Midodareni
Midodareni diambil dari kata midodari             merupakan mustika adicara pada malam
            atau widodari yang berarti bidadari.  Midodareni. Sejak malam Midodareni, kedua
            Di kalangan masyarakat Jawa, ada      mempelai tidak lagi disebut sebagai calon
mitos yang menyebutkan bahwa pada malam           pengantin dalam tradisi penikahan Jawa.
Midodareni, para bidadari dari kahyangan
turun ke bumi dan bertandang ke rumah calon            Hal ini didasarkan pada apa yang tertulis
pengantin wanita untuk mempercantik dan           dalam primbon kuna yang menyebutkan:
mempersiapkannya agar menjadi bidadari            “Ing bengi kebener Midodareni, iku wiwit jeneng
yang sempurna bagi calon suaminya.                penganten”. Oleh karena itu sorak sorai para
                                                  kerabat pada malam Midodareni adalah
      Prosesi Midodareni dilaksanakan pada        teriakan: “Lha kae pengantene teka”. Karenanya
malam hari sebelum ijab-kabul dan acara           sejak malam Midodareni, terutama setelah
Panggih Pengantin. Selain disebut Midodareni,     menerima Kancing Gelung, kedua mempelai
prosesi ini juga terkadang disebut dengan         sudah disebut sebagai pengantin, bukan
istilah Maleman, atau lengkapnya Malem            lagi calon pengantin. Mereka berdua adalah
Midodareni. Ada juga yang menyebutnya             mustika perhelatan yang ditunggu-tunggu,
Pangarip-arip, sebagaimana disebutkan oleh        yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai
Rama Sudi Yatmana, dalam Upacara Penganten        Penganten, kusumaning adicara ingkang dipun
Tata Cara Kejawen.                                anti-anti.
      Alkisah, dewi Nawangwulan bersama para           Suwardjoko percaya bahwa ada peran
bidadari turun ke marcapada untuk memberi         Wali Songo dalam proses Islamisasi tradisi
doa restu kepada dewi Nawangsih yang akan         pernikahan Jawa ini. Wali Songo tidak serta
dipersuntingolehBondhanKejawan.Kesediaan          merta mematikan tradisi Midodareni yang
Dewi Nawangwulan untuk merias sendiri dewi        sebenarnya sarat dengan mitos. Kedua
Nawangsih ini disertai dengan syarat agar         mempelai juga tetap diizinkan untuk disebut
pihak pengantin pria mempersembahkan              sebagai pengantin sejak prosesi Midodareni,
Kembarmayang. Suwardjoko, dalam bukunya;          tetapi belum diizinkan untuk tidur bersama
Makna, Tata Cara dan Perlengkapan Pengantin       sebelum akad nikah. Bahkan pengantin pria
Adat Jawa, menyebut kisah-kisah ini hanyalah      tidak disambut di dalam rumah pengantin
dongeng atau mitos belaka.                        putri, melainkan di beranda depan saja dan
                                                  belum diizinkan menemui pengantin putri.
      Malam Midodareni adalah malam
Paes atau Pepaes, yang berarti berhias.                Prosesi Midodareni ini didahului oleh
Mengutip Kalinggo Honggopuro, Suwardjoko          prosesi lain di mana kedua calon pengantin
menyebutkan bahwa tradisi Paes ini bisa           melakukan Jamas atau mandi keramas
dilacak sejarahnya dari jaman Mataram.            menggunakan air kembang setaman, yang
                                                  disebut dengan prosesi siraman. Siraman
      Meskipun menurut hukum agama dan            memiliki hubungan erat dengan Midodareni
negara kedua mempelai belum bisa disebut          dan menjadi syarat penting agar para bidadari
sebagai pasangan suami isteri sebelum akad        bersedia turun dari kahyangan untuk merestui
nikah, namun tradisi Jawa sudah menyebut          calon pengantin.
keduanya sebagai Sri Pengantin, yang
292 | Ensiklopedi Islam Nusantara
merasuk dalam diri
                                                    calon pengantin puteri.
                                                    Agar hal itu terjwujud
                                                    maka semua hal yang
                                                    berkenaan                  dengan
                                                    malam                      Midodareni
                                                    harus serba ganjil dan
                                                    belum genap atau
                                                    belum lengkap. Karena
                                                    apabila sudah genap
                                                    dan lengkap, justru pada
                                                    bidadari yang turun
                                                    dan bertandang ke
                                                    rumah calon pengantin
                                                    akan kembali lagi ke
Salah satu Prosesi Midodareni.                      kahyangan karena merasa sudah tidak ada
Sumber: https://ikawidyan.wordpress.com/2011/12/06  yang perlu disempurnakan.
     Selain ada keharusan penggunaan                Perlengkapan Prosesi Midodareni
kembang setaman seperti mawar, melati,              A. Keluarga pengantin putri
bunga kanthil, dan kenanga, prosesi siraman         • Angsul-angsul
mengharuskan dipakainya air bersih dari             • Kancing Gelung (Cundhuk Ukel)
sumber mata air guna memurnikan dan                 • Naskah Catur Wedha
menyucikan calon pengantin lahir dan                • Ayam betina muda (dhere), lambang
batin. Dengan demikian, para bidadaripun
diharapkan akan bersedia turun dan                       pengantin putri
memberikan doa restu serta memberikan aura          • Tempat duduk pengantin pria dilapisi
kecantikannya kepada calon pengantin.
                                                         dengan klasa kalpa
     Prosesi Midodareni dilaksanakan pada           B. Keluarga pengantin pria
malam hari setelah sholat Maghrib. Terdapat         • Cengkir gadhing dihias janur berupa
tamsil tertentu pada penggunaan angka-angka
ganjil dan serba tidak lengkap atau tidak                clorot, sepasang
genap pada laku adicara Midodareni. Bahkan          • Kembarmayang, sepasang
orang yang menyiramkan air pada proses              • Ayam jantan muda (Jengger), lambang
Siraman juga jumlahnya ganjil, biasanya tujuh
atau sembilan orang. Paes atau riasan yang               pengantin kakung
digunakan pada malam Midodareni juga hanya          • Paningset serta kelengkapan (abon-
berupa alub-alub atau cengkorongannya saja.
Busana yang digunakan juga sederhana, dengan             aboning) paningset
harapan bahwa para bidadarilah yang akan            • Sanggan serta tanda asih (apa saja)
menggenapkan atau menyempurnakannya.
                                                    Urutan prosesi pada malam Midodareni:
     Pada malam yang sangat penting itu
para bidadari diharapkan turun dan manjing               Jonggolan
atau menyatu dalam jiwa dan raga Sri
Penganten yang disebut sebagai keadaan                   Jonggolan berarti pisowanan, di mana
Hapsari Hangejawantah, yakni munculnya              calon pengantin pria sowan atau hadir
aura kebidadarian pengantin yang telah              menghadap keluarga calon pengantin putri
pecah pamor. Jika itu terjadi, artinya bidadari     untuk memberitahu bahwa ia telah siap lahir
yang turun dari kahyangan benar-benar telah         batin mengikuti seluruh adicara dalam proses
                                                    pernikahan.
                                                         Prosesi ini juga disebut dengan nyantrik
                                                    atau nyantri karena aslinya dalam tradisi
                                                                               Edisi Budaya | 293
Purna Jonggolan di lingkungan keraton, calon     pada malam Midodareni, karena malam
penganten pria tidak hanya sekedar berkunjung    ini bukan merupakan perjamuan agung.
dan menampakkan diri, melainkan langsung         Sebagaimana disebutkan di atas, tata busana
mondok atau nyantrik di kasatrian dan dipingit   pada malam Midodareni justru dianjurkan
di sebuah bangunan di lingkungan keluarga        bersifat sederhana. Oleh karena itu dianjurkan
calon istrinya. Adapun di luar keraton, calon    menggunakan busana beskap landhung tanpa
pengantin pria kembali pulang ke rumah           keris.
setelah adicara Midodareni, namun demikian,
tetap disebut nyantrik.                               Tempat duduk pengantin pria pada adicara
                                                 Jonggolan dilapisi dengan klasa kalpa. Hal
     Jonggolan atau nyantrik pada zaman          ini didasarkan pada kawruh kraton. Adapun
kuno dilakukan beberapa hari sebelum acara       yang biasa (kaprah) terjadi di masyarakat, alas
inti. Calon pengantin dititipkan (ngenger) di    duduk pengantin pria adalah klasa bangka atau
rumah calon mertuanya dan dipingit. Namun        tilam lampus.
seiring perkembangan zaman, nyantrik
ini dilaksanakan bersamaan dengan acara          Tumuruning Kembarmayang
Midodareni.
                                                      Kembar berarti serupa dan mayang
     Tata lahir dan simbol-simbol yang terdapat  adalah bunga dari pohon pinang atau jambe.
dalam Jonggolan pada adicara Midodareni          Kembarmayang adalah dua buah hiasan yang
memiliki beberapa makna, di antaranya:           terbuat dari pokok/debok pisang, yang dihias
                                                 dengan janur, aneka buah dan kembang
• Menunjukkan bahwa semua persyaratan            pancawarna serta bunga jambe. Meskipun
     yang diperlukan dalam pernikahan sudah      penggunaan Kembarmayang adalah pada saat
     terpenuhi                                   prosesi Panggih Pengantin, namun ia telah
                                                 dibuat dan disimpan sejak malam Midodareni.
• Pengantin kakung sudah siap lahir dan
     batin                                            Kembarmayang juga memiliki beberapa
                                                 nama lain seperti Sekar Mantyawarna, Sekar
• Adanya sabdatama atau petuah untuk             Adi Kalpataru, dan Klepu Dewadaru kaliyan
     pengantin                                   Jayadaru.
• Merupakan penilikan akhir terhadap                  Kembarmayang dipercaya sebagai hiasan
     kesiapsediaan segala hal yang diperlukan    bunga dari para dewa yang dirangkai oleh
     untuk melangkah menuju adicara              tujuh bidadari. Ia hanya merupakan pinjaman
     selanjutnya                                 kepada pengantin pria untuk digunakan dalam
                                                 pernikahan. Setelah selesai digunakan, ia harus
     Ada dua macam pakem busana yang             dikembalikan kepada para dewa dengan cara
dikenakan pengantin pria pada saat njonggol      melarutkannya di sungai atau membuangnya
atau sowan pada malam Midodareni.                di perempatan jalan.
Menurut tradisi Yogya, calon pengantin
pria mengenakan busana kasatrian, yaitu               Kembarmayang merupakan perlambang
baju surjan, blangkon, kalung karset dan         restu dan keberkahan dari Yang Maha Kuasa
mengenakan keris. Adapun dalam tradisi           kepada pengantin. Keberadaan mayang dalam
Surakarta, pengantin pria mengenakan busana      hiasan tersebut melambangkan pengantin
pangeranan yaitu jas beskap, kalung karset, dan  yang sedang memasuki dunia rumah tangga.
mengenakan keris.
                                                      Makna dan kiasan yang terkandung dalam
     Namun diperbolehkan juga tidak              prosesi golek Kembarmayang adalah sebuah
menggunakan pakem busana sebagaimana             ibarat atau pasemon bahwa mewujudkan
disebutkan di atas. Pengantin pria boleh         segala macam cita-cita dan harapan haruslah
menggunakan jas dan dasi pada saat               diakukan dengan usaha, serta ada “harga”
Jonggolan. Bahkan ada yang berpendapat           yang harus dibayar; jer basuki mawa bea.
bahwa sebaiknya pengantin pria dan para
pendampingnya tidak mengenakan keris
294 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Adapun gotong-royong dan kerjasama dalam          dunia para muda mudi yang sedang jatuh cinta.
proses pembuatannya dan Tumuruning
Kembarmayang melambangkan sikap tolong-                Mugi kersoa angupadi tumuruning wahyu
menolong (sambat sinambatan). Hal ini pula        jodho ingkang awujud sekar mancawarna ugi
menunjukkan bahwa perhelatan pernikahan           sinebatKembarmayang, kinarya jangkeping
tersebut didukung oleh sanak kadang dan bolo      panggihing calon pinangantyan kekalih.
rewang, serta diiringi doa kepada yang maha
kuasa.                                                 Semoga bersedia mencari wahyu jodoh
                                                  yang berwujud bunga warna-warni yang juga
     Nut carita duking nguni-uni                  disebut kembarmayang, untuk melengkapi
     Ila-ila ujaring pra kina                     pertemuan calon pengantin berdua.
     Gung pinundhi prapteng mangke
     Kembarmayang puniku                          Tumuruning      Kembarmayang
     Rinatikna in widadari
     Minangka sung nugraha                        disebut juga dengan istilah “Miyosipun
     Satria linangkung
     Ingkang asung bekti darma                    Kembarmayang Saking Suwargo”, yakni
     Labuh labet mring hyang kang maha luwih
     Hambangun pala karma                         turunnya Kembarmayang dari surga. Istilah
     Terjemahan syair Jawa (tembang               lainnya yang juga dipakai adalah “Panebusing
dhandhang gula) di atas, sebagaimana ditulis
oleh Meka Nitrit Kawasari adalah sebagai          Kembarmayang”.
berikut:
                                                       Mitos Jawa menyebutkan bahwa
     Menurut cerita dahulu kala                   Kembarmayang merupakan pemberian dari
                                                  Sang Hyang Jagad Giri Nata. Adapun yang
     Tata cara menurut kisang orang tua           membawanya ke bumi adalah para bidadari, di
                                                  antaranya; Prabasini, Irim irim, Tanjung Biru,
     Yang dilestarikan hingga kini                Warsiki, Gagar Mayangm Leng Leng Sari, dan
                                                  Leng Leng mandanu.
     Kembarmayang nan asri
                                                       Dalam mitos Jawa juga disebutkan,
     Dirangkai oleh para bidadari                 Kembarmayang yang asli diturunkan oleh para
                                                  dewa terbuat dari bunga pohon Kalpataru;
     Sebagai anugerah                             pohon yang tumbuh di surga dan buahnya
                                                  menjadi santapan para dewa.
     Bagi pria pilihan nan gagah
                                                       Saat ini Kembarmayang dibuat oleh para
     Yang akan melaksanakan darma bakti           pemuda yang datang untuk rewang. Adapun
                                                  aslinya dalam tradisi Jawa, yang bertugas
     Melaksanakan perintah ilahi                  membuat Kembarmayang adalah dua orang
                                                  wanita dewasa, dari pihak pengantin pria, lalu
     Mengangkat seorang isteri                    dibuatkan sesajen dan didoakan pada acara
                                                  “Slametan Midodareni” sebagai pepeling atau
     Sebagaimana setiap prosesi dan adicara       pengingat bagi pengantin bahwa perkawinan
lainnya dalam tradisi pernikahan Jawa,            bukan hanya bertemunya raga, tetapi juga
Kembarmayang sarat dengan makna dan               perpaduan dua jiwa yang menyatu dalam
kiasan. Ada banyak versi tafsir dan tamsil pada   ikatan suci membangun sebuah keluarga.
Kembarmayang dan proses pembuatan serta
keberadaannya pada pernikahan adat Jawa,               Prosesi Tumuruning Kembarmayang
yang beredar di masyarakat.                       terdiri dari beberapa bagian yang dibawakan
                                                  dalam adegan-adegan mirip adegan
     Terdapat tembang sinom yang                  pewayangan dan dipandu oleh seorang dalang.
menggambarkan perjalanan Sang Sarayajati          Adapun cerita yang dilakonkan adalah tentang
menghadap kepada yang punya hajat. Tembang        pencarian, penebusan, dan pemboyongan,
Sekar Sinom diperuntukkan bagi anak muda.         lalu dilanjutkan dengan prosesi penyerahan
Ia berasal dari kata Si yang berarti “isih” atau  Kembarmayang kepada pihak keluarga
masih dan Nom yakni “enom” atau muda dan          pengantin putri.
memiliki sifat ramah yang melambangkan
                                                                  Edisi Budaya | 295
Dapukan atau pemeran dalam adegan-       pengantin punya ketetapan hati dalam
adegan tersebut adalah Saraya jati (seorang   mengarungi samudera kehidupan berrumah
ksatria yang ditugaskan untuk mencari         tangga. Walang juga melambangkan kegesitan.
Kembarmayang), Hamengku Gati (Sebagai
ayah dari pengantin putri), dan Jati Wasesa        Kembarmayang dalam pernikahan
(seorang pandhita dari padepokan Sidodadi,    Jawa merupakan “replika” dari Dewadaru
tempat Kembarmayang disimpan).                dan Jayadaru, yaitu bunga dari pohon
                                              Kalpataru. Ini merupakan perlambang
     Sekar mancawarna pada Kembarmayang       harapan agar pengantin kelak dapat bahagia
terdiri dari ron maneka warni atau ron apa-   dalam kehidupan berrumahtangga seharum
apa; melambangkan keaneka ragaman isi         bunga Dewadaru dan Jayadaru, serta segera
dunia dengan harapan agar pengantin kelak     menghasilkan buah, yakni keturunan.
dapat menjalani kehidupan rumah tangga
yang penuh lika liku. Lalu ada bunga kanthil  Srah-srahan
dan melati yang melambangkan keharuman
dengan harapan semoga perilaku pengantin           Adicara Tumuruning Kembarmayang
kelak selalu harum seperti harumnya bunga     kemudian dilanjutkan dengan prosesi srah-
melati dan menjadi teladan sebagaimana        srahan, yaitu penyerahan tanda kasih atau tali
bunga kanthil.                                asih dari pihak pengantin pria kepada keluarga
                                              pengantin putri. Wujudnya berupa berbagai
     Keris-kerisan janur pada Kembarmayang    macam perhiasan, barang mentah, dan barang
merupakan perlambang pusaka yang dipakai      jadi atau matang (raja peni, guru bakal, guru
oleh laki-laki dan menjadi pengingat atas     dadi).
tanggungjawab seorang suami dalam hidup
berumah tangga. Manuk-manukan janur                Raja peni dan guru dadi dibawa di dalam
atau burung menjadi pepeling agar pengantin   sebuah kotak yang disebut dengan jodhang.
mempunyai cita-cita yang tinggi setinggi      Adapun guru bakal dibawa dengan dipikul.
terbangnya burung. Nanas yang berada pada     Apabila salah satu orang tua dari pengantin
bagian atas Kembarmayang merupakan            pria sudah meninggal, maka perangkat srah-
lambang tingginya derajat. Nanas ini          srahan ditambah dengan bendhe.
diletakkan pada bagian paling atas sebelum
payung-payungan. Harapannya pengantin              Srah-srahan lengkap dalam pakem keraton
agar selalu rukun, berdampingan dan tinggi    Surakarta berupa:
derajatnya. Adapun payung-payungan
janur yang memayungi Kembarmayang             - Paningset, yakni setagen, sesupe seser,
melambangkan pengayoman. Pecut-pecutan             sinung truntum, serta sindur
janur sekawan yang berjumlah empat
melambangkan sadherek sekawan atau empat      - Perlengkapan, yakni tebu wulung, jeruk
saudara yang merupakan pengingat bagi              gulung, sedhah ayu, pisang ayu, dan sekul
pengantin tentang keberadaan mereka di             golong
dunia mulai dari kelahiran sampai mati.
                                              - Pengiring, yakni raja peni (berupa aneka
     Peksi pada Kembarmayang melambangkan          ragam perhiasan), guru bakal (berupa
perjodohan serta harapan agar pengantin            ternak, palawija dan sebagainya), guru
segera mendapatkan keturunan. Urang                dadi (berupa busana, makanan dan
melambangkan harapan agar pengantin                sebagainya)
dalam menjalani hidup berumah tangga
tidak kekurangan dan selalu tercukupi segala  Catur Wedha
kebutuhannya. Walang melambangkan
harapan agar tidak dihantui rasa walangati/        Setelah semua tamu dari pihak pengantin
sumelang yakni gundah gulana. Harapannya,     pria duduk di tempat yang disediakan, ayah
                                              dari pengantin putri menghampiri pengantin
                                              pria dengan maksud wawansabda untuk
                                              memastikan terakhir kalinya bahwa pengantin
                                              pria benar-benar telah siap lahir batin
296 | Ensiklopedi Islam Nusantara
menghadapi prosesi pernikahan selanjutnya,        penyerahan dhuwung atau keris yang disebut
karena keesokan harinya adalah prosesi ijab-      cundhuk Ukêl yang merupakan senjata
kabul yang membuat ikatan kedua mempelai          andalan kaum wanita. Pusaka ini diberikan
sah menurut agama dan negara.                     kepada pengantin pria untuk melindungi isteri
                                                  dan keluarganya kelak.
