http://facebook.com/indonesiapustaka 10GOENAWAN MOHAMAD
PUSACTaDtaAtaTnAP&inAggNirA6LISA TEMPiiOi
GOENAWAN MOHAMAD 10Kumpulantulisan
di majalah Tempo, Januari 2011-Desember 2012
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 10 i
http://facebook.com/indonesiapustaka
ii Catatan Pinggir 10
10GOENAWAN MOHAMAD
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 10 iii
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 10
Goenawan Mohamad
Kumpulan Catatan Pinggir di majalah Tempo,
Januari 2011-Desember 2012
Kata pengantar: Ayu Utami
Editor bahasa: H. Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Indeks: Ade Subrata
Kulit muka, tata letak, dan ilustrasi: Edi RM
Foto pengarang: Dwianto Wibowo
© Goenawan Mohamad
Hak cipta dilindungi undang-undang
Cetakan Pertama, 2013
MOHAMAD, Goenawan
Catatan Pinggir 10
Pusat Data dan Analisa Tempo, 2013
xxiv + 434 hlm.; 14.5 x 21 cm
ISBN 978-979-9065-80-3
Dicetak oleh Percetakan PT Temprint, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
iv Catatan Pinggir 10
Daftar Isi
http://facebook.com/indonesiapustaka ix Pengantar
2011
3 Titorelli
7 Kalender
11 Aktor
15 Di Islandia
19 Komunisme
23 Alien
27 Lapangan
31 Istri Lot
35 Revolusi
39 Ahimsa
43 Mesh
47 Memangku
51 Bom/Buku
55 Sawito
59 Impuls
63 Melihat
67 Malcolm X
71 28 April
75 Tari
79 Hayy
83 Si Jum’at
87 Khaos
91 Los Indignados
95 An + Archos
99 Perindu
103 Kota
Catatan Pinggir 10 v
DAFTAR ISI
http://facebook.com/indonesiapustaka 107 Grrr
111 Bastiat
115 Juli
119 Kembang
123 Srebrenica
127 Kebakhilan
131 Isak
135 Baik
139 Teh
143 Multitude
147 Libya
151 11/9
155 Guantánamo
159 Representasi
163 Panah
167 Punakawan
171 La Guerre
175 OWS
179 Edan
183 Ahab
187 Hewan
193 Gilmore
191 Arok
195 Tintin
199 Pekik
203 Prabangkara
207 Machiavelli, Marx, dan Mungkin
2012
215 Havel
219 Hujan
223 Bunglon
227 Di Biara
vi Catatan Pinggir 10
DAFTAR ISI
http://facebook.com/indonesiapustaka 231 Lompatan
235 Kemudian
239 Fana
243 Tamak
247 Yang Penting
251 Banten
255 Berani
259 Caesar
263 Mata
267 Aksara
271 Ikhnaton
275 Bisu
279 Hang Tuah
283 Soebaidah
287 Barbie
291 Interior
295 Pemo
299 DMZ
303 Teeuw (1921-2012)
307 1900
311 Etnokrasi
315 Sirius
319 Schiller
323 Lubdaka
327 Cerita Tuhan
331 Dissensus
335 Gargantua
339 Kakawin
343 Batman
347 Lebaran
351 Origami
355 Agora
Catatan Pinggir 10 vii
DAFTAR ISI
359 Wisanggeni
363 Gelanggang
367 Leda
371 Pangeran
375 Amba
379 El Demonio
383 Zarah
387 Mo dan Yu
391 Shih
395 Mekah
399 Surabaya
403 Lantai
407 Halima
411 Theokrasi
415 Rushdie
419 ’1965’
423 Anak-anak
427 Indeks
http://facebook.com/indonesiapustaka viii Catatan Pinggir 10
Bahasa yang Tak Pernah Usai
http://facebook.com/indonesiapustaka Ayu Utami
PARADOKS Goenawan Mohamad adalah paradoks bahasa.
Tapi, untuk sampai pada rumusan ini, ceritanya panjang.
Marilah kita mulai dari sesuatu yang menakjubkan.
Salah satu hal yang memukau itu adalah di masa ini Catatan
Pinggir dibaca oleh orang-orang yang seumur dengan Catatan
Pinggir itu sendiri. Tempo berdiri pada 1971, dan kolom kecil pe-
mimpin redaksinya dimulai pada 1976. Kini, pelanggan majalah
itu mulai berusia sebaya dengan bacaan mereka. Tidakkah me-
nakjubkan bahwa Goenawan menulis kepada anak-anak yang la-
hir bersamaan dengan tulisannya?
Ya, tapi ini berarti kita membayangkan Catatan Pinggir seba-
gai satu ”makhluk”, satu entitas yang sama yang dulu dilahirkan
dan hidup sampai sekarang. Seperti manusia yang menulisnya,
seperti kita masing-masing yang membacanya, kita membayang-
kan Catatan Pinggir adalah juga satu identitas yang bisa dikenali.
Sebutlah ini Catatan Pinggir (dengan huruf besar). Pada kenyata-
annya, Catatan Pinggir terdiri atas catatan pinggir-catatan ping-
gir (dengan huruf kecil), tulisan-tulisan yang terpisah yang diker-
jakan dengan setia setiap pekan. Yang berikut tidak merupakan
lanjutan logis yang sebelumnya. Menyadari kenyataan ini pun
akan tetap membuat kita takjub. Setiap kali bayi yang terlahir pa-
da 1976 bertambah seminggu usianya, satu catatan pinggir juga
bertambah. Tatkala anak itu telah jadi dewasa, mencapai 36 ta-
hun, misalnya, ada kira-kira 36 x 52 catatan pinggir. Ada sekitar
1.872. Bayangkan! Kita berhadapan dengan Catatan Pinggir
(berhuruf besar) yang terbentuk dari 1.872 catatan pinggir (ber-
huruf kecil), dan jumlah itu pun masih sedang terus bertambah.
Catatan Pinggir 10 ix
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
Sebelum kita membaca muatannya, apa yang bisa dikatakan
tentang fakta itu saja? Tentang Catatan Pinggir dan catatan ping-
gir? Catatan Pinggir ibarat sebuah identitas (yang terbentuk oleh
rutinitas), dan catatan pinggir adalah momen-momennya. Pada
1980-an, sebelum Catatan Pinggir dibukukan, anak-anak muda
mengkliping catatan pinggir, menjilid, dan menciptakan kitab-
nya sendiri (sebuah kerinduan mengabadikan momen-momen).
Pada 1990-an, para penulis baru mencoba-coba bentuk tulisan-
nya (termasuk saya). Jika kita memiliki buku Catatan Pinggir da-
lam rak kita, terutama serialnya yang dikemas dalam boks merah
berwibawa, kita cenderung melihatnya sebagai kitab berjilid,
nyaris mirip kitab suci, yang mengatasi zaman. Tapi sesungguh-
nya, masing-masing ”perikop”-nya ditulis dalam dan untuk mo-
men yang spesifik. Di sinilah kita akan bertemu dengan kutukan
bahasa, yang adalah nasib dan masalah Catatan Pinggir itu jua.
Tiga Kutukan Bahasa
Pada awalnya Tempo adalah media berita yang paling membe-
ri perhatian terhadap keterampilan bahasa dan bentuk penulisan.
Goenawan adalah pendiri dan pemimpin redaksi pertamanya.
Majalah ini memberi usaha khusus untuk menciptakan tulisan
yang ”enak dibaca dan perlu”, ”jujur, jelas, jernih; jenaka pun bi-
sa”—seperti semboyan-semboyannya yang kreatif. Goenawan
sendiri pernah menyatakan bahwa pekerjaan menulis adalah ”se-
buah pekerjaan yang resah”. ”Proses pemikiran hanyalah satu ta-
hap. Proses lainnya menyangkut sekian jam duduk di depan me-
sin tik atau monitor komputer, membesut, mengoreksi, menatah,
menguji kata dan kalimat. Tiap kali saya menulis, rasanya tiap
kali saya belajar lagi” (Pengantar Catatan Pinggir 4, 2012). Sum-
bangan besar Tempo selama ini, selain beritanya, adalah bahasa-
nya. Demikian pula, sumbangan besar Catatan Pinggir, selain
pemikirannya, adalah bahasanya.
x Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
Sebelum kita berbicara tentang bahasa yang seperti apa, kita
pantas tertarik pada hubungan antara catatan pinggir dan maja-
lah yang menjadi inangnya.1 Tempo adalah majalah berita yang la-
hir pada 1970-an. Itu adalah era yang berbeda dengan zaman ini.
Dunia tampak masih lebih sederhana dan pers masih beriman
pada obyektivitas (sekalipun semua yang beriman tetap saja kerap
tergelincir ke dalam dosa atau cemas terhadap kezaliman). Meli-
put kedua pihak adalah kebenaran yang dipercaya bagi media pa-
da masa itu. Kepercayaan ini sudah sangat luntur dalam dunia
pers abad ke-21. Pada masa lalu, sebuah berita mungkin tak jadi
dimuat hanya karena narasumber dari pihak seteru tidak dapat
ditemui. Ini takkan terjadi sekarang—kecepatan dan keramaian
digital membuat orang tak menuntut informasi lengkap dalam
satu berita.
Majalah Tempo lahir dalam tradisi obyektivitas dan kode
etik jurnalistik yang kuat, tempaan zamannya. Tapi obyektivitas
menghadapi keterbatasannya yang mulia juga. Pers yang benar
hanya bisa berbicara mengenai fakta-fakta. Selain itu, media beri-
ta mendahulukan kebaruan. Catatan pinggir menjadi sebuah ro-
bekan yang indah pada lembaran berita nan taat-aturan. Diberi
nama ”catatan pinggir”, ia tidak dimaksudkan sebagai suara res-
mi dewan redaksi seperti tajuk di koran-koran. Ia adalah suara in-
dividu, bukan suara pemimpin yang mewakili seluruh redaksi.
Tatkala telah bukan lagi pemimpin redaksi, Goenawan tetap me-
nulis catatan pinggir (yang agaknya tak akan digantikan oleh pe-
nulis lain). Catatan ini juga tak wajib mengait dengan berita ha-
ngat, sekalipun prakteknya biasanya ia menyapa juga peristiwa
baru. Pada awalnya, dan teoretis sampai sekarang, catatan ping-
1 Kecuali dalam periode antara kematian dan kebangkitannya—antara pembredelan 1994 dan jatuhnya
Soeharto 1998—hanya majalah Tempo yang menerbitkan catatan pinggir. Dalam periode matinya Tem-
po, catatan pinggir terbit di majalah bawah tanah Suara Independen.
