The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

By Yohanes Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-04-27 21:04:02

Kopi, Kafe, dan Cinta Antologi Cerpen

By Yohanes Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri

Keywords: Yohanes Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri,Kopi, Kafe, dan Cinta Antologi Cerpen

Kini aku hanya tinggal sendiri …
Ayah, Bunda aku rindu padamu
Andai waktu dapat terulang …
Ku ingin bahagia itu milik kita

Bersama …
Dan menjadi kenangan abadi

338

GARA-GARA KAOS KAKI

Clara Deo Kristiandari

Hari Minggu adalah hari yang menyenangkan bagi Sintya. Pagi-
pagi benar, tepatnya pukul 5.00 ia sudah merapikan kamar tidur dan
bersiap-siap untuk mandi. Sebelum menuju kamar mandi, Sintya
memanggil Ibunya untuk menyiapkan gaun kesukaannya. Gaun
itu berwarna ungu muda dengan garis-garis di lengannya. Ibunya
pun menyiapkan gaun ungu yang menjadi favoritnya. Dengan
semangatnya, Ibu menyetrika dan memberi wewangian pada gaun
itu dengan parfum. Selesai mandi tak lupa Sintya kenakan gaun
indahnya yang telah disiapkan Ibu tadi. Dengan hati yang gembira
ia mulai bersiap-siap menuju ke Gereja Santo Alfonsus De Liguori, di
Dusun Nandan, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Ia berangkat menuju
gereja dengan semangat dan dengan hati yang berseri-seri. Sebelum
berangkat, ia berpamitan dengan Ibunya.

“Bu, Sintya berangkat ke gereja dulu, ya?” pamit Sintya.
“Hati-hati di jalan ya, Nak?Ibu tidak ikut ke gereja, karena
kemarin Sabtu sudah ke gereja.”
Sampai di gereja,tepat pukul tujuh pagi. Misa pun dimulai. Ia
mulai khusuk berdoa saat jalannya misa berlangsung. Misa kali ini
dipimpin oleh Romo Gregorius Kriswanto, Pr. Romo Kris merupakan
romo paroki di Gereja Santo Alfonsus De Liguori. Romo Kris hanya
sendirian, belum ada kawan romo yang lain yang menemaninya dalam
satu pastoran, tempat tinggal romo. Misa kali ini dapat menenangkan
hati Sintya sejenak selama satu setengah jam dan membuatnya menjadi
lebih tenteram dan damai.
Selesai misa, Sintya bertemu dengan Romo Kris. Romo Kris
merupakan orang yang baik dan ramah terhadap umatnya. Selesai
misa, ia menjumpai romo.
“Pagi Romo Kris?” sapa Sintya.

339

“Selamat pagi, Berkah Dalem.”
“Wah, hari ini rasanya lebih tenang dan nyaman ya, Mo. Sintya
jadi bisa konsentrasi berdoanya.”
“Berkonsentrasi itu lebih baik,” Romo menyemangatinya.
Beberapa menit pun berlalu, ia mengakhiri perbincangannya
bersama Romo pada hari ini. Sepulang dari gereja, Sintya berkunjung
ke rumah sahabatnya, Kristi. Kristi adalah teman bermain sekaligus
teman satu bangku dengannya saat di sekolah. Bagi Sintya, Kristi
adalah sahabat yang baik, supel, dan pengertian. Di sekolah, mereka
berdua adalah anak yang dikenal pandai, sopan dan baik hatinya.
Semua teman dan guru di sekolahnya selalu senang dan bangga
terhadap sikapnya yang jujur dan santun.
“Hai Kristi? Selamat pagi, Berkah Dalem!” sapa Sintya.
“Eh Sintya, pagi dan Berkah Dalem juga,” jawab Kristi dengan
senyuman indahnya.
“Wah, hari ini alam sedang gembira!” kata Sintya.
“Oh ya? Memangnya alam bisa bergembira seperti manusia?
Kamu ini ada-ada saja Sintya. Kalau masih ngantuk, mendingan cuci
muka dulu sana di kamar mandi! sampai ngigo nggak jelas gitu!”
ledek Kristi.
“Maksud aku, tuh bukan alamnya trus ketawa gitu, tapi
perumpamaan aja. Lihat burung-burung itu berkicau dengan
merdunya, seakan-akan ikut merasakan senangnya canda kita.
Rerumputan yang segar itu indah untuk dipandang. Wah, segar
rasanya.”
“Oooo, ya ya ya ya! Aku ingat, itukan pelajaran tiga minggu
yang lalu yang diajarkan oleh Bu Gani, guru Bahasa Indonesia kita
yang cantik.”
“Ah, kamu ini bisa aja. Masih sempat-sempatnya ngomongin
pelajaran!” jawab Kristi dengan wajah kecut.
“Eit, jangan gitu, dong....... walaupun hari libur, otak tetep nggak
boleh libur juga, entar karatan, lho!”
“Hi hi hi hi.... maaf, deh! Bener juga katamu. Walaupun libur
otak juga harus berfunngsi untuk berpikir pelajaran juga. Sambil
beraktivitas, sambil belajar,” sahut Kristi dengan semangat.
“Nah, gitu dong......,“ jawab Sintya dengan nada ketus.

340

Sintyapun berbincang-bincang dengan Kristi. Tak hanya
berbincang-bincang saja, mereka juga sambil mengerjakan tugas
penelitian pelajaran Bahasa Indonesia. Pukul 18.00 wib, Sintya
berpamitan dengan Kristi untuk pulang kembali ke rumah. Tak
terasa, hari sudah larut malam. Sesampainya di rumah, ia bersalaman
dengan Ibunya dan menceritakan kisahnya hari ini. Karena merasa
kelelahan, sepulang bermain sekaligus belajar dari rumah Kristi, ia
langsung menuju ke kamar mandi untuk mandi. Setelah badan terasa
segar, ia mulai belajar pelajaran untuk yang akan dipelajari besok.
Sebelum tidur, Sintya menyiapkan seragam putih abu-abu yang akan
dipakainya esok. Tak terasa hari semakin larut malam. Pukul 22.00
wib, Sintya mulai terlelap dalam tidurnya dan terbuai dalam mimpi.
Nampak pada wajahnya yang begitu lelah karena terlalu larut malam
ia tidur.

“Kring... krong... kring... krong... kring... krong...”, suara alarm
terdengar begitu kerasnya.

Sahut Ibu mempertegas membangunkan Sintya dengan suara
nyaring, “Sintya, bangun.... sekarang sudah jam berapa? Lihat jam
dulu!”

“Iya, Bu, sebentar. Sekarang baru jam enam kan, Bu? Aku masih
ngantuk sekali. Tidur setengah jam lagi, ya!” jawab Sintya denga lesu.

“Kamu ini gimana, sih. Sekarang bangun, waktunya sekolah!”
ujar Ibu.

Sambil mengarahkan jam tangan, Ibu dengan nada ketus, “Nih,
lihat jam berapa? Sekarang sudah jam setengah tujuh. Masih enak-
enakan tidur.”

“Apa? Jam setengah tujuh!” Sintya terkejut.
Segera ia beranjak dari tempat tidurnya. Ia terburu-buru untuk

mandi. Untunglah tadi malam ia telah menyiapkan segala persiapan
sekolah. Dengan cepatnya ia menyiapkan segala persiapan diri. Karena
Ibu memanggilnya untuk segera berangkat pagi, Sintya pun menjadi
tergesa-gesa. Ia mengambil sepeda buntutnya di gudang belakang
rumahnya. Sesampainya di sekolah, bel pun berbunyi. Sintya tergesa-
gesa menuju ke kelas. Dengan napas yang terengah-engah ia berlari
menuju kelasnya. Sintya masuk ke kelas XB yang merupakan kelasnya
saat ini. Setelah waktu berjalan tiga jam, tiba-tiba temannya yang

341

bernama Yoga tertawa terbahak-bahak sampai terpingkal-pingkal.
Sintya pun tidak meresponya dengan serius, karena teman satu
kelasnya merupakan anak yang suka bercanda. Jadi Sintya hanya
meresponnya dengan angin lalu. Tetapi tak lama setelah Yoga tertawa,
teman satu kelasnya ikut tertawa dengan pandangan menuju pada
dirinya. Sintya pun bertanya-tanya dalam hati. Karena Kristi teman
sebangkunya tidak menyadari apa yang salah pada sahabat karibnya
ini, ia pun tidak melihat kekurangan yang ada di badan Sintya. Jadi¸
Sintya hanya terheran-heran saja.

Tiba-tiba Kristi terkejut seketika sesaat ia memandang ke bawah
dan melihat kaki Sintya, Kristi berkata, “Sintya, kamu sakit jiwa ya?
Kamu kehabisan obat? Atau lupa tidak ke rumah sakit jiwa?”

“Enak aja kamu ini. Aku tu masih waras, tahu! Emang apa sih
yang buat mereka dan kamu sampai ketawa gitu?” tanya Sintya.

“Sintya, lihat kebawah deh!” sambil Kristi menunjuk ke arah
kaki Sintya.

“Whattttt? Ya, ampun. Aku nggak ngerasa kalau semua ini bisa
terjadi,” sahut Sintya dengan wajah terkecut-kecut.

Ternyata Sintya memakai kaos kaki yang tidak sesuai dengan
pasangannya, kaki kanannya memakai kaos kaki warna biru muda
dengan gambar sepasang kupu-kupu, sedangkan kaki sebelah kirinya
memakai kaos kaki warna merah muda dengan tulisan good day
yang ukurannya lumayan besar. Karena tadi pagi ia tergesa-gesa,
dengan diburu waktu tanpa disadari semua ini akan terjadi. Walau
roknya sepanjang tiga perempat, secara tidak langsung begitu sangat
mencolok. Akhirnya Sintya melepas kaos kakinya sampai-sampai ia
tidak menggunakan kaos kaki. Semua ini ia lakukan sampai pulang
sekolah.

Pulang sekolahpun tiba, Sintya lupa jika hari ini ada rapat OSIS,
sedangkan tata tertib OSIS mengharuskan anggota rapat untuk
menggunakan kaos kaki panjang. Akhirnya Sintya tidak dapat
mengelak lagi. Ia mendapatkan hukuman push up satu seri. Ia menjadi
bulan-bulanan atau bahan tertawaan teman anggota OSIS lainnya.
Sintya pun merasa sangat malu dan tidak menyangka semuanya ini
bisa terjadi begitu saja.

342

“Kalau saja aku bisa mengatur waktuku pada hari Minggu
kemarin, aku tidak akan kecapaian hingga bangun kesiangan. Sintya
kapok!” kata Sintya dalam hati.

343

ATMOSPHERE OF IED

Nurrahmat Sena Aji P.

Tibalah momen paling indah yang dinantikan semua insan
muslim di jagad raya ini, ya.. Hari Raya Lebaran. Siang ini tidak seperti
biasanya, sinar mata hari seakan membakar kulit manusia, mendung
melapisi angkasa seluruh wilAyah kota Jogja. Musim mestinya sudah
kemarau, akan tetapi hujan masih sering menyirami bumi. Sudah
menjadi adat-istiadat keluargaku, bahwa setiap lebaran aku dan
keluarga selalu mudik ke Gunung Kidul tempat Kakek-Nenekku
tinggal. Satu hari sebelumnya, aku sudah menyiapkan barang-barang
dan keperluan yang harus dibawa, seperti pakaian, oleh-oleh, dan
lain-lain. Aku selesai bersiap duluan, akupun menunggu anggota
keluargaku yang lain di teras rumah.

“Yuk, Mat berangkat!” ajak Ayahku untuk segera berangkat.
“Oke, Pak,” jawabku, sambil memasuki mobil.
Sebelum berangkat aku memastikan semua pintu telah terkunci.
Tepat pukul 12.30 wib aku dan keluargaku berangkat menggunakan
mobil.
“Bismillahirohmanirohim.”
Tidak lupa aku memanjatkan doa, agar selamat dalam perjalanan
sampai tujuan. Di tengah perjalanan kulihat banyak sekali kendaraan
berlalu lalang, merayapi jalan ke tempat tujuan. Banyak plat mobil
dan motor dari luar Jogja. Suasana jalanan kali ini tidak terlalu ramai,
padahal biasanya musim lebaran begini selalu macet. Beberapa
kilometer antri dirasakan oleh pengguna jalan. Tidak lupa aku
menikmati pemandangan di sisi kanan kiri jalan menuju Wonosari.
Sawah, gunung, rumah, pasar, pertokoan, pepohonan adalah penghias
pemandangan yang kulihat. Kurang lebih 2 jam aku dan keluargaku
telah sampai dirumah Kakek-Nenekku. Sesampainya di rumah begitu
haru, kami sama-sama saling berpelukan, melepas rindu yang sudah

344

sekian lama tidak bertemu. Ada bulir-bulir air mata kala itu, mewarnai
keharuan.

