satu sama lain. Pengidentifikasian diri baik       Posisi Sumur dan Kamar Mandi sebelah kiri Rumah Jawa
individual maupun kelompok secara spasial
melahirkan “konsep menghuni” (to dwell)              Gambar 1 (Koleksi Nur Said):
yang akan memungkinkan seseorang menjadi
bagian dari suatu lingkungan dalam memaknai      neraka katut yang melekat dalam tradisi Jawa
sekelilingnya (Norberg-Schulz, 1985: 5-6).       perlu dimaknai sebagai wujud kesetiaan
                                                 pasangan mau dibawa pada jurang neraka
     Ini berarti bahwa omah juga merupakan       atau jalan ke surga tergantung pada kemauan
suatu kebudayaan yang terpentas melalui          pasangan yang bersangkutan secara bersama.
ruang. Interpretasi terhadap makna ruang
dalam dialektika sosial inilah yang kemudian          Hal ini juga selaras dengan tuturan bahasa
turut mengkonstruk perilaku hingga               Jawa lainnya, khususnya di lereng pegunungan
membentuk suatu identitas budaya yang            Kendeng Jawa Tengah yang menyebut
unik dalam ruang sosial dalam suatu ‘budaya      pasangan dalam berumah tangga sebagau
berhuni’ atau berumah tangga (omah-omah).        rukunan dari kata rukun (Said, 2012b). Rukun
                                                 adalah suatu kondisi ketika keseimbangan
     Harapan besar omah-omah tak lain adalah     sosial itu terjadi baik dalam berbangsa,
membina keharmonisan dan dan kerukunan           bermasyarakat maupun berkeluarga.
dalam berumah tangga dengan pembagian            Kerukunan hidup akan terjadi ketika masing-
kerja yang harmonis antar pasangan. Itulah       masing individu tanpa memandang jenis
mengapa dalam tradisi Jawa, pasangan dalam       kelamin, saling menghormati, sopan santun,
rumah tangga disebut sèmah. Ini berarti bahwa    saling menghargai agar rumah laksana surga
siapapun yang sedang menjalankan aktivitas di    (Endaswara, 2016: 38).
luar rumah baik karena alasan bekerja, belajar,
dakwah dan lainnya dimana suatu saat akan             Untuk itu entitas omah dalam omah-
menemukan sosok yang lebih indah, lebih          omah setidaknya ada 5 (lima) hal mendasar
cantik dan atau lebih tampan, maka tetap harus   fungsional yang saling bersinergi yaitu
ingat tempat kembali (mulih), ingat pasangan     kamar duduk (palenggahan), pakiwan, pawon,
(sèmah) yang di rumah agar kerukunan dalam       pesholatan dan peturon. Pertama, palenggahan
berumah tangga tetap terjaga. Suwargo nunut      adalah tempat duduk. Duduk menunjukkan
                                                 posisi tubuh dengan pandangan lurus dan
342 | Ensiklopedi Islam Nusantara
menghadap ke depan yang merupakan posisi                Fungsi ketiga dari omah adalah sebagai
ragawi yang diasumsikan menjalin komunikasi        pawon (dapur). Pawon adalah ruang pemenuhan
dengan yang lain. Tempat duduk (palenggahan)       kebutuhan untuk olah-olah pangan sebagai
yang dalam rumah tradisional Jawa sering           bagian dari kebutuhan dasar setiap manusia.
disebut dengan Jaga Satru merupakan ruang          Maka omah harus memiliki pawon secara
interaksi sosial secara formal dalam keluarga      khusus agar setiap anggota keluarga dalam
ketika menerima tamu dari pihak luar (Said,        berumah tangga bisa terpenuh kebutuhan
2012: 58-59). Palenggahan dalam hal ini            makanannya secara baik dan sehat.
menjadi ruang kemapanan sementara dalam
posisi relatif di dunia yang saling berkaitan           Yang menarik dalam rumah adat Jawa,
(Santoso, 2000: 205).                              posisi dapur pada umumnya terletak di sebelah
                                                   kiri sejajar dengan pelanggahan (joglo satru)
     Maka dalam tutur sapa orang Jawa sering       dan berdekatan dengan pakiwan, sumur dan
terdengar: “Lengahipun wonten pundi?” (dimana      kamar mandi. Hal ini berbeda dengan posisi
Anda duduk?) berarti menanyakan keberadaan         dapur pada rumah-rumah model sekarang
tempat tinggal seseorang. Dalam pengertian         yang umumnya posisinya di belakang. Salah
yang lebih luas juga bermakna status sosial        satu alasan mengapa dapur diposisikan di
seseorang. Namun kedua makna tersebut              sebelah kiri sejajar dengan palenggahan adalah
dalam artian posisi kemapanan sementara,           sebagai bentuk penghormatan kepada tamu
karena suatu saat bisa saja berubah atau hijrah    agar pintu masuk ke dapur tidak melawati jogo
ke hunian yang lain.                               satru (ruang tamu) sehingga tidak mengganggu
                                                   ketika ada tamu. Hal ini juga sebagai isyarat
     Fungsi kedua adalah pakiwan. Pakiwan dari     bahwa urusan dapur juga dianggap penting
bahasa Jawa kiwa (kiri). Dalam tradisi Jawa, kiri  sejajar dengan urusan penerimaan tamu
(kiwo) adalah sebagai lambang kemungkaran,         (palenggahan) yang bisa disinggahi oleh
kejahatan dan kekotoran. Sementara kanan           anggota keluarga yang laki-laki maupun
(têngên) melambangkan segala sesuatu               perempuan. Jadi urusan pawon (dapur) tidak
yang ma’rūf (baik), perilaku positif, amal         semata-semata urusan kaum perempuan
shaleh. Pakiwan dalam konteks omah Jawa            semata tetapi harus menjadi urusan bersama
dimaksudkan sebagai tempat pembersihan             antara laki-laki dan perempuan dalam omah-
diri dari segala yang jahat, mungkar, serta        omah (berumah tangga).
gangguan lain yang menyebabkan berbagai
penyakit.                                               Fungsi keempat dari omah adalah
                                                   pashalatan, ruang untuk tempat bermunajat
     Orang ketika masuk omah harus dalam           kepada Sang Pencipta sebagai wujud kesadaran
keadaan suci dari segala kotoran, maka tempat      sipiritual penghuninya. Sebagaimana telah
pakiwan posisinya selalu di luar, depan rumah      disinggung sebelumnya bahwa salah satu
sebelah kiri sejajar dengan pawon (dapur). Hal     misi omah-omah adalah membina kerukunan
ini dimaksudkan agar ketika penghuni omah          dalam tiga relasi sekaligus pertama adalah
tersebut mau memasuki rumah tidak ada              relasi dengan Allah, sesama manusia dan
lagi berbagai bentuk gangguan dan kotoran,         relasi dengan lingkungan. Kalau palenggahan
karena sudah melakukan proses pensucian diri       adalah lebih menonjolkan wujud bentuk
(bebersih) sebelumnya (Said, 2012: 72).            penghormatan kerukunan kepada sesama
                                                   manusia, sementara pakiwan adalah wujud
     Yang termasuk pakiwan adalah sumur,           membangun kerukunan dengan lingkungan
kamar mandi, toilet dan padasan (tempat            dengan menjaga sumur tetap sehat sehingga
berwudlu). Sumur, kamar mandi dan toilet           bisa untuk bebersih, maka pashalatan ruang
adalah sarana membersihkan dari kotoran            spasial dalam omah dalam membangun
yang bersifat lahiriah, sementara padasan dan      kerukunan dengan Allah, Sang Pencipta.
kamar mandi juga berfungsi sebagai sarana
pembesihan dari kotoran yang bersifat batiniah          Maka dalam omah-omah perlu
(hadas kecil dan hadas besar).                     mempersiapkan ruang atau tempat khusus
                                                   Edisi Budaya | 343
pashalatan yang diatur sedemikian rupa agar      tempat tidur bagi orang-orang yang
para penghuninya betah untuk bermunajat          dimuliakan. Namun pesarèyan juga bermakna
kepada Allah. Islam memang memberi               kuburan. Maka dalam bahasa Jawa sering kita
kelonggaran sholat bisa dilakukan di manapun     mendengar ketika sedang ada sanak saudara
karena dalam kaidah Islam “setiap sejengkal      yang meninggal muncul pertanyaan; “...dipun
tanah bisa menjadi tempat bersujud (kullu ard}   sarèaken wonten pundi?” (...akan dikubur di
in masjidun)”. Dengan demikian, kesadaran        mana? Maka dengan mengingat peturon dan
omah-omah perlu dibarengi dengan kesadaran       pesarèyan merupakan sebuah pesan bahwa
menfungsikan rumah sebagai sebagai bagian        omah-omah adalah momentum untuk selalu
dari “sajadah panjang” untuk bersujud            ingat sebuah ruang dimana kehidupan
kepada Sang Khalik. Prinsip inilah yang          itu berasal dan kemana kehidupan akan
termanifestasikan dalam falsafah Jawa yang       dilestarikan dan diakhiri (Endaswara, 2016:
dikenal dengan eling sangkan paraning dumadi     46; Roqib, 2007: 52-53; Santoso, 2000: 206-
(ingat asal dan tujuan hidup kepada Sang         207).
Pencipta).
                                                      Hal ini berarti bahwa omah-omah adalah
     Dengan demikian fungsi pashalatan           bagian dari proses meneguhkan sikap mental
dalam omah juga menunjukkan alam pikiran         Jawa Islam dalam membangun keseimbangan
dan perilaku makrifat Jawa yang dikenal juga     hidup yang harmonis dalam hubungan
sebagai manunggaling kawulo Gusti (kesatuan      dengan Allah, sesama manusia, dan juga
hamba dengan Tuhan), seuatu konsep               sekaligus dengan lingkungannya agar tergapai
pantheistik yang menganggap manusia dan          kebahagian hidup di dunia dan akhirat
jagad raya merupakan percikan/pancaran           sebagaimana digambarkan dalam dunia
cahaya Ilahi (Endaswara, 2016: 46; Roqib,        tasawuf sebagai baitī jannatī (rumahku adalah
2007: 52-53). Maka dimanapan dan kapanpun        surgaku).
manusia menjalankan peran kehidupannya
harus disadari bahwa kehadiran Ilahi akan        Ritual Mendirikan Omah
selalu terpancar jiwa dan raganya.
                                                      Begitu dalamnya makna dalam omah-
     Fungsi kelima dari omah adalah peturon      omah, maka proses mendirikan omah itu
dari bahasa Jawa ngoko turu (tidur). Tidur yang  laksana punya gawe besar sehingga setiap
dalam wujud spasialnya berupa kamar tidur        tahapan proses mendirikan atau membangun
adalah sebuah kondisi posisi tubuh berbaring     rumah ada ritual dengan prosesi dan pesan
yang menunjukkan keadaan tubuh lebih tetap       tertentu. Beberapa proses ritual dalam
dan mapan. Dipan, kasur, bantal, guling,         mendirikan rumah itu antara lain:
selimut dan sejenisnya adalah ikon-ikon yang
merujuk pada proses bermukim dalam jangka        1) Ritual Buka Tableg
waktu permanen. Di peturon ini pula konotasi
mendasar dalam kehidupan domestik dimana              Ritual ini merupakan prosesi ritual
proses generasi dan regenarasi pada tahap        yang diselenggarakan sebelum penggalian
awal terjadi. Peturon menjadi media ketika       pandeman (pondasi) rumah yang akan
pasangan suami dan istri (sèmah) melakukan       dibangun. Hari pelaksanaan ritual Buka Tableg
hubungan intim dalam situasi dan kondisi         bukanlah sembarangan, tetapi merupakan hari
paling rukun. Tanpa suasana kerukunan proses     tertentu yang didapatkan dari “orang pintar”
reproduksi tidak akan sehingga regenerasi        yang biasanya adalah kiai sepuh yang dianggap
gagal. Maka rukun agawe santoso (rukun akan      memiliki kelebihan secara spiritual.
mengantarkan kehidupan yang sentosa),
demikian falsafah Jawa menegaskan.                    Ritual ini dilakukan dengan menggelar
                                                 bancakan atau slametan yang biasanya diiringi
     Peturon dalam bahasa Jawa Krama juga        dengan doa rasulan (doa dengan wasilah
disebut pesarèyan. Pesarèyan merupakan           Kanjeng Rasul Muhammad SAW) atau
istilah yang terhormat untuk menunjukkan         manaqiban (doa dengan wasilah Waliyyulah
344 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani) di tempat              menjalankan peran sebagai khalifatullah
yang akan didirikan rumah. Dalam acara               agar bersama-sama tidak berbuat
ini biasanya dengan mengundang saudara/              kerusakan tetapi senantiasa menjaga
keluarga dan tetangga sebelah yang dipimpin          bumi pertiwi tempat hidup manusia
oleh kiai Langgar atau kiai kampung dengan           sebagaimana kebersamaan menikmati
maksud agar semua rencana pembangunan                jajan pasar.
rumah bisa berjalan lancar, tidak ada halangan
serta mendapatkan kemudahan dalam               e. Kembang setaman, yaitu bermacam-
menyelesaikan rumah tersebut. Keterlibatan           macam bunga (setaman) yang biasanya
keluarga dan tetangga sebelah dalam bancakan         terdiri dari lima macam kemudian
Buka Tablek tersebut sebagai wujud kesadaran         dicampur dalam air di baskom juga sebagai
sosial calon pemilik rumah bahwa dirinya             wujud persembahan kepada Yang Maha
tidak bisa hidup tanpa orang lain, maka dalam        Indah. Bunga adalah simbol keindahan
mengawali pendirian rumah tersebut juga tak          dengan harapan agar kehidupan yang
lepas dari peran orang lain.                         akan dilalui melalui rumah tersebut
                                                     bisa dinikmati dengan indah baik dalam
     Beberapa sarana upacara Buka Tableg             keluarga, dengan tetangga maupun dalam
tersebut antara lain:                                masyarakat yang lebih luas (Said, 2012:
                                                     89; Triyanto, 2001: 186-187).
a. Bubur abang-putih (merah-putih) sebagai
     perlambang mengingatkan kejadian           2) Ritual Munggah Kayu (Tongcit) atau
     manusia yang terdiri dari darah merah           Munggah Molo:
     dan darah putih.
                                                     Ritual adat ini diselenggarakan ketika
b. Ingkung ayam jantan, yaitu daging ayam       bagian-bagian bangunan yang mengelilingi
     matang yang diikat masih utuh dengan       rumah atau dinding sudah berdiri tegak dan
     dilengkapi air kuwah secukupnya dan baru   berbagai ragam kayu penyangga genting
     diiris sesuai kebutuhan setelah dibacakan  dan joglo pencu siap untuk di pasang. Ritual
     doa rasulan atau manaqiban. Hal ini        Munggah Kayu adalah proses menjelang
     sebagai wujud penghormatan kepada          penataan konstruksi rumah bagian atas/
     Rasulullah Saw dan Waliyyullah, sebagai    atap (bubungan rumah). Beberapa uba-rampe
     Sang Pencerah dari kegelapan menuju        (perlengkapan) yang disiapkan dalam upacara
     dunia yang penuh hidayah-Nya.              Munggah Kayu ini antara lain:
c. Nasi tumpeng dan lauk-pauk secukupnya        a. Klebet (bendera) warna merah putih
     yang dihias mengitari tumpeng dilengkapi        sebagai wujud kesadaran kebangsaan
     kluban urap sayur alami dari kebun.             dalam membangun rumah tangga adalah
     Tumpeng yang terbuat dari nasi kuning           bagian dari keluarga besar Indonesia.
     dengan dibuat meninggi sebagai wujud            Warna merah menunjukkan perlunya
     kepasrahan total kepada Dzat Yang               keberanian dalam mengambil keputusan
     Maha Tinggi (Al’Aliy) dan pemberi rizki         berumah tangga dengan tetap pada jalan
     (Al Rozaq). Sementara lauk-pauk dan             yang benar yang disimbolkan dengan
     kluban urap sebagai pengingat pentingnya        warna putih.
     menjaga kesimbangan lingkungan
     semesta alam baik dari dunia binatang      b. Tebu beserta daunnya yang bermakna
     (fauna) maupun dunia tetumbuhan (flora).        anteping kalbu, yaitu kuatnya niat dan
                                                     terbebas dari keraguan bahwa samudara
d. Jadah pasar, yaitu belanjaan jajan yang           kehidupan harus segera dilalui dengan
     dibeli dari pasar tradisional. Hal ini          penuh optimisme meskipun ancaman
     sebagai wujud persembahan kepada                badai tetap ada.
     Dzat pemelihara tanah dan bumi
     (Rabbul’ālamīn), agar manusia sebagai      c. Anak pisang satu batang, sebagai simbol
     penghuni bumi benar-benar bisa
                                                Edisi Budaya | 345
Prosesi Pemasangan Uba Rampe Munggah Kayu                         Indonesia.
              Gambar 3 (Sumber: http://dwialfirohmatin.web.unej.ac.id/):       Warna putihnya sebagai simbol kesucian
                                                                          dan sekaligus kebajikan yang senantiasa
     tunas yang mudah tumbuh-berkembang.                                  harus diperjuangkan dalam meniti hidup
     Karena itu diharapkan rumah tersebut                                 di rumah yang sedang dibangun tersebut.
     menjadi saran menumbuhkembangkan                                     Sehingga di rumah tersebut nantinnya bukan
     generasi yang baik antara lain adanya                                sekedar tempat untuk tidur (istirahat), tetapi
     fungsi peturon.                                                      sebagai wahana dalam memperjuangkan
                                                                          kebajikan sehingga rumah benar-benar bisa
d. Setandan pisang raja yang sebagian sudah                               meneduhkan bagi keluarga dan mampu
     matang; sebagai perlambang pentingnya                                menfasilitasi terajutnya kebahagian di dunia
     kepemimpinan (raja) yang tegas dalam                                 dan akhiratnya. Sehingga rumah menjadi
     keluarga yang harus dipatuhi oleh segenap                            surga bagi penghuninya.
     anggota keluarga selagi pada jalur jalan
     yang benar.                                                               Sementara seikat padi yang juga turut
                                                                          diikatkan pada kayu menandakan sebuah
e. Padi dua unting (ikat): sebagai perlambang                             harapan agar rumah tersebut nantinya
     kemakmuran agar mendapatkan                                          memperlancar bagi penghuninya dalam
     kemurahan rizki dari Yang Maha Memberi                               mencari nafkah (golek pangupa jiwa) sebagai
     Rizki sehingga terpenuhi sandang pangan.                             prasarat dalam mempertahankan hidup,
                                                                          sehingga penghuninya tidak akan kekurangan
f. Ingkung dan seperangkat tumpeng (Said,                                 pangan dan selelu dalam kecukupan. Maka
     2012: 89-90).                                                        ketika padi disandingkan dengan merah putih,
                                                                          hal ini menjadi sebuah visi berhuni yang
     Setelah diadakan prosesi berdoa                                      saling melengkapi bahwa rizki (pangan) yang
seperlunya yang dipimpin oleh seorang kiai                                didapatkan nantinya hendak diorientasikan
setempat bersama uba rampe ingkung dan                                    pada penegakan kebajikan (putih) meski
tumpeng seperangkat pada malam harinya,                                   dengan butuh semangat perjuangan yang
maka tumpeng dan ingkung tersebut akhirnya                                membara (merah).
dibagi-bagi kepada khalayak yang hadir sebagai
wujud sedekah dan kebersamaan .                                                Sementara pohon tebu segar yang masih
                                                                          berakar dan berdaun serta anak pisang yang
     Sementara pada pagi harinya perlengkapan                             turut dikat pada kayu juga sebagai penanda
yang lain seperti pisang raja, seonggok padi                              bahwa pendirian rumah disadarai dengan
yang sudah menguning dan seikat tebu,                                     tekad yang kuat (anteping kalbu=tebu) dan
kesemuanya diikat dan digantungkan pada                                   sekaligus isyarat awal penanaman bibit positif
kayu blandar. Dalam hal ini blandar-nya dihias                            (hal-hal yang baik) bagai tebu yang berakar
dengan ubo rampe tersebut, lalu dinaikkan dan                             dan berdaun sehingga tinggal menancapkan
dipasang pada posisinya. Sementara di tengah-                             pada lahan yang sudah disiapkan. Rumah
tengah kayu tersebut dibungkus dengan kain                                adalah sebagai lahan (wahana) atau dalam
merah putih (seperti bendera Indonesia)                                   bahasa Jawa sebagai kawah candradimuka bagi
sebagai wujud kesadaran bagian dari keluarga                              generasi bangsa agar mampu menumbuhkan
                                                                          kader-kader yang bervisi merah putih.
                                                                               Kombinasi wujud tebu yang berdaun dan
                                                                          berakar, seikat padi dan dan kain merah putih
                                                                          adalah ekspresi simbolik dalam ritual munggah
                                                                          kayu agar penghuninya selalu ingat visi
                                                                          hidup dalam berhuni di rumah bahwa hidup
                                                                          bukanlah untuk makan saja, tetapi makan
                                                                          adalah sekedar untuk mempertahankan hidup.
