelupas catnya. Sudah sekitar
tiga puluh menit aku menunggunya datang, tapi Andi lama sekali.
“Arini?” Terdengar suara lelaki memanggil namaku. Aku me
noleh ke arah suara itu. Terlihat seorang lelaki yang tinggi, berkulit
sawo matang yang berlari ke arahku. Dia semakin dekat ke arahku
sambil terseyum. Aku ikut terseyum untuk membalas senyumannya.
“Maafin aku ya lama, tadi macet, kan lagi pada mudik.” Aku
terseyum.
“Kamu lama, bosan aku nunggu kamu.” Sambil membalik mem
belakangi Andi. Andi menarik tanganku sampai tubuhku terhempas
ke arahnya, membuat kami saling bertatap mata. Cukup lama kami
saling menatap. Aku mengalihkan perhatianku dan melepaskan
tanggannya. Rasanya aneh, dadaku berdebar, aku pun duduk di
kursi taman dekat danau. Andi mendekat, dan duduk di sampingku.
“Terus gimana sama hubungan kita, perbedaan yang ada di
antara kita tidak dapat disamakan, karena apa yang ada pada kamu
dan pada aku itu bawaan dai lahir, dan jika kita merubahnya maka
orangtua kita yang akan turun tangan untuk menggagalkan hubungan
kita.”
139
“Iya, aku tahu. Tapi paling tidak kita memiliki sedikit persamaan.
Benar kan?”
Kami berdua berdiam diri di kursi dekat danau itu, mengharapkan
datangnya suatu keajaiban agar kami berdua terlahir kembali menjadi
sepasang tanpa adanya perbedaan yang menghambat hubungan kami.
“An, ak punya ide.”
“Apa? Apa itu bisa membuat persamaan diantara kita?”
“Iya, kamu kidal kan?”
“Iya, apa hubungannya?” Andi mulai bingung mendengar
perkataanku.
“Itu hubungannya, kamu kidal dan aku tidak. Aku belajar
menggunakan tangan kiri dan kamu belajar menggunakan tangan
kanan. Setelah kita bisa kita mempunyai persamaan kan An?” Aku
terseyum bahagia. Terdengar aneh memang, tapi jika itu terjadi akan
menjadi kisah yang sangat menarik untukku.
“Kamu benar sih Rin, aku setuju. Terus kapan kita bisa mulai
belajar?”
“Secepatnya? Kita praktekan ini di rumah juga, di mana-mana.
Tapi kita juga harus menyeimbangkan kedua tangan kita. Jangan
dominan di salah satu tangan saja.”
“Ok sayang. Ya sudah sekarang kita makan yuk. Ajak Andi.”
“Boleh.” Kami berdua pegi dari danau dan menuju ke rumah
makan cepat saji di sekitar danau. Di sana aku memesan makanan
favoridku, begitu juga Andi. Kita menyadari perbedaan makanan yang
kami pesan. Tapi minuman yang kami pesan sengaja kami campurkan
agar memiliki rasa yang sama. Perpaduan di antara minuman kami
ini kami berdua harapkan dapat berpadu juga di dalam hubungan
kami berdua.
Aku makan menggunakan tangan kiri, sedangkan Andi yang
biasanya menggunakan tangan kiri menjadi makan dengan tangan
kanan. Dia terlihat kaku menggunakan tangan kanan, sedangan aku
juga tidak lebih baik dari dia. Kami tertawa melihat ini semua. Untuk
menjadi sama ternyata tidak mudah.
Hari demi hari kami berusaha belajar untuk menjadi sama. Banyak
hal yang biasanya aku lakukan dengan tangan kanan sekarang aku
lakukan dengan menggunakan tangan kiri. Orangtuaku menyadari
140
perubahan ini, awalnya mereka memuji aku karena aku beusaha
menyeimbangkan kedua tangganku. Tapi lama kelamaan mereka
menjadi tidak suka dengan perubahan ini. Memang wajar orangtuaku
tidak suka dengan perbedaan ini. Makan memang pada umumnya
seharusnya menggunakan tangan kanan, bahkan itu diwajibkan. Tapi
aku yang sudah biasa menggunakan tangan kanan berubah menjadi
menggunakan tangan kiri.
Orangtuaku semakin geram dengan perilakuku, akhirnya papa
meminta mama untuk menegurku. “Nak, kamu boleh saja meng
gunakan tangan kirimu, tapi tidak semua hal harus kamu lakukan
dengan tangan kiri.” Kata mamaku.
“Makan itu menggunakan tangan kanan.” Bentak papaku yang
mulai membenci aku. “Kalau seperti ini, papa tidak menyetujui
hubungan kamu dengan Andi.”
“Jangan pa, Arini akan tetap belajar menggunakan tangan kiri,
tapi Arini juga akan belajar untuk membedakan fungsi tangan kanan
dan tangan kiri.” Papa hanya mengangguk dan pergi, sedangkan
mama menyusul papa dari belakang. Aku merenungi perkataan mama
dan papa. Mereka memang ada benarnya. Etika makan memang
menggunakan tangan kanan, aku tahu tapi kenapa aku melakukan
kesalahan? Mungkin selain aku belajar menggunakan tangan kiri
aku juga harus tahu fungsi kedua tangan yang aku miliki ini. Aku
menghubungi Andi dan memintanya untuk menemui aku di danau.
“Kenapa Rin, kok kamu sedih? Capek ya pake tangan kiri?”
tanya Andi cemas.
“Bukan, orangtuaku marah aku makan dengan tangan kiri.”
“Ehhm, bukannya kamu yang bilang kalau makan itu memang
harus pake tangan kanan. Tapi kenapa kamu makan pake tangan kiri?”
“Kan biar sama kayak kamu An.”
“Iya sih, memang. Tapi aku juga baru sadar kalau makan
seharusnya memang pake tangan kanan. Orangtuaku saja suka aku
mulai belajar makan dengan tangan kanan.”
“Ehhmm, brarti sebenarnya aku yang salah. Aku yang punya
ide, tapi aku sendiri yang nggak paham maksudnya. Ya sudah kita
berdua makan dengan tangan kanan dan belajar main bulu tangkis
dengan menggunakan tangan kiri.”
141
“Iya sayang. Aku setuju. Ya udah sekarang main bulu tangkis
yuk.” Ajak Andi.
Seharian penuh aku meluangkan waktuku untuk belajar bermain
bulu tangkis dengan menggunakan tangan kiri. Setelah berjam jam
kami berdua berlatih, kami kelelahan dan mencari makan di emperan
jalan.
“Ayo makan dengan tangan kanan An.” Ajakku girang.
“Ayo. Makan makan.” Andi menggandeng tanganku.
Sekarang semuanya sudah seimbang. Kami berdua sudah
memiliki persamaan. Dan kami berdua meresmikan hubungan kami
menjadi sepasang kekasih.
Sepulang dari makan aku memberitahukan berita ini kepada
orangtuaku. Aku menceritakan hubunganku dengan Andi saat makan
makan malam.
“Pa, ma aku ada berita bagus sekarang.” Aku terseyum.
“Apa nak.” Tanya mama.
“Sekarang aku dan Andi sudah resmi pacran lho. Kita sudah
ada persamaan seperti yang papa mama mau”.
“Astafirullah. Maksud papa bukan persamaan bisa pake tangan
kanan dan kiri. Kamu nggak tahu maksud papa nak?” Papa tidak
melanjutkan makannya.
“Jangan sama Andi ya!” Perintah mama dan langsung mening
galkan tempat makan.
Aku hanya tiggal sendirian berada di ruang makan. Aku tahu
sih maksud papa Tapi masak hanya karena perbedaan kami berdua
dipisahkan. Bukannya perbedaan itu indah? Aku terdiam merenungi
perkataan papa, tiba-tiba telefonku bordering, setelah aku buka
ternyata dari Andi, dia memintaku menemuinya di danau, aku
segera bergegas ke danau. Aku ingin cepat bertemu dengan Andi
dan menceritakan perkataan papa dan mama tadi.
Kami berdua sampai di danau bersamaan, wajah Andi terlihat
sangat sedih. Aku bingung, apa dia mendadak akan kembali ke
Bandung? Aku masih menebak- nebak.
“Kamu kenapa sedih An?” Tanyaku khawatir.
“Orangtuaku menentang hubungan kita kalau hubungan kita
lebih dari teman”. Aku menunduk mendengar perkataan Andi tadi.
142
“Kamu sedih ya?” Aku hanya mengangguk.
“Aku juga sama kayak kamu An.” Andi kaget dan mendekati aku.
“Apa ide kamu? Maaf aku juga bingung. Aku takut menentang
orangtuaku.”
“Aku rasa mereka benar, kita seharusnya menjadi sahabat bukan
sepasang merpati.” Setelah aku berkata seperti itu, aku meninggalkan
Andi. Selama beberapa minggu kami tidak saling berkomunikasi.
Ddan tiba-tiba di suatu pagi aku mendapatkan undangan pernikahan
Andi dengan seorang wanita yang sudah dipilihkan orangtuanya.
143
KERINDUAN BUNNY
Erni Ferlina
Seperti biasanya Bunny merasa sendiri, sunyi, tak ada yang
menemani. Hanya ditemani oleh rumah yang kosong serta barang-
barang mewah. Aku seperti orang yang tidak mempunyai kasih sayang
dari orangtua. Walaupun aku tahu mereka bekerja seperti itu untuk
aku. Tapi apa gunanya semua itu? Jika mereka tidak tahu perasaanku
seperti apa.
“Aku merasa seperti orang yang bodoh dan tidak berguna.”
Kata Bunny.
Oh, iya kita kan belum kenalan nama aku Bunny. Sebenarnya
sih itu nama panggilanku dan gak ada dinama asliku. Nama asliku
Febrina Nurlitany. Gak ada kan. Aku berasal dari keluarga yang bisa
dibilang keluarga mampu. Beli apa saja bisa tinggal bilang pula. Tapi
sebenarnya bukan itu yang aku harapin. Bukan barang mewah, bukan
mereka yang bisa kasih aku semaunya. Aku Cuma ingin satu dari
mereka. Aku Cuma ingin mereka peduli dengan aku, kasih aku kasih
sayang.
Malam haripun tiba saat ini orangtua Banny belum memberi kabar
mereka pulang jam berapa. Saat lima menit kemudian telephonepun
berbunyi
“Kriing....kring.”
“Hallo..,” kata Bunny.
“Hallo, Bunny. Ini Mama. Maaf Mama sama Papa belum bisa
pulang sekarang atau mungkin besok baru bisa pulang. Kamu tidak
apa-apakan kalau dirumah sendiri,” kata Mama Ira, Mamanya Bunny.
“Kenapa itu kan sudah jadi keseharianku, kan Ma. Dirumah
sendiri, sepi, cuman sama Bibi,” jawabnya Bunny dengan nada jengkel.
“Mama dan Papa minta maaf kalau sekarang belum bisa pulang.”
“Sudahlah, Ma. Aku capek. Sekarang terserah Mama sama Papa
144
saja. Gak usah kalian peduliin aku.”
“Toot...toot..tott.”
Setelah telephone mati Bunny bergegas pergi ke diskotik untuk
melepas kepenatan hatinya. Itulah tempat yang sekarang Bunny sering
datangi setelah masalah dengan orang tuanya itu.
Pagi harinya, orang tua Bunny pulang. Pada saat itu, Bunny
tidak ada dirumah.
“Assalamu’alaikum,” sapa Mama dan Papa Bunny.
“Waalaikumu’salam,” jawab Bibi sembari membukakan pintu.
“Bi, Bunny dimana? Tumben jam segini belum kelihatan.”
“Sebentar Nyonya, saya panggilkan dulu. Mungkin Non Bunny
masih dikamar,” jawab Bibi sambil menuju ke kamar Bunny.
Tidak berapa lama kemudian.
“Maaf, Nyonya.”
“Kenapa, Bi?”
“Non Bunny, Nyonya.”
“Kenapa sama Bunny?” Mama Ira pun bingung dengan perkataan
Bibi.
“Non Bunny tidak ada dikamarnya, Nyonya,” jawab Bibi dengan
nada bingung.
“Sudah kamu cari di sekitar kamarnya.”
“Tidak ada Nyonya.“
“Ya, sudah kita tunggu saja barangkali sebentar lagi Bunny
datang,” kata Mama sambil menenangkan hati kecilnya.
***
Dua jam Mama dan Papa menunggu, akhirnya Bunny pun
pulang.
“Glekk,” suara gagang pintu dibuka.
“Dari mana kamu Bunny? Pergi kemana kamu?” Tanya Mama
Ira.
“Kenapa? Masih peduliin aku, ya?” jawab Bunny dengan nada
ketus.
“Lho, kamu ini, kan anak Mama. Mama Ira ini Mama kamu.
