http://facebook.com/indonesiapustaka ALIEN
ngok lingkaran Sleman. Siapa pun yang membuatnya, kita tahu:
kita tak sendirian, tapi juga kita akan kalah dalam permainan
monopoli alam semesta. Meskipun kita bilang, ”Tuhan kita ber-
sama kita.”
Tempo, 6 Februari 2011
26 Catatan Pinggir 10
LAPANGAN
http://facebook.com/indonesiapustaka IKADA, Jakarta, September 1945. Wenceslas, Praha, Januari
1969. Tiananmen, Beijing, Juni 1989. Midan Tahrir, Kairo,
Februari 2011.
Di lapangan-lapangan ibu kota, politik dalam pelbagai ben-
tuknya bertemu. Berbenturan. Orang meriskir diri untuk pembe-
basan. Atau sebaliknya: orang berjudi dengan represi, memperta-
ruhkan masa depan seraya menaklukkan para pembangkang de-
ngan senjata. Atau kata-kata.
Di Jakarta 1945, sebuah rapat umum digelar untuk mendu-
kung proklamasi yang sebulan sebelumnya dimaklumkan. Di te-
ngah ketakpastian tentang apa yang akan terjadi, Bung Karno
dan Bung Hatta menyatakan bahwa Indonesia memasuki sebuah
posisi baru sama sekali, yakni merdeka. September itu, di La-
pangan Ikada tak ada tentara Jepang yang menembak orang ra-
mai. Tapi suasana panas, bergelora.
Di Praha 1969, di Lapangan Wenceslas, seorang mahasiswa
filsafat membakar diri. Jan Palach mati pada umur 21. Ia mempro-
tes pendudukan Soviet yang dengan mengirim tank dan tentara
hendak meneguhkan sistem komunisme kembali di Cekoslova-
kia dan membungkam rakyat yang menginginkan liberalisasi.
Di Beijing 1989. Puluhan ribu anak muda menuntut. Di te-
ngah-tengah protes yang berhari-hari itu, di Lapangan Tianan-
men sebuah patung ”Dewi Demokrasi” setinggi 10 meter didiri-
kan tepat berhadap-hadapan dengan gambar besar Mao Zedong.
Beberapa hari kemudian, bentrok terjadi. Anak-anak muda itu
diserbu dan ditembaki. Diperkirakan ratusan yang tewas, tapi
tak tercatat.
Hari-hari ini, Februari 2011, di Kairo, Lapangan (Midan)
Tahrir menyaksikan thema yang sama dalam sejarah yang tak sa-
Catatan Pinggir 10 27
http://facebook.com/indonesiapustaka L A PA NGA N
ma.
Lapangan, tampaknya, bukan sekadar ruang yang terbentang
horizontal. Lapangan adalah sebuah endapan sejarah politik yang
tak selamanya teringat. Sejak ia dikonstruksikan.
Ikada (akronim dari Ikatan Atletik Djakarta) tak dimulai oleh
para penggemar olahraga. Bentangan hijau di pojok timur dari
tempat yang kini dikenal sebagai ”Monas” itu didirikan di awal
abad ke-18. Yang punya ide Herman Willem Daendels. Ia ingin
merayakan kemenangan Napoleon Bonaparte di Belanda dengan
mendirikan Champ de Mars itu. Setelah Napoleon kalah, lapang-
an itu diubah namanya jadi Koningsplein.
Lapangan Wenceslas, yang lebih mirip sebuah boulevard ke-
timbang alun-alun, bermula sebagai pasar kuda di abad ke-14.
Tapi di sini pun kemudian kekuasaan dilembagakan dan simbol
ditegakkan: sebuah nama baru jadi resmi (dengan nama orang
suci), dan sebuah monumen dibangun.
Terlebih lagi Tiananmen. Didesain di tahun 1651, namanya
mengisyaratkan sebuah energi politik yang mengacu ke stabilitas:
ia praktis bagian dari ”Gerbang Kedamaian Surgawi”.
Juga Midan Tahrir Kairo. Ia semula bernama Lapangan Isma-
iliyah, mengikut nama penguasa Mesir abad ke-19, Khedive Is-
mail, yang bertakhta di sana sebagai wakil kekuasaan Turki. Ke-
tika Mesir jadi republik melalui sebuah revolusi di tahun 1952, la-
pangan itu diganti namanya jadi ”Lapangan Pembebasan”.
Pergantian nama seperti itu mengisyaratkan bahwa tak ada
fondasi yang kekal dalam simbol macam itu. Lapangan adalah
konstruksi kekuasaan, tapi samar-samar di balik hasratnya yang
monumental, kekuasaan yang menghadirkannya sepenuhnya
bersifat contingent, serba mungkin, bergantung pada dua energi
politik yang bertabrakan. Di satu sisi, energi politik yang memba-
ngun institusi dan kemapanan. Di sisi lain, energi politik yang
menjebol mengguncangkan.
28 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka L A PA NGA N
Itulah sebabnya tiap lapangan mengandung sebuah ilusi. Pada
mulanya ia impian tentang sebuah pusat. Tiap lapangan juga ha-
sil impian untuk mencapai yang kekal, yang utuh berbentuk—
tapi yang sebenarnya tak punya dasar. Sebab itu tiap lapangan
mencerminkan politik sebagai Polizei, untuk meminjam istilah
Carl Schmitt: daya untuk menjaga tata yang hendak ditegakkan.
Maka tiap lapangan ditandai batas: ada pagar kadang-kadang,
ada papan nama. Pada gilirannya, tiap lapangan hendak mewu-
judkan politik sebagai Politesse: politik yang berusaha menutup-
nutupi antagonisme yang berlangsung di masyarakat.
Maka lapangan pun jadi tempat bercengkerama dan bermain
yang sopan santun. Atau sekadar wadah pertemuan sengaja atau
tak sengaja. Masyarakat akan tampak ”sudah jadi”. Harmoni se-
akan-akan sifat dasarnya.
Tapi politik bukanlah gambaran yang ”sudah jadi”. Apa yang
bergelora di Ikada, Wenceslas, Tiananmen, dan Midan Tahrir
mengungkapkan bahwa di balik batas-batas lapangan, selamanya
bergerak energi yang tak dapat ditangkap oleh tata simbolik yang
dijaga polisi. Adat-istiadat yang berkuasa tak juga bisa menjinak-
kannya. Di atas saya sebut energi politik yang menjebol: energi
yang gerah, geram, bergerak dengan gairah, dan mengguncang-
kan.
Itu sebabnya sejarah lapangan di pusat ibu kota selalu bisa di-
guncangkan: karena kekuasaan yang abadi tak diakui lagi (juga
di Tiananmen), orang bergulat menempatkan simbol-simbol ba-
ru. Tapi mengubah nama dan membangun patung hanyalah se-
bagian dari proses itu. Bagian yang lebih luas adalah laku pertun-
jukan, act of performance. Lapangan adalah sebuah teater, karena
hanya dengan itu lambang itu punya makna.
Teater itu bisa pedih—seperti yang disaksikan dunia di La-
pangan Wenceslas tahun 1969: Jan Palach, di tengah hari musim
dingin di Januari, datang. Ditanggalkannya jas panjang yang ia
Catatan Pinggir 10 29
http://facebook.com/indonesiapustaka L A PA NGA N
pakai, disiramkannya bensin ke seluruh tubuhnya, lalu dinyala-
kannya korek api. Dalam beberapa detik, api membakar badan-
nya. Tiga hari kemudian ia mati. Di saku jasnya ada secarik ker-
tas, dengan tulisan: ”... ini dilakukan untuk menyelamatkan Ce-
koslovakia dan pinggir jurang ketiadaan harapan.”
Tempo, 13 Februari 2011
30 Catatan Pinggir 10
ISTRI LOT
http://facebook.com/indonesiapustaka HARI-hari ini kita akan terpaksa kembali kepada Tuhan
yang ”ganas”, yang ”cemburu”—Tuhan dalam sajak
Amir Hamzah yang terkenal itu. Kita akan teringat ke-
pada-Nya, ketika di banyak tempat orang berseru, menyebut Na-
ma itu, dan merasa sah untuk membantai.
Tuhan dan kekerasan: kedua kata itu akan berjauhan seandai-
nya tak ada orang-orang yang tak berdaya yang dianiaya oleh me-
reka yang merasa menjalankan titah-Nya.
Februari 2011, serombongan orang atas nama Islam membu-
nuh tiga orang di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Juni 2010, bebe-
rapa orang menembaki Jemaat Ahmadiyah yang sedang melaku-
kan salat Jumat di dua masjid Lahore; sekitar 80 orang tewas.
Februari 2002, di Gujarat, India, orang muslim dan Hindu sa-
ling membantai; kurang-lebih 1.200 orang mati. Februari 1994,
seorang Yahudi, Barukh Goldstein, menembakkan senapan me-
sin ke orang-orang yang bersembahyang di Masjid Ibrahim, Yeru-
salem. Sekitar 30 muslimin tewas.
Catatan ini bisa ditarik ke masa silam: Agustus 1572, orang-
orang Katolik Prancis memulai pembantaian besar-besaran umat
Protestan. Puluhan ribu mati. Beberapa belas tahun kemudian,
November 1588: penguasa Protestan Inggris menghukum mati
33 orang Katolik karena iman mereka.
Apa yang mencolok dalam kekejaman itu adalah awalnya:
orang tak dilihat sebagai wujud yang singular. Tuhan agaknya
hanya terasa akbar bila digambarkan sebagai Sang Pelaksana
Agung hukuman kolektif. Kita teringat akan kisah Perjanjian
Lama tentang Kota Sodom yang dihancurkan-Nya. Sodom dan
Gomora binasa, karena bagi-Nya kota-kota itu hanya dosa.
Keadilan bisa disebut di sini, jika keadilan hanya berarti ada-
Catatan Pinggir 10 31
http://facebook.com/indonesiapustaka ISTRI LOT
nya hukuman atas kesalahan. Tapi kita tahu, keadilan juga perso-
alan yang rumit. Andai Sodom, tempat berkecamuknya perilaku
homoseksual yang membuat ”banyak keluh-kesah orang” dan
”sangat berat dosanya”, patut dibinasakan, adilkah untuk tak me-
lihat bahwa dalam kota itu, sebagai kesatuan, ada beda yang tak
terduga? Bahkan Abraham, orang yang telah dipilih-Nya, risau
menghadapi sikap Tuhan yang murka itu. Dalam doa syafaatnya,
laki-laki itu bertanya: ”Apakah Engkau akan melenyapkan orang
benar bersama-sama dengan orang fasik?”
Syahdan, Tuhan mendengarkan doa Abraham. Tapi, bagi-
Nya, tetap tak cukup jumlah orang baik yang akan membuat So-
dom bisa diselamatkan. Esoknya Abraham mengetahui usahanya
gagal. Pagi-pagi ia memandang ke arah Sodom dan Gomora serta
ke seluruh tanah Lembah Yordan. Yang dilihatnya: ”asap dari bu-
mi membubung ke atas sebagai asap dari dapur peleburan”.