346 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Sementara kehidupan yang bernilai tersebut        mampu menempatkan diri sebagai “lampu
harus diorientasikan untuk menumbuhkan            penerang” sehingga selalu mencerahkan bagi
atau menanamkan benih-benih (simbol pohon         keluarganya sehingga terbangun keluarga yang
tebu dan tunas pisang) kabajikan (putih) meski    harmonis dan rukun.
hambatan dan rintangan akan menghadang
sehingga butuh kobaran api perjuangan                  Sementara tikar biasanya dibawa oleh
(simbol warna merah).                             anak-anaknya yang turut serta mengikuti jejak
                                                  ayah emaknya dalam mulai menghuni rumah
3) Ritual Ulih-ulihan                             baru. Dengan dibawanya tikar adalah sebagai
                                                  ekspresi simbolik bahwa di rumah tersebutlah
     Ritual ini adalah sebagai ekspresi kesiapan  para penghuninya siap menggelar pentas
calon penghunia rumah ketika rumah yang           kehidupan dengan penuh semangat dan
dibangunnya sudah siap dihuni. Dalam ritual       harapan. Anak-anak juga harus turut tut wuri
Ulih-ulihan (dari kata bahasa Jawa mulih =        handayani, mengikuti visi berhuni kedua orang
pulang/kembali) ini calon penghuni diarak         tuanya yang telah memiliki landasan yang
(diantarkan) oleh sanak saudara, sahabat          kuat. Maka rumah disamping sebagai tempat
dan tetangga sebelah dari tempat asal (orang      memulihkan (mulih) tenaga dan pikiran bagi
tuannya) menuju rumah baru yang hendak            keluarganya setelah seharian menjalankan
dihuninya. Dalam tradisi ulih-ulihan ini semua    rutinitas hidup, rumah juga dijadikan sebagai
anggota keluarga yang akan menempati rumah        “madrasah” (tempat belajar) untuk menemukan
tersebut harus ikut bersama rombongan             kesejatian hidup yang hakiki,
dengan membawa sejumlah barang-
barang sebagai ekspresi simbolik bagi calon            Begitu semua sudah hadir di rumah yang
penghuninya. Barang-barang tersebut antara        baru tersebut, maka acara dilanjutkan dengan
lain berupa; sapu lidi, lampu teplok, tikar dan   do’a bersama dipimpin oleh seorang kyai
bantal-guling.                                    kampung dengan diikuti oleh para hadirin yang
                                                  ada. Do’a yang dibacakan oleh kyai biasanya
     Begitu sampai di rumah yang akan             berbahasa Arab yang isi doa biasanya berisi
dihuni, calon penghuni langsung disambut          harapan bersama agar calon penghuni tersebut
oleh sebagian anggota keluarga lainnya yang       diberkahi oleh Allah serta mendapatkan
sudah terlebih dahulu di rumah tersebut.          limpahan rahmat dan kasih sayang dari-Nya,
Maka dengan ucapan salam; assalāmu’alaikum,       sehingga keluarga dan generasi yang terbangun
calon penghuni memasuki rumah. Di teras           di rumah tersebut menjadi sosok keluarga
rumah tersebut, sang ibu menyapukan sapu          yang sakīnah (ketenangan), mawaddah (kasih)
yang dibawanya dilantai sebagai ekapresi          dan rahmah (sayang). Keluarga demikianlah
simbolik pembersihan diri dari segala kotoran     yang diidam-idamkan bersama sehingga
baik lahir maupun batin karena rumah model        dari keluarga yang seperti inilah diharapkan
sekarang sumur sudah mulai banyak di dalam        tercipta tatanan masyarakat yang sejahtera,
rumah. Pada rumah tradisional Jawa, ekspresi      damai dan penuh ampunan dariNya yang
simbolik pembersihan diri dari segala kotoran     dalam bahasa Al Qur’an disebut baldatun t}
dilakukan dengan singgah di pakiwan, yakni        ayyibatun warabbun ghafūr (QS. Saba: 15)
kamar mandi dan padasan yang biasanya
terletak dekat sumur di depan rumah sebelah            Kearifan omah-omah sebagaiman terurai
kiri.                                             di atas menunjukkan bahwa dalam memahami
                                                  keragaman bahasa simbolik dalam berbagai
     Begitu jiwa dan raga dianggap suci maka      ritual pendirian omah membutuhkan
kepala keluaga dengan membawa lampu teplok        kepekaan olah rasa karena bahsanya masih
sebagai simbol penerang kehidupan dalam           semu (tersamar). Simbol dan ungkapan
keluarga mula memasukan rumah. Dengan             dalam tradisi Jawa Islam adalah manifestasi
lampu teplok tersebut diharapkan kepala           pikiran, kehendak dan rasa Jawa yang halus.
keluarga harus selalu ingat bahwa dirinya harus   Sebagaimana ungkapan yang populer Wong
                                                  Edisi Budaya | 347
Jawa Ngone Semu. Ungkapan ini mengandung     perenungan yang mendalam dan pembelajaran
pengertian bahwa orang Jawa dalam            kritis atas rahasia dibalik bahasa simbolik
memandang realitas tak hanya menampilkan     dalam kultur Jawa yang merupakan bagian
wadhag (kasat mata), namun penuh dengan      dari warisan budaya Islam nusantara.
isyarat atau sasmita (Endaswara, 2016: 24).
Untuk bisa memahaminya memerlukan                                                                            [Nur Said]
                                            Sumber Bacaan
Endraswara, Suwardi, Prof. Dr., (2016). Falsafah Hidup Jawa, Menggali Kebijakan dari Intisari Filsafat Jawa. Yogyakarta:
         Cakrawala.
Fox, J.J., (1993). “Comparative Perspective on Austronesian Houses: An Introductory Essay”, dalam J.J. Fox (ed.), Inside
         Austronesian Houses: Perspectives on Domestic Designs for Living, Canberra: The Australian National University.
Norberg-Schulz, Christian, The Concept of Dwelling: On the Way to Figurative
Said, Nur. (2012). Tradisi Pendidikan Karakter dalam Keluarga, Tafsir Sosial Rumah Adat Kudus. Kudus: Brillian Media
         Utama.
Said, Nur, (2012b). “Strategi Saminisme Dalam Membendung Bencana Perlawanan Komunitas Sedulur Sikep terhadap Rencana
         Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo Pati,” Agama, Budaya dan Bencana, Kajian Integratif, Ilmu, Agama dan
         Budaya, Bandung: Mizan.
Santoso, Revianto Budi. (2000). Omah; Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000.
Tjahyono, M.Arc., (2000). “Kata Pengantar”, dalam Revianto Budi Santoso, Omah; Membaca Makna Rumah Jawa,
         Yogyakarta: Bentang Budaya
Triyanto. (2001). Makna Ruang & Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus.Semarang: Kelompok Studi Mekar.
348 | Ensiklopedi Islam Nusantara
P
Palastren, Pawestren
          Patitis
            Peci
          Pegon
       Pengajian
   Perang Ketupat
       Pesantren
        Petilasan
  Pribumisasi Islam
        Primbon
          Pupuh
Palastren, Pawestren
Salah satu ruang yang paling diakrabi oleh       waktu shalat z}uhur. Lalu menyebut “paistrian”
       umat Islam dalam menjalankan ritual       menjadi Palastren atau Pawestren sebagai
       ibadah adalah masjid. Tidak banyak yang   wujud pengetrapan dengan dialek penutur
menyadari terutama dari kalangan outsider        Jawa.
bahwa di bagian ruang masjid nusantara
terutama di Jawa, ada space khusus yang          Genealogi dan Pisisi Palastren
diperuntukkan bagi jamaah muslimah (kaum
perempuan yang muslim) dalam menjalankan              Palastren/Pawestren merupakan bagian
berbagai aktivitas ibadah di masjid tersebut.    dari bangunan utama masjid khas nusantara
Di kalangan umat Islam terutama di Jawa          terutama di Jawa dan tidak dapat dipisahkan
ruang tersebut sering disebut sebagai Palastren  dari bangunan utamanya itu sendiri. Pada
atau sebagian ada yang menyebut Pawestren.       masjid-masjid kuna di Indonesia posisi
Dalam bahasa Sunda disebut pangwadonan,          Palastren/Pawestren biasanya terletak di
sementara dalam bahasa Jawa Cirebon disebut      sebelah kiri atau sebelah selatan, sejajar
paestren dan pewadonan (Pijper, 1987: 33:        dengan ruang utama masjid. Namun ada
Shohib, dkk., 2012: 15).                         juga Palastren/Pawestren pada masjid kuno
                                                 yang letaknya di sebelah kanan atau utara
      Terjadinya perbedaan penyebutan dalam      dari ruang utama masjid seperti di Masjid Al
ruang ibadah kaum perempuan di masjid            Aqsa, Menara Kudus. Hal ini berbeda dengan
tersebut tak lepas dari keragaman dialek dalam   masjid-masjid model sekarang yang sebagian
berbagai kelompok penutur dari berbagai suku,    memposisikan jamaah kaum perempuan
ras dan bahasa. Apalagi nama Palastren atau      terletak di belakang jamaah laki-laki yang
Pawestren dalam berbagai masjid di nusantara     hanya dipisahkan dengan satir atau hijab.
seringkali tidak ditulis atau disebutkan dalam
tata ruang yang ada, meskipun eksistensinya           Di samping terdapat pada masjid,
ada. Yang sering dimunculkan dalam bagan         Palastren atau Pawestren juga sering terdapat
penujuk masjid adalah “tempat wudlu wanita”,     pada langgar (Jawa) atau musholla, yaitu pusat
nama Pawestren atau Palastren hanya dalam        kegiatan ritual shalat, pengajian keislaman
dunia ingatan kaum muslimin nusantara.           yang biasanya dibimbing oleh seorang kyai
                                                 kampung. Langgar berbeda dengan masjid.
      Kata “Palastren” atau “Pawestren”          Kalau Langgar biasanya sebagai pusat jamaah
berasal dari kata dalam Bahasa Jawa “èstri”      sholat dan ngaji para santri di kampung
yang berarti istri atau perempuan yang           terutama di Jawa, sementara masjid memiliki
kemudian mendapatkan imbuhan “pa - an’           fungsi lebih luas, di samping pusat kegiatan
yang menunjukan tempat sehingga menjadi          ritual shalat, pengajian keislaman, kegiatan
“paistrian” yang bermakna tempat untuk           sosial budaya juga sebagai pusat ibadah Jum’at
kaum perempuan. Karena pengaruh struktur         bagi kaum laki-laki.
bahasa setempat terutama bahasa Jawa, kata
paistrian berubah menjadi “Palastren” atau            Pada masjid-masjid kuna di nusantara,
“pawestren” (kromo), pangwadonan (ngoko)         terutama di Jawa, biasanya terdapat ruang
(Felisiani, 2009: 17; Aryanti, 2006: 73). Hal    Palastren/Pawestren yang meyatu dengan
ini seperti sebagian orang Jawa menyebut kata    bangunan utama masjid atau sebagian diberi
“z}uhur” menjadi “lohur”, maksudnya adalah       batas atau bangunan khusus yang didirikan
                                                 Edisi Budaya | 351
di samping sebelah kiri atau di arah selatan                  dalam konstruksi Menata Kudus.
ruang utama masjid. Palastren/Pawestren
biasanya memiliki keempat dinding, kecuali                         Sementara dalam perkembangan
pada beberapa pawestren yang tidak memiliki                   berikutnya ketika Islam sudah mengakar
dinding pintu masuk seperti pada Palastren/                   di Jawa, ada keinginan lebih kuat untuk
pawestren Masjid Agung Demak dan pada                         menjadikan kebudayaan Jawa kembali sebagai
Masjid Agung Cirebon.                                         subyek sejarah baik melalui pendekatan
                                                              kultural maupun struktural. Inilah yang
     Pada awalnya Palastren/Pawestren                         kemudian dikenal dengan “Jawanisasi Islam”
dibangun tidak sekedar hanya sebagai ruang                    yang antara lain dilakukan oleh beberapa
tambahan, tetapi juga menjadi sebuah                          Kesultanan Islam di Jawa seperti di Cirebon,
ruang permanen dengan segala macam                            Demak, Surakarta dan juga Yogyakarta.
kelengkapannya berupa jendela, ventilasi,
ornamen yang terdapat di dalamnya dan yang                         Semangat utama “Jawanisasi Islam”
terpenting adalah ada pintu penghubung                        adalah merevitalisasi kebudayaan Jawa dengan
(akses) antara ruang utama masjid untuk                       mengakomodasi nilai-nilai ajaran Islam.
jamaah laki-laki dengan Palastren/Pawestren,                  Sebagai konsekwensinya wajah Islam menjadi
untuk jamaah perempuan.                                       semakin kontekstual, yang tak lepas pengaruh
                                                              dari bukan saja sosio kultur masyarakatnya,
     Kemunculan Palastren/Pawestren pada                      tetapi juga alam pikiran, atau pandangan dunia
masjid-masjid kuno di Jawa membawa makna                      Jawa dan politik kebudayaan pada masanya
dan keunikan tersendiri bagi umat Muslim di                   (Anashom, 2014). Demikian juga keberadaan
Jawa. Keberadaanya tak lepas dari situasi dan                 Palastren/Pawestren merupakan wujud
kondisi perempuan Jawa pada abad ke 15-20                     akomodasi budaya antara proses “Islamisasi
M dalam pengaruh struktur sosial, budaya dan                  Islam” pada satu sisi dan “Jawanisasi Islam”
politik di suatu masa kerajaan atau kesultanan                pada sisi lain sehingga menjadikan masjid
Islam.                                                        nusantara menjadi khas.
     Pada masa periode kewalian abad ke 15–                        Sebagai sebuah perbandingan, beberapa
16, Walisongo memperkenalkan Islam dalam                      Palastren/Pawestren dalam berbagai Masjid
upaya “Islamisasi Jawa” dengan pendekatan                     Agung pada Kerajaan Islam di Jawa dapat
budaya Jawa yang kental sehingga populer                      diperhatikan dalam kisaran sejarah sebagai
prinsip dakwah yang ramah, Arab digarap,                      berikut (Felisiani, 2009: 5):
Jawa digawa (Said, 2005). Nilai-nilai Islam
yang munculnya di Arab penting untuk digarap                  No Nama Masjid       Tahun         Tahun Pendirian
atau diolah, namun perlu dibungkus dengan                                        Pendirian           Palastren/
budaya Jawa agar tidak terjadi kekagetan                                                              Pawestren
budaya (culture shock). Maka muncul istilah                                       Masjid
“syahadatain” menjadi “sekaten” sementara                                                        Tidak diketahui
dari sisi arsitektur bangunan memberi                         1 Masjid Agung Demak 1466 M        1934 M
toleransi akulturasi lintas budaya seperti                                                       Tidak diketahui
                                                              2 Masjid Agung Cirebon 1498 M
         Posisi Palastren di Sebelah Kiri Masjid Agung Demak                                     1556 M
                                                              3 Masjid Al Aqso   1549 M          Tidak diketahui
               Gambar 1 (Koleksi Nur Said)                         Menara Kudus
                                                                                                 1850 M
                                                              4 Masjid Agung Banten 1552-1570 M
                                                                                                 1839 M
                                                              5 Masjid Agung     1589 M
                                                                   Mataram
                                                                   (Kota Gede)
                                                              6 Masjid Agung     1763 M
                                                                   Mataram
                                                                   (Surakarta)
                                                              7 Masjid Agung     1773 M
                                                                   Mataram
                                                                   (Yogyakarta)
                                                                   Dilihat dari sebaran tahun pendirian
                                                              Palastren/Pawestren pada masjid-masjid
                                                              Agung kerajaan Islam di Jawa, menunjukkan
                                                              bahwa berdirinya tidak serta merta
                                                              berbarengan dengan tahun berdirinya masjid.
                                                              Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran
352 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Palastren/Pawestren merupakan respon atas        masjid yang berlantai dua palastren/pawestren
perkembangan kebutuhan jamaah yang di            biasanya berada di balkon atas bahkan tak
dalamnya memberi ruang kepada kaum               jarang dilengkapi dengan perangkat elektronik
muslimah untuk menjalankan ibadah ritual di      audiovisual yang canggih seperti di masjid
masjid. Hal ini selaras dengan falsafah hidup    Daarut Tauhiid, Bandung.
orang Jawa yang mengedepankan nilai-nilai
harmoni dan kerukunan baik dalam relasi               Hal ini menunjukkan bahwa dinamika
dengan Sang Khalik, makhluk maupun dengan        perkembangan palastren/pawestren juga
alam sekitar, termasuk kerukunan dalam           dipengaruhi oleh perkembangan sosial, budaya,
relasi gender (Endraswara, 2016: 38). Hal ini    tren arsitektur dan juga teknologi informasi.
sekaligus sebagai wujud “Jawanisasi Islam” dari  Namun kehadirannya menunjukkan bahwa
para pemangku Kesultanan Islam di Jawa yang      keberadaan masjid tidak hanya dimonopoli
mengembangkan masjid dan Palastren dengan        untuk kaum laki-laki tetapi kaum perempuan
alam pikiran atau pandangan dunia Jawa.          juga memiliki ruang untuk memakmurkan
                                                 masjid di nusantara.
     Maka dapat dipahami di sini bahwa
Palastren/Pawestren pada masjid-masjid kuno      Harmoni Gender Palastren
berupa –dalam istilah arkeologi- disebut
fitur, yaitu benda budaya yang tidak dapat            Salah satu falsafah orang Jawa adalah
dipindahkan karena mewujud dalam bangunan        toleransi, kecenderungan sifat keterbukaan
permanen warisan budaya Islam yang masih         (savior vivre), yakni sikap lapang dada
dilestarikan dan difungsikan hingga sekarang     (Anderson, 2000: 1). Sikap lapang dada ini
(Simanjuntak. 2008: 3).                          dalam tradisi Jawa sebagai ikhtiar untuk
                                                 membangun kedamaian atau kerukunan.
     Dalam perkembangan berikutnya, selain       Rukun adalah ketika kondisi dimana
Palastren/Pawestren yang menyatu dengan          keseimbangan sosial itu terjadi (Endaswara,
masjid, adapula masjid wanita. Masjid            2016: 38).
wanita ini didirikan sebagai satu bangunan
yang utuh, menyerupai masjid tetapi lebih             Hal ini berarti bahwa kerukunan
kecil dan dikelola oleh kaum perempuan           hidup akan terjadi ketika masing-masing
khususnya untuk ibadah shalat dan pengajian      individu tanpa memandang jenis kelamin,
keislaman lainnya. Masjid wanita ini lebih       saling menghormati, sopan santun, saling
berkembangan di kalangan Muhammadiyah            menghargai termasuk saling memberi
dan mulai dibangun ketika organisasi Aisyiyah    ruang dalam menjalankan ibadah di masjid.
(perkumpulan wanita Muhammadiyah) lahir          Kahadiran ruang spasial berupa Palastren/
di Yogyakarta dan mendirikan “Masjid Isteri”     Pawestren di sejumlah masjid di Jawa adalah
di Kauman pada tahun 1922/1923 M. Selain         bagian dari manisfestasi dalam membangun
di Yogyakarta “Masjid Istri” juga terdapat       harmoni gender melalui tempat ibadah yang
di Pengkolan, Garut dan sebuah langgar           paling sakral yakni masjid.
yang kemudian menjadi “masjid istri” di
Karangkadjen, Yogyakarta yang didirikan pada          Keberadaan Palastren/Pawestren di
tahun 1927 M (Atmodjo, dkk, 1999: 8 dan          masjid juga sekaligus wujud keterbukaan
Aboebakar, 1955: 396; Felisiani, 2009: 17).      Islam di nusantara khususnya di Jawa bahwa
                                                 kaum muslimah juga memiliki akses untuk
     Pada perkembangan terkini khususnya         memanfaatkan bagian dari masjid dalam
masjid-masjid yang dibangun pada kisaran         membangun pribadi bertaqwa (muttaqīn)
akhir abad ke-20 atau setelah memasuki           yang menjadi pembeda kemuliaan seoarang
abad ke-21, sebagian besar posisi palastren/     manusia satu dengan yang lainnya, bukan
pawestren tetap ada. Posisinya disejajarkan      karena jenis kelaminnya (Qs. al-Hujurāt: 13).
dengan ruang utama masjid, ada juga yang
diposisikan di bagian belakang ruang utama            Kesadaran bahwa Allah tidak membeda-
masjid, namun hanya dipisahkan kain atau         bedakan hambanya berdasarkan suku, ras,
kayu pembatas semacam gebyok. Untuk              bahasa maupun gender tampaknya disadari
                                                 oleh para sesepuh Islam di nusantara sehingga
                                                 Edisi Budaya | 353
merasa penting keberadaan ruangan khusus         persegi dan sama panjang serta memiliki
bagi perempuan, yakni berupa yakni Palastren/    ornamen yang relatif sama dengan yang ada di
Pawestren yang belum pernah ada sebelumnya.      dalam ruang utama masjid.
Hal ini sebagai wujud apresiasi bahwa kaum
perempuan mempunyai hak dalam hal                     Hal ini seperti terlihat pada Palastren/
ibadah dan memiliki ruangan umum (public         Pawestren di Masjid Agung Demak dimana pada
sphere) untuk aktualisasi ibadah kepada Allah    tiang penyangganya terdapat ukiran sulur-
(Felisiani, 2009: 69: Aryanti, 2006: 73).        suluran. Sementara pada Palastren/Pawestren
                                                 Masjid Agung Surakarta, terdapat beberapa
     Sebagaimana fungsi utama utama              pintu penghubung menuju ruang utama
Palastren/Pawestren baik yang terdapat di        yang memilki ukiran motif sulur-suluran dan
masjid maupun di langgar, disamping untuk        kaligrafi nan indah (Felisiani, 2009: 70).
menjalankan berbagai macam ibadah shalat,
tadārus (membaca dan menelaah) al Qur’an,             Hal ini sekaligus menegaskan bahwa
belajar baca tulis Al Qur’an, juga untuk         kaum perempuan Islam di nusantara diberi
berbagai kegiatan pengajian keislaman lainnya    keleluasaan melakukan ibadah di luar rumah
khusus bagi kaum perempuan. Ini berarti          dalam hal ini di Palastren/Pawestren sebagai
kedudukan perempuan dalam lingkungan             ruang publik yang terintegrasi dengan masjid.
masjid di nusantara terutama pada zaman          Dalam pelaksanaannya tentu dalam bingkai
Kesultanan Islam tidak hanya selalu berada       jalinan harmoni dalam keluarga sehingga
di belakang laki-laki, namun mereka memilik      komunikasi dengan anggota keluarga juga
andil yang cukup besar dalam membangun           tetap harus tetap terbangun dengan baik.
keshalehan ritual maupun keshalehan sosial
untuk kemaslahatan umat.                              Kalau masih ada sebagian kalangan
                                                 yang menganggap bahwa kaum perempuan
     Dalam perspektif lain juga dapat            kiprahnya hanya di ruang domestik
dipahamai bahwa keberadaan Palastren/            sebagaimana adigium yang bias gender;
Pawestren yang sejajar dengan ruang utama        sumur, kasur dan dapur, maka keberadaan
masjid juga menyiratkan adanya keinginan         Palastren/Pawestren menjadi saksi bisu bahwa
untuk memperlakukan kaum perempuan               kaum perempuan sejak zaman Kesultanan
secara egaliter. Hal ini terlihat dari pembatas  Islam justru memiliki ruang terbuka sebagai
yang terbuat dari tembok atau kayu dan           sarana dalam berkiprah di ruang publik dalam
keberadaanya merupakan bagian dari ruang         membangun keshalehan individual maupun
utama masjid yang dibuktikan dengan -pada        keshalehan sosial bersama kaum lelaki tentu
umumnya Palastren/Pawestren- berbentuk           sejauh tidak bertentangan dengan etika Islam.
                                                                                                                 [Nur Said]
                                            Sumber Bacaan
Aboebakar, (1955). Sejarah Masjid dan Amal Ibadah di Dalamnya, Banjarmasin: Fa. Toko Buku Adil.
Anasom, HM. Drs. M.Hum, (2013). “Jawanisasi Islam dan Lahirnya Islam Sinkretik” dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI
         Cabang Semarang Edisi XXVI Desember 2013fM/1435 H
Anderson, Benedict R. O’G., (2000). Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Yogyakarta: Qolam.
Aryanti, Tutin. (2006). “Center vs the Periphery in Central Javanese Mosques Architecture”, dalam Dimensi Teknik
         Arsitektur Vol. 34 No. 2 (Desember): 73-80.
Atmodjo, Junus Satrio, Peny., (1999)., Masjid Kuno Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaa.
Endraswara, Suwardi, Prof. Dr., (2016). Falsafah Hidup Jawa, Menggali Kebijakan dari Intisari Filsafat Jawa. Yogyakarta:
         Cakrawala.
Felisiani, Thanti, (2009), “Pawestren Pada Masjid-Masjid Agung Kuno di Jawa: Pemaknaan Ruang Perempuan”, Skripsi,
         Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Arkeologi, Universitas Indonesia,
Mawardi, Kholid: “Langgar: Institusi Kultural Muslim Pedesaan Jawa:, dalam IBDA’, Jurna Kebudayaan Islam, Vol. 12, No.
         1, Januari - Juni 2014
Said, Nur. (2005). Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Brillian Media Utama.
Shohib, Muhammad, Drs.H., MA.,dkk., (2012). Masjid Bersejarah di Jawa. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an.
         Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Simanjuntak, Truman Prof. Ris. Dr., APU., dkk [eds.]., (2008). Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan
         Pengembangan Arkeologi Nasioanl, Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen
         Kebudayaan dan Pariwisata.
