The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by PERPUSTAKAAN MAN 2 CIAMIS, 2022-02-14 20:52:11

Ensiklopedi Islam Nusantara

Ensiklopedi Islam Nusantara

satu sama lain. Pengidentifikasian diri baik Posisi Sumur dan Kamar Mandi sebelah kiri Rumah Jawa
individual maupun kelompok secara spasial
melahirkan “konsep menghuni” (to dwell) Gambar 1 (Koleksi Nur Said):
yang akan memungkinkan seseorang menjadi
bagian dari suatu lingkungan dalam memaknai neraka katut yang melekat dalam tradisi Jawa
sekelilingnya (Norberg-Schulz, 1985: 5-6). perlu dimaknai sebagai wujud kesetiaan
pasangan mau dibawa pada jurang neraka
Ini berarti bahwa omah juga merupakan atau jalan ke surga tergantung pada kemauan
suatu kebudayaan yang terpentas melalui pasangan yang bersangkutan secara bersama.
ruang. Interpretasi terhadap makna ruang
dalam dialektika sosial inilah yang kemudian Hal ini juga selaras dengan tuturan bahasa
turut mengkonstruk perilaku hingga Jawa lainnya, khususnya di lereng pegunungan
membentuk suatu identitas budaya yang Kendeng Jawa Tengah yang menyebut
unik dalam ruang sosial dalam suatu ‘budaya pasangan dalam berumah tangga sebagau
berhuni’ atau berumah tangga (omah-omah). rukunan dari kata rukun (Said, 2012b). Rukun
adalah suatu kondisi ketika keseimbangan
Harapan besar omah-omah tak lain adalah sosial itu terjadi baik dalam berbangsa,
membina keharmonisan dan dan kerukunan bermasyarakat maupun berkeluarga.
dalam berumah tangga dengan pembagian Kerukunan hidup akan terjadi ketika masing-
kerja yang harmonis antar pasangan. Itulah masing individu tanpa memandang jenis
mengapa dalam tradisi Jawa, pasangan dalam kelamin, saling menghormati, sopan santun,
rumah tangga disebut sèmah. Ini berarti bahwa saling menghargai agar rumah laksana surga
siapapun yang sedang menjalankan aktivitas di (Endaswara, 2016: 38).
luar rumah baik karena alasan bekerja, belajar,
dakwah dan lainnya dimana suatu saat akan Untuk itu entitas omah dalam omah-
menemukan sosok yang lebih indah, lebih omah setidaknya ada 5 (lima) hal mendasar
cantik dan atau lebih tampan, maka tetap harus fungsional yang saling bersinergi yaitu
ingat tempat kembali (mulih), ingat pasangan kamar duduk (palenggahan), pakiwan, pawon,
(sèmah) yang di rumah agar kerukunan dalam pesholatan dan peturon. Pertama, palenggahan
berumah tangga tetap terjaga. Suwargo nunut adalah tempat duduk. Duduk menunjukkan
posisi tubuh dengan pandangan lurus dan

342 | Ensiklopedi Islam Nusantara

menghadap ke depan yang merupakan posisi Fungsi ketiga dari omah adalah sebagai
ragawi yang diasumsikan menjalin komunikasi pawon (dapur). Pawon adalah ruang pemenuhan
dengan yang lain. Tempat duduk (palenggahan) kebutuhan untuk olah-olah pangan sebagai
yang dalam rumah tradisional Jawa sering bagian dari kebutuhan dasar setiap manusia.
disebut dengan Jaga Satru merupakan ruang Maka omah harus memiliki pawon secara
interaksi sosial secara formal dalam keluarga khusus agar setiap anggota keluarga dalam
ketika menerima tamu dari pihak luar (Said, berumah tangga bisa terpenuh kebutuhan
2012: 58-59). Palenggahan dalam hal ini makanannya secara baik dan sehat.
menjadi ruang kemapanan sementara dalam
posisi relatif di dunia yang saling berkaitan Yang menarik dalam rumah adat Jawa,
(Santoso, 2000: 205). posisi dapur pada umumnya terletak di sebelah
kiri sejajar dengan pelanggahan (joglo satru)
Maka dalam tutur sapa orang Jawa sering dan berdekatan dengan pakiwan, sumur dan
terdengar: “Lengahipun wonten pundi?” (dimana kamar mandi. Hal ini berbeda dengan posisi
Anda duduk?) berarti menanyakan keberadaan dapur pada rumah-rumah model sekarang
tempat tinggal seseorang. Dalam pengertian yang umumnya posisinya di belakang. Salah
yang lebih luas juga bermakna status sosial satu alasan mengapa dapur diposisikan di
seseorang. Namun kedua makna tersebut sebelah kiri sejajar dengan palenggahan adalah
dalam artian posisi kemapanan sementara, sebagai bentuk penghormatan kepada tamu
karena suatu saat bisa saja berubah atau hijrah agar pintu masuk ke dapur tidak melawati jogo
ke hunian yang lain. satru (ruang tamu) sehingga tidak mengganggu
ketika ada tamu. Hal ini juga sebagai isyarat
Fungsi kedua adalah pakiwan. Pakiwan dari bahwa urusan dapur juga dianggap penting
bahasa Jawa kiwa (kiri). Dalam tradisi Jawa, kiri sejajar dengan urusan penerimaan tamu
(kiwo) adalah sebagai lambang kemungkaran, (palenggahan) yang bisa disinggahi oleh
kejahatan dan kekotoran. Sementara kanan anggota keluarga yang laki-laki maupun
(têngên) melambangkan segala sesuatu perempuan. Jadi urusan pawon (dapur) tidak
yang ma’rūf (baik), perilaku positif, amal semata-semata urusan kaum perempuan
shaleh. Pakiwan dalam konteks omah Jawa semata tetapi harus menjadi urusan bersama
dimaksudkan sebagai tempat pembersihan antara laki-laki dan perempuan dalam omah-
diri dari segala yang jahat, mungkar, serta omah (berumah tangga).
gangguan lain yang menyebabkan berbagai
penyakit. Fungsi keempat dari omah adalah
pashalatan, ruang untuk tempat bermunajat
Orang ketika masuk omah harus dalam kepada Sang Pencipta sebagai wujud kesadaran
keadaan suci dari segala kotoran, maka tempat sipiritual penghuninya. Sebagaimana telah
pakiwan posisinya selalu di luar, depan rumah disinggung sebelumnya bahwa salah satu
sebelah kiri sejajar dengan pawon (dapur). Hal misi omah-omah adalah membina kerukunan
ini dimaksudkan agar ketika penghuni omah dalam tiga relasi sekaligus pertama adalah
tersebut mau memasuki rumah tidak ada relasi dengan Allah, sesama manusia dan
lagi berbagai bentuk gangguan dan kotoran, relasi dengan lingkungan. Kalau palenggahan
karena sudah melakukan proses pensucian diri adalah lebih menonjolkan wujud bentuk
(bebersih) sebelumnya (Said, 2012: 72). penghormatan kerukunan kepada sesama
manusia, sementara pakiwan adalah wujud
Yang termasuk pakiwan adalah sumur, membangun kerukunan dengan lingkungan
kamar mandi, toilet dan padasan (tempat dengan menjaga sumur tetap sehat sehingga
berwudlu). Sumur, kamar mandi dan toilet bisa untuk bebersih, maka pashalatan ruang
adalah sarana membersihkan dari kotoran spasial dalam omah dalam membangun
yang bersifat lahiriah, sementara padasan dan kerukunan dengan Allah, Sang Pencipta.
kamar mandi juga berfungsi sebagai sarana
pembesihan dari kotoran yang bersifat batiniah Maka dalam omah-omah perlu
(hadas kecil dan hadas besar). mempersiapkan ruang atau tempat khusus

Edisi Budaya | 343

pashalatan yang diatur sedemikian rupa agar tempat tidur bagi orang-orang yang
para penghuninya betah untuk bermunajat dimuliakan. Namun pesarèyan juga bermakna
kepada Allah. Islam memang memberi kuburan. Maka dalam bahasa Jawa sering kita
kelonggaran sholat bisa dilakukan di manapun mendengar ketika sedang ada sanak saudara
karena dalam kaidah Islam “setiap sejengkal yang meninggal muncul pertanyaan; “...dipun
tanah bisa menjadi tempat bersujud (kullu ard} sarèaken wonten pundi?” (...akan dikubur di
in masjidun)”. Dengan demikian, kesadaran mana? Maka dengan mengingat peturon dan
omah-omah perlu dibarengi dengan kesadaran pesarèyan merupakan sebuah pesan bahwa
menfungsikan rumah sebagai sebagai bagian omah-omah adalah momentum untuk selalu
dari “sajadah panjang” untuk bersujud ingat sebuah ruang dimana kehidupan
kepada Sang Khalik. Prinsip inilah yang itu berasal dan kemana kehidupan akan
termanifestasikan dalam falsafah Jawa yang dilestarikan dan diakhiri (Endaswara, 2016:
dikenal dengan eling sangkan paraning dumadi 46; Roqib, 2007: 52-53; Santoso, 2000: 206-
(ingat asal dan tujuan hidup kepada Sang 207).
Pencipta).
Hal ini berarti bahwa omah-omah adalah
Dengan demikian fungsi pashalatan bagian dari proses meneguhkan sikap mental
dalam omah juga menunjukkan alam pikiran Jawa Islam dalam membangun keseimbangan
dan perilaku makrifat Jawa yang dikenal juga hidup yang harmonis dalam hubungan
sebagai manunggaling kawulo Gusti (kesatuan dengan Allah, sesama manusia, dan juga
hamba dengan Tuhan), seuatu konsep sekaligus dengan lingkungannya agar tergapai
pantheistik yang menganggap manusia dan kebahagian hidup di dunia dan akhirat
jagad raya merupakan percikan/pancaran sebagaimana digambarkan dalam dunia
cahaya Ilahi (Endaswara, 2016: 46; Roqib, tasawuf sebagai baitī jannatī (rumahku adalah
2007: 52-53). Maka dimanapan dan kapanpun surgaku).
manusia menjalankan peran kehidupannya
harus disadari bahwa kehadiran Ilahi akan Ritual Mendirikan Omah
selalu terpancar jiwa dan raganya.
Begitu dalamnya makna dalam omah-
Fungsi kelima dari omah adalah peturon omah, maka proses mendirikan omah itu
dari bahasa Jawa ngoko turu (tidur). Tidur yang laksana punya gawe besar sehingga setiap
dalam wujud spasialnya berupa kamar tidur tahapan proses mendirikan atau membangun
adalah sebuah kondisi posisi tubuh berbaring rumah ada ritual dengan prosesi dan pesan
yang menunjukkan keadaan tubuh lebih tetap tertentu. Beberapa proses ritual dalam
dan mapan. Dipan, kasur, bantal, guling, mendirikan rumah itu antara lain:
selimut dan sejenisnya adalah ikon-ikon yang
merujuk pada proses bermukim dalam jangka 1) Ritual Buka Tableg
waktu permanen. Di peturon ini pula konotasi
mendasar dalam kehidupan domestik dimana Ritual ini merupakan prosesi ritual
proses generasi dan regenarasi pada tahap yang diselenggarakan sebelum penggalian
awal terjadi. Peturon menjadi media ketika pandeman (pondasi) rumah yang akan
pasangan suami dan istri (sèmah) melakukan dibangun. Hari pelaksanaan ritual Buka Tableg
hubungan intim dalam situasi dan kondisi bukanlah sembarangan, tetapi merupakan hari
paling rukun. Tanpa suasana kerukunan proses tertentu yang didapatkan dari “orang pintar”
reproduksi tidak akan sehingga regenerasi yang biasanya adalah kiai sepuh yang dianggap
gagal. Maka rukun agawe santoso (rukun akan memiliki kelebihan secara spiritual.
mengantarkan kehidupan yang sentosa),
demikian falsafah Jawa menegaskan. Ritual ini dilakukan dengan menggelar
bancakan atau slametan yang biasanya diiringi
Peturon dalam bahasa Jawa Krama juga dengan doa rasulan (doa dengan wasilah
disebut pesarèyan. Pesarèyan merupakan Kanjeng Rasul Muhammad SAW) atau
istilah yang terhormat untuk menunjukkan manaqiban (doa dengan wasilah Waliyyulah

344 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani) di tempat menjalankan peran sebagai khalifatullah
yang akan didirikan rumah. Dalam acara agar bersama-sama tidak berbuat
ini biasanya dengan mengundang saudara/ kerusakan tetapi senantiasa menjaga
keluarga dan tetangga sebelah yang dipimpin bumi pertiwi tempat hidup manusia
oleh kiai Langgar atau kiai kampung dengan sebagaimana kebersamaan menikmati
maksud agar semua rencana pembangunan jajan pasar.
rumah bisa berjalan lancar, tidak ada halangan
serta mendapatkan kemudahan dalam e. Kembang setaman, yaitu bermacam-
menyelesaikan rumah tersebut. Keterlibatan macam bunga (setaman) yang biasanya
keluarga dan tetangga sebelah dalam bancakan terdiri dari lima macam kemudian
Buka Tablek tersebut sebagai wujud kesadaran dicampur dalam air di baskom juga sebagai
sosial calon pemilik rumah bahwa dirinya wujud persembahan kepada Yang Maha
tidak bisa hidup tanpa orang lain, maka dalam Indah. Bunga adalah simbol keindahan
mengawali pendirian rumah tersebut juga tak dengan harapan agar kehidupan yang
lepas dari peran orang lain. akan dilalui melalui rumah tersebut
bisa dinikmati dengan indah baik dalam
Beberapa sarana upacara Buka Tableg keluarga, dengan tetangga maupun dalam
tersebut antara lain: masyarakat yang lebih luas (Said, 2012:
89; Triyanto, 2001: 186-187).
a. Bubur abang-putih (merah-putih) sebagai
perlambang mengingatkan kejadian 2) Ritual Munggah Kayu (Tongcit) atau
manusia yang terdiri dari darah merah Munggah Molo:
dan darah putih.
Ritual adat ini diselenggarakan ketika
b. Ingkung ayam jantan, yaitu daging ayam bagian-bagian bangunan yang mengelilingi
matang yang diikat masih utuh dengan rumah atau dinding sudah berdiri tegak dan
dilengkapi air kuwah secukupnya dan baru berbagai ragam kayu penyangga genting
diiris sesuai kebutuhan setelah dibacakan dan joglo pencu siap untuk di pasang. Ritual
doa rasulan atau manaqiban. Hal ini Munggah Kayu adalah proses menjelang
sebagai wujud penghormatan kepada penataan konstruksi rumah bagian atas/
Rasulullah Saw dan Waliyyullah, sebagai atap (bubungan rumah). Beberapa uba-rampe
Sang Pencerah dari kegelapan menuju (perlengkapan) yang disiapkan dalam upacara
dunia yang penuh hidayah-Nya. Munggah Kayu ini antara lain:

c. Nasi tumpeng dan lauk-pauk secukupnya a. Klebet (bendera) warna merah putih
yang dihias mengitari tumpeng dilengkapi sebagai wujud kesadaran kebangsaan
kluban urap sayur alami dari kebun. dalam membangun rumah tangga adalah
Tumpeng yang terbuat dari nasi kuning bagian dari keluarga besar Indonesia.
dengan dibuat meninggi sebagai wujud Warna merah menunjukkan perlunya
kepasrahan total kepada Dzat Yang keberanian dalam mengambil keputusan
Maha Tinggi (Al’Aliy) dan pemberi rizki berumah tangga dengan tetap pada jalan
(Al Rozaq). Sementara lauk-pauk dan yang benar yang disimbolkan dengan
kluban urap sebagai pengingat pentingnya warna putih.
menjaga kesimbangan lingkungan
semesta alam baik dari dunia binatang b. Tebu beserta daunnya yang bermakna
(fauna) maupun dunia tetumbuhan (flora). anteping kalbu, yaitu kuatnya niat dan
terbebas dari keraguan bahwa samudara
d. Jadah pasar, yaitu belanjaan jajan yang kehidupan harus segera dilalui dengan
dibeli dari pasar tradisional. Hal ini penuh optimisme meskipun ancaman
sebagai wujud persembahan kepada badai tetap ada.
Dzat pemelihara tanah dan bumi
(Rabbul’ālamīn), agar manusia sebagai c. Anak pisang satu batang, sebagai simbol
penghuni bumi benar-benar bisa

Edisi Budaya | 345

Prosesi Pemasangan Uba Rampe Munggah Kayu Indonesia.

Gambar 3 (Sumber: http://dwialfirohmatin.web.unej.ac.id/): Warna putihnya sebagai simbol kesucian
dan sekaligus kebajikan yang senantiasa
tunas yang mudah tumbuh-berkembang. harus diperjuangkan dalam meniti hidup
Karena itu diharapkan rumah tersebut di rumah yang sedang dibangun tersebut.
menjadi saran menumbuhkembangkan Sehingga di rumah tersebut nantinnya bukan
generasi yang baik antara lain adanya sekedar tempat untuk tidur (istirahat), tetapi
fungsi peturon. sebagai wahana dalam memperjuangkan
kebajikan sehingga rumah benar-benar bisa
d. Setandan pisang raja yang sebagian sudah meneduhkan bagi keluarga dan mampu
matang; sebagai perlambang pentingnya menfasilitasi terajutnya kebahagian di dunia
kepemimpinan (raja) yang tegas dalam dan akhiratnya. Sehingga rumah menjadi
keluarga yang harus dipatuhi oleh segenap surga bagi penghuninya.
anggota keluarga selagi pada jalur jalan
yang benar. Sementara seikat padi yang juga turut
diikatkan pada kayu menandakan sebuah
e. Padi dua unting (ikat): sebagai perlambang harapan agar rumah tersebut nantinya
kemakmuran agar mendapatkan memperlancar bagi penghuninya dalam
kemurahan rizki dari Yang Maha Memberi mencari nafkah (golek pangupa jiwa) sebagai
Rizki sehingga terpenuhi sandang pangan. prasarat dalam mempertahankan hidup,
sehingga penghuninya tidak akan kekurangan
f. Ingkung dan seperangkat tumpeng (Said, pangan dan selelu dalam kecukupan. Maka
2012: 89-90). ketika padi disandingkan dengan merah putih,
hal ini menjadi sebuah visi berhuni yang
Setelah diadakan prosesi berdoa saling melengkapi bahwa rizki (pangan) yang
seperlunya yang dipimpin oleh seorang kiai didapatkan nantinya hendak diorientasikan
setempat bersama uba rampe ingkung dan pada penegakan kebajikan (putih) meski
tumpeng seperangkat pada malam harinya, dengan butuh semangat perjuangan yang
maka tumpeng dan ingkung tersebut akhirnya membara (merah).
dibagi-bagi kepada khalayak yang hadir sebagai
wujud sedekah dan kebersamaan . Sementara pohon tebu segar yang masih
berakar dan berdaun serta anak pisang yang
Sementara pada pagi harinya perlengkapan turut dikat pada kayu juga sebagai penanda
yang lain seperti pisang raja, seonggok padi bahwa pendirian rumah disadarai dengan
yang sudah menguning dan seikat tebu, tekad yang kuat (anteping kalbu=tebu) dan
kesemuanya diikat dan digantungkan pada sekaligus isyarat awal penanaman bibit positif
kayu blandar. Dalam hal ini blandar-nya dihias (hal-hal yang baik) bagai tebu yang berakar
dengan ubo rampe tersebut, lalu dinaikkan dan dan berdaun sehingga tinggal menancapkan
dipasang pada posisinya. Sementara di tengah- pada lahan yang sudah disiapkan. Rumah
tengah kayu tersebut dibungkus dengan kain adalah sebagai lahan (wahana) atau dalam
merah putih (seperti bendera Indonesia) bahasa Jawa sebagai kawah candradimuka bagi
sebagai wujud kesadaran bagian dari keluarga generasi bangsa agar mampu menumbuhkan
kader-kader yang bervisi merah putih.

Kombinasi wujud tebu yang berdaun dan
berakar, seikat padi dan dan kain merah putih
adalah ekspresi simbolik dalam ritual munggah
kayu agar penghuninya selalu ingat visi
hidup dalam berhuni di rumah bahwa hidup
bukanlah untuk makan saja, tetapi makan
adalah sekedar untuk mempertahankan hidup.