Catatan Pinggir 10 xi
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
gir bisa menampung renungan dari sebuah buku, film, atau apa
pun yang berharga. Catatan pinggir adalah renungan intelektual
mingguan, yang menumpang pada suatu rutinitas berita. Ia ada-
lah sesuatu yang reguler.
Regularitas adalah cirinya—atau kutukannya yang perta-
ma?—yang unik. Kita tidak bisa mencari klimaks dalam rupa te-
sis (atau sintesis) utama di buku ini. Kita tidak menemukan susun-
an argumen yang meningkat dari halaman depan ke belakang un-
tuk mencapai pemuasan intelektual puncak. Ini pun bukan puisi
yang sekali dan tak terulang. Ini ditulis dengan jadwal yang tak
bisa ditawar. Kita berhadapan dengan yang—perkenankanlah—
saya sebut sebagai kutukan bahasa yang pertama, yaitu sesuatu
yang rutin; sesuatu yang begitu niscaya sehingga kita lupa bahwa
dasarnya adalah sejenis iman semata. (1.872 esai selama 36 ta-
hun: tidakkah itu ketakwaan yang luar biasa pada rutinitas?)
Rutinitas itu melahirkan pola. Baiklah kita sembarang kutip,
dari ”Kalender”, 9 Januari 2011, salah satu yang mengawali buku
ini. Pembukanya adalah ini:
Lewat tengah malam, ketika kalender diganti, dan orang sadar lebih
tua setahun, dan melihat kembali masa 12 bulan yang sebelumnya,
dan mencoba berencana untuk tahun 2011, apa yang sebenarnya
terjadi? Sebuah mimesis. Mungkin sebuah kelatahan.
Sebuah mimesis. Sebuah peniruan. Orang-orang menirukan
yang lain, meniup trompet dan bersulang, membakar atau me-
nonton kembang api. (Padahal malam itu adalah malam sebagai-
mana selalu.) Pertanyaannya: apa sikap penulis tentang apa yang
ia tulis? Biasanya pembaca ingin tahu dengan cepat posisi mo-
ral penulis. Dalam kasus spesifik ini: apakah ia nyinyir pada kata
”mimesis”, yang cepat diikuti dengan nomina lain ”kelatahan”?
Kita tahu kelatahan adalah hal yang tidak baik, setidaknya tak
xii Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
terhormat. Maka, dengan penjajaran itu, barangkali mimesis di
sini adalah sejenis kelatahan yang tidak keren juga. Tapi Goena-
wan menempatkan kata ”mungkin” di antara ”mimesis” dan ”ke-
latahan”, sehingga kita tak bisa lagi memastikan hubungan di an-
tara keduanya. Kita tertinggal dalam suatu rasa ambigu. Dan itu
adalah kekhasan tulisan Goenawan. Cuplikan di atas barangkali
sembarang dipilih. Tapi cukillah catatan pinggir secara acak, dan
kita akan menemukan model teks yang mirip.
Jika kita mencoba menerangkannya secara agak linguistik: ki-
ta tahu setiap kalimat, setiap teks, terdiri atas kata-kata yang ber-
hubungan satu sama lain (dalam rangkaian sintagmatik). Dan se-
tiap kata mewakili pengertian (dalam relasi paradigmatik). Meng-
hadirkan sebuah kata ke dalam teks, sekalipun diiringi dengan
penyangkalan atau modalitas ”mungkin”, sesungguhnya berarti
menghadirkan suatu pengertian ke dalam kesadaran pembaca.
Apa pun yang dituliskan, sekalipun sekaligus ditolak (dengan
kata ”bukan”) atau sekadar diragukan (dengan kata ”mungkin”),
telah merupakan kehadiran. Dengan software pencari, kita bisa
mencatat dengan akurat berapa kali kata ”mungkin”, ”barang-
kali”, dan ”agaknya” muncul dalam buku ini. Goenawan meng-
hadirkan pengertian-pengertian dan membuat kita berada dalam
momen ragu.
Bahkan dalam sekadar contoh di atas kita masih bisa melihat
bagaimana—perkenankan saya gunakan istilah ini:—momen
ragu itu diproduksi oleh relasi antar-elemen yang lebih luas. Apa-
kah ”sebuah mimesis” yang tertulis di sana menjelaskan kalimat
sebelumnya dan dijelaskan oleh kalimat setelahnya? Ataukah
ia sebuah lanturan? Lompatan kesadaran? Apakah ”kelatahan”
menjelaskan ”mimesis” atau menjelaskan kalimat sebelumnya—
yang menggambarkan bagaimana orang-orang merayakan tahun
baru—atau menjelaskan kedua-duanya? Jika kita cermati baik-
baik, betul-betul dengan teliti, sesungguhnya kita semakin tidak
Catatan Pinggir 10 xiii
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
bisa yakin dengan hubungan di antara unsur-unsur itu.
Goenawan cenderung menggunakan kalimat yang implisit. Ia
bisa saja, jika mau, membuatnya tidak ambigu. Misalnya dengan
menggunakan susunan subyek-predikat yang lengkap seperti ini:
”Yang sebenarnya terjadi adalah sebuah mimesis.” Atau: ”Yang
terjadi mungkin adalah sebuah kelatahan.” Atau: ”Mimesis ada-
lah sejenis kelatahan.” Tapi tidak. Ia memilih kalimat yang tak
utuh: ”Sebuah mimesis. Mungkin sebuah kelatahan.” Subyek
tanpa predikat. Predikat tanpa subyek.
Kita tidak sedang berbicara tentang efek puisi atau puitisasi di
sini. Belum. Sebentar lagi. Sebab, puisi yang sesungguhnya bu-
kanlah cari-efek. Tapi memang kalimat-kalimat yang berstruk-
tur penuh tadi kehilangan rasa puitis dibanding yang tidak utuh.
Mengapa? Ya, mengapa yang eksplisit kehilangan rasa puitis? Apa-
kah karena yang tidak utuh membuka lebih banyak makna dan
yang implisit menampung lebih banyak arti pula? Ini sesungguh-
nya masalah yang sangat menarik. Tapi baiklah kita bicarakan
nanti saja. Kita kembali kepada persoalan pertama. Struktur teks
Goenawan menghadirkan makna-makna sekaligus dalam relasi
yang ambigu. Semantik yang merambang dan sintaksis yang tak
tertutup. Dalam rumusan yang kurang teknis: tulisan Goenawan
menawarkan kesadaran tanpa memberi keputusan.
Pertanyaan berikutnya: apakah hal tadi merupakan gaya pe-
nulisan? Sesuatu yang dibuat-buat untuk cari efek puitis? Ataukah
ada yang lebih mendasar dari penampakan luarnya? Saya cende-
rung mengatakan yang terakhir. Orang yang kurang memahami
sastra mudah terjebak untuk mengatakan bahwa sebuah bentuk
penulisan adalah gaya bertutur belaka; semacam kemasan dari
sebuah isi; sebuah kosmetik dari filsafat. Sebuah karya yang ber-
nas dan pulen tidaklah demikian.
Baiklah kita cari kutipan lain agak di tengah, pembuka dari
”Los Indignados”, 5 Juli 2011:
xiv Catatan Pinggir 10
BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
Bukan kami menentang sistem, tapi sistem yang menentang kami.
Politik adalah keributan lalu-lalang melalui pintu yang tak pernah
bisa ditutup. Tak seorang pun tahu apa yang akan menghentikan-
nya. Hari-hari ini, Madrid adalah sebuah gejala.
http://facebook.com/indonesiapustaka Yang mengenal boleh menemukan Rustam Effendi: ”Bukan
beta bijak berperi, pandai menggubah madahan syair.” Bukan
kami menentang sistem, tapi sistem yang menentang kami. Kali-
mat pembuka ”Los Indignados” memiliki metrum yang simetris
dengan sajak yang disebut: dengan dua bait atau frasa, 9 dan 10
suku. Dan ia juga sebuah penyangkalan berawalan ”bukan”. Ada-
kah ini bukan intertekstualitas? Jika bukan, kenapa Goenawan
tidak menambahkan kata ”yang” sehingga jadilah ”bukan kami
yang menentang sistem”, maka frasa itu akan lebih bersimetri de-
ngan dirinya sendiri, yaitu dengan frasa yang mengikutinya (”tapi
sistem yang menentang kami”)? Dengan hilangnya ”yang” dalam
frasa pertama, alusi terhadap sajak Rustam Effendi menjadi sa-
ngat terasa. Apakah ini sebuah gaya-gayaan yang dipilih penulis
untuk mengemas suatu ide? Saya berani bilang tidak.
Untuk menjelaskannya lebih dari berdasarkan naluri penga-
rang, kita bisa menggunakan Saussure. Bahasa adalah sesuatu
yang menakjubkan sekaligus mengerikan, menurut saya, persis
pada strukturnya yang dikemukakan Saussure. Di awal abad ke-
20, dalam usaha merumuskan obyek linguistik sesungguhnya,
ahli bahasa dari Jenewa itu menemukan bahwa linguistik tak pu-
nya obyek selain struktur, yang disebutnya struktur tanda. Saya
tergoda untuk menyebutnya struktur kesadaran, tapi Ferdinand
de Saussure tak mau menyebutnya begitu (ia mau bertahan pada
disiplinnya: linguistik).
Penemuannya yang paling mendasar—yang kelak digunakan
dengan tergoda antara lain oleh Barthes, Derrida, serta aliran
strukturalisme dan post-strukturalisme—adalah struktur tanda,
Catatan Pinggir 10 xv
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
yang padanya pengetahuan-manusia bergantung. Para kritikus
seni dan filsuf menarik postulat Saussure ke wilayah yang sangat
luas (yang tampaknya Saussure sadari tapi ia tidak mau melaku-
kannya), sehingga jargon post-modernisme tega mengatakan ”ti-
dak ada pengetahuan di luar bahasa”. Tapi di sini kita akan kem-
bali kepada wilayah bahasa (untuk nanti sampai pada paradoks
Goenawan Mohamad).
