http://facebook.com/indonesiapustaka BISU
Dengan kata lain, inilah permainan ilusi tentang ilusi, dan ki-
ta disentuh untuk ingat bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang so-
lid: waktu berlalu, membuat sesuatu yang baru, tapi yang baru
itu akan punah. Tiap usaha mengawetkannya (atau sebaliknya:
menghilangkannya) akan sia-sia; sebab yang terjadi hanya sebuah
transformasi yang ditentukan oleh subyek yang di sini, di masa
kini. Satu adegan The Artist: George Valentin (diperankan de-
ngan bagus sekali oleh Jean Dujardin) mencoba membakar ril-ril
film lamanya. Tapi ada satu ril yang didekapnya.
Lalu ia pingsan. Ia tak berdaya mengelola masa lalu.
Hanya anjingnya yang setia sepanjang masa, Uggie, yang
akhirnya menyelamatkannya dari api. Si Uggie adalah kegigihan;
ia tak merasa terdesak oleh zaman. Sejak dulu ia tak bersandar pa-
da kata.
Dan memang kata tak diperlukan selama adegan dramatis itu.
Bukan saja Uggie yang menggunakan tubuhnya untuk menyam-
paikan pesan. Juga Peppy Miller, ketika perempuan muda ini me-
meluk Valentin setelah ia siuman. Adegan yang mengharukan ini
dibawakan dengan lembut oleh Bérénice Bejo, sebagai gadis yang
memuja dan merasa berutang budi kepada Valentin, juga setelah
ia jadi bintang film-bicara (talkies) yang menggusur kemasyhuran
sang aktor film-bisu.
Dengan adegan seperti itu, film-bisu tidak hanya jadi bentuk,
tapi juga jadi metafor: The Artist adalah isyarat bahwa banyak
yang bisa dikatakan dengan diam, meskipun kebisuan tak bisa
bertahan.
Sebab bukan maksud Hazanavicius untuk menghidupkan
kembali yang telah mati sejak 1927, ketika The Jazz Singer, film
pertama yang menggunakan dialog, jadi awal sukses. Mungkin
ia hendak menawarkan perspektif yang lebih kaya ketimbang
yang dicapai Mel Brooks.
Dalam Silent Movie (1976), Brooks berhasil menghidupkan
276 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BISU
humor kembali tanpa kata—sebuah seni tinggi yang dicapai
Charlie Chaplin. Ia kembali mengutip slapstick dari film-film
Laurel & Hardy dan yang ”akrobatik” dalam vaudeville Broad-
way. Semuanya gerak tubuh. Kata yang diucapkan hanya ”Non”,
yang terdengar lewat telepon justru dari aktor besar pantomim,
Marcel Marceau. Efeknya sebuah ironi yang tak terduga: kata itu
keluar dari mulut seseorang yang biasanya tak butuh kata.
Yang menarik, Non itu terdengar keras, tapi ia datang sebagai
sebuah bunyi asing yang makna sebenarnya tak dipahami.
Atau lebih tepat: pura-pura tak dipahami, karena Non itu bu-
kan kabar baik. Ia satu penolakan yang tegas terhadap dunia ke-
bisuan yang hendak dilanjutkan para tokoh Silent Movie. Dalam
The Artist hal itu juga terjadi. Meskipun lebih dramatis ketimbang
kocak. Di satu adegan, Valentin melihat sehelai bulu burung me-
layang jatuh; begitu menyentuh bumi, terdengar ledakan gemu-
ruh. Walhasil, bunyi itu sebuah negasi juga—sebuah suara ban-
tahan yang menakutkan Valentin. Dalam sejarah film, memang
suara semula dianggap semacam negasi terhadap narasi. Mutu
mikrofon buruk, dan para aktor harus bergerak tak jauh dari alat
itu. Kesal terhadap gangguan ini, Thomas Edison kembali mem-
buat film-bisu. Di sana gambar tetap dominan, karena teknik ka-
mera sudah lebih maju.
Dalam The Artist Valentin juga mengira suara dalam film-bi-
cara tak punya masa depan: ”Orang datang ke bioskop untuk me-
lihat saya, bukan mendengarkan saya.”
Tentu saja ia salah. Sejak mula, orang tak hanya ingin melihat
gambar. Film-bisu juga butuh intertitles, teks yang menampilkan
cerita dan percakapan. Juga terkadang perlu juru cerita dalam
bioskop, yang di Jepang disebut benshi, buat menjelaskan cerita
dan mewakili dialog para peran. Valentin tampaknya lupa, in-
ti sebuah film bukanlah potret, melainkan gerak. Gerak, itulah
”gambar hidup”.
Catatan Pinggir 10 277
http://facebook.com/indonesiapustaka BISU
Dengan kata lain, yang visual tak pernah sendirian. Ia bagian
dari hidup, karena ia tak mandek. Dan hidup selalu membentuk
dan dibentuk percakapan.
Tapi sia-siakah film-bisu, sebagaimana diingatkan oleh The
Artist? Tidak. Dalam kesedihan Valentin kita tahu, hidup tak cu-
ma suara kata-kata. Dalam bahasa, di tiap saat, yang diam, yang
bisu, selalu menunggu.
Tempo, 15 April 2012
278 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka HANG TUAH
PAHLAWAN tak pernah mati. Pahlawan tak dibiarkan
mati. Tiap kali seseorang yang luar biasa dimakamkan,
ia dipanggil lagi, digosok kembali, dan berubah, berkali-
kali berubah. Mungkin ia tak perlu punya raut muka yang asli.
Juga Hang Tuah.
Syahdan, pahlawan yang hidup dalam kenangan kolektif di
Malaysia dan Indonesia ini akhirnya pergi ke hutan menjadi dar-
wis. Itu disebut dalam Hikayat Hang Tuah. Tapi disebut pula lak-
samana ini hidup abadi. Ia jadi orang suci dan raja bagi seluruh
penghuni hutan di Semenanjung Malaka.
Mungkin itu tanda bahwa hikayat ini, yang disusun kembali
oleh Kassim Ahmad dan terbit di Kuala Lumpur dengan tebal
550 halaman, tak tertutup ujungnya. ”Hikayat Hang Tuah tak pu-
nya akhir,” tulis Henk Maier dalam satu telaahnya yang diterbit-
kan dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Seperti
tampak dalam perkaitan Sejarah Melayu dengan Hikayat Hang
Tuah, kata Maier, karya-karya Melayu lama tak pernah selesai;
fragmen-fragmennya selalu dapat direntang terus dalam pelbagai
kombinasi baru.
Maka Hang Tuah akan selalu ada di antara kita. Pada 1932,
Amir Hamzah menulis sebuah sajak yang memanggil tokoh ini
ke dalam perang laut Kesultanan Melaka melawan armada Por-
tugis—perang yang dalam buku sejarah dicatat April 1511, keti-
ka Alfonso de Albuquerque mendatangi kerajaan itu dengan 18
kapal dan 1.500 tentara.
Sajak Amir Hamzah dengan plastis menghidupkan suasana
bising, tegang, dan sengit pertempuran menghadapi ”armada Pe-
ringgi” itu. Puisi ini bergerak dengan ritme yang cepat—tiap bait
terdiri atas dua kalimat, dan tiap kalimat pertama terdiri atas 10
Catatan Pinggir 10 279
http://facebook.com/indonesiapustaka HANG TUAH
suku kata—dengan rima seperti barisan yang rampak bergerak,
dengan bunyi kata yang silih berganti, hiruk asonansi dan alite-
rasi.
Amuk-beramuk buru-memburu
Tusuk-menusuk luru-meluru
Lela rentaka berputar-putar
Cahaya senjata bersinar-sinar
Tapi kemudian berubah. Dua baris terakhir adalah sebuah an-
tiklimaks—dengan rima yang mulai mendatar. Dan digambar-
kanlah tembakan meriam yang menentukan dari kapal Albu-
querque. Maka...
Peluru terbang menuju bahtera
Laksamana dijulang ke dalam segara...
Sajak itu berhenti di sini. Saya tak tahu apakah ini sebuah kar-
ya yang selesai. Akhir itu ambigu. Tewaskah Hang Tuah? Atau
hilang?
Amir Hamzah bukan orang yang pas untuk membuat sebuah
narasi yang lengkap dan transparan. Ia seorang penyair lirik, bu-
kan epik. Tapi mungkin juga ia ingin membiarkan kisahnya tak
tertutup sebagaimana hikayat aslinya. Ia menggemakan kembali
kata-kata dari perkapalan lama dan alat perang zaman lalu (”gal-
yas”, ”putsa”, ”lela”, ”seligi”), mungkin agar terasa kembali sifat
setengah-dongeng setengah-tambo Hikayat Hang Tuah.
Dan dengan demikian sajaknya membawa kembali pesan kla-
sik kisah ini, yang tersurat dalam pembuka hikayat itu: kesetiaan.
Dalam sajak Amir Hamzah, ketika pertempuran berkecamuk,
Hang Tuah dalam keadaan sakit. Tapi Sultan memanggilnya. Ia
280 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka HANG TUAH
pun bangkit dan menghambur ke dalam perang.
Ia tak akan pernah menolak titah.
Tapi pentingkah kesetiaan? Untuk apa? Saya hanya menduga,
bagi Amir Hamzah—yang mempersembahkan kumpulan sajak-
nya ”Ke bawah Paduka Indonesia-Raya”, seorang pemuda yang
hidup di tengah suasana awal kesadaran nasional—kesetiaan
Hang Tuah adalah kesetiaan seorang patriot: kepada patria, ta-
nah air. Bukan kepada seorang raja.
Di sebuah masa lain, kesetiaan kepada raja tak dapat dipisah-
kan dari kesetiaan kepada stabilitas. Di masa lain lagi, ia bagian
dari sebuah identitas yang terancam.
Cerita Taufik Ikram Jamil, Sandiwara Hang Tuah, memba-
wa kita ke sekelompok nelayan miskin Riau. Mereka baru saja
mementaskan lakon Hang Tuah. Yang menarik dari cerita ini ia-
lah daya pukau hikayat itu pada para aktor kampung itu, dan se-
baliknya: bagaimana mereka, orang-orang jelata yang imajinatif,
menciptakan kembali hikayat dengan seluruh hidup mereka—
memanggil Hang Tuah yang setia kepada Sultan dan Hang Je-
bat yang memberontak. Dan Jali, pemegang peran Hang Tuah,
dalam keadaan seperti kesurupan arwah pahlawan itu, menjelas-
kan: kesetiaannya tak salah. Ia, Hang Tuah, ”bertuan kepada sua-
tu lembaga pemerintah yang sah”. Selaras dengan itu Sulaiman,
pemegang peran Jebat, menyatakan sesalnya; ia membunuh Sul-
tan, dan ini membuat anak-cucu ”kehilangan tempat dan wak-
tu”.
Ada kehilangan di hati orang-orang itu, kehilangan kebangga-
an, kehilangan stabilitas ke-Melayu-an. Waktu, seperti selama-
nya, mencairkan semuanya, dan tak selalu menyenangkan. Rajab,
pelakon Sultan Mahmud, menyadari ini: ”Kita sudah bertemu di
sini, di sejarah yang lain.”
Di sejarah yang lain, Sultan, patria, perkauman, kekuasaan,
kemurnian budaya, identitas tetap membayangi pikiran kita.
Catatan Pinggir 10 281
http://facebook.com/indonesiapustaka HANG TUAH
Tapi mungkin akhirnya diperlukan sebuah jarak.
Saya kira tokoh Hang Tuah dalam sajak Muhammad Haji
Salleh menemukan berkah dalam jarak itu. Dalam Sajak-sajak
Sejarah Melayu penyair Malaysia ini kita berjumpa dengan Hang
Tuah yang dibawa menyingkir dari amarah Sultan. Ia difitnah
berzina dengan salah satu kekasih baginda. Di persembunyian-
nya, ia justru merasa Tuhan memberikan ”keheningan” kepada
akalnya dan menjauhkannya dari hasrat untuk ”kembali ke kusut
istana dan kata-kata di belakang tabir”.
Di situ ia orang yang merdeka:
sekarang,
aku boleh berlayar
di tanjung-tanjung fikiran dan perasaanku
Zaman berubah. Hang Tuah datang kembali: sebuah subyek
yang mandiri tapi bukan penakluk dunia. Ia bertaut dengan se-
mai nangka, perdu mangga, jambu jatuh, juga gunung dan la-
ngit. Ia tak mati-mati. Tak boleh mati.
Tempo, 22 April 2012
282 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka SOEBAIDAH
APRIL ini, saya ingat Noerani dan Soebaidah. Keduanya
tokoh novel Drama di Boven Digoel Kwee Tek Hoay, yang
terbit pertama kali 15 Desember 1928 sebagai cerita ber-
sambung dalam mingguan Panorama di Jakarta sampai berakhir
awal 1932.
Keduanya guru Kartini School. Masing-masing punya latar
belakang dan nasib yang berbeda, tapi dipertalikan oleh sesuatu
yang lebih besar ketimbang nasib: empati, persahabatan, pengor-
banan, di masa ketika individu tumbuh di masyarakat yang para
penguasa tradisionalnya, para ningrat, dalam krisis.
Ayah Noerani, Boekarim, seorang aktivis Partai Komunis
yang keras. Ia cegah anaknya bercintaan dengan Moestari, pemu-
da tampan anak seorang bupati. Awal novel ini melukiskan perte-
muan dua kekasih yang malang itu di Wilhelmina Park (sekarang
Masjid Istiqlal) ketika kota dirundung mendung.
”Ayahku,” kata Noerani, ”anggep anak dari satu kaum buruh,
kaum proletaar, tida musti mencari jodo pada pemuda dari go-
longan aristocraat yang jadi penunjangnya Pamarentah Blanda.”
Bagi Boekarim, pensiunan guru, kaum aristokrat cuma parasit
yang menyengsarakan rakyat.
Ia ramalkan akan turun hujan darah yang akan membuat
seantero Jawa berwarna merah. Perubahan besar akan terjadi,
mungkin untuk seluruh Indonesia, kata orang tua itu.
Ia memang menyiapkan sebuah revolusi—yang dalam sejarah
dicatat sebagai pemberontakan komunis 1926—dengan sabota-
se, ledakan dinamit, rencana penyerbuan ke penjara dan kantor
polisi.
Tapi ia, yang telah lama diintai pemerintah kolonial, ditang-
kap di malam itu juga. Boekarim menuduh Moestari mata-mata
Catatan Pinggir 10 283
http://facebook.com/indonesiapustaka SOEBAIDAH
penguasa, jadi pacar Noerani hanya untuk menggagalkan pem-
berontakan. Motif Moestari sebenarnya campur aduk, tapi jelas
ia ingin menyelamatkan kekasihnya agar tak terlibat dalam aksi
perlawanan itu.
Tapi Noerani akhirnya tak percaya niat baik itu. Ia ikut dita-
han polisi untuk dimintai keterangan, dan merasa bahwa keka-
sihnya—seorang pegawai pemerintah yang setia—telah menipu-
nya.
Noerani sendiri tak pernah menyetujui rencana ayahnya. Ba-
ginya si ayah dimakan khayalnya sendiri tentang revolusi, men-
duga ikut dalam ”gerakan yang besarnya seperti gaja”, tapi sebe-
narnya cuma ”sabesar tikus”. Kekuatan yang mudah diringkus.
Dengan kata lain, Noerani tak bersalah. Tapi dalam keadaan
sakit dan dirawat di rumah sakit umum, gadis itu tetap diberhen-
tikan dari Kartini School.
Di sini Soebaidah muncul. Perempuan ini teman sekerja dan
sahabat Noerani, dengan sosok yang mirip: ramping dan mena-
rik. Ia penolong di saat-saat genting. Ia berhenti dari Kartini
School dan jadi perawat, agar dapat menjaga Noerani. Dicurigai
membantu orang komunis, ia ditahan polisi. Tapi ia melarikan
diri, untuk menggagalkan perkawinan Moestari dengan seorang
anak aristokrat yang ambisius.
Soebaidah, sebagai buron, bahkan menyamar sebagai lelaki,
berangkat bersama Moestari untuk mencari Noerani yang hi-
lang. Sampai ke Papua. Di sana gadis itu ditemukan menemani
ayahnya yang dibuang ke Boven Digoel.
Tentu bukan hanya dua perempuan itu protagonis novel seki-
tar 700 halaman ini (yang diterbitkan kembali oleh Kepustakaan
Populer Gramedia, 2001). Dorongan positif yang menentukan
adalah Dolores, seorang gadis Tionghoa yang memperkenalkan
Noerani ke dalam kearifan seorang Kiyai di Giricahya, seorang
ulama yang punya tempat ”keramat” di kebun tehnya di gunung.
284 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka SOEBAIDAH
Di sana, dengan semangat theosofi, semua agama dihargai.
Dolores juga membawa Noerani bertemu dengan ayahnya,
Tjoe Tat Mo (atau ”T.M.”), seorang penyair dan filosof menjelang
tua yang biasa berjalan sendirian merenung berjam-jam tanpa ba-
ju. T.M. mengamalkan ajaran Buddha, Konghucu, dan tak sung-
kan berdoa ”menurut aturan Nabi Muhammad”.
Dari tokoh ini dan Dolores, Noerani mendapatkan semangat-
nya kembali. T.M. mengajarinya mengambil jarak dari rasa cinta
dan benci. Ia menyambut ide Noerani ke Papua dan menganjur-
kannya untuk menulis—agar dengan karyanya ia ”dipuja dan di-
junjung” seperti Kartini.
Tapi di Papua, Noerani mati. Drama di Boven Digoel punya
sifat tragis seperti Romeo & Juliet, tapi bagi filsafat T.M., apa se-
benarnya tragedi, selain sesuatu yang fana?
Jika ada yang ”Buddhistis” dalam karya Kwee Tek Hoay, itu
karena novel ini, kata penulisnya, bukan ”satu romans” yang ber-
sifat politik. Meski begitu, ia bersikap. Ia tak mengikuti Balai
Pustaka (penerbit pemerintah kolonial itu) yang buku-bukunya
tak menyentuh kejadian sedramatis pemberontakan 1926. Me-
mang, Kwee bukan seorang radikal. Meskipun ada disebut bahwa
komunisme punya cita-cita yang baik, revolusi bukan jalan yang
dipujikannya. T.M. membekali Noerani dengan pemikiran yang
akan melindunginya dari demagogi orang komunis. Misinya bu-
kan pembebasan antikolonial, tapi bekerja untuk kebaikan pen-
duduk Papua.
Bagaimana juga, novel ini bagian dari nasionalisme Indonesia,
ketika harapan mekar untuk membangun sebuah persatuan yang
mengatasi perbedaan. Bahasanya Melayu-Tionghoa, yang sadar
bukan termasuk ”bahasa Melayu Atas” tapi menegaskan peran-
nya sendiri: bahasa ini menjangkau lapisan luas. Ia bukan bahasa
”atas” yang justru dibanggakan Radeko, seorang kader PKI yang
meremehkannya sebagai ”bahasa pasaran” milik orang tak terpe-
Catatan Pinggir 10 285
http://facebook.com/indonesiapustaka SOEBAIDAH
lajar.
Ada semangat perlawanan di sini. Melebihi novel terbitan Ba-
lai Pustaka dan yang lain (bahkan Belenggu Armijn Pane), Kwee
menampilkan sosok yang tak ada dalam stereotipe lama: Soebai-
dah yang merokok, yang berani menyamar sebagai lelaki, lari dari
tahanan dan memberi inspirasi tentang kerelaan berkorban buat
orang tak bersalah yang tak diuntungkan dunianya.
Di zaman itu, ia suara kemerdekaan (dan keadilan) yang keras.
Tempo, 29 April 2012
286 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BARBIE
Dengan ucapan terima kasih
untuk Trisha Sertori & J.B. Djwan, Kintamani.
DUA anak cacat itu tinggal di sebuah rumah kecil tanpa
perabot di tubir Danau Batur. Desa di kaki gunung
berapi yang purba di Bali itu amat miskin, dan sejak la-
hir Putu dan Alit hidup di sana—dalam persilangan antara mim-
pi dan bukan mimpi.
Kaki Putu bengkok, sulit untuk berjalan. Tubuh Alit, adiknya,
sekecil tubuh bayi tiga tahun. Wajahnya manis, tapi tangan ka-
nan dan kedua kakinya yang setipis buluh seruling itu pengkor ke
arah yang tak lazim. Dengan badan yang nyaris sekadar tulang
berselaput kulit, rusuknya mencuat ke atas, menghambat per-
napasannya. Alit, 11 tahun, tak bisa berjalan. Ia sering sakit. Ia
sering kesakitan.
Tapi ia ikut Putu, menghabiskan waktu remajanya dengan
mendesain, menjahit, dan memasang pakaian untuk boneka-bo-
neka kecil, boneka Barbie yang gilang-gemilang, berkulit putih,
berambut pirang, dengan glamor di setiap jengkal.
”Saya menyukai Barbie karena dia cantik,” kata Putu. ”Bagi
mereka Barbie seksi,” kata ibu mereka, Jero Widiani, tentang ke-
dua anaknya kepada Trisha Sertori dari The Jakarta Post yang da-
tang ke rumah janda dengan lima anak itu.
Putu dan Alit, orang-orang akan mengatakan kalian teperda-
ya; kalian terpukau sebuah icon Amerika. Hasil strategi pemasar-
an Mattel Inc. Mainan yang diperdagangkan wanita pebisnis da-
ri Los Angeles. Fantasi kelas menengah Kaukasian tentang tubuh
perempuan muda yang sempurna, meskipun mustahil. Bintang
yang jatuh dari langit Kitsch kapitalisme—jatuh pelan-pelan ke
Catatan Pinggir 10 287
http://facebook.com/indonesiapustaka BARBIE
dalam mimpi anak-anak perempuan di muka bumi, juga di tubir
Danau Batur itu.
Tapi benarkah kalian teperdaya? Reportase The Jakarta Post
itu terbit dua hari sebelum Hari Kartini yang dirayakan. Mata
saya basah melihat foto kalian. Mungkin karena saya berangsur-
angsur tahu, kalian hanya separuh bermimpi, dan bagi kalian apa
itu ”icon” dan apa itu ”kelas menengah” tak terlalu penting. Tiap
pagi kalian menyeberangi sebuah jurang perbedaan kelas dan se-
jarah, palung luas tak terhitung. Dengan diam kalian tinggalkan
segala yang terpuruk di bawah atap rumah kalian, dan bermain
dengan imajinasi yang tak pernah mampir ke dalam dongeng ne-
nek moyang di Kintamani.
Tapi pada saat yang sama, kalian adalah bagian dari Kintama-
ni—meskipun ini Kintamani yang ingin dilahirkan kembali, ta-
pi tak seperti dulu.
Tiap pagi Jero Widiani membuka pintu rumah yang kecil itu,
agar anak-anak sekolah setempat membeli baju boneka yang di-
buat anaknya. Sesekali Sakti, teman keluarga, akan datang untuk
menjualkan hasil kerajinan tangan itu ke Denpasar.
Pada awalnya ibu yang sudah delapan tahun ditinggal suami-
nya itu menjahit kebaya atas pesanan tetangga, dibantu Kadek,
anak kedua. Kemudian mereka menjual Barbie dan kostumnya,
buat biaya hidup dan ongkos kesehatan anak-anak itu. Widiani
mencari obat sendiri, karena kartu kesehatan dari puskesmas se-
ring salah tulis dan dianggap tak sah. Sementara itu, bantuan pe-
merintah yang Rp 10 ribu per hari untuk anak-anaknya tak selalu
datang tepat waktu.
Di sela-sela itu, semua bekerja. Juga Putu. Dengan kakinya
yang tak berfungsi.
”Saya tak tahu apa nama penyakit itu,” kata Jero Widiani. Ke-
tika kedua anaknya itu dalam kandungan, dokter menyuruh Wi-
diani memeriksakan diri di rumah sakit. ”Tapi saya tak pernah ke
288 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BARBIE
sana karena jauh sekali dari sini.”
Putu dan Alit juga tak pergi ke puskesmas. ”Kami kadang-ka-
dang merasa kram di tulang dan otot,” kata si kakak, ”dan Alit se-
ring sulit bernapas....” Mereka diberi balsem dan dipijat. Mereka
tak ke dokter karena ”hampir tiap kali kami kesakitan”.
Demikianlah tiap hari mereka duduk di ruang itu. Dengan
Barbie, dengan kebaya, gaun, dan kain boneka yang selalu baru.
Putu membantu ibunya menambah nafkah. Alit dibiarkan ber-
main: ia tak hendak menjual hasil pekerjaan tangannya.
Putu: ”Alit sudah ikut menjahit, tapi tak ingin menjual pakai-
an bonekanya. Ia bilang, malu kalau itu dijual. Ia lebih suka ber-
main dengan boneka-boneka itu di rumah-rumahan kecil yang
dibuatnya sendiri. Ia memanggil mereka peri, perinya.”
Di dekat Alit yang sakit, Barbie tak bisa ditukar. Ia tak punya
nilai tukar. Ia bukan sebuah komoditas. Ia sebuah penebusan.
Hanya dongeng yang bisa menebus nasib. Hanya peri yang da-
tang dari separuh mimpi yang menghidupkan tubuhnya yang sa-
kit di ruang tanpa perabot itu.
Di luar, orang tak melihat peri, tapi mencatat kekuatan uang
yang destruktif, modal yang menjangkau ke mana-mana, globali-
sasi yang melumpuhkan apa yang lokal, industri budaya yang ri-
uh rendah melalui media, dan hidup yang ditipu ”takhayul ko-
moditas”.
Orang-orang itu prihatin akan penderitaan kaum yang tak
berpunya. Mereka percaya bahwa teori akan bisa menjelaskan
penderitaan itu dan kemudian mengubahnya.
Tapi agaknya selalu ada yang tercecer dalam tiap teori dan tiap
penjelasan. Sebuah discourse tak akan menangkap mata Alit yang
jernih dan tekun. Teori tak akan menyentuh tubuhnya yang de-
ngan susah payah membentuk sehelai gaun dari perca.
Momen-momen itu cenderung tak terpungut—dan tubuh
ringkih yang jauh itu seakan-akan hanya sisa yang terlalu rumit
Catatan Pinggir 10 289
http://facebook.com/indonesiapustaka BARBIE
dari sejarah.
Seakan-akan hanya sisa....
Tapi tak mengapa. Biarlah Alit tertinggal, terlalu rumit, dan
tak tercatat. Sebab dengan itu ia bebas dari kategori. Sebab de-
ngan itu ia tak diletakkan dalam konsep yang tetap. Di rumah
bonekanya, Barbie juga lahir kembali: dulu ia produk pabrik
mainan Amerika, kemarin ia hasil kerja tangan seorang anak du-
sun, kini ia peri penebus di ruang sunyi angan-angan.
Bekerjalah, Alit. Dari tangan yang tak sempurna sekalipun,
tiap kreasi dan imajinasi adalah peristiwa yang tak terduga.
Tempo, 6 Mei 2012
290 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka INTERIOR
SEORANG penduduk kota besar adalah seorang tamu di
beberapa ruang duduk.
Pagi-pagi ia akan duduk sarapan. Beberapa menit kemudi-
an ia akan di atas sadel sepeda motor, atau dalam angkot, atau da-
lam mobilnya sendiri. Sejam dua jam lamanya ia akan hadir di
jalan yang macet. Kemudian ruang berikutnya: pabrik, restoran,
bank, atau kantor jawatan, di mana ia akan bekerja atau pura-
pura bekerja. Lalu ia akan pulang—melalui rute yang membuat
kendaraan, yang bergerak pelan di jalan yang padat, jadi ruang
tunggu yang panjang.
Pengalamannya pengalaman seorang pesinggah. Bahkan, ka-
rena jam di luar begitu panjang, tempat tinggalnya kian mirip se-
buah penginapan. Di sana ia mungkin beranak, beristri atau ber-
suami, dan ruang itu disebut ”rumah”. Tapi ”rumah” itu bukan
seperti dalam pengalaman kakek-neneknya dulu. ”Sekarang, ke-
tika kita jadi kaum urban... rumah itu mengambang,” tulis Nir-
wan Dewanto dalam pengantar pameran Domestic Stuff (”benda-
benda rumahan”) di Galeri Salihara sebulan yang lalu.
Kini rumah sebuah ruang yang diganggu waktu. Dulu waktu
seakan menyusup di daun pintu tua, mendekam di tiang 50 ta-
hun, dan tak mengusik kehidupan sehari-hari. Ada yang jadi ak-
rab karena sejarah. Kini sejarah hanya selintas membentuk hu-
bungan seorang penghuni kota besar dengan dunia luar. Selebih-
nya dibentuk oleh kongesti.
Manusia dan benda berjejal-jejal. Paradoks dari kongesti ini
adalah bahwa ketika hidup jadi begitu padat rapat, dan manusia
jadi ”orang ramai”, hubungan pun tak lagi akrab. Rebutan ruang
berlangsung, dengan heboh atau membisu. Kita menyaksikannya
di jalan raya yang padat kendaraan, di petak hijau yang didesak
Catatan Pinggir 10 291
http://facebook.com/indonesiapustaka INTERIOR
apartemen tinggi. Dalam perebutan itu, ”aku” melihat ”mereka”,
tapi ”melihat” saja—sebuah persepsi dari sebuah jarak.
Tapi untunglah manusia tak pernah mudah selesai. Ia menco-
ba menemukan kembali apa yang hilang.
Mungkin itu sebabnya pameran seni rupa Domestic Stuff itu
menyentuh hati: yang diungkapkan di galeri itu sebuah rekaman
kerinduan. Barangkali sebuah ilusi. Atau setengah mimpi.
”Setiap benda yang tergeletak di sudut rumah menyimpan
cerita,” tulis dua perupa dalam pameran itu, Ariani Darmawan
dan Ferdiansyah Thajib. Karya mereka Kabar Benda Diam: sebu-
ah meja makan, tapi terbalik dan tergantung pada langit-langit,
lengkap dengan piring, tudung saji, dan kaleng Khong Guan Bis-
cuits. Benda yang lumrah itu mendadak jadi tak tersangka-sang-
ka. Seraya diam, ia jadi sebuah ”kabar”. Kita dikejutkan dari dis-
traksi dan disentuh kembali ke atensi—agar kita sejenak menyi-
mak, merenungkan.
Jangan-jangan benda itu sebuah ”tanda”....
Dan itulah yang dikatakan Melati Suryodarmo dan Afrizal
Malna, yang di pameran ini menghadirkan sebuah setrika di se-
belah tumpukan kain, dengan warna dan bentuk yang setengah
abstrak. Perkakas itu berubah dari alat kerja sehari-hari jadi peris-
tiwa yang tak sehari-hari. Ia petilasan dari sesuatu yang cuma pu-
nya makna instrumental. Kini ia mengajak kita menebusnya dari
status hanya sebagai komoditas. Ia jadi sebuah imaji tentang ruti-
nitas—bolak-balik—yang tak semata-mata pengulangan. ”Me-
kanisme pengulangan,” kata Melati, jadi ”pola tingkah laku yang
terus-menerus dan tumbuh.” Kata kuncinya adalah ”tumbuh”.
Di dalam karya itu, yang bolak-balik jadi sesuatu yang berubah.
Ia sebuah pesona.
Di benda-benda itulah teknologi jadi bagian dari proses yang
profan dan juga estetik: mereka bukan ciptaan Tuhan, tapi peso-
na atau aura itu melintas, karena sebuah karya adalah sebuah ”ke-
292 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka INTERIOR
jadian”. Ia ”tumbuh” dalam kejutan baru.
Tapi tak cuma itu. Di tiap benda yang kita temukan di rumah,
ada bayang-bayang kekuasaan. Sebuah benda jadi komoditas atau
jadi sampah karena proses yang ditentukan modal dan perda-
gangan. Karya seni yang menafikan penentuan itu bisa tampil
sebagai sederet momen perlawanan. Ratusan stik es krim yang
terbuang menjelma jadi sebuah rumah miniatur yang apik dalam
karya Lidyawati & Amrizal Salayan St. Parpatih, sehimpun alat
remote control TV tiba-tiba tersusun jadi kursi fantasi buatan Sa-
muel Indratma.
Itu juga yang kita rasakan pada deretan gambar, kartu pos,
cendera mata, piring hias, dan barang-barang sepele lain yang se-
akan-akan tak sengaja terhampar pada instalasi Sekarputri dan
Mufti ”Amenk” Priyanka, Catatan dari Rumah. Di sini, khaos se-
akan-akan tak mau peduli kepada rumah sebagai ”sistem” keter-
tiban.
Tapi khaos itu akhirnya sementara, karena ia juga sebuah
komposisi yang tersirat dari ritme dan bentuk. Karya seni melu-
angkan diri buat serendipity, keberuntungan yang bisa menemu-
kan sesuatu secara tak disangka-sangka. Tiba-tiba benda-benda
yang muncul dalam ruang galeri itu, atau dalam kanvas itu, se-
akan berbisik dalam percakapan. Seperti dalam sajak ”Senja di
Pelabuhan Kecil” Chairil Anwar: ”Gudang, rumah tua, tiang serta
temali” itu seakan-akan saling menyapa—juga menyapa sese-
orang yang tak lagi mencari cinta dan menegur pantai yang kehi-
langan ombak.
Dengan kata lain, karya seni bisa mengembalikan tegur sapa
yang hilang dalam kongesti benda dan manusia.
Tapi tanpa karya seni sekalipun, dalam kepadatan kota besar,
manusia tak ingin hanya singgah dari kelimun ke kelimun, dari
aula ke aula. Ia perlu ”ruang dalam” di mana ilusi tentang kesen-
dirian mungkin, di mana timbul semacam mabuk kepayang ke-
Catatan Pinggir 10 293
http://facebook.com/indonesiapustaka INTERIOR
pada yang interior—atau, meminjam kata-kata keren Walter
Benjamin, die Phantasmagorien des Interieurs. Di sana, di antara
dunia privat dan publik, ia undang kisah-kisah yang jauh dan
yang telah berlalu.
Manusia tak mudah selesai. Tamu dari ruang ke ruang itu
rindu. Di kota yang berjejal, ia bisa lari ke dalam sebuah boks
(Loge) yang terselip di dinding teater imajiner, teater dunia, di ka-
marnya.
Tempo, 13 Mei 2012
294 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka PEMO
DI puncak gunung itu saya bertemu dengan Akhmad.
Kemudian Matheus. Kemudian Vincentius. Hari ma-
sih dingin; matahari baru saja terbit. Timur hanya ca-
haya jingga yang terbelah karena gelap masih tersisa di dinding
terjal tiga telaga Kelimutu.
Akhmad, tinggi, dengan raut muka keras dan tajam, seperti
seorang Afro-Latin yang berkulit agak gelap, memakai jaket kha-
ki yang sudah lapuk dan hanya bersandal jepit. Ia berjualan kain
tenun desanya. Matheus, mengenakan jaket mirip militer yang
kedodoran, tubuhnya lebih pendek tapi dengan corak wajah yang
tak berbeda, berjualan kopi panas dan supermi. Vincentius, ber-
kerudung kain tenun cokelat yang panjang, merangkap: ia berju-
alan semuanya.
Puncak itu telah dibangun jadi ruang terbuka yang rapi, ber-
tugu dan berlantai batu, tempat para turis memandang ketiga da-
nau Flores yang termasyhur itu. Pagi itu saya lihat sekitar 15 turis
berdiri atau duduk termangu, terdiam, memandang ufuk yang
tak lazim itu. Saya dengar seorang menegur: ”Akhmad!” dan en-
tah kenapa ia memperkenalkan diri, dalam bahasa Inggris, seba-
gai seorang buddhis kepada penjual kain itu. Akhmad tersenyum.
”Di telaga itu,” kata Matheus sambil menyodorkan segelas ko-
pi pahit ke tangan saya, ”ruh-ruh bersemayam setelah mati.”
Di sebelah kanan kita Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, danau ar-
wah anak-anak muda. Agak di sana Tiwu Ata Polo, yang airnya
biasanya berwarna merah, tempat jiwa orang-orang jahat. Dan di
depan kita ini Tiwu Ata Mbupu, telaga arwah orang-orang tua.
Warnanya putih.
Hari mulai terang. Warna danau itu ternyata tak putih, tapi
gelap. Di sebelah sana, hijau toska. Dingin mulai tersingkir. Kopi
Catatan Pinggir 10 295
http://facebook.com/indonesiapustaka PEMO
Flores yang dijual Matheus (Rp 5.000 segelas) menolong meng-
hangatkan tubuh. Saya lihat beberapa turis memotret. Yang lain
diam, seakan-akan tak mau (karena tak mungkin) menggantikan
pengalaman di Kelimutu dengan tangkapan kamera.
Seandainya saya dibesarkan di sini, di dekat hutan yang menu-
tupi punggung gunung Kelimutu dan Kelibara, dengan kawah
yang jadi danau dengan warna yang berubah-ubah, saya juga
akan percaya, seperti Matheus: alam bukan hanya bongkah ta-
nah dan batu, daun rimbun dan pokok kayu. Alam bukan hanya
perubahan langit siang ke malam. Alam melebihi semua itu; ia te-
naga yang tak pernah mati, meskipun dikuburkan.
Takhayul, orang akan bilang.
Takhayul memang sebutan yang mencemooh untuk peng-
alaman yang seperti itu. Cemooh itu menunjukkan ada jarak
yang telah terjadi antara manusia dan hening yang angker di seki-
tar danau ini—karena akal budi menghendaki ”kecerahan”. Tapi
kita tak bertanya lagi mengapa ”kecerahan” harus begitu penting
hingga yang gaib harus tak ada.
”Matheus orang Katolik?” tanya saya, menanyakan sesuatu
yang tak perlu.
”Ya. Juga Vincentius. Akhmad orang muslim. Kami satu desa.
Kami dari Desa Pemo.”
Menjelang pukul 07.25, saya turun bersama Vincentius. Ia su-
dah melepas kainnya. Seperti kedua temannya, tubuhnya, dalam
umur 35, liat dan ramping karena perjalanan naik-turun gunung
hampir tiap hari. Di sekitar kami berjajar pohon cemara gunung
dan di sana-sini tampak kasuarina dengan rimbun-daun yang se-
perti surai kuda.
Tak ada angin. Hanya burung-burung yang mengisi suara di
latar belakang: kicau yang jernih dan tangkas. ”Itu garugiwa,” ti-
ba-tiba kata Vincentius. ”Ia punya 14 jenis suara.”
Saya melihat ke pucuk-pucuk, dan tak menemukan apa-apa—
296 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka PEMO
kecuali kadang-kadang unggas terbang yang tak saya kenal. Hi-
dup ditandai gerak, agaknya, di hutan itu. Bahkan daun-daun
yang jatuh ke tanah juga menyelinap, untuk jadi humus.
Apa yang terjadi setelah kita seperti daun jatuh? Saya teringat
warna danau. Ke surga, ke neraka, atau seperti burung kecil itu—
terbang beberapa saat dan kemudian bersatu dengan kedalaman?
Syahdan, agama-agama baru datang ke celah-celah Kelimu-
tu. Mereka akan memberi jawab dengan melihat kitab-kitab.
Tapi saya tak tahu manakah yang lebih kuat pada hati Akhmad,
Matheus, Vincentius: pengalaman yang akrab dengan rahasia
hutan dan danau, atau kata-kata yang tertulis terang di buku-bu-
ku suci.
Kata-kata yang tertulis itu kemudian jadi hukum—dan pada
saat yang sama jadi menciut. Hukum tak pernah bisa mengatur
apa yang tak bisa dijelaskan. Dan ada yang tak bisa dijelaskan saat
hidup bergetar ketika Yang Maha-Gaib menyentuh keheningan
tiga danau itu, seakan-akan berbisik: Aku ada. Bersamamu. Tapi
tak akan Kaulihat.
Vincentius berhenti di depan sebuah semak. Ia menyembunyi-
kan beberapa barang yang dibawanya di antara rumput lebat. Ia
akan mengambilnya besok, dalam perjalanan mendaki lagi ke
puncak untuk berjualan.
”Kami semua begini,” katanya. ”Di desa kami ada gereja dan
ada masjid, kami bekerja bersama-sama. Kami masing-masing
berlebaran dan berhari natal, tapi kami saling mengunjungi dan
berbagi makanan. Dan kami bergabung bersama-sama dalam
upacara adat.”
Saya bertanya, kapan upacara itu dijalankan. ”September,” ia
menjawab. Setiap tahun.
Tampaknya di dusun mereka, Pemo, ada yang lebih tua ke-
timbang masjid dan gereja dan kitab-kitab, ada yang lebih ”ende-
mik” seperti pakis dan turuwara. Kaum misionaris dari agama-
Catatan Pinggir 10 297
http://facebook.com/indonesiapustaka PEMO
agama yang datang mungkin akan mengatakan bahwa yang ”en-
demik” itu keliru, tapi apa sebenarnya yang keliru bila Akhmad
dan Matheus dan Vincentius—di bawah naungan sesuatu yang
purba—tak saling mengatakan ”kau mempercayai yang salah”?
Sesuatu yang purba itu mungkin akan tergusur. ”Kecerahan”
akan datang. Nenek moyang yang bersemayam di danau itu akan
dilupakan. Tapi kita tak tahu apa yang akan menggantikan hidup
bersama yang dinaungi itu. Saya hanya berharap pada suatu pagi
yang lain saya akan ketemu lagi Akhmad, Matheus, dan Vincen-
tius. Di puncak Kelimutu. Tersenyum.
Tempo, 20 Mei 2012
298 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka DMZ
SEJARAH punya jejak yang tegang di bentangan tanah
yang memanjang ini. Dataran ini mirip lembah yang ko-
song, tapi orang tak akan terkecoh: kosong bukan berarti
damai.
Ini perbatasan Korea Selatan dengan Korea Utara. Ini saksi se-
buah perang yang dilupakan: ”Perang Dingin” yang membelah
dunia sejak akhir 1940-an. Di sini, konflik global yang dianggap
sudah berakhir sejak lebih dari satu dasawarsa yang lalu itu masih
berlangsung—dengan trauma, dendam, dan hantu-hantu masa
silam, yang dalam kata-kata penyair Keith Wilson, ”masih meng-
arungi malam dan membisikkan kata ‘Korea’”.
Bila hantu itu akan lebih terasa hadir di sini, itu karena wila-
yah ini sebuah ruang kecemasan tersendiri. Ia penyekat tipis yang
dibangun dengan kesepakatan yang tak meyakinkan di antara
dua pihak yang lelah berperang—persisnya pada 17 Juli 1953.
Karena sebenarnya ada yang belum selesai. Perang tiga ta-
hun yang dimulai tahun 1950 itu akhirnya tak menghasilkan ke-
menangan bagi siapa pun. Diniatkan oleh pemimpin Korea Uta-
ra, Kim Il-sung, untuk menyatukan jazirah itu dari perpecahan
Utara-Selatan, perang yang ganas itu hanya mengembalikannya
ke posisi sebelumnya: di Garis Lintang 38.
Di situlah kesia-siaan yang belum mau diakui itu ditandai: se-
buah wilayah didirikan sepanjang 250 kilometer dengan lebar 4
kilometer untuk membatasi gerakan kedua belah pihak. Disebut
”DMZ”: ”Demilitarized Zone”, ”zona bebas militer”. Tapi betapa
absurd nama itu: sebab di bagian bumi Korea inilah militer yang
bermusuhan berjaga berhadap-hadapan. Senjata nuklir terang-
terangan atau diam-diam disiapkan. Propaganda yang kuno atau
baru disiarkan.
Catatan Pinggir 10 299
http://facebook.com/indonesiapustaka DMZ
Kehancuran membuat manusia jera. Tapi ketegangan di DMZ
itu menunjukkan, ada yang membuat jera hanya sebentar—yakni
cita-cita, atau ambisi, atau tekad, yang disebut ”nasionalisme”. Se-
jarah Korea yang mengagumkan tapi tragis membuat nasionalis-
me itu merasuk dengan luka-lukanya.
Negeri ini bukan bangunan kemarin sore. Tiga kerajaan su-
dah berdiri sejak 65 sebelum Masehi. Dinasti-dinasti datang dan
pergi, melalui perang, melewati penjajahan Kerajaan Mongolia,
dan di abad ke-20, berakhir dengan kolonisasi Jepang.
Dan sepanjang sejarahnya yang sekitar 1.000 tahun itu, Korea
melahirkan sesuatu yang tak ada bandingannya di Asia Timur:
buat pertama kalinya dalam sejarah manusia, sekitar 1230, di si-
ni diciptakan mesin cetak bergerak yang terbuat dari logam, 200
tahun sebelum Gutenberg menemukannya di Jerman. Buku aga-
ma Buddha, Jikji, terbit dengan mesin itu pada 1377, sekitar 100
tahun sebelum Injil dicetak di Eropa—dan jauh lebih di depan
ketimbang Turki, di mana mencetak buku dianggap dosa oleh
para ulama dan diancam hukuman mati oleh Sultan Salim I da-
lam sebuah titah bertahun 1515.
Tentu, seperti Eropa dan Turki, Korea punya penguasa yang
paranoid dan agamawan yang mudah cemas. Ketika Raja Sejong
memperkenalkan huruf Hangul yang mudah dipergunakan itu
ke rakyat banyak (alfabet itu selesai diciptakan di akhir tahun
1443), lapisan elite dan pendeta Konghucu yang memakai huruf
Cina, Hanja, menentang. Ketika rakyat menyatakan suaranya
dengan huruf itu dalam menentang kesewenang-wenangan Raja
Yeonsangun, Baginda melarang penggunaan aksara itu pada
1504.
Tapi kemudian Hangul dipulihkan kembali—dan dalam per-
kembangannya kemudian, aksara itulah yang mengukuhkan ba-
hasa Korea, membangun kesadaran kebangsaannya, menyatukan
rakyatnya, hingga, dengan nasionalisme yang utuh, menembus
300 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka DMZ
abad ke-20, juga ketika Jepang menguasai negeri mereka.
Tapi kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik tak menyebabkan
nasionalisme itu mencapai cita-citanya: sebuah Korea yang mer-
deka. Seusai Perang Dunia II, kekuasaan dunia berada di tangan
negara-negara pemenang. Tanpa persetujuan rakyat Korea, nege-
ri mereka diletakkan di bawah pengawasan Amerika Serikat dan
Uni Soviet, di dua sisi yang berbeda—dan terbelah sejak itu.
Tapi dengan itu pula hasrat penyatuan kembali ”meradang,
menerjang” dan Perang Korea yang berdarah-darah meletus—
karena hasrat nasionalisme yang bertaut dengan Perang Dingin
antara ”Blok Komunis” dan ”Blok Barat”. Dalam arsip Soviet
yang dibuka di pertengahan 1990 diketahui, bukan Stalin yang
mendesak agar Kim Il-sung menyerang Korea Selatan, tapi justru
sebaliknya. ”Saya tak bisa tidur sepanjang malam memikirkan
penyatuan seluruh negeri,” kata Kim, Januari 1950, kepada utus-
an Stalin. Dan Stalin akhirnya memberkati. Pasukan Korea Uta-
ra memasuki wilayah Selatan—dan Seoul pun jatuh.
Tapi yang dicemaskan Stalin terbukti. Amerika, dengan me-
manfaatkan PBB, mengirim pasukan besar-besaran untuk men-
deking pemerintah Seoul. Perang itu melibatkan sejumlah nega-
ra, bukan hanya Cina di pihak Komunis, tapi juga bahkan India
dan Turki di pihak lawannya. Jengkal demi jengkal wilayah lepas
dan direbut kembali. Dalam tiga tahun yang bengis itu terbunuh
33.600 tentara Amerika, 16.000 anggota pasukan PBB, 415.000
prajurit Korea Selatan, 520.000 prajurit Korea Utara, dan sekitar
900.000 tentara Cina.
Dan hasilnya? DMZ.
Tentu bukan cuma DMZ. Kemajuan Korea Selatan yang me-
nakjubkan dalam tiga dasawarsa ini tak bisa dilepaskan dari keta-
kutan kalau akan dikalahkan musuhnya di Utara. Perpisahan itu
bukan sepenuhnya tragedi.
Yang benar-benar tragedi ada di Utara. Di sana, selama lebih
Catatan Pinggir 10 301
http://facebook.com/indonesiapustaka DMZ
dari 40 tahun kekuasaan Partai menutup rakyat dalam sebuah
penjara besar dan menyuruh mereka mengikuti semacam agama
baru—dengan pemujaan, fanatisme, kekerasan, dan penguasaan
yang tak pernah berhenti mengawasi.
Parang Dingin berlanjut dengan kebengisan lain di sini.
Tempo, 27 Mei 2012
302 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka TEEUW
(1921-2012)
PADA umur 26, Andries Teeuw naik kapal pos, meng-
arungi laut, melintasi Terusan Suez, dan sampai di pela-
buhan Sabang. Itu tahun 1947. Perjalanan yang tak men-
janjikan ketenteraman.
Hanya dua tahun sebelumnya Indonesia menyatakan diri mer-
deka. Belanda, yang merasa dibangkang, kemudian mengirim
pasukan untuk menaklukkannya kembali. Tapi Teeuw, kelahir-
an Gorinchem, Holland Selatan, datang sendirian, meskipun de-
ngan dana pemerintah untuk riset di Lombok. Ia baru setahun
beroleh gelar doktor dari Universitas Utrecht. Entah bagaimana
seorang ilmuwan yang begitu muda melintasi ketegangan hari-
hari itu.
Saya hanya pernah membaca, dari Sabang ia menulis sepucuk
surat kepada istrinya: ”Seakan-akan saya telah berkenalan de-
ngan dunia ini.”
Ia memang telah kenal bagian dunia ini—secara tak langsung.
Ia belajar filologi; disertasinya terjemahan atas puisi Bhomântaka,
naskah tua dari Jawa Timur. Bagi Teeuw, tak mudah memahami
sepenuhnya teks bahasa Jawa Kuno ini, tapi satu hal yang terpaut
pada filologi ada dalam dirinya: filologi, yang menelaah bahasa
dalam pautannya dengan sastra dan sejarah, berasal dari bahasa
Yunani yang berarti ”cinta kepada sastra dan pengetahuan”.
Tanpa cinta kepada sastra dan pengetahuan, Teeuw tak akan
berjalan sejauh itu—melintasi dua satuan geografis, dua kubu ke-
tegangan politik, dua posisi dalam proses pengetahuan: ia dapat-
kan sumber telaahnya dari Indonesia, ia berikan kemudian hasil
telaahnya kepada Indonesia. Ia seorang Belanda; ia pro-Indone-
sia.
Catatan Pinggir 10 303
http://facebook.com/indonesiapustaka TEEUW (1921-2012)
Beberapa tahun setelah Bhomântaka, ia lebih dikenal sebagai
penelaah dan kritikus sastra Indonesia modern. Teeuw mula-mu-
la tak merasa nyaman dengan label itu. Saya bertemu dengan dia
pertama kali di musim dingin awal 1967. Waktu itu saya tinggal
di Bruges, Belgia, dan datang naik kereta api ke Leiden. Ia men-
jemput saya di stasiun—dengan sikap rendah dan murah hati
yang tak terduga dari seorang guru besar kepada seorang maha-
siswa asing yang cuma dikenalnya lewat satu-dua sajak. Ia ramah,
dengan kehangatan yang pelan datang.
Istrinya, yang kemudian akan disebut ”Ibu Teeuw” dengan
akrab oleh semua kenalannya dari Indonesia, menyajikan teh pa-
nas dan biskuit.
”Saya sebenarnya bukan kritikus,” ia mengatakan, di ruang
tamu rumahnya yang bersahaja dan penuh buku. ”Yang saya la-
kukan hanya mengisi kekosongan.”
Waktu itu tampaknya demikian. Ketika Teeuw mengajar di
Universitas Indonesia di akhir 1940-an dan awal 1950-an, terbit
bukunya, Voltooid Voorspel. Buku ini kemudian diindonesiakan
jadi Pokok dan Tokoh (judul yang kemudian di-”pinjam” Tempo)
pada 1952 dan 1955. Isinya lebih berupa pengantar tentang para
sastrawan Indonesia modern dan karya-karyanya. Pendekatan-
nya tak bisa dikatakan baru. Dalam kritik sastra waktu itu, ”po-
kok” dianggap terkait erat dengan ”tokoh”, satu hal yang digugat
dalam teori sastra kemudian. Tapi tujuan Teeuw memang hanya
jadi pemandu bagi mereka yang ingin mulai belajar. Dan sebab
itu pula—di samping ia tahu menempatkan diri sebagai ”orang
luar”—Teeuw, seperti kata penyair dan kritikus Sapardi Djoko
Damono, cenderung ”berhati-hati”.
Bagaimanapun terbatasnya, Pokok dan Tokoh besar sekali pe-
ngaruhnya bagi sastrawan Indonesia di tahun 1950-an. Waktu
itu seseorang seakan-akan baru ”dibaptis” setelah dibahas Teeuw.
Dalam hal ini ia sejajar dengan H.B. Jassin, yang menerbitkan ti-
304 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka TEEUW (1921-2012)
ga jilid kumpulan Kritik & Esei. Tapi Teeuw punya kelebihan. Ia
pakar filologi yang kenal sastra klasik Melayu dan Jawa dengan
mendalam. Dengan demikian ia melihat dengan tepat bahwa be-
tapapun ”baru”-nya ungkapan Chairil Anwar dan para penyair
sebelum dan sesudahnya, bahasa Indonesia tak lahir dari ruang
linguistik yang hampa.
Itu sebabnya Teeuw dapat melihat apa yang istimewa pada
puisi Amir Hamzah. Sementara Jassin menunjuk rapatnya penya-
ir Buah Rindu dengan tradisi Melayu, Teeuw justru melihat ada
dalam karya Amir sesuatu yang mempesona: sebuah energi baru.
Puisinya mengatasi keterbatasan prosodi syair lama. Dalam ba-
hasa Melayu, tak ada rima yang bertekanan seperti dalam bahasa
Jermanik. Syair Melayu juga tak amat beragam bunyi vokalnya
(hanya a, e, i, o, u, ê), sementara rima yang terbentuk dari itu,
dalam gabungan dengan konsonan, tak seluas bahasa Jerman,
Inggris, apalagi Rusia. Menghadapi keterbatasan itu, menurut
Teeuw, Amir Hamzah menciptakan puisi yang mengejutkan dan
kaya karena bunyi asonansi, aliterasi, dan rima yang mendadak di
tengah-tengah.
Ketajaman (dan juga kepekaan) menangkap gerak bahasa
yang seperti itulah yang sampai sekarang belum dilanjutkan, apa-
lagi ditandingi, oleh telaah sastra di perguruan tinggi Indonesia.
Dari apa yang saya contohkan tampak pula bahwa telaah Teeuw,
yang kemudian makin lama makin dipermatang oleh teori-teori
sastra mutakhir (Barth, Culler, Derrida), tetap menggali sumber-
nya bukan dari sastra Eropa, melainkan sastra Nusantara. De-
ngan lancar, dalam satu risalah, ia akan mengambil contoh dari
sajak Jawa Kuno Hariwangsa dan puisi Sutardji Calzoum Bach-
ri. Dalam menelaah Hikayat Hang Tuah, Teeuw membedakan
diri dari penelaah lain karena ia tak memakai ukuran kesejarah-
an ”Barat”: ia melihat kisah itu sebagaimana orang Melayu me-
mandang Hang Tuah sejak dulu: sebagai karya sastra yang asyik
Catatan Pinggir 10 305
http://facebook.com/indonesiapustaka TEEUW (1921-2012)
dinikmati.
Itu sebabnya sastra penting, meski sering disepelekan dalam
zaman yang menyisihkan keasyikan. Manusia, Teeuw meng-
ingatkan kita, juga homo fabulans: makhluk yang bercerita, yang
bersastra—dengan bahasa dan imajinasi yang ganjil, tak pasti,
tak mandek, tapi dengan demikian selalu baru dan hidup kemba-
li berkali-kali.
Juga ketika sang kritikus pergi, 18 Mei 2012.
Tempo, 3 Juni 2012
306 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka 1900
IA lahir di kapal, tinggal selama hidupnya di kapal, bekerja
sebagai pianis di kapal, dan tak berkeberatan ketika ada yang
menyebutnya sebagai ”seseorang yang tak dapat bermain
piano tanpa ada laut di bawah pantatnya”.
Namanya ”1900”. Lengkapnya ”Danny Boodman T.D. Le-
mon 1900”.
Film The Legend of 1900 karya Giuseppe Tornatore (sutradara
Cinema Paradiso) dimulai di SS Virginian, kapal penumpang
yang menghubungkan kedua pantai yang dipisahkan Atlantik.
Pada tahun 1900, di kapal itu ditemukan bayi. Seorang awak ka-
pal pun memungutnya dan memberinya nama panjang itu—
yang merupakan gabungan namanya sendiri, angka tahun ketika
si orok didapatkan, dan sebuah iklan yang tampak dalam kotak.
Dan di geladak SS Virginian itulah 1900 berangkat dewasa,
menyaksikan hidup, belajar hidup, dan berlatih bermain piano
dengan bakat yang menakjubkan. Segera ia jadi pianis utama da-
lam orkes kapal.
Itulah puncak pengalamannya. Ia bisa bertanding keterampil-
an dengan Jelly Roll Morton, ”Bapak Jazz” dari New Orleans yang
naik ke SS Virginian menantangnya, dan ia menang. Ia jatuh cin-
ta—dari jauh—dengan seorang gadis yang ditatapnya seraya ia
bermain piano untuk sebuah rekaman. Di orkes kapal itu juga ia
bersahabat dengan Max, si gemuk pemain trompet.
Tapi pada suatu hari, 1900 ingin pergi. Ia sampaikan niatnya
kepada Max. Ia ingin mendengar suara laut dari pantai, bukan
dari buritan kapal. Ia ingin jadi manusia darat.
Max mendukung niat itu, dan mereka berdua membayang-
kan 1900 hidup sebagai manusia lumrah, menikah dan beranak.
Tenteram.
Catatan Pinggir 10 307
http://facebook.com/indonesiapustaka 1900
Maka di sebuah pelabuhan, 1900 pun bersiap turun. Max
memberikan mantelnya yang bagus kepadanya. Dengan menge-
nakan topi fedora hitam yang necis, 1900 pun menuruni tangga
untuk meninggalkan negeri asalnya, SS Virginian.
Tapi di tengah itu ia berhenti. Ia menatap ke arah kota: ge-
dung-gedung jangkung, jalan berkelok silang menyilang, lampu-
lampu....
Ia tak melangkah lagi. Tiba-tiba ia mencopot topinya, melem-
parnya ke laut—dan naik kembali ke kapal. Ia urung jadi manu-
sia darat.
”Bukan yang aku lihat yang menghentikan langkahku, Max,
tapi apa yang tak kulihat,” katanya menjelaskan.
”...kau lihat... kau lihat jalanan itu, ya, jalanan itu? Ada ribuan!
Bagaimana kita akan melakukan sesuatu di sana, bagaimana kita
akan memilih satu saja... satu rumah, seorang perempuan, sepetak
tanah yang bisa kita sebut lanskap kita sendiri untuk kita pandang,
juga satu cara mati?”
Ia tak mau masuk ke wilayah yang beragam dan tak seluruhnya
tampak itu. Ia ingin terpaku di kapal, sesuatu yang pas dan satu.
Ia takut daratan. ”Daratan itu sebuah kapal yang terlampau besar
bagiku, ia perempuan yang terlalu cantik, perjalanan yang terlalu
panjang, parfum yang terlalu wangi.... Ia musik yang aku tak tahu
menciptakannya.”
Keberagaman yang tak tepermanai itu, bagi 1900, sebuah ho-
ror. Mungkin The Legend of 1900 ingin jadi puisi tentang dunia
kecil yang tak merengkuh ke mana-mana, seperti Cinema Paradi-
so menggambarkan Giancaldo. Dusun Sicilia dalam imajinasi
Tornatore itu tak jauh berbeda dengan SS Virginian: orang saling
mengenal, akrab, sama-sama gandrung kepada layar putih atau
kamar musik—sebuah hidup yang lain dari Roma, Paris, New
York....
Ada yang menyebut Cinema Paradiso sebuah ungkapan ”post-
308 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka 1900
modernisme yang nostalgik”. Mungkin tepat, mungkin tidak. Ia
bermula dari kisah seseorang yang dari Roma menengok kembali
dusunnya dengan kenangan yang hangat. Memang nostalgia ber-
main di sini dan membuat masa lalu jadi Giancaldo yang memi-
kat. Kita seakan-akan akan gampang menghuni dusun yang tak
rumit itu dan bahagia. Yang kita lupakan, dalam tiap nostalgia
bukan masa lalu yang melahirkan kerinduan, tapi kerinduan
yang membuat masa lalu.
Dan bila The Legend of 1900 merindukan sebuah masa ketika
dunia lebih bersahaja, ia mengambil satu posisi yang tak menarik:
ia memperpanjang rasa takut kepada kemerdekaan.
Rasa takut kepada kemerdekaan itu (satu fenomen psikologis
yang sejak 1941 dilihat Erich Fromm, penerus dan pengkritik
psikoanalisis Freud) adalah patologi yang jadi akut karena zaman
modern. Zaman ini membuat manusia jadi individu yang terpi-
sah. Orang akhirnya gentar berdiri di atas kaki sendiri. Ia pun
masuk ke dalam kelompok, berpegang kepada satu ajaran bersa-
ma, berlindung.
Tokoh The Legend of 1900 mirip, meskipun sedikit lain.
”Bukan yang aku lihat yang menghentikan langkahku, Max, tapi
apa yang tak kulihat.” Baginya, hanya dengan yang dapat dilihat ia
bisa hidup—misalnya 88 bilah tuts piano itu. Ia merasa mencapai
sesuatu karena dengan hal-hal yang terhingga (yang hanya 88) ia
bisa melahirkan lagu, dan ia pun jadi ”tak terhingga”.
Tapi ia lupa, yang melahirkan lagu justru sesuatu yang tak da-
pat dilihat: kemerdekaan. Kemerdekaan itu yang membuat pera-
saan hidup dan musik bergetar jadi baru. Tanpa kemerdekaan, la-
gu hanya suara beo, musik hanya bunyi mesin.
Tampak 1900 takut kepada yang tak bisa diduganya. Tapi
musik, juga musiknya, justru memukau karena selalu ada kejut-
an, lirih atau keras.
Dan ketika ia akhirnya menyerah kepada yang hanya bisa di-
Catatan Pinggir 10 309
http://facebook.com/indonesiapustaka 1900
duganya, yang pasti, yang satu, yang tak berubah, ia memilih ke-
matian. Sebab apa yang tak berubah? Kapal SS Virginian juga
berubah jadi butut, sebuah dunia yang jadi rongsokan yang harus
ditenggelamkan.
Syahdan, 1900 tak beranjak ketika kapal itu diledakkan. Ia
ikut terkubur di laut.
Yang tragis, ia bukan orang darat, tapi juga bukan orang laut.
Laut punya banyak yang tak terlihat; ia keragaman yang tak te-
permanai. Suara laut adalah suara kemerdekaan. ”Kemerdekaan
adalah laut semesta suara/ janganlah kau takut kepadanya,” kata sa-
jak Toto Sudarto Bachtiar. Tapi 1900 tak mendengar.
Tempo, 10 Juni 2012
310 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka ETNOKRASI
Gaza hamil tua dengan manusia
dan tak ada yang membantu kelahirannya.
SAYA pernah membaca sajak tentang Palestina itu (saya tak
ingat lagi siapa penyairnya), dan sampai hari ini saya be-
lum mengerti bagaimana cara membantu kelahiran ma-
nusia di Gaza.
Dalam tafsir saya, ”manusia” adalah makhluk yang membuat
sejarah melalui konflik, tapi tak akan bisa selama-lamanya ber-
sengketa. ”Ada waktu untuk perang,” demikian tertera dalam
Pengkhotbah, ”dan ada waktu untuk damai.”
Tapi di Gaza yang sekarang ada hanya ”waktu untuk berpe-
rang”, dan manusia belum sepenuhnya lahir.
Di sini dunia adalah sebuah penantian besar: penantian anta-
ra perang dan damai. Sekitar sejuta dari 1.700.000 penduduk di
wilayah sepanjang 41 kilometer ini pengungsi—dan pengungsi
adalah penanti sejati. Mereka telah menunggu lebih dari setengah
abad. Persisnya sejak 1948, sejak mereka meninggalkan wilayah
Palestina mereka yang dikuasai Israel setelah dunia Arab kalah
perang.
Begitu lama mereka terdampar di sana, mungkinkah mereka
kembali tanpa peperangan baru? Atau kalaupun mereka ingin
tinggal selamanya di sana, bisakah itu berarti damai?
Damai yang hanya berarti tak ada tembak-menembak tak
akan sulit dicapai. Tapi jika damai berarti rasa tenteram, orang-
orang Palestina itu tak pernah menemukannya.
Mula-mula orang Israel mencoba mengambil alih tanah mere-
ka dengan mendirikan permukiman di Kfar Darom dan Netza-
rim 40 tahun yang lalu. Tak berhenti di sana, pemerintah Israel
Catatan Pinggir 10 311
http://facebook.com/indonesiapustaka ETNOKRASI
mendukung ikhtiar perebutan seperti itu sampai dasawarsa ber-
ikutnya. Bentrokan pun tak dapat dielakkan. Orang-orang Pales-
tina makin tak sabar, dan Hamas dibentuk dan Hamas didu-
kung, dan intifadah meletus. Sejak itu, Gaza adalah awal dan
ajang pertempuran, campuran antara heroisme dan terorisme,
antara kecanggihan peralatan perang dan kebrutalan.
Israel memang menguasai udara, pantai, dan sisi timur Laut
Tengah, dengan kekuatan militer dan propaganda yang tak ter-
tandingi. Dalam Perang Gaza 2008 Israel praktis menang: di
samping ratusan korban orang Palestina tewas, termasuk anak-
anak, pelbagai prasarana yang dikendalikan Hamas dapat dihan-
curkan. Tapi pada akhirnya, Israel juga sebuah penantian besar
—dengan semua kontradiksi yang terjadi karena itu.
Negara ini, seperti halnya negara lain, lahir dari kekerasan.
Tapi sementara sebagian besar negara di dunia menjinakkan diri
ke dalam institusi-institusi yang memendam kekerasan di bawah
fondasinya, Israel tidak. Ia tak sepenuhnya sampai ke titik ”waktu
untuk damai”. Lembaga-lembaga sosial dan politiknya memang
berlangsung seperti di negara demokrasi yang normal: pers bebas,
pemilihan umum yang terbuka, peradilan yang mandiri. Tapi Is-
rael juga sebuah republik yang diperkuat oleh ketakutan.
Dulu ia ketakutan karena merasa dikepung negeri-negeri Arab
yang ingin menghapuskannya dari peta. Kini, dengan kecang-
gihan dan kesiagaan militernya yang tak tertandingi di wilayah
itu (termasuk dengan kesiapan senjata nuklir), ia hidup dengan
ketakutan lain.
Tangan dan kakinya mencengkeram sebuah wilayah, bukan
hanya Gaza, yang menurut hukum internasional bukan milik-
nya—di zaman ketika kolonisasi dianggap kejahatan. Para pe-
mukim (settlers) Yahudi tak putus-putusnya mengambil alih ta-
nah milik orang Palestina yang hidupnya lebih dulu dipojokkan
pemerintah Israel—di zaman ketika ketidakadilan macam itu
312 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka ETNOKRASI
dikutuk secara universal. Maka ketakutan Israel kini adalah keta-
kutan tak punya dalih. Ia makin sulit menjelaskan—juga kepada
dirinya sendiri—bagaimana sebuah negeri yang lahir untuk
membebaskan diri dari kesewenang-wenangan kini memperpan-
jang diri dengan kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, Israel
takut kehilangan raison d’ être. Ia takut dasar hidupnya akan ter-
ungkap sebagai sesuatu yang palsu: bukan karena hak, melain-
kan karena ia menembak & menggertak.
Ketakutan punya racun yang tak selamanya terasa. Nelson
Mandela pernah mengatakan, bila ”kita membebaskan diri dari
ketakutan kita sendiri, kehadiran kita otomatis membebaskan
orang lain”. Bila tidak....
Dari itu tampak dengan jelas kontradiksi yang merundung Is-
rael sekarang: di satu pihak, ia sebuah negeri yang merawat kebe-
basan; di pihak lain, ia kekuasaan yang takut akan kebebasan.
Secara lebih tajam, itulah yang diungkapkan oleh Peter Bein-
art dalam bukunya yang baru terbit, The Crisis of Zionism. Bagi-
nya, Israel terbelah dua; yang sebelah barat, ”Israel adalah sebuah
demokrasi tulen, meskipun ada cacatnya”; ke sebelah timur, Israel
adalah ”sebuah etnokrasi”.
Kata ”etnokrasi”, terutama karena disebutkan oleh seorang pe-
nulis keturunan Yahudi, adalah kata yang keras sekali. Israel ber-
mula dari para korban rencana etnokrasi Hitler: sebuah kekuasa-
an politik oleh, untuk, dan dengan etnis tertentu. Tapi kini Zio-
nisme, yang berawal sebagai nasionalisme, telah bertaut dengan
politik identitas yang kian sempit—nyaris hanya mewadahi me-
reka yang mengunggulkan warga beretnis Yahudi dengan mengi-
barkan kata-kata Kitab Suci.
Dan tembok pun dibangun—tanda pemisah yang mirip poli-
tik apartheid rezim kulit putih Afrika Selatan. Bukan kebetu-
lan bila pembangun sistem ini, Ariel Sharon—seperti ditulis Da-
vid Schulman dalam The New York Review of Books 7 Juni yang
Catatan Pinggir 10 313
http://facebook.com/indonesiapustaka ETNOKRASI
lalu—menyebut wilayah Palestina di balik tembok sebagai ”Ban-
tustans”.
Tapi sebagaimana Afrika Selatan, kata Schulman, sistem Isra-
el itu akan runtuh. Israel tak akan sanggup membinasakan selu-
ruh orang Palestina. Penduduk Yahudi akan jadi minoritas.
Dan suatu hari nanti, jam berdetak ke arah pembebasan—
dan manusia pun lahir bersama waktu ”untuk damai”.
Tempo, 17 Juni 2012
314 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka SIRIUS
LEPAS subuh, dari sebuah bukit di Munduk, Bali Utara,
dari mana langit tampak telanjang, saya lihat Sirius. Bin-
tang itu nun di sana, bak aktor terakhir di panggung ang-
kasa sebelum malam turun-layar. Cemerlang, seperti lazimnya di
jam-jam itu di bulan Juli, ketika langit gelap mulai beralih biru.
”Tahukah kau, perlu waktu delapan tahun lebih bagi cahaya
Sirius untuk akhirnya tiba di retina mata kita, di atas bukit yang
dingin ini?”
”Satu windu perjalanan?”
”Ya, sebab jarak antara sang Bintang Anjing itu dan bumi, me-
nurut para astronom yang menghitungnya, adalah 8,611 tahun
cahaya.”
Saya terpekur. Apa yang saya alami sebenarnya tentang dunia
di luar itu? Sepertinya ada dua momen yang saling menggantikan.
Di momen yang satu, astronomi memberi tahu tentang jarak
yang begitu jauh. Di momen yang lain, pengalaman saya yang
langsung tak ada hubungannya dengan angka tahun cahaya itu.
Dalam momen itu, saya berjumpa seketika itu juga dengan sebu-
ah bintang yang terang di ujung dinihari.
Saya tak bisa mengatakan bahwa Sirius dan jaraknya hanya se-
buah hasil konstruksi para pakar dengan bahasa dan simbol-sim-
bol matematik mereka. Bintang dan ruang angkasa itu benar-be-
nar ada di luar teleskop. Tapi saya juga tak bisa mengatakan bah-
wa seluruh kehadiran Sirius saat itu sepenuhnya ditentukan ribu-
an teleskop sebagai bagian dari rasa ingin tahu astronomi. Dalam
ruang pandang saya, di langit di atas Munduk itu, ia sebagai ba-
gian keterpesonaan saya.
Siapa yang tiap kali terpesona kepada bintang akan tahu,
pengalaman adalah sebuah pembaruan yang terus-menerus. Saya
Catatan Pinggir 10 315
http://facebook.com/indonesiapustaka SIRIUS
tak akan bisa menambahkan apa-apa kepada angka 8,611 tahun
cahaya itu. Tapi tiap kali saya memandang Sirius, dari bukit ini di
saat ini atau dari bukit lain di malam lain, saya mengalaminya se-
perti buat pertama kali: sesuatu yang baru.
Tak penting rasanya mempersoalkan apa dan siapa yang mem-
buatnya baru. Yang jelas, kesadaran saya praktis hanya pasif, tak
mengarahkan pengalaman saya saat itu. Saya hanya meninjau ke
angkasa. Tapi posisi saya, tubuh saya, ingatan saya, dan seluruh
diri saya sebenarnya tak persis sama dengan yang sebelumnya.
Demikian juga Sirius, bintang yang sangat jauh itu, yang sudah
dikenal manusia yang hidup di zaman Mesir Kuno. Dalam perja-
lanan cahayanya sepanjang delapan tahun, ia berubah: mungkin
sekadar letaknya di atas bukit itu, dalam hubungannya dengan
bentuk dan posisi bulan di langit. Mungkin juga karena kabut
yang turun berbeda.
Pengalaman adalah suatu proses kreatif. Ia ”menciptakan”
yang sebelumnya tak ada, tentu saja bukan dari nol. Hidup ada-
lah arus, dan tiap kali ia adalah sebuah peristiwa, dan tiap peristi-
wa adalah satu ”production of novelty”, kata Alfred North White-
head. Di dalamnya ada sebagian komponen masa lalu, tapi seba-
gian lain adalah komponen masa depan—kemungkinan yang
tak semuanya diketahui.
Seperti ketika berhadapan dengan kanvas-kanvas Raden Sa-
leh: kita melihat sebuah karya dari pertengahan abad ke-19, tapi
pada saat itu juga kita seperti melihat sesuatu yang belum selesai.
Keadaan-belum-selesai itu bukan hanya terasa dalam potret yang
dibuatnya tentang sepasang pengantin Jawa, yang bergandengan
menatap ke kita. Memang di kanvas ini, latar dan goresan kuas
pada wajah terasa hanya dibuat selintas, berbeda dengan latar dan
sosok lain yang tampak penuh. Tapi keadaan-belum-selesai itu
juga terasa di kanvas yang paling penuh—karena tiap karya ada-
lah sebuah peristiwa yang terus-menerus menggugah kita, me-
316 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka SIRIUS
ngagumkan kita, menyenangkan kita.
Di hari X kita bersua dengan bening mata dalam potret Sultan
Alkatiri, atau wajah buas singa yang ditikam, atau detail tanda ja-
sa di dada pembesar kolonial itu, atau pola batik pada kain perem-
puan sepuh di kanvas yang lain, atau hijau pada rumpun pakis
dalam lukisan tentang jalan mendaki ke Megamendung.
Di hari Y kita datang lagi, dan lukisan yang sama secara tak
terduga tampil kepada kita sebagai sesuatu yang dalam proses
”menjadi” lagi. Kita masih ingat pengalaman di hari X, tapi kita
dibuka untuk pengalaman yang tak kita antisipasi.
Maka jika dikatakan karya-karya itu abadi, itu bukan karena
umurnya yang lebih dari seabad. Kanvas itu bisa rusak—dan be-
berapa lukisan yang kurang dirawat memang tampak mulai ru-
sak—dan warna bisa berubah. Tapi ada yang ”selama-lamanya”.
Baris-baris terkenal sajak Keats ini menyebut itu sebagai kualitas
keindahan:
A thing of beauty is a joy for ever:
Its loveliness increases; it will never
Pass into nothingness...
Yang mungkin salah pada sajak itu ialah mengesankan, keba-
hagiaan merasakan keindahan itu berada di luar waktu, ”a joy for-
ever”. Keats menulis, keindahan ”tak akan berlalu memasuki ke-
tiadaan” (it will never pass into nothingness). Tapi kita tak pernah
melihat keindahan sebagai sesuatu yang terlepas dari bendanya
yang fana, katakanlah sebuah patung kayu yang akan lapuk.
Itu sebabnya, yang kekal dalam keindahan kanvas Raden Sa-
leh, yang tak lekang dalam momen ketakjuban saya di saat bersua
cahaya Sirius, bukanlah sesuatu yang berada di luar waktu. Ia ber-
ada dalam waktu. Benda dan momen akan punah, ingatan akan
hilang, tapi ketakjuban dalam peristiwa keindahan—seperti juga
Catatan Pinggir 10 317
http://facebook.com/indonesiapustaka SIRIUS
di saat-saat mencintai—datang lagi, seperti reinkarnasi yang tak
mengenali wujud asalnya.
Mungkin ini satu alasan kita untuk bersyukur: ada yang ”ke-
kal” dalam yang fana, dan Sirius di atas bukit itu bukan cuma re-
petisi dari sebuah benda yang datang delapan tahun kemudian.
Hidup bukan serangkai mesin dengan pola yang siap. Hidup
adalah sebuah kreativitas yang diam. Siapa yang merasa bisa
meramal arahnya akan kecewa, atau akan bosan.
Tempo, 24 Juni 2012
318 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka SCHILLER
TEKS itu membuat saya gentar. Seorang teman dekat
meminta saya mengadaptasi lakon Schiller, Die Räuber
(Rampok). Schiller nama besar dalam sastra Jerman
abad ke-18; ia disandingkan dengan Goethe; dan cerita yang ha-
rus saya sadur sebelumnya telah disadur oleh satu nama besar sas-
tra Indonesia, Rendra. Bagaimana saya bisa melakukan yang le-
bih baik?
Ternyata Die Räuber bukan sebuah lakon yang cocok untuk
saya. Saya membacanya dalam versi Inggris, tentu, untuk mem-
bantu bahasa Jerman saya yang berantakan. Kesimpulan saya,
Die Räuber—yang ditulis ketika Schiller baru berumur 21—tak
lebih dari sebuah melodrama dengan dialog yang berlarat-larat
dan melambung.
Tapi di zamannya, Die Räuber diterima dengan gemuruh.
Pertunjukan perdananya di teater nasional Mannheim pada 1782
menarik penonton dari kota-kota lain. Mereka bertepuk untuk
tiap ucapan yang menggugah dan menangis untuk tiap adegan
yang menyentuh. Die Räuber—seorang penulis sejarah menye-
butnya ”a powerful nonsense”—ternyata punya daya pukau di ma-
syarakat kota Jerman masa itu: masyarakat yang merasakan hu-
kum telah terpisah dari keadilan dan agama telah jauh dari ketu-
lusan.
Karl Moor, tokoh utama lakon ini, adalah pemimpin gerom-
bolan perampok yang menjarah tuan tanah yang loba dan meno-
long yang tak berdaya. Sekaligus Die Räuber juga sebuah cercaan
kepada para padri yang menjual Tuhan dengan harga ”10 picis”.
Sikap dan tindakan moral dalam hidup, bagi Schiller, lebih
mulia ketimbang kaidah yang ditentukan Takhta dan Agama.
Tidak mengherankan. Agama adalah kekecewaan besar
Catatan Pinggir 10 319
http://facebook.com/indonesiapustaka SCHILLER
Schiller. ”Agama yang mana yang aku akui? Tak satu pun dari
yang tuan sebutkan kepada saya. Dan kenapa demikian? Karena
agama”—itu pernyataannya yang terkenal.
Ia hidup di Eropa yang masih luka dan teperdaya.
Hampir semua karya teaternya mengandung latar sejarah ke-
tika Eropa dilanda perang agama antara Katolik dan Protestan
yang berlangsung pada 1618-1648, perang yang menjanjikan sur-
ga tapi merusak hampir semua sudut kehidupan. Dengan nada
yang tak bisa datar dan dingin, Schiller bahkan pernah menulis
tiga jilid buku sejarah tentang Perang 30 Tahun itu.
Sikapnya memang negatif terhadap Gereja Katolik. Tapi ia bu-
kan orang yang berat sebelah. Mungkin karena ia seorang penulis
lakon. Teater adalah proses yang efektif untuk menyelamatkan se-
seorang dari kesatu-sisian. Lakon, baik dari kata ”laku” maupun
dari kata Inggris play, mendorong tiap pandangan a priori ke da-
lam gerak yang ditentukan oleh gerak itu sendiri. Di panggung,
premis awal bisa berkembang atau berkurang, berkelok atau ber-
putar. Dan akhirnya: beraneka gema. Die Räuber, yang bagi saya
bombastis, ternyata disambut dengan seru kekaguman oleh pe-
nyair Inggris terkenal, Samuel Taylor Coleridge.
Dengan kata lain, sebuah karya teater adalah jalan yang arah-
nya tak terduga. Lakon Schiller, Maria Stuart, misalnya: cerita
dua ratu yang berebut takhta Inggris—tapi juga perseteruan ke-
kuatan Katolik dan Protestan. Yang menang—sesuai dengan ca-
tatan sejarah abad ke-16—adalah Elizabeth yang Protestan. Ta-
pi lakon ini tak urung menunjukkan bahwa Mary yang Katolik
adalah yang akhirnya melepaskan diri dari segala yang palsu da-
lam dirinya. Sementara itu Ratu Elizabeth adalah contoh tiada-
nya hati yang tulus dalam Realpolitik. Takhta adalah candu bagi
raja-raja. Agama bukan penangkalnya; ia dalihnya.
Itu juga yang terdapat dalam Don Carlos: Raja Spanyol, Philip
II, bersengketa dengan anaknya sendiri, Don Carlos. Keduanya
320 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka SCHILLER
memperebutkan hati seorang perempuan, tapi konflik dalam la-
kon Schiller yang ketiga ini lebih dalam: di satu pihak ada para
pembesar kerajaan yang hendak meneruskan penindasan di Flan-
ders; di lain pihak ada Marquis Posa, sendirian, seorang Protestan
yang selama itu menyembunyikan agamanya. Ia mencoba mem-
bujuk Philip II untuk memberi rakyatnya kemerdekaan beraga-
ma. Lihat orang-orang yang lari dari Spanyol untuk menyelamat-
kan iman mereka, kata sang Marquis. Mereka diterima Inggris—
dan membuat kerajaan Ratu Elizabeth itu berkembang, sementa-
ra Granada, di Spanyol, terbengkalai.
Tapi Marquis Posa gagal. Ia mati terbunuh. Spanyol tak mem-
buka pintu ke arah kemerdekaan berbeda agama. Untuk mem-
perkuat dasar kekuasaannya, Philip mengundang Inquisitor
Agung, padri pengusut dan penjaga iman, bagian yang paling in-
toleran dari Gereja Katolik Spanyol.
Dalam lakon Schiller, sang Inquisitor adalah seorang amat tua
yang buta dan kejam: suara masa lalu yang tak mau melihat per-
ubahan, pemimpin agama yang memandang manusia sebagai
makhluk yang gelap. Dengan bantuannya, Raja Spanyol siap
menghabisi Don Carlos, anaknya sendiri, yang juga sahabat Mar-
quis Posa.
Agama dan kekuasaan perlu ketat dan tetap; kalau tidak, kata
sang Inquisitor, keduanya akan cair ke udara.
Syahdan, agama dan takhta Philip II pun menang.
Tapi ternyata kemenangan bukan titik akhir. Dalam lakon
Wallenstein’s Tod, bangsawan Bohemia itu menggasak pemberon-
takan Protestan melawan Imperium Austria yang Katolik. Para
prajuritnya, tentara bayaran yang ganas, berseru: ”Kemerdekaan
telah sirna dari bumi/ Dan orang cuma melihat Tuan dan Ham-
ba.../ Hanya yang berani mati, serdadu, yang jadi manusia merde-
ka.” Der Soldat allein ist der freie Mann!
Schiller akan menganggap teriakan itu gejala ”misantropi”,
Catatan Pinggir 10 321
http://facebook.com/indonesiapustaka SCHILLER
kebencian kepada manusia, dan ”misantropi adalah bunuh diri
berkepanjangan”. Sebab ”bila aku membenci, aku mengambil se-
suatu dari dalam diriku; bila aku mencinta, aku diperkaya oleh
yang aku cintai”.
Saya tak tahu apakah ia menganggap agama sebuah misantro-
pi, dan benarkah cinta tak akan mungkin di sana.
Tempo, 1 Juli 2012
322 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka LUBDAKA
Sebuah dongeng tentang dongeng.
ADA sebuah kota yang amat kecil di sebuah zaman yang
amat hening di mana orang-orang ingin mendengar ceri-
ta Lubdaka. Tapi tak ada yang tahu kisah itu. Maka de-
wan kota meminta seorang brahmana mencarinya.
Ia dipilih karena ia pernah menemukan dua helai daun lontar
yang tersimpan di Candi Lango; di helai pertama tertulis, ”Sang
Hyang ning Hyang amurti niskala”. Di helai kedua, ”Sthulakara
sira pratisthita hanenghrdaya-kamala-madya nityasa”. Ia tak me-
ngerti arti kata-kata itu. Tapi penjaga candi itu mengatakan bah-
wa kedua kalimat itu memang bagian pembuka cerita Lubdaka.
Dan sang brahmana percaya.
Maka ia pun berangkat memulai pencariannya bersama dua
orang murid. Dengan sebuah biduk mereka menyeberangi Da-
nau Tamranga, dan tiba di sebuah biara dengan 17 rahib yang tak
menyebutkan agama mereka. Di sana ekspedisi itu menemukan
sebundel naskah cerita Lubdaka. Mereka menyalinnya selama se-
minggu. Tapi pada akhir kerja mereka, pemimpin biara itu me-
ngatakan, ”Pergilah tuan-tuan ke pertapaan tua di Pulau Mahuli.
Di sana ada cerita Lubdaka yang lebih lengkap.”
Dan mereka pun berangkat, dan menemukan pertapaan itu,
dan mereka diizinkan membaca naskah itu beserta terjemahan-
nya. Tapi pendeta tertua di sana berkata, ”Di seberang Danau
Tamranga selalu ada cerita Lubdaka. Tapi salah jika ingin mene-
mukan yang lengkap. Tuan-tuan sendiri yang harus melengkap-
kannya.”
Sang brahmana dan murid-muridnya terkesima mendengar
itu—dan dengan hati penuh mereka pun kembali ke kota yang
Catatan Pinggir 10 323
http://facebook.com/indonesiapustaka LUBDAKA
mengutus mereka. Tapi kali ini mereka harus menembus sebuah
padang pasir sebelum sampai ke tepi danau. Tiba-tiba badai gu-
run yang mengerikan melabrak. Ketika semua reda dan langit
tenang kembali, kedua murid itu tak melihat lagi guru mereka di
atas kuda. Sang brahmana lenyap, kedua murid itu jadi setengah
buta, dan naskah yang mereka salin di atas kertas Cina robek-ro-
bek, hurufnya pudar.
Yang tersisa jelas hanya satu halaman yang terlepas, bertulis-
kan ”Sang Hyang ning Hyang amurti niskala...”.
Tapi setidaknya mereka ingat beberapa fragmen cerita yang
dicari. Dan itulah yang mereka sampaikan ke dewan kota.
Syahdan, dewan kota sedang sibuk. Maka diputuskan bahwa
para anggota akan mendengarkan dongeng itu selama dua hari,
fragmen demi fragmen. Semua akan direkam dan kemudian ceri-
ta akan disusun jadi utuh, lalu disebarkan ke seluruh penduduk.
Tapi di ujung proses, ternyata ada dua versi cerita Lubdaka. Ini
sinopsisnya:
VERSI I. Lubdaka seorang pemburu yang mencari hewan buru-
an untuk menghidupi keluarganya. Pada suatu hari ia tak bisa pu-
lang cepat dari hutan. Malam tiba, dan ia takut dimangsa hewan.
Maka ia naik ke sebatang pohon maja yang menjorok ke telaga kecil.
Ia duduk di atas sebuah dahan. Cemas terjatuh bila ia tertidur, ia
melawan kantuk dengan memetik daun maja satu-satu, lalu dija-
tuhkannya ke permukaan telaga untuk menyaksikan bulan yang ter-
pantul di air itu seperti tersenyum kepada bumi. Adapun di danau
itu ada sepotong batu panjang yang tegak, dan daun-daun itu sese-
kali jatuh di pucuknya. Itulah yang ia lihat di waktu pagi. Yang tak
ia ketahui, Dewa Syiwa yang di kuil-kuil dilambangkan dengan se-
buah lingga sangat senang melihat perbuatan Lubdaka. Syiwa men-
catat si pemburu sebagai calon penghuni surga.
VERSI II: Lubdaka seorang pemburu yang mencari hewan bu-
ruan untuk menghidupi keluarganya. Pada suatu hari ia tak bisa pu-
324 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka LUBDAKA
lang cepat dari hutan. Malam tiba, dan ia takut dimangsa hewan.
Maka ia naik ke sebatang pohon maja yang menjorok ke telaga kecil.
Ia duduk di atas sebuah dahan. Cemas terjatuh, ia berdoa sepanjang
malam sambil menjalankan ibadat, yaitu menebarkan daun ma-
ja ke sepotong batu panjang yang ia lihat tadi di telaga itu; baginya
batu itu lingga yang mewakili Syiwa. Maka Syiwa pun sangat se-
nang akan perbuatan Lubdaka. Ia mencatat si pemburu sebagai ca-
lon penghuni surga.
”Versi mana yang benar?” tanya Ketua Dewan.
”Terus terang saya tak tahu, Tuan,” jawab salah seorang murid
sang brahmana yang hilang. ”Kami berdua juga tak yakin bacaan
kami. Kami setengah buta.”
”Tapi logisnya versi kedua yang benar,” jawab murid yang sa-
tunya. ”Dewa mendengarkan doa Lubdaka sepanjang malam.
Dalam versi ini Lubdaka berbuat dengan niat yang jelas. Dewa
tak akan mengaruniai seorang yang iseng karena takut mengan-
tuk.”
”Tapi niat itu pamrih. Dalam versi kedua, Lubdaka mengha-
rap bantuan dewa, sedangkan dalam versi pertama, Lubdaka tak
punya pamrih apa pun. Di atas pohon itu ia menciptakan imaji-
nasi yang membuat bulan dan bumi saling bersahabat. Ia layak
hidup bahagia yang kekal.”
”Niat itu penting, kan? Tanpa niat, perbuatan hanya seperti
air kali yang mengalir karena perbedaan tinggi tanah.”
Dewan kota pun bingung. Maka diundanglah seorang penela-
ah kitab-kitab lama. Tapi orang ini pun tak bisa membaca tulisan
pudar di kertas yang robek.
”Hanya kalimat ini yang saya mengerti,” katanya menemukan
kertas yang bertuliskan ”Sang Hyang ning Hyang amurti niska-
la...”. Baris ini bertaut dengan baris yang tersimpan di Candi La-
ngo. Dalam tafsir saya, seutuhnya berarti, ”Dewa dari segala dewa
yang nir-bentuk di dunia yang tak kasat mata/sifatnya yang nir-ben-
Catatan Pinggir 10 325