Tidak mungkin kalau Mama gak peduliin kamu, Sayang.”
“Gak mungkin Mama gak peduliin aku lagi.”
“Sayang, Mama sama Papa kan bekerja mencari uang untuk
145
masa depan kamu.”
“Tapi Mama sama Papa kemana selama ini? Kalian gak tahu aku
kenapa, lagi ngapain. Kalian, tu gak sayang sama aku, gak peduli sama
aku. Kalian lebih senang dengan pekerjaan kalian masing-masing.
Sayang sama kerjaan kalian. Kalian gak sayang aku lagi,” jawab Bunny
dengan marah dan emosi.
“Mama dan Papa itu sayang sama kamu Bunny.”
“Tidaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkk,” jawab Bunny semakin histeris.
Plaak………. Suara tangan Papa Aryo yang melayang mendarat
di pipi Bunny.
“Kamu tahu Mama sama Papa seperti ini buat kamu. Kamu tahu,
kan,” kata Papa dengan emosi.
“Iya, Pa Bunny tahu itu semua buat Bunny, tapi gak begitu juga
caranya,” jawab Bunny semakin berani.
“Kamu itu masih kecil belum tahu apa-apa,” ujar Papa dengan
nada keras.
Tanpa dikomando lagi, Bunny pun pergi menuju kamarnya
sambil menangis. Diapun tidak mau makan dan keluar kamar jika
orangtuanya masih di rumah.
***
Malam haripun kembali datang. Orangtua Bunny berpamitan
kepada Bibi dan menyuruh Bibi untuk menjaga rumah.
“Bi, Aku dan Tuan akan pergi keluar kota untuk mengurus
pekerjaan. Tolong bibi jaga Bunny,” pesan Mama kepada Bibi.
“Baik Nyonya saya akan jaga Non Bunny,” jawab Bibi.
Setelah Mama dan Papa Bunny pergi. Bibi pun segera kembali
ke belakang untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum istirahat.
Tanpa sepengetahuan Bibi, Bunny keluar kamar dan pergi ke diskotik.
Bunny menghabiskan waktu di diskotik sampai pagi. Setelah Bunny
bangun, Bunny pun akhirnya pulang kerumah. sesampainya dirumah
Bunnypun langsung mengetuk pintu supaya bibi membukakan pintu
untuknya.
Tokk...took..tok…... bunyi ketokan di pintu.
“Iya sebentar, siapa sih pagi-pagi gini ngetuk pintu?” jawab Bibi
146
sambil menggerutu.
“Biiiiiiii……”
“Iya, Non,” jawab Bibi agak panic.
“Bukain pintunya, Bi. Aku mau masuk,” kata Bunny.
Saat pintu itu dibuka bibipun kaget dengan kehadiran Bunny
dengan wajah dan pakaian yang agak lusuh.
“Non Bunny dari mana?” tanya Bibi
“Habis pergi senang-senang.”
“Senang-senang bagaimana, Non?”
“Iya senang-senang di diskotik.
Bibi pun kaget dengan perkataan Bunny. Akhirnya Bibi langsung
mengajak Bunny masuk kedalam kamarnya.
“Sekarang, Non istirahat dulu, ya. Bibi akan telepon Mama dan
Papa untuk segera pulang.”
“Tidak perlu, tidak usah. Biarin aja mereka. Mereka sudah tidak
lagi menganggap aku anak. Mereka lebih mementingkan pekerjaan
aku anaknya.”
“Tapi, Non?”
“Sudah. Bibi tenang aja di rumah!”
***
Sejak waktu itu Bunny terus-terusan pergi kediskotik pada
malam hari. Selang beberapa bulan Mama dan Papa Bunny pulang
dari luar kota. Mereka pulang untuk sekedar menengok Bunny, anak
semata wayangnya tanpa mengabari Bibi dan Bunny terlebih dahulu.
Sesampainya di rumah, Bibi kaget dengan kedatangan Mama dan Papa.
Setelah Mama dan Papa masuk rumah, Mama mulai menanyakan
keadaan Bunny.
“Bi, gimana Bunny? Dia sehatkan? Dia gak kena apa-apa, kan?”
Tanya Mama Ira kepada Bibi.
“Non Bunny sehat Nyonya. Tapi??” kata bibi menghentikan
perkataannya.
“Tapi kenapa, Bi. Ngomong saja sama Saya. Kenapa sama
Bunny?” tanya Mama Ira cemas.
“Non Bunny sekarang sering pulang pagi Nyonya. Malam
harinya non Bunny sering pergi diam-diam,” jawab Bibi dengan agak
147
ketakutan.
“Memangnya Bunny kalau malam perginya kemana, Bi?” sahut
Papa Aryo.
“Mmmm…. Anu Tuan. Anu….,.” jawab Bibi terbata-bata.
“Jawab saja, Bi. Jangan takut gitu.”
“Tuan, Nyonya beberapa bulan terakhir ini Non Bunny sering
pergi ke diskotik.”
“Hah, kenapa bisa begitu Bi?”
“Kata Non Bunny supaya dia merasa senang tidak seperti suasana
di rumah.”
***
Mama dan Papa bersepakat untuk menanyai Bunny. Mereka
menunggu Bunny pulang malam itu. Ketika malam sudah larut, Bunny
pun mengetuk pintu rumah. Saat ini bukan Bibi yang membukakan
pintu, tetapi Mama Ira.
“Dari main kemana? Tumben pulang biasanya kalian gak peduli
sama aku,” ujar Bunny spontan.
Plakkk. Suara tamparan Papa Aryo mendarat di pipi Bunny.
“Ayo lagi. Gak usah berhenti,” tantang Bunny.
Segera, Bunny masuk ke kamar meninggalkan orang tuanya.
“Kalian itu gak tahu kan kenapa aku begini. Seharusnya kalian
tanya dulu kenapa aku begini,” teriak Bunny dari dalam kamarnya,
“Kalian itu gak peduli sama aku kalian hanya mentingin pekerjaan
kalian itu gak pernah ada waktu buat aku. Kalian itu bisanya cuma
kerja kerja dan kerja. Kalian tahu aku gak butuh semua itu, gak butuh
barang mewah, gak butuh uang banyak. Aku hanya butuhin kalian
berdua. Kalian pasti gak tahu kan keinginanku itu. Selama ini cuma
ingin kasih sayang dari kalian berdua, gak lebih. Tapi sayangnya
kalian gak punya itu buat aku.”
Malam itu pun menjadi sunyi setelah teriakan Bunny berakhir.
Tiga hari sudah Bunny tidak keluat kamar. Dia tidak mau makan
dan minum. Bunny bertekad untuk protes terhadap keadaan yang
dialaminya. Rupanya kedua orang tua Bunny sadar akan apa yang
telah mereka lakukan. Mereka sekarang khawatir akan keadaa Bunny.
Akhirnya, dengan bujuk rayu dan kerendahan hati kedua orang
tuanya, Bunny pun mau keluar kamar. Suasana haru menyelimuti
148
pertemuan ketiga orang tersebut di luar kamar. Segera, orang
tua Bunny membawa Bunny ke rumah sakit untuk berobat dan
memulihkan keadaan fisik Bunny. Entah mengapa, mulai saat itu
kedua orang tua Bunny semakin memperhatikan Bunny. Bunny pun
semakin senang dan gembira. Kini keluarga itu utuh lagi dilandasi
kasih sayang tulus.
CINTAKU UNTUK NEGERIKU
Selia Eriani
Gerimis tak henti menyejukkan tanah gersang yang tersapu
kemarau panjang. Namun kesejukannya seolah tak berarti untuk
sebuah hati yang terbakar, marah, penyesalan, keterpurukan, ke
rinduan, dan kekecewaan. Suara semangat dan kata-kata penuh cin
ta biasanya selalu muncul dihp ini. Hati yang begitu setia dan sabar
menunggu kabar gembira yang tersirat dari untaian kata-kata lembut
yang membuat hidup ini lebih berwarna. Hidup ini terkadang tak
adil, mereka sepuasnya ,mencaci maki profesi lelaki yang mereka
sayangi. Tugasnya menjadi abdi negara ini memb uatnya tak takut
dan tak gentar melawan semua tantangan. Suara hp yang berdering
indah itu mengantarkan kerinduan hati yang terpendam begitu lama.
“Sayang, bagaimana kabarmu saat ini? Aku di sini baik-baik
149
saja. Maaf, akhir-akhir ini tak bisa menemanimu.”
Kata-kata indah itu muncul dan menghiasi hp Rere.
“Aku baik-baik saja disini, Mas. Kapan Mas pulang?” Rere de
ngan hati kesal membalas pesan singkat dari kekasihnya, Candra.
Sebenarnya Rere begitu merindukan Candra. Namun, rasa rindu
itu berbaur rasa tidak tega dengan perjuangan yang dilak ukan oleh
Candra. Dia memang lelaki yang berjuang keras membela negaranya.
Haruskah perempuan menunggu kedatanga n lelaki yang dicintai?
Haruskah perempuan menjadi pen yem angat bagi kekasih meski batin
terkoyak dan menunda lama untuk kebahagiannya? Pertanyaan-
pertanyaan yang selalu muncul dan menari dibenak Rere. Sekali
waktu terbesit keinginan meminta kekasihnya agar berani bahkan
kabur dari pekerjaan menjadi tentara. Namun, selalu saja rasa tidak
tega dan kecintaan kekasihnya pada negara ini selalu menghantui
perasaan Rere.
***
Hari begitu cepat berganti dengan kesepian dan penantian yang
menghiasi hari-hari Rere.
“Assalamualaikum,” terdengar lelaki bersuara lembut dari pintu
depan.
“Waalaikumsalam,” jawab Rere sambil membukakan pintu.
Suasana hati kelabu yang selama ini menyelimuti hati Rere tiba-
tiba hilang dan kembali terang seperti sediakala. Lelaki yang selalu
dinantinya sekarang ada dihadapan Rere.
“Mas Candra, kapan mas pulang? Kenapa tak mengabariku?”
ucap Rere dengan senyum kebahagiaan.
“Aku memang sengaja tak mengabarimu, Aku ingin member
kejutan buatmu,” jawab Candra dengan lembut dan lantang.
Lelaki yang tampan dan menawan meski hampir mati melawan
musuh negara ini seolah tak bercela bagi Rere. Semua tantangan
hidup untuk membela negara diembannya penuh tanggung jawab
dan ketulusan hati.
“Dik, aku kesini mau pamit padamu,” kata Candra dengan penuh
ketegasan.
“Memangnya Mas mau kemana? Kukira pengabdianmu untuk
negara ini sudah selesai,” jawab Rere dengan penuh penyesalan dan
150
kegelisahan yang terpendam.
“Aku akan ke luar negeri untuk membantu meredamkan gejolak
negara tetangga, Dik, hanya 2 bulan ini saja. Setelah aku pulang aku
akan menikahimu,” Jawab Candra.
Kecupan manis yang mendarat di kening Rere membuat hati
Rere menahan kemarahan. Pelukan erat Candra yang seolah tak ingin
meninggalkan kekasihnya itu semakin membuat Rere ingin menahan
Candra untuk tetap disampingnya.
“Tinggallah disini selamanya bersamaku, Mas !” hati kecil Rere
seolah-olah meronta-ronta dengan perkataan itu.
Langkah demi langkah Candra tinggalkan Rere yang sangat
menantikan kepulagan Candra. Candra lelaki yang tegas dan disiplin
itu selalu mengutamakan kepentingan negaranya. Hari-hari dilewati
Rere dengan penantian kepulagan Candra. Di kursi ini, Rere selalu
menanti, berharap lelaki yang Ia cintai cepat kembali. Hari-hari Rere
begitu menyakitkan. Selama 2 bulan dinanti tiba-tiba ada seorang
laki-laki berpakaian tentara yang tidak asing lagi buat Rere datang
kerumah Rere. Ternyata itu teman seperjuangan Candra.
“Assalamualaikum, Re. Masih kenal aku?” sapa lelaki itu.
“Farel, ya? Kapan kau pulang? Mana Mas Candra? Aku begitu
merindukannya,” Tanya Rere dengan penuh semangat dan keceriaan.
Farel mengambil sesuatu dari sakunya yang akan dia berikan
pada Rere. Sebuah kotak kecil Farel berikan kepada Rere. Ketika Farel
memberikan bingkisan kecil tersebut wajahnya berubah serius dan
gamang untuk mengatakan sesuatu kepada Rere.
“Apa ini?” tanya Rere.
“Ini dari Candra, Re. Maafkan aku tak bisa bawakan dia
kembali dengan badan utuh untukmu, dia akan dipulangkan ke
Indonesia besok, datanglah, tegarkan hatimu Re, dia lelaki hebat yang
mempertaruhkan jiwa raganya demi pengabdian negara ini, banggalah
padanya.” Ucap farel dengan penu ketegasan hati.