Saussure mengatakan bahwa tak ada petanda sebelum penan-
da. Tak ada signified apriori signifier. Di sini, jika boleh menggu-
nakan penjelasan yang agak kasar dan sedikit meleset: tidak ada
ide sebelum kata. Kata bukanlah kemasan dari ide, di mana ide
telah ada sebelumnya. Tidak. Sebab, ide ada bersamaan dengan
adanya kata. Di sini, kita bisa mengatakan ”gaya” penuturan
masing-masing catatan pinggir bukanlah kemasan dari pikiran
Goenawan. Marilah kita ganti ”gaya” menjadi ”bentuk”. Bentuk
catatan pinggir bukanlah kemasan dari ide-ide penulisnya. Yang
lebih dekat: ide-ide itu telah berbentuk demikian sebelum atau
ketika dituliskan. Tulisan bukanlah bentuk dari ide. Tulisan ha-
nyalah pengaksaraan dari dualitas ide-bentuk.
Dan dualitas ide-bentuk itu mendapatkan khazanahnya dari
intertekstualitas, yaitu hubungan-hubungan infinit melintasi
waktu ataupun ruang. Maka puisi Rustam Effendi, Chairil An-
war, dll sangat mungkin telah ada dalam khazanah sistem tanda
Goenawan. (Yang tahu silakan membayangkan parole-langue-
langage menurut Saussure.) Si penulis pun bisa mengakses dan
menggunakannya demikian alamiah dan spontan. Bukan kami
menentang sistem, tapi sistem yang menentang kami. Bukan kami
bijak berperi, pandai menggubah madahan syair.
Persis di sini kita bisa kembali memikirkan ”mimesis”, yang
disebut pula oleh Goenawan dalam ”Kalender” yang telah saya
kutip lebih awal. Tema yang juga berulang dalam tulisan-tulisan-
nya. ”Mimesis” yang kita bicarakan sekarang ini sudah pasti bu-
xvi Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
kan kelatahan. Peniruan memang bisa merupakan kelatahan. Ta-
pi peniruan punya makna yang jauh lebih luas daripada itu. Mi-
mesis adalah mayor, latah adalah minor. Maka kita lupakan kela-
tahan di sini.
Masih dalam postulat Saussure, sesungguhnya dalam kajian
perubahan bahasa, baik yang diakronis maupun sinkronis, kita
bisa melihat bahwa ”bentuk yang sama bisa mendapatkan ide
yang berbeda dan ide yang sama bisa mendapat bentuk yang ber-
beda” (catatan: yang sangat teliti mempelajari Saussure akan tahu
bahwa kalimat saya ini adalah penyederhanaan berisiko dari kom-
pleksitas yang rumit; tapi apa boleh buat). Pendek kata: luas ide
dan luas bentuk tidaklah identik. (Di sini memang ada kerumitan
menjelaskan bagaimana ide dan bentuk ”tercipta” bersama-sama
sekaligus luasnya tidak sama. Saussure kerap kurang dipahami di
sini. Sayangnya, tulisan ini bukan tempatnya menguraikan hal
itu.) Yang bisa kita mengerti adalah, bagaimanapun, bentuk bisa
dikenali oleh pembaca dalam luasan ide yang tidak setara dengan
yang dimaksud penulis. Bahasa terletak di antara pengirim dan
penerima sinyal.
Jadi, memang ada bentuk-bentuk yang pada gilirannya bisa se-
jenak dilepaskan dari sebagian idenya dan diberi ide baru atau di-
tempatkan dalam hubungan baru. Goenawan sangat memanfa-
atkan bentuk-bentuk yang telah ia kenal sembari memberinya
hubungan atau makna baru. (Lihat juga bagaimana ia menggu-
nakan pendapat dan pemikiran orang lain. Masalah ini dapat
menjadi kajian tersendiri. Di sini saya hanya hendak mengamati
soal bahasa.)
Proses transfer bahasa melibatkan peniruan. Mimesis adalah
bagian niscaya dari segala bentuk transfer dan komunikasi. Da-
lam mimesis, bentuk disalin; atau yang bisa dikenali dicoba-salin
kepada bentuk. Mimesis selalu terutama mengenai bentuk. Di
sini saya ingin menambahkan pendapat saya sendiri bahwa ben-
Catatan Pinggir 10 xvii
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
tuk adalah segala yang bisa dikenali, baik konkret maupun ab-
strak. Mimesis adalah peniruan bentuk yang niscaya dalam suatu
fungsi, misalnya fungsi komunikasi, transfer pengetahuan, atau
bahkan penghadiran dunia ideal yang platonis. Kelatahan adalah
peniruan yang fetish: peniruan yang memberi kenikmatan demi
peniruan itu. Maka tentu bukan kelatahan pada Goenawan sean-
dainya ia melakukan mimesis dari sebagian bentuk sajak Rustam
Effendi (atau Chairil Anwar atau apa pun) yang ada dalam reper-
toarnya. Dari ”Kalender” kita tahu ia merasa bahwa mimesis ada-
lah hal yang niscaya, mendasar, dan berfaset, tapi begitu mudah
tergelincir menjadi yang permukaan: kelatahan.
Tema itu sesungguhnya berulang dalam regularitas Catatan
Pinggir: kesedihan atas pemajalan sesuatu lantaran niscaya. Pen-
dangkalan sesuatu yang dalam, justru karena kedalaman itu se-
sungguhnya tak-terelakkan. Tuhan yang direduksi ke dalam dog-
ma. Politik yang ditipiskan ke dalam tawar-menawar kekuasaan
tanpa keluhuran.
Marilah kita kembali kepada lanjutan ”Los Indignados”: ”Bu-
kan kami menentang sistem, tapi sistem yang menentang kami.
Politik adalah keributan lalu-lalang melalui pintu yang tak per-
nah bisa ditutup. Tak seorang pun tahu apa yang akan menghenti-
kannya. Hari-hari ini, Madrid adalah sebuah gejala.”
Sekali lagi, jika kita menggunakan tuntutan gramatika ketat
dan verbal, kita tidak menemukan hubungan yang meyakinkan
antara satu kalimat dan kalimat lain. Apa hubungan sistem yang
menentang kami dengan ”politik adalah keributan lalu-lalang
melalui pintu yang tak pernah bisa ditutup”? Relasi dengan kali-
mat berikutnya masih bisa dipahami, tapi apa kaitannya dengan
”hari-hari ini, Madrid adalah sebuah gejala”?
Sungguh aneh. Jika kita mau kukuh bersikap harfiah, kita
malah jadi tidak paham. Teks itu jadi aneh (atau sesungguhnya
kita yang jadi aneh). Apakah dengan begitu Goenawan berpikir-
xviii Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
an absurd? Kenyataannya tidak. Justru di sini titik penting dan
kecerdasannya: teks tersebut menyangkal cara pandang harfiah.
Disadari atau tidak oleh penulisnya, teksnya tidak membuat pan-
dangan harfiah bisa paham. Sebuah mesin yang menginginkan
semuanya tersurat terperinci akan gagal membaca Catatan Ping-
gir.
Jadi, bahwa selama ini kita bisa mengerti—sebagian atau lu-
mayan penuh—Catatan Pinggir, itu artinya kita memang tidak
melulu berpikir literal. Kita mengisi ruang-ruang kosong di anta-
ra keping-keping informasi sehingga kita bisa membangun gam-
bar yang lebih luas daripada bentuk-bentuk yang kita terima. (Se-
kali lagi, bukan berarti luas gambar yang kita bangun identik de-
ngan yang ada di kepala penulisnya.)
Memang, kita boleh berargumen: itu tidak hanya terjadi pada
tulisan Goenawan Mohamad, bukan? Tentu, sebagian besar teks
yang ada di muka bumi bersifat demikian: tak bisa dipahami oleh
mesin harfiah. Mungkin hanya bahasa program komputer yang
bisa dimengerti mesin itu; dan gagal dipahami kebanyakan ma-
nusia. Tapi teks-teks bisa tidak harfiah dalam ”strategi” yang ber-
beda-beda. Di sini kita kembali kepada keistimewaan Catatan
Pinggir.
Marilah kita kutip satu lagi paragraf pembuka, dari ”An + Ar-
chos”, 12 Juni 2011:
Dalam bentuknya yang paling brutal sekalipun, politik mengan-
dung sebuah salam. Selalu ada orang lain yang disambut atau dija-
wab. Kekuasaan selamanya menuntut hadirnya sahaya.
Sekali lagi kita menemukan pembuka sebuah aforisme puitis.
”Dalam bentuknya yang paling brutal sekalipun, politik mengan-
dung sebuah salam.” Aforisme, ”pepatah” yang bernas dengan
makna yang kompleks atau bahkan terasa paradoksal, tak mudah
Catatan Pinggir 10 xix
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
dicerna tapi indah, juga khas pada Goenawan. Terutama dalam
penutup dan pembuka catatan pinggir. Sekali lagi juga, jika kita
memakai cara baca harfiah, kita tak tahu apa hubungan antara
kalimat ketiga dan dua kalimat sebelumnya. Dalam bentuk bru-
talnya sekalipun, dalam politik selalu ada orang lain yang disam-
but. Oke. Tapi apa hubungan itu dengan ”kekuasaan selamanya
menuntut hadirnya sahaya”?
Jawaban tentang itu didapat secara berputar. Paragraf berikut-
nya menjawab dengan cerita Pangeran Kecil Antoine de St. Exu-
pery, tentang raja kesepian yang memerlukan sahaya. Intensitas
meningkat dengan cerita berikutnya, bukan fiksi melainkan pe-
ristiwa sejarah tentang kekuasaan yang harus bernegosiasi de-
ngan manusia (sahaya yang menjelma saya), serta pemikiran He-
gel, Marx, dan Alain Badiou. Bagian tengah tulisannya biasanya
lebih prosais: hubungan antarkalimatnya lebih ketat. Setelah
itu, penutup catatan pinggir kembali ke bentuk awal yang lebih
puitis:
Ada semacam roh yang tampaknya tak akan berhenti di satu titik
yang aktual. Dalam bentuknya yang cacat sekalipun, berulang kali
politik membuka kemungkinan untuk sebuah saat ethis—untuk
sebuah salam.