     Ayahanda pengantin putri lalu
memberikan wejangan Catur Wedha (empat                 Kancing Gelung yang diserahkan terdiri
norma) atau Catur Laksitatama (empat              atas:
perilaku utama). Hal ini perlu dilakukan agar
ayahanda pengantin putri tidak ragu dan           • Dhuwung, yaitu pusaka milik penganten
khwatir lagi menyerahkan putrinya kepada               putri pemberian ayahandanya berupa
pria yang akan menikahinya.                            keris Cundhuk Ukêl. Pusaka ini sebenarnya
                                                       hanya dititipkan kepada pengantin pria
     Setelah wejangan Catur Wedha ini, kedua           untuk melindungi keluarganya kelak.
pengantin dipingit di tempat masing-masing
yang telah disediakan, atau disebut dengan        • Ageman, yaitu busana agung yang akan
prosesi nyantrik/nyantri. Pada saat nyantrik ini       dikenakan pengantin pria pada waktu
kedua mempelai dilarang saling bertemu.                dhaup atau panggih penganten.
Andrawina                                              Adapun angsul-angsul adalah berbagai
                                                  macam hadiah, bisa berupa makanan, kue dan
     Setelah acara wejangan Catur Wedha,          lain-lainnya dari pihak keluarga pengantin
para tamu dipersilahkan makan bersama             putri kepada rombongan penganten pria.
dan berramah tamah. Acara santap makan            Angsul-angsul merupakan tanda tali asih
bersama dan ramah tamah ini disebut juga          antara dua keluarga yang berbesanan.
dengan Kembul Bojana Andrawina. Adicara ini
biasanya diisi pula dengan perkenalan anggota          Apabila rangkaian acara Midodareni
keluarga dari masing-masing pihak.                sudah sampai pada penyerahan kancing
                                                  Gelung dan Angsul-angsul, itu adalah pertanda
     Acara ini seharusnya dilakukan               bahwa acara sudah akan berakhir. Hal ini juga
ketika larut malam. Tuan rumah akan               merupakan isyarat bahwa pengantin pria
menghidangkan sekul asrep-asrepan. Yang           dipersilakan segera meninggalkan rumah
unik pada acara ini adalah mendahulukan           calon mertua (katundhung) untuk kembali ke
tamu wanita untuk makan. Hal ini dilakukan        pondokan yang telah disediakan (sengkeran),
sebagai penghormatan kepada para bidadari         bagi yang disediakan tempat untuk nyantrik.
sebagaimana dalam kisah pernikahan Jaka           Atau pulang ke rumah bagi yang tidak tinggal
Tarub dan dewi Nawangwulan.                       di pondokan untuk nyantrik. Para pimpinan
                                                  rombongan pengantin pria harus tanggap dan
     Seluruh acara di atas dilakukan dengan       segera mohon diri.
sangat kihdmat dan tenang. Bahkan dalam
berbicara pun para tamu dan tuan rumah            Sejarah Dhuwung Cundhuk Ukêl
hanya melakukannya dengan suara lirih atau
bisik-bisik. Namun demikian pada zaman                 Dalam tradisi keraton-keraton Jawa,
sekarang, acara ini dilaksanakan dengan           para puteri dari permaisuri raja diberi pusaka
meriah dan gegap gempita. Hidangan yang           andalan berupa keris atau curiga, yang diberi
disuguhkan juga bermacam-macam, terkadang         nama Cundhuk Ukêl. Pusaka ini merupakan
ditambah dengan hiburan tayuban. Waktu            penanda bahwa wanita yang memilikinya
pelaksanaanya pun tidak terlalu larut malam.      adalah seorang puteri raja. Dhuwung Cundhuk
                                                  Ukel ini merupakan pusaka yang diwariskan
Kancing Gelung dan Angsul-angsul                  turun temurun kepada anak perempuan.
     Setelah selesai berramah-tamah dan                Karena pusaka ini hanya untuk para puteri,
memakan hidangan, pemangku hajat                  maka sosok penampakannya (dhapuran), juga
kemudian menggelar prosesi penyerahan             ferminin (mutreni). Bentuknya lebih kecil
Kancing Gelung. Kancing gelung adalah             dari umumnya keris. Angsar-nya juga bersifat
                                                  Edisi Budaya | 297
kewanitaan, yakni ruruh, cinta asih, tenteram,  majemukan adalah ungkapan syukur kepada
dan tenang. Cundhuk Ukêl bukan merupakan        Tuhan yang maha kuasa atas terlaksananya
Dhuwung ageman (kelengkapan busana)             acara dengan baik, serta doa semoga prosesi
karena sosoknya yang kecil, bahkan terkadang    acara berikutnya berjalan lancar dan baik,
berbentuk mirip cundrik atau patrêm.            nirbaya, nir-rubeda, tanpa ada halangan dan
                                                gangguan apapun.
     Pusaka inilah yang dititipkan kepada
menantu (putra mantu) pada prosesi                   Selain berdoa, acara majemukan berupa
penyerahan Kancing Gelung di malam              makan bersama-sama hidangan berupa nasi
Midodareni. Pasemon dan isyarat dari hal ini    wuduk berlauk ingkung ayam sebagai lambang
adalah pertanda bahwa ayahanda pengantin        kebersamaan dan gotong royong, holopis kuntul
puteri telah memberikan kepercayaan kepada      baris, bekerja bersama-sama agar terlaksana
pengantin pria untuk mempersunting              seluruh hajat dengan sempurna. Selanjutnya
puterinya, dan bahwa pria tersebut akan         melekan atau wungon, yakni berjaga semalam
melaksanakan pesan-pesan wejangan dalam         suntuk, yang dilakukan oleh beberapa sesepuh
Catur Wedha.                                    sambil berdoa atas kelancaran dan keberkahan
                                                prosesi selanjutnya.
     Apabila dalam perjalanan rumah tangga
kedua mempelai kelak ada halangan dan ketidak        Meskipun secara keseluruhan prosesi
cocokan sehingga menyebabkan perceraian,        malam Midodareni ini berasal dari tradisi kuno
maka Cunduk Ukêl harus dikembalikan kepada      pra Islam, namun praktiknya hari ini rangkain
keluarga wanita, karana ia hanya titipan,       acara ini syarat dengan nilai-nilai dan ritual
bukan pemberian. Oleh karena itu, apabila ada   Islam. Acara Midodareni di kalangan orang
seorang pria mengembalikan Cundhuk Ukel,        Jawa Islam hari ini dimulai dengan bacaan ayat-
itu artinya sebuah isyarat perceraian.          ayat suci al-Quran dan selalu disertai dengan
                                                doa-doa Islami. Darori Amin, dalam Islam dan
Majemukan                                       Kebudayaan Jawa, menyebutkan bahwa malam
                                                Midodareni di kalangan orang Jawa Islam diisi
     Majemukan merupakan ritual penutup         dengan bacaan-bacaan barzanji dan tahlilan.
dari rangkaian malam Midodareni. Dilakukan
larut malam ketika para tamu sudah                                                                           [Ali Mashar]
meninggalkan rumah pengantin putri. Inti dari
                                            Sumber Bacaan:
H. M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000.
K.P. Suwardjoko Proboadinagoro Warpani, Makna, Tata cara dan Perlengkapan Pengantin Adat Jawa, Kepel Press,
         Yogyakarta, 2015.
Meka Nitrit Kawasari, Penggunaan Bahasa Jawa Pada Upacara Tumuruning Kembarmayang Sebagai Cermin Kearifan Budaya
         Jawa, dalam Jee Sun Nam (ed.), Language Maintenance and Shift III, Revised Edition, Balai Bahasa Provinsi Jawa
         Tengah, 2013.
Rama Sudi Yatmana, Upacara Penganten Tata Cara Kejawen, CV Aneka Ilmu, Semarang, 2001.
Suwarna Pringgawidagda, Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya Yogyakarta , Kanisius, 2006.
Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000.
298 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Mudik
Mudik telah menjadi tradisi                    dimaksudkan untuk berinteraksi dengan orang
            masyarakat Indonesia yang pada     yang masih hidup, tetapi juga berkomunikasi
            umumnya dikaitkan dengan           dengan orang yang sudah meninggal di tempat
perayaan hari lebaran. Kebiasaan ini bertumpu  jasad terakhirnya bersemayam.
pada semangat menjaga tradisi lama yang
menjadi bagian penting masyarakat dalam        Pengertian
upaya mencari atau kembali ke jati diri.
Dalam ritual tahunan ini, banyak hal muncul         Secara etimologi, kata mudik berasal
sebagai fenomena sosial dan keagamaan di       dari kata “udik” yang berarti selatan/hulu,
mana agama dan budaya melebur menjadi          sebagai lawan kata dari ‘hilir’, yang bermakna
satu tarikan nafas. Melalui kegiatan mudik,    utara. Di kalangan masyarakat Betawi zaman
masyarakat Muslim Indonesia memperagakan       kolonial, suplai kebutuhan hasil bumi diambil
ajaran silaturahmi bersama keluarga, kerabat,  dari wilayah luar tembok kota di selatan. Para
handai taulan serta sahabat. Dalam suasana     petani dan pedagang melakukan transaksi
lebaran, masyarakat secara sistemik bermaaf-   melalui sungai dari utara dan kembali ke
maafan, update perkembangan lingkungan         selatan. Dari aktivitas ini kemudian muncul
sekitar, serta terhubung dengan masa lalu.     istilah hilir mudik yang berarti bolak-balik.
Satu hal yang juga penting adalah bahwa
kepulangan ke kampung halaman tidak hanya           Mudik juga dimaknai ‘menuju udik’ atau
                                               pulang ke kampung halaman. Kata ‘udik’
Suasana Para Pemudik di Stasiun Kereta.
Sumber http://news.okezone.com
                                                Edisi Budaya | 299
Mudik bareng yang diselenggarakan PBNU. Dalam mudik  oleh keluarga kerajaan. Sejak masuknya Islam,
           bersama tersebut, sebanyak 35 bus disiapkan untuk    mudik dilakukan menjelang Lebaran.
           memberangkatkan sekitar 1750 pemudik ke berbagai
           wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur         Beberapa ahli berpendapat bahwa tradisi
                                                                mudik muncul karena masyarakat Indonesia
                  Sumber: Tribunnews.com                        adalah keturunan Melanesia yang berasal dari
                                                                Yunan, Cina. Sebuah masyarakat yang dikenal
biasanya merujuk pada persepsi desa atau                        sebagai pengembara. Mereka menyebar ke
kampung tempat asal kelahiran seseorang.                        berbagai tempat untuk mencari sumber
Ketika seseorang hidup dan berkarir di kota, ada                penghidupan. Pada bulan-bulan yang dianggap
tuntutan kultural untuk kembali ke ‘kampung                     baik, mereka akan mengunjungi keluarga di
halaman’ di mana komunitas primordialnya                        daerah asal. Biasanya mereka pulang untuk
berada. Kepulangan seseorang ke kampung                         melakukan ritual kepercayaan atau keagamaan.
halaman pada umumnya dilakukan dalam
rangka merayakan lebaran atau hari libur                             Tradisi mudik tidak hanya erat kaitannya
lainnya. Konsep kampung halaman menjadi                         dengan perayaan Idul Fitri, melainkan juga erat
dasar pijakan yang dikaitkan dengan konsep                      kaitannya dengan berbagai dimensi kehidupan
silaturahmi, ziarah kubur dan nostalgia.                        manusia. Paling tidak ada tiga dimensi yang
                                                                dapat kita amati dalam tradisi mudik. Pertama,
Sejarah                                                         mudik memiliki dimensi spiritual-kultural.
                                                                Mudik dianggap sebagai tradisi warisan yang
     Tradisi mudik merupakan kebiasaan                          dimiliki sebagian besar masyarakat Jawa.
masyarakat petani Jawa yang dikenal sejak                       Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Umar
zaman Majapahit. Kebiasaan ini awalnya                          Kayam (2002) bahwa tradisi mudik terkait
bertujuan untuk mengunjungi kuburan orang-                      dengan kebiasaaan petani Jawa mengunjungi
orang yang telah meninggal dan memanjatkan                      tanah kelahiran untuk berziarah ke makam
doa bersama untuk memohon keselamatan                           para leluhur.
kepada dewa-dewa kahyangan. Aktivitas ini
dilakukan setahun sekali, yang belakangan                            Bagi sebagian besar masyarakat Jawa,
dikenal dengan sebutan ‘nyekar’. Pada masa ini,                 kehidupan duniawi tidak dapat dilepaskan dari
kegiatan mudik menjadi tradisi yang dilakukan
300 | Ensiklopedi Islam Nusantara
kehidupan nanti di alam keabadian. Begitu pula  ibadah puasa yang dilakukan selama satu bulan
ikatan batin antara yang hidup dan yang mati    penuh. Spiritual-vertikal manusia ditempuh
tidak begitu saja lepas oleh hilangnya nyawa    dengan ibadah dan akan sempurna jika
di jasad. Oleh karena itu, mereka menganggap    dilanjutkan pada kesalehan sosial-horizontal.
bahwa berziarah dan mendoakan leluhur           Silaturahim menjadi wujud konkret dalam
adalah kewajiban. Karena itu muncullah          hal ini. Mudik seharusnya dimaknai dengan
tradisi berziarah dalam kurun waktu tertentu    menyambung hubungan spiritual dengan
meskipun dipisahkan oleh kondisi geografis.     para leluhur dan menyambut tali silaturahim
Nilai spiritual yang tertanam dalam tradisi     dengan keluarga, saudara, kerabat, dan
berziarah inilah yang kemudian berdialektika    sahabat. Bukan untuk kepentingan prestise
dengan kultur masyarakat yang kemudian          sosial ataupun kepentingan material lainnya.
melahirkan tradisi mudik.
                                                     Dari sini tampak bahwa fenomena mudik
     Dalam catatan Umar Kayam, mudik            mengimplikasikan suatu heteronomi kultural.
sejatinya tradisi lama yang pernah menghilang.  Para pemudik berada pada sisi tarik-menarik
Sejak Islam datang, mulai terkikisnya budaya    antara situasi dan nilai-nilai baru dengan yang
syirik, ziarah menemukan momentum saat          lama. Di satu sisi mereka tak bisa memungkiri
hari Lebaran. Apalagi kultur Jawa yang          bahwa mereka hidup, bekerja, berdomisili, dan
kemudian diterima oleh kalangan Islam           berumah di kota. Di sisi lain, mereka sangat
tradisional menghasilkan akulturasi budaya      terikat dengan desa yang menjadi asal-usulnya.
yang harmoni. Perlahan ziarah kubur yang
dianggap sebagai syirik dapat diterima oleh          Hal ini berarti bahwa tradisi mudik
kalangan tradisional dengan disisipi ajaran     memperlihatkan betapa masyarakat kita sangat
agama. Mudik pun menjadi salah satu tradisi     dikendalikan oleh masa silamnya. Kepulangan
spiritual bagi masyarakat untuk melakukan       para pemudik ke desanya merupakan simbol
ziarah ke makam leluhur.                        romantisme masyarakat kita. Tantangannya
                                                terletak pada pengalaman bahwa romantisme
     Said Aqiel Siradj (2006) menegaskan bahwa  cenderung lebih bersifat reaktif ketimbang
makna tradisi Lebaran sebenarnya menyemai       kreatif. Mudik berarti terhubung kembali
spirit spiritual-vertikal. Dalam arti orang-    dengan jejaring tradisional dan menghidupkan
orang yang merayakan harus kembali pada         ritual atau kenangan masa lalu.
kefitrian (kesucian) jati diri kemanusiannya
sebagai hamba Tuhan. Hal ini terkait dengan                                                                    [Hamdani]
                                            Sumber Bacaan
Marcoes, Lies, dkk, Kembali Ke Jati Diri: Ramadhan dan Tradisi Pulang Kampung dalam Masyarakat Muslim Urban, Bandung:
         Mizan, 2013.
                                                Edisi Budaya | 301
Mukena
                                   (Rukoh, Talakuang, Telekung)
Makna Kata                                     Mekeno, tanpa mekeno, biasanya anak rambut
                                               akan muncul di sekitar kepala. Padahal rambut
Mukena, telekung atau rukoh adalah             itu adalah aurat. Mekeno biasanya selembar
            baju atau kain panjang penutup     kain yang berbentuk segitiga atau kain handuk
            aurat perempuan ketika shalat.     tipis memanjang, fungsinya untuk deleman
Sebutan mukena lebih didengar untuk orang      (orang sekarang memakainya juga kalau
Jakarta dan sekitarnya. Nama-nama di atas      memakai jilbab baik sebagai penambah asesori
menunjukkan suatu bentuk pakaian yang          maupun agar rambut tidak keluar dari garis
khusus dipakai untuk sholat. Dalam konteks     jilbab) jadi mekeno adalah pasangannya rukoh.
Indonesia dan negara-negara sekitarnya,        Mekeno Kata mekeno inilah yang kemudian
pakaian itu membedakan dari pakaian            dari pembicaraan-pembicaraan dihubungkan
sehari-hari. Di Indonesia terutama, hanya      berasal dari kata bahasa Arab miqna’ah ()ﻣﻘﻨﻌﺔ
dalam kira-kira lima tahun terakhir ini, ada   yang artinya tutup kepala.
kelompok-kelompok perempuan yang sudah
merasa cukup dengan pakaian muslimah yang           Mukena popular di wilayah Melayu,
sehari-hari dipakai sekaligus pakaian untuk    tak heran negara-negara jiran pun
sholat. Perubahan ini mengikuti trend busana   mengenakannya. Pakaian ini pun disebut
muslimah Indonesia yang sama sekali berbeda    dengan cara yang hampir sama, Talakuang,
pada abad-abad awal Islam masuknya Islam ke    meski di sana sini terdapat sedikit perubahan.
Indonesia sampai pengaruh revolusi Iran pada   Orang – orang Sumatra, yang identik dengan
tahun 1979. Dampak revolusi itu membuat        kaum Melayu, menyebutnya Talakuang, itu
cara menutup aurat perempuan Indonesia         di Sumbar. Namun untuk Sumatra Utara,
mirip dengan perempuan-perempuan Iran          khususnya Tapanuli Selatan telekung biasanya
menutup tubuhnya. Kendatipun begitu pasar      dinamakan “ Talokung” dan lebih populer di
model dan industri mukena tak ada matinya.     kalangan masyarakat pedesaan. Masih sama-
                                               sama Sumatra, Orang Palembang, Sumsel
      Orang Jawa umumnya menyebut kain         menyebut mukena dengan Telkum. Nyaris
penutup aurat untuk shalat itu rukoh. Tak      serupa, orang-orang di NTB menyebutnya
pasti darimana atau asal kata apa rukoh itu,   Telekung.
mungkin juga kata rukuk, satu gerakan tubuh
yang hanya dilakukan dalam sholat. Rukoh,           Namun bagaimana bentuk mukena
umumnya berbentuk panjang, bersambung          pada kaum Melayu di atas, menurut sumber
kainnya dari kepala sampai menutup kaki,       informasi orang Sumatra sendiri, mukena
yang kiranya kalau dia sujud, tidak kelihatan  pocong (terusan, orang Cirebon menyebutnya
kakinya. Mirip pocong, kalau orang melihatnya  mukena rekening) tak popular dan asing. Sejak
pertama kali.                                  dulu hingga kini mukena itu potongan; atas
                                               dan bawah, bukan terusan. Seperti berikut ini;
      Dalam Bahasa Jawa, kata rukoh turun
menurun digunakan. Entah darimana akar         Aurat Tubuh Perempuan dan Konsepsi
katanya. Namun sebenarnya orang Jawa yang      Fikih
hendak sholat mengenakan rukoh tidak cukup.
Karena rukoh itu ada pasangannya yaitu              Ketertutupan perempuan banyak dilihat
302 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Gambar; butik bordir Kudus.          menggerus cara bermukena dalam sholat.
                                                 Memang belum ada satu survey yang pasti
                    Sumber: butikbordir.com      bahwa perkembangan model terbaru pakaian
                                                 muslim itu telah meminggirkan penggunaan
sebagai pembatasan aksesnya pada publik.         jilbab dalam shalat. Namun, seiring meroketnya
Jika sejenak ke negara-negara teluk, pakaian     perkembangan busana muslim bahkan produk
perempuan sehari-hari mereka adalah seperti      Indonesia telah menjadi trendsetter dunia
mukena bahkan melebihnya, sebab niqab atau       busana, mukena pun didesain tak kalah
burqah telah menutup semua bagian wajah dan      modisnya. Bukan hanya soal bentuknya tapi
hanya menyisakan dua bola mata sebagai alat      juga asesorisnya, bahannya sampai nuansa
penting.                                         etnik dan tokoh public figure favourite, biasanya
                                                 artis. Jadi mukena kini, sangatlah modis.