Rere membuka kotak tersebut sambil menangis. Rere begitu
terpukul mendengar kabar dari sahabatnya Candra yang bisa pulang
dengan selamat dan raga yang utuh.
“Kelak, Candra akan memakaikan cincin itu di surge,” hibur
Farel.
151
Rere mempercayai bahwa suatu saat nanti dia akan menemukan
Candra yang lain untuk memakaikan cincin ini di dunia.
SENYUM TERAKHIR
Denti Dwi Lestari
Suatu hari saat aku bersamanya, duduk disamping orang yang aku
cintai. Aku berdoa supaya aku dapat terus bersamanya. Suka ataupun
duka aku ingin tetap terus bersamanya. Orang selalu mengatakan
bahwa cintaku ini adalah cinta monyet. Kalaupun memang iya semoga
saja kelak nanti cinta ini akan menjadi cinta yang sejati. Aku berusaha
membuatnya nyaman disampingku agar dia tidak mengharapkan
mantannya lagi, mantannya yang begitu sempurnya. Terkadang
mantannya ini selalu saja membuatku cemburu, walaupun kami belum
pernah bertemu tetapi dari cerita Gavin dia begitu sempurma. Pernah
aku diperlihatkan fotonya. Dia cantik sekali seperti seorang bidadari.
Sebenarnya alasan Gavin putus dengan mantannya sangat sederhana.
Hanya karena sahabat Gavin juga mencintai Gladis mantan Gavin.
Gavin lebih memilih untuk mengalah.
“Dira, I love you, would you be mine forever?”
Yaa, dua tahun lalu Gavin menyatakan cintanya padaku, di saat
kami sama-sama duduk di bangku kelas dua SMA. Aku tidak tahu saat
itu bagaimana hubungan Gavin dengan Gladis, tapi aku juga punya
rasa dengan Gavin. Itulah yang membuatku menerima pernyataan
cinta itu tanpa pikir panjang. Hubungan kami terlihat begitu sempurna
di mata banyak orang, membuat orang yang melihatnya begitu iri. Dia
begitu memanjakan aku, memperlakukan aku layaknya seorang putri.
Perempuan mana yang tidak bahagia dengan perlakuan seperti itu?
Hubungan kami terlihat begitu berbeda saat kami duduk di bangku
perkuliahan. Kami mulai jarang bertemu, namun kami masih aktif
152
berhubungan melalui sms ataupun telepon. Tak pernah aku berpikir
Gavin akan melirik wanita lain, karena setahuku dia bukan laki-laki
yang mata keranjang, dia setia. Aku yakin itu.
“Vin, kamu masih sayang aku, nggak?”
Pernah aku tanyakan itu saat ulang tahun jadian kami. Aku
begitu takut kehilangan dia. Apapun akan aku lakukan untuk
mempertahankan dia.
“I love you so much honey,” jawab Gavin dengan seyumnya yang
begitu indah, yang membuat aku tak ingin menyakiti perasaannya.
“Vin, dah lama banget kita nggak ketemu. Kita ketemu, yuk,
sekalian jemput aku. Yang penting ketemu, deh. Mau seberapa lama
yang penting aku bisa lihat seyum kamu saying.”
“Iyaa, Sayangku. Aku jemput kamu yaa sekarang di kampus
kamu.”
“Oke, aku tunggu cinta”.
Saat itu aku meneleponnya, aku benar-benar merindukannya.
Ingin sekali memeluknya saat itu juga dan mengatakan aku
mencintainya. Aku menunggunya begitu lama, telepon ataupun sms
dia tidak membalasnya lagi setelah aku meneleponnya tadi. Akhirnya
aku pulang sendiri dengan naik kendaraan umum. Kecewa banget
rasanya saat itu, tapi aku berusaha meredam amarahku, aku nggak
mau menyakiti perasaanya. Teleponku berdering, menandakan kalau
ada panggilan.
“Kamu di mana, Sayang, aku ada di dekat kampusmu, nih”.
“Aku udah di rumah sayang, maaf, aku kira kamu lupa, kamu
ke rumah aja, ya sekarang, aku pengen ketemu kamu.”
“Oke, Cinta. Aku otw, yaa. Dandan yang cantik, yaa.”
Yang membuat aku seneng banget adalah Gavin nggak marah,
jarang banget dia nyakitin perasaanku. Dia begitu mengerti aku, padahal
aku merasa kurang mengerti dia. Tuhan semoga aku bisa menjadi
kebahagiaannya. Suara motor sudah terdengar dari luar, pasti Gavin.
“Assalammualaikum?”
Aku membukakan pintu dengan senyum bahagia kala itu,
“Waalaikumsalam, ayo masuk”.
“Nih, aku bawakan coklat buat kamu plus mawar putih kesukaan
kamu. Masih suka, kan sayang ?”
153
Aku mengangguk saja. Hati ini memang bahagia, tetapi susah
untuk mengatakannya. Ada yang aneh dengan Gavin hari ini, biasanya
kalau dia hanya main ke rumah pakaiannya nggak serapi ini, bahkan
parfumnya terlihat sangat wangi sekali. Aku pikir dia mau mengajak
aku untuk pergi, tapi ternyata tidak.
“Sayang, aku pulang dulu, yaa. Aku ada urusan.”
“Kok cepet banget, Sayang, tumben?”
Aku benar-benar penasaran, tetapi aku nggak mau berburuk
sangka padanya. Dia menatapku, tetapi matanya nggak bisa aku tebak,
dia memikirkan apa? Aku terus bertanya-tanya, tetapi aku nggak
mau membuatnya kecewa. Aku izinkan saja Gavin untuk pulang.
Tetapi biasanya Gavin selalu memberikan alasan kemana dia akan
pergi, dengan siapa, dan di mana. Sekarang dia hanya bilang ingin
pulang. Kenapa?
Setelah hari itu, aku dan Gavin kehilangan komunikasi. Gavin
tidak membalas pesanku, ataupun mengangkat telponku. Dia tidak
memberikan aku kabar apapun. Itu membuatku “galau badai”.
Beberapa bulan kemudian Gavin menelepon aku, “Dira,
ketemuan, yuk. Aku tunggu di taman, yaa”.
“Iyaa, sayang.”
Saat itu aku langsung bergegas menuju tempat Gavin menung
guku. Aku bahagia, tapi kenapa hati ini tidak nyaman? Setelah bebe
rapa bulan Gavin baru menghubungi aku, seakan kami sudah putus.
Dia mengajakku pergi, tetapi nggak jemput aku, biasanya Gavin selalu
jemput aku. Dan anehnya Gavin tidak memanggilku sayang lagi, ada
apa ini? Aku sampai di taman sejam kemudian, aku melihat Gavin di
atas ayunan. Langsung saja aku menghampirinya. Gavin terlihat sedih,
ada apa? Melihatnya sedih aku memutuskan untuk membelikannya
minuman favoritnya. Aku kembali dan memeluknya dari belakang,
tetapi Gavin tidak merespon. Langsung aku duduk di sampingnya,
memberikan minuman yang baru saja aku belikan untuknya. Gavin
tetap diam. Sejam pertemuan kami tapi belum ada pebicaraan,
akhirnya aku diam. Gavin meminum minuman yang kubelikan.
Gavin memelukku, “Kamu sayang nggak sama aku?” tanya
Gavin dengan nada sedih.
“Pasti dong, Sayang. Ada apa?”
Gavin masih memelukku, tapi dia tidak langsung menjawab
154
pertanyaanku, “Aku mau minta maaf Dira”.
“Maaf kenapa? kamu nggak salah kok sama aku?”
“Aku salah Dira Sayang. Aku nyakitin kamu. Aku ngglanggar
janjiku ke kamu.”
“Ada apa?” mataku mulai berkaca-kaca.
Saat Gavin akan menceritakannya, pelukannya dilepas, dia
menunduk.
“Beberapa bulan ini aku bertemu Gladis. Kami sering jalan
bareng, termasuk saat aku mau jemput kamu. Aku sedang berada di
rumah Gladis. Dia kembali, dan dia bukan pacar sahabatku. Mereka
dulu hanya digosibkan. Maaf, tapi aku masih mengharapkannya, aku
masih sangat mencintainya. Dan itu tandannya aku nyakitin perasaan
kamu, tapi aku nggak mau jadi orang yang munafik, aku nembak dia
kami udah jadian Dira, maaf banget sebelumnya, tapi mendingan
kita putus ajaa.”
Sore itu aku seperti disambar petir yang dahsyat sekali, aku
hanya terdiam, menunduk berharap semua ini hanya mimpi buruk,
dan aku ingin segera terbangun. Tapi ini bukan mimpi, Gladis yang
Gavin mau, bukan aku.
Aku memegang tangan Gavin, “Nggak papa, yang penting kamu
jujur. Yang penting kamu bahagia.”
Setelah ucapan itu aku sudah tidak sanggup lagi mengucapkan
kata-kata, rasanya aku ingin meledak di sana, tapi Gavin benci
wanita urakan. Aku langsung berdiri dari kursi kayu usang ini, aku
meninggalkan Gavin di sana, tapi sebelum aku meninggalkannya aku
mencium pipinya untuk yang terakhir kalinya sebelum aku benar-
benar meninggalkannya. Langkahku semakin jauh, Gavin tidak
menarikku ataupun melirikku, aku benar-benar sudah dilupakannya,
mungkin pertemuan ini hanya upayanya menebus dosa kepadaku.
Aku kecewa, aku sedih, rasanya aku ingin mati saja. Rasanya aku
ingin tahu siapa orang yang mencintai aku dengan tulus.
Saat aku keluar dari gerbang taman, aku melihat sosok gadis
cantik yang nampaknya aku mengenalnya, mungkinkah itu Gladis?
Aku penasaran sekali, aku terus melihatnya, aku ingin tahu siapa orang
yang ditemuinya. Ternyata benar, Gavin yang ditemuinya, Gavin
155
menyambut gadis cantik itu dengan penuh senyuman, memeluknya.
Itu adalah saat terakhir aku melihat Gavin, terakhir kali aku melihat
Gavin sayangku terseyum, walaupun aku tahu senyum itu bukan
untukku lagi, sampai kapanpun senyum tulus itu hanya untuk Gladis.
U-KISS FANPARTY IN JAKARTA
Ajeng Covita Anekinda Rizki
“U-KISS..U-KISS !!” ucapku sambil menyentuh dan menaik-
turunkan layar handphoneku di kamar.
Yah, inilah kebiasaanku saat pagi, siang maupun malam,
bermain twitter. Di twitterlah aku mendapat berita terbaru dari grup
kesukaanku, U-KISS. Sudah 4 tahun aku menjadi fans berat mereka
kekeke. Oh ya perkenalkan,namaku Ajeng. Aku siswa kelas XI di SMA
N 2 Yogyakarta. Di malam yang sangat dingin dengan selimut yang
menghangatkanku, tidak terasa sudah 3 jam aku berkutat dengan
layar HPku, dan tiba-tiba,…
“Kyaaaaaa!” teriakanku menghiasi suasana lantai ini.
“Woo??!! U-KISS bakal datang ke Indonesia ?!! Aku tidak salah
baca kan? Ini tidak mungkin!!!!”, elakku setelah mendapat sebuah
artikel tentang idolaku ini.
U-KISS dikabarkan akan mengadakan konser pada tanggal 2
Februari 2013 di Jakarta. Mendengar berita tersebut aku langsung
shocked dan menangis di kamar. Kenapa? Apalagi kalau bukan
kesempatan untuk menonton. Aku pasti tidak diizinkan oleh orang
tuaku. Langsung saja aku menelepon temanku, Nilam yang termasuk
Kiss Me, fans U-KISS.
“Unnie, sudah tahu kabar terbaru dari U-KISS?” tanyaku sambil
menangis.
“Iya… mereka akan datang ke Jakarta, kan? Aku tidak tahu bisa
nonton tahu gak, sekarang juga masih bulan November 2012. Aku
masih berpikir,” kata Nilam.
156
“Huwaaaaaa….,” tangisanku semakin menjadi-jadi, “kalau aku
jelas gak bisa, Un. Orang Tuaku gak akan mengizinkanku. Bagaimana
ini?” sahutku.
“Aku juga gak tahu…,” jawab Nilam.
Tak terasa sudah semalaman Aku mengobrol dengan temanku
sambil menangis dan berpikir bagaimana cara untuk menonton, selain
itu aku juga menghitung-hitung uang untuk tiket dan bekal apabila
aku diperbolehkan ke sana.
“Eo… Eomma, Idolaku akan datang ke Jakarta, bolehkah aku
melihatnya,” tanyaku takut-takut.
“Tidak boleh!! Daripada melihat begituan lebih baik uangmu di
pergunakan untuk hal yang lebih penting!!” jawab Eommaku.
“Itu penting buatku, Eomma,” sahutku membela diri.
