Khalîfah
Khalîfah adalah gelar yang diberikan              perkembangannya sebutan ini diganti menjadi
        untuk pemimpin umat Islam setelah         “Khalifatu Rasûlillah” (pengganti Rasul/
        wafatnya Nabi Muhammad Saw (570–          Nabi Allah) yang kemudian menjadi sebutan
632). Kata “Khalifah” (ﺧﻠﻴﻔﺔ/Khalîfah) sendiri    standar untuk menggantikan “Khalîfatullah”.
secara etimologis dapat diterjemahkan sebagai     Meskipun demikian, beberapa akademisi
“pengganti” atau “perwakilan”.                    memilih untuk menyebut “Khalîfah” sebagai
                                                  pemimpin umat Islam tersebut.
     Kata lain yang satu akar dengan khalîfah
adalah al-khalfu yang berarti punggung.                Selain disebut khalifah, pemimpin Islam
Karena punggung berada di belakang, maka          juga kerap disebut sebagai Amîr al-Mu’minîn
bahasa Arabnya belakang (tempat) adalah           ( )ﺃﻣﻴﺮ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔyang berarti “pemimpin orang
khalfu atau khalfa sebagai lawan amâma/al-        yang beriman”, atau “pemimpin orang-orang
amâm yang berarti depan atau di depan. Orang      mukmin”, yang kadang-kadang disingkat
yang tempatnya di depan disebut al-Imîm.          menjadi “Amîr”. Pemimpin umat Islam juga
Kemudian generasi penerus dari generasi           dikenal dengan sebutan sulthân ( )ﺳﻠﻄﺎﻥyang
sebelumnya disebut khalfun atau khalafun.         berarti penguasa atau pemimpin.
(Lihat surat Maryam ayat 59).
                                                       Jika ditilik secara genealogis, kebutuhan
     Dari kata khalafa ini kemudian terbentuk     manusia terhadap seorang penguasa/
kata khilâfah yang secara bahasa berarti          pemimpin memang inheren dalam kehidupan
representasi/keterwakilan. Dengan demikian        mereka. Karena itu, salah satu tujuan utama
khilâfah dapat diartikan sebagai pemantulan       penciptaan manusia (Adam) adalah untuk
atau keterpantulan suatu sifat, sikap, dan        mengemban tugas kepemimpinan/khilâfah di
perilaku pihak lain ke dalam atau pada sesuatu    muka bumi sebagai keberlanjutan tugas-tugas
yang lain karena posisinya yang lebih rendah      ketuhanan. Hal ini dapat dibaca dari firman
atau lebih belakang baik secara waktu maupun      Allah dalam surat Al-Baqarah [2]: 30:
tempat.
                                                       “Dan (ingatlah) tatkala Rabbmu berkata
     Dengan demikian, khalifah adalah             kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak
seseorang yang bisa memantulkan atau              menjadikan di bumi seorang khalifah’. Mereka
memerankan sikap, sifat, dan perilaku pihak       berkata: ‘Apakah Engkau hendak menjadikan
lain ke dalam perilakunya karena dia lebih        padanya orang yang merusak di dalamnya dan
rendah atau terbelakang. Bisa dikatakan juga      menumpahkan darah, padahal kami bertasbih
khalifah adalah agency of Allah atau Rasulullah.  dengan memuji Engkau dan memuliakan
Maka tolak ukur kekhalifahan sejatinya            Engkau?’. Dia berkata: ‘Sesungguhnya Aku lebih
adalah sejauh mana dia menjadi representasi       mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS.
pihak yang dijadikan sebagai al-amâm atau al-     Al-Baqarah [2]: 30)
imâm. Namun demikian kata khalifah dalam
terminologi politik Islam (siyâsah syar’îyah)          Ayat ini menunjukkan bahwa Allah
lebih dipahami sebagai pemimpin umat Islam.       menjadikan manusia (Adam) sebagai khalifah
                                                  (pengganti) di muka bumi, ia menggantikan
     Pada awalnya, para pemimpin umat Islam       makhluk sebelumnya (jin) yang berbuat
ini disebut sebagai “Khalîfatullah” yang berarti  kerusakan dan tidak istiqamah (dalam
perwakilan Allah (Tuhan). Akan tetapi pada        mengerjakan perintah Allah). Perkataan
192 | Ensiklopedi Islam Nusantara
“malaikat” ini adalah bukti                            umat, baik urusan negara
bahwa sudah ada kaum yang                              maupun urusan agama.
melakukan kerusakan di muka                            Mekanisme pemilihan khalifah
bumi, mereka masih menghuni                            dilakukan baik dengan pemilu
bumi sehingga malaikat                                 langsung ataupun keterwakilan
berkata sesuai apa yang sedang                         melalui majelis Syura yang
terjadi di muka bumi. Atau                             disebut Ahlul Halli wal ‘Aqdi
bisa juga kaum tersebut telah                          yakni para ahli ilmu (khususnya
keluar dari bumi, dan malaikat                         keagamaan) dan mengerti
menceritakan  kelakuan                                 permasalahan umat. Sedangkan
mereka di muka bumi dahulu.                            mekanisme pengangkatannya
Hingga kemudian Allah Swt                              dilakukan dengan cara bai’at
mengabarkan kepada mereka                              yang merupakan perjanjian
bahwa Dia lebih mengetahui      Sultan Malikus Shaleh  setia antara Khalifah dengan
apa yang tidak diketahui oleh                          umat.
malaikat. Bahwasanya khalifah                        Kaum muslim yang terdiri dari berbagai
yang menggantikan mereka akan mengelola         etnis dengan latar belakang budaya yang
bumi dengan syari’at dan agama Allah,           berbeda dipersatukan ke dalam satu institusi
menyebarkan dakwah tauhid, mengikhlaskan        yang disebut umat. Umat Islam dipimpin oleh
peribadatan dan beriman kepada-Nya.             seorang khalifah yang dianggap sebagai penerus
Demikian juga anak keturunan Adam kepemimpinan Rasulullah Saw. Ini berarti
yang kemudian menjadi para Nabi, para Rasul, bahwa seorang khalifah merupakan pimpinan
orang-orang pilihan, ulama yang shalih, dan negara dan sekaligus sebagai pemimpin agama.
hamba-hamba yang ikhlas. Mereka inilah yang Mengenai hal ini Ibn Khaldun menyatakan
mewujudkan peribadatan pada Allah semata, bahwa “Kekhalifahan itu pada hakekatnya
mengelola dan memakmurkan bumi dengan adalah pelimpahan kekuasaan dari peletak
syariat dan agama-Nya, mengerjakan perintah- Syari’at (Allah) untuk memelihara agama dan
Nya, dan mencegah apa yang dilarang-Nya. mengatur dunia,” (Ibn Khaldun, 1999:163 dan
Inilah apa yang diupayakan para Nabi, para Abu Zahrah, 1996:19)
Rasul, ulama yang shalih, dan hamba yang             Sampai runtuhnya pemerintahan dinasti
ikhlas. Setelah nampak ketetapan Allah dalam    Umayyah yang berpusat di Damaskus,
hal ini, para malaikat memahami bahwa           seluruh dunia Islam mengakui satu
penobatan Adam (manusia) sebagai khalifah       khilafah (kekhalifahan). Akan tetapi mulai
(wakil Allah di muka bumi) adalah kebaikan      pemerintahan Bani Abbas, kekhalifahan di
yang agung. Tugas ke-khalifah-an Adam ini       dunia Islam sudah tidak tunggal lagi. Artinya,
kemudian diwariskan kepada para nabi hingga     khilafah sebagai lambang kesatuan dunia Islam
sampai kepada Nabi Muhammad Saw.
     Dalam catatan sejarah, kepemimpinan
Islam terspektakuler pasca wafatnya baginda
Muhammad Saw adalah Khulafaur Rasyidin
(Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Kemudian
setelah itu kekhalifahan secara berturut-turut
dipegang oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah,
dan Kesultanan Utsmaniyah, dan beberapa
kekhalifahan kecil. Di tangan mereka akhirnya
Islam berhasil meluaskan kekuasaannya
sampai ke Spanyol, Afrika Utara, Mesir, bahkan
Asia Tengah, Asia Timur termasuk Nusantara.
Khalifah berperan sebagai pemimpin                     Sultan Iskandar Muda
                                                                             Edisi Budaya | 193
seluruhnya, sudah tidak ada lagi.                 sejak awal-awal periode Islam. Dalam catatan
     Fase kedua dari periode pertengahan          Azra, pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya
sejarah Islam (tahun 1500-1800 M) muncul          Jambi yang bernama Srindravarman mengirim
tiga kesatuan politik (khilafah) di dunia Islam.  surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Wujud tiga kesatuan politik tersebut adalah tiga  dari Khilafah Bani Umayyah. Sang Raja
kerajaan besar, yaitu: kerajaan Usmani, Safawi    meminta dikirimi dai yang bisa menjelaskan
dan Mughal (Nasution, 1994:13). Meskipun          Islam kepadanya. Dua tahun kemudian, yakni
dunia Islam waktu itu terbagi ke dalam tiga       tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang
kerajaan besar, akan tetapi masyarakat di tiga    semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi
kerajaan besar itu masih menganggap khalîfah      pun dikenal dengan nama Sribuza Islam.
yang memimpin mereka adalah pemimpin              (Azra, 2005).
agama dan negara –lebih tepat disebut pemimpin    Sebagian pengemban dakwah Islam juga
Islam. Disamping itu wilayah kekuasaan masing- merupakan utusan langsung yang dikirim oleh
masing kerajaan yang masih bersifat lintas etnis Khalifah melalui amilnya. Tahun 808H/1404M
dan lintas budaya mengakibatkan kesadaran adalah awal kali ulama utusan Khalifah
bernegara yang dilandasi oleh sentimen ras atau Muhammad I ke Pulau Jawa (yang kelak
suku bangsa belum muncul.                                        dikenal dengan nama Walisongo).
Dalam bernegara mereka                                           Setiap periode ada utusan yang
masih dilandasi oleh sentimen-                                   tetap dan ada pula yang diganti.
sentimen keagamaan.                                              Pengiriman ini dilakukan selama
     Pendaratan Napoleon                                         lima periode. (Rahimsyah, t.th.,
di Mesir (tahun 1798),                                           6).
merupakan titik permulaan                                        Bernard Lewis (2004)
terbukanya pandangan orang                                       menyebutkan bahwa pada tahun
Islam, khususnya di Mesir                                        1563 penguasa Muslim di Aceh
terhadap dunia luar. Napoleon                                    mengirim seorang utusan ke
datang ke Mesir bukan                                            Istanbul untuk meminta bantuan
hanya dalam rangka politik                                       melawan Portugis. Dikirimlah 19
kolonialnya, tetapi ia juga        Sultan Hasanuddin, Raja Gowa  kapal perang dan sejumlah kapal
                                   Sulawesi Selatan
memperkenalkan kemajuan-                                         lainnya pengangkut persenjataan
kemajuan materi, gaya hidup,                                     dan persediaan; sekalipun hanya
dan sistem nilai Barat, serta ide-ide yang satu atau dua kapal yang tiba di Aceh.
baru dalam pandangan masyarakat Mesir                  Hubungan ini tampak pula dalam
(Nasution, 1994:13 dan Ushama, 1995:4).           penganugerahan gelar-gelar kehormatan
Salah satu ide yang dikenalkan adalah ide seperti sultan ( )ﺳﻠﻄﺎﻥdan khalifatullah. Ketika
pratiotisme dan nasionalisme yang berbasis kesultanan Samudra Pasai resmi menjadi
pada cinta tanah air dan bangsa. Maka sejak kesultanan Islam, misalnya, Syarif Makkah
awal abad ke-19 M dunia Islam sudah mulai (Gubernur Hijaz) memberi Meurah Silu gelar
mengenal sistem negara bangsa (nation Sultan di Kesultanan Samudra Pasai pada tahun
state), dan secara resmi sistem khilafah telah 1261 M. Lalu Abdul Qadir dari Kesultanan
berubah seiring dengan digantinya sistem Banten, pada tahun 1048 H (1638 M)
kekhalifahan Turki Utsmani dengan sistem dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud
pemeritahan sekuler di masa pemerintahan Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah
Kemal Attaturk pada tahun 1024 M. Semenjak saat itu. Sementara Pangeran Rangsang dari
itulah, secara resmi bangsa-bangsa Islam tidak Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan
lagi menyebut pemimpin mereka dengan dari Syarif Makkah tahun 1051 H (1641 M)
khalifah, tapi dengan nama-nama lain seperti dengan gelar, Sultan Abdullah Muhammad
amîr (pemimpin) atau sulthân (raja/penguasa). Maulana Matarami. (Tjandrasasmita, 2002).
     Dalam konteks Nusantara, hubungan                 Khusus pada kasus Mataram, sebenarnya
Nusantara dengan Khilafah Islam pun terjalin      gelar kehormatan bagi raja-raja Mataram
194 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Sultan Agung Mataram                      Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755
                                                yang memecah Mataram menjadi Kesultanan
kadangkala disebut panembahan, sultan,          Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, gelar
dan sunan. Raja terbesar Mataram, Sultan        Khalifatullah digunakan oleh sultan-sultan
Agung menggunakan gelar sultan. Untuk           Yogyakarta sedangkan raja-raja Surakarta
melegitimasi kekuasaanya, dia mengirim          memakai gelar sunan.
utusan ke Mekah untuk meminta gelar
sultan pada 1641. Dia mengikuti jejak Sultan         Sementara sebutan gelar secara lengkap
Banten, Pangeran Ratu yang menjadi raja Jawa    untuk raja-raja Surakarta adalah Sampeyan
pertama yang mendapatkan gelar sultan dari      Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Paku
Mekah, sehingga namanya menjadi Sultan          Buwana Senapati ing Alaga Abdur Rahman
Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir.                 Sayidin Panatagama. Sementara sebutan untuk
                                                raja keraton Yogyakarta adalah Sampeyan
Raja-raja  Mataram               berikutnya,    Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan
                                                Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Abdur
Amangkurat I sampai III menggunakan gelar       Rahman Sayidin Panatagama Kalifatullah.
Sunan. Sedangkan Amangkurat IV (1719-                Senopati berarti sultanlah penguasa yang
                                                sah di dunia fana ini. Ing Alogo artinya raja
1724) menjadi yang pertama menggunakan          mempunyai kekuasaan untuk menentukan
                                                perdamaian dan peperangan, atau sebagai
gelar Khalifatullah. Menurut Denys Lombard      panglima tertinggi saat perang. Abdur Rahman
                                                Sayyidin Panatagama, berarti sultan dianggap
dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3, gelar    sebagai penata, pemuka dan pelindung agama.
                                                Dan Khalifatullah sebagai wakil Allah di dunia.
khalifatullah (dari kata khalifah yang berarti  Menurut ahli sejarah, gelar yang disandang
                                                oleh Sultan Mataram dan Yogyakarta sejatinya
wakil) menegaskan perubahan konsep lama         mengungkapkan konsep keselarasan antara
                                                urusan politik, sosial dan agama. Hanya
Raja Jawa, dari perwujudan dewa menjadi         saja dalam perkembangan terakhir, Sultan
                                                Hamengkubuwono X mengeluarkan Sabda
wakil Allah di dunia.                           Raja pada 30 April 2015 yang menghilangkan
                                                gelar Khalifatullah. Dengan dikeluarkannya
                                                sabda tersebut, gelar khalifah secara resmi
                                                tidak lagi disematkan kepada raja keraton
                                                Yogyakarta.
                                                                                                           [M. Ulinnuha]
                                            Sumber Bacaan
Abu Zahrah, Imam Muhammad. Tarikh al-Madzâhib al-Islâmiyah, (terj) Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan
         judul Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996).
Alfian, Teuku Ibrahim. Islam dan Khazanah Budaya Kraton Yogyakarta, (Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia,
         2005)
Arifin, Hadi. Malikussaleh: Mutiara dari Pasai, (PT. Madani Press, 2005).
Azra, Ayzumardi. Jaringan Ulama Nusantara, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet. II.
Bernard Lewis, Apa Yang Salah? Sebab-sebab Runtuhnya Khilafah dan Kemunduran Umat Islam (Terj.), (Jakarta: PT. Ina
         Publikatama, 2004)
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (LP3ES, 1991), Cet VI.
Ibrahim, Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam, (terj.) H.A. Bahauddin, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), Jilid II, Cet. I.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994).
Raharjo, M. Dawam. Ensiklopedia Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1996).
Rahimsyah, Kisah Wali Songo, (Surabaya: Karya Agung, t.th.)
Tjandrasasmita, Uka. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan Penyebaran Islam, (Jakarta: Ichtiar
         Baru Van Hoeve, 2002).
Ushama, Thameem. Hasan al-Banna: Vision & Mission, (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1995).
                                                Edisi Budaya | 195
Khataman
Istilah khataman berasal dari bahasa Arab,       dari panitia. Mereka yang tidak memiliki
    khatama – yakhtimu – khatman – khitaaman,    undangan, biasanya tidak diperkenankan
    berarti menamatkan atau menyelesaikan.       mengikuti tahtiman jenis bil ghaib. Pendek
Kata ini telah terserap dalam bahasa Indonesia:  kata, tahtiman bil ghaib diperuntukan bagi
khatam – mengkhataman – khataman. Kamus          kalangan tertentu.
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan
khatam sebagai tamat dan khataman diartikan           Sedangkan khataman yang sering terihat,
sebagai upacara selesai menamatkan bacaaan       terutama pada bulan Ramadhan, adalah
Al-Qur’an.                                       tahtiman bin nadhar. Artinya, menghatamkan
                                                 Al Qur’an dengan nadhar/melihat teks-teks
      Sebagian daerah di nusantara               pada mushaf Al-Qur’an. Tidak ada persyaratan
menggunakan sebutan tahtiman/takhtiman           khusus untuk melaksanakan tahtiman bin
untuk menggantikan istilah khataman.             nadhar. Tidak harus hafal tiga puluh juz terlebih
Tahtiman artinya proses mengkhatamkan Al-        dahulu. Asalkan mau dan mampu, siapapun
Qur’an. Kedua kata ini pada dasarnya sama.       boleh mengikuti tahtiman bin nadhar.
Tahtiman mencerminkan proses yang sedang
dijalankan, sedangkan khataman adalah                 Syarat paling dasar adalah lancar ilmu
kondisi terakhir ketika seseorang sudah          tajwid/tata cara membaca Al- Qur’an. Namun
menamatkan membaca Al-Qur’an.                    itu bukan syarat ketat. Mereka yang belum
                                                 lancar tajwid juga tidak dilarang mengikuti
      Khataman diselenggarakan setelah tamat     tahtiman bin nadhar. Cakupan tahtiman bin
membaca seluruh isi Al-Quran, yang terdiri       nadhar lebih luas dan berlaku umum.
114 surat, dari Al Fatihah, surat pembuka,
sampai An-Nas, surat penutup. Sebagian                Perbedaan tahtiman bin nadhar dan bil
pesantren menggunakan istilah tahtiman           ghaib hanya terletak pada cara membaca dan
dibanding khataman. Terutama pada sejumlah       kekhususan peserta. Sistem pembagian ayat
pesantren khusus untuk hafalan (tahfidz) Al-     relatif sama. Setiap orang yang mengikuti
Qur’an. Pesantren tersebut membagi tahtiman      khataman dibagi dalam beberapa kelompok.
menjadi dua jenis: tahtiman bil ghaib dan        Masing-masing kelompok terdiri dari dua
tahtiman bin nadhar.                             puluh, tiga puluh, bahkan bisa empat puluh
                                                 orang. Pada setiap kelompok, masing-masing
      Dikatakan tahtiman bil ghaib bila          anggota membaca satu juz atau beberapa ayat
seseorang menghatamkan seluruh isi Al Quran      tergantung kesepakatan.
tanpa melihat teks. Orang tersebut sudah hafal
dan biasa disebut hafidz/hafidzah. Tahtiman           Umumnya setiap peserta membaca
jenis ini biasanya tidak dihadiri banyak orang.  satu juz. Dari tiga puluh peserta, masing-
Bukan karena orang lain tidak mau hadir,         masing mendapatkan satu juz. Ketika
namun karena peserta khataman terdiri            seseorang mendapat bagian membaca, orang
orang-orang yang sudah hafal tiga puluh juz      lain menyimak/mendengarkan bacaannya.
dan jumlahnya terbatas.                          Tujuannya antara lain untuk mengorksi
                                                 bila ada bacaan keliru. Ini penting karena
      Bagi yang belum hafal 30 juz, biasanya     perbedaan panjang nada di Al-Qur’an bisa
hanya bisa bergabung bila menerima undangan      memengaruhi arti kata.
196 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Khataman biasanya dilaksanakan sehari      Misalnya, khataman pada momentum
penuh. Dimulai setelah shalat subuh dan         khitananan anak. Pada malam sebelum anak
berakhir menjelang shalat maghrib. Sistem       dikhitan, seringkali diadakan khataman.
pembagian jatah siapa membaca dan siapa         Biasanya yang dibaca hanya juz ke-30, juz
menyimak biasanya tidak begitu berlaku bila     ‘amma. Bahkan ada yang lebih singkat, hanya
sudah memasuki waktu akhir. Misalnya, ketika    membaca 22 surat pendek paling akhir,
sudah jam 14.00 tapi bacaan baru sampai juz     dimulai dari Ad Duha (surat ke-93) sampai An-
ke-20, sistem harus diubah.                     Nas (surat ke-114).
     Masing-masing orang tidak harus                 Jumlah surat yang dibaca biasanya
menyimak terlebih dahulu untuk mendapatkan      tergantung capaian belajar ngaji seorang
giliran bacaan. Pembacaan dilakukan secara      anak. Bila kadarnya sudah lulus TPA (Taman
paralel. Ketika ada yang masih membaca juz 20   Pendidikan Al-Qur’an), biasanya ia akan
jam 14.00, peserta yang lain dibagi membaca     membaca juz ‘amma sendiri. Bila belum sampai
juz 21 dan seterusnya. Ketika nanti orang yang  TPA, ia akan membaca dari surat Ad Duha. Bila
kebagian juz 20 selesai membaca, dilanjutkan    kemampuan baca Al-Qur’an, masih di bawah
mulai tengah-tengah atau ayat terakhir juz 21   dari dua hal di atas, pembacaan khataman
yang sedang dibaca. Begitu seterusnya.          dilakukan oleh seorang ustadz atau tokoh
                                                setempat.