     Jika Akbar S. Ahmed dalam Discovering
Islam menyatakan setelah kecemerlangan                Dulu kala, sejak mukena ada sampai era
perempuan di awal-awal Islam, seperti            90-an, mukena semuanya model terusan,
eksistensi di antara istri nabi yakni; Khadijah  dijahit dari kain bahan putih polos, terbuat
dan Aisyah, berikutnya ada Fatimah, Rabiah       dari bahan kafan (orang Jawa menyebutnya
al-Adawiyah dan lain-lain di negeri Islam,       mori) . Modelnya seperti pocong kata orang-
maka sekarang ini keadaan telah jauh             orang , karena selain bersambung dari kepala
berubah. Menurutnya, pembatasan akses            sampai menjulur menutupi kaki juga selalu
perempuan dimulai dari penutupan tubuhnya.       berwarna putih. Sederhana, tanpa hiasan atau
Sekarang perempuan jauh tertinggal peran         warna lain. Bahannya adem tanpa campuran
dan kedudukannya dibanding pada masa             sintetis sehingga mudah sekali lecek. Mukena
awal Islam, lihatlah bagaimana Anwar Al-         inilah nampaknya yang selalu diingat orang
Sadat memenjarakan Nawa el-Saadawi karena        karena lama bertahan dan dipakai sebagian
kekritisan tulisannya. Perempuan pada masa       besar masyarakat Indonesia. Bahwa mukena
kini mundur jauh ke belakang dan seperti         itu putih dan lurus (terusan), nampaknya
budak yang hidupnya ditentukan laki-laki.        membumi di sebagian ingatan penduduk kita
                                                 dan kemanapun mereka pergi.
     Bagaimana Indonesia? Benarkah
demikian, Indonesia barangkali adalah                 Kalau dilihat dari perjalanan sejarahnya,
pengecualian. Kalau menyimak perkembangan        masuknya Islam di Indonesia dengan segala
model busana muslimah Indonesia dari waktu       keunikannya, maka mukena atau rukoh
ke waktu, ketertutupan tubuh perempuan           merupakan bagian tak terpisahkan dari
sepertinya dignity. Ketertutupannya              konskuensi atau dampak dari cara ber-
menunjukkan identitasnya dan di banyak           Islam di Indonesia. Dengan pakaian sehari-
tempat itu tidak menghalanginya beraktifitas.    hari perempuan Indonesia yang sudah
Fashion baru itu lalu sedikit demi sedikit       ada, nampaknya para muballigh kita ingin
                                                 mengenalkan Islam secara bertahap dan tanpa
                                                 gejolak. Maka dimulailah dengan mengajarkan
                                                 tata cara ibadah dengan segala syaratnya.
                                                 Inovasi dan strategi inilah yang kemudian
                                                 melahirkan mukena, sebagai pakaian khusus
                                                 sholat. Dualisme pakaian, antara di dalam
                                                 dan di luar sholat ini, telah melahirkan
                                                 keunikan sendiri. Namun, lambat laun kita
                                                 mereka berubah Indonesia: berkebaya,
                                                 kain berkerudung. Ataupun baju kurung.
                                                 Penyebaran Islam yang berlangsung damai,
                                                 telah mencoba mengakomodasi budaya-
                                                 budaya Indonesia yang ada namun tetap dalam
                                                 Edisi Budaya | 303
bingkai bingkai prinsip ajaran Islam.           hitung-hitungan ekonomi dan mengikuti pola
                                                model.
     Memang Walisongo dan banyak penyebar
Islam yang lain, banyak melakukan penyesuain         Banyak yang dibuat dengan simplifikasi
dan strategi dakwah yang jitu di Indonesia.     bahan, sehingga mukena mengabaikan
Mereka tidak memboyong budaya Arab atau         konsep aurat. Akibatnya banyak mukena yang
negara-negara yang telah dahulu berislam.       mini padahal yang mengenakan orangnya
Walhasil kita lihat Indonesia hari ini.         jumbo, sehingga kaki kelihatan ketiika
                                                sujud, punggung juga, karena minimnya dan
     Tapi tahukah kita, bahwa sejarah mukena    pendeknya potongan atas. Jadi konsep seluruh
dan mungkin bagi mereka yang belajar            tubuh kecuali wajah dan telapak tangan
secara sederhana tentang Islam, menjadikan      tereduksi. Wajah yang menurut Imam Syafii
mukena sangat membekas. Sebagaimana             tidak termasuk dagu, malah dilonggarkan
orang-orang Jawa generasi tempo dulu yang       dalam pemakain-pemakain model baru.
dibawa ke Suriname dan masih menganggap         Telapak tangan melebar. Tak heran kalau hasil
bahwa shalat itu menghadap ke Barat bukan       salah satu musyawarah keagamaan di Pesantren
kiblat. Maka, begitupun dengan mukena,          Lirboyo, semacam bahtsul masail tidak
pernah mendengar tentang tenaga kerja           merekomendasikan mukena potonagn atas
tenaga kerja wanita kita yang menjadi buruh     bawah dan memberi gambaran cara memakai
migran? Mereka merantau ke negeri seberang,     mukena yang benar. Alasannya mukena
utamanya negara-negara yang berpenduduk         potong bawah mengandung potensi – potensi
etnis China seperti Hongkong dan Taiwan         terbukanya aurat. Ketika sujud karena banyak
beserta mukena putihnya. Apa yang terjadi?      yang ukurannya minim, dan baju atau kaos
Orang China sangat takut dengan warna           pemakai pendek, sering kelihatan. Belum lagi
putih sehingga ketika mereka lihat mukena       kaki waktu sujud dan tangan yang digerakkan
mereka kaget dan ketakutan. Menurut cerita      waktu takbir juga sering kelihatan. Semua itu
para buruh migran itu, lalu mereka dilarang     tidak sesuai dengan prinsip syarat menutup
mengenaknnya. Sebab warna putih itu bagi        aurat. Nampaknya ada kepentingan bisnis
mereka menyeramkan                              yang tidak bertemu dengan ketentuan syariat.
                                                Walaupun banyak juga mukena yang didesain
     Dengan pengajaran yang menekankan          tepat sesuai kaidah dan tentu saja harganya
bahwa mukeno adalah pakaian sholat,             tidak bisa minimalis. Untuk memperjelas apa
pengalaman sadar, seperti di kampung dan        yang dimaksud ditutup dan terbuka dalam
terutama generasi 70an, mengendapkan cara       fiqih, banyak pesantren melalui websitenya
berpikir kalau sholat harus dengan mukeno       memberi contoh bagaimana penggunaan
.Padahal esensi sholat itu menutup aurat.       mukena yang maksimal, maksimal ala fiqih.
Tak mengejutkan kemudian bahwa sering
berkembang desain mukena ini,                        Bagaimana pun fenomena mukena
                                                amatlah unik, karena mengingatkan akan
     Ini rukoh atau rukuh klasik ( versi lama)  pergerakan sejarah sebuah bangsa, agama
dan sebagaian masih menggunakannya,             dan juga perkembangan mode. Jika nanti
sekarang mengalami modifikasi disana sini       perempuan –perempuan ini ketemua dalam
sehingga kelihatan tetap modis dan trendy.      sebuah melting pot dunia: haji kita akan
                                                melihat warna warni hamba bermunajat
     Namun seiring dengan berkembangnya         kepada Tuhannya, bukankah mukena adalah
industri mukena dan lahirnya desainer-          wasilah belaka?
desainer yang kreatif, konsep aurat yang
menjadi prinsip utama shalat tergerus karena
                                                                                                     [Ala’i Nadjib]
                                   Sumber Bacaan
Ishom Yusqi dkk, Islam Nusantara (Jakarta: Pustaka STAINU) Jakarta, 2015
Akbar S Ahmad, Discovering Islam, Making Sense of Muslim History and Society, London;Routledge.1996
Wawancara dengan informan dari daerah daerah.
304 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Muktabar(ah)
Sesuatu yang dapat dijadikan argumen             kata ta’nis atau jamak taksir, maka disebut al-
       / penjelasan. Dalam tradisi NU, istilah   mu’tabarah, seperti al-kutub al-mu’tabarah dan
       muktabar atau muktabarah ini dikenal      al-tariqah al-mu’tabarah.
dalam dua hal; pertama, kitab-kitab yang
disebut dengan istilah al-kutubul mu’tabarah          Dalam tarekat, disebut muktabarah itu
(kitab-kitab muktabarah); dan kedua,             adalah tarekat yang bersambung sanadnya
tarekat, dengan nama al-tariqat al-mu’tabarah    kepada Rasulullah Muhammad Saw. Nabi
(tarekat muktabarah). Setiap kelompok atau       Muhammad Saw. sendiri menerima dari
organisasi Islam di dunia, disadari atau tidak,  Malaikat Jibril As, dan malaikat Jibril As. dari
sesungguhnya menggunakan juga istilah            Allah Swt. Organisasi tarekat di NU, disebut
muktabarah ini, hanya saja tidak disebut secara  Jam’iyyah Ahl at-Tariqah al-Mu’tabarah al-
eksplisit. Rujukan-rujukan terhadap buku         Nahdliyyah (JATMAN). Berbeda dengan al-
bacaan, tokoh panutan, dan aliran pemikiran      kutub al-mu’tabarah tidak menggunakan al-
tertentu selalu menggunakan kriteria tertentu    nahdliyah.
berdasarkan kesepakatan kelompok atau
organisasinya. Batasan-batasan dengan            Batasan Muktabarah
muktabarah ini sesungguhnya lumrah dan
lazim adanya untuk menghindari friksi dalam           Seperti disebut dalam Kamus Istilah
organisasi atau kelompok tersebut.               Keagamaan (2015) istilah muktbarah ini
                                                 terkait pada dua hal, yaitu aliran dalam tarekat
Asal Usul Muktabarah                             dan kitab-kitab standar yang diakui dan isinya
                                                 dianggap tidak menyimpang dari prinsip
      Dalam kamus Al-Munawwir karya Kyai         ajaran Islam. Seperti disebut dalam beberapa
Warson, kata al-mu’tabar diartikan yang          kitab dan aliran dalam agama Islam, kalau
berhak, layak dihormati, yang dianggap,          tidak selektif memang dapat menyesatkan
diperhitungkan dan dipertimbangkan. Oleh         atau menjerumuskan umat.
karena kata al-mu’tabar disandingkan dengan
                                                           Jika kitab dan aliran dalam Islam
                                                 tidak masuk kategori muktabar(ah), bukan
                                                 berarti aliran dan kitab itu tidak boleh
                                                 diikuti atan menjadi bacaan. Sebab, istilah
                                                 muktabar(ah) hanya untuk pembatasan
                                                 spesifik bagi kelompok-kelompok terbatas.
                                                 Diakui atau tidak, sebenarnya, setiap
                                                 kelompok atau organisasi keagamaan itu telah
                                                 membatasi diri dari kitab-kitab yang diakui
                                                 sebagai bacaannya. Bagi kelompok tertentu,
                                                 misalnya, kitab fiqh karya orang Syi’ah tidak
                                                 boleh dibaca, sekalipun kelompok ini tidak
                                                 pernah menggunakan istilah muktabar(ah).
                                                 Edisi Budaya | 305
Sejarah Kata Muktabarah                         Desember 1983. Adapun tarekat muktabarah
                                                nahdliyah sendiri diputuskan pada Muktamar
Oraginasasi kelompok agama di Indonesia         NU ke-26 di Semarang, 5-11 Juni 1979.
yang secara khusus menyebut istilah kitab-           Saat itu, KH. Sahal Mahfudh sebagai
                                                salah seorang pemimpin sidang pada
kitab muktabar(ah) dan tarekat muktabarah       Muktamar tersebut pernah menentang
                                                pendapat terkait dengan kitab-kitab mu’tabar
adalah Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu         tersebut. Pertama, kriteria muktabar yang
                                                mengunggulkan pendapat imam tertentu
organisasi Islam tertua di Indonesia tersebut,  dan merendahkan pendapat yang imam lain,
                                                sudah menyalahi kaidah al-ijtihad la yunqadhu
menyepakati pengistilahan tersebut melalui      bi al-ijtihad. Kedua, semestinya gunakan
                                                kaidah khudz ma shafa wa da’ ma kadara
mekanisme        organisasi,                    (ambillah yang jernih dan tinggalkan yang
                                                keruh). Namun, para kyai pada saat itu, lebih
                                                menggunakan sikap syaddan li adz-dzari’ah
                                                (preventif), supaya umat tidak terjerumus,
                                                maka kitab-kitab seperti yang mengkritik
                                                tawassul, praktik tarekat, antara lain Ibnu
                                                Taimiyyah atau Ibnul Qayyim sebaiknya
                                                dilarang. Ketiga, perlu dihindari fanatisme
                                                bermadzhab, juga kitab-kitab yang ditolak itu
                                                tidak semuanya bertentangan dengan sunni.
                                                Keempat, perlu tetap dipertimbangkan latar
                                                budaya masyarakat bisa diterima oleh semua
                                                komunitas yang majemuk.
                                                Masa Depan Term Muktabarah
                                                     Istilah muktabar(ah) adalah istilah
seperti Musyawarah Nasional
Alim Ulama dan Muktamar
NU tingkat Pengurus
Besarnya, PBNU.
     Kitab-kitab Muktabarah
di NU disebut dengan Al-
kutub al-mu’tabarah fi masa’il
al-diniyyah, yaitu kitab-kitab
‘ala al-mazhab al-arba’ah.
Demikian disebut dalam
hasil keputusan Munas Alim
Ulama PBNU di Situbondo, 21
       Habib Luthfi bin Yahya, dalam
       Musyawarah Nasional Jatman
           2015 di Kalimantan Timur
306 | Ensiklopedi Islam Nusantara
yang netral, dan setiap kelompok organisasi     termasuk tarekat tua di Indonesia adalah di
keagamaana juga berhak menggunakannya           antaratarekatyangmuktabarah.Perkembangan
di manapun. Secara fitrah, setiap orang/        tarekat muktabarah di Indonesia mutakhir
kelompok dengan sendirinya akan memilih         memang hanya melalui JATMAN PBNU saja,
dan menentukan jenis kitab-kitab apa saja       yang terlihat eksistensinya. Kharisma Ketua
yang sesuai dengan diri/kelompok tersebut.      Umumnya KH. Habib Muhammad Luthfi bin
                                                Yahya di JATMAN sungguh sangat memesona
     Bagi kitab-kitab Muktabarah di NU selalu   bagi para pengikut tarekat. Dalam JATMAN
mengacu pada Imam Mazhab, jika berkaitan        sudah ada cerita/kategori tentang muktabarah
dengan fikih Islam, yakni Imam Malik, Imam      atau tidak. Akhirnya, dengan JATMAN, silsilah
Syafi’i, Imam. Hanafi, dan Imam Hanbali, serta  tarekat dan ajarannya semakin berkembang
para pengikutnya, seperti dalam sebutannya,     pesat lagi di Indonesia.
Syafi’iyyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan
Hanabilah.                                                                                           [Mahrus el-Mawa]
     Adapun dalam tarekat sendiri,
sekurangnya, tarekat Syatariyah misalnya,
                                            Sumber Bacaan
El-Mawa, Mahrus, dkk. Kamus Istilah Keagamaan: (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Khonghucu). Jakarta: Puslitbang
         Lektur dan Khasanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2015
Ni’am, Syamsun. Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011
Masyhuri, Aziz. (editor). Permasalahan Thariqah: Hasil Kesepakatan Muktamar & Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith
         Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama’, Surabaya: Khalista, 2006, cet. II.
Masyhuri, Aziz. Enskiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, Surabaya: Imtiyaz, 2011.
Mulyati, Sri(et.al.), Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004
Tim PW LTN NU Jatim, Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan
         Konbes Nahdlatul Ulama (192602004), Jawa Timur: Khalista, 2007. Cet. III.
                                                Edisi Budaya | 307
Munggah Molo
Omah atau dalam bahasa Jawa omah,              berhubungan dengan alam “yang lain”.
          adalah bagian dari ruang budaya      Sesajian dalam hal ini dapat dilihat sebagai
          yang paling diakrabi manusia         media berkomunikasi dengan Sang Pencipta
dalam meniti kehidupan. Bagian dari adat       Jagad Raya ini (Purwadi, 2005: 103). Maka
nusantara yang dikemas dalam adat religi       tradisi Munggah Molo perlu dipahami dalam
dan budaya telah melahirkan berbagai ritual    konteks kosmologi Islam Jawa sebagai warisan
yang mencerminkan kedalaman batin dari         Islam nusantara.
warganya. Hal ini juga tercermin dalam
prosesi omah-omah (mendirikan rumah), yang     Pelacakan Makna dan Perkembangannya
salah satu tahapannya adalah ritual munggah
molo, yakni tahapan setelah buka pendemena          Munggah molo adalah ritual selamatan
(pondasi), saat kayu-kayu penyangga akan       yang mengiringi dinaikkannya atap tertinggi
dinaikkan.                                     dari rumah yaitu bagian atas/atap (bubungan
                                               rumah) yang sedang dibangun. Ritual adat
      Munggah molo menjadi salah satu wujud    ini diselenggarakan ketika bagian-bagian
upacara tradisional khususnya di Jawa. Orang   bangunan yang mengelilingi rumah atau
Jawa tidak ingin kehilangan momentum           dinding sudah berdiri tegak dan berbagai
atas suatu peristiwa atau momen yang           ragam kayu penyangga genting dan joglo
sangat penting bagian dari hidupnya yang di    pencu siap untuk di pasang (Said, 2012: 90);
dalamnya sarat simbol dan makna yang patut     Ula, 2010; 4).
jadi tuntunan. Simbol memiliki peranan yang
penting dalam sebuah upacara atau ritual Jawa       Ritual munggah molo sering disebut
bagi umat Islam. Bahkan ritual-ritual dalam    dengan munggah kayu (menaikkan kayu molo).
tradisi Jawa tersebut bisa berfungsi sebagai   Dari bahasa Jawa munggah berarti “naik”.
alat penghubung antar sesama manusia juga      Dalam tradisi munggah molo, naik disini
bisa befungsi sebagai penghubung antar         berkaitan dengan menaikan tiang tertinggi
manusia dengan benda dan antar dunia nyata     untuk atap rumah yang sering disebut sebagai
dengan dunia gaib (Purwadi, 2005: 126).        ”blandar”. Simbol dari kata ”munggah” dalam
                                               upacara munggah molo adalah peningkatan
      Apalagi dalam ritual Munggah Molo        kualitas makna hidup seseorang, yakni
juga sarat dengan simbol-simbol dalam          calon pemilik rumah sekeluarga. Sementara
perlengkapan upacara, yang diwujudkan          bahasa Jawa molo diambil dari kata ”polo
dalam bentuk sarana material khas Jawa         (kepolo)” yang berarti kepala. Ada juga yang
yang tak terpisahkan dari sebuah tradisi       mengartikan juga sebagai ”otak”. Sementara
upacara tersebut. Kesalahan atau kekurangan    molo sendiri diartikan sebagai bagian tertinggi
perlengkapan dalam suatu ritual Jawa           dari sebuah rumah. Seperti disebutkan tadi,
dianggap kurang sempurnanya suatu proses       kata molo berasal dari kata polo yang berarti
upacara yang berdampak pada maksud dan         ”otak” merupakan bagian anatomi tubuh yang
tujuan penyelenggaraan upacara tidak tercapai  paling atas dan terpenting sehingga manusia
secara utuh. Sebagai makhluk spiritual,        bisa memiliki kemampuan berpikir yang
manusia selalu berusaha mencari jalan untuk
308 | Ensiklopedi Islam Nusantara
membedakannya dengan makhluk lain (Ula,                    Prosesi Pemasangan Uba Rampe
2010: 7). Demikian juga molo dalam konstruksi              Munggah Molo
rumah adalah bagian yang inti atau pusat yang
perlu diperhatikan karena akan terkait dengan                    Gambar 2 (Sumber: dwialfirohmatin.web.unej.ac.id/):
kekokohan sebuah rumah. Baik kokoh secar
lahir maupun batin.                               adalah pendidikan di rumah (keluarga) Namun
                                                  berbeda ketika zaman seudah berubah, tentu
     Rumah yang kokoh secara lahir adalah         ada pergeseran dan penyesuaian akan terjadi.
ketika konstruksi bangunan mengguanakan
bahan bangunan terpilih, termasuk ketika               Maka agar keberadaan rumah tersebut
menggukan kayu, bukan sembarang kayu,             nantinya biar benar-benar mampu membawa
kalau perlu kayu jati, dalam pengertian           keberkahan dan menaikkan derajat sosial
“sejati” yang dianggap bermutu tinggi. Ibarat     dan spiritual dalam hidup bermasyarakat,
peribahasa “tak ada rotan, akar pun jadi”.        maka dianggap perlu melakukan ritual
Artinya tidak harus dipaksakan, kalaupun          munggah molo yang substansinya adalah
beaya tidak bisa mencukupi, sehingga tidak bisa   sebuah kesadaran transendental dengan
menggunakan kayu jati, prinsip menggunakan        berdoa penuh ikhlas agar impian dan harapan
kayu terpilih selain jati yang tumbuh dari        segera tercapai. Kalaupun kemudian dalam
kebun atau pekarangan juga dimungkinkan.          prakteknya memanfaatkan ubo rampe (barang-
Zaman kuno sudah kebiasaan ketika ingin           barang khusus), itu hanyalah sebagai wujud
membangun rumah, biasanya kayu-kayu yang          cara komunikas kepada Sang Pencipta dengan
dipergunakan adalah dari pekarangan sendiri       menjadikan ubo rampe sebagai bahasa simbolik
yang ditanam oleh nenek moyangnya. Dimana         dalam sistem komunikasi khas Jawa.
ada penebangan pohon karena misalnya
untuk pembangunan, maka dibarengi dengan               Maka perlu dipahami dengan ngelmu
menanam pahon lain sebagai tambal sulam           rasa. Ngelmu rasa yang paling tinggi adalah
dari pohon yang ditebangi. Ini adalah wujud       rasa tauhid, yakni ilmu tentang keEsaan
menjaga keseimbangan lingkungan.                  Tuhan, suatu proses kepada penemuan kepada
                                                  kegaiban Tuhan (Endraswara, 2016: 132).