354 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Patitis
Patitis dalam bahasa Jawa-Sansekerta             Pantes dadi jujugane sadhengah wong kang
        berasal dari kata “titis” yang berarti;  mbutuhake rembug kang prayoga”, artinya
        Pertama, tujuan, seperti bunyi salah     sesungguhnya orang yang suka berbicara
satu bait Serat Wedhatama yang dikarang Sri      daripada mendengarkan biasanya yang
Mangkunegowo “Patitis tetesing kawruh. Meruhi    dibicarakan tak ada isinya. Sebaliknya yang
marang kang momong” artinya Tujuan ajaran        banyak mendengarkan, bicaranya sedikit tapi
ilmu ini untuk memahami yang mengasuh diri       jelas dan berisi (ia) layak dimintai pendapat
(guru sejati/pancer). Patitis juga digunakan     masyarakat yang membutuhkan masukan
masyarakat Bali dalam arti “tujuan” misalnya     yang baik. Keempat, husnul khatimah seperti
“Ngerajengan, sahyang Agama, ninggilang tata     kalimat Ranggawarsita dalam Serat Sabdojati
prawerining meagama, ngerajengan kasukertan      “Amung kurang wolung ari kang kadalu, tamating
desa pkraman lan pawongan sekala niskala         pati patitis, wus katon neng lokil makpul,
sebagai patitis (tujuan) pembuatan awig-awig     Angumpul ing madya ari, Amarengi Sri Budha
(peraturan adat)”.                               Pon” artinya yang terlihat hanya kurang 8 hari
                                                 lagi, (Aku) meninggal dunia secara husnul
      Kedua, tepat misalnya ungkapan             khatimah, jelas tertulis di Lauhil Mahfudz,
Mangkoenagoro IV dalam Serat Warayagnya          Kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada
“Wong kang bakal palakrama iku kudu migatekake   hari Rabu Pon.
marang kukum serta kudu migunakake nalar
kang patitis sadurunge milih wong wadon”              Berdasarkan pengertian di atas patitis
artinya orang yang mau berumah tangga harus      mengandung pengertian inti atau sesuatu
memperhatikan hukum dan menggunakan              yang mendalam (substansi) dari segala hal
nalar yang tepat sebelum memilih jodoh.          yang diharapkan di dalam kehidupan dunia.
Begitu pula dalam karya Ranggawarsita yang       Patitis juga dapat dipahami sebagai sesuatu
menyubut kata patitis berarti “tepat”; “Ana      yang tidak semata-mata lahiriyah yang tampak
kang wus kadulu, suteng carik kadhinginan        oleh mata, cocok dengan akal pikiran manusia,
tuwuh, ngaku putus patrape kurang patitis,       akan tetapi yang paling hakiki. Misalnya ajaran
manut ngelmuning guying dul, amangeran           yang mengajak manusia supaya tidak sekedar
luncung bodhol” artinya sesuatu yang sudah       memiliki ilmu tapi juga ngelmu dan tujuan
terlihat, anak juru tulis yang berwatak terlalu  berguru serta berilmu tidak sekedar menjadi
maju, mengaku ahli (tetapi) tingkahnya           manusia yang “bener” (benar) tetapi yang
kurang tepat, mengikuti ilmunya santri yang      terpenting menjadi manusia “panther” (lurus
mengaku-aku, mendewakan badut keparat.           dan sejajar dengan arahan).
      Ketiga, jelas, seperti bunyi salah satu         Di samping itu Patitis juga bisa disama
pitutur (ajaran) Ki Padmasusastra dalam          artikan dengan maqashid dalam ajaran Islam,
Serat Madubasa, “Yektine wong kang dhemen        di mana segala sesuatu seharusnya tidak
ngumbar cangkeme tinimbang kupinge adate         dipandang dari sudut lahiriyahnya semata
wicarane gabug. Suwalike sing akeh ngrungokake,  tetapi yang terpenting adalah intisari atau
wicarane sithik nanging patitis lan mentes.      tujuan utama yang terkandung didalamnya.
                                                 Edisi Budaya | 355
Sehingga dalam mempelajari Islam tidak         denganlandasan taqwa. Mereka mempelajari
hanya aspek Syariah saja melainkan juga aspek  ilmu karena Allah Swt. Mereka mengamalkan
hakikatnya.                                    ilmu yang mereka pelajari untuk memperkokok
                                               ketaqwaan mereka. Oleh kerana itu Allah Swt
     Patitis dalam sinkritisme Jawa dipahami   menganugerahkan kepada mereka berupa ilmu
sebagai pusat orientasi kehidupan yang         dan pengetahuan yang tidak mereka pelajari
hendak dituju dan dicapai manusia. Jika        sebelumnya, berupa ilmu-ilmu langka dan
seseorang menginginkan hidup mulia di dunia    isyarat-isyarat yang sangat rahasia.”
maka segala perkatan dan perbuatannya harus
tepat dan persis (titis) dengan isi hatinya.        Di antara pengetahuan dan isyarat
Jika ia ingin tujuan hidupnya berhasil maka    yang rahasia itu ialah ia mengetahui kapan
gunakanlah ilmu yang “titis” , tidak saja      datangnya ajal dan di mana ia akan meninggal.
“bener” tapi “panther” yang berorientasi       Hal ini seperti yang dialami Ranggawarsita
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Untuk            yang ia sebut dalam salah satu baitnya:
mencapai ilmu yang “titis” (ngelmu) manusia    tamating pati patitis, wus katon neng lokil makpul
harus dapat memahami kehendak guru sejati      yang berarti ia mengetahui terlebih dulu hari
(pancer). Dengan memahami pancer manusia       kematiannya secara husnul khatimah sesuai
akan ditunjukkan jalan keluar dari kehidupan   cacatan di lauhil mahfudz.
dunia yang fana menuju kehidupan yang kekal
(patitis/husnul khatimah).                          Dalam persepsi pengikutnya, Pujangga
                                               kenamaan Jawa itu dianggap sebagai orang
     Prinsip ini sejalan dengan prinsip hidup  spesial (khas) yang titis dalam segala ucapannya
kaum sufistik, sebagaimana dijelaskan          karena dia sendiri merupakan tokoh yang
Al-Ghazali. Menurutnya, para ahli sufi         patitis dalam perkataan dan perbuatan.
menyelesaikan persoalan hidup mereka
                                                                                                           [Ishom Saha]
                                            Sumber Bacaan
Kamajaya, Lima Karya Pujangga Ranggawarsita, Jakarta: Balai Pustaka, 1991
Steenbrink, Karel A., Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN
         Sunan Kalijaga Press, 1988
Anasom, dkk., Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000
356 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Peci
(KOPIAH/SONGKOK)
Peci merupakan alat penutup kepala                penutup kepala berbentuk persegi yang dibuat
        bagi kaum laki-laki yang berciri khas     dari bahan katun dan dikenakan dengan cara
        Nusantara yang terbuat dari kain,         dilipat pada bagian tengah menjadi berbentuk
bahan beludru atau bahan lain dan dibuat          seegitiga. Kaffiyeh biasa dikenakan bersama
meruncing kedua ujungnya. Sebutan lainnya         dengan Taqiyah atau topi kecil berwarna putih
adalah kopiah atau songkok. Sementara oleh        yang dikenakan sebagai dalaman serta dengan
masyarakat di belahan Dunia lain, kopiah atau     cara memasang Igal atau tali berwarna hitam
peci itu dikenal dengan nama Kufi, taqiyat, topi  untuk menahan Kaffiyeh agar tidak lepas.
fez/fezzi, tarboosh, songkok, dan lain-lain.      Dengan kata lain pemadanan kata Kopiah
                                                  dengan Kaffiyeh tidak menunjukkan bentuk
      Meskipun ketiganya berfungsi sebagai        barang yang sama. Ada pula yang mengaitkan
penutup kepala akan tetapi asal usulnya           Kopiah dengan filosofi “Kosong di-Pyah”
berbeda. Peci yang di jaman Belanda ditulis       artinya kosong dibuang yang mengandung
“Petje” berasal dari kata “pet” (topi) dan “je”   makna kebodohan dan rasa dengki harus
yang mengesankan “sesuatu yang kecil” di          dibuang dari isi kepala manusia.
mana biasa dikenakan oleh bangsa Melayu.
Ada pula penjelasan yang mengidentikkan                Sementara Songkok dalam bahasa Inggris
Peci dengan topi fez atau fezzi yang berasal      dikenal istilah skull cap atau batok kepala
dari Yunani Kuno dan diadopsi oleh Kerajaan       topi, sebutan oleh Inggris bagi penggunanya
Turki Utsmani.                                    di Timur Tengah. Di wilayah Indonesia atau
                                                  Melayu yang sempat dijajah Inggris, kata
      Terdapat pula keterangan bahwa Peci         tersebut mengalami metamorfosa pelafalan
merupakan rintisan dari Sunan Kalijaga yakni      menjadi skol kep menjadi song kep dan
berupa Kuluk yang memiliki bentuk lebih           akhirnya menjadi songkok. Ada pula yang
sederhana daripada Mahkota dan disematkan         menganggap Songkok dari singkatan “Kosong
pada saat pengukuhan Raden Patah/Sultan           dari Mangkok” yang artinya kepala ini seperti
Fattah diangkat menjadi Sultan Demak.             mangkok kosong yang harus diisi dengan ilmu
Bahkan ada juga yang mengaitkan Peci dengan       pengetahuan.
tutup kepala yang dipakai Laksamana Ceng
Ho. Dalam bahasa China, “Pe” artinya delapan           Secara umum Peci, Kopiah, dan Songkok
dan “Chi” artinya energi, sehingga Pechi          menjadi identitas orang Islam yang pada
merupakan alat untuk menutup bagian tubuh         mulanya dikenalkan oleh para pedagang-
yang bisa memancarkan energinya ke delapan        pedagang Arab dan India. Sebab, masyarakat
penjuru arah angin.                               pribumi dahulunya lebih mengenal ikat
                                                  kepala, semacam blangkon. Akan tetapi,
      Sedangkan Kopiah diadopsi dari bahasa       seperti biasanya, proses transformasi budaya
Arab, Kaffiyeh atau Kufiya. Namun wujud           luar kedalam budaya Nusantara selalu
asli Kaffiyeh berbeda dengan kopiah. Di           menghasilkan adapsi dan asimilasi yang unik;
Timur Tengah, Kaffiyeh yang memiliki nama         sehingga terciptalah Peci, Kopiah, dan Songkok
lain Ghutra atau shemagh merupakan kain           khas Nusantara.
                                                  Edisi Budaya | 357
memakai Peci, Kopiah, dan Songkok berikut
                                                                 serban/surban. Mereka umumnya lebih suka
                                                                 memakai peci atau pengikat kepala sejenis
                                                                 blangkon.
       Kopiah/songkok biasa dikenakan para santri di pesantren.       Di samping sebagai identitas, pemakaian
                                                                 Peci, Kopiah, dan Songkok oleh para haji dan
            Sumber: Tim Anjangsana Islam Nusantara 2017.         santri juga menjadi perlambang kerendahan
                                                                 hati mereka. Sebab membuka kepala sama
     Sebagai identitas Muslim Nusantara, Peci,                   artinya seseorang bermaksud menunjukkan
Kopiah, dan Songkok dikenakan khususnya                          kegagahannya, sedangkan menutup kepala
para haji dan santri. Sementara kiai, ajengan,                   sama dengan menjaga marwahnya. Seseorang
atau abuya dibedakan dengan penambahan                           yang menutupi kepalanya dengan Peci, Kopiah,
atrubut berupa serban/surban yang dipakai                        dan Songkok berarti ia dapat memelihara
pada saat-saat tertentu, misalnya sewaktu                        muru’ah-nya.
shalat, pengajian, dan lainnya. Kebiasaan ini,
menurut Snouck Hurgronje, dijadikan bukti                              Sekalipun  demikian,  dalam
bahwa para haji di Indonesia tidak terpengaruh
dengan cara berpakaian orang Arab karena                         perkembangannya, Peci, Kopiah, dan
mereka sudah memiliki tradisi tersendiri.
Orang-orang Indonesia sekembalinya pergi                         Songkok khas Nusantara juga dijadikan
haji justru dianggap aneh jika kesehariannya
                                                                 sebagai simbol nasionalisme pada saat
                                                                 berhadapan dengan bangsa Eropa. Kiai
                                                                 Sholeh Darat memasukkan misi perlawanan
                                                                 kepada penjajah Hindia Belanda dalam Kitab
                                                                 Majum’at al-Syari’at al-Kifayat li ‘awam (1309
                                                                 H/1892 M), dengan menganjurkan bangsa
                                                                 pribumi Islam mengenakan peci dan atribut
                                                                 lain yang bisa membedakannya dengan kaum
                                                                 penjajah. Ia mengingatkan: “Barangsiapa
                                                                 ikut-ikutan dengan sesuatu maka ia termasuk
                                                                 golongannya” (man syabbaha sya’an syubbiha
                                                                 ‘alaih). Sebab pada waktu itu banyak orang-
             Para tamu mengenakan Kopiah/Songkok saat sowan ke Gusmus
             (KH. Mustofa Bisiri), Rembang.
                      Sumber: Tim Anjangsana Islam Nusantara 2017.
358 | Ensiklopedi Islam Nusantara
orang pribumi yang meniru gaya berbusana         bermunculan tokoh-tokoh pejuang yang selalu
orang-orang Eropa, seperti memakai pentolan,     menggunakan Peci, Kopiah, dan Songkok
jas, dasi, dan topi. Padahal sebagimana          sebagai ikon nasionalisme, yang diantaranya
disabdakan Rasulullah Saw: Laysa minna man       adalah Soekarno.
tasyabbah bi ghair minna (Tidak termasuk
ummatku orang yang meniru golongan selain             Pada pertemuan Jong Java di Surabaya
aku).                                            pada Juni 1921, Soekarno untuk pertamakali
                                                 mengenalkan diri sebagai pemuda berpeci,
     Pandangan serupa juga dikemukakan           sekalipun mulanya ia khawatir ditertawakan
Sayyid Utsman al-Batawi --seorang mufti          sahabat-sahabatnya. Ia berkata di hadapan
Betawi- dalam Kitab al-Qawanin al-Syar’iyyah     teman-teman seperjuangannya: “Kita
li Ahl al-Majalis al-Hukmiyyat wa al-Ifta’iyyat  memerlukan lambang daripada kepribadian
(1883 M). Ia mengkritik pegawai-pegawai          Indonesia. Peci dipakai oleh pekerja-pekerja
bangsa pribumi di kantor-kantor pemerintah       bangsa Melayu, dan itu asli kepunyaan rakyat
Belanda yang mengenakan pakaian serupa           kita.”
yang dikenakan orang-orang Belanda. Orang-
orang pribumi di kantor pemerintah saat               Sampai sekarang, penggunaan Peci,
itu melepas peci sebagai penutup kepala          Kopiah, dan Songkok tidak dibatasi untuk
dengan diganti topi dan mengenakan baju          orang Islam dan tidak sekedar dipakai untuk
berdasi agar dianggap sebagai bagian pegawai     acara peribadatan saja. Peci, Kopiah, dan
pemerintahan.                                    Songkok juga dipakai dalam acara resmi
                                                 seperti pertemuan-pertemuan kenegaraan
     Pengaruh fatwa ulama Indonesia ini          oleh kalangan dan tokoh yang agamanya non-
berpengaruh besar terhadap pemakaian Peci,       Muslim sekalipun. Hal ini dikarenakan Peci,
Kopiah, dan Songkok, serta blangkon. Sebab       Kopiah, dan Songkok sudah menjadi identitas
yang merasa menjadi orang pribumi akan           nasional.
menggunakannya, sekalipun mereka bukan
santri ataupun sudah pergi haji. Dari situlah                                                                [Ishom Saha]
                                            Sumber Bacaan
Adams, Cindy, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta: Yayasan Bung Karno, 1987
Hurgronje, C. Snouck, “Politik Haji?” dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII, Jakarta: INIS, 1993
Rozan Yunos, “The Orign of the Songkok or Kopiah, dalam The Brunei Times, 23/09/2007
Utsman, Sayyid, Al-Qawanin al-Syar’yyah li Ahl al-Majalis al-Hukmiyyah wa al-Iftaiyyah, Batavia, 1891.
                                                 Edisi Budaya | 359
Pegon
Istilah Kata                                  Aksara Nusantara seringkali dikaitkan dengan
                                              aksara hasil inkulturisasi kebudayaan India
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia            sebelum berkembangnya Agama Islam di
          (KBBI), pegon artinya aksara Arab   Nusantara dan sebelum kolonialisasi bangsa-
          yang digunakan untuk menulis        bangsa Eropa di Nusantara. Berbagai macam
bahasa Jawad dan Sunda atau tulisan yang      media tulis dan alat tulis digunakan untuk
tidak dibubuhi tanda-tanda baca (diakritik).  menuliskan Aksara Nusantara. Media tulis
Kromopawiro sebagaimana dikutip Ibnu          untuk prasasti antara lain meliputi batu, kayu,
Fihri mendefinisikan kata pegon berasal dari  tanduk hewan, lempengan emas, lempengan
bahasa Jawa, pego, yang memiliki arti “ora    perak, tempengan tembaga, dan lempengan
lumrah anggone ngucapake” (tidak lazim dalam  perunggu; tulisan dibuat dengan alat tulis
mengucapkan). Hal ini dapat kita telusuri     berupa pahat. Media tulis untuk naskah antara
dari banyaknya kata-kata Jawa yang ditulis    lain meliputi daun lontar, daun nipah, janur
dalam huruf atau tulisan Arab yang aneh bila  kelapa, bilah bambu, kulit kayu, kertas lokal,
diucapkan. Bahkan orang Arab sendiri tidak    kertas impor, dan kain; tulisan dibuat dengan
akan mudah membaca Arab Pegon ini. (Ibnu      alat tulis berupa pisau atau pena dan tinta.
Fihri, 2014)
                                                   Secara periodik, perkembangan aksara
      Menurut Titik Pudjiastuti, Pegon        Nusantara dapat ditelusuri berdasarkan
adalah jenis aksara Arab yang dimodifikasi    periodisasi sejarah kerajaan-kerajaan di
sedemikian rupa dengan cara menambah          Nusantara. Di masa Hindu-Budha, aksara
tanda diakritik tertentu untuk menulis teks-  Nusantara terdiri dari aksara Pallawa, Nagari,
teks berbahasa Jawa. (Pudjiastuti, 2006: 44)  Kawi, Malesung, Buda, Sunda Kuna, dan
Sementara menurut Purwadi dalam kamus         AKsara Proto-Sumatera. Begitu pula dengan
Jawa-Indonesia (2003), pegon berarti tidak    periode kerajaan-kerajaan Islam, aksara-
biasa mengucapkan. Kata lain dari “pegon”     aksara di Nusantara mengalami perkembangan
yaitu gundhil berarti gundhul atau polos.     dengan munculnya aksara pegon.
Sedangkan “huruf Arab pegon” digunakan untuk
menuliskan terjemahan maupun makna yang            Pada titik ini, sejarah kemunculan
tersurat di dalam kitab kuning (Lihat dalam   istilah Arab Pegon tidak bisa dilepaskan dari
entri Kitab Kuning) dengan menggunakan        sejarah masuk dan berkembangnya Islam
bahasa tertentu.                              di Nusantara. Beberapa orang mengatakan
                                              bahwa arab pegon telah muncul sekitar tahun
Latar Belakang Munculnya Aksara Pegon         1400 M dan digagas oleh Raden Rahmat atau
                                              Sunan Ampel. Sebagian lain menisbatkan
      Aksara Nusantara merupakan beragam      Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
aksara atau tulisan yang digunakan di         sebagai penggagas awal arab pegon. (Ibnu
Nusantara untuk secara khusus menuliskan      Fihri, 2014: 40)
bahasa daerah tertentu. Walaupun Abjad Arab
dan Alfabet Latin juga seringkali digunakan        Terlepas dari perdebatan siapa yang
untuk menuliskan bahasa daerah, istilah       pertama kali menciptakan aksara pegon, hal
                                              yang tentu tidak bisa dimungkiri adalah bahwa
360 | Ensiklopedi Islam Nusantara
kemunculan serta perkembangan aksara pegon        penyakit, dan pembuatan wifiq atau
memiliki hubungan yang erat dengan proses         azimat (Noriah Ahmed, 2011). Di sejumlah
dakwah atau syiar Islam. Hal ini bisa dibuktikan  pesantren-pesantren tradisional, proses
dengan munculnya karya-karya ulama                pembelajaran kitab kuning yang juga sekaligus
Nusantara dalam aksara pegon sebagai bentuk       bagian dari proses pembelajaran bahasa Arab
upaya dari penyebaran ajaran agama Islam.         menggunakan bahasa dan aksara pegon dalam
                                                  penyampaiannya. Mula-mula kitab kuning
     Pada abad ke-14 bangsa Aceh dan Melayu       dibacakan dan diterjemahkan ke dalam bahasa
mengambil alih cara menulis bangsa Arab           lokal (Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu) oleh
bersama dengan proses Islamisasi terjadi, pada    seorang Kiai, lalu para santri yang mengikuti
masa tersebut bangsa ini menggunakan abjad        pengajian ini memberikan makna dalam
yang sama seperti yang dipakai oleh bangsa        kitab yang sedang dipelajarinya ini dengan
Arab dan para muslimin di beberapa tempat         menggunakan aksara pegon.
lainnya seperti tulisan Parsi di Iran dan Iraq
(Semenanjung Arab) dan Urdu di India. Dapat            Aksara pegon bukan hanya terbatas
dimaklumi bahwa aksara Arab Jawi memainkan        pada bentuk pemaknaan atau penerjemahan
peranan penting dalam perjalanan tradisi          kitab kuning berbahasa Arab, melainkan juga
tulis-menulis di Nusantara selama berabad-        digunakan sebagai aksara penulisan kitab-kitab
abad, hal tersebut dapat dilihat bahwa aksara     ulama Nusantara. Artinya, aksara pegon dalam
Arab Jawi sudah ada di bumi Nusantara pada        sejarah dan tradisi pesantren di nusantara
abad ke-16. (Hermansyah, 2010)                    bukan sesuatu yang bersifat sekunder atau
                                                  bahkan pelengkap atas pengajaran keislaman
     Namun, jika ukurannya adalah bukti           di Nusantara. Melainkan sebagai sesuatu yang
naskah dari karya-karya ulama Nusantara           bersifat primer. Karya-karya ulama nusantara
yang ditulis dalam aksara pegon, maka             yang menggunakan aksara pegon baik dalam
(berdasarkan wawancara Uka Tjandrasasmita)        bentuk bahasa Jawa, Melayu, Sunda, dan
karya Sunan Bonang atau Syekh al-Barri            daerah-daerah lainnya sangat banyak.
yang berjudul Wukuf Sunan Bonang adalah
yang tertua. Karya yang ditulis pada abad 16           Menurut Saiful Umam (2015), Pegon
ini menggunakan bahasa Jawa pertengahan           sebagai media untuk menulis juga sudah
bercampur dengan bahasa Arab. Manuskrip ini       digunakan paling tidak pada abad ke-17. Hal
merupakan terjemahan sekaligus interpretasi       ini dibuktikan dengan adanya manuskrip
dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-          Mukhtashar Bafadhal yang diyakini ditulis pada
Ghazzali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban,       abad tersebut dan sekarang tersimpan di The
Jawa Timur. Dalam karyanya, Sunan Bonang          British Library. Dalam manuskrip tersebut,
menulis, “Naskah ini dulu digunakan oleh para
Waliyullah dan para ulama, kemudian saya
terjemahkan dan untuk para mitran (kawan-
kawan) seperjuangan dalam menyebarkan
Islam di tanah Jawa.” Karya ini merupakan
contoh bahwa pada abad 16, sebagai masa
pertumbuhan kerajaan Islam di Nusantara,
dalam waktu yang sama juga berkembang
karya para ulama yang berperan besar dalam
penyebaran Islam di Nusantara.