Kita tak tahu apa yang kemudian terjadi dalam dirinya. Yang
kita ketahui dari Alkitab: laki-laki ini tetap setia kepada Tuhan
yang tak sepenuhnya dipahaminya. Ia seorang patriah. Ia seorang
pemimpin. Ia bukan seorang yang diketahui mencatat kepedihan
orang yang tak bersalah dan jadi korban. Terutama perempuan,
yang dalam agama sering tak dianggap penting.
Agaknya sikap tak peduli ini menyebar dari generasi ke gene-
rasi. Tapi pada tahun 1920-an seorang penyair perempuan, Anna
Akhmatova, menulis sesuatu yang lain. Ia menulis sebuah sajak
tentang istri Lot.
Ia bertolak dari ujung kisah Sodom yang mengerikan itu. Se-
belum kota itu binasa, malaikat berkata kepada Lot, orang yang
dikasihi Tuhan, agar ia membawa istri dan kedua anaknya me-
nyingkir. Mereka pun dibawa ke luar kota, seraya diberi pesan,
agar jangan menoleh ke belakang. Lot dan kedua anaknya sela-
mat. Tapi, dengan satu kalimat yang seakan-akan hanya terselip,
disebutkan: ”... istri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke
32 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka ISTRI LOT
belakang, lalu menjadi tiang garam.”
Lalu perempuan itu tak pernah disebut lagi—juga tak pernah
ditanyakan, apa sebabnya ia tak patuh. Di tengah kebisuan itu,
atau terhadap kebisuan itu, Akhmatova menyajikan sebuah cerita
lain. Saya terjemahkan sajaknya sebisa mungkin:
Lot yang suci pun melangkah, menyusul malaikat
Di atas bukit. Tampak besar, ia berkilat, hitam pekat.
Tapi hati istrinya berbisik, kian kuat, tak seperti biasa:
’Senja belum gelap. Tengoklah di balik sana.
Pandanglah menara kotamu yang merah mawar,
Taman tempat kau bernyanyi, halaman tempat kau memintal,
Jendela-jendela lapang rumahmu yang nyaman
Di mana anak-anakmu kau lahirkan’.
Maka ia pun memandang ke Sodom kembali. Tapi tatapan itu
Terpaku pedih: tak ada yang tersisa lagi.
Dan di saat itulah kakinya terbenam,
Tubuhnya tiang garam.
Di bait terakhir sajaknya Akhmatova kemudian bertanya: sia-
pa sanak saudara yang akan berkabung karena kekejaman itu?
Tersirat dalam Alkitab, perempuan itu cuma kehilangan yang tak
berarti. Hanya sang penyair yang tak bisa melupakannya: sajak-
nya adalah penghormatan kepada seorang yang bersedia mati
agar bisa melihat kembali, cukup sekali, apa yang amat berarti
baginya.
Dalam sajak dengan kisah yang sama yang ditulis Cyprianus
Bitin Berek, apa yang amat berarti itu lebih dijelaskan. Istri itu
membandingkan dirinya dengan suaminya. Lot seorang pengela-
na, sedangkan ia bukan. ”... diriku asli Sodom/Berbekas hingga
sumsum”.
Catatan Pinggir 10 33
ISTRI LOT
Betapa bisa kulupakan tanah ini?
Kanak-kanakku terukir di pohon-pohon
dan kilau remajaku di tembok kota.
Betapa kutinggalkan sanakku mati terbakar?
Artinya, yang berarti bagi perempuan ini bukanlah ketaatan
kepada titah yang agung, melainkan apa yang fana, rapuh, tapi
tak tergantikan. Ia korban. Ia sebuah nasib yang singular. Ganjil,
jika dilihat dari aturan.
Tuhan, yang ditafsirkan hanya berhubungan dengan yang Sa-
tu, tak akan menjangkau yang ganjil yang tak tepermanai itu. Ta-
pi Tuhan yang seperti itu bukanlah Tuhan yang lebih dekat ke di-
ri manusia ketimbang urat nadi lehernya. Kepada yang terakhir
ini agaknya manusia masih tak berhenti berharap.
Tempo, 20 Februari 2011
http://facebook.com/indonesiapustaka 34 Catatan Pinggir 10
REVOLUSI
http://facebook.com/indonesiapustaka REVOLUSI tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan.
Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam
sejarah modern.
Pada usia 20, Lafayette, aristokrat dari Auvergne, Prancis Sela-
tan, itu berangkat ke Amerika. Ini tahun 1777, ketika belum ada
harapan bagi perjuangan orang Amerika untuk membebaskan
diri dari penjajahan Inggris. Saat itu Raja Prancis tak mengizin-
kan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Ta-
pi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur. Hati-
nya berkobar dengan keyakinan yang disuratkan Deklarasi Ke-
merdekaan Amerika. Ia pun berangkat dari pantai Spanyol de-
ngan menyamar sebagai seorang perempuan.
Akhirnya—setelah menyatakan diri tak hendak menerima ba-
yaran sepeser pun—ia diterima bergabung dengan tentara pem-
bebasan yang dipimpin George Washington. Di antara pasukan-
nya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyam-
but pemuda Prancis yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus
merasa malu, mempertontonkan diri di depan seorang perwira
yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menja-
wab: ”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.”
Dan Lafayette memang belajar banyak, melalui perang, luka,
intrik politik—dengan gairah yang tak kunjung menciut. Ia kem-
bali ke Prancis setelah empat tahun bertempur. Beberapa tahun
kemudian ia terlibat langsung dengan Revolusi Prancis.
Pada 11 Juli 1789, dialah—yang darah birunya berasal dari ke-
las bangsawan lama—yang pertama kali mengajukan rancangan
”Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara”: ”Manusia di-
lahirkan sama-rata dalam hak-haknya, dan tetap demikian ada-
nya....” Dalam dokumen Prancis itu, terasa gema Deklarasi Ke-
Catatan Pinggir 10 35
http://facebook.com/indonesiapustaka REVOLUSI
merdekaan Amerika yang ditulis 13 tahun sebelumnya—gema
sesuatu yang kemudian terbukti universal.
Tapi kita tahu, Revolusi Prancis berakhir tak sama dengan Re-
volusi Amerika. Bung Karno pernah mengatakan, tak ada model
revolusi yang ”ready-for-use”. Masyarakat bisa diubah dengan sa-
tu desain, tapi tak akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Sejarah dan
geografi yang berbeda-beda tak mudah diutak-atik. ”Manusia
memang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang ter-
kenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilih-
nya sendiri.”
Maka Rusia, dengan cita-cita pembebasan universal, tak bisa
menyamakan kondisi Cina untuk melihat lahirnya sebuah revo-
lusi sosialis. Jalan Mao berbeda dengan jalan Stalin. Bahkan pada
akhirnya keduanya bertentangan. Rusia, Cina, Yugoslavia, Korea
Utara, Kuba, dan lain-lain: revolusi tak bisa difotokopi.
Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20 ia menjalar ke Asia, Afri-
ka, Amerika Latin. Kini, di awal abad ke-21, tampak ia berjangkit
dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya....
Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-
alun Tahrir, Kairo, bulan ini, Slavoj Žižek menyimpulkan: pem-
berontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak Revolusi
Amerika, ”Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak musta-
hil menyamakan diri dengannya.”
Yang menarik, Žižek melihat kontras pemberontakan di Me-
sir dengan ”revolusi Khomeini” di Iran. Di sana, kaum kiri harus
”menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang paling
kuat, yakni Islam.” Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, ”kerangka
itu jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk ke-
bebasan dan keadilan.” Justru Ikhwanul Muslimin, kata Žižek,
”menggunakan bahasa tuntutan sekuler.”
Kata ”sekuler” di sini tampaknya sama dengan ”tak didominasi
pandangan agama apa pun” dan sebab itu ”universal”, menyentuh
36 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka REVOLUSI
siapa saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah revolusi berhasil
tanpa seruan yang universal?
Žižek salah. Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga pu-
nya sifat-sifat universal. Kita menemukannya dalam pemikiran
Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa bersa-
ma tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya
orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan
Khomeini dengan yang universal: ”Islam” menjadi hanya ”kami”,
tak lagi ”kita”.
Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan ”ide
yang abadi” (kata-kata Žižek) tentang kemerdekaan dan keadil-
an. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan la-
ngit. ”Hak untuk mempunyai hak” tak diberikan satu kekuasaan
yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mere-
ka yang merasa terjepit.
Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi
punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kema-
rahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam.
Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu,
pergeseran dari ”kita” ke ”kami” tak terelakkan. Revolusi harus
mengukuhkan batas antara ”kami” dan ”mereka”—dan di situ,
”kita” ditiadakan.
Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika
yang universal—kemerdekaan, keadilan, harga diri—dilemba-
gakan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum. Ka-
um revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk ke-
merdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus di-
keluarkan.
Akan demikian jugakah gemuruh di Alun-alun Tahrir itu?
Karim, seorang demonstran muda, menyebut lapangan itu se-
buah ”utopia kecil”. Tapi utopia, dalam arti harfiahnya, terdiri
atas kata ou dan topos, ”bukan + tempat”. Ia jejak dari satu kejadi-
Catatan Pinggir 10 37
http://facebook.com/indonesiapustaka REVOLUSI
an yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerah-
kan kesetiaan yang besar untuk selalu merebut kembali yang hi-
lang itu.
Maka Lafayette tak berhenti di satu sisi Lautan Atlantik—dan
namanya tak tenggelam hanya sampai di abad ke-18. Revolusi tak
bisa difotokopi, tapi ia tak pernah selesai.
Tempo, 27 Februari 2011
38 Catatan Pinggir 10
AHIMSA
http://facebook.com/indonesiapustaka LAPANGAN Tahrir, sebelum Mubarak lengser. Ketika
malam menutupi Kairo, para pemuda yang ikut protes
bergeletakan berbaring. Ada yang tidur, ada yang mem-
baca. Sebuah cerita di BBC menyebut, di bawah bayang-bayang
tank tentara yang menjaga alun-alun itu, seorang demonstran
membaca buku Gene Sharp.
Sejak itu Sharp disebut di BBC dan The New York Times seba-
gai pengilham gerakan yang meletus di Mesir dan Tunisia.
Mengagetkan juga. Lelaki 89 tahun ini tampak kuno banget.
Di rumahnya yang sederhana di East Boston, ia tak tahu Face-
book atau Twitter; bahkan ia harus diberi petunjuk untuk mema-
kai e-mail.
Tapi rupanya, di dunia ia cukup dikenal. Ia, pendiri Albert
Einstein Institution, pernah jadi salah satu calon penerima Nobel
Perdamaian. Ia menulis satu buku tentang Gandhi dan kemudi-
an menghasilkan satu buku lain, From Dictatorship to Democracy.