346 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Sementara kehidupan yang bernilai tersebut mampu menempatkan diri sebagai “lampu
harus diorientasikan untuk menumbuhkan penerang” sehingga selalu mencerahkan bagi
atau menanamkan benih-benih (simbol pohon keluarganya sehingga terbangun keluarga yang
tebu dan tunas pisang) kabajikan (putih) meski harmonis dan rukun.
hambatan dan rintangan akan menghadang
sehingga butuh kobaran api perjuangan Sementara tikar biasanya dibawa oleh
(simbol warna merah). anak-anaknya yang turut serta mengikuti jejak
ayah emaknya dalam mulai menghuni rumah
3) Ritual Ulih-ulihan baru. Dengan dibawanya tikar adalah sebagai
ekspresi simbolik bahwa di rumah tersebutlah
Ritual ini adalah sebagai ekspresi kesiapan para penghuninya siap menggelar pentas
calon penghunia rumah ketika rumah yang kehidupan dengan penuh semangat dan
dibangunnya sudah siap dihuni. Dalam ritual harapan. Anak-anak juga harus turut tut wuri
Ulih-ulihan (dari kata bahasa Jawa mulih = handayani, mengikuti visi berhuni kedua orang
pulang/kembali) ini calon penghuni diarak tuanya yang telah memiliki landasan yang
(diantarkan) oleh sanak saudara, sahabat kuat. Maka rumah disamping sebagai tempat
dan tetangga sebelah dari tempat asal (orang memulihkan (mulih) tenaga dan pikiran bagi
tuannya) menuju rumah baru yang hendak keluarganya setelah seharian menjalankan
dihuninya. Dalam tradisi ulih-ulihan ini semua rutinitas hidup, rumah juga dijadikan sebagai
anggota keluarga yang akan menempati rumah “madrasah” (tempat belajar) untuk menemukan
tersebut harus ikut bersama rombongan kesejatian hidup yang hakiki,
dengan membawa sejumlah barang-
barang sebagai ekspresi simbolik bagi calon Begitu semua sudah hadir di rumah yang
penghuninya. Barang-barang tersebut antara baru tersebut, maka acara dilanjutkan dengan
lain berupa; sapu lidi, lampu teplok, tikar dan do’a bersama dipimpin oleh seorang kyai
bantal-guling. kampung dengan diikuti oleh para hadirin yang
ada. Do’a yang dibacakan oleh kyai biasanya
Begitu sampai di rumah yang akan berbahasa Arab yang isi doa biasanya berisi
dihuni, calon penghuni langsung disambut harapan bersama agar calon penghuni tersebut
oleh sebagian anggota keluarga lainnya yang diberkahi oleh Allah serta mendapatkan
sudah terlebih dahulu di rumah tersebut. limpahan rahmat dan kasih sayang dari-Nya,
Maka dengan ucapan salam; assalāmu’alaikum, sehingga keluarga dan generasi yang terbangun
calon penghuni memasuki rumah. Di teras di rumah tersebut menjadi sosok keluarga
rumah tersebut, sang ibu menyapukan sapu yang sakīnah (ketenangan), mawaddah (kasih)
yang dibawanya dilantai sebagai ekapresi dan rahmah (sayang). Keluarga demikianlah
simbolik pembersihan diri dari segala kotoran yang diidam-idamkan bersama sehingga
baik lahir maupun batin karena rumah model dari keluarga yang seperti inilah diharapkan
sekarang sumur sudah mulai banyak di dalam tercipta tatanan masyarakat yang sejahtera,
rumah. Pada rumah tradisional Jawa, ekspresi damai dan penuh ampunan dariNya yang
simbolik pembersihan diri dari segala kotoran dalam bahasa Al Qur’an disebut baldatun t}
dilakukan dengan singgah di pakiwan, yakni ayyibatun warabbun ghafūr (QS. Saba: 15)
kamar mandi dan padasan yang biasanya
terletak dekat sumur di depan rumah sebelah Kearifan omah-omah sebagaiman terurai
kiri. di atas menunjukkan bahwa dalam memahami
keragaman bahasa simbolik dalam berbagai
Begitu jiwa dan raga dianggap suci maka ritual pendirian omah membutuhkan
kepala keluaga dengan membawa lampu teplok kepekaan olah rasa karena bahsanya masih
sebagai simbol penerang kehidupan dalam semu (tersamar). Simbol dan ungkapan
keluarga mula memasukan rumah. Dengan dalam tradisi Jawa Islam adalah manifestasi
lampu teplok tersebut diharapkan kepala pikiran, kehendak dan rasa Jawa yang halus.
keluarga harus selalu ingat bahwa dirinya harus Sebagaimana ungkapan yang populer Wong

Edisi Budaya | 347

Jawa Ngone Semu. Ungkapan ini mengandung perenungan yang mendalam dan pembelajaran
pengertian bahwa orang Jawa dalam kritis atas rahasia dibalik bahasa simbolik
memandang realitas tak hanya menampilkan dalam kultur Jawa yang merupakan bagian
wadhag (kasat mata), namun penuh dengan dari warisan budaya Islam nusantara.
isyarat atau sasmita (Endaswara, 2016: 24).
Untuk bisa memahaminya memerlukan [Nur Said]

Sumber Bacaan

Endraswara, Suwardi, Prof. Dr., (2016). Falsafah Hidup Jawa, Menggali Kebijakan dari Intisari Filsafat Jawa. Yogyakarta:
Cakrawala.

Fox, J.J., (1993). “Comparative Perspective on Austronesian Houses: An Introductory Essay”, dalam J.J. Fox (ed.), Inside
Austronesian Houses: Perspectives on Domestic Designs for Living, Canberra: The Australian National University.

Norberg-Schulz, Christian, The Concept of Dwelling: On the Way to Figurative
Said, Nur. (2012). Tradisi Pendidikan Karakter dalam Keluarga, Tafsir Sosial Rumah Adat Kudus. Kudus: Brillian Media

Utama.
Said, Nur, (2012b). “Strategi Saminisme Dalam Membendung Bencana Perlawanan Komunitas Sedulur Sikep terhadap Rencana

Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo Pati,” Agama, Budaya dan Bencana, Kajian Integratif, Ilmu, Agama dan
Budaya, Bandung: Mizan.
Santoso, Revianto Budi. (2000). Omah; Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000.
Tjahyono, M.Arc., (2000). “Kata Pengantar”, dalam Revianto Budi Santoso, Omah; Membaca Makna Rumah Jawa,
Yogyakarta: Bentang Budaya
Triyanto. (2001). Makna Ruang & Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus.Semarang: Kelompok Studi Mekar.

348 | Ensiklopedi Islam Nusantara

P

Palastren, Pawestren
Patitis
Peci
Pegon

Pengajian
Perang Ketupat

Pesantren
Petilasan
Pribumisasi Islam
Primbon

Pupuh



Palastren, Pawestren

Salah satu ruang yang paling diakrabi oleh waktu shalat z}uhur. Lalu menyebut “paistrian”
umat Islam dalam menjalankan ritual menjadi Palastren atau Pawestren sebagai
ibadah adalah masjid. Tidak banyak yang wujud pengetrapan dengan dialek penutur
menyadari terutama dari kalangan outsider Jawa.
bahwa di bagian ruang masjid nusantara
terutama di Jawa, ada space khusus yang Genealogi dan Pisisi Palastren
diperuntukkan bagi jamaah muslimah (kaum
perempuan yang muslim) dalam menjalankan Palastren/Pawestren merupakan bagian
berbagai aktivitas ibadah di masjid tersebut. dari bangunan utama masjid khas nusantara
Di kalangan umat Islam terutama di Jawa terutama di Jawa dan tidak dapat dipisahkan
ruang tersebut sering disebut sebagai Palastren dari bangunan utamanya itu sendiri. Pada
atau sebagian ada yang menyebut Pawestren. masjid-masjid kuna di Indonesia posisi
Dalam bahasa Sunda disebut pangwadonan, Palastren/Pawestren biasanya terletak di
sementara dalam bahasa Jawa Cirebon disebut sebelah kiri atau sebelah selatan, sejajar
paestren dan pewadonan (Pijper, 1987: 33: dengan ruang utama masjid. Namun ada
Shohib, dkk., 2012: 15). juga Palastren/Pawestren pada masjid kuno
yang letaknya di sebelah kanan atau utara
Terjadinya perbedaan penyebutan dalam dari ruang utama masjid seperti di Masjid Al
ruang ibadah kaum perempuan di masjid Aqsa, Menara Kudus. Hal ini berbeda dengan
tersebut tak lepas dari keragaman dialek dalam masjid-masjid model sekarang yang sebagian
berbagai kelompok penutur dari berbagai suku, memposisikan jamaah kaum perempuan
ras dan bahasa. Apalagi nama Palastren atau terletak di belakang jamaah laki-laki yang
Pawestren dalam berbagai masjid di nusantara hanya dipisahkan dengan satir atau hijab.
seringkali tidak ditulis atau disebutkan dalam
tata ruang yang ada, meskipun eksistensinya Di samping terdapat pada masjid,
ada. Yang sering dimunculkan dalam bagan Palastren atau Pawestren juga sering terdapat
penujuk masjid adalah “tempat wudlu wanita”, pada langgar (Jawa) atau musholla, yaitu pusat
nama Pawestren atau Palastren hanya dalam kegiatan ritual shalat, pengajian keislaman
dunia ingatan kaum muslimin nusantara. yang biasanya dibimbing oleh seorang kyai
kampung. Langgar berbeda dengan masjid.
Kata “Palastren” atau “Pawestren” Kalau Langgar biasanya sebagai pusat jamaah
berasal dari kata dalam Bahasa Jawa “èstri” sholat dan ngaji para santri di kampung
yang berarti istri atau perempuan yang terutama di Jawa, sementara masjid memiliki
kemudian mendapatkan imbuhan “pa - an’ fungsi lebih luas, di samping pusat kegiatan
yang menunjukan tempat sehingga menjadi ritual shalat, pengajian keislaman, kegiatan
“paistrian” yang bermakna tempat untuk sosial budaya juga sebagai pusat ibadah Jum’at
kaum perempuan. Karena pengaruh struktur bagi kaum laki-laki.
bahasa setempat terutama bahasa Jawa, kata
paistrian berubah menjadi “Palastren” atau Pada masjid-masjid kuna di nusantara,
“pawestren” (kromo), pangwadonan (ngoko) terutama di Jawa, biasanya terdapat ruang
(Felisiani, 2009: 17; Aryanti, 2006: 73). Hal Palastren/Pawestren yang meyatu dengan
ini seperti sebagian orang Jawa menyebut kata bangunan utama masjid atau sebagian diberi
“z}uhur” menjadi “lohur”, maksudnya adalah batas atau bangunan khusus yang didirikan

Edisi Budaya | 351

di samping sebelah kiri atau di arah selatan dalam konstruksi Menata Kudus.
ruang utama masjid. Palastren/Pawestren
biasanya memiliki keempat dinding, kecuali Sementara dalam perkembangan
pada beberapa pawestren yang tidak memiliki berikutnya ketika Islam sudah mengakar
dinding pintu masuk seperti pada Palastren/ di Jawa, ada keinginan lebih kuat untuk
pawestren Masjid Agung Demak dan pada menjadikan kebudayaan Jawa kembali sebagai
Masjid Agung Cirebon. subyek sejarah baik melalui pendekatan
kultural maupun struktural. Inilah yang
Pada awalnya Palastren/Pawestren kemudian dikenal dengan “Jawanisasi Islam”
dibangun tidak sekedar hanya sebagai ruang yang antara lain dilakukan oleh beberapa
tambahan, tetapi juga menjadi sebuah Kesultanan Islam di Jawa seperti di Cirebon,
ruang permanen dengan segala macam Demak, Surakarta dan juga Yogyakarta.
kelengkapannya berupa jendela, ventilasi,
ornamen yang terdapat di dalamnya dan yang Semangat utama “Jawanisasi Islam”
terpenting adalah ada pintu penghubung adalah merevitalisasi kebudayaan Jawa dengan
(akses) antara ruang utama masjid untuk mengakomodasi nilai-nilai ajaran Islam.
jamaah laki-laki dengan Palastren/Pawestren, Sebagai konsekwensinya wajah Islam menjadi
untuk jamaah perempuan. semakin kontekstual, yang tak lepas pengaruh
dari bukan saja sosio kultur masyarakatnya,
Kemunculan Palastren/Pawestren pada tetapi juga alam pikiran, atau pandangan dunia
masjid-masjid kuno di Jawa membawa makna Jawa dan politik kebudayaan pada masanya
dan keunikan tersendiri bagi umat Muslim di (Anashom, 2014). Demikian juga keberadaan
Jawa. Keberadaanya tak lepas dari situasi dan Palastren/Pawestren merupakan wujud
kondisi perempuan Jawa pada abad ke 15-20 akomodasi budaya antara proses “Islamisasi
M dalam pengaruh struktur sosial, budaya dan Islam” pada satu sisi dan “Jawanisasi Islam”
politik di suatu masa kerajaan atau kesultanan pada sisi lain sehingga menjadikan masjid
Islam. nusantara menjadi khas.

Pada masa periode kewalian abad ke 15– Sebagai sebuah perbandingan, beberapa
16, Walisongo memperkenalkan Islam dalam Palastren/Pawestren dalam berbagai Masjid
upaya “Islamisasi Jawa” dengan pendekatan Agung pada Kerajaan Islam di Jawa dapat
budaya Jawa yang kental sehingga populer diperhatikan dalam kisaran sejarah sebagai
prinsip dakwah yang ramah, Arab digarap, berikut (Felisiani, 2009: 5):
Jawa digawa (Said, 2005). Nilai-nilai Islam
yang munculnya di Arab penting untuk digarap No Nama Masjid Tahun Tahun Pendirian
atau diolah, namun perlu dibungkus dengan Pendirian Palastren/
budaya Jawa agar tidak terjadi kekagetan Pawestren
budaya (culture shock). Maka muncul istilah Masjid
“syahadatain” menjadi “sekaten” sementara Tidak diketahui
dari sisi arsitektur bangunan memberi 1 Masjid Agung Demak 1466 M 1934 M
toleransi akulturasi lintas budaya seperti Tidak diketahui
2 Masjid Agung Cirebon 1498 M
Posisi Palastren di Sebelah Kiri Masjid Agung Demak 1556 M
3 Masjid Al Aqso 1549 M Tidak diketahui
Gambar 1 (Koleksi Nur Said) Menara Kudus
1850 M
4 Masjid Agung Banten 1552-1570 M
1839 M
5 Masjid Agung 1589 M
Mataram
(Kota Gede)

6 Masjid Agung 1763 M
Mataram
(Surakarta)

7 Masjid Agung 1773 M
Mataram
(Yogyakarta)

Dilihat dari sebaran tahun pendirian
Palastren/Pawestren pada masjid-masjid
Agung kerajaan Islam di Jawa, menunjukkan
bahwa berdirinya tidak serta merta
berbarengan dengan tahun berdirinya masjid.
Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran

352 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Palastren/Pawestren merupakan respon atas masjid yang berlantai dua palastren/pawestren
perkembangan kebutuhan jamaah yang di biasanya berada di balkon atas bahkan tak
dalamnya memberi ruang kepada kaum jarang dilengkapi dengan perangkat elektronik
muslimah untuk menjalankan ibadah ritual di audiovisual yang canggih seperti di masjid
masjid. Hal ini selaras dengan falsafah hidup Daarut Tauhiid, Bandung.
orang Jawa yang mengedepankan nilai-nilai
harmoni dan kerukunan baik dalam relasi Hal ini menunjukkan bahwa dinamika
dengan Sang Khalik, makhluk maupun dengan perkembangan palastren/pawestren juga
alam sekitar, termasuk kerukunan dalam dipengaruhi oleh perkembangan sosial, budaya,
relasi gender (Endraswara, 2016: 38). Hal ini tren arsitektur dan juga teknologi informasi.
sekaligus sebagai wujud “Jawanisasi Islam” dari Namun kehadirannya menunjukkan bahwa
para pemangku Kesultanan Islam di Jawa yang keberadaan masjid tidak hanya dimonopoli
mengembangkan masjid dan Palastren dengan untuk kaum laki-laki tetapi kaum perempuan
alam pikiran atau pandangan dunia Jawa. juga memiliki ruang untuk memakmurkan
masjid di nusantara.
Maka dapat dipahami di sini bahwa
Palastren/Pawestren pada masjid-masjid kuno Harmoni Gender Palastren
berupa –dalam istilah arkeologi- disebut
fitur, yaitu benda budaya yang tidak dapat Salah satu falsafah orang Jawa adalah
dipindahkan karena mewujud dalam bangunan toleransi, kecenderungan sifat keterbukaan
permanen warisan budaya Islam yang masih (savior vivre), yakni sikap lapang dada
dilestarikan dan difungsikan hingga sekarang (Anderson, 2000: 1). Sikap lapang dada ini
(Simanjuntak. 2008: 3). dalam tradisi Jawa sebagai ikhtiar untuk
membangun kedamaian atau kerukunan.
Dalam perkembangan berikutnya, selain Rukun adalah ketika kondisi dimana
Palastren/Pawestren yang menyatu dengan keseimbangan sosial itu terjadi (Endaswara,
masjid, adapula masjid wanita. Masjid 2016: 38).
wanita ini didirikan sebagai satu bangunan
yang utuh, menyerupai masjid tetapi lebih Hal ini berarti bahwa kerukunan
kecil dan dikelola oleh kaum perempuan hidup akan terjadi ketika masing-masing
khususnya untuk ibadah shalat dan pengajian individu tanpa memandang jenis kelamin,
keislaman lainnya. Masjid wanita ini lebih saling menghormati, sopan santun, saling
berkembangan di kalangan Muhammadiyah menghargai termasuk saling memberi
dan mulai dibangun ketika organisasi Aisyiyah ruang dalam menjalankan ibadah di masjid.
(perkumpulan wanita Muhammadiyah) lahir Kahadiran ruang spasial berupa Palastren/
di Yogyakarta dan mendirikan “Masjid Isteri” Pawestren di sejumlah masjid di Jawa adalah
di Kauman pada tahun 1922/1923 M. Selain bagian dari manisfestasi dalam membangun
di Yogyakarta “Masjid Istri” juga terdapat harmoni gender melalui tempat ibadah yang
di Pengkolan, Garut dan sebuah langgar paling sakral yakni masjid.
yang kemudian menjadi “masjid istri” di
Karangkadjen, Yogyakarta yang didirikan pada Keberadaan Palastren/Pawestren di
tahun 1927 M (Atmodjo, dkk, 1999: 8 dan masjid juga sekaligus wujud keterbukaan
Aboebakar, 1955: 396; Felisiani, 2009: 17). Islam di nusantara khususnya di Jawa bahwa
kaum muslimah juga memiliki akses untuk
Pada perkembangan terkini khususnya memanfaatkan bagian dari masjid dalam
masjid-masjid yang dibangun pada kisaran membangun pribadi bertaqwa (muttaqīn)
akhir abad ke-20 atau setelah memasuki yang menjadi pembeda kemuliaan seoarang
abad ke-21, sebagian besar posisi palastren/ manusia satu dengan yang lainnya, bukan
pawestren tetap ada. Posisinya disejajarkan karena jenis kelaminnya (Qs. al-Hujurāt: 13).
dengan ruang utama masjid, ada juga yang
diposisikan di bagian belakang ruang utama Kesadaran bahwa Allah tidak membeda-
masjid, namun hanya dipisahkan kain atau bedakan hambanya berdasarkan suku, ras,
kayu pembatas semacam gebyok. Untuk bahasa maupun gender tampaknya disadari
oleh para sesepuh Islam di nusantara sehingga

Edisi Budaya | 353

merasa penting keberadaan ruangan khusus persegi dan sama panjang serta memiliki
bagi perempuan, yakni berupa yakni Palastren/ ornamen yang relatif sama dengan yang ada di
Pawestren yang belum pernah ada sebelumnya. dalam ruang utama masjid.
Hal ini sebagai wujud apresiasi bahwa kaum
perempuan mempunyai hak dalam hal Hal ini seperti terlihat pada Palastren/
ibadah dan memiliki ruangan umum (public Pawestren di Masjid Agung Demak dimana pada
sphere) untuk aktualisasi ibadah kepada Allah tiang penyangganya terdapat ukiran sulur-
(Felisiani, 2009: 69: Aryanti, 2006: 73). suluran. Sementara pada Palastren/Pawestren
Masjid Agung Surakarta, terdapat beberapa
Sebagaimana fungsi utama utama pintu penghubung menuju ruang utama
Palastren/Pawestren baik yang terdapat di yang memilki ukiran motif sulur-suluran dan
masjid maupun di langgar, disamping untuk kaligrafi nan indah (Felisiani, 2009: 70).
menjalankan berbagai macam ibadah shalat,
tadārus (membaca dan menelaah) al Qur’an, Hal ini sekaligus menegaskan bahwa
belajar baca tulis Al Qur’an, juga untuk kaum perempuan Islam di nusantara diberi
berbagai kegiatan pengajian keislaman lainnya keleluasaan melakukan ibadah di luar rumah
khusus bagi kaum perempuan. Ini berarti dalam hal ini di Palastren/Pawestren sebagai
kedudukan perempuan dalam lingkungan ruang publik yang terintegrasi dengan masjid.
masjid di nusantara terutama pada zaman Dalam pelaksanaannya tentu dalam bingkai
Kesultanan Islam tidak hanya selalu berada jalinan harmoni dalam keluarga sehingga
di belakang laki-laki, namun mereka memilik komunikasi dengan anggota keluarga juga
andil yang cukup besar dalam membangun tetap harus tetap terbangun dengan baik.
keshalehan ritual maupun keshalehan sosial
untuk kemaslahatan umat. Kalau masih ada sebagian kalangan
yang menganggap bahwa kaum perempuan
Dalam perspektif lain juga dapat kiprahnya hanya di ruang domestik
dipahamai bahwa keberadaan Palastren/ sebagaimana adigium yang bias gender;
Pawestren yang sejajar dengan ruang utama sumur, kasur dan dapur, maka keberadaan
masjid juga menyiratkan adanya keinginan Palastren/Pawestren menjadi saksi bisu bahwa
untuk memperlakukan kaum perempuan kaum perempuan sejak zaman Kesultanan
secara egaliter. Hal ini terlihat dari pembatas Islam justru memiliki ruang terbuka sebagai
yang terbuat dari tembok atau kayu dan sarana dalam berkiprah di ruang publik dalam
keberadaanya merupakan bagian dari ruang membangun keshalehan individual maupun
utama masjid yang dibuktikan dengan -pada keshalehan sosial bersama kaum lelaki tentu
umumnya Palastren/Pawestren- berbentuk sejauh tidak bertentangan dengan etika Islam.

[Nur Said]

Sumber Bacaan

Aboebakar, (1955). Sejarah Masjid dan Amal Ibadah di Dalamnya, Banjarmasin: Fa. Toko Buku Adil.
Anasom, HM. Drs. M.Hum, (2013). “Jawanisasi Islam dan Lahirnya Islam Sinkretik” dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI

Cabang Semarang Edisi XXVI Desember 2013fM/1435 H
Anderson, Benedict R. O’G., (2000). Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Yogyakarta: Qolam.
Aryanti, Tutin. (2006). “Center vs the Periphery in Central Javanese Mosques Architecture”, dalam Dimensi Teknik

Arsitektur Vol. 34 No. 2 (Desember): 73-80.
Atmodjo, Junus Satrio, Peny., (1999)., Masjid Kuno Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaa.
Endraswara, Suwardi, Prof. Dr., (2016). Falsafah Hidup Jawa, Menggali Kebijakan dari Intisari Filsafat Jawa. Yogyakarta:

Cakrawala.
Felisiani, Thanti, (2009), “Pawestren Pada Masjid-Masjid Agung Kuno di Jawa: Pemaknaan Ruang Perempuan”, Skripsi,

Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Arkeologi, Universitas Indonesia,
Mawardi, Kholid: “Langgar: Institusi Kultural Muslim Pedesaan Jawa:, dalam IBDA’, Jurna Kebudayaan Islam, Vol. 12, No.

1, Januari - Juni 2014
Said, Nur. (2005). Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Brillian Media Utama.
Shohib, Muhammad, Drs.H., MA.,dkk., (2012). Masjid Bersejarah di Jawa. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an.

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Simanjuntak, Truman Prof. Ris. Dr., APU., dkk [eds.]., (2008). Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Arkeologi Nasioanl, Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata.