     Huruf atau aksara pegon bukan hanya
digunakan sebagai salah satu sarana
pengajaran dan transmisi keilmuan, melainkan
juga digunakan wadah kelestarian hidup,
mencari jodoh bagi pasangan yang hendak
membangun rumah tangga, mengobati
                                                  Edisi Budaya | 361
terdapat terjemahan antarbaris dan beberapa        ahli-ahli di bidang lain yang menerapkannya
catatan di bagian tepi yang ditulis dalam Pegon.   bagi kajian sejarah, hukum, keagamaan dan
Memang dalam bentuk kitab utuh karya lokal         kebudayaan (Uka Tjandrasasmita, 2006: 1)
sebagaimana contoh kitab Jawi di atas, kitab
Pegon baru dijumpai pada abad ke-19, di mana            Naskah tersebut ditulis oleh ulama-ulama
Kiyai Ahmad Rifai Kalisalak (w. 1870) adalah       Nusantara dengan berbagai disiplin ilmu
orang yang sampai saat ini diketahui sebagai       keislaman seperti tafsir, hadis, fikih, sejarah
penulis pertama kitab Pegon.                       nabi dan rasul, tasawuf dan lain sebagainya.
                                                   Bahkan, pada zaman penjajahan Belanda,
Rumus Menulis dan Membaca Aksara                   sebelum tulisan latin diajarkan di sekolah-
Pegon                                              sekolah, seringkali aksara Arab dipergunakan
                                                   dalam surat menyurat, bahkan dikampung-
     Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa aksara   kampung pada umumnya sampai zaman
pegon adalah aksara Arab yang telah dimodifikasi   permulaan kemerdekaan, banyak sekali orang
dengan sedemikian rupa dengan penambahan-          yang masih buta aksara latin tetapi tidak
penambahan titik diakritik pada huruf-huruf        buta aksara Arab, karena mereka sekurang-
tertentu, maka aksara pegon pun memiliki ciri      kurangnya dapat membaca aksara Arab, baik
dan cara baca tersendiri yang memiliki beberapa    untuk membaca Al-Qur’an maupun menulis
perbedaan dengan cara menulis dan membaca          surat dalam bahasa daerah dengan aksara
huruf atau aksara Arab murni.                      Arab. (Juwairiyah Dahlan, 1992: 29)
     Dalam Penulisannya, Pegon yang berupa              Usaha menyelamatkan naskah-naskah
huruf vokal diwakili dengan huruf-huruf            Nusantara baik dalam aksara Arab, Jawa, Pegon,
yang dalam tulisan Arab berfungsi untuk            maupun aksara lainnya terus dilakukan oleh
memanjangkan bacaan huruf, yakni alif              pemerintah, para ahli filologi, serta masyarakat
()ﺍ, wawu ( )ﻭdan ya ()ﻱ. Sedangkan huruf          pegiat naskah. Seperti diamanatkan dalam UUD
konsonan ditulisan Arab Pegon diwakili oleh        1945, bahwa masyarakat bangsa dan Negara
huruf-huruf hijaiyah yang mirip bunyinya,          Republik Indonesia diwajibkan memelihara,
seperti «n» dengan huruf nun, “m” dengan           membina, dan mengembangkan kebudayaan
mim dan lain-lain.                                 yang berkesinambungan dan berkepribadian,
                                                   terutama mencegah unsur-unsur budaya yang
     Misalnya kata makan dituliskan dengan         negatif, baik dari dalam maupun luar. Untuk
huruf mim, alif, kaf, alif dan nun menjadi ﻣﺎﻛﺎﻥ   menggali nilai-nilai kebudayaan bangsa yang
dan kata belajar dengan hurub ba, lam, alif, jim,  berkepribadian itu naskah perul dipelajari dan
alif, dan ra’  ﺑﻼﺟﺎﺭ. Selain huruf yang sudah ada  dikomunikasikan, baik melalui bahasa daerah
padanannya, untuk huruf yang tidak ada dalam
abjad hijaiyyah seperti bunyi sengau “ng” atau
dan huruf “c”, dipakai huruf tertentu dengan
menambahkan titik tiga: Ng dengan ghoin ()ﻍ
titik tiga dan c dengan jim ( )ﺝtitik tiga.
Naskah Pegon Nusantara                             (Naskah Tarjuman al-Mustafid, karya tafsir terlengkap
                                                   pertama dengan huruf pegon melayu yang ditulis oleh
     Naskah-naskah yang ditulis dengan             Syekh Abdurrauf al-Singkeli)
menggunakan huruf pegon tak terhitung
jumlahnya. Namun dari naskah atau
manuskrip bangsa kita yang jumlahnya banyak
dan isinya berlimpah informasi sesuai dengan
zamannya itu baru sebagian kecil, bahkan
mungkin masih jauh di bawah 10 persen, yang
dikaji oleh ahlinya di bidang filologi maupun
362 | Ensiklopedi Islam Nusantara
atau nasipnal sehingga mudah diakses, dibaca,     menilai bahwa Nazam Tarekat yang ditulis
dan dimanfaatkan oleh masyarakat Dunia secara     oleh Kiai Ahmad Rifai meskipun sifatnya
umu dan lebih khusus masyarakat Indonesia .       hanya sebagai puisi didaktis yang sarat
                                                  dengan pengetahuan keislaman dari berbagai
Aksara Pegon dan Perlawanan Terhadap              aspeknya; akidah, syariat, dan tasawuf, hal
Kolonial                                          yang menarik, nazam Tarekat juga sarat
                                                  dengan berbagai kritik tajam kepada penguasa
     Secara umum, sikap umat Islam                dan kekuasaan masa kolonial.
di Nusantara terhadap kolonialisme
terbagi menjadi dua kubu: kooperatif dan               Dengan demikian, nazam Tarekat
konfrontatif. Perang Sabil di Aceh, Perang        yang ditulis oleh Kiai Ahmad Rifai bukan
Menteng di Palembang, Perang Diponegoro           hanya sekadar puisi didaktis yang hendak
di Jawa dan perlawanan-perlawanan serupa          menyampaikan pengetahuan kepada
terhadap kolonial yang terjadi di sejumlah        pembacanya, sebagaimana umumnya nazam-
daerah merupakan contoh dari sikap kaum           nazam lain. Ia juga membawa fungsi sosial
muslim yang mengambil bentuk konfrontatif         tertentu berkaitan dengan situasi zaman
(perlawanan fisik) terhadap kaum penjajah.        penulisnya. Fungsi sosial yang dimaksud di sini
                                                  akan nampak jelas terlihat pada pembahasan
     Selain sikap konfrontatif, sikap sebagian    seputar tarekat. Dimana dijelaskan oleh Kiai
umat Islam di Nusantara mengambil bentuk          Ahmad Rifai bahwa Tarekat bukan semata-mata
akomodatif-kooperatif terhadap penjajah.          mengenai persoalan metode dan ritual tertentu
Sikap ini sebagaimana tergambar pada              untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi
sejumlah tokoh yang mau bekerjasama dengan        juga merngenai sikap terhadap persoalan sosial
pemerintah kolonial. Konon, sikap akomodatif      dan politik di zamannya. Menurut Kiai Ahmad
ini tidak bisa dilepaskan dari strategi           Rifai, tarekat yang benar adalah, antara lain,
pemerintah kolonial dalam melanggengkan           menjaga jarak dengan penguasa yang fasik.
kekuasaanya atas nusantara.
                                                       Model perlawanan yang dilakukan oleh
     Di sisi lain, terdapat sejumlah tokoh        Kiai Ahmad Rifai terhadap pemerintah
yang mengambil sikap perlawanan terhadap          kolonial Belanda ini dianggap meresahkan
cengkraman kolonialisme yang melanda              mereka. Dalam catatan sejarah, setidaknya
Nusantara dalam bentuk yang lain; menulis         telah tiga kali Residen Pekalongan melaporkan
karya-karya anti kolonial (perlawanan non         kegiatan yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Rifai
fisik). Salah satunya adalah Kiai Ahmad Rifai     kepada Gubernur Jenderal Belanda Hindia
Kalisalak (1786-1870 M)). Ia menulis sejumlah     Belanda, yang berisikan permintaan agar Kiai
karya yang isinya sarat muatan perlawanan         Ahmad Rifai diasingkan dari Kalisalak.
terhadap kaum penjajah. Dan salah satu
karyanya adalah Nazam Tarekat. Sebuah karya            Selain dalam kitab Nazam Tarekat, KH.
nazam berbahasa Jawa yang berisi ajaran           Ahmad Rifai Kalisalak juga menulis karya-
Tarekat dan terdiri atas 4864 bait puisi.         karya lain yang berisi tentang doktrin protes
                                                  terhadap pemerintah kolonial beserta aparat
     Teks nazam Tarekat Kiai Ahmad Rifai ditulis  feodal dan tradisionalnya dalam kitab-
dalam bahasa Jawa dengan menggunakan              kitabnya yang berjudul Tarikh, Nadzam
aksara pegon. Melalui nazam Tarekat ini, Kiai     Wikayah, Syarihul Iman, Bayan, Tafrikah,
Ahmad Rifai mencurahkan pemikiran dan             Abyanul Hawaij, Tasyrihatul Muhtaj dan Riyatul
sikapnya terhadap kondisi sosial pada masanya.    Himmah. (Ibnu Fihri, 15)
Kitab ini terdiri dari 24 tanbih (semacam judul,
arti tekstualnya peringatan).                     Standar Latinisasi Menggerogoti Aksara
                                                  Pegon
     Adib Misbahul Islam dalam bukunya, Puisi
Perlawanan dari Pesantren ; Nazam Tarekat              Peradaban Nusantara lebih khusus Jawa
Karya KH. Ahmad Rifai Kalisalak (2016: 15),       yang sudah mengenal lebih dulu keberaksaraan
                                                  Edisi Budaya | 363
juga menduduki posisi penting dalam               yang lebih jelas dan lebih jauh. Seabad yang
pengembangan tradisi keilmuan, khususnya          lalu, menjelang tahun 1880 aksara Arab
di lingkungan pesantren. Aksara pegon, yang       masih digunakan luas untuk menuliskan
digunakan di Pesantren Jawa sebagai aksara        Bahasa Melayu dan beberapa bahasa setempat
akademik memang sebenarnya menjadi                (seperti Bahasa Aceh atau Minangkabau). Kini
karakteristik aksara Pesisiran. Sebab, di daerah  keadaan teah berubah sama sekali. Hampir
pesisiran pulau Jawa inilah muncul pusat-         semua yang dicetak di Jawa, ditulis dengan
pusat keislaman seperti pondok pesantren          aksara latin. Beberapa teks langka, terutama
yang berfungsi sebagai tempat pendidikan          yang bersifat keagamaan, yang beraksara Arab
agama Islam. Di tempat itulah lahir peradaban     masih diajarkan di Pesantren, untuk keperluan
baru di Jawa; 1. aksara pesantren Jawa, yang      membaca al-Quran, namun pengajaran aksara
disebut pegon, 2. bahasa Jawa-Islam, yang         Sunda dan Jawa dapat dikatakan berhenti.
disebut sebagai bahasa Jawa-Kitabi, 3. teks-
teks keagamaan Islam atau kesusastraan                 Secara garis besar mutasi itu terjadi
Islam, yang oleh Poerbatjaraka disebut sebagai    selama paro pertama abad ke-20 dan mulai
sastra Pesantren. (Moch.Ali, 2007)                dari Jawa, di mana penggunaan bahasa
                                                  Arab tak pernah seluas di Sumatra atau di
     Pada akhir abad ke-20-an, aksara pegon       Semenanjung. Setelah perdebatan panjang di
mengalami kemunduran. Tepatnya sejak              antara ahli bahasa, terutama A.A. Fokker dan
tahun 1920-an, pemerintah kolonial Belanda        C. Spat, sistem trasnkripsi yang diusulkan
secara pelan mulai menggantikannya dengan         oleh Van Ophuysen diterima dan dinyatakan
aksara latin. Di tengah gempuran sekolah-         sebagai ejaan resmi pada tahun 1901. (Denys
sekolah dan lembaga pendidikan modern,            Lombar, 166)
aksara pegon hingga kini masih diajarkan di
pesantren-pesantren di Indonesia. Hal ini              Kebijakan latinisasi ini pada gilirannya
cukup untuk membuktikan bahwa aksara              menggerus tradisi penggunaan aksara Pegon
pegon masih menjadi salah satu aksara yang        (di Jawa) atau aksara Jawi (Melayu). Dan
digunakan oleh masyarakat Indonesia.              sekarang, salah satu lembaga –bahkan bisa
                                                  dikatakan satu-satunya lembaga- yang masih
     Denys Lombard dalam bukunya Nusa             setia menggunakan dan mempertahankan
Jawa: Silang Budaya (2005: 164-165)               aksara pegon sebagai bagian dari proses
mengatakan bahwa latinisasi tulisan yang          pembelajaran adalah pesantren.
digunakan secara merata membawa akibat
                                                                                                        [M Idris Mas’udi]
                                            Sumber Bacaan
A.Khoirul Anam, Ensiklopedia NU, Jakarta: Matabangsa, 2012, cet. II
Adib Misbachul Islam, Puisi Perlawanan Dari Pesantren; Nazam Tarekat Karya K.H. Ahmad ar-Rifai Kalisalak, Tangerang
         Selatan: TransPustaka, 2016, cet. I
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia, 2005, Cet. III
Ibnu Fihri, Aksara Pegon Studi Tentang Simbol Perlawanan Islam di Jawa Pada Abad XVIII-XIX, Semarang: IAIN Walisongo,
         2014, hal. 40
Islah Gusmian, Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca, Jurnal
         Tsaqafah, vol.6, no.1, April 2010
Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab, Surabaya, Penerbit Al-ikhlas, 1992,h. 29
Memed Sastrahadiprawira, Basa sareng Kasoesastran Soenda, Poestaka-Soenda (7 dan 8), hlm. 97-101.
Moch.Ali, Bahasa Jawa-Kitabi Dialek Madura Dalam Naskah Careta Qiyamat, Litera, Vol 6, Nomor 1, Januari 2007
Noriah Mohamed, Aksara Jawi; Makna dan Fungsi, Sari 19 (2011) hlm. 121
Uka Tjadrasasmita, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Islam di Indonesia, Jakarta: Puslitbang
         Lektur Balai Litbang dan Diklat Depag RI, 2006, cet.I
Saiful Umam, Jawi dan Pegon, http://www.uinjkt.ac.id/id/jawi-dan-pegon/
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/09/06/24/58687-abjad-arab-dalam-penulisan-bahasa-
         melayu
https://sites.google.com/site/kurrotadzikra/home/jenis-jenis-naskah
http://www.hermankhan.com/2010/11/punahnya-tradisi-penulisan-arab-jawi.html
http://www.tokobukupesantren.com/2013/10/pegon-rahasia-sukses-belajar-tulisan.html
364 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Pengajian
Pengajian berasal dari kata kaji yang          kehidupannya.
        artinya pelajaran (agama, dan lain
        sebagainya); penyelidikan (tentang          Sedangkan jamaah pengajian adalah
sesuatu). Mendapat awalan peng- dan akhiran    sekelompok atau gabungan dari beberapa
–an menjadi pengajian yang berarti kegiatan    orang (Muslim) yang menyelenggarakan suatu
untuk melakukan pengajaran (agama Islam),      kegiatan pembelajaran ilmu agama Islam yang
menanamkan norma agama melalui dakwah;         di pimpin oleh seorang dai melalui berbagai
pembacaan Al-Quran.                            media, seperti ceramah-ceramah agama
                                               yang diadakan di rumah-rumah, masjid,
      Pengertian secara terminologis adalah    perpustakaan dan sebagainya. Adapun sumber
penyelenggaraan atau kegiatan belajar agama    ajaran utamanya adalah Al-Qur’an, Hadits dan
Islam yang berlangsung dalam kehidupan         berbagai kitab karya ulama dari segala disiplin
masyarakat yang dibimbing atau diberikan oleh  ilmu.
seorang guru ngaji (dai) terhadap beberapa
orang. Kegiatan tersebut diselenggarakan            Dalam pengajian, dilaksanakan sebuah
dalam waktu dan tempat tertentu, dengan        sistem pengajaran atau penyampaian ilmu
tujuan agar orang-orang yang mengikuti         berasaskan ajaran Islam. Pengajian ini
dapat mengerti, memahami, dan kemudian         lebih banyak didominasi oleh unsur-unsur
mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam          keislaman, sehingga bisa dikatakan bahwa
                                               yang menjadi tujuan dari pengajian yaitu
                                               Edisi Budaya | 365
membentuk kepribadian seseorang yang           kualitas hidupnya secara integral. Baik lahiriah
menjadi insan kamil yang berpola takwa.        dan batiniah, duniawi dan ukhrawiah secara
                                               bersamaan (simultan), sesuai tuntunan ajaran
     Diadakan kegiatan keagamaan seperti       agama Islam yaitu iman dan taqwa yang
pengajian mempunyai tujuan yang berbeda-       melandasi kehidupan duniawi dalam segala
beda sesuai dengan realitas orang yang         bidang kegiatannya. Fungsi demikian sejalan
memaknai atau mengartikannya. Tuty             dengan pedomana pembangunan nasional.
Alawiyah merumuskan tujuan pengajian
dilihat dari segi fungsinya. Pertama, Sebagai       Dalam Islam, tujuan hidup umat
tempat belajar, maka tujuan pengajian adalah   manusia tidak sebatas untuk mencapai
menambah ilmu dan keyakinan agama Islam        kebahagiaan kehidupan dunia semata,
yang akan mendorong pengalaman ajaran          namun juga pencapaian kebahagiaan
agama                                          akhirat. Islam merupakan pencerah yang
                                               membawa keseimbangan dalam kehidupan
     Kedua, ebagai kontak sosial, maka         dunia dan akhirat, yakni Habluminallah dan
pengajian mempunyai tujuan sebagai tempat      Hablumminannas. Islam memberi penghargaan
silaturahmi. Ketiga, ebagai sarana mewujudkan  bagi orang-orang yang mau belajar dan
minat sosial, maka tujuannya adalah            mengajarkan Al Qur’an seperti tertuang dalam
meningkatkan kesadaran dan kesejahteraan       hadits Nabi SAW sebagai berikut:
rumah tangga serta lingkungan jamaahnya.
                                                    “Sebaik-baik kamu adalah orang yang
     Selain itu, juga ikut menentukan          mempelajari Al Qur’an dan mengamalkannya.”
dalam membangkitkan sikap patriotisme          (HR. Bukhori dan Muslim)
dan nasionalisme sebagai modal mencapai
kemerdekaan Indonesia. Lembaga seperti              Dilihat dari segi tujuan, pengajian
pengajian ini telah ikut serta menunjang       termasuk sarana dakwah Islamiyah yang secara
tercapainya tujuan pendidikan nasional.        self standing dan self disciplined mengatur dan
Dilihat dari bentuk dan sifat pendidikannya,   melaksanakan berbagai kegiatan berdasarkan
lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut      musyawarah mufakat untuk kelancaran
ada yang berbentuk langgar, surau, dan         pelaksanaan pengajian sesuai dengan tuntutan
rangkang.                                      pesertanya. Dilihat dari aspek sejarah sebelum
                                               kemerdekaan Indonesia sampai sekarang,
     Secara strategis, pengajian menjadi       banyak terdapat lembaga pendidikan Islam
tujuan, sarana dakwah dan tabligh yang         memegang peranan sangat penting dalam
berperan sentral pada pembinaan dan            penyebaran ajaran Islam di Indonesia.
peningkatan kualitas hidup umat agama Islam
sesuai tuntunan ajaran agama. Majelis ini           Pengajian merupakan bentuk lembaga
menyadarkan umat Islam untuk memahami          nonformal yang fleksibel dan merupakan
dan mengamalkan agamanya yang kontekstual      lembaga pendidikan yang amat besar
di lingkungan hidup sosial budaya dan alam     peranannya dalam menyebarkan risalah Islam,
sekitar masing-masing, menjadikan umat         serta merupakan lembaga pendidikan yang
Islam sebagai ummatan wasathan yang            berorientasi pada konsep dan pandangan
meneladani kelompok umat lain.                 pendidikan secara Islam.
     Untuk tujuan itu, maka pemimpinnya        Materi pengajian
harus berperan sebagai penunjuk jalan
ke arah pencerahan sikap hidup Islami               Materi dakwah merupakan faktor yang
yang membawa kepada kesehatan mental           cukup penting dalam menentukan berhasil
rohaniah dan kesadaran fungsional selaku       atau tidaknya palaksanaan pengajian. Materi
khalifah dibuminya sendiri. Mengokohkan        yang tidak pas dengan kondisi masyarakat
landasan hidup manusia muslim Indonesia        adakalanya kurang diminati oleh jamaah,
pada khususnya di bidang mental spiritual      sehingga akan melahirkan rasa enggan untuk
keagamaan Islam dalam upaya meningkatkan
366 | Ensiklopedi Islam Nusantara
mengikuti pengajian.                             pemberian nasehat dengan mengungkapkan
                                                 sebab akibat atau baik buruknya suatu
     Materi yang dipelajari dalam pengajian      perbuatan dilakukan, baik itu melalui
mencakup pembacaan Al Quran dan Tajwidnya        penuturan kisah-kisah keadaan umat pada
serta tafsirnya, fiqih serta apa saja yang       masa lalu, melalui pemberian peringatan
dibutuhkan para jamaah misalnya masalah          atau kabar gembira (ancaman/janji), melalui
kewajiban ibu rumah tangga, undang-undang        pelukisan, gambaran surga atau neraka, melalui
perkawinan, dan lain-lain.                       pengungkapan perumpamaan-perumpamaan.
