http://facebook.com/indonesiapustaka LUBDAKA
tuk mewujud serupa teratai yang mekar tanpa henti di hati manusia
di dunia yang tampak.”
”Itu kalimat Mpu Tanakung, dan agaknya versi I yang benar.
Dengan bersahaja, Lubdaka terus-menerus menciptakan imaji-
nasi yang baru di malam yang membosankan. Ia berbuat kebaik-
an. Ia ikuti gerak sang teratai yang tak henti-hentinya mekar kem-
bali.”
Dewan di kota yang sangat kecil itu masih bingung, tapi ko-
non zaman tak seterusnya hening.
Tempo, 8 Juli 2012
326 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka CERITA TUHAN
YANG dalam dari subuh adalah sunyi, dan yang dalam
dari sunyi adalah tempat imajiner Tuhan yang tak ada la-
gi. Pernahkah pembaca mendengar Tuhan yang mening-
galkan tempat-Nya?
Ketika berumur 22 tahun, penyair Rainer Maria Rilke pergi
mengunjungi Rusia bersama sahabatnya, Lou Andrea-Salomé.
Di negeri itu Rilke bertemu dengan Leo Tolstoy, pengarang Pe-
rang dan Damai itu, juga dengan para petani dan penggarap—je-
nis manusia yang sudah berubah di Eropa—dan merasakan lans-
kap Rus yang luas, senyap, penuh teka-teki.
Rilke tersentuh oleh perjalanan tahun 1889 itu. Ia pulang ke
München, dan hanya dalam seminggu ia tulis semacam cerita, se-
macam renungan: Geschichten vom lieben Gott. Terjemahan Ing-
gris buku kecil ini (oleh Michael H. Kohn) Stories of God. Terje-
mahan itu bagus, tapi tak menggambarkan hubungan Rilke de-
ngan Tuhan, ketika kata lieben (yang tercinta) tak dimunculkan.
Tuhan, bagi Rilke, adalah Tuhan yang tercinta.
Mungkin ada pengaruh Kristen dalam pandangan ini—mes-
kipun harus ditambahkan: Rilke sebenarnya menolak Kristus.
”Siapa Kristus ini,” tulisnya, ”yang campur tangan dalam segala
hal—yang tak tahu apa-apa tentang kita, tentang kerja kita, ten-
tang kebutuhan kita, tentang kegembiraan kita, sebagaimana ki-
ta mengenalnya, menanggungkannya, mengalaminya...?” Bagi
Rilke, Tuhan yang seperti itu tak punya akses ke dalam dunia
manusia.
Orang Kristen akan menganggap pandangan ini aneh, tapi
yang ditentang Rilke sebenarnya adalah apa yang disebutnya se-
bagai ”cercaan kepada hidup di bumi” yang dikumandangkan
hampir semua ajaran agama, khususnya doktrin kristiani. ”Cer-
Catatan Pinggir 10 327
http://facebook.com/indonesiapustaka CERITA TUHAN
caan” itu menista segala hal yang berkait dengan yang ”sensual”,
dalam arti bermula pada indra, tubuh, rasa. ”Cercaan” itu mem-
buat hidup tampak buruk dan nista.
Bagi Rilke, hidup di bumi, irdische Leben, adalah hidup satu-
satunya. Ia tidak menyesal. Apa yang kita sentuh dan kita lihat
memang bersifat fana, sementara, tapi yang ”sementara” itu sebe-
narnya tak terbatasi waktu. Mereka adalah pengejawantahan dari
makna yang lebih luhur, sebagaimana juga kita.
Yang lebih luhur itu tak ada hubungannya dengan sebuah ”ha-
ri kemudian” atau ”yang di atas”, ein Jenseits, yang ”bayang-ba-
yangnya mengeruhkan bumi”. Benda-benda yang fana di sekitar
kita bertaut dengan das Ganze, Yang-Seluruh. Dalam Yang-Se-
luruh kita tak terpisah dari dunia—dunia dengan isinya yang ra-
puh. Kita ada bersama mereka, dan mereka bagian dari apa yang
kita punyai, dari perkawanan kita yang kenal duka dan suka-cita
kita.
Dengan pandangan seperti itu, Rilke menerima kehidupan
yang fana tanpa fatalisme yang getir—fatalisme yang mengang-
gap, karena tak ada hari esok, hidup adalah kutukan. Justru seba-
liknya. Puisi Rilke menyentuh mesra benda-benda yang konkret:
Dinggedicht-nya adalah usaha menampilkan benda-benda yang
dilihat dan disentuhnya seakan-akan mereka berbicara sendiri.
Tapi sekaligus, itu juga sebuah transformasi: bumi yang tak
kekal itu kita lekatkan ke hati kita hingga membekas, dan ”haki-
kat” (Wesen)-nya pun akan bangkit lagi di dalam kita, ”tak kasat-
mata”. Rilke mengumpamakan kita (dalam sebuah kalimat Pran-
cis) ibarat lebah: kita isap sari madu dari dunia yang konkret, yang
terlihat sehari-hari, lalu kita kumpulkan ke dalam la grande ruche
d’or de l’Invisible, ”sarang lebah emas dari yang tak-kasatmata”.
Dengan demikian benda-benda mengalami transendensi: se-
bagai bagian dari Yang-Tak-Kasatmata, l’Invisible. Mereka tak ha-
nya sehimpun obyek yang bisa dikuasai. Rilke tak hendak mem-
328 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka CERITA TUHAN
perlakukan benda-benda sebagai komoditas; ia melawan proses
yang inheren dalam kapitalisme. Tapi juga ia melawan pandang-
an agama yang menganggap dunia benda-benda (”ke-benda-an”)
sebagai pangkal dosa. Agama-agama, dengan juru bicara mereka
yang sengit di mimbar, melihat dunia sebagai wilayah yang harus
terus-menerus dicurigai—wilayah di mana Iblis, dan bukan Tu-
han, dekat.
Bagi Rilke, Tuhan justru dekat. ”Engkau, Tuhan, yang tinggal
di rumah sebelah,” kata salah satu sajaknya. Begitu dekat, begitu
tak luar biasa.
Tapi yang tak-luar-biasa itu selalu dibuat luar biasa oleh agama-
agama: Tuhan yang mengatakan Ia lebih dekat dengan urat nadi
kita ternyata diletakkan begitu jauh. Manusia harus memakai
perantara. Rilke mengakui pengaruh Islam dalam puisinya, khu-
susnya gambarannya tentang malaikat dalam sajak-sajak Duine-
ser Elegien. Ia memang sebelumnya mengunjungi Andalusia, me-
lihat peninggalan Islam di Spanyol, dan membaca Quran. Tapi ia
tak memilih Islam sebagai agamanya, sebagaimana ia tak memi-
lih Kristen sebagai dasar imannya.
Sajak-sajak religius Rilke lebih mirip puisi mistik; kita ingat
ia berbicara tentang das Ganze, Yang-Seluruh, di mana segalanya
bertemu: Tuhan, manusia, benda-benda—sebuah peristiwa yang
tak datang dari doktrin dan kekuasaan. Juga sebuah pertemuan
yang tak dapat dirumuskan dengan begitu jelas dan begitu pasti
hingga tak pernah ada rasa kehilangan dan rindu.
Bagi Rilke, tempat Tuhan bukanlah wilayah yang dibuat jelas
dan pasti oleh akal.
Satu cerita dalam Stories of God mengisahkan Tuhan yang di-
todong jutaan tangan yang berdoa, jutaan tangan yang memba-
ngun rumah ibadat, jutaan menara yang mencuat ke langit ”se-
perti senjata yang memusuhi”. Melihat itu, Tuhan pun gentar dan
kembali ke surga. Tapi menara dan doa itu kian berlipat ganda
Catatan Pinggir 10 329
http://facebook.com/indonesiapustaka CERITA TUHAN
mendesak di belakang-Nya. Diam-diam, melalui jalan lain, Tu-
han turun—dan menemukan ”sebuah kegelapan... yang meneri-
ma-Nya dalam sunyi”.
Sejak itu, bila tak di sana, Ia diliputi rasa rindu. Ia ingin tinggal
di hati manusia, bukan dalam suasana siaga yang dingin yang
ditegakkan manusia.
Tempo, 15 Juli 2012
330 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka DISSENSUS
ADA sejumlah larut malam Jakarta, ada beberapa sudut
kota yang belum sepi, ada puluhan laki-laki, umumnya
laki-laki, yang duduk di atas sadel sepeda motor yang di-
parkir berjajar sepanjang satu kilometer. Di tepi jalan itu, di tem-
pat yang tak sepenuhnya terkena cahaya lampu, mereka tampak
menantikan sesuatu yang eksplosif akan terjadi.
Dan yang eksplosif, atau mendekati eksplosif, memang seseka-
li terjadi. Di tengah jalan di depan mereka, di antara mobil-mo-
bil yang masih lewat, tiap kali selusin pengendara sepeda motor
akan melarikan kendaraannya dengan kencang sekali, dalam se-
buah perlombaan yang tak jelas aturannya bagi orang lain kecuali
kecepatan sekitar 140 kilometer per jam. Selama beberapa jam itu
berlangsung kompetisi urat saraf, persaingan untuk siap terjung-
kal, lomba menyepelekan mati.
Terkadang memang mati. Dan tampaknya tak apa-apa. Da-
lam lanskap lalu lintas kota besar Indonesia, tewas di jalanan ha-
nya sebuah repetisi. Kecelakaan terjadi 420 kali sehari, menurut
catatan 2010.
Jalanan adalah vivere pericoloso, hidup yang nyrempet-nyrempet
bahaya, dan sepeda motor adalah sebuah pernyataan. Kendaraan
roda dua itu bukan saja alat transportasi, tapi juga—seperti
Porsche dan Jaguar bagi para miliarwan—sebuah ekspresi. Ada
rasa bangga akan milik. Bagi orang lain, milik itu mungkin tak
seberapa, tapi bagi mereka istimewa: ia barang yang baru terjang-
kau kelas sosial yang selama ini tak punya banyak.
Di dekat rumah saya ada sebuah lapangan yang berubah jadi
pasar sebulan sekali. Di sana dijual alat-alat dapur, makanan ke-
ring, pakaian sehari-hari, barang-barang yang tak masuk etalase-
etalase mall. Dan di sudut lapangan, di atas sebuah mobil pickup,
Catatan Pinggir 10 331
http://facebook.com/indonesiapustaka DISSENSUS
dibariskan beberapa buah sepeda motor. Komoditas yang dulu
biasa dipajang di showroom pertokoan itu kini ditawarkan seperti
durian. Dengan prosedur kredit yang tak rumit, dengan atau tan-
pa SIM, seseorang bisa berubah jadi Sang Pemilik dan mengata-
kan: aku bersepeda motor, maka aku ada.
Dan ia akan mengarungi jalan dengan tenaga dan keterampil-
annya sendiri. Mandiri. Di atas rangka dan mesin yang ramping
itu, ia akan dengan mudah menyelinap di antara mobil, bus, truk,
angkot, bajaj yang jalan saling menghambat. Mereka sanggup
sampai lebih cepat ke tujuan ketimbang jip Nissan Terrano yang
merayap di antara kepadatan jalan—dan dengan itu mengubah
sebuah asumsi asal: di Jakarta, mobil 3.000 cc bukanlah sarana
mobilitas yang efektif, melainkan sarana kenikmatan di tengah
kemacetan.
Dalam kapasitas itu sepeda motor juga instrumen kemerdeka-
an. Sang pemilik tak bergantung pada jemputan kantor atau ken-
daraan umum yang melelahkan. Ia bisa memakai kendaraannya
yang mudah disimpan di pojok rumah kapan saja.
Tapi tiap pengendara motor akan menyadari kerapuhannya.
Di perebutan ruang di jalanan, ia tak bisa sendirian menghadapi
kendaraan-kendaraan yang lebih besar dan kuat. Tiap tabrakan
akan mudah merontokkan. Maka hampir di tiap perempatan,
mereka—berpuluh, mungkin beratus-ratus—membentuk for-
masi seketika yang pejal, tak bisa diterobos, membentengi diri se-
perti pasukan Romawi menghadapi musuhnya.
Dalam hal itu, mereka memegang supremasi. Di Jakarta dan
sekitarnya, jumlah sepeda motor lebih dari 70 persen dari seluruh
alat transportasi bermotor. Kurang-lebih 10 juta. Andaikata ang-
ka ini sama dengan angka pengendaranya, jumlah orang sekitar
Jakarta yang melaju di atas motor roda dua itu hampir sama de-
ngan jumlah seluruh penduduk Yunani.
Ada bayang-bayang kekuatan yang tak dapat ditundukkan
332 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka DISSENSUS
dalam fakta itu—dan itu pula yang terasa jika kita melihat pu-
luhan pemuda yang duduk di sadel sepeda motor mereka di larut
malam Jakarta itu. Mereka adalah penantang. Kota besar ini
mencerai-beraikan mereka di tempat kerja dan di jalan-jalan si-
buk siang hari; malamnya, mereka menebus apa yang hilang: se-
buah komunitas di mana mereka saling memberi pengakuan. De-
ngan itulah mereka menunjukkan ciri Jakarta selama 30 tahun
lebih: sebuah kota yang tak mengakui dan tak diakui.
Maka yang kita saksikan di malam-malam itu bukan hanya
sosok the lonely crowd, tapi juga sebuah zona perkecualian: di atas
jalan sebagai bagian dari tata ruang kota, para pengebut sepeda
motor yang tanpa marka dan tanda itu merasa ada di luarnya.
Atau lebih tepat: bagi mereka, yang mana di luar dan yang ma-
na di dalam tata itu tak jelas lagi. Di dalam hukum sama halnya
dengan di luar hukum, karena hukum telah ditetapkan tanpa
mengakui mereka. Para administrator kota akan mengatakan
bahwa aturan-aturan dirumuskan untuk umum, tapi siapakah
”umum”, kecuali sesuatu yang berubah dari masa ke masa? Dulu
”umum” di Jakarta adalah pejalan kaki, pengendara delman, ope-
let, dan trem. Kemudian ”umum” diwakili oleh para pengguna
dan pemilik mobil pribadi. Yang tak termasuk dalam ”umum” ini
sadar atau tak sadar melihat dirinya di luar.
Dengan jumlah mereka yang begitu besar, mereka adalah in-
dikator bahwa ”luar” adalah sebuah pengertian yang labil. Jakar-
ta bukan Roma dalam mitologinya, kota yang ditegaskan batas-
nya dengan pembunuhan. Mobilitas yang dipermudah oleh sepe-
da motor justru memperlihatkan batas itu tak ada, dan pembu-
nuhan dengan mudah terjadi. Jika batas itu diterjemahkan seba-
gai hukum, bagi banyak orang di kota ini hukum bukanlah per-
lindungan. Hukum adalah ancaman.
Sebab itu, Jakarta—dengan aparatus yang beribu-ribu, di an-
taranya bersenjata dan punya alat pantau yang canggih—tak bisa
Catatan Pinggir 10 333
http://facebook.com/indonesiapustaka DISSENSUS
dibayangkan sebagai sebuah ”kamp” ala Agamben. Yang terlihat
adalah sebuah dissensus, bukan konsensus, sebuah pergulatan
tanpa marka, sebuah perlombaan sampai mati di tengah jalan di
malam hari.
Tempo, 22 Juli 2012
334 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka GARGANTUA
SEORANG Gargantua yang berpuasa pada dasarnya se-
orang gembul yang tak berubah; hidup, baginya, hanya
menunda sebuah jamuan besar. Dalam cerita satire yang
ditulis François Rabelais di Prancis abad ke-16 itu, Gargantua
menunaikan kewajiban agamanya dengan baik, pergi ke gereja,
memegang buku doa, dan belajar. Tapi pikirannya mengarah ke
dapur.
Setelah mencoba menatap buku sekitar 30 menit, ia kencing
sepenuh-penuhnya, lalu duduk di tepi meja makan. Ia memulai
santapannya dengan beberapa lusin lipatan ham, lidah sapi yang
dikeringkan, cervelas atau sosis yang ditanak, andouille alias da-
ging babi yang diasap dicampur merica dan bawang putih. Ke-
mudian datang saat minum. Botol-botol anggur putih disedia-
kan berbaris, disusul himpunan daging yang membuat perutnya
membuncit hampir pecah. Lalu Gargantua mereguk anggurnya.
Baginya, minum tak punya akhir dan tak punya aturan. Kalau
ada batasnya, itu adalah ketika dasar sepatu pantofelnya ”sudah
membengkak setengah kaki”.
Gargantua, pangeran raksasa itu, telah jadi kata lain dari has-
rat yang ”tanpa akhir tanpa batas”. Saya masih bingung mengapa
Rabelais menciptakannya. Rabelais, seorang rohaniwan Katolik
yang hidup pada 1494-1553, juga menulis tentang sebuah kehi-
dupan biara yang ”anti-biara”, di mana para rahib bisa bangun ti-
dur kapan saja mereka suka, dan makan, dan minum, dan berse-
nang-senang—karena semboyan di sana adalah ”lakukan yang
Anda maui”.
Saya tak tahu pasti apakah dengan itu Rabelais hendak me-
nunjukkan represifnya aturan agama atau ia ingin mengejek orang
alim yang sebenarnya tak bisa alim. Yang tercatat, menjelang ia
Catatan Pinggir 10 335
http://facebook.com/indonesiapustaka GARGANTUA
mati, ucapannya merupakan antitesis bagi kegembulan Gargan-
tua yang menelan semua dan mengakumulasikan kenikmatan
dalam perut sendiri. ”Aku tak punya apa-apa,” kata Rabelais di
akhir hidupnya. ”Aku berutang banyak, dan yang tersisa padaku
aku serahkan kepada mereka yang miskin.”
Dan sebagaimana ia rela untuk tak punya apa-apa, ia juga tak
ingin punya tempat di surga. Konon sebelum ajal ia berpamitan
dengan kata-kata, ”Aku berangkat mencari Sebuah Mungkin
Yang Akbar,” un grand peut-être.
Barangkali ia memang seorang rahib sejati, orang yang memi-
lih hidup asketis atau zuhud sampai dasar, hingga surga pun ia tak
ingin rengkuh. Surga, seperti halnya kenikmatan dunia, adalah
sebuah ”Mungkin”, sesuatu yang semestinya tak membuat kita
posesif.
Dalam arti yang lebih luas, Rabelais orang yang mengubah di-
ri dengan puasa. Ia melakukan puasa yang paling dasar dan pa-
ling ikhlas—bukan puasa sebagai dibayangkan seorang Gargan-
tua: sebuah acara tanpa makan yang sebenarnya terkait erat de-
ngan pikiran terus-menerus tentang makan.
Mungkin Rabelais sebenarnya sebuah suara kontra-Gargan-
tua.
Endapan kontra-Gargantuanisme selalu tersimpan dalam
ajaran yang terkait dengan yang suci. Ia tersirat dan tersurat dalam
teks agama apa pun, atau bahkan dalam keyakinan yang anti-
agama. Orang Hindu menemukannya dalam bagian termasyhur
Bhagavad Gita, ketika Krishna menjelaskan apa itu sanjasa (orang
yang bertindak tanpa hasrat memperoleh harta benda) dan apa
itu tyaga (orang yang bertindak tanpa berpamrih akan hasilnya).
Kontra-Gargantuanisme juga ditemukan dalam tulisan St. Agus-
tinus di abad ke-4 ketika ia menyebut avaritia sebagai akar se-
gala kekejian, karena avaritia adalah ”menghasratkan lebih dari
yang sudah cukup”. Di abad ke-6 orang Islam mendengar petuah
336 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka GARGANTUA
sederhana tapi jelas dari Nabi: ”Berhentilah makan sebelum ke-
nyang.”
Tapi sejarah juga selalu memberi peluang bagi Gargantua ba-
ru: mereka yang tak mau berhenti makan karena mereka tak mau
merasa kenyang. Mereka mengakumulasikan apa saja yang bisa
dikonsumsi.
Mereka ini ”Supersize-Me” dalam segala variasinya—bukan
hanya yang jadi gembrot karena makan McDonald’s terus-mene-
rus seperti yang kita lihat dalam film dokumenter Morgan Spur-
lock yang terkenal itu. Mereka bukan hanya satu dari orang Ame-
rika yang kantong popcorn-nya makin lama makin besar, orang
Amerika yang (menurut website Supersize) secara total makan se-
juta ekor hewan dalam satu jam.
Kaum ”Supersize-Me” itu—para Gargantua baru itu—juga
tampak memarkir mobil-mobil mewah mereka berjam-jam di
Brompton Road, London, mobil-mobil yang mungkin mereka
terbangkan dari Jazirah Arab, mobil-mobil yang bersedia mem-
bayar denda, karena pemiliknya tak henti-hentinya hendak ber-
belanja di Harrods. Di mana batas lapar? Di mana batas kenyang,
bagi orang-orang Cina dan orang-orang Indonesia yang tak ha-
bis-habisnya menelan tas-tas Louis Vuitton dari toko besar di 101
Champs-Elysées, Paris?
Tentu, sejak zaman dulu orang sudah melihat bahwa rakus bi-
sa menghidupkan perekonomian. Tentu, Gargantua tak pernah
mati. Ajaran yang mau mengubah manusia melalui puasa tak
pernah menang total. Bahkan agama yang mengandung kontra-
Gargantuanisme bisa bergerak jadi bagian Gargantuanisme, se-
bagaimana puasa bisa jadi kesempatan untuk bermewah-mewah
dalam hidangan dan sekaligus memaafkan kemewahan.
Mungkin karena kini yang suci tak jelas lagi. Mungkin karena
orang telah memerosotkan yang ”suci” jadi setara dengan yang
”murni”. Orang telah lupa bahwa yang ”murni” tak pernah ada,
Catatan Pinggir 10 337
http://facebook.com/indonesiapustaka GARGANTUA
sebab di dunia, saling sentuh dengan yang lain selalu terjadi, dan
akhirnya juga saling membentuk.
Sebaliknya benda-benda, meskipun tak murni, terasa ”suci”—
meskipun lamat-lamat—ketika kita tak memperlakukannya se-
perti halnya Gargantua memperlakukan daging babi yang di-
asap. Benda-benda itu suci ketika ia jadi bagian dari rasa terima
kasih kita: hidup tak sepenuhnya punah oleh kerakusan.
Itu mungkin sebabnya, sebelum mengunyah nasi, orang ber-
doa.
Tempo, 29 Juli 2012
338 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka KAKAWIN
PADA suatu hari, di taman paviliun istana, Marmmawati,
permaisuri, menemukan sebait puisi di kelopak sekun-
tum bunga pudak. Terpesona, ia pun menyalinnya. Lalu
ia cepat-cepat kembali ke kamar. Gerimis turun. Dalam kesendi-
riannya, ia baca sajak itu dengan setengah berbisik.
Dan kesalahpahaman pun terjadi.
Baginda Jayawikrama mendengar suara bisik itu ketika ia me-
masuki kamar. Ia tahu baris-baris itu sebuah sajak cinta. Ia curiga:
istrinya pasti punya seorang kekasih yang sedang dirindukannya.
Dengan murka ia menuduh Marmmawati selingkuh. Ketika per-
maisuri mengatakan bahwa puisi itu dikutipnya dari bait yang di-
tulis seseorang di kelopak pudak, baginda meminta bukti.
Tapi kembang itu tertinggal di luar, di halaman, dan gerimis
telah menghapus huruf-huruf di kelopaknya.
Malam itu Raja Jayawikrama mengusir Marmmawati. Dan
dengan tangis yang pedih, perempuan itu kembali ke pertapaan
orang tuanya di tepi hutan.
Beberapa hari kemudian, ia dengar perang pecah dan Jayawi-
krama gugur. Segera, dengan kereta berkudanya Marmmawati
bergegas ke lapangan tempat pertempuran paling sengit terjadi.
Di sana mayat bergelimpangan. Marmmawati turun dari kereta
untuk mencari jenazah suaminya. Tapi ia tak menemukannya....
Saya petik dan susun kembali cerita itu dari sebuah karya
Mpu Tantular di abad ke-14, Sutasoma. Adegan itu dikisahkan
kembali oleh Helen Creese dalam Perempuan dalam Dunia Kaka-
win, yang baru terbit (Pustaka Larasan, Denpasar, Juni 2012).
Creese, sarjana peneliti sastra Jawa Kuna dan Bali, khususnya
memaparkan percintaan, perkawinan, dan seksualitas dalam sas-
tra Jawa sejak abad ke-9 sampai dengan Bali dan Lombok abad
Catatan Pinggir 10 339
http://facebook.com/indonesiapustaka K A K AWIN
ke-19. Meskipun versi Indonesia dari studinya ini agak kurang lu-
wes, saya masih bisa mendapatkan petilan-petilan yang mempe-
sona dari khazanah lama itu. Fragmen Sutasoma itu hanya salah
satu contohnya.
Dari sekitar 30 karya yang ditelaahnya, Creese memfokuskan
diri pada kehidupan perempuan dalam kakawin. Tapi akhirnya
tak hanya itu; faset lain tampak ke permukaan.
Yang pertama-tama adalah sebuah kualitas puitik yang tak ada
lagi dalam karya sastra Jawa di abad ke-18 dan 19. Wedhatama,
Wulangreh, dan Kalatida adalah ikon sastra Jawa sampai kini.
Tapi karya-karya tembang itu—dari zaman Ranggawarsita,
Mangkunegara IV, dan Yasadipura—terasa datar jika dibanding-
kan dengan, misalnya, Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh di abad ke-12.
Wedhatama, apalagi Wulangreh, terlampau dibebani fungsi
didaktis. Yang satu untuk memberi pedoman anak muda tentang
laku rohani yang baik; yang kedua sebuah petunjuk bagi para
anak priayi. Kekuatan literer kedua buku itu, kalau ada, hanya
tampak pada bunyi, permainan aliterasi, dan kekayaan sinonim.
Kita tak akan menemukan keleluasaan membangun deskripsi
yang imajinatif seperti dalam Bharatayudha ini:
Panjang garis awan bercampur ke dalam merah menyala cakrawala
Seperti darah merendam pakaian merah pengantin yang diperkosa.
Dengan sepasang kalimat itu, hadir suasana erotik, sekali-
gus brutal. Kita masuk ke dalam sebuah masa ketika alam sangat
dekat dan akrab dengan gairah manusia. Seperti ditunjukkan
Creese, dalam Kunjarakarna karya Mpu Dusun di abad ke-14,
misalnya, asosiasi antara yang alami dan yang seksual muncul ku-
at. Di sanalah hidup daya puitiknya. Sebatang pohon yang tam-
pak di sela-sela kabut adalah perempuan telanjang yang berdiri di
340 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka K A K AWIN
depan kekasihnya, sebuah dahan adalah lengan perempuan yang
menghindar dari pelukan, dan selubung awan yang turun dari
pucuk gunung adalah kain yang dilepaskan.
Dalam kakawin, yang erotik tak pernah jadi ”kotor”. Tapi pa-
da saat yang sama, seperti dalam contoh di atas, ia bisa berbaur de-
ngan yang buas. Dalam Bharatayudha, kata Creese, ”Majas sek-
sual kadang-kadang menggema dalam peperangan.” Kegaduhan
pertempuran, misalnya, dipandang sebagai ”jeritan dan desahan
sang wanita” dalam pergulatan di ranjang.
Di situ pula faset lain tersingkap: hubungan kekuasaan. Di
hampir semua kakawin, perempuan hanya dianggap berarti keti-
ka, seperti dalam cerita Marmmawati, ia adalah contoh kesetiaan
mutlak kepada suami. Dalam hubungan seks, ia jadi obyek. Ade-
gan ”pengantin yang diperkosa” tak hanya sekali muncul. Khu-
susnya di kalangan aristokrasi, perempuan hidup dengan kenda-
li yang ketat atas hasrat. Kekuatannya terbatas dalam daya me-
ngontrol diri sendiri.
Hanya perempuan yang bukan manusia yang punya keingin-
an, inisiatif, dan kapasitas untuk menikmati berahi. Dalam Arju-
nawiwaha, karya Mpu Kanwa dari abad ke-11, kita ketemu de-
ngan bidadari Tilottama (”kulitnya warna telur kupas, payudara-
nya kental”) yang ”berpengalaman dalam seni merayu”; dengan
Arjuna bidadari itu bisa ”merasakan puncak kenikmatan”. Da-
lam Drupadiwiwaha, Hidimbi, seorang raksasi, yang kemudian
melahirkan Gatutkaca, dengan kehendaknya sendiri tidur bersa-
ma Bhima.
Tapi kekuasaan dan kekerasan tak selamanya ada. Klimaks
kenikmatan seksual bisa bertaut dengan yang rohani. Bahkan da-
lam Tutur Kamadresti, sebuah panduan erotik dari Bali, tahapan
terakhir dari asmara adalah asmaratantra, saat penyatuan mistik.
Dengan kata lain, di dunia kakawin, yang erotik dan yang sensu-
al diterima dengan bebas sebagai bagian dari keindahan, sebagai
Catatan Pinggir 10 341
http://facebook.com/indonesiapustaka K A K AWIN
bagian dari kekerasan, dan juga dari yang spiritual.
Dunia yang paradoksal itulah yang menyebabkan kakawin
jadi puisi yang hidup. Dalam dunia puisi, tak ada satu elemen
pun yang sendirian menguasai ruang. Puisi adalah gema dari
kombinasi dan kontradiksi yang tak terduga-duga.
Itukah yang tak ada—entah kenapa—sejak Jawa memasuki
abad ke-15? Sejak datang Islam dan kemudian kemenangan orang
Eropa? Saya cuma menduga: ketika tak ada kombinasi dan kon-
tradiksi yang diakui, puisi para Mpu tak lahir kembali.
Tempo, 5 Agustus 2012
342 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BATMAN
BATMAN tak pernah satu. Maka ia tak berhenti. Apa yang
disajikan Christopher Nolan sejak Batman Begins (2005)
sampai dengan The Dark Knight Rises (2012) berbeda jauh
dari asal-muasalnya, tokoh cerita bergambar karya Bob Kane dan
Bill Finger dari tahun 1939. Bahkan tiap film dalam trilogi Nolan
sebenarnya tak menampilkan sosok yang sama, meskipun Chris-
tian Bale memegang peran utama dalam ketiga-tiganya.
Tiap kali kita memang bisa mengidentifikasinya dari sebuah
topeng kelelawar yang itu-itu juga. Tapi tiap kali ia dilahirkan
kembali sebagai sebuah jawaban baru terhadap tantangan baru.
Sebab selalu ada hubungan dengan hal-ihwal yang tak berulang,
tak terduga—dengan ancaman penjahat besar The Joker atau
Bane, dalam krisis Kota Gotham yang berbeda-beda.
Sebab itu Batman bisa bercerita tentang asal mula, tapi asal
mula dalam posisinya yang bisa diabaikan: wujud yang pertama
tak menentukan sah atau tidaknya wujud yang kedua dan ter-
akhir. Wujud yang kedua dan terakhir bukan cuma sebuah foto-
kopi dari yang pertama. Tak ada yang-Sama yang jadi model.
Yang ada adalah simulacrum—yang masing-masing justru mene-
gaskan yang-Beda dan yang-Banyak dari dan ke dalam dirinya,
dan tiap aktualisasi punya harkat yang singular, tak bisa diban-
dingkan. Mana yang ”asli” tak serta-merta mesti dihargai lebih
tinggi.
Sebab kreativitas berbeda dari orisinalitas. Kreativitas berang-
kat ke masa depan. Orisinalitas mengacu ke masa lalu. Masa yang
telah silam itu tentu saja baru ada setelah ditemukan kembali.
Tapi arkeologi, yang menggali dan menelaah petilasan tua, perlu
dilihat sebagai bagian dari proses mengenali masa lalu yang tak
mungkin dikenali. Pada titik ketika masa lalu mengelak, ketika
Catatan Pinggir 10 343
http://facebook.com/indonesiapustaka BATMAN
kita tak merasa terkait dengan petilasan tua, ketika itulah kreati-
vitas lahir.
Saya kira bukan kebetulan ketika dalam komik Night on Earth
karya Warren Ellis dan John Cassaday (2003), Planetary, sebuah
organisasi rahasia, menyebut diri ”archeologists of the impossible”.
Para awaknya datang ke Kota Gotham, untuk mencari se-
orang anak yang bisa membuat kenyataan di sekitarnya berganti-
ganti seperti ketika ia dengan remote control menukar saluran te-
levisi. Kota Gotham pun berubah dari satu kemungkinan ke ke-
mungkinan lain, dan Batman, penyelamat kota itu, bergerak da-
lam pelbagai penjelmaannya. Ada Batman sang penuntut balas
yang digambarkan Bob Kane; ada Batman yang muncul dari seri-
al televisi tahun 1966, yang dibintangi oleh Adam West sebagai
Batman yang lunak; ada juga Batman yang suram menakutkan
dalam cerita bergambar Frank Miller. Dan semua itu terjadi di
gang tempat ayah Bruce Wayne dibunuh penjahat—yang mem-
buat si anak jadi pelawan laku kriminal.
Satu topeng, satu nama—sebuah sintesis dari variasi yang ba-
nyak itu. Tapi sintesis itu berbeda dengan penyatuan. Ia tak meng-
hasilkan identitas yang satu dan pasti. Dan lebih penting lagi, sin-
tesis itu tak meletakkan semua varian dalam sebuah norma yang
baku. Tak dapat ditentukan mana yang terbaik, tepatnya: mana
yang terbaik untuk selama-lamanya.
Sebab itu Kota Gotham dalam Night on Earth bisa jadi sebuah
alegori. Ia bisa mengajarkan kepada kita tentang aneka perubah-
an yang tak bisa dielakkan dan sering tak terduga. Ia bisa meng-
asyikkan tapi sekaligus membingungkan. Ia paduan antara sesu-
atu yang ”utuh” dan sesuatu yang kacau.
Dengan alegori itu tak bisa kita katakan, mengikuti Leibniz,
bahwa inilah ”dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin”, le
meilleur des mondes possibles. Bukan saja optimisme itu berlebih-
an. Voltaire pernah mencemoohnya dalam novelnya yang kocak,
344 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BATMAN
Candide, sebab di dunia ini kita tetap saja akan menghadapi ber-
macam-macam kejahatan dan bencana, 1.001 inkarnasi The Jo-
ker dengan segala mala yang diakibatkannya. Kesalahan Leib-
niz—yang hendak menunjukkan sifat Tuhan yang Maha Pemu-
rah dan Pengasih—justru telah memandang Tuhan sebagai ke-
kuasaan yang tak murah hati: Tuhan yang hanya menganggap
kehidupan kita sebagai yang terbaik, dan dengan begitu dunia
yang bukan dunia kita tak patut ada dan diakui.
Kesalahan Leibniz juga karena ia terpaku kepada sebuah
pengalaman yang seakan-akan tak akan berubah. Padahal, seper-
ti Kota Gotham dalam Night on Earth, dunia mirip ribuan gam-
bar yang berganti-ganti di layar, dan berganti-ganti pula cara kita
memandangnya.
Penyair Wallace Stevens menulis sebuah sajak, Thirteen Ways
of Looking at a Blackbird. Salah satu bait dari yang 13 itu menga-
takan,
But I know, too,
That the blackbird is involved
In what I know
Memandang seekor burung-hitam bukan hanya bisa dilaku-
kan dengan lebih dari satu cara. Juga ada keterpautan antara yang
kita pandang dan ”yang aku ketahui”. Dan ”yang aku ketahui”
tak pernah ”aku ketahui semuanya”. Dengan kata lain, dunia—
seperti halnya Kota Gotham—selamanya adalah dunia yang tak
bisa seketika disimpulkan.
Tak berarti pengalaman adalah sebuah proses yang tak pernah
tampak wujud dan ujungnya. Pengalaman bukanlah arus sungai
yang tak punya tebing. Meskipun demikian, wujud, ujung, dan
tebing itu juga tak terpisah dari ”yang aku ketahui”. Dunia di lu-
arku selamanya terlibat dengan tafsir yang aku bangun dari peng-
Catatan Pinggir 10 345
http://facebook.com/indonesiapustaka BATMAN
alamanku—tafsir yang tak akan bisa stabil sepanjang masa.
Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran akan batas taf-
sir. Akan selalu ada yang tak akan terungkap—dan bersama itu,
akan selalu ada Gotham yang terancam kekacauan dan keam-
brukan. Itu sebabnya dalam The Dark Knight Rises, Inspektur
Gordon tetap mau menjaga misteri Batman, biarpun dikabarkan
Bruce Wayne sudah mati. Dengan demikian bahkan penjahat
yang tecerdik sekalipun tak akan bisa mengklaim ”aku tahu”.
Tempo, 12 Agustus 2012
346 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka LEBARAN
LEBARAN adalah ketupat dan permintaan maaf. Ada
unsur perut, tentu, tapi sekaligus juga unsur yang tidak
hanya perut. Dan tentu saja tidak hanya perutku sendiri.
Permintaan maaf adalah sebuah isyarat yang mengakui: saya
salah. Saya salah dalam bersikap terhadap dan berbicara tentang
orang lain, tentang keadaan di luar diri saya, tentang dunia yang
tak termasuk kesadaran saya. Permintaan maaf adalah sebuah
pengakuan bahwa orang selalu hidup dengan tafsir, dalam tafsir,
dan karena tafsir. Tak ada kenyataan yang tak terkena tafsir. Tak
ada fakta yang tak terpoles, tak diwarnai, sikap seseorang dan
masyarakatnya dalam membaca kenyataan atau fakta itu.
Dan tidak tiap tafsir dapat dikomunikasikan dengan sempur-
na ke orang lain, karena orang lain itu juga punya polesannya sen-
diri.
Itu sebabnya, pemahaman penuh dan kesepakatan adalah se-
buah utopia. Kesadaran tentang ini tak serta-merta akan berakhir
dengan putus asa. Ia bahkan sesuatu yang mendorong kita untuk
berusaha—meskipun (atau justru karena) tiap kali tak sepenuh-
nya tercapai. Permintaan maaf berarti saya telah salah paham,
dan saya tak ingin terus-menerus salah paham.
Kita adalah subyek yang terbelah karena kita masing-masing
terpaut pada ketupat—sebuah kondisi yang tak perlu dan tak se-
patutnya dikutuk. Mau tak mau, dengan seluruh kecerdasan kita,
kita selamanya ada dalam sesuatu yang-”somatis”, yang-jasmani,
yang kadang-kadang merasakan lapar-dan-dahaga dan meman-
dang dunia dengan kondisi itu.
Itu sebabnya, tiap hari Lebaran, atau lebih persis lagi selama
puasa, saya meragukan Hegel. Ia menganggap bahwa pada dasar
dunia yang jasmani ada ”roh” (Geist) yang menjadikan dunia se-
Catatan Pinggir 10 347
http://facebook.com/indonesiapustaka LEBARAN
buah realitas yang secara esensial bersifat rohani. Tapi kenyataan
bahwa selama 30 hari itu saya sibuk dengan tubuh saya—agar
tidak dilanda nafsu, agar merasakan lapar, agar menahan gejo-
lak hati—itu menunjukkan bahwa yang ”somatis” demikian pen-
ting. Ia tak terpisah dari yang rohani. Bahkan bisa dikatakan, roh
bukanlah sesuatu yang sepenuhnya membentuk subyek yang bisa
mengatasi tubuh dan melintasi batas dunia—”subyek yang tran-
sendental”. Roh justru dibentuk dalam sejarah, bukan di luar se-
jarah.
Kerinduan kepada Tuhan, kecintaan kita kepada yang indah,
yang adil, dan yang benar, jalin-menjalin dengan apa yang tak
putus-putusnya merundung manusia: kekurangannya.
Kaum Buddhis menyebutnya sansāra. Kata yang dalam baha-
sa Indonesia berkembang menjadi pengertian yang ekuivalen de-
ngan ”penderitaan” (”ke-sengsara-an”) ini sebermula berarti ”per-
jalanan” atau ”keadaan mengalir” yang tak henti-henti. Perjalan-
an ini adalah siklus yang terbentuk dari kelahiran, lalu menua-
melapuk, dan kemudian mati. Proses itu, perjalanan sejarah itu,
bagi Buddhisme bukanlah sebuah cerita sukacita. Justru air mata
tumpah dari saat ke saat. Begitu pedih dan begitu hakiki, hingga
air mata yang terurai dalam transmigrasi kehidupan itu diibarat-
kan lebih dahsyat ketimbang empat buah samudra.
Transmigrasi yang penuh air mata itu menunjukkan bahwa
manusia bukanlah roh. Atau dikatakan secara lain, yang disebut
”roh” dalam riwayat manusia (seperti yang dilihat Hegel) sebe-
narnya adalah sebuah proses dalam ruang-dan-waktu. Selama
itu, beragam manusia berinteraksi, saling memberi dampak, kon-
struktif ataupun destruktif. Yang menggerakkannya adalah has-
rat, atau impuls, yang lahir karena kekurangan dan ingin meng-
atasi kekurangan, ingin lepas dari sansāra.
Kita tahu, kekurangan senantiasa terpaut dengan badan, kare-
na badan senantiasa terbatas. Memang ada saat-saat ketika ruang-
348 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka LEBARAN
dan-waktu itu bisa diatasi, dan itulah saat dari ”yang-rohani”.
Tapi, seperti dalam kritik Adorno terhadap Hegel: semua yang-
rohani sebenarnya hanya ”impuls jasmani yang berubah”, modifi-
ziert leibhafter Impuls.
Tentu akan keliru apabila kita kemudian hanya memandang
yang jasmani, yang merindukan ketupat, sebagai gambaran satu-
satunya tentang manusia. Tapi kiranya bisa dijadikan semacam
awal kearifan untuk melihat lapar-dan-dahaga sebagai metafor
yang menegaskan bahwa tubuh kita sebenarnya membimbing ki-
ta. Seperti telah tersirat di atas, kekurangan, atau dengan kata lain
lapar-dan-dahaga, menggerakkan kita untuk membuat sejarah,
namun pada saat yang sama membuat kita tak sepenuhnya tahu
ke mana persis arahnya. Kita ibarat berada dalam arus laut, yang
bergerak terus, dan tak pernah ada dermaga dari mana kita bisa
meninjau hamparan gelombang itu. Kita selamanya terapung.
Dan kita terapung di sana ”lebih ringan ketimbang gabus pe-
nyumbat botol”, kata Hegel.
Tapi Hegel seorang optimis. Di laut itu, dengan bobot yang
terbatas sekalipun, katanya, pada saatnya akan ada ujung samu-
dra, akan ada tepian yang tenang: ”akhir sejarah”. Sebab kapal
kita kuat, jika kita juga memperkuat diri. Digambarkan secara
lain, setelah puasa panjang, di mana roh kita menegaskan diri di
dalam kita, akan ada Lebaran yang akan merayakan pencapaian
manusia.
Tapi bagi saya, mungkin lebih baik ada Lebaran yang akan
meluangkan maaf sesama manusia. Sebab sebenarnya tak ada
perbedaan prinsipiil antara puasa dan ujungnya: dalam sansāra
yang panjang, tak hanya air mata yang tumpah, tapi juga kegem-
biraan ala Lebaran, betapapun bersahajanya. Sementara itu, sete-
lah berabad-abad menghuni planet ini, manusia menyadari bah-
wa riwayatnya dibangun dari harapan besar untuk bisa melepas
lapar-dan-dahaga, tapi juga dibentuk oleh pelbagai salah sikap
Catatan Pinggir 10 349
http://facebook.com/indonesiapustaka LEBARAN
dan salah sangka.
Maka, meskipun Lebaran masih beberapa hari lagi, maafkan
lahir dan batin.
Tempo, 19 Agustus 2012
350 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka ORIGAMI
SEORANG penulis sejarah yang baik tahu bahwa ia se-
orang penggubah origami. Ia membangun sesuatu, sebuah
struktur, dari bahan-bahan yang gampang melayang. Se-
bab bahan penyusunan sejarah sesungguhnya bagaikan kertas:
ingatan.
Ingatan tak pernah solid dan stabil; ingatan dengan mudah
melayang tertiup. Seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di
depan kita, sebenarnya dalam proses berubah. Kita yang mene-
mukannya juga berubah: dengan kepala yang tak lagi pusing atau
menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri se-
dang jadi lecek atau sumbing, lembap atau menguning.
Origami, di situ, mengandung dan mengundang perubahan.
Berbeda dengan kirigami, ia dilipat tanpa direkat ketat dengan
lem atau dijahit mati. Ia bernilai karena ia sebuah transformasi
dari bahan tipis dan rata jadi sebuah bentuk yang kita bayangkan
sebagai, misalnya, burung undan. Dan pada saat yang sama, ia
mudah diurai kembali. Begitu juga penulisan sejarah: ia bernilai
karena ia mengandung pengakuan, masa lalu sebenarnya tak bisa
diberi bentuk yang sudah dilipat mati.
Saya selalu teringat ini tiap 17 Agustus.
Hari itu telah jadi sebuah institusi. Kita memberinya nama
dan merayakannya dalam sebuah lagu (”Tujuh belas Agustus ta-
hun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita...”). Ada yang men-
jadikannya indikator sebuah revolusi (dengan ”R”) dan berbicara
tentang ”Revolusi Agustus”. Di sekitarnya disusun ritual: tiap pu-
kul 09.00 teks Proklamasi dengan tulisan tangan Bung Karno
yang bergegas itu dibacakan kembali. Momen 67 tahun yang lalu
itu seakan-akan patung pualam yang tak boleh lekang dan lapuk.
Manusia memerlukan itu: patung, ritual, dan upacara. Tapi
Catatan Pinggir 10 351
http://facebook.com/indonesiapustaka ORIGAMI
itu juga yang membuat kita memandang masa lalu sebagai sebuah
bentuk yang disederhanakan dan diperindah—seperti origami.
Di balik 17 Agustus sebagai sebuah ingatan yang dilembagakan,
ada keadaan dan kerja yang tak terhitung ragamnya: para pemuda
yang dengan semangat berapi-api dan jantung berdebar mende-
sak Bung Karno dan Bung Hatta untuk berani tak patuh kepada
penguasa Jepang; Bung Karno dan Bung Hatta yang dengan sa-
bar tapi cemas mengikuti desakan itu—dan kemudian menyu-
sun teks yang di sana-sini dicoret itu; sejumlah orang yang tak
disebut namanya yang mengawal kedua pemimpin itu kembali
dari Rengasdengklok; orang-orang yang menyiapkan bendera
merah putih, pengeras suara, rekaman, upacara sederhana, dan
berdoa....
Kerja (dan tak jarang dengan kesalahan dan kebetulan) dalam
ragam yang tak habis-habisnya itu bahkan belum bisa membuat
suara Bung Karno jadi sebuah gaung yang tak mati-mati, ke selu-
ruh Indonesia, ke hari-hari mendatang. Setelah beratus tahun
menunggu, tiba-tiba datang satu saat ketika kolonialisme jebol
dan orang Indonesia bisa berkata bahwa dirinya ”merdeka”.
Sejarah, di balik origami yang rapi itu, tak semuanya rapi. Ia
punya elemen yang disebut Bung Karno ”menjebol”. Kata itu me-
nunjukkan sebuah aksi; bukan ”penjebolan”, bukan ”jebolan”,
bukan sebuah kesimpulan, atau hasil ataupun keadaan. ”Menje-
bol” menyiratkan sebuah keyakinan yang ada dalam proses. Tapi
ia justru bermula seakan-akan mematahkan waktu di tengah.
Ia, jika kita pakai pandangan Badiou, adalah sebuah ”kejadi-
an”: tiap ikatannya dengan dunia yang-utuh, dengan situasi yang
satu, patah. Kejadian itu seakan-akan ditakik dari hidup kita
yang sehari-hari dan ”lepas ke bintang-bintang”.
Di sini, saya ingin berhati-hati dengan hiperbol. Kata ”bin-
tang-bintang” bisa terasa terlampau melambung, tak bersentuh-
an dengan bumi. Salah satu kelemahan Badiou ialah memberi ke-
352 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka ORIGAMI
san bahwa dalam politik, ”kejadian”, l’ événement, begitu luar bia-
sa sehingga harus ada orang-orang militan yang lahir sebagai sub-
yek dalam Kebenaran. Sementara itu kita tahu, 17 Agustus bu-
kanlah sesuatu yang secara ontologis terpisah dari situasi waktu
itu. Sama salahnya dengan menganggap Peristiwa 30 September
sebagai bukti ”kesaktian” Pancasila, kita akan keliru bila meng-
anggap detik ketika Proklamasi itu dimaklumkan adalah sebuah
momen yang muncul bagaikan mukjizat.
Kita memang bisa menyebutnya sebagai ”Revolusi”. Tapi tiap
ingatan tentang revolusi selalu terdiri atas bagian yang sudah me-
layang terbang, atau melapuk—seperti kertas.
Bersamaan dengan itu, kata ”revolusi” membawa imaji melo-
dramatik, pertentangan penuh gairah dan gundah, yang sering
mengharukan tapi juga melenceng. Monumen yang banyak di-
bangun di Indonesia—prajurit bersenjata, pemuda membawa
bambu runcing—membayangkan kekerasan sebagai bagian
esensial dalam ”Revolusi” itu, meskipun di bulan Agustus 1945
itu tak ada pertempuran apa pun. Yang sering dilupakan, bahkan
sebuah revolusi yang eksplosif datang dari perubahan-perubahan
yang tidak heboh: politik mikro. Tak semuanya menarik, ganjil,
atau heroik.
Itu sebabnya, ”merdeka” adalah proses. Dalam bahasa Indone-
sia, kata sifat kadang-kadang bisa juga berfungsi menjadi kata ker-
ja: daun adalah hijau dan itu juga berarti daun menghijau. Maka
”Indonesia merdeka” dapat berarti ”Indonesia adalah merdeka”,
tapi juga bisa berarti ”Indonesia menjalankan kemerdekaan”. Se-
perti ”menjebol”, kerja itu masih berlangsung.
Pernah ada lelucon pahit. Seseorang yang setelah 17 Agustus
1945 nasibnya tak jadi lebih baik, bahkan memburuk, bertanya:
”Kapan merdeka selesai?” Jika kita lihat ”merdeka” adalah sebuah
laku, pertanyaan itu tak akan ada. Sebab laku itu—yang berlang-
sung dalam sejarah sebagai proses—tak punya titik yang tetap di
Catatan Pinggir 10 353
http://facebook.com/indonesiapustaka ORIGAMI
depan untuk dituju. Titik itu, untuk jeda, harus tiap kali diputus-
kan kembali.
Itu sebabnya kita perlu membayangkan origami itu tak mati.
Dalam bentuk seekor burung undan, kita bayangkan ia terbang
tinggi.
Tempo, 26 Agustus 2012
354 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka AGORA
DI agora, kearifan dimulai dengan kegelisahan dan tak
tahu. Ada satu kalimat yang konon dari Sokrates: ”ia
[Sokrates] tak tahu apa-apa, kecuali bahwa ia tahu ia
tak tahu apa-apa.”
Itu sebabnya sebuah agora, yang dalam sejarah Yunani Kuno
merupakan tempat berkumpul orang di pusat kota, dijadikan
Sokrates sebagai arena bertanya-jawab. Sejarah mengisahkan ini
bukan waktu senggang yang iseng dan tanpa konsekuensi. De-
ngan pertanyaan-pertanyaannya yang menggugat pikiran yang
gampangan dan mandek, Sokrates mengibaratkan diri sebagai
”lalat pengusik” bagi masyarakat, agar masyarakat itu tak terle-
na. Kita tahu, akhirnya Sokrates dihukum mati pada tahun 399
sebelum Masehi.
Dalam film Alejandro Amenábar, Agora, tokoh yang mesti
mati adalah Hypatia. Ia seorang perempuan pemikir dari Alexan-
dria, ibu kota Mesir di bawah kuasa Romawi pada tahun 331.
Berbeda dengan Sokrates, Hypatia mati dirajam orang ramai:
para penganut Kristen yang dengan berapi-api sedang hendak
mengubah dunia dengan membasmi orang pagan atau ”kafir”.
Tapi ceritanya tak sekadar itu. Hypatia menolak jadi orang
yang beriman karena ia melihat dirinya berperan sebagai orang
yang bertanya. Ia berkata kepada Synesius, bekas muridnya yang
jadi uskup di Cyrene, Libya: ”Kau tak mempertanyakan, atau tak
bisa mempertanyakan, apa yang kau imani. [Sedangkan] aku ha-
rus.”
Synesius gagal mengajaknya masuk Kristen.
Sikap itu merisaukan para pembesar kota, terutama karena
Hypatia punya pengaruh dan sesekali dimintai pendapat dalam
sidang-sidang mereka. Ia dipanggil menghadap.
Catatan Pinggir 10 355
http://facebook.com/indonesiapustaka AGORA
Seseorang bertanya: ”Mengapa sidang ini harus menerima na-
sihat dari seseorang yang tak percaya apa pun?”
Hypatia menjawab: ”Saya percaya kepada filsafat.”
Sebenarnya tanya-jawab itu bertolak dari kesalahan. Si pem-
besar kota menganggap bahwa tak percaya kepada Tuhan sama
artinya dengan tak percaya apa pun. Ia menyempitkan pandang-
annya. Sementara itu Hypatia tak konsisten dengan argumennya
sendiri: jika ia mengatakan ”percaya kepada filsafat”, berarti ia tak
hendak dan tak dapat menggugat apa yang dipercayainya. Pada-
hal bahkan filsafat bisa dipersoalkan. Ia, Hypatia, seorang pemi-
kir, yang dengan atau tanpa sebuah sistem filsafat, menyimak dan
menelaah kehidupan, dan berani menghadapi hal-ihwal yang tak
segera ada jawabnya, atau yang telah lapuk. Ia seharusnya menja-
wab: ”Saya percaya kepada ketidaktahuan dan pertanyaan.”
Tentu jawaban seperti itu akan terlampau sulit dicerna, teruta-
ma oleh mereka yang telah berkesimpulan bahwa agama adalah
penangkal terakhir bagi ketidaktahuan dan pertanyaan. Namun
bagi Hypatia, ketidaktahuan dan pertanyaan tak bisa dihapus se-
lama-lamanya. Keduanya akan selalu hadir selama manusia hi-
dup dan berubah. Dalam film Amenábar, Hypatia (dimainkan
oleh Rachel Weisz) tampak tak henti-hentinya mencari jawab soal
konstelasi bumi dan matahari.
Barangkali itu sebuah kekeliruan. Hypatia tampaknya yakin,
pengetahuan yang diperoleh akan memberinya sebuah kekuatan.
Ia lalai bahwa pengetahuan tak dengan sendirinya melahirkan
kekuatan. Bahkan sebaliknya: kekuatan itu yang melahirkan pe-
ngetahuan, dengan mengkonstruksikan wacana. Hypatia tak ta-
hu betapa pentingnya kekuatan itu. Ia terisolir ketika ia acuh tak
acuh terhadap perubahan yang terjadi di Alexandria: hari-hari
itu, penganut Kristen yang merasuk ke mana-mana, juga ke ka-
langan kekuasaan.
Dan itulah yang kemudian menentukan ketika penguasa aga-
356 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka AGORA
ma, Cyril, yang fanatik, keras, dan otoriter, hendak meneguhkan
bahwa pengetahuan hanya mungkin selama orang mengakui oto-
ritas Kitab Suci. Ia didukung umat yang sedang bergelora meng-
hadapi iman yang bagi mereka harus ditinggalkan—gelora yang
membuat mereka buas.
Konflik berdarah pun terjadi dengan umat Yahudi. Kaum ini
dibantai. Perpustakaan yang termasyhur di Alexandria pun diba-
kar—sebuah peristiwa simbolik: perpustakaan adalah khazanah
pengetahuan yang beraneka suara, dan sebab itu agama (yang tak
menghendaki pengetahuan lain) tak membutuhkannya.
Sementara itu, Hypatia tak punya kekuatan apa pun. Ia semula
dibela oleh Orestes, bekas muridnya dan lelaki yang mencintai-
nya yang kemudian jadi wakil kekuasaan Romawi di Alexandria.
Tapi kemudian Orestes pun tak bisa berbuat apa-apa menghadapi
desakan umat Kristen yang makin keras.
Pada klimaksnya, Hypatia dibawa ke depan altar dan ditelan-
jangi. Orang-orang mengumpulkan batu untuk merajamnya. Di
saat itu ia ditolong Davus, bekas budak yang mencintainya dan
kemudian jadi orang Kristen: agar tak merasakan sakitnya han-
taman ratusan batu, Hypatia dicekik sampai mati.
Bukankah Tuhan kita mengampuni? Itu pertanyaan Davus
kepada seorang temannya, seorang militan Kristen. Jawaban sang
militan: Tuhan mengampuni karena Ia Tuhan, sedangkan kita
ini manusia.
Dari jawaban itu tampak, si Kristen militan meletakkan diri-
nya tidak setara Tuhan dan sebab itu ia tak bisa mengampuni; ma-
ka ia membunuh. Yang diabaikannya ialah bahwa ia membunuh
justru karena ia meletakkan dirinya setingkat Tuhan dalam me-
nentukan kesalahan manusia lain. Ia merasa dirinya mencermin-
kan Tuhan yang mahatahu—dan sebab itulah ia merasa berhak
memutuskan mana yang kafir dan yang bukan.
Dengan kata lain: dialah yang mengkonstruksikan sifat Tu-
Catatan Pinggir 10 357
http://facebook.com/indonesiapustaka AGORA
han, memilih mana yang cocok daan meniadakan yang tak co-
cok. Ia bahkan lebih kuasa ketimbang Tuhan.
Tak mengherankan bila sang militan tak melihat bahwa pe-
ngetahuannya tentang apa yang ”buruk” dan yang ”baik”, yang
”sesat” dan yang ”tak sesat”, sebenarnya dibentuk oleh pengalam-
annya di bumi—terutama pengalaman kompetisi dan antagonis-
me—bukan oleh sabda dari langit.
Agora, bagi saya, bukanlah film yang memikat. Tapi saya kira
ketika Amenábar membuatnya pada tahun 2008, di dalam diri-
nya bergema suara suram tentang agama-agama hari ini.
Tempo, 2 September 2012
358 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka WISANGGENI
WISANGGENI adalah hidup yang mengungkapkan
inkonsistensi dewa-dewa—bahwa Kahyangan sebe-
narnya sebuah kekacauan. Dalam cerita wayang Ja-
wa—di bagian yang tak terdapat dalam Kitab Mahabharata In-
dia—Wisanggeni lahir sebelum waktunya. Batara Brama meng-
hajar perut Bidadari Dresanala agar ia mengeluarkan janin yang
dikandungnya secara paksa. Brama melakukan itu karena ia pa-
tuh kepada titah pemimpin para dewa, Batara Guru: Dresanala
harus dipisahkan selama-lamanya dari suaminya, Arjuna, kesa-
tria Pandawa yang termasyhur itu. Tak perlu bertanya buat apa.
Batara Guru hanya meluluskan kehendak permaisurinya, Durga.
Syahdan, Brama pun membuang janin itu ke dalam sebuah
kawah di Gunung Jamurdipa. Yang tak diperhitungkan ialah
bahwa ada Narada, seorang dewa kontet dengan perut buncit dan
suara sengau yang ganjil. Ia punya kearifan yang lebih ketimbang
para penguasa Langit. Ia tentu saja tak akan berani membang-
kang titah Batara Guru. Tapi hatinya tergerak untuk tak membi-
arkan seorang bayi hangus di dalam kawah Candra-dimuka. Na-
rada pun mengangkat sang orok dari magma yang panas dan ge-
muruh. Dan dari dalam zat yang dahsyat itu, anak itu menjelma
jadi seorang pemuda yang sakti. Narada menamakannya Wisang-
geni, ”racun api”.
Seluruh riwayat Wisanggeni adalah gugatan, bahkan ancam-
an, terhadap hidup yang digambarkan sebagai sesuatu yang ada
dengan ”alasan yang cukup”. Bukankah tak ada cukup alasan
agar Wisanggeni ada? Dan ketika ia dilontarkan ke dalam kawah,
bukankah tak ada sebab yang bisa diduga yang membuat ia sela-
mat? Bukankah ia tak pasti, tak niscaya, mati?
Dengan kata lain, hidup dan mati Wisanggeni di luar hukum
Catatan Pinggir 10 359
http://facebook.com/indonesiapustaka WISANGGENI
alam dan nujuman. Atau ia bukti hukum alam bisa berubah dan
garis nasib tak pernah meyakinkan. Ia tak mengikuti desain Ka-
hyangan—bahkan ia tak memutlakkan desain itu, atau meng-
ungkapkan bahwa desain itu acak-acakan. Ia anak Arjuna yang,
tak seperti para pangeran lain, hidup jauh dari keluarga Pandawa.
Dengan kesaktian yang tak ada dalam kategori para pendekar pe-
rang Bharatayudha, tak ada prediksi bagi kemenangan atau keka-
lahannya.
Pendek kata, bagi para dewa, ia membahayakan alur yang te-
lah digariskan. Tanpa alasan yang logis, Wisanggeni dianggap
akan menyebabkan Pandawa justru kalah—dan itu tak ada da-
lam skenario. Maka pemuda itu harus dihapus. Wisanggeni,
anehnya, bersedia untuk musnah.
Tampak, ia adalah sebuah penanda bagi khaos bumi dan la-
ngit. Tapi ia menjadi seperti itu bukan karena takdir; ia justru me-
nunjukkan takdir dapat berubah. Semua serba mungkin. Semua
contingent. Dewa-dewa memang amat berkuasa, tapi tak abso-
lut. Yang absolut bukanlah kehendak Kahyangan; yang absolut
adalah keserbamungkinan itu sendiri. Tak ada yang ”niscaya”.
Dalam kisah wayang, oknum yang disebut ”dewa” tak niscaya
punya pertimbangan moral tentang baik dan buruk; atau ”baik”
dan ”buruk” itu bergantung pada sesuatu yang lain di luar. Tak
ada konsistensi: baik Brama yang membinasakan si bayi maupun
Narada yang menyelamatkannya, keduanya mendapat tempat
sendiri-sendiri—dan dengan demikian tak dianggap sebagai
kontradiksi.
Bahwa Wisanggeni dapat ditiadakan itu berarti ia juga tak
niscaya hidup terus. Bahwa ia—yang digambarkan sebagai se-
seorang yang tak pernah memakai bahasa halus kepada siapa
pun—ternyata patuh untuk meninggalkan dunia, itu berarti tak
ada garis sebab-akibat yang lurus dalam perangainya. Bahwa ia
dihapus dari tubuh cerita dengan kekuasaan yang begitu perkasa,
360 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka WISANGGENI
menunjukkan bahwa keserbamungkinan itu—atau khaos itu—
begitu melekat di dunia.
Walhasil, ketika kita menyingkapkan apa yang mutlak, kita
menemukan sebuah kekuatan yang tak tepermanai: bukan ke-
kuatan Wisanggeni, melainkan kekuatan yang membuat Wi-
sanggeni ada atau tiada, bahkan yang membuat Batara Guru ber-
buat sesuatu yang seharusnya tak dilakukan seorang mahadewa.
Sebagaimana digambarkan dalam kisah Wisanggeni, hidup
tak serta-merta disangga sesuatu yang stabil. Kita berhadapan,
atau berada di dalam, apa yang disebut Quentin Meillassoux se-
bagai ”gergasi ketidaklogisan”, monstres d’ illogisme. Kita tercebur
di hadapan kekuatan yang mampu menghancurkan hal-ihwal,
memproduksi tiap mimpi, juga mimpi yang menakutkan, menja-
lani perubahan yang mendadak dan amburadul, atau menghasil-
kan sebuah alam semesta yang 100% mandek sampai dengan ce-
ruknya yang terdalam. Dengan kata lain, satu Mahakuasa yang
mampu apa saja, namun, meminjam kata-kata Meillassoux, ”be-
rantakan, buta, terlepas dari kesempurnaan ilahiah”—atau Ma-
hakuasa yang ”tanpa kebaikan maupun kearifan”, yang tak mem-
beri jaminan bahwa ide-ide kita yang jernih adalah benar.
Namun tentu saja cerita wayang ini tak sepenuhnya tampak
sebagai ”hyper-Chaos”. Layar itu rata dan stabil. Susunan deret
dan adegan itu tak berubah banyak. Di dunia yang tampak nya-
man di depan Ki Dalang, sebab dan akibat tampak jelas hubung-
annya: jika telapak kakinya menyentuh kecrek, akan terdengar
bunyi yang dimaksud; jika korek api disulutkan ke sumbu blen-
cong, sumbu itu akan terbakar dan lampu akan terang.
Bagaimanapun, cerita Wisanggeni, dari dunia yang acak-
acakan, berkelindan dengan sesuatu yang stabil. Memang ada
yang mengatakan, stabilitas itu—di mana berlangsung hubung-
an yang ajek antara sebab dan akibat—bukan karena hukum
alam, melainkan karena intervensi dari luar. Di abad ke-11, Al-
Catatan Pinggir 10 361
http://facebook.com/indonesiapustaka WISANGGENI
Ghazali percaya, api itu membakar sumbu karena ada laku Tu-
han. Tapi untuk deskripsi itu perlu ada seorang Al-Ghazali yang
menyimpulkannya, sebagaimana dalam lakon Wisanggeni ada
Ki Dalang yang bercerita. Manusia menganggit dan mencipta-
kan yang tak terbatas, justru dari sudutnya yang terbatas.
Tempo, 9 September 2012
362 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka GELANGGANG
APA yang mendorong Raffles, penguasa Inggris di Jawa,
hingga ia memerintahkan agar candi yang tertimbun la-
pisan tanah di 40 kilometer dari Yogyakarta itu digali?
Bukan kehendak memuliakan sebuah masa lalu, tapi rasa ingin
tahu.
Kini orang mendatangi Borobudur tanpa rasa ingin tahu
itu—hasrat yang menggerakkan ilmu, termasuk arkeologi. Mere-
ka lupa bahwa Borobudur, yang dibangun di abad ke-9, baru dila-
hirkan kembali di abad ke-19 oleh seorang asing dengan sema-
ngat Pencerahan Eropa. Sekaligus diberi nama baru. Nama asli
Borobudur tak diketahui. Mungkin Bhűmisambhara.
Tak kalah penting: kini Borobudur jadi indeks ke-Indonesia-
an. Terutama bila ke-Indonesia-an hendak digambarkan sebagai
sebuah sejarah yang gemilang, dengan prestasi arsitektural, seni
pahat, dan kerohanian yang menonjol. Dalam rasa bangga itu ki-
ta tak mau mengingat, ada ratusan tahun ketika nenek moyang
kita meninggalkan Borobudur. Sekitar akhir abad ke-9, Raja
Mpu Sendok memutuskan memindahkan kerajaannya ke Jawa
Timur, mungkin karena kerusakan akibat letusan gunung-gu-
nung di sekitar itu. Sejak itu pula Borobudur diabaikan, tertutup
debu vulkanis dan pohon-pohon hutan. Berangsur-angsur ia jadi
sesuatu yang angker, tempat takhayul abad ke-18 beredar. Bukan
candi.
Namun ironis: dengan begitu tampak bahwa masa lalu tak
pernah mati, biarpun petilasan tua runtuh atau lenyap. Masa la-
lu tak pernah mati karena ia senantiasa diperlukan dan dicipta-
kan kembali oleh masa sesudahnya. Terkadang dengan semangat
keilmuan (rasa ingin tahu ala Raffles), terkadang dengan takha-
yul, terkadang dengan kehendak meneguhkan identitas, terka-
Catatan Pinggir 10 363
http://facebook.com/indonesiapustaka GELANGGANG
dang karena kepentingan bisnis pariwisata.
Itu sebabnya tak ada masa lalu yang tak disentuh masa kini.
Orang-orang beragama sering meyakini bahwa zaman dulu (ke-
tika pendiri iman mereka masih hidup) adalah masa yang suci
murni. Mereka lupa bahwa ”zaman dulu” yang mereka baca itu
tak jarang hanyalah proyeksi ketidakpuasan kepada ”zaman ki-
ni”.
Sebaliknya mereka yang ingin agar ”zaman dulu” harus dibu-
ang untuk menghadirkan masa kini: mereka lupa bahwa tak per-
nah ada masa kini yang tak disentuh ingatan. Seperti kata-kata
Marx yang termasyhur, ”Manusia membuat sejarah mereka sen-
diri, tapi mereka tak membuatnya seperti kehendaknya.” Manu-
sia membuat sejarah di tengah keadaan yang sudah ada, ”yang di-
berikan dan disalurkan dari masa lalu.”
Tentu saja di situ Marx tak berbicara sebagai seorang pengge-
rak revolusi; ia lebih sebagai seorang analis. Seorang penggerak
revolusi pasti ingin mematahkan masa kini dari masa silam, yang
”baru” dari yang ”lama”. Ia harus berniat mengubah keadaan. Ia
harus memperbarui.
Itu juga hasrat sebuah statemen yang terkenal dalam sejarah
kesusastraan Indonesia: ”Surat Kepercayaan Gelanggang”.
Teks itu terdiri atas tujuh paragraf. Isinya merupakan pan-
dangan para sastrawan yang disebut ”Angkatan ‘45”, meskipun
dokumen itu disiarkan dalam majalah Siasat 22 Oktober 1950.
Seperti umumnya nasib sebuah statemen, ia tak pernah dengan
baik-baik dibaca. Ia hanya diterima dengan sikap ”pro” atau
”anti”. Ia memasuki sebuah konfrontasi.
Terutama ketika ”revolusi nasional” dan perang kemerdekaan
belum reda dari ingatan. Sebab kalimat awal ”Surat Kepercayaan
Gelanggang” memang memancing polemik: ”Kami adalah ahli
waris yang sah dari kebudayaan dunia...”; juga beberapa alinea
berikutnya:
364 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka GELANGGANG
Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan
Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan
lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memi-
kirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat.
Bagi mereka yang ”nasionalistis”, statemen itu ditafsirkan se-
bagai kehendak lepas dari akar, ingkar dari ”kepribadian nasio-
nal”.
Tapi di situ para pengecamnya salah paham. Mereka meng-
abaikan: bahwa di balik statemen ini ada gelora kreativitas yang
absolut.
Seraya menegaskan ”kebudayaan ini kami teruskan dengan
cara kami sendiri”, yang hendak dicapai adalah sebuah kerja seni
dan intelektual yang tak dibatasi rumusan apa pun tentang ”ke-
pribadian bangsa”. Identitas itu bisa mempersempit. ”Kami tidak
akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia.... Kami
akan menentang segala usaha yang mempersempit ukuran nilai”.
Dengan gelora kreativitas seperti itu, ”hasil kebudayaan lama”
tak akan dilap-lap ”sampai berkilat”. Yang diniatkan: ”suatu
penghidupan kebudayaan baru...”.
Dan itulah kekuatan ”Surat Kepercayaan Gelanggang”.
Tapi itu pula kekurangannya. Penggubahnya tak memahami
bahwa ada beda antara kreativitas dan orisinalitas. Kreativitas
yang mutlak bisa lahir dari sebuah momen ketika subyek sepe-
nuhnya tampil otonom. Tapi tak berarti orisinalitas murni—
yang bebas dari apa saja yang ”lama”—bisa didapatkan.
Memang, semangat kreatif adalah penjebol. Ketika yang ”la-
ma” bukan saja tertutup, tapi juga menutup, sesuatu yang ”baru”
akan meletup seperti magma yang tertahan. Semangat kreatif se-
lamanya berada dalam saat genting, menjelang sesuatu yang ber-
beda, yang baru, datang menerabas. Tapi bukankah, seperti kata
Marx, ”tradisi generasi yang telah mati memberat di dalam kepa-
la mereka yang masih hidup, seperti mimpi buruk”? Meskipun
Catatan Pinggir 10 365
http://facebook.com/indonesiapustaka GELANGGANG
Marx terlalu muram—yang ”lama” tak selamanya ”mimpi bu-
ruk”—seperti yang saya sebut di atas, masa lalu tak pernah mati.
Tradisi adalah sebuah proses.
Apalagi ia juga lahir dari pelbagai saat genting yang sama. Ke-
tika sang pemahat Borobudur mengayunkan perkakasnya, ia, se-
perti Chairil Anwar dan Affandi, merasa ada sesuatu yang ”baru”
yang akan datang ke dalam dunianya—dan mengubahnya.
Saat genting, itulah yang selalu mengiringi sebuah kebudaya-
an.
Tempo, 16 September 2012
366 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka LEDA
—Mengenang Putri, 16 tahun, yang bunuh diri setelah dituduh sebagai
pelacur oleh polisi syariah di Langsa, Aceh.
GEBRAK itu mendadak: angsa besar itu, dengan sayap-
nya yang menggeletar, meraba paha perempuan itu. Ia
tersengal. Tengkuknya tercengkeram cakar, dadanya
tertindih dada....
A sudden blow: the great wings beating still
Above the staggering girl, her thighs caressed
By the dark webs, her nape caught in his bill,
He holds her helpless breast upon his breast.
Kisah Leda yang diperkosa angsa yang misterius itu beredar
sejak orang Eropa menemukannya dalam mithologi Yunani Ku-
no. Dari masa ke masa, yang erotis, brutal, dan mengejutkan da-
lam dongeng ini tak henti-hentinya merangsang para pelukis dan
penyair. Dengan itu mereka membangun pelbagai imajinasi, da-
lam ekspresi yang terkadang halus terkadang kasar, terkadang da-
lam dan tak jarang hanya dangkal.
Tapi baru di abad ke-20, di abad yang memberontak itu, cerita
pemerkosaan ini begitu mencekam. Terutama ketika W.B. Yeats,
penyair nasionalis Irlandia itu, menuliskannya dalam sebuah so-
neta yang saya petik sebait: seluruhnya adalah 14 baris yang mem-
pesona dengan ritme awal yang mengentak.
Dalam sajak itu Yeats merasa tak perlu menyebutkan bahwa
angsa itu adalah Zeus yang menyamar. Ia menganggap para pem-
bacanya tahu cerita Yunani itu, juga tahu bahwa sang mahadewa
yang memimpin Kahyangan adalah kekuatan yang tanpa belas
Catatan Pinggir 10 367
http://facebook.com/indonesiapustaka LEDA
hati: ia bernafsu, ia berkuasa, ia ada. Siapa pun namanya, sela-
ma ia hanya tampil dalam kekuasaan semata-mata, kita tak bisa
mengharapkan keadilan.
Yeats juga tak menyebut nama Leda. Mungkin ia hendak me-
negaskan bahwa yang digambarkannya bukan hanya nasib istri
Raja Sparta, Tyndareos. Sajak Yeats hanya melukiskan seseorang
yang tiba-tiba terperosok di dalam situasi yang tak bisa diban-
dingkan dan tak bisa berulang. Justru dalam keadaan itulah ia
mengetuk hati orang di mana saja, kapan saja. Ia universal.
Adapun sajak itu ditulis Yeats di sekitar tahun-tahun pergulat-
an orang Irlandia untuk memerdekakan diri dari penjajahan Ing-
gris. Tak mengherankan bila perempuan yang disetubuhi Zeus
itu ditafsirkan sebagai lambang si tertindas yang semula terbung-
kam. Kisahnya sebuah sejarah politik: dari satu keadaan yang
brutal dan represif lahirlah kekerasan baru. Khususnya, kekeras-
an sebuah bangsa oleh bangsa lain dan tragedi yang terjadi selama
dan setelah itu.
Mithologi Yunani itu memang mengisahkan, karena perbuat-
an Zeus itu Leda melahirkan Helena, perempuan yang menye-
babkan berkecamuknya Perang Troya selama 10 tahun. Di enam-
baris terakhir sonetanya Yeats menyebut ”tembok yang runtuh,
menara-menara yang terbakar” dan Agamemnon yang mati. Da-
lam syair Iliad, raja yang memenangi Perang Troya itu akhirnya
memang dibunuh di rumahnya sendiri—dan berjangkitlah se-
rangkaian pembalasan hingga akhirnya tumpas anak-beranak
keluarga Atreus.
Ketika awal abad ke-20 ditinggalkan, tafsir lain datang. Leda
dalam sajak Yeats berubah: ia melambangkan sosok perempuan
yang digagahi kekuatan patriarki. Zeus, sebagaimana gambaran
tentang Tuhan di agama-agama lain, adalah ”lelaki”. Maka yang
dialami adalah penindasan yang menggencet kaum perempuan
dari hukum ke hukum, dari lembaga ke lembaga.
368 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka LEDA
Juga ketika semua itu dilakukan seakan-akan tanpa laku se-
wenang-wenang. Ada cerita bahwa mulanya Zeus menjadikan di-
rinya seekor angsa yang datang meminta perlindungan. Dalam
lukisan Leonardo da Vinci di abad ke-15 memang kita tak meli-
hat kebrutalan itu. Di kanvas yang rapi itu, sang angsa hanya
mendekat rapat, merayu Leda yang telanjang di sebuah taman.
Bahwa Zeus menyamar sebagai angsa sebelum melampiaskan
nafsunya menunjukkan betapa efektifnya tipu daya dalam hu-
bungan kekuasaan antargender. Para penegak patriarki berkata
bahwa mereka memuliakan perempuan ketika mereka sebenar-
nya memojokkannya. Para ulama di Arab Saudi dan polisi syari-
ah di Aceh akan menegaskan bahwa kaum perempuan harus dija-
ga dan menjaga diri untuk kepentingan mereka sendiri, tapi pada
akhirnya bukan itu yang terjadi. Pada akhirnya mereka warga
yang terus-menerus dicurigai.
Tapi, kata mereka, bukankah perempuan-perempuan itu se-
tuju?
Memang tak mudah menentukan apakah yang terjadi: keti-
dakberdayaan atau persetujuan. Bahkan Yeats mempertanyakan
itu:
How can those terrified vague fingers push
The feathered glory from her loosening thighs?
And how can body, laid in that white rush,
But feel the strange heart beating where it lies?
Bagaimana Leda, dengan jari tangannya yang ketakutan dan
nanar menyingkirkan sesuatu yang megah yang berselaputkan
lapis-lapis bulu itu, ketika pahanya yang mulai lunglai itu disen-
tuh? Yeats memakai kata glory ketika menggambarkan keperka-
saan Zeus sebagai angsa, bukan kata lain yang menunjukkan se-
suatu yang nista dan jahat. Ia juga menyebut ”detak jantung yang
Catatan Pinggir 10 369
http://facebook.com/indonesiapustaka LEDA
aneh” di badan makhluk yang mendesak itu, bukan deras napas
yang buas, yang dirasakan Leda.
Mungkin dalam tiap cakar Zeus ada sesuatu yang mempesona;
mungkin dalam tiap pekik kesakitan si korban ada perasaan lain
yang intens dan tak terlupakan. Mungkin karena Zeus, juga tu-
han-tuhan yang lain, selamanya ambigu: padanya ada keganasan
dan kecemburuan, tapi juga keagungan dan keakraban. Sebab
itu kisah Leda dan Angsa bisa dinyatakan seperti dalam lukisan
Leonardo da Vinci itu: sebuah suasana intim dan sensual, bukan
keganasan.
Tapi bagaimanapun, menurut dongeng Yunani Kuno itu
akhirnya Leda bunuh diri. Ia telah digagahi. Dan ia telah dibuat
merasa berdosa. Dan itulah yang tak dikatakan Yeats: ketidak-
adilan telah terjadi.
Tempo, 23 September 2012
370 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka PANGERAN
T: Jika tak pernah membaca Quran, bagaimana akan
memerintah?
J: Coba tanya ke Abraham Lincoln atau Nelson Mandela.
ANTARA kitab suci dan takhta ada sebuah jalan yang tak
terang. Apa pun kitab itu dan siapa pun yang berada di
singgasana itu. Bagaimana seorang pemegang takhta
memerintah, bagaimana pula perilakunya terhadap orang lain
dan dunia, itu bisa jadi karena ia dipengaruhi ajaran yang dibaca-
nya dalam Quran atau Injil atau Weda. Tapi mungkin juga tidak
sama sekali. Bahkan mungkin yang sebaliknya yang terjadi: hu-
bungan seseorang dengan kekuasaan itulah yang justru mempe-
ngaruhi tafsir orang itu atas ayat-ayat suci.
Jalan tak terang antara takhta dan kitab suci karena sang kitab
suci bukan buku yang tertutup. Ia buku yang dibaca. Tapi ia ha-
nya bisa dibaca dalam bahasa manusia. Sementara itu, manusia,
sang pembaca serta sang penafsir, tak bisa menyimak sebagai sub-
yek yang stabil, utuh, dan transparan.
Manusia (juga yang duduk di singgasana) punya sesuatu yang
tak diakui bahkan tak dikenalnya sendiri di bawah sadarnya. Ia
menyimpan nafsu dan trauma, hasrat dan ketakutan. Ia juga di-
pengaruhi masyarakat tempat ia dibesarkan dan bergaul. Un-
tuk menyatakan dirinya sendiri, ia bahkan dibentuk oleh bahasa
yang ada sejak kecil mengisi dunianya.
Walhasil, tak pernah bisa ditentukan sejauh manakah kitab
suci bisa membentuk perangai kekuasaan. Bahkan semakin rumit
kekuasaan seseorang dalam menghadapi tantangannya, semakin
tak terjangkau kekuasaan itu oleh apa yang di luar dinamikanya
sendiri—dan bahkan nilai-nilai yang datang dari Langit tak me-
Catatan Pinggir 10 371
http://facebook.com/indonesiapustaka PANGERAN
nyentuhnya.
Apa boleh buat: kekuasaan selalu berada dalam dunia. Itulah
kekeliruan Plato. Sepulang dari Mesir, di mana ia menyaksikan
sebuah negeri yang tertib dengan peradaban yang mengagumkan,
di Yunani, Plato mengembangkan gagasannya tentang politik. Ia
menghendaki agar sebuah republik dipimpin oleh filosof, dengan
ide-ide yang kekal tentang kebaikan kehidupan bersama. Tapi
sang filosof Yunani mengabaikan kenyataan bahwa dunia tempat
kehidupan berlangsung terdiri atas kejadian yang acap kali baru,
yang tak bisa dijelaskan oleh ide-ide di kepala.
Menyadari bahwa kekuasaan selalu berada dalam dunia yang
ruwet, fana, dan sering tak terduga-duga—itulah yang menye-
babkan Machiavelli menawarkan sebuah pandangan yang lain.
Il Principe (Sang Pangeran), yang selesai ditulisnya di akhir 1513
dan baru diterbitkan setelah ia meninggal, kita kenal sebagai kar-
ya yang berabad-abad lamanya termasyhur dan diperdebatkan—
satu indikasi bahwa pikiran-pikiran itu bukan omong kosong.
Machiavelli jelas berbeda dengan para penulis yang berbicara
tentang kekuasaan dengan sedikit berkhotbah: bagaimana seyo-
gianya kekuasaan—bukan bagaimana kenyataannya. ”Saya ber-
pikir,” tulisnya, ”sudah sepantasnya untuk menggambarkan hal-
ihwal sebagaimana adanya dalam sorotan kebenaran yang efektif,
verità eff ettuale della cosa, dan bukan dalam bentuk sebagaimana
dibayangkan.”
Ia punya dasar untuk itu. Ia berpengalaman cukup dalam ber-
hubungan dengan orang-orang berkuasa dalam hidupnya. Itu se-
mua dimungkinkan karena ia seorang pejabat di Republik Firen-
ze mungkin sejak berumur 29, bekerja sebagai segretario fiorenti-
no sampai sekitar 14 tahun hingga republik kota yang makmur
itu jatuh ke tangan keluarga Medici.
Nasibnya buruk sejak 1512 itu. Ia ditangkap karena dituduh
berkomplot hendak menjatuhkan kekuasaan baru. Ia dipenja-
372 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka PANGERAN
ra, disiksa, dan akhirnya dibuang. Kejayaannya dulu tak pernah
kembali. Mungkin sebab itu dalam Il Principe ia berbicara tentang
Fortuna, umumnya diartikan sebagai ”nasib”. Ia mengibaratkan-
nya sebagai ”sungai yang destruktif”, yang bila marah, membawa
banjir. Walaupun ia yakin ”sungai” itu, Fortuna, bisa dijinakkan,
ia mengakui tak ada yang bisa melumpuhkannya.
Dengan kata lain: politik dan kekuasaan selamanya terancam
dengan yang tak terduga-duga. Patokan yang baku—baik dalam
bentuk ajaran agama maupun doktrin moral—tak banyak guna-
nya menghadapi ”sungai yang destruktif” itu. Ide dan ajaran tak
akan bisa melumpuhkan kehidupan.
Sebab apakah yang bisa sepenuhnya diketahui oleh seorang
manusia—juga bila ia duduk di atas singgasana? Juga bila ia ber-
pegang pada bacaannya, biarpun bacaan itu adalah ajaran yang
kekal? Machiavelli justru menunjukkan bahwa di dunia, yang ke-
kal tak ada. Raja naik dan turun, kekuasaan berkembang atau
hilang, dan tiap kali harus dihadapi dengan penyelesaian yang
berbeda-beda. Hidup, terutama dalam kancah kekuasaan dan
pergulatan politik, terdiri atas pelbagai unsur yang membuat
keadaan tiap kali genting, serba mungkin—dari konjungtur ke
konjungtur. Dan Machiavelli, dalam pemikiran Althusser yang
anti-Idealis, ”tak menelaah konjungturnya sebagai seorang teo-
retikus, ‘dari luar’, atau sebagai seorang sejarawan... atau sebagai
seorang filosof... melainkan dari dalam konjungtur itu sendiri.”
Dalam kegentingan itulah seseorang yang bertautan dengan
kekuasaan akan didorong untuk selamat—bila ia punya virtù,
bila ia punya sifat serigala dan singa sekaligus. Serigala cakap
untuk menilai situasi, singa berani untuk menghadapi tantang-
an situasi itu. Althusser menegaskan bahwa bagi Machiavelli, se-
orang pemimpin tak punya ”hakikat”; ia tak buruk atau baik. Ia
adalah ke-siagaan. Yang penting: ia bisa mendapatkan hasil yang
diinginkannya.
Catatan Pinggir 10 373
http://facebook.com/indonesiapustaka PANGERAN
Banyak orang memandang pemikiran Machiavelli dengan
merengut dan berbisik, ”tak bermoral.” Tapi mungkin kita perlu
mendengar seseorang yang tak bermaksud mengajar budi peker-
ti. Sebab budi pekerti, dalam pergulatan kekuasaan, akhirnya
beralih jadi bedak dan gincu.
Tempo, 30 September 2012
374 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka AMBA
”Hari ini kau kembali dalam diriku seperti bintang di langit itu—sesuatu
yang ada di antara kerdip dan hilang, yang selalu muncul pada titik di
mana lupa menyiapkan kekosongan.”
BHISMA, dokter yang dibuang ke Pulau Buru dalam no-
vel Laksmi Pamuntjak, Amba, menulis kalimat pendek
itu bertanggal 28 Desember 1973. Ia menuliskannya un-
tuk perempuan yang ditinggalkannya di Jawa, dan kemudian me-
nyimpan surat itu di bawah sebatang pohon. Ia tak pernah tahu
apakah Amba, perempuan itu, akan menemukan dan membaca-
nya; dokter itu tak pernah kembali, setelah hilang sejak 1965.
Novel ini, yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pekan
ini, secara tak langsung datang kepada kita, ”pada titik di mana lu-
pa menyiapkan kekosongan”. Seorang lenyap; untuk menegaskan
absensinya, yang ditampilkan novel ini hanyalah sejumlah surat
yang digali dari bawah pohon di satu sudut Pulau Buru. Yang kita
dapatkan suara seorang manusia, Bhisma, yang berada ”di antara
kerdip dan hilang”.
Amba adalah salah satu novel yang menegaskan rasa cemas
yang merundung kita di Indonesia hari ini: cemas bila ”peristiwa
1965” yang menakutkan itu akan hilang, tanggal dari ingatan
bersama. Kita tak ingin kembali buas.
Tak janggal bila akhir-akhir ini peristiwa itu hadir dalam
sastra (sebelum Amba misalnya ada Candik Ala 1965 Tinuk R.
Yam-polsky, Blues Merbabu Gitanyali, dan setelah Amba, akan
ada novel Pulang Leila S. Chudori). Yang membuat Amba berbe-
da adalah ceritanya tentang kehidupan para tahanan politik di
Pulau Buru, lewat surat-surat Bhisma yang disembunyikan: ada
kemarahan terhadap kekejaman, tapi juga humor, rasa terharu,
Catatan Pinggir 10 375