“Kalau tidak boleh, yah tidak boleh!” jawabnya lagi.
Aku pun pergi dengan wajah yang murung. Sudah seminggu
aku tidak dapat berkonsentrasi di sekolah karena memikirkan hal itu.
Di rumah aku pun selalu merenung di kamar.
“Apa yang harus kulakukan?”
Aku menelepon Nilam. Ternyata ia dapat pergi menonton
karena dibelikan tiket oleh temannya yang berada di Medan. Sungguh
berutung Nilam. Aku pun terisak menangis dalam pikiran, lalu
terlintas sebuah keputusan di benakku
“Aku akan tetap membeli tiketnya meskipun aku tidak dapat
melihatnya, aku harus berusaha, siapa tahu aku bias menonton.”
Akhirnya aku membeli tiket paling murah tanpa sepengetahuan
orang tuaku. Berminggu-minggu aku mempersiapkan semuanya dan
mencari–cari siapa yang akan mengantarkanku ke sana. Akupun
meminta Pamanku untuk mengantarkanku, tetapi dia tidak mau. Aku
tetap memaksanya. Mau tidak mau dia harus mengantarku. Tujuh
hari menjelang konser aku tidak yakin dengan Pamanku apakah dia
akan mengantarku atau tidak, tetapi aku sudah memiliki alternatif
yaitu, temanku, Faza. Ia mau mengantar-jemput dan memberikan
penginapan waktu di Jakarta, jadi tidak perlu repot-repot lagi.
157
Tak disangka tak diduga. Alam menghendaki lain. Hujan yang
terus mengguyur Jakarta menyebabkan banjir di hamper setiap tempat
di Jakarta. Apakah konsernya jadi dilaksanakan dengan keadaan
seperti itu, pikirku ketika melihat berita tersebut di televisi. Akupun
mencari informasi terkait konser tersebut. Akhirnya aku menemukan
sebuah artikel di Koran yang menginformasikan bahwa Konser U-KISS
diundurkan menjadi 26-27 April 2013. Dengan begini aku masih bisa
mempersiapkannya. Meskipun diundur, tetap ada perwakilan member
U-KISS yang akan datang untuk mengadakan Amal membantu korban
banjir. Baik sekali mereka. Ahh aku bengga jadi Kiss Me. Dan benar
saja, tanggal 2 Februari datanglah perwakilan member U-KISS yaitu,
Soohyun dan Kevin. Soohyun datang menggunakan kaos putih, dan
celana jins dengan rambut acak dan berwarna coklat. Sedangkan Kevin
menggunakan kemeja biru, dengan kaos putih didalamnya dan celana
jins, tidak lupa rambut yang khas dengan warna blonde-nya. Mereka
turun tangan langsung menuju ke pengungsian korban banjir di
Penjaringan, Jakarta. Mereka juga menghibur anak-anak korban banjir
serta ikut menyanyikan lagu “Topi Saya Bundar” beserta gerakannya
yang diajarkan oleh anak-anak. Hahahah..sangatlah lucu mengingat
mereka tidak fasih berbahasa Indonesia.
***
Sekarang bulan Maret 2013, satu bulan lagi menjelang konser.
Aku pun mengadakan gathering untuk beberapa Kiss Me yang ingin
menitipkan hadiah atau surat untuk U-KISS karena tidak akan datang
ke konser. Aku pun mendapat empat teman untuk diajak ke konser
bersama yaitu, Nilam, Faza, Richa, dan Niken. Suatu hari aku ingin
mengecek schedule U-KISS terkait konser tersebut. Aku pun kaget
setelah melihat jadwal tersebut,
“Wah kenapa padat sekali, bisa dibilang mereka sangat sibuk
dari awal bulan ini,” gumamku.
Mataku pun tertuju pada tanggal 26 April 2013 waktu konser
akan dimulai. Akan tetapi di situ tertera salah satu member U-KISS,
Hoon memiliki jadwal membintangi drama musikal. Apa mereka bisa
datang tepat waktu ke Indonesia?
****
Hari-hari menjelang konser, kami mendapat berita yang tidak
158
megenakkan.
“Faza tidak jadi melihat konser. Bagaimana ini? Kita mau
berangkat naik apa? Tinggal dimana?” tanya Nilam.
“Aduh, bagaimana kalau naik kereta?” usul Niken.
“Ntar ke lokasinya naik apa? Taksi? Mahal. Kita cuma punya
modal transpor tiga ratus ribu rupiah,” sahutku.
Kami pun kebingungan dengan transportasi yang akan kami
gunakan, dari mulai kereta sampai pesawat. Namun, uang juga tidak
memadai. Tujuh hari menjelang konser, kami tidak juga mendapatkan
transportasi. Mengingat kepadatan jadwal U-KISS, aku pun memantu
informasi di twitter, dan apa yang ku takutkan terjadi.
“U-KISS mengundur konser lagi. Apakah karena Drama Musikal
Hoon, ya,” tanyaku.
“Hah, masa diundur lagi. Padahal promotor kita yang udah
booking tanggalnya duluan,” sahut Nilam.
Ya, konser sudah direncanakan sejak November 2012, sedangkan
drama musikal tersebut baru dikonfirmasi awal Maret 2013.
“Kasihan temanku yang di Medan, dong!!” lanjut Nilam.
“Lha, kenapa?” tanyaku.
“Konser sebelumnya diundur padahal dia udah beli tiket pesawat
bolak balik, masa sekarang mau di undur lagi? Soalnya dia sudah beli
tiket pesawat lagi. Udah gitu tanggal 27 April dia ada ujian. Kalau
gak ikut ujian, dia ngulang bulan depan,” jawab Nilam.
“Wah kashian banget kalau itu. Api kau salut, dia masih ngotot
nonton U-KISS,” jawab Niken.
Mendengar pengunduran tersebut, kami jadi santai karena
masalah transportasi bisa di tunda. Aku pun ingat tentang gathering
yang kuadakan untuk Kiss Me yang mau menitip surat dan hadiah
untuk U-KISS karena tidak datang ke konser. Di gathering tersebut
aku juga mendapat teman lagi yang mau diajak bersama ke konser,
namanya Richa. Hari ini aku berkutat dengan HP lagi untuk mencari
tahu info selanjutnya. Tiga hari sebelum konser diadakan, muncul
berita bahwa konser dibatalkan. Apakah ini sungguh-sungguh. Lalu
bagaimana dengan Kiss Me? Mereka bukan hanya dari Indonesia saja,
mereka berasal dari berbagai Negara. Kiss Me adalah fans internasional.
Sungguh ini menjadi sebuah trend topic yang membuatku sangat
159
khawatir. Namun, secara logika apa mungkin konser ini dibatalkan?
Dan……
“Aiaaaaaaa……..konser U-KISS tidak jadi diundur. Bagaimana
ini?” teriakku saat membaca sebuah artikel resmi dari promotor.
Langsung saja kuambil HPku di meja dan menelepon Nilam. Dia
juga bingung dengan keadaan tersebut. Akhirnya, dua hari sebelum
pelaksanaan konser kami dihubungi Richa Unnie. Kita mendapat
sewa mobil dan supir, pulang balik seharga Rp1.800.000. Namun,
sehari sebelum konser tiba-tiba ada pembatalan mobil yang kami
sewa. Aku dan teman-teman sudah pasrah. Kami pun terpaksa
memilih mobil sewaan dan supir dengan harga yang lebih mahal,
Rp 2.500.000. Untungnya, mereka memperbolehkan kami membayar
sewa secara bertahap. Kami pun berangkat ke Jakarta 26 April 2013
pukul 10.00. Konser kali ini hanya diadakan sehari, yaitu tanggal
27 April 2013. Dalam konser tersebut Hoon tidak bisa ikut konser
karena dia harus mengikuti drama musikalnya. Selama perjalanan
kami saling mengobrol dan membahas apa yang akan kita lakukan
nanti. Saat tengah malam kami bertwitter.
“Yah, apa ini? U-KISS menghadiri ulang tahun sweet seventeen
seorang remaja wanita di Bandung,” teriak Niken yang membuat
kami sontak terkaget.
“Wowww, jadi ini yang menyebabkan AJ marah,” kata Nilam.
“Oh, yang GooseFraba sama Avanya yang 2 orang marah itu,
ya?” tanya Niken.
“Iya, katanya Avanya itu sebuah film. Nah, di film itu mereka
teriak GooseFraba waktu mereka marah, nah AJ ngetweet itu karena
marah, karena gak dikasih waktu istirahat. Lihat nih fotonya, AJ ma
Kiseop gak pernah senyum soalnya lagi kesal dan marah. Katanya
tuh cewek juga gak suka U-KISS”, jelas Richa Unnie.
“Siapa sih tu cewek sampe bisa ngundang U-KISS gitu. Kalau
tahu gak suka U-KISS kenapa ngundang mereka?” tanya Niken.
“Mungkin karena kebetulan mereka yang bakal ke sini, mereka
juga ngebatalin pengunduran, soalnya sekalian ngehadirin acara ini,”
sahut Richa Unnie.
“Nih, ternyata tu cewek anak pengusaha tekstil,” sahutku.
“Panteeeeeessssss,” sahut mereka bersamaan.
160
***
Matahari menyinari pagi hari ini, setelah sebelas jam perjalanan
menuju Jakarta. Akhirnya, kita sampai pada pukul 11.00 wib.
“Ayo, teman-teman kita tukar tiket. Abis itu kita langsung
mandi,” ajakku bersemangat.
Kami mandi di sebuah Mall tempat konser dilaksanakan, Britama
Arena, Sports Mall, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Setelah penukaran
tiket, kami ikut dalam antrian di lantai dasar untuk menunggu pintu
dibuka. Aku mendapat beberapa teman baru disini, dan juga masuk
TV. Huuu, betapa senangnya. Aku sempat diwawancarai oleh salah
satu stasiun TV, bahkan fotoku dimuat di salah satu artikel berita.
Konser baru dimulai pukul 19.00wib, namun kami baru diperbolehkan
masuk pukul 18.00. Lampu dimatikan, keluar asap putih dari ballik
tirai. Dan..
“Hyaaaaaaaaaaaa……..U-KISS…..U-KISS.”
Teriakan penonton mengawali kemunculan U-KISS dari balik
tirai, alunan lagu pun dimainkan. Mereka menyanyikan Without You
yang diiringi teriakan histeris dari penonton. Mereka menampilkan
7 lagu yaitu, Without You, Should Have treated You Better, Remember,
Obsession, Someday, Man Man Honey, dan yang terakhir adalah
Lifetime for Kiss Me. Tampil pula S4 sebagai bintang tamu yang hanya
menyanyikan 1 lagu. Sesi game pun dimulai, Aku iri dengan lucky fans,
begitu juga para pemenang lelang untuk korban bencana beberapa
waktu lalu secara online. Mereka mendapat pelukan dari U-KISS. Huh,
betapa histerisnya aku waktu itu. Tapi aku sangat senang saat mereka
menyanyikan Obsession. Saat lagu dimulai tiba-tiba,
“Kyaaaaaaa……….. AJ Oppa.”
Penonton deretan tribun Silver B berteriak histeris dan berlarian
ke belakang. Ternyata, AJ berada persis di panggung yang berada
dibelakang Tribun Silver Seat B. Aku pun berlari dan menjulurkan
tangan ke panggung yang lebih tinggi dari tempat duduk kami. AJ
sempat memegang tanganku. Aku berteriak kegirangan.Tangannya
begitu lembut. Dan saat menyanyikan Lifetime for KissMe, Kevin
melihat ke arahku dan tersenyum, aku memberi fly kiss kepadanya
dan dia membalas Fly Kissku. Dia juga masih menatapku sambil
memberikanku “love sign” serta menunjukkan “Aegyo” yang sangat
161
imut.
“Kyaaaa !!! KEVIN Oppa, Saranghae!” teriakku histeris setelah
Aku hampir dibuat pingsan olehnya.
***
Pukul 23.00wib konser selesai. U-KISS yang seharusnya
membawakan sepuluh lagu, hanya membawakan tujuh lagu. Mereka
harus segera ke bandara untuk mengejar waktu, karena ada Fans
Meeting di Korea yang harus mereka datangi. Setelah konser itu aku
kehilangan suaraku. Perlu tiga hari untuk menyembuhkannya. Konser
kali ini memang sedikit mengecewakan lantaran muncul banyak
masalah yang terjadi setelah konser. Aku harap konser selanjutnya
lebih memuaskan.
162
ZONA
Norma Elfania
“Bagaimana jika keadaan ini seperti kekacauan sirkus tengah
malam?” ujarku pelan kepada gadis didepanku yang menampakan
senyum menawannya.
“Tapi aku sudah terlalu jauh memasuki bahayaku,” ujar gadis
didepanku.