     Sementara rumah yang kokoh secara batin      Dalam tasawuf sering disebut ma’rifatullah
adalah rumah yang mampu berfungsi sebagai         atau manunggaling kawuli ing Gusti dalam
media pemagangan kultural atas nilai-nilai        sufisme Jawa (Endraswara, 2016: 230). Maka
Islam yang dipentaskan dalam relasi sosial antar  ritual munggah molo dalam pengertian itu,
anggota keluar dan lingkungan sekelilingnya.      dapat dipahami sebagai jalan ma’rifat dalam
Menjadikan rumah sebagai madrasah (tempat         mementaskan rumah hunian yang sedang
belajar) bagi anggota keluarga dan masyarakat     didirikan tersebut agar benar-benar menjadi
sekitar. Maka ada sebagian orang Jawa yang        media kasampurnan, menuju tatanan hidup
menyebut omah atau rumah sebagai pondokan.        keluarga yang lebih sempurna.
Sekelompok orang Jawa kuno yang menyebut
omah sebagai pondokan benar-benar berfungsi
sebagai wahana pewarisan nilai-nilai budi
pekerti yang adiluhing yang dipegang teguh
oleh para leluhurnya. Bahkan mereka sudah
merasa cukup mencerdaskan putra-putrinya
di pondokan alias di rumah saja, sehingga
tak merasa penting menyekolahkan putra-
putrinya ke sekolah formal (Said, 2012). Pola
pondokan seperti ini ketika sudah benar-benar
bisa berfungsi sebagai pendidikan keluarga
yang kokoh, tidak perlu lagi sekolah formal.
Apalagi pendidikan pertaman dan utama
                                                  Edisi Budaya | 309
Aneka Ubo Rampe dan Pesan Simbolik                      Ingkung ayam jago dan tumpeng
     Begitu dalamnya makna omah-omah,                         Gambar 3 (Sumber: gedangsari.com)
maka proses mendirikan omah itu laksana
punya gawe besar sehingga setiap tahapan             ayam jago juga sarat dengan pesan, agar
proses mendirikan atau membangun rumah               dalam berumah tangga siap menjaga
ada ritual dengan prosesi dan pesan tertentu.        kesetiaan atau rukun hingga akhir hayat.
Beberapa peralatan (ubo rampe) munggah molo          Hal ini tentu tidak seperti ayam jago yang
dalam mendirikan rumah itu antara lain:              berganti-ganti pasangan, bahkan ketika
                                                     bobon pasangannya sedang angkrem,
(a) Klebet (bendera) warna merah putih               si jago tega-teganya mencari babon lain
     sebagai wujud kesadaran kebangsaan              untuk memenuhi nafsu syahwatnya.
     dalam membangun rumah tangga adalah             Maka nafsu kejagoan seperti itu harus
     bagian dari keluarga besar Indonesia.           diikat atau dikendalikan agar dalam
     Warna merah menunjukkan perlunya                mengarungi bahtera rumah tangga di
     keberanian dalam mengambil keputusan            rumah baru tersebut penuh dengan
     berumah tangga dengan tetap pada jalan          harmoni sebagai bagian dari falsafah
     yang benar yang disimbolkan dengan              hidup Jawa (Endraswara, 2016: 38).
     warna putih.
                                                (e) Tumpeng dengan tujuh lauk-pauk: Tumpeng
(b) Tebu beserta daunnya yang bermakna               yaitu penyajian nasi beserta lauk-pauknya
     anteping kalbu, yaitu kuatnya niat dan          dalam bentuk kerucut seperti gunung.
     terbebas dari keraguan bahwa samudara           Olahan nasi untuk tumpeng umumnya
     kehidupan harus segera dilalui dengan           berupa nasi kuning, meskipun sering
     penuh optimisme meskipun ancaman                juga menggunakan nasi putih biasa
     badai tetap ada.                                atau nasi uduk. Penyajian tumpeng
                                                     biasanya di atas tampah (wadah bundar
(c) Anak pisang satu batang, sebagai simbol          tradisional dari anyaman bambu) dan
     tunas yang mudah tumbuh-berkembang.             dialasi daun pisang. Tumpeng merupakan
     Karena itu diharapkan rumah tersebut            akronim dalam bahasa Jawa : yen metu
     menjadi saran menumbuhkembangkan                kudu sing mempeng (bila keluar harus
     generasi yang baik antara lain adanya           dengan sungguh-sungguh). Disamping
     fungsi peturon.                                 itu tumpeng juga mirip gunung merapi
                                                     yang banyak ditemukan di Jawa. Dalam
(d) Setandan pisang raja yang sebagian sudah         kosmologi Jawa, puncak gunung sebagai
     matang; sebagai perlambang pentingnya           sudut tertinggi adalah simbol kesadaran
     kepemimpinan (raja) yang tegas dalam            spiritual, sementara dua sudut bawah
     keluarga yang harus dipatuhi oleh segenap       adalah relasi manusia dengan alam yang
     anggota keluarga selagi pada jalur jalan        tunduk kepada Sang Pencipta. Sedangkan
     yang benar.
(e) Padi dua unting (ikat): sebagai perlambang
     kemakmuran agar mendapatkan
     kemurahan rizki dari Yang Maha Memberi
     Rizki sehingga terpenuhi sandang pangan.
(f) Ingkung. Ingkung adalah salah satu ubo
     rampe dalam ritual Jawa yakni berupa
     ayam jago kampung yang dimasak utuh
     dan diberi bumbu opor, kelapa dan daun
     salam. Ingkung ada yang memaknai
     “ingkar” (mengingkari atau menjauhi).
     Artinya mengingkari dan menjauhi sifat-
     sifat sombong sok jagoan. Keberadaan
310 | Ensiklopedi Islam Nusantara
tujuh lauk mengambil makna angka tujuh     melimpah kepada segenap keluarga lain di
     yang dalam bahasa Jawa disebut pitu        rumah (Ula, 2010: 5).
     sebagai sebuah harapan akan pitulungane
     Gusti Allah. Makna tersebut dalam Islam         Sementara pada pagi harinya perlengkapan
     Jawa sering diambil dari QS. Al Isra:      yang lain seperti pisang raja, seonggok padi
     80: “Ya Tuhan, masukanlah aku dengan       yang sudah menguning dan seikat tebu,
     sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah    kesemuanya diikat dan digantungkan pada
     aku dengan sebenar-benarnya keluar serta   kayu blandar. Dalam hal ini blandar-nya dihias
     jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku        dengan ubo rampe tersebut, lalu dinaikkan dan
     yang memberikan pertolongan” (Pustaka      dipasang pada posisinya. Sementara di tengah-
     Ilmu Sunni Salafiyah, 2015: 934). Mak      tengah kayu tersebut dibungkus dengan kain
     berbagai kegiatan yang menggunakan         merah putih (seperti bendera Indonesia)
     tumpeng, termasuk tradisi munggah molo,    sebagai wujud kesadaran bagian dari keluarga
     juga bagian dari slametan yang disebut     Indonesia.
     tumpengan.
                                                     Warna putihnya sebagai simbol kesucian
(g) Paku emas: Emas ada logam mulia. Paku       dan sekaligus kebajikan yang senantiasa
     emas kuno dulu bukan sembarang orang       harus diperjuangkan dalam meniti hidup
     yang membuat, tetapi seorang empu          di rumah yang sedang dibangun tersebut.
     yang memiliki kemuliaan budi pekerta       Sehingga di rumah tersebut nantinnya bukan
     (Ula, 2010: 6). Sebagaimana sifat emas     sekedar tempat untuk tidur (istirahat), tetapi
     juga yang mulia juga melambangkan budi     sebagai wahana dalam memperjuangkan
     perkerti manusia yang luhur, bijak, serta  kebajikan sehingga rumah benar-benar bisa
     jujur.                                     meneduhkan bagi keluarga dan mampu
                                                menfasilitasi terajutnya kebahagian di dunia
Makna Proses Upacara Munggah Molo               dan akhiratnya. Sehingga rumah menjadi
                                                surga bagi penghuninya.
     Prosesi Munggah Molo biasanya
dilaksanankan pada hari yang dianggap baik           Sementara seikat padi yang juga turut
oleh orang pinter. Maka penentuan hari juga     diikatkan pada kayu menandakan sebuah
konsultasi dengan para sesepuh di kampung       harapan agar rumah tersebut nantinya
tersebut. Pelaksanaannya biasanya malam         memperlancar bagi penghuninya dalam
hari dengan mengundang mengundang para          mencari nafkah (golek pangupa jiwa) sebagai
tetangga sekitar rumah, termasuk para tukang    prasarat dalam mempertahankan hidup,
yang mengerjakan membuat rumah, serta           sehingga penghuninya tidak akan kekurangan
tidak lupa para sesepuh, atau Kiai kampung      pangan dan selelu dalam kecukupan. Maka
sebagai ”kidung” yang berarti ”kiai ndunga”     ketika padi disandingkan dengan merah putih,
atau kiai berdoa.                               hal ini menjadi sebuah visi berhuni yang
     Kalau jaman dahulu kidung diisi dengan             Suasana doa bersama dalam Ritual Munggah Kayu
kidung (lagu) dan puji-pujian, sekarang
biasanya diisi dengan tahlilan, solawatan,                   Gambar 1 (Sumber: dwialfirohmatin.web.unej.ac.id/)
atau manaqiban. Manaqiban yang biasa dibaca
adalah manaqiban Syekh Abdul Qodir Jailani
dengan seperangkat ayam ingkung dan ubo
rampenya. Setelah doa selesai salah seorang
memotong-motong ayam yang kemudian
dimasukan ke piring atau bungkusan daun
pisang. Sebagian biasanya dinikmati di tempat,
dan ketika pulang juga tetap dibawakan bagian
untuk keluarga di rumah. Agar berkahnya juga
                                                Edisi Budaya | 311
saling melengkapi bahwa rizki (pangan) yang    atau menanamkan benih-benih (simbol pohon
didapatkan nantinya hendak diorientasikan      tebu dan tunas pisang) kabajikan (putih) meski
pada penegakan kebajikan (putih) meski         hambatan dan rintangan akan menghadang
dengan butuh semangat perjuangan yang          sehingga butuh kobaran api perjuangan
membara (merah).                               (simbol warna merah).
     Sementara pohon tebu segar yang masih          Yang tidak lupa adalah ada pemasangan
berakar dan berdaun serta anak pisang yang     paku emas, pada kayu blandar. Dalam istilah
turut dikat pada kayu juga sebagai penanda     Jawa ”blandar” juga dipahami sebagai bos atau
bahwa pendirian rumah disadarai dengan         juragan yang sangat berperan bagi anggota
tekad yang kuat (anteping kalbu, dilambangkan  anak buahnya. Sebagaimana fungsi blandar
tebu) dan sekaligus isyarat awal penanaman     dalam rumah juga penyangga utama yang
bibit positif (hal-hal yang baik) bagai tebu   berhubungan dengan kekokohan bagian-
yang berakar dan berdaun sehingga tinggal      bagian rumah sehingga kuat secara lahir dan
menancapkan pada lahan yang sudah              batin (Said, 2012). Kayu ini biasanya lebih
disiapkan. Rumah adalah sebagai lahan          besar dari kayu yang lainnya, karena menjadi
(wahana) atau dalam bahasa Jawa sebagai        tumpuan dari kayu-kayu yang lainnya.
kawah candradimuka bagi generasi bangsa        Pemasangan paku emas di blandar sebagai
agar mampu menumbuhkan kader-kader yang        lambang kemuliaan agar rumah tersebut
bervisi merah putih.                           menjadi hunian dan sebagai pusat pemagangan
                                               kultural bagi anggota keluarganya agar
     Kombinasi wujud tebu yang berdaun dan     “terpaku” nilai-niai moral yang baik menuju
berakar, seikat padi dan dan kain merah putih  pribadi yang berkahlak mulia sebagai sifat
adalah ekspresi simbolik dalam ritual munggah  emas yang mulia. Itulah bagian dari upaya
kayu agar penghuninya selalu ingat visi        memperkuat dimensi batin dari rumah itu.
hidup dalam berhuni di rumah bahwa hidup       Sehingga sempurnalah rumah yang dihuni
bukanlah untuk makan saja, tetapi makan        diharapkan menjadi pusat pemagangan
adalah sekedar untuk mempertahankan hidup.     kultural dalam dimensi lahir maupun batin.
Sementara kehidupan yang bernilai tersebut
harus diorientasikan untuk menumbuhkan                                                                         [Nur Said]
                                            Sumber Bacaan
Endraswara, Suwardi, Prof. Dr., (2016). Falsafah Hidup Jawa, Menggali Kebijakan dari Intisari Filsafat Jawa. Yogyakarta:
         Cakrawala
Purwadi. (2005). Upacara tradisional Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah. (2015), Kumpulan Tanya Jawab Keagamaan, Jogja: PISS-KTB.
Said, Nur, (2012b). “Strategi Saminisme Dalam Membendung Bencana Perlawanan Komunitas Sedulur Sikep terhadap
         Rencana Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo Pati,” dalam Agama, Budaya dan Bencana, Kajian Integratif, Ilmu,
         Agama dan Budaya, Bandung: Mizan.
Said, Nur. (2012). Tradisi Pendidikan Karakter dalam Keluarga, Tafsir Sosial Rumah Adat Kudus. Kudus: Brillian Media
         Utama.
Ula, Miftahul. (2010). “Tradisi Munggah Molo Dalam Perspektif Antropolagi Linguistik”, dalam Jurnal Penelitian, Volume
         7, Nomor 2, Nopember 2010
312 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Muqoddaman
Muqoddaman adalah sebuah tradisi                 sanah, dan perpisahan. Sehingga, sekalipun
            pembacaan Al-Quran di daerah         sebagai sebuah istilah itu independen, tetapi
            Jawa bagian tengah, terutama         dalam praktik di masyarakat selalu ada
di Yogyakarta. Tradisi ini serupa dengan         kegiatan lain. Oleh karena itu cakupan istilah
khataman atau khatmil Qur’an, yaitu              muqaddaman tidak dapat dipisahkan dengan
pembacaan Al-Qur’an hingga (khatam) 30 juz,      aktifitas lainnya.
baik bin nadhar (membaca) maupun bil gaib
(hafalan). Dalam membaca atau menghafal Al-      Konteks Muqaddaman
Qur’an tersebut, seringkali juga didengarkan
oleh umat Islam lainnya yang hadir. Oleh         Sebagaimana  penjelasan  kata
karena itu, muqaddaman, selain serupa dengan
khataman Al-Qur’an, juga seringkali disebut      muqaddaman sebelum ini, maka definisi
dengan Semaan Al-Qur’an. Bagi umat Islam
yang tidak ikut dalam muqaddaman, maka           muqaddaman sesungguhnya tidak dapat
dia hanya menyimak (semaan) Al-Qur’an saja.
Pelaksanaan muqaddaman ini selalu dilakukan      dilepaskan dari the living Qur’an. Umat Islam di
awal sebelum acara-acara lain yang ikut serta,
seperti mujahadah, halal bihalal, dan membaca    Indonesia pada dasarnya berharap Al-Qur’an
shalawat.Waktu pelaksanaan itulah seringkali
sebagai pembeda dengan tradisi serupa,           itu dapat diamalkan isi dan ajarannya dalam
seperti tadarus, khataman, dan semaan.
                                                 kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Arti Muqaddaman
                                                 Muqaddaman sebagai tradisi pembacaan Al-
      Dalam kamus A Dictionary of Modern
Written Arabic, disebutkan muqaddaman            Qur’an secara kolektif sebelum acara atau
diartikan in advance dan beforehand. Kedua kata
tersebut bermakna sama, yaitu sebelum acara      kegiatan dapat menjadi pintu masuk umat
dimulai.Secara sosiologis, kata muqaddaman
ini menjadi tradisi baru bagi umat Islam di      Islam dapat mengamalkan isi kandungannya.
Indonesia setelah tradisi-tradisi sebelumnya
dalam pembacaan Al-Qur’an. Istilah selama             Sebagai contoh kasus, kegiatan
ini untuk tradisi pembacaan Al-Qur’an dengan     muqaddaman di MAN Wonokromo Bantul
bersama-sama masih terbatas dengan istilah       Yogyakarta. Kegiatan muqaddaman ini
tadarus, semaan, dan khataman.                   dilaksanakan oleh seluruh sivitas akademik
                                                 MAN Wonokromo. Seperti diberitakan oleh
      Istilahmuqaddamandalampelaksanaannya
selalui menjadi awal kegiatan-kegiatan yang
menyertainya, seperti dies natalis, akhirus
                                                                     Edisi Budaya | 313
Bacaan Al-Quran akan mampu melembutkan
                                             hati. Siswa yang berhati lembut akan lebih
                                             mudah untuk diajak dan diarahkan ke jalan
                                             kebaikan.”
website Kemenag Bantul, pemaknaan dan        Sejarah Muqaddaman
tujuan muqaddaman sebagai berikut:
                                                  Tradisi muqaddman, sekalipun termasuk
     “Muqaddaman adalah kegiatan membaca     tradisi baru tetapi bukan tradisi yang baru
al-Quran secara bersama-sama, satu orang     sama sekali. Sebab, tradisi serupa sebenarnya
satu juz, hingga khatam 30 juz dalam satu    sudah ada, seperti khataman al-Qur’an,
waktu. Pagi itu, lantunan Al-Quran gemuruh,  tadarus dan semaan Al-Qur’an. Muqaddaman
menggema, membahana di kampus MAN            tersebut menjadi tradisi menarik bagi umat
Wonokromo. Setiap siswa dan guru seolah      Islam di Yogyakarta, karena meramu istilahnya
berburu penuh semangat untuk segera          dengan menyertakan khataman dan semaan
mengkhatamkan Al-Quran satu juz. Siswa       Al-Qur’an.
yang mampu khatam lebih cepat segera
membantu teman lain yang masih kurang.            Sekitar akhir tahun 1980an di Yogyakarta,
Alhasil dalam waktu 45 menit siswa telah     majlis Zikrul Ghafilin bimbingan KH. Hamim
berhasil menyelesaikan bacaannya.”           Jazuli (Gus Miek), kyai dari Pesantren Lirboyo
                                             Kediri, selalu mengadakan mujahadah secara
       “Kegiatan muqaddaman ini bertujuan    rutin setiap bulan sekali. Dalam rangkaian
untuk mendekatkan anak terhadap Al-Quran,    mujahadah tersebut, semaan dan khataman Al-
semakin mencintai Al-Quran, dan berakhlak    Qur’an selalu menjadi kegiatan pembukanya.
baik melalui barokahnya Al-Quran. Semangat   Muqaddaman menjadi sejarah baru bagi
kebersamaan turut memotivasi siswa untuk     warga Yogyakarta, terutama kelas ekonomi
lebih sering mengaji dan mengkaji Al-Quran.  menengah muslimnya. Sebab, pada acara
                                             tersebut inisiatornya dimulai dari keluarga
                                             keraton Yogyakarta.
                                                  Muqaddaman ini selaras dengan semaan
                                             Al-Qur’an, membaca Al-Qur’an, dan tadarrus
                                             Al-Qur’an secara berjamaah/kelompok. Oleh
                                             karena itu, dengan istilah-istilah serupa
                                             tersebut, muqaddaman akan lebih fleksibel lagi.
                                             Belakangan, muqaddaman diselenggarakan di
                                             sekolah dan kampus perguruan tinggi.
                                                                                                  [Mahrus el-Mawa]
314 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Mursyid
Sebutan untuk seorang guru pembimbing              Perbedaan kata mursyid dalam tasawuf dengan
       dalam dunia tarekat yang telah              mursyid dalam bahasa Arab yang biasa adalah
       memperoleh izin dan ijazah dari guru        jika mursyid dalam tasawuf, selain menjadi
mursyid di atasnya yang terus bersambung           guru, juga menjadi pembimbing di dunia
sampai kepada guru mursyid shahibut                untuk menuju kehidupan akherat yang abadi.
tarekat yang muasal dari Rasulullah Saw.           Sehingga, antara mursyid dan murid, akan
untuk mentalqinkan dzikir/wirid tarekat            terjalin hubungan bukan sekadar guru-siswa,
kepada orang-orang yang datang meminta             tetapi juga pembimbing sipiritual.
bimbingannya (murid). Setiap tarekat
mempunyai sebutan sendiri, seperti dalam           Sisi lain Term Mursyid
tarekat Tijaniyyah dengan sebutan muqaddam.