Ada penambahan ide dalam penutup dibanding pembukanya:
”saat ethis”. Itu tampaknya kata kunci yang penting pula dalam
buku ini. Sayangnya, kita tidak sempat membicarakan itu. Kita
berbicara tentang strategi teks Catatan Pinggir yang tidak har-
fiah; yang menciptakan, katakanlah, momen ragu. (Apakah yang
saya maksud dengan momen ragu akan berhubungan dengan
momen etis? Sayangnya tak cukup waktu untuk membahasnya.)
Dalam contoh-contoh di atas, serta dalam halaman-halaman
buku ini, kita akan menemukan unsur-unsur teks yang tidak ber-
xx Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
kaitan secara ketat. Seperti telah saya perikan di atas. Harus di-
akui, kalimat-kalimat yang demikian itu dalam Catatan Pinggir
menjadi puitis, lebih puitis dari bagian yang ketat. Di sini kita
sampai pada pengamatan: yang puitis itu datang bersama-sama
dengan ketidakketatan hubungan antar-unsur. Seolah-olah,
yang indah itu datang bersama perselingkuhan. Puisi datang
bersama keraguan. Unsur-unsur itu bisa kalimat tidak lengkap:
subyek tanpa predikat, predikat tanpa subyek. Bisa juga kalimat
lengkap yang tidak berkaitan secara ketat-logis dengan kalimat
sebelum atau setelahnya. Toh, pembaca merasa mengerti sesuatu,
sembari tetap ragu. Dari mana datangnya rasa mengerti itu?
Pengertian itu paling sedikit terbangun dari hubungan asosia-
tif. Tiap-tiap unsurnya terhubung secara asosiatif. Mimesis ber-
asosiasi dengan kelatahan. Demikian pula kelompok kata ini: sis-
tem, menentang, politik, keributan, pintu-tak-bisa-ditutup, tak-
bisa-dihentikan, gejala. Atau: politik, kekuasaan, brutal, sambut,
sahaya. Unsur-unsur di bagian paling puitis Catatan Pinggir
membentuk imaji dan imajeri yang berasosiasi: tak dalam hu-
bungan ketat tapi bersama-sama membangun suatu kesadaran
yang batasnya samar.
Pertanyaannya, sekali lagi: apakah itu adalah gaya bertutur?
Apakah itu merupakan puitisasi filsafat? Setara dengan musikali-
sasi puisi? Tidak. Jika kita membayangkan ”gaya bertutur” seba-
gai kemasan yang bisa dipilih atau ditukar untuk memaket pemi-
kiran, jawabnya tidak. Dan kita pun kembali kepada Saussure.
Petanda (signified) tidak lebih dulu ada sebelum penanda (signi-
fier). Ide tidak apriori terhadap bentuk. Ketika kabut ide bersatu
dengan kabut materi-bentuk dan menciptakan batas-batasnya,
ketika itu terjadilah makna.
Sekarang, makna apa gerangan yang ditawarkan setiap ca-
tatan pinggir dalam momen-momen ragu yang sering membuka
dan menutup dirinya? Seorang sastrawan bisa menjawab secara
Catatan Pinggir 10 xxi
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
naluriah atau berdasarkan pengalaman: kita berangkat dari ragu,
melakukan ikhtiar pemikiran yang tulus dan tekun, dan toh
kembali kepada ragu. Itu struktur naratif catatan pinggir.
Tapi kita juga bisa mencoba menjawabnya secara linguistik.
Agak rumit sedikit. Sekali lagi Saussure membantu kita. Sebetul-
nya dialah yang menguraikan bahwa bahasa adalah sistem tanda
yang tidak punya akses langsung terhadap referen. Ini adalah ru-
musan dari disiplin linguistik bahwa benak manusia tak punya
akses langsung terhadap dunia di luar sana—katakanlah yang di-
sebut realitas absolut atau das ding an sich oleh Kant. Bahasa ju-
ga adalah sistem tanda yang basis historisnya tak bisa diketahui.
Orang bisa mencoba merunut sejarahnya, tapi hanya akan men-
dapat sejarah pergeseran bentuk. Sedangkan apa yang memper-
tautkan bentuk dengan kebenaran idenya tak diketahui sama se-
kali. Sistem tanda ini arbitrer dan berfungsi semata-mata berda-
sarkan konvensi. Tapi bagaimana konvensi itu terjadi, kita juga ti-
dak tahu. Setiap kali kita hendak menjawab pertanyaan ontologis
dan epistemologis tentang bahasa, tahu-tahu kita sudah masuk
ke wilayah linguistik diakronis, padahal cara bekerja bahasa itu
hendak dilihat secara sinkronis. Bahasa adalah obyek yang tidak
bisa dinilai secara obyektif, sebab ia juga yang menciptakan alat
ukur untuk melihat dirinya.
Pendek cerita, untuk menyederhanakan persoalan, yang hen-
dak saya katakan adalah ini: betapa meragukan sesungguhnya
yang bisa kita percaya dari bahasa. Kebenaran yang disampaikan
melalui bahasa itu, duhai, betapa tanpa jaminan. Sesungguhnya,
tulis Saussure juga, tak ada bedanya kiasan dengan bukan kiasan;
sebab segala yang ada dalam bahasa itu akhirnya memang hanya
kiasan. Karena itu di awal saya menyebutkan bahwa bahasa itu
begitu menakjubkan sekaligus mengerikan. Ia begitu palsu, tapi
kita tidak bisa hidup tanpa dia. Demikianlah paradoks bahasa.
Kutukannya yang kedua (yang pertama adalah regularitas). Se-
xxii Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
makin kita percaya bahwa kata-kata bisa menjamin kebenaran,
semakin jauhlah kita dari kebenaran....
Sudah lama saya ingin mengatakan bahwa puisi adalah ikh-
tiar untuk menangkap makna sebelum konvensi. Puisi mencoba
menangkap momen-momen makna sebelum ide dan bentuk
membuat batasan yang terlalu jelas. Maka, tak bisa tidak, puisi
adalah momen-momen ragu.
Dari terang ini, seharusnya kita mengerti mengapa Catatan
Pinggir mencapai bentuk esensial yang seperti itu. Dibuka dan
ditutup atau bahkan diisi dengan susunan unsur yang mencipta-
kan momen ragu. Ia menyuarakan kembali hakikat bahasa yang
sesungguhnya: yang rapuh tapi niscaya. Paradoks bahasa: ia tak
bisa dipercaya, tapi kita tidak bisa tidak percaya kepadanya.
Sesekali saya menemukan juga Goenawan mencapai para-
doksnya sendiri. Misalnya ketika ia menulis, dalam ”Kebakhil-
an”, 7 Agustus 2011: ”...kita tengah memasuki zaman kebakhil-
an. Eropalah yang memulainya. ” Atau dalam ”Guantanamo”, 25
September 2011: ”Sejak ’11/9’, AS merasa jadi korban; ia merasa
membawa terang-benderang, bukan kegelapan. Dan ia sadar ia
sangat kuat. Dengan itulah ia memang terjerumus.” Tapi siapa-
kah Eropa? Siapakah AS? Pada umumnya Goenawan sangat sa-
dar untuk tidak menundukkan suatu multitude ke bawah satu
nama. Tapi untuk kasus Eropa dan AS ini tampaknya ia tidak be-
gitu. Barangkali itulah kutukan bahasa yang ketiga. Manusia ter-
jebak juga untuk melakukan peringkusan.
Ah. Sekitar 1.872 catatan dalam 36 tahun. Jika kembali kita
ingat, pada awalnya catatan pinggir tertulis pada lembar majalah
berita nan rutin dan riuh, kita semakin menghargai puisinya
di tengah tumpukan kabar. Ia memberi ruang—ataukah mo-
men?—bagi keraguan. Keraguan; artinya belum selesai. Ia menja-
di pengingat bagi rapuhnya pengetahuan manusia sehingga seha-
rusnya orang jadi lebih rendah hati.
Catatan Pinggir 10 xxiii
http://facebook.com/indonesiapustaka BAHASA YANG TAK PERNAH USAI
Sekali lagi, sudah lama saya ingin mengatakan bahwa puisi
adalah ikhtiar untuk menangkap makna sebelum konvensi. Saya
hendak menutup pengantar ini dengan kutipan berikut, dari ”28
April”, terbit 1 Mei 2011, tentang Chairil Anwar:
Saya tahu, penyair selalu mati direduksi orang ramai. Tapi agaknya
puisinya selalu bisa membebaskan dirinya.
xxiv Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 10 2011
1
http://facebook.com/indonesiapustaka
2 Catatan Pinggir 10
TITORELLI
http://facebook.com/indonesiapustaka PADA usia ke-30, seorang kerani bank ditahan oleh dua
petugas. Namanya Joseph K. Dengan itulah novel Kafka
yang termasyhur itu bermula: sebuah cerita yang dikisah-
kan dengan cara datar tentang sesuatu yang sebenarnya tak datar,
sesuatu yang gila, merisaukan, tapi pada saat yang sama terdengar
benar. Der Prozess (”Proses”) adalah sebuah dongeng tentang se-
buah situasi yang berlubang menjurang di mana keadilan dibica-
rakan tapi tak pernah hadir.
K ditahan, akan diproses, dan mungkin akan kena hukuman,
tapi tak pernah dijelaskan apa tuduhan terhadapnya. Dengan
tenang Kafka menampilkan K yang tak teramat risau. Pegawai
bank ini punya seorang pembela, tapi ia pasif: ia tak pernah bisa
paham uraian ruwet sang advokat.
Memang ada mahkamah, ada hakim, ada proses peradilan. K
sudah tahu itu. Tapi tampaknya di masyarakat tempat ia hidup,
ia harus tak terkejut menanggungkan absurdnya lembaga, sistem,
prosedur, dan aturan-aturan yang tiap kali bisa melumpuhkan
orang. Hukum (yang seakan-akan mewakili Keadilan) tak per-
nah membuka diri. Dalam cerita ini, K akhirnya dieksekusi. Be-
berapa detik sebelum ia dibunuh, ia berkata, tanpa protes: ”Se-
perti anjing.”
Novel ini belum selesai ditulis ketika Kafka meninggal pada
umur 40. Tapi sebagaimana ceritanya yang lain, ”Di Depan Hu-
kum” (Vor dem Gesetz), ”Proses” menghadirkan suasana yang tak
terjawab tentang manusia dan keadilan. Kafka selalu mengha-
dang kita dengan perumpamaan yang enigmatik. Dalam ”Pro-
ses” ada satu bagian kecil yang bicara banyak kepada kita, ketika
K menemui pelukis Titorelli, yang sebenarnya tak tahu hukum
dan hanya tukang gambar yang diupah, oknum dari mesin untuk
Catatan Pinggir 10 3
http://facebook.com/indonesiapustaka TITORELLI
mengagungkan lembaga kehakiman.
