Semua salah Emak. Seharusnya Emak mendengarkanmu dulu untuk
tidak meminjam uang pada Pak Koro, tapi Emak nekat melakukannya
tanpa sepengetahuanmu, Las. Maafkan Emak, Las,” Emak membelai
rambut anaknya yang telah tersanggul rapi.
“Mak, Lasmi sudah memaafkan Emak dari dulu. Tapi Lasmi
merasa tak sanggup, Mak, menjalani ini semua. Apa Lasmi akan
bahagia Mak bila Lasmi menjadi istri Pak Koro?”
Emak mengusap air mata Lasmi.
“Ndhuk anakku, kamu memang tidak seharusnya melakukan ini.
Tapi bukankah seminggu yang lalu kamu bilang kalau kamu sudah
ikhlas menjadi istri Pak Koro?”
Air mata Lasmi kembali membasahi pipinya.
“Entah mengapa, Mak, Lasmi gelisah. Lasmi merasa tak sanggup
melakukan pernikahan ini, Mak.”
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka, seorang laki-laki tua masuk.
“Ini sudah waktunya, resepsi akan segera dimulai. Mari, Ndara,
segera keluar,” laki-laki itu menarik tangan lasmi dari pelukan
Emaknya.
“Jangan terburu-buru!” kata Emak.
Emak pun mengusap pipi Lasmi dengan lembut dan memastikan
agar wajah Lasmi tidak terlihat sedih. Emak meminta Lasmi tersenyum,
sebelum ia keluar dari kamar itu.
Bapak tua itupun membawa Lasmi keluar dari kamar.
***
“Cah Ayu, Sayangku. Sudah saatnya,” kata Pak Koro pada Lasmi.
Lasmi hanya terdiam dan menurut saat Pak Koro menggan
dengnya menuju kamar pengantin. Sesampainya di kamar, Pak Koro
mengunci pintu kamar.
“Pak? Lasmi belum siap.”
Pak Koro menaruh jari telunjuknya di depan bibir Lasmi.
“Panggil aku, Mas saja, biar lebih akrab. Kenapa kok belum siap?
Sudah waktunya, lho ini Cah ayu. Sini Mas bantu.”
Lasmi mengelak.
“Sebentar, Pak, eh Mas. Lasmi mau ke kamar mandi dulu kebelet
pipis,” Jawab lasmi.
“Oh baiklah, silakan. Tapi cepat, ya. Mas tunggu disini.”
188
Lasmi mengunci pintu kamar mandi, ia nyalakan kran di bak
mandi. Lasmipun menangis.
“Dhuh Gusti, dalem nyuwun pitulungan. Cabut saja nyawaku, lebih
baik aku mati daripada harus menjadi istri lintah darat itu.”
Makin lama tangis Lasmi makin menjadi. Ia bingung, ia sempat
berpikir untuk kabur. Namun tak ada jalan keluar di kamar mandi itu
selain pintu yang tadi ia kunci. Ia tak mungkin kabur melalui pintu itu,
karena Pak Koro sudah menunggunya di depan pintu. Lasmi melihat
sekitarnya, mencari-cari apapun yang dapat menyelamatkannya dari
keadaan itu. Dibukanya rak-rak tempat sabun, kemudian ember-
ember. Lasmi hampir saja putus asa, namun di balik ember di sudut
kamar mandi Lasmi menemukan cairan pembasmi serangga. Lasmi
mengambil cairan itu, ia terus menangis. Lasmi membuka tutup botol
obat pebasmi serangga itu. Imajinasi lasmi mulai melayang kembali
ke masa lalu, ia mengingat pohon favoritnya, ia mengingat Bapaknya,
Emak, Mamat, Jarwo, Ayu. Wajah-wajah mereka bermunculan dalam
imajinasi lasmi.
“Mak, Jarwo, Ayu, maafkan Lasmi,” Lasmi terdiam sejenak.
“Bapak, sebentar lagi Lasmi akan bertemu dengan Bapak. Lasmi
kangen sama Bapak, tunggu Lasmi, ya Pak.”
Lasmi tersenyum, tanpa berpikir panjang, Lasmi segera me
neguk cairan pembasmi serangga tersebut. Kepalanya terasa pening,
ia terjatuh. Samar-samar ia mendengar suara Pak Koro memanggil-
manggil namanya. Namun ia lebih memperhatikan bayang-bayang
Bapaknya tercinta yang melambaikan tangan kepadanya.
189
MUSAI
Norma Elfania
“Musai merupakan anak dari Zeus dan Mnemosine. Musai lahir setelah
Zeus tidur dengan Mnemosyne selama sembilan malam berturut-turut.
Mereka adalah Dewi Musik, Lagu, dan Tarian. Musik mereka mampu
memberi kebahagiaan bagi yang mendengarnya. Kalliope adalah puisi
kepahlawanan, Kleio sang pemegang sejarah, Erato dan semua puisi
cintanya, Euterpe dengan sajak-sajak indahnya, Melpomene kunci
tragedi, Polihimnia sarat akan puisi suci, Terpsikhore yang pandai
akan paduan suara dan tarian,Thalia dengan segala kejenakaanya.
Dan yang terakhir, Urania dengan kemampuanya kan tata letak benda
angkasa luar, bukankah seni yang bagus akan konstleasi bintang”
Kristel mengernyit bingung dan melepas kaca matanya lalu
meletakannya persis diatas buku yang baru saja ia baca. Ia mengusap
rambut berwarna hitamnya dan mengerucutkan bibirnya.
“Apa hubunganya kesembilan muse dengan kunci tragedi?”
ujarnya kepada dirinya sendiri.
Kristel lalu menutup matanya dan mengetukan jemari tanganya
diatas meja dan tersenyum kecil. Namun, belum Kristel terlarut oleh
semua imajinasinya, dia mengerjapkan matanya dan mengaruk pipinya
singkat seraya menghembuskan nafasnya pelan. Potongan-potongan
adegan dalam buku cerita tentang kesembilan dewi musik yang ia baca
cukup menyita pikiranya dan membuatnya banyak berimajinasi dan
menebak-nebak. Kristel segera mengusir jauh-jauh semua imajinasinya
yang sudah terpatri cukup dalam ingatanya. Namun, Kristel cukup
pandai dengan tidak membuang semua hipotesis-hipotesisnya
yang mungkin saja akan berguna kelak. Mengingat semua cerita
190
sejarah dan mitos itu nyata dan tidak bisa terpisahkan walaupun
kau menentangnya dengan akal sehatmu sekalipun. Kristel bangkit
dari kursi yang sedari tadi dipakainya untuk membaca kisah-kisah
kesembilan dewi Muse itu, ia lalu melirik sekilas pada jam tangan
yang terbelit manis di tangan kananya. Kristel terkejut dan mengigit
bibirnya.