     Penambahan dan pengembangan materi               Ketiga, dialog yang baik. Metode ini
dapat saja terjadi di pengajian melihat semakin  dilaksanakan dengan cara berdialog atau
majunya zaman dan semakin kompleks               bertukar pikiran karena adanya kontradiksi
permasalahan yang sedang aktual dan butuh        keyakinan dengan dakwah, baik perbedaan
penanganan yang tepat di masyarakat. Wujud       pemikiran dengan dakwah atau karena arah
program yang tepat dan aktual sesuai dengan      dakwah yang berlawanan dengan akidah
kebutuhan jamaah itu sendiri merupakan           atau keyakinan mereka. Jadi metode ini
suatu langkah yang baik agar pengajian tidak     dilaksanakan dalam rangka menjernihkan
terkesan kolot dan terbelakang. Pengajian        permasalahan dengan cara pertukaran
salah satu struktur kegiatan dakwah yang         argumen sebagai pemecahan masalah tentunya
berperan penting dalam mencerdaskan umat,        dilandasi dengan dasar-dasar tertentu.
maka selain pelaksanaan secara teratur
dan periodik, juga harus mampu membawa           Ibu rumah tangga dan pengajian
jamaahnya ke arah yang lebih baik dalam
bersikap dan berperilaku di tengah kehidupan          Pendidikan adalah tanggung jawab
masyarakat.                                      bersama antara individu dan masyarakat,
                                                 dan dilaksanakan secara sadar baik dari pihak
Metode pengajian                                 pendidik maupun pihak terdidik. Kesadaran
                                                 itu dibutuhkan untuk mencapai kedewasaan
     Dalam berdakwah dan melakukan               dan kematangan berpikir. Jalan menuju
pengajian, memerlukan cara atau metode agar      kematangan itu dapat dilalui berbagai cara,
materi yang dibawakan menarik dan tidak          antara lain melalui proses pendidikan formal,
monoton. Di tengah penyampaian materi, juga      informal dan non-formal.
perlu diselipkan humor-humor terkini untuk
menyegarkan suasana.                                  Apalagi pengaruh pendidikan agama
                                                 yang memiliki peran yang sangat besar dalam
     Metode sebagai salah satu faktor yang       pembentukan perilaku manusia. Dengan
perlu dipikirkan dan diupayakan secara cermat    pendidikan agama yang kuat, maka akan
dan teliti. Metode yang tidak jelas atau tidak   terbentuk generasi yang mampu bertahan
pas dalam penyampaiannya akan berimbas           dalam perubahan zaman yang kian dinamis.
pada para jamaah, sehingga disini perlu          Pendidikan agama inilah yang harus
dilakukan langkah-langkah kreatif terkait        ditanamkan kepada para ibu-ibu rumah
dengan penerapan metode. Metode yang dapat       tangga agar tidak terpengaruh oleh pergaulan
diterapkan dalam pengajian antara lain yaitu:    dilingkungan yang dapat menjerumuskannya.
     Pertama, Hikmah. Metode ini merupakan            Islam sebagai agama yang menjadi
metode dakwah dari seorang dai sebagai           pedoman hidup bagi manusia mencakup
refleksi dari kemampuannya dalam                 seluruh kehidupan manusia. Di samping
melaksanakan dakwah dengan jitu karena           sebagai pedoman hidup, Islam menurut
pengetahuanya yang tuntas lagi tepat tentang     para pemeluknya juga sebagai ajaran yang
liku-liku dakwah.                                harus didakwahkan dan memberikan
                                                 pemahaman berbagai ajaran yang terkandung
     Kedua, mauidzah khasanah atau nasehat
yang baik. Metode ini diterapkan dengan
                                                 Edisi Budaya | 367
di dalamnya. Sarana yang dapat dilakukan          kegiatan yang bernuansa Islami mendapat
dalam mentransformasikan nilai-nilai agama        perhatian dan dukungan dari masyarakat,
tersebut antara lain melalui aktivitas pengajian  sehingga tercipta insan-insan yang memiliki
yang berfungsi memberikan pemahaman               keseimbangan antara potensi intelektual dan
tentang nilai-nilai ajaran tersebut.              mental spiritual dalam upaya menghadapi
                                                  perubahan zaman yang semakin global dan
     Usaha keaktifan mengikuti pengajian          maju.
dalam membina ibu-ibu rumah tangga sering
dilakukan di luar pendidikan formal yang               Tak jarang dari aktivitas pengajian yang
secara otomatis telah mendukung berbagai          dilakukan oleh ibu-ibu ini memunculkan
teori yang didapat dari pendidikan nonformal,     berbagai program dan langkah nyata
salah satunya adalah penyelenggaraan              pemberdayaan masyarakat, baik di bidang
pengajian ibu-ibu yang kerap dilakukan oleh       agama, pendidikan, kesehatan, wirausaha,
berbagai organisasi perempuan di Indonesia.       pengembangan ekonomi, dan lain-lain. Di titik
                                                  ini, pengajian mempunyai peran vital dalam
     Tujuan utamanya adalah lahirnya ibu-ibu      meningkatkan kualitas hidup masyarakat
rumah tangga yang dinamis serta menjunjung        jika dikelola dengan baik. Melalui lembaga
tinggi nilai-nilai agama. Keberadaan pengajian    pengajian ini, ibu-ibu bisa menggandeng
sebagai salah satu cara pendidikan non-           berbagai elemen untuk meningkatkan peran
formal merupakan salah satu alternatif untuk      pengajian ke arah yang lebih bermanfaat
menangkal pengaruh negatif perkembangan           secara global, baik bagi anggota pengajian dan
globalisasi. Di samping itu, pengajian sebagai    seluruh masyarakat.
tempat pendidikan agama merupakan sarana
efektif untuk membina dan mengembangkan           Sejarah dakwah dan pengajian Wali
ajaran agama Islam dalam upaya membentuk          Songo
manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT.
                                                       Menurut catatan Dinasti Tang China
     Berbagai aktivitas pengajian yang telah      pada abad ke-6 M, jumlah warga Muslim di
dilakukan merupakan proses pendidikan             Nusantara (Indonesia) hanya kisaran ribuan
yang mengarah kepada internalisasi nilai-nilai    orang. Dengan klasifikasi yang beragama
agama sehingga para ibu-ibu rumah tangga          Islam hanya orang Arab, Persia dan China.
mampu merefleksikan tatanan normatif yang         Para penduduk pribumi tidak ada yang mau
mereka pelajari dalam realitas kehidupan          memeluk Islam.
sehari-hari. pengajian adalah wadah
pembentuk jiwa dan kepribadian yang agamis             Bukti sejarah kedua, Marco Polo singgah
yang berfungsi sebagai stabilisator dalam         ke Indonesia pada tahun 1200-an M. Dalam
seluruh gerak aktivitas kehidupan umat Islam      catatannya, komposisi umat beragama di
Indonesia, maka sudah selayaknya kegiatan-        Nusantara masih sama persis dengan catatan
                                                  Dinasti Tang; orang Indonesia tetap tidak mau
                                                  memeluk agama Islam.
                                                       Bukti sejarah ketiga, dalam catatan
                                                  Laksamana Cheng Ho pada tahun 1433 masehi,
                                                  tetap hanya orang asing yang memeluk agama
                                                  Islam. Jika dikalkulasikan dari ketiga catatan
                                                  tersebut, sudah lebih dari 8 abad agama Islam
                                                  tidak diterima orang Indonesia. Agama Islam
                                                  hanya dipeluk segelintir orang asing.
                                                       Dalam sumber lain disebutkan pula
                                                  bahwa sebenarnya Islam masuk Nusantara
                                                  sejak zaman Rasulullah. Yakni berdasarkan
368 | Ensiklopedi Islam Nusantara
literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M      dibasmi. Bahkan budaya dan tradisi lokal
telah ada sebuah perkampungan Arab Islam          itu mereka jadikan “teman akrab” dan media
di pesisir Sumatera (Barus). Kemudian Marco       dakwah agama, selama tidak ada larangan
Polo menyebutkan, saat persinggahannya            dalam nash syariat.
di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak
orang Arab menyebarkan Islam. Begitu pula              Wali Songo belajar bahasa lokal,
Ibnu Bathuthah, pengembara Muslim yang            memperhatikan kebudayaan dan adat, serta
ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345           kesenangan dan kebutuhan masyarakat. Lalu
M menuliskan bahwa Aceh telah tersebar            berusaha menarik simpati mereka. Karena
Madzhab Syafi’i. Tapi baru abad 9 H (abad 15      masyarakat Jawa sangat menyukai kesenian,
M) penduduk pribumi memeluk Islam secara          maka Wali Songo menarik perhatian dengan
massal. Massa itu adalah masa dakwah Wali         kesenian, diantaranya dengan menciptakan
Songo.                                            tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa,
                                                  gamelan dan pertunjukkan wayang dengan
     Para sejarawan dunia angkat tangan saat      lakon Islami. Setelah penduduk tertarik,
diminta menerangkan bagaimana Wali Songo          mereka diajak membaca syahadat, diajari
bisa melakukan mission impossible saat itu:       wudhu, shalat, dan sebagainya.
membalikkan keadaan dalam waktu kurang
dari 50 tahun atau setengah abad, padahal              Wali Songo sangat peka dalam beradaptasi
sudah terbukti 800 tahun lebih bangsa             dan memberikan pengajian, caranya
Nusantara selalu menolak agama Islam.             menanamkan akidah dan syariat sangat
                                                  memperhatikan kondisi masyarakat. Misalnya,
     Berbeda dengan dakwah Islam di Asia          kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-
Barat, Afrika dan Eropa yang dilakukan dengan     hari tertentu setelah kematian keluarga tidak
penaklukan, Wali Songo berdakwah dengan           diharamkan, tapi diisi dengan pembacaan
cara damai. Yakni dengan pendekatan pada          tahlil, doa, dan sedekah. Bahkan Sunan Ampel,
masyarakat pribumi dan akulturasi budaya          yang dikenal sangat hati-hati, menyebut shalat
(integrasi budaya Islam dan budaya lokal).        dengan “sembahyang” (asalnya: sembah dan
Dakwah Wali Songo adalah dakwah kultural.         hyang) dan menamai tempat ibadah dengan
                                                  “langgar” mirip kata sanggar untuk melakukan
     Banyak peninggalan Wali Songo                pengajian sebagai sarana menginternalisasi
menunjukkan, bahwa budaya dan tradisi             nilai-nilai agama Islam.
lokal mereka sepakati sebagai media dakwah.
Hal ini dijelaskan, baik semua atau sebagian,          Bangunan masjid dan langgar pun dibuat
dalam banyak literatur seputar Wali Songo dan     bercorak Jawa dengan genteng bertingkat-
sejarah masuknya Islam di Indonesia.              tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi
                                                  menara dan gapura bercorak Hindu. Selain
     Misalnya dalam Târikhul-Auliyâ’ karya        itu, untuk mendidik calon-calon dai, Wali
KH Bisri Mustofa; Sejarah Kebangkitan Islam       Songo mendirikan pesantren-pesantren yang
dan Perkembangannya di Indonesia karya KH         menurut sebagian Sejarawan mirip padepokan-
Saifuddin Zuhri; Sekitar Wali Songo karya         padepokan orang Hindu dan Budha untuk
Solihin Salam; Kisah Para Wali karya Hariwijaya;  mendidik cantrik dan calon pemimpin agama.
dan Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama
Islam di Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan            Para Sejarawan dunia sepakat bahwa cara
Abu Khalid MA.                                    pendekatan dakwah melalui kebudayaanlah
                                                  yang membuat sukses besar penyebaran Islam
     Dahulu di Indonesia mayoritas                di Indonesia. Namun demikian, mungkin ada
penduduknya beragama Hindu dan Budha,             benarnya bahwa pendekatan dakwah dengan
dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan          kebudayaan itu hanyalah bungkus luarnya
Budha, sehingga budaya dan tradisi lokal saat     saja. Yang benar-benar berbeda dan telah
itu kental diwarnai kedua agama tersebut.         sukses dalam menyebarkan agama Islam saat
Budaya dan tradisi lokal itu oleh Walisongo       itu adalah isi dari dakwah Wali Songo.
tidak dianggap “musuh agama” yang harus
                                                  Edisi Budaya | 369
Setelah berhasil mendirikan pesantren,       kanuragan mumpuni dan berhasil membuat
langgar, maupun masjid, Wali Songo                lawan tak berkutik, Wali Songo tetap tidak
melakukan dakwah melalui pengajian kepada         pernah menyakiti orang yang bermaksud jahat
masyarakat yang telah memeluk Islam. Ajaran       tersebut sehingga mereka pun sadar dengan
agama yang ramah dan meneduhkan membuat           budi pekerti luhur mereka yang pada akhirnya
masyarakat Nusantara saat itu berbondong-         ingin belajar banyak dari para Wali.
bondong ingin mengikuti pengajian yang
dilakukan oleh para Sunan. Tak pelak hal ini           Tak jarang mereka yang selama ini
membuat beberapa kelompok saat itu merasa         bermaksud tidak baik terhadap pengajian
tidak senang sehingga dakwah Wali Songo pun       agama yang dilakukan oleh Wali Songo
kerap kali mendapat intimidasi serius yang tak    akhirnya turut bergabung dan ingin lebih
jarang mengancam jiwa para penduduk dan           dalam lagi mempelajari berbagai ilmu yang
para Sunan itu sendiri.                           dimiliki oleh mereka, terutama mendalami
                                                  ilmu agama Islam yang bersifat luhur dan
     Namun, masalah tersebut selalu bisa          menerima semua kalangan itu. Jadi, dalam
diatasi oleh para Sunan dengan tetap berlaku      kondisi dijahati pun, para Wali tetap berlaku
lemah lembut kepada orang yang ingin berbuat      luhur sebab walau bagaimana pun, kondisi
jahat. Dalam banyak literatur disebutkan, selain  tersebut bisa menjadi sarana dakwah dan
bekal ilmu agama yang komplit, Wali Songo juga    mengembalikan orang pada perbuatan yang
mempunyai kemampuan ilmu kanuragan yang           lebih baik.
digunakan saat diri mereka mendapati bahaya
penyerangan fisik. Meskipun mempunyai ilmu                                                               [Fathoni Ahmad]
                                            Sumber Bacaan
Alawiyah, Tuty. Strategi Dakwah Di Lingkungan Majelis Ta’lim. Bandung: Mirzan, 1997.
Amin, Mansur. Dakwah Islam dan Peran Moral. Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997.
Darajat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Departemen Agama RI. Motivasi Peningkatan Peranan Wanita Menurut Islam. Jakarta, 1994.
Husain, Muh. Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Lentera, 1997.
Mustofa, Bisri. Târikhul-Auliyâ’. Perpustakaan UIN Walisongo Semarang.
Poerwadarminto, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2006.
Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah. Jakarta: IIman. 2012.
Suyuthi, Jalaluddinas. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Wahyudi, Asnan dan Abu Khalid. Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa.
Zein, Muhammad. Metodologi Pendidikan Agama Islam pada Lembaga Non-Formal. Yogyakarta: Sumbangsih, 1997.
Zuhairi, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: Al-Ma’arif, 1979.
370 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Perang Ketupat
Perang Ketupat atau Perang Topat                 prosesi. Sebelum masuk pada inti acara, yakni
        adalah tradisi perang periodik antara    perang ketupat, pada malam hari sebelum
        dua kelompok masyarakat dengan           esoknya dilaksanakan perang ketupat, warga
menggunakan senjata ketupat. Jika perang         sudah mengadakan penimbongan. Penimbongan
lazimnya menggunakan senjata mematikan           adalah tarian-tarian yang dilaksanakan
dan didasari kemarahan, ambisi saling            pada malam hari di tepi Pantai Pasir Kuning,
membinasakan, perang ketupat justru didasari     Tempilang.
kecintaan pada sesama, berlangsung dengan
suka cita, bagian upaya memelihat harmoni,            Tarian yang dipertontonkan bermacam-
dan ungkaoan syukur serta pengharapan            macam. Mulai dari tari seramo, tari serimbang,
berkah pada Yang Maha Kuasa.                     sampai tari kedidi, yakni tarian yang mirip
                                                 burung kedidi. Prosesi penimbongan awalanya
      Di Indonesia, tradisi perang ketupat,      dipimpin oleh seorang Keman atau tokoh
antara lain, ditemukan di Desa Tempilang,        adat. Tokoh tersebut memulai prosesi dengan
Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Ada      membaca mantra dan membakar dupa. Bila
lagi di Badung, Bali. Satu lagi di Lombok, Nusa  abu dupa sudah melambung, hujan turun
Tenggara Barat (NTB). Tradisi perang ketupat     seketika.
di Bali terkait agama Hindu.
                                                      Tujuan penimbongan adalah untuk
      Di Bangka, perang ketupat berkaitan        memberikan makanan kepada makhluk
dengan tradisi pra-Islam yang mengalami          halus yang dipercaya bermukim di darat.
Islamisasi. Adapaun di Lombok, perang            Esok harinya, dilaksanakan tradisi ngancak.
ketupat adalah tradisi bersama antara Islam      Berupa pemberian sesaji kepada makhluk
dan Hindu, sebagai bagian upaya pemeliharaan     halus oleh tiga dukun. Dukun darat, dukun
kerukunan beragama.                              laut, dan dukun senior. Ketiga dukun tersebut
                                                 membacakan doa dan memberikan sesaji
      Perang Ketupat di Bangka, dilaksanakan di  kepada makhluk halus untuk meminta mereka
Tempilang, sebuah desa berjarak 80 kilometer     berdamai dengan warga.
dari Sungailiat, ibu kota Kabupaten Bangka.
Tradisi ini dilaksanakan dua pekan sebelum             Usai acara tersebut, acara inti dimulai.
memasuki bulan Ramadhan atau pada bulan          Dukun darat dan dukun laut berhadapan
Sya’ban. Tepatnya, dilaksanakan pada malam       bersila di tengah medan pertempuran
nishfu Sya’ban pada tanggal 15 Sya’ban ketika    membacakan doa. Setelah itu, dukun laut akan
bulan sedang bersinar terang.                    kerasukan arwah leluhur.
      Masyarakat Tempilang, seperti                   Dukun yang sudah kerasukan arwah akan
masyarakat Jawa, menyebut bulan Sya’ban          diminta untuk memberi sambutan acara.
dengan sebutan Ruwah. Maka itu, perang           Leluhur yang merasuki tubuh salah satu dukun
ketupat di Tempilang sering pula dinamai         tersebut dipercaya ingin menyaksikan acara.
Ruwah Tempilang. Seringpula tradisi ini          Bila sudah begitu, maka dukun satunya lagi
dinamakan sedekah Ruwah dan taber kampung.       yang memberi ceramah.
      Ruwah Tempilang terdiri beberapa                Perang ketupat kemudian dimulai. Sepuluh
                                                 Edisi Budaya | 371
ketupat ditaruh di masing-masing sisi. Sisi laut    tradisi itu sedikit bergeser. Bila sebelumnya
dan darat. Sepuluh pendekar masuk ke dalam          dukun menyajikan sesaji untuk dimakan
arena mengisi masing-masing sisi. Setelah           makhluk halus, sesaji tersebut kini dikonsumsi
dukun mengucapkan sesuatu, maka masing-             oleh warga sekitar secara bersam-sama atau
masing pendekar mengambil ketupat lantas            kenduri.
melemparkan ke lawannya. Sampai situasi
makin memanas, dukun kemudian memberi                     Selain perang ketupat, pada hari itu juga
aba-aba berhenti.                                   dilaksanakan Sedekah Tempilang. Sedekah
                                                    ini dilaksanakan di semua masjid di Desa
     Kedua belah pihak lalu diminta untuk           Tempilang. Sementara untuk perang ketupat
saling bersalaman dan berangkulan,                  dikhususkan di Pantai Pasir Kuning, Bangka.
demi terjaga perdamaian. Beberapa pihak
mengatakan bahwa ketupat yang dilempar                   ***
tersebut sama sekali tidak sakit. Hal itu terjadi,
menurut kerpercayaan warga sekitar, karena               Bila di Bangka, tradisi perang ketupat
telah diberikan doa oleh sang dukun.                telah diwarnai agama Islam, di Bali, perang
                                                    ketupat dilaksanakan oleh pemeluk agama
     Perang ketupat diadakan tiga babak.            Hindu dan dinamakan perang tipat-bantal.
Jumlah pesertanya tidak ada ketentuan pasti.        Perang ketupat di Bali ada yang mengatakan
Yang pasti, jumlah kedua belah pihak yang           sejak tahun 1970-an. Ada yang mengatakan
berperang harus sama. Dan Berhenti ketika           sejak abad ke-13 Masehi. Tidak ada data pasti.
dukun mengatakan selesai.
                                                         Dilaksanakan setiap bulan keempat
     Perang ketupat ini memiliki muatan             penanggalan bali (sasih kapat), antara bulan
spirit perlawanan terhadap penjajah.                September sampai Oktober. Ada dua buah
Pendekar yang menghadap ke laut dan                 jenis ketupat. Ketupat pertama bentuknya
pendekar yang menghadap ke darat adalah             segi empat dari anyaman janur yang berisi
simbol perlawanan penjajah. Pendekar dari           beras atau dinamakan tipat. Ketupat kedua
sisi laut menggambarkan warga lokal yang            adalah bantal, terbuat dari beras ketan yang
melawan penjajah, sementara pendekar di             dibungkus janur dengan bentuk lonjong. Di
sisi darat adalah gambaran Belanda yang             Jawa, sering disebut lepet.
saat itu menjajah. Selain itu, keduanya juga
disimbolkan sebagai hantu atau bajak laut.               Dua bentuk ketupat tersebut
                                                    melambangkan feminin dan maskulin
     Pada acara ini, rumah warga terbuka            semesta alam. Dalam konsep Hindu disebut
untuk umum. Setiap rumah menyajikan                 sebagai Purusha dan Predhana. Pertemuan
ketupat dengan berbagai macam lauk sesuai           tipat dan bantal ini yang kemudian dipercaya
kemampuan masing-masing. Dan pada hari              memberikan kehidupan pada makhluk di
ini, satu-satunya situasi dalam setahun ketika      dunia. Kedua hal ini juga perlambang tumbuh
Bangka dilanda kemacetan.                           berkembanganya tanah, bertelur maupun
                                                    dilahirkan berawal dari pertemuan dua simbol
     Seusai acara perang ketupat, prosesi           maskulin dan feminin.
selanjutnya adalah Taber Kampung. Warga
menyebarkan air ke seluruh penjuru untuk                 Selesai sembahyang di pura, mereka
menjaga dan menambah berkah bagi                    berkumpul dan terbagi dalam dua kelompok.
kehidupan mereka.                                   Masing-masing kelompok diberi tipat dan
                                                    bantal. Tipat dan bantal tersebut nantinya
     Tidak ada catatan pasti sejak kapan perang     digunakan untuk perang. Tradisi ini memiliki
ketupat dimulai. Namun perang ketupat ini           makna bahwa pangan merupakan senjata
telah ada sejak Gunung Krakatau meletus             utama untuk bertahan hidup.
tahun 1883. Orang asli yang mengadakan
acara ini adalah orang Lom.                              Perang ketupat di Bali dilaksanakan di
                                                    Kampung Adat Kapal Kabupaten Badung.
     Seiring masuknya Islam ke tanah Bangka,        Sebelum acara dimulai, peserta perang ketupat
372 | Ensiklopedi Islam Nusantara
terlebih dahulu bersembahyang di Pura. Perang   di kawasan Pura. Bangunan yang berdiri tidak
ketupat diselenggarakan sebagai ungkapan        ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.
warga bersyukur kepada sang pencipta atas
segala rezeki yang telah dilimpahkan. Upacara        Perang Topat adalah salah satu seremoni
ini dilaksanakan setiap hari punama kapat.      bersama umat Hindu dan Islam di Pura
                                                Lingsar. Acara itu merupakan simbol
     ***                                        kerukunan antarumat beragama, khususnya
                                                masyarakat etnis Sasak yang beragama Islam
     Di Lombok, tradisi Perang Topat            dan masyarakat etnis Bali yang memeluk
merupakan warisan budaya turun temurun          agama Hindu.
yang dilakukan sepeninggal penjajahan Bali di
Lombok. Dilakukan dengan cara saling lempar          Tradisi Perang Topat ini digelar setelah
ketupat antara umat Islam dan umat Hindu        panen raya, sebagai ungkapan syukur kepada
Lombok. Kelomp0ok muslim menggunakan            Tuhan dan doa agar musim tanam berikutnya
pakaian adat khas Sasak dan kelompok Hindu      mendapat kesuburan. Perang Topat (ketupat)
mengenakan pakaian khas adat Bali.              berlangsung setahun sekali. Momentumnya
                                                pada saat raraq kembang waru atau gugurnya
     Upacara keagamaan ini dirayakan tiap       bunga waru.
tahun di Pura Lingsar, Kecamatan Narmada,
Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Ini               Perang topat dimulai sejak pukul 15.45
pura terbesar di NTB dengan luas 26 hektar,     dan berakhir ketika matahari terbenam. Seusai
peninggalan kerajaan Karangasem. Perang         Perang Topat, masyarakat biasanya berebutan
topat dilaksanakan bertepatan dengan gugur      membawa pulang ketupat sisa peperangan.
bunga waru atau dalam bahasa Sasaknya “rorok    Ketupat itu ditebarkan di sawah agar tanahnya
kembang waru”, yaitu menjelang tenggelamnya     subur.
sinar matahari sekitar pukul 17.30.