Di studionya yang tak mengesankan, Titorelli memperlihat-
kan sebuah lukisan: sosok seorang wanita yang biasa kita lihat ja-
di lambang ”Keadilan”.
”Oh, sekarang saya bisa lihat,” kata K. ”Itu kain yang menutup
matanya dan itu timbangannya. Tapi apakah itu sayap, yang tam-
pak di tumitnya, dan tampaknya dia sedang lari?”
”Ya,” sahut si pelukis. ”Itu sesuai dengan pesanan; saya harus
menggambar seperti itu. Itu sebenarnya Keadilan dan sekaligus De-
wi Kemenangan.”
”Itu bukan satu kombinasi yang bagus,” kata K, tersenyum. ”Ke-
adilan harus kalem, kalau tidak, timbangannya akan goyang dan
satu keputusan yang adil akan mustahil.”
”Saya cuma menuruti keinginan klien saya,” kata si pelukis.
”Ya, tentu,” kata K.
Saya tak tahu, apa yang dipikirkan Kafka dengan menampil-
kan bagian ini. Tapi gambar Titorelli bisa punya makna yang bisa
berbicara kepada kita sampai hari ini.
Keadilan bukan kombinasi yang bagus dengan Kemenangan,
kata K. Kita tahu, Kemenangan lahir dari konflik dan persaingan
antara pihak. Sementara itu, Keadilan justru seharusnya berada
di atas pihak-pihak; ia jadi pengukur sikap dan fiil pihak-pihak
itu.
K rupanya percaya, Keadilan ada di atas dan di luar sejarah,
sesuatu yang muncul dari dasar yang transendental. Sebaliknya
si pemesan gambar dan Titorelli tampaknya tahu, K punya ilusi
tentang Keadilan yang lazim: keadilan sebagai hal yang diajarkan
Langit dan Keabadian. Menampik ilusi itu, lukisan Titorelli me-
nunjukkan, pada akhirnya Keadilan adalah sesuatu yang terkait
dengan sesuatu yang tak abadi, yakni Kemenangan: posisi hege-
monik untuk menentukan wacana tentang apa yang adil dan tak
adil.
4 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka TITORELLI
Tapi lukisan itu juga memberi kiasan lain: Keadilan itu punya
sayap di tumitnya. Dengan halus K mengkritik gambaran itu.
Baginya Keadilan yang tak ada dalam posisi stabil bukanlah Ke-
adilan. Seperti dikatakannya, ”timbangannya akan goyang dan
satu keputusan yang adil akan mustahil”.
Yang tak dilihat K ialah bahwa ”keputusan yang adil” yang di-
harapkannya itu lahir dari stabilitas yang semu. Apa yang ”adil”
selamanya mengetuk pintu manusia setelah, dan seraya, melintasi
perjalanan sejarah—yang penuh ketakpastian. Dalam sebuah
tafsir atas karya Kafka ini, Deleuze dan Guittari membaca lu-
kisan Titorelli sebagai sebuah alegori bahwa Keadilan bukanlah
”Keniscayaan”(Nécessité) melainkan ”Kebetulan” (Hasard). De-
ngan gambar perempuan yang tertutup matanya dan bersayap
tumitnya, kata Deleuze dan Guittari, pelukis itu menampakkan
Keadilan sebagai ”keberuntungan yang buta, hasrat yang bersa-
yap”.
Dengan kata lain, ”keputusan yang adil” yang bisa dikatakan
stabil dan kekal tak pernah ada. Ia ditentukan oleh apa yang
mempengaruhinya dalam suatu masa, suatu tempat. Ia berubah
dan bergerak dari waktu ke waktu, ruang ke ruang.
Namun yang menarik dari tafsir Deleuze dan Guittari ialah
bahwa seraya menyadari Keadilan sebagai ”Kebetulan”, kita tahu
bahwa nasib dan keputusan atas diri K yang dibunuh ”seperti an-
jing” itu bukanlah sesuatu yang adil. Situasi K adalah sebuah per-
wujudan Ketidakadilan. Dan dari situasi seperti itu, hasrat untuk
”keputusan yang adil”, atau hasrat untuk Keadilan, yang ”bersa-
yap” itu, akan terbang, naik mengatasi bumi.
Sejarah memang menunjukkan, hasrat itu tak pernah mene-
mukan tempat yang pas untuk hinggap. Mungkin karena Keadil-
an dan bagaimana wujudnya tak pernah jelas. Tapi kita tahu, kita
bisa rasakan dan artikulasikan apa yang tak-adil. Kita tahu apa
itu penindasan para tiran, meskipun kita tak bisa dengan gam-
Catatan Pinggir 10 5
http://facebook.com/indonesiapustaka TITORELLI
blang merumuskan bagaimana kemerdekaan setelah itu. Sem-
bari demikian, kita tak menghentikan hasrat. Hasrat itu tetap
bersayap, siap berjalan jauh.
Di sekitar hari Natal ini, saya bayangkan itulah hasrat tiga
orang Majus yang berani menyeberangi benua menuju ke sebuah
tempat di bawah bintang yang gilang-gemilang. Ada sesuatu
yang mendorong mereka—meskipun tak selamanya pasti—un-
tuk mencari sang penebus di dunia yang banyak kehilangan dan
cedera.
Dan sejarah manusia mirip perjalanan dari Timur itu.
Tempo, 2 Januari 2011
6 Catatan Pinggir 10
KALENDER
http://facebook.com/indonesiapustaka LEWAT tengah malam, ketika kalender diganti, dan
orang sadar lebih tua setahun, dan melihat kembali masa
12 bulan yang sebelumnya, dan mencoba berencana un-
tuk tahun 2011, apa yang sebenarnya terjadi? Sebuah mimesis.
Mungkin sebuah kelatahan. Orang menirukan orang lain meni-
up trompet keras-keras, saling menetakkan gelas minum, berteri-
ak, bergembira: hampir semua orang di dunia melakukan itu, sa-
ling mengikuti, sebagaimana hampir seluruh dunia orang meng-
ikuti kesadaran umum tentang waktu: waktu sebagai yang dipa-
sang di kalender.
Malam ini saya ingat sebuah sajak T.S. Eliot. Ia menginterupsi
mimesis itu. Ia mengingatkan kita bahwa waktu bukan hanya
seperti yang ada dalam kesadaran umum yang diterakan dalam
penanggalan. Baris-baris pertama dalam sajak Burnt Norton:
Time present and time past
Are both perhaps present in time future
Waktu kini dan waktu lalu, mungkin keduanya ada dalam
waktu nanti: waktu mirip arus sungai, mirip alunan sebuah lagu,
seperti gerak merpati meluncur di langit. Mengalir, berlanjut,
tak terpatah-patah. Tak ada yang berulang. Yang ada adalah per-
ubahan. Tapi berbeda dengan arus sungai, melodi, dan terbang-
nya burung, waktu merentang dari asal yang tak bisa ditentukan
dan menuju masa depan yang tak dapat dipatok.
Dengan kata lain, kita ada dalam waktu yang tunggal—andai
bisa digunakan kata ”tunggal” di situ, sebab sesungguhnya wak-
tu tak bisa diketahui satu atau bukan.
Dalam sajak itu Eliot menghidupkan kembali filsafat Bergson:
Catatan Pinggir 10 7
http://facebook.com/indonesiapustaka KALENDER
waktu itu adalah la durée. Waktu sebagaimana yang dibagi-bagi
dalam kalender bukanlah waktu yang ”nyata”, yang kita alami,
melainkan waktu yang sudah diubah jadi ruang. Sebagai ruang,
ia dapat dipisah petak demi petak.
Manusia melakukan itu untuk mengatur hidupnya dan me-
nguasai sekitarnya: ada satuan-satuan yang mudah dihitung, ada
musim, tahun, bulan, hari, jam, detik. Manusia mengurai dan
membagi-bagi waktu, seperti dokter mengurai mayat untuk pe-
ngetahuan anatomi. Yang diurai tak lagi bergerak, tak lagi hidup
dan berubah. Waktu yang hidup segera digantikan oleh waktu
matematis. Ia bisa dipakai untuk standar atau pengukur: buat
menentukan sumbangan seseorang dalam proses produksi, mem-
prediksi umur barang, atau menentukan masa pensiun.
Kalender dibuat untuk itu. Yang menyusunnya adalah akal
yang analitis, juga akal yang bertindak sebagai instrumen untuk
mendapatkan hasil.
Tapi malam ini, 31 Desember 2010, dari YouTube saya dengar
Bluette, karya lama The Dave Brubeck Quartet. Denting piano
Brubeck, bisik alto sax Paul Desmond, seakan-akan merayap dari
kanvas Joan Miro, dari warna pastel dan kuasan garis yang penuh
lekuk yang lentur....
Sudah berapa kali saya dengarkan lagu ini? Tak saya hitung.
Tiap kali saya merasa lebur di sana—dalam sebuah proses yang
berada di luar detik dan menit, di luar waktu yang setapak demi
setapak. Agaknya inilah arus itu, tak berada di sambungan ru-
ang-ruang yang mandek. Komposisi Brubeck hadir sebagai gerak
yang tak putus-putusnya memasuki sesuatu yang baru. Inilah
agaknya proses kreasi (atau ”re-kreasi”): sesuatu muncul atau ter-
jadi bukan mengulang sesuatu yang sebelumnya.
For the pattern is new in every moment
And every moment is a new and shocking
8 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka KALENDER
Di situ kita merasakan ”kini” yang tak terhingga, seakan-akan
kekal. Meskipun selintas: satu progresi yang akhirnya akan hilang
entah ke mana, tapi tak berjalan dalam satu garis lurus dari satu
titik ke titik lain. Eliot mungkin melukiskan situasi ini dalam sa-
jak East Cooker sebagai ”...the intense moment/Isolated, with no be-
fore and after/But a lifetime burning every moment”. Mungkin saya
harus lebih sering berada dalam ”momen yang intens” itu, yang
”bersendiri, tanpa ada yang menyusul dan mendahului”. Mung-
kin kita perlu merasakan usia yang berangsur, seraya tiap saatnya
menyala, terbakar. Barangkali di saat seperti itu hidup tak kita sa-
dari seperti jalan raya yang akan berakhir pada sebuah nomor ki-
lometer. Barangkali kita perlu menemukan kembali waktu sebe-
lum dipotong-potong bagaikan kadaver untuk praktikum di ru-
ang mayat.