“Pantas saja mataku sudah lelah. Harus tidur rupanya,” gumam
nya pelan.
***
Kring!! Kriing!! Kringg. Kristel segera bangkit dari tidurnya tatkala
ia mendengar suara bunyi telepon yang terus berdering walaupun ia
sudah mengabaikanya lebih dari sepuluh kali. Gadis itu mengerang
dan mengucek matanya. Rasa kantuk masih menyelimutinya, namun
suara telepon yang terus berdering membuatnya sebal dengan waktu
191
yang bersamaan.
“Tidak tahu apa aku baru saja tidur?” gerutu Kristel pelan dengan
mata setengah tertutup.
Gadis itu dengan setengah mengantuk akhirnya menekan tombol
untuk menerima telepon.
“Ya! Bangun pemalas! Sudah berapa kali aku meneleponmu,
hah! Kemana saja kau!” ujar suara di seberang telepon yang seketika
membuat Kristel menjauhkan gagang telepon dari telinganya yang
tiba-tiba saja berdenging.
“Oh, Kai ada apa?” ujar Kristel pelan sembari kembali bernafas
lega.
“Tumben kau diam saja? Biasanya kau akan cerewet jika aku
yang meneleponmu?” tanya Kai dengan suara yang sedikit terdengar
meremehkan.
“Sialan! Kupikir kau Mr. Jixiang, aku sudah nyaris mencabut
kabel telepon di apartemenku,” balas Kristel sengit.
“Sebaiknya kau cepat mandi. Aku akan ke sana dalam lima
menit,” cerocos Kai dengan cepat.
“Kau bercanda? Aku baru saja bangun!” ujar Kristel dengan
penuh penekanan di setiap katanya.
“Aku tidak mau tahu. See you.”
Kristel segera meletakan gagang teleponnya kembali dan
mengusap rambutnya dengan sebal. Kai orangnya suka seenaknya
dan suka memerintah, walaupun bagi Kristel ia sangan menggangu
namun ada beberapa sisi Kai yang sering menyuruhnya ini dan itu
dan berakhir dengan Kristel menganga karena pikiran Kai sangat
Jenius. Dalam arti kata, semua yang disuruh Kai ada benarnya dan
manfaatnya bagi Kristel maupun orang banyak. Walaupun dilihat
dari tampangnya saja Kai tidak mempunyai muka sebagai seorang
Ilmuan. Bayangkan saja jika Kai adalah orang yang ceroboh namun
saat ia menghadapi naskah dokumen tua yang rentan akan rapuh ia
akan menjadi manusia paling lembut di dunia.
***
192
Kristel baru saja keluar dari kamar mandi saat dirinya mendengar
suara ketukan dari Luar pintu apartemennya.
“Tunggu sebentar!” teriak Kristel dengan aksen Indonesianya
yang berantakan.
Terkadang Kristel lebih suka dengan bahasa Inggris, daripada
bahasa Indonesia yang ia tahu hanya saat mengangkat telepon “hallo”
ada yang bisa saya bantu dan pada saat menerima tamu, “siapa ya?
tolong tunggu sebentar”. Menurut Kristel itu sangat rumit karena ia
bukanlah orang Indonesia asli. Ia memilih tinggal di Indonesia dengan
Kai sepupunya karena ia pikir Indonesia adalah negara dengan banyak
benda purba yang masih tersembunyi. Kristel mengaruk belakang
kepalanya yang tidak gatal dan segera membuka pintu, Belum setengah
pintu apartemennya terbuka. Seseorang telah mendorong pintu dari
luar dan membuat Kristel terpaksa untuk terdorong kebelakang dan
melepaskan pegangannya pada gagang pintu. Begitu seseorang itu
masuk dengan paksa Kristel mendengus sebal dan dibalas dengan
cengiran Kai.
“Hai” sapa Kai sembari tersenyum sangat lebar.
“Langsung saja, jadi ada apa kau datang pagi-pagi ke sini?”
tanya Kristel menyipitkan kedua matanya menelisik Kai dari ujung
kepala hingga kakinya.
Kai yang ditatap Kristel hanya tersenyum lebar. Namun, beberapa
saat kemudian Kai menjentikan jarinya ke udara dan meraba saku
celananya lalu mengeluarkan dompet berwarna hitam kulit dari sana.
Laki-laki itu menarik dua lembar kertas dari sana dan menunjukan
ke hadapan Kristel.
“Tada! Kita akan terbang ke Roma besok!” seru laki-laki itu
bangga.
“Hah? Besok?”
“Kita akan memburu kitap story of musemu itu.”
“Tttt…tapi, Kai.”
“Aku malas berdebat denganmu, cukup berkemas saja. Aku
menyayangimu,” ujar Kai seraya mencubit pipi Kristel dan memberikan
satu lembar tiket ke gengaman tangannya.
***
193
Dan disinilah Kristel berada didalam pesawat menuju Bandara
Aeroporto di Roma. Ia sempat mengutuk Kai beberapa kali saat lelaki
itu menyeretnya pagi-pagi, tepat pukul sembilan pagi. Kai yang saat
ini melihatnya hanya tersenyum lebar sembari membentuk dua jari
tangan kananya menjadi tanda perdamaian.
“Ayolah tell me jangan marah padaku, angap saja liburan,” rajuk
Kai dengan mukanya yang ia buat semelas mungkin.
“Jika kau bukan sepupuku sudah aku buang kau dari atas
pesawat,” ujar Kristel sinis dan membalikan tubuhnya menghadap
jendela.
***
Enam belas jam perjalanan membuat badan Kristel remuk
seketika, ia merasakan kantung matanya menebal satu sentimeter bila
ia bisa mengukurnya dengan penggaris. Ia menyeret langkahnya dan
duduk di kursi tunggu hotel tempatnya menginap bersama dengan
Kai. Ia tidak perduli dengan Kai yang sedang memesan kamar dengan
bahasa yang tidak ia ketahuhui.
“Hei! Istirahat di kamarmu dan temui aku tepat pukul lima sore
ini, oke?” ujar Kai sembari menyerahkan kunci kamar Kristel.
Kristel mengengam kuncinya dan menimang-nimangnya
sebentar.
“Memang kita akan kemana?” tanya Kristel.
“Musei Vaticani, mencari buku terkutuk tentang Museimu itu.”
“Kai, aku mencintaimu. Sampai jumpa jam lima, ya,” teriak
Kristel dengan senangnya.