Risalah tipis ini telah diterjemahkan ke dalam sekitar 30 baha-
sa, yang menurut The New York Times telah mempengaruhi ge-
rakan prodemokrasi di Bosnia, Burma, Estonia, Zimbabwe, dan
kini Mesir serta Tunisia. Sharp juga menulis sebuah manual,
198 Methods of Nonviolent Action, yang memberi petunjuk aksi
bagaimana ”mogok makan” sampai bagaimana ”mengenal mata-
mata”.
Tapi ia tak pernah ikut dalam pergerakan apa pun. Pada da-
sarnya ia seorang periset. Maka bisa dimengerti jika Sharp, yang
pemalu dan rendah hati itu, tak mau mendaku bahwa apa yang
terjadi di Mesir itu akibat pengaruhnya. ”Rakyat Mesir yang me-
akukan itu,” katanya, ”bukan saya.”
Bagaimanapun, sebuah ide bisa menyeberangi lautan. Ia bisa
Catatan Pinggir 10 39
http://facebook.com/indonesiapustaka AHIMSA
menyusup ke sebuah situasi yang memang pas untuknya—dan
jadi kuat atau menakutkan. Di Venezuela dan Burma, Sharp di-
anggap biang pembangkangan. Di Teheran ia dituduh ”agen
CIA”.
Demikian berbahayakah gagasan Sharp, yang menegaskan
prinsip nonkekerasan? Ia sendiri akan menyebutnya sebagai ”ga-
gasan Gandhi”. Pergolakan Mesir, katanya, itu ”datang langsung
dari Gandhi”.
Memang Gandhi, yang menolak untuk memakai kekerasan
dalam perjuangan antikolonialismenya, sebuah legenda yang
mempesona. Salah satu adegan dalam film tentang sang Mahat-
ma yang dibuat Richard Attenborough melekat di kepala saya: se-
jumlah demonstran tegak tak melawan ketika polisi kolonial Ing-
gris datang menghantam mereka dengan tongkat. Tapi, ketika re-
portase tentang hal ini tersiar ke seluruh dunia, orang pun tahu
mana yang ”biadab” dan mana yang teguh dalam keluhuran bu-
di. Sejak itu penjajahan Inggris kehilangan legitimasinya, juga di
Inggris sendiri.
Hari-hari ini kita tahu di Libya Qadhafi juga kehilangan legi-
timasinya. Selama 42 tahun ia berkuasa dan kini tetap ingin ber-
tahan dengan menembaki ratusan orang penentangnya. Dalam
pergaulan dunia ia tak akan dilihat sebagai pemimpin. Ia seorang
pembantai, hanya dengan kostum yang teatral: aktor tunggal
dalam sebuah teater kekejaman.
Tapi dibutuhkan sesuatu yang lebih hingga runtuh satu legiti-
masi dan jatuh seorang diktator. Apa gerangan yang akan terjadi
dengan Qadhafi: gagalkah ia bertahan dengan ”darah & besi”?
Butuhkah ia diakui sebagai seorang yang beradab? Jangan-jangan
tidak. Jika ia begitu kuat dan begitu tak peduli, Libya akan tetap
ditundukkannya.
Sebab tak semua perlawanan nonkekerasan berakhir bahagia.
Apalagi jika yang disebut ”berhasil” bukanlah hanya makzulnya
40 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka AHIMSA
seorang penguasa, tapi hadirnya sebuah kekuasaan lain berdasar-
kan ahimsa. Prinsip ini memang berakar dari kata ”tak melaku-
kan tindakan yang mencederai”. Tapi ia juga bagian dari sikap
yang menampik untuk membenci apa pun, berdusta, dan meng-
utarakan kata-kata bengis.
Betapa tak gampang....
Dalam perjuangan merebut hak-hak asasi kaum Hitam di
Amerika Serikat yang dipimpin Martin Luther King, yang tak
gampang itu ternyata berbuah. Sebagaimana Gandhi berhasil.
Tapi tak semua berakhir dengan kemenangan, baik dalam kekua-
saan maupun dalam nilai-nilai.
Di Cina, para pemuda memprotes Partai Komunis yang ber-
kuasa hanya dengan pengeras suara, patung darurat, dan sikap
nekat. Kita ingat potret jurnalistik yang termasyhur itu: seseorang
berdiri sendiri di tengah jalan menyetop barisan tank yang men-
deru ke Tiananmen. Tapi Partai yang berkuasa bersikeras. En-
tah berapa puluh orang tewas dibabat. Protes punah; kekuasaan
tegak, malah makin kukuh.
Contoh lain di Iran. Para demonstran dalam revolusi ini tak
menembakkan pistol atau melemparkan granat. Mereka hanya
dengan berani berseru-seru. Syah akhirnya jatuh, Ayatullah Kho-
meini naik. Tapi, setelah itu, kekuasaan yang menggantikannya
dengan rajin menghukum mati kawan-kawan revolusinya sendi-
ri. Ahimsa—dikembangkan Gandhi dari tradisi Veda, Jainis-
me, dan Buddhisme—tak ada dalam tradisi Islam. Ahimsa tak
menang di Iran.
Ataukah Gandhi sebuah perkecualian yang mujur? Kaum so-
sialis dari pelbagai penjuru dunia, dari Jawaharlal Nehru sampai
George Orwell, novelis dan esais itu, tak menganggap Sang Ma-
hatma begitu suci. Orwell (yang pernah bekerja sebagai polisi ko-
lonial) menulis bahwa pemerintah kolonial Inggris sengaja tak
hendak menghancurkan Gandhi. Mereka takut bila penganjur
Catatan Pinggir 10 41
http://facebook.com/indonesiapustaka AHIMSA
ahimsa ini lenyap, akan tampil para militan yang lebih menyukai
bom. Gandhi sendiri tak selamanya konsisten, kata para pengkri-
tiknya pula. Ahimsa asas yang terlalu luhur bagi dunia yang ber-
dosa.
Tapi jangan-jangan kita berlebihan. Perjuangan politik bu-
kanlah drama moralitas tentang yang ”luhur” dan yang ”berdo-
sa”. Ahimsa sebuah strategi, dan tiap strategi bisa keliru. Jika ada
yang tak keliru itu adalah keberanian untuk berkata ”tidak” ke-
pada yang lalim tapi punya bedil. Di dalamnya ada keberanian
untuk gugur dan gagal.
Tempo, 6 Maret 2011
42 Catatan Pinggir 10
MESH
http://facebook.com/indonesiapustaka Kalau ada sumur di ladang
Boleh aku menumpang mandi
TIAP kali ke luar rumah, saya mengutuk. Atau mengeluh.
Di dalam mobil.
Mobil, akhirnya, sebuah kontradiksi. Ia berasal dari
kombinasi kata auto + mobile. Tapi ”auto” itu pelan-pelan hilang,
karena akhirnya tak istimewa lagi ada kendaraan yang bisa ber-
gerak sendiri. Kini kata ”mobile” yang ke depan—dengan arti
”gerak yang cepat dan mudah”. Tapi itu sebabnya saya mengutuk:
berada di jalan-jalan Jakarta, mobil ternyata menentang makna-
nya sendiri.
Tak pelak lagi, benda ini telah berubah peran. Saya coba baca
sejarahnya. Ia dimulai sebagai sesuatu yang eksklusif, salah satu
bentuk ”kekayaan posisional” dalam pengertian Fred Hirsch.
Tapi dengan segera tak demikian lagi. Sejak awal abad ke-20, di
Prancis Panhard et Levassor sudah memproduksi mobil secara
massal. Tahun 1893, Duryea Motor Wagon Company jadi per-
usahaan pembuat mobil pertama di Amerika, disusul oleh Cadil-
lac dan Ford yang memproduksi ribuan mobil dengan cepat.
Transformasi pun terjadi: kendaraan ini kini sebuah bentuk ”ke-
kayaan demokratik”—yang diharapkan akan bisa dimiliki siapa
saja. Contoh terakhir: mobil murah Tata Nano di India.
Semangat ”kesetaraan sosial” abad ke-20 punya dampak di
sini: tiap orang punya hak sama untuk punya benda-benda yang
dulu bukan dianggap bagian hidup kelas bawah.
Tapi tak cuma itu. Perluasan pasar kapitalisme tak putus-pu-
tusnya menebarkan impian baru. Masyarakat pun membiasakan
hasrat untuk ”punya”. Berkecamuklah sikap yang ”dungu dan sa-
Catatan Pinggir 10 43
http://facebook.com/indonesiapustaka MESH
tu-sisi”, untuk meminjam kata-kata Marx: orang anggap sebuah
barang hanya jadi bagian dari diri bila langsung dimiliki untuk
jadi modal, atau langsung dimakan, diminum, dikenakan, dihu-
ni. Sebuah sejarah yang muram sebenarnya: seluruh hasrat dan
kapasitas manusia, kata Marx, digantikan oleh kesadaran akan
”punya”, der Sinn des Habens.
Mobil—yang di Jakarta lebih dari 80% milik pribadi—kian
menunjukkan sejarah yang muram itu ketika ia jadi contoh gejala
kongesti. Mobil saya terenyak di antara sekitar lima setengah juta
kendaraan pribadi di Jakarta, yang jumlahnya bertambah rata-
rata 9,5% per tahun, ketika panjang jalan hanya bertambah 0,1%.
Macet, kongesti, mandek. Tampaknya tak ada satu kekuasaan
yang bisa menyetop kecenderungan itu. Negara bukan saja dika-
cau birokrasinya sendiri, tapi juga dilumpuhkan persekongkolan
gelap yang membuat apa yang ”publik” dicincang-cincang ke-
pentingan privat yang terpisah-pisah.
Pilihan yang ditawarkan pasar memang mampu membebas-
kan individu dalam mengambil keputusan. ”Sayangnya,” seba-
gaimana dikatakan Hirsch dalam The Social Limits to Growth,
buku lama yang masih saya anggap penting, ”pembebasan indi-
vidual tak membuat kesempatan-kesempatan itu akhirnya mem-
bebaskan semua individu bersama-sama.”
Demikianlah kita beli motor, mobil, sesuai dengan hak dan
kemampuan kita. Tapi akhirnya kita tak jadi lebih bebas. Macet
pada tiap kilometer, mustahil kita mencapai tujuan dengan wak-
tu yang kita pilih.
Tapi sebenarnya saya capek mengeluh. Apa yang bisa dilaku-
kan?
Mungkin kita perlu menghitung. Juga mengenang. Kita
menghitung apa yang terbuang. Berapa jam dalam sehari sebe-
narnya kita perlu mobil di kota ini dalam keadaan normal? Kira-
kira kurang dari 5 jam. Tapi kita ingin menguasai milik itu 24
44 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka MESH
jam. Berapa ruang yang diambil satu mobil di jalan dan di tempat
parkir, sementara pengendaranya hanya dua manusia? Sekitar 12
meter persegi. Kepentingan privat yang terpisah-pisah akhirnya
telah membuang begitu banyak dana, waktu, ruang bersama.