Sanad mursyid ini sejajar disamakan dengan              Kehadiran mursyid atau guru sangat
wali Allah yang harus sampai kepada Rasulullah     penting bagi seorang murid dalam laku
Saw. Oleh karena itu mursyid mempunyai             tarekat. Murid artinya orang yang telah
kedudukan penting dalam tarekat. Mursyid           membulatkan kemauan untuk memasuki
bukan sekadar guru biasa, seperti guru pada        jalan. Pada saat itulah murid perlu seorang
sekolah atau madrasah saja, sebab bukan            pemandu yang menuntunnya melalui
hanya mengajarkan ilmu dhahir, ilmu duniawi,       berbagai persinggahan dan menunjukkan arah
tetapi juga ilmu batin dan ilmu ukhrawi yang       tujuannya. Terdapat beberapa sebutan mulia
diperolehnya. Mursyid ini juga mempunyai           yang diberikan kepada mursyid ini antara lain
silsilah kemursyidan hingga Rasulullah Saw.        nasik, ‘abid, imam, syaikh, sa’adah. Nasik adalah
Dalam konteks Islam Nusantara, mursyid di          orang yang sudah bisa mengerjakan mayoritas
sini berkaitan dengan tasawuf dan tarekat.         perintah agama. ‘Abid adalah orang yang ahli
                                                   dan ikhlas mengerjakan segala ibadah. Imam
Arti Leksikal Mursyid                              adalah orang yang ahli memimpin tidak saja
                                                   dalam segala bentuk ibadah syari’ah, tetapi
      Dalam kamus bahasa Arab-Indonesia, Al-       juga dalam masalah ‘aqidah/keyakinan. Syaikh
Munawwir, karya Kyai Warson, kata mursyid          adalah orang yang menjadi sesepuh atau yang
berarti penunjuk, pemimpin, pengajar, dan          dituakan dari suatu perkumpulan. Sa’adah
instruktur. Keempat arti leksikal tersebut         adalah penghulu atau orang yang dihormati
adalah makna lain dari seorang guru atau           dan diberi kekuasaan penuh.
syaikh. Dalam kamus Arab-Inggris, mursyid
juga diartikan leader, guide to the right way,          Dalam kitab Tanwirul Qulub fi Mu’amalat
adviser, spiritual guide, informer, grand master.  ‘Allam al-Guyub, mursyid/syaikh adalah orang
Secara leksikal kata mursyid dijelaskan pula       yang sudah mencapai maqam rijal al-kamal;
sebagai orang yang menunjukkan ke jalan yang       seorang yang sudah mencapai sempurna suluk/
benar, guru agama, seperti dijelaskan dalam        lakunya dalam syariat dan hakikat menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia.                      Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’. Seorang
                                                   mursyid diakui keabsahannya itu sebenarnya
      Selain istilah mursyid ini, digunakan        tidak boleh dari seorang yang bodoh, yang
juga dengan istilah syaikh dan muqaddam.           hanya ingin menduduki jabatan itu karena
                                                   Edisi Budaya | 315
didorong hawa nafsu belaka.                    6. Mampu menjaga jarak pergaulan, seperti
                                                    dalam bercengkerama dan bersenda gurau
     Seorang mursyid juga boleh melarang            dengan para muridnya. Hal itu berkait
sebagian muridnya untuk menerima bai’at             erat dengan bimbingan kepada muridnya
dari mursyid lainnya, jika dalam melarang itu       dalam beribadah kepada Allah Swt.
untuk mengarahkan kepada kemaslahatan               dengan amalan-amalan yang baik
seorang murid. Dalam istilah lainnya, mursyid
tidak boleh lengah dalam membimbing            7. Mengusahakan agar segala perkataannya
murid-muridnya kepada apa yang menjadikan           bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan,
kebaikan bagi diri mereka. Seorang mursyid          terutama kata-kata yang dapat memberi
tidak boleh mengajarkan dan memba’iat para          pengaruh batin muridnya.
murid tanpa mengajarakan ilmu-ilmu syariat,
jika sebagian murid masih dalam keadaan        8. Bijaksana, lapang dada, dan ikhlas.
bodoh, dan di tempat itu tidak ada orang
yang mengajar dia tentang ilmu-ilmu syariat.   9. Memberikan  petunjuk-petunjuk
Artinya, ilmu syariat menjadi ilmu yang harus
menyatu pada seorang mursyid.                  tertentu dan pada kesempatan tertentu
Pentingnya Mursyid                             memperbaiki ahwal para muridnya
     Tidak ada satupun tarekat dalam ilmu      10. Memberikan perhatian yang khusus pada
tasawuf tanpa seorang guru mursyid. Ada             kebahagiaan rohani yang sewaktu-waktu
tanggung jawab berat bagi seorang mursyid           dapat timbul pada diri muridnya yang
kepada muridnya. Seorang murid tidak dapat          masih dalam bimbingan dan pengajaran
menjalankan ajaran-ajaran tarekat, tanpa
bimbingan seorang mursyid. Oleh karena itu,    11. Menjaga para murid supaya tidak takabbur
seorang mursyid harus memiliki kriteria dan         karena telah memperoleh wirid-wirid
adab sebagai berikut:                               yang istimewa
1. Alim dan ahli di dalam memberikan irsyad    12. Mencegah para murid banyak makan,
     kepada muridnya dalam masalah syari’ah/        karena hal itu dapat memperlambat
     fiqh, dan tauhid/aqidah dengan sebenar-        tercapainya latihan-latihan ruhani yang
     benarnya, sehingga tidak ada keraguan          dia berikan kepada mereka.
     dari seorang murid
                                               13. Tidak memalingkan muka ketika
2. Arifdengansegalasifatkesempurnaanhati,           ada seorang atau beberapa muridnya
     etika, dan segala penyakitnya sehingga         menemuinya.
     mengetahui cara menyembuhkannya
     kembali dan memperbaiki seperti semula    Mursyid dan Konteks Saat ini
3. Bersifat belas kasih dan lemah lembut            Dengan memahami istilah mursyid seperti
     terhadap semua orang Islam, terutama      di atas, semestinya budaya baru tentang
     kepada mereka yang menjadi muridnya.      belajar agama melalui searching di internet
                                               (mbah goegle) dan komunikasi melalui media
4. Mampu menyimpan rahasia para                sosial yang berisi berbagi pengetahuan Islam
     muridnya, tidak membuka aib mereka di     yang kadang tidak jelas sumbernya, haruslah
     depan khalayak.                           diakhiri. Sebab, belajar agama tanpa guru akan
                                               dapat menyesatkan pemahaman diri sendiri.
5. Mampu menjaga amanah para muridnya,
     seperti tidak menggunakan harta benda          Pentinngya guru agama, seperti dalam
     mereka dalam bentuk dan kesempatan        istilah mursyid ini harus menjadi pelajaran
     apapun serta tidak menginginkan apa       bagi keilmuan di luar tarekat. Pada dasarnya,
     yang ada pada mereka                      belajar tarekat dalam Islam juga belajar agama
                                               secara umum. Sebab, tahapan-tahapan seorang
                                               mursyid dalam memberikan ilmu agamanya
                                               juga berangkat dari tauhid dan fikih, sebelum
316 | Ensiklopedi Islam Nusantara
kepada ajaran tarekat atau tasawuf (sufisme)   Bidang akidah-akidah tauhid juga meliputi
dalam Islam.                                   tentang etika bermasyarakat, etika beragama,
                                               keyakinan terhadap Allah Swt., sifat-sifat-
     Dalam kitab Jami’ al-Ushul fi al-Awliya’  Nya, percaya kepada ketentuan yang belum
disebutkan bahwa syarat mursyid adalah         terjadi ataupun yang sudah terjadi. Semua
‘alim, orang yang ahli pengetahuan terhadap    pengetahuan agama itu seorang murid akan
kebutuhan murid, baik dalam bidang fikih,      dituntun atau dibimbing oleh seorang mursyid.
akidah-akidah tauhid, supaya murid tidak
ragu-ragu sehingga benar-benar dapat                Ketika persoalan akidah dan fikih
memahaminya. Dengan demikian, dalam            dianggap selesai, maka seorang mursyid akan
tarekat, para murid tidak mungkin belajar      meningkatkan pembelajaran ilmu keagamaan
sendiri, tanpa bimbingan seorang mursyid.      para muridnya melalui zikir-zikir untuk
Bidang fikih adalah pengetahuan agama terkait  lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt.
dengan cara melaksanakan ibadah shalat,        Pembelajaran zikir ini juga bertahap, sekalipun
menunaikan zakat, pergi haji ke baitullah,     bergantung dengan tarekat apa yang dipilih.
hubungan manusia dengan manusia lain, dst.
                                                                                                    [Mahrus el-Mawa]
                                            Sumber Bacaan
Jatim, Tim PW LTN NU. Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan
         Konbes Nahdlatul Ulama (192602004), Jawa Timur: Khalista, 2007. Cet. III.
Munawwir, Ahmad Warson Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 cet. XIV
Masyhuri, Aziz. (editor). Permasalahan Thariqah: Hasil Kesepakatan Muktamar & Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith
         Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama’, Surabaya: Khalista, 2006, cet. II.
_____. Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf. Surabaya: Imtiyaz, 2011
An-Naqsyabandi, Ahmad Mustafa al-Kamsykhanawi. Jami’ al-Usul fi al-Awliya’. Surabaya: Haramain, t.tt.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam. Penterj. Sapardi Djoko Dmono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009,
         cet. III.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic Arabic-English. Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah ‘Arabi-
         Inklizi. Beirut: Maktabah Lubnan, 1961.
                                               Edisi Budaya | 317
318 | Ensiklopedi Islam Nusantara
N
Nazham
Ngabsahi
 Ngelmu
 Ngrasul
Nyadran
Nazham
Secara umum, bentuk karya sastra                 tersusun itu iramanya menjadi terpola.
       di berbagai bangsa dan kebudayaan
       dapat dibedakan menjadi dua jenis:             Bertolak dari penggunaan kata naẓm
prosa dan puisi. Meskipun demikian, dalam        dalam tradisi kesusastraan Arab, Ya‘qūb (2010:
kesusastraan Arab, kategorisasi mengenai apa     447) mendefinisikan naẓm sebagai ungkapan
yang dapat dinilai sebagai puisi tampaknya       berwazan dan bersajak. Ungkapan tersebut
menyisakan persoalan tersendiri mengingat        disusun dengan cara menjaga aspek metrum
keberadaan dua bentuk ungkapan puitik            dan keselarasan bunyinya. Sejalan dengan
yang menurut konvensi kesusastraan Arab          akar etimologis kata naẓm, yakni merangkai
tampak serupa, namun tidak sama, yakni           permata, Ya‘qūb mengibaratkan keteraturan
naẓm dan syi‘r. Satu hal yang menarik,           ungkapan dalam metrum dan keselarasan
kedua istilah tersebut seringkali digunakan      bunyi itu bagaikan untaian butiran kalung
secara bergantian dalam setiap pembahasan        permata (2010: 447).
mengenai pembagian jenis ungkapan (kalām)
yang berlaku dalam kebudayaan Arab. Dalam             Jika diperhatikan, pengertian naẓm
membagi jenis ungkapan tersebut, sebagian        di atas tampak memperlihatkan sifat
ahli menggunakan istilah na£r (prosa) yang       umum yang dimiliki oleh ungkapan yang
dihadapkan pada istilah naẓm (puisi), dan        berbentuk naẓm, dalam arti mencakup semua
sebagian yang lain menggunakan istilah na£r      ungkapan yang berwazan dan bersajak tanpa
yang dihadapkan pada istilah syi‘r. Oleh karena  mempertimbangkan muatan isinya. Akan
itu, dalam batas tertentu, tumpang-tindih        tetapi, jika melihat konvensi yang berlaku
dalam penggunaan kedua istilah tersebut          dalam tradisi kesusastraan Arab, sifat umum
memang tidak dapat dihindari.                    yang dimiliki naẓm tersebut ternyata tidak
                                                 mutlak. Sebab, untuk ungkapan tertentu yang
      Secara etimologis, naẓm merupakan          juga terikat oleh wazn dan sajak, kalangan
bentuk maṣdar (nomina verba) dari kata kerja     penyair dan kritikus sastra Arab tradisional
naẓama, yang berarti mengatur atau merangkai     justru menyebutnya sebagai syi‘r.
permata. Adapun secara terminologis, menurut
at-Tūnj, kata naẓm memiliki dua pengertian.           Tidak berbeda dengan berbagai bangsa
Pertama, sebagai istilah umum, kata naẓm         lain di dunia, bangsa Arab sudah lama
berarti menyusun kata dan kalimat dalam          mengenal tradisi kesusastraan, baik dalam
keteraturan makna dan signifikasinya. Kedua,     genre prosa maupun puisi. Dari kedua genre
sebagai istilah dalam kesusastraan Arab, kata    sastra tersebut, puisi Arab yang dikenal dengan
naẓm berarti penyusunan puitik; dalam arti       istilah syi‘r merupakan genre sastra tertua yang
menyusun kata-kata sesuai dengan pola puitik     menempati kedudukan yang sangat penting
tertentu. Pola puitik tersebut secara konsisten  dalam kehidupan sehari-hari orang Arab. Ibnu
diikuti oleh pengarangnya menyangkut             Khaldūn, seorang ahli sejarah kebudayaan
kaidah-kaidah tertentu mengenai urutan           Arab, menggambarkan kedudukan syi‘r
kata dengan memperhatikan satuan irama           dalam kehidupan orang Arab sebagai dīwān
dan ketentuan rimanya. Dengan demikian,          (buku catatan) yang berisi perbendaharaan
jika kaidah-kaidah itu diikuti, ungkapan yang    pengetahuan orang Arab. Melalui syi‘r orang
                                                 Arab merekam berbagai peristiwa penting yang
                                                 Edisi Budaya | 321
terjadi dalam kehidupannya serta memberikan       syi‘r seperti yang diberikan oleh Ibnu Sina di
penilaian terhadap peristiwa-peritiwa itu.        pihaklain,membuatIbnuKhaldūnmemberikan
                                                  pengertian dan batasan syi‘r yang tampaknya
     Secara etimologis, kata syi‘r merupakan      mampu menyarikan berbagai pengertian syi‘r
bentuk maṣdar (nomina verba) dari kata kerja      yang diberikan oleh para kritikus sastra Arab
sya‘ara, yang berarti mengetahui, merasa,         sebelumnya. Dalam konteks ini, Ibnu Khaldūn
dan mengarang sebuah syi‘r. Adapun secara         (t.t.:669) memberikan pengertian syi‘r sebagai
terminologis, syi‘r tampaknya memperoleh          ungkapan yang balīg yang didasarkan atas
pengertian yang berbeda-beda di kalangan          metafora dan sifat-sifat rinci yang unsur-
ahli sastra Arab. Ibnu Qudāmah, misalnya,         unsurnya bersesuaian dalam hal pola irama
mendefinisikan syi‘r sebagai ungkapan yang        dan persajakannya dan yang sesuai dengan
berpola dan bersajak yang menunjukan              stilistika Arab.
suatu makna. Sejalan dengan pengertian syi‘r
tersebut, Ibnu Qudāmah menjelaskan unsur-              Jika dicermati, sepintas pengertian syi‘r
unsur formal dari sebuah syi‘r, yakni lafal,      yang diberikan oleh Ibnu Khaldūn di atas tidak
makna, wazn (pola irama), dan qafiyah (sajak).    secara lugas memasukkan imajinasi sebagai
Dengan ketentuan dan batasan tersebut,            salah satu unsur syi‘r. Akan tetapi, dengan
berbagai ungkapan yang tidak berwazan dan         memasukkan sifat balīg yang didasarkan atas
tidak bersajak dengan sendirinya tidak dapat      metafora yang susuai dengan stilistika Arab,
dimasukkan sebagai syi‘r.                         secara tidak langsung Ibnu Khaldūn telah
                                                  memasukkan imajinasi sebagai bagian dari
     Tidak banyak berbeda dengan Ibnu             unsur syi‘r. Sebab, dalam perspektif retorika
Qudāmah, Ibnu Rasyīq memberi batasan              dan stilistika Arab, ungkapan-ungkapan
bahwa syi‘r itu terdiri atas lafal, makna,        metaforik merupakan perangkat bahasa
wazn, dan qafiyah, di samping keharusan           yang imajinatif (Syaraf dan Khafājī, 1987:
adanya unsur niat. Menurut Ibnu Rasyīq,           26). Dengan demikian, dalam banyak hal,
niat menjadi unsur penting bagi syi‘r karena      pengertian syi‘r yang diberikan oleh Ibnu
banyak ungkapan yang berpola dan bersajak         Khaldūn tersebut tampak sesuai dengan
serta mengandung makna, namun tidak dapat         pengertian syi‘r yang diberikan oleh Ibnu Sīnā.
disebut sebagai syi‘r; dalam hal ini, menurut
Ibnu Rasyīq, adalah beberapa ayat Alquran dan          Melihat berbagai pengertian syi‘r yang
Hadis Nabi saw.                                   diberikan oleh para kritikus Sastra Arab klasik
                                                  di atas, beberapa kritikus sastra Arab modern,
     Semua pengertian dan batasan syi‘r di atas,  seperti asy-Syāyib (1964: 298), Amīn (1967: 79),
baik dari Ibnu Qudāmah maupun Ibnu Rasyīq,        dan Farūkh (1981: 41) memberikan batasan
tampak memperlihatkan penekanannya hanya          bahwa tolok ukur syi‘r —di samping batasan-
pada aspek formal syi‘r. Meskipun batasan syi‘r   batasan formal— adalah kemampuannya
yang diberikan oleh Ibnu Rasyīq di atas sudah     dalam menggugah perasaan (emosi). Dengan
mencakup aspek makna, akan tetapi batasan         batasan tersebut, berbagai ungkapan yang
makna yang dimaksud masih menyisakan              berpola, bersajak, dan bermakna yang kering
persoalan. Sebab, batasan makna seperti           dari unsur emosi tidak dapat disebut sebagai
itu dengan sendirinya dapat memasukkan            syi‘r. Sebaliknya, berbagai ungkapan tersebut
berbagai bentuk ungkapan yang mengandung          disebut sebagai naẓm (asy-Syāyib: 1964: 298;
ajaran ilmiah, seperti ilmu mengenai tata         Amīn: 1967: 80; Farūkh, 1981: 41). Dengan
bahasa, fikih, dan lain sebagainya ke dalam       demikian, menurut ketiga kritikus tersebut,
kategori syi‘r dengan syarat disusun dalam        faktor pembeda antara syi‘r dan naẓm dalam
ungkapan yang berpola dan bersajak.               tradisi kesusastraan Arab tradisional adalah
                                                  emosi.