354 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Patitis

Patitis dalam bahasa Jawa-Sansekerta Pantes dadi jujugane sadhengah wong kang
berasal dari kata “titis” yang berarti; mbutuhake rembug kang prayoga”, artinya
Pertama, tujuan, seperti bunyi salah sesungguhnya orang yang suka berbicara
satu bait Serat Wedhatama yang dikarang Sri daripada mendengarkan biasanya yang
Mangkunegowo “Patitis tetesing kawruh. Meruhi dibicarakan tak ada isinya. Sebaliknya yang
marang kang momong” artinya Tujuan ajaran banyak mendengarkan, bicaranya sedikit tapi
ilmu ini untuk memahami yang mengasuh diri jelas dan berisi (ia) layak dimintai pendapat
(guru sejati/pancer). Patitis juga digunakan masyarakat yang membutuhkan masukan
masyarakat Bali dalam arti “tujuan” misalnya yang baik. Keempat, husnul khatimah seperti
“Ngerajengan, sahyang Agama, ninggilang tata kalimat Ranggawarsita dalam Serat Sabdojati
prawerining meagama, ngerajengan kasukertan “Amung kurang wolung ari kang kadalu, tamating
desa pkraman lan pawongan sekala niskala pati patitis, wus katon neng lokil makpul,
sebagai patitis (tujuan) pembuatan awig-awig Angumpul ing madya ari, Amarengi Sri Budha
(peraturan adat)”. Pon” artinya yang terlihat hanya kurang 8 hari
lagi, (Aku) meninggal dunia secara husnul
Kedua, tepat misalnya ungkapan khatimah, jelas tertulis di Lauhil Mahfudz,
Mangkoenagoro IV dalam Serat Warayagnya Kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada
“Wong kang bakal palakrama iku kudu migatekake hari Rabu Pon.
marang kukum serta kudu migunakake nalar
kang patitis sadurunge milih wong wadon” Berdasarkan pengertian di atas patitis
artinya orang yang mau berumah tangga harus mengandung pengertian inti atau sesuatu
memperhatikan hukum dan menggunakan yang mendalam (substansi) dari segala hal
nalar yang tepat sebelum memilih jodoh. yang diharapkan di dalam kehidupan dunia.
Begitu pula dalam karya Ranggawarsita yang Patitis juga dapat dipahami sebagai sesuatu
menyubut kata patitis berarti “tepat”; “Ana yang tidak semata-mata lahiriyah yang tampak
kang wus kadulu, suteng carik kadhinginan oleh mata, cocok dengan akal pikiran manusia,
tuwuh, ngaku putus patrape kurang patitis, akan tetapi yang paling hakiki. Misalnya ajaran
manut ngelmuning guying dul, amangeran yang mengajak manusia supaya tidak sekedar
luncung bodhol” artinya sesuatu yang sudah memiliki ilmu tapi juga ngelmu dan tujuan
terlihat, anak juru tulis yang berwatak terlalu berguru serta berilmu tidak sekedar menjadi
maju, mengaku ahli (tetapi) tingkahnya manusia yang “bener” (benar) tetapi yang
kurang tepat, mengikuti ilmunya santri yang terpenting menjadi manusia “panther” (lurus
mengaku-aku, mendewakan badut keparat. dan sejajar dengan arahan).

Ketiga, jelas, seperti bunyi salah satu Di samping itu Patitis juga bisa disama
pitutur (ajaran) Ki Padmasusastra dalam artikan dengan maqashid dalam ajaran Islam,
Serat Madubasa, “Yektine wong kang dhemen di mana segala sesuatu seharusnya tidak
ngumbar cangkeme tinimbang kupinge adate dipandang dari sudut lahiriyahnya semata
wicarane gabug. Suwalike sing akeh ngrungokake, tetapi yang terpenting adalah intisari atau
wicarane sithik nanging patitis lan mentes. tujuan utama yang terkandung didalamnya.

Edisi Budaya | 355

Sehingga dalam mempelajari Islam tidak denganlandasan taqwa. Mereka mempelajari
hanya aspek Syariah saja melainkan juga aspek ilmu karena Allah Swt. Mereka mengamalkan
hakikatnya. ilmu yang mereka pelajari untuk memperkokok
ketaqwaan mereka. Oleh kerana itu Allah Swt
Patitis dalam sinkritisme Jawa dipahami menganugerahkan kepada mereka berupa ilmu
sebagai pusat orientasi kehidupan yang dan pengetahuan yang tidak mereka pelajari
hendak dituju dan dicapai manusia. Jika sebelumnya, berupa ilmu-ilmu langka dan
seseorang menginginkan hidup mulia di dunia isyarat-isyarat yang sangat rahasia.”
maka segala perkatan dan perbuatannya harus
tepat dan persis (titis) dengan isi hatinya. Di antara pengetahuan dan isyarat
Jika ia ingin tujuan hidupnya berhasil maka yang rahasia itu ialah ia mengetahui kapan
gunakanlah ilmu yang “titis” , tidak saja datangnya ajal dan di mana ia akan meninggal.
“bener” tapi “panther” yang berorientasi Hal ini seperti yang dialami Ranggawarsita
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Untuk yang ia sebut dalam salah satu baitnya:
mencapai ilmu yang “titis” (ngelmu) manusia tamating pati patitis, wus katon neng lokil makpul
harus dapat memahami kehendak guru sejati yang berarti ia mengetahui terlebih dulu hari
(pancer). Dengan memahami pancer manusia kematiannya secara husnul khatimah sesuai
akan ditunjukkan jalan keluar dari kehidupan cacatan di lauhil mahfudz.
dunia yang fana menuju kehidupan yang kekal
(patitis/husnul khatimah). Dalam persepsi pengikutnya, Pujangga
kenamaan Jawa itu dianggap sebagai orang
Prinsip ini sejalan dengan prinsip hidup spesial (khas) yang titis dalam segala ucapannya
kaum sufistik, sebagaimana dijelaskan karena dia sendiri merupakan tokoh yang
Al-Ghazali. Menurutnya, para ahli sufi patitis dalam perkataan dan perbuatan.
menyelesaikan persoalan hidup mereka
[Ishom Saha]

Sumber Bacaan

Kamajaya, Lima Karya Pujangga Ranggawarsita, Jakarta: Balai Pustaka, 1991
Steenbrink, Karel A., Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN

Sunan Kalijaga Press, 1988
Anasom, dkk., Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000

356 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Peci

(KOPIAH/SONGKOK)

Peci merupakan alat penutup kepala penutup kepala berbentuk persegi yang dibuat
bagi kaum laki-laki yang berciri khas dari bahan katun dan dikenakan dengan cara
Nusantara yang terbuat dari kain, dilipat pada bagian tengah menjadi berbentuk
bahan beludru atau bahan lain dan dibuat seegitiga. Kaffiyeh biasa dikenakan bersama
meruncing kedua ujungnya. Sebutan lainnya dengan Taqiyah atau topi kecil berwarna putih
adalah kopiah atau songkok. Sementara oleh yang dikenakan sebagai dalaman serta dengan
masyarakat di belahan Dunia lain, kopiah atau cara memasang Igal atau tali berwarna hitam
peci itu dikenal dengan nama Kufi, taqiyat, topi untuk menahan Kaffiyeh agar tidak lepas.
fez/fezzi, tarboosh, songkok, dan lain-lain. Dengan kata lain pemadanan kata Kopiah
dengan Kaffiyeh tidak menunjukkan bentuk
Meskipun ketiganya berfungsi sebagai barang yang sama. Ada pula yang mengaitkan
penutup kepala akan tetapi asal usulnya Kopiah dengan filosofi “Kosong di-Pyah”
berbeda. Peci yang di jaman Belanda ditulis artinya kosong dibuang yang mengandung
“Petje” berasal dari kata “pet” (topi) dan “je” makna kebodohan dan rasa dengki harus
yang mengesankan “sesuatu yang kecil” di dibuang dari isi kepala manusia.
mana biasa dikenakan oleh bangsa Melayu.
Ada pula penjelasan yang mengidentikkan Sementara Songkok dalam bahasa Inggris
Peci dengan topi fez atau fezzi yang berasal dikenal istilah skull cap atau batok kepala
dari Yunani Kuno dan diadopsi oleh Kerajaan topi, sebutan oleh Inggris bagi penggunanya
Turki Utsmani. di Timur Tengah. Di wilayah Indonesia atau
Melayu yang sempat dijajah Inggris, kata
Terdapat pula keterangan bahwa Peci tersebut mengalami metamorfosa pelafalan
merupakan rintisan dari Sunan Kalijaga yakni menjadi skol kep menjadi song kep dan
berupa Kuluk yang memiliki bentuk lebih akhirnya menjadi songkok. Ada pula yang
sederhana daripada Mahkota dan disematkan menganggap Songkok dari singkatan “Kosong
pada saat pengukuhan Raden Patah/Sultan dari Mangkok” yang artinya kepala ini seperti
Fattah diangkat menjadi Sultan Demak. mangkok kosong yang harus diisi dengan ilmu
Bahkan ada juga yang mengaitkan Peci dengan pengetahuan.
tutup kepala yang dipakai Laksamana Ceng
Ho. Dalam bahasa China, “Pe” artinya delapan Secara umum Peci, Kopiah, dan Songkok
dan “Chi” artinya energi, sehingga Pechi menjadi identitas orang Islam yang pada
merupakan alat untuk menutup bagian tubuh mulanya dikenalkan oleh para pedagang-
yang bisa memancarkan energinya ke delapan pedagang Arab dan India. Sebab, masyarakat
penjuru arah angin. pribumi dahulunya lebih mengenal ikat
kepala, semacam blangkon. Akan tetapi,
Sedangkan Kopiah diadopsi dari bahasa seperti biasanya, proses transformasi budaya
Arab, Kaffiyeh atau Kufiya. Namun wujud luar kedalam budaya Nusantara selalu
asli Kaffiyeh berbeda dengan kopiah. Di menghasilkan adapsi dan asimilasi yang unik;
Timur Tengah, Kaffiyeh yang memiliki nama sehingga terciptalah Peci, Kopiah, dan Songkok
lain Ghutra atau shemagh merupakan kain khas Nusantara.

Edisi Budaya | 357

memakai Peci, Kopiah, dan Songkok berikut
serban/surban. Mereka umumnya lebih suka
memakai peci atau pengikat kepala sejenis
blangkon.

Kopiah/songkok biasa dikenakan para santri di pesantren. Di samping sebagai identitas, pemakaian
Peci, Kopiah, dan Songkok oleh para haji dan
Sumber: Tim Anjangsana Islam Nusantara 2017. santri juga menjadi perlambang kerendahan
hati mereka. Sebab membuka kepala sama
Sebagai identitas Muslim Nusantara, Peci, artinya seseorang bermaksud menunjukkan
Kopiah, dan Songkok dikenakan khususnya kegagahannya, sedangkan menutup kepala
para haji dan santri. Sementara kiai, ajengan, sama dengan menjaga marwahnya. Seseorang
atau abuya dibedakan dengan penambahan yang menutupi kepalanya dengan Peci, Kopiah,
atrubut berupa serban/surban yang dipakai dan Songkok berarti ia dapat memelihara
pada saat-saat tertentu, misalnya sewaktu muru’ah-nya.
shalat, pengajian, dan lainnya. Kebiasaan ini,
menurut Snouck Hurgronje, dijadikan bukti Sekalipun demikian, dalam
bahwa para haji di Indonesia tidak terpengaruh
dengan cara berpakaian orang Arab karena perkembangannya, Peci, Kopiah, dan
mereka sudah memiliki tradisi tersendiri.
Orang-orang Indonesia sekembalinya pergi Songkok khas Nusantara juga dijadikan
haji justru dianggap aneh jika kesehariannya
sebagai simbol nasionalisme pada saat

berhadapan dengan bangsa Eropa. Kiai

Sholeh Darat memasukkan misi perlawanan

kepada penjajah Hindia Belanda dalam Kitab

Majum’at al-Syari’at al-Kifayat li ‘awam (1309

H/1892 M), dengan menganjurkan bangsa

pribumi Islam mengenakan peci dan atribut

lain yang bisa membedakannya dengan kaum

penjajah. Ia mengingatkan: “Barangsiapa

ikut-ikutan dengan sesuatu maka ia termasuk

golongannya” (man syabbaha sya’an syubbiha

‘alaih). Sebab pada waktu itu banyak orang-

Para tamu mengenakan Kopiah/Songkok saat sowan ke Gusmus
(KH. Mustofa Bisiri), Rembang.

Sumber: Tim Anjangsana Islam Nusantara 2017.

358 | Ensiklopedi Islam Nusantara

orang pribumi yang meniru gaya berbusana bermunculan tokoh-tokoh pejuang yang selalu
orang-orang Eropa, seperti memakai pentolan, menggunakan Peci, Kopiah, dan Songkok
jas, dasi, dan topi. Padahal sebagimana sebagai ikon nasionalisme, yang diantaranya
disabdakan Rasulullah Saw: Laysa minna man adalah Soekarno.
tasyabbah bi ghair minna (Tidak termasuk
ummatku orang yang meniru golongan selain Pada pertemuan Jong Java di Surabaya
aku). pada Juni 1921, Soekarno untuk pertamakali
mengenalkan diri sebagai pemuda berpeci,
Pandangan serupa juga dikemukakan sekalipun mulanya ia khawatir ditertawakan
Sayyid Utsman al-Batawi --seorang mufti sahabat-sahabatnya. Ia berkata di hadapan
Betawi- dalam Kitab al-Qawanin al-Syar’iyyah teman-teman seperjuangannya: “Kita
li Ahl al-Majalis al-Hukmiyyat wa al-Ifta’iyyat memerlukan lambang daripada kepribadian
(1883 M). Ia mengkritik pegawai-pegawai Indonesia. Peci dipakai oleh pekerja-pekerja
bangsa pribumi di kantor-kantor pemerintah bangsa Melayu, dan itu asli kepunyaan rakyat
Belanda yang mengenakan pakaian serupa kita.”
yang dikenakan orang-orang Belanda. Orang-
orang pribumi di kantor pemerintah saat Sampai sekarang, penggunaan Peci,
itu melepas peci sebagai penutup kepala Kopiah, dan Songkok tidak dibatasi untuk
dengan diganti topi dan mengenakan baju orang Islam dan tidak sekedar dipakai untuk
berdasi agar dianggap sebagai bagian pegawai acara peribadatan saja. Peci, Kopiah, dan
pemerintahan. Songkok juga dipakai dalam acara resmi
seperti pertemuan-pertemuan kenegaraan
Pengaruh fatwa ulama Indonesia ini oleh kalangan dan tokoh yang agamanya non-
berpengaruh besar terhadap pemakaian Peci, Muslim sekalipun. Hal ini dikarenakan Peci,
Kopiah, dan Songkok, serta blangkon. Sebab Kopiah, dan Songkok sudah menjadi identitas
yang merasa menjadi orang pribumi akan nasional.
menggunakannya, sekalipun mereka bukan
santri ataupun sudah pergi haji. Dari situlah [Ishom Saha]

Sumber Bacaan

Adams, Cindy, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta: Yayasan Bung Karno, 1987
Hurgronje, C. Snouck, “Politik Haji?” dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII, Jakarta: INIS, 1993
Rozan Yunos, “The Orign of the Songkok or Kopiah, dalam The Brunei Times, 23/09/2007
Utsman, Sayyid, Al-Qawanin al-Syar’yyah li Ahl al-Majalis al-Hukmiyyah wa al-Iftaiyyah, Batavia, 1891.

Edisi Budaya | 359

Pegon

Istilah Kata Aksara Nusantara seringkali dikaitkan dengan
aksara hasil inkulturisasi kebudayaan India
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebelum berkembangnya Agama Islam di
(KBBI), pegon artinya aksara Arab Nusantara dan sebelum kolonialisasi bangsa-
yang digunakan untuk menulis bangsa Eropa di Nusantara. Berbagai macam
bahasa Jawad dan Sunda atau tulisan yang media tulis dan alat tulis digunakan untuk
tidak dibubuhi tanda-tanda baca (diakritik). menuliskan Aksara Nusantara. Media tulis
Kromopawiro sebagaimana dikutip Ibnu untuk prasasti antara lain meliputi batu, kayu,
Fihri mendefinisikan kata pegon berasal dari tanduk hewan, lempengan emas, lempengan
bahasa Jawa, pego, yang memiliki arti “ora perak, tempengan tembaga, dan lempengan
lumrah anggone ngucapake” (tidak lazim dalam perunggu; tulisan dibuat dengan alat tulis
mengucapkan). Hal ini dapat kita telusuri berupa pahat. Media tulis untuk naskah antara
dari banyaknya kata-kata Jawa yang ditulis lain meliputi daun lontar, daun nipah, janur
dalam huruf atau tulisan Arab yang aneh bila kelapa, bilah bambu, kulit kayu, kertas lokal,
diucapkan. Bahkan orang Arab sendiri tidak kertas impor, dan kain; tulisan dibuat dengan
akan mudah membaca Arab Pegon ini. (Ibnu alat tulis berupa pisau atau pena dan tinta.
Fihri, 2014)
Secara periodik, perkembangan aksara
Menurut Titik Pudjiastuti, Pegon Nusantara dapat ditelusuri berdasarkan
adalah jenis aksara Arab yang dimodifikasi periodisasi sejarah kerajaan-kerajaan di
sedemikian rupa dengan cara menambah Nusantara. Di masa Hindu-Budha, aksara
tanda diakritik tertentu untuk menulis teks- Nusantara terdiri dari aksara Pallawa, Nagari,
teks berbahasa Jawa. (Pudjiastuti, 2006: 44) Kawi, Malesung, Buda, Sunda Kuna, dan
Sementara menurut Purwadi dalam kamus AKsara Proto-Sumatera. Begitu pula dengan
Jawa-Indonesia (2003), pegon berarti tidak periode kerajaan-kerajaan Islam, aksara-
biasa mengucapkan. Kata lain dari “pegon” aksara di Nusantara mengalami perkembangan
yaitu gundhil berarti gundhul atau polos. dengan munculnya aksara pegon.
Sedangkan “huruf Arab pegon” digunakan untuk
menuliskan terjemahan maupun makna yang Pada titik ini, sejarah kemunculan
tersurat di dalam kitab kuning (Lihat dalam istilah Arab Pegon tidak bisa dilepaskan dari
entri Kitab Kuning) dengan menggunakan sejarah masuk dan berkembangnya Islam
bahasa tertentu. di Nusantara. Beberapa orang mengatakan
bahwa arab pegon telah muncul sekitar tahun
Latar Belakang Munculnya Aksara Pegon 1400 M dan digagas oleh Raden Rahmat atau
Sunan Ampel. Sebagian lain menisbatkan
Aksara Nusantara merupakan beragam Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
aksara atau tulisan yang digunakan di sebagai penggagas awal arab pegon. (Ibnu
Nusantara untuk secara khusus menuliskan Fihri, 2014: 40)
bahasa daerah tertentu. Walaupun Abjad Arab
dan Alfabet Latin juga seringkali digunakan Terlepas dari perdebatan siapa yang
untuk menuliskan bahasa daerah, istilah pertama kali menciptakan aksara pegon, hal
yang tentu tidak bisa dimungkiri adalah bahwa

360 | Ensiklopedi Islam Nusantara

kemunculan serta perkembangan aksara pegon penyakit, dan pembuatan wifiq atau
memiliki hubungan yang erat dengan proses azimat (Noriah Ahmed, 2011). Di sejumlah
dakwah atau syiar Islam. Hal ini bisa dibuktikan pesantren-pesantren tradisional, proses
dengan munculnya karya-karya ulama pembelajaran kitab kuning yang juga sekaligus
Nusantara dalam aksara pegon sebagai bentuk bagian dari proses pembelajaran bahasa Arab
upaya dari penyebaran ajaran agama Islam. menggunakan bahasa dan aksara pegon dalam
penyampaiannya. Mula-mula kitab kuning
Pada abad ke-14 bangsa Aceh dan Melayu dibacakan dan diterjemahkan ke dalam bahasa
mengambil alih cara menulis bangsa Arab lokal (Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu) oleh
bersama dengan proses Islamisasi terjadi, pada seorang Kiai, lalu para santri yang mengikuti
masa tersebut bangsa ini menggunakan abjad pengajian ini memberikan makna dalam
yang sama seperti yang dipakai oleh bangsa kitab yang sedang dipelajarinya ini dengan
Arab dan para muslimin di beberapa tempat menggunakan aksara pegon.
lainnya seperti tulisan Parsi di Iran dan Iraq
(Semenanjung Arab) dan Urdu di India. Dapat Aksara pegon bukan hanya terbatas
dimaklumi bahwa aksara Arab Jawi memainkan pada bentuk pemaknaan atau penerjemahan
peranan penting dalam perjalanan tradisi kitab kuning berbahasa Arab, melainkan juga
tulis-menulis di Nusantara selama berabad- digunakan sebagai aksara penulisan kitab-kitab
abad, hal tersebut dapat dilihat bahwa aksara ulama Nusantara. Artinya, aksara pegon dalam
Arab Jawi sudah ada di bumi Nusantara pada sejarah dan tradisi pesantren di nusantara
abad ke-16. (Hermansyah, 2010) bukan sesuatu yang bersifat sekunder atau
bahkan pelengkap atas pengajaran keislaman
Namun, jika ukurannya adalah bukti di Nusantara. Melainkan sebagai sesuatu yang
naskah dari karya-karya ulama Nusantara bersifat primer. Karya-karya ulama nusantara
yang ditulis dalam aksara pegon, maka yang menggunakan aksara pegon baik dalam
(berdasarkan wawancara Uka Tjandrasasmita) bentuk bahasa Jawa, Melayu, Sunda, dan
karya Sunan Bonang atau Syekh al-Barri daerah-daerah lainnya sangat banyak.
yang berjudul Wukuf Sunan Bonang adalah
yang tertua. Karya yang ditulis pada abad 16 Menurut Saiful Umam (2015), Pegon
ini menggunakan bahasa Jawa pertengahan sebagai media untuk menulis juga sudah
bercampur dengan bahasa Arab. Manuskrip ini digunakan paling tidak pada abad ke-17. Hal
merupakan terjemahan sekaligus interpretasi ini dibuktikan dengan adanya manuskrip
dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al- Mukhtashar Bafadhal yang diyakini ditulis pada
Ghazzali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban, abad tersebut dan sekarang tersimpan di The
Jawa Timur. Dalam karyanya, Sunan Bonang British Library. Dalam manuskrip tersebut,
menulis, “Naskah ini dulu digunakan oleh para
Waliyullah dan para ulama, kemudian saya
terjemahkan dan untuk para mitran (kawan-
kawan) seperjuangan dalam menyebarkan
Islam di tanah Jawa.” Karya ini merupakan
contoh bahwa pada abad 16, sebagai masa
pertumbuhan kerajaan Islam di Nusantara,
dalam waktu yang sama juga berkembang
karya para ulama yang berperan besar dalam
penyebaran Islam di Nusantara.