Sebuah telaah memperkirakan, jika sampai tahun 2020 tak ada
perbaikan dalam sistem transportasi di Jakarta-Bogor-Depok-
Tangerang-Bekasi, kerugian ekonomi akan mencapai Rp 65 trili-
un per tahun, termasuk kerugian nilai waktu perjalanan: Rp 37
triliun.
Maka kita perlu mengenang: bukan ke masa ketika mobil be-
lum ditemukan, tapi ke masa ketika orang masih bisa berbagi. Sa-
ya teringat lagu itu: ”kalau ada sumur di ladang...”. Bukan saja su-
mur masih terletak di tempat terbuka, tapi juga orang masih bisa
”menumpang mandi”.
Yang tersirat dari pantun itu adalah sesuatu yang dulu lumrah
tapi kini terasa luar biasa: jika sumur—atau mobil, atau kamar
apartemen, atau rumah peristirahatan—hanya dipakai sesekali
oleh yang punya, alangkah baiknya jika di saat sisanya orang lain
juga bisa memakainya. Ini bukan cuma sebuah pesan moral. Ini
pesan cara survival.
Di Jakarta, di mana ada orang bisa punya banyak mobil dan
banyak tempat tinggal (yang tak mereka pakai), keserakahan dan
kemubaziran pun bertaut. Kita bukan saja hidup dengan ketim-
pangan sosial. Kita juga makin membuang ruang untuk hal yang
tak banyak digunakan—hingga kita tak punya taman, wilayah
pohon-pohon, arena bertemu dan bermain.
Itu sebabnya gagasan yang dirintis di tahun 2005 oleh Rudy-
anto, seorang warga Lippo Village, Karawaci, Tangerang, dengan
membuat komunitas online yang ia beri nama nebeng.com, bisa
jadi model untuk membangun cara dan sikap hidup alternatif.
Bergabung untuk nebeng satu mobil mungkin satu jalan kecil ke
arah kebebasan dari sikap ”dungu dan satu-sisi”, dari cengkeram-
Catatan Pinggir 10 45
http://facebook.com/indonesiapustaka MESH
an der Sinn des Habens.
Lisa Gansky, penulis dan entrepreneur yang menunjukkan
pentingnya sharing (bukan owning), akan menamai ide Rudyan-
to sebagai contoh ”mesh”: jalinan saling berbagi pelbagai hal, se-
buah ekonomi yang dibangun oleh sikap yang tak biasa dianggap
”ekonomi”. Di situ berbagi tak berarti mengurangi kekayaan, tapi
justru mengembalikan kekayaan: hidup di dunia yang lebih sehat
dalam sikap saling mempercayai, sikap yang selama ini dilupa-
kan.
Jika itulah yang akan saya dapatkan di Jakarta, saya pasti tak
akan mengutuk lagi.
Tempo, 13 Maret 2011
46 Catatan Pinggir 10
MEMANGKU
http://facebook.com/indonesiapustaka PARA raja di Jawa adalah ekspresi sebuah idaman. Teruta-
ma idaman tentang stabilitas. Kita ingat nama-nama me-
reka: Amangkurat dan Mangkubumi berarti ”memangku
bumi”. Hamengku Buwono berarti ”memangku benua”. Paku Bu-
wono: ”paku” atau ”pasak” yang membuat kontinen tak bergerak
terus, terpacak tak terguncang-guncang.
Sering kali kita lupa, nama-nama itu relatif baru. Mereka
muncul dalam sejarah monarki Jawa sejak abad ke-17. Sebelum
itu, dimulai dengan zaman raja-raja Mataram Lama sampai awal
Mataram Baru, kita hanya menemukan nama-nama pribadi: San-
jaya, Syailendra, Mpu Sindok, Airlangga, Hayam Wuruk, Raden
Patah, Trenggono, Hadiwijaya, Panembahan Senapati. Kemudi-
an, pada 1641, muncul gelar ”Sultan Agung Senapati ing Ngalaga
Abdurrahman”: transisi dari yang personal ke dalam yang simbo-
lik. Setelah itu, Amangkurat I.
Simbol, berbeda dengan tanda, mengacu ke sehimpun infor-
masi yang tak persis dan pasti. Yang simbolik mengandung sesua-
tu yang tak hendak dikatakan. Dalam nama ”Amangkurat” atau
”Paku Buwono” terasa satu kesadaran tentang geografi yang ber-
beda: sang penguasa membayangkan wilayah yang tak terbatas
hanya pada daerah yang dikuasainya langsung. Tapi sejauh mana
wilayah itu, tak ada garis yang persis. Kita ingat mithos yang ter-
kenal itu: hubungan yang akrab namun misterius Panembahan
Senapati, pendiri Kerajaan Mataram, dengan yang bertakhta di
”Laut Selatan” dan di ”Merapi”. Dalam kisah ini, tersamar hasrat
yang ekspansif yang tak hendak dikatakan.
Mungkin itu pertanda megalomania. Tapi mungkin juga lain.
Jika ditilik lebih dalam, nama-nama itu bukan mensugestikan
hasrat menaklukkan. Dalam kata ”memangku” ada makna ”me-
Catatan Pinggir 10 47
http://facebook.com/indonesiapustaka MEMANGKU
nampung” dan ”merawat”. Pangkuan adalah sesuatu yang mesra,
tenteram, dan protektif. Bahkan ”paku”, dalam nama ”Paku Bu-
wono”, lebih berasosiasi dengan penjagaan.
Namun pada saat yang sama, ada faset lain yang bisa dicatat:
apa yang dipangku dan dijaga dengan sendirinya sesuatu yang di-
anggap stabil, tak lasak—sesuatu yang betah dengan wadah tem-
pat ia berada. Dengan kata lain, negeri atau masyarakat yang ada
di haribaan raja diharapkan tak punya antagonisme dalam diri
mereka dan dengan sang raja.
Tentu saja, seperti saya sebut di atas, itu hanya sebuah idaman.
Simbol punya peran lain: bukan representasi sesuatu, melainkan
sebuah ikhtiar untuk mencapai sesuatu yang tak ada.
Dalam sejarah Mataram, yang tak ada itu justru harmoni an-
tara yang memangku dan yang dipangku. Sejak Amangkurat I,
kekerasan berkecamuk. Raja ini membantai 3.000 ulama di alun-
alun dalam waktu setengah jam. Raja ini pula yang akhirnya me-
nimbulkan pemberontakan Trunojoyo; ia bahkan disanggah
anaknya sendiri hingga lari dari istana. Ia meninggal jauh di pesi-
sir utara.
Kasus Amangkurat I menunjukkan, ikhtiar simbolisme itu la-
hir bersama kondisi raja sebagai sosok yang terbelah. Ia bertaut
dengan sesuatu yang mithologis; sebagai pemangku bumi ia tak
merupakan bagian dari bumi itu. Dengan posisi itulah ia diha-
rapkan (dan mengharap) jadi pemersatu alam. Tapi pada saat
yang sama, ia berada di dalam kegalauan bumi. Harapan untuk
jadi ”pemersatu” itu berlebihan. Selisih pun timbul.
Amangkurat adalah contoh betapa sebenarnya sang pemang-
ku bukan fondasi stabilitas. Ia sendiri tak punya penopang. Ia
tumbuh dari konflik dan kekerasan yang membentuk sejarah: se-
jak Majapahit runtuh, sejak Kesultanan Demak lenyap dan Ji-
pang hilang. Bahkan agaknya jauh sebelum Ken Arok memba-
ngun Tumapel dengan keris dan darah.
48 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka MEMANGKU
Juga sampai hari ini: kita harus mengakui, idaman akan sta-
bilitas adalah idaman yang bagus tapi sia-sia. Tiap negeri, keraja-
an, atau republik, bagaimanapun, terbentuk lewat bentrokan,
persaingan, dan pergulatan hegemoni. Antagonisme tak pernah
berakhir. Sejak Kautilya menulis Arthasastra di India di abad ke-4
sebelum Masehi, sejak Machiavelli menulis Il Principe di Italia
di abad ke-16, sampai dengan kompetisi demokratik abad ke-21,
para pemikir dan pelaku politik sadar: politik itu sejenis perang.
Apa boleh buat. Orang meciptakan kekuasaan untuk dirinya,
tapi ia tak dapat menjadikan kekuasaan itu identik dengan diri-
nya: kita ingat Amangkurat yang lari dari keraton, raja-raja yang
dimakzulkan dan dipenggal, khalif-khalif yang dibunuh dan di-
cemarkan. Yang penting tentu saja bukanlah mengakui kebrutal-
an itu sebagai sesuatu yang sah. Yang penting adalah meniadakan
ilusi bahwa bumi akan berhenti gonjang-ganjing setelah dipang-
ku dan dipaku. Kekuasaan selalu bergeser. Orang yang mencipta-
kannya, dalam kata-kata Ernesto Laclau, ”akan sia-sia mendapat-
kan hari ketujuh untuk beristirahat”.
Kita, di Indonesia, mudah merindukan hari ketujuh itu: terca-
painya konsensus. Saya tak sepenuhnya sepaham dengan Laclau
bahwa antagonisme adalah satu-satunya dasar yang membentuk
sebuah masyarakat. Tapi memang tak dapat diasumsikan bahwa
konsensus pasti datang. Para pihak dalam kehidupan politik tak
dengan sendirinya akan menemukan ”rasionalitas” dan dengan
itu bermufakat. Dalam sejarah Indonesia, dengan atau tanpa de-
mokrasi, tak ada persaingan tanpa perlawanan. Politik tak mung-
kin hanya mengejar koalisi tanpa konfrontasi.
Dalam salah satu kitab Jawa abad ke-19 disebutkan agar para
calon pemimpin berlapang hati, serba memuat dan memangku,
”bagaikan lautan”—den ajembar, momot lan mengku, den kaya se-
gara. Petuah itu tampaknya dirumuskan seseorang yang merasa
diri aman dari politik dan ditujukan kepada para pewaris sebuah
Catatan Pinggir 10 49
http://facebook.com/indonesiapustaka MEMANGKU
kekuasaan yang sedang tenteram. Tapi di tanah air kita, laut bu-
kanlah tasik yang tenang tak beriak. Ia punya prahara dan tsu-
nami.
Tempo, 20 Maret 2011
50 Catatan Pinggir 10
BOM/BUKU
http://facebook.com/indonesiapustaka BOM dan buku: kekerasan adalah jalan sempit yang me-
mintas, percakapan adalah jalan yang tak ada ujung. Ta-
pi bom yang hendak menghentikan dialog akhirnya tak
akan menghentikannya. Pihak ”sana” bisa tewas, yang membu-
nuh toh tak dengan sendirinya menang; kebenarannya tak serta-
merta diakui. Sementara itu buku, di mana percakapan berkem-
bang, memang punya sampul penutup, tapi buku yang sempurna
tak akan pernah selesai ditulis.