Rasanya dalam momen yang seperti itu, saya bisa lebih bisa
bersyukur. Duduk diam. Mendengarkan, dengan mata terpejam.
Tanpa kesadaran yang selalu ingin menangkap dan menaklukkan
waktu dari luar dirinya, meringkusnya dengan paradigma ruang.
” To be conscious is not to be in time,” kata sajak Eliot pula. Tanpa
kesadaran yang menghitung waktu, kita mungkin bisa lebih
membiarkan hidup bersama yang lain bergerak sendiri, tak seper-
ti hewan diburu.
Agaknya itu sebabnya Eliot berkata: ”I said to my soul, be still.”
Ia meminta sukmanya diam. Dalam diam itu, bisiknya, biarlah
gelap turun ke arahnya. Bukan gelap yang membuat buta, me-
lainkan gelap yang mengembalikan kita ke kehidupan, mungkin
di lubuknya, mungkin di tepinya, di mana kita tak bisa meman-
dang dunia hanya sebagai ruang yang dilihat sepetak demi sepe-
tak. Dalam gelap itu kita bisa mendengarkan hidup sebagai mul-
tiplisitas dengan segala arah yang serentak. Eliot menyebutnya
”gelapnya Tuhan”, ”the darkness of God ”.
Tapi ini 31 Desember. Di luar kamar ini saya lihat sebuah kota
Catatan Pinggir 10 9
http://facebook.com/indonesiapustaka KALENDER
yang memajang lampu di gedung tinggi, huruf iklan bercahaya—
kota yang riuh, dengan petasan, kembang api, suara seruan dari
masjid, deru knalpot motor, dan klakson mobil, dan trompet ker-
tas, dan musik yang keras, dan orang-orang yang berdansa, dan
akhirnya pekik itu, yang diulang tiap orang melewati garis 31 De-
sember: ”Selamat tahun baru!”
Saya memandang kalender di meja, dengan sebuah gambar
kota tua. Ia harus saya robek.
Tempo, 9 Januari 2011
10 Catatan Pinggir 10
AKTOR
http://facebook.com/indonesiapustaka —untuk Amak Baldjun (1942-2011)
SATU adegan dalam Hamlet: Pangeran yang selalu bim-
bang untuk bertindak itu membawa masuk sebuah teater
keliling untuk mentas di Istana Elsinore. Ia merencanakan
sesuatu yang cerdik, nakal, dan berbahaya: ia akan memprovoka-
si raja baru, Claudius. Ia perhitungkan baginda akan bereaksi ke-
ras dengan lakon yang disiapkannya—hingga terungkaplah ke-
jahatannya sebagai pembunuh khianat kakaknya sendiri, raja
lama, Hamlet tua.
Adegan pementasan dalam tragedi Shakespeare ini menentu-
kan. Yang dipentaskan ”Pembunuhan Gonzago”. Hamlet mena-
makannya ”jebakan tikus”. Dan benar, Claudius terjebak. Ia ter-
guncang menyaksikan pementasan itu: yang dilakukan para ak-
tor di pentas itu persis seperti kejahatan yang diperbuatnya.
Di sini, ”Pembunuhan Gonzago” berhasil. Hamlet sudah
memperkirakannya: ”I have heard that guilty creatures sitting at a
play/Have by the very cunning of the scene/Been struck so to the soul.”
Pernah mendengar bahwa orang-orang yang bersalah yang
menonton sebuah lakon dapat terpukul hatinya karena sebuah
adegan, malam itu, di ruang pertunjukan Istana Elsinore, Hamlet
bersiap, gugup, tapi waspada. Sebelum pertunjukan dimulai,
Hamlet memutuskan satu peran buat sandiwaranya: ”The play’s
the thing/Wherein I’ ll catch the conscience of the king.”
Agaknya di mana-mana orang teater menyimpan ambisi yang
sama: sebuah lakon akan masuk ”menangkap” hati nurani orang
yang berkuasa. Lebih sederhana lagi: para penulis lakon, sutrada-
ra, dan aktor menyimpan hasrat (atau mimpi) bahwa teater akan
bisa mengubah hidup.
Catatan Pinggir 10 11
http://facebook.com/indonesiapustaka AKTOR
Tapi tak demikian itu akhirnya.
Yang menarik dalam Hamlet ialah bahwa sebuah lakon ternya-
ta mengandung dua peran yang bertentangan. Di satu sisi, ia ba-
gian dari tindakan transformatif. Di Elsinore, ”Pembunuhan
Gonzago” disutradari Hamlet, seorang pangeran yang memang-
gul tugas politik untuk membalas dendam dinastinya. Lakon itu
langkah awal. Seperti saya katakan tadi, dalam hal ini lakon itu
berhasil. Tapi di lain sisi, sebuah teater justru punya kelebihan bi-
la dibandingkan dengan tindakan politik yang seharusnya.
Hamlet menyadari itu beberapa saat sebelum pertunjukan
mulai. Ia melihat bagaimana seorang aktor,
... hanya dalam satu fiksi, satu gelora dalam mimpi,
mampu memaksa sukmanya
masuk ke geraknya yang piawai,
dan wajahnya pun tampak layu,
air matanya membasah, pandang beralih,
suara terputus...
Sebuah tubuh yang berubah—dan semua itu dilakukan bu-
kan untuk apa-apa. ”And all for nothing”. Atau, katakanlah, aktor
itu dengan seluruh dirinya jadi orang lain hanya karena seorang
Hekuba. Tapi apa arti dirinya bagi Hekuba, dan Hekuba bagi di-
rinya, hingga ia harus menangis buat perempuan Troya yang se-
dih dalam karya kuno Yunani itu?
Dibandingkan dengan sang aktor yang tampil di pentas seba-
gai Hekuba, pangeran yang merancang perubahan kekuasaan
itu, Hamlet, justru merasa dirinya seorang yang palsu. ”Oh, what
a rogue and peasant slave I am!,” keluhnya. Ia merasa seperti keledai
dengan keberanian yang terbatas. Ia hanya memuntahkan kata-
kata, seperti pelacur murahan. ”Like a whore...,” katanya—sebu-
ah analogi yang ganjil sebenarnya, sebab dalam kebimbangannya
12 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka AKTOR
yang terus-menerus, Hamlet tak hendak melayani siapa pun, ke-
cuali pesan hantu mendiang ayahnya yang terbunuh.
Ia mungkin berlebihan, tapi benar: sang aktor di pentas tam-
pak lebih unggul. Kelebihan itu bukan hanya ketika dibanding-
kan dengan seorang Hamlet yang cuma berani mengutarakan
kata. Acting lebih bernilai ketimbang action karena seorang aktor,
atau sebuah teater, mendapatkan maknanya ketika hadir tanpa
perhitungan. ”And all for nothing”.
Dibanding itu tampak, pekerjaan politik Hamlet punya tuju-
an spesifik. Laku Hamlet terbatas pada tugas yang dibebankan
ke pundaknya oleh almarhum ayahnya. Seluruh tragedi Hamlet
terbangun oleh desain dendam. Ia memang mengatakan, dengan
sarkasme yang terbuka, bahwa Denmark, di bawah Claudius,
adalah ”sebuah penjara”. Tapi bukan saja Hamlet ragu untuk
menjebol penjara itu. Emansipasi sama sekali bukanlah agenda-
nya.
Atau sebenarnya tak ada politik dalam diri Hamlet—dan bagi
saya, itulah sumber melankolinya yang mendasar. Ia tak kunjung
bertindak karena ia tak punya alasan yang mendorongnya jadi se-
orang militan: pada dirinya tak ada desakan untuk melakukan
sesuatu bagi dunia yang lebih luas, untuk kebaikan siapa saja, kini
dan kelak. Untuk liyan.
Sementara itu, seni akting adalah sebuah keputusan tiap saat,
sebuah laku tiap momen, yang terdorong untuk mencapai sesu-
atu yang sempurna, sesuatu yang ”benar” dan ”indah”, meskipun
tak jelas apa itu tapi jelas untuk siapa saja.
Saya melihat Amak Baldjun di pentas dalam Sumur Tanpa
Dasar. Ia memerankan tokoh utama, Jumena Wartawangsa, me-
lalui adegan yang berlangsung—dalam kata-kata penggubahnya,
Arifin C. Noer—di rumah, dalam pikiran Jumena atau ”di mana
saja”. Ia bergerak dalam ruang dan tanpa ruang, sendirian tapi ju-
ga tak sendirian. Kepiawaian Amak adalah ia tak mencoba meng-
Catatan Pinggir 10 13
http://facebook.com/indonesiapustaka AKTOR
gapai sesuatu yang di luar proses tubuh dan kejiwaan itu. Namun
ia, aktor yang ulung, terus-menerus bergerak di panggung dari
dirinya sendiri dan ke diri orang lain, bolak-balik, terus-menerus.
Ia tak dikuasai tokoh yang diperankannya, ia tak menguasai to-
koh itu.
Artinya ia tak bisa berlebihan ke satu sisi dan berlebihan ke sisi
lain. Tak berlebihan, itulah tujuan ”bermain”, the purpose of play-
ing, sebagaimana nasihat Hamlet ke para aktor yang ia siapkan di
Elsinore malam itu.
Sebab dalam ”bermain”, manusia tak bisa utuh dan sendiri.
Sang aktor memberi kita tauladan tentang itu.
Tempo, 16 Januari 2011
14 Catatan Pinggir 10
DI ISLANDIA
http://facebook.com/indonesiapustaka DI sebuah malam putih di Islandia, seorang anak perempu-
an yang dibuang ke dusun yang jauh itu diam-diam me-
nguntit seorang gadis petani yang tiap malam pergi me-
ninggalkan rumah untuk duduk di tepi sungai.
Si bocah mengambil tempat jauh di belakang.
Si gadis tahu.
Tapi mereka tak saling menyapa.
Di suatu saat, gadis itu mengangkat tangannya menggamit si bo-
cah untuk mendekat. Namun anak perempuan itu tak menjawab. Ia
kembali ke rumah petani tempat ia tinggal.