“Assalamualaikum,” salamku kepada Kakek dan Nenekku.
“Waalaikumsalam,” jawab Kakekku, Nenekku, dan anggota
keluarga lainnya.
“Pye Mat kabare? Saiki kelas pira. Wis gedhene sakmene?”
“Alhamdulillah sae, Mbah. Kula saniki kelas sedasa.”
Sesudah berbincang-bincang sebentar di pintu aku dipersilahkan
masuk dan langsung beristirahat untuk melepas rasa pegal, capek yang
selalu menggantung tubuhku ketika aku berpergian sejauh itu. Begitu
juga keluargaku, mereka langsung beristirahat sambil meminum air
seadanya. Angin desa yang sejuk alami masuk ke dalam rumah tanpa
arah. Kurasakan betapa enaknya angin ini, enak sekali rasanya. Saat
menjelang petang, bedug dan takbir bertalu-talu terdengar dari masjid
di dekat rumah kakekku. Tiada jemu berkali-kali takbir berkumandang
Allahuakbar tanda kemenangan telah tiba.
Paginya kami sholat Ied bersama. Setibanya di rumah usai dari
sholat Ied, kami saling meminta maaf. Begitu banyak dosa kami
kepada orang tua kami dan kakek-nenek kami. Sebagai orang tua,
tentu akan selalu membuka pintu maaf kepada semua anak-cucunya.
Selanjutnya, kami saling bermaaf-maafan kepada sanak keluarga,
dan semua tetangga yang ada. Rumah demi rumah kami kunjungi
satu-persatu. Kastangel, astor, wafer, dan berbagai macam makanan
lebaran selalu menempati meja disetiap rumah yang kami kunjungi.
Tidak lupa beberapa angpau selalu melayang menerpaku. Kuterima
dengan malu-malu kucing.
Kelelahan dalam bersilaturahim badanku terasa capek keesokan
harinya. Aku masih malas di atas kasur. Mataku yang masih meminta
untuk tidur, tubuh masih meminta untuk diselimuti karena udara
di tempat kakekku sangat dingin sampai menggigilkan tubuhku. Di
saat itu aku dibangunkan oleh Ayahku, untuk segera bersiap-siap
akan naik gunung.
“Mat tangi.. ayo sida ora neng Gunung Gambare,” samar-samar
Ayahku mengajakku ke suatu tempat, katanya di Gunung Gambar
pemandangannya indah pada pagi hari.

345

Aku pun berusaha perlahan bangun dari tidur, mengumpulkan
tenaga sedikit demi sedikit. Terdengar suara motor yang sedang
dihidupkan dari luar rumah, bergegas aku pergi ke kamar mandi
untuk mencuci muka. Tidak lama kemudian aku keluar rumah dan
langsung membonceng Ayahku dan berangkat. Hamparan sawah
menghijau di sekeliling jalan terus kulewati begitu saja. Udara yang
sejuk mengikuti arah perginya motorku. Sungguh tidak ada duanya
suasana di desa, angin yang dingin, para petani mulai ke ladang.

Sungguh tidak terduga, jalanan yang terjal, menanjak, berkelok
untuk sampai ke Gunung Gambar. Motor yang hampir tidak kuat
untuk melawan terjalnya jalan. Suara knalpot yang sudah berganti
nada. Gas motor yang terus diperkuat oleh Ayahku. Terus… dan
terus. Akhirnya aku dan Ayahku sampai juga di gerbang pintu masuk.
Motor segera dihentikan Ayahku, dan ditinggal begitu saja. Untuk
sampai ke puncak gunung aku harus berjalan kaki menaiki tangga.
Cukup lumayan tinggi Gunung ini. Kuhentakkan kakiku tangga demi
tangga. Tak peduli capek menyerangku. Kurang lebih 20 menit aku
telah sampai di puncak Gunung.

“Subhanallahh,” kata yang terucap pertama kali dari mulutku.
Sungguh elok pemandangan dari atas Gunung Gambar ini.
Membuat aku tertegun sejenak. Hamparan alam menghijau terlihat
semua dari atas gunung. Sunrise yang baru saja muncul melengkapi
indahnya pemandangan pagi ini. Udara di atas lumayan kencang
dan dingin. Angin bertiup seperti dihembuskan. Tak lupa aku juga
berfoto di sini, walaupun cuma pakai kamera seadanya. Setelah
cukup puas menikmati kandungan pemandangan Gunung Gambar,
aku memutuskan untuk pulang. Matahari semakin memancarkan
sinarnya menembus semak-semak dan sedikit nakal menerjang kulit
tubuhku tanpa permisi.
Hari kedua lebaran aku mengajak Ayahku untuk ke pantai.
“Pak, Pak, ayo neng pantai?”
“Hemmm, ya rapapa. Apa dha gelem liyane?”
“Mesti gelem wis, Pak. Sapa sing ra gelem dijak ning pantai,” jawabku
nyeplos.
“Neng pantai ngendi?”
“Terserahlah, Pak.”

346

Setelah beberapa pembicaraan, kami sekeluarga memutuskan
untuk pergi ke Pantai Indrayanti. Tidak menunggu lama, aku langsung
mengajak anggota keluarga yang lain untuk bersiap-siap. Semua
perlengkapan yang mau dibawa sudah dimasukkan ke dalam tas
masing-masing. Sesudah semua siap, kami berangkat menggunakan
mobil kijang. Kurang lebih 1 jam perjalanan, kami telah sampai di
pantai pertama, yaitu Indrayanti. Pasti sudah tidak asing lagi bagi
pecinta alam, pantai ini. Pantai yang mempunyai kelebihan tersendiri.
Memasuki pintu gerbang pembayaran, kami dikenakan biaya Rp5.000
per orang. Pantai terlihat samar-samar dari pintu pembayaran. Bau
harum pantai sudah tercium oleh hidungku. Setelah turun dari mobil
aku langsung berjalan duluan, karena sudah tidak sabar, untuk
bermain pasir dan di laut selatan. Hentakan Ombak pantai, yang
berpasir putih sungguh menghipnotis penglihatanku. Sungguh indah
pantai Gunung Kidul yang satu ini. Tidak menunggu lama lagi, aku
langsung menjeburkan diri ke pantai. Bermain pasir dan merasakan
getaran ombak yang cukup keras. Pantai ini selalu ramai dengan
pengunjung setiap hari, apalagi sedang liburan begini, pengunjung
sangat padat sehingga kurang leluasa karena banyaknya orang
berpesiar. Setelah puas bermain, aku dan keluargaku mau berfoto-
foto. Tetapi, ketika kakakku mau mengambil gambar tiba-tiba kamera
tidak mau menyala. Muka tegang dan bingung menempel di wajah
kakakku. Setelah beberapa hal pengecekan di lakukan, ternyata baterai
kameranya hilang. Aku pun kaget ..

“Kok, bisa hilang Kak? Tadi di taruh mana?” tanyaku dengan
muka cemas.

Kakakku hanya diam dan tidak menjawab pertanyaanku.
Entah dimana baterai itu jatuh, tidak akan ketemu walaupun dicari,
karena ukuran baterai tidak terlalu besar. Suasana kembali tenang,
aku dan keluargaku mengikhlaskan baterai itu. Kemudian aku dan
keluargaku memutuskan untuk kembali ke rumah kakekku. Tiga
hari aku menetap di rumah Kakek dan Nenekku. Aku harus kembali
pulang ke Jogja, sekolah sudah menjemputku. Akhirnya, ada hari yang
kami enggan untuk beranjak, sebab kami akan berpisah lagi untuk
waktu yang cukup lama. Peluk erat serta ciuman dari kedua Kakek
dan Nenekku sebagai tanda perpisahan kami. Lagi-lagi aku tak kuasa

347

menahan tangis, air mata ini rasanya enggan untuk bertahan. lambaian
tangan dari para sanak famili dan kedua orang tuaku membayangi
kepulanganku menuju ke tempat asal.

348

TERNYATA

Phegy Patsari Sintia Danti

Beginilah suasana pagi hari di SMA N 1 PAKEM sebelum bel
masuk sekolah berdering. Ruangan yang tadinya tenang, tiba-tiba
menjadi kelas yang gaduh hanya karena kedatangan dua anak
hiperaktif. Mulut mereka yang seakan tidak bisa ditutup ini menjadikan
suasana semakin gaduh. Teman-teman, bahkan Guru mereka pun
kuwalahan memisahkan mereka berdua. Seperti tak ada habisnya
hal yang mereka ributkan. Sorra adalah anak pengusaha ternama
di Yogyakarta. Dia sangat mahir ilmu bela diri, bahkan dia sudah
mendapatkan sabuk hitamnya pada usia 13 tahun. Awalnya orangtua
Sorra memang tidak memperbolehkan, namun melihat semua piala
dan penghargaan yang di dapatkan Sorra, akhirnya orangtua Sorra
mengizinkannya menelateni bakatnya itu. Erwan adalah anak seorang
pengacara kondang di Indonesia. Dia adalah seorang penyanyi solo
yang sedang naik daun. Tawaran manggung sangat banyak, namun
ia tak pernah mengesampingkan urusan sekolahnya.

Jam sekolahpun berakhir, seperti biasa Erwan tidak langsung
pulang kerumah, namun langsung ke lokasi syuting dengan
mengendarai motor Ducati merah menyala yang ia dapat dari hasil
kerja sambilan menjadi seorang artis. Namun naas, saat ia baru berjarak
500 meter dari sekolahnya, Erwan ternyata telah di hadang oleh lima
orang suruhan musuh bebuyutannya. Musuh Erwan ini bernama
Rendy. Rendy selalu iri terhadap kemujuran dan kepopularitasan
Erwan sejak pertama Erwan menjadi seorang penyanyi solo. Sorra
yang melihat Erwan sedang dikeroyok langsung mengambil kuda-
kuda siap melawan orang suruhan Rendy. Memang kemampuan
beladiri Sorra tidak dapat diragukan lagi. Namun, mungkin karena
sedikit lelah karena baru pulang kuliah, Sorra yang lengah akhirnya
terkena pukulan balok kayu di bahu kanannya. Dengan amarah

349

yang memuncak, akhirnya Sorra berhasil mengusir semua bandit
itu sendirian.

Sorra yang merasakan tangan kanannya mulai tidak bisa
digerakkan lagi, akhirnya memilih untuk meninggalkan Erwan yang
terkapar di pinggir jalan. Sebelum Sorra meninggalkan Erwan, ia
sempat mengambil ponsel Erwan dan menelepon Mama Erwan dan
memberitahukan bagaimana keadaan Erwan sekarang. Tak butuh
waktu lama, orang tua Erwan sudah sampai di tempat Erwan pingsan.

Setelah menghubungi orang tua Erwan, Sorra segera pergi
ke rumah sakit. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya hasil
pemeriksaan Sorra sudah keluar. Dokter yang menangani Sorra
mengatakan bahwa tangan kanan Sorra mengalami keretakan yang
cukup parah, sehingga tangannya mungkin akan digips dan tidak
dapat digunakan seperti biasanya kurang lebih 3 bulan. Dan akan
pulih setelah 4 bulan.

Ditempat lain, Erwan sudah mulai sadar. Orang tua Erwan yang
khawatir langsung mendekati Erwan.

“Aduh, Sayang, kenapa kamu bisa di keroyok seperti ini?” tanya
Mama Erwan khawatir.

“Ceritanya panjang, Ma, nanti kalau sudah pulang pasti Erwan
bakal cerita ke mamah.Oh iya, Ma siapa yang nolong Erwan tadi
sebelum Erwan pingsan, Erwan merasa ada yang …….,” tanya Erwan
yang terputus karena disela Mamanya.

“Ow iya, Mama lupa kalau tadi yang nolong kamu namanya So,
So, Sorr, Sorr, siapa ya? Mama lupa,” sela Mama Erwan.

“Sorra?” tebak Erwan.
“Iya, Sorra. Tadi dia bilang kalau tangan kanannya terluka jadi
tidak bisa membawamu kerumah sakit. Dia memutuskan untuk
menelepon mama pakai teleponmu, Sayang,” jelas Mama Erwan.
Tiga hari kemudian, Sorra memutuskan berangkat sekolah lagi.
Namun ia berangkat lebih awal dan menutupi gipsnya dengan jaket
tebal agar semua orang tidak tahu kejadian 3 hari yang lalu. Namun
ternyata di kelas sudah ada Erwan yang tak disangka berangkat lebih
awal dari Sorra.
“Sorra, apa kau yang menolongku kemarin?” tanya Erwan.

350

“Tidak, memang apa buktinya kamu bicara seperti itu. Apa
pentingnya menolongmu,” elak Sorra sambil menutupi groginya.

Saat Sorra hendak melewati tempat duduk Erwan, tangan
kanan Sorra sedikit di tarik oleh Erwan. Alhasil Sorra berteriak
kesakitan,“auwwww”, teriak Sorra.

“Kau minta bukti? Itu buktinya,” jawab Erwan.
“Ishhh,” dengus Sorra kesal.
Saat Sorra hendak pergi, Erwan kembali menarik tangan kanan
Sorra.
“Wan, apa mau kamu sebenernya, hah? Belum puas kamu bikin
bahuku retak? Apa sekarang kamu mencoba membuat bahuku patah,
hah?” bentak Sorra karena merasakan tangannya sakit.
Hening sejenak diantara mereka.
“Bukan itu yang aku mau,” jawab Erwan pelan namun masih
dapat didengar oleh Sorra,“aku hanya ingin berterimakasih, dan
meminta maaf atas semua yang pernah aku lakukan. Sekarang aku
mohon jadikan aku pengganti tangan kananmu selama yang kau
inginkan. Atau paling tidak sampai sembuh.”
“Untuk apa? Aku tidak butuh.Kamu pasti cuman ngerepotin
aku nantinya,” tolak Sorra mentah-mentah.
“Kumohon,” pinta Erwan dan Erwanpun berlutut meng­geng­
gam tangan Sorra.
Namun Sorra tak menghiraukannya dan pergi meninggalkan
Erwan begitu saja. Jam kuliah pun berakhir, sebelum Sorra berangkat
kerumah temannya untuk mengerjakan tugas, ia menyempatkan
diri untuk makan bekal yang di buatkan Ibunya tadi pagi. Dengan
tangan kanan yang digips, tentu sulit untuk menggunakannya.
Hasilnya, semua nasi yang seharusnya mengarah kemulutnya
malah mengarah kehidung Sorra. Tak disangka, ada sepasang mata
yang memperhatikannya dari kejauhan dengan tawa yang terkikih
melihat tingkah lucu Sorra. Tak menunggu waktu lama, orang tersebut
langsung keluar dari persembunyiannya.
“Hei, perlu bantuan?” tawar Erwan sembari menahan tawanya.
“Tidak perlu, aku bisa sendiri,” tolak Sorra menahan malu.
“Ya, apa kau bisa makan lewat lubang hidungmu?” ejek Erwan.