Ia tak menyangka Kai akan sebegitu serius dengan penelitianya.
***
Tepat pukul lima, Kristel mengetuk pintu kamar Kai dan pemuda
itu langsung keluar dengan sedikit mengantuk. Matanya sayu dan
pakaianya berantakan.
“Ayo!”
Kristel menarik Kai. Kai yang diseret Kristel seketika terkaget
dan berjalan terseok-seok. Mereka segera menuju mobil yang telah
disediakan oleh hotel tempat mereka menginap dan bergegas duduk
di bangku penumpang.
“Musei Vaticani,” ujar Kai yang kemudian dianguki oleh sopir
194
mobil tersebut.
Kristel memandang Kai dengan mata berbinar dan mata yang
sengja ia kedipkan.
“Kau hebat, Kai. Aku mencintaimu.”
“Aku tahu, kau sudah mengucapkanya tadi,” ujar kai tidak
peduli.
Kristel terkikik pelan dan tersenyum.
“Kau sepupuku yang paling aku sayangi,”
“Ya! Ya! Ya!”
Selama perjalanan 45 menit dari hotel menuju Musei Vaticani
atahu Museum Vatikan itu Kristel tak berhenti memandang jalanan
kota yang begitu indah. Kai yang berada disampingnya bosan dengan
tingkah Kristel yang diangapnya sangat kekanakan.
“Tell-ah!” panggil Kai.
“Ya?”
“Kau tahu Melpomene? ”
“Aku tahu, kenapa?”
“Itu dewi Tragedi”
“Memang kenapa?” tanya Kristel antusias.
“Temanku Kris mati saat ia mencoba menguak kisah hidup
Melpomen. Aku tidak mau kau seperti itu juga.”
“Itu hanya mitos, Kai. Aku akan baik-baik saja.”
***
Kristel menatap antuias ke arah patung seorang gadis yang
terpahat indah dengan delapan gadis lainya. Di atas patung gadis
yang Kristel perhatikan itu ia melihat kumpulan naskah yang tidak
ia tahu apa artinya. Kristel lalu berjinjit dan mulai membaca naskah
itu dari ujung kiri ke kanan. Saat Kristel menyelesaikan membaca
naskah itu ia merasakan seseorang seperti meniup tengkuknya yang
membuat bulu kuduknya berdiri.
“Kristel, ah.”
Ia mengedarkan pandanganya ke seluruh penjuru ruang Museum
yang dapat dijangkau matanya. Ia merasakan seseorang seperti
memangil namanya secara dalam dan menyedihkan. Kristel buru-buru
menggeleng dan menyusul Kai kebagian Galeri Cortile Del Belvedere. Ia
melihat Kai tengah berfoto dengan seorang patung parajurit dengan
195
pemandu bersamanya. Kristel dapat melihat senyum Kai dari jauh.
Kristel buru-buru menyusul Kai dan ikut berfoto bersama Patung
disamping Kai.
Bruk! Kristel merasakan lantai dibawahnya sedikit bergetar. Ia
mengabaikan rasa getaran itu hingga beberapa saat kemudian ia men
dengar Kai berteriak dan merasakan rasa sakit disekitar punggungnya.
“Kristel!!”
Brukk! Patung Prajurit itu seketika menimpa tubuh Kristal dan
mengenai punggungnya. Melihat itu Kai buru-buru mengambil tubuh
patung itu dan membantu Kristel untuk berdiri sementara pemandu
yang bersama Kai langsung berlari ke bagian informasi bahwa patung
mereka melukai penggunjung. Kai lalu menuntun Kristel untuk
bangun dan bersandar pada dinding. Dyutt!! Dyutt!! Prang!!!
“Kristel Awas!!” Kai berteriak dan dengan cepat ia mendorong
Kristel saat Lukisan Sembilan gadis anak Zeus tiba-tiba terjatuh dari
dinding dan hamper menimpa Kristel.
Kristel terkejut. Nafasnya tercekat saat ia melihat Lukisan itu
terjatuh dan kacanya pecah berantakan.
“Tell-ah! Apa yang kau lakukan di galeri pertama? Apa kau
membca kitab-kitab itu?” tanya Kai beruntun.
Kristel memucat bibirnya bergetar dan matanya menampakan
ketakutan.
“A, a, aku membacanya, Kai.”
“Apa yang kau baca!”
“Buku i, i, itu buku Melpomene.”
“Sial! Kita pulang sekarang!”
Kai buru-buru mengandeng Kristel dan menyeretnya paksa.
“Itu buku terkutuk Kristel. Aku sudah memperingatkanmu di
mobil tadi. Kris mati saat membaca buku itu!”
“Kai, itu hanya Mitos. Ini semua pasti kebetulan.”
Kai mengacak rambutnya, Frustasi.
“Kebetulan katamu? Tidak ada yang kebetulan di dunia ini,
Kristel.”
Kristel lalu menghempaskan tangan Kai dan berjalan cepat. Gadis
itu menuruni tangga museum depan dengan terburu-buru. Namun,
196
belum ia menapaki dua anak tangga kedua dari atas dia tergelincir
kebawah.
“Kristel!!”
Kai buru-buru berlari menuruni anak tangga dan memeluk tubuh
Kristel yang sekarang terdiam.
“Kristelll!!!”
Kristel mengerjapkan matanya ia buru-buru melihat Kai yang
tengah tertidur pulas di samping kursinya.
“Ternyata hanya mimpi…”
***
Musei Vaticani, Roma 23 Agustus 2013 7.00 Pm
“Seorang gadis ditemukan tewas secara mengenaskan dengan
terjatuh dari atas tangga Museum Vatikan. Disinyalir kejadian ini
murni kecelakaan. Saat ini pihak korban telah berada di rumah sakit.
Kami dari VOA Indonesia melaporkan.”
HARAPAN DI ATAS TANAH
Selia Eriani
Semua kehidupan manusia tak ada yang sempurna. Walaupun
sekuat apa dia memijakkan kaki di bumi, suatu saat nanti dia akan
terjatuh di atas tumpuan kakinya sendiri. Hanya orang-orang pilihan
dari Tuhan yang bisa merasakan bahagianya hidup. Namun, sebahagia
apapun mereka pasti selalu ada halangan menghampirinya. Tuhan
terkadang “tak adil” tentang hidup ini. Mereka yang selalu berbuat
dosa dengan mudahnya mendapatkan kenikmatan di dunia, namun
orang-orang yang selalu taat pada agama hanya mendapatkan cobaan
197
yang bertubi-tubi dan terkadang cobaan yang sangat membebani
hidupnya ia jalani dengan ketabahan hati. Dengan dilapisi keikhlasan
yang mereka miliki dan melekat didalam jiwanya, semua itu sudah
hukum alam dari Tuhan Yang Maha Esa. Dan itulah sedikit definisi
dari kehidupan.