Huruf atau aksara pegon bukan hanya
digunakan sebagai salah satu sarana
pengajaran dan transmisi keilmuan, melainkan
juga digunakan wadah kelestarian hidup,
mencari jodoh bagi pasangan yang hendak
membangun rumah tangga, mengobati

Edisi Budaya | 361

terdapat terjemahan antarbaris dan beberapa ahli-ahli di bidang lain yang menerapkannya
catatan di bagian tepi yang ditulis dalam Pegon. bagi kajian sejarah, hukum, keagamaan dan
Memang dalam bentuk kitab utuh karya lokal kebudayaan (Uka Tjandrasasmita, 2006: 1)
sebagaimana contoh kitab Jawi di atas, kitab
Pegon baru dijumpai pada abad ke-19, di mana Naskah tersebut ditulis oleh ulama-ulama
Kiyai Ahmad Rifai Kalisalak (w. 1870) adalah Nusantara dengan berbagai disiplin ilmu
orang yang sampai saat ini diketahui sebagai keislaman seperti tafsir, hadis, fikih, sejarah
penulis pertama kitab Pegon. nabi dan rasul, tasawuf dan lain sebagainya.
Bahkan, pada zaman penjajahan Belanda,
Rumus Menulis dan Membaca Aksara sebelum tulisan latin diajarkan di sekolah-
Pegon sekolah, seringkali aksara Arab dipergunakan
dalam surat menyurat, bahkan dikampung-
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa aksara kampung pada umumnya sampai zaman
pegon adalah aksara Arab yang telah dimodifikasi permulaan kemerdekaan, banyak sekali orang
dengan sedemikian rupa dengan penambahan- yang masih buta aksara latin tetapi tidak
penambahan titik diakritik pada huruf-huruf buta aksara Arab, karena mereka sekurang-
tertentu, maka aksara pegon pun memiliki ciri kurangnya dapat membaca aksara Arab, baik
dan cara baca tersendiri yang memiliki beberapa untuk membaca Al-Qur’an maupun menulis
perbedaan dengan cara menulis dan membaca surat dalam bahasa daerah dengan aksara
huruf atau aksara Arab murni. Arab. (Juwairiyah Dahlan, 1992: 29)

Dalam Penulisannya, Pegon yang berupa Usaha menyelamatkan naskah-naskah
huruf vokal diwakili dengan huruf-huruf Nusantara baik dalam aksara Arab, Jawa, Pegon,
yang dalam tulisan Arab berfungsi untuk maupun aksara lainnya terus dilakukan oleh
memanjangkan bacaan huruf, yakni alif pemerintah, para ahli filologi, serta masyarakat
(‫)ﺍ‬, wawu (‫ )ﻭ‬dan ya (‫)ﻱ‬. Sedangkan huruf pegiat naskah. Seperti diamanatkan dalam UUD
konsonan ditulisan Arab Pegon diwakili oleh 1945, bahwa masyarakat bangsa dan Negara
huruf-huruf hijaiyah yang mirip bunyinya, Republik Indonesia diwajibkan memelihara,
seperti «n» dengan huruf nun, “m” dengan membina, dan mengembangkan kebudayaan
mim dan lain-lain. yang berkesinambungan dan berkepribadian,
terutama mencegah unsur-unsur budaya yang
Misalnya kata makan dituliskan dengan negatif, baik dari dalam maupun luar. Untuk
huruf mim, alif, kaf, alif dan nun menjadi ‫ﻣﺎﻛﺎﻥ‬ menggali nilai-nilai kebudayaan bangsa yang
dan kata belajar dengan hurub ba, lam, alif, jim, berkepribadian itu naskah perul dipelajari dan
alif, dan ra’ ‫ ﺑﻼﺟﺎﺭ‬. Selain huruf yang sudah ada dikomunikasikan, baik melalui bahasa daerah
padanannya, untuk huruf yang tidak ada dalam
abjad hijaiyyah seperti bunyi sengau “ng” atau
dan huruf “c”, dipakai huruf tertentu dengan
menambahkan titik tiga: Ng dengan ghoin (‫)ﻍ‬
titik tiga dan c dengan jim (‫ )ﺝ‬titik tiga.

Naskah Pegon Nusantara (Naskah Tarjuman al-Mustafid, karya tafsir terlengkap
pertama dengan huruf pegon melayu yang ditulis oleh
Naskah-naskah yang ditulis dengan Syekh Abdurrauf al-Singkeli)
menggunakan huruf pegon tak terhitung
jumlahnya. Namun dari naskah atau
manuskrip bangsa kita yang jumlahnya banyak
dan isinya berlimpah informasi sesuai dengan
zamannya itu baru sebagian kecil, bahkan
mungkin masih jauh di bawah 10 persen, yang
dikaji oleh ahlinya di bidang filologi maupun

362 | Ensiklopedi Islam Nusantara

atau nasipnal sehingga mudah diakses, dibaca, menilai bahwa Nazam Tarekat yang ditulis
dan dimanfaatkan oleh masyarakat Dunia secara oleh Kiai Ahmad Rifai meskipun sifatnya
umu dan lebih khusus masyarakat Indonesia . hanya sebagai puisi didaktis yang sarat
dengan pengetahuan keislaman dari berbagai
Aksara Pegon dan Perlawanan Terhadap aspeknya; akidah, syariat, dan tasawuf, hal
Kolonial yang menarik, nazam Tarekat juga sarat
dengan berbagai kritik tajam kepada penguasa
Secara umum, sikap umat Islam dan kekuasaan masa kolonial.
di Nusantara terhadap kolonialisme
terbagi menjadi dua kubu: kooperatif dan Dengan demikian, nazam Tarekat
konfrontatif. Perang Sabil di Aceh, Perang yang ditulis oleh Kiai Ahmad Rifai bukan
Menteng di Palembang, Perang Diponegoro hanya sekadar puisi didaktis yang hendak
di Jawa dan perlawanan-perlawanan serupa menyampaikan pengetahuan kepada
terhadap kolonial yang terjadi di sejumlah pembacanya, sebagaimana umumnya nazam-
daerah merupakan contoh dari sikap kaum nazam lain. Ia juga membawa fungsi sosial
muslim yang mengambil bentuk konfrontatif tertentu berkaitan dengan situasi zaman
(perlawanan fisik) terhadap kaum penjajah. penulisnya. Fungsi sosial yang dimaksud di sini
akan nampak jelas terlihat pada pembahasan
Selain sikap konfrontatif, sikap sebagian seputar tarekat. Dimana dijelaskan oleh Kiai
umat Islam di Nusantara mengambil bentuk Ahmad Rifai bahwa Tarekat bukan semata-mata
akomodatif-kooperatif terhadap penjajah. mengenai persoalan metode dan ritual tertentu
Sikap ini sebagaimana tergambar pada untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi
sejumlah tokoh yang mau bekerjasama dengan juga merngenai sikap terhadap persoalan sosial
pemerintah kolonial. Konon, sikap akomodatif dan politik di zamannya. Menurut Kiai Ahmad
ini tidak bisa dilepaskan dari strategi Rifai, tarekat yang benar adalah, antara lain,
pemerintah kolonial dalam melanggengkan menjaga jarak dengan penguasa yang fasik.
kekuasaanya atas nusantara.
Model perlawanan yang dilakukan oleh
Di sisi lain, terdapat sejumlah tokoh Kiai Ahmad Rifai terhadap pemerintah
yang mengambil sikap perlawanan terhadap kolonial Belanda ini dianggap meresahkan
cengkraman kolonialisme yang melanda mereka. Dalam catatan sejarah, setidaknya
Nusantara dalam bentuk yang lain; menulis telah tiga kali Residen Pekalongan melaporkan
karya-karya anti kolonial (perlawanan non kegiatan yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Rifai
fisik). Salah satunya adalah Kiai Ahmad Rifai kepada Gubernur Jenderal Belanda Hindia
Kalisalak (1786-1870 M)). Ia menulis sejumlah Belanda, yang berisikan permintaan agar Kiai
karya yang isinya sarat muatan perlawanan Ahmad Rifai diasingkan dari Kalisalak.
terhadap kaum penjajah. Dan salah satu
karyanya adalah Nazam Tarekat. Sebuah karya Selain dalam kitab Nazam Tarekat, KH.
nazam berbahasa Jawa yang berisi ajaran Ahmad Rifai Kalisalak juga menulis karya-
Tarekat dan terdiri atas 4864 bait puisi. karya lain yang berisi tentang doktrin protes
terhadap pemerintah kolonial beserta aparat
Teks nazam Tarekat Kiai Ahmad Rifai ditulis feodal dan tradisionalnya dalam kitab-
dalam bahasa Jawa dengan menggunakan kitabnya yang berjudul Tarikh, Nadzam
aksara pegon. Melalui nazam Tarekat ini, Kiai Wikayah, Syarihul Iman, Bayan, Tafrikah,
Ahmad Rifai mencurahkan pemikiran dan Abyanul Hawaij, Tasyrihatul Muhtaj dan Riyatul
sikapnya terhadap kondisi sosial pada masanya. Himmah. (Ibnu Fihri, 15)
Kitab ini terdiri dari 24 tanbih (semacam judul,
arti tekstualnya peringatan). Standar Latinisasi Menggerogoti Aksara
Pegon
Adib Misbahul Islam dalam bukunya, Puisi
Perlawanan dari Pesantren ; Nazam Tarekat Peradaban Nusantara lebih khusus Jawa
Karya KH. Ahmad Rifai Kalisalak (2016: 15), yang sudah mengenal lebih dulu keberaksaraan

Edisi Budaya | 363

juga menduduki posisi penting dalam yang lebih jelas dan lebih jauh. Seabad yang
pengembangan tradisi keilmuan, khususnya lalu, menjelang tahun 1880 aksara Arab
di lingkungan pesantren. Aksara pegon, yang masih digunakan luas untuk menuliskan
digunakan di Pesantren Jawa sebagai aksara Bahasa Melayu dan beberapa bahasa setempat
akademik memang sebenarnya menjadi (seperti Bahasa Aceh atau Minangkabau). Kini
karakteristik aksara Pesisiran. Sebab, di daerah keadaan teah berubah sama sekali. Hampir
pesisiran pulau Jawa inilah muncul pusat- semua yang dicetak di Jawa, ditulis dengan
pusat keislaman seperti pondok pesantren aksara latin. Beberapa teks langka, terutama
yang berfungsi sebagai tempat pendidikan yang bersifat keagamaan, yang beraksara Arab
agama Islam. Di tempat itulah lahir peradaban masih diajarkan di Pesantren, untuk keperluan
baru di Jawa; 1. aksara pesantren Jawa, yang membaca al-Quran, namun pengajaran aksara
disebut pegon, 2. bahasa Jawa-Islam, yang Sunda dan Jawa dapat dikatakan berhenti.
disebut sebagai bahasa Jawa-Kitabi, 3. teks-
teks keagamaan Islam atau kesusastraan Secara garis besar mutasi itu terjadi
Islam, yang oleh Poerbatjaraka disebut sebagai selama paro pertama abad ke-20 dan mulai
sastra Pesantren. (Moch.Ali, 2007) dari Jawa, di mana penggunaan bahasa
Arab tak pernah seluas di Sumatra atau di
Pada akhir abad ke-20-an, aksara pegon Semenanjung. Setelah perdebatan panjang di
mengalami kemunduran. Tepatnya sejak antara ahli bahasa, terutama A.A. Fokker dan
tahun 1920-an, pemerintah kolonial Belanda C. Spat, sistem trasnkripsi yang diusulkan
secara pelan mulai menggantikannya dengan oleh Van Ophuysen diterima dan dinyatakan
aksara latin. Di tengah gempuran sekolah- sebagai ejaan resmi pada tahun 1901. (Denys
sekolah dan lembaga pendidikan modern, Lombar, 166)
aksara pegon hingga kini masih diajarkan di
pesantren-pesantren di Indonesia. Hal ini Kebijakan latinisasi ini pada gilirannya
cukup untuk membuktikan bahwa aksara menggerus tradisi penggunaan aksara Pegon
pegon masih menjadi salah satu aksara yang (di Jawa) atau aksara Jawi (Melayu). Dan
digunakan oleh masyarakat Indonesia. sekarang, salah satu lembaga –bahkan bisa
dikatakan satu-satunya lembaga- yang masih
Denys Lombard dalam bukunya Nusa setia menggunakan dan mempertahankan
Jawa: Silang Budaya (2005: 164-165) aksara pegon sebagai bagian dari proses
mengatakan bahwa latinisasi tulisan yang pembelajaran adalah pesantren.
digunakan secara merata membawa akibat
[M Idris Mas’udi]

Sumber Bacaan

A.Khoirul Anam, Ensiklopedia NU, Jakarta: Matabangsa, 2012, cet. II
Adib Misbachul Islam, Puisi Perlawanan Dari Pesantren; Nazam Tarekat Karya K.H. Ahmad ar-Rifai Kalisalak, Tangerang

Selatan: TransPustaka, 2016, cet. I
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia, 2005, Cet. III
Ibnu Fihri, Aksara Pegon Studi Tentang Simbol Perlawanan Islam di Jawa Pada Abad XVIII-XIX, Semarang: IAIN Walisongo,

2014, hal. 40
Islah Gusmian, Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca, Jurnal

Tsaqafah, vol.6, no.1, April 2010
Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab, Surabaya, Penerbit Al-ikhlas, 1992,h. 29
Memed Sastrahadiprawira, Basa sareng Kasoesastran Soenda, Poestaka-Soenda (7 dan 8), hlm. 97-101.
Moch.Ali, Bahasa Jawa-Kitabi Dialek Madura Dalam Naskah Careta Qiyamat, Litera, Vol 6, Nomor 1, Januari 2007
Noriah Mohamed, Aksara Jawi; Makna dan Fungsi, Sari 19 (2011) hlm. 121
Uka Tjadrasasmita, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Islam di Indonesia, Jakarta: Puslitbang

Lektur Balai Litbang dan Diklat Depag RI, 2006, cet.I
Saiful Umam, Jawi dan Pegon, http://www.uinjkt.ac.id/id/jawi-dan-pegon/
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/09/06/24/58687-abjad-arab-dalam-penulisan-bahasa-

melayu
https://sites.google.com/site/kurrotadzikra/home/jenis-jenis-naskah
http://www.hermankhan.com/2010/11/punahnya-tradisi-penulisan-arab-jawi.html
http://www.tokobukupesantren.com/2013/10/pegon-rahasia-sukses-belajar-tulisan.html

364 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Pengajian

Pengajian berasal dari kata kaji yang kehidupannya.
artinya pelajaran (agama, dan lain
sebagainya); penyelidikan (tentang Sedangkan jamaah pengajian adalah
sesuatu). Mendapat awalan peng- dan akhiran sekelompok atau gabungan dari beberapa
–an menjadi pengajian yang berarti kegiatan orang (Muslim) yang menyelenggarakan suatu
untuk melakukan pengajaran (agama Islam), kegiatan pembelajaran ilmu agama Islam yang
menanamkan norma agama melalui dakwah; di pimpin oleh seorang dai melalui berbagai
pembacaan Al-Quran. media, seperti ceramah-ceramah agama
yang diadakan di rumah-rumah, masjid,
Pengertian secara terminologis adalah perpustakaan dan sebagainya. Adapun sumber
penyelenggaraan atau kegiatan belajar agama ajaran utamanya adalah Al-Qur’an, Hadits dan
Islam yang berlangsung dalam kehidupan berbagai kitab karya ulama dari segala disiplin
masyarakat yang dibimbing atau diberikan oleh ilmu.
seorang guru ngaji (dai) terhadap beberapa
orang. Kegiatan tersebut diselenggarakan Dalam pengajian, dilaksanakan sebuah
dalam waktu dan tempat tertentu, dengan sistem pengajaran atau penyampaian ilmu
tujuan agar orang-orang yang mengikuti berasaskan ajaran Islam. Pengajian ini
dapat mengerti, memahami, dan kemudian lebih banyak didominasi oleh unsur-unsur
mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam keislaman, sehingga bisa dikatakan bahwa
yang menjadi tujuan dari pengajian yaitu

Edisi Budaya | 365

membentuk kepribadian seseorang yang kualitas hidupnya secara integral. Baik lahiriah
menjadi insan kamil yang berpola takwa. dan batiniah, duniawi dan ukhrawiah secara
bersamaan (simultan), sesuai tuntunan ajaran
Diadakan kegiatan keagamaan seperti agama Islam yaitu iman dan taqwa yang
pengajian mempunyai tujuan yang berbeda- melandasi kehidupan duniawi dalam segala
beda sesuai dengan realitas orang yang bidang kegiatannya. Fungsi demikian sejalan
memaknai atau mengartikannya. Tuty dengan pedomana pembangunan nasional.
Alawiyah merumuskan tujuan pengajian
dilihat dari segi fungsinya. Pertama, Sebagai Dalam Islam, tujuan hidup umat
tempat belajar, maka tujuan pengajian adalah manusia tidak sebatas untuk mencapai
menambah ilmu dan keyakinan agama Islam kebahagiaan kehidupan dunia semata,
yang akan mendorong pengalaman ajaran namun juga pencapaian kebahagiaan
agama akhirat. Islam merupakan pencerah yang
membawa keseimbangan dalam kehidupan
Kedua, ebagai kontak sosial, maka dunia dan akhirat, yakni Habluminallah dan
pengajian mempunyai tujuan sebagai tempat Hablumminannas. Islam memberi penghargaan
silaturahmi. Ketiga, ebagai sarana mewujudkan bagi orang-orang yang mau belajar dan
minat sosial, maka tujuannya adalah mengajarkan Al Qur’an seperti tertuang dalam
meningkatkan kesadaran dan kesejahteraan hadits Nabi SAW sebagai berikut:
rumah tangga serta lingkungan jamaahnya.
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang
Selain itu, juga ikut menentukan mempelajari Al Qur’an dan mengamalkannya.”
dalam membangkitkan sikap patriotisme (HR. Bukhori dan Muslim)
dan nasionalisme sebagai modal mencapai
kemerdekaan Indonesia. Lembaga seperti Dilihat dari segi tujuan, pengajian
pengajian ini telah ikut serta menunjang termasuk sarana dakwah Islamiyah yang secara
tercapainya tujuan pendidikan nasional. self standing dan self disciplined mengatur dan
Dilihat dari bentuk dan sifat pendidikannya, melaksanakan berbagai kegiatan berdasarkan
lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut musyawarah mufakat untuk kelancaran
ada yang berbentuk langgar, surau, dan pelaksanaan pengajian sesuai dengan tuntutan
rangkang. pesertanya. Dilihat dari aspek sejarah sebelum
kemerdekaan Indonesia sampai sekarang,
Secara strategis, pengajian menjadi banyak terdapat lembaga pendidikan Islam
tujuan, sarana dakwah dan tabligh yang memegang peranan sangat penting dalam
berperan sentral pada pembinaan dan penyebaran ajaran Islam di Indonesia.
peningkatan kualitas hidup umat agama Islam
sesuai tuntunan ajaran agama. Majelis ini Pengajian merupakan bentuk lembaga
menyadarkan umat Islam untuk memahami nonformal yang fleksibel dan merupakan
dan mengamalkan agamanya yang kontekstual lembaga pendidikan yang amat besar
di lingkungan hidup sosial budaya dan alam peranannya dalam menyebarkan risalah Islam,
sekitar masing-masing, menjadikan umat serta merupakan lembaga pendidikan yang
Islam sebagai ummatan wasathan yang berorientasi pada konsep dan pandangan
meneladani kelompok umat lain. pendidikan secara Islam.

Untuk tujuan itu, maka pemimpinnya Materi pengajian
harus berperan sebagai penunjuk jalan
ke arah pencerahan sikap hidup Islami Materi dakwah merupakan faktor yang
yang membawa kepada kesehatan mental cukup penting dalam menentukan berhasil
rohaniah dan kesadaran fungsional selaku atau tidaknya palaksanaan pengajian. Materi
khalifah dibuminya sendiri. Mengokohkan yang tidak pas dengan kondisi masyarakat
landasan hidup manusia muslim Indonesia adakalanya kurang diminati oleh jamaah,
pada khususnya di bidang mental spiritual sehingga akan melahirkan rasa enggan untuk
keagamaan Islam dalam upaya meningkatkan

366 | Ensiklopedi Islam Nusantara

mengikuti pengajian. pemberian nasehat dengan mengungkapkan
sebab akibat atau baik buruknya suatu
Materi yang dipelajari dalam pengajian perbuatan dilakukan, baik itu melalui
mencakup pembacaan Al Quran dan Tajwidnya penuturan kisah-kisah keadaan umat pada
serta tafsirnya, fiqih serta apa saja yang masa lalu, melalui pemberian peringatan
dibutuhkan para jamaah misalnya masalah atau kabar gembira (ancaman/janji), melalui
kewajiban ibu rumah tangga, undang-undang pelukisan, gambaran surga atau neraka, melalui
perkawinan, dan lain-lain. pengungkapan perumpamaan-perumpamaan.