351

Namun Sorra hanya diam dan melanjutkan kegiatannya tersebut.
Tanpa buang waktu, Erwan mengambil kotak makan Sorra dan
menyuapi Sorra, namun Sorra masih enggan membuka mulutnya.

“Hei, paling tidak kau memberiku kesempatan untuk membalas
budimu anak keras kepala,” kata Erwan.

“Tidak perlu, aku tidak laa….,” belum sempat Sorra menye­
lesaikan kalimatnya, ternyata perut Sorra berbunyi, menandakan ia
benar-benar lapar.

Akhirnya dengan terpaksa Sorra mau menerima bantuan dari
Erwan. Erwan terkekeh melihat ekspresi muka Sorra yang memerah,
bahkan mungkin lebih merah dari kepiting rebus.Sorra hanya
menunduk dan menutupi rasa malunya. Tak disangka ada seseorang
yang memperhatikan kegiatan mereka dari jauh. Dia adalah Ailee,
wanita cantik yang menjadi idaman cowok-cowok keren di SMA N 1
PAKEM dan dia sudah lama mengagumi sosok Erwan. Namun, rasa
kagum dan cintanya tidak pernah terbalaskan.

“Sialan, kenapa dia bisa dekat dengan Erwan? Bukannya mereka
selalu bertengkar? Arrrgg, aku benci pemandangan ini. Bahkan aku
yang selalu memberi Erwan segalanya pun tidak bisa mengubah
perasaannya.Lihat apa yang akan terjadi padamu Sorra,” geram Ailee
sembari meninggalkan tempat itu dengan senyum liciknya.

“Apa kau akan pergi setelah ini?” tanya Erwan kepada Sorra.
“Iya,” jawab Sorra malas.
“Kuantar saja, ya?” tawar Erwan.
“Tidak usah, aku bisa sendiri, lagipula aku sedang ingin sendiri,”
jelas Sorra.
“Baiklah, aku tahu kamu tidak akan mau dipaksa,” tebak Erwan.
Akhirnya Sorra pergi meninggalkan Erwan. Dan lagi-lagi tanpa
meninggalkan sepatah katapun untuk Erwan. Namun ternyata Erwan
tidak bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Ia terus mengikuti
Sorra dari belakang. Saat Sorra hendak menyebrang jalan, ternyata
Ailee sudah menghadang Sorra dan menyeret paksa Sorra masuk ke
dalam mobil. Tentu Sorra tidak banyak melawan karena tangannya
terluka. Erwan masih mengikuti Sorra pergi. Jadi Erwan mengabadikan
penculikan Sorra agar bisa digunakan sebagai barang bukti di kantor
polisi nanti.

352

“Ternyata kau bukanlah orang baik Ailee, untunglah aku tidak
menerimamu sebagai pacarku.Lihat saja apa yang akan terjadi, Video
ini akan menjadi pengiringmu menuju penjara,” geram Erwan.

Erwan masih terus mengikuti mobil Ailee sembari menelepon
polisi. Ailee memberhentikan mobilnya di sebuah gudang tua di
pinggir kota, lalu menyeret Sorra masuk secara paksa kedalam
bangunan tersebut. Sesampainya didalam, Ailee mendudukkan Sorra
di sebuah kursi dan mengikatnya. Namun tak hanya sampai disitu,
Ailee melampiaskan kekesalannya dengan cara menampar pipi Sorra
bergantian hingga ada setetes darah keluar dari sudut bibir Sorra.

“Dasar wanita penggoda, pintar sekali kau memanfaatkan
kelumpuhanmu itu.”

“Jangan begerak, angkat tangan!” perintah polisi yang ternyata
sudah mengepung bangunan tersebut.

“Syukurlah,” lirih Sorra sebelum pingsan.
“Sorra!” teriak Erwan.
Erwan yang menyadari Sorra terluka langsung berjalan menuju
ke arah Ailee dan menamparnya.
“Sudah kuduga, kau adalah orang yang keras, egois dan tidak
tahu diri,” geram Erwan.
Ailee hanya menunduk dan mengikuti semua perintah polisi.
Erwan menatap nanar wajah Sorra yang penuh lebam. Entah mengapa
dada Erwan berdegup kencang, dan Erwan merasa ada yang berbeda
saat ia di dekat Sorra.
“Emmm,” lenguh Sorra yang menyadarkan Erwan dari
lamunannya.
Tanpa basa-basi Erwan langsung melepas ikatan Sorra dan
membopongnya kerumah sakit. Pagi menjelang, Erwan masih setia
menunggui Sorra tersadar dengan masih dalam posisi menggenggam
tangan Sorra dan meletakkan kepalanya di tepi ranjang Sorra. Erwan
bangun dari tidurnya dan menemukan Sorra tengah menatap
wajahnya.
“Kamu sudah sadar?” tanya Erwan yang dibalas senyum manis
Sorra.
“Aku melukaimu lagi,” tambah Erwan sembari menundukkan
kepalanya.

353

“Tidak apa-apa, ini bukan salahmu, bahkan aku sudah melupakan
semua kejadian ini,” jawab Sorra.

“Sebenarnya, aku ingin mengatakan sesuatu, sebenarnya aku
merasakan ini semenjak kamu menyelamatkan aku, aku merasa
terlindungi kalau ada di dekatmu. Sepertinya aku menyukaimu. Apa
kamu mau menjadi pacarku?” tanya Erwan dengan penuh harap.

“Aku tahu itu hanya otakmu yang bicara, kamu hanya ingin
membalas budi kepadaku kan? Tidak perlu sampai seperti itu. Bahkan
aku sudah melupakan kejadian ini. Jangan pernah memainkan
perasaan seorang wanita,” kata Sorra sembari tersenyum paksa.

“Aku bahkan mau untuk bersumpah di hadapanmu Sorra, aku
benar-benar menyayangimu bukan karena aku kasihan padamu.
Sungguh!” jelas Erwan.

“Kalau begitu buktikan semua perkataanmu itu, kalau kamu
memang benar-benar menyayangiku,” tawar Sorra.

“Baiklah, apa itu?” tanya Erwan dengan penuh semangat.
“Emm, kalau kamu mau menjadi pacarku, seharusnya kamu
bisa menjagaku dari bahaya, kan? Dokter memperkirakan aku akan
pulih kurang lebih 4 bulan dari sekarang,” pikir Sorra.
“Jadi?” tanya Erwan tak paham.
“Jadi, kamu harus berlatih beladiri dalam waktu 4 bulan dan
kamu harus bisa mengalahkanku. Apa iya, aku yang harus menjagamu
setiap harinya?”jelas Sorra.
“Emm, baiklah”, jawab Erwan sedikit ragu karena Erwan tidak
pernah sekalipun memikirkan akan berlatih beladiri.
Empat Bulan berlalu dengan cepat.Kini, Sorra sudah pulih seperti
sedia kala. Hari ini tepat tanggal Erwan dikeroyok oleh bandit-bandit
suruhan Rendy.
“Apa kau siap membuktikan kesungguhanmu?” tantang Sorra.
“Tentu saja.Aku akan menjagamu dengan seluruh kekuatanku,”
jawab Erwan penuh percaya diri.
Pertarungan yang sepertinya lebih tepat di bilang pembuktian ini
berlangsung cukup ulet. Akhirnya, Erwan mampu mengalahkan Sorra,
tanpa melukai Sorra sedikitpun. Untuk orang yang belajar beladiri
selama empat bulan, tentu saja ini benar-benar tidak bisa dipikir secara
logika. Mana mungkin orang belajar secepat itu.

354

“Kata orang, bila kita memiliki kemauan maka kita bisa
melakukan apapun. Dan aku bisa seperti ini karena aku ingin berada
di sampingmu selamanya. Sekarang sudah terbukti kalau aku benar-
benar menyayangimu dengan tulus. Jadi kumohon jangan kecewakan
aku dengan jawabanmu Sorra,” pinta Erwan.

“Sepertinya kau memang bersungguh-sungguh. Sebenarnya
walaupun kau kalah dan tidak mampu melawanku, aku akan mengalah.
Namun, ternyata kau memang hebat, mampu mengalahkanku,” jelas
Sorra.

“Jadi? Apa maksudmu bicara seperti itu?”, tanya Erwan dengan
senyum yang mengembang di pipinya.

“Ya tentu saja aku akan menerimamu, karena aku sebenarnya
menyukaimu juga. Sejak kamu menungguiku di rumah sakit.
Sepertinya kau orang yang perhatian,” jelas Sorra.

“Jadi?” tanya Erwan lagi.
“Sekali lagi kau bilang seperti itu maka habislah kau,” Sorra
marah.
“Baiklah-baiklah. Jadi kita resmi pacaran?” tanya Erwan antusias.
“Maumu bagaimana?” tanya Sorra.
“Yeah,” teriak Erwan kegirangan.
Ternyata cinta memang bisa tumbuh dihati orang yang tidak
pernah akur sekalipun. Cinta memang tidak mengenal apapun dan
siapapun. Ya, siapa yang menyangka kalau dua insan yang tidak
pernah akur ini bisa saling jatuh cinta. Dan orang seperti Erwan
yang benar-benar tidak mengerti tentang ilmu beladiri pun rela
mempelajarinya demi orang yang ia kasihi. Hingga sekarang sudah
tidak ada lagi yang berani mengganggu Erwan dan Sorra lagi.

355

DRAMA

Bartholomeus Alfa Amorrista

Bagi Windy, sudah menjadi rutinitas yang tidak bisa ditinggalkan­
nya, yaitu bersepeda ria pagi-pagi benar untuk mencapai sekolahnya,
SMA Cakrawala yang harus ditempuhnya tiga kilometer setiap hari
membuatnya terbiasa. Udara sejuk menyapanya dengan riang. Wajah
Windy tersapu angin. Senyuman singkat mulai terlihat ketika ia
hampir saja menyongsong gerbang sekolah. Keadaan sepanjang jalan
yang ramai membuatnya sempat tidak fokus hingga sebuah insiden
membuat jantungnya copot. Sebuah mobil sedan berwarna hitam
mendadak melintas cepat tanpa tahu bahwa Windy telah terkapar
di jalan dengan luka di kakinya.

Sembari memperhatikan kakinya yang terus menerus mengu­
curkan darah, Windy mencoba membangunkan diri dan hampir saja
membenahi posisi sepedanya yang salah kaprah. Namun, segala
perencanaan itu mendadak harus dihentikan karena sepeda yang
semula salah kaprah dan mengalami lecet di beberapa bagian mendadak
menegak kembali. Tentunya seseorang telah membangunkan badan
besi sederhana tersebut. Tanpa disadarinya, Kevin telah berada di
hadapannya. Dengan ketulusan hati, Kevin membantu Windy yang
kala itu masih merintih kesakitan.

“Maaf, ya. Tadi, aku nggak lihat jalan dan kurang kon­sentrasi…”
kata Kevin sembari memapah tubuh Windy yang melemah dan
mendudukkan perempuan itu perlahan.

“Nggak usah minta maaf lagi. Cuma insiden kecil dan biasa aja,
kan...” sahut Windy sembari mengobati lukanya dengan obat merah
dan handsaplast yang dibawa oleh Kevin.

Dengan senyum cerah, Windy mencoba menghibur hati Kevin
yang mendadak galau dengan kesalahannya tersebut.

356

“Kamu nggak usah merasa bersalah gitu. Yang penting, kamu
sudah tanggung jawab. Buatku, obat merah dan handsaplast udah
cukup untuk memaafkan kesalahan kamu…” lanjut Windy sembari
berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan pelan-pelan memapah
rasa sakit di lututnya.

“Sini…, biar aku bantu….”
Dengan sigap, Kevin kembali membantu Windy berjalan. Dengan
perlahan, ia memapah badan Windy hingga menyentuh pagar. Tak
mau kalah dengan Kevin yang mendadak menjadi seorang pahlawan,
Pak Satpam bergegas memarkirkan sepeda Windy hingga tempat
parkir yang paling strategis. Di balik kejadian itu, sebentuk raut
wajah lesu tercipta dari seorang perempuan di dalam mobil Kevin.
Dengan langkah cepat, perempuan itu melangkah mendekati Windy
dan Kevin. Melihat kedekatan Windy dan Kevin, Elisa memergoki
keduanya dan siap menyindir dengan kata-kata pedas.
“Vin, ngapain sih kamu nolongin dia?” cetus Elisa dengan ucapan
menyindir. “Udah tahu dari tadi aku ada di mobil dan nungguin kamu.
Eh, kamunya malah nolongin dia…” keluhnya sembari memasang
raut wajah kesal. “Oh ya, dia nggak cacat cuma gara-gara keserempet
mobil kamu, kan ?” sambungnya.
Merasa Elisa telah mengintimidasinya habis-habisan, Windy
melepaskan rangkulannya dari Kevin.
“Terima kasih untuk bantuannya. Aku nggak cacat dan kakiku
baik-baik aja kok. Kamu masuk aja sama Elisa…” ujar Windy mencoba
tegar dan melangkahkan kaki perlahan, menjauh dari jangkauan
Kevin.
“Yakin kaki kamu nggak kenapa-kenapa?”
Dengan gelengan mantap, Windy beralih dari kedua raut wajah
manusia di hadapannya. Tak ingin lagi ia berurusan dengan manusia
sejenis Elisa yang notabene adalah anak dari donator terbesar SMA
Cakrawala. Rintihan-rintihan mulai tiba, namun coba ditepisnya.
Sekuat tenaga Windy berjalan hingga menyentuh pintu kelas tanpa
harus merepotkan Kevin yang sibuk dengan kecemburuan Elisa.



Awan bergerak. Matahari masih saja menerik ketika Kevin
telah merampungkan kewajibannya untuk mempersiapkan project

357

teater terbarunya bersama dengan Hendra dan teman-teman lainnya.
Rencananya, teater akan berlangsung lusa. Maka dari itu, Kevin
mencoba memaksimalkan latihan dan memberikan yang terbaik.
Langkah kaki yang semula dipercepat untuk segera pulang ke rumah
mendadak diperlambat ketika melihat Windy yang sibuk membereskan
beberapa gulungan tali pramuka yang tersebar di beberapa tempat.
Perempuan yang tampak masih kesakitan itu mencoba untuk bertahan
tanpa harus mengeluhkan sakit di kakinya.