                                                     Malam hari sebelum perang ketupat,
     Pura Lingsar berada di Desa Lingsar,       warga melaksanakan syafaah berupa
Kabupaten Lombok Barat (Lobar). Pura Lingsar    pembacaan surat Al Ikhlas sebanyak seribu
adalah lambang persatuan dan kerukunan          kali. Esok harinya,ketika bunga waru mulai
beragama di Pulau Lombok, antara umat           berguguran (rorok kembang waru) warga
Islam dan umat Hindu. Kedua umat beragama       mulai melaksanakan perang topat. Manfaat
mengelola dan beribadah bersama-sama pada       perang topat antara lain mewujudkan rasa
waktu-waktu tertentu di Pura Lingsar.           syukur kepada sang pencipta, kemudian
                                                menumbuhkan rasa kebersamaan antara suku
     Pura Lingsar dibangun Raja Anak            Sasak yangmuslim dan Bali yang Hindu.
Agung Gede Ngurah tahun 1714. Dia adalah
keturunan Raja Karangasem Bali yang sempat           Tradisi itu berkaitan dengan mata air
berkuasa di sebagian pulau Lombok pada abad     Langser di samping kompleks Pura Lingsar.
ke 17 silam. Pura ini terbagi dua bagian. Di    Nama Lingsar berasal dari mata air Lingsar.
sebelah utara terdapat tempat beribadah umat    Di kalangan masyarakat Lingsar beredar
hindu, yakni pura Gaduh. Di bagian selatan      kepercayaan, mata air itu berasal dari bekas
terdapat bangunan Kemaliq untuk umat Islam      tancapan tongkat Raden Mas Sumilir, penyebar
beribadah dan ritual adat suku Sasak.           agama Islam setempat pada abad ke-15.
     Sebagai lambang pemersatu dua umat              Mata air Langser dapat mengairi lahan
beragama, di Pura ini terdapat aturan yang      pertanian di Lingsar sampai ke wilayah Lombok
harus ditaati para pengunjung dan setiap        Tengah. Petani yang lahannya menerima aliran
orang yang menjalani ritual agama. Salah        dari Langser bisa menanam dan memanen
satunya, tidak boleh menyajikan sesaji dari     padi hingga tiga musim dalam setahun.
babi dan sapi. Babi haram bagi umat Islam, dan
sapi dianggap suci bagi umat Hindu. Kedua            Kegiatan ini sudah menjadi agenda
jenis binatang itu juga tidak boleh dipelihara
                                                Edisi Budaya | 373
pariwisata. Ada pakem, wanita yang sedang    saling lempar antara warga. Ketupat
haid tak boleh mengikuti acara ini.Sehari    kemudian diperebutkan. Ketupat yang belum
sebelumnya ada upacara permulaan kerja atau  dilemparkan tidak boleh dibawa pulang.
penaek gawe. Ada pula acara mendak berupa    Walaupun ketupat itu sudah babak belur,
upacara menjemput tamu agung, terdiri roh    tetap diambil orang, khususnya para petani,
gaib yang dipercaya berkuasa di Gunung       untuk dibawa pulang dan ditaruh di pokjokan
Rinjani dan Gunung Agung. Dinas Pariwisata   pematang sawah, di tanam dalam tanah atau
NTB biasanya menyumbangkan 1.000 ketupat     digantung di pohon buah-buahan. Itu sebagai
untuk perang- perangan itu.                  doa agar tanaman tumbuh subur. ***
     Dimulai dengan lemparan ketupat                                                                  [Asrori S karni]
dari pelempar pertama. Kemudian diikuti
                                            Sumber Bacaan:
Blongkod, Rauda, Studi Komparatif Tradisi Ketupat, Skripsi, Universitas Negeri Gorontalo, 2014.
Chandra, http://www.babelprov.go.id/content/wagub-bangga-terhadap-semangat-perang-ketupat
Dahnur, Heru. http://regional.kompas.com/read/2016/05/28/11491311/ sambut.ramadhan.warga.di.bangka.barat.
         gelar.perang.ketupat
http://news.liputan6.com/read/354400/bersyukur-dengan-perang-tipat-bantal
http://news.liputan6.com/read/354400/bersyukur-dengan-perang-tipat-bantal
http://www.wisatadilombok.com/2013/05/tradisi-lebaran-ketupat-perang-topat-di.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Ketupat
Kelana, Aries, Perang Ketupat di Negeri Sasak, GATRA, 18 Januari 1997
Nursyamsyi, Muhammad, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/12/13/oi4otr382-
         perang-topat-tradisi-kerukunan-umat-islam-dan-hindu-di-lombok
Yudhistira, Cokorda, http://travel.kompas.com/ read/2014/11/06/ 125000027 / Perang.Tak.Bermusuhan
Zainab, Tradisi Perang Ketupat di Desa Tempilang, Bangka, Bangka Belitung, Skripsi, UIN Yogyakarta, 2008
374 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Pesantren
Pesantren yang merupakan “Bapak”                tergantung kepada daya tarik tokoh sentral
        dari pendidikan Islam di Indonesia,     (Kiai atau Guru) yang memimpin, menuruskan
        didirikan karena adanya tuntutan        atau mewarisinya. jika pewaris menguasi
dan kebutuhan zaman. Hal ini bisa dilihat       sepenuhnya baik pengetahuan agama, wibawa,
dari perjalanan sejarah, dimana bila dirunut    ketermpilan mengajar dan kekayaan lainnya
kembali, sesungguhnya pesantren dilahirkan      yang diperlukan. Sebaliknya pesantren akan
atas kesadaran kewajiban dakwah islamiyah,      menjadi mundur atau hilang, jika pewaris
yakni menyebarkan dan mengembangkan             atau keturunan Kiai yang mewarisinya tidak
Ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader    memenuhi persyaratan. Jadi seorang figur
Ulama atau Dai.                                 pesantren memang sangat menentukan dan
                                                benar-benar diperlukan.
      Pesantren sendiri menurut pengertian
dasarnya adalah Tempat Belajar Para Santri.          Biasanya santri yang telah menyelesaikan
Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat      dan diakui telah tamat, diberi izin oleh Kiai
tinggal sederhana yang terbuat dari bambu.      untuk membuka dan mendirikan pesantren
Disamping itu kata “Pondok” juga berasal dari   baru didaerah asalnya. Dengan cara demikian
bahasa Arab “Funduq” yang berarti “Hotel atau   pesantren-pesantren berkembang diberbagai
Asrama”.                                        daerah terutama pedesaan dan pesantren asal
                                                dianggap sebagai pesantren induknya.
      Pembangunan suatu pesantren didorong
oleh kebutuhan masyarakat akan adanya                Pesantren di Indonesia memang
lembaga pendidikan lanjutan. Namun              dan tumbuh berkembang sangat pesat.
demikian, faktor guru yang memenuhi             Berdasarkan laporan pemerintah kolonial
persyaratan keilmuan yang diperlukan akan       belanda, pada abad ke 19 untuk di Jawa
sangat menentukan bagi tumbuhnya suatu          saja terdapat tidak kurang dari 1.853 buah,
pesantren. Pada umumnya berdiri suatu           dengan jumlah santri tidak kurang 16.500
pesantren yang diawali seorang Guru atau Kiai.  orang. Dari jumlah tersebut belum masuk
                                                pesantren-pesantren yang berkembang di luar
      Karena keinginan menuntut dan             jawa terutama di Sumatera dan Kalimantan
memperoleh ilmu dari Guru tersebut, maka        yang suasana kegiatan keagamaanya terkenal
masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah     sangat kuat.
datang kepadanya untuk belajar. Mereka lalu
membangun tempat tingggal yang sederhana        Asal-usul pesantren: berbagai pendapat
disekitar tempat tinggal guru tersebut.
Semakin tinggi ilmu seorang guru tersebut,           Jauh sebelum masa kemerdekaan,
semakin banyak pula orang dari luar daerah      pesantren telah menjadi sistem pendidikan
yang datang untuk mentut ilmu kepadanya         Nusantara. Hampir di seluruh pelosok
dan berarti semakin besar pula pondok dan       Nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan
pesantrennya.                                   Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang
                                                kurang lebih serupa walaupun menggunakan
      Kelangsungan hidup suatu pesantren amat
                                                Edisi Budaya | 375
nama yang berbeda-beda, seperti Meunasah          tentang posisi Arab—khususnya Mekkah dan
di Aceh, Surau di Minangkabau, dan Pesantren      Madinah—sebagai pusat orientasi bagi umat
di Jawa. Namun demikian, secara historis awal     Islam. Ia memberi contoh salah satu tradisi
kemunculan dan asal-usul pesantren masih          kitab kuning di pesantren. Baginya, kitab
menyisakan kontroversi di kalangan para ahli      kuning yang berbahasa Arab merupakan salah
sejarah.                                          satu bukti bahwa asal usul pesantren dari
                                                  tanah Arab. Tentang kitab kuning ini. Lebih
     Banyak penulis sejarah pesantren             lanjut, Bruinessen menulis sebagai berikut:
berpendapat bahwa institusi ini merupakan
lembaga pendidikan Islam hasil adopsi dari luar.       “Tradisi kitab kuning jelas bukan tradisi
Sebut saja Karel A. Steenbrink dan Martin van     dari Indonesia. Semua kitab klasik yang
Bruinessen yang memandang bahwa pesantren         dipelajari di Indonesia berbahasa Arab,
bukanlah lembaga pendidikan Islam tipikal         dan sebagian besar ditulis sebelum Islam
Indonesia. Jika Steenbrink—yang mengutip          tersebar di Indonesia. Demikian juga banyak
dari Soegarda Poerbakawatja—memandang             kitab syarah atas teks klasik yang bukan dari
pesantren diambil dari India, maka Bruinessen     Indonesia (meskipun syarah yang ditulis ulama
berpendapat bahwa pesantren berasal dari          Indonesia makin banyak). Bahkan, pergeseran
Arab. Keduanya memiliki pendapat untuk            perhatian utama dalam tradisi tersebut sejalan
memperkuat pendapatnya masing-masing.             dengan pergeseran serupa yang terjadi di
                                                  sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah
     Ada dua alasan yang dikemukakan              kitab dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi
Steenbrink untuk memperkuat pandangan             tidak ditulis di Indonesia, melainkan di Mekah
bahwa pesantren diadopsi dari India, yaitu        atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh
alasan terminologi dan alasan persamaan           jadi orang Indonesia sendiri).”
bentuk. Menurutnya, secara terminologis,
ada beberapa istilah yang lazim digunakan              Selain bukti tradisi kitab kuning,
di pesantren seperti mengaji dan pondok,          Bruinessen juga menunjukkan bukti lain yang
dua istilah yang bukan dari Arab melainkan        menunjukkan bahwa asal-usul pesantren dari
dari India. Selain itu, sistem pesantren telah    tanah Arab. Menurutnya, pola pendidikan
dipergunakan secara umum untuk pendidikan         pesantren menyerupai pola pendidikan
dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Selain        madrasah dan zāwiyah di Timur Tengah. Jika
Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem dan      madrasah merupakan lembaga pendidikan
istilah-istilah di atas kemudian diambil oleh     Islam di luar masjid, maka zāwiyah merupakan
Islam.                                            lembaga pendidikan Islam yang berbentuk
                                                  lingkaran dan mengambil tempat di sudut-
     Sementara itu, dari segi bentuknya ada       sudut masjid. Kedua lembaga pendidikan Islam
persamaan antara pendidikan Hindu di India        tersebut merupakan tempat belajar para calon
dan pesantren di Jawa. Persamaan bentuk           ulama termasuk yang berasal dari Indonesia.
tersebut terletak pada penyerahan tanah oleh      Mengingat kiai-kiai besar hampir semua
negara bagi kepentingan agama yang terdapat       menyelesaikan tahap akhir pendidikannya
dalam tradisi Hindu. Persamaan lainnya            di pusat-pusat pengajaran Islam terkemuka
terletak pada beberapa hal yaitu seluruh sistem   di tanah Arab, maka pola pendidikan yang
pendidikannya bersifat agama, guru tidak          mereka kenal tersebut dikembangkan di tanah
mendapatkan gaji, penghormatan (ihtirâm)          air dalam bentuk pesantren.
yang besar terhadap guru, dan para siswanya
meminta sumbangan ke luar lingkungan                   Pendapat Steenbrik dan Bruinessen
pesantren.                                        yang menyatakan bahwa asal usul pesantren
                                                  dari India dan Arab, perlu ditelaah kembali
     Sementaraitu,vanBruinessenberpendapat        kebenarannya. Mengingat beberapa istilah
bahwa pesantren yang merupakan lembaga            Jawa yang digunakan di pesantren, pendapat
pendidikan Islam tertua di Indonesia besar        bahwa asal-usul pesantren dari India atau
kemungkinan berasal dari Arab. Alasannya
376 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Arab tidak dapat diterima. Nurcholish Madjid      kitab kuning yang dijadikan sumber belajar
mencatat ada 4 (empat) istilah Jawa yang          di pesantren ditulis oleh penulis Indonesia
dominan digunakan di pesantren, yaitu:            yang belajar dan menjadi syekh di Haramain,
santri, kiai, ngaji, dan njenggoti. Kata santri   seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau,
yang digunakan untuk menunjuk peserta didik       Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Banjar.
di pesantren berasal dari bahasa Jawa cantrik     Dengan demikian, perlu ditelaah kembali jika
yang berarti seseorang yang selalu mengikuti      dikatakan bahwa tradisi kitab kuning sebagai
guru ke mana saja guru pergi dengan tujuan        alasan untuk menyimpulkan bahwa pesantren
untuk mempelajari ilmu yang dimiliki oleh         berasal dari Arab.
sang guru. Istilah lain untuk menunjuk guru
di pesantren adalah kiai yang juga berasal             Hal penting lainnya adalah bahwa
dari bahasa Jawa. Perkataan kiai untuk laki-      penggunaan kitab-kitab berbahasa Arab
laki dan nyai untuk perempuan digunakan           di pesantren tidak dapat dihindari karena
oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya.         Mekkah dan Madinah merupakan kiblat bagi
Kata kiai dan nyai dalam hal ini mengandung       umat Islam Indonesia sejak masuk ke Indonesia
pengertian rasa ihtirām terhadap orang tua.       sampai sekarang ini. Hal ini sebagai petunjuk
                                                  bahwa para kiai dalam mengembangkan Islam
     Demikian juga kata ngaji yang digunakan      di pesantren mengacu kepada model yang
untuk menunjuk kegiatan santri dan kiai di        dicontohkan Rasulullah SAW. Bagi para kiai,
pesantren berasal dari kata aji yang berarti      Rasulullah dipandang sebagai model universal
terhormat dan mahal. Kata ngaji biasanya          yang harus diikuti umat Islam seluruh dunia
disandingkan dengan kata kitab; ngaji             termasuk muslim santri Jawa itu sendiri.
kitab yang berarti kegiatan santri pada saat      Selain Rasulullah Saw, para kiai, dalam
mempelajari kitab yang berbahasa Arab. Oleh       mengembangkan pesantren juga mengacu
karena santri banyak yang belum mengerti          kepada para wali yang berjumlah sembilan di
Bahasa Arab, maka kitab tersebut oleh kiai        Jawa. Bagi para kiai, Walisongo di daerah Jawa
diterjemahkan kata demi kata ke dalam Bahasa      dipandang sebagai model domestik yang perlu
Jawa. Para santri mengikuti dengan cermat         dicontoh untuk pengembangan pendidikan
terjemahan kiainya dan mereka mencatatnya         di pesantren. Ini berarti bahwa pesantren
pada kitab yang dipelajari, yaitu di bawah kata-  merupakan lembaga yang unik di Indonesia,
kata yang diterjemahkan. Kegiatan mencatat        sehingga dapat dianggap sebagai lembaga khas
terjemahan ini di pesantren biasa dikenal         Indonesia.
dengan istilah njenggoti, karena catatan
mereka itu menggantung seperti janggut pada            Pendapat bahwa asal-usul pesantren dari
kata-kata yang diterjemahkan.                     tradisi agama Hindu di India seperti yang
                                                  dikemukakan oleh Steenbrink di atas ternyata
     Alasan lain yang menolak kesimpulan          tidak memiliki alasan yang kuat. Pandangan
bahwa tradisi kitab kuning yang berbahasa         bahwa keberadaan pesantren di Jawa
Arab berasal dari Arab adalah pendapat            terpengaruh oleh tradisi India bisa dipahami.
Mahmud Yunus. Menurutnya, kitab kuning            Namun demikian, hal ini bukan berarti bahwa
yang dijadikan materi ajar utama di pesantren     asal-usul pesantren dari tradisi agama Hindu.
baru terjadi pada tahun 1900-an. Sebelum          Tradisi pesantren sangat berhati-hati terhadap
itu para kiai menulis kitab-kitab dengan          sinkretisme dan senantiasa memperbaharui
tangan mereka yang dijadikan bahan dalam          kembali melalui sembernya sendiri.
pembelajaran di pesantren. Setelah percetakan     Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa
mulai dikenal secara luas di dunia Islam          sumber terpenting bagi Islam tradisional
dan beberapa kitab dicetak secara massal,         Indonesia adalah kota suci Mekah—pusat
mulailah berdiri toko-toko kitab di Indonesia.    orientasi semua dunia Islam. Orientasi kedua
Pada saat itulah, penggunaan kitab-kitab          adalah Madinah—dimana Nabi membangun
kuning di pesantren mulai mengambil peran.        masjid pertama dan wafat. Konsekuensinya
Kemudian, harus diakui bahwa beberapa             adalah, hampir semua pengarang Islam dan
                                                  Edisi Budaya | 377
ulama Indonesia menghabiskan banyak             1. Memakai sistem tradisional yang
waktunya di Mekah, Madinah, dan pusat-
pusat pengajaran di Timur Tengah.               mempunyai  kebebasan    penuh
     Selanjutnya, kapan kemunculan pesantren    dibandingkan dengan sekolah modern,
sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia?
Beberapa sumber tidak menyebutkan secara        sehingga terjadi hubungan dua arah
gamblang tentang kemunculan pesantren
di Indonesia. Namun demikian, dari hasil        antara santri dan kiai
pendataan yang dilakukan oleh Departemen
Agama (sekarang Kementerian Agama)              2. Kehidupan di pesantren menampakkan
pada tahun 1984-1985 diperoleh informasi             semangat demokrasi karena mereka
bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah           praktis berkerja sama mengatasi problem
Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan Madura,         nonkurikuler mereka.
yang didirikan pada tahun 1062. Informasi ini
dibantah oleh Mastuhu dengan alasan bahwa       3. Para santri tidak mengidap penyakit
sebelum adanya Pesantren Jan Tanpes II,              simbolis, yaitu perolehan gelar atau
tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang             ijazah, karena sebagian besar pesantren
lebih tua, dan dalam buku Kementerian Agama          tidak mengelurkan ijazah.
tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa
tahun pendiriannya. Jadi, mungkin mereka        4. Sistem pondok pesanten mengutamakan
memiliki usia yang lebih tua. Selain itu,            kesederhanaan, idealisme, persaudaraan,
Mastuhu menduga bahwa pesantren didirikan            persamaan, rasa percaya diri, dan
setelah Islam masuk ke Indonesia.                    keberanian hidup.
     Temuan Departemen Agama tentang            5. Alumni pondok pesantren tidak ingin
keberadaan pesantren tertua di Indonesia di          menduduki jabatan pemerintahan,
atas juga ditolak oleh Martin van Bruinessen.        sehingga mereka hampir tidak dapa
Menurut Bruinessen, Pesantren Tegalsari              dikuasai oleh pemerintah.
(salah satu desa di Ponorogo, Jawa Timur)
merupakan pesantren tertua di Indonesia         Ciri khas pesantren
yang didirikan pada tahun 1742 M. Sepanjang
penelitiannya, Bruinessen tidak menemukan            Sementara itu yang menjadi ciri khas
bukti yang jelas adanya pesantren (pada abad    pesantren dan sekaligus menujukan unsur-
ke-19) sebelum berdirinya pesantren Tegalsari.  unsur pokoknya, yang membedakannya
Bahkan, sebelum abad ke-20 belum ada            dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu:
lembaga semacam pesantren di Kalimantan,
Sulawesi, dan Lombok. Pada umumnya, pada        1. Pondok: merupakan tempat tinggal kiai
tahun-tahun sebelum abad ke-20, kegiatan             bersama para santrinya. Adanya pondok
pendidikan Islam di Jawa, Banten, dan luar           sebagai tempat tingggal bersama antara
Jawa masih berbentuk informal dengan pusat           kiai dengan para santrinya dan bekerja
kegiatannya di mesjid.                               sama untuk memenuhi kebutuhan hidup
                                                     sehari-hari merupakan pembeda dengan
Mekanisme pesantren                                  lembaga pendidikan yang belangsung di
                                                     mesjid atau langgar (mushola).
     Dalam mekanisme kerjanya, sistem yang
ditampilkan pondok pesantren mempunyai          2. Adanya Mesjid: sebagai pusat kegiatan
keunikan dibandingkan dengan sistem yang             ibadah dan belajar mengajar. Mesjid
diterapkan dalam pendidikan pada umumnya,            yang merupakan unsur pokok kedua dari
di antaranya yaitu:                                  pesantren, disamping berfungsi sebagai
                                                     tempat unuk melakukan sholat berjamaah
                                                     setiap waktu shalat, juga berfungsi sebagai
                                                     tempat belajar- mengajar.
                                                3. Santri: merupakan unsur pokok dari
                                                     sebuah pesantren, biasanya terdiri dari
                                                     dua kelompok, yaitu: santri mukim, ialah
                                                     santri yang berasal dari daerah yang jauh
378 | Ensiklopedi Islam Nusantara
dan menetap dalam pondok pesantren;        tersebut satu persatu, sehingga setiap santri
     santri kalong, ialah santri-santri yang    menguasinya.
     berasal dari daerah-daerah sekitar
     pesantren dan biasanya mereka tidak             Metode Bandongan atau Halaqah dan
     menetap dalam pesantren. Mereka pulang     sering juga disebut Wetonan, yaitu para santri
     ke rumah masing-masing setiap selesai      duduk disekitar kiai dengan membentuk
     mengikuti suatu pelajaran di peantren.     lingkaran, dengan cara bandongan ini, kiai
                                                mangajarkan kitab tertentu pada sekelompok
4. Kiai: merupakan tokoh sentral dalam          santri. Karena itu metode ini biasa juga
     pesantren yang memberikan pengajaran.      dikatakan sebagai proses belajar mengaji
     Karena itu, kiai adalah salah satu unsur   secara kolektif. Baik kiai maupun santri dalam
     yang paling dominan dalam kehidupan        halaqah memegang kitab masing-masing.
     suatu pesantren. Kemasyhuran,
     perkembangan dan kelangsungan                   Kiai membacakan teks kitab, kemudian
     kehidupan suatu pesantren banyak           menerjemahkannya kata demi kata, dan
     bergantung pada keahlian dan kedalaman     menerangkan maksudnya. Santri menyimak
     ilmu, kharismatik dan wibawa, serta        kitabnya masing-masing dan mendengarkan
     keterampilan kiai yang bersangkutan        dengan seksama terjemahan dan penjelasan-
     dalam mengelola pesantrennya.              penjelasan kiai. Kemudian santri mengulang
                                                dan mempelajari kembali secara mandiri.