Penambahan dan pengembangan materi Ketiga, dialog yang baik. Metode ini
dapat saja terjadi di pengajian melihat semakin dilaksanakan dengan cara berdialog atau
majunya zaman dan semakin kompleks bertukar pikiran karena adanya kontradiksi
permasalahan yang sedang aktual dan butuh keyakinan dengan dakwah, baik perbedaan
penanganan yang tepat di masyarakat. Wujud pemikiran dengan dakwah atau karena arah
program yang tepat dan aktual sesuai dengan dakwah yang berlawanan dengan akidah
kebutuhan jamaah itu sendiri merupakan atau keyakinan mereka. Jadi metode ini
suatu langkah yang baik agar pengajian tidak dilaksanakan dalam rangka menjernihkan
terkesan kolot dan terbelakang. Pengajian permasalahan dengan cara pertukaran
salah satu struktur kegiatan dakwah yang argumen sebagai pemecahan masalah tentunya
berperan penting dalam mencerdaskan umat, dilandasi dengan dasar-dasar tertentu.
maka selain pelaksanaan secara teratur
dan periodik, juga harus mampu membawa Ibu rumah tangga dan pengajian
jamaahnya ke arah yang lebih baik dalam
bersikap dan berperilaku di tengah kehidupan Pendidikan adalah tanggung jawab
masyarakat. bersama antara individu dan masyarakat,
dan dilaksanakan secara sadar baik dari pihak
Metode pengajian pendidik maupun pihak terdidik. Kesadaran
itu dibutuhkan untuk mencapai kedewasaan
Dalam berdakwah dan melakukan dan kematangan berpikir. Jalan menuju
pengajian, memerlukan cara atau metode agar kematangan itu dapat dilalui berbagai cara,
materi yang dibawakan menarik dan tidak antara lain melalui proses pendidikan formal,
monoton. Di tengah penyampaian materi, juga informal dan non-formal.
perlu diselipkan humor-humor terkini untuk
menyegarkan suasana. Apalagi pengaruh pendidikan agama
yang memiliki peran yang sangat besar dalam
Metode sebagai salah satu faktor yang pembentukan perilaku manusia. Dengan
perlu dipikirkan dan diupayakan secara cermat pendidikan agama yang kuat, maka akan
dan teliti. Metode yang tidak jelas atau tidak terbentuk generasi yang mampu bertahan
pas dalam penyampaiannya akan berimbas dalam perubahan zaman yang kian dinamis.
pada para jamaah, sehingga disini perlu Pendidikan agama inilah yang harus
dilakukan langkah-langkah kreatif terkait ditanamkan kepada para ibu-ibu rumah
dengan penerapan metode. Metode yang dapat tangga agar tidak terpengaruh oleh pergaulan
diterapkan dalam pengajian antara lain yaitu: dilingkungan yang dapat menjerumuskannya.

Pertama, Hikmah. Metode ini merupakan Islam sebagai agama yang menjadi
metode dakwah dari seorang dai sebagai pedoman hidup bagi manusia mencakup
refleksi dari kemampuannya dalam seluruh kehidupan manusia. Di samping
melaksanakan dakwah dengan jitu karena sebagai pedoman hidup, Islam menurut
pengetahuanya yang tuntas lagi tepat tentang para pemeluknya juga sebagai ajaran yang
liku-liku dakwah. harus didakwahkan dan memberikan
pemahaman berbagai ajaran yang terkandung
Kedua, mauidzah khasanah atau nasehat
yang baik. Metode ini diterapkan dengan

Edisi Budaya | 367

di dalamnya. Sarana yang dapat dilakukan kegiatan yang bernuansa Islami mendapat
dalam mentransformasikan nilai-nilai agama perhatian dan dukungan dari masyarakat,
tersebut antara lain melalui aktivitas pengajian sehingga tercipta insan-insan yang memiliki
yang berfungsi memberikan pemahaman keseimbangan antara potensi intelektual dan
tentang nilai-nilai ajaran tersebut. mental spiritual dalam upaya menghadapi
perubahan zaman yang semakin global dan
Usaha keaktifan mengikuti pengajian maju.
dalam membina ibu-ibu rumah tangga sering
dilakukan di luar pendidikan formal yang Tak jarang dari aktivitas pengajian yang
secara otomatis telah mendukung berbagai dilakukan oleh ibu-ibu ini memunculkan
teori yang didapat dari pendidikan nonformal, berbagai program dan langkah nyata
salah satunya adalah penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat, baik di bidang
pengajian ibu-ibu yang kerap dilakukan oleh agama, pendidikan, kesehatan, wirausaha,
berbagai organisasi perempuan di Indonesia. pengembangan ekonomi, dan lain-lain. Di titik
ini, pengajian mempunyai peran vital dalam
Tujuan utamanya adalah lahirnya ibu-ibu meningkatkan kualitas hidup masyarakat
rumah tangga yang dinamis serta menjunjung jika dikelola dengan baik. Melalui lembaga
tinggi nilai-nilai agama. Keberadaan pengajian pengajian ini, ibu-ibu bisa menggandeng
sebagai salah satu cara pendidikan non- berbagai elemen untuk meningkatkan peran
formal merupakan salah satu alternatif untuk pengajian ke arah yang lebih bermanfaat
menangkal pengaruh negatif perkembangan secara global, baik bagi anggota pengajian dan
globalisasi. Di samping itu, pengajian sebagai seluruh masyarakat.
tempat pendidikan agama merupakan sarana
efektif untuk membina dan mengembangkan Sejarah dakwah dan pengajian Wali
ajaran agama Islam dalam upaya membentuk Songo
manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Menurut catatan Dinasti Tang China
Berbagai aktivitas pengajian yang telah pada abad ke-6 M, jumlah warga Muslim di
dilakukan merupakan proses pendidikan Nusantara (Indonesia) hanya kisaran ribuan
yang mengarah kepada internalisasi nilai-nilai orang. Dengan klasifikasi yang beragama
agama sehingga para ibu-ibu rumah tangga Islam hanya orang Arab, Persia dan China.
mampu merefleksikan tatanan normatif yang Para penduduk pribumi tidak ada yang mau
mereka pelajari dalam realitas kehidupan memeluk Islam.
sehari-hari. pengajian adalah wadah
pembentuk jiwa dan kepribadian yang agamis Bukti sejarah kedua, Marco Polo singgah
yang berfungsi sebagai stabilisator dalam ke Indonesia pada tahun 1200-an M. Dalam
seluruh gerak aktivitas kehidupan umat Islam catatannya, komposisi umat beragama di
Indonesia, maka sudah selayaknya kegiatan- Nusantara masih sama persis dengan catatan
Dinasti Tang; orang Indonesia tetap tidak mau
memeluk agama Islam.

Bukti sejarah ketiga, dalam catatan
Laksamana Cheng Ho pada tahun 1433 masehi,
tetap hanya orang asing yang memeluk agama
Islam. Jika dikalkulasikan dari ketiga catatan
tersebut, sudah lebih dari 8 abad agama Islam
tidak diterima orang Indonesia. Agama Islam
hanya dipeluk segelintir orang asing.

Dalam sumber lain disebutkan pula
bahwa sebenarnya Islam masuk Nusantara
sejak zaman Rasulullah. Yakni berdasarkan

368 | Ensiklopedi Islam Nusantara

literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M dibasmi. Bahkan budaya dan tradisi lokal
telah ada sebuah perkampungan Arab Islam itu mereka jadikan “teman akrab” dan media
di pesisir Sumatera (Barus). Kemudian Marco dakwah agama, selama tidak ada larangan
Polo menyebutkan, saat persinggahannya dalam nash syariat.
di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak
orang Arab menyebarkan Islam. Begitu pula Wali Songo belajar bahasa lokal,
Ibnu Bathuthah, pengembara Muslim yang memperhatikan kebudayaan dan adat, serta
ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345 kesenangan dan kebutuhan masyarakat. Lalu
M menuliskan bahwa Aceh telah tersebar berusaha menarik simpati mereka. Karena
Madzhab Syafi’i. Tapi baru abad 9 H (abad 15 masyarakat Jawa sangat menyukai kesenian,
M) penduduk pribumi memeluk Islam secara maka Wali Songo menarik perhatian dengan
massal. Massa itu adalah masa dakwah Wali kesenian, diantaranya dengan menciptakan
Songo. tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa,
gamelan dan pertunjukkan wayang dengan
Para sejarawan dunia angkat tangan saat lakon Islami. Setelah penduduk tertarik,
diminta menerangkan bagaimana Wali Songo mereka diajak membaca syahadat, diajari
bisa melakukan mission impossible saat itu: wudhu, shalat, dan sebagainya.
membalikkan keadaan dalam waktu kurang
dari 50 tahun atau setengah abad, padahal Wali Songo sangat peka dalam beradaptasi
sudah terbukti 800 tahun lebih bangsa dan memberikan pengajian, caranya
Nusantara selalu menolak agama Islam. menanamkan akidah dan syariat sangat
memperhatikan kondisi masyarakat. Misalnya,
Berbeda dengan dakwah Islam di Asia kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-
Barat, Afrika dan Eropa yang dilakukan dengan hari tertentu setelah kematian keluarga tidak
penaklukan, Wali Songo berdakwah dengan diharamkan, tapi diisi dengan pembacaan
cara damai. Yakni dengan pendekatan pada tahlil, doa, dan sedekah. Bahkan Sunan Ampel,
masyarakat pribumi dan akulturasi budaya yang dikenal sangat hati-hati, menyebut shalat
(integrasi budaya Islam dan budaya lokal). dengan “sembahyang” (asalnya: sembah dan
Dakwah Wali Songo adalah dakwah kultural. hyang) dan menamai tempat ibadah dengan
“langgar” mirip kata sanggar untuk melakukan
Banyak peninggalan Wali Songo pengajian sebagai sarana menginternalisasi
menunjukkan, bahwa budaya dan tradisi nilai-nilai agama Islam.
lokal mereka sepakati sebagai media dakwah.
Hal ini dijelaskan, baik semua atau sebagian, Bangunan masjid dan langgar pun dibuat
dalam banyak literatur seputar Wali Songo dan bercorak Jawa dengan genteng bertingkat-
sejarah masuknya Islam di Indonesia. tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi
menara dan gapura bercorak Hindu. Selain
Misalnya dalam Târikhul-Auliyâ’ karya itu, untuk mendidik calon-calon dai, Wali
KH Bisri Mustofa; Sejarah Kebangkitan Islam Songo mendirikan pesantren-pesantren yang
dan Perkembangannya di Indonesia karya KH menurut sebagian Sejarawan mirip padepokan-
Saifuddin Zuhri; Sekitar Wali Songo karya padepokan orang Hindu dan Budha untuk
Solihin Salam; Kisah Para Wali karya Hariwijaya; mendidik cantrik dan calon pemimpin agama.
dan Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama
Islam di Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan Para Sejarawan dunia sepakat bahwa cara
Abu Khalid MA. pendekatan dakwah melalui kebudayaanlah
yang membuat sukses besar penyebaran Islam
Dahulu di Indonesia mayoritas di Indonesia. Namun demikian, mungkin ada
penduduknya beragama Hindu dan Budha, benarnya bahwa pendekatan dakwah dengan
dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan kebudayaan itu hanyalah bungkus luarnya
Budha, sehingga budaya dan tradisi lokal saat saja. Yang benar-benar berbeda dan telah
itu kental diwarnai kedua agama tersebut. sukses dalam menyebarkan agama Islam saat
Budaya dan tradisi lokal itu oleh Walisongo itu adalah isi dari dakwah Wali Songo.
tidak dianggap “musuh agama” yang harus

Edisi Budaya | 369

Setelah berhasil mendirikan pesantren, kanuragan mumpuni dan berhasil membuat
langgar, maupun masjid, Wali Songo lawan tak berkutik, Wali Songo tetap tidak
melakukan dakwah melalui pengajian kepada pernah menyakiti orang yang bermaksud jahat
masyarakat yang telah memeluk Islam. Ajaran tersebut sehingga mereka pun sadar dengan
agama yang ramah dan meneduhkan membuat budi pekerti luhur mereka yang pada akhirnya
masyarakat Nusantara saat itu berbondong- ingin belajar banyak dari para Wali.
bondong ingin mengikuti pengajian yang
dilakukan oleh para Sunan. Tak pelak hal ini Tak jarang mereka yang selama ini
membuat beberapa kelompok saat itu merasa bermaksud tidak baik terhadap pengajian
tidak senang sehingga dakwah Wali Songo pun agama yang dilakukan oleh Wali Songo
kerap kali mendapat intimidasi serius yang tak akhirnya turut bergabung dan ingin lebih
jarang mengancam jiwa para penduduk dan dalam lagi mempelajari berbagai ilmu yang
para Sunan itu sendiri. dimiliki oleh mereka, terutama mendalami
ilmu agama Islam yang bersifat luhur dan
Namun, masalah tersebut selalu bisa menerima semua kalangan itu. Jadi, dalam
diatasi oleh para Sunan dengan tetap berlaku kondisi dijahati pun, para Wali tetap berlaku
lemah lembut kepada orang yang ingin berbuat luhur sebab walau bagaimana pun, kondisi
jahat. Dalam banyak literatur disebutkan, selain tersebut bisa menjadi sarana dakwah dan
bekal ilmu agama yang komplit, Wali Songo juga mengembalikan orang pada perbuatan yang
mempunyai kemampuan ilmu kanuragan yang lebih baik.
digunakan saat diri mereka mendapati bahaya
penyerangan fisik. Meskipun mempunyai ilmu [Fathoni Ahmad]

Sumber Bacaan

Alawiyah, Tuty. Strategi Dakwah Di Lingkungan Majelis Ta’lim. Bandung: Mirzan, 1997.
Amin, Mansur. Dakwah Islam dan Peran Moral. Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997.
Darajat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Departemen Agama RI. Motivasi Peningkatan Peranan Wanita Menurut Islam. Jakarta, 1994.
Husain, Muh. Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Lentera, 1997.
Mustofa, Bisri. Târikhul-Auliyâ’. Perpustakaan UIN Walisongo Semarang.
Poerwadarminto, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2006.
Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah. Jakarta: IIman. 2012.
Suyuthi, Jalaluddinas. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Wahyudi, Asnan dan Abu Khalid. Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa.
Zein, Muhammad. Metodologi Pendidikan Agama Islam pada Lembaga Non-Formal. Yogyakarta: Sumbangsih, 1997.
Zuhairi, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: Al-Ma’arif, 1979.

370 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Perang Ketupat

Perang Ketupat atau Perang Topat prosesi. Sebelum masuk pada inti acara, yakni
adalah tradisi perang periodik antara perang ketupat, pada malam hari sebelum
dua kelompok masyarakat dengan esoknya dilaksanakan perang ketupat, warga
menggunakan senjata ketupat. Jika perang sudah mengadakan penimbongan. Penimbongan
lazimnya menggunakan senjata mematikan adalah tarian-tarian yang dilaksanakan
dan didasari kemarahan, ambisi saling pada malam hari di tepi Pantai Pasir Kuning,
membinasakan, perang ketupat justru didasari Tempilang.
kecintaan pada sesama, berlangsung dengan
suka cita, bagian upaya memelihat harmoni, Tarian yang dipertontonkan bermacam-
dan ungkaoan syukur serta pengharapan macam. Mulai dari tari seramo, tari serimbang,
berkah pada Yang Maha Kuasa. sampai tari kedidi, yakni tarian yang mirip
burung kedidi. Prosesi penimbongan awalanya
Di Indonesia, tradisi perang ketupat, dipimpin oleh seorang Keman atau tokoh
antara lain, ditemukan di Desa Tempilang, adat. Tokoh tersebut memulai prosesi dengan
Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Ada membaca mantra dan membakar dupa. Bila
lagi di Badung, Bali. Satu lagi di Lombok, Nusa abu dupa sudah melambung, hujan turun
Tenggara Barat (NTB). Tradisi perang ketupat seketika.
di Bali terkait agama Hindu.
Tujuan penimbongan adalah untuk
Di Bangka, perang ketupat berkaitan memberikan makanan kepada makhluk
dengan tradisi pra-Islam yang mengalami halus yang dipercaya bermukim di darat.
Islamisasi. Adapaun di Lombok, perang Esok harinya, dilaksanakan tradisi ngancak.
ketupat adalah tradisi bersama antara Islam Berupa pemberian sesaji kepada makhluk
dan Hindu, sebagai bagian upaya pemeliharaan halus oleh tiga dukun. Dukun darat, dukun
kerukunan beragama. laut, dan dukun senior. Ketiga dukun tersebut
membacakan doa dan memberikan sesaji
Perang Ketupat di Bangka, dilaksanakan di kepada makhluk halus untuk meminta mereka
Tempilang, sebuah desa berjarak 80 kilometer berdamai dengan warga.
dari Sungailiat, ibu kota Kabupaten Bangka.
Tradisi ini dilaksanakan dua pekan sebelum Usai acara tersebut, acara inti dimulai.
memasuki bulan Ramadhan atau pada bulan Dukun darat dan dukun laut berhadapan
Sya’ban. Tepatnya, dilaksanakan pada malam bersila di tengah medan pertempuran
nishfu Sya’ban pada tanggal 15 Sya’ban ketika membacakan doa. Setelah itu, dukun laut akan
bulan sedang bersinar terang. kerasukan arwah leluhur.

Masyarakat Tempilang, seperti Dukun yang sudah kerasukan arwah akan
masyarakat Jawa, menyebut bulan Sya’ban diminta untuk memberi sambutan acara.
dengan sebutan Ruwah. Maka itu, perang Leluhur yang merasuki tubuh salah satu dukun
ketupat di Tempilang sering pula dinamai tersebut dipercaya ingin menyaksikan acara.
Ruwah Tempilang. Seringpula tradisi ini Bila sudah begitu, maka dukun satunya lagi
dinamakan sedekah Ruwah dan taber kampung. yang memberi ceramah.

Ruwah Tempilang terdiri beberapa Perang ketupat kemudian dimulai. Sepuluh

Edisi Budaya | 371

ketupat ditaruh di masing-masing sisi. Sisi laut tradisi itu sedikit bergeser. Bila sebelumnya
dan darat. Sepuluh pendekar masuk ke dalam dukun menyajikan sesaji untuk dimakan
arena mengisi masing-masing sisi. Setelah makhluk halus, sesaji tersebut kini dikonsumsi
dukun mengucapkan sesuatu, maka masing- oleh warga sekitar secara bersam-sama atau
masing pendekar mengambil ketupat lantas kenduri.
melemparkan ke lawannya. Sampai situasi
makin memanas, dukun kemudian memberi Selain perang ketupat, pada hari itu juga
aba-aba berhenti. dilaksanakan Sedekah Tempilang. Sedekah
ini dilaksanakan di semua masjid di Desa
Kedua belah pihak lalu diminta untuk Tempilang. Sementara untuk perang ketupat
saling bersalaman dan berangkulan, dikhususkan di Pantai Pasir Kuning, Bangka.
demi terjaga perdamaian. Beberapa pihak
mengatakan bahwa ketupat yang dilempar ***
tersebut sama sekali tidak sakit. Hal itu terjadi,
menurut kerpercayaan warga sekitar, karena Bila di Bangka, tradisi perang ketupat
telah diberikan doa oleh sang dukun. telah diwarnai agama Islam, di Bali, perang
ketupat dilaksanakan oleh pemeluk agama
Perang ketupat diadakan tiga babak. Hindu dan dinamakan perang tipat-bantal.
Jumlah pesertanya tidak ada ketentuan pasti. Perang ketupat di Bali ada yang mengatakan
Yang pasti, jumlah kedua belah pihak yang sejak tahun 1970-an. Ada yang mengatakan
berperang harus sama. Dan Berhenti ketika sejak abad ke-13 Masehi. Tidak ada data pasti.
dukun mengatakan selesai.
Dilaksanakan setiap bulan keempat
Perang ketupat ini memiliki muatan penanggalan bali (sasih kapat), antara bulan
spirit perlawanan terhadap penjajah. September sampai Oktober. Ada dua buah
Pendekar yang menghadap ke laut dan jenis ketupat. Ketupat pertama bentuknya
pendekar yang menghadap ke darat adalah segi empat dari anyaman janur yang berisi
simbol perlawanan penjajah. Pendekar dari beras atau dinamakan tipat. Ketupat kedua
sisi laut menggambarkan warga lokal yang adalah bantal, terbuat dari beras ketan yang
melawan penjajah, sementara pendekar di dibungkus janur dengan bentuk lonjong. Di
sisi darat adalah gambaran Belanda yang Jawa, sering disebut lepet.
saat itu menjajah. Selain itu, keduanya juga
disimbolkan sebagai hantu atau bajak laut. Dua bentuk ketupat tersebut
melambangkan feminin dan maskulin
Pada acara ini, rumah warga terbuka semesta alam. Dalam konsep Hindu disebut
untuk umum. Setiap rumah menyajikan sebagai Purusha dan Predhana. Pertemuan
ketupat dengan berbagai macam lauk sesuai tipat dan bantal ini yang kemudian dipercaya
kemampuan masing-masing. Dan pada hari memberikan kehidupan pada makhluk di
ini, satu-satunya situasi dalam setahun ketika dunia. Kedua hal ini juga perlambang tumbuh
Bangka dilanda kemacetan. berkembanganya tanah, bertelur maupun
dilahirkan berawal dari pertemuan dua simbol
Seusai acara perang ketupat, prosesi maskulin dan feminin.
selanjutnya adalah Taber Kampung. Warga
menyebarkan air ke seluruh penjuru untuk Selesai sembahyang di pura, mereka
menjaga dan menambah berkah bagi berkumpul dan terbagi dalam dua kelompok.
kehidupan mereka. Masing-masing kelompok diberi tipat dan
bantal. Tipat dan bantal tersebut nantinya
Tidak ada catatan pasti sejak kapan perang digunakan untuk perang. Tradisi ini memiliki
ketupat dimulai. Namun perang ketupat ini makna bahwa pangan merupakan senjata
telah ada sejak Gunung Krakatau meletus utama untuk bertahan hidup.
tahun 1883. Orang asli yang mengadakan
acara ini adalah orang Lom. Perang ketupat di Bali dilaksanakan di
Kampung Adat Kapal Kabupaten Badung.
Seiring masuknya Islam ke tanah Bangka, Sebelum acara dimulai, peserta perang ketupat

372 | Ensiklopedi Islam Nusantara

terlebih dahulu bersembahyang di Pura. Perang di kawasan Pura. Bangunan yang berdiri tidak
ketupat diselenggarakan sebagai ungkapan ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.
warga bersyukur kepada sang pencipta atas
segala rezeki yang telah dilimpahkan. Upacara Perang Topat adalah salah satu seremoni
ini dilaksanakan setiap hari punama kapat. bersama umat Hindu dan Islam di Pura
Lingsar. Acara itu merupakan simbol
*** kerukunan antarumat beragama, khususnya
masyarakat etnis Sasak yang beragama Islam
Di Lombok, tradisi Perang Topat dan masyarakat etnis Bali yang memeluk
merupakan warisan budaya turun temurun agama Hindu.
yang dilakukan sepeninggal penjajahan Bali di
Lombok. Dilakukan dengan cara saling lempar Tradisi Perang Topat ini digelar setelah
ketupat antara umat Islam dan umat Hindu panen raya, sebagai ungkapan syukur kepada
Lombok. Kelomp0ok muslim menggunakan Tuhan dan doa agar musim tanam berikutnya
pakaian adat khas Sasak dan kelompok Hindu mendapat kesuburan. Perang Topat (ketupat)
mengenakan pakaian khas adat Bali. berlangsung setahun sekali. Momentumnya
pada saat raraq kembang waru atau gugurnya
Upacara keagamaan ini dirayakan tiap bunga waru.
tahun di Pura Lingsar, Kecamatan Narmada,
Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Ini Perang topat dimulai sejak pukul 15.45
pura terbesar di NTB dengan luas 26 hektar, dan berakhir ketika matahari terbenam. Seusai
peninggalan kerajaan Karangasem. Perang Perang Topat, masyarakat biasanya berebutan
topat dilaksanakan bertepatan dengan gugur membawa pulang ketupat sisa peperangan.
bunga waru atau dalam bahasa Sasaknya “rorok Ketupat itu ditebarkan di sawah agar tanahnya
kembang waru”, yaitu menjelang tenggelamnya subur.
sinar matahari sekitar pukul 17.30.
Malam hari sebelum perang ketupat,
Pura Lingsar berada di Desa Lingsar, warga melaksanakan syafaah berupa
Kabupaten Lombok Barat (Lobar). Pura Lingsar pembacaan surat Al Ikhlas sebanyak seribu
adalah lambang persatuan dan kerukunan kali. Esok harinya,ketika bunga waru mulai
beragama di Pulau Lombok, antara umat berguguran (rorok kembang waru) warga
Islam dan umat Hindu. Kedua umat beragama mulai melaksanakan perang topat. Manfaat
mengelola dan beribadah bersama-sama pada perang topat antara lain mewujudkan rasa
waktu-waktu tertentu di Pura Lingsar. syukur kepada sang pencipta, kemudian
menumbuhkan rasa kebersamaan antara suku
Pura Lingsar dibangun Raja Anak Sasak yangmuslim dan Bali yang Hindu.
Agung Gede Ngurah tahun 1714. Dia adalah
keturunan Raja Karangasem Bali yang sempat Tradisi itu berkaitan dengan mata air
berkuasa di sebagian pulau Lombok pada abad Langser di samping kompleks Pura Lingsar.
ke 17 silam. Pura ini terbagi dua bagian. Di Nama Lingsar berasal dari mata air Lingsar.
sebelah utara terdapat tempat beribadah umat Di kalangan masyarakat Lingsar beredar
hindu, yakni pura Gaduh. Di bagian selatan kepercayaan, mata air itu berasal dari bekas
terdapat bangunan Kemaliq untuk umat Islam tancapan tongkat Raden Mas Sumilir, penyebar
beribadah dan ritual adat suku Sasak. agama Islam setempat pada abad ke-15.