***
Aku masih ingat akan ucapanya yang kuangap hanya bualan
semata. Namun, saat ini ia berada di sini mencariku dan memasuki
Zona bahayanya. Bukan kemauanku untuk melihatnya memasuki
Zona terlarang dalam hidupku, namun seperti yang ia katakan. Ia
sudah terlalu jauh memasuki duniaku dan itu adalah Zona bahanya.
Aku melihatnya dari sini, dari tempat yang tak akan ia bisa jangkau
sampai kapanpun. Langkahnya kecil-kecil dan pelan. Tatapan matanya
yang lembut terus waspada terhadap keadaan sekitarnya. Ia melewati
rak-rak yang penuh dengan berbagai jenis minuman Keras. Ya,
well, dapat dikatakan aku adalah salah satu dari tujuh orang yang
bertanggung jawab dalam kasus ini. Cukup rumit untuk menjelaskan
keadaan yang terjadi, yang pasti aku berhadapan dengan Polisi saat
ini. Aku yakin diluar tempat ini sudah banyak polisi yang mengepung
tempat ini.
Simpan pertanyaan mengapa aku tidak keluar dari tempat ini,
namun jawabanku cukup munafik. Aku melindungi keenam temanku
dan mengorbankan diriku sendiri tanpa berpikir bahwa gadisku akan
mencariku dan masuk kedalam Zona bahayanya. Semuanya sudah
163
terlambat…
***
Detik itu mataku membulat.
“Sial!” ujarku saat mengetahui gadisku melewati Zona teraman
dari hidupnya.
Ia melewati batas Zonanya dan mengabaikan tulisan yang
mengitari tempat ini. Perkiraanku benar, tempat ini langsung
dihujani beribu peluru yang entah darimana datangnya. Gadisku
ketakutan, ia ketakutan. Tubuhnya merosot ke lantai. Aku segera
berlari menghampirinya dan keluar dari tempat persembunyianku.
Tak semudah yang aku pikirkan karena banyak peluru-peluru itu
yang nyaris mengenai lenganku.
***
“Jadi sekarang kau mendegarku?” ujarku kepada Gadisku.
Ia menunduk dan memeluk lenganku.
“Zona ini terlalu berbahaya,” ujarnya parau.
“Ya, ini terlalu berbahaya, dan kau mengabaikan semua larangan
ku!” tegasku kepadanya.
Kupejamkan mataku sejenak. Tak sangup aku membentaknya.
Karena ia adalah orang yang paling penting untukku.
“Aku mencintaimu. Aku ingin melindungimu sampai akhir. Jadi,
aku mohon keluarlah!” pintaku.
Aku menghela nafas panjang dan melihat manik matanya yang
memancarkan keraguan.
“Aku mohon.”
Ia memeluku sekali lagi dan menyenderkan kepalanya
dilenganku.
“Prince,” panggilnya pelan.
Aku terdiam dan menatapnya. Kusuguhkan senyuman manisku
sebagai jawaban untuknya bahwa aku mengijinkanya berbicara.
Gadisku balas tersenyum, garis lengkung tercetak indah dari
bibirnya.
“Jika aku mati bagaimana?” tanya gadisku.
“Aku akan tetap disampingmu,” jawabku.
Ia terdiam, air matanya semakin deras membasahi bahu kananku.
Tangannya yang kugengam semakin terkulai lemas.
164
“He,he..”
Ia tertawa menampakan senyumnya yang perlahan pudar.
Darah yang merembes dari dada kananya semakin deras meng
alir, seolah tidak dapat kuhentikan hanya dengan memeluk tubuhnya.
“Ia pergi,” ujarku.
Kubaringkan tubuhnya dilantai yang dingin lalu kemudian aku
melepaskan jaketku dan kuselimuti gadisku. Aku terduduk disamping
mayat gadisku. Aku sudah tidak perduli seberapa banyak peluru itu
menembus tembok dibelakangku, atau seberapa nyaris peluru itu
mengenai tubuhku. Jika aku boleh berharap, aku tidak akan meminta
Tuhan untuk membangunkan gadisku dari Tidur lelapnya namun
aku akan meminta Tuhan untuk mencabut nyawaku dengan peluru
panas yang sama saat mengenai gadisku.
165
KURANGNYA RASA KASIH SAYANG
ORANG TUA
Erni Ferlina
Pada saat itu masih seperti biasanya merasa sendiri, sunyi, tanpa
ada yang menemani. Hanya ditemani oleh rumah yang kosong serta
barang-barang mewah. Aku seperti orang yang tidak mempunyai
kasih sayang dari orangtua. Walaupun aku tahu mereka bekerja seperti
itu untuk aku. Tapi apa gunanya semua itu? Jika mereka tidak tahu
perasaanku seperti apa.
“Aku merasa seperti orang yang bodoh dan tidak berguna.”
Kata Bunny
Oh iya kita kan belum kenalan nama aku Bunny sebenarnya
sih itu nama panggilanku dan gak ada dinama asliku. Nama asliku
Febrina Nurlitany. Gak ada kan. Aku berasal dari keluarga yang bisa
dibilang keluarga mampu. Beli apa saja bisa tinggal bilang pula.
Tapi sebenarnya bukan itu yang aku harapin. Bukan barang
mewah, bukan mereka yang bisa kasih aku semaunya. Aku Cuma
ingin satu dari mereka. Aku Cuma ingin mereka peduli dengan aku,
kasih aku kasih sayang.
Malam haripun tiba saat ini orangtua Banny belum memberi kabar
mereka pulang jam berapa. Saat lima menit kemudian telephonepun
berbunyi
“Kriing....kring”
“Hallo..” Kata Bunny
166
“Hallo Bunny ini mama. Maaf mama sama papa belum bisa
pulang sekarang atau mungkin besok baru bisa pulang. Kamu tidak
apa-apakan kalau dirumah sendiri.” Kata Mama Ira
“Kenapa itu kan sudah jadi keseharianku kan ma. Dirumah
sendiri, sepi, cuman sama bibi.” Jawabnya dengan nada marah
“Mama sama papa minta maaf kalau sekarang belum bisa
pulang.”
“Sudahlah ma aku capek sekarang terserah mama sama papa
saja gak usah kalian peduliin aku.”
“Toot...toot..tott.”
Setelah telephone mati bunnypun pergi ketempat yang belum
pernah bunny datangi sebelumnya. Diskotik itulah tempat yang
sekarang bunny sering datangi setelah masalah dengan orang tuanya
itu.
Pagi haripun datang sekitar pukul 07.00 wib orangtua Bunnypun
datang. Dan pada saat orangtua Bunny datang Bunnypun tidak ada
dirumah.
“Assalamu’alaikum” Kata Mama dan Papa
“Waalaikumu’salam” Jawab bibi sembari membukakan pintu.
“Bi Bunny mana kok tumben jam segini belum kelihatan.”
“Sebentar nyonya saya panggilkan dulu mungkin non Bunny
masih dikamar.” Kata bibi sambil dilanjutkan menuju kamar bunny
Lima menit kemudian...
“Maaf nyonya.”
“Kenapa bi?”
“Non Bunny nyonya.”
“Kenapa sama Bunny?” Mama Irapun bingung dengan kata bibi
“Non Bunny tidak ada dikamarnya nyonya.” Jawab bibi dengan
nada bingung
“Sudah kamu cari, sekitar kamarnya mungkin.”
“Tidak ada nyonya sudah saya cari kemana-kemana teman-
temannyapun tidak tahu kemana non Bunny pergi nyonya.”
“Ya sudah kita tunggu saja barang kali sebentar lagi Bunny
datang.” Kata mama sambil menenangkan hati kecilnya.
Dua jam mama menunggu akhirnya bunnypun pulang
“Glekk” Suara gagang pintu yang berhasil Bunny buka.
167
“Dari mana kamu Bunny? Pergi kemana kamu?” Kata Mama Ira
“Kenapa? Masih peduliin aku ya.” Kata Bunny dengan nada ketus
“Iyalah kamu ini kan anak mama dan mama ini mama kamu.
Gak mungkin kalau mama gak peduliin kamu.” Kata Mama
“Owh gak mungkin ya. Owh iya ya gak mungkin mama gak
peduliin aku.”
“Iyalah mama sama papa kan bekerja untuk masa depan kamu
juga.,”
“Tapi mama sama papa kemana selama ini? Kalian gak tahukan
aku kenapa,aku lagi ngapain kalian tu gak sayang sama aku gak peduli
sama aku. Kalian lebih senang sama kerjaan kalian masing-masing.
Sayang sama kerjaan kalian. Kalian gak sayang aku lagi.” Kata Bunny
sambil menangis
“Mama sama papa itu sayang sama kamu Bunny.”
“Gak, kalian gak sayang Bunny.”
“Plaak.” Suara tangan Papa Aryo yang melayang mendarat di
pipi Bunny
“Kamu tahu mama sama papa seperti ini buat kamu. Kamu tahu
kan.” Tanya sang papa dengan amarah yang kuat
“Iya pa Bunny tahu itu semua buat Bunny. Tapikan gak begitu
juga caranya.”
“Kamu itu masih kecil belum tahu apa-apa.” Kata papa
Bunnypun pergi menuju kamarnya sambil menangis. Diapun
gak mau makan dan gak mau keluar kamar jika orangtuanya masih
dirumah.
Malam haripun kembali datang.
Orangtua Bunnypun berpamitan kepada bibi untuk pergi dan
menyuruh bibi untuk menjaga rumah.
“Bi saya dan tuan akan pergi keluar kota untuk mengurus
pekerjaan disana. Tolong bibi jaga Bunny.” Kata Mama
“Baik nyonya saya akan jaga non Bunny.” Katanya
Setelah mama dan papa Bunny pergi bibipun kembali kebelakang
untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum iya istirahat. Dan tanpa
sepengetahuan bibi, Bunnypun keluar kamar dan akan pergi untuk
kedua kalinya ke diskotik.
168
Dan saat Bunny sampai didiskotik dia mencoba untuk tetap
berada disana sampai dia merasa senang. Setelah dia ketiduran pukul
04.00 pagipun berhasil membangunkan Bunny.
“Yaelah jam berapa sih ini. Jam segini kok udah ganggu aja.”
Kata Bunny.
Setelah Bunny bangun, Bunnypun akhirnya pulang kerumah.
Saat sesampainya dirumah Bunnypun langsung mengetuk pintu
supaya bibi membukakan pintu untuknya.
“Tokk...took..tok” Bunnypun mengetuk pintu
“Iya sebentar, siapa sih pagi-pagi gini ngetuk pintu?” Jawab Bibi
sambil menggerutu
“Took...tokk..tok” Ketukan kedua Bunny
“Iya sebentar, gak sabaran banget sih tu orang.” Jawab Bibi lagi
“Tok...tokk..took bi.” Ucap Bunny sambil mengulangi ketukannya
“Iya non.” Jawab Bibi
“Bukain pintunya bi aku mau masuk.” Kata Bunny
“Iya non.” Jawab Bibi sambil membukakan pintu
Saat pintu itu dibuka bibipun kaget dengan kehadiran Bunny
yang tiba-tiba ada diluar rumah. Padahal yang bibi tahu tadi malem
Bunny masih berada dikamar dan gak mau keluar sama sekali.
“Non Bunny dari mana?” Tanya Bibi
“Aku tadi habis pergi bi senang-senang.”
“Senang-senang bagaimana non?” Tanya Bibi dengan nada
bingung
“Iya senang-senang apa bibi gak tahu. Aku ini kan dari diskotik
bi senang-senang gitu deh.
Bibi pun kaget dengan perkataan Bunny. Akhirnya bibi pun
langsung membawa Bunny untuk langung masuk kedalam kamarnya.
“Sekarang non istirahat duluya. Bibi akan telphone orangtua
non supaya pulang kerumah.”
“Biarin bi mereka sudah lupa sama aku, aku udah bukan anak
mereka lagi. Mereka lebih mentingin kerjaan mereka daripada aku
anaknya.” Katanya
“Tapi non?”
“Sudahlah bi.”
Saat kejadian itu Bunnypun terus-terusan pergi kediskotik pada
169
malam hari.
Selang beberapa bulan mama dan papa Bunnypun pulang dari
luar kota. Mereka pulang untuk sekedar menengok Bunny anak semata
wayangnya. Tanpa mengabari orang rumahnya terlebih dahulu. Saat
mereka masuk ternyata mereka mengagetkan bibi.
“Bi gimana Bunny? Dia sehatkan? dia gak kena apa-apakan?”
Kata Mama Ira kepada bibi.
“Non Bunny sehat nyonya. Tapi ??” Kata bibi menghentikan
pembicaraannya
“Tapi kenapa bi ngomong saja sama saya. Kenapa sama Bunny?”