“Mau aku bantu ?” kata Kevin sembari mengambil satu demi
satu gulungan tali pramuka yang berserakan di mana-mana.

Dengan senyum kecil, Windy mengiyakan bantuan dari Kevin
yang tampak begitu tulus.

“Aku salut sama kamu. Biarpun kaki kamu sakit, kamu masih
bisa ikut kegiatan pramuka…” sambungnya.

“Aku ini bukan cewek manja…” celetuk Windy sesekali me­
masukkan gulungan tali pramuka tersebut ke dalam kardus yang
bersandar di dekat pohon besar. “Lagian, udah kewajibanku ikut
kegiatan pramuka ini. Meskipun harus kerja ekstra gerak, tapi aku
coba untuk menahan sakit…” sambungnya mencoba bersemangat
dengan peristiwa yang baru saja menimpanya.

Usai membereskan gulungan tali pramuka dan mengambil tas
yang tergeletak lemas di bangku panjang, Kevin dan Windy bersiap
untuk kembali ke rumah. Namun, belum sempat melangkah untuk
meraih sepeda, tangan Kevin mendadak menahan tangan Windy dan
mengajaknya berpapasan.

“Sebelum kamu pulang, aku mau kasih sesuatu sama kamu….”
Sebuah undangan berwarna merah keluar dari tas laki-laki di
hadapannya. Dengan senyum kecil, Windy menerima undangan itu
dengan senang hati ketika Kevin memberikan undangan itu padanya.
Undangan yang berjumlah dua lembar menandakan bahwa ia bisa
mengajak Felly untuk menonton pagelaran teater yang dibintangi
oleh Kevin dan kawan-kawan.
“Kamu juga bisa ajak teman kamu yang rambut panjang sebahu
itu untuk datang ke teater ini. Spesial kursi VIP buat kalian, terutama
kamu yang udah maafin aku…”

358

Dengan anggukan kecil, Windy menyanggupi permintaan maaf
spesial dari Kevin dengan hati terbuka.

“Kamu adalah orang yang paling spesial dan minta maaf dengan
cara berbeda…” ucap Windy sembari melangkah ke depan beberapa
senti.

“Terima kasih untuk bantuan dan undangannya, aku pulang
duluan ya…” cuplikan senyum kecil itu mulai ada dan bermunculan.

“Hati-hati di jalan. Jangan sampai nyerempet orang lain lagi…”
ledeknya sembari meraih sepeda yang telah menunggunya untuk
dibawa pulang.

“Kamu juga hati-hati. Jangan lupa datang ya, kedatangan kamu
aku tunggu. Kamu adalah tamu spesial karena udah mau aku serempet
tadi pagi…” tandas Kevin seraya terkekeh.


Gedung teater Subokartti, 20.00
Kedatangan dua perempuan itu tengah dinanti. Gedung yang
spesial, tata lampu yang menarik dan segala pelengkap dari pergelaran
teater membuat mereka bangga manjadi tamu spesial di acara setahun
sekali yang diselenggarakan oleh sekolahnya. Cepat-cepat, keduanya
melangkah masuk, menukarkan tiket dan mencari tempat duduk.
“Ternyata, Kevin itu baik banget ya. Buktinya, dia mau undangan
kita sebagai tamu spesial tanpa harus bayar tiket dan duduk di bangku
VIP lagi...” kata Felly sembari memperhatikan jalan karena lampu
yang tidak terlalu terang.
“Semua ini merupakan bentuk permintaan maaf dia karena
kemarin sudah nyerempet aku. Unik sih, minta maaf tapi kasih tiket
gratis nonton teater semegah ini. Cuma orang kaya nih yang bisa
mampir dan nonton teater ini. Kita sih cuma beruntung aja….”
Langkah kaki itu hampir berlanjut jika saja Windy tidak salah
langkah dan tersandung. Ia tidak menyadari bahwa masih ada tangga
yang menunggunya. Siap sedia dengan kejadian itu, seseorang
bergegas menangkapnya. Lampu menyala sejenak. Saat itu juga, Windy
mengetahui bahwa Kevin telah menyelamatkannya. Jantungnya yang
masih dag dig dug memang tidak tertahankan. Kedua wajah itu saling
bertemu secara tidak sengaja.

359

“Kamu nggak apa-apa…?” tanya Kevin sembari membenarkan
posisi Windy yang sempat berada dalam pelukannya.

Elisa yang kala itu masih menguntit dan ingin selalu berada di
dekat Kevin mendadak menambah kadar kecemburuan. Ia begitu
ingin melabrak Windy yang tampak mencari perhatian.

“Lain kali, kalau lampu sedang redup..., kamu harus jalan hati-
hati. Jangan cepat-cepat…” sarannya disambut anggukan dari Windy
yang tampak masih pucat.

Melihat kedekatan yang makin rekat antara Kevin dan Windy,
Elisa terpaksa memergoki kembali kedekatan keduanya.

“Heh… cewek kampung. Kamu ngapain sok cari perhatian sama
cowok orang...?” ketus Elisa sembari mendorong tubuh Windy hingga
terjatuh ke bangku.

Melihat kejadian dan kelakuan Elisa yang tak terkendali,
geramlah Kevin.

“Lis, Windy itu nggak cari perhatian. Dia kesandung. Untung
aja, ada aku yang kebetulan ada di dekat dia. Ngapain sih kamu harus
sensitif begini ? Jujur aku bingung sama kamu. Cemburuan banget jadi
cewek…” gertak Kevin yang senantiasa membela Windy yang sempat
merasa kesakitan karena terdorong oleh Elisa yang marah besar.

“Kamu yang harusnya tahu diri...” sahut Elisa dengan kasar,
“kita itu nggak selevel sama dia. Mana pantas seorang Kevin dekat-
dekat sama cewek udik sekelas Windy….”

Remuklah hati Windy. Pelecehan itu membuat air matanya
jatuh. Felly mencoba menenangkannya. Lewat kejadian itu, sebuah
keputusan sudah dilayangkan oleh Kevin saat itu juga.

“Udah berulang kali aku ingetin sama kamu untuk bisa meng­
hargai orang. Tapi, semuanya mendadak sia-sia tahu nggak. Mending­
an, kita udahan aja. Kita putus dan nggak usah ada hubungan spesial
lagi. Aku udah muak sama kamu…” nacm Kevin sembari menarik
tangan Windy diikuti oleh Felly yang senantiasa menenangkan
kesedihan yang dialami oleh sahabatnya itu.

Air mata mendadak jatuh dari wajah Elisa. Ia tidak dapat menahan
kesedihannya sendiri. Di balik kepiluan hatinya itu, seseorang
senantiasa menatapnya dari kejauhan. Laki-laki itu berdiri mematung,

360

menatap kesedihan tanpa memberikan kata-kata penyemangat bagi
perempuan yang disukainya itu. Hendra.


Lapangan basket, 09.10
Sebuah rencana sudah disiapkan dengan matang. Elisa
tahu betul Hendra menyukainya sejak awal. Perempuan itu siap
memanfaatkannya untuk melakukan sesuatu. Tentunya, untuk
membalaskan sakit hati pada Kevin yang tega memutuskannya.
Melihat Hendra yang tampak lelah sehabis berolahraga, Elisa bergegas
mendekatinya.
“Hai, Hen. Pasti, kamu kecapean kan sehabis olahraga. Nih, aku
punya minuman buat kamu….”
Hendra yang tampak canggung dan salah tingkah dengan
perlakuan Elisa padanya mencoba lebih tenang.
“Makasih ya, Lis. Kamu perhatian banget….”
Senyum licik muncul di balik rencana yang tengah disusunnya.
Hendra telah masuk dalam perangkapnya.
“By the way, semalam aku lihat kamu nangis pas ada di dalam
gedung. Kalau boleh tahu kenapa ya?” tanya Hendra dengan wajah
resah.
“Semalam, Kevin marah-marah karena aku menegur dia yang
coba nolongin Windy yang kesandung. Aku sih nggak punya maksud
untuk bersikap kasar. Ya kamu tahu sendiri kan, aku itu orangnya
agak cemburuan. Harusnya, Kevin itu bisa ngertiin perasaan aku, Hen.
Tapi..., dia malah membela Windy dan memutuskan untuk nggak
punya hubungan apapun sama aku….”
Mendengar ucapan perempuan di sampingnya membuat Hendra
geram dan kesal pada sahabatnya tersebut.
“Jujur, aku nggak terima sama perlakuan Kevin. Mungkin, kamu
adalah orang yang tepat untuk membalas sikapnya dia, Hen…” Elisa
tak habisnya menjadi ular yang dapat menghasut Hendra yang
kelihatan polos dengan ucapan-ucapan perempuan di sisinya.
“Aku harus membalas sikap dia dengan apa, Lis? Aku juga nggak
terima kamu disakiti sama cowok sejenis dia…” kata Hendra pada
Elisa.

361

Hendra berharap perempuan itu mengucapkan trik pembalasan
yang akan dilancarkannya.

“Aku akan ngelakuin apapun permintaan kamu, termasuk
membalaskan sakit hati kamu sama Kevin…” rayu Hendra.

“Sebenarnya, aku nggak punya rencana khusus untuk membalas.
Tapi… aku yakin, kamu punya banyak cara untuk membalaskan
sakit hatiku sama dia…” kata Elisa yang kian merayu Hendra untuk
menuruti kemauannya kali ini.

“Kamu yakin mau membalas sakit hatiku sama Kevin ? Aku
tahu banget kalian jadi sahabat dekat sejak lama….”

“Aku yakin, Lis. Aku akan membalaskan sakit hati kamu.
Terkadang, persahabatan bukan jaminan kalau sudah berhubungan
dengan perasaan….” Rencananya berhasil. Elisa puas dengan
usahanya memecah belah persahabatan Hendra dan Kevin.

Ruang Latihan Teater, 14.30
Dengan langkah cepat, Hendra menghampiri Kevin lalu
menghantamkan sebuah pukulan padanya. Kala itu, ruangan teater
memang sangat sepi. Suasana yang Hendra tunggu-tunggu untuk
membalaskan sakit hati Elisa pada Kevin yang tega memutuskannya.
Pukulan kedua menghantam pipi Kevin, bibir laki-laki itu mendadak
berdarah. Kevin yang tidak terima akan pukulan itu membalas dan
menahan tubuh Hendra untuk kembali memukul.
“Kamu kenapa sih Hen? Kamu kok tiba-tiba aja datang dan
memukul aku. Perasaanku, kita tidak punya masalah apa-apa, kan?”
gertak Kevin sembari mendorong tubuh Hendra agar berada jauh
darinya.
“Kamu berani-berani tanya kenapa aku memukul kamu…!”
Tubuh Hendra kembali menegak dan melangkah ke arah Kevin
lalu menarik kerah baju sahabatnya itu.
“Kesalahan besar sudah kamu lakukan sama Elisa kan?” gertak
Hendra dengan kasar, “kamu tega memutuskan Elisa yang udah kasih
seluruh perhatiannya sama kamu…” Hendra menarik kerah itu kuat-
kuat lalu melemparkan tubuh mendorong balik tubuh Kevin hingga
jatuh tersungkur.
“Berhenti!” seru seseorang yang berusaha mencegah sebuah
pukulan lagi mendarat di wajah Kevin.

362

Perempuan sederhana dengan sebungkus es teh di tangannya
bergegas dan menghalangi Hendra yang hampir menghantamkan
pukulan lagi pada Kevin.

“Hen… kamu itu kenapa sih? Kenapa kamu mukul Kevin?”
sentak Windy seraya membantu Kevin berdiri dan mendudukkannya
di kursi.

“Kamu itu udah gila ya? Hei… sadar. Kevin ini sahabat kamu.
Kenapa kamu jadi tega ngelakuin semua ini sih?” sambungnya sambil
mengeluarkan tissue dan mengelap darah di bibir Kevin.

“Aku melakukan semua ini karena Kevin udah tega memutuskan
hubungannya dengan Elisa…” gertak Hendra seakan membalas,
“seorang cewek yang aku sukai…” lanjutnya dengan wajah geram.
“Dan… kamu adalah orang yang udah bikin Kevin dan Elisa.. putus!”
kata Hendra dengan nada tinggi pada Windy yang kala itu berhadapan
dengannya empat mata.

Tak sanggup berlama-lama menatap Windy, Hendra berlalu dan
pergi dari hadapan keduanya.



Ruang UKS, 15.00
Secepat mungkin, Windy membasuh bibir Kevin yang masih saja
berdarah. Perhatian dari Windy membuat laki-laki di hadapannya
tampak terkesan. Dengan wajah resah, Windy mulai menanyakan
sebab akibat pertengkarannya.
“Aku heran.. kenapa masalah putusnya hubungan kamu sama
Elisa mendadak tersebar dan sampai ke telinga Hendra? Aku tahu
banget lho..., kalau kalian udah sahabatan lama. Persahabatan kalian
itu kayak baju sama kancin.g Tahu nggak sih, saling nggak bisa
terpisahkan….”
Kevin yang masih merasa kesakitan akibat pukulan itu mendadak
melepaskan tangan Windy dengan perlahan.
“Tapi kenapa…, cuma karena masalah kayak gini aja, kalian jadi
berantem...?” sambungnya.
“Aku tahu banget nih. Pasti Elisa sengaja menghasut Hendra
untuk musuhin aku...” sahut Kevin dengan pasti. “Elisa itu ular. Dia
bisa ngelakuin apa aja untuk membalas perlakuanku kemarin. Apalagi,
Hendra suka banget sama Elisa. Dia udah memendam perasaannya

363

jauh-jauh, bahkan saat aku dan Elisa masih pacaran…” jelas Kevin
dengan raut wajah lesu. “Tapi.. sekarang aku nggak perlu khawatir.
Karena, ada seseorang yang lebih pantas aku miliki. Seorang cewek
yang sederhana, tapi punya hati yang tulus….”