Sebagai lambang pemersatu dua umat Mata air Langser dapat mengairi lahan
beragama, di Pura ini terdapat aturan yang pertanian di Lingsar sampai ke wilayah Lombok
harus ditaati para pengunjung dan setiap Tengah. Petani yang lahannya menerima aliran
orang yang menjalani ritual agama. Salah dari Langser bisa menanam dan memanen
satunya, tidak boleh menyajikan sesaji dari padi hingga tiga musim dalam setahun.
babi dan sapi. Babi haram bagi umat Islam, dan
sapi dianggap suci bagi umat Hindu. Kedua Kegiatan ini sudah menjadi agenda
jenis binatang itu juga tidak boleh dipelihara

Edisi Budaya | 373

pariwisata. Ada pakem, wanita yang sedang saling lempar antara warga. Ketupat
haid tak boleh mengikuti acara ini.Sehari kemudian diperebutkan. Ketupat yang belum
sebelumnya ada upacara permulaan kerja atau dilemparkan tidak boleh dibawa pulang.
penaek gawe. Ada pula acara mendak berupa Walaupun ketupat itu sudah babak belur,
upacara menjemput tamu agung, terdiri roh tetap diambil orang, khususnya para petani,
gaib yang dipercaya berkuasa di Gunung untuk dibawa pulang dan ditaruh di pokjokan
Rinjani dan Gunung Agung. Dinas Pariwisata pematang sawah, di tanam dalam tanah atau
NTB biasanya menyumbangkan 1.000 ketupat digantung di pohon buah-buahan. Itu sebagai
untuk perang- perangan itu. doa agar tanaman tumbuh subur. ***

Dimulai dengan lemparan ketupat [Asrori S karni]
dari pelempar pertama. Kemudian diikuti

Sumber Bacaan:

Blongkod, Rauda, Studi Komparatif Tradisi Ketupat, Skripsi, Universitas Negeri Gorontalo, 2014.
Chandra, http://www.babelprov.go.id/content/wagub-bangga-terhadap-semangat-perang-ketupat
Dahnur, Heru. http://regional.kompas.com/read/2016/05/28/11491311/ sambut.ramadhan.warga.di.bangka.barat.

gelar.perang.ketupat
http://news.liputan6.com/read/354400/bersyukur-dengan-perang-tipat-bantal
http://news.liputan6.com/read/354400/bersyukur-dengan-perang-tipat-bantal
http://www.wisatadilombok.com/2013/05/tradisi-lebaran-ketupat-perang-topat-di.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Ketupat
Kelana, Aries, Perang Ketupat di Negeri Sasak, GATRA, 18 Januari 1997
Nursyamsyi, Muhammad, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/12/13/oi4otr382-

perang-topat-tradisi-kerukunan-umat-islam-dan-hindu-di-lombok
Yudhistira, Cokorda, http://travel.kompas.com/ read/2014/11/06/ 125000027 / Perang.Tak.Bermusuhan
Zainab, Tradisi Perang Ketupat di Desa Tempilang, Bangka, Bangka Belitung, Skripsi, UIN Yogyakarta, 2008

374 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Pesantren

Pesantren yang merupakan “Bapak” tergantung kepada daya tarik tokoh sentral
dari pendidikan Islam di Indonesia, (Kiai atau Guru) yang memimpin, menuruskan
didirikan karena adanya tuntutan atau mewarisinya. jika pewaris menguasi
dan kebutuhan zaman. Hal ini bisa dilihat sepenuhnya baik pengetahuan agama, wibawa,
dari perjalanan sejarah, dimana bila dirunut ketermpilan mengajar dan kekayaan lainnya
kembali, sesungguhnya pesantren dilahirkan yang diperlukan. Sebaliknya pesantren akan
atas kesadaran kewajiban dakwah islamiyah, menjadi mundur atau hilang, jika pewaris
yakni menyebarkan dan mengembangkan atau keturunan Kiai yang mewarisinya tidak
Ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader memenuhi persyaratan. Jadi seorang figur
Ulama atau Dai. pesantren memang sangat menentukan dan
benar-benar diperlukan.
Pesantren sendiri menurut pengertian
dasarnya adalah Tempat Belajar Para Santri. Biasanya santri yang telah menyelesaikan
Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat dan diakui telah tamat, diberi izin oleh Kiai
tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. untuk membuka dan mendirikan pesantren
Disamping itu kata “Pondok” juga berasal dari baru didaerah asalnya. Dengan cara demikian
bahasa Arab “Funduq” yang berarti “Hotel atau pesantren-pesantren berkembang diberbagai
Asrama”. daerah terutama pedesaan dan pesantren asal
dianggap sebagai pesantren induknya.
Pembangunan suatu pesantren didorong
oleh kebutuhan masyarakat akan adanya Pesantren di Indonesia memang
lembaga pendidikan lanjutan. Namun dan tumbuh berkembang sangat pesat.
demikian, faktor guru yang memenuhi Berdasarkan laporan pemerintah kolonial
persyaratan keilmuan yang diperlukan akan belanda, pada abad ke 19 untuk di Jawa
sangat menentukan bagi tumbuhnya suatu saja terdapat tidak kurang dari 1.853 buah,
pesantren. Pada umumnya berdiri suatu dengan jumlah santri tidak kurang 16.500
pesantren yang diawali seorang Guru atau Kiai. orang. Dari jumlah tersebut belum masuk
pesantren-pesantren yang berkembang di luar
Karena keinginan menuntut dan jawa terutama di Sumatera dan Kalimantan
memperoleh ilmu dari Guru tersebut, maka yang suasana kegiatan keagamaanya terkenal
masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah sangat kuat.
datang kepadanya untuk belajar. Mereka lalu
membangun tempat tingggal yang sederhana Asal-usul pesantren: berbagai pendapat
disekitar tempat tinggal guru tersebut.
Semakin tinggi ilmu seorang guru tersebut, Jauh sebelum masa kemerdekaan,
semakin banyak pula orang dari luar daerah pesantren telah menjadi sistem pendidikan
yang datang untuk mentut ilmu kepadanya Nusantara. Hampir di seluruh pelosok
dan berarti semakin besar pula pondok dan Nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan
pesantrennya. Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang
kurang lebih serupa walaupun menggunakan
Kelangsungan hidup suatu pesantren amat

Edisi Budaya | 375

nama yang berbeda-beda, seperti Meunasah tentang posisi Arab—khususnya Mekkah dan
di Aceh, Surau di Minangkabau, dan Pesantren Madinah—sebagai pusat orientasi bagi umat
di Jawa. Namun demikian, secara historis awal Islam. Ia memberi contoh salah satu tradisi
kemunculan dan asal-usul pesantren masih kitab kuning di pesantren. Baginya, kitab
menyisakan kontroversi di kalangan para ahli kuning yang berbahasa Arab merupakan salah
sejarah. satu bukti bahwa asal usul pesantren dari
tanah Arab. Tentang kitab kuning ini. Lebih
Banyak penulis sejarah pesantren lanjut, Bruinessen menulis sebagai berikut:
berpendapat bahwa institusi ini merupakan
lembaga pendidikan Islam hasil adopsi dari luar. “Tradisi kitab kuning jelas bukan tradisi
Sebut saja Karel A. Steenbrink dan Martin van dari Indonesia. Semua kitab klasik yang
Bruinessen yang memandang bahwa pesantren dipelajari di Indonesia berbahasa Arab,
bukanlah lembaga pendidikan Islam tipikal dan sebagian besar ditulis sebelum Islam
Indonesia. Jika Steenbrink—yang mengutip tersebar di Indonesia. Demikian juga banyak
dari Soegarda Poerbakawatja—memandang kitab syarah atas teks klasik yang bukan dari
pesantren diambil dari India, maka Bruinessen Indonesia (meskipun syarah yang ditulis ulama
berpendapat bahwa pesantren berasal dari Indonesia makin banyak). Bahkan, pergeseran
Arab. Keduanya memiliki pendapat untuk perhatian utama dalam tradisi tersebut sejalan
memperkuat pendapatnya masing-masing. dengan pergeseran serupa yang terjadi di
sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah
Ada dua alasan yang dikemukakan kitab dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi
Steenbrink untuk memperkuat pandangan tidak ditulis di Indonesia, melainkan di Mekah
bahwa pesantren diadopsi dari India, yaitu atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh
alasan terminologi dan alasan persamaan jadi orang Indonesia sendiri).”
bentuk. Menurutnya, secara terminologis,
ada beberapa istilah yang lazim digunakan Selain bukti tradisi kitab kuning,
di pesantren seperti mengaji dan pondok, Bruinessen juga menunjukkan bukti lain yang
dua istilah yang bukan dari Arab melainkan menunjukkan bahwa asal-usul pesantren dari
dari India. Selain itu, sistem pesantren telah tanah Arab. Menurutnya, pola pendidikan
dipergunakan secara umum untuk pendidikan pesantren menyerupai pola pendidikan
dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Selain madrasah dan zāwiyah di Timur Tengah. Jika
Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem dan madrasah merupakan lembaga pendidikan
istilah-istilah di atas kemudian diambil oleh Islam di luar masjid, maka zāwiyah merupakan
Islam. lembaga pendidikan Islam yang berbentuk
lingkaran dan mengambil tempat di sudut-
Sementara itu, dari segi bentuknya ada sudut masjid. Kedua lembaga pendidikan Islam
persamaan antara pendidikan Hindu di India tersebut merupakan tempat belajar para calon
dan pesantren di Jawa. Persamaan bentuk ulama termasuk yang berasal dari Indonesia.
tersebut terletak pada penyerahan tanah oleh Mengingat kiai-kiai besar hampir semua
negara bagi kepentingan agama yang terdapat menyelesaikan tahap akhir pendidikannya
dalam tradisi Hindu. Persamaan lainnya di pusat-pusat pengajaran Islam terkemuka
terletak pada beberapa hal yaitu seluruh sistem di tanah Arab, maka pola pendidikan yang
pendidikannya bersifat agama, guru tidak mereka kenal tersebut dikembangkan di tanah
mendapatkan gaji, penghormatan (ihtirâm) air dalam bentuk pesantren.
yang besar terhadap guru, dan para siswanya
meminta sumbangan ke luar lingkungan Pendapat Steenbrik dan Bruinessen
pesantren. yang menyatakan bahwa asal usul pesantren
dari India dan Arab, perlu ditelaah kembali
Sementaraitu,vanBruinessenberpendapat kebenarannya. Mengingat beberapa istilah
bahwa pesantren yang merupakan lembaga Jawa yang digunakan di pesantren, pendapat
pendidikan Islam tertua di Indonesia besar bahwa asal-usul pesantren dari India atau
kemungkinan berasal dari Arab. Alasannya

376 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Arab tidak dapat diterima. Nurcholish Madjid kitab kuning yang dijadikan sumber belajar
mencatat ada 4 (empat) istilah Jawa yang di pesantren ditulis oleh penulis Indonesia
dominan digunakan di pesantren, yaitu: yang belajar dan menjadi syekh di Haramain,
santri, kiai, ngaji, dan njenggoti. Kata santri seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau,
yang digunakan untuk menunjuk peserta didik Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Banjar.
di pesantren berasal dari bahasa Jawa cantrik Dengan demikian, perlu ditelaah kembali jika
yang berarti seseorang yang selalu mengikuti dikatakan bahwa tradisi kitab kuning sebagai
guru ke mana saja guru pergi dengan tujuan alasan untuk menyimpulkan bahwa pesantren
untuk mempelajari ilmu yang dimiliki oleh berasal dari Arab.
sang guru. Istilah lain untuk menunjuk guru
di pesantren adalah kiai yang juga berasal Hal penting lainnya adalah bahwa
dari bahasa Jawa. Perkataan kiai untuk laki- penggunaan kitab-kitab berbahasa Arab
laki dan nyai untuk perempuan digunakan di pesantren tidak dapat dihindari karena
oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya. Mekkah dan Madinah merupakan kiblat bagi
Kata kiai dan nyai dalam hal ini mengandung umat Islam Indonesia sejak masuk ke Indonesia
pengertian rasa ihtirām terhadap orang tua. sampai sekarang ini. Hal ini sebagai petunjuk
bahwa para kiai dalam mengembangkan Islam
Demikian juga kata ngaji yang digunakan di pesantren mengacu kepada model yang
untuk menunjuk kegiatan santri dan kiai di dicontohkan Rasulullah SAW. Bagi para kiai,
pesantren berasal dari kata aji yang berarti Rasulullah dipandang sebagai model universal
terhormat dan mahal. Kata ngaji biasanya yang harus diikuti umat Islam seluruh dunia
disandingkan dengan kata kitab; ngaji termasuk muslim santri Jawa itu sendiri.
kitab yang berarti kegiatan santri pada saat Selain Rasulullah Saw, para kiai, dalam
mempelajari kitab yang berbahasa Arab. Oleh mengembangkan pesantren juga mengacu
karena santri banyak yang belum mengerti kepada para wali yang berjumlah sembilan di
Bahasa Arab, maka kitab tersebut oleh kiai Jawa. Bagi para kiai, Walisongo di daerah Jawa
diterjemahkan kata demi kata ke dalam Bahasa dipandang sebagai model domestik yang perlu
Jawa. Para santri mengikuti dengan cermat dicontoh untuk pengembangan pendidikan
terjemahan kiainya dan mereka mencatatnya di pesantren. Ini berarti bahwa pesantren
pada kitab yang dipelajari, yaitu di bawah kata- merupakan lembaga yang unik di Indonesia,
kata yang diterjemahkan. Kegiatan mencatat sehingga dapat dianggap sebagai lembaga khas
terjemahan ini di pesantren biasa dikenal Indonesia.
dengan istilah njenggoti, karena catatan
mereka itu menggantung seperti janggut pada Pendapat bahwa asal-usul pesantren dari
kata-kata yang diterjemahkan. tradisi agama Hindu di India seperti yang
dikemukakan oleh Steenbrink di atas ternyata
Alasan lain yang menolak kesimpulan tidak memiliki alasan yang kuat. Pandangan
bahwa tradisi kitab kuning yang berbahasa bahwa keberadaan pesantren di Jawa
Arab berasal dari Arab adalah pendapat terpengaruh oleh tradisi India bisa dipahami.
Mahmud Yunus. Menurutnya, kitab kuning Namun demikian, hal ini bukan berarti bahwa
yang dijadikan materi ajar utama di pesantren asal-usul pesantren dari tradisi agama Hindu.
baru terjadi pada tahun 1900-an. Sebelum Tradisi pesantren sangat berhati-hati terhadap
itu para kiai menulis kitab-kitab dengan sinkretisme dan senantiasa memperbaharui
tangan mereka yang dijadikan bahan dalam kembali melalui sembernya sendiri.
pembelajaran di pesantren. Setelah percetakan Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa
mulai dikenal secara luas di dunia Islam sumber terpenting bagi Islam tradisional
dan beberapa kitab dicetak secara massal, Indonesia adalah kota suci Mekah—pusat
mulailah berdiri toko-toko kitab di Indonesia. orientasi semua dunia Islam. Orientasi kedua
Pada saat itulah, penggunaan kitab-kitab adalah Madinah—dimana Nabi membangun
kuning di pesantren mulai mengambil peran. masjid pertama dan wafat. Konsekuensinya
Kemudian, harus diakui bahwa beberapa adalah, hampir semua pengarang Islam dan

Edisi Budaya | 377

ulama Indonesia menghabiskan banyak 1. Memakai sistem tradisional yang
waktunya di Mekah, Madinah, dan pusat-
pusat pengajaran di Timur Tengah. mempunyai kebebasan penuh

Selanjutnya, kapan kemunculan pesantren dibandingkan dengan sekolah modern,
sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia?
Beberapa sumber tidak menyebutkan secara sehingga terjadi hubungan dua arah
gamblang tentang kemunculan pesantren
di Indonesia. Namun demikian, dari hasil antara santri dan kiai
pendataan yang dilakukan oleh Departemen
Agama (sekarang Kementerian Agama) 2. Kehidupan di pesantren menampakkan
pada tahun 1984-1985 diperoleh informasi semangat demokrasi karena mereka
bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah praktis berkerja sama mengatasi problem
Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan Madura, nonkurikuler mereka.
yang didirikan pada tahun 1062. Informasi ini
dibantah oleh Mastuhu dengan alasan bahwa 3. Para santri tidak mengidap penyakit
sebelum adanya Pesantren Jan Tanpes II, simbolis, yaitu perolehan gelar atau
tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang ijazah, karena sebagian besar pesantren
lebih tua, dan dalam buku Kementerian Agama tidak mengelurkan ijazah.
tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa
tahun pendiriannya. Jadi, mungkin mereka 4. Sistem pondok pesanten mengutamakan
memiliki usia yang lebih tua. Selain itu, kesederhanaan, idealisme, persaudaraan,
Mastuhu menduga bahwa pesantren didirikan persamaan, rasa percaya diri, dan
setelah Islam masuk ke Indonesia. keberanian hidup.

Temuan Departemen Agama tentang 5. Alumni pondok pesantren tidak ingin
keberadaan pesantren tertua di Indonesia di menduduki jabatan pemerintahan,
atas juga ditolak oleh Martin van Bruinessen. sehingga mereka hampir tidak dapa
Menurut Bruinessen, Pesantren Tegalsari dikuasai oleh pemerintah.
(salah satu desa di Ponorogo, Jawa Timur)
merupakan pesantren tertua di Indonesia Ciri khas pesantren
yang didirikan pada tahun 1742 M. Sepanjang
penelitiannya, Bruinessen tidak menemukan Sementara itu yang menjadi ciri khas
bukti yang jelas adanya pesantren (pada abad pesantren dan sekaligus menujukan unsur-
ke-19) sebelum berdirinya pesantren Tegalsari. unsur pokoknya, yang membedakannya
Bahkan, sebelum abad ke-20 belum ada dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu:
lembaga semacam pesantren di Kalimantan,
Sulawesi, dan Lombok. Pada umumnya, pada 1. Pondok: merupakan tempat tinggal kiai
tahun-tahun sebelum abad ke-20, kegiatan bersama para santrinya. Adanya pondok
pendidikan Islam di Jawa, Banten, dan luar sebagai tempat tingggal bersama antara
Jawa masih berbentuk informal dengan pusat kiai dengan para santrinya dan bekerja
kegiatannya di mesjid. sama untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari merupakan pembeda dengan
Mekanisme pesantren lembaga pendidikan yang belangsung di
mesjid atau langgar (mushola).
Dalam mekanisme kerjanya, sistem yang
ditampilkan pondok pesantren mempunyai 2. Adanya Mesjid: sebagai pusat kegiatan
keunikan dibandingkan dengan sistem yang ibadah dan belajar mengajar. Mesjid
diterapkan dalam pendidikan pada umumnya, yang merupakan unsur pokok kedua dari
di antaranya yaitu: pesantren, disamping berfungsi sebagai
tempat unuk melakukan sholat berjamaah
setiap waktu shalat, juga berfungsi sebagai
tempat belajar- mengajar.