Mungkin itu sebabnya orang tak sabar. Selalu ada sifat tergesa-
gesa di kalangan orang yang penuh keyakinan, ketika mereka
hendak mencapai satu keadaan di mana keyakinan itu terjaga
murni, tak lagi dicemari suara dan pikiran yang mengganggu.
”Apa yang paling tuan takutkan dalam perkara kemurnian?”
”Sifat tergesa-gesa,” jawab William.
Percakapan dalam novel Il Nome de la Rosa Umberto Eco ini
(dengan latar Eropa abad ke-13, ketika atas nama Tuhan dan un-
tuk kemurnian ajaran Kristen para pejabat Gereja dengan hati
dingin membinasakan orang yang dianggap ”sesat”) selalu saya
ingat. Apalagi hari-hari ini.
Di hari-hari ini, di sebagian negeri, orang menuntut penyele-
saian seketika dan sebab itu membunuh: mereka tak mengakui
bahwa dunia adalah lanskap yang tak rapi. Mereka tak mau me-
nerima bahwa sejarah penuh jurang, belukar, dan kelokan tajam,
dan untuk membersihkannya diperlukan waktu yang tak terba-
tas. Keyakinan akan Yang Maha-Agung bisa memberi manusia
kekuatan yang dahsyat, tapi juga ilusi yang kaku—yang membu-
atnya lupa bahwa ia tak sekuasa Tuhan, jauh, apalagi ia telah di-
Catatan Pinggir 10 51
http://facebook.com/indonesiapustaka BOM/BUKU
pindahkan ke luar Firdaus, ke dalam wilayah yang tak suci lagi.
Dunia adalah wilayah ada-bersama-orang lain. ”Lain” bisa di-
artikan ”ganjil”, dan ”ganjil” sering tak menyenangkan, seperti
cela, seperti najis, seperti dosa. Berabad-abad keadaan itu mem-
bangkitkan kekerasan, ketika keyakinan yang sudah ada di suatu
masyarakat mencoba memurnikan diri dari ancaman (”dosa”)
keyakinan yang berbeda. Yesus ditangkap laskar Yahudi dan di-
paku di tiang salib; Muhammad diancam bunuh orang Quraish
hingga melepaskan diri diam-diam ke Madinah. Katolik mem-
basmi Protestan, Protestan membalas, atau membakar hidup-hi-
dup orang yang berpikiran lain: Michael Servetus. Kaum Sunni
dan Syiah tak henti-hentinya tebas-menebas. Semua itu tentu saja
disertai dalil, yang juga dalih.
Tapi pada akhirnya tak ada yang sepenuhnya menguasai dalil:
perdebatan tak pernah berhenti. Perlahan-lahan, meniti trauma
dan ketakutannya sendiri, manusia pun menyesuaikan diri de-
ngan dunia yang tak bisa diubahnya. Kini kita menyaksikan ne-
geri-negeri di mana keyakinan yang berbeda-beda hidup berdam-
pingan. Orang menyadari, tanpa koeksistensi, yang akan terjadi
hanyalah konflik yang saling membinasakan, yang menyengsara-
kan, seperti Perang Agama di Eropa di abad ke-16. Sejak itu, bah-
kan orang Prancis menanggalkan semboyannya yang lama: une
foi, une loi, un roi, ”satu iman, satu hukum, satu raja”.
Di hari-hari ini, percakapan yang mengemuka adalah ”multi-
kulturalisme”. Di Kanada, kemudian di Eropa, kemudian di pel-
bagai negeri, masyarakat yang tadinya merasa utuh dan homogen
makin menyadari bahwa dalam dirinya muncul perbedaan buda-
ya, agama, dan etnis yang tak dapat dihilangkan. Dulu Amerika
Serikat yang terdiri atas bermacam-macam imigran itu menye-
but diri ”a melting pot”, sebuah kuali yang menghasilkan sesuatu
yang padu dari pelbagai bahan mentah. Tapi sejak akhir 1960-
an klaim itu digugat. Mulai berkecamuk identitas yang berbeda-
52 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BOM/BUKU
beda. Bahkan, seperti ditunjukkan Michel Wieviorka, sosiolog
Prancis yang baru-baru ini mengunjungi Indonesia, kian modern
sebuah masyarakat, terbukti kian besar kecenderungan dirinya
untuk memproduksi perbedaan kultural.
Multikulturalisme memang bisa jadi agenda sosial-politik
yang bisa mengelola perbedaan-perbedaan itu—yang sering se-
ngit dan berdarah. Dengan agenda itu orang bisa belajar untuk
membangun toleransi.
Tapi ada beberapa masalah. Agenda itu, seraya mengakui ku-
kuhnya perbedaan (difference), juga menumbuhkan sikap tak
acuh (indifference). Toleransi sadar menjaga batas, tapi tak hendak
menemui mereka yang berada di sebelah sana dari batas itu. Mul-
tikulturalisme dengan demikian bisa jadi semacam apartheid,
keterpisahan, yang terdiri atas unsur-unsur tak saling mempedu-
likan.
Pada saat yang sama, toleransi mengandung sikap yang meng-
akui nisbinya sebuah pendirian atau keyakinan. Dari sana kita di-
ingatkan akan perumpamaan yang terkenal itu: kita ibarat si buta
yang hanya memegang ekor atau belalai gajah—bukan gajah itu
sepenuhnya. Seperti dikatakan dalam satu sajak Chairil Anwar
tentang Tuhan: ”Betapa susah sungguh/Mengingat Kau penuh selu-
ruh.”
Tapi ada yang menyatakan, sebuah keyakinan hanya bisa dise-
but keyakinan bila berpegang pada yang mutlak. Bagi mereka,
toleransi sesuatu yang sesat. Tiap dialog, tiap percakapan yang
bertolak dari toleransi cuma mengelak dari jawab yang final. Bagi
mereka, kesabaran adalah menunda kekalahan. Mereka lebih
baik mati, atau mematikan, ketimbang menunggu tanpa berke-
sudahan. Menawarkan sebuah sistem yang tegak berdasarkan to-
leransi bagi mereka adalah absurd.
Dan mereka pun mengirim bom. Yang mereka lupa, bom tak
pernah meyakinkan sejarah. Tentu, buku juga tidak. Tapi seti-
Catatan Pinggir 10 53
http://facebook.com/indonesiapustaka BOM/BUKU
daknya buku mengisi jam-jam kita yang kosong dengan perca-
kapan yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat kita
tahu: kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran me-
nerakan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan
adalah: ”Bacalah”.
Tempo, 27 Maret 2011
54 Catatan Pinggir 10
SAWITO
http://facebook.com/indonesiapustaka 1976: sebuah ”gerakan” muncul di Indonesia. Bahkan sebuah
”Revolusi” terjadi.
Tapi tak seorang pun melihatnya.
Tak ada orang ramai yang memadati jalan-jalan, membawa
poster dan meneriakkan yel. Tak ada pasukan perlawanan yang
muncul dari lorong-lorong kota. Tak ada stasiun radio yang dire-
but. Kantor telekomunikasi tetap bekerja rutin.
Tapi Soeharto, presiden, mengetahui. Di Hari Angkatan Pe-
rang, 5 Oktober, ia memaklumkan bahwa ada ”Gerakan Sawito”
yang mengancam. Ia punya pengukuh: Laksamana Sudomo, per-
wira tinggi yang di masa itu jadi panglima yang menjaga keaman-
an dan ketertiban Republik. Sang panglima menyebut ”Gerakan
Sawito” itu bukti adanya ”Revolusi”.
Tapi kenapa sepi-sepi saja? Ini ”Revolusi Istana”, kata Sudomo.
Tak jelas istana yang mana.
Yang kemudian terungkap: ini istana yang tak lebih besar ke-
timbang keraton Ketoprak Humor. Yang disebut ”gerakan” itu
cuma terdiri atas tak lebih dari 10 laki-laki lanjut usia yang di-
dampingi istri mereka yang sabar. Mereka ini percaya bahwa Sa-
wito (seorang pegawai golongan III-C Departemen Pertanian de-
ngan gaji Rp 5.000 sebulan) telah menerima mahkota dari Kera-
jaan Majapahit. Bahkan ia telah dinobatkan sebagai ”Ratu Adil”.
Upacara penobatan dilakukan dua kali di sebuah rumah pen-
siunan duta besar di Ciawi, September 1972. Yang hadir dua
mantan duta besar Indonesia, seorang Belanda kelahiran Yogya
yang berusia 71 tahun bernama Van Gennep, istrinya, seorang
mertua, dan mungkin seorang dua orang lagi.
Pada hari itu, orang-orang tua itu merasakan, atau saling me-
ngukuhkan, adanya wangsit bahwa mereka semua titisan Raja
Catatan Pinggir 10 55
http://facebook.com/indonesiapustaka SAWITO
Majapahit, dari Brawijaya I sampai dengan Brawijaya V. Yang ter-
akhir ini tak lain Raden Sudjono, si empunya rumah di Ciawi itu.
Tokoh ini, 68 tahun, cukup penting sebagai pencatat. Ia, orang
yang bergelar ”meester in de rechten”, sarjana hukum didikan se-
kolah Belanda, punya kemampuan menulis yang jelas dan rinci.
Dalam sebuah naskah setebal 166 kertas folio berjudul Mission
Impossible, Sudjono menggambarkan bagaimana adegan selama
”penobatan” itu: Van Gennep mendatangi Sawito, dan akhir-
nya menyembah. Pak tua Belanda itu (yang yakin dirinya titisan
Brawijaya I) pun ”tunduk menghamba” di depan Sawito, sang
”Ratu Adil”. ”Saya serahkan segala-galanya, raga, jiwa, dan roh
kepada Guruji,” sembahnya, menyebut Sawito dengan panggilan
yang konon pantas untuk ”Bhatara Guru”.
Bagi orang di luar kelompok itu, adegan seperti itu ganjil, tak
masuk akal, menggelikan. Tapi Sudjono orang yang beriman ke-
pada ”Ratu Adil”-nya. Dalam majalah Mawas Diri Mei 1972 ia
mengisahkan pengalamannya.
Di awal 1972, ia mengikuti perjalanan ”seorang pemuda” ber-
umur 40 tahun, Sawito namanya. Orang ini punya mertua, ber-
nama Trisirah, 66 tahun, yang katanya telah menerima ”perintah
atau petunjuk dari dunia gaib untuk melakukan beberapa tin-
dakan demi keselamatan umat manusia yang menghuni kawasan
Nusantara”. Maka mereka pun mengunjungi ”daerah yang angk-
er, mistis, magis”, sebuah perjalanan yang dalam wayang kulit di-
sebut lelana brata. Dalam tiga gelombang kunjungan itu, mereka
menjelajahi Pulau Jawa, ”dari ujung Timur sekeliling Gunung
Mahameru hingga ujung Barat berhadapan dengan Gunung
Krakatau”.