Merasa sebuah teka-teki memenuhi otaknya tentang perempuan
baru dalam hidup Kevin, rasa penasaran mulai tumbuh dari benak
Windy.

“Siapa cewek itu? Pasti dia adalah orang yang beruntung banget,
deh...” tanya Windy mencoba menebak dan memastikan siapa
perempuan yang kini dikagumi oleh Kevin kali ini.

“Kamu tahu, cewek itu adalah ...“ Kevin berusaha
mempertahankan pilihannya.

Bergegas laki-laki itu menarik napas panjang.
“Cewek yang tulus dan perhatian itu adalah ...“ hati Kevin
berdegup tanpa arah. “Kamu…” tunjuk Kevin sembari menaruh
perhatian dan seluruh hatinya pada perempuan di hadapannya.
Windy yang tak menyangka dengan kata-kata Kevin mencoba
mencubit tangan kirinya sendiri, mengetes apakah ia hanya sebatas
bermimpi atau kenyataan sedang tiba mendatanginya.
“Kamu yakin aku adalah cewek itu?” Dengan anggukan kencang,
Kevin mulai menautkan hatinya pada Windy. Dengan senyum kecil,
Windy membalas pernyataan itu.
Kantin sekolah, 11.15
Kali ini, Hendra mencoba menggosok matanya beberapa kali.
Dilihatnya seorang perempuan yang disukainya itu bersama dengan
orang lain. Di depan matanya, ia melihat sendiri Elisa bergandengan
mesra dengan Steven, salah satu siswa pindahan dari singapura dengan
wajah orientalnya itu. Remuklah hati Hendra untuk kesekian kalinya.
Semula, dengan membalaskan rasa sakit hati Elisa pada Kevin, Hendra
bisa mendapatkan perhatian khusus dari perempuan itu. Ternyata, ia
salah besar. Disisi lain, mematunglah seorang perempuan mengamati
Hendra yang berdiri terpaku memandangi sebuah panorama menya­
kitkan. Dalam hatinya, Windy memang menyayangkan kejadian
tempo hari. Ia berpikiran bahwa Elisa memanfaatkan situasi dan
meminta Hendra membalaskan sakitnya pada Kevin. “Kasihan banget
sih, Hendra. Pasti, Elisa sengaja manfaatin dia deh. Pokoknya, aku

364

harus mengembalikan hubungan Kevin dan Hendra seperti sedia
kala…” celetuk Windy sembari berlalu.

Taman Kota, 16.00
Bagi Windy, kegiatan bersepeda sore merupakan kebiasaan
ternyaman. Pasalnya, mentari sudah hampir tertidur. Dengan kayuhan
mantap, digerakkannya sepeda itu menuju taman kota. Tempat
dengan ribuan jenis bunga itu dipenuhi oleh banyak orang, termasuk
para kawula muda yang sedang sibuk pacaran. Lain dari pada yang
lain, Windy yang kala itu telah sampai di lokasi hanya iseng-iseng
memetik bunga mawar merah dan mengumpulkannya di keranjang
sepeda. Sembari melihat-lihat keseruan di tengah-tengah taman,
terlihatlah sosok Hendra yang menyendiri dan terduduk di bangku
taman, bertemankan sepi. Merasa harus bicara empat mata dengan
laki-laki itu, Windy bergegas mendekati Hendra dengan sepedanya.
Tak pernah ia mencoba untuk pergi. Hendra lebih memilih
berdiam dan merenungi nasib buruknya, yakni kehilangan sosok
Elisa untuk kedua kalinya. Menyadari seorang mendekatinya dengan
sepeda, ia hanya sebatas menengok dan menundukkan kepala. Hendra
menyadari betul Windy mendatanginya secara tiba-tiba. Perem­
puan itu mendadak duduk di sampingnya. Dengan hati tertegun,
Hendra tak menghiraukan kedatangan maupun usaha Windy untuk
mendekatinya. “Kamu nggak usah sedih waktu Elisa cari cowok
baru. Apalagi, tipe cowoknya itu sejenis Steven. Anak pindahan
dari Singapura yang cuma modal tampang sama harta” ujar Windy
me­mulai ucapannya. “Karena nggak semua cowok bisa dipegang
omongan dan sikapnya. Percuma aja buat Elisa memilih seorang
cowok yang cuma modal tampang doang, di era globalisasi kayak
gini tinggal dibuang aja itu cowok…” sambungnya dengan kata-kata
ketus.
“Maksud kamu apa ngomong seperti itu? Kamu juga mau
membuatku bermusuhan dengan Elisa seperti kamu membuat Kevin
dan dia putus…” tukas Hendra yang kala itu masih dalam proses
membenahi diri.
Windy menerima seluruh perkataan tidak benar yang diucapkan
oleh Hendra dengan ketulusan hati. Tuhan yang tahu apa yang
sebenarnya terjadi.

365

“Hen, kamu jangan bodoh! Elisa itu cuma memanfaatkan kamu
untuk membalas sakit hatinya sama Kevin…” sahut Windy, “dan aku
tahu, kamu pasti berharap banget kan..., setelah kamu bisa membalas
sakit hati cewek itu, kamu bisa merebut hatinya dengan leluasa…”
terang Windy.

Dengan wajah lesu, Hendra menatap kedua kelopak mata Windy
dengan seksama.

“Ternyata, pemikiranmu salah besar kan? Dia masih asyik-
asyikan sama Steven tanpa mikirin perasaan kamu….”

Lebih teliti ia menatap wajah Windy yang makin berseri.
“Nggak semua bisa kamu ukur dengan cinta, Hen. Aku tahu,
kamu suka sama Elisa sejak kita kelas satu dan kamu kecewa karena
dia lebih memilih Kevin. Dan sekarang, kamu tega menghancurkan
hubungan persahabatan kalian cuma gara-gara cewek ular itu…,
iya…?”
Matanya terbuka, Hendra mulai menyadari bahwa Elisa telah
memanfaatkannya habis-habisan.
“Mungkin, aku harus merenung untuk kesekian kalinya agar
mata hatiku terbuka…” tukas Hendra, “terima kasih atas semua
bantuan kamu…” ujarnya lagi sembari berdiri dari bangku dan
meninggalkan Windy sendirian bertemankan angin semilir.
Gazebo, 17.00
Berulang kali ia berpikir dan merenungkan keputusannya untuk
menyukai Elisa. Namun, dalam waktu sekejap, segalanya tampak
hilang karena Windy mencoba memperingatkannya untuk tidak lagi
mendekati Elisa yang kini telah resmi menautkan hatinya pada Steven.
Mungkin, ia tidak bisa berharap banyak pada Elisa yang memanfaatkan
situasi untuk memecah belah persahabatannya dengan Hendra.
Untuk kesekian kalinya, wajah perempuan baru dalam dirinya
masih terpampang jelas. Rambutnya yang panjang tergurai dan
sederhana serta perawakannya yang manis membuat Hendra jatuh
cinta padanya. Perempuan itu menyadarkannya untuk berpindah dan
tidak lagi memikirkan Elisa. Perempuan itu Windy. Entah mengapa
hati kecilnya telah menunjuk satu pilihan baru.

366

Laboratorium Biologi, 10.45
Hendra bergegas menahan tangan Windy. Ia tidak meng­
inginkan perempuan di hadapannya itu untuk cepat-cepat kembali
ke kelas. Dengan senyum kecil, ia mulai menyadari bahwa di balik
kesederhanaan Windy, perempuan itu masih menyimpan pesona.
“Maaf, ada apa ya, Hen ? Kok kamu nahan aku pergi, sih?”
tanya Windy yang tampak penasaran dengan perlakuan Hendra yang
mendadak berubah.
“Aku mau berterima kasih sama kamu…” sahut Hendra dengan
wajah pucat, “kalau bukan karena kamu, aku nggak ba­kalan bisa
melupakan Elisa dan sikapnya yang kurang baik. Lagipula, sekarang
ini, aku lagi memikirkan seseorang yang lebih pantas aku pikirkan
ketimbang cewek yang mencoba meman­faatkanku itu....”
Dengan senyum lebar, Windy menuntaskan tugasnya untuk
mengembalikan Hendra seperti semula.
“Dan, cewek yang lagi aku pikirkan sekarang itu adalah…”
patahan kalimat itu membuat Windy penasaran, “kamu, Win….”
Keterkejutan menghampiri hati Windy. Entah kenapa dua laki-
laki bergegas menyukainya secara tiba-tiba. Kegalauan menyapa
hatinya.
“Semua ini karena kamu adalah malaikat yang sudah
membebaskan aku dari pengaruh Elisa. Dan hati kecilku udah memilih
kamu, Win….”
Ketidaksanggupan akan kenyataan yang berada di depan
matanya membuat Windy bingung. Ia harus mengatakan yang
sebenarnya bahwa Kevin sudah lebih dulu menyatakan cinta padanya.
“Hen, dengerin aku dulu....”
Seutas senyum di wajah Hendra berubah drastis ketika Windy
berujar dengan mimik serius.
“Sebelumnya, aku mau minta maaf sama kamu….”
Kata minta maaf yang dilancarkan oleh Windy membuatnya
sempat lesu. “Sayangnya, Kevin udah lebih dulu menyatakan rasa
sukanya sama aku. Maaf kalau kenyataan ini membuat kamu sedih
tapi ....“
“Nggak kok, Win. Kenyataan ini nggak akan membuat aku sedih.
Malahan, aku senang kalian bisa jadian. Mungkin aja, kamu adalah

367

cewek kedua yang harus aku lepaskan. Tapi, sekarang aku sadar
kok, persahabatan itu jauh lebih penting daripada cinta. Dan aku
menyadari, akan lebih baik kalau kita sahabatan aja. Cinta ini akan aku
simpan untuk cewek yang lain…” sambutnya dengan hati terbuka,
“mungkin, Kevin adalah cowok yang pas buat kamu, bukan aku..”

“Hen… terima kasih atas pengertian kamu ya…” ujar Windy
lagi, “kamu benar, persahabatan lebih baik daripada sekedar cinta
sesaat…” sambungnya. “Dan aku mau bilang terima kasih lagi karena
kamu udah mau menyimpan hati untuk aku. Paling nggak, setelah
ini, kita bisa bersahabat lebih dekat. Aku sempat shock waktu kamu
bilang suka sama aku. Ternyata, aku cukup cantik untuk standar
cewek-cewek SMA dan langsung digebet sama dua cowok sekaligus.
Tapi… lagi-lagi, aku nggak bisa milih dua. Harus satu...” jelasnya.

“Oke. Tenang aja. Aku paham kok…” sahut Hendra sembari
mengajak Windy keluar dari laboratorium biologi dengan senyum
lebar.

Langkah mereka sempat tertahan ketika Kevin memergoki
keduanya berjalan bersama. Kecurigaan mulai tercipta saat kedua
mata Kevin menyimpan sebuah kegelisahan.

“Kok… kalian bisa mendadak akrab gini, sih?” tanya Kevin yang
tampak penasaran.

Dengan senyum lebar, keduanya menjawab.
“Karena kita sahabatan..”
Sepertinya, jawaban itu diucapkan dengan tulus dari dalam hati
mereka.
“Gimana kalau aku ikut gabung jadi sahabat kalian juga…?”
“Boleh banget…!” seru keduanya lagi yang makin kelihatan
akrab.
Kini, tidak ada lagi permusuhan. Yang ada hanyalah perdam­ aian
dan persahabatan. Kevin masih berbahagia dengan Windy yang
tampak langgeng dengan hubungan mereka hingga hari kelulusan
tiba. Sementara Hendra, lebih berbahagia dengan pilihan terakhirnya,
Jessica. Semoga, persahabatan dan cinta bisa menjadi satu dan tetap
utuh.

368

IA AKAN BERLALU

Faridhatul Nangim Rokhimah

Dan tak pernah kembali
Siapa sih yang tak kenal Reza??..anak yang dengan gantengnya
dan nakalnya dia berambut hitam, lebat dan halus seperti landak
Begitu pula dengan Anjani, dia adalah anak yang ramah, lincah
dan favorit di sekolah
Hari berganti hari, kini Reza dan Anjani sudah menduduki
bangku SMA kelas 3. Reza dan Anjani bersekolah di SMA terfavorit di
kota Yogyakarta, kota nan indah, ramah tamah penduduknya. Masih
banyak terhirup udara segar, pemandangan-pemandangan yang indah
cetar membahana dan tak kalah lagi kota yang mendapatkan julukan
kota pelajar. Begitu bahagianya mereka hidup di tempat yang benar-
benar sangat istimewa atau sangat sempurna.
Jam dinding menunjukkan pukul 06.45 Reza baru bangundari
tidurnya, dia sangat dimanja oleh kedua orang tuanya. Dengan
santainya dia belum siap-siap untuk pergi ke sekolah.
Berbeda dengan Anjani, dia sudah siap berangkat ke sekolah
sejak pukul 06.30. rumah Reza dan Anjani sangat berdekatan atau
hanya bersebelahan, mereka berdua bertetangga sudah lama sejak
Anjani dan Reza duduk dibangku SD kelas 1.
Jam didinding menunjukkan pukul 07.15. Reza masih saja belum
siap berangkat ke sekolah, dia menjadwal pelajaran hari ini dengan
asal-asalan tanpa melihat jadwal. Reza terlalu cuek dan malas untuk
bersekolah. Akhirnya dia berangkat ke sekolah dengan mobilnya yang
merah mengkilap membuat Reza tambah terlihat “WOW”. Pukul
07.30 Reza baru sampai di sekolah, gerbang sekolah sudah ditutup,
Reza turun, dan menghampiri satpam untuk membukakan pintu
gerbang. Namun pak satpam tidak mau membukakan gerbangnya
karena itu sudah peraturan sekolah. Akhirnya Reza memakai cara

369

lain, dia memamerkan uang 100 ribu kepada satpam, satpam berkata
“terus gue harus bilang wow gitu” Yaiyalah sahut Reza, mau gak ni??
Dikasih uang malah gak mau “kata Reza” Iya..iya.. saya bukakan,
mana uangnya dulu?” kata satpam itu. Reza pun memberikan uang
100 ribu itu ke satpam. Gerbangpun dibuka lebar, mobil Reza masuk ke
parkiran. Reza berlari menuju kelasnya, ketika mau masuk kelas Reza
tersentak kaget, langkahnya terhenti seketika di depan pintu kelasnya,
ia takut jika dia masuk pasti kena marah. Ketika Reza melangkahkan
kaki kebelakang. Tiba-tiba ada seorang guru yang mengetahuinya
yang tak lain adalah pak Suneo guru yang terkenal galak dan kiler
“ hem,,hem,,,, apa yang kamu lakukan di sini nak? Kenapa tidak
mengikuti pelajaran? “Kata pak Suneo. Reza terdiam dan tak tahu
harus bagaimana ia sudah mati gaya dihadapan pak Suneo, akhirnya
Reza diberi hukuman dari pak Suneo, ia disuruh membersihkan kamar
mandi beserta halaman kelas.