3. Santri: merupakan unsur pokok dari
sebuah pesantren, biasanya terdiri dari
dua kelompok, yaitu: santri mukim, ialah
santri yang berasal dari daerah yang jauh

378 | Ensiklopedi Islam Nusantara

dan menetap dalam pondok pesantren; tersebut satu persatu, sehingga setiap santri
santri kalong, ialah santri-santri yang menguasinya.
berasal dari daerah-daerah sekitar
pesantren dan biasanya mereka tidak Metode Bandongan atau Halaqah dan
menetap dalam pesantren. Mereka pulang sering juga disebut Wetonan, yaitu para santri
ke rumah masing-masing setiap selesai duduk disekitar kiai dengan membentuk
mengikuti suatu pelajaran di peantren. lingkaran, dengan cara bandongan ini, kiai
mangajarkan kitab tertentu pada sekelompok
4. Kiai: merupakan tokoh sentral dalam santri. Karena itu metode ini biasa juga
pesantren yang memberikan pengajaran. dikatakan sebagai proses belajar mengaji
Karena itu, kiai adalah salah satu unsur secara kolektif. Baik kiai maupun santri dalam
yang paling dominan dalam kehidupan halaqah memegang kitab masing-masing.
suatu pesantren. Kemasyhuran,
perkembangan dan kelangsungan Kiai membacakan teks kitab, kemudian
kehidupan suatu pesantren banyak menerjemahkannya kata demi kata, dan
bergantung pada keahlian dan kedalaman menerangkan maksudnya. Santri menyimak
ilmu, kharismatik dan wibawa, serta kitabnya masing-masing dan mendengarkan
keterampilan kiai yang bersangkutan dengan seksama terjemahan dan penjelasan-
dalam mengelola pesantrennya. penjelasan kiai. Kemudian santri mengulang
dan mempelajari kembali secara mandiri.
5. Kitab-kitab Islam klasik (Thurats): populer
disebut kitab kuning. Unsur pokok ini Perkembagan berikutnya, disamping tetap
cukup membedakan pesantren dengan mempertahankan sistem ketradisionalannya,
lembaga pendidikan lainnya adalah pesantren juga mengembangkan dan mengelola
bahwa pada pesaantren diajarkan kitab- sistem pendidikan madrasah. Begitu pula,
kitab klasik yang dikarang para ulama untuk mencapai tujuan bahwa nantinya para
terdahulu, mengenai berbagai macam santri mampu hidup mandiri, kebanyakan
ilmu pengetahuan agama Islam dan saat ini pesantren juga memasukkan pelajaran
bahasa Arab. keterampilan dan pengetahuan umum.

Sistem Pengajaran di Pesantren Pada sebagian pondok, sistem
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran
Sejarah perkembangan pondok pesantren makin lama makin berubah karena
memiliki model-model pengajaran yang dipengaruhi oleh perkembangan kebijakan
bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan di tanah air serta tuntutan dari
pendidikan dengan menggunakan metode masyarakat di lingkungan pondok pesantren
pengajaran sorogan dan wetonan atau itu sendiri. Kemudian sebagian pondok lagi
bandongan (menurut istilah dari Jawa Barat). tetap mempertahankan sistem pendidikan
yang lama (salaf).
Sorogan, disebut juga sebagai cara
mengajar per kepala, yaitu setiap santri Secara garis besar, pesantren sekarang ini
mendapat kesempatan tersendiri untuk dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
memperoleh pembelajaran seara langsung
dari Kiai. Dengan cara sorogan ini, pelajaran 1. Pesantren Tradisional (Salafiyah): yaitu
diberikan oleh pembantu Kiai yang pesantren yang masih mempertahankan
disebut “Badal”. Mula-mula Badal tersebut sistem pengajaran tradisional, dengan
membacakan matan kitab yang tertulis dalam materi pengbajaran kitab-kitab klasik
bahasa Arab. Kemudian menerjemahkan yang sering disebut kitab kuning. Di
kata demi kata ke dalam bahasa daerah, dan antara pesantren ini ada yang mengelola
menerangkan maksudnya. Setelah itu santri madrasah, bahkan juga sekolah-sekolah
disuruh membaca dan mengulangi pelajaran umum mulai tingkat dasar dan menengah,
dan ada pula pesantren-pesantren besar
yang sampai keperguruan tinggi. Murid-
murid dan mahasiswa diperbolehkan

Edisi Budaya | 379

Suasana Pesantren Termas Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi
Pacitan Jawa Timur menonjol, bahkan ada yang cuma sekedar
pelengkap, tetapi berubah menjadi mata
tinggal di pondok atau di luar, tetapi pelajaran atau bidang studi. Begitu juga
mereka diwajibkan mengikuti pengajaran dengan sistem yang diterapkan, seperti
kitab-kitab dengan cara sorogan maupun cara sorogan dan bandongan mulai
bandongan, sesuai dengan tingkatan berubah menjadi individual dalam hal
masing-masing. Guru-guru pada belajar dan kuliah secara umum, atau
madrasah atau sekolah pada umumnya Stadium General. Kemudian dalam
mengikuti pengajian kitab-kitab pada pertumbuhan dan perkembangannya
perguruan tinggi. seiring dengan perkembangan zaman,
tidak sedikit pesantren kecil yang berubah
2. Pesantren Moderen (Khalafiyah): menjadi madrasah atau sekolah, atau
merupakan pesantren yang berusaha karena kiai yang menjadi tokoh sentral
mengintegrasikan secara penuh sistem meninggal dunia.
klasikal dan sekolah ke dalam pondok
pesantren. Semua santri yang masuk [Fathoni Ahmad]
pondok terbagi dalam tingkatan kelas.

Sumber Bacaan

Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan NU. Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994).
Bruinesses, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia.

Jakarta: LP3ES, 2011.
Nordholt, Henk Schulte, dkk. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2013.
Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES, 1986.
Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah. Jakarta: IIman. 2012.
Vlekke, Bernard H.M. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010.
Wahid, Abdurrahman. Islam, the State and Development in Indonesia, Jakarta: LIPI, 1980.
_________________. Asal-Usul Tradisi Keilmuan Pesantren, dalam Jurnal Pesantren, edisi Oktober-Desember, 1984.
_________________. Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur. Yogyakarta: LKiS. 2012.
_________________. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2007.
Yusqi, M. Isom, dkk. Mengenal Konsep Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka STAINU, 2015.

380 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Petilasan

Masyarakat secara khusus Jawa, cukup nuansanya pun, bagi orang-orang yang gemar
familiar dengan istilah petilasan. bertirakat petilasan adalah lokasi yang cocok
Kata ini merujuk pada “tilas” atau untuk mengambil/menyerap energi positif.
bekas. Suatu tempat yang pernah di datangi Tempat tersebut menjadi sakral-suci sehingga
atau ditinggali oleh seseorang yang memunyai perlu dijaga dari hal-hal yang menjauhkan dari
jasa besar bagi kehidupan. Dalam konteks ini makna sesungguhnya.
seseorang yang pernah tinggal dan mendatangi
suatu tempat merupakan orang penting. Dan Dalam alam pikiran yang logis saat ini,
karena itu terutama di tanah Jawa, tercatat petilasan dapat dipahami sebagai tempat
cukup banyak petilasan yang pernah di tinggali bersejarah yang patut untuk dijaga dan
atau didatangi. Karena petilasan tersebut dilestarikan. Dengan begitu, ada makna
pernah ditinggali oleh orang penting maka tersirat dari sebuah petilasan untuk dapat
dalam perkembangannya orang memandang menjadi “tetenger” atau penanda (tanda)
bahwa lokasi tersebut wajib untuk dihormati bahwa generasi sekarang tidak saja menikmati
dan dijaga. Walaupun begitu, ada saja orang suasana fisik namun menangkap makna
yang menggunakannya sebagai tempat untuk historis dari tempat dimana peristiwa tersebut
mencari sesuatu. Meminta sesuatu secara terjadi. Hal ini penting, karena melihat laju
instan, yang pada akhirnya menjadikan perkembangan zaman saat ini sepertinya
petilasan tersebut mengalami pergeseran menjauhkan diri dari apa yang dinamakan
makna sesungguhnya. Perkembangan ini “eling”. Eling atau ingat pada diri dan orang
tidak lepas dari pengaruh budaya materi lain. “Eling”, karena dengan eling setiap
yang kian mendesak manusia, sehingga pada manusia dapat menemukan jati diri. Yaitu jati
kenyataannya mengharapkan sesuatu secara diri sebuah bangsa yang dilatarbelakangi oleh
instan. Sejatinya petilasan bukan dimaksudkan sebuah nilai (value) perjuangan.
untuk itu, melainkan menjadi tempat untuk
dapat diingat bagi generasi tersebut, bahwa di Petilasan, Batu tulis dan Makam
tempat itu pernah terjadi peristiwa penting.
Petilasan merupakan salah satu dari
Dalam hal mistik, petilasan cukup banyak peninggalan sejarah dan budaya Nusantara
mengandung penafsiran, yaitu tempat- selain batu bertulis dan makam. Batu Bertulis
tempat/petilasan yang pernah didatangi oleh merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan
orang penting mengandung energi positif kuno ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Di
bagi seseorang yang bisa merasakannya. Nusantara, kebanyakan batu-batu ini dibuat
Paling mudah adalah dengan merasakan pada masing-masing zaman kerajaan. Batu
suasana dan kesejukan hati disaat berada di diambil dari batu kali yang besar dan kokoh
petilasan tersebut selama beberapa menit. (agar awet tak lekang perubahan zaman) dan
Mengapa energi tersebut positif? Biasanya ditulis mengenai kejayaan dan kebesaran raja
orang penting tersebut memunyai kesaktian atau kerajaan. Contohnya Prasasti Batu Tulis
yang mana menurut paranormal diyakini Bogor. Dahulu wilayah batu tulis merupakan
masih berada di petilasan tersebut. Selain pusat kerajaan Padjajaran. Dibuat oleh Prabu

Edisi Budaya | 381

Surawisesa untuk mengenang kejayaan sosial, daya tarik mereka tidak hanya terbatas
ayahandanya Prabu Siliwangi dan kebesaran ketika mereka masih hidup di dunia ini, di
kerajaan Padjajaran, Batu Tulis Ciarunteun, alam barzakh pun dampak kontribusi mereka
Ciampea, Bogor. Yang menuliskan kebesaran tetap signifikan bagi pemberian spirit baru,
Raja Purnawarman dengan kerajaannya baik berupa spirit perjuangan, keagamaan,
Tarumanegara. kehidupan maupun spirit moralitas. Indikasi ini
bisa dilihat misalnya, daya tarik aura magnetik
Sedangkan makam baru ditemui pada di kalangan komunitas para wali sanga yang
zaman kerajaan modern. Makam merupakan telah ratusan tahun dimakamkan di kawasan
tempat dikuburkannya seseorang yang pulau Jawa ini. Rentang waktu lamanya
telah meninggal dunia. Pemakaman yang pemakaman para tokoh Islam tersebut dalam
telah ratusan tahun, biasanya banyak yang realitasnya tidak mempengaruhi surutnya
berziarah. Contoh: Makam keluarga kerajaan motivasi para peziarah yang berdatangan di
Riau di P.Penyengat, Tanjung Pinang, Kepri. tempat itu.

Namun ada juga yang sering menyebut Dalam perspektif sosiologis motivasi
sebagai petilasan Makam. Istilah makam, ziarah itu adakalanya untuk membangkitkan
sebagaimana layaknya yang dipahami semangat perjuangan keagamaan, meneladani
masyarakat adalah tempat pemakaman atau nilai-nilai moralitas dan spiritualitas.
peristirahatan manusia yang telah dipanggil Sementara itu secara teologis berfungsi
oleh Allah untuk memenuhi iradah dan mengingatkan para peziarah terhadap
taqdir-Nya. Hampir di setiap komunitas kematian. Tentu saja karena kesucian tokoh-
masyarakat di mana saja berada, maqbarah tokoh yang didatangi, tempat itu diyakini
(tempat pemakaman) selalu disediakan oleh mengandung nilai berkah yang secara
masyarakat setempat. Hal ini, karena mereka langsung berpengaruh dalam kehidupan
menyadari bahwa semua manusia yang hidup mereka. Adakalanya nilai berkah itu berupa
di dunia ini akan mengalami dan merasakan ketenangan, kemudahan hidup dan rizki
kematian dan akan diperistirahatkan di yang melimpah. Hal ini bagi peziarah yang
makam. Melalui kematian inilah, manusia memahami agama secara mendalam dianggap
memasuki fase kedua yang disebut dengan sebagai akibat dan bukan sebagai tujuan.
alam barzakh, alam penantian untuk memasuki Sebagai akibat, ia tidak akan mempengaruhi
alam akhirat. Secara fisik, manusia yang telah tujuan utama ajaran ziarah. Hanya saja
mengalami kematian ini akan berpisah dengan tidak menutup kemungkinan akibat-akibat
kehidupan manusia yang berada di alam dunia, langsung yang juga dirasakan oleh peziarah
namun secara psikis, jiwanya masih sanggup awam perlu memperoleh penjelasan secara
berkomunikasi dengan kehidupan manusia di teologis maupun sosiologis hikmah ziarah
dunia fana ini. kubur tersebut.

Keberadaan manusia, dengan ilmunya Motivasi sekunder inilah, tidak jarang
yang bermanfaat, amal saleh dan moralitasnya membuat masyarakat awam, baik shari’ah
yang mulia di hadapan sesama, membuatnya maupun aqidahnya mengalami bias teologis.
akan dikenang selamanya oleh masyarakat Ziarah kubur hanya dimaknai untuk
manusia. Sebaliknya bagi manusia yang kepentingan sekunder atau jangka pendek.
hidupnya tidak memiliki arti dan peran sosial Pemahaman ajaran ziarah kubur, baik secara
apa-apa, keberadaannya akan terputus begitu sosiologis maupun teologis telah mengalami
saja setelah ia mengalami kematian. Di sinilah reduksi makna. Namun demikian keyakinan
garis batas yang membedakan antara manusia sejenis juga tidak tiba-tiba muncul di tempat-
yang şaleh, muslih, suci dan manusia yang tempat makam umumnya. Keyakinan mereka
taleh (jelek) yang tidak punya kontribusi apa- seperti itu hanya muncul di beberapa tempat
apa di dunianya. makam khusus, yaitu makam orang saleh
individual (vertikal) dan sosialnya (horisantal).
Bagi manusia yang saleh individu maupun

382 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Tidak hanya itu beberapa makam para Petilasan Sunan Kalijaga di Cirebon.
ulama dan tokoh yang memiliki kontribusi
sosial dalam mengembangkan ajaran agama, Sumber: http://akucintanusantaraku.blogspot.co.id/2014/01/
meluruskan moralitas dan membentengi
budaya dan peradaban dari berbagai sebagai situs petilasan. Hening, meditasi,
kemungkinan perilaku sesat, juga akan mengenal diri merupakan hal biasa dilakukan
memperoleh penghargaan dan penghormatan sejak turun – temurun manusia di bumi
sosial serupa. Jangankan makam seorang Nusantara. Di suatu wilayah yang leluhur-
bangsawan yang telah banyak berjasa kepada leluhur bangsa ini mendapatkan makna atau
bangsa, masyarakat maupun agamanya. pengetahuan hasil dari heningnya, kemudian
Dalam cerita, makam seorang dukun bayi pun, mereka menandai dengan batu sederhana.
karena keikhlasan dalam menjalankan tugas-
tugas sosial semasa hidupnya, makam dukun Perlu diketahui bahwa situs petilasan
bayi tersebut juga tidak surut dari kunjungan bukanlah makam. Karena sekarang sering
masyarakat, karena dimitoskan akan nilai ditemui banyaknya situs petilasan yang
berkahnya. dibenahi, namun dengan di rubah bentuk
seperti makam/tempat orang dikubur. Ada
Singkatnya, daya tarik mereka di tengah juga petilasan yang berbentuk patung-patung
masyarakat adalah karena aura atau energi batu. Merupakan simbol dari leluhur itu
yang memancar dari perilaku mereka sendiri sendiri. Karena situs petilasan sejak dahulu
di masa hidupnya. Pemitosan, pelegendaan, merupakan tempat meditasi atau hening, maka
pengkultusan, pensakralan, pensucian sampai sekarang fungsinya masih dijalankan.
hingga pada bentuk pencitraan positif yang Contoh Situs petilasan Surya Kencana di G.
bermacam-macam menurut versi dan istilah Bunder, Bogor, Petilasan permaisuri Prabu
yang muncul dari masyarakat, juga karena Siliwangi di tengah lingkungan Kebun Raya
aura kesucian yang selalu memancar dari Bogor, Puser Jawa, G. Ketep di Magelang Jawa
jiwanya. Daya tarik ini tidak bisa dibuat-buat Tengah, Petilasan empat orang terdekat prabu
dan direkayasa. Dalam sejarah para peziarah, Siliwangi (mahaguru, pengawal dan emban),
belum pernah dijumpai di antara mereka yang yang masih berlokasi di wilayah batu tulis
sengaja mendatangi makam yang hampa dari Bogor.
kenangan-kenangan historis, baik kenangan
teologis maupun sosiologis. Demikian juga
para peziarah objek wisata ritual Gunung Kawi.

Adapun, situs petilasan itu sendiri
lebih luas daripada makam. Situs petilasan
merupakan tanda dimana leluhur-leluhur
besar bangsa ini pernah menginjakkan kaki
dan mendapat makna atau pengetahuan luhur
di wilayah tersebut. Beberapa bentuk situs
petilasan Lingga-Yoni. Lingga merupakan batu
panjang seperti huruf Alif, dipancang tegak di
suatu wilayah. Lingga berarti makna kebenaran
sejati, jalan lurus, yang telah dimaknai oleh
leluhur yang memancangnya. Terkadang di
wilayah Lingga, juga terdapat Yoni. Lingga-
Yoni merupakan makna keseimbangan langit
dan bumi. Keselarasan feminim dan maskulin.
Contoh: Lingga-Yoni terdapat di wilayah Batu
Tulis Bogor dan Candi Sukuh di G.Lawu. Batu
kecil yang dipancang sederhana, disebut juga

Edisi Budaya | 383

Petilasan dan Mistiknya Sebagai Folklor sebagai pembentuk solidaritas sosial. Kadang-
kadang penyelenggaraan folklor berkaitan
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem dengan ritual mistik. Tujuannya adalah untuk
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia memeperoleh ketentraman hidup.
dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik manusia dengan belajar. Salah Laku nenepi di makam Panembahan
satu unsur kebudayaan adalah sistem religi Senopati bertujuan untuk ngalap berkah
yang di dalamnya terkandung agama dan atau memohon berkah. Berkah yang ingin
kepercayaan. Menurut Tylor, mengenai budaya didapat dari pelaku nenepi diantaranya
sebagai berikut “Budaya atau peradaban yaitu, keberhasilan dalam usaha, menambah
adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari kekayaan, dan memohon keselamatan.
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, Menurut Bascom fungsi- fungsi folklor adalah:
adat istiadat, serta kemampuan-kemampuan 1) Sebagai sistem proyeksi (projective system),
dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia yakni sebagai alat pencermin angan-angan
sebagai anggota masyarakat.” suatu kolektif, 2) sebagai alat pengesahan
pranata-pranata dan lembaga kebudayaan-
Biasanya keyakinan akan kekeramatan kebudayaan, c) sebagai alat pendidikan
situs petilasan diwariskan secara lisan serikut anak (pedagogical device), dan d) sebagai alat
legenda atau cerita-cerita mistisnya. Cerita pemaksa dan pengawas agar norma-norma
lisan tersebut dalam ilmu budaya dikena masyarakat akan selalu dipatuhi anggota
folklor sebagai bagian dari budaya. Danandjaya kolektifnya. Fungsi folklor tradisi laku nenepi
menyatakan bahwa “kata folklor adalah makam Panembahan Senopati yaitu, sebagai
pengindonesiaan kata Inggris folklore. Kata itu sarana pengembangan budaya yang telah
adalah kata majemuk, yang berasal dari dua menjadi warisan leluhur. Salah satu folklor yang
kata dasar folk dan lore.” Menurut Danandjaya masih dilestarikan oleh masyarakat berupa
budaya yang diwariskan secara lisan atau tradisi laku nenepi di Petilasan Panembahan
melalui suatu contoh yang disertai dengan Senapati, Kotagede, Bantul, Daerah Istimewa
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat Yogyakarta.
(mnemoniac device)…., folklor adalah sebagian
kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan Orang Jawa percaya bahwa jasad
diwariskan secara turun temurun, di antara leluhur patut mendapat penghormatan dari
kolektif macam apa saja, secara tradisional keturunannya atau ahli warisnya. Leluhur
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk dipercaya masih terus menyertai kita dan
lisan maupun contoh yang disertai dengan dapat dimintai pertolongan. Diungkapkan
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat ( Koentjaraningrat bahwa “makam nenek
mnemoniac device). moyang adalah tempat melakukan kontak
dengan keluarga yang masih hidup, dan
Seperti di suatu situs petilasannya dimana keturunannya melakukan hubungan
Panembagan Senopati yang pernah melalukan secara simbolik dengan roh orang yang
Laku nenepi. Tradisi laku nenepi telah turun sudah meninggal”. Koentjaraningrat juga
temurun menjadi tradisi bagi masyarakat menambahkan Keberadaan dan kedudukan
pendukungnya. Diwariskan oleh leluhur suatu makam atau petilasan masih dianggap
mereka secara lisan, sehingga diteruskan sebagai tempat yang keramat sehingga sering
masyarakat pendukungnya sesuai tradisi yang dikunjungi oleh peziarah untuk memohon
sudah ada pada sebelumnya. Laku nenepi makam doa restu, terutama bila seseorang akan
Panembahan Senopati merupakan folklor menghadapi tugas yang berat, akan bepergian
yang sampai sekarang keberadaannya masih jauh, atau bila ada keinginan yang sangat besar
diakui masyarakat pendukungnya. Purwadi untuk memperoleh sesuatu.
menyatakan bahwa …folklor dilestarikan oleh
masyarakat pendukungnya dengan sukarela Dalam kesehariannya, manusia Jawa
dan penuh semangat, tanpa ada paksaan. Di sangat menghormati nenek moyangnya.
banyak tempat petilasan, folklor berfungsi Koentjaraningrat menegaskan bahwa orang