Salah satu definisi dari kehidupan yang begitu banyak cobaan
yang menghampiri dialami oleh Vaira anak, Ibu Rohma. Mereka
tinggal di kota Kulon Progo, tepatnya di desa Sidosari yang jauh
dari perkotaan bahkan bisa dikatakan kota yang sangat terbelakang.
Disebuah gubuk kecil mereka tinggal. Rumah yang selayaknya
meneduhkan keluarga Ibu Rohma ketika hujan datang, justru malah
membuat badan mereka basah. Vaira adalah anak sulung Ibu Rohma.
Ayahnya sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu. Makanya dia
juga menjadi tulang punggung keempat adiknya, karena penghasilan
Ibunya yang hanya cukup untuk membeli air minum saja. Keadaan
itu yang mendorongnya untuk membantu meringankan beban sang
Ibu. Vaira hanya lulusan SD, tak mudah untuk mencari penghasilan
dengan pendidikan serendah itu. Namun dia tak pernah mengeluh
dengan keadaan, dia terus mencari rupiah demi rupiah.
Yah, hidupsebagai penjual gorengan keliling. Itulah pekerjaan
yang dia jalani sekarang. Penghasilan Ibunya yang hanya seorang
pemukul batu tentu tak cukup untuk menghidupi Vaira juga adik-
adiknya. Dari situlah alasan Vaira berhenti sekolah dan memilih
untuk mencari rupiah demi rupiah yang dia cari dengan penuh
kesemangatan.
“Kehidupan ini tak adil, ya Allah. Aku ingin hidup ini kujalani
dengan mudah, bukan dengan kehidupan yang sangat menyakitkan
ini, aku tak butuh harta yang melimpah dan juga semua perhiasan
yang begitu mewah, yang kubutuhkan hanya kebahagiaan untuk Ibu
dan juga adik-adikku. kabulkanlah doaku ini ya Allah, amiiin.”
Doanya sehabis salat wajib yang ia jalani setiap harinya. Ia
tak pernah sekalipun meninggalkan ibadahnya walupun sesibuk
apapun dia.Vaira, anak yang tangguh. Dia tak pernah sekalipun
mengeluh dan tak pernah merasa diperbudak oleh Ibunya. Karena
semua yang dijalaninya dengan keikhlasan hati dan juga semata-mata
untuk meringankan beban Ibunya. Saat merasa lelah, dia tak pernah
198
bilang pada siapapun dan obatnya hanya menulis keinginannya dan
keluhannya diatas tanah yang ia pijakkan saat beristirahat. Hari sudah
pagi dan hari yang membangun Vaira untuk mencari rupiah demi
rupiah yang nantinya dia dapatkan dengan menyusuri kampung satu
ke kampung lainnya. Rupiah yang didapatkan memang tak seberapa,
namun dia jalani dengan penuh tanggung jawab dan ketabahan hati.
Walaupun keringat yang membasahi semua tubuhnya, dia tak pernah
menyerah. Dia tetap berjalan dan berjalan untuk mencari seseorang
yang dermawan yang akan memberinya sedikit rupiah mereka untuk
Vaira. Vaira memang anak yang tak pernah menyerah dalam segala
hal, terkadang seharian dia tidak mendapatkan hasil apapun, bahkan
saat tak ada rezeki dia selalu mencari sampai malam tiba. Walau
pulang dengan tangan kosong, dia tak pernah memperlihatkan
kekecewaannya kepada Ibunya.
“Bu, Vaira minta maaf, seharian ini Vaira tak dapat rezeki,
mungkin Allah akan memberikan rezeki untuk kita besok,” itulah
yang sering disampaikan kepada Ibunya.
Saat itu malam begitu sunyi, Vaira juga tak bisa tidur. Entah apa
yang dipikirkan Vaira. Saat dia menghilangkan rasa lelahnya di atas
ranjang, dia mendengar Ibunya merintih kesakitan. Vaira terbangun
dari ranjang. Saudara-saudara Vaira semua menangis karena takut
mendengar Ibunya merintih kesakitan.
“Ibu, kenapa? Apa, Bu yang sakit?” tanya Vaira dengan menetes
kan air matanya.
Vaira begitu takut mendengar rintihan Ibu.
“Kaki dan tangan Ibu sakit, Nak, tak bisa untuk bergerak, Ibu
tak kuat nak,”jawab Ibu sambil menahan sakit.
Tak peduli berapa biaya yang akan menanggung bebannya,
yang dia pikirkan hanya keselamatan Ibunya. Dengan sehelai kain
dia gendong Ibunya berobat ke dokter. Walau nafas sudah hamper
habis, Vaira terus berjalan. Sesampainya di dokter, Ibunya langsung
199
diperiksa oleh dokter ahli tulang. Vaira hanya diam sambil memegang
tangan Ibunya, yang merintih kesakitan.
“Ibu namanya siapa? Keluhannya apa?” tanya dokter itu dengan
wajah yang sangat tidak pantas diperlihatkan oleh seorang dokter.
“Ibu saya merintih kesakitan dari tadi, tangan dan kakinya tak
bisa digerakkan,” jawab Vaira dengan nada yang sangat takut.
Setelah dokter memeriksa Ibunya, ternyata Ibu Vaira menderita
kelumpuhan karena pekerjaan berat yang dijalani selama ini.
“Ini bisa disembuhkan kalau terus ikut terapi, namun terapi
ini membutuhkan biaya banyak,” jelas dokter itu dengan nada
meremehkan Vaira dan juga Ibunya.
Vaira tak memperdulikan kata-kata dari dokter itu. Seharusnya
Ibunya menjalani rawat inap. Namun, karena uang Vaira sudah habis
untuk berobat, Ibunya hanya dirawat dirumah. Vaira sekarang hanya
sendirian mencari nafkah. Vaira juga harus mengurus Ibunya yang
sedang sakit karena Ibunya sudah tidak bisa berjalan lagi. Vaira setiap
harinya berjualan gorengan dan mencari-cari pekerjaan sampingan
supaya Ibunya bisa menjalani terapi. Setiap kampung yang ia lewati,
Vaira selalu menuliskan harapannya di atas tanah, dia yakin kalau
Allah akan membaca semua harapannya yang ia tuliskan di atas tanah
dengan goresan jarinya sendiri. Saat Vaira menuliskan harapannya,
Vaira dihampiri oleh wanita cantik yang berpakaian sangat mewah,
dan kelihatannya masih sebaya dengannya, ia membeli gorengannya
dengan uang Rp.50.000 dan tak meminta kembalian. Vaira memandang
wanita itu dengan terheran-heran.