Reza pun mulai melangkah menuju kamar mandi. Langkahnya
diiringi kekesalan luar biasa, gejolak amarahnya keluar seketika,
sesampainya dikamar mandi Reza tidak langsung menjalankan apa
yang diperintahkan oleh pak Suneo dia hanya memandang dengan
penuh kejijikan yang ia lihat di kamar mandi yang begitu kotor dan
sangat bau pesing.

Tet...tet... jam istirahat tiba, Reza tetap belum melakukan tugasnya,
dia memanggil teman-temannya alias genknya. Reza menyuruh
ganknya untuk mencari anak-anak cupu untuk membersihkan kamar
mandi. Mereka mengancam jika tidak mau mengerjakan, anak-
anak yang cupu itu akan diberi pelajaran dan jika ada yang berani
melaporkan ke guru mereka akan diberi ancaman yang lebih dengan
kecupuan mereka dan kepolosan mereka, merekapun menuruti apa
yang diperintahkan Reza and the gank. Reza pun lega karena ia tak
perlu susah-susah mengerjakan hukumannya. Dia bangga jika ganknya
memang paling banyak ditakuti anak-anak, dia merasa sekolahnya
serasa miliknya dan berada pada genggamannya.

Tulit...tulit...tulit...suara bel tanda untuk pulang berdendang.
Reza segera keluar kelas bersama ganknya yang bersiap-siap untuk
hang out bareng-bareng di tempat favorit mereka di cafe. Di cafe Reza
dan teman-teman sering sekali nongkrong lama.

370

Jam menunjukkan pukul 16.00 Reza belum juga menuju rumah.
Ketika Reza and the gank keluar dari tongkrongannya, Reza melihat
Anjani sedang berada di salon sebelah cafe tempat ia hang out. Hay??
“sapa Reza ke Anjani” Hay juga “jawab Anjani kepada Reza”. Reza
terdiam ternyata anak ramah dan favorit di sekolah yang satu ini suka
urak-urakan. Gimana tidak kaget ia berdandan layaknya Rock and Roll
dengan pakaian kulit berwarna hitam dengan rambut yang ia mohak,
padahal Anjani di sekolah selain favorit juga feminim. “woy” teriak
Anjani kepada Reza. Reza tersentak kaget dan bangun dari diamnya.
“I’m sorry, I just tired” sahut Reza

“Owh...kenapa gak oulang aja kalau capek? “kata Anjani” iya ni
juga mau pulang “jawab Reza”. Rezapun bergegas membuka pintu
mobilnya dan melaju untuk pulang. Reza melambaikan tangannya
kepada Anjani dan teman-teman ganknya untuk pulang.

Sesampai di rumah Reza langsung tidur, tidak mengganti bajunya,
sepatupun masih ia kenakan saat ia tidur. Reza tidak pernah menurut
kepada orang tuanya, apalagi masalah belajar Reza sangat malas akan
semua itu. Reza lebih senang berhura-hura dengan temannya dan
menghabiskan uang yang diberikan orang tuanya untuk hal-hal yang
sama sekali tidak berguna, kalau uangnya habis dia dengan seenaknya
meminta kepada orangtuanya tanpa memikirkan usaha dan kerja keras
orang tuanya untuk menghidupi keluarganya. Reza cuek dengan itu
semua, yang ia inginkan hanya berfoya-foya sepuas-puasnya. Untuk
belajarpun Reza tak pernah, membuka bukupun ia tak pernah apalagi
membacanya.

Waktu malam pun tiba, Reza bangun dari tidurnya dan dengan
sigap ia bergegas mandi dan siap-siap untuk pergi hang out bersama
teman-teman kembali, ketika Reza keluar dari rumhnya ternyata
Anjani juga terlihat mau keluar rumah. Reza menghampiri Anjani,
tin..tin...(suara klakson mobil Reza) “Anjani kamu mau keluar main
malam ini?” ayo bareng aku aja mainnya?” tanya Reza. “Aku mau
pakai motor aja Za, soalnya aku lebih suka pakai motorku” tukas
Anjani. “oh ya sudah kalau begitu aku berangkat dulu ya?? “Jawab
Reza”, akhirnya Reza gagal mengajak Anjani supaya bisa jalan berdua,
usahaku gagal. Apa boleh buat dia lebih suka ngebut-ngebutan
bersama teman-temannya.. “batin Reza”.

371

Anjani memang anak yang cantik, ramah dan lincah juga favorit
di sekolah. Namun kepribadian Anjani tidak sesuai dengan itu semua.
Anjani sering kali menolak, baik dengan kasar maupun halus dan agak
kasar ketika ia diajak teman-temannya untuk mengikuti pengajian di
masjid sekolah. Teman-temannya bermaksud ingin mengingatkan
untuk merubah kelakuannya yang urakan dan amburadul. Anjani
beralasan bahwa masa muda ini saat-saat untuk mengisi harihari
dengan suka cita dan melepaskan dari beban kehidupan dengan kata
lain Anjani ingin bahwa usia muda kita nggak perlu direcokin dengan
masalah-masalah yang berat dan serius, itu sebabnya nyaris seluruh
waktunya dalam kehidupan Anjani digunakan untuk melakukan
aktivitas yang sia-sia, bahkan tidak jarang menyerempet-nyrempet
pada dosa.

Waktu demi waktu berlalu, satu minggu lagi kelas 3 sudah
menghadapi ujian Nasional, terutama Reza dan Anjani. Dalam waktu
hampir menghadapi ujian nasional ini Reza dan Anjani tetap saja
tidak berubah sifatnya masing-masing, mereka masih sering sekali
berhura-hura kesana kemari. Hinga suatu kejadian naas terjadi, Anjani
mengalami kecelakaan yang sangat tragis kaki kepala dan badannya
terpisah-pisah, kepalpun tampak organ-organ dalamnya keluar dari
kepalanya seakan pecah, melotot keluar. Hal ini membuat Anjani tidk
bisa mengikuti ujian nasional yang seminggu lagi akan dilaksanakan.
Juga kecelakaan yang dialami Anjani yang sangat tragis ini membuat
teman-teman Anjani mengaung-ngaung akan siftanya selama ini. Truk
yang ditabrak oleh Anjani tidak mengalami korban, dalam kecelakaan
itu yang menjadi korban hanya Anjani karena ia menaiki sepeda motor
dengan ugal-ugalan dan tyidak tahu bahwa didepannya ada truk
besar, hingga akhirnya Anjani menabrak truk itu. Teman-teman
Anjani, apalagi teman dekat Anjani seakan tidak percaya, bukannya
mereka nggak rela ditimnggal Anjani temannya itu, tapi justru hal
itu semakin menguatkan keyakinannya bahwa kematian tidak bisa
diukur dengan hitungan logika manusia.tidak bisa karena itu rahasia
Allah Swt semata. Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati
dan tentu saja saat ajalnya datang untuk menjemputnya.

Hari untuk menemui ujian nasional tinggal satu hari lagi. Reza
tetap saja amburadul malahan semakin bertambah parah saja. Dengan

372

santainya ia UN tinggal satu hari lagi tetapi ia masih saja berhura-hura
kesana kemari hangout and the ganknya. Namun demikian, anak gank
Reza masih belajar dan berusaha ketimbang Reza yang tak ada usaha
sama sekali. Detik-detik waktupun berlalu, hari ini ujian nasional
sudah dimulai, namun Reza tetap saja bersantai ria seperti biasanya, ia
juga tidak belajar untuk ujian. Jam menunjukkan pukul 07.00 Reza juga
belum berangkat menuju sekolah. Pukul 07.05 Reza baru berangkat
dengan mobil jaguarnya yang mengkilap itu. Sampai di sekolah Reza
kena marah dari guru-guru karena Reza benar-benar menyepelekan
tata tertib. Rezapun diberikan keringanan, hari pertama UN ini Reza
diizinkan untuk mengikuti. Namun jika ia terlambat lagi saat UN ia
tidak akan diperbolehkan mengikuti UN karena ia sudah melanggar
peraturan dan mempermalukan sekolahnya karena muridnya tidak
disiplin, karen pengawas UN adalah dari sekolah lain, jadi ketertiban
dan kedisiplinan benar-0benar diutamakan untuk menjaga nama baik
sekolahnya.

Hari kedua UN sampai terakhir Reza berangkat sekolah tepat
waktu walaupun sebenarnya hatinya berat untuk melaksanakan itu
semua. Demi ia bisa mengikuti UN walaupun dia tidak pernah belajar.

Ujian nasional selesai Reza langsung memulai aksinya yang
amburadul itu. Dia mulai mengikuti Anjani yang menaiki motor
dengan ugal-ugalan serasa jalan itu miliknya ditambah Reza and
the gank mulai mabuk-mabukan, minum-minuman keras. Semakin
hancurlah sifat Reza itu bertambah tak karuan.

Tut..tut..bunyi dering ponsel Reza
“Halo, ada apa ma?” (Reza)
“ Reza, mama minta Reza pulang kerumah sekarang” (mama
Reza)
“Apa sih ma? Reza masih sibuk” (Reza)
“Ini penting, kalau Reza nggak mau pulang, Reza menyesal
jangan salahkan mama” (mama Reza)
“Iya...iya..(jawab Reza)
Rezapun pulang kerumah, mesti masih dalam keadaan mabuk
tapi tidak mabuk berat. Sesampai dirumah Reza bingung karena
banyak polisi dan orang-orang di sana, Reza masuk rumah dan melihat
mamanya menangis dan ayahnya yang sudah siap untuk dibawa polisi.

373

Reza mulai bingung dengan semuanya. Reza menghampiri mamanya
dan bertanya apa yang terjadi?..Mama Rteza menjelaskan kepada
Reza ternyata ayah Reza terjangkit atau terlibat kasus korupsi dengan
nilai korupsi kurang lebih 1 milyar, Reza tersentak hatinya serasa
menggelegar seperti disambar halilintar. Reza memeluk mamanya dan
menangis dengan derai air mata yang seakan tak dapat ia bendung,
disisi lain Reza merasa bersalah, ayahnya melakukan korupsi karena
mencoba un tuk mempertahankan kebutuhan hidup Reza dan
mamanya. Namun Reza malah hura-hura kesana-kemari, disisi lain
Reza malu karena Reza menanggung malu kepada teman-temannya
nkarena ayahnya seorang koruptor. Reza dan mama Reza memeluk
ayah dan memberikan semangat untuk ayahnya agar bersabar dan
tabah dengan semua yang terjadi, supaya diambil hikmahnya.

Ternyata selain ayahnya terlibat korupsi keluarga Reza juga
mendapat musibah yang lebih mendalam. Perusahaan ayah Reza
bangkrut secara drastis, sehingga tidak ada yang bisa menyelamatkan
perusahaan. Reza berubah menjadi sederhana. Mobil jaguar yang
dulu dipakai Reza sekarang sudah tidak dapat dipakainya lagi dan
barang mewah lainnya. Karena mama Reza menjual itu semua untuk
memulai membuka usaha agar dapat melangsungkan hidup sehari-
hari dan membantu ayah Reza yang kini berada di penjara.

Hari mulai berlalu pengumuman kelulusan pun tiba, Reza dan
teman-temannya berangkat menuju sekolah, awalnya Reza malu
dengan teman-temannya, namun ternyata teman-teman Reza tidak
mempedulikan itu semua. Teman-teman Reza menerima apapun
keadaan yang terjadi pada Reza, ketika pengumuman tiba, Reza sudah
mulai gelisah karena ia menyesal telah menyepelekan ujian nasional,
ia menyesal dan dia sadar bahwa selama ini waktu yang begitu luang
telah ia sia-siakan, entah untuk hura-hura bersama teman-temannya,
hang out, ngeceng di Mall, sedangkan belajar ia anggap aktifitas yang
sangat berat bagi Reza. Ketika diumumkan ternyata ada dua anak yang
tidak lulus. Hati Reza sudah mengerti akan semuanya, ternyata yang
tidak lulus memang salah satunya adalah Reza, ia sangat malu setelah
ayahnya diketahui seorang koruptor, kini ia malu dengan dirinya
sendiri. Terlebih jika nanti mamanya tahu akan ssemua ini, ia tak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi, pasti mamanya akan sedih

374

dan syok dengan semua ini, tidak hanya Reza yang merasakannya.
Sia-sia banget memang anggapan Reza padahal Reza and the gank
menapaki jalan yang sama, mungkincara Reza menempuhnya yang
salah, ada yang biasa ada yang hanya santai dan terbanyak dilakukan
melakukan senaknya sendiri itulah yang dilakukan Reza.