Novel Gudberger Bergsson, Svanurinn, yang terbit pada 1991,
dan diterjemahkan Bernard Scudder sebagai The Swan, mungkin
tak akan bisa ditulis pengarang yang bukan seorang Islandia. Di ne-
geri ini, dengan 300 ribu penduduk yang tersebar di wilayah seluas
100 ribu kilometer persegi, lengang adalah kata lain dari eksistensi.
Adegan di atas adalah bagian kelengangan itu.
Svanurinn bertokohkan seorang bocah kecil berumur sembilan
tahun yang dihukum. Ia mencuri roti-apit dari pasar serba ada di
Reykjavík. Karena itu orang tuanya mengirimnya ke pedalaman un-
tuk tinggal dengan seorang petani yang tak dikenalnya selama be-
berapa bulan. Sebuah hukuman yang lazim dalam dongeng Islan-
dia: dulu, seorang penjahat yang berbahaya biasa dikirim jauh ke
udik. Di tengah belantara es dan dingin yang luas, hukuman itu
sama artinya dengan pidana mati. Namun tentu saja dalam cerita
Bergsson ini si upik bukan penjahat yang berbahaya dan ia tak di-
maksudkan menemui maut.
Ia dimaksudkan agar jera—tapi pada akhirnya ia menemui apa
yang ada dalam hidup dan dalam mati. Dalam kelengangan itu ter-
nyata tetap saja hidup ditemani dan menggamit. Seperti adegan di
Catatan Pinggir 10 15
http://facebook.com/indonesiapustaka DI ISLANDIA
malam putih itu. Milan Kundera menuliskan komentarnya tentang
Svanurinn dan ia tak putus-putusnya membayangkan tangan si ga-
dis petani yang menggamit itu: ”isyarat antara dua makhluk yang
terpisah umur, tak saling memahami, tanpa apa pun untuk dikomu-
nikasikan kecuali pesan ini: ‘Aku jauh dari kamu, tak ada yang akan
kutakan kepadamu, tapi ini aku, di sini, dan aku tahu kau ada di sa-
na’.”
Kundera menyebut Islandia sebagai ”kesendirian yang saling
mengintip”. Di lanskap negeri itu, para petani memasang teropong
mereka untuk mengamati para petani lain yang juga memasang tero-
pong di kejauhan. Tapi adegan malam di tepi sungai itu menunjuk-
kan sesuatu yang berbeda: kesendirian yang saling menyapa dalam
kesendirian.
Mungkin di zaman yang sinis sekarang, di zaman ketika keke-
rasan, penyingkiran, penampikan, dan pembantaian hampir terjadi
tiap hari, adegan antara si bocah dan si gadis terasa sentimental. Ma-
sih adakah ”kita” hari ini? Benarkah manusia bukan masing-masing
yang hanya mau (atau hanya mampu) memandang orang lain de-
ngan sebuah binokular dari jarak yang keras?
Svanurinn bukanlah sebuah kisah melankoli ketika keakraban
dirindukan. Bergsson juga bercerita tentang kebersamaan yang me-
ngandung antagonisme. Di pedalaman itu, di antara para petani itu,
si upik dari Reykjavík menghadapi sebuah dunia yang tak dikenal.
Pada hari pertamanya di dusun itu ia membayangkan bagaimana ia
membela diri: kepalanya memuncratkan air tuba ke seantero rumah,
meracuni siapa saja, manusia, binatang, juga udara.
Yang brutal dan mementingkan diri juga jadi bagian hidup seha-
ri-hari di pedalaman yang tak padat itu. Ada seekor anak sapi yang
akan disembelih. Semua bocah kecil di kampung itu bersemangat
betul menyaksikan kematiannya. Beberapa saat sebelum pisau me-
menggal, upik kita berbisik ke kuping binatang yang akan dibunuh
itu: ”Kau tahu, kau tak punya lagi banyak waktu?”
16 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka DI ISLANDIA
Anak-anak kampung yang lain senang mendengar pertanyaan
itu, dan mereka pun bergiliran mengucapkan kalimat yang sama.
Lalu si sapi kecil disembelih. Beberapa jam kemudian, tubuhnya su-
dah dipotong-potong dan dihidangkan di meja. Semua menyantap-
nya, mengunyahnya.
Sehabis makan, anak-anak itu mendatangi si induk sapi. ”Ada-
kah ibu itu tahu bahwa pada saat itu kami sedang mencerna anaknya
di perut kami?” Dengan tenang, si upik menguapkan napas dari
mulutnya ke cuping hidung sang induk.
Siapakah ”kami”? Dalam kasus ini, ”kami” adalah pihak yang
membunuh dan mengunyah yang lain—yang tak mungkin menga-
takan bahwa yang mati itu sesuatu yang singular, yang tak terganti-
kan. Tapi di saat lain, si upik mengalami, meskipun tak dapat meng-
ucapkannya, bahwa kematian adalah momen yang membuat diri
terbatas tapi unik. Di salah satu adegan ia berdiri membungkuk me-
mandang air biru rawa. Ia bayangkan tubuhnya lumer dan meng-
hilang di kebiruan itu. Akan meloncat masukkah ia ke rawa itu? Ia
bertanya dalam hati. Ia angkat kakinya. Di permukaan air, ia lihat
bayangan sol sepatunya yang aus....
Umurnya baru sembilan. Tapi sepatu itu bagian dari cerita perja-
lanannya yang tak akan terulang, apalagi pada sol sepatu lain. Di
saat itu, ia kesendirian, ia fana, tapi ia berarti. Tapi mungkinkah ke-
sendirian bisa berarti di dusun itu?
Pada hari pesta petani, si upik melihat para lelaki menelungkup
menutupi para perempuan dengan tubuh mereka. Ia mengira,
orang-orang sedang melindungi orang lain dari curah hujan yang
mengancam turun. Langit gelap.
Di muka bumi, pelbagai tubuh saling menyentuh, pelbagai sol
sepatu menapak. Mereka muncul di ruang yang sama, namun tak
ada yang cuma jadi fotokopi yang lain.
Ada yang mengatakan bahwa ”singularitas” itu, dalam kebersa-
maan di muka bumi, dengan sendirinya berbagi. ”Toi partage moi,”
Catatan Pinggir 10 17
http://facebook.com/indonesiapustaka DI ISLANDIA
kata Jean-Luc Nancy. Tapi tak ada yang total: antagonisme berke-
camuk, dan pada saat yang sama punya batas. Antara hidup dan
mati ada malam-malam ketika seseorang menggamit seorang lain,
ingin mengucapkan apa yang tak terucapkan: ”Datanglah, aku tahu
kau di sana.”
Tempo, 23 Januari 2011
18 Catatan Pinggir 10
KOMUNISME
http://facebook.com/indonesiapustaka JIKA komunisme adalah masa lalu, ketakutan kepadanya se-
tali tiga uang dengan nostalgia. Tapi haruskah ide ini hanya
disikapi demikian, bila ia adalah impian yang tak pernah
lapuk oleh cuaca yang berganti?
Kita bersua dengan Gonzalo: tokoh dalam lakon Shakespeare,
The Tempest (diterjemahkan Trisno Sumardjo sebagai ”Prahara”).
Ia penasihat Raja Alonso dari Napoli. Di tengah kelicikan dan ti-
pu-menipu politik, orang tua ini tetap baik hati. Sejak awal la-
kon kita tahu ialah yang menolong Prospero dan putrinya ketika
mereka dihanyutkan ke laut. Ia juga yang merayakan perdamaian
di antara para bangsawan yang bertikai—orang-orang serakah
dan mendendam yang akhirnya bertemu kembali di pulau yang
penuh sihir itu.
Tapi yang penting dalam percakapan kita kini: Gonzalo pu-
nya sebuah bayangan tentang masyarakat yang dalam wayang
purwa digambarkan oleh ki dalang sebagai gemah ripah loh jina-
wi, thukul kang sarwo tinandur. Di sana alam menghasilkan apa
saja yang dibutuhkan dan orang tak berkekurangan:
... nature should produce
Without sweat or endeavour... and should bring forth,
Of its own kind, all foison, all abundance,
To feed my innocent people.
Di sana orang tak perlu bekerja, ”all men [are] idle.” Tak ada pe-
rebutan. Tak ada sengketa. Tak ada pengadilan yang menengahi
sengketa: ”No name of magistrate.” Dan dengan demikian tak per-
lu ada raja yang berdaulat yang menjaga agar peradilan efektif:
”No sovereignty.”
Catatan Pinggir 10 19
http://facebook.com/indonesiapustaka KOMUNISME
Dalam kata-kata Marx dua abad kemudian, itulah masyarakat
komunis, masyarakat di mana ”Negara”—sebuah instrumen pe-
maksaan—tak dibutuhkan lagi, sebab tak ada lagi konflik di an-
tara kelompok sosial. Tingkat komunisme tercapai, kata Marx,
bersama dengan saat Negara ”melapuk-lenyap”, der Staat stirbt ab.
Bagaimana menyiapkan keadaan yang seperti itu tak dijelas-
kan Marx. Ia tak hendak menuliskan ”resep bagi toko masakan
masa depan”, seperti dikatakannya dalam pengantar Das Kapital
edisi kedua. Memang ada gagasan agar alat-alat produksi dikua-
sai bersama oleh masyarakat, hingga hasilnya tak terganggu kri-
sis. Tapi haruskah untuk gemah ripah itu manusia mengikuti ag-
resivitas kapitalisme, karena—seperti disebutkan Manifesto Ko-
munis—kaum borjuislah yang terbukti berhasil mengubah du-
nia?
Terry Eagleton, yang menyumbangkan satu tulisan yang se-
gar untuk buku The Idea of Communism yang disusun Costas
Douzinas dan Slavoj Žižek (terbitan Verso, 2010), mengetengah-
kan satu paradoks.
Di satu pihak, komunisme menghendaki satu tingkat di mana
orang dapat ”memperoleh sesuai dengan yang dibutuhkannya,
dan menyumbang sesuai dengan kemampuannya”. Ini berarti
satu keadaan sosial yang merupakan, dalam kata-kata Eagleton,
”buah produktivitas yang intensif”. Di lain pihak, komunisme
juga merupakan penentang dari desakan produktivitas yang tak
sehat (”patologis”) itu: desakan yang kini terbukti merusak alam
dan menindas manusia di bawah regimentasi kerja.