Alkisah, di hutan Ketonggo di kaki Gunung Lawu, Sudjono
dan putrinya mengalami satu kejadian yang menakjubkan. Sejak
petang, mereka melihat cahaya beraneka warna ”dari segala ju-
rusan menuju ke tempat kami duduk dekat Tugu Manik Kama-
56 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka SAWITO
la”. Seperti lampu mobil. Tak cuma itu: di langit tampak cahaya
bergerak kian-kemari, ”bagaikan bintang-bintang beralihan”.
Klimaksnya jam 1.30 dinihari: ”Kami menyaksikan sederet ca-
haya panjang yang amat terang....”
Agaknya sejak itu Sudjono, yang menilai diri sendiri ”biasa
berdisiplin pada rasio dan logika”, yakin: Sawito orang terpilih
oleh Langit. Sawito sendiri tentu juga demikian. Dalam Mawas
Diri ia menuliskan pertemuannya dengan momen itu.
Pada 1972, ia mendaki untuk menyepi di Gunung Muria. Pa-
da suatu malam, ada ndaru atau cahaya yang jatuh dari angkasa
dan masuk ke dalam tanah. Ketika digali, terdapat batu. Di sana,
kata Sawito, membayang wajah Kristus. Di sisi lain: wajah Sawito
sendiri.
Tampaknya, ia bukan saja merasa diri titisan Raja Majapahit.
Ia juga merasa tak jauh dari status Juru Selamat. Ini juga terasa
dari ramalannya yang dimuat di majalah yang sama. Ia gemar
menekankan kalimatnya dengan huruf kapital: ”Tuhan akan me-
nurunkan KUASANYA, sekaligus Pemimpin, Pandu dan Taula-
dan”. Keadaan Indonesia dan dunia begitu buruk, hingga ”DIA
sendiri berkenan turun tangan dalam wujud KUASANYA”. De-
ngan itulah Tuhan akan memperbaiki keadaan hingga ”NU-
SANTARA memegang peran MAHA penting, sebagai CIKAL
BAKAL peradaban BARU, PANGKALAN PERTAMA PE-
RINTIS KERAJAAN TUHAN YANG BARU”.
Maka, dengan keyakinan semacam itu, Sawito mendatangi
orang-orang terkenal, termasuk Bung Hatta, Hamka, dan juga
pemimpin Gereja Katolik. Ia bisa bicara persuasif, hingga lelaki
tegap tinggi ini berhasil membujuk para tokoh nasional itu me-
nandatangani naskah Menuju Keselamatan. Naskah dikirim ke
Istana. Isinya: meminta Presiden Soeharto menyerahkan kekua-
saan Sawito, ”Ratu Adil” yang sudah dinobatkan di Ciawi itu.
Soeharto tak berkenan. ”Gerakan Sawito” berbahaya. Maka
Catatan Pinggir 10 57
http://facebook.com/indonesiapustaka SAWITO
ditangkaplah Sawito dan dengan cara khusus diinterogasilah pa-
ra tokoh tua yang mungkin tak pernah berpikir untuk melakukan
Revolusi apa pun.
Walhasil, inilah cerita paranoia versus paranormal: tanda beta-
pa kekuasaan yang demikian besar bisa membuat orang meyakini
kekuatan diri yang melebihi diri—disertai waswas, harap-harap
cemas, dan impian yang jauh dari hidup praktis sehari-hari.
Tempo, 3 April 2011
58 Catatan Pinggir 10
IMPULS
http://facebook.com/indonesiapustaka ”... kemerdekaan adalah hak semua bangsa.”
DI tengah gentingnya pemberontakan di Libya kini, di
celah-celah perlawanan di Mesir, Tunisia, Yaman, dan
Suriah, mungkin tak ada seorang pun yang mengetahui
bahwa ada kalimat seperti itu. Para perumus Konstitusi Indonesia
di tahun 1945 memang mencantumkannya dalam Mukadimah
dalam suasana dan kondisi yang sangat berbeda: ”kemerdekaan”
dalam pengertian mereka lebih berarti ”kemerdekaan” sebuah ne-
geri, atau ”bangsa”, dari penjajahan negeri lain. Kita ingat tahun
1945 adalah tahun awal dekolonisasi di Asia dan Afrika, ketika
koloni-koloni melepaskan diri, atau dibebaskan, dari kekuasaan
Eropa yang menindasnya.
Tapi agaknya ada yang mempertalikan mereka yang di Indo-
nesia 66 tahun yang lalu dengan mereka yang ingin melepaskan
diri dari kungkungan Qadhafi dan para diktator lain hari-hari
ini. Sama halnya ada impuls yang sama yang menggerakkan per-
lawanan di Palestina terhadap pendudukan Israel.
Memang ada yang bisa dikatakan ”universal” dalam dorongan
itu. Di depan mahkamah kolonial yang kemudian menghukum-
nya, di Bandung, tahun 1930, Bung Karno telah menunjukkan-
nya dengan fasih dan menggugah:
.... Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau
tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat—tiap-
tiap makhluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti
akhirnja ber bangkit, pasti akhirnja bangun, pasti akhirnja menggerak-
kan tenaganja, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan tjelakanja diri ter-
aniaja oleh suatu daya angkara murka!
Catatan Pinggir 10 59
http://facebook.com/indonesiapustaka IMPULS
Yang umumnya terlupakan dari pidato pembelaan itu adalah
tesis dasar Bung Karno: dorongan universal ke arah pembang-
kangan untuk emansipasi itu sesungguhnya sesuatu yang ima-
nen. Ia lahir dari pengalaman manusia dalam sejarah, dengan ji-
wa dan raganya, dan bukan sebuah ide dengan ”I” kapital. Ia tak
lahir dari luar ruang dan waktu. Saya di atas menyebut kata ”im-
puls”. Bung Karno bahkan menunjuk gerak perlawanan itu pada
cacing sekalipun. Dan itu berarti, ”hak” yang disadari sebagai
”hak”, atau, dalam kata-kata Hannah Arendt, ”hak untuk mem-
peroleh hak”, bukanlah awal. Pada awalnya: jasad yang sakit, hi-
dup fisik dan psikis yang nyata tapi terluka.
Hidup yang seperti itu, pengalaman dengan jiwa dan raga itu,
lazimnya akan terbatas, dibatasi ruang dan waktu tertentu. Ia tak
akan membuahkan sesuatu yang universal. Tapi yang menakjub-
kan (atau mungkin tak menakjubkan?) ialah bahwa impuls ke
arah kemerdekaan itu dapat menampilkan diri sebagai dorongan
mencapai apa yang benar-benar ”baik”—artinya ”baik” bagi sia-
pa saja, di mana saja.
Saya kira revolusi dan perjuangan emansipasi punya dinamika
itu: dengan keyakinan bahwa apa yang diperjuangkannya akan
jadi sesuatu yang kekal dan diakui semua orang, seorang pejuang
menemukan militansinya. Ia merasa mampu dan harus mengata-
si kepentingan dirinya sendiri, latar belakang sosial dan budaya-
nya, ikatan-ikatan primordialnya yang lain, termasuk pertalian
famili. Tokoh Samaan dalam Keluarga Gerilya Pramoedya Anan-
ta Toer bersedia meniadakan ayahnya sendiri yang berpihak ke-
pada musuh kemerdekaan.
Ada yang mengerikan di dalam militansi itu. Tapi antara ke-
kerasan yang satu dan kekerasan yang lain bisa ada perkara be-
sar yang membedakan. Ada kekerasan terhadap orang lain yang
sepenuhnya menegasikan ”yang lain”—seperti yang dilakukan
kaum Nazi dan kaum Taliban. Tapi Robespierre tak seperti itu.
60 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka IMPULS
Tokoh Revolusi Prancis yang membinasakan banyak musuhnya
dan akhirnya ia sendiri dipenggal ini mengucapkan satu pidato
yang menyentuh menjelang kejatuhannya. Ia yakin bahwa dalam
revolusi yang penuh darah itu ada ”jiwa yang perasa dan murni”.
”Ada gelora hati yang lembut, perkasa, dan tak dapat ditolak, ada sik-
saan dan keasyikan dari jiwa yang besar: rasa ngeri terhadap tirani, se-
mangat berapi-api yang berbelas hati kepada yang tertindas, cinta yang
suci kepada tanah air, dan kasih yang luhur kepada umat manusia. ”
Tanpa itu semua, kata Robespierre, ”Sebuah revolusi besar
akan hanya sebuah perbuatan kriminal yang gaduh yang meng-
hancurkan perbuatan kriminal lain.”
Robespierre kini mungkin dilupakan sebagai inspirasi. Tapi ia
telah memberi makna kepada sebuah impuls yang lahir dari ru-
ang yang terbatas dan tubuh yang tak kekal. Dengan kata lain,
manusia melahirkan sesuatu yang transendental dari kemungkin-
an-kemungkinannya yang muncul sewaktu-waktu.
Maka perjuangan untuk emansipasi di Libya atau Suriah atau
Palestina bisa saja kalah, atau terpukul mundur. Tapi, dalam laku
para pejuang itu, manusia telah mengangkat manusia lain—juga
musuh-musuhnya—ke derajat yang lebih dari sekadar tubuh
yang kesakitan dan kemarahan yang sepihak. Aku harus merde-
ka, dan pada saat yang sama aku yakin manusia lain harus merde-
ka.
Tempo, 10 April 2011
Catatan Pinggir 10 61
http://facebook.com/indonesiapustaka
62 Catatan Pinggir 10
MELIHAT
http://facebook.com/indonesiapustaka DENGAN ironi yang dahsyat, dengan magnífica ironía,
Tuhan memberi Jorge Luis Borges dua hal: buku-buku
dan malam hari. Di tahun 1950-an, pada usia setengah
abad, penyair besar Argentina itu jadi buta sepenuhnya.
Tapi menarik bahwa dalam sajak yang ditulisnya tentang keja-
dian itu ia memakai kata ”malam hari”, la noche, untuk meng-
gambarkan ”buta”. Borges yang lahir di akhir abad ke-19 mung-
kin lupa: abad ke-20 telah memperkenalkan sisi lain dari malam,
yaitu cahaya. Bahkan cahaya itu berpendar mewah, atau bertebar
di mana-mana, dan gelap menjadi minoritas. Malah sebuah ca-
cat. Terutama di kota-kota besar.
Kota kini telah membawa iman modernitas yang tak selama-
nya dirumuskan: bahwa dunia bisa dijinakkan karena manusia
bisa mengetahuinya dengan benar, dan mengetahui dengan benar
berarti ”melihat”. Bukan ”mendengar”, ”mencicip”, ”menghidu”,
atau ”meraba”. Yang visual memimpin pengenalan kita kepada
dunia.