“Terima kasih, Anda baik sekali. Aku juga sedang butuh uang,”
katanya sambil tersenyum manis.
“Iya, sama-sama. Nama kamu siapa? Kenapa kamu butuh uang?”
Tanya wanita itu dengan lembut.
Vaira menceritakan keluh kesahnya kepada wanita yang sebaya
dengannya namun sudah bisa sukses dengan kerja kerasnya sendiri.
“Sangat menyedihkan kehidupanmu, ya. Oh, iya kenalin,
namaku Geisha. Kamu mau ikut aku ke Jakarta? Kamu bakalan sukses
200
sepertiku dan sangat mudah untuk menyembuhkan penyakit Ibu
kamu. Gimana?”
“Benar? Aku boleh ikut kamu? Aku mau, mau banget,” jawab
Vaira dengan wajah yang sangat gembira.
“Besok aku tunggu kamu disini. Sekitar jam 8 kamu menemuiku.
Jangan lupa bawa barang-barang yang dibutuhkan untuk dibawa ke
Jakarta,” kata Geisha.
Sesampainya di rumah, Vaira meminta izin kepada Ibunya.
Walaupun Ibunya sudah melarang Vaira untuk pergi, namun Vaira
tak memperdulikan kata-kata Ibunya. Vaira tetap bersikeras pergi.
Ibunya hanya terdiam dan menangis karena takut apa yang dilakukan
Vaira nantinya akan merugikan dirinya sendiri.
“Maafin Vaira, Bu. Vaira pingin hidup kita berubah. Vaira pingin
nyembuhin Ibu. Vaira pasti pulang, Bu dengan membawa uang,”
pamit Vaira sambil meneteskan air mata.
Keesokan harinya Vaira pergi mengikuti Geisha. Ibu Vaira hanya
dirawat oleh adik-adiknya. Vaira begitu tergiur dengan pekerjaan
yang ditawarkan oleh Geisha yang sebenarnya tidak dikenalnya
sama sekali. Walaupun ragu Vaira tetap pergi naik bus. Namun
sebelum naik bus, Vaira menuliskan kata bismillah di atas tanah yang
dipijaknya saat itu. Saat perjalanan Vaira diajak berbincang-bincang
oleh Geisha. Mereka sudah keliatan sangat akrab. Bukan hanya itu,
Vaira diberi handphone oleh Geisha. Geisha begitu baik pada Vaira dan
Vaira pun sangat senang menerima pemberian Geisha karena Vaira
seumur hidupnya belum pernah mempunyai handphone. Beberapa
jam perjalanan dilaluinya, akhirnya mereka sampai di tempat kerja
Geisha. Vaira merasa dirinya begitu asing dan tak layak disana karena
di tempat kerja Geisha banyak perempuan yang menggunakan baju
seronok dan mereka semua merokok.
“Ini tempat apa?” tanyanya Vaira dengan rasa takut.
“Tak apa, Ra. Aku kerja ditempat seperti ini. Jangan mikir
yang enggak-enggak. Yang kamu pikirin sekarang, tuh uang. Untuk
mendapat uang berapapun jumlahnya pasti akan terkabulkan ditempat
ini,” Jawabnya dengan tatapan muka yang tajam.
“Caranya?” Tanya Vaira.
201
“Kamu tinggal duduk di sini. Nanti uang akan menghampirimu
sendiri, tapi kamu harus di make-up dulu. Kalau penampilanmu seperti
ini, uang tak akan mau menghampirimu,” jelas Geisha.
Vaira hanya bisa diam dan menuruti apa yang diperintahkan
Geisha. Walaupun Vaira sedikit merasa menyesal karena pekerjaan
ini sangat hina, namun dia tetap menjalaninya. Setelah dia dimake-up,
dia duduk dan menunggu uang yang akan menghampirinya. Tak
lama kemudian Vaira dihampiri oleh lelaki yang tua.
“Apa yang dimaksud dihampiri uang itu adalah dari lelaki ini?”
tanyanya dalam hati.
“Hargamu berapa, aku belum pernah mencobamu. Apa kau anak
baru?” tanya lelaki itu.
“Terserah Anda,” Jawab Vaira asal-asalan.
Vaira dibawanya pergi dengan mobil mewah punya lelaki itu.
Dia dibawa kesuatu hotel mewah yang ada di Jakarta. Semalaman
mereka tidur satu kamar. Vaira menghibur lelaki itu dengan tubuh
sucinya. Harga yang dibayarnya pun tak tanggung-tanggung. Dua
puluh juta rupiah ia memperoleh uang dari lelaki itu. Vaira sangat
senang mendapatkan uang itu, walaupun dia merasakan sakit fisik
dan mental. Paginya Vaira pulang ke tempat tinggal Geisha. Sebelum
masuk kamar, Vaira menuliskan “aku seorang pekerja seks komersial”
di atas tanah yang ada didepan kamar kosnya. Uang haram yang
didapatnya hari itu langsung Ia kirimkan pada Ibunya untuk biaya
pengobatan. Vaira membohongi Ibunya, dia menuliskan surat bahwa
uang itu adalah uang muka karena pekerjaan kantoran. Sekarang,
setiap bulan Vaira selalu menyirihkan uang hasil pekerjaannya dan
mengirimkan untuk kebutuhan hidup Ibu dan adik-adiknya.
***
Bertahun-tahun Vaira tidak pulang ke kampung halamannya,
sampai dia sakit-sakitan karena terserang HIV Aids. Penyakit itulah
yang akhirnya mengambil nyawanya. Jasad Vaira dikirimkan ke
kampung halamannya. Ibunya begitu terpukul dan sangat kehilangan
Vaira. Walaupun Vaira pergi secara tragis, sebagai seorang pekerja seks
komersia, tetapi di sisi lain dia telah berhasil mewujudkan impiannya
dengan coretan di atas tanah, yaitu membiayai pengobatan Ibunya
202
sampai sembuh.
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229
Tiga Roda
Putri Nur Rahmadhani
Inilah kisahku, anak muda enam belas tahun yang tinggal
di sebuah gubug kecil dengan keluarga yang bisa dibilang broken
home. Aku memiliki ayah yang begitu sabar menghadapi segala hal,
termasuk menghadapi malaikat kecilnya. Akbar. Ya, itulah nama
Pangeran kecilnya yang sangat nakal. Lalu, aku memiliki ibu yang
yang begitu over protective terhadap anaknya. Terlalu over protective
membuatku sering berbohong kepadanya.