Dalam paradoks itu, pemecahan model imajinasi Gonzalo
bukanlah melihat manusia sebagai sumber produktivitas. Yang
produktif alam. Manusia cuma pasif menampung kedermawan-
an bumi: ”all men [are] idle” seperti telah dikutip tadi. Manusia
yang agresif adalah pangkal kekejian, bukan saja terhadap air, po-
hon, fauna, udara. Manusia jadi tak peka akan nasib tubuhnya
20 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka KOMUNISME
sendiri dan tubuh orang lain. Bagi Gonzalo yang lembut hati,
manusia yang baik adalah manusia yang ramah dan menghargai
momen bermain bersama.
Tapi komunisme semacam itu, seperti dikatakan Eagleton,
bukanlah yang dilahirkan kaum pekerja. Komunisme semacam
itu hanya diyakini seorang Oscar Wilde, seniman pesolek yang
menyukai hidup sebagai keindahan dan keasyikan: komunisme
yang berlangsung antara jamuan makan malam.
Sayangnya, sebuah masyarakat senantiasa hidup dalam kon-
disi keterbatasan, dan dengan itu mengatasi keterbatasan. Di sini
Eagleton mengemukakan satu tokoh lain dari Shakespeare: Lear.
Raja ini meninggalkan takhta yang diperebutkan dengan be-
ngis oleh putri-putrinya. Ia mengembara di tengah alam yang di-
ngin, muram, hampa. Di situ, katanya, pengemis yang paling pa-
pa pun seakan-akan berlebih, dan hidup manusia demikian mu-
rahnya: ”Man’s life is cheap as beast’s.”
Hidup murah di sini berarti hidup yang tak memerlukan ba-
nyak. Dari Lear pun kita menyadari makna keterbatasan—bu-
kan dari petuah-petuah agama tentang manusia yang daif dan
Tuhan yang Akbar, melainkan dari tubuh yang hampir telanjang,
tersisih, tak punya apa-apa.
Dari keterbatasan itu terbitlah rasa bersama. Demikianlah
raja tua itu menyeru, anehnya dalam keadaan hampir gila, sesu-
atu yang menggugah, seakan-akan suara khotbah lain dari bukit:
”Expose thyself to feel what wretches feel”—sebuah seruan untuk so-
lidaritas kepada yang nestapa.
Saya kira lewat kalimat-kalimat dalam King Lear itu Shake-
speare berbicara kepada para penonton di teater The Globe, di te-
pi Sungai Thames, London, di masa ketika ketimpangan sosial
awal abad ke-17 begitu tajam. Lewat mulut Lear ia menghujat
”orang yang serba berlebih dan hidup dari nafsu” (”the superflu-
ous and lust-dieted man”). Melalui Lear juga ia mengimbau agar
Catatan Pinggir 10 21
http://facebook.com/indonesiapustaka KOMUNISME
kekayaan yang berlimpah ruah itu didistribusikan, hingga tiap
orang berkecukupan:
So distribution should undo excess,
And each man have enough
Jika itu adalah ide ”komunisme”, ia memang lebih tua ke-
timbang Marx. Dan saya kira, tanpa Marx, seruan Lear dan im-
pian Gonzalo akan berlanjut. Kadang-kadang dengan ketakutan.
Kadang-kadang dengan nostalgia.
Tempo, 30 Januari 2011
22 Catatan Pinggir 10
ALIEN
http://facebook.com/indonesiapustaka DARI petak sawah di desa di Sleman itu, kita tak terkejut
lagi. Orang berbicara dengan yakin tentang makhluk
angkasa luar yang barusan berkunjung. Sebuah ling-
karan terbentuk secara misterius di atas padi yang hijau, dan
orang tak segera menduga, jangan-jangan ada mahasiswa pintar
yang iseng dari kampus UGM yang membuatnya. Yang kita ba-
yangkan adalah makhluk dari ribuan tahun cahaya jauhnya,
yang kita namai dengan bahasa asing: alien.
Ada yang berubah sebenarnya: kini Sleman, Yogyakarta, Jawa,
Indonesia, bahkan dunia, telah kita terima sebagai sesuatu yang
dengan wajar bersentuhan dengan sesuatu yang berbeda. Bahkan
mungkin sama sekali berbeda. Bahkan tak kita ketahui seberapa
jauh ”sesuatu” itu bisa kita bandingkan dengan diri kita, dan bi-
sakah alien itu kita kenali.
Ini 2011: kita hidup di era pasca-Flash Gordon. Tokoh fiktif
ini, yang telah dikenal akrab oleh beberapa generasi Indonesia,
kini kian jauh dari kenangan. Ada masanya film yang dibintangi
Buster Crabbe, yang dibuat pertama kali pada 1936, beredar di
gedung-gedung gambar-hidup yang dikunjungi kakek-nenek
dan ayah-ibu kita. Di waktu kecil, saya menontonnya di sebuah
gedung berdinding seng di kota kami, dan anak-anak kampung
dengan antusias mengisahkan kembali petualangan Si Flash:
sang jagoan terbang bersama ”istrinya” (sebenarnya pacarnya,
Dale Arden) dan ”ayah”-nya (sebenarnya Dr Zarkov, ilmuwan se-
tengah gila penemu pesawat ruang angkasa yang menculik Flash
dan Dale)—satu indikasi betapa dekatnya para penonton udik
itu dengan fantasi Hollywood.
Tapi tampak juga, di masa lalu itu tempat & waktu kita telah
membentuk lensa mata kita untuk melihat kehidupan di luar.
Catatan Pinggir 10 23
http://facebook.com/indonesiapustaka ALIEN
Imajinasi kita datang dari kampung tradisional, di mana tokoh
cerita berhubungan sebagai keluarga (”istri”, ”ayah”). Imajinasi
Alex Raymond, yang dengan goresan gambarnya yang apik dan
saksama memulai komik yang kemudian dijadikan film itu, juga
tak berbeda mendasar dari yang di benak anak kampung tetang-
ga saya. Pada awal 1930-an itu, Raymond, orang New York yang
pernah bekerja sebagai kerani di Wall Street, menggambarkan
penghuni planet Mongo (dengan Kaisar Ming yang kejam seba-
gai penguasa) mirip orang Cina yang mungkin ia lihat di Canal
Street. Era Flash Gordon adalah masa ketika geografi dan sejarah
manusia kita percayai sebagai satu-satunya paradigma.
Empat dasawarsa setelah itu, film Close Encounters of the Third
Kind menandai sebuah perubahan: antroposentrisme itu telah di-
tinggalkan. Steven Spielberg tak lagi menampilkan satu epik. Ia
tak mengulangi tema yang seru tentang seorang lulusan Yale be-
rambut pirang sebagai adijawara yang melawan si ”asing” jahat
yang berkulit kuning. Spielberg mendasarkan ceritanya pada teo-
ri pakar UFO Allen Hynek, seorang astrofisikawan dari North-
western University, yang menyebut makhluk lain itu animate be-
ing, yang bukan dengan sendirinya extraterrestrial atau dari luar
bumi. Hynek bahkan tak memakai kata alien. Dalam Close En-
counters, makhluk-makhluk itu praktis tak dapat digambarkan:
mereka liyan yang sepenuhnya liyan. Mereka ada bukan sebagai
bagian dari permusuhan yang kita bikin dengan galaksi lain.
Film Spielberg adalah gema zamannya. Ia dibuat ketika Pe-
rang Vietnam telah menimbulkan rasa muak dan marah kepada
keyakinan, narsisme, dan paranoia Amerika. Dalam Close En-
counters, sebagaimana kemudian dalam film E.T., tak ada lagi
motif dari masa Flash Gordon, apalagi dari masa Buck Rogers, (di
awal 1930-an juga), sebuah cergam dengan khayal tentang bangsa
”Merah Mongol” yang menyerang Amerika kelak di pertengahan
abad ke-21. Sebagai kontras, satu kalimat tercantum pada poster
24 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka ALIEN
film Spielberg, tanpa kecemasan: ”We are not alone”.
Menarik bahwa Spielberg datang dengan kalimat itu setelah
bertahun-tahun orang di mana pun dirongrong kecemasan ke-
pada alien, baik dalam arti ”E.T.” maupun dalam arti orang yang
datang dari ”luar”. Tampaknya kesadaran bahwa ”kita tak sendi-
rian” selalu diinterupsi dengan keras oleh rasa waswas yang meng-
anggap egosentrisme sebagai kedaulatan. Seabad sebelum Koper-
nikus, manusia sebenarnya sudah sampai ke satu kesimpulan: bu-
kan saja bumi terselip di antara jutaan galaksi, tapi juga bahwa
bumi bukan lagi pusat—dan bahwa di alam semesta, tak ada
yang disebut pusat.
Nicolaus Cusanus menulis Apologia doctae ignorantiae pada
1440. Seperti diuraikan dengan bagus oleh Karsten Harries
dalam Infinity and Perspective, Cusanus menunjukkan bahwa bu-
mi bak ”sebuah roda di dalam sebuah roda dan sebuah lingkaran
dalam sebuah lingkaran”—yang tak punya pusat ataupun batas
yang melingkunginya. Dan bumi itu bukan terra firma. Ia berge-
rak seperti kapal yang berlayar entah ke mana.
Di masa ketika bumi dianggap sebagai pusat jagat raya, pen-
dapat ini bahkan lebih radikal ketimbang kosmologi Kopernikus
dan Kepler yang datang kemudian, yang masih yakin ada satu
pusat: matahari. Bagi Cusanus, anggapan adanya satu pusat ha-
nyalah sebuah ilusi.
Empat ratus tahun kemudian Nietzsche melukiskan ilusi itu
dengan perbandingan yang dramatis. Sejarah dunia yang ber-
abad-abad itu sebenarnya cuma satu menit saja dalam usia alam
semesta dan bumi hanya satu bintang nun jauh di pojok bentang-
an yang tanpa batas itu. Meskipun demikian, di bintang itu de-
ngan congkak manusia menemukan ”Kebenaran” yang abadi.
Padahal menit itu akan lewat, bintang itu membeku, dan hewan
congkak itu musnah....
Mungkin bersama Cusanus dan Nietzsche kita perlu mene-
Catatan Pinggir 10 25