     Kecenderungan formal dari pengertian
dan batasan syi‘r yang diberikan oleh kritikus         Tidak dapat dimungkiri, pembedaan
sastra Arab semacam Ibnu Qudāmah dan Ibnu         terhadap naẓm dan syi‘r yang dibuat oleh
Rasyīq di satu pihak, dan keumuman cakupan        para kritikus sastra Arab modern di atas jelas
322 | Ensiklopedi Islam Nusantara
sesuai dengan kenyataan yang berlaku dalam           irama) tertentu dan qāfiyah (sajak). Dengan
tradisi kritik sastra Arab klasik di satu pihak      demikian, wazn dan qāfiyah merupakan dua
dan tradisi penulisan kitab-kitab ilmiah di          unsur terpenting yang membangun struktur
dunia Arab-Islam di pihak lain. Dalam konteks        puisi Arab tradisional. Tanpa adanya wazn dan
tradisi kritik sastra Arab, meskipun pada            qāfiyah, suatu ungkapan tidak dapat disebut
tataran teoritis ada perbedaan pandangan             sebagai puisi, namun sebagai prosa.
mengeni pengertian dan batasan syi‘r di
kalangan kritikus sastra Arab klasik, akan                Dalam sistem prosodi Arab, wazn adalah
tetapi, menurut Ibnu Khaldūn, pada tataran           pola irama yang diikuti oleh penyair dalam
praktis para kritikus sastra Arab klasik itu tidak   merangkai kata demi kata dalam bait-bait
mudah menilai semua jenis ungkapan yang              puisi sehingga menciptakan keindahan
berwazan dan bersajak sebagai syi‘r. Dalam hal       akibat adanya keserasian, keselarasan, dan
itu, menurut Ibnu Khaldūn (t.t.:669), naẓm           kesimbangan rangkaian kata-kata yang
karya al-Ma‘arrī dan al-Mutanabbī yang secara        digunakan dalam puisi. Pola irama tersebut
formal sebenarnya juga terikat pada sistem           disusun atas dasar satuan-satuan irama yang
prosodi puisi Arab sedikit pun tidak dapat           disebut dengan taf ‘īlah dalam setiap bait puisi.
dinilai sebagai syi‘r oleh para kritikus sastra      Dalam tradisi perpuisian Arab tradisional,
Arab klasik. Sementara itu, dalam konteks            dikenal ada sepuluh satuan irama: fa‘ūlun,
tradisi penulisan kitab-kitab ilmiah, seringkali     mafā‘īlun, mufā‘latun, fā‘i lātun, fā‘ilun, fā‘ilātun,
para pengarang kitab-kitab ilmiah itu terlihat       mustaf ‘ilun, mutafā‘iilun, maf ‘ūlātun, dan
secara sadar menyebut karya-karya ilmiahnya          mustaf ‘ilun.
yang ditulis dengan mengikuti kaidah prosodi
Arab sebagai naẓm atau manẓūmah, bukan syi‘r.             Satuan-satuan irama di atas yang diatur
                                                     dengan pola tertentu menyangkut tinggi-
     Muatan ilmiah dalam naẓm di satu pihak          rendahnya irama dalam puisi pada gilirannya
dan keterikatan naẓm dengan kaidah-kaidah            membentuk baḥr (metrum). Penamaan tinggi-
prosodi sebagaimana yang berlaku dalam               rendah pola irama dalam puisi Arab tradisional
penulisan syi‘r Arab di pihak lain, membuat          sebagai baḥr, yang secara harfiah berarti laut,
beberapa kritikus sastra Arab, seperti ¬aif          itu karena irama puisi Arab menyerupai tinggi-
(1987: 318), Haddārah (1963:254) dan ar-             rendahnya gelombang laut. Dengan demikian,
Rāfi‘ī (1997:137) tetap memasukkan naẓm              baḥr dalam puisi Arab tidak lain adalah pola
sebagai bagian khazanah syi‘r Arab. Menurut          irama yang terbentuk akibat keteraturan
para kritikus tersebut, naẓm ilmiah merupakan        satuan-satuan irama sesuai dengan tinggi-
puisi didaktis (asy-syi‘r at-ta‘līmī) dalam tradisi  rendahnya irama itu sendiri. Dalam tradisi
kesusastraan Arab-Islam. Dalam konteks ini,          perpuisisan Arab tradisional, baḥr atau
naẓm ilmiah dimaksudkan untuk mengajarkan            metrum yang berlaku jumlahnya mencapai 16:
kepada manusia mengenai berbagai ilmu                aţ-ţawīl, al-madīd, al-basīţ, al-wāfir, al-kāmil,
pengetahuan dengan tujuan mempermudah                al-hazj, ar-rajz, ar-ramal, as-sarī‘, al-munsariḥ,
untuk dihafal.                                       al-khafīf, al-mu«āri‘, al-muqta«ib, al-mujta££, al-
                                                     mutaqārib, dan al-mutadārik.
     Berdasarkan uraian mengenai pengertian
syi‘r dan naẓm di atas, dapat disimpulkan                 Dari sekian banyak baḥr yang berlaku
bahwa perbedaan di antara syi‘r dan naẓm             dalam perpuisisan Arab, tampaknya
hanyalah terletak pada aspek isi: jika unsur         baḥr rajaz merupakan baḥr yang paling
yang dominan adalah emosi, maka disebut              mudah penyusunannya dan paling sedikit
dengan syi‘r, sedangkan jika unsur yang              kesusaiannya dengan suasana perasaan. Oleh
dominan adalah muatan ilmiah, maka                   karena itu, baḥr rajaz lebih sering digunakan
disebut dengan naẓm. Adapun jika dilihat dari        dalam naẓm yang unsur ilmiahnya dominan,
aspek bentuk, baik syi‘r dan naẓm tampak             atau yang dikenal dengan asy-syi‘r at-ta‘līmī.
memperlihatkan adanya kesamaan, yakni
sebagai ungkapan yang terikat oleh wazn (pola             Secara historis, dari sekian banyak baḥr
                                                     yang pernah berkembang dalam tradisi
                                                     Edisi Budaya | 323
perpuisian Arab tradisional, baḥr rajaz              yang digunakan berbeda. Rajaz dengan pola
merupakan baḥr tertua, bahkan kemunculan             persajakan ini dikenal dengan rajaz muzdawij
baḥr tersebut seiring dengan kelahiran puisi         (Anīs, 1965: 133-138).
Arab itu sendiri. Meskipun demikian, dalam
perkembangannya baḥr rajaz mengalami                      Selain wazn, sebagaimana dikemukakan di
pembaharuan berkaitan dengan pola irama              atas, unsur terpenting lain yang membangun
dan rima bunyinya. Dalam hal itu, para               struktur puisi adalah qāfiyah. Di kalangan
penyair keturunan pada periode ‘Abbāsiyah            ahli prosodi puisi Arab, qāfiyah merupakan
memainkan peran penting dalam proses                 unit suara yang terletak di akhir bait puisi
pembaharuan baḥr rajaz tersebut (Anīs, 1965:         yang harus diulang di setiap bait puisi (‘Atīq,
127).                                                1987: 134). Oleh karena itu, jika huruf akhir
                                                     yang terdapat pada syaţr kedua permulaan
     Sebagai baḥr tertua, dengan segala              qaṣīdah berupa huruf nūn, misalnya, maka
karakteristik yang dimilinya, baḥr rajaz             semua huruf terakhir syaţr kedua di semua
menempati kedudukan yang sangat penting              bait qaṣīdah juga harus berupa huruf nūn.
dalam kesustraan Arab, yang tidak terbatas           Kesamaan huruf akhir bait qaṣīdah tersebut
sebagai sarana ekspresi puitik, namun juga           tidak hanya dalam segi jenisnya, namun juga
sebagai sarana merekam berbagai pengetahuan          segi hidup dan matinya huruf, termasuk jenis
yang ada pada masa-masa pra Islam. Oleh              harakatnya. Jika huruf akhir bait qaṣīdah
karena itu, seiring dengan kemajuan dunia            berupa nūn mati, maka semua bait qaṣīdah juga
keilmuan Islam, tidak mengherankan jika baḥr         harus diakhiri dengan huruf nūn mati. Jika
rajaz menjadi pilihan utama para ilmuwan             akhir bait qaṣīdah berupa huruf hidup dengan
muslim untuk menazamkan berbagai disiplin            harakat tertentu, maka semua akhir bait harus
ilmu pengetahuan.                                    diakhiri dengan huruf hidup dengan harakat
                                                     yang sama dengan harakat huruf akhir bait
     Dari segi pola irama, ada tiga variasi          yang terdapat di permulaan qaṣīdah. Dengan
pola irama baḥr rajaz. Pertama, rajaz tāmm,          demikian, pembahasan qāfiyah dalam puisi
yaitu rajaz yang satuan iramanya ada enam:           Arab selalu berpusat pada huruf dengan
mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun –         berbagai kondisinya (‘Atīq1987: 135).
mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun. Kedua,
rajaz mukhtaṣar, dalam hal ini ada tiga jenis.            Dalam prosodi Arab, qāfiyah terbentuk
Rajaz majzū’, yaitu rajaz yang satuan iramanya       dari huruf dasar yang yang menjadi pusat
ada empat: mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun –             qāfiyah itu sendiri. Dalam koteks ini, ada enam
mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun, kedua, rajaz masyţūr,   huruf yang dapat dijadikan pusat qāfiyah: rawī,
yaitu rajaz yang satuan iramanya ada tiga:           waṣal, khurūj, radif, ta’sīs, dan dakhīl. Rawī
mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun – mustaf ‘ilun, dan      adalah huruf shahih selain huruf huruf ha yang
rajaz manhūk, rajaz yang satuan iramanya ada         terletak di akhir bait puisi; waṣal adalah huruf
dua: mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun (‘Atīq, 1987: 72).  layyin yang timbul akibat pemanjangan harakat
                                                     rawī; khurūj merupakan huruf mad yang muncul
     Dilihat dari segi pola persajakan, rajaz        akibat pemanjangan harakat ha waṣal; radf
mengenal tiga pola persajakan. ada tiga jenis.       merupakan huruf mad yang terletak setelah
Pertama, pola persajakan seperti kebanyakan          rawī; ta’sīs merupakan huruf alif sebelum rawī
puisi yang menggunakan baḥr selain rajaz,            yang dipisah oleh satu huruf; dakhīl merupakan
dalam arti hanya bait pertama yang setiap            huruf hidup yang memisahkan ta’sīs dan rawī
akhir bagian bait sajaknya sama, sementara           (al-Baḥrāwī, 1993: 86). Dari keenam huruf
bait-bait berikutnya hanya tiap syatr kedua          tersebut, rawī merupakan huruf qāfiyah yang
yang terikat oleh sajak. Kedua, rajaz yang           terpenting. Sebab, rawī merupakan huruf
setiap syaţr di setiap bait puisi terikat oleh       yang dijadikan dasar bangunan qaṣīdah dan
satu sajak. Ketiga, pola persajakan yang             sekaligus dasar penamaan qaṣīdah. Oleh
mengikat setiap syaţr bait puisi dengan qāfiyah      karena itu, jika rawī dalam satu qaṣīdah berupa
yang sama, namun di setiap bait puisi qāfiyah        huruf nūn, misalnya, maka qaṣīdah itu disebut
324 | Ensiklopedi Islam Nusantara
dengan qaṣīdah nūniyyah (Syaraf dan Khafājī,       tradisi sastra yang berasal dari bangsa-bangsa
1987:234).                                         tersebut sedikit-banyak membawa pengaruh
                                                   terhadap kesusastraan Arab. Haddārah (1963:
Dalam  sejarah      perkembangan                   354), misalnya, berasumsi bahwa orang Arab
                                                   baru mengenal jenis syi‘r ini seiring dengan
kesusastraan Arab, perkembangan asy-syi‘r at-      masuknya berbagai pemikiran pada masa
                                                   ‘Abbāsiyyah. Menurut Haddārah (1963:355),
ta‘līmī itu seiring dengan kemajuan kehidupan      dari berbagai kemungkinan adanya pengaruh
                                                   dari luar, kebudayaan India tampaknya yang
intelektual di dunia Arab-Islam. Akan tetapi,      lebih memungkinkan membawa pengaruh
                                                   terhadap kemunculan puisi didaktis tersebut
yang menjadi pertanyaannya adalah kapan            dalam tradisi kesusastraan Arab. Menurut
                                                   Haddārah, pengaruh kesusastraan India
asy-syi‘r at-ta‘līmī tersebut muncul dalam         itu lebih dimungkinkan karena, pertama,
                                                   orang Arab sudah lama mengenal tradisi
tradisi kususastraan Arab, dan apakah puisi        kesusastraan India, dan kedua, adanya
                                                   kesamaan karakteristik antara kesusastraan
didaktis tersebut memiliki akar dari tradisi       Arab dan kesusastraan India, yakni kuatnya
                                                   unsur mitologis dalam kedua tradisi sastra
kesusastraan lain?                                 tersebut. Selain itu, menurut Haddārah
                                                   (1963:356), faktor lain yang juga memperkuat
     Tidak dapat dimungkiri, seiring perluasan     kemungkinan tersebut adalah hubungan
kekuasaan Arab-Islam, kontak kebudayaan            antara Arab dan India yang semakin dipererat
antara bangsa Arab dan bangsa lain memang          oleh tradisi keilmuan India di bidang astronomi
tidak dapat dihindari. Sebagai konsekuensinya,     dan hisab, di samping juga oleh banyaknya
kontak kebudayaan itu menimbulkan                  penyair keturunan yang berasal dari India
pengaruh yang besar terhadap perkembangan          sebagai dampak dari proses asimilasi rasial
kebudayaan bangsa Arab. Berbagai bangsa            antara India dan Arab.
yang menjalin kontak kebudayaan dengan
bangsa Arab, seperti Persia, Yunani, dan India,         Berbeda dengan Haddārah, ¬aif (t.t.:
merupakan bangsa yang memiliki peradaban           190; 1994: 246) justru berpendapat bahwa
yang sangat tua. Oleh karena itu, masuknya         asy-syi‘r at-ta‘līmī merupakan jenis puisi yang
beberapa unsur kebudayaan dari bangsa-             diciptakan oleh para penyair ‘Abbāsiyyah.
bangsa tersebut ke dalam kebudayaan Arab           Pendapat ¬aif tersebut didasarkan atas bukti
dengan sendirinya meruapakan suatu hal yang        banyaknya puisi-puisi yang diciptakan oleh
alami. Bangsa Yunani, misalnya, di samping         sejumlah penyair ‘Abbāsiyyah mengenai
terkenal dengan tradisi filsafatnya, ia juga       berbagai ilmu pengetahuan, kisah, berita, dan
dikenal memiliki tradisi sastra yang sangat        biografi para tokoh.
tua, termasuk di dalamnya sastra didaktis.
Setidak-tidaknya, pada abad ke-8 SM di                  Meskipun pada awalnya ¬aif menetapkan
Yunani telah ada puisi didaktis yang mengenai      bahwa kemunculan asy-syi‘r at-ta‘līmī itu
sejarah dewa-dewa dan berbagai pengetahuan         pada masa ‘Abbāsiyyah, akan tetapi dalam
yang menyangkut teknologi pertanian pada           studinya yang lain, ¬aif mencoba menelusuri
masa-masa tersebut (Haddārah, 1963: 355).          akar kemunculan asy-syi‘r at-ta‘līmī pada masa
Sementara bangsa Persia, suatu bangsa              ‘Abbāsiyah tersebut. Melalui penelitiannya
yang paling erat dalam menjalin hubungan           terhadap teks-teks puisi pada masa Dinasti
dengan bangsa Arab, terutama pada periode          Amawiyyah, ¬aif menyimpulkan bahwa asy-
‘Abbāsiyyah, juga dikenal kuat dengan tradisi      syi‘r at-ta‘līmī sudah muncul pada awal abad
sastranya, bahkan tidak sedikit karya sastra       pertama hijriah, dan tepatnya pada akhir
Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa          Dinasti Amawiyyah, yang murni berasal dari
Arab pada periode ‘Abbāsiyyah (Haddārah,           tradisi kesusastraan Arab. Dalam konteks ini,
1963: 91). Adapun India, tidak banyak berbeda
dengan Persia dan Yunani, juga telah mengenal
puisi didaktis yang mengandung muatan
ilmu pengetahuan tentang ilmu hitung dan
astronomi (Haddārah, 1963: 355).
     Melihat kenyataan adanya kontak
kebudayaan antara bangsa Arab dengan bangsa-
bangsa lain di atas, bukan sesuatu yang aneh jika
                                                   Edisi Budaya | 325
¬aif mendasarkan argumennya atas temuan          oleh para ilmuwan dalam bentuk puisi yang
bahwa pada akhir Dinasti Amawiyyah telah         dikenal dengan sebagai manẓūmah atau naẓm.
ada beberapa matn tentang bahasa yang ditulis
oleh Ru’bah, seorang ahli bahasa, dalam bentuk        Pertumbuhan dan perkembangan nazam
naẓm dengan metrum rajaz. Menurut ¬aif           pada masa Abbasiyah yang berkaitan erat
(1987: 317-318), kemampuan Ru’bah dalam          dengan perkembangan lembaga penddidikan
menyusun matn kebahasaan dalam bentuk            Islam mengingat fungsinya sebagai sarana
puisi tersebut membuat kalangan linguis pada     menyampaikan ilmu pengetahuan yang
masa Amawiyyah, seperti Abul Faraj, Abu ‘Amr     ditandai dengan banyaknya materi ilmu
bin ‘Ala’, dan Yūnus menghormatinya.             pengetahuan yang ditulis dalam bentuk nazam
                                                 tampaknya juga terjadi di kawasan Nusantara.
     Bertolak dari temuan di atas, ¬aif (1987:   Dalam konteks ini, nazam juga digunakan
319) melihat bahwa sejumlah teks yang            untuk sebagai sarana menyampaikan ilmu
disusun oleh Ru’bah itu merupakan matn           pengetahuan yang diajarkan di berbagai
tentang bahasa dalam bentuk puisi yang tidak     lembaga pendidikan Islam di Nusantara. Oleh
untuk mengungkapkan kebutuhan emosional          karena itu, tidak mengherankan jika lembaga-
dan rasional penyairnya, tetapi justru untuk     lembaga pendidikan Islam di Nusantara,
memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh          seperti pesantren, dayah, dan surau, juga
lembaga pendidikan dan pengajaran bahasa.        menggunakan kitab-kitab dalam bentuk
Dengan demikian, menurut, ¬aif, matan-matan      nazam sebagai materi kajiannya sampai
berbentuk rajaz itu, atau yang disebut sebagai   sekarang. Kitab-kitab berbentuk nazam
urjūzah, merupakan asy-syi‘r at-ta‘līmī pertama  tersebut mencakup kitab-kitab mengenai
yang ditulis dalam bahasa Arab. Lebih jauh lagi  akidah, syariah, dan ilmu alat serta balagah
¬aif (1987:323) menyimpulkan bahwa urjūzah       (retorika). Kitab-kitab berbentuk nazam
yang ditulis oleh Ru’bah pada masa Dinasti       tersebut biasanya dihafalkan oleh para
Amawiyyah itulah yang menginspirasi penyair-     santri, dan pada momen tertentu diadakan
penyair ‘Abbāsiyyah dalam menazamkan puisi       pembacaan nazam secara masal sehingga
didaktisnya.                                     dikenal dengan nazaman.
     Secara historis, perkembangan asy-syi‘r          Hal yang menarik,ulama-ulama
at-ta‘līmī yang pesat pada masa ‘Abbāsiyyah itu  Nusantara tidak hanya menggunakan kitab-
bukanlah tanpa sebab, namun juga didukung        kitab berbentuk nazam untuk diajarkan di
oleh situasi kehidupan sosial intelektual pada   pesantrennya, tetapi sebagian di antaranya
periode ‘Abbāsiyyah. Sebab, seiring dengan       juga mampu mengarang kitab sendiri dalam
kemajuan kehidupan sosial-intelektual            bentuk nazam, yang sebagian ditulis dalam
yang dicapai oleh umat Islam pada periode        bahasa Arab dan sebagian lain ditulis dalam
‘Abbāsiyyah, berbagai lembaga pendidikan         bahasa lokal. Dalam konteks Aceh, nazam
yang mengkaji dan mengembangkan berbagai         disebut sebagai nalam yang ditulis dalam
ilmu pengetahuan pun bermunculan (¬aif,          bahasa Melayu dengan fungsi yang sama
t.t.:98-108). Dalam situasi seperti itu,         dengan fungsi nazam di dunia Arab-Islam,
kebutuhan terhadap adanya metode yang            yakni sebagai media menyampaikan ilmu
efektif untuk kepentingan pengajaran             pengetahuan agama. Ilmu-ilmu pengetahuan
mengenai berbagai ilmu pengetahuan menjadi       yang ditlis dalam bentuk nalam untuk
terasa mendesak. Oleh karena itu, sejalan        diajarkan di pesantren-pesantren di Aceh
dengan kedudukan puisi dalam kehidupan           lainnya juga mencakup akidah, syariah, dan
orang Arab yang memang sangat penting, syi‘ir    akhlak. Sementara itu, untuk kawasan Jawa,
menjadi salah satu alat untuk menyampaikan       nazam tetap disebut dengan nazam, meskipun
pengajaran kepada pelajar Haddārah (1963:        bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa,
356). Dengan demikian, tidak mengherankan        dengan fungsi yang sama dengan nazam Arab.
jika pada periode ‘Abbāsiyyah berbagai ilmu      Sejauh sumber-sumber tekstual yang ada,
pengetahuan sebagian di antaranya ditulis        Kiai Ahmad ar-Rifai Kalisalak (1786-1870)
326 | Ensiklopedi Islam Nusantara
dapat disebut sebagai kiai pesantren Jawa     nazam melalui pengajaran ilmu arudh sebagai
yang pertama kali mengarang kitab berbentuk   ilmu yang mengkaji prosodi puisi Arab dan
nazam dalam bahasa Jawa, yang dikenal         balaghah sebagai ilmu yang, antara lain,
sebagai kitab tarajjumah.                     membahas stilistika Arab. Di samping faktor
                                              talenta, berbekal ilmu-ilmu tersebut tidak
     Kemampuan ulama Nusantara dalam          mengherankan jika ulama Nusantara mampu
mengarang kitab dalam bentuk nazam tentu      mengarang kitab berbentuk nazam, baik dalam
tidak dapat dilepaskan dari materi pengajian  bahasa Arab maupun maupun bahasa lokal.
dan pengkajian di pesantren yang memang
membekali para santri kemampuan mengarang                                                               [Adib M Islam]
                                            Sumber Bacaan
Ibnu Khaldūn. al-Muqaddimah, t.t., hlm. 662-668; as-Sāyib, Ushul an-Naqd al-Adabi, 1964, hlm. 41; Farūkh, Tarikh al-Adab
         al-‘Arabi, 1981, hlm. 44.
At-Tunji, al-Mu’jam al-Mufassal fil Adabi, 1993,
At-Tunji, al-Mu’jam al-Mufassal fil Adabi, 1993,.
Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufassal fil ‘Arudh wa al-Qafiyah , 2010,
Braginsky, On the Qasida and Cognate the Potry in the Malay-Indonesian World, 1996,.
A. Teeuw, Indonesia antara Kelisanan dan Keberakasaraan. 1994, hlm. 50-51
Braginsky, Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-9, 1988,
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusatraan Melayu Klasik, 2011,
Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat, 1988,; Muzakka, Singir sebagai Karya Sastra Jawa, 2002,
                                              Edisi Budaya | 327
Ngabsahi
Ngesahi, ngabsahi atau maknani                  Biasanya kiai akan menerjemahkan kitab
          adalah tiga istilah berbeda dengan    secara perlahan, kata demi kata sesuai
          satu maksud yang sama. Ketiganya      dengan aturan gramatikal bahasa Arab. Untuk
merupakan istilah yang digunakan di pesantren   selanjutnya menerangkan secara bebas isi
Jawa untuk menandai tata cara pemberian         kandungan itu menggunakan bahasa daerah
makna terhadap teks berbahasa Arab dalam        masing-masing. Sementara itu santri dengan
kitab kuning (lihat entri kitab kuning) dengan  seksama menyimak dan memperhatikan
menggunakan bahasa lokal masing-masing          keterangan kiai dan mencatatnya sesuai
daerah. Di pesantren sunda istilah ini disebut  dengan apa yang disampaikan. Dari sistem
dengan ngalogat.                                bandongan ini diharapkan santri memahami
                                                kandungan teks secara menyeluruh, kata
     Dalam praktinya ngabsahi merupakan         demi kata serta memiliki kepekaan praktis
kegiatan seorang santri memberi makna dan       terhadap kaidah-kaidah gramatikal bahasa
keterangan dalam kitab kuning yang berbahasa    Arab. Dalam kesempatan ini kegiatan maknani
Arab berdasarkan pada keterangan seorang        dapat diartikan dengan membubuhkan makna
kiai dengan menggunakan bahasa lokal demi       oleh santri terhadap teks bahasa Arab sesuai
mendapatkan pemahaman yang sempurna.            keterangan yang diperoleh dari kiai sekaligus
Dalam proses ngabsahi selalu mengandaikan       belajar menerapkan kaidah gramatikal bahas
dua pihak yang saling aktif antara kiai yang    Arab secara langsung.
memberikan keterangan secara ferbal dan
santri sebagai pendengar yang aktif menyerap         Tradisi ngabsahi ataupun maknani lengkap
dan merubah keterangan tersebut menjadi         dengan rumus dan kodenya ini merupakan
bentuk tulisan yang diletakkan di bawah         warisan turun temurun dari para leluhur di
teks Arab dengan menggunakan rumus dan          lingkungan pesantren semenjak zaman Sunan
kode tertentu yang telah disesuaikan dengan     Ampel mendirikan pesantren di Surabaya pada
kaedah gramatikal bahasa Arab. Tulisan inilah   abad ke 16 M hingga menyebar ke seluruh
yang kemudian disebut dengan makna gandul       pelosok negeri. Saifuddin Zuhri (1987:32)
atau makna jenggot, artinya makna lokal yang    menjelaskan betapa hal ini mempersatukan
ditulis bergelantungan di bawah teks Arab       pola berpikir para santri dari Jawa Timur,
sebagaimana rambut jenggot yang menempel        Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan, Nusa
pada dagu.                                      Tenggara Barat, Sumatera, Sulawesi, hingga
                                                maluku semua menggunakan sistem yang
     Dengan demikian ngabsahi (juga maknani     seragam. Tentunya disertai fariasi kelokalan
ataupun ngalogat) berhubungan erat dengan       yang berbeda-beda.
sistem pembelajaran di pesantren yang
disebut dengan bandongan. Bandongan adalah           Rumus dan kode ini telah dicetak dan
sistem pengajaran dengan mengumpulkan           tersebar luas di pesantren, sebagaimana yang
sejumlah santri untuk mendengarkan              telah dilakukan oleh penerbit dan toko kitab
seorang kiai membaca, menerjemahkan,            Al-Hidayah Tulung agung (lihat gambar 1).
menerangkan dan mengulas isi kitab-kitab        Secara ringkas di terangkan di sini adalah
berbahasa Arab (lihat entri bandongan).         sebagai berikut:
328 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Para santri sedang ngabsahi hingga di luar gedung.
     Huruf  ﻡ: menunjukkan kata utawi artinya            Huruf  ﺵ: menunjukkan kata
bermula (kedudukan gramatikalnya mubtada’)          kelakuan artinya kelakuan (kedudukannya
                                                    Sya’n)
     Huruf  ﺥ: menunjukkan kata iku artinya
itu (kedudukannya khobar)                                Huruf  ﻣﻂ: menunjukkan kata kelawan
                                                    artinya dengan (kedudukannya maful mutlak)
     Huruf  ﺝ: menunjukkan kata mongko
artinya maka (kedudukannya jawab)                        Huruf  ﰎ: menunjukkan kata apane
                                                    artinya apanya (kedudukannya tamyiz)
     Huruf  ﺣﺎ: menunjukkan kata hale
atau tingkahe artinya halnya (kedudukannya               Huruf  ﻅ: menunjukkan kata
hal)                                                ingdalem artinya pada (kedudukannya zhorof)
     Huruf  ﻉ: menunjukkan kata kerono                   Huruf  ﻧﻒ: menunjukkan kata ora
artinya karena (kedudukannya ta’lil)                artinya tidak (kedudukannya nafiyah)
     Huruf  ﻍ: menunjukkan kata senajan                  Huruf  ﺱ: menunjukkan kata jalaran
artinya walaupun (kedudukannya ghoyah)              artinya karena (kedudukannya sababiah)
     Huruf  ﻓﺎ: menunjukkan kata sopo artinya            Huruf  ﺹ: menunjukkan kata kang
siapa (kedudukannya fail aqil)                      atau sing artinya yang (kedudukannya shifat)
     Huruf  ﻑ: menunjukkan kata opo artinya              Huruf  ﺑﺎ: menunjukkan kata bayane
apa (kedudukannya fail ghoiru aqil)                 (artinya kondisinya (kedudukannya bayan)
     Huruf  ﻣﻒ: menunjukkan kata ing                     Selain berfungsi untuk menunjukkan
artinya pada (kedudukannya maful bih)               posisi gramatikal dalam bahasa Arab, rumus
                                                    di atas juga sangat membantu para santri
     Huruf  ﻧﻒ: menunjukkan kata sopo,              meringkas tulisan. Mengingat ketersediaan
opo, siapa artinya apa (kedudukannya naibul
fail)
                                                    Edisi Budaya | 329
ruang yang sangat sempit dan keterangan         bisa dipungkiri bahwa pesantren memiliki
yang sangat luas. Karena itulah untuk           tradisi pemahaman teks yang sangat kuat.
mempermudah penulisan digunakan alat            Teks berbahasa Arab yang terdapat dalam
tulis dengan ujung yang sangat runcing yang     kitab kuning menjadi fokus utama santri
dapat menghasilkan tulisan sekecil mungkin.     dan kiai. Teks menjadi objek paling penting
Untuk keperluan ini, para santri zaman dahulu   untuk dikaji. Karena teks menyimpan makna
biasanya menggunakan pen tutul. Yaitu sejenis   dan pengetahuan yang mengatur hidup
pena dengan ujung sangat runcing yang terbuat   seorang muslim dengan sesama manusia dan
dari kuningan atau besi dengan tintanya yang    menuntunnya menuju Allah swt.
terpisah. Namun sekarang ini para santri dapat
menggunakan bolpoin modern dengan ujung              Hingga kini tradisi ngesahi, ngabsahi,
tinta sangat runcing sesuai dengan ukuran       maknani ataupun ngalogat masih tetap ada
yang dikehendaki (lihat gambar 1).              di pesantren. tentunya dengan berbagai
                                                perubahan sistem dan tatacara serta media. Hal
     Dengan demikian ngabsahi menjadi           ini menjadi bukti betapa tingginya kecintaan
wahana peralihan sebuah pengetahuan dari        orang pesantren dengan ilmu pengetahuan
kiai kepada santri. Kiai yang telah memiliki    serta pentingnya dokumentasi terhadap
kecakapan dalam memahami teks Arab              medium pengetahuan baik itu berupa naskah,
berusaha menularkan pemahamannya                karya dan juga orang-orang yang terlibat di
kepada santri. Sebagaimana dahulu ia            dalamnya.
mendapatkannya dari kiainya. Dalam hal tidak
                                                                                                           [Ulil Hadrawi]
                                            Sumber Bacaan
Saifuddin Zuhri, 1983. Berangkat dari Pesantren.
Ahmad Hifni Al-Manduri. Tanpa tahun. Kaifiyat Al-Ma’ani bi Al-Ikhtishar. Tulungagung: Toko Kitab Al-Hidayah.
Martin van Bruinessen, 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS
330 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Ngelmu
Ngelmu merupakan turunan dari                  diklasifikasikan dalam lima kategori pokok.
          kata Arab ilmu. Berbeda dengan       Bagi orang Jawa, masyarakat dibagi ke dalam
          pengertian ilmu dalam bahasa Arab    lima bagian berdasarkan empat arah mata
yang menunjukkkan pengetahuan dalam            angin dan titik pusatnya. Lima bagian itu
arti umum, ngelmu merupakan pengetahuan        merupakan lima kategori pokok dalam asas
mengenai hal-hal yang gaib dan kekuatan-       asosiasi prelogik. Klasifikasi berdasarkan
kekuatan supranatural. Dalam kebudayaan        arah mata angin dan titik pusatnya tersebut
Jawa, ngelmu merupakan bagian dari sistem      meresap dalam jiwa orang Jawa. Oleh karena
religi. Dilhat dari cara melakukannya, ngelmu  itu, ada anggapan bahwa ada kaitan yang
memerlukan sikap tertentu dalam menghadapi     erat antara berbagai gejala yang tampak yang
kekuatan-kekuatan gaib, sehingga berbeda       terjadi secara bersamaan karena adanya
dengan religi. Jika dalam upacara religi       kemiripan bentuk dan warna, meskipun
orang yang melakukannya mengambil sikap        berbeda satu dengan lainnya dalam prinsip
penyerahan diri secara total kepada Tuhan      dan fungsinya. Oleh karena itu, dalam praktik
dan melakukan permohonan kepada-Nya agar       ngelmu gaib, dapat dipahami bahwa sebuah
segala hajat terkabu, maka dalam ngelmu orang  nasi tumpeng dan gunung memiliki kaitan
yang mengamalkannya berusaha mencapai          yang erat karena kemiripan bentuknya; padi
suatu tujuan dengan cara aktif, yakni dengan   yang sudah masak yang warnanya kekuning-
cara menganggap bahwa ia mampu melakukan       kuningan memiliki kaitan erat dengan emas
manipulasi dan pengendalian berbagai           daun karena kesamaan warnya.
kekuatan gaib. Dalam praktiknya, sang pelaku
atau pengamal mengunakan mantra-mantra              Dasar berpikir prelogik orang Jawa dapat
tertentu mencapai tujuannya.                   menjadikan orang yang buta huruf meyakini
                                               bahwa tindakan-tindakan yang mirip atau
     Dalam kebudayaan Jawa, diyakini ada       serupa dengan sendirinya memiliki kaitan
hubungan yang saling berkaitan antara          sebab-akibat. Oleh karena itu, tindakan
berbagai unsur dalam alam, lingkungan sosial,  meniru sesuatu merupakan cara untuk
dan spiritualitas manusia. Untuk menjalin      mencapai keadaaan yang diharapkan; dalam
hubungan dengan alam dan lingkungannya,        hal ini berbagai upacara ilmu gaib yang sifatnya
orang yang menjalankan ngelmu harus            meniru seringkali dilakukan oleh orang Jawa.
berpegang pada sistem klasifikasi simbolik     Bagi orang Jawa, ada keyakinan bahwa dalam
yang dimiliknya berdasarkan asas asosiasi      tubuh tertentu manusia, binatang, tumbuh-
prelogik.; dalam hal ini berbagai hal yang     tumbuhan, benda-benda keramat, seperti
terdapat dalam lingkungan sosail dan budaya,   pusaka dan jimat, ada kekuatan-kekuatan sakti
seperti organ tubuh, sifat-sifat kepribadian,  (kasekten). Selain itu, kekuatan-kekuatan sakti
kondisi perasaan, hari-hari pasaran, makanan   juga dapat dipancarkan melalui suara-suara
dan minuman, keselamatan, pekerjaaan,          atau bunyi-bunyian tertentu yang memiliki
planet dan benda-benda runag angkasa           sifat gaib, seperti japa mantra, dan bahkan
lainnya, serta makhluk-makhluk gaib lainnya    melalui kutukan (sepata).
                                               Edisi Budaya | 331
Dalam pandangan orang Jawa, kekuatan-      positif, yang dgunakan untuk kebaikan
kekuatan sakti itu bisa mengandung aspek        masyarakat luas. Meskipun demikian, ngelmu
positif dan bisa juga mengandung aspek          gaib protektif juga mengandung unsur-unsur
negatif. Meskipun demikian, ada juga kekuatan   yang sifatnya pribadi sebagai private magic,
sakti yang memang khusus positif, seperti       seperti kebiasaan memelihara binatang,
pulung, wahyu, dan ndaru, dan kekuatan sakti    memelihara benda-benda pusaka, dan
yang memang khusus negatif, seperti guntur      perhiasan, dan batu-batuan yang berkhasiat.
dan teluh braja.                                Lebih dari itu, ngelmu mengeni penyembuhan
                                                dan pengobatan merupakan yang pengetahuan
     Dilihat dari penggunaannya, dalam          terpenting.
kebudayaan Jawa ngelmu gaib mempunyai
empat fungsi dan tujuan yang berbeda-beda:                 Berbeda dengan ilmu gaib produktif
menghasilkan sesuatu, melindungi sesuatu,       dan protektif yang sifatnya positif, ilmu gaib
menyakiti atau menghancurkan sesuatu,           desktruktif sifatnya negatif karena dapat
dan meramal masa depan. Oleh karena itu,        membahayakan dan merugikan orang lain.
berdasarkan empat fungsi tersebut, ngelmu       Biasanya pelaku ngelmu gaib desktruktif
gaib dalam kebudayaan Jawa dapat dibedakan      adalah para dukun, sementara yang menjadi
menjadi empat jenis: ilmu gaib produktif, ilmu  korbannnya adalah saingan dan musuh,
gaib protektif, ilmu gaib destruktif, dan ilmu  tetangga atau sahabat yang dianggap
gaib peramal masa depan.                        mengancam kepentingan pelaku atau
                                                pengguna jasa ngelmu gaib desktruktif.
     Ilmu gaib produktif merupakan ngelmu
yamh dimaksudkan untuk menghasilkan                       Ilmu meramal dalam kebudayaan
sesuatu yang positif, seperti untuk kesuburan,  Jawa disebut sebagai ilmu petangan. Pelaku
panen yang lebih baik, dan mendatangkan         ilmu gaib jenis ini adalah dukun yang memiliki
hujan. Untuk memenuhi tujuan tersebut,          kemampuan khusus untuk meramal masa
ngelmu gaib produktif tersebut diadakan         depan seseorang melalui teknik-teknik yang
melalui upacara religiomagis secara kolektif    sifatnya universal, seperti melalui perhitungan
dengan mekanisme yang melibatkan teknik-        berdasarkan hubungan antarbintang, letak
teknik yang didasarkan atas asosiasi pikiran    tulang-belulang yang berserakan, jatuhnya
primitif, keyakinan terhadap kasekten dan       usus ayam yang ditaburkan, pengamatan
energi gaib yang timbul akibat pembacaan        terhadap arah terbang dan suara burung.
mantra tertentu.                                Biasanya para peramal Jawa itu menggunakan
                                                buku pegangan yang dikenal dengan primbon.
     Sebagaimana halnya ngelmu gaib
produktif, ngelmu gaib protektif juga bersifat                                                            [Adib M Islam]
                  Sumber Bacaan:
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 1984, hlm. 411
332 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Ngrasul
Secara bahasa Ngrasul berasal dari kata           ingkung; Jawa, ayam bekakak; Melayu), lampu
       Ngrasuk (asal katanya “rasuk” misalnya     senthir dan lain-lain serta bersedekah (selawat)
       “ia dirasuki bangsa halus” yang artinya    berupa sejumlah uang koin yang diletakkan di
“ia diikuti makhluk halus”) dan Rasul yakni       dalam mangkok berisi air.
Nabi Muhammad SAW. Ngrasul termasuk jenis
ritual dalam kategori niat dan do’a, seperti           Ngrasul merupakan bagian dari tradisi
halnya tolak balak/tolak bilahi, dan sebagainya.  Kenduri (Kanduri; Persia) yaitu upacara makan
                                                  bersama yang dihadiri handai taulan, saudara,
      Sebagai contoh Ngrasul untuk “niatan        tetangga dan kerabat, yang diantara mereka
selamatan” bagi seseorang yang memiliki wuku      terdapat pemimpin doa dari unsure kiai, ustadz,
Warigagung, Pahang, dan Matkal. Wuku sendiri      tokoh masyarakat, atau orang yang dituakan.
adalah nama sebuah kesatuan waktu dalam           Permohonan doa yang dipanjatkan bertujuan
7 hari yang terdiri dari 30 pekan (wuku). Ide     meminta keselamatan dan dikabulkannya
dasar perhitungan wuku ialah bertemunya           suatu permintaan yang diinginkan. Perbedaan
dua hari dalam system pancawara (pasar) dan       Ngrasul dengan Kenduri pada umumnya
saptawara (pekan) menjadi satu, misalnya          adalah pada aspek do’a khusus yang dibacakan,
Sabtu-pon dalam wuku Wugu.                        Niat atau hajat yang dipanjatkan, tempat
                                                  yang digunakan, dan seperangkat uga-rampe
      Wuku digunakan di Jawa dan Bali sebagai     atau seperangkat barang dan makanan yang
perlambang dari sifat-sifat manusia yang          dikeluarkan.
dilahirkan pada hari-hari tertentu, seperti
halnya horoskop atau perbintangan. Menurut             Ngrasul dapat dipandang sebagai
kepercayaan tradisional Jawa dan Bali orang       pemahaman dan pengamalan sinkretisme
yang lahir pada hari dan pasaran tertentu dan     beragama orang-orang di Pulau Jawa
jatuh pada wuku tertentu pula, ia terdapat        sesudah berpindah agama dari Hindu ke
hari nahasnya. Agar diberikan keselamatan,        Islam. Ritual ini masih dipraktikkan sampai
orang-orang yang punya wuku Warigagung,           sekarang di daerah-daerah se pulau Jawa.
Pahang, dan Matkal perlu diruwat dengan           Misalnya di Tretep Temanggung Jawa Tengah
mengeluarkan seperangkat uga-rampe atau           dengan sebutan Mule Ngrasul yang berarti
seperangkat barang dan makanan yang sudah         “Memulai mengikuti Rasulullah”. Di kalangan
ditentukan, dan selawat (sedekah berupa uang)     masyarakat Betawi juga dikenal Ngrasul yang
yang juga telah ditentukan, dengan bacaan         dilaksanakan pada saat akan mengadakan
do’a khusus berupa Ngrasul.                       hajatan dan dilakukan di tempat penyimpanan
                                                  bahan pokok untuk resepsi.