“Puput” panggil Ibu dengan nada yang memecah keheningan.
Puput adalah nama panggilanku sejak kecil.
“Ya? Ada apa?”sahutku dengan nada cuek.
Aku sudah hafal tiap Minggu Pagi, apabila ibu dan adikku
mengenakan pakaian rapi dengan parfumnya yang khas, mereka
pasti akan pergi meninggalkanku sendiri, dirumah.
“Jaga rumah, ibu mau keluar bentar!!” itulah kata yang diucap
kannya. Aku meliriknya sambil tersenyum, tanda aku menuruti
permintaannya.
***
Aku mengikuti Masa Orientasi Siswa di salah satu SMA di
Yogyakarta yang bersuasana pedesaan. Tidak terlaulu bising dan
yang pasti belum begitu berpolusi. Kumulai hari-hariku ke depan
dengan kegiatan ini, aku mengendarai sepeda motorku dengan jarum
spedo meter berada pada angka 20. Menikmati indahnya mentari
yang tersenyum kepadaku. Memandangi sawah yang membentang
luas dan gunung Merapi yang begitu gagah, inilah salah satu ciptaan
Tuhan yang begitu indah. Melihat anak-anak SD bergegas ke sekolah
berlari-lari kecil takut terlambat dan distrap di depan kelas. Sungguh,
nuansa pedesaan di pinggir kota Yogyakarta.
Terpontang-panting aku membawa perlengkapan MOS yang
ternyata tidak lengkap membuat aku terkena hukuman selama Masa
230
Orientasi Siswa. Berkuncir merah sebanyak 29 yang menunjukkan
tanggal kelahiranku. Mengenakkan sepatu hitam bertali rafia biru
di kanan, merah dikiri. Berkalung bawang merah, bawang putih,
dan cabai yang disatukan untuk menjadi penangkal hujan yang
membuatku merasa ingin terus bersin akibat aroma yang timbul.
Ditambah dengan taser bertuliskan nama, kelas, yang diberi foto
ukuran 3x4 yang seharusnya dipasang fotoku malah aku pasang foto
ibukku. Karena kebanyakan orang mengatakan aku mirip dengan
ibuku. Tiga hari berlalu begitu cepat, hampir tak terasa. Masa Orientasi
Siswa di sekolahku resmi selesai. Saatnya untuk mengenal lebih jauh
tentang sekolah guru dan teman.
Pagi ini, aku melihat selembar kertas di atas mejaku yang berisi
pilihan ekstrakulikuler. Aku tertarik dengan ekstrakulikuler “musik”.
Akupun memilihnya. Hari pertama masuk kelas musik, terasa sangat
aneh. Ada sesuatu yang membuatnya berbeda . Apalagi semenjak ada
dua kakak kelas pria masuk di kelas musik.
Dalam hati aku berkata, “Ya Tuhan… andai aku bisa memiliki
salah satu darinya. Aku akan menjaganya sebaik mungkin. Tapi?! apa
mungkin aku bisa memilikinya? Untuk mengenalnya saja aku ragu
karena aku bukan wanita yang cantik. Aku hanya seorang wanita
biasa yang berusaha untuk mempercantik hatiku dan belajar menjadi
seseorang yang sederhana. Tuhan… mungkin, untuk saat ini, aku tak
mungkin mengenalnya. Namun, aku percaya akan banyak kejutan
dari-Mu, untukku”.
***
Facebook, sebuah media sosial yang mendunia dan dari situ aku
mengenal seorang pria yang satu sekolah denganku. Awalnya, ada
pesan masuk dari seorang pria yang mengajakku berkenalan dan
bertukar nomor handphone. Alangkah terkejutnya aku, sewaktu kita
saling berkirim pesan lewat media elektronik dia berkata
“Aku yang kemaren, yang ngikut ekstrakulikuler itu!”
Deg.. jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Wajahku
yang sebelumnya terlihat begitu malas, seketika berubah menjadi
sumringah.
“Tuhan… terimakasih Engkau telah mengabulkan doaku”.
231
Dicka, dialah salah satu pilihan Tuhan yang dikirimkan untuk aku
kenal dan untuk aku miliki. Entahlah, hari itu aku seperti dihipnotis
oleh seorang Dickha. Ibuku, yang selalu melarangku pergi berdua-
duaan sudah tak ku perdulikan lagi.
“Nduk, mau kemana siang bolong gini?”.
“Dolan”. Ucapku, sambil bergegas pergi, agar wanita setengah
tua itu tidak mengucapkan pertanyaan dari bibir yang merah karena
lipstick. Terpaksa aku berbohong untuk menemui Dickha.
Jam tanganku menunjukkan pukul 03.13 sore. Bergegas aku
pergi menemui Dicka di Taman Sari. Bangunan tua itu bukan hanya
sebagai sejarah untuk mengingat perjuangan para pahlawan yang
sudah gugur. Bangunan tua itu menjadi saksi bisu bagiku dan Dicka.
Karena, disitulah aku mampu mengenal lebih jauh tentang Dicka.
Pemandangan kota Jogja terlihat begitu berbeda, angin sore yang sepoi-
sepoi membuatku ingin menjadi seperti daun yang jatuh berterbangan
mengikuti arah angin. Semua ini seperti mimpi. Bagiku, berkenalan
dengan seorang Dicka hanyalah angan-angan semata. Kami bersendau
gurau disana, bercerita tentang kisah asmara yang ternyata hati kami
sama-sama sedang kosong. Asik, lucu, baik, mudah bergaul, itulah
penilaianku untuk pertama kalinya kami berdua berbincang-bincang.
Senang rasanya, aku mampu mengenal Dikha lebih jauh. Sosoknya
yang rupawan dan jiwanya yang dewasa mampu meluluhkan, aku.