Tanya Mama Ira dengan cemas
“Non Bunny sekarang sering pulang pagi nyonya dan malam
harinyapun non Bunny sering pergi diam-diam.” Jawab Bibi
“Memangnya Bunny kalau malam perginya kemana bi?” sahut
Papa Aryo
“Emb nganu tuan nganu.” Jawab bibi dengan terbata-bata
“Jawab saja bi jangan takut gitu.”
“Tuan nyonya beberapa bulan terakhir ini non Bunny sering
pergi kediskotik.”
“Kenapa bisa begitu bi?”
“Kata non Bunny supaya senang tidak seperti dirumah.”
Setelah mereka tahu. Mereka langsung menunggu Bunny pulang.
Saat empatpuluh menit mereka menunggu akhirnya Bunnypun
pulang.
“Tok..tok..tokk bi buka pintunya.” Kata Bunny
“Glek darimana saja kamu?” Kata Mama Ira
“Dari main kenapa? Tumben pulang biasanya kalian gak peduli
sama aku.”
“Plakk” Suara tangan papa Aryo yang kembali mendaratpun
terlihat semakin keras.
“Ayo lagi. Gak usah berhenti.”
Setelah itu Bunnypun langsung pergi kekamar untuk menghindari
orangtuanya
“Kalian itu gak taukan kenapa aku begini. Seharusnya kalian
tanya dulu kenapa aku begini.” Kata Bunny dari dalam kamarnya
“Kalian itu gak peduli sama aku kalian hanya mentingin pekerjaan
170
kalian itu gak pernah ada waktu buat aku. Kalian itu bisanya cuma
kerja kerja dan kerja. Kalian tahu aku gak butuh semua itu gak butuh
barang mewah, gak butuh uang banyak yang aku butuhin cuma satu
kalian tahu apa itu? Kalian pasti gak tahu. Selama ini cuma ingin
kasih sayang dari kalian berdua gak lebih. Tapi sayangnya kalian gak
punya itu buat aku.” Kata Bunny sembari menyindir orangtuanya
Setelah Bunny berbicara seperti itu sepertinya mama dan papa
Bunny sadar akan kesalahan mereka. Dan semenjak saat itu, sekarang
mama dan papa Bunny sering menghabiskan waktu dirumah untuk
bersama dengan anak semata wayangnya yaitu Bunny.
171
STORY OF LOVE
Ajeng Covita Anekinda Rizki
“Kyaaa..aku terlambat!!!”, teriakan seorang gadis cantik, berambut
panjang menghiasi suasana di pagi hari. Dilihatnya sebuah jam yang
menunjukkan pukul 07.00 a.m yang menandakan bahwa gadis itu
terlambat untuk kuliah pagi.langsung saja ia bangkit dari tempat tidur,
dan bersiap-siap untuk berangkat. Diambilnya sebuah sepeda yang
terparkir di halaman rumahnya yang sangat luas. Jang Min Ah, anak
dari pengusaha tekstil terkaya di kota Seoul, Korea Selatan. Tidak
heran jika ia sangat terkenal dan dipuji di Universitasnya. Selain kaya,
ia juga memiliki paras wajah yang cantik dan sifat yang ramah tetapi
sangatlah manja.
Dikayuhnya sepeda tersebut dengan sangat cepat. Sampai di
tikungan jalan yang tidak jauh dari rumahnya, tiba-tiba,
“BRUKKK!!!”.Min Ah terjatuh dan menimpa seorang lelaki yang
ditabraknya.
“Ahhh… Sakit sekali ..”, keluh Min Ah
“Ahhh… badanku”, suara lenguhan seorang lelaki menyadarkan
Min Ah.Secara perlahan, ia membuka matanya yang tertutup itu dan
melihat sumber suara tersebut. Tatapan mata merekapun bertemu,
seorang lelaki dengan pakaian yang lusuh dan wajah yang tak terawat
tetapi tidak menghilangkan paras manisnya. Tampan?Tidak, bahkan
lebih cantik dari seorang wanita.
“Imut sekali…”, batin Min Ah menatap wajah lelaki tersebut
tanpa berkedip.
“Nona, bisakah kau berdiri, ini sangat berat”, suara itu
menyadarkan Min Ah dan menyadari dimana posisi ia berada.
“Kyaaaaa… maaf, aku sungguh minta maaf”, ucap Min Ah sambil
berdiri dan membungkuk untuk meminta maaf.
“Auuhhh, Kau!! tidak punya mata ya?” Tanya lelaki tersebut.
172
“Aku minta maaf, perkenalkan namaku Jang Min Ah”, ucap
Min Ah sambil mengulurkan tangan untuk menolong lelaki tersebut.
“Tidak usah, kalau jalan itu liat-liat!!”, bentak lelaki tersebut
sambil menepis tangan Min Ah dan mengubah posisinya menjadi
duduk.
“Yak!! Aku kan sudah minta maaf, kau menyebalkan sekali, dasar
udik!!, sahut Min Ah.
“Aku punya nama tau, namaku Woo SungHyun!!dan Kau!! Siapa
tadi?, kau harus bertanggung jawab”, bentak lelaki yang ternyata
bernama Sunghyun itu.
“Jang Min Ah!!Kenapa harus aku yang bertanggung jawab? Aku
kan hanya… ah lutut mu”, ucap Min Ah saat melihat lutut SungHyun
yang mengeluarkan darah.
“Maka dari itu. Oh ya, panggil saja Aku Kevin”, ucap Kevin
“Sudah jangan banyak bicara.Ayo ikut aku”, ucap Min Ah sambil
menarik tangan Kevin menuju kekediamannya. Tampaknya Min Ah
tidak ingat kalau ia harus kuliah saat itu. Sesampainya di rumah, Min
Ah meninggalkan Kevin di ruang tamu.Kevin terlihat takjub melihat
rumah Min Ah yang begitu mewah dan berisi perabotan-perabotan
mahal.Min Ah datang menghampiri Kevin dengan membawa sebuah
kotak P3K dan mengobati luka Kevin.Kevin pun memandangi Min
Ah dari atas sampai bawah.
“Kau orang kaya? Dari penampilanmu, kau akan pergi kuliah
kan?” , Tanya Kevin
“Aaaa… Aku lupa, sepertinya aku akan kuliah siang. Kau tidak
Kuliah?”, keluh Min Ah
“Aku? Tidak..aku tidak pernah bersekolah, kau liat sendiri
penampilanku, aku hanya seorang anak jalanan”, jawab Kevin.
“Oohhh…”, gumam Min Ah. Ia merasa iba terhadap Kevin.
Selesai mengobati luka Kevin, Min Ah mengantarkan Kevin hingga di
depan gerbang rumahnya yang sangat besar. Tanpa mengucap terima
kasih, Kevin langsung pergi meninggalkan Min Ah yang terbengong
melihat kepergiannya.
“Yak!!! Dasar namja (baca: laki-laki) menyebalkan, tidak tau
berterima kasih. Awas kau!”, kesal Min Ah.
****
173
“Huh, gara-gara lelaki itu aku jadi tidak berangkat kuliah pagi”,
gerutu Min Ah saat akan memasuki pelajaran kuliah siang.
“Hey, Min Ah, kemana saja? Kenapa tadi pagi tidak berangkat?,
Tanya seorang gadis yang tampak begitu akrab dengan Min Ah.
“Aku terlambat dan ada sedikit masalah, Jung hee”, sahut Min
Ah kepada sahabat terbaiknya yang bernama Jung hee tersebut.
Kuliah hari ini telah selesai, Jung Hee yang biasanya pulang
bersama dengan Min Ah, sekarang tidak bisa menemani sahabatnya.
Dalam perjalanan, Min Ah melihat sosok Kevin yang tengah bekerja
di perempatan jalan raya. Entah kenapa, jantung Min Ah berdetak
begitu kencang dan ia merasa senang bertemu dengan Kevin. Ingin
rasanya Min Ah menyapa sosok tersebut, tetapi lampu lalu lintas
berubah warna menjadi hijau.Dengan berat hati, Min Ah melanjutkan
perjalanan.Tak beberapa lama, Handphone Min Ah berbunyi.
Telephone dari Mrs.Jang yang tak lain adalah Eommanya.
“Ya Eomma ?Malam ini? Baiklah Eomma, tapi ada apa? Oh ya
sudah kalau tidak mau memberitahu. Sampai bertemu nanti malam”,
ucap Min Ah dalam percakapannya di telephone.
Ternyata malam ini Min Ah menghadiri sebuah acara makan
malam di sebuah restoran. Sesampainya di restoran, ia melihat kedua
Orang Tuanya dan dua orang suami istri dan seorang lelaki yang
familiar.
“Lee Kiseop?”, Tanya Min Ah kepada lelaki tersebut saat duduk
di depannya.
“Min Ah, kau juga ada disini?” Tanya Kiseop
“Wah jadi kalian sudah saling kenal ?ini akan semakin mudah?”,
sahut Mrs.Jang
“Mudah untuk apa?”, Tanya Min Ah
“Menjodohkan kalian berdua”, jawab Mr. Lee, ayah Kiseop.
“MWOOO?!!!!”,kaget Min Ah dan Kiseop.
****
Keesokan harinya, setelah perjodohan itu, di Kampus, Min Ah
meminta maaf kepada Jung Hee, ia sangat menyesal,
“Jung hee-ya aku sungguh tidak mengetahui perjodohan ini,
begitupula Kiseop. Bahkan Aku terkejut kalau Kiseop lah yang akan
dijodohkan denganku. Aku mohon jangan jauhi aku seperti ini”, pinta
174
Min Ah
Ternyata, Lee Kiseop, yang akan dijodohkan dengan Min Ah
adalah pacar dari sahabatnya sendiri, Jung Hee.
“Iya, Aku paham, Kau tidak perlu merasa sangat bersalah seperti
itu, aku tidak apa-apa kok”, jawab Jung Hee.
“Hiks hiks..maafkan aku, aku merasa sangat bersalah”, ucap
Min Ah sambil merangkul sahabanya tersebut.
Sepulangnya dari kampus, Min Ah langsung menemui
Eommanya untuk membicarakan perjodohan ini.
“Eomma , kenapa kau menjodohkanku dengan seenaknya”,
Tanya Min Ah
“Min Ah, ini saatnya kamu untuk memiliki keluarga sendiri,
sampai saat ini pun kamu tidak memiliki pacar, jadi tidak apa kalau
Eomma menjodohkanmu”, jawab Eomma
“Jadi kalau aku punya pacar, aku tidak jadi dijodohkan”, Tanya
MinAh dan mendapat anggukan dari Eommanya.Ia pun pergi ke
sungai Han untuk mencari ide, tanpa disengaja ia bertemu Kevin di
sana, Ia pun menghampirinya,
“Hey Kevin-ah, kenapa kau kemarin kabur begitu saja? Tanpa
mengucapkan terima kasih”, Tanya Min Ah
“ Ah itu.. aku ..aku..”, “Sudah lupakan, karena itu kau harus
mendapat hukuman , ikut aku sekarang, kau harus membantuku”,
sergah Min Ah
“Membantu? Membantu apa?”, Tanya Kevin
“Menjadi pacar bohonganku”, jawab Min Ah
Min Ah pun mengajak Kevin untuk memperbaiki penampilannya.
Agar terlihatseperti orang kaya, dibelikannya sebuah setelan kemeja
dan jas serta diajaknya ke sebuah salon. Wajah Kevin yang manis
itupun dipoles sehingga menjadi semakin manis dan bercahaya.
Diajaknya Kevin ke rumahnya dan dipertemukan dengan Eommanya.
“Eomma , ini pacar Min Ah”, dusta Min Ah
“Annyeong Ahjumma (baca: selamat siang, tante)”, sapa Kevin
sambil membungkukkan badannya.
“Annyeong, Min Ah kenapa baru bilang sekarang, sudah berapa
lama kalian pacaran?”, Tanya Mrs Jang
“eeuuummmm… sudah …” , “sudah 2 bulan Ahjumma”,
175
sambung Kevin
“Ah ya sudah, aku akan membicarakan ini dengan Mr dan Mrs.
Lee.”, sahut Mrs. Jang
Dilain tempat Kiseop pun juga memperkenalkan Jung Hee kepada
Mrs Lee , Mrs Lee akhirnya mengerti dan juga berniat membicarakan
hal ini bersama Mrs. Jang.
****
Suatu hari terjadi masalah di keluarga Jang yang akhirnya
menyebabkan Min Ah kabur dari rumah pada tengah malam,
sesampainya di daerah Incheon, ia di tabrak oleh seorang lelaki
sehingga terjatuh.