5. Kitab-kitab Islam klasik (Thurats): populer
     disebut kitab kuning. Unsur pokok ini           Perkembagan berikutnya, disamping tetap
     cukup membedakan pesantren dengan          mempertahankan sistem ketradisionalannya,
     lembaga pendidikan lainnya adalah          pesantren juga mengembangkan dan mengelola
     bahwa pada pesaantren diajarkan kitab-     sistem pendidikan madrasah. Begitu pula,
     kitab klasik yang dikarang para ulama      untuk mencapai tujuan bahwa nantinya para
     terdahulu, mengenai berbagai macam         santri mampu hidup mandiri, kebanyakan
     ilmu pengetahuan agama Islam dan           saat ini pesantren juga memasukkan pelajaran
     bahasa Arab.                               keterampilan dan pengetahuan umum.
Sistem Pengajaran di Pesantren                       Pada sebagian pondok, sistem
                                                penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran
     Sejarah perkembangan pondok pesantren      makin lama makin berubah karena
memiliki model-model pengajaran yang            dipengaruhi oleh perkembangan kebijakan
bersifat nonklasikal, yaitu model sistem        pendidikan di tanah air serta tuntutan dari
pendidikan dengan menggunakan metode            masyarakat di lingkungan pondok pesantren
pengajaran sorogan dan wetonan atau             itu sendiri. Kemudian sebagian pondok lagi
bandongan (menurut istilah dari Jawa Barat).    tetap mempertahankan sistem pendidikan
                                                yang lama (salaf).
     Sorogan, disebut juga sebagai cara
mengajar per kepala, yaitu setiap santri             Secara garis besar, pesantren sekarang ini
mendapat kesempatan tersendiri untuk            dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
memperoleh pembelajaran seara langsung
dari Kiai. Dengan cara sorogan ini, pelajaran   1. Pesantren Tradisional (Salafiyah): yaitu
diberikan oleh pembantu Kiai yang                    pesantren yang masih mempertahankan
disebut “Badal”. Mula-mula Badal tersebut            sistem pengajaran tradisional, dengan
membacakan matan kitab yang tertulis dalam           materi pengbajaran kitab-kitab klasik
bahasa Arab. Kemudian menerjemahkan                  yang sering disebut kitab kuning. Di
kata demi kata ke dalam bahasa daerah, dan           antara pesantren ini ada yang mengelola
menerangkan maksudnya. Setelah itu santri            madrasah, bahkan juga sekolah-sekolah
disuruh membaca dan mengulangi pelajaran             umum mulai tingkat dasar dan menengah,
                                                     dan ada pula pesantren-pesantren besar
                                                     yang sampai keperguruan tinggi. Murid-
                                                     murid dan mahasiswa diperbolehkan
                                                Edisi Budaya | 379
Suasana Pesantren Termas       Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi
              Pacitan Jawa Timur             menonjol, bahkan ada yang cuma sekedar
                                             pelengkap, tetapi berubah menjadi mata
     tinggal di pondok atau di luar, tetapi  pelajaran atau bidang studi. Begitu juga
     mereka diwajibkan mengikuti pengajaran  dengan sistem yang diterapkan, seperti
     kitab-kitab dengan cara sorogan maupun  cara sorogan dan bandongan mulai
     bandongan, sesuai dengan tingkatan      berubah menjadi individual dalam hal
     masing-masing. Guru-guru pada           belajar dan kuliah secara umum, atau
     madrasah atau sekolah pada umumnya      Stadium General. Kemudian dalam
     mengikuti pengajian kitab-kitab pada    pertumbuhan dan perkembangannya
     perguruan tinggi.                       seiring dengan perkembangan zaman,
                                             tidak sedikit pesantren kecil yang berubah
2. Pesantren Moderen (Khalafiyah):           menjadi madrasah atau sekolah, atau
     merupakan pesantren yang berusaha       karena kiai yang menjadi tokoh sentral
     mengintegrasikan secara penuh sistem    meninggal dunia.
     klasikal dan sekolah ke dalam pondok
     pesantren. Semua santri yang masuk                                                     [Fathoni Ahmad]
     pondok terbagi dalam tingkatan kelas.
                                             Sumber Bacaan
Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan NU. Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994).
Bruinesses, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia.
          Jakarta: LP3ES, 2011.
Nordholt, Henk Schulte, dkk. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2013.
Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES, 1986.
Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah. Jakarta: IIman. 2012.
Vlekke, Bernard H.M. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010.
Wahid, Abdurrahman. Islam, the State and Development in Indonesia, Jakarta: LIPI, 1980.
_________________. Asal-Usul Tradisi Keilmuan Pesantren, dalam Jurnal Pesantren, edisi Oktober-Desember, 1984.
_________________. Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur. Yogyakarta: LKiS. 2012.
_________________. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2007.
Yusqi, M. Isom, dkk. Mengenal Konsep Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka STAINU, 2015.
380 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Petilasan
Masyarakat secara khusus Jawa, cukup            nuansanya pun, bagi orang-orang yang gemar
            familiar dengan istilah petilasan.  bertirakat petilasan adalah lokasi yang cocok
            Kata ini merujuk pada “tilas” atau  untuk mengambil/menyerap energi positif.
bekas. Suatu tempat yang pernah di datangi      Tempat tersebut menjadi sakral-suci sehingga
atau ditinggali oleh seseorang yang memunyai    perlu dijaga dari hal-hal yang menjauhkan dari
jasa besar bagi kehidupan. Dalam konteks ini    makna sesungguhnya.
seseorang yang pernah tinggal dan mendatangi
suatu tempat merupakan orang penting. Dan            Dalam alam pikiran yang logis saat ini,
karena itu terutama di tanah Jawa, tercatat     petilasan dapat dipahami sebagai tempat
cukup banyak petilasan yang pernah di tinggali  bersejarah yang patut untuk dijaga dan
atau didatangi. Karena petilasan tersebut       dilestarikan. Dengan begitu, ada makna
pernah ditinggali oleh orang penting maka       tersirat dari sebuah petilasan untuk dapat
dalam perkembangannya orang memandang           menjadi “tetenger” atau penanda (tanda)
bahwa lokasi tersebut wajib untuk dihormati     bahwa generasi sekarang tidak saja menikmati
dan dijaga. Walaupun begitu, ada saja orang     suasana fisik namun menangkap makna
yang menggunakannya sebagai tempat untuk        historis dari tempat dimana peristiwa tersebut
mencari sesuatu. Meminta sesuatu secara         terjadi. Hal ini penting, karena melihat laju
instan, yang pada akhirnya menjadikan           perkembangan zaman saat ini sepertinya
petilasan tersebut mengalami pergeseran         menjauhkan diri dari apa yang dinamakan
makna sesungguhnya. Perkembangan ini            “eling”. Eling atau ingat pada diri dan orang
tidak lepas dari pengaruh budaya materi         lain. “Eling”, karena dengan eling setiap
yang kian mendesak manusia, sehingga pada       manusia dapat menemukan jati diri. Yaitu jati
kenyataannya mengharapkan sesuatu secara        diri sebuah bangsa yang dilatarbelakangi oleh
instan. Sejatinya petilasan bukan dimaksudkan   sebuah nilai (value) perjuangan.
untuk itu, melainkan menjadi tempat untuk
dapat diingat bagi generasi tersebut, bahwa di  Petilasan, Batu tulis dan Makam
tempat itu pernah terjadi peristiwa penting.
                                                     Petilasan merupakan salah satu dari
      Dalam hal mistik, petilasan cukup banyak  peninggalan sejarah dan budaya Nusantara
mengandung penafsiran, yaitu tempat-            selain batu bertulis dan makam. Batu Bertulis
tempat/petilasan yang pernah didatangi oleh     merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan
orang penting mengandung energi positif         kuno ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Di
bagi seseorang yang bisa merasakannya.          Nusantara, kebanyakan batu-batu ini dibuat
Paling mudah adalah dengan merasakan            pada masing-masing zaman kerajaan. Batu
suasana dan kesejukan hati disaat berada di     diambil dari batu kali yang besar dan kokoh
petilasan tersebut selama beberapa menit.       (agar awet tak lekang perubahan zaman) dan
Mengapa energi tersebut positif? Biasanya       ditulis mengenai kejayaan dan kebesaran raja
orang penting tersebut memunyai kesaktian       atau kerajaan. Contohnya Prasasti Batu Tulis
yang mana menurut paranormal diyakini           Bogor. Dahulu wilayah batu tulis merupakan
masih berada di petilasan tersebut. Selain      pusat kerajaan Padjajaran. Dibuat oleh Prabu
                                                Edisi Budaya | 381
Surawisesa untuk mengenang kejayaan             sosial, daya tarik mereka tidak hanya terbatas
ayahandanya Prabu Siliwangi dan kebesaran       ketika mereka masih hidup di dunia ini, di
kerajaan Padjajaran, Batu Tulis Ciarunteun,     alam barzakh pun dampak kontribusi mereka
Ciampea, Bogor. Yang menuliskan kebesaran       tetap signifikan bagi pemberian spirit baru,
Raja Purnawarman dengan kerajaannya             baik berupa spirit perjuangan, keagamaan,
Tarumanegara.                                   kehidupan maupun spirit moralitas. Indikasi ini
                                                bisa dilihat misalnya, daya tarik aura magnetik
     Sedangkan makam baru ditemui pada          di kalangan komunitas para wali sanga yang
zaman kerajaan modern. Makam merupakan          telah ratusan tahun dimakamkan di kawasan
tempat dikuburkannya seseorang yang             pulau Jawa ini. Rentang waktu lamanya
telah meninggal dunia. Pemakaman yang           pemakaman para tokoh Islam tersebut dalam
telah ratusan tahun, biasanya banyak yang       realitasnya tidak mempengaruhi surutnya
berziarah. Contoh: Makam keluarga kerajaan      motivasi para peziarah yang berdatangan di
Riau di P.Penyengat, Tanjung Pinang, Kepri.     tempat itu.
     Namun ada juga yang sering menyebut             Dalam perspektif sosiologis motivasi
sebagai petilasan Makam. Istilah makam,         ziarah itu adakalanya untuk membangkitkan
sebagaimana layaknya yang dipahami              semangat perjuangan keagamaan, meneladani
masyarakat adalah tempat pemakaman atau         nilai-nilai moralitas dan spiritualitas.
peristirahatan manusia yang telah dipanggil     Sementara itu secara teologis berfungsi
oleh Allah untuk memenuhi iradah dan            mengingatkan para peziarah terhadap
taqdir-Nya. Hampir di setiap komunitas          kematian. Tentu saja karena kesucian tokoh-
masyarakat di mana saja berada, maqbarah        tokoh yang didatangi, tempat itu diyakini
(tempat pemakaman) selalu disediakan oleh       mengandung nilai berkah yang secara
masyarakat setempat. Hal ini, karena mereka     langsung berpengaruh dalam kehidupan
menyadari bahwa semua manusia yang hidup        mereka. Adakalanya nilai berkah itu berupa
di dunia ini akan mengalami dan merasakan       ketenangan, kemudahan hidup dan rizki
kematian dan akan diperistirahatkan di          yang melimpah. Hal ini bagi peziarah yang
makam. Melalui kematian inilah, manusia         memahami agama secara mendalam dianggap
memasuki fase kedua yang disebut dengan         sebagai akibat dan bukan sebagai tujuan.
alam barzakh, alam penantian untuk memasuki     Sebagai akibat, ia tidak akan mempengaruhi
alam akhirat. Secara fisik, manusia yang telah  tujuan utama ajaran ziarah. Hanya saja
mengalami kematian ini akan berpisah dengan     tidak menutup kemungkinan akibat-akibat
kehidupan manusia yang berada di alam dunia,    langsung yang juga dirasakan oleh peziarah
namun secara psikis, jiwanya masih sanggup      awam perlu memperoleh penjelasan secara
berkomunikasi dengan kehidupan manusia di       teologis maupun sosiologis hikmah ziarah
dunia fana ini.                                 kubur tersebut.
     Keberadaan manusia, dengan ilmunya              Motivasi sekunder inilah, tidak jarang
yang bermanfaat, amal saleh dan moralitasnya    membuat masyarakat awam, baik shari’ah
yang mulia di hadapan sesama, membuatnya        maupun aqidahnya mengalami bias teologis.
akan dikenang selamanya oleh masyarakat         Ziarah kubur hanya dimaknai untuk
manusia. Sebaliknya bagi manusia yang           kepentingan sekunder atau jangka pendek.
hidupnya tidak memiliki arti dan peran sosial   Pemahaman ajaran ziarah kubur, baik secara
apa-apa, keberadaannya akan terputus begitu     sosiologis maupun teologis telah mengalami
saja setelah ia mengalami kematian. Di sinilah  reduksi makna. Namun demikian keyakinan
garis batas yang membedakan antara manusia      sejenis juga tidak tiba-tiba muncul di tempat-
yang şaleh, muslih, suci dan manusia yang       tempat makam umumnya. Keyakinan mereka
taleh (jelek) yang tidak punya kontribusi apa-  seperti itu hanya muncul di beberapa tempat
apa di dunianya.                                makam khusus, yaitu makam orang saleh
                                                individual (vertikal) dan sosialnya (horisantal).
     Bagi manusia yang saleh individu maupun
382 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Tidak hanya itu beberapa makam para                  Petilasan Sunan Kalijaga di Cirebon.
ulama dan tokoh yang memiliki kontribusi
sosial dalam mengembangkan ajaran agama,                        Sumber: http://akucintanusantaraku.blogspot.co.id/2014/01/
meluruskan moralitas dan membentengi
budaya dan peradaban dari berbagai              sebagai situs petilasan. Hening, meditasi,
kemungkinan perilaku sesat, juga akan           mengenal diri merupakan hal biasa dilakukan
memperoleh penghargaan dan penghormatan         sejak turun – temurun manusia di bumi
sosial serupa. Jangankan makam seorang          Nusantara. Di suatu wilayah yang leluhur-
bangsawan yang telah banyak berjasa kepada      leluhur bangsa ini mendapatkan makna atau
bangsa, masyarakat maupun agamanya.             pengetahuan hasil dari heningnya, kemudian
Dalam cerita, makam seorang dukun bayi pun,     mereka menandai dengan batu sederhana.
karena keikhlasan dalam menjalankan tugas-
tugas sosial semasa hidupnya, makam dukun            Perlu diketahui bahwa situs petilasan
bayi tersebut juga tidak surut dari kunjungan   bukanlah makam. Karena sekarang sering
masyarakat, karena dimitoskan akan nilai        ditemui banyaknya situs petilasan yang
berkahnya.                                      dibenahi, namun dengan di rubah bentuk
                                                seperti makam/tempat orang dikubur. Ada
     Singkatnya, daya tarik mereka di tengah    juga petilasan yang berbentuk patung-patung
masyarakat adalah karena aura atau energi       batu. Merupakan simbol dari leluhur itu
yang memancar dari perilaku mereka sendiri      sendiri. Karena situs petilasan sejak dahulu
di masa hidupnya. Pemitosan, pelegendaan,       merupakan tempat meditasi atau hening, maka
pengkultusan, pensakralan, pensucian            sampai sekarang fungsinya masih dijalankan.
hingga pada bentuk pencitraan positif yang      Contoh Situs petilasan Surya Kencana di G.
bermacam-macam menurut versi dan istilah        Bunder, Bogor, Petilasan permaisuri Prabu
yang muncul dari masyarakat, juga karena        Siliwangi di tengah lingkungan Kebun Raya
aura kesucian yang selalu memancar dari         Bogor, Puser Jawa, G. Ketep di Magelang Jawa
jiwanya. Daya tarik ini tidak bisa dibuat-buat  Tengah, Petilasan empat orang terdekat prabu
dan direkayasa. Dalam sejarah para peziarah,    Siliwangi (mahaguru, pengawal dan emban),
belum pernah dijumpai di antara mereka yang     yang masih berlokasi di wilayah batu tulis
sengaja mendatangi makam yang hampa dari        Bogor.
kenangan-kenangan historis, baik kenangan
teologis maupun sosiologis. Demikian juga
para peziarah objek wisata ritual Gunung Kawi.
     Adapun, situs petilasan itu sendiri
lebih luas daripada makam. Situs petilasan
merupakan tanda dimana leluhur-leluhur
besar bangsa ini pernah menginjakkan kaki
dan mendapat makna atau pengetahuan luhur
di wilayah tersebut. Beberapa bentuk situs
petilasan Lingga-Yoni. Lingga merupakan batu
panjang seperti huruf Alif, dipancang tegak di
suatu wilayah. Lingga berarti makna kebenaran
sejati, jalan lurus, yang telah dimaknai oleh
leluhur yang memancangnya. Terkadang di
wilayah Lingga, juga terdapat Yoni. Lingga-
Yoni merupakan makna keseimbangan langit
dan bumi. Keselarasan feminim dan maskulin.
Contoh: Lingga-Yoni terdapat di wilayah Batu
Tulis Bogor dan Candi Sukuh di G.Lawu. Batu
kecil yang dipancang sederhana, disebut juga
                                                Edisi Budaya | 383
Petilasan dan Mistiknya Sebagai Folklor          sebagai pembentuk solidaritas sosial. Kadang-
                                                 kadang penyelenggaraan folklor berkaitan
     Kebudayaan adalah keseluruhan sistem        dengan ritual mistik. Tujuannya adalah untuk
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia        memeperoleh ketentraman hidup.
dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik manusia dengan belajar. Salah         Laku nenepi di makam Panembahan
satu unsur kebudayaan adalah sistem religi       Senopati bertujuan untuk ngalap berkah
yang di dalamnya terkandung agama dan            atau memohon berkah. Berkah yang ingin
kepercayaan. Menurut Tylor, mengenai budaya      didapat dari pelaku nenepi diantaranya
sebagai berikut “Budaya atau peradaban           yaitu, keberhasilan dalam usaha, menambah
adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari      kekayaan, dan memohon keselamatan.
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,    Menurut Bascom fungsi- fungsi folklor adalah:
adat istiadat, serta kemampuan-kemampuan         1) Sebagai sistem proyeksi (projective system),
dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia     yakni sebagai alat pencermin angan-angan
sebagai anggota masyarakat.”                     suatu kolektif, 2) sebagai alat pengesahan
                                                 pranata-pranata dan lembaga kebudayaan-
     Biasanya keyakinan akan kekeramatan         kebudayaan, c) sebagai alat pendidikan
situs petilasan diwariskan secara lisan serikut  anak (pedagogical device), dan d) sebagai alat
legenda atau cerita-cerita mistisnya. Cerita     pemaksa dan pengawas agar norma-norma
lisan tersebut dalam ilmu budaya dikena          masyarakat akan selalu dipatuhi anggota
folklor sebagai bagian dari budaya. Danandjaya   kolektifnya. Fungsi folklor tradisi laku nenepi
menyatakan bahwa “kata folklor adalah            makam Panembahan Senopati yaitu, sebagai
pengindonesiaan kata Inggris folklore. Kata itu  sarana pengembangan budaya yang telah
adalah kata majemuk, yang berasal dari dua       menjadi warisan leluhur. Salah satu folklor yang
kata dasar folk dan lore.” Menurut Danandjaya    masih dilestarikan oleh masyarakat berupa
budaya yang diwariskan secara lisan atau         tradisi laku nenepi di Petilasan Panembahan
melalui suatu contoh yang disertai dengan        Senapati, Kotagede, Bantul, Daerah Istimewa
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat       Yogyakarta.
(mnemoniac device)…., folklor adalah sebagian
kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan          Orang Jawa percaya bahwa jasad
diwariskan secara turun temurun, di antara       leluhur patut mendapat penghormatan dari
kolektif macam apa saja, secara tradisional      keturunannya atau ahli warisnya. Leluhur
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk      dipercaya masih terus menyertai kita dan
lisan maupun contoh yang disertai dengan         dapat dimintai pertolongan. Diungkapkan
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (     Koentjaraningrat bahwa “makam nenek
mnemoniac device).                               moyang adalah tempat melakukan kontak
                                                 dengan keluarga yang masih hidup, dan
     Seperti di suatu situs petilasannya         dimana keturunannya melakukan hubungan
Panembagan Senopati yang pernah melalukan        secara simbolik dengan roh orang yang
Laku nenepi. Tradisi laku nenepi telah turun     sudah meninggal”. Koentjaraningrat juga
temurun menjadi tradisi bagi masyarakat          menambahkan Keberadaan dan kedudukan
pendukungnya. Diwariskan oleh leluhur            suatu makam atau petilasan masih dianggap
mereka secara lisan, sehingga diteruskan         sebagai tempat yang keramat sehingga sering
masyarakat pendukungnya sesuai tradisi yang      dikunjungi oleh peziarah untuk memohon
sudah ada pada sebelumnya. Laku nenepi makam     doa restu, terutama bila seseorang akan
Panembahan Senopati merupakan folklor            menghadapi tugas yang berat, akan bepergian
yang sampai sekarang keberadaannya masih         jauh, atau bila ada keinginan yang sangat besar
diakui masyarakat pendukungnya. Purwadi          untuk memperoleh sesuatu.
menyatakan bahwa …folklor dilestarikan oleh
masyarakat pendukungnya dengan sukarela               Dalam kesehariannya, manusia Jawa
dan penuh semangat, tanpa ada paksaan. Di        sangat menghormati nenek moyangnya.
banyak tempat petilasan, folklor berfungsi       Koentjaraningrat menegaskan bahwa orang
384 | Ensiklopedi Islam Nusantara
yang sudah meninggal dapat dihubungi oleh       Mutlak, suatu upaya yang mencerminkan
kerabat serta keturunannya setiap saat jika     hasrat jiwa manusia yang ingin mengenal
diperlukan. Penghormatan dapat berupa           dan mendapatkan kesadaran langsung dari
pemberian sesaji tertentu yang berupa           kebenaran mutlak. Mistik merupakan wacana
makanan, jajan pasar, buah-buahan, minuman      budaya yang bertujuan untuk mendekatkan
kegemaran pada waktu masih hidup yang           diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Istilah
diletakkan di suatu tempat khusus di dalam      mistik dalam dunia Jawa pada dasarnya
rumah. Selain itu dengan penghormatan           merujuk pada wacana budaya spiritual yang
terhadap makam, manusia Jawa dapat              dianut oleh sebagian masyarakat Jawa. Mistik
memberi penghormatan dengan cara                sebagai pengetahuan yang mempengaruhi
memberikan taburan bunga yang biasanya          pola pikir manusia pada akhirnya akan muncul
berupa bunga mawar, melati, kanthil, dan        dalam bentuk budaya. Mistik merupakan suatu
kenanga. Selain memberikan bunga, ada juga      yang universal (hampir dipastikan di negara
yang menyiramkan air kelapa muda di atas        manapun mempunyai keyakinan dalam bentuk
pusara atau petilasan, ada yang membakar        mistik) dan seringkali merupakan suatu hal di
kemenyan atau dupa yang dapat menyebarkan       luar kebiasaan manusia pada umumnya atau
bau harum. Aroma harum dipercaya dapat          sebaliknya kemudian justru menjadi kebiasaan
menyenangkan leluhur. Selain dipercaya          manusia. Bagi para pendukung mistik kejawen
memberi kesenangan pada arwah leluhur,          kebiasaan yang sudah ada sejak dahulu
bunga, air, dan dupa atau kemenyan ini juga     sampai sekarang masih dilaksanakan untuk
berfungsi sebagai sarana untuk meminta          memperoleh ketentraman batin.
berkah. Karena itu, situs petilasan dipercayai
memiliki kekuatan mistik yang dimitoskan             Koentjaraningrat menegaskan Menurut
secara turun temurun.                           pandangan hidup ilmu mistik, kehidupan
                                                manusia merupakan bagian dari alam semesta
     Mistik adalah upaya untuk mendekatkan      secara keseluruhan dan hanya merupakan
diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan          bagian yang sangat kecil dari kehidupan
perantara memuja roh dan kekuatan lain yang     semesta yang abadi. Kehidupan manusia itu
dapat mendatangkan keselamatan hidup.           diibaratkan mampir ngombe di dunia dalam
Stange menyatakan bahwa Mistik merupakan        rangka perjalanan panjang untuk mencapai
fenomena psikis dan gaib yang mengacu           tujuan akhir, yakni bersatu dengan Tuhan.
pada kebatinan, spiritual dalam pengalaman
religius, atau mengacu pada kepercayaan dalam        Seperti Laku nenepi adalah laku mistik
aktivitas hidup, berkaitan dengan praktek-      atau jalan spiritual yang dikenal dengan laku
praktek yang berakar pada tradisi kearifan      tarekat dan hakikat untuk mencapai makrifat
spiritual pribumi yang sudah tua usianya.       dengan hubungan langsung dengan Tuhan”.
                                                Laku nenepi biasa disebut dengan semedi
     Kepercayaan merupakan paham yang           (berkontemplasi). Semedi memang melibatkan
secara keseluruhan dalam adat istiadat          rasa yang dinamakan rasa sejati yang dapat
sehari-hari dari berbagai suku bangsa yang      dicapai melalui diam, menjernihkan pikiran,
percaya dengan nenek moyang. Menurut            merenung atau mawas diri dan suwung.
Endraswara, kepercayaan sumbernya menuju        Langkah inilah yang disebut semedi sehingga
kepada Tuhan Yang Maha Esa, adapun pelaku       mampu menemukan Tuhan di dalam hatinya.
budaya itu yang berusaha untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan. Kepercayaan bahwa            Situs Petilasan bagi Islam Nusantara
pengetahuan tentang hakikat Tuhan dengan
melalui kesadaran spiritual yang dilakukan           Dalam Islam Nusantara, situs petilasan
para pelaku ritual mistik untuk mendapatkan     memiliki unsur yang penting melengkapi
kemuliaan dari Tuhan.                           peninggalan-peninggalan Islam lainnya.
                                                Sebagai peninggalan fisik, petilasan dapat
     Dari beberapa pendapat, mistik juga        dikaji dengan ilmu arkeologi. Arkeologi
dapat diartikan sebagai cinta kepada Yang
                                                Edisi Budaya | 385
merupakan suatu ilmu yang mempelajari                                     Dengan demikian, studi arkeologi menjadi
kebudayaan manusia melalui material artifak                          salah satu wahana pokok untuk menemukan
yang ditemukan berdasarkan peninggalan                               peradaban yang mungkin telah terkubur
manusia di masa lampau. Kalau dulu, arkeologi                        selama berabad-abad. Untuk itu, arkeologi
didasarkan pada peninggalan fisik yang                               tidak bisa diartikan secara sempit hanya sebagai
tertinggal dengan penggunaan metode secara                           metode inventarisasi belaka. Studi arkeologi
teoritis dan filosofis. Sebagian besar, ilmu                         harus mengemban makna pokok, perumusan
ini termasuk dalam hubungan manusia dan                              kebudayaan dan penulisan sejarah, seperti
masih termasuk di dalam ilmu Antropologi.                            yang dikatakan ahli teori arkeologi Stuart
Bagian lain dari antropologi mendukung                               Piggot, “seorang penggali arkeologi tidak
penemuan arkeologi seperti antropologi                               menemukan benda, dia menemukan manusia”.
budaya, yang mempelajari tingkah laku,                               Hal ini berarti, suatu petilasan tidaklah hanya
simbolis, dan dimensi material dari suatu                            berupa benda saja, tapi sama saja menemukan
budaya. Berdasarkan sudut pandang tersebut,                          leluhur kita beserta budayanya.
Islam dapat dipahami dalam berbagai benda-
benda peninggalan kebudayaannya. Betapa                                   Di tengah berlarut-larutnya suasana
banyak peninggalan kebudayaan umat Islam                             gamang yang mengarah pada pertentangan
hingga dalam perkembangannya sekarang,                               sentimen kebangsaan, kesukuan, agama,
bisa dipelajari dengan berkaca kepada                                dan ras, pendekatan arkeologi sangat relevan
peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga                            dikedepankan guna merekatkan semangat
segala kearifan masa lalu itu memungkinkan                           persatuan yang mulai memudar. Dengan
untuk dijadikan alternatif rujukan di dalam                          menonjolkan kajian peninggalan budaya
menjawab persoalan-persoalan masa kini.                              material peradaban manusia dari abad ke
Di sinilah arti pentingnya peninggalan                               abad, arkeologi bisa membangkitkan kearifan
budaya (arkeologi) bagi umat Islam pada                              (wisdom) untuk saling menghormati sesama
khususnya untuk dijadikan pendekatan dalam                           manusia dan kembali ke alam, sehingga
mempelajari agama.                                                   tercipta tatanan sosial yang harmoni.
            Petilasan Sunan Kalijaga di Gresik.
                   Sumber : https://www.thearoengbinangproject.com/
386 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Pendekatan arkeologi dalam studi          bersusun serta puncak stupa yang adakalanya
keagamaan dalam penelitian terhadap            berbentuk susunan payung-payung yang
bangunan maupun non-bangunan tidak bisa        terbuka. Contohnya masjid Agung Cirebon
dilihat dari bentuk dan arsitekturnya semata,  misalnya mempunyai dua atap, sementara
melainkan dari aspek fungsional, struktural,   Masjid Agung Demak tiga, dan Masjid Agung
dan behavioral pada konteks masyarakat yang    Banten lima. Secara umum, bangunan masjid-
membuatnya. Salah satu aspek yang harus        masjid kuno melanjutkan tradisi bangunan
diperhatikan benar adalah masalah rutinitas    pra-Islam, terutama Hindu-Budha, namun
kegiatan keagamaan masyarakatnya dalam         secara fungsional terdapat perbedaan yang
menciptakan tradisi penghormatan atas suatu    jelas. Arah mihrab yang menuju kiblat, mimbar
situs arkeologi (baca: petilasan).             yang digunakan khatib dalam berkhotbah, dan
                                               menara tempat azan menunjukkan konsepsi
     Masjid pada dasarnya juga merupakan       ibadat Islam.
petilasan para penyebar Islam awal sangat
penting dalam memahami suatu budaya                 Selain petilasan, peninggalan Islam dapat
masyarakat tertentu. Satu tokoh penyebar       juga kita temui dalam bentuk karya seni
Islam biasanya mendirikan masjid di tempat     seperti seni ukir, seni pahat, seni pertunjukan,
yang pernah disinggahi dalam penyebaran        seni lukis, dan seni sastra. Seni ukir dan seni
Islam, seperti petilasan Sunan Kalijogo di     pahat ini dapat dijumpai pada masjid-masjid
Cirebon dan Gresik. Masjid-masjid kuno di      di Jepara. Seni pertunjukan berupa rebana
Jawa dan di beberapa tempat di luar jawa,      dan tarian, misalnya tarian Seudati. Pada seni
mempunyai atap bersusun atau bertingkat        aksara, terdapat tulisan berupa huruf arab-
yang bentuknya menyerupai limas, piramida      melayu, yaitu tulisan arab yang tidak memakai
atau kerucut. Jumlah atapnya selalu ganjil,    tanda (harakat, biasa disebut arab gundul).
bentuk ini mengingatkan kita pada bentuk atap
candi yang denahnya bujur sangkar dan selalu                                                   [Zainul Milal Bizawie]
                                            Sumber Bacaan
Ani Rostiyati, dkk, Moertjipto. (1994/1995). Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini . Daerah
         Istimewa Yogyakarta: Proyek Pengkaijan dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan
         Departemen Pendid.
Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia. Cetakan ke- 2. Jakarta: Grafitipers.
Endraswara, 2003, Metodologi Penenlitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi. Jilid I.Jakarta: UI Press
Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, Jakarta
         : UI Press
Tilaar, H.A.R., 2002, Pendidikan. Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional,
         Cet. III, Bandung: Remaja Rosdakarya
                                               Edisi Budaya | 387
Pribumisasi Islam
Istilah ‘Pribumisasi Islam’ terdiri dari       jaringan makna yang selalu mengalami
    dua kata yaitu pribumisasi dan Islam.      perubahan. Menurut Gus Dur, agama (Islam)
    Pribumisasi merujuk pada upaya atau        bersumberkan wahyu dan memiliki norma-
proses menyatu dengan karakter atau kultur     norma sendiri. Karena bersifat normatif, ia
masyarakat pribumi (asli) atau menjadi milik   cenderung permanen. Sedangkan budaya
pribumi. Sedangkan Islam adalah agama          adalah buatan manusia. Oleh sebab itu, ia
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw,            berkembang sesuai dengan perkembangan
berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an dan       zaman dan cenderung selalu berubah.
diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah swt.   Perbedaan inilah yang menjadi kemungkinan
                                               manifestasi kehidupan beragama dalam
      Gagasan ‘Pribumisasi Islam’ dikemukakan  bentuk kebudayaan.
pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada
tahun 1980-an. Menurut Gus Dur, Pribumisasi         Pada ranah kultural inilah Gus Dur
Islam adalah rekonsiliasi antara budaya dan    menemukan penyebab proses Arabisasi dalam
agama. Rekonsiliasi ini menuntut umat Islam    krisis identitas yang dialami oleh sebagian
memahami wahyu dengan mempertimbangkan         muslim. Hal itu berangkat dari ketercerabutan
faktor-faktor kontekstual termasuk kesadaran   sebagian umat atas akar kebudayaan
hukum dan rasa keadilannya.                    masyarakat yang melingkupinya. Artinya,
                                               sebagian muslim yang tetap memaksakan
      Dari kenyataan historis dan konstruksi   Islam universal ala Arab sesungguhnya tengah
teoritis yang diungkapkan oleh Gus Dur,        mengalami ketidakmampuan pembacaan atas
sesungguhnya konsep Pribumisasi Islam          identitasnya ketika dihadapkan pada realitas
merupakanupayaGusDurdalammenggerakkan          kebudayaan masyarakat yang ternyata tidak
kajian keislaman sebagai sebuah penelitian     sesuai dengan tipe ideal Islam. Dari sinilah
kebudayaan. Kajian ini memperluas studi        muncul kegairahan untuk mempersoalkan
tentang Islam ke permasalahan kebudayaan       manisfestasi simbolik Islam, sehingga identitas
secara luas, sehingga menemukan gambaran       Islam harus ditampilkan secara visual.
pergulatan pada tataran realitas, khususnya
antara doktrin normatif ajaran agama dengan         Dalam perkembangannya, krisis ini telah
persepsi budaya masyarakat, di mana kaum       membuahkan kesalahan penetapan skala
muslim berusaha melerai ketegangan antara      prioritas dalam dakwah Islam. Menurut Gus
teks formal Islam dengan kenyataan kehidupan   Dur, kesalahan tersebut mengacu pada belum
yang diusung oleh perubahan sosial.            terjadinya kesepakatan mengenai tujuan utama
                                               atau pandangan hidup (Weltanschauung) Islam,
      Pada aspek ini, tawaran Pribumisasi      sehingga umat Islam terjebak pada penetapan
Islam Gus Dur menyasar kajiannya pada          agenda pinggiran (periferal) dan melupakan
kecenderungan mengenai ketegangan              agenda utama pengembangan masyarakat
kultural antara agama dan kebudayaan.          Islam secara kultural yang dapat diwujudkan
Agama merupakan jaringan aturan yang           dengan paradigma Islam sebagai etika sosial
tetap, sedangkan kebudayaan merupakan
388 | Ensiklopedi Islam Nusantara
di tengah normatifitas dan legalitas formalnya  tersebut. Namun demikian, proses perlawanan
secara nash.                                    diskursif ini menuai resistensi yang makin
                                                kuat dari kelompok Islam yang sudah terpola
     Dari dinamika ini, lahir quasi             dengan simbolisasi budaya Arab. Bahkan
Weltanschauung (syibh nadhariyyah ‘anil hayah)  mereka semakin merajalela dengan menuduh
yang menjelma ideologi semu, misalnya           sesat, bid’ah dan kafir atas ibadah-ibadah
gerakan Islam sebagai alternatif. Gerakan       yang dipadu dengan tradisi dan budaya lokal.
yang oleh Gus Dur dihubungkan dengan tokoh      Padahal itulah penerjemahan dari proses
seperti Abul A’la al-Maududi ini terjebak       pribumisasi Islam yang dimaksud Gus Dur.
pada utopia sloganistik nan simbolistik tanpa   Artinya, simbol pribumisasi Islam secara
menurunkan idealismenya pada tataran            semiotik mendapat perlawanan balik secara
operasional pemberdayaan umat, sehingga         radikal-simbolik oleh mereka yang mengusung
akhir dari gerakan itu hanya pemberian          lokalitas Arab dan menggerakkan Islam secara
kekuasaan absolut sebagian pemimpin politik     simbolik bukan substantif.
sebagai otoritas tertinggi kuasa keagamaan.
                                                     Intinya, pribumisasi Islam dalam
     Dengan konsep pribumisasinya, Gus Dur      pemikiran Gus Dur memuat dua hal. Pertama,
berupaya mewujudkan metodologi keilmuan         pribumisasi Islam adalah kontekstualisasi
agama yang mampu menjembatani antara            Islam. Di dalam poin pertama ini, terdapat dua
ajaran agama yang absolut, universal, dan       pemahaman, yaitu: 1) akomodasi adat oleh
permanen dengan kebutuhan kebudayaan            fikih (al-‘adah muhakkamah). Misal, akomodasi
yang selalu mengalami perubahan, bersifat       hukum waris Islam atas adat waris lokal seperti
lokal dan relatif.                              adat perpantangan (Banjarmasin) dan gono-gini
                                                (Yogyakarta-Solo). 2) pengembangan aplikasi
     Gagasan ‘Pribumisasi Islam’ pada dasarnya  nash. Misal, setelah lahir emansipasi wanita
merujuk pada gagasan tentang dialektika         (modern), dibutuhkan cara pandang keadilan
norma ajaran Islam dengan kebudayaan yang       menurut keadilan suami, menjadi keadilan
diciptakan oleh manusia tanpa kehilangan        menurut istri dalam kasus poligami. Kasus ini
identitasnya masing-masing. Proses dialog ini   merujuk pada QS. Al-Nisa’ (4) ayat 3. Dengan
terjadi sebagai upaya menegasikan gagasan       adanya perubahan cara pandang atas keadilan,
pemurnian Islam atau proses menyamakan          maka istri mendapat keadilan dengan cara
keberagamaan suatu masyarakat dengan            tidak dipoligami tanpa harus mengganti nash
praktik keagamaan masyarakat Muslim di          al-Qur’an itu sendiri.
Timur Tengah. Inti pribumisasi Islam adalah
kebutuhan, bukan untuk menghindari                   Kedua, pribumisasi Islam sebagai
polarisasi antara agama dan budaya,             penempaan Islam dalam kerangka budaya.
sebab polarisasi demikian memang tidak          Poin inilah yang melahirkan manifestasi
terhindarkan.                                   (bentuk) Islam dalam kultur lokal. Contoh, atap
                                                Masjid Demak yang menggunakan atap ‘Meru’
     Pada titik ini, pribumisasi Islam          (Hindu-Buddha), bukan menggunakan kubah
memberikan solusi bagi ketegangan antara        yang memang lokalitas Arab. Demikianlah Gus
normativisme agama dengan relativisme           Dur berusaha menjadikan pribumisasi Islam
budaya yang sebenarnya tidak mungkin            menjadi pandangan hidup (Weltanschauung)
dihindari karena sifatnya yang tumpang          Islam tanpa harus tercerabutnya tradisi dan
tindih. Seperti yang dijelaskan Gus Dur         budaya lokal nusantara.
sendiri, bahwa model hubungan antara Islam
dan budaya bersifat tumpang tindih karena            Dalam pribumisasi Islam tergambar
mempunyai independensi masing-masing.           bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang
                                                bersumber dari Tuhan diakomodasikan ke
     Secara ekstern, pribumisasi Islam          dalam kebudayaan yang berasal dari manusia
mempunyai ‘musuh diskursif’ luar, yakni         tanpa kehilangan identitasnya masing-masing,
Arabisasi yang menyebabkan Gus Dur              sehingga tidak ada lagi pemurnian Islam
melahirkan konsep pribumisasi Islam
                                                Edisi Budaya | 389
atau proses menyamakan dengan praktik           persoalannya terletak pada bagaimana subyek
keagamaan masyarakat Muslim di Timur            yang berbicara itu menyesuaikan, menyiasati
Tengah.                                         dan memaknai unsur-unsur luar.
     Baso menegaskan bahwa pribumisasi               Pribumisasi muncul ke permukaan akibat
berbeda dengan istilah-istilah akulturasi,      adanya desakan-desakan energi yang kuat
konvergensi, inkulturasi, kontekstualisasi,     untuk menyuarakan kalangan yang selama
yang lebih berupa penyesuaian diri yang         ini terpinggirkan, tidak mendapat ruang dan
sifatnya pasif, tunggal, searah dan monolitik.  dibungkam suaranya, kaum marjinal. Melalui
Pribumisasi merupakan proses timbal-balik       upaya pribumisasi, masyarakat dapat mencipta
yang produktif dan kreatif yang melibatkan      dan menghayati kebudayaannya. Dalam
subyek-subyek yang aktif melakukan              konteks Islam, pribumisasi dapat mengambil
akomodasi, dialog, negosiasi maupun             bentuk siasat-siasat untuk membuka ruang
resistensi. Pribumisasi merupakan arena         kemungkinan-kemungkinan dalam ber Islam
kontestasi, tempat dipertarungkannya makna      dengan mengapresiasi kreatifitas kultur lokal.
dan digugatnya ideologi dominan. Dalam          Narasi ini menggugat model (ber)agama
konvergensi, akulturasi atau inkulturasi,       “murni” dan berpolitik yang dikonstruk oleh
yang dominan adalah bagaimana unsur             kaum puritan, modernis dan lembaga-lembaga
luar menyesuaikan diri dengan kebudayaan        resmi agama maupun negara.
lokal. Sedangkan dalam konteks pribumisasi
                                                                                                               [Hamdani]
                                 Sumber Bacaan
Arif, Syaiful, Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan, Yogyakarta: Arruz, 2013.
Baso, Ahmad, Plesetan Lokalitas:Politik Pribumisasi Islam, Jakarta: Desantara, 2000.
Wahid, Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2000.
390 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Primbon
Primbon adalah tulisan yang memuat               adalah keyakinan mengenai hubungan antara
        hal-hal yang berkaitan dengan salah      manusia dan roh-roh halus. Sehingga primbon
        satu bentuk sistem religi dalam budaya   pada level tertentu menjadi media yang
Jawa. Primbon tidak hanya berisi ramalan         mengantarkan manusia pada ikhtiar untuk
(perhitungan hari baik, hari nahas, dan          mengetahui penampakan Yang Maha Kuasa
sebagainya), tetapi juga menghimpun berbagai     secara tidak langsung.
pengetahuan kejawaan, rumus ilmu gaib (rajah,
mantra, doa, tafsir mimpi), sistem bilangan           Pada umumnya, primbon bersifat anonim.
yang pelik untuk menghitung hari mujur           Kalaupun ada nama yang disebutkan, sebagian
untuk mengadakan selamatan, mendirikan           besar primbon hanya disebut penyusunnya
rumah, memulai perjalanan dan mengurus           saja. Kecuali seri Betaljemur Adammakna yang
segala macam kegiatan yang penting, baik         ditulis oleh pangeran Harya Tjakraningrat dari
bagi perorangan maupun masyarakat. Ia juga       Kesultanan Yogyakarta.
membahas perhitungan untuk mengetahui
nasib dan watak pribadi seseorang berdasarkan         Menurut Simuh, primbon merupakan
hari kelahiran, nama dan ciri-ciri fisik.        tulisan (kesusasteraan) yang isinya
                                                 mencerminkan perpaduan Islam dan budaya
      Secara etomologis, primbon berasal dari    lokal, yakni Jawa.
kata dasar “imbu” yang berarti “memeram
buah agar matang”, dan kemudian mendapat         Sejarah Perkembangan
imbuhan pari- dan akhiran -an sehingga
terbentuk kata primbon. Secara umum,                  Sejak kedatangan Islam, kepustakaan
primbon adalah buku yang menyimpan               Jawa mendapatkan pengaruh yang cukup
pengetahuan tentang berbagai hal. Primbon        signifikan melalui kepustakaan berbahasa Arab
juga dipahami sebagian sarjana berasal dari      maupun Melayu. Ada dua kepustakaan yang
bahasa Jawa “bon” (“mbon” atau “mpon”).          beredar di kalangan masyarakat Jawa, yaitu
“Bon” memiliki arti “induk”, lalu kata tersebut  kepustakaan yang digunakan kalangan santri
mendapat awalan “pri-” (peri-) yang berfungsi    dan kepustakaan yang merupakan perpaduan
meluaskan kata dasar. Jadi, buku primbon         unsur Islam dan budaya Jawa.
dapat diartikan sebagai induk dari kumpulan-
kumpulan catatan pemikiran orang Jawa atau            Berdirinya kerajaan Islam Mataram
induk ilmu pengetahuan.                          membuat kepustakaan Islam Kejawen tumbuh
                                                 subur. Hal ini terjadi tidak hanya karena
      Parimbon, perimbon atau primbon juga       kecenderungan budaya Jawa yang sinkretis,
bermakna sesuatu yang disimpan atau tempat       tetapi juga peran para sultan Jawa Muslim
simpan menyimpan, dalam hal ini berupa           yang menaruh perhatian besar terhadap fusi
kitab atau buku.                                 agama dan budaya. Dua Sultan Jawa yang
                                                 berperan mendamaikan Islam dan Jawa
      Capt. RP. Suyono berpendapat bahwa         adalah Panembahan Seda Krapyak (1601-
primbon adalah petangan yang dipakai oleh        1613) dan Sultan Agung (1613-1645). Sultan
orang Islam. Yang dimaksud petangan disini       yang pertama mendorong kemunculan
                                                 Edisi Budaya | 391