Hatiku yang sudah dilanda kekosongan selama 1 tahun akhirnya di
isi kembali oleh orang baru, Dicka. Aku memberanikan diri untuk
menyatakan rasa sayangku padanya. Aku merasa menjadi orang
yang paling sempurna saat itu. Karena, Dickha menyayangiku
bahkan dia mencintaiku. Akan tetapi, sulit bagiku untuk menjalin
hubungan yang jelas bersamanya. Orangtuakulah yang tak merestui,
termasuk ibukku yang over protective. Aku menerti, Ayah Ibuku tidak
mengizinkanku untuk berpacaran, karena mereka tak menginginkan
anaknya terjerumus kedalam hal-hal yang negative. Tapi?! Apakah
mereka tak pernah merasakan indahnya cinta di masa SMA? Lalu,
apakah aku mampu menjadi anak yang dapat dipercaya jika mereka
kokoh mempertahankan hal tersebut? Kurasa, sulit. Ditambah Dicka,
yang tak menyukai dengan hubungan backstreet. Semua itu seolah
menjadi benteng besar yang harus aku robohkan dengan tangan
232
kosong !! Aku dan Dickha memutskan untuk menjalin hubungan
tanpa kejelasan. Meskipun tanpa kejelasan, aku mencoba untuk serius
dengannya. Setiap pulang sekolah kami bertemu, membincangkan hal
yang membuat kami tertawa. Terkadang, kami juga melihat tetesan
air yang turun dari langit yang membasahi lapangan sekolah. Aku
menatap matanya dan berkata
“Kalo kamu sayang dan cinta sama aku, aku minta tolong buat
jaga perasaan satu sama lain. Jangan pernah sakitin aku, aku juga
usaha buat nggak nyakitin kamu.”
Senyum manisnya terpancar dari wajah yang terlihat lelah di
siang itu, singkat Dicka menjawab “Iya.”
“Kenapa sms semalem nggak kamu bales, Dick?” tanyaku kepada
Dicka yang sedang di kantin.
“Sory, HP aku rusak, jadi nggak bisa smsan dulu” balasnya.
“Aku masih ada HP sih, tapi jadul gitu. Pake’ dulu aja kalo kamu
mau. HPnya juga nganggur kok dirumah “jawabku sambil mengambil
makanan ringan di depanku.
“Nggak papa sih. Tapi bener? mau dipinjemin ke aku? Kamu
nggak dimarahin ibu kamu?” ucap Dicka.
“Itu bisa diatur, pokoknya beres!” kataku sambil meninggalkannya.
Sewaktu kami bertemu, aku melihat Dicka asik bermain
handphone, hingga tak memperdulikanku. Dan yang pasti, aku ingin
mengambil handphone jadul itu dari genggaman Dicka. Sewaktu aku
meminta handphone itu, Dicka tidak memberikannya padaku.
“Dicka sini HPnya!” ucapku dengan nada tinggi, kasar.
“Eh jangan buka sms, put!” kata dicka.
Dia memohon agar aku mengembalikan handphone jadul itu.
“…say” kata yang aku baca di kotak masuk handphone itu, tepatnya
dari Ika. Sejenak aku merasa terjatuh dari langit, aku terdiam tak
mampu berkata. Tanpa sadar aku telah melepaskan handphone dari
genggamanku yang kugenggam erat sebelumnya agar Dicka tak
merebutnya dari tanganku.
“Put, aku bisa jelasin semuanya” kata Dicka dengan mata
berbinar-binar yang berharap aku mau mendengarkan penjelasannya.
Tiba-tiba, suaraku terasa berat untuk berkata kepada Dicka. Tapi,
mau tak mau aku harus mengatakannya.
233
“Cukup dick… sampe sini aja cerita cinta kita. Aku udah bilang
dari awal, kita harus jaga perasaan satu sama lain. Aku usaha, buat
serius sama kamu, aku juga gak lupa buat ngejaga perasaan satu sama
lain. Tapi… ini balasan kamu? Makasih! Mulai sekarang, kita jadi temen
aja. Ternyata, bener kata temen-temen aku, kalo kamu itu ... arrgh ?!!”.
“Put, tolong dengerin semua penjelasanku. Emang, sebelum aku
kenal kamu, aku itu ..., haah mungkin aku tak harus mengucapkannya.
Tapi, setelah aku kenal kamu, aku pengin ngerubah diri aku! Aku
nggak pengin kehilangan kamu!!!” rayu Dicka. Supaya aku mau
membuat sebuah memori lagi bersamanya.
Senyum dan lambaian tanganku mengarah padanya, dan aku
berharap semoga dia mengerti maksudku.
Sakit, galau, kecewa, semua kata sedih itu menjadi satu. Tak
ada satupun hal yang mampu membendung rasa sedihku. Tak ada
seorangpun yang mampu membuatku tersenyum. Sakit yang kurasa,
melebihi sakit parah yang pernah kuderita. Malam kelam, bintang
malam menemaniku, Mernemani kegalauanku yang mencekam,
seperti malam itu. Mataku terpejam. Suasananya membawa anganku
lari, untuk mencari Dickha. Sosoknya terlihat nyata, seperti ada di
depan mataku, tertawa kembali bersamaku, menceritakan hal baru.
Air mataku menetes dengan sendirinya Lalu aku berkata kepada-Nya
“Tuhan, aku memang masih menyayanginya.dan saat ini aku
sungguh merindukannya. Tapi, di sisi lain aku masih merasa kecewa
karenannya. Setiap langkah kakiku, detak jantungku, dan hela napasku
aku selalu menyebut nama indah-Mu dan berdoa agar Engkau
memberikan yang terbaik untukku dan untuk Dickha. Tuhan…, jika
dia bukan orang yang tepat untukku, kirimkan aku malaikat yang
bisa menggantikan sosok Dickha, yang lebih baik darinya.”
Air mataku terhenti seketika. Angan-anganku pecah, hancur
berkeping-keping. Sewaktu aku mendengar “grekkk…” suara pintu
menuju teras rumahku yang dibuka oleh ibu. Jari-jemariku mulai meng
usap dua pipiku yang basah. Ibu mengajakku belanja. Aku berfikir
untuk ikut dengannya daripada aku di rumah hanya membuang-buang
waktu untuk memikirkan dan merasakan kecewa yang amat sangat.
234
“Eh, kayaknya kita satu sekolah. Aku sering lihat kamu di sekolah.
Boleh kenalan kaan? Aku Dicky.” Ucap seorang cowok yang bertemu
dengaku di pusat perbelanjaan di Daerah Yogyakarta.
“Aku Puput” nadaku cuek, tak peduli dan tak mau tau lebih
tentangnya.
“Boleh kan aku minta nomernya?” bujuknya.
Tengannya masuk ke saku belakang untuk mengambil handphone.
Jemarinya terlihat lincah memainkan hape dan mencatat nomorku.
Setiap hari, Dicky mengirim pesan kepadaku. Aku heran, watakku
yang yang acuh terhadap Dicky seolah tak membuatnya lelah untuk
mengenalku lebih jauh. Dia selalu memperhatikanku. Perhatiannya
melebihi seorang Dickha. Itulah yang membuatku penasaran dan
ingin mengenalnya lebih jauh. Tuhan mempunyai rencana baru.