“ auww…”, keluh Min Ah
“Maaf, kau ikut aku”, Tanya lelaki itu sambil menarik Min Ah
untuk bersembunyi. Min Ah pun merasa bodoh karena mau saja ia
ditarik oleh seorang namja yang belum ia kenal dan tidak diketahui
wajahnya. Mereka pun bersembunyi di belakang semak-semak. Min
Ah menggunakan kesempatan ini untuk melihat wajahnya,
“Kevin?!”, Tanya Min Ah
“Iya, siapa lagi? Apa yang kau lakukan tengah malam begini?”
sahut Kevin
“Aku kabur dari rumah, lalu kenapa kau juga ada di sini?”,
jawab Min Ah
“Mwo?!, kau kan orang kaya, kenapa kabur dari rumah? Ah tadi
ada penjaga malam yang mengejarku, bukankah tidak boleh anak
di bawah umur belum tidur tengah malam begini, aku juga tidak
memiliki rumah.”, jawab Kevin
“Baiklah, kau temani aku menginap di Motel malam ini.”, tanpa
menunggu jawaban dari Kevin, Min Ah menarik tangan namja cantik
ini menuju Motel.
Burung berkicau dan sinar matahari masuk melewati celah
jendela.Min Ah pun terbangun dari tidurnya. Diliriknya Kevin yang
tidur di bawah ranjang tempatnya tidur, dipandangnya wajah namja
ini dengan teliti, sangat manis.
176
Sepeninggalnya dari Motel, Kevin membawa Min Ah ke tempat
tinggalnya,di bawah jembatan Sungai Han. Di perkenalkanlah Min
Ah kepada teman-temannya yang ia anggap sebagai keluarganya.
Orang Tua?Tidak punya, Kevin telah ditinggal orang tuanya sejak
umur 9 tahun.
“Hyung (baca : kakak) dia siapa?” Tanya Dongho kepada Kevin
“Ah, dia Min Ah, orang yang menjadikanku pacar pura-puranya”,
jawab Kevin
“Annyeong, Aku Min Ah”, sapa Min Ah
“Wah dia cantik juga”, sahut Soohyun
“Sudah berikan aku makanan , aku lapar”, sahut Kevin dan
didapatlah 2 bungkus Ramen.
Di tempat lain Orang tua dan Teman-teman Min Ah pun sangat
kebingungan mencari dirinya. Suatu hari , orang tua Min Ah melihat
anaknya bersama dengan segerombolan pengemis begitu juga dengan
Kevin yang telah diperkenalkan sebagai pacar bohongan Min Ah.
Ingin sekali Mr. Jang menghampirinya tetapi ditahan oleh Mrs. Jang
agar Min Ah dapat hidup mandiri.Mr.Jang menolak, tetapi akhirnya
menyerah dan mengutus detektif untuk mengawasi mereka.
Suatu Malam, Min Ah dan Kevin jalan berdua disuatu gang, Min
Ah merasa ada seseorang yang mengikuti.
“Kenapa?”, Tanya Kevin
“Aku merasa kita sedang diikuti”, jawab Min Ah
“Sudah jangan khawatir, disini ada aku”, jawab Kevin sambil
merangkul pundak Min Ah.
DEGG!! Jantung Min Ah serasa dipacu begitu cepat, wajahnya
memanas, matanya berkunang dan hampir pingsan, di peganglah
dahinya berulang-ulang.
“Kau kenapa ?sakit?”, kata Kevin dan ikut memegang dahi Min
Ah.
“Ah tampaknya iya, ayo aku gendong”, tanpa aba-aba, Kevin
menggendong Min Ah di belakang punggungnya.
“Ah lepaskan, aku tidak sakit”, elak Min Ah, tapi karena tidak
ada respon dari Kevin, ia pun menyandarkan kepalanya di punggung
Kevin, meninkmati kehangatan serta debaran jantungnya ketika
berada di dekat Kevin.
177
Pagi harinya, Mr Jang mendapat beberapa foto yang diambil oleh
detektif tersebut dimana anaknya sedang berpegangan, dirangkul,
bahkan digendong oleh anak jalanan itu. Ingin sekali ia menghampiri
anaknya dan mengajaknyya pulang tetapi selalu ditahan oleh Mrs.
Jang.
“Tunggu sampai besok, jika ia belum kembali, kita hampiri dia”,
usul Mrs. Jang
****
Di suatu malam yang dingin, Min Ah merasakan ada yang
menyelimuti tubuhnya.
“Pakailah ini, kau bisa membeku tanpa ini. Min Ah, apakah kau
jijik kepadaku? Aku merasa Kau mencoba untuk menjauhiku hari-hari
ini, aku tau, aku hanya seorang pengemis yang tinggal di jalanan,dan
jarang mandi sedangkan kau adalah orang kaya, jadi…”
“Jangan bicara seperti itu Kevin, kalau kau bicara seperti itu,
hatiku merasa sakit”, sela Min Ah sembari memeluk Kevin dengan
erat.
“Kenapa?”, Tanya Kevin
“Karena aku ….. menyukaimu”, jawab Min Ah
“Mwo?!!”, kaget Kevin
****
Pagi hari, Min Ah ikut bekerja sebagai pengemis karena ia
lupa membawa surat untuk melamar pekerjaan. Sejak Min Ah
mengungkapkan perasaannya, ia merasa Kevin lah yang sekarang
mencoba untuk menjauhinya. Iia pun mendekati Kevin dan
menjelaskan semuanya. Sebenarnya Kevin juga memiliki perasaan
yang sama. Min Ah pun dengan berani mencium bibir Kevin di pinggir
Jalan raya.
Min Ah pun mengajak Kevin bertemu orang tuanya untuk
meminta restu.Mr. Jang dan Mrs Jang senang sekali anak mereka
kembali tetapi mereka tidak merestui karena status social.Kevin yang
menyadari itu langsung pergi meninggalkan ruangan tersebut.Min
Ah merasa kecewa kepada orang tuanya.Tiba-tiba mereka mendapat
kabar bahwa Kevin tertabrak mobil milik keluarga Lee.
Di rumah sakit, Min Ah bersama keluarga Lee begitu juga Kiseop
dan Junghee menunggu kesadaran Kevin.Kevin banyak kehilangan
178
darah.Mrs Lee pun mendonorkan darahnya untuk Kevin.Kevin pun
tersadar, saat itu juga dokter mengatakan bahwa ada banyak kemiripan
antara Mrs Lee dengan Kevin.Dan ternyata benar, Kevin adalah anak
kandung mereka yang hilang sewaktu di pantai, lalu Kevin ditemukan
oleh 2 orang nelayan yang mengasuh Kevin.Mengetahui itu, Min Ah
pun langsung memeluk Kevin karena tidak ada lagi halangan untuk
mereka menikah. Min Ah sangat senang, selain Kevin akan menjadi
suaminya, Jung hee yaitu sahabatnya sendiri akan menjadi kakak
iparnya.
Di Taman yang dihiasi dengan bunga-bunga berwarna putih,
diadakan sebuah pernikahan yang begitu mewah.Di altar sudah
menunggu 2 pengantin pria dengan kemeja putih, setelan jas hitam
dan dasi hitam, Di sisi lain Min Ah bersama Mr Jang, dan Jung Hee
bersama Mr Lee dengan menggunakan gaun pengantin yang begitu
indah berjalan menuju altar.Pernikahan berlangsung secara suci dan
khidmat. Sesi pemotretan dimulai, Kiseop mencium pipi Jung Heedan
Min Ah, ia langsung mencium bibir Kevin dengan penuh cinta. Cinta
itu tidak memandang sebuah status sosial, tetapi cinta itu datang dari
hati yang paling dalam.
LASMI
Teresa Gowinda Artati
179
“Las, Lasmi ayo turun! Lihat hari sudah gelap. Cepat kau kesini
bantu Emak membawa blarak yang satu itu!”
Teriakan Emak menyadarkan Lasmi, membangunkannya dari
dunia imajinasi yang ia sadar betul tak mungkin terjadi. Hampir
setiap sore Lasmi memanjat naik ke pohon rambutan yang berada di
kebun milik almarhum Bapaknya itu. Dari atas sana ia dapat melihat
pemandangan yang amat menakjubkan, yaitu matahari tenggelam.
Sembari menunggu pemandangan yang menakjubkan itu Lasmi
mulai berimajinasi, pikirannya melayang kembali ke masa lalu saat-
saat bahagia bersama Bapaknya, atau saat-saat indah yang pernah
dilaluinya bersama Mamat. Namun, semua itu sudah hilang musnah,
hanya tinggal kenangan yang meninggalkan luka di hati Lasmi. Dia
perlahan turun dari pohon rambutan yang menjadi tempat favoritnya,
yang menyimpan sejuta imajinasinya. Lasmi mengangkat blarak itu,
dahan pohon kelapa yang telah mengering. Lalu mengikuti Emaknya
menyusuri jalan setapak, menyeberangi kali, dan melewati rumah
beberapa tentangganya, termasuk rumah Mamat anak Pak Dukuh.
Keluarga mereka termasuk orang terpandang di Dusun Tirip.
Pak Har mempunyai sawah seluas 1,5 hektar. Belum lagi sawah
hasil tanah bengkok yang merupakan haknya sebagai Dukuh.
Sawahnya digarap oleh para petani kecil seperti Emak dan nanti
apabila sudah panen masing-masing penggarap akan diberi bagian
dari hasil panen tersebut. Emak biasanya mendapatkan jatah satu
kuintal yang masih berupa gabah. Gabah satu kuintal biasanya habis
dalam dua setengah bulan. Jatah yang diterima Emak memang tak
sebanyak jatah tetangga-tetangga lainnya. Hal ini dikarenakan
tubuh emak yang semakin renta dan sering sakit-sakitan. Semenjak
Bapak meninggal, Emak menanggung beban keluarga seorang diri,
berusaha menyekolahkan Lasmi sampai tamat SMA. Lasmi terpaksa
tidak kuliah karena harus mengalah pada kedua adiknya, Jarwo dan
Ayu, yang masih bersekolah. Mereka memerlukan biaya yang tidak
sedikit agar dapat terus melanjutkan sekolah. Lagi pula Emakpun
juga tidak mampu membiayai kuliah yang saat ini sudah mencapai
puluhan bahkan ratusan juta. Jarwo sudah lulus SMP dan sekarang ia
meminta Emak untuk mendaftarkannya masuk SMA, dan tentu saja
biayanya tidak sedikit. Sedangkan Ayu masih kelas 4 SD. Tiap pagi
180
Ayu selalu mengeluh soal seragamnya yang bolong di bagian ketiak,
akibat ditarik oleh temannya sewaktu bermain kejar-kejaran. Kuliah
merupakan hal yang bisa dikatakan mustahil bagi Lasmi. Emaknya
yang sudah renta tidak akan mampu membiayai semua kebutuhan
administrasi kuliahnya.
Tidak seperti Mamat, anak itu sekarang sudah kuliah kedokteran
di UGM. Orang tuanya bilang bahwa Mamat sudah masuk semester
dua.
“Ndhuk, cepetan!”
Sesuai perintah Emak, Lasmi pun mempercepat langkahnya.
“Mangga, Bu Har,” sapa Emak kepada Bu Har yang sedang
menyapu halaman.
Namun, Bu Har sama sekali tidak menanggapi sapaan Emak.
Menoleh sedikitpun tidak. Memang Emak sudah terbiasa dengan
tanggapan yang seperti itu. Semenjak masalah Lasmi dengan mantan
kekasihnya, si Mamat memuncak, dan membuat geger seluruh
keluarganya, Bu Har tidak mau berurusan lagi dengan Emak maupun
keluarga Lasmi. Bu Har sangat berbeda dengan suaminya yang
bijaksana dan lembut, tetapi tetap tegas dalam mengambil keputusan.
Sesampainya di rumah, Emak mendapati Ayu sedang menangis di
depan pintu. Melihat bungsunya menangis, Emak langsung berlari
mendekap anak bungsunya itu.
“Ndhuk, Cah Ayu kamu kenapa? Mana, Masmu?”
Anak itu masih menangis, napasnya tersengal-sengal. Tanpa
disuruh Lasmi segera mengambilkan air putih bagi adiknya. Setelah
meneguk air yang diberikan Lasmi, anak itu mulai tenang. Napasnya
berangsur-angsur teratur.
“Mak, tadi anak buah Pak Koro kesini, katanya nyari Emak.
Terus mereka bilang, Emak harus melunasi hutang Emak tiga bulan
lalu. Kalau tidak,” Ayu mulai terisak kembali.
“Kalau tidak, apa Ndhuk?” tanya Emak tak sabar.
“Itu, Mak. Mereka bilang kalau Mbak Lasmi harus mau menjadi
istri Pak Koro.”