384 | Ensiklopedi Islam Nusantara

yang sudah meninggal dapat dihubungi oleh Mutlak, suatu upaya yang mencerminkan
kerabat serta keturunannya setiap saat jika hasrat jiwa manusia yang ingin mengenal
diperlukan. Penghormatan dapat berupa dan mendapatkan kesadaran langsung dari
pemberian sesaji tertentu yang berupa kebenaran mutlak. Mistik merupakan wacana
makanan, jajan pasar, buah-buahan, minuman budaya yang bertujuan untuk mendekatkan
kegemaran pada waktu masih hidup yang diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Istilah
diletakkan di suatu tempat khusus di dalam mistik dalam dunia Jawa pada dasarnya
rumah. Selain itu dengan penghormatan merujuk pada wacana budaya spiritual yang
terhadap makam, manusia Jawa dapat dianut oleh sebagian masyarakat Jawa. Mistik
memberi penghormatan dengan cara sebagai pengetahuan yang mempengaruhi
memberikan taburan bunga yang biasanya pola pikir manusia pada akhirnya akan muncul
berupa bunga mawar, melati, kanthil, dan dalam bentuk budaya. Mistik merupakan suatu
kenanga. Selain memberikan bunga, ada juga yang universal (hampir dipastikan di negara
yang menyiramkan air kelapa muda di atas manapun mempunyai keyakinan dalam bentuk
pusara atau petilasan, ada yang membakar mistik) dan seringkali merupakan suatu hal di
kemenyan atau dupa yang dapat menyebarkan luar kebiasaan manusia pada umumnya atau
bau harum. Aroma harum dipercaya dapat sebaliknya kemudian justru menjadi kebiasaan
menyenangkan leluhur. Selain dipercaya manusia. Bagi para pendukung mistik kejawen
memberi kesenangan pada arwah leluhur, kebiasaan yang sudah ada sejak dahulu
bunga, air, dan dupa atau kemenyan ini juga sampai sekarang masih dilaksanakan untuk
berfungsi sebagai sarana untuk meminta memperoleh ketentraman batin.
berkah. Karena itu, situs petilasan dipercayai
memiliki kekuatan mistik yang dimitoskan Koentjaraningrat menegaskan Menurut
secara turun temurun. pandangan hidup ilmu mistik, kehidupan
manusia merupakan bagian dari alam semesta
Mistik adalah upaya untuk mendekatkan secara keseluruhan dan hanya merupakan
diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan bagian yang sangat kecil dari kehidupan
perantara memuja roh dan kekuatan lain yang semesta yang abadi. Kehidupan manusia itu
dapat mendatangkan keselamatan hidup. diibaratkan mampir ngombe di dunia dalam
Stange menyatakan bahwa Mistik merupakan rangka perjalanan panjang untuk mencapai
fenomena psikis dan gaib yang mengacu tujuan akhir, yakni bersatu dengan Tuhan.
pada kebatinan, spiritual dalam pengalaman
religius, atau mengacu pada kepercayaan dalam Seperti Laku nenepi adalah laku mistik
aktivitas hidup, berkaitan dengan praktek- atau jalan spiritual yang dikenal dengan laku
praktek yang berakar pada tradisi kearifan tarekat dan hakikat untuk mencapai makrifat
spiritual pribumi yang sudah tua usianya. dengan hubungan langsung dengan Tuhan”.
Laku nenepi biasa disebut dengan semedi
Kepercayaan merupakan paham yang (berkontemplasi). Semedi memang melibatkan
secara keseluruhan dalam adat istiadat rasa yang dinamakan rasa sejati yang dapat
sehari-hari dari berbagai suku bangsa yang dicapai melalui diam, menjernihkan pikiran,
percaya dengan nenek moyang. Menurut merenung atau mawas diri dan suwung.
Endraswara, kepercayaan sumbernya menuju Langkah inilah yang disebut semedi sehingga
kepada Tuhan Yang Maha Esa, adapun pelaku mampu menemukan Tuhan di dalam hatinya.
budaya itu yang berusaha untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan. Kepercayaan bahwa Situs Petilasan bagi Islam Nusantara
pengetahuan tentang hakikat Tuhan dengan
melalui kesadaran spiritual yang dilakukan Dalam Islam Nusantara, situs petilasan
para pelaku ritual mistik untuk mendapatkan memiliki unsur yang penting melengkapi
kemuliaan dari Tuhan. peninggalan-peninggalan Islam lainnya.
Sebagai peninggalan fisik, petilasan dapat
Dari beberapa pendapat, mistik juga dikaji dengan ilmu arkeologi. Arkeologi
dapat diartikan sebagai cinta kepada Yang

Edisi Budaya | 385

merupakan suatu ilmu yang mempelajari Dengan demikian, studi arkeologi menjadi
kebudayaan manusia melalui material artifak salah satu wahana pokok untuk menemukan
yang ditemukan berdasarkan peninggalan peradaban yang mungkin telah terkubur
manusia di masa lampau. Kalau dulu, arkeologi selama berabad-abad. Untuk itu, arkeologi
didasarkan pada peninggalan fisik yang tidak bisa diartikan secara sempit hanya sebagai
tertinggal dengan penggunaan metode secara metode inventarisasi belaka. Studi arkeologi
teoritis dan filosofis. Sebagian besar, ilmu harus mengemban makna pokok, perumusan
ini termasuk dalam hubungan manusia dan kebudayaan dan penulisan sejarah, seperti
masih termasuk di dalam ilmu Antropologi. yang dikatakan ahli teori arkeologi Stuart
Bagian lain dari antropologi mendukung Piggot, “seorang penggali arkeologi tidak
penemuan arkeologi seperti antropologi menemukan benda, dia menemukan manusia”.
budaya, yang mempelajari tingkah laku, Hal ini berarti, suatu petilasan tidaklah hanya
simbolis, dan dimensi material dari suatu berupa benda saja, tapi sama saja menemukan
budaya. Berdasarkan sudut pandang tersebut, leluhur kita beserta budayanya.
Islam dapat dipahami dalam berbagai benda-
benda peninggalan kebudayaannya. Betapa Di tengah berlarut-larutnya suasana
banyak peninggalan kebudayaan umat Islam gamang yang mengarah pada pertentangan
hingga dalam perkembangannya sekarang, sentimen kebangsaan, kesukuan, agama,
bisa dipelajari dengan berkaca kepada dan ras, pendekatan arkeologi sangat relevan
peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga dikedepankan guna merekatkan semangat
segala kearifan masa lalu itu memungkinkan persatuan yang mulai memudar. Dengan
untuk dijadikan alternatif rujukan di dalam menonjolkan kajian peninggalan budaya
menjawab persoalan-persoalan masa kini. material peradaban manusia dari abad ke
Di sinilah arti pentingnya peninggalan abad, arkeologi bisa membangkitkan kearifan
budaya (arkeologi) bagi umat Islam pada (wisdom) untuk saling menghormati sesama
khususnya untuk dijadikan pendekatan dalam manusia dan kembali ke alam, sehingga
mempelajari agama. tercipta tatanan sosial yang harmoni.

Petilasan Sunan Kalijaga di Gresik.

Sumber : https://www.thearoengbinangproject.com/

386 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Pendekatan arkeologi dalam studi bersusun serta puncak stupa yang adakalanya
keagamaan dalam penelitian terhadap berbentuk susunan payung-payung yang
bangunan maupun non-bangunan tidak bisa terbuka. Contohnya masjid Agung Cirebon
dilihat dari bentuk dan arsitekturnya semata, misalnya mempunyai dua atap, sementara
melainkan dari aspek fungsional, struktural, Masjid Agung Demak tiga, dan Masjid Agung
dan behavioral pada konteks masyarakat yang Banten lima. Secara umum, bangunan masjid-
membuatnya. Salah satu aspek yang harus masjid kuno melanjutkan tradisi bangunan
diperhatikan benar adalah masalah rutinitas pra-Islam, terutama Hindu-Budha, namun
kegiatan keagamaan masyarakatnya dalam secara fungsional terdapat perbedaan yang
menciptakan tradisi penghormatan atas suatu jelas. Arah mihrab yang menuju kiblat, mimbar
situs arkeologi (baca: petilasan). yang digunakan khatib dalam berkhotbah, dan
menara tempat azan menunjukkan konsepsi
Masjid pada dasarnya juga merupakan ibadat Islam.
petilasan para penyebar Islam awal sangat
penting dalam memahami suatu budaya Selain petilasan, peninggalan Islam dapat
masyarakat tertentu. Satu tokoh penyebar juga kita temui dalam bentuk karya seni
Islam biasanya mendirikan masjid di tempat seperti seni ukir, seni pahat, seni pertunjukan,
yang pernah disinggahi dalam penyebaran seni lukis, dan seni sastra. Seni ukir dan seni
Islam, seperti petilasan Sunan Kalijogo di pahat ini dapat dijumpai pada masjid-masjid
Cirebon dan Gresik. Masjid-masjid kuno di di Jepara. Seni pertunjukan berupa rebana
Jawa dan di beberapa tempat di luar jawa, dan tarian, misalnya tarian Seudati. Pada seni
mempunyai atap bersusun atau bertingkat aksara, terdapat tulisan berupa huruf arab-
yang bentuknya menyerupai limas, piramida melayu, yaitu tulisan arab yang tidak memakai
atau kerucut. Jumlah atapnya selalu ganjil, tanda (harakat, biasa disebut arab gundul).
bentuk ini mengingatkan kita pada bentuk atap
candi yang denahnya bujur sangkar dan selalu [Zainul Milal Bizawie]

Sumber Bacaan

Ani Rostiyati, dkk, Moertjipto. (1994/1995). Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini . Daerah
Istimewa Yogyakarta: Proyek Pengkaijan dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendid.

Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia. Cetakan ke- 2. Jakarta: Grafitipers.
Endraswara, 2003, Metodologi Penenlitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi. Jilid I.Jakarta: UI Press
Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, Jakarta

: UI Press
Tilaar, H.A.R., 2002, Pendidikan. Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional,

Cet. III, Bandung: Remaja Rosdakarya

Edisi Budaya | 387

Pribumisasi Islam

Istilah ‘Pribumisasi Islam’ terdiri dari jaringan makna yang selalu mengalami
dua kata yaitu pribumisasi dan Islam. perubahan. Menurut Gus Dur, agama (Islam)
Pribumisasi merujuk pada upaya atau bersumberkan wahyu dan memiliki norma-
proses menyatu dengan karakter atau kultur norma sendiri. Karena bersifat normatif, ia
masyarakat pribumi (asli) atau menjadi milik cenderung permanen. Sedangkan budaya
pribumi. Sedangkan Islam adalah agama adalah buatan manusia. Oleh sebab itu, ia
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, berkembang sesuai dengan perkembangan
berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an dan zaman dan cenderung selalu berubah.
diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah swt. Perbedaan inilah yang menjadi kemungkinan
manifestasi kehidupan beragama dalam
Gagasan ‘Pribumisasi Islam’ dikemukakan bentuk kebudayaan.
pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada
tahun 1980-an. Menurut Gus Dur, Pribumisasi Pada ranah kultural inilah Gus Dur
Islam adalah rekonsiliasi antara budaya dan menemukan penyebab proses Arabisasi dalam
agama. Rekonsiliasi ini menuntut umat Islam krisis identitas yang dialami oleh sebagian
memahami wahyu dengan mempertimbangkan muslim. Hal itu berangkat dari ketercerabutan
faktor-faktor kontekstual termasuk kesadaran sebagian umat atas akar kebudayaan
hukum dan rasa keadilannya. masyarakat yang melingkupinya. Artinya,
sebagian muslim yang tetap memaksakan
Dari kenyataan historis dan konstruksi Islam universal ala Arab sesungguhnya tengah
teoritis yang diungkapkan oleh Gus Dur, mengalami ketidakmampuan pembacaan atas
sesungguhnya konsep Pribumisasi Islam identitasnya ketika dihadapkan pada realitas
merupakanupayaGusDurdalammenggerakkan kebudayaan masyarakat yang ternyata tidak
kajian keislaman sebagai sebuah penelitian sesuai dengan tipe ideal Islam. Dari sinilah
kebudayaan. Kajian ini memperluas studi muncul kegairahan untuk mempersoalkan
tentang Islam ke permasalahan kebudayaan manisfestasi simbolik Islam, sehingga identitas
secara luas, sehingga menemukan gambaran Islam harus ditampilkan secara visual.
pergulatan pada tataran realitas, khususnya
antara doktrin normatif ajaran agama dengan Dalam perkembangannya, krisis ini telah
persepsi budaya masyarakat, di mana kaum membuahkan kesalahan penetapan skala
muslim berusaha melerai ketegangan antara prioritas dalam dakwah Islam. Menurut Gus
teks formal Islam dengan kenyataan kehidupan Dur, kesalahan tersebut mengacu pada belum
yang diusung oleh perubahan sosial. terjadinya kesepakatan mengenai tujuan utama
atau pandangan hidup (Weltanschauung) Islam,
Pada aspek ini, tawaran Pribumisasi sehingga umat Islam terjebak pada penetapan
Islam Gus Dur menyasar kajiannya pada agenda pinggiran (periferal) dan melupakan
kecenderungan mengenai ketegangan agenda utama pengembangan masyarakat
kultural antara agama dan kebudayaan. Islam secara kultural yang dapat diwujudkan
Agama merupakan jaringan aturan yang dengan paradigma Islam sebagai etika sosial
tetap, sedangkan kebudayaan merupakan

388 | Ensiklopedi Islam Nusantara

di tengah normatifitas dan legalitas formalnya tersebut. Namun demikian, proses perlawanan
secara nash. diskursif ini menuai resistensi yang makin
kuat dari kelompok Islam yang sudah terpola
Dari dinamika ini, lahir quasi dengan simbolisasi budaya Arab. Bahkan
Weltanschauung (syibh nadhariyyah ‘anil hayah) mereka semakin merajalela dengan menuduh
yang menjelma ideologi semu, misalnya sesat, bid’ah dan kafir atas ibadah-ibadah
gerakan Islam sebagai alternatif. Gerakan yang dipadu dengan tradisi dan budaya lokal.
yang oleh Gus Dur dihubungkan dengan tokoh Padahal itulah penerjemahan dari proses
seperti Abul A’la al-Maududi ini terjebak pribumisasi Islam yang dimaksud Gus Dur.
pada utopia sloganistik nan simbolistik tanpa Artinya, simbol pribumisasi Islam secara
menurunkan idealismenya pada tataran semiotik mendapat perlawanan balik secara
operasional pemberdayaan umat, sehingga radikal-simbolik oleh mereka yang mengusung
akhir dari gerakan itu hanya pemberian lokalitas Arab dan menggerakkan Islam secara
kekuasaan absolut sebagian pemimpin politik simbolik bukan substantif.
sebagai otoritas tertinggi kuasa keagamaan.
Intinya, pribumisasi Islam dalam
Dengan konsep pribumisasinya, Gus Dur pemikiran Gus Dur memuat dua hal. Pertama,
berupaya mewujudkan metodologi keilmuan pribumisasi Islam adalah kontekstualisasi
agama yang mampu menjembatani antara Islam. Di dalam poin pertama ini, terdapat dua
ajaran agama yang absolut, universal, dan pemahaman, yaitu: 1) akomodasi adat oleh
permanen dengan kebutuhan kebudayaan fikih (al-‘adah muhakkamah). Misal, akomodasi
yang selalu mengalami perubahan, bersifat hukum waris Islam atas adat waris lokal seperti
lokal dan relatif. adat perpantangan (Banjarmasin) dan gono-gini
(Yogyakarta-Solo). 2) pengembangan aplikasi
Gagasan ‘Pribumisasi Islam’ pada dasarnya nash. Misal, setelah lahir emansipasi wanita
merujuk pada gagasan tentang dialektika (modern), dibutuhkan cara pandang keadilan
norma ajaran Islam dengan kebudayaan yang menurut keadilan suami, menjadi keadilan
diciptakan oleh manusia tanpa kehilangan menurut istri dalam kasus poligami. Kasus ini
identitasnya masing-masing. Proses dialog ini merujuk pada QS. Al-Nisa’ (4) ayat 3. Dengan
terjadi sebagai upaya menegasikan gagasan adanya perubahan cara pandang atas keadilan,
pemurnian Islam atau proses menyamakan maka istri mendapat keadilan dengan cara
keberagamaan suatu masyarakat dengan tidak dipoligami tanpa harus mengganti nash
praktik keagamaan masyarakat Muslim di al-Qur’an itu sendiri.
Timur Tengah. Inti pribumisasi Islam adalah
kebutuhan, bukan untuk menghindari Kedua, pribumisasi Islam sebagai
polarisasi antara agama dan budaya, penempaan Islam dalam kerangka budaya.
sebab polarisasi demikian memang tidak Poin inilah yang melahirkan manifestasi
terhindarkan. (bentuk) Islam dalam kultur lokal. Contoh, atap
Masjid Demak yang menggunakan atap ‘Meru’
Pada titik ini, pribumisasi Islam (Hindu-Buddha), bukan menggunakan kubah
memberikan solusi bagi ketegangan antara yang memang lokalitas Arab. Demikianlah Gus
normativisme agama dengan relativisme Dur berusaha menjadikan pribumisasi Islam
budaya yang sebenarnya tidak mungkin menjadi pandangan hidup (Weltanschauung)
dihindari karena sifatnya yang tumpang Islam tanpa harus tercerabutnya tradisi dan
tindih. Seperti yang dijelaskan Gus Dur budaya lokal nusantara.
sendiri, bahwa model hubungan antara Islam
dan budaya bersifat tumpang tindih karena Dalam pribumisasi Islam tergambar
mempunyai independensi masing-masing. bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang
bersumber dari Tuhan diakomodasikan ke
Secara ekstern, pribumisasi Islam dalam kebudayaan yang berasal dari manusia
mempunyai ‘musuh diskursif’ luar, yakni tanpa kehilangan identitasnya masing-masing,
Arabisasi yang menyebabkan Gus Dur sehingga tidak ada lagi pemurnian Islam
melahirkan konsep pribumisasi Islam

Edisi Budaya | 389

atau proses menyamakan dengan praktik persoalannya terletak pada bagaimana subyek
keagamaan masyarakat Muslim di Timur yang berbicara itu menyesuaikan, menyiasati
Tengah. dan memaknai unsur-unsur luar.

Baso menegaskan bahwa pribumisasi Pribumisasi muncul ke permukaan akibat
berbeda dengan istilah-istilah akulturasi, adanya desakan-desakan energi yang kuat
konvergensi, inkulturasi, kontekstualisasi, untuk menyuarakan kalangan yang selama
yang lebih berupa penyesuaian diri yang ini terpinggirkan, tidak mendapat ruang dan
sifatnya pasif, tunggal, searah dan monolitik. dibungkam suaranya, kaum marjinal. Melalui
Pribumisasi merupakan proses timbal-balik upaya pribumisasi, masyarakat dapat mencipta
yang produktif dan kreatif yang melibatkan dan menghayati kebudayaannya. Dalam
subyek-subyek yang aktif melakukan konteks Islam, pribumisasi dapat mengambil
akomodasi, dialog, negosiasi maupun bentuk siasat-siasat untuk membuka ruang
resistensi. Pribumisasi merupakan arena kemungkinan-kemungkinan dalam ber Islam
kontestasi, tempat dipertarungkannya makna dengan mengapresiasi kreatifitas kultur lokal.
dan digugatnya ideologi dominan. Dalam Narasi ini menggugat model (ber)agama
konvergensi, akulturasi atau inkulturasi, “murni” dan berpolitik yang dikonstruk oleh
yang dominan adalah bagaimana unsur kaum puritan, modernis dan lembaga-lembaga
luar menyesuaikan diri dengan kebudayaan resmi agama maupun negara.
lokal. Sedangkan dalam konteks pribumisasi
[Hamdani]

Sumber Bacaan

Arif, Syaiful, Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan, Yogyakarta: Arruz, 2013.
Baso, Ahmad, Plesetan Lokalitas:Politik Pribumisasi Islam, Jakarta: Desantara, 2000.
Wahid, Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2000.

390 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Primbon

Primbon adalah tulisan yang memuat adalah keyakinan mengenai hubungan antara
hal-hal yang berkaitan dengan salah manusia dan roh-roh halus. Sehingga primbon
satu bentuk sistem religi dalam budaya pada level tertentu menjadi media yang
Jawa. Primbon tidak hanya berisi ramalan mengantarkan manusia pada ikhtiar untuk
(perhitungan hari baik, hari nahas, dan mengetahui penampakan Yang Maha Kuasa
sebagainya), tetapi juga menghimpun berbagai secara tidak langsung.
pengetahuan kejawaan, rumus ilmu gaib (rajah,
mantra, doa, tafsir mimpi), sistem bilangan Pada umumnya, primbon bersifat anonim.
yang pelik untuk menghitung hari mujur Kalaupun ada nama yang disebutkan, sebagian
untuk mengadakan selamatan, mendirikan besar primbon hanya disebut penyusunnya
rumah, memulai perjalanan dan mengurus saja. Kecuali seri Betaljemur Adammakna yang
segala macam kegiatan yang penting, baik ditulis oleh pangeran Harya Tjakraningrat dari
bagi perorangan maupun masyarakat. Ia juga Kesultanan Yogyakarta.
membahas perhitungan untuk mengetahui
nasib dan watak pribadi seseorang berdasarkan Menurut Simuh, primbon merupakan
hari kelahiran, nama dan ciri-ciri fisik. tulisan (kesusasteraan) yang isinya
mencerminkan perpaduan Islam dan budaya
Secara etomologis, primbon berasal dari lokal, yakni Jawa.
kata dasar “imbu” yang berarti “memeram
buah agar matang”, dan kemudian mendapat Sejarah Perkembangan
imbuhan pari- dan akhiran -an sehingga
terbentuk kata primbon. Secara umum, Sejak kedatangan Islam, kepustakaan
primbon adalah buku yang menyimpan Jawa mendapatkan pengaruh yang cukup
pengetahuan tentang berbagai hal. Primbon signifikan melalui kepustakaan berbahasa Arab
juga dipahami sebagian sarjana berasal dari maupun Melayu. Ada dua kepustakaan yang
bahasa Jawa “bon” (“mbon” atau “mpon”). beredar di kalangan masyarakat Jawa, yaitu
“Bon” memiliki arti “induk”, lalu kata tersebut kepustakaan yang digunakan kalangan santri
mendapat awalan “pri-” (peri-) yang berfungsi dan kepustakaan yang merupakan perpaduan
meluaskan kata dasar. Jadi, buku primbon unsur Islam dan budaya Jawa.
dapat diartikan sebagai induk dari kumpulan-
kumpulan catatan pemikiran orang Jawa atau Berdirinya kerajaan Islam Mataram
induk ilmu pengetahuan. membuat kepustakaan Islam Kejawen tumbuh
subur. Hal ini terjadi tidak hanya karena
Parimbon, perimbon atau primbon juga kecenderungan budaya Jawa yang sinkretis,
bermakna sesuatu yang disimpan atau tempat tetapi juga peran para sultan Jawa Muslim
simpan menyimpan, dalam hal ini berupa yang menaruh perhatian besar terhadap fusi
kitab atau buku. agama dan budaya. Dua Sultan Jawa yang
berperan mendamaikan Islam dan Jawa
Capt. RP. Suyono berpendapat bahwa adalah Panembahan Seda Krapyak (1601-
primbon adalah petangan yang dipakai oleh 1613) dan Sultan Agung (1613-1645). Sultan
orang Islam. Yang dimaksud petangan disini yang pertama mendorong kemunculan

Edisi Budaya | 391


Click to View FlipBook Version