Tentu saja akan berlebihan bila kita pisahkan masa kini dari
masa lalu. Dalam kondisi pramodern, orang juga sudah meng-
anggap sejarah bergerak karena penglihatan. Melalui ilmu, mi-
salnya. Orang Jawa menyebut ”ilmu” sebagai kawruh. Kata ini
punya akar dalam kata weruh, yang dalam kamus Jawa susunan
W.J.S. Poerwadarminta tahun 1939 berarti ”bisa menggunakan
penglihatan” dan juga berarti ”mengerti”. Dan bila benar wayang
adalah sumber kearifan, makin jelas bagaimana cahaya (dan aki-
batnya: bayangan) adalah teknologi purba untuk pen-cerah-an.
Kecenderungan mengutamakan mata, oculus, sebagai sumber
pengetahuan (dan penguasaan) itu bahkan sudah ada di Yunani
Kuno: peradaban yang oculocentric dimulai jauh sebelum Plato.
Catatan Pinggir 10 63
http://facebook.com/indonesiapustaka MELIHAT
Plato pernah menyebutkan satu upacara purba, satu milenium se-
belum dia, yang berlangsung di Eleusis: tiap musim semi ratusan
orang berkumpul di sebuah kuil yang gelap pekat bagaikan gua,
menantikan ajaran tentang kematian, kelahiran kembali, dan ke-
abadian. Mereka ingin mengetahui hal-hal itu agar dapat meng-
atur hidup. Nah, Dewi Demeter akan tampil dalam sinar yang te-
rang. Kebenaran akan disampaikan.
Kini jutaan orang, berkelompok atau menyendiri, menanti-
kan informasi. Bukan di Eleusis, tapi melalui sinar di televisi,
film, layar komputer di mana saja. Aku melihat, maka aku ada.
Bisa kita bayangkan bagaimana terasingnya Borges—apalagi
ketika bahkan buku-buku juga sedang meninggalkannya. Sejak
ia kecil deretan jilid berbaris di rumahnya. Bertahun-tahun ia
sentuh kertas yang membentuk pagina itu dan ia hidu aroma tin-
tanya. Tapi hari ini Kindle dan iPad dan entah apa lagi sedang
menghapus sumber informasi (bahkan ”kebenaran”) itu. Di per-
tengahan abad ke-20 Tuhan memberi Borges buku dan malam
hari. Kini sejarah teknologi merenggutkan keduanya. Beruntung
ia tak menyaksikan babak baru ini. Ia meninggal pada 1986.
Saya kira saat itu ia bebas. Maksud saya, ia tak akan digedor
iklan yang tanpa jeda. Ia tak akan dijepit etalase-etalase mal yang
memamerkan tubuh peraga yang rupawan, busana berpotongan
memukau. Atau ratusan botol parfum yang lebih enak dilihat
bentuknya ketimbang dicium harumnya. Atau makanan yang
mengimbau lidah lewat fotografi. Dan di atas semua itu: logo, lo-
go, logo. Dengan desain yang tak ingin terabaikan.
Kapitalisme, dengan kemampuannya merayakan apa yang vi-
sual, mencoba menebus sesuatu yang hilang. Ia bagian dari mo-
dernitas yang lahir bersama penaklukan dunia dan kehidupan,
yang menghabisi sihir, pesona, dan aura yang dulu dirasakan ha-
dir dalam alam—gejala yang terkenal dalam sebutan Max Weber
sebagai Entzauberung der Welt. Tapi sejak awal abad ke-19, ketika
64 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka MELIHAT
benda-benda dipajang di toko-toko besar, orang pun jadi konsu-
men yang ternganga-nganga takjub. Dengan teknik pemasaran
yang piawai, lewat komoditas, pesona dikembalikan ke dunia.
Modernitas, yang semula membangun dan dibangun dari
perhitungan rasional, kini menghidupkan lagi sesuatu yang tak
sepenuhnya dikuasai akal: pesona itu bekerja karena bergolaknya
hasrat. Ada yang akan menyebutnya ”nafsu”: bagian dari bawah-
sadar yang hanya kita temui di saat yang tak bisa direncanakan,
yang tentang sumbernya kita cuma bisa bilang, ”Entah.”
Tapi satu catatan perlu ditambahkan: sebagaimana sihir dan
pesona alam di zaman kuno bisa menyesatkan, pesona visual dari
kapitalisme-lewat-etalase itu juga demikian. Bedanya: di zaman
dulu apa yang menampakkan diri dan menyihir manusia bisa
datang dan menghilang ke dalam misteri; kini, yang secara visual
mempesona itu punya dua sifat. Yang pertama, ia tak punya keda-
laman. Ia datar seperti etalase, tanpa misteri. Yang kedua, ia dibe-
bani kesementaraan. Bentuk gaun, ukuran dasi, warna kain ha-
rus berganti terus, selalu sementara, tiap musim. Hasrat disebut
”hasrat” karena ia tak terpuaskan.
Itulah yang saya maksud: mungkin yang didapat Borges se-
buah magnífica ironía yang membebaskan.
Ia beroleh buku: tempat tersimpannya apa yang tak ada di du-
nia etalase, ruang visual yang rata. Buku Borges sendiri contoh-
nya: di dalam cerita-ceritanya, fantasi lebih berperan, bahkan me-
ngecoh fakta. Di sana datang hal yang tak pernah dilihat: Borges
menulis The Book of Imaginary Beings. Di situlah ia hidup bersama
”malam”: fantasi & imajinasi meriah justru ketika kita tak tergo-
da untuk melihat. ”Mata adalah peranti yang rapuh,” kata Borges
dalam satu sajaknya.
Artinya, jauh di dalam diri yang tak tampak, ada yang tak
tertaklukkan. Kapitalisme mencoba menangkapnya, tapi kata +
kisah yang fantastis, yang ”gelap”, menyembunyikannya kembali.
Catatan Pinggir 10 65
http://facebook.com/indonesiapustaka MELIHAT
Mungkin itu sebabnya kita selalu cemas akan kehilangan puisi.
Tempo, 17 April 2011
66 Catatan Pinggir 10
MALCOLM X
http://facebook.com/indonesiapustaka PADA umur 39 tahun, ia ditembak mati di depan umum.
Sejak itu, Malcolm X hidup sebagai riwayat yang bermula
dari sebuah masa, sebuah tempat, yang buas dan tak adil:
Amerika Serikat tahun 1960-an, gema ngilu nyanyian Billie Ho-
liday tentang mayat-mayat Negro yang tergantung bagai ”buah
yang ganjil” di pepohonan.
Tapi tak hanya itu. Malcolm X tak mati-mati bukan hanya
karena hidupnya menanggungkan perbedaan antarmanusia yang
penuh kekejaman. Ia juga cerita seseorang yang akhirnya tahu,
kemanusiaan bukanlah sebuah penjara besar kebencian dengan
sel-sel terpisah.
Ini tersirat kembali di sebuah buku hampir 600 halaman yang
baru terbit, Malcolm X: A Life of Reinvention. Manning Marable,
penulisnya, tak hanya membawakan kembali kisah sang tokoh
yang keras dan kotor, tapi juga menyebut ”humanismenya yang
lembut”.
Selintas, aneh juga kata ”lembut” itu....
Malcolm lahir 19 Mei 1925. Ayahnya, Earl Little, meskipun
bukan pendeta, seorang pengkhotbah Gereja Baptis di Omaha,
Nebraska. Ia aktif dalam organisasi antar-orang hitam, Universal
Negro Improvement Association.
Bagi mayoritas orang putih di tempat itu, suara Little meng-
ganggu. Ketika Malcolm masih di kandungan ibunya, Desember
1924, orang-orang Ku Klux Klan datang mengancam. Keluarga
itu mesti pindah dari Omaha atau mereka akan dihabisi. Maka
mereka pun pindah. Rumah mereka dibakar. Earl Little kemu-
dian tewas ketabrak trem. Ibu Malcolm, Louise, membesarkan
anak-anaknya dengan susah payah. Perempuan ini jadi gila
akhirnya.
Catatan Pinggir 10 67
http://facebook.com/indonesiapustaka MALCOLM X
Malcolm, dititipkan di rumah perawatan, masih bisa berseko-
lah. Ia murid yang cerdas. Tapi ia tak melanjutkan, setelah guru-
nya menasihati: ambisi jadi pengacara bukanlah ”tujuan yang re-
alistis bagi seorang Negro”.
Anak ini pun pindah ke Boston, tapi kemudian mengembara.
Pada tahun 1943, ia tinggal di Harlem, New York. Ia jadi germo,
pengedar narkoba, pelacur bagi para pria, perampok. Tiga tahun
kemudian ia kembali ke Boston, jadi pencuri yang menjarah ru-
mah orang kulit putih. Ia tertangkap membawa senjata. Ia dihu-
kum 10 tahun.
Di penjaralah sebuah kejadian menentukan: Malcolm jadi
muslim, transformasi seorang anak muda yang pernah disebut
”Setan” jadi orang yang percaya kepada Allah. Dalam riwayat
Malcolm, Islam sebagai iman datang dan bisa mengubah perja-
lanan hidup seseorang—dan pada gilirannya iman itu mene-
maninya berjalan, tak mandek, tak membeku.
Kita tahu Malcolm masuk Islam dengan kemarahan. Peng-
alaman hidupnya membuat amarahnya sesuatu yang sah. The
Nation of Islam (NOI) di Chicago menarik hatinya. Komunitas
ini, didirikan pada 1930 oleh Wallace Fard Muhammad, meng-
ajarkan fragmen-fragmen theologi Islam yang agak kacau. Tapi
bersama itu harga diri: orang hitam harus sopan, hidup sehat, dan
berpakaian bersih dan patut.
Pada saat yang sama, NOI juga mengajarkan bahwa ras orang
hitam adalah ras pertama yang membentuk manusia—dan bah-
wa orang putih adalah ”iblis”. Tampak, ajaran kaum rasialis kulit
putih dibalikkan jadi rasialisme kulit hitam. Dalam satu hal NOI
sependirian dengan Ku Klux Klan: orang hitam harus memisah-
kan diri dari Amerika, sebab Amerika adalah Kristen dan putih.
NOI menghendaki satu negeri tersendiri di bagian Selatan, se-
bagai perhentian sementara orang keturunan Afrika menjelang
kembali ke benua asal nenek moyang yang dulu dipaksa-angkut
68 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka MALCOLM X
sebagai budak.
Malcolm, yang sejak 1953 jadi juru dakwah utama NOI, pun
mengubah namanya. Ia tak lagi memakai ”Little”. Ia memakai
”X” untuk menandai asal-usul yang telah ditenggelamkan. Se-
mua pertalian dengan Amerika dan yang lain (bagi NOI, ”yang-
lain” dalam fokus pandangan mereka adalah orang putih) harus
dibuat patah arang. Manusia tak satu. Penindasan dan kebencian
telah memecahnya.
Tapi kebencian juga punya rongga.
Maret 1964, Malcolm X memisahkan diri dari NOI. Ia berse-
lisih dengan sang pemimpin, Elijah Muhammad, karena soal pri-
badi dan dalam siasat perjuangan. Dalam organisasi keyakinan
yang militan, posisi pemimpin lazim jadi demikian luhur dan
tak bisa digugat. NOI percaya bahwa sang pendiri adalah Imam
Mahdi dan Elijah, yang melanjutkannya, muridnya yang spesial.
Malcolm X tak mudah menerima bahwa privilese itu menjamin
kebenaran. Juga kebenaran tentang masalah dasar seperti ras,
manusia, dan pembebasannya.
Mungkin karena berangsur-angsur kebenaran dari Islam yang
selama ini belum dikenalnya masuk ke dalam dirinya. Ia berubah.
April 1964 ia berangkat ke Mekah. Selama upacara haji, ia saksi-
kan ribuan manusia, berbeda asal dan warna kulit, berangkulan,
dalam baju ihram putih-putih yang sama. Malcolm terpesona. Ia
merasa seakan-akan ”baru saja keluar dari sebuah penjara”.
Di sekitar Ka’bah, kebencian yang memenjarakannya selama
ini tampak tak punya dasar yang kekal. Tak bisa kedap. Apa sebe-
narnya ”musuh”? Jika ”ras” yang menjadikan sejarah manusia se-
buah permusuhan, apa arti ”ras”? Tidakkah itu wacana yang—
seperti wacana perbedaan lain—dikekalkan nafsu dan ketakutan
manusia, diubah jadi alasan untuk saling menaklukkan, hingga
dunia seperti sebuah kutukan?
Malcolm X pulang ke Amerika sebagai orang yang berubah.
Catatan Pinggir 10 69
http://facebook.com/indonesiapustaka MALCOLM X
Kini namanya Malik El-Shabazz. Ia tetap yakin, Islam bekerja
untuk keadilan. Namun itu berarti Islam mengakui apa yang
universal dalam perjuangan itu: keadilan hanya berarti keadilan
jika berlaku untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri.
Tapi mungkin dengan perubahan itu ia dianggap tak lagi
”berpihak”.
Pada 21 Februari 1965, ia ditembak. Tanpa dihalang-halangi
FBI, orang-orang NOI yang menganggapnya berkhianat meng-
habisinya.
Tapi kita tahu Malcolm hidup terus. Yang mengatasi kebenci-
an mengatasi juga kematian.
Tempo, 24 April 2011
70 Catatan Pinggir 10
28 APRIL
PEKAN ini saya ingin mengenang Chairil Anwar, seba-
gaimana orang-orang lain mengenangnya, tapi saya akan
menambahkan sebuah catatan yang terselip. Beberapa la-
ma setelah Chairil Anwar meninggal 28 April 1949, ia berangsur-
angsur menjadi seseorang yang hanya terkait dengan sajak Aku:
”binatang jalang” yang berteriak ingin hidup 1.000 tahun lagi.
Saya tahu, penyair selalu mati direduksi orang ramai. Tapi
agaknya puisinya selalu bisa membebaskan dirinya.
Bagi saya, sajak-sajak Chairil bermula dengan sesuatu yang
justru ada, terkadang tersembunyi, di bawah ”aku”.
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
http://facebook.com/indonesiapustaka Dalam Yang Terampas dan Yang Putus itu ”aku” adalah antara
”tangan yang bergerak lantang” dan tubuh yang ”diam dan sen-
diri”, di saat ketika ”cerita dan peristiwa” seakan-akan tak pernah
terjadi, ”berlaku beku”, tak diberi arti. ”Aku”-nya adalah sebuah
nuansa. Bukan kesatupaduan yang tegas, bukan sebuah pernya-
taan diri yang sukses.
Dalam banyak hal, Chairil memukau saya karena ia mengha-
dirkan apa yang saya sebut ”sajak suasana”. Ia menampilkan sub-
Catatan Pinggir 10 71
http://facebook.com/indonesiapustaka 28 APRIL
yek yang gawal.
”Sajak suasana” berbeda dari ”sajak pernyataan”: seperti Aku.
Dalam ”sajak pernyataan”, subyek masih tampak dalam posisi
yang ingin mengendalikan arti. Dalam Aku (juga dalam Dipone-
goro, atau Krawang-Bekasi), sang penyair masih tampak hadir
mengkonstruksikan ”isi” puisinya—yang sering disebut ”pe-
san”—dalam susunan dan kosa-kata yang seakan-akan tak ter-
ganggu oleh apa yang dimaksudkan Julia Kristeva dengan kata
le semiotique, oleh getar, gejolak, irama yang bergerak tanpa kata,
tanpa arti, di bawah dunia verbal. Dalam sajak pernyataan, sang
penyair masih merasa diri sang ”pembentuk”, bukan ”khaos”.
Tentu saja tak sepenuh demikian. Selama sebuah sajak dilahir-
kan dalam impuls puitik, selama ia bukan sebuah uraian diskursif
seperti penjelasan filsafat atau pernyataan politik, sebuah sajak
pernyataan tetap tak bisa mengelakkan sepenuhnya saat ketika
getar dan gejolak di bawah ”aku” yang kukuh itu menghadang
dan menerobos—melalui getar irama dan bunyi, misalnya.
Kita lihat dalam Aku. Di sana ”aku” yang luka kena peluru
akan tetap ”berlari”, hingga hilang ”pedih peri”. Chairil tak dapat
sepenuhnya menghindar dari getar ”i” yang terbangun oleh sa-
jaknya sendiri, hingga bukan ”pedih, perih” yang muncul, mela-
inkan ”pedih, peri”. Maka arti kalimat itu pun terguncang,
meskipun sentuhan afektifnya tetap.
Dengan kata lain, bukan hanya ”sajak suasana”, tapi juga ”sa-
jak pernyataan” tak bisa mengelakkan labilnya arti, gawalnya sub-
yek: puisi, barangkali setelah puisi modernis yang di Indonesia
tumbuh setelah Chairil Anwar, adalah petunjuk bahwa hubung-
an antara subyek dan bahasa bukanlah hubungan antara ”aku”
dan makna sebagai sang pembangun dan yang dibangun.
Bahkan sebaliknya. Bahasa memanggil kita dan melibatkan
kita ke dalam kodratnya. Bahasalah yang bicara, kata Heidegger,
dan oleh bahasalah manusia dilecut, atau persisnya mendapatkan
72 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka 28 APRIL
”lecutan” (Zuspruch) untuk bicara. Dalam puisi, ”aku” bukan lagi
nakhoda kata-kata.
Sajak-sajak suasana adalah isyarat bahwa ”aku” hanya tersisip
di antara deretan obyek:
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut...
”Aku” bahkan seakan-akan larut: dalam sajak Senja di Pela-
buhan Kecil itu, arti tak dibentuknya, melainkan datang dari pro-
ses lain: dari hubungan antarpenanda. Kita lihat Chairil menye-
but ”cerita tiang serta temali”.
Di sana alam sekitar menghadirkan diri tapi pada saat yang sa-
ma menyembunyikan dirinya, suatu isyarat tentang adanya yang
tak terjangkau, tak terumuskan, dan tak terkendalikan nun di
sana.
”Nun-di-situ” berarti berada di atas bumi dan di bawah langit,
bersama sesama makhluk, di bawah misteri nasib. Kefanaan bu-
kanlah ditandai oleh satu titik, ”kalau sampai waktuku”; kema-
tian adalah bagian dari ada.
Sajak Derai-Derai Cemara menggambarkan itu dengan baik-
nya
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Yang hadir adalah suasana bersentuhan dengan waktu yang
berubah dan rasa gentar yang sayup-sayup, ketika ”terasa hari
akan jadi malam”. Terdengar ”angin yang terpendam” memukul-
Catatan Pinggir 10 73
http://facebook.com/indonesiapustaka 28 APRIL
mukul dahan di dekat jendela kamar, menegaskan betapa fana
benda-benda yang begitu dekat, yang dulu melindungi. Tingkap
itu, misalnya, ”merapuh”. Pada saat itu terbit kesadaran.
... dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
”Dulu”: sesuatu yang telah lewat tapi diingat. Dalam suasana
gamang, cemas, dan murung itu, yang datang dari masa lampau
seakan-akan hadir kembali, mengingatkan apa yang dulu pernah
tak terjangkau.
Agaknya dengan itu puisi Chairil mencatat bahwa ada yang
meragukan dalam zaman ketika manusia hanya melihat dirinya
lempang: dari sini, ke sana, ke dunia yang lebih baik, ke surga
yang sempurna.
Saya tak tahu apakah Chairil tahu bahwa baginya, garis lem-
pang itu rapuh. Ia mati umur 26.
Tempo, 1 Mei 2011
74 Catatan Pinggir 10
TARI
http://facebook.com/indonesiapustaka Di udara Surakarta yang gerah dan terik,
sejumlah penari menari selama 24 jam.
Ini Hari Tari Sedunia, 29 April 2011.
TARI adalah penemuan. Martha Graham mengutarakan-
nya dengan satu kalimat pendek: ”Dancing is just discov-
ery, discovery, discovery....” Jika hari-hari ini tari, terutama
sebagai ekspresi, penting, itu karena yang terjadi adalah sebuah
penemuan yang sering dianggap terlalu lumrah: kita menemukan
kembali tubuh, dan bersama itu kita juga menemukan kemerde-
kaan.
Anak-anak balita telah menunjukkan hal itu sejak dulu: mere-
ka bergerak mengikuti satu irama musik, derap ketukan atau re-
petisi tepuk, tanpa mereka rancang. Mereka tak mengikuti desain
apa pun, hingga ”bentuk” jadi sebuah pengertian yang bermasa-
lah. Tak ada arah yang pasti. Tak ada maksud mencapai hasil.
Proses ini bukanlah proses serebral. Dalam tari anak-anak yang
spontan, tubuh menemukan dirinya. Praktis mandiri.
”Tubuh”, bukan ”jasad”. ”Tubuh” bukan sekadar satuan ma-
teri yang kemudian bisa diuraikan dan dipetakan dalam anatomi
dan ilmu faal. ”Jasad” bisa dianggap sebagai mesin atau alat yang
patuh kepada perintah otak atau kesadaran yang mengatur, mem-
bereskan, dan menghitung—tapi ”tubuh” tidak. Metafisika, aga-
ma, ekonomi, dan ilmu kedokteran sering meleset melihat feno-
mena ini—salah pandang yang telah meninggalkan banyak trau-
ma.
Tari mengingatkan kita apa yang salah itu: seorang penari
mengalami bahwa manusia bukanlah ”aku” yang berada di luar
tubuh. Ia bukan ”aku” yang, dari posisinya = yang lebih tinggi,
Catatan Pinggir 10 75