Mungkin Tuhan tak ingin melihatku sedih terus-menerus. Meratapi
kepergian pria yang telah menyakitiku. Aku mampu menghilangkan
rasa sayangku kepada Dickha setelah aku mengenal lebih dekat sosok
Dicky. Senyumnya yang lebih manis daripada Dickha, membuatku
terpesona dan ingin menjadikannya sebagai pengganti seorang Dicka.
“Put, nih aku kasih...” kata Dicky ketika dia di hadapanku.
Rasa binggung menghampiriku, karena Dicky memberikaku
setangkai mawar merah.
“Ini eem..aksudnya apa? Ki... ta ja... dian gitu?” tanyaku terbata-
bata.
Dia menatapku. Bibir manisnya tersenyum lalu mengatakan
sesuatu yang tak akan ku lupakan.
“Put, bunga ini tanda sayang dan cinta aku ke kamu. Bukan
karena aku pengin jadian sama kamu. Saat ini, bukan waktu yang
tepat buat kita jadian.”
***
Hari ini adalah tepat hari ulang tahunku yang ke-17. Biasa orang
menyebutnya dengan sweet seventeen. Tapi apakah sweet hanya ada
pada seventeen? Lalu, bagaimana dengan eighteen, nineteen, twenty dan
seterusnya? Apakah tidak sweet? Entahlah, tak begitu penting untukku.
Yang pasti, untuk saat ini yang aku inginkan adalah kejutan yang tak
terlupakan.
235
Sudah menjadi rutinitas warga SMA-ku, setiap ada yang ulang
tahun pasti diceburkan ke dalam kolam ikan yang berwarna hijau
pekat itu. Dengan aroma yang membuat orang segera menutup hidung
jika lewat di dekatnya.
”Byuurrr…” suara air kolam ketika aku diceburkan teman-
temanku.
Aku kehilangan sepatuku. Mungkin sepatu itu tenggelam ke
dasar kolam. Aku berusaha naik ke darat. Tubuhku yang lumayan
gemuk ini menyusahkanku untuk mengangkat diriku sendiri. Salah
seorang temanku merasa kasihan terhadapku. Segera, dia menjulurkan
tangannya ke arahku. Aku menggenggam erat tangannya sambil dia
menarik dengan sekuat tenaga dan alhasil aku naik ke daratan. Te
man-temanku berhamburan. Berlarian tak tentu arah. Mereka pergi
meninggalkanku sendiri di pinggiran kolam. Termasuk teman yang
menjulurkan tangannya untuk menolong aku tadi. Padahal, aku be
lum bertrima kasih padanya. Mereka semua lari. Karena, takut bila
aku memeluk mereka dalam keadaan basah atau mendorong salah
satu di antara mereka ke kolam yang tingginya sebahuku. Entah,
ke mana mereka pergi pada waktu itu. Sewaktu aku pergi ke kelas,
sem uanya sudah pergi. Tidak ada satupun makhluk bernyawa yang
dapat kulihat di siang itu. Aku berjalan ke belakang kelasku, melihat
laci di meja-meja untuk mencari tas dan jaketku. Namun, tak kutemui
jaket dan tas yang berisi handphone merah kesayanganku. Terdengar
suara langkah kaki masuk ke kelasku. Terlihat seorang pria, membawa
boneka panda yang bisa kupeluk sewaktu aku tidur. Aku melihatnya
sambil menghampirinya,
“Happy birthday, Puput. Aku sayang kamu!” katanya dengan
wajah yang lebih ceria dari biasanya.
Kedua tangannya dijulurkan, dia memberiku boneka panda.
“Dicky, makasih. Aku juga sayang kamu” balasku.
“Happy birthday…happy birthday…happy birthday Puput” suara itu
masuk ke dalam telingaku dan Dicky. Semakin lama, semakin jelas.
Dicky dan aku bergegas keluar. Terlihat Dickha membawa kue ulang
tahun dengan lilin yang membentuk angka 17, teman-teman satu
kelasku berbaris rapi, berjalan, di belakang Dickha. Wajah Dickha,
236
Sen yum Dicka, cara matanya menatapku sudah asing bagiku. Bahkan,
aku merasa seperti melihat wajahnya untuk pertama kalinya.
“Put, selamat ulang tahun yaa… moga kamu langgeng sama
Dicky. Aku mau ikhlasin kamu aja buat dia. Jangan pernah lupain
aku, Put. Tiup lilin ini, jangan lupa buat make a wish” ucap Dicka.
Mataku terpejam sejenak, secepat kilat kenanganku bersama
Dickha kembali terputar dalam memori. Aku membuat permintaan
agar semuanya dilancarkan oleh Tuhan. Tak mampu kuberkata,
kubuka mata, kupandang sekelilingku. Hatiku berkata
“Tuhan, ini bukan mimpi. Jika ini memang takdirku, akan aku
terima.”
Dengan tegas Dickha berbicara dengan Dicky
”Bro, apa artinya persahabatan kita selama enam tahun ini, kalo
kamu cuma mau khianatin gini. Maaf, aku mau cari temen baru, yang
bukan seorang pengkhianat! Jagain Puput, kalo kamu sayang dia,
jaga perasaannya!”
“Dickha…, denger penjelasanku dulu!” ujar Dicky.
Dickha memberikan kue itu kepadaku dan bergegas meninggalkan
kami. Hati yang cerah ini kini menjadi gelap. Seperti mendung lalu
hujan, terdapat petir di dalamnya dan angin topan tiba-tiba menerjang.
“Dicky, apa bener kamu sahabatan sama Dicka?” tanyaku dengan
penuh kesabaran untuk menanti sebuah jawaban “iya”.
“Mungkin, kamu kira kita cuma saling kenal dan bukan sahabat.
Tapi, pada kenyataannya?! Kita sahabatan udah enam tahun. Aku
gak pernah cerita. Soalnya, sebelum Dickha suka sama kamu, aku
dah suka sama kamu duluan dan kamu gak pernah tahu. Tiap ada
kamu di deket Dickha tiba-tiba aku ngejauh sama Dickha. Aku nggak
pengin kamu tahu tentang persahabatan kita!”
Aku menghela nafas, mencoba menahan emosiku.
Tuhan memiliki banyak cara untuk menghadirkan sebuah cinta.
Dan pasti dia akan memberikan aku seseorang yang baru selain
Dickha dan Dicky, aku yakin! Kisah cinta selanjutnya akan lebih indah
daripada ini. Aku berpikir, untuk menyatukan pecahan-pecahan gelas
itu, impossible memang. Tapi, aku tetap akan berusaha. Meskipun,
apabila disatukan pasti akan terlihat retakan-retakannya.
237