      Jadi, Ngrasul adalah upacara ritual dengan
mantra dan do’a-do’a khusus yang tujuannya             Sebagai warisan budaya, nilai-nilai
memohon keselamatan melalui perantaraan           yang lama tetap dijunjung tinggi akan
Rasul yakni Nabi Muhammad SAW dengan              tetapi medianya digantikan sesuai dengan
seperangkat uga-rampe berupa bunga, nasi          kepercayaan yang baru. Dalam hal ini,
tumpeng, nasi Golong (dikepal sehingga            memohon keselamatan melalui perantara
membentuk bulat) daging ayam utuh (ayam           Rasulullah Saw dengan cara Ngrasul adalah
                                                  cara “islamisasi” meminta perlindungan dari
                                                  Edisi Budaya | 333
“ruh leluhur” yang masih tetap dipertahankan.   masa hidupnya akan mengambang dan sirna
Hanya saja penyebutan nama-nama leluhur         terbawa arus kematian.
dalam Ngrasul diniatkan untuk kirim doa
kepada leluhur, bukan meminta sesuatu                Ayam Ingkung yakni ayam utuh yang
kepada orang yang sudah meninggal dunia.        tidak dipotong-potong yang dibentuk seperti
                                                posisi perempuan yang sedang sujud. Dari
     Begitu pula penggunaan perangkat           kata “Ingsun manekung” (aku berdoa dengan
ritual, seperti nasi tumpeng, nasi golong/sega  khidmat), Ingkung ditandai sebagai ungkapan
asahan/ambeng, ayam Ingkung, Pisang Raja        seseorang yang bermunajat kepada Allah
sesisir, uang selawat, bunga wewangian, dan     dengan penuh harap dan rendah hati.
lain-lain sebagai islamisasi menu hidangan
Kenduri keperpayaan agama sebelumnya,                Sedangkan sesisir Pisang Raja berwarna
yakni berupa daging (mamsa), ikan (matsya),     kuning dimaknai kemuliaan hidup dapat
minuman keras (madya), layanan seksual          terealisasi jika manusia selalu dekat dengan
(maithuna) dan Samadhi (mudra) atau biasa       Allah Swt., seperti berdekatannya buah pisang
disebut Panca Makara.                           satu dengan lainnya. Adapun selawat berupa
                                                uang koin yang ditaruh didalam mangkok
     Nasi tumpeng dalam kepercayaan             berisi air mengandung filosofi bahwa materi
orang Hindu dilambangkan sebagi gunung          dunia yang disimbolkan dengan uang koin
Mahameru tempat suci para Dewa dan              harus diperoleh dengan cara yang bersih dan
Brahmana. Tapi dalam kepercayaan orang          halal sebagaimana air yang ada dalam wadah
Islam digambarkan sebagai dua telapak tangan    mangkok.
yang merapat untuk memohon kepada Allah
Yang Maha Esa. Dari bahan dasar nasi putih           Secara umum, berdasarkan bentuk ritual
dimaknai keikhlasan dan kesucian manusia        dan materi yang digunakannya tampak ada
yang berhajat kepada Allah.                     kaitan dengan apa yang diajarkan Rasulullah
                                                Saw terutama mengenai bersedekah dan
     Nasi golong/sega asahan (ambeng) yaitu     berbagi kepada orang lain. Oleh sebab itu ritual
nasi yang dikemas berbentuk bulat. Sesuai       ini disebut Ngrasul dengan maksud mengikuti
nama ambeng (ngambang), ini mencerminkan        ajaran Nabi Muhammad Saw.
kehidupan manusia sesudah meninggal
dunia bahwa hasrat dan keinginan sewaktu                                                                    [Ishom Saha]
                                            Sumber Bacaan
Abimanyu, Petir, Mistik Kejawen, Yogjakarta: Palapa, 2014
Bidiono, Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogjakarta: Haninidita Graha Widia, 2005
Geertz, Clifford, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981
Jamil, dkk., Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gema Media, 2002
Sutardjo, Imam, Kajian Budaya Jawa, Surakarta: Jurusan Sastra Daerah UNS, 2010
Pranowo, “Menyingkap Tradisi Besar dan Tradisi Kecil” dalam Majalah Pesantren, No. 3 Vol. 4, 1987
334 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Nyadran
Nyadran adalah suatu sistem tradisi             sesaji menempati posisi yang sangat penting.
          yang kompleks dan mengandung
          berbagai unsur ritual yang dianggap        Dalam kultur Jawa, nyadran atau sadran
penting menurut pengetahuan turun temurun       berkaitan erat dengan tradisi mengunjungi
dari suatu masyarakat yang meliputi sesaji,     makam leluhur atau sanak saudara menjelang
do’a, makan bersama dan prosesi. Bentuk ritual  datangnya bulan Ramadhan, yaitu bulan
yang dilaksanakan sangat tergantung pada        ruwah atau sya’ban dalam kalender hijriah.
latar belakang budaya dan sejarah komunitas     Pada sebagian komunitas masyarakat, nyadran
yang bersangkutan. Di sejumlah daerah           berpusat pada aktivitas ziarah kubur, yang
pesisir, nyadran cenderung berbentuk sedekah    merupakan ritual berupa penghormatan
atau pesta laut atau persembahan kurban,        kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan
sedangkan di daerah pedalaman, nyadran          doa selamatan.
hadir dalam ritual mengunjungi makam atau
kuburan para leluhur.                                Seiring dengan gelombang Islamisasi
                                                di tanah Jawa, nyadran seringkali dikaitkan
      Dalam tradisi nyadaran, terlihat          dengan kata sodrun, yang dalam bahasa Arab
transformasi budaya lama ke dalam bentuk        berarti dada atau hati. Pemahaman ini boleh
dan pemaknaan budaya baru dimana pengaruh       jadi berhubungan dengan upaya masyarakat
Islam baik secara perlahan maupun singkat       Muslim untuk membersihkan hati menjelang
meresap ke dalam entitas kultural yang terus    bulan Ramadhan. Nyadran juga sering
menerus mencari bentuknya.                      dikaitkan dengan istilah nadzar, yaitu janji
                                                yang diikrarkan dan harus dipenuhi.
      Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta,
sraddha yang artinya keyakinan atau             Asal Usul
kepercayaan. Makna lain dari nyadran adalah
sadran, berasal dari kata ‘sudra’ sehingga           Dalam sejumlah literatur, tradisi nyadran
nyadran berarti menyudra atau menjadi sudra     dianggap berasal dari tradisi Hindu-Budha.
atau berkumpul dengan orang-orang awam. Hal     Zoetmulder memperkirakan bahwa nyadran
ini mencerminkan nilai-nilai kultural bahwa     muncul sejak zaman Majapahit ketika
berbaur dengan orang-orang kelas bawah          masyarakat melakukan upacara mengenang
menjadi anjuran agama yang dilembagakan         wafatnya Tribuana Tungga Dewi, penguasa
dalam ritual rakyat yang mengkondisikan         ketiga Kerajaan Majapahit, pada tahun 1352
suasana komunal yang mencairkan perbedaan       M. Penelusuran lebih awal menemukan bahwa
kelas dan status sosial. Dalam bahasa Jawa,     nyadran telah dipraktekkan pada zaman
nyadran diduga berasal dari kata sadran yang    Majapahit dengan istilah craddha. Praktek ini
artinya sesaji. Karena dalam pelaksanaannya,    diperkirakan berlangsung sekitar tahun 1284
                                                Edisi Budaya | 335
M. Ritual craddha menggunakan puji-pujian           Unsur do’a dalam tradisi nyadran menjadi
dan sesaji dalam prosesinya. Masyarakat        penanda Islamisasi budaya lokal karena do’a
pada saat itu percaya bahwa para leluhur       yang dipanjatkan menggunakan do’a cara
yang telah meninggal, dapat mempengaruhi       agama Islam dengan berbahasa Arab. Selain itu,
kehidupan anak cucu atau keturunannya,         seringkali bacaan ayat Al-Qur’an dan kalimat-
mengganggu ataupun berhubungan dengan          kalimat thoyyibah dilantunkan melengkapi
sanak keluarganya.                             ritual do’a. Sebagian orang mempraktekkan
                                               tahlil, yaitu formula bacaan tertentu yang
     Ritual nyadran tetap menjadi tradisi      terdiri atas pujian, shalawat dan bacaan-
masyarakat Jawa setelah Walisongo melakukan    bacaan tertentu dari ayat Al-Qur’an.
dakwah Islam di nusantara. Strategi khas
walisongo yang akomodatif terhadap budaya           Sebagian masyarakat melakukan prosesi
lokal tidak serta merta menghapus budaya       mandi yang dikenal dengan sebutan padusan.
nyadran yang pada dasarnya berbasis            Ritual ini dimaksudkan untuk membersihkan
pemujaan roh. Para pendakwah sufi tersebut     diri baik aspek lahir maupun batin. Aktivitas
merubah dan menyelaraskan praktek agama        mandi ini biasanya dilakukan di sumber-
lama dengan ajaran Islam. Untuk itu, jalan     sumber air yang disakralkan.
kompromi budaya dilakukan dalam rangka
menarik simpatik masyarakat lokal yang masih        Nyadran yang dipusatkan pada acara
kuat memegang teguh tradisi sambil pelan-      kurban kepala kerbau atau sedekah laut
pelan mengisinya dengan pemaknaan yang         memiliki variasi ritual yang agak berbeda
sesuai dengan ajaran Islam serta unsur-unsur   dengan nyadran mengunjungi makam. Tetapi
ritualnya seperti pembacaan ayat Al-Qur’an,    unsur do’a dan pemaknaan yang lebih Islami
tahlil dan do’a. Makna nyadran mengalami       tetap menjadi bukti Islamisasi budaya yang
pergeseran dari praktik pemujaan kepada        sudah berlangsung selama berabad-abad.
roh leluhur menjadi ritual penghargaan dan
penghormatan kepada leluhur yang dianggap           Praktik nyadran di Cirebon, misalnya,
berjasa dalam proses pembentukan masyarakat    merupakan paket ritual yang terpusat pada
atau penyebaran agama Islam. Nyadran dalam     aktivitas sedekah laut di sejumlah titik muara
perkembangannya dilaksanakan menjelang         sungai yang didahului dengan arak-arakan
Ramadhan. Ritual tahunan ini juga dipahami     atau dikenal dengan ider-ideran (parade tokoh
sebagai bentuk interaksi manusia dengan        dan hewan lokal). Sedekah laut yang disajikan
leluhurnya, sekaligus dengan Sang Maha         dalam sebuah joli (usungan) berisi kepala
Pencipta.                                      kerbau dan aneka makanan untuk dihanyutkan
                                               dan ditenggelamkan di kedalaman tertentu di
Bentuk Ritual                                  lepas pantai. Persembahan tersebut dibawa
                                               dengan sebuah perahu yang dikawal oleh
     Sebagai bagian dari budaya masyarakat     ratusan perahu lain yang dihias dan dilengkapi
Jawa, nyadran diselenggarakan dengan           dengan bendera merah putih. Upacara
melibatkan banyak orang dan cenderung          pelepasan sesajen ini didahului oleh lantunan
menghabiskan biaya yang tidak sedikit.         adzan dan do’a yang menggunakan Bahasa
Nyadran yang berpusat pada ziarah kubur atau   Arab.
makam para leluhur biasanya diikuti dengan
ritual lain seperti kegiatan membersihkan           Parade rakyat yang diselenggarakan
makam, menabur bunga atau wangi-wangian,       terkait dengan nyadran berisi iring-iringan
dan makan bersama (manganan). Sebagian         model dan ikon tokoh lokal serta tiruan atau
masyarakat memeriahkan tradisi nyadran         boneka (ogoh-ogoh) aneka hewan laut yang
dengan berbagai kenduri, pawai atau kirab dan  mencerminkan kehidupan masyarakat pesisir.
pementasan seni tradisional seperti gamelan,   Dalam parade ini, ditampilkan berbagai tokoh
tayuban dan wayang.                            yang terkait dengan sejarah pembentukan
                                               Islam di Cirebon sebagai bentuk perayaan
                                               sekaligus edukasi untuk masyarakat. Iring-
336 | Ensiklopedi Islam Nusantara
iringan berjalan mulai dari Pasambangan Jati      Misalnya saja dalam penyelenggaraan
atau Bukit Amparan menuju ke arah utara           kenduri, besik (membersihkan makam
ke Desa Sirnabaya. Dalam perkembangan             leluhur), penyediaan sesaji, makanan atau
terakhir, ider-ideran dimulai dari Komplek        perlengkapan ritual. Sudah menjadi tradisi
Makam Sunan Gunung Jati menuju arah               masyarakat pada umumnya bahwa ritual yang
selatan hingga bunderan Krucuk Kota Cirebon       mereka selenggarakan menjadi sarana untuk
dan kembali ke tempat semula.                     saling bahu membahu dalam mewujudkan
                                                  kepentingan bersama. Aspek voluntarisme
     Bentuk nyadran yang berisi persembahan       dan solidaritas masih kuat bersemayam dalam
kepala kerbau dengan cara melarung juga           diri masyarakat nusantara. Sehingga mereka
dilakukan oleh komunitas lain di Jawa. Seperti    dengan senang hati melakukan kegiatan
halnya yang dilakukan masyarakat Ngantru,         komunal yang dalam pandangan masyarakat
Trenggalek, Jawa Timur. Pelaksanaan ritualnya     menjadi kegiatan yang membahagiakan.
terdiri dari sejumlah hal seperti penyembelihan
kerbau, penyediaan sesajen, penyelenggaraan            Aspek nyadran yang berorientasi
tahlil massal, pawai tradisional, makan           pada komunikasi dengan arwah leluhur
bersama dan upacara ruwatan dengan                merefleksikan gagasan penghormatan
menyelenggarakan pagelaran wayang kulit.          kepada orang-orang yang telah berjasa
Unsur-unsur ritual dalam nyadran satu daerah      dan berkontribusi besar dalam kehidupan
dengan daerah lainnya memiliki sejumlah           masyarakat. Sikap mental yang masih
persamaan sekaligus perbedaan.                    mengingat dan tidak melupakan peran
                                                  orang-orang tertentu di masa lalu
Aspek Sosial Nyadran                              menunjukkan keluhuran budi antar generasi
                                                  yang dilembagakan dalam tradisi tahunan
     Meskipun nyadran pada awalnya                yang terus menerus dipertahankan. Nilai
merupakan tradisi nenek moyang yang berbasis      kultural ini menjadi sesuatu yang berharga
pemujaan arwah melalui persembahan dan            dalam penanaman nilai-nilai edukatif dan
pembacaan mantera, ritual tradisional ini         pembentukan karakter bangsa. Dengan
dalam perkembangannya bergeser dengan             berlangsungnya tradisi nyadran, penghargaan
pemaknaan yang berbeda. Kehadiran Islam           sosial kepada seseorang tidak hanya pada
telah memalingkan pandangan teologis              waktu mereka masih hidup, tetapi juga setelah
masyarakat sehingga komunikasi orang-             mereka meninggalkan dunia yang fana.
orang yang hidup dengan orang yang sudah
meninggal ditujukan kepada Allah swt, Sang             Aspek komunalisme yang muncul dari
Pencipta dan Pemberi rizki. Walaupun pada         unsur-unsur nyadran seperti do’a bersama,
sebagian kasus tertentu belum sepenuhnya          makan bersama, tradisi ruwatan dengan
terislamisasi, pemaknaan tradisi secara           gamelan dan wayang kulit serta parade
lebih Islami pelan-pelan telah menunjukkan        rakyat menjadi penanda kohesifitas sosial
tanda-tanda yang positif. Terlebih lagi, tradisi  yang penting bagi upaya menjaga persatuan
nyadran ini memiliki dampak sosial yang           dan ketahanan sosial suatu masyarakat.
cukup signifikan terhadap pelestarian budaya      Dengan pelaksanaan nyadran, masyarakat
yang bersifat meneguhkan jati diri sebagai        saling berinteraksi, berkolaborasi, dan saling
masyarakat yang komunal.                          memberi sehingga kegiatan tersebut berfungsi
                                                  memperkokoh sendi-sendi pergaulan dan
     Berbagai jenis tradisi nyadran               hubungan kemasyarakatan dalam bingkai
menunjukkan kecenderungan mobilisasi              kearifan lokal.
massa yang bersifat saling membantu
dengan pola kerjasama yang telah mengakar              Penyediaan makanan khas atau kuliner
dalam budaya masyarakat dan hampir                lokal dalam kenduri atau slametan yang menjadi
berlangsung secara mekanik dalam gerakan          bagian tradisi nyadran seringkali menyiratkan
yang dikenal dengan gotong royong.                makna filosofis yang memberikan nilai
                                                  edukatif dan ikhtiar menciptakan keselarasan.
                                                  Edisi Budaya | 337
Keberadaan tumpeng (nasi berbentuk gunung),   berarti permohonan ampun jika melakukan
misalnya, melambangkan sebuah pengharapan     kesalahan. Kemenyan merupakan sarana
kepada Tuhan agar permohonan terkabul.        permohonan pada waktu berdoa. Bunga,
Ingkung (ayam yang dimasak utuh) bermakna     melambangkan keharuman do’a yang keluar
kepolosan manusia ketika masih bayi yang      dari hati yang tulus. Seluruh gagasan filosofis
belum mempunyai kesalahan. Pisang raja        tersebut bermuara pada upaya mewujudkan
melambangkan suatu harapan supaya kelak       keselarasan manusia dengan Tuhan dan alam
hidup bahagia. Kombinasi unsur ketan, kolak,  semesta.
dan apem, merupakan satu-kesatuan yang
                                                                                                             [Hamdani]
                                            Sumber Bacaan
Kastolani dan Abdullah Yusof, “Relasi Islam Dan Budaya Lokal Studi Tentang Tradisi Nyadran di Desa Sumogawe
         Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang,” Kontemplasi, Vol. 04, No. 01, Agustus 2016.
Partokusumo, Karkono Kamajaya, Kebudayaan Jawa, perpaduannya dengan Islam, Yogyakarta : Ikatan Penerbit
         Indonesia, 1995.
Purwadi, Sejarah Walisongo, Yogyakarta: Ragam Media, 2009.
Subarman, Munir, “Pergumulan Islam Dengan Budaya Lokal di Cirebon (Perubahan Sosial Masyarakat Dalam Upacara
         Nadran di Desa Astana, Sirnabaya, Mertasinga, Kecamatan Cirebon Utara)”, Holistik, Vol. 15, No. 02, 2014.
Suyitno, Widiyanto Tri, 2001, Jalan Membebaskan Leluhur dari Alam Menderita, Yogyakarta:Vihara Karangjati.
Zoetmulder, Petrus Josephus, Kalangwan: a survey of old Javanese Literature, 1974.
338 | Ensiklopedi Islam Nusantara
O
Omah-Omah
Omah-Omah
Salah satu fase kehidupan sebagai penanda       makna omah tereproduksi sehingga
       kesempurnaan seseorang dalam bersosial   meneguhkan kesadaran bahwa omah adalah
       adalah omah-omah (berumah tangga)        ruang yang paling diakrabi oleh setiap
yang ditandai dengan proses pernikahan          keluarga. Maka salah satu penanda seseorang
(mantènan). Bagi orang Jawa dan bisa jadi       yang sudah berumah tangga (omah-omah)
dalam berbagai suku bangsa di nusantara,        dianggap mulai mapan harus memenuhi
omah-omah atau mantènan (berumah tangga)        trilogi kebutuhan dasar yang meliputi sandang,
adalah klimaks dari trilogi ritus kehidupan     pangan dan papan (kebutuhan pakaian, pangan,
yang meliputi, metu, mantèn, mati, atau lahir,  dan tempat tinggal). Di sinilah omah begitu
nikah, mati (Santoso, 2000: 118; Said, 2012:    urgen bagi setiap orang yang menginginkan
1).                                             kesempurnaan minimal dalam berumah
                                                tangga (omah-omah).
Penelusuran Istilah Omah
                                                Makna dan Kontekstualisasi Omah
      Istilah omah-omah dari bahasa Jawa
omah. Kata omah sendiri merupakan bagian             Dalam kehidupan keluarga, omah (rumah)
dari bahasa Jawa tingkat terendah, ngoko,       tidak sekedar sebagai tempat “omah-omah”
yang dengannya biasanya orang-orang Jawa        (berumah tangga) dan berlindung dari panas
berpikir dan mengekpresikan secara spontan      dan dingin, tetapi omah merupakan suatu
tentang tempat tinggal. Dari kata omah          konsep orang Jawa dalam mengaktualisasikan
berkembang dalam menunjukkan makna              diri baik secara pribadi maupun sosial sehingga
terkait kerumahtanggaan, seperti ngomahakè      mencerminkan konsep budaya berhuni (Said,
(membuat kerasan atau menjinakkan),             2012: 2). Mendirikan rumah dalam tradisi
ngomah-ngomahakè (menikahkan), omah-omah        Jawa memerlukan persiapan lahir maupun
(berumah tangga), pomahan (pekarangan           batin secara matang. Maka orang Jawa bilang,
rumah), somah (rumah tangga), sèmah             “tiyang ngedegake griya punika kados dene
(pasangan satu rumah).                          tiyang gadhah damel mantu” (orang mendirikan
                                                rumah itu bagai orang yang akan punya gawe
      Omah juga menunjukkan hubungan            besar), karenanya didahului dengan perhelatan
dengan kata dalam suku lain misalnya Bahasa     ritual sebagai wujud kesadaran sosial dan
Melayu Polenisaia Barat yang memiliki kata      transendensi diri yang tinggi agar menemukan
rumah, Bahasa Bali, Roti, Rindi dan Tetum       kemapanan dalam bertempat tinggal (Said,
memakai kata uma, bahasa Sawu menyebutnya       2012: 1).
amu, Aton um, Ema umar, Babar em, Buru
huma, dan Nuaulu numa. Kata-kata tersebut            Kemapanan dalam bertempat tinggal
diambil dari akar kata Austronesia yang         ini akan memungkinkan seseorang memiliki
bermakna suatu kelompok sosial yang bersatu     kontrol teritorial sehingga dengan leluasa
dan mengklaim beberapa jenis asal-usul dan      mendefinisikan keberadaan dan status
ritual yang sama (Fox, 1993: 10).               seseorang atau kelompoknya. Kesadaran
                                                diri dan ruang saling mengejawantahkan
      Dari beberapa bahasa itulah kemudian
                                                Edisi Budaya | 341