Penyesalan Reza begitu mendalam, hari-harinya hanya diisi
dengan duduk melamun, hidup baginya pilihan sulit. Dunia terasa
sempit, betapa tidak, teman-temannya sudah lulus dan bersuka ria
merayakan kelulusan. Reza hanya bisa melamun dengan tatapan mata
kosong aliasa blong, penyesalan memang tanpa harus diundang akan
selalu datang diakhir.

Bila sudah demikian tidak ada kesempatan kedua untuk
mengulangi kehidupan ini, waktu yang berlalu jelas tak akan kembali
lagi. Hal ini juga tidak bisa dilakukan dilakukan oleh Anjani karena
sudah terbujur kaku, bila kenyataan demikian kita rugi dunia akhirat.
Terkadang memang kita suka lupa dalam menjalani kehidupan ini,
kita merasa bahwa kehidupan bisa kita tentukan dan kita atur semau
kita, itu sebabnya kita jadi suka menganggap gampang semua urusan
karena kita menganggap bahwa itu bisa kita jadikan pelajaran. Dengan
hitungan-hitungan logika kita tidak heran banyak kemudian orang
mengatakan “falsafah” yang berbunyi “Muda hura-hura, tua kaya
raya, mati masuk surga”. Bukan kita tidak optimis, bukannya kita
alergi dengan kehidupan begitu, tetapi masalahnya adalah, apakah
hidup kita cukup dengan gambaran seperti itu dan apakah kita
sudah merasa aman dengan aturan yang kita buat sendiri sendiri,
sehingga kita merasa memiliki segalanya termasuk bisa mengatur
waktu sesuka kita?? Jangan heran bila kemudian kita meneriakkan
semboyan “MASIH ADA HARI ESOK”.

375

GARA-GARA FACEBOOK

Zubaidah Afriza

Putih, tampan, badannya yang tinggi, dan senyumnya yang
manis itu, tidak bisa membuatku lupa padanya. Dua bulan yang lalu,
lelaki yang tidak sengaja menyenggolku ketika aku sedang berbelanja
di swalayan, yang tidak lain kakak kelasku bernama Doni, telah
membuatku terpesona padanya.

Jarum jam telah menunjukkan pukul 23.00 wib, tetapi aku maasih
sulit untuk memejamkan mata. Aku masih sibuk mencari akun facebook
atas nama Doni tersebut. Beberapa nama facebook yang sama telah
membuatku seperti orang gila. Hampir satu persatu nama facebook itu
kubuka, tetapi belum juga kutemukan akun facebook yang kuinginkan.

Keesokan harinya seperti biasa aku berangkat ke sekolah. Ketika
istirahat, aku menghampiri temanku bernama Ida yang sedang sibuk
mengotak-atik Hpnya.

“Lagi ngapain, kok serius amat?” tanyaku padanya.
“Facebookkan ni Za” jawabnyasambil senyum-senyum tidak jelas.
“Asik banget deh kelihatannya.?” Ucapku meledeknya
“Eh dengar-dengar kamu lagi mencari akun facebook kakak kelas
kita yang namanya Doni itu ya Za? Tanyanya padaku.
“Iya, memangnya kamu tahu.?”
“Tahu dong, dia kakak kelasku waktu SMP juga”
“Wah aku lihat dong, mau aku add, hihihi....xixixi.” ujarku sambil
tertawa tidak jelas.
“Iya, ini nama facebooknya” sambil menunjukkan nama facebook
Doni padaku.
Aku langsung mencatat dan menyimpannya dalam HP.ku.
“Makasih ya Da” ujarku.
“Ok, sama-sama” jawabnya.

376

Sepulang dari sekolah aku langsung masuk kamar dan
menggunakan laptop. Jari-jariku langsung sibuk mencari nama
facebooknya. Dan tidak lama kemudian aku langsung menemukan
nama facebook orang yang kukagumi tersebut. Aku pun tertawa-tawa
sendiri. Sedikit tertahan, agar suaraku tidak terdengar sampai keluar
kamar.

Perhatianku hanya tertuju pada kronologi Doni. Aku sibuk
mengotak-atik facebooknya. Melihat-lihat fotonya, status-statusnya,
siapa saja yang menjadi temannya, dan hal-hal yang menjadi
kesukaannya. Semuanya kulihat dan kuresapi.

Saking asyiknya, aku kaget ternyata sudah sore. Karena aku
terlalu senang, sampai-sampai aku lupa makan siang. Tiba-tiba saja
laptopku mati, semangatkupun yang menggebu-gebu bak banteng
yang mengejar matador itu hilang seketika. Raut mukaku langsung
lemah seperti orang yang tidak mempunyai semangat.

Semenjak aku mengetahui facebooknya, hari-hariku selalu kuisi
dengan facebookkan. Pulang sekolah, malam hari, sampai-sampai
belajarpun sambil facebookkan dan tidur selalu larut malam. Tetapi
semua itu sudah terbayarkandengan bisa chatingan bersama orang
yang ku idam-idamkan.

Doni telah membuatku seperti orang gila. Bisa dibilang dia cowok
lumayan tampan di sekolah. Banbyak kaum hawa di sekolah yang
naksir padanya. Bukan hanya parasnya yang tampan, tetapi dia baik
dan tidak sombong.

Sejak aku bertemu dengan Doni di swalayan itu aku mulai
serinhg memperhatikannya. Setiap kali aku melewati ruang kelas
Doni, mataku hanya tertuju pada Doni. Walau kadang hanya curi-curi
pandang saja aku melihatnya. Tapi aku berharap suatu saat nanti aku
bisa menjadi pacarnya. Banyak cewek-cewek di sekolah yang suka
padanya dan itu membuatku merasa peluang mendapatkan Doni
menjadi lebih kecil. Walau begitu, hal itu tidak membuatku menjauh
padanya bahkan berusaha terus mendekatinya.

Gayanya yang cool itu membuatku selalu terpana bila meman­
dangnya. Serta senyumnya yang manis itu selalu terbayang dipikiran­
ku. Terkadang aku jadi salah tingkah setelah melihatnya.

377

Ternyata diam-diam sahabatku Irma mengetahui gerak-gerikku
seperti orang yang lagi menyukai seseorang.

“Riza, apa kamu menyukai Doni...?” tanya Irma padaku
“Enggak..!! sok tahu deh kamu” sahutku
“Gak usah bohong Za!. Aku bisa membaca raut wajahmu. Kita
kan sudah berteman sejak lama. Jadi, jika mau cerita, cerita saja Za”
ujar Irma.
“Hihi deg-degan, bawaannya jika menatapnya” jawabku senyum-
senyum.
Akupun menceritakan perasaanku terhadap Doni dengan Irma.
Beberap b ulan aku berteman dengannya dan sering chatingan di
facebook. Kami bertukar nomor hp.aku meraasa sangat senang ketika
dia meminta nomor hp padaku. Setelah itu, kami jadi semakin dekat
dan lebih sering smsan, dan saling perhatian. Hidupku terasa berbeda
setelah aku dekat dengannya. Aku jadi semangat untuk sekolah karena
ingin melihatnya.
Tapi kedekatan dan perhatian itu telah hilang. Harapanku
menjadi pacarnya telah musnah. Hati terasa hancur berkeping-keping.
Setelah aku melihat status hubungannya dengan wanita lain. Sekarang
dia telah membuatku benar-benar gila. Semenjak aku menyukainya,
hidupku menjadi berantakan. Berangkat sekolah selalu terlambat,
bahkan peringkatku menurun.
Pagi ini aku berangkat ke sekolah seperti biasa. Ketika sedang
pelajaran tiba-tiba guru yang mengajar di kelasku menegurku.
“Sekarang Riza kok change ya. Alias berubah.” Ujar guru itu
padaku.
“Masa sih Bu?” tanyaku heran.
“Iya, kenapa Riza? Apakah ada masalah?” tanya guru itu.
“Enggak ada apa-apa kok Bu” jawabku menutupi. Akupun
langsung terdiam.
Ternyata Doni telah benar-benar mengubah hidupku. Dan si
cowok tampan itu rupanya telah memberi harapan palsu padaku.
Pagi ini aku berangkat lebih awal dari biasanya, dan suasana
sekolah masih sepi. Hanya sebungkus roti yang menjadi sumber
tenagaku untuk memulai aktivitas hari ini.

378

“Hai Za! Tumben pagi-pagi sudah ada di sekolah. Ada angin
apa ya? Sapa Ria sahabat yang paling dekat denganku.

“Semalaman aku nggak bisa tidur, jawabku dengan nada lirih.
“Memangnya kenapa Za?” tanya Riya padaku
“Hancur hatiku” jawabku sambil menundukkan kepala.
“Maksudnya??” tanya Ria dengan heran.
“Perjuanganku yang tingal selangkah lagi telah sirna, ya”
jawabku dengan wajah bersedih.
“Pasti Doni kan? Sudah lah Za! Tak usah dipikirkan, slow aja!
Nasihat Riya padaku.
“Slow gimana? Aku sudah begitu lama suka sama dia!” jawabku.
“Jika memang jodoh, pasti bisa bersatu kok, lagian banyak kan
cowok-cowok diluar sana yang suka sama kamu.” Ucap Riya.
“Tapi ini hati yang memilih, Ya” jawabku dengan tegas.
Lalu aku terdiam menyadari bahwa yang dikatakan RiyA
itu benar. Wanita yang dipilih Doni adalah wanita pilihannya.
Tentunya lebih baik dari pada aku. Aku harus tahu diri dan mencoba
melupakannya meski sakit yang harus kurasakan. Tapi aku harus
tertap tersenyum, walaupun dalam kepedihan hati yang sedang
terluka ini.
Sejak dia bersama dengan wanita itu, aku mencoba untuk menjauh
darinya. Dan melupakannya. Sengaja menghindar darinya agar bisa
dengan mudah melupakannya. Tapi ketika itu dia menyapaku dengan
kata hai, menanyakan kabarku, itu membuat ku kembali menyukai
dirinya. Entah apakah aku terlalu mencintai sehingga membuatku
tergila-gila padanya.
Beberapa bulan kemudian, setelah sekian lama tidak ada
komunikasi diantara kami. Tiba-tiba tidak ada angin tak ada hujan
dia kembali mendekatiku. Secara tidak langsung hubunganku mulai
membaik seperti dulu sering sms-an dan facebookan lagi.
“Rasanya aku kokk seneng banget ya bisa sms-an dan dekat lagi
denganmu, Za?” ujar Bayu padaku.
Aku kaget mendengar kata-kata itu yang keluar dari mulutnya.
Tapi di sisi lain aku sangat senang sekali mendengarnya.
“Yang bener! Inget lho, kamu udah punya pacar!” jawabku.

379

“Udah enggak Za. Entah kenapa selama aku dengannya, aku
merasa perasaanku ini hanya untukmu” ucapnya padaku.

Beberapa lama kemudian dia mengungkapkan perasaannya
padaku yang membuat jantungku berdegup kencang.

“Za, kamu mau nggak jadi pacarku?” sambil memegang kedua
tanganku.

“Kamu sedang tidak mempermainkan perasaanku kan?” tanyaku
padanya.

“Tidak, tidak sama ssekali! Ternyata memang perasaanku
sesungguhnya hanya untukmu” berusaha meyakinkan aku.

“Lalu wanita itu?”
“Aku kira aku bisa bahagia dengannya. Tetapi selama aku
bersamanya hanya kamulah yang selalu ada dipikiranku Za.”
Setelah beberapa hari dia berusaha meyakinkanku bahwa dia
benar-benar menyukaiku. Dia memintaku supaya aku mau menjadi
pacarnya.
“Seribu kata telah kuucapkan untukmu agar engkau percaya
bahwa hati ini hanya untukmu, Za. Pliss kamu mau ya jadi pendam­
pingku. Sekarang, esok, dan selamanya.” Dengan wajah seriusnya
dia ungkapkan semua perasaannya padaku.
Setelah aku benar-benar yakin bahwa dia benar mencintaiku.
Akhirnya, waktu yang aku tunggu-tunggu selama ini yang telah
mem­buatku hampir gila, yaitu mendengar tiga kata yang memberi­
kan perubahan besar bagiku yaitu I LOVE YOU. Sebuah kata yang
sederhana. Tapi menyimpan makna yang sangat besar dan mem­
butuhkan perjuangan.
Akhirnya secara tidak langsung kamipun bersatu, meski
rintangan sulit harus kulewati. Tapi semua telah kulalui dan
kebahagiaanpun telah menanti. Aku juga semakin semangat untuk
sekolah dan mendapatkan nilai yang bagus. Begitupun Doni, dia
belajar keras untuk ujian yang telah menantinya untuk menentukan
kelulusan. Kami akhirnya bahagia sampai sekarang dan tidak lupa
membuat status di facebook. Karena perantara facebook aku bisa sedekat
ini dengannya. Ternyata perjuanganku yang dimulai dari facebook
telahn membuahkan hasil.

380

JEMARIKU YANG TAK MAMPU MERAIHNYA

Nabela Maharani Pranadita

Kalau saya harus menyebutkan hal apa yang paling saya
benci di dunia, hal itu ialah ketika manusia tak saling menghargai
adanya perbedaan budaya. Karena untuk membangun tata dunia
baru yang lebih demokratis, egaliter, dan adil perlu instrumen yang
bersifat universal, salah satunya ialah budaya. Karena budaya tidak
memandang stratifikasi maju atau sedang berkembang, dunia pertama
atau dunia ketiga. Tetapi dewasa ini, sering kubaca berbagai macam
berita mengenai “perbedaan budaya yang memberi jarak dan ruang
tertentu”. Hal itu yang semacam memberiku dorongan untuk lebih
mengenal perbedaan. Ya tentu aku harus mengenalnya.

Di sekolahku yang baru ini, sering kutemui kakak kelas yang
mengandalkan senioritaslah, kekuasaan mereka sebagai pengurus
osis, atau yang lainnya. Dan cenderung banyak diantara mereka
yang menganggap acuh tak acuh terhadap anak baru yang berbeda
kebudayaan dengan mereka, itulah yang kini sedang kualami.