Anak itu kembali menangis. Emak terkejut mendengar
pernyataan anaknya. Hatinya sakit bagaikan dihujam pisau bertubi-
tubi. Ia menyadari bahwa semua ini kesalahannya. Memang tiga
181
bulan lalu ia meminjam uang pada lintah darat itu. Saat itu Lasmi
sudah memperingatkan Emaknya agar mempertimbangkan terlebih
dahulu keputusannya. Pada awalnya Emak menurut, dan meyakinkan
Lasmi bahwa dirinya tidak akan meminjam uang pada lintah darat
itu. Namun, karena kasihan melihat anak laki-lakinya yang tiap
malam memohon-mohon untuk didaftarkan SMA, Emak terpaksa
melakukannya tanpa sepengetahuan Lasmi agar dapat membayar
uang pendaftaran Jarwo masuk SMP. Emak berjanji pada lintah darat
itu untuk mengembalikan hutangnya dalam waktu sebulan. Namun,
memang kenyataan pahit yang harus diterima Emak. Pagi itu Emak
berencana akan menjual satu-satunya cincin kawin peninggalan
almarhum suaminya untuk melunasi hutangnya. Emak pun berangkat
menuju pasar. Untuk dapat sampai di pasar Emak harus melewati
jalan setapak yang sepi. Tak disangka tiba-tiba ada dua pemuda
mabuk mengampiri Emak dan menjambret cincinnya. Pada awalnya
Emak melakukan perlawanan, tapi lama-kelamaan Emak kewalahan
juga menghadapi kedua pemuda tersebut. Akibat perlawanan yang
182
dilakukan Emak, ia memperoleh pukulan yang membutnya terkapar
tak sadarkan diri di tanah. Malangnya, Emak baru ditemukan oleh
Mbok Minah tetangga depan rumahnya saat hari sudah mulai gelap.
Sesampainya di rumah Emak mengarang cerita tentang kemalangan
yang baru dialaminya itu, Emak melakukannya agar ketiga anaknya
tidak khawatir.
“Jadi, selama ini Emak pinjam uang sama Pak Koro, lintah darat
itu?” tanya Lasmi tidak percaya.
“Iya, Ndhuk, maafkan, Emak. Emak terpaksa, Ndhuk.”
Belum selesai Emak menjelaskan Lasmi tiba-tiba memotong
penjelasan Emak.
“Tapi bukannya Emak sudah janji, kalau tidak akan pinjam uang
pada lintah darat itu?”
Emak sangat menyesal, tapi apa daya nasi sudah menjadi bubur.
Tak ada lagi yang dapat dilakukan Emak selain melunasi semua
hutang-hutangnya. Jika tidak, Lasmilah yang akan menjadi korbannya.
Air mata lasmi mulai meleleh membasahi pipinya. Bibirnya
bergetar. Sambil terisak, Lasmi berkata, “Mak, aku tak mau menjadi
istri Lintah Darat itu. Dari pada harus menjadi istrinya lebih baik
aku mati.”
Emakpun berdiri dan memeluk anak gadisnya itu.
“Tenang, Ndhuk, Emak janji akan melunasi semua hutang Emak
dan Emak janji kamu tidak akan jadi istri kelimanya Pak Koro.”
Pak Koro sudah mempunyai empat istri, semuanya masih
muda-muda seumuran dengan Lasmi. Pacar Pak Koro pun ada di
mana-mana. Saat Pak Koro menggandeng istrinya saat di kondangan
maupun acara lainya lebih pantas terlihat sebagai ayah dan anak
ketimbang suami istri. Karena umur Pak Koro yang sudah mencapai
enam puluhan, sedangkan istrinya yang masih berumur delapan belas
sampai dua puluhan.
“Oh, ya. Mana Masmu, Cah Ayu?” tanya Emak mengalihkan
pembicaraan.
“Itu Mak. Tadi Mas Jarwo pergi ke rumah Mas Pon mau minta
seragam SMA yang masih layak pakai,” jawab Ayu sambil mengusap
183
matanya.
Jarwo memang anak yang sangat rajin, semangat belajarnya
besar. Cita-citanya untuk menjadi seorang dokter tak pernah padam
bahkan berkurang sedikitpun. Maka dari itu Emak mati-matian
berusaha menyekolahkan Jarwo, sampai jalan mautpun terpaksa ia
tempuh. Emak memang sudah tahu resiko yang harus dihadapi bila
mempunyai urusan dengan lintah darat itu. Emak menyesal dirinya
memang kurang berhati-hati dalam mengambil keputusan itu. Kini
ia harus berjuang lebih keras lagi apabila tidak ingin anak gadisnya
diperistri oleh lintah darat seperti Pak Koro.
“Ya sudah. Ayo gek masuk, sudah gelap ini. Las kamu jangan
lupa taruh blarak itu di samping luweng, ya?” Ajak Emak pada kedua
anaknya.
“Ya, Mak,” jawab Lasmi.
Malam itu Emak bertekad untuk melunasi semua hutangnya.
Untuk Emak itu adalah harga mati.
“Apapun yang terjadi aku harus bisa melunasi semua hutang ku
itu. Lasmi tidak boleh jadi korban atas kesalahan yang aku lakukan.
Harus, ya harus. Harus lunas semuanya!” kata Emak dalam hati.
***
Sebulan berlalu. Ini sudah melebihi batas waktu pengembalian
hutang Emak. Segala cara sudah dilakukan Emak dari menjual
singkong, jagung, bahkan semua barang yang dapat dijual, semua
sudah Emak jual agar dapat melunasi hutangnya pada Pak Koro.
Emak putus asa, semua sudah ia jual. Ia memikirkan nasib Lasmi.
Haruskah Lasmi menanggung ini semua? Haruskah ia menjadi istri
seorang yang tidak dicintainya? Apakah ia akan bahagia bersama
lintah darat itu? Tak mungkin! Tak mungkin Lasmi bahagia! Lasmi
sama sekali tidah mencintainya. Lasmi sangat membenci Lintah darat
itu. Berbagai pertanyaan muncul di benak Emak. Perempuan tua itu
menghela napas panjang, ia merebahkan dirinya di atas dipan peyot
itu. Tak berdaya. Tubuhnya makin kurus, sebulan terakhir ia berkerja
terlalu keras. Asam uratnya sering kambuh, dan pada saat-saat seperti
itu hanya balsemlah yang menjadi obat pengurang rasa sakitnya.
Pikiran Emak melayang ke masa lalu. Ia memandang foto
almarhum suaminya yang tergantung di dinding.
184
“Seandainya, Kang kamu masih ada. Pasti tidak akan begini
jadinya,” gumam Emak.
Emak menangis. Tangisnya memecah kesunyian malam di dusun
Tirip. Mendengar suara tangis Emaknya, Lasmi, Jarwo dan Ayu satu-
persatu datang memeluk Emak.
“Sudah, Mak. Jangan begini. Ayu ikut sedih kalau Emak seperti
ini.”
“Mak, maafkan Jarwo. Semua ini salah Jarwo, Jarwo yang selalu
meminta emak untuk mendaftarkan Jarwo masuk SMA. Melihat Emak
seperti ini Jarwo sudah tidak ingin lagi masuk SMA, Mak.”
Jarwopun ikut menangis.
“Hus! Kamu jangan bilang gitu, Jar! Kamu harus tetap sekolah,
apapun yang terjadi. Emak ingin melihat kamu jadi orang sukses,
Jar, jadi dokter.”
Emak mulai mengusap air matanya dan berhenti menangis.
“Tapi, Mak. Jarwo bikin Emak dan Mbak Lasmi susah.”
“Sudahlah, Jar, jangan kau pikirkan masalah ini. Ini masalah
Emak bukan masalahmu. Yang penting kamu harus terus belajar,
jangan patah semangat, kamu harus jadi yang terbaik di sekolahmu.
Kamu harus buktikan pada Emak dan Mbakyumu, kalau kamu bisa
jadi dokter!”
“Iya, Jar betul kata Emak, kamu tidak boleh berhenti belajar.
Kamu harus kuliah dan jadi dokter!” sambung Lasmi.
Jarwo menatap mata Emak, mata sayu itu, dan berkata, “Mak
Jarwo janji, Jarwo tidak akan mengecewakan Emak dan Mabk Lasmi.
Maturnuwun Mak, terimakasih buat semua yang sudah Emak lakukan
bagi Jarwo.”
Emak tersenyum mendengar ucapan anaknya, senyum yang
185
sudah lama hilang semenjak Bapak meninggal. Senyum yang penuh
kelegaan. Emak mencium dahi Jarwo dan memeluknya sambil
membisikkan sesuatu di telinga Jarwo “Jar, Emak yakin kamu pasti
bisa.”
Malam itu keluarga Emak tidur di satu dipan, sempit memang
namun terlihat sangat nyenyak dan damai.
***
“Mak, Lasmi sudah ikhlas kalau akhirnya Lasmi jadi istri lintah
darat itu.”Ucapan anaknya itu membuat Emak kaget. Gelas yang
dipegangnya jatuh ke tanah. Pecah. Kedua mata sayu itu terbelalak.
“Las, kamu sadar, akan apa yang barusan kamu katakan?”
pertanyaan Emak tak langsung terjawab, membuat Emak mengulang
pertanyaannya, “Las, kamu yakin??”
Lasmi menghela napas.
“Sebenarnya, Lasmi tidak yakin Mak. Tapi Lasmi sudah bosan
melihat anak buah Pak Koro datang kesini sambil mengancam dan
marah-marah.”
Lasmi mulai berkaca-kaca.
“Lasmi sebetulnya masih mencintai Mamat, tapi agaknya
Mamat sudah melupakan Lasmi, Mak. Buktinya Mamat tidak lagi
memperjuangkan hubungan kita di depan orang tuanya.”
Lasmi menangis. Emak membelai lembut kepala Lasmi.
“Sudahlah, Las, mungkin Mamat memang bukan jodohmu.”
Lasmi menghela napas, mengusap air matanya. Pikirannya kacau,
teringat kembali saat-saat indah bersama Mamat. Mereka sejoli yang
sangat serasi dan saling mencintai, namun kebahagiaan itu sirna setelah
Mamat dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Mamat tak sanggup
menolak keputusan yang diambil orang tuanya. Hubungannya dengan
Lasmi pun terpaksa berakhir. Rencananya setelah lulus nanti Mamat
akan segera menikah dengan anak seorang saudagar di Jakarta.
“Ya, mungkin Mamat memang bukan jodohku, tepat seperti kata
Emak. Mungkin memang sudah takdir aku tak berjodoh dengannya.
Tapi apa kawin dengan Pak Koro itu takdirku?” gumam Lasmi.
186
Lasmi menarik napas panjang, dan merebahkan kepalanya ke
bahu Emaknya. Emak menyesal, ia tahu betul bahwa Lasmi sangat
mencintai Mamat. Tapi karena perbuatannya Lasmi terpaksa harus
menanggung beban berat. Menikah dengan orang seperti Pak Koro
bukanlah, keinginan setiap gadis di Dusun Tirip. Semua warga sangat
mengenal siapa Pak Koro, mereka cenderung menjauhinya, karena
enggan berurusan denganya. Seperti halnya Lasmi, menikah dengan
Pak Koro merupakan mimpi buruk baginya, namun ia sangat prihatin
melihat emaknya yang setiap hari membanting tulang untuk melunasi
hutang-hutangnya. Pernah suatu malam Emak merintih kesakitan
saat asam uratnya kambuh. Emak selalu harus merasakan rasa sakit
yang sama setiap dirinya kelelahan. Lasmi benar-benar tak sampai
hati melihat emaknya kesakitan. Itulah alasan mengapa ia pasrah jika
memang harus menjadi istri Pak Koro.
***
Hari itu pun tiba. Di luar para tamu sudah hadir dengan pakaian
batik dan kebaya mereka. Para tamu membawa undangan berwarna
merah, sebagian besar tamu memasukkan amplop putih di sebuah guci
tembaga. Para among tamu sibuk menyalami tamu yang datang. Lasmi
sudah siap dengan kebaya putihnya, ia terlihat sangat anggun dengan
kebaya tersebut. Beberapa kali ia berkaca di depan cermin, berputar-
putar memandangi kebaya putihnya. Sembari memandangi dirinya
Lasmi tersenyum, kemudian tertawa. Entah mengapa ia ingin tertawa,
tawanya sangat lepas hingga seorang emban masuk dan bertanya
“Nuwun sewu, Ndara. Apa Ndara tidak apa-apa?” tawa Lasmi
makin menjadi-jadi.
Emban setengah baya itu, mengerutkan dahinya
“Maaf, Ndara apa ada yang lucu?”
Lasmi tetap tertawa. Emban itu keluar dan memanggil Emak,
Emak masuk dan menenangkan Lasmi.
“Las, Lasmi! Ndhuk anakku. Kenapa kamu, Ndhuk?” wajah Emak
pucat, melihat anaknya yang lepas kendali.
Setelah Lasmi sadar akan kehadiran Emak, Lasmi memeluk
Emaknya. Tangisnya pecah dalam pelukkan Emaknya.
“Sudah, Ndhuk, sudah jangan menangis lagi. Maafkan Emak ini.
187