     Bila sudah demikian, khataman bisa
selesai sebelum shalat ashar. Pembaca pada           Khataman Al Qur’an untuk khitanan
jam-jam terakhir biasanya orang yang sudah      anak tidak hanya berisi pembacaan Al-Quran.
rutin mengikuti khataman. Sehingga, tingkat     Biasanya dirangkai dengan membaca dzikir
kelancaran bacaannya tidak diragukan.           dan shalawat lalu ditutup dengan doa. Sebelum
                                                para tamu undangan khataman pulang ke
Khataman Lintas Daerah                          rumah masing-masing, mereka menikmati
                                                jamuan makanan dan minuman dari tuan
     Tradisi khataman di Aceh dinamai           rumah.
kenduri peutamat daruih. Peutamat artinya
menamatkan dan daruih artinya bergantian.            Khataman yang paling banyak
Bila digabungkan, maksudnya adalah              diselenggarakan adalah dalam rangka
mengkhatamkan Al-Quran dengan ganti-            memperingati khatamnya santri belajar
gantian antara satu orang dengan orang lain.    membaca Al Quran. Tahap akhir pembelajaran
Masing-masing mendapatkan bagiannya. Bagi       Al Quran setelah jilid enam adalah membaca Al
yang tidak membaca, wajib menyimak bacaan.      Quran dari juz awal sampai juz ketiga puluh.
Masyarakat Gayo menamai tradisi ini sebagai     Santri yang sudah melewati tahap ini akan
tamat ndarus, artinya menamatkan tadarus        diwisuda. Wisuda inilah yang dinamakan
(membaca Al-Qur’an).                            khataman.
     Bila khataman di Jawa umumnya                   Metode pembacaan Al Qurannya
dilaksanakan pada pagi hari dan ditutup         bermacam-macam, seperti Iqro’, Qiraati,
menjelang maghrib, di Aceh berbeda. Peutamat    Ummi, dan metode yang lain. Berbagai metode
dilakukan di meunasah, pusat keagamaan          tersebut terdiri dari enam jilid. Jilid enam
warga Aceh, setelah shalat tarawih dan          menandakan bahwa seorang siswa sudah
selesai ketika memasuki waktu sahur. Warga      bisa mengaji Al Quran dengan lancar. Kecuali
berbondong-bondong menuju meunasah untuk        Qiraati, jilid enam saja tidak cukup untuk
melangsungkan kenduri peutamat daruih.          mengatakan seorang sudah lancar membaca
Kenduri ini dihadiri hampir semua warga         Al Quran. Setelah jilid enam, anak akan
kampung.                                        menggenapkan dengan ujian-ujian lain sampai
                                                lulus. Bila sudah lulus, anak tersebut akan
     Khataman Al-Quran tidak selalu berarti     mendapatkan sertifikat.
menghatamkan bacaan seluruh isi Al-Qur’an.
                                                     Sebelum wisuda berlangsung, biasanya
                                                Edisi Budaya | 197
seorang guru ngaji akan mendatangi rumah         kelompok. Setiap kelompok menamatkan satu
orang tua murid. Guru ngaji tersebut             juz. Tiap kelompok terdiri dari sepuluh santri:
menyampaikan kepada orang tua bahwa              8 yunior dan 2 senior. Muqaddiman biasanya
anaknya telah lulus mengaji. Setelah itu, orang  dilakukan sekali setahun ketika penutupan
tua akan memberitahukan kepada sekeliling        atau perpisahan para santri.
rumahnya. Dalam satu kali wisuda, terdapat
beberapa anak yang mengikuti khataman Al         Momentum Khataman
Quran.
                                                      Khataman dilaksanakan pada beberapa
     Di Jawa, salah satu menu makanan            momentum penting seperti malam Nuzulul
khas khataman anak adalah ingkung, yaitu         Quran. Usai khataman dari pagi, warga biasanya
ayam jantan yang dimasak utuh, kemudian          mengadakan buka bersama di masjid. Setiap
dibagi-bagikan kepada tamu undangan dan          rumah membuat masakan dan disuguhkan ke
warga sekitar, sebagai wujud syukur kepada       masjid untuk disantap bersama-sama.
Allah SWT, karena anaknya sudah mampu
membaca Al Quran dengan baik. Ingkung akan            Khataman di Banyuwangi Jawa Timur
dipotong-potong langsung dengan tangan           dilaksanakan setiap Ahad pahing. Usai shalat
dan dibagi merata sesuai jumlah tamu. Inilah     subuh, beberapa sesepuh kampung mulai
yang paling unik dari ingkung. Orang yang        membaca Al-Quran. Biasanya, kegiatan ini
membagikan ingkung bisa piawai membagi           selesai setelah shalat Ashar. Dari subuh sampai
secara proporsional.                             ashar, setiap orang membaca Al-Quran sambil
                                                 memegang mikrofon sehingga terdengar
     Prosesi khataman untuk mensyukuri           warga sekitar. Tiap daerah memilih hari
belajar anak di kalangan suku Mandar,            berbeda untuk jadwal khataman. Dalam satu
Sulawesi Barat, dan Bugis, Sulawesi Selatan,     kabupaten, jadwal tiap kecamatan berbeda.
dengan nama Mappatammag Koroang atau
bahasa bugisnya Mappanre temme.                       Di Kalimantan Selatan, khataman
                                                 diberi nama Batamat. Sama-sama dalam
     Pada acara Mappatammag, diselenggarakan     rangka khatamnya anak membaca Al-Quran.
Sayyang Pattudu. Seremoni yang ditandai          Konsepnya mirip khataman di Jawa. Hanya,
atraksi seekor kuda yang diiringi rebana         prosesinya yang berbeda. Kalau khataman
dan pembacaan kalindaqdaq atau puisi khas        digunakan untuk anak muda atau remaja yang
mandar. Anak yang sudah khatam akan naik         baru mengkhatamkan Al-Quran, Batamat
kuda yang loncat-loncat tersebut.                tidak. Batamat dilaksanakan antara lain ketika
                                                 acara pernikahan oleh kedua mempelai.
     Beberapa daerah Kalimantan mengadakan
khataman massal untuk beberapa murid                  Acara khataman sebelum akad nikah juga
SMP dan SMA. Pemerintah Kota Samarinda           dilaksanakan pada masyarakat Betawi. Acara
menggelar khataman massal untuk SMA              ini menandakan bahwa kedua calon pengantin
sederajat.                                       telah cukup bekal ilmu agamnaya sehingga
                                                 dapat membentuk keluarga sakinah.
     Di Sulawesi Utara yang muslimnya
minoritas pun, tradisi khataman ini tidak             Selain pada hajatan pernikahan dan
hilang. Ada kampung bernama Jaton (Jawa          khitanan, khataman juga dilaksanakan untuk
Tondano), berisi orang Jawa yang transmigrasi    mendoakan orang-orang yang sudah wafat.
dan menetap di dekat danau Tondano. Di sana,     Terutama ulama dan tokoh masyarakat yang
adat ambengan untuk memperingati anak            berjasa penting. Seperti pada haul Maulana
yang baru mengkhatamkan Al-Qur’an masih          Malik Ibrahim di samping makamnya di Gresik,
dilaksanakan.                                    tiap tanggal 12 Robiul Awal. Biasanya, prosesi
                                                 khataman khusus menggunakan tahtiman bil
     Selain khataman dan tahtiman, ada           ghaib. Peserta khataman adalah para undangan
istilah muqoddaman. Caraya, pembacaan Al-        terbatas yang telah menghafalkan seluruh isi
Qur’an dengan membagi menjadi beberapa
198 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Al-Qur’an.                                      program ODOJ (one day one juz), program
                                                mengkhatamkan Al Quran tiga puluh juz
     Di Pati dan Jepara, khataman dilaksanakan  selama sebulan. Setiap habis shalat, anggota
pada haul Syaikh Ahmad Al Mutamakkin, tokoh     ODOJ diminta membaca dua lembar Al-
ulama setempat, tiap tanggal 6 Muharram.        Quran. Dalam sehari, ia bisa membaca sepuluh
Acara haul berlangsung sampai tanggal 10,       halaman atau satu juz. Dalam tiga puluh hari,
namun seperti pada haul-haul lainnya, prosesi   ia sudah megkhatamkan tiga puluh juz.
khataman Al Quran menjadi prosesi pertama.
                                                     Kedua, program Nusantra Mengaji.
     Khataman juga diselenggarakan pada         Gerakan ini mendorong setiap daerah
syukuran kelahiran anak. Di Jawa namanya        senusantara untuk mengkhatamkan Al-Quran
neptonan. Tetangga diundang. Khataman           serentak. Tercatat 2,4 juta orang terlibat dalam
berisi bacaan tujuh surat: Al Mulk, Ar Rohman,  gerakan ini.
Al Farah, Al Kahfi, Maryam, Yusuf, dan Al
Waqiah.                                              Gerakan ini menggelar Safari Dakwah
                                                untuk menggelorakan khataman. Kampus-
     Di Pamekasan, Madura, tradisi Khataman     kampus termasuk menjadi destinasi gerakan
dilaksanakan pada hari kedua Rokat Tase’,       ini. Mereka membuat program khataman
pelarungan sesaji di laut pada bulan Muharam.   Al-Qur’an secara online. Dirilis pula aplikasi
Proses berlangsung selama tiga hari. Hari       Nusantara Mengaji dengan program khataman
pertama dilaksanakan pembacaan yasin dan        melalui ponsel cerdas. Ada Infaq Sejuta Quran
tahlil. Hari kedua khataman Al-Qur’an. Hari     dan beasiswa bagi para hafidz.
terakhir pelarungan sesaji ke tengah laut.
                                                     Khataman juga memasuki ranah
     Pesantren-pesantren khusus penghafal       bisnis. PT Buya Barokah menjual air minum
Al-Qur’an melaksanakan khataman Al Quran        dalam kemasan gelas yang sudah diberikan
ketika shalat Tarawih. Dalam semalam            khataman Al-Quran. Ide ini semula karena
shalat tarawih, imam membaca satu juz al-       banyaknya warga yang menyambangi seorang
Quran. Dalam tiga puluh hari, imam sudah        Kiai untuk minta air yang sudah didoakan agar
menghatamkan Al Quran. Tradisi ini sudah        berkah. Agar jamaah tetap bisa mendapatkan
lama berlangsung antara lain di pesantren Al    air yangtelah didoakan itu, PT Buya Barokah
Munawwir Krapayak Yogyakarta.                   membuat bisnis ini. Nama produknya KH-Q
                                                (Khataman Quran). Produk ini lebih dikenal
Inovasi Khataman                                dengan air doa.
     Perkembangan terbaru, ada dua                                                                      [Asrori S Karni]
fenomena unik yang menggambarkan
inovasi menggerakkan khataman. Pertama,
                                             Daftar Pustaka
Babcock, Tim G. 1989. Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity. Gadjahmada University Press.
Daud, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar. 1997. Raja Grafindo. Banjar.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Dinas Pariwisata Kabupaten Pamekasan. 1992. Tradisi Roka Rase’. Pamekasan: Dinas Pariwisata.
Fathurrahman, Aman. Pendalaman Ilmu Tafsir di PTAI Non Tafsir.
Muhaimin, Abdul. tuntunan Ziarah Wali Songo. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Pratikno dkk. 1984. Upcara Kematian Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan KEbudayaan Ditektorat
         Sejarah dan Nilai Tradisional
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adat Istiadat Daerah
         Propinsi Daerah Istimewa Aceh. 1977.
Saransi, Ahmad. 2003. Tradisi Masyarakat Islam di Sulawesi Selatan. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Tradisi
         Masyarakat dan Lamacca Press.
Sigar, Edi. 2007. Buku Pintar Indonesia. Delapratasa.
Simuh. 2003. Islam dan Pergumuln Budaya Jawa. Bandung: Teraju.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol II No 2 Tahun 2005. IAIN Sunan Kalijaga. R Umi Basoroh. Pelembagaan Tradisi
         Membaca Al Quran Masyarakat Mlangi.
                                                Edisi Budaya | 199
Kiai
Sejarah dan Arti Kata                             semua hal ini digunakan untuk menunjukkan
                                                  sesuatu atau seseorang yang memiliki kualitas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia                di atas rata-rata. Seorang kiai, sebagaimana
          istilah “Kiai” bermakna sebutan bagi    dikutip Ronald Alan Lukens-Bull (2004: 89),
          alim ulama (cerdik pandai dalam agama   berkata bahwa secara etimologis, kiai berasal
Islam). Sedangakan awal mula atau sejarah         dari kata ‘iki wae’, yang bisa diartikan ‘orang
munculnya istilah ini konon bermula dari          yang dipilih’. Ini menunjukkan bahwa kiai
keampuhan benda-benda kuno yang dimiliki          adalah spesial karena mereka pilihan Allah
para penguasa di Tanah Jawa (raja, senopati       SWT. Akan tetapi, istilah ‘kiai’ bisa diterapkan
atau para punggawa kerajaan). Benda berupa        pula pada selain manusia. Beberapa pusaka
pusaka mengandung kekuatan gaib yang              keraton Jawa yang disebut pula kiai, termasuk
dipercaya masyarakat dapat menentramkan           keris (pisau panjang Jawa) dan kereta yang
dan memulihkan kekuasaan dan ketenteraman         dipakai keluarga-keluarga kerajaan. K.H. Kholil
suatu daerah atau negara. Benda itu dapat         Bisri (2004), menambahkan bahwa “kiai”
menambah kekuatan kesaktian pemakaiannya          adalah “sesuatu (atau segala sesuatu) yang
(Sukamto, 1999: 84-85).                           istimewa. Bahkan besi dan sapi yang istimewa
                                                  bisa bernama Kiai Pleret, Kiai Nogososro-
      Secara umum istilah “kiai” dipergunakan     Sabukinten, Kiai Laburjagat, Kiai Slamet, dan
untuk ketiga jenis gelar yang saling berbeda:     lain-lain”.
1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-               Namun pengertian Kiai yang paling
      barang yang dianggap keramat; semisal,      luas dalam Indonesia modern adalah
      “Kiai Garuda Kencana” dipakai untuk         pendiri dan pimpinan sebuah pesantren,
      sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton     yang sebagai muslim “terpelajar” telah
      Yogyakarta.                                 membaktikan hidupnya “demi Allah” serta
                                                  menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-
2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua         ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan
      pada umumnya.                               pendidikan. Kadar semantik dari istilah Kiai
                                                  di sini mencakup secara mutlak komponen
3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat           tradisional Jawa. Juga bila di sini berada dalam
      kepada seorang ahli agama Islam yang        kesinambungan tradisional dan mencakup
      memiliki atau menjadi pemimpin              arti sebagai sesepuh kerohanian masyarakat,
      pesantren dan mengajarkan kitab-kitab       yang dianggap memiliki sesuatu kesaktian.
      Islam Klasik (Kitab Kuning) kepada          Misalnya, ahli hikmah dan guru maupun
      para santrinya. Selain gelar Kiai, ia juga  pimpinan (politik) di daerah yang berwibawa,
      sering disebut sebagai seorang alim         yang memiliki legitimasi wewenangnya
      atau ulama yang menunjukkan sebuah          berdasarkan kepercayaan penduduk. Dengan
      keluasan pengetahuan agama Islam yang       demikian, jelaslah bahwa predikat “Kiai”
      dimilikinya. (Zamakhsyari Dhofier, 1982:    berhubungan dengan sesuatu gelar, yang
      93)                                         menekankan pemuliaan dan pengakuan, yang
      Sementara istilah “kiai” dalam bahasa Jawa
sering dipakai dalam banyak hal. “Kiai” adalah
200 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Wejangan KH. Mustofa Bisri kepada para santri di kediamannya Pesantren
Raudlatut Thalibin, Rembang.
Sumber: Tim Anjangsana Islam Nusantara 2017.
diberikan secara suka rela kepada ahli Islam   Karenanya julukan yang diberikan kepadanya
pimpinan masyarakat setempat. (Ziemek, 131)    adalah Kiai Teko atau Kendi. Para Kiai
                                               penceramah ini diibaratkan sebuah teko berisi
     Kiai adalah sebuah gelar kehormatan       air, yang senantiasa memberikannya kepada
yang disandang bagi seseorang yang memiliki    setiap orang yang memerlukannya, dengan
keluasan pemahaman dalam agama Islam.          cara menuangkan air ke dalam gelas. Ceramah
Di sisi lain, Kiai merupakan elemen penting    yang disampaikan Kiai ini sebagai siraman
bagi sebuah pondok-pondok pesantren di         keagamaan kepada masyarakat. Sedangkan
Indonesia. Sebab, kiai seringkali merupakan    julukan Kiai yang memiliki lembaga pondok
pendiri sebuah pesantren. Dimana sudah         pesantren adalah Kiai Sumur. Keberadaan Kiai
sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu             ini berdiam diri di rumah (pondok pesantren),
pesantren semata-mata bergantung pada          dan masyarakat akan datang ke pondok
kemampuan pribadi kiainya.                     pesantren berniat menjadi santri untuk
                                               mendapatkan pengetahuan agama. Ibarat
     Kiai dan pesantren adalah dua hal yang    orang kehausan akan mengambil air dari
hampir-hampir tidak bisa dipisahkan satu sama  dalam sumur. Masyarakat yang memerlukan
lainnya. Sebab, secara umum Kiai bukan hanya   pengetahuan agama harus datang sendiri di
orang yang memiliki keluasan pengetahuan       tempat kediaman Kiai. (Sukamto, 1999: 85-
agama. Melainkan juga orang yang sekaligus     86)
memiliki lembaga pondok pesantren. Tetapi
ada lagi sebutan Kiai yang ditujukan kepada    Kompleksitas Istilah Kiai
mereka yang memiliki pengetahuan luas
tentang agama, namun tidak memiliki lembaga         Istilah Kiai sebagian besar hanya berlaku
pondok pesantren. Kiai yang terakhir ini       di sebagian daerah Jawa Barat (Cirebon,
mengajarkan pengetahuan agama dengan cara      Indramayu, Subang), Jawa Tengah, Yogyakarta,
berceramah dari desa ke desa, menyampaikan
fatwa agama kepada masyarakat luas.
                                                                        Edisi Budaya | 201
dan Jawa Timur. Sedangkan untuk sejumlah         kepada seorang ahli agama yang berusia masih
daerah lainnya, istilah lain yang semisal Kiai   cukup muda. Sebagaimana sebutan ustadz bagi
dan lazim digunakan di daerah lainnya adalah     santri-santri senior di pesantren yang diberi
ajengan, tuan guru, anregurutta, syekh, buya,    tugas khusus oleh Kiai untuk memberikan
dan lain sebagainya.                             pengajian kepada santri junior. Sedangkan
                                                 istilah ulama yang merupakan bentuk plural
     Lalu apa persyaratan seseorang untuk        dari alim (orang yang mengerti agama) adalah
menjadi seorang Kiai? Apakah untuk menjadi       istilah yang terbilang cukup umum.
seorang Kiai ada ukuran-ukuran tertentu?
Aboebakar Atjeh menyebutkan beberapa faktor           Di sisi lain, istilah “kiai” memiliki
yang menyebabkan seseorang menjadi Kiai          perbedaan yang mencolok dengan istilah
besar, seperti: Pengetahuannya, kesalehannya,    ulama. Menurut Horikhosi, perbedaan Kiai
keturunannya dan Jumlah muridnya.                dan ulama lebih pada fungsi sosialnya. Seorang
Sedangkan menurut Karel A Steenbrink,            ulama lebih berperan dalam komunitas
dalam bukunya Pesantren, Madrasah, Sekolah,      berskala kecil, seperti di pedesaan. Sedangkan
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,             fungsi sosial Kiai lebih besar dari pada
mengemukakan kriteria lain, yaitu: Prinsip       ulama. Sedangkan fungsi sosial Kiai lebih
keluarga, ortopraksi atau kesalihan seorang      besar daripada ulama, karena ditopang oleh
Kiai, pengabdiannya pada masyarakat,             kekuatan-kekuatan karismatik. (Horikhoshi,
prinsip interpretasi yang berwibawa              1976: 211)
(pengetahuannya), dan prinsip wahyu, atau
Kiai dalam posisinya sebagai perantara wahyu.         Dari segi konsepsional, kiai dan ulama
(Asep Saeful Muhtadi, 2004: 51)                  memiliki perbedaan yang cukup tajam. Sebutan
                                                 Kiai lahir dari kesepakatan sosial yang sudah
     Jadi, untuk menjadi seorang Kiai, terlebih  lazim di sebuah komunitas masyarakat yang
dalam lingkungan masyarakat beragama,            kemudian dalam perkembangan selanjutnya
unsur-unsur tersebut di atas harus ada dalam     istilah tersebut dinisbatkan kepada orang yang
diri seseorang. Di mana modal sosial belum       memiliki kapasitas pengetahuan keagamaan
dianggap cukup bila tidak didukung dengan        yang luas. Berbeda dengan istilah ulama, yang
kemampuan keilmuan atau intelektualitasnya.      lebih cenderung diambil dari surat al-Fathir
Hal ini menunjukkan bahwa faktor keturunan       ayat 68 dimana disebutkan redaksi: Innama
hanyalah bagian dari persyaratan saja.           yakhsya Allah min ibadihil ulama, yang kemudian
                                                 diperkuat oleh sabda Nabi Muhammad SAW;
     Selain itu, secara umum Kiai dipandang      al-Ulama’ waratsatul ambiya’. (Sukamto, 1999:
sebagai sosok yang berakhlak mulia (al-akhlaq    87-88)
al-karimah), baik dalam ukuran teologis seperti
tersirat dalam kaidah-kaidah kewahyuan,          Kiai dan Perubahan Sosial
maupun dalam ukuran etika sosial, tempat
seorang Kiai itu tinggal. Ukuran akhlak ini           Para agamawan sejak dahulu sering
penting bagi seorang Kiai, sebab dalam banyak    dinilai sebagai penghambat bagi kemajuan.
hal dia menjadi panutan yang senantiasa          Karena tidak ada kemajuan tanpa perubahan,
diikuti oleh masyaraka secara tunduk. Dan,       maka mudah saja tudingan jari diteruskan
ukuran ini pula akan dengan sendirinya hilang    kepada mereka sebagai pihak yang menentang
jika sewaktu-waktu seorang Kiai dipandang        perubahan. Tanpa harus menjadi apologetik,
telah me”Langgar” etika tersebut. (Asep Saeful   kita dapat merasakan sikap itu dalam
Muhtadi, 53)                                     ungkapan “harus ada kelompok dinamis yang
                                                 akan memulai modernisasi, walaupun masih
     Di Indonesia sendiri, terdapat istilah-     ada keberatan dari mereka mempertahankan
istilah serupa Kiai yang disematkan oleh         tradisi”. Modernisasi dihadapkan kepada
masyarakat kepada seseorang yang memiliki        tradisi, perubahan dipertentangkan dengan
pengetahuan keagamaan seperti ulama dan          “statusquo”, dinamika berhadapan pada
ustadz. Sebutan ustadz biasanya disematkan
202 | Ensiklopedi Islam Nusantara
keadaan statis. (Abdurrahman Wahid, 1976)      terhadap kekuasaan kolonial. (Manfred
                                               Ziemek, 1986: 91)
     Menurut Geertz, Kiai berperan sebagai
cultural broker atau makelar budaya yang       Kiai Kharismatik dan Regenerasi Kiai
melakukan filter atau penyaringan atas arus
informasi yang masuk ke dalam lingkungan            Kenyataan bahwa nama dan pengaruh
kaum santri, menularkan apa yang dianggap      sebuah pesantren berkaitan erat dengan
berguna dan membuang apa yang dianggap         masing-masing Kiai, telah menunjukkan,
merusak bagi mereka. Berbeda dengan Geertz,    betapa kuatnya kecakapan dan pancaran
Horikoshi menyatakan bahwa Kiai berperan       kepribadian seorang pimpinan pesantren
aktif dalam perubahan sosial. Ia bukan hanya   menentukan kedudukan dan tingkat suatu
melakukan penyaringan informasi, melainkan     pesantren. Bila pada saat pendirian sebuah
menawarkan agenda perubahan yang               pesantren kepemimpinan dan kecakapan
dianggapnya sesuai dengan kebutuhan nyata      seorang Kiai menggerakkan massa merupakan
masyarakat yang dipimpinnya.                   faktor menentukan, untuk mengajak
                                               penduduk sekitarnya bekerja dan turut serta
     Dengan merujuk pada hasil penelitiannya,  dalam pembiayaan, selanjutnya seorang Kiai
Horikoshi memperbaiki –bila tidak dikatakan    sering dapat membangun peran strategisnya
mengkritik- teori Geertz tentang peranan       sebagai pimpinan masyakartak yang non
Kiai sebagai makelar budaya. Bagi Geertz,      formal melalui suatu komunikasi yang intensif
peran Kiai sebagai penyaring informasi itu     dengan penduduk. (Ziemek, 138)
akan macet manakala arus informasi yang
masuk begitu deras dan tidak mungkin bisa           Kharisma Kiai didasarkan pada kekuatan
disaring lagi oleh sang Kiai. Dalam keadaan    spiritual dan kemampuan memberi berkah
demikian, kiai akan kehilangan perananannya    bagi para santrinya. Bahkan kuburan Kiai juga
yang sekunder dan tidak kreatif, kiai akan     dipercaya dapat memberikan berkah. Sikap
mengalami kesenjangan budaya (cultural lag)    inilah yang membedakan secara tajam antara
dengan masyarakat sekitarnya. Sementara        kaum modernis dan fundamentalis yang
bagi Horikoshi kiai berperan kreatif dalam     menganggap bahwa setelah mati seseorang
perubahan sosial. Hal ini bukan karena kiai    tidak mungkin lagi ada komunikasi, dan
mencoba meredam akibat perubahan yang          setiap usaha untuk berhubungan dengannya
terjadi, melainkan justru karena sang kiai     adalah syirik. Di sisi lain, kaum tradisionalis
mempelopori perubahan sosial dengan caranya    menganggapnya sebagai sebuah aspek integral
sendiri. Ia bukan melakukan penyaringan        dari konsep wasilah, keperantaraan spiritual.
informasi, melainkan menawarkan agenda         (Martin, 2015: 88-89)
perubahan masyarakat yang dipimpinnya. Ia
bukan berperan karena menunda datangnya             Pada titik ini, kepemimpinan seorang
perubahan melalui proses penyaringan           Kiai seperti tak tergantikan. Di satu sisi ia
informasi, melainkan ia sepenunya berperan     memimpin pesantrennya dengan mengabdikan
karena ia mengerti bahwa perubahan sosial      dirinya untuk mengajar para santri, di sisi lain
adalah perkembangan yang tak terelakkan        ia harus menjaga hubungan baiknya dengan
lagi. (Wahid, 1976: xvi-xvii)                  masyarakat sekitar. Sentralitas peran seorang
                                               Kiai pun tidak bisa diwakili secara utuh oleh
     Dalam sejarah kemerdekaan Negara          santri senior yang ditunjuk sebagai lurah atau
Indonesia, Kiai memiliki peranan yang sangat   bahkan putranya sekalipun.
penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja.
Menurut Ziemek, Kiai berperan sebagai               Untuk menjadi seorang Kiai, seorang
kelompok perantara antara agama dan budaya     calon harus berusaha keras melalui jenjang
selama perkembangan sejarah kolonial di        yang bertahap. Pertama-tama, biasanya ia
Indonesia telah mendapat peranan tambahan      merupakan anggota keluarga Kiai. Setelah
sebagai pimpinan perlawanan sosial budaya      menyelesaikan pendidikan dan pelajarannya di
                                               Edisi Budaya | 203
pesantren, kiai pembimbingnya yang terakhir    mendirikan, memimpin atau mengambil alih
melatihnya mendirikan pesantrennya sendiri.    suatu pesantren, pembinaan peran seorang
Seringkali kiai pembimbing turut secara        Kiai muda dibantu oleh faktor-faktor berikut:
langsung dalam pendirian proyek pesantren
baru, sebab kiai muda dianggap mempunyai       1. Berasal dari suatu keluarga Ulama/Kiai
potensi untuk menjadi seorang alim yang baik        terpandang di lingkungannya, agar dapat
dan berfungsi sebagai penyaji santri senior.        menggunakan kesetiaan kerabat dan
(Dhofier, 97)                                       masyarakat;
     Campur tangan kiai terhadap calon kiai    2. Sosialisasi dan pendidikan dalam
biasanya tidak hanya sekadar dalam persoalan        suatu pesantren terpandang, dengan
pengetahuan, melainkan juga dalam urusan            pengalaman dan latar belakang
jodoh serta diberikan pendidikan khusus di          pengetahuan untuk memimpin sebuah
pesantren untuk mengembangkan bakan                 pesantren telah ditanamkan;
kepemimpinannya. Cara-cara inilah yang
dilakukan oleh KH Hasyim Asy’ari, pemimpin     3. Kesiapan pribadi yang tinggi untuk
Pesantren Tebuireng, kepada murid-muridnya          bertugas, yakni kemauan untuk
yang antara lain adalah Kiai Abdul Karim            mengabdikan kehidupan pribadinya dei
(pendiri pondok pesantren Lirboyo), Kiai            tugasnya di pesantren;
Jazuli (Ploso Kediri) dan Kiai Zubair pendiri
Pesantren Reksosari Salatiga. (Dhofir, 98)     4. Karena tergolong dalam suatu keluarga
                                                    Kiai (mungkin dengan perkawinan)
     Pengaruh Kiai tergantung pada kualitas         biasanya sang Kiai muda termasuk elit
pribadi, kemampuan, dan kedinamisannya,             desa yang lebih mampu, kaya, dan dapat
sehingga puteranya yang tidak memenuhi              mengerahkan sebagian harta keluarga
persyaratan yang diperlukan tidak dapat             untuk pembangunan pesantren;
menggantikan kedudukannya. Meninggalnya
seorang kiai yang demikian biasanya menjadi    5. Sebagai pimpinan agama dan masyarakat
pertanda berakhirnya fenomena kharismatik,          ia harus mampu dengan daya
dan sedikitnya masyarakat akan merasa               meyakinkan dan potensi kharismatiknya
sangat kehilangan pemimpin pemersatu dan            (menggerakkan anggota warga lingkungan
sekaligus kehilangan kekuatan attau daya bagi       yang lebih miskin untuk bekerja
kelangsungan hidupnya. (Horikoshi, 2)               suka rela dalam swadaya masyarakat
                                                    (gotong-royong) untuk membangun dan
     Pada titik ini, kaderisasi Kiai sebagai        membiayai pesantren;
pimpinan pondok pesantren adalah sesuatu
yang sangat penting. Tongkat estafet           6. Mengumpulkan dana dan bantuan
kepemimpinan Kiai biasanya diteruskan oleh          (tanah wakaf) dari warga yang berpunya.
putera, menantu, atau kerabatnya. Pada saat         (Ziemek, 136-137)
                                                                                                     [Saifuddin Jazuli]
                                            Sumber Bacaan
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Radikal dan Akomodatif, Jakarta: LP3ES,
         2004
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1986
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Yogyakarta: Gading Publishing, 2015
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta:
         LP3ES, 2011
Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1999
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1985
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981
204 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Kidung
Genealogi Kidung                                 doa sebagai sarana permintaan kepada Tuhan.
                                                 (Widodo dkk., 2013: 36).
Kidung secara terminologis diartikan
         sebagai karya sastra rakyat atau puisi       Menurut Bambang Wiwoho, sebelum
         dalam bahasa Jawa kuno, berupa cerita   Islam hadir di tanah Jawa, kidung merupakan
romantikal dan cerita pelipur lara. Kidung       susunan sastra yang ditembangkan oleh
umumnya berbentuk tembang yang dapat             orang - orang khusus (sakti) sebagai perantara
dinyanyikan. Di antara kidung yang cukup         permohonan kepada Sang Hyang Widi (Tuhan)
populer dikenal adalah Kidung Rumeksa Ing        sehingga estetika nuansa kidung sangat
Wengi karya Sunan Kalijaga. Sebuah kidung        identik dengan kesakralan dan mistis. Pada
berbahasa Jawa Tengahan dalam bentuk             zaman Wali Songo, keberadaan Kidung tetap
tembang yang memiliki makna untuk menjaga        di lestarikan, hanya saja nilai-nilai kidung
atau merawat sesuatu di malam hari. Kidung       di selaraskan dengan ajaran Islam tanpa
Rumeksa Ing Wengi merupakan kidung               mengurangi nilai kesakralan dan kemistisan
wingit (keramat), berisi mantra ataupun doa      sebagai bagian dari keindahan warisan sastra
yang disusun sebagai doa perlindungan dan        Jawa. Pada zaman Walisongo, kidung menjadi
penyembuhan. Selain kidung Rumeksa Ing           media berdakwah para wali secara halus tanpa
Wengi dalam bahasa Jawa juga terdapat kidung     menimbulkan gejolak sosial, menyusup dalam
berbahasa Bali atau yang dikenal dengan          adat budaya masyarakat Jawa waktu itu dalam
kidung Bali. Kidung ini sering dinyanyikan       menanamkan pemahaman keislaman, keesaan
pada upacara Panca Yadnya. Beberapa kidung       serta kekuasaan Tuhan, para malaikat, para
Bali diantaranya Wargasari, Tantri, Nalat,       nabi kepada masyarakat Jawa yang masih
Alis Ijo, Bramara Sangupati. Kidung-kidung       kental dengan nilai-nilai adat budaya lama
tersebut digubah di Bali yang menceritakan       termasuk agama Syiwa (Hindu – Budha).
zaman sesudah Majapahit. (Sijito, 2006: 36)
                                                      Munculnya kidung dalam sejarah Islam di
      Selaras dengan Holt (1967: 67), kidung     Jawa tidak terlepas dari sejarah Islamisasi di
merupakan karya sastra atau puisi Jawa           tanah Jawa, karena kidung merupakan salah
Kuno yang diadaptasi pada peristiwa sejarah.     satu media dakwah selain diyakini sebagai
Sedangkan menurut Wahyu Iryana, kidung           doa mistis. Keberhasilan Islamisasi di Jawa
adalah karya sastra sejenis pupuh, guguritan     juga berkat peran para mubaligh tangguh
yang memiliki makna mendalam dan biasanya        yang terhimpun dalam suatu lembaga dakwah
ditembangkan pada malam hari oleh pujangga,      yang dikenal Wali Songo. Islamisasi yang
maha guru, ataupun seorang ibu yang sedang       terjadi secara damai dengan pendekatan yang
memberi wejangan atau nasehat kepada anaknya.    akomodatif dan fleksibel dalam memahami
Dalam makna teologis, kidung merupakan           kondisi sosio-kultural masyarakat Jawa
rangkaian kata dari perpaduan sastra dan doa     sehingga para wali menciptakan kidung
sebagai sarana ritual yang disenandungkan        sebagai alat dakwah dalam menyebarkan
dengan titi nada tertentu. Disebut sastra sebab  Islam (Sijito, 2006: 32). Seperti halnya
berkaitan dengan tembang yang memiliki ciri      Kidung Gunung Jati yang menjadi falsafah
khas keindahan dan keteraturan sedangkan         hidup masyarakat Cirebon. Menurut Wahyu
                                                 Edisi Budaya | 205
Iryana, kidung tersebut kini diadopsi oleh            dengan nama kidung rumeksa ing wengi
para seniman sebagai produk budaya. Kidung            (perlindungan di malam hari). Kidung tersebut
diejawantahkan oleh para sinden dalam                 sebagai salah satu media dakwah Sunan Kalijaga
pertunjukan wayang, selametan kelahiran,              yang dituangkan dalam doa-doa berbahasa
khitanan, dan pernikahan yang dilantunkan             Jawa (mantra). Sunan Kalijaga juga menyusun
dengan gitar dan seruling. Berikut adalah             berbagai macam doa dalam bahasa Jawa untuk
contoh kidung Gunung Jati sebagai pemaknaan           berbagai kepentingan dan kegunaan masyarakat
jati diri kelahiran manusia kemuka bumi.              pada zamannya. Doa dalam bahasa Jawa berupa
                                                      kidung atau mantra diyakini masyarakat saat
     Bismillah/purwaning wiwit/liwang liwung          itu memiliki daya magis atau kekuatan gaib yang
randu kurung/ gunung sembung/ gunung                  kuat bagi pengamalnya (Sidiq, 2008: 136)
jati gunung amparan/ ingkang sejatining/
sejajare lawang sanga/kang jageni tamengana                Menurut Chodjim (2003: 16), uraian-
pasangan damar/ panggone lingging saking              uraian dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi Sunan
kursi gading gilang kencana.                          Kalijaga berkaitan dengan urusan-urusan
                                                      praktis dalam kehidupan sehari-hari. Kidung ini
     Terjemahannya: Bismillah sebagai pembuka,        mempunyai 45 bait tembang yang bermetrum
belantara Gunung Sembung, Gunung Amparan              dandhanggula, tetapi yang sering dilantunkan
Jati, yang sejati sejajar pintu sembilan simbol para  oleh orang Jawa adalah bait pertama sampai bait
wali, sebagai cahaya penerang yang menduduki          kelima. Dalam Kidung-nya ini Sunan Kalijaga
singgasana kursi gading gilang kencana.               memaparkan bahwa setiap hari manusia tidak
                                                      bisa terlepas dari istirahat (tidur) khususnya
Dinamika Kidung: Perpaduan Sastra,                    dimalam hari, namun malam merupakan tempat
Doa, dan Dakwah                                       berlindung yang baik bagi perbuatan jahat.
                                                      Kelemahan di waktu malam ini sangat penting
     Sunan Kalijaga sebagai salah satu dari           agar besoknya bisa melanjutkan kehidupan
sembilan wali (Walisongo) yang berdakwah di           di bumi. Ia menawarkan tata cara berdoa
tanah Jawa menciptakan kidung yang terkenal           keselamatan di malam hari karena keselamatan
Sumber: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/
206 | Ensiklopedi Islam Nusantara
merupakan bagian pokok dari misi agama. Agama      oleh Sunan Kalijaga dengan sangat puitis
apa saja kurang memiliki makna bagi pemeluknya     dan dianggap sakral oleh masyarakat Jawa
jika tidak ada keselamatan yang bisa ditawarkan    (Sakdullah, 2014: 13)
kepada pemeluknya (Sakdullah, 2014: 5).
                                                   Dimensi Teologis Kidung
     Kidung Rumeksa Ing Wengi ditulis oleh
Sunan Kalijaga untuk menjembatani hal-                  Kidung sebagai karya sastra tidak hanya
hal yang bersifat supranatural. Sebab, pada        berdimensi seni tetapi juga berdimensi pada
tahun-tahun awal perkembangan Islam                aspek teologi. Kidung rumeksa ing wengi
di Jawa bersifat sangat mistis yang pada           ciptaan Sunan Kalijaga memiliki makna
dasarnya merupakan kepercayaan pra-Islam           teologis yang mendalam sebagaimana yang
yang masih sangat dipengaruhi oleh paham           tertulis dalam beberapa baitnya dibawah ini.
animisme dan dinamisme. Kenyataan yang
terjadi pada saat Sunan Kalijaga menyebarkan            Ana kidung rumeksa ing wengi
Islam adalah serangan dari lawan-lawannya               teguh hayu luputa ing lara
dengan menggunakan ilmu hitam (black                    luputa bilahi kabeh
magic). Untuk membentengi diri dan para                 jim setan datan purun
pengikutnya, Sunan Kalijaga menggubah                   paneluhan tan ana wani
kidung tersebut yang berisi berbagai macam              miwah panggawe ala
mantra (doa) untuk menolak balak di malam               gunaning wong luput
hari seperti teluh, tenung, santet, dan lain-lain       geni atemahan tirta
(Sijito, 2006: 38)                                      maling adoh tan ana ngarah mring mami
                                                        guna duduk pan sirna
     Kidung Rumeksa Ing Wengi merupakan                 Sekehing lara pan samya bali
sarana dakwah dalam bentuk tembang yang                 sekeh ngama pan sami miruda
populer dan menjadi “kidung wingit” karena              welas asih pandulune
dipercaya membawa tuah seperti mantra                   sekehing braja luput
sakti. Dakwah yang dirangkai menjadi sebuah             kadi kapuk tibaning wesi
tembang berisi sembilan bait dan seolah-olah            sekehing wisa tawa
sampai saat ini kidung tersebut abadi. Orang-           sato galak tutut
orang pedesaan masih banyak yang hafal dan              kayu aeng lemah sangar
mengamalkan syair kidung ini. Sebagai sarana            songing landak guwaning mong lemah miring
dakwah kepada anak cucu, nasehat dalam                  myang pakiponing merak
bentuk tembang lebih langgeng dan awet
dalam ingatan. Sepeninggal Sunan Kalijaga,              Pagupakaning warak sakalir
kidung ini menjadi milik rakyat, mereka                 nadyan arca myang segara asat
dengan tulus membaca dan mengamalkannya                 temahan rahayu kabeh
sebagai doa (Purwadi, 2003: 191-192).                   apan sariro ayu
                                                        ingideran kang widadari
     Kidung Rumeksa Ing Wengi lebih dari                reneksa malaikat
sebuah karya sastra yang berupa simbol                  sekatahing rarasul
verbal, namun juga menjadi media pendidikan             pan dadi sarira tunggal
dan juga alat dakwah Sunan Kalijaga saat                ati Adam utekku baginda Esis
itu. Kidung tersebut memiliki kandungan                 pangucapku ya Musa
isi filosofis dan bermakna sangat mendalam
serta memuat unsur-unsur teologis Islam yang            Napasku Nabi Isa linuwih
mencakup beberapa aspek kehidupan manusia               Nabi Yakub pamyarsaningwang
dan masih relevan sampai sekarang. Adapun               Yusuf ing rupaku mangke
unsur-unsur teologis yang terkandung dalam              Nabi Daud swaraku
Kidung tersebut mencakup tentang Tuhan,                 Jeng Sulaiman kasekten mami
manusia, dan hubungan manusia dengan
Tuhan. Semua unsur teologis tersebut dikemas
                                                   Edisi Budaya | 207
Nabi Ibrahim nyawa                        Lamun arsa tulus nandur pari
Idris ing rambutku                        puwasaa sawengi sadina
Baginda Ali kulitingwang                  iderana galengane
Abu Bakar getih daging Umar singgih       wacanen kidung iki
balung baginda Usman                      sekeh ngama sami abali
                                          yen sira lunga perang
Sumsungingsun Fatimah linuwih             wateken ing sekul
Siti Aminah bajuning angga                antuka tigang pukulan
Ayub ing ususku mangke                    mungsuhira rep sarirep tan ana wani
Nabi Nuh ing jejantung                    rahayu ing payudan
Nabi Yunus ing otot mami
netraku ya Muhammad                       Sing sapa reke bisa nglakoni
panduluku Rasul                           amutiha lawan anawaa
pinayungan Adam syara’                    patang puluh dina bae
sampun pepak sekatahing para Nabi         lan tangi wektu subuh
dadya sarira tunggal                      lan den sabar sukuring ati
                                          Insya Allah tinekan
Wiji sawiji mulane dadi                   sukarsanireku
apan pencar saisining jagad               tumrap sanak rakyatira
kasamadan dening date                     saking sawabng ngelmu pangiket mami
kang maca kang angrungu                   duk aneng Kalijaga
kang anurat kang anyimpeni
dadi ayuning badan                   Terjemahannya:
kinarya sesembur
yen winacakna ing toya                    Ada nyanyian yang menjaga di malam
kinarya dus rara tuwa gelis laki     hari. Kukuh selamat terbebas dari penyakit.
wong edan nuli waras                 Terbebas dari semua malapetaka. Jin setan
Lamun ana wong kadendan kaki         jahat pun tidak ada yang berani. Juga berbuat
wong kabanda wong kabotan uatang     jahat. Guna-guna pun tak ada yang berani.
yogya wacanen den age                Api dan juga air. Pencuri pun jauh tak ada
nalika tengah dalu                   yang menuju padaku. Guna-guna sakti pun
ping sawelas macanen singgih         lenyap. Semua penyakitpun bersama-sama
luwar saking kabanda                 kembali, Barbagai hama sama-sama habis,
kang kadenda wurung                  Dipandang dengan kasih sayang, Semua
aglis nuli sinahuran                 senjata lenyap, Seperti katuk jatuhnya besi,
mring Hyang Sukma kang utang punika  Semua racun menjadi hambar, Binatang buas
singgih                              jinak, Kayu ajaib dan tanah angker, Lubang
                                     landak rumah manusia tanah miring, Dan
208 | Ensiklopedi Islam Nusantara
tempat merak berkipu. Tempat tinggal semua      teologis tentang Tuhan, manusia, dan relasinya
badak, Walaupun arca dan lautan kering, Pada    dengan Tuhan. Persoalan teologis tersebut
akhirnya semua selamat, Semuanya sejahtera,     dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi
Dikelilingi bidadari, Dijaga oleh Malaikat,     masyarakat Jawa dalam menghadapi datangnya
Semua rasul menyatu menjadi berbadan            beragam tantangan zaman. Pertama, Tuhan.
tunggal, Hati Adam, otakku Baginda Sis,         Iman kepada Allah menjadikan landasan yang
Bibirku Musa Napasku Nabi Isa as, Nabi Yakub    kuat bagi kehidupan setiap Muslim untuk
mataku, Yusuf wajahku, Nabi Daud suaraku,       mengarungi bahtera kehidupan yang penuh
Nabi Sulaiman kasaktianku, Nabi Ibrahim         dengan gelombang sehingga mereka tidak
nyawaku, Idris di rambutku, Baginda Ali         bimbang, tidak ragu-ragu menghadapi setiap
kulitku, Abu Bakar darah, daging Umar, balung   persoalan. Pikirannya cerah, hatinya terang
baginda Usman. Sumsumku Fatimah yang            dan tentram, mempunyai pendirian yang kuat
mulia, Siti Aminah kekuatan badanku, Ayub       serta mempunyai sikap optimis dalam hidup
dalam ususku, Nabi Nuh di jejantung, Nabi       sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran: “Yaitu
Yunusdi ototku, Mataku Nabi Muhammad,           orang-orang yang beriman dan hati mereka
Wajahku Rasul, Dipayungi oleh syariat Adam,     menjadi tentram dengan mengingat Allah.
Sudah meliputi seluruh para Nabi, Menjadi       Ingatlah Allah hanya dengan mengingat Allah
satu dalam tubuhku. Kejadian dari biji-biji     hati menjadi tentram.” (QS.al-Ra’d [13]:28).
yang satu, kemudian berpencar keseluruh
dunia, terimbas oleh Dzat-Nya, yang membaca          Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa.
dan yang mendengarkan, yang menyalin dan        Segala sesuatu mengenai Tuhan disebut ke-
yang menyimpannya, menjadi keselamatan          Tuhan-an. Iman kepada Allah merupakan
badan, sebagai sarna pengusir, jika dibacakan   dasar-dasar keselamatan manusia menurut
dalam air, dipakai mandi perawan tua cepat      al-Quran. Tanpa keimanan ini perbuatan
bersuami. Orang gila cepat sembuh. Jika         manusia menjadi sia-sia. Demikian pula
ada orang didenda cucuku. Atau orang yang       dinyatakan bahwa kekufuran menghapus
terbelenggu keberatan hutang. Maka bacalah      amal, sebagaimana syirik, ketiadaan iman,
dengan segera. Di malam hari. Bacalah dengan    pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah dan
sungguh-sungguh sebelas kali. Maka tidak        kehidupan yang berdasarkan kepentingan
akan jadi didenda. Segera terbayarkan oleh      duniawi semata. Sedemikian sentralnya posisi
Tuhan. Karena Tuhanlah yang menjadikannya       teologis dalam Islam, sehingga dengan hal
berhutang. Yang sakit segera sembuh.            tersebut diukur segala perbuatan manusia,
                                                baik dan buruknya. Allah pun memberikan
     Jika ingin bagus menanam padi.             sarana kepada manusia untuk sampai kepada-
Berpuasalah sehari semalam. Kelilingi           Nya (Sakdullah, 2014: 5).
pematangnya. Bacalah nyanyian itu. Semua
hama kembali. Jika engkau pergi berperang.           Dari kata-kata ‘ana Kidung rumeksa
Bacakan kedalam nasi. Makanlah tiga suapan.     ing wengi’ (ada nyanyian yang menjaga di
Musuhmu tersihir tidak ada yang berani.         malam hari), Sunan Kalijaga ingin mengajak
Selamat di medan perang. Siapa saja yang dapat  umat Islam saat itu untuk membaca dan
melakukan puasa mutih dan minum air putih       mengamalkan sungguh-sungguh Kidung-nya
selama 40 hari. Dan bangun waktu subuh.         ini demi keselamatan di malam hari. Sebab
Bersabar dan bersyukur di hati. Insya Allah     dengan cara inilah niscaya mereka akan
tercapai semua cita-citamu. Dan semua sanak     selamat dari berbagai macam kejahatan yang
keluargamu. Dari daya kekuatan seperti yang     berasal dari jin, setan, dan manusia yang
mengikatku ketika di Kalijaga (Wiryapanitra,    menggunakan ilmu hitam. Sunan Kalijaga
1979:12)                                        menekankan pentingnya berjaga-jaga dari
                                                kejahatan di malam hari yang merupakan
     Menurut Sakdullah (2014: 5), dalam         pemahaman Sunan Kalijaga atas surah al-
Kidung Rumeksa Ing Wengi terdapat unsur-unsur   Falaq dan an-Nas, yang masing-masing
                                                berbunyi sebagai berikut: Katakanlah: “Aku
                                                Edisi Budaya | 209
berlindung kepada Tuhan yang menguasai          dapat dijadikan pedoman tekad sehingga
subuh; dari kejahatan makhluk-Nya; dan dari     pada siang harinya dapat mawas dan sadar
kejahatan malam apabila telah gelap gulita;     diri. Bila tujuannya tadi dapat tercapai dengan
dan dari kejahatan wanita-wanita tukang         Sang Sabda Kun maka tentu juga memiliki
sihir yang menghembus pada buhul-buhul;         daya kekuasaan seperti yang dijelaskan dalam
dan kejahatan orang yang dengki apabila ia      Kidung Rumeksa Ing Wengi (Sakdullah, 2014:
dengki” (QS. al-Falaq [113]: 1-5). Katakanlah:  8-9).
“Aku berlindung kepada Tuhan manusia; Raja
manusia; Sembahan manusia; dari kejahatan            Kedua, tentang manusia. Sunan Kalijaga
(bisikan) setan yang biasa bersembunyi; Yang    pun mengajarkan jati diri manusia kepada
membisikkan (kejahatan) ke dalam dada           masyarakat. Seperti juga pada do’a ajaran
manusia; dari jin dan manusia” (QS. an-Nas      tentang falsafah kehidupan yang dituangkan
[114]: 1-6). Pada ayat ke-3 surat al-Falaq      dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi. Ajaran
disebutkan “dan dari kejahatan malam apabila    Kidung Rumeksa Ing Wengi Sunan Kalijaga,
telah gelap gulita”, yang mengisyaratkan bahwa  lebih difokuskan kehidupan nyata menjadi
biasanya malam memang menakutkan, karena        manusia yang waspada. Sunan Kalijaga
sering kali kejahatan dirancang dan terjadi     mengajak untuk memahami perjalanan hidup
dicelah kegelapannya, baik dari para pencuri,   dan posisi seseorang dalam menghadapi
perampok, pembunuh, maupun binatang             hidup agar bisa menerima tugas atau kodrat
buas, berbisa, atau serangga. Tentu, malam      yang telah disetujui dengan suka rela dalam
tidak selalu melahirkan kejahatan. Sebaliknya,  mengemban tugas dengan hati yang lapang
bahkan dalam al-Quran (QS. al-Muzzammil         (Sakdullah, 2014: 10).
[73]: 6) memuji malam sebagai saat yang
terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah          Sunan Kalijaga dalam Kidung Rumeksa Ing
(Sakdullah, 2014: 9).                           Wengi juga memberikan warisan pengetahuan
                                                berharga yang terangkum dalam syair dibawah
     Dengan demikian, peringatan Sunan          ini:
Kalijaga agar berhati-hati di malam hari itu
ada dua hal yang disampaikannya. Pertama,            Songing landak guwaning wong lemah
pada saat itu memang kejahatan sering terjadi        miring,
pada malam hari. Kedua, ia sesungguhnya              Myang pakiponing merak
tengah menafsirkan firman Allah dalam surat
al-Falaq dan an-Nas tersebut secara implisit.        Liang landak jadilah gua untuk orang
Hal ini didasarkan pada bentuk-bentuk                berlaku jahat
kejahatan yang dikemukakannya sangat                 Dan tempat merak bermandi pasir.
berkaitan dengan bentuk-bentuk kejahatan
dalam kedua surat tersebut. Karena itu,              Penggalan bait diatas merupakan makna
tempat untuk berlindung yang sejati adalah      kiasan yang ada dalam kidung Rumeksa
kepada Allah, yang menguasai alam semesta       Ing Wengi. Songing landak guwaning wong
dan seluruh makhluk di dunia ini. Haruslah      lemah miring, myang pakiponing merak.
dipahami sebagai kiasan, adapun filosofis       Wiryapanitra (1979) menjelaskan bahwa
yang sesungguhnya itu adalah Sang Sabda         makna filosofi sebenarnya adalah asal-usul
Kun (Sang Guru Sejati atau Tuhan Yang Maha      kejadian manusia. Sebagai perantaranya adalah
Esa). Dialah yang menjaga malam artinya Sang    laki-laki dan perempuan (bapak dan ibu).
Guru Sejati tersebut akan membawa segala        Adapun keterangan dari bapak ibu terlebur
kepastian (takdir) manusia dan yang memiliki    dalam perpaduan kama (persetubuhan dalam
daya kuasa yang demikian besar itu. Maka sama   bentuk mani/sperma, madi/ovum, wadi/rasa
dengan orang yang sudah menguasai ilmu, bila    malu pada laki-laki dan maningkem/rasa malu
waktu malam selalu berdoa menunggu ilham        pada perempuan). Di situlah Sang Maha Suci
apa yang harus dilakukannya setiap harinya      menciptakan makhluk (Sakdullah, 2014: 11).
                                                     Ketiga, Hubungan Manusia dengan
                                                Tuhan. Dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi ini
                                                menunjukkan tentang teologis yang ketiga
210 | Ensiklopedi Islam Nusantara
yaitu hubungan manusia dengan Tuhan,             yang tersimpan di dalam rusuk. Tidak ada
haltersebut tercermin pada potongan bait ke      satupun musibah, penderitaan, ancaman
delapan yang berbunyi sebagai berikut:           dan kesengsaraan duniawi yang mampu
                                                 menggeser kedua kakinya, sehingga ia bersedia
     Lan den sabar sukur ing Ati Widhi           mengendorkan tali kesadaran yang mengikat
     Insya Allah tinekanan                       keteguhan dirinya itu. Kekuatan sabar,
     Sakarsanireku                               tawakkal, dan istiqamah seperti ini merupakan
                                                 kekuatan yang jauh di atas kekuasaan
     Seperti dijelaskan diatas yakni setiap      manusia sehingga para Rasul ataupun para
perbuatan ditampakkan dengan sikap sabar,        Nabi mampu menghadapi kesulitan dan
syukur dan pasrah kepada Tuhan sehingga          kejahatan tanpa mempergunakan kekuatan
apabila ini dilakukan dengan sungguh-            fisik ketika menaklukkannya. Kejahatan atau
sungguh apa yang dicita-citakan dapat            kesulitan dapat muncul di malam hari baik
dikabulkan oleh Tuhan. Secara implisit kidung    yang berasal dari kejahatan manusia, binatang
ini mengajak untuk menguatkan tauhid             dan sebagainya. Sehingga dengan menyakini
seseorang kepada Tuhan mengingat sangat          bahwa kekuatan Allah yang mampu membelah
tidak mungkin seseorang syukur serta pasrah      kegelapan malam dengan terangnya pagi maka
kepada sesuatu yang tidak ia percayai. Kualitas  akan lahir keyakinan bahwa Allah juga mampu
keyakinan penuh terhadap Tuhan dengan            menyingkirkan kejahatan dan kesulitan baik
mengharap ampunan dan kemuliaan dari-            kapanpun dan dimanapun akan muncul
Nya bisa meningkatkan jiwa orang beriman         pertolongan untuk menyingkirkan kesulitan
kepada Tuhan itu sampai pada tingkat sabar,      (Sakdullah, 2014: 12).
teguh dan tawakkal kepada-Nya, dimana
keteguhan hati bisa diibaratkan sebagai batu                              [Arik Dwijayanto & Dawam Multazam]
                                            Sumber Bacaan:
Chodjim, Achmad. 2000. Mistik dan Ma’rifat Sunan Kalijaga, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca: Cornel UP.
Iryana, Wahyu. 2015. Kidung Sunan Gunung Jati, Makalah tidak publikasikan.
Purwadi, 2004. Dakwah Sunan Kalijaga: Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural, Yogyakarta: Pustaka
         Pelajar.
Sakdullah, M. 2014. “Kidung Rumeksa Ing Wengi Karya Sunan Kalijaga Dalam Kajian Teologis,” Jurnal Teologia,
         Volume 25, Nomor 2, Juli-Desember.
Sidiq, Achmad. 2008. “Kidung Rumeksa Ing Wengi: Studi Tentang Naskah Klasik Bemuansa Islam.” Jurnal Analisa
         Volume XV, No.01, Januari – April.
Sijito, Riyanto. 2006. “Kidung Rumeksa Ing Wengi Karya Sunan Kalijaga Dalam Kajian Teologis.” Skripsi Fakultas
         Ushuluddin IAIN Walisongo.
Tanoyo, R. 1975. Kidungan Ingkang Djangkep. Solo: Sadu Budi.
Widodo, Wahyu dkk. 2013. “Mantra Kidung Jawa: Perangkat Linguistik dan Kemanjuran.” Jurnal Transling Volume 1
         Nomor 1, UNS.
Wiryapanitra, R. 1979. “Serat Kidungan Kawedhar,” Jakarta: Depdikbud.
                                                 Edisi Budaya | 211
Kupatan
Kupatan” atau “Lebaran Kupat”                     Nusantara. Di Jawa makanan ini dikenal
         adalah salah satu tradisi Islam khas     dengan nama kupat. Bahan dasar ketupat
         Nusantara yang dilakukan pada hari       adalah beras yang kemudian dimasukkan ke
ke-8 bulan Syawwal. Tradisi ini masih lestari     dalam pembungkus berbentuk segi empat
dan dilakukan turun temurun khususnya di          yang terbuat dari anyaman daun kelapa (janur)
kalangan masyarakat Jawa.                         yang masih muda. Setelah terbungkus rapat,
                                                  ketupat kemudian dikukus hingga matang.
      Masyarakat Jawa memiliki dua kali           Makanan ini jamak dijumpai saat perayaan
tradisi lebaran, yaitu “lebaran idul fitri” yang  lebaran Idul Fitri (1 Syawwal) dan lebaran
dirayakan pada tanggal 1 Syawwal, dan lebaran     ketupat (8 Syawwal).
yang kedua adalah “lebaran ketupat” yang
terjadi pada tanggal 8 Syawwal, yaitu setelah          Di luar masyarakat Jawa, “ketupat” dikenal
puasa sunnah Syawwal selama enam hari. Hari       dengan nama yang berbeda-beda. Di Sunda,
raya ketupat atau lebaran ketupat ini dikenal     misalnya, makanan ini dikenal dengan nama
juga dengan istilah “kupatan”.                    “kupat”, atau “tupat” (Betawi), “tipat” (Bali),
                                                  “katupat” (Banjar), “patupat” (Kapampangan),
      Umumnya, masyarakat Jawa merayakan          “katupa” (Makassar), “katupek” (Minang),
hari raya “kupatan” ini dengan membuat
ketupat dan berdoa bersama di mushola,                     Suasana halaman Masjid Al-Yahya di lingkungan
masjid, atau lapangan terbuka. Setelah ritual              Dukuhan RT 01 RW 03 Kelurahan Mlangsen Blora.
berdoa bersama selesai, mereka pun makan
ketupat bersama dengan aneka macam lauk                          Sumber: http://www.infoblora.com/
pauknya, seperti gulai, opor, rendang, dan
aneka masakan lainnya. Setelah acara makan-
makan bersama selesai, sebagian dari mereka
ada yang berziarah ke makam keluarga yang
sudah meninggal, atau saling kunjung dan
bersilaturahim antar sanak famili dan kerabat
yang masih hidup. Ada juga yang memeriahkan
hari raya ketupat ini dengan menggelar
karnaval dan festival rakyat. Di beberapa
wilayah pesisir utara laut Jawa, sebagian
masyarakat memeriahkan hari raya ini dengan
festival laut.
      Suasana kehangatan, kebersamaan,
silaturahim, saling memaafkan, saling berbagi,
dan gotong royong terasa demikian sangat
kuat terpancar dalam ritual tradisi “kupatan”
ini.
      “Ketupat” adalah jenis kudapan khas
212 | Ensiklopedi Islam Nusantara
“ketopak” (Madura), “atupato” (Gorontalo),                  Kupat dan Menu lauknya.
“topat” (Lombok), dan lain-lain.
                                                                  Sumber; http://mtsmaarifkarangan.blogspot.co.id/
     Sebagaimana tradisi “kupatan” atau
“lebaran kupat” di masyarakat Jawa, tradisi       berhubungan dengan hak-hak Allah (habl min
ini pun dikenal di pelbagai wilayah Nusantara     Allâh) dan juga hak-hak manusia (habl min
lainnya dengan nama yang berbeda-beda, dan        al-nâs). Karena itulah, keberadaan “kupat”
jenis ritual dan festival yang juga berbeda-      jamak dijumpai saat hari raya lebaran yang
beda.                                             merupakan hari raya kembali pensucian diri
                                                  dan momen saling memaaf-maafkan antar
     Ketupat bukan hanya sekedar makanan          sesama. Ketupat seolah-olah manifestasi dari
belaka. Lebih dari itu, ketupat juga memiliki     ungkapan doa yang lazim dipanjatkan saat hari
nilai filosofi yang sarat makna. Tradisi ketupat  raya idul fitri, yaitu “kullu ‘âm wa nahnu ilâ Allâh
erat kaitannya dengan sejarah awal penyebaran     wa al-hasanât aqrab. Taqabbalallâhu minnâ wa
agama Islam di Jawa yang dilakukan oleh Wali      minkum” (semoga setiap tahun kita semakin
Sanga, khususnya Sunan Kali Jaga.                 dekat dengan Allah dan kebaikan-kebaikan.
                                                  Semoga Allah [memaafkan kita semua dan]
     Dalam proses islamisasi masyarakat           menerima amal kita).
Jawa, para Wali Sanga dikenal dengan
metode dakwahnya yang sarat akan filosofi              “Kupat” juga merupakan kependekan
makna, kearifan lokal, dan simbol-simbol          dari “laku papat” atau “empat tindakan”
kebijaksanaan. Termasuk hal ini adalah usaha      yang merupakan etape stasiun spiritual”
Sunan Kali Jaga, salah satu anggota dewan         (al-maqâmât al-rûhiyyah al-arba’ah), yaitu
Wali Sanga, untuk menjadikan “ketupat” dan        (1) lebaran, (2) luberan, (3) leburan, dan (4)
“lebaran” sebagai salah satu sarana dakwah        laburan.
Islam.
                                                       Tindakan pertama adalah “lebaran”, yang
     Orientalis H.J. de Graaf dalam “The          berasal dari kata lebar (usai atau selesai). Di
Malay Annals” menyatakan bahwa ketupat            sini, lebaran menandakan sudah usai dan
merupakan simbol perayaan hari raya Islam         berakhirnya waktu menjalankan ibadah puasa
pada masa Wali Sanga, tepatnya masa               selama sebulan penuh di bulan Ramadhan.
pemerintahan Kesultanan Demak yang
berpusat di Jawa dan dipimpin Raden Patah              Tindakan kedua adalah “luberan”, yang
awal abad ke-16 M.                                berasal dari kata luber (meluap atau melimpah).
                                                  Dalam hal ini luberan diartikan sebagai ajakan
     Dalam bahasa Jawa, “kupat” berasal           untuk saling berbagi limpahan rezeki dengan
dari asal kata “papat” atau empat, dan juga       berzakat dan bersedekah untuk kaum miskin
bentuknya yang “persegi empat”. Hal ini
adalah simbol yang hendak mengarahkan
kepada esensi rukun ajaran agama Islam yang
keempat, yaitu puasa bulan Ramadhan.
     Kupat dalam bahasa Jawa juga konon
merupakan kependekan dari kalimat “ngaku
lepat” yang berarti “mengakui kesalahan”.
Karena itu, saling berbagi dan memberi kupat
di hari raya lebaran idul fitri dan lebaran
ketupat adalah symbol atas pengakuan
kesalahan dan kekurangan diri masing-masing
terhadap Allah, terhadap keluarga, handai
taulan, dan juga terhadap sesama.
     “Ketupat” adalah simbolisasi makna
permohonan ampun dan maaf yang
                                                  Edisi Budaya | 213
dan mereka yang berhak menerimanya.               Shirât-alladzîn-a an’amta ‘alaihim ghair-il
                                                  maghdhûbi ‘alaihim wa lâdh-dhâllîn”.
     Tindakan ketiga adalah “leburan”,
yang berasal dari kata lebur (melebur atau             Sebagian sumber menyatakan jika lebaran
menghilangkan). Artinya mengakui kesalahan,       ketupat pertama kali diperkenalkan oleh
memohon maaf dan memberi maaf. Manusia            Sunan Kalijaga dan Raden Patah saat masa
dituntut untuk saling memaafkan antar satu        pemerintahan Kesultanan Demak. Saat itu,
sama lain. Dengan demikian, dosa-dosa dan         beliau memperkenalkan dua lebaran kepada
kesalahan pun menjadi lebur.                      masyarakat Jawa, yaitu lebaran (bada) idul fitri
                                                  dan lebaran kupat.
     Adapun tindakan yang keempat adalah
“laburan”, yang berasal dari kata labur, atau          Lebaran Idul Fitri dilaksanakan pada
kapur untuk memutihkan dinding rumah              tanggal 1 Syawwal setelah umat Muslim
dan menjernihkan air. Dalam hal ini, leburan      melaksanakan ibadah puasa selama satu
memaksudkan agar manusia selalu menjaga           bulan penuh di bulan Ramadhan. Lebaran Idul
kesucian lahir dan batinnya.                      Fitri dimaknai dengan prosesi pelaksanaan
                                                  shalat id hingga tradisi saling kunjung dan
     Dibungkusnya ketupat dengan daun             memaafkan sesama muslim. Setelah itu, beliau
kelapa muda yang dianyam juga memiliki nilai      menganjurkan masyarakat Muslim Jawa
filosofi tersendiri. Dalam bahasa Jawa, daun      generasi awal untuk kembali berpuasa sunnah
kelapa muda pembungkus ketupat dikenal            selama 6 hari, yaitu sejak 2 Syawwal hingga
juga dengan nama “janur”.                         7 Syawwal. Selepas menjalani puasa Sunnah
                                                  selama enam hari itulah, dirayakan kembali
     Kata “janur” berasal dari bahasa Arab,       “lebaran syawwal” atau “lebaran kupat”.
yaitu “jâ’a nûr”, yang atinya “telah datang
seberkas cahaya terang”. Filosofi makna yang           Tradisi “lebaran kupat” ini pada gilirannya
tersimpan di balik “janur” sebagai bungkus        menyebar ke pelbagai pelosok Nusantara
“kupat” adalah bahwa manusia senantiasa           beriringan dengan menyebarnya agama
mengharapkan datangnya cahaya petunjuk            Islam di wilayah itu. Maka tidaklah heran
dari Allah yang memberikan petunjuk dan           jika tradisi “lebaran ketupat” ini pun akan
membimbing mereka pada jalan kebenaran            banyak dijumpai di wilayah-wilayah lain di
yang diridhai oleh-Nya, bukan pada jalan yang     luar masyarakat Muslim Jawa, tentu dengan
tidak disukai oleh-Nya.                           istilah yang berbeda-beda dan dengan berbagai
                                                  macam variasi ritual perayaan yang berbeda-
     “Janur” seakan-akan sebuah simbolisasi       beda pula.
atas harapan yang dipanjatkan umat Islam dan
manifestasi atas do’a yang termaktub dalam                                                          [A Ginanjar Sya’ban]
surat al-Fâtihah; “ihdinâ-s shirâth-al mustaqîm.
214 | Ensiklopedi Islam Nusantara
L
          Ladunni
Lampu Cangkok/Colok,
          Langgar
          Lebaran
Ladunni
Orang Islam Nusantara sudah lama                    yang artinya “hampir denganku, dekatku, di
          mengenal istilah Ladunni; atau yang       sisiku”; (3) akronim dari kata lada tsanaiyah
          biasa dilafalkan orang Jawa dengan        (tarkib majzi) atau hayyarah yang berarti
Iladuni (menggabungkan kata ilmu dan                mengherankan atau mengagumkan.
ladunni). Kemampuan Iladuni di Jawa erat
kaitannya dengan kemampuan meramalkan                    Sedangkan secara terminology ladunni
kejadian yang akan datang dan belum                 merupakan istilah ahli tasawuf untuk
diketahui oleh orang biasa yang disebut “tiyang     menyebut ilmu intuitif tanpa proses belajar.
petang iladuni palakiyah”. Orang yang memiliki      Dalam kitab Al-Lujjain al-Daniy fi Dzikr Nubdat
kemampuan Iladuni termasuk 3 (tiga)                 min Manaqib al-Quthb al-Rabbani Syekh Abd
kelompok orang suci yang sangat dihormati           al-Qadir al-Jailani, misalnya, ada kalimat;
dan dijunjung tinggi di Jawa.                       wa afadh ‘alahim min buhur al-mawahib al-
                                                    laduniyyat (semoga Allah SWT memberikan
      Hal ini seperti terdeskripsikan dalam         kepada mereka samudra berupa ilmu berian
Babad Tanah Jawi yang menuturkan nasehat            berupa ilmu ladunni --yang aman dari keraguan
Senopati kepada Pangeran Banowo di Keraton          dan kekeliruan yang berbeda dari ilmu yang
Pajang, yakni; (a) kalau memerlukan nasehat         diperoleh melalui penggunaan nalar (nazhar)
mengenai tata tertib negara, maka harus             dan akal pikiran; peny.). Ilmu Ladunni disebut
minta petunjuk kepada para Pandhita (Yen dika       pula ilmu kasyf dan dzauq serta ilm al-mawhub
pakewedan mranata Negara atakena dhateng            merupakan ilmu para nabi dan para wali. Ilmu
pandhita); (b) kalau ingin tahu mengenai            ini “lawan” dari ilmu muktasab yakni ilmu yang
ramalan waktu yang akan dating, maka harus          diperoleh melalui proses pembelajaran.
minta nasehat kepada ahli ilmu ladunni (Yen
dika ajeng sumerep ingkang dereng kelampahan,            Menurut Ibn ‘Arabi setiap ilmu yang
atakena dhateng “tiyang petang iladuni              diperoleh manusia sebetulnya bisa muncul
palakiyah”); dan (c) kalau ingin mendapat           spontan dari dalam jiwanya yang kemudian
kekuatan gaib atau kesaktian, maka dapat            muncul sedikit demi sedikit dan sebelumnya
dicari pada orang-orang yang bertapa (yen dika      masih bersifat global. Kemunculannya tak lain
ajeng sumerep ing kesakten, atakena dhateng         hanyalah pengingatan kembali ilmu fitri yang
tiyang ahli tapa).                                  diberikan Allah SWT sewaktu pengambilan
                                                    janji. Boleh jadi manusia melupakannya,
      Secara etimologi, Ladunni berasal dari        padahal ilmu itu tetap berada di kedalam
akar kata; (1) Laduna-yaldunu-lad nah yang          jiwanya dan tidak terhapus selama ia masih
tersambung dengan ya’ nisbat yang berarti           mau mengetahuinya (Al-Futuhat al-Makkiyah:
“sesuatu yang terbilang lembut”; (2) ladun-         II, 686; Mawaqi’ al-Nujum wa Mathali’ Ahl al-
ladan-ludun (dzaraf) yang berakhiran nun            Asrar wa ‘Ulum; 45).
wiqayat dan ya’ nisbat --seperti dalam bait Al-
Fiyah ibn Malik; “wa fi ladunni laduni qalla wafi”       Pandangan serupa juga dikemukakan
                                                    Al-Ghazali yang menyatakan: seluruh ilmu
                                                    Edisi Budaya | 217
sebenarnya telah tersimpan dalam instink          sufi) adalah kewajiban, karena orang yang
manusia secara alami sehingga ilmu itu            menempuh suluk sebelum mantap ilmunya ia
bukanlah sesuatu yang baru dating dari luar.      mudah terkena was-was dan kekeliruan (Ihya
Ia telah tersimpan dalam jiwa semenjak di         Ulum al-Din; I, 301).
alam malakut dan baru muncul kemudian. Hal
ini sama dengan air yang ada di dalam bumi,            Sementara datangnya ilmu ladunni
minyak goring di dalam kelapa, dan air mawar      kepada seseorang, di antara para Sufi terdapat
di dalam bunga mawar (Ihya Ulum al-Din; 147-      perbedaan pendekatan. Menurut Ibn Arabi
148).                                             dan para pengikutnya, bahwa ilmu ladunni
                                                  tidak bisa diraih dengan usaha yang dilakukan
     Kemasyhuran ilmu ladunni di kalangan         oleh manusia, karena ia merupakan pemberian
ahli tasawwuf diduga didasarkan pada              Ilahi yang diberikan kepada hamba yang
perkataan Abu Yazid al-Busthami yang              dikehendaki-Nya.
mengkritik para ahli hadits; “Mereka (para
ahli hadits) mengambil ilmu mati dari orang            Ibn Arabi menuturkan pengalaman
mati, sedangkan kita mengambil ilmu hidup         pribadinya sebagai berikut: Sesungguhnya,
dari Yang Maha Hidup dan tidak akan mati (al-     dirinya tidak pernah berpikir sama sekali
Muhyi). Ungkapan ini lalu diikuti oleh tokoh-     meminta kepada al-Haqq untuk mengetahui
tokoh sufi lainnya, seperti Al-Syibli yang        salah satu ciptaan (kawn) atau suatu peristiwa
dalam gubahan syairnya menyebutkan: “Ketika       (haditsah). Tetapi yang dilakukannya adalah
mereka menuntutku dengan ilmu tulis, tampak       merelakan diri dan menyerahkan segala
dari mereka ilmu yang janggal”.                   urusan jiwanya kepada-Nya, sampai Allah
                                                  SWT memperlakukannya dalam perlakuan
     Ibn Arabi juga memiliki pandangan            yang disenanginya. Ia tidak ingin diberikan
sendiri tentang ilmu intuitif ini di tengah       maqam tertentu oleh Allah yang lebih tinggi
arus besar perkembangan ilmu eksoterik dan        dari manusia lainnya, kerena ia memandang
para tokohnya. Menurutnya, mereka adalah          bahwa hal itu terjadi sebagai efek dari ibadah
ulama lahiriah yang terhalang pandangannya        yang betul-betul murni.
dalam melihat ilmu yang sahih karena mereka
mengambil ilmunya dari kitab-kitab dan lidah           Selain itu pemilik ilmu ladunni hakekatnya
para tokoh. Mereka, menurut Ibn Arabi, adalah     ialah orang yang bukan mencarinya melainkan
ahli ilmu kertas (Mawaqif Ibn ‘Arabi min Ahl al-  datang sendiri kepadanya secara tiba-tiba
Zhahir wa al-Falasifah, 54-55). Demikian juga     sebab ilmu ini tidak mempunyai hakekat yang
pernah dinisbatkan bahwa sebagian dari kaum       dapat ditelusuri kembali (mustanad). Manusia
sufi telah membuang kitab-kitabnya ke lautan      yang mengalaminya tidak mengetahui dari
atau menguburnya dengan keyakinan bahwa           mana datangnya. Ilmu ini sangat lembut
cara ini dapat menggapai wushul (sampai           sehingga yang mengetahuinya hanyalah jiwa-
kepada hakekat al-Haqq), sedangkan bersibuk       jiwa dan lubuk hati kaum arif. Ilmu ladunni,
diri dengan kitab-kitab setelah wushul adalah     masih menurut Ibn Arabi, merupakan imbalan
suatu kesalahan (Al-Shufiyyat wa al-‘Aql, 233).   bagi tindakannya mengikuti jejak Rasulullah
                                                  SAW dalam semua ucapan dan perilakunya;
     Sekalipun demikian, bukan berarti ulama      dan bahwa kaum arif pemilik ilmu ini juga
sufi menolak eksistensi akal dan ilmu muktasab    senantiasa menapaki jejak para Nabi terdahulu
karena para ulama sufi juga menjadi pakar         (Al-Munqid min al-Dhalal, 137; Al-Khayal fi al-
di bidang ilmu-ilmu al-Qur’an, tafsir, hadits,    Mazhab Muhyiddin ibn Arabi: 94-97).
dan fiqh. Al-Ghazali juga mengomentari
kalangan sufi yang mengatakan bahwa ilmu               Adapun menurut Al-Ghazali dan para
itu hijab (penghalang) sebagai kalangan yang      pengikutnya, ilmu ladunni merupakan ilmu
dungu karena kedunguan adalah hijab itu           berian (al-mawhub) yang datang setelah
sendiri. Ilmu adalah asal agama dan terjaga       seseorang sampai pada titik wushul dan
dari penyelewengan. Karena itu, mencari           wishal serta ittishal. Wushul ialah titik dimana
ilmu sebelum menuju pada suluk (praktik           manusia berhasil menyingkap keindahan
218 | Ensiklopedi Islam Nusantara
al-Haqq yang menjadikannya larut dengan            dengan musyahadah. Baik cara “laku” maupun
keindahannya itu. Jika ia memandang dengan         “lakon” apabila dilakukan terus-menerus akan
mata batinnya maka tidak ada yang terlihat         membuahkan manusia berilmu ladunni.
kecuali Allah. Jika ia memandang menuruti
kemauannya maka kemauan itu hanya tertuju               Pemahaman tentang ilmu ladunni, baik
kepada-Nya.                                        dalam perspektif Ibn Arabi maupun Al-Ghazali,
                                                   juga berkembang di Nusantara selaras dengan
     Di sinilah manusia mengalami musyahadah       penyebaran Islam sufistik sejak awal mulanya.
dengan al-Haqq, sehingga fisiknya bergerak         Hamzah Fansuri, misalnya, memperoleh ilmu
hanya untuk ibadah dan batinnya terbasuh           ladunni dengan cara yang ditunjukkan Ibn
menyucikan hatinya. Al-Ghazali menyebut            Arabi. Dalam penggalan syair Asrar al-‘Arifin
tahapan penyucian ini sebagai permulaan            dinyatakan: “Hamzah fansuri sekalipun dhaif ”,
(bidayah) sedangkan pamungkas (nihayah)-nya        “Hakekatnya hamper pada Dzat al-Syarif ”.
diri manusia menyesuaikan kemutlakan Allah         “Sungguhpun habab (biuh, peny.) rupanya
dan hanya terfokus kepada-Nya. Demikianlah         khathif (kasar)”, Washilnya daim dengan Bahr
yang dimaksud washul, menurut Al-Ghazali,          al-Lathif ”. Sedangkan cara memperoleh ilmu
sedangkan wishal adalah melihat (ru’yat) dan       ladunni yang diajarkan Al-Ghazali seperti
menyaksikan (musyahadah) dengan sanubari           tampak dari kemahiran yang diperoleh Syekh
(sir al-qalb) di dunia dan dengan mata kepala      Mahfudz al-Tarmasi serta ulama Nusantara
(ain al-ra’s) di akhirat, serta Wishal bukanlah    lainnya yang berhasil menorehkan banyak
berarti dzat manusia manunggal dengan              kitab, konon, berkat diberi ilmu oleh Allah (ilm
Dzat-Nya. Seseorang yang sudah sampai titik        al-mawhub).
wushul dan wishal berarti ia sudah ittishal yaitu
sudah terbuka hatinya dan sudah bisa melihat            Di dunia pesantren, ilmu ladunni juga
macam-macam rahasia (Rawdhat al-Thalibin,          sering dihubungkan dengan Nabi Khidhir
37-39).                                            (khadhir, Khidhr, Khadhr) –disebut demikian
                                                   karena beliau dijumpai duduk di atas gundukan
     Secara garis besar perbedaan antara           tanah putih yang memancarkan warna
dua ulama Sufi garda depan itu tentang             hijau (khadhra’) dari arah punggung beliau.
perolehan ilmu ladunni ialah: menurut Ibn          Nama aslinya Abu al-Abbas Balya b. Mulkan.
Arabi, bahwa ilmu ladunni merupakan milik          Seseorang yang dapat berjumpa langsung
ahl al-Haqq yakni orang-orang yang sampai ke       dengan Nabi Khidir akan mendapatkan ilmu
maqam persahabatan (maqam al-khullah) yang         makrifat atau ilmu ladunni.
memungkinkannya mengambil ilmu secara
langsung dari Allah atau dari sumber yang               Pengalaman ini, diantaranya, terjadi pada
menjadi tempat pengambilan malaikat untuk          Sunan Kalijaga. Seperti dikisahkan dalam Serat
diwahyukan kepada Rasulullah SAW. Ilmu             Dewa Ruci, bahwa syekh Malaya atau Sunan
Ladunni tidak dapat diraih oleh orang-orang        Kalijaga semula bermaksud menunaikan
yang masih mengikuti mazhab dan thariqah,          ibadah haji dengan berlayar mengarungi
melainkan mereka yang sudah mencapai               samudra. Akan tetapi di tengah perjalanan ia
Wahdat al-Wujud. Sedangkan menurut Al-             terdampar di satu tempat dan bertemu dengan
Ghazali, ilmu ladunni milik orang-orang yang       Nabi Khidir. Di hadapan Nabi Khidir, tubuh
telah sampai maqam ittishal dan muwashalah,        Sunan Kalijaga menyusut menjadi kecil dan
dimana ada kalanya dengan “laku” (thariq al-       masuk ke dalam diri Nabi Khidir lewat telinga
af ’al) yaitu dengan menampakkan (tajalli)         kirinya. Sesudah Sunan Kalijaga berhasil
perbuatan dan amal ibadahnya sesuai yang           keluar dari dalam diri Nabi Khidir, ia mampu
dikehendaki Allah. Adakalanya dengan               menguasai ajaran-ajaran inti agama Islam dari
“lakon” (thariq al-shifat) yaitu membangun         mulai syariat, hakikat, dan makrifat.
diri selalu rindu dengan Allah yang Maha
Agung dan Maha Indah atau meningkatnya                  Ilmu Ladunni juga dipercai dapat
menjadi diri yang kosong (fana) lalu diisi         diperoleh orang-orang yang berhasil mimpi
                                                   bertemu dengan Rasulullah SAW. Diceritakan
                                                   Edisi Budaya | 219
oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Syarh      Marzuqi bertanya; “Wahai Rasulullah! Apakah
Nur al-Dzalam, bahwa Syekh Marzuqi al-Makki   nazam itu?” Rasulullah lalu membacakan
pemilik nazam ‘Aqidat al-‘Awwam pada malam    nazam yang bunyinya; “Abdau bismillahi war
Jum’at di bulan Rajab tahun 1258 H. bertemui  rahmani..” Syekh Marzuqi pun tiba-tiba dapat
dengan Rasulullah SAW. Kemudia Nabi SAW       menguntai bait demi bait nazam ‘Aqidat al-
berketa kepadanya; “Bacalah nazam yang siapa  ‘Awwam dalam mimpinya dengan disimak
saja menghafalnya akan masuk surga dan        oleh Rasulullah SAW dan para sahabat beliau.
akan mendapatkan tujuan yang setara dengan    Wallahu A’lam.
keagungan al-Qur’an dan Hadits!” Syekh
                                                                                                          [Ishom Saha]
                                            Sumber Bacaan
Al-Bantani, Muhammad Nawawi, Syarh Nur al-Dhalam, Surabaya: Dar al-‘Ilm
Al-Ghazali, Rawdhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Salikin, Beirut; Dar al-Fikr
Al-Syarqawi, Al-Shufiyyah wa al-‘Aql: Dirasat Tahliliyyat Muqaranat li al-Ghazali wa Ibn Rusyd wa Ibn al-‘Arabi, Beirut: dar
         al-Jalal
Al-Tarmizdi, al-Hakim, Ma’rifat al-Asrar, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1977
Hilal, Ibrahim, Al-Tashawwuf al-Islam bain al-Din wa al-Falsafah, Kairo: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1979
Mastuki dan M. Ishom el-Saha, Intelektualisme Pesantren, Jakarta Diva Pustaka, 2003
Steenbrink, Karel A., Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN
         Sunan Kalijaga Press, 1988
220 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Lampu Cangkok/Colok,
         Damar Malam, Malam Likuran
Salah satu tradisi keagamaan (Islam) yang            meramaikan malam ganjil di bulan Ramadan.
       unik-distingtif dan masih cukup bertahan
       di tengah gempuran arus modernisasi                Di Cirebon misalnya, selepas maghrib
adalah tradisi malam likuran di bulan Ramadan.       anak-anak kecil usia 7 tahun hingga belasan
Tradisi malam likuran yang dimaksud di               keluar rumah sambil menyalakan “damar
sini adalah sebuah tradisi masyarakat Islam          malam” yang diletakkan di sudut-sudut rumah
Indonesia dalam meramaikan bulan Ramadan             sambil menyanyikan yel-yel: damar malam
dengan cara menyalakan damar malam, lampu            selikure (damar malam tanggal dua puluh satu
cangkok/colok, tepatnya di malam ganjil di           Ramadan) damar malam “telulikure” (damar
sepertiga terakhir di bulan Ramadan.                 malam tanggal dua puluh tiga), dan seterusnya.
      Tidak diketahui secara persis kapan dan             Kegiatan menyalakan damar malam
siapa yang memulai tradisi malam likuran ini         ini menjadi simbol bahwa puasa yang telah
di Nusantara. Namun, uraian Hamka (1982)             dijalani sudah beranjak ke setelah hari ke-
mengenai penyalaan api di malam likuran              20. Tradisi tersebut akan terus berlangsung
adalah simbol petunjuk hidayah Islam yang            hingga selesainya bulan puasa, namun hanya
diajarkan oleh Syekh ‘Ainul Yaqin atau yang          dilakukan pada setiap malam tanggal ganjil
lebih dikenal dengan Sunan Giri. Pelita-pelita       saja: malam tanggal 21, 23, 25, 27, dan malam
itu pada mulanya dipasang di Masjid Giri.            tanggal 29. Syahdan, tradisi yang turun
                                                     temurun itu sudah ada sejak Islam masuk
      Terlepas dari belum ditemukannya data-         Cirebon. Setelah dinyalakan biasanya damar
data sejarah terkait dengan awal mula tradisi        malam tersebut akan diletakkan pada sudut
likuran, yang pasti jika dilihat dari segi pelaku    rumah atau sudut halaman rumah.
yang merayakan tradisi ini adalah bagian dari
tradisi masyarakat Islam. Di sisi lain, tradisi ini       “Damar malam” adalah sejenis lentera
dilakukan di sepertiga terakhir bulan Ramadan        yang terbuat dari bilahan bambu yang sudah
yang tujuannya adalah untuk menyemarakkan            dilekati dengan ter atau lilin batik. “Damar
malam-malam ganjil di mana dalam literatur-          malam” harus dinyalakan dengan hati-hati.
literatur Islam disebutkan bahwa di malam            Bila gegabah, bahan malam yang terbakar akan
tersebut malam yang kemuliaannya melebihi            menetes dan bisa melukai kulit tangan. Tradisi
seribu malam (lailatul qadar) turun ke muka          menyalakan damar malam ini dilakukan
bumi.                                                sesudah berbuka puasa atau sesaat setelah
                                                     Maghrib tiba. Damar malam itu akan padam
Ragam Ekspresi Malam Likuran                         dengan sendirinya saat memasuki waktu salat
                                                     tarawih, atau selepas Isya.
      Sebagai ekspresi keberislaman masyarakat
Islam Nusantara, perayaan “malam likuran”                 Seorang bocah di Desa Tuk Cirebon sedang
di satu daerah di Nusantara berbeda dengan           menyalakan damar malam
daerah lainnya. Kendati pun secara ekspresi
perayaan berbeda-beda, pada hakikatnya                    Sedangkan di Wonogiri, sebagaimana
tujuan perayaan “malam likuran” di beberapa          dalam Sartono (2000:4), disebutkan bahwa
daerah di Nusantara tidak berbeda; yakni             tradisi perayaan di malam likuran di sana
                                                                                        Edisi Budaya | 221
dilakukan dengan menaruh                                             malam Lailatul Qadar”,
sebuah ting (lampu kecil)                                            mungkin itu yang ada di
yang berbentuk rupa-rupa,                                            benak mereka. Sedangkan, di
seperti ikan, kapal, dan lain                                        masjid-masjid yang dikelola
sebagainya. Banyak suara                                             keturunan Arab, diadakan
gaduh yang disebabkan bunyi                                          buka puasa bersama yang
petasan yang disulut, dan                                            diteruskan dengan shalat
pada malam itu diadakan                                              Tarawih. Acara ini sudah
selametan. Pada salah satu                                           berlangsung sejak masa
“maleman” dipasang meja di                                           kolonial. Namun, acaranya
muka Krobongan dan ditaruh                                           tidak pernah berubah hingga
sesajen bagi para leluhur,                                           kini. Seperti, malam 23
antara lain macam-macam                                              Ramadhan di Masjid Empang
masakan, juadah, wajik,                                              Bogor, dua hari kemudian
jenang, dan lain sebagainya.                                         di Masjid Kwitang, Jakarta
Baru maleman terakhir                                                Pusat. Kemudian, berturut-
makanan itu diambil (dilorod) untuk dimakan      turut di Masjid Al-Hawi,Condet, Jakarta
oleh keluarga.                                   Timur, Masjid Luar Batang, Jakarta Utara, dan
                                                 terakhir pada malam 27 Ramadhan di Masjid
     Sementara Nur Syam dalam penelitiannya      Zawiyah, Pekojan, Jakarta Barat.
di kawasan Pesisir Tuban mengatakan bahwa
tradisi “malam likuran” dikenal dengan tradisi        Tidak setiap daerah melakukan ekspresi
colokan, yaitu kebiasaan membuat colok yang      perayaan “maleman” di tanggal ganjil di
terbuat dari kain yang ditalikan di kayu-kayu    sepertiga terakhir bulan Ramadan. Di daerah
kecil yang dicelupkan ke minyak tanah dan        Tanda Hulu Daik Lingga Riau, menurut hasil
ketika waktu magrib tiba dibakar di sudut-       penelitian Fina Yuriani (2016: 6), tradisi
sudut rumah. Sayangnya tradisi ini di beberapa   di Daik Lingga, malam likuran secara rutin
daerah sudah hilang dan diganti selamatan        dilakukan oleh masyarakat hanya setahun
biasa di rumah-rumah. (Nur Syam, 2005: 182)      sekali dalam bulan Ramadhan yaitu tepatnya
                                                 pada tanggal 27 Ramadhan. Malam 27
     “Tradisi colokan” juga rutin dilakukan      Ramadhan dianggap masyarakat Daik Lingga
di desa Sambongrejo Bojonegoro. Di desa          sebagai malam yang suci, masyarakat Daik
tersebut tradisi likuran dengan cara membuat     memasang pelita di sekeliling rumah mereka,
lampu colok ini disebut dengan tradisi colokan   pelita tersebut dipasang di tiap tiap jendela
malam 9. Konon, tradisi ini merupakan bagian     yang menggelilingi rumah, dipasang berderet
dari memperingati orang atau keluarga yang       mengikuti panjang jalan, serta dipasang ditiap
telah meninggal. Di samping itu tradisi colokan  tiap gerbang yang dibuat menyerupai masjid.
adalah tradisi pungkasan atau mengakhiri         Masyarakat mempercayai bahwa malam “Tujuh
bulan puasa dengan menyalakan obor kecil di      Likur” ini malam turunnya Lailatul Qadar. Jadi
setiap sudut rumah.                              setiap rumah harus terang benderang, supaya
                                                 Lailatul Qadar bisa masuk ke dalam rumah jika
     Tidak berbeda secara jauh dengan tradisi    rumah kita terang. Kegiatan malam tujuh likur
malam likuran di daerah lain seperti Cirebon,    dilaksanakan dengan memasang pelita atau
Bojonegoro, maupun Wonogiri, tradisi malam       lebih dikenal dengan “lampu colok.”
likuran di Bogor dan Jakarta juga diekspresikan
dengan menerangi halaman-halaman rumah                “Pelita (lampu colok)” adalah salah satu
dengan lilin dan lampu minyak. Abah Alwi         alat penerangan yang dipakai nenek moyang
(2010) menuturkan bahwa para warga,              dahulu pada saat listrik belum dikenal, lampu
khususnya yang sudah tua, begadang semalam       ini menggunakan bahan bakar minyak tanah
suntuk sambil membaca kitab suci Alquran         yang dibuat sedemikan rupa.sedangkan tradisi
dan berzikir. “Insya Allah kita akan mendapati   yang biasa dilakukan oleh pemuda - pemuda
222 | Ensiklopedi Islam Nusantara
setempat ialah membuat beberapa pintu gerbang  Aspek Filosofis dan Sosial Malam Likuran
sebagai kerangka untuk menyusun lampu-
lampu tersebut. Susunan tersebut membentuk          Tradisi “malem likuran” yang dilakukan
berbagai macam formasi seperti memanjang,      oleh hampir seluruh umat Islam di daerah-
melingkar dan membentuk pola masjid yang       daerah di Indonesia dengan beragam ekspresi
dibuat dalam bentuk gerbang. Pemasangan        dan tata cara pelaksanaannya menunjukkan
“lampu colok” biasanya dimulai pada 21 hari    kesamaan di satu titik, yakni dengan
bulan ramadhan yang disebut malam Satu Likur   menyalakan alat-alat penerang baik damar
hingga pada malam 27 Ramadhan atau sering      malam, lampu colok, maupun lampu pelita
disebut dengan “Tujuh Likur.”                  di malam Ramadan, menunjukkan ekspresi
                                               keberislaman yang cukup tinggi masyarakat
     Malam “Tujuh Likur” di Daik dimeriahkan   muslim Indonesia.
dan dirayakan dengan bermacam-macam
kegiatan seperti membuat makanan lalu               Penyalaan alat penerang ini sebagaimana
diantarkan di mesjid untuk dibacakan doa.      dikatakan oleh Hamka merupakan simbol
Setelah itu mereka beramai-ramai datang        petunjuk Islam yang didakwahkan oleh Sunan
bersilaturahmi dari gerbang ke gerbang         Giri. Pelita mengandung makna melambangkan
yang lain. Selain membuat makanan untuk        jiwa yang terang kembali. Karena umat
diantarkan di Mesjid, warga juga membuat       Islam telah menjalankan ibadah puasa dan
makanan untuk diletakkan di masing-masing      meminta ampunan dosa. Di sisi lain, lampu
gerbang. Karena disetiap gerbang juga ada      atau damar yang dinyalakan di malam-malam
acara doa selamat digerbang tersebut pada      ganjil merupakan pertanda bahwa umat Islam
malam Tujuh Likur. (Fina Yuriani: 2016, 6)     Indonesia bersiap untuk melakukan ibadah di
                                               malam hari agar memperoleh malam lailatul
     Selain lampu pelita, perayaan malem       qadar.
likuran pada tanggal 27 Ramadan di Daik juga
dirayakan dengan membuat gerbang yang               Selain memiliki nilai filosofis dalam
dibangun khusus pada Bulan Suci Ramadhan       perayaan malem likuran, tradisi ini juga
saja. Kegiatan dan antusiasme yang tinggi      mengandung nilai-nilai sosial. Di beberapa
telah nampak demi menyemarakkan malam          daerah, seperti Lombok tradisi malem likuran
turunnya Lailatul Qadar dengan cara membuat    selain dilakukan dengan menyalakan lampu-
gerbang-gerbang indah yang nantinya bakal      lampu pelita, masyarakat secara bergiliran
dihiasi dengan lampu-lampu pelita yang indah   menghidangkan makanan untuk para kyai
yang dikolaborasikan dengan ayat-ayat suci     yang melaksanakan shalat tarawih di masjid
Al-Quran. Pembuatan gerbang tersebut, telah    kuno. Adapun pada malam ke-22, 24, 26, dan
di lahirkan sejak dahulu kala sejak zaman      28 dirayakan dengan makan bersama oleh para
sultan Lingga katanya, dan sampai saat ini     kyai. Perayaan ini disebut sedekah maleman
pintu gerbang yang lebih akrab dikenal dengan  likuran (Harfin Zuhdi, 2014)
gerbang Ramadhan telah menjadi ikon dalam
menyambut bulan suci Ramadhan.                                                                       [M Idris Mas’udi]
                                             Sumber Bacaan
Fina Yuriani, Tradisi Malam Tujuh Likur: 27 Ramadhan Di Kampung Tanda Hulu Daik Lingga, Tanjung Pinang: Universitas
         Maritim Raja Ali Haji, Skripsi, 2016
Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982
Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Telu di Bayan Lombok: Dialektika antara Islam Normatif dan Kultural , Istinbath
         Jurnal Hukum Islam, Vol.13, No. 2, 2014
Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS, 2005
Sartono Kartodirdjo, Beberapa Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa, Makalah dalam Seminar Pengaruh Islam terhadap
         Budaya Jawa, 2010
http://kedungdawa.desa.id/berita-jelang-akhir-ramadan-cirebon-gelar-malam-selikuran.html
http://www.suarabojonegoro.com/2014/07/tradisi-colok-malam-9-dibulan-ramadhan.html
http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/ibrah/13/07/29/mqokdl-meramaikan-malammalam-likuran
http://kabarlingga.com/gerbang-lampu-tujuh-likur-mulai-bermunculan-menjelang-ramadhan/
                                               Edisi Budaya | 223
Langgar
                                   (Tajug/Surau/Mushalla)
Langgar merupakan bangunan untuk                 digunakan oleh orang-orang Jawa. Di Sunda
       tempat peribadatan kelompok               sebutannya Tajug; di Banten disebut Bale;
       masyarakat Muslim di sebuah dusun         di Minang dikenal dengan Surau; di Sulawesi
atau kampung. Biasanya tempat peribadatan        disebut langgara, di Aceh disebut Dayah.
sekelas langgar tidak dipergunakan untuk         Masyarakat Gayo menyebutnya dengan Joyah
shalat Jum’at karena 2 (dua) faktor. Pertama,    yang sifat dan tujuannya serupa dengan
faktor keyakinan agama. Dalam fiqh ditentukan    apa yang di Aceh disebut Deah atau Dayah,
untuk mendirikan shalat Jumat harus terdiri      yakni bangunan tambahan dari Meunasah,
laki-laki dewasa paling sedikit 40 orang         yang khusus digunakan untuk ibadah atau di
yang semuanya merupakan penduduk asli            mana sebagian pengajaran agama diadakan
(mustawthin). Selain itu dalam fiqh Syafi’iyyah  oleh imam atau penggantinya. Belakangan di
juga tidak diperbolehkan mengadakan              kota-kota, masyarakat menyebutnya dengan
ta’addud al-jumu’ah (memperbanyak kelompok       Mushalla atau tempat mengerjakan shalat.
jum’atan) dalam satu desa terkecuali karena
desa itu dibelah sungai besar atau jalan besar.       Dari sekian penyebutan tempat
                                                 peribadatan umat Islam di luar mesjid,
      Kedua, faktor tekanan politik. Di masa     “Langgar” dan “Tajug” seringkali dikonotasikan
penjajahan Belanda sejak tahun 1903              negatif berdasarkan asal katanya. “Langgar”
dikeluarkan perintah agar Bupati mendata         dalam bahasa Jawa berarti bertubrukan
jumlah tempat peribadatan yang digunakan         atau bersalah-salahan. Begitupula “Tajuk”
untuk melaksanakan shalat jum’at. Bahkan         dalam bahasa Sunda berarti melawan atau
pada tahun 1931, Bupati diperintahkan            membangkang. Dipersepsikan bahwa warga
untuk mengawasi tempat peribadatan yang          masyarakat yang menetap di sekitar “Langgar”
digunakan shalat jum’at. Akibatnya pada saat     atau “Tajuk” tergolong pembangkang atau
terjadi pertumbuhan penduduk dan diperlukan      menyalahi keyakinan dan tradisi leluhur.
tempat peribadatan baru maka hanya               Dalam hal ini disebut “Langgar” sebab orang-
dibolehkan pendirian tempat peribadatan          orang Islam di Jawa pada mulanya dianggap
selain mesjid. Masyarakat di sebuah dusun        bertentangan dengan keyakinan dan praktik
atau kampung yang sedang berkembang juga         keagamaan Hindu-Budha. Hal yang sama
tidak kekurangan akal. Mereka mengadakan         juga terjadi pada peristilahan “Tajug” dalam
pungutan derma untuk merintis didirikannya       masyarakat Sunda, sebab orang-orang Belanda
tempat peribadatan yang dimulai dari bentuk      menganggap masyarakat di sekitar “Tajug”
Langgar dan lama kelamaan dirubah menjadi        sebagai pembangkang dan suka melawan.
mesjid seiring perkembangan jaman. Jadi,
antara mesjid dengan bangunan sejenis                 Namun demikian ada pula pandangan
Langgar dalam sejarahnya tidak dapat             lain, terutama seputar ““Langgar”” dan
dipisahkan satu dengan lainnya.                  “Tajug,” bahwa pada dasarnya keduanya
                                                 merupakan bangunan panggung berlantai
      Sebutan “Langgar” pada umumnya             kayu yang atapnya berbentuk limas, yang
224 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Langgar Tinggi Pekojan Jakarta
Sumber: http://www.panoramio.com/photo/76923079
dibedakan dengan model bangunan rumah            dipersunting Dalem Waturenggong. Sekalipun
tinggal di sekitarnya. Berdasarkan struktur      pada akhirnya “Pura Langgar” ini tetap
bangunan, Langgar dan Tajug dipahami sebagai     dimanfaatkan sebagai tempat sembahyang
“pertanda” karena memiliki ciri khusus.          umat Hindu.
     “Langgar” di sini dari kata “Leger”              Ada pula tradisi lisan di daerah Banyumas
yang berarti “balok penyangga lantai” sebab      yang menyebutkan asal usul penggunaan
umumnya langgar berbentuk bangunan               istilah “Langgar” dalam kaitannya dengan seni
panggung yang lantainya ditopang dengan          tari “Langgaran” yang konon diciptakan oleh
kayu balok. Asal usul Langgar dari kata “leger”  Sunan Kalijaga. Tarian atraktif “tubrukan”
juga diperkuat dengan sejarah “Pelinggih         yang menggambarkan treartikal peperangan
Langgar” atau tempat duduk yang disangga         ini konon pertamakalinya dimainkan sesudah
balok penyangga lantai, yang sekarang dikenal    para penari turun dari Langgar menuju
“Pura langgar” di Desa Bunutin, Kabupaten        pelataran Langgar. Dengan kata lain penamaan
Bangli, Bali.                                    tari “Langgaran” dikaitkan dengan lokasi awal
                                                 dimainkannya pertunjukan tari, yakni Langgar.
     “Pura Langgar”” ini juga menjadi symbol     “Turun dari Langgar” berarti “Langgar” itu
harmonisasi antara Hindu dengan Islam.           bangunan tinggi yang pada jaman dulu identik
Untuk menghormati keturanan Jawa di Bali,        dengan bangunan panggung.
dibangun “Pura Langgar” setelah terjadi
konflik antara Dalem Waturenggong di                  “Langgar” pada masa dulu sengaja dibuat
Gelgel Bali dengan Kerajaan Blambangan,          dalam konstruksi panggung berfungsi untuk
akibat penolakan Raja Blambangan untuk           menjaga kesucian, baik dari manusia maupun
memberikan putrinya, Ayi Ayu Mas yang            binatang. Hal ini sebagai suatu kearifan, sebab
                                                 Edisi Budaya | 225
jika dipagar berarti tertutup untuk orang            Di antara bangunan “Tajug” bersejarah
yang ingin memasukinya. Sementara dengan        ialah Tajug Pejlagrahan yang dibangun
konstruksi panggung, masih memungkinkan         Cakrabuana pada 1540 M dan terletak di Jl.
orang-orang maupun binatang berdiam di          Mayor Sastraatmaja, Kampung Grubukan,
lorong/di bawah lantai “Langgar”, dengan        Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.
kondisi tetap terpelihara kesucian lantai       Pangeran Cakrabuwana atau Mbah Kuwu
langgar. .                                      Cirebon, Uwa dari Sunan Gunung Jati
                                                membangun “Tajug” tersebut di pinggir laut
     “Langgar” yang dianggap bernilai           untuk para nelayan dan masyarakat yang
sejarah dan sampai sekarang masih berdiri       memanfaatkannya sebagai tempat ibadah dan
kokoh, diantaranya ialah; (a) Di Kauman,        pengajian. Namun lama kelamaan kawasan
Yogyakarta terdapat langgar bersejarah yang     sekitarnya mengalami pendakalan sehingga
menjadi saksi bisu berdirinya organisasi Islam  Tajug Pejlagrahan kini berada di dataran. Tajug
Muhammadiyah, yang kini dikenal sebagai         Pejlagrahan terlebih dahulu berdiri, tepatnya
Langgar KH. Ahmad Dahlan Kauman. (b)            100 tahun sebelum dibangunnya Mesjid Sang
Langgar Tinggi di Pekojan Jakarta Barat. (c)    Cipta Rasa Cirebon.
Langgar Dalem Kudus yang dulunya menjadi
kediaman Sunan Kudus sekaligus sebagai               Secara garis besar, Langgar/ Langgara/
tempat mengajarkan ilmua agama kepada           Tajug/Bale/Surau/Dayah/Joyah merupakan
para santrinya. (d) Langgar Agung Mantiasih,    bangunan suci selain mesjid yang digunakan
Magelang, yang dulunya sempat dijadikan         umat Islam untuk shalat lima waktu dan
basis perjuangan Pangeran Diponegoro; serta     transformasi agama serta pengembangan
(e) Langgar Bafadhol di Surabaya.               budaya Islam. Model dan fungsinya hanya
                                                bisa didapati di bumi Nusantara, sebab pada
     Sedangkan “Tajug” dapat disepadankan       umumnya di dunia Islam hanya dikenal tempat
dari asal kata “Tajuk” yang oleh para nelayan   ibadah, yang disebut Mesjid.
merupakan sebutan dari kili-kili (sepotong
kayu) yang dipasang mencuar atau menganjur           Di Indonesia, “Langgar” dan lainnya
di tepi perahu. “Tajuk” juga bisa diartikan     sengaja dibedakan dari mesjid dari sisi ruang
sebagai Mahkota, patam, jamang (perhiasan       dan ornamennya maupun fungsinya. Misalnya,
kepala) hingga tampak lebih tinggi karena       mesjid biasanya memiliki ruang serambi di
menganjur ke atas.                              sebelah kanan-kiri dan depan sedangkan
                                                mushalla hanya memiliki satu ruang utama
     “Tajug” bisa juga berarti “menggunung”     atau penambahan serambi kecil di depannya.
atau “gundukan” misalnya dalam ungkapan         Mesjid pada ruang mihrabnya terdiri 3 (tiga)
“setajug padi” yang artinya padi segunduk.      bilik; kanan (khutbah), tengah (imam), dan kiri
“Tajug” merupakan bentuk atap arsitektur        (ruang tunggu imam dan khatib), sementara
tradisional yang sangat kuno dipakai tujuan     “Langgar” dan lainnya hanya terdapat satu
kramat. “Tajug” dulunya digunakan sebagai       bilik untuk imam.
tempat persembahyangan orang Hindu.
Identifikasi ini berdasarkan nama asal kota          Mesjid-mesjid tua biasanya terdapat
Kudus, yang dulunya disebut kota Tajug karena   bedug dan kenthongan sedangkan mushalla
di kota ini pada mulanya terdapat banyak        cukup dengan kenthongan saja. Mesjid bisa
Tajug sebagai tempat peribadatan agama          digunakan untuk I’tikaf dan shalat Jumat
Hindu. Kota Tajug dulunya sudah memiliki        sementara Mushalla tidak dipakai untuk
kekeramatan tertentu dan dianggap kota          ritual dan ibadah itu. Imam Mesjid umumnya
suci oleh umat Hindu. Atas dasar itu Sunan      disebut Kiai, sedangkan imam mushalla belum
Kudus tidak menghilangkan kekeramatan           tentu dipanggil Kiai.
dan kesucian kota Tajuk, sehingga beliau
mengganti namanya menjadi Kudus, yang                Tidak digunakannya “Langgar” dan
dalam bahasa Arab berarti suci.                 lainnya untuk shalat Jumat juga dapat
                                                dipahami bahwa umat Islam Indonesia itu
226 | Ensiklopedi Islam Nusantara
tertib, tidak hanya dalam peribadatanya         Mesjid sementara Santri/Muda menjadi imam
tetapi juga tempat ibadahnya. Selain karena     Mushalla. Bahkan keberadaan “Langgar”
pertimbangan teologis, bahwa tidak boleh        dan lainnya di antara Mesjid juga dianggap
mendirikan dua jumatan dalam satu kampung,      mencerminkan hierarkhi kepemimpinan Islam
terkandung pula pertimbangan sosiologis         tempo dulu, sebab Mesjid imamnya merupakan
yaitu menjunjung tinggi kekerabatan dan         penghulu, sementara “Langgar” dan lainnya
persaudaraan satu kampung dan desa. Sebab       dipimpin oleh imam yang jabatan seharinya
jika tiap-tiap “Langgar” dan lainnya digunakan  menjadi modin, amil, atau lebe. Baik penghulu
untuk shalat Jum’at maka akan menipis           sebagai imam mesjid maupun modin, amil
ikatan kekerabatan dan persaudaraan diantara    atau lebe sebagai imam “Langgar” dan lainnya,
mereka.                                         selain mereka menangani keperdataan umat
                                                Islam juga melaksanakan kewajiban dakwah
     Selain itu keberadaan “Langgar” dan        dan pendidikan di masing-masing tempat
lainnya yang berdiri di sekitar mesjid          peribadatan yang dikelolanya itu.
menunjukkan adanya jaringan antara Kiai-
Santri atau Tua-Muda. Kiai/Tua menjadi imam                                                                 [Ishom Saha]
                                            Sumber Bacaan
Anasom, dkk., Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000
Feener, R. Michael dan Terenjit Sevea, Islamic Connections: Muslim Societies in South and Southeast Asia, Singapore:
         Institute of Southeast Asian Studies, 2009
Heuken, Adolf, SJ. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2003
Hurgronje, C. Snouck, Tanah Gayo dan Penduduknya, Jakarta: INIS, 1996
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976
                                                Edisi Budaya | 227
Lebaran
(Bodho/Riyoyo/Riyadi)
Secara umum, “lebaran” merupakan                          selama sebulan berpuasa.
       peristilahan orang-orang Melayu untuk
       menyebut hari raya sehabis mengerjakan                  Istilah “Lebaran” juga dipakai oleh
ibadah puasa (tanggal 1 Syawal), dan hari                 kalangan masyarakat Jawa secara khusus
raya tanggal 10 Dzulhijjah atau yang disebut              untuk menyebut Hari Raya Idul Fitri. Lebaran
Lebaran Haji. Ada pula yang mengaitkan                    dalam bahasa Jawa berasal dari kata “lebar”
Lebaran dengan kata “lébar” yang bermakna                 (bahasa Jawa halus) atau “bar” atau “bubar”
luas dan tidak sempit. Dalam artian umat Islam            (bahasa Jawa kasar) yang berarti selesai.
yang merayakan Lebaran hati mereka lebar,                 Karena bahasa Jawa sering memberikan
dapat menerima dan memaafkan kesalahan                    akhiran “an” maka disebutlah istilah “Lebaran”.
orang lain, dan hati mereka riang bergembira              Dikatakan demikian sebab umat Islam telah
sesudah berhasil mengalahkan hawa nasfu                   menyelesaikan kewajiban menjalankan puasa
                                                          sebulan penuh, dan mereka kembali menjalani
               Suasana Lebaran keluarga Jawa tahun 1925.
                         (Foto: Majalah Kejawen 1925)
228 | Ensiklopedi Islam Nusantara
kehidupan yang normal serta dibolehkan             memperoleh kemenangan dalam perang
makan dan minum di siang hari.                     Badar, beliau justru mengingatkan para
                                                   sahabatnya: “Kita kembali dari jihad kecil untuk
     Pada saat lebaran, orang Islam satu dengan    menyongsong jihad yang lebih besar.” “Jihad
yang lain biasa mengucapkan kalimat; “Minal        kecil” ialah berperang menegakkan agama (al-
‘aidin wal faizin fi kulli ‘am wa antum bi khair”  muqatalah li iqamat al-din), sementara jihad
(selamat menjadi golongan orang-orang yang         besar adalah memerangi diri dari segala hawa
kembali dan bahagia. Semoga kalian dalam           nafsu (mujahadat al-nafs).
kebaikan selama setahun penuh). Kalimat ini
merupakan ungkapan kegembiraan karena                   Puasa menjadi salah satu cara memerangi
dapat menyelesaikan puasa dan kembali              hawa nafsu dalam diri manusia, sehingga bagi
menjalani hidup seperti sediakala.                 yang tuntas mengerjakannya layak diucapkan
                                                   selamat dengan kalimat “Minal ‘aidin wal faizin”.
     Ucapan selamat sekaligus do’a yang            Adapun penambahan kalimat fi kulli ‘am wa
mengiringi tradisi lebaran ini hanya digunakan     antum bi khair adalah do’a sekaligus peringatan
di kalangan Muslim Nusantara dan Asia              bahwa perang besar itu belum selesai dan
Tenggara pada umumnya. Kalimat Minal ‘aidin        harus diperjuangkan dalam setahun, hingga
wal faizin sendiri pada mulanya merupakan          bulan puasa berikutnya –begitu seterusnya
ungkapan kegembiraan yang disampaikan              sepanjang hayat!
penduduk Madinah sewaktu pasukan
Rasulullah kembali dari medan Perang Badar              Selain istilah “Lebaran”, di kalangan
dengan membawa kemenangan. Akan tetapi             masyarakat Jawa juga terdapat istilah “Bhodo”
ungkapan itu justru dipakai oleh masyarakat        (dari Bahasa Arab, Ba’da yang berarti sesudah).
Islam Nusantara untuk menyampaikan ucapan          Bhodo sendiri dalam tradisi Jawa ada 3 (tiga)
selamat lebaran.                                   macam; yaitu (a) Bhodo Syawwal atau tanggal 1
                                                   Syawwal sesudah bulan Puasa; (b) Bhodo Kupat
     Bagi sebagian besar umat Islam di             yaitu lebaran tanggal 8 Syawal yang biasa
Nusantara ucapan Minal ‘aidin wal faizin tidak     dirayakan Muslim Pesisir Jawa dengan berbagi
dianggap menyalahi konteks dan konten.             ketupat kepada sanak family dan tetangga; dan
Alasannya pada saat Rasulullah menyaksikan         (c) Bhodo Besar yaitu lebaran yang bertepatan
luapan kegembiraan penduduk Madinah
Ragam Tradisi lebaran Yang Sering Dilakukan Masyarakat
Di Indonesia; bersalam-salama usai sholat idul fitri
                                                        Edisi Budaya | 229
dengan 10 Dzulhijjah.                                  Menu kuliner ini juga mengandung nilai
                                                  filosofis, di mana Ketupat menjadi simbol
     Di samping istilah “Lebaran” dan             pengakuan kesalahan, dan Lontong menjadi
“Bhodho” masih terdapat lagi dalam tradisi        symbol penerimaan maaf/kesalahan orang lain
Jawa yaitu yang disebut perayaan Riyoyo (dari     dengan sikap hati yang “lonjong” alias terbuka.
kata “Ri” yang berarti “hari atau masa yang       Sementara Opor dari bahan dasar santan
sebentar” dan “Yokyo” yang mengandung             kelapa dimaknai, bahwa sikap sombong,
pengertian “sikap meluapkan”). Sebutan            takabur, merasa tinggi –seperti buah kepala
Riyoyo biasa digunakan oleh kalangan Jawa         di pohon yang tinggi- harus ditanggalkan
biasa. Sedangkan para priyayi/bangsawan           karena nasib orang sombong tidak akan baik.
biasa menggunakan istilah Riyadi (dari kata       Seperti buah kelapa, “nasibnya” dijatuhkan
“Ri” yang artinya “hari atau masa sebentar”       dari atas, dikuliti, diparut dan diperas, dan
dan kata “adi” yang berarti baik).                begitu juga nasib orang-orang yang sombong.
                                                  Oleh karena itu kuliner “Lebaran Syawalan” ini
     Pengertiannya Riyoyo/Riyadi adalah hari      dianggap mengajarkan sikap yang seharusnya
baik untuk mengutarakan dan meluapkan             dimiliki setiap Muslim, yaitu rendah hati,
isi hati. Oleh sebab itu untuk pengucapan         jujur mengaku salah, dan terbuka mampu
selamat lebaran biasanya orang Jawa lebih         memaafkan kesalahan orang lain.
memilih menggunakan kata Riyoyo atau
Riyadi, misalnya “Sugeng Riyadi” atau                  Kedua, Lebaran Kupat/Ketupat. Disebut
“Sugeng Riyoyo” daripada “Sugeng Bodho”.          demikian karena berkaitan dengan kupat yaitu
Sebagaimana umumnya masyarakat Indonesia          barang berbentuk segitiga empat sejajar yang
lebih memilih penggunaan kalimat “Selamat         terbuat dari bahan dasar Janur, lontar atau
Idul Fitri” daripada “Selamat Lebaran”.           gebang, yang di dalamnya terisi beras/nasi.
                                                  Kupat sendiri berasal dari kata “Ngaku Lepat”
     Berikut ini adalah tradisi dan ritual yang   atau mengaku salah, sebagai simbol ketulusan
berhubungan dengan Lebaran/Bodho/ Riyoyo/         hati untuk meminta maaf kepada orang lain
Riyadi;                                           atas kesalahan yang disengaja maupun tidak
                                                  disengaja. Bhodo Kupat awalnya berkembang
     Pertama, Lebaran Syawalan atau perayaan      di kalangan santri-santri (konon dimulai oleh
Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 1 Syawwal,     Kiai Sholeh Darat Semarang) sebagai unjuk
sesudah umat Islam mengerjakan Shalat Id.         eksistensi budaya sub-culture santri. Sebab saat
Sekalipun Idul Fitri jatuhnya hanya sehari di     itu para priyayi Jawa rajin merayakan “Lebaran
dalam setahun akan tetapi sebagian masyarakat     Syawal” dengan berpegang penanggalan
Indonesia masih ada yang mempertahankan           kalender yang masih diperdebatkan, sekalipun
perayaan Lebaran Syawwal selama sebulan           mereka tidak menjalankan puasa Ramadhan.
penuh. Dalam artian selama bulan Syawwal
umat Islam masih memanfaatkannya untuk                 Dalam catatan Snouck Hurgonje, antara
kegiatan-kegiatan, seperti; silaturahmi dan       lain disebutkan: “Oleh karena itu, tidaklah
halal bi halal.                                   mengherankan jika permulaan puasa dan
                                                  jatuhnya hari Lebaran setiap tahunnya
     Hal ini seperti terjadi di Betawi (misalnya  dapat berbeda…. Juga di Jawa dan Sumatra
Betawi Cengkareng, Kembangan, Cileduk),           perbedaan itu terjadi setiap tahunnya. Memang
di dimana masyarakat setempat bergantian          di beberapa kabupaten di Jawa, di mana
saling mengunjungi keluarga dari satu             orang, mengenai soal Lebaran dengan terang-
kampung ke kampung lain selama bulan              terangan untuk mudahnya berpegangan
Syawal dan menutupnya dengan pertemuan            pada tanggal di penanggalan, tetapi hal ini
seluruh keluarga besar di Kampung yang            disebabkan kebanyakan pnduduk di situ ikut
sudah ditentukan, atau disebut “Lebaran           merayakan dengan rajin hari Lebaran. Tidak
Betawi”, pada hari terakhir bulan Syawal.         begitu menjadi soal apakah bupati yang tidak
Dalam Lebaran ini juga ada menu khusus yang       berpuasa menerima tamunya pada hari Selasa
tidak didapati di bulan-bulan yang lain, yaitu
Menu Ketupat/Lontong Opor.
230 | Ensiklopedi Islam Nusantara
atau Rabu, dan apakah sebagian penduduk           luas di kalangan masyarakat pesisir Jawa.
yang tidak berpuasa berpesta pora dalam pesta     Bahkan tradisi merayakan lebaran Kupat
rakyat di alun-alun pada hari Selasa atau Rabu.   lebih semarak dibandingkan Lebaran Syawal,
Tetapi orang menginsyafinya bahwa yang            khususnya di daerah Pesisir Utara Jawa
demikian itu tidaklah sesuai dengan hukum         Tengah. Pada hari lebaran kupat setiap keluarga
Islam. Mereka yang mematuhinya tetap masih        memasak ketupat dengan aneka macam menu
berpuasa satu hari lagi, apabila sesudah 29 hari  masakan untuk diantarkan kepada saudara
bulan baru betul-betul belum dapat dilihat.”      dan kerabat yang diangap lebih tua. Selain
                                                  itu menu ketupat ini juga untuk dihidangkan
     Untuk merubah kebiasaan priyayi dan          kepada tamu-tamu yang berkunjung.
sebagian umat Islam Jawa itulah, Kiai Sholeh
Darat dalam Kitab al-Qawanin al-Syar’iyyah             Ketiga, Lebaran Haji yang jatuh pada
li Ahl al-Majalis al-Hukmiyyat wa al-Ifta’iyyat   tanggal 1 Dzulhijjah. Orang Islam Nusantara
(1883 M), menganjurkan santri-santrinya           merayakan Lebaran Haji dengan cara berduyun-
untuk membiasakan puasa sunnat 6 hari             duyun ke mesjid atau lapangan terbuka
syawal dan disudahi dengan Lebaran Kupat.         untuk mengerjakan Shalat Id, menyembelih
Puasa sunnah selama enam hari di bulan            hewan kurban dan membagi daging kurban.
Syawal diajarkan oleh Rasulullah Saw. Dalam       Pada umumnya perayaan Lebaran Haji
sebuah hadits, beliau bersabda: “Barang siapa     tidak semeriah peyaraan Lebaran Syawalan,
puasa Ramadhan kemudian meneruskannya             terkecuali di kalangan etnis tertentu, seperti
puasa enam hari di bulan Syawal maka ia seperti   Madura.
puasa setahun lamanya” (HR. Muslim).
                                                                                                              [Ishom Saha]
     “Tradisi lebaran” kupat telah berkembang
                                            Sumber Bacaan
Anasom, dkk., Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000
Bachtiar, Harsja, “The Religion of Java: a Commentary”, Madjalah Ilmu Sastra Indonsia. V 5 NI, 1973
Hurgronje, C. Snouck, “Penetapan Berakhirnya Bulan Puasa 1898” dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII,
         Jakarta: INIS, 1993
Steenbrink, Karel A., Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN
         Sunan Kalijaga Press, 1988
                                                  Edisi Budaya | 231
232 | Ensiklopedi Islam Nusantara
M
    Mahfuzhat
  Majelis Ta’lim
       Majzub
Makan Bedulang
 Makna Gandul
    Manaqiban
    Manganan
Mbangun Nikah
 Mandi Belimau
        Metik
    Meunasah
    Midodareni
       Mudik
      Mukena
  Muktabar(ah)
 Munggah Molo
  Muqoddaman
      Mursyid
Mahfuzhat
Peribahasa adalah kalimat yang singkat             allegori yang mengandung makna tertentu.
        namun bermakna alegoris (kiyasan)
        sehingga membutuhkan proses                     Sebelum datangnya Islam, perumpaan
pemahaman tertentu dalam memahaminya.              seluruhnya bersumber dari syair dan prosa
Dalam bahasa Arab, peribahasa adalah bagian        (natsr) Arab. Muhammad Taufiq Abu ‘Ali
dari al-hikmah (kebijaksanaan).                    berpendapat bahwa perumpaan adalah
                                                   sebuah bidang yang mengakar kuat dalam
      Bicara soal hikmah, terdapat sebuah hadis    kebudayaan masyarakat Arab. Hampir setiap
yang berbicara soal itu, al-Hikmatu Dhallaatun     sisi kehidupan mereka, memiliki ungkapan-
al-Mu’min, aynamaa tajiduhaa akhadzahaa            ungkapan perumpaannya. Lewat media
(hikmah adalah “barang hilang” seorang             inilah, perumpaan menjadi sebuah sarana
mukmin, maka dimanapun ia mendapati,               menunjukkan kemurnian bahasa Arab lewat
ambillah). Meski begitu, tidak ada pembatasan      gaya bahasa perumpaan yang sastrawi.
apakah hikmah haruslah sebuah kata
mutiara atau peribahasa. Salah satu bentuk              Setelah kedatangan Islam, al-Matsal
penyampaian hikmah yang populer dikalangan         tidak hanya bersumber dari syair Jahiliyah,
masyarakat muslim dikenal dengan nama              tapi juga Quran dan Hadis serta syair yang
Mahfuzhat. Istilah ini sebenarnya tidak dikenal    muncul sesudah kedatangan Islam. Dalam al-
oleh penutur bahasa arab sendiri. Justu istilah    Qur’an misalnya, tercatat Allah menyebutkan
ini lahir dari umat muslimin di Indonesia. Ini     beberapa kali ungkapkan kata al-matsal
terbukti karena di masa kini masyarakat Timur      secara eksplisit, lewat kata al-matsal dan
Tengah menggunakan istilah mahfuzhat untuk         matsalan. Tercatat, kata pertama hanya
memaknai arsip, sehingga penggunaannya             disebutkan sebanyak dua kali, dengan konteks
dirangkai dengan kata al-watsaaiq.                 menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan
                                                   Allah Swt. adalah sebuah model yang tertinggi
      Selain itu, dari sisi etimologi mahfuuzhaat  kualitasnya (lahu al-matsal al-a’laa). Sementara
adalah bentuk jama’ (plural) dari kata             untuk kata kedua, disampaikan sebanyak 18
mahfuuzh, sebuah kata yang berbentuk objek         kali, yang keseluruhannya bertujuan untuk
(maf ’ul) dan berarti “diingat”. Dalam bahasa      memberikan pelajaran, baik perumpaan yang
Arab, istilah yang digunakan adalah al-matsal      baik maupun yang buruk.
(jamak: al-amtsaal). al-Matsal sudah dikenal
sebagai bagian dari bidang sastra Arab. Dari            Jawwad Ali dalam karyanya al-Mufasshal
kata al-Matsal ini, - mungkin - dikenallah dalam   fi Taarikh al-‘Arab fi al-Islam memasukkan al-
bahasa Indonesia istilah perumpaan (Arab: al-      Amtsal sebagai salah satu cabang keilmuan
Mitsaal atau al-Matsal). Sesuai namanya, dalam     yang dikenal masyarakat Arab. Ia bisa berupa
bahasa Arab ada pula kata-kata yang modelnya       hikmah, kisah-kisah lama yang bernuansa
adalah perumpaan. Selain itu, kata ini secara      mitologi (al-asaathir), atau cerita-cerita yang
etimologi adalah bentuk masdar dari kata ma-       memiliki ibrah. Menurutnya, Matsal tidak
tsa-la yang berarti serupa. Dari sini kemudian     selalu berbentuk natsr, dan tidak seluruhnya
dimaknai perumpaan pada kalimat-kalimat            pula disampaikan dalam bentuk syair. Sampai
                                                   Edisi Budaya | 235
di sini, kita dapat menyimpulkan bahwa baik      kertasnya berwarna kuning) dan tidak
matsal, mahfuzhat, peribahasa, perumpaan,        menerima ijazah formal dari negara, sementara
seluruhnya adalah sama-sama bentuk               pesantren modern adalah pesantren yang
“bijak bestari” penuh yang bersumber dari        berupaya menggabungkan antar kurikulum
kebudayaan tertentu dan bertujuan untuk          berbasis kitab klasik dengan kurikulum formal
memberikan pelajaran kearifan bagi manusia.      yang ditetapkan oleh negara
Karena itulah, dalam mahfuzhat yang dikenal
di Indonesia meski berasal dari bahasa Arab,          Tetapi pembagian ini sesungguhnya
akan ada yang tidak bersumber dari sumber-       kurang akurat. Pasalnya, mahfuzhat justru
sumber keislaman, seperti peribahasa para        awalnya diajarkan di pesantren-pesantren yang
filosof dari Barat dan sebagainya.               para gurunya berlatar belakang pendidikan
                                                 modern Mesir, yaitu Darul ‘Ulum. Sementara,
Sejarah Mahfuzhat di Indonesia                   pesantren yang mengajarkan murni kitab-
                                                 kitab klasik, adalah jaringan ulama yang
Pada prinsipnya, setiap kebudayaan               belajar ke Mekkah dan Madinah. Mereka yang
                                                 pulang dari pendidikan modern di Mesir,
memiliki bentuk-bentuk peribahasanya             membuat sekolah-sekolah yang disebut
                                                 Kulliyatu al-Mu’allimiin (Normal School). Dua
masing-masing.  Peribahasa         adalah        dari Tiga pendiri Pondok Modern Gontor, K.H.
                                                 Imam Zarkasyi dan K.H. Zainuddin Fannanie
manisfestasi kearifan sebuah institusi sosial,   pernah belajar langsung ke Sumatera Barat
                                                 di Kweekschool, dan ketika pulang membuat
baik suku, adat, maupun bangsa. Indonesia,       kurikulum yang dibentuk di Kulliyatu al-
                                                 Mu’allimiin. Dari sinilah, Pondok Modern
sebagai sebuah negara yang majemuk adat          Gontor – dan sekolah yang memiliki relasi
                                                 secara kelembagaan atau keguruan – dikenal
istiadat dan agamanya – meski yang diakui        sebagai Pondok Modern.
negara hanyalah enam agama (Islam, Kristen            Beberapa contoh Mahfuzhat yang terkenal
                                                 di Indonesia ada yang bersumber dari al-
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan    Qur’an, Hadis, maupun syair atau prosa yang
                                                 redaksi bernada Matsal. Mahfuzhat Kullu
Konghuchu) – pada masing-masing institusi        Ma’rufin Shadaqatun (segala hal baik adalah
                                                 sedekah) misalnya, adalah sebuah hadis.
sosial memiliki kearifannya masing-masing.       Contoh lainnya adalah al-Yadu al-’Ulya Khairun
                                                 min Yadi al-Suflaa (“Tangan diatas lebih baik
     Meski begitu, Indonesia juga menetapkan     daripada tangan di bawah”). Redaksi ini juga
peribahasa nasionalnya. Beberapa contoh          berasal dari hadis, meski sebagian riwayatnya
misalnyaperibahasa“adagula,adasemut”,“katak      lemah. Ada juga yang berasal dari syair-syair
dalam tempurung”. Peribahasa-peribahasa          Arab. Peribahasa “Kullu Man Saara ‘ala al-
ini umumnya berasal dari peribahasa yang         Darbi Washala (Siapa yang meniti sebuah
populer di masyarakat Melayu, dan tidak ada      jalan (menuju satu tujuan) ia akan kesana.
catatan yang pasti juga siapa yang pertama kali  Mahfuzhat ini sebenarnya adalah potongan
menyebutkan peribahasa itu.                      dari sebuah syair gubahan Ibn al-Wardi.
     Sejauh ini belum ditemukan pencatatan            Dari beberapa contoh Mahfuzhat diatas,
yang pasti sejak kapan berbagai mahfuzhat        yang penting untuk dicatat adalah beberapa
masuk dan populer di Indonesia. Tapi, melihat    diantaranya sebenarnya diambil dari konteks
istilah yang digunakan berbahasa arab,           keseluruhan teks itu, meski tidak seluruhnya
kemungkinan mahfuzhat dikembangkan oleh          terambil dari konteks aslinya. Mahfuzhat
masyarakat muslim Indonesia yang menerima        tangan diatas lebih baik dari tangan di bawah
pendidikan keagamaan dari Timur Tengah.          misalnya sering dijadikan dalil bahwa mereka
Tetapi, mereka yang belajar ke Timur Tengah
tidak menerima model pendidikan yang
seragam. Pada saat ini, Mahfuzhat menjadi
bagian kurikulum pesantren yang bernuansa
modern. Perbedaan antara pesantren modern
dan tradisional di Indonesia pada awalnya
diasosiasikan dengan mereka yang hanya
mempelajari kitab klasik atau lazim disebut
sebagai kitab kuning (karena kebanyakan
236 | Ensiklopedi Islam Nusantara
yang memiliki ekonomi lebih dan mampu                “tangan di atas lebih baik daripada tangan di
berbagi kepada yang miskin, lebih baik dari          bawah”.
mereka yang minta-minta. Tetapi, seperti
yang telah disunting oleh Fu’ad ‘Abdu al-                 Ada juga Mahfuzhat yang memiliki
Baaqi tentang hadis ini, justru menganjurkan         kesamaan makna dengan peribahasa latin.
orang untuk menahan diri dari meminta-               Sebut saja al-‘Aqlu al-Saliim fi al-Jismi al-
minta. Diantara hadis yang dikutip adalah            Saliim. Peribahasa ini biasa diterjemahkan
kisah Hakim bin Hizam yang sampai akhir              dengan “di dalam tubuh yang sehat terdapat
hayatnya, tidak pernah meminta-minta lagi            jiwa yang kuat”. Peribahasa ini kemungkinan
setelah terakhir kali diberikan sedikit uang         besar adalah terjemahan dari peribahasa latin
oleh Nabi Saw. Perlu dicatat, menurut riwayat        yang biasa digunakan untuk “penyemangat”
al-Bukhari, Hakim bin Hizham wafat di masa           para olahragawan, Mens Sana in Corpore Sano.
kekhalifan ‘Umar bin Khattab Ra. dan tidak           Padahal, kata ini juga tercerabut dari konteks
pernah meminta-minta lagi. Pesan Nabi Saw.           lainnya. Redaksi kalimat yang masuk di dalam
tersebut adalah “Duhai Hakim, harta ini begitu       buku Proverbia Latina (Peribahasa Berbahasa
manis kalau diterima. Mereka yang menerimanya        Latin) ini adalah Orandum est ut sit Mens Sana
dengan sikap murah tangan/dermawan, akan             in Corpore Sano (hendaklah engkau berdoa agar
diberkahi hartanya. Tapi yang menerima dengan        ada jiwa sehat dalam tubuh yang sehat). Syair
membanggakan diri kalau ia hebat dengan harta,       ini digubah oleh seorang Penyair Romawi,
harta itu tidak bakal berkah. Ia akan seperti orang  Decimus Iunius Juvenalis.
makan yang tidak pernah kenyang. Sementara,
                                                                                                               [Adib M Islam]
                                            Sumber Bacaan
Khalil Hasan Noufal, Collocations in English and Arabic: A Comparative Study, English Language and Literature
         Studies; Vol. 2, No. 3; 2012, 2.
Muhammad Taufiq Abu ‘Ali, al-Amtsal al-‘Arabiyyah wa al-‘Ashr al-Jaahilii, (Beirut: Dar al-Nafaais, 1988).
Muhammad Jawwad ‘Ali, al-Mufasshal fii Tarikh al-‘Arab Qabla al-Islam, (Beirut: Dar al-Saaqi, 2001).
Abu al-Shaikh al-Ashbihani, al-Amtsaal fi al-Hadits, (Bombay: al-Dar al-Salafiyyah, 1987).
Ibn al-Mulaqqan Siraju al-Din al-Syafi’i, al-Badru al-Munir fi Takhrij al-Ahaadits wa al-Aatsar al-Waaqi’ah fi al-
         Syarh al-Kabiir, (Riyadh, Dar al-Hijrah, 2004).
Muhammad Fu’ad ‘Abdu al-Baqi, al-Lu’lu wa al-Marjaan Fiima Ittafaqa ‘alaihi al-Syaikhaani (Kairo: Dar al-Hadits,
         1987).
Baha’u al-Diin al-‘Aamili, al-Kushkuul, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilimiyyah, 2004).
                                                     Edisi Budaya | 237
Majelis Ta’lim
Majelis taklim terdiri dari dua akar             “tempat atau wadah umat untuk melaksanakan
            kata bahasa Arab yaitu majlis (ﻣﺠﻠﺲ  proses belajar mengajar tentang iman, Islam
            ) yang berarti tempat duduk, tempat  dan ihsan, aqidah, syari’ah, akhlak, tauhid,
sidang atau dewan, sedangkan ta’lim berarti      fikih, tasawuf, surga dan neraka, pahala dan
pengajaran (Kamus Al-Munawwir). Dalam            dosa, ekonomi, zakat, infak, sadaqah dan
bahasa Arab kata majelis adalah bentuk isim      lain sebagainya”. Lain halnya dengan Arifin
makan (kata tempat), kata kerjanya ( )ﺟﻠﺲyang    (1991 : 202) yang memaknai majelis ta’lim
artinya tempat duduk, tempat sidang, dewan.      dalam strategi pembinaan umat, merupakan
Kata ta’lim dalam bahasa Arab merupakan          wadah/wahana dakwah Islamiah yang murni
masdar dari kata kerja ( ﺗﻌﻠﻢ-ﻳﻌﻠﻢ- ) ﻋﻠﻢyang    Instruksional keagamaan Islam.
mempunyai arti pengajaran. Dalam Kamus
Bahasa Indonesia pengertian majelis adalah            Hasil Musyawarah Majelis Ta’lim se-DKI
pertemuan atau perkumpulan orang banyak          Jakarta tahun 1980, merumuskan pengertian
atau bangunan tempat orang berkumpul.            majelis ta’lim adalah lembaga pendidikan non
Dari pengertian terminologi tentang majelis      formal yang memiliki kurikulum tersendiri
ta’lim di atas dapatlah dikatakan bahwa          diselenggarakan secara berkala dan teratur
majelis adalah tempat duduk melaksanakan         diikuti oleh jamaah yang relatif banyak, yang
pengajaran atau pengajian agama Islam.           bertujuan untuk membina, mengembangkan
                                                 hubungan yang santun dan serasi antara
      Jika digabungkan dua kata itu dan          manusia dengan sesamanya, dan antara
mengartikannya secara istilah, maka dapatlah     manusia dengan lingkungannya, dalam rangka
disimpulkan bahwasanya “majelis taklim”          membina masyarakat yang bertaqwa kepada
memiliki arti tempat berkumpulnya seseorang      Allah SWT (Hasbullah, 1996 : 202). Dari
untuk menuntut ilmu (khususnya ilmu agama)       beberapa pengertian “majelis ta’lim” yang
bersifat nonformal.                              telah dikemukakan di atas, selanjutnya dapat
                                                 diberikan kesimpulan majelis ta’lim dapat
      Majelis ta’lim dapat diartikan sebagai     diartikan sebagai sebuah lembaga pendidikan
“tempat untuk melaksanakan pengakaran atau       non formal, tempat berkumpul sekelompok
pengajian Islam” (Baiquni, 1996 : 273). Secara   orang/individu untuk membicarakan masalah
bahasa (etimologi) majelis ta’lim berasal dari   yang menyangkut kepentingan kelompok
bahasa Arab, yang berasal dari dua kata majelis  tersebut dan masyarakat pada umumnya.
dan ta’lim. Menurut Munawir yang dikutip         Sedangkan secara khusus majelis ta’lim berarti
oleh Hasbullah (1996 : 95) menjelaskan,          suatu tempat/wadah untuk berkumpul dan
“majelis adalah tempat duduk, tempat             melaksanakan pengajian yang membahas
sidang. Sedangkan ta’lim diartikan dengan        materi ke-Islaman secara menyeluruh.
pengajaran”.
                                                      Majelis taklim bersifat nonformal, namun
      Menurut istilah (terminologi) para         walaupun demikian fungsi dari majelis taklim
ahli pengertian majelis ta’lim sebagaimana       itu sendiri sangatlah dirasa dalam masyarakat.
menurut Saefudin (1996 : 45-46) adalah
238 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Tujuan dari fungsi Majlis Taklim antara lain   Majelis Ta’lim menjadi ajang berkumpulnya
Pertama, berfungsi sebagai tempat belajar,     orang-orang yang berminat mendalami agama
yang bertujuan menambah ilmu dan keyakinan     Islam dan sarana berkomunikasi antar-sesama
agama, yang akan mendorong pengalaman          umat. Bahkan, dari Majelis Ta’limlah kemudian
ajaran agama. Kedua, berfungsi sebagai         muncul metode pengajaran yang lebih teratur,
tempat kontak social, yang bertujuan menjaga   terencana dan berkesinambungan, seperti
silaturrahmi. Ketiga, berfungsi mewujudkan     pondok pesantren dan madrasah. Para wali dan
minat sosial yang bertujuan meningkatkan       juru dakwah Islam pada awal perkembangan
kesadaran dan kesejahteraan rumah tangga       Islam di Indonesia salah satu metode dakwah
dan lingkungan jamaahnya (Tutty Alawiyah,      yang mereka gunakan adalah majelis ta’lim.
1997).                                         Oleh karena itu untuk Indonesia keberadaan
                                               majelis ta’lim merupakan lembaga pendidikan
Sejarah dan Dasar Hukum Majelis Taklim         non formal tertua (Aini, 2005 : 20).
     Majelis ta’lim merupakan lembaga               Adalah ulama Nusantara dari Jakarta,
pendidikan tertua dalam Islam, walaupun        KH. Abdullah Syafi’ie (1910-1985) orang
tidak disebut majelis ta’lim namun pengajian   pertama yang memperkenalkan istilah majlis
yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi      ta’lim (sering ditulis “majelis taklim”). Ia
yang dilakukan oleh para sahabat Nabi          mengembangkan pengajian di Masjid Al-
Muhammad SAW di rumah sahabat Arqam            Barkah yang disebut dengan majlis ta’lim, baik
dapat dianggap sebagai sebuah kegiatan         untuk bapak-bapak maupun yang dikhusukan
majelis ta’lim. Sejak zaman Rasulullah SAW     untuk ibu-ibu. Akhirnya Istilah majlis ta’lim
saat dakwah pertamanya yang bertempat di       menjadi trade mark dari pengajian-pengajian
rumah Arqom bin Al-Arqom. Di masa Islam        KH. Abdullah Syafi’ie. Sebelum itu orang
Mekkah, Nabi Muhammad SAW menyiarkan           kalau mau menghadiri pengajian tidak pernah
agama Islam secara sembunyi-sembunyi, dari     menyebutnya pergi ke majlis ta’lim, tetapi lebih
satu rumah ke rumah lain dan dari satu tempat  suka menyebutnya mau pergi ke pengajian.
ke tempat lain. Sedangkan di era Madinah,      Penamaan majlis ta’lim akhirnya melahirkan
Islam mulai diajarkan secara terbuka dan       identitas tersendiri yang membedakan dengan
diselenggarakan di masjid-masjid. Apa yang     pengajian umum biasa, yaitu sifatnya yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu         tetap dan berkesinambungan. Akhirnya
mendakwahkan ajaran-ajaran Islam, baik di      terbukti bahwa kegiatan yang bersifat majlis
era Mekkah ataupun Madinah-adalah cikal        ta’lim itu menjadi kebutuhan masyarakat
bakal berkembangnya Majelis Ta’lim yang kita   Islam, baik dikota-kota yang sibuk maupun di
kenal saat ini.                                desa-desa yang terpencil.
     Pada periode Madinah, ketika Islam telah       Apabila dilihat dari makna dan sejarah
mempunyai kekuatan yang besar pelaksanaan      berdirinya “majelis taklim” dalam masyarakat,
pengajian dalam masyarakat meningkat           bisa diketahui dan dimungkinkan lembaga
lebih pesat lagi. Nabi Muhammad SAW aktif      dakwah ini berfungsi sebagai tempat kegiatan
berdakwah di masjid untuk memberikan           belajar mengajar umat Islam, khususnya bagi
pengajian kepada para sahabat. Cara dakwah     kaum perempuan dalam rangka meningkatkan
dalam bentuk pengajian seperti itu merupakan   pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman
bagian kesuksesan keberhasilan Nabi            ajaran Islam. Majelis taklim juga berfungsi
Muhammad SAW menyebarluaskan Islam.            sebagai lembaga pendidikan dan keterampilan
                                               bagi kaum perempuan dalam masyarakat yang
     Di awal masuknya Islam ke Indonesia,      berhubungan, antara lain dengan masalah
Majelis Ta’lim merupakan sarana yang paling    pengembangan kepribadian serta pembinaan
efektif untuk memperkenalkan sekaligus         keluarga dan rumah tangga sakinah mawaddah
mensyiarkan ajaran-ajaran Islam ke masyarakat  warohmah. Melalui Majelis taklim inilah,
sekitar. Dengan berbagai kreasi dan metode,    diharapkan mereka menjaga kemuliaan dan
                                               Edisi Budaya | 239
kehormatan keluarga dan rumah tangganya.        dan tradisi yang baik sehingga mampu
Majelis taklim juga berfungsi sebagai wadah     bertahan di tengah kompetisi lembaga-
berkegiatan dan berkreativitas bagi kaum        lembaga pendidikan keagamaan yang bersifat
perempuan. Antara lain dalam berorganisasi,     formal. Bedanya, kalau dulu Majelis Ta’lim
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.         hanya sebatas tempat pengajian yang dikelola
                                                secara individual oleh seorang kyai yang
     “Majelis taklim” juga berfungsi sebagai    merangkap sebagai penqajar sekaligus, maka
pusat pembinaan dan pengembangan                perkembangan kemudian Majelis Ta’lim telah
kemampuan dan kualitas sumber daya              menjelma menjadi lembaga atau institusi yang
manusia dalam berbagai bidang seperti           menyelenggarakan pengajaran atau pengajian
dakwah, pendidikan sosial, dan politik yang     agama Islam dan dikelola dengan cukup baik,
sesuai dengan kodratnya. Majelis taklim juga    oleh individu, kelompok perorangan, maupun
diharapkan menjadi jaringan komunikasi,         lembaga (organisasi).
ukhuwah, dan silaturahim antar sesama kaum
perempuan, antara lain dalam membangun               Bahkan dalam system pendidikan
masyarakat dan tatanan kehidupan yang           nasional, majelis taklim dinyatakan sebagai
Islami (Muhsin MK, 2009).                       lembaga pendidikan diniyah non-formal
                                                yang keberadaannya di akui dan diatur dalam
     Dalam prakteknya, “majelis taklim”         Undang-undang nomor 20 tahun 2003
merupakan tempat pangajaran atau                tentang sistem pendidikan nasional, Peraturan
pendidikan agama Islam yang cukup fleksibel     Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tantang
dan tidak terikat oleh waktu. Majelis taklim    standar nasional pendidikan, Peraturan
bersifat terbuka terhadap segala usia, lapisan  Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang
atau strata sosial, dan jenis kelamin. Waktu    pendidikan agama dan pendidikan keagamaan,
penyelenggaraannya pun tidak terikat,           Keputusan MA nomor 3 tahun 2006 tentang
bisa pagi, siang, sore, atau malam. Tempat      struktur departement agama tahun 2006.
pengajarannya pun bisa dilakukan di rumah,
masjid, mushalla, gedung Aula, halaman, dan          “Majelis ta’lim” dalam pelaksanaan
sebagainya. Selain itu majelis taklim memiliki  programnya merupakan sebuah realisasi
dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai lembaga     kegiatan dakwah Islam, dengan dakwah
dakwah dan lembaga pendidikan non-formal.       tersebut diharapkan dapat menyebarlauaskan
Fleksibelitas majelis taklim inilah yang        ajaran Islam di muka bumi ini. Keberadaan
menjadi kekuatan sehingga mampu bertahan        majelis ta’lim diharapkan sebagai wadah untuk
dan merupakan lembaga pendidikan Islam          menciptakan terjalinnya ukhuwah Islamiyah,
yang paling dekat dengan umat (masyarakat).     yang pada akhirnya dapat memberikan
“Majelis taklim” juga merupakan wahana          kelapangan dalam hidup di dunia dan akhirat.
interaksi dan komunikasi yang kuat antara       Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah
masyarakat awam dengan para mualim, dan         Al-Mujadilah ayat 11 yang artinya: “Hai
antara sesama anggota jamaah majelis taklim     orang-orang yang beriman, apabila dikatakan
tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu. Dengan    kepadamu: berlapang-lapanglah dalam
demikian majelis taklim menjadi lembaga         majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah
pendidikan keagamaan alternatif bagi mereka     akan memberi kelapangan untukmu…” (Depag
yang tidak memiliki cukup tenaga, waktu,        RI, 1989: 910).
dan kesempatan menimba ilmu agama dijalur
pandidikan formal. Inilah yang menjadikan            Kata majelis dalam ayat di atas dapat
majlis taklim memiliki nilai karkteristik       berarti duduk bersama. Asal mulanya duduk
tersendiri dibanding lembaga-lembaga            bersama mengelilingi Nabi karena hendak
keagamaan lainnya.                              mendengar ajaran-ajaran dan hikmat yang
                                                akan beliau keluarkan. Makna berlapang-
     Meski telah melampaui beberapa fase        lapang dalam ayat di atas juga mengandung
perubahan zaman, eksistensi Majelis Ta’lim      arti kita hendaknya melapangkan hati dalam
cukup kuat dengan tetap memelihara pola         menerima materi pengajian (Hamka, t.t : 26).
240 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Dasar pokok pelaksanaan program majelis    dan mencegah dari yang mungkar melalui
ta’lim adalah landasan yang bersumber dari      pelaksanaan pengajian majelis ta’lim, 2)
ajaran agama Islam. Syukir (t.t : 63) menulis:  Mengajak umat manusia yang sudah memeluk
“agama Islam adalah agama yang menganut         agama Islam untuk meningkatkan taqwanya
ajaran kitab Allah yakni Al-Quran dan Hadits    kepada Allah SWT, 3) Membina mental
Rasulullah SAW yang mana keduanya ini           keagamaan umat Islam sebagai jamaah majelis,
merupakan sumber utama ajaran Islam”.           4) Mengajak umat manusia yang belum beriman
Secara operasional pelaksanaan program          agar beriman kepada Allah SWT, 5) Mendidik
majelis ta’lim berlandaskan kepada firman       dan membina serta mengajarkan ajaran agama
Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 104        Islam kepada jamaah, 6) Memperbaiki Akhlak
yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara      umat, melalui siraman rohani ceramah agama
kamu segolongan umat yang menyeru kepada        dalam setiap pengajian majelis ta’lim.
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar, merekalah orang-          Berdasarkan hal tersebut, majelis ta’lim
orang yang beruntung” (Depag RI, 1989: 93).     mempunyai kedudukan dan ketentuan sendiri
                                                dalam mengatur pelaksanaan pendidikan
     Dari firman Allah SWT di atas, jelas       atau pun dakwah Islamiyah. Secara strategis
bahwa sebagai dasar pokok pelaksanaan           majelis ta’lim menjadi sarana dakwah
majelis ta’lim adalah bersumber dari ajaran     yang Islami dengan corak yang berperan
Al-Quran dan Hadits. Dengan berpedoman          serta dalam pembinaan dan peningkatan
kepada dua sumber utama ini majelis ta’lim      kualitas kehidupan umat Islam. Proses
dalam kegiatannya diharapkan dapat menjadi      penyadaran umat dalam rangka menghayati,
sebuah organisasi dakwah Islam yang menyeru     memahami, dan mengamalkan ajaran Islam
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari pada       dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan
kemungkaran. Lebih lanjut Hasbullah (1996       pribadi, lingkungan sosial budaya, dan alam
: 201) menyebutkan tujuan majelis ta’lim        sekitarnya.. Dengan demikian diharapkan
adalah: “Menanamkan akhlak yang luhur           umat Islam dapat menjadi umat yang benar-
dan mulia serta meningkat kemajuan ilmu         benar umat yang rahmatan lil’alamin.
pengetahuan dan keterampilan jamaah,
memberantas kebodohan umat Islam agar                Keberadaan majelis ta’lim dipandang
dapat memperoleh kehidupan yang bahagia         efektif dan efisien dalam membantu kegiatan
dan sejahtera yang diridhoi oelh Allah SWT”     dakwah Islam, karena majelis ta’lim dapat
                                                mengumpulkan orang banyak dalam sebuah
     Berdasarkan kepada pendapat di atas,       kegiatan pengajian dalam satu waktu untuk
hakekat tujuan majelis ta’lim adalah agar       membicarakan hal-hal keagamaan. Karena itu
jamaah yang mengikutinya memperoleh             kedudukan majelis ta’lim di tengah-tengah
kehidupan yang bahagia dan sejahtera di         masyarakat eksistensinya tidak diragukan lagi.
dunia akhirat yang diridhoi oleh Allah SWT.
Menanamkan akhlak yang luhur dan mulia               Peranan majelis ta’lim dalam masyarakat
telah diberikan penjelasan oleh Al-Quran, hal   selain berkaitan dengan peranan dakwah Islam
ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surah    di antaranya adalah mengokohkan landasan
Al-Ahzab ayat 21 artinya: “Sesungguhnya pada    dan meningkatkan kualitas hidup manusia.
(diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik   Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap        Arifin (1991 : 120): “peranan majelis ta’lim
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat     adalah mengokohkan landasan hidup manusia
dan dia banyak menyebut Allah” (Depag RI,       di bidang mental spiritual keagamaan Islam
1989: 670).                                     dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya
                                                secara integral, lahiriyah dan batiniyah,
     Berdasarkan konsep di atas, dapat          duniawi dan ukhrawi yang bersamaan,
diberikan kesimpulan tujuan majelis ta’lim      sesuai dengan ajaran Islam yaitu iman dan
adalah sebagai berikut: 1) Melaksanakan         takwa yang melandasi kehidupan di dunia
kegiatan menyeru kepada yang ma’ruf             dan segala bidang kegiatannya”. Sedangkan
                                                Edisi Budaya | 241