“Zaiiinnnnn !!!” suara keras mengagetkanku yang sedang
mencoba mengakrapkan diri dengan teman-teman baruku.

“Masya Allah Sarah, ada apa?” tanyaku sambil membenarkan
kacamata yang bertengger dihidungku.

“Zain...ikut gue yuk. Ada anak pindahan dari Bali. Cowoknya
keren banget loh” kata Sarah dengan wajah sumringah.

“Ah apaan sih Sar. Parno ihhh” jawabku mengerutkan kening
Tanpa menggubris perkataanku, Sarah menarikku berlari
menuju pinggir Hall. Kulihat sekeliling tampak kerumunan anak-anak
berseragam putih abu-abu layaknya lautan manusia. Aku yang mulai
bosan tapi diselimuti rasa penasaran mulai menyelinap satu persatu
mencari sela dari orang-orang yang berjubel pa­datn­ ya. Ketika aku
mulai sampai dibarisan depan, samar-sa­mar kulihat lelaki berpostur

381

tubuh tinggi (kira-kira 175 cm), beram­but kecoklatan dengan jaket
ala Korea berwarna abu-abu dan menggendong tas biru bergambar
bendera UK. Kupandangi sejenak dari jarak sekitar 3 meter. Rasanya
sosok lelaki itu tak asing lagi bagiku, apalagi ketika aku melihat ia
mengenakan kalung bermotif huruf “Z” berwarna abu-abu. Hal itu
membuatku semakin yakin bahwa aku tak asing lagi dengannya.
Sejenak kupejamkan mata untuk mengingat memorikuyang mungkin
pernah terisi oleh lelaki itu. Tapi dia siapa???? Tanyaku terus-menerus
dalam hati.

“Hei Zain” kata Sarah menepuk pudakku. Refleks saja aku
tersentak dengan wajah kebingungan, karena ketika aku sedang
dalam kondisi setengah melamun tadi yang ada diotakku hanyalah
tebakan-tebakan tentang siapakah sosok itu tadi.

“Duh Sarah. Ngagetin aja!” jawabku.
“Lah. Kamu kenapa pejamin mata gitu? Kamu miring ya yah
lihat cowok itu tadi? Hahaha. Apa gue bilang, Dia cowok keren kan?”
tanya Sarah mengedipkan mata
“Ah apaan sih. Biasa aja tuh” jawabku singkatlalu menjauh dari
kerumunan anak-anak SMA ku yang lain.
Aku melangkah perlahan menuju kelas dan mengambil buku
diaryku kemudian pergi menuju perpustakaan. Ya perpustakaan.
Perpustakaan ialah tempat faforitku, karena disana aku bisa meluapkan
apapun yang sedang aku rasakan melui coretan bolpen pada diaryku
tanpa ada yang mengganggu. Kutarik bangku perpustakaan secara
perlahan, seolah tak ingin melukai lantai karena bergesekan dengan
kaki-kaki bangku.
Baru saja kubuka lembaran buku diary dan kulepaskan tutup
bolpen, entah mengapa pandanganku tertuju pada seorang lelaki yang
tengah berdiri di depan rak tumpukan novel yang berada tepat lurus
disamping kananku. Inginku menegur sapa, tapi aku masih heran
siapakah dia? Apa aku pernah mengenalnya?

Kesunyian menggantung. Alam terasa berhenti berdetak. Bahkan
nafas tertahan. Jelas sekarang, untuk berucap satu kata membutuhkan
keberanian selaksa. Untuk menguntai kata butuh tekad membaja. Saat
ini tak ada keberanian, tak ada tekad. Tak tahu apa yang swebenarnya
terjadi. Tapi kesunyian tak akan abadi.

382

Baru kalimat itu yang aku tulis pada buku diaryku ini setelah
kudengar derapan sol sepatu yang mengarah menghampiriku. Segera
aku tutup buku diaryku dan menolehkan kepala kearah kanan.

“Zain yaa?” sapa seseorang membuyarkan lamunanku. Sejenak
kuperhatikan dengan seksama sebelum aku menjawab sapaannya.

“Aldi?” tanyaku dengan ragu-ragu.
“Iya Zain. Ini aku Aldi, teman masa kecilmu.”
Obrolan demi obrolan seolah tak memberi kesempatan pada sang
waktu untuk sejenak saja menghentikan celotehan lucu dan gelak tawa
yang terselip diantara dua pasang mata. Tapi jam sudah menunjukkan
pukul dua siang, waktuku untuk pulang dsari kegiatan sekolah yang
aku mulai bosan karena seminggu ini dipenuhi oleh pertandingan
classmeeting yang memaksaku mau tak mau harus tetap berangkat
sekolah untuk menyuport teman-temanku yang bertanding. Hmmm....
lain dengan hari ini, rasanya aku tak ingin sesegera itu bergegas pulang
dan mengakhiri pertemuanku hari itu dengan sosok lelaki yang sejak
dulu singgah dihatiku.
“Zain..., sudah siang nih, pulang yuk” ajak Aldi tersenyum.
“Oke, Al” jawabku sambil memandang matanya.
“Bareng aku saja Zain, aku juga ingin bertemu kedua orang
tuamu, sudah lama aku tak bertemu mereka, kata Aldi.
“Hemm...gimana ya? Baiklah.” Jawabku dengan sok jual mahal.
Segera saja kami langkahkan kaki menuju parkiran mengh­ ampiri
mobil sedan hitam milik Aldi. Dibukakannya pintu mobil itu untukku.
“Ayo masuk Zain...” kata Aldi lembut.
“Iya..makasih ya Al.”
Sepanjang perjalanan rasanya aku kembali mengulang
masa-masa kebersamaan kami dulu yangnterenggut oleh jarak yang
akhirnya berubah menjadi penghalang untaian ceerita kami. Jika
ku boleh mengeluh, ingin ku menangis saat itu, aku yang berusaha
mempertahankan hubungan semasa awal SMP kami pada akhirnya
terakhiri tanpa sepatah katapun. Semua itu terasa menggantung. Tapi
kini, aku ingin bersyukur..ia telah kembali, ia telah tumbuh menjadi
sosok lelaki yang masih sama seperti dulu, masih kukagumi. Hemm..
entahlah apakah ada kesempatan untukku sejenak mengulang semua
itu?

383

“Zain...rumah kamu sudah pindah lama?” tanya Aldi
mengalihkan pikiranku.

“Oh enggak sih Al....baru aja kok” jawabku melempar senyuman.
“Lalu bolehkah aku tanya bagaimana nasib rumah pohon kita
dulu?”
Pertanyaan itu seakan bereputar-putar diotakku. Aldi
menanyakan sesuatu yang tak aku kira sebelumnya. Apakah ini
artinya dia masih mempunyai harapan dan keinginan untuk bisa
kembali seperti dahulu saat kita masih bersama? Ah ini mungkin
khayalanku yang terlalu tinggi.
“Hei Zain. Kok malah melamun?” tanya Aldi memecahkan
lamunanku
“Em..oh itu. Masih bagus kok. Setiap hari setelah keperginmu
ke bandara, aku selalu membersihkan tempat itu. Tapi setelah
kepindahanku kesini, aku tak tahu bagaimana kondisi tempat itu
sekarang” jawabku sambil sesekali memandanginya.
Ah entah apa ini, kenapa kalimat itu bisa saja keluar dengan
mudahnya. Padahal seharusnya aku menjawabnya seolah aku tak
mau tahu dengan keadaan tempat penuh kenangan itu. Tapi sudahlah,
sudah telanjur terucap juga.
“Jadi....kamu masih setia menjaga tempat kita itu?” tanyanya
dengan wajah berseri.
“Emm...sudah jangan dibahaas lagi deh ya” jawabku seolah tak
ingin mengungkit-ungkit.
Ya memang benar akubtak lagi ingin mengungkit kenangan
bersamanya, karena itu hanya membuatku seolah merasakan lagi
betapa sakitnya ketika perjuangan tidak dihargai.
“Eh Zain.. udah sampai nih” kata Aldi yang mengalibikan hal
tadi.
Seketika Aldi keluar dari mobilnya dan membukakan pintu
untukku.
“Oh iya Al..ayo masuk”tawarku pada Aldi
Kami berduapun masuk ke dalam rumah. Tapi tak kulihat
satupun orang tuaku berada di rumah.
“Papa...Mama...” teriakku ke setiap sudut rumah.

384

“Oh Zain. Mungkin mereka sedang keluar. Kalau begitu bolehkah
aku mengajakmu keluar sebentar?” ajak Aldi langsung meraih
tanganku dan mengajak ke mobil.

Obrolan demi obrolan yang membangun suasana tergambar
dengan jelas ketika kami berada dalam mobil. Tetapi tatapanku mulai
tidak fokus ketika aku merasa jalanan yang kami lewati sudah tidak
asing lagi bagiku. Oh itu ternyata itu jalan menuju rumah pohon
kenangan kami dulu.

Sampailah kami tepat di depan rumah pohon itu, tapi tak
satupun kalimat terlontar dari bibir kami. Kami hanya diam saling
memandang. Tiba-tiba perlaha Aldi membuka pintunya seolah tak
ingin ada orang yang mendengar ia membuka pintu. Dilangkahkannya
kaki perlahan namun pasti mendekat kearah rumah pohon yang sudah
lima tahunia tinggalkan. Aku membuka pintu dan berjalan kearahnya.
Aku tepuk pundaknya seraya berkata

“Maafkan aku Al, mungkin aku tak bisa merawatnya sebaik kita
berdua merawatnya dulu”.

Tanpa menjawab, ia menggenggam tanganku dan menarikku
menaiki tangga rumah pohon. Aku merasakan suasana keakraban
yang sangat aku rindukan. Aku merasa hanya dia yang mampu
membuatku bercerita semua keluh kesahku dan cerita manis pahit
kehidupan ini.

Hari itu hari Rabu, 9 September 2012. Masih kuingat jelas dalam
memoriku, bahwa pada tanggal yang sama 6 tahun yang lalu, Aldi
meninggalkanku tepat di bawah pohon waru yang kini sedang kulihat
puncaknya.

Sepulangnya dari tempat kenangan itu, entah mengapa kakiku
melangkah kesebuah ruangan kecil di sudut rumahku. Ruangan itu tak
pernah lagi kukunjungi sejak hari pertama aku menempati rumah itu.
Kubuka pintu bercat putih itu pelan-pelan. Kutengok dan kupandangi
sejenak sekeliling isi ruangan berukura 3x3 m2 itu. Terhampar beberapa
kardus di depanku. Kudekati kardus yang di dalamnya terdapat album
foto berdebu dan diorama. Sesaat setelah itu, kuputar diorama berisi
kenangan masa lalu sembari kubuka lembaran foto. Entah mengapa
aku menitikkan air mata ketika kulihat fotoku bersama Aldi masa
lalu. Oh Tuhan, mengapa ini masih kusimpan?

385

“Zaiinn....Zaiinnn” teriak seseorang dari luar pintu.
Teriakan itu membuatku sontak kaget dan menjatuhkan beberapa
foto dalam genggamanku.
“Eh kamu ngapain ke sini Sin?” tanyaku pada Sinta. Sinta adalah
tetanggaku sebelah yang sudah kuceritakan sebagian besar kisahku
dimasa lampau.
“Zain..coba deh kamu buka twitter sekarang. Liat tweetnya Aldi...
dia bilang besok mau pergi ke Singapura soalnya mau....”
“Apa kamu bilang? Serius?” jawabku memotong kalimat Sinta
Belum juga Sinta sempat menjawab, aku berlari menaiki anak
tangga menuju kamarku. Kubuka laptop dan segera mungkin kubuka
jejaring sosial yang dimaksud oleh Sinta. Ternyata benar, diakun Aldi
dituliskan tweet:
“For tomorrow...see you my beloved city, and wanna say WELCOME
SINGAPORE. Hope this country can make my father well soon.”
Cukup tercengang aku membaca tweetnya itu. Apakah benar dia
yang telah kembali akan pergi secepat itu? Ingin kubalas tweetnya, tapi
jemariku tak mampu mengetikkan kata-kata yang ada dipikiranku.
Kualihkan pandanganku pada HP yang berbunyi dari tadi. Ternyata
ada sms dari Aldi, kubuka dengan tangan gemetar.

From: Aldi (085643221765)

Message:
Zain, besok pagi jam 8 aku pergi ke Singapura. Aku pengen ketemu
kamu sebelum aku pergi dan entah kapan aku bakal balik. Tapi satu
yang perlu kamu tau, dari dulu perasaanku engga pernah berubah
dan kuharap akan selamanya begitu. Aku sayang kamu Zain

Aku diam termangu menatap HP berisi sms itu. Aku ingin
membalasnya bahwa aku juga menyayanginya. Tapi, buat apa? Kurasa
akan sia-sia saja, toh akhirnyja besok Aldi akan pergi.

Keesokan harinya, jam menunjukkan pukul 07.30, kubuka HP
dan kulihat ada sms masuk dari Aldi

386

From: Aldi (085643221765)
Message:
Zain, pemberangkatku dimajukan setengah jam ternyata...aku pamit
ya...take care my beloved girl...stay there till I come back I’ll back
for you. I promise it
Aku begitu kaget membaca pesannya. Tanpa basa-basi, kusambar
jaket dan berlari keluar rumah menghadang taksi. 15 menit kemudian
aku telah sampai di bandara. Tak kulihat sosok Aldi di sana. Mungkin
dia telah pergi. Oh bandara...tempat dimana kini menjadi salah satu
tempat yang aku benci. Ditempat itulah ada transit antara pertemuan
maupun perpisahan, hal yang sangat bertolak belakang.
Setelah hari itu, aku mencoba menjalani hidup senormal mungkin
sembari menunggu kedatangan orang yang berjanji untuk kembali
padaku. Tapi entahlah kapan ia akan kembali?

387


Click to View